Taiko Karya Eiji Yoshikawa Bagian 4
barisan pertahanan di sebelah hulu dipaksa bertekuk lutut.
Pasukan barat menyerbu tanggul sungai, mengepung markas Nobunaga, dan melepaskan teriakan
kemenangan. "Kalah!" Sambil tertawa Nobunaga mengempaskan busurnya. Ia berbalik dan menghadap pasukan
musuh yang bersorak-sorai. Daisuke dan Hirata Sammi, si ahli strategi, turun dari kuda dan
bergegas ke arah Nobunaga.
"Tuanku tidak cedera?"
"Aku tak mungkin celaka di dalam air."
Nobunaga tampak tersipu-sipu. Ia berkata pada Daisuke, "Besok kemenangan akan ada di pihakku.
Besok kalian akan kugempur habis-habisan."
Ketika ia bicara, alisnya terangkat sedikit. "Kalau kita sudah kembali ke benteng," ujar Sammi,
"apakah tuanku berkenan mendengarkan kritik hamba mengenai strategi tuanku hari ini?"
Nobunaga tidak menanggapinya. Ia telah melepaskan baju temput, lalu terjun ke sungai untuk
menyegarkan diri. *** Melihat wajah Nobunaga yang tampan serta kulitnya yang putih, orang segera tahu bahwa
leluhurnya luar biasa rupawan. Jika berhadapan dengan seseorang, sorot matanya yang tajam
4 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
seakan-akan menembus orang itu.
Ketika akhirnya menyadari kelebihannya itu, ia menyelubungi sorot matanya dengan tawa,
meninggalkan lawan bicaranya terheran-heran. Dan bukan hanya Nobunaga saja, kedua belas
saudara laki-laki serta ketujuh saudara perempuannya pun memperlihatkan ciri-ciri keningratan,
baik dari segi kehalusan budi pekerti maupun penampilan fisik.
"Ini mungkin menjemukan bagi tuanku, dan tuanku mungkin bertanya, 'Apa" Lagi"' Tapi, sama
halnya dengan doa yang harus diucapkan siangmalam - bahkan pada waktu sedang makan tuanku harus mengenang para leluhur. Marga Oda didirikan oleh seorang biksu dari Kuil Tsurugi. Di
masa lampau, salah seorang leluhur tuanku merupakan anggota marga Taira yang konon
keturunan Kaisar Kammu. Jadi ingadah, dalam tubuh tuanku mengalir darah kekaisaran. Hamba
sudah tua, hanya inilah yang dapat hamba sampaikan."
Terus-menerus Nobunaga mendengar petuah ini dari Hirate Nakatsukasa, salah satu dari keempat
pengikut kepercayaan ayahnya, yang diangkat menjadi walinya pada waktu Nobunaga pindah dari
Benteng Furuwatari, tempat kelahirannya, ke Nagoya. Nakatsukasa merupakan pengikut yang luar
biasa setia, tetapi bagi Nobunaga ia hanya laki-laki tua yang aneh dan membosankan. Setiap kali
mendengar petuahnya, Nobunaga bergumam, "Ah, aku tahu, Pak Tua. Aku tahu," lalu berbalik dan
pergi. Meskipun Nobunaga tidak mendengarkannya, orang tua itu melanjutkan, seakan-akan
mengulangi rangkaian doa, "Ingatlah Yang Mulia ayahanda tuanku. Untuk mempertahankan Owari,
pada pagi hari beliau bertempur di perbatasan sebelah utara, lalu menghadapi serangan dari timur
pada malamnya. Hari-hari saat beliau sempat melepaskan baju tempur dan bercengkerama dengan
anak-anak beliau bisa dihitung.
Walaupun tak henti-hentinya terlibat perang, kesetiaan beliau terhadap Kaisar sangat tinggi, dan
beliau mengutus hamba ke ibu kota untuk memperbaiki dinding-dinding Istana Kekaisaran,
sekaligus untuk menyerahkan empat ribu kan. Kedermawanan beliau juga tampak dalam
pembangunan Kuil Besar di Ise. Seperti itulah ayahanda tuanku. Dan di antara leluhur tuanku..."
"Pak Tua! Cukup sudah! Entah berapa kali aku telah mendengar cerita ini!" Setiap kali Nobunaga
merasa tak senang, daun telinganya menjadi merah. Tapi sejak kecil hanya sebatas itulah ia dapat
memperlihatkan perasaan tak senangnya. Nakatsukasa telah memahami watak Nobunaga. Ia juga
sadar bahwa usaha untuk menyentuh perasaan Nobunaga akan lebih bermanfaat daripada
mengajaknya bicara secara akal sehat. Jika junjungannya mulai resah, ia segera berganti taktik.
"Bagaimana kalau hamba menyiapkan kekang?" "Kau mengajakku berkuda?"
"Jika tuanku berkenan." "Kau ikut juga, Pak Tua."
Berkuda merupakan kegemaran Nobunaga. Ia tak pernah puas hanya mengelilingi lapangan
berkuda. Ia akan membawa kudanya menjauhi benteng, lalu berbalik dan memacunya dengan
kecepatan penuh. Ketika berusia tiga belas tahun, Nobunaga pertama kali ambil bagian dalam sebuah pertempuran.
Pada usia lima belas, ia telah kehilangan ayahnya. Dengan bertambahnya usia, sikapnya semakin
congkak. Pada upacara perabuan ayahnya, Nobunaga mengenakan pakaian yang tak pantas untuk
kesempatan yang begitu resmi.
Di bawah tatapan para tamu yang seakan-akan tak percaya pada penglihatan mereka, Nobunaga
5 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menghampiri altar, meraih segenggam abu dupa, lalu melemparkannya ke wadah tanah liat berisi
abu mendiang ayahnya. Kemudian ia mengejutkan semua orang dengan segera kembali ke benteng.
"Memalukan sekali. Betulkah dia pewaris provinsi ini?"
"Pemuda berkepala kosong yang tak dapat diharapkan."
"Siapa menyangka bahwa dia begitu lancang?"
Itulah pandangan mereka yang menilai sesuatu berdasarkan kulitnya saja.
Tetapi orang-orang yang merenungkan situasi itu secara lebih mendalam segera mencucurkan air
mata kesedihan untuk marga Oda.
"Adiknya, Kanjuro, teramat santun, dan bersikap penuh hormat dari awal sampai akhir," salah
seorang pelayat mengemukakan. Mereka menyesalkan bahwa bukan dia yang diangkat sebagai
pewaris. Tetapi seorang biksu yang duduk di bagian belakang ruangan berkata perlahan, "Jangan
salah... ini laki-laki dengan masa depan. Dia menakutkan." Komentar ini kemudian disampaikan
kepada para pengikut senior, namun tak ada yang menanggapinya secara serius. Beberapa waktu
sebelum wafat pada usia empat puluh enam, Nobuhide telah mengatur pertunangan Nobunaga
dengan anak perempuan Saito Dosan dari Mino, dengan perantaraan Nakatsukasa. Sudah
bertahun-tahun Mino dan Owari saling bermusuhan, jadi pernikahan itu bersifat politik. Taktik-taktik
semacam itu sudah hampir merupakan keharusan di sebuah negeri yang tengah dilanda perang.
Dosan pun segera menyadari maksud terselubung di balik rencana itu. Meski demikian, ia
memberikan putri kesayangannya kepada sang Pewaris kepemimpinan marga Oda, yang dari
provinsi-provinsi tetangga sampai ke ibu kota telah dikenal sebagai orang pandir. Dosan menyetujui
pernikahan itu, namun diam-diam ia berniat menguasai Owari.
Sifat pandir, kasar, dan tak tahu aturan yang terdapat dalam diri Nobunaga seakan-akan terus
bertambah parah. Tetapi ia memang sengaja ingin memberikan kesan demikian pada orang lain. Di
bulan keempat Tahun Temmon kedua puluh dua, Nobunaga merayakan ulang tahun kesembilan
belas. Karena ingin berjumpa dengan menantunya, Saito Dosan mengusulkan untuk mengadakan
pertemuan pertama mereka di Kuil Shotokuji di Tonda, di perbatasan kedua provinsi. Kuil itu
merupakan kuil aliran Buddha Ikko dan terletak agak terpisah dari ketujuh ratus rumah di desa itu.
Diiringi rombongan besar, Nobunaga meninggalkan Benteng Nagoya, menyeberangi Sungai Kiso
dan Hida, lalu terus maju sampai ke Tonda.
Sekitar lima ratus anak buahnya membawa busur panjang atau senjata api; empat ratus orang lagi
membawa tombak sepanjang enam meter, dan mereka diikuti oleh tiga ratus prajurit biasa. Mereka
berjalan sambil membisu. Sekelompok penunggang kuda di tengah-tengah iring-iringan itu
mengelilingi Nobunaga. Mereka siap menghadapi setiap keadaan darurat.
Musim kemarau sudah di ambang pintu. Gandum di ladang-ladang berwarna kuning pucat.
Embusan angin dari arah Sungai Hida terasa menyegarkan. Suasana siang itu penuh kedamaian,
6 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dan dahan-dahan perdu menggantung melewati pagar-pagar. Rumah-rumah di Tonda tampak
kokoh dan memiliki banyak lumbung.
"Itu mereka." Dua samurai berpangkat rendah dari marga Saito ditempatkan sebagai pengintai di
batas desa. Mereka segera berbalik untuk memberi laporan. Burung-burung gereja bertengger di
deretan pohon yang membelah desa, dan berkicau riang. Kedua samurai tadi berlutut di muka
sebuah pondok kecil, dan berkata dengan suara rendah, "Iring-iringan telah tiba. Tak lama lagi
mereka akan lewat di sini."
Pondok yang gelap, kotor, dan berlantai tanah itu berisi orang-orang yang membawa
pedang-pedang mencolok dan mengenakan kimono-kimono berpotongan resmi.
"Baik. Kalian berdua sembunyi di semak-semak di belakang."
Kedua samurai itu pembantu pribadi Saito Dosan dari Mino, yang sedang bersandar pada ambang
jendela di sebuah ruang kecil. Matanya tertuju ke luar.
Banyak cerita mengenai Nobunaga beredar di masyarakat. Seperti apa dia sebenarnya" Dosan
bertanya-tanya. Orang macam apa dia" Sebelum pertemuan resmi, aku ingin melihatnya dulu. Cara
berpikir seperti ini memang khas Dosan, itu sebabnya ia berada di sini, mengintai dari pondok di tepi
jalan. "Orang-orang Owari telah datang, tuanku."
Dosan menggeram sebagai tanggapan, lalu mengalihkan pandangannya ke jalan. Setelah
mengunci pintu, para pengikutnya merapatkan wajah ke celah-celah dan lubang-lubang di
pintu-pintu kayu. Tak ada yang bersuara.
Kicauan burung-burung kecil di pepohonan pun tak terdengar lagi.
Kecuali bunyi sayap mengepak ketika mereka tiba-tiba terbang, suasana hening. Bahkan embusan
angin lembut pun tidak menimbulkan suara.
Pasukan Owari terus mendekat. Para pembawa senjata api, dengan senapan yang telah digosok
sampai mengilap, berbaris sepuluh-sepuluh, membentuk kelompok empat puluh orang;
gagang-gagang tombak tampak menyerupai hutan ketika lewat di depan orang-orang Mino. Dengan
napas tertahan Dosan mengamati gaya berjalan para prajurit serta susunan pangkat mereka. Suara
langkah pasukan diikuti oleh derap langkah kuda. Dosan tak dapat melepaskan mata dari
pemandangan di hadapannya.
Di tengah-tengah para penunggang kuda terdapat seekor kuda yang teramat gagah, dengan
berangus berkilauan. Di pelana mewah yang dihiasi indung mutiara, duduk Nobunaga, tangannya
menggenggam tali kekang berwarna ungu dan putih. Ia sedang asyik berbincang-bincang dengan
para pengikutnya. "Apa ini?" adalah kata-kata yang keluar dari mulut Dosan. Ia tampak terheran-heran. Penampilan
Nobunaga teramat tidak lazim. Dosan telah diberitahu bahwa sang Penguasa Owari biasa
berpakaian aneh, tapi ini melebihi segala cerita yang pernah didengarnya.
Nobunaga terayun-ayun di atas pelana. Rambutnya dikonde dan diikat dengan jalinan pita berwarna
7 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
hijau pucat. Ia mengenakan mantel katun berpola cerah yang lengannya hanya satu. Baik pedang
pendek maupun pedang panjangnya dihiasi kerang laut dan dibalut dengan jerami padi suci.
Tujuh atau delapan benda tergantung pada ikat pinggangnya: sebuah kantong rabuk, sebuah labu
kecil, sebuah kotak obat, sebuah kipas, sebuah ukiran kuda, dan beberapa permata. Di bawah
jubah pendek yang terbuat dari kulit harimau dan macan tutul, ia mengenakan baju brokat emas
berkilauan. Nobunaga berbalik di pelananya dan berseru, "Daisuke, inikah tempatnya" Inikah Tonda?"
Seruannya begitu keras, hingga terdengar jelas oleh Dosan di tempat persembunyiannya.
Daisuke, yang bertindak sebagai pengawal, merapat ke junjungannya.
"Ya, dan Kuil Shotokuji, tempat tuanku akan bertemu dengan Yang Mulia mertua tuanku, ada di
sebelah sana. Anjuran hamba, mulai sekarang kita bersikap sebaik mungkin."
"Kuil ini milik sekte Ikko, bukan" Hmm, tenang sekali, ya" Tak ada perang di sini, sepertinya."
Nobunaga menatap ke atas, mungkin karena melihat siluet burung elang di langit biru. Kedua
pedang di pinggangnya berdenting pelan ketika saling bersenggolan atau membentur benda-benda
yang tergantung pada sabuknya.
Setelah Nobunaga berlalu, para pengikut Dosan harus memaksakan diri untuk tidak tertawa
berderai-derai. Wajah-wajah mereka memperlihatkan betapa mereka berjuang untuk menahan tawa
pada saat menyaksikan adegan menggelikan tadi.
"Sudah habis?" tanya Dosan. Lalu, "Itukah akhir iring-iringannya?"
"Ya, hanya itu."
"Kalian sempat memperhatikannya?" "Dari jauh."
"Hmm, penampilannya ternyata tidak bertentangan dengan kabar burung yang beredar. Wajahnya
tampan dan fisiknya pun bolehlah, tapi di sini ada sesuatu yang kurang," ujar Dosan. Sambil
tersenyum puas, ia mengangkat jarinya ke kepala.
Beberapa pengikut terburu-buru masuk lewat pintu belakang. "Mohon tuanku segera kembali ke
kuil. Tak jadi soal kalau Nobunaga menjadi curiga, tapi bagaimana jika para pengikutnya pun
merasa begitu" Bukankah kita harus lebih dulu berada di kuil?"
Mereka segera keluar lewat pintu belakang, lalu menyusuri jalan pintas yang tersembunyi untuk
menuju kuil. Tepat pada waktu barisan terdepan pasukan Owari tiba di gerbang depan Kuil
Shotokuji, Saito Dosan dan para pengikutnya menyelinap lewat gerbang belakang, bersikap
seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Mereka segera berganti pakaian dan menuju jalan utama.
Gerbang kuil telah penuh orang. Karena semua orang Mino dikumpulkan untuk penyambutan resmi,
kuil utama, hall besar, serta ruang penyambutan tamu dibiarkan dalam keadaan kosong.
Kasuga Tango, salah seorang pengikut senior Dosan, berpaling pada junjungannya yang sedang
duduk, dan perlahan-lahan menanyakan bagaimana Dosan hendak mengatur pertemuan itu.
Dosan menggelengkan kepala. "Tak ada alasan bagiku untuk pergi menyambutnya." Ia
8 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menganggap Nobunaga semata-mata sebagai menantu.
Takkan ada masalah jika itu satu-satunya pertimbangan. Namun Nobunaga merupakan penguasa
sebuah provinsi, sama halnya dengan Dosan, dan para pengikutnya tentu berasumsi bahwa
pertemuan itu akan diadakan antara dua orang yang sederajat. Meskipun Dosan juga mertua
Nobunaga, bukankah lebih pantas jika pertemuan pertama mereka diselenggarakan sebagai
pertemuan antara dua penguasa provinsi" Itulah yang terbayang dalam benak Tango, dan ia
menanyakannya secara hati-hati. Dosan menjawab bahwa itu tidak perlu.
"Kalau begitu, bagaimana kalau hamba sendiri yang menyambutnya?"
"Tidak. Itu juga tidak perlu. Sudah cukup kalau dia disambut oleh Hotta Doku."
"Jika itu kehendak tuanku."
"Kau akan ikut dalam pertemuan nanti. Pastikan ketujuh ratus orang di koridor yang menuju ke sini
berbaris dengan baik."
"Hamba pikir mereka sudah siap di sana." "Sembunyikan para prajurit berpengalaman, dan suruh
mereka berdeham pada waktu menantuku lewat. Siapkan pasukan busur dan senapan di halaman.
Dan perintahkan yang lain untuk pasang tampang berwibawa."
"Tentu, tuanku. Takkan ada kesempatan yang baik untuk memamerkan kekuatan Mino dan
menggertak menantu tuanku beserta anak buahnya. Hamba akan menunggu di ruang
penyambutan." Dosan tampak seolah-olah ingin menguap, dan ia meregangkan tubuhnya pada saat bangkit
hendak pergi. Tango merasa perlu melengkapi perintah yang diterimanya. Ia menuju koridor dan memeriksa
pasukan pengawal, lalu memanggil seorang bawahan dan membisikkan sesuatu ke telinganya.
Nobunaga sedang menaiki tangga di pintu masuk utama. Di sekelilingnya ada lebih dari seratus
pengikut Saito, mulai dari sesepuh marga sampai samurai muda yang masih dalam masa
percobaan. Mereka berlutut berdampingan, bersujud untuk menghormati tamu agung yang baru
tiba. Tiba-tiba Nobunaga berhenti dan berkata, "Apakah ada ruangan untuk beristirahat?" Ucapannya
tanpa basa-basi, dan yang mendengarnya langsung terdiam.
"Baik, tuanku."
Semua orang yang sedang membungkuk serempak mengangkat kepala.
Hotta Doku maju setapak demi setapak, lalu bersujud di depan kaki sang Penguasa Owari. "Harap
ikuti hamba. Silakan beristirahat sejenak di sini, tuanku." Sambil membungkuk-bungkuk ia mengatur
tamunya ke sebelah kanan pintu utama, menyusuri sebuah lorong. Nobunaga menoleh ke kanan,
lalu ke kiri. "Hmm, kuil ini cukup bagus. Ah, pohon wisteria di sini sedang berbunga. Wangi
bunganya sungguh menawan!" Sambil berkipaskipas, ia memasuki ruangan itu bersama para
pembantunya. Setelah beristirahat selama satu jam, Nobunaga bangkit dari balik sekat pembatas
9 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
ruangan dan berkata, "Ho! Aku perlu seseorang untuk menunjukkan jalan. Ayah mertuaku tentu
ingin berbincang-bincang denganku. Di mana sang Penguasa Mino?"
Rambutnya telah ditata ulang. Sebagai ganti baju kulit harimau dan macan tutul, ia mengenakan
jubah sutra putih yang dihiasi sulaman benang emas berupa lambang marganya, di bawah baju
resmi tak berlengan berwarna ungu tua. Pedang pendeknya diselipkan ke balik tali pinggang,
sedangkan pedang panjang dibawanya di tangan kanan. Seluruh penampilannya telah berubah,
menyerupai orang istana. Para pengikut Mino membuka mata lebar-lebar, dan pengikut-pengikutnya sendiri pun, yang sudah
terbiasa melihatnya berpakaian janggal, tampak terheran-heran. Tanpa ragu-ragu Nobunaga mulai
menyusuri koridor. Ia menatap ke kiri-kanan, lalu berkata dengan lantang, "Aku merasa rikuh kalau
dikawal seperti ini. Aku lebih suka menemui mertuaku seorang diri."
Doku mengedipkan mata ke arah Kasuga Tango yang baru saja bergabung.
Mereka berdiri di sisi berlawanan di hall besar, dan segera memperkenalkan diri. "Hamba Hotta
Doku, pengikut senior Tuan Saito Dosan."
"Hamba juga pengikut senior. Hamba bernama Kasuga Tango. Tuanku telah menempuh perjalanan
jauh, dan hamba gembira melihat tuanku tiba dalam keadaan sehat. Sungguh membahagiakan
bahwa hari pertemuan ini begitu cerah."
Sementara kedua laki-laki itu masih sibuk berbasabasi, Nobunaga bergegas menyusuri koridor, melewati orang-orang yang berbaris di sepanjang
dinding. "Ah, ukiran ini bagus sekali," katanya sambil mengamati lubang angin di atas pintu. Ia
memperlakukan para prajurit seakan-akan mereka hanya rerumputan di tepi jalan. Setelah sampai
di ruang penyambutan, ia bertanya pada Doku dan Tango, "Inikah tempatnya?"
"Ya, tuanku," jawab Doku, masih tersengal-sengal karena terpaksa mengejar Nobunaga.
Nobunaga mengangguk, lalu melangkah masuk. Dengan tenang ia duduk, menyandarkan
punggung pada sebuah tiang di pinggir ruangan. Ia menatap ke atas, seakan-akan mengagumi
lukisan-lukisan di langit-langit. Sorot matanya tenang, roman mukanya sabar. Orang-orang istana
pun jarang memiliki roman muka seelok Nobunaga. Tapi orang yang hanya menaruh perhatian
pada tampangnya takkan menyadari sifat menantang yang tercermin dalam matanya. Di salah satu
sudut ruangan terdengar bunyi berdesir ketika seorang laki-laki berdiri. Dosan melangkah keluar
dari bayangbayang. Ia lalu duduk dalam posisi lebih tinggi dari Nobunaga.
Nobunaga pura-pura tidak memperhatikannya. Atau lebih tepat, ia berlagak tak peduli sambil
mempermainkan kipasnya. Dosan melirik ke samping.
Tak ada ketentuan mengenai tata cara mertua berbicara dengan menantunya.
Ia menahan diri dan membisu. Suasana tegang. Alis Dosan serasa ditusuk-tusuk jarum. Doku, yang
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak sanggup menahan ketegangan itu lebih lama, mendekatkan diri pada Nobunaga dan
membungkuk terus sampai mencapai tatami.
"Tuan yang duduk di sebelah sana adalah Tuan Saito Dosan. Berkenankah tuanku menyapa
10 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
beliau?" Nobunaga berkata, "Begitukah?" lalu menjauhkan punggungnya dari pilar dan duduk tegak. Ia
membungkuk satu kali dan berkata, "Kami Oda Nobunaga. Kami merasa gembira karena bisa
bertemu Tuan." Seiring dengan perubahan sikap serta sapaan Nobunaga, sikap Dosan pun melunak. "Sudah lama
kami mengharapkan perjumpaan ini. Kami bahagia bahwa keinginan yang telah tertunda-tunda
sekian lama akhirnya dapat terwujud."
"Pertemuan ini juga menenteramkan hati kami. Ayah Mertua sudah mulai berumur, tapi beliau
menjalani kehidupan dalam keadaan sehat."
"Apa maksudnya, sudah mulai berumur" Kami baru mencapai usia enam puluh tahun ini, tapi kami
sama sekali tidak merasa tua. Anandalah yang baru menetas dari telur! Ha... ha! Puncak kejayaan
seorang laki-laki dimulai pada usia enam puluh."
"Kami bahagia memiliki ayah mertua yang dapat dijadikan tempat bersandar."
"Bagaimanapun, hari ini hari yang diberkahi. Kami berharap pada pertemuan berikut Ananda bisa
memperlihatkan wajah seorang cucu."
"Dengan senang hati."
"Ananda sungguh murah hati! Tango!" "Ya, tuanku."
"Mari makan." Dosan memberikan isyarat mata pada Tango.
"Tentu, tuanku." Tango tidak yakin apakah ia membaca pesan dalam pandangan junjungannya
dengan tepat, tetapi tampang masam Dosan telah lenyap sejak pertemuan dimulai. Tango
mengartikannya sebagai perubahan taktik. Sang mertua kini hendak menjamu menantunya.
Sebagai ganti makanan seadanya yang semula dipesan, kini diperlukan hidangan yang lebih
istimewa. Dosan tampak puas dengan pengaturan Tango. Ia mendesah lega. Mertua dan menantu
mengangkat gelas sambil saling memuji. Suasana kaku yang pada awalnya mewarnai pertemuan,
kini berubah menjadi ramah-tamah.
"Ah, aku ingat lagi!" Nobunaga tiba-tiba berkata, seakan-akan ada sesuatu yang baru saja terlintas
di benaknya. "Tuanku Dosan - Ayah Mertua - dalam perjalanan ke sini, aku bertemu seseorang
yang sungguh aneh." "Aneh bagaimana?"
"Hmm, dia juga orang tua, dan dia mengintip iring-iringan dari jendela gubuk rakyat jelata. Meskipun
baru kali ini aku bertemu dengan ayah mertuaku, waktu aku pertama menatap wajah Ayah Mertua,
ehm... Ayah Mertua mirip sekali dengan orang itu. Bukankah ini aneh sekali?" Sambil tertawa,
Nobunaga menyembunyikan mulut di balik kipas yang setengah terbuka.
Dosan terdiam, seolah-olah baru menelan minuman pahit. Baik Hotta Doku maupun Kasuga Tango
11 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
langsung bermandikan keringat. Seusai acara makan, Nobunaga berkata, "Ah, sudah terlalu lama
aku merepotkan Ayah Mertua. Aku ingin menyeberangi Sungai Hida dan mencapai tempat
menginap sebelum malam tiba. Aku mohon diri."
"Kau berangkat sekarang?" Dosan ikut berdiri. "Aku enggan melihatmu pergi, tapi aku pun tak dapat
menahanmu." Ia sendiri sudah harus kembali ke bentengnya sebelum gelap.
Hutan tombak sepanjang enam meter membelakangi matahari sore, dan beranjak ke arah timur.
Dibandingkan mereka, pasukan tombak dari Mino tampak lesu dan kurang bersemangat.
"Ah, aku tak ingin hidup lebih lama lagi. Suatu hari nanti anak-anakku akan mengemis-emis untuk
menyelamatkan nyawa di depan si pandir itu! Tapi tak ada yang bisa dilakukan," Dosan berkeluh
kesah kepada para pengikutnya, sambil berayun-ayun di dalam tandu.
*** Genderang perang berdentum-dentum, dan suara sangkakala berkumandang di ladang-ladang.
Beberapa anak buah Nobunaga sedang berenang di Sungai Shonai, beberapa sedang berkuda di
ladang, atau berlatih dengan tombak bambu. Begitu mendengar sangkakala, mereka langsung
menghentikan kegiatan masing-masing dan berbaris di depan pondok, menunggu Nobunaga
menaiki kudanya. "Sudah waktunya kembali ke benteng."
Lebih dari sejam Nobunaga berenang, berjemur di tepi sungai, lalu terjun ke air lagi. Akhirnya ia
berkata, "Kita harus pulang," kemudian bergegas ke pondoknya. Ia melepaskan cawat putih yang
dipakainya saat berenang, mengeringkan tubuhnya, dan mengenakan pakaian berburu dan baju
tempur ringan. "Kudaku!" ia memerintah dengan tak sabar. Perintah-perintah yang ia berikan selalu menyebabkan
para pengikutnya kelabakan. Mereka berusaha memahaminya, tapi sering kali dibuat bingung,
karena junjungan mereka gemar bermain-main dan cenderung bertindak secara tak terduga.
Beruntung ada Ichikawa Daisuke untuk mengimbanginya. Kalau anak buah Nobunaga sudah
kalang kabut akibat ketidaksabarannya, dengan satu kata dari Daisuke, semua prajurit dan kuda
akan berbaris seperti semaian padi.
Nobunaga tampak puas. Ia menyuruh pasukannya menghadap ke Benteng Nagoya, dan mereka
meninggalkan sungai, dengan Nobunaga di tengah-tengah iring-iringan. Latihan hari ini berlangsung
selama empat jam. Matahari musim kemarau yang terik berada tepat di atas kepala. Pasukan dan kuda-kuda yang
basah kuyup terus berjalan. Bau busuk naik dari rawa-rawa, belalang-belalang hijau melompat
menghindar. Keringat membasahi wajah pucat para prajurit.
Nobunaga menggunakan siku untuk menyeka keringat dari wajah. Perlahan-lahan wajahnya
kembali cerah. "Siapa makhluk aneh yang berlari di sana?"
Mata Nobunaga seakan-akan berada di mana-mana. Setengah lusin prajurit, yang telah melihat
12 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
orang itu sebelum Nobunaga, menembus rerumputan tinggi ke tempat Hiyoshi bersembunyi. Sejak
pagi Hiyoshi telah menunggu kesempatan untuk mendekati Nobunaga. Diam-diam ia mengawasi
gerakgerik Nobunaga di sungai. Sebelumnya ia sempat diusir oleh para pengawal.
Karena itu ia memutuskan untuk mencari jalur yang akan ditempuh Nobunaga untuk kembali ke
benteng, dan menyusup ke rerumputan tinggi di pinggir jalan.
Sekarang atau tidak sama sekali! Hiyoshi berkata dalam hati. Jiwa raganya telah bersatu, dan yang
dilihatnya hanyalah sang Penguasa Owari di atas kuda. Hiyoshi berteriak sekuat tenaga, tanpa
menyadari apa yang diucapkannya. Ia tahu bahwa ia mempertaruhkan nyawa. Ada kemungkinan ia
akan terbunuh oleh tombak-tombak panjang di tangan para pengawal, sebelum sempat mendekati
Nobunaga untuk menjelaskan maksudnya. Tapi ia tidak gentar.
Pilihannya hanya dua: maju seiring gelombang pasang ambisinya, atau tenggelam tersesat arus
bawah. Sambil melompat berdiri, ia melihat Nobunaga, memejamkan mata, dan bergegas ke arahnya.
"Perkenankan hamba mengajukan permohonan!
Terimalah hamba sebagai pelayan! Hamba ingin mengabdi dan rela menyerahkan nyawa untuk
tuanku!" Itulah yang hendak dikatakannya, tapi ia terlalu bergairah, dan pada waktu ia dicegat oleh
tombak-tombak para pengawal, suaranya terputus dan yang terdengar hanyalah serangkaian bunyi
tak bermakna. Ia tampak lebih papa daripada rakyat jelata yang paling miskin. Rambutnya kotor, penuh debu.
Wajahnya cemong karena keringat dan debu yang melekat. Para pengawal menebas kakinya
dengan tombak-tombak mereka, tapi ia berjumpalitan dan mendarat tiga meter dari kuda Nobunaga.
"Hamba ingin mengajukan permintaan, tuanku!" ia berseru sambil melompat ke arah sanggurdi
kuda Nobunaga. "Enyahlah!" suara Nobunaga menggelegar.
Prajurit di belakang Hiyoshi menyambar kerah bajunya dan mengempaskannya ke tanah. Hiyoshi
hendak ditusuk tombak, tapi Nobunaga berseru, "Tahan!"
Kenekatan orang asing berpenampilan jorok ini telah mengusik rasa ingin tahunya. Mungkin karena
Nobunaga dapat merasakan harapan yang menggelora dalam tubuh Hiyoshi.
"Apa maumu?" Suara itu membuat Hiyoshi hampir lupa pada rasa nyeri dan para pengawal.
"Ayah hamba mengabdi kepada ayah tuanku sebagai prajurit infanteri. Namanya Kinoshita Yaemon.
Hamba putranya, Hiyoshi. Setelah ayah hamba meninggal, hamba tinggal bersama ibu hamba di
Nakamura. Sejak semula hamba berharap bisa mendapat kesempatan mengabdi pada tuanku,
karena itu hamba berusaha mencari seorang perantara, tapi akhirnya ternyata tak ada jalan selain
mengajukan permohonan ini secara langsung. Hamba mempertaruhkan nyawa untuk ini. Hamba
bersedia dibunuh di sini juga. Jika tuanku berkenan menerima hamba sebagai pelayan, hamba rela
13 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mengorbankan nyawa untuk tuanku. Jika tuanku berkenan, terimalah satu-satunya nyawa yang
hamba miliki. Dengan cara ini, baik ayah hamba, yang berada di bawah rerumputan dan dedaunan,
maupun hamba sendiri, yang lahir di provinsi ini, akan dapat mewujudkan keinginan yang paling
hakiki." Kata-kata Hiyoshi meluncur cepat, hampir seperti ucapan orang kesurupan. Tapi
keinginannya yang menggebu-gebu berhasil menyentuh hati nurani Nobugana. Kesungguhan
Hiyoshi lebih mempengaruhi Nobunaga daripada kata-kata yang diucapkannya.
Ia melepaskan tawa terpaksa. "Aneh betul orang ini," ia berkata pada salah seorang pembantunya.
Kemudian, sambil kembali berpaling pada Hiyoshi, "Jadi, kau ingin mengabdi pada kami?"
"Ya, tuanku." "Keterampilan apa yang kaumiliki?"
"Hamba tidak mempunyai keterampilan, tuanku."
"Kau tidak mempunyai keterampilan, tapi ingin mengabdi pada kami?"
"Selain rela menyerahkan nyawa untuk tuanku, hamba tidak mempunyai bakat khusus."
Pandangan Nobunaga melekat pada Hiyoshi, sudut-sudut mulutnya mulai membentuk senyuman.
"Sudah beberapa kali kau menyapa kami dengan sebutan 'tuanku', padahal kau belum diizinkan
menjadi pengikut kami. Apa maksudmu menyebut kami seperti itu, padahal kau tidak mengabdi
pada kami?" "Sebagai warga Owari, hamba sejak semula beranggapan bahwa jika hamba suatu hari mengabdi
pada seseorang, orang itu pasti tuanku. Maafkan hamba telah bersikap lancang."
Nobunaga mengangguk-angguk dan berpaling pada Daisuke. "Orang ini cukup menarik," katanya.
"Memang." Daisuke menampilkan senyum dibuatbuat. "Permohonanmu dikabulkan. Kau diterima. Mulai hari ini, kau jadi pengikut kami."
Hiyoshi, penuh haru, tak sanggup mengungkapkan kegembiraannya.
Tidak sedikit pengikut Nobunaga yang terkejut, tapi sekaligus mengakui bahwa junjungan mereka
bersikap sesuai dengan wataknya.
Ketika Hiyoshi tanpa malu-malu memasuki barisan, mereka mengerutkan kening dan berkata, "Hei,
tempatmu paling belakang. Berpeganganlah pada buntut kuda beban."
"Ya, ya." Hiyoshi menurut dan mengambil tempat di buntut iring-iringan.
Ia merasa berada di negeri impian.
Ketika iring-iringan itu melanjutkan perjalanan ke Nagoya, semua jalan yang dilewati segera
melengang, seakan-akan dibersihkan oleh sapu. Laki-laki dan perempuan berlutut dan bersujud
rendah-rendah, sampai kepala menyentuh tanah, baik di depan rumah masing-masing maupun di
14 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tepi jalan. Nobunaga tak pernah menahan diri, bahkan di tempat umum sekalipun.
Ia berdeham pada waktu berbicara dengan para pengikutnya, sekaligus tertawa. Jika merasa haus,
ia makan semangka di atas pelana kudanya, lalu meludahkan biji-bijinya ke tanah.
Untuk pertama kali Hiyoshi menyusuri jalan-jalan ini. Pandangannya terus melekat pada punggung
junjungannya. Dalam hati ia berkata, "Akhirnya kutemukan jalannya. Inilah jalan yang harus
ku-tempuh." Benteng Nagoya muncul di hadapan mereka. Air di parit mulai berwarna hijau. Setelah melewati
Jembatan Karabashi, iring-iringan itu melintasi pekarangan luar, lalu menghilang melalui gerbang
benteng. Kelak tak terhitung lagi berapa kali Hiyoshi melewati jembatan dan gerbang ini.
*** Musim gugur telah tiba. Sambil menatap para penuai di sawah-sawah yang dilewatinya, seorang
samurai berbadan pendek melangkahkan kakinya ke arah Nakamura. Setelah tiba di rumah
Chikuami, ia memanggil dengan lantang, "Ibu!"
"Oh! Hiyoshi!" Ibunya telah melahirkan lagi. Sambil duduk di tengah-tengah kacang merah yang disebarkannya
agar mengering, ia menggendong bayinya, membiarkan kulitnya yang lembut terkena sinar
matahari. Roman mukanya berubah ketika ia menoleh dan melihat perkembangan yang telah terjadi
pada diri putranya. Apakah ia bahagia atau sedih" Matanya berkaca-kaca dan bibirnya gemetar.
"Ibu, ini aku. Semuanya baik-baik saja?"
Hiyoshi mengambil tempat di tikar jerami di samping ibunya. Bau susu tercium dari payudara
ibunya. Ibunya memeluknya seperti memeluk si bayi yang tengah menyusu.
"Ada apa lagi?" ia bertanya.
"Tidak ada apa-apa. Hari ini aku bebas tugas. Ini pertama kali aku meninggalkan benteng sejak aku
pergi ke sana." "Ah, bagus. Kau muncul begitu mendadak, jadi Ibu langsung mengira kau gagal lagi." Ia mendesah
lega, dan tersenyum untuk pertama kali sejak Hiyoshi tiba. Ia menatap putranya yang telah dewasa,
mengamati pakaian sutranya yang bersih, ikatan rambutnya, pedangnya yang pendek dan yang
panjang. Air mata mulai mengalir membasahi pipinya.
"Ibu, kini saatnya Ibu merasa bahagia. Akhirnya aku berhasil menjadi pengikut Nobunaga. Oh, aku
hanya masuk dalam kelompok pelayan, tapi sesungguhnya aku mengabdi sebagai samurai."
"Bagus." Onaka menempelkan lengan bajunya yang compang-camping ke wajah, tak sanggup
menegakkan kepala. Hiyoshi segera merangkulnya. "Untuk menyenangkan Ibu, pagi ini aku mengikat rambutku dan
15 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mengenakan pakaian bersih. Tapi aku takkan berhenti sampai di sini. Aku akan membuktikan
bahwa aku sanggup membuat Ibu betul-betul bahagia. Ibu, aku berdoa agar Ibu diberi umur
panjang!" "Waktu Ibu mendengar apa yang terjadi pada musim kemarau yang lalu... Ibu tak menyangka akan
melihatmu seperti ini."
"Tentunya Otowaka yang memberitahu Ibu."
"Ya, dia datang dan memberitahu Ibu bahwa kau berhasil menarik perhatian Yang Mulia, dan
diangkat menjadi pelayan di benteng. Kebahagiaan Ibu saat itu tak terlukiskan."
"Kalau hal kecil seperti itu saja sudah membuat Ibu bahagia, bagaimana di masa mendatang"
Pertama-tama aku ingin memberitahu Ibu bahwa aku diizinkan menggunakan nama belakang."
"Nama apa yang kaupilih?"
"Kinoshita, seperti ayahku. Tapi nama depanku diganti menjadi Tokichiro."
"Kinoshita Tokichiro."
"Betul. Nama yang bagus, bukan" Untuk sementara Ibu masih harus puas dengan rumah kumuh
dan pakaian usang ini, tapi bergembiralah. Ibu adalah ibu Kinoshita Tokichiro!"
"Belum pernah Ibu sebahagia sekarang." Kalimat ini diulanginya berkali-kali, dan setiap kata yang
diucapkan Tokichiro disambutnya dengan air mata. Tokichiro senang melihat ibunya begitu bahagia.
Siapa lagi di dunia ini yang akan sungguh-sungguh berbahagia karena hal yang demikian sepele"
Ia bahkan membayangkan bahwa tahun-tahun pengem-baraan, kelaparan, dan penderitaan ikut
memberikan sumbangan pada saat yang berbahagia ini.
"Oh, ya, bagaimana kabarnya Otsumi?" "Dia sedang membantu panen."
"Dia baik-baik saja" Dia tidak sakit, bukan?"
"Dia tetap seperti dulu," ujar Onaka, teringat masa remaja Otsumi yang tidak menyenangkan.
"Kalau dia kembali, tolong sampaikan bahwa penderitaannya takkan berlangsung untuk
selama-lamanya. Tak lama lagi, kalau aku sudah jadi orang, dia akan memiliki sabuk dari kain satin,
lemari berlaci dengan lambang emas, dan segala keperluan untuk pernikahannya. Ha... ha! Ibu
pasti berpikir aku hanya omong kosong, seperti biasanya."
"Kau sudah mau pergi lagi?"
"Peraturan benteng sangat ketat. Jadi," ia merendahkan suaranya, "tidak sepantasnya kita
mengulangi ucapan orang-orang yang menganggap Yang Mulia tak sanggup memimpin provinsi.
Sebenarnya, Tuan Nobunaga yang terlihat oleh umum dan Tuan Nobunaga di Benteng Nagoya
sangatlah berlainan."
"Mungkin memang begitu."
16 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Situasinya memilukan. Hanya segelintir saja orang yang bisa diandalkannya. Baik para
pengikutnya maupun saudara-saudaranya sendiri, sebagian besar dari mereka menentangnya.
Dalam usia sembilan belas tahun, dia seorang diri. Pendapat bahwa penderitaan petani-petani
kelaparan merupakan penderitaan paling memilukan, keliru sekali. Jika kita dapat memahami ini,
kita bisa lebih sabar. Kita tidak boleh menyerah hanya karena kita manusia. Kami sedang
menempuh jalan menuju kebahagiaan, junjunganku dan aku."
"Ibu turut bahagia, tapi kau tak perlu buru-buru. Tak jadi soal seberapa tinggi kedudukanmu kelak,
kebahagiaan Ibu tak mungkin lebih besar dari sekarang."
"Baiklah kalau begitu. Jaga diri Ibu baik-baik."
"Tak bisakah kau tinggal sebentar lagi, supaya kita bisa mengobrol lebih lama?"
"Tugas-tugasku sudah menunggu."
Ia bangkit sambil membisu dan meletakkan sejumlah uang ke tikar jerami ibunya. Kemudian ia
menatap pohon kesemek, bunga serunai di pagar, dan gudang penyimpanan di belakang.
Ia tidak kembali lagi tahun itu, tapi menjelang akhir tahun, Otowaka mengunjungi ibu Tokichiro,
membawakan sedikit uang, obat-obatan, dan kain untuk membuat kimono. "Dia masih pelayan,"
Otowaka melaporkan. "Dia bilang jika dia bisa mendapatkan rumah di kota, dia akan mengajak ibunya tinggal
bersama-sama setelah dia berumur delapan belas dan gajinya naik sedikit. Dia agak aneh, tapi
cukup ramah, dan dia disukai di sana. Dalam insiden sembrono di Sungai Shonai, dia beruntung
bisa lolos dari maut."
Tahun baru itu, Otsumi untuk pertama kali mengenakan pakaian baru.
"Adikku yang mengirimnya untukku, Tokichiro di Benteng Nagoya!" ia memberitahu semua orang.
Ke mana pun ia pergi, ia selalu saja mengulangi, "Adikku berbuat ini" dan "Adikku berbuat itu."
*** Terkadang suasana hati Nobunaga berubah. Ia jadi pendiam dan bermuram sepanjang hari.
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemurungan luar biasa ini seakan-akan merupakan upaya bawah sadar untuk mengendalikan sifat
lekas marahnya. "Bawa Uzuki ke sini!" ia tiba-tiba berseru pada suatu hari, lalu bergegas ke lapangan berkuda.
Ayahnya, Nobuhide, menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk berperang, nyaris tanpa
kesempatan untuk bersantai di benteng. Dalam setahun, lebih dari enam bulan ia habiskan untuk
berperang di barat dan timur.
Hampir setiap pagi ia menyempatkan diri mengadakan upacara peringatan bagi para leluhur,
menerima sembah sujud para pengikut, mendengarkan kuliah mengenai naskah-naskah kuno, dan
berlatih bela diri serta menangani urusan pemerintahan provinsinya sampai malam. Setelah
matahari tenggelam, ia mempelajari risalah-risalah mengenai strategi militer atau mengadakan
pertemuan dewan, atau berusaha menjadi kepala keluarga yang baik. Ketika Nobunaga
menggantikan ayahnya, kebiasaan ini berakhir.
17 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tidaklah sesuai dengan wataknya untuk setiap hari menjalani acara rutin yang ketat. Ia selalu
mengikuti kata hatinya, pikirannya menyerupai awan-awan di saat hujan badai yang turun
mendadak, ide-ide bermunculan tiba-tiba dan menghilang dengan tiba-tiba pula. Jiwa-raganya
seakan-akan berada di luar tata atur yang berlaku.
Hal ini memaksa pembantu-pembantunya untuk selalu berjaga-jaga. Hari itu ia sempat duduk
membaca buku, lalu pergi ke tempat sembahyang untuk berdoa bagi para leluhurnya. Dalam
keheningan tempat sembahyang, seruannya meminta kuda terasa mengejutkan bagaikan halilintar.
Para pembantunya tak dapat menemukan junjungan mereka di tempat mereka mendengar
suaranya. Mereka bergegas ke kandang dan mengikutinya ke lapangan berkuda. Ia tidak berkata
apa-apa, tapi ekspresi wajahnya menyalahkan mereka karena bergerak terlalu lamban.
Uzuki, kuda kesayangannya, berwarna putih. Jika Nobunaga merasa tidak puas dan memainkan
pecut, kuda tua itu beraksi tanpa semangat.
Nobunaga terbiasa menggiring Uzuki dengan menarik moncongnya, sambil mengeluh mengenai
kelambanan kuda itu. Kemudian ia akan berkata, "Beri dia air." Seorang tukang kuda lalu
mengambil sendok besar, membuka mulut Uzuki, dan menuangkan air ke dalamnya, dan Nobunaga
akan memasukkan tangannya ke dalam mulut kuda itu untuk meraih lidahnya.
Hari ini ia berkata, "Uzuki! Lidahmu bengkak. Pantas langkahmu jadi berat."
"Sepertinya dia memang kurang sehat." "Jadi, Uzuki pun sudah terpengaruh usia?"
"Dia sudah ada di sini sejak masa Yang Mulia ayah tuanku. Mestinya dia sudah cukup tua."
"Rasanya di Benteng Nagoya bukan Uzuki saja yang mulai tua dan lemah. Sepuluh generasi telah
berlalu sejak zaman shogun pertama, dan dunia sudah dikuasai oleh upacara dan tipu muslihat.
Semuanya sudah tua dan jompo!"
Ucapan Nobunaga lebih ditujukan pada dirinya sendiri. Ia melompat ke atas pelana, dan
mengelilingi lapangan berkuda. Bakatnya sebagai penunggang kuda tak diragukan lagi. Semula ia
berguru pada Ichikawa Daisuke, tapi belakangan ini ia lebih suka berkuda seorang diri.
Tiba-tiba Uzuki dan Nobunaga disusul oleh seekor kuda berwarna gelap yang dipacu dengan
kecepatan luar biasa. Tertinggal di belakang, Nobunaga menjadi geram dan mengikuti kuda itu
sambil berseru, "Goroza!"
Goroza berusia dua puluh empat tahun. Pemuda penuh semangat itu putra sulung Hirate
Nakatsukasa, dan menjabat sebagai kepala penembak Benteng Nagoya. Nama lengkapnya
Gorozaemon, dan ia memiliki dua adik, Kemmotsu dan Jinzaemon.
Nobunaga semakin gusar. Ia telah dikalahkan! Ini tak dapat diterima!
Uzuki dipecutnya dengan keras. Kuda itu berlari begitu kencang, hingga kakinya nyaris tak terlihat
menyentuh tanah, dan berhasil mendahului kuda Goroza.
Goroza berseru, "Hati-hati, tuanku, kukunya akan retak!"
18 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Ada apa" Kau tak sanggup mengimbangi kecepatannya?" balas Nobunaga.
Sambil menahan malu Goroza mulai mengejar, menusuk-nusuk kudanya dengan pijakan kaki. Kuda
Nobunaga terkenal dengan nama "Uzuki marga Oda", bahkan di antara musuh-musuh marga. Kuda
Goroza tak sanggup menyainginya, baik dari segi nilai maupun kemampuan. Namun kuda itu masih
muda, dan Goroza lebih pandai berkuda dibandingkan Nobunaga.
Jarak antara mereka terus mengecil, mulai dari dua puluh panjang badan, menjadi sepuluh, lalu
lima, lalu satu, dan kemudian sehidung. Nobunaga berusaha keras agar tidak tersusul, tapi ia
sendiri mulai kehabisan napas.
Goroza melewatinya, meninggalkan junjungannya terselubung awan debu.
Merasa dipermalukan, Nobunaga melompat turun. "Kaki kuda itu bagus," ia menggerutu. Tak
mungkin ia mengakui kekalahannya sebagai kesalahannya sendiri.
"Dia takkan gembira dikalahkan Goroza," salah seorang pembantunya berkomentar. Cemas karena
ledakan amarahnya tak terhindarkan, mereka bergegas ke arah junjungan mereka. Satu orang
mencapai Nobunaga sebelum yang lain, dan sambil berlutut menawarkan sendok air berlapis
sampang. "Seteguk air, tuanku?" Orang itu ternyata Tokichiro, yang belum lama ini diangkat menjadi pembawa
sandal. Meski jabatan "pembawa sandal" seakan-akan tak ada artinya, peningkatan jabatan dari
pelayan menjadi pembantu pribadi dalam waktu demikian singkat membuktikan bahwa Tokichiro
memperoleh perlakuan istimewa. Dalam waktu singkat Tokichiro telah maju pesat, dengan bekerja
keras dan menenggelamkan diri dalam tugas-tugasnya.
Meski demikian, junjungannya tidak memperhatikannya. Ia tidak menatap atau mengucapkan satu
suku kata pun. Ia meraih sendok air tanpa berkata apa-apa, menghabiskan airnya dengan sekali
teguk, lalu menyerahkannya kembali.
"Panggil Goroza!" ia memberi perintah.
Goroza sedang mengikat kudanya ke pohon di pinggir lapangan berkuda.
Ia langsung menanggapi panggilan Nobunaga dan berkata, "Aku memang bermaksud
menemuinya." Dengan tenang ia mengusap keringat pada wajah, mengatur pakaian, dan
merapikan rambutnya yang kusut. Goroza telah membulatkan tekad.
"Tuanku," kata Goroza, "rasanya hamba telah bersikap lancang." Ia berlutut. Kata-katanya
diucapkan dengan nada tenang.
Raut wajah Nobunaga melunak. "Aku puas berkejar-kejaran denganmu. Sejak kapan kau memiliki
kuda sehebat itu" Dan siapa namanya?"
Para pelayan menarik napas lega.
Goroza mengangkat kepala dan tersenyum. "Tuanku memperhatikannya" Kuda itu kebanggaan
hamba. Hamba bertemu pedagang kuda dari utara yang sedang dalam perjalanan ke ibu kota untuk
menjualnya pada seorang bangsawan. Harganya tinggi dan uang hamba tidak cukup, jadi hamba
19 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
terpaksa menjual warisan keluarga, sebuah cawan teh yang diberikan oleh ayah hamba. Cawan itu
bernama Nowake, dan nama itulah nama yang hamba pilih untuk kuda hamba."
"Hmm, kalau begitu tidaklah mengherankan kalau aku melihat kuda istimewa hari ini. Aku
menginginkan kuda itu."
"Tuanku?" "Aku mau membayar berapa saja yang kauminta, tapi kuda itu harus jadi milikku."
"Dengan segala hormat, hamba tak dapat memenuhi permintaan tuanku."
"Apakah aku tidak salah dengar?" "Hamba terpaksa menolak."
"Kenapa" Kau bisa membeli kuda bagus yang lain." "Kuda yang baik sulit didapat, seperti halnya
teman yang baik." "Justru karena itu kau sebaiknya menyerahkannya padaku. Saat ini aku sedang menginginkan kuda
kencang yang belum dipacu sampai batas kemampuannya."
"Hamba terpaksa menolak. Hamba menyayangi kuda itu, bukan demi kebanggaan dan kesenangan
hamba semata-mata, tapi juga karena di medan laga kuda itu memungkinkan hamba untuk
mengabdi tuanku dengan sebaik-baiknya, yang merupakan tujuan utama seorang samurai. Tuanku
menginginkan kuda itu, tapi tak ada alasan bagi seorang samurai untuk menyerahkan sesuatu yang
begitu penting baginya."
Diingatkan pada kewajiban seorang samurai untuk mengabdi pada junjungannya, Nobunaga tak
dapat memaksa Goroza untuk menyerahkan kuda itu, tapi ia pun tak sanggup menekan
keinginannya. "Goroza, kau sungguh-sungguh menolak permintaanku?"
"Hmm, dalam hal ini, ya."
"Kurasa kuda itu terlalu bagus untuk kedudukan sosialmu. Seandainya kau punya kedudukan
seperti ayahmu, kau dapat memiliki kuda seperti Nowake.
Tapi berhubung kau masih muda, kau belum pantas untuk itu."
"Dengan segala hormat, hamba terpaksa mengemukakan hal ini. Bukankah sayang jika seseorang
memiliki kuda sehebat Nowake, lalu hanya berkuda keliling kota sambil makan semangka dan buah
kesemek di atas pelana" Bukankah lebih baik jika Nowake ditunggangi prajurit seperti hamba?"
Akhirnya alasan sesungguhnya terungkap juga. Kata-kata yang meluncur dari mulutnya lebih
merupakan cerminan kejengkelan yang dialaminya setiap hari, daripada bukti perhatiannya pada
kuda itu. Hirate Nakatsukasa mengunci pintu dan mengurung diri di kediamannya selama lebih dari dua
puluh hari. Ia telah mengabdi pada marga Oda selama empat puluh tahun tanpa terputus, dan
mengabdi pada Nobunaga sejak Nobuhide berpesan menjelang ajalnya, "Aku mempercayakannya
kepadamu," lalu mengangkat Nakatsukasa sebagai wali Nobunaga, sekaligus sebagai pengikut
utama provinsi. 20 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Suatu hari, menjelang malam, ia menatap ke dalam cermin dan merasa terkejut betapa rambutnya
telah menjadi putih. Sesungguhnya memang sudah waktunya rambutnya menjadi putih. Usianya
sudah melewati enam puluh, tapi ia tak punya waktu untuk memikirkan umur. Ia menutup daun
cermin dan memanggil pelayannya, Amemiya Kageyu.
"Kageyu, kurirnya sudah berangkat?"
"Sudah, beberapa saat lalu hamba menyuruhnya berangkat."
"Kemungkinan besar mereka akan datang, bukan?" "Hamba kira mereka akan datang
bersama-sama." "Sake-nya sudah siap?"
"Sudah, Tuan. Hamba juga telah menyiapkan makanan."
Musim dingin sudah hampir berakhir, tetapi bunga-bunga prem masih menguncup. Cuaca tahun itu
teramat dingin, dan lapisan es tebal di kolam tak pernah mencair, biarpun sehari saja. Orang-orang
yang dipanggil Nakatsukasa adalah ketiga putranya yang masing-masing menempati rumah sendiri.
Berdasarkan kebiasaan yang berlaku, putra sulung serta adik-adiknya tinggal bersama ayah mereka
sebagai satu keluarga besar, tapi Nakatsukasa menginginkan mereka tinggal terpisah-pisah. Ia
tinggal seorang diri, dengan alasan bahwa tugas-tugasnya mungkin akan terbengkalai jika ia harus
memikirkan anak-anak dan cucu-cucunya. Ia telah membesarkan Nobunaga seperti putranya
sendiri, namun belakangan ini Nobunaga bersikap dingin terhadapnya. Nakatsukasa sempat
menanyakan kejadian di lapangan berkuda pada beberapa pelayan Nobunaga. Sejak itu ia tampak
seperti menahan malu. Goroza, sebagai orang yang menyulut ketidak-senangan Nobunaga, tidak lagi pergi ke benteng. Ia
menyendiri. Shibata Katsuie dan Hayashi Mimasaka, dua pengikut marga Oda yang sejak dulu
selalu menentang Nakatsukasa, menyadari kesempatan mereka, dan dengan mengangkat-angkat
Nobunaga mereka berhasil memperbesar jarak antara Nobunaga dan walinya. Posisi mereka
menjadi kuat karena mereka lebih muda, dan kekuasaan serta pengaruh mereka sedang menanjak.
Pengasingan selama dua puluh hari membuat Nakatsukasa tersadar akan usianya. Kini ia merasa
lelah, tanpa semangat untuk berselisih dengan orang-orang itu. Ia juga menyadari keterasingan
junjungannya, dan mencemaskan masa depan marga. Ia sedang membuat salinan rapi dari sebuah
dokumen panjang yang disusunnya sehari sebelumnya.
Udara cukup dingin untuk membekukan air di tempat tinta.
Kageyu memasuki ruangan dan berkata, "Gorozaemon dan Kemmotsu telah tiba." Mereka belum
mengetahui sebab mereka dipanggil, dan sedang duduk di dekat kompor arang, menunggu.
"Aku kaget, tak menyangka akan ada panggilan seperti ini. Aku langung khawatir dia jatuh sakit,"
ujar Kemmotsu. "Ya, ehm, kurasa dia sudah mendengar apa yang terjadi. Kelihatannya aku akan dimarahi
habis-habisan." "Kalau hanya untuk itu, dia pasti bertindak lebih cepat. Kupikir ada urusan lain lagi."
21 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Meski sudah dewasa sekarang, mereka tetap menganggap ayah mereka agak menakutkan. Mereka
menunggu dengan cemas. Putra ketiga, Jinzaemon, sedang dalam perjalanan ke provinsi lain.
"Hari ini dingin sekali, bukan?" ayah mereka berkomentar sambil membuka pintu geser.
Kakak-beradik itu menyadari betapa rambutnya bertambah putih, dan betapa badannya menjadi
kurus. "Ayahanda baik-baik saja?"
"Ya, aku baik-baik saja. Aku hanya ingin bertemu kalian. Ini mungkin pengaruh usiaku, tapi
kadang-kadang aku merasa kesepian sekali."
"Tak ada urusan mendesak yang harus segera diselesaikan?"
"Tidak, tidak. Sudah lama sekali kita tak pernah makan malam bersama sama dan mengobrol
sepanjang malam. Ha... ha! Bersantailah!" Sikapnya sama seperti biasanya. Di luar terdengar suara
benturan pada atap, barangkali hujan es, dan udara seakan-akan bertambah dingin. Berada
bersama ayah mereka membuat kedua putranya melupakan hawa dingin. Suasana hati
Nakatsukasa begitu cerah, sehingga Gorozaemon tidak menemukan kesempatan untuk memohon
maaf atas perbuatannya. Setelah piring-piring disingkirkan, Nakatsukasa memesan secawan teh
hijau yang sangat digemarinya.
Mendadak, seakan-akan cawan teh di tangannya membuatnya teringat sesuatu, ia berkata,
"Goroza, kudengar kau membiarkan cawan teh Nowake, yang kupercayakan padamu, jatuh ke
tangan orang lain. Betulkah itu?"
Goroza menanggapinya dengan terus terang. "Ya.
Ananda tahu cawan teh itu warisan keluarga, tapi ada seekor kuda yang sangat Ananda inginkan,
jadi Ananda menjual cawan itu untuk membelinya."
"Begitu" Hmm, bagus. Jika kau bersikap seperti itu, setelah aku tiada pun kau tentu takkan
mengalami kesulitan dalam mengabdi Yang Mulia."
Nada suaranya berubah tajam. "Pada waktu menjual cawan teh dan membeli kuda itu, sikapmu
patut dipuji. Tapi jika aku tidak salah dengar, kau mengalahkan Uzuki, dan ketika Yang Mulia
meminta kudamu, kau menolak. Betulkah itu?"
"Itulah sebabnya beliau kini tak senang terhadap Ananda. Ananda menyesal karena telah
menyebabkan banyak kesulitan bagi Ayahanda."
"Tunggu sebentar." "Ayahanda?"
"Jangan pikirkan aku! Mengapa kau menolak" Sikapmu sungguh tercela."
Gorozaemon tak dapat berkata apa-apa. "Hina!"
"Begitukah perasaan Ayahanda" Ananda sungguh menyesal."
"Kalau begitu, mengapa tidak kaukabulkan permintaan Yang Mulia?"
22 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Ananda seorang samurai yang rela menyerahkan nyawa jika junjungan Ananda menginginkan
demikian, jadi untuk apa Ananda bersikap kikir mengenai hal lain" Tapi Ananda membeli kuda itu
bukan demi kesenangan Ananda, melainkan agar Ananda dapat mengabdi sebaik-baiknya di
medan laga." "Aku tahu itu."
"Jika Ananda menyerahkan kuda itu, Tuan Nobunaga mungkin akan senang. Tapi Ananda tak dapat
menerima sikap mementingkan diri sendiri yang selalu ditampilkan beliau. Beliau melihat seekor
kuda yang lebih kencang daripada Uzuki dan mengabaikan perasaan para pengikutnya. Patutkah
itu" Bukan Ananda saja yang berpendapat bahwa marga Oda sedang terancam bahaya. Ananda
percaya bahwa Ayahanda lebih memahami persoalan ini dibandingkan Ananda. Meski beliau
terkadang seperti jenius, sikap beliau yang egois dan terlalu memberi hati patut disayangkan,
walaupun itu memang sudah watak beliau. Kami, para pengikut, semakin mencemaskan watak
beliau. Memenuhi setiap keinginannya memang tampak seperti kesetiaan, tapi sebetulnya itu tidak
baik. Karena itulah Ananda sengaja berkeras kepala."
"Tindakanmu keliru." "Begitukah?"
"Kau mungkin menganggap tindakanmu sebagai wujud kesetiaanmu, tapi sesungguhnya kau hanya
memperburuk watak beliau yang pada dasarnya sudah kurang baik. Aku menggendong beliau sejak
beliau masih bayi, bahkan lebih sering daripada putra-putraku sendiri. Aku tahu wataknya. Mungkin
saja beliau jenius, tapi beliau pun tak luput dari kekurangan. Bahwa kau menyinggung perasaan
beliau, itu tak ada artinya sama sekali."
"Mungkin saja. Ini tak pantas untuk dikatakan, tapi Kemmotsu dan aku, dan sebagian besar
pengikut, menyesalkan bahwa kami mengabdi pada si pandir ini. Hanya orang-orang seperti
Shibata Katsuie dan Hayashi Mimasaka yang gembira memiliki majikan seperti beliau."
"Itu tidak benar. Tak peduli apa yang dikatakan orang, aku tak percaya. Kalian semua harus
mengikuti Yang Mulia sampai pada saat terakhir, tak peduli apakah aku masih hidup atau sudah
tiada." "Jangan khawatir mengenai itu. Ananda tidak akan menyimpang dari prinsip-prinsip Ananda,
biarpun Ananda tidak disenangi oleh sang Junjungan."
"Hatiku tenang, kalau begitu. Tapi aku telah menjadi pohon tua. Seperti dahan-dahan cangkokan,
kalian harus menggantikan tempatku."
Ketika mereka merenungkan kemudian, Gorozaemon dan Kemmotsu menyadari bahwa banyak
sekali yang tersirat dalam ucapan Nakatsukasa pada malam itu, tapi mereka kembali ke rumah
masing-masing tanpa menyadari bahwa ayah mereka telah bertekad untuk mati.
Kematian Hirate Nakatsukasa diketahui keesokan paginya. Ia telah membelah perutnya secara
sempurna. Kedua putranya tidak menemukan penyesalan mau pun kegetiran di wajahnya yang
telah tak bernyawa. Ia tidak meninggalkan wasiat pada keluarganya - hanya sepucuk surat yang
ditujukan kepada Nobunaga. Setiap kata dalam surat itu mencerminkan kesetiaan mendalam dan
kekal ter-hadap junjungannya.
23 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ketika menerima kabar mengenai kematian pengikut utamanya, Nobunaga tampak amat terpukul.
Dengan kematiannya, Nakatsukasa telah memberikan peringatan kepada junjungannya. Ia
mengenal kejeniusan alami serta kekurangan-kekurangan Nobunaga, dan ketika Nobunaga
membaca surat itu, bahkan sebelum matanya mulai berkaca-kaca, dadanya serasa telah
ditusuk-tusuk rasa sakit setajam lecutan cemeti.
"Pak Tua! Maafkan aku!" ia tersedu-sedu. la telah menyakiti Nakatsukasa yang merupakan
pengikutnya, tetapi lebih dekat dengannya daripada ayahnya sendiri. Dan dengan insiden kuda itu,
ia telah memaksakan kehendaknya pada Nakatsukasa seperti biasa.
"Panggil Goroza!"
Ketika si Kepala Penembak bersujud, Nobunaga duduk di lantai, menghadapnya.
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pesan yang ditinggalkan ayahmu untukku membuat hatiku tersayat-sayat. Aku takkan pernah
melupakannya. Tak ada lagi yang dapat kukatakan untuk memohon maaf." Ia hampir bersujud di
depan Goroza, tetapi pemuda itu meraih tangannya dengan penuh hormat. Junjungan dan pengikut
saling berangkulan sambil berurai air mata.
Tahun itu, penguasa Oda mendirikan sebuah kuil di kota benteng, yang dipersembahkan untuk
keselamatan mendiang walinya. Ketika ditanya, "Kuil ini akan diberi nama apa" Sebagai pendiri,
tuanku perlu memberi pengarahan kepada biksu kepala untuk memilih sebuah nama," Nobunaga
menjawab, "Orang tua itu akan lebih senang dengan nama pilihanku." Ia meraih sebuah kuas dan
menulis, Kuil Seishu. Di kemudian hari, ia sering mendatangi kuil itu secara mendadak, meskipun ia jarang mengadakan
upacara peringatan atau duduk bersama para biksu dan membaca naskah sutra.
"Pak Tua! Pak Tua!" Sambil berjalan-jalan mengelilingi kuil, ia sering bergumam seorang diri, lalu
tiba-tiba kembali ke benteng. Kunjungan-kunjungan ini menyerupai tingkah orang tidak waras.
Pernah ketika sedang berburu dengan burung rajawali, ia mencabik-cabik tubuh seekor burung kecil
dan melemparkan dagingnya ke udara sambil berkata, "Pak Tua! Ambillah hasil tangkapanku!"
Pada kesempatan lain, waktu sedang memancing, ia mencemplungkan kakinya ke air dan berkata,
"Pak Tua! Jadilah Buddha!" Kegarangan dalam suara dan sorot matanya menimbulkan kecemasan
dalam hati para pembantunya.
*** Nobunaga merayakan ulang tahun kedua puluh satu pada tahun pertama Koji. Di bulan Mei ia
menemukan dalih untuk berperang melawan Oda Hikogoro, yang secara resmi menjabat sebagai
kepala marga Oda. Nobunaga menyerang benteng Hikogoro di Kiyosu, dan setelah
menaklukkannya, pindah dari Nagoya ke sana.
Tokichiro mengamati kemajuan majikannya dengan rasa puas. Nobunaga dikelilingi sanak saudara
yang memusuhinya - tak terkecuali paman-paman dan saudara-saudara kandung - dan
menyingkirkan mereka dari jalannya jauh lebih penting daripada menangani musuh-musuh lain.
"Dia harus diawasi!" Hikogoro telah memberi peringatan sejak jauh-jauh hari. Dengan
memanfaatkan setiap kesempatan untuk menekan Nobunaga, ia berencana untuk memusnahkan
Nobunaga. Penguasa Benteng Kiyosu, Shiba Yoshimune, dan putranya, Yoshikane, merupakan
24 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
pengikut setia Nobunaga. Ketika Hikogoro mengetahui ini, ia berseru geram, "Tak tahuterima kasih!"
dan memerintahkan Yoshimune dieksekusi. Yoshikane melarikan diri dan memperoleh perlindungan
dari Nobunaga, yang menyembunyikannya di Benteng Nagoya. Pada hari yang sama, Nobunaga
memimpin pasukannya dan menyerang Benteng Kiyosu, memacu semangat anak buahnya dengan
teriakan tempur, "Untuk membalas dendam atas pembunuhan sang gubernur! Untuk melakukan
serangan terhadap pemimpin marga, Nobunaga harus memiliki alasan kuat. Tetapi ini juga sebuah
kesempatan untuk menyingkirkan beberapa rintangan yang menghalangi jalannya. Ia mengangkat
pamannya, Nobumitsu, sebagai penguasa Benteng Nagoya, namun tak lama kemudian Nobumitsu
menjadi korban pembunuhan.
"Kau saja yang ke sana, Sado. Kau satu-satunya orang yang dapat mewakiliku di Benteng Nagoya."
Ketika Hayashi Sado menerima tugas itu, beberapa pengikut Nobunaga mendesah, "Ternyata dia
tetap saja si pandir. Begitu kita pikir dia mulai menunjukkan kebolehannya, dia melakukan suatu
kesalahan, seperti mempercayai Hayashi!"
Mereka mempunyai alasan untuk menaruh curiga pada Hayashi. Ketika ayah Nobunaga masih
hidup, tak ada pengikut yang lebih setia daripada Hayashi. Justru karena itu Nobuhide menunjuknya
dan Hirate Nakatsukasa sebagai wali anaknya setelah ia meninggal. Tapi karena Nobunaga
kemudian terbukti tak dapat diatur, Hayashi melepaskan segala harapannya. Ia malah bersekongkol
dengan adik laki-laki Nobunaga, Nobuyuki, dan ibunya, yang tinggal di Benteng Suemori, untuk
menggulingkan Nobunaga. "Rupanya Nobunaga tidak mengetahui pengkhianatan Hayashi," Tokichiro mendengar beberapa
pengikut yang cemas berbisik-bisik dalam lebih dari satu kesempatan. "Kalau dia mengetahuinya,
tak mungkin dia mengangkat Hiyashi sebagai penguasa Nagoya." Namun Tokichiro tidak
merisaukan junjungannya. Ia bertanya pada dirinya sendiri, bagaimana majikannya akan mengatasi
masalah ini. Sepertinya orang yang berwajah ceria di Kiyosu hanya Nobunaga dan salah seorang
pembawa sandalnya. Salah satu kelompok pengikut senior Nobunaga, termasuk Hayashi Sado, adik laki-lakinya,
Mimasaka, dan Shibata Katsuie, tetap memandang junjungan mereka sebagai orang pandir tanpa
harapan. "Aku mengakui, pada pertemuan pertama dengan ayah mertuanya, Nobunaga tidak
memperlihatkan tingkah hampa seperti biasanya. Tapi itu hanya karena keberuntungan
semata-mata. Dan selama percakapan resmi antara mereka, sikapnya begitu memalukan,
sampai-sampai ayah mertuanya pun terkejut. Seperti bunyi pepatah, 'Tak ada obat untuk orang
pandir.' Dan tindak-tanduknya setelah itu tak dapat dimaafkan, tak peduli dari sudut mana pun
orang melihatnya." Shibata Katsuie dan yang lain telah meyakinkan diri bahwa tak ada harapan
untuk masa depan, dan lambat laun pandangan mereka menjadi rahasia umum. Ketika Hayashi
Sado diangkat sebagai penguasa Nagoya, ia sering dikunjungi oleh Shibata Katsuie, dan dalam
waktu singkat benteng itu telah menjadi tempat persemaian komplotan pengkhianat.
"Hujannya terasa menyenangkan, bukan?"
"Ya, menurutku pemandangan laut bertambah menarik karenanya." Sado dan Katsuie sedang
duduk berhadap-hadapan di sebuah pondok teh yang dinaungi pepohonan, di pekarangan benteng.
Musim hujan telah berlalu, tapi hujan masih turun dari langit kelabu, menyebabkan buah prem yang
masih hijau berguguran. 25 Pendekar Bloon Undangan Maut m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Kemungkinan besok cuaca akan lebih cerah," saudara laki-laki Sado, Mimasaka, berkata pada
dirinya sendiri sambil berlindung di bawah dahan-dahan pohon prem. Ia keluar untuk menyalakan
lentera di taman. Setelah menghidupkannya, ia berhenti sejenak dan memandang berkeliling.
Akhirnya, ketika kembali ke pondok teh, ia melaporkan dengan suara rendah, "Semuanya tampak
aman. Tak ada siapa-siapa di sekitar sini, jadi kita bebas berbicara." Katsuie mengangguk.
"Baiklah, kalau begitu kita mulai saja. Kemarin aku diam-diam pergi ke Benteng Suemori. Aku
diterima oleh Tuan Nobuyuki dan ibu Nobunaga, dan aku membahas rencana-rencana kita dengan
mereka. Kini keputusan ada di tanganmu."
"Bagaimana tanggapan ibunya?"
"Dia sependapat dengan kita, dan tidak keberatan. Dia menganggap Nobuyuki lebih patut menjadi
penguasa daripada Nobunaga."
"Bagus. Dan bagaimana dengan Nobuyuki?"
"Dia mengatakan, jika Hayashi Sado dan Shibata Katsuie memberontak melawan Nobunaga,
dengan sendirinya dia akan bergabung dengan mereka, demi kebaikan marga."
"Kau mempengaruhi mereka, bukan?"
"Hmm, ibunya berbelit-belit, sedangkan Nobuyuki berhati lemah. Jika aku tidak menghasut mereka,
tak ada alasan bagi mereka untuk bergabung dengan kita." "Kita takkan kekurangan alasan untuk
menggulingkan Nobunaga, asalkan kita memperoleh persetujuan mereka. Di antara para pengikut,
bukan kita saja yang cemas melihat kebodohan Nobunaga dan memikirkan keselamatan marga."
'"Demi Owari dan seratus tahun lagi bagi marga Oda!' akan menjadi seruan pemacu semangat kita,
tapi bagaimana dengan persiapan-persiapan militer?"
"Kita mendapatkan kesempatan baik sekarang. Aku bisa bergerak cepat dari Nagoya. Jika
genderang perang berbunyi, aku akan siap."
"Bagus. Hmm, kalau begitu..." Katsuie mencondongkan tubuh ke depan.
Saat itu sesuatu jatuh ke tanah di pekarangan.
Ternyata hanya beberapa buah prem yang belum matang. Hujan berhenti sejenak, tetapi tetes-tetes
air yang terbawa angin masih berjatuhan ke atap pondok. Bagai seekor anjing, sebuah sosok
manusia merangkak dari kolong lantai. Buah-buah prem tadi tidak jatuh begitu saja. Orang
berpakaian serbahitam yang menyembulkan kepala dari bawah pondok, sengaja melemparkan
buah-buah itu. Ketika semua mata di dalam ruang berpaling, ia memanfaatkan kesempatan itu dan
menghilang ditelan angin dan kegelapan.
Ninja merupakan mata dan telinga bagi sang penguasa benteng. Setiap orang yang memimpin
sebuah benteng, te (http://cerita-silat.mywapblog.com)
26Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pendekar Bloon Neraka Neraka | http://cerita-silat.mywapblog.com | Pendekar Bloon Neraka Neraka pdf created by Saiful Bahri (Seletreng - Situbondo) pd 23-04-2016 08:24:04
rkungkung di dalam tembok-tembok dan terus-menerus dikelilingi pengikut, sangatlah tergantung
pada mata-mata. Nobunaga mempekerjakan ninja yang hebat. Bahkan pengikut-pengikut
terdekatnya pun tidak mengetahui jati diri orang itu.
Nobunaga mempunyai tiga pembawa sandal: Matasuke, Ganmaku, dan Tokichiro. Meskipun hanya
pelayan, mereka memiliki tempat tinggal terpisah dan secara bergantian bertugas di sekitar
pekarangan. "Ganmaku, ada apa?"
Tokichiro dan Ganmaku berteman dekat. Ganmaku sedang berbaring terbungkus selimut, tidur. Tak
ada yang lebih disukainya daripada tidur, dan ia menggunakan setiap kesempatan untuk
memejamkan mata. "Perutku sakit," Ganmaku berkata.
Tokichiro duduk di tepi tempat tidur. "Kau bohong. Aku baru kembali dari kota, dan dalam
perjalanan pulang kubeli makanan lezat."
"Apa?" Ganmaku menyembulkan kepalanya, tapi, menyadari bahwa ia dikelabui, segera kembali ke
bawah selimut. "Dasar! Jangan goda orang sakit. Ayo keluar dari sini. Kau menggangguku."
"Bangunlah. Matasuke tidak ada di sini, dan ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu."
Dengan enggan Ganmaku menyingkirkan selimutnya. "Orang memang tidak boleh tidur..."
Sambil mengumpat, ia berdiri dan keluar untuk berkumur dengan air yang mengalir dari mata air di
pekarangan. Tokichiro mengikutinya.
Pondok mereka gelap, namun letaknya tersembunyi di tengah-tengah pekarangan benteng.
Pemandangan ke arah kota membentang lebar, membuat hati meluap-luap.
"Ada apa" Apa yang ingin kautanyakan?" "Mengenai semalam."
"Semalam?" "Kau boleh pura-pura tak mengerti, tapi aku tahu semuanya. Kurasa kau pergi ke Nagoya."
"O ya?" "Kurasa kau pergi untuk memata-matai kegiatan di benteng dan mendengarkan pembicaraan
rahasia antara Hayashi Sado dan Shibata Katsuie."
"Sst, Monyet! Jaga mulutmu!"
"Hmm, kalau begitu, katakan yang sebenarnya. Jangan sembunyikan rahasia dari seorang sahabat.
1 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Aku sudah lama mengetahuinya, tapi tidak mengatakan apa-apa dan hanya memperhatikan
gerak-gerikmu. Kau ninja kepercayaan Tuan Nobunaga, bukan?"
"Tokichiro, matamu tak dapat dikelabui. Bagaimana kau tahu?"
"Kita berbagi tempat tinggal, bukan" Tuan Nobunaga juga sangat penting bagiku. Banyak orang
seperti aku merasa cemas mengenai Tuan Nobunaga, walaupun kami tidak memperlihatkannya."
"Itu yang ingin kautanyakan padaku?"
"Ganmaku, aku bersumpah demi dewa-dewa bahwa aku takkan memberitahu orang lain."
Ganmaku menatap Tokichiro dengan tajam. "Baiklah, aku akan menceritakannya. Tapi di siang hari
seperti sekarang, kita akan terlihat orang lain. Tunggu sampai waktunya tepat."
Ketika Ganmaku merasa keadaan sudah aman, ia memberitahu Tokichiro apa saja yang sedang
terjadi dalam tubuh marga. Dan dengan bekal pengertian serta simpati bagi keadaan sulit yang
dihadapi junjungannya, Tokichiro melayaninya dengan lebih baik lagi. Namun dalam pikirannya tak
sedikit pun terlintas rasa was-was untuk masa depan sang penguasa muda yang dikelilingi
pengikut-pengikut dengan rencana-rencana busuk.
Para pengikut Nobunaga akan membelot, dan hanya Tokichiro, pelayannya yang masih baru, yang
menaruh kepercayaan padanya.
Entah bagaimana tuanku akan mengatasi masalah ini, pikir Tokichiro.
Namun sebagai pelayan, perkembangannya hanya dapat ia awasi dari jauh.
Menjelang akhir bulan. Nobunaga, yang biasanya bepergian dengan beberapa pengikut saja,
secara tak terduga minta diambilkan kuda, lalu meninggalkan benteng. Jarak dari Kiyosu ke
Moriyama tidak terlalu jauh, dan ia selalu memacu kudanya ke sana dan kembali sebelum sarapan.
Namun pada hari itu Nobunaga membelok ke timur ketika mencapai persimpangan, dan membawa
kudanya menjauhi Moriyama.
"Tuanku!" "Mau ke mana lagi dia sekarang?" Terkejut dan bingung, lima atau enam pelayan berkuda
mengejarnya. Para prajurit infanteri dan pembawa sandal tentu saja tertinggal jauh, terseok-seok
menyusuri jalan. Hanya dua pelayannya, Ganmaku dan Tokichiro, meski semakin tertinggal, terus
berlari sekuat tenaga, bertekad agar kuda junjungan mereka tidak menghilang dari pandangan.
"Demi dewa-dewa! Kita akan mendapat kesulitan!" kata Tokichiro. Mereka saling pandang,
masing-masing menyadari bahwa mereka harus tetap berkepala dingin. Ini karena Nobunaga
sedang menuju Benteng Nagoya - yang menurut cerita Ganmaku pada Tokichiro merupakan
markas komplotan yang ingin menggantikan Nobunaga dengan adik laki-lakinya!
Nobunaga, dengan wataknya yang sukar ditebak, memacu kudanya ke tempat yang penuh bahaya,
di mana tak seorang pun tahu apa yang akan terjadi. Tak ada tindakan yang lebih berbahaya, dan
Ganmaku serta Tokichiro pun merisaukan keselamatan junjungan mereka.
2 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Namun yang paling dikejutkan oleh kunjungan tak terduga ini ternyata Hayashi Sado, sang
penguasa Benteng Nagoya, dan adik laki-lakinya.
"Tuanku! Tuanku! Cepat! Tuanku Nobunaga ada di sini!"
"Apa" Apa maksudmu?" Seakan tak percaya pada telinganya sendiri, ia tidak beranjak dari
tempatnya. Ini tak mungkin terjadi.
"Dia datang ke sini hanya dengan lima atau enam pengikutnya. Tiba-tiba saja mereka masuk lewat
gerbang utama. Dia sedang tertawa keras-keras mengenai sesuatu dengan para pengikutnya."
"Betulkah ini?"
"Hamba bersumpah! Ya!"
"Nobunaga di sini" Apa artinya?" Sado menjadi panik tanpa alasan.
Wajahnya memucat. "Mimasaka, menurutmu, apa yang diinginkannya?"
"Apa pun tujuannya, lebih baik kita segera menyambutnya."
"Ya. Cepat!" Ketika berlari menyusuri koridor utama, mereka sudah mendengar langkah Nobunaga dari arah
pintu masuk. Kakak-beradik itu menjatuhkan diri ke lantai.
"Ah! Sado dan Mimasaka. Kalian berdua baik-baik saja" Sebenarnya aku ingin berkuda ke
Moriyama, tapi kuputuskan untuk mampir ke Nagoya dulu untuk minum teh. Ah, segala sembah
sujud ini terlalu resmi. Lupakan formalitas. Cepat bawakan teh untukku." Sambil bicara ia bergegas
melewati mereka, lalu duduk di pelataran, di ruang utama benteng yang sangat dikenalnya.
Kemudian ia berpaling kepada para pengikut yang mengejarnya dengan napas tersengal-sengal.
"Panas sekali, ya" Betul-betul panas," katanya sambil mengipas-ngipas udara ke kerahnya yang
terbuka. Dalam waktu singkat teh telah disajikan, lalu kue-kue, dan kemudian bantal-bantal - urutannya
serba-kacau, karena semua orang dibuat bingung oleh kunjungan tak terduga ini. Hayashi Sado
dan adiknya segera menghadap dan menyembah, tanpa dapat mengabaikan kekalutan para
pelayan, lalu mengundurkan diri dari hadapan junjungan mereka.
"Sekarang sudah siang. Dia pasti lapar. Kemungkinan besar dia akan segera memesan makanan.
Pergi ke dapur dan suruh mereka menyiapkan sesuatu." Sementara Sado memberi perintah,
Mimasaka menarik lengan bajunya dan berbisik, "Katsuie ingin bertemu."
Hayashi mengangguk dan membalas perlahanlahan, "Aku segera datang. Kau duluan saja."
Hari itu Shibata Katsuie telah lebih dulu tiba di Benteng Nagoya. Sebetulnya ia sudah hendak pergi
setelah mengikuti pertemuan rahasia, tetapi kekacauan akibat kedatangan Nobunaga
menghalanginya berangkat.
3 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Terperangkap, ia, dengan tubuh gemetar, merangkak ke sebuah ruang rahasia. Sado dan
Mimasaka menemuinya di sana, dan menarik napas lega.
"Ini betul-betul di luar dugaan! Mengejutkan sekali!" kata Sado.
"Beginilah ciri khasnya," balas Mimasaka. "Kita tak pernah tahu apa yang akan dilakukannya! Tak
ada yang lebih buruk dari tingkah orang pandir!"
Sambil melirik ke arah ruangan tempat Nobunaga sedang duduk, Shibata Katsuie berkata,
"Mungkin karena itulah dia dapat mengecoh Saito Dosan, si musang tua itu."
"Mungkin saja," ujar Sado.
"Sado." Raut wajah Mimasaka tampak geram. Ia melihat berkeliling dan merendahkan suaranya,
"Bukankah paling baik kalau kita melakukannya sekarang?"
"Apa maksudmu?"
"Dia hanya disertai lima atau enam pelayan! Bukankah ini suatu anugerah dari dewa-dewa?"
"Membunuhnya?" "Tepat. Sementara dia makan, kita susupkan beberapa prajurit tangguh, dan pada waktu aku masuk
untuk melayaninya, kuberi aba-aba, dan kita membunuhnya."
"Tapi bagaimana kalau kita gagal?" tanya Sado. "Bagaimana bisa gagal" Kita siapkan orang-orang
di pekarangan dan di semua koridor. Mungkin akan ada beberapa korban, tapi kalau kita
menyerangnya dengan segenap kekuatan..."
"Bagaimana menurutmu, Sado?" Mimasaka bertanya dengan gelisah.
Hayashi Sado menundukkan kepala di bawah tatapan Katsuie dan Mimasaka. "Hmm, barangkali
inilah kesempatan yang kita tunggu-tunggu."
"Jadi, kita sepakat?"
Sambil saling menatap, ketiga laki-laki itu hendak bangkit. Ketika itulah mereka mendengar suara
langkah penuh semangat menyusuri koridor. Pada detik berikutnya, pintu geser membuka.
"Oh, kalian ada di sini. Hayashi! Mimasaka! Aku sudah selesai minum teh dan makan kue. Aku akan
kembali ke Kiyosu sekarang."
Lutut ketiga orang itu terasa berat, dan mereka gemetar ketakutan. Tiba-tiba Nobunaga melihat
Shibata Katsuie. "Hai! Kaukah itu, Katsuie?"
Nobunaga berkata sambil tersenyum di hadapan Katsuie yang langsung bersujud menyembahnya.
"Waktu aku tiba, aku sempat melihat kuda yang persis kuda milikmu. Rupanya memang kudamu?"
"Ya... hamba kebetulan lewat, tapi tuanku lihat sendiri, hamba mengenakan pakaian sehari-hari.
Karena itu hamba beranggapan bahwa hamba tidak pantas menghadap tuanku, dan menunggu di
4 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
belakang sini."
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus sekali, lucu sekali. Lihatlah diriku. Perhatikan betapa lusuhnya pakaianku."
"Maafkan hamba, tuanku."
Nobunaga menggelitik tengkuk Katsuie dengan kipasnya. "Dalam hubungan antara junjungan dan
pengikut, rasanya kurang akrab kalau kita terlalu memikirkan penampilan atau diperbudak oleh
sopan santun! Biar orang-orang istana dan di ibu kota saja yang memikirkannya. Bagi marga Oda,
tata krama samurai pedesaan sudah memadai."
"Ya, tuanku." "Ada apa, Katsuie" Kau gemetar."
"Perasaan hamba lebih kacau lagi, karena hamba mungkin telah membuat tuanku tersinggung."
"Ha... ha... ha... ha! Aku memaafkanmu. Berdirilah. Jangan, tunggu, tunggu. Tali sepatuku terbuka.
Tolong ikatkan, Katsuie, mumpung kau masih di bawah."
"Tentu, tuanku." "Sado." "Tuanku?"
"Aku telah mengganggumu, bukan?" "Tentu saja tidak, tuanku."
"Bukan aku saja yang mungkin datang secara tak terduga, tapi juga tamu-tamu dari provinsi musuh.
Waspadalah, kau yang bertanggung jawab!"
"Hamba tak pernah lengah, dari pagi sampai malam."
"Bagus. Aku patut bersyukur karena memiliki pengikut yang dapat diandalkan. Tapi ini bukan hanya
untuk aku saja. Kalau kau membuat kesalahan, orang-orang ini juga akan kehilangan kepala.
Katsuie, kau sudah selesai?"
"Tali sepatu tuanku sudah terikat." "Terima kasih."
Nobunaga meninggalkan ketiga laki-laki yang masih bersujud itu. Ia menuju pintu masuk lewat jalan
memutar dari koridor utama, lalu pergi.
Katsuie, Sado, dan Mimasaka saling tatap. Sesaat mereka tak sanggup bergerak. Namun, setelah
tersadar, mereka terburu-buru mengejar Nobunaga dan sekali lagi bersujud di pintu masuk. Namun
Nobunaga sudah tidak kelihatan. Para pengikutnya, yang selalu terlambat, berusaha agar tidak
ketinggalan lagi. Tapi, dari para pelayan, hanya Ganmaku dan Tokichiro yang muncul di belakang,
walaupun tak sanggup mengimbangi kecepatan junjungan mereka.
"Ganmaku?" "Hah?"
"Untung saja tidak terjadi apa-apa."
"Ya." Mereka bergegas mengikutinya, gembira karena melihat sosok junjungan mereka, jauh di
depan. Seandainya terjadi sesuatu tadi, mereka telah bersepakat untuk memberitahu Benteng
5 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Kiyosu dengan isyarat asap dari menara isyarat, dan jika perlu, membunuh para penjaga.
Benteng Nazuka merupakan titik penting dalam pertahanan Nobunaga, dan berada di bawah
pimpinan seorang saudaranya, Sakuma Daigaku. Suatu hari di awal musim semi, sebelum fajar,
orang-orang di benteng itu terjaga akibat kedatangan mendadak sejumlah prajurit. Mereka segera
bangkit. Pasukan musuhkah" Bukan, orang-orang itu ternyata sekutu mereka.
Di tengah kabut, seorang prajurit berseru dari menara pengintai. "Orang-orang di Nagoya
memberontak! Shibata Katsuie memimpin seribu orang, Hayashi Mimasaka lebih dari tujuh ratus!"
Benteng Nazuka kekurangan orang. Beberapa penunggang kuda diutus untuk menyampaikan
laporan ke Kiyosu. Nobunaga masih tidur. Tapi ketika mendengar berita itu, ia segera mengenakan
baju tempur, meraih tombak, dan berlari keluar tanpa dikawal seorang pengikut pun. Dan kemudian,
di depan Nobunaga berdiri seorang prajurit biasa, menunggu dengan kuda di Gerbang Karabashi.
"Ini kuda tuanku," ia berkata sambil menyerahkan tali kekang kepada Nobunaga.
Raut wajah Nobunaga tampak lain dari biasanya, seakan-akan terkejut karena didahului seseorang.
"Siapakah kau?" tanyanya.
Sambil melepaskan helm, prajurit itu hendak berlutut. Nobunaga sudah duduk di pelana. "Tidak
perlu. Siapakah kau?"
"Pembawa sandal tuanku, Tokichiro."
"Monyet?" Sekali lagi Nobunaga terheran-heran. Mengapa justru pembawa sandal ini, yang
sebenarnya bertugas di pekarangan, orang pertama yang siap bertempur" Perlengkapannya
sederhana, namun ia memakai pelindung dada, pelindung tulang kering, dan sebuah helm.
Nobunaga gembira sekali melihat penampilan Tokichiro.
"Kau siap bertempur?"
"Hamba menunggu perintah tuanku." "Baiklah! Ikuti aku!"
Nobunaga dan Tokichiro baru menembus kabut pagi yang sedang menipis sejauh dua atau tiga
ratus meter ketika mereka mendengar gemuruh dua puluh, tiga puluh, lalu lima puluh penunggang
kuda, diikuti empat ratus atau lima ratus prajurit infanteri yang mengubah kabut menjadi hitam.
Orang-orang di Nazuka telah bertempur dengan gagah berani. Nobunaga, seorang diri, menerjang
barisan musuh. "Siapa yang berani menentangku" Aku di sini, Sado, Mimasaka, Katsuie! Berapa orang yang kalian
lawan" Mengapa kalian memberontak terhadapku" Keluar dan bertempurlah, satu lawan satu!"
Suaranya yang menggelegar penuh amarah meredam teriakan para pemberontak. "Pengkhianat
semuanya! Aku akan menghukum kalian! Melarikan diri juga perbuatan membangkang!"
Mimasaka begitu ketakutan, sehingga lari menyelamatkan diri. Suara Nobunaga mengikutinya
bagaikan gemuruh. Ternyata orang-orang yang diandalkan Mimasaka pun masih menganggap
Nobunaga sebagai junjungan mereka. Ketika Nobunaga masuk ke tengah-tengah barisan dan
berbicara dengan mereka, orang-orang itu tak sanggup mengarahkan tombak kepadanya.
6 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tunggu! Pengkhianat!" Nobunaga menyusul Mimasaka yang tengah berusaha melarikan diri dan
menghabisinya dengan tombak. Sambil menghilangkan darah yang menempel, ia berpaling pada
anak buah Mimasaka dan menyatakan, "Walaupun dia memberontak terhadap junjungannya, dia
takkan pernah menjadi penguasa provinsi. Daripada diperalat oleh komplotan pengkhianat dan
membawa aib bagi anak-cucu kalian, lebih baik kalian minta ampun sekarang juga. Bertobatlah!"
Ketika mendengar bahwa sayap kiri pasukan pemberontak kocar-kacir dan Mimasaka tewas,
Katsuie mencari perlindungan di Benteng Suemori bersama ibu dan adik Nobunaga.
Ibu Nobunaga menangis dan menggigil ketika diberitahu bahwa pasukan mereka mengalami
kekalahan. Nobuyuki gemetaran. Katsuie, sang jendral pasukan pemberontak yang ditaklukkan,
berkata, "Sebaiknya kutinggalkan kehidupan duniawi." Ia mencukur kepala, melepaskan baju
tempur, dan memakai jubah biksu Buddha. Keesokan harinya, bersama Hayashi Sado dan
Nobuyuki serta ibunya, ia pergi ke Kiyosu untuk memohon ampun atas kejahatannya.
Permintaan maaf ibu Nobunaga sangat mengena. Setelah memperoleh pengarahan dari Sado dan
Katsuie, ia memohon agar ketiga laki-laki itu dibiarkan hidup. Berlawanan dengan dugaan mereka,
Nobunaga tidak marah. "Kumaafkan mereka," ia berkata pada ibunya, dan kepada Katsuie yang
bermandikan keringat ia bertanya, "Biksu, mengapa kaucukur kepalamu" Mengapa kau begitu
bingung?" Ia menampilkan senyum dibuat-buat dan berkata tajam pada Hayashi, "Kau juga. Ini tak
pantas bagi orang seusiamu. Setelah kematian Hirate Nakatsukasa, aku mengandalkanmu sebagai
tangan kananku. Aku menyesal telah menyebabkan kematian Nakatsukasa."
Kedua mata Nobunaga berkaca-kaca, dan sesaat ia terdiam. "Tidak, tidak. Akulah yang
menyebabkan Nakatsukasa bunuh diri dan kalian berkhianat. Mulai sekarang, aku akan
mempertimbangkan segala sesuatu dengan sungguh-sungguh. Dan kalian akan mengabdi padaku,
dengan sepenuh hati. Kalau tidak, percuma saja menjadi pejuang. Mana yang lebih patut bagi
seorang samurai, mengabdi pada junjungannya, atau menjadi ronin tak bertuan?"
Mata Hayashi Sado terbuka. Ia melihat seperti apa Nobunaga sesungguhnya, dan akhirnya
memahami bakat alamnya. Ia mengucapkan janji kesetiaan dengan tulus, dan mundur dari hadapan
Nobunaga, tanpa mengangkat kepala.
Namun rupanya adik Nobunaga sendiri tidak memahami semuanya ini. Nobuyuki memandang
rendah kemurahan hati Nobunaga dan berpikir, "Kakakku yang bengis tak bisa berbuat apa-apa
karena ibuku ada di sini."
Buta, dan terlindung oleh kasih sayang seorang ibu, Nobuyuki terus berkomplot. Nobunaga
menyesalkan dan berkata dalam hati, "Sesungguhnya aku rela menutup mata terhadap kelakuan
Nobuyuki. Tapi karena dia, banyak pengikutku mungkin membangkang dan khilaf dalam tugas
mereka sebagai samurai. Walaupun dia adikku, dia harus mati demi kebaikan marga." Setelah
menemukan dalih, Nobunaga menangkap Nobuyuki dan menghabisinya.
Sejak itu tak ada lagi yang menganggap Nobunaga orang pandir. Bahkan sebaliknya, semua orang
meringkuk ketakutan karena kecerdasan dan ketajaman matanya.
"Obatnya agak terlalu mujarab," Nobunaga terkadang berkomentar sambil tersenyum tajam. Namun
Nobunaga telah mengambil langkah-langkah persiapan. Sesungguhnya ia tidak bermaksud
mengelabui para pengikut dan sanak saudaranya dengan memainkan peran si pandir. Namun,
7 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
sejak kematian ayahnya, ia dibebani tanggung jawab untuk melindungi provinsi dari musuh-musuh
di semua penjuru. Ia memilih penyamarannya karena alasan keamanan. Ia terpaksa mengecoh
para pengikut dan sanak saudara untuk mengelabui musuh-musuhnya dan mata-mata mereka. Tapi
selama itu Nobunaga terus menambah pengalaman dengan mengamati keadaan sekitarnya.
Seandainya ia sejak semula menampilkan diri sebagai penguasa yang baik, musuh-musuhnya akan
memperoleh kesempatan untuk menyusun strategi baru.
*** Si kepala pelayan, Fujii Mataemon, menyerbu masuk dan memanggil-manggil Tokichiro yang
sedang beristirahat di dalam pondok. "Monyet, cepat."
"Ada apa?" "Kau disuruh menghadap."
"Hah?" "Tuan Nobunaga tiba-tiba menanyakanmu dan menyuruhku membawamu ke sana. Kau melakukan
kesalahan?" "Tidak." "Pokoknya cepat ke sana," Fujii mendesaknya, lalu bergegas ke arah tak terduga. Ada sesuatu
yang mengusik pikiran Nobunaga ketika ia memeriksa gudang-gudang, ruang-ruang dapur, serta
tempat-tempat penyimpanan kayu bakar dan arang pada hari itu.
"Hamba membawanya serta." Fujii bersujud ketika majikannya berjalan melewatinya. Nobunaga
berhenti. "Ah, kau membawanya ke sini?" Matanya tertuju pada Tokichiro yang menunggu di
belakang Fujii. "Monyet, majulah!"
"Tuanku?" "Mulai hari ini kutempatkan kau di dapur." "Terima kasih banyak, tuanku."
"Walau di sana bukan tempat kau bisa menonjolkan diri dengan tombak, dapur merupakan bagian
yang sangat penting dari pertahanan kita. Aku sadar bahwa kau tak perlu diberitahu, tapi bekerjalah
dengan tekun." Pangkat dan gaji Tokichiro segera dinaikkan. Sebagai petugas dapur, ia tidak lagi tergolong
pelayan. Namun pemindahan ke dapur dianggap memalukan bagi seorang samurai, dan dipandang
sebagai penurunan martabat.
"Dia berakhir di dapur." Tugas dapur dianggap hina oleh para prajurit, semacam tempat buangan
bagi orang-orang tanpa kemampuan.
Bahkan para pembantu rumah tangga yang lain serta para pelayan samurai pun memandang
rendah terhadap penugasan di dapur, sementara bagi para samurai muda, tempat itu tidak
menyimpan kesempatan atau harapan untuk maju. Mataemon bersimpati pada Tokichiro dan
8 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menghiburnya. "Monyet, kau dipindahkan ke tempat tugas yang kurang penting, dan aku bisa membayangkan
bahwa kau tidak puas. Tapi upahmu telah naik, bukankah itu berarti kau sudah maju sedikit"
Sebagai pembawa sandal, meski kedudukanmu rendah, terkadang kau bekerja di depan kuda
junjungan kita, dan masih ada harapan untuk naik pangkat. Di pihak lain, kau mungkin harus
merelakan nyawamu. Kalau kau di dapur, kau tidak perlu cemas mengenai hal-hal seperti itu. Tak
mungkin kau menjual sapi namun tetap mengharapkan susunya."
Tokichiro mengangguk dan menjawab, "Ya, ya." Tapi dalam hati ia tidak kecewa sama sekali. Justru
sebaliknya, ia gembira sekali karena kenaikan pangkat di luar dugaan ini. Ketika mulai bekerja di
dapur, hal-hal pertama yang diamatinya adalah suasana suram, lembap, dan jorok, serta
orang-orang menyedihkan yang menyiapkan makanan, yang tak pernah melihat matahari bahkan di
siang hari bolong, dan si kepala juru masak yang sudah tua, yang telah bekerja bertahun-tahun
tanpa istirahat di tengah-tengah bau air rebusan rumput laut.
Ini tak bisa dibiarkan, pikir Tokichiro. Ia tidak tahan berada di tempat-tempat muram. Bagaimana
kalau dibuat jendela besar di dinding sebelah sana, agar udara dan cahaya bisa masuk" Ia
bertanya dalam hati. Namun bagian dapur pun memiliki kebiasaan-kebiasaan tersendiri, dan karena
orang yang bertanggung jawab sudah tua, segala sesuatu menjadi masalah.
Tokichiro diam-diam memastikan seberapa banyak persediaan ikan asin telah busuk, serta
memeriksa bahan makanan yang setiap hari diantar oleh para pemasok. Tak lama setelah Tokichiro
ditugaskan di dapur, pedagang-pedagang itu sudah merasa lebih senang.
"Entah kenapa, kalau hamba tidak dibentak-bentak terus, hamba merasa wajib membawa
barang-barang yang lebih bermutu dan menurunkan harga," salah seorang saudagar berkata.
"Jika berhadapan dengan Tuan Kinoshita, seorang pedagang jadi merasa malu sendiri. Tuan
mengetahui harga sayur-mayur, ikan asin, dan beras! Tuan juga jeli dalam menilai barang-barang.
Kami gembira karena Tuan dapat menumpuk persediaan barang dengan harga begitu rendah."
Tokichiro tertawa dan berkata, "Omong kosong, aku bukan pedagang, jadi ini bukan masalah
kepandaian berdagang. Aku tidak bermaksud mencari keuntungan. Masalah sesungguhnya, bahan
pangan yang kalian antarkan dipakai untuk menyiapkan makanan anak buah tuanku. Hidup
seseorang tergantung pada apa yang dimakannya. Jadi, kelangsungan hidup benteng ini amat
tergantung pada makanan yang disiapkan di dapur. Tujuan pengabdian kita adalah menyajikan
yang terbaik untuk mereka." Sesekali ia mengajak para pemasok minum teh bersamanya, dan
ketika mereka mulai santai, ia akan menjelaskan berbagai hal pada mereka.
"Kalian pedagang, jadi setiap mengantarkan barang ke benteng, kalian langsung memikirkan
keuntungan yang akan kalian peroleh. Rasanya tak mungkin kalian merugi, tapi bayangkan apa
yang akan terjadi seandainya benteng ini jatuh ke tangan provinsi musuh" Bukankah kalian akan
kehilangan tagihan selama bertahun-tahun, baik pokok maupun bunganya" Dan jika benteng ini
diambil alih oleh jendral dari provinsi lain, posisi kalian pun akan digantikan oleh para saudagar
yang datang bersamanya. Jadi, kalau kalian menganggap marga tuanku sebagai akar, kita, sebagai
dahan-dahannya, akan tetap sejahtera. Bukankah ini cara terbaik untuk memandang masalah
keuntungan" Karena itu, keuntungan jangka pendek yang kalian peroleh dari barang-barang yang
kalian antarkan, tidak sejalan dengan kepentingan jangka panjang."
9 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tokichiro juga bersikap bijaksana terhadap si kepala juru masak. Ia selalu minta pendapat orang tua
itu, biarpun masalahnya sudah jelas. Ia patuh kepadanya, walaupun bertentangan dengan
pendapatnya sendiri. Tetapi di antara rekan-rekannya ada juga yang menyebarkan fltnah keji dan
ingin menyingkirkannya. "Dia sok sibuk."
"Dia selalu ikut campur." "Dasar monyet merepotkan."
Sepak terjang Tokichiro mengundang kejengkelan orang lain, namun ia menghadapi gosip seperti
itu dengan sikap tak peduli. Rencana renovasi dapur yang disusunnya disetujui oleh si kepala juru
masak maupun oleh Nobunaga. Ia menyuruh tukang kayu membuat lubang angin di langit-langit
dan melubangi dinding untuk memasang jendela besar. Pagi dan sore, sinar matahari membanjiri
dapur Benteng Kiyosu yang selama puluhan tahun begitu gelap, sehingga makanan harus dimasak
dengan bantuan cahaya lilin, bahkan di siang hari, dan bau pengap pun hilang terbawa embusan
angin sejuk. Tokichiro sudah siap menghadapi komentar-komentar bernada sumbang.
"Makanan cepat busuk." "Debunya kelihatan jelas."
Tokichiro tidak menanggapi keluhan-keluhan itu. Setelah itu, tempatnya menjadi bersih. Jika orang
dapat melihat sampah, mereka akan berusaha menguranginya. Setahun kemudian, dapur telah
menjadi tempat yang cerah dan terbuka dengan suasana sibuk, persis seperti wataknya sendiri.
Pada musim dingin itu, Murai Nagato, yang sampai saat itu bertugas sebagai pengawas arang dan
kayu bakar, diberhentikan, dan Tokichiro ditunjuk sebagai penggantinya. Mengapa Nagato dipecat"
Dan mengapa justru Tokichiro yang diangkat menjadi pengawas arang dan kayu bakar"
Tokichiro merenungkan kedua pertanyaan itu pada saat menerima penugasan dari Nobunaga. Aha!
Tuan Nobunaga ingin lebih menghemat arang dan kayu bakar. Ya, begitulah perintahnya tahun lalu,
namun rupanya langkah penghematan yang diambil Murai Nagato tidak berkenan di hatinya.
Tugas barunya membawa Tokichiro ke setiap sudut pekarangan benteng, ke semua tempat arang
dan kayu bakar digunakan - di ruang-ruang kerja, pondok-pondok istirahat, ruang-ruang
pendamping, di dalam dan di luar, di mana saja orang menyalakan api di musim dingin. Terutama di
tempat para pelayan dan barak-barak para samurai muda, tumpukan arang tampak membukit,
suatu bukti pengeluaran yang tidak perlu.
"Tuan Kinoshita datang! Tuan Kinoshita ada di sini!"
"Siapa Kinoshita ini?"
"Tuan Kinoshita Tokichiro, yang diangkat sebagai pengawas arang dan kayu bakar. Dia sedang
berkeliling sambil memasang tampang geram."
"Ah, monyet itu?" "Mana abunya?"
Terburu-buru para samurai muda menimbun arang yang sedang merah membara dengan abu, dan
mengembalikan arang yang masih hitam ke tempatnya. Mereka tampak puas dengan hasil usaha
10 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mereka. "Semuanya ada di sini?" Ketika Tokichiro masuk, ia berjalan melewati orang-orang yang
menggerombol, lalu menghangatkan tangannya di atas tungku. "Diriku yang tak berguna ini
diperintahkan mengawasi persediaan arang dan kayu bakar. Aku akan berterima kasih sekali jika
kalian bersedia membantu."
Para samurai muda bertukar pandang dengan gelisah. Tokichiro meraih jepitan besar yang
ditempatkan di tungku. "Udara tahun ini dingin sekali, bukan" Menimbun arang yang sedang membara seperti ini...
percuma saja kalau hanya jemari kalian yang hangat." Dicongkelnya arang merah. "Jangan terlalu
irit kalau membakar arang. Aku tahu jumlah arang yang boleh dipakai setiap harinya telah
ditetapkan, tapi rasanya tidak pada tempatnya kalau kita terlalu kikir. Jangan ragu-ragu membakar
arang. Ambillah sebanyak yang kalian perlukan dari gudang."
Ia mendatangi barak-barak para prajurit biasa dan para pelayan samurai. Semuanya dipersilakan
memakai arang sesuai kebutuhan. Padahal sebelumnya orang-orang itu didesak-desak untuk
berhemat! "Dia amat bermurah hati sejak menempati posisinya yang baru, bukan" Barangkali Tuan Kinoshita
menjadi besar kepala karena kenaikan pangkat yang tiba-tiba ini. Tapi kalau kita terlalu mengikuti
anjurannya, janganjangan justru kita yang akan dimarahi habis-habisan."
Setelah dipersilakan memakai arang sebanyak-banyaknya, para pengikut malah menetapkan
batas-batas sendiri.
Taiko Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Biaya tahunan untuk arang dan kayu bakar di Benteng Kiyosu melebihi seribu gantang padi. Setiap
tahun banyak sekali pohon ditebang dan diubah menjadi abu. Selama dua tahun masa jabatan
Murai Nagato, tidak ada penghematan sama sekali. Justru sebaliknya, biayanya semakin
meningkat. Dan yang paling parah, seruannya untuk berhemat malah mengusik dan mengganggu ketentraman
para pengikut. Langkah pertama Tokichiro adalah membebaskan para pengikut dari tekanan ini.
Kemudian ia menghadap Nobunaga dan menyampaikan usul sebagai berikut: "Di musim dingin,
para samurai muda, para prajurit biasa, dan para pelayan menghabiskan hari-hari mereka di dalam
ruangan sambil makan, minum, dan bersenda gurau. Sebelum menyuruh mereka menghemat arang
dan kayu bakar, dengan segala kerendahan hati hamba mengusulkan agar tuanku lebih dulu
mengambil tindakan untuk mengatasi kebiasaan-kebiasaan buruk ini."
Nobunaga segera memberikan perintah kepada para pengikut seniornya. Mereka mengumpulkan
kepala pelayan dan para komandan pasukan infanteri dan membahas kewajiban para pengikut di
masa damai: perbaikan perlengkapan tempur, kuliah, meditasi Zen, dan perjalanan inspeksi mengelilingi provinsi.
Kemudian, yang paling penting, latihan militer dengan senjata api dan tombak, pekerjaan perbaikan
benteng, dan untuk para pelayan, jika mereka mempunyai waktu, pemasangan tapal kuda.
Tujuannya" Agar mereka tidak bersantai-santai. Bagi seorang komandan militer, para samurainya
sama pentingnya seperti anak-anaknya sendiri. Ikatan antara junjungan dan pengikut yang telah
bersumpah setia sama kuatnya seperti ikatan darah antara sanak saudara.
11 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Di hari pertempuran, orang-orang itulah yang akan mengorbankan nyawa mereka di depan
matanya. Jika ia tidak menyayangi mereka, atau jika kasih sayang dan kebajikan itu tidak dirasakan,
takkan ada prajurit gagah berani yang rela mati untuknya. Karena itu, mudah sekali bagi seorang
pemimpin untuk bersikap terlalu baik hati di masa damai.
Nobunaga menjalankan jadwal kegiatan harian dengan ketat, sehingga tidak tersisa waktu luang
untuk para pengikutnya. Selain itu, ia juga memerintahkan agar para pelayan wanita yang
menangani pekerjaan rumah tangga menjalani latihan di mana mereka berpura-pura terkurung
dalam benteng yang sedang dikepung pasukan musuh. Dengan demikian, seisi benteng tidak
mempunyai kesempatan untuk bersantai. Ini tentu saja juga berlaku untuk dirinya sendiri.
Kalau Tokichiro berada di sekitarnya, wajahnya menjadi cerah.
"Monyet, bagaimana perkembangannya?"
"Baik. Perintah tuanku sudah mulai menunjukkan hasil, tapi masih banyak yang harus dikerjakan."
"Belum cukup juga?"
"Masih banyak yang harus dibenahi." "Apa yang masih kurang?"
"Cara hidup di benteng masih harus diperkenalkan kepada para warga kota."
"Hmm, betul juga." Nobunaga mendengarkan Tokichiro. Para pengikutnya selalu
memperhatikannya dengan tampang masam dan tidak setuju. Sedikit sekali ada orang seperti
Tokichiro, yang dalam waktu begitu singkat memperoleh kenaikan status demikian pesat, mulai dari
tinggal di barak pelayan sampai diperkenankan duduk di depan Nobunaga, dan lebih sedikit lagi
orang yang bisa menghadap sang Penguasa untuk menyampaikan saran.
Tak mengherankan kalau mereka mengerutkan kening, seakan-akan perbuatan Tokichiro telah
melewati batas. Namun yang jelas, pemakaian arang dan kayu bakar, yang tahun lalu mencapai
lebih dari seribu gantang padi, telah berkurang banyak pada pertengahan musim dingin.
Karena para pengikut tidak memiliki waktu luang, mereka tidak bersantai-santai di depan tungku,
mengambur-hamburkan arang. Kalaupun ada sedikit waktu kosong, orang-orang tidak memerlukan
api untuk menghangatkan badan, karena mereka bergerak terus dan melatih otot-otot tanpa henti,
sehingga bahan bakar hanya digunakan untuk memasak. Bahan bakar yang semula habis dipakai
dalam tiga puluh hari, kini cukup untuk tiga bulan.
Meski demikian, Tokichiro belum puas dengan hasil yang dicapainya.
Kontrak-kontrak pengadaan arang dan kayu bakar diberikan pada musim panas tahun berikutnya.
Bersama kelompok pemasok, ia berangkat untuk mengadakan peninjauan tahunan yang sampai
saat ini hanya menjadi formalitas belaka. Kegiatan para pejabat yang menanganinya terbatas pada
bertanya berapa jenis pohon ek yang terdapat di bukit ini, dan berapa di bukit itu. Diantar oleh para
pemasok, Tokichiro mencatat segala sesuatu yang dilihatnya dengan teliti. Ia yakin bahwa ia dapat
memahami keadaan di desa-desa dan kota-kota, namun, karena kurang pengalaman, ia tak dapat
memastikan berapa jumlah bahan bakar yang mungkin diperoleh dari satu bukit, menebaknya pun
ia tak sanggup. Dan ia harus mengakui bahwa seluk-beluk pembelian arang dan kayu bakar berada
12 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
di luar jangkauannya. Sama seperti para pejabat sebelumnya, ia mengikuti acara peninjauan sambil bergumam, "Hmm,
hmm. Begitukah" Ya, ya." Sesuai kebiasaan, seusai peninjauan para pemasok mengundang sang
pejabat untuk menghadiri jamuan makan malam di rumah tokoh masyarakat setempat. Sebagian
besar waktu dihabiskan dengan berbasa-basi.
"Terima kasih atas kesediaan Tuan mengunjungi tempat terpencil ini."
"Tak banyak yang dapat kami sajikan, tapi harapan kami, Tuan merasa seperti di rumah sendiri."
"Semoga di masa mendatang kami tetap berkenan di hati Tuan."
Satu per satu mereka menyanjung Tokichiro. Tentu saja sake-nya disajikan oleh gadis-gadis cantik.
Mereka terus berada di sisinya, membilas cawannya, mengisinya kembali, dan menawarkan aneka
hidangan lezat. Setiap permintaan Tokichiro langsung dipenuhi. "Ah, sake ini lezat sekali," katanya.
Ia sedang bergembira, tak ada alasan untuk bersikap lain. Minyak wangi yang dipakai gadis-gadis
itu seakan-akan mengusap hidungnya dengan lembut. "Mereka cantikcantik," ia berkata. "Semuanya."
"Yang Mulia suka perempuan?" salah seorang pemasok bertanya dengan riang.
Tokichiro membalas dengan nada serius, "Aku suka perempuan dan sake. Segala sesuatu di dunia
itu baik. Tapi kalau kita tidak hati-hati, hal-hal yang paling baik pun bisa berbalik dan mencelakakan
kita." "Silakan nikmati sake, dan juga kembang-kembang muda itu."
"Terima kasih. Ehm, karena kalian sepertinya canggung untuk membicarakan bisnis, biar aku saja
yang mengawalinya. Tolong tunjukkan daftar pohon bukit yang kita datangi tadi!" Mereka segera
mem- bawanya untuk diperiksa oleh Tokichiro. "Ah, mendetail sekali," ia berkomentar. "Apakah ada
perbedaan dalam jumlah pohon?"
"Tidak ada," mereka meyakinkannya.
"Di sini tertulis bahwa delapan ratus gantang telah diantarkan ke benteng. Mungkinkah sedemikian
banyak arang dan kayu bakar berasal dari bukit sekecil itu?"
"Pembelian tahun ini menurun dibandingkan tahun lalu. Ya, semuanya berasal dari bukit yang kita
tinjau tadi." Keesokan paginya, ketika para pedagang hendak menghadap, mereka diberitahu bahwa Tokichiro
telah berangkat ke bukit sebelum fajar. Langsung saja mereka menyusul ke sana. Mereka
menemukannya sedang mengawasi sekelompok prajurit, petani setempat, dan penebang pohon.
Semuanya membawa potongan-potongan tali, masing-masing sepanjang satu meter.
Mereka mengikat satu potongan tali ke setiap pohon. Karena mereka mengetahui jumlah potongan
13 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tali, pada waktu mereka selesai dan mengadakan penghitungan, mereka dapat menentukan jumlah
pohon di bukit itu. Ketika membandingkan jumlah pohon dengan angka yang tertulis dalam daftar, Tokichiro
mendapatkan perbedaan mencolok.
Ia duduk di sebuah tunggul pohon. "Panggil para pemasok ke sini," ia berkata pada salah seorang
anak buahnya. Para pedagang bahan bakar bersujud di hadapannya. Jantung mereka berdebar-debar karena
membayangkan apa yang akan terjadi. Tak peduli berapa kali diadakan peninjauan, jumlah pohon
di atas bukit bukanlah sesuatu yang dengan mudah dapat ditentukan oleh seorang amatir, dan
sampai saat ini, para pengawas persediaan bahan bakar selalu mempercayai angka yang tertera
dalam daftar. Kini para pemasok berhadapan dengan seorang pejabat yang tak dapat dikelabui.
"Bukankah angka di daftar ini berbeda sekali dengan jumlah pohon sesungguhnya?"
Mereka menjawab ya, tapi dengan ragu-ragu dan penuh ketakutan.
"Apa maksud kalian, 'ya'" Kenapa bisa begitu" Kalian lupa betapa lama Yang Mulia telah menjadi
pelanggan kalian" Kalian penuh kepalsuan dan tidak menunjukkan rasa terima kasih. Hanya
keuntungan semata-mata yang kalian pikirkan. Kebohongan kalian jelas-jelas tertulis di sini."
"Rasanya tuduhan Yang Mulia agak berlebihan, bukan?"
"Angka-angkanya berbeda. Aku ingin tahu kenapa. Berdasarkan daftar ini, hanya enam puluh atau
tujuh puluh gantang dari setiap seratus yang dipesan - artinya, hanya enam ratus atau tujuh ratus
dari setiap seribu - yang betul-betul diantarkan ke gudang."
"Tidak, ehm, yah, kalau dilihat begitu..."
"Diam! Tak ada alasan bagi orang-orang yang memasok bahan bakar dari bukit ini untuk melakukan
penipuan besar seperti ini selama bertahun-tahun. Jika dugaanku betul, kalian telah menipu para
pejabat dan menggelapkan uang provinsi."
"Kami... kami tidak tahu harus berkata apa." "Seharusnya kalian diadili karena perbuatan kalian, dan
seluruh harta kalian disita. Namun para pejabat terdahulu pun ikut bersalah. Karena itu, untuk kali
ini kalian takkan dituntut... tapi dengan syarat sebagai berikut: kalian harus mencantumkan jumlah
pohon yang sesungguhnya. Dan awas saja kalau angka yang kalian ajukan secara tertulis
menyimpang dari kenyataan. Jelas?"
"Ya, Yang Mulia." "Ada satu syarat lagi." "Yang Mulia?"
"Ada pepatah lama: 'Jika satu pohon kautebang, tanamlah sepuluh.' Berdasarkan yang sejak
kemarin kulihat di bukit-bukit ini, pohon-pohon ditebang setiap tahun, tapi hampir tak ada yang
ditanam. Kalau ini berlanjut terus, akan terjadi banjir, dan sawah-sawah serta ladang-ladang di kaki
bukit-bukit ini akan hancur. Seluruh provinsi akan menjadi lemah, dan jika itu sampai terjadi,
kalianlah yang akan menderita akibatnya. Kalau kalian benar-benar ingin mendapatkan keuntungan,
kalau kalian mengharapkan kemakmuran sejati bagi keluarga kalian dan menginginkan
kebahagiaan bagi anak-cucu kalian, bukankah hal pertama yang harus kalian pikirkan adalah
14 Pendekar Bloon Neraka Neraka m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
bagaimana membuat provinsi lebih kuat?"
"Ya," mereka sependapat.
"Sebagai denda dan hukuman atas keserakahan kalian, mulai sekarang kalian harus menanam lima
ribu bibit untuk setiap seribu pohon yang kalian tebang. Camkan perintah ini! Kalian setuju?"
"Kami berutang budi pada Yang Mulia. Kami bersumpah untuk menanam bibit pohon sebanyak itu."
"Kalau begitu, aku akan menaikkan pembayaran untuk kalian sebanyak lima persen."
Beberapa saat kemudian, ia memberitahu para petani yang membantunya bahwa ia telah
memerintahkan para pemasok bahan bakar untuk mengadakan penghijauan. Upah yang akan
diterima para petani untuk menanam seratus bibit masih harus ditentukan, tapi kemungkinan besar
biayanya akan ditanggung oleh benteng. Setelah menjelaskan hal itu, ia berkata, "Mari kita
kembali." Para pemasok merasa lega karena sikap yang diambil Tokichiro. Ketika menuruni bukit, mereka
saling berbisik, "Ini betul-betul di luar dugaan. Kalau berurusan dengan orang itu, sedetik pun kita
tak boleh lengah." "Dia sangat cerdik."
"Walaupun kita takkan mendulang uang seperti dulu, kita juga tidak akan rugi."
Begitu sampai di kaki bukit, para pemasok ingin segera kembali ke rumah masing-masing, tapi
Tokichiro hendak membalas jamuan mereka semalam. "Urusan kita sudah tuntas. Sekarang kita
bisa bersantai bersama-sama," ia berkeras.
Ia menjamu mereka di sebuah kedai minum setempat, dan minum sake sampai kepalanya terasa
ringan. *** Tokichiro bahagia. Seorang diri, tapi bahagia. "Monyet!" ujar Nobunaga - kadang-kadang ia masih
Rahasia Ranjang Setan 2 The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero Lovasket 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama