Taiko Karya Eiji Yoshikawa Bagian 19
Tepat sebelum Mitsuhide hendak berangkat, seseorang turun dari kuda di depan gerbang. Orang itu
ternyata kurir Nobunaga. "Tuan Mitsuhide, apakah Tuan sudah mau bertolak ke Barat?"
"Belum. Aku ingin pergi ke benteng dulu untuk berpamitan pada Yang Mulia Nobunaga dan Yang
Mulia Ieyasu." "Justru itu yang menjadi pikiran Yang Mulia Nobunaga. Beliau mengirim hamba ke sini agar Tuan
tidak perlu datang ke benteng di tengah persiapan Tuan."
"Apa" Ada pesan lagi dari beliau?" ujar Mitsuhide. Ia segera kembali ke dalam, duduk, dan dengan
penuh hormat menyimak kehendak jun-jungannya.
Perintah agar kau tidak menghadiri acara malam ini dan segera bertolak dari Azuchi tetap berlaku,
tapi ada instruksi tambahan menyangkut keberangkatanmu ke daerah Barat sebagai barisan depan.
Dan Tajima, pasukan Akechi harus menuju Inaba. Kau bebas memasuki provinsi-provinsi yang
dikuasai Mori Terumoto. Jangan gegabah, dan jangan buang-buang waktu. Kau harus segera
kembali ke Tamba, persiapkan pasukanmu, dan lindungi sisi Hideyoshi di sepanjang Jalan Raya
Sanin. Tak lama lagi aku sendiri akan menyusul sebagai barisan belakang. Jangan sia-siakan
waktu. Jangan sampai kita kehilangan kesempatan baik ini.
Mitsuhide bersujud dan berkata bahwa ia akan menjalankan perintah dengan secepat-cepatnya.
Kemudian, mungkin karena merasa bahwa sikapnya terlalu merendah, ia menegakkan badan, menatap kurir di hadapannya, dan berkata, "Silakan
sampaikan apa pun yang kauanggap layak pada Yang Mulia."
Mitsuhide mengantar orang itu sampai ke gerbang. Dengan setiap langkah, ia semakin gugup
karena angin yang berembus melalui bangunan yang hampir kosong itu.
Sampai beberapa tahun lalu, jika aku diberi kesempatan kembali ke kampung halaman, dia selalu
minta agar aku menemuinya sebelum berangkat, walaupun di tengah malam buta. Entah berapa
kali Nobunaga berpesan, "Mampirlah untuk minum teh," atau, "Kalau kau berangkat pagi, datanglah
sebelum fajar." Kenapa ia kini sedemikian benci padaku" Ia bahkan mengirim kurir, supaya tak
perlu berhadapan langsung denganku.
Jangan merenung, jangan dimasukkan ke hati. Namun semakin ia berusaha untuk tidak
memikirkannya, semakin ia berkeluh kesah dalam hati. Kata-katanya menyerupai gelembung udara
yang naik ke permukaan air berbau busuk.
"Coba perhatikan ini! Kembang-kembang ini pun tak berguna!"
Mitsuhide meraih sebuah vas besar dan merenggut bunga-bunga yang telah ditata dengan apik. Air
24 Pendekar Bodoh . Ksatria Seribu Syair m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tumpah ke lantai ketika ia membawa vas itu ke serambi. Mitsuhide mengangkatnya tinggitinggi, membidik batu pipih, dan melemparkan vas itu sekuat tenaga. Vas itu meledak di tengah
percikan air, menimbulkan bunyi menyenangkan. Percikan air mengenai wajah dan dada Mitsuhide.
Mitsuhide menengadahkan wajahnya yang basah kuyup ke langit malam dan tertawa keras-keras.
Ia tertawa seorang diri. Malam telah larut, dan ketika kabut mulai turun, udara menjadi panas dan lembap. Para
pengikutnya sudah selesai berkemas dan telah berbaris di luar gerbang. Kuda-kuda terdengar
meringkik di bawah awan kelabu yang rendah.
"Perlengkapan hujan sudah disiapkan," seorang pengikut bertanya, sekali lagi menengok ke dalam
gerbang. "Malam ini bintang-bintang tidak menampakkan diri, dan kalau hujan mulai turun, medannya akan
tambah berat. Sebaiknya kita bawa obor cadangan," orang lain berseru.
Wajah para samurai sama suramnya dengan langit malam. Mata mereka berkaca-kaca,
mencerminkan kemarahan, kegetiran, dan ketidak-puasan. Tak lama kemudian suara Mitsuhide
terdengar ketika ia mengarahkan kudanya menjauhi gerbang, disertai sekelompok penunggang
kuda lainnya. "Sakamoto hampir kelihatan," katanya. "Biar-pun hujan, perjalanan kita takkan makan waktu lama."
Para pengikutnya terkejut mendengar nada suaranya yang lebih riang daripada biasa.
Sebelumnya pada malam itu Mitsuhide menge-luh karena demam dan sempat minum obat. Kini
para pengikutnya was-was menghadapi kemung-kinan hujan. Ia menanggapi kekhawatiran mereka
dengan suara sengaja dikeras-keraskan, agar terdengar oleh orang-orang di sebelah dalam
gerbang, maupun oleh mereka yang berada di sebelah luar.
Ketika keberangkatan Mitsuhide diumumkan, api diteruskan dari obor ke obor. Dalam sekejap
jumlah obor yang menyala telah berlipat ganda. Kemudian, dengan obor terangkat tinggi-tinggi,
para pengikut keluar satu per satu, mengikuti barisan depan.
Setelah rombongan itu berjalan sekitar satu setengah mil, hujan mulai turun, memercik ke api obor.
"Rupanya para tamu di benteng belum beranjak tidur. Barangkali mereka akan bangun sepanjang
malam." Mitsuhide tidak mengindahkan hujan. Ketika ia berbalik di atas pelana dan menoleh ke arah danau,
donjon besar di Benteng Azuchi seakan-akan menjulang ke langit yang hitam bagaikan tinta. Ia
membayangkan bahwa lumba-lumba emas yang menghiasi atap berkilau lebih cerah pada malam
yang suram ini, menatap ke dalam kegelapan. Pada waktu memantul di danau, lautan cahaya di
bangunan bertingkat-tingkat itu seolah-olah menggigil kedinginan.
"Tuanku! Tuanku! Tuanku jangan sampai masuk angin!" Fujira Dengo berkata dengan nada prihatin
ketika menyejajarkan kuda di sa
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
25Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana | http://cerita-silat.mywapblog.com | Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana pdf created by Saiful Bahri (Seletreng - Situbondo) pd 23-04-2016 08:25:45
mping kuda Mitsuhide dan menaruh jas hujan yang terbuat dari jerami pada bahu junjungannya itu.
Pagi itu tepi Danau Biwa sekali lagi terselubung kabut, dan hujan masih turun dari langit. Ombak
yang memukul-mukul, kabut, dan hujan bercam-pur baur, sehingga seluruh dunia tampak putih.
Jalan raya luar biasa becek, dan kuda-kuda berlepotan lumpur sampai ke telinga. Tanpa
memedulikan hujan dan kondisi jalan, seluruh pasukan berbaris menuju Sakamoto. Tepi danau
berada di sebelah kanan, Gunung Hiei di sebelah kiri mereka. Angin yang bertiup dari puncak
gunung membuat jerami jas hujan yang mereka kerukan berdiri kaku seperti landak.
"Ah, lihatlah ke sebelah sana, tuanku. Yang Mulia Mitsuharu keluar untuk menyambut tuanku,"
Masataka berkata pada Mitsuhide.
Benteng di tepi danau - Benteng Sakamoto - berada tepat di depan mereka. Mitsuhide
mengangguk perlahan, seakan-akan telah mengetahuinya. Walaupun Sakamoto hampir berada
dalam jarak pandangan mata dari Azuchi, Mitsuhide tampak seperti orang yang baru saja berjalan
ribuan mil. Ketika berdiri di muka gerbang yang dipimpin oleh sepupunya, Akechi Mitsuharu, ia
merasa seolah-olah berhasil meloloskan diri dari sarang macan.
Tetapi para pengikutnya lebih cemas mengenai batuknya yang terdengar secara berkala daripada
mengenai apa yang ada dalam pikirannya, dan mereka mengemukakan keprihatinan yang mereka
rasakan. "Tuanku telah menempuh perjalanan dalam cuaca dingin dan diterpa hujan sepanjang malam.
Tuanku tentu lelah. Begitu tiba di benteng, sebaiknya tuanku segera menghangatkan diri dan
beristirahat." Mitsuhide memang junjungan yang berhati lembut. Ia mendengarkan saran para pengikutnya
dengan sungguh-sungguh, dan memahami ke-cemasan mereka. Ketika mereka tiba di hutan pinus
di depan gerbang, Dengo meraih tali kekang kuda Mitsuhide dan berdiri di samping pelana, siap
membantu junjungannya turun dari kuda.
Sejumlah pengikut Mitsuharu telah berbaris di atas jembatan yang melintasi parit pertahanan. Salah
satu dari mereka membuka payung dan menawarkannya dengan hormat. Masataka mengambil
payung itu dan menggunakannya untuk melindungi kepala Mitsuhide dari hujan.
Mitsuhide berjalan menyeberangi jembatan. Ketika menatap ke bawah, ia melihat burung air berbulu
putih berenang di sekeliling pilar-pilar, bagaikan bunga di air yang biru kehijauan.
Mitsuharu, yang keluar untuk menyambut sepupunya, kini maju beberapa langkah dari barisan
pengikut dan membungkuk hormat.
"Kami telah menunggu sejak fajar," ia berkata sambil mengajak Mitsuhide ke dalam. Sekitar sepuluh
pengikut utama yang menyertai Mitsu-hide membilas tangan dan kaki mereka yang penuh lumpur,
menumpuk jas-jas hujan, dan masuk ke benteng dalam.
Para pengikut lainnya tetap di luar parit pertahanan, membersihkan kuda dan mengurus
barang-barang bawaan sambil menunggu diberi-tahu di mana mereka akan bermalam. Ringkikan
1 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
kuda dan hiruk-pikuk suara manusia terdengar sampai jauh.
Mitsuhide telah berganti pakaian. Ia merasa sangat betah di tempat tinggal Mitsuharu, seakan-akan
berada di rumah sendiri. Dari setiap ruangan ia dapai memandang danau dan Gunung Hiei.
Benteng dalam terletak di suatu tempat yang tadinya mempunyai pemandangan paling indah, tapi
kini tak ada yang dapat menikmati pe-mandangan iiu. Sejak Nobunaga memberikan perintah untuk
membumihanguskan Gunung Hiei, semua biara dan kuil telah menjadi tum-pukan abu.
Rumah-rumah desa di kaki gunung baru belakangan ini mulai dibangun kembali.
Reruntuhan benteng di Bukit Usa, tempat ayah Ranmaru menemui ajalnya, juga berdekatan, sama
halnya dengan medan tempur tempat para prajurit marga Asai dan Asakura terlibat bentrokan
berdarah dengan pasukan Oda. Kalau kita merenungkan reruntuhan dan pertempuran-pertempuran
di masa silam itu, kita akan menyadari bahwa ke-indahan panorama dipenuhi rintihan arwah-arwah.
Mitsuhide duduk sambil mendengarkan bunyi hujan di awal musim panas, mengenang masa lalu.
Sementara itu, Mitsuharu berada di sebuah ruangan kecil yang biasa dipakai untuk upacara minum
teh, mengamati api di tungku dan mendengarkan bunyi air mendidih di dalam poci buatan seniman
terkenal, Yojiro. Sejak masa remaja, Mitsuharu dan Mitsuhide dibesarkan seperti kakak-adik, membagi
keseng-saraan di medan tempur dan kesenangan di rumah.
Dan mereka bukannya saling menjauh, seperti biasa terjadi pada kakak-adik ketika mereka tum-buh
dewasa, melainkan tetap menjalin hubungan akrab.
Namun watak mereka takkan pernah sama. Jadi, pada pagi ini, kedua laki-laki itu segera menuju
tempat berbeda di dalam benteng. Keduanya menjalani gaya hidup yang sesuai dengan hati
masing-masing. Hmm, kurasa dia sudah berganti pakaian, Mitsuharu berkata dalam hati. Ia bangkit dari tempat
duduknya di depan poci. Setelah melintasi serambi yang basah, ia menyusun selasar beratap, ke
sekelompok ruangan yang disediakan bagi sepupunya. Ia mendengar suara para pembantu dekat
Mitsuhide di salah satu ruangan lain, tapi Mitsuhide duduk seorang diri, tegak, dengan pan-dangan
tertuju ke danau. "Aku ingin menawarkan teh padamu," ujar Mitsuharu.
Mitsuhide berpaling pada sepupunya dan bergumam. "Teh..."' seakan-akan baru terjaga dari mimpi.
"Poci yang kupesan pada Yojiro di Kyoto baru-baru ini telah diantarkan. Poci itu tidak memiliki
pola-pola anggun seperti poci Ashiya, tapi mengan-dung daya tarik bersahaja yang menyenangkan
mata. Kata orang, poci teh yang masih baru kurang berguna, tapi dasar Yojiro, air yang direbus di
dalam tekonya tak kalah nikmat dari air yang direbus dalam poci tua. Aku bermaksud menggunakan
poci itu untuk membuatkan teh untukmu kalau kau berkunjung ke sini lagi, dan tadi pagi, begitu aku
diberitahu bahwa kau mendadak kembali dari Azuchi, aku segera menyalakan api dalam tungku."
"Kau sungguh baik hati, Mitsuharu, tapi aku sedang tidak berminat minum teh."
"Hmm, kalau begitu, bagaimana dengan air panas agar kau bisa mandi?"
2 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kau juga tak perlu menyiapkan air panas. Biarkanlah aku tidur sejenak. Hanya itu yang ku-inginkan
sekarang." Mitsuharu sudah mendengar banyak cerita belakangan ini, jadi ia tidak sepenuhnya buta terhadap
pikiran Mitsuhide. Meski demikian, ia agak heran kenapa sepupunya itu begitu tiba-tiba kembali ke
Sakamoto. Bukan rahasia bahwa Mitsuhide diberi tugas mengurus jamuan makan yang
diselenggarakan Nobunaga untuk menyam-but Ieyasu. Mengapa Mitsuhide mendadak
dibebastugaskan, tepat sebelum jamuan itu" Ieyasu pasti berada di Azuchi. Akan tetapi tugas
Mitsu-hide diserahkan pada orang lain, dan ia sendiri diperintahkan pulang.
Mitsuharu belum mendengar berita terperinci, tapi dari waktu ke waktu ia menerima laporan
mengenai perkembangan di Azuchi, sehingga ia pun memahami bahwa telah terjadi sesuatu yang
menyulut kemarahan Nobunaga. Diam-diam Mitsuharu turut berduka bersama sepupunya.
Dan seperti yang dicemaskan Mitsuharu, sejak ia menyambut kedatangan Mitsuhide di bentengnya
tadi pagi, tampang Mitsuhide tidak terlalu bersemangat. Mituharu tidak seberapa terkejut melihat
bayang-bayang suram di wajah sepupunya. Ia yakin tak seorang pun memahami watak Mitsuhide
seperti ia sendiri, karena mereka dibesarkan bersama -sama.
"Ya, itu masuk akal. Kau menghabiskan sepan-jang malam di atas kuda dalam perjalanan dari
Azuchi. Kita sama-sama berusia lima puluhan sekarang, dan kita tak lagi bisa memperlakukan
badan kita seperti ketika kita masih muda. Istirahatlah sejenak. Semuanya sudah dipersiapkan."
Mitsuharu tidak mendesak lebih lanjut atau berusaha menentang keinginan sepupunya. Mitsuhide
berdiri dan masuk ke bilik kelambu, sementara cahaya pagi masih menerangi benang-benangnya.
Amano Genemon, Fujita Dengo, dan Yomoda Masataka telah menunggu Mitsuharu ketika ia keluar
dari kamar Mitsuhide. Ketiga laki-laki itu membungkuk.
"Hamba mohon ampun, Yang Mulia." kata Dengo. "Kami mohon maaf karena mengganggu Yang
Mulia, tapi jika Yang Mulia berkenan, kami ingin berbicara sebentar. Urusannya cukup penting."
Nada suara Dengo tidak seperti biasanya.
Mitsuharu menjawab seakan-akan telah menduga kedatangan mereka. "Bagaimana kalau kita pergi
ke pondok minum teh" Yang Mulia Mitsu-hide sedang tidur, dan aku tidak tega menyia-nyiakan api
di bawah poci." "Kalau kita pergi ke pondok minum teh, kita tak perlu menyuruh orang-orang menjauh. Itu gagasan
yang baik." "Mari kutunjukkan jalannya."
"Kami bertiga hanya orang desa, jadi kami tidak memahami seni minum teh, dan kami tak menduga
akan memperoleh kehormatan sebesar ini dari Yang Mulia."
"Jangan berpikir begitu. Aku bisa menduga apa yang mengusik pikiran kalian, karena itu pondok
minum teh merupakan tempat yang baik untuk berbicara."
Mereka duduk dalam cahaya lemah yang mene-robos pintu kertas tembus sinar di pondok minum
teh yang kecil itu. Air di dalam poci sudah mendidih beberapa lama, dan kini menggelem-bung
3 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dengan suara yang bahkan lebih menyenangkan daripada sebelumnya. Sudah berulang kali
Mitsuharu membuktikan jiwa prajuritnya di medan tempur, tapi di sini, di depan tungku, ia
seakan-akan orang yang berbeda sama sekali.
"Baiklah, kita langsung ke pokok persoalan saja. Apa yang mengganggu pikiran kalian?" tanya
Mitsuharu. Ketiga laki-laki di hadapannya saling pandang. Akhirnya Dengo, yang tampaknya memiliki
ke-beranian paling besar di antara mereka, berkata. "Yang Mulia Mitsuharu, ini sungguh
memalukan. Hamba nyaris tak sanggup menyinggungnya..." Ia mengangkat lengan kanannya untuk
menyem-bunyikan air mata, Kedua rekannya tidak menangis, tapi mereka pun tak dapat
menutup-nutupi mata yang sembap. "Apakah telah terjadi sesuatu?" Sikap Mitsuharu teramat
tenang, dan ketiga laki-laki itu segera mengendalikan diri. Sepertinya mereka menyangka akan
berhadapan dengan api, tapi hanya melihat air. Mitsuharu memperhatikan bahwa mata mereka
bengkak, namun ia sendiri tidak ikut terharu. "Sesungguhnya," Mitsuharu melanjutkan, "aku pun khawatir bahwa kedatangan yang mendadak ini
disebabkan oleh kemarahan Yang Mulia Nobu-naga. Mengapa Yang Mulia Mitsuhide dibebaskan
dari tugas-tugasnya di jamuan makan itu?"
Dengo yang pertama menjawab, "Yang Mulia Mitsuhide junjungan kami, tapi kami tidak buta
terhadap kelalaian, dan akal sehat kami tidak terbelenggu oleh prasangka buruk, jadi kami tidak
akan menggerutu dan menyesalkan tindakan Yang Mulia Nobunaga. Kami berusaha keras
memahami alasan Yang Mulia Nobunaga kali ini, baik menyangkut situasi saat Yang Mulia
Mitsuhide dibebastugaskan maupun mengapa dia dipersalahkan. Kejadian ini sungguh ganjil."
Tenggorokan Dengo begitu kering, sehingga ia tak sanggup meneruskan ucapannya. Yomoda
Masataka segera membantunya dan melanjutkan, "Kami sampai menyangka bahwa ada alasan
politik, sekadar untuk menenteramkan pikiran kami, tapi dari sudut mana pun masalahnya
dipandang, kami tak berhasil menarik kesimpulan yang masuk akal. Yang Mulia Nobunaga tentu
sudah menyusun rencana keseluruhan. Jadi, mengapa beliau mencopot orang yang telah
ditugaskan untuk mengurus jamuan makan, lalu memberikan kehormatan tersebut pada orang lain
justru pada hari jamuan itu diselenggarakan" Sepertinya beliau sengaja hendak memamerkan
perpecahan di hadapan tamunya, Yang Mulia Ieyasu."
Genemon angkat bicara, "Jika hamba mengamati situasi yang telah digambarkan oleh rekan-rekan
hamba, hanya satu alasan yang dapat hamba temui, dan ini pun sebenarnya sama sekali bukan
alasan. Selama beberapa tahun terakhir, kebenci-an Yang Mulia Nobunaga telah menyebabkan
segala perbuatan Yang Mulia Mitsuhide dipandang buruk. Dan kini beliau memperlihatkan
kebenci-annya secara terbuka, tanpa ditutup-tutupi, sampai terjadilah peristiwa ini."
Ketiga orang itu terdiam. Masih banyak ke-jadian yang ingin mereka kemukakan. Misalnya, di
perkemahan di Suwa selama berlangsungnya operasi Kai, Nobunaga membenturkan wajah
Mitsuhide ke lantai kayu di selasar, memanggilnya "Kepala Jeruk", dan memaksanya menjilat air
dari lantai. Mitsuhide telah dihina di hadapan semua orang, dan sudah sering ia dipermalukan
dengan cara serupa di Azuchi. Kejadian-kejadian seperti ini, yang terlalu banyak untuk disinggung
satu per satu, telah menjadi bahan gunjingan di kalangan marga-marga lain. Mitsuharu sedarah dan
sedaging dengan Mitsuhide, dan karena hubungan saudara yang dekat ini, ia tentu mengetahui
4 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Mitsuharu mendengarkan semuanya tanpa membiarkan roman mukanya berubah. "Kalau begitu,
berarti Yang Mulia Mitsuhide dibebas-tugaskan tanpa alasan tertentu" Aku lega mendengarnya.
Marga-marga lain pun sudah sering menerima kemurahan hati atau menanggung kemarahan Yang
Mulia Nobunaga, tergantung suasana hatinya."
Ekspresi wajah ketiga laki-laki di hadapannya tiba-tiba berubah. Otot-otot di sekitar bibir Dengo
berkedut-kedut, dan secara mendadak ia bergeser mendekati Mitsuharu.
"Apa maksud Yang Mulia" Mengapa Yang Mulia justru merasa lega?"
"Haruskah aku mengulangi ucapanku" Ke-salahan bukan di pihak Yang Mulia Mitsuhide, jadi kalau
kejadian ini disebabkan Yang Mulia Nobunaga sedang marah, Yang Mulia Mitsuhide tentu dapat
mcmperbaiki keadaan pada saat suasana hati Yang Mulia Nobunaga lebih cerah."
Nada suara Dengo semakin tegang. "Bukankah ini berarti Yang Mulia memandang Yang Mulia
Mitsuhide sebagai penghibur, yang harus menjilat demi perasaan junjungannya" Pantaskah Yang
Mulia Akechi Mitsuhide dipandang seperti ini" Tidakkah Yang Mulia sependapat bahwa beliau telah
dipermalukan, dihina, dan didesak sampai batas ketahanan beliau?"
"Dengo, urat di pelipismu mulai kelihatan. Tenangkan dirimu."
"Sudah dua malam hamba tak dapat memejamkan mata. Hamba tak sanggup bersikap setenang
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang Mulia. Junjungan hamba dan para pengikutnya digodok dalam kuali berisi ketidakadilan,
ejekan, penghinaan, segala bentuk kedengkian lainnya."
"Karena itulah kuminta agar kau menenangkan diri dan beristirahat selama dua atau tiga malam."
"Tidak mungkin!" Dengo berseru. "Di kalangan samurai berlaku: sekali berlepotan lumpur, rasa
malunya sukar dihapus. Entah berapa kali sudah junjungan hamba beserta para pengikut harus
menahan malu karena penguasa Azuchi yang keji ini" Dan kejadian kemarin bukan sekadar
pen-copotan Yang Mulia Mitsuhide dari tugas-tugasnya pada jamuan itu. Perintah yang menyusul
kemudian menyebabkan seluruh marga Akechi terlihat bagaikan anjing yang mengejar babi hutan
atau rusa liar. Barangkali Yang Mulia sudah mendengar bahwa kami harus segera menyiapkan pasukan untuk bertolak ke daerah Barat. Kami
disuruh menyerbu provinsi-provinsi Mori di wilayah Sanin, untuk melindungi sisi Yang Mulia
Hideyoshi. Bagaimana mungkin kami bertempur sementara perasaan kami seperti ini" Situasi ini
merupakan satu contoh lagi dari kebusukan penguasa jahanam itu."
"Tahan lidahmu! Siapa yang kausebut penguasa jahanam?"
"Yang Mulia Nobunaga, orang yang memanggil junjungan kami 'Kepala jeruk' di hadapan orang lain.
Lihatlah Hayashi Sado, atau Sakuma dan putranya. Bertahun-tahun mereka membantu Nobunaga
mencapai kedudukan seperti sekarang. Kemudian, setelah mereka akhirnya memperoleh status
yang sepadan dengan jasa mereka serta sebuah benteng, mereka ditangkap karena urusan sepele,
dan dihukum mati atau dibuang ke pengasingan. Pada akhirnya penguasa keji itu selalu mengusir
seseorang." 5 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Diam! Jangan lancang berbicara mengenai Yang Mulia Nobunaga. Keluar! Sekarang!"
Ketika Mitsuharu akhirnya tak sanggup lagi menahan kemarahan dan menegur orang itu, sesuatu
terdengar sayup-sayup di pekarangan. Sukar untuk memastikan apakah bunyi itu ditim-bulkan oleh
orang yang mendekat atau oleh daun-daun yang berguguran.
Kemungkinan penyusupan mata-mata harus diwaspadai siang dan malam, bahkan di
tempat-tempat yang boleh dikata tak mungkin dijangkau musuh. Jadi, di pekarangan pondok minum
teh pun ada samurai yang berjaga-jaga. Salah seorang penjaga telah menghampiri pondok dan kini
membungkuk di depan pintu. Setelah menyerahkan sepucuk surat kepada Mitsuharu, ia mundur
sedikit dan menunggu sambil diam seperti patung.
Tak lama kemudian suara Mitsuharu terdengar dari dalam. "Surat ini harus dijawab. Nanti aku akan
menuliskan balasan. Suruh biksu itu menunggu."'
Penjaga tadi membungkuk ke arah pintu, dan kembali ke posnya. Sandal jeraminya hampir tak
menimbulkan bunyi sama sekali, seakan-akan ia sedang mengendap-endap.
Selama beberapa saat Mitsuharu dan ketiga laki-laki lainnya duduk membisu, terselubung suasana
dingin bagaikan es. Sesekali buah prem yang matang jatuh ke tanah dengan bunyi menyerupai palu
kayu menghantam tanah. Itulah satu-satunya bunyi yang memecahkan keheningan. Tiba-tiba
seberkas sinar matahari terang benderang mengenai panil-panil kenas pada dinding geser.
"Sebaiknya kami mohon pamit saja. Tentu ada urusan lebih penting yang harus ditangani oleh Yang
Mulia." ujar Masataka, memanfaatkan kesempatan itu untuk mohon diri, tapi Mitsuharu, yang telah
membuka surat tadi dan membacanya di depan ketiga orang itu, kini menggulungnya kembali.
"Kenapa kalian terburu-buru?" ia bertanya sam-bil tersenyum.
"Kami tak ingin mengganggu lebih lama lagi." Mereka menutup pintu geser rapat-rapat di belakang
mereka, suara langkah mereka menjauh ke arah selasar beratap, dan kedengarannya seakan-akan
mereka berjalan di atas lapisan es yang tipis.
Beberapa saat kemudian, Mitsuharu pun pergi. Ia berseru ke hunian para samurai ketika menyusuri
selasar. Para pelayan pun tergesa-gesa mengikutinya ke ruangannya. Mitsuharu segera minta
diambilkan kertas dan kuas, dan dengan lancar ia menggoreskan kuas, seolah-olah sudah tahu apa
yang hendak ditulisnya. "Berikan surat ini kepada kurir Kepala Biara Yokawa, dan suruh dia pulang."
Mitsuharu menyerahkan surat itu pada salah satu pelayan, dan seakan-akan tidak lagi menaruh
minat pada masalah itu, ia bertanya. "Masih tidurkah Yang Mulia Mitsuhide?"
"Ketika hamba ke sana, ruangannya sunyi sekali," pelayan itu menjawab.
Pada waktu mendengar jawaban ini, kedua mata Mitsuharu tampak berseri-seri, seakan-akan baru
sekarang perasaannya betul-betul tenteram.
Hari demi hari berlalu, Mitsuhide menghabiskan waktunya di Benteng Sakamoto, menganggur. Ia
telah menerima perintah Nobunaga untuk bertolak ke provinsi-provinsi Barat, dan seharusnya ia
6 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
secepat mungkin kembali ke bentengnya sendiri untuk mengerahkan para pengikutnya. Mitsuharu
ingin mengingatkan sepupunya bahwa menghabiskan waktu tanpa berbuat apa-apa takkan
membantu reputasinya di Azuchi. Tapi setelah merenungkan perasaan Mitsuhide, ia tak sampai hati
menegur. Rasa tak puas yang diungkapkan oleh Dengo dan Masataka tentu juga bercokol di hati
Mitsuhide. Kalau begitu, pikir Mitsuharu, menikmati ke-tenteraman selama beberapa hari merupakan persiapan
terbaik menghadapi operasi militer. Mitsuharu percaya penuh pada kecerdasan dan akal sehat
sepupunya. Karena ingin tahu bagai-mana Mitsuhide menghabiskan waktu, ia berkun-jung ke
ruangan Mitsuhide yang ternyata sedang melukis, mencontoh sesuatu dari sebuah buku.
"Wah, rupanya kau sedang sibuk." Mitsuharu berdiri di samping Mitsuhide dan memperhatikan
goresan kuasnya. Ia senang melihat ketenangan sepupunya dan bersyukur bahwa ada sesuatu
yang dapat mereka nikmati bersama-sama.
"Mitsuharu" Jangan lihat. Aku tetap belum bisa melukis kalau ada orang lain."
Mitsuhide segera meletakkan kuas. Ia memperlihatkan rasa malu yang jarang tampak pada laki-laki berusia di atas lima puluh. Ia begitu malu,
sehingga menyembunyikan sketsa-sketsa yang telah dibuatnya.
"Mengganggukah aku?" Mitsuharu tertawa. "Siapa yang melukis buku yang kaugunakan se-bagai
contoh?" "Buku itu karya Yusho."
"Yusho" Bagaimana kabarnya sekarang" Berita mengenai dia tak pernah sampai ke sini."
"Suatu malam, dia mendadak muncul di perkemahanku di Kai. Dan keesokan paginya, sebelum
fajar, dia sudah pergi lagi."
"Orang itu memang aneh."
"Bukan, rasanya dia tak bisa disebut aneh. Orangnya setia, dan hatinya setegak bambu. Dia
memang sudah menanggalkan status samurai, tapi di mataku dia tetap seorang pejuang."
"Kabarnya dia bekas pengikut Saito Tatsuoki. Apakah kau menyanjungnya karena sampai hari ini
pun dia tetap setia terhadap bekas junjungannya?"
"Selama pembangunan Azuchi, dialah satu-satunya orang yang menolak ikut ambil bagian,
walaupun dia diundang oleh Yang Mulia Nobu-naga sendiri. Rupanya harga dirinya terlalu tinggi
untuk melukis bagi musuh bekas junjungannya."
Pada waktu itulah salah satu pengikut Mitsu-haru masuk dan berlutut di belakang mereka, dan
kedua orang itu berhenti berbicara. Mitsuharu berbalik dan menanyakan maksud kedatangan
pengikutnya. Samurai itu tampak sungkan. Di tangannya terlihat sesuatu yang tampak seperti sebuah petisi yang
ditulis di atas kertas tebal. "Satu lagi utusan dari Kepala Biara Yokawa datang ke gerbang benteng,
7 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dan mendesak agar hamba sekali lagi mengantarkan surat ini pada tuanku. Hamba menolak, tapi
dia berkata bahwa dia harus melaksanakan perintah dan tidak akan pergi. Apa yang harus hamba
lakukan?" "Apa" Lagi?" Mitsuharu berdecak perlahan. "Beberapa waktu lalu aku sudah mengirim surat pada
Kepala Biara Yokawa, dan menjelaskan bahwa aku tak mungkin menyetujui isi petisinya, sehingga
percuma saja dia menanyakannya. Tapi dia tetap berkeras, dan sesudahnya dia masih dua atau
tiga kali mengirim surat. Dasar keras kepala. Jangan terima suratnya, dan suruh kurir itu pergi."
"Baik, tuanku."
Si pengikut segera kembali, dangan petisi tadi masih tergenggam di tangannya. Sepertinya ia
merasa dirinya sendiri yang dicela. Begitu orang itu pergi, Mitsuhide berkata pada sepupunya.
"Maksudnya, Kepala Biara Yokawa dari Gunung Hiei?"
"Benar." "Bertahun-rahun lalu, aku diperintahkan turut serta dalam pembakaran Gunung Hiei. Waktu itu yang
kami serang bukan saja para biksu-prajurit, tapi juga orang-orang suci, kaum perempuan, dan
anak-anak. Kami membantai mereka tanpa memandang bulu dan melemparkan mayat-mayat ke
dalam api. Kami meluluhlantakkan gunung itu, sehingga pohon-pohon pun tak mungkin hidup
kembali, apalagi manusia. Dan sekarang tampaknya para biksu yang selamat dari pembantaian itu
telah kembali, dan sepertinya mereka mencoba memberikan kehidupan baru pada tempat itu."
"Benar. Dari apa yang kudengar, puncak gunung itu masih setandus dan segersang sebelumnya,
tapi orang-orang terpelajar sedang mengum-pulkan sisa-sisa pengikut yang tercerai-berai dan
menempuh segala cara untuk menghidupkan kem-bali gunung itu."
"Itu takkan mudah selama Yang Mulia Nobu-naga masih hidup."
"Dan mereka pun menyadarinya. Sebagian besar usaha mereka diarahkan ke Istana. Mereka
berusaha memperoleh maklumat dari sang Tenno untuk membujuk Yang Mulia Nobunaga, tapi
harapannya tipis. Jadi, belakangan ini mereka mencari dukungan di kalangan rakyat kebanyakan.
Mereka mengembara ke semua provinsi, meminta sumbangan, mengetuk setiap pintu, dan
kabarnya mereka bahkan membangun tempat persembahan sementara di lokasi kuil-kuil lama."
"Hmm, kalau begitu, tugas kurir yang dikirim dua atau tiga kali oleh Kepala Biara Yokawa ada
sangkut-pautnya dengan petisi itu?"
"Tidak." Mitsuharu segera mengalihkan mata, menatap wajah Mitsuhide dengan tenang.
"Se-benarnya, kupikir kau tak perlu direpotkan oleh urusan ini, jadi aku langsung menolaknya. Tapi,
karena kini kau menanyakannya, barangkali ada baiknya kalau aku membahasnya denganmu. Si
Kepala Biara Yokawa tahu bahwa kau berkunjung ke sini, dan dia minta kesempatan bertemu,
paling tidak satu kali."
"Kepala biara itu hendak bertemu denganku?" "Ya, dan dia juga ingin agar nama besar Yang Mulia
Mitsuhide tercantum dalam daftar dermawan untuk pembangunan kembali Gunung Hiei. Aku memberitahunya bahwa kedua permintaan iiu
tak mungkin dipenuhi, dan menolaknya dengan tegas."
8 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Dan meski kau sudah menolaknya berulang kali, dia masih juga mengirim kurir ke sini" Aku tentu
takkan mencantumkan namaku pada daftar itu, demi menghormati Yang Mulia Nobunaga, tapi
kenapa aku harus ragu-ragu menerima kunjungannya?"
"Kurasa tak ada perlunya kau menemui dia." ujar Mitsuharu. "Untuk apa kau - yang memimpin
penghancuran Gunung Hiei - menemui biksu yang selamat dari pembantatan itu?"
"Ketika itu dia merupakan musuh," balas Mitsu-hide. "Tapi sekarang Gunung Hiei telah dibuat tak
berdaya, dan orang-orang di sana pun telah bersujud dan bersumpah setia pada Azuchi."
"Tentu, sebagai formalitas. Tapi jangan lupa, kita berhadapan dengan rekan-rekan serta kerabat
orang-orang yang dibantai, dan dengan para biksu yang harus menyaksikan pembakaran kuil dan
biara mereka. Mungkinkah mereka melupakan dendam yang sudah sekian lama membara dalam
hati masing-masing" Korban yang tewas berjumlah sekitar sepuluh ribu, dan bangunan-bangunan
itu sudah berdiri di sana sejak zaman Dengyo Yang Suci.
Mitsuhide mendesah panjang. "Kala itu aku tak mungkin menghindari perintah Nobunaga, dan aku
pun turut dalam pembakaran gila-gilaan itu. Para biksu-prajurit, para biksu, dan orang biasa yang
tak terhitung jumlahnya, tua maupun muda, kutikam sampai mati. Kalau kukenang peristiwa
tersebut, dadaku serasa terbakar, seperti gunung yang dimangsa api itu."
"Tapi kau selalu menganjurkan agar kita berpandangan luas, dan sepertinya kau tidak bersikap
demikian sekarang. Kau menghancurkan yang satu untuk menyelamatkan yang banyak. Jika kita
membumihanguskan satu gunung, tapi membuat Ajaran Buddha bersinar cerah di lima gunung dan
seratus puncak lainnya, menurut hematku, kematian yang kita timbulkan sebagai samurai tak dapat disebut pembunuhan."
"Tentu saja itu benar. Tapi sekadar karena simpati, mau tak mau aku harus menitikkan sebutir air
mata, Mitsuharu! Di depan umum aku terpaksa menahan diri, tapi sebagai manusia biasa kurasa tak
ada salahnya kalau kupanjatkan doa bagi gunung itu, bukan" Besok aku akan pergi ke sana
dengan menyamar. Aku akan segera kembali setelah bertemu dengan si Kepala Biara."
Malam itu Mitsuharu tak sanggup memejamkan mata, walaupun telah beranjak ke peraduan.
Mengapa Mitsuhide begitu dikuasai oleh ke-inginan pergi ke Gunung Hiei" Apakah ia, Mitsuharu,
perlu mencegahnya, ataukah ia harus membiarkan Mitsuhide berlaku sesuka hatinya" Mengingat
situasi yang kini dihadapi Mitsuhide, rasanya lebih baik ia menghindari hubungan apa pun dengan
pembangunan kembali Gunung Hiei. Dan sebaiknya ia juga tidak bertemu dengan si Kepala Biara.
Sampai di sini semuanya masih jelas bagi Mitsuharu. Tapi kenapa Mitsuhide tampak tak senang
ketika mendengar bahwa Mitsuharu tidak bersedia menemui utusan si Kepala Biara dan menolak
menerima petisinya. Sepertinya Mitsu-hide tak setuju dengan cara sepupunya menangani situasi itu.
Rencana macam apa yang sedang digodok oleh Mitsuhide, dengan Gunung Hiei sebagai
porosnya" Tak pelak lagi, kunjungan Mitsuhide akan menjadi sumber bagi desas-desus bahwa ia
berkomplot melawan Nobunaga. Dan yang jelas, ia hanya menyia-nyiakan waktu dengan kunjungan
itu, apalagi ia berada di ambang keberangkatan untuk berperang di provinsi-provinsi Barat.
"Aku harus mencegahnya. Apa pun yang akan terjadi, aku harus menccgahnya." Setelah
9 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mengambil keputusan ini, Mitsuharu akhirnya memejamkan mata. Pada saat berhadapan dengan
Mitsuhide nanti, ia tentu akan memancing caci maki dari sepupunya itu atau membuatnya marah
sekali, tapi ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mencegahnya. Dengan tekad ini, ia pun terlelap.
Keesokan paginya ia bangun lebih pagi daripada biasa, tapi ketika sedang membasuh muka, ia
mendengar suara langkah menyusuri selasar ke arah jalan masuk. Mitsuharu memanggil dan
menghentikan salah seorang samurai "Siapa yang pergi ?"
"Yang Mulia Mitsuhide." "Apa"!"
"Benar, tuanku. Beliau memakai baju tipis un-tuk pergi ke gunung, hanya disertai oleh Amano
Genemon. Mereka hendak berkuda sampai ke Hiyoshi. Itulah yang baru saja dikatakan Yang Mulia
Mitsuhide, ketika dia mengikat sandal jeraminya di gerbang."
Mitsuharu tak pernah melalaikan doa pagi di hadapan tempat persembahan benteng dan altar
keluarga, tapi kali ini ia mengabaikan kedua-duanya. Ia membawa pedang panjang dan pendek, lalu
bergegas menuju gerbang. Tapi Mitsuhide dan pengikutnya sudah berangkat. Mitsuharu hanya
menjumpai pata pembantu yang mengantar mereka dan kini memandang ke arah awan-awan putih
di atas Shimeigatake. "Kelihatannya di sini pun musim hujan sudah mulai berakhir."
Kabut pagi yang menyelubungi hutan pinus di balik benteng belum menipis, hingga menyebabkan
daerah sekitar tampak seperti dasar lautan. Kedua penunggang kuda itu melewati hutan dengan
santai. Seekor burung besar terbang di atas kepala mereka mengepakkan sayap dengan anggun.
"Cuacanya bagus, bukan, Genemon?"
"Kalau terus seperti ini, udara di gunung akan cerah."
"Sudah lama aku tidak merasa setenteram sekarang."
"Berarti perjalanan kita tidak sia-sia."
"Aku ingin sekali bertemu dengan Kepala Biara Yokawa. Itulah satu-satunya tujuan perjalananku
ini." "Hamba rasa dia akan terkejut melihat tuanku."
"Orang pasti akan curiga seandainya aku mengundangnya ke Benteng Sakamoto. Aku harus
menemuinya di bawah empat mata. Siapkan segala sesuatu, Genemon.
"Kemungkinan kedatangan tuanku diketahui orang lebih besar di kaki gunung daripada di atas
gunung. Bisa repot kalau para warga desa menge-tahui bahwa Yang Mulia Mitsuhide berkunjung ke
sini. Sebaiknya tuanku turunkan topi agar menutupi wajah, paling tidak sampai kita tiba di Hiyoshi."
Mitsuhide menarik topinya, sehingga hanya mulutnya yang masih kelihatan.
"Pakaian tuanku sederhana, dan pelana tuanku hanya pelana prajurit biasa. Takkan ada yang
menyangka bahwa tuanku ternyata Yang Mulia Mitsuhide."
10 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kalau kau memperlakukanku begitu hormat, orang akan langsung curiga."
"Hamba tidak berpikir sejauh itu," Genemon berkata sambil tertawa. "Mulai sekarang hamba akan
lebih berhati-hati, tapi jangan salahkan hamba kalau hamba bersikap kasar."
Kegiatan pembangunan kembali di kaki Gunung Hiei telah berlangsung selama dua atau tiga tahun,
dan perlahan-lahan semua jalan kem-bali ke wujud semula. Ketika kedua penunggang kuda itu
melewati desa dan membelok ke jalan setapak yang menuju Kuil Enryaku, matahari pagi akhirnya
mulai berkilau di permukaan danau.
"Apa yang akan kita lakukan dengan kuda-kuda kita nanti?" tanya Genemon.
"Tempat persembahan baru sudah dibangun di lokasi yang lama. Tentu ada rumah-rumah petani di
sekitarnya. Kalau tidak, kita bisa menitipkan kuda-kuda kita pada salah satu pekerja di tempat
persembahan." Seorang penunggang kuda memacu kudanya, berusaha menyusul mereka.
"Sepertinya ada yang memanggil kita di belakang," ujar Genemon dengan was-was.
"Kalau ada yang mengejar kita, itu pasti Mitsuharu. Kemarin aku mendapat kesan bahwa dia ingin
mencegahku melakukan perjalanan ini."
"Kelembutan hati dan ketulusan yang dimiliki beliau kini sudah jarang ditemui. Beliau hampir terlalu
lembut sebagai samurai."
"Ah, ternyata memang Mitsuharu."
"Kelihaiannya beliau bertekad untuk menghentikan tuanku."
"Aku takkan berputar arah, tak peduli apa yang akan dikatakannya. Barangkali dia tidak bermaksud
menghentikanku. Jika itu yang ingin dilakukannya, dia tentu sudah merebut tali kekang kudaku di
gerbang benteng. Lihat, dia pun mengenakan pakaian untuk berpesiar ke gunung."
Rupanya Mitsuharu telah berubah pikiran. Ia merasa sebaiknya tidak menentang keinginan
Mitsuhide, tapi justru menemaninya, untuk memastikan sepupunya itu tidak membuat kesalahan.
Mitsuharu tersenyum cerah ketika menyejajarkan kudanya di samping kuda Mitsuhide. "Yang Mulia
terlalu gesit untukku. Aku sempat terkejut tadi pagi. Aku tak menyangka Yang Mulia akan berangkat
sepagi itu." "Dan aku tak menyangka kau hendak menyertai kami. Sebenarnya kau tak perlu mengejar-ngejar
kami seperti ini, kalau saja kita sudah membuat janji semalam."
"Aku memang lalai. Meskipun Yang Mulia bepergian sambil menyamar, kukira Yang Mulia paling
tidak disertai sepuluh orang berkuda yang membawa perbekalan ringan. Aku juga tak menduga
Yang Mulia akan memacu kuda sekencang ini."
"Seandainya ini kunjungan biasa, perkiraanmu memang tepat." ujar Mitsuhide. "Tapi tujuan
11 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
perjalananku hari ini adalah berdoa bagi mereka yang bertahun-tahun lalu tewas dalam amukan api,
dan mengadakan upacara peringatan bagi mereka. Tak pernah terlintas dalam benakku untuk
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membawa sake dan makanan lezat."
"Di antara ucapan-ucapan kemarin mungkin ada yang menyinggung Yang Mulia, tapi aku memang
cenderung terlalu berhati-hati. Sebenarnya aku hanya tak ingin Yang Mulia melakukan sesuatu
yang mungkin menimbulkan salah pengertian di Azuchi. Melihai pakaian yang dikenakan Yang
Mulia, dan mengingat bahwa Yang Mulia hendak memanjatkan doa bagi mereka yang tewas, aku
yakin Yang Mulia Nobunaga pun takkan keberatan. Aku sendiri belum pernah berkunjung ke
gunung ini, walaupun aku bertempat tinggal di benteng yang berdekatan dengan Sakamoto. Jadi,
kupikir sekaranglah kesempatan yang baik. Silakan berjalan di depan, Genemon."
Sambil memacu kudanya agar mengimbangi kecepatan kuda Mitsuhide, Mitsuharu mulai
mengajaknya berbincang-bincang, seolah-olah takut sepupunya itu akan merasa jemu. Ia
membicarakan tumbuhan dan kembang yang mereka lihat di tepi jalan, menjelaskan tingkah laku
berbagai burung yang ia bedakan berdasarkan kicauan masing-masing, dan terus bersikap seperti
perem-puan ramah yang berusaha menghibur seseorang yang bersedih hati karena sakit.
Mitsuhide tak kuasa menolak ungkapan perasa-an seperti itu, tapi Mitsuharu hanya berbicara
tentang alam, sementara pikiran Mitsuhide selalu disibukkan oleh masalah manusia, baik pada saat
tidur maupun terjaga, atau bahkan kalaupun ia sedang memegang kuas di atas lukisan. Ia hidup di
tengah-tengah masyarakat, di tengah-tengah persaingan, di dalam api dendam dan dengki.
Walau-pun nyanyian tekukur terdengar menggema, darah panas yang sempat naik ke pelipisnya
pada waktu ia kembali dari Azuchi belumlah dingin.
Ketika Mitsuhide mendaki Gunung Hiei, hatinya tak pernah tenang, walau sekejap pun. Betapa
tandusnya tempat itu, dibandingkan kemakmuran yang pernah bersemi di sini. Mereka menyusun
Sungai Gongen ke arah Pagoda Timur, tanpa melihat tanda-tanda kehidupan manusia. Hanya
kicauan burung yang tidak berubah. Sejak dulu gunung itu terkenal sebagai tempat perlindungan
bagi burung-burung langka.
"Aku tak melihai satu biksu pun," ujar Mitsu-hide ketika berdiri di depan reruntuhan sebuah kuil. Ia
seolah-olah kaget melihat hasil kesungguh-sungguhan Nobunaga. "Masa tak ada satu orang pun di
gunung ini" Coba kita periksa bangunan kuil utama."
Sepertinya ia lebih dari sekadar kecewa. Barang-kali ia diam-diam berharap akan melihat kekuatan
para biksu-prajurit bangkit kembali di gunung ini.
Tapi ketika mereka akhirnya tiba di lokasi kuil utama dan gedung ceramah, mereka hanya melihat
gundukan abu. Hanya di sekitar bekas biara tampak sejumlah pondok. Bau dupa tercium dari arah
itu, sehingga Genemon pergi ke sana untuk menyelidikinya. Ia menemukan empat atau lima
pertapa yang duduk mengelilingi sepanci bubur beras yang sedang dimasak di atas api.
"Mereka bilang si Kepala Biara Yokawa tidak ada di sini," Genemon melaporkan.
"Jika kepala biara itu tak ada di sini, barangkali ada cendekiawan atau pengetua dari zaman dulu?"
Sekali lagi Genemon menghampiri para pertapa, tapi jawaban yang kemudian dibawanya ternyata
tidak menggembirakan. "Rupanya tak ada orang seperti itu di gunung ini. Mereka tidak
diperkenankan datang ke sini tanpa izin dari Azuchi atau dari Gubernur Kyoto. Kecuali itu, sampai
12 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
sekarang pun undang-undang tidak memperbolehkan pemukiman permanen di sini, selain untuk
sekelompok biksu yang jumlahnya dibatasi." "Undang-undang tinggal undang-undang," ujar
Mitsuhide, "tapi semangat keagamaan bukan seperti api yang dapat disiram air, lalu padam untuk
selama-lamanya. Kurasa para pengetua menyangka kita prajurit dari Azuchi, sehingga mereka
mungkin bersembunyi. Si Kepala Biara dan para pengetua yang selama tentu berada di sekitar sini.
Genemon, jelaskan pada pertapa-pertapa itu bahwa mereka tak perlu khawatir, lalu tanyai mereka
sekali lagi." Ketika Genemon mulai menjauh, Mitsuharu berkata pada Mitsuhide. "Biar aku saja yang berbicara
dengan mereka. Mereka takkan berani buka mulut kalau ditanyai oleh Genemon dengan sikapnya
yang serbakeras itu."
Tapi ketika menunggu Mitsuharu, Mitsuhide dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang tak
disangka-sangka. Laki-laki itu mengenakan tudung berwarna kehijauan dan jubah biksu dengan warna yang sama,
dan memakai pembalut kaki berwarna putih serta sandal jerami. Usianya lebih dari tujuh puluh
tahun, tapi bibirnya masih semerah bibir anak muda. Alisnya putih bagaikan salju, dan ia tampak
seperti burung bangau yang memakai jubah biksu. Ia membawa seorang bocah kecil dan dua
pelayan. "Tuan Mitsuhide" Wah, wah, aku tak menyangka akan bertemu Tuan di sini. Kudengar Tuan berada di Azuchi. Apa yang membawa Tuan ke
gunung tandus ini?" Bicaranya bukan seperti orang itu, suaranya nyaring, dan bibirnya terus-menerus menyunggingkan
senyum. Justru sebaliknya. Mitsuhidelah yang tampak bingung. Terpengaruh oleh sorot mata tajam orang itu,
tanggapannya jelas-jelas bernada hati-hati.
"Ah, Sinshe Manase, bukan" Aku bertamu di Benteng Sakamoto selama beberapa hari, dan kupikir
berjalan-jalan di pegunungan ini bisa memulihkanku dari kesuraman musim hujan."
"Memang tak ada obat yang lebih mujarab untuk jiwa dan raga selain sesekali membersihkan ch'i
dengan berjalan-jalan di pegunungan dan menikmati alam. Sepintas lalu, Tuan kelihatannya sudah
agak lama mengalami kelelahan. Apakah Tuan sedang cuti sakit dan kembali ke kampung
halaman?" sinshe itu bertanya, menyipitkan mata sampai seukuran jarum. Entah kenapa, Mitsuhide
merasa tak sanggup mengelabui orang dengan mata seperti itu. Manase sudah lama berpraktek
sebagai sinshe, sejak ayah Yoshiaki, Yoshiteru, menduduki posisi shogun. Sudah agak lama kedua
orang itu tidak berjumpa, tapi Mitsuhide sudah beberapa kali berbincang-bincang dengan sinshe
tersohor itu di Azuchi. Nobunaga sering mengundang Manase untuk menghadiri upacara minum
teh, dan setiap kali ia jatuh sakit, ia segera memanggil Manase. Nobunaga lebih percaya pada
orang itu daripada sinshe-sinshenya sendiri.
Namun pada dasarnya Manase kurang suka dipekerjakan oleh para pembesar, dan karena ia
bertempat tinggal di Kyoto, bepergian ke Azuchi terasa melelahkan, walaupun ia termasuk orang
yang tahan banting. Saat itulah Mitsuharu kembali. Ia belum sempat mencapai pondok, karena Genemon segera
mengejarnya untuk memanggilnya kembali.
13 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kita bertemu seseorang, dan situasinya agak kacau." Genemon berbisik. Tapi ketika Mitsuharu
melihat Manase, ia segera ikut berbincang-bincang dengan gembira, menunjukkan bahwa ia pun
akrab dengan sinshe itu. "Ini kejutan yang menyenangkan, Tuan Manase. Tuan Sinshe selalu tampak lebih sehat daripada
orang yang berada di puncak kejayaannya. Tuan datang dari Kyoto" Barangkali Tuan juga ingin
menikmati keindahan alam di sini?"
Manase gemar mengobrol, dan ia gembira karena berjumpa teman lama di atas gunung.
"Setiap tahun, di musim semi atau awal musim panas, aku mendaki Gunung Hiei, dan sekali lagi di
musim gugur. Di sini pasti banyak tumbuhan untuk jamu yang belum kita kenal."
Sepertinya Manase tidak terlalu memperhatikan Mitsuhide, meski sesekali ia menatap orang itu
dengan pandangan seorang sinshe. Akhirnya ia mengalihkan pembicaraan pada kesehatan
Mitsu-hide. "Kudengar dari Yang Mulia Mitsuharu bahwa Tuan akan segera bertolak ke medan tempur di
wilayah Barat. Jagalah kesehatan Tuan baik-baik. Kalau orang sudah melewati umur lima puluh, dia
sukar menyangkal usianya, tak peduli seberapa kuatnya orang itu."
Dalam ucapannya tersirat rasa prihatin mendalam.
"Begitukah?" Mitsuhide tersenyum dan menang-gapi saran Manase, seakan-akan membicarakan
kesehatan orang lain. "Belakangan ini aku memang kurang enak badan, tapi badanku kuat, dan aku
tidak menganggap diriku sakit."
"Hmm, jangan terlalu yakin. Orang sakit sebaiknya menyadari keadaannya dan mengambil langkah
pencegahan yang tepat. Kalau seseorang terlalu yakin, seperti Tuan, bukan tak mungkin dia
membuat kesalahan fatal."
"Kalau begitu, Tuan Sinshe menduga bahwa aku digerogoti penyakit yang telah berurat-berakar"
"Hanya dengan mengamati paras dan mendengarkan suara tuan sudah ketahuan bahwa kondisi
kesehatan Tuan tidak seperti biasanya. Kurasa penyebabnya bukan penyakit, melainkan kelelahan
pada organ-organ tubuh tuan."
"Kalau itu masalahnya, aku pun sependapat. Karena berbagai pertempuran dalam tahun-tahun
terakhir dan karena pengabdianku pada jun-junganku, aku kerap memakai tubuh ini melewati batas
kekuatannya." "Membicarakan hal seperti ini di hadapan Tuan tak ubahnya mengajarkan Dharma kepada sang
Buddha, tapi sesungguhnya Tuan perlu lebih menjaga kesehatan. Kelima organ tubuh - hati,
jantung, limpa, paru-paru, dan ginjal - terwujud dalam kelima aspirasi, kelima tenaga, dan kelima
suara. Sebagai contoh, jika hati terkena penyakit. air mata Tuan akan berlebihan; jika jantung
terluka, Tuan akan dikuasai rasa rakut, seberapa besar pun keberanian Tuan biasanya; jika limpa
terganggu, Tuan akan mudah marah; jika paru-paru tidak berfungsi dengan benar, Tuan akan
mengalami siksaan mental dan tidak memiliki kekuatan psikologis untuk memahami sebabnya. Dan
jika ginjal Tuan lemah, perasaan Tuan akan terombang-ambing dengan hebat."
14 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Manase terus mengamati paras laki-laki di hadapannya. Tapi Mitsuhide sendiri merasa yakin akan
kesehatannya, dan tidak berniat mendengarkan ucapan Manase. Ia berusaha menutup-nutupi
perasaannya dan memaksakan senyum, namun sesungguhnya ia merasa jengkel dan tidak
senang. Akhirnya, setelah kesabarannya habis, ia menunggu-nunggu kesempatan untuk menjauhi
orang tua itu. Manase, di pihak lain, tidak bermaksud berhenti di tengah jalan Meskipun ia memahami arti sorot
mata Mitsuhide, ia terus menasihatinya.
"Sejak pertama berjumpa dengan Tuan tadi, warna kulit Tuan sudah menarik perhatianku.
Kelihatannya Tuan takut atau cemas mengenai sesuatu. Tuan berusaha menampik kemarahan, tapi
aku melihat bahwa mata Tuan tidak hanya berisi kemarahan laki-laki, melainkan juga air mata
perempuan. Belakangan ini pernahkah Tuan merasa kedinginan sampai ke ujung jari tangan dan
kaki pada malam hari" Dan bagaimana dengan suara mendenging di telinga" Atau air liur yang
mengering dan mulut yang rasanya seperti habis mengunyah onak duri" Adakah gejala-gejala ini
pada diri Tuan?" "Memang adakalanya aku tak sanggup memejamkan mata, tapi semalam aku tidur nyenyak.
Baiklah, aku berterima kasih atas perhatian Tuan Sinshe, aku akan memperhatikan makananku dan
terus minum obat," Mitsuhide segera memanfaatkan kesempatan ini, dan memberikan isyarat pada
Mitsuharu dan Genemon bahwa sudah waktunya mereka berangkat lagi.
*** Hari itu Shinshi Sakuzaemon, pengikut marga Akechi, bertolak dari Azuchi ke Benteng Saka-moto,
disertai romhongan kecil. Keberangkatan junjungannya, Mitsuhide, begitu mendadak, se-hingga
Shinshi tinggal lebih lama untuk menye-lesaikan urusan-urusan yang belum tuntas.
Begitu ia berganti baju setelah tiba di Benteng Sakamoto, beberapa orang berkerumun di kamarnya
dan menghujaninya dengan pertanyaan.
"Bagaimana keadaannya sesudah kami pergi?" "Seperti apa desas-desus yang menyebar di Azuchi
setelah Yang Mulia berangkat?"
Shinshi menjawab sambil mengertakkan gigi, "Baru delapan hari berlalu sejak Yang Mulia
meninggalkan Azuchi, tapi bagi orang-orang yang menerima upah dari marga Akechi, rasanya
seperti tiga tahun berbaring di atas paku. Semua pelayan dan orang biasa di Azuchi sempat
melewati bangsal besar yang kosong tambil mencerca. 'Inikah tempat yang ditinggalkan Tuan
Mitsuhide" Pantai saja baunya seperti ikan busuk. Kalau begini terus, cahaya yang menerangi si
Kepala Jeruk tentu akan segera padam.'"
"Tak ada yang mencela tindakan Yang Mulia Nobunaga sebagai tindakan yang tak masuk akal atau
tidak adil?" "Pasti ada beberapa pengikut yang memahami duduk perkaranya. Apa kata mereka?"
"Selama beberapa hari setelah keberangkatan Yang Mulia, berlangsung jamuan makan untuk Yang
Mulia Ieyasu, dan semua orang di Benteng Azuchi disibukkan oleh acara itu. Barangkali Yang Mulia
Ieyasu merasa heran bahwa pejabat yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan jamuan itu
mendadak diganti, dan kabarnya beliau sempat bertanya pada Yang Mulia Nobunaga mengapa
15 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Yang Mulia Mitsuhide tiba-tiba menghilang. Tapi Yang Mulia Nobunaga hanya menjawab acuh tak
acuh bahwa dia menyuruhnya pulang ke kampung halamannya."
Semua yang mendengar laporan ini menggigit bibir. Shinshi kemudian memberitahu rekan-rekannya
bahwa sebagian besar pengikut senior marga Oda merasakan kemalangan yang menimpa
Mitsuhide sebagai keuntungan bagi mereka. Kecuali itu, ada kemungkinan Nobunaga hendak
memindahkan marga Akechi ke suatu tempat terpencil. Ini tak lebih dari desas-desus, namun jarang
ada asap tanpa api. Ranmaru, pelayan kesayangan Nobunaga, merupakan putra Mori Yoshinari,
pengikut marga Oda yang beberapa tahun silam gugur dalam pertempuran di Sakamoto. Karena
alasan ini, Ranmaru diam-diam mendambakan Benteng Sakamoto. Dan konon Nobunaga telah
berjanji untuk memberikan benteng itu padanya.
Dan masih ada lagi. Banyak orang beranggapan bahwa Mitsuhide sengaja ditugaskan menuju Jalan
Raya Sanin, dengan perhitungan bahwa setelah menduduki wilayah itu, ia akan segera diangkat
sebagai gubernur. Benteng Sakamoto, yang begitu dekat ke Azuchi, kemudian akan diserahkan
pada Mori Ranmaru. Sebagai bukti, Shinshi menyinggung perintah yang diberikan kepada Mitsuhide oleh Nobunaga
pada hari kesembilan belas di bulan itu, lalu berpaling dengan geram. Ia tak perlu memberi
penjelasan. Perintah itu telah menyulut ke-marahan Mitsuhide dan semua pengikutnya. Bunyinya
sebagai berikut: Agar kau dapat bertindak sebagai barisan belakang di Bitchu, kau harus bertolak dari kampung
halamanmu dalam beberapa hari mendatang, dan dengan demikian menduluiku ke medan perang.
Setelah tiba di sana, tunggu perintah lebih lanjut dari Hideyothi.
Surat tersebut, yang disebarkan pada semua jendral dan pengikut Oda, jelas-jelas ditulis atas
suruhan Nobunaga. Jadi, ketika surat itu sampai ke tangan para prajurit marga Akechi, mereka
begitu geram sampai meniiikkan air mata ke-marahan. Sudah menjadi kebiasaan bahwa marga
Akechi dipandang lebih tinggi kedudukannya daripada marga Ikeda dan Hori, dan setingkat dengan
marga Hashiba dan Shibata. Meski demikian, junjungan mereka bukan saja dicantumkan di bawah
nama komandan-komandan itu, tapi juga ditempatkan di bawah komando Hideyoshi.
Pelecehan terhadap kedudukannya merupakan penghinaan terbesar yang mungkin dialami
se-orang samurai. Rasa malu akibat peristiwa jamuan makan kini ditambah lagi dengan perintah itu.
Sekali lagi orang-orang Akechi merasa sakit hati. Sore telah berganti senja, dan matahari yang
sedang terbenam memancarkan cahayanya yang terakhir. Tak ada yang angkat bicara, tapi tak
sedikit yang menitikkan air mata. Ketika itulah suara langkah sejumlah samurai terdengar di selasar.
Menduga bahwa junjungan mereka telah kembali, orang-orang itu berhamburan keluar untuk
mcnyambutnya. Hanya Shinshi yang menunggu sampai dipanggil. Tapi Mitsuhide, yang memang baru tiba dari
Gunung Hiei, baru memanggil Shinshi setelah mandi dan makan.
Kecuali Mitsuharu, tak seorang pun berada bersamanya, dan Shinshi melaporkan sesuatu yang
tidak diceritakannya kepada para pengikut lain, yaitu bahwa Nobunaga telah mengambil keputusan dan sedang bersiap-siap untuk bertolak dari Azuchi pada hari kedua puluh sembilan di bulan
itu. Ia akan menginap satu malam di Kyoto, lalu segera menuju wilayah Barat.
16 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Mitsuhide mendengarkan dengan saksama. Sorot matanya mencerminkan kecerdasan dan
kecermartn yang dimilikinya. Ia menanggapi setiap ucapan Shinshi dengan anggukan kepala.
"Berapa orang yang akan menyertai beliau?" tanyanya.
"Beliau akan ditemani beberapa pengikut dan sekitar tiga puluh sampai empat puluh pelayan."
"Apa"! Beliau hendak pergi ke Kyoto dengan rombongan sekecil itu?"
Sejak semula Mitsuharu lebih banyak diam, tapi karena kini Mitsuhide pun membisu, ia
mempersilakan Shinshi menarik diri dari hadapan mereka.
Setelah Shinshi pergi, Mitsuharu dan Mitsuhide kembali berduaan saja. Mitsuhide seolah-olah ingin
mencurahkan isi hati kepada sepupunya, tapi Mitsuharu tidak memberikan kesempatan padanya.
Mitsuharu justru berbicara mengenai kesetia-an terhadap Nobunaga, dan mendesak Mitsuhide
untuk segera berangkat ke wilayah Barat, agar tidak menyulut kemarahan junjungannya.
Sikap tulus yang diperlihatkan sepupunya diwarnai suatu ketegaran yang selama empat puluh
tahun terakhir menjadi tempat bertumpu bagi Mitsuhide, dan kini ia memandang Mitsuharu sebagai
orang yang paling dapat diandalkan. Karena itu, meskipun sikap Mitsuharu tidak se-jalan dengan
hari nurani Mitsuhide, ia tak bisa marah atau mencoba mendesaknya.
Setelah hening beberapa saat, Mitsuhide mendadak berkata. "Sebaiknya kita utus rombongan
pendahuluan untuk menemui para pengikutku di Kameyama, supaya persiapan untuk menuju
medan perang dapat dirampungkan secepat mungkin. Dapatkah kau mengurus itu, Mitsu-haru?"
Dengan gembira Mitsuharu menyanggupi permintaan itu.
Malam itu sebuah rombongan bergegas menuju Benteng Kameyama.
Sekitar giliran jaga keempat, Mitsuhide tiba-tiba duduk tegak. Bermimpikah ia" Ataukah ia untuk
kesekian kali memikirkan sesuatu, lalu menyingkirkan gagasan itu dari dalam benaknya" Tak lama
kemudian ia kembali menyelimuti tubuhnya dan berusaha tidur lagi.
Kabut atau hujankah yang mempengaruhi dirinya" Debur ombak di danau, atau angin yang bertiup
dari puncak Gunung Hiei" Sepanjang malam, angin dari gunung itu tak henti-hentinya berembus.
Walaupun tidak sampai menerobos ke dalam, lilin di samping bantal Mitsuhide berkelap-kelip,
seakan-akan digoyang-goyangkan oleh roh jahat.
Mitsuhide membalikkan badan. Walaupun di musim panas ini malam tak berlangsung lama, bagi
Mitsuhide rasanya pagi masih lama sekali. Akhirnya, ketika irama napasnya baru saja mulai teratur,
ia sekali lagi menyingkap selimut dan duduk tegak. "Ada siapa di sana?" ia berseru ke arah ruangruang para pelayan. Sayup-sayup terdengar bunyi pintu bergeser. Pelayan yang bertugas jaga malam masuk tanpa
bersuara dan langsung bersujud.
"Suruh Matabei segera datang ke sini." Mitsu-hide memerintahkan.
17 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Semua orang di tempat tinggal para samurai sedang tidur lelap, tapi berhubung sejumlah pengikut
Mitsuhide bertolak ke Kameyama pada sore sebelumnya, mereka yang masih berada di Sakamoto
diliputi ketegangan, karena tidak tahu kapan junjungan mereka, Mitsuhide, akan menyu-sul. Malam
itu semuanya naik ke peraduan dengan pakaian perjalanan telah siap di samping bantal.
"Tuanku memanggil hamba?"
Yomoda Matabei muncul. Ia pemuda kekar yang telah menarik perhatian Mitsuhide. Mitsuhide
menyuruhnya mendekat dan membisikkan sebuah perintah ke telinganya.
Ketika menerima perintah rahasia dari Mitsu-hide, wajah pemuda itu memperlihatkan emosi
meluap-luap. "Sekarang juga hamba akan berangkat!" ia men
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jawab, menanggapi kepercayaan junjungannya de-ngan segenap haii.
"Kau pasti dikenali sebagai samurai Akechi, jadi pergilah cepat-cepat - sebelum fajar menyingsing.
Gunakan akalmu. dan jangan lakukan kesalahan."
Setelah Matabei pergi, ternyata masih ada waktu sebelum hari terang, dan baru sekarang Mitsuhide
dapat tidur nyenyak. Banyak pengikutnya menduga bahwa pada hari itulah mereka akan berang-kat
ke Kameyama, dan bahwa rencana tersebut akan diumumkan pagi-pagi sekali. Mereka terperanjat
ketika mengetahui bahwa junjungan mereka ternyata bangun lebih siang daripada biasanya.
Menjelang siang, suara Mitsuhide terdengar di bangsal.
"Kemarin aku seharian berjalan-jalan di gunung, dan sudah lama aku tidak tidur senyenyak
se-malam. Barangkali itu sebabnya aku merasa begitu enak hari ini. Rupanya aku sudah sembuh
sepenuhnya." Para pengikutnya tampak lega. Tak lama kemudian Mitsuhide memberikan sebuah perintah kepada
para pembantunya. "Malam ini, pada pertengahan kedua Jam Ayam Jantan, kita akan bertolak dari Sakamoto,
menyeberangi Sungai Shirakawa, melewati bagian utara Kyoto, dan kembali ke Kameyama.
Pastikan semua persiapan telah rampung."
Lebih dari tiga ribu prajurit akan menyertainya ke Kameyama. Malam mendekat. Mitsuhide
mengenakan pakaian perjalanan dan keluar untuk mencari Mitsuharu.
"Karena aku akan menuju wilayah Barat, aku tak bisa memastikan kapan aku akan kembali. Malam
ini aku ingin bersantap bersamamu dan keluargamu."
Dengan demikian mereka sekali lagi berkumpul dalam lingkungan keluarga, sampai Mitsuhide
berangkai. Orang tertua yang hadir adalah paman Mitsuhide yang terkenal eksentrik, Chokansai. yang telah
mengucapkan sumpah keagamaan. Tahun itu ia berusia enam puluh enam tahun, bebas dari
penyakit apapun, dan ia gemar menceritakan lelucon. Ia duduk bersebelahan dengan putra
18 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Mitsuharu yang berusia tujuh tahun dan menggodanya dengan jenaka.
Tapi orang tua yang baik hari itulah satu-satunya yang tersenyum dari awal sampai akhir. Tanpa
menyadari karang-karang tersembunyi yang mengancam marga Akechi, ia mempercayakan sisa
usianya pada kapal yang sedang berlayar di laut musim semi, dan ia tampak setenteram biasanya.
"Suasana begitu semarak di sini. Rasanya seperti di rumah sendiri. Pak Tua, berikan cawan ini
pada Mitsutada.'" Mitsuhide telah menghabiskan dua atau tiga cawan, dan kini menyerahkan cawannya pada
Chokansai, yang kemudian menyodorkannya pada keponaka-nya, Mitsutada.
Mitsutada komandan Bcnteng Hachijo dan baru tiba hari itu. Ia yang termuda di antara ketiga
sepupu. Mitsutada mereguk sake-nya, dan sambil beringsut-ingsut mendekati Mitsuhide, mengembalikan cawan. Istri Mitsuharu memegang botol sake dan menuangkan isinya, dan tepat pada saat itu
tangan Mitsuhide mulai gemetar. Biasanya ia tidak termasuk orang yang mungkin terkejut karena
bunyi tak terduga, tapi sekarang, ketika seorang prajurit memukul genderang di muka benteng,
wajahnya mulai agak memucat.
Chokansai berpaling pada Mitsuhide dan berkata. "Sebentar lagi Jam Ayam Jantan sudah tiba, jadi
itu pasti genderang yang memanggil pasukan ke lapangan upacara."
Mitsuhide semakin muram. "Aku tahu," ia berkata dengan nada getir, lalu menghabiskan isi cawan
terakhir. Dalam satu jam ia sudah siap di atas kuda. Di bawah bintang-bintang yang bersinar redup, tiga ribu
orang meninggalkan benteng di tepi danau dengan membawa obor. Mereka membentuk barisan
meliuk-liuk, dan menghilang di perbukitan di Shimeigatake.
Mitsuharu memperhatikan mereka dari puncak benteng. Ia akan menyusun kesatuan yang terdiri
atas pengikut-pengikut Sakamoto semata-mata, dan akan bergabung dengan pasukan utama di
Kameyama kemudian. Pasukan di bawah Mitsuhide berbaris tanpa berhenti. Tepat tengah malam mereka memandang dari
sebelah Shimeigatake dan melihat kota Kyoto yang sedang terlelap.
Untuk menyeberangi Sungai Shirakawa, mereka akan menuruni lereng Gunung Uriyu dan tiba di
jalan raya sebelah selatan Kuil Ichijo. Sejak tadi mereka terus mendaki, tapi mulai tilik itu jalan
setapak yang mereka susuri akan terus menurun.
"Kita beristirahat sebentar!"
Mitsutada menyampaikan perintah Mitsuhide kepada para prajurit.
Mitsuhide pun turun dari kudanya, melepas lelah sejenak. Seandainya mereka tiba pada siang hari,
ia akan dapat melihat jalan-jalan di ibu kota. Tapi kini seluruh kota diselubungi kegelapan, dan
hanya atap-atap kuil dan puncak-puncak pagoda serta sungai lebar yang tampak membayang.
19 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Apakah Yomoda sudah menyusul kita?"
"Sejak semalam hamba belum melihatnya. Apakah tuanku memberikan tugas khusus padanya?"
"Benar." "Pergi ke manakah dia?"
"Nanti kau akan tahu sendiri. Kalau dia kembali, suruh dia menemuiku dengan segera. Biarpun kita di tengah perjalanan."
"Baik. tuanku."
Begitu terdiam kembali, Mitsuhide kembali mengalihkan pandangannya ke arah atap-atap gelap di
kota. Barangkali karena kabut mulai menipis atau karena matanya sudah mulai terbiasa dengan
kegelapan malam, berangsur-angsur ia dapat membeda-bedakan bangunan-bangunan di ibu kota.
Tembok putih Istana Nijo-lah yang paling berkilau.
Dengan sendirinya pandangan Mitsuhide tertarik ke titik putih iiu. D sanalah putra Nobunaga,
Nobutada, menginap. Juga ada Tokugawa Ieyasu yang telah meninggalkan Azuchi beberapa hari
yang lalu dan pergi ke ibu kota. Yang Mulia Ieyasu mungkin sudah meninggalkan ibu kota, pikir
Mitsuhide . Akhirnya ia bangkit dengan tiba-tiba, mengejutkan semua jendralnya. "Ayo kita berangkai lagi.
Kudaku." Kecemasan para bawahannya menyerupai riak yang berpusat pada tindak-tanduknya yang serba
gelisah. Dalam beberapa hari terakhir ia secara berkala mengucilkan diri dari para pengikutnya, dan
tingkah lakunya lebih seperti anak yatim daripada pemimpin marga samurai.
Walaupun para prajurit hanya dengan susah payah dapat mengikuti jalan setapak dalam
kegelapan - berkerumun di sekeliling Mitsuhide dan bolak-balik menyerukan peringatan - mereka
terus turun perlahan-lahan, dan akhirnya mendekati pinggiran ibu koia.
Ketika barisan ketiga ribu orang dan kuda mencapai Sungai Kamo dan berhenti sejenak, semua
prajurit menoleh ke belakang, dan Mitsu-hide pun melakukan hal yang sama. Melihai
gelombang-gelombang di sungai memantulkan cahaya merah, mereka tahu bahwa matahari pagi
sudah muncul dari balik punggung bukit di belakang mereka.
Perwira yang bertanggung jawab atas perbekalan pasukan menghampiri Mitsutada dan bertanya
mengenai makan pagi. "Apakah kita akan makan di sini, atau melanjutkan perjalanan sampai ke
Nishijin?" Mitsutada baru ingin menanyakan kehendak Mitsuhide, tapi pada saat itu Yomoda Masataka
sedang berada di samping Mitsuhide, dan kedua orang itu mengarahkan pandangan mereka ke
Sungai Shirakawa yang telah mereka lintasi. Mitsutada memutuskan untuk menunggu.
"Masataka, Matabei-kah itu" "Kelihatannya begitu."
20 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Mitsuhide dan Masataka memperhatikan se-orang penunggang kuda berpacu melewati kabut pagi.
"Matabei." Sementara menunggu orang yang kedatangannya telah dinanti-nantikan itu, Mitsu-hide
berpaling kepada para komandan di sekeli-lingnya. "Kalian pergilah menyeberangi sungai. Aku akan
segera menyusul." Barisan depan telah melintasi bagian dangkal Sungai Kamo ke tepi seberang. Para komandan lain
segera menjalankan perintah Mitsuhide. Langkah kuda-kuda mereka menimbulkan buih putih di air
yang bening. Satu per satu mereka menye-berangi sungai itu.
Mitsutada memanfaatkan kesempatan ini untuk bertanya, "Di manakah kita akan makan pagi"
Apakah kiia sebaiknya menunggu sampai kita tiba di Nishijin?"
"Semuanya pasti lapar, tapi lebih baik kita tidak berhenti di wilayah ibu kota. Kita akan meneruskan
perjalanan sampai Kitano," balas Mitsuhide.
Pada jarak sekitar dua puluh meter, Yomoda Matabei turun dari kuda dan melilitkan tali kekang
pada sebuah tonggak yang tertancap di dasar sungai.
"Mitsutada dan Masataka, kalian berdua ikut menyeberang, lalu tunggu aku di sana. Jangan
khawatir, aku takkan lama."
Baru setelah kedua orang terakhir ini menjauh, Mitsuhide berpaling pada Matabei dan memberi
isyarat agar ia mendekat.
"Baik, tuanku!"
"Bagaimana keadaan di Azuchi?"
"Laporan yang telah tuanku dengar dari Amano Genemon rupanya benar."
"Aku menyuruhmu menyelidiki kebenarannya untuk memastikan apakah Yang Mulia Nobunaga
akan meninggalkan ibu kota pada hari kedua puluh sembilan, serta untuk mengetahui seberapa
besar rombongan yang dibawanya. Jawabanmu bahwa laporan sebelumnya tidak keliru tak
berguna sama sekali. Jawablah dengan tegas: Apakah informasi itu dapat diandalkan atau tidak?"
"Sudah dapat dipastikan bahwa beliau akan bertolak dari Azuchi pada hari kedua puluh sembilan.
Hamba tidak berhasil memperoleh nama para jendral utama yang akan menyertainya, tapi telah
diumumkan bahwa beliau akan membawa rombongan yang terdiri atas sekitar empat puluh sampai
lima puluh pelayan dan pembantu dekat."
"Bagaimana dengan tempat penginapan beliau di ibu kota?"
"Beliau akan menginap di Kuil Honno." "Apa"! Kuil Honno?"
"Benar, tuanku." "Bukan di Istana Nijo?"
"Semua laporan menyebutkan bahwa beliau akan bermalam di Kuil Honno," Matabei menjawab
tegas, agar tidak dicerca sekali lagi.
21 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tempat Persembahan Dewa Api
TEPAT di tengah tembok lumpur itu terdapat gerbang berukuran raksasa, dan masing-masing anak
candi mempunyat pagar dan gerbang sendiri. Hutan cemara seolah-olah disapu sampai bersih, dan
kelihatan seperti taman Zen. Kicauan burung dan sinar matahari yang menerobos lewat puncak
pepohonan semakin memperkuat suasana damai.
Setelah mengikat kuda masing-masing, Mitsu-hide dan para pengikutnya menyantap bekal yang
mereka siapkan untuk makan pagi dan makan siang. Walau semua berencana untuk makan pagi di
dekat Sungai Kamo, mereka akhirnya menung-gu sampai tiba di Kitano.
Tiga atau empat biksu dari Kuil Myoshin yang berdekatan mengenali orang-orang itu sebagai
anggota marga Akechi, dan mengundang mereka ke pekarangan kuil.
Para prajurit membawa ransum untuk satu hari: tahu mentah, acar buah prem, dan nasi. Sejak
se-malam mereka belum mengisi perut, dan kini mereka makan dengan lahap.
Mitsuhide menduduki sebuah kursi dalam bayangan tirai yang didirikan para pembantunya. Ia telah
selesai makan dan sedang mendiktekan surat pada sekretarisnya.
"Para biksu dari Kuil Myoshin... mereka paling cepat sebagai kurir! Panggil mereka ke sini!" Ia
memerintahkan seorang pelayan. Ketika para biksu kembali, Mitsuhide menyerahkan surat yang
ditulis oleh sekretarisnya. "Bersediakah kalian mengantarkan surat ini ke kediaman Penyair Shoha
dengan segera?" Segera setelahnya ia berdiri dan menuju kudanya, sambil berkata kepada para biksu, "Sayang
sekali kami tak punya waktu luang dalam perjalanan ini. Aku terpaksa tak dapat menemui Tuan
Kepala Biksu. Tolong sampaikan salamku padanya."
Udara sore semakin panas. Jalan raya menuju Saga kering kerontang, dan dengan setiap langkah,
kuda-kuda mereka menerbangkan awan debu. Mitsuhide terus membisu. Ia sedang memikirkan
sebuah rencana dengan ketelitian yang telah menjadi ciri khasnya, menimbang-nimbang peluang
untuk berhasil, memperkirakan reaksi masyarakat, menaksir kemungkinan gagal. Seperti lalat kuda
yang selalu kembali meski terus diusir, rencana itu telah menjadi obsesi yang tak dapat disingkirkan
dari dalam benak Mitsuhide. Sebuah mimpi buruk telah menguasai dirinya dan mengisi seluruh
tubuhnya dengan racun. Ia telah kehilangan ke-mampuannya untuk berpikir dengan akal sehat.
Sepanjang hidupnya belum pernah Mitsuhide mengandalkan kebijakannya seperti sekarang. Walau secara objektif ia seharusnya meragukan pe-nilaiannya sendiri, secara subjektif ia justru merasa
sebaliknya. Aku tidak membuat kesalahan sekecil apa pun, kata Mitsuhide dalam hati. Takkan ada
yang bisa menebak apa yang kupikirkan.
Sewaktu berada di Sakamoto, ia sempat goyah: Apakah rencananya sebaiknya dilaksanakan atau
22 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dibatalkan" Tapi tadi pagi, ketika mendengarkan laporan kedua, ia akhirnya mendapat kepastian. Ia
percaya bahwa waktunya telah tiba, dan bahwa kesempatan ini merupakan berkah dari para dewa.
Nobunaga, yang hanya disertai oleh sekitar empat puluh sampai lima puluh orang bersenjata
ringan, menginap di Kuil Honno di Kyoto. Saran yang menguasai Mitsuhide berbisik bahwa
kesempatan emas seperti ini tak boleh disia-siakan.
Keputusannya bukan merupakan hasil kemau-annya sendiri, melainkan timbul sebagai reaksi
terhadap keadaan di sekitarnya. Manusia ingin percaya bahwa mereka hidup dan bertindak
berdasarkan kemauan mereka sendiri, namun pada kenyataannya mereka hanya dipaksa oleh
keada-an. Jadi, walaupun Mitsuhide percaya bahwa para dewa berada di pihaknya, sebagian
dirinya dicekam ketakutan bahwa para dewa justru menentang segala tindakannya.
Mitsuhide menyeberangi Sungai Katsura dan mencapai Benteng Kameyama pada malam hari,
tepat ketika matahari terbenam. Karena telah diberitahu bahwa junjungan mereka akan pulang,
para warga kota Kameyama menyambutnya dengan sejumlah api unggun yang menerangi langit
malam. Mitsuhide merupakan penguasa yang dicintai rakyat, karena gaya pemerintahannya yang
arif. Jumlah hari dalam setahun yang dihabiskan Mitsuhide bersama keluarganya dapat dihitung dengan
jari satu tangan. Selama operasi militer berkepanjangan, ia mungkin saja tidak pulang selama dua,
bahkan tiga tahun. Karena itu, hari-hari ketika ia berada di rumah disemarakkan oleh ke-gembiraan
berkumpul bersama anak-istri dan bertindak sebagai suami dan ayah.
Mitsuhide dianugerahi keluarga yang luar biasa besar, dengan tujuh putri dan dua belas putra. Dua
pertiga dari mereka sudah menikah atau diangkat anak oleh keluarga lain, tapi beberapa dari yang
masih kecil, serta anak-anak kaum kerabat dan cucu-cucu mereka, masih tinggal di dalam benteng.
Istri Mitsuhide, Teruko, selalu berkata, "Berapa usiaku saat aku tak perlu mengurus anak lagi?" Ia
mengasuh anak-anak para anggota marga yang gugur dalam pertempuran, bahkan membesarkan
anak-anak suaminya dari perempuan lain. Perem-puan lembut dan bijak ini telah pasrah
menghadapi nasib, dan meskipun umurnya sudah lima puluh, ia tetap tahan menghadapi anak-anak
dan segala ulah mereka. Sejak bertolak dari Azuchi, Mitsuhide belum menemukan kenyamanan yang menyamai berada di
rumah sendiri, dan malam itu ia tidur pulas. Keesokan harinya pun keriangan anak-anaknya serta
senyum istrinya yang setia terasa menen-teramkan hatinya.
Orang mungkin menyangka suasana semacam ini akan membuat ia berubah pikiran, tapi tekadnya
tidak goyah sedikit pun. Justru sebaliknya, kini ia mendapatkan keberanian untuk mewujud-kan
ambisi yang bahkan lebih tersembunyi lagi.
Teruko telah berada di sampingnya sejak Mitsu-hide tidak mempunyai junjungan. Ia puas dengan
keadaannya sekarang, dan tidak menyimpan pikiran selain menjadi ibu bagi anak-anaknya. Ketika
menatap istrinya, Mitsuhide berkata dalam hati. "Suamimu takkan selamanya seperti ini. Tak lama
lagi semua orang akan memandangmu se-bagai isiri shogun berikut." Dan pada waktu Mitsu-hide
memperhaiikan anak-anak dan para anggota rumah tangganya yang besar, sejenak ia terbuai oleh
mimpinya sendiri. Kalian semua akan ku-boyong dari sini, ke sebuah istana yang bahkan lebih
megah daripada Azuchi. Betapa lebih baha-gianya hidup kalian kelak!
Kemudian, pada hari itu, Mitsuhide meninggalkan benteng, disertai beberapa pengikut saja. Ia
23 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mengenakan pakaian ringan dan tidak dilayani oleh para pengikut yang biasa. Walaupun tak ada
pengumuman resmi, para penjaga gerbang pun tahu bahwa junjungan mereka akan bermalam di
Tempat Persembahan Atago.
Sebelum bertolak ke daerah Barat, Mitsuhide hendak mendatangi tempat persembahan itu untuk
memohon keberuntungan dalam pertem-puran. Disertai sejumlah teman terdekat, ia akan menginap
di sana untuk mengadakan acara menggubah sajak, lalu pulang keesokan harinya.
Ketika ia berkata bahwa ia hendak berdoa untuk meraih kemenangan dalam pertempuran, dan
bahwa ia akan mengajak beberapa teman dari ibu kota, tak seorang pun menduga apa yang ada
dalam benak Mitsuhide. Kedua puluh pelayan dan kedua belas pengikut berkuda berpakaian lebih ringan daripada kalau
mereka pergi untuk berburu. Pada hari sebelumnya, rencana kedatangannya telah diberitahukan
kepada para biksu di Kuil Itokuin dan kepada para pendeta di Tempat Persembahan Atago,
sehingga semuanya sudah siap menyambut junjungan mere-ka. Begitu turun dari kudanya.
Mitsuhide menanyai seorang biksu bernama Gyoyu.
"Apakah Shoha akan datang?" Mitsuhide bertanya pada biksu itu. Ketika Gyoyu menjawab bahwa
penyair terkcmuka itu telah menunggu, Mitsuhide berseru, "Apa" Dia sudah di sini" Wah, bagus.
Apakah dia membawa penyair-penyair dari ibu kota?"
"Rupanya Tuan Shoha tak sempat bersiap-siap. Undangan Yang Mulia diterimanya malam
ke-marin, dan semua orang yang hendak diajaknya ternyata berhalangan. Selain putranya,
Shinzen, dia hanya membawa dua orang lagi: salah satu murid bernama Kennyo, dan seorang
saudara bernama Shoshitsu."
"Begitukah?" Mitsuhide tertawa. "Apakah dia mengeluh" Aku tahu permintaanku sukar dipe-nuhi,
namun setelah berulang kali mengirim tandu dan pengawal untuk menjemputnya, kali ini kupikir
sudah sepantasnya - dan jauh lebih menye-nangkan - kalau dia yang bersusah payah menemui-ku.
Karena itulah undanganku demikian mendadak. Tapi, seperti bisa diduga, Shoha tidak berpura-pura
sakit. Dia langsung mendaki gunung dengan terburu-buru.. Shoha tidak sok menjadi pertapa, dan
dia jelas-jelas teman yang baik."
Dengan kedua biksu berjalan di depan dan para pembantunya di belakang, Mitsuhide menaiki
tangga batu yang curam. Setiap kali ia menyangka akan melewati tempat datar untuk beberapa
waktu, tapi ternyata menghadapi tangga lagi. Semakin lama pohon-pohon cemara di sekeliling
mereka semakin gelap. Mereka merasakan malam mendekat dengan cepat. Pada setiap langkah,
kulit mereka merasakan penurunan suhu. Suhu di kaki gunung dan puncaknya berbeda cukup jauh.
"Tuan Shoha menyampaikan penyesalannya." Gyoyu memberitahu Mitsuhide ketika mereka
mencapai ruang tamu kuil. "Sebenarnya dia hen-dak menyambut kedatangan Yang Mulia, tapi
karena menduga bahwa Yang Mulia akan berdoa dulu di kuil-kuil dan tempat-tempat persembahan,
dia memutuskan untuk menyambut Yang Mulia setelah itu."
Mitsuhide mengangguk tanpa berkata apa-apa. Lalu, sehabis minum secawan air, ia minta
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
disediakan pemandu. "Pertama-tama, aku ingin meman-jatkan doa kepada dewa pelindung kuil ini,
setelah itu aku akan mengunjungi Tempat Persembahan Atago, mumpung hari belum gelap benar."
Pendeta dari tempat persembahan mengajak tamunya menyusuri sebuah jalan setapak yang
24 Pendekar Bodoh . Muslihat Sang Durjana m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
disapu bersih. Ia menaiki tangga luar dan menyalakan lilin-lilin suci. Mitsuhide membungkuk
rendah-rendah, dan berdiri sambil berdoa untuk beberapa waktu. Tiga kali si pendeta mengibaskan
dahan pohon keramat di atas kepala Mitsuhide, lalu menyerahkan cawan tembikar ber-isi sake suci.
"Kabarnya tempat persembahan ini dibuat untuk Dewa Api. Betulkah itu?" Mitsuhide bertanya
kemudian. "Betul, Yang Mulia," jawab si pendeta.
"Dan kata orang, kalau kita memanjatkan doa kepada dewa ini lalu berpantang menggunakan api,
doa kita akan terkabul."
"Itulah yang diyakini sejak zaman dulu." Si biksu menghindari jawaban tegas terhadap per-tanyaan
itu, lalu mengembalikannya pada Mitsu-hide, "Orang-orang kota percaya bahwa jika kita berpantang
menggunakan api, doa kita akan dikabulkan. Hamba pun ingin tahu bagaimana asal mula
kepercaya an ini." Kemudian ia mengalihkan pembicaraan, dan mulai menjelaskan sejarah tempat persembahan itu.
Jemu mendengarkan cerita si pendeta, Mitsuhide memandang lentera-lentera suci di luar. Akhirnya
ia berdiri tanpa berkata apa-apa dan menuruni tangga. Hari sudah gelap ketika ia berjalan ke
Tempat Persembahan Atago. Lalu ia meninggalkan para biksu, dan pergi seorang diri ke Kuil
Shogun Jizo yang berdekatan. Di sana ia menanyakan nasibnya, tapi tanda pertama yang
diambilnya meramalkan nasib buruk. Ia menarik sekali lagi, tapi tanda yang ini pun bertuliskan
Nasib Buruk. Sejenak Mitsuhide berdiri seperti patung. Ia mengangkat kotak berisi tanda-tanda
nasib, menempelkannya ke kening dengan penuh hormat, memejamkan mata, kemudian menarik
untuk ketiga kali. Kali ini jawabannya Nasib Baik.
Mitsuhide berbalik dan berjalan ke arah para pembantu yang menunggunya. Mereka
memperhatikannya dari jauh ketika ia menarik tanda-tanda nasib, menyangka ia sekadar iseng saja.
Bagaimana-pun, Mitsuhide laki-laki yang sangat bangga akan kecerdasannya dan selalu bersikap
rasional. Ia tidak termasuk orang-orang yang memanfaatkan ramalan nasib untuk mengambil
keputusan. Cahaya kerlap-kerlip di ruang tamu menerangi daun-daun muda. Malam ini Shoha dan rekan-rekan
penyairnya akan menggerus tinta di batu tinta untuk mceuliskan sajak masing-masing.
Acara pada malam hari dimulai dengan jamuan makan di mana Mitsuhide menjadi tamu
kehor-matan. Para tamu bercanda dan tertawa sambil terus mereguk sake. Mereka begitu asyik
mengob-rol. sehingga seakan-akan melupakan acara pokok.
"Malam di musim panas singkat," sang tuan rumah, si kepala bik
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
25Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam | http://cerita-silat.mywapblog.com | Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam pdf created by Saiful Bahri (Seletreng - Situbondo) pd 23-04-2016 08:25:51
su, angkat bicara. "Malam telah larut, dan aku khawatir hari sudah akan terang sebelum kita
merampungkan seratus bait yang bersambung-sambungan."
Di sebuah ruangan lain, tikar-tikar telah digelar. Kertas dan batu tinta diletakkan di depan setiap
bantal, seolah-olah untuk merangsang para peserta untuk menuliskan bait-bait yang anggun.
Baik Shoha maupun Shoshitsu merupakan penyair ulung. Shoha sangat dihargai oleh Nobu-naga
dan akrab dengan Hideyoshi serta dengan ahli seni minum teh terkemuka di zaman itu. Ia orang
dengan lingkup pergaulan yang luas.
"Baiklah, sudikah Yang Mulia memberikan bait pertama?" tanya Shoha.
Namun Mitsuhide tidak menyentuh kertas di hadapannya. Sikunya masih bertumpu di atas
sandaran tangan, dan sepertinya ia memandang ke dalam kegelapan di pekarangan, tempat
daun-daun sedang berdesir.
"Kelihaiannya Yang Mulia sedang memeras otak." Shoha menggoda Mitsuhide.
Mitsuhide mengangkat kuas dan menulis:
Seluruh negeri menyadari Waktunya telah tiba. Di Bulan Kelima.
Pada acara seperti ini, setelah bait pertama digubah, para peserta yang lain secara bergantian
mendapat giliran, sampai sekitar lima puluh hingga seratus bait ditambahkan. Acaranya dibuka
dengan syair yang disusun oleh Mitsuhide, dan bait penutup yang mempersatukan seluruh karya itu
juga digubah oleh Mitsuhide:
Saatnya provinsi-provinsi Diliputi kedamaian.
Setelah para biksu memadamkan lentera dan menarik diri, Mitsuhide sepertinya langsung tertidur.
Ketika ia akhirnya meletakkan kepala di bantal, angin gunung di luar mengguncang-guncang
pe-pohonan dan menederu-deru aneh, seakan-akan hendak meniru teriakan Tengu, monster berhidung panjang yang hidup dalam mitos. Mitsuhide tiba-tiba teringat cerita yang didengarnya dari
pendeta di tempat persembahan Dewa Api. Dalam benaknya ia membayangkan Tengu mengamuk
di langit yang hitam pekat.
Tengu melahap api, lalu terbang ke angkasa. Tengu raksasa dan Tengu-Tengu lebih kecil yang tak
terhitung jumlahnya berubah menjadi api dan menunggangi angin hitam. Ketika bola-bola api itu
jatuh ke bumi, tempat persembahan Dewa Api segera terbakar hebat.
Ia ingin tidur. Tak ada yang lebih diinginkannya selain tidur. Tapi Mitsuhide tidak bermimpi; ia
sedang berpikir. Dan ia tak sanggup menying-kirkan bayangan itu dari dalam benaknya. Ia
membalikkan badan dan mulai berpikir mengenai besok. Ia tahu bahwa besok Nobunaga akan
bertolak dari Azuchi ke Kyoto.
Kemudian garis pemisah antara dunia nyata dan dunia mimpi mulai kabur. Dan dalam ke-adaan ini,
perbedaan antara dirinya dan Tengu lenyap. Tengu berdiri di atas awan dan meman-dang seluruh
1 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
negeri. Segala sesuatu yang ia lihat menguntungkan baginya. Di Barat, Hideyoshi terpaku di
Benteng Takamatsu, bergulat dengan pasukan Mori. Jika ia, Tengu, dapat bekerja sama dengan
pihak Mori dan memanfaatkan kesem-patan ini, pasukan Hideyoshi yang telah melewatkan
tahun-tahun melelahkan di medan laga akan terkubur di daerah Barat dan takkan pernah lagi
melihat ibu kota. Tokugawa Ieyasu, yang berada di Osaka, merupakan orang yang cerdik. Kalau ia menge-tahui
bahwa Nobunaga telah mati, sikapnya akan tergantung sepenuhnya pada apa yang ditawarkan
Mitsuhide. Hosokawa Fujitaka dapat dipastikan akan marah, tapi putranya menikah dengan putri
Mitsuhide, dan ia merupakan teman lama yang setia. Tentunya ia takkan menolak tawaran kerja
sama. Darah dan otot Mitsuhide menggelenyar. Telinganya bagaikan membara, dan ia mendadak merasa
muda lagi. Tengu berbalik. Mitsuhide mengerang.
"Tuanku?" Di ruang sebelah, Shoha mengangkat badan sedikit dan memanggil , "Ada apa, tuanku?"
Samar-samar Mitsuhide mendengar pertanyaan Shoha, tapi ia sengaja tidak menjawab. Shoha
segera tertidur kembali. Malam yang singkat itu cepat berlalu. Setelah bangun, Mitsuhide mengucapkan selamat tinggal
pada yang lain, dan menuruni gunung yang masih diselimuti kabut tebal.
*** Pada hari ketiga belas di bulan yang sama, Mitsuharu tiba di Kameyama dan bergabung dengan
Mitsuhide. Para anggota marga Akechi berdatangan dari seluruh pelosok provinsi, semakin
menambah kekuatan pasukan di Sakamoto. Kota benteng dipadati manusia dan kuda:
kereta-kereta berisi perbekalan militer menimbulkan kemacetan di setiap persimpangan, dan
jalan-jalan hampir tak dapat dilalui. Matahari bersinar cerah, dan suasa-nanya tiba-tiba menyerupai
pertengahan musim panas, kuli-kuli memenuhi toko-toko dan saling berdebat dengan mulut penuh
makanan; di luar, prajurit-prajurit menyelinap di antara kereta-kereta lembu sambil berseru ke sana
kemari. Di sepan-jang jalan-jalan, kawanan lalat beterbangan menge-rumuni kotoran kuda dan
lembu. "Sudah membaikkah kesehatanmu?" Mitsuharu bertanya pada Mitsuhide.
"Seperti kaulihat sendiri." Mitsuhide tersenyum. Ia jauh lebih ramah dibandingkan saat di
Saka-moto, dan wajahnya pun sudah tidak pucat lagi.
"Kapan kau hendak berangkat?"
"Aku memutuskan untuk menunggu beberapa waktu, sampai hari pertama di Bulan Keenam."
"Hmm, bagaimana dengan Azuchi?"
"Aku sudah mengirim kabar ke sana, tapi ku-pikir Yang Mulia Nobunaga sudah berada di Kyoto."
"Kabarnya semalam beliau tiba dengan selamat di sana. Yang Mulia Nobutada menginap di Kuil
Myokaku, sementara Yang Mulia Nobunaga ber2 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
malam di Kuil Honno."
"Ya, aku pun mendengar itu," balas Mitsuhide. Kcmudian ia terdiam.
Mitsuharu mendadak berdiri. "Sudah lama aku tidak bertemu dengan anak-istrimu. Mungkin aku
akan berkunjung nanti."
Mitsuhide memperhatikan sepupunya menjauh. Sesaat kemudian, dadanya seakan-akan begitu
sesak sehingga ia tak sanggup meludah maupun menelan.
Dua ruangan lebih jauh, pengikut Mitsuhide. Saito Toshimitsu, sedang berunding dengan para
jendral lain, mempelajari peta-peta militer dan membahas taktik-taktik. Ia meninggalkan ruangan
untuk berbicara dengan Mitsuhide.
"Apakah Yang Mulia akan memerintahkan iring-iringan perbekalan mendahului pasukan kita ke
Sanin?" "Iring-iringan perbekalan" Hmm... rasanya tidak perlu."
Tiba-tiba paman Mitsuhide, Chokansai, yang baru saja tiba bersama Mitsuharu, muncul di pintu.
"Wah, dia tidak ada di sini. Ke mana si Penguasa Sakamoto" Ada yang tahu ke mana dia pergi?"
Ia memandang berkeliling dengan mata terbelalak. Walaupun usianya sudah lanjut, ia begitu riang
dan ceria, sehingga kerap mengganggu orang lain. Bahkan saat para jendral hendak bertolak ke
medan perang pun Chokansai tetap gembira seperti biasa. Ia berpaling ke arah lain. Ketika ia
mendatangi bagian benteng yang didiami kaum perempuan dan anak-anak, ia segera dikerumuni
oleh mereka. "Oh, Tuan Pelawak datang!" seru anak-anak. "Tuan Pelawak! Kapan Tuan tiba di sini?"
Entah ia duduk atau berdiri, suara-suara ringan di sekitamya tidak berhenti.
"Tuan Pelawak akan menginap di sini?" "Tuan Pelawak, apakah Tuan sudah makan?" "Gendong
aku, Tuan Pelawak!" "Bernyanyilah untuk kami!" "Menarilah!"
Mereka melompat ke pangkuannya. Mereka bercengkerama dengannya. Mereka merangkulnya.
Mereka melihat ke dalam telinganya.
"Tuan Pelawak! Di telinga Tuan tumbuh rambut!"
"Satu, dua!" "Tiga, empat!" Sambil menyanyikan angka-angka, gadis-gadis cilik mencabut rambut-rambut itu,
sementara seorang bocah laki-laki duduk di punggungnya dan mendorong-dorong kepala orang tua
itu. 3 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Main kuda-kudaan! Main kuda-kudaan!" Chokansai menurut saja. Ia mulai merangkak di lantai.
Tiba-tiba ia bersin, dan bocah kecil itu jatuh dari punggungnya. Para dayang dan pembantu
langsung terpingkal-pingkal.
Setelah hari berganti malam pun suara tawa dan segala hiruk-pikuk tetap tidak mereda.
Suasananya berbeda dengan suasana di kamar Mitsuhide di benteng utama, seperti lapangan
rumput di musim semi berbeda dengan rawa yang terselubung salju.
"Paman, setelah usia Paman semakin bertam-bah," ujar Mitsuharu, "aku akan berterima kasih jika
Paman bersedia tinggal di sini dan mengurusi keluarga, serta tidak ikut ke medan perang bersama
kami. Kurasa aku perlu menyampaikan hal ini pada junjungan kita."
Chokansai menatap keponakannya dan tertawa. "Kira-kira begitulah tugasku yang terakhir.
Bocah-bocah ini takkan membiarkan aku pergi."
Malam telah tiba, dan mereka mendesak-desak agar ia menceritakan salah satu dongengnya yang
terkenal. Inilah hari terakhir sebelum keberangkatan ke medan laga. Semula Mitsuharu menduga bahwa
malam itu akan ada rapat umum, tapi karena benteng utama sepi-sepi saja, ia pergi ke benteng
kedua dan tidur. Keesokannya Mitsuharu menanti-nanti sepan-jang hari, tapi perintah yang ditunggunya tak kunjung
tiba. Setelah hari gelap pun tidak terlihat kegiatan di dalam benteng utama. Ketika ia menugaskan
salah satu pengikutnya untuk mencari keterangan, ia memperoleh jawaban bahwa Mitsu-hide telah
naik ke peraduan dan sudah tidur. Mitsuharu curiga, namun tak ada yang dapat dilakukannya selain
membaringkan diri dan memejamkan mata.
Sekitar tengah malam, Mitsuharu dibangunkan oleh bisik-bisik yang berasal dari ruang jaga di
selasar. Ada bunyi langkah mendekat, dan pintu ruangannya bergeser tanpa suara.
"Ada apa?" tanya Mitsuharu.
Si penjaga, yang tentunya menyangka Mitsu-haru sedang terlelap, ragu-ragu sejenak. Kemudian ia
cepat-cepat bcrsujud dan berkata, "Tuanku Mitsuhide menunggu Yang Mulia di benteng utama."
Mitsuharu bangkit dan mulai berpakaian; ia menanyakan jam.
"Pertengahan pertama jam Tikus," jawab si penjaga.
Mitsuharu melangkah ke selasar yang gelap gulita. Melihat Saito Toshimitsu berlutut di samping
pintu, menunggu, Mitsuharu bertanya-tanya, apa gerangan arti panggilan mendadak di tengah
malam buta ini. Toshimitsu berjalan di depan, memegang lilin. Tak seorang pun berpapasan dengan mereka ketika
mereka menyusuri koridor panjang yang berkelok-kelok. Hampir semua orang di benteng utama
sedang tidur pulas. "Di manakah Yang Mulia?" "Di ruang tidur beliau."
4 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Toshimitsu mematikan lilin di depan pintu selasar yang menuju kamar tidur Mitsuhide. Dengan mata
ia memberi isyarat agar Mitsuharu mengikutinya, lalu membuka pintu yang berat itu. Segera setelah
Mitsuharu masuk, Toshimitsu menutup pintu lagi. Hanya di kamar di ujung selasar - kamar tidur
Mitsuhide - terlihat cahaya redup.
Ketika Mitsuharu mengintip ke ruang itu, ia tidak melihat pembantu maupun pelayan. Mitsu-hide
seorang diri. Ia mengenakan kimono musim panas berwarna putih. Pedang panjangnya
menggantung di pinggang. Tangannya bertumpu pada sandaran tangan di sampingnya.
Cahaya lentera tampak redup, karena harus melewati kelambu halus berwarna hijau yang
tergantung di sekeliling Mitsuhide. Pada waktu ia tidur, kelambu itu melindunginya dari keempat sisi,
tapi kini bagian depannya ditahan oleh sepotong bambu, "Masuklah, Mitsuharu," ujar Mitsuhide.
"Ada apa sebenarnya?" sepupunya bertanya, setelah berlutut di hadapan Mitsuhide.
"Mitsuharu, bersediakah kau mempertaruhkan nyawa untukku?"
Mitsuharu berlutut sambil membisu, seakan-akan lupa cara berbicara. Mata Mitsuhide tampak
menyala-nyala, memancarkan sorot aneh. Pertanyaannya sederhana dan tidak berbelit-belit, tapi justru kata-kata itulah yang ditakuti Mitsuharu sejak di
Sakamoto. Kini Mitsuhide akhirnya berbicara, dan meski Mitsuharu tidak terkejut, darah yang
mengaliri tubuhnya seakan-akan membeku.
"Kau menentangku, Mitsuharu?"
Yang ditanya tetap tidak menjawab. Mitsuhide pun terdiam. Wajahnya kelihatan agak pucat, bukan
akibat kelambu hijau atau lentera yang berkelap-kelip, melainkan karena gejolak perasaan di
hatinya. Seketika naluri Mitsuharu berkata bahwa Mitsu-hide telah mcnyiapkan rencana darurat yang akan
digunakannya kalau Mitsuharu menentangnya. Di dinding di balik kelambu terdapat ruang rahasia
yang cukup besar untuk satu orang. Sepuhan emas pada pintu itu berkilau-kilau tak menyenangkan,
seakan-akan mencerminkan niat buruk dari pembunuh yang bersembunyi di baliknya.
Di sebelah kanan Mitsuharu ada pintu geser besar. Ia tidak mendengar apa-apa dari baliknya,
namun ia dapat merasakan kehadiran Saito Toshi-mitsu dan beberapa orang lain yang telah
mencabut pedang masing-masing, menunggu aba-aba dari Mitsuhide. Mitsuharu tak sanggup
merasa marah karena sikap Mitsuhide yang keji dan licik; ia merasa kasihan pada sepupunya itu.
Mungkinkah orang cerdas yang dikenalnya sejak muda sudah tak ada lagi" Kini ia merasa
seolah-olah hanya melihat bayang-bayang orang itu.
"Mitsuharu, bagaimana jawabanmu?" Mitsuhide bertanya sambil bergeser mendekat.
Mitsuharu merasakan napas sepupunya, panas seperti demam yang membakar orang sakit.
"Mengapa tuanku ingin agar hamba mempertaruhkan nyawa?" ia akhirnya balik bertanya.
Sesungguhnya ia tahu persis apa kchendak Mitsu-hide, jadi sekarang ia sengaja berlagak bodoh. Ia
terus menggenggam harapan bahwa, entah bagai-mana, ia masih dapat menarik sepupunya dari
tepi jurang. 5 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Mendengar ucapan Mitsuharu, urat-urat di pelipis Mitsuhide semakin menonjol. Suaranya terdengar
parau ketika ia berkata. "Mitsuharu, tak tahukah kau bahwa ada sesuatu yang mengganggu
pikiranku sejak aku meninggalkan Azuchi?"
"Itu sudah jelas."
"Kalau begitu, apa perlunya kita bicara panjang-lebar" Jawab saja ya atau tidak."
"Tuanku, mengapa justru tuanku yang menolak untuk berbicara" Bukan saja nasib marga Akechi
yang tergantung pada ucapan tuanku sekarang, melainkan masa depan seluruh negeri."
"Apa maksudmu, Mitsuharu?"
"Siapa sangka justru tuanku yang akan melakukan kebiadaban ini." Berlinang air mata. Mitsu-haru
beringsut-ingsut mendekati Mitsuhide, menempelkan kedua tangan ke lantai dengan gaya
memohon. "Belum pernah hamba begitu bingung menghadapi watak manusia seperti malam ini.
Ketika kita masih muda dan belajar bersama di rumah ayah hamba, apakah yang kita baca"
Adakah sepatah kata pun dalam kitab-kitab kuno yang membenarkan pembunuhan terhadap
junjungan sendiri?" "Jangan keras-keras, Mitsuharu ."
"Siapa yang akan mendengar hamba" Di sini hanya ada pembunuh-pembunuh yang bersem-bunyi
di balik pintu rahasia, menunggu perintah tuanku. Yang Mulia... tak sekali pun hamba meragukan
kebijakan Yang Mulia. Tapi kelihatannya Yang Mulia sudah berbeda begitu jauh dengan orang yang
pernah hamba kenal."
"Sudah terlambat, Mitsuharu." "Hamba harus bicara." "Percuma saja."
"Hamba harus bicara, biarpun tak ada gunanya." Air mata menetes ke tangan Mitsuharu.
Pada saat itulah ada gerakan di balik pintu rahasia. Barangkali si pembunuh menyadari bahwa
situasinya menjadi tegang, dan ingin segera bertindak. Namun Mitsuhide belum memberikan tanda.
Ia berpaling dari sosok sepupunya yang sedang menangis.
"Pengetahuan tuanku jauh lebih luas daripada orang lain, kecerdasan tuanku melebihi kecerdasan
kebanyakan orang, dan tuanku pun telah mencapai usia matang. Adakah yang tak dipahami oleh tuanku?" Mitsuharu memohon. "Hamba orang
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bodoh dan tak pandai bersilat lidah, tapi orang seperti hamba pun dapat membaca kata 'kesetiaan'
dan merenungkannya sampai menjadi bagian dari diri hamba. Meskipun tuanku telah membaca
sepuluh ribu buku, semuanya tak berarti jika tuanku kini mengabaikan kata tersebut. Tuanku,
dengarkah tuanku" Darah kita berasal dari keluarga samurai. Tegakah tuanku menodai
ke-hormatan leluhur kiia" Dan bagaimana dengan anak-anak tuanku dan keturunan mereka"
Bayangkan aib yang tuanku bebankan pada generasi-generasi berikut."
"Kau bisa menyebutkan hal-hal serupa tanpa akhir," balas Mitsuhide. "Apa yang akan kulakukan
jauh lebih penting daripada itu semua. Jangan coba-coba membujukku. Segala sesuatu yang
kau-kemukakan telah kupertimbangkan malam demi malam, telah kubolak-balik dan kupandang dari
segala sudut. Kalau aku mengamati perjalanan hidupku selama lima puluh lima tahun, aku tahu aku
6 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
takkan sebingung ini seandainya aku tidak dilahirkan sebagai samurai. Aku bahkan takkan
membayangkan hal seperti itu."
"Dan justru karena tuanku dilahirkan sebagai samurai, tak sepatutnya tuanku berbalik menen-tang
junjungan tuanku." "Nobunaga telah memberontak terhadap sang Shogun. Dan semua orang tahu bahwa dia
menan-tang hukum karma dengan membumihanguskan Gunung Hiei. Lihatlah apa yang terjadi
dengan para pengikut seniornya - Hayashi, Sakuma, Araki. Aku tak bisa menganggap nasib tragis
yang menim-pa mereka sebagai urusan orang Iain."
"Tuanku, tuanku telah dianugerahi sebuah provinsi. Marga kita tidak kekurangan apa pun. Pikirkan
segala berkah yang dilimpahkan beliau pada kita."
Pada titik ini Mitsuhide kehilangan kendali, dan kata-katanya mengalir seperti sungai di saat banjir.
"Apa artinya provinsi sekecil ini" Tanpa kemampuan apa pun, aku mungkin tetap akan
mendapatkannya. Setelah Nobunaga memperoleh segala sesuatu yang dibutuhkannya dariku, aku
tak lebih dari peliharaan yang diberi makan di Azuchi. Atau barangkali aku akan dicampakkan
karena dianggap tak berguna lagi. Dia bahkan menempatkanku di bawah komando Hideyoshi dan
mengi-rimku ke daerah Sanin. Apa ini, kalau bukan isyarat mengenai masa depan marga Akechi"
Aku dibesarkan sebagai samurai; aku mewarisi darah prajurit. Kaukira aku sudi melewatkan sisa
hidup dengan bersujud-sujud, sementara dia menyuruh-nyuruhku seenak hatinya" Tak bisakah kau
melihat hati Nobunaga yang busuk, Mitsuharu?"
Sesaat Mitsuharu duduk terbengong-bengong, lalu bertanya, "Siapa saja yang telah mengetahui
maksud tuanku?" "Selain kau, selusin pengikutku yang paling kupercaya," Mitsuhide menarik napas panjang dan
menyebutkan nama orang-orang iiu.
Mitsuharu menengadahkan kepala dan mendesah. "Hamba bisa mengatakan apa setelah mereka
diberitahu?" Mitsuhide tiba-tiba bergerak maju dan menggenggam kerah sepupunya dengan tangan kiri. "Jadi,
jawabanmu tidak?" tanyanya. Tangan kanannya meraih gagang belati, sementara tangan kirinya
mengguncang-guncang Mirsuharu dengan tenaga luar biasa. "Atau ya?"
Setiap kali Mitsuhide mengguncang Mitsuharu, kepala Mitsuharu bergerak maju-mundur,
seakan-akan lehernya tak bertulang. Air mau membasahi wajahnya.
"Sekarang masalahnya bukan lagi ya atau tidak. Tapi hamba tidak tahu apa yang mungkin terjadi
seandainya hamba diberitahu lebih dulu dan pada yang lain, tuanku."
"Kalau begitu kau setuju" Kau akan membantu-ku?"
Tuanku dan hamba bagaikan satu orang. Jika tuanku mati, hamba tak ingin hidup. Secara teknis,
hubungan kita hubungan antara junjungan dan pengikut, tapi kita berasal dari garis keturunan yang
sama. Kita hidup bersama-sama sampai sekarang, dan hamba tentu saja bertekad membagi nasib
apa pun yang menanti kita."
7 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Jangan khawatir, Mitsuharu. Aku percaya kemenangan berada di pihak kita. Kalau kita berhasil,
kau takkan memimpin benteng kecil seperti Sakamoto. Aku berjanji. Paling tidak, kau akan
menempati kedudukan tepat di bawahku, dan akan menjadi penguasa banyak provinsi se-kaligus!"
"Apa"! Bukan itu masalahnya." Sambil menepis tangan yang menggenggam kerahnya. Mitsuharu
mendorong Mitsuhide. "Hamba ingin menangis... Tuanku, perkenankan hamba menangis."
"Kenapa kau bersedih, bodoh?" "Tuankulah yang bodoh!" "Bodoh!"
Kedua laki-laki itu saling mengolok-olok yang lain, kemudian berangkulan dengan pipi berlinang air
mata. *** Suasananya seperti di musim panas; hari penama di Bulan Keenam lebih panas dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Pada sore hari, awan-awan menutupi sebagian langit di utara, tapi
matahari yang terbenam perlahan-lahan tetap membakar gunung-gunung dan sungai-sungai di
Tamba, sampai menjelang malam.
Kota Kameyama tampak lengang. Prajuritprajurit dan kereta-kereta yang sempat memadati jalan-jalannya kini tak ada lagi. Para prajurit yang
meninggalkan kota sambil memanggul senapan dan membawa umbul-umbul serta tombak
membentuk barisan panjang. Kepala masing-masing serasa dipanggang di dalam helm besi. Para
warga kota berkerumun di tepi jalan-jalan, menyaksikan keberangkaun pasukan. Setiap kali melihat
pe-langgan yang biasa mendatangi toko mereka, mereka menyerukan selamat jalan sekeras
mung-kin, dan mendorongnya agar kembali dengan membawa nama harum.
Tetapi baik para prajurit maupun massa yang mengelu-elukan mereka tidak mengetahui bahwa ini
bukan awal operasi di wilayah Barat, melainkan langkah pertama menuju Kyoto. Selain Mitsuhide
dan selusin anggota staf lapangannya, tak seorang pun mengetahuinya.
Jam Monyet sudah dekat. Di bawah matahari barat yang tampak merah bagaikan darah, bebe-rapa
sangkakala berkumandang tinggi dan rendah, satu demi satu. Para prajurit, yang sebelumnya
hanya berkerumun di sekitar kemah-kemah mereka, langsung berdiri untuk bergabung dengan
pasukan masing-masing. Sambil membagi diri ke dalam tiga kelompok, mereka membentuk barisan
dengan mengibarkan panji-panji.
Kehijauan gunung-gunung di sekeliling serta dedaunan di sekitar menyearkan bau harum ketika
angin senja berdesir membelai wajah-wajah yang tak terhitung banyaknya. Sekali lagi sangkakala
berkumandang, kali ini dari hutan yang jauh.
Dari pekarangan di sekitar tempat persembahan Dewa Perang Hachiman, Mitsuhide dan para
jen-dralnya muncul dengan gilang-gemilang. Mitsuhide memeriksa pasukannya yang dalam
keadaan berdesak-desakan menyerupai tembok besi. Setiap prajurit menegakkan kepala ketika
Mitsuhide melewatinya, dan orang-orang bawahan pun merasa bangga berada di bawah komando
panglima yang demikian tersohor.
Mitsuhide mengenakan baju tempur berwarna hitam dengan tali pengikat berwarna hijau di bawah
mantel brokat berwarna putih dan perak. Pedang panjang dan pelananya dibuat oleh tangan yang
8 Pendekar Bodoh Pengejaran Ke Masa Silam m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
teramat terampil. Hari ini ia tampak jauh lebih muda daripada biasanya, tapi ini tidak berlaku bagi
Mitsuhide semata-mata. Jika seseorang mengenakan baju tempur, usianya tidak tampak. Bahkan
bersebelahan dengan prajurit berumur enam belas yang untuk pertama kali berperang, orang tua
tidak merasakan atau memperlihatkan usianya.
Hari ini Mitsuhide berdoa lebih khusyuk dibandingkan siapa pun juga dalam pasukannya. Karena
itu, ketika ia melewati semua prajurit, sorot matanya tampak tegang. Roman muka sang Panglima
Tertinggi tercermin dalam semangat tempur anak buahnya. Telah dua puluh tujuh kali marga Akechi
mengangkat senjata untuk berperang. Namun hari ini semuanya merasa gelisah, seakan-akan
menyadari bahwa pertempuran yang mereka tuju sungguh luar biasa.
Setiap orang merasa bahwa ia takkan pernah kembali. Bisikan naluri tersebut menyelubungi tempat
itu bagaikan kabut pucat, sehingga ke-sembilan panji dengan lambang kembang lonceng di atas
masing-masing divisi seakan-akan berkibar di hadapan awan-awan.
Mitsuhide menarik tali kekang, berpaling pada Saito Toshimitsu yang berkuda di sampingnya, dan
bertanya. "Berapa jumlah keseluruhan pasukan kita?"
Bloon Cari Jodoh 26 Pendekar Rajawali Sakti 178 Satria Pondok Ungu Golok Halilintar 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama