Ceritasilat Novel Online

Perjalanan Ke Masa Depan 2

Animorphs - 7 Perjalanan Ke Masa Depan Bagian 2


yang sebetulnya ingin kulupakan.
teriak Jake.
Kami meluncur menuruni dinding, mendarat di karpet dan melesat menuju pintu.
Kaki si Pengendali ada di depan kami, sepatunya yang sebesar gedung terangkat
dan terayun ke depan, lalu lenyap dari pandangan.
Kami masuk mengikuti si Pengendali. Pintu tertutup di belakang kami.
kata Jake.
< Oh, wow! > timpal Marco.
Chapter 10 MASUK ke kolam Yeerk. Tempat yang paling tak ingin kudatangi.
Pertama kali kami masuk ke kompleks kolam Yeerk, kami melewati tangga yang bukan
main panjangnya. Kali ini kami melewati semacam jalur yang melandai. Jalur ini menurun dan
membelok dengan mudah, seperti kalau kita masuk jalan tempat parkir. Dan bagi
tubuh kecoak kami, yang tak mengalami gravitasi, ini seperti berjalan di tanah
datar saja. Di bawah kaki kami ada debu, dengan jejak-jejak kaki. Kami menaiki lekukan yang
rasanya semeter dalamnya bagi ukuran kecoak kami.
Kami membiarkan si Pengendali jauh meninggalkan kami, walaupun kami bisa
bergerak secepat dia, kalau kami mau. Tapi buat apa mengambil risiko terinjak.
Di sekitar kami gelap, di sana-sini hanya ada bola lampu yang menempel jauh
tinggi di langit-langit, seperti matahari yang suram.
Tapi kami tetap berhati-hati agar tidak kelihatan. Sungutku kusetel untuk
mendeteksi kalau-kalau ada Pengendali lain di jalur itu.
Kami terus merayap turun, membelok dan melingkar di antara dinding karang.
tanya Jake.
Ax punya kemampuan untuk memantau waktu dengan tepat, walaupun tanpa jam. Bakat
yang sangat berguna. berubah menjadi kecoak.>
kata Marco, hanya
sekadar agar ada obrolan. waktunya cuma satu.> Kami punya waktu dua jam pada saat ganti wujud. Setelah dua jam lewat satu
menit, kami akan terperangkap dan tak bisa lagi berubah menjadi manusia. Seperti
Tobias. Dan khusus kali ini aku setuju dengan Marco. Aku tak sudi jadi kecoak
selamanya. Cassie melapor.
Naik, turun. Naik, turun. Naik, turun. Tujuh puluh lima undakan.
Akhirnya kami merasakan dinding itu tak lagi mengurung kami. Jalur ini sudah
membuka menuju gua. "Mata" kecoak kami tidak bisa melihatnya, tetapi aku ingat ketika pertama kali
aku memandang kolam Yeerk.
Tempat itu merupakan gua bawah tanah yang luas sekali. Tangga dan lorong
bermunculan dari segala sisi, kira-kira setinggi deretan teratas kursi di arena
gedung olahraga. Di tengah area itulah terletak kolamnya. Seperti danau kotor berlumpur yang
menggelegak penuh ulat-ulat Yeerk.
Tapi itu belum yang terburuk.
Dua dermaga dibangun di atas danau. Salah satunya adalah tempat para Pengendali manusia, Hork-Bajir, Taxxon, dan spesies-spesies lain - mengeluarkan Yeerk dari
kepala mereka. Pengawal-pengawal Hork-Bajir akan mengawasi dengan saksama
sementara masing-masing Pengendali berlutut di ujung dermaga dan menjulurkan
kepalanya sedekat mungkin ke permukaan danau.
Ulat Yeerk kemudian akan meluncur keluar dari telinga induk semang mereka dan
menceburkan diri ke danau.
Saat itulah akan ketahuan apakah si induk semang memang "sukarela" atau
seseorang yang dipaksa menjadi Pengendali.
Induk semang yang sukarela - mereka yang memang memutuskan sendiri untuk
mengabdi pada Yeerk - dengan tenang akan bangkit dan berjalan pergi.
Induk semang yang terpaksa akan menyadari bahwa untuk sementara mereka terbebas
dari makhluk jahat mengerikan yang menguasai kepala mereka. Bahwa sekali lagi
mereka bisa mengontrol pikiran dan badan mereka. Beberapa akan menjerit.
Beberapa menangis. Banyak di antara mereka akan memohon-mohon agar dibebaskan.
Ada juga yang mencoba kabur. Tetapi para Hork-Bajir siap menangkap mereka dan
memasukkan mereka ke dalam kandang. Di situlah mereka menunggu untuk dibawa ke
dermaga kedua. Dermaga kedua adalah tempat para Yeerk - yang sekarang sudah kuat setelah
berenang di kolam dan mendapat nutrisi dari sinar Kandrona - akan meluncur
kembali ke dalam induk semang mereka.
Kalau aku mimpi buruk tentang kolam Yeerk... dan aku sering mimpi buruk macam
itu... pasti mimpiku tentang dermaga kedua ini.
Induk semang sukarela akan berlutut dan siap menerima kembali para Yeerk ke
dalam otak mereka. Induk semang yang terpaksa akan memberontak. Mereka akan melawan. Mengutuk.
Beberapa bahkan menantang Hork-Bajir agar membunuh mereka saja.
Kami berada di jalur melandai lagi. Tak ada yang berkata-kata sementara kami
meluncur makin turun dan makin turun, makin ke bawah, makin dekat.
Kenangan buruk itu memenuhi ingatan kami semua. Semua, kecuali Ax, yang belum
pernah ke sini. kata Ax. apa yang sedang terjadi.>
kataku.
Chapter 11 KAMI sampai di ujung jalur. Tiba di lantai gua yang rata.
tanya Cassie. perempat jam.> kata Ax.
kata Jake. agak jauh dari kolam Yeerk" Kebanyakan mungkin cuma gudang. Mungkin isinya
generator atau penyaring udara. Tapi beberapa di antaranya mungkin kantor, ruang
kontrol, atau bahkan tempat Kandrona-nya sendiri. Kita harus memeriksa bangunanbangunan itu.> gurau Marco.

kataku. melihat paling jauh jarak satu meter di depanku.>
kata Cassie. manusia. Aku tidak tahu tentang Hork-Bajir dan Taxxon, tapi kalau ada manusia,
mereka kan pasti makan. Dan aku yakin aku mencium bau kentang goreng.>
Cassie benar. Aku tak tahu ini bau kentang goreng atau bukan, tapi otak kecoakku
jelas mendeteksi bau makanan.
kata Jake sambil tertawa.
Kami meluncur di atas jalur berdebu. Di depan kami tampak dinding menghadang.
Mudah mencari celah di dinding itu. Kecoak kan bisa menyelip di celah yang
sempit. Tahu-tahu kami muncul di ruangan terang benderang dengan suara bising dan bau
makanan menyengat. tanya Marco.
kurasa. Dan suara-suara. Terlalu banyak untuk kutangkap.>
Ax berkata yakin.
kataku setengah bergurau.
bantah Ax. flaar, binatang di planetku.>
kata Marco. McDonald's kolam Yeerk">
pembicaraan mereka,> kata Cassie. ke bawah meja. Kita akan bisa...>
Tiba-tiba ada bayangan menaungi kami. Sesuatu yang amat besar ada di atas kami,
menghalangi cahaya lampu neon.
kata Ax.
kataku. pernah membauinya... aku tidak bisa menyatukan ingatan manusia dan ingatan
kecoakku. Baunya seperti...>
teriak Cassie tiba-tiba. itu kaki Taxxon!> kataku.
Dari arah lampu neon, dengan kecepatan tinggi sesuatu menyabet, seperti cambuk
merah. Secara refleks kakiku bergerak lari.
Tapi kalah cepat! Cambuk merah itu menyapu lantai di sekitarku. Menggebukku seperti selimut tebal
yang basah. Sesuatu seperti lem melumuriku, merembes ke bawah sayapku, membuat
lengket kakiku. aku menjerit.
teriak Marco.
Aku diangkat dari lantai. Punggungku melekat di cambuk merah itu, dan aku
meluncur cepat sekali ke atas. Sekilas aku melihat teman-temanku, yang juga
menempel di cambuk merah seperti aku.
teriak Cassie.
kata Ax.
Kami lengket menempel di lidah Taxxon yang seperti lidah katak, sementara
makhluk jahat itu menarik kembali lidahnya ke tenggorokannya.
teriak Jake.
Sekejap saja, tanpa peringatan, maut mendatangi kami.
Aku melekat tak berdaya ketika lidah merah si Taxxon meluncur kembali ke dalam
mulutnya. Lalu... Lalu... segalanya tiba-tiba berhenti.
Chapter 12 LIDAH merah Taxxon yang lengket berhenti bergerak. Tapi tak cuma itu. Tak ada
lagi getaran yang bisa ditangkap sungutku. Tak ada suara. Tak ada bau, karena
udara juga telah berhenti bergerak.
Kemudian, di luar kemauanku, aku mulai berubah wujud.
tanyaku.
kata Cassie. melakukannya.> tanyaku.
kata Jake.
Dengan cepat tubuhku membesar. Sepasang kaki kecoakku yang di tengah mengecil
dan kemudian lenyap. Kaki belakangku., membengkak dan kulitnya menjadi halus.
Aku terjatuh ke lantai dari lidah Taxxon, terlalu berat untuk terus bergantung
di lidahnya. Jari-jari kakiku muncul. Jari-jari tanganku juga. Mata manusiaku membuka.
Aku memandang berkeliling, bingung.
Semua kawanku ada. Kami semua berwujud manusia lagi, telanjang kaki, dan memakai
pakaian senam ketat, seperti biasanya kalau kami habis berganti wujud.
Ax kembali menjadi Andalite, sehingga menambah keanehan pemandangan.
Kami berada di dalam sebuah bangunan. Seperti yang telah kami duga, bangunan itu
ruang makan. Di satu sisinya ada dapur. Di tengah ruangan berjajar selusin meja
panjang. Orang-orang duduk mengelilingi meja, sedang makan. Hanya saja... mereka tidak
makan. Mereka memegang sendok dan garpu.
Mereka duduk menghadapi sepiring makanan. Mereka siap bicara.
Mereka sedang memegang secangkir kopi.
Tapi tak ada yang bergerak.
Tak ada yang bernapas. Uap dari dalam cangkir kopi membeku dan diam seperti yang kita lihat di fotofoto. "Oke. Aku sudah siap bangun," kata Marco. "Mimpi ini aneh sekali."
"Lihat," kataku. "Hork-Bajir."
Dua Hork-Bajir sedang berdiri di samping pintu. Aku belum pernah melihat HorkBajir berdiri diam. Bahkan dalam keadaan membeku begitu pun mereka kelihatan
mengerikan - sosok tubuh setinggi dua meter dengan tangan pisau, kaki pisau,
kepala pisau, ekor pisau. Mesin cincang berjalan, kata Marco.
Lalu Taxxon juga ada di sana. Yang tadi mau melahap kami.
Ulat besar mengerikan, sebesar pipa beton saluran air. Di ujung tubuhnya yang
seperti ulat adalah mulutnya yang merah. Lidahnya yang panjang dan merah
terjulur, menggantung di udara.
"Aku usul," kata Marco. "Kalaupun ini mimpi... ayo cepat KABUR dari ini!"
"Setuju," kataku.
"CEPAT!" kata Jake keras.
Kami berlari ke pintu ruang makan. Keluar ke gua yang luas.
Di luar keadaan sama, membeku. Permukaan kolam Yeerk tak bergerak.
Manusia dan Hork-Bajir yang bukan induk semang sukarela membeku dalam kandang
mereka, menjerit, menangis, dan berteriak tanpa suara, tanpa gerak.
Di dermaga kedua, seorang wanita ditekan oleh Hork-Bajir hingga membungkuk
rendah ke kolam. Ada Yeerk yang sudah setengah jalan masuk telinganya. Wanita
itu menangis. Air matanya bergulir tak bergerak di pipinya.
Kemudian aku melihat sesuatu bergerak. Satu-satunya gerakan di tengah kediaman
yang mengerikan itu. Seorang anak laki-laki. Ia jangkung, agak kurus. Rambutnya kelihatannya tak
pernah disisir. "Oh...," bisikku. "Oh... lihat! Itu Tobias!"
Yang lain semua menoleh. Tobias mengangkat bahu manusianya. Ia mengangkat tangannya untuk memandang jarijarinya. "Ini aku," katanya ragu-ragu. "Dan tubuhku yang lama."
Aku berlari mendekatinya. Aku tak tahu kenapa. Tahu-tahu aku lari. Aku ingin
menyentuhnya. Untuk meyakinkan bahwa ia benar-benar ada.
"Ah! Ah! Ah!" ia menjerit. Ia melompat mundur dan tiba-tiba menggerakkan kedua
lengannya turun-naik. Ia mengepak-ngepak, mencoba kabur. Mencoba terbang. Aku telah membuatnya
ketakutan. "Sori," bisiknya. Ia malu sekali. "Sori."
Kuulurkan tanganku dan kupeluk ia erat-erat. "Tobias, apa yang terjadi?"
tanyaku. "Aku tidak tahu," katanya. "Aku sedang terbang... dan tiba-tiba saja, aku sudah
berada di sini. Ya seperti ini."
kata Ax. bisa merasakannya.> "Ada yang tidak beres. Sangat tidak beres," kata Cassie muram. "Apa ini tipuan
Visser Three?" kata Ax. mereka. Jauh melampaui Andalite juga.>
APA" KERENDAHAN HATI" DARI ANDALITE"
Suara itu muncul serentak dari mana-mana. Dan tidak dari mana pun. Itu bukan suara, bukan benar-benar suara. Bahkan bukan bahasa pikiran. Itu tadi seperti
ide yang tiba-tiba melintas dalam kepalamu.
Kata-katanya muncul begitu saja seperti balon yang meletus dalam pikiranmu.
Aku berputar, mencari-cari asal suara, siap melawannya kalau perlu.
TIDAK PERLU, RACHEL. TIDAK ADA BAHAYA.
"Dia tahu namamu!" desis Tobias.
Aku mengerling Ax. Tubuhnya jadi kaku. Ia tidak membeku seperti dunia di
sekeliling kami, ia takut. Ia gemetar.
AXIMILI-ESGARROUTH-ISTHILL SUDAH MULAI MENEBAK SIAPA AKU.
kata Ax.
JANGAN TAKUT. AKU AKAN MUNCUL DALAM BENTUK FISIK YANG BISA DIMENGERTI KALIAN.
Udara di depanku... bukan, bukan di depan, di belakang. Di sebelah. Di
sekitarku. Aku tak bisa menjelaskannya. Udara seakan terbuka. Seakan ada pintu
di ruang hampa. Seakan udara itu padat dan... wah, pokoknya tidak bisa
dijelaskan deh. Udara terbuka. Dan ia muncul.
Ia seperti manusia. Dua tangan, dua kaki, kepala di tempat biasanya kepala
manusia berada. Kulitnya biru berkilau, seakan ia lampu neon yang dicat
sedemikian rupa sehingga sinarnya masih bisa memancar.


Animorphs - 7 Perjalanan Ke Masa Depan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia seperti laki-laki tua, tapi dengan kekuatan energi yang jelas tidak lemah.
Rambutnya panjang dan putih. Telinganya meruncing ke atas. Matanya berupa lubang
hitam yang kelihatan seperti penuh bintang.
"Aku Ellimist," katanya, dengan suara betulan, "seperti yang telah diduga teman
Andalite kalian." Ax gemetar hebat, kelihatannya ia bisa ambruk setiap saat.
"Tenanglah, Andalite," kata si Ellimist. "Lihatlah kawan-kawan manusiamu. Mereka
tidak takut padaku."
"Mereka tidak tahu siapa kau," Ax akhirnya bisa menjawab.
Si Ellimist tersenyum. "Kau juga tidak. Yang kau tahu hanyalah dongeng-dongeng
yang diceritakan bangsamu kepada anak-anak."
"Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kauceritakan siapa dan apa kau ini?"
kataku. Aku sedang uring-uringan. Sungguh terasa aneh dan mengerikan dikelilingi
oleh Pengendali-Manusia, Hork-Bajir, dan Taxxon, di tengah benteng pertahanan
musuh. Mereka semua memang membeku, tapi kan bisa berubah.
Jujur saja, aku takut. Dan kalau aku takut, aku sewot.
Si Ellimist memandangku. "Kau tak bisa mulai memahami aku ini apa."
kata Ax. hanya dalam sekejap. Mereka bisa membuat seluruh dunia tiba-tiba lenyap. Mereka
bahkan bisa menghentikan waktu.>
"Yang ini tidak kelihatan sehebat itu," kata Marco meragukan.
tukas Ax. di mana-mana sekaligus. Di dalam kepalamu. Di planet ini. Di antara ruang dan
waktu. > "Jadi kenapa kau ada di sini?" tanya Jake pada si Ellimist.
"Kenapa semua ini terjadi" Kenapa kau membawa Tobias ke sini?"
"Jelas kau bisa melihat menembus perubahan wujud kami," kata Marco. "Kau tahu
siapa kami. Kau bahkan tahu nama-nama kami. Kau mengumpulkan kami semua di sini.
Kenapa?" "Karena kalian harus memutuskan," kata si Ellimist.
"Memutuskan apa?" tuntutku.
"Nasib bangsamu," jawab si Ellimist. "Nasib umat manusia.
Chapter 13 "CUMA itu?" tanya Marco. "Cuma nasib umat manusia" Tidakkah kau punya sesuatu
yang lebih menantang bagi kami?"
Tapi si Ellimist tidak memedulikan Marco. "Kami tidak mencampuri urusan pribadi
makhluk lain," katanya. "Tapi kalau mereka dalam bahaya akan punah, kami muncul
untuk menyelamatkan beberapa di antara mereka. Kami cinta kehidupan. Semua
kehidupan, tetapi terutama kehidupan makhluk yang punya indra seperti Homo
sapiens. Spesies kalian. Bumi ini planet yang indah sekali. Sebuah karya seni
yang amat tinggi nilainya."
"Kau pasti belum pernah lihat sekolah kami," kata Marco.
Nekat benar anak itu, masih mencoba bergurau.
Tiba-tiba, tanpa peringatan lebih dulu, si Ellimist melakukannya lagi. Dia
membuka angkasa. Kami tak lagi berdiri di kolam Yeerk. Kami bahkan sama sekali sudah tak berada
di bawah tanah. Kami berada di bawah air.
Dalam sekali. Tapi airnya tidak menyentuh kulitku. Dan saat aku bernapas,
ternyata ada udara. Tapi tetap saja bulu kudukku berdiri. Aku takut.
Kami berdiri - aku, Cassie, Jake, Marco, Ax, dan Tobias...
Tobias, dalam wujud manusia - di tengah samudra. Melayang di dalam air, tetapi
tetap kering. Si Ellimist sudah tak kelihatan.
Kami melayang di atas terumbu karang. Dan segala sesuatu sudah bergerak lagi.
Di sekitar kami, ikan-ikan berenang bergerombol. Ikan dalam segala bentuk dan
warna, berkilau tertimpa cahaya matahari yang menembus air. Ikan-ikan hiu
berkeliling mencari mangsa. Ikan pari seperti terbang. Cumi-cumi berdenyut.
Kepiting-kepiting merayap di tonjolan terumbu karang yang memesona. Ikan tuna
sebesar kapal lewat. Lumba-lumba yang gesit bagai tersenyum mengejar mangsanya.
INDAH SEKALI. Sekali lagi suara si Ellimist seakan muncul dari dalam hatiku sendiri.
INDAH SEKALI. Kemudian, sama tiba-tibanya seperti waktu kami diceburkan ke laut, kami sekarang
melayang di atas rumput keemasan sabana Afrika.
Serombongan singa sedang bermalas-malasan berjemur di bawah kami, kelihatan puas
dan mengantuk. Wildebeest, gazelle, dan impala merumput, kemudian tiba-tiba
berlomba meloncat dan berlari, membuat penontonnya tersenyum melihat kegesitan
dan energi mereka. Ada juga hyena, badak bercula satu, gajah, jerapah, cheetah, babun, dan zebra.
Elang, rajawali, dan alap-alap melayang-layang di udara.
LIHAT ITU. Sekejap saja kami telah berada di tengah hutan rimba. Jaguar dengan luwesnya
bergerak mengejar mangsa, sementara monyet-monyet bercengkerama di atas
kerindangan pohon. Ular sepanjang tubuh manusia merayap di cabang-cabang. Udara
dipenuhi harum jutaan bunga. Kami mendengar dengkung katak, nyanyian serangga,
cerecet monyet, dan cicitan burung liar.
DI SELURUH JAGAT RAYA, TAK ADA YANG SEINDAH INI. DALAM RIBUAN TAHUN, TAK ADA
KARYA SENI SEAGUNG INI. Kemudian si Ellimist menunjukkan kepada kami umat manusia.
Kami terbang, tanpa kelihatan, di antara pencakar-pencakar langit baja-dan-kaca
New York. Kami melayang di atas desa-desa di tepi hutan bersungai. Kami menonton konser
musik rock di Rio de Janeiro, menghadiri pertemuan politik di Seoul, dan nonton
bola di Durban, lalu ke pasar terbuka di Filipina.
MANUSIA. SEDERHANA. PRIMITIF. TAPI MAMPU MEMAHAMI.
Tiba-tiba semua gerakan berhenti. Kami memandang sebuah lukisan. Aku pernah
melihat lukisan itu sebelumnya, entah di mana. Campuran warna-warna liar.
Lukisan bunga-bunga ungu. Bunga iris, pikirku, walaupun aku bukan ahli bunga.
Pelukisnya mampu melihat keindahan bunga-bunga itu dan menuangkan sedikit dari
keindahan itu ke atas kanvas.
MAMPU MEMAHAMI. Kemudian, tanpa peringatan, kami sudah kembali lagi di kolam Yeerk.
Semua bayangan indah tadi lenyap. Sekali lagi kami berada di negeri
keputusasaan. Dikelilingi gambaran beku mengerikan.
Si Ellimist - atau paling tidak sosok yang tadi ia tampilkan agar bisa kami lihat muncul lagi. "Tur yang luar biasa," kataku. Aku berusaha kedengaran tegar. Tapi perasaanku
tidak keruan. Pikiranku kacau. Seakan pecah menjadi ribuan keping berkilau. Aku
bingung. "Tapi apa maksud semua ini?"
"Manusia adalah spesies yang terancam punah. Tak lama lagi kalian akan lenyap."
Aku berpikir kira-kira bagaimana jawabanku. Tapi aku tidak bilang apa-apa. Tak
seorang pun bicara. "Bangsa Yeerk juga mempunyai indra yang tinggi," kata si Ellimist. "Dan
teknologi mereka jauh lebih maju daripada kalian. Mereka akan terus menyerang
manusia. Andalite akan berusaha mencegahnya, tapi mereka akan gagal. Yeerk akan
menang. Dan tak lama lagi manusia yang tinggal hanyalah mereka-mereka yang
kalian sebut Pengendali-Manusia."
Aku berhenti bernapas. Cara ia berkata... seakan tidak bisa kaubantah. Seakan
kau tidak bisa bilang apa-apa lagi. Ia mengucapkan setiap kata dengan tegas dan
yakin. Ia tidak menduga. Ia tahu.
Ia tahu bahwa kami akan kalah.
Chapter 14 AKU tadi ngeri sekali, saat si Taxxon siap melahap kami. Aku mencemaskan hidupku
sendiri dan hidup kawan-kawanku.
Sekarang, saat kolam Yeerk mati suri, aku merasakan ketakutan yang lebih dalam
lagi. Kepalaku masih dipenuhi gambar-gambar indah pemandangan yang tadi
ditunjukkan si Ellimist kepada kami.
"Kenapa kau datang ke sini kalau cuma untuk memberitahu bahwa kami akan mati?"
akhirnya aku bisa bertanya.
"Kami punya tawaran untuk kalian," kata si Ellimist. "Kami bisa menyelamatkan
sedikit sampel umat manusia. Kami akan menempatkan kalian di planet yang telah
kami sediakan. Kalian... dan beberapa anggota keluarga kalian. Juga beberapa
yang lain, yang terpilih untuk mendapatkan gen yang baik. Ditambah beberapa
spesies lain dari Bumi, yang bukan manusia, yang memang menarik perhatian kami."
Aku terkejut mendengar Cassie tertawa. "Dia tokoh lingkungan hidup," katanya.
"Ya, kurasa begitu. Dan kita burung hantu. Kita badak bercula satu. Kita ikan
paus. Kita spesies yang hampir punah, dan dia pemerhati lingkungan hidup yang
mencoba menyelamatkan kita."
"Kami sudah menyediakan planet untuk kalian," kata si Ellimist. "Sangat mirip
dengan Bumi. Kalian akan hidup dan berkembang secara alamiah di sana. Dan memang
seharusnya begitu." "Gila," kata Marco. "Seperti bahtera Nuh saja. Banjir Yeerk akan datang. Segera
naik bahtera." "Tidak," kata Tobias sambil memandang si Ellimist. "Seperti kebun binatang.
Itulah yang disediakannya untuk kita... kebun binatang."
Si Ellimist berkata lagi, "Kami tidak memaksakan kehendak pada spesies yang bisa
berpikir. Keputusannya ada pada kalian. Aku memilih kalian karena hanya kalian,
di luar manusia lain yang masih bebas, yang tahu apa yang sedang terjadi. Kalian
harus memutuskan... tinggal di Bumi dan meneruskan pertempuran yang sudah jelas
tak akan dimenangkan oleh kalian. Atau meninggalkan planet ini dan membentuk
sebagian koloni baru manusia."
"Kami diberi waktu berapa lama?" tanya Jake.
"Kalian harus memutuskan sekarang," jawab si Ellimist.
"Apa?" teriakku. "Sekarang" Apa maumu" Apa maksudmu kami harus memutuskan
sekarang?" Ini sudah bukan gila lagi. Ini mimpi. Tak mungkin ini nyata. Semua ini cuma
bayanganku saja. "Jika jawabnya ya, kalian dan beberapa orang yang dekat dengan kalian, akan
segera dibawa ke rumah baru kalian. Jika jawabnya tidak, aku akan mengembalikan
segalanya persis seperti keadaan ketika aku menghentikan waktu tadi."
"Maksudmu kami sedang jadi kecoak dan menuju ke dalam kerongkongan si Taxxon?"
tanyaku. "Semua persis seperti tadi," jawab si Ellimist. "Tujuan kami bukanlah untuk ikut
campur." Aku memandang Tobias. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Mungkin ia
sudah lupa cara berekspresi.
"Dan teman kami Tobias?" tanya Cassie pelan.
"Segalanya persis seperti semula," si Ellimist mengulangi.
"Oh, curang betul," kata Marco. "Kau mengajukan pilihan ini tepat ketika kami
akan jadi santapan Taxxon?"
"Konyol," kata Jake marah. "Mana bisa kau menyuruh kami memutuskan hal seperti
ini. Bukan kami yang seharusnya memutuskan. Maksudku, mungkin kau memang mencoba
melakukan hal yang benar untuk kami, tapi ini kan tak masuk akal."
kata Ax. memberimu pilihan yang sebetulnya bukan pilihan. Kemudian mereka akan bilang
bahwa mereka tidak ikut campur. Mereka akan berpura-pura itu keputusan manusia
sendiri.> Susah mendebat pendapat Ax. Si Ellimist memang telah menyudutkan kami. Menyadari
hal itu, aku ingin menentangnya. Si Ellimist menginginkan kami memutuskan ya. Ia
ingin kami meninggalkan pertempuran melawan Yeerk ini.
Tetapi... di tempat baru itu kami bisa hidup damai. Di sana tak ada lagi
pertempuran. Di sana kami bisa jadi anak biasa. Tak ada keputusan yang harus
diambil. Tak ada perang. Si Ellimist bilang kami akan bersama dengan orang-orang yang dekat dengan kami.
Siapa" Siapa yang akan diselamatkan"
"Aku memilih tidak," kata Tobias tegas, menantang. Ia marah. "Kau memanfaatkan
aku. Kau memanfaatkan rasa sayang teman-temanku sebagai sarana. Aku tak mau
itu." "Kita pikirkan dulu, Tobias," Cassie memohon. "Maksudku, jangan karena kita
jengkel... keputusan ini menyangkut seluruh umat manusia. Kau mengerti, kan" Dia
bicara tentang manusia yang akan punah."
"Tobias, kau sendiri yang paling rugi," Jake mengingatkan. "Kalau kita bilang
tidak, kau akan kembali jadi elang."
"Jadi kita sudah punya dua jawaban tidak - dari Tobias dan Rachel, dibandingkan
satu ya dari Cassie," kata Marco.
Tapi aku belum menjawab. Marco cuma menebak-nebak saja....
Dan ia benar, aku menyadarinya. Perutku jadi mual. Marco menebak sangat tepat.
Aku memilih tidak. Jika Tobias siap berjuang terus, padahal ia yang paling
dirugikan, aku tak mungkin menyerah.
"Yang diinginkan makhluk ini adalah kita kabur," kataku. "Dia ingin kita
meninggalkan penduduk dan planet Bumi untuk menyelamatkan diri kita sendiri dan
mereka yang kita sayangi."
Tobias membalas pandanganku. Dalam matanya terbayang samar senyumnya yang dulu.
kata Ax. mengikuti Pangeran Jake. Tapi aku tidak mempercayai Ellimist ini, betapa besar
pun kekuasaannya.> "Kawan-kawan, aku tahu bagaimana perasaan kalian," kata Cassie. "Tapi pikirkan
ini. Kita mungkin tidak bisa keluar hidup-hidup dari kolam Yeerk ini, dan jika
kita mati, kesempatan apa yang dimiliki manusia untuk melawan bangsa Yeerk" Lagi
pula, dia bilang manusia akan kalah. Bukankah lebih baik menyelamatkan beberapa
manusia, daripada kehilangan semuanya?"
Jake dan Marco belum memberikan jawaban. Kuperhatikan mereka menoleh ke arah
bangunan dari mana kami datang tadi.
Memandang sesuatu yang tampak seperti tiang bulat tinggi, menjulang sampai ke
atap gua karang. Tiang itu terbuat dari baja dan kaca bening. Di dalam tiang itu ada PengendaliManusia, perempuan, yang kelihatannya membeku di udara. Kelihatannya ia sedang
meluncur turun dalam tabung panjang itu. Atau terbang ke atas.
Dropshaft! Kami pernah menggunakannya di dalam kapal induk Yeerk. Dropshaft adalah semacam
lift yang bergerak dengan kekuatan gaib untuk membawa kita turun dari satu
tingkat ke tingkat lain. Tapi apakah ia juga, naik dan tidak hanya turun"
Ini pertanyaannya. Apakah si Pengendali-Manusia dalam peluncur itu sedang turun
atau naik" Jake memberi isyarat dengan sebelah matanya padaku. Ia kembali memandang tiang
itu, setelah yakin aku sudah melihatnya..
Aku menyipitkan mata, memandang si Pengendali yang membeku. Rambutnya sebahu.
Jika ia turun, rambutnya seharusnya mencuat ke atas. Kenyataannya rambutnya
menjuntai ke bawah di sekeliling lehernya.
"Mr. Ellimist," kata Marco, "terima kasih atas tawaranmu. Tapi kupikir tidak.
Aku tidak ingin berada dalam kebun binatangmu. Dan aku tak suka disudutkan
seperti ini. Aku senang kau menyukai Bumi, tapi kami akan menjaganya semampu
kami." erarti posisinya sudah empat lawan satu. Aku, Marco, Tobias, dan Ax. Aku
menghitung Ax, walaupun ia sendiri bilang manusia yang harus mengambil
keputusan. Hanya Cassie yang menerima tawaran si Ellimist.
"Kalian tahu aku merawat banyak binatang sakit atau terluka. Mereka selalu takut
padaku, walaupun aku mencoba membantu mereka. Apakah kita berbuat berani dengan
mengatakan tidak" Atau malah bodoh, karena menolak seseorang yang berusaha
menolong kita?" Kata-katanya membuatku berpikir. Dengan shock aku teringat film-film pecinta
alam yang pernah kulihat. Salah satunya memperlihatkan para aktivis peduli
lingkungan hidup yang mencoba menangkap beberapa harimau. Mereka berusaha
memindahkan harimau-harimau itu ke suaka satwa agar selamat. Harimau hampir
punah, dan manusia berusaha menyelamatkan beberapa di antaranya. Tapi para
harimau itu melawan. Mereka menggeram dan mencakar, dan menghindari jaring yang
akan menangkap mereka. Apakah kami juga begitu" Apakah kami binatang yang hampir punah, dan menentang
makhluk lain yang datang untuk menyelamatkan kami"
Aku jadi bertanya-tanya sendiri, apakah sebaiknya aku mengubah jawabanku.
Menyelamatkan keluargaku.
Apa yang akan mereka katakan, jika mereka diberi kesempatan memilih"
Ibuku" Ia tak akan pernah mengambil risiko yang membahayakan anak-anaknya. Ia akan
bilang ya. Dan ayahku" Kubayangkan kami semua secara gaib dipindahkan ke tempat yang aman, dan aku


Animorphs - 7 Perjalanan Ke Masa Depan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus menjelaskan apa yang telah kulakukan. Bahwa aku telah memilih
menyelamatkan kami semua dan mundur dari pertempuran. Bagaimana pendapatnya
tentang keputusanku ini"
"Kau tahu, apa yang menggangguku?" kata Jake pada si Ellimist. "Kau mengatakan
bahwa umat manusia akan kalah dari Yeerk. Tapi aku tidak percaya kau bisa
melihat masa depan. Soalnya kau kan tidak tahu bagaimana jawaban kami. Kalau
tahu, kau pasti tak usah susah-susah ke sini, kan?"
Ia bergantian memandang kami.
Cassie tersenyum sedih. "Kalau kalian memutuskan untuk tetap tinggal, aku juga."
Jake mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Cassie. "Mr. Ellimist, kurasa kau
sudah mendapat ja..."
Chapter 15 "...WABAN." Saat itu juga kami berubah jadi kecoak lagi.
JIKA KALIAN MASIH HIDUP, AKU AKAN MENANYAI KALIAN SEKALI LAGI. JIKA KALIAN MASIH
HIDUP. Tubuhku menempel pada lidah merah Taxxon, tak berdaya!
Jake berteriak dalam kepalaku.
Aku tak perlu disuruh dua kali.
Dalam ketakutan, aku memusatkan pikiran ke tubuh manusiaku. Tiba-tiba
sekelilingku menjadi gelap.
teriakku.
teriak Jake.
Ada pancaran cairan yang menyengat, seperti gelombang air pasang, menyapuku dari
lidah lengket itu. Aku terguling, bagai orang buta, dan ketakutan, dalam cairan
pekat yang lengket dan panas.
Tapi pada saat yang bersamaan aku merasakan bahwa tubuhku membesar. Sungut
kecoakku menyapu sesuatu yang berada sangat dekat padaku. Ternyata kecoak lain.
Tapi lebih besar dari kecoak normal.
teriak Cassie.
aku balas memekik.
Semuanya jadi terasa sesak. Tubuh kawan-kawanku terasa mendesakku saat kami
semua membesar dan berubah bentuk.
Kurasakan isi perut si Taxxon berdenyut, mencoba menangani makanan maut yang
membengkak ini. Paru-paru manusiaku sudah tumbuh seperti semula, dan paru-paru itu membutuhkan
udara. Aku sesak napas! Tubuhku tidak setegar tubuh kecoak.
kudengar jeritan Marco.
kata Jake.
kata Ax.
kata Jake.
Kegelapan yang melingkupi kami tiba-tiba terbuka. Sekilas kulihat ekor Andalite
Ax, yang berbentuk sabit besar, merobek perut Taxxon dari dalam. Udara. Udara
menerobos masuk. Udara bau dan kotor, tapi tetap udara.
Kami terlontar keluar dari dalam tubuh Taxxon, bergelimang lendir birukehijauan, isi perutnya menempel di tubuh kami.
Tubuh kami belum sepenuhnya berbentuk manusia, masih campuran menjijikkan antara serangga dan manusia, tapi kami menyelesaikan perubahan wujud kami
secepat mungkin. Udara! Aku mengisapnya kuat-kuat ke dalam paru-paruku yang masih terbentuk.
Si Taxxon tergeletak, tubuhnya rusak dan bau di sekitar kami.
Ruangan yang penuh Pengendali-Manusia sedang makan malam tak lagi membeku garagara ulah si Ellimist. Sekarang mereka diam membeku saking takjub, tidak percaya.
"Ayo kabur!" teriakku. "Sebelum mereka bisa mencerna apa yang terjadi."
Kami lari keluar ruangan. Terpeleset-peleset, mengibaskan isi perut si Taxxon,
sambil masih terus membentuk jari-jari tangan dan kaki kami.
"Tangkap mereka!" terdengar suara manusia memerintah. "Tangkap mereka, goblok!
Kalau tidak, Visser Three akan mengunyah tulang-tulang kalian!"
Tiba-tiba, sambil menggerung, para Pengendali-Manusia itu bangkit dari kursi
mereka. Hork-Bajir yang di dekat pintu bergerak cepat menghalangi kami. Ax menyabetkan
ekornya dengan kecepatan luar biasa. Bahu si Hork-Bajir kena.
"Lari ke dropshaft!" teriak Marco sambil memimpin kami meninggalkan ruangan.
"Semuanya, kecuali Ax, jika bisa berubah wujud lagi, lakukan!" teriak Jake saat
kami semua berlari ke dropshaft. "Kita perlu kekuatan!"
Aku tak perlu disuruh. Satu-satunya dari kami yang punya kemampuan alami untuk
berduel adalah Ax. Aku mencoba memfokuskan pikiranku pada beruang yang DNA-nya
sudah kusimpan dalam diriku.
Sebagian dari diriku tahu ini bodoh. Aku seharusnya berubah menjadi gajah atau
serigala. Aku pernah menjadi keduanya, aku bisa mengendalikan mereka. Tapi aku
juga tahu gajah tak akan muat dalam dropshaft itu. Dan aku ingin kekuatan.
"Whumpf!" Ada yang memukulku dan aku jatuh terkapar di atas lantai berdebu.
Seorang laki-laki berdiri di atasku. Dialah yang memukulku.
Aku marah sekali. Laki-laki pengecut macam apa yang mau memukul gadis yang besar
tubuhnya cuma separo dia"
Tentu saja aku tahu jawabnya. Aku tahu laki-laki itu bukan manusia, tapi
Pengendali. Yeerk di dalam kepalanya mana tahu atau peduli tentang sopan santun.
Laki-laki itu membungkuk dan melingkarkan tangannya di leherku.
Tiba-tiba tangannya tinggal satu.
"Aaarrrgghhh!" jeritnya sambil jatuh.
" Terima kasih, Ax," kataku.
katanya.
Aku memandang melewati bahunya. Yang lain semua sudah mencapai dropshaft, kirakira tiga puluh meter di depan kami. Di antara kami berdua dan dropshaft,
berbaris sepasukan Pengendali-Manusia dan Hork-Bajir.
Aku melihat Marco, dan kemudian Cassie, diangkat naik oleh dropshaft. Hanya Jake
yang masih di sana. Ia menoleh memandang kami. Wajahnya tampak ngeri.
"Jake, PERGI dari sini!" teriakku. "Kami tidak apa-apa!"
Beberapa Pengendali mulai mengurung Jake. Tetapi sebagian besar dari mereka cuma
tertarik pada Ax. Mereka bisa melihat bahwa dia Andalite - musuh bebuyutan Yeerk yang paling
mematikan. Aku tak tahu mereka anggap aku ini apa. Soalnya tubuhku masih
diselubungi lendir Taxxon.
Tiba-tiba sepasang prajurit Hork-Bajir menyerang kami. Tangan mereka yang
seperti mata pisau menyabet udara. Mereka mendatangi kami seperti sepasang
gergaji listrik yang dipasang dalam kecepatan tinggi.
Ax memukul. Tapi kedua Hork-Bajir itu terlalu cepat.
Luka menganga di panggul Ax. Ia memukul-mukul terus. Ekornya yang bagai ekor
kalajengking nyaris tak tampak. Para Pengendali-Manusia tak berani maju, takut
kena potong Hork-Bajir ataupun Ax. Tapi lebih banyak Hork-Bajir lagi
bermunculan, dan Ax mulai keteter.
Kemudian... kusadari aku tak takut lagi. Rasa percaya diri yang besar memenuhi
Percaya diri penuh. Keberanian penuh.
Kusadari aku tak lagi berdiri tegak. Aku berdiri dengan empat kaki. Waktu aku
memandang ke bawah, aku mengharap melihat kedua tanganku bertumpu pada lantai.
Tapi yang kulihat cakar superbesar.
Bulu-bulu kasar cokelat tua. Cakar hitam, masing-masing seperti ujung beliung.
Aku sudah jadi beruang. Rasa percaya dirinyalah yang kurasakan. Juga
keberaniannya. Aku sudah jadi binatang yang belum pernah - sepanjang sejarah beruang grizzly yang
sudah ribuan tahun - kenal takut.
Tiba-tiba kurasakan bahuku sakit sekali. Salah satu Hork-Bajir itu melukaiku.
Aku mendelik dengan mataku yang rabun dekat, dan yang kulihat hanyalah bayangan
samar. Aku tak pernah jadi beruang sebelum ini. Aku belum pernah belajar mengendalikan
otaknya, nalurinya. Otak beruang terfokus pada satu hal dasar saja - ia sudah
ditantang. Hanya ada satu respons kalau ditantang.
Serang! "Grrooowwwrrrr!" raungku.
Aku menerjang si Hork-Bajir. Ia memotongku lagi. Tak apa-apa. Kutabrak dia.
Beruang seberat empat ratus kilo yang sangat marah. Kekuatannya!
Aku adalah truk yang meluncur seratus dua puluh kilometer per jam.
Aku adalah tank! Aku karnivora terbesar di Bumi dan tak ada, TAK ADA yang selamat kalau coba-coba
menantangku! Aku nyaris tak bisa melihat si Hork-Bajir dengan mata beruangku yang lemah, tapi
aku membauinya dan merasakannya, dan kuayunkan tinjuku yang besar, tepat
mengenai dadanya. Kekuatan pukulanku bisa menggulingkan kereta api dari relnya.
Si Hork-Bajir melayang. Lebih banyak lagi yang datang.
Lebih banyak lagi yang akhirnya paham kenapa sebagian nama latin beruang grizzly
adalah horribilis, yang artinya mengerikan.
Aku nyaris tak ingat lagi apa yang terjadi sesudahnya. Kuikuti saja naluri
kemarahan si beruang. Kemarahannya dan kemarahanku menyatu. Semua ketegangan
dalam diriku, semua ketidakpastian, semua keraguan, semuanya lenyap saat aku
mengikuti kehebatan si beruang.
Aku ingat bahwa sesudah itu Jake berubah wujud menjadi harimau dan ikut
bertarung. Dan samar-samar muncul dalam ingatanku cakaran yang merobek tubuh dan
gigitan yang meremukkan tulang.
Tapi kemudian yang kuingat jelas adalah meluncur naik dalam dropshaft, sementara
suara Jake dalam kepalaku berulang-ulang berkata, Berubah. Kau lepas kendali! Kau LEPAS kendali! Berubah!>
Aku mencakar-cakar dengan membabi-buta, mencoba membunuh harimau yang melayang
di atasku dalam dropshaft.
Mencoba membunuh Jake. Aku seakan disentakkan dari mimpi.
Perlahan, sementara kami terangkat ke atas, kutinggalkan wujud beruangku dan aku
kembali menjadi diriku. Chapter 16 LUNCURAN ke atas dropshaft terasa lama sekali.
Dropshaft itu memasuki karang padat, dan seraya terangkat naik, kulepas sisasisa wujud beruangku. Aku merasa pikiran manusiaku kembali. Tetapi aku masih
bingung dan kacau karena pengalaman tadi.
Kemudian, tiba-tiba saja, aku sudah berada di puncak dropshaft.
Aku melangkah ke atas lantai beton yang kokoh. Teman-temanku sudah di sana
semua. Ax sedang berusaha berubah menjadi wujud manusia, tetapi ia mengalami
kesulitan. Berubah wujud memang melelahkan. Berubah secara beruntun dari satu
bentuk ke bentuk lain lebih dari sekali, membuatmu ingin merangkak ke sudut dan
mati saja rasanya. Aku tahu bagaimana perasaannya. Aku sendiri terhuyung kecapekan ketika melangkah
ke lantai beton. Ruangan itu gelap, cahaya suram yang ada hanya cukup untuk
melihat wajah-wajah di sekitarku.
"Hati-hati," kata Cassie memegang lenganku. "Kita baik-baik saja. Kita selamat.
Kita ada di dasar menara air, di belakang sekolah."
"Kita harus keluar dari sini. Para Yeerk akan mengawasi."
"Yah, lihat saja itu," kata Marco. Ia mengedikkan kepalanya ke arah sudut. Di
situ dua Pengendali-Manusia terkapar pingsan.
"Ayo, kita segera keluar," ajak Jake. "Kau baik-baik saja, Rachel?"
"Yeah. Cuma capek. Aku... aku tak pernah jadi beruang sebelum ini. Aku tak punya
waktu untuk mengendalikan pikirannya. Sori."
"Tak apa-apa, Rachel. Beruang grizzly itu yang menyelamatkan kita. Tapi habis
ini istirahat, ya?" "Yeah. Asyik benar bisa istirahat."
*** Entah bagaimana aku sampai juga di rumah. Aku merayap naik ke tempat tidur dan
langsung teler. Aku baru bangun keesokan paginya waktu jam wekerku berbunyi. Aku merasa pusing,
sampai nyaris tak bisa melihat angka di jam wekerku.
"Rachel" Kau sudah bangun?" seru Mom.
"Ya. Ya. Aku sudah bangun," kataku.
Aku turun dari tempat tidur dan terhuyung ke kamar mandi.
Jordan sedang di dalam kamar mandi yang kami pakai bersama. Aku keluar ke
koridor, menuju kamar tidur ibuku.
Mom sudah berdandan, memakai baju kerja warna kecokelatan. Ia sedang merapikan
stokingnya. "Kau kelihatan lesu," katanya sambil melirikku.
"Uh," kataku. "Mom, aku pakai kamar mandinya, ya?"
"Kau masih memakai baju yang kaupakai saat pulang kemarin," katanya menuduh.
"Kau tiba di rumah pukul setengah sepuluh malam, tanpa sepatu, dan memakai baju
senammu. Sekarang masih begitu."
Aku memandang diriku sendiri dengan bodoh. Ya, aku masih memakai seragam
metamorfosisku. "Ehm... aku, ehm, sepatukukutinggal di rumah Cassie. Kemarin aku
menunjukkan pakaian senam padanya. Aku boleh pakai kamar mandinya, tidak?"
"Pulang bertelanjang kaki dan tidur tanpa makan lebih dulu," kata Mom sambil
menggelengkan kepala. "Rachel, kalau kau punya masalah, aku ingin kau
membicarakannya denganku."
Aku melakukan kesalahan: tiba-tiba aku tertawa. "Masalah" Tidak. Kenapa aku
harus punya masalah?"
Aku terkikik dan menggosok mataku, lalu terkikik lagi.
Mom menghela napas. "Aku harus hadir di pengadilan pagi-pagi," katanya. "Kasus
Hallinan disidangkan pagi ini. Tapi aku ingin kau di rumah malam nanti. Kita
berdua perlu sedikit bicara. Aku tahu ayahmu melempar masalah besar padamu. Aku
tahu keputusan ini sangat sulit untukmu."
"Boleh pakai kamar mandi Mom atau tidak nih?" aku menghela napas, tidak terkikik
lagi. "Pakailah. Jangan lupa antar Sara naik ke busnya."
Aku menutup pintu kamar mandi dan mencari pelindungan di balik uap air panas.
Segalanya lalu mulai bermunculan kembali. Semuanya. Meletus keluar dari perut
Taxxon. Tawaran si Ellimist. Tobias yang untuk waktu singkat kembali ke wujud
aslinya. Menjadi manusia lagi. Dan pertempuran... beruang yang murka dan
mengamuk: Beruang yang sebetulnya adalah aku.
Aku bergidik. Air panasnya habis.
"Rachel" Kau kenapa" Jatuh?" Jordan memanggil dari depan pintu kamar mandi.
"Jordan" Tolong antar Sara ke bus sekolahnya, ya," seruku. "Aku agak terlambat.
Kau juga duluan saja."
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bolos sekolah hari itu. Aku cuma
berbaring-baring di rumah, menonton acara TV siang yang sama sekali tidak
menarik. Berkali-kali aku ganti saluran, dari sinetron orang-orang bermasalah
yang satu ke sinetron orang-orang yang lebih bermasalah lagi.
Asyik juga, menonton orang lain punya masalah. Semua masalah mereka kelihatan
enteng dibanding masalahku.
Tetapi di tengah-tengah gambar elektronis orang-orang yang marah dan para
penyiar yang bersuara tenang menyejukkan, muncul gambar-gambar lain. Taxxon yang
robek terbuka, seperti kantong plastik sampah yang koyak. Jeritan beku tanpa
suara para induk semang yang dipaksa dalam kandang-kandang mereka.
Dan di antara suara televisi itu, aku masih bisa mendengar suara lain. Suara si
Ellimist di dalam kepalaku. Kita bisa menyelamatkan sedikit sampel manusia.
Dan suara Jake. Kau lepas kendali!
Dan ayahku. Ke kota lain. Negara bagian lain.
Aku mencoba tidak memikirkan lagi apa yang terjadi kemarin.
Maksudku, tidak masuk akal kan. Aku hidup dalam dua dunia yang sama sekali
berbeda. Dunia yang satu isinya keluargaku, sekolah, les senam, shopping, mendengarkan
musik, nonton TV... hal-hal normal.
Tapi aku juga punya kehidupan lain. Dalam kehidupan satunya ini aku bukan cuma
kakak Jordan dan Sara, dan anak sulung Mom, dan kesayangan guru, dan murid les
senam yang lemah di atas balok keseimbangan.
Dalam kehidupan yang lain itu aku... prajurit. Aku mempertaruhkan hidupku. Aku
bertempur dalam pertempuran mengerikan, padahal kemungkinan besar kami kalah.
Aku jadi sosok yang bukan sekadar anak ABG.
Siang hari tiba dan aku membuat sandwich keju untukku. Sementara menyiapkan
makan siang itu kunyalakan TV di dapur.
Ternyata ayahku yang muncul di berita siang. Ia sedang meliput di luar studio.
Peristiwa membosankan di gedung pertemuan.


Animorphs - 7 Perjalanan Ke Masa Depan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuhilangkan suaranya dan aku cuma memandang gambarnya.
Kemudian kulempar sandwich-ku ke tempat sampah.
"Apa yang harus kulakukan?" tiba-tiba aku berteriak, mengejutkan diriku sendiri.
"Apa yang harus kulakukan?"
Suaraku terdengar datar tanpa emosi di tengah kesunyian dapur.
Aku merasa bodoh. Tidak biasanya aku emosional begitu.
Aku berdiri di sana, cuma memandang lemari. Ellimist... beruang... Dad...
Apa yang harus kulakukan"
Meninggalkan ibu dan adik-adikku"
Meninggalkan ayahku"
Meninggalkan teman-temanku"
Meninggalkan planet yang kacau ini"
Kubayangkan aku pergi ke gedung pertemuan menemui ayahku. "Dad" Aku punya
masalah." Dan ia akan melingkarkan tangan memelukku dan mengacak rambutku seperti biasanya
dan berkata, "Ayolah, Nak. Jangan terlalu serius."
Aku membesarkan lagi suara TV. Ayahku sedang nyengir. Ia sedang mengatakan
sesuatu pada penyiar di studio. "....akan segera meninggalkan kita, dan kami semua
sedih mendengarnya. Tetapi aku tahu ini kesempatan baik bagi Anda."
"Ya, betul," kata ayahku. "Walaupun aku akan kehilangan..."
Kumatikan TV. Muak rasanya. Seperti baru saja menelan pecahan gelas.
Aku perlu keluar rumah. Aku perlu berhenti berpikir. Aku ke atas dan membuka
jendela kamarku. Beberapa menit kemudian seekor elang berkepala botak terbang dari jendelaku dan
melesat tinggi ke angkasa.
Chapter 17 SORE itu kami semua berkumpul di rumah pertanian Cassie.
Di dalam gudang jeraminya berderet-deret kandang, dalam segala bentuk dan
ukuran, sebagian besar ada isinya. Burung-burung ada di satu area, dipisahkan
dari mamalia dengan dinding partisi.
Kurasa burung-burung itu takut dan panik berada dalam satu ruangan dengan rubah
dan rakun. Burung yang panik bisa melukai diri mereka sendiri, karena mereka
menabrak-nabrak dinding kandang.
Waktu aku muncul di tempat pertemuan tanpa sepatu, dalam seragam metamorfosisku,
semua langsung tahu aku tidak datang naik bus.
Jake dan Marco sedang berbaring di atas gundukan jerami.
Tobias bertengger di palang langit-langit, sekitar dua meter di atas kami.
Hatiku serasa tertusuk, melihatnya berwujud burung lagi.
Ax biasanya tidak datang dalam pertemuan semacam ini. Soalnya kalau datang ia
harus berubah wujud menjadi manusia, padahal ia lebih suka berbentuk Andalite
sesering mungkin. "Hai, Rachel," sapa Marco, kelihatan geli, tapi juga sedikit hati-hati. "Kau
kenapa" Atau aku seharusnya bertanya, kau tadi jadi apa?"
Cassie sedang sibuk mengganti perban seekor burung kestrel yang punya tampang
sedih. "Hai, Rachel," sapa Cassie. "Bantu aku sini. Aku tidak melihatmu di sekolah
tadi." Aku mendekatinya dan memegangi kestrel yang memberontak itu sebisaku. Kestrel
sejenis falcon kecil. Burung itu mencoba mematukku, tapi ia sudah terlalu lemah,
jadi tidak berbahaya. "Aku tidak enak badan tadi," kataku pada Cassie. "Jadi aku di rumah saja."
"Tapi sore ini kau sudah baikan, begitu?" tanya Jake. "Sudah sangat baikan
sampai kau memutuskan untuk bermetamorfosis" Bagaimana kau ke sini" Aku ingin
tahu." Cassie sudah selesai dan mengambil kestrel itu dari peganganku. Aku menoleh dan
menatap Jake. "Aku terbang. Apa kau mau protes?"
Jake melirik Cassie. Kemudian Marco. "Beruang yang kemarin itu... kau pergi ke
The Gardens dan menyadap DNA-nya sendirian, kan?"
"Tidak," kataku, "aku ketemu beruang itu di mall."
"Oke," kata Jake. "Dan hari ini kau bolos, terus bermetamorfosis... entah jadi
apa." kata Tobias. termal sore tadi. Seharusnya aku sudah menebak. Soalnya dia terlalu lama
melayang, seperti buzzard. Kalau elang biasa pasti sudah hinggap dulu.>
"Yah, begini deh orang top. Tidak punya kehidupan pribadi," kataku sinis.
kata Tobias. sudah lebih dari dua jam. Pasti kau tadi sudah berubah wujud, lalu berubah
lagi.> Jake memandangku tajam. "Kau melewatkan sepanjang sore dengan bermetamorfosis?"
"Ya, Bu," jawabku.
Jake melompat dan berdiri tepat di depanku. Wajahnya cuma beberapa senti dari
wajahku. "Jangan sinis padaku, Rachel. Tingkahmu aneh sekali. Ini mencemaskan
kita semua, sebab jika kau melakukan sesuatu yang bodoh, kita semua yang akan
menanggung akibatnya. Kau ke kebun binatang dan menyadap DNA beruang grizzly"
Tanpa dukungan" Kau bisa terbunuh."
"Memangnya kenapa?" tantangku. "Kau sudah dengar si Ellimist. Nasib kita sudah
ditentukan. Skornya satu-nol. Yeerk satu, manusia nol. Kita kalah. Jadi siapa
yang peduli" Siapa peduli aku bolos dan terbang?"
Tiba-tiba saja Jake lemas. "Aku tak tahu, Rachel. Aku tak punya jawaban. Aku
sudah bosan mencoba mencari jawaban. Putuskanlah sendiri. Aku tak mau berdebat
denganmu. Aku tak tahu apa masalahmu. Tapi yang jelas, kau sendiri yang harus
mengatasinya." Belum pernah kulihat Jake selesu itu. Sesaat tadi ia masih Jake yang tegar dan
bijaksana, pemimpin kelompok Animorphs. Tapi saat berikutnya ia kelihatan capek
sekali. Matanya merah. Dan berkedip terus. Bahkan bernapas pun tampaknya membuat
ia lelah. "Ayahku ingin aku pindah ke negara bagian lain bersamanya," kataku.
Semua tercengang menatapku. Mata mereka semua kosong, lelah, tak banyak berbeda
dari mata Jake. "Apa yang akan kaulakukan?" tanya Cassie.
Kulempar kedua tanganku ke atas. "Bagaimana mungkin aku masih bisa memikirkan
sesuatu yang begitu sepele" Memangnya kita tidak punya masalah lebih besar untuk
dicemaskan" Nasib planet Bumi dan umat manusia, misalnya?"
"Hal yang berbeda meresahkan orang yang berbeda," kata Cassie. "Aku tahu
perasaanmu terhadap ayahmu."
"Dad brengsek, membebankan ini padaku!" kataku keras. "Maksudku... kau tahu...
maksudku..." Aneh sekali. Tiba-tiba saja kerongkonganku tersekat. Sepertinya aku siap
meledak. Sepertinya otakku lepas kendali.
"Rasanya... apa yang sebaiknya kulakukan?" jeritku. "Setelah apa yang terjadi
semalam... setelah semua itu, aku harus memutuskan siapa yang harus kusakiti
hatinya - Mom atau Dad" Dan kalian" Dan..."
"Sudahlah, Rachel," kata Marco lembut. "Tenang saja. Kau kan Xena..."
"BUKAN! Bukan, aku bukan tokoh TV yang konyol. Aku bukan tokoh komik, Marco. Aku
takut, tahu! Seperti kalian semua. Aku takut kalau ingat apa yang hampir terjadi
padaku semalam. Aku takut mengetahui tempat di bawah tanah itu ada. Aku takut
akan apa yang terjadi padaku. Rasanya aku ingin lari, tapi tak bisa, jadi aku
terpaksa berani, karena aku diharapkan begitu. Tapi sekarang semua orang bilang,
'Oh, tinggallah bersamaku dan kita nonton bola sama-sama,' dan 'Hei, tak usah
pindah ke negara bagian lain, kami sudah menyiapkan planet untuk kalian.' Dan
semakin banyak tawaran, semakin aku ketakutan. Kalian mengerti?"
Lama sekali tak ada yang bicara.
Marco menghela napas berat. "Aku sudah berpikir. Aku mengubah putusanku. Jika si
Ellimist bertanya lagi, aku akan menjawab ya."
"Apa?" tanya Jake. "Kenapa?"
Marco mengangkat bahu. "Rachel sudah ketakutan. Kalau dia saja ketakutan, berapa
lama lagi kita yang lain bisa bertahan?"
"Diam, Marco, aku lagi tidak berminat bergurau, tahu," kataku.
"Aku juga tidak," kata Marco datar. "Kau tahu berapa lama aku tidur semalam"
Cuma kira-kira sejam. Mimpi buruk. Aku seperti zombie di sekolah tadi. Aku
merasa... seakan kulitku diampelas. Aku gampang kaget. Aku ketakutan. Aku
stres." "Memang itu yang akan terjadi," kata Jake.
"Ini gila, dari awal sudah gila," kata Marco. "Beberapa anak ABG melawan serbuan
alien" Lihat apa yang terjadi. Tobias terperangkap dalam metamorfosisnya. Rachel
mulai menggunakan kemampuan morph-nya untuk melarikan diri dari masalahmasalahnya. Malam kemarin aku terbangun dan tidak tahu aku ini apa. Aku tak tahu
apakah aku punya tangan atau sirip atau cakar. Mungkin kau dan Cassie kebal,
Jake. Tapi masa sih, aku ragu."
"Kita tak boleh menyerah," Jake ngotot.
"Apa pun yang kita lakukan kita akan kalah," kata Marco. "Kita menjengkelkan
para Yeerk. Mungkin kita meledakkan kapal, atau kita sedikit sukses. Tetapi
penyerbuan mereka jalan terus. Dan yang berhasil kita capai hanyalah kita bisa
lolos dari maut. Kita seperti regu bisbol yang tak pernah menang. Dan sekarang,
menurut si Ellimist, kita akan kalah total. Kita tak mungkin menang."
"Aku tak peduli," kata Jake. "Aku tak akan menyerah."
"Jake," kata Cassie. "Lihat ini?" Ia mengangkat lengan kirinya dan menunjukkan
bekas luka di atas pergelangan tangannya. "Aku dapat ini dari seekor rakun.
Rakun itu masuk perangkap. Kakinya patah. Aku sedang berusaha melepaskannya dari
perangkap agar bisa mengobatinya, ketika dia menggigitku."
"Kita bukan rakun," kata Jake.
"Bukan" Juga bagi si Ellimist?" kata Cassie. "Apakah tidak mungkin dia benar"
Bahwa apa yang dia coba lakukan adalah menyelamatkan paling tidak sebagian umat
manusia" Bahwa dia sedang berusaha melepaskan kita dari perangkap dan akan
mengobati luka kita?"
"Cassie benar," kata Marco. "Jika si Ellimist mau melukai kita, dengan mudah dia
bisa membinasakan kita. Kau tahu betul itu. Baik. Aku akan membiarkannya
melepaskan kakiku dari perangkap. Tapi aku akan mengajukan syarat. Harus ada
orang-orang tertentu yang diizinkan pergi denganku. Kalau si Ellimist bisa
menyelamatkan orang-orang itu bersamaku, aku akan bilang ya."
Marco menatapku. Kemudian Jake dan Cassie dan Tobias, semua memandangku. Suara
yang terkumpul sekarang dua lawan dua.
Aku yang akan menentukan skor akhir.
Itu akan berarti tak ada lagi pertempuran. Itu akan berarti di suatu tempat, ke
mana si Ellimist membawa kami, tak akan ada tawaran kerja di negara bagian lain
untuk Dad. Tak ada lagi keputusan menyakitkan yang harus diambil.
Aku membuka mulut. Aku mulai bicara.
AKU SUDAH BERJANJI AKAN MENANYAI KALIAN LAGI.
"Uh-oh," kata Marco.
AKAN KUTUNJUKKAN PADA KALIAN APA YANG PERLU KALIAN MENGERTI.
Chapter 18 AKAN KUTUNJUKKAN PADA KALIAN APA YANG PERLU KALIAN MENGERTI.
Sekejap saja kami sudah tidak berada dalam gudang jerami.
Kami berlima dan Ax berdiri bersisian di tengah lapangan kosong penuh rumput tak
terawat. Beberapa meter di depan kami ada reruntuhan bangunan.
Si Ellimist tidak kelihatan. Hanya kami yang ada di situ: lima manusia dan satu
Andalite. Lima manusia utuh.
"Tobias!" kataku.
"Yeah," katanya sambil menatap tangannya. "Begini lagi."
Jake tampak marah. Cassie kagum. Marco mencoba cuek, tapi tak berhasil. Tak ada
lagi yang kelihatan lelah. Ax bergerak gugup di atas kakinya yang ramping dan
meluruskan ekornya, seakan siap menggunakannya.
"Si Ellimist lagi," kataku. "Apakah kalian mendengar..."
"Yeah, kami mendengar," kata Jake. "Jadi kita punya kesempatan sekali lagi untuk
berubah pikiran." "Di mana kita?" tanya Cassie. "Maksudku, rasanya aku kok kenal tempat ini. Tapi
aku tak tahu pasti ini di mana."
Perasaanku sama. Rasanya lapangan kosong berdebu dan hancur ini kukenal.
Tobiaslah yang sadar lebih dulu. "Sekolah kita," katanya.
"Apa?" kataku. "No way."
Tapi ia benar. Aku memandang sekali lagi dan sadar bahwa aku mengenali semua
gedung yang hancur berantakan itu.
"Oke, aku tak suka ini," kata Marco. "Separonya pun tidak. Maksudku, biasanya
aku senang melihat sekolahku rusak, jadi kita libur. Tapi kali ini aku benarbenar tak suka." "Kapan terjadinya ini?" tanyaku. "Aku cuma bolos sehari dan tiba-tiba saja
sekolah kita hancur?"
"Kurasa tidak," kata Cassie dengan suara aneh. "Kurasa ini bukan sesuatu yang
telah terjadi. Kurasa kita melihat masa depan."
Aku menoleh menatap Cassie, mereka-reka apa maksudnya. Ia sedang menatap langit.
Kemudian ganti menatap kaki langit.
"Langitnya," katanya. "Pernahkah kalian melihat langit berwarna begitu
sebelumnya?" "Kelihatannya memang agak kekuningan," kata Jake. "Dan udaranya. Bukankah baunya
aneh" Dan lihat itu, di sana. Pohon-pohon di belakang ruang senam. Pohon-pohon
itu mati." "Si Ellimist bilang ia akan menunjukkan sesuatu," gumamku.
"Jadi apa yang ditunjukkannya ini, Ax" Kau bisa memahami semua ini?"

"Ini masa depan," kata Cassie.
Rasa dingin menjalari punggungku. Aku ingin berpikir bahwa Cassie keliru. Tapi
aku bisa merasakan kebenaran kata-katanya.
"Okeee," kata Marco. "Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang" Berdiri saja di
sini sampai si Ellimist muncul lagi?"
Jake mengangkat bahu. "Kurasa kita melihat-lihat. Mall kira-kira cuma satu
setengah kilometer dari sini. Pasti masih buka."
Jadi kami berjalan. Menyeberangi lapangan berantakan itu. Di bawah langit yang
kelihatannya ketambahan warna kuning, yang kemudian bercampur dengan warna
birunya, sehingga bebercak-bercak dan bernuansa hijau. Belum pernah aku melihat
langit seperti itu. Kami melewati sekolah dan dengan waswas melongok lewat
lubang-lubang di dinding kalau-kalau ada yang bisa kami kenali.
"YAAAAHHH!" jerit Marco.
Ia terhuyung mundur dari salah satu lubang gelap. Aku berlari ke lubang itu
untuk melongok. Itu ruang kelas. Ada kerangka manusia yang terpuruk di atas meja
guru. "Ya, Tuhan," bisik Cassie. "Mayatnya ditinggalkan begitu saja di situ."
"Ini kelas Ms. Paloma," kataku. "Kelas sejarah."
Perlu beberapa detik sebelum kami menyadari apa artinya semua itu. Tubuh itu
dibiarkan membusuk di situ. Pasti perlu bertahun-tahun untuk membuat tubuh itu
tinggal jadi kerangka. "Cassie benar. Kita berada di masa depan," kata Marco. "Tapi ini tak mungkin."
kata Ax.
"Oh, begitu," kataku marah. "Jadi ini sedikit pelajaran. Si Ellimist menunjukkan
pada kita apa yang terjadi di masa depan. Bagus benar. Pintar benar. Tapi
bagaimana kita bisa yakin bahwa ini benar-benar masa depan" Dan bukan cuma
pertunjukan hasil rekayasanya?"
"Ayo, kita coba ke mall," ajak Jake. "Meskipun perasaanku sudah tak enak."
Kami meninggalkan sekolah. Kucoba untuk tidak memikirkan kira-kira kerangka
siapa tadi. Kerangka guru" Murid" Atau orang lain yang kebetulan berada di
tempat yang salah pada waktu yang salah"
"Mungkin kita bisa mengecek toko buku di mall," usul Marco. "Kita cari almanak
atau kalender untuk mengetahui sekarang tahun berapa. Kita cari tahu siapa yang
memenangkan Piala Dunia. Kemudian waktu kita kembali ke dunia kita sendiri, kita
ikut taruhan. Bisa kaya kita."
Aku memaksa diri tertawa yang kedengarannya malah seperti dengkuran. Kami harus
menjaga semangat. Marco telah berusaha mencobanya.
Kami tiba di jalan raya. Delapan jalur beton yang sunyi senyap. Tak ada mobil.
Tak ada truk. Kosong. Di kejauhan tampak rongsokan mobil. Tulang tangan yang putih mencengkeram
setirnya. Kami menghindari mobil itu.
Aku melihat sesuatu yang berkilau terang, di arah timur. Kelihatannya meluncur
dari kaki langit ke titik yang lebih dekat. Aku menyipitkan mata untuk melihat
apa itu. "Sayang sekali kami tidak mempunyai mata elangmu," bisikku pada Tobias. "Kurasa
itu tabung. Seperti tabung kaca yang panjang. Lihat! Ada yang bergerak di
dalamnya." kata Ax. Keempat matanya diarahkan ke tabung itu.
serupa panggung, yang bergerak cepat, seperti kereta api kalian. Tapi lebih
cepat. Kecepatannya kira-kira tiga ratus mil kalian per jam.>


Animorphs - 7 Perjalanan Ke Masa Depan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mil-mu juga," kata Marco. "Kau ada di Bumi, Ax. Ukuran jarak kita sama."
tanya Ax sok tahu.

"Sejenis sistem kereta api dengan kecepatan super-tinggi," kata Jake. "Itulah
Kisah Si Pedang Terbang 4 Tamu Aneh Bingkisan Unik Karya Qing Hong Bunga Kemuning Biru 2

Cari Blog Ini