Ceritasilat Novel Online

Musuh Dalam Selimut 2

Animorphs - 6 Musuh Dalam Selimut Bagian 2


terbongkar, kami mungkin bisa selamat. Tapi apa jadinya kalau kami juga harus
berhadapan dengan polisi" Keadaan itu akan sangat...
Tiba-tiba ada getaran aneh di udara di atasku.
BAHAYA! LARI! WHHHAAAMMMPP! Kesannya seperti ada gedung tingkat tiga yang tiba-tiba roboh satu senti di
hadapanku. Benturannya luar biasa keras. Angin yang timbul bagaikan topan kecil. Kedua
sungutku sampai menekuk ke belakang.
seruku pada yang lain.
"Visser! Maafkan gangguan ini. Tapi tadi ada beberapa serangga kecil di lantai."
Para hadirin bergumam-gumam. Lalu salah satu dari mereka angkat bicara, "Tenang
saja, itu cuma kecoak. Kecoak ada di mana-mana di planet ini."
"Dasar tolol!" Visser Three membentak. "Kaupikir para Andalite tidak bisa
menjelma sebagai makhluk sekecil itu" Pengawal, bunuh si tolol itu!"
DOR! DOR! Dunia sekelilingku serasa berputar-putar. Ada yang ditembak!
Jangan-jangan... Tom" Ya ampun.
Sekali lagi terasa embusan udara di atasku. Aku melihat benda raksasa meluncur
ke arahku. Serta-merta aku melesat maju.
WWHHAAAMMMPPP! Benda itu mendarat beberapa milimeter dari ekorku. "Basmi semua serangga itu!"
teriak Visser Three. aku memekik. Serahkan semuanya pada naluri kecoak!>
Aku pun memasrahkan nasibku pada naluri yang menguasai otak si serangga.
Orang boleh saja membenci kecoak. Binatang itu memang menjijikkan. Tapi untuk
urusan bertahan hidup, otak primitif seekor kecoak bisa diandalkan.
WWHHAAAMPPP! WWHHAAMMMPP! Ax memekik.


Kaki-kaki raksasa, masing-masing sebesar bus kota, mengentak-entak di lantai.
Tapi setiap kali otak kecoak-ku membawaku ke tempat yang tepat, dengan kecepatan
yang tepat pula. Saking dekatnya, ekorku berulang kali terserempet tepi sepatu.
Aku berhasil mencapai sudut ruangan dan merapatkan badan sedekat mungkin ke
dinding. Cassie menjerit. mau mati seperti ini!>

Aku melesat cepat ketika beberapa sepatu berusaha menendangku di sudut ruangan.
Sebenarnya aku cuma butuh ruang setengah senti untuk lari dengan selamat.
CIIIIIIT. Sebuah sepatu kets diseret menyusuri dinding dan menuju ke arahku. Karetnya yang
empuk sama sekali tak menyisakan celah.
Wah, aku bisa mati konyol nih!
Sepatu itu terus maju, bagaikan dinding hitam. Bagaikan lokomotif hitam yang
siap menerjangku. Aku meloncat! Aku mendarat di atas sepatu itu.
Whooosshhh! Aku seperti terbang naik karpet ajaib yang terbuat dari kanvas. Si pemilik
sepatu menendang. Aku terpental dan berjumpalitan di udara.
seru Cassie.
Aku serasa meluncur melebihi kecepatan suara. Aku melesat seperti pesawat jet
yang kehilangan kendali. Tunggu dulu! Aku kan punya sayap!
Terlambat Gubrak! Aku membentur dinding. Seandainya aku berwujud manusia, aku pasti tewas
karena benturan keras itu. Tapi berat badanku kurang dari seratus gram. Benturan
itu keras, tapi tidak cukup keras untuk membuatku terluka.
Aku jatuh ke lantai. Di dekatku ada sesuatu yang mirip tenda - warnanya kelabu dan hitam... ternyata
koran! Selembar koran yang sudah diremas-remas.
Aku segera bersembunyi di bawahnya.
Aku menoleh ke atas dan melihat sebuah foto. Tapi tentu saja aku tidak memahami
foto itu. Yang terlihat, olehku cuma titik-titik tinta. Aku juga melihat hurufhuruf sebesar kepalaku. kata Ax.
Oke, berarti sudah ada dua yang selamat.
Rachel melaporkan. < Orangnya belum
sadar. Tunggu. Oh, dia keluar. Aku turun! Beres! Beres! Aku sudah di luar!>
< Marco" >


tunggu satu menit, setelah itu aku akan mencari lubang tempat pipa di dinding.
Kau sendiri bagaimana">
Aku harus kabur. Aku akan berusaha keluar melewati pintu. Kalau sudah di luar
pasti aman, soalnya hari sudah gelap.>
kata Marco.

Kemudian sungutku menangkap bau lain. Agak manis. Seperti berminyak.
Berbahaya. Seperti... Tiba-tiba aku sadar! Serta-merta aku keluar dari tempat
persembunyianku. "Tuh! Itu ada satu!"
Getaran dari lusinan kaki mengejarku. Dan di belakangku tiba-tiba muncul
semburan yang mirip air mancur.
Air mancur terbalik. Seperti hujan yang berasal dari satu titik lalu menyebar ke
segala arah. Satu tetes mengenai punggungku.
Lalu satu lagi. Kakiku tersandung-sandung.
Pintu. Aku bisa merasakannya di depan.
WWHHAAMMPP! Ada kaki! Hampir saja! Gerakanku semakin lamban! Naluri kecoak-ku mulai kacau.
Aku keracunan. Gas pembasmi serangga yang menyerang saraf itu mulai bekerja.
Kakiku terasa semakin berat. Sungutku bergoyang-goyang, tanpa bisa mencium apa
pun selain hujan racun yang mematikan.
"Biar mati semuanya!" ujar sebuah suara.
"Jangan diinjak," seru Visser Three. "Dia mungkin akan berubah wujud untuk
menyelamatkan diri, dan kalau begitu kita bisa menangkap prajurit Andalite!"
Tubuhku mulai kejang-kejang. Aku tidak bisa bernapas.
Dan kemudian, lebih cepat dari kaki-kaki yang mengincarku tadi, sesosok tubuh
lain meluncur ke arahku. Aku berusaha kabur, tapi aku sudah tidak bisa bergerak. Tiga kabel raksasa
mencengkeramku, dan tahu-tahu aku sudah terangkat dari lantai.
ujar Tobias. Ekor Merah, dan kita akan segera keluar dari sini!>
Chapter 10 < BERUBAH, Jake! Cepat!>
Tobias telah menurunkanku di atap Restoran Boston Market, tempat paling aman
yang bisa dicarinya dalam waktu singkat.
Aku tergeletak tak berdaya. Kakiku berkedut-kedut. Kedua sungutku bergoyang tak
terkendali. Seluruh tubuh kecoak-ku kejang-kejang dan nyaris tak bisa dikuasai.
Tapi jiwa manusiaku tahu apa yang sedang terjadi. Aku sekarat.
Aku sudah sering melihat kecoak mati karena keracunan. Setiap kali menonton
adegan itu, dalam hati aku selalu berkata, "Hah, rasain kau!"
Sekarang giliran aku yang kena. Kali ini tubuhku yang semakin lemah. Kali ini
aku yang kejang-kejang dan tidak bisa bernapas.

Aku tahu ia benar. Itu satu-satunya cara supaya aku bisa selamat. Tapi
memusatkan pikiran betul-betul sulit kalau kita sudah hampir mati.
Aku berusaha membayangkan diriku sebagai manusia. Tapi bayangan itu bercampurbaur dengan bayangan lumba-lumba, burung, dan harimau.
Dan mimpiku.... Aku seakan-akan pindah ke dunia mimpi....
Aku muncul sebagai harimau. Aku bergerak tanpa suara. Setiap ototku menyerupai
baja cair. Setiap gerakanku begitu terkendali, begitu penuh perhitungan.
Bau mangsaku tercium jelas. Aku bisa mendengar suara langkahnya di hutan yang
gelap. Gerakannya lamban. Dan lemah. Ia takkan bisa lolos. Aku akan
membinasakannya. Mangsaku... ternyata Tom.
Aku melihatnya menoleh ke arahku. Aku melihat kengerian yang terpancar dari
matanya. Ia begitu takut padaku.
Aku mengambil ancang-ancang untuk menerjang. Taringku akan mencabik tengkuknya.
Gigitanku akan meremukkan tulang lehernya.
Ia menatapku sambil mengangkat tangan. "Jangan!"
Aku melompat sekuat tenaga. Tak ada yang bisa menghentikanku. Aku mengaum keras,
sebuah raungan kemenangan yang bisa terdengar sejauh bermil-mil.
Dan kemudian aku melihat si harimau. Aku melihat diriku sendiri. Aku melihat
bulu loreng dan mata kuning yang bengis, juga gigi taring dan cakar yang sanggup
mencabik perut seekor kerbau, melesat ke arahku.
Tom telah menggantikan tempatku sebagai harimau. Kami berubah tempat. Dan kini
aku menjadi mangsanya. Aku memejamkan mata. Dan ketika aku membuka mata lagi, aku melihat sepasang mata
bersinar buas hanya berjarak beberapa senti dari wajahku. Mata seekor elang.
tanya Tobias.
Aku mengangkat tangan dan mengamatinya. Jari. Lima jari.
"Entahlah. Bagaimana menurutmu?"
jawab Tobias. berubah.> "Aku masih hidup," aku bergumam. Terus terang aku agak heran. Tapi jumlah racun
yang nyaris membunuhku dalam wujud kecoak sama sekali tidak berpengaruh pada
diriku sebagai manusia. "Di mana kita?"

"Kau menyelamatkanku, Tobias."
aku kalau perlu bantuan.>
Aku duduk tegak. "Bagaimana dengan yang lain?"
berubah. Mereka terpencar-pencar, tapi selamat. Semuanya sudah kembali ke wujud
asli. Dan Ax langsung menjelma lagi menjadi manusia. Dia bersama Cassie
sekarang.> "Sebaiknya aku turun dari sini," kataku.
Tobias membenarkan. peroleh. Situasinya gawat.>
"Gawat sekali," aku membenarkan. Aku bangkit dan memandang berkeliling untuk
mencari jalan turun dari atap. Aku terlalu lelah - jiwa dan raga - untuk berubah
wujud lagi. datang naik limusin, ya kan" >
"Yeah, kayaknya sih begitu. Tapi aku cuma bisa menebak berdasarkan apa yang
kudengar. Mata kecoak payah sekali."
ujar Tobias.
Aku mencari tangga untuk turun dari atap. Sementara itu kurasakan Tobias terlalu
banyak bicara. Sikapnya terlalu ngotot.
"Tobias" Ada apa sebenarnya" Sebetulnya apa sih yang hendak kaukatakan?"

Aku langsung lega. Visser Three sempat memberi perintah agar salah satu peserta
rapat dieksekusi. Ternyata bukan Tom.
"Bagaimana, ehm... hubungan mereka" Visser Three dan Tom?"
pengawal, maksudku. Sikapnya agak hati-hati di depan Visser Three. Tapi ia
bersikap sombong kepada para pengawal. Aku mungkin keliru, Jake, tapi bisa
dibilang Tom dan Visser Three cukup akrab.>
"Yeah," ujarku. "Aku memang sudah punya firasat bahwa Tom-lah yang bertanggung
jawab atas seluruh rencana menyangkut rumah sakit itu."
Aku terdiam dan merenung sejenak.
"Apa yang akan dilakukan Visser Three terhadap Tom kalau rencana itu gagal?"
Tobias diam saja. Ia sudah tahu jawabannya.
Mereka yang membuat Visser Three kecewa pasti mati.
Chapter 11 AKU melihat jalur terbuka antara Juan dan Terry. Jalur terbuka yang langsung
menuju ke ring basket. Dug. Dug. Dug. Tangan kananku mendribel bola. Aku menjulurkan tangan kiri untuk menghalau Juan
kalau-kalau ia menghadang. Aku melesat maju. Sepatu kets berdecit-decit di
lantai kayu aula olahraga.
Salah satu rekanku berseru, "Maju terus, Jake!"
Juan menyadari maksudku dan segera mengejar. Tapi aku terlalu cepat.
Dug! Dug! Dug! Stop. Berbalik. Menatap ring, fokus, fokus....
Aku melompat dan melempar bola ke ring.
Bola itu membentur papan. Bergulir di bibir ring. Lalu jatuh ke lantai. Tanpa
mencetak angka. Aku menabrak Juan dan Terry - dan kami bertiga pun terpuruk dengan tangan dan kaki
saling terkait, sedangkan bola itu menggelinding ke luar lapangan.
"Pantas saja kau tidak terpilih masuk tim sekolah," ujar Terry.
Ia tertawa sambil membantuku berdiri.
Aku memang ikut seleksi, tapi tidak terpilih. Waktu itu aku sempat kesal.
Terutama karena kakakku Tom dikenal sebagai jagoan bola basket ketika masih di
sekolahku. Aku ingin meneruskan tradisi itu.
Namun belakangan ini aku sadar bahwa aku tak lagi punya waktu untuk olahraga
ekstrakurikuler. Paling-paling aku bisa main basket pada waktu pelajaran
olahraga. "Oh yeah" Tapi Juan sempat terkecoh oleh gerak tipuku, padahal dia ikut tim,"
ujarku. Aku mengulurkan tangan untuk membantu Juan berdiri. "Tapi sampai
sekarang aku tetap belum mengerti kenapa mereka mau menerima orang yang tertiup
angin saja sudah jatuh terguling."
"Aku sengaja simpan tenaga untuk final," balas Juan. "Aku tidak mau mengumbar
semua siasat untukmu, Jake. Dan sekarang kakiku hampir remuk gara-gara kau.
Mestinya kau main rugbi saja."
"Ide bagus." Aku menatap Juan sambil nyengir. Tingginya sekitar satu meter delapan puluh
senti, tapi beratnya seakan-akan cuma dua puluh kilo. "Nanti kau kupakai untuk
latihan menerjang lawan."
Saat itulah guru olahraga meniup peluit sebagai tanda pelajaran telah selesai.
"Peluit itu menyelamatkan dirimu, Juan," kataku.
"Sayang kemampuan Tom tidak menurun padamu," Terry berkomentar. "Jump shot
kakakmu itu benar-benar hebat."
"Tom seharusnya bisa main basket di tingkat universitas. Di sekolah yang bagus
pula. Coba kalau dia tidak berhenti," Juan menimpali. "Dia punya bakat lho."
Mereka benar. Tom memang berbakat besar. Tapi ia telah meninggalkan dunia
basket. Tampaknya Yeerk di dalam kepala Tom punya rencana lain.
Aku mengganti baju dan meninggalkan aula. Marco sudah menunggu di koridor, siap
mengikuti jam pelajaran olahraga berikutnya.
"Hari ini basket, ya?" ia bertanya. "Bagus. Tadinya aku pikir gulat lagi. Aku
benci gulat. Siapa yang mau menempel dengan orang yang basah karena keringat?"
"Orang Yunani dulu bergulat tanpa baju," ujarku. "Bersyukurlah bahwa ini bukan


Animorphs - 6 Musuh Dalam Selimut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yunani." "Dan tanpa deodoran lagi," Marco menyambung. "Rencananya hari Selasa besok."
"Selasa besok" Ada apa?"
Marco mencuri pandang ke sekitar untuk memastikan tidak ada yang menguping
percakapan kami. "Gubernur itu. Selasa besok dia masuk rumah sakit. Aku berani
bertaruh seratus dolar dia mau operasi wasir." Ia nyengir lebar. "Makanya
kunjungannya dirahasiakan."
"Terus, bagaimana kau bisa tahu?"
"Hmm, dari rapat The Sharing itu kita sudah tahu Pak Gubernur akan masuk rumah
sakit, ya kan" Jadi aku tinggal mencari tahu bagaimana jadwalnya. Ternyata tidak
sulit. Aku mengaku wartawan, dan pegawainya mengirimiku jadwal kegiatannya lewat
faks." Marco mengeluarkan selembar kertas terlipat dari saku dan menyerahkannya padaku.
"Tuh, lihat. Hari Sabtu dia akan berpidato. Hari Minggu dia akan mengadakan
wawancara di TV. Senin pidato lagi. Selasa... oh-oh! Hari Selasa dia tiba-tiba
memulai liburan lima hari, dan tak ada keterangan ke mana dia mau pergi."
"Tapi kenapa dia merahasiakannya?"
"Ah, yang benar saja! Soal wasir" Tokoh politik yang menjalani operasi wasir"
Wah, dia bisa jadi bulan-bulanan. Dia pasti diejek semua orang."
Aku tersenyum. "Yeah, oke. Kerjamu bagus."
"Besok hari Sabtu," ujar Marco. "Bagaimana kalau besok saja?"
Agaknya ekspresi wajahku mencerminkan perasaanku saat itu.
Marco memiringkan kepala dan menatapku sambil mengerutkan kening. "Kau tidak
apa-apa" Semalam kau nyaris celaka. Aku tahu kejadian seperti itu tidak bisa
dilupakan begitu saja."
"Aku baik-baik saja kok," sahutku. Aku mendorongnya ke samping. "Lagi pula,
sejak kapan kau begitu bersemangat untuk menantang bahaya?"
Sejak awal Marco-lah anggota Animorphs yang paling berhati-hati.
"Kau tahu jawabannya," jawabnya pelan.
Aku mengangguk. Marco tak lagi enggan melawan kaum Yeerk. Pertempuran ini telah menjadi perang
yang bersifat sangat pribadi baginya.
"Yeah, sori," kataku.
"Di mata yang lain, aku tetap Marco yang dulu," ujarnya. "Aku tidak mau mereka
tahu bahwa ada yang berubah. Aku tidak mau mereka kasihan padaku."
"Aduh, Marco, mana mungkin ada orang yang kasihan padamu" Kau terlalu
menyebalkan." "Biar saja. Aku akan tetap begitu."
Bel berbunyi, tanda pelajaran berikut segera dimulai.
"Oke," kataku. "Besok. Tapi kita harus memikirkan cara untuk masuk ke rumah
sakit. Penjagaannya pasti semakin ketat sekarang."
"Sebenarnya, Cassie sudah punya usul," ujar Marco.
Aku menghela napas. "Oh-oh. Kau tahu, aku suka Cassie, tapi karena usul dialah kita sempat menjelma
menjadi semut." Marco masuk ke aula olahraga. Aku menuju ke ruang kelasku.
"Kali ini bukan semut," ia berkata sambil menoleh.
"Masa bodoh. Aku tidak mau dengar."
"Ada hubungannya dengan kotoran anjing."
"Apa?" tanyaku. Tapi pintu aula sudah menutup di belakang Marco.
Chapter 12 "POKOKNYA sesuatu yang bagus, harganya lima belas dolar atau kurang dari itu,"
kataku. "Dua bulan lagi ayahku yang ulang tahun, jadi aku harus berhemat."
Sekolah telah usai, dan kami sedang menuju ke mall. Aku, Cassie, dan Rachel.
Ibuku akan berulang tahun. Aku punya sekitar lima belas dolar untuk membeli
kado. Terakhir kali kado dariku untuknya ternyata kurang cocok.
Mana aku tahu bahwa Mom kurang tertarik pada komik klasik Spiderman #3 yang
kondisinya masih mulus"
Oke, waktu itu aku setahun lebih muda. Dan saat itu aku mencari kado itu bersama
Marco. Kali ini aku mengajak Cassie. Sebenarnya itu hampir sama konyolnya sebab,
sebagai cewek, Cassie kurang berminat pada pakaian dan aksesori.
Karena itu Cassie mengajak Rachel.
"Bagaimana dengan toko yang itu?" aku bertanya sambil menunjuk toko yang menjual
pakaian wanita. "Yeah, pilihan bagus. Asal kau punya paling tidak seratus dolar," balas Rachel.
"Oke. Bagaimana kalau...," Cassie angkat bicara.
"Jangan. Coba pikir dulu, Cassie," Rachel memotong. Ia kurang sabar menghadapi
kebodohan kami. "Lihat nama tokonya. Artinya sama saja dengan 'wanita setengah
baya yang gemuk'. Jake" Kau mau memberi kesan bahwa ibumu gemuk?"
"Tidak." Aku langsung menggelengkan kepala. Tapi kemudian aku pikir ini mungkin
pertanyaan jebakan. "Betul begitu, kan?"
Rachel geleng-geleng kepala. "Tentu saja betul. Aduh! Memangnya kalian belum
pernah belanja" Kalian seperti makhluk planet saja. Tak ada bedanya dengan Ax.
Kita mencari sesuatu yang lagi obral. Sesuatu yang memberi pesan, 'Mom,
menurutku Mom masih muda dan keren.' Sesuatu yang punya gaya klasik, tenang.
Artinya, kita harus ke department store." Ia menunjuk. "Yang itu. Di lantai dua.
Di bagian depan sebelah kanan. Carilah tanda-tanda obral. Warnanya merah dengan
huruf hitam." Cassie menatapku sambil tersenyum. "Tuh, apa kubilang" Mall ini punya Rachel."
"Belanja dan mengamuk. Dua keahlian Rachel," aku berkomentar.
Kami berkeliling toko, dan dalam waktu sepuluh menit saja Rachel sudah
mendapatkan sehelai blus sutra.
"Harga aslinya tiga puluh tiga dolar," Rachel mengumumkan.
"Tiga puluh tiga, dikorting jadi dua puluh lima. Lalu diberi diskon lagi tiga
puluh persen khusus hari ini. Berarti tujuh belas dolar lima puluh sen. Hampir
setengah dari harga semula! Tujuh belas dolar lima puluh sen! Untuk blus sebagus
ini! Hebat!" "Tapi sebenarnya aku cuma mau mengeluarkan lima belas dolar," ujarku.
"Ya ampun, masa kau belum mengerti juga" Kau justru hemat lima belas setengah
dolar. Kau untung lebih dari lima belas dolar."
"Tunggu dulu. Bagaimana aku bisa menghemat, padahal aku mengeluarkan uang?"
Cassie menggamit lenganku. "Jangan tanya deh. Untuk urusan belanja, Rachel punya
matematika khusus yang rumit. Kau takkan mengerti."
Komentar Cassie tidak digubris oleh Rachel. "Hei, sementara kau membayar, aku ke
bagian remaja sebentar. Nanti kita ketemu lagi di food court."
Rachel langsung pergi, meninggalkan Cassie dan aku di antara rak-rak pakaian.
"Jadi kapan kau menceritakan idemu?" tanyaku.
"Kusangka Marco sudah memberitahumu."
Aku menggelengkan kepala. "Belum. Marco cuma bilang ada hubungan dengan kotoran
anjing. Aku langsung waswas nih."
Cassie pasang tampang cemberut. "Hei, itu satu-satunya binatang yang bisa
keluar-masuk rumah sakit tanpa terinjak atau keracunan. Kemungkinan besar malah
takkan ada yang melihat kita. Kita takkan menarik perhatian."
"Cassie, sampai sekarang aku sudah mencoba tiga jenis serangga. Pertama kutu,
itu masih lumayan. Lalu semut, sekali saja sudah cukup. Terus kecoak. Aku mulai
iri pada Tobias. Dia memang terjebak sebagai elang, tapi paling tidak dia tidak
perlu menjelma menjadi macam-macam serangga."
"Kau punya ide yang lebih baik, Jake" Sebab aku menghargai perasaanmu. Aku cuma
mau membantu. Ini cuma usul."
Aku menghela napas dalam-dalam. "Hmm, aku tidak punya usul lain. Aku cuma... kau
masih ingat masa-masa lalu, waktu kita menjelma sebagai serigala atau harimau
atau sebangsanya" Aku tak mau jadi lalat. Aku sempat nonton film The Fly. Baik
produksi lama, maupun yang baru, yang dibintangi Jeff Goldblum. Masa kita harus
jadi lalat sih?" "Wah, aku lupa soal film itu," kata Cassie. Ia meringis. "Di film itu kan ada
orang yang punya kepala manusia tapi bertubuh lalat, dan dia tersangkut di
sarang labah-labah sambil berteriak-teriak, 'T-o-l-o-o-o-n-g. ' Suaranya kecil.
Terus ada orang yang menginjaknya karena terlalu jijik."
Aku ikut meringis. "Bagaimana kalau ngengat saja?" Cassie mengusulkan.
"Terlalu lamban," sahutku. "Dan terlalu besar. Kita pasti kepergok."
"Oke... ehm... lebah?"
"Jangan. Jangan serangga yang hidup berkelompok. Bisa jadi lebah sama parahnya
dengan semut. Jangan yang punya sarang."
Aku merinding ketika teringat pengalaman sebagai semut. Rasanya seperti mau
mati. Semut tidak punya kesadaran individual. Masing-masing semut cuma bagian
dari kesatuan yang lebih besar, yaitu kelompok semut.
"Lalat tidak hidup berkelompok," kata Cassie.
"Ada yang bisa saya bantu?" seorang pramuniaga bertanya.
"Tidak," jawab Cassie. "Terima kasih."
Kami menuju ke food court untuk mencari Rachel.
"Kita berupaya masuk ke rumah sakit," aku bergumam. "Kalau rumah sakit itu
dipakai untuk menjaring induk semang, berarti harus ada semacam kolam Yeerk di
sana. Itulah tujuan kita. Cari kolam Yeerk, lalu hancurkan."
"Kita hanya sebentar saja berwujud lalat," ujar Cassie. "Maksudku, cuma sewaktu
masuk ke sana. Sesudahnya, sewaktu beraksi kita harus menggunakan wujud lain."
"Dan kemudian, setelah bikin kekacauan, kita kabur dengan cara lain. Kita tidak perlu kembali ke wujud lalat."
"Betul," kata Cassie. "Kita hanya beberapa menit berwujud lalat."
"Yap. " "Berarti kau setuju," Cassie menyimpulkan.
"Yap." Kemudian kami berkata serempak, "T-o-l-o-o-o-n-g! T-o-l-o-o-o-n-g!
Chapter 13 ADA satu hal yang perlu kauketahui tentang lalat. Menjadi lalat ternyata seru.
Sungguh. Aku tidak bohong.
Tapi proses perubahannya... itu lain cerita.
Kau tentu sudah tahu bagaimana perasaanku terhadap Cassie.
Di mataku, ia cantik sekali. Tapi waktu aku melihat kedua mata majemuk berkilau
yang menyembul dari lubang matanya, aku langsung menjerit.
Aku berteriak seperti bayi.
"Aaaaaaahhh!" "Bagus, Jake. Cassie pasti tersanjung oleh pujianmu," Marco berkomentar.
"Marco, kau malah memejamkan mata," aku membalas.
"Dan aku akan terus begitu."
"Permisi sebentar," ujar Rachel. Ia berlari keluar dari gudang jerami. Beberapa
detik kemudian terdengar suara orang muntah.
Masalahnya begini. Sosok Cassie masih hampir utuh sebagai manusia ketika mata
lalatnya muncul. Tingginya sekitar setengah meter tapi terus berkurang, kaki
tambahannya sudah keluar dari dada, sedang di punggungnya tumbuh sepasang sayap,
tapi wajahnya masih wajah manusia.
Sampai matanya berubah. Menyembul keluar.
Kau pernah melihat adegan yang menakutkan" Di bioskop atau di TV, misalnya" Itu
semua tidak ada apa-apanya dibandingkan sepasang mata lalat yang tiba-tiba
mengembang bagaikan balon.
Tubuh Cassie sudah kecil sekali ketika mulut lalatnya muncul.
Dan aku bersyukur karenanya. Sebab kemudian ketika aku menjelma, aku melihat
dengan jelas bagaimana bentuk mulut lalat.
Mata lalat sudah mengerikan. Tapi seandainya aku sempat melihat kemunculan benda
panjang, bulat, mirip slang yang menyedot-nyedot... benda yang meludahi makanan,
lalu mengisap makanan yang sudah bercampur ludah itu...
Rachel kembali masuk. "Sori," katanya dengan suara gemetaran. "Ada yang bawa
permen karet" Atau permen pedas?"
Ax tampak bingung.
"Kadang-kadang," jawabku sambil melawan dorongan untuk memalingkan wajah ketika
tubuh Cassie kian mengerut. "Ada binatang yang bisa membuatku merinding."

"Ehm, merinding adalah kalau kulit kita seolah mengerut karena ngeri atau
jijik." tanya Tobias. selesai.> "Tolong beritahu Tobias bahwa keadaannya sudah aman, Ax."

Aku tersenyum kepada Marco, yang kini mengintip lewat sela-sela jari. Ucapan Ax
sudah mulai normal. Paling tidak, kalau ia memakai bahasa pikiran. Kalau ia
sedang berwujud manusia dan berbicara biasa, ia masih suka bermain-main dengan
berbagai bunyi, sehingga kami semua jadi senewen.
Tobias masuk melalui jendela terbuka di lantai atas gudang jerami.
"Kau bisa mendengarku, Cassie?" tanya Rachel. "Tobias. Kau melihatnya?" Cassie
sudah berubah sepenuhnya menjadi lalat.
"Awasi dia," kataku. "Jangan sampai lepas dari pandanganmu."
ini, aku bisa melihat bulu-bulu di kaki lalatnya yang mungil. Oh. Ini bukan
pemandangan yang indah.>
"Cassie?" Rachel mencoba sekali lagi.
"Tobias" Coba panggil dia dengan bahasa pikiran."

"Jangan sampai kehilangan jejak, Tobias."
"Dia takkan terbang jauh," ujar Marco. "Di sini kan banyak kotoran kuda. Bagi
seekor lalat, tidak ada tempat yang lebih menarik daripada gudang ini."
Tiba-tiba terdengar sesuatu di dalam kepalaku.
"Cassie?" "Cassie! Jawablah!"

roket. Yaaaaah haaaahhhh!>

seru! Ayo, cepat, waktu kita tidak banyak.>
Aku menarik napas dalam-dalam. Sebenarnya aku memang berharap semuanya berjalan
lancar. Bahwa Cassie takkan mengalami masalah. Tapi secara bersamaan aku tetap
belum bisa menerima bahwa aku akan menjelma sebagai lalat.
Mungkin kaupikir lama-lama kami akan terbiasa berubah menjadi segala macam
makhluk. Tapi kau keliru.
Sesuatu yang menjijikkan tetap menjijikkan, untuk selamanya.
"Oke, kelihatannya kita memang harus jadi lalat nih," ujarku.
Aku berusaha keras agar nada suaraku riang dan optimis.
"Oh, asyiknya," Marco menanggapi.
Ax menimpali, tanpa sadar bahwa maksud Marco justru kebalikannya.
"Kedengarannya Cassie cukup senang," kata Rachel.
"Yeah," aku bergumam. "Ayo, kita ikuti contohnya."
Dan itulah yang kami lakukan.
Proses metamorfosisnya ternyata separah yang kami bayangkan.
Tapi Cassie juga benar. Begitu proses perubahan dimulai; begitu kita sudah
terbiasa melihat dunia melalui mata majemuk lalat yang menyerupai seribu layar
TV mungil yang masing-masing menampilkan gambar berbeda-beda; begitu kita tak
lagi kaget karena lidah lalat yang menjorok ke depan; begitu kita tak lagi heran
dengan kaki lalat yang penuh pengait dan bulu; begitu kita sadar bahwa semuanya
kelihatan lain kalau panjang badan kita cuma setengah senti; dan yang paling
penting, begitu kita bisa melupakan film The Fly yang konyol itu...
Nah, setelah itu memang asyik!
Sebelumnya aku sudah pernah terbang. Sebagai burung peregrine falcon dan burung
camar. Kedua-duanya seru. Bayangkan saja, sebagai falcon aku bisa mencapai kecepatan
250 kilometer per jam kalau sedang terbang menukik.
Lebih kencang dari mobil balap. Lebih kencang dari pesawat kecil.
Tapi terbang sebagai lalat benar-benar tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Seekor lalat mengepakkan sayapnya 200 kali per detik.
Coba ucapkan "apa kabar" keras-keras. Nah, dalam waktu yang sama, sayap lalat
berkepak 200 kali. Lalat bergerak dengan kecepatan sekitar enam kilometer per jam. Kedengarannya
tidak seberapa, apalagi dibandingkan burung falcon yang meluncur dengan
kecepatan lebih dari 300 kilometer per jam. Tapi percayalah, kalau ukuran badan
kita cuma tiga milimeter, kecepatan enam kilometer per jam terasa seperti
pesawat Enterprise yang sedang ngebut di film seri Startrek.
Dan yang paling asyik, kita bisa terbang ke atas dan ke bawah, ke kiri dan kanan
tanpa mengubah kecepatan.


Animorphs - 6 Musuh Dalam Selimut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan kita bisa berubah arah seketika. Misalnya sekarang kita terbang lurus ke
depan bagaikan peluru, tapi sepersepuluh detik kemudian kita sudah melaju tegak
lurus ke atas. Cassie benar. Lalat memang menjijikkan, tapi juga seru sekali.
Ax memekik.
aku berseru sambil melesat naik dengan kecepatan yang
serasa mendekati kecepatan cahaya.
seru Rachel.
kata Marco. ia segera
menambahkan.
aku berkata setelah
kami menghabiskan waktu beberapa menit untuk membiasakan diri dengan naluri dan
indra lalat.
Tobias yang bertindak sebagai bus. Rumah sakit itu berjarak beberapa mil.
Dibanding ukurannya, lalat memang gesit. Tapi untuk kecepatan sesungguhnya,
Tobias jauh lebih cepat. Sebagai lalat, penerbangan ke rumah sakit makan waktu
dua jam. Tobias bisa membawa kami ke sana dalam beberapa menit saja.
ujar Cassie. tengkuk. jangan sampai kita terlempar oleh bulu ekor atau sayapnya.>
kata Tobias. terbuat dari lalat. Uh, perutku seperti kemasukan belatung.>
Marco mengulangi. sembarangan tentang keturunan kami.>
komentar Tobias. Kemudian kami pun berangkat.
Chapter 14 AKU bergelantungan pada bulu Tobias. Dan ternyata itu cukup mudah. Jangan lupa,
lalat bisa hinggap di kaca, atau menempel di langit-langit.
Angin menderu-deru di sekelilingku dan membuat sayapku terguncang-guncang.
Sungutku yang sensitif diterjang berbagai macam aroma dari segala arah. Hanya
saja yang paling menarik perhatian otak lalat dalam kepalaku adalah bau manis
atau bau busuk atau bau bangkai.
ujar Rachel. tertarik pada bau busuk.>
Tiba-tiba muncul sesosok monster! Makhluk itu tampak besar sekali di mata
majemukku. aku memekik.
tanya Cassie.
sekali tidak lucu.> seru Tobias. sahutku. turun.> Sebenarnya aku bohong. Kutu itu sedang merambat di kulit Tobias - di
bawah bulu-bulu - mencari tempat yang cocok untuk mengisap darah. Tapi Tobias
bisa uring-uringan kalau kuberitahu.
ujar Tobias. Nanti kuberi aba-aba kapan kalian harus lompat. Ini mirip film perang zaman
dulu. Anggap saja kalian pasukan terjun payung.>
Marco berkomentar. dalam film perang kuno selalu dibantai musuh.>
Cassie berbisik dalam bahasa pikiran, sehingga yang lain tidak bisa
mendengarnya. katanya.

dihentikan.> Itulah yang kukatakan pada diriku sendiri.
Dan aku rasa itu memang benar.
Tobias melaporkan. lantai tiga. Tanpa kawat nyamuk.>
tanya Marco.
apalagi kawat nyamuk.>
Rachel mengerang.
Marco meniru si manusia lalat yang malang dalam film The Fly.
Secara kebetulan, versi kuno film The Fly diputar di TV semalam. Dan dasar
bodoh, kami semua menontonnya. Jadilah sekarang kami dihantui adegan-adegan
dalam film itu. Ax menggerutu .
kata Tobias.
Aku melompat dari punggungnya. Aku merentangkan sayap. Saking kencangnya tiupan
angin, aku berjumpalitan di udara. Tapisetelah kecepatanku berkurang, aku segera
bisa mengendalikan diri.
sahut Rachel.
kata Ax.
Serta-merta ia melesat menduluiku. Sebetulnya cuma dugaanku saja bahwa Ax yang
menyusulku. Habis, semua lalat sama saja bentuknya. Cepat-cepat aku
mengikutinya. Ternyata Ax keliru. Yang disangkanya jendela rupanya cuma tanda kecil yang
terpasang di dinding bangunan.
Mata lalat bisa melihat jelas hanya kalau dari jarak dekat. Karena itulah kami
terbang menyusuri dinding sambil mencari-cari jendela terbuka yang dikatakan
Tobias tadi. Tobias berseru kepada kami.
Tiba-tiba aku merasakan embusan angin sejuk menghadang.
kataku. Aku membelok, menentang aliran udara itu, dan beberapa detik kemudian kami sudah
berada di dalam ruangan yang samar-samar.
mini,> aku mengingatkan teman-temanku.
aroma yang mirip dengan itu.>
kotor,> ujar Rachel. Rachel dan Marco, berhati-hatilah.>
Rachel dan Marco segera berangkat. Dalam waktu singkat mereka telah menghilang
dari pandangan. Kami bertiga menyusuri ruangan yang menyerupai lorong, sebab ruangan itu
memanjang dan di langit-langitnya berderet lampu yang terang benderang.
pisang. Lalu ada bau kotoran lagi,> Cassie melaporkan. jelas nih. Kalau kita perlu mencari kotoran, minta tolong lalat saja.>
Sesekali, samar-samar, terlihat benda besar berbentuk lonjong di bawah kami.
Ternyata itu kepala orang yang ada di bawah kami.
Tapi dengan penglihatan kami yang payah, kepala-kepala itu tampak seperti pulau
berambut di tengah lautan yang samar.

jawab Ax.
sahutku untuk menenangkan kedua temanku dan juga diriku
sendiri. kata Ax.
ujar Cassie.

apa itu. Aku lagi mengingat-ingat...>
Ax melaporkan.
Cassie mengusulkan.
aku membenarkan. Sekarang aku pun menciumnya. Aromanya pekat,
manis, dan seperti berminyak.
aku memanggil kedua temanku melalui bahasa pikiran. sesuatu yang kalian temukan">

Ax
menjelaskan. Bau yang kami cium betambah kuat.
ujarku.
Kami mendarat. Keenam kakiku, masing-masing dengan pengait dan telapak yang
lengket, mencengkeram permukaan pintu yang licin.
ujar Cassie. panjang badan kita cuma setengah sentimeter">

Beberapa detik kemudian kami sudah merayap di lantai linoleum. Kami menyusup di
bawah pintu, lalu segera kembali terbang.
ujar Cassie. benda besar mengilap yang berbentuk kubah itu">

Kami tidak melihat siapa-siapa.
berguna daripada tubuh manusia kami.>




Sesaat kemudian aku melihat bola mata di ujung tanduk panjang yang menyembul ke
atas. Itu salah satu mata tambahan Ax.
Mata itu berputar ke arah kami.
Tiba-tiba ada getaran hebat di udara. Mata Ax menghilang dari pandangan.
Disusul getaran kedua, seperti benda berat yang terempas.

pingsan.> Chapter 15 KAMI berubah secepat mungkin. Ketika mata manusiaku sudah kembali, aku melihat
Ax berdiri tenang dalam wujud Andalite. Di ujung ruangan tergolek seorang lakilaki bermantel putih, yang membawa papan pencatat.
Ia terduduk di lantai dengan kepala bersandar ke dinding - tak sadar, tapi masih
hidup. ujar
Ax.
"Bukan, orang ini bukan kakakku. Tapi nalurimu tepat, Ax. Siapa pun ini, dia
pasti saudara, anak, atau bahkan ayah dari seseorang."
Baru sekarang aku memperhatikan keadaanku sendiri. Aku bertelanjang kaki,
seperti biasa kalau habis menjelma. Dan aku cuma memakai celana balap sepeda dan
T-shirt ketat. (Ax pun cuma bisa membuat pakaian seadanya.) Tapi semua anggota
tubuhku lengkap. "Bagaimana keadaanmu, Cassie" tanyaku.
"Aku baik-baik saja." Ia menunjuk benda yang, ketika kami berwujud lalat, tampak
seperti kubah raksasa. Benda itu ternyata bejana dari baja antikarat dengan garis tengah sekitar dua
setengah meter. Aku tertawa. "Kalian tahu apa ini" Ini kan whirlpool. Bak mandi untuk berendam
dengan semburan air. Berikut tutupnya. Tapi kenapa ada barang seperti ini di
rumah sakit?" "Untuk terapi," jawab Cassie. "Maksudku, untuk orang-orang yang punya masalah
pada bagian otot atau punggung."
Aku menghampiri bak mandi dan berusaha mengangkat tutupnya. Ternyata cukup
mudah, karena tutupnya dilengkapi engsel hidraulik. Aku mengintip, tapi kemudian
langsung mundur selangkah.
Cairan di bak itu keruh, kecokelatan, dan kental. Dan penuh dengan keong tanpa
rumah. Makhluk Yeerk. Itulah wujud aslinya.
"Wah, wah, wah," aku bergumam.
Ax berkata dengan nada jijik bercampur benci, yang mencerminkan
perasaan kaum Andalite terhadap musuh mereka.
Setiap tiga hari sekali kaum Yeerk harus meninggalkan tubuh induk semang masingmasing dan kembali ke kolam Yeerk. Di dalam kolam itu mereka menyerap berbagai
zat gizi, terutama sinar Kandrona, yang menyerupai sinar matahari di planet asal
mereka. "Apakah mereka bisa melihat kita" Saat ini, maksudku?"

Aku mengelilingi bak besar itu. Kakiku tersandung sesuatu. Rupanya pompa untuk
membuat semburan air. Pompanya mati, karena kabelnya tercabut dari sakelar di
dinding. Panel kontrolnya juga terkuak, sehingga kabel-kabel di dalamnya
kelihatan jelas. "Ax" Apa yang akan terjadi pada makhluk Yeerk ini kalau suhu airnya tiba-tiba
naik sampai, misalnya, enam puluh derajat" Dan airnya diaduk-aduk?"
Ax tampak bingung.
"Hmm. Sayang sekali." Aku segera mengambil keputusan.
"Ax" Tolong jaga pintu ke lorong. Cassie" Kita butuh penjaga yang andal. Kau mau
berubah jadi apa?" "Serigala?" "Oke. Tapi jangan melolong ya."
"Apa rencanamu?" tanya Cassie.
"Tujuan kita kemari adalah untuk menghentikan kegiatan busuk ini, ya kan" Nah,
memusnahkan seratus Yeerk adalah awal yang baik. Aku akan memperbaiki pompa,
supaya semua Yeerk di dalam bak ini mati saat berendam."
Tidak ada peralatan di ruangan itu. Tapi aku menemukan pita perekat dan pinset.
Itu sudah cukup. Aku mulai menyambung kabel, merah dengan merah, biru dengan
biru, hijau dengan hijau. Semua sakelar secara otomatis terpasang pada posisi
maksimum. Panasnya paling tinggi, semburannya paling kencang.
Tapi hatiku digerogoti perasaan ragu.
Mestinya tidak semudah ini.
Aku menyambung kabel terakhir.
Cassie telah menjelma sebagai serigala besar. Ia berdiri dengan sabar, bagaikan
anjing besar bertampang galak.
"Oke. Sudah waktunya merebus makhluk Yeerk." Aku mencolokkan steker ke stop
kontak di dinding. Dalam beberapa detik saja sudah terdengar bunyi air bergolak.
Mendadak pintu terbuka. Sepasang pria dan wanita, keduanya mengenakan jas lab
berwarna putih. Sejenak mereka berdiri seperti patung dengan mata terbelalak.
"Andalite!" si wanita memekik.
Cassie langsung menyergapnya. Ia melompat, menerjang wanita itu, dan
menjatuhkannya ke lantai.
Ax juga maju, tapi pria itu lumayan sigap. Ia mengelak dan menghindar ke tempat
yang tak terjangkau oleh ekor Ax.
Aku sendiri masih berada di balik bak besar. Aku berusaha memusatkan perhatian
untuk menjelma sebagai harimau, agar bisa ambil bagian dalam pertempuran.
Tapi tiba-tiba dua pria berseragam penjaga masuk. Yang pertama langsung
menodongkan pistol. "Ax!" teriakku. "Dia bawa pistol!"
Ekor Ax langsung melesat ke depan.
"Aaaarggghh!" salah satu Pengendali berseragam itu menjerit.
Tangannya, yang menggenggam pistol, putus.
"Cepat naik ke daerah kolam! Ada Andalite!" penjaga kedua berteriak melalui
walkie-talkie. Kemudian ia mencabut pistol.
DOR! DOR! Belakangan aku diberitahu bahwa ada tembakan ketiga. Tapi aku tidak
mendengarnya. Sebab saat itu pelipisku seperti dihantam palu godam. Sejenak aku berjuang untuk
tetap sadar. Tapi aku tak berdaya. Aku jatuh.
Aku jatuh ke bak. Dengan wajah masuk lebih dulu. Kepalaku terbenam dalam kolam
yang penuh makhluk Yeerk yang sedang sekarat.
Chapter 16 AKU mengambang di permukaan kolam Yeerk yang bergolak. Kepalaku terbenam dalam
cairan menjijikkan itu. Entah berapa lama.

Animorphs - 6 Musuh Dalam Selimut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika aku siuman, aku dicekam dua perasaan yang menakutkan. Yang pertama adalah
perasaan tercekik. Air kolam Yeerk sempat terisap masuk ke paru-paruku.
Aku terbatuk-batuk, megap-megap. Aku masih hidup, tapi nyaris tidak bisa
bernapas. Setiap tarikan napas merupakan perjuangan berat. Aku terus batuk, dan
rasanya aku juga sempat muntah.
Perasaan kedua adalah rasa nyeri di dalam kepalaku. Rasa nyeri yang tak pernah
terbayangkan. Rasanya seperti ada orang yang membor lubang di telingaku,
langsung ke otakku. Aku ingin menjerit, tapi leherku masih serasa tercekik. Aku berlutut di lantai
rumah sakit sambil berjuang menarik napas.
Sementara itu pertempuran di sekelilingku masih terus berlangsung. Sekelompok
orang berusaha masuk melalui pintu. Tapi pintu itu terlalu sempit untuk dilewati
lebih dari dua Pengendali-Manusia sekaligus.
Ekor Ax serta taring serigala Cassie sudah cukup untuk menghalau mereka.
DOR! Terdengar tembakan lagi!
"Jangan tembak, bodoh!" seru seseorang. "Kolamnya ada di dalam sana! Kau akan
dicabik-cabik oleh Visser Three!"
Dalam keadaan tak berdaya pun aku sadar bahwa Ax dan Cassie tak bisa terus
bertahan. Aku harus menjelma, dan membantu mereka.
Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Entah karena rasa nyeri yang begitu
parah... atau karena kekurangan oksigen... aku tidak bisa berkonsentrasi.
Pikiranku melayang-layang tak menentu.
Dari lorong di luar terdengar suara gemuruh. Disusul jeritan dan teriakan marah.
Tiba-tiba muncul gorila besar berbulu hitam serta seekor serigala lagi.
Marco dan Rachel. Mereka berhasil memukul mundur para penyerang, tapi hanya untuk beberapa detik.
aku mendengar Cassie berkata.
Rachel memerintahkan. wajahnya. Ax, Cassie, kalian jaga pintu. Aku mau berubah lagi. Kita butuh
tambahan tenaga.> Aku merasakan diriku diangkat dari lantai. Sehelai kain putih digunakan untuk
membalut kepalaku. Mungkin jas lab salah satu Pengendali, aku berkata dalam
hati. Kemudian aku sudah berada dalam gendongan si gorila.
Marco berkelakar.
Aku masih terbatuk-batuk, tapi napasku sudah mulai normal. Aku belum mampu
berbicara, tapi paling tidak aku tetap sadar.
Pada saat yang sama terjadi sesuatu di dalam kepalaku. Rasa nyeri yang kualami
tadi berangsur-angsur reda. Tapi bukannya bertambah lega, aku justru semakin
bingung. "Tangkap mereka!" salah satu Pengendali berteriak di lorong. "Serang! Serang!"
Itu suara Rachel. pintunya kubuat lebih lebar.>
Aku sempat mengintip dari balik kain yang membungkus wajahku. Sesuatu yang besar
dan berwarna kelabu berkelebat.
Rachel telah menjelma sebagai gajah.
sebuah suara bertanya di dalam kepalaku, Nadanya heran. manusia"> kata Rachel. Hiruk-piruk! Panik! Raungan
orang kesakitan. Aku terguncang-guncang, membentur-bentur dinding, dan bahkan sempat terjatuh ke
lantai. Aku merasakan diriku digotong menuruni tangga. Ada tangan yang berusaha
mencengkeramku, tapi akhirnya berhasil dihalau.
Akhirnya, udara segar. Kami berlari sekencang mungkin ke pepohonan di depan
rumah sakit. kata Marco. mereka sempat memikirkan cara untuk mengikuti kita.>
Aku dicampakkan ke tanah.
Si gorila menyibak mantel yang menutupi wajahku. saja. Tapi rumah sakit ini perlu direnovasi. Kami akan menaikkan dirimu ke
punggung Cassie. Setelah itu kami akan berusaha menghalau mereka sampai kalian
berhasil lolos.> "Ke... kepalaku...," aku berkata.

"A-ada yang aneh. A-aku tidak bisa konsentrasi."

sebuah suara berkata di dalam kepalaku. Manusia"> Suara apa itu" Dan dari mana asalnya"
Marco mengangkatku ke punggung seekor kuda. Cassie. Rachel" Si sepupu" Manusia juga.>
Tanganku berusaha menyingkirkan mantel yang menghalau pandanganku.
Apa yang terjadi" Kenapa bisa ada suara di dalam kepalaku"
Aku dibawa lari dengan kecepatan tinggi; melewati pepohonan, melintasi hamparan
rumput, menyusuri jalan aspal di pinggir kota.
Kami melompati pagar. Aku terpental dan jatuh ke tanah.
Badanku terasa nyeri, tapi sakitnya seakan-akan berasal dari tempat yang jauh
sekali. Mantel penutup wajahku telah lepas. Aku memandang berkeliling. Di mana-mana
berdiri pohon. Seekor kuda yang terengah- engah berada di dekatku.
Aku melihat semua itu, tapi kesannya seperti menonton adegan TV. Bola mataku
bergerak sendiri, ke kiri, ke kanan - seolah-olah dikendalikan orang lain.
Cassie. Aku berusaha mengucapkan namanya. Cassie.
Tapi tak ada suara yang keluar dari mulutku. sebuah
suara berkata di dalam kepalaku.
Apa" Suara siapa itu" Ada apa..."
Lalu menyusul suara tawa yang terdengar hanya olehku.
suara itu
mencemooh.
Mendadak aku sadar. Aku tahu dari mana suara itu berasal.
Makhluk Yeerk! Makhluk Yeerk di dalam kepalaku.
Aku telah menjadi Pengendali.
Chapter 17 < BAGUS. Kau cepat tanggap,> suara bisu di dalam kepalaku mengejek.

tanya Cassie. Sejenak aku menyangka ia mendengar
jeritanku. Tapi ternyata ia cuma mencemaskan diriku.
Tobias hinggap di dahan pohon.
sadar. Mungkin kita perlu membawanya ke dokter.>
Sebenarnya aku ingin memberitahu mereka berdua. Aku ingin berteriak, "Aku
dikuasai mereka! Mereka masuk ke kepalaku!" Tapi mulutku tidak bisa kugerakkan.
Seolah ada yang macet. Aku bisa menyusun pikiran, lalu memberi perintah kepada
bibir dan lidahku untuk bicara, tapi perintah itu tak pernah sampai.
si Yeerk berkoar. Takkan ada bedanya. Aku ada di dalam kepalamu. Otakmu kuselubungi bagaikan
selimut.> kenanganmu. Aku bisa membacanya seperti buku.>

yang begitu menarik" Rupanya kau yang sempat membuat Visser Three setengah gila
karena marah. Cuma anak-anak. Si cebol.>

Kau belum mengerti juga, Jake" Kau tetap belum paham apa yang telah terjadi,
hmm, Animorphs"> Cassie telah kembali menjelma sebagai manusia. Ia berlutut di sampingku dan
memandang mataku. "Dia sadar. Matanya bisa memfokus. Jake" Jake, kau bisa
bicara?" Aku serasa terjebak dalam mimpi buruk. Ya, ini pasti mimpi buruk. Sebentar lagi
aku akan bangun. Aku akan bangun dan tertawa sepuas-puasnya.
si Yeerk berkata dengan bangga. Temrash dua-lima-dua, dari kolam Sulp Niar.Aku telah dipromosikan. Dan tentunya
kau ikut bahagia.>
si Yeerk mencemooh.
Ini tidak mungkin. Tidak mungkin
terjadi.
Ucapan itu langsung meredam emosiku yang mulai tak terkendali.


Si Yeerk tertawa terbahak-bahak di dalam kepalaku. kau lebih bodoh daripada kakakmu. Tidak, tubuh kakakmu diberikan kepada Yeerk
lain. Yeerk dengan pangkat lebih rendah.Posisiku terlalu penting sekarang untuk
disia-siakan dalam tubuh Tom. Aku akan menangani proyek baru yang sangat
penting. Dan aku akan mendapat induk semang yang istimewa.>
Tobias menyapaku melalui bahasa pikiran. kau bisa mendengarku.>
ujar si Yeerk. aku menduduki posisi paling penting di planet ini. Tapi sekarang malah lebih
baik lagi. Visser Three sudah bersumpah untuk menangkap kalian. Pasti dia
terkejut kalau tahu bahwa kalian ternyata manusia.>

di pohon di atas kita" Juga jangan lupa si Andalite yang masih tersisa, Aximili
Esgarrouth Isthill">
"Dia harus dibawa ke dokter," kata Cassie kepada Tobias.
Pada saat itulah Marco tiba. Ia juga sudah kembali berwujud manusia, dengan
pakaian seadanya. Langkahnya hati-hati, karena kakinya telanjang. "Dokter" Dia
perlu ke dokter" Memangnya kenapa?"
"Tidak ada apa-apa," ujarku tiba-tiba. "Aku baik-baik saja."
Hanya saja bukan aku yang bicara. Ucapan itu memang keluar dari mulutku. Tapi
bukan aku yang mengucapkannya.
Si Yeerk yang berbicara melalui mulutku.
"Tidak bisa," Cassie membantah. "Kau harus ke dokter. Tadi kau diam saja waktu
kutanya berulang-ulang. Siapa tahu kau gegar otak."
Aku duduk tegak. "Sori, Cassie, kalau aku membuatmu waswas. Tapi aku baik-baik
saja. Lagi pula, aku mau dibawa ke mana" Kembali ke rumah sakit tadi" Bagaimana
kalau dokter di sana melakukan tes darah, lalu menemukan sesuatu yang
menunjukkan bahwa aku Animorphs?"
"Apa misalnya?" Marco bertanya dengan nada curiga.
"Mana kutahu" Mungkin ada sisa DNA kecoak. Pokoknya aku tidak apa-apa, oke?"
kata Tobias. kita, sekaligus melihat bagaimana keadaan Rachel dan Ax.> Ia mengepakkan sayap
dan terbang di antara dahan-dahan pohon.
"Begitu kita tahu Rachel dan Ax selamat, kita harus berpencar dan pulang
sendiri-sendiri," mulutku kembali berkata.
Si Yeerk sedang mempertimbangkan langkah selanjutnya. Aku tidak bisa "mendengar"
pikirannya. Aku sadar ia menggunakan otakku. Ia sedang menyelidiki semua kenanganku. Ia
ingin secepatnya mengenal teman-temanku.
Ia menggunakan otakku. Menggunakan aku.
Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus memperingatkan Cassie dan Marco. Mereka
pasti bisa menebak apa yang sedang terjadi. Merekalah dua orang di dunia ini
yang paling akrab denganku.
Mereka pasti akan sadar bahwa aku bukan lagi diriku yang asli.
Iya, kan" "Kurasa tidak banyak yang bisa dilakukan kaum Yeerk sekarang," Marco berkata
kepada Cassie. "Kita ada di tengah hutan lindung. Mereka perlu waktu untuk
mengatur pencarian. Mereka butuh helikopter dan pasukan Pengendali-Manusia. Dan
mereka juga tidak tahu apa yang mereka cari." Ia tertawa. "Sampai sekarang
mereka tetap menyangka kita pejuang Andalite."
"Yeah, tapi kita harus sangat berhati-hati dengan Ax," kata mulutku. "Kita harus
menyembunyikannya. Pasti cukup banyak Yeerk yang mati direbus di kolam tadi.
Mereka pasti sangat marah."
Ini tidak masuk akal. Aku benar-benar tak berdaya. Si Yeerk menggunakan suaraku.
Ia mengucapkan kata-kata seperti yang biasa kuucapkan.
Marco dan Cassie takkan curiga. Mereka sama sekali tak menduga bahwa Yeerk sudah
menyusup ke dalam otakku.
si Yeerk mencemooh tanpa bersuara. sekarang. Jiwa dan ragamu telah kukuasai. Jangan melawan. Tak ada gunanya. Tak
pernah ada Yeerk yang dikalahkan induk semangnya. Itu tidak mungkin.>
Aku dilanda perasaan ngeri. Kata-kata makhluk itu benar. Belum pernah ada induk
semang yang sanggup mengalahkan Yeerk yang bercokol dalam kepalanya.
Perlawanan sia-sia belaka.
Sia-sia. Aku takkan pernah bisa bebas. Sama seperti Tom. Kalau Yeerk ini pindah, tubuhku
akan diberikan kepada Yeerk berikutnya.
Tobias meluncur turun dan hinggap di dahan pohon di dekat kami.
Aku menoleh. Rachel. "Hei, sepupu," katanya. "Rupanya kau tidak apa-apa."
Tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku.
Aku langsung berbalik. Aku tidak mendengar ada yang datang.
Ax! Tepat di belakangku. Wajah Andalite-nya begitu dekat dengan wajahku. Matanya
yang besar mengamatiku dengan saksama.
Dan sepintas lalu, kebencian pun terungkap. Kebencian yang telah melintasi ruang
angkasa, sejauh entah berapa tahun cahaya, untuk dilampiaskan di muka bumi.
si Yeerk bergumam tanpa suara. Dan ucapannya mengandung kebencian
yang sama seperti kalau Ax mengucapkan kata "Yeerk".
Hanya aku yang mendengarnya. Si Yeerk tidak menyuarakan apa pun.
Tapi karena terkejut, ia sempat membuat bibirku mencibir sebagai tanda
kebencian. Gerak bibir itu nyaris tak terlihat. Pada detik berikut si Yeerk sudah
menggunakan mulutku untuk berkata, "Hei, Ax. Kau benar-benar hebat tadi..."
Dengan gerakan yang terlalu cepat untuk dilihat, ekor Ax melesat maju. Tahu-tahu
Amarah Pedang Bunga Iblis 7 Pendekar Mabuk 065 Ratu Cendana Sutera Senopati Pamungkas 3

Cari Blog Ini