Ceritasilat Novel Online

Pembunuhan Di Lorong 3

Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie Bagian 3


adalah Chevenix-Gore yang terakhir."
"Apakah mereka bangkrut?"
"Sama sekali tidak. Gervase itu kaya raya. Dia memiliki rumah dan tanah yang
berharga tinggi; ladang-ladang batu bara. Tambahan pula, dia telah membeli
sebuah tambang di Peru atau entah di mana di Amerika Selatan, waktu masih muda,
dan kini tambang itu memberikan hasil yang banyak padanya. Dia orang yang luar
biasa. Dia selalu bemntung dalam segala hal yang ditanganinya."
"Pasti dia sekarang sudah tua, ya?"
"Ya, kasihan Gervase tua itu." Mr. Satterthwaite mendesah, lalu menggeleng.
"Kebanyakan orang menggambarkannya padamu
sebagai orang gila. Itu ada benarnya. Dia memang gila. Bukan dalam arti bahwa
dia memerlukan pengobatan atau suka mengigau, tapi gila dalam arti tidak normal.
Dia orang yang berwatak keras."
"Dan apakah kekerasan itu lalu berubah menjadi keanehan setelah dia tua?" tanya
Poirot. "Benar sekali. Itulah yang terjadi atas diri Gervase tua yang malang itu."
"Mungkin dia menilai dirinya orang yang penting sekali?"
"Benar sekali. Kurasa, dalam pikiran Gervase dunia ini terbagi dua, yaitu
keluarga Chevenix-Gore di satu sisi dan di sisi lain orang-orang lain!"
"Suatu rasa kekeluargaan yang berlebihan!"
"Ya. Keluarga Chevenix-Gore itu semuanya angkuh sekali, seolah-olah mereka
memiliki hukum sendiri. Gervase, yang merupakan keturunan terakhir, benar-benar
mewarisinya. Dia... wah, kalau kita mendengarkannya berbicara, bisa-bisa kita
membayangkan dialah... eh, Yang Mahakuasa!"
Poirot mengangguk perlahan-lahan sambil merenung.
"Ya, bisa kubayangkan. Perlu kauketahui, Aku menerima surat darinya. Surat yang
tidak biasa. Dia tidak meminta. Dia memanggil!"
"Perintah dari raja," kata Mr. Satterthwaite sambil terkekeh.
"Tepat. Agaknya Sir Gervase itu tidak menyadari bahwa aku, Hercule Poirot,
adalah orang penting, orang yang mahatahu tentang segala macam urusan. Rasanya
tak mungkin aku akan bisa
menyingkirkan segala-galanya dan bergegas mendatanginya bagaikan seekor anjing
yang patuh, seperti orang yang tak berarti, yang bersyukur akan menerima upah
kecil!" Mr. Satterthwaite menggigit bibirnya untuk mehahan senyum.
Agaknya kalau mengenai ego, tak banyak perbedaan antara Hercule Poirot dan
Gervase Chevenix-Gore. Ia bergumam, "Tentu, bila alasan pemanggilan itu mendesak...
"Tidak mendesak!" Poirot mengangkat tangannya ke udara untuk memberikan tekanan.
"Aku harus siap sedia bila sewaktu-waktu dia memerlukanku, itu saja, apabila dia
memintaku!" Lagi-lagi diangkatnya tangannya dengan penuh perasaan, untuk menandaskan
perasaan gusarnya. "Kurasa," kata Mr. Sattertbwaite, "kau menolaknya, ya?"
"Aku masih belum punya kesempatan," kata Poirot lambat-lambat.
"Tapi kau akan menolaknya?"
Wajah pria kecil itu membayangkan suatu perasaan baru. Dahinya berkerut.
Katanya, "Bagaimana aku akan menyatakan perasaanku. Menolak" Ya, itulah naluriku yang
pertama. Tapi entahlah... Kita kadang-kadang punya firasat. Rasanya samar-samar
aku bisa mencium kebusukannya." Mr. Satterthwaite menerima pernyataan itu tanpa ekspresi. "Oh?"
katanya. "Itu menarik."
"Kurasa," kata Hercule Poirot lagi, "laki-laki seperti yang kaugambarkan itu
mungkin rapuh sekali..."
"Rapuh?" tanya Mr. Satterthwaite. Sesaat ia terkejut. Ia tak bisa membayangkan
Gervase Chevenix-Gore sebagai orang yang rapuh.
Tapi laki-laki itu memang orang yang cepat tanggap, cepai melihat.
Lambat-lambat ia berkata,
"Kurasa aku mengerti maksudmu."
"Orang semacam itu terbelenggu dalam baju besi - bukan baju besi biasa! Baju
besi para ksatria belum apa-apa dibandingkan dengan baju besi itu, yaitu
belenggu kecongkakan, kebanggaan, dan penilaian diri yang terlalu tinggi. Namun
baju besi itu bisa pula merupakan perlindungan. Anak panah-anak panah dalam
hidup sehari-hari, tak akan bisa menembusnya. Tapi ada suatu bahaya; Kadangkadang seseorang yang mengenakan baju besi tidak menyadari bahwa dirinya
terancam. Dia akan lambat melihat, lambat mendengar, dan lebih lambat lagi dalam
merasa." Ia diam sebentar, lalu bertanya dengan sikap berbeda,
"Siapa saja anggota keluarga Sir Gervase itu?"
"Ada Vanda, istrinya. Dia dari keluarga Arbuthnot, dulu dia gadis yang cantik
sekali. Sampai sekarang pun dia masih cantik. Tapi dia agak aneh. Dia sangat
mencintai Gervase. Kurasa dia percaya pada ilmu gaib. Dia memakai jimat-jimat
dan benda-benda keramat dan beranggapan bahwa dirinya adalah inkarnasi seorang
ratu Mesir. Lalu ada Ruth, putri angkat mereka. Mereka tak punya anak kandung.
Gadis itu sangat menarik dan bergaya modern. Hanya itulah keluarganya. Kecuali
tentu Hugo Trent, keponakan Gervase. Pamela Chevenix-Gore menikah dengan Reggie
Trent, dan Hugo adalah putra tunggal mereka. Sekarang dia sudah yatim-piatu.
Tentu saja ia tak bisa mewarisi gelar mereka, tapi kurasa akhirnya dia akan
mewarisi sebagian besar uang Gervase. Dia tampan."
Poirot mengangguk sambil merenung. Lalu katanya,
"Sayang sekali Sir Gervase tak punya anak laki-laki yang bisa mewarisi gelar
kebangsawanannya, bukan?"
"Kurasa dia kecewa sekali."
"Apakah nama keluarga sangat penting baginya?"
"Ya." Beberapa saat lamanya Mr. Satterthwaite diam. Ingin sekali ia tahu. Akhirnya ia
memberanikan diri bertanya,
Apakah kau punya alasan kuat untuk pergi ke Hamborough Close"'
Poirot menggeleng perlahan-lahan.
"Tidak," katanya. "Sejauh ini aku sama sekali ridak melihat alasan untuk pergi.
Tapi kurasa aku akan pergi juga."
BAB 2 Hercule Poirot duduk di sudut gerbong kelas satu yang melaju melalui daerah
pedesaan Inggris. Sambil merenung dikeluarkannya dari sakunya sepucuk telegram yang terlipat rapi.
Dibukanya lalu dibacanya kembali:
Harap naik kereta yang jam setengah lima dari St. Pancras.
Perintahkan kondektur untk berhenti di Whimperley.
Chevenix-Gore. Dilipatnya kembali telegram itu, lalu dimasukkannya kembali ke sakunya.
Kondektur kereta api itu suka menjilat. Anda akan pergi ke Hamborough Close" Oh
ya, tamu-tamu Sir Gervase Chevenix-Gore selalu minta diturunkan di Whimperley.
"Saya rasa itu suatu keistimewaan, Sir."
Sejak itu, si kondektur masih mendatangi gerbong dua kali lagi yang pertama untuk meyakinkan penumpangnya bahwa mereka akan menjaga agar
gerbong itu khusus untuknya; yang kedua untuk memberitahukan bahwa kereta api
ekspres itu akan terlambat sepuluh menit.
Seharusnya kereta api itu tiba jam 07.50, tapi tepat jam delapan lewat dua
menit, Hercule Poirot baru turun di peron stasiun kecil desa itu. Ia menyelipkan
uang setengah crown ke tangan kondektur yang penuh perhatian itu.
Terdengar peluit dari lokomotif, dan kereta Northern Express pun bergerak lagi.
Seorang pengemudi jangkung berseragam hijau mendatangi Poirot.
"Mr. Poirot" Akan ke Hamborough Close?"
Diangkatnya koper kecil yang rapi milik detektif itu, lalu ia berjalan
mendahului keluar dari stasiun. Sebuah mobil Rolls Royce yang besar sudah
menunggu. Pengemudi itu membukakan pintu mobil dan Poirot pun masuk.
Dipasangkannya selimut bulu binatang ke lutut Poirot, lalu mereka pun berangkat.
Setelah kira-kira sepuluh menit melalui jalan-jalan desa, membelok di tikungantikungan tajam dan jalan setapak, mobil pun memasuki sebuah pintu gerbang yang
diapit oleh dua patung batu yang sangat besar.
Mereka melewati taman dan langsung menuju rumah. Waktu
mobil berhenti, pintu rumah dibuka, dan seorang pengurus rumah tangga bertubuh
besar muncul di puncak tangga.
"Mr. Poirot" Silakan, Sir."
Ia mendahului berjalan di sepanjang lorong rumah, lalu membuka sebuah pintu di
tengah-tengah lorong, di sisi sebelah kanan.
"Mr. Hercule Poirot," katanya memberitahu.
Di dalam ruangan itu ada sejumlah orang berpakaian resmi, dan waktu Poirot
masuk, ia langsung mengetahui bahwa kedatangannya tidak diharapkan. Mata semua
yang hadir memandanginya dengan rasa terkejut yang tak disembunyikan.
Lalu seorang wanita jangkung dengan rambut gelap yang sudah diselingi uban,
berjalan ke arahnya dengan kurang yakin.
Poirot membungkuk ke tangan wanita itu.
"Maafkan saya, Madame," katanya. "Kereta api saya terlambat."
"Tak apa-apa," kata Lady Chevenix-Gore dengan tak jelas.
Matanya tetap menatap Poirot dengan sikap ingin tahu. "Tak apa-apa, Mr... eh... saya
kurang jelas mendengar..."
"Hercule Poirot."
Ia mengucapkan nama itu dengan jelas.
Di belakangnya terdengar suara napas tertahan.
Saat itu disadarinya bahwa tuan rumahnya pasti tidak berada di dalam ruangan
itu. Dengan halus ia bergumam,
"Tahukah Anda bahwa saya akan datang, Madame?"
"Oh... oh, ya..." Sikapnya tidak meyakinkan. "Saya pikir... maksud saya begitulah,
tapi saya ini sangat tidak praktis, M. Poirot. Saya pelupa sekali." Tapi nada
bicaranya mengandung rasa senang bercampur kemurungan. "Orang mengatakan sesuatu
pada saya. Tampaknya saya mengerti, padahal semuanya lewat saja melalui otak saya, lalu
hilang! Lenyap! Seolah-olah tak pernah ada."
Lalu seperti orang yang harus menjalankan suatu tugas yang sebenarnya sudah
sangat terlambat, ia melihat ke sekelilingnya dan bergumam tak jelas,
"Saya rasa Anda sudah kenal semua."
Itu agaknya merupakan cara Lady Chevenix-Gore untuk
melepaskan diri dari kewajiban memperkenalkan para tamunya dan mengingat namanama mereka dengan benar.
Dengan susah payah ia menambahkan,
"Ini putri saya - Ruth." Gadis yang berdiri di depan Poirot juga bertubuh
jangkung dan berkulit selap, tapi tipenya sangat berbeda dari Lady ChevenixGore. Gadis itu memiliki hidung bagus, agak bengkok, rahangnya jelas dan tajam.
Rambutnya yang hitam disisir ke belakang, mengeriting kecil-kecil. Warna kulit
wajahnya memerah seperti bunga yang cerah dan berkilau. Ia hanya memakai sedikit
make-up. Menurut Hercule Poirot, ia salah satu gadis tercantik yang pernah
dilihatnya. Diakuinya pula bahwa gadis itu berotak cerdas, agak angkuh, dan penaik darah. Ia
berbicara dengan nada agak lamban yang berkesan disengaja.
"Menyenangkan sekali," katanya, "kedatangan M. Hercule Poirot!
Saya rasa Ayah telah mengatur suatu kejutan kecil untuk kita."
"Jadi, Anda tidak tahu bahwa - saya akan datang, Mademoiselle?"
tanya Poirot cepat-cepat.
"Saya sama sekali tidak tahu. Sekarang kelihatannya saya harus menunda mengambil
buku kumpulan tanda tangan orang-orang terkenal saya, sampai setelah makan."
Terdengar suara gong dari lorong rumah, lalu kepala pelayan membuka pintu dan
memberitahukan, "Makan malam sudah tersedia."
Belum sempat kata terakhir itu diucapkan dengan sempurna, terjadilah sesuatu
yang aneh sekali. Kepala pelayan itu untuk sesaat tampak sangat terkejut, tapi
hanya sesaat. Dengan cepat ia kembali menampilkan wajah tanpa ekspresi, layaknya
seorang kepala pelayan yang sudah terlatih dengan baik.
Perubahan itu demikian singkatnya, hingga orang yang kebetulan tidak melihat,
tidak akan menyadari perubahan itu. Tapi Poirot kebetulan melihat. Dan ia ingin
tahu. Kepala pelayan itu tampak bimbang di ambang pintu. Meskipun wajahnya sudah tanpa
ekspresi lagi, ia kelihatan tegang. Dengan kurang yakin Lady Chevenix-Gore
berkata, "Wah, aneh sekali. Sungguh, saya... kita jadi tidak tahu harus berbuat apa."
Ruth berkata pada Poirot,
"Kekacauan besar ini, M. Poirot, timbul karena untuk pertama kali selama
sedikitnya dua puluh tahun, ayah saya terlambat datang untuk makan malam."
"Luar biasa sekali," kata Lady Chevenix-Gore. "Gervase tak pernah..."
Seorang pria tua berpenampilan tegap seperti tentara, datang ke samping Lady
Chevenix-Gore. Ia tertawa riang.
"Si tua Gervase! Akhirnya terlambat juga! Biar kita olok-olok dia nanti. Apakah
dia mengalami kesulitan memasang kancing kerah bajunya" Atau Gervase merasa
dirinya kebal terhadap kelemahan kita semua?"
Dengan suara rendah yang mengandung tanda tanya, Lady
Chevenix-Gore berkata, "Tapi Gervase tak pernah terlambat."
Kekacauan yang disebabkan oleh hal yang tidak biasa itu boleh dikatakan
menggelikan. Namun bagi Hercule Poirot hal itu tidak menggelikan. Di balik
kekacauan itu ia merasakan kegelisahan, bahkan mungkin rasa takut. Dan ia juga
heran mengapa Gervase Chevenix-Gore tidak muncul untuk menyambut tamunya yang
disuruhnya datang dengan cara begitu misterius.
Sementara itu, jelas bahwa tak seorang pun tahu apa yang harus dilakukan.
Keadaan ini tak dapat dijelaskan, dan tak ada yang tahu bagaimana harus
menanganinya. Akhirnya Lady Chevenix-Gore mengambil ini inisiatif, kalaupun itu bisa disebut
inisiatif, karena sikapnya amat sangat tidak tegas.
"Snell," katanya, "apakah majikanmu...,"
Ia tidak menyelesaikan kalimatnya; ia hanya melihat pada kepala pelayan itu
dengan penuh harap. Snell, yang jelas sudah terbiasa dengan cara majikannya dalam mencari informasi,
langsung menjawab pertanyaan yang tak jelas itu,
"Sir Gervase turun jam delapan kurang lima menit, M'lady, lalu langsung pergi ke
ruang kerja." "Oh, begitu." Mulut Lady Chevenix-Gore tetap terbuka,
pandangannya menerawang. "Menurutmu apakah tidak... maksudku, apakah dia mendengar
suara gong?" "Saya rasa beliau mendengarnya, M'lady, karena gong itu terletak tepat di depan
pintu ruang kerjanya. Saya tentu tidak tahu apakah Sir Gervase masih berada di
dalam ruang kerja itu. Kalau saya tahu, tentu sudah saya beritahu beliau bahwa
makan malam sudah tersedia. Apakah akan saya beritahukan sekarang, M'lady?"
Lady Chevenix-Gore menyambut usul itu dengan lega sekali.
"Oh, terima kasih, Snell. Ya, tolong. Ya, tentu."
Setelah kepala pelayan itu meninggalkan ruangan, ia berkata,
"Snell itu sangat berharga bagi kami. Saya benar-benar
bergantung padanya. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan tanpa Snell."
Seseorang membenarkan dengan bergumam, tapi tak seorang pun berbicara. Hercule
Poirot memperhatikan ruangan yang penuh orang itu dengan lebih tajam, dan ia
mendapat kesan bahwa semua orang, tanpa kecuali, berada dalam keadaan tegang.
Matanya cepat menyapu mereka semua, menilai mereka secara keseluruhan. Ada dua
orang tua yang seorang berpenampilan tentara dan baru saja berbicara, yang
seorang lagi kurus pucat dan beruban, bibirnya tertutup rapat dan tampangnya
seperti pengacara. Ada dua orang laki-laki muda dengan tipe sangat berbeda. Yang
seorang berkumis dan bersikap agak angkuh. Poirot menerka dialah keponakan Sir
Gervase. Yang seorang lagi rambutnya disisir licin ke belakang dan berwajah
tampan, kelihatannya dari kalangan rendah.
Ada seorang wanita mungil setengah umur yang memakai kacamata tanpa gagang dan
bermata cerdas, dan ada seorang gadis berambut merah manyala.
Snell muncul kembali di pintu. Sikapnya sempurna, tapi sekali lagi ia
memperlihatkan tanda-tanda gelisah di balik sikapnya yang seolah tidak
berperasaan. "Maafkan saya, M'lady, pintu ruang kerja terkunci."
"Terkunci?" Itu suara laki-laki - terdengar muda, waspada, dengan nada kacau. Ia adalah anak


Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda tampan yang rambutnya tersisir ke belakang. Sambil cepat-cepat maju, ia
berkata lagi, "Apakah sebaiknya saya pergi melihat?"
Tapi dengan tenang sekali Hercule Poirot menguasai keadaan. Ia melakukannya
dengan sangat wajar, hingga tak seorang pun merasa aneh, mengapa orang asing
yang baru tiba ini mendadak menguasai keadaan.
"Mari," katanya. "Mari kita pergi ke ruang kerja."
Pada Snell ia berkata lagi,
"Tolong tunjukkan tempatnya."
Snell mematuhinya. Poirot mengikuti dekat di belakangnya, dan bagaikan
segerombolan biri-biri, semuanya menyusul.
Snell berjalan mendahului, melewati sebuah ruang depan yang besar, melewati
tikungan tangga yang bercabang, melewati sebuah jam tua yang besar sekali, dan
sebuah lekuk tempat terdapat gong, melalui sebuah lorong sempit yang berakhir
pada sebuah pintu. Di situ Poirot mendahului Snell dan dengan halus mencoba memutar gagang pintu.
Gagang itu berputar, tapi pintu tidak terbuka.
Poirot mengetul dengan halus. Lalu makin lama makin kuat. Tiba-tiba ia
menghentikan usahanya itu, lalu berlutut dan mengintip melalui lubang pintu.
Perlahan-lahan ia bangkit, lalu melihat ke sekelilingnya. Wajahnya keras.
"Saudara-saudara!" katanya. "Pintu ini harus didobrak segera! "
Dengan petunjuknya, kedua anak muda yang sama-sama
bertubuh tinggi besar menyerang pintu itu. Ternyata tidak mudah.
Pintu-pintu di Hamborough Close dibuat sangat kokoh.
Tapi akhirnya kunci rusak dan pintunya terdorong ke bagian dalam, disertai bunyi
kayu pecah dan jatuh berkeping-keping.
Kemudian, sesaat lamanya semua orang berdiri diam,
bergerombol di ambang pintu, melihat ke pemandangan di dalam.
Lampu-lampu menyala. Pada dinding sebelah kiri terdapat sebuah meja tulis besar
dan kokoh, dari kayu mahoni. Seorang laki-laki bertubuh besar duduk terkulai di
kursi, bukan di dekat meja, melainkan di sampingnya, hingga punggungnya tepat
menghadap ke arah orang-orang itu. Kepalanya dan bagian atas tubuhnya bergantung
pada sisi kursi sebelah kanan, sedangkan tangan dan lengan kirinya terkulai ke
bawah. Tepat di bawahnya, di karpet, tergeletak sebuah pistol kecil mengilap.
Orang tak perlu mengira-ngira lagi. Gambarannya sudah jelas. Sir Gervase
Chevenix-Gore telah menembak dirinya sendiri.
BAB 3 Beberapa saat lamanya orang-orang di ambang pintu itu berdiri saja tanpa
bergerak, memandangi pemandangan itu. Lalu Poirot maju.
Pada saat itu juga, Hugo Trent berkata dengan tegas,
"Astaga, Paman telah menembak dirinya sendiri!"
Kemudian terdengar suara rintihan panjang dan gemetaran dari Lady Chevenix-Gore.
"Oh, Gervase... Gervase!"
Sambil menoleh ke belakang, Poirot berkata dengan tajam,
"Bawa pergi Lady Chevenix-Gore. Dia tak bisa melakukan apa-apa di sini."
Laki-laki tua yang bertampang tentara, mematuhinya. Katanya,
"Mari, Vanda. Kau tak bisa berbuat apa-apa di sini. Semuanya sudah berlalu.
Ruth, mari jaga ibumu."
Tapi Ruth Chevenix-Gore telah mendesak masuk ke kamar dan berdiri di samping
Poirot. Poirot sedang membungkuk di atas tubuh mengerikan yang terkulai di kursi
- sosoknya seperti Hercules dan berjanggut seperti orang Viking.
Dengan suara rendah dan tegang, yang terdengar aneh dan teredam, Ruth berkata,
Yakin benarkah Anda bahwa dia... sudah meninggal?"
Poirot mengangkat wajahnya.
Wajah gadis itu hidup dan tampak emosi - emosi yang ditahan kuat-kuat - hingga
Poirot tak begitu mengerti. Air muka itu tidak
membayangkan kesedihan, lebih merupakan semacam rasa kacau bercampur takut.
Wanita mungil yang berkacamata tanpa gagang bergumam,
"Ibumu, Sayang... tidakkah sebaiknya kau... "
Dengan suara melengking histeris gadis yang berambut merah berseru,
"Kalau begitu, itu bukan suara mobil atau bunyi letupan gabus sampanye! Yang
kita dengar itu suara tembakan..."
Poirot berbalik dan menghadapi mereka semua.
"Seseorang harus menghubungi polisi."
Ruth Chevenix-Gore berteriak keras,
"Tidak!" Pria tua yang berwajah biasa-biasa saja berkata.
"Kurasa itu tak bisa dihindarkan. Bisakah kau melakukannya, Burrows" Hugo..."
Poirot berkata pada anak muda yang berkumis.
"Apakah Anda Mr. Hugo Trent" Saya rasa sebaiknya, semua orang meninggalkan
ruangan ini, kecuali Anda dan saya."
Kewibawaannya lagi-lagi tidak dibantah. Si pengacara menuntun orang-orang lain
keluar. Tinggallah Poirot dan Hugo Trent di situ.
Hugo Trent berkata sambil membelalak,
"Dengar... siapa Anda" Maksud saya, saya sama sekali tidak tahu.
Untuk apa Anda berada di sini?"
Poirot mengeluarkan sebuah kotak kartu dari sakunya dan mengambil selembar
kartu. Sambil memandangi kartu itu, Hugo Trent berkata,
"Detektif swasta" Tentu, saya pernah mendengar tentang Anda.
Tapi saya masih belum mengerti, untuk apa Anda berada di sini?"
"Anda tidak tahu bahwa paman Anda - dia paman Anda, bukan?"
Mata Hugo beralih sebentar ke arah jenazah itu.
"Orang tua ini" Ya, dia memang paman saya."
"Tak tahukah Anda bahwa dia meminta saya datang?"
Hugo menggeleng. Lambat-lambat ia berkata,
"Saya tidak tahu."
Dalam suaranya terdengar emosi yang agak sulit ditafsirkan.
Wajahnya tampak kaku dan bodoh. Semacam ekspresi yang bisa dijadikan kedok dalam
keadaan mendesak, pikir Poirot.
Dengan tenang Poirot berkata,
"Kita ini berada di Westshire, bukan" Saya kenal baik pada kepala polisi di
sini. Mayor Riddle."
Kata Hugo, "Riddle tinggal kira-kira setengah mil dari sini. Mungkin dia akan datang
sendiri." "Itu akan sangat memudahkan," kata Poirot.
Ia mulai mencari-cari di sekeliling ruangan itu.
Disibakkannya gorden jendela dan diperiksanya pintu-pintu, dicobanya membukanya
dengan halus. Semuanya tertutup.
Pada dinding di belakang meja kerja tergantung sebuah cermin bundar. Cerminnya
pecah. Poirot membungkuk dan memungut sebuah benda kecil.
"Apa itu?" tanya Hugo Trent.
"Pelurunya." "Rupanya menembus kepalanya dan mengenai cermin itu, ya?"
"Kelihatannya begitu."
Poirot meletakkan kembali peluru, itu dengan cermat ke tempat ia menemukannya.
Lalu ia mendatangi meja kerja. Ada surat-surat yang diatur rapi dan ditumpuk.
Pada kertas pengisap tinta terdapat sehelai kertas lepas bertulisan MAAF dengan
huruf-huruf besar, dengan tulisan tangan yang gemetar.
"Pasti itu dituliskannya sebelum dia... melakukannya," kata Hugo.
Poirot mengangguk sambil merenung.
Ia melihat lagi ke cermin yang pecah, lalu ke orang yang sudah meninggal itu.
Dahinya berkerut, seolah-olah ia tak mengerti. Ia berjalan ke pintu yang
tergantung miring dengan kunci yang sudah rusak. Tak ada kunci di pintu itu. Itu
sudah diketahuinya, karena kalau ada kuncinya, ia tadi tentu tak bisa mengintai
lewat lubang kunci. Di lantai pun tak ada kunci itu. Poirot membungkuk di atas
jenazah, lalu menggerayangi tubuhnya.
"Oh, kuncinya ada di dalam sakunya," katanya.
Hugo mengeluarkan sebuah kotak rokok, lalu menyalakan
sebatang. Ia berbicara dengan suara agak serak.
"Kelihatannya semuanya sudah jelas sekali," katanya. "Paman saya mengunci
dirinya di sini, menuliskan pesan itu di kertas, lalu menembak dinnya sendiri."
Poirot mengangguk sambil merenung. Hugo berkata lagi,
"Tapi saya tak mengerti, mengapa dia meminta Anda datang.
Untuk apa?" "Itu lebih sulit dijelaskan. Sementara kita menunggu yang berwenang datang, Mr.
Trent, mungkin Anda bisa mengatakan pada saya, siapa-siapa orang-orang yang saya
lihat waktu saya tiba di sini tadi?"
"Siapa mereka itu?" Hugo berbicara dengan agak linglung. "Oh, ya, tentu. Maaf.
Sebaiknya kita duduk, ya?" Ia menunjuk ke sebuah bangku di sudut kamar yang
terjauh dari jenazah. Dengan terputus-putus ia berkata lagi, "Yah, ada Vanda;
Anda sudah tahu dia bibi saya. Dan Ruth, saudara sepupu saya. Anda sudah kenal
mereka. Lalu gadis yang seorang lagi adalah Susan Cardwell. Dia hanya menginap di sini.
Lalu ada Kolonel Bury. Dia teman lama keluarga.
Dan Mr. Forbes. Dia juga teman lama sekaligus pengacara keluarga.
Kedua pria tua itu tergila-gila pada Vanda waktu dia masih muda, dan sampai
sekarang masih saja mendekatinya dengan setia dan penuh pengabdian. Tak masuk
akal, namun cukup menyentuh. Lalu ada Godfrey Burrows, sekretaris si tua... maksud
saya Paman saya, dan Miss Lingard, yang berada di sini untuk membantu Paman
menulis sejarah keluarga Chevenix-Gore. Dia biasa mengumpulkan bahan-bahan
bersejarah untuk para pengarang. Saya rasa itulah semuanya."
Poirot mengangguk, lalu katanya,
"Dan saya rasa Anda semua mendengar suara tembakan yang telah membunuh paman
Anda itu?" "Ya, kami mendengarnya. Kami kira itu suara letupan gabus botol sampanye.
Setidaknya saya mengira begitu. Susan dan Miss Lingard mengira itu suara letupan
knalpot mobil di luar, soalnya rumah ini cukup dekat dengan jalanan."
"Kapan itu?", "Oh, kira-kira jam delapan lewat sepuluh menit. Snell baru saja membunyikan gong
yang pertama." "Anda berada di mana waktu mendengarnya?"
"Di ruang depan. Kami... kami menertawakannya... kami
mempertengkarkannya, mengenai asal suara itu. Saya katakan suara
itu dari ruang makan, dan Susan berkata bahwa suara itu berasal dari ruang tamu
utama, sedangkan Miss Lingard berkata bunyinya seperti dari lantai atas, dan
Snell berkata suara itu terdengar dari jalan di luar, tapi lewat jendela di
lantai atas dan Susan berkata, 'Ada teori lain lagi"' Saya tertawa dan berkata,
pembunuhan itu biasa! Sekarang saya merasa bodoh sekali telah berkata begitu."
Wajahnya tampak mengejang karena gugup.
"Apakah tak ada seorang pun yang menduga bahwa Sir Gervase mungkin menembak
dirinya sendiri?" "Tentu tidak." "Apakah Anda benar-benar tak punya bayangan mengapa dia harus menembak dirinya
sendiri?" Lambat-lambat Hugo berkata,
"Yah, sebenarnya tidak begitu."
"Jadi, Anda punya bayangan?"
"Yaaah... sulit menjelaskannya. Saya tentu tidak mengharap dia bunuh diri, tapi
saya tidak begitu terkejut. Sebenarnya, M. Poirot, paman saya itu benar-benar
gila. Semua orang tahu itu."
"Menurut Anda, itu merupakan penjelasan yang memuaskan?"
"Yah, bukankah orang yang tak waras biasa menembak dirinya sendiri?"
"Suatu penjelasan yang sangat sederhana."
Hugo terbelalak. Poirot bangkit lagi, lalu berjalan hilir-mudik tanpa tujuan di dalam ruangan
itu. Ruangan itu diisi dengan perabotan yang nyaman, terutama dengan gaya
Victoria yang agak berat. Ada lemari-lemari buku yang kokoh, kursi-kursi
berlengan yang besar-besar, dan kursi-kursi bersandaran tegak dari Chippendale
yang asli. Tak banyak hiasan. Tapi beberapa hiasan dari perunggu di atas rak
perapian menarik perhatian Poirot dan agaknya menyentuh rasa kagumnya.
Diambilnya benda-benda itu satu demi satu - diamatinya dengan cermat, lalu
dikembalikannya dengan hati-hati. Dari hiasan yang terletak di uJung kiri ia
mengambil sesuatu dengan kuku jarinya.
"Apa itu?" tanya Hugo tanpa minat besar.
"Bukan barang penting. Hanya serpihan cemiin."
Kata Hugo, "Aneh ya, cermin itu pecah gara-gara tembakan itu... Cermin yang pecah berarti
nasib buruk. Kasihan si tua Gervase. Saya rasa dia sudah kehabisan nasib baik."
"Apakah paman Anda orang yang benasib baik?"
Hugo tertawa kecil. "Wah, keberuntungannya luar biasa! Segala sesuatu yang
disentuhnya berubah menjadi emas! Bila dia menginvestasikan uangnya pada sebuah
tambang yang keadaannya meragukan, maka tambang itu langsung menyentuh sumber
bijih! Dia sering lolos dari keadaan yang paling mengancam. Lebih dari sekali
nyawanya selamat oleh semacam mukjizat. Dia juga boleh dikatakan orang tua yang
baik. Dia sudah sering bepergian dan sudah banyak yang dilihatnya; lebih banyak
daripada kebanyakan orang yang segenerasi dengannya."
Dengan nada biasa Poirot bergumam,
"Anda dekat dengan paman Anda, Mr. Trent?"
Hugo Trent kelihatan agak terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Oh... eh... ya, tentu," katanya agak samar. "Meskipun kadang-kadang dia agak
menyulitkan. Menegangkan sekali hidup
bersamanya. Untunglah saya tak perlu sering bertemu dengannya."
"Apakah dia sayang pada Anda?"
"Tidak kelihatan! Sebenarnya dia boleh dikatakan agak tidak menyukai kehadiran
saya." "Mengapa begitu, Mr. Trent?"
"'Soalnya dia sendiri tidak memiliki anak laki-laki, dan dia kesal sekali. Dia
tergila-gila pada keluarga dan semua yang berhubungan dengan itu. Saya rasa dia
risau sekali memikirkan bahwa bila dia meninggal, nama Chevenix-Gore akan punah.
Soalnya nama keluarga itu sudah ada sejak zaman Pendudukan oleh Bangsa
Normandia. Dialah yang terakhir. Saya rasa menurut dia keadaan itu menyedihkan sekali."
"Apakah Anda sendiri tidak menyayangkan hai itu?"
Hugo mengangkat bahunya. "Hal-hal semacam itu saya rasa sudah kuno."
"Apa yang terjadi dengan kekayaannya?"
"Saya tidak begitu tahu. Mungkin saya akan mendapatkannya.
Atau mungkin dia mewariskannya pada Ruth. Mungkin juga Vanda yang akan
mendapatkannya selama dia masih hidup."
"Tidakkah paman Anda menyatakan dengan pasti niatnya?"
"Yah, dia punya harapan."
"Apa itu?" "Dia ingin Ruth dan saya menjadi pasangan untuk
mendapatkannya." "Itu pasti cocok sekali."
"Cocok sekali. Tapi Ruth... yah, Ruth punya pandangan yang pasti tentang hidupnya
sendiri. Ingat, dia seorang gadis yang sangat cantik, dan dia menyadarinya. Dia
tak ingin buru-buru menikat dan hidup bersama seseorang."
Poirot membungkukkan tubuhnya.
"Tapi Anda sendiri bersedia, bukan, M. Trent?"
Dengan nada bosan Hugo menyahut,
"Saya rasa zaman sekarang tidak terlalu besar artinya dengan siapa kita menikah.
Perceraian begitu mudah. Kalau merasa tak
cocok, kita bisa dengan mudah memutuskan tali pernikahan yang kusut, dan memulai
lagi." Pintu terbuka dan Forbes masuk dengan seorang pria jangkung yang sangat rapi.
Pria itu mengangguk pada Trent.
"Halo, Hugo. Aku ikut prihatin dengan kejadian ini. Pasti menyedihkan sekali
bagi kalian semua." Hercule Poirot maju. "Apa kabar, Mayor Riddle" Anda ingat saya?"
"Ya, tentu." Kepala polisi itu menjabat tangannya. "Jadi, Anda sudah ada di
sini?" Suaranya mengandung nada ingin tahu, dan ia melihat pada Hercule Poirot dengan
rasa ingin tahu pula. BAB 4 "Bagaimana?" tanya Mayor Riddle.


Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Waktu itu dua puluh menit kemudian. Pertanyaan "Bagaimana?"
yang diajukan oleh Kepala Polisi ditujukan pada dokter kepolisian, seorang pria
tua bertubuh kurus tinggi yang rambutnya kasar.
Dokter itu angkat bahu. "Sudah setengah jam lebih dia meninggal, tapi tak lebih dari satu jam. Saya tahu
bahwa Anda tidak menginginkan soal-soal teknisnya, jadi saya tidak akan
menceritakannya. Dia ditembak sampai menembus kepalanya, pistolnya ditembakkan
dalam jarak beberapa inci dari pelipis kanannya. Pelurunya melewati otaknya dan
tembus ke luar lagi."
"Cocok sekali dengan perbuatan bunuh diri?"
"Oh, cocok sekali. Lalu tubuhnya terkulai jatuh ke kursi, dan pistolnya terlepas
dari tangannya." "Anda sudah menemukan pelurunya?"
"Sudah." Dokter memperlihatkan peluru itu.
"Bagus," kata Mayor Riddle. "Akan kita simpan untuk dicocokkan dengan pistolnya.
Saya senang bahwa ini merupakan kasus yang jelas dan tak ada kesulitankesulitannya." Hercule Poirot bertanya dengan halus,
"Yakinkah Anda bahwa tak ada kesulitan-kesulitannya, Dokter?"
Lambat-lambat Dokter menyahut,
"Yah, boleh dikatakan ada satu hal yang agak aneh. Waktu menembak dirinya, dia
pasti memiringkan tubuh agak ke kanan.
Kalau tidak, pelurunya pasti mengenai dinding di bawah cermin.
bukan tepat di tengah-tengahnya."
"Posisi yang tidak nyaman untuk bunuh diri," kata Poirot.
Dokter angkat bahu lagi. "Ah... kenyamanan. Apalah artinya bila dia tetap ingin mengakhiri hidupnya. Ia
tidak menyelesaikan kalimatnya itu.
Mayor Riddle berkata, "Bisakah mayatnya dipindahkan sekarang?"
"Oh, ya. Saya sudah selesai."
"Bagaimana dengan Anda, Inspektur?" tanya Riddle pada seorang pria berwajah
datar yang tidak berpakaian dinas.
"Oke, Sir. Kita sudah mendapatkan apa yang kita perlukan.
Tinggal sidik jari almarhum pada pistol.
"Kalau begitu, bisa Anda kerjakan."
Mayat Gervase Chevenix-Gore pun dipindahkan. Tinggallah Kepala Polisi dan Poirot
berduaan. "Yah," kata Riddle, "kelihatannya semuanya sudah beres. Pintu terkunci, jendela
diselot, kunci pintu ada dalam saku jenazah.
Semuanya sudah jelas, kecuali satu hal."
"Apa itu, teman?" tanya Poirot.
"Anda!" kata Riddle terang-terangan. "Apa yang Anda lakukan di sini?"
Sebagai jawabannya, Poirot menyerahkan surat yang telah diterimanya dari
almarhum seminggu yang lalu, dan telegram yang akhirnya membawanya ke situ.
"Huh," kata si kepala polisi. "Menarik. Kita harus menyelidiki hal ini. Saya
rasa ini ada hubungannya dengan perbuatan bunuh dirinya."
"Saya sependapat,"
"Kita harus memeriksa siapa-siapa yang ada di rumah."
"Saya bisa menyebutkan nama-nama mereka. Saya baru saja menanyakannya pada Mr.
Trent." Lalu diulanginya nama-nama itu.
"Mungkin Anda tahu tentang orang-orang itu. Mayor Riddle?"
"Tentu saja saya tahu tentang mereka. Lady Chevenix-Gore hampir sama gilanya
dengan Sir Gervase. Mereka saling mencintai, dan keduanya benar-benar gila.
Wanita itu adalah makhluk paling tak waras yang pernah hidup. Tapi sekali-sekali
muncul juga kecerdasannya dan dia bisa mengambil tindakan yang tepat sekali,
hingga mengejutkan orang. Orang sering menertawakannya. Saya rasa dia tahu itu,
tapi dia tak peduli. Dia sama sekali tak punya rasa humor."
"Saya dengar Miss Chevenix-Gore itu hanya anak angkat mereka?"
"Benar." "Gadis yang cantik sekali."
"Dia memang menarik sekali. Dia suka mempermainkan anak-anak muda di sekitar
sini. Mereka diberinya hati, lalu dia berbalik dan
menertawakan mereka. Dia pandai sekali menunggang kuda, dan tangannya bagus
sekali." "Untuk saat ini, hal itu tak ada hubungannya dengan kita."
"Eh... tidak, mungkin tidak. Nah, mengenai orang-orang yang lain.
Saya tentu tahu tentang si tua Bury. Dia memang sering di sini. Boleh dikatakan
seperti kucing jinak di rumah ini. Dia seperti ajudan bagi Lady Chevenix-Gore.
Dia teman lama mereka. Mereka sudah mengenalnya sejak dulu. Kurasa dia dan Sir
Gervase sama-sama berminat pada perusahaan tempat Bury menjadi direkturnya."
"Tentang Oswald Forbes, apakah Anda tahu?"
"Saya rasa saya pernah bertemu dengannya."
"Miss Lingard?"
"Tak pernah mendengar nama itu."
"Miss Susan Cardwell?"
"Gadis yang lumayan cantik dan berambut merah. Saya
melihatnya bersama Ruth Chevenix-Gore beberapa hari terakhir ini."
"Mr. Burrows?" "Ya, saya mengenalnya. Dia sekretaris Chevenix-Gore. Antara kita berdua saja,
saya kurang suka padanya. Dia tampan, dan
menyadarinya. Tapi dia bukan orang yang baik."
"Sudah lamakah dia bekerja pada Sir Gervase?"
"Kalau tak salah, kira-kira dua tahun."
"Lalu apakah tak ada yang lain lagi...?"
Kata-kata Poirol terputus.
Seorang pria jangkung berambut pirang, yang mengenakan
pakaian santai, masuk dengan terburu-buru. Ia terengah-engah dan tampak kacau.
"Selamat malam, Mayor Riddle. Saya mendengar ksas-desus bahwa Sir Gervase telah
menembak dirinya sendiri, dan saya buruburu kemari. Kata Snell berita itu benar. Itu tak masuk akal! Saya tak percaya!"
"Itu benar, Lake. Mari saya perkenalkan. Ini Kapten Lake, pengurus harta
kekayaan Sir Gervase. Ini M. Hercule Poirot yang mungkin pernah Anda dengar
namanya." Wajah Lake jadi cerah. Ia kelihatan senang bercampur tak percaya.
"M, Hercule Poirot" Saya senang sekali bertemu Anda.
Setidaknya..." Kata-katanya terhenti, senyumnya yang menarik sorna; ia kelihatan
kacau dan sedih. "Tak ada yang...tak beres dengan perbuatan bunuh diri itu,
bukan?" "Mengapa harus ada sesuatu yang tak beres." kata Kepala Polisi dengan tajam.
"Maksud saya, karena M. Poirot ada di sini. Juga karena seluruh urusan ini
kelihatannya tak masuk akal!"
"Tidak, tidak," kata Poirot cepat-cepat. "Saya di sini bukan sehubungan dengan
kematian Sir Gervase. Saya sudah berada di rumah ini...sebagai tamu."
"Oh, saya mengerti. Lucunya, dia tidak mengatakan bahwa Anda akan datang waktu
saya datang untuk memeriksa pembukuannya petang tadi."
Dengan tenang Poirot berkata,
"Dua kali Anda menggunakan perkataan 'tak masuk akal', Kapten Lake. Apakah Anda
begitu terkejut mendengar Sir Gervase bunuh diri?"
"Memang. Dia memang benar-benar gila, semua orang tahu itu.
Namun saya sama sekali tak bisa membayangkan dia berpikiran bahwa dunia itu bisa
berputar terus tanpa dia."
"Ya," kata Poirot. "Itu masuk akal." Dan ia pun memandangi wajah anak muda yang
terus terang dan cerdas itu dengan pandangan menghargai.
Mayor Riddle menelan air ludahnya.
"Berhubung Anda sudah di sini, Kapten Lake, sebaiknya Anda duduk dan menjawab
beberapa pertanyaan."
"Tentu, Sir." Lake duduk di hadapan kedua orang itu.
"Kapan Anda terakhir bertemu dengan Sir Gervase?"
"Petang tadi, jam tiga kurang sedikit. Ada beberapa hal mengenai pembukuan yang
harus diperiksa, dan kami membicarakan soal penyewa baru salah satu ladangnya."
"Berapa lama Anda bersamanya?"
"Mungkin setengah jam."
"Coba ingat baik-baik, apakah Anda melihat sesuatu yang tidak biasa dalam
sikapnya?" Anak muda itu mengingat-ingat.
"Tidak, rasanya tidak. Mungkin dia agak kaeau, tapi itu bukan sesuatu yang tidak
biasa pada dirinya."
"Apakah dia kelihatan tertekan atau bagaimana?"
"Oh, tidak, dia kelihatan ceria. Belakangan ini dia selalu senang, karena sedang
menulis tentang sejarah keluarganya."
"Sudah berapa lama dia mengenakannya?"
"Dia memulainya kira-kira enam bulan yang lalu."
"Apakah waktu itu Miss Lingard datang kemari?"
"Tidak. Dia datang kira-kira dua bulan yang lalu, setelah Sir Gervase menyadari
bahwa dia tak bisa mengerjakan sendiri riset yang diperlukannya."
"Dan menurut Anda dia senang?"
"Oh, amat sangat! Dia benar-benar berpikir bahwa tak ada apa pun yang lebih
berarti daripada keluarganya,"
Sesaat terdengar nada getir dalam suara anak muda itu.
"Dan sepengetahuan Anda tak ada yang dikuatirkan oleh Sir Gervase?"
Keadaan hening sejenak, sebelum Kapten Lake menjawab.
"Tidak." Tiba-tiba Poirot mengajukan suatu pertanyaan,
"Apakah menurut Anda Sir Gervase sama sekali tidak
menguatirkan putrinya?"
"Putrinya?" "Itu yang saya tanyakan."
"Sejauh pengetahuan saya, tidak," kata anak muda itu dengan kaku.
Poirot tidak berkata apa-apa lagi. Mayor Riddle berkata,
"Yah, terima kasih, Lake. Sebaiknya Anda tinggal dulu di rumah ini, kalau-kalau
ada lagi yang ingin saya tanyakan."
"'Baik, Sir." Ia, bangkit. "Adakah sesuatu yang bisa saya lakukan?"'
"Ya, tolong suruh kemari pengurus rumah tangga. Dan mungkin Anda bisa menolong
melihat keadaan Lady Chevenix-Gore. Tolong lihat apakah saya bisa berbicara
dengannya nanti, atau apakah dia masih terlalu sedih."
Anak muda itu mengangguk, lalu meninggalkan ruangan itu dengan langkah-langkah
cepat yang mantap. "Kepribadian yang bagus sekali," kata Hercule Poirot.
"Ya, dia memang pemuda yang baik dan pandai bekerja. Semua orang suka padanya."
BAB 5 "Duduklah, Snell," kata Mayor Riddle dengan ramah. "Banyak yang harus saya
tanyakan pada Anda. Saya rasa Anda terpukul sekali oleh kejadian ini, ya?"
"Ya, memang, Sir. Terima kasih, Sir." Snell duduk dengan sikap sedemikian rupa,
hingga kelihatannya seolah-olah ia tetap berdiri.
"Anda sudah lama bekerja di sini, bukan?"
"Enam belas tahun, Sir, sejak Sir Gervase... eh... menetap di sini."
"Oh, ya, saya tahu, majikan Anda sering bepergian di masa mudanya."
"Benar, Sir. Dia pergi mengadakan ekspedisi ke kutub dan ke banyak tempat yang
menarik." "Nah, Snell, bisakah Anda mengatakan kapan Anda terakhir melihat majikan Anda
malam ini?" "Saya berada di ruang makan, Sir, untuk melihat apakah semua persiapan meja
sudah lengkap. Pintu ke arah ruang depan terbuka, dan saya melihat Sir Gervase
menuruni tangga, menyeberangi ruang depan, dan berjalan di sepanjang lorong ke
arah ruang kerja." "Jam berapa itu?"
"Jam delapan kurang sedikit. Kira-kira jam delapan kurang lima menitlah."
"Apakah itu terakhir kali Anda melihatnya?"
"Ya, Sir." "Apakah Anda mendengar suara tembakan?"
"Oh ya, Sir, tapi tentu saya tak mengira apa-apa saat itu. Mana mungkin saya
mengira?" "Anda pikir apa itu?"
"Saya kira itu suara mobil, Sir. Soalnya jalanan dekat sekali dengan tembok
taman. Atau mungkin itu suara tembakan di hutan mungkin seorang pemburu liar. Saya tak pernah bermimpi..."
Mayor Riddle menghentikan kata-katanya.
"Jam berapa itu?"
"Tepat jam delapan lewat delapan menit, Sir."
Dengan tajam Kepala Polisi berkata,
"Bagaimana Anda bisa mengatakan waktunya dengan begitu
pasti?" "Itu mudah, Sir. Soalnya saya baru saja membunyikan gong yang pertama."
"Gong yang pertama?"
"Ya, Sir. Berdasarkan perintah Sir Gervase, gong harus dibunyikan tujuh menit
sebelum gong yang menyatakan waktu makan malam yang sebenarnya. Beliau teliti
sekali, Sir. Beliau ingin agar semua orang sudah siap berkumpul di ruang tamu
utama bila gong kedua berbunyi. Setelah gong kedua ini saya masuk ke ruang tamu
utama dan memberitahukan bahwa makan malam sudah siap, dan semua orang pun masuk
ke ruang makan." "Saya mulai mengerti," kata Hercule Poirot, "mengapa Anda kelihatan begitu
terkejut waktu Anda mengumumkan makan malam tadi. Apakah biasanya Sir Gervase
sudah berada di ruang tamu utama pula?"
"Seingat saya tak pernah beliau tidak berada di situ, Sir. Saya terkejut sekali.
Saya tak mengira..."
Lagi-lagi Mayor Riddle menyela dengan tegas,
"Dan apakah yang lain-lain biasanya juga sudah berada di situ?"
Snell berdeham. "Siapa pun yang terlambat datang untuk makan malam, Sir, tak pernah diundang ke
rumah ini lagi. "Hm, ekstrem sekali."
"Sir Gervase mempekerjakan seorang juru masak yang
sebelumnya bekerja pada Kaisar Moravia. Dia selalu berkata, Sir, bahwa makan
malam itu sama pentingnya dengan sebuah kegiatan keagamaan."
"Bagaimana dengan keluarganya sendiri?"
"Lady Chevenix-Gore selalu berusaha untuk tidak membuat beliau marah, Sir, dan
bahkan Miss Ruth pun tak berani terlambat datang makan malam."
"Menarik," gumam Hercule Poirot.
"Saya mengerti," kata Riddle. "Jadi, karena makan malam jam delapan lewat
seperempat, Anda membunyikan gong yang pertama jam delapan lewat delapan menit,
seperti biasa?" "Begitulah, Sir. Tapi itu tidak biasa. Makan malam biasanya jam delapan. Sir
Gervase memerintahkan bahwa malam ini makan malam harus jam delapan lewat
seperempat, karena dia menunggu kedatangan seseorang yang akan naik kereta api
malam." Snell mengangguk sedikit ke arah Poirot sambil berbicara.
"Waktu majikan Anda berjalan ke ruang kerjanya, apakah dia kelihatan marah atau
kuatir atas bagaimana?"
"Saya tak bisa berkata begitu, Sir. Saya terlalu jauh untuk bisa menilai air
mukanya. Saya hanya melihatnya."
"Apakah dia seorang diri di ruang kerja?"
"Ya, Sir." "Adakah orang yang pergi ke ruang kerja setelah itu?"
"Saya tak bisa mengatakannya, Sir. Soalnya setelah itu saya pergi ke dapur untuk
pengurus rumah tangga, dan tinggal di situ sampai saya membunyikan gong yang
pertama jam delapan lewat delapan.
"Waktu itukah Anda mendengar suara tembakan itu?"
"Ya, Sir." Dengan halus Poirot menyela dengan sebuah pertanyaan.
"Saya rasa ada juga orang-orang lain yang mendengar suara tembakan itu?"
"Ada, Sir. Mr. Hugo dan Miss Cardwell. Juga Miss Lingard."
"Orang-orang itu juga ada di ruang depan?"
"Miss Lingard baru keluar dari ruang tamu utama, sedangkan Miss Cardwell dan Mr.
Hugo baru saja menuruni tangga."
Poirot bertanya, "Apakah soal itu menjadi bahan percakapan?"
"Yah, Sir, Mr. Hugo bertanya apakah ada sampanye untuk makan malam. Saya katakan


Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa minuman yang disediakan adalah sherry, hock dan burgundy."
"Apakah dia mengira itu suara gabus botol sampanye?"
"Ya, Sir." "Tapi tak ada yang memikirkannya dengan serius?"
"Oh, tidak, Sir. Mereka semua masuk ke ruang tamu utama sambil bercakap-cakap
dan tertawa-tawa." "Di mana para pelayan yang lain?"
"Saya tidak tahu, Sir."
Mayor Riddle bertanya, "Anda tahu pistol ini?" Diulurkannya benda itu sambil bertanya.
"Tahu, Sir. Itu miiik Sir Gervase. Beliau selalu menyimpannya di dalam laci meja
kerjanya di sini." "Apakah biasanya diisi peluru?"
"Saya tidak tahu, Sir."
Mayor Riddle meletakkan pistol itu, lalu menelan ludah.
"Nah, Snell, saya akan menanyakan sesuatu yang agak penting.
Saya harap Anda menjawabnya sejujur mungkin. Apakah Anda tahu
suatu alasan yang memungkinkan majikan Anda sampai ingin bunuh diri?"
"Tidak, Sir. Saya tidak tahu apa-apa."
"Apakah Sir Gervase menunjukkan sikap aneh akhir-akhir ini" Atau tertekan" Atau
kuatir?" Snell berdeham, seolah-olah meminta maaf.
"Maafkan saya mengatakannya, Sir, tapi sikap Sir Gervase mungkin selalu
kelihatan aneh bagi orang-orang asing. Beliau memang pria yang sangat istimewa,
Sir." "Ya, ya, saya tahu itu."
"Orang-orang luar tidak selalu bisa memahami Sir Gervase, Sir."
Snell mengatakannya dengan memberikan tekanan pada kata
"memahami". "Saya tahu. Saya tahu. Tapi apakah Anda sendiri tak bisa melihat sesuatu yang
tidak biasa?" Pengurus rumah tangga itu tampak ragu.
"Saya rasa, Sir, Sir Gervase memang mencemaskan sesuatu,"
katanya akhirnya. "Cemas dan tertekan?"
"Saya tak bisa mengatakan tertekan, Sir, tapi cemas, ya."
"Tahukah Anda penyebab kecemasan itu?"
"Tidak, Sir." "Apakah sehubungan dengan seseorang tertentu umpamanya?"
"Saya sama sekali tidak tahu, Sir. Pokoknya itu hanya kesan saya saja."
Poirot berkata lagi, "Anda merasa heran dia bunuh diri?"
"Heran sekali, Sir. Saya terkejut sekali. Saya tak pernah memimpikan hal semacam
itu." Poirot mengangguk sambil merenung.
Riddle menoleh padanya, lalu berkata,
"Yah, Snell, saya rasa hanya itulah yang ingin kami tanyakan.
Yakinkah Anda bahwa tak ada lagi yang bisa Anda katakan pada kami" Tak adakah
kejadian yang tidak biasa, umpamanya, yang terjadi beberapa hari terakhir ini?"
Pengurus rumah tangga itu bangkit sambil menggeleng.
"Tak ada apa-apa, Sir, sama sekali tak ada."
"Kalau begitu, Anda boleh pergi."
"Terima kasih, Sir."
Ketika sedang berjalan ke arah pintu, mendadak Snell berhenti dan menepi. Lady
Chevenix-Gore melenggang masuk.
Ia mengenakan pakaian bermodel dari bahan berwarna ungu bercampur jingga, yang
membalut tubuhnya dengan ketat. Wajahnya tenang dan sikapnya serius.
"Lady Chevenix-Gore." Mayor Riddle terlompat bangkit.
Wanita itu berkata, "Kata mereka, Anda ingin bicara dengan saya, jadi saya datang."
"Tidakkah sebaiknya kita pergi ke kamar lain" Ruang ini tentu membuat Anda sedih
sekali." Lady Chevenix-Gore menggeleng, lalu duduk di salah satu kursi bergaya
Chippendale. Ia bergumam,
"Oh, tidak, apalah artinya?"
"Anda baik sekali, Lady Chevenix-Gore. Anda mau
mengesampingkan perasaan Anda. Saya tahu betapa
mengejutkannya peristiwa ini bagi Anda dan ... "
Wanita itu memotong bicaranya.
"Mula-mula memang mengejutkan sekali," katanya. Nada
bicaranya biasa dan tenang. "Tapi Anda tentu tahu bahwa tak ada yang namanya
kematian itu; yang ada hanya perubahan."
Ditambahkannya, "Sekarang saja Gervase sebenarnya sedang berdiri di belakang
bahu kiri Anda. Saya bisa melihatnya dengan jelas."
Bahu kiri Mayor Riddle jadi agak mengejang
Dipandanginya Lady Chevenix-Gore dengan agak ragu.
Wanita itu tersenyum padanya, suatu senyuman samar dan
senang. "Anda pasti tak percaya! Sedikit sekali orang yang mau percaya.
Bagi saya, dunia makhluk halus sama jelasnya dengan dunia yang ini.
Tapi silakan menanyakan apa saja yang Anda inginkan, dan tak usah takut akan
membuat saya tertekan. Saya sams sekali tidak tertekan.
Soalnya, segala-galanya adalak takdir. Kita tak bisa melarikan diri dari karma
kita. Semuanya cocok. Cermin dan semuanya."
"Cermin, Madame?" tanya Poirot.
Wanita itu menganggukkan kepalanya dengan samar ke arah cermin itu.
"Ya. Anda lihat kan bahwa cermin itu pecah. Itu suatu
perlambang! Apakah Anda tahu syair karangan Tennyson" Waktu saya masih gadis,
saya membacanya, meskipun pada saat itu saya tidak menyadari sisi istimewanya.
Cermin retak terbelah dua. Aku akan ditimpa kutukan!' seru Lady dari Shallot."
Itulah yang terjadi atas diri Gervase. Kutukan tiba-tiba menimpanya. Saya rasa,
Anda tahu, kebanyakan keluarga tua ada kutukannya... cermin yang retak.
Maka tahulah dia bahwa dia akan hancur! Kutukan itu telah tiba!"
"Tapi, Madame, bukan kutukan yang meretakkan cermin itu, melainkan sebuah
peluru!" Masih dengan cara manis dan samar-samar, Lady Chevenix-Gore berkata,
"Sebenarnya semuanya sama saja. Itu adalah takdir."
"Tapi suami Anda menembak dirinya sendiri."
Lady Chevenix-Gore tersenyum dengan sikap, mengalah.
"Dia sebenarnya tak perlu berbuat begitu. Tapi Gervase memang selalu tak
sabaran. Dia tak pernah bisa menunggu. Saatnya telah tiba, dan dia pun maju
menyambutnya. Sebenarnya semuanya sederhana sekali."
Sambil menelan ludahnya dengan putus asal Mayor Riddle berkata dengan tajam,
"Jadi, Anda tidak heran suami Anda telah menghabisi nyawanya sendiri" Apakah
Anda sudah tahu bahwa hal semacam itu akan terjadi?"
"Oh, tidak." Matanya terbuka lebar. "Kita tak selalu bisa meramalkan masa depan.
Gervase memang orang yang aneh dan tidak biasa. Dia sama sekali tidak sama
dengan semua orang. Dia adalah salah satu Tokoh Besar yang terlahir kembali.
Sudah beberapa lama saya tahu itu. Saya rasa dia sendiri pun tahu. Dia merasa
sulit sekali untuk membenarkan standar kebiasaan-kebiasaan kecil sehari-hari
yang dungu di dunia ini." Sambil meliha ke balik pundak Mayor Riddle, ia berkata
lagi. "Kini dia tersenyum. Dia berpikir betapa dungunya kita semua. Memang
demikianlah kita semua. Sama benar dengan anak-anak. Berkeyakinan bahwa dunia
ini sungguhan dan bahwa itu penting. Hidup ini hanya salah satu ilusi besar."
Dengan perasaan bahwa ia akan kalah dalam pertempuran, Mayor Riddle bertanya
dengan harapan terakhir, "Apakah Anda sama sekali tak bisa membantu dengan
mengatakan mengapa suami Anda menghabisi nyawanya sendiri?"
Wanita itu mengangkat bahunya yang kecil.
"Kekuatan-kekuatan menggerakkan kita; kekuatan-kekuatan itulah yang menggerakkan
kita. Kita tak bisa mengerti. Kita hanya bergerak di dunia kebendaan yang
datar." Poirot berdeham. "Bicara soal dunia kebendaan, tahukah Anda. Madame, bagaimana suami Anda
mewariskan uangnya?"
"Uang?" Ia memandangi Poirot. "Saya tak pernah memikirkan uang."
Nada bicaranya mengandung penghinaan.
Poirot beralih pada soal lain.
"Jam berapa Anda turun untuk makan malam ini?",
"Waktu" Apalah artinya waktu" Tak terbatas, itulah jawabannya, Waktu itu tak
berbatas." Poirot bergumam, "Tapi suami Anda, Madame, sangat ketat mengenai waktu,
terutama yang berhubungan dengan jam makan malam. Begitulah yang dikatakan pada
saya." "Gervase tersayang," ia tersenyum dengan sikap mengalah. "Dia memang bodoh
sekali dalam hal itu. Tapi itu membuatnya senang.
Jadi, kami tak pernah terlambat."
"Apakah Anda berada di dalam ruang tamu utama, Madame,
waktu gong yang pertama berbunyi?"
"Tidak, waktu itu saya berada di kamar saya."
"Ingatkah Anda siapa-siapa yang ada di ruang tamu utama waktu Anda turun?"
"Saya rasa hampir semua orang," kata Lady Chevenix-Gore samar-samar. "Adakah
bedanya?" "Mungkin tidak," kata Poirot. "Lalu ada lagi sesuatu. Pernahkah suami Anda
mengatakan pada Anda bahwa dia merasa dirinya dirampok?"
Kelihatannya Lady Chevenix-Gore tidak begitu menaruh perhatian pada pertanyaan
itu. "Dirampok" Tidak, saya rasa tidak."
"Dirampok, ditipu, dijadikan korban, semacam itulah?"
"Tidak. Tidak. Saya rasa tidak. Gervase pasti marah sekali kalau ada yang berani
melakukan hal semacam itu."
"Pokoknya, dia tak pernah mengatakan sesuatu seperti itu pada Anda?"
"Tidak. Tidak." Lady Chevenix-Gore menggeleng, masih tetap dengan sikap tidak
begitu menaruh minat. "Kalau ada, pasti saya ingat."
"Kapan Anda terakhir melihat suami Anda dalam keadaan hidup?"
"Seperti biasanya, sebelum turun menjelang makan malam, dia menjenguk ke kamar
saya. Pelayan saya ada. Dia hanya berkata bahwa dia akan turun."
"Dalam minggu-minggu terakhir ini, apa yang paling sering dibicarakannya?"
"Mengenai sejarah keluarga. Ia maju pesat dalam pekerjaannya itu. Si tua lucu,
Miss Lingard itu, dianggapnya sangat berguna.
Perempuan itu mencarikan bahan-bahan di British Museum - yah, hal-hal semacam
itulah. Dia pernah bekerja dengan Lord Mulcaster waktu sedang menulis bukunya.
Dia itu bijak - maksud saya, dia tidak mencarikan hal-hal yang tidak baik.
Soalnya selalu ada saja leluhur kita yang tak ingin kita singkapkan. Gervase itu
perasa sekali. Lingard membantu saya juga. Dia mendapatkan banyak informasi
mengenai Hatshepsut untuk saya. Soalnya saya ini reinkamasi dari Hatshepsut."
Lady Chevenix-Gore menyampaikan hal itu dengan suara tenang.
"Sebelum itu," lanjutnya, "saya ini seorang Pendeta Agung di Atlantis."
Mayor Riddle bergeser sedikit di kursinya.
"Eh... eh... menarik sekali," katanya. "Yah, Lady Chevenix-Gore, saya rasa sekian
saja. Anda baik sekali."
Lady Chevenix-Gore bangkit sambil merapatkan jubahnya.
"Selamat malam," katanya. Lalu matanya beralih ke suatu titik di belakang Mayor
Riddle. "Selamat malam, Gervase sayang. Alangkah baiknya kalau kau bisa ikut aku, tapi
aku tahu bahwa kau harus tinggal di sini." Dengan nada menjelaskan
ditambahkannya, "Kau harus tinggal di tempat kau telah pindah sekurang-kurangnya
selama dua puluh empat jam.
Masih agak lama kau baru bisa bergerak dengan bebas dan berhubungan dengan
kami." Ia pun keluar. Mayor Riddle menyeka dahinya.
"Huh," gumanrnya. "Dia jauh lebih gila daripada yang saya kira.
Benar-benarkah dia mempercayai semua omong kosong itu?"
Poirot menggeleng sambil merenung.
"Mungkin dia menganggapnya bisa membantu," katanya. "Saat ini dia perlu
menciptakan suatu dunia khayalan bagi dirinya sendiri, tempat dia bisa melarikan
diri dari kenyataan pahit tentang kematian suaminya."
"Kelihatannya dia benar-benar bisa dipercaya," kata Mayor Riddle.
"Begitu banyak omong kosong tanpa satu pun perkataan yang masuk akal."
"Tidak, tidak, temanku. Yang menarik adalah, apa yang sekilas dikatakan Mr. Hugo
pada saya, bahwa di antara semua omong kosong itu sekali-sekali ada juga
pandangannya yang tajam. Buktinya, kata-katanya tentang betapa bijaknya Miss Lingard yang pandai
menyembunyikan tentang leluhur yang tidak kita kehendaki.
Percayalah, Lady Chevenix-Gore itu tidak bodoh."
Poirot bangkit, lalu berjalan hilir-mudik dalam ruangan itu.
"Ada beberapa hal yang tidak saya sukai dalam perkara ini. Tidak, saya sama
sekali tak suka." Riddle melihat padanya dengan pandangan mau tahu.
"Maksud Anda motif perbuatan bunuh dirinya?"
"Bunuh diri! Bunuh diri! Itu semuanya salah, percayalah. Secara psikologis itu
salah. Bagaimana Chevenix-Gore menilai dirinya sendiri" Sebagai Colossus,
sebagai seseorang yang mahapenting, sebagai pusat dunia! Maukah orang semacam
itu memusnahkan dirinya sendiri" Tentu tidak. Lebih besar kemungkinannya dia
memusnahkan seseorang lain; seorang manusia yang tak
menyenangkan. yang dianggapnya bagaikan semut yang merangkak, yang telah berani
menyebabkan kekesalannya. Perbuatan semacam itu mungkin dianggapnya perlu
sebagai penyucian! Tapi memusnahkan dirinya" Memusnahkan seseorang yang punya pribadi seperti itu?"
"Baiklah, Poirot. Tapi buktinya sudah cukup jelas. Pintunya terkunci, sedangkan
kuncinya ada dalam sakunya sendiri. Jendelanya tertutup dan diselot. Saya tahu
bahwa hal-hal semacam itu terjadi dalam buku-buku cerita, tapi saya belum pernah
menemukan yang seperti itu dalam kehidupan nyata. Ada lagi?"
"Ya, memang ada lagi." Poirot duduk di kursi.
"Misalkan saya menjadi Chevenix-Gore. Saya duduk di depan meja. Saya sudah
bertekad akan bunuh diri karena, yah... katakan saja karena saya menemukan
sesuatu yang bisa sangat merusak nama baik keluarga. Motif itu memang tidak
terlalu meyakinkan, tapi untuk contoh saja cukuplah.
"Eh bien, lalu apa yang saya lakukan" Saya menuliskan kata MAAF
di secarik kertas. Ya, itu mungkin saja. Lalu saya buka laci meja, saya
keluarkan pistol yang saya simpan di situ, saya isi peluru kalau pistol itu
belum berisi, lalu apakah saya langsung menembak diri saya"
Tidak, saya putar dulu kursi saya - begini - lalu saya memiringkan tubuh ke
kanan - begini - kemudian gaya arahkan pistol itu ke pelipis dan saya
tembakkan!" Poirot melompat bangkit dari kursinya, dan sambil memutar tubuhnya ia bertanya,
"Saya bertanya, apakah itu masuk akal" Untuk apa memutar kursi dulu" Sekiranya,
umpamanya, ada sebuah foto di dinding di situ,
memang ada alasannya. Foto seseorang di muka bumi ini yang ingin dilihat oleh
seseorang yang sedang menghadapi maut, tapi gorden jendela... ah, tidak, itu tak
masuk akal." "Mungkin dia ingin melihat ke luar jendela. Pemandangan terakhir dari tanahnya."
"Temanku yang baik, Anda mengatakan itu tanpa keyakinan. Anda bahkan tahu bahwa
itu omong kosong. Jam delapan lewat delapan, hari sudah gelap... apalagi gordengorden sudah ditutup. Tidak, pasti ada penjelasan lain."
"Hanya ada satu alasan sepanjang pengetahuan saya. Gervase Chevenix-Gore gila."
Poirot menggeleng dengan sikap tak puas.
Mayor Riddle bangkit. "Mari," katanya. "Mari kita pergi mewawancarai orang-orang yang lain. Mungkin
dengan cara itu kita akan menemukan jawabannya."
BAB 6 Setelah mengalami kesulitan-kesulitan untuk mendapatkan pernyataan yang langsung
dari Lady Chevenix-Gore, Mayor Riddle merasa lebih lega ketika menangani
pengacara yang cerdas seperti Forbes.
Mr. Forbes bersikap sangat waspada dan hati-hati dalam
memberikan pernyataan-pernyataannya. Tapi semua jawabannya tegas dan terarah.
Diakuinya bahwa peristiwa bunuh diri Sir Gervase amat


Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengejutkannya. Ia berpendapat bahwa orang semacam Sir Gervase tak mungkin mau
menghabisi nyawanya sendiri. Ia tak tahu apa-apa mengenai penyebab perbuatannya
itu. "Sir Gervase itu bukan hanya klien saya, tapi juga sahabat lama.
Saya mengenalnya sejak kami kanak-kanak. Boleh saya katakan bahwa dia selalu
menikmati hidupnya."
"Dalam keadaan ini, - Mr. Forbes, saya minta Anda berbicara terus terang. Apakah
Anda tidak tahu adanya kecemasan atau kesedihan yang di rahasiakan dalam hidup
Sir Gervase?" "Tidak. Sebagaimana layaknya kebanyakan orang, ada kesulitan-kesulitan kecil,
tapi tak ada yang berarti."
"Tak adakah penyakit tertentu" Tak adakah kesulitan di antara dirinya dengan
istrinya?" "Tidak. Sir Gervase dan Lady Chevenix-Gore saling mencintai."
Dengan hati-hati Mayor Riddle berkata,
"Lady Chevenix-Gore kelihatannya punya pandangan-pandangan yang aneh."
Mr. Forbes tersenyum-senyuman yang bersifat membenarkan.
"Kaum wanita," katanya, "harus diizinkan menyimpan khayalan-khayalannya
sendiri." Kepala Polisi berkata lagi,
"Anda menangani semua urusan hukum Sir Gervase?"
"Ya, perusahaan saya, Forbes, Ogilvie dan Spence, sudah bertindak sebagai
pengacara keluarga Chevenix-Gore selama lebih dari seratus tahun."
"Adakah skandal-skandal dalam keluarga Chevenix-Gore?"
Mr. Forbes mengangkat alisnya.
"Sungguh, saya tak mengerti."
"M. Poirot, harap Anda perlihatkan pada Mr. Forbes surat yang Anda perlihatkan
pada saya tadi." Poirot bangkit tanpa berkata apa-apa, lalu menyerahkan surat itu kepada Mr.
Forbes sambil membungkuk sedikit.
Mr. Forbes membacanya, dan alisnya naik makin tinggi.
"Surat yang aneh sekali," katanya. "Sekarang saya mengerti maksud pertanyaan
Anda. Tidak, sepanjang pengetahuan saya, tak ada alasan mengapa dia sampai
menulis surat semacam itu."
"Tidakkah Sir Gervase mengatakan apa-apa tentang hal itu?"
"Sama sekali tidak. Terus terang, saya merasa heran mengapa dia tidak
mengatakannya." "Apakah biasanya dia mempercayakan rahasianya pada Anda?"
"Saya rasa dia mengandalkan penilaian saya."
"Dan Anda tidak tahu apa maksud surat itu?"
"Saya tak mau cepat-cepat menduga-duga."
Mayor Riddle menghargai kehalusan jawabannya.
"Nah, Mr. Forbes, mungkin Anda bisa menceritakan pada kami, bagaimana Sir
Gervase meninggalkan kekayaannya."
"Tentu. Untuk istrinya, Sir Gervase meninggalkan penghasilan tahunan sebesar
enam ribu pound yang bisa ditariknya dari tanahnya, dan dia boleh memilih antara
Dower House atau rumah peristirahatan di Lourdes Square, mana saja yang
diinginkannya Tentu masih ada beberapa peninggalan dan warisan lain, tapi tak
ada yang sifatnya luar biasa. Sisa kekayaannya ditinggalkan untuk putri
angkatnya. Ruth, dengan syarat bahwa bila dia menikah, suaminya harus memkai
nama Chevenix-Gore."
"Tak adakah yang ditinggalkan untuk keponakannya, Mr. Hugo Trent?"
"Ada. Uang sebesar lima ribu pound."
"Saya simpulkan bahwa Sir Gervase itu orang kaya?"
"Dia kaya raya. Kecuali tanah dan rumahnya, dia masih memiliki kekayaan pribadi
yang besar. Sekarang dia memang sudah tidak sekaya dulu lagi. Boleh dikatakan
semua penghasilan dari investasinya telah mengalami penurunan. Selain itu, Sir
Gervase telah melepaskan banyak uangnya atas perusahaan tertentu, yaitu Paragon Synthetic
Rubber Substitute, atas nasihat Kolonel Bury."
"Bukan nasihat yang baik rupanya?"
Mr. Forbes mendesah. "Para pensiunan tentara adalah orang-orang paling payah bila terlibat dalam
kegiatan keuangan. Saya lihat mereka sangat mudah mempercayai sesuatu, jauh
melebihi para janda, dan itu sangat merugikan."
"Tapi investasi yang tak menguntungkan itu tidak terlalu mempengaruhi
penghasilan Sir Gervase?"
"Oh, tidak, tak seberapa. Dia masih sangat kaya raya."
"Kapan dia membuat surat wasiatnya?"
"Dua tahun yang lalu."
Poirot bergumam, "Pembagian warisan itu, apakah itu tidak terlalu tak adil terhadap Mr. Hugo
Trent, keponakan Sir Gervase" Bukankah dia keluarga terdekat Sir Gervase?"
Mr. Forbes angkat bahu. "Orang harus memperhitungkan juga soal sejarah keluarga."
"Seperti?" Mr. Forbes tampak agak enggan berbicara.
Mayor Riddle berkata, "Anda jangan berpikiran bahwa kami ingin mengorek skandal-skandal lama atau
semacamnya tanpa ada hubungannya dengan perkara ini. Surat Sir Gervase pada M.
Poirot itu harus dijelaskan."
"Sama sekali tak ada skandal dalam penjelasan mengenai sikap Sir Gervase
terhadap keponakannya," kata Mr. Forbes cepat-cepat.
"Alasannya sederhana saja, yaitu Sir Gervase selalu menganggap kedudukannya
sebagai kepala keluarga penting sekali. Dia punya
seorang adik laki-laki dan adik perempuan. Adik laki-lakinya, Anthon ChevenixGore, tewas dalam perang. Adik perempuannya, Pamela, menikah, tapi Sir Gervase
tak setuju dengan pemikahan itu.
Maksudnya, dia menganggap wanita itu seharusnya meminta izin dan restunya dulu
sebelum menikah. Menurut dia, keluarga Kapten Trent tidak cukup mantap
kedudukannya untuk disejajarkan dengan keluarga Chevenix-Gore. Tapi adik
perempuannya hanya menertawakan pandangannya itu. Akibatnya Sir Gervase selalu cenderung tidak
menyukai keponakannya. Saya rasa, rasa tak sukanya itu mungkin mempengaruhinya
dalam keputusan untuk mengadopsi anak."
"Apakah tak ada harapan dia punya anak sendiri?"
"Tidak. Kira-kira setahun setelah dia menikah lahir seorang bayi yang sudah
meninggal. Para dokter mengatakan pada Lady
Chevenix-Gore bahwa dia tidak akan bisa melahirkan lagi. Kira-kira dua tahun
kemudian, mereka mengadopsi Ruth."
"Lalu siapakah Mademoiselle Ruth itu" Bagaimana pilihan mereka sampai jatuh
padanya?" "Kalau tak salah, dia anak dari seseorang yang punya hubungan jauh dengan
mereka." "Itu sudah saya duga," kata Poirot. Ia mendongak, melihat ke dinding tempat
tergantung foto keluarga. "Kita bisa melihat bahwa dia masih punya hubungan
darah -hidungnya, garis dagunya. Itu tampak pada semua foto di dinding-dinding
ini." "Dia juga mewarisi sifat pemarahnya," kata Mr. Forbes datar.
"Bisa saya bayangkan. Bagaimana hubungan gadis itu dengan ayah angkatnya?"
"Seperti bisa Anda bayangkan, lebih dari sekali terjadi benturan pendapat yang
sangat keras. Tapi meskipun sering bertengkar, saya rasa ada juga keserasian di
antara mereka." "Tapi gadis itu sering menyusahkan Sir Gervase?"
"Dia terus-menerus menyusahkan. Tapi bisa saya pastikan bahwa hal itu tidak
sampai menyebabkan Sir Gervase ingin mencabut nyawanya sendiri."
"Oh, itu tentu tidak," kata Poirot membenarkan. "Orang tidak akan mau menembak
kepalanya sendiri hanya karena dia punya putri yang keras kepala! Jadi,
Mademoiselle tetap saja mendapatkan warisan!
Tak pernahkah Sir Gervase berniat mengubah surat wasiatnya?"
"Hm!" Mr. Forbes berdeham untuk menyembunylkan rasa
bimbangnya. "Terus terang, saya menerima instruksi dari Sir Gervase waktu saya
tiba di sini, yaitu dua hari yang lalu, untuk membuat konsep surat wasiat yang
baru." "Apa ini?" Mayor Riddle menarik kursinya lebih dekat. "Itu tidak Anda ceritakan
tadi." Cepat-cepat Mr. Forbes menjawab,
"Anda hanya bertanya bagaimana bunyi surat wasiat Sir Gervase.
Saya memberikan informasi tentang apa yang Anda tanyakan. Surat wasiat yang baru
itu bahkan belum disiapkan dengan sempurna, apalagi ditandatangani."
"Bagaimana bunyinya" Mungkin bisa dijadikan petunjuk mengenai pikiran dan
perasaan Sir Gervase."
"Pada dasarnya sama saja dengan yang terdahulu. Tapi Miss Chevenix-Gore hanya
bisa menerima warisan dengan syarat dia menikah dengan Mr. Hugo Trent."
"Oh, begitu," kata Poirot. "Itu merupakan perbedaan besar."
"Saya tak setuju dengan bagian itu!" kata Mr. Forbes. "Dan saya merasa perlu
memberitahukan bahwa itu bisa dibantah dengan mudah. Pengadilan tidak mau
menerima baik surat wasiat dengan persyaratan begitu. Tapi Sir Gervase
bersikeras." "Lalu bagaimana kalau Miss Chevenix-Gore atau Mr. Trent menolak untuk
menurutinya?" "Bila Mr. Trent tidak bersedia menikahi Miss Chevenix-Gore, maka warisan itu
jatuh pada Miss Chevenix-Gore tanpa syarat. Tapi bila Mr.
Trent bersedia dan Miss Chevenix-Gore yang menolak, maka uang itu akan
diwariskan pada Mr. Trent."
"Aneh sekali urusannya," kata Mayor Riddle.
Poirot membungkukkan tubuhnya. Ditepuknya lutut pengacara itu.
"Tapi ada apa sebenarnya di balik itu" Apa yang ada dalam pikiran Sir Gervase
waktu dia membuat peraturan itu" Pasti ada sesuatu yang sangat menentukan. Saya
rasa, pasti ada bayangan seorang pria lain... seorang pria yang tak disetujulnya.
Saya rasa, Mr. Forbes, Anda pasti tahu slapa pria itu?"
"Wah, M. Poirot, saya tak bisa memberikan informasi."
"Tapi Anda pasti bisa menebak."
"Saya tak pernah mau menebak," kata Mr. Forbes, dan nada bicaranya tegas.
Ditanggalkannya kacamatanya yang tanpa gagang, dilapnya dengan sehelai
saputangan sutra, lalu ia bertanya,
"Adakah lagi yang lain yang ingin Anda ketahui?"
"Untuk saat ini tidak ada," kata Poirot. "Setidaknya dari saya tak ada."
Mr. Forbes kelihatan tidak puas, maka ia menujukan perhatiannya pada Kepala
Polisi. "Terima kasih, Mr. Forbes. Saya rasa cukup sekian. Kalau boleh, saya ingin
berbicara dengan Miss Chevenix-Gore."
"Tentu. Saya rasa dia di lantai atas bersama Lady Chevenix-Gore."
"Oh, kalau begitu saya akan berbicara dengan siapa namanya" Burrows dulu, juga dengan wanita penulis sejarah keluarga itu."
"Keduanya ada di ruang perpustakaan. Akan saya beritahu mereka."
BAB 7 "Harus bekerja keras kita tadi, ya?" kata Mayor Riddle setelah si pengacara
keluar dari ruangan itu. "Mendapatkan informasi dari ahli-ahli hukum itu
menuntut kerja keras dan kesabaran. Saya rasa seluruh urusan ini berpusat pada
gadis itu." "Ya, kelihatannya begitu."
"Nah, ini Burrows datang."
Godfrey Burrows masuk dengan gembira dan penuh keinginan untuk membantu.
Senyumnya dibayangi kemurungan dan tidak terlalu lebar. Senyum itu tampak tidak
spontan. "Mr. Burrows, kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada Anda."
"Tentu, Mayor Riddle. Tanyakan apa saja yang Anda inginkan."
"Yah, pertama-tama dan yang terpenting, apakah Anda punya pendapat sendiri
mengenai perbuatan bunuh diri Sir Gervase?"
"Sama sekali tak ada. Kejadian itu sangat mengejutkan saya."
"Apakah Anda mendengar suara tembakannya?"
"Tidak; pasti saya sedang berada di ruang perpustakaan waktu itu.
Saya datang agak awal dan langsung pergi ke ruang perpustakaan untuk mencari
petunjuk yang saya perlukan. Ruang perpustakaan itu terletak di sisi lain rumah,
jauh dari ruang kerja, jadi tak mungkin saya mendengar apa-apa."
"Adakah seseorang bersama Anda di ruang perpustakaan?"
"Sama sekali tak ada."
"Tak tahukah Anda di mana anggota keluarga yang lain berada saat itu?"
"Saya rasa di lantai atas, sedang berpakaian."
"Kapan Anda masuk ke ruang tamu utama?"
"Tak lama sebelum M. Poirot tiba. Waktu itu semua orang sudah berada di situ,
kecuali Sir Gervase tentu."
"Apakah Anda menganggap aneh bahwa dia tidak berada di situ?"
"Ya, saya merasa heran. Biasanya dia selalu sudah berada di ruang tamu utama
sebelum gong pertama berbunyi." .
"Apakah Anda melihat suatu perubahan pada diri Sir Gervase akhir-akhir ini"
Apakah dia kelihatan cemas" Atau kacau" Atau tertekan?"
Godfrey Burrows memikirkannya.
"Tidak, saya rasa tidak. Sedikit... yah, mungkin memikirkan sesuatu."
"Tapi dia tidak kelihatan menguatirkan suatu hal tertentu?"
"Oh, tidak." "Tak adakah... kecemasan tentang keuangan atau semacamnya?"
"Dia memang agak prihatin memikirkan urusan di salah satu perusahaannya,
tepatnya di Paragon Synthetic Rubber Company."
"Apa katanya tentang hal itu?"
Godfrey Burrows lagi-lagi memperlihatkan senyumnya yang dibuat-buat, dan lagilagi senyum itu kelihatan tidak wajar.
"Yah, terus terang, dia berkata, 'Si tua Bury itu kalau bukan dungu, ya
bajingan. Kurasa dia dungu. Aku harus memperlakukannya dengan sabar, demi
Vanda." "Mengapa dia berkata demi Vanda?" tanya Poirot.L
"Yah, soalnya, Lady Chevenix-Gore sayang sekali pada Kolonel Bury, dan laki-laki
itu memujanya. Dia selalu mengikutinya seperti seekor anjing."
"Apakah Sir Gervase sama sekali tidak... cemburu?"
"Cemburu?" Mata Burrows terbelalak, lalu ia tertawa. "Sir Gervase cemburu" Dia
tidak akan tahu apa yang harus dilakukannya. Tak pernah terpikir olehnya bahwa
seseorang akan lebih menyukai lakilaki lain daripada dirinya. Hal semacam itu
tak mungkin." Dengan halus Poirot berkata,
"Saya rasa Anda tidak begitu suka pada Sir Gervase, ya?"
Wajah Burrows merah padam.
"Oh, saya suka padanya. Tapi... yah, hal semacam itu sekarang rasanya agak tak
masuk akal." "Hal semacam apa?" tanya Poirot.
"Yah, jalan pikiran yang feodal itu. Pemujaan terhadap leluhur dan keangkuhan
pribadi. Sir Gervase adalah orang yang sangat cakap dalam banyak hal. Hidupnya
pun menarik. Tapi dia sebenarnya bisa lebih menarik lagi seandainya dia tidak
terlalu memikirkan dirinya dan egonya sendiri."
"Apakah putrinya sependapat dengan Anda dalam hal itu?"
Wajah Burrows memerah lagi, kali ini benar-benar merah padam.
Katanya, "Saya rasa Miss Chevenix-Gore berpikiran modern! Saya tentu tak pantas membahas
soal ayahnya dengannya."
"Tapi orang-orang modern yang lain banyak yang mau membahas ayah-ayah mereka!"
kata Poirot. "Mengkritik orangtua kita sudah benar-benar dibenarkan oleh dunia
modern!" Burrows angkat bahu. Mayor Riddle bertanya, "Lalu tak ada lagi yang lain" Tak ada kesulitan keuangan yang lain" Tak
pernahkah Sir Gervase berbicara bahwa dia dijadikan korban?"
"Dijadikan korban?" Burrows terdengar sangat terkejut. "Oh, tidak.'.'
"Dan Anda sendiri, hubungan Anda dengannya cukup baik?"
"Tentu baik. Mengapa tidak?"
"Saya hanya bertanya pada Anda, Mr. Burrows."
Pria, muda itu tampak cemberut.
"Hubungan kami baik sekali."
"Tahukah Anda bahwa Sir Gervase telah menulis surat pada M.
Poirot, memintanya datang kemari?"
"Tidak."

Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah Sir Gervase biasanya menulis surat-suratnya sendiri?"
"Tidak, dia hampir selalu mendiktekannya pada saya."
"Tapi dalam hal ini dia tidak mendiktekanriya?"
"Tidak." "Menurut Anda, mengapa?"
"Saya tidak tahu."
"Tak bisakah Anda mengatakan mengapa dia menulis sendiri surat itu?"
"Tak bisa." "Oh!" kata Mayor Riddle, lalu ia berkata lagi dengan halus, "Aneh juga. Kapan
Anda terakhir kali bertemu dengan Sir Gervase?"
"Tak lama sebelum saya pergi berpakaian untuk makan malam.
Saya membawakan beberapa pucuk surat yang harus
ditandatanganinya." "Bagaimana sikapnya waktu itu?"
"Biasa-biasa saja. Dia bahkan kelihatan senang memikirkan sesuatu."
Poirot bergeser sedikit di kursinya.
"Jadi, itulah kesan Anda" Bahwa dia senang memikirkan sesuatu.
Padahal tak begitu lama kemudian dia menembak dirinya sendiri.
Aneh sekali!" Godfrey Burrows angkat bahu lagi.
"Saya hanya menceritakan kesan saya."
"Ya, ya, itu berharga sekali. Soalnya, Anda adalah salah satu orang yang melihat
Sir Gervase dalam keadaan hidup."
"Snell orang yang terakhir melihatnya."
"Yang melihatnya, ya, tapi bukan yang terakhir berbicara dengannya."
Burrows tidak menyahut. "Jam berapa Anda naik ke lantai atas untuk berpakaian?"
"Kira-kira, jam tujuh lewat lima."
"Apa yang dilakukan Sir Gervase?"
"Saya meninggalkannya di ruang kerja."
"Biasanya dia perlu waktu berapa lama untuk berpakaian?"
"Biasanya dia menghabiskan waktu tak kurang dari tiga perempat jam."
"Kalau begitu, bila makan malam adalah jam delapan lewat seperempat, mungkin dia
naik ke lantai atas paling lambat jam setengah delapan?"
"Mungkin sekali."
"Anda sendiri pergi berpakaian awal?"
"Ya, saya pikir saya akan berganti pakaian, lalu pergi ke ruang perpustakaan
untuk mencari buku petunjuk yang saya perlukan."
Poirot mengangguk sambil merenung. Dan Mayor Riddle berkata,
"Yah, saya rasa untuk sementara cukup sekian. Bisakah Anda menyuruh datang Miss...
siapa - namanya itu?"
Miss Lingard yang kecil langsung masuk. Ia mengenakan beberapa untai kalung yang
agak bergemerincing waktu ia duduk. Lalu ia memandang kedua pria itu bergantian.
"Ini semuanya... eh... sangat menyedihkan, Miss Lingard," Mayor Riddle, memulai.
"Memang menyedihkan sekali," kata Miss Linggard dengan agak dibuat-buat.
"Kapan Anda... datang?"
"Kira-kira dua bulan yang lalu. Sir Gervase menulis surat pada seorang temannya
yang bertugas di Museum - namanya Kolonel Fotheringay, dan Kolonel Fotheringay
menunjuk saya. Saya sudah banyak melakukan pekerjaan riset yang berhubungan
dengan sejarah." "Apakah menurut Anda Sir Gervase itu majikan yang sulit?"
"Tidak juga. Kita memang harus pandai mengambil hatinya. Tapi menurut saya, kita
harus selalu berbuat begitu terhadap kaum pria."
Dengan perasaan tak enak, kalau-kalau Miss Lingard sedang mengambil hatinya pula
pada saat itu, Mayor Riddle, melanjutkan,
"Tugas Anda di sini adalah membantu Sir. Gervase dalam
penulisan bukunya?" "Ya." "Meliputi apa saja tugas itu?"
Sesaat Miss Lingard kelihatan lebih ekspresif. Matanya bersinar waktu ia
menjawab, "Yah, sebenarnya mengenai penulisan buku itu. Saya mencari semua informasi yang
diperlukan dam mencatatnya, lalu mengatur bahannya. Kemudian saya memperbaiki
apa yang telah ditulis oleh Sir Gervase."
"Pasti Anda harus bijak sekali dalam hal itu, Mademoiselle," kata Poirot.
"Bijak dan tegas. Kita harus memiliki keduanya," kata Miss Lingard.
"Apakah Sir Gervase tidak membenci sikap... eh... tegas Anda?"
"Oh, sama sekali tidak. Saya tentu harus menjelaskan padanya supaya dia tidak
menuliskan apa-apa dengan terlalu terperinci."
"Oh, ya, saya mengerti."
"Sebenarnya sih mudah saja," kata Miss Lingard. "Mudah sekali menangani Sir
Gervase itu kalau kita melakukannya dengan cara yang benar."
"Nah, Miss Lingard, apakah Anda kira-kira bisa memberikan titik terang dalam
tragedi ini?" Miss Lingard menggeleng. "Saya rasa tidak. Saya rasa, wajar kalau dia tak mau menceritakan apa-apa pada
saya. Saya benar-benar orang asing. Dalam hal apa pun, saya rasa dia terlalu
bangga untuk berbicara dengan siapa pun mengenai kesulitan-kesulitan keluarga."
"Tapi menurut Anda memank kesulitan-kesulitan keluargakah yang menyebabkan dia
menghabisi nyawanya sendiri?"
Miss Lingard tampak agak terkejut.
"Tentu saja! Apakah ada dugaan lain?"
"Yakinkah Anda bahwa kesulitan-kesulitan keluarga yang
dicemaskannya?" "Saya tahu bahwa pikirannya amat tertekan."
"Oh, Anda tahu itu?"
"Tentu saja." "Coba katakan, Mademoiselle, apakah dia berbicara tentang hal itu?"
"Tidak secara terang-terangan."
"Apa katanya?" "Coba saya ingat-ingat. Saya lihat dia tidak begitu memperhatikan kata-kata
saya..." "Maaf, tunggu sebentar. Kapan itu?"
"Petang tadi. Kami biasanya bekerja dari jam tiga sampai jam lima."
"Tolong lanjutkan."
"Seperti saya katakan, Sir Gervase, kelihatannya merasa sulit untuk memusatkan
pikirannya. Dia bahkan mengakuinya.
Dikatakannya pula bahwa ada beberapa soal besar yang
mengganggu pikirannya. Dan dia berkata-kira-kira begini - saya tentu tak bisa
mengulangi kata-katanya dengan setepatnya - 'Mengerikan sekali, Miss Lingard,
bila sebuah keluarga yang-paling dibanggakan di negeri ini akan mendapatkan
suatu musibah memalukan.'"
"Lalu apa kata Anda?"
"Saya berusaha menenangkannya. Kalau tak salah, saya berkata bahwa dalam setiap
generasi selalu ada yang lemah, bahwa itu merupakan salah satu kutukan dalam
kebesaran, tapi bahwa kegagalan-kegagalannya jarang diingat oleh para anakcucu." "Lalu apakah kata-kata itu bisa menenangkannya seperti yang Anda harapkan?"
"Kira-kira begitulah. Kami lalu kembali pada Sir Roger ChevenixGore. Saya telah
menemukan sesuatu yang sangat menarik tentang dirinya dalam suatu naskah yang
kontemporer. Tapi perhatian Sir Gervase mengembara lagi. Akhirnya dia mengatakan
tak mau bekerja lagi petang ini. Katanya dia telah mendapatkan pukulan."
"Pukulan?" "Begitulah katanya. Saya tentu tidak bertanya apa-apa. Saya hanya berkata, 'Saya
ikut prihatin mendengarnya, Sir Gervase.' Lalu dia meminta saya mengatakan pada
Snell bahwa M. Poirot akan tiba dan supaya dia mengundurkan jam makan malam
sampai pukul delapan lewat seperempat, dan supaya dia mengirim mobil untuk
menjemput di kereta api yang akan tiba jam delapan kurang lima."
"Apakah biasanya dia memang menyuruh Anda mengatur hal-hal begitu?"
"Sebenarnya tidak. Mestinya itu tugas Mr. Burrows. Tugas saya hanya dalam bidang
pekerjaan saya. Saya sama sekali bukan seorang sekretaris."
Poirot bertanya, "Apakah menurut Anda Sir Gervase punya alasan tertentu
meminta Anda mengatur hal itu, dan tidak menyuruh Mr. Burrows melakukannya?"
Miss Lingard berpikir. "Mungkin ada... Tapi pada saat itu tak terpikir oleh saya. Saya pikir itu hanya
untuk memudahkannya saja. Tapi, setelah saya pikirkan lagi sekarang, saya ingat
bahwa dia meminta saya untuk tidak menceritakan pada siapa pun bahwa M. Poirot
akan datang. Itu harus merupakan kejutan, katanya,"
"Oh, dia berkata begitu, ya" Aneh sekali, menarik sekali. Lalu apakah Anda
ceritakan pada seseorang?"
"Tentu saja tidak, M. Poirot. Saya katakan pada Snell tentang jam makan malam
itu, dan untuk memerintahkan sopir menjemput di kereta api yang jam delapan
kurang lima, karena seorang pria akan tiba dengan kereta itu."
"Apakah Sir Gervase mengatakan sesuatu lagi yang mungkin ada hubungannya dengan
keadaan ini. Miss Lingard berpikir. "Tidak, saya rasa tidak. Dia tegang sekali. Saya ingat, sesaat sebelum saya
meninggalkan ruangannya, dia berkata, 'Meskipun kedatangannya sekarang ini sudah
tak berguna lagi. Sudah terlambat.'"
"Dan Anda sama sekali tak punya dugaan, apa maksud kata-kata itu?"
"Ti... tidak." Terdapat keraguan kecil sekali dalam mengucapkan kata "tidak"
yang sederhana itu. Poirot bertanya sambil mengerutkan alisnya.
"... Terlambat. Begitu katanya, ya Terlambat."
Mayor Riddle berkata, "Tak bisakah Anda memberikan dugaan apa pun mengenai
keadaan yang begitu menekan Sir Gervase, Miss Lingard?"
Lambat-lambat Miss Lingard berkata,
"Menurut dugaan saya, hal itu ada hubungannya dengan Mr. Hugo Trent."
"Dengan Hugo Trent" Mengapa Anda berpikiran begitu?"
"Yah, memang tidak begitu pasti, tapi kemarin petang kami sedang membahas
tentang Sir Hugo de Chevenix-Gore, dan waktu itu Sir Gervase berkata, 'Maumaunya adik perempuanku memilihkan nama Hugo untuk anak laki-lakinya! Nama itu
selalu membawa sial dalam keluarga kami. Seharusnya dia tahu bahwa orang bernama
Hugo tidak akan pernah menjadi baik."'
"Yang Anda ceritakan itu merupakan petunjuk yang baik," kata Poirot. "Ya, hal
itu memberikan bayangan baru."
"Tidakkah Sir Gervase mengatakan apa-apa yang lebih
memberikan kepastian?" tanya Mayor Riddle.
Miss Lingard menggeleng. "Tidak, dan saya tentu tak pantas berkata apa-apa. Sir Gervase sebenarnya hanya
berbicara pada dirinya sendiri, bukan pada saya."
"Memang." Poirot berkata, "Mademoiselle, Anda adalah orang luar yang sudah berada di sini selama dua
bulan. Saya rasa akan sangat berharga bagi kami bila Anda mengatakan dengan
terus terang kesan-kesan Anda mengenai keluarga ini dan seisi rumah."
Miss Lingard menanggalkan kacamatanya yang tanpa gagang, lalu matanya langsung
berkedip-kedip. "Yah, terus terang, mula-mula saya merasa seperti masuk ke sebuah rumah gila!
Soalnya Lady Chevenix-Gore terus-menerus melihat sesuatu yang sebenarnya tak
ada, dan Sir Gervase bertingkah laku seperti... seperti seorang raja dan
melebih-lebihkan dirinya sendiri dengan cara yang luar biasa. Yah, saya benarbenar beranggapan bahwa mereka adalah orang-orang paling aneh yang pernah saya
temui. Miss Chevenix-Gore memang normal sekali. Dan segera saya dapati bahwa
Lady Chevenix-Gore sebenarnya orang yang sangat baik hati dan ramah. Tak ada
orang yang lebih baik hati dan ramah terhadap saya. Sir Gervase... yah, saya
rasa dia memang benar-benar gila. Egomanianya - begitu kelainan itu disebut,
bukan" - makin hari makin menjadi-jadi."
"Dan yang lain-lain?"
"Saya rasa Mr. Burrows mengalami kesulitan dengan Sir Gervase.
Saya rasa dia senang, karena kesibukan kami menyusun buku itu memberinya ruang
lebih banyak untuk bernapas. Kolonel Bury selalu ramah. Dia memuja Lady
Chevenix-Gore dan dia bisa bergaul dengan baik dengan Sir Gervase, Mr. Trent,
Mr. Forbes, dan Miss Cardwell.
Baru beberapa hari di sini, jadi saya tentu tak tahu banyak tentang mereka."
"Terima kasih, Mademoiselle. Lalu bagaimana dengan Kapten Lake, pemegang
perwakilannya?" "Oh, dia baik sekali. Semua orang menyukainya."
"Sir Gervase juga?"
"Oh ya. Saya pernah mendengar dia berkata bahwa Lake adalah pemegang
perwakilannya yang terbaik yang pernah bekerja untuknya. Tentu saja Kapten Lake
mengalami kesulitan-kesulitan juga dengan Sir Gervase, tapi secara umum dia
berhasil dengan baik. Itu tidak mudah." Poirot mengangguk sambil merenung. Gumamnya, "Ada sesuatu sesuatu dalam pikiran saya yang ingin saya tanyakan. Suatu soal kecil. Apa, ya?"
Miss Lingard menoleh padanya dengan sikap sabar.
Poirot menggeleng dengan kesal.
"Ah! Rasanya sudah di ujung lidah."
Mayor Riddle masih menunggu beberapa menit, lalu ketika melihat Poirot masih
saja mengerutkan alisnya dengan kecewa, ia mulai bertanya lagi.
"Kapan Anda terakhir kali bertemu dengan Sir Gervase?"
"Pada waktu minum teh petang, di ruangan ini."
"Bagaimana sikapnya waktu itu" Normalkah?"'
"Normal seperti biasa."
"Adakah tampak ketegangan di antara orang-orang itu?"
"Tidak, saya rasa semua orang kelihatan biasa-biasa saja."
"Setelah minum teh, pergi ke manakah Sir Gervase?"
"Seperti biasanya, dia mengajak Mr. Burrows ke ruang kerja."
"Itukah terakhir kali Anda melihatnya?"
"Ya, saya pergi ke ruang istirahat yang kecil. Saya bekerja, saya mengetik satu
bab dari buku, dari catatan yang telah saya bahas dengan Sir Gervase. Saya
bekerja sampai jam tujuh. Lalu saya naik ke lantai atas untuk beristirahat dan
berpakaian untuk makan malam."
"Saya dengar Anda mendengar tembakan itu, ya?"
"Ya, saya di kamar ini. Saya mendengar apa yang saya duga adalah suara tembakan,
dan saya keluar ke ruang depan. Mr. Trent ada di situ, bersama Miss Cardwell.
Mr. Trent bertanya pada Snell, apakah akan disuguhkan sampanye pada makan malam
itu. Dia membuat lelucon kecil tentang itu. Tak pernah terpikir oleh kami
untuk menganggapnya serius. Kami merasa yakin bahwa itu suara knalpot mobil."
Poirot berkata, "Apakah Anda mendengar Mr. Trent berkata 'Pembunuhan selalu terjadi'?"
"Kalau tidak salah, dia memang berkata begitu, tentunya bercanda."
"Apa yang terjadi kemudian?"
"Kami semua masuk kemari."
"Bisakah Anda mengingat urut-urutan orang orang lain yang datang untuk makan
malam?" "Saya rasa Miss Chevenix-Gore yang pertama kali datang, lalu Mr.
Forbes. Lalu Kolonel Burv bersama Lady Chevenix-Gore, dan langsung sesudah
mereka, Mr. Burrows. Saya rasa itulah urut-urutannya, tapi saya tidak yakin,
karena mereka semua masuk kurang-lebih bersamaan."
"Berkumpul setelah mendengar suara gong yang pertama?"
"Ya. Semua orang selalu bergegas kalau mendengar suara gong itu. Soalnya Sir
Gervase selalu berpegang teguh pada ketepatan waktu malam hari."
"Jam berapa biasanya dia sendiri turun?"
"Dia hampir selalu sudah berada di dalam ruangan sebelum gong yang pertama
berbunyi." "Apakah Anda merasa heran dia belum turun pada kesempatan itu?"
"Heran sekali."
"Nah, saya ingat!" seru Poirot.
Waktu kedua orang yang lain melihat padanya dengan rasa ingin tahu, ia berkata
lagi, "Saya sudah ingat apa yang ingin saya tanyakan. Malam ini, Mademoiselle, waktu
kita semua mengikuti Snell ke ruang kerja, setelah dia melaporkan bahwa kamar
itu terkunci, Anda membungkuk dan memungut sesuatu."
"Benarkah saya berbuat begitu?" Miss Lingard tampak terkejut sekali.
"Ya, saat kita membelok ke lorong lurus ke arah ruang kerja.


Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesuatu yang kecil dan berkilat."
"Aneh sekali, saya tak ingat. Tunggu... ya, saya ingat. Tapi saya tidak
memikirkannya. Coba saya ingat-ingat - pasti ada di sini."
Dibukanya tas satinnya yang berwarna hitam, lalu dituangkannya isinya ke meja.
Poirot dan Mayor Riddle mengamat-amati barang-barang itu dengan penuh perhatian.
Ada dua helai saputangan, sebuah kotak bedak, sekumpulan kecil kunci, sebuah
kotak kacamata, dan sebuah benda lain yang langsung disambar Poirot dengan penuh
semangat. "Astaga, peluru!" kata Mayor Riddle.
Benda itu memang berbentuk peluru, tapi ternyata itu sebuah pensil kecil.
"Itulah yang saya pungut," kata Miss Lingard.
"Saya benar-benar lupa."
"Tahukah Anda milik siapa ini, Miss Lingard?"
"Oh ya, itu kepunyaan Kolonel Bury. Dia menyuruh orang
membuatnya dari peluru yang pernah mengenai dirinya - atau tepatnya yang tidak
mengenainya, Anda mengerti kan maksud saya dalam perang di Afrika Selatan."
"Tahukah Anda kapan terakhir kali benda ini ada padanya?"
"Waktu mereka main bridge petang tadi, masih ada padanya, karena saya melihat
dia menggunakannya untuk menuliskan nilai pertandingan, waktu saya masuk untuk
minum teh." "Siapa saja yang main bridge?"
"Kolonel Bury, Lady Chevenix-Gore, Mr. Trent dan Miss Cardwell."
"Saya rasa," kata Poirot dengan halus, "kami akan menahan benda ini dan akan
mengembalikannya sendiri pada Kolonel."
"Oh, silakan. Saya pelupa sekali, bisa-bisa saya tak ingat mengembalikannya
nanti." "Mungkin, Mademoiselle, Anda bisa membantu meminta Kolonel Bury datang kemari
sekarang?" "Tentu. Saya akan pergi dan langsung mencarinya."
Ia cepat-cepat pergi. Poirot bangkit, lalu berjalan tanpa tujuan mengelilingi
ruangan itu. "Mari kita mulai melakukan rekonstruksi petang ini," katanya. "Hal itu menarik.
Jam setengah tiga, Sir Gervase memeriksa pembukuan dengan Kapten Lake. Dia
tampak agak asyik memikirkan sesuatu.
Jam tiga dia membabas buku yang sedang ditulisnya dengan Miss Lingard.
Pikirannya sangat tertekan. Miss Lingard menghubungkan tekanan pikiran itu
dengan Hugo Trent, berdasarkan kata-katanya yang diucapkan sekilas. Pada waktu
minum teh, kelakuannya normal.
Setelah minum teh, Godfrey Burrows berkata bahwa dia kelihatan senang memikirkan
sesuatu. Jam delapan kurang lima menit dia turun ke lantai bawah dan pergi ke
ruang kerjanya. Dia menuliskan kata Maaf, lalu menembak dirinya sendiri!"
Riddle berkata lambat-lambat,
"Saya tahu apa maksud Anda. Keadaan itu tak masuk akal."
"Perubahan yang aneh dalam suasana hati Sir Gervase ChevenixGore! Dia asyik
memikirkan sesuatu; dia sedih sekali; dia normal; dia gembira! Ada sesuatu yang
aneh sekali di sini! Lalu perkataan yang digunakannya itu, Terlambat. Bahwa saya
akan tiba di sini 'terlambat'. Meskipun itu memang benar. Saya memang tiba di sini terlambat untuk bertemu dengannya dalam keadaan hidup."
"Saya mengerti. Anda pikir...?"
"Sekarang saya tidak akan pernah tahu mengapa Sir Gervase meminta saya datang!
Itu pasti!" Poirot masih saja hilir-mudik di ruangan itu. Ia memperbaiki letak beberapa
benda di rak perapian, mengamat-amati sebuah meja tempat main kartu yang
terdapat di dekat dinding, membuka lacinya lalu mengeluarkan catatan angka-angka
permainan bridge itu. Lalu ia pergi ke meja tulis dan memandangi keranjang
sampah. Di situ tak ada apa-apa, kecuali sebuah kantong kertas. Poirot
mengeluarkannya, menciumnya, bergumam, "Jeruk," lalu
memipihkan kantong itu dan membaca nama yang tercantum di situ.
"Carpenter and Sons, Pedagang Buah-buahan, Hamborough St.
Mary." Ia sedang melipatnya dengan rapi menjadi segi empat, waktu Kolonel Bury masuk.
BAB 8 Kolonel itu mengempaskan tubuhnya ke sebuah kursi, menggeleng sambil mendesah,
lalu berkata. "Mengerikan urusan ini, Riddle. Lady Chevenix-Gore itu hebat hebat sekali. Dia wanita yang luar biasa! Tabah sekali!"
Poirot perlahan-lahan kembali ke kursinya, lalu berkata,
"Saya rasa Anda sudah lama sekali mengenalnya!"
"Benar, saya hadir pada pesta yang diselenggarakan untuknya waktu dia berusia
enam belas tahun. Saya ingat, waktu itu dia memasang kuntum-kuntum bunga mawar
di rambutnya. Dan mengenakan gaun putih yang lembut. Semua orang dalam ruang pesta itu ingin
menyentuhnya!" Suaranya penuh semangat. Poirot mengulurkan pensil itu
padanya. "Saya rasa ini milik Anda, ya?"
"Eh" Apa" Oh, terima kasih, saya menggunakannya tadi sore, waktu kami main
bridge. Luar biasa sekali, tiga kali saya memegang seratus kartu sekop. Tak
pernah saya main begitu."
"Saya dengar Anda main bridge sebelum waktu minum teh?"
tanya Poirot. "Bagaimana keadaan pikiran Sir Gervase waktu dia masuk untuk minum
teh?" "Biasa, biasa sekali. Tak terbayangkan bahwa dia punya niat untuk menghabisi
dirinya. Setelah saya pikir-pikir sekarang, mungkin dia agak lebih kacau
daripada biasanya." "Kapan Anda terakhir melihatnya?"
"Wah! Ya, waktu minum teh itu. Sejak itu saya tak pernah lagi melihat laki-laki
malang itu dalam keadaan hidup."
"Setelah minum teh, Anda sama sekali tidak pergi ke ruang kerja?"
"Tidak, saya tak pernah melihatnya lagi."
"Jam berapa Anda turun untuk makan malam?"
"Setelah gong yang pertama berbunyi."
"Anda dan Lady Chevenix-Gore turun bersama-sama?"
"Tidak, kami... eh... bertemu di ruang depan. Saya kira dia sudah masuk ke ruang
makan untuk mengurus bunga atau semacamnya."
Mayor Riddle berkata, "Saya harap Anda tidak keberatan, Kolonel Bury, kalau saya menanyakan sesuatu
yang agak pribadi. Adakah kesulitan antara Anda dengan Sir Gervase mengenai soal
Paragon Synthetic Rubber Company?"
Wajah Kolonel Bury tiba-tiba jadi merah padam. Ia agak tersedak.
"Sama sekali tidak. Sama sekali tidak. Si tua Gervase itu orang yang tak berakal
sehat dalam bekerja sama. Anda harus ingat itu. Dia selalu berharap segala
sesuatu yang disentuhnya mendatangkan keuntungan! Dia tak mau menyadari bahwa
seluruh dunia sedang melewati masa krisis. Semua bursa dan saham terkena
pengaruhnya." "Jadi, memang ada semacam kesulitan di antara Anda berdua?"
"Bukan kesulitan. Hanya sikap tak sehat Gervase saja!"
"Apakah dia mempersalahkan Anda telah menyebabkan dia
menderita kerugian?"
"Gervase tidak normal! Vanda tahu itu. Tapi dia selalu bisa menangani suaminya.
Saya puas bisa menyerahkan semua padanya."
Poirot berdeham dan Mayor Riddle, yang lalu menoleh padanya, mengubah pokok
pembicaraannya. "Saya tahu bahwa Anda adalah teman keluarga yang sudah lama sekali, Kolonel
Bury. Tahukah Anda bagaimana Sir Gervase meninggalkan kekayaannya?"
"Yah, saya rasa sebagian terbesarnya akan diwarisi oleh Ruth.
Itulah yang saya dengar dari apa yang diceritakan Gervase."
"Apakah menurut Anda itu tak adil terhadap Hugo Trent?"
"Gervase tak suka pada Hdgo. Dia tak pernah sabar
menghadapinya." "Padahal rasa kekeluargaannya besar sekali, ya" Miss ChevenixGore itu pun hanya
putri angkatnya, bukan?"
Kolonel Bury ragu, lalu setelah mengeluarkan suara-suara yang tak jelas, ia
berkata, "Dengarkan, sebaiknya saya ceritakan sesuatu. Sesuatu yang sifatnya sangat
rahasia." "Tentu-tentu." "Ruth itu anak haram, tapi dia sudah menjadi keluarga ChevenixGore. Dia adalah
putri adik laki-laki Gervase yang tewas di medan perang. Agaknya dia punya
hubungan dengan seorang juru tik.
Waktu adiknya tewas, gadis itu menulis surat pada Vanda. Vanda pergi
menjumpainya. Ternyata gadis itu sedang hamil. Vanda
membicarakannya dengan Gervase. Dia baru saja diberitahu bahwa dia tidak akan
pernah hamil lagi. Maka mereka mengambil alih bayi itu setelah lahir, lalu
diadopsi secara hukum. Ibunya melepaskan semua haknya terhadap anak itu. Mereka
membesarkan Ruth sebagai putri kandung mereka, dan dalam segala hal, dia memang
seperti anak mereka sendiri. Coba saja Anda lihat wajahnya. Anda akan
mendapatkan kesan bahwa dia memang benar-benar seorang
Chevenix-Gore!" "Oh, begitu," kata Poirot. "Hal itu jadi sangat menjelaskan sikap Sir Gervase.
Tapi, bila dia tak suka pada Mr. Hugo Trent, mengapa dia ingin sekali mengatur
perkawinan antara Mr. Trent dan Mademoiselle Ruth?"
"Untuk mengatur kedudukan keluarga. Itu menenangkan hatinya."
"Sekalipun dia tidak menyukai dan tidak mempercayai anak muda itu?"
Kolonel Bury mendengus. "Anda tak mengerti si tua Gervase. Dia tak bisa memandang orang sebagai makhluk
manusia. Dia mengatur hubungan-hubungan seolah-olah pihak-pihak itu adalah
anggota-angota kerajaan! Perkawinan Ruth dan Hugo dianggapnya cocok, asal Hugo
menggunakan nama Chevenix-Gore. Dia tak peduli bagaimana pendapat Hugo dan Ruth
mengenai hal itu." "Lalu apakah Mademoiselle Ruth mau menerima pengaturan itu?"
Kolonel Bury tertawa kecil.
"Tidak! Dia itu keras kepala!"
"Tahukah Anda bahwa tak lama sebelum kematiannya, Sir Gervase membuat rencana
surat wasiat baru, yang berbunyi bahwa Miss Chevenix-Gore akan mewarisi
kekayaannya, dengan syarat dia menikah dengan Mr. Trent?"
Kolonel Bury bersuit. "Kalau begitu, dia betul-betul telah mengikuti keinginan Burrows..."
Begitu mengucapkan kata-kata itu, ia tampak ingin menariknya kembali, tapi
terlambat. Poirot menyambar pernyataan itu.
"Apakah ada sesuatu di antara Mademoiselle Ruth dan Monsieur Burrows yang muda
itu?" "Mungkin tak ada apa-apa - sama sekali tak ada apa-apanya."
Mayor Riddle berdeham, lalu berkata,
"Kolonel Bury, saya rasa Anda harus menceritakan pada kami segala-galanya yang
Anda ketahui. Mungkin itu ada hubungannya langsung dengan jalan pikiran Sir
Gervase." "Mungkin ada," kata Kolonel Bury ragu. "Yah, yang sebenarnya adalah, Burrows itu
bukan pemuda yang jelek; setidaknya begitulah pikir kaum wanita. Akhir-akhir ini
kelihatannya dia dan Ruth akrab sekali, lengket bagai prangko, dan Gervase tak
suka itu, sama sekali tak menyukainya. Tapi dia tak mau memecat Burrows, karena
takut pemuda itu akan menghancurkan urusan-urusannya. Dia tahu bagaimana Ruth.
Gadis itu tak mau didikte dalam hal apa pun. Jadi, saya rasa dia lalu mengambil
jalan pintas ini. Ruth bukan gadis yang mau mengorbankan apa pun demi cinta. Dia
suka kekayaan dan uang."
"Apakah Anda sendiri menyukai Mr. Burrows?"
Kolonel menyatakan bahwa Burrows itu kurang bisa dipercaya, tapi Mayor Riddle
tersenyum simpul. Beberapa pertanyaan lagi diajukan dan dijawab, setelah itu Kolonel Bury keluar.
Riddle menoleh pada Poirot yang tampak sedang tenggelam dalam pikirannya.
"Apa kesimpulan Anda mengenai itu semua, M. Poirot?"
Pria kecil itu mengangkat tangannya.
"Rasanya saya melihat suatu pola; suatu rancangan yang sengaja dibuat."
"Itu sulit," kata Riddle.
"Ya, memang sulit. Tapi suatu ungkapan yang diucapkan sambil lalu, makin lama
makin membenkan titik terang."
"Apa itu?" "Kalimat yang diucapkan sambil tertawa oleh Hugo Trent,
'Pembunuhan selalu ada.'"
Dengan tajam Riddle berkata,
"Ya, saya lihat Anda memang terus-menerus bersandar pada pernyataan itu."
"Apakah Anda tidak sependapat, sahabatku, bahwa makin banyak yang kita dengar,
makin tidak masuk masuk akal motif Sir Gervase untuk bunuh diri. Tapi untuk
pembunuhan, kita mulai menemukan sekumpulan motif!"
"Tapi Anda masih harus ingat fakta-faktanya: pintu yang terkunci, dan kuncinya
ada di dalam saku almarhum. Oh, saya tahu cara-cara dan akal manusia. Peniti
yang dibengkokkan, tali, umpamanya segala macam peralatan itu. Saya rasa - itu mungkin. Tapi apakah hal-hal itu ada
artinya" Itulah yang sangat saya ragukan."
"Bagaimanapun, mari kita meneliti keadaannya dari sudut pandang pembunuhan,
bukan dari segi bunuh diri."
"Ya, baiklah. Karena Anda yang memegang peran utama, mungkin itu memang
pembunuhan." Poirot tersenyum sesaat. "Saya kurang suka pernyataan itu."
Lalu Riddle jadi serius lagi.
"Ya, marilah kita meneliti perkara ini dari sudut pandang pembunuhan. Suara
tembakan itu terdengar, ada empat orang di
ruang depan - Miss Lingard, Hugo Trent, Miss Cardwell, dan Snell. Di manakah
yang lain?" "Burrows berada di ruang perpustakaan, berdasarkan
pengakuannya sendiri. Tak ada orang yang bisa mengecek kebenaran pernyataan itu.
Yang lain-lain mungkin ada di kamar mereka masing-masing, tapi siapa yang tahu
pasti apakah mereka benar-benar di situ" Agaknya semua orang turun ke lantai
bawah secara terpisah. Bahkan Lady Chevenix-Gore dan Bury pun hanya bertemu di ruang depan. Lady
Chevenix-Gore datang dari ruang makan. Dari manakah Bury" Apakah tak mungkin
bahwa dia tidak datang dari lantai atas, melainkan dari ruang kerja" Mengingat
adanya pensil itu." "Ya, soal pensil itu menarik. Dia tidak memperlihatkan perasaan apa-apa waktu
saya memperlihatkannya. Tapi itu mungkin karena dia tidak tahu di mana saya
menemukannya, dan dia sendiri tidak menyadari bahwa benda itu jatuh. Mari kita
ingat, siapa lagikah yang main bridge waktu pensil itu digunakan" Hugo Trent dan
Miss Cardwell. Mereka tidak terlibat. Miss Lingard dan pengurus rumah tangga
bisa menjamin alibi mereka. Yang keempat adalah Lady Chevenix-Gore."
"Masa Anda mencurigai dia!"
"Mengapa tidak, sahabatku" Dengar, saya bisa mencurigai siapa saja! Tidak
mungkinkah bahwa meskipun dia memperlihatkan cinta kasihnya pada suaminya, dia
sebenarnya mencintai Bury yang setia?"
"Hm," kata Riddle. "Memang boleh dikatakan telah terjadi cinta segi tiga selama
bertahun-tahun. Lalu ada pula kesulitan tentang perusahaan itu, antara Sir
Gervase dan Kolonel Bury."
"Memang benar, mungkin Sir Gervase memang main kasar. Kita tidak tahu keadaan
sebenarnya. Mungkin itu ada hubungannya dengan panggilannya terhadap Anda.
Andaikan Sir Gervase curiga bahwa Bury dengan sengaja menipunya, tapi dia tak
ingin itu sampai diketahui umum, karena dia curiga istrinya terlibat dalam hal
itu. Ya, itu mungkin. Dengan demikian, timbul motif untuk salah seorang di
antara mereka berdua. Dan rasanya agak aneh kalau Lady ChevenixGore menanggapi
kematian suaminya dengan demikian tenangnya.
Semuanya yang berhubungan dengan roh-roh itu mungkin dibuat-buat saja!"
"Lalu ada lagi kerumitan lain," kata Poirot, "Miss Chevenix-Gore dan Burrows.
Mereka sangat berkepentingan agar Sir Gervase tidak menandatangani surat wasiat
baru itu. Keadaan sekarang adalah, gadis itu akan mendapatkan semuanya, dengan
syarat suaminya mau menggunakan nama keluarga."
"Ya, dan cerita Burrows tentang sikap Sir Gervase malam ini agak mengherankan.
Bergembira, senang memikirkan sesuatu! Itu sama sekali tak cocok dengan semua
yang sudah kita dengar sebelumnya."


Pembunuhan Di Lorong Murder In The Mews Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada pula Mr. Forbes yang sikapnya sangat baik, selalu berhati-hati, dan bekerja
di salah satu perusahaan tua yang sudah mantap pula. Tapi pengacara, yang sangat
terhormat sekalipun, biasa menggelapkan uang kliennya bila mereka sendiri sedang
terjepit." "Saya rasa Anda terlalu berlebihan, Poirot."
"Anda pikir apa yang saya kemukakan itu terlalu seperti di film-film" Tapi,
Mayor Riddle, hidup ini memang sering sama benar dengan film-film."
"Tapi sejauh ini kita masih berada di Westshire," kata si kepala polisi.
"Tidakkah sebaiknya sekarang kita menyelesaikan wawancara dengan yang lain-lain"
Malam sudah larut. Kita belum bertemu dengan Ruth Chevenix-Gore, padahal mungkin
dialah yang terpenting dari yang lain-lain."
"Saya sependapat. Masih ada pula Miss Cardwell. Mungkin sebaiknya kita temui dia
dulu, karena itu mungkin tidak akan lama, dan yang terakhir baru mewawancarai
Miss Chevenix-Gore."
"Pikiran yang baik."
BAB 9 Malam itu Poirot hanya melihat sekilas pada Susan Cardwell. Kini ia
memperhatikannya dengar, lebih cermat. Wajahnya tampak cerdas, pikir Poirot
tidak begitu cantik, namun memiliki suatu daya tarik, hingga gadis yang hanya
memiliki kecantikan saja mungkin merasa iri. Rambutnya luar biasa, wajahnya
dirias dengan baik. Matanya penuh kewaspadaan, pikirnya.
Setelah mengajukan beberapa pertanyaan pendahuluan, Mayor Riddle berkata,
"Saya tidak tahu seberapa dekat persahabatan Anda dengan keluarga ini, Miss
Cardwell?" "Saya sama sekali tidak mengenal mereka. Hugo yang mengatur sampai saya diundang
kemari." "Kalau begitu, Anda teman Hugo Trent?"
"Ya, begitulah kedudukan saya. Teman wanita Hugo." Susan Cardwell tersenyum
waktu mengucapkan kata-kata itu.
"Sudah lamakah Anda mengenalnya?"
"Oh, tidak, baru kira-kira sebulan."
Susan Cardwell diam sebentar, lalu menambahkan,
"Saya boleh dikatakan sudah bertunangan dengannya."
"Dan dia mengajak Anda kemari untuk memperkenalkan Anda pada keluarganya?"
"Oh, tidak, sama sekali tidak. Kami sangat merahasiakan hal itu.
Saya datang hanya untuk memata-matai keadaan di sini. Kata Hugo, tempat ini
seperti rumah gila saja. Saya pikir sebaiknya saya melihatnya sendiri. Hugo
orang yang patut disayangi, kasihan kekasih saya itu, tapi dia sama sekali tak
punya otak. Keadaannya agak kritis.
Saya dan Hugo sama-sama tak punya uang, sedangkan Sir Gervase, yang merupakan
satu-satunya harapan Hugo, telah memutuskan akan menjodohkannya dengan Ruth.
Hugo itu agak lemah. Bisa-bisa dia menyetujui pemikahan itu dan berharap kelak
akan bisa membebaskan dirinya."
"Anda tidak setuju dengan rencana itu, Mademoiselle?" tanya Poirot dengan halus.
"Sama sekali tidak. Kelak Ruth mungkin muncul gilanya dan tak mau menceraikan
Hugo atau semacamnya. Saya bersikap tegas.
Jangan sampai mereka menuju Gereja St. Paul di Knightsbridge, sebelum saya pergi
ke sana dengan seikat bunga
"Jadi, Anda datang untuk mempelajari sendiri keadaannya?"
"Benar." "Oh, begitu!" kata Poirot.
"Yah, Hugo memang benar! Seluruh isi rumah ini memang kacau!
Kecuali Ruth, yang kelihatan berakal sehat. Dia sudah punya teman pria sendiri,
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 14 Dewa Arak 25 Penghuni Lembah Malaikat Dendam Manusia Kelelawar 3

Cari Blog Ini