Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 14
yang tak lebih dari orang biasa yang kaya itu tidak menaruh hormat kepada orang-orang
istana Kaisar. Memang orang-orang istana sadar sekali akan pangkat mereka, tapi hal itu
sedikit saja artinya, karena mereka tak punya uang. Dengan menghamburkan emas untuk
menyenangkan hati mereka, ambil bagian dalam acara hiburan mereka, dan berpura-pura
hormat pada kedudukan mereka, sehingga mereka tetap dapat mempertahankan harga dirinya,
para saudagar dapat mengelabui mereka bagai boneka. Tak seorang pun lebih tahu tentang
hal ini daripada Shoyu. Cahaya lampu menari-nari riang pada shoji kamar depan yang menuju kamar Yang Dipertuan
Karasumaru ketika Shoyu berusaha membukanya.
Tiba-tiba pintu dibuka dari dalam. "Oh, engkau, Shoyu!" ucap Takuan Soho.
Mata Shoyu membelalak, mula-mula karena heran, dan kemudian karena senang. "Pendeta
yang baik," gagapnya, "sungguh ini kejutan yang menyenangkan! Pendeta sudah sejak tadi
di sini?" "Dan Bapak sendiri, Bapak yang baik, apa Bapak sudah sejak tadi di sini?" tanya Takuan
menirukan. Lalu ia merangkul Shoyu, dan kedua orang itu seperti sedang bercintaan, pipi
menempel pipi yang berbulu pendek.
"Sehat engkau, bajingan tua?"
"Ya, dan engkau, penipu" Dan engkau?"
"Aku memang ingin ketemu kau."
"Aku juga." Sebelum kata-kata sambutan cengeng itu diucapkan, kedua orang itu sudah lebih dulu
saling tepuk kepala dan saling jilat hidung.
Yang Dipertuan Karasumaru mengalihkan perhatiannya dari kamar depan ke Yang Dipertuan
Konoe Nobutada yang duduk di depannya, dan katanya disertai seringai tajam, "Ha! Tepat
seperti kuharapkan. Tukang ribut itu sudah datang."
Karasumaru Mitsuhiro masih muda, barangkali tiga puluh tahun umurnya. Walaupun tidak
mengenakan pakaian sempurna, ia tetap kelihatan bangsawan, karena memang ia tampan dan
bekulit putih, alisnya tebal, bibirnya merah tua, dan matanya cerdas. Kesan yang
diberikannya adalah bahwa ia orang yang lemah lembut, tetapi dibalik permukaan yang
dipoles itu bersemayam watak yang kuat, akibat kebencian yang terpendam pada kelas
militer. Sering orang mendengarnya mengatakan, "Oh, pada abad yang menganggap kaum
prajurit sebagai satu-satunya manusia penuh ini, kenapa aku harus lahir sebagai
bangsawan?" Menurut pendapatnya, kelas prajurit mesti memusatkan perhatian hanya kepada soal-soal
militer, dan orang istana yang masih muda dan punya kecerdasan namun tidak menguasai
keadaan adalah orang tolol. Anggapan bahwa kaum prajurit memegang kekuasaan mutlak itu
memutarbalikkan asas kuno bahwa pemerintahan mesti dijalankan oleh Istana Kaisar,
dengan bantuan militer. Kaum samurai tidak lagi mencoba menjaga keselarasan dengan kaum bangsawan. Mereka
menjalankan segalanya, memperlakukan para anggota istana seolah cuma hiasan. Hiasan
kepala yang mewah pada kaum istana itu tak ada artinya, dan keputusan-keputusan yang
mereka buat dapat saja dibuat oleh boneka.
Yang Dipertuan Karasumaru menganggap suatu kesalahan besar para dewa bahwa mereka
menciptakan orang seperti dirinya sebagai bangsawan. Sekalipun ia abdi Kaisar, ia hanya
melihat dua jalan terbuka baginya: hidup selalu dalam kesengsaraan atau menghabiskan
waktu dengan bersenang-senang. Dan pilihannya yang masuk akal adalah meletakkan kepala
di pangkuan seorang perempuan cantik, mengagumi cahaya bulan yang pucat, memandang
bunga sakura pada musimnya, dan mati sambil memegang mangkuk sake.
Sesudah naik pangkat dari Menteri Keuangan Kaisar menjadi Pembantu Wakil Menteri Kanan
dan kemudian Kanselir Kaisar, ia menjadi pejabat tinggi dalam birokrasi Kaisar yang
impoten, tapi banyak sekali waktu ia habiskan di daerah lokalisasi, karena suasana di
situ memungkinkan ia melupakan hinaan-hinaan yang mesti ia tanggung apabila ia mengurus
soalsoal yang lebih praktis. Di antara teman-teman yang biasa itu terdapat beberapa
bangsawan muda yang tidak puas, semuanya miskin dibandingkan dengan para pengusaha
militer, namun dapat menyediakan uang untuk berpesiar pada malam hari ke Ogiya. Itulah
satu-satunya tempat di mana mereka bebas merasa sebagai manusia, demikian mereka
tegaskan. Malam ini tamu yang diterima Yang Dipertuan Karasumaru adalah orang jenis lain, yaitu
Konoe Nobutada yang pendiam dan santun, yang umurnya sekitar sepuluh tahun lebih tua.
Nobutada pun berkelakuan bangsawan, matanya tampak suram, wajahnya gemuk dan alisnya
tebal. Sekalipun kulitnya yang kehitaman dirusak oleh bopeng-bopeng dangkal, namun
kesederhanaan orang itu menyenangkan dan membuat cacatnya terasa pantas. Di tempat
seperti Ogiya, orang luar takkan menyangka bahwa ia salah seorang bangsawan tinggi
Kyoto, kepala dari keluarga tempat asal para wali Kaisar.
Sambil tersenyum sopan di samping Yoshino, ia menoleh pada wanita itu dan katanya, "Itu
suara Funabashi, kan?"
Yoshino menggigit bibirnya yang sudah lebih merah dari kembang prem, dan matanya
mengungkapkan rasa malu melihat kikuknya keadaan itu. "Apa yang akan saya lakukan kalau
dia masuk?" tanyanya resah.
Yang Dipertuan Karasumaru memerintahkan, "Jangan berdiri!" dan segera mencekal pinggir
kimononya. "Takuan, apa kerjamu di situ" Dingin kalau pintu dibuka. Kalau mau pergi, pergi sana,
tapi kalau mau kembali, kembali saja, tapi tutup pintu itu."
Takuan segera menyambar umpan itu, dan katanya kepada Shoyu, "Mari kita masuk," dan
menarik orang tua itu ke dalam kamar.
Shoyu pun masuk dan duduk langsung di depan kedua bangsawan itu. "Oh, sungguh kejutan
yang menyenangkan!" seru Mitsuhiro dengan kesungguhan yang dibuat-buat.
Dengan lutut yang kurus, Shoyu beringsut mendekat. Sambil mengulurkan tangan kepada
Nobutada, katanya, "Tolong kasih aku sake." Dan sesudah menerima mangkuk, ia pun
membungkuk penuh upacara.
"Senang sekali bertemu denganmu, Funabashi Tua," kata Nobutada sambil menyeringai.
"Semangatmu rupanya selalu tinggi."
Shoyu mengosongkan mangkuknya dan mengembalikannya. "Sungguh saya tak bermimpi bahwa
rekan Yang Dipertuan Kangan adalah Yang Mulia." Dan sambil terus berpura-pura lebih
mabuk daripada sebenarnya, ia pun menggoyangkan lehernya yang kurus dan berkerut-merut
itu sepeni pelayan kuno, dan katanya dengan nada pura-pura takut, "Maafkan saya, Yang
Mulia!" Kemudian dengan nada lain, "Ah, kenapa pula aku mesti begitu sopan" Ha, ha!
Bukan begitu, Takuan?"
Ia merangkul Takuan, menarik pendeta itu ke dekatnya, dan menudingkan jarinya ke kedua
orang istana itu. "Takuan," katanya, "di dunia ini orang yang kukasihani adalah
bangsawan. Mereka punya gelar-gelar gemilang seperti patih atau regent, tapi tak sampai
ke mana-mana kehormatan itu. Kaum saudagar lebih beruntung daripada mereka. Betul,
tidak?" "Memang betul," jawab Takuan, berusaha melepaskan lehernya.
"Nah," kata Shoyu, menempatkan sebuah mangkuk langsung di bawah hidung pendeta itu.
"Aku belum menerima minuman darimu."
Takuan menuangkan sake. Orang tua itu meminumnya.
"Kau ini lihai, Takuan. Di dunia yang kita diami ini, kaum pendeta macam kau ini
cerdik, kaum saudagar pintar, kaum prajurit kuat, tapi kaum bangsawan bodoh. Ha, ha!
Betul, tidak?" "Betul, betul," kata Takuan mengiakan.
"Kaum bangsawan tak dapat melakukan apa yang mereka kehendaki karena pangkatnya, dan
mereka tersisih dari politik dan pemerintahan. Karena itu yang dapat mereka lakukan
cuma membuat sajak dan menjadi ahli kaligrafi. Betul, kan?" Dan ia pun tertawa lagi.
Sekalipun Mitsuhiro dan Nobutada suka lelucon, seperti halnya Shoyu. tapi kekasaran
ejekan itu sungguh membikin malu. Karena itu mereka menerimanya dengan diam mematung.
Dan perasaan tak enak yang mereka alami itu dipergunakan oleh Shoyu untuk menekan
terus. "Yoshino, bagaimana pendapatmu" Kau menyuka: kaum bangsawan atau lebih suka kaum
saudagar?" "Hi, hi," Yoshino mengikik. "Ah, Tuan Funabashi, itu pertanyaan aneh!"
"Aku tidak berkelakar. Aku sedang mencoba meninjau ke dalam hati wanita. Dan sekarang
aku tahu apa yang ada dalam hati itu. Engkau sebetulnya lebih suka kaum saudagar,
betul, kan" Kupikir lebih baik kuambil engkau dari sini. Ayo ikut ke kamar." Ia
menggandeng Yoshino dan berdiri dengan wajah cerdik.
Mitsuhiro terperanjat hingga sake-nya tumpah. "Kelakar bisa juga jadi keterlaluan,"
katanya sambil merenggutkan tangan Yoshino dari tangan Shoyu, dan menarik Yoshino ke
sisinya. Karena diperebutkan kedua orang itu, Yoshino tertawa dan mencoba mengatasi keadaan
tersebut. Sambil menggenggam tangan Mitsuhiro dengan tangan kanan dan tangan Shoyu
dengan tangan kiri, ia memperlihatkan wajah kuatir dan katanya, "Oh, apa yang mesti
saya perbuat dengan Bapak berdua ini?"
Kedua orang itu tidak saling membenci, dan bukan pula saingan dalam bercinta, namun
bagi keduanya aturan permainan mengharuskan mereka melakukan segala yang ada dalam
kekuasaan mereka untuk membuat kedudukan Yoshino Dayu lebih memalukan.
"Nah, Nyonya yang baik," kata Shoyu." Engkau mesti memutuskan sendiri. Engkau mesti
memilih orang yang kamarnya akan kausemarakkan, orang yang kauserahi hatimu."
Takuan segera mencampuri keributan itu. "Memang masalah ini sangat menarik, ya" Coba
katakan, Yoshino, siapa pilihanmu?"
Satu-satunya yang tak ikut ambil bagian adalah Nobutada. Tapi beberapa waktu kemudian
rasa kesopanan mendorongnya mengatakan, "Oh, oh, Tuan-tuan ini tamu, jangan begitu
kasar. Kalau demikian tingkah Anda, saya berani mengatakan, Yoshino dengan senang hati
ingin melepaskan diri dari Anda berdua. Bagaimana kalau kita semua bersenang-senang
saja dan tak usah memedulikan Yoshino" Koetsu mestinya sendirian sekarang. Seorang dari
gadis-gadis mesti mengundangnya datang kemari."
Shoyu mengibaskan tangannya. "Tak ada alasan mendatangkannya kemari. Aku cuma akan
kembali ke kamarku dengan Yoshino."
"Tidak bisa," kata Mitsuhiro, mendekap Yoshino lebih erat.
"Inilah yang dinamakan kekurangajaran aristokrasi!" seru Shoyu. Dengan mata menyalanyala ia menawarkan mangkuk kepada Mitsuhiro, katanya, "Baikah, mari kita putuskan
siapa yang akan mendapatkan Yoshino dengan pertandingan minum... langsung di depan
matanya." "Oh, boleh saja, kedengarannya menarik juga." Mitsuhiro mengambil mangkuk besar dan
meletakkannya di meja kecil di antara mereka. "Jadi, engkau yakin masih cukup muda
untuk bertanding?" tanyanya melucu.
"Aku tak perlu umur muda buat bertanding dengan bangsawan kurus!"
"Nah, bagaimana caranya menentukan giliran minum" Tidak lucu kalau cuma minum. Kita
mesti bermain. Siapa kalah mesti minum semangkuk penuh. Permainan apa yang mesti kita
mainkan?" "Kita adu pandang saja."
"Berarti mesti memandang muka saudagarmu yang jelek itu. Itu bukan permainan, itu
siksaan!" "Jangan menghina! Bagaimana kalau permainan batu-gunting-kertas?"
"Bagus!" "Takuan, kau jadi wasit."
"Dengan senang hati."
Dengan wajah sungguh-sungguh mereka memulai. Setiap kali selesai satu giliran, pihak
yang kalah mengeluh dengan sedihnya, dan semua orang tertawa.
Yoshino Dayu diam-diam menyelinap keluar kamar, dengan lemah gemulai menyeret ekor
kimononya yang panjang, dan berjalan dengan langkah anggun menyusuri gang. Tak lama
sesudah ia pergi, Konoe Nobutada berkata, "Aku mesti pergi juga," dan pergi tanpa
dilihat orang. Sambil menguap tanpa malu-malu, Takuan membaringkan diri dan tanpa permisi lagi
meletakkan kepalanya di pangkuan Sumigiku. Walaupun enak rasanya tidur di sana, ia
tiba-tiba merasa bersalah juga. "Aku mesti pulang," pikirnya. "Mereka barangkali
kesepian tanpa aku." Yang dipikirkannya adalah Jotaro dan Otsu yang sudah berkumpul
kembali di rumah Yang Dipertuan Karasumaru. Takuan membawa Otsu ke sana sesudah
mengalami cobaan di Kiyomizudera itu.
Takuan dan Yang Dipertuan Karasumaru adalah teman lama dan memiliki banyak minat yang
serupa-puisi, Zen, minum, bahkan juga politik. Menjelang akhir tahun sebelumnya, Takuan
menerima surat yang isinya mengundangnya menghabiskan hari libur Tahun Baru di Kyoto.
"Engkau rupanya terkurung di sebuah kuil kecil di desa," tulis Mitsuhiro. "Apa kau
tidak rindu pada ibu kota, rindu pada sake Nada yang baik, rindu dikawani perempuanperempuan cantik, rindu melihat burung-burung camar kecil di Sungai Kamo" Kalau engkau
memang suka tidur, kukira baik saja engkau mempraktekkan keyakinan Zen-mu di desa, tapi
kalau engkau ingin sesuatu yang lebih hidup, datanglah kemari dan hidup di tengah orang
banyak. Sekiranya engkau merasakan nostalgia kepada ibu kota, bagaimanapun bertamulah
pada kami." Sebentar sesudah kedatangannya pada awal tahun baru itu, Takuan heran sekali melihat
Jotaro bermain di halaman. Secara terperinci ia mendengar dari Mitsuhiro apa yang
dilakukan anak itu di sana, kemudian mendengar dari Jotaro bahwa tak ada kabar berita
tentang Otsu semenjak Osugi mencengkeram gadis itu pada Hari Tahun Baru.
Sesudah kembali, Otsu demam dan masih terbaring di tempat tidur. Jotaro merawatnya,
sepanjang hari duduk di samping bantalnya, mengompres dahi Otsu dengan handuk basah dan
menakar obat pada waktu-waktu tertentu tiap hari.
Biarpun Takuan ingin pulang, ia tak bisa berbuat demikian sebelum tuan rumahnya datang,
sedangkan Mitsuhiro kelihatannya makin lama makin terbenam dalam pertandingan minum.
Karena kedua belah pihak yang bertanding adalah veteran, maka tampaknya pertandingan
akan berakhir dengan seri, dan memang benar demikian. Mereka terus juga minum sambil
berhadapan dan mengobrol dengan asyiknya. Takuan tidak tahu apakah pokok pembicaraannya
tentang pemerintahan kelas militer, nilai hakiki kaum bangsawan, ataukah peran kaum
saudagar dalam perkembangan perdagangan luar negeri. Yang jelas percakapan itu sangat
serius. Ia mengangkat kepalanya dari pangkuan Sumigiku, dan dengan mata masih tertutup
ia menyandarkan diri ke tiang ceruk kamar, dan setiap kali ia menyeringai mendengar
potongan percakapan mereka.
Tak lama kemudian Mitsuhiro bertanya dengan nada kecewa, "Di mana Nobutada" Apa dia
pulang?" "Biar saja dia. Di mana Yoshino?" tanya Shoyu, yang tiba-tiba tampak tidak mabuk sama
sekali. Mitsuhiro menyuruh Rin'ya pergi dan membawa kembali Yoshino. Ketika melewati kamar
tempat Shoyu dan Koetsu memulai acara malam itu, Rin'ya memandang ke dalam. Musashi
duduk di sana seorang diri, wajahnya berdekatan dengan cahaya putih lampu. "Oh, saya
tidak lihat Anda kembali," kata Rin'ya.
"Aku lama tidak ada di sini."
"Apa Anda kembali lewat jalan belakang?"
"Ya." "Ke mana Anda pergi?"
"Oh, ke luar." "Saya berani bertaruh, tentu bertemu dengan gadis cantik. Tak tahu malu! Tak tahu malu!
Saya bilang nanti pada Nyonya," kata gadis itu lancang.
Musashi tertawa. "Tak ada orang di sini," katanya. "Ke mana saja orang-orang itu?"
"Mereka di kamar lain, main dengan Yang Dipertuan Kangan dan seorang pendeta."
"Koetsu juga?" "Tidak. Saya tidak tahu di mana dia."
"Barangkali dia pulang. Kalau dia pulang, aku mesti pulang juga."
"Jangan begitu. Kalau Anda datang ke rumah ini, Anda tak dapat pulang tanpa izin
Yoshino Dayu. Kalau Anda pergi diam-diam, orang akan menertawakan Anda. Dan saya akan
dimaki-maki." . Karena tidak terbiasa dengan humor para pelacur, maka Musashi menerima pernyataan itu
dengan wajah serius, pikirnya, "Oh, jadi begitu aturan mainnya di sini."
"Anda pokoknya tak boleh pergi sebelum minta permisi seperti semestinya. Tunggu di sini
sampai saya kembali."
Beberapa menit kemudian Takuan muncul. "Dari mana engkau datang?" tanyanya sambil
menepuk bahu ronin itu. "Ha?" gagap Musashi. Sambil meluncur dari bantalnya ia letakkan kedua tangannya ke
lantai dan ia membungkuk dalam-dalam. "Lama sekali saya tak melihat Bapak!"
Sambil mengangkat tangan Musashi dari lantai, Takuan berkata, "Tempat ini buat
bersenang-senang dan bersantai. Tak perlu sambutan resmi... Aku dengar Koetsu ada di
sini juga, tapi tak kulihat dia."
"Menurut Bapak, ke mana dia pergi?"
"Mari kita cari dia. Ada beberapa hal yang hendak kubicarakan secara pribadi denganmu,
tapi kita undurkan saja dulu sampai saat yang lebih cocok."
Takuan membuka pintu ke kamar sebelah. Di situ Koetsu terbaring dengan kaki terbungkus
kotatsu dan badan tertutup selimut, terpisah dari bagian lain kamar itu oleh tabir emas
kecil, ia tidur dengan tenteram. Takuan tak mau membangunkannya.
Koetsu membuka mata sendiri. Sesaat ia menatap wajah pendeta itu, kemudian wajah
Musashi, tak tahu apa yang mesti ia perbuat.
Sesudah kedua orang itu menjelaskan keadaan kepadanya, Koetsu berkata, "Kalau di kamar
lain itu nanti hanya ada kalian berdua dan Mitsuhiro, aku tidak keberatan pergi ke
sana." Mereka mendapati Mitsuhiro dan Shoyu yang akhirnya kehabisan pokok pembicaraan itu
sedang tenggelam dalam kesenduan. Mereka mulai merasa bahwa sake pahit, bibir kering,
dan hirupan air membangkitkan pikiran tentang rumah. Malam itu akibatnya lebih buruk
lagi; Yoshino meninggalkan mereka.
"Bagaimana kalau kita semua pulang?" satu orang menyarankan.
"Baik juga," kata yang lain-lain menyetujui.
Sebetulnya mereka tidak benar-benar ingin pulang, tapi mereka kuatir bahwa kalau
tinggal lebih lama lagi, tak ada yang tertinggal dari kelembutan malam itu. Tapi ketika
mereka akan pergi, Rin'ya datang berlari-lari masuk kamar bersama dua gadis yang lebih
kecil. Sambil menggenggam tangan Yang Dipertuan Kangan, kata Rin'ya, "Kami minta maaf
telah memaksa Bapak menunggu. Kami mohon Bapak-bapak jangan pergi. Yoshino Dayu siap
menerima Bapak semua di kamar pribadinya. Saya tahu hari sudah malam, tapi di luar
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masih terang karena salju, dan dalam udara dingin seperti ini setidak-tidaknya Bapak
mesti menghangatkan badan baik-baik sebelum masuk joli. Mari ikut kami."
Tak seorang pun dari orang-orang itu ingin main lagi. Sekali semangat sudah pergi,
sukar ditimbulkan lagi. Melihat keraguan mereka, salah sorang pembantu berkata, "Yoshino mengatakan dia yakin
Bapak-bapak sekalian menganggapnya kasar karena tadi dia pergi, tapi dia tak bisa
berbuat lain. Kalau dia menerima Yang Dipertuan Kangan, Pak Funabashi tersinggung, dan
kalau dia pergi dengan Pak Funabashi, Yang Dipertuan Kangan akan kesepian. Dia tak
ingin ada di antara Bapak-bapak yang merasa diabaikan, karena itu dia mengundang Bapakbapak minum. Kami mengharapkan Bapak mengerti perasaannya, dan kami persilakan Bapak
tinggal lebih lama."
Karena merasa bahwa menolak berarti tidak sopan, lagi pula menarik juga melihat pelacur
terkemuka di kamarnya sendiri, maka mereka menerima bujukan itu. Dibimbing gadis-gadis
itu, mereka mengambil lima pasang sandal jerami kasar yang ada di tangga halaman.
Sesudah mengenakannya, mereka berjalan tanpa bunyi, menyeberangi salju lembut. Musashi
tak tahu apa yang akan terjadi, tetapi orang-orang lain menyimpulkan bahwa mereka
diundang minum teh, karena Yoshino terkenal sebagai penganut setia kultus teh. Karena
menarik juga minum teh sesudah begitu banyak sake mereka minum, tak seorang pun
keberatan. Tapi ternyata mereka diantar melewati warung teh, dan masuk ladang yang
penuh tumbuhan. "Mau kamu bawa ke mana kami ini?" tanya Yang Dipertuan Kangan dengan nada menuduh. "Ini
ladang buah arbei!" Gadis-gadis mengikik dan Rin'ya buru-buru menjelaskan. "Bukan, bukan! Ini kebun peoni
kami. Pada permulaan musim panas kami keluarkan bangku-bangku, dan semua orang datang
kemari buat minum dan mengagumi kembang-kembangnya."
"Tidak di ladang arbei tidak juga di kebun peoni, sama saja tak enaknya ada di luar
begini, di tengah salju. Apa Yoshino mau bikin kita masuk angin?"
"Maafkan saya. Tak seberapa jauh lagi."
Di sudut ladang terdapat sebuah pondok kecil dengan atap ilalang, yang tampaknya
seperti rumah yang telah berdiri di situ sejak sebelum daerah itu dibangun. Di
belakangnya terdapat rumpun pepohonan, dan pekarangan itu terpisah dari halaman Ogiya
yang terawat baik. "Silakan ke sini," desak gadis-gadis itu seraya mengantar mereka masuk ke kamar
berlantai tanah liat. Dinding dan tiangnya hitam oleh jelaga.
Rin'ya mengabarkan kedatangan mereka, dan dari dalam rumah terdengar jawaban Yoshino
Dayu, "Selamat datang! Silakan masuk."
Api dalam perapian memancarkan sinar merah lembut ke kertas shoji. Suasana di situ
kelihatan lain sama sekali dari di kota. Sementara melihat-lihat dapur dan mantel hujan
dari jerami yang tergantung di dinding, orang-orang itu bertanya-tanya dalam hati,
hiburan apa gerangan yang hendak dihidangkan pada mereka oleh Yoshino. Shoji terbuka,
dan satu-satu mereka memasuki kamar perapian.
Kimono Yoshino berwarna kuning polos pucat, obi-nya dari kain satin hitam. Ia sedikit
sekali mengenakan hiasan, dan sudah menyusun kembali rambutnya dengan gaya nyonya rumah
yang sederhana. Tamu-tamu memandangnya penuh kekaguman.
"Sungguh lain dari yang lain!"
"Sungguh memikat!"
Dalam lingkungan sederhana yang dimulai dengan dinding-dinding yang menghitam itu,
Yoshino tampak seratus kali lebih cantik daripada waktu ia mengenakan pakaian gaya
Momoyama yang tersulam rumit. Kimono mencolok yang biasa dilihat pria-pria itu, lipstik
warna-warni, dan tabir-tabir emas serta tempat lilin dari perak-semua itu diperlukan
seorang perempuan yang pekerjaannya seperti dia. Tapi Yoshino tak perlu alat pembantu
untuk meningkatkan kecantikannya.
"Hmm," kata Shoyu, "ini betul-betul istimewa." Tidak gampang memberi pujian, orang tua
yang tajam lidahnya itu untuk sementara tampak jinak.
Tanpa membagikan bantal, Yoshino mempersilakan tamu-tamunya duduk di dekat perapian.
"Seperti Bapak-bapak lihat, saya tinggal di sini, dan tidak banyak yang dapat saya
suguhkan kepada Bapak, tapi setidak-tidaknya ada api. Saya harap Bapak setuju bahwa api
adalah hidangan paling bagus yang dapat disuguhkan orang pada malam bersalju dingin,
apakah sang tamu seorang pangeran atau orang miskin. Di sini kayu api cukup banyak,
jadi biarpun kita bicara sepanjang malam, saya tak akan terpaksa menggunakan tanaman
pot sebagai bahan bakar. Saya minta Bapak-bapak duduk yang enak."
Bangsawan, saudagar, seniman, dan pendeta itu duduk bersila dekat perapian dengan
tangan dikembangkan di atas api. Koetsu merenungkan perjalanan dingin dari Ogiya dan
undangan untuk mendatangi api riang itu. Betul-betul seperti hidangan, dan itulah
hakikat suguhan. "Silakan Anda dekat api juga," kata Yoshino. Ia tersenyum ramah kepada Musashi, dan
bergerak sedikit, menyediakan tempat baginya.
Musashi terpesona oleh kalangan agung yang sekarang dihadapinya. Sesudah Toyotomi
Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu, barangkali Yoshino orang paling terkenal di Jepang.
Tentu saja ada Okuni dari Kabuki dan gundik Hideyoshi, yaitu Yodogimi, tapi Yoshino
dianggap lebih tinggi kelasnya daripada Okuni, dan memiliki lebih banyak kecerdasan,
kecantikan, dan keramahan daripada Yodogimi. Orang-orang yang berhubungan dengan
Yoshino dikenal sebagai "pembeli", sedangkan Yoshino sendiri disebut "Si Tayu". Setiap
pelacur kelas satu dikenal dengan nama Tayu, tapi kalau dikatakan "Si Tayu", yang
dimaksud hanyalah Yoshino seorang. Musashi mendengar Yoshino memiliki tujuh pembantu
untuk memandikannya dan dua orang untuk memotong kukunya.
Malam ini untuk pertama kali dalam hidupnya Musashi mendapati dirinya berada di tengah
para wanita yang bercat dan berpoles, dan sikapnya jadi resmi kaku. Sebagian karena ia
tak habis pikir, sesungguhnya apa yang menurut orang-orang itu luar biasa pada Yoshino.
"Silakan bersantai," kata Yoshino. "Silakan duduk di sini."
Sesudah dipersilakan untuk keempat atau kelima kalinya, akhirnya Musashi menyerah. Ia
mengambil tempat di samping Yoshino dan menirukan yang lain-lain menjulurkan tangan ke
atas api dengan kikuk. Yoshino memandang lengan baju Musashi dan melihat noda merah di situ. Sementara yang
lain-lain sibuk bercakap-cakap, diam-diam Yoshino mengambil secarik kertas dari lengan
kimononya dan menghapus noda itu.
"Oh, terima kasih," kata Musashi. Sekiranya tadi ia diam saja, tak seorang pun akan
melihatnya, tapi begitu ia membuka mulut, semua mata tertuju pada noda merah tua pada
kertas di tangan Yoshino itu.
Dengan mata terbuka lebar, Mitsuhiro berkata, "Itu darah, kan?"
Yoshino tersenyum. "Tentu saja bukan. Ini daun bunga peoni merah."
*** 41. Kecapi Rusak EMPAT-lima batang kayu di perapian menyala lembut, menyebarkan aroma menyegarkan Dan
menerangi kamar kecil itu seakan tengah hari. Asap lembut itu tidak menyebabkan mata
sakit. Asapnya seperti daun-daur, peoni terbawa angin, sekali-sekali dinodai bungabunga api warna emas lembayung dan merah tua. Manakali api menunjukkan tanda-tanda
akar. mati, Yoshino menambahkan potongan-potongan ranting api sepanjang tiga puluh
sentimeter yang diambil dari bak.
Orang-orang itu terlampau terpikat oleh keindahan nyala api, hingga tidak bertanya
tentang kayu api, tapi akhirnya Mitsuhiro mengatakan "Kayu apa yang kaupergunakan itu"
Itu bukan kayu pinus."
"Bukan," jawab Yoshino. "Ini kayu peoni."
Mereka agak heran, karena peoni dengan ranting-rantingnya yang pipih dan rimbun itu
rasanya tidak begitu cocok untuk kayu api. Yoshino mengambil bilah yang baru sedikit
hangus dan menyerahkannya pada Mitsuhiro.
Ia mengatakan tunggul-tunggul peoni di kebun itu sudah ditanam lebildari seratus tahun
yang lalu. Pada awal musim dingin, tukang-tukang kebun memangkasnya rendah-rendah dan
membuang bagian atasnya yang dimakan cacing. Hasil pangkasan itu disimpan untuk kayu
api. Jumlahnva kecil, tapi cukup untuk Yoshino.
Menurut Yoshino, bunga peoni adalah raja bunga. Barangkali masuk akal bahwa cabangcabangnya yang layu memiliki mutu yang tak ditemukan pada kayu biasa, tepat seperti
orang-orang tertentu memiliki nilai yang tidak dipunyai orang lain. "Tak banyak orang
yang jasanya dapat diberitahu sesudah kembangnya layu dan mati," demikian renungnya.
Dan dengan senyum sendu ia menjawab pertanyaannya sendiri. "Kita manusia ini berkembang
hanya selama kita muda, kemudian menjadi kering, menjadi kerangka tak berbau, malahan
bisa juga sebelum kita mati."
Sebentar kemudian Yoshino berkata, "Saya minta maaf karena tak ada lagi yang dapat saya
suguhkan kecuali sake dan api, tapi setidaknya ini cukup untuk sampai matahari terbit."
"Engkau tak perlu minta maaf. Ini hidangan yang cocok untuk seorang pangeran." Shoyu
memang tulus dalam memuji, sekalipun ia terbiasa dengan kemewahan.
"Ada satu hal lagi yang saya inginkan dari Bapak-bapak," kata Yoshino. "Sudikah Bapakbapak menulis kenangan tentang malam ini?"
Ia menggosok batu tinta, dan gadis-gadis menghamparkan babut wol di kamar sebelah,
serta meletakkan beberapa carik kertas tulis Cina. Kertas itu ulet dan menyerap, karena
terbuat dari bambu dan kayu arbei bahan kertas, tepat sekali untuk tulisan kaligrafi.
Mitsuhiro mengambil alih peranan tuan rumah, dan menoleh kepada Takuan, katanya, "Pak
pendeta yang baik, karena Nyonya memintanya, silakan Bapak menulis sesuatu yang cocok.
Atau barangkali kita mesti bertanya dulu pada Koetsu?"
Koetsu beringsut dengan lututnya. Ia mengambil kuas, berpikir sejenak, lalu menggambar
kembang peoni. Di atas kembang itu Takuan menulis:
Kenapakah aku bergayut Pada hidup yang begini jauh Dari kecantikan dan nafsu" Peoni yang cantik pun
Membuang daun bunganya dan mati.
Sajak Takuan itu bergaya Jepang. Mitsuhiro memilih menulis dalam gaya Cina dan
menurunkan baris-baris sajak Tsai Wen:
Apabila aku sibuk, gunung memandangku Apabila aku senggang, aku memandang gunung Walau
kelihatannya sama, tapi tak sama
Karena kesibukan lebih rendah dari kesenggangan.
Di bawah sajak Takuan, Yoshino menulis:
Sekalipun kala berkembang
Napas kesedihan mengapung Di atas bunga-bungaan
Apakah bunga memikirkan masa depannya Ketika daun bunganya hilang"
Shoyu dan Musashi memperhatikan tanpa mengatakan sesuatu. Musashi lega karena tak
seorang pun memaksanya menuliskan sesuatu.
Mereka kembali ke perapian dan mengobrol beberapa waktu lamanya, sampai akhirnya Shoyu
melihat sebuah biwa, sejenis kecapi, di samping ceruk dalam kamar, dan minta kepada
Yoshino untuk bermain bagi mereka. Yang lain-lain mendukung saran itu.
Tanpa sikap malu-malu Yoshino mengambil alat musik itu dan duduk di tengah kamar dalam
yang remang-remang cahayanya. Ia menunjukkan sikap seorang empu yang bangga akan
keterampilannya, tapi ia pun tidak berusaha menunjukkan sikap terlalu rendah hati.
Semua orang membersihkan diri dari pikiran-pikiran sampingan agar dapat mencurahkan
perhatian kepada usaha Yoshino membawakan petikan dari Dongeng tentang Heike. Nada-nada
lembut dan halus digantikan dengan nada-nada menggelora, kemudian oleh paduan nada
patah-patah. Api mati, dan kamar menjadi gelap. Karena terpesona oleh musik, tak
seorang pun bergerak, sampai akhirnya letusan kecil bunga api membawa mereka kembali ke
bumi. Ketika musik berhenti, Yoshino berkata disertai senyum selintas, "Saya takut permainan
saya tidak begitu bagus." Ia simpan kembali kecapinya dan kembali ke dekat api. Ketika
orang-orang berdiri untuk pulang, Musashilah yang pertama menuju pintu dengan
senangnya, karena selamat dari kebosanan lebih lanjut. Yoshino mengucapkan selamat
jalan kepada yang lain-lain satu per satu, tapi tidak mengatakan sesuatu pun kepadanya.
Baru ketika ia hendak meninggalkan tempat itu, Yoshino diam-diam mencekal lengan
kimononya. "Menginaplah di sini, Musashi. Aku... takkan membiarkan engkau pulang." Wajah seorang
perawan yang sedang diganggu pun tidak mungkin lebih merah daripada wajah Musashi waktu
itu. Musashi mencoba menutupinya dengan berpura-pura tidak mendengar, tapi semua yang
lain tahu bahwa Musashi terlampau bingung untuk berbicara.
Sambil menoleh pada Shoyu, Yoshino berkata, "Tak apa-apa kalau dia saya tahan di sini,
kan?" Musashi melepaskan tangan Yoshino dari lengan kimononya. "Tidak, saya pergi dengan
Koetsu." Tapi ketika Musashi bergegas menuju pintu, Koetsu menghentikannya. "Jangan seperti itu,
Musashi. Apa salahnya engkau menginap di sini malam ini" Kau bisa pulang ke rumahku
besok. Biar bagaimana, Nyonya sudah berbaik hati menunjukkan perhatiannya padamu." Dan
secara mencolok ia pun pergi meng-gabungkan diri dengan kedua orang lainnya.
Sikap hati-hati Musashi mengingatkannya bahwa orang-orang itu dengan sengaja mencoba
memperdayakannya agar mau tinggal, tapi kemudian mereka akan menertawakannya. Namun
sikap sungguh-sungguh yang ia baca pada wajah Yoshino dan Koetsu menyatakan bahwa
ajakan itu tidak sekadar lelucon.
Shoyu dan Mitsuhiro senang sekali melihat kikuknya Musashi dan terus menggodanya.
Seorang dari mereka berkata, "Kau orang yang paling beruntung di negeri ini," dan yang
lain menyatakan bersedia menggantikannya.
Kelakar berhenti dengan datangnya seorang lelaki yang oleh Yoshino telah disuruh
mengawasi sekitar tempat kediamannya. Orang itu datang dengan napas terengah-engah,
giginya gemeletuk karena ngeri.
"Bapak-bapak dapat meninggalkan tempat ini," katanya, "tapi Musashi barangkali tak
mungkin. Cuma gerbang utama yang sekarang terbuka. Kedua sisi gerbang, sekitar Warung
Teh Amigasa dan sepanjang jalan, penuh samurai bersenjata lengkap, berkeliaran dalam
kelompok-kelompok kecil. Mereka dari Perguruan Yoshioka. Pedagang-pedagang kuatir akan
terjadi sesuatu yang mengerikan, karena itu mereka semua menutup pintu lebih awal.
Sebelah sana, arah ke lapangan berkuda, kata orang paling tidak ada seratus orang."
Orang-orang itu kagum bukan main, tidak hanya oleh laporan itu, melainkan juga oleh
tindakan berjaga-jaga yang telah diambil Yoshino. Hanya Koetsu yang mendapat firasat
bahwa sesuatu telah terjadi.
Yoshino telah menduga ada sesuatu yang telah terjadi ketika ia melihat noda darah pada
lengan kimono Musashi. "Musashi," kata Yoshino, "kau sudah mendengar sendiri bagaimana keadaan di luar.
Sekarang mungkin kau bisa lebih mantap lagi untuk pergi dari sini, cuma untuk
membuktikan dirimu tidak takut. Tapi kuminta kau tidak melakukan sesuatu yang gegabah.
Kalau musuh-musuhmu menganggapmu pengecut, kau bisa membuktikan pada mereka besok bahwa
kau bukan pengecut. Malam ini di sini saja kau bersantai. Menyenangkan diri sepuaspuasnya adalah tanda seorang lelaki sejati. Orang-orang Yoshioka mau membunuhmu. Pasti
bukan hat memalukan kalau kau menghindarinya. Tapi banyak orang akan mengutukmu kalau
penilaianmu tidak tepat, yaitu jika kau berkeras masuk dalam perangkap mereka.
"Tentu saja persoalan utama di sini adalah kehormatan pribadimu, tapi kuminta kau
mempertimbangkan kesulitan yang akan menimpa orang-orang di tempat ini, akibat
timbulnya perkelahian. Hidup teman-temanmu akan berada dalam bahaya juga. Dalam keadaan
seperti ini, satu-satunya yang paling bijaksana bagimu adalah tinggal di sini."
Tanpa menanti jawaban Musashi, Yoshino menoleh kepada orang-orang lain, dan katanya,
"Saya kira Bapak-bapak bisa pergi sekarang, asal saja berhati-hati di perjalanan."
Beberapa jam kemudian, lonceng berbunyi empat kali. Bunyi musik dan nyanyian di
kejauhan sudah lenyap. Musashi duduk di ambang kamar perapian, bagai tawanan yang
sedang kesepian menantikan fajar. Yoshino tinggal di dekat api.
"Kau tidak kedinginan di situ?" tanyanya. "Datanglah kemari, di sini hangat."
"Jangan pikirkan aku. Pergilah tidur. Kalau matahari terbit nanti, aku akan mencoba
keluar." Kata-kata itu sudah berkali-kali diucapkan, tapi tak ada hasilnya sama sekali.
Biarpun Musashi tidak pandai berbasa-basi, Yoshino merasa tertarik kepadanya. Orang
mengatakan perempuan yang dapat menilai lelaki sebagai lelaki, dan bukan sebagai sumber
pendapatan, tidak mungkin mencari keria di daerah pelesiran. Ucapan ini cuma klise yang
diulang-ulang oleh pars pengunjung rumah-rumah pelacuran, yaitu orang-orang yang hanya
mengenal pelacur biasa dan tak ada hubungannya dengan pelacur-pelacur besar. Perempuanperempuan dengan tingkat pendidikan dan latihan sepeni Yoshino, mampu sekali merasa
jatuh cinta. Umur Yoshino hanya setahun atau dua tahun lebih tua dari Musashi, tapi
alangkah berlainan pengalaman mereka dalam cinta. Melihat Musashi duduk kaku,
mengendalikan perasaannya, dan menghindari wajahnya, seakan-akan memandang dirinya itu
akan membuatnya buta, Yoshino sekali lagi merasa seperti perawan yang masih polos dan
sedang dirundung cinta pertama.
Para pelayan, yang tidak memahami adanya ketegangan psikologis itu. menghamparkan kasur
yang cocok untuk anak lelaki atau anak perempuan daimyo di kamar sebelah. Loncenglonceng kecil keemasan berkilau lembut di sudut-sudut bantal satin.
Bunyi salju yang meluncur dari atap bukan tidak mirip dengan bunyi orang meloncat dari
pagan ke halaman. Setiap kali mendengarnya, rambut Musashi tegak seperti landak.
Sarafnya seakan mencapai ujung-ujung rambut itu.
Yoshino bergidik di sekujur tubuhnya. Itulah waktu terdingin pada malam hari, yaitu
tepat sebelum fajar merekah. Namun perasaan tak enak yang diderita Yoshino bukanlah
akibat dingin. Perasaan itu diakibatkan karena melihat lelaki ganas itu, dan perasaan
itu berbenturan menjadi suatu irama yang ruwet dengan rasa tertariknya yang wajar
kepada Musashi. Ketel di atas api mulai bersiul dan bunyi riang itu menenangkannya. Diam-diam
dituangkannya teh. "Sebentar lagi pagi. Minumlah secangkir teh dan hangatkan dirimu dekat api."
"Terima kasih," kata Musashi tanpa bergerak.
"Sudah siap sekarang," kata Yoshino lagi, kemudian berhenti mencoba. Ia tak ingin
Musashi merasa jengkel terhadap dirinya. Namun ia sedikit tersinggung juga melihat teh
itu terbuang sia-sia. Sesudah teh terlalu dingin untuk diminum, dituangkannya ke dalam
ember kecil yang memang tersedia untuk itu. Apa gunanya menawarkan teh pada orang kasar
macam ini, yang tak dapat menilai sama sekali keelokan minum teh" demikian pikirnya.
Sekalipun Musashi membelakanginya, Yoshino dapat melihat bahwa tubuh Musashi sekencang
ketopong baja. Dan mata Yoshino jadi tampak bersimpati.
"Musashi." "Apa?" "Kau ini berjaga terhadap siapa?"
"Tidak terhadap siapa-siapa. Aku mencoba untuk tidak terlalu bersantai."
"Justru karena musuh-musuhmu?"
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tentu saja." "Dalam keadaan sekarang, kalau engkau tiba-tiba diserang dengan keras, kau akan segera
terbunuh. Aku yakin, dan itu membuatku sedih." Musashi tidak menjawab.
"Seorang perempuan macam diriku tidak tahu apa-apa tentang Seni Perang, tapi dari
mengamatimu malam ini, aku mendapat perasaan yang mengerikan, seolah aku sedang melihat
orang yang akan dirobohkan pedang. Terasa ada bayangan maut pada dirimu. Apakah seorang
prajurit betul-betul dapat merasa aman, kalau setiap saat dia menghadapi berlusin-lusin
pedang" Dapatkah orang seperti itu mengharapkan kemenangan?"
Pertanyaan itu terdengar simpatik, tapi justru mengganggu ketenangan Musashi. Dengan
cepat ia memutar badan, beranjak ke perapian, dan duduk menghadapi Yoshino.
"Jadi, menurut pendapatmu, aku belum matang?"
"Oh, aku sudah membuatmu marah, ya?"
"Tak pernah aku bisa marah oleh kata-kata perempuan. Tapi aku ingin tahu, kenapa
menurutmu kelakuanku seperti orang yang akan terbunuh?"
Dengan perasaan tak senang ia menyadari bahwa oleh orang-orang Yoshioka ia telah
dijerat dengan jaringan pedang, strategi, dan kutukan. Ia sudah tahu sebelumnya bahwa
ia akan menghadapi usaha balas dendam, dan di halaman Rengeoin pun ia sudah bermaksud
pergi menyembunyikan diri. Tapi perbuatan demikian akan terasa kasar oleh Koetsu dan
akan berarti menyalahi janji kepada Rin'ya. Namun yang lebih menentukan persoalan
adalah keinginan untuk tidak dituduh lari karena takut.
Sesudah kembali ke Ogiya, menurutnya ia sudah memperlihatkan kesabaran yang
mengagumkan. Tapi sekarang Yoshino menertawakan ketidakmatangannya. Ia sebetulnya
takkan terganggu sekiranya Yoshino mengolok-oloknya dengan cara pelacur, tapi Yoshino
kelihatannya serius sekali.
Ia menyatakan tidak marah, tapi kenyataannya matanya setajam ujung pedang, dan ia
langsung menatap wajah Yoshino yang putih. "Jelaskan kata-katamu itu." Dan ketika
Yoshino tidak segera menjawab, katanya, "Atau barangkali kau cuma berkelakar?"
Lesung pipit Yoshino yang sejenak tadi hilang kini muncul lagi. "Bagaimana mungkin kau
mengatakan begitu?" Ia tertawa sambil menggoyangkan kepala. "Apa menurutmu aku akan
berkelakar tentang soal yang begitu serius untuk seorang prajurit?"
"Nah, lalu apa maksudmu" Coba ceritakan!"
"Baik. Karena kau kelihatannya ingin sekali tahu, akan kucoba menjcukan. Apa kau
mendengarkan waktu aku main kecapi?"
"Ada hubungan apa dengan kecapi?"
"Barangkali sinting juga aku menanyakan itu. Tapi karena sedang tegar. telingamu
tentunya tak mungkin menangkap nada-nada musik yang halus dan indah."
"Tidak benar. Aku tadi mendengarkan."
"Dan apa sempat engkau bertanya di dalam hati, bagaimana mungkin gabungan nada-nada
lunak dan keras, dan kalimat-kalimat lemah dan kuat yang demikian rumit itu dapat
dihasilkan oleh empat senar?"
"Aku mendengarkan ceritanya. Apa lagi yang mesti didengarkan?"
"Banyak orang memang begitu sikapnya, tapi aku ingin membuat perbandingan antara kecapi
dan manusia sebagai makhluk. Aku takkan membicarakan teknik bermain, tapi akan
kubacakan sekarang sajak Po Chu-i, di mana ia melukiskan bunyi-bunyi kecapi. Aku yakin
engkau kenal sajak itu."
Yoshino mengerutkan dahinya sedikit ketika membawakan sajak itu dengan suara rendah dan
dengan gaya antara menyanyi dan berbicara.
Dawai-dawai besar mendengung seperti hujan, Dawai-dawai kecil berbisik seperti rahasia,
Mendengung, berbisik... dan kemudian berbaur Seperti mencurahkan mutiara besar-kecil ke
dalam piring baru jadi. Kita mendengar kepodang yang berkilauan, walau tersembunyi
dalam bunga. Kita mendengar kali tersedu sedih di sepanjang tepian pasir... Kalau
dihentikan sentuhan dinginnya, dawai itu bagai putus
Seakan tidak terus, tapi nada-nada yang menghilang ke dasar kesedihan dan persembunyian
ratapan Lebih dapat ia bercerita dalam diam daripada dalam bunyi...
Sebuah jambangan tiba-tiba pecah dan airnya tumpah, Dan kuda-kuda berketopong melompat
dan senjata-senjata membentur dan menghantam Dan sebelum ia menjatuhkan beliungnya, ia
akhiri permainan dengan satu pukulan,
Dan keempat dawai pun memperdengarkan satu bunyi, seperti kain sutra yang koyak.
"Ya begitulah, sebuah kecapi sederhana dapat menghasilkan aneka nada yang tak terbatas
jumlahnya. Semenjak aku menjadi magang, hal itu sudah mengherankan diriku. Akhirnya
kupecahkan kecapi untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Kemudian kucoba membuat
sendiri. Dan sesudah mencoba macam-macam hal, akhirnya aku mengerti bahwa rahasia alat
itu terletak di hatinya."
Ia berhenti dan pergi mencari kecapi dari kamar sebelah. Kembali ke tempat semula, ia
pegang alat musik itu pada lehernya dan ia dirikan di depan Musashi.
"Kalau kauperiksa hati di dalamnya, engkau dapat melihat kenapa berbagai variasi nada
itu mungkin dihasilkan." Ia ambil sebuah pisau yang bagus dan tajam dengan tangannya
yang luwes, kemudian ia torehkan pisau itu cepat dan tajam ke bagian belakang kecapi
yang berbentuk buah pir itu. Dengan tiga-empat torehan cekatan, pekerjaan itu selesai,
demikian cepat dan menentukan, hingga Musashi hampir-hampir mengharap melihat darah
menyembur dari alat musik itu. Ia bahkan merasakan denyut nyeri, seolah-olah mata pisau
itu menoreh dagingnya sendiri. Sambil menyembunyikan pisau di belakang dirinya, Yoshino
mengangkat kecapi itu agar Musashi dapat melihat susunannya.
Musashi memandang wajah Yoshino, kemudian memandang kecapi yang sudah rusak itu, dan
bertanya dalam hati apakah Yoshino sebenarnya memiliki juga sifat keras seperti
dinyatakan dengan cara memainkan pisau itu. Rasa nyeri akibat jerit torehan itu
membekas. "Seperti kaulihat," kata Yoshino. "Bagian dalam kecapi ini hampir seluruhnya bolong.
Segala variasi datangnya dari benda melintang di bagian tengah ini. Potongan kayu
inilah tulang-belulang alat musik ini, alat vitalnya, hatinya. Kalau bentuknya lurus
betul dan kaku, bunyinya monoton, tapi kenyataannya barang itu dibentuk melengkung.
Tapi itu saja tak cukup untuk menciptakan variasi nada yang tanpa batas itu. Variasi
itu dapat diciptakan dengan membiarkan benda melintang itu mendapat kebebasan bergetar
ke sana kemari. Dengan kata lain, kekayaan nada itu ada karena adanya kebebasan gerak
tertentu, dan karena ada kelenturan tertentu pada ujung-ujung intinya.
"Ini sama saja dengan manusia. Dalam kehidupan ini kita mesti memiliki keluwesan.
Semangat kita harus dapat bergerak bebas. Terlampau kaku dan keras berarti rapuh dan
tak memiliki daya tanggap."
Mata Musashi tak bergerak menatap kecapi, dan bibirnya tidak terbuka.
"Soal ini seharusnya jelas bagi semua orang," lanjut Yoshino, "tapi keistimewaan
manusia adalah menjadi kaku, kan" Dengan satu sentilan alat pemetik aku dapat membuat
keempat dawai kecapi ini terdengar seperti lembing, seperti pedang, atau seperti
koyakan kain, karena adanya keseimbangan yang baik antara kemantapan dan keluwesan
dalam inti kayu. Malam ini, ketika pertama kali aku melihatmu, aku dapat merasakan
tidak adanva keluwesan padamu, yang ada cuma kekerasan kaku dan pantang menyerah. Kalau
benda melintang itu sama tegang dan kakunya dengan engkau, satu sentilan alat pemetik
saja akan memutuskan dawai, barangkali termasuk juga papan suaranya sendiri. Mungkin
kelihatannya congkak bahwa aku mengatakan semua ini, tapi aku menguatirkanmu. Aku tidak
berkelakar atau menertawakanmu. Mengerti?"
Ayam jantan berkokok di kejauhan. Sinar matahari yang dipantulkan salju menembus celahcelah tirai hujan. Musashi duduk menatap kecapi yang telah cacat itu dan remah-remah
kayu di lantai. Kokok ayam jantan tidak terdengar olehnya. Ia tak melihat sinar
matahari. "Oh," kata Yoshino, "sudah pagi." Ia kelihatan merasa sayang bahwa malam telah lewat.
Ia mengulurkan tangan untuk mengambil lagi kayu api, tapi ternyata kayu api telah
habis. Bunyi-bunyi pagi hari-pintu yang berderak membuka dan kicau burungburung-masuk ke dalam
kamar, tapi Yoshino tak juga bergerak membuka tirai hujan. Walaupun api sudah dingin,
darah mengalir hangat di dalam nadinya.
Gadis-gadis muda yang meladeninya cukup paham dan tidak membuka pintu rumah kecilnya
sebelum mereka dipanggil.
*** 42. Sakit Hati DALAM dua hari salju mencair dan angin musim semi yang hangat mendorong lautan kuncup
daun untuk berkembang sepenuhnya. Matahari demikian panas, hingga pakaian katun pun tak
enak dipakai. Seorang biarawan muda Zen yang belakang kimononya terpercik lumpur setinggi pinggang
berdiri di depan pintu masuk kediaman Yang Dipertuan Karasumaru. Karena seruan yang
berulang-ulang diucapkannya tidak mendapat jawaban, ia berjalan memutar ke tempat
kediaman para pelayan. Berjinjit ia mengintip lewat jendela.
"Ada apa, Pak Pendeta?" tanya Jotaro.
Biarawan itu memutar badan dan ternganga. Tak terbayang olehnya apa yang dikerjakan
oleh anak telantar macam itu di halaman rumah Karasumaru Mitsuhiro.
"Kalau mau mengemis, Pendeta mesti memutar ke dapur," kata Jotaro.
"Aku di sini bukan mengemis," jawab si biarawan. Ia mengeluarkan kotak surat dari
kimononya. "Aku dari Nansoji di Provinsi Izumi. Surat ini buat Takuan Soho, aku tahu
dia tinggal di sini. Apa kau salah seorang suruhan di sini?"
"Tentu saja bukan. Aku tamu seperti Takuan."
"Oh, begitu" Kalau begitu, boleh aku minta tolong disampaikan kepada Takuan, aku ada di
sini?" "Tunggu di sini. Aku akan memanggilnya."
Jotaro melompat ke pendapa, tapi terinjak olehnya kaki tirai kayu, dan jeruk-jeruk
keprok yang tersimpan dalam kimononya berjatuhan ke lantai. Jeruk-jeruk itu cepat
dipungutnya kembali, lalu ia bergegas ke arah ruangan .ialam.
Beberapa menit kemudian, ia kembali dan memberitahu biarawan itu bahwa Takuan sedang
pergi. "Orang bilang dia di Daitokuji."
"Kau tahu kapan dia kembali?"
"Mereka bilang sebentar lagi."
"Apa bisa aku menunggu tanpa mengganggu orang lain?"
Jotaro meloncat ke halaman dan mengantar biarawan itu langsung ke gudang. "Bapak bisa
menunggu di sini," katanya. "Di sini Bapak takkan mengganggu orang lain."
Gudang itu penuh jerami, roda-roda kereta, tahi lembu, dan segala macam barang lain,
tapi sebelum si pendeta sempat mengatakan sesuatu. Jotaro sudah lari menyeberang
halaman, menuju rumah kecil di ujung barat pekarangan.
"Otsu!" panggilnya. "Aku bawa jeruk."
Dokter Yang Dipertuan Karasumaru mengatakan pada Otsu tak ada yang perlu dikuatirkan.
Otsu percaya kepadanya. Walau hanya dengan meletakkan tangan ke wajah pun ia sudah tahu
betapa kurus badannya. Demam yang dideritanya terus juga berlangsung, dan nafsu
makannya tidak juga pulih, tapi tadi pagi itu ia berbisik pada Jotaro bahwa ia ingin
jeruk. Sesudah meninggalkan posnya di samping tempat tidur Otsu, Jotaro pergi ke dapur, tapi
di situ diketahuinya bahwa di rumah itu tidak ada jeruk. Karena di warung bumbu atau di
warung-warung makanan yang lain pun tidak ada, pergilah ia ke pasar terbuka di Kyogoku.
Berbagai macam barang dapat dibeli di sana-benang sutra, barang-barang dari katun.
minyak lampu, bulu binatang, dan lain-lain-tapi tak ada jeruk keprok. Sesudah
meninggalkan pasar, beberapa kali harapannya bangkit melihat buah warna jingga di dalam
tembok-kebun pribadi, tapi ternyata buah itu jeruk pahit.
Sesudah menjalani hampir setengah kota, barulah ia berhasil mendapatkan jeruk, dengan
mencuri. Sesajen di depan tempat suci Shinto terdiri atas onggokan kentang, wortel, dan
jeruk. Dijejalkannya buah itu ke dalam kimononya dan ia menoleh ke sekitar untuk
meyakinkan diri bahwa tak ada orang memperhatikannya. Karena takut bahwa dewa yang
disakiti hatinya dapat muncul setiap saat, sepanjang jalan kembali ke rumah Karasumaru
ia berdoa, "Jangan hukum aku. Aku sendiri takkan makan jeruk ini."
Ia membariskan jeruk-jeruk itu, menawarkan sebuah pada Otsu, dan mengupaskannya. Otsu
menoleh, tak mau menyentuhnya.
"O-ho, ada apa?"
Ketika Jotaro memajukan wajahnya untuk memandang muka Otsu. Otsu menyembunyikan
kepalanya lebih dalam ke bantal. "Tak ada apa-apa," sedunya.
"Jadi, Kakak mulai nangis lagi, ya?" kata Jotaro sambil mendecapkan lidah. "Maaf."
"Tak usah minta maaf, makan saja satu ini."
"Nanti." "Paling tidak, makan yang sudah kukupas ini. Ayolah."
"Jo, aku hargai perhatianmu, tapi sekarang ini aku belum bisa makan apa-apa."
"Itu karena Kakak nangis terlalu banyak. Kenapa Kakak begini sedih."
"Aku menangis karena bahagia, karena kau begitu baik padaku."
"Aku tak suka melihat Kakak begini. Bikin aku mau nangis juga."
"Aku janji akan berhenti nangis. Maafkan aku, ya?"
"Asal Kakak mau jeruk ini. Kalau Kakak tidak makan apa-apa, nanti Kakak mati."
"Nanti. Kamu saja makan ini."
"Ah, tidak." Dan Jotaro menelan ludah dengan berat. Terbayang olehnya mata berang dewa.
"Baiklah, masing-masing kita ambil satu."
Otsu mengubah pikirannya dan mulai membuang serat-serat putih panjang pada daging buah
itu dengan jari-jarinya yang halus.
"Di mana Takuan?" tanyanya kosong.
"Mereka bilang dia di Daitokuji."
"Apa benar dia melihat Musashi dua malam yang lalu?"
"Kakak dengar?"
"Ya. Aku ingin tahu, apa dia bilang aku ada di sini?"
"Kukira begitu."
"Takuan bilang dia akan mengundang Musashi datang kemari hari-hari ini. Apa dia cerita
tentang itu padamu?"
"Tidak." "Apa dia tidak lupa?"
"Apa perlu aku tanya?"
"Ya, tanyakan," jawab Otsu, dan untuk pertama kalinya ia tersenyum. "Tapi jangan tanya
dia di depanku." "Kenapa tidak?"
"Takuan keterlaluan. Dia bilang aku menderita 'sakit Musashi'."
"Kalau Musashi datang, Kakak mau berdiri dan jalan ke sana kemari, kan?"
"Kamu pun mengucapkan hal-hal macam itu!" Walaupun begitu, kelihatan Otsu betul-betul
bahagia. "Apa Jotaro di situ?" seru salah seorang samurai Mitsuhiro.
"Ya, aku di sini."
"Takuan mencarimu. Sini ikut aku."
"Lihat sana apa maunya," desak Otsu. "Dan jangan lupa pembicaraan kita tadi. Tanya dia,
ya?" Rona merah muda menjalari pipinya yang pucat, sementara ia menarik selimut sampai
ke setengah wajahnya. Takuan sedang ada di kamar duduk, berbicara dengan Yang Dipertuan Mitsuhiro. Jotaro
mengempaskan pintu hingga terbuka dan katanya,
"Pak Pendeta mencariku?"
"Ya, coba kemari."
Mitsuhiro memandang anak itu dengan senyum ramah, walaupun anak itu tidak menampakkan
kesopanan. Jotaro duduk, dan katanya kepada Takuan, "Seorang pendeta seperti Bapak ini datang
kemari. Dia bilang dia dari Nansoji. Bagaimana kalau kupanggil dia?"
"Tak usah. Aku sudah tahu. Dia mengeluh, katanya kamu anak nakal."
"Aku?" "Kaupikir wajar membawa tamu ke gudang dan meninggalkannya di sana?"
"Tapi dia bilang akan menunggu di suatu tempat, supaya tidak mengganggu orang lain!"
Mitsuhiro tertawa sampai lututnya berguncang. Tapi hampir seketika itu juga ia kembali
tenang, dan tanyanya kepada Takuan, "Engkau akan langsung pergi ke Tajima tanpa kembali
ke Izumi?" Takuan mengangguk. "Surat itu agak menggelisahkan, jadi kupikir aku mesti berbuat
demikian. Tak perlu aku melakukan persiapan. Aku berangkat hari ini."
"Bapak akan pergi?" tanya Jotaro.
"Ya, aku mesti pulang secepatnya."
"Kenapa?" "Aku baru mendengar ibuku serius sekali keadaannya."
"Bapak punya ibu?" Anak itu tak percaya dengan pendengarannya.
"Tentu." "Lalu kapan kembali?"
"Tergantung kesehatan ibuku."
"Apa... apa yang mesti kulakukan tanpa Bapak di sini?" gerutu Jotara. "Artinya kami
takkan melihat Bapak lagi?"
"Bukan begitu. Kita segera bertemu lagi. Aku sudah mengatur kalian berdua tinggal terus
di sini, dan aku ingin kau mengawasi Otsu. Usahakan agar dia berhenti merenung dan
supaya sembuh. Yang dia butuhkan daripada obat adalah ketabahan yang lebih besar."
"Aku tak cukup kuat buat memberi ketabahan. Dia takkan sembuh sebelum bertemu Musashi."
"Dia pasien yang sukar, aku yakin. Aku tidak iri kau punya teman jalan macam dia."
"Bapak ketemu Musashi di mana?"
"Nah...?" Takuan memandang Yang Dipertuan Mitsuhiro dan tertawa malu-malu.
"Kapan dia datang kemari" Bapak bilang akan membawa dia kemari, itu satu-satunya yang
dipikirkan Otsu sekarang."
"Musashi?" kata Mitsuhiro sambil lalu. "Apa bukan dia ronin yang bersama kita di Ogiya
itu?" Kata Takuan kepada Jotaro, "Aku belum lupa apa yang kukatakan pada Otsu. Dalam
perjalanan kembali dari Daitokuji, aku singgah di rumah Koetsu buat melihat apa Musashi
ada di sana. Koetsu bilang tidak melihat Musashi. Menurutnya barangkali Musashi masih
di Ogiya. Dia bilang ibunya begitu kuatir dengan Musashi, hingga menulis surat pada
Yoshino Dayu, minta supaya Musashi segera dikirim pulang."
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha?" seru Yang Dipertuan Mitsuhiro sambil mengangkat kening, setengah heran setengah
iri. "Jadi, dia masih dengan Yoshino?"
"Musashi tentunya tak lebih dari lelaki seperti yang lain-lain. Sekalipun orang-orang
itu kelihatan lain ketika masih muda, selamanya mereka kemudian sama."
"Yoshino itu perempuan aneh. Apa yang dipandangnya pada pemain pedang kasar itu?"
"Aku tak akan berpura-pura bisa memahaminya. Dan aku pun tidak memahami Otsu.
Kesimpulannya, aku tidak memahami perempuan pada umumnya. Dari pihakku, mereka tampak
sedikit sakit. Mengenai Musashi, kukira sudah saatnya sekarang ini dia mencapai musim
semi hidupnya. Latihannya yang sebenarnya baru sekarang dimulai. Mari kita harapkan
agar dia lepas dari anggapannya bahwa perempuan lebih berbahaya dari pedang. Namun
demikian, orang lain tidak dapat memecahkan masalahmasalahnya. Aku sendiri pun tak bisa
apa-apa selain dari membiarkannya sendiri."
Takuan merasa kurang enak juga berbicara begitu banyak di depan lotaro, maka ia
bergegas menyatakan terima kasih dan minta diri pada tuan rumah, serta sekali lagi
mohon kepada tuan rumah agar mengizinkan Otsu dan Jotaro tinggal lebih lama sedikit.
Peribahasa tua yang menyatakan bahwa perjalanan mesti dimulai di waktu pagi tidak ada
artinya bagi Takuan. Ia sudah siap berangkat, dan ia memang berangkat, sekalipun
matahari sudah turun ke barat dan senja mulai menyelimuti.
Jotaro berlari di sampingnya sambil menarik-narik lengan bajunya. "Pak, kembali dulu,
dan bicara sedikit dengan Otsu! Dia baru saja nangis, dan aku tak dapat menghiburnya
sama sekali." "Apa kalian berdua bicara tentang Musashi?"
"Dia minta aku tanya pada Bapak, kapan Musashi datang. Kalau Musashi tak datang, aku
takut dia mati." "Kamu tak usah kuatir. Tinggalkan dia sendiri."
"Takuan, siapa Yoshino Dayu itu?"
"Apa gunanya kamu tahu itu?"
"Bapak bilang Musashi bersama dia. Ya, kan?"
"Coba dengar. Aku tidak bermaksud kembali dan mencoba mengobati penyakit Otsu, tapi
kuminta kamu menyampaikan padanya atas namaku."
"Menyampaikan apa?"
"Suruh dia makan yang wajar."
"Aku sudah mengatakan itu seratus kali."
"Sudah" Ya, itulah yang sebaik-baiknya mesti dikatakan kepadanya. Kalau tak mau
mendengarkan, lebih baik kausampaikan padanya yang sebenarnya."
"Apa itu?" "Musashi sudah terpikat seorang pelacur bernama Yoshino, dan sudah dua hari dua malam
dia tidak meninggalkan rumah pelacuran. Tolol Otsu, kalau dia mau terus mencintai
lelaki macam itu!" "Ah, bohong!" protes Jotaro. "Dia sensei-ku! Dia samurai! Dia tidak seperti itu. Kalau
kukatakan itu pada Otsu, dia bisa bunuh diri! Bapak sendiri yang tolol, Takuan. Bapak
tolol, besar, tua!" "Ha, ha, ha!" "Bukan urusan Bapak mengatakan yang jelek-jelek tentang Musashi atau mengatakan Otsu
sinting." "Kamu anak baik, Jotaro," kata Takuan sambil menepuk bahu Jo
taro. Jotaro merunduk menghindari tangan Takuan. "Cukup bicara dengan Bapak! Tak akan aku
minta tolong lagi. Aku akan cari Musashi sendiri. Akan kubawa dia kembali pada Otsu!"
"Apa kamu tahu tempatnya?"
"Tidak, tapi aku bisa menemukannya."
"Bolehlah kamu lancang semaumu, tapi takkan mudah kamu menemukan tempat Yoshino. Mau
kuberitahu?" "Tak perlu susah-susah."
"Jotaro! Aku ini bukan musuh Otsu, juga tak ada masalah dengan Musashi. Jauh dari itu!
Bertahun-tahun aku mendoakan supaya mereka berdua dapat hidup dengan baik bersama."
"Kalau begitu, kenapa Bapak selalu mengucapkan yang jelek-jelek macam itu?"
"Apa begitu kelihatannya olehmu" Barangkali kau benar. Tapi pada waktu itu kedua-duanya
memang sakit. Kalau Musashi dibiarkan sendiri. penyakitnya akan pergi, tapi Otsu
membutuhkan bantuan. Sebagai pendeta. aku sudah mencoba menolongnya. Kami para pendeta
memang diharapkan dapat mengobati penyakit hati, tepat seperti para dokter mengobati
penyakit tubuh. Sayang sekali aku tidak dapat melakukannya untuk Otsu, dan aku menyerah
sekarang. Kalau Otsu tak dapat menyadari bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan, hal
terbaik yang dapat kulakukan hanyalah menganjurkannya makan wajar."
"Tak usah kuatir soal itu. Otsu takkan minta tolong pada orang palsu macam Bapak."
"Kalau kau tidak mempercayai aku, pergi sana ke Ogiya di Yanagimachi. dan lihat
sendiri, sedang apa Musashi di sana. Kemudian kau pulang dan ceritakan pada Otsu apa
yang kaulihat. Otsu akan patah hati sebentar, tapi itu akan membuka matanya."
Jotaro menyumbat telinganya dengan jari. "Tutup mulut, penipu berkepala buah ek!"
"Lho, kamu yang mengejar-ngejarku, kan" Apa kau lupa?"
Ketika Takuan berjalan pergi meninggalkannya, Jotaro berdiri di tengah jalan,
mengulang-ulang nyanyian kurang ajar yang biasa digunakan anak-anak jalanan untuk
mengejek-ejek pendeta pengemis. Tapi begitu Takuan tidak tampak lagi, ia tercekik. Air
matanya bercucuran dan ia menangis sejadi-jadinya. Tapi ketika akhirnya ia dapat
mengendalikan diri kembali, ia menghapus matanya, dan seperti anak anjing sesat yang
tibatiba ingat jalan pulang, ia mulai mencari Ogiya.
Orang pertama yang ditemuinya seorang perempuan. Orang itu memakai kerudung dan
ternyata seorang nyonya rumah tangga biasa. Jotaro lari mendapatkannya, dan tanyanya,
"Bagaimana caranya pergi ke Yanagimachi?"
"Itu daerah lokalisasi, kan?"
"Apa daerah lokalisasi itu?"
"Minta ampun!" "Coba terangkan, apa kerja orang-orang di situ!"
"Oh, kamu...!" Perempuan itu menatapnya marah sejenak, kemudian bergegas pergi.
Tanpa gentar Jotaro meneruskan jalannya. Satu demi satu ditanyainya orang-orang lain,
di mana letak Ogiya. *** 43. Bau Kayu Gaharu LAMPU-LAMPU di jendela rumah-rumah pelesiran itu bercahaya terang, tapi waktu itu masih
terlalu pagi bagi para langganan untuk berkeliaran di tiga gang utama di daerah itu.
Di Ogiya, kebetulan salah seorang pelayan muda memandang ke arah pintu masuk. Aneh
kelihatannya ada mata yang mengintip lewat celah tirai, dan di bawah tirai tampak
sepasang kaki yang mengenakan sandal jerami kotor, juga ujung sebelah pedang kayu.
Orang muda itu terlompat sedikit karena kaget, tapi sebelum ia sempat membuka mulut,
Jotaro sudah masuk dan mengemukakan soalnya.
"Miyamoto Musashi di sini, ya" Dia guruku. Boleh minta tolong beritahu dia, Jotaro di
sini" Atau minta dia keluar."
Pandangan kaget pelayan itu berganti dengan kerutan kening tajam. "Siapa kau ini,
pengemis kecil?" geramnya. "Di sini tak ada orang yang namanya begitu. Apa maksudmu
memperlihatkan muka kotor di sini ketika kerja baru akan mulai" Keluar!"
Jotaro dicekal leher bajunya dan didorong keras.
Marah seperti ikan buntal yang sedang mengembung, Jotaro memekik, "Berhenti! Aku datang
ke sini mencari guruku!"
"Aku tak peduli kenapa kamu di sini, tikus kecil! Musashi-mu itu sudah banyak bikin
kesusahan. Dia tak ada di sini."
"Kalau tak ada di sini, kenapa kamu tidak bilang saja begitu" Lepaskan aku!"
"Tampangmu mencurigakan. Bagaimana mungkin aku tahu kamu bukan mata-mata Perguruan
Yoshioka?" "Oh, itu tak ada hubungannya denganku. Kapan Musashi pergi dari sini" Kapan dia pergi?"
"Tadi kamu suruh-suruh aku, sekarang kamu minta keterangan. Kamu mesti belajar bikin
sopan lidahmu itu. Mana aku tahu di mana dia?"
"Kalau kamu tidak tahu, baik, tapi lepaskan kerahku ini!"
"Baik, akan kulepaskan kamu macam ini!" Dijewernya telinga Jotaro keras-keras dan
diayunkannya Jotaro kesana kemari, kemudian dilontarkannya ke arah pintu gerbang.Uh!"
pekik Jotaro. Sambil merunduk, ia menarik pedang kayunya dan memukul pelayan itu pada
mulutnya, hingga rompal gigi-gigi depannya.
"0-w-w!" Orang muda itu memegang mulutnya yang berdarah dengan sebelah tangan, dan
tangan satunya merobohkan Jotaro.
"Tolong! Pembunuh!" pekik Jotaro.
Ia mengerahkan kekuatannya, seperti ketika membunuh anjing di Koyagyu dulu, dan
dihantamkannya pedangnya ke tengkorak pelayan itu. Darah muncrat dari hidung orang muda
itu, dan diiringi bunyi yang tak lebih keras dari keluhan cacing tanah, ia rebah di
bawah pohon itu. Seorang pelacur yang sedang memamerkan diri di jendela berjeruji di seberang jalan
mengangkat kepala dan berteriak ke jendela sebelah, "Hei! Lihat tidak" Anak lelaki yang
pakai pedang kayu itu baru membunuh orang Ogiya! Dia lari sekarang!"
Dalam sekejap mata jalan itu penuh orang lari lintang-pukang, dan udara bergema dengan
teriakan-teriakan haus darah. "Jalan mana dia lari?"
"Bagaimana tampangnya?"
Seperti dimulainya, keributan itu lekas mereda, dan ketika orang-orang yang hendak
bersenang-senang mulai datang, peristiwa itu sudah tidak lagi menjadi bahan
pembicaraan. Perkelahian adalah kejadian biasa, dan para penghuni daerah itu biasa
menyelesaikan atau menutup kejadian-kejadian yang lebih berdarah dalam waktu singkat,
agar dapat menghindari pemeriksaan polisi.
Disamping gang-gang utama yang diberi penerangan seperti siang, terdapat juga cabangcabang gang dan tempat-tempat kosong yang sepenuhnya gelap. Jotaro berhasil menemukan
tempat bersembunyi, kemudian pindah ke tempat lain lagi. Dengan pikirannya yang polos,
ia mengira dapat lolos dari sana, padahal nyatanya seluruh daerah itu dikelilingi
dinding setinggi sepuluh kaki, terbuat dari balok-balok hangus yang menajam di
puncaknya. aesudah menemukan dinding itu ia menyusurinya, tapi ia tak dapat menemukan
celah yang besar, apalagi menemukan gerbang. Ketika ia membalik untuk menghindari salah
satu gang yang ada di sana, tampak olehnya seorang gadis muda. Begitu mata mereka
bertemu, gadis itu memanggilnya pelan dan mengajaknya dengan isyarat tangan putihnya
yang halus. "Kamu panggil aku?" tanya Jotaro waspada. Ia tak melihat ada maksud jahat pada wajah
gadis berpupur tebal itu, karena itu ia mendekati sedikit. "Ada apa?"
"Kamu yang datang di Ogiya menanyakan Miyamoto Musashi, kan?" tanya gadis itu lemah
lembut. "Ya." "Namamu Jotaro, kan?"
"He-eh." "Ayo ikut aku. Kuantar kamu kepada Musashi."
"Di mana dia?" tanya Jotaro, dan mulai curiga lagi.
Gadis itu berhenti dan menjelaskan bahwa Yoshino Dayu sangat menaruh perhatian pada
peristiwa dengan pelayan itu, dan telah menyuruhnya mencari Jotaro dan membawanya ke
tempat sembunyi Musashi. Dengan wajah menyatakan terima kasih, Jotaro bertanya, "Kamu pelayan Yoshino Dayu, ya?"
"Ya. Dan kamu boleh lega sekarang. Kalau dia membelamu, tak seorang pun di daerah ini
dapat menyentuh kamu."
"Apa guruku betul-betul ada di sini?"
"Kalau tidak, buat apa aku menunjukkan jalannya?"
"Apa kerjanya di tempat macam ini?"
"Kalau kau buka pintu rumah pertanian kecil di sana itu, kau dapat melihatnya sendiri.
Sekarang aku mesti kembali ke pekerjaanku." Ia menghilang diam-diam ke semak-semak di
kebun yang berdekatan. Rumah pertanian itu kelihatannya terlalu sederhana kalau mesti merupakan akhir usahanya
mencari Musashi, tapi ia tak dapat pergi sebelum menyaksikan dengan mata kepala
sendiri. Untuk sampai di jendela samping, ia gelindingkan sebuah batu dari halaman ke
dinding, kemudian ia naik ke atasnya dan menempelkan hidung ke jeruji bambu.
"Dia ada di situ!" katanya dengan suara sengaja dibuat rendah, sambil berusaha
menyembunyikan diri. Tapi ingin sekali ia mengulurkan tangan dan menjamah gurunya.
Begitu lama sudah! Musashi waktu itu sedang tidur dekat perapian, berbantal tangan. Pakaiannya lain sekali
dari yang pernah ia lihat sebelumnya-kimono sutra dengan pola-pola bergambar besar,
dari jenis yang disukai para pemuda yang suka bergaya di kota. Di lantai terhampar kain
wol merah. Di atasnya terletak sebuah kuas pelukis, sebuah kotak tinta, dan beberapa
carik kertas. Di atas secarik kertas, Musashi membuat sketsa terong, dan di kertas lain
kepala seekor ayam. Jotaro merasa terguncang. "Bagaimana mungkin dia menghabiskan waktu dengan membuat
lukisan?" pikirnya marah. "Apa dia tidak tahu Otsu sakit?"
Selembar jubah bersulam menutup setengah bahu Musashi. Itu jelas pakaian perempuan, dan
kimononya yang terlalu mencolok itu memuakkan. Jotaro merasakan adanya pancaran gairah
yang menyembunyikan kejahatan. Seperti pada Hari Tahun Baru, gelombang kemarahan besar
terhadap cara-cara jahat yang ditempuh orang dewasa melandanya. "Ada yang tak beres
dengannya," pikirnya. "Dia sedang tak sadar sekarang."
Kejengkelannya berubah menjadi kenakalan, dan ia meyakinkan dirinya bahwa ia tahu apa
yang mesti dilakukan. "Akan kutakut-takuti dia." pikirnya. Pelan sekali, mulailah ia
turun dari batu. "Jotaro!" panggil Musashi. "Siapa yang bawa kamu kemari?"
Anak itu terperanjat dan melihat lewat jendela lagi. Musashi masih berbaring, matanya
setengah terbuka, dan ia menyeringai.
Jotaro berlari cepat ke depan rumah, masuk lewat pintu depan, dan merangkulkan
tangannya ke bahu Musashi. "Sensei" desahnya bahagia.
"Jadi, kamu datang, ya?" Sambil terus telentang, Musashi mengulurkan tangan dan
mendekapkan kepala Jotaro yang kotor itu ke dadanya. "Bagaimana kamu bisa tahu aku di
sini" Takuan yang kasih tahu, ya" Lama kita tak bertemu, ya?" Tanpa mengendurkan
pelukannya, Musashi duduk. Jotaro menggeliat-geliatkan kepala seperti anjing Peking,
dan merapatkan badan ke dada hangat yang sudah hampir terlupakan olehnya itu.
Kemudian Jotaro memindahkan kepalanya ke pangkuan Musashi dan diam di situ. "Otsu
terbaring sakit. Dia ingin sekali bertemu Kakak. Dia selalu bilang akan baik kalau
Kakak datang. Sekali saja, itulah yang diinginkannya."
"Otsu yang malang."
"Dia lihat Kakak bicara dengan gadis edan itu pada Hari Tahun Baru. Otsu jadi marah dan
menutup diri dalam rumah siputnya. Aku mencoba menarik dia ke jembatan itu, tapi dia
tak mau." "Aku tidak menyalahkan dia. Hari itu aku juga terganggu oleh Akemi."
"Kakak mesti datang melihatnya. Dia di rumah Yang Dipertuan Karasumaru. Kakak masuk
saja, dan katakan, 'Lihat, Otsu, aku di sini'. Kalau Kakak mau berbuat begitu, dia
pasti langsung baik."
Karena ingin sekali menjelaskan persoalannya, Jotaro berbicara lebih banyak lagi, tapi
itulah isi pokoknya. Musashi menggerutu sekali-sekali, dan sekali-dua kali mengatakan,
"Begitu, ya?" Tapi, karena sebab-sebab yang tak dapat diduga oleh anak itu, Musashi
tidak juga keluar, sekalipun anak itu memohon dan memintanya. Sebaliknya dengan
panjang-lebar ia mengatakan akan melakukan apa yang diminta Jotaro. Jotaro mulai merasa
tak suka kepada gurunya, sekalipun ia begitu berbakti kepada Musashi dan sudah gatal
tangannya untuk berkelahi benar-benar dengan gurunya.
Keinginan berkelahi itu mendidih lebih hebat lagi, bahkan sampai sedemikian rupa,
hingga hanya dapat dikendalikan oleh sikap hormatnya. Ia terdiam dengan wajah yang
jelas sekali menggambarkan sikap tak setuju. Matanya muram dan bibirnya menyeringai,
seakan-akan ia habis minum secangkir cuka.
Musashi mengambil buku gambar dan kuasnya, dan mulai menambahkan beberapa sapuan ke
salah satu sketsanya. Jotaro memandang gambar terong itu dengan sikap tak suka, dan
pikirnya, "Apa yang bikin dia menyangka dapat melukis" Sungguh keterlaluan."
Tak lama kemudian, Musashi bosan dan mulai mencuci kuasnya. Baru saja Jotaro hendak
mengajukan imbauan sekali lagi, terdengar suara bakiak di batu-batu pijakan di luar.
"Cucian Bapak sudah kering," terdengar suara seorang gadis. Abdi yang tadi mengantar
Jotaro itu masuk membawa kimono dan jubah, keduanya sudah dilipat rapi. Sambil
meletakkannya di depan Musashi, gadis itu minta Musashi memeriksanya.
"Terima kasih," kata Musashi. "Kelihatan baru lagi."
"Noda darah itu tak bisa cepat hilang. Mesti disikat banyak kali."
"Kelihatannya sudah hilang sekarang, terima kasih... Di mana Yoshino?"
"Oh, dia sibuk bukan main, ganti-ganti melayani tamu. Gara-gara mereka, dia tak bisa
istirahat." "Tempat ini menyenangkan sekali, tapi kalau aku tinggal di sini lebih lama, aku menjadi
beban orang. Aku mau menyelinap kalau matahari naik Minta tolong sampaikan ini kepada
Yoshino, dan sampaikan terima kasihku yang sedalam-dalamnya."
Jotaro jadi senang. Musashi tentu merencanakan bertemu dengan Otsu sekarang. Begitulah
mestinya gurunya, sebagai seorang lelaki yang tulus dan baik. Dan ia tersenyum bahagia.
Begitu gadis itu pergi, Musashi meletakkan pakaian itu di depan Jotaro katanya, "Kamu
datang pada waktu yang tepat. Pakaian ini mesti dikembalikan kepada perempuan yang
meminjamkannya padaku. Kuminta kamu membawanya ke rumah Hon'ami Koetsu"di bagian utara
kota"dan mengambil kembali kimonoku sendiri. Mau kamu jadi anak baik, dan melakukan ini
untukku?" "Tentu!" kata Jotaro dengan wajah bergairah. "Aku pergi sekarang."
Dibungkusnya pakaian itu dengan selembar kain, bersama surat dari Musashi kepada
Koetsu, lalu ia sampirkan bungkusan itu ke punggungnya.
Justru waktu itu si abdi datang kembali membawa makan malam dan mengangkat kedua
tangannya dengan ngeri. "Apa yang Bapak lakukan?" gagapnya. Musashi menjelaskannya, tapi gadis itu berteriak,
"Oh, Bapak tak bisa menyuruhnya pergi!" Dan ia menyampaikan kepada Musashi apa yang
telah diperbuat Jotaro. Untungnya sasaran pukulan Jotaro itu tidak tepat, jadi pelayan
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu masih hidup. Gadis itu meyakinkan Musashi bahwa karena peristiwa itu hanya satu di
antara banyak perkelahian yang sering terjadi, maka soal itu selesai sampai di situ.
Yoshino pribadi sudah mengingatkan pemilik dan orang-orang muda di tempat itu supaya
bungkam. Gadis itu menyatakan bahwa dengan menyatakan dirinya siswa Miyamoto Musashi,
walaupun tak sengaja, Jotaro sudah memberikan ketegasan kepada desas-desus bahwa
Musashi masih ada di Ogiya.
"Begitu," kata Musashi dengan nada biasa. Ia memandang bertanya-tanya kepada Jotaro.
Jotaro menggaruk kepalanya, menarik diri ke sudut mengerutkan diri sekecil-kecilnya.
Gadis itu melanjutkan, "Tak perlu saya menyampaikan pada Bapak yang bakal terjadi kalau
dia mencoba meninggalkan tempat ini. Di sana-sini masih banyak orang-orang Yoshioka,
menanti Bapak memperlihatkan diri. Yoshino dan pemilik tempat ini ada dalam kedudukan
sangat sukar sekarang, karena Koetsu meminta kami menjaga Bapak. Ogiya tak mungkin
membiarkan Bapak langsung masuk cengkeraman mereka. Yoshino bertekad melindungi Bapak.
"Samurai-samurai itu begitu keras hati. Mereka terus melakukan pengawasan. Beberapa
kali mereka mengirim orang dan menuduh kami menyembunyikan Bapak. Kami sudah bisa
melepaskan diri dari mereka, tapi mereka masih belum yakin. Betul-betul saya tak
mengerti. Mereka berbuat seperti sedang melakukan perang besar. Sebelah luar pintu
gerbang yang menuju daerah ini, ada tiga atau empat baris samurai. Pengintai ada di
mana-mana, dan mereka bersenjata lengkap.
"Yoshino berpendapat Bapak mesti tinggal di sini empat-lima hari lagi, atau setidaknya
sampai mereka capek menanti."
Musashi mengucapkan terima kasih kepadanya atas kebaikan dan perhatiannya, tapi
tambahnya samar-samar, "Aku punya rencana sendiri."
Ia setuju sekali mengirimkan pelayan ke rumah Koetsu sebagai ganti Jotaro. Pelayan itu
kembali kurang dari satu jam kemudian, membawa surat Koetsu, Kalau ada kesempatan, mari
kita bertemu lagi. Walaupun kelihatannya panjang, hidup ini sebenarnya pendek sekali.
Kuminta engkau menjaga dirimu sebaik-baiknya. Salam dari jauh. Walaupun jumlahnya
sedikit, kata-kata itu terasa hangat dan sangat wajar.
"Pakaian Bapak ada dalam bungkusan ini," kata si pelayan. "Ibu Koetsu khusus minta saya
menyampaikan ucapan selamat." Ia membungkuk dan pergi.
Musashi memandang kimono katunnya yang sudah tua, compang-camping, sudah begitu sering
terkena embun dan hujan, serta bernoda-noda keringat. Pakaian itu terasa lebih enak
bagi kulitnya daripada sutra halus yang dipinjamkan kepadanya oleh Ogiya. Itulah
seragam yang cocok bagi orang yang sedang mempelajari ilmu pedang secara serius.
Musashi tidak membutuhkan atau menginginkan pakaian yang lebih baik dari itu.
Ia menduga kimono itu pasti bau sesudah beberapa hari dilipat, tapi ketika ia
memasukkan tangannya ke dalam lengan kimono itu, tahulah ia bahwa kimono itu segar
sekali karena sudah dicuci. Lipatan-lipatannya tampak rapi. Terpikir olehnya, Myoshu
mencuci kimono itu sendiri, dan ia pun jadi ingin memiliki seorang ibu. Terpikir
olehnya hidup panjang dan sendiri yang akan ditempuhnya, tanpa sanak saudara kecuali
kakak perempuan yang hidup di pegunungan. Sejenak ia memandang ke api.
"Mari kita pergi," katanya. Ia kencangkan obi-nya dan ia selipkan pedang yang
dicintainya di antara tulang rusuk dan obi itu. Sementara melakukan itu, rasa kesepian
pun menyingkir, sama cepatnya dengan waktu datangnya. Pedang itu menjadi ibunya,
ayahnya, saudara lelaki, dan saudara perempuannya, demikian renungnya. Itulah yang
telah disumpahkannya pada diri sendiri bertahun-tahun sebelum itu, dan itulah yang
kiranya akan terjadi. Jotaro sudah di luar, memandang bintang-bintang di langit. Pikirnya, betapa larut pun
mereka sampai di rumah Yang Dipertuan Karasumaru, Otsu pasti masih terjaga.
"Oh, pasti nanti dia terkejut," katanya pada diri sendiri. "Dia akan begitu bahagia,
dan barangkali dia akan mulai menangis lagi."
"Jotaro," kata Musashi, "apa tadi kamu masuk lewat gerbang kayu di belakang?"
"Saya tidak tahu, apakah itu di belakang. Tapi gerbangnya di sana itu."
"Pergilah kamu ke sana dan tunggu aku."
"Apa kita tidak pergi bersama-sama?"
"Ya, tapi aku mau mengucapkan selamat tinggal dulu pada Yoshino. Tidak lama."
"Baik, saya menunggu dekat gerbang." Sebetulnya Jotaro kuatir Musashi meninggalkannya,
walaupun hanya beberapa saat. Tapi pada malam yang khusus ini, mau rasanya ia melakukan
apa pun yang diminta gurunya.
Ogiya seperti semacam pelabuhan, menyenangkan, namun cuma sementara. Musashi ingat
bahwa terpencil dari dunia luar itu baik akibatnya bagi dirinya, karena sampai waktu
itu tubuh dan jiwanya seperti es, menjadi benda tebal dingin yang tidak peka terhadap
keindahan bulan, tak peduli terhadap bunga-bungaan dan tidak tanggap terhadap matahari.
Ia memang tidak sangsi akan kebenaran hidup menyangkal diri seperti yang ditempuhnya,
tapi la dapat melihat sekarang bahwa hidup dengan menyangkal diri sendiri itu
membuatnya sempit, berpikiran kerdil, dan keras kepala. Takuan sudah mengatakan
kepadanya bertahun-tahun lalu bahwa kekuatan yang dimilikinya tidak ada bedanya dengan
kekuatan binatang liar. Nikkan juga sudah mengingatkannya bahwa ia terlampau kuat.
Sesudah bertempur dengan Denshichiro, tubuh dan jiwanya jadi terlalu pekat dan tegang.
Dua hari terakhir itu ia membiarkan dirinya lepas dan semangatnya mengendur. Ia minum
sedikit, tidur manakala ia mau, membaca, mencoba-coba melukis, menguap, dan meregangkan
badan semaunya. Beristirahat itu bermanfaat sekali. Ia menyimpulkan bahwa beristirahat
itu penting, dan akan selalu penting baginya sekali-sekali bernikmat-nikmat sepenuhnya
selama dua-tiga hari. Sementara berdiri di halaman, memperhatikan lampu dan bayangan di kamar-kamar depan, ia
berpikir, "Aku harus mengucapkan sepatah kata terima kasih kepada Yoshino Dayu atas
segala jasanya." Tapi kemudian ia berubah pikiran. Dengan mudah ia dapat mendengar
dentang-dentang shamisen dan nyanyian parau para pembeli. Tak terlihat olehnya jalan
untuk menyelinap dan bertemu dengan Yoshino. Lebih baik ia mengucapkan terima kasih di
dalam hati, dan berharap Yoshino akan mengerti. Ia membungkuk ke arah depan rumah dan
berangkat. Di luar ia memanggil Jotaro dengan isyarat tangan. Ketika anak itu berlari-lari
mendapatkannya, mereka mendengar Rin'ya datang membawa surat dari Yoshino. Ia
memasukkan surat itu ke tangan Musashi, dan pergi.
Kertas surat itu kecil, berwarna indah. Ketika Musashi membukanya, bau kayu gaharu
merasuk ke dalam lubang hidung. Surat itu menyatakan,
Sekilas cahaya bulan dari balik pepohonan lebih memberi kenang-kenangan, daripada
bunga-bunga malang yang layu dan luluh malam demi malam. Walaupun orang tertawa
sementara aku tersedu dalam mabuk, kukirimkan sepatah kata kenangan ini padamu.
"Dari siapa surat itu?" tanya Jotaro.
"Dari orang yang tak penting sama sekali."
"Perempuan?" "Apa bedanya?" "Apa isinya?" "Tak perlu kamu tahu." Musashi melipat kertas itu.
Jotaro mendekatkan mukanya ke surat itu, dan katanya, "Baunya harum. Bau kayu gaharu."
*** 44. Pintu Gerbang JOTARO mengira langkah mereka berikutnya adalah keluar dari daerah itu tanpa diketahui
orang. "Lewat jalan ini kita sampai pintu gerbang utama," katanya. "Itu berbahaya sekali."
"Mm." "Mestinya ada jalan keluar lain."
"Apa semua pintu masuk, kecuali yang utama itu, tidak ditutup waktu malam?"
"Kita dapat memanjat dinding."
"Perbuatan pengecut. Kamu tahu, aku punya rasa kehormatan, juga nama baik untuk
dipertahankan. Aku akan jalan langsung lewat gerbang utama kalau waktunya tepat."
"Betul?" Sekalipun merasa tak enak, anak itu tidak membantah lagi, karena ia tahu betul
bahwa menurut peraturan golongan prajurit, orang yang tak punya harga diri tidaklah
berharga. "Tentu," jawab Musashi. "Tapi bukan untuk kamu. Kamu masih kanak-kanak. Kamu bisa
keluar dari jalan yang lebih aman."
"Bagaimana?" "Lewat pagar." "Sendiri?" "Sendiri." "Saya tak bisa."
"Kenapa?" "Saya bisa disebut pengecut."
"Jangan tolol. Yang mereka kejar itu aku, bukan kamu."
"Tapi di mana kita akan bertemu?"
"Lapangan Berkuda Yanagi."
"Betul Kakak akan datang?"
"Tentu." "Kakak berjanji takkan lari lagi?"
"Aku takkan lari. Salah satu hal yang tak ingin kuajarkan padamu adalah berbohong.
Kukatakan aku akan bertemu denganmu, jadi aku akan bertemu denganmu. Sekarang,
sementara tak ada orang, ayo kamu lompat lewat pagar."
Jotaro menoleh ke sekitar dengan hati-hati sebelum berlari ke pagar, dan di pagar ia
berhenti diam, memandang prihatin ke atas. Pagar itu lebih dari dua kali tinggi
badannya. Musashi berlari juga sambil membawa sekarung arang. Ia menurunkan karung dan
mengintip lewat celah pagar.
"Apa Kakak lihat ada orang disana?" tanya Jotaro.
"Tidak, tak ada yang kelihatan kecuali rumput mendong. Di bawah itu mestinya air, jadi
kamu mesti hati-hati kalau nanti turun."
"Saya basah tak apa-apa, tapi bagaimana saya bisa sampai di atas pagar?"
Musashi mengabaikan saja pertanyaan itu. "Kita mesti tahu bahwa pengawal ditempatkan di
titik strategis di samping gerbang utama. Lihat dulu baik-baik sebelum melompat, kalau
tidak, kamu bisa menghadapi ujung pedang."
"Saya mengerti."
"Kulemparkan arang ini ke luar pagar sebagai umpan. Kalau tak ada apa-apa, kau bisa
menyusul." Ia membungkuk, dan Jotaro melompat ke punggungnya. "Berdiri kamu di atas bahuku."
"Sandal saya kotor."
"Tak apa-apa." Jotaro mengambil posisi berdiri. "Apa kamu bisa sampai di atas?"
"Tidak." "Kalau kamu lompat, bisa tidak?"
"Saya pikir tidak."
"Baik, kalau begitu kamu berdiri di tanganku." Musashi mementangkan kedua tangannya di
atas kepala. "Sampai!" kata Jotaro berbisik keras.
Musashi memegang karung arang dengan sebelah tangan dan melontarkannya setinggitingginya. Karung itu jatuh bergedebuk ke tengah rumput mendong. Tidak terdengar apaapa.
"Tak ada air di sini," lapor Jotaro sesudah melompat turun.
"Hati-hati kamu."
Musashi tetap menempelkan sebelah mata ke celah itu sampai tidak terdengar olehnya
langkah kaki Jotaro, kemudian dengan cepat dan riang ia berjalan ke salah satu gang
utama yang paling ramai. Tak ada di antara orang-orang yang sedang bersuka ria ke sanasini itu memperhatikannya.
Ketika ia keluar dari gerbang utama, orang-orang Yoshioka tergagap serentak, dan semua
mata terpusat kepadanya. Disamping pengawal di pintu gerbang, ada sejumlah samurai
berjongkok di sekitar api unggun tempat para pemikul joli menunggu menghabiskan waktu.
Juga ada pengawal bantuan di Warung Teh Amigasa dan warung minum di seberang jalan.
Kewaspadaan mereka tak pernah mengendur. Topi-topi anyaman tanpa sungkan dicopot, dan
wajah-wajah orang diperiksa. Joli-joli dihentikan dan penumpangnya diperiksa.
Beberapa kali dilangsungkan perundingan dengan Ogiya untuk menggeledah daerah itu, tapi
tak ada hasilnya. Sepanjang yang diketahui pengurus Ogiya, Musashi tidak ada di sana.
Orang-orang Yoshioka tak dapat bertindak berdasarkan desas-desus saja bahwa Yoshino
Dayu melindungi Musashi. Yoshino terlalu dikagumi orang, baik di daerah itu sendiri
maupun di dalam kota, hingga kalau diserang begitu saja akan menimbulkan reaksi serius.
Karena wajib melancarkan perang yang dinantikan, orang-orang Yoshioka mengepung daerah
itu dari jarak tertentu. Mereka tidak mengesampingkan kemungkinan Musashi mencoba
meloloskan diri lewat pagar, tapi yang paling mungkin bagi mereka adalah Musashi keluar
lewat pintu gerbang, baik dengan menyamar maupun dalam joli tertutup. Satu-satunya
kemungkinan yang tidak siap mereka hadapi adalah justru yang terjadi sekarang ini.
Tak seorang pun bergerak menghalangi jalan Musashi, dan Musashi tidak berhenti. Sesudah
ia berjalan seratus langkah dengan langkah berani, barulah seorang samurai berteriak,
"Hentikan dia!"
"Kejar dia!" Delapan atau sembilan orang berteriak-teriak memenuhi jalan di belakang Musashi dan
mulai mengejarnya. "Musashi, tunggu!" panggil satu suara marah.
"Ada apa?" jawab Musashi cepat, membuat kaget semua orang dengan suaranya.
Ia bergerak ke pinggir jalan dan bersandar ke dinding sebuah gubuk. Gubuk itu bagian
dari kilang gergaji, dan beberapa pekerja kilang sedang tidur di sana. Seorang dari
mereka membuka pintu sedikit, tapi sesudah melihat sekilas, ia membanting pintu dan
memalangnya. Sambil mendengking dan melolong seperti anjing gelandangan, orangorang Yoshioka sedikit
demi sedikit membentuk lingkaran bulan sabit sekitar Musashi. Musashi menatap mereka
dengan saksama, mengukur kekuatannya, menaksir kedudukannya, dan mengira-ngira dari
mana bakal datang serangan. Ketiga puluh orang itu dengan segera kehilangan ketiga
puluh otak mereka. Tidak sukar bagi Musashi membaca kerja otak bersama ini.
Seperti ia duga semula, tak seorang pun maju sendiri menantangnya. Mereka mengoceh dan
melontarkan cercaan, tapi sebagian besar kedengaran seperti kata-kata makian
gelandangan yang tak jelas ucapannya.
"Bangsat!" "Pengecut!" "Amatir!" Mereka sendiri jauh dari menyadari bahwa kepongahan mereka itu cuma di mulut dan malah
mengungkapkan kelemahan diri sendiri. Sebelum gerombolan itu mencapai taraf kesatuan
tertentu, Musashi tetap dalam kedudukan menguntungkan. Ia memeriksa wajah-wajah mereka,
memilih mana-mana yang mungkin berbahaya, menetapkan tempat-tempat lemah dalam
formasinya, mempersiapkan diri menghadapi pertempuran. Ia tenang saja. Pelan-pelan ia
memperhatikan wajah-wajah mereka, lalu katanya, "Aku Musashi. Siapa tadi minta aku
menunggu?" "Kami. Kami semua!"
"Kalau aku tak salah, kalian dari Perguruan Yoshioka."
"Betul." "Ada urusan apa kalian denganku?"
"Kamu tahu sendiri. Apa kamu sudah siap?"
"Siap?" Bibir Musashi berubah menjadi seringai meremehkan. Suara tawa yang keluar dari
giginya yang putih membekukan kegairahan mereka. "Seorang prajurit selalu siap, biarpun
sedang tidur. Maju, kalau kalian mau! Kalau kalian memilih pertempuran yang tak
berarti, apa gunanya mencoba bicara seperti manusia atau memperhatikan sopan-santun
main pedang" Tapi coba katakan satu hal saja. Apa tujuan kalian ini cuma melihat aku
mati" Atau kalian mau berkelahi seperti lelaki?"
Tak ada jawaban. "Kalian di sini buat menyelesaikan dendam atau buat menantangku melakukan pertarungan
balasan?" Sekiranya Musashi waktu itu memberikan peluang kepada mereka dengan sedikit saja gerak
mata atau tubuh yang keliru, pedang mereka pasti menyerbu kepadanya seperti udara
menyerbu tempat kosong. Tapi Musashi tetap mempertahankan sikap sempurna. Tak seorang
pun bergerak. Seluruh gerombolan berdiri setenang dan sediam manik-manik tasbih.
Dari tengah kediaman bingung itu terdengar teriakan keras, "Kamu mesti tahu sendiri
jawabannya tanpa tanya."
Musashi melontarkan pandang ke arah Miike Jurozaemon, si pembicara itu. Dilihat dari
penampilan orang itu, Musashi menilai bahwa ia adalah samurai yang pantas menjunjung
tinggi nama baik Yoshioka Kempo. Hanya dia seorang agaknya yang mau mengakhiri jalan
buntu itu dengan memukul lebih dahulu. Kakinya mengingsut maju dalam gerak meluncur.
"Kamu bikin cacat Guru Seijuro dan membunuh adiknya, Denshichiro. Bagaimana mungkin
kami menegakkan kepala kalau kami biarkan kamu hidup" Beberapa ratus di antara kami
setia kepada guru kami, dan bersumpah akan menyingkirkan sumber penghinaan ini, dan
mengembalikan nama Perguruan Yoshioka. Soalnya bukan balas dendam atau kekerasan
tanpa :iukum, tapi kami akan membela guru kami dan menenangkan arwah adiknya yang sudah
terbunuh. Kami tidak iri dengan kedudukanmu, tapi kami akan mengambil kepalamu.
Waspadalah!" "Tantanganmu pantas untuk seorang samurai," jawab Musashi. "Kalau itu tujuanmu
sebenarnya, aku bisa kehilangan nyawa olehmu. Tapi kamu bicara tentang pelaksanaan
kewajiban, dan tentang pembalasan dendam menurut Jalan Samurai. Kalau begitu, kenapa
kamu tidak menantangku secara wajar seperti dilakukan Seijuro dan Denshichiro" Mengapa
kalian serang aku bersama-sama?"
"Kamu yang sembunyi!"
"Omong kosong! Kamu cuma membuktikan seorang pengecut biasa menuduh orang lain
pengecut. Aku sekarang berdiri di sini menghadapi kalian, kan?"
"Karena kamu takut ditangkap ketika mencoba lari!"
"Tidak betul! Aku bisa lari dengan banyak cara lain."
"Apa menurutmu Perguruan Yoshioka akan membiarkanmu lolos?"
"Aku sudah tahu, entah dengan cara bagaimana kalian pasti akan menyambutku. Tapi kalau
kita ribut di sini, mengganggu orang banyak seperti sekawanan binatang liar atau
gelandangan tak berharga, apa itu tidak mengabaikan diri kita sebagai perseorangan atau
anggota kelas samurai" Kamu bicara tentang kewajiban terhadap gurumu, tapi apa
Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkelahian di sini tidak akan mendatangkan aib yang lebih besar lagi bagi nama
Yoshioka" Tapi kalau memang itu yang kalian inginkan, itu juga yang akan kalian
peroleh! Kalau kalian berkeputusan menghancurkan karya guru kalian, membubarkan
perguruan kalian, dan mengabaikan Jalan Samurai, tak ada lagi yang dapat kukatakan
kecuali ini: Musashi akan terus bertempur selama anggota badannya masih utuh."
"Bunuh dia!" teriak orang di sebelah Jurozaemon sambil melecutkan pedangnya.
Suatu suara berteriak di kejauhan, "Awas! Ada Itakura!"
Sebagai hakim Kyoto, Itakura Katsushige orang yang perkasa. Tapi sekalipun ia
memerintah dengan baik, ia melakukannya dengan tangan besi. Anak-anak pun bernyanyi
tentang dirinya. "Buah berangan siapa itu/yang jatuh di jalan"/Punya Itakura
Katsushige"/Hei, lari, semua lari!" Atau: "Itakura, Yang Dipertuan dari Iga/ lebih
banyak punya tangan daripada Kannon Bertangan Seribu/lebih banyak mata daripada Temmoku
Bermata Tiga/polisinya ada di mana-mana."
Kyoto bukanlah kota yang mudah diperintah. Kota Edo memang sedang menggantikannya
sebagai kota terbesar negeri ini, tetapi ibu kota kuno itu masih merupakan pusat
kehidupan ekonomi, politik, dan militer. Kota itu juga merupakan tempat di mana kritik
terhadap ke-shogun-an paling tajam. Dari sekitar abad empat belas, penduduk kota itu
telah meninggalkan semua ambisi militernya dan beralih ke bidang perdagangan dan
kerajinan. Mereka kini dianggap sebagai kelas tersendiri, dan secara keseluruhan merupakan kelas
konservatif. Juga, di antara penduduk itu terdapat banyak samurai yang tidak memihak. Mereka hanya
menanti dan melihat apakah orang-orang Tokugawa akan diganggu oleh orang-orang
Toyotomi. Terdapat juga sejumlah pemimpin militer baru. Mereka tidak memiliki latar
belakang ataupun garis keturunan, namun berhasil memiliki tentara pribadi yang cukup
besar. Juga terdapat sejumlah besar ronin seperti yang terdapat di Nara.
Para penganut hidup bebas dan kaum hedonis banyak jumlahnya di semua lapisan masyarakat
itu, hingga jumlah warung minum dan rumah pelacuran pun tidak sepadan dengan besarnya
kota. Pertimbangan-pertimbangan kepentingan cenderung lebih menguasai kesetiaan sebagian
besar penduduk dibandingkan dengan keyakinan politik. Mereka berenang mengikuti arus,
dan memanfaatkan setiap kesempatan yang kelihatan menguntungkan diri mereka sendiri.
Cerita yang beredar di kota pada waktu Itakura ditunjuk menjadi hakim pada tahun 1601
menyatakan bahwa sebelum menerima penunjukan, ia bertanya kepada Ieyasu apakah ia dapat
berkonsultasi dulu dengan istrinya. Sampai di rumah ia berkata pada istrinya, "Sejak
zaman dulu tak terhitung jumlahnya orang-orang berkedudukan terhormat yang telah
melaksanakan perbuatan-perbuatan hebat, tapi kemudian mengakhirinya dengan mendatangkan
aib kepada diri sendiri dan keluarganya. Yang paling sering terjadi, sumber kegagalan
mereka itu adalah istri atau hubungan keluarga. Karena itu, menurut pendapatku penting
sekali membicarakan penunjukan ini denganmu. Kalau engkau mau bersumpah tak akan ikut
campur dengan kegiatanku sebagai hakim, aku akan menerima kedudukan itu."
Sang istri dengan senang hati menyetujui, dan menyatakan bahwa "istri tak ada urusan
ikut campur dalam hal-hal seperti itu." Pagi berikutnya, ketika Itakura akan
meninggalkan rumah menuju Benteng Edo, sang istri melihat kerah jubah dalam Itakura
miring. Ia memegang kerah itu, tapi seketika itu juga Itakura memperingatkan, "Engkau
sudah lupa sumpahmu." Dan ia disuruh bersumpah lagi tak akan campur tangan. Masyarakat
mengakui bahwa Itakura adalah seorang wakil yang efektif, keras, namun adil. Mereka
juga mengatakan bahwa pilihan Ieyasu itu bijaksana.
Ketika nama Itakura disebut, para samurai mengalihkan mata mereka dari Musashi. Orangorang Itakura memang secara teratur merondai daerah itu, dan setiap orang lebih suka
jauh-jauh dari mereka. Seorang pemuda maju ke tempat terbuka di depan Musashi. "Tunggu!" teriaknya dengan
suara menggelegar, suara yang tadi memberi peringatan.
Sambil tersenyum menyeringai, Sasaki Kojiro berkata, "Saya baru keluar dan joli ketika
saya mendengar akan terjadi perkelahian. Sudah beberapa waktu lamanya saya kuatir
peristiwa ini akan terjadi. Dan saya terkejut melihat perkelahian akan terjadi di sini
sekarang. Saya bukan anggota Perguruan Yoshioka. Lebih lagi saya bukan pendukung
Musashi. Tapi sebagai prajurit dan pemain pedang pendatang, saya percaya saya dapat
menyampaikan imbauan atas nama kode prajurit dan kelas prajurit secara keseluruhan."
Kojiro berbicara mantap dan fasih, tapi dengan nada menggurui dan dengan keangkuhan
yang tak kenal kompromi. "Saya mau tahu, apa yang akan kalian lakukan kalau polisi datang kemari" Apa kalian
tidak malu ditangkap dalam keributan di jalanan" Kalau kalian memaksa penguasa turun
tangan, peristiwa ini takkan diperlakukan sebagai perkelahian biasa antara orang kota.
Ada lagi soal lain. "Waktu yang kalian pilih tidak tepat. Juga tempatnya. Suatu aib besar bagi seluruh
kelas militer bahwa samurai mengganggu ketertiban umum. Sebagai salah seorang anggota
kalian, saya peringatkan kalian menghentikan segera tingkah laku tak pantas ini. Kalau
kalian mesti beradu pedang buat menyelesaikan persoalan kalian, demi langit, tunduklah
pada peraturan permainan pedang. Pilih waktu dan tempatnya!"
"Cukup adil!" kata Jurozaemon. "Tapi kalau kami tetapkan waktu da tempatnya, apa kamu
dapat menjamin Musashi akan datang?"
"Aku mau saja, tapi..."
"Bisa kamu menjaminnya?"
"Apa yang bisa kukatakan" Musashi bisa bicara sendiri soal itu."
"Barangkali kamu bermaksud membantunya meloloskan diri."
"Jangan seperti orang goblok! Kalau aku mesti berpihak kepadanya. kalian akan
menantangku. Dia bukan temanku. Tak ada alasanku melindungi dia. Kalau dia meninggalkan
Kyoto, kalian tinggal pasang pengumuman di seluruh kota untuk menunjukkan sikap
pengecutnya." "Itu tidak cukup. Kami tak akan meninggalkan tempat ini, kecuali kalau kamu menjamin
akan menahan dia sampai waktu pertarungan."
Kojiro memutar badan. Ia membusungkan dada dan berjalan mendekati Musashi. Sampai waktu
itu Musashi hanya menatap punggungnya tajam-tajam. Mata kedua orang itu beradu seperti
mata dua ekor binatang liar yang saling memperhatikan. Terasa ada yang tak
terhindarkan, ketika sang ego yang masih penuh kemudaan pada kedua orang itu
berbenturan, dan ini merupakan pengakuan atas kemampuan masing-masing pihak, atau
barangkali juga rasa takut.
"Kamu setuju dengan usulku, Musashi?"
"Setuju." "Bagus." "Tapi aku tak setuju kamu terlibat."
"Jadi, kamu tidak bersedia kutahan?"
"Aku benci dengan maksud itu. Dalam pertarungan dengan Seijuro Denshichiro, sama sekali
aku tidak melakukan hal yang sifatnya pengecut. Kenapa pengikut mereka menyangka aku
akan lari menghadapi tantangan mereka?"
"Memang kedengarannya enak, Musashi. Aku takkan melupakan itu. Sekarang, tanpa
membicarakan jaminan dariku, mau kamu menyebutkan waktu dan tempatnya?"
"Aku setuju dengan waktu dan tempat yang mereka pilih."
"Ini juga jawaban yang berani. Di mana kamu akan berada dari sekarang sampai datangnya
waktu pertarungan?" "Aku tak punya alamat!"
"Kalau lawan-lawan tidak tahu di mana kamu berada, bagaimana mungkin mereka mengirim
tantangan tertulis?"
"Tetapkan waktu dan tempatnya saat ini juga. Aku akan datang."
Kojiro mengangguk. Sesudah berunding dengan Jurozaemon dan beberapa orang lain lagi, ia
kembali mendekati Musashi dan katanya, "Mereka menginginkan jam lima pagi lusa."
"Aku terima." "Tempatnya pohon pinus lebar di kaki Bukit Ichijoji di jalan ke Gunung Hiei. Wakil
Keluarga Yoshioka adalah Genjiro, anak tertua Yoshioka Genzaemon, paman Seijuro dan
Denshichiro. Genjiro menjadi kepala baru Keluarga Yoshioka, maka pertarungan akan
dilangsungkan atas namanya. Tapi dia masih kanak-kanak, karena itu ditetapkan bahwa
sejumlah murid Yoshioka akan menyertainya sebagai pendukung. Kusampaikan ini untuk
menghindari salah pengertian."
Sesudah janji-janji secara resmi dipertukarkan, Kojiro mengetuk pintu gubuk. Pintu
dibuka dengan hati-hati, dan orang-orang kilang mengintip ke luar.
"Tentunya ada kayu yang tidak terpakai di sini," kata Kojiro kasar. "Saya mau pasang
papan pengumuman di sini. Carikan papan yang cocok dan tempelkan ke sebuah tiang yang
tingginya sekitar dua meter."
Ketika papan sedang diserut, Kojiro menyuruh orang mengambil kuas dan tinta. Setelah
semua bahan terkumpul, ia menuliskan waktu, tempat, dan perincian lain dengan tulisan
yang mahir. Seperti sebelumnya, pernyataan itu diumumkan kepada orang banyak, karena
inilah jaminan yang lebih baik daripada pertukaran sumpah pribadi. Melanggar sumpah
berarti akan diolok-olok umum.
Musashi memperhatikan ketika orang-orang Yoshioka mendirikan papan pengumuman itu di
sudut yang paling mencolok di daerah tersebut. Kemudian dengan sikap acuh tak acuh ia
memutar badan dan berjalan cepat ke Lapangan Berkuda Yanagi.
Karena sendirian saja di tempat gelap, Jotaro gelisah. Mata dan telinganya
diwaspadakan, tetapi yang tampak olehnya sekali-sekali hanyalah lampu joli, dan yang
terdengar hanya gema sayup-sayup nyanyian orang-orang yang sedang pulang. Karena kuatir
Musashi mendapat luka, atau bahkan terbunuh, akhirnya ia kehilangan kesabaran dan
berlari menuju Yanagimachi. Belum lagi seratus meter, suara Musashi sudah terdengar di
tengah kegelapan, "Hei! Apa pula ini?"
"Oh, Kakak datang!" seru anak itu lega. "Begitu lama saya menunggu, jadi saya putuskan
melihat." "Itu kurang bijaksana. Kita bisa saling kehilangan."
"Apa di luar pintu gerbang banyak orang Yoshioka?"
"Hm, lumayan juga."
"Apa mereka mencoba menangkap Kakak?" Jotaro memandang sok tahu ke wajah Musashi. "Sama
sekali tak ada yang terjadi?"
"Tak ada." "Ke mana Kakak pergi sekarang" Rumah Yang Dipertuan Karasumaru ke arah sini. Saya
berani bertaruh, Kakak tentu ingin sekali ketemu Otsu. kan?"
"Aku ingin sekali ketemu dia."
"Malam macam ini, pasti dia terkejut sekali." Menyusul keheningan yang canggung.
"Jotaro, kamu ingat penginapan kecil tempat kita pertama ketemu dulu: Apa nama kampung
itu?" "Rumah Yang Dipertuan Karasumaru jauh lebih bagus daripada penginapan tua itu."
"Tentu keduanya tak bisa diperbandingkan."
"Malam hari semua tutup, tapi kalau kita
mengizinkan kita masuk. Dan kalau mereka
Karasumaru sendiri bisa menyambut Kakak.
sebenarnya biarawan gila Takuan itu" Dia
bilang, yang paling baik membiarkan saja
mana Kakak, padahal dia tahu betul."
memutar ke gerbang untuk pembantu, mereka bisa
tahu saya membawa Kakak, Yang Dipertuan
Oh, saya ingin tanya pada Kakak, kenapa
begitu brengsek, sampai muak rasanya saya. Dia
Kakak. Dan dia tak mau mengataknn pada saya di
Musashi tidak memberikan komentar. Jotaro mengoceh terus sementara mereka jalan.
"Itu dia" kata Jotaro sambil menuding pintu belakang. Musashi berhenti, tapi tidak
mengatakan apa-apa. "Lihat cahaya di atas pagar itu" Itu bagunan utara tempat tinggal
Otsu. Dia mestinya menunggu saya."
Jotaro berjalan cepat menuju pintu itu, tetapi Musashi mencengkeram pergelangannya
erat, dan katanya, "Sekarang belum! Aku takkan masuk. Kuminta kamu menyampaikan saja
pesan untuk Otsu." "Tidak masuk" Kakak kemari buat berjumpa dia kan?"
"Tidak. Aku cuma mau lihat kamu sudah sampai dengan selamat."
"Kakak harus masuk! Kakak tak bisa pergi sekarang!" Dan ia menyentakkan lengan kimono
Musashi dengan kalutnya. "Bicara pelan saja, Jo," kata Musashi, "dan dengarkan."
"Saya tak mau mendengarkan! Tak mau! Kakak berjanji ikut saya."
"Dan aku ikut, kan?"
"Saya bukan minta Kakak melihat pintu gerbang. Saya minta Kakak mengunjungi Otsu!"
"Tenanglah. Kamu mesti tahu, dalam waktu sangat singkat ini aku bisa mati."
"Itu bukan barang baru. Kakak selalu bilang seorang samurai harus siap mati setiap
waktu." "Itu betul. Dan kupikir suatu pelajaran baik juga untukku mendengarmu mengulang katakataku. Tapi waktu ini tidak seperti waktu lain. Aku tahu, satu dari sepuluh
kemungkinan tak ada kesempatanku menang kali ini. Itu sebabnya menurutku aku tak perlu
ketemu Otsu." "Itu tak masuk akal."
"Kamu takkan mengerti sekarang kalau kujelaskan. Kalau nanti kamu lebih dewasa, kamu
akan mengerti." "Apa yang Kakak katakan itu benar" Kakak betul-betul akan mati?"
"Ya. Tapi kamu tak boleh mengatakan ini pada Otsu, terutama waktu dia masih sakit.
Suruh dia supaya kuat dan memilih jalan yang membawanya pada kebahagiaan masa depan.
Itu pesan yang mesti kamu sampaikan padanya. Tapi kamu jangan menyebut apa pun bahwa
aku akan terbunuh." "Akan saya sampaikan padanya! Akan saya sampaikan semuanya kepadanya! Bagaimana mungkin
saya bohong pada Otsu" Oh, ayolah Kakak datang dengan saya!"
Musashi mendorongnya. "Kamu rupanya tidak mendengarkan."
Jotaro tak dapat lagi menahan air matanya. "Tapi... tapi saya kasihan sekali padanya.
Kalau saya sampaikan kepadanya Kakak menolak ketemu dengan dia, kesehatannya akan lebih
buruk lagi. Pasti!" "Itu sebabnya kamu mesti menyampaikan pesanku. Sampaikan padanya selama aku masih
berlatih, takkan baik bagi kami masing-masing untuk bertemu. Jalan yang kupilih ini
jalan disiplin. Tuntutannya, aku harus mengatasi perasaanku, aku harus menempuh hidup
menahan nafsu, dan berlatih banyak-banyak menahan segala kesulitan. Kalau tidak, cahaya
yang kucari akan lepas. Coba pikirkan itu, Jotaro. Kamu sendiri pun nanti akan
mengikuti jalan ini, kalau tidak, tidak akan kamu menjadi prajurit yang hormat kepada
diri sendiri." Anak itu terdiam, hanya tangisnya yang terdengar. Musashi merangkulnya, lalu
mendekapnya. "Orang tak pernah tahu kapan Jalan Samurai itu berakhir. Kalau aku tiada, kamu mesti
mencari seorang guru yang baik. Aku tak bisa bertemu Otsu sekarang, karena aku tahu,
nantinya dia lebih bahagia kalau kami tidak bertemu. Dan kalau nanti dia menemukan
kebahagiaan, dia akan mengerti bagaimana perasaanku sekarang ini. Apa kamu yakin cahaya
itu datang dari kamarnya" Dia pasti kesepian. Kamu mesti tidur sekarang."
Jotaro mulai dapat memahami sukarnya pilihan Musashi, tapi terlihat ada kemurungan pada
sikapnya, sementara ia berdiri membelakangi gurunya. Ia sadar, ia tak dapat lagi
mendesak Musashi. Sambil mengangkat mukanya yang berurai air mata, ia gapai cahaya harapan yang terakhir,
walaupun lemah. "Kalau pelajaran Kakak sudah selesai, Kakak mau bertemu dengan Otsu dan
menyenangkan hatinya Kakak mau, kan" Kalau Kakak merasa sudah cukup lama belajar?"
"Ya, kalau waktunya sampai."
"Kapan waktu itu datang?"
"Sukar dikatakan."
"Dua tahun barangkali?"
Musashi tak menjawab. "Tiga tahun?" "Tak ada ujung buat jalan disiplin."
"Apa Kakak takkan menemui Otsu lagi selamanya?"
"Kalau bakat-bakat yang kubawa sejak lahir itu benar, pada suatu hari nanti tujuanku
akan tercapai. Kalau tidak, aku bisa menempuh hidup sebodoh hidupku sekarang. Tapi
sekarang mungkin aku akan segera marl. Bagaimana mungkin seorang lelaki dengan masa
depan seperti itu memberikan janji-janji pada seorang perempuan semuda Otsu?"
Yang dikatakan Musashi itu lebih banyak daripada yang dimaksudkannya. Jotaro tampak
bingung, tapi kemudian katanya penuh kemenangan, "Kakak tak perlu janji apa-apa pada
Otsu. Saya cuma minta Kakak melihatnya."
"Tapi soalnya tak semudah itu. Otsu itu perempuan muda dan aku lelaki muda. Aku tak
suka mengatakan ini padamu, tapi kalau aku bertemu dia, aku takut air matanya
mengalahkan diriku. Dan aku takkan dapat berpegang pada keputusanku sendiri."
Musashi kini bukan lagi pemuda tak sabar yang menampik Otsu di Jembatan Hanada itu. Ia
kini kurang egosentris dan kurang sembrono. lebih sabar serta jauh lebih halus. Pesona
Yoshino bisa saja telah membangkitkan kembali api nafsunya, sekiranya ia tidak menolak
cinta seperti api menolak air. Tapi kalau yang dihadapinya Otsu , ia tak yakin terhadap
kemampuannya melaksanakan kontrol diri. Ia tahu, ia tak boleh memikirkan Otsu tanpa
mempertimbangkan efek yang mungkin ditimbulkannya terhadap kehidupan Otsu.
Jotaro mendengar suara Musashi di dekat telinganya. "Kamu mengerti sekarang?"
Api Di Bukit Menoreh 12 Animorphs - 45 The Revelation Arus Balik 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama