Taiko Karya Eiji Yoshikawa Bagian 11
Shinpachiro mengendurkan genggaman.
Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu! Dengan mendorong Shinpachiro, Kyusaku akhirnya
berhasil membebaskan diri. Dalam sekejap tangannya menemukan belati dan mengayunkannya ke
leher Shinpachiro. Ujung belati tidak mengenai sasaran, tapi menyayat wajah Shinpachiro dari dagu
ke hidung, menusuk matanya.
"Musuh rekanku!" sebuah suara berseru dari belakang. Tak ada waktu untuk memenggal kepala
Shinpachiro. Melompat berdiri, Kyusaku segera menghadapi lawan barunya.
Kyusaku tahu bahwa beberapa anggota pasukan berani mati Asai berhasil menyusup mendekati
markas Nobunaga. Lawan yang kini dihadapinya berbalik dan melarikan diri. Sambil mengejar,
Kyusaku menebas lututnya dengan pedang.
Ketika menindih orang yang terluka itu dan mendudukinya dengan kaki terkangkang, Kyusaku
berseru, "Kau punya nama yang patut diucapkan" Ya atau tidak?"
"Namaku Kobayashi Hashuken. Aku tak akan mengatakan apa-apa selain bahwa aku menyesal
jatuh ke tangan samurai rendahan seperti kau sebelum sempat mendekati Nobunaga."
"Di mana Endo Kizaemon, orang paling berani dalam pasukan Asai" Kau orang Asai, kau pasti
tahu." "Aku tidak tahu sama sekali." "Buka mulutmu!"
"Aku tidak tahu."
"Kalau begitu, kau tak berguna lagi bagiku!" Kyusaku memenggal kepala Hashuken. Ia kembali
berlari, matanya menyala-nyala. Ia bertekad tidak membiarkan kepala Endo Kizaemon jatuh ke
tangan orang lain. Sebelum pertempuran dimulai, Kyusaku telah berkoar bahwa dialah yang akan
memperoleh kepala Kizaemon. Kini ia berlari ke arah tepi sungai, tempat mayat-mayat
bergelimpangan di rumput dan kerikil - tepi sungai kematian.
22 Pendekar Bloon Api Di Puncak Sembuang m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Di sana, di antara yang lain, ada satu mayat dengan wajah berlumuran darah yang tertutup rambut.
Kawanan lalat beterbangan di kaki Kyusaku. Kyusaku menoleh ketika menginjak mayat dengan
wajah tersembunyi di balik rambut itu. Sebenarnya tak ada yang aneh, tapi Kyusaku merasa
waswas. Dengan curiga ia menoleh, dan saat itulah mayat tadi bangku dan berlari ke arah markas
Nobunaga. "Lindungi Yang Mulia! Musuh datang!" teriak Kyusaku.
Ketika melihat Nobunaga, si samurai musuh hendak melompat sebuah tanggul rendah, tapi tali
sandalnya terinjak dan ia pun terjatuh. Kyusaku menindih orang itu dan segera meringkusnya. Pada
waktu Kyusaku menggiringnya ke markas Nobunaga, si samurai berteriak, "Cepat, tebaslah leherku!
Sekarang juga! Jangan permalukan sesama prajurit!"
Ketika tawanan lain yang juga tengah digiring melihat laki-laki itu berteriak-teriak, ia berkata tanpa
berpikir, "Tuan Kizaemon! Tuan pun ditangkap hidup-hidup?"
Orang yang sempat berlagak mati ini, dan kemudian diringkus Kyusaku, ternyata justru orang yang
memang diincarnya - Endo Kizaemon, prajurit Asai yang terkenal garang.
Mula-mula pasukan Oda berada di ambang kehancuran, tapi ketika pasukan Tokugawa di bawah
Ieyasu menyerbu dari samping, serangan musuh berhasil dipatahkan. Namun pihak musuh pun
memiliki baris kedua dan ketiga. Pada waktu mereka mendesak maju, lalu bergerak mundur, baik
pasukan musuh maupun pasukan Nobunaga bertempur tanpa ampun. Keadaan begitu kacau,
sehingga tak seorang pun sanggup menentukan pihak mana yang akan meraih kemenangan.
"Jangan bingung! Serbulah langsung ke perkemahan Nobunaga!"
Sejak semula, inilah tujuan barisan kedua pasukan Asai. Tapi mereka maju terlalu jauh, dan
akhirnya menembus sampai ke barisan belakang marga Oda. Pasukan Tokugawa pun berhasil
mendobrak pertahanan di seberang sungai, dan dengan seruan, "Jangan sampai dikalahkan
pasukan Oda!" mereka mendesak menuju perkemahan Asakura Kagetake.
Tapi kemudian terlihat bahwa para prajurit Tokugawa sudah terlalu jauh meninggalkan
sekutu-sekutu mereka dan kini dikelilingi musuh. Pertempuran berlangsung dalam keadaan
kacau-balau. Seperti ikan yang tak dapat melihat sungai tempatnya berenang, tak seorang pun
sanggup memahami situasi secara keseluruhan. Masing-masing prajurit berjuang mempertahankan
nyawa. Begitu seseorang merobohkan lawannya, ia segera menghadapi wajah lawan berikut.
Dari atas, kedua pasukan terlihat seakan-akan tersedot ke dalam pusaran raksasa. Dan sesuai
dugaan, Nobunaga memandang situasinya tepat seperti itu. Hideyoshi pun melihat pertempuran
secara keseluruhan. Tampaknya saat inilah yang akan menentukan kalah atau menang.
Nobunaga membenturkan tombak ke tanah, berseru, "Pasukan Tokugawa terjebak! Jangan biarkan
mereka berjuang sendiri! Bantulah Yang Mulia Ieyusu!" Tapi sisa kekuatan pasukan di kiri-kanan
tidak memadai. Seruan Nobunaga sia-sia belaka. Kemudian, dari rumpun pohon di tepi utara,
sekelompok orang bergegas membelah kekacauan dan menuju tepi seberang, memercikkan air
dengan setiap langkah. Hideyoshi, walaupun tidak mendengar perintah Nobunaga, juga telah memahami situasi. Nobunaga
23 Pendekar Bloon Api Di Puncak Sembuang m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
melihat panji Hideyoshi dengan lambang labu emas, dan berkata dalam hati, "Ah, bagus! Hideyoshi
sudah bergerak." Sambil menghapus keringat dari mata, Nobunaga berkata pada para pembantu di sekelilingnya,
"Saat seperti ini takkan terulang lagi. Pergilah ke sungai dan lihat apa yang dapat kalian lakukan."
Ranmaru dan yang lain - bahkan yang paling muda pun - berlari menghampiri musuh, semuanya
berlomba-lomba untuk tiba lebih dulu. Pasukan Tokugawa, yang telah menembus jauh ke wilayah
musuh, memang menghadapi kesulitan. Tapi dalam permainan catur ini, Ieyasu yang lihai
merupakan bidak yang berada di posisi menentukan.
Nobunaga takkan membiarkan bidak ini gugur, Ieyasu berkata pada diri sendiri. Anak buah Ittetsu
mengikuti anak buah Hideyoshi. Akhirnya pasukan Ikeda Shonyu pun menyerbu. Tiba-tiba pasang
surut pertempuran telah berubah, dan pasukan Oda berada di atas angin. Para prajurit Asakura
Kagetake mundur lebih dari tiga mil, dan pasukan Asai Nagamasa terburu-buru melarikan diri ke
Benteng Odani. Mulai saat itu, pertempuran berubah menjadi pengejaran. Orang-orang Asakura dikejar sampai ke
Gunung Oyose, sementara Asai Nagamasa berlindung di balik tembok Benteng Odani. Nobunaga
menangani ekor pertempuran dalam dua hari, dan pada hari ketiga ia kembali ke Gifu. Ia bergerak
secepat burung pelatuk yang pada malam hari terbang di atas Sungai Ane. Mayat-mayat
bergelimpangan di kedua tepi sungai.
*** Orang besar tidak lahir karena kemampuannya semata-mata. Ia pun harus memiliki kesempatan. Ia
sering kali dikelilingi perasaan dengki yang mempengaruhi wataknya, seakan-akan sengaja ingin
menyiksa. Pada waktu musuh-musuh telah muncul dalam segala macam bentuk, balk terlihat
maupun tidak, dan bergabung untuk menderanya dengan setiap penderitaan yang dapat
dibayangkan, pada saat itulah ia menjalani ujian sesungguhnya.
Segera setelah pertempuran di Sungai Ane, Nobunaga mundur begitu cepat, sehingga para jendral
di berbagai kesatuannya bertanya-tanya apakah telah terjadi sesuatu di Gifu. Tentu saja strategi
yang disusun oleh para anggota staf tidak dipahami oleh para bawahan. Desas-desus yang beredar
mengatakan bahwa Hideyoshi mengusulkan merebut benteng utama marga Asai di Odani guna
menghabisi mereka untuk selama-lamanya, tapi ditolak oleh Nobunaga. Keesokan harinya
Nobunaga malah mengangkat Hideyoshi sebagai komandan Benteng Yokoyama, sebuah benteng
musuh yang telah ditinggalkan, sementara ia sendiri kembali ke Gifu.
Bukan para prajurit saja yang tidak memahami mengapa Nobunaga begitu tergesa-gesa kembali ke
Gifu. Kemungkinan besar para pembantu terdekatnya pun tidak mengetahui alasan sesungguhnya.
Satu-satunya orang yang mungkin sanggup membayangkannya adalah Ieyasu. Matanya yang
netral tak pernah lepas lama dari Nobunaga - tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh; tanpa
perasaan berlebihan, tapi juga tidak terlalu dingin.
Pada hari keberangkatan Nobunaga, Ieyasu pun kembali ke Hamamatsu. Dalam perjalanan, ia
berkata kepada para jendralnya, "Begitu Yang Mulia Nobunaga melepaskan baju tempurnya yang
berlumuran darah, dia akan berpakaian untuk ke ibu kota dan memacu kudanya langsung ke Kyoto.
Jiwanya seperti kuda jantan muda yang tak bisa diam."
24 Pendekar Bloon Api Di Puncak Sembuang m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Dan memang itulah yang terjadi. Ketika Ieyasu tiba di Hamamatsu, Nobunaga sudah dalam
perjalanan ke Kyoto. Tapi ini tidak berarti telah terjadi sesuatu di ibu kota. Yang paling ditakutkan
Nobunaga adalah sesuatu yang tak dapat dilihatnya - musuh yang tidak kasat mata.
Nobunaga mengungkapkan kecemasannya pada Hideyoshi. "Menurutmu, apa yang paling
merisaukan-ku" Kau tahu, bukan?"
Hideyoshi memiringkan kepala dan berkata, "Hmm. Bukan Takeda dari Kai, yang selalu mengintai
dari belakang dan menunggu kesempatan, juga bukan marga Asai dan Asakura. Yang Mulia Ieyasu
patut diwaspadai, tapi beliau cerdas, sehingga tak perlu dikhawatirkan sama sekali. Orang-orang
Matsunaga dan Miyoshi menyerupai kawanan lalat, dan mereka berkerumun di sekitar kebusukan.
Musuh yang harus ditakuti hanyalah para biksu-prajurit Honganji, tapi rasanya sampai sekarang
mereka belum seberapa merepotkan bagi Yang Mulia. Berarti hanya satu orang yang tersisa."
"Dan siapa orang itu" Bicaralah."
"Dia bukan kawan maupun lawan. Tuanku telah menunjukkan rasa hormat, tapi jika tindakan tuanku
hanya sebatas itu, tuanku mungkin segera terjebak. Orang itu bermuka dua - oh, ampun, kata-kata
ini tak patut diucapkan. Bukankah kita berbicara mengenai sang Shogun?"
"Benar. Tapi jangan singgung soal ini di depan orang lain." Kecemasan Nobunaga menyangkut
orang ini, yang memang bukan kawan maupun lawan - Yoshiaki, sang Shogun.
Yoshiaki menanggapi kebaikan Nobunaga kepadanya dengan berurai air mata, dan bahkan berkata
bahwa ia menganggap Nobunaga seperti ayahnya sendiri. Jadi, mengapa Yoshiaki" Sikap bermuka
dua selalu tersembunyi di tempat-tempat paling tak terduga. Watak Yoshiaki dan Nobunaga sama
sekali tidak cocok; pendidikan mereka berbeda, begitu juga nilai-nilai yang mereka anut. Selama
Nobunaga membantunya, Yoshiaki memperlakukan Nobunaga sebagai dermawan. Tapi begitu ia
mulai terbiasa dengan kursi shogun, rasa terima kasihnya berubah menjadi kebencian.
"Gelandangan itu mengganggu saja," Yoshiaki dikabarkan berkata demikian. Ia mulai menghindari
Nobunaga, bahkan menganggapnya sebagai rintangan, dengan kekuasaan melebihi kekuasaannya
sendiri. Namun Yoshiaki tidak memiliki keberanian untuk memperlihatkan sikapnya secara terbuka
dan menggempur Nobunaga. Watak Yoshiaki sungguh gelap. Dan berhadapan dengan
kecemerlangan Nobunaga, Yoshiaki terus berkomplot sampai saat terakhir.
Di sebuah ruangan terpisah di dalam Istana Nijo, sang Shogun bercakap-cakap dengan utusan para
biksu-prajurit Honganji. "Sang Kepala Biara juga membencinya" Tak mengherankan bahwa kecongkakan dan
kesombongan Nobunaga membuatnya gusar."
Sebelum pergi, si utusan b
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
25Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah | http://cerita-silat.mywapblog.com | Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah pdf created by Saiful Bahri (Seletreng - Situbondo) pd 23-04-2016 08:24:49
erpesan, "Hamba mohon agar segala sesuatu yang hamba katakan tadi tetap dirahasiakan.
Kemudian, mungkin ada baiknya mengirim pesan-pesan rahasia ke Kai dan ke marga Asai dan
Asakura, agar kesempatan ini tidak berlalu dengan sia-sia."
Pada hari yang sama, di bagian lain Istana Nijo, Nobunaga menanti Yoshiaki untuk melaporkan
kedatangannya di ibu kota. Yoshiaki menenangkan diri, menampilkan sikap polos, dan pergi ke
ruang resepsi untuk bertemu dengan Nobunaga.
"Kabarnya pertempuran di Sungai Ane berakhir dengan kemenangan gemilang bagi pihak Oda.
Satu lagi bukti mengenai kehebatan militer Tuan. Selamat! Ini sungguh menggembirakan."
Nobunaga tak sanggup menyembunyikan senyum getir ketika mendengar sanjungan yang menjilat
ini, dan ia menjawab dengan ironis, "Tidak, tidak. Berkat kebijakan dan pengaruh Yang Mulia-lah
kami dapat bertempur dengan gagah, karena kami yakin takkan ada kejadian tak terduga seusai
pertempuran." Yoshiaki agak tersipu-sipu. Wajahnya bersemu merah seperti wajah perempuan. "Jangan khawatir.
Seperti Tuan lihat sendiri, keadaan di ibu kota tetap tenteram. Tapi apakah Tuan mendapat kabar
bahwa ada bahaya mengancam" Tuan bergegas ke sini seusai pertempuran."
"Tidak, hamba datang untuk melakukan kunjungan kehormatan karena pemugaran Istana
Kekaisaran telah rampung, untuk menangani masalah pemerintahan, dan tentu saja untuk
menanyakan kesehatan tuanku."
"Ah, begitukah?" Yoshiaki tampak agak lega. "Hmm, Tuan lihat sendiri bahwa aku sehat-sehat saja.
Roda pemerintahan pun berjalan mulus, jadi Tuan tak perlu cemas dan mengorbankan waktu untuk
begitu sering datang ke sini. Tapi mari, perkenankanlah aku mengadakan jamuan makan untuk
merayakan kemenangan Tuan."
"Hamba terpaksa menolak, Yang Mulia," ujar Nobunaga. "Hamba belum sempat menyampaikan
ucapan terima kasih kepada para perwira dan prajurit. Rasanya tak patut hamba menerima
undangan jamuan makan. Sebaiknya kita tunda saja sampai kesempatan hamba menghadap Yang
Mulia berikutnya." Kemudian Nobunaga mohon diri. Ketika ia kembali ke tempatnya menginap, Akechi Mitsuhide telah
menunggu untuk memberikan laporamiya.
"Seorang biksu yang mungkin utusan Kepala Biara Honganji, Kennyo, terlihat meninggalkan istana
sang Shogun. Pertemuan-pertemuan antara para biksu-prajurit dan sang Shogun agak
mencurigakan, bukan?" Sebelumnya Nobunaga telah mengangkat Mitsuhide menjadi komandan
pasukan penjaga Kyoto. Sesuai kedudukannya, Mitsuhide mencatat semua pengunjung Istana Nijo dengan cermat.
Nobunaga membaca laporan Mitsuhide sepintas lalu, dan berkata, "Bagus sekali." Ia muak karena
shogun itu begitu sukar diselamatkan, namun sekaligus merasa bahwa sikap Yoshiaki malah
menguntungkan baginya. Malam itu ia memanggil para petugas yang bertanggung jawab atas
pemugaran Istana Kekaisaran, dan ketika mendengar laporan mengenai kemajuan pekerjaan,
1 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
suasana hatinya bertambah cerah.
Keesokan harinya ia bangun pagi-pagi sekali dan meninjau bangunan-bangunan yang sudah
hampir selesai dikerjakan. Kemudian, setelah melakukan kunjungan kehormatan pada sang Tenno
di istana lama, ia kembali ke tempatnya menginap seiring dengan terbitnya matahari, dan
mengumumkan bahwa ia akan meninggalkan ibu kota.
Ketika Nobunaga tiba di Kyoto, ia mengenakan kimono. Tapi pada waktu hendak pergi ia memakai
baju tempur, karena tujuannya bukan Gifu. Sekali lagi ia mengunjungi medan pertempuran di
Sungai Ane, bertemu dengan Hideyoshi yang ditempatkan di Benteng Yokoyama, memberikan
perintah pada kesatuan-kesatuan yang tersebar di berbagai tempat, kemudian mengepung benteng
di Sawayama. Setelah menumpas musuh-musuhnya, Nobunaga kembali ke Gifu. Tapi bagi Nobunaga dan anak
buahnya, waktu untuk beristirahat dari kelelahan akibat panas musim kemarau belum tiba.
Justru di Gifu Nobunaga menerima surat-surat penting dari Hosokawa Fujitaka yang berada di
Benteng Nakanoshima di Settsu, serta dari Akechi Mitsuhide di Kyoto. Surat-surat ini memberitakan
bahwa pihak Miyoshi mengerahkan lebih dari seribu orang untuk membangun benteng-benteng di
Noda, Fukushima, dan Nakanoshima di Settsu. Mereka dibantu oleh para biksu-prajurit Honganji
beserta para pengikut mereka. Baik Mitsuhide maupun Fujitaka menekankan bahwa tak ada waktu
untuk menunda-nunda keputusan, dan menanyakan perintah Nobu-naga.
Kuil utama para biksu-prajurit dibangun pada masa yang penuh kerusuhan, dan konstruksinya
dibuat sedemikian rupa, sehingga sanggup menangkal berbagai gangguan. Di luar tembok batu ada
selokan pertahanan yang dalam dan dibentangi oleh sebuah jembatan. Walaupun Honganji
merupakan kuil, kontruksinya menyerupai benteng. Menjadi biksu di sini berarti menjadi prajurit, dan
jumlah biksu-prajurit di tempat ini tidak kalah dengan di Nara atau Gunung Hiei. Kemungkinan besar
di Honganji tak ada satu biksu pun yang tidak membenci Nobunaga, orang yang baru menanjak itu.
Mereka menuduhnya sebagai musuh sang Buddha yang mencemooh tradisi-tradisi, perusak
kebudayaan, dan setan yang tak mengenal batas, seekor binatang berwujud manusia.
Ketika Nobumori menghadapi orang-orang Honganji dan memaksa mereka menyerahkan sebagian
tanah mereka kepadanya, ia telah melangkah terlalu jauh. Kebanggaan kubu Buddha ini amat
besar, dan hak-hak istimewa yang mereka nikmati telah diteruskan secara turun-temurun sejak
zaman dulu. Laporan-laporan dari daerah barat dan daerah-daerah lain mulai berdatangan,
mengabarkan bahwa orang-orang Honganji sedang mempersenjatai diri. Kuil itu telah membeli dua
ribu senapan, jumlah para biksu-prajurit telah berlipat ganda, dan selokan-selokan baru digali di
sekitar kubu pertahanan. Nobunaga telah menduga bahwa mereka akan bersekutu dengan marga Miyoshi, dan bahwa sang
Shogun yang berhati lemah akan terbujuk untuk memihak mereka. Ia juga telah menyangka bahwa
propaganda busuk akan disebarkan ke rakyat jelata, dan bahwa tindakan ini akan menimbulkan
pemberontakan umum. Ketika menerima pesan-pesan penting dari Kyoto dan Osaka, Nobunaga tidak terlalu terkejut. Ia
justru semakin berkeras untuk memanfaatkan kesempatan, dan segera pergi ke Settsu. Dalam
perjalanan ke sana, ia mampir di Kyoto.
"Dengan segala kerendahan hati, hamba memohon agar Yang Mulia bersedia menyertai pasukan
2 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
hamba," Nobunaga berkata pada sang Shogun. "Kehadiran Yang Mulia akan membangkitkan
semangat pasukan hamba, dan akan mempercepat pelaksanaan hukuman."
Yoshiaki tentu saja enggan, tapi tak kuasa menolak. Dan meski timbul kesan bahwa Nobunaga
membawa seseorang yang tak berguna, sesungguhnya ia justru menarik keuntungan dengan
memanfaatkan nama sang Shogun untuk menabur benih-benih perselisihan di kalangan
musuh-musuhnya. **** Daerah antara Sungai Kanzaki dan Sungai Nakatsu di Naniwa merupakan dataran rawa yang luas,
dengan tanah pertanian tersebar di sana-sini. Nakajima di utara berada di tangan orang-orang
Miyoshi, sedangkan benteng kecil di selatan dipertahankan oleh Hosokawa Fujitaka. Pertempuran
berpusat di daerah ini, dan berlangsung sengit sejak awal sampai pertengahan bulan kesembilan,
kadang kala dengan kemenangan, kadang kala dengan kekalahan. Ini adalah perang terbuka
dengan melibatkan senjata api besar maupun kecil.
Di pertengahan bulan kesembilan, marga Asai dan Asakura, yang selama itu tetap mengurung diri
di benteng-benteng pegunungan sambil merenungkan kekalahan dan menanti sampai Nobunaga
membuat kesalahan, mengangkat senjata, menyeberangi Danau Biwa, dan mendirikan kemah di
tepi danau di Otsu dan Karasaki. Satu resimen bergabung dengan kubu Buddha di Gunung Hiei.
Untuk pertama kali, para biksu-prajurit dari beberapa sekte bersatu melawan Nobunaga.
Keluhan mereka serupa, "Nobunaga sewenang-wenang menyita tanah milik kami, dan menginjakinjak kehormatan kami."
Antara Gunung Hiei, marga Asai, dan Asakura terjalin ikatan erat. Ketiganya bersepakat untuk
memotong jalur mundur Nobunaga. Pasukan Asakura bergerak dari pegunungan di utara danau,
sementara pasukan Asai menyeberangi danau, lalu mendarat. Penyusunan pasukan kedua marga
mengisyaratkan bahwa mereka hendak merebut Otsu dan memasuki Kyoto. Kemudian, sambil
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menunggu di Sungai Yodo, mereka akan bergerak seiring pihak Honganji dan menghancurkan
Nobunaga dalam satu serangan.
Nobunaga telah terlibat pertempuran sengit selama beberapa hari, menghadapi para biksu-prajurit
serta pasukan Miyoshi dari benteng di Nakajima di daerah rawa-rawa antara Sungai Kanzaki dan
Sungai Nakatsu. Pada tanggal dua puluh dua, sebuah laporan samar namun mencemaskan
mengenai bencana yang datang dari belakang, sampai ke telinganya.
Keterangan terperinci belum dapat diperoleh, tapi Nobunaga menduga keterangan itu takkan
menggembirakan. Ia mengertakkan gigi, bertanya-tanya bencana apakah yang dimaksud.
Kemudian ia memanggil Katsuie dan mengembankan tanggung jawab atas barisan belakang
kepadanya. "Aku akan segera mundur dan menghancurkan marga Asai, marga Asakura, dan
Gunung Hiei sekaligus."
"Bukankah lebih baik kita menunggu satu malam lagi sampai laporan terperinci tiba?" tanya Katsuie,
berusaha mencegah junjungannya.
"Kenapa" Sekaranglah dunia akan berubah!" Setelah Nobunaga berkata demikian, tak ada yang
dapat mengubah pendiriannya. Ia berpacu ke Kyoto, berganti kuda lebih dari satu kali.
3 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tuanku!" "Betapa besar kemalangan ini!"
Tersedu-sedu, sejumlah pengikut berkerumun di depan rumah Nobunaga. "Adik tuanku, Yang Mulia
Nobuharu dan Mori Yoshinari gugur dengan gagah di Uji, setelah bertempur sengit selama dua hari
dua malam." Orang pertama tak sanggup melanjutkan laporannya, sehingga salah satu rekannya menyambung
dengan suara bergetar, "Orang-orang Asai dan Asakura beserta sekutu mereka, para biksu,
membawa pasukan berkekuatan dua puluh ribu orang, sehingga serangan mereka tak berhasil
dipatahkan." Seolah tidak terpengaruh, Nobunaga menanggapi, "Jangan hanya membacakan nama orang-orang
mati yang takkan kembali pada saat seperti ini. Aku ingin tahu perkembangan terakhir! Seberapa
jauh musuh berhasil mendesak maju" Di mana garis depan" Apakah Mitsuhide ada di sini" Kalau
dia ada di depan, segera panggil dia ke sini. Panggil Mitsuhide!"
Hutan panji-panji mengelilingi Kuil Mii - markas besar marga Asai dan Asakura. Pada hari
sebelumnya, para jendral telah mengamati kepala adik Nobunaga, Nobuharu, di hadapan
kerumunan orang. Setelah itu mereka memeriksa kepala para prajurit Oda yang termasyhur, satu
per satu, sampai mereka sendiri hampir bosan.
"Ini pembalasan atas kekalahan kita di Sungai Ane. Aku merasa jauh lebih enak sekarang," salah
seorang bergumam. "Aku tetap belum puas, sampai kepala Nobunaga tergeletak di depan kaki kita!" orang lain
menimpali. Kemudian seseorang tertawa dengan suara parau, dan berkata dengan logat utara yang kental,
"Anggap saja kepalanya sudah di hadapan kita. Nobunaga menghadapi orang-orang Honganji dan
Miyoshi di depan, sedangkan kita berada di belakangnya. Ke mana dia mau melarikan diri" Dia
bagaikan ikan dalam jala!"
Lebih dari sehari mereka mengamati kepala demi kepala, sampai muak dengan bau darah. Ketika
malam tiba, botol-botol sake dibawa ke markas untuk membantu menaikkan semangat para
pemenang. Pada waktu sake mulai mengalir, pembicaraan beralih pada strategi.
"Apakah kita harus masuk ke Kyoto, atau merebut leher botol di Otsu, lalu berangsur-angsur
merapatkan barisan dan menariknya seperti ikan besar di dalam jala?" salah satu jendral
mengusulkan. "Kita harus maju ke ibu kota dan menumpas Nobunaga di Sungai Yodo dan di ladang-ladang
Kawachi," jendral lain membalas.
"Percuma saja!"
Jika seseorang menjagokan taktik tertentu, orang lain segera menentangnya. Sebab, meskipun
orang-orang Asai dan Asakura disatukan oleh tujuan yang sama, kalau menyangkut diskusi dalam
4 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
jajaran atas, masing-masing orang merasa perlu memamerkan pengetahuannya yang dangkal dan
menegakkan reputasinya. Akibatnya sampai tengah malam belum ada kata sepakat.
Jemu dengan debat tanpa hasil ini, salah satu jendral Asai pergi ke luar. Ketika menatap langit
malam, ia berkomentar, "Langit merah sekali, ya?"
"Pasukan kita membakar rumah-rumah petani mulai dari Yamashina sampai ke Daigo," seorang
penjaga menanggapinya. "Untuk apa" Rasanya percuma saja membakar daerah itu, bukan?"
"Justru sebaliknya. Kita harus menghalau musuh," balas jendral dari pihak Asakura yang
mengeluarkan perintahnya. "Pasukan penjaga Kyoto di bawah Akechi Mitsuhide bergerak
seakan-akan semuanya siap menyambut kematian. Kita pun harus memperlihatkan kegarangan."
Fajar telah tiba. Otsu merupakan persimpangan jalan-jalan utama menuju ibu kota, tapi kini tak
seorang pun terlihat. Lalu seorang penunggang kuda lewat, diikuti beberapa saat kemudian oleh
dua atau tiga penunggang lagi. Mereka kurir militer, berkuda dari arah ibu kota, berpacu ke Kuil Mii,
seolah-olah nyawa mereka sedang dipertaruhkan.
"Nobunaga sudah hampir mencapai Keage. Pasukan-pasukan Akechi Mitsuhide bergabung untuk
membentuk barisan depan, dan mereka terus mendesak maju tanpa dapat dibendung."
Para jendral nyaris tak mempercayai pendengaran mereka.
"Pasti bukan Nobunaga sendiri! Tak mungkin dia begitu cepat kembali dari medan laga di Naniwa."
"Sekitar dua ratus sampai tiga ratus prajurit kita di Yamashina sudah gugur. Musuh sedang
mengamuk, dan seperti biasa, Nobunaga sendiri yang memberi perintah. Dia melesat bagaikan
setan atau dewa berkuda, dan dia menuju ke sini!"
Baik Asai Nagamasa maupun Asakura Kagetake menjadi pucat. Nagamasa yang paling panik.
Nobunaga kakak istrinya, orang yang sebelum ini memperlakukannya dengan ramah. Kegarangan
yang diperlihatkan Nobunaga membuatnya gemetar.
"Mundur! Kembali ke Gunung Hiei!" Nagamasa berseru tanpa berpikir.
Asakura Kagetake menangkap nada mendesak dalam suara sekutunya. "Kembali ke Gunung Hiei!"
Secara bersamaan ia meneriakkan perintah kepada anak buahnya yang terperanjat. "Bakar
rumah-rumah petani di sepanjang jalan! Jangan, tunggu sampai barisan depan kita lewat. Setelah
itu bakar semuanya! Bakar semuanya!"
Angin panas menghanguskan alis Nobunaga. Bunga api menggosongkan bulu tengkuk kudanya
dan rumbai-rumbai pada pelananya. Mulai dari Yamashina sampai Otsu, nyala api yang melalap
rumah-rumah petani di sepanjang jalan, serta lidah api yang seakan berputar-putar di udara tak
sanggup mencegahnya untuk mencapai tujuan. Ia sendiri telah menjadi obor menyala, dan
prajurit-prajuritnya menyerupai lautan api.
"Pertempuran ini upacara penghormatan bagi Yang Mulia Nobuharu!"
5 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Mereka pikir kita takkan membalas kematian rekan-rekan kita?"
Tapi pada waktu mereka tiba di Kuil Mii, tak seorang prajurit musuh pun kelihatan. Semuanya telah
melarikan diri ke Gunung Hiei.
Ketika memandang ke arah gunung, mereka melihat bahwa pasukan musuh berkekuatan lebih dari
dua puluh ribu orang, ditambah lagi dengan para biksu-prajurit, membentang sampai ke
Suzugamine, Aoyamadake, dan Tsubogasadani. Panji-panji yang tampak berkibar-kibar seolah-olah
berkata, "Kami tidak kabur. Mulai sekarang, susunan tempur yang akan bicara."
Nobunaga menatap gunung yang menjulang tinggi dan berkata dalam hati, "Inilah tempatnya.
Musuhku bukan gunung ini. Hak-hak istimewa yang dimilikinya yang harus kugempur." Kini
Nobunaga melihatnya dengan mata berbeda. Sejak zaman dulu, melewati masa kekuasaan kaisar
demi kaisar, tradisi dan hak-hak istimewa gunung ini telah merepotkan para penguasa negeri serta
rakyat jelata. Adakah pancaran sang Buddha di gunung ini"
Ketika sekte Tendai pertama kali dibawa dari Cina ke Jepang, Dengyo, pendiri kuil pertama di
Gunung Hiei, bersenandung, "Semoga pancaran Sang Buddha yang murah hati memberikan
perlindungan kepada balok-balok kuyu yang kita dirikan di tempat ini." Apakah lentera kemuliaan
dinysuci ini agar para biksu dapat memaksakan kehendak mereka kepada sang Tenno di Kyoto"
Agar mereka dapat mencampuri pemerintahan dan menjadi semakin kuat dengan hak-hak
istimewa" Agar mereka dapat bersekutu dengan panglima-panglima perang, berkomplot dengan
orang awam, dan mengacaukan seantero negeri" Apakah lenteranya dinyalakan agar ajaran sang
Buddha dapat dilengkapi dengan baju dan helm tempur, agar seluruh gunung menjadi tempat untuk
menderetkan tombak, senapan, dan panji-panji perang"
Nobunaga menitikkan air mata kemarahan. Jelas baginya bahwa semua ini merupakan
penghujatan. Gunung Hiei dibentuk untuk melindungi bangsa, dan karenanya diberi hak-hak
istimewa. Tapi ke manakah tujuan semula itu sekarang" Kuil utama, ketujuh tempat keramat,
biara-biara di pagoda timur dan barat hanyalah barak setan bersenjata dengan jubah biksu.
Baiklah! Nobunaga menggigit bibirnya begitu keras, hingga giginya berlumuran darah. Biarlah
mereka menyebutku raja setan yang menghancurkan ajaran Buddha! Keindahan gunung ini
hanyalah daya tarik palsu, dan para biksu bersenjata tak lebih dari segerombolan orang tolol. Aku
akan menghanguskan mereka dengan api peperangan dan membiarkan Buddha sesungguhnya
bangkit dari abu yang tersisa.
Pada hari yang sama ia memerintahkan agar seluruh gunung dikepung. Tentu saja pasukannya
memerlukan beberapa hari untuk menyeberangi danau, melewati gunung-gunung, dan bergabung
dengannya. "Darah adikku dan Mori Yoshinari belum mengering. Biarkan jiwa mereka yang setia dan tak
tergoyahkan berbaring dalam damai. Biarkan darah mereka menjadi lentera yang akan menerangi
dunia!" Nobunaga berlutut dan merapatkan tangannya untuk berdoa. Gunung suci telah dijadikannya
musuh, dan ia telah memerintahkan pasukannya untuk mengepung. Kini, di atas sepotong tanah,
Nobunaga merapatkan tangan dalam doa dan meratap. Tiba-tiba ia melihat salah satu
pembantunya mencucurkan air mata, juga dengan tangan dirapatkan. Rupanya Ranmaru, yang
telah kehilangan ayahnya, Mori Yoshinari.
6 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Ranmaru, kau menangis?" "Maafkan hamba, tuanku."
"Kumaafkan. Tapi berhentilah menangis, atau arwah ayahmu akan menertawakanmu."
Tetapi kedua mata Nobunaga sendiri pun mulai memerah. Setelah memerintahkan agar kursi
panglima dipindahkan ke puncak sebuah bukit, ia mengamati susunan pasukan pengepung. Sejauh
mata me- mandang, bukit-bukit di kaki Gunung Hiei dipenuhi panji-panji pasukannya.
Setengah bulan berlalu. Pengepungan Gunung Hiei - sebuah strategi yang tak lazim bagi
Nobunaga - terus berlanjut. Ia telah memotong jalur suplai musuh, dan berusaha agar mereka mati
kelaparan. Rencananya sudah mulai menampakkan hasil. Dengan pasukan berkekuatan lebih dari
dua puluh ribu orang, lumbung-lumbung di gunung dengan cepat terkuras habis. Mereka bahkan
sudah mulai makan kulit pohon.
Musim gugur telah menjelang akhir, dan cuaca dingin di gunung membawa lebih banyak
penderitaan bagi pasukan yang bertahan.
"Rasanya waktunya sudah tiba, bukan?" Hideyoshi berkata pada Nobunaga.
Nobunaga memanggil seorang pengikut, Ittetsu. Setelah menerima perintah Nobunaga dan disertai
empat atau lima pembantu, Ittetsu mendaki Gunung Hiei dan bertemu dengan Kepala Biara Pagoda
Barat, Sonrin. Sonrin dan Ittetsu sudah cukup lama saling mengenai, dan sebagai tanda persahabatan mereka,
Ittetsu datang untuk membujuknya agar menyerah.
"Aku tidak memahami jalan pikiranmu, tapi sebagai sahabat, kuanjurkan agar lelucon ini tidak
dibawa terlalu jauh," balas Sonrin, terguncang-guncang karena tawa. "Aku memperkenankan
pertemuan ini karena kupikir kau datang untuk minta izin menyerah pada kami. Betapa bodohnya
meminta kami menyerah dan pergi dari sini! Tidak sadarkah kau bahwa kami telah bertekad
melawan sampai akhir" Hanya orang gila yang mungkin datang ke sini, lalu bicara tak keruan."
Mata para biksu-prajurit lain tampak menyala-nyala, dan mereka melotot ke arah Ittetsu.
Setelah membiarkan si Kepala Biara bicara, Ittetsu berkata dengan tenang dan berhati-hati, "Yang
Terhormat Dengyo mendirikan kuil ini demi kedamaian dan perlindungan Istana Kekaisaran, serta
untuk ketenteraman seluruh bangsa. Kurasa tidak pada tempatnya para biksu mengenakan baju
tempur, mengacungkan pedang dan tombak, melibatkan diri dalam kancah politik, dan bersekutu
dengan pasukan pemberontak, atau membuat sang Tenno menderita. Para biksu sebaiknya
kembali menjadi biksu! Usirlah orang-orang Asai dan Asakura dari gunung suci ini, letakkan
senjata-senjata kalian, dan kembalilah ke peran semula sebagai pengikut sang Buddha!" Ittetsu
berbicara dari lubuk hari, tanpa memberi kesempatan kepada para biksu untuk menyisipkan
sepatah kata pun. "Selain itu," ia melanjutkan, "jika kalian tidak menaati perintah Tuan Nobunaga,
Yang Mulia akan membumihanguskan kuil utama, ketujuh tempat keramat, serta biara-biara, dan
membunuh semua orang di gunung ini. Pertimbangkanlah ini masak-masak dan singkirkanlah
perasaan keras kepala. Apakah kalian akan mengubah gunung ini menjadi neraka, atau menyapu
bersih semua kejahatan dan melestarikan lentera di tanah yang suci ini?"
7 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tiba-tiba para biksu yang menyertai Sonrin mulai berteriak-teriak.
"Ini percuma saja!"
"Dia hanya membuang-buang waktu!"
"'Tenang!" Sonrin memerintahkan sambil tersenyum mengejek. "Pidatomu luar biasa menjemukan,
tapi aku akan menanggapinya dengan sopan. Gunung Hiei bukanlah tempat biasa, dan memiliki
prinsip-prinsip tersendiri. Kau terlalu mencampuri urusan orang lain. Tuan Ittetsu, hari sudah sore.
Tinggalkanlah gunung ini dengan segera."
"Sonrin, dapatkah kau mengambil keputusan seorang diri" Mengapa kau tidak berunding dengan
orang-orang terpelajar dan para tetua, lalu membahas urusan ini secara cermat?"
"Gunung ini merupakan satu jiwa dan satu badan. Suaraku mewakili semua kuil di Gunung Hiei."
"Kalau begitu, apa pun yang..."
"Dasar bodoh! Kami akan melawan setiap serangan militer sampai akhir. Kami akan melindungi
kebebasan tradisi-tradisi kami dengan darah kami sendiri! Enyahlah dari sini!"
"Baiklah kalau itu yang kauinginkan." Ittetsu tidak beranjak. "Sayang sekali. Bagaimana kalian akan
melindungi pancaran sang Buddha dengan darah kalian" Apa sebenarnya kebebasan yang hendak
kalian lindungi" Tradisi-tradisi mana yang kaumaksud" Bukankah semuanya tak lebih dari tipu
muslihat yang dimanfaatkan untuk menjamin kemakmuran kuil" Hah, semua itu tidak berlaku di
dunia sekarang. Perhatikanlah pertanda zaman. Orang-orang serakah yang menutup mata dan
berusaha menghalangi kemajuan demi kepentingan mereka sendiri akan terbakar habis bersama
daun-daun yang gugur." Kemudian Ittetsu kembali ke perkemahan Nobunaga.
Angin musim dingin meniupkan daun-daun kering berputar-putar di puncak-puncak gunung. Baik
pagi maupun malam selalu ada embun beku. Sesekali angin dingin membawa hujan salju. Pada
waktu inilah kebakaran-kebakaran mulai melanda Gunung Hiei, hampir setiap malam. Suatu malam,
api berkobar di gudang bahan bakar Gedung Daijo; malam sebelumnya di Takimido. Malam ini pun,
walau belum larut, kebakaran terjadi di tempat tinggal para biksu di kuil utama, dan genta terdengar
berdentang-dentang. Karena banyak kuil besar di sekitarnya, para biksu bekerja keras agar api
tidak menyebar. Lembah-lembah Gunung Hiei tampak gelap di bawah langit yang merah.
"Kacau-balau!" salah seorang prajurit Oda berkomentar, lalu tertawa.
Angin dingin menerpa dahan-dahan pohon, dan para prajurit bertepuk tangan. Sambil
menghabiskan jatah nasi, mereka menonton lautan api. Desas-desus mengatakan bahwa
kebakaran-kebakaran itu direncanakan oleh Hideyoshi, dan disulut oleh para pengikut marga
Hachisuka. Pada malam hari, para biksu disibukkan oleh kebakaran-kebakaran, dan pada siang hari mereka
menguras tenaga untuk menyiapkan pertahanan. Selain itu, persediaan makanan dan bahan bakar
mereka mulai menipis, dan mereka tidak mempunyai perlindungan terhadap hawa dingin.
8 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Musim dingin pun melanda pegunungan, dan hujan salju turun lebat. Kedua puluh ribu prajurit yang
bertahan dan kesekian ribu biksu-prajurit mulai layu seperti tanaman yang terkena embun beku.
Pertengahan bulan kedua belas telah tiba. Tanpa baju tempur, hanya dengan jubah biksu, seorang
utusan menghampiri perkemahan Nobunaga, disertai empat atau lima biksu-prajurit.
"Aku ingin bicara dengan Yang Mulia Nobunaga," utusan itu berkata.
Ketika Nobunaga datang, ia mengenali si utusan sebagai Sonrin, kepala biara yang sebelumnya
bertemu dengan Ittetsu. Sonrin menyampaikan pesan bahwa karena pandangan kuil utama telah
berubah, ia bermaksud mengajukan tawaran damai.
Nobunaga menolak. "Apa yang kaukatakan pada utusan yang kukirim dulu" Apa kau tidak tahu
malu?" Nobunaga mencabut pedangnya.
"Keterlaluan!" si biksu berseru. Ia berdiri dan terhuyung-huyung ke samping ketika pedang
Nobunaga menebas mendatar.
"Pungut kepalanya dan kembali ke gunung. Itulah jawabanku!"
Para biksu menjadi pucat dan bergegas kembali ke markas mereka. Salju dan hujan bercampur es
yang bertiup melintasi danau juga bertiup ke perkemahan Nobunaga. Nobunaga telah memberikan
jawaban yang tak mungkin disalahartikan kepada Gunung Hiei, tapi pikiran mengenai bagaimana
menangani kesulitan besar lain berkecamuk dalam benaknya. Musuh yang tampak di depan
matanya hanyalah bayangan api pada tembok. Menyiram air ke tembok takkan memadamkan api,
dan sementara itu kebakaran sesungguhnya akan berkobar di balik punggungnya. Ini merupakan
hal lumrah dalam seni perang, namun Nobunaga tak sanggup memerangi sumber kebakaran,
meskipun ia mengetahui asal-usulnya. Sehari sebelumnya, ia menerima pesan penting dari Gifu
bahwa Takeda Shingen dari Kai mengerahkan pasukannya dan akan memanfaatkan ketidakhadiran
Nobunaga untuk mengadakan serangan. Selain itu, puluhan ribu pengikut Honganji dikabarkan
memberontak di Nagashima, di provinsinya sendiri, Owari, dan salah satu kerabatnya, Nobuoki,
dibunuh dan bentengnya direbut. Akhirnya, segala macam fitnah busuk yang menjelek-jelekkan
Nobunaga disebarkan di kalangan rakyat jelata, dan para biksu-prajurit menghasut orang-orang
Takeda untuk bergabung dengan mereka.
Dapat dimengerti bahwa Shingen memberontak. Setelah berhasil mengadakan gencatan senjata
dengan musuh lamanya, marga Uesugi dari Echigo, Shingen mengalihkan perhatiannya ke arah
barat. "Hideyoshi! Hideyoshi!" Nobunaga memanggil. "Ya, tuanku."
"Cari Mitsuhide. Kalian berdua harus segera membawa surat ini ke Kyoto."
"Surat untuk sang Shogun?"
"Betul. Dalam suratku, aku meminta sang Shogun sebagai penengah, tapi lebih baik jika beliau juga
mendengarnya langsung dari mulutmu."
"Tapi kalau begitu, mengapa tuanku tadi memenggal kepala utusan dari Gunung Hiei?"
9
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tidak mengertikah kau" Kalau aku tidak melakukannya, mungkinkah kita mengadakan
perundingan damai" Kalaupun kita mencapai kesepakatan, mereka pasti akan melanggarnya dan
mengejar-ngejar kita."
"Tuanku benar. Sekarang hamba mengerti."
"Tak pengaruh di pihak mana kau berada, tak peduli di mana pun api tampak, kebakaran ini hanya
memiliki satu sumber. Tak salah lagi, ini ulah sang Shogun bermuka dua, yang gemar bermain api.
Kita harus menempatkannya sebagai penengah dalam perundingan damai, lalu mundur secepat
mungkin." Negosiasi damai pun dimulai. Yoshiaki datang ke Kuil Mii dan berupaya meredakan Nobunaga dan
mendamaikan kedua belah pihak. Orang-orang Asai dan Asakura menganggapnya sebagai
kesempatan menguntungkan, dan pada hari yang sama mereka meninggalkan Gunung Hiei.
Pada hari keenam belas, seluruh pasukan Nobunaga mengambil jalan darat, dan dengan melewati
jembatan terapung di Seta, mundur ke Gifu.
Shingen si Kaki Panjang MESKIPUN Amakasu Sanpei bersaudara dengan salah satu jendral marga Kai, ia menghabiskan
sepuluh tahun terakhir dalam kedudukan rendah, karena memiliki bakat istimewa - kemampuannya
untuk berlari kencang dalam jarak jauh.
Sanpei adalah pemimpin ninja marga Takeda - orang-orang yang bertugas memata-matai provinsi
lain, membentuk persekutuan gelap, dan menyebarkan desas-desus palsu.
Sejak masa muda, bakat Sanpei sebagai pejalan dan pelari yang gesit telah mengesankan
teman-temannya. Ia sanggup mendaki gunung mana pun dan berjalan dua puluh sampai tiga puluh
mil dalam sehari. Namun ia tak sanggup mempertahankan kecepatannya hari demi hari. Perjalanan
pulang dari suatu tempat terpencil biasa ditempuhnya dengan berkuda, kalau medannya
mengizinkan, tapi jika menghadapi jalan-jalan setapak yang terjal, ia mengandalkan kedua kakinya
yang kuat. Karena inilah ia selalu menempatkan kuda di titik-titik penting di sepanjang jalur-jalur
yang dilewatinya - sering kali di pondok pemburu atau tukang kayu.
"Hei, tukang arang! Pak Tua, kau di rumah?" Sanpei memanggil ketika turun dari kuda di depan
gubuk pembuat arang. Ia bermandikan keringat, begitu pula kuda yang ditungganginya.
Musim semi baru berganti dengan musim panas. Daun-daun di gunung-gunung masih tampak hijau
pucat, sementara di daerah rendah suara jangkrik sudah mulai terdengar.
Dia tidak ada, pikir Sanpei. Ia menendang pintu reyot yang segera terbuka. Sanpei membawa kuda
yang hendak ditinggalkannya di dalam. Setelah mengingat10 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
nya ke sebuah tiang, ia pergi ke dapur dan mengambil nasi, sayur asin, dan teh.
Begitu selesai mengisi perut, ia mencari tinta dan kuas, lalu menuliskan pesan pada secarik kertas.
Kemudian ia menggunakan beberapa butir nasi sisa untuk melekatkan kertas itu ke tutup tempat
nasi. Ini bukan ulah musang. Akulah, Sanpei, yang menyantap makananmu. Kutinggalkan kudaku di sini
agar kau mengurusnya dengan baik, sampai aku mampir lagi.
Ketika Sanpei hendak berangkat, kudanya mulai menendang-nendang dinding, tak ingin tuannya
pergi. Namun pemiliknya yang berhati dingin menoleh pun tidak, melainkan segera menutup pintu.
Terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa kakinya yang hebat membawanya terbang, tapi ia memang
bergegas dengan kecepatan tinggi menuju Provinsi Kai yang bergunung-gunung. Sejak awal,
tujuannya adalah ibu kota Kai, Kofu. Dan kecepatan yang dikembangkannya mengisyaratkan
bahwa ia membawa laporan yang sangat penting.
Keesokan paginya Sanpei telah melintasi beberapa barisan pegunungan dan melihat aliran Sungai
Fuji di sebelah kanan bawah. Atap-atap yang tampak di antara kedua sisi lembah adalah atap-atap
Desa Kajikazawa. Ia ingin mencapai Kofu pada sore hari, tapi karena perjalanan lancar, ia beristirahat sejenak,
menatap matahari musim panas yang membakar Cekungan Kai. Tak pengaruh ke mana pun aku
pergi, tak peduli kesulitan yang dialami di suatu provinsi pegunungan, memang tak ada tempat yang
dapat menyaingi rumah sendiri. Pada waktu berpikir begitu, dengan tangan merangkul lutut, ia
melihat barisan kuda yang membawa ember-ember berisi sampang. Hmm, hendak ke manakah
mereka" tanyanya pada diri sendiri.
Amakasu Sanpei berdiri dan mulai menuruni gunung. Di tengah jalan ia berpapasan dengan kafilah
yang terdiri atas paling tidak seratus kuda. "Heiii!"
Laki-laki yang menuntun kuda paling depan ternyata kenalan lamanya. Sanpei segera bertanya,
"Sampangnya banyak sekali, bukan" Ke mana kau akan membawanya?"
"Ke Gifu," jawab orang yang ditanya. Melihat roman muka Sanpei yang penuh curiga, ia segera
memberi penjelasan tambahan, "Kami akhirnya selesai membuat sampang yang dipesan marga
Oda tahun lalu, jadi sekarang aku mengantarnya ke Gifu."
"Apa! Untuk orang-orang Oda?" Sambil mengerutkan kening, Sanpei seakan-akan tak mampu
tersenyum dan mengucapkan selamat jalan. "Berhati-hatilah. Jalanan sangat berbahaya."
"Kudengar para biksu-prajurit telah angkat senjata. Entah bagaimana nasib pasukan Oda."
"Aku tak bisa bercerita mengenai itu sebelum kusampaikan laporanku kepada Yang Mulia."
"Ah, benar. Kau baru kembali dari sana, bukan" Hmm, kalau begitu kita tak boleh
berbincang-bincang lebih lama di sana. Aku akan meneruskan perjalanan." Si pemimpin kafilah dan
keseratus kudanya melintasi punggung bukit dan menuju ke barat.
Sanpei menyaksikan kepergian mereka. Dalam hati ia berkata bahwa provinsi pegunungan tetap
hanya provinsi pegunungan. Berita dari luar selalu terlambat, dan biarpun pasukan kita kuat dan
11 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
jendral-jendral kita cerdik, kita tetap memiliki kekurangan serius. Beban tanggung jawabnya terasa
semakin berat, dan ia berlari ke kaki gunung dengan kecepatan burung walet. Sanpei mengambil
kuda lain di Desa Kajikazawa, dan dengan lecutan cemeti ia berpacu ke arah Kofu.
Benteng kokoh milik Takeda Shingen terletak di Cekungan Kai yang panas dan lembap.
Wajah-wajah yang jarang terlihat, kecuali pada waktu provinsi mengalami masalah berat dan
mengadakan rapat perang, kini satu per satu terlihat melewati gerbang benteng, sehingga para
penjaga gerbang pun menyadari bahwa sesuatu sedang terjadi. Di dalam benteng yang diselubungi
kehijauan daun muda, suasana hening hanya terusik oleh jangkrik yang sesekali terdengar
mengerik. Sejak pagi tidak banyak jendral yang pergi lagi. Sanpei memacu kudanya ke gerbang. Setelah turun
di tepi selokan, ia melintasi jembatan dengan berjalan kaki, menggenggam tali kekang di
tangannya. "Siapa itu?" Mata dan ujung tombak para penjaga tampak berkilau-kilau di pojok gerbang besi.
Sanpei mengikat kudanya ke pohon.
"Aku," ia membalas, memperlihatkan wajahnya kepada para prajurit, lalu bergegas ke dalam
benteng. Ia sering keluar-masuk benteng, jadi walau mungkin saja ada yang tidak tahu siapa ia
sebenarnya, tak satu penjaga gerbang pun yang tidak mengenali wajahnya atau mengetahui jenis
pekerjaannya. Di dalam benteng terdapat kuil Buddha yang dinamakan Bishamondo, mengambil nama dewa
pelindung daerah utara. Kuil ini berfungsi sebagai ruang meditasi Shingen, sebagai tempat
membahas masalah-masalah pemerintahan, dan sesekali sebagai tempat mengadakan rapat
perang. Shingen kini berdiri di serambi kuil. Tubuhnya seolah-olah melambai-lambai dalam
embusan angin dari batu-batu dan aliran air di pekarangan. Di luar baju perang, ia mengenakan
jubah merah seorang pendeta agung, yang seakan-akan tcrbuar dari kembang peoni berwarna
merah padam. Tinggi badannya sedang-sedang saja, tubuhnya kekar berotot. Tampak jelas bahwa ia bukan
sembarang orang. Orang-orang yang tak pernah bertemu dengan Shingen menganggapnya
menakutkan, tapi sesungguhnya tidak terlalu sukar didekati. Justru sebaliknya, ia cukup ramah.
Hanya dengan menatapnya, orang dapat merasakan ketenangan alami dan wibawa yang
dimilikinya, sedangkan janggutnya memberikan kesan keras hati pada wajahnya. Namun ini
memang ciri umum para laki-laki di Provinsi Kai.
Satu per satu para jendral bangkit dari tempat duduk masing-masing dan mohon diri. Mereka
mengucapkan sepatah-dua kata perpisahan dan membungkuk di hadapan junjungan mereka di
serambi. Rapat perang telah berlangsung sejak pagi, dan Shingen terus mengenakan baju tempur
di bawah jubah merahnya, persis seperti di medan tempur. Ia tampak agak lelah akibat hawa panas
dan diskusi-diskusi berkepanjangan. Sesaat setelah rapat berakhir, ia keluar ke serambi. Para
jendral telah pergi, tak ada orang lain, dan tak ada apa-apa di Bishamondo kecuali dinding-dinding
berlapis emas yang berkilau-kilau dalam terpaan angin, serta kicauan burung-burung yang
terdengar merdu di telinga.
Musim panas ini" Shingen memandang ke kejauhan, menatap gunung-gunung yang mengelilingi
provinsinya. Sejak pertempurannya yang pertama, saat ia berusia lima belas tahun, kariernya
dipenuhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi antara musim panas sampai musim gugur. Di sebuah
12 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
provinsi pegunungan, musim dingin berarti mengurung diri di dalam dan memupuk kekuatan. Tentu
saja pada waktu musim semi dan musim panas tiba, darah Shingen pun bergelora, dan ia
menghadap dunia luar sambil berkata, "Hah, sekaranglah waktu untuk bertempur!" Bukan hanya
Shingen, semua samurai Kai bersikap demikian. Para petani dan penduduk kota pun merasa
waktunya telah tiba, seiring dengan matahari musim panas.
Tahun ini Shingen berusia lima puluh, dan ia merasakan penyesalan mendalam - perasaan tak
sabar dengan tujuan hidupnya. Aku terlalu banyak bertempur demi pertempuran semata-mata,
katanya dalam hati. Aku bisa membayangkan bahwa di Echigo, Uesugi Kenshin pun merasakan hal
yang sama. Ketika teringat lawan tangguhnya selama bertahun-tahun, Shingen tak kuasa menahan senyum
getir. Tapi senyum yang sama membuat hatinya terasa pedih ketika ia mengingat tahun-tahun yang
telah berlalu. Berapa lama lagi ia akan hidup"
Kai tertutup salju selama sepertiga tahun. Dan walaupun orang bisa bersilat lidah bahwa pusat
dunia berada di tempat jauh, dan bahwa senjata-senjata terbaru sulit diperoleh, Shingen merasa ia
telah menyia-nyiakan usianya dengan bertempur melawan Kenshin.
Matahari bersinar cerah, bayang-bayang di bawah dedaunan tampak gelap.
Selama bertahun-tahun Shingen menganggap dirinya prajurit terbaik di seluruh bagian timur
Jepang. Kemampuan pasukannya, serta kemakmuran dan pemerintahan provinsinya memang
dihormati di seluruh negeri.
Meski demikian, Kai telah terlempar ke pinggir. Sejak tahun lalu, ketika Nobunaga mendatangi
Kyoto, Shingen merenungkan posisi Kai dan memandang dirinya dengan mata baru. Sasaran yang
ditetapkan marga Takeda ternyata terlalu rendah.
Shingen tak ingin menghabiskan sisa usianya dengan imerbeut sepotong tanah dari
provinsi-provinsi tetangga. Pada waktu Nobunaga dan Ieyasu masih anak ingusan dalam
gendongan pengasuh masing-masing, Shingen sudah berangan-angan menyatukan seluruh negeri
di bawah pemerintahannya yang bertangan besi. Ia menganggap provinsi pegunungan ini
semata-mata sebagai tempat tinggal sementara, dan ambisinya begitu besar, sehingga ia sempat
mengemukakan pemikiran tersebut kepada utusan-utusan dari ibu kota. Dan sesungguhnya
pertempuran-pertempuran tanpa akhir dengan Echigo yang bertetangga hanya merupakan awal
dari sekian banyak pertempuran yang akan menyusul. Tapi sebagian besar pertempuran
berlangsung melawan Uesugi Kenshin, dan telah menghabiskan sebagian besar sumber daya
provinsinya serta menyita banyak waktu.
Ketika Shingen menyadari ini, marga Takeda telah tertinggal di belakang Nobunaga dan Ieyasu.
Sejak dulu ia menyebut Nobunaga "si anak ingusan dari Owari" dan Ieyasu "si bocah dari Okazaki".
Setelah kupikir-pikir, ternyata aku telah melakukan kesalahan besar, ia mengakui dengan getir.
Ketika hanya terlibat dalam pertempuran-pertempuran, ia hampir tak pernah menyesalkan apa-apa;
tapi sekarang, pada waktu merenungkan kebijaksanaan diplomatik, ia menyadari bahwa ia telah
gagal. Mengapa ia tidak menuju tenggara ketika marga Imagawa dimusnahkan" Dan mengapa ia
diam saja melihat Ieyasu memperluas wilayahnya ke Suruga dan Totomi, padahal ia telah
menyandera kerabat Ieyasu"
13 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Kesalahan yang lebih besar lagi adalah menjalin hubungan persaudaraan dengan Nobunaga
dengan menempuh perkawinan atas permintaan si Penguasa Owari. Jadi, Nobunaga telah
memerangi musuhmusuhnya di barat dan selatan, sekaligus melangkah ke arah pusat permainan.
Sementara itu, sandera dari marga Ieyasu telah memperoleh kesempatan dan berhasil melarikan
diri, dan Ieyasu dan Nobunaga pun telah membentuk persekutuan. Kini semua orang dapat menilai
upaya diplomatik yang dijalankan Shingen.
Tapi takkan kubiarkan mereka berkomplot terus. Aku akan memperlihatkan pada mereka bahwa
aku Takeda Shingen dari Kai. Sandera dari marga Tokugawa berhasil meloloskan diri. Ini
memutuskan hubunganku dengan Ieyasu. Alasan apa lagi yang kuperlukan"
Itulah yang dikatakannya dalam rapat perang. Setelah mendapat kabar bahwa Nobunaga berkemah
di Nagashima dan rupanya terlibat pertempuran sengit, Shingen yang lihai melihat kesempatan
terbuka lebar. Amakasu Sanpei meminta salah seorang pembantu dekat Shingen mengumumkan bahwa ia telah
kembali. Namun, karena tak kunjung dipanggil, ia mengulangi permintaannya.
"Mungkin kedatanganku belum disampaikan pada Yang Mulia. Tolong beritahu beliau sekali lagi."
"Yang Mulia baru selesai mengadakan rapat dan tampak agak lelah," pembantu tadi menjawab.
Sanpei mendesak, "Justru sehubungan dengan rapat itu aku harus segera menghadap Yang Mulia.
Maaf, tapi aku terpaksa berkeras agar beliau segera dihubungi."
Rupanya kali ini pesan Sanpei disampaikan pada Shingen, dan ia segera dipanggil. Salah satu
penjaga mengawalnya sampai ke gerbang tengah Bishamondo. Di sana ia diserahkan pada
penjaga benteng dalam dan dibawa ke hadapan Shingen.
Shingen sedang duduk di kursi yang ditempatkannya di serambi Bishamondo. Bayangan daun-daun
muda dari sebatang pohon mengenai dirinya.
"Langsung saja, Sanpei. Kabar apa yang kaubawa untukku?" tanya Shingen.
"Pertama-tama, informasi yang hamba kirimkan sebelum ini telah berubah sama sekali. Jadi, untuk
mencegah terjadinya hal yang tak diinginkan, hamba datang ke sini secepat mungkin."
"Apa!" Situasi di Nagashima telah berubah" Bagai-mana maksudmu?"
"Orang-orang Oda sempat meninggalkan Gifu, seakan-akan hendak melakukan serangan
besar-besaran terhadap Nagashima. Tapi begitu Nobunaga tiba di medan laga, dia segera
memberikan perintah mundur. Pasukannya harus membayar mahal, tapi mereka mundur bagaikan
laut di kala surut."
"Mereka mundur. Lalu?"
"Perintah itu rupanya tak terduga, bahkan oleh pasukannya sendiri. Para prajuritnya saling berbisik
bahwa mereka tidak memahami jalan pikirannya, dan tidak sedikit yang tampak bingung sekali."
14 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Orang itu memang pintar! pikir Shingen, berdecak dan menggigit-gigit bibir. Sebenarnya sudah ada
rencana untuk memancing Ieyasu keluar dan menghancurkannya, sementara Nobunaga terjebak
oleh para biksu-prajurit di Nagashima. Tapi semuanya kandas, dan sekarang aku harus berhati-hati,
Shingen berkata pada diri sendiri. Kemudian, sambil menghadap ke ruang dalam kuil, ia tiba-tiba
memanggil, "Nobufusa! Nobufusa!" Cepat-cepat ia memerintahkan agar para jendral diberitahu
bahwa keputusan untuk menuju garis depan yang diambil dalam rapat tadi dibatalkan.
Baba Nobufusa, pengikut senior Shingen, tak sempat menanyakan alasannya. Disamping itu, para
jendral yang baru saja pergi pasti akan bingung, karena menyangka takkan ada kesempatan lebih
baik untuk menaklukkan marga Tokugawa. Namun Shingen sadar bahwa kesempatannya telah
berlalu, dan ia tak mungkin berpegang pada rencana semula. Ia justru harus mengambil tindakan
balasan dan mencari kesempatan berikut.
Setelah melepaskan baju tempur, ia kembali bertemu dengan Sanpei. Setelah menyuruh para
pengikut-nya pergi, dengan cermat Shingen mendengarkan laporan terperinci mengenai situasi di
Gifu, Ise, Okazaki, dan Hamamatsu. Belakangan, salah satu kecurigaan Sanpei ditepis oleh
Shingen. "Dalam perjalanan ke sini, hamba berpapasan dengan kafilah yang membawa sampang dalam
jumlah besar untuk orang-orang Oda, sekutu marga Tokugawa. Mengapa tuanku mengirim
sampang kepada marga oda?"
"Janji harus ditepati. Disamping itu, orang-orang Oda mungkin kurang waspada, dan karena
iring-iringan kuda itu harus melewati wilayah Tokugawa dulu, kupikir ini kesempatan baik untuk
mempelajari jalan ke Mikawa. Tapi ternyata upaya ini pun sia-sia belaka." Sambil bergumam
menyalahkan diri sendiri, ia melegakan diri di suatu tempat sepi.
Keberangkatan pasukan Kai yang hebat akhirnya ditunda, dan para prajurit melewatkan musim
panas tanpa berbuat apa-apa. Tapi ketika musim gugur mendekat, desas-desus kembali terdengar
di gunung-gunung sebelah barat dan bukit-bukit sebelah timur.
Pada suatu hari yang menyenangkan di musim gugur, Shingen berkuda ke tepi Sungai Fuefuki.
Hanya disertai segelintir pembantu, sosoknya yang pcnuh semangat, bermandikan cahaya
matahari, tampak bangga akan ke-sempurnaan pemerintahannya. Pancaindranya menangkap fajar
sebuah era baru. "Sekaranglah waktunya!" ia berkata dalam hati.
Tulisan pada papan di gerbang kuil berbunyi "Kentokuzan". Inilah kuil tempat tinggal Kaisen, orang
yang mengajarkan rahasia-rahasia Zen pada Shingen. Shingen membalas sapaan para biksu dan
pergi ke taman. Karena hanya bermaksud mampir sejenak, ia sengaja tidak memasuki kuil utama.
Tidak jauh dari sana ada pondok teh dengan dua ruangan saja. Air incngalir dari sebuah mata air.
Daun-daun berwarna kuning jatuh ke pipa air yang melintang di tengah lumut berbau semerbak di
taman batu. "Yang Terhormat, aku datang untuk mengucapkan selamat tinggal."
Kaisen mengangguk ketika mendengar kata-kata Shingen. "Jadi, tuanku telah membulatkan tekad?"
"Sudah cukup lama aku bersabar, menunggu kesempatan seperti ini, dan kurasa pada musim gugur
ini keberuntungan telah beralih padaku."
15 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Hamba mendapat kabar bahwa pasukan Oda akan menyerbu ke arah utara," ujar Kaisen.
"Kelihatannya Nobunaga mengerahkan pasukan yang bahkan lebih besar daripada tahun lalu untuk
mengancurkan Gunung Hiei."
"Begitulah," balas Shingen. "Kesabaran pasti akan berbuah. Aku bahkan menerima beberapa pesan
rahasia dari sang Shogun. Dalam pesan-pesan itu, sang Shogun mengatakan bahwa jika aku
menyerang pasukan Oda dari belakang, orang-orang Asai dan Asakura akan bangkit pada waktu
yang limn, dan dengan bantuan dari Gunung Hiei dan Nagashima, aku hanya perlu menendang
Ieyasu untuk kemudian segera menuju ibu kota. Tapi apa pun yang kulakukan, Gifu akan tetap
merupakan ancaman. Aku tak ingin mengulangi kesalahan Imagawa Yoshimoto, jadi aku menunggu
saat yang tepat. Aku berencana untuk menyergap Gifu secara tak terduga, lalu melintasi Mikawa,
Totomi, Owari, dan Mino bagaikan petir, dan kemudian menuju ibu kota. Kalau berhasil, kurasa aku
akan menyambut Tahun Baru di Kyoto, Kuharap Yang Terhormat tetap dalam keadaan sehat."
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau itulah yang harus terjadi," Kaisen berkata dengan muram.
Hampir dalam segala hal Shingen minta pendapat Kaisen, mulai dari urusan pemerintahan sampai
persoalan militer, dan ia percaya penuh pada Kaisen. Ia sangat peka terhadap ekspresi yang kini
ditangkapnya. "Rupanya Yang Terhormat kurang berkenan dengan rencanaku."
Kaisen mengangkat wajah. "Tak ada alasan bagi hamba untuk menentang-nya. Bagaimanapun, ini
cita- cita tuanku. Yang menyebabkan hamba merasa tidak tenang adalah rencana-rencana licik Shogun
Yoshiaki. Bukan tuanku saja yang menerima surat-surat rahasia berisi desakan untuk segera
menuju ibu kota. Hamba diberitahu bahwa Yang Mulia Kenshin pun menerima surat-surat serupa.
Dan rupanya sang Shogun juga mendesak Yang Mulia Mori Motonari untuk mengangkat senjata,
meski setelah itu beliau mening-gal."
"Aku tahu. Tapi, lebih dari apa pun, aku harus pergi ke Kyoto untuk mewujudkan rencana-rencana
besar yang kususun untuk negeri ini."
"Memang, hamba pun tak sanggup menerima kenyataan bahwa orang dengan kemampuan seperti
tuanku menghabiskan hidupnya di Kai," ujar Kaisen. "Hamba kira tuanku akan menemui banyak
kesulitan dalam perjalanan, namun pasukan di bawah komando tuanku belum terkalahkan. Tapi
ingatlah, hanya tubuh tuanku yang betul-betul merupakan milik tuanku, jadi pergunakanlah
keberadaan tuanku dengan bijak. Hanya ini pesan hamba."
Seorang biksu yang baru hendak mencedok air dari mata air yang jernih tiba-tiba menjatuhkan
embernya, dan sambil berteriak-teriak tak jelas, berlari di antara pepohonan. Bunyi mirip rusa berlari
terdengar bergema di taman. Biksu yang berusaha mengejar langkah yang kabur itu akhirnya
bergegas kembali ke pondok teh.
"Cepat kumpulkan orang-orang! Laki-laki mencurigakan baru saja melarikan diri dari sini," katanya.
Sebuah kuil bukanlah tempat bagi orang mencurigakan, dan ketika Kaisen menanyai si biksu,
semuanya terungkap. "Hamba belum melaporkan pada Yang Terhormat, tapi semalam seorang laki-laki mengetuk pintu
gerbang. Dia mengenakan jubah biksu pengelana, sehingga kami mengizinkannya bermalam.
16 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tentunya, kalau dia orang tak dikenal, kami takkan membiarkannya masuk. Tapi kami
mengenalinya sebagai Watanabe Tenzo, yang sebelumnya tergabung dalam pasukan ninja Yang
Mulia dan sering mengunjungi kuil ini bersama para pengikut Yang Mulia. Karena menyangka tak
ada masalah, kami membiarkannya tinggal di sini.
"Tunggu dulu," ujar Kaisen. "Bukankah ini lebih incncurigakan lagi" Seorang anggota pasukan ninja
menghilang di provinsi musuh selama bertahun-tahun, tanpa pernah ada kabar darinya. Tiba-tiba
dia mengetuk gerbang di tengah malam buta - berpakaian seperti biksu, lagi - dan meminta izin
untuk bermalam. Kenapa kalian tidak lebih cermat waktu menanyai dia?"
"Kami memang bersalah, tuanku. Tapi dia memberitahu kami bahwa dia ditahan ketika
memata-matai orang-orang Oda. Menurut pengakuannya, dia menghabiskan beberapa tahun di
penjara, tapi kemudian berhasil melarikan diri, dan kembali ke Kai dengan menyamar. Tadi pagi dia
mengatakan bahwa dia akan pergi ke Kofu untuk menemui Amakasu Sanpei, atasannya dalam
pasukan ninja. Kami betul-betul termakan oleh ucapannya, tapi waktu hamba hendak mengambil
ember di mata air, hamba melihat bajingan itu di bawah jendela pondok teh, menempel seperti
kadal." "Apa"! Dia menguping percakapanku dengan Yang Mulia?"
"Waktu mendengar langkah hamba dan berpaling ke arah hamba, dia kelihatan kaget. Kemudian
dia cepat-cepat berjalan ke arah pekarangan belakang, sehingga hamba memanggilnya,
menyuruhnya berhenti. Dia tidak memedulikan seruan hamba, malah mempercepat langkahnya.
Lalu, ketika hamba berteriak, 'Mata-mata!' dia berbalik dan mendelik ke arah hamba."
"Dia berhasil lolos?"
"Hamba berteriak sekuat tenaga, tapi semua pengikut Yang Mulia sedang makan siang. Hamba
tidak berhasil menemukan bantuan, dan malangnya dia terlalu cepat untuk hamba."
Si biksu dilirik pun tidak oleh Shingen, yang mendengarkan sambil membisu. Tapi ketika Shingen
beradu pandang dengan Kaisen, ia berkata dengan tenang, "Amakasu Sanpei ikut dalam
rombonganku. Biar dia saja yang mengejar orang itu. Panggil dia ke sini."
Sanpei menyembah di pekarangan, lalu sambil menatap Shingen yang masih duduk di pondok teh,
menanyakan tugas yang akan diberikan padanya.
"Beberapa tahun lalu ada seorang laki-laki bernama Watanabe Tenzo di bawah komandomu,
bukan?" Sanpei berpikir sejenak, lalu berkata, "Hamba ingat.
Dia lahir di Huchisuka di Owari. Pamannya yang bernama Koroku penah memesan sepucuk
senapan, tapi Tenzo mencurinya dan lari ke sini. Dia menyerahkan senapan itu sebagai hadiah
kepada tuanku, dan diberi upah selama beberapa tahun."
"Aku ingat soal senapan itu, tapi rupanya orang Owari tetap orang Owari, dan sekarang dia bekerja
untuk marga Oda. Kejar dia dan penggal kepalanya."
"Kejar dia?" "Beraugkatlah setelah kau mendapat penjelasan dari biksu itu. Kau harus segera mengejarnya,
17 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
supaya dia tidak bisa lolos."
Di sebelah barat Nirasaki, sebuah jalan setapak menyusuri kaki pegunungan di sekitar Komagatake
dan Senjo, melintasi Takato di Ina.
"Hei!" Suara manusia jarang terdengar di pegunungan ini. Si biksu berhenti dan menoleh, tapi ternyata tak
ada apa-apa selain gema, sehingga ia kembali mengayunkan langkah.
"Hei, biksu!" Kali ini suaranya lebih dekat. Dan karena jelas bahwa dirinya yang dimaksud, si biksu
berhenti sejenak sambil memegang pinggiran topinya. Dalam sekejap seorang laki-laki lain telah
mendekat. Napasnya tersengal-sengal. Ketika menghampiri si biksu, laki-laki itu tersenyum sinis.
"Ini baru kejutan, Watanabe Tenzo. Kapan kau tiba di Kai?"
Si biksu tampak kaget, tapi segera menenangkan diri dan tertawa kecil.
"Sanpei! Kukira siapa. Hmm, sudah lama kita tak berjumpa. Kelihatannya kau sehat-sehat saja,
seperti biasa." Sindiran dibalas sindiran. Kedua-duanya pernah bertugas sebagai mata-mata di provinsi musuh.
Tanpa keberanian dan ketenangan seperti ini, mereka takkan sanggup menjalankan tugas.
"Terima kasih atas pujianmu." Sanpei pun tampak tenang-tenang saja. Hanya orang awam saja
yang banyak cincong jika memergoki mata-mata musuh di daerahnya sendiri. Tapi, karena
melihatnya dari sudut pandang seorang pencuri, Sanpei tahu bahwa di siang hari bolong pun ada
pencuri yang berkeliaran, sehingga ia tidak merasa heran.
"Dua malam yang lalu kau mampir di Kuil Eirin, dan kemarin kau menguping pembicaraan rahasia
antara Kepala Biara Kaisen dan Yang Mulia Shingen. Waktu kau dipergoki salah satu biksu, kau
kabur secepat mungkin. Memang begitu, bukan, Tenzo?"
"Ya, kau pun ada di sana?" "Sayangnya."
"Hanya itulah yang tidak kuketahui." "Berarti kau bernasib buruk."
Tenzo berlagak tak peduli, seakan-akan urusan ini tidak menyangkut dirinya. "Kupikir Amakasu
Sanpei, si ninja Takeda, masih memata-matai orang-orang Oda di Ise atau Gifu, tapi ternyata kau
sudah kembali. Kau patut mendapat pujian, Sanpei, kau selalu cepat sekali."
"Simpanlah pujian-pujianmu. Kau boleh menyan-jungku sesuka hati, tapi setelah aku
menemukanmu, aku tak bisa membiarkanmu kembali dalam keadaan hidup. Kaupikir kau bisa
melewati perbatasan sebagai orang bernyawa?"
"Aku belum berniat mati. Tapi, Sanpei, bayang-bayang kematian .sudah melintas di wajahmu.
Tentunya kau tidak mengejarku karena ingin menyambut maut."
"Aku datang untuk mengambil kepalamu, atas perintah majikanku. Dan itulah yang akan kulakukan."
18 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kepala siapa?" "Kepalamu."
Begitu Sanpei mencabut pedang panjang, Watanabe Tenzo memasang kuda-kuda. Tombaknya
siap menangkis serangan. Jarak antara kedua laki-laki itu agak jauh. Mereka berdiri saling melotot.
Napas mereka bertambah ccpat dan wajah mereka tampak pucat kelabu, seperti orang yang
berada di ambang maur. Kemudian sesuatu terlintas di benak Sanpei, dan pedangnya
dimasukkannya kembali. "Tenzo, turunkanlah tombakmu." "Kenapa" Kau takut?"
"Tidak, aku tidak takut, tapi bukankah kita memiliki kewajiban yang sama" Tak ada salahnya
seorang laki-laki gugur ketika menjalankan tugas, tapi saling membunuh seperti ini tidak bermanfaat
sama sekali. Mengapa tidak kaulepaskan jubah biksumu dan kauserahkan padaku" Kalau kau
bcrsedia, aku akan membawanya kembali dan mengatakan bahwa aku telah membunuhmu."
Di antara ninja terjalin rasa saling percaya yang tidak lazim bagi prajurit-prajurit lain. Mereka
memiliki pandangan hidup berbeda, yang timbul ukibat kekhususan tugas-tugas mereka. Bagi para
samurai pada umumnya, tak ada kewajiban yang lebih penting selain dari kesediaan untuk mati
dcmi majikan. Namun jalan pikiran para ninja berbeda. Mereka sangat menyayangi nyawa. Mereka
harus kembali dalam keadaan hidup, tak peduli aib atau penderitaan yang menimpa mereka.
Sebab, walaupun seseorang sanggup menyusup ke wilayah musuh dan berhasil mendapatkan
keterangan berharga, informasi itu tak berguna jika ia tak dapat kembali ke provinsi asalnya dalam
keadaan hidup. Maka dari itu, kematian seorang ninja di wilayah musuh tak lebih dari kematian
seekor anjing, tak pengaruh berapa hebatnya ia berjuang sebelum menemui ajal. Tak peduli betapa
taatnya orang tersebut pada tata cara samurai, jika kematiannya tidak bermanfaat bagi majikannya,
ia mati sebagai seekor anjing. Jadi, meski ninja itu mungkin dianggap sebagai samurai bejat yang
hanya ingin menyelamatkan nyawa sendiri, ia memang berkewajiban berbuat demikian, dengan menempuh segala cara.
Baik Sanpei maupun Tenzo berpegang teguh pada prinsip-prinsip itu, yang telah mendarah daging
dalam diri mereka. Jadi, ketika Sanpei mengatakan bahwa saling membunuh tak bermanfaat, lalu
memasukkan kembali pedangnya, Tenzo pun segera menarik senjatanya.
"Aku tidak berminat menjadi lawanmu dengan mempertaruhkan kepalaku. Syukurlah kalau kita bisa
menyelesaikan urusan ini dengan selembar jubah biksu." Ia merobek sepotong kain dari jubah yang
dipakainya, lalu melemparkannya ke depan kaki Sanpei. Sanpei memungutnya.
"Ini sudah cukup. Kalau kubawa ini sebagai bukti, dan berkata bahwa Watanabe Tenzo telah
kubunuh, urusannya selesai. Yang Mulia takkan berkeras melihat kepala seorang ninja biasa."
"Ini pemecahan masalah untuk kota berdua. Nah, Sanpei, aku akan pergi sekarang. Sebenarnya
aku ingin mengatakan 'Sampai jumpa lagi,' tapi aku berdoa agar itu takkan terjadi, sebab aku tahu
itu akan merupakan pertemuan kita yang terakhir." Kemudian Tenzo segera berlalu, seakan-akan
mendadak ngeri pada lawannya, dan gembira karena ia berhasil menyelamatkan nyawa.
Ketika Tenzo mulai menuruni lereng bukit, Sanpei meraih senapan dan sumbu yang sebelumnya ia
sembunyikan di rumput, lalu mengikuti lawannya.
Letusan senapan terdengar menggema di pegunungan. Sanpei langsung melemparkan senjatanya
19 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dan melompat bagaikan kijang, menuruni bukit, bermaksud menghabisi musuhnya yang telah
roboh. Watanabe Tenzo jatuh telentang. Tapi pada saat Sanpei berdiri di atasnya dan mengarahkan ujung
pedang ke dadanya, Tenzo menangkap dan menarik kaki Sanpei, mengempaskannya dengan
kekuatan luar biasa. Kini Tenzo memperlihatkan wataknya yang liar. Sementara Sanpei tergeletak tak sadarkan diri,
Tenzo melompat berdiri seperti serigala, meraih sebongkah batu dengan kedua tangan, dan
menghantamkannya ke wajah Sanpei. Bunyi benturannya menyerupai bunyi buah delima saat
pecah. Kemudian Tenzo lenyap. *** Hideyoshi, yang kini komandan Benteng Yokoyama, melewatkan musim panas di pegunungan
berhawa sejuk di bagian utara Omi. Menurut para prajurit, bersantai lebih berat daripada bertempur
di medan laga. Disiplin tak boleh diabaikan, walau hanya sehari. Pasukan Hideyoshi telah
beristirahat selama seratus hari.
Namun, pada awal bulan kesembilan, perintah untuk menuju garis depan diberikan, dan
gerbang-gerbang Benteng Yokoyama dibuka. Sejak meninggalkan benteng sampai tiba di tepi Danau Biwa, para prajurit belum mempunyai bayangan di mana
mereka akan bertempur. Tiga kapal besar berlabuh di danau. Ketiganya dibuat selama Tahun Baru, dan masih berbau kayu
yang baru digergaji. Baru setelah kuda-kuda dan orang-orang naik ke kapal, para prajurit diberitahu
bahwa tujuan mereka adalah Honganji atau Gunung Hiei.
Setelah melintasi danau besar dan sampai di Sakamoto, anak buah Hideyoshi tampak terkejut
melihat pasukan di bawah Nobunaga dan jendral-jendralnya telah tiba lebih dulu. Di kaki Gunung
Hiei, panji-panji Oda membentang sejauh mata meman-dang.
Setelah mengakhiri pengepungan Gunung Hiei dan mundur ke Gifu pada musim dingin tahun lalu,
Nobunaga memberi perintah untuk membuat kapal pengangkut pasukan yang setiap saat siap
menye-berangi dunia. Baru sekarang para prajurit memahami jalan pikiran serta ucapannya ketika
ia menghentikan serangan terhadap Nagashima dan kembali ke Gifu.
Api pemberontakan yang berkobar di seantero negeri hanyalah bayangan api
sesungguhnya - sumber segala kebusukan - yang berakar di Gunung Hiei. Sekali lagi Nobunaga
mengepung gunung itu dengan pasukan besar. Wajahnya memancarkan tekad baru, dan ia bicara
cukup keras, sehingga suaranya terdengar dari dalam petak bertirai yang merupakan markasnya
sampai ke barak-barak, seakan-akan tertuju pada pihak musuh.
"Apa" Maksud kalian, kalian tidak mau menggunakan api karena kebakaran mungkin menyebar ke
biara-biara" Tahukah kalian apa itu perang" Kalian semua berpangkat jendral, tapi itu pun tidak
kalian pahami" Bagaimana kalian bisa sampai sejauh ini?"
20 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Itulah yang terdengar dari luar. Di dalam petak, Nobunaga sedang duduk, dikelilingi
jendral-jendralnya yang paling berpengalaman. Semuanya menun-dukkan kepala. Nobunaga
menyerupai seorang ayah yang tengah memarahi anak-anaknya. Walaupun ia junjungan mereka,
kritik semacam ini telah melewati batas. Paling tidak, itulah yang terbaca pada wajah para jendral
ketika mereka mengangkat kepala dan memberanikan diri menantang pandangan Nobunaga.
"Sikap tuanku tak berperasaan. Kami bukannya tidak paham, tapi kalau tuanku memberikan
perintah keterlaluan - yaitu membakar Gunung Hiei, sebuah tempat yang selama berabad-abad
dihormati sebagai tempat suci untuk memelihara kedamaian dan ketenteraman seluruh
negeri - kami sebagai pengikut tuanku memiliki alasan kuat untuk tidak menaati perintah itu," ujar
Sakuma Nobumori. Ekspresi bertindak-atau-mati terlihat jelas di wajah Nobumori. Seandainya ia belum siap mati di
tempat, tak mungkin ia berkata demikian pada Nobunaga. Apalagi mengingat roman muka yang
ditampilkannya. Meski sehari-hari pun sukar untuk berbicara terus terang di hadapan Nobunaga,
hari ini ia menyerupai roh jahat yang mengacungkan pedang dengan ganas. "Diam! Diam!"
Nobunaga mengaum, menghentikan Takei Sekian dan Akechi Mitsuhide yang hendak mendukung
Nobumori. "Tidakkah pemberontakan-pemberontakan serta keadaan yang memalukan ini
menimbulkan amarah dalam diri kalian" Para biksu telah melanggar ajaran sang Buddha,
menghasut rakyat, menimbun kekayaan dan senjata, serta menyebarkan desas-desus. Mereka tak
lebih dari gerombolan panghasut yang mencari keuntungan sendiri dengan berlindung di balik
tameng agama." "Kami tidak keberatan menjatuhkan hukuman atas pelanggaran-pelanggaran ini. Tetapi waktu satu
hari tidak mungkin cukup untuk memperbarui agama yang diyakini secara sungguh-sungguh oleh
semua orang dan telah diberi hak-hak istimewa," Nobumori berpendapat.
"Apa gunanya berakal sehat?" Nobunaga meledak. "Selama delapan ratus tahun semua orang
menggunakan akal sehat. Justru karena itulah tak pernah uda yang berhasil mengubah keadaan,
walaupun rakyat berkeluh kesah mengenai kelaliman dan kemerosotan akhlak para penegak
agama. Bahkan Yang Mulia Tenno Shirakawa pernah berkata bahwa ada tiga hal yang berada di
luar kekuasaannya: dadu, air Sungai Kamo, dan para biksu-prajurit di Gunung Hiei. Apakah gunung
ini berperan sebagai pemelihara kedamaian dan ketenteraman selama perang saudara
berlangsung" Apakah gunung ini memberikan ketenangan dan ketabahan pada rakyat jelata?"
Nobunaga tiba-tiba melambaikan tangan kanannya ke samping. "Selama berabad-abad, para biksu
hanya melindungi hak-hak istimewa mereka pada waktu terjadi bencana. Dengan uang yang
disumbangkan oleh massa yang mempercayai mereka, mereka membangun tembok-tembok batu
dan gerbang-gerbang yang cocok untuk sebuah benteng, dan di dalamnya mereka menimbun
tombak dan senapan. Lebih buruk lagi, para biksu melanggar sumpah mereka secara
terang-terangan dengan makan daging dan bersetubuh. Belum lagi soal kemerosotan ilmu
keagamaan. Apakah kita berdosa kalau kita membakar semuanya sampai hangus?"
Nobumori menjawab, "Setiap kata yang diucapkan tuanku mengandung kebenaran, namun kami
harus mencegah tuanku. Kami tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum berhasil mencegah
tuanku, biarpun harus mengorbankan nyawa." Secara serempak ketiga jendral menyembah, lalu
diam tak bergerak di hadapan Nobunaga.
Gunung Hiei adalah markas besar sekte Tendai, sedangkan Honganji kubu utama sekte Ikko.
Masing-masing menjuluki yang lain "sekte yang satu lagi" dalam hal doktrin, dan mereka hanya
dipersatukan oleh perlawanan terhadap Nobunaga. Nobunaga tak sempat beristirahat sejenak pun,
akibat ulah orang-orang berjubah biksu yang tinggal di Gunung Hiei. Mereka berkomplot dengan
21 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
marga Asai dan Asakura serta dengan sang Shogun, membantu musuh-musuh yang dikalahkan
Nobunaga, mengirim pesan rahasia berisi permohonan bantuan sampai ke Echigo dan Kai, dan
bahkan menyulut pemberontakan petani di Owari.
Ketiga jendral menyadari, tanpa menghancurkan kubu para biksu-prajurit yang konon tak dapat
ditaklukkan, pasukan Oda akan terhalang di setiap tikungan, dan Nobunaga takkan sanggup
mewujudkan cita-citanya. Tapi begitu mendirikan perkemahan, Nobunaga memberikan perintah yang sukar dipercaya,
"Serang gunung itu dan bakar semuanya sampai hangus, mulai dari tempat persembahan, gedung
utama, biara-biara, serta semua naskah kuno dan barang keramat." Tindakan itu saja sudah keras,
namun Nobunaga melanjutkan, "Kalau seseorang mengenakan jubah biksu, dia tidak boleh lolos.
Jangan bedakan antara orang bijak dan pandir, bangsawan dan biksu biasa. Jangan beri ampun
pada perempuan dan anak-anak. Seandainya ada orang berpakaian biasa, kalau dia bersembunyi
di gunung dan lari karena kebakaran, kalian boleh menganggapnya sebagai bagian penyakit yang
harus diberantas. Bantai semuanya dan bakar gunung itu sampai tak ada tanda kehidupan tersisa
di reruntuhannya!" Para raksasa dan roh-roh jahat penghuni neraka yang haus darah pun takkan bertindak seperti ini.
Para jendral yang mendengar perintah Nobunaga tampak gelisah.
"Sudah gilakah dia?" Takei Sekian bergumam perlahan, tapi cukup keras, sehingga terdengar oleh
jendral-jendral lain. Namun hanya Sakuma Nobu-mori, Takei Sekian, dan Akechi Mitsuhide yang
berani mengutarakan pendapat mereka di depan Nobunaga.
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum menghadap junjungan mereka, ketiganya telah berikrar, "Kita mungkin akan dipaksa
melakukan seppuku satu per satu karena menentang perintah Yang Mulia, tapi kita takkan bisa
membiarkan beliau melaksanakan serangan api."
Nobunaga bisa saja mengepung dan merebut Gunung Hiei. Tapi perlukah mereka melakukan
pembantaian dengan serangan api" Jika mereka nekat menempuh langkah keji ini, mereka khawatir
rakyat akan berbalik menentang marga Oda. Semua musuh Nobunaga akan bersukacita, dan
mereka akan meman-faatkan serangan itu untuk memburuk-burukkan namanya dalam setiap
kesempatan. Tindakan itu hanya akan menimbulkan reputasi buruk, yang selama berabad-abad
ditakuti dan dihindari semua orang.
"Kami takkan melakukan pertempuran yang akan membawa kehancuran bagi tuanku," ketiga
jendral berkata dengan suara bergetar, mewakili semua yang hadir.
Namun Nobunaga telah membulatkan tekad, dan tak ada tanda ia akan mempertimbangkan ucapan
ketiga pengikutnya. Bahkan sebaliknya, sikapnya semakin keras. "Kalian boleh mengundurkan diri.
Jangan berkata apa-apa lagi," ia memberitahu mereka. "Kalau kalian menolak menjalankan perintah
ini, aku akan memerintahkan orang lain. Dan kalau para jendral lain dan para prajurit tidak
menaatiku, aku akan melakukannya seorang diri!"
"Perlukah kita melakukan kekejian seperti ini?" Nobumori kembali bertanya. "Menurut hamba,
jendral sejati seharusnya sanggup menaklukkan Gunung Hiei tanpa pertumpahan darah."
"Aku muak dengan 'akal sehat' kalian! Lihatlah apa yang dicapai selama delapan ratus tahun
22 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
berakal sehat. Kalau akar yang lama tidak dibakar habis, tunas yang baru takkan bisa tumbuh.
Kalian terus membicarakan gunung ini, tapi aku tidak sekadar memikirkan Gunung Hiei. Membakar
Gunung Hiei akan menye-lamatkan agama di tempat-tempat lain. Kalau dengan membantai semua
laki-laki, perempuan, dan anak-anak di Gunung Hiei aku dapat membuka mata orang-orang yang
lalai di provinsi-provinsi lain, berarti tindakanku tidak sia-sia. Neraka yang paling panas dan paling
dalam tak berarti apa-apa bagiku. Siapa lagi yang sanggup melakukan ini selain aku" Aku
mendapat amanat para dewa untuk melakukannya."
Ketiga jendral, yang percaya bahwa mereka mengenai kehebatan Nobunaga lebih baik daripada
siapa pun, merasa terkejut mendengar pernyataan ini. Apakah junjungan mereka dikuasai roh-roh
jahat" Takei Sekian memohon, "Tidak, tuanku. Tak pengaruh perintah apa yang tuanku berikan pada
kami, sebagai pengikut tuanku kami tak dapat berbuat apa-apa selain meminta agar tuanku ddak
meneruskan rencana ini. Tuanku tak dapat membakar sebuah tempat yang dianggap suci sejak
zaman..." "Cukup! Diam! Dalam hati aku telah menerima titah sang Tenno untuk menghanguskan tempat ini.
Aku memerintahkan pembantaian ini karena kasih sayang sang Pendiri, Dengyo, tersimpan di
hatiku. Tidak mengertikah kalian?"
"Tidak, tuanku."
"Kalau begitu, menyingkirlah! Jangan halang-halangi aku."
"Hamba akan terus menentang, sampai tuanku membunuh hamba."
"Terkutuklah kau! Keluar!"
"Kenapa hamba harus pergi" Daripada menyaksikan kegilaan junjungan hamba dan kehancuran
marga beliau semasa hamba masih hidup, lebih baik hamba berusaha mencegahnya dengan
kematian hamba. Lihadah contoh-contoh di masa lampau. Tak seorang pun yang membakar kuil
atau tempat persembahan Buddha, atau membantai biksu, menemui ajal dengan tenang."
"Aku berbeda. Aku tidak bertempur demi kepentingan sendiri. Dalam pertempuran ini, peranku
adalah menghancurkan kebusukan lama dan membentuk dunia baru. Aku tidak tahu apakah ini
keinginan para dewa, keinginan rakyat, atau panggilan zaman. Aku hanya tahu bahwa aku akan
menjalankan perintah yang kuterima. Kalian semua takut, dan pandangan kalian terbatas. Seruan
kalian adalah seruan orang berpandangan picik. Keuntungan dan kerugian yang kalian bicarakan
hanya menyangkut aku sebagai individu. Kalau aku bisa melindungi provinsi-provinsi dan
menyelamatkan nyawa yang tak terhitung jumlahnya dengan mengubah Gunung Hiei menjadi
neraka, aku telah mencapai keberhasilan besar."
Sekian belum berhenti. "Rakyat akan memandangnya sebagai perbuatan iblis. Mereka akan
bersukacita jika tuanku memperlihatkan perikemanusiaan. Jika tuanku terlalu keras, mereka takkan
pernah menerima tuanku - biarpun tuanku didorong oleh cinta kasih yang mendalam."
"Kalau kita menahan diri karena pendapat umum, kita tak bisa bertindak sama sekali. Para
pahlawan masa lampau mencemaskan pendapat umum, dan membiarkan kebusukan ini
merongrong generasi-generasi berikut. Tapi aku akan menunjukkan cara memberantasnya untuk
23 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
selama-lamanya. Dan kalau aku melakukannya, aku harus melakukannya sampai tuntas. Kalau
tidak, percuma saja angkat senjata dan menuju pusat medan tempur."
Amukan badai pun diselingi masa tenang. Suara Nobunaga agak melembut. Ketiga pengikutnya
menundukkan kepala. Hideyoshi baru tiba setelah menyeberangi danau. Perdebatan sedang berlangsung seru ketika ia
menghampiri markas besar, sehingga ia menunggu di luar.
Kini ia menyembulkan kepalanya melalui celah tirai, dan minta maaf karena mengganggu.
Seketika semua orang memandang ke arahnya. Ekspresi Nobunaga menyerupai api yang sedang
mengamuk, sedangkan wajah ketiga jendral yang telah siap mati tampak membeku, seakan-akan
tertutup lapisan es. "Hamba baru tiba naik kapal," ujar Hideyoshi dengan riang. "Danau Biwa di musim gugur luar biasa
indah. Tempat-tempat seperti Pulau Chikubu diselubungi daun-daun berwarna merah. Rasanya
sama sekali bukan seperti perjalanan menuju medan perang, dan hamba bahkan sempat menyusun
sajak. Barang-kali hamba akan membacakannya seusai pertempuran."
Melangkah masuk, Hideyoshi bercerita mengenai apa saja yang terlintas di kepalanya. Pada
wajahnya tak ada keseriusan yang sesaat lalu masih mencengkeram Nobunaga dan para
pengikutnya. Sepertinya Hide-yoshi tidak memiliki beban sama sekali.
"Ada apa?" ia bertanya. Pandangannya bolak-balik antara Nobunaga dan ketiga jendral yang diam
seribu bahasa. Ucapannya terasa menyejukkan, seperti semilir angin musim semi. "Ah, hamba
sempat mendengar pembicaraan tuanku dari luar. Itukah sebabnya tuanku membisu" Karena
menyayangi junjungan mereka, para pengikut bertekad memberi peringatan dan rela mati untuk itu.
Karena memahami perasaan para pengikutnya, sang junjungan tak sampai hati menebas mereka.
Ya, kelihatannya memang ada masalah. Bisa dibilang di kedua belah pihak ada segi baik dan
buruk." Nobunaga menoleh secara tiba-tiba. "Hideyoshi, kau datang pada saat yang tepat. Kalau kau
sempat mendengar hampir seluruh percakapan kami, kau tentu memahami apa yang tersimpan
dalam hatiku dan apa yang hendak dikemukakan oleh mereka bertiga."
"Hamba memahaminya, tuanku."
"Mungkinkah kau menaati perintahku" Kaupikir langkahku keliru?"
"Hamba tidak berpikir sama sekali. Ah, tunggu dulu. Kalau tidak salah, perintah ini didasarkan atas
saran yang ditulis dan diserahkan oleh hamba pada tuanku beberapa waktu lalu."
"Apa" Kapan kau memberi usulan seperti ini?" "Tuanku tentu tak ingat lagi. Kalau tidak salah, pada
musim semi yang lalu." Kemudian Hideyoshi berpaling pada ketiga jendral dan berkata, "Aku hampir
menangis ketika berdiri di luar dan mendengar peringatan kalian yang tulus. Singkat kata, yang
paling kalian khawatirkan adalah bahwa seluruh negeri akan berbalik menentang Yang Mulia jika
kita melancarkan serangan api terhadap Gunung Hiei."
"Tepat sekali. Seandainya kita melakukan kekejian semacam ini," ujar Sekian, "baik golongan
24 Pendekar Bloon Rahasia Pedang Berdarah m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
samurai maupun rakyat jelata akan menyesalkannya. Musuh musuh kita akan memanfaatkannya
untuk memburukkan nama Yang Mulia untuk selama-lamanya."
"Tapi sesungguhnya akulah yang menyarankan bahwa jika kita menyerang Gunung Hiei, kita tidak
boleh setengah-setengah. Jadi, gagasan ini bukan berasal dari Yang Mulia. Nah, kalau begitu,
akulah yang akan menanggung kutukan atau reputasi buruk yang mungkin timbul."
"Betapa pongahnya!" Nobumori berseru. "Mengapa rakyat harus menyalahkan orang seperti kau"
Apa pun yang dilakukan pasukan Oda merupakan tanggung jawab pimpinan tertinggi."
"Tentu saja. Tapi bukankah kalian semua bersedia membantuku" Bukankah k
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
25Pendekar Bloon Persekutuan Orang Orang Sakti m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pendekar Bloon Persekutuan Orang Orang Sakti | http://cerita-silat.mywapblog.com | Pendekar Bloon Persekutuan Orang Orang Sakti pdf created by Saiful Bahri (Seletreng - Situbondo) pd 23-04-2016 08:24:55
ita bisa mengumumkan pada dunia bahwa kita berempat terlalu bersemangat melaksanakan
perintah Yang Mulia, sehingga kita melangkah terlalu jauh" Kata orang, bukti kesetiaan yang paling
kuat adalah memberikan peringatan, biarpun seseorang terpaksa merelakan nyawa karenanya.
Tapi menurutku memberi peringatan dan bersedia mati belum cukup untuk membuktikan diri
sebagai pengikut setia. Menurutku, sementara kita masih hidup, kitalah yang harus mengambil alih
tanggung jawab atas segala reputasi buruk, peng-aniayaan, dan tuntutan. Setujukah kalian?"
Nobunaga mendengarkan sambil membisu, tanpa memberi isyarat setuju atau tidak.
Sekian-lah yang pertama menanggapi usulan Hideyoshi. "Hideyoshi, aku sependapat denganmu."
Ia menatap Mitsuhide dan Nobumori. Mereka pun tidak keberatan. Dan mereka bersumpah untuk
menyerang Gunung Hiei dengan api, lalu mengumumkan bahwa tindakan mereka melampaui
perintah Nobunaga. "Rencana gemilang." Sekian memuji Hideyoshi dengan nada mengungkapkan kekagumannya, tapi
Nobunaga tidak kelihatan gembira. Justru sebaliknya, tanpa mengatakan apa-apa, wajahnya
memperlihatkan bahwa usulan Hideyoshi bukan sesuatu yang patut disanjung seperti itu.
Pendapat yang sama juga terbaca di wajah Mitsuhide. Meskipun Mitsuhide memahami saran
Hideyoshi, dalam hati ia merasa ucapan orang yang baru datang itu telah mengurangi arti
peringatan yang diberikannya. Ia merasa iri. Tapi sebagai orang cerdas ia segera merasa malu atas
sikapnya itu. Ketika bermawas diri, ia tiba pada kesimpulan bahwa orang yang bersedia mati karena
menentang perintah junjungannya tidak boleh berpikiran dangkal, meski hanya sejenak.
Ketiga jendral merasa puas dengan rencana Hideyoshi, tapi Nobunaga bersikap tak peduli. Dan
yang jelas, ia tidak mengubah tujuannya semula. Nobunaga memanggil para komandannya satu
per satu. "Malam ini, begitu sangkakala berbunyi, kita akan melancarkan serangan besar-besaran!" Ia sendiri
mengulangi perintah yang sebelumnya telah ia berikan pada ketiga jendral. Rupanya tak sedikit
perwira yang, bersama Sekian, Mitsuhide, dan Nobumori, menen-tang serangan api, tapi karena
ketiga orang itu telah menyetujui perintah Nobunaga, yang lain pun bersikap sama dan pergi tanpa
membantah. Beberapa kurir meninggalkan markas besar dan memacu kuda masing-masing untuk
menyampaikan perintah itu pada pasukan garis depan di kaki gunung.
Warna-warni awan senja tampak cemerlang di belakang Shimeigadake ketika matahari tenggelam.
Berkas-berkas cahaya kemerahan menyapu permukaan danau yang berombak.
"Lihat!" Nobunaga berdiri di puncak bukit dan berkata pada orang-orang di sekitarnya, sambil
memandang awan di sekeliling Gunung Hiei. "Dewa-dewa beserta kita! Angin bertiup kencang. Ini
cuaca paling baik untuk serangan api!"
Pakaian mereka berdesir terkena embusan angin musim gugur yang dingin. Nobunaga hanya
disertai lima atau enam pengikut, dan pada saat itu seorang laki-laki mengintip ke balik tirai,
seakan-akan mencari seseorang.
1 Pendekar Bloon Persekutuan Orang Orang Sakti m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sekian menghardik orang itu, "Ada perlu apa" Yang Mulia ada di sini."
Samurai itu segera menghampirinya dan berlutut. "Bukan, hamba tidak membawa berita untuk Yang
Mulia. Apakah Jendral Hideyoshi ada di sini?"
Ketika Hideyoshi muncul, si samurai berkata, "Seorang laki-laki berpakaian biksu baru saja
memasuki perkemahan. Dia mengaku bernama Watanabe Tenzo, salah satu pengikut tuanku, dan
dia baru kembali dari Kai. Sepertinya dia membawa laporan yang sangat penting, sehingga hamba
bergegas ke sini." Walaupun Nobunaga berdiri agak jauh dari Hideyoshi, ia tiba-tiba berpaling ke arahnya. "Hideyoshi,
orang yang baru kembali dari Kai itu termasuk pengikutmu?"
"Rasanya tuanku pun mengenalnya. Watanabe Tenzo, keponakan Hikoemon."
"Tenzo" Hmm, coba kita dengar apakah dia membawa berita baru," ujar Nobunaga. "Panggil dia ke
sini. Aku juga ingin mendengar laporannya."
Tenzo berlutut di hadapan Hideyoshi dan Nobu-naga, lalu menceritakan pcmbicaraan yang
didengarnya di Kuil Eirin.
Nobunaga menggerutu. Ini ancaman berbahaya dari belakang. Seperti halnya serangan terhadap
Gunung Hiei tahun lalu, bahayanya belum berkurang sedikit pun. Justru sebaliknya, baik posisinya
terhadap pasukan Takeda maupun keadaan di daerah Naga-shima telah memburuk. Namun dalam
serbuan tahun lalu pasukan Asai bergabung dengan pasukan Asa-kura, dan mundur ke Gunung
Hiei. Kali ini Nobunaga tidak memberi kesempatan kepada musuhmusuhnya, jadi pasukan yang kini
dihadapinya tidak begitu kuat. Hanya saja selalu ada ancaman dari belakang.
"Kurasa orang-orang Takeda telah mengirim pesan ke Gunung Hiei, jadi para biksu pasti
berkeyakinan bahwa pasukan kita akan berputar dan kembali pulang," ujar Nobunaga, lalu
menyuruh Tenzo pergi. "Ini berkah dari para dewa," katanya. Ia tertawa puas. "Mana yang lebih
cepat - pasukan Takeda yang melintasi Pegunugan Kai serta menyerbu ke Owari dan Mino, atau
pasukan Oda yang kembali setelah menghancurkan Gunung Hiei dan merebut ibu kota serta
Settsu" Sepertinya kita diiming-imingi insentif tambahan dalam persaingan ini. Semuanya kembali
ke pos masing-masing!"
Nobunaga menghilang di balik tirai. Asap membubung dari perkemahan raksasa yang mengitari
bukit-bukit di kaki Gunung Hiei. Ketika malam tiba, angin bertambah kencang. Genta yang biasanya
terdengar dari Kuil Mii kini membisu.
Bunyi sangkakala berkumandang di puncak bukit, disambut teriakan perang para prajurit.
Pembunuhan besar-besaran berlangsung mulai malam itu sampai fajar keesokan harinya. Para
prajurit Oda mendobrak rintangan-rintangan yang didirikan para biksu-prajurit di jalan-jalan setapak
menuju puncak. Asap hitam memenuhi lembah. Api melahap seluruh gunung. Dari bukit-bukit di kaki gunung, lidah
api terlihat di mana-mana. Danau Biwa pun tampak berpijar, memantulkan cahaya merah. Lokasi
kebakaran terbesar menunjukkan bahwa kuil utama telah menyala, begitu juga ketujuh tempat
persembahan, gedung utama, menara genta, biara-biara, pagoda tempat penyimpanan harta,
pagoda besar, dan semua kuil yang lebih kecil. Ketika fajar menyingsing keesokan harinya, tak satu
2 Pendekar Bloon Persekutuan Orang Orang Sakti m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
pun kuil yang masih berdiri.
Para jendral, yang saling membangkitkan semangat setiap kali menatap pemandangan mengerikan
itu, harus mengingatkan diri bahwa Nobunaga mengaku telah menerima amanat dewa-dewa serta
pemberkahan dari Dengyo, sebelum kembali mendesak maju. Sikap para jendral yang tampaknya
menerjang penuh keyakinan, dijadikan contoh oleh anak buah mereka. Sambil menembus api dan
asap hitam, para penyerang melaksanakan perintah Nobunaga dengan taat. Delapan ribu
biksu-prajurit tewas dalam pertempuran yang menyerupai neraka. Para biksu yang merangkak di
lembah-lembah, bersembunyi di dalam gua, atau memanjat pohon untuk meloloskan diri, diburu dan
dibunuh seperti hama pada tanaman padi.
Sekitar tengah malam, Nobunaga sendiri menaiki gunung untuk melihat hasil apa yang dibawa oleh
tekadnya yang membaja. Para biksu Gunung Hiei telah salah perhitungan. Meskipun terkepung
oleh pasukan Nobunaga, mereka tidak mau menyadari betapa seriusnya situasi mereka, dan
menganggap semuanya sebagai gertakan kosong. Mereka telah bersumpah untuk menunggu
sampai pasukan Oda mundur, lalu mengejar dan menghancurkan musuh. Dan mereka menunggu
tanpa berbuat apa-apa, merasa tenang karena banyaknya surat berisi pernyataan dukungan yang
datang dari Kyoto - yang berarti, tentu saja, dari sang Shogun.
Bagi semua biksu-prajurit dan pengikut-pengikut mereka di seluruh negeri, Gunung Hiei merupakan
pusat perlawanan terhadap Nobunaga. Tapi tokoh yang tak henti-hentinya mengirim perbekalan
dan senjata ke Gunung Hiei, dan yang berusaha keras untuk menghasut para biksu dan mendesak
mereka agar bertempur, adalah Shogun Yoshiaki.
"Shingen dalam perjalanan!" Begitulah janji yang tercantum dalam pesan dari Kai untuk sang
Shogun. Yoshiaki mengandalkan janji ini dengan harapan besar, dan telah meneruskannya ke
Gunung Hiei. Para biksu-prajurit tentu saja percaya bahwa pasukan Kai akan menyerang Nobunaga dari
belakang. Dengan demikian Nobunaga akan terpaksa mundur, sama seperti tahun lalu di
Nagashima. Dan ada satu hal lagi. Karena telah hidup tak terganggu selama delapan ratus tahun
terakhir, para biksu tidak menyadari perubahan-perubahan yang telah melanda seantero negeri
dalam tahun-tahun terakhir.
Dalam setengah malam saja, Gunung Hiei berubah menjadi neraka di bumi. Agak terlambat, sekitar
tengah malam, ketika api telah merambat ke mana-mana, utusan dari Gunung Hiei, gemetar karena
takut dan panik, datang ke perkemahan Nobunaga untuk memohon perdamaian.
"Kami akan memberikan uang dalam jumlah berapa saja yang dimintanya, dan kami akan
menyetujui setiap persyaratan yang ditetapkannya."
Nobunaga hanya menyeringai dan berkata pada orang-orang di sekitarnya, seakan-akan
melemparkan umpan pada burung rajawali, "Tak perlu mereka diberi jawaban. Bunuh mereka di
tempat." Sekali lagi para biksu mengirim rombongan utusan, dan kali ini mereka memohon langsung
di hadapan Nobunaga. Nobunaga membuang muka, dan memerintahkan agar mereka dibunuh.
Fajar tiba. Gunung Hiei diselubungi asap yang tak hilang-hilang, abu, dan pohon-pohon hangus; di
mana-mana mayat-mayat tampak membeku dalam posisi seperti ketika maut datang menjemput.
Di antara mereka tentu terdapat orang-orang terpelajar dan bijak, serta para biksu muda harapan
3 Pendekar Bloon Persekutuan Orang Orang Sakti m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
masa depan, pikir Mitsuhide, yang pada pembantaian semalam berada dalam barisan terdepan.
Pagi ini ia berdiri di tengah asap tipis, menutupi wajah, dan merasakan sesak di dada.
Pada pagi yang sama, Mitsuhide telah menerima anugerah dari Nobunaga. "Mulai sekarang kau
bertanggung jawab atas Distrik Shiga. Kau akan menempati Benteng Sakamoto di perbukitan di
kaki gunung." Dua hari kemudian, Nobunaga menuruni gunung dan memasuki Kyoto. Asap hitam masih
membubung dari Gunung Hiei. Rupanya tak sedikit biksu prajurit yang melarikan diri ke Kyoto agar
lolos dari pembantaian, dan orang-orang itu kini membicarakannya seakan-akan ia merupakan
penjelmaan iblis. "Orang itu raja setan."
"Utusan dari neraka!"
Para warga Kyoto diberi gambaran gamblang mengenai Gunung Hiei dan peristiwa memilukan yang
terjadi malam itu. Kini, pada waktu mereka mendapat kabar bahwa Nobunaga menarik mundur
pasukannya dan menuruni bukit, mereka terguncang. Desas-desus pun berkembang subur.
"Sekarang giliran Kyoto!"
"Istana Shogun di Muromachi takkan sanggup menangkal serangan api."
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang-orang mengunci pintu masing-masing, meski hari masih terang, mengemasi barang-barang,
dan bersiap-siap mengungsi. Tetapi para prajurit Nobunaga berkemah di tepi Sungai Kamo dan
dilarang memasuki kota. Orang yang mengeluarkan larangan ini tak lain dari si raja setan yang telah
memerintahkan serangan terhadap Gunung Hiei. Disertai beberapa jendral, ia kini memasuki
sebuah kuil. Setelah melepaskan baju tempur dan helm serta menyantap makanan panas, ia
mengenakan kimono istana serta hiasan kepala, lalu pergi.
Nobunaga menunggangi kuda gagah berpelana indah. Jendral-jendralnya tetap memakai baju
tempur dan helm. Bersama keempat belas atau kelima belas orang ini, ia berkuda menyusuri
jalan-jalan dengan sikap acuh tak acuh. Si raja setan tampak sangat tenang, dan tersenyum ramah
pada orang-orang yang ditemuinya. Para warga membanjiri jalanan dan menyembah pada saat
Nobunaga lewat. Takkan terjadi apa-apa. Mereka mulai bersorak-sorai, seiring rasa lega yang
menyebar bagaikan gelombang.
Tiba-tiba terdengar letusan senapan dari tengah-tengah massa. Pelurunya menyerempet
Nobunaga, tapi ia bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa, dan hanya menoleh ke arah sumber
letusan. Para jendral di sekelilingnya tentu saja segera melompat turun dari kuda masing-masing
dan bergegas menangkap si penjahat. Penembakan itu ternyata menyulut ke-marahan para
penduduk kota, dan mereka berseru-seru dengan gusar, "Tangkap dia!" Pelaku kejahatan itu, yang
menduga bahwa orang-orang Kyoto berada di pihaknya, rupanya salah perhitungan, dan tak
menemukan tempat bersembunyi. Ia seorang biksu-prajurit, konon yang paling berani, dan ia terus
mencaci maki Nobunaga, bahkan saat ia diringkus.
"Kau musuh sang Buddha! Raja setan!"
Roman muka Nobunaga tak berubah sedikit pun. Sesuai rencana, ia menuju Istana Kekaisaran dan
4 Pendekar Bloon Persekutuan Orang Orang Sakti m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
turun dari kuda. Setelah mencuci tangan, dengan tenang ia menuju gerbang, lalu berlutut.
"Amukan api yang terjadi semalam tentu mengejutkan Yang Mulia. Hamba memohon ampun karena
telah menimbulkan kegelisahan dalam diri Yang Mulia."
Ia berlutut untuk waktu lama, sehingga orang yang melihatnya mungkin merasa bahwa permintaan
maaf itu berasal dari lubuk hatinya yang paling dalam. Tapi kini ia menatap gerbang dan
tembok-tembok istana yang baru, lalu melemparkan pandangan puas ke arah jendral-jendral di
kiri-kanannya. 1. Meninggalkan pekerjaan adalah tindakan melawan hukum.
2. Mereka yang menyebarkan desas-desus dan berita palsu langsung dihukutn mati.
3. Segala sesuatu harus tetap seperti semula. Atas perintah Oda Nobunaga, Hakim Kepala Setelah
ketiga ketetapan ini ditempelkan di semua penjuru kota, Nobunaga kembali ke Gifu. Ia pergi tanpa
menemui sang Shogun, yang telah beberapa saat sibuk memperdalam selokan-selokan, membeli
senapan, dan bersiap-siap menghadapi serangan api. Para penghuni istana Shogun melepaskan
desahan lega, namun tetap merasa tidak tenang ketika menyaksikan kepergian Nobunaga.
Gerbang Tanpa Gerbang API peperangan tidak hanya mengamuk di Gunung Hiei melainkan juga berkobar bagaikan
kebakaran padang belantara, mulai dari distrik-distrik bagian barat Mikawa, sampai ke desa-desa di
tepi Sungai Tenryu, bahkan sejauh perbatasan Mino. Pasukan Takeda Shingen sudah melintasi
Pegunungan Kai, dan kini menuju ke selatan.
Orang-orang Tokugawa, yang memberi julukan "Shingen si Kaki Panjang" pada musuh mereka,
bersumpah akan menghalangi perjalanannya ke ibu kota. Ini bukan semata-mata demi kepentingan
sekutu mereka, marga Oda. Kai sangat berdekatan dengan Provinsi Mikawa dan Totomi, dan jika
pasukan Takeda berhasil menerobos, itu berarti kehancuran bagi seluruh marga Tokugawa.
Ieyasu kini berusia tiga puluh satu tahun dan sedang dalam masa kejayaannya. Para pengikutnya
telah didera kemalangan dan penderitaan selama dua puluh tahun terakhir, tapi akhirnya Ieyasu
tumbuh dewasa, marganya pun menjalin hubungan persahabatan dengan marga Oda, dan sedikit
demi sedikit ia mulai melanggar batas-batas wilayah Imagawa.
Provinsinya dipenuhi harapan akan kemakmuran serta keinginan untuk memperluas wilayah,
demikian hebatnya, sehingga para pengikut, baik tua maupun muda, para petani, dan para
penduduk kota tampak amat bersemangat.
Mikawa bukan tandingan Kai dalam hal persenjataan dan kekayaan, namun dalam hal tekad,
provinsi itu tidak kalah sedikit pun. Itu sebabnya para prajurit Tokugawa memberi julukan "si Kaki
Panjang" kepada Shingen. Lelucon ini pernah dicantumkan oleh Nobunaga dalam sepucuk surat
kepada Ieyasu. dan ketika Ieyasu membacanya, ia menganggap ini patut diceritakan kepada para
5 Pendekar Bloon Persekutuan Orang Orang Sakti m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
pengikutnya. Julukan itu memang berdasar, sebab jika kemarin Shingen masih bertempur melawan marga
Uesugi di perbatasan utara Kai, hari ini ia telah berada di Kozuke dan Sagami dan mengancam
marga Hojo. Atau, berbalik secara cepat, ia menyulut api peperangan di Mikawa atau Mino.
Selain itu, Shingen selalu ikut terjun langsung ke medan perang untuk memberi pengarahan. Jadi
orang-orang mulai menyangka bahwa ia mempunyai boneka-boneka yang dapat menggantikan
tempatnya. Tapi sesungguhnya, setiap kali anak buahnya bertempur, ia tampak belum puas kalau
tidak berada di medan laga. Tapi kalau Shingen berkaki panjang, Nobunaga patut disebut berkaki
lincah. Nobunaga menulis kepada Ieyasu:
Rasanya lebih baik jika Tuan tidak melakukan konfrontasi frontal dengan pasukan Kai. Aku
ber-harap Tuan tetap tabah Jika situasi menjadi genting dan Tuan terpaksa mundur dan
Hamamatsu ke Okazaki. Kalaupun kita harus menunggu hari lain. aku yakin hari itu tak lama
Nobunaga mengirim pesan kepada Ieyasu sebelum membumihanguskan Gunung Hiei, tapi Ieyasu
berpaling kepada para pengikut senior dan berkata di hadapan kurir Oda, "Sebelum meninggalkan
Benteng Hamamatsu, lebih baik kita patahkan busur kita dan keluar dari golongan samurai!"
Dalam pandangan Nobunaga, provinsi Ieyasu hanyalah salah satu garis pertahanan, tetapi bagi
Ieyasu, Mikawa merupakan rumah. Ketika menerima surat balasan yang dibawa si kurir, Nobunaga
bergumam mengenai ketidaksabaran Ieyasu, lalu kembali ke Gifu begitu ia selesai menangani
Gunung Hiei. Shingen tentu terkesan dengan kecepatan yang diperlihatkan Nobunaga. Sudah bisa
diduga bahwa ia pun selalu siap mencari kesempatan.
Shingen pernah berkata bahwa terlambat satu hari saja dapat menimbulkan bencana untuk satu
tahun, dan kini ia merasa semakin didesak untuk segera mewujudkan cita-citanya, yaitu memasuki
Relikui Kematian 1 Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk Sang Penebus 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama