"Aku aku aku apa" Farum yeft kalash sip! Sip! Sip! Kolam!
Gahala sulp! AAAAHH! Tolong! Coranch! Coranch!"
Tahu-tahu ia terdiam dan nyaris ambruk. Cepat-cepat aku
menahan tubuhnya. "Anda baik-baik saja?"
"Tidak," ia berbisik. "Kadang-kadang memang begini. Ini
karena si Yeerk. Masalahnya, dia sudah sinting. Tidak waras. Dia ada
di dalam kepala saya dan tidak mau keluar. Tapi dia sinting! Sinting!"
"Oke, oke, coba tenang dulu. Mr. Edelman?"
"Ya. Ya." "Begini, saya tidak bisa lama-lama di sini. Tapi Anda harus
memberitahu saya. Bagaimana si Yeerk bisa bertahan hidup tanpa
sinar Kandrona" Anda di sini sudah lebih dari tiga hari."
Aku tidak bisa menggambarkan cara ia menatapku saat itu.
Harapan. Keputusasaan. Keheranan. Ketiga-tiganya.
Aku kembali meraih pundaknya. "Saya tahu ini tidak mudah,
tapi Anda harus percaya pada saya. Bagaimana terjadinya" Kenapa si
Yeerk jadi tidak waras" Bagaimana dia bisa bertahan tanpa sinar
Kandrona?" "Andalite?" bisik Mr. Edelman.
"Ya," aku berbohong. "Andalite."
"Penyebabnya adalah makanan," ia berkata. "Makanan! Pada
waktu bencana kelaparan setelah... setelah kalian kaum Andalite
menghancurkan Kandrona yang satu, kami menemukan, mereka
menemukan bahwa makanan tertentu bisa membuat mereka bertahan
hidup. Untuk sementara. Tapi ternyata ada masala - AAAH! Yeft,
hiyi yarg felorka! Ghafrash fit Visser!"
Mr. Edelman meronta-ronta dan berseru-seru selama beberapa
menit, dan aku mulai kuatir suara bising itu akan mengundang
perhatian orang lain. Dokter atau perawat. Untung tidak ada yang
datang. Aku berharap aku bisa menolong orang itu. Aku sudah cukup
sering berjumpa berbagai macam Pengendali - manusia, Hork-Bajir,
dan Taxxon - sehingga aku bisa menebak sebagian ucapannya dalam
bahasa Yeerk. Dan beberapa kata diambil dari bahasa Hork-Bajir.
Bangsa Yeerk tampaknya biasa menggunakan sebagian bahasa induk
semang mereka. Yeerk dalam kepala Mr. Edelman mungkin pernah
menjadi Pengendali Hork-Bajir.
Mr. Edelman kembali tenang dan berhasil mengendalikan diri.
"Sori. Sesekali si Yeerk masih muncul. Yang kaudengar tadi adalah
ocehan Yeerk yang sudah tidak waras."
"Tidak apa-apa," kataku. "Makanan apa yang Anda maksud"
Makanan yang memungkinkan kaum Yeerk bertahan hidup tanpa
Kandrona?" "Mereka menemukannya secara kebetulan. Semula tak ada yang
tahu akibatnya. Tak ada yang menduga bahwa mereka akan
kecanduan. Tapi nyatanya begitu. Dan perlahan-lahan, konsumsi
makanan itu menghilangkan kebutuhan kaum Yeerk akan sinar
Kandrona. Secara bersamaan, mereka jadi gila. Kayaknya makanan itu
menggantikan sebagian batang otak kaum Yeerk."
Aku mengangguk. Aku tak sabar mendengar kelanjutan
ceritanya. Ternyata ada makanan yang bisa menghancurkan kaum
Yeerk! "Apa makanan itu, Mr. Edelman?"
"Bubur gandum," jawabnya. "Tapi hanya yang instan, yang
langsung jadi. Dan itu juga khusus rasa mapel dan jahe." Ia
menggelengkan kepala. "Sekali mencoba, kaum Yeerk langsung saja
kecanduan. Dan perlahan tapi pasti mereka jadi gila. Ada lusinan pria
dan wanita seperti saya. Di tempat-tempat seperti ini. Di jalanan. Atau
di tempat yang lebih parah lagi."
"Terima kasih Anda telah memberitahu saya," ujarku. "Ehm...
apakah ada yang bisa saya lakukan untuk Anda?"
Ia menggelengkan kepala dengan sedih. "Kaum Yeerk takkan
mengganggu saya. Habis, siapa yang mau percaya cerita orang gila"
Saya... saya menyesal karena mencoba bunuh diri. Saya tidak tahan
lagi. Ma... makhluk asing yang ada dalam kepala saya. Dan keluarga
saya minta saya dikurung di sini untuk seterusnya."
"Apakah tidak ada jalan untuk mengeluarkan si Yeerk dari
kepala Anda?" "Tidak. Tidak ada. Dia akan terus bercokol di sana sepanjang
hidup saya." Belum pernah aku melihat sorot mata yang begitu sedih. Dan
moga-moga aku takkan pernah melihatnya lagi. Aku memalingkan
wajah. "Saya hanya berharap... masa-masa ketika saya menjadi diri
sendiri, ketika saya bisa mengendalikan diri, saya berharap tidak perlu
menghabiskan masa itu di tempat ini."
Ia memandang ke luar jendela kamar mandi yang kotor dan
dilapisi kawat anyam yang kokoh.
Chapter 11 "KITA telah mendapatkan senjata ampuh," Marco melaporkan
kepada yang lain ketika kami semua berkumpul di gudang jerami
Cassie. "Bubur gandum rasa mapel dan jahe."
"Bubur gandum rasa mapel dan jahe yang instan," aku meralat.
"Yeah, yang instan," Marco membenarkan.
Cassie, Ax, dan Tobias menatap kami dengan heran. Tobias
sedang berwujud elang, dan tatapannya benar-benar tajam. Ax sedang
berwujud Andalite, dan ia bisa menatap dengan empat mata sekaligus.
"Bubur gandum," kata Cassie.
"Bubur gandum," Jake menegaskan. "Tapi hanya rasa mapel
dan jahe, dan yang instan pula, yang langsung jadi. Kenapa mesti
begitu?"
"Mungkin karena jahe-nya. Atau karena instan-nya," kataku.
"Tapi apa pengaruhnya" Yang jelas kita tiba-tiba mendapat senjata
untuk melawan para Pengendali-Manusia. Pengendali-Manusia yang
mencicipi makanan ini langsung kecanduan, dan Yeerk di dalam
kepalanya jadi gila. Yang perlu kita lakukan adalah mencari cara agar
sebanyak mungkin Pengendali makan bubur gandum ini."
Aku melirik ke arah Cassie. Perasaanku mengatakan ia takkan
setuju dengan rencanaku. Tapi Cassie sedang berdiri membungkuk di
depan kandang sambil memeriksa seekor musang yang terluka.
Ternyata justru Tobias yang mengatakan,
bangkit. "Apa" Apa coba" Ini kan seperti kryptonite hijau! Kita punya
sesuatu untuk membuat kaum Yeerk jadi gila. Apalagi yang mesti
dipikirkan?"
Tobias. Aku meringis. "Ini kan cuma bubur gandum! Bukan barang
terlarang!"
sahut Tobias.
kecanduan bubur gandum dan jadi kacau karenanya...>
"Tapi tetap saja cuma bubur gandum," balasku. "Bubur gandum
adalah bubur gandum. Ya, ampun! Kenapa jadi rumit begini sih?"
"Begini," Marco angkat bicara, "persoalan yang lebih utama
adalah SIAPA YANG PEDULI"! Mereka kaum Yeerk. Mereka
musuh kita. Mereka yang menyerang kita, bukan sebaliknya."
selamanya dalam induk semang manusia mereka, biarpun mereka
tidak lagi diberi bubur gandum. Dan akibatnya para induk semang
akan kehilangan semua harapan.>
"Tapi kalau kita kalah dalam perang ini, kita semua bakal tanpa
harapan," sahutku. "Ax, aku tidak mengerti kenapa malah kau yang
ragu-ragu bertindak."
Ax mengalihkan mata tambahannya ke arahku.
memahami godaan untuk menjadi sama rendah dengan kaum musuh.>
"Menjadi sama rendah..." Aku langsung naik pitam.
Ax cepat memotong.
keseimbangan. Apakah kita boleh menghalalkan segala cara untuk
mengalahkan musuh">
Aku memandang berkeliling. Tanpa sadar Marco dan aku
duduk merapat. Tobias bertengger di bawah atap. Ia memanfaatkan
indra elangnya untuk mengikuti pembicaraan dan berjaga-jaga
terhadap penyusup dari luar. Ax menjejak-jejakkan kaki di tempat
sambil meregangkan ekornya yang mirip ekor kalajengking.
Hanya Jake dan Cassie yang tidak banyak bicara. Jake tampak
serius.Pandangannya menerawang. Aku sudah bisa menduga
pikirannya. Kakaknya, Tom, Pengendali-Manusia.
Tapi Cassie-lah yang membuatku terperanjat. Biasanya dia yang
selalu berusaha berbuat baik.
"Cassie?" tanyaku. "Bagaimana menurutmu?"
Ia diam saja. Seakan-akan hendak terus mengurus si musang
yang cedera. Kemudian ia menghela napas dan berdiri. Aku kaget
sekali waktu ia berbalik. Ia tampak amat gelisah.
"Aku... aku juga tidak tahu, oke?" katanya.
Aku sempat bingung. Lalu aku mengerti. Kami sempat
berurusan dengan Pengendali-Manusia yang dikuasai Yeerk yang
merupakan saudara kembar Visser Three. Yeerk ini telah menemukan
cara lain untuk bertahan hidup tanpa sinar Kandrona, yaitu dengan
memangsa Yeerk lainnya. Dan kadang-kadang para induk semang
manusia ikut jadi korban.
Dalam situasi genting, ketika mendengar makhluk jahat itu
berbicara, Cassie sempat minta agar makhluk itu dihancurkan. Ia
minta Jake melakukannya, tapi Jake menolak.
Aku tidak tahu kenapa, tapi aku jadi waswas membayangkan
Cassie saja tak lagi mampu membedakan mana yang benar dan mana
yang salah. Cassie sahabat karibku. Aku mengandalkannya sebagai
penyeimbang. Ia yang seharusnya bersikap menenangkan kalau aku
mulai terlalu nekat. Ia pula yang seharusnya bersikap arif pada waktu
aku tergoda untuk main baku hantam.
Tapi belakangan ini keadaan memang semakin
membingungkan. "Oke," kataku. "Boleh jadi bubur gandum ini memang semacam
obat bius bagi bangsa Yeerk. Tapi kalian sadar, tidak" Ini perang.
Cepat atau lambat, kalau kita berhasil, kalau bangsa Andalite
mengirim bantuan, kalau umat manusia bangkit, kita akan mencoba
menghancurkan setiap Yeerk di planet Bumi. Ya, kan" Itulah tujuan
kita. Ini bukan perang biasa, di mana ada harapan untuk berdamai dan
berkompromi. Kita tidak mungkin berkompromi. Yeerk adalah bangsa
parasit. Bagaimana mungkin kita berkompromi dengan mereka"
Bagaimana mungkin kita membiarkan mereka menguasai beberapa
juta manusia sebagai induk semang?"
"Ini kan cuma BUBUR GANDUM!" Marco meledak.
Tahu-tahu Cassie ketawa. Ketawa sinis. Aku baru tahu ia bisa
ketawa seperti itu. "Dan segala sesuatu yang benar dan salah, dan
semua batas antara baik dan buruk kita abaikan begitu saja."
Jake menarik napas panjang dan maju selangkah. "Dalam hati
aku terus bertanya, tegakah aku berbuat begitu pada Tom"
Memberinya bubur gandum yang akan membuatnya kecanduan dan
akhirnya menjadi gila" Di pihak lain, aku juga tak sanggup melihatnya
hidup sebagai budak Yeerk untuk selamanya."
Jake angkat bahu. "Pada Perang antara Utara-Selatan dulu,
tujuannya adalah untuk mengakhiri perbudakan. Sebagian besar
tentara pihak Selatan yahg tewas bukan pemilik budak. Mereka cuma
orang-orang yang mencoba berani. Mungkin saja mereka bisa
mencapai kompromi. Mungkin saja perang itu bisa berakhir lebih
cepat kalau pihak Utara membiarkan beberapa orang tetap sebagai
budak. Tapi apakah itu benar" Tidak. Karena itu perang terus berlanjut
sampai semua orang berhasil dibebaskan."
Kita harus menang.> Aku ketawa tanpa merasa senang. Aku termasuk nekat. Berbeda
dari Cassie, mungkin juga dari Tobias, kadang-kadang aku tidak
memikirkan akibat perbuatanku. Tapi aku pun masih cukup waras
untuk tahu bahwa ucapan "kita harus menang" adalah tiga langkah
pertama menuju neraka. Aku juga sadar Jake tidak menjawab pertanyaan tentang
kakaknya. Mungkinkah Jake menyodorkan bubur gandum ajaib
sebagai sarapan buat Tom"
Aku tidak yakin. Jake tetap berharap bisa menyelamatkan Tom,
entah kapan. Dan cerita Edelman mengisyaratkan tak seorang pun bisa
lolos dari Yeerk yang sudah kena bubur gandum.
"Di mana kita bisa menemukan rombongan PengendaliManusia yang berkumpul untuk
makan?" tanya Marco.
Aku mendesah. "Di kolam Yeerk, Marco. Di kolam Yeerk."
Chapter 12 KOLAM Yeerk. Malam itu aku bermimpi tentang kolam Yeerk.
Dulu aku tidak sering bermimpi. Atau paling tidak, aku jarang
teringat mimpiku. Sekarang aku sering bermimpi. Mimpi buruk di
mana aku terperangkap dalam wujud yang menakutkan, setengah
manusia, setengah serangga. Aku bermimpi tentang pertempuran di
sarang semut. Aku bermimpi tentang pembantaian mengerikan ketika
kami merebut Kandrona di puncak Menara EGS.
Tapi aku paling sering bermimpi tentang kolam Yeerk. Aku
mendengar jeritan dan sumpah serapah para induk semang manusia
ketika mereka dikurung dalam kerangkeng, sementara bangsa Yeerk
berenang di air kolam yang keruh. Aku benci suara itu. Aku benci
suara keputusasaan. Suara itu membuatku marah. Dalam mimpiku aku
marah pada orang-orang itu. Aku ingin berteriak, "Kenapa kalian tidak
melawan" Kenapa kalian tidak melawan?"
Tapi kemudian giliran aku. Aku yang digiring ke pelataran baja
di tepi kolam oleh sepasang prajurit Hork-Bajir. Aku yang merontaronta sambil
menjerit dan memohon, "Tolong, tolong, selamatkan
aku!" Padahal aku tahu tak ada yang bisa menolong.
Aku tahu aku celaka. Aku dilanda perasaan putus asa, dan aku
membenci perasaan itu. Kedua Hork-Bajir memaksaku tiarap di pelataran baja. Mereka
mendorongku ke depan, sampai wajahku nyaris menempel di
permukaan kolam yang berisi lumpur kelabu.
Kolam itu tampak bergolak karena gerakan para Yeerk yang
berenang kian kemari di dalamnya.
Lalu kepalaku dibenamkan dengan paksa ke dalam cairan itu.
Dan Yeerk yang akan menguasaiku ada di situ. Aku melihatnya,
seekor lintah kelabu, sosok samar di dalam air kolam.
Aku memberontak, tapi apa yang mampu kuperbuat melawan
Animorphs - 17 Menembus Gua Bawah Tanah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dua Hork-Bajir" Aku memberontak, tapi kepalaku ditahan di bawah
permukaan sementara aku menjerit sampai gelembung-gelembung
udara keluar dari mulutku.
Si Yeerk menyentuh telingaku. Rasanya seperti disentuh siput
besar. Sakitnya minta ampun... ia memaksa masuk ke telingaku! Lalu
ia sudah berada di dalam telingaku! Sakitnya tak tertahankan, tapi
yang lebih parah adalah kesadaran bahwa aku telah menjadi miliknya.
Ia menyelubungi otakku. Dan aku ditarik keluar dari kolam. Napasku terengah-engah.
Aku mencoba menyentuh telingaku. Tapi lenganku tak lagi
menurut. Aku berusaha berteriak. Tapi mulutku tak lagi milikku.
Akhirnya aku menjerit, di sudut gelap yang sunyi di otakku sendiri
aku menjerit sejadi-jadinya.
Dan sambil ketawa senang si Yeerk membuka kenanganku dan
membaca pikiranku. Dan aku membiarkan diriku hanyut terbawa
perasaan putus asa. Bantalku basah karena keringat ketika aku terbangun. Aku
menatap weker di samping tempat tidur. Pukul 03.27 dinihari.
Kolam Yeerk. Kami akan kembali ke kolam Yeerk. Dan aku,
Rachel, Xena yang perkasa dan tak kenal takut, menarik selimut
sampai menutup kepala dan gemetaran tak terkendali.
Menjelang fajar aku bangun dan mengenakan kimono. Langit
mendung, jadi segala sesuatu tampak kelabu di luar. Tapi aku
menghampiri jendela dan membukanya, seperti yang biasa kulakukan
setiap pagi. Tobias datang, nyaris tanpa suara. Ia melayang masuk dan
mendarat di meja riasku.
"Baik-baik saja," aku berbisik. "Kau sendiri bagaimana?"
Aku harus berbisik kalau Tobias berkunjung. Adik-adikku tidur
di kamar sebelah. Aku selalu mengunci pintu.
harus kuselesaikan. "Kau suka matematika?"
Adegan itu pasti aneh sekali bagi orang lain. Aku, bersama
elang ekor merah yang hinggap di tepi meja belajarku. Si elang
bertengger diterangi cahaya lampu belajar, sementara anggota
keluargaku masih tidur lelap. Kami berdua sering belajar bersama.
Setiap kali Tobias mendapatkan sarapan lebih pagi dari biasanya dan
kebetulan tidak turun hujan.
Aku ketawa. "Kalau aku tidak kuatir, berarti sudah waktunya
aku dikurung bersama Mr. Edelman."
Aku menghela napas. "Kau tidak perlu ikut."
"Entahlah. Mungkin lalat atau kecoak. Kau sudah tahu dari
mana kita bisa masuk?"
Ketika yang lain bersekolah, Tobias memanfaatkan waktunya
antara lain dengan memantau gerakan para Pengendali yang telah
kami ketahui. Ia memantau pintu masuk ke kolam Yeerk yang selalu
berubah-ubah lokasinya. Bagi Tobias tugas itu tidak terlalu sulit.
Seandainya ia punya mulut, ia pasti nyengir lebar.
pun yang berkaitan dengan kolam Yeerk."
Chapter 13
sempat morf jadi manusia untuk mengamati bagian dalam. Dan waktu
itulah aku tahu tentang Happy Meal.>
Kami sedang berwujud lalat. Berenam. Kami berada di dalam
restoran McDonald's, beterbangan kian kemari. Minta ampun deh.
Bau makanan ada di mana-mana. Acar. Daging. Saus tomat. Minyak
goreng. Saus spesial. Otak lalatku seakan-akan berada di surga. Selain tempat
sampah, tak ada tempat yang lebih mengasyikkan bagi seekor lalat
daripada restoran fast-food.
Tobias memilih untuk menjawab pertanyaan Cassie.
Happy Meal. Yang ekstra happy." Itu kata sandinya.>.
Aku terbang menyusuri langit-langit dalam posisi terbalik
sambil mencari tempat yang enak untuk hinggap dan beristirahat. Aku
menuju noda berminyak di atas tempat menggoreng, berputar, dan
mendarat. Mulutku - sebenarnya lebih mirip sedotan panjang yang
bisa digulung - menjulur ke depan dan mulai memuntahkan cairan
pencerna ke noda minyak itu, lalu mengisap campuran yang
dihasilkan. Hei, aku tahu ini jorok. Tapi pilihannya cuma itu atau berusaha
melawan naluri lalat untuk mencari makanan! makanan! makanan!
lagi. Yang menuju ke dapur. Kita masuk - dan ini yang paling asyik kita masuk ke ruang pendingin.>
menyambung. Kemudian ia menambahkan dengan serius,
Kami bergantian memantau keadaan di atas meja layan. Kami
tidak perlu menunggu lama-lama. Seorang wanita datang dan
memesan Happy Meal "yang ekstra happy".
Kami terbang mengikutinya ketika ia melewati pintu dan masuk
ke dapur. Lalu masuk ke ruang pendingin.
Wanita Pengendali tadi menunggu dengan sabar, dan setelah
beberapa detik bagian belakang ruang pendingin membelah dan
membuka lebar. Wanita itu melangkah melewati ambang pintu dan kami segera
menyusul. Semuanya begitu mudah dan lancar.
BrrrEEEET! BrrfEEEET! "Ada makhluk tanpa izin."
BrrrEEEET! BrrrEEEET! "Ada makhluk tanpa izin!"
Wanita Pengendali itu memandang berkeliling. Aku melihat
matanya yang biru, besar seperti kolam. Ia memfokuskan mata.
Kemudian ia bergumam. "Bagian keamanan kumat lagi. Ini
cuma beberapa ekor lalat."
Tapi suara yang terdengar tadi mulai memberikan instruksi.
"Pejamkan mata rapat-rapat untuk menghindari kerusakan
retina akibat Gleet BioFilter."
Ax tidak pernah berteriak. Jadi kalau ia sampai berteriak, kita
patut berkesimpulan memang ada alasan yang kuat.
Aku segera berbalik dan meluncur, melewati celah menuju
ruang pendingin yang masih terbuka.
Tiba-tiba seluruh dunia seperti tertelan oleh ledakan cahaya
yang terang benderang. Mata lalatku serasa meleleh. Aku terus
terbang, tanpa bisa melihat apa-apa, melewati celah yang menutup
dengan cepat, dan disambut udara dingin.
kehidupan yang DNA-nya tidak tercatat dalam komputer. Sebenarnya
ini teknologi Andalite. Tapi rupanya bangsa Yeerk berhasil
mencurinya.>
Tobias.
mendatangi kolam Yeerk. Aku lega sekaligus kesal. Aku tidak sudi
kalah lihai dari kaum Yeerk.
Sejenak semuanya terdiam. Kemudian Cassie angkat bicara,
Chapter 14 DI gudang jerami Cassie, kami berdiri mengelilingi kandang
kecil. "Apa ini" Tikus?" tanya Marco.
"Tobias memang ahlinya binatang pengerat," ujar Marco. Ia
menoleh ke atas, ke tempat Tobias sedang membersihkan bulubulunya. "Bagaimana
rasanya tikus tanah?"
"Ih, tampangnya jelek sekali," kataku. "Mirip celurut, lagi."
Aku pernah morf jadi celurut. Dan itu bukan pengalaman yang
menyenangkan. Celurut terlalu gelisah. Terlalu mudah kaget. Dan
juga terlalu lapar. "Tikus tanah jauh lebih tenang daripada celurut," Cassie
menjelaskan. "Dan seperti Tobias bilang tadi, mereka hampir selalu di
bawah tanah. Mereka menggali terowongan. Lihat saja betapa besar
kaki depannya. Cocok sekali untuk menggali terowongan."
Marco menghela napas. "Manusia Tikus Tanah. Aku tidak bisa
membayangkan pahlawan super bernama Manusia Tikus Tanah. Apa
keistimewaannya" Menggali?"
berkomentar. "Yeah," Cassie membenarkan. "Ini memang bentuk yang hebat:
tikus; tikus tanah, celurut, bahkan tupai dan rakun memiliki bentuk
tubuh seperti ini." Aku mendesah. "Jadi, kita harus menyadap tikus tanah ini dan
menggali terowongan ke kolam Yeerk?"
Cassie angkat bahu. Kemudian ia mengedipkan mata padaku.
"Kan cuma usul."
"Jarak dari permukaan tanah ke kolam Yeerk kira-kira berapa,
lima belas meter?"
"Lumayan dalam," Jake berkomentar. "Tapi aku tidak melihat
jalan lain. Rencana kita hanya bisa berhasil kalau kita kembali ke
kolam Yeerk." "Terus, gimana caranya membawa bubur gandum ke sana
setelah kita selesai menggali terowongan" Sudah ada yang
memikirkan hal itu?" tanyaku.
Jake mengangguk, seakan-akan hendak berkata, "Tentu."
Ternyata ia malah berkata, "Belum ada. Tapi kita harus mulai
menumpuk persediaan. Kita semua harus minta orangtua masingmasing membeli bubur
gandum instan rasa mapel dan jahe. Sebanyakbanyaknya. Selain itu kita beli juga
dengan uang saku kita."
Marco menggelengkan kepala. "Tidak perlu. Di rumahku aku
yang belanja. Jadi biar aku saja yang beli."
"Oke, kalau begitu," kata Jake. "Berarti kita tinggal menyadap
DNA tikus tanah ini."
Aku meringis. Aku yang paling dekat ke kandangnya. "Galak,
tidak?" "Rasanya tidak," sahut Cassie. "Makanannya cuma... maksudku,
kurasa dia takkan nnenggigit."
Aku berpaling pada Cassie. "Apa makanannya, Cassie?"
"Ehm, sama seperti makanan binatang yang hidup di dalam
tanah pada umumnya. Makanannya cacing."
"Oh," aku mengerang.
Aku mengulurkan tangan dan Cassie membuka kandang. Aku
menyentuh tikus tanah itu, dan kemudian aku menunggu sampai
DNA-nya menjadi bagian diriku. Kayaknya tikus tanah itu jadi diam
dan tenang, seperti biasanya binatang yang DNA-nya sedang disadap,
tapi entahlah. Dari awal hewan itu memang diam saja.
Ketika Tobias mendapat giliran, si tikus tanah mendadak lebih
giat. Kita harus berada dalam wujud kita yang asli untuk menyadap
DNA baru. Dan sekarang wujud Tobias yang asli adalah elang. Jadi
untuk menyadap si tikus tanah, Tobias harus terbang ke kandang dan
meraih makhluk malang itu dengan cakarnya.
Kami meninggalkan gudang jerami dan kembali ke sekolah
tepat ketika ayah Cassie tiba.
Kolam Yeerk adalah tempat luas di bawah tanah. Mirip stadion
sepak bola tertutup. Kolamnya sendiri berada di tengah-tengah, tapi di
sekelilingnya ada tempat terbuka yang lebarnya antara tiga ratus dan
lima ratus meter. Aku terpaksa menebak, soalnya kami belum pernah
mengukurnya. Yang jelas, untuk gua di dalam tanah, tempat itu besar sekali.
Membentang mulai dari bawah sekolah sampai ke bawah mall.
Setidaknya di kedua tempat itulah terdapat pintu-pintu masuk rahasia.
Kami telah menemukan pintu masuk di gudang sapu di sekolah (tapi
pintu ini kemudian ditiadakan oleh kaum Yeerk), dan juga di kamar
ganti di toko The Gap di mall.
Animorphs - 17 Menembus Gua Bawah Tanah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku rasa titik tengah kolam Yeerk ada di persimpangan ini,> ujar
Tobias. Kami berdiri di persimpangan antara sekolah dan mall.
"Hmmm, kita tidak bisa menggali di sini," kataku.
"Sebaiknya memang jangan," ujar Marco. "Jangan sampai
ujung terowongan kita tepat di atas kolam Yeerk." Tangannya
menirukan gerakan orang jatuh, lalu ia berkata, "Byurrr! Kita malah
kecebur deh." "Betul juga," aku membenarkan. Cuma membayangkan
tercebur ke kolam Yeerk saja sudah membuatku merinding.
Jake berkata, "Tapi ujung terowongan kita harus cukup dekat ke
kolam, supaya kita tahu persis di mana kita berada. Setelah itu baru
kita gali terowongan mendatar ke atas kolam, untuk menjatuhkan
bubur gandum." Marco mengangguk. "Firasatku mengatakan urusan ini ada
hubungannya dengan geometri yang seharusnya sudah kupelajari di
sekolah." "Kau menuntut ketepatan tinggi, Pangeran Jake," ujar Ax.
"Padahal kita tidak punya instrumen. Strumen. Biarpun cuma
instrumen manusia yang primitif. Struuu-men. Min" In-stru-min?"
"Kita terpaksa mengira-ngira jaraknya, Ax. Dan jangan panggil
aku,'pangeran'." "Baik, Pangeran Jake."
Tobias bertengger di puncak tiang lampu yang tinggi.
Elang memiliki pendengaran yang sangat tajam, sehingga
Tobias dapat mengikuti percakapan kami.
Aku menoleh ke arahnya. "Tobias" Kau yang biasa melacak
pintu masuk. Bagaimana perkiraanmu?"
"Dan jangan lupa, kita butuh tempat yang terlindung untuk
berganti wujud," kata Jake.
Tobias merentangkan sayap dan terbang. Kami melihatnya
berputar di langit. Dalam sekejap ia telah kembali ke puncak tiang
lampu.
Chapter 15 TEMPAT yang dimaksud Tobias ternyata gudang peralatan.
Gudang itu berada di halaman belakang sebuah rumah kosong. Di
pekarangan depan terpasang tanda bertulisan DIJUAL, di tengah
rumput yang tumbuh tinggi.
Rumah itu terletak di tepi jalan utama, antara toko serbaada dan
toko yang menjual bak mandi. Lalu lintasnya selalu ramai. Agak jauh
di belakang rumah tersebut, ada taman kecil yang tampak tak terurus.
Hanya ada beberapa pohon, meja taman, dan bukit kecil berbatu-batu.
Kelihatannya rumah itu sudah lama tak ditinggali.
Gudangnya sendiri beratap dan berdinding seng yang telah
karatan. Lantainya tanah. Tak ada apa-apa di dalamnya selain
beberapa kantong tanah pot dan penggaru.
"Cocok sekali," kata Jake. "Agak sempit, tapi cocok. Kalau kita
semua sudah berwujud tikus tanah, tempat ini pasti lega sekali."
Cassie berdeham. "Ehm... mungkin seharusnya sudah
kukatakan dari awal. Tapi menurutku, lebih baik kita semua tidak
morf sebagai tikus tanah. Maksudku, untuk pertama kali ini. Lagi
pula, kita toh harus bergantian menggali."
Kami semua menatapnya sambil mencerna informasi itu.
Tadinya aku membayangkan kami akan menggali beramai-ramai.
Sekarang urusannya mendadak lain sama sekali.
"Kita bakal sendirian di bawah sana?" tanya Marco. "Di dalam
tanah" Tanpa udara?"
Cassie angkat bahu. "Begitulah. Namanya juga tikus tanah."
"Oh, kalau begitu sih oke," Marco berkomentar dengan sengit.
"Kita berwujud tikus tanah, jadi tidak apa-apa kalau kita berada pada
kedalaman enam meter tanpa udara segar."
"Ah, dasar bayi," ujarku. "Tenang saja."
Aku memang biasa berkomentar begitu. Aku sendiri tidak tahu
kenapa. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
"Hadirin yang terhormat," Marco berkata sambil menumpukan
tangan di pundakku. "Kita telah mendapatkan relawan."
Aku mesti bilang apa" Mau tidak mau aku bergaya yakin. "Oke.
Boleh saja. Aku duluan."
Udara di dalam gudang peralatan mulai panas karena kami
berdesak-desakan di dalam. Panas dan pengap. Dan belum apa-apa
aku sudah terserang klaustrofobia. Itu lho, rasa takut terhadap tempat
sempit. Aku memusatkan pikiran pada bayangan tikus tanah. Dan entah
bagaimana caranya, aku mulai berubah.
Hal pertama yang kusadari adalah gudang peralatan itu tak lagi
berkesan sempit. Tubuh-tubuh yang semula saling mendesak kini
mulai menjauh. Aku mulai mengecil.
Tapi proses itu tidak berjalan dengan kecepatan yang seragam.
Kaki dan lenganku mengecil jauh lebih cepat. GUBRAK!
Pantatku menghantam lantai!
"Ya, ampun!" seru Jake. "Tahan dia!"
Jake dan Cassie meraihku. Tepat pada waktunya untuk
mencegahku tergeletak di lantai. Tapi terlambat untuk
menyelamatkanku dari rasa malu.
Marco ketawa cekikikan, "Heh heh, ha ha ha ha!" Cassie
mendengus-dengus sambil berusaha menahan tawa.
Tungkai kakiku telah lenyap, yang tersisa hanya bagian dari
mata kaki ke bawah. Dari lenganku yang tersisa hanya tangan. Aku
masih berwujud manusia, namun tungkaiku telah lenyap sama sekali.
Jake dan Cassie menahan pundakku sehingga aku tetap dalam
posisi tegak. Aku bagaikan boneka badut yang selalu kembali tegak
setelah ditonjok. Aku duduk dan menggerakkan jari tangan dan kaki
sambil berharap bisa mencekik Marco.
"Tunggu sampai giliranmuuu, Nyarco!" aku berseru. Tapi pada
saat yang sama wajahku mulai menyembul.
Akhirnya aku dibaringkan di lantai. Panjang badanku tinggal
sekitar setengah meter. Tubuhku mulai terbungkus bulu berwarna
hitam kecokelatan, sehingga penampilanku semakin menyerupai tikus
tanah. Wajahku terus menyembul, dan membentuk moncong yang
panjang sekali. Tapi sementara sebagian besar tubuhku mengecil, tanganku
justru membesar. Maksudnya, dibandingkan bagian-bagian tubuhku
yang lain. Tanganku jadi mirip sekop bercakar. Besar, datar, tanpa
bulu, keras, dengan cakar pendek di ujung setiap "jari". Pergelangan
tanganku berderak dan berputar keluar.
Pandanganku jadi gelap. Mula-mula kupikir aku buta sama
sekali. Tapi ternyata tidak. Aku masih bisa melthat. Tapi yang tampak
hanyalah garis-garis kabur antara gelap dan terang. Aku hampir buta,
tapi tidak sepenuhnya. Hampir buta. Dan pendengaranku pun tidak bisa dibanggakan.
Semua bunyi seakan-akan berasal dari balik pintu. Daya penciumanku
juga tidak istimewa. Tapi ada satu indra yang menguasai otakku. Indra peraba!
Hidungku mendadak begitu peka sehingga bisa merasakan aliran
udara di sekelilingku. Aku sempat panik karena kehilangan penglihatan dan sebagian
besar pendengaran. Bagaimana mungkin aku menggali terowongan
dalam keadaan seperti ini" Buta" Dan setengah tuli"
Tapi... Aku merasakan tanah di bawah tangan sekop dan kaki
belakangku yang mirip kaki tikus. Aku merasakannya di bawah perut.
Hidungku mencium-cium tanah dan merasakan teksturnya,
kelembapannya, kekerasannya.
Lebih baik aku berada di dalam tanah. Lebih aman. Ya, jauh
lebih aman di dalam tanah.
Lagi pula, aku lapar. Aku mulai menggali. Dari tempat yang jauh terdengar suara, "Wah, dia langsung
sibuk." "Kelihatannya tetap seperti tikus."
Aku mencengkeram tanah dengan cakarku dan mendorongnya
ke belakang dengan "tanganku". Lalu sekali lagi. Lebih keras. Dan
kemudian hasrat untuk menggali semakin menggebu. Aku harus
menggali! Aku dikelilingi bayangan-bayangan besar serbakelabu yang
menjulang tinggi. Setiap kali mereka bergerak, aku melihat pergeseran
pola cahaya. Gali! Kehangatan tanah seakan-akan memanggilku. Dalam
otakku terbentuk gambaran lubang hangat dan nyaman di kedalaman
tanah, penuh rerumputan dan ranting dan potongan-potongan sampah.
Aku bisa meringkuk di situ kalau sedang tidak menyusuri
terowongan. Terowongan yang mungkin didatangi kumbang yang
meletakkan telur, yang kemudian kumakan. Dan di tengah kegelapan,
hidungku yang peka mungkin akan bersentuhan dengan cacing tanah
yang gemuk dan merangsang selera.
Oh ya, menggali! "Ehm, jangan-jangan dia belum sepenuhnya menguasai naluri
tikus tanah." "Yang benar saja. Mana mungkin tikus tanah punya naluri
cukup kuat untuk menguasai otak Rachel?"
"Tapi, coba lihat betapa giatnya dia menggali."
"Hmmm, Rachel" Hei, Rachel" Bagaimana keadaannya di
bawah sana?" Gali dan gali dan gali dan gali. Bagian atas tubuhku sudah
terbenam dalam kegelapan tanah yang hangat. Gali lebih keras!
Masuk ke dalam tanah! Gelap adalah aman. Lebih aman dikelilingi
tanah yang hangat dan lembap.
"Dia tidak menjawab. Dia jadi tikus tanah betulan. Aku tidak
menyangka tikus tanah punya naluri yang begitu kuat. Oke, sebaiknya
tahan dia sebelum dia sepenuhnya masuk ke tanah."
Tiba-tiba sesuatu meraih diriku! Ekorku dipegang. Aku ditarik
ke belakang. Aku menggali lebih keras lagi dengan tangan sekopku.
Aku menggaruk-garuk tanah, tapi lawanku lebih kuat.
Aku diangkat, diangkat, diangkat! Aku di tempat terbuka! Tak
ada apa pun di sekelilingku selain udara, udara, udara! Tak ada apaapa!
"Hei, Rachel. Ini aku, Jake. Sadarlah. Kau dikuasai naluri tikus
tanah." Dan aku pun tersadar. Rasanya seperti... ehm, seperti keluar dari
terowongan ke tempat yang terang benderang. Aku telah kembali.
Aku telah menjadi diriku lagi. Dan aku memandang melalui mata
tikus tanah yang begitu tak berguna.
"Ah, memang kok," aku mendengar Marco berkata.
Jake menaruhku kembali ke lubang dangkal yang telah kubuat.
"Oooooke, Rachel. Tidak ada masalah. Semuanya baik-baik
saja." Aku kembali beraksi. Tapi kali ini tanah tidak terasa
mengundang maupun hangat.
Chapter 16 AKU menggali semakin dalam.
Sampai seluruh tubuhku berada di dalam tanah. Dan sekarang
aku tak lagi bersembunyi di balik naluri si tikus tanah: aku manusia
yang menggali terowongan tanpa bisa melihat.
Kenapa aku mesti merasa takut" Kenapa"
Apakah karena tanah yang menekanku dari segala arah" Atau
karena aku tidak bisa berbalik arah" Aku tidak bisa bernapas! Tapi
nyatanya aku bisa bernapas.
Ya, aku bernapas. Tapi rasa takut bahwa aku bakal mati lemas
di tempat yang gelap terus menghantui pikiranku.
Aku mencoba menekan perasaan itu, aku berusaha meyakinkan
diriku bahwa tak ada apa-apa, tapi ketakutan itu terlalu kuat.
Aku terkubur hidup-hidup.
Ralat: Aku sendiri yang mengubur diriku hidup-hidup.
Aku menggali semakin dalam, semakin dalam, semakin dalam.
Aku tahu seharusnya aku menggali lubang yang tegak lurus, tapi itu
tidak mungkin. Tikus tanah tidak bisa menggali seperti itu. Palingpaling ia cuma
bisa membuat terowongan yang menurun.
Aku terus menggali. Aku tidak tahu berapa lama. Tapi rasanya
lama sekali. Dan kemudian, tiba-tiba saja, aku tidak tahan lagi. Aku butuh
udara! Aku mencoba naik, tapi ternyata aku tidak bisa bergerak ke
arah itu.
diriku sendiri.
Tidak ada udara. Ya Tuhan, aku terkubur hidup-hidup!
Aku menggaruk-garuk seperti kesetanan dengan "tanganku".
Tak henti-hentinya aku mendorong tanah ke bawah tubuhku untuk
selanjutnya didorong ke belakang dengan kakiku.
Perlahan-lahan aku berhasil membuat ruangan kecil. Di kedua
sisiku terbentuk ruangan selebar beberapa sentimeter. Aku mencoba
berputar. Belum bisa. Gali sedikit lagi. Gali dalam keadaan gelap
gulita. Akhirnya... yeah! Aku berhasil membalik. Hidungku yang peka
merasakan terowongan kosong dan terbuka di hadapanku.
Terowongan itu jauh dari sempurna, tapi tetap saja itu terowongan.
Aku bergegas menyusurinya, memaksakan diri melewati
tempat-tempat sempit. Aku butuh udara!
Hidungku muncul di tempat terang. Cahayanya sungguh
menyilaukan. "Dia sudah kembali," kata Cassie. "Rachel, kau tidak apa-apa?"
"Seberapa panjang terowongan yang kaugali" Kau ada di dalam
tanah selama dua puluh menit."
Dua puluh menit" Tidak mungkin. Pasti lebih lama dari itu.
terowongan yang tak pernah kulihat tapi hanya kurasakan. Berapa
panjangnya"
"Hebat juga. Puncak kubah kolam Yeerk berada sekitar, berapa ya,
lima belas meter di bawah permukaan?"
mungkin sekitar tiga puluh sentimeter.>
Mereka yang sedang tidak bergiliran menggali, atau berjaga, pergi ke
Mickey D's untuk membeli kentang goreng dan Coca-Cola.
Setelah enam jam, kami semua telah mendapat giliran. Waktu
kami sudah habis. Kami tidak bisa menggali lebih lama. Kami harus
pulang. "Ada baiknya salah satu dari kita membawa tali ke bawah untuk
mengukur panjang terowongan," Marco mengusulkan.
Tak ada yang menawarkan diri untuk menjadi sukarelawan.
Kami semua duduk dengan lesu. Semuanya pucat dan berkeringat
karena tegang dan ngeri, dan juga karena kami morf terus setiap dua
Animorphs - 17 Menembus Gua Bawah Tanah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jam. "Biar aku saja," kataku. "Sekarang memang giliranku."
Aku menjelma sebagai tikus tanah dan Cassie mengikatkan
ujung tali ke ekorku. Sekali lagi aku masuk ke dalam terowongan. Masing-masing
dari kami telah menggali sejauh mungkin, lalu membuat tempat untuk
berputar. Enam tempat berputar. Aku menghitung satu per satu sambil
melewatinya. Aku pasti bermandikan keringat seandainya aku dalam wujud
manusia. Suasananya panas dan sempit. Sempitsekali. Rasanya seperti
berada di dalam peti mati.
Bayangan itu tidak mau hilang dari benakku. Seperti terkurung
dalam peti mayi. Seperti terkubur hidup-hidup. Seperti ingin
memberontak dan menjerit minta dikeluarkan, hanya saja tak ada yang
mendengarnya karena kita di dalam tanah. Terkubur hidup-hidup.
Kemudian hidungku menyentuh dinding tanah. Aku telah
sampai di ujung terowongan. Mestinya aku merasa lega. Tapi
sekarang keinginan untuk segera keluar keluar KELUAR membuatku
panik. Aku nyaris tidak sanggup mengendalikan diri.
Aku berlari menyusuri terowongan seolah-olah dikejar setan.
Apakah sudah terang di depan" Belum, aku baru melewati tiga tempat
berputar. Atau empat"
Akhirnya hidungku menyembul dari tanah. Aku keluar dari
mulut terowongan dan langsung mulai berubah wujud.
Ax sudah kembali ke wujudnya yang asli, karena sudah terlalu
lama berwujud manusia. Ia mengukur panjang tali yang kubawa
masuk ke dalam terowongan.
Marco geleng-geleng kepala. "Terserah."
adalah sekitar enam koma delapan kaki, atau hampir dua setengah
meter.> Tubuh manusiaku sudah hampir utuh kembali. "Apa, cuma
enam kaki?"
puluh kaki, maka kita butuh waktu satu minggu. Yang benar saja! Aku
burung. Tidak seharusnya aku berada di dalam terowongan.>
Aku hampir setuju dengannya. Aku bahkan nyaris berkata,
"Sudahlah, kita batalkan saja!"
Tapi aku tidak berkata begitu. Aku justru paling ngotot untuk
melanjutkan rencana kami. Masalahnya, aku tidak mau mundur garagara
klaustrofobia. Aku tidak mau diatur oleh rasa takut. Atau, bisa
jadi aku memang orang bodoh.
Chapter 17 SEMAKIN lama kami semakin lancar menggali. Tapi kemudian
kami mencapai lapisan berbatu-batu yang tidak bisa ditembus oleh
tikus tanah. Kami terpaksa menggali terowongan mengelilingi batubatu besar. Dan
itu makan waktu. Kecuali itu, kami hanya bisa menggali sehabis sekolah. Kami
membawa PR masing-masing lalu duduk di gudang peralatan yang
pengap sambil saling menanyai soal sejarah atau IPA. Ax
mendengarkan uraian mengenai sejarah Bumi dengan serius. Tapi
giliran IPA, kami menjadi bulan-bulanannya karena pengetahuan kami
begitu primitif. Satu per satu kami masuk ke dalam terowongan. Kami
mengatur jadwalnya sehingga orang berikut sudah berubah wujud dan
siap bertugas. Empat hari lagi kami menggali. Sampai Cassie kembali
ke permukaan dan berkata,
"Tidak bisa," sahutku. "Masa jerih payah kita selama ini sia-sia"
Pasti ada jalan lain."
Dan dengan demikian turunlah aku ke dalam terowongan.
Seperti idiot. Kayak orang yang sedang tergila-gila menggali
terowongan. Menurut perhitungan Ax, kami telah menggali sampai
kedalaman tujuh setengah meter. Melewati lapisan tanah merah,
lempung, dan kerikil. Aku maju terus sambil mengais tanah dengan
kakiku yang mirip sekop. Akhirnya aku sampai di ujung terowongan. Kegelapannya
begitu pekat sehingga tak ada mata yang mampu melihat. Apalagi
mata tikus tanah. Hidungku menyentuh ujung terowongan. Aku mulai menggali.
Batu. Aku bergerak ke kiri. Batu. Aku mulai percaya, setengah
berharap malah, bahwa Cassie benar. Berarti aku tak perlu lagi
menggali. Tak perlu lagi masuk terowongan. Tak perlu lagi terkubur
hidup-hidup. Tapi kemudian aku menemukannya. Celah di tengah bebatuan.
Hidungku bisa merasakannya. Aku mencakar-cakar tanah, dan celah
itu pun bertambah lebar. Aku berhenti. Haruskah aku memberitahu yang lain" Mereka
pasti percaya kalau aku bilang bahwa Cassie benar. Takkan ada yang
turun kemari untuk memastikannya. Sama halnya dengan aku, mereka
juga tidak suka pekerjaan ini.
Aku menggali sedikit lagi. Dan kemudian...
dan lembap. Ada aliran udara di antara batu-batu.
Tapi mereka di luar jangkauan. Tak ada jawaban. Aku kembali
menggali, dan embusan udara semakin kuat. Celahnya cukup lebar
untuk kulewati. Tapi aku merasakan kekosongan di baliknya.
Langsung saja aku berbalik dan kembali ke permukaan.
Jake menatap arlojinya. "Sudah terlalu sore. Besok saja kita
teruskan. Besok Sabtu. Jadi kita punya lebih banyak waktu."
Akhirnya kami pun kembali pada hari Sabtu. Seharusnya aku
merasa segar bugar karena bisa beristirahat, tapi sayangnya istirahatku
terganggu mimpi buruk di mana aku terperangkap dalam peti mati
sambil menjerit-jerit, "Tolong, aku belum mati!"
Kali ini kami turun bersama-sama. Kami menggali tempat yang
agak lega di sekitar celah di bebatuan.
Cukup besar untuk menampung kami semua. Dan meskipun
suasananya tetap seram, aku merasa lebih tenang berkat kehadiran
teman-temanku. Baru kemudian aku sadar bahwa sekarang tak ada siapa-siapa di
atas yang bisa menolong kami dalam keadaan darurat. Terowongan ini
bisa saja ambruk, kami mungkin terperangkap... apa yang harus kami
lakukan kalau begitu, morf jadi manusia" Tujuh setengah meter di
bawah permukaan tanah"
Kami menggali bergantian. Hidung masing-masing
memberitahu bahwa kami telah menemukan celah yang masuk jauh ke
dalam bebatuan.
terowongan batu yang ambruk dan menimpa kita">
Marco benar. Menyadari hal itu, aku harus memaksakan diri
untuk tetap diam dan tidak kabur. Kalau aku mulai lari, aku takkan
berhenti sebelum sampai di permukaan.
Betapa enaknya kalau kita dengan enteng bisa mengaku takut.
Aku tak pernah bisa berbuat begitu. Aku sendiri tidak tahu kenapa.
Pokoknya aku tidak bisa. Kupaksakan tubuh tikus tanahku masuk ke dalam celah di
tengah bebatuan. Dinding celahnya kasar. Celah itu seolah terkuak
karena tekanan yang besar. Aku terus maju. Jalannya cukup berkelokkelok.
Seandainya aku kembali ke wujud manusia di sini, maka
tubuhku bakal seratus kali terlalu besar. Apa yang akan terjadi"
Apakah aku akan menjadi bagian dari batu karang ini" Apakah aku
bisa menjerit-jerit, padahal tak ada yang bisa mendengarku dan tak
ada yang bisa menolong"
Chapter 18 AKU jatuh!
Aku terempas. Tapi aku mendarat di suatu tempat yang empuk.
Suatu tempat yang membuat hidung tikus tanahku berkerut-kerut.
Aku tetap diselubungi kegelapan pekat. Aku tidak bisa melihat
apa pun. Tapi aku tahu aku berada di tempat terbuka yang sangat
besar. Kolam Yeerk" Tentu saja bukan. Di sana pasti terang
benderang. Tapi ini tempat terbuka. Besar. Cukup besar.
Dan kemudian aku sadar aku tidak sendirian.
Aku tidak tahu berapa jumlah mereka, tapi aku merasakan
kehadiran mereka di atasku. Banyak, banyak sekali.
ini suara Jake.
tanya Marco.
yang konyol.
kurasakan sejak tadi.
empuk banget, dari kotoran kelelawar.>
Satu per satu mereka terjun dan mendarat di sekelilingku.
Dalam sekejap sudah ada enam tikus tanah buta di tengah hamparan
kotoran kelelawar yang sebagian besar sudah mengering.
Setelah berhasil keluar dari terowongan, dari tempat yang
serbasempit itu, aku jadi ingin ketawa.
minggu kita menggali, dan hasilnya cuma setumpuk kotoran
kelelawar. Rasanya usaha kita kali ini memang ditakdirkan gagal. Dan
kayaknya ini semua salahku. Mestinya si Edelman itu kubiarkan saja
terempas.ke jalanan.>
rumah.>
untuk menyadap DNA-nya.>
tanah yang tidak bisa kita capai lagi.>
gua ini.>
berada dalam gua kelelawar, sebaiknya kau juga dalam wujud
kelelawar. Tapi sebelumnya kami harus kembali ke wujud kami yang
asli dulu. Dan percayalah, itu sama sekali tidak menyenangkan.
Kaupikir jadi tikus tanah di dalam gua kelelawar tidak enak"
Cobalah masuk ke situ dalam wujud manusia! Pertama, gua itu
ternyata tidak setinggi yang kami duga. Kedua, kami semua melewati
tahap tak berdaya, di mana kami sudah bertubuh manusia tapi masih
berkaki dan bertangan mungil.
"Ah, BRENGSEK!" Marco mengomel. "Terkubur dalam
kotoran kelelawar!" "Idih, ini benar-benar JOROK!" seruku.
Tangan dan lenganku muncul kembali, dan aku terpaksa
membenamkan telapak tanganku dalam lapisan lembek yang menutup
seluruh dasar gua supaya aku bisa berdiri. Saking jijiknya, aku sampai
lupa bahwa aku mudah terserang klaustrofobia.
Aku bangkit. Aku meluruskan badan dan menegakkan kepala.
Dan saat itulah aku tahu gua ini tidak setinggi yang kami duga.
Tahu-tahu kepalaku sudah berada di tengah-tengah kawanan
kelelawar yang lembut dan hangat.
Hanya ada satu hal yang bisa kulakukan.
"Marco," kataku. "Coba luruskan badan. Dan coba jinjit
sekalian." "Ahhhhh!" ia memekik. "Ha ha ha, lucu sekali, Rachel. Begitu
dewasanya kau!" "Habis, masa aku harus kena dan kau tidak, hanya karena kau
pendek?" Dan kemudian kami semua ketawa cekikikan. Hampir sepuluh
meter di bawah permukaan tanah, di dalam gua kelelawar yang begitu
gelap sehingga kita tidak bisa melihat apa pun, tersesat dan ketakutan
dan berlumuran kotoran kelelawar, kami malah ketawa cekikikan.
Chapter 19 "NIH, aku punya kelelawar untukmu," ujarku sambil
menyodorkan seekor kelelawar kepada Tobias. Aku tidak takut pada
hewan itu. Soalnya aku sudah pernah morf jadi kelelawar.
Animorphs - 17 Menembus Gua Bawah Tanah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebenarnya," Jake berkata untuk mengisi waktu sementara
kami menunggu Tobias menyadap DNA kelelawar, "sejak Edelman
menyinggung soal 'bubur gandum rasa mapel dan jahe', aku mestinya
sudah tahu urusan ini bakal berakhir konyol."
"Bubur gandum rasa mapel dan jahe yang instan," Cassie
meralat. "Pertempuran yang melibatkan bubur gandum takkan pernah
tercatat sebagai pertempuran yang menentukan jalannya sejarah," Jake
melanjutkan. "Pertempuran Gettysburg waktu Perang Saudara" Tidak
ada sangkut-pautnya dengan bubur gandum. Pertempuran Midway
waktu Perang Dunia II" Sama saja. Kedua pihak tidak melibatkan
bubur gandum. Operasi Badai Gurun" Juga begitu."
"Sejenis makanan," Cassie menjelaskan.
"Kau bisa memikirkan makanan di sini" DI SINI" Di tengah
tumpukan kotoran kelelawar?"
"Pertempuran Bunker Hill" Pasukan Inggris dan Amerika samasama tidak memakai
bubur gandum," Jake terus mengoceh. "D-Day"
Sedikit pun tidak ada yang menyinggung soal bubur gandum."
"Ayo, kita morf saja supaya kita bisa langsung keluar dari sini,"
kataku. Aku mulai membayangkan kelelawar. DNA kelelawar yang
kumiliki berasal dari kelelawar cokelat biasa. Bukan makhluk yang
besar. Lebih mirip tikus bersayap.
Proses perubahannya terasa janggal. Tubuhku mengecil.
Kayaknya begitu. Aku tidak bisa melihat apa-apa, jadi aku tidak bisa
melihat diriku mengecil. Aku tidak bisa melihat perubahan apa pun
yang terjadi. Dalam kegelapan yang pekat, aku terpaksa mengandalkan
pendengaranku. Dan aku mendengar hal-hal yang jarang
kuperhatikan. Aku mendengar tulang manusiaku berderak-derak, lalu
tiba-tiba bergemericik seakan-akan mencair. Lalu terdengar bunyi
yang mirip suara perut keroncongan. Hanya saja bunyi itu berasal dari
organ-organ tubuhku yang bergeser dan berpindah tempat. Ada yang
bertambah kecil. Ada pula yang nyaris lenyap sama sekali. Semuanya
terjadi sementara aku tidak tahu apakah tinggiku satu setengah meter
atau satu setengah jengkal.
Aku berusaha meraih wajah dengan tangan untuk "melihat"
seberapa jauh perubahan yang telah kulalui.
Tapi gerakan tanganku amat terbatas. Letak engselnya tidak
seperti biasa. Dan ketika kugerakkan, terdengar bunyi seperti kulit
sedang dilipat. Aku mengepakkan lengan. Ya, aku telah bersayap. Sayap tipis
khas kelelawar. Dan kemudian aku merasakan kelebihan paling hebat yang
dimiliki kelelawar: kemampuan untuk mengetahui keadaan sekeliling
melalui pantulan gelombang. Gelombang dengan frekuensi lebih
tinggi dari yang bisa ditangkap telinga manusia. Aku bisa mendengar
pantulannya beserta setiap perubahan yang terjadi.
cuma sebentar. Aku lupa betapa memesonanya susunan informasi
yang datang lewat pantulan suara.
Rasanya seolah-olah aku yang tadinya buta mendadak bisa
melihat. Bukan "melihat" seperti manusia. Tapi melihat beragam bentuk,
garis-garis tepi, bidang terbuka, dan bidang sempit. Aku kembali
melepaskan gelombang suara dan "melihat" ribuan kelelawar
berdesak-desakan di atas kami. Aku melihat wajah mungil mereka
yang menyerupai wajah anjing, serta telinga mereka yang besar dan
berbulu, ketika mereka bergelantungan di langit-langit gua.
Dunia seakan-akan digambar dengan pena dan tinta. Semuanya
berupa garis tepi, tidak ada warna sedikit pun. Dan setiap gambar
tampak sekejap saja, hanya selama pantulan gelombang bertahan.
Teman-temanku mulai memantau sekeliling kami dengan cara
yang sama. Ya, aku bisa melihat seluruh gua! Kesannya seperti gua dalam
buku komik, dengan garis-garis tebal dan tipis.
Aku mengepakkan sayap dan terbang dari dasar gua. Lalu aku
segera membelok tajam dengan penuh percaya diri.
Baru sekarang aku sadar bahwa teman-temanku juga stres
karena tidak bisa melihat apa pun dalam gua yang gelap gulita.
Kami terbang. Melintasi gua yang berkelok-kelok dan berputar,
menerobos di bawah ribuan kelelawar yang menggelantung, melewati
lapisan kotoran kelelawar yang menyelubungi dasar gua.
Aku bisa merasakan arah yang harus ditempuh. Aku bisa
merasakan perubahan tekanan udara, perubahan suhu yang
menunjukkan jalan keluar. Tapi kemudian...
menuju ke dunia luar.>
mulut gua sudah dekat. Tapi aku juga bisa merasakan jalan yang satu
lagi. Dan rasanya aku sudah tahu ke mana jalan itu menuju.
yang paling mudah kepada kami. Pulang, dan melupakan semuanya
untuk sementara. Ia tidak mau "memerintahkan" kami untuk
melakukan sesuatu yang sebenarnya enggan kami lakukan.
Semua orang dalam suatu kelompok memiliki peran masingmasing. Paling tidak,
biasanya begitu. Peranku adalah mengatakan
"Ayo, maju terus. Untuk itulah kita kemari."
Tapi aku letih. Dan menggali terowongan ke gua konyol ini
juga bukan pengalaman yang menyenangkan.
Karena itu aku berkata,
telanjur jatuh ke tangan kita.
Chapter 20 KAMI terbang melewati celah vertikal yang membelah batu
karang. Di beberapa tempat, lebar celah itu tak sampai sejengkal. Di
tempat paling lebar pun, lebarnya cuma sekitar tiga puluh sentimeter.
Kami terbang dengan ujung sayap menyerempet dinding
karang. Kami terbang melalui dunia yang hanya terlihat melalui
pantulan suara.
menikmati pengalaman itu.
dan kemudian...
melihat lagi. Orang biasa menduga bahwa kelelawar buta, tapi itu
tidak benar. Aku bisa melihat tempat terbuka yang luas, yang diterangi
lampu-lampu stadion. Kami terbang berputar di puncak sebuah kubah. Celah yang
kami lewati membuka di tempat yang tinggi, hampir di ujung kubah.
Dan di bawah kami membentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan
kami: kolam Yeerk.
Pengendali-Manusia,> sahut Tobias.
Yeerk, ya kan" Jadi kenapa bubur gandumnya tidak langsung saja kita
tuang ke kolam Yeerk">
mulut">
Sayangnya aku tidak begitu ingat, soalnya waktu pelajaran exobiologi di sekolah
dulu, aku kadang-kadang...>
tenang dan santai dan tidak sepenuhnya waspada.>