Ceritasilat Novel Online

Tragedi Tiga Babak 3

Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie Bagian 3


Barangkali mereka sedang mengintai saya sekarang."
Ia memandang berkeliling dengan gelisah. Lalu ia mencondongkan badannya ke depan
pada Egg. "Apa yang dilakukan wanita itu di kamar saya?"
"Wanita mana?" "Wanita berwajah kelinci. Yang menulis drama. Waktu itu esok paginya - setelah
kematian itu. Saya baru saja sarapan. Dia keluar dari kamar dan berjalan ke
pintu di ujung lorong, masuk ke ruang pelayan-pelayan. Aneh, ya" Kenapa dia
masuk kamar saya" Apa yang dia kira akan ditemukannya di kamar saya?" Ia
mencondongkan badan ke depan dengan sungguh-sungguh. "Atau, menurut Anda, apa
yang dikatakan Cynthia memang benar?"
"Apa yang dikatakan Mrs. Dacres?"
"Dia bilang saya cuma mengada-ada. Itu katanya." Ia tertawa tak yakin. "Saya
memang kadang-kadang suka 'melihat'. Tikus berwarna merah muda, ular - semacam
itulah. Tapi melihat wanita kan lain. Saya memang melihat wanita itu. Orang aneh
- wanita itu. Matanya menakutkan. Menembus tajam sampai ke dalam."
Ia menyandarkan diri di punggung kursi yang empuk. Kelihatannya ia mulai
tertidur. Egg berdiri. "Saya harus pergi. Terima kasih, Kapten Dacres."
"Jangan berterima kasih. Saya senang - sangat senang." Suaranya melemah.
"Sebaiknya aku pergi sebelum dia benar-benar tertidur," pikir Egg.
Ia keluar dari keremangan ruangan yang penuh asap rokok itu, ke udara malam yang
sejuk. Beatrice, si pelayan, berkata bahwa Miss Wills suka menyelidik dan mengintip.
Sekarang ada cerita begini dari mulut Freddie Dacres. Apa yang dicari Miss
Wills" Apa yang ia temukan" Mungkinkah Miss Wills tahu sesuatu"
Apakah ada sesuatu pada kasus Sir Bartholomew Strange yang agak membingungkan
ini" Apa Freddie Dacres diam-diam takut dan membencinya"
Kelihatannya mungkin. Tapi dalam hal ini tak ada rasa bersalah karena kasus Babbington.
"Aneh rasanya kalau dia tidak mati terbunuh," kata Egg pada dirinya sendiri.
Lalu ia menarik napas tertahan ketika matanya membaca kata-kata ini dari koran
tak jauh dari situ: HASIL PENGGALIAN KASUS DI CORNWALL.
Cepat-cepat ia merogoh uang dan membeli koran itu. Tanpa sengaja ia menabrak
seorang wanita yang kebetulan melakukan hal yang sama. Ketika Egg minta maaf,
barulah ia sadar bahwa wanita itu sekretaris Sir Charles, Miss Milray yang
efisien. Mereka berdiri berjajar dan membaca. Ya, berita itu ada di sana.
HASIL PENGGALIAN DI CORNWALL. Kata-kata itu menari di depan mata Egg. Analisis
atas organ-organ tubuh... nikotin...
"Jadi, dia dibunuh," kata Egg.
"Ya ampun," kata Miss Milray. "Ini mengerikan... mengerikan."
Wajahnya yang kurang menarik itu tambah tidak menarik karena emosinya. Egg
memandangnya heran. Ia selalu menganggap Miss Milray kurang manusiawi.
"Membuat saya sedih," Miss Milray menjelaskan. "Saya sudah lama mengenalnya."
"Mr. Babbington?"
"Ya. Ibu saya tinggal di Gilling, dulu dia pendeta di sana. Sangat menyedihkan."
"Ya, tentu saja."
"Tapi persoalannya," kata sekretaris Sir Charles, "saya tak tahu harus berbuat
apa." Mukanya merah ketika Egg memandangnya dengan heran.
"Saya akan menulis ke Mrs. Babbington," katanya cepat. "Tapi rasanya tidak...
hm... saya tak tahu mau apa."
Bagi Egg, penjelasan itu tidak memuaskan.
BAB XX "SEBENARNYA Anda ini kawan atau lawan?"
Miss Sutcliffe memandang dengan mata mencemooh sambil bicara. Ia duduk di sebuah
kursi berpunggung lurus. Rambut abu-abunya tersisir rapi dan amat pantas
untuknya, kakinya menyilang. Mr. Satterthwaite mengagumi kakinya yang indah dan
pergelangan kakinya yang ramping. Miss Sutcliffe memang wanita yang sangat
menarik, karena tak pernah benar-benar serius.
"Apa itu adil?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Ah, tentu saja adil. Anda datang ke sini untuk mengagumi mata saya yang indah,
seperti kata orang Prancis itu, atau sebagai laki-laki jahat yang ingin memompa
informasi dari saya tentang pembunuhan-pembunuhan?"
"Apa Anda ragu-ragu bahwa alternatif Anda yang pertama yang benar?" tanya Mr.
Satterthwaite sambil sedikit membungkukkan badan.
"Bisa saja. Anda tipe orang yang kelihatannya halus, tapi bergelimang darah,"
kata sang aktris penuh emosi.
"Tidak, tidak."
"Ya, ya. Yang masih saya ragukan ialah, kalau seseorang dianggap sebagai
pembunuh potensial, ini merupakan hinaan atau pujian" Tapi secara keseluruhan,
ini suatu pujian." Ia memiringkan kepalanya sedikit dan melepas senyumnya yang amat menawan.
Mr. Satterthwaite berpikir,
"Makhluk yang menggemaskan."
Ia berkata, "Terus terang, Miss, kematian Sir Bartholomew Strange sangat menarik
perhatian saya. Barangkali Anda tahu saya pernah mencoba melibatkan diri dalam
urusan seperti itu."
Ia diam sejenak, barangkali berharap Miss Sutcliffe tahu sedikit tentang
kegiatannya. Tapi wanita itu hanya bertanya,
"Saya ingin tahu, apa benar yang dikatakan gadis itu?"
"Gadis mana dan apa yang dia katakan?"
"Si Lytton Gore itu. Yang sangat terpesona pada Charles. Kasihan si Charles, dia
akan melakukannya. Gadis itu mengira lelaki tua di Cornwall itu juga mati
terbunuh." "Apa pendapat Anda sendiri?"
"Ya, memang kejadiannya sama. Gadis itu cerdas. Oh ya, apa Charles serius?"
"Saya kira pendapat Anda tentang soal itu lebih berarti daripada pendapat saya,"
kata Mr. Satterthwaite. "Anda menjengkelkan dan suka berahasia!" seru Miss Sutcliffe. "Sekarang saya" - ia
menarik napas - "benar-benar blak-blakan."
Miss Sutcliffe mengerling tajam pada Mr. Satterthwaite.
"Saya kenal Charles dengan baik. Saya kenal baik bagaimana laki-laki itu.
Kelihatannya dia menunjukkan keinginan untuk hidup tenang. Dia kelihatan tidak
main-main. Dia akan hidup seperti laki-laki biasa. Hm, laki-laki begitu rasanya
menjemukan. Tak ada daya tariknya lagi."
"Saya justru heran, kenapa Sir Charles belum menikah juga."
"Dia memang tak pernah menunjukkan keinginan untuk menikah. Dia bukan tipe
seorang suami. Tapi dia laki-laki yang amat menarik." Ia menarik napas panjang.
Ada kilatan pada matanya ketika ia memandang Mr. Satterthwaite. "Dia dan saya
pernah... hm... apa gunanya menyangkal hal yang telah diketahui orang" Sangat
menyenangkan ketika hal itu masih berlangsung. Tapi kami masih tetap teman baik.
Saya rasa itu yang menyebabkan si Lytton Gore itu memandang saya dengan garang.
Dia curiga saya masih punya perasaan pada Charles. Apa benar" Barangkali ya.
Tapi saya belum menuliskan memori saya secara detail seperti teman-teman saya
lainnya. Gadis-gadis modern gampang terkejut. Ibunya pasti tidak. Orang tak akan
bisa mengejutkan wanita Zaman Victoria. Mereka tak banyak bicara, tapi selalu
memikirkan kemungkinan yang paling jelek."
Mr. Satterthwaite hanya berkata,
"Saya rasa kecurigaan Anda benar - Egg Lytton Gore keliru menafsirkan sikap Anda."
Miss Sutcliffe merengut. "Saya sendiri tak yakin saya tidak cemburu padanya. Kami, kaum wanita, memang
seperti kucing. Berkelahi melulu... krk... krk... meong-meong."
Ia tertawa. "Kenapa Charles tidak datang dan menasihati saya tentang soal ini" Karena
terlalu baik barangkali. Dia pasti mengira saya yang bersalah. Apa saya
bersalah" Apa pendapat Anda?"
Ia berdiri dan mengulurkan satu tangannya.
"Semua wewangian Arab tak akan mengharumkan tangan kecil ini."
Ia terdiam, lalu tiba-tiba berkata,
"Bukan. Saya bukan Lady Macbeth. Bagian saya adalah komedi."
"Kelihatannya juga tak ada motif," kata Mr. Satterthwaite.
"Benar. Saya suka Bartholomew Strange. Kami berteman. Dan tak ada alasan bagi
saya untuk menyingkirkan dia. Karena kami teman, saya ingin berperan aktif
memburu si pembunuh. Tolong beritahu saya, apa yang bisa saya lakukan."
"Begini, Miss Sutcliffe, barangkali Anda melihat atau mendengar sesuatu yang ada
hubungannya dengan kriminalitas itu."
"Semua sudah saya ceritakan pada polisi. Tamu-tamu baru saja datang waktu itu.
Kematiannya terjadi pada malam pertama."
"Kepala pelayan?"
"Saya tidak memperhatikan dia."
"Ada sikap aneh dari salah seorang tamu?"
"Tidak. Cuma anak itu - siapa" - Manders. Dia muncul begitu mendadak."
"Apa Sir Bartholomew kelihatan terkejut?"
"Ya, saya kira begitu. Dia berkata pada saya sebelum kami makan malam. 'Kejadian
itu aneh - cara baru merusak pagar,' begitu katanya. 'Tapi,' lanjutnya, 'yang dia
rusak tembok saya, bukan pagar saya.'"
"Sir Bartholomew kelihatan riang?"
"Dia amat gembira!"
"Bagaimana dengan lorong rahasia yang Anda ceritakan pada polisi itu?"
"Kelihatannya berawal dari perpustakaan. Sir Bartholomew berjanji akan
menunjukkannya pada saya. Tapi dia keburu meninggal."
"Bagaimana dia bisa bicara sampai ke soal itu?"
"Kami ngobrol tentang lemari yang baru dibelinya. Saya bertanya, apa ada laci
rahasianya. Saya cerita saya suka laci rahasia. Suka sekali. Dia bilang tidak
ada, dia tak punya laci rahasia di rumah itu."
"Sir Bartholomew tak pernah menyebut-nyebut seorang pasiennya - Mrs. de
Rushbridger?" "Tidak." "Anda kenal tempat bernama Gilling?"
"Gilling" Gilling" Ah, rasanya tidak. Kenapa?"
"Ya... Anda pernah bertemu Mr. Babbington sebelumnya, kan?"
"Siapa dia?" "Orang yang meninggal di Crow's Nest."
"Oh, Pak Pendeta. Saya sudah lupa namanya. Tidak, saya tak pernah bertemu dia
sebelumnya. Siapa yang mengatakan pada Anda saya sudah kenal dia?"
"Seseorang yang seharusnya tahu," kata Mr. Satterthwaite blak-blakan.
Miss Sutcliffe kelihatan senang.
"Pak tua itu. Apa mereka pikir saya punya affair dengannya" Saya harus
meluruskan soal ini. Saya tak pernah melihat dia sebelumnya."
Mr. Satterthwaite mau tak mau harus puas dengan pernyataan itu.
BAB XXI FIVE UPPER CATHCART ROAD, Tooting, kelihatannya kurang pantas sebagai rumah
seorang penulis drama satire. Tembok di ruangan tempat Sir Charles menunggu
kelihatan kotor, berwarna kecokelatan dengan gambar pohon berbunga kuning di
bagian atasnya. Gordennya dari beludru merah, dan banyak foto serta hiasan
keramik berbentuk anjing. Telepon yang ada di situ terlindung hiasan boneka
bergaun lebar. Di situ banyak meja kecil dan hiasan-hiasan tembaga berbentuk
aneh dari Birmingham, dan dijual sebagai barang kerajinan dari Timur Jauh.
Miss Wills masuk ke dalam ruangan tanpa suara, sehingga Sir Charles, yang sedang
terpaku melihat boneka panjang yang berbaring di sofa, tidak mendengarnya.
Suaranya yang tipis berkata, "Apa kabar, Sir Charles" Wah, ini benar-benar luar
biasa." Sir Charles menoleh. Miss Wills mengenakan rok lembut dan mantel yang menggantung di tubuhnya yang
tidak luwes. Kaus kakinya agak kusut dan sandalnya bertumit tinggi, terbuat dari
kulit. Sir Charles menyalaminya, menerima uluran rokok, dan duduk di sofa dekat boneka
panjang itu. Miss Wills duduk di depannya. Cahaya yang masuk lewat jendela
dipantulkan kacamatanya yang tak bergagang.
"Aneh rasanya Anda datang kemari," kata Miss Wills. "Ibu saya pasti senang. Dia
suka melihat teater, terutama kalau cerita-ceritanya romantis. Dia sering
berbicara tentang drama di mana Anda bermain sebagai pangeran, di universitas.
Dia pergi melihat pertunjukan siang dan makan cokelat - itu hobinya. Dia sangat
menyukainya." "Ah, menyenangkan sekali," kata Sir Charles. "Barangkali Anda belum pernah
mengalami bagaimana rasanya masih diingat orang. Ingatan publik biasanya tidak
lama." Sir Charles menarik napas panjang.
"Dia pasti senang bertemu dengan Anda," kata Miss Wills. "Miss Sutcliffe pernah
kemari, dan dia senang sekali bertemu dengannya."
"Angela ke sini?"
"Ya. Dia akan memainkan drama saya. Anjing Kecil Tertawa."
"Ah, ya," kata Sir Charles. "Saya sudah baca. Judulnya membuat orang penasaran."
"Syukurlah Anda suka. Miss Sutcliffe juga suka. Itu sebuah versi modern dari
nyanyian anak-anak - banyak embel-embelnya dan tak masuk akal - skandal hey diddlediddle. Tentu saja semuanya berpusat pada peran yang dimainkan Miss Sutcliffe semua menari mengitarinya, itu saja."
Sir Charles berkata, "Lumayan. Dunia saat ini memang dalam kondisi seperti yang digambarkan lagu
anak-anak yang gila. 'Si anjing kecil tertawa melihatnya,' eh?" Dan tiba-tiba ia
berpikir, "Tentu saja. Wanita inilah anjing kecil itu. Dia melihat dan tertawa."
Cahaya itu beralih dari kacamata Miss Wills. Sir Charles melihat mata biru pucat
itu menembusnya dengan tajam.
"Wanita ini punya rasa humor yang kejam," pikir Sir Charles.
Ia berkata, "Apa kira-kira Anda tahu kenapa saya datang kemari?"
"Hm, saya kira bukan sekadar menjenguk saya," katanya nakal.
Sir Charles membandingkan sejenak perbedaan antara kata-kata yang ditulis dan
diucapkan. Di kertas, Miss Wills kelihatan cerdas dan sinis; di dalam ucapan ia
kedengaran nakal dan tak berdosa.
"Sebenarnya Satterthwaite yang mulai," kata Sir Charles. "Dia menganggap dirinya
ahli pengamat kepribadian manusia."
"Dia memang punya pandangan luas dan tajam tentang manusia," kata Miss Wills.
"Saya kira itu memang hobinya."
"Dan dia sangat yakin kalau ada sesuatu yang penting untuk diketahui waktu di
Melfort Abbey itu, Anda pasti tahu."
"Itu yang dia katakan?"
"Ya." "Terus terang, saya memang tertarik," kata Miss Wills pelan. "Karena sebelumnya
saya tak pernah mengalami berada di tempat pembunuhan dan begitu dekat. Seorang
penulis harus merekam semuanya, kan?"
"Saya rasa itu dalil yang amat terkenal."
"Jadi, tentu saja saya memperhatikan sebisa saya."
Ini rupanya yang dikatakan Beatrice, Miss Wills suka menyelidik dan mengintip.
"Tentang tamu?"
"Tentang tamu-tamu."
"Dan apa yang Anda perhatikan?"
Kacamata itu bergeser. "Sebenarnya saya tak menemukan apa-apa. Kalau ada, pasti saya beritahukan pada
polisi," katanya. "Tapi Anda memperhatikan banyak hal."
"Saya memang begitu. Memperhatikan macam-macam. Lucu juga, ya?" Ia tertawa.
"Dan Anda memperhatikan - apa?"
"Oh, tak ada apa-apa. Maksud saya, tak ada yang bisa dianggap penting. Hanya
beberapa sikap aneh manusia. Saya pikir, orang itu menarik. Masing-masing sangat
khas." "Khas dalam hal apa?"
"Khas karena kepribadiannya sendiri. Oh, saya tak bisa menjelaskannya. Saya
sulit bicara." Ia tertawa lagi. "Pena Anda lebih berbahaya dari lidah Anda," kata Sir Charles sambil tersenyum.
"Terima kasih, Sir Charles."
"Ya. Dengan pena di tangan, Anda bisa bersikap tanpa ampun."
"Anda jahat, Sir Charles. Saya kira Andalah yang tak kenal ampun pada saya."
"Aku harus keluar dari hubungan ini," pikir Sir Charles. Ia berkata,
"Jadi, Anda tidak menemukan sesuatu yang konkret, Miss Wills?"


Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, tidak. Setidaknya ada satu hal. Sesuatu yang saya lihat dan seharusnya
saya laporkan pada polisi, tapi saya lupa."
"Apa itu?" "Kepala pelayan. Di pergelangan tangan kirinya ada semacam tanda, seperti kena
strawberry. Saya melihatnya ketika dia menyodorkan sayuran. Saya rasa itu bisa
dianggap penting." "Pasti sangat penting. Polisi sedang bekerja keras melacak si Ellis. Ah, Anda
benar-benar luar biasa, Miss Wills. Tak ada seorang tamu pun atau seorang
pelayan pun yang menyebut-nyebut hal itu."
"Biasanya orang tidak menggunakan mata mereka dengan baik, kan?" kata Miss
Wills. "Di mana tepatnya tanda itu" Dan seberapa besarnya?"
"Coba Anda ulurkan pergelangan Anda." Sir Charles mengulurkan tangannya. "Terima
kasih. Di sini letaknya." Miss Wills menunjukkan jarinya dengan yakin. "Besarnya
kira-kira seperti sekeping uang penny, dan bentuknya seperti Australia."
"Terima kasih. Itu sangat jelas," kata Sir Charles sambil menarik tangannya dan
menutup kancing lengan bajunya.
"Apa saya perlu memberitahu polisi?"
"Tentu saja. Itu mungkin hal yang paling penting untuk melacak si pembunuh,"
kata Sir Charles sungguh-sungguh. "Di buku-buku detektif biasanya ada tandatanda khusus untuk mengidentifikasi penjahat. Tapi dalam kenyataan kok sulit,
ya?" "Dalam cerita-cerita, tandanya biasanya bekas luka," kata Miss Wills.
"Tanda yang dibawa sejak lahir juga bagus," kata Sir Charles.
Ia kelihatan gembira. "Persoalannya adalah," katanya melanjutkan, "orang biasanya tak bisa dipastikan.
Tak ada patokannya."
Miss Wills memandangnya dengan wajah bertanya.
"Misalnya Mr. Babbington," lanjut Sir Charles. "Kepribadiannya meragukan. Sulit
dipastikan." "Tangannya sangat khas," kata Miss Wills. "Saya sebut saja tangan orang
terpelajar. Sedikit cacat karena rematik, tapi jari dan kukunya bagus."
"Ah, Anda benar-benar pengamat yang luar biasa. Tapi... tentu saja. Anda sudah
kenal dia sebelumnya, kan?"
"Kenal Mr. Babbington?"
"Ya. Saya ingat dia bilang begitu. Di mana ya, dia pernah kenal Anda?"
Miss Wills menggelengkan kepalanya dengan pasti.
"Bukan saya. Anda pasti keliru. Saya belum pernah melihat dia sebelum itu."
"Ya, pasti suatu kekeliruan. Kalau tak salah di Gilling."
Ia memandang Miss Wills dengan tajam, tapi wanita itu kelihatan tenang-tenang
saja. "Tidak," katanya.
"Anda pernah berpikir ada kemungkinan dia juga dibunuh?"
"Saya tahu Anda dan Miss Lytton Gore berpikir begitu - atau setidaknya Anda yang
berpikir begitu." "Oh... dan... eh... apa pendapat Anda?"
"Rasanya tak mungkin," kata Miss Wills.
Sir Charles bingung karena Miss Wills jelas tak berminat pada pembicaraan itu.
Ia membelokkan percakapan.
"Apa Sir Bartholomew pernah menyebut-nyebut nama Mrs. de Rushbridger?"
"Rasanya tidak."
"Dia salah seorang pasien di sanatorium. Menderita tekanan mental dan kehilangan
ingatan." "Dia pernah menyebut suatu kasus tentang kehilangan ingatan," kata Miss Wills.
"Dia bilang, Anda bisa menghipnotis orang dan mengembalikan ingatan yang hilang
itu." "Benarkah" Apa itu punya arti?"
Sir Charles mengernyitkan kening, berpikir. Miss Wills diam saja.
"Tak ada lagi yang bisa Anda ceritakan" Tentang tamu-tamu itu?"
Sir Charles merasa Miss Wills perlu berpikir sejenak sebelum menjawab.
"Tidak." "Tentang Mrs. Dacres" Atau Kapten Dacres" Atau Miss Sutcliffe" Atau Mr.
Manders?" Ia memperhatikan wanita itu baik-baik ketika menyebut nama-nama itu satu per
satu. Ia merasa mata wanita itu berkejap sekali, tapi ia tidak terlalu yakin.
"Rasanya tak ada lagi yang bisa saya ceritakan, Sir Charles."
"Oh, baiklah." Ia berdiri. "Satterthwaite pasti kecewa."
"Sayang sekali," kata Miss Wills dengan tegas.
"Maaf. Saya telah mengganggu Anda. Pasti Anda sedang sibuk menulis."
"Memang benar."
"Sebuah drama?"
"Ya. Terus terang saya berpikir untuk memakai beberapa karakter yang ada di
pesta di Melfort Abbey itu."
"Apa itu bukan fitnah?"
"Jangan khawatir, Sir Charles. Orang biasanya tidak mengenal diri mereka
sendiri." Ia tertawa. "Apabila - seperti yang Anda katakan tadi - orang itu jahat."
"Maksud Anda, kita semua mempunyai ide yang berlebihan tentang kepribadian
masing-masing dan tidak akan mengenali kepribadian sebenarnya apabila
digambarkan secara cukup brutal" Kalau begitu, saya benar rupanya. Anda wanita
jahat." Miss Wills tertawa. "Anda tak perlu takut, Sir Charles. Wanita biasanya tidak jahat pada laki-laki,
kecuali pada laki-laki tertentu. Mereka hanya jahat pada wanita lain."
"Anda rupanya sudah memakai pisau analisis Anda untuk membedah seorang wanita.
Yang mana" Ah, barangkali saya bisa menebak. Cynthia bukanlah orang yang
dicintai sesama jenisnya."
Miss Wills tidak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum. Senyum seekor kucing.
"Anda biasanya mendiktekan atau menulis sendiri naskah Anda?"
"Oh, saya menulisnya, lalu mengirimnya untuk diketik."
"Seharusnya Anda punya sekretaris."
"Barangkali. Apa Anda masih mempekerjakan Miss... Miss Milray yang pandai itu?"
"Ya, masih. Dia pergi sebentar untuk menjenguk ibunya di desa, tapi sekarang
sudah kembali. Wanita yang sangat efisien."
"Ya, saya kira begitu. Dan agak impulsif."
"Impulsif" Miss Milray?"
Sir Charles memandang heran. Tak pernah terlintas di benaknya untuk
mengasosiasikan impuls dengan Miss Milray,
"Barangkali kadang-kadang saja," kata Miss Wills.
Sir Charles menggelengkan kepalanya.
"Miss Milray robot yang sempurna. Sampai ketemu lagi, Miss Wills. Maaf saya
telah mengganggu Anda. Jangan lupa memberitahu polisi tentang tanda itu."
"Tanda di pergelangan tangan kanan kepala pelayan minum" Tidak, saya takkan
lupa." "Sampai ketemu. Sebentar! Anda bilang tangan kanannya" Tadi Anda bilang tangan
kirinya.." "Masa" Ah, saya memang tolol."
"Yang mana yang benar?"
Miss Wills mengernyitkan dahi dan setengah menutup matanya.
"Sebentar. Saya duduk begitu... dan dia... Anda tidak keberatan memberikan
piring tembaga itu, Sir Charles" Pura-pura itu piring sayuran. Sebelah kiri."
Sir Charles memberikan piring itu seperti diminta.
"Kubis, Madam?"
"Terima kasih," kata Miss Wills. "Saya yakin sekarang. Tangan kirinya, seperti
saya katakan mula-mula. Tolol amat saya."
"Tidak, tidak," kata Sir Charles. "Kanan dan kiri memang selalu membingungkan."
Ia pamit untuk ketiga kalinya.
Ketika menutup pintu, ia menoleh ke belakang. Miss Wills tidak melihatnya.
Wanita itu berdiri di tempat ia meninggalkannya tadi. Matanya menerawang ke
perapian dan bibirnya menyunggingkan senyum puas penuh dengki.
Sir Charles terkejut. "Dia tahu sesuatu," katanya pada dirinya sendiri. "Dia pasti tahu sesuatu. Dan
dia tak mau mengatakannya - tapi apa yang dia ketahui?"
BAB XXII DI KANTOR Messrs. Speir & Ross, Mr. Satterthwaite mengatakan ingin bertemu
dengan Mr. Oliver Manders dan memberikan kartu namanya.
Ia dibawa masuk ke sebuah ruangan kecil. Oliver sedang duduk di belakang meja
tulis. Pemuda itu berdiri dan mengulurkan tangan menyalaminya.
"Anda baik sekali mau menengok saya," katanya.
Nada suaranya menyatakan,
"Saya harus mengatakan itu, walaupun sebenarnya saya bosan."
Tapi Mr. Satterthwaite tak mudah dipatahkan.
Ia duduk, bersin dengan sengaja, dan mengintip dari atas saputangannya sambil
berkata, "Baca cerita tadi pagi?"
"Maksud Anda berita situasi keuangan yang baru" Hm, dolar..."
"Bukan dolar," kata Mr. Satterthwaite. "Kematian. Hasil penggalian di Loomouth.
Babbington ternyata diracun. Dengan nikotin."
"Oh, itu. Ya. Saya membacanya. Dan Egg yang energik itu pasti senang. Dia selalu
ngotot itu kasus pembunuhan."
"Anda tidak tertarik?"
"Selera saya tidak kasar. Dan pembunuhan..." Ia mengangkat bahunya. "Begitu
keras dan tidak artistik."
"Tidak selalu tidak artistik," kata Mr. Satterthwaite.
"Tidak" Yah, barangkali memang tidak."
"Itu tergantung siapa yang melakukan pembunuhan. Anda misalnya - saya yakin - akan
melakukannya secara artistik."
"Terima kasih, Anda baik sekali," geram Oliver.
"Tapi terus terang saja, Nak, saya tidak terlalu terkesan dengan kecelakaan yang
Anda buat. Saya kira polisi pun berpendapat sama."
Mereka diam sesaat, lalu terdengar suara pena jatuh ke lantai.
Oliver berkata, "Maaf. Saya tidak mengerti."
"Ah, pertunjukan Anda yang tidak artistik di Melfort Abbey itu. Saya cuma ingin
tahu, kenapa Anda melakukan itu."
Mereka diam lagi. Lalu Oliver berkata,
"Anda bilang polisi curiga?"
Mr. Satterthwaite mengangguk.
"Kelihatannya agak mencurigakan, kan?" katanya manis. "Tapi barangkali Anda
punya penjelasan yang baik."
"Saya punya penjelasan," kata Oliver pelan. "Saya tak tahu penjelasan itu baik
atau tidak." "Boleh saya menilainya?"
Hening sejenak, lalu Oliver berkata,
"Saya ke sana dengan cara begitu atas permintaan Sir Bartholomew sendiri."
"Apa?" Mr. Satterthwaite heran.
"Aneh, kan" Tapi itulah yang sebenarnya. Saya menerima surat darinya, dengan
saran agar saya membuat kecelakaan dan minta bantuan. Dia bilang tak bisa
menerangkan alasannya secara tertulis, tapi akan memberitahu saya pada
kesempatan pertama."
"Dan dia sudah memberitahu?"
"Belum. Saya sampai di sana tepat sebelum makan malam. Dia tidak sendirian.
Selesai makan malam dia... dia meninggal."
Keletihan tidak lagi terlihat pada sikap Oliver. Matanya yang hitam memandang
tajam pada Mr. Satterthwaite. Kelihatannya ia ingin mengetahui reaksi yang
ditimbulkan kata-katanya.
"Surat itu masih ada?"
"Tidak. Sudah saya robek-robek."
"Sayang," kata Mr. Satterthwaite datar. "Dan Anda tidak mengatakan apa-apa pada
polisi?" "Tidak. Semuanya kelihatan... hm, agak fantastis."
"Memang fantastis."
Mr. Satterthwaite menggelengkan kepalanya. Mungkinkah Bartholomew Strange
menulis surat seperti itu" Rasanya aneh. Cerita itu punya sentuhan melodramatis
yang bertolak belakang dengan sifat dokter itu yang periang dan berakal sehat.
Ia memandang pemuda itu. Oliver masih memandanginya, Mr. Satterthwaite berpikir,
"Dia ingin tahu, apa aku percaya pada ceritanya."
Ia berkata, "Dan Sir Bartholomew tidak menyebutkan alasan permintaannya?"
"Sama sekali tidak."
"Cerita yang luar biasa."
Oliver tidak berkata apa-apa.
"Tapi Anda mau memenuhi permintaan itu?"
Sikapnya yang lama, seperti orang letih, muncul kembali.
"Ya, kelihatannya aneh. Terus terang saja, saya jadi ingin tahu."
"Ada yang lainnya?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Apa maksud Anda - yang lainnya?"
Mr. Satterthwaite sendiri tidak tahu betul apa yang dimaksudnya. Ia hanya bicara
secara spontan. "Maksud saya," katanya, "apa ada hal lain yang memberatkan Anda?"
Mereka diam. Lalu pemuda itu mengangkat bahu.
"Sebaiknya saya ceritakan semua saja. Wanita itu pasti tak akan bisa menahan
lidahnya." Mr. Satterthwaite memandang dengan wajah bertanya.
"Itu pada pagi hari setelah terjadi pembunuhan. Saya bicara dengan Anthony
Astor. Saya mengeluarkan buku catatan saya dan ada sesuatu yang jatuh dari
dalamnya. Dia mengambil benda itu dan mengembalikannya pada saya."
"Dan benda itu?"
"Sialnya, dia melihatnya sebelum mengembalikannya pada saya. Guntingan koran
tentang nikotin - nikotin itu berbahaya, dan sebagainya."
"Bagaimana Anda bisa tertarik pada hal itu?"
"Sebetulnya saya tidak tertarik. Barangkali sudah lama saya menyimpan guntingan
itu, tapi saya tak ingat. Aneh, ya?"
Mr. Satterthwaite berpikir, "Ceritanya tidak meyakinkan."
"Saya kira dia menceritakan itu pada polisi," lanjut Oliver Manders.
Mr. Satterthwaite menggelengkan kepala.
"Saya kira tidak. Kelihatannya dia wanita yang... hm, suka menyimpan untuk
dirinya sendiri. Dia mengumpulkan pengetahuan."
Tiba-tiba Oliver Manders mencondongkan badannya ke depan.
"Saya tidak bersalah, Sir - benar-benar tak bersalah."
"Saya belum pernah mengatakan Anda bersalah," kata Mr. Satterthwaite samarsamar. "Tapi ada orang yang mengatakan begitu - seseorang pasti telah melakukannya. Dan
menceritakannya pada polisi."
Mr. Satterthwaite menggelengkan kepalanya.
"Tidak, tidak."
"Kalau begitu, kenapa Anda datang kemari?"
"Sebagian karena hasil penyelidikan saya di sana," kata Mr. Satterthwaite dengan
sombong. "Dan sebagian karena saran seorang kawan."
"Kawan yang mana?"
"Hercule Poirot."
"Orang itu!" Pernyataan itu langsung keluar dari mulut Oliver. "Apa dia sudah
kembali ke Inggris?"
"Ya." "Kenapa dia kembali?"
Mr. Satterthwaite berdiri.
"Kenapa seekor anjing memburu?" tanyanya.
Ia puas dengan kata-kata itu. Lalu keluar.
BAB XXIII HERCULE POIROT duduk di kursinya yang nyaman di kamar mewah Hotel Ritz. Ia
mendengarkan. Egg duduk di tangan sebuah kursi, Sir Charles berdiri di depan perapian, dan Mr.
Satterthwaite duduk agak jauh, memperhatikan mereka.
"Semua gagal," kata Egg.
Poirot menggelengkan kepalanya pelan-pelan.
"Tidak, tidak. Anda terlalu membesar-besarkan. Tentang hubungan dengan Mr.
Babbington, Anda memang tidak mendapat apa-apa. Tapi Anda telah mengumpulkan
informasi lain yang lebih baik."
"Miss Wills tahu sesuatu," kata Sir Charles. "Saya berani sumpah."
"Kapten Dacres juga tak sadar. Mrs. Dacres sedang memerlukan uang, dan Sir


Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bartholomew menutup kemungkinan baginya untuk memperoleh uang itu."
"Apa pendapat Anda tentang cerita si Manders?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Kelihatannya aneh dan sama sekali tidak menunjukkan sikap Sir Bartholomew yang
biasanya." "Maksud Anda dia bohong?" kata Sir Charles terus terang.
"Ada banyak macam kebohongan," kata Hercule Poirot.
Ia diam sesaat, lalu berkata,
"Miss Wills - apa dia menulis drama untuk Miss Sutcliffe?"
"Ya, malam pertamanya nanti Rabu depan."
"Ah!" Ia diam lagi. Egg berkata,
"Sekarang, apa yang akan kita lakukan?"
Laki-laki kecil itu tersenyum padanya.
"Hanya ada satu hal yang perlu dilakukan - berpikir."
"Berpikir?" seru Egg. Suaranya terdengar sebal.
Poirot memandangnya. "Ya, memang itu. Berpikir! Dengan berpikir, semua persoalan bisa diselesaikan."
"Apa kita tak bisa melakukan sesuatu?"
"Kegiatan untuk Anda, Mademoiselle" Tentu saja banyak yang bisa Anda lakukan.
Misalnya Gilling. Tempat Mr. Babbington tinggal cukup lama. Anda bisa melakukan
penyelidikan di sana. Anda bilang ibu Miss Milray tinggal di sana dan menderita
cacat. Seorang cacat tahu banyak. Dia banyak mendengar dan tidak akan melupakan
sesuatu. Coba Anda tanyai dia. Barangkali Anda akan mendapat sesuatu. Siapa
tahu?" "Anda sendiri tak akan melakukan apa-apa?" tanya Egg ngotot.
Poirot mengedipkan matanya.
"Anda ingin saya juga aktif" Eh bien, saya akan melakukan keinginan Anda. Tapi
saya tak akan meninggalkan tempat ini. Di sini nyaman. Tapi akan saya ceritakan
apa yang akan saya lakukan. Saya akan membuat pesta. Pesta sherry. Itu populer,
kan?" "Pesta sherry?"
"Pr?cis?ment. Dan saya akan mengundang Mrs. Dacres, Kapten Dacres, Miss
Sutcliffe, Miss Wills, Mr. Manders, dan ibu Anda yang baik, Mademoiselle."
"Dan saya?" "Tentu saja. Kita semua termasuk."
"Hore!" seru Egg. "Anda tak bisa mengelabui saya, M. Poirot. Ada sesuatu yang
akan terjadi pada pesta itu, kan?"
"Lihat saja nanti," kata Poirot. "Tapi jangan terlalu berharap, Mademoiselle.
Sekarang saya ingin bicara dengan Sir Charles, sebab saya ingin meminta beberapa
nasihat." Ketika sedang berdiri menunggu lift bersama Mr. Satterthwaite, Egg berkata penuh
semangat, "Bagus sekali - seperti di buku-buku detektif. Semua orang akan berkumpul.
Kemudian dia akan mengatakan siapa yang melakukannya."
"Entahlah," kata Mr. Satterthwaite.
Pesta sherry itu diadakan Senin malam. Undangan itu diterima semua orang.
Miss Sutcliffe yang menawan dan suka blak-blakan itu tersenyum nakal sambil
melihat sekelilingnya. "Ini sarang labah-labah, M. Poirot. Dan kami ini lalat-lalat kecil yang sedang
masuk perangkap. Saya yakin Anda akan memberikan ringkasan kasus itu, lalu
dengan tiba-tiba Anda akan menunjuk saya dan berkata, 'Engkaulah wanita itu,'
dan semua orang akan berkata, 'Dia yang melakukannya,' lalu saya akan
mencucurkan air mata dan mengaku karena saya mudah dipengaruhi kata-kata. Oh, M.
Poirot, saya takut pada Anda."
"Quelle histori?!" seru Poirot. Ia sibuk dengan gelas-gelas dan tempat minuman.
Ia memberikan segelas sherry pada Miss Sutcliffe sambil membungkuk padanya. "Ini
pesta kecil yang akrab. Janganlah kita bicara tentang pembunuhan, darah, dan
racun. La, la! Wah, hal itu merusak selera."
Ia memberikan segelas sherry pada Miss Milray yang murung, yang menemani Sir
Charles dan berdiri dengan wajah menakutkan.
"Voil?," kata Poirot setelah selesai membagi-bagi keramahannya. "Mari kita
lupakan kejadian yang menyedihkan ketika kita bertemu pertama kali. Kita sambut
pesta dengan semangat. Kita makan, minum, dan bersenang-senang karena besok kita
mati. Ah, malheur. Saya sebut-sebut kematian lagi. Madam," ia membungkuk pada
Mrs. Dacres, "boleh saya memberi ucapan selamat pada Anda dan gaun Anda yang
indah?" "Buat kau, Egg," kata Sir Charles.
"Cheerio," kata Freddie Dacres.
Setiap orang menggumamkan sesuatu. Kegembiraan itu kelihatannya dipaksakan.
Setiap orang berusaha tampak gembira dan tak peduli. Hanya Poirot sendiri yang
kelihatan wajar. Ia berkata dengan riang,
"Saya lebih memilih sherry daripada koktail dan ini seribu kali lebih baik dari
wiski. Ah, quelle horreur, wiski. Tapi dengan minum wiski kita sebenarnya
merusak - sangat merusak - selera. Anggur Prancis yang halus - untuk menikmatinya,
Anda tak boleh - Ah, qu'est-ce qu'il y a?"
Sebuah suara aneh terdengar, seperti suara orang tersedak. Semua mata memandang
Sir Charles karena ia berdiri dengan badan limbung dan wajah pucat. Gelas di
tangannya jatuh ke karpet. Ia melangkah seperti orang buta, lalu pingsan.
Mereka diam terpaku. Lalu Angela Sutcliffe berteriak dan Egg berjalan ke depan.
"Charles!" seru Egg. "Charles!"
Ia berusaha maju mendekat. Dengan lembut Mr. Satterthwaite menahannya.
"Oh, Tuhan!" jerit Lady Mary. "Jangan lagi!"
Angela Sutcliffe berseru,
"Dia juga diracun! Mengerikan! Oh, Tuhan. Ini mengerikan!"
Tiba-tiba sambil berguling di sofa ia mulai menangis dan tertawa - suaranya
mengerikan. Poirot segera menguasai keadaan. Ia berjongkok di dekat pria yang tak berdaya
itu. Yang lain mundur ketika ia memeriksa. Ia berdiri dan menjentikkan debu di
lutut celananya. Ia memandang berkeliling pada orang-orang itu. Mereka semua
diam, hanya terdengar isak tangis Angela Sutcliffe.
"Kawan saya...," Hercule Poirot mulai bicara.
Tapi ia tak bisa melanjutkan karena Egg langsung menyelanya,
"Tolol! Anda benar-benar sok tahu dan tolol! Pura-pura jago dan tahu segalanya!
Sekarang Anda biarkan ini terjadi! Satu pembunuhan lagi! Di depan hidung Anda
sendiri! Kalau semua dibiarkan, pasti tak akan terjadi hal ini! Andalah yang
membunuh Charles... Anda... Anda... Anda..."
Ia diam, tak bisa mengeluarkan kata-kata lagi.
Poirot menganggukkan kepalanya dengan sedih.
"Benar, Mademoiselle. Saya mengakuinya. Sayalah yang membunuh Sir Charles. Tapi,
Mademoiselle, saya pembunuh khusus. Saya bisa membunuh, dan saya bisa
menghidupkan." Ia berbalik dan dengan nada suara berbeda, dengan suara biasa
sehari-hari, ia berkata, "Sebuah pertunjukan yang luar biasa, Sir Charles. Selamat untuk kehebatan Anda.
Barangkali sekarang Anda bersedia membuka tirai."
Sambil tertawa aktor itu meloncat berdiri, lalu membungkuk dengan sikap
mencemooh. Egg tersentak. "M. Poirot, Anda... Anda keterlaluan!"
"Charles!" jerit Angela Sutcliffe. "Kau memang sialan!"
"Tapi kenapa..."
"Bagaimana..." "Kok..." Poirot meminta mereka diam dengan mengangkat tangannya.
"Messieurs, Mesdames, saya mohon maaf pada Anda semua. Sandiwara ini penting
untuk membuktikan pada Anda semua, dan juga pada diri saya sendiri, suatu fakta
yang menurut pemikiran saya memang benar.
"Begini. Di nampan gelas-gelas ini saya mencampurkan satu sendok teh air biasa.
Air itu pura-pura nikotin murni. Gelas-gelas ini sama seperti gelas milik Sir
Charles Cartwright dan Sir Bartholomew Strange. Karena bentuknya yang berat,
setitik cairan tak berwarna yang dimasukkan ke dalamnya jadi tidak kelihatan.
Kemudian bayangkan gelas anggur Sir Bartholomew Strange. Setelah diletakkan di
meja, seseorang memasukkan sejumlah nikotin murni ke dalamnya. Itu bisa
dilakukan siapa saja - kepala pelayan, pelayan yang lain, atau tamu yang
menyelinap ke ruang makan ketika dia akan turun ke bawah. Makanan pencuci mulut
datang, anggur diedarkan, dan gelas diisi. Sir Bartholomew minum, dan dia
meninggal. "Malam ini kita memainkan tragedi ketiga - tragedi pura-pura. Saya minta Sir
Charles memainkan peran korban. Dan dia telah melakukannya dengan luar biasa.
Sekarang, seandainya ini bukan pura-pura, tapi sebenarnya... Sir Charles
meninggal. Tindakan apa yang akan dilakukan polisi?"
Miss Sutcliffe berteriak,
"Tentu saja gelas itu." Ia menganggukkan kepala pada gelas yang tergeletak di
lantai, yang jatuh dari tangan Sir Charles. "Anda cuma memberi air. Tapi kalau
ada nikotinnya..." "Kita anggap saja itu nikotin." Poirot menyentuh gelas itu pelan-pelan dengan
ujung kakinya. "Anda berpendapat polisi akan menganalisis gelas ini dan
menemukan bekas nikotin?"
"Tentu saja." Poirot menggelengkan kepalanya perlahan-lahan.
"Anda keliru. Tak akan ada nikotin di situ."
Mereka semua terpana memandangnya.
"Begini," ia tersenyum, "itu bukanlah gelas yang tadi dipegang Sir Charles."
Dengan senyum minta maaf ia mengeluarkan sebuah gelas dari dalam kantong
belakang jasnya yang panjang. "Ini gelas yang dipakainya tadi."
Ia melanjutkan, "Ini merupakan teori sederhana tukang sulap. Perhatian tak bisa ada di dua
tempat pada waktu yang sama. Untuk main sulap, saya harus mengalihkan perhatian
ke tempat lain. Memang ada saat yang bagus. Ketika Sir Charles jatuh dan
meninggal, setiap mata memandang kepadanya. Setiap orang mendekat ingin
melihatnya. Dan tak seorang pun - sama sekali tak ada - yang memperhatikan Hercule
Poirot. Pada saat itulah saya mengganti gelas dan tak seorang pun melihatnya.
"Jadi, saya sudah membuktikan satu hal. Ada satu saat seperti itu di Crow's
Nest. Ada saat seperti itu di Melfort Abbey. Karena itu, tak ada apa-apa di
gelas koktail maupun di gelas anggur."
Egg berteriak, "Siapa yang menggantinya?"
Sambil memandangnya, Poirot menjawab,
"Itu masih kita cari."
"Anda tidak tahu?"
Poirot mengangkat bahu. Dengan agak ragu, para tamu membuat isyarat untuk pulang. Sikap mereka agak
dingin. Mereka merasa telah dibodohi.
Dengan isyarat, Poirot meminta mereka tinggal dulu.
"Tunggu sebentar. Ada satu hal lagi yang harus saya katakan. Malam ini, terus
terang kita telah memainkan sebuah komedi. Tapi komedi itu bisa menjadi tragedi.
Dalam kondisi tertentu, si pembunuh akan melakukan serangan ketiga. Saya ingin
mengimbau pada Anda semua. Kalau ada di antara Anda yang tahu sesuatu - sesuatu
yang bisa merupakan informasi berharga mengenai kejahatan ini, saya minta agar
bicara sekarang. Kalau Anda menyimpan sesuatu pada kondisi ini, itu bisa
membahayakan Anda sendiri. Karena itu, saya minta sekali lagi, agar Anda bicara
sebelum terlambat." Sir Charles merasa imbauan Poirot secara khusus ditujukan pada Miss Wills. Kalau
memang begitu, pasti tak ada hasilnya. Tak seorang pun menjawab atau bicara.
Poirot menarik napas. Tangannya turun.
"Baiklah kalau begitu. Saya telah memberi peringatan. Saya tak bisa apa-apa
lagi. Ingat, tetap diam berarti terancam bahaya."
Tapi masih tak ada orang yang bicara.
Tamu-tamu itu pun pulang dengan sikap kaku.
Egg, Sir Charles, dan Mr. Satterthwaite tetap tinggal.
Egg masih belum memaafkan Poirot. Ia duduk diam, pipinya merah dan matanya
marah. Ia tak mau memandang Sir Charles.
"Pekerjaan bagus, Poirot," kata Sir Charles memuji.
"Mengagumkan," kata Mr. Satterthwaite geli. "Saya tak akan percaya kalau tidak
melihat sendiri bagaimana Anda menukar gelas itu."
"Itulah," kata Poirot, "saya tidak mengatakannya pada siapa pun. Eksperimen itu
adil, hanya dengan cara begitu."
"Apakah itu satu-satunya alasan Anda merencanakan pertunjukan tadi - untuk melihat
apa bisa dilakukan tanpa diketahui orang lain?"
"Yah, tidak sepenuhnya begitu mungkin. Saya punya tinjauan lain."
"Apa?" "Saya ingin melihat ekspresi wajah seseorang ketika Sir Charles jatuh dan
meninggal." "Yang mana?" tanya Egg tajam.
"Ah, itu rahasia saya."
"Dan Anda memperhatikan wajah orang itu?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Ya." "Jadi?" Poirot tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepala.
"Anda tak mau memberitahukan apa yang Anda lihat?"
Poirot berkata pelan, "Saya melihat ekspresi orang yang sangat heran."
Egg menarik napasnya panjang-panjang.
"Maksud Anda, Anda tahu siapa pembunuhnya?"
"Bisa Anda katakan begitu, Mademoiselle."
"Kalau begitu... kalau begitu... Anda tahu semuanya."
Poirot menggelengkan kepala.
"Tidak. Bahkan sebaliknya. Saya tidak tahu apa-apa sama sekali. Karena saya
tidak tahu mengapa Stephen Babbington dibunuh. Kalau saya tak tahu hal itu, saya
tak bisa membuktikan apa-apa. Saya tak bisa tahu apa-apa. Semua tergantung di
situ - motif pembunuhan atas Stephen Babbington."
Terdengar suara ketukan di pintu, dan seorang pelayan masuk dengan telegram di
atas nampan. Poirot membukanya. Wajahnya berubah. Ia memberikan telegram itu pada Sir
Charles. Sambil mengintip lewat bahu Sir Charles, Egg membacanya keras-keras,
CEPAT DATANG STOP. ADA INFORMASI BERHARGA TENTANG KEMATIAN BARTHOLOMEW STRANGE.
MARGARET DE RUSHBRIDGER "Mrs. de Rushbridger!" kata Sir Charles. "Kita benar. Dia memang punya kaitan
dengan kasus itu." Dan ia menambahkan, "Margaret - M. Itu inisial pada buku harian
Tollie. Akhirnya ada juga kemajuan."
BAB XXIV SEBUAH diskusi hangat terjadi. Mereka mengambil buku ABC - buku pedoman perjalanan
dengan kereta api - dan memutuskan pergi dengan kereta pagi daripada naik mobil.
"Akhirnya," kata Sir Charles, "kita bisa membuka bagian misteri ini."
"Apa kira-kira misteri itu?" tanya Egg.
"Wah, sulit dibayangkan. Tapi pasti akan membantu menerangi kasus Babbington.
Kalau Tollie dengan sengaja mengumpulkan orang-orang itu, dan aku yakin memang
itu yang dia lakukan, kejutan yang akan dibuatnya pasti ada hubungannya dengan
si Rushbridger itu. Rasanya kita bisa membuat asumsi begitu. Bagaimana, M.
Poirot?" Poirot menggelengkan kepala dengan sikap bingung.
"Telegram ini membuat kasus ini semakin ruwet," gumamnya. "Tapi kita harus cepat
- sangat cepat." Mr. Satterthwaite tidak melihat perlunya bertindak cepat, tapi dengan sopan
menyetujui. "Ya. Kita pergi dengan kereta api paling pagi. Eh... apa kita semua perlu ke
sana?" "Sir Charles dan saya sudah berencana mau ke Gilling," kata Egg.
"Itu bisa ditunda," kata Sir Charles.
"Saya rasa kita tak boleh menunda apa pun," kata Egg. "Tak perlu kita berempat
pergi ke Yorkshire. Itu aneh. Terlalu banyak. M. Poirot dan Mr. Satterthwaite
bisa pergi ke Yorkshire, Sir Charles dan saya ke Gilling."
"Rasanya saya ingin membereskan urusan Rushbridger ini," kata Sir Charles dengan
prihatin. "Saya sudah pernah... bicara dengan kepala perawat sebelumnya. Sudah
kenal - begitu kira-kira."
"Justru karena itu sebaiknya Anda menjauh," kata Egg. "Anda sudah terlalu banyak
bohong. Dan wanita itu sekarang sudah sadar - akan kelihatan nanti Anda berbohong.
Saya kira lebih penting kalau Anda pergi ke Gilling. Kalau kita ingin
berkomunikasi dengan ibu Miss Milray, dia akan lebih terbuka pada Anda karena
tahu anaknya bekerja pada Anda. Dia akan lebih percaya."
Sir Charles memandang wajah Egg yang bersinar penuh kesungguhan.


Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan ke Gilling," katanya. "Kau benar."
"Saya tahu saya benar," kata Egg.
"Pengaturan yang bagus," kata Poirot singkat. "Seperti kata Anda, Sir Charles
orang yang paling tepat untuk menanyai Mrs. Milray. Siapa tahu, Anda barangkali
menemukan fakta yang jauh lebih penting daripada kami di Yorkshire."
Mereka mempersiapkan diri berdasarkan rencana itu. Paginya Sir Charles menjemput
Egg dengan mobil, pada pukul sepuluh kurang seperempat. Poirot dan Mr.
Satterthwaite telah meninggalkan London dengan kereta.
Pagi itu udara cerah dan dihiasi embun tipis. Egg bersemangat ketika mereka
berbelok dan melewati jalan pintas berliku yang ditemukan Sir Charles di selatan
Sungai Thames. Akhirnya mereka meluncur dengan mulus di sepanjang Jalan Folkestone. Setelah
melewati Maidstone, Sir Charles melihat peta. Mereka keluar dari jalan utama,
lalu menyusuri jalan-jalan desa yang berkelok-kelok. Mereka tiba di tempat
tujuan pukul dua belas kurang seperempat.
Gilling adalah desa yang telah ketinggalan zaman. Di situ ada sebuah gereja tua,
sebuah rumah pendeta, dua atau tiga toko, sebaris pondok, tiga atau empat
bangunan balai desa, dan sebuah taman yang sangat indah.
Ibu Miss Milray tinggal di sebuah rumah mungil di depan taman, di seberang
gereja. Ketika mobil berhenti, Egg bertanya,
"Apa Miss Milray tahu Anda akan menemui ibunya?"
"Oh ya, dia menulis surat ke ibunya supaya siap-siap."
"Apa itu baik?"
"Kenapa tidak?"
"Oh, entah, ya. Tapi Anda tidak mengajaknya."
"Wah, dia bisa membuatku kaku. Dia sangat efisien. Jangan-jangan nanti dia yang
mendesakku." Egg tertawa. Mrs. Milray ternyata sama sekali lain dari anaknya. Kalau Miss Milray keras,
ibunya lembut; kalau Miss Milray persegi, ia bulat; Mrs. Milray wanita yang amat
gemuk, terpaku dengan aman di sebuah kursi di dekat jendela, tempat ia memandang
dunia luar dengan leluasa.
Ia kelihatan gembira menerima kedatangan tamunya.
"Anda baik sekali, Sir Charles. Saya sering mendengar tentang Anda dari Violet."
Violet - nama itu sama sekali tidak sesuai untuk Miss Milray. "Anda pasti tak
tahu, dia begitu mengagumi Anda. Dia sangat senang bekerja pada Anda. Silakan
duduk, Miss Lytton Gore. Maaf. Sudah lama saya tak bisa memakai tungkai saya.
Kehendak Tuhan, dan saya tidak mengeluh. Lama-lama jadi biasa juga. Barangkali
Anda perlu minuman setelah perjalanan yang cukup jauh?"
Baik Sir Charles maupun Egg menolak tawaran itu. Tapi Mrs. Milray tak peduli. Ia
menepukkan tangan dengan cara orang Asia, dan teh serta biskuit pun muncul.
Sementara mereka mengunyah biskuit dan meneguk minuman, Sir Charles mengatakan
maksud kedatangan mereka.
"Saya rasa Anda sudah mendengar, Mrs. Milray, tentang kematian tragis Mr.
Babbington yang pernah jadi pendeta di sini?"
Wanita gemuk itu menganggukkan kepalanya kuat-kuat.
"Ya, tentu. Saya telah membaca tentang penggalian itu dari koran. Dan saya tak
bisa membayangkan siapa yang tega meracuninya. Pria yang baik; semua orang di
sini menyukainya, juga istrinya. Dan anak-anak mereka."
"Ya, ini memang misteri yang luar biasa," kata Sir Charles. "Kami semua ikut
sedih. Sebetulnya kami ingin menanyakan pada Anda, barangkali ada hal-hal yang
bisa Anda ceritakan, yang akan membantu memecahkan persoalan ini."
"Saya" Tapi saya sudah lama tidak bertemu keluarga Babbington - sebentar. Sudah
lima belas tahun lebih."
"Memang. Tapi beberapa kawan mengatakan barangkali ada hal-hal tertentu di masa
lalu yang berkaitan dengan kematiannya."
"Rasanya saya tak tahu apa itu. Mereka hidup tenang. Memang mereka kekurangan,
dan anaknya banyak."
Mrs. Milray bersedia bercerita. Tapi ceritanya tidak mengungkapkan hal-hal yang
mungkin membantu. Sir Charles menunjukkan foto yang memuat gambar suami-istri Dacres, potret lama
Angela Sutcliffe, dan sebuah gambar Miss Wills yang digunting dari koran dan
kelihatan kabur. Mrs. Milray memperhatikan gambar-gambar itu dengan penuh minat, tapi tidak
menunjukkan tanda-tanda mengenali mereka.
"Rasanya saya tak bisa mengatakan ingat mereka. Memang sudah lama, tapi desa ini
kecil. Tak banyak kejadian di sini. Gadis-gadis Agnew - anak-anak Pak Dokter mereka menikah dan keluar dari desa ini. Dokter yang sekarang masih bujangan.
Dia punya partner baru yang masih muda. Lalu ada Miss Cayleys yang sudah tua duduk di bangku besar. Mereka sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Dan
keluarga Richardson - suaminya meninggal dan istrinya pindah ke Wales - lalu orangorang desa. Tapi tak banyak perubahan di sini. Saya kira Violet bisa cerita
sebanyak saya. Dia masih kecil waktu itu dan sering main ke rumah Pak Pendeta."
Sir Charles mencoba membayangkan Miss Violet Milray sewaktu masih kecil, tapi
tak bisa. Ia bertanya pada Mrs. Milray, kalau-kalau ia kenal seseorang bernama
Rushbridger. Tapi nama itu tak berarti apa-apa bagi nyonya rumah itu.
Akhirnya mereka pergi. Langkah berikutnya adalah makan siang seadanya di toko roti. Sir Charles ingin
sekali makan di tempat lain, tapi Egg mengatakan barangkali mereka bisa
mendengar gosip setempat di situ.
"Anda pasti tak akan sakit kalau sekali-sekali makan telur rebus dan roti,"
katanya tajam. "Laki-laki memang suka cerewet dalam soal makanan."
"Aku sedih kalau harus makan telur," kata Sir Charles.
Wanita yang melayani mereka cukup komunikatif. Ia juga telah membaca berita
penggalian itu di koran, dan terkejut karena menyangkut pendeta yang pernah lama
tinggal di desa itu. "Saya masih kecil waktu itu," katanya, "tapi saya ingat dia."
Tapi wanita itu tak bisa banyak bercerita tentang dia.
Setelah makan, mereka ke gereja dan melihat-lihat catatan kelahiran, perkawinan,
dan kematian. Tapi mereka tidak menemukan sesuatu yang berarti.
Mereka keluar ke halaman gereja. Egg membaca nama-nama di batu nisan.
"Lihat, aneh-aneh, ya, nama orang-orang di sini," katanya. "Ada Stavepenny, lalu
ada Mary Ann Sticklepath."
"Itu belum apa-apa. Namaku lebih aneh," gumam Sir Charles.
"Cartwright" Saya kira itu bukan nama yang aneh."
"Bukan Cartwright. Itu kan namaku sebagai aktor, tapi yang akhirnya kupakai
secara legal." "Siapa nama Anda sebenarnya?"
"Ah, itu rahasia."
"Apa begitu jelek?"
"Bukan jelek, tapi lucu."
"Oh, beritahu dong!"
"Tidak, ah," kata Sir Charles tegas.
"Ayo dong." "Tidak." "Kenapa?" "Kau akan tertawa."
"Nggak deh." "Kau pasti geli."
"Nggak, saya janji. Ayo dong."
"Kau memang keras kepala, Egg. Kenapa kau amat ingin tahu?"
"Karena Anda tak mau memberitahu."
"Ah, kau memang anak kecil yang menggemaskan," kata Sir Charles.
"Saya bukan anak kecil."
"Bukan" Apa benar?"
"Beritahu dong," bisik Egg lembut.
Sebuah senyum lucu tersungging di mulut Sir Charles.
"Baiklah. Baiklah. Dengar, ya. Ayahku namanya Mugg."
"Yang benar?" "Iya. Itu benar."
"Hm," kata Egg. "Sedih juga, ya, kalau hidup sebagai Mugg."
"Ya. Pasti tak akan baik untuk karierku. Aku masih ingat," kata Sir Charles
sambil merenung, "aku berpikir-pikir - waktu itu aku masih muda - aku berpikir untuk
memilih nama Ludovic Castiglione. Tapi akhirnya aku memilih nama Inggris,
Charles Cartwright."
"Nama Anda memang Charles?"
"Ya. Ibu dan bapak baptisku memastikan hal itu." Ia ragu-ragu, lalu berkata,
"Kenapa kau tidak panggil aku Charles saja tanpa Sir?"
"Barangkali nanti."
"Kemarin kau sudah memanggil begitu. Waktu... waktu kau mengira aku mati."
"Oh, itu." Egg berusaha membuat suaranya tak peduli. Tiba-tiba ia merasa perlu membelokkan
percakapan. Ia cepat-cepat berkata,
"Apa ya, yang dikerjakan Oliver hari ini?"
"Manders" Kenapa kau memikirkan dia?"
Egg berkata, "Saya sangat suka pada Oliver."
Ia senang bisa berkata begitu. Ia melirik Sir Charles. Apa ia cemburu" Ia memang
mengernyitkan dahinya. Tiba-tiba Egg menyesal. Kasihan Oliver. Tak seharusnya ia menyebut-nyebutnya
seperti itu. Ia berkata, "Udara dingin. Kita berangkat saja sekarang."
Ia gemetar ketika bicara. Matahari sudah tenggelam.
Ia berpikir, "Aneh juga perasaanku. Seperti ada pertanda."
Ia gemetar lagi. "Apa mereka menemukan sesuatu, kira-kira?"
Sir Charles kelihatan linglung.
"Mereka" Siapa?"
"Di Yorkshire."
"Ah," kata Sir Charles, "hari ini rasanya aku tak peduli."
"Charles, Anda biasanya penuh semangat."
Tapi Sir Charles tidak lagi memainkan peran detektif terkenal.
"Hm, dulu ini memang pertunjukanku. Tapi sekarang sudah kuberikan pada si Kumis
Besar. Ini urusannya."
"Apa dia sebenarnya tahu siapa yang melakukan kejahatan itu" Katanya dia tahu."
"Barangkali tidak. Tapi dia kan harus mempertahankan reputasi profesinya."
Egg diam saja. Sir Charles berkata,
"Apa yang kaupikir?"
"Miss Milray. Sikapnya begitu aneh malam itu. Saya sudah cerita pada Anda. Dia
baru saja membeli koran tentang penggalian itu, dan dia bilang tak tahu harus
melakukan apa." "Nonsens," kata Sir Charles dengan gembira. "Dia selalu tahu apa yang harus
dilakukan." "Yang benar, Charles. Dia betul-betul khawatir."
"Egg, Sayang. Kenapa aku harus pusing karena kekhawatiran Miss Milray" Tak ada
yang perlu kupikirkan kecuali hari ini. Peduli amat dengan pembunuhan itu."
Mereka sampai di tempat Sir Charles pada waktu minum teh. Miss Milray keluar
menyambut mereka. "Ada telegram untuk Anda, Sir Charles."
"Terima kasih, Miss Milray."
Ia membuka telegram itu dan berseru, "Egg, lihat ini! Dari Satterthwaite!"
Ia menyodorkan telegram itu ke tangan Egg. Gadis itu membaca dan membelalakkan
matanya lebar-lebar. BAB XXV SEBELUM naik kereta, Hercule Poirot dan Mr. Satterthwaite mewawancarai Miss
Lyndon, sekretaris Sir Bartholomew Strange. Miss Lyndon sangat bersedia
membantu, tapi tak ada hal penting yang bisa diberikannya pada mereka. Dalam
buku kasus Sir Bartholomew, nama Mrs. de Rushbridger hanya disebut dalam
kaitannya dengan profesinya. Sir Bartholomew tak pernah menyebut-nyebut namanya,
kecuali jika berhubungan dengan soal perawatan.
Kedua orang itu tiba di sanatorium kira-kira pukul dua belas. Pelayan yang
membukakan pintu kelihatan gembira. Mr. Satterthwaite menanyakan kepala perawat.
"Saya tidak tahu apa dia bisa menemui Anda hari ini," kata gadis itu ragu-ragu.
Mr. Satterthwaite mengeluarkan sehelai kartu dan menuliskan sesuatu di situ.
"Tolong berikan ini padanya."
Mereka akhirnya duduk di ruang tunggu kecil. Lima menit kemudian pintu terbuka
dan kepala perawat itu masuk. Ia tidak kelihatan cekatan seperti biasanya.
Mr. Satterthwaite berdiri.
"Mudah-mudahan Anda masih ingat saya," katanya. "Saya pernah kemari bersama Sir
Charles Cartwright, tak lama setelah kematian Sir Bartholomew Strange."
"Ya, tentu, Mr. Satterthwaite. Saya masih ingat. Dan Sir Charles menanyakan Mrs.
de Rushbridger waktu itu. Rasanya seperti suatu kebetulan saja."
"Ini M. Hercule Poirot."
Poirot membungkuk, dan perawat itu membalasnya dengan acuh tak acuh. Ia
melanjutkan, "Saya tidak mengerti bagaimana Anda bisa memperoleh telegram seperti itu. Semua
kelihatan amat misterius. Tentunya tak bisa dikaitkan dengan kematian Pak
Dokter. Pasti ada orang gila di sekitar sini - itu saja yang bisa masuk akal saya.
Polisi-polisi ke sini dan macam-macam lainnya. Bikin pusing saja."
"Polisi?" tanya Mr. Satterthwaite heran.
"Ya, mereka di sini sejak jam sepuluh."
"Polisi?" tanya Hercule Poirot.
"Barangkali kami bisa bertemu dengan Mrs. de Rushbridger sekarang," kata
Satterthwaite. "Dia yang meminta agar kami kemari,"
Kepala perawat itu menyela,
"Oh, Mr. Satterthwaite, Anda belum tahu kalau begitu?"
"Tahu apa?" tanya Poirot tajam.
"Mrs. de Rushbridger. Dia meninggal."
"Meninggal?" seru Poirot. "Mille tonnerres! Ya. Jelas. Jelas sekarang.
Seharusnya saya..." Ia diam. "Bagaimana meninggalnya?"
"Sangat misterius. Dia mendapat kiriman satu kotak cokelat - cokelat dengan
liqueur di dalamnya, dikirim lewat pos. Dia makan satu; pasti rasanya tak enak,
tapi dia cuma terkejut saya kira, lalu dia menelannya. Orang biasanya tak suka
mengeluarkan barang yang telah dimakannya."
"Oui, oui. Dan benda cair yang tiba-tiba turun ke dalam kerongkongan sulit
mengeluarkannya." "Jadi, dia menelannya dan menjerit. Perawat segera datang, tapi tak bisa apaapa. Dia meninggal dua menit kemudian. Lalu dokter memanggil polisi. Mereka
datang dan memeriksa cokelat itu. Semua yang ada di lapisan atas telah diolesi
racun rupanya. Yang bawah tidak apa-apa."
"Dan racun yang dipakai?"
"Mereka memperkirakan itu nikotin."
"Ya," kata Poirot. "Nikotin lagi. Ini suatu pukulan! Pukulan yang berani!"
"Kita sangat terlambat," kata Mr. Satterthwaite. "Kita tak akan tahu sekarang,
apa yang akan dia ceritakan. Kecuali... kecuali jika dia mempercayakan
rahasianya pada orang lain." Ia melirik pada kepala perawat.
Poirot menggelengkan kepala. "Tak akan ada rahasia. Kita harus mencarinya."
"Barangkali kita dapat menanyai salah seorang perawat?" kata Mr. Satterthwaite.
"Bisa saja," kata Poirot tanpa banyak berharap.
Mr. Satterthwaite berbicara kepada kepala perawat yang segera memanggil dua
perawat yang menjaga Mrs. de Rushbridger siang dan malam. Tapi tak seorang pun
bisa memberikan informasi. Mrs. de Rushbridger tak pernah menyebut-nyebut
kematian Sir Bartholomew, dan mereka pun tak tahu tentang pengiriman telegram
itu. Atas permintaan Poirot, mereka diantar ke kamar wanita itu. Mereka bertemu
dengan Inspektur Crossfield. Mr. Satterthwaite memperkenalkannya pada Poirot.
Kedua laki-laki itu kemudian mendekati tempat tidur dan berdiri memandang wanita
malang itu. Ia berumur empat puluhan, berambut hitam, dan berkulit pucat.
Wajahnya tidak damai, tapi masih menunjukkan rasa sakit yang dideritanya.
Mr. Satterthwaite berkata pelan,
"Kasihan." Ia memandang Hercule Poirot. Ada suatu ekspresi aneh pada wajah orang Belgia
kecil itu. Sesuatu yang membuat Mr. Satterthwaite merinding.
Ia berkata, "Ada yang tahu dia akan bicara, lalu dia dibunuh. Dia dibunuh untuk mencegahnya
bicara." Poirot mengangguk. "Ya, benar." "Dia dibunuh untuk mencegahnya bercerita pada kita apa yang diketahuinya."


Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Atau yang tidak diketahuinya. Tapi kita jangan membuang waktu. Banyak yang
perlu dilakukan. Jangan sampai ada kematian lagi. Kita harus mencegahnya."
Mr. Satterthwaite bertanya, penuh ingin tahu,
"Apa hal ini cocok dengan ide Anda tentang identitas si pembunuh?"
"Ya, cocok. Tapi saya sadar akan satu hal. Pembunuh ini lebih berbahaya dari
yang saya perkirakan. Kita harus hati-hati."
Inspektur Crossfield mengikuti mereka keluar kamar dan mendengar cerita tentang
telegram yang mereka terima. Telegram itu dikirim dari Kantor Pos Melfort.
Setelah dicek di sana, mereka mendapat keterangan bahwa telegram itu dikirim
oleh seorang anak laki-laki. Wanita pegawai pos itu ingat karena isinya sangat
mengejutkannya, yaitu berkaitan dengan kematian Sir Bartholomew Strange.
Setelah makan siang dengan inspektur polisi itu dan mengirim telegram pada Sir
Charles, mereka melanjutkan penyelidikan.
Pada pukul enam sore, anak laki-laki yang mengirim telegram itu ditemukan. Ia
langsung bercerita. Ia menerima telegram itu dari seorang laki-laki berpakaian
rombeng. Orang itu mengatakan telegram tersebut diberikan oleh seorang "wanita
gila" di "rumah taman". Ia melemparkannya dari jendela. Telegram itu dibungkus
dan diikat dengan dua keping uang setengah crown. Laki-laki itu takut terlibat
urusan yang tidak-tidak. Ia pergi ke orang lain. Ia memberikan telegram dan uang
pada anak itu, menyuruh anak itu mengambil kembaliannya.
Mereka mengerahkan orang untuk mencari laki-laki itu. Karena tak ada lagi yang
dilakukan, Poirot dan Satterthwaite kembali ke London.
Mereka sampai di London hampir pukul dua belas malam. Egg telah kembali pada
ibunya, tapi Sir Charles ada, dan mereka membicarakan keadaan yang mereka
hadapi. "Mon ami," kata Poirot, "perhatikan saran saya. Hanya satu hal yang bisa
menyelesaikan soal ini - sel kelabu kecil yang ada di otak. Untuk bolak-balik
pergi ke suatu tempat, berharap orang ini atau orang itu akan membantu kita,
cara itu sangat amatir dan aneh. Kebenaran hanya bisa dilihat dari dalam."
Sir Charles kelihatan agak skeptis.
"Apa yang ingin Anda lakukan, kalau begitu?"
"Saya ingin berpikir. Saya ingin minta Anda menyediakan 24 jam untuk berpikir."
Sir Charles menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil.
"Apa dengan berpikir kita jadi tahu apa sebenarnya yang akan dikatakan wanita
itu seandainya dia masih hidup?"
"Saya rasa begitu."
"Rasanya tak mungkin. Tapi, M. Poirot, silakan Anda bekerja dengan cara Anda.
Kalau Anda bisa melihat misteri ini lebih daripada saya, saya kalah dan
mengakuinya. Sementara itu, saya punya ikan lain untuk digoreng."
Barangkali ia berharap mendapat pertanyaan, tapi harapan itu kosong. Mr.
Satterthwaite memang bersikap waspada, tapi Poirot tetap diam, hanyut dalam
pikirannya. "Baiklah, saya agak khawatir dengan Miss Wills," kata sang aktor.
"Kenapa dia?" "Pergi." Poirot memandangnya. "Pergi" Pergi ke mana?"
"Tak ada yang tahu. Saya berpikir-pikir setelah menerima telegram Anda. Seperti
telah saya katakan, saya yakin wanita itu tahu sesuatu yang tidak dikatakannya
pada kita. Saya pikir, saya akan coba mengoreknya dari dia. Saya pergi ke
rumahnya. Kira-kira jam setengah sepuluh saya sampai di sana. Tapi dia sudah
pergi tadi pagi - ke London. Itu yang dia katakan. Orang-orang di rumah mendapat
telegram, mengatakan dia tak akan pulang satu atau dua hari ini, dan memberitahu
agar mereka tidak khawatir."
"Apa mereka khawatir?"
"Ya, saya kira begitu. Dia membawa tas."
"Aneh," gumam Poirot.
"Ya. Kelihatannya seperti... ah, entahlah. Saya merasa tak enak."
"Saya sudah mengingatkan dia," kata Poirot. "Saya telah mengingatkan semua
orang. Anda ingat saya bicara, 'Silakan berkata sekarang.'"
"Ya, ya. Anda pikir dia juga..."
"Saya punya ide," kata Poirot. "Sekarang, sebaiknya itu saya simpan dulu."
"Pertama, kepala pelayan, si Ellis. Lalu Miss Wills. Di mana Ellis" Aneh, polisi
tak bisa menemukannya."
"Mereka tidak mencari mayatnya di tempat yang benar," kata Poirot.
"Kalau begitu, Anda setuju dengan Egg. Anda pikir dia sudah mati?"
"Ellis tak akan kelihatan hidup lagi."
"Ini benar-benar mimpi buruk!" kata Sir Charles. "Semuanya tak bisa dimengerti!"
"Tidak, tidak. Sebaliknya, justru sangat logis dan masuk akal."
Sir Charles memandangnya.
"Anda berpendapat begitu?"
"Tentu saja. Pikiran saya selalu bekerja dengan rapi."
"Saya tidak mengerti."
Mr. Satterthwaite juga memandang detektif kecil itu dengan penuh ingin tahu.
"Kalau begitu, pikiran saya bagaimana?" kata Sir Charles agak tersinggung.
"Anda mempunyai pikiran seorang aktor, Sir Charles. Kreatif, orisinal, dan
selalu melihat pada nilai-nilai dramatisnya. Mr. Satterthwaite punya pikiran
seorang penonton drama; dia memperhatikan karakter, punya kepekaan terhadap
situasi. Tapi saya, pikiran saya sangat biasa. Saya hanya melihat fakta, tanpa
perangkap-perangkap dramatis atau lampu sorot."
"Jadi, kami serahkan saja ini pada Anda?"
"Itulah keinginan saya. Untuk 24 jam."
"Mudah-mudahan Anda berhasil. Selamat malam."
Ketika mereka keluar bersama, Sir Charles berkata kepada Mr. Satterthwaite,
"Orang itu sombong sekali."
Suaranya dingin. BAB XXVI POIROT tak bisa mempunyai waktu tenang selama 24 jam seperti yang ia inginkan.
Pukul sepuluh lewat esok paginya, Oliver Manders mengirimkan kartu namanya dan
minta bertemu dengan Poirot.
Ketika Manders masuk, Poirot sedang membuka sebuah bungkusan kecil. Ia
meletakkan bungkusan itu dan memandang tamunya dengan wajah bertanya.
"Selamat pagi, M. Manders," katanya. "Anda ingin menemui saya?"
"Ya." Oliver ragu-ragu, Poirot menarik sebuah kursi.
"Silakan duduk. Sekarang kita bisa bicara dengan enak."
Oliver menerima tawaran untuk duduk, tapi masih ragu-ragu untuk mulai bicara.
"Eh bien?" kata Poirot. "Apa yang Anda cari" Apakah Anda menawarkan bantuan pada
saya" Atau Anda memerlukan layanan saya?"
"Saya tak tahu," kata Oliver pelan.
Lalu tiba-tiba ia membungkuk ke depan dan berkata secara impulsif,
"M. Poirot, Anda tidak menyukai saya."
Poirot heran. "Lho, kok Anda berpendapat begitu?"
"Ya. Anda tak suka pada saya. Hanya sedikit orang yang menyukai saya. Saya...
saya tak tahu kenapa."
Semua sikap angkuh dan tak acuhnya lenyap. Sekarang ia bicara seperti seorang
pemuda biasa seumurnya. Wajahnya juga tidak menunjukkan ekspresi sinis, tapi
menunjukkan rasa kurang percaya diri, bahkan tak berdaya.
"Kenapa Anda mengira saya tak suka pada Anda?" tanya Poirot lembut.
"Karena kemarin dulu Anda membuat perangkap untuk saya dengan pertunjukan itu."
Alis mata Poirot naik lagi.
"Kenapa begitu?"
Oliver menjawab dengan muram,
"Karena dalam hati Anda yakin sayalah yang membunuh Mr. Babbington."
"Quelle id?e!" "Tidak, Anda berpikir begitu. Saya tahu, banyak yang tidak suka pada saya, tapi
saya bukan pembunuh, M. Poirot! Sungguh saya pernah kasar pada dia - sekali,
sangat kasar. Tapi saya sedih setelah itu - kalau Anda percaya. Rasanya ada dua
orang di dalam diri saya. Yang satu orang yang kasar, sinis, penuh benci dan
lagak. Yang satu tidak begitu. Tapi dia sulit memperlihatkan diri. Oh, Anda
pasti mengerti apa yang saya maksud."
"Ya, ya. Saya sangat mengerti. Karena saya sudah tua, saya masih belum lupa
rasanya jadi orang muda." Ia melanjutkan dengan lembut, "Itu keluhan Anda, mon
ami - orang muda. Memang anak muda suka begitu." Dengan menyeringai lucu ia
menambahkan, "Pada umur saya, kesibukan itu berubah menjadi mengatur barangbarang di ruang pamer."
"Anda mengerti kalau begitu?" kata Oliver lega. Seulas senyum yang benar-benar
menawan muncul di wajahnya. "Anda pasti tidak tahu rasanya kalau ada orang yang
mau melihat kebaikan, bukan hanya keburukan."
"Anda tidak terlalu bahagia, eh?"
Wajah Oliver mengeras. "Tidak." "Dengarkan. Saya ingin memberi nasihat pada Anda. Hidup Anda tergantung pada
diri Anda sendiri. Kalau kita selalu merasa pahit, kita tak akan mendapat apaapa. Bahkan itu akan menjadi bumerang bagi kita sendiri. Selalu begitu. Jadi,
tinggalkan saja sebelum terlambat."
"Anda benar, M. Poirot. Saya akan melupakan semuanya dan mulai dengan hidup
baru." "Bagus." Poirot mengangguk setuju, lalu melanjutkan, "Dan hal berikutnya?"
Oliver memandangnya dengan agak heran.
"Hal berikutnya?"
"Mais oui. Kelihatannya Anda punya sesuatu yang lain, tapi barangkali saya
keliru." "Tidak, tidak, Anda benar. Ada lagi. Saya ingin membantu Anda dalam urusan ini.
Anda sudah percaya pada saya. Biar saya membantu Anda."
"Membantu saya" Bagaimana caranya?"
"Saya tak tahu. Pasti ada hal yang bisa membuat saya berguna. Kelihatannya barangkali saya keliru - Anda sedang sibuk dengan urusan ini."
Ia menunggu jawaban Poirot sambil menahan napas.
"Mungkin," kata Poirot, "Anda bisa membantu saya nanti."
"Oh, bagus." Oliver menunggu satu atau dua menit, tapi Poirot tidak berkata apa-apa lagi.
"Barangkali Anda bisa menunjukkan arah kecurigaan Anda."
Hercule Poirot menggelengkan kepala.
"Itu... belum. Saya bukan orang yang suka berahasia."
Telinga Oliver cukup sensitif untuk menangkap ketegasan dalam suara Poirot. Ia
tidak mendesak, tapi pamit dengan ucapan terima kasih.
Ada senyum aneh di wajah Poirot ketika Oliver Manders pergi.
Ia bergumam sendiri, "Aku menilainya terlalu rendah."
Lalu ia mengambil bungkusan yang belum selesai dibukanya.
Pukul 11.20 Egg masuk kamarnya begitu saja. Ia heran melihat detektif terkenal
itu sedang membuat rumah dari kartu.
Wajah Egg terlihat begitu sebal, sehingga Poirot terpaksa membela diri.
"Saya bukannya menjadi kekanak-kanakan dalam umur setua ini, Mademoiselle.
Tidak. Pikiran saya terasa bergairah dengan membuat rumah kartu. Ini merupakan
kebiasaan lama saya. Yang saya lakukan pertama kali pagi tadi adalah membeli
kartu ini. Sayang saya membuat kesalahan. Ini bukan kartu betulan. Tapi boleh
juga." Egg memperhatikan rumah kartu di meja itu lebih dekat.
Ia tertawa. "Astaga, mereka menjual Happy Families pada Anda rupanya."
"Apa itu - Happy Family?"
"Ya. Suatu permainan. Anak-anak TK memainkannya."
"Ah, tak apa. Saya bisa membuat rumah dengan cara yang sama."
Egg mengambil beberapa kartu dari meja dan memperhatikannya dengan senang.
"Master. Bun, itu anak tukang roti - saya sangat menyukainya. Dan ini Mr. Mug, si
tukang susu. Oh, kalau saja Sir Charles ada di sini, saya pasti akan menunjukkan
gambarnya." "Lho, apa gambar lucu itu gambar Sir Charles, Mademoiselle?"
"Namanya." Egg tertawa melihat wajah Poirot yang bingung, lalu ia menjelaskan. Ketika sudah
selesai, Poirot berkata, "Ah, c'est ?a. Cartwright adalah nom de th?atre - nama aktornya. Mugg - ah, ya,
orang bilang, dalam logat populer itu artinya tolol. Tentu saja dia mengganti
namanya. Tak ada orang yang senang dengan nama Sir Charles Mugg, kan?"
Egg tertawa. Ia berkata, "Menjadi Lady Mugg lebih tidak enak lagi."
Poirot memandang gadis itu, yang wajahnya berubah jadi merah.
"C'est comme ?a?"
"Tidak," kata Egg. "Saya tidak mengerti apa yang Anda maksud." Ia cepat-cepat
berkata, "Sebenarnya saya datang kemari karena hal ini. Saya khawatir dengan
guntingan koran yang jatuh dari dompet Oliver. Yang diambil Miss Wills dan
dikembalikan lagi padanya. Rasanya Oliver mengatakan hal yang tidak benar ketika
dia bilang seingatnya barang itu tak ada di sana, atau tak pernah ada di sana.
Barangkali guntingan itu memang bukan miliknya. Dia menjatuhkan sesuatu, dan
wanita itu menggantinya dengan guntingan itu."
"Kenapa dia melakukan itu?"
"Karena dia ingin menghindar. Dia menimpakannya pada Oliver."
"Maksud Anda, dialah penjahatnya?"
"Ya." "Apa motifnya?"
"Saya tak punya jawaban untuk itu. Barangkali saja dia gila. Orang-orang pandai
biasanya agak gila. Saya tak bisa melihat sebab lain. Terus terang saya tak bisa
melihat motif lain pada orang lain juga."
"Itulah impasse-nya. Seharusnya saya tak boleh meminta Anda menebak suatu motif.
Tapi saya memang terus menanyai diri saya tentang motif di balik kematian Mr.
Babbington. Kalau saya bisa menjawabnya, kasus itu selesai."
"Anda pikir bukan sekadar kegilaan?" tanya Egg.
"Harus ada motif - motif gila, kalau memang itu yang Anda mau, tapi suatu motif.
Itu yang masih saya cari."
"Sampai ketemu, kalau begitu," kata Egg. "Maaf mengganggu Anda. Tapi ide itu
baru saja muncul. Saya harus buru-buru. Saya mau pergi dengan Charles ke latihan
akhir Anjing Kecil Tertawa - drama yang ditulis Miss Mills untuk Angela Sutcliffe.
Besok malam pertamanya."
"Mon Dieu!" seru Poirot.
"Kenapa" Ada sesuatu yang terjadi?"
"Ya, memang ada. Sebuah ide. Ide bagus. Oh, saya begitu buta - buta."
Egg memandanginya. Poirot tenang kembali, seolah-olah sadar akan sikap
eksentriknya. Ia menepuk-nepuk bahu Egg.
"Anda pikir saya gila. Tidak. Saya mendengar apa yang Anda katakan. Anda akan
pergi nonton Anjing Kecil Tertawa. Miss Sutcliffe main di situ. Pergilah. Jangan
pikirkan apa yang saya katakan."
Dengan agak ragu-ragu Egg berangkat. Setelah sendiri, Poirot berjalan mondarmandir di kamarnya sambil bergumam sendiri. Matanya bersinar hijau seperti mata
kucing. "Mais oui, itu menjelaskan segalanya. Motif yang aneh, sangat aneh, motif yang
belum pernah kutemukan sebelumnya, tapi cukup masuk akal, dan dalam kondisi itu
sangat wajar. Semua merupakan kasus yang aneh."
Ia melewati meja tempat bermain kartu. Rumah-rumahan itu masih di situ. Dengan
tangannya ia menyapu roboh rumah-rumahan itu dari meja.
"Aku tak memerlukan Happy Family lagi," katanya. "Persoalan ini sudah selesai.
Tinggal bertindak saja."
Ia menyambar topi dan memakai mantelnya. Lalu ia turun dan minta dipanggilkan
taksi. Poirot menyebut alamat apartemen Sir Charles.
Setelah sampai, ia membayar taksi dan masuk ke ruang depan. Tak ada penjaga
pintu. Sedang mengantar orang naik lift rupanya. Poirot naik tangga. Ketika
sampai di lantai dua, pintu apartemen Sir Charles terbuka dan Miss Milray
keluar. Ia terkejut ketika melihat Poirot.
"Anda!" Poirot tersenyum. "Saya! Enfin, moi!"
Miss Milray berkata, "Sir Charles tidak ada. Pergi ke Babylon Theater dengan Miss Lytton Gore."
"Saya tidak mencari Sir Charles. Saya mau mengambil tongkat yang ketinggalan."
"Oh, begitu. Silakan bel saja. Temple akan mencarikannya. Maaf saya tak bisa
menunggu. Saya harus mengejar kereta. Saya mau pulang, menjenguk ibu saya."
"Saya mengerti. Silakan, Mademoiselle."
Ia menepi dan Miss Milray lewat dengan cepat, menuruni tangga. Ia membawa tas


Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerja. Tapi ketika Miss Milray sudah pergi, Poirot kelihatannya lupa pada tujuan
kedatangannya. Ia berbalik, lalu turun tangga. Sampai di pintu depan, ia melihat
Miss Milray masuk ke sebuah taksi. Sebuah taksi lain datang perlahan. Poirot
mengangkat tangan dan taksi itu mendekat. Ia masuk dan menyuruh sopir mengikuti
taksi di depannya. Ia tidak heran ketika taksi di depannya meluncur ke utara dan berhenti di
Stasiun Paddington, walaupun dari stasiun itu tak ada kereta jurusan Gilling.
Poirot berjalan ke loket kelas satu dan minta tiket pulang-balik ke Loomouth.
Kereta akan berangkat lima menit lagi. Setelah menaikkan kerah mantelnya untuk
menutupi telinganya, Poirot duduk di sudut gerbong kelas satu.
Mereka sampai di Loomouth kira-kira pukul lima. Hari sudah mulai gelap. Poirot
agak melindungkan diri dan mendengar Miss Milray disapa seorang penjaga pintu
yang ramah. "Oh, Miss, kami tidak mengira Anda datang. Apa Sir Charles juga datang?"
Miss Milray menjawab, "Saya datang tanpa rencana. Saya akan kembali besok pagi. Hanya mau mengambil
beberapa barang. Tidak, tak usah panggil taksi. Saya akan lewat jalan setapak
itu." Langit semakin gelap. Miss Milray berjalan dengan cepat, menyusuri jalan setapak
yang berkelok-kelok. Agak jauh di belakangnya, Poirot mengikutinya. Ia berjalan
hati-hati, seperti kucing. Setelah sampai di Crow's Nest, Miss Milray
mengeluarkan sebuah kunci dari tasnya dan masuk lewat pintu samping;
dibiarkannya pintu tetap terbuka. Satu atau dua menit kemudian ia muncul lagi
membawa kunci berkarat dan senter. Poirot menyembunyikan diri di semak-semak.
Miss Milray berjalan melewati belakang rumah dan naik ke tempat bersemak-semak.
Hercule Poirot mengikutinya. Ia naik terus sampai ke suatu menara batu tua,
seperti yang sering terdapat di pantai-pantai. Tempat itu rusak dan tak terawat,
tapi ada sebuah gorden di jendelanya yang kotor. Miss Milray memasukkan kunci di
pintu kayu yang besar itu.
Kunci itu berputar dengan derit keras. Pintu terbuka dengan suara merintih pada
engselnya. Miss Milray masuk membawa senter.
Poirot mempercepat langkahnya. Ia melewati pintu itu tanpa suara. Cahaya senter
Miss Milray menerangi bermacam-macam peralatan laboratorium dan tabung-tabung
gelas. Miss Milray mengambil sebuah linggis. Ia mengangkat benda itu di atas gelasgelas ketika sebuah tangan mencengkeram lengannya. Ia terkejut dan menoleh.
Mata hijau Hercule Poirot yang seperti kucing itu memandang tajam padanya.
"Anda tak bisa melakukan itu, Mademoiselle," katanya. "Karena yang Anda cari
untuk Anda hancurkan adalah barang bukti."
BAB XXVII HERCULE POIROT duduk di kursi besar. Lampu-lampu dinding telah dimatikan. Hanya
sebuah lampu yang menyala, menerangi orang yang duduk di kursi besar itu.
Rasanya ada sesuatu yang simbolik pada situasi itu - ia sendiri yang ada dalam
terang, sedangkan tiga orang lainnya, Sir Charles, Mr. Satterthwaite, dan Egg
Lytton Gore - pemirsa Poirot - duduk dalam gelap.
Suara Hercule Poirot seperti melayang. Rasanya ia bicara pada ruangan, bukan
kepada para pendengarnya.
"Tujuan detektif adalah merekonstruksi suatu tindak kejahatan. Untuk
melakukannya, kita harus meletakkan satu fakta di atas fakta lain, seperti
membangun rumah kartu. Kalau fakta itu tidak cocok, kalau kartu tidak berimbang,
kita harus mulai lagi. Kalau tidak, rumah kartu pasti roboh.
"Seperti pernah saya katakan, ada beberapa tipe pikiran; ada pikiran dramatis,
pikiran produser, yang melihat efek realitas yang bisa diperoleh dari peralatan
mekanis; dan ada pikiran romantis muda; dan akhirnya, kawan, ada pikiran biasa pikiran yang melihat - bukan laut biru dan pohon-pohon mimosa, tapi kain bercat
yang membentuk pemandangan panggung.
"Jadi, mes amis, saya datang ke pembunuhan Stephen Babbington bulan Agustus
lalu. Pada malam itu, Sir Charles Cartwright mengatakan Stephen Babbington
dibunuh. Saya tidak setuju dengan teori itu. Saya tak bisa percaya bahwa (A)
orang seperti Stephen Babbington dibunuh orang, dan (B) kemungkinan memberi
racun pada orang tertentu dalam situasi seperti itu.
"Sekarang, di sini saya mengakui bahwa Sir Charles benar dan saya salah. Saya
salah karena melihat kejahatan ini dari sudut yang keliru. Baru 24 jam yang lalu
saya bisa melihatnya dari sudut yang benar. Karena itu, pembunuhan atas Stephen
Babbington menjadi masuk akal dan mungkin.
"Tapi saya akan melewatkan hal ini dulu dan membawa Anda berjalan langkah demi
langkah lewat jalan setapak yang saya lalui. Kematian Stephen Babbington bisa
kita sebut babak pertama drama kita. Tirai panggung turun ketika kita semua
pergi dari Crow's Nest. "Babak kedua drama itu dimulai di Monte Carlo, ketika Mr. Satterthwaite
menunjukkan pada saya berita tentang kematian Sir Bartholomew. Pada saat itu
juga kelihatan bahwa saya keliru dan Sir Charles benar. Baik Stephen Babbington
maupun Sir Bartholomew Strange mati dibunuh. Kedua pembunuhan itu merupakan
bagian dari satu kejahatan yang sama. Nantinya, pembunuhan ketiga melengkapi
seri itu - yaitu pembunuhan atas Mrs. de Rushbridger.
"Karena itu, yang kita perlukan adalah teori yang masuk akal, yang akan
menghubungkan ketiga kematian itu. Dengan kata lain, ketiga kejahatan itu
dilakukan oleh satu orang yang sama dan untuk keuntungan orang tersebut.
"Saya pernah menyatakan bahwa hal yang mencemaskan saya adalah kenyataan bahwa
pembunuhan atas Sir Bartholomew Strange terjadi setelah pembunuhan atas Stephen
Babbington. Kalau kita perhatikan ketiga peristiwa itu tanpa ditandai waktu dan
tempat yang pasti, pembunuhan atas Sir Bartholomew Strange bisa dikatakan
sebagai kejahatan utama atau yang pokok, sedangkan yang lain sifatnya kurang
utama - yaitu terjadi karena hubungan kedua orang itu dengan Sir Bartholomew
Strange. Tapi, seperti yang saya katakan sebelumnya, orang tak bisa mendapat
kasus kejahatan seperti yang dia inginkan. Stephen Babbington dibunuh lebih
dulu, dan Sir Bartholomew Strange belakangan. Karena itu, kelihatannya kejahatan
kedua timbul sebagai akibat yang pertama, dan karena itu yang harus diperhatikan
adalah yang pertama, untuk bisa mengetahui seluruhnya.
"Saya masih berpegang pada teori probabilitas, dan saya dengan sungguh-sungguh
mempertimbangkan kemungkinan adanya kekeliruan. Mungkin sebenarnya yang dituju
adalah Sir Bartholomew Strange sebagai korban pertama, tapi yang kena Mr.
Babbington. Tapi saya terpaksa menolak teori itu. Siapa pun yang mengenal Sir
Bartholomew dengan baik, pasti tahu dia tidak suka minum koktail.
"Satu hal lagi: Apakah Stephen Babbington keliru dibunuh, padahal yang dituju
seseorang lainnya di antara tamu-tamu itu" Saya tak bisa menemukan bukti untuk
hal ini. Karena itu, saya terpaksa kembali pada kemungkinan pembunuhan atas
Stephen Babbington memang sengaja ditujukan padanya, dan saya benar-benar
menghadapi jalan buntu - hal yang kelihatannya tak mungkin terjadi.
"Kita harus memulai penyelidikan dengan teori yang paling sederhana dan jelas.
Seandainya Stephen Babbington memang meminum racun yang ada dalam koktail, siapa
yang punya kesempatan untuk meracuni koktail itu" Sepintas hanya dua orang yang
bisa melakukan hal itu, misalnya orang-orang yang menangani minuman itu, yaitu
Sir Charles Cartwright sendiri dan si pelayan, Temple. Tapi walaupun keduanya
bisa membubuhkan racun itu ke dalam gelas, tak seorang pun punya kesempatan
untuk mengulurkan gelas itu ke tangan Mr. Babbington. Temple mungkin bisa
melakukannya dengan keterampilan memainkan nampan - tidak mudah, tapi bisa
dilakukan. Sir Charles juga bisa melakukannya, yaitu dengan sengaja mengambilkan
gelas dan mengulurkannya pada Mr. Babbington. Tapi hal itu tidak terjadi.
Kelihatannya semua terjadi karena kebetulan, yaitu kebetulan Stephen Babbington
mengambil gelas itu. "Sir Charles Cartwright dan Temple menangani koktail itu secara langsung. Apa
salah satu dari mereka ada di Melfort Abbey" Tidak. Siapa yang punya kesempatan
paling baik untuk membubuhkan racun pada gelas Sir Bartholomew" Si kepala
pelayan yang menghilang, Ellis, dan salah seorang pelayan. Tapi di sini pun
kemungkinan bagi seorang tamu untuk melakukannya tak bisa dikesampingkan. Memang
berbahaya, tapi mungkin bagi salah seorang tamu untuk menyelinap ke ruang makan
dan memasukkan nikotin ke dalam gelas anggur.
"Ketika saya datang lagi ke Crow's Nest, Anda telah mempunyai daftar tamu yang
hadir di Crow's Nest maupun di Melfort Abbey. Terus terang, saya segera membuang
jauh-jauh empat nama pertama yang disebut dalam daftar - Kapten dan Mrs. Dacres,
Miss Sutcliffe, serta Miss Wills.
"Sangat tidak masuk akal bagi mereka berempat untuk mengetahui mereka akan
bertemu dengan Stephen Babbington dalam pesta itu. Penggunaan nikotin sebagai
racun menunjukkan rencana yang sudah dipikirkan masak-masak, bukan sesuatu yang
bisa dilakukan secara mendadak. Ada tiga nama lain dalam daftar itu - Lady Mary
Lytton Gore, Miss Lytton Gore, dan Mr. Oliver Manders. Walaupun kelihatan tak
masuk akal, ketiganya punya kemungkinan. Mereka punya motif untuk menyingkirkan
Stephen Babbington dan memilih pesta itu untuk melaksanakan rencana mereka.
"Sebaliknya, saya tak bisa menemukan bukti bahwa mereka melakukan hal itu.
"Saya kira Mr. Satterthwaite berpikiran sama dengan saya, dan dia mencurigai
Oliver Manders. Bisa saya katakan pemuda itu orang yang paling dicurigai. Dia
menunjukkan kegugupan pada malam di Crow's Nest itu; dia mempunyai pandangan
hidup yang negatif karena kesulitan pribadinya; dia punya rasa rendah diri yang
amat kuat. Ini sering merupakan penyebab tindak kejahatan; dia berada pada usia
yang labil; dia memang pernah bertengkar dengan Mr. Babbington, dan menunjukkan
rasa permusuhan padanya. Lalu ada kejadian aneh tentang kedatangannya di Melfort
Abbey. Dan kemudian dia menceritakan hal yang tak masuk akal tentang surat dari
Sir Bartholomew Strange, lalu ada guntingan koran mengenai peracunan dengan
nikotin yang jatuh dari sakunya. Juga ada referensi tentang M dalam buku harian
Sir Bartholomew. "Dengan demikian, Oliver Manders adalah orang yang harus ditulis paling atas
pada daftar nama ketujuh orang itu.
"Tapi kemudian ada perasaan aneh pada diri saya. Memang jelas dan sangat masuk
akal bahwa orang yang melakukan kejahatan itu pasti orang yang berada dalam
kedua pesta itu. Dengan kata lain, seseorang yang termasuk dalam daftar ketujuh
orang itu. Tapi saya merasa kegamblangan itu direncanakan. Jalan pikiran itu
wajar pada seorang yang waras dan berpikiran logis. Saya merasa bukan mencari
realitas, tapi pemandangan yang digambarkan dengan sedikit kelicikan. Seorang
penjahat yang benar-benar licin pasti tahu bahwa siapa pun yang namanya ada
dalam daftar pasti akan dicurigai, dan karenanya dia mengatur agar namanya tidak
ada di dalam daftar itu. "Dengan kata lain, pembunuh Stephen Babbington dan Sir Bartholomew Strange
berada dalam kedua pesta itu, tapi kelihatannya tidak begitu.
"Siapa yang ada pada pesta pertama dan tidak dalam pesta kedua" Sir Charles
Cartwright, Mr. Satterthwaite, Miss Milray, dan Mrs. Babbington.
"Mungkinkah salah satu dari mereka berada pada pesta kedua tanpa diketahui orang
lain" Sir Charles dan Mr. Satterthwaite berada di Prancis Selatan. Miss Milray
ada di London. Mrs. Babbington ada di Loomouth. Dari keempat orang itu, Miss
Milray dan Mrs. Babbington yang kelihatannya pantas dicurigai. Tapi bisakah Miss
Milray hadir di Melfort Abbey tanpa diketahui tamu lain" Miss Milray mempunyai
penampilan khas, sulit dilupakan, dan tak mudah disamarkan. Saya memutuskan tak
mungkin Miss Milray berada di Melfort Abbey tanpa dikenali para tamu. Demikian
juga Mrs. Babbington. "Karena hal itu, mungkinkah Mr. Satterthwaite atau Sir Charles Cartwright berada
di Melfort Abbey tanpa dikenali" Mr. Satterthwaite punya kemungkinan, tapi
bagaimana dengan Sir Charles Cartwright" Ini sulit. Sir Charles seorang aktor
yang terbiasa memainkan suatu peran. Tapi peran apa yang dia mainkan"
"Lalu saya mempertimbangkan Ellis, kepala pelayan itu.
"Ellis orang yang misterius. Dia muncul tiba-tiba dua minggu sebelum kejadian,
dan kemudian menghilang dengan sukses. Kenapa Ellis begitu sukses" Karena Ellis
memang tidak ada. Ellis adalah papan penghias, gambar, dan hiasan panggung.
Ellis tidak nyata. "Mungkinkah itu" Pelayan-pelayan di Melfort Abbey kenal Sir Charles Cartwright,
dan Sir Bartholomew Strange kawan dekatnya. Saya bisa melewatkan pelayan-pelayan
itu dengan mudah. Penyamaran sebagai kepala pelayan tidak berbahaya. Kalau
mereka mengenalinya, itu bisa dianggap lelucon. Seandainya waktu dua minggu itu
lewat tanpa menimbulkan kecurigaan, semuanya aman. Dan saya masih ingat apa yang
dikatakan pelayan-pelayan itu tentang Ellis. Dia 'seorang terpelajar', 'bekerja
di tempat orang-orang terhormat', dan tahu beberapa skandal penting. Itu mudah.
Tapi sebuah pernyataan berarti dari Doris mengatakan, 'Dia melakukan
pekerjaannya berbeda dengan kepala-kepala pelayan yang pernah saya kenal.'
Ketika pernyataan itu dia ulangi lagi, pernyataan tersebut memberikan konfirmasi
pada teori saya. "Tapi Sir Bartholomew Strange lain. Rasanya tak masuk akal dia bisa dibodohi
temannya sendiri. Dia pasti tahu penyamaran itu. Apa kita punya bukti tentang
hal tersebut" Ya. Mr. Satterthwaite yang tajam ini menunjukkan hal itu - yaitu
kelakar-kelakar tajam Sir Bartholomew yang kelihatannya bukan kebiasaannya bila
menghadapi pelayan-pelayan, 'Kau memang kepala pelayan top. Iya, kan, Ellis"'
Suatu kalimat yang dapat dimengerti apabila pelayan itu adalah Sir Charles
Cartwright. "Sebab begitulah Sir Bartholomew memandang persoalan itu. Penyamaran sebagai
Ellis adalah lelucon; puncaknya nanti akan terlihat dalam pesta itu. Karena
itulah Sir Bartholomew membuat pernyataan akan adanya kejutan, dan itu
menjelaskan sikapnya yang riang gembira itu. Perlu diingat bahwa masih ada
kesempatan untuk menarik diri. Seandainya salah seorang tamu mengenali Charles
Cartwright pada malam pertama di meja makan itu, tak ada kejadian apa-apa yang
akan menimbulkan kecurigaan. Tapi tak seorang pun mengenali kepala pelayan
setengah baya yang agak bungkuk dengan mata dibuat agak gelap, cambang, dan
tanda buatan di pergelangan tangannya. Suatu sentuhan identifikasi yang sangat
halus - tapi tidak berarti, karena kurang tajamnya pengamatan orang. Tanda di
pergelangan tangan itu sengaja dibuat untuk menjadi ciri Ellis, dan selama dua
minggu itu tak seorang pun melihatnya. Satu-satunya yang memperhatikan adalah
Miss Wills yang bermata tajam. Ini akan kita bicarakan.
"Apa yang terjadi kemudian" Sir Bartholomew meninggal. Kali ini kematian
tersebut bukan kematian yang wajar. Polisi datang. Mereka menanyai Ellis dan
yang lain. Malam itu Ellis pergi melewati lorong rahasia, berganti menjadi
dirinya sendiri, dan dua hari kemudian berjalan-jalan di Monte Carlo, siap untuk
dikejutkan dengan kematian kawannya.
"Harap Anda ingat, semua ini hanya teori. Saya tak punya bukti yang sebenarnya,
tapi segala yang timbul mendukung teori itu. Rumah kartu saya bisa berdiri.
Surat-surat pemerasan di kamar Ellis" Kan Sir Charles sendiri yang menemukan!
"Bagaimana dengan surat Sir Bartholomew Strange pada Manders untuk mengatur
kecelakaan" Mudah sekali bagi Sir Charles untuk menulis surat itu dengan nama
Sir Bartholomew. Kalau Manders tidak membuang surat itu, Sir Charles dengan
peran Ellis-nya bisa melakukannya pada waktu dia melayani pemuda itu. Demikian
juga guntingan koran itu bisa masuk dengan mudah ke dalam dompet pemuda itu.
"Dan sekarang kita sampai ke korban ketiga - Mrs. de Rushbridger. Kapan kita
pertama kali mendengar tentang dia" Segera setelah pernyataan atau kelakar
tentang Ellis sebagai kepala pelayan top itu. Pernyataan Sir Bartholomew Strange
yang tidak biasa itu ditujukan pada Ellis. Dengan cara apa pun, perhatian dan
sikap Sir Bartholomew pada si kepala pelayan harus dialihkan. Sir Bartholomew
menanyakan pesan apa yang dibawa kepala pelayan itu, yaitu tentang wanita
tersebut, pasien dokter itu. Dengan segera Sir Charles menyembunyikan dirinya
dan mengalihkan perhatian pada wanita yang tak dikenalnya. Dia pergi ke
sanatorium dan menanyai kepala perawat. Dia memburu Mrs. de Rushbridger sebagai
jalan untuk menghindar. "Kita harus melihat peran yang dimainkan Miss Wills dalam drama ini. Miss Wills
adalah orang yang selalu ingin tahu. Dia tipe orang yang tak bisa menarik
perhatian orang-orang sekitarnya. Dia tidak cantik, tidak bisa bicara lancar,
bahkan tidak simpatik. Dia biasa. Tapi dia sangat suka memperhatikan dan sangat
cerdas. Dia membalas dendamnya pada dunia dengan pena. Dia bisa memproduksi
suatu karakter di atas kertas. Saya tak tahu apakah ada sesuatu pada si kepala
pelayan yang membuat Miss Wills curiga, tapi saya percaya dialah satu-satunya
orang di meja makan yang memperhatikan si kepala pelayan. Pada pagi hari setelah
menyelidik dan mengintip seperti dikatakan para pelayan, dia masuk ke kamar
Dacres, mendekati pintu berlapis, dan masuk ke ruang pelayan. Saya rasa itu dia
lakukan karena instingnya membawanya menemukan sesuatu.
"Dialah satu-satunya orang yang membuat Sir Charles gelisah. Karena itu, Sir
Charles ingin dialah yang menangani Miss Wills. Sir Charles merasa tenang dengan
hasil wawancara yang dilakukannya, saat Miss Wills mengatakan dia melihat tanda
di pergelangan tangan Ellis. Tapi setelah itu terjadilah bencana. Saya kira
sampai pada saat wawancara itu Miss Wills belum menghubungkan Ellis dengan Sir
Charles Cartwright. Saya kira dia cuma merasakan adanya kesamaan antara Ellis
dan seseorang. Tapi dia seorang pengamat. Ketika piring-piring disajikan, secara
otomatis dia memperhatikan. Bukan wajah, tapi tangan orang yang menyajikan
piring. "Dia tidak langsung tahu Ellis adalah Sir Charles. Tapi ketika Sir Charles
bicara dengannya, tiba-tiba dia tahu Sir Charles adalah Ellis! Jadi, dia


Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpura-pura minta agar Sir Charles memberikan sepiring sayur. Sebenarnya yang
menarik bukanlah apakah tanda itu di tangan kiri atau kanan. Dia ingin
mempelajari tangannya - tangan-tangan yang terjulur dengan posisi yang sama dengan
yang dilakukan Ellis. "Dan dia pun tahu. Tapi dia wanita yang aneh. Dia cukup senang dengan sekadar
tahu. Di samping itu, dia juga tidak yakin Sir Charles-lah yang membunuh
kawannya. Ya, Sir Charles memang menyamar sebagai kepala pelayan, tapi itu tidak
membuatnya otomatis menjadi pembunuh. Banyak orang diam saja, karena kalau
bicara akan serba salah. "Jadi, Miss Wills menyimpan sendiri apa yang diketahuinya dan menikmatinya. Tapi
Sir Charles khawatir. Dia tak suka melihat ekspresi jahat Miss Wills ketika dia
meninggalkan ruang tamunya. Wanita itu tahu sesuatu. Apa" Apa berkaitan dengan
dirinya" Dia tak yakin. Tapi dia merasa hal itu ada hubungannya dengan Ellis.
Pertama, Mr. Satterthwaite, sekarang Miss Wills. Perhatian harus dialihkan dari
titik vital itu. Harus dialihkan ke tempat lain. Dan dia membuat rencana sederhana, berani, dan menurut pendapatnya, misterius.
"Pada hari pesta sherry saya, saya membayangkan Sir Charles bangun pagi-pagi
sekali, pergi ke Yorkshire, menyamar dengan baju kumal sebagai pengemis, dan
memberikan telegram pada seorang anak untuk mengirimkannya. Lalu dia kembali
lagi untuk memainkan peran yang saya inginkan dalam drama kecil itu. Dia
melakukan satu hal lagi. Dia mengirim sekotak cokelat pada seorang wanita yang
belum pernah dilihatnya dan tak dikenalnya.
"Anda tahu apa yang terjadi malam itu. Dari sikap Sir Charles yang gelisah, saya
yakin Miss Wills mempunyai kecurigaan. Ketika Sir Charles berpura-pura mati,
saya memperhatikan wajah Miss Wills. Saya melihat rasa heran di situ. Saya jadi
yakin dia memang mencurigai Sir Charles sebagai si pembunuh. Ketika Sir Charles
pura-pura mati, dia berpikir deduksinya keliru.
"Tapi kalau mencurigai Sir Charles, berarti Miss Wills dalam bahaya. Orang yang
sudah membunuh dua kali tak akan segan membunuh lagi. Saya memberikan
peringatan. Malam itu saya menghubungi Miss Wills lewat telepon, dan atas saran
saya dia meninggalkan rumah esok paginya. Sejak itu dia tinggal di hotel ini.
Kebenaran akan kekhawatiran saya terbukti dengan kepergian Sir Charles ke
Tooting esok malamnya, setelah dia kembali dari Gilling. Dia terlambat. Burung
itu telah terbang. "Sementara itu, dari sudut pandangnya, rencana itu berjalan baik. Mrs. de
Rushbridger punya hal penting yang ingin dia ceritakan. Mrs. de Rushbridger
terbunuh sebelum sempat bicara. Begitu dramatis! Seperti cerita detektif,
sandiwara, dan film! Sekali lagi semua itu adalah hiasan panggung.
"Tapi saya, Hercule Poirot, tak bisa dikelabui. Mr. Satterthwaite bilang, wanita
itu dibunuh agar tak bisa bicara. Saya setuju. Dia melanjutkan berkata bahwa
wanita itu dibunuh agar dia tidak bisa menceritakan pada kita apa yang
diketahuinya. Saya berkata, 'Atau apa yang tidak diketahuinya.' Mrs. de
Rushbridger dibunuh karena dia tak punya hubungan apa-apa dengan kejahatan itu.
Sebab itu dia dibunuh untuk mengalihkan perhatian kita. Jadi, Mrs. de
Rushbridger yang tak tahu apa-apa dan tak berbuat apa-apa itu dibunuh.
"Namun dalam kemenangan yang kelihatannya gemilang itu, Sir Charles melakukan
satu kesalahan besar dan kekanak-kanakan! Telegram itu dialamatkan pada saya,
Hercule Poirot, di Hotel Ritz. Tapi Mrs. de Rushbridger tak pernah tahu
bagaimana hubungan saya dengan kasus itu! Tak seorang pun dari belahan bumi di
situ tahu tentang saya. Ini merupakan kekeliruan yang tolol.
"Eh bien. Ternyata saya sudah berada di suatu tingkat tertentu. Saya tahu
identitas si pembunuh. Tapi saya belum tahu motif untuk kejahatan yang
sesungguhnya. "Saya berpikir. "Dan sekali lagi, kali ini lebih jelas, saya melihat kematian Sir Bartholomew
Strange merupakan pembunuhan utama. Apa yang menyebabkan Sir Charles membunuh
teman sendiri" Bisakah saya membayangkan suatu motif" Rasanya bisa."
Terdengar tarikan napas dalam. Sir Charles Cartwright berdiri pelan dan berjalan
ke perapian. Ia berdiri di sana. Tangannya berkacak pinggang dan ia menunduk,
memandang Poirot. Mr. Satterthwaite bisa mengatakan sikapnya seperti Lord
Englemount yang memandang sebal pada pengacaranya yang telah berani melontarkan
tuduhan penipuan padanya. Ia menunjukkan sikap anggun dan menampakkan rasa
jijik. Ia seorang aristokrat yang memandang rendah pada canaille yang rendah.
"Imajinasi Anda luar biasa, M. Poirot," katanya. "Rasanya tak ada gunanya
mengatakan tak satu pun dari kata-kata Anda itu benar. Saya tak tahu bagaimana
Anda berani mengemukakan kebohongan itu. Tapi lanjutkan. Saya tertarik. Apa
motif saya membunuh orang yang telah saya kenal sejak kecil?"
Hercule Poirot, si borjuis kecil, mendongak pada si aristokrat. Ia bicara tenang
dan tegas, "Sir Charles, motif pembunuhan tidak terlalu banyak. Ada ketakutan, ada
keinginan memiliki, dan ada wanita. Dalam kasus Anda, kita tak perlu mencari
yang lain lagi. Motif Anda untuk membunuh Sir Bartholomew Strange adalah
ketakutan." Sir Charles mengangkat bahu.
"Dan kenapa saya takut pada teman saya sendiri?"
"Karena," kata Hercule Poirot, "Sir Bartholomew spesialis saraf."
Dia diam sesaat, lalu melanjutkan dengan suara lembut,
"Ketika ide itu masuk ke kepala saya, saya mulai mencari informasi. Saya membaca
file koran-koran. Barangkali Anda masih ingat pernah bercerita di depan Mr.
Satterthwaite bahwa Anda telah meninggalkan karier Anda setelah mendapat
gangguan saraf karena bekerja terlalu berat. Pernyataan itu terlalu dangkal
untuk arti sebenarnya. Saya perhatikan bahwa dalam dua tahun terakhir karier
panggung Anda, Anda bermain dalam tiga cerita - kehidupan Napoleon yang dramatis,
kehidupan pastoral yang religius di mana Anda bermain sebagai dewa yang
menyamar, dan sebuah drama kejahatan di mana Anda bermain sebagai superdiktator
yang menguasai dunia. Dalam pidato-pidato Anda waktu itu terasa adanya egomania.
Sedangkan tentang sakitnya Anda tidak terlalu banyak diungkapkan. Hanya ada satu
berita bahwa Anda pergi berlayar. Tapi saya tidak menemukan nama Anda dalam
daftar nama penumpang-penumpang kapal di perusahaan-perusahaan pelayaran.
"Secara tak sengaja, pada saat itu Miss Lytton Gore datang membantu. Dia
mengatakan nama Anda yang sebenarnya Mugg. Lalu saya teringat pada satu kalimat kalimat yang tertulis dalam buku harian Sir Bartholomew, 'Saya khawatir dengan
M. Kelihatannya ada yang tidak beres.' M bukanlah kependekan dari Manders
ataupun Margaret de Rushbridger ataupun nama orang lain. M adalah dari Mugg - nama
yang dikenal Sir Bartholomew sejak dulu. Dan dengan segera saya bisa menemukan
konfirmasi teori saya. Pada tanggal ketika Sir Charles dikabarkan akan pergi
berlayar, seorang pasien bernama Charles Mugg diterima di sebuah rumah sakit
saraf swasta di Lincolnshire. Saya bisa mengerti alasan-alasan untuk prosedur
seperti itu - Sir Charles Cartwright dikenal staf sanatorium milik Sir
Bartholomew. Cara ini dipakai untuk menghindari publikasi. Charles Mugg
meninggalkan rumah sakit setelah tinggal selama empat bulan. Tapi saya bisa
membayangkan dokter itu belum sepenuhnya puas dengan kondisi mental kawannya.
Karena itu, tak mengherankan apabila sikapnya yang selalu mengawasi itu
menimbulkan tragedi. "Sakit Sir Charles sebenarnya belum sembuh. Dia hanya menyembunyikannya dengan
rapi dari dunia ini. Tapi dia tak bisa terlalu banyak berbuat di hadapan
temannya yang berpengalaman. Jadi, sementara Sir Bartholomew tak puas dengan
kondisi mental kawannya, Sir Charles membuat rencana dengan pikirannya yang
memang cerdas. "Dia melihat Sir Bartholomew sebagai penghalang kemerdekaannya. Dia yakin Sir
Bartholomew merencanakan akan membatasi gerakannya. Jadi, dia merencanakan suatu
pembunuhan yang cerdik. "Satu hal yang membuat saya bingung adalah ini. Hubungan antara Sir Charles dan
Miss Lytton Gore. Kepada Mr. Satterthwaite dia berpura-pura tak melihat gairah
cinta yang dipancarkan kekasihnya. Dia berpura-pura mengira Miss Lytton Gore
jatuh cinta pada Mr. Oliver Manders. Tapi laki-laki seperti Sir Charles, yang
berpengetahuan luas dan punya pengalaman matang dalam soal wanita, tentunya
takkan bisa dikelabui begitu saja. Dia pasti tahu bahwa segalanya jelas. Jadi,
kenapa dia bersikap begitu"
"Sangat sederhana. Sir Charles memerlukan alasan untuk meninggalkan Loomouth dan
pergi ke luar negeri. Dia memerlukan alasan agar bisa menghindari temannya untuk
sementara. Dengan kelihaiannya menciptakan efek dramatis, dia menggunakan alasan
romantis itu. Dan hal tersebut menimbulkan rasa simpati orang lain padanya. Itu
juga memberinya alasan untuk kembali ke Inggris setelah kematian Sir Bartholomew
Strange dan untuk mengambil bagian dalam penyelidikan. Baginya sangat penting
untuk mengetahui perkembangan penyelidikan itu."
Hercule Poirot diam. Sir Charles tertawa. Tawa yang dalam dan amat geli.
"Ah," katanya, "Anda bisa saja."
Dan seandainya ada penonton di situ, mereka pasti merasa bahwa ide orang asing
ini benar-benar menggelikan. Sir Charles-lah yang kelihatan waras.
"Jadi, saya ini gila?" kata Sir Charles melucu. "M. Poirot, apa Anda yakin itu
tidak terbalik" Kita tak akan mengatakan yang gila itu buruk, tapi" - ia menyentuh
dahinya - "hanya sedikit miring. Saya akui memang saya pernah sakit, dan atas
saran Tollie saya pergi ke rumah sakit swasta untuk dirawat. Tapi kalau Anda
menganggap diri saya sebagai maniak pembunuh... wah, itu terlalu berat."
Ia diam, lalu melanjutkan bicara, masih dalam nada suara lucu,
"Dan Babbington - pendeta yang baik. Apakah dia juga mengatur orang gila?"
"Tidak," kata Hercule Poirot. "Alasan pembunuhan Mr. Babbington lain. Pada
dasarnya bahkan tak ada alasan."
"Sekadar untuk kesenangan?"
"Tidak. Sebenarnya lebih dari itu. Saya sadar akan fakta yang menunjukkan bahwa
walaupun pada malam itu Anda punya kesempatan untuk membubuhkan nikotin di gelas
koktail, Anda tak bisa yakin betul gelas itu akan sampai pada orang yang Anda
tuju. Kemarin, secara tak sengaja, saya tahu sebabnya. Racun itu memang tidak
khusus ditujukan pada Stephen Babbington, tapi untuk siapa pun yang ada dalam
pesta itu, kecuali dua orang - Anda sendiri dan Sir Bartholomew, yang Anda tahu
tidak minum koktail."
Mr. Satterthwaite berseru,
"Itu tak masuk akal. Apa tujuannya" Sama sekali tak ada."
Poirot berbalik memandangnya. Suaranya penuh kemenangan,
"Oh ya, ada. Alasannya aneh, sangat aneh. Satu-satunya yang pernah saya temukan
selama ini. Pembunuhan Stephen Babbington tak kurang tak lebih adalah suatu
latihan akhir." "Apa?" "Ya. Sir Charles ini seorang aktor. Dia mengikuti insting aktornya. Dia mencoba
dulu sebelum melakukan yang sebenarnya. Tak ada kecurigaan yang bisa ditujukan
padanya. Tak satu pun dari kematian orang-orang itu memberikan keuntungan
berarti baginya, dan lagi, seperti telah diketahui, tak dapat dibuktikan bahwa
dia memang sengaja meracun orang tertentu. Dan latihan terakhir itu sukses. Mr.
Babbington meninggal. Tak seorang pun curiga akan adanya permainan keji. Semua
terserah pada Sir Charles, mau bersikap bagaimana, dan dia senang ketika kita
tidak menanggapi hal itu dengan serius. Penggantian gelas itu bisa lewat begitu
saja. Dia menjadi yakin bahwa pada pertunjukan sebenarnya nanti, semua akan
beres. "Sebagaimana Anda ketahui, kejadian tidak selalu sama dengan yang diharapkan.
Pada pembunuhan kedua, hadir seorang dokter yang segera mencurigai adanya
peracunan. Pada saat itulah Sir Charles mulai menekankan kematian Babbington.
Kematian Sir Bartholomew pasti ada hubungannya dengan kematian pertama.
Perhatian harus diarahkan pada motif pembunuhan Babbington, bukannya pada motif
pembunuhan Sir Bartholomew.
"Tapi ada satu hal yang tidak disadari Sir Charles. Kewaspadaan Miss Milray. Dia
tahu tuannya membuat percobaan-percobaan kimia di menara kebunnya. Miss Milray
membayar tagihan-tagihan untuk cairan penyemprot mawar yang hilang. Ketika dia
membaca Mr. Babbington meninggal karena keracunan nikotin, otaknya yang cerdas
langsung menarik konklusi bahwa Sir Charles telah melakukan penyulingan alkaloid
murni dari cairan penyemprot mawar.
"Dan Miss Milray tak tahu apa yang harus dia lakukan, karena dia telah mengenal
Mr. Babbington sejak kecil, dan dia memendam rasa cinta yang amat dalam - sebagai
wanita yang tidak menarik - pada majikannya yang luar biasa itu.
"Akhirnya dia memutuskan untuk menghancurkan peralatan laboratorium tuannya. Sir
Charles sendiri begitu yakin akan kesuksesannya, sehingga tak pernah memikirkan
hal itu penting baginya. Miss Milray pergi ke Cornwall dan saya mengikutinya."
Sekali lagi Sir Charles tertawa. Ia bersikap sebagai orang yang merasa jijik
melihat tikus. "Jadi, bukti-bukti yang bisa Anda ajukan adalah beberapa peralatan laboratorium
tua?" katanya menghina.
"Tidak," kata Poirot. "Ada paspor Anda yang menunjukkan tanggal-tanggal ketika
Anda ke luar negeri dan kembali lagi ke Inggris. Tanggal-tanggal itu sesuai
dengan periode ketika Ellis sedang bekerja pada Sir Bartholomew."
Sampai sejauh itu Egg duduk diam saja, kaku. Tapi sekarang ia bergerak.
Terdengar suara tangis kecil darinya.
Sir Charles berpaling kepadanya.
"Egg, kau tak percaya cerita konyol ini, kan?"
Ia tertawa. Tangannya terkembang.
Egg datang pelan-pelan kepadanya, seperti orang dihipnotis. Matanya memandang
mata Sir Charles. Dan kemudian, sebelum sampai, ia ragu-ragu. Pandangannya
jatuh. Matanya melihat ke kiri dan ke kanan, seolah-olah mencari pegangan.
Kemudian, sambil menangis ia berlutut di depan Poirot.
"Apa benar" Apa benar?"
Poirot meletakkan kedua tangannya ke bahu gadis itu, memegangnya dengan hangat
dan tegas. "Itu benar, Mademoiselle."
Egg berkata, "Hari itu, waktu kami di desa, saya merasa begitu takut. Saya tak tahu kenapa.
Saya hanya merasa takut akan sesuatu. Apakah itu karena... karena..."
"Intuisi wanita, Egg," kata Sir Charles dengan suara mengejek.
Ia masih kelihatan tenang.
"Begini, Poirot," katanya. "Saya bisa menjelaskan soal paspor itu. Memang
kelihatannya memberatkan, tapi ada alasannya."
Hercule Poirot berkata dengan nada cepat dan tegas,
"Sir Charles, di kamar sebelah ada seorang inspektur polisi dari Scotland Yard
dan dua dokter - spesialis-spesialis terkenal penyakit otak."
"Anda telah bertindak sejauh itu?" Sir Charles melangkah maju. Wajahnya
kelihatan larut dan kembali ke asalnya. Wajah itu berubah marah. Suaranya
melengking serak, "Anda menjebak saya! Ya, Anda menjebak saya! Saya tak mau menemui mereka! Ini
suatu plot! Persekongkolan! Perangkap! Tapi mereka tak akan bisa menyentuh saya tak seorang pun bisa!" Ia menenangkan dirinya. "Saya di atas kalian semua - di
atas hukum manusia yang konyol! Ketiga orang itu harus dibunuh, itu harus! Saya
menyesali kematian mereka, tapi itu perlu! Perlu dilakukan! Demi keselamatan
saya!" Ia berhenti dan memandang Poirot, gerahamnya menahan geram.
"Itu tidak benar. Anda cuma menakut-nakuti saya. Anda bohong."
"Silakan lihat sendiri," kata Hercule Poirot.
Sir Charles berjalan, membuka pintu, dan masuk. Mereka mendengar jeritannya
dalam suara tinggi dan gumam suara beberapa laki-laki. Poirot berjalan ke pintu,
melongok sebentar, lalu menutupnya dengan hati-hati.
"Sudah selesai, Mademoiselle," katanya. "Dia akan dirawat. Dan ini ada seorang
kawan yang akan menemani Anda pulang."
Ia membuka sebuah pintu lain. Oliver Manders ada di sana. Ia berjalan cepat
mendekati Egg dan gadis itu berjalan tersaruk ke arahnya.
"Oliver, aku begitu jahat padamu. Jahat. Bawa aku ke Ibu! Oh, bawa aku pulang ke
Ibu!" Oliver merangkul gadis itu dan membawanya keluar.
"Ya, Sayang, kuantar kau. Ayo."
"Oh, mengerikan... mengerikan."
"Ya, ya. Tapi semua sudah lewat sekarang. Jangan dipikirkan lagi."
"Aku tak bisa lupa. Tak akan lupa."
"Ya... nanti pasti bisa. Bisa cepat lupa. Ayo."
Egg menurut. Di pintu ia menegakkan tubuh dan melepaskan diri dari pelukan
pemuda itu. "Aku tak apa-apa."
Poirot memberi isyarat; Oliver Manders kembali lagi ke kamar.
"Jaga dia baik-baik," kata Poirot.
"Ya. Dialah satu-satunya yang saya sayangi. Anda tahu itu. Cinta saya padanya
membuat saya sinis dan bersikap pahit. Tapi saya lain sekarang. Saya siap. Dan
suatu hari nanti barangkali..."
"Saya rasa begitu," kata Poirot. "Saya kira dia mulai merasakan hal itu ketika
Sir Charles datang dan membuatnya bingung. Hero worship memang berbahaya bagi


Tragedi Tiga Babak Three Act Tragedy Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak-anak muda. Suatu hari nanti, Egg akan jatuh cinta pada seorang teman dan
membangun istana cintanya di atas karang."
Poirot memandang pemuda itu dengan rasa sayang ketika ia meninggalkan ruangan.
Mr. Satterthwaite membungkuk ke depan dalam posisi duduknya.
"M. Poirot," katanya, "Anda memang luar biasa - sangat luar biasa."
Poirot bersikap rendah hati.
"Ah, bukan apa-apa, bukan apa-apa. Tragedi tiga babak. Sekarang tirainya sudah
ditutup." "Maaf," kata Mr. Satterthwaite.
"Ya" Ada sesuatu yang perlu saya terangkan?"
"Ada satu hal yang ingin saya tanyakan."
"Silakan, silakan."
"Kenapa kadang-kadang Anda berbicara dengan bahasa Inggris yang sangat baik dan
kadang-kadang tidak?"
Poirot tertawa. "Ah, akan saya jelaskan. Memang saya bisa bicara bahasa Inggris dengan baik.
Tapi bicara dengan bahasa Inggris yang patah-patah merupakan kekayaan
tersendiri. Itu membuat orang menganggap enteng saya. Mereka bilang, 'Hm, orang
asing. Bicara benar saja tak bisa.' Dan saya tak ingin menakut-nakuti orang,
sebaliknya saya ingin mereka meremehkan saya. Saya juga sombong! Orang Inggris
suka berpikir, 'Orang yang suka membesarkan diri pasti tak sebesar itu.'
Begitulah cara berpikir orang-orang Inggris. Dan itu sama sekali tidak benar.
Jadi, saya sering membuat orang bersikap sembrono. Kecuali itu," tambahnya, "hal
itu telah menjadi kebiasaan saya."
"Hm," kata Mr. Satterthwaite, "Anda memang cerdik seperti ular, M. Poirot."
Ia diam sejenak, memikirkan kasus itu.
"Rasanya saya tak banyak berbuat dalam soal ini," katanya jengkel.
"Sebaliknya. Anda memikirkan hal yang penting itu - pernyataan Sir Bartholomew
pada kepala pelayan. Anda juga tahu akan pengamatan tajam Miss Wills. Saya kira
Anda bisa menyelesaikan kasus ini apabila Anda tidak terlalu bersikap dramatis."
Mr. Satterthwaite kelihatan gembira.
Tiba-tiba sebuah pikiran masuk ke kepalanya. Wajahnya langsung suram.
"Ya Tuhan," serunya, "saya baru sadar! Si jahat itu dan koktail beracunnya!
Siapa pun bisa meminumnya. Dan saya juga bisa kena!"
"Ada kemungkinan yang lebih mengerikan lagi, yang belum Anda bayangkan," kata
Poirot. "Eh?" "Mungkin saya yang kena," kata Hercule Poirot.
Scan, Konversi, Edit, Spell & Grammar Check: clickers
http://facebook.com/DuniaAbuKeisel
http://facebook.com/epub.lover
http://epublover.wordpress.com
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 19 Dewa Linglung 26 Gempar Aji Karang Rogo Murka Sang Nyai 3

Cari Blog Ini