Aku tak bisa morf. Aku telah berjanji pada Jake takkan
melakukannya. Lagi pula, aku nyaris kepergok.
Aku menemukan Iubang yang kurang-lebih berbentuk segitiga.
Jelas itu gua. Sekali lagi aku memandang sekitarku. Tak ada jejak.
Aku mencari-cari, siapa tahu ada bulu tersangkut di semak-semak,
namun kini hujan turun deras sekali.
Aku merayap mendekati mulut gua. Kuendus-endus udara.
Penciuman manusia tak ada apa-apanya dibandingkan anjing atau
serigala. Tapi tetap saja mungkin aku masih bisa tahu apakah gua itu
ada penghuninya. Lebih dekat... semakin dekat, aku merayap... "Aaaahhhh!"
Aku melompat ke belakang. Lalu terjatuh. Akukah yang
menjerit tadi" Tidak, aku bingung. Itu tadi suara Karen.
"Ahhh! Ahhh! Tolong!"
Pasti pura-pura! Mungkin. Mungkin juga tidak. Aku mundur kembali menerobos
semak-semak. Aku muncul. Terengah-engah. Tergores-gores dan
penuh lumpur. Dan mendapati seekor macan tutul melompat ke arah
gadis tak berdaya itu dari batu yang tinggi.
TSEEEWWW! Sinar Dracon mengiris udara menuju si macan tutul.
"Rrraaww-rrr!" macan tutul mengerang. Tapi sinar Dracon itu
hanya menyerempet bahu kucing besar itu. Binatang itu mendarat di
tanah, berguling, dan berdiri, lalu berbalik untuk menyerang kembali.
Karen berusaha membidikkan sinar Dracon itu. Tapi
pergelangannya yang sakit menekuk dan ia roboh. Jatuh terjerembap.
Senjata sinar Dracon itu berguling ke bebatuan dan mendarat di
lumpur. Mendarat hanya beberapa senti dari macan tutul itu.
Semuanya tak bergerak. Karen, terperanjat karena telah
menjatuhkan senjatanya. Ia ketakutan.
Macan tutul itu, tak yakin, memperhatikan, menunggu,
mencoba menaksir. Dan aku. Apakah aku punya waktu untuk morf" Apakah itu
akan mengusir si macan tutul" Atau justru membuatnya ingin
menyerang" "Karen," kataku dengan suara pelan. "Merangkaklah kemari."
"Makhluk itu... makhluk itu akan..."
"Karen, dengarkan aku. Merangkaklah kemari."
Karen gemetaran. Nyaris tak sanggup mengangkat wajahnya
dari lumpur. Ia terpaku menatap macan tutul itu. Matanya yang hijau
tampak lebar, menyala menembus lumpur yang melapisi wajahnya.
Si macan tutul mengawasinya dengan ketajaman seekor
predator. Kemudian ia menatapku. Ia tak yakin. Waswas. Makhluk itu
melihat sesuatu yang tak pernah dilihatnya.
Kau nyaris bisa melihat pikiran licik itu bekerja di balik
matanya yang kuning dan dingin: mangsa yang lebih kecil tadi
menggunakan senjata. Tapi senjata itu sudah hilang sekarang. Namun,
si pemburu harus berhati-hati ketika buruannya sanggup melukainya.
Dan lagi, macan tutul itu berpikir, di situ ada makhluk lain yang
aneh. Makhluk yang baunya sedang berubah.
Aku tidak tahu apakah Karen bahkan memperhatikan bahwa
dirinya tidak lagi mendengar suaraku. Tatapannya terpaku pada macan
tutul itu. "Ooof!" Tangannya terpeleset dan ia terguling di lumpur.
Macan tutul itu melihat lehernya yang telanjang dan mengambil
keputusan. Ia melompat! Aku ikut melompat! Aku mendarat duluan. Buluku meremang
tanda siap bertarung. Aku menggeram, dan bulu tebal berwarna
kelabu yang menyelimuti leherku berdiri.
Macan tutul itu melihat gigiku dan melupakan leher Karen.
Tidak, tidak, pikir macan tutul itu, aku tak mau bertarung
dengan predator lain. Nanti juga ada banyak waktu untuk membunuh
mangsa kecil tak berdaya itu.
Si macan tutul berbalik, dan dengan perasaan luar biasa jijik,
berjalan menembus kegelapan.
Karen mengangkat wajahnya dari lumpur dan menatapku.
"Jadi," katanya gemetaran. "Kurasa kau ini manusia serigala."
Chapter 11 GUA itu kosong. Aku langsung tahu, dengan menggunakan
indra serigalaku. Tapi untuk membuat api unggun perlu waktu jauh lebih lama.
Aku pernah melakukannya. Maksudku, membuat api tanpa korek api.
Yaitu di Periode Cretaceous, dalam episode paling aneh dalam hidup
kami sebagai Animorphs. Dulu saja sudah sulit melakukannya. Sekarang apalagi.
Kayunya basah dan rerumputan yang kugunakan untuk menyalakan
apinya sama basahnya, walaupun rumput lebih cepat kering daripada
kayu. Api unggunnya harus dibuat di mulut gua, soalnya mula-mula
asapnya akan banyak sekali. Tapi akhirnya kami berhasil juga.
Kami duduk di situ, kaki disilangkan, di atas batu yang keras
dan hamparan pasir yang dingin. Kami meringkuk sedekat mungkin
ke api. Aku pergi ke luar, dalam wujud serigala, dan menyeret
sebanyak mungkin kayu ke gua. Kuharap cukup untuk malam ini. Dan
untungnya, aku telah menemukan kembali pakaianku.
Malam turun. Cahaya oranye api itu menerangi atap gua yang
rendah. Tapi sama sekali tak menjamah hutan gelap di luar sana.
"Orangtuaku pasti panik sekali," aku berkata.
"Orangtuaku juga," sahut Karen.
"Aku nggak tahu Yeerk punya orangtua."
Karen menyodok api dengan kayu, mendorong sebatang dahan
yang tak terbakar ke tengah-tengah lidah api yang menyala-nyala.
"Kulihat kau sudah berhenti berpura-pura. Itu bagus. Rasanya
membosankan bila seseorang terus saja ngotot, padahal jelas-jelas dia
sudah ketahuan bohong. Dan ya, kami punya orangtua, walaupun
sangat berbeda dari kalian manusia."
Itulah pertama kalinya ia menyebutku manusia dan bukan
Andalite. Kurasa aku tampak terkejut.
"Ya, aku tahu kau manusia. Kami tak tahu bagaimana caranya
menduplikat teknologi morf Andalite, tapi kami tahu sebagian tentang
hal itu. Kami tahu tentang limit dua jam itu. Dan kami tahu kau tak
dapat berubah langsung dari satu morf ke morf lain. Kau harus
berubah dulu ke wujud aslimu. Kau jelas manusia, tentu saja. Kurasa
kau takkan mau memberitahuku bagaimana kau bisa memiliki
teknologi morf Andalite."
Kutatap wajahnya yang penasaran. Wajah manusianya. Wajah
seorang gadis kecil. Aku tahu apa yang hidup di kepalanya. Aku tahu
ia akan menyeretku ke Visser Three begitu ia punya kesempatan.
Kalau Marco atau Rachel ada bersamaku, aku tahu apa yang
akan mereka katakan: gadis itu tak boleh dibiarkan hidup kecuali kita
bisa menemukan cara untuk menahannya selama tiga hari. Pada saat
itu Yeerk di dalam kepalanya harus kembali ke kolam Yeerk untuk
makan. Tobias dan Ax bakal setuju. Jake juga, walaupun itu akan
sangat mengusik hatinya. Dan mereka semua pasti benar.
"Kau berpikir tentang membunuhku," ujar Karen.
Aku ragu sesaat. Lalu kataku, "Benar."
Ia menelan ludah. "Kau pernah berpikir seperti itu sebelumnya.
Waktu di sungai." Aku mengangguk. "Tapi waktu itu kau kelihatan cukup yakin.
Kau mencoba mendorongku. Mestinya aku tahu kau punya senjata
sinar Dracon. Kau ingin aku morf dan mencoba membunuhmu. Dan
ketika aku sedang morf, kau akan memberiku kejutan."
Karen mengangguk. "Begitulah rencananya."
"Jadi kenapa tidak kaugunakan sinar Dracon itu untuk
menembak beruang yang mengejarmu itu?"
Ia tertawa, sedikit malu. "Benar-benar panik, kurasa. Beruang
besar itu mengejarku dan aku langsung lupa aku punya senjata. Lagi
pula, kau kan lihat betapa 'pintar'-nya aku ketika menembak macan
tutul itu." Ia mengangkat tangannya. "Tanganku hanya tangan gadis kecil,
dan otot gadis kecil. Sinar Dracon itu didesain untuk digunakan oleh
Hork-Bajir. Aku nyaris tak bisa menyentuh picunya."
"Dan sekarang kau tak bersenjata sama sekali," ujarku.
"Benar." "Aku bisa morf jadi serigala dan langsung menghabisimu."
"Tapi kau takkan melakukannya."
"Kenapa?" tanyaku.
Ia menggeleng pelan. "Aku tidak tahu kenapa."
"Aku juga," kataku.
Beberapa saat lamanya tak satu pun dari kami bicara. "Kalau air
sih banyak," ujar Karen seraya mengangguk ke arah hujan yang turun
dengan lebatnya di depan mulut gua. "Tapi kita bakal kelaparan."
"Aku bisa menangkap kelinci atau sebangsanya," kataku. "Tapi
itu artinya aku harus meninggalkanmu sendirian di sini."
"Macan tutul itu."
Aku mengangguk. "Dia takkan langsung menyerang serigala.
Tapi ia menganggap kau makhluk kecil yang tak berdaya dan terluka.
Mangsa yang sempurna."
"Ya, kurasa begitu," katanya pahit. "Aku tak menginginkan
tubuh ini! Aku mau tubuh manusia, tapi bukannya anak kecil yang
lemah dan lugu. Tapi inilah yang mereka berikan padaku."
Aku memperhatikan kata "lugu" yang diucapkannya. Sungguh
kata yang aneh untuk digunakan oleh Yeerk.
"Begitukah caranya" Mereka mengatakan padamu tubuh seperti
apa yang harus kautumpangi?"
Ia mengangguk. "Yeah. ini induk semang ketigaku. Pertamatama aku menempati otak
Gedd, seperti hampir semua dari kami yang
memulai karier dari pangkat yang rendah. Setelah itu untuk beberapa
waktu lamanya aku menjadi Hork-Bajir - tugas yang membosankan,
hampir selalu, diselingi dengan pertempuran menyeramkan. Lalu aku
ditugaskan ke Bumi dan menempati otak manusia. Sekarang
giliranmu." "Giliran apa?" Karen menatap nyala api dan melihat sekeliling gua. "Kita
terperangkap di sini. Tak ada makanan. Tak ada yang bisa dilakukan
selain bicara. Aku sudah menceritakan seluruh kisah hidupku padamu,
sekarang ceritakan kisahmu."
"Kau bisa saja berbohong, mengarang semuanya."
"Kau juga bisa. Kalian manusia tidak selalu jujur, tahu."
Aku mengangguk. "Itu benar, kurasa."
"Jadi, ceritakan. Bagaimana kau bisa memiliki kemampuan
morf Andalite." Aku mengangkat bahu. "Diberikan oleh pejuang hebat Andalite
bernama Elfangor." Wajah Karen merah padam mendengar nama itu. "Elfangor," ia
meludah. "Kau pernah mendengar tentang dirinya?"
Karen mengangguk. "Ketika menjadi Hork-Bajir, aku pernah
bertugas sebagai pengawal pribadi Visser Three. Sang Visser terobsesi
oleh Elfangor. Ada masalah pribadi di antara mereka berdua. Aku tak
tahu apa. Tapi dia benci sekali pada Elfangor."
"Aku menyaksikan waktu Visser Three membunuhnya."
"Membunuh" Tidak, itu bukan pembunuhan. Kami sedang
berperang melawan Andalite. Tak ada pembunuhan di dalam perang."
"Tentu saja itu pembunuhan," kataku. "Pembunuhan berdarah
dingin terhadap makhluk tak berdaya."
Karen mencondongkan tubuhnya ke depan, wajahnya bercahaya
terkena nyala api. "Dan Hork-Bajir yang lehernya kaurobek-robek.
Bukankah dia juga tidak berdaya?"
Aku melompat berdiri. "Jangan coba-coba bandingkan apa yang
dilakukan orang-orangmu dengan yang kami lakukan. Kau tidak bisa
membandingkan penyerang dengan korban. Kalianlah yang memulai
perang ini. Dan kalianlah yang menginvasi planetku, bukan
sebaliknya." Karen bangkit, meringis ketika pergelangan kakinya terasa
sakit. "Kami punya hak untuk hidup!"
"Ini bukan soal kalian hidup!" bentakku. "Ini tentang kalian
memperbudak makhluk lain."
"Lho, memang seperti itulah kami ini," ia balas membentak.
"Kami ini parasit dan kalian manusia adalah predator. Berapa banyak
babi, kerbau, ayam, dan biri-biri yang kalian bunuh setiap tahun untuk
bertahan hidup" Pikirmu secara moral menjadi predator lebih baik
daripada menjadi parasit" Setidaknya tubuh-tubuh induk semang yang
kami ambil tetap hidup. Kami tidak membunuh, mencincang, dan
memanggang mereka di atas arang di halaman belakang rumah kami."
"Kami bukan babi," kataku.
"Oh, tentu saja kalian babi," tukasnya, wajahnya meringis jijik.
"Itulah kalian bagi kami. Nguik... nguik...."
Chapter 12 KAMI bergiliran jaga dan mengawasi mulut gua. Aneh sekali
rasanya, sungguh. Kami jelas-jelas musuh bebuyutan. Kalau Karen atau setidaknya Yeerk di kepalanya - punya kesempatan, ia akan lari
ke Visser Three dan menyerahkan diriku.
Sang Visser akan meringkusku. Ia akan membawaku ke kolam
Yeerk yang terbentang jauh di bawah sekolah dan mall. Hork-Bajir
akan menyeretku ke atas dermaga baja yang panjang. Mereka akan
menekan kepalaku ke dalam cairan berwarna timah itu.
Aku akan menendang-nendang dan menjerit, tapi tak ada
gunanya. Kepalaku akan terbenam di bawah permukaan. Dan salah
satu siput Yeerk yang berenang-renang di situ akan buru-buru masuk
ke telingaku. Makhluk itu akan memipihkan dirinya, dan menyelinap
masuk melalui saluran telingaku.
Pasti sakit sekali rasanya. Tapi tak ada apa-apanya
dibandingkan dengan ketakutan yang kurasakan.
Si Yeerk akan merayap dan menggeliat-geliut di sekeliling
otakku. Ia akan memipihkan tubuhnya di bagian-bagian yang sempit
dan menyelinap di antara celah-celah.
Lalu ia akan membuka pikiranku bagaikan buku. Ia akan
menengok ke setiap ingatan. Ia akan mengetahui setiap rahasia. Ia
akan tahu aku pernah ngompol di tempat tidur waktu umurku enam
tahun dan aku begitu malu hingga kubuang seprainya ke tempat
sampah. Ia akan tahu aku selalu memeriksa lemariku setiap malam,
takut kalau-kalau ada yang bersembunyi di sana. Ia akan tahu aku
pernah nyontek waktu ulangan matematika dan merasa bersalah sekali
hingga aku sengaja menjatuhkan nilaiku di ulangan berikutnya untuk
menebus kecuranganku. Dan ia akan tahu aku sayang pada Jake.
Si Yeerk akan membuka mataku dan membuatnya melirik ke
kanan dan kiri. Ia akan memutuskan apa yang mau kulihat.
Ia akan menggerakkan lengan dan tanganku. Ia akan
memutuskan apa yang mau kuambil dan apa yang hendak kuletakkan.
Ia akan memutuskan kapan aku makan dan tidur, kapan aku
mandi atau keramas. Ia akan memilih pakaian yang akan kukenakan.
Ia akan berbicara pada ibuku dan mencium ayahku setiap malam.
Dan sementara itu aku hanya bisa melihat dan mendengar, tahu
Animorphs - 19 Cassie Mengundurkan Diri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar apa yang terjadi. Ketika Yeerk di dalam kepalaku mengkhianati
teman-temanku, aku mengetahuinya. Ketika Rachel, Marco, Tobias,
Ax, dan Jake dikejar satu per satu, dibunuh atau dijadikan induk
semang, aku akan berdiri di situ, memberi nasihat pada kaum Yeerk.
Aku akan membantu mereka menghancurkan teman-temanku.
Dan aku tak berdaya, tak bisa berbuat apa-apa.
Itulah rencana Karen untukku. Mayat berjalan. Itulah rencana
kaum Yeerk bagi seluruh dunia. Mereka akan memperbudak semua
yang berguna, dan membinasakan apa pun atau siapa pun yang
dianggap tak berguna. Kusodok api itu dengan sebatang kayu. Karen bergerak dalam
tidurnya. Gampang sekali... aku memiliki kemampuan itu. Aku memiliki
kemampuan untuk menghancurkannya sebelum ia menghancurkan
aku. Aku harus melakukannya. Tapi aku tahu aku takkan berbuat begitu. Tidak sekarang. Tidak
malam ini. Tidak dengan sadis seperti itu. Hidup adalah sesuatu yang
sakral. Bahkan hidup seorang musuh sekalipun.
Tapi bagaimana dengan hidup teman-temanku" Tidakkah hidup
mereka malah lebih sakral lagi"
Karen terbangun. Ia menguap dan mengedarkan pandang
dengan ekspresi tolol-karena-baru-bangun-tidur. "Sudah giliranku
berjaga?" "Kayaknya begitu," sahutku. "Persediaan kayu kita tinggal
sedikit, jadi jangan boros. Tak perlu menyalakan api besar-besar.
Kalau kau melihat sesuatu, berteriaklah."
Aku berbaring miring memunggunginya. Aku yakin takkan
tertidur. Tapi aku salah.
Aku tidur dan mimpi. ScreeEEEET! ScreeEEEEEET! ScreeEEEET!
Dua puluh Pengendali-Manusia berdiri menunggu, lengkap
dengan senapan, pistol, dan senjata otomatis.
Di belakang mereka berdiri dua lusin pejuang Hork-Bajir.
Kami terperangkap. Kami telah menyelinap ke dalam bangunan
itu untuk merebut kristal Pemalite. Kristal itu akan membebaskan
kaum Chee dari program mereka. Program yang melarang mereka
untuk pernah melukai makhluk hidup.
Erek si Chee berdiri tepat di luar bangunan. Aku bisa
melihatnya dari balik kaca yang tebal dan bening. Bila kami bisa
menemukan cara untuk menyerahkan kristal itu padanya, mungkin ia
bisa menolong kami. Lalu di dalam mimpiku, seperti yang telah terjadi dalam dunia
nyata, semuanya meledak menjadi pertumpahan darah. Hork-Bajir
melompat, menebas. Dan kami balas melawan.
Kami melawan dan melawan. Dan kami semakin kalah, dan
semakin kalah, dan semakin...
Hingga, nun di kejauhan, rasanya aku mendengar suara kaca
pecah berkeping-keping. Dan sekonyong-konyong, Erek sudah ada di
situ. Hologram yang memberinya wujud anak manusia yang normal
juga lenyap. Ia menjelma menjadi dirinya yang sesungguhnya: android
berwarna kelabu metalik dan putih seperti mutiara.
Yang terjadi kemudian ingin kulupakan. Aku sudah pernah
melihat segala macam pertarungan. Ini bukan pertarungan. Tapi
penjagalan. Aku terbangun, menangis. Isakan pedih Erek masih menggema
di kepalaku. "Kau mengigau dalam tidurmu," ujar Karen.
"Oh ya?" Ia tertawa. "Kau menjerit, 'Tidak! Tidak!' Seperti itu. Mimpi
buruk, ya?" "Kenangan buruk," sahutku.
"Kedengarannya seperti pertempuran," ujarnya. "Dari sebagian
igauanmu. Tapi hei, kau masih hidup di sini, ya kan" Jadi kau pasti
menang dong." "Menang tidak membuatnya lebih baik."
Ia mendengus mengejek, seakan-akan aku baru saja
mengucapkan lelucon. "Tentu saja lebih baik. Jangan pura-pura. Aku
kenal manusia. Aku tahu, seperti Yeerk, kalian juga senang
menaklukkan." "Tidak semua manusia begitu."
"Oh, begitu. Jadi kau punya moral. Kau merasa tidak enak kalau
kau menghancurkan musuhmu." Ia mengatakannya dengan sinis
sekali. "Ya, aku merasa tidak enak. Hampir semua manusia merasa
seperti itu. Bagaimanapun juga, aku merasa begitu."
"Bohong," tukasnya, lalu menguap. "Kebohongan manusia
lagi." "Karen?" "Apa?" "Kalau semua itu benar, kenapa aku membiarkanmu hidup?"
Ia memandangku, dan kulihat matanya yang hijau mengerjap
sebentar ketika keraguan menyelinap dalam pikirannya.
Lalu ia memejamkan mata dan tidak menyahut.
Chapter 13 HUJAN turun terus sampai pukul empat atau lima subuh. Tapi
ketika paginya kami keluar, matahari bersinar terang sekali, dan langit
berwarna biru dan cerah. Air masih menetes dari dedaunan dan pucuk-pucuk cemara.
Tanah masih lembek seperti bubur. Bebatuan berkilau dan bercahaya.
Karen mendorong melewatiku. Ia berjalan terpincang-pincang
ke tempat ia semalam menjatuhkan senjata sinar Dracon-nya. Ia
merangkak dan mencari-cari di antara semak-semak.
"Kau mengambilnya! Kau pergi kemari ketika aku tidur dan
mengambilnya!" Aku menggeleng. "Semalaman hujan turun deras sekali. Kita
ada di lereng. Mungkin senjatamu itu terbawa ke kaki bukit. Atau
mungkin macan tutul itu yang mengambilnya."
Yang terakhir aku cuma bergurau. Tapi Karen menoleh ke
arahku, ekspresinya tegang dan ketakutan. "Kaupikir ini lucu, ya?"
Aku mengangkat bahu. "Lagi pula kau takkan menggunakannya
untuk menembakku," ujarku. "Kau tak perlu berbuat begitu."
"Bukan itu masalahnya," tukasnya. "Senjata itu kami dapat dari
pemerintah. Kami tak boleh kehilangan benda itu. Hukuman karena
menghilangkannya sangat... sangat berat dan menyakitkan. Mestinya
aku tidak membawanya - aku toh bukan dalam misi resmi. Kalau
sudah begini, hukumannya akan dua kali lipat."
Ia tampak sangat tua, tanpa daya menatap tempat senjata itu
telah jatuh semalam. Jelas kelihatan air hujan semalam telah mengalir
turun dan menyapu daerah itu. Permukaan tanahnya licin dan
membentuk alur-alur air. "Mungkin sudah hanyut ke sungai sekarang," kataku. Dengan
pergelangan kakinya, yang sekarang membengkak tiga kali ukuran
normal, tak mungkin Karen bisa turun ke sana.
Karen tampak bingung. "Aku tak bisa kembali tanpa senjata
itu," katanya. "Soalnya itu artinya aku harus menghadap Sub-Visser
Nineteen." "Bosmu?" "Ya. Komandanku. Kurasa kau takkan membantuku
mencarinya?" Aku menggeleng. "Tidak. Takkan pernah."
Karen tertawa pahit. "Yah, mereka pasti tidak akan
menghukumku terlalu keras bila aku membawamu."
"Mungkin mereka malah menyerahkan aku padamu," timpalku.
"Menjadikan aku induk semangmu."
"Tidak, terima kasih, aku tidak menginginkan induk semang
cewek manusia muda lagi. Terlalu lemah. Terlalu emosional. Kepala
mereka kelewat penuh dengan..." Ia berhenti bicara.
Aku menunggunya bicara lebih banyak. Tapi ia tak mengatakan
apa-apa lagi. Ia hanya mengepit tongkatnya dan mulai berjalan dengan
langkah sakit yang penuh tekad.
Aku terpana di belakangnya.
Terlalu emosional" Kepala mereka kelewat penuh dengan...
Dengan apa" Mungkinkah Yeerk di dalam kepala Karen terganggu oleh
pikiran-pikiran Karen" Oleh emosi-emosinya"
Aku merasakan sensasi yang menggelitik naik-turun di
tengkukku. Benarkah ada cara lain untuk menghadapi Karen"
Mungkinkah Yeerk di kepalanya merasakan sekelebat keraguan
tentang apa yang dilakukannya" Mungkinkah, atau aku sebenarnya
cuma pungguk merindukan bulan"
Mungkinkah sesosok Yeerk bisa diubah" Bisakah Yeerk dibuka
matanya sehingga ia menyadari bahwa apa yang dilakukannya adalah
salah" Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai membuntuti
Pengendali yang berjalan tertatih-tatih itu. Bagaimana caranya"
Bagaimana caranya meraih Yeerk yang menumpanginya"
"Jadi," aku berkata, "kayaknya perjalanan kita bakal panjang.
Seharian kalau arah kita benar. Mungkin lebih dari satu hari jika arah
kita salah." "Aku kelaparan," gumamnya.
"Menurutmu, bagaimana kalau kita makan jamur?"
"Apa ?" "Jamur. Lihat" Itu di sana, dekat pohon tumbang itu. Kau harus
berhati-hati tentu saja, karena banyak jenis jamur yang beracun. Tapi
aku pernah membuat tulisan untuk kelas Life Sciences tahun lalu.
Semua tentang jamur-jamur liar. Yang itu bisa dimakan."
"Aku tidak mau makan jamur mentah. Menjijikkan." Ia telah
kembali ke karakternya sebagai gadis kecil. Aneh sekali. Ia seorang
gadis kecil tapi juga Yeerk yang telah benar-benar dewasa.
"Yah, kalau aku sih mau ambil beberapa. Dan kau boleh saja
berubah pikiran." Dengan susah payah aku pergi mendekati pohon tumbang itu.
Dengan sangat berhati-hati aku mulai memilih-milih di antara jamurjamur yang
tumbuh selama hujan turun. Aku berjongkok santai. "Jadi,
Karen, atau siapa pun nama Yeerk-mu, ceritakan padaku tentang
hidupmu. Aku tahu kau tidak menyukai komandanmu. Cuma itu
saja?" "Apa yang kauinginkan, manusia?" ia nyengir. "Kau
menyelamatkanku, kau membimbingku, dan sekarang kau memberiku
makan" Apa yang ingin kaubuktikan?"
Kuangkat sepasang jamur, masing-masing sebesar kepalan
tangan, lalu kujejalkan ke dalam saku-saku. "Itu mengganggumu, ya
kan?" "Apa yang menggangguku?"
"Kau merasa terganggu bila korban-korbanmu tidak
membencimu." Ia tertawa, tawanya kasar dan keras. Ia membuka mulut ingin
mengatakan sesuatu. Tapi kemudian mulai mengatakan yang lain.
Tapi akhirnya ia tak mengatakan apa-apa.
Aku bangkit dan mengulurkan jamur-jamur itu padanya. "Nih.
Kau bisa memakannya sekarang atau nanti. Bisa saja kita nanti
menemukan bakung hijau atau bahkan beberapa bunga yang bisa
dimakan untuk disantap dengannya. Praktis seperti salad."
"Pikirmu kau memahamiku" Kau salah. Tak ada apa pun yang
menggangguku," ujar Karen parau.
"Kau sama sekali tak terusik bahwa dirimu memperbudak anak
kecil?" "Perbudakan adalah konsep manusia."
"Baiklah. Lupakan itu. Tapi bagaimana dengan ini: Tidakkah
kau terusik bila kau mendengar Karen - Karen yang asli - menangis
di dalam pikiranmu" Tidakkah kau terusik ketika kau bersama ibunya
dan Karen ingin sekali bicara dengan ibunya sendiri, hanya untuk
mengatakan ia mencintai ibunya" Hanya untuk berkata, 'Aku
mencintaimu, Mom,' dan ia bahkan tak bisa mengucapkan hal itu"
Terusikkah kau kalau sudah begitu?"
Karen mundur seolah-olah aku telah menamparnya. "Kau tak
mengerti apa yang kaukatakan!" sergahnya.
"Oh, benarkah?" tanyaku. "Biarkan aku bertanya pada Karen.
Biarkan aku bicara dengan Karen dan bertanya padanya."
"Manusia yang menjadi induk semangku ini tak menyimpan
rahasia dariku," tukasnya. "Aku tahu apa yang dipikirkannya."
"Dan yang dirasakannya."
"Dan yang dirasakannya!" tantangnya. "Dia membenciku, oke"
Apa itu membuatmu merasa menang" Dia membenciku. Dia ingin aku
mati. Dia diam di situ, di balik pikiranku, dan membayangkan aku
disiksa, lalu mati pelan-pelan dengan penuh penderitaan! Itulah yang
dirasakannya. Benci! Benci! Benci!"
Pepohonan seperti menggemakan suara teriakannya. Burungburung berhenti berkicau.
Aku menggeleng. "Biarkan aku bicara dengannya. Mari kita
tanyakan apakah ia membencimu."
"Tutup mulutmu."
Aku tersenyum. "Rupanya kalian bisa saling merasakan, ya
kan" Kau bisa merasakan emosinya, tapi dia juga bisa merasakan apa
yang kaurasakan. Begitu, kan" Dia tahu apa yang terjadi di dalam
benakmu. Jadi, apa sesungguhnya perasaannya terhadapmu" Pasti
bukan benci." "Diam!" gerutu Karen lagi. Ia mulai berjalan, meringis setiap
melangkah. "Kasihan, ya kan" Dia merasa kasihan padamu."
Karen maju beberapa langkah lagi. Sambil menoleh dan dengan
suara sedingin es ia berkata, "Mari kita lihat seberapa besar rasa
kasihan yang kaurasakan setelah aku menyerahkanmu kepada Visser
Three, Cassie. Mari kita lihat seberapa baiknya kau mengendalikan
rasa bencimu bila kau bukan apa-apa lagi dan cuma boneka yang tak
berdaya." Chapter 14 KAMI tidak bisa bergerak terlalu cepat karena pergelangan kaki
Karen. Tapi itu justru memberiku kesempatan untuk memperhatikan
sekitarku. "Lihat! Rusa!" kataku. Aku berjongkok dan Karen duduk di atas
batang pohon, merasa lega bisa beristirahat.
"Rupanya induk rusa dan anaknya," ujarku. "Lihat betapa
waspada induknya. Ia mencium bau kita."
"Bambi," gumam Karen dengan rahang terkatup.
"Yeah," timpalku. "Aku suka film itu."
"Manusia ini...induk semangku...dia juga suka film itu. Itu
video favoritnya waktu ia masih kecil. Kalian manusia membuat
segala sesuatunya sentimental. Bambi itu kan binatang. Memangnya
kenapa?" Aku mengangkat bahu. "Bicara sejujurnya, akhir-akhir ini aku
juga merasa seperti itu."
Aku bangkit dan kedua rusa itu langsung lari ketakutan,
mengarahkan ekor mereka pada kami.
"Kusangka kau sayang pada binatang."
"Tadinya. Maksudku, sekarang pun aku masih menyayangi
mereka. Hanya saja akhir-akhir...entahlah. Belakangan ini semua
membuatku bingung. Hal-hal normal seperti sekolah atau keluargaku
atau bahkan binatang-binatang yang kurawat, kayaknya terasa
Animorphs - 19 Cassie Mengundurkan Diri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membosankan atau semacam itulah."
Karen mengangguk. "Tentu."
"Apa maksudmu, 'Tentu'?"
"Maksudku, lihatlah apa yang kaulakukan, siapa dirimu, apa
yang kaualami. Kau bertempur. Kau membunuh. Kau memiliki
kemampuan dan menggunakannya. Tentu saja itu lebih menarik
daripada hidup lamamu yang normal."
Aku menggeleng dan memakan sebagian jamur yang kupetik
tadi. "Bukan itu. Maksudku... Aku tak tahu apa itu."
Karen tertawa. "Kau tadinya hanya anak biasa yang tidak
istimewa, ya kan" Sebelum kau bisa morf."
"Kurang-lebih begitu," ujarku.
"Sekarang ketika kau bermetamorfosis, atau ketika kau terlibat
dalam pertempuran, kau merasa begitu hidup! Begitu bersemangat dan
hidup! Kehidupan normal sekarang sepertinya membosankan."
"Begitukah yang kaurasakan bila bertempur?" aku bertanya.
"Aku tidak seperti itu. Aku membencinya. Aku cuma sedang amat
bingung. Mana bisa aku melakukan semua hal yang kulakukan dan
masih percaya hidup itu sakral" Bahwa setiap kehidupan itu sakral"
Kadang-kadang aku jadi predator. Kadang-kadang aku jadi
mangsanya. Entahlah... itu membuatku bingung."
Beberapa saat lamanya Karen diam saja. Kemudian, seolah-olah
itu tidak penting, ia berkata, "Beberapa Yeerk juga ada yang seperti
kau." "Seperti aku?" "Tentu. Para Yeerk yang menentang peperangan, yang
menganggap menempati induk semang secara paksa sebagai hal yang
salah." Aku begitu tertegun sehingga berhenti melangkah. "Apa" Betul
ada Yeerk yang menentang semua ini?"
"Jangan sok terkejut begitu. Tidak semua kami sama."
Wajahnya tampak pahit dan tersinggung. "Tuh, kan" Kau
mempercayai propaganda Andalite tentang kami. Menurut kaum
Andalite, kami hanyalah siput jahat. Kami tidak berhak bebas dan
terbang mengelilingi galaksi. Kami hanya parasit."
"Para Andalite-lah yang membantu kalian mendapatkan
penerbangan angkasa luar," kataku. "Namanya Seerow, ya kan"
Andalite yang membantu rakyat kalian itu?"
Sekarang ganti Karen yang tampak terkejut. "Kau tahu banyak
rupanya." Ia menyipitkan matanya. "Kalian tidak semuanya manusia,
ya kan" Pasti ada Andalite di antara kalian."
"Tanpa kaum Andalite, kalian para Yeerk pasti masih
terperangkap di dunia kalian sendiri. Benar, kan?"
"Benar. Tanpa Seerow, kami tak bisa ke mana-mana. Ia satusatunya Andalite yang
baik." Aku tersenyum. "Jadi setidaknya ada satu Andalite yang baik."
"Dan banyak sekali Yeerk yang baik," tambahnya.
"Mungkin, saja."
Sekali lagi, tak satu pun dari kami mengucapkan sesuatu
sementara kami berjalan perlahan-lahan. Kami keluar dari bayangan
pepohonan dan memasuki padang rumput yang sempit.
Pemandangan di situ indah sekali. Hujan telah mengundang
bunga-bunga bermekaran. Semua bunga mengangkat kelopaknya ke
arah matahari. Keemasan, putih, dan biru, semuanya berkilauan oleh
embun pagi. "Tahukah kau bagaimana hidup itu bagi kami?" Karen bertanya.
"Di kolam Yeerk, maksudku."
"Tidak." "Kami lahir dengan seratus atau lebih adik dan kakak. Kami
menetas dari telur. Dan kami juga tidak lahir seperti makhluk
mamalia. Tiga Yeerk bersatu. Mereka benar-benar menyatu, tiga
tubuh melebur jadi satu. Setelah itu tubuh yang telah menjadi satu itu
mulai terpecah-pecah, terbelah-belah menjadi potongan yang lebih
kecil. Mereka disebut grub. Sedikit demi sedikit tubuh itu hancur, dan
setiap grub yang lepas darinya berubah menjadi Yeerk. Kadangkadang ada yang
kembar, yaitu dua Yeerk yang berasal dari satu grub.
Induk Yeerk itu kemudian mati, tentu saja."
Ia memandangku untuk melihat reaksiku. "Kau tidak takut"
Tidak ngeri?" Sebenarnya aku takut. "Aku sudah mempelajari banyak jenis
binatang, jadi kurasa aku tidak terlalu kaget mendengarnya."
Karen mengalihkan matanya dan menatap padang rumput itu.
"Dalam keadaan normal, indra penciuman kami luar biasa. Indra
peraba kami bagus. Kami bisa mendengar. Bisa berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa suara ultrasonik. Tapi kami tidak bisa
melihat. Kami buta, sampai kami memasuki tubuh induk semang
kami. Selama lebih dari seribu tahun kami telah meningkatkan rantai
evolusi itu dengan tubuh induk-induk semang yang lebih sempurna.
Akhirnya Gedd menjadi induk semang standar kami.
"Mereka makhluk yang kikuk dan lamban. Tapi mereka punya
mata. Oh, takkan bisa kaubayangkan! Takkan bisa kaubayangkan
pertama kalinya kau memasuki otak Gedd lalu memegang kendali.
Tiba-tiba saja, kau bisa melihat! Melihat! Warna-warna! Bentukbentuk! Benarbenar mukjizat. Dari buta jadi bisa melihat!"
Tiba-tiba ia membungkuk dan memungut seekor ulat dari daun.
"Kau lihat ini" Beginilah aku tanpa tubuh induk semang. Tak berdaya!
Lemah! Buta!" Ia berbalik dan menudingkan telunjuknya ke padang
rumput. "Lihat bunga-bunga itu" Lihat cahaya matahari itu" Lihat
burung-burung yang beterbangan itu" Apakah kau membenciku
karena aku menginginkan semua itu" Membenciku karena aku tak
ingin menghabiskan seluruh hidupku tanpa bisa melihat" Kau
membenciku karena aku tak ingin menghabiskan hidupku dengan
berenang tak habis-habisnya di lautan air kotor sementara manusia
seperti kau tinggal di dunia yang amat sangat indah?"
Pelan-pelan diletakkannya kembali ulat itu di atas daun.
"Hampir semua kalian, manusia, bahkan tidak menyadari apa
yang kalian miliki. Kalian memiliki planet paling indah di seluruh
galaksi. Tak ada satu planet pun yang sehidup planet kalian ini. Tak
ada planet lain yang punya begitu banyak pepohonan, bunga-bungaan,
serta makhluk-makhluk yang menakjubkan. Kalian tinggal di istana.
Kalian tinggal di surga, dan kau membenciku karena ingin tinggal di
situ juga." "Aku tidak membencimu."
Ia tak menggubrisku. Sekarang ia bicara untuk dirinya sendiri.
"Kami punya pilihan apa, coba" Kembali ke kolam Yeerk" Kembali
ke planet asal kami, dengan pesawat kubah Andalite yang mengorbit
di atas kami, menunggu salah satu dari kami mencoba keluar dari
kolam, dan kemudian menghancurkan kami" Membiarkan seluruh
alam semesta menjadi milik para Andalite yang mahakuasa dan
spesies-spesies yang kebetulan mereka sukai?"
Karen memandangku dengan tatapan muram dan dingin.
"Sebagian dari kami berharap bisa melakukannya dengan cara lain.
Bahwa ada pilihan lain selain menjadi siput di bawah kuku Andalite,
yakni dengan menjadi... menjadi..."
"Tuannya budak?" usulku.
Tadinya kukira ia bakal membentakku. Tapi ternyata ia
malahan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Suaranya pelan sekali.
Matanya yang hijau begitu besar hingga rasanya aku nyaris bisa
menembus ke dalamnya dan melihat Yeerk di kepalanya. "Apa yang
akan kaulakukan, Cassie" Apa yang akan kaulakukan bila kau salah
satu dari kami" Apakah kau akan menghabiskan hidupmu sebagai
siput yang buta dan tak berdaya?"
Aku tak bisa menjawab. Kualihkan mataku.
Dan kebetulan melihat. Cokelat dan hitam! Bergerak cepat!
"Aaaaah!" jeritku.
Macan tutul itu tanpa suara maju dua langkah, dan pada
langkahnya yang ketiga membuka rahangnya yang mematikan dan
mengarahkannya ke leher Karen.
Chapter 15 MACAN tutul itu melompat.
Karen bahkan tak sempat bereaksi. Aku juga.
Tapi seseorang sempat dan bertindak.
Kejadiannya nyaris terlalu cepat untuk bisa dilihat. Kelebatan
kelabu meluncur cepat dari langit. Benda itu menghantam bayangan
warna cokelat-hitam itu. Sentakan cakar, lalu darah berwarna merah terang menggenangi
mata si macan tutul. "Rrrrooowwwwrr!" geram si macan tutul.
Tapi binatang itu tetap saja menyerang Karen. Karen roboh.
Aku meluncur ke arah macan tutul itu.
Buk! Ia menghantamku dengan punggung kakinya. Gerakannya
sedingin dan setenang Jackie Chan. Rasanya seperti dihantam palu.
Aku ambruk dengan keras. "Aaaaaahhhh! Tolong!" jerit Karen.
Osprey itu melayang naik beberapa meter, lalu meluncur lagi
untuk serangan kedua. Ia mencakar wajah si macan tutul, tapi kali ini
kucing besar itu balas menyerang.
Dengan suara keras osprey itu roboh. Ia tergeletak di tanah,
tubuhnya tersentak-sentak dan menggelepar.
Aku sudah mulai morf, tapi terlambat. Macan tutul itu
membuka rahangnya. Karen, yang berbaring telentang dan menjeritjerit, menendangnendang wajah binatang itu dengan liar.
Si macan tutul menggigit kaki Karen. Rahangnya mengatup
tepat di atas belat kayu pergelangan kakinya. Karen menjerit, kali ini
karena kesakitan. Macan tutul itu mengedarkan pandang, dengan dingin
mempelajari situasinya. Ia dapat mengendus bau serigala yang
berbahaya yang berasal dariku. Ia memutuskan mungkin ini bukan
tempat yang aman untuk menyantap mangsanya.
Si macan tutul mulai menyeret Karen pergi. Sambil menggigit
pergelangan Karen, ia menyeretnya melintasi lumpur, dedaunan, dan
jarum-jarum cemara. "Tolong! Tolong, Cassie! Aku takkan melaporkanmu, sumpah!
Tolong!" Aku menoleh memandang Marco. Sebab, tentu saja, dialah
osprey itu. Ia bergerak lemah, dan mulai bangkit berdiri. Ia juga mulai
demorph. Ia akan baik-baik saja. Tapi Karen tidak. Begitu si macan
tutul merasa aman, ia akan menancapkan gigitannya yang mematikan:
di leher, di tengkuk, dan bahkan langsung di kepala! Aku sudah
hampir berwujud serigala sekarang. Tapi mungkihkah macan tutul itu
akan mundur" Terakhir kali, aku membuatnya takut sebelum ia
sempat menyentuh Karen. Sekarang ia akan mempertahankan
mangsanya mati-matian. Dan aku punya firasat tidak enak mengenai bertarung satu
lawan satu dengan macan tutul.
Aku melompat sambil mengeluarkan geraman penuh ancaman.
Macan tutul itu berbalik, tanpa melepaskan kaki Karen dari
mulutnya. Ia menatapku dengan matanya yang kuning dan penasaran.
Berat kami masing-masing kurang-lebih 75 kilogram. Kami
sama-sama punya rahang yang kuat. Kami juga gesit. Aku memiliki
lapisan tebal bulu pelindung di sekeliling leherku untuk menahan
gigitan. Namun gigi macan tutul lebih panjang dari gigiku. Dan ia
memiliki dua pasang kaki mematikan, yang masing-masing dilengkapi
dengan cakar-cakar setajam pisau yang melengkung dan sanggup
mengoyak-ngoyak lawan. Aku merasa sangat tertekan. Satu lawan satu, dalam
pertarungan habis-habisan, aku akan kalah.
Kami berdiri bertatapan, jarak di antara kami hanya sekitar tiga
meter. Karen tergeletak miring, sekujur tubuhnya gemetar oleh rasa
ngeri yang amat sangat, wajahnya sarat oleh rasa sakit.
"Tolong," ia mengerang mengenaskan. "Jangan biarkan dia
menyantapku." Aku terenyak. Saat itu aku langsung tahu: Yang memohon itu
adalah Karen yang sesungguhnya. Bukan Yeerk di kepalanya.
Setidaknya kalau aku menyerang, macan tutul itu terpaksa
melepaskan Karen untuk menghadapiku.
Aku maju lagi beberapa langkah. Macan tutul itu membuka
mulut dan melepaskan kaki Karen. Ia mempertontonkan giginya,
menarik bibirnya ke belakang seraya mengeluarkan geraman
menakutkan. Lalu meraung penuh ancaman. "Hhhhheeeerrrooowwwrr!"
Kali ini ia takkan mundur begitu saja. Ia telah merasakan darah
mangsanya. Ia takkan pergi tanpa bertarung dulu.
Karen mulai merayap menjauh perlahan-lahan, sambil terisakisak.
Macan tutul itu mengawasiku. Dengan semua indranya siaga
penuh hingga udara bagai bergetar oleh arus listrik, kucing raksasa itu
mengawasiku, menunggu, siaga.
Aku maju menyerang. Rasanya seperti lari ke dalam putaran tornado. Kusangka
serigala itu gerakannya cepat. Ternyata tidak. Aku telah dicakari di
setengah lusin tempat sementara gigiku gagal menyambar apa pun
kecuali udara. Slash! Slash! Slash! Aku mundur, berdarah, shock. Kecepatan macan tutul itu tak
pernah sama. Dan kini ia tahu. Ia tahu bisa mengalahkanku.
"Hhhhheeerrrrooowwwwrr!" si macan tutul menggeram,
suaranya penuh kemenangan. Menyeringai, ia mempertontonkan
giginya yang panjangnya empat inci. Sebenarnya sederhana saja. Aku
bisa berbalik pergi dan macan tutul itu akan membiarkan aku. Atau
aku boleh tetap di situ dan bertarung.
Aku sudah sering bertarung. Aku malah pernah berhadapan
dengan Hork-Bajir. Tapi aku tak pernah merasa setakut ini. Macan
tutul bukan cuma cepat. Ia cepat, dengan keakuratan yang sempurna
serta keanggunan yang mengerikan. Gerakannya cepat sementara ia
tampak nyaris malas-malasan. Ia seperti makhluk supranatural.
Seolah-olah ia berada di luar seluruh gagasanku tentang waktu.
Seolah aku hanyalah benda besar dan aneh yang terbuat dari
kayu dan kuku. Sedang macan tutul itu terbuat dari air raksa. Ia adalah
logam cair. Apakah aku sinting" Apakah aku bersedia mati untuk
menyelamatkan Yeerk yang akan menghancurkan diriku dengan
tangannya sendiri" Rasanya sama sekali tak masuk akal. Absurd.
Cuma orang tolol yang bahkan mau mempertimbangkannya.
Bukan, bukan untuk menyelamatkan si Yeerk, sebuah suara di
kepalaku berkata. Tapi untuk menyelamatkan Karen, si gadis kecil
yang ketakutan. Jangan jadi tolol begitu! Karen itu sama sekali tak ada sekarang.
Karen itu cuma boneka si Yeerk.
Kau tidak mempertaruhkan nyawamu untuk menyelamatkan
musuhmu. Kau melindungi teman-temanmu dan menghancurkan
musuh-musuhmu. Begitulah hidup. Itulah kenyataan. Kiat dasar untuk
Animorphs - 19 Cassie Mengundurkan Diri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertahan bagi mereka yang paling tangguh: Pertama lindungi dirimu,
kedua lindungi keluarga dan sesamamu. Dan jangan pernah
melindungi musuhmu. Pergilah, Cassie, kataku pada diri sendiri. Macan tutul itu akan
menyelesaikannya dengan cepat. Sekali gigit maka Karen dan Yeerk
di dalam kepalanya akan tewas. Sekali gigit maka ancaman itu akan
lenyap. Sekali gigit maka rahasia Animorphs akan tetap aman.
Mati demi musuhmu" Tidak, pergilah. Aku berdiri di sana, terpaku, lumpuh, tak mampu memutuskan.
Lalu aku melihat tatapan buas si macan tutul mulai ragu. Ia
menatap ke atas, ke belakangku.
Aku mengendus udara dan tahu apa yang terjadi.
seekor gorila, tapi kau takkan menang menghadapi kami berdua.>
Cahaya di mata si macan meredup. Perhitungannya berubah:
Lawannya sekarang terlalu kuat.
Si macan berbalik dan perlahan-lahan berlalu dari situ. Sudah
dua kali ia terpaksa mundur. Dan aku punya perasaan binatang itu tak
suka merasa kalah. Macan tutul itu berhenti di dekat pohon cemara yang tinggi, lalu
menoleh ke belakang. Ia menatapku dengan matanya yang kuning.
Tentu saja ia tak bisa ngomong, tapi aku tahu apa yang dikatakannya:
kalau kita berhadapan lagi, anak kecil itu jadi milikku.
Chapter 16
jalan bagaimana menjelaskan pada anak kecil itu bahwa seekor gorila
dan serigala bekerja sama bahu-membahu.>
"Anak kecil" itu memegang pergelangan kakinya dan meringis
kesakitan. Aku mulai demorph.
untuk menjelaskannya. Dia mungkin terlalu takut
pada macan tutul itu hingga tak sempat memperhatikan apa yang aku
dan kaulakukan.> Aku terus demorph.
dan canda lenyap dari suaranya.
Aku sudah nyaris jadi manusia. "Maksudku, dia tahu."
mengoceh dan membual tentang cewek yang berubah jadi serigala">
Aku berjongkok di depan Karen dan mulai melepaskan belat
yang kubuatkan di sekeliling pergelangannya.
"Dengar," ujarku berbisik, hingga kuharap hanya aku dan Karen
yang bisa mendengarnya. "jangan bilang padanya apa kau sebenarnya.
Kecuali kau masih ingin hidup."
Tapi Marco tidak tolol. Ia bisa melihat bahwa aku berbisikbisik. Dan Karen
sedang begitu kesakitan hingga aku tak yakin ia
bahkan memahami ucapanku.
mencarimu, dan sekarang, di sinilah kau, berbisik-bisik dengan cewek
ini.> Aku sudah menjadi manusia lagi, sehingga tidak bisa
menjawabnya dengan bahasa-pikiran. Itu memberiku sedikit waktu
untuk memikirkan apa yang harus kukatakan pada Marco.
Marco pergi dengan langkah-langkah berat gorila raksasa yang
sangat kuat dengan sepasang bahu yang kelihatannya dibangun oleh
truk-truk Fuso. "Dia akan segera kembali," desisku sambil merobek secarik
pakaian morfku untuk membersihkan luka Karen. "Kalau dia tahu apa
kau sebenarnya, dia mungkin... dia mungkin tidak akan bersikap
seperti aku." Karen meringis kesakitan, tapi Yeerk di kepalanya masih
waspada dan sadar. "Morf monyet" Mana mungkin dia bisa
melukaiku?" "Dasar tolol," bentakku. "Morf gorila itu bisa mencabut pohon
dari tanah dan bermain bisbol dengan kau sebagai bolanya."
"Sori," gumamnya. "Pengetahuanku tentang makhluk-makhluk
Bumi hanya sebatas yang diketahui otak induk semangku.
Menurutnya temanmu tadi kelihatan seperti Curious George - George
si Penasaran." "Dia memang penasaran. Dan pintar. Dan dia tidak suka Yeerk.
Dan dalam morfnya itu dia bisa menjejalkanmu ke lubang tikus tanah
terdekat, jadi kau harus mendengarkan aku!"
"Kenapa kau melindungiku darinya" Kau tadi tidak terlalu
yakin harus menyelamatkanku dari macan tutul itu, ya kan?"
Aku diam saja. Dan malah berkonsentrasi untuk membersihkan
lukanya. Tidak mudah, dan nyaris tak ada gunanya. Bekas gigitannya
tidak dalam karena terhalang belat kayu itu. Tapi pasti akhirnya akan
infeksi. Dan bisa saja ada pembuluh-pembuluh darah yang robek di
bawah kulit, yang bahkan tak dapat kulihat.
"Bagaimana menurutmu?" ia bertanya.
"Entahlah. Bisa infeksi. Malahan bisa juga jadi gangrene."
"Apa itu gangrene?"
"Daging yang membusuk," sahutku parau. "Kalau terlalu lama,
kakimu mungkin harus diamputasi. Bahkan mungkin bukan hanya
dari pergelangannya, tapi lebih ke atas lagi."
Aku terkejut ketika Karen malah tertawa. "Wah, benar-benar
sempurna. Bukan saja aku bakal terperangkap di dalam tubuh gadis
kecil, aku bahkan terperangkap dalam tubuh gadis kecil yang tak
berdaya." "Dia memang sudah lama tak berdaya kok," tukasku.
"Memangnya pikirmu apa yang kaulakukan padanya" Ia telah
kehilangan kedua tangan, kaki, mata, dan bahkan suaranya."
Ia mendongak menatapku dengan matanya yang hijau. "Kau
begitu membenciku rupanya. Lalu kenapa tidak kauhabisi saja aku
sekalian?" "Sebab kalau aku menghancurkanmu, aku harus menghabisi
gadis kecil itu juga," sahutku.
Ia menggelengkan kepala. "Tidak. Bukan itu sebenarnya." Tibatiba tawanya
meledak. "Ah hahahahaha! Mengagumkan! Aku baru
paham. Kau mencoba membuatku membelot. Kau mencoba
membuatku membelot dari bangsaku."
"Aku mencoba menyelamatkanmu," bisikku.
Karen mendengus. "Kau ingin berdamai, ya kan" Kau ingin
mencari cara untuk menghentikan kami tanpa perlu mengotorkan
tanganmu. Kau ingin mengalahkan kami... tanpa perlu membunuh
kami. Nyaris dibilang manis. Tapi memang manis kok. Manis, naif,
tolol, dan sama sekali sia-sia."
enam meter di atas kami di pohon.
Osprey, seperti semua burung pemangsa, memiliki daya lihat
yang mengagumkan. Tapi yang tak diketahui banyak orang adalah,
mereka juga mempunyai pendengaran yang sempurna.
bergetar oleh kemarahan yang ditahannya.
Tapi kau membakar mereka.>
Chapter 17 "NAH! Itu dia!" teriak Karen seraya menuding Marco dengan
penuh kemenangan. "Bunuh! Bunuh, serunya. Bunuh parasit itu!
Bunuh si Yeerk. Kalau sudah begitu, mana moralitas manusia kalian"
Sekarang katakan padaku sekali lagi, Cassie, bagaimana mungkin
kalian manusia dan teman Andalite kalian bisa dibilang lebih baik dari
kami!"
dan mulai demorph. "Tentu saja tidak. Kalian kan predator. Jadi kalian pikir jadi
predator boleh-boleh saja," ujar Karen menyeringai. "Moralitas kalian
benar-benar sederhana sekali. Apa pun yang dilakukan manusia benar,
apa pun yang dibuat Yeerk pasti salah."
Sekarang Marco nyaris jadi manusia lagi. Sudah cukup manusia
untuk bicara dan menohokkan jarinya dengan marah pada Karen.
"Hei, Cewek-siput, bukan kami yang memulai perang ini, tapi kalian.
Bukan kami yang pergi ke planet Yeerk dan mulai membantai para
Yeerk. Kalianlah yang memulai perang ini."
"Siapa yang memulai perang di antara manusia dengan sapi"
Atau manusia dengan babi" Atau manusia dengan ayam?" desak
Karen, seraya tertawa mengejek. "Sapi tidak makan manusia, ya kan?"
"Hei, kami bukan sapi," bentak Marco. "Kau tak bisa
membandingkan apa yang kalian lakukan terhadap manusia dengan
apa yang kami lakukan terhadap sapi."
"Tentu saja bisa. Kan kalian makanan kami!" sahut Karen.
Itu ucapan yang kasar, penuh dengki, dan jahat. Lebih mirip
ucapan yang keluar dari mulut anak kecil.
Ia dan Marco berdiri berhadap-hadapan, saling melotot.
Rasanya aku tak bisa bernapas. Rasanya aku tak bisa membuat
pikiranku bekerja. "Cassie, kita tak punya pilihan," Marco berkata. "Dia tahu
terlalu banyak. Kita tak bisa membiarkannya keluar dari hutan ini
hidup-hidup." "Dia bukan hanya Yeerk," aku memohon. "Dia juga seorang
gadis kecil." "Gadis kecil itu sudah tidak ada," sergah Marco. "Dia sudah tak
berdaya. Yeerk brengsek itulah yang memegang kendali."
"Lucu sekali kau berkata seperti itu, Marco," timpalku.
Aku cuma asal ngomong, berlagak seolah-olah aku tahu apa
yang kukatakan. Tapi di dalam diriku berkecamuk badai. Mau
meledak aku rasanya. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan!
Mata Marco mengerjap. "Kau ngomong apa sih?"
"Kau tahu apa yang kubicarakan, Marco. Seseorang yang
kaukenal... seseorang yang dekat denganmu yang sama nasibnya
seperti Karen." Ibu Marco seorang Pengendali. Semua orang, bahkan ayah
marco, menyangka ia sudah mati. Tapi kami tahu dia dikendalikan
oleh Yeerk, yaitu Visser One.
"Dan dia bukan satu-satunya. Kau dan aku punya teman dekat,
Marco. Dan kakak teman kita itu juga salah satu dari mereka."
Tom, kakak lelaki Jake, juga Pengendali.
"Jadi kau mau bilang apa padaku" Kita tak bisa menumpas
kaum Yeerk karena mereka bersembunyi di balik manusia" Lalu apa
dong yang kita lakukan, menyerah begitu saja" Dengar, Cassie, kau
begitu khawatir memikirkan Pengendali yang satu ini, kenapa kau
tidak mengkhawatirkan kita semua - kau tahu siapa yang kumaksud.
Pikirmu dia ini dan teman-teman Yeerk-nya akan merasa ragu sedikit
pun untuk menghancurkan kita?"
Kurasakan kepanikanku mulai bangkit. Ia benar. Pilihannya
hanya satu: Karen atau Animorphs. Hanya satu. Tak mungkin keduaduanya. Aku tidak
bisa terus berpura-pura. Aku tak bisa menemukan
jawaban. "Entahlah," gumamku putus asa. "Aku tidak tahu."
Marco memutar bola matanya. Pendapatnya tentang diriku jelas
sekali, dan aku setuju dengannya, bahwa aku adalah cewek tolol yang
kacau dan kebingungan. Aku mengorbankan teman-temanku... untuk
apa" Aku menyerahkan seluruh umat manusia... untuk apa"
Supaya aku tak perlu terpaksa melihat satu gadis kecil yang
tersesat dihancurkan" Supaya aku tak perlu tahu bahwa seorang
Yeerk - ya, seorang Yeerk, dengan hidup, perasaan, dan pikirannya
sendiri - harus dibinasakan"
"Gampangnya begini, Yeerk," Marco berkata. "Kau akan mati,
kita tahu itu. Sekarang, kau bisa meninggalkan tubuh gadis kecil itu
dan setidaknya tidak menyeret siapa pun bersamamu, atau... yah,
jangan tersinggung, kau tidak akan meninggalkan hutan ini hiduphidup."
"Tidak," kata Karen sederhana. "Kau ingin membunuhku" Kau
mampu melakukannya. Tapi aku tidak akan membuat kau gampang
melakukannya." "Baiklah," sahut Marco. Ia mengatakannya dengan nada biasa,
seolah-olah itu sama sekali bukan masalah besar baginya. Tapi aku
tahu lebih baik. Aku tahu di dalam hati ia merasa jijik melakukan
kekerasan seperti itu. Dan perasaan seperti itu sangat menyiksa. Tapi
aku juga tahu ia akan tetap melakukannya.
Kami bertiga seperti lumpuh, tak satu pun siap membuat
gerakan pertama. Kami bertiga hanya berdiri dan menatap dan
menunggu... tidak! Bukan kami bertiga.
"Tunggu!" teriakku. "Ada seseorang di sini yang harus diberi
kesempatan bicara." Alis Marco naik satu. Aku memandang Karen. "Aku ingin mendengar Karen yang
asli. Gadis kecil manusia itu."
Karen tertawa. "Jangan tolol. Kau mestinya tahu aku bisa
kedengaran sama persis dengan Karen kalau aku mau. Kau takkan
pernah benar-benar bisa membedakannya."
"Aku akan tahu bila kau tak ada di dalamnya," kataku. Aku
mulai morf, secepatnya, dan kembali menjadi serigala.
"Yeah, itulah yang akan kulakukan," cemooh si Pengendali.
"Kutinggalkan saja tubuh induk semangku dan berbaring di tanah
supaya teman predatormu yang kejam ini bisa..."
"Cassie, apa yang kaulakukan?" sentak Marco. Ia melihat
bahwa aku sedang morf.
Dengan tanganku yang sudah menjadi setengah kaki serigala,
aku menarik kepala Karen ke kepalaku. Kutempelkan telinganya ke
telingaku. "Tidaaaaaakkk!" jerit Marco.
Tapi tak ada yang bisa dilakukannya untuk menghentikanku.
Aku sudah jadi serigala. Dia manusia. Dan saat itu juga aku bisa
merasakan rasa geli yang menyentuh telingaku.
"Apa yang kaulakukan"!" bentak Marco. "Kau sinting, ya" Apa
yang kaulakukan?" Aku tak bisa menjawab. Aku tidak tahu apa jawabannya.
Sekarang aku berada di luar logika dan alasan. Aku hanya tak ingin
melukai siapa pun atau apa pun.
Itu saja: Aku tak ingin menyakiti....
Marco mulai morf kembali menjadi osprey. Ia langsung tahu
apa yang bahkan tidak terpikirkan olehku: Bahwa Yeerk yang
memasuki otakku akan bisa menggunakan kemampuan morfku. Kalau
ia tetap dalam wujud manusia, maka Yeerk itu, dengan menggunakan
Animorphs - 19 Cassie Mengundurkan Diri di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemampuan morfku, mungkin akan menyerangnya. "Aku akan
memanggil yang lain," Marco berkata, menggelegak oleh rasa marah.
"Kau tolol, Cassie. Sekarang bukan gadis kecil itu lagi yang harus
mati. Tapi kau." Chapter 18 PELAN-PELAN aku kembali morf menjadi manusia, dan rasa
sakit yang amat sangat mulai menyerang telingaku. Tapi Yeerk itu
mengeluarkan cairan kimia yang membuat telingaku kebas. Lalu aku
merasakan si Yeerk merayap menelusuri saluran telingaku. Rasanya
seperti kalau kita ke dokter gigi dan masih bisa merasakan bor sang
dokter, bahkan setelah mulut kita disuntik mati rasa dengan Novocain
sekalipun. Aku merasakan sentuhan pertama si Yeerk di otakku. Kini tak
ada lagi rasa sakit. Hanya perasaan bahwa... aku tak tahu bagaimana
menggambarkannya. Perasaan bahwa aku sedang dilumpuhkan,
sedikit demi sedikit. Makhluk itu menyentuh otakku, dan dalam sekejap aku tersadar
bahwa aku tak bisa menggerakkan kaki kananku.
Ia menyentuh lebih jauh, dan kini kedua tanganku tak lagi
menjadi milikku. Lebih jauh lagi, dan rasa lapar yang kurasakan, kini sudah jadi
rasa lapar orang lain. Jauh dan semakin jauh, ia menyelinap ke dalam celah-celah
otakku. Merayap di antara kontur-kontur massa otakku yang berwarna
kelabu. Kutatap Karen. Si gadis kecil Karen. Ia menangis. "Aku mau
pulang," isaknya. Kemudian mataku bergerak dan berpindah darinya. Lalu
terfokus pada Marco yang mengepakkan sayapnya yang berwarna
kelabu-putih dan terbang meninggalkan permukaan tanah.
Padahal aku tak menggerakkan mataku.
Segalanya berakhir begitu cepat. Dalam waktu begitu singkat
aku kehilangan semua kontrol atas tubuhku.
Lalu Yeerk itu membuka ingatanku. Semudah orang membuka
buku. Aku merasa rahasia-rahasiaku, semua kejadian kecil yang
membuatku malu, terbentang bagi Yeerk itu untuk diperiksa dan
ditertawai. Namun pada saat yang sama, sebagian pikirannya seperti
meresap ke dalam kesadaranku. Aku bisa membacanya. Tak sejelas ia
membacaku, karena aku tak bisa memilih mana ingatannya yang
kubaca. Biarpun demikian, pikiran Yeerk itu sepertinya melebur
dengan pikiranku. Aku berada di sana, di kolam Yeerk, buta, berenang. Aku punya
nama dan pangkat: Aku adalah Aftran-Sembilan-Empat-Dua dari
kolam Hett Simplat. Aku ada di situ, di dalam ingatan Aftran, membuka mata Gedd
untuk pertama kalinya dan melihat warna! Oh, aku sungguh tertegun!
Oh, indahnya! Walaupun tidak melihatnya secara langsung, walaupun
kejadian itu sudah lama sekali, keindahan warna yang dilihat untuk
pertama kali sungguh tak terkatakan.
Aku ada di situ ketika si Yeerk untuk pertama kalinya
merasakan induk semang Hork-Bajir-nya. Merasakan keanggunan dan
kekuatan yang takkan pernah dimiliki oleh si Gedd.
Aku ada di situ ketika Pengendali-Hork-Bajir yang baru itu
terlibat dalam pertempuran pertamanya. Ketakutan yang
dirasakannya! Dan setelah pertempuran itu, setelah pertempuran berikutnya,
dan berikutnya, dan berikutnya, ingatan yang lain tumbuh dan
tumbuh. Ingatan yang mengandung kepedihan. Ingatan yang
mengandung penyesalan. Pertempuran-pertempuran itu membuat Aftran sedih.
Lalu induk semang manusia itu. Karen.
Aftran dengan sukarela mengemban tugas itu. Ia ingin keluar
dari tubuh si Hork-Bajir. Ia ingin keluar dari pertempuran. Induk
semang apa lagi yang lebih aman dan damai selain gadis kecil
manusia" Tugasnya adalah mengawasi ayah Karen. Ia pemilik UniBank
yang kaya raya. Dekat dengannya memberi Aftran akses ke semua
jenis informasi dan sejumlah besar uang yang akan sangat berguna.
Para Yeerk ingin menjadikan ayah Karen Pengendali, tapi belum
berhasil. Itu sebabnya Karen disusupi dan dijadikan Pengendali untuk
mengawasi target sesungguhnya: ayahnya.
Aftran menerima tugas itu supaya ia tak perlu membunuh lagi.
Tapi saudara-kolamnya, Estril, tetap menjadi Hork-Bajir. Estril
menjadi petugas keamanan di pertemuan The Sharing. Bukan tugas
penting. Tidak ada masalah sama sekali. Ia naik pesawat berperisai,
kalau-kalau... Dan "kalau-kalau" itu adalah pertempuran kami waktu itu. Aku
melihat, lewat ingatan Aftran, sosok seekor serigala, dengan taring
telanjang dan geraman yang buas....
Itulah aku. Dan sekarang Aftran membuka ingatan yang satu itu. Aku bisa
merasakan dirinya menyerap ingatanku yang sejernih kristal: Detikdetik ketika
aku melompat dan menyerang leher Hork-Bajir itu dan
mendengar Jake berseru,
Aftran berkata padaku.
diriku, aku tahu Aftran tengah mengawasi emosi itu dengan rasa ingin
tahu yang amat sangat. Sekarang si Yeerk membuka rahasia yang telah kujaga baikbaik selama berbulanbulan. Ia menahan napas kagum.
kadet Andalite"> Satu demi satu ia memasuki setiap ingatan yang kumiliki sejak
aku menjadi anggota Animorphs.
Ia melihat lokasi bangunan tempat pesawat tempur Elfangor
mendarat. Ia melihat saat-saat aku menyadari bahwa Tobias terperangkap
selamanya dalam wujud elang.
Ia melihat ketika pertama kalinya aku morf menjadi tumbalumba, perasaan senang
yang menakjubkan dan berubah-ubah yang
kurasakan karenanya, dan aku berani bersumpah ia tertawa di dalam
kepalaku, ikut menikmati ingatan itu.
Ia melihat bahwa kakak Jake, Tom, adalah Pengendali, bahwa
pemimpin Animorphs hidup di bawah atap yang sama dengan seorang
Yeerk. Ia melihat ibu Marco adalah Visser One dan kenyataan bahwa
Visser One-lah yang melepaskan kami dari cengkeraman Visser Three
demi alasan-alasan jahatnya sendiri.
menyerang musuh kami. Yang mereka pikirkan hanya kekuasaan
mereka sendiri.> Ia melihat taman tersembunyi tempat Chee memelihara anjinganjing gelandangan
yang mengingatkan mereka pada majikan-majikan
mereka yang telah lama meninggal.
Ia melihat, seperti yang kulihat, melalui mata serigala, lumbalumba, sigung,
kuda, osprey, dan bahkan Tyrannosaurus. Ia ikut
merasakan dunia lalat, kecoak, kutu, dan semut, yang sama sekali
berbeda dan mengerikan. Dan untuk waktu yang sangat lama ia memikirkan rayap itu.
Ketika ia membuka ingatan itu, rasanya seperti kembali ke sana lagi,
jauh di dalam lorong-lorong kecil di antara kayu-kayu yang busuk.
Sebuah dunia makhluk-makhluk automaton (=bergerak secara
otomatis) tak berakal yang tanpa cahaya, tanpa penglihatan, dan hanya
mengandalkan bau. Ia melihatku membunuh ratu rayap itu.
Ia menemukan, lewat aku, rahasia Zona 91 dan tertawa tak
henti-hentinya.
Lalu akhirnya, ia kembali ke beberapa hari terakhir. Kembali ke
saat sekarang. Kembali ke saat-saat ia bisa melihat dirinya sendiri
lewat mataku. Merasakan emosiku yang ruwet dan campur aduk.
Lalu sunyi senyap, dan tak ada lagi ingatan yang dibuka. Tidak
untuk waktu yang lama. Dan pikiran Aftran menjauh dan menutup
diri. Aku mencoba menggerakkan mataku, tapi tak bisa. Ingin
rasanya aku menjerit. Rasanya seperti dilumpuhkan. Aku benar-benar
tak berdaya. Sama sekali tak berdaya.
Aku duduk di sana, menunggu. Tak sanggup bergerak, bahkan
Pedang 3 Dimensi 13 Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran Biang Biang Iblis 2