Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie Bagian 3
silakan keluar." Theresa berkata sambil
menunjuk ke pintu. "Saya tidak menolak. Tapi..." ujar Poirot.
Theresa Arundell tertawa. Ia memandangku.
"Teman Anda kelihatannya shock. Apakah tidak sebaiknya Anda suruh dia berjalanjalan di luar saja sementara kita berunding?"
Poirot memandangku jengkel.
"Kontrol sikapmu, Hastings. Maafkan dia,
Mademoiselle. Dia memang orang yang jujur.
Tapi dia sangat setia. Kesetiaannya kepada saya seratus
persen. Baiklah. Saya ingin menekankan di sini, bahwa apa yang akan kita lakukan
tidak akan bertentangan dengan hukum."
Alis mata Theresa terangkat.
"Hukum," lanjut Poirot, "mempunyai banyak bidang cakupan."
Theresa tersenyum tipis. "Baiklah. Jadi .kita sama-sama mengerti itu. Anda ingin
merundingkan bagian yang akan Anda peroleh
jika Anda berhasil?"
"Itu bisa juga kita putuskan sekarang. Saya tidak akan meminta lebih daripada
yang sewajarnya saja." "Oke," ujar Theresa Arundell.
Poirot beringsut ke pinggir kursi yang
didudukinya. "Sekarang saya minta Anda mendengarkan apa yang saya katakan, Mademoiselle.
Biasanya, katakan - dalam sembilar puluh sembilan di
antara seratus kasus - saya selalu berdiri di
pihak hukum. Satu lainnya - yah, itu berbeda.
Mungkin itu karena memang lebih
menguntungkan begitu... yang penting,
semuanya ini harus dilaksanakan dengan diamdiam. Anda mengerti maksud saya, bukan" Saya
punya reputasi, dan saya tak mau reputasi saya
terganggu. Kita harus sangat berhati-hati."
Theresa Arundell mengangguk.
"Di samping itu saya perlu fakta-fakta yang selengkapnya. Fakta-fakta yang
benar! Anda mengerti bukan, Mademoiselle, bahwa bila
kebenarannya sudah diketahui, maka lebih
gampang memikirkan taktik apa yang akan kita
lakukan?" "Kedengarannya masuk akal," komentar
Theresa. "Baiklah, kalau Anda sudah mengerti. Sekarang, kapan surat wasiat itu ditulis maksud saya, tanggal berapa?" "Tanggal dua puluh satu April."
"Surat wasiat yang sebelumnya?"
"Bibi Emily menulis surat wasiat itu kurang lebih lima tahun yang lalu."
"Setelah memberikan sekedar tanda jasa
kepada Ellen dan seorang bekas koki, sisa
kekayaannya dibagi tiga untuk kemenakannya,
anak saudara kandungnya, Thomas dan
Arbella." "Apakah warisan itu akan diserahkan kepada seorang wali?"
"Tidak. Bisa langsung diserahkan kepada kami."
"Sekarang, hati-hati! Apakah Anda mengetahui bagaimana pembagian warisannya
menurut surat wasiat itu?" "Oh, Ya. Charlesjuga tahu. Begitujuga Bella. Bibi Emily tidak pernah
merahasiakan hal itu. Setidaknya, kalau ada di antara kami yang ingin pinjam uang, Bibi Emily selalu
mengatakan, 'Kalian toh akan mewarisi semua uangku kalau
aku mati nanti'" "Apakah bibi Anda juga menolak kalau pinjaman itu sifatnya sangat penting misalnya karena ada yang sakit?" "Saya kira tidak."
"Tapi bibi Anda berpendapat bahwa Anda
semuanya sudah berkecukupan?" "Benar- Bibi Emily memang selalu beranggapan
seperti itu." Suaranya terdengar pahit.
"Padahal - sesungguhnya tidak begitu?"
Theresa tidak segera menjawab.
"Ayah meninggalkan sedikit uang. Kami masing-masing mendapat tiga puluh ribu
pound. Uang itu disimpan di bank. Bunganya setahun kurang
lebih seribu dua ratus pound. Memang cukup
untuk hidup yang pas-pasan. Tapi saya..." suara Theresa tiba-tiba berubah,
tubuhnya yang langsing menegak, kepalanya terangkat tinggi,
dan ia berbicara dengan semangat menggebugebu. "Tapi saya menghendaki lebih dari itu!
Saya ingin yang terbagus! Makanan yang paling
lezat. Baju yang paling indah - bukan cuma
sekedar penutup tubuh yang memadai dengan
model kampungan. Bukan. Yang kuinginkan baju
dengan potongan mantap dan meyakinkan Sa a
ingin hidup dan menikmati hidup ini - pelesir ke Laut Tengah, berjemur di pantai
hangat, berjudi dengan persediaan uang cukup, berpesta pora pesta yang mewah dan meriah. Saya ingin
semuanya saja yang ada di bumi celaka ini.
Bukan kapan-kapan, tapi sekarang! Saya ingin
semuanya itu saat ini juga!"
Suaranya begitu menawan, mengalun lembut
namun pasti dan diurapkan dengan penuh
semangat. Poirot menatap gadis itu, memperhatikan setiap
kata yang diucapkannya - dengan sungguhsungguh. "Dan, saya tidak salah menduga, bukan - bila saya kira saat ini Anda telah
menikmati semuanya itu?" "Benar. Hercule -" semuanya itu sudah saya rasakan."
"Tinggal berapa uang Anda yang tersisa dari yang tiga puluh ribu itu?"
Tiba-tiba Theresa tertawa ngakak.
"Dua ratus dua puluh satu pound lebih tujuh pence. Itu jumlah yang setepattepatnya. Jadi, tanpa hasil jangan harap Anda akan dibayar."
"Kalau memang demikian halnya.
Mademoiselle" Poirot berkata, "saya yakin saya akan berhasil."
"Jiwamu besar, Hercule. Untung saja kita
bertemu." Dengan nada bisnis Poirot menyambung,
"Masih ada beberapa hal lagi yang perlu saya ketahui. Apakah Anda mengganja?"
"Tidak. Tak pernah." "Minum?"
"Ya - cukup banyak. Tapi bukan karena
ketagihan. Saya minum karena kawan-kawan
saya minum. Saya harus menyesuaikan diri
dengan lingkungan saya. Tapi, kalau perlu, saya bisa menghentikan kebiasaan itu
dengan segera." "Bagus sekali."
"Saya kan tidak mau mabuk dan membocorkan
rahasia sendiri, Hercule." Poirot melanjutkan,
"Anda suka ganti-ganti pacar?" "Dulu - ya." "Dan sekarang?" "Cuma Rex."
"Dokter Donaldson, maksudnya?"
"Ya." "Kelihatannya dia berbeda sekali dengan
kehidupan yang baru saja Anda sebutkan tadi."
"Memang." "Tapi toh Anda mencintainya" Mengapa, kalau saya boleh tahu?"
"Alasannya, maksud Anda" Yah, mengapa, ya"
Mengapa Juliet jatuh cinta kepada Romeo"
Sama saja begitu." "Salah satu sebabnya, karena Romeo kebetulan pemuda pertama yang dijumpainya."
Perlahan Theresa berkata.
"Rex bukan lelaki pertama yang saya lihat,"
ujarnya. Kemudian, masih dengan suara
perlahan ia menambahkan, "Tapi saya yakin ia lelaki terakhir
"Dia miskin, Mademoiselle." Theresa
mengangguk. "Sangat miskin! Tapi dia orangnya tidak
menginginkan kemewahan atau keindahan atau
kesenangan atau semacamnya. Kalau perlu, ia
bersedia tidak ganti baju sampai bajunya
berlubang, makan daging kaleng setiap hari, dan mandi dalam bak alumunium reot.
Kalau dia punya uang, uangnya akan dihabiskannya untuk
membeli tabung-tabung percobaan dan
mendirikan laboratorium. Dia ambisius. Profesi
adalah segalanya baginya. Profesi, baginya,
lebih penting dan lebih berarti daripada diri
saya." "Apakah dia tahu bahwa Anda akan menerima
warisan bila bibi Anda meninggal?"
"Ya. Saya mengatakan kepadanya. Oh! Tapi,
tentu saja setelah kami bertunangan. Dia bukan
mengawini saya karena uang."
"Sampai sekarang dia masih tunangan Anda?"
"Tentu saja." Poirot tidak memberi komentar. Ini.
kelihatannya membuat Theresa gelisah.
"Tentu saja kami masih tunangan," ulangnya.
"Apakah Anda pernah bertemu dengannya?"
"Sudah. Kemarin, di Market Basing."
"Oh, ya. Apa katanya?"
"Saya tidak bicara apa-apa dengannya. Cuma minta alamat kakak Anda."
"Charles?" suaranya kembali tajam. "Apa perlunya Anda mencari Charles?"
"Charles" Siapa yang mencari Charles?"
Yang belakangan asalnya dari suara lain yang
belum kami kenal sebelumnya. Suara seorang
laki-laki, suara yang nyaman dan enak didengar.
Seorang lelaki muda berwajah kecoklatan
melangkah masuk dengan senyum yang teramat
memikat. "Siapa yang menyebut-nyebut namaku?"
tanyanya. "Aku tidak nguping, tapi kebetulan mendengar namaku disebut-sebut. Ada
apa sebenarnya, Theresa" Ayo ceriterakan!"
BAB 14 CHARLES ARUNDELL Harus kuakui, aku tertarik pada laki-laki muda
bernama Charles sejak detik pertama
memandangnya. Ada sesuatu yang memikat
pada dirinya. Matanya simpatik, kaya akan
kerlingan humor. Senyumnya sangat menawan.
Melenggang santai, ia berjalan ke tengah
ruangan, dan duduk pada lengan sebuah kursi.
"Ada apa, Non?" tanyanya lagi.
"Kenalkan Ini M. Hercule Poirot, Charles.
Katanya dia bersedia melakukan pekerjaan
kotor buat membantu kita. Imbalan yang
dimintanya tidak berlebihan."
"Maaf," sela Poirot. "Saya menyangkal bila Anda mengatakan pekerjaan yang akan
saya lakukan itu kotor. Bukan pekerjaan kotor. Bagaimana
kalau kita sebut saja semacam penipuan tanpa
maksud jahat -sekedar agar maksud semula bibi
Anda terlaksana?" "Terserah! Anda boleh sebut itu apa saja,
sesuka hati Anda," ujar Charles. Nadanya enak didengar, dan tidak menyakitkan
hati. "Ngomong-ngomong, bagaimana ceriteranya
sampai Theresa bisa menghubungi Anda?"
"Adik Tuan tidak pernah menghubungi saya,"
kata Poirot cepat. "Saya datang ke sini atas kemauan saya sendiri."
"Menawarkan jasa?"
"Sebetulnya tidak. Saya datang hendak mencari Anda. Adik Anda mengatakan bahwa
Anda sedang di luar negeri."
Charles berkata, "Theresa memang seorang adik yang bijaksana, ia sangat berhati-hati. Hampir tak
pernah dia berbuat salah Tapi, terus terang - orangnya
sangat pencuriga." Charles memandang adiknya sayang. Tapi yang
dipandang tidak membalas senyumannya. ia
kelihatan gelisah dan berpikir.
"Saya jadi bingung. Mengapa jadi begini"
Bukankah Anda M. Poirot yang tersohor sebagai
pemburu orang jahat paling ulung" Mengapa
tiba-tiba mau melakukan yang sebaliknya?"
"Kami bukan penjahat," komentar Theresa tajam.
"Tapi kami bersedia jadi penjahat," Charles berkata ringan. "Terus terang, saya
sudah berpikir-pikir untuk membuat surat wasiat
palsu. Itu satu-satunya yang terpikir oleh saya.
Saya dikeluarkan dari Oxford karena masalah
cek. Bodoh juga sih saya waktu itu... mencoret
cek dan mengganti angkanya. Tentu saja
ditolak. Pernah lagi kejadian di Market Basing.
Tapi yah - itu toh karena saya kurang hati-hati.
Bisa dimaklumi! Masih coba-coba. Gagal juga
kurang ada artinya. Nah, rencana yang ini membuat surat wasiat palsu yang seolah-olah
dibuat oleh Bibi Emily ditempai tidur beberapa
saat sebelum meninggal - kuakui: agak riskan.
Satu-satunya jalan, kita harus membujuk - kalau perlu memaksa dan mengancam
Ellen supaya mau mengaku bahwa dia menyaksikan Bibi
Emily menulis surat yang paling akhir ini. Saya tahu itu sukar. Yah, kalau
terpaksa, mengawininya pun saya mau. Bukan karena
apa-apa. Tapi karena dengan begitu saya yakin
dia tidak bisa memberikan kesaksian yang
Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merugikan saya." Charles meringis manis kepada Poirot.
"Saya jadi ngeri Anda memasang alat perekam bisa-bisa seluruh Scotland Yard mendengar
semua yang saya katakan tadi," ujarnya.
"Saya tertarik pada masalah yang Anda hadapi,"
Poirot berkata. Sikapnya menunjukkan rasa
kurang senang. "Saya memang tidak bisa
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
hukum. Tapi, masih banyak jalan selain..."
Poirot sengaja berhenti. Charles Arundell mengangkat bahu.
"Saya yakin ada cara lain yang bisa dipikirkan dengan menggunakan kelemahankelemahan hukum," katanya. "Anda pasti lebih tahu."
"Siapa yang menyaksikan penandatanganan
surat wasiat bibi Anda yang baru" Maksud saya,
yang dibuat pada tanggal 21 April itu?"
"Purvis waktu itu mengajak anak buahnya. Saksi lainnya Pak Kebon Bibi Emily."
"Surat itu ditandatangani di hadapan Tuan
Purvis?" "Ya." "Dan, Tuan Purvis ini orang yang reputasinya sangat terhormat?"
"Purvis, Purvis, Charlesworth dan sekali lagi Purvis - itu sama terhormatnya
dengan Bank of England." "Sebenarnya," cetus Theresa, "Tuan Purvis tak senang Bibi Emily menulis surat
yang kedua itu. Dia malah mencoba mencegah Bibi Emily
membuat surat itu." Charles berkata tajam, "Dia bilang begitu
kepadamu, Theresa?" "Ya. Saya ke kantornya kemarin." "Tidak baik. Sudah berkalikali kukatakan tidak baik. Tak ada gunanya kau
mondar-mandir ke sana."
Theresa mengangkat bahu. Poirot berkata,
"Coba ceriterakan kepada saya sebanyak
mungkin mengenai minggu-minggu terakhir
sebelum Bibi Anda meninggal. Setahu saya.
Anda berdua, juga Dokter Tanios dan isterinya,
tinggal di sana selama liburan Paskah."
"Betul." "Adakah kejadian yang patut dicatat selama itu?" "Tidak."
"Tidak ada" Saya kira..." Charles menyela,
"Dasar egois, kau. Theresa! Kau - dimabok cinta!
Theresa punya pemuda idaman di Market
Basing, M. Poirot. Pemuda asli situ. Akibatnya, dia kurang sadar akan apa yang
terjadi. Bibi Emily mengalami kecelakaan. Jatuh
menggelinding dari pucuk tangga. Hampir saja
meninggal. Sayangnya tidak. Kalau Bibi Emily
meninggal waktu itu, tentu semuanya ini tidak
akan terjadi." "Jatuh dari tangga?"
"Ya. Tersandung bola anjing kesayangannya.
Anjing itu sembrono. Suka bermain bola di
tangga situ. Celakanya, dia sering meninggalkan bolanya begitu saja di situ.
Bibi Emily tersandung waktu dia hendak turun."
"Kapan kejadiannya?"
"Tunggu - Selasa malam. Sebelum kami pulang."
"Bibi Anda luka parah?"
"Sayang bukan kepalanya duluan yang
menumbuk lantai. Kalau ya, paling tidak Bibi
Emily gegar otak. Tapi tidak. Bibi Emily hampir tidak luka sama sekali."
"Dan ini sangat mengecewakan buat Anda!"
"Apa" Oh, ya, saya mengerti maksud Anda.
Memang, sangat mengecewakan."
"Anda semuanya pulang pada hari Rabu-nya?"
"Benar." "Rabu tanggal lima belas. Sesudah itu. apakah Anda pernah bertemu lagi dengan
bibi Anda sebelum Beliau meninggal?"
"Ya. Tapi bukan malam Minggu berikutnya.
Malam Minggu yang sesudahnya. Jadi, dua
minggu sesudahnya." "Oh, jadi itu tanggal dua puluh lima, bukan?"
"Ya." "Dan kapan meninggalnya bibi Anda?" "Hari Jumat setelah itu." "Setelah sakit
mulai hari Senin malamnya?" "Ya."
"Anda pulang hari Senin itu?" "Ya."
"Apakah selama Nona Arundell sakit Anda
datang menjenguk?" "Tidak. Kami baru datang hari Jumat itu. Tak sangka keadaan Bibi Emily seburuk
itu." "Jadi kedatangan Anda itu tepat sebelum Beliau meninggal?" "
"Tidak. Bibi Emily sudah meninggal ketika kami datang. Kami terlambat."
Poirot ganti memandang Theresa.
"Anda datang ke sana bersama kakak Anda?"
"Ya." "Dan bibi Anda tidak mengatakan apa api
lengenai surat wasiatnya yang baru?" "Tidak,"
jawab Theresa. Pada saat yang bersamaan Charles menjawab,
"Ya." Bicaranya ringan seperti semula. Hanya saja ada sesuatu dalam suaranya yang
kedengaran kurang wajar. "Oh. Jadi Nona Arundell mengatakan bahwa dia membuat surat wasiat baru?"
"Charles!" seru Theresa.
Charles nampak gelisah. Ia menghindari
pandangan adiknya. "Masa kau lupa, Theresa" Aku kan sudah bilang.
Bibi Emily mengultimatum. Dia duduk seperti
hakim di pengadilan. Berpidato panjang lebar.
Katanya dia kecewa pada semua keluarganya maksudnya, Theresa dan saya sendiri. Bella,
katanya tidak termasuk. Tapi Bibi Emily benci
dan tak bisa mempercayai suami Bella. Kalau
toh Bella diwarisi sesuatu. Bibi Emily tak mau
suaminya ikut menguasai harta itu. Orang
Yunani tidak bisa dipercaya. 'Biarkan Bella lebih aman begitu saja.' Begitu kata
Bibi Emily. Bibi Emily juga mengatakan, bahwa Theresa dan
saya sama-sama tidak dapat dipercaya dalam
hal yang menyangkut uang. Katanya. palingpaling uangnya dipakai berjudi dan dihamburhamburkan. Itulah sebabnya, katanya, ia
membuat surat wasiat yang baru. Semua
kekayaannya akan diwariskan kepada Minnie
Lawson. Minnie memang agak bodoh,' katanya,
meskipun begitu dia setia. Aku yakin dia
berbakti padaku tanpa pamrih. Kita tidak bisa
menyalahkannya kalau otaknya kurang cerdas.
Kupikir, Charles, lebih baik kukatakan semuanya ini kepadamu - supaya kau tidak
terlalu banyak mengharap dariku.' "
"Mengapa kau tidak menceriterakannya
kepadaku, Charles?" tanya Theresa sengit.
"Sudah.'" Charles masih tetap menghindari pandangan adiknya.
Poirot ganti bertanya, "Bagaimana reaksi Anda ketika itu. Tuan
Arundell?" "Reaksi?" tanyanya. "Saya cuma tertawa. Tak baik membalas kekasarannya dengan
kekasaran pula. Bukan begitu caranya. 'Terserah, kalau itu memang yang Bibi inginkan,'
kataku. 'Terus terang saya kaget mendengarnya, tapi itu toh
uang Bibi sendiri. Bibi bebas
mempergunakannya sesuka hati Bibi.' "
"Dan reaksi bibi Anda?"
" 'Bagus,' katanya, 'Kau sportif.' Kubalas, 'Aku cuma membalas kekasaran dengan
kehalusan, Bibi. Ngomong-ngomong, kalau Bibi memang
tidak akan mewarisiku apa-apa, boleh kan saya
minta uang jajan sedikit sekarang"' Bibi Emily
bilang saya anak tak tahu malu, tapi toh
memberikan juga selembar uang lima pound."
"Anda pandai sekali menyembunyikan
perasaan, Tuan Arundell."
"Terus terang saya tidak menganggapnya
serius."' "Oh, ya?" "Ya. Saya pikir itu cuma taktik orang tua
menakut-nakuti anak. Saya yakin beberapa
minggu kemudian Bibi Emily akan menyobek
surat wasiatnya yang baru. Bibi Emily orangnya
sangat besar rasa kekeluargaannya. Perasaan
saya begitu yakin Bibi Emily akan mengubah lagi isi surat wasiatnya kalau saja
tidak meninggal secepat itu." "Ah!" Poirot berkata. "Luar biasa! Sangat menarik!"
Semenit atau dua menit lamanya, Poirot diam.
Kemudian ia berkata, "Mungkinkah ada orang lain yang
mendengarkan pembicaraan itu - Nona
Lawson, umpamanya?" Mungkin saja. Kami tidak berbisik-bisik waktu
itu. Dan terus terang, ketika saya keluar, si
Lawson memang sedang keluyuran dekat pintu.
Siapa yang tahu dia memang nguping."
Poirot mengalihkan perhatiannya kepada
Theresa. "Sungguh Anda tidak tahu sama sekali
mengenai ini?" Belum sempat gadis itu menjawab, Charles
sudah menyela, "Theresa - aku yakin aku sudah
menceriterakan-nya kepadamu. Memang tidak
selengkap yang barusan kuceriterakan. Tapi aku
sudah bilang kepadamu. Sungguh, Theresa!"
Aneh. Charles menatap tajam adiknya. Tatapan
yang menunjukkan kegelisahan, dan terasa
tidak pas dalam pembicaraan itu.
Perlahan Theresa berkata,
"'Kalau memang benar kau sudah
menceriterakan-nya kepadaku - tidak mungkin
aku lupa. Betul, bukan, M. Poirot?" Sepasang matanya yang hitam tajam memandang
Poirot. "Benar, Nona Arundell," sahut Poirot pelan.
"Anda tak mungkin lupa."
tiba-tiba Poirot berpaling kepada Charles.
"Coba jelaskan dengan teliti, Tuan Arundell Apakah waktu itu Bibi Anda mengatakan akan
merubah surat wasiatnya; ataukah sudah
melakukannya?" Jawaban Charles cukup cepat.
"Sudah. Bibi Emily malah menunjukkan surat wasiatnya yang baru."
Duduk Poirot menegak. Matanya membeliak.
"Ini penting sekali. Jadi, Anda tadi bilang - Bibi Anda benar-benar menunjukkan
surat wasiatnya yang baru kepada Anda?"
Charles membuat beberapa gerakan seperti
anak kecil yang resah. Kelihatan sekali
pertanyaan Poirot memojokkan pemuda itu.
"Ya," ujarnya. "Bibi Emily menunjukkan surat wasiat itu kepada saya."
"Anda berani sumpah?"
"Berani." Charles memandang Poirot dengan gelisah. "Apa pentingnya sih?"
Theresa berdiri dari kursinya. Ia berjalan pelan-pelan ke perapian, dan berdiri
di dekatnya. Disulutnya sebatang rokok baru.
"Dan Anda, Mademoiselle?" alih Poirot tiba-tiba. "Apakah Bibi Anda tidak
mengatakan apa pun kepada Anda mengenai hal ini?"
"Tidak. Bibi Emily ramah - maksud saya, biasa-biasa saja. Menasihati saya supaya
mengubah cara hidup saya yang jelek, dan sebagainya. Tapi itu memang biasa dilakukannya.
Hanya saja, yang terakhir kemarin memang rasanya sedikit
lain." Tersenyum, Poirot berkata,
"Mungkin karena Anda terlalu sibuk dengan
tunangan Anda, Mademoiselle?"
Jawaban Theresa pedas. "Oh. Dia tidak di sana waktu itu. Kebetulan ada suatu kongres kesehatan yang
harus dihadirinya." "Jadi, Anda belum bertemu lagi dengannya
semenjak liburan Paskah?"
"Benar. yang terakhir, waktu dia datang santap malam bersama di Puri Hijau malam sebelum kami pulang." "Maafkan pertanyaan saya ini - Apakah Anda tidak bertengkar dengan tunangan Anda
waktu itu?" "Tentu saja tidak."
"Saya cuma berasumsi - mencoba mencari
jawab, mengapa ia pergi pada kunjungan Anda
yang kemudian." Charles menyela, "Kedatangan kami setelah Paskah itu memang tidak direncanakan sebelumnya."
"Sungguh?" "Oh, sudahlah! Kita terus terang saja: Bella dan suaminya menjenguk Bibi Emily
seminggu sebelum itu. Mereka berusaha menunjukkan
perhatian. Kami kuatir, mereka itu mendahului
langkah kami...." "Kami berpikir," Charles berkata dengan tersenyum lebar, "bahwa kami pun
sepantasnya menunjukkan perhatian pada kesehatan Bibi
Emily... Kami tahu Bibi Emily sukar dibohongi.
Dia cepat menangkap apa yang sebetulnya ada
di balik kedatangan kami itu."
"Lucu, bukan" Semuanya bermanis-manis demi uang."
Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itu juga yang dilakukan oleh saudara sepupu Anda dan suaminya?"
"Ya. Kehidupan Bella selama ini agak sulit. Ia berusaha meniru semua model baju
saya - dengan biaya tak lebih dari seperdelapannya.
Sebenarnya Bella tidak miskin. Tapi, suaminya
suka berspekulasi. Uang Bella habis
dispekulasikannya. Itu sebabnya mereka hidup
sangat sulit sekarang. Anak mereka dua orang,
dan mereka ingin menyekolahkan anak-anak itu
di Inggris sini." "Boleh saya minta alamatnya?" tanya Poirot.
"Sekarang mereka masih tinggal di Hotel
Durham, Di Bloomsbury."
"Bagaimana dia orangnya" Maksud saya,
saudara sepupu Anda itu?"
"Bella" Oh, agak membosankan. Charles?"
"Benar. Sangat membosankan. Tampangnya
seperti kepik. Dia seorang ibu yang baik- begitu juga kepik"
"dan suaminya?"
"Tanios" Yeah, tampangnya agak aneh. Tapi dia orangnya manis. Cerdas,
menyenangkan...." "Anda setuju, Mademoiselle?"
"Yah - harus saya akui, saya lebih menyukai Tanios daripada Bella. Tanios dokter
yang pandai sekali. Meskipun begitu, sukar bagi saya untuk mempercayainya."
"Theresa," ujar Charles sambil melingkarkan lengannya pada bahu adiknya, "tak
pernah percaya pada siapa pun. Termasuk saya."
"Kalau ada orang yang mempercayaimu,
Charles, pasti ada sesuatu yang tidak beres pada orang itu," sahut Theresa.
Charles melepaskan Theresa. Kedua kakakberadik itu kini memandang Poirot.
Poirot menganggukkan kepalanya dan berjalan
menuju pintu. "Akan saya kerjakan tugas saya! Memang sulit.
Tapi Mademoiselle benar - jalan bisa dicari.
Ngomong-ngomong, apakah Nona lawson tipe
orang yang bingung bila diperiksa di
pengadilan?" Charles dan Theresa saling bertukar pandang.
"Menurut saya," Charles berkata, "kalau pandai orang yang menanyainya, ia bisa
mengatakan yang hitam itu putih."
"Terima kasih. Informasi ini sangat berguna,"
ucap Poirot. Ia keluar dari ruang apartemen itu, dan aku pun mengikutinya. Di tempat peniupan
topi dan jas, Poirot mengambil topinya. Setelah itu ia
berjalan menuju pintu keluar. Dibukanya pintu
itu, dan dihempaskannya sedemikian rupa
hingga pintu itu menutup dengan suara keras.
Poirot tidak keluar. Ia masih tetap di dalam.
Berjingkat-jingkat ia kembali ke dekat pintu
ruang duduk apartemen Theresa dan tanpa
malu-malu, ditempelkannya telinganya dekat
lubang kunci. Nguping seperti itu sangat
memalukan bila dilakukan oleh orang yang
berpendidikan. Dan kali ini, aku merasa malu
dan marah melihat Poirot melakukannya. Tapi
aku tak berdaya mencegahnya. Beberapa kali
kuberi isyarat, namun Poirot tak
menghiraukannya. Kemudian, jelas sekali, terdengar suara Theresa Arundell yang dalam dan bergetar
mengucapkan dua patah kata,
"Kau bodoh!" Terdengar langkah kaki orang, dan Poirot pun
cepat menarik lenganku sambil setengah
menyeretku ke luar melalui pintu yang tadi
dibuka dan dihempaskannya. Kali ini ia
membuka dan menutupnya tanpa suara.
BAB 15 NONA LAWSON "Poirot," ujarku, "perlukah nguping sepertr itu?"
"Tenang, Kawan - kau tak perlu malu. Toh yang melakukan bukan kau."
"Ya. Tapi aku juga ikut mendengar."
"Betul. Mademoiselle memang tidak berbisik-bisik."
"Itu, karena dia berpikir kita sudah pergi."
"Kuakui. Kita memang sedikit curang."
"Aku tak suka itu."
"Moralmu agak terlalu tinggi. Tapi sudahlah.
Sudah berkali-kali kita memperdebatkannya.
Kau mau bilang bahwa permainan begitu tidak
jujur, kan" Nah. Jawabku, pembunuhan juga
bukan permainan yang jujur."
"Tapi, dalam hal ini toh tidak ada
pembunuhan?" "Jangan terlalu yakin akan pendirianmu itu."
"Maksud memang ada - ya, maksud membunuh
itu memang ada, mungkin. Tapi, membunuh
dan mencoba membunuh toh berbeda?"
"Ditinjau dari segi moral, keduanya sama. Tapi.
yakinkah kita bahwa yang kita hadapi ini cuma
suatu percobaan membunuh?"
Kupandang Poirot dengan rasa heran.
"Tapi, Poirot, Nona Arundell meninggalnya
"Sekali lagi kuulang - yakinkah kau?"
"Semua orang bilang begitu." "Semua orang"
Oh, ia ia!" "Dokternya mengatakan begitu," bantahku.
"Dokter Grainger toh tahu penyebab
kematiannya." "Ya. Seharusnya dia tahu penyebabnya."
Kedengarannya Poirot tidak puas. "Tapi ingat, Hastings. Tubuh orang mati masih
selalu bisa digali kembali dan diperiksa. Dalam hal begitu, ada surat pernyataan yang harus
ditandatangani oleh dokter yang menanganinya secara jujur."
"Aku mengerti. Tapi, dalam hal ini Nona
Arundell toh meninggal karena sakit yang
berkepanjangan?" "Kelihatannya."
Suara Poirot masih menunjukkan rasa tidak
puasnya. Kuperhatikan dia. "Poirot," ujarku.
"Sekarang giliranku tanya dengan memakai
kata-kata Yakinkah kau' - Yakinkah kau bahwa
kau tidak terbuai oleh kefanatikan Profesimu"
Karena kau ingin menganggapnya sebagai
pembunuhan, lalu kaupikir itu pasti
pembunuhan." Poirot kelihatan berpikir. Ia mengangguk pelanpelan. "Di situ kau pandai, Hastings. Pembunuhan
memang selalu jadi urusanku. Seperti dokter
bedah yang katakanlah spesialis di bidang usus
buntu... kalau ada pasien yang datang
kepadanya dengan gejala mendekati usus
buntu, maka ia akan cepat mengambil asumsi
bahwa pasiennya memang menderita usus
buntu. Begitu juga aku. Dalam menghadapi
setiap kasus, selalu aku bertanya pada diriku
sendiri, 'Mungkinkah ini suatu pembunuhan"'
Dan, Kawan, kemungkinan itu selalu ada."
"Dalam hal ini tak banyak kemungkinannya,"
komentarku. "Tapi dia mati, Hastings! Kau tak bisa
menyangkal fakta ini. Dia mati!"
"Kesehatannya jelek. Umurnya sudah lebih dari tujuh puluh. Bagiku, kematiannya
hal yang wajar." "Wajar pulakah kaupikir bila Theresa Arundell menyebut kakaknya bodoh dengan
cara seperti itu?" "Apa hubungannya?"
"Banyak! Coba katakan - apa pendapatmu
mengenai pernyataan Tuan Charles bahwa
bibinya memperlihatkan surat wasiatnya yang
baru?" Kupandang Poirot dengan kesal.
"Pendapatmu sendiri bagaimana?" tanyaku.
Mengapa harus selalu Poirot yang bertanya"
"Menurutku itu sangat menarik - ya, menarik sekali. Begitu juga reaksi Nona
Theresa Arundell mendengarnya. Gerakan mereka mencerminkan
sesuatu." "Hm," gumamku. "Dari situ timbul dua pertanyaan."
"Kelihatannya mereka pasangan penjahat yang manis sekali," komentarku. "Siap
menghadapi segala sesuatu. Yang perempuan bukan main
cantiknya. Dan si pemuda - jelas sangat
mempesona." Poirot melambaikan tangan, menghentikan
sebuah taksi. Taksi itu berhenti di pinggir jalan, dan Poirot memberikan alamat
kepada supirnya. "17 Clanroyden Mansions, Bayswater."
"Jadi, berikutnya si Lawson'" komentarku. "Dan sesudahnya... Keluarga Tanios?"
"Benar, Hastings."
"Peran apa yang akan kaumainkan nanti?"
tanyaku sementara taksi yang kami tumpangi
mengurangi kecepatan dan berhenti di
Clanroyden Mansions. "Penulis biografi Jenderal Arundell, calon pembeli Puri
Hijau, atau apa lagi?" "Sederhana. Aku akan datang sebagai Hercule Poirot."
"Oh." Aku mencibir.
Poirot cuma melirikku sambil membayar supir
taksi. Nomor 17 ada di lantai dua. Seorang pelayan
muda berwajah agak tolol membukakan pintu.
Kami dipersilakan masuk ke ruang tamu yang
kelihatan sangat menggelikan bila dibandingkan
dengan ruang tamu di flat Theresa tadi.
Flat Theresa Arundell hampir bisa dikatakan
kosong. Sebaliknya, tempat tinggal Nona
Lawson ini begitu penuh sesak dengan perabot
dan barang-barang kecil lainnya sampai-sampai
orang hampir tidak bisa bergerak tanpa
menyentuh sesuatu. Pintu dalam dibuka, dan seorang wanita keluar.
Badannya agak gemuk. Usianya kira-kira lima
puluhan. Nona Lawson ternyata persis seperti
yang kubayangkan semula. Wajahnya penuh
antusias walaupun kelihatan sedikit kurang
cerdas. Rambutnya yang keabu-abuan nampak
acak-acakan, ia mengenakan sepasang kaca
mata tanpa gagang yang menempel agak terlalu
bawah pada hidungnya. Bicaranya terputusputus, dan diselingi terlalu banyak 'Ah!' atau
'Oh!' "Selamat pagi - eee... saya tidak..."
"Anda Nona Wilhelmina Lawson?"
"Ya - ya. Itu nama saya."
"Saya Poirot - Hercule Poirot. Kemarin saya melihat-lihat Puri Hijau"
"Oh, ya?" Mulut perempuan itu menganga lebih lebar,
dan beberapa kali ia nampak membetulkan
letak rambutnya tanpa hasil.
"Silakan duduk," ujarnya. "Oh, silakan duduk di sini. Oh! Meja itu menghalangi
jalan Anda. Memang di sini agak kepenuhan. Susah. Flat
macam begini! Sempit... Tapi, yah letaknya di
tengah kota. Saya memang cari yang begitu."
Sambil berdesah ia duduk pada sebuah kursi
antik. Dengan kacamatanya masih menempel di
tempat yang tidak semestinya, perempuan itu
menyandarkan punggungnya sambil
memandang Poirot penuh harap.
"Saya pergi ke Puri Hijau, berpura-purajadi calon pembeli," lanjut Poirot "Tapi,
saya ingin segera mengatakan alasan saya yang
sebenarnya -walaupun ini sebetulnya sangat
rahasia." "Oh, ya," Nona Lawson berkata segera, ia nampak senang dan bersemangat.
"Ini sangat rahasia sifatnya," lanjut Poirot.
"Maksud saya, bahwa saya pergi ke sana itu dengan alasan yang lain. Mungkin Anda
tahu, mungkin juga tidak - sebelum meninggal, Nona
Arundell menulis surat kepada saya...."
Poirot berhenti sebentar. Kemudian lanjutnya:
"Saya seorang detektif kenamaan."
Berbagai ekspresi berganti-ganti menghiasi
wajah Nona Lawson. Aku tak tahu ekspresi yang
mana yang akan dicatat oleh Poirot. Ketakutan,
keharuan, terkejut, bertanya-tanya...
"Oh," katanya. Kemudian, setelah diam sejenak.
"Oh," sekali lagi.
"Tiba-tiba, tanpa kuduga. Nona Lawson
bertanya, "Isinya mengenai uang itu?" Poirot pun nampaknya agak terkejut. Ia mengulur-ulur
waktu: "Maksud Anda mengenai uang yang..." "Ya, ya.
Uang yang dicuri dari laci?" Poirot berkata tenang,
"Apakah Nona Arundell tidak mengatakan
bahwa dia menulis surat kepada saya mengenai
uangnya?" "Tidak. Sungguh. Saya sama sekali tidak tahu Oh, sungguh - saya terkejut sekali
mendengarnya...." "Anda pikir Nona Arundell tidak mengatakan ini kepada siapa pun?"
"Saya pikir tidak. Oh, dia memang tahu..."
Nona Lawson berhenti lagi. Cepat Poirot
berkata,
Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia tahu siapa yang mengambilnya, kan?"
Nona Lawson mengangguk, dan dengan napas
terputus-putus lanjutnya:
Sekali lagi Poirot memotong bicaranya yang
tidak koheren. "Masalah keluarga?" "Tepat."
"Saya mengkhususkan diri saya dalam hal
menangani urusan-urusan keluarga semacam
ini," ujar Poirot. "Jadi, saya bisa memegang rahasia."
Nona Lawson mengangguk-angguk.
"Oh, tentu saja - itu bedanya. Anda tidak
seperti polisi." "Tidak, tidak. Saya sama sekali tidak seperti polisi. Polisi tak pernah
mengurusi masalah seperti ini." "Oh. Benar. Nona Arundell sangat menjaga
kehormatan. Dia sering kesulitan menghadapi
Charles. Tapi, tak pernah ia membicarakannya."
"Persis," Poirot berkata. "Nah, sekarang masalahnya sebetulnya begini, bukan"
Nona Arundell menyimpan sejumlah uang di laci..."
Poirot berhenti. Cepat Nona Lawson
membenarkan pernyataannya.
"Ya - uang itu dari bank. Nona Arundell
mengambilnya untuk membayar gaji kami dan
buku-buku pesanannya."
"Berapa banyak yang hilang?"
"Empat lembar uang pound. Oh, bukan. Saya
salah. Tiga lembar uang pound dan dua lembar
puluhan shilling. Saya harus mengatakan yang
setepat-tepatnya - ya, dalam hal begini memang
perlu ketepatan." Nona Lawson memandang
Poirot penuh perhatian. Tanpa sadar, ia
menyentuh kacamatanya - hingga lebih tidak
keruan lagi letaknya. Matanya yang agak cekung
seolah hendak menelan Poirot.
"Terima kasih. Nona Lawson. Kelihatannya Anda tahu bagaimana harus bersikap
dalam bisnis." Nona Lawson nampak menahan perasaannya,
dan tertawa. "Nona Arundell kelihatannya punya alasan buat mencurigai kemenakannya - Charles
- mencuri uang itu," lanjut Poirot.
"Ya." "Meskipun tidak ada bukti yang pasti mengenai siapa yang sebenarnya mengambil
uang itu?" "Oh, sudah pasti Charles yang mengambil!
Nyonya Tanios tidak akan berbuat begitu, dan
suaminya - dia orang asing - tak mungkin tahu
tempat Nona Arundell menyimpan uang.
Theresa Arundell juga tidak mungkin. Dia tidak
akan mimpi mencuri uang. Uangnya sendiri
sudah banyak, dan pakaiannya tidak ada yang
jelek." "Siapa tahu salah seorang pelayan, yang
melakukannya?" kata Poirot.
Nona Lawson kelihatan marah mendengarnya.
"Oh, tidak mungkin. Sungguh, tak mungkin.
Ellen, juga Annie orang yang jujur... jujur sekali, saya yakin itu."
Poirot menunggu beberapa menit lamanya.
Kemudian katanya. "Mungkin Anda bisa memberi gambaran - oh.
saya yakin Anda bisa, karena Anda orang
kepercayaan Nona Arundell...."
Nona Lawson bergumam tak menentu,
"Oh. masalah itu. saya yakin... saya tidak tahu sama sekali." Walaupun begitu
jelas kelihatan bahwa ia malu menerima predikat yang
diberikan Poirot. "Saya merasa Anda hisa menolong saya. Nona Lawson.'"
"Oh. Kalau ada yang bisa saya lakukan untuk anda..."
Poirot melanjutkan, "Ini rahasia di antara kita....'
Wajah Nona Lawson penuh gairah, namun
kelihatan agak ragu. "Punyakah Anda bayangan - mengapa Nona
Arundell mengubah surat wasiatnya?"
"Surat wasiatnya" Oh - surat wasiatnya?"
Nona Lawson nampak sedikit terkejut.
Sambil memandangnya lekat-lekat, Poirot
berkata, Benar, bukan - bahwa Nona Arundell menulis
surat wasiat baru bebrrapa hari sebelum
kematian-nya. dan bahwa isinya menyatakan
semua kekayaannya dijatuhkan kepada Anda?"
"Benar, tapi saya sama sekali tidak mengetahui apa sebabnya," Nona Lawson
memprotes. "Saya sangat terkejut! Kejutan yang menggembirakan,
tentu Begitu baiknya Nona Arundell. Padahal,
sekali pun. ia tidak pernah menyinggunnyinggung hal itu. Sama sekali tidak pernah.
Saya sungguh terkejut, Tuan Poirot. Dan saya
ingin meyakinkan Anda, bahwa Nona Arundell
benar-benar baik. Tentu saja saya mengharap
ditinggali sesuatu - sedikit -meskipun kalau tidak pun sebenarnya tidak apa-apa.
Tidak ada keharusan baginya meninggal! saya sesuatu.
Tapi ini - Oh. seperti dalam dongeng saja
rasanya! Bahkan sampai sekarang, kadangkadang saya masih sulit menerima kenyataan....
Tenis terang, kadang-kadang saya merasa tidak
enak. Maksud saya..., yah, maksud saya..."
tanpa sengaja, ia menyentuh kaca matanya.
Kacamata tanpa gagang itu jatuh dan
dipungutnya. Kemudian dengan gugup ia
memasangnya kembali dan melanjutkan kaiakalanya yang tidak koheren, "Saya sering
merasa - yah, darah daging tetap darah daging.
Saya tidak enak Nona Arundell meninggalkan
uangnya bukan kepada darah daging-nya
sendiri. Maksud saya. oh, rasanya itu tidak
betul. Bukankah, begitu" Semuanya lagi - dan
dengan jumlah yang sekian banyak! tak seorang
pun menduga! Pokoknya, saya merasa tidak
enak. Sangat tidak enak - dan orang selalu
membicarakan -padahal, saya yakin saya bukan
perempuan jahat! Maksud saya, saya tak akan
pernah punya keinginan mempengaruhi Nona
Arundell dalam hal apa pun! Dan itu pun tidak
mungkin saya lakukan. Terus terang, saya sering takut pada Nona Arundell!
Pikirannya begitu cerdas - kata-katanya tajam; menyakitkan hati
kadang-kadang. Sering membentak - dan, oh,
saya toh punya perasaan juga. Tuan Poirot. Saya sering merasa tak dapat menahan
perasaan saya... marah, dan benci sekali.... Dan sekarang, saya tahu. Bahwa sebenarnya,
sebenarnya, dia menyayangi saya. Oh, rasanya! Tapi tetap saya
tidak bisa melupakan: banyak sekali saat saya
menderita, sakit hati, jengkel, dan sebagainya.
Tidak mungkin orang bisa menahan semua
perasaan begitu, bukan?"
"Maksud Anda, Anda lebih suka melepaskan
uang itu?" tanya Poirot.
Sesaat - cuma sesaat - kulihat cahaya yang
berbeda terpancardari mata Nona Lawson yang
sayu kebiru-biruan itu. Sejenak, terbayang
olehku seorang perempuan yang cerdik dan
terpelajar duduk di hadapan kami - bukan Nona
Lawson yang lemah dan agak bodoh.
Katanya dengan tawa kecil,
"Yah - tentu saja ada segi lainnya.... Maksud saya, setiap pertanyaan dapat
dijawab dari dua segi yang berbeda. Nona Arundell memang
punya maksud meninggalkan uangnya kepada
saya - itu keyakinan saya. Kalau saya tidak mau menerimanya, berarti saya tidak
mengikuti keinginannya. Dan itu tidak baik, bukan?"
"Pertanyaannya sukar," kata Poirot sambil menggelengkan kepala.
"Ya. Benar. Berkali-kali saya merasa kuatir dan gelisah memikirkannya. Nyonya
Tanios - Bella - orangnya sangat baik - dan, ada anak-anaknya
pula! Maksud saya, saya merasa yakin bahwa
Nona Arundell tidak ingin dia. Saya rasa, Nona
Arundell berharap saya menggunakan
kebijaksanaan saya. Dia tidak mau terangterangan meninggali Bella uang karena takut
suaminya akan menguasai uang itu-"
"Suaminya?" "Ya. Suaminya. Oh, Tuan Poirot- Bella itu boleh dikatakan sangat ditindas oleh
suaminya. Apa pun yang diperintahkan oleh suaminya
dilakukannya. Saya yakin, disuruh membunuh
pun ia akan melakukannya! Bella sangat takut
pada suaminya. Sekali dua kali, saya melihat dia begitu ketakutan. Itu toh tidak
benar, Tuan Poirot?" Poirot tidak mengomentari Tanyanya,
"Lelaki macam bagaimana suaminya itu?"
"Yah," Nona Lawson menjawab ragu-ragu, "laki-laki itu sangat menyenangkan."
"Tetapi Anda tidak mempercayainya?"
"Yah - tidak. Tapi saya tak tahu," lanjutnya ragu,
"saya merasa tak pernah bisa mempercayai laki-laki! Setelah menjadi suami,
biasanya mereka itu jadi macam-macam! Isterinyalah yang
akhirnya menderita! Sungguh keterlaluan!
Dokter Tanios memang selalu berpura-pura
sayang kepada isterinya Di depan umum ia
penuh perhatian dan sangat memanjakannya.
Oh. Sikapnya betul-betul menyenangkan. Tapi,
saya kurang bisa mempercayai orang asing.
Mereka itu terlalu berseni.' Yang jelas, saya
yakin Nona Arundell tidak menghendaki
uangnya disentuh oleh lelaki itu!"
"Nona Theresa Arundell dan Tuan Charles
Arundell pun merasa kecewa tidak menerima
warisan," ujar Poirot.
Wajah Nona Lawson merah padam.
"Uang Theresa sudah cukup banyak," katanya tajam. "Beratus-ratus pound
dibelanjakannya cuma untuk pakaian, dan pakaian dalamnya - itu
tidak adil'. Banyak gadis manis dan sopan harus bekerja untuk mencari nafkah..."
Poirot melengkapi kalimatnya.
"Jadi, Anda pikir tidak ada salahnya bila dia pun berjuang untuk memperoleh
uang?" Nona Lawson memandang Poirot dengan
sungguh-sungguh. "Itu justru baik buatnya," komentarnya.
"Dengan begitu mungkin dia bisa sadar. Dari kesulitan dalam hidup, kita belajar
banyak hal...." Poirot mengangguk. Perhatiannya penuh pada
Nona Lawson. "Dan Charles?" "Charles tak pantas menerima sepeser pun,"
kali ini jawabnya sangat tajam. "Nona Arundell bijaksana memutuskan untuk tidak
mewarisi pemuda itu. Pemuda tak tahu diri...
mengancam..." "Mengancam?" "Ya." "Mengancam apa" Kapan dia mengancam
bibinya?" "Tunggu - waktu itu liburan Paskah. Saya ingat sekarang. Kejadiannya tepat pada
hari Minggu Paskah." "Apa katanya?" "Dia minta uang dan bibinya tak mau memberi!
Dia mengatakan bibinya tidak bijaksana.
Katanya, kalau bibinya tetap bersikap seperti itu dia akan -apa yang
diucapkannya waktu itu, ya"
yang jelas sangat kasar - oh, ya, dia bilang sikap bibinya itu menantang orang buat
membunuhnya...." "Dia mengancam akan merobohkan bibinya?"
"Ya." "Lalu apa komentar bibinya?" "Nona Arundell mengatakan, 'Aku bisa menjaga diriku
sendiri, Charles.' " "Ketika itu Anda berada di ruangan yang sama?"
"Ece, tidak di ruangan yang sama," jawab Nona Lawson setelah terdiam beberapa
saat. "Tapi cukup dekat," ujar Poirot cepat. "Lalu bagaimana tanggapan Charles?"
"Dia bilang, 'Jangan terlalu yakin.' " Poirot berkata perlahan-lahan, "Apakah
Nona Arundell menganggap ancaman itu serius?"
"Yah, saya tidak tahu.... Dia tidak pernah mengatakannya kepada saya....
Bagaimanapun, itu bukan kebiasaannya."
Lagi-lagi Poirot bertanya perlahan,
"Anda tentunya tahu bahwa Nona Arundell
menulis surat wasiat baru?"
"Tidak, tidak. Sudah saya katakan tadi, saya sangat terkejut. Saya tidak pernah
mimpi..." Poirot menyela, "Anda tidak tahu isinya. Tapi Anda tahu bahwa ada surat wasiat baru, kan?"
"Yah - saya cuma menduga -- maksud saya, dia memanggil pengacaranya sementara
dia berbaring..." "Tepat. Itu setelah Nona Arundell jatuh,
bukan?" "Ya. Bob - Bob itu anjing kesayangannya -anjing itu meninggalkan bolanya di
dekat puncak tangga. Nona Arundell terpeleset dan jatuh."
Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kecelakaan yang sangat mengerikan."
"Oh, ya. Benar. Dokter bilang, untung Nona Arundell tidak mengalami patah kaki
atau tangan." "Untung juga tidak mati. Kecelakaan macam
begitu bisa menyebabkan kematian."
"Benar!" Jawabannya kedengaran begitu wajar dan jujur.
Poirot berkala sambil tersenyum,
"Saya bertemu dengan Tuan Bob di Puri Hijau."
"Oh, tentu saja. Dia anjing yang manis sekali."
Jengkel benar aku mendengar anjing segagah si
Terrier itu dikatakan manis. Pantas Bob
membenci perempuan ini dan tak pernah mau
menuruti perintahnya. "Anjing itu sangat pandai, bukan?"
"Ya. Pandai sekali dia."
"Kalau dia tahu bahwa akibat kelalaiannya
tuannya bisa meninggal, dia tentu sedih."
Nona Lawson tidak memberi komentar. Dia
cuma menggeleng dan mendesah.
Poirot berunya, "Bagaimana menurut pendapat Anda" Apakah
kecelakaan itu yang mendorong Nona Arundell
mengubah surat wasiatnya?"
Kupikir, pembicaraan sudah hampir mencapai
sasarannya pada waktu itu. Tapi Nona Lawson
rupanya menganggap pertanyaan itu wajarwajar saja. "Mungkin Juga," ujarnya "Yang jelas dia shock sekali Orang lanjut usia biasanya
segan berpikir tentang kematian. Tapi, kecelakaan semacam
itu membuka pikirannya. Atau, mungkin juga
membuatnya punya perasaan bahwa hidupnya
cak akan lama lagi."
Dengan wajar Poirot berkata,
"Waktu itu kesehatannya relatif baik, bukan?"
"Oh, ya. Nona Arundell sedang sehat sekali."
"Sakitnya datang tiba-tiba?"
"Oh, ya. Mengejutkan. Malam itu sedang ada tamu...." Nona Lawson berhenti.
"Tamunya, teman-teman Anda -Nona Julia dan Isabel Tripp. Ya, saya sudah bertemu
dengan mereka. Orangnya cukup menyenangkan!"
Pipi perempuan tua itu bersemu merah, dan
matanya bersinar-sinar. "Oh, memang. Mereka menyenangkan, bukan"
Bukan main - berpendidikan - mereka itu!
Berbagai ilmu mereka pelajari. Mereka pengikut
aliran spiritual. Mungkin mereka sudah
mencerite-rakan pengalaman-pengalaman
kami" Oh, sangat menyenangkan - pesan-pesan
yang disampaikan oleh roh-roh itu."
"Tentu. Saya yakin itu merupakan pengalaman yang sangat menyenangkan."
"Ibu saya sudah dua kali berbicara kepada saya, Tuan Poirot! Oh, bukan main
senangnya bila kita tahu orang yang kita sayangi masih
memikirkan kita dan memperhatikan kita dari
alam yang lain sana."
"Ya, ya. Saya mengerti," Poirot berkata lembut.
"Apakah Nona Arundell juga pengikut aliran ini?"
Wajah Nona Lawson menjadi keruh.
"Dia mau diyakinkan," ujarnya ragu. "Tapi, saya rasa, Nona Arundell tidak pernah
melakukan pendekatan sebagaimana mestinya. Nona
Arundell orangnya skeptis, tidak mudah
percaya. Sekali dua kali, sikapnya membuat roh
marah. Kalau roh marah, maka berita yang
disampaikan buruk-buruk, Tuan. Tak senang
mendengarnya. Dan itu, saya yakin, karena
kelakuan Nona Arundell."
"Bisa jadi." kala Poirot meyakinkan.
"Tapi, pada malam terakhir...," lanjut Nona Lawson, "Isabel dan Julia sudah
menceriterakan kejadian malam terakhir kami berkumpul itu"
Oh. waktu itu terjadi semacam ectoplasm....
Anda mengerti maksud saya, bukan?"
"Ya, ya. Istilah-istilahnya cukup saya kenal."
"kejadiannya pelan sekali. Mula-mula dari mulut Nona Arundell keluar semacam
kabut terang berbentuk pita panjang. Pita itu naik... naik, dan membentuk semacam selubung di
sekeliling kepalanya. Sekarang saya yakin. Tuan Poirot.
Tanpa disadarinya, Nona Arundell tengah
berada di alam peralihan pada waktu itu. Jelas
sekali saya lihat asap terang berbentuk pita itu keluar dari mulutnya. Lalu, tak
lama kemudian, kepalanya seperti terbungkus oleh lapisan kabut yang bersinar terang."
"Hmmm, bukan main!"
"Tapi sayang sekali. Tuan - Nona Arundell tiba-tiba merasa sakit. Kami terpaksa
menghentikan permainan jaelangkung kami "
"Anda memanggil dokter" Kapan?"
"Pagi-pagi sekali esok harinya."
"Bagaimana hasil pemeriksaannya" Apakah
penyakit Nona Arundell dianggapnya serius?"
"Pokoknya dokter Crainger mengirim juru rawat dari rumah sakit sore harinya."
"Maaf- apakah sanak keluarga Nona Arundell diberitahu?"
Wajah Nona lawson merah padam.
"Tentu saja - segera setelah Dokter Crainger menyatakan Nona Arundell dalam
keadaan gawat." "Apa yang menyebabkan penyakitnya"
Makanan?" "Bukan. Saya pikir bukan, Tuan Poirot. Dokter Grainger mengatakan, kemungkinan
besar penyakitnya kambuh karena udara yang terlalu
dingin. Memang hari-hari itu cuaca sedang
sangat buruk." "Theresa dan Charles Arundell datang pada
akhir pekan, bukan?"
"Ya." Jawab Nona Lawson pendek.
"Kedatangan mereka sia-sia," lanjut Poirot sambil mengamati wajah Nona Lawson.
"Betul." Kemudian "dengan suara bernada tak suka Nona Lawson menambahkan, "Nona
Arundell tahu maksud kedatangan mereka yang
sebenarnya." "Apa?" Tanya Poirot sambil tetap menatap wanita itu.
"Uang!" lontar Nona Lawson. "Tapi mereka tidak berhasil mendapatkannya."
"Tidak berhasil?" tanya Poirot.
"Saya yakin... itu juga yang diburu Dokter Tanios," lanjut Nona lawson.
"Dokter Tanios datangnya tidak bersamaan
dengan Charles dan Theresa, kan?"
"Hari Minggunya. Tapi cuma sebentar, tak lebih dari sejam."
"Hmm... kelihatannya semua mengejar uang
Nona Arundell," komentar Poirot.
"Ya. Dan, mengingat keadaan Nona Arundell
pada waktu itu... oh, rasanya mereka itu tidak
punya perasaan!" "Tepat sekali," ujar Poirot. "Tentu Charles dan Theresa sangat kaget waktu Nona
Arundell mengatakan terus terang bahwa dia tidak akan
mewarisi mereka sepeser pun."
Nona Lawson memandangnya tidak berkedip.
Poirot melanjutkan, "Itu benar, bukan" Maksud saya, Nona Arundell memang mengatakan hal itu dengan
terus terang?" "Itu saya tidak tahu. Saya sama sekali tidak mendengar apa-apa. Malah, saya
lihat Charles dan Theresa berseri-seri waktu mereka pulang."
"Ah! Jadi rupanya informasi yang saya terima tidak benar. Nona Arundell
menyimpan surat wasiatnya di rumah - maksud saya - di Puri
Hijau. Apakah itu benar?"
Kacamata tempel Nona lawson terjatuh, dan
perempuan itu membungkuk memungutnya.
"Oh, saya sungguh-sungguh tidak tahu
mengenai hal itu. Tapi, saya pikir surat itu pasti disimpan oleh Tuan Purvis."
"Siapa pengacaranya?"
"Tuan Purvis." "Setelah Nona Arundell meninggal, apakah Tuan Purvis datang ke Puri Hijau
memeriksa surat-suratnya?"
"Ya." Poirot memandang tajam perempuan itu.
Pertanyaannya yang selanjutnya sama sekali
tidak terduga. "Anda menyukai Tuan Purvis?"
Nona Lawson tergagap kebingungan.
"Menyukai Tuan Purvis" Oh - pertanyaan Tuan sukar dijawab. Maksud saya, saya
yakin dia pandai - eh, ahli hukum yang pandai. Tapi
sikapnya agak kaku! Maksud saya, orang kan
jadi tidak senang kalau diajak berbicara sampai orang itu merasa seperti - oh,
saya tidak bisa menjelaskan, Tuan Poirot. Dia orang terhormat,
tapi kasar. Anda tahu maksud saya. bukan?"
"Situasinya benar-benar sulit buat Anda." ujar Poirot penuh simpati.
"Benar. Sulit sekali."
Nona Lawson mengeluh dan kemudian
menggeleng-gelengkan kepalanya. Poirot
bangkit. "Terima kasih banyak, Mademoiselle, atas
segala keramah-tamahan Anda Juga atas segala
bantuan anda." "Jangan bilang terima kasih sama saya, Tuan Poirot - saya sudah senang kalau
saya bisa membantu. Kalau masih ada hal lain yang bisa
saya lakukan..." Poirot melangkah ke luar. Namun, sebelum
sampai di pintu ia berbalik mendekati Nona
Lawson. Dengan suara pelan ia berkata,
"Saya rasa Anda perlu tahu. Nona Lawson,
bahwa Charles dan Theresa ingin menggugat
surat wasiat itu." Mendadak pipi wanita itu merah padam.
"Tidak mungkin! Mereka tidak akan bisa,"
ujarnya penuh napsu. "Ahli hukum saya bilang begitu."
"Ah," kata Poirot, jadi Anda sudah minta nasihat ahli hukum juga?"
"Tentu- Apa salahnya?"
"Anda bijaksana. Mademoiselle. Selamat siang."
Sementara kami beranjak meninggalkan
Clanroy-den Mansions Poirot menarik napas
panjang. "Hastings, mon ami, perempuan itu persis
seperti penampilannya. Atau, mungkin juga dia
artis jagoan." "Yang jelas, dia yakin bahwa kematian Nona Arundell wajar-wajar saja,"
komentarku. Poirot tidak menyahut. Dia kadang-kadang
memang suka bertingkah seperti orang tuli.
Poirot menghentikan taksi.
"Hotel Durham, Bloomsbury," ujarnya kepada supir.
BAB 16 NYONYA TANIOS "Ada tamu, Nyonya!"
Perempuan yang sedang duduk menulis pada
sebuah meja di sebuah ruangan Hotel Durham
itu menoleh. Kemudian ia bangkit dan
menghampiri kami dengan ragu.
Umur Nyonya Tanios kelihatannya sudah di atas
tiga puluhan. Perawakannya tinggi semampai,
rambutnya hitam, dan wajahnya seperti penuh
kekuatiran. ia mengenakan topi gaya mutakhir.
Namun, letaknya kurang enak dipandang mata.
Gaunnya terbuat dari bahan katun, dan
kelihatannya jauh dari kecerahan.
"Saya rasa saya tidak...." ujarnya kurang jelas.
Poirot mengangguk. "Saya baru saja dari tempat sepupu Anda, Nona Theresa Arundell."
"Oh. Dari Theresa" Betul?"
"Boleh saya bercakap-cakap sebentar saja
dengan Nyonya" Ada masalah pribadi yang
perlu saya tanyakan."
Dengan pandangan kosong Nyonya Tanios
melihat ke sekelilingnya. Poirot menunjuk sofa
kulit di ujung ruangan. Sementara kami berjalan menuju sofa itu,
terdengar suara anak kecil melengking,
"Mama, mau ke mana?"
"Cuma ke situ. Sayang. Ayo, teruskan saja
suratmu." Si anak, seorang gadis kurus berumur tujuh
tahunan, kembali menekuni tugas berainya.
Lidahnya kadang-kadang dijulurkan ke luar,
seolah dengan begitu mengarang menjadi lebih
mudah. Di sekitar sofa tak ada orang lain. Nyonya Tanios duduk, ia memandang Poirot
dengan penuh tanda tanya. Poirot segera memulai. "Ini berhubungan dengan kematian Bibi Anda, Nona Emily Arundell almarhum."
Aku tak tahu. Apakah aku mulai membayangkan
yang bukan-bukan" Atau, memang benar mata
perempuan itu menunjukkan rasa ketakutan"
"Ya?" "Nona Arundell," lanjut Poirot, "mengganti isi surat wasiatnya tak lama sebelum
Beliau meninggal. Surat wasiat barunya menyatakan
bahwa segala sesuatu miliknya diwariskan
kepada Nona Wilhelmi-na Lawson. Yang ingin
saya tanyakan, Nyonya, apakah Anda ingin
bergabung dengan sepupu Anda - Nona Theresa
dan Tuan Charles Arundell" Mereka ingin
Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berusaha menggugat surat wasiat itu."
"Oh!" Nyonya Tanios menarik napas dalam.
"Tapi itu tidak mungkin, toh" Suami saya sudah menanyakan kemungkinannya kepada
seorang ahli hukum. Tapi kelihatannya ia berpendapat lebih baik tidak coba-coba."
"Nyonya, ahli hukum itu kebanyakan terlalu berhati-hati- Mereka memberi nasihat,
umumnya, untuk menghindari perkaranya
sampai ke pengadilan. Tentu saja nasihat
mereka umumnya benar. Tapi, kadang-kadang ada untungnya mengambil
risiko. Saya sendiri bukan ahli hukum. Karena itu saya melihat masalahnya dari
kacamata lain. Nona Arundell - maksud saya, Theresa sudah
siap memperjuangkan haknya. Nah, Anda
sendiri bagaimana?" "Saya - oh, saya tidak tahu." Nyonya Tanios dengan gelisah mempermainkan jarijari tangannya. "Saya mesti berbicara dulu dengan suami saya."
"Tentu saja, Nyonya, Nyonya harus
merundingkan dulu dengan suami Nyonya
sebelum mengambil keputusan. Tapi,
bagaimana perasaan Nyonya sendiri terhadap
masalah itu?" "Saya tidak tahu." Nyonya Tanios nampak lebih kuatir. "Itu tergantung pada suami
saya." "Tapi, Anda sendiri, Nyonya - bagaimana?"
Dahinya berkerut. Lalu katanya perlahan-lahan,
"Saya kurang setuju. Menurut pikiran saya itu tidak sopan."
"Oh, betulkah begitu?"
"Ya. Kalau Bibi Emily sudah memutuskan untuk tidak memberikan uangnya kepada
keluarganya sendiri... saya pikir, kita harus menerima
keputusannya itu." "'Jadi, Nyonya tidak merasa kecewa?" "Oh, tentu saja saya kecewa." Warna merah
merambati pipinya. "Keputusan itu sangat tidak adil. Tidak adil! Dan sama sekali
di luar dugaan. Bukan Bibi Emily rasanya kalau ia membuat
keputusan seperti itu. Sangat tidak adil untuk
anak-anak." "Jadi, Anda berpendapat keputusan itu bukan keputusan Bibi Anda sendiri?" "Yang
jelas aneh sekali." "Kalau begitu, mungkin sekali Bibi Anda tidak bertindak alas kemauan bebasnya.
Menurut pendapat Anda, mungkinkah Bibi Anda
dipengaruhi deh orang yang tidak bertanggung
jawab?" Dahi Nyonya Tanios berkerut lagi. Dengan rasa
segan yang sangat kentara, ia berkata,
"Susahnya, saya tidak bisa membayangkan Bibi Emily dipengaruhi siapa pun! Beliau
begitu pasti dengan keputusannya sendiri."
Poirot mengangguk-angguk setuju.
"Ya. Yang baru saja Nyonya katakan itu memang benar. Dan lagi, Nona Lawson bukan
tipe orang yang berkepribadian begitu keras."
"Oh. dia orang yang manis - agak tolol, mungkin, tapi sangat baik hati. Itu
salah satu sebab saya "Ya, Nyonya?" pancing Poirot ketika Nyonya Tanios tidak melanjutkan katakatanya. Nyonya Tanios bermain-main dengan jari
tangannya. Wajahnya nampak sangat gelisah
ketika ia berkata, "Yah, tidak pantas dan tidak semestinya
menggugat surat wasiat itu. Saya merasa yakin
keputusan ngaruhi oleh Nona Lawson. Tidak
mungkin perempuan semacam dia
merencanakan dan membujuk..."
"Saya setuju, Nyonya."
"Itu sebabnya saya merasa bahwa
mengajukannya ke pengadilan sungguh tidak
pantas dan tidak terpuji. Di samping itu biayanya juga mahal, bukan?"
Poirot diam beberapa menit lamanya sebelum
berkata, "Memang mahal."
"Dan besar kemungkinan tidak ada hasilnya.
Coba Anda bicarakan hal ini dengan suami saya.
Dalam urusan bisnis dia lebih cekatan daripada
saya." Lagi-lagi Poirot berdiam sejenak sebelum
berkata, "Menurut perkiraan Nyonya, apa yang
melatarbelakangi pembuatan surat wasiat baru
itu?" Wajah Nyonya Tanios merah padam.
"Saya tidak mempunyai bayangan sama sekali,"
"Nyonya, saya sudah mengatakan tadi, bahwa saya bukan ahli hukum. 'Lapi saya
perhatikan Nyonya belum menanyakan apa profesi saya
yang sebenarnya." Ia memandang Poirot penuh tanda tanya.
"Saya detektif, Nyonya. Beberapa hari sebelum meninggal Nona Arundell menulis
surat kepada saya." Nyonya Tanios beringsut. Ia mengatupkan
kedua belah tangannya rapat-rapat.
"Surat?" tanyanya terkejut. "Mengenai suami saya?"
Agak lama Poirot mengamati perempuan itu.
Lalu, perlahan-lahan dia berkata,
"Maaf- saya tidak berhak menjawab pertanyaan Nyonya."
"Oh, jadi benar - mengenai suami saya."
Suaranya agak keras. "Apa katanya" Percayalah, Tuan... e, saya belum tahu nama
Tuan." "Nama saya Poirot. Hercule Poirot."
"Percayalah, Tuan Poirot - bila Bibi Emily menyebutkan sesuatu yang jelek
mengenai suami saya, itu sama sekali tidak benar! Saya
tahu siapa yang sebenarnya memberikan
bayangan semacam itu mengenai suami saya.
Itu alasan lain, saya tidak mau ikut campur
dengan apa pun yang dilakukan Theresa dan
Charles! Theresa sangat membenci suami saya.
Dia menjelek-jelekkan suami saya! Saya yakin!
Bibi Emily berpraduga macam-macam karena
suami saya bukan orang Inggris. Jadi, bisa
diterima kalau Bibi Emily mempercayai ceritera
buatan Theresa. Tapi itu tidak benar, Tuan
Poirot. Percayalah!"
"Mama, suratnya sudah selesai!"
Cepat Nyonya Tanios berpaling. Dengan
melontarkan senyum sayang diambilnya surat
yang diacungkan anak gadisnya.
"Bagus! Bagus sekali, Sayang! Dan gambar
Mickey Mousenya... Hmmm, kau betul-betul
hebat." "Sekarang buat apa lagi, Ma?"
"Mau beli kartu pos bergambar" Ini uangnya.
Pergi saja ke toko di sudut sana - pilih gambar yang paling bagus, tulisi, lalu
kirimkan kepada Selim."
Anak itu pergi. Teringat olehku kata-kata
Charles Arundell. Memang. Nyonya Tanios
seorang ibu dan isteri yang penuh pengabdian seperti kepik. "Anak satu-satunya?" tanya Poirot.
"Oh, saya punya anak seorang lagi. Laki-laki. Ia sedang keluar dengan ayahnya."
"Mereka tidak pernah ikut ke Puri Hijau?"
"Oh, kadang-kadang. Tapi Anda tahu sendiri...
bibi saya sudah tua. Anak-anak kecil sering
membuatnya pusing. Meskipun begitu Bibi
Emily sangat sayang kepada mereka. Tiap Natal
tak pernah lupa mengirim hadiah buat mereka."
"Kapan yang terakhir Anda bertemu dengan bibi anda?"
"Kalau tidak salah, sepuluh hari sebelum Beliau meninggal."
"Anda dengan suami Anda dan sepupu-sepupu
Anda bersama-sama ke sana?"
"Bukan yang terakhir - itu minggu yang
sebelumnya. Waktu Paskah!"
"Dan, seminggu setelah Paskah Anda ke sana lagi dengan suami Anda?"
"Ya." "Ketika Anda datang Nona Arundell sedang
sehat dan penuh semangat?"
"Ya, Beliau kelihatan biasa-biasa saja."
"Tidak sakit di tempat tidur?"
"Oh, ya. Bibi Emily masih harus banyak
berbaring setelah kecelakaan yang dialaminya.
Tapi, Beliau sudah bisa bangun dan berjalanjalan, bahkan turun ke bawah sementara kami
di sana." "Apakah bibi Anda mengatakan bahwa ia sudah menulis surat wasiat baru?"
"Tidak. Sama sekali tidak."
"Bagaimana sikapnya" Apakah sikapnya tidak berubah?"
Kali ini Nyonya Tanios nampak berpikir sebelum
menjawab. "Ya," jawabnya.
Aku yakin Poirot mempunyai perasaan yang
sama denganku bahwa wanita itu berbohong.
Poirot tidak langsung bicara. Beberapa lama
kemudian baru ia berkata,
"Maaf, Nyonya. Waktu saya tanya apakah
sikapnya tidak berubah - itu maksud saya bukan
sikapnya terhadap Anda semuanya, kepada
Anda pribadi" Komentar Nyonya Tanios datang segera, "Oh, begitu" Bibi Emily sangat baik kepada
saya. Beliau memberi saya bros berlian. Anak-anak
dikiriminya uang sepuluh shilling seorang."
Sikap Nyonya Tanios nampak bebas dari
ketegangan. Kata-katanya lancar dan sedikit
terburu-buru. "Bagaimana sikapnya terhadap suami Anda"
Apakah biasa-biasa saja juga?"
Ketegangan kembali menguasai dirinya. Nyonya
Tanios menghindari mata Poirot waktu
menjawab, "Tentu saja. Memangnya kenapa?"
"Oh, maaf. Bukankah Anda tadi mengatakan
bahwa sepupu Anda - Theresa, menjelekjelekkan suami Anda. Saya pikir, mungkin saja
sikap bibi Anda jadi berubah setelah
mendengar..." "Ya," Nyonya Tanios herkata penuh semangat.
"Anda benar. Memang ada perubahan! Bibi
Emily agak menjauhi suami saya. Sikapnya aneh.
Suami saya menganjurkan agar Bibi Emily
minum campuran obat tertentu - malah suami
saya susah-susah mencarikannya ke apotek,
membelikan, dan mencampurkan buat Bibi
Emily. Bibi Emily memang mengucapkan terima
kasih. Tapi kaku sekali caranya mengucapkan
itu. Tak lama kemudian, dengan mata kepala
saya sendiri saya menyaksikan Bibi Emily
membuang obat itu." Sakit hati dan rasa marahnya sangat jelas
kelihatan. Mata Poirot berbinar-binar.
"Aneh," ujar Poirot. Ia sangat berhati-hati agar suaranya tidak mencerminkan apa
yang ada di dalam hatinya. "Sungguh tidak tahu terima kasih," lontar isteri Dokter Tanios itu dengan penuh
emosi. "Seperti yang Anda katakan tadi, Nyonya,
perempuan tua macam bibi Nyonya sering tidak
percaya pada orang asing," ujar Poirot. "Mereka pikir cuma dokter Inggris yang
bisa dipercaya." "Mungkin juga," Nyonya Tanios nampak sedikit tenang.
"Kapan kembali ke Smyrna, Nyonya?"
"Beberapa minggu lagi. Suami saya - ah! Itu dia datang bersama Edward."
BAB 17 DOKTER TANIOS Terus terang aku terkejut waktu pertama kali
memandang Dokter Tanios. Dalam benakku,
selama ini terbayang berbagai sikap dan sifat
yang jelek mengenai lelaki yang satu ini. Aku
membayangkan dia berkulit hitam dan
berjanggut lebat, dengan mata tajam
berpandangan sinis dan mengerikan.
Nyatanya, yang kulihat seorang lelaki gemuk
berwajah berseri-seri dengan mata dan rambut
berwarna coklat. Walaupun benar ia berjanggut,
janggutnya tipis seperti janggut seniman.
Bahasa Inggrisnya begitu lancar dan sempurna.
Nada suaranya menyenangkan, cocok dengan
wajahnya yang jenaka. "Kami dalang, Mam," serunya kepada isterinya dengan tersenyum. "Edward senang
dan sangat terkesan dengan pengalaman pertamanya naik
kereta bawah tanah. Selama ini dia cuma tahu
bus." Dilihat dari wajahnya, Edward tidak mirip
dengan ayahnya. Walaupun begitu, dia dan
saudara perempuannya nampak sekali
keturunan asingnya. Kehadiran Dokter Tanios menyebabkan Nyonya
Tanios semakin gelisah. Dengan agak terbatabata ia memperkenalkan Poirot kepada
suaminya. Aku -oh, dia tidak mempedulikan
diriku. Dokter Tanios cepat mengenali nama Poirot.
"Poirot" Monsieur Hercule Poirot" Saya kenal benar akan nama Anda. Ada apa
sampai Anda datang mengunjungi kami, M. Poirot?"
Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengenai Nona Emily Arundell," jawab Poirot.
"Bibi isteri saya" Ya. mengapa?"
Perlahan-lahan Poirot menjelaskan,
"Ada beberapa masalah yang timbul
sehubungan dengan kematiannya..."
Tiba-tiba saja Nyonya Tanios menyela,
"Mengenai surat wasiatnya, Jacob. M. Poirot rupanya sudah berbincang-bincang
dengan Theresa dan Charles."
Kecanggungan yang semula nampak meliputi
Dokter Tanios lenyap. Lelaki itu menjatuhkan
dirinya ke kursi. "Ah! Surat warisan itu, toh" Tapi apa
hubungannya" Itu toh bukan urusan kami?"
Poirot menceriterakan secara singkat hasil
pembicaraannya dengan Charles dan Theresa
Arundell (terus terang, bukan yang sebenarnya
dibicarakan di sana) dan dengan sangat berhatihati mengemukakan kemungkinan untuk
memperjuangkan suatu gugatan atas surat
wasiat itu. "Menarik sekali, Tuan Poirot. Terus terang, saya setuju dengan pendapat Tuan.
Ada sesuatu yang bisa dilakukan. Saya bahkan sudah
membicarakan hal ini dengan seorang ahli
hukum. Tapi jawabnya mematahkan semangat.
Karena itu..." ia mengangkat bahu.
"Tadi sudah saya katakan kepada isteri Tuan, bahwa ahli hukum itu orang-orang
yang terlalu berhati-hati. Mereka tidak mau ambil risiko.
Tapi saya - lain! Dan Anda?"
Dokter Tanios tertawa - tawa yang segar dan
murni. "Oh, saya berani ambil risiko! Saya malah sering melakukannya - benar, kan,
Bella" tanyanya tersenyum kepada isterinya, dan si isteri
tersenyum kembali. Cuma, senyum perempuan
itu tidak keluar dari hati nuraninya, kupikir senyum dangkal, cuma untuk menyenangkan
hati suaminya. Perhatian Dokter Tanios kembali kepada Poirot.
"Saya bukan ahli hukum," katanya. "Tapi saya berpendapat bahwa masalahnya jelas
sekali. Surat itu dibuat pada saat perempuan tua itu
tidak menyadari apa yang dilakukannya. Nona
Lawson orangnya pandai dan sangat
berpengaruh." Nyonya Tanios bergerak-gerak gelisah. Poirot
segera mengalihkan perhatiannya.
"Anda tidak setuju, Nyonya?"
Agak lemah, dia menjawab,
"Nona Lawson baik sekali. Dan menurut saya, dia bukan orang yang pandai."
"Dia memang baik kepadamu," ujar Dokter Tanios, "karena dia tidak takut padamu.
Bella sayang. Kau terlalu mudah dipengaruhi!"
Dokter Tanios berbicara dengan nada bergurau,
namun isterinya merah padam.
"Lain lagi dengan saya," lanjut lelaki itu. "Dia tidak menyukai saya. Dan hal
itu tidak disembunyikan. Ini contohnya. Nona Arundell
mengalami kecelakaan -jatuh dari tangga - pada
waktu kami sedang menginap di sana. Saya
bersikeras datang menjenguknya pada minggu
berikutnya untuk melihat keadaan
kesehatannya. Nona Lawson berusaha keras
mencegah maksud kami ini. Memang dia tidak
berhasil mencegah kami, dan dia sangat kesal.
Itu jelas terlihat. Alasannya jelas. Dia ingin Nona Arundell mencurahkan
perhatiannya kepadanya seorang." Sekali lagi Poirot berpaling kepada Nyonya
Tanios. "Anda setuju, Nyonya?"
Dokter Tanios tidak memberinya kesempatan
untuk menjawab. "Bella terlalu baik hati," katanya. "Dia tidak pernah punya dugaan tak baik
mengenai seseorang. Tapi saya yakin bahwa dugaan saya
benar. Akan saya beri contoh lain lagi, M.
Poirot. Rahasianya bisa mempengaruhi Nona
Arundell adalah spiritualisme. Cara itulah yang dipakainya!"
"Anda pikir begitu?"
"Ya. Saya yakin benar. Sudah sering saya
melihat hal-hal semacam itu. Itu bisa menguasai orang. Anda tentu akan heran.
Tapi itu benar. Lebih-lebih, orang seusia Nona Arundell. Saya
yakin itu permulaan ceriteranya. Ada roh mungkin roh ayahnya -menyuruhnya mengubah
isi surat wasiat itu dan mewariskan seluruh
kekayaannya kepada Nona Lawson. Kita harus
pikir... Nona Arundell sedang dalam kondisi
kesehatan yang buruk...."
Nyonya Tanios berdesah. Poirot mengalihkan
perhatian kepadanya. "Apakah Anda pikir itu mungkin?"
"Ayo, Bella! Bicaralah," ujar Dokter Tanios.
"Katakan bagaimana pendapatmu."
Kelihaiannya Dokter Tanios memberinya
semangat. Pandangannya yang selintas kepada
suaminya nampak aneh. ia ragu-ragu. Kemudian
katanya, "Pengetahuan saya mengenai hal-hal semacam ini sangat terbatas. Mungkin kau
benar, Jacob." "Nah, benar, kan - M. Poirot?" Poirot mengangguk.
"Mungkin." Kemudian ia berkata, "Anda pergi ke Market Basing seminggu sebelum
Nona Arundell meninggal?"
"Kami ke sana pada perayaan Paskah, dan
seminggu setelahnya. Ya. Benar."
"Bukan. Maksud saya- minggu yang berikutnya tanggal dua puluh enam Anda ada di sana pada
hari Minggunya, bukan?"
"Oh, Jacob, betulkah?" Nyonya Tanios
memandangnya dengan mata terbelalak.
Suaminya berpaling dengan cepat.
"Ya. Lupakah kau" Aku cuma mampir minggu
siang itu. Aku toh bilang kepadamu, Bella?"
Kami berdua, Poirot dan aku sendiri,
memandang Bella. Dengan gelisah didorongnya
topinya lebih ke belakang.
"Ah, kau pasti ingat, Bella." lanjut suaminya.
"Parah benar ingatanmu kalau begitu saja lupa."
"Oh, ya!" ujarnya seperti minta maaf. Wajahnya dihiasi seulas senyum tipis.
"Benar; ingatan saya kadang-kadang memang memalukan. Dan lagi,
itu sudah lebih dari dua bulan yang lalu."
"Waktu Anda ke sana, Nona Theresa dan Tuan Charles Arundell sedang berada di
sana?" tanya Poirot.
"Mungkin," kata Dokter Tanios, "tapi saya tidak bertemu dengan mereka."
"Anda cuma sebentar di sana?"
"Ya - cuma kurang lebih setengah jam saja."
Lirikan Poirot yang penuh tanda tanya
kelihatannya membuat Dokter Tanios merasa
tidak enak. "Terus terang," Dokter Tanios berkata dengan mata bersinar nakal, "tadinya saya
berniat pinjam uang - tapi gagal. Saya rasa bibi isteri saya kurang menyukai
saya. Sayang, sebetulnya saya sangat menyukainya. Dia seorang yang
sportif." "Bolehkah saya menanyakan sesuatu, Dokter
Tanios?" Memang benar, atau cuma bayanganku keragu-raguan dan kekuatiran nampak selintas
di matanya. "Tentu, M. Poirot!"
"Bagaimana pendapat Anda mengenai Charles
dan Theresa Arundell?"
Dokter itu kelihaian sangat lega.
"Charles dan Theresa?" Dipandangnya isterinya dengan senyum sayang. "Bella,
Sayangku, kau tak keberatan kalau aku berterus terang
mengenai keluargamu?"
Nyonya Tanios menggeleng. Seulas senyum
menghiasi wajahnya. "Saya berpendapat mereka sudah rusak sampai ke akar-akarnya. Anehnya, saya
sangat suka pada Charles. Dia bajingan, tapi bajingan yang
menyenangkan. Dia tidak bermoral, tapi itu
bukan salahnya. Ia tidak minta dilahirkan tanpa moral."
"Dan Theresa?" Dokter Tanios ragu-ragu. "Saya kurang yakin. Yang jelas dia perempuan muda yang menarik sekali. Saya
berani bertaruh, dia tidak akan ragu-ragu membunuh
orang bila itu menguntungkannya. Itu cuma
bayangan saya. Mungkin Anda pernah
mendengar bahwa ibunya pernah dituduh
membunuh?" "Ya, tapi kemudian dibebaskan."
"Benar. 'Dibebaskan'," ujar Dokter Tanios.
"Meskipun begitu, perkaranya belum jelas dan sering membuat orang bertanyatanya." "Sudah bertemu dengan pemuda
tunangannya?" "Donaldson" Ya - dia pernah datang makan
malam bersama kami waktu kami di Puri Hijau."
"Bagaimana pendapat Anda mengenai pemuda
itu?" "Sangat pandai- Saya percaya dia bisa maju kalau mendapat kesempatan. Mengambil
spesialisasi memerlukan banyak uang."
"Maksud Anda, dia pandai dalam profesinya?"
"Tepat. Otaknya luar biasa!" Dokter Tanios tersenyum. "Memang belum kelihatan
gemerlap di dalam masyarakat. Sikapnya agak
kaku. Pemuda itu dan Theresa merupakan
pasangan yang menggelikan. Sangat bertolak
belakang. Yang satu kupu-kupu masyarakat,
yang lain lebih suka tinggal di balik tirai."
Kedua anak mereka menyerang ibunya. "Mama, makan yuk, Ma! Lapar! Nanti kita
telat, lho..." Poirot melirik arlojinya, dan nampak
terperangah. "Oh, maaf! Saya mengganggu jam makan siang Anda!"
Sambil memandang suaminya, Nyonya Tanios
berkata ragu-ragu, "Mungkin Anda mau makan bersama..." Cepat Poirot berkata,
"Terima kasih, Nyonya. Anda sangat baik
mengundang kami. Tapi kami punya janji makan
siang, dan kami sudah terlambat."
Poirot menjabat tangan suami-isteri Tanios dan
anak-anak mereka. Aku pun mengikutinya.
Di lobby kami berhenti sebentar. Poirot
mencoba menelepon. Aku menunggunya dekat
meja portir. Aku masih berdiri di situ ketika
kulihat Nyonya Tanios keluar dan memandang
ke sana-sini seperti mencari sesuatu.
Nampaknya dia sedang dikejar-kejar dan sangat
terburu-buru. ia melihatku, dan buru-buru
menghampiriku. "Teman Tuan - M. Poirot - apakah dia sudah pergi?"
"Belum. Sedang menelepon." "Oh."
"Anda ingin berbicara dengannya?" Ia
mengangguk. Kegelisahannya semakin menjadijadi. Poirot keluar dari ruang menelepon dan
langsung melihat kami berdiri berdekatan.
Segera ia datang menghampiri kami.
"M- Poirot," ujar Nyonya Tanios. Suaranya berbisik, namun tergesa-gesa. "Ada
sesuatu yang ingin saya katakan - saya harus
mengatakannya kepada Anda..."
"Ya, Nyonya?" "Penting sekali - sangat penting. Begini..."
Nyonya Tanios berhenti bicara. Dokter Tanios
dan kedua anak mereka baru saja keluar ke
lobby. Mereka datang menghampiri kami.
"Menyampaikan kata-kata terakhir kepada M.
Poirot, Bella?" Nada bicaranya berkelakar, dan senyumnya
sangat mempesona. "Ya...." katanya ragu-ragu. Kemudian lanjutnya,
"Yah, M. Poirot. Saya cuma ingin mengatakan kepada Anda, tolong kasih tahu
Theresa bahwa kami mendukung apa pun yang akan
dilakukannya. Saya sadar, sebagai satu keluarga, kami harus bersatu.'"
Dengan tersenyum cerah Nyonya Tanios
mengangguk, lalu meraih lengan suaminya, dan
mereka pun berjalan ke arah ruang makan.
Kurengkuh bahu Poirot. "Tadinya bukan itu yang mau dikatakannya,
Poirot menggelengkan kepala sambil
memperhatikan keluarga Tanios menghilang ke
dalam ruang makan. "Pikirannya berubah," lanjutku.
"Ya, mon ami, dia mengubah pikirannya."
"Mengapa?" "Sayang aku tidak tahu," gumamnya.
"Mudah-mudahan dia mengatakan yang
sebenarnya kapan-kapan," ujarku.
"Aku tidak yakin. Takutnya, dia malah tidak akan pernah mengatakan...."
BAB 18 'YANG TERSELUBUNG' Kami bersantap siang pada sebuah rumah
makan tak jauh dari situ. Aku sudah tak tahan
ingin mendengar komentar Poirot mengenai
Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keluarga Arundell. "Nah, Poirot?" tanyaku tak sabar.
Acuh tak acuh Poirot mengalihkan perhatiannya
kepada daftar makanan yang disodorkan
kepadanya. Setelah memesan makanannya, ia
bersandar dengan santai pada sandaran
kursinya, sambil memotong roti gulungnya.
Dengan nada mengejek ia berkata,
"Nah, Hastings?"
"Apa pendapatmu mengenai mereka setelah
kau bertemu dengan semuanya?"
Jawaban Poirot sangat lambat,
"Ma foi, sangat menarik! Sungguh, Hastings, kasus ini merupakan studi yang
sangat mempesona! Seperti membuka kotak-kotak
yang berisi kejutan. Lihat saja. Tiap kali aku
mengatakan, 'Saya menerima surat dari Nona
Arundell sebelum Beliau meninggal,' - ada-ada
saja komentar yang membuka sesuatu. Dari
Nona Lawson, kita tahu uang Nona Arundell
dicuri orang. Nyonya Tanios langsung
mengatakan, Mengenai suami saya"' Memang
ada apa dengan suaminya" Apa perlunya Nona
Arundell menulis surat kepada Hercule Poirot
mengenai Dokter Tanios?"
"Ada sesuatu yang dipikirkan wanita itu,"
ujarku. "Ya, dia tahu sesuatu. Tapi apa" Nona Peabody mengatakan Charles Arundell bisa
membunuh neneknya cuma untuk uang dua pence. Nona
Lawson berkata Nyonya Tanios akan
membunuh siapa pun kalau suaminya
menyuruhnya. Dokter Tanios mengatakan
Charles dan Theresa rusak sampai ke akarakarnya, dan dia mengingatkan kita bahwa ibu
mereka seorang pembunuh serta memberi
gambaran secara santai bahwa Theresa bisa
membunuh dengan darah dingin.
"Lucu pendapat mereka, satu mengenai lainnya!
Dokter Tanios berpikir, atau mengatakan bahwa
ia berpikir, bahwa pasti ada yang
mempengaruhi Nona Arundell. Sebelum dia
datang, jelas isterinya tidak berpendapat begitu.
Mula-mula dia tidak mau menggugat surat
warisan itu. Kemudian ia berbalik seratus
delapan puluh derajat. Kau merasa kan,
Hastings... semuanya ini seperti air rebusan.
Satu per satu masalah umbul dan tenggelam.
Ada sesuatu di dalamnya - ya, ada sesuatu. Saya bersumpah! Sebagai Hercule
Poirot saya bersumpah: pasti ada sesuatu!"
Aku terkesan akan kejujuran Poirot.
Setelah satu atau dua menit berlalu, aku
berkata, "Mungkin kau benar, tapi kelihatannya begitu tidak jelas..."
"Tapi kau setuju bahwa ada sesuatu, bukan?"
"Ya," ujarku ragu-ragu.
Poirot bersandar pada meja dan mendekatkan
mukanya ke wajahku. Pandangannya
menembus mataku. "Kau sudah berubah. Ya, kau tidak lagi
menertawakanku, mengejek, dan mengatangataiku. Apa sebabnya" Pasti bukan uraianku
yang panjang lebar tadi - non, ce n'est pas
ca![bukan, bukan itu!] Tapi ada sesuatu -sesuatu yang lain - yang
mempengaruhimu. Coba katakan. Kawan, apa sebabnya kau tiba-tiba
menganggap kasus ini serius?"
"Kupikir," ujarku perlahan, "Nyonya Tanios.
Kelihatannya - kelihatannya dia ketakutan..."
"Takut sama aku?"
"Tidak. Bukan sama kau. Ada sesuatu yang lain.
Mula-mula dia bicara dengan tenang dan masuk
akal - wajar caranya dia mengemukakan
kekecewaannya akan surat wasiat bibinya, tapi
dia mau menerima kenyataan dan
membiarkannya begitu. Sikap semacam itu
memang sikap orang yang terdidik dan sedikit
apatis. Tapi, tiba-tiba saja dia berubah semangatnya waktu dia mendukung pendapat
Dokter Tanios. Cara perempuan itu keluar ke
lobby mengejar kita - dan, cara bicaranya...."
Poirot mengangguk memberiku semangat.
"Ada satu hal kecil yang mungkin tidak
kauperhatikan..." "Oh, semuanya kuperhatikan!"
"Maksudku - kunjungan suaminya ke Puri Hijau pada Hari Minggu siang itu. Rasanya
aku yakin dia tidak tahu menahu mengenai hal itu - dia
sangat terkejut - tapi dengan cepat dia
mengakui ingatannya yang kurang tajam,
mengaku bahwa suaminya menceritakan hal itu
kepadanya tapi dia lupa. Aku tak suka itu,
Poirot!" "Kau benar, Hastings- itu salah satu point paling penting!"
"Aku jadi punya kesan jelek."
Poirot mengangguk pelan. "Perasaanmu sama?" tanyaku.
"Ya - kesan itu tak bisa dihapuskan." Poirot berhenti. Kemudian ia melanjutkan,
"Tapi kau menyukai Tanios, kan" Kau merasa dia lelaki
yang menyenangkan, terbuka, periang, dan
simpatik. Menarik bila dibandingkan dengan
bayanganmu semula..."
"Ya," ujarku terus terang.
Dalam keheningan yang menyusul pembicaraan
kami, kuperhatikan Poirot. Lalu aku berkata,
"Apa yang kaupikirkan, Poirot?"
"Aku sedang membayangkan berbagai manusia: Norman Gale yang tampan dan muda,
Evelyn Howard yang ramah, Dokter Shepherd yang
menyenangkan, Knighton yang tenang dan
meyakinkan." "Kenapa mereka?" tanyaku.
"Mereka semua punya kepribadian yang
menyenangkan...." "Ya ampun, Poirot... kaupikir Tanios..."
"Tidak. Tidak. Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, Hastings. Aku cuma
mencoba menunjukkan bahwa reaksi pribadi seseorang
terhadap orang lain itu bukan petunjuk yang
aman. Orang tak boleh menjadikan perasaannya
sebagai bahan pertimbangan. Sebaliknya,
faktalah yang harus dipertimbangkan."
"Hm," ujarku. "Ngomong soal fakta lagi! Oh, jangan, Poirot, jangan. Dalam
'fakta' ini kita belum menemukan kecocokan."
"Aku tidak akan berpanjang-panjang, Kawan jangan kuatir! Pertama-tama, jelas kita punya
suatu kasus mengenai percobaan pembunuhan.
Kauakui "Ya," jawabku pelan.
Sampai saat itu aku agak skeptis menanggapi
rekonstruksi Poirot mengenai berbagai kejadian
pada malam Selasa setelah Paskah. Walaupun
begitu, terpaksa kuakui, bahwa deduksinya
sangat masuk akal. "Tres bien.[bagus.] Jadi pasti ada
pembunuhnya. Dan, pembunuhnya adalah salah
seorang yang tinggal di Puri Hijau pada malam
itu... ehm, baiklah orang yang berniat
membunuh kalau tak boleh dibilang
pembunuh!" "Betul!" "Jadi itu titik acuan kita - ada pembunuh. Kita bertanya ke sana-sini.
Katakanlah, kita mengaduk-aduk lumpurnya. Dan, apa yang kita
dapatkan" Bermacam-macam tuduhan
dilontarkan dengan cara yang biasa-biasa saja
dalam percakapan kita."
"Jadi kaupikir sebenarnya itu tidak biasa-biasa saja?"
"Tak mungkin itu bisa dipastikan sekarang!
Ceritera Nona Lawson mengenai Charles
mengancam bibinya - itu bisa sengaja, bisa juga tidak. Komentar Dokter Tanios
mengenai Theresa -mungkin tanpa maksud jelek, sekedar
pendapat seorang dokter. Sebaliknya, Nona
Peabody kelihatannya bersungguh-sungguh
akan komentarnya mengenai Charles Arundell tapi itu cuma sekedar pendapat. Begitulah
seterusnya. Begitulah, Kawan, kita menghadapi
seorang pembunuh yang terselubung..."
"Aku ingin tahu - apa yang menjadi pendapatmu sendiri, Poirot!"
"Hastings - Hastings - Aku tidak boleh
berpendapat. Itu terlarang buatku. Yang
kulakukan saat ini cuma mencerminkan kembali
hal-hal tertentu." "Misalnya?" "Memikirkan pertanyaan mengenai motifnya.
Apa yang kira-kira menjadi motif kematian Nona
Arundell" Jelas bahwa alasan atau motif
pembunuhannya adalah 'keuntungan'. Siapa
yang beruntung kalau Nona Arundell mati" Kalau dia mati Selasa malam setelah Paskah?"
"Semuanya - kecuali Nona Lawson."
"Tepat." "Yah, setidak-tidaknya, seorang praktis bersih."
"Ya," Poirot berkata sambil berpikir.
"Kelihatannya begitu. Tapi ada yang menarik: orang yang tidak akan mendapat
keuntungan sama sekali jika Nona Arundell mati pada hari
Selasa setelah Paskah itu justru memperoleh
segala-galanya ketika Nona Arundell meninggal
dua minggu setelah itu."
"Apa maksudmu, Poirot?" tanyaku tidak mengerti.
"Sebab dan akibat, Kawan - sebab dan akibat."
Kupandang dia ragu-ragu. Katanya, "Secara logis! Apa yang terjadi setelah
kecelakaan?" Sungguh benci rasanya aku kepada Poirot bila
dia sedang dalam suasana seperti ini. Apa pun
yang dikatakan orang, selalu salah. Karena itu
aku hati-hati sekali. "Nona Arundell terbaring di ranjangnya."
"Betul. Dia punya banyak waktu untuk berpikir.
Lalu?" "Dia menulis surat kepadamu." Poirot
mengangguk. "Ya- Dia menulis surat kepadaku. Dan suratnya tidak dikirimkan. Sayang sekali."
"Apakah kaukira ada kecurangan sampai surat itu tidak diposkan?"
Poirot nampak berpikir. Dahinya berkerut-kerut.
"Aku harus akui, Hastings - di situ aku sama sekali tak punya bayangan. Kupikir
- dan melihat serta menimbang segala sesuatu yang kita
dengar, aku yakin - surat itu terlupakan. Kukira tapi aku tidak yakin - tidak ada orang yang
menduga bahwa Nona Arundell menulis surat
semacam itu. Lanjutkan - apa yang terjadi
kemudian?" "Kunjungan Penasihat Hukumnya," ujarku.
"Ya - Nona Arundell memanggil Penasihat
Hukumnya, dan ia datang pada waktunya."
"Lalu Nona Arundell membuat surat wasiat
baru," lanjutku. "Tepat. Nona Arundell membuat surat wasiat baru yang tidak diduga-duga isinya.
Mengenai surat wasiat ini, kita mesti sangat berhati-hati mengenai pernyataan Ellen.
Mungkin kau masih ingat, Ellen mengatakan bahwa Nona Lawson
bersikeras agar Nona Arundell tidak tahu bahwa
Bob keluar semalaman."
'Tapi, oh, aku tidak mengerti. Atau barangkali
aku mulai mengerti maksudmu?"
"Aku ragu!" kata Poirot. "Seandainya benar kau mulai mengerti maksudku, kuharap
kau mengerti betapa pentingnya pernyataan itu."
Poirot memandangku tidak berkedip.
"Tentu, tentu," ujarku buru-buru.
"Lalu," lanjut Poirot, "berbagai peristiwa terjadi.
Charles dan Theresa datang berkunjung pada
akhir minggunya, dan Nona Arundell
menunjukkan surat wasiat barunya kepada
Charles - atau. begitu ceritera Charles."
"Kau tidak percaya pada ceriteranya?"
"Aku cuma percaya pada pernyataan yang
sudah dicek kebenarannya. Nona Arundell tidak
menunjukkannya kepada Theresa."
"Karena dipikir, Charles toh sudah mengatakan kepadanya."
"Tapi, nyatanya tidak. Apa sebab?"
"Menurut Charles sendiri, dia sudah
menceriterakannya." "Tapi Theresa mengatakan dengan pasti bahwa Charles tidak menceriterakan apa-apa
mengenai hal itu - perselisihan yang menarik dan
mencurigakan. Dan waktu kita pergi. Theresa
mengatai kakaknya bodoh!"
"Aku jadi bingung, Poirot," ujarku sederhana.
"Baiklah. Kita kembali ke urut-urutan
peristiwanya. Dokter Tanios datang pada hari
Minggunya -besar kemungkinan tanpa
sepengetahuan isterinya."
"Bagaimana kalau kita sebut saja 'Mungkin'.
Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selanjutnya, Charles dan Theresa pulang pada
hari Senin. Nona Arundell dalam keadaan sehat
dan penuh semangat. Dia bersantap malam
dengan lahapnya, dan duduk-duduk di tempat
gelap bersama kedua Nona Tripp dan Nona
Lawson. Menjelang akhir permainan
jaelangkung itu. Nona Arundell merasa sakit, ia beristirahat di tempat tidur dan
meninggal empat hari kemudian - Nona Lawson mewarisi
semua kekayaannya, dan Kapten Hastings
berpendapat bahwa kematian Nona Arundell itu
wajar!" "Sedangkan Hercule Poirot berpendapat Nona Arundell diracuni makanannya tanpa
bukti sama sekali!" "Aku punya bukti. Hastings. Ingat kembali
percakapan kita dengan kedua Nona Tripp. Juga
suatu pernyataan yang menyolok dari gambaran
tak jelas yang diberikan Nona Lawson."
"Maksudmu Nona Arundell makan kare malam
itu" Kare yang pedas dan kaya bumbu itu akan
menutupi rasa racun. Itu maksudmu?"
Poirot berkata perlahan-lahan,
"Ya. Kare itu sendiri punya arti yang cukup penting."
"Tapi," ujarku, "kalau dugaanmu itu betul, cuma Nona Lawson dan dua orang
pembantu lainnya di Puri Hijau yang patut dicurigai."
"Ah." "Atau kedua Nona Tripp:1 Tak mungkin. Itu, aku tidak percaya. Orang-orang macam
mereka sama sekali bebas dari niat dan perbuatan
jahat." Poirot mengangkat bahu. "Ingat ini, Hastings. Kebodohan - atau bahkan ketololan, dalam hal ini - bisa
menjadi kedok yang bagus sekali. Dan jangan lupa akan
percobaan pembunuhan semula. Pekerjaan itu
direncanakan oleh otak yang pandai dan
berpikiran kompleks. Semula, pembunuhannya
memang direncanakan sangat sederhana - cuma
karena si pembunuh memperhatikan kebiasaan
buruk Bob meninggalkan bolanya di ujung atas
tangga. Pikiran buat merentang benang dan sisi
ke sisi tangga itu sangat mudah - anak-anak pun bisa memikirkannya!"
Aku merenung. "Maksudmu...?"
"Maksudku, yang kita ingin ketahui sebenarnya cuma satu. Keinginan membunuh. Itu
saja." "Tapi racun - meracuni - bukan sesuatu yang sederhana. Itu memerlukan keahlian
supaya tidak meninggalkan bekas," sanggahku. "Orang awam tak mungkin bisa merencanakan
sebagus itu. Oh, sialan. Rasanya aku tidak percaya akan semuanya ini, Poirot! Kita tak
mungkin tahu! Semuanya itu cuma hipotesa!"
"Kau salah, Kawan. Sebagai hasil pembicaraan kita pagi ini, aku sudah punya
pegangan dan arah yang pasti. Masih agak kabur, tapi rasanya tak mungkin salah. Masalahnya
cuma - aku takut." "Takut" Takut apa?"
Poirot menjawab serius, "Takut membangunkan anjing yang sedang
tidur. Kau selalu bilang - biarkan, jangan ganggu anjing yang sedang tidur!
Itulah yang sedang dilakukan pembunuhnya tidur dengan
tenangnya di bawah sinar matahari pagi... Kita
tahu, Hastings... bahwa sering kali, bila seorang pembunuh tersinggung harga
dirinya ia akan beraksi dan membunuh korbannya yang kedua,
atau bahkan yang ketiga."
"Kau takut itu terjadi?"
Poirot mengangguk. "Ya. Jika di antara mereka ada pembunuhnya dan aku yakin ada...."
BAB 19 TUAN PURVIS POIROT memanggil pelayan, menyuruh
ambilkan bon makanan, dan membayarnya.
"Sekarang, apa lagi?" tanyaku.
"Usulmu pagi tadi. Kita menuju ke Harchester, mewawancarai Tuan Purvis. Itu
sebabnya aku menelepon dari Hotel Durham tadi, Sobat!"
"Kau menelepon Purvis?"
"Bukan Purvis. Yang kutelepon tadi Theresa Arundell, Dia kusuruh menulis surat
pengantar yang isinya memperkenalkan kita kepada Purvis.
Supaya punya harapan bisa berhasil, kita perlu
diperkenalkan oleh orang yang bersangkutan.
Theresa berjanji akan menyuruh orang
mengantarkan suratnya ke flatku. Kupikir surat
Theresa sudah menanti kita di sana."
Bukan cuma surat yang kami temui di flat
Poirot. Charles Arundell membawa sendiri surat
itu dan menunggu untuk menyerahkannya
secara pribadi kepada Poirot.
"Flat Anda sangat menyenangkan, M. Poirot,"
komentarnya, sambil mengedarkan
pandangannya ke sekeliling ruang tamu.
Pada saat itu perhatianku tertarik pada sebuah
laci yang nampaknya tidak tertutup secara
sempurna. Ada sehelai kertas yang
menghalanginya. Aneh. Poirot tak biasa menutup laci-lacinya
sesembrono itu! Kupandang Charles sambil
berpikir-pikir. Charles sendirian di situ
menunggu kedatangan kami. Tiba-tiba aku yakin
Charles menghabiskan waktunya menunggu
dengan mengacak-acak kertas-kertas Poirot.
Pemuda ini rupanya memang benar-benar
bajingan! Aku merasa darahku mendidih, marah
dan benci. Charles sendiri kelihatannya santai-santai saja.
"Ini suratnya," ujarnya sambil menyodorkan sepucuk surat. "Mudah-mudahan Anda
lebih beruntung daripada kami dalam membujuk Pak
Tua Purvis." "Harapannya tipis?"
"Yang pasti, sulit mengubah pikirannya... Purvis menganggap Lawson merupakan
ahli waris yang sah!" "Pernahkah Anda dan adik Anda mengimbau
Nona Lawson - mengajaknya berbicara dari hati
ke hati?" Charles meringis. "Itu pernah saya pertimbangkan. Tapi rasanya tidak akan ada gunanya.
Kelihatannya Nona Lawson sangat membenci saya. Saya tidak
mengerti apa alasannya." Charles tertawa.
"Padahal, biasanya perempuan tua seumurnya cepat sekali menyukai
"Hmm... itu point yang berguna!"
"Oh, memang sudah banyak sekali gunanya.
Tapi, seperti saya katakan tadi, dengan Lawson
tak ada gunanya. Kupikir Lawson agak antilelaki...." "Ah!" Poirot menggeleng-geleng. "Kalau cara yang sesederhana itu gagal...."
"Kita mesti pakai otak kriminal!" lontar Charles dengan riangnya.
"Aha," Poirot berkata. "Ngomong-ngomong tentang kriminal, Anak Muda - benarkah
Anda mengancam bibi Anda" Maksud saya, Anda
pernah mengatakan bahwa Anda akan
membunuhnya atau kata-kata semacam itulah
pokoknya?" Charles menjatuhkan dirinya ke sebuah kursi.
Diselonjorkannya kakinya dengan santai.
Namun, pandangannya tajam ditujukan kepada
Poirot. "Siapa yang mengatakan itu?" tanyanya.
"Itu tidak penting. Tapi, benarkah itu?"
"Yah - ada benarnya."
"Oh - coba ceriterakan bagaimana ceritera yang sebenarnya!"
"Boleh saja, kalau Anda kepingin tahu. Tuan!
Tapi rasanya tidak ada relevansinya. Waktu itu
saya sedang mencoba-coba mendekati Bibi
Emily. Anda tahu maksud saya, kan?"
"Ya." "Sayangnya, yang terjadi diluar rencana saya semula. Bibi Emily dengan keras
mengatakan bahwa setiap usaha yang bertujuan
memisahkan dia dengan uangnya pasti tidak
berhasil. Saya tidak marah. Saya cuma bilang,
'Oh, Bibi Emily - kalau cara Bibi menangani
segala sesuatu tetap seperti ini, percayalah Bibi akan dibunuh orang!' Bibi
Emily menanyakan apa maksud saya dengan agak kaku. 'Cuma itu,'
jawab saya. "Di sini berkumpul semua kawan dan sanak keluarga Bibi - mereka
semuanya kelaparan seperti tikus gereja, dan mereka
cuma bisa berharap. Lalu apa yang Bibi lakukan"
Tinggal duduk di atas tumpukan uang Bibi, tak
mau berpisah sama sekali dengan yang Bibi
miliki. Itu sikap orang yang kepingin dirinya
dibunuh. Percayalah, Bibi Emily -kalau sampai
Bibi dibunuh orang, yang salah Bibi
"Bibi Emily memandang saya lewat atas
kacamatanya. Dipandangnya saya dengan
penuh kebencian. 'Oh,' jawabnya tak acuh, 'jadi begitu pendapatmu, bukan"' 'Ya,'
ujar saya. 'Kalau Bibi mau menuruti anjuran saya korbankanlah sedikit kekayaan Bibi itu ' Terima kasih, Charles,' katanya, 'atas
anjuranmu yang bermaksud baik itu. Tapi aku cukup bisa
menjaga diriku sendiri.' 'Terserah, kalau begitu, Bibi Emily,'jawab saya. Saya
meringis - dan kelihatannya Bibi Emily tidak semarah seperti
kelihatannya. 'Pokoknya aku sudah
mengingatkan Bibi.' 'Akan kuingat itu, Charles,'
katanya." Charles berhenti berceritera.
"Begitulah ceriteranya."
"Dan karena itu," kata Poirot, "Anda lalu puas dengan mencuri beberapa lembar
uang pound dari laci." Charles memandang Poirot, kemudian tertawa
terbahak-bahak. "Betul-betul saya angkat topi buat Anda, M.
Poirot!" katanya. "Anda rupanya detektif yang bukan main! Bagaimana Anda bisa
tahu tentang hal itu?" "Jadi itu memang benar?"
"Benar sekali! Saat itu saya sedang betul-betul kehabisan uang. Saya lihat ada
setumpuk uang di laci, dan saya ambil saja beberapa lembar
tanpa banyak pikir. Saya sama sekali tidak
mengira bahwa dengan diambil beberapa
lembar saja akan ketahuan kurang. Kalau
ketahuan pun, pasti pembantu yang dicurigai."
Dengan dingin Poirot berkata, "Seandainya
benar pembantu yang dicurigai, bagi mereka itu
bukan masalah enteng." Charles mengangkat
bahu. "Setiap orang membela dirinya sendiri,"
gumamnya. "Dan sembunyi di balik kesengsaraan orang lain, kalau perlu," tambah Poirot.
"Itu falsafah hidup Anda, bukan?"
Charles memandangnya dengan pandangan
ingin tahu. "Saya tak tahu Bibi Emily tahu uangnya hilang beberapa lembar. Bagaimana Anda
bisa tahu - juga mengenai yang Anda bilang saya
mengancam tadi?" "Nona Lawson yang mengatakannya."
"Oh - kucing tua itu lagi!" (Kupikir - Charles kelihatannya agak tak enak.) "Dia
membenci saya, dan Theresa pun tidak disukainya," kata Charles. "Anda pikir masih banyak yang lain-lain lagi yang dia rahasiakan?"
"Maksud Anda?" "Oh. Saya tidak tahu. Cuma saja saya
melihatnya sebagai setan tua yang tak puma
perasaan," Charles berhenti sebentar. "Dia membenci Theresa..." tambahnya.
"Apakah Anda tahu bahwa Dokter Tanios
datang menjenguk bibi Anda pada hari Minggu
sebelum dia meninggal?"
"Apa- hari Minggu waktu kami berada di sana?"
"Ya. Anda tidak bertemu dengannya?"
"Tidak. Kami keluar berjalan-jalan siang itu.
Mungkin tepat pada waktu itu dia datang. Lucu,
bibi Emily tidak menyebut apa-apa tentang
kedatangannya. Siapa yang memberi tahu
Anda?" "Nona Lawson." "Lawson lagi" Rupanya dia tambang informasi."
Charles berhenti, tapi kemudian sambungnya,
"Tahukah Anda, Tuan Poirot - Tanios itu
orangnya baik. Saya sangat menyukainya. Dia
begitu ramah dan periang... dan selalu
tersenyum!" "Kepribadiannya sangat menarik memang," ujar Poirot.
Charles bangkit dari duduknya.
"Kalau saya jadi dia, sudah lama saya bunuh Bella yang membosankan itu! Menurut
penglihatan Anda - Bella cocok sekali jadi
korban pembunuhan, kan" Oh - saya tidak akan
Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
heran kalau pada suatu hari orang menemukan
potongan tubuhnya di suatu tempat!"
"Cap apa pula yang Anda berikan kepada
suaminya yang dokter itu, Tuan Arundell?"
komentar Poirot tajam. "Oh - saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan Tanios. Membunuh lalat pun dia tak
akan tega. Orangnya terlalu baik hati!"
"Dan Anda sendiri - bagaimana" Tegakah Anda membunuh seseorang kalau itu
menguntungkan Anda?" Charles tertawa - tawa yang renyah dan murni.
"Oh, Anda teringat lagi pada ancaman saya
terhadap Bibi Emily, M. Poirot" Jangan kuatir.
Percayalah - saya tidak menaburi sup Bibi Emily dengan..." Charles terhenti
beberapa saat. Kemudian lanjutnya, "Strychnine."
Dengan lambaian tangan, Charles meninggalkan
flat Poirot. "Kau mencoba-coba membuatnya takut,
Poirot?" tanyaku. "Kalau benar itu maksudmu, kupikir kau gagal. Kulihat tidak
sedikit pun dia bereaksi yang menunjukkan rasa salahnya."
"Oh, tidakkah?"
"Kelihatannya tidak!"
"Mencurigakan - keragu-raguannya sebelum
mengucapkan kata 'strychnine'. Seolah-olah dia
hendak mengucapkan sesuatu, tapi cepat
tersadar bahwa itu mungkin membahayakan."
Aku cuma mengangkat bahu.
"Siapa tahu dia berusaha mengingat nama zat peracun yang kedengarannya paling
keren?" "Mungkin juga. Mungkin juga. Tapi sudah
waktunya kita berangkat. Kupikir, malam ini kita akan menginap di The George, di
Market Basing." Sepuluh menit kemudian terlihat kami berdua
mengarungi lalu lintas kota London, menuju ke
luar kota. Kami tiba di Harchester kurang lebih jam empat
sore, dan langsung menuju kantor Tuan Purvis.
Tuan Purvis berperawakan gemuk dengan
rambut putih dan kulit kemerah-merahan.
Melihatnya, orang jadi terbayang Tuan Tanah
zaman dulu. Sikapnya hormat, tapi terjaga.
Dibacanya surat yang kami bawa, dan kemudian
dipandanginya kami dari seberang meja tulisnya
yang mengkilat. Pandangannya jeli dan terasa
sebagai pandangan yang menyelidik.
"Tentu saja saya sudah mengenal nama Anda, M. Poirot," ujarnya sopan.
"Kelihatannya Nona Arundell dan kakaknya menyewa Anda untuk
membantu menyelesaikan masalah warisan itu.
Tapi, yang saya tidak bisa mengira-ngira adalah, sampai di mana jauh?"
"Bolehkah saya katakan begini, Tuan Purvis: saya diminta menyelidiki masalahnya
dengan lebih teliti." Tuan Purvis berkata kering,
"Nona Arundell dan kakaknya sudah mendengar pendapat saya mengenai posisinya di
dalam hukum. Situasinya sudah jelas-jelas saya
gamharkan dan uraikan, hingga saya rasa tidak
perlu diulangi lagi."
"Tentu saja sudah sangat jelas bagi mereka, Tuan Purvis," sahut Poirot cepat.
"Tapi saya mohon Anda tidak berkeberatan mengulangnya
untuk saya sehingga saya bisa mendapat
bayangan yang tepat dan jelas mengenai
situasinya." Pengacara di depan kami itu menundukkan
kepalanya. "Baiklah." Poirot memulai, "Nona Emily Arundell menulis surat kepada
Anda, meminta Anda untuk mengerjakan
beberapa hal pada tanggal tujuh belas April.
Apakah itu Tuan Purvis memeriksa kertas-kertas yang ada
di hadapannya. "Ya. Benar."
"Bisakah Anda menyebutkan apa-apa saja yang ditulisnya dalam surat itu?"
"Beliau meminta saya membuat konsep surat
wasiat. Dalam surat wasiat itu harus ditulis
tanda penghargaan untuk dua orang
pembantunya dan tiga atau empat yayasan
sosial. Sisa dari seluruh kekayaannya diwariskan secara mutlak kepada Wilhelmina
Lawson". "Maafkan saya, Tuan Purvis - apakah Anda
kaget waktu membaca suratnya?"
"Saya akui - ya. Saya sangat terkejut."
"Nona Arundell pernah menulis surat wasiat sebelum itu?"
"Ya - lima tahun yang lalu."
"Dalam surat wasiat yang dibuatnya lima tahun yang lalu itu - setelah dikurangi
untuk para pelayan dan yayasan sosial, maka sisa
kekayaannya diwariskan kepada putera-puteri
saudara kandungnya?"
"Ya. Bagian terbesar kekayaannya dibagi tiga sama rata untuk dua orang anak adik
laki-lakinya, Thomas, dan seorang anak Arabella
Biggs - adik perempuannya."
"Apa yang terjadi dengan surat wasiat itu?"
"Sesuai dengan permintaan Nona Arundell, saya membawanya ke Puri Hijau pada
waktu saya ke sana tanggal dua puluh satu April."
"Saya akan sangat berterima kasih kalau Anda mau menjelaskan sejelas-jelasnya
segala sesuatu yang terjadi pada kunjungan Anda itu."
Tuan Purvis berdiam diri semenit dua menit
lamanya. Kemudian dengan jelas ia berkata,
"Saya sampai ke Puri Hijau pada jam tiga sore.
Salah seorang pegawai saya menemani saya.
Nona Arundell menerima saya di Ruang Santai."
"Bagaimana kelihatannya dia?"
"Menurut penglihatan saya, dia nampak sehat.
Hanya saja ia berjalan dengan bantuan tongkat.
Penyebabnya, setahu saya, karena beberapa
hari sebelumnya dia jatuh dari tangga. Secara
umum, kesehatannya nampaknya bagus. Lain
daripada itu, nampaknya ia agak gelisah dan
terlalu perasa." "Apakah Nona Lawson menemaninya?"
"Nona Lawson ada bersamanya waktu saya
Puteri Teratai Merah 3 Pendekar Rajawali Sakti 76 Iblis Penggali Kubur Durjana Dan Ksatria 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama