Ceritasilat Novel Online

The Harsh Cry Of Heron 10

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn Bagian 10


Hana mengelitik si bayi dan membuatnya tertawa cekikikan dan menggeliat-geliat. Tatapan
penuh kasih sayang terlukis di wajah ibu dan bibinya.
"Bukankah sudah kukatakan," ujar Hana, "Tidak ada yang bisa mengalahkan perasaan memiliki
anak laki-laki." "Benar," sahui Kaede. "Aku tidak tahu kalau aku bisa merasa seperti ini." Dipeluk?nya bayi itu
eraterat, wajahnya nampak gembira dengan perasaan cinta.
Maya merasakan kebencian yang tak pernah dirasakan seumur hidupnya, seakan hatinya
hancur dan darah mendidih dalam dirinya. Apa yang akan kulakukan" pikirnya.
Aku harus berusaha menemui Ibu tanpa ada orang lain. Apakah Ibu mau mendengarkanku" Apa
seharusnya aku kembali pada Miki saja" Pergi ke kastil menemui Lord Endo" Tidak, aku harus
menemui Ibu dulu. Tapi jangan sampai Hana curiga kalau aku ada di sini
Maya menunggu tanpa suara di taman sewaktu matahari terbenam. Kunang-kunang menari di
atas sungai, dan rumah berkilauan dengan cahaya lentera. Ia mencium bau makanan di ruangan di
lantai atas, men?dengar kedua bocah berbicara saat makan. Kemudian pelayan muda membawa
nampan kembali ke dapur, dan tempat tidur digelar.
Kedua bocah itu tidur di bagian belakang rumah, tempat para pelayan beristirahat saat tugas
mereka selesai. Hana dan Kaede tidur di kamar atas bersama si bayi.
Saat rumah sudah sunyi, Maya mem?beranikan diri masuk. Dilewatinya nightingale floor tanpa
suara karena sudah begitu terbiasa. Ia berjingkat menaiki tangga dan menyaksikan ibunya menyusui
si bayi. Maya merasakan kehadiran yang akrab di sampingnya. Dia menengok ke belakang dan melihat
hantu perempuan itu, Yusetsu. Prempuan itu tak lagi memakai jubah mantel
bertudung namun berpakaian putih orang mati, seputih dagingnya. Napasnya terasa dingin
dan berbau tanah, dan perempuan itu memandang pada si ibu dan anak dengan tatapan iri yang
begitu jelas terpancar di wajahnya.
Kaede menyelimuti si bayi rapat-rapat lalu membaringkannya.
"Aku harus menulis surat untuk suamiku," tuturnya pada Hana. "Panggil aku kalau bayinya
terbangun." Kaede berjalan menuruni tangga menuju bekas kamar Ichiro, tempat catatan dan alat tulis
disimpan, seraya memanggil Haruka untuk membawakan lentera.
Seka rang aku harus menemui Ibu, pikir Maya.
Hana duduk di sisi jendela yang terbuka, menyisiri rambut panjangnya; sambil
menyenandungkan nina bobo untuk dirinya sendiri. Lentera menyala di sebuah rak besi.
Halaman 717 dari 717 Hana bernyanyi: Tulislah surat untuk suamimu,
Kakakku yang malang. Dia tak akan menerima surat-suratmu.
Dia tidak layak mendapatkan cintamu.
Kau akan segera tahu Laki-laki macam apa dia.
Alangkah beraninya dia bernyanyi seperti itu, di rumah Ayahku! pikir Maya. Gadis itu bimbang
antara keinginan untuk menyerang Hana saat itu juga atau ke bawah untuk menemui ibunya.
Hana berbaring, kepalanya berada di atas bantal kayu.
Aku bisa bunuh dia sekarang! pikir Maya, sambil meraba pisaunya. Dia pantas mati! Tapi
kemudian bcrpikir kalau sebaiknya membiarkan agar ayahnya yang menghukum bibinya itu. Maya hendak
keluar kamar ketika si bayi menggeliat. Maya berlutut di sampingnya. Bayi itu menangis
pelan. Mata?nya terbuka dan membalas tatapan Maya.
Dia bisa melihatku! pikirnya kaget. Maya tak ingin si bayi benar-benar terbangun. Lalu ia
sadar kalau ia tak bisa berhenti menatap si bayi. Maya tak bisa mengendalikan apa yang sedang
dilakukannya. Ditatap mata adiknya dengan tatapan Kikuta, dan si bayi ter?senyum satu kali ke arahnya lalu
tertidur, dan tidak pernah bangun lagi.
Yuki berkata di sampingnya, Ayo, kita bisa pergi sekarang.
Seketika itu juga Maya memahami kalau ini adalah bagian dari balas dendam perempuan itu,
balas dendam terhadap ibu?nya, pembalasan keji atas kecemburuan yang sudah sekian lama. Lalu
menyadari kalau ia telah melakukan tindakan yang tidak ter?maafkan, bahwa tidak ada lagi
tempat baginya kecuali di dunia tempat para hantu berkeliaran. Bahkan Miki pun tak akan bisa
menyelamatkannya saat ini. Dipanggilnya si kucing dan dibiarkannya mengambil alih dirinya,
kemudian melompat menembus dinding, berlari menyeberangi sungai, masuk ke dalam hutan
dan berpikir lagi, kembali ke Hisao.
Yuki mengikutinya, melayang di atas tanah, dengan hantu bayi dalam pelukan?nya. "*
Bayi laki-laki Kaede mati sebelum bulan purnama pertengahan musim panas. Bayi memang
mudah mati, tidak ada orang yang kaget: saat musim panas bayi mati karena penyakit atau wabah,
saat musim dingin karena flu. Biasanya dianggap bijaksana untuk tidak terlalu terikat pada anakanak
karena sedikit yang bisa bertahan melewati masa bayinya; Kaede berjuang mengendali?kan
dan membendung kesedihannya, menyadari bahwa sebagai orang yang mewakili ketidakhadiran
suaminya, ia tidak boleh patah semangat. Walau sebenarnya ia lebih ingin mati.
Direnungkanya berulang kali apa kesalahannya hingga menyebabkan kehilangan yang tak tertahankan ini.
Apakah ia memberi makan terlalu banyak. atau terlalu sedikit; seharusnya ia tidak boleh meninggalkan
bayinya; ia sudah dikutuk, pertama dengan kehadiran si kembar, lalu dengan kematian ini. Sia-sia Tabib
Ishida berusaha meyakinkan bahwa mungkin saja
memang tidak ada alasannya, bahwa sudah biasa bayi mati tanpa alasan yang jelas.
Kaede ingin sekali Takeo pulang, tapi juga takut setengah mati untuk memberitahukan?nya;
merasa begitu ingin tidur bersamanya lalu merasakan cinta mereka bisa menghibur kesedihan hatinya
seperti Halaman 718 dari 718 biasa. Namun ia juga merasa tak kuasa bercinta dengan suaminya karena tak sanggup
menanggung beban perasaan hamil hanya untuk ke?hilangannya lagi.
Takeo harus diberi tahu, tapi bagaimana melakukannya" Kaede bahkan tidak tahu di mana
suaminya. Butuh waktu berminggu?minggu agar surat bisa sampai ke tangan suaminya. Kaede belum
mendapat kabar lagi sejak suaminya mengirim surat dari Inuyama. Setiap hari Kaede bertekad untuk
menulis surat, namun setiap hari pula ia tak kuasa melakukannya. Sepanjang hari berharap agar
malam segera tiba supaya bisa melampiaskan kesedihan dirinya. Dan sepanjang malam tidak tidur,
berharap matahari segera terbit, agar bisa mengenyampingkan sedikit rasa sakit di hatinya untuk
sementara. Satu-satunya yang bisa menghiburnya adalah adik dan kedua keponakannya, yang
disayangi seperti anaknya sendiri. Ia bisa menghabiskan banyak waktu bersama mereka,
mengawasi pelajaran mereka serta menyaksikan pelatihan militer mereka. Si bayi dimakamkan di
Daishoin; bulan semakin menyusut menjadi potongan kecil di atas makamnya ketika kurir akhirnya datang
membawa pesan dari Takeo. Saat dibuka gulungan kertasnya, sketsa burung karya suaminya terjatuh.
Dihaluskannya kertas itu lalu menatapnya, goresan hitam seekor burung gagak di atas
bebatuan tebing, burung tila serta bunga lonceng.
"Takeo menulis surat ini dari daerah kecil bernama Sanda," tuturnya kepada Hana. "Dia bahkan
belum sampai ke ibukota." Kaede melihat surat itu tanpa sungguh?sungguh membacanya;
mengenali tulisan tangan Minoru, namun lukisan burung itu Takeo sendiri yang menggambarnya: bisa
dilihatnya kekuatan dalam goresannya, melihatnya menopang tangan kanan dengan tangan kirinya,
keahlian yang keluar dari tangan cacatnya. Kaede hanya berdua dengan Hana, kedua keponakannya
berada di area berkuda, para pelayan sibuk di dapur. Kaede
membiarkan air matanya jatuh berlinang. "Dia tak tahu kalau putranya telah tiada!"
Hana berkata, "Kesedihannya tak berarti apa-apa bila dibandingkan kesedihanmu. Jangan
menyiksa dirimu atas kesedihannya."
Hana memeluk Kaede lalu berbisik pelan sekali. "Dia takkan bersedih. Dia justru akan lega."
"Apa maksudmu?" Kaede agak menarik tubuhnya lalu menatap adiknya. Dilihatnya dengan
tatapan nanar betapa cantiknya Hana, dan menyesali bekas luka yang ia derita. Namun tak satu pun
dari semua itu penting baginya. Dia rela terbakar lagi, mencongkel kedua bola matanya kalau itu
bisa mengembalikan anaknya. Sejak kematian anak laki-lakinya, Kaede amat bergantung pada
Hana, menying-kirkan kecurigaan, hampir lupa bahwa Hana dan kedua putranya berada di Hagi
sebagai sandera. "Aku sedang memikirkan ramalan itu."
"Ramalan apa?" tanya Kaede seraya meng?ingat ketika di Inuyama saat ia dan Takeo tidur
bersama, kemudian berbicara tentang kata-kata yang mengendalikan hidup mereka berdua. "Ramalan
tentang Lima Per tempuran" Apa hubungannya dengan ramalan itu?" Ia tak ingin membicarakan tentang ramalan
itu saat ini, tapi ada sesuatu di dalam nada bicara Hana yang membuat?nya ketakutan. Hana
tahu sesuatu yang tidak diketahuinya. Kendati cuaca terasa panas, tubuhnya terasa dingin,
gemetar. "Ada kata-kata lain dalam ramalan itu," tutur Hana. "Apakah Takeo tidak mengata?kannya?"
Kaede menggeleng, benci untuk
mengakuinya. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Takeo mengutarakan pada Muto Kenji, dan kini telah diketahui luas di kalangan Tribe."
Kaede merasakan kilatan amarah dalam dirinya. Ia selalu merasa benci dan takut pada
kehidupan rahasia Takeo: suaminya pernah meninggalkan ia bersama Tribe, meninggal?kan ia dengan
anaknya yang akhirnya meninggal dan dirinya sendiri sekarat. Kebencian lama berkecamuk lagi dalam
dirinya. Kaede menyambut perasaan itu karena bisa membantunya menyembuhkan kesedihannya.
"Sebaiknya kau katakan yang sebenarnya."
Halaman 719 dari 719 "Bahwa Takeo selamat dari kematian, kecuali di tangan putra kandungnya."
Selama beberapa saat Kaede tak bereaksi. Tahu kalau Hana tidak berbohong kepada?nya: ia
tahu bagaimana Takeo dibentuk oleh ramalan ini, ketidaktakutannya serta tekad?nya yang kuat.
Dan Kaede memahami kelegaan Takeo saat semua anak mereka perempuan.
"Semestinya dia mengatakannya kepadaku, tapi dia ingin melindungiku," tuturnya. "Aku tak
percaya dia akan senang atas kematian anaknya. Aku mengenalnya lebih baik dari itu." Rasa lega
menyelimuti dirinya: semula ia takut sesuatu yang lebih buruk akan dikatakan Hana.
"Ramalan adalah hal yang berbahaya," ujarnya. "Sekarang yang satu ini tidak mungkin menjadi
kenyataan. Putranya sudah mendahului dirinya, dan takkan ada anak lagi."
Takeo akan kembali kepadaku, pikirnya, seperti yang senantiasa dilakukannya. Dia takkan
mati di wilayah Timur. Bahkan mungkin seka rang dia dalam perjalanan pulang.
"Semua orang berharap Lord Takeo ber?umur panjang dan bahagia," ujar Hana. "Mari kita
doakan kalau ramalan ini tidak mengacu ke putranya yang lain."
Ketika Kaede menatapnya tanpa bicara, Hana melanjutkan kata-katanya, "Maaf, kak, kukira
kau sudah tahu." "Ceritakan," kata Kaede tanpa perasaan. "Aku tak bisa menceritakannya. Bila hal ini
dirahasiakan suamimu...." "Ceritakan," ulang Kaede, dan mendengar suaranya pecah.
"Aku sangat takut bisa membuatmu lebih sakit hati. Biar Takeo yang menceritakan saat dia
kembali nanti." "Dia punya anak laki-laki?"
"Ya," sahut Hana sambil menarik napas. "Anak itu berusia tujuh betas tahun. Ibunya adalah
Muto Yuki." "Putrinya Kenji?" tanya Kaede lirih. "Jadi selama ini Kenji tahu?"
"Kurasa begitu. Sekali lagi, hal ini bukan rahasia di kalangan Tribe."
Shizuka, Zenko, Taku" Mereka semua tahu hal ini selama bertahun-tahun sementara ia sama
sekali tidak tahu" Tubuh Kaede gemetar.
"Kau sakit," ujar Hana dengan penuh perhatian. "Biar kuambilkan teh. Perlu kupanggilkan
Ishida?" "Mengapa Takeo tidak mengatakan padaku?" tanya Kaede. Ia tidak terlalu marah pada
ketidaksetiaan suaminya; malah merasa agak cemburu pada perempuan yang sudah mati bertahun-tahun
lalu; tapi hatinya hancur karena merasa ditipu habis-habisan. "Andai Takeo mengatakannya padaku."
"Kurasa dia ingin melindungimu," ujar Hana.
"Berita itu hanyalah kabar burung," kata Kaede.
"Tidak, aku pernah bertemu anak itu. Aku melihatnya beberapa kali di Kumamoto. Dia seperti
kebanyakan orang Tribe, tidak jujur dan kejam. Kau takkan percaya kalau anak itu adalah
kakak tiri Shigeko." Kata-kata Hana menikam dirinya lagi. Diingatnya lagi semua hal yang ia cemaskan tentang
Takeo selama mereka bersama: kekuatan aneh, darah campuran, kekuatan aneh yang diturunkan
dalam diri si kembar. Kesedihan lalu kekagetannya atas rahasia yang baru terungkap ini mengacaukan
segala yang telah dijalani dalam hidup. Kaede
membenci Takeo: membenci dirinya sendiri karena telah mengabdikan hidupnya pada
suaminya; menyalahkan suaminya atas semua penderitaan yang ia alami, kelahiran terkutuk si kembar,
Halaman 720 dari 720 kematian bayi laki-laki yang amat disayanginya. Kaede ingin menyakiti, me?rampas segalanya
dari Takeo. Disadarinya kalau tangannya masih memegang sketsa tadi. Burung-burung itu


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengingatkannya dengan kebe-basan, seperti biasanya, tapi itu hanyalah ilusi. Burung tidak lebih bebas
ketimbang manusia, sama terikatnya dengan rasa lapar, hasrat, serta kematian. Ia terikat selama hampir
separuh hidupnya pada laki-laki yang telah meng?khianati dirinya, yang tidak pernah layak
mendapatkan dirinya. Dirobek-robek sketsa itu hingga hancur kecil-kecil lalu diinjak?injak.
"Aku tak bisa tinggal di sini. Apa yang harus kulakukan?"
"Ikutlah dengaku ke Kumamoto," ajak Hana. "Suamiku akan mengurusmu."
Kaede teringat pada ayah Zenko yang telah dijadikan musuhnya, semuanya demi Takeo.
"Betapa bodohnya aku selama ini," tangisnya. Tenaga baru menyeruak dari dalam dirinya.
"Panggil kedua anakmu dan siapkan mereka untuk melakukan per?jalanan," pintanya pada Hana.
"Berapa banyak pengawal yang ikut bersamamu?"
"Tiga atau empat puluh," sahut Hana. "Mereka menginap di kastil."
"Pengawalku juga menginap di sana," ujar Kaede. "Pengawal yang tidak ikut dengannya ke
wilayah Timur." Kaede tak sanggup mengucapkan kata suamiku maupun menyebut namanya. "Kita akan
membawa mereka semua, tapi suruh sepuluh pengawal?mu datang ke sini. Ada tugas untuk
mereka. Kita akan pergi sebelum akhir minggu ini."
"Terserah kau, kak," ujar Hana setuju.*
Sudah semalaman di tepi sungai Miki menunggu Maya kembali. Saat matahari terbit dia
menduga kalau saudara kembarnya itu sudah pergi ke alam baka, tempat ia tidak bisa mengikuri. Lebih
dari segalanya, Miki ingin pulang ke rumah; ia lelah dan lapar, dan bisa dirasakannya kekuatan si
kucing meyerap semua tenaganya. Tapi ketika tiba di gerbang rumah di tepi sungai, terdengar
olehnya jeritan kesedihan, disadarinya kalau adik bayinya sudah meninggal malam itu. Kecurigaan yang amat
dalam semakin besar dalam dirinya, memenuhi dirinya dengan ketakutan yang amat sangat. Miki
meringkuk di luar dinding, menutupi kepala dengan tangan, takut masuk ke dalam tapi tidak tahu harus
ke mana. Salah satu pelayan bergegas melewati dirinya tanpa mengenalinya, dan tak lama kemudian
kembali bersama tabib Ishida yang nampak terkejut dan pucat. Tak satu pun dari mereka bicara
kepada Miki, tapi mereka pasti telah melihat dirinya, karena tidak lama setelah itu Haruka keluar dan meringkuk di
sebelahnya. "Maya" Miki?"
Miki melihat air mata yang mulai ber?linang di pipinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi
tidak berani bicara, kalau-kalau ia menyuarakan apa yang dicurigainya.
"Demi Surga, apa yang kau lakukan di sini" Kau Miki, kan?"
Gadis itu mengangguk. "Ini waktu yang buruk," ujar Haruka, menangisi dirinya sendiri. "Masuklah, nak. Lihatlah
dirimu, lihat keadaanmu. Apa kau tinggal di hutan seperti hewan liar?"
Cepat-cepat Haruka menuntunnya masuk ke dalam rumah, tempat Chiyo, dengan wajah yang
juga basah dengan air mata, tengah menjaga api. Chiyo memekik ter?kejut, dan mulai
menggumamkan sesuatu tentang nasib buruk dan kutukan.
Halaman 721 dari 721 "Jangan diteruskan," ujar Haruka. "Ini bukan salahnya."
Ketel besi menggantung di atas api mengeluarkan bunyi berdesis, dan uap serta asap
memenuhi udara. Haruka membawa sebaskom air lalu membasuh wajah, tangan
dan kaki Miki. Air hangat membuat semua luka dan lecetnya terasa perih.
"Kami akan menyiapkan air mandi untuk?mu," kata Haruka. "Tapi kau harus makan dulu."
Ditaruhnya nasi di mangkuk lalu menuangkan kaldu di atasnya. "Alangkah kurusnya dia!" katanya ke
samping, ke arah Chiyo. "Perlukah kuberitahu ibunya kalau dia di sini?"
"Sebaiknya tidak usah," sahut Chiyo. "Jangan dulu. Nanti malah membuatnya semakin kesal."
Tangis Miki terlalu keras untuk mem?buatnya bisa makan, napasnya tersengal?sengal dengan
isak tangis. "Bicaralah, Miki," desak Haruka padanya. "Kau akan merasa lebih baik. Tidak ada masalah yang
terlalu berat hingga tak bisa diceritakan."
Sewaktu Miki menggelengkan kepala tanpa bicara, Haruka berkata, "Dia seperti ayahnya
ketika pertama kali datang ke rumah ini. Dia tidak bicara selama berminggu?minggu."
"Pada akhirnya dia bicara juga," gumam Chiyo. "Rasa terguncang membungkam
mulutnya, lalu perasaan itu pula yang membuka mulutnya."
Beberapa saat kemudian tabib Ishida datang untuk bicara dengan Chiyo agar menyeduh teh
khusus untuk membantu Kaede tidur.
"Tabib, lihat siapa yang ada di sini," kata Haruka, seraya menunjuk Miki yang masih meringkuk
di salah satu sudut dapur dengan wajah pucat dan badan gemetar.
"Ya, tadi aku melihatnya," sahut Ishida kebingungan. "Jangan biarkan dia dekat?dekat dengan
ibunya. Lady Otori sedang bersedih. Bila makin tertekan maka dia bisa gila. Kau akan bertemu setelah
ibumu lebih baikan," katanya pada Miki dengan nada agak tegas. "Sementara ini kau jangan
meng?ganggu siapa pun. Kau boleh memberinya teh yang sama, Haruka; teh itu bisa menenangkannya."
Miki dikurung di gudang terpencil selama beberapa hari berikutnya. Didengarnya suara-suara
di dalam rumah di sekitarnya karena pendengaran Kikutanya makin peka. Didengarnya Sunaomi
dan Chikara saling berbisik, sedih tapi sekaligus gembira dengan kematian sepupu kecil mereka.
Didengarnya percakapan antara ibunya dan Hana, serta ingin sekali berlari menghampiri dan meng?halangi
mereka, namun tak berani membuka mulut. Didengarnya tabib Ishida dengan sia?sia
mengajukan keberatan pada ibunya, lalu mengatakan kepada Haruka kalau dia akan pergi ke Inuyama
untuk bertemu dengan ayahnya. Bawa aku bersamamu, Miki ingin berseru memanggilnya, tapi Ishida pergi dengan terburuburu,
mencurahkan perhatiannya pada banyak persoalan: Kaede, istrinya sendiri, Shizuka, juga
Takeo. Ia tak ingin dibebani oleh seorang anak yang bisu dan tidak sehat.
Miki punya waktu yang banyak dalam kesunyian dan kesendirian, dengan penyesalan,
perjalanan bersama Yuki dan tuntutan balas dendam perempuan itu pada ibunya. Ia merasa kalau dirinya
sudah tahu sejak lama tujuan Yuki yang sebenarnya, dan kalau seharusnya ia bisa mencegahnya. Kini
ia kehilangan semuanya: saudara kembarnya, ibunya"dan setiap malam memimpikan ayahnya
dan takut kalau ia takkan bertemu ayahnya lagi.
Dua hari setelah kepergian Ishida, Miki mendengar suara pengawal dan kuda di jalanan.
Ibunya, Hana dan kedua putranya bersiap pergi.
Terjadi adu mulut keras antara Haruka dan Chiyo tentang dirinya. Haruka berkata kalau Miki
harus bertemu ibunya sebelum pergi, Chiyo menyahut kalau suasana hati Kaede sangat rapuh; tak
bisa diduga akan bagaimana reaksinya nanti.
Halaman 722 dari 722 "Tapi ini putrinya!" sahut Haruka dengan jengkel.
"Apa artinya seorang putri baginya" Dia sudah kehilangan putranya; dia di ambang kegilaan,"
sahut Chiyo. Miki diam-diam masuk ke dapur dan Haruka menggandeng tangannya. "Kita akan menyaksikan
kepergian ibumu," bisiknya. "Tapi jangan sampai terlihat."
Jalanan penuh dengan orang, berkerumun dengan perasaan kegelisahan yang terlihat samar.
Telinga Miki yang tajam menangkap potongan kata-kata yang mereka lontarkan. Lady Otori
meninggalkan kota bersama Lady Arai. Lord Otori tewas di wilayah Timur. Bukan, bukan tewas tapi kalah
dalam pertempuran. Lord Otori akan diasingkan, dan putrinya ada bersamanya....
Miki memerhatikan selagi ibunya dan Hana keluar dari rumah lalu menaiki kuda yang
menunggu di luar gerbang. Sunaomi dan Chikara diangkat menaiki kuda poni mereka. Pengawal membawa
lambang Shirakawa dan Arai mengelilingi mereka. Sewaktu rombongan mulai berjalan, Miki
berusaha menangkap tatapan mata ibunya, namun Kaede menatap lurus ke depan, tidak melihatnya.
Ibunya bicara satu kali. Sepuluh orang atau lebih prajurit pejalan kaki berlari memasuki taman;
sebagian memegang obor yang menyala, sedang yang lainnya me?megang jerami dan potongan kayu
kecil untuk menyalakan api. Dengan sigap dan tangkas, mereka membakar rumah itu.
Chiyo berlari keluar dan menghalangi mereka, memukuli mereka dengan tinjunya yang lemah.
Mereka mendorong dengan kasar; menghempaskan tubuh Chiyo ke atas beranda, yang kemudian
memeluk erat salah satu tiang, seraya menangis, "Ini rumah Lord Shigeru. Beliau takkan memaafkan
kalian." Mereka tidak bersusah payah menyingkir?kan perempuan tua itu, namun dengan
ringannya menumpuk jerami di sekitar tubuh Chiyo. Haruka menjerit-jerit di sampingnya. Miki
menatap ketakutan, asap membuat matanya pedih dan mengeluarkan air mata saat nightingale floor
bernyanyi untuk yang terakhir kalinya. Ikan-ikan merah dan emas terebus di dalam kolam, benda?benda
seni yang berharga dan catatan di dalam rumah itu meleleh dan mengerut. Rumah yang bertahan
meski diguncang gempa, banjir dan perang luluh lantak dimakan api, bersama Chiyo yang menolak
untuk meninggalkannya. Kaede berjalan ke kastil tanpa menengok. Kerumunan orang hanyut mengikutinya, membawa
Haruka dan Miki bersama mereka. Di sini pengawal Hana telah menunggu, bersenjata dan juga
membawa jerami dan obor. Pimpinan pengawal, Endo Teruo, yang ayahnya menyerahkan kastil kepada
Takeo dan tewas terbunuh di jembatan batu oleh anak buah Arai Daiichi, datang menghampiri
gerbang. "Lady Otori," ujarnya. "Apa yang terjadi" Kumohon Anda mendengarkanku. Mari masuk ke
dalam. Mari kita bicarakan duduk persoalannya."
"Aku bukan lagi Lady Otori," sahutnya. "Aku Shirakawa Kaede. Aku berasal dari Klan Seishuu
dan aku akan kembali kepada klanku. Tapi sebelum pergi, aku perintah?kan kau serahkan kastil
kepada pengawal-pengawal ini."
"Aku tidak tahu apa yang telah terjadi pada Anda," sahutnya. "Tapi aku akan mati lebih dulu
sebelum menyerahkan kastil Hagi saat Lord Otori tidak ada di sini."
Laki-laki itu menarik pedang. Kaede menatap gusar. "Aku tahu seberapa sedikitnya anak
buahmu yang tersisa," ujarnya. "Yang tersisa hanyalah pengawal yang sudah tua dan yang masih sangat
muda. Dan aku mengutukmu, kota Hagi dan seluruh Klan Otori."
"Lady Arai," seru Endo pada Hana. "Aku membesarkan suami Anda di rumahku bersama dengan
putra kandungku sendiri. Jangan biarkan pengawal Anda melakukan kejahatan ini!"
"Bunuh dia," ujar Hana, dan pengawal merangsek ke depan. Endo tidak memakai baju zirah,
dan para penjaganya tidak siap. Kaede benar: kebanyakan dari mereka masih anak-anak. Kematian
mereka yang tiba-tiba Halaman 723 dari 723 membuat kerumunan orang ketakutan; orang-orang mulai melempar batu ke arah prajurit Arai
dan dibalas dengan pedang dan tombak terhunus. Kaede dan Hana membelokkan kuda lalu
berderap pergi ber?sama pendamping mereka sementara sisa pengawal yang tinggal mulai membakar
kastil. Saat pasukan Arai melarikan diri, orang?orang berjuang memadamkan atau menahan
meluasnya api dengan berember air, tapi angin kencang berhembus dari laut; percikan api melahap atap
dengan dahan kering yang mudah terbakar dan api segera saja melalap cepat, tak bisa dicegah.
Penduduk kota berkumpul di jalan, di pantai dan sepanjang tepi sungai, tanpa bicara karena terkejut.
Mereka tidak sanggup memahami apa yang telah terjadi, betapa kehancuran telah menyerang di
jantung Hagi, merasakan bahwa keselarasan telah sirna dan kedamaian telah berakhir.
Haruka dan Miki menghabiskan malam itu di tepi sungai bersama ribuan orang lainnya.
Keesokan harinya mereka bergabung dengan orang-orang yang melarikan diri dari kota yang tengah
ditalap api. Mereka menyeberangi jembatan, berjalan pelan agar Miki punya banyak waktu untuk membaca
tulisan di jembatan. Klan Otori menyambut keadilan dan kesetiaan.
Waspadalah ketidakadilan dan ketidaksetiaan.
Kala itu hari kesembilan di bulan ketujuh.*
"Ijinkan aku ikut dengan Lord Otori," Minoru memohon selagi Takeo bersiap pergi ke Yamagata.
"Aku lebih senang kau tinggal di sini," sahut Takeo. "Keluarga dari korban yang tewas harus
diberitahu, dan persediaan makanan disiapkan untuk perjalanan panjang berikutnya: Kahei
harus membawa pasukan utama kita ke wilayah Barat. Dan selain itu ada tugas khusus untukmu,"
tambahnya, menyadari kekecewaan pemuda itu.
"Tentu saja, Lord Otori," ujar si juratulis, memaksakan diri tersenyum. "Namun, aku punya
satu permintaan. Kuroda Junpei menantikan Anda kembali. Maukah Anda ijinkan dia mendampingi
Anda" Aku sudah berjanji akan memohon kepada Anda."
"Jun dan Shin masih di sini?" tanya Takeo kaget. "Kukira mereka sudah kembali ke Barat."
"Sepertinya tak semua orang senang dengan Zenko," gumam Minoru. "Aku
curiga, Anda akan menemukan banyak dari mereka yang masih setia kepada Anda."
"Apakah itu resiko yang harus kuambil?" Takeo bertanya pada diri sendiri, dan menyadari kalau
ia tidak terlalu peduli dengan jawabannya. Ia sudah hampir mati rasa dengan kesedihan dan
kelelahan, kecemasan dan rasa sakit. Berulang kali belakangan sejak Ishida menyampaikan kabar buruk
itu,

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirasakannya seperti berhalusinasi, dan kata-kata Minoru selanjutnya pun menambah
perasaannya menjadi semakin tidak nyata.
"Hanya Jun yang masih di sini, Shin di Hofu."
"Mereka memisahkan diri" Aku tidak mengira kalau hal itu bisa terjadi."
"Tidak, mereka memutuskan kalau salah satu harus pergi, dan yang lainnya haras tetap di sini.
Mereka berbagi tugas. Shin ke Hofu untuk melindungi Shizuka, sedangkan Jun tinggal di sini
untuk melindungi Anda." "Aku mengerti." Ishida menceritakan sedikit tentang Shizuka: bagaimana kabar yang tersiar
mengatakan kalau perempuan itu sudah gila setelah kematian putranya dan duduk di
pelataran kuil Daifukuji, ditopang Halaman 724 dari 724 oleh Surga. Pikiran kalau Shin yang tenang dan tidak banyak bicara mengawasi Shizuka
membuatnya terharu. "Kalau begitu Jun boleh ikut denganku," katanya. "Sekarang, Minoru"aku meng?andalkanmu
untuk mencatat kejadian yang sebenarnya tentang perjalanan kita ke Miyako, janji Lord Saga,
provokasi yang telah menyebabkan perang, serta ke?menangan kita. Putriku, Lady Maruyama, akan
segera sampai di sini. Aku menugas?kanmu untuk melayaninya sesetia kau melayaniku. Aku akan
mendiktekan surat wasiatku kepadamu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku kelak, tapi
aku mem?perkirakan hal yang terburuk: entah itu ber?bentuk pengasingan diri atau pun
kematian. Aku menyerahkan semua kekuasaan dan wewenang atas Tiga Negara pada putriku. Akan kukatakan
kepadamu siapa yang akan dinikahinya dan apa saja syaratnya."
Dokumen itu didiktekan dan ditulis dengan cepat. Saat sudah selesai dan mem?bubuhkan
capnya, Takeo berkata, "Kau harus berikan ini langsung ke tangan Lady Shigeko. Kau bisa katakan
kepadanya kalau aku minta maaf. Aku berharap segalanya bisa
terjadi sebaliknya, namun aku memercayakan Tiga Negara kepadanya."
Selama bertahun-tahun mengabdi pada Takeo, Minoru jarang menunjukkan perasa?annya. Dia
telah menghadapi kemegahan istana Kaisar dan kebiadaban perang dengan sikap acuh tak acuh. Kini
wajahnya menyeringai selagi berjuang agar air matanya tidak menetes.
"Katakan pada Lord Gemba aku sudah siap pergi," kata Takeo. "Selamat tinggal."
*** Hujan terlambat turun dan tidak sederas biasanya; setiap sore terjadi badai sebentar dan
langit kerapkali berawan, tapi jalanan tidak banjir. Kini Takeo bersyukur telah membangun jalan
raya di seluruh Tiga Negara sehingga perjalanannya bisa secepat sekarang ini. Meski, pikirnya,
jalanan yang sama terbuka bagi Zenko dan pasukannya, dan ingin tahu sudah seberapa jauh mereka
mendahului dari arah barat daya. Pada malam ketiga, mereka menyeberangi perbatasan di Kushimoto dan berhenti untuk
makan dan beristirahat sebentar di peng
inapan di ujung lembah. Jaraknya kurang dari satu hari dari Yamagata. Penginapan itu
dipenuhi pelancong; pemilik tanah daerah setempat yang mengetahui kedatangan Takeo langsung
menghampiri untuk menyapa. Saat ia makan, laki-laki ini, Yamada, dan si pemilik penginapan
menyampaikan kabar yang mereka dengar.
Zenko dilaporkan berada di Kibi, tepat di seberang sungai.
"Dia membawa sedikitnya sepuluh ribu pasukan," tutur Yamada murung. "Banyak di antara
mereka yang membawa senjata api."
"Apakah ada kabar dari Terada?" tanya Takeo, seraya berharap kapal-kapalnya mungkin
melakukan serangan balasan di kota kastil Zenko, Kumamoto, dan memaksanya untuk mundur.
"Kabarnya Zenko mendapatkan kapal dari kaum bar-bar," lapor si pemilik penginapan, "dan
mereka melindungi pelabuhan dan daerah pesisir pantai."
Takeo membayangkan pasukannya ke?habisan tenaga, serta masih berjarak sepuluh hari
berjalan kaki. "Lady Miyoshi tengah menyiapkan Yamagata untuk pengepungan," tutur
Yamada. "Aku sudah mengirim dua ratus pasukan ke sana, tapi tidak menyisakan satu pun
orang di sini; panen sudah hampir tiba, dan sebagian besar ksatria Yamagata berada di wilayah Timur
bersama Lord Kahei. Kota akan dipertahankan oleh petani, perempuan dan anak-anak."
"Tapi sekarang Lord Otori sudah di sini," ujar si pemilik penginapan, berusaha
mem?bangkitkan semangat semua orang. "Negara Tengah aman dengan adanya Lord Otori bersama kita!"
Halaman 725 dari 725 Takeo berterima kasih padanya dengan senyum seraya menyembunyikan keputus?asaannya
yang kian meningkat. Kelelahan membuatnya tertidur; lalu menunggu dengan gelisah dan tidak
sabar sampai matahari terbit. Saat itu awal bulan, terlalu gelap untuk bisa berkuda di malam hari
tanpa cahaya bulan. Mereka berada di jalan lagi, tak lama setelah matahari terbit, bergerak dengan cepat. Langit
masih kelabu dan udara terasa tenang, lereng pegunungan memamerkan kibaran panji-panji besar
mereka di tengah kabut. Dua prajurit berkuda berderap menghampiri dari arah Yamagata. Takeo
mengenali salah satunya sebagai putra bungsu Kahei, pemuda berusia tiga belas tahun; sedang
yang lainnya pengawal tua dari Klan Miyoshi.
"Kintomo! Ada kabar apa?"
"Lord Otori!" seru pemuda itu terengah?engah. Wajahnya pucat karena kaget, dan tatapan
matanya bingung di bawah topi bajanya. Topi dan baju zirahnya tampak ke?dodoran karena dia baru
memasuki masa dewasa. "Istri Anda, Lady Otori...."
"Teruskan," perintah Takeo saat bocah itu terbata-bata.
"Beliau datang dua hari lalu, mengambil alih perintah di sana, lalu berniat menyerah?kannya
pada Zenko yang saat ini sedang berjalan dari Kibi."
Pandangan Kintomo beralih ke Gemba lalu berkata dengan rasa lega, "Pamanku ada di sini!"
Tak lama kemudian air mata mengambang di pelupuk matanya.
"Bagaimana dengan ibumu?" tanya Gemba.
"Ibu berusaha bertahan dengan sisa pasukan yang ada. Sewaktu sudah tak ber?daya lagi, ibu
menyuruhku pergi selagi masih sempat, untuk memberitahu ayah dan kakak
kakakku. Kurasa ibu akan mencabut nyawanya sendiri, juga kakak-kakak perempuanku."
Takeo membelokkan kuda, tak mampu menyembunyikan kekagetan dan ke?bingungannya.
Istri dan putri Kahei sudah mati, sementara suami dan ayah mereka ber?tempur mempertahankan Tiga
Negara" Yamagata, permata Negara Tengah, akan diserahkan kepada Zenko oleh Kaede"
Gemba mendekat ke sampingnya, dan menanti Takeo bicara.
"Aku harus bicara dengan istriku," ujar Takeo. "Pasti ada penjelasannya. Kesedihan dan
kesepian telah membuatnya gila. Tapi begitu aku ada bersamanya, akal sehatnya akan kembali. Aku
takkan ditolak untuk memasuki Yamagata. Kita semua akan ke sana"semoga sempat menyelamatkan
ibumu," imbuhnya kepada Kintomo.
Jalanan dipenuhi orang yang melarikan diri dari kota untuk menghindari pe?perangan. Hal ini
melambatkan perjalanan mereka, serta menambah kemarahan dan keputus-asaan Takeo.
Ketika mereka tiba di Yamagata pada sore harinya, gerbang kastilnya dipalang. Utusan pertama yang
mereka kirim ditolak masuk, sedangkan utusan yang kedua dipanah begitu masuk dalam
jangkauan tembakan. "Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan sekarang," ujar pengawal Miyoshi sewaktu mereka
menarik diri berlindung masuk ke hutan. "Ijinkan aku membawa tuan muda kepada ayahnya, Zenko akan
tiba di sini besok. Lord Otori seharusnya juga mundur bersama kami. Jangan sampai tertangkap."
"Kalian boleh pergi," ujar Takeo. "Aku akan tinggal lebih lama lagi."
"Kalau begitu aku akan menemanimu," kata Gemba. Dipeluknya keponakannya. Takeo
memanggil Jun dan menyuruhnya mendampingi Kintomo dan menjaganya sampai bergabung dengan
Kahci. "Ijinkan aku menemani Anda," ujar Jun dengan sikap canggung. "Aku bisa masuk ke dalam
dinding setelah malam tiba dan membawa pesan Anda kepada...."
"Terima kasih, tapi hanya aku yang bisa menyampaikan pesan ini. Sekarang aku perintahkan
kau pergi." Halaman 726 dari 726 "Aku akan mematuhi Anda, begitu tugas ini selesai, aku akan bergabung dengan Anda:
dalam keadaan hidup bila memungkinkan; bila tidak, dalam kematian!"
"Kalau begitu sampai jumpa lagi," sahut Takeo. Dipujinya Kintomo atas keberanian dan
kesetiaannya, dan memerhatikan selama beberapa saat ketika bocah itu bergabung bersama kerumunan
orang yang melarikan diri ke wilayah Timur.
Lalu dialihkannya lagi perhatian kembali ke kota. Ia dan Gemba berkuda sedikit mengitari sisi
timur, berhenti di pepohonan. Takeo turun dari Ashige lalu menyerahkan tali kekang pada Gemba.
"Tunggu di sini. Bila aku tak kembali, baik itu malam ini, atau kalau aku berhasil melewati
gerbang yang dibuka esok pagi, kau anggap saja aku sudah mati. Bila me?mungkinkan, makamkan aku
di Terayama, di samping makam Shigeru. Dan simpan pedangku di sana untuk putriku!"
Sebelum membalikkan badan, Takeo menambahkan, "Dan kau bisa melakukan kegiatan
berdoamu itu untukku, bila kau mau."
"Aku tak pernah berhenti melakukannya," ujar Gemba.
*** Ketika malam tiba, Takeo meringkuk di bawah pepohonan dan menatap dinding yang
melingkari kota. Teringat pada suatu senja di musim semi, bertahun-tahun silam, sewaktu Matsuda Shingen
mengujinya dengan pertanyaan teoritis: bagaimana meng?ambil alih kota Yamagata" Kala itu
dipikirnya cara yang terbaik yaitu memasuki kastil secara diam-diam lalu membunuh
pemimpinnya. Ia pernah memasuki kastil Yamagata sebagai Tribe, kini ia melihat apakah ia bisa melakukannya,
ingin tahu apakah ia sanggup membunuh. Ia pernah membunuh orang, dan masih ingat rasa
bersalah, tanggung jawab dan penyesalan. Akan dimanfaatkannya bagian kecil dari pengetahuannya
tentang kota dan kastil ini untuk yang terakhir kalinya.
Di belakangnya terdengar kuda sedang mengunyah rumput, dan Gemba ber?senandung dengan
gayanya yang seperti beruang. Burung malam pemakan serangga mengetuk-ngetuk di pohon.
Angin berdesir sejenak lalu tenang.
Bulan baru dari bulan kedelapan ber?gelayut di atas pegunungan di sebelah kanannya. Bisa
dilihatnya gelapnya kastil langsung ke arah utara. Di atasnya rasi bintang beruang
bermunculan di lembutnya langit musim panas.
Dari dinding yang mengelilingi kota dan gerbang, bisa didengamya suara para penjaga:
pasukan Shirakawa, dan Arai, dengan aksen bicara dari wilayah Barat.
Bersembunyi di balik kegelapan, Takeo melompat ke puncak dinding, sedikit salah
perhitungan, mencengkeram atapnya. Sesaat lupa dengan luka di bahu kanannya yang baru setengah
sembuh, dan menahan napas menahan sakit ketika luka itu menganga lagi. Bunyi akibat gerakannya
terdengar lebih gaduh dari yang diinginkannya. Ia lalu menyejajarkan diri tanpa terlihat di atas atap.
Ada dua orang yang muncul di bawahnya membawa obor yang menyala. Mereka berjalan menyusuri
jalanan lalu kembali lagi, sementara ia menahan napas dan mencoba mengacuhkan rasa sakit,
menekuk sikutnya di atas puncak atap, menekan bahu kanan dengan tangan kiri. Ia merasakan sedikit
lembap saat darah mengalir dari lukanya,
beruntung tak banyak sehingga tidak menetes yang bisa mengakibatkan dirinya tertangkap.
Kedua penjaga itu kembali ke tempatnya. Takeo menjatuhkan diri ke permukaan tanah, kali
ini tanpa bersuara, dan mulai berjalan menelusuri jalanan menuju kastil. Malam semakin larut, tapi
suasana kota jauh dari sunyi. Orang-orang berkerumun dengan cemas, banyak yang hendak pergi
begitu gerbang dibuka. Didengarnya para pemuda?pemudi mengatakan bahwa mereka akan melawan
pasukan Arai dengan tangan kosong, bahwa Yamagata takkan dirampas dari Otori lagi;
didengarnya para pedagang meratapi berakhirnya kedamaian dan kemakmuran; para perempuan mengutuk
Lady Otori karena telah menyebabkan perang. Hatinya hancur mengingat Kaede. bahkan di saat
dirinya tengah mencari pen?jelasan tentang mengapa istrinya bertindak seperti ini. Kemudian ia
mendengar Halaman 727 dari 727 orang?orang berbisik, '"Perempuan itu membawa kematian bagi semua yang menginginkan
dirinya, dan kini dia akan membawa kematian pada suaminya, begitu pula dengan suami dan anak
laki-laki kita." Tidak, Takeo ingin menjerit lantang. Tidak untuk diriku. Kaede tidak bisa membawa diriku
pada kematian. Tapi ia takut kalau istrinya memang sudah melaku?kannya.
Takeo berjalan melewati mereka tanpa terlihat. Di tepi parit besar ia meringkuk di bawah
rumpun pohon willow yang menyebar di sepanjang tepi sungai. Pohon-pohon itu belum pernah
ditebang: Yamagata tidak pernah terancam selama lebih dari enam belas tahun; pohon willow telah
menjadi simbol kedamaian dan keindahan kota itu. Ia menunggu dengan cara Tribe dalam waktu yang
lama, melambatkan napas dan detak jantungnya. Bulan sudah terbenam, kota sunyi senyap.
Akhirnya Takeo mengambil napas sedalam-dalamnya, lalu menyehnap, tersembunyi oleh daun-daun
willow, masuk ke sungai, berenang di bawah permukaan aimya.
Diikutinya jalur yang pernah dilewatinya hampir separuh hidupnya yang silam, saat itu
tujuannya adalah mengakhiri penderitaan kaum Hidden yang disiksa. Sudah bertahun?tahun lamanya
sejak para tawanan digantung di dalam kerangkeng di sini; yang pasti masa
masa menyedihkan itu takkan kembali" Namun kala itu ia masih muda, dan saat itu ia
membawa besi

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengait untuk menuruni dinding. Kini, dalam keadaan cacat, terluka, lelah, ia merasa bak
seekor serangga cacat yang merayap dengan canggung menaiki bagian depan kastil.
Takeo menyeberangi dinding sebelah luar yang kedua; di sini juga, para penjaga gugup dan
gelisah, bingung sekaligus gembira karena bisa menguasai kastil dengan mudah. Didengarnya perang
kecil yang berlangsung cepat dan dengan pertumpahan darah untuk merebutnya. Kekagetan
mereka diwarnai dengan kekaguman pada kekejaman Kaede, kegembiraan mereka atas kebangkitan
Klan Seishuu dengan mengorbankan Klan Otori. Pemikiran mereka yang plin-plan dan sempit
membangkitkan amarahnya. Sewaktu memanjat turun memasuki dinding sebelah luar dan
berlari dengan langkah ringan melewati jalan batu yang sempit ke taman kediaman, suasana hatinya
terasa sengit dan putus asa. Dua penjaga lagi duduk di samping tungku bara kecil di salah satu ujung beranda, lentera
menyala di kedua sisinya. Takeo melewati mereka begitu dekat hingga dilihatnya nyala api meliuk dan asapnya
bergulung. Kedua penjaga itu terperanjat, lalu melihat ke gelapnya taman. Seekor burung hantu terbang
rendah lewat, dan mereka menertawai ketakutan mereka sendiri.
"Malam untuk hantu," kata salah sarunya dengan nada mengejek.
Semua pintu terbuka, cahaya kecil samar?samar di sudut setiap ruangan. Bisa didengar?nya
napas penghuninya yang sedang tidur. Aku mengenal napasnya, pikirnya. Dia tidur di sampingku
selama malam-malam kebe?rsamaan kami.
Takeo mengira sudah menemukan Kaede tidur di kamar yang besar, tapi saat berlutut di
samping perempuan yang sedang tidur itu, disadarinya kalau itu Hana. Ia terpana dengan kebencian
yang dirasakannya atas adik Kaede itu, namun kemudian meninggal?kannya dan terus berjalan.
Udara terasa pengap di dalam rumah itu: tubuhnya masih basah karena berenang di sungai
sebelumnya tapi tidak merasa kedinginan. Ia membungkuk di atas be?berapa perempuan yang
tengah tertidur dan mendengarkan napas mereka. Tak satu pun dari mereka adalah Kaede.
Saat itu puncak musim panas, kurang dari enam minggu dari waktu matahari berada pada
jarak terjauh dari garis khatulistiwa. Matahari akan segera terbit. Ia tak bisa terus berada di sini.
Satusatunya tujuannya adalah menemui Kaede: sekarang ia tidak bisa menemukannya sehingga tidak
tahu apa yang harus dilakukan. Takeo kembali ke taman; saat itulah diperhatikannya bentuk
samar bangunan terpisah yang tidak ia lihat sebelumnya. Berjalan ke arah bangunan itu, disadarinya
kalau Halaman 728 dari 728 itu adalah paviliun yang dibangun di atas aliran sungai, dan di balik bunyi air sungai,
dikenalinya napas Kaede. Di sini juga ditaruh lentera yang menyala, sinarnya sangat redup seolah minyaknya sudah
hampir habis. Kaede duduk bersila, menatap ke kegelapan. Takeo tidak bisa melihat wajahnya.
Jantungnya berdetak jauh lebih kencang dibandingkan dengan saat menghadapi pertempuran
mana pun. Ia membiarkan dirinya terlihat saat melangkah di lantai papan, dan berbisik, "Kaede. Ini
Takeo." Tangan Kaede langsung bergerak ke samping, lalu mengeluarkan sebilah pisau kecil.
"Aku datang bukan untuk menyakitimu," ujarnya. "Bagaimana kau bisa berpikir begitu?"
"Kau tidak bisa menyakitiku lebih dari yang sudah kau lakukan," sahut Kaede. "Aku bisa saja
membunuhmu, tapi aku percaya kalau hanya putramu yang bisa melaku?kannya!"
Takeo diam membisu, memahami apa yang telah terjadi.
"Siapa yang mengatakannya?"
"Apa itu penting" Sepertinya semua orang sudah tahu kecuali aku."
"Itu sudah lama berlalu. Kukira...."
Kaede tidak membiarkan Takeo melanjut?kan. "Tindakannya mungkin sudah lama berlalu. Tapi
kau menipuku tanpa henti. Kau membohongiku selama masa-masa kita ber?sama. Itulah yang tak
kumaafkan." "Aku tidak ingin menyakitimu," ujar Takeo.
"Bagaimana kau bisa menatap aku mengandung anakmu, senantiasa ketakutan kalau aku
mungkin mengandung anak laki laki yang akan membunuhmu" Sementara aku merindukan anak laki-laki, kau berdoa untuk
menghindarinya. Kau lebih suka melihatku dikutuk dengan si kembar, dan saat putramu lahir
kau berharap dia mati. Bahkan mungkin kau yang mengatur kematiannya."
"Tidak," sahut Takeo marah, "Aku takkan membunuh seorang anak pun, apalagi darah dagingku
sendiri." Takeo berusaha bicara dengan lebih tenang, untuk menyelesaikan masalah.
"Kematiannya adalah kehilangan besar"membuatmu melakukan semua ini."
"Kejadian itu membuka mataku melihat siapa sebenarnya dirimu."
Takeo melihat betapa besar amarah dan kesedihan di hadapannya.
"Satu lagi kebohongan dalam hidup yang penuh dengan kebohongan," lanjut Kaede. "Kau tidak
membunuh Iida; kau tidak dibesarkan sebagai ksatria; darahmu ternoda. Aku telah
menyerahkan hidupku pada se?suatu yang kini kuanggap tak lebih hanya khayalan."
"Aku tidak pernah berpura-pura padamu," sahutnya. "Aku tahu semua kegagalanku;
sudah cukup sering aku membaginya denganmu."
"Kau pura-pura bersikap terbuka sementara menyembunyikan banyak rahasia yang lebih
buruk. Apa lagi yang kau rahasia?kan dariku" Berapa banyak perempuan lain" Berapa banyak anak lakilaki
yang lain?" "Tidak ada. Aku bersumpah... hanya ada Muto Yuki, sewaktu aku mengira kau dan aku telah
dipisahkan selamanya."
"Dipisahkan?" ulangnya. "Tidak ada yang memisahkan kita, kecuali dirimu sendiri. Kau memilih
untuk pergi: meninggalkan diriku, karena kau tidak ingin mati."
Kata-kata ini sedikit banyak benar adanya hingga membuatnya merasa sangat malu.
Halaman 729 dari 729 "Kau benar," ujarnya. "Waktu itu aku memang bodoh dan pengecut. Kumohon kau
memaafkanku. Demi nasib seluruh negara ini. Kumohon untuk tidak meng?hancurkan semua yang telah kita
bangun bersama." Takeo ingin menjelaskan bagaimana mereka telah menjaga negara ini dalam keselarasan,
bagaimana keseimbangan itu jangan sampai hilang, namun tidak ada kata
kata yang memperbaiki semua yang telah musnah.
"Kaulah yang menghancurkannya," sahut Kaede. "Aku takkan memaafkanmu. Satu?satunya
yang bisa menghilangkan pen?deritaanku adalah melihatmu mati." Kaede menambahkan dengan
nada getir, "Satu hal terhormat yaitu mencabut nyawamu sendiri, tapi kau bukanlah ksatria dan
takkan melakukannya, kan?" "Sesuai janjiku padamu, aku takkan melakukannya," sahut Takeo dengan nada lirih.
"Aku membebaskanmu dari janji itu. Ini, ambil pisau ini! Habisi nyawamu, saat itulah baru aku
bisa maafkan!" Kaede menyodorkan pisau itu ke arah Takeo, menatap langsung ke wajahnya. Takeo tak ingin
menatapnya, takut istrinya terkena tatapan Kikuta. Ditatapnya pisau itu, tergoda untuk
menggunakannya, dan menikam dirinya sendiri. Tak ada rasa sakit di tubuhnya yang akan
terasa lebih sakit dibandingkan penderitaan yang menusuk jiwanya.
Takeo berkata, berusaha mengendalikan diri, mendengarkan kata-katanya yang
terdengar kaku dan formal seakan mereka tidak saling kenal, "Ada beberapa hal yang harus
diatur terlebih dulu. Masa depan Shigeko harus dipastikan. Kaisar telah mengakui dirinya. Baiklah,
ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu, tapi mungkin aku takkan sempat melakukannya.
Aku siap mengasingkan diri demi masa depan putri kita: aku yakin kau akan membuat kesepakatan
yang sesuai dengan Zenko."
"Kau takkan bertarung layaknya ksatria: kau takkan mati layaknya ksatria. Betapa hinanya
kupandang dirimu di mataku! Kurasa kini kau akan menyelinap diam-diam, seperti layaknya penyihir, dan
kau memang seperti itu."
Kaede bangkit, seraya berteriak, "Penjaga! Tolong! Ada penyusup!"
Gerakannya yang tiba-tiba membuat lentera padam. Paviliun seketika gelap gulita. Obor para
penjaga bersinar redup di sela-sela pepohonan. Dari kejauhan Takeo mendengar ayam jantan
berkokok. Katakata Kaede menyengat dirinya seperti pisau belati Kotaro yang beracun. Ia tak ingin ditemukan di
sini seperti pencuri atau buronan. Tak sanggup menanggung rasa malu lebih jauh lagi.
Takeo tak pernah begitu kesulitan menggunakan kemampuan menghilangnya. Konsentrasinya
buyar: merasa seakan dirinya hancur berkeping-keping. Ia berlari ke dinding taman lalu memanjat ke
atasnya, menyeberangi pelataran menuju dinding sebelah luar lalu merayap memanjatnya.
Saat di puncak, bisa dilihatnya ke bawah tempat permukaan parit berkilauan hitam pekat bak cairan
tinta. Langit semakin pucat di ufuk timur.
Di belakangnya terdengar derap langkah kaki. Ia kehilangan kemampuan menghilang,
mendengar keriat-keriut busur panah yang meregang, desing anak panah, dan setengah menyelam,
setengah terjatuh ke dalam air; terjun dengan tiba-tiba membuat napasnya terputus dan telinganya
berdengung kencang. Ia muncul ke permukaan, menghela napas, melihat anak panah di sebelahnya,
men?dengar kecipak air lain di sekitarnya. Ia menyelam lagi lalu berenang menuju ke tepian, menarik
dirinya untuk berlindung di bawah pepohonan willow.
Takeo menghela napas beberapa kali, mengibaskan air dari tubuh bak seekor anjing,
menghilang lagi lalu berlari melewati jalan-jalan menuju gerbang kota. Gerbang telah dibuka, dan orangorang yang
telah menunggu semalaman untuk meninggalkan kota, sudah berjalan melewatinya. Harta
benda Halaman 730 dari 730 mereka terbungkus dalam buntalan di kayu panggul atau dimuat ke dalam kereta kecil yang
ditarik dengan tangan, tatapan mata anak-anak mereka tampak serius dan kebingungan.
Takeo merasa amat iba melihat keadaan mereka, sekali lagi berada di bawah kekuasaan para
bangsawan. Di sela ke?sedihannya, ia berusaha mencari cara untuk menolong mereka, namun
ia merasa hampa, yang terpikirkan olehnya hanyalah, semuanya telah berakhir.
Di dalam benaknya dilihatnya taman di Terayama dan lukisan-lukisan yang tiada tandingannya,
mendengar kata-kata Matsuda bergema selama ini. Kembalilah kepada kami saat semua ini
telah berakhir. Akankah pernah berakhir" Kala itu ia bertanya.
Semua yang memiliki permulaan pasti ada akhirnya, sahut Matsuda saat itu.
Kini akhir dari segalanya telah tiba tanpa bisa dihindari; jaring tipis Surga telah menjerat
dirinya, seakan pada akhirnya menjerat semua makhluk hidup. Semuanya telah berakhir. Ia akan
kembali ke Terayama. Ditemukannya Gemba masih duduk bermeditasi di tepi hutan, kuda tengah makan rumput di
sampingnya, surai mereka berbintik-bintik dengan butiran embun. Kedua kuda itu mengangkat
kepala dan meringkik melihat kedatangannya.
Gemba tidak bicara, hanya menatap Takeo dengan matanya yang cerdas dan penuh welas
asih, kemudian berdiri dan memasang pelana, senantiasa bersenandung di balik napasnya. Bahu
Takeo terasa sakit lagi dan dirasakannya demam menyerangnya.
Matahari terbit, menghanguskan kabut saat mereka berjalan menyusuri jalanan sempit
menuju kuil, jauh di tengah pegunungan. Ada semacam rasa ringan menyelimuti dirinya. Segalanya
berangsur sirna di balik irama derap kaki kuda dan panasnya sinar matahari. Kesedihan, penyesalan, rasa
malu semuanya berbaur menjadi satu. Diingatnya keadaan seakan dalam mimpi yang pernah dialaminya saat di Mino
ketika pertama kali berhadapan dengan kekerasan penuh pertumpahan darah dari para ksatria. Kini
nampak baginya kalau dirinya memang sudah mati pada saat itu dan hidupnya sama tidak nyatanya
seperti kabut, mimpi tentang hasrat dan perjuangan yang terbakar habis bersama cahaya matahari
yang cerah serta menyilaukan.*
Shigeko melakukan perjalanan ke Inuyama dengan perlahan bersama banyak korban luka,
termasuk kuda ayahnya, Tenba dan orang yang dicintainya. Kendati sebagian besar dari mereka dalam
kondisi yang parah, Kahei telah memerintahkan mereka me?nunggu di dataran sementara pasukan
utama kembali ke Inuyama. Kondisi jalan yang curam dan sempit, dan keadaan yang sudah sangat
mendesak hingga mereka harus bergerak cepat. Ketika akhirnya jalan ber?angsur lebih lebar,
Shigeko mengira kalau kuda itu dan kirin sudah pulih, dan Hiroshi akan meninggal: di siang
hari ia meng?habiskan waktu untuk merawat mereka yang terluka bersama Mai. Di malam hari
dibiar?kannya kelemahan dalam dirinya membuat tawar-menawar yang mustahil, karena
Surga dan para dewa mengabulkan semua yang mereka inginkan kecuali menyelamatkan Hiroshi. Luka
Shigeko pulih dengan cepat: ia berjalan selama beberapa hari pertama; tak
masalah kalau ia berjalan terpincang-pincang karena mereka bergerak secara perlahan
menuruni jalur pegunungan. Korban yang luka mengigau atau mengoceh karena demam, dan setiap pagi
mereka harus me?ninggalkan orang yang meninggal di malam harinya. Betapa mengerikannya
kemenangan dalam perang, pikirnya.
Halaman 731 dari 731 Hiroshi berbaring tanpa mengeluh di tandu, terombang-ambing antara sadar dan tidak sadar.
Setiap pagi Shigeko berharap menemukan tubuh pemuda itu kaku dan dingin, namun meski
keadaannya tak kunjung membaik, Hiroshi belum mati. Pada hari ketiga, jalanan terasa lebih nyaman,
lerengnya tak lagi terlalu curam dan mereka mulai melintasi jarak yang lebih jauh antara matahari terbit
hingga matahari terbenam. Malam itu mereka beristirahat di desa pertama yang layak disinggahi.


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tersedia seekor sapi jantan dan gerobak, dan Hiroshi dipindahkan ke atasnya pada keesokan hari?nya.
Shigeko menaiki gerobak itu dan duduk di sampingnya, membasahi bibirnya dengan air serta
melindungi wajahnya dari sinar matahari. Tenba dan kirin berjalan ber?dampingan, keduanya
pincang. Tepat sebelum sampai di Inuyama, mereka bertemu Tabib Ishida dan iring-iringan kuda beban.
Iringiringan itu membawa kertas halus dan kain sutra untuk membalut luka, begitu pula dengan tanaman
obat-obatan dan salep. Dengan perawatannya, banyak dari mereka yang terluka bisa sembuh.
Meskipun Ishida tidak menjanjikan apa-apa kepada Shigeko, dalam diri gadis itu muncul
secercah harapan kalau Hiroshi mungkin termasuk di antara mereka yang bisa sembuh.
Suasana hati Ishida murung, jelas kalau pikirannya ada di tempat lain. Saat sedang tidak sibuk
merawat orang sakit, ia suka berjalan di samping kirin yang jalannya semakin melambat.
Hewan itu nampak jelas tengah kesakitan: kotorannya hampir seperti cairan, dan tulang-tulangnya
menonjol seperti benjolan. Namun kirin tetap lembut seperti biasa, dan kelihatannya senang ditemani
Ishida. Shigeko mengetahui tentang kematian adik bungsunya dan ternyata ibunya kehilangan akal
karena sedih; ia ingin sekali pulang ke Negara Tengah untuk menemani ayahnya. Juga sangat khawatir
dengan si kembar. Ishida mengatakan pernah bertemu
Miki di Hagi, tapi tidak ada yang tahu di mana Maya berada. Setelah satu minggu di Inuyama,
Ishida juga mengatakan harus pergi ke Hofu karena tidak bisa berhenti memikir?kan istrinya,
Shizuka. Namun mereka juga tidak mendapat kabar apa-apa, dan tanpa kabar sepertinya akan menjadi
tindakan bodoh mengambil resiko untuk melanjutkan perjalanan: mereka tidak tahu siapa
yang menguasai Hofu; di mana Zenko bersama pasukannya berada atau sudah seberapa jauh Kahei
dalam perjalanan pulang. Lagipula, kirin tidak bisa berjalan lebih jauh lagi, begitu pula Hiroshi. Shigeko kembali kepada
keputusannya untuk tetap di Inuyama sampai mendapat kabar dari ayahnya. Ia memohon pada
Ishida untuk menemaninya dan membantunya merawat korban luka dan kirin, dan tabib itu dengan
enggan menyetujui. Shigeko amat berterima kasih karena keberadaan Ishida sangat berarti baginya:
Shigeko memaksa Ishida untuk menceritakan semua yang diketahuinya kepada Minora dan memastikan
semua peristiwa, walaupun buruk, dicatat dengan baik.
Bulan dari bulan kedelapan berada dalam bentuk seperempat sewaktu pembawa pesan
akhirnya tiba, tapi baik mereka maupun surat yang mereka bawa bukanlah yang diharapkan Shigeko.
Mereka datang naik kapal dari Akashi dan mengenakan lencana Saga Hideki di jubah, bersikap
penuh hormat dan kerendahan hati serta meminta berbicara dengan Lady Maruyama. Shigeko
terkejut: terakhir kali dilihatnya Lord Saga dibuat buta oleh panah?nya. Jika ia bisa menduga sesuatu
datang dari laki-laki itu, maka tak lain adalah kapal perang. Untuk pertama kalinya selama
ber?mingguminggu Shigeko baru menyadari bagaimana keadaan dirinya. Ia mandi dan mengeramasi rambut
panjangnya, lalu meminjam jubah indah dari bibinya, Ai, karena semua benda miliknya sudah
ditinggalkan dalam perjalanan pulang dari ibukota. Diterimanya para utusan itu di raang
pertemuan kediaman kastil: mereka membawa banyak hadiah, dan surat yang ditulis sendiri oleh Saga
Hideki. Shigeko menyambut mereka dengan sikap anggun, seraya menyembunyikan rasa malu?nya.
"Kurasa Lord Saga sehat-sehat saja,"
tanyanya. Mereka meyakinkan dirinya kalau Saga sudah pulih dari luka yang dideritanya akibat
perang; mata kirinya buta, tapi selain itu kesehatannya baik-baik saja.
Shigeko memberi perintah untuk meng?hibur para utusan itu dengan upacara semewah
mungkin. Kemudian ia meng?undurkan diri untuk membaca surat Lord Saga untuknya. Dia pasti
mengancam, Halaman 732 dari 732 pikirnya, atau memberi hukuman yang setimpal. Namun ternyata isi surat itu agak berbeda,
hangat dan penuh hormat. Saga menulis bahwa dia sangat menyesali serangannya atas Lord Otori: merasa bahwa satusatunya
strategi untuk hasil akhir yang memuaskan adalah menghapuskan ancaman dari Arai terhadap
Otori; pernikahan antara dirinya dan Lady Maruyama bisa me?negaskan hal itu. Bila Shigeko setuju
ditunangkan, maka ia akan segera menyebar pasukannya untuk bertempur bersama Lord Ototi
beserta komandannya, Miyoshi Kahei. Saga tak menyebut tentang luka yang dideritanya:
setelah selesai membaca surat itu, Shigeko merasakan, bersama dengan keheranan dan marah,
sesuatu yang mirip dengan kekaguman. Disadarinya kalau Saga
berharap mengambil alih kendali atas Tiga Negara, pertama dengan ancaman, kemudian
dengan dalih, dan terakhir dengan kekerasan. Laki-laki itu sudah kalah dalam satu peperangan,
namun belum menyerah: justru sebaliknya; dia menyiapkan serangan lain; tapi kemudian mengubah
taktiknya. Shigeko kembali ke ruang pertemuan dan mengatakan kepada para tamunya bahwa dia akan
menulis surat balasan kepada Lord Saga keesokan harinya. Setelah mereka ber?istirahat, Shigeko pergi
ke ruangan tempat Hiroshi berbaring di dekat pintu-pintu yang terbuka, menghadap ke taman.
Aroma dan suara malam musim panas memenuhi udara. Shigeko berlutut di sampingnya. Hiroshi
terjaga. "Apakah kau kesakitan?" tanya Shigeko pelan.
Hiroshi menggeleng pelan sekali, tapi Shigeko tahu kalau laki-laki itu berbohong; bisa dilihat
betapa kurus badannya, kulitnya mengencang dan menguning di atas tulang?nya.
"Ishida bilang kalau aku takkan mati, kali ini," ujar Hiroshi. "Tapi dia tidak bisa ber?janji kalau
aku bisa menggunakan kedua kakiku dengan baik lagi. Aku sangsi akan bisa menunggang kuda lagi, atau berguna dalam
perang." "Kuharap kita tak perlu lagi berperang seperti itu," sahut Shigeko. Diraihnya tangan Hiroshi;
meletakkan di dalam genggaman kedua tangannya. Tangan itu selemah dan sekering helaian
daun di musim gugur. "Kau masih demam."
"Hanya sedikit. Malam ini terasa panas." Tiba-tiba air mata mengambang di pelupuk mata
Shigeko. "Aku takkan mati," kata Hiroshi lagi. "Jangan menangisi diriku. Aku akan kembali ke Terayama
dan mengabdikan diriku sepenuhnya pada Ajaran Houou. Aku tak percaya kalau kita gagal: kita
pasti telah melakukan kesalahan, melupakan sesuatu."
Suaranya kian melemah, dan Shigeko bisa melihat kalau laki-laki itu sudah pergi ke dunia lain.
Matanya terpejam. "Hiroshi," serunya ketakutan.
Tangan Hiroshi bergerak lalu meng?genggam tangan Shigeko. Bisa dirasakannya tekanan jari
pemuda itu; nadinya berdenyut, lemah namun teratur. Shigeko berkata, tidak tahu Hiroshi
mendengarnya atau tidak, "Lord Saga menulis surat, menyarankan lagi kalau sebaiknya aku menikah dengannya."
Hiroshi tersenyum tipis. "Tentu saja kau akan menikah dengannya."
"Aku belum memutuskan," sahutnya. Shigeko duduk memegangi tangan Hiroshi semalaman,
sementara pemuda itu ter?ombang-ambing antara keadaan tidur dan terjaga. Dari waktu ke
waktu mereka berbincang, tentang kuda dan masa kecil mereka di Hagi. Shigeko merasa sedang
mengucapkan selamat tinggal pada Hiroshi; kalau mereka takkan berada sedekat ini lagi.
Mereka berdua bak bintang yang beterbaran di langit, yang nampak saling berdekatan namun
kemudian berayun terpisahkan oleh gerakan tak terelakkan dari surga. Sejak malam itu, lintasan nasib
menjauhkan diri mereka dari satu dengan yang lainnya, meski mereka berdua tak akan
berhenti merasakan kasih sayang yang tak kasat mata.
*** Halaman 733 dari 733 Seakan menjawab tawar-menawar yang tak
terucapkan dari mulut Shigeko, ternyata
kirin yang mati. Ishida, dengan pikirannya
yang sangat kacau, datang memberi-tahu Shigeko keesokan sorenya.
"Tadinya sudah lebih baik," tuturnya. "Kukira hewan itu sudah melewati masa kritisnya. Tapi
kemudian berbaring saat malam hari lalu tidak bangun lagi. Sungguh hewan yang malang. Aku berharap
tidak pernah membawa nya kemari."
"Aku harus melihatnya," ujar Shigeko, lalu pergi bersama Ishida ke istal di sisi mata air padang
rumput, tempat dibangun sebuah kandang. Shigeko pun merasakan kesedihan menyelimuti
dirinya melihat kematian hewan yang cantik serta lembut itu. Saat dilihatnya hewan itu, besar dan
terbaring kaku tak bernyawa, mata dengan bulu mata panjang?nya tampak suram dan penuh debu.
Shigeko merasakan firasat kuat dengan kejadian ini,
"Inilah akhir dari segalanya," tuturnya pada Ishida. "Kirin muncul saat penguasa bersikap adil
dan negara penuh damai: kematiannya berarti semuanya telah sirna."
"Kirin hanyalah hewan biasa," sahut Ishida. "Luar biasa dan menakjubkan, tapi bukan berasal
dari dongeng." Kendati demikian, Shigeko tak bisa menyingkirkan keyakinan kalau ayahnya sudah tiada.
Disentuhnya kulit lembut kirin yang masih kelihatan berkilau, dan teringat kata?kata Saga.
"Dia akan mendapatkan keinginannya," katanya dengan lantang. Diperintahkannya agar hewan
itu dikuliti untuk diawetkan. Ia akan mengirimnya, bersama surat balasannya kepada Lord Saga.
Shigeko kembali ke penginapan, meminta dibawakan atat tulis. Ketika pelayan kembali,
Minoru datang bersama mereka. Selama beberapa hari terakhir Shigeko merasa kalau Minoru ingin
bicara berdua saja dengannya tapi tak pernah ada kesempatan. Kini Minoru berlutut di hadapannya
dan meng?haturkan sebuah gulungan kertas.
"Ayahanda Lady Maruyama memerintah?kan aku untuk menaruh ini di tangan Lady Maruyama,"
katanya dengan suara pelan. Ketika Shigeko mengambilnya, Minoru membungkuk hormat
sampai ke lantai di hadapannya, orang pertama yang meng?hormati dirinya sebagai penguasa Tiga
Negara.* Dari Kubo Makoto, untuk Lady Otori. Aku ingin menceritakan kepadamu tentang hari?hari
terakhir dalam hidup suamimu. Kala itu sudah hampir musim gugur di pegunungan di sini. Malam-malam terasa dingin. Dua
malam yang lalu, aku mendengar suara burung hantu rajawali di pemakaman, tapi tadi malam sudah
tidak ada. Burung itu sudah terbang ke selatan. Dedaunan mulai berganti warna: tak lama lagi kami
akan melihat es pertama, lalu salju.
Takeo datang ke biara kami bersama Miyoshi Gemba di awal bulan kedelapan; aku lega
melihatnya masih hidup, karena kami sudah mendengar kehancu ran Hagi dan pasukan Zenko sudah
sampai ke Yamagata. Menurutku jelas terlihat bahwa tidak ada serangan di Tiga Negara bisa berhasil
saat Takeo masih hidup, dan aku tahu Zenko akan berusaha membunuhnya sesegera mungkin.
Kala itu waktu tengah hari Takeo dan Gemba berkuda dari Yamagata. Hari itu
Halaman 734 dari 734 cuaca terasa sangat panas; mereka tidak datang terburu-buru, tapi lebih dengan cara yang
menyenangkan, seperti peziarah. Jelas sekali kalau mereka kelelahan, dan Takeo agak
demam... tapi mereka tidak putus asa dan kelelahan layaknya buronan. Takeo mencerita?kan tentang
pertemuannya denganmu di malam sebelumnya. Semuanya merupakan masalah antara suami
dan istri, dan orang luar tidak bisa ikut campur. Yang bisa kukatakan hanyalah aku sangat
menyesal, namun tidak terkejut. Cinta penuh hasrat tidak bisa hilang begitu saja, namun berubah
menjadi hasrat yang lain, yaitu kebencian, kecemburuan serta kekecewaan. Perasaaan yang terjadi antara
laki-laki dan perempuan tidak bisa diungkapkan dalam satu kata kecuali berbahaya. Aku sudah
jelaskan berulangkali tentang perasaanku kepada Takeo.
Kemudian kusadari bahwa kejadian kau diberitahu tentang rahasia itu adalah bagian dari
rencana persekongkolan panjang untuk mengasingkan Takeo di biara, tempat kami semua bersumpah
untuk tidak membunuh, serta tidak bersenjata.
Memang, hal pertama yang dilakukan Takeo yaitu menyingkirkan Jato dari sabuk?nya.
"Aku datang untuk melukis," tuturnya saat menyerahkan pedang itu kepadaku. "Kau pernah
merawat pedang ini untukku. Sekarang aku meninggalkannya di sini sampai putriku, Shigeko, datang
mengambilnya. Pedang ini diletakkan ke tangan Shigeko oleh Kaisar."
Kemudian dia berkata, "Aku takkan mem?bunuh lagi. Belum aku begitu gembira seperti saat
ini." Kami pergi bersama ke makam Lord Shigeru. Takeo menghabiskan sisa hari itu di sana.
Biasanya banyak peziarah yang datang, tapi karena ada kabar bahwa perang maka tempat itu sepi.
Setelah itu dia mengatakan tentang kekhawatirannya kalau rakyatnya akan mengira dia meninggalkan
mereka, tapi mustahil baginya untuk berperang melawan?mu. Aku sendiri mengalami pergulatan batin
terbesar yang pernah kualami sejak pertama kali bersumpah untuk takkan membunuh lagi Aku tak
sanggup melihat kepasrahannya menerima kematian. Semua perasaaan manusiawi dalam diriku
membuatku ingin mendesaknya untuk membela diri, untuk
menghancurkan Zenko, dan harus kuakui, juga menghancurkan dirimu. Aku berjuang sekuat
tenaga mengendalikan semua perasaan ini siang dan malam.
Takeo sepertinya tidak mengalami per?gulatan batin dalam dirinya. Malah hampir kelihatan
gembira, meski kutahu ia merasakan kesedihan yang amat dalam. Bersedih atas kematian putranya,
dan tentu saja, perpisahan denganmu, namun dia telah menyerahkan kekuasaan pada Lady Shigeko dan
membuang semua hasratnya. Sedikit demi sedikit campuran semua perasaan yang diperkuat
ini melampaui kami semua yang ada di biara ini Semua yang kami lakukan, dari tugas biasa
sehari-hari, sampai ke waktu sakral melantunkan doa dan meditasi seperti tersentuh oleh suatu kesada
ran yang

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat mulia. Takeo mengabdikan dirinya untuk melukis; mempelajari dan membuat banyak sketsa burung.
Di suatu hari sebelum kematiannya, dia menyelesaikan panel yang hilang di layar kasa kami.
Kuha rap kau bisa melihatnya kelak. Burung-bu rung itu kelihatan begitu hidup hingga mengelabui
kucingkucing di biara, dan kerap terlihat mengejar mereka.
Setiap hari aku setengah be rha rap melihat burung-burung itu sudah terbang.
Takeo juga merasa sangat terhibur dengan kehadi ran putrinya, Miki. Haruka membawa?nya
dari Hagi "Aku tidak bisa memikirkan temp at lain yang bisa kami tuju," kata Haruka padaku. Kami
saling mengenal, bertahun-tahun lalu ketika Takeo berjuang mati-matian setelah gempa dan
pertarungan dengan Kotaro. Aku sangat menyukainya. Haruka banyak akal dan pandai, dan kami sangat
berterima kasih kepadanya karena telah membawa Miki kemari.
Perasaan Miki terguncang dengan semua peristiwa mengerikan yang disaksikannya, hingga
membuatnya membisu. Ia membuntuti ayahnya seperti bayangan. Takeo menanyakan tentang
saudara kembarnya, tapi Miki tidak tahu di mana Maya berada; dia tidak bisa berbicara
dengan ayahnya selain dengan isyarat tangan.
*** Halaman 735 dari 735 menatap keindahan dan ketenangan taman di luar. Haruskah diceritakannya pada Lady Otori
tentang semua yang Takeo tahu tentang Maya dan kematian bayi laki?lakinya" Ataukah membiarkan
kebenaran tetap menjadi rahasia yang dibawa ke alam baka" Diambilnya kuas lagi, tinta baru membuat
huruf-hurufnya kelihatan tebal.
*** Di pagi hari kematiannya, Takeo dan Miki berada di taman. Takeo sudah mulai melukis sebuah
lukisan baru"lukisan kuda. Gemba dan aku baru saja keluar untuk bergabung dengan mereka.
Waktu kira-kira menunjukkan setengah jam dari Waktu Kuda, seperempat kedua bulan
kedelapan, cuaca sangat panas. Siraman derik jangkrik kedengaran lebih kuat dari biasanya. Ada dua
jalan yang mengarah ke biara: jalan utama pertama dari penginapan menuju gerbang biara, dan yang
kedua mengikuti aliran sungai, lebih banyak ditum-buhi tanaman dan lebih sempit, mengarah
langsung ke taman. Melalui jalan inilah Kikuta masuk.
Takeo mendengar lebih dulu kedatangan mereka dibandingkan yang lainnya, dan sepertinya
langsung tahu siapa mereka. Aku belum pernah bertemu Akio, kendati aku tahu semua
tentang dirinya, dan aku sudah tahu tentang anak itu selama bertahun-tahun lamanya, juga tentang
ramalan itu. Aku minta maaf kalau aku mengetahuinya sedang kau tidak. Andai suamimu
menceritakannya padamu bertahun-tahun yang lalu, tak diragukan lagi segalanya akan berbeda, namun dia
memilih untuk tidak menceritakannya; dengan demikian kita membangun nasib kita sendiri.
Aku melihat dua orang laki-laki berjalan cepat memasuki taman; di sisi laki-laki yang lebih
muda melompat seekor kucing besar berbulu hitam, putih dan emas, kucing paling besar yang
pernah kulihat. Sesaat kukira itu singa. Takeo berkata pelan, "Itu Akio; bawa Miki pergi." Tak satu pun
dari kami bergerak, kecuali Miki, yang berdiri lalu bergerak men?dekati ayahnya.
Pemuda itu memegang sepucuk senjata. Aku mengenali benda itu adalah senjata api, walau
bentuknya jauh lebih kecil dibandingkan dengan senjata yang digunakan Otori, dan
Akio memegang seperiuk arang yang berasap. Aku teringat dengan bau asap itu dan bentuknya
yang lurus menjulang di udara yang tenang.
Takeo menatap pemuda itu. Kusadari kalau itu adalah putranya"saat itu pertama kalinya ayah
dan anak saling memandang. Mereka tidak terlalu mirip, namun tetap ada kemiripannya; warna
rambut dan kulit mereka. Takeo benar-benar tenang, dan sikapnya membuat pemuda itu terpaku"Hisao, begitu dia
dipanggil, walau kurasa kami akan mengganti namanya. Akio berteriak pada nya. "Lakukan! Lakukan!"
Tapi Hisao seperti membeku. Perlahan ditaruh tangannya di atas kepala kucing itu, lalu mendongak
seakan ada orang yang sedang bicara dengannya. Bulu kudukku berdiri. Aku tidak melihat apaapa,
tapi Gemba bilang, "Aku bisa merasakan kehadi ran arwah orang mati ada di sini"
Hisao berkata kepada Takeo, "Ibuku bitang kalau kau adalah ayahku."
Takeo menjawab, "Aku memang ayahmu." Akio terus berteriak, "Dia bohong. Akulah ayahmu.
Bunuh dia! Bunuh dia!" Takeo berkata, "Aku memohon agar ibumu memaafkan aku dan kau juga."
Hisao tertawa tak percaya. "Aku membenci?mu seumur hidupku!"
Akio memekik, "Dia adalah Si Anjing"dia harus membayar kematian Kikuta Kotaro dan banyak
lagi nyawa dari kalangan Tribe."
Hisao menaikkan senjata api itu. Takeo bicara dengan jelas, "Jangan coba halangi dia; jangan
sakiti dia." Tiba-tiba taman dipenuhi dengan burung, berbulu emas; cahaya matahari menyilaukan, Hisao
menjerit, "Aku tak bisa melakukannya. Ibu tidak membiarkanku melakukannya,"
Halaman 736 dari 736 Beberapa peristiwa terjadi di waktu bersamaan. Gemba dan aku berusaha menyatukan
kepingankepingannya tapi kami berdua melihatnya dengan panda ngan yang agak berbeda. Akio merampas
senjata api itu dari Hisao, lalu mendorongnya ke samping. Kucing itu melompat menyerang
Akio, membenamkan cakarnya di wajah laki-laki itu. Miki berteriak, "Maya!" Kemudian terjadi
kitatan dan ledakan yang memekakkan telinga, aroma daging dan bulu yang terbakar.
Senjata itu ternyata salah tembak, dan entah mengapa meledak. Tangan Akio terbakar, lalu
tak lama kemudian mati kehabisan darah. Hisao terpaku, dan mengalami luka bakar di
wajahnya, tapi selain itu dia tidak terluka. Kucing itu sekarat. Miki berlari menghampiri, menyebut-nyebut
nama saudara kembarnya; aku belum pernah melihat pemandangan yang begitu mencengangkan:
Miki nampak berubah menjadi sebilah pedang. Cahaya yang terpantul darinya membutakan mata
kami. Gemba dan aku merasakan kalau ada sesuatu yang ditebas. Kucing itu berubah wujud saat
Miki meng?hempaskan tubuh menimpanya, dan ketika kami bisa melihat lagi, Miki tengah memeluk
saudara kembamya yang sudah mati. Kami percaya kalau ternyata Miki menyelamatkan Maya
dari menjadi roh kucing untuk selamanya, dan kami berdoa agar kelahiran kembali Maya terjadi
dalam kehidupan yang lebih baik, tempat orang kembar tidak dibenci dan ditakuti.
Takeo berlari menghampiri mereka berdua, lalu memeluk keduanya. Tatapan matanya
bersinar, bak permata. Kemudian dia meng?hampiri Hisao dan membantunya berdiri lalu memeluknya, atau
yang tadinya kami kira begitu. Tapi sebenarnya dia sedang mencari?cari senjata rahasia Tribe di
balik pakaian pemuda itu. Dia menemukan yang dicarinya, menariknya lalu mencengkeramkan tangan
pemuda itu pada pegangannya. Dia tak ber?henti menatap pemuda itu selagi mengarahkan pisaunya ke
perutnya sendiri, menyayat dan memutarnya. Mata Hisao berkaca-kaca dan ketika Takeo melepaskan
tangannya dan mulai terhuyung-huyung, kaki Hisao juga tertekuk sewaktu terjatuh terkena
tatapan tidur Kikuta. Takeo jatuh berlutut, di sebelah putranya yang tertidur.
Kematian tak bisa dicegah akibat dari luka di perutnya, mengerikan dan menyakitkan. Aku
berkata kepada Gemba, "Ambil Jato, " dan ketika dia kembali membawa Jato, aku membantu pedang
itu melaksakanan tugas terakhirnya bagi tuannya. Aku takut kalau aku akan mengecewakannya
namun pedang itu memahami kegunaannya sendiri dan melompat dari tanganku.
Udara penuh dengan burung memekik ketakutan, dan bulu emas dan putih beterbangan ke
tanah, menutupi genangan darah yang mengalir dari tubuhnya.
Itulah terakhir kalinya kami melihat burung houou. Mereka telah meninggalkan hutan. Siapa
yang tahu kapan mereka akan kembali"
Pada bagian ini, dia merasa kesedihan meliputi dirinya lagi. Sejenak dibiarkannya perasaan itu
menguasai dirinya, meng?hormati kematian sahabatnya dengan air mata. Tapi ada satu lagi
yang harus ditulis. Ia mengangkat kuas lagi.
*** Dua dari anak Takeo tinggal bersama kami Kami akan merawat Hisao di sini. Gemba percaya
bahwa dari kejahatan yang sedemikian kejinya bisa lahir sebuah jiwa yang besar. Kita lihat saja
nanti. Gemba mengajaknya masuk ke dalam hutan; anak itu tertarik pada hewan liar dan pemahaman yang
mendalam tentang mereka. Dia sudah mulai membuat ukiran?uki ran berbentuk hewan itu,
yang kami anggap sebagai pertanda baik. Kami rasa Miki membutuhkan kehadi ran ibunya bila ingin
memulihkan semua kesedihannya, dan aku memintamu untuk memanggilnya. Haruka bisa mengantarnya
kepadamu. Dalam diri Miki sudah terdapat jiwa yang besar, namun dia sangat rapuh. Dia
membutuhkan dirimu. Makoto menatap ke arah taman lagi dan melihat Miki sedang termangu: dia begitu kurus
hingga mirip hantu. Miki sering meng?habiskan waktu di sana, tempat ayah dan saudara kembamya
meninggal. Makoto menggulung suratnya lalu menaruhnya bersama dengan surat yang lainnya yang
ditulisnya untuk Kaede. Ia mengulang kisah itu berkali-kali, dengan banyak selingan. Kadang
mengungkapkan Halaman 737 dari 737 rahasia Maya, kadang menggunakan kata?kata bijak Takeo tentang perpisahan, untuk Kaede,
untuk dirinya sendiri. Versi surat yang jujur tanpa hiasan kata-kata ini dirasakannya hampir
mendekati yang sebenarnya. Kendati demikian, ia tak bisa mengirimkannya karena tidak tahu di mana Kaede
berada, atau apakah dia masih hidup atau sudah mati.*
Daun-daun telah berguguran; pepohonan telah telanjang; burung-burung yang terakhir
bermigrasi telah melintasi langit dalam barisan panjang bak goresan kuas ketika Kaede datang ke
Terayama saat bulan purnama dari bulan kesebelas.
Kaede mengajak kedua anak laki-laki, keponakannya, Sunaomi dan Chikara.
"Aku senang bertemu dengan Sunaomi di sini," ujar Gemba saat keluar menyambut mereka.
Dia sudah pernah bertemu Sunaomi tahun lalu, ketika bocah itu melihat burung houou.
"Merupakan keinginan suamimu bila anak ini ikut dengan kami."
"Mereka tidak tahu lagi harus pergi ke mana," sahut Kaede. Dia tak ingin berkata lebih banyak
lagi di hadapan mereka berdua. "Ikutlah bersama Lord Gemba," desaknya pada mereka. "Lord Gemba
akan menunjuk?kan tempat tinggal kalian."
"Putrimu sedang ke hutan bersama Haruka untuk mencari jamur." ujar Gemba.
"Putriku ada di sini?" tanya Kaede. Dia merasa hampir pingsan, lalu bertanya dengan
tersendatsendat, "Putriku yang mana?"
"Miki," sahut Gemba. "Lady Otori, mari masuk dan silakan duduk. Kau telah melalui perjalanan
panjang; hari ini cuaca dingin. Aku akan memanggil Makoto dan dia akan menceritakan
semuanya kepadamu." Kaede menyadari kalau ia berada di ambang kehancuran. Selama berminggu?minggu
merasakan kalau dirinya sudah mati rasa diterpa kesedihan serta keputusasaan. Ia telah mundur
memasuki keadaan dingin membeku seperti es, seperti yang pernah dialaminya ketika masih muda dan
kesepian. Di tempat ini segalanya mengingatkan dirinya pada Takeo dengan ingatan sebening
kaca. Tanpa sadar ia berkhayal kalau Takeo berada di sini, walau sudah mendengar tentang kabar
kematiannya. Kini dilihatnya betapa bodohnya khayalan itu: Takeo tidak ada di sini; dia telah
tiada, dan ia takkan berjumpa lagi dengannya.
Genta biara berdentang, dan Kaede men?dengar langkah kaki di seberang lantai papan.
Gemba berkata, "Mari ke aula. Aku akan
minta diambilkan tungku bara, juga teh. Kau tampak kedinginan."
Kebaikan Gemba membuat air matanya berlinang. Chikara juga mulai terisak.
Sunaomi bicara, berusaha menahan tangis, "Jangan menangis, adikku. Kita harus ber?sikap
berani." "Mari," ajak Gemba. "Kami akan ambil?kan makanan untuk kalian, dan Kepala Biara kami akan
bicara dengan Lady Otori." Mereka berdiri di lorong biara di pelataran utama.
Kaede melihat Makoto datang dari arah yang berlawanan, hampir berlari melintasi jalan
beraspal di sela pepohonan ceri yang gundul. Kaede tak sanggup melihat ekspresi di wajah Makoto.
Ditutupi wajahnya dengan lengan bajunya.
Makoto meraih tangan Kaede yang satunya dan menopang tubuhnya, saat menuntunnya
dengan penuh kelembutan menuju ke aula tempat lukisan-lukisan Sesshu disimpan.
Halaman 738 dari 738 "Mari duduk di sini sebentar," ujarnya. Hembusan napas mereka terlihat putih. Seorang
biarawan datang membawa tungku bara, dan tak lama setelah itu kembali
membawa teh, namun tak satu pun dari keduanya meminumnya.
Berusaha untuk bicara, Kaede berkata, "Aku harus menceritakan tentang kedua bocah itu
kepadamu. Zenko dikepung dan dikalahkan oleh Saga Hideki dan Miyoshi Kahei sebulan lalu. Putri
sulungku, Shigeko, ditunangkan dengan Lord Saga. Mereka akan menikah pada Tahun Baru. Tiga Negara
diambil alih oleh Saga, dan akan disatukan dengan sisa wilayah Delapan Pulau di bawah
Kaisar. Takeo meninggalkan surat wasiat yang menyatakan persyaratannya dan Saga menyetujui
semuanya. Shigeko akan memerintah Tiga Negara dengan derajat yang sama dengan Saga. Maruyama
akan

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diwariskan kepada pewaris keturunan perempuan darinya, dan Saga telah berjanji takkan ada
perubahan dalam cara kami memerintah."
Sesaat Kaede diam membisu.
"Itu hasil akhir yang baik," ujar Makoto lembut. "Tujuan Takeo akan tetap diper?tahankan dan
itu berarti berakhirnya peperangan."
"Zenko dan Hana diperintahkan bunuh diri," lanjut Kaede. Membicarakan masalah
ini agak membantunya untuk mengendalikan diri. "Sebelum mati, adikku membunuh putra
bungsunya daripada meninggalkannya. Tapi aku berhasil membujuk Lord Saga, melalui putriku, untuk
membiarkan Sunaomi dan Chikara tetap hidup, dengan syarat mereka dibesarkan di sini. Saga
adalah orang yang kejam dan pragmatis: mereka akan selamat selama tidak ada orang yang mencoba
memanfaatkan mereka sebagai pemimpin. Saga akan membunuh mereka bila melihat ada
tandatanda akan hal itu. Tentu saja, mereka akan kehilangan nama keluarganya: Klan Arai harus
dihancurkan. Orang-orang asing diusir dan agama mereka dihancurkan. Kurasa kaum Hidden
akan bersembunyi lagi." Kaede tengah memikirkan Madaren, adik Takeo. Apa yang akan terjadi padanya" Apakah Don
Joao mengajaknya ikut bersamanya" Atau malah akan ditinggalkan lagi"
"Tentu saja kedua anak itu disambut baik di sini," ujar Makoto. Setelah itu, keduanya diam
membisu. Akhirnya Kaede angkat bicara, "Lord Makoto, aku ingin meminta maaf padamu.
Aku selalu merasa tidak suka, bahkan bersikap tidak ramah padamu, namun kini, dari semua
orang yang ada di dunia ini, hanya kaulah orang yang kuinginkan untuk menemaniku. Bolehkah aku
juga tinggal di sini untuk beberapa waktu?"
"Kau dapat tinggal selama yang kau inginkan. Kehadiranmu bisa menghiburku," sahutnya. "Kita
berdua mencintainya."
Kaede melihat air mata mengambang di pelupuk mata Makoto. Lalu Makoto meraih sesuatu
dari belakangnya dan mengeluarkan segulung kertas dari kotak di lantai, "Aku berusaha menulis
semua yang telah terjadi dengan sejujur-jujurnya. Bacalah saat kau sudah merasa mampu
melakukannya." "Aku harus membacanya sekarang," ujar Kaede, harinya berdebar kencang. "Maukah kau
menemani saat aku membacanya?"
*** Setelah selesai baca, ditaruhnya gulungan kertas itu dan melihat keluar ke arah taman. "Dia
duduk di sini?" Makoto mengangguk. "Dan ini layar kasanya?" Kaede berdiri lalu melangkah mendekati. Burung-burung gereja
itu menatapnya dengan sinar mata yang bercahaya. Diulurkan tangannya untuk menyentuh
permukaan lukisan itu. Halaman 739 dari 739 "Aku tak bisa hidup tanpa dirinya," tiba?tiba Kaede bicara. "Diriku dipenuhi rasa ber?salah dan
menyesal. Aku mengusirnya hingga jatuh ke tangan para pembunuhnya. Aku takkan sanggup
memaafkan diriku." "Tak seorang pun dapat menghindari nasib," bisik Makoto. Kepala biara itu berdiri dan
menghampiri Kaede hingga mereka saling berhadapan. "Aku juga merasa tak akan bisa terlepas dari
kesedihanku, tapi aku berusaha dan menghibur diri dengan mengetahui bahwa Takeo mati dengan cara yang
sama ketika dia hidup: tanpa rasa takut dan tetap welas asih. Dia menerima kalau waktunya telah
tiba, dan meninggal dengan penuh ketenangan. Dimakamkan seperti keinginannya, di samping makam
Shigeru. Dan seperti Shigeru, dia tidak akan terlupakan. Terlebih lagi, dia meninggalkan anak-anaknya,
dua putri dan seorang putra."
Kaede berpikir, aku tak siap untuk menerima kehadiran putranya. Akankah aku siap
menerimanya" Dalam hatiku, yang bisa kurasakan hanyalah kebencian kepadanya dan
kecemburuan pada ibunya. Seka rang Takeo berada bersama Yuki. Akankah mereka bersama
dalam semua kehidupan masa datang mereka, akankah aku bisa berjumpa lagi dengannya" Apakah
jiwa kami akan terpisahkan untuk selamanya"
"Putranya mengatakan bahwa para arwah kini sudah beristirahat dengan tenang," lanjut
Makoto. "Arwah ibunya telah meng?hantui seumur hidupnya, tapi kini dia telah terbebas darinya. Kami
rasa dia adalah seorang shaman. Bila penyimpangan dalam dirinya bisa diluruskan, maka dia bisa
men?jadi sumber kearifan dan karunia."
"Maukah kau tunjukkan tempat suamiku meninggal?" bisik Kaede.
Makoto mengangguk dan melangkah keluar ke beranda. Kaede memakai sandal. Sinar
matahari kian meredup; taman kehilangan semua warnanya, tapi di atas batu-batu tempat Takeo meninggal
ada percikan darah, mengering hingga berwarna kecoklatan. Kaede membayangkan kejadian?nya,
tangan Takeo memegang pisau itu, bilahnya menembus tubuhnya, darah ter?pancar dari tubuhnya.
Kaede terpuruk di atas tanah, menangis hingga tubuhnya terguncang.
Aku akan melakukan hal yang sama, pikirnya. Aku tak tahan menanggung beban derita ini.
Diraba pisau miliknya, pisau yang selalu ada di balik jubahnya. Sudah berapa kali ia berencana
mencabut nyawanya sendiri" Di Inuyama, di rumahnya di Shirakawa, kemudian berjanji
kepada Takeo untuk tidak menghabisi nyawanya sendiri sampai Takeo mati lebih dulu. Diingatnya
dengan hati pedih kata-kata yang ia ucapkan pada Takeo. Ia memaksa suaminya untuk menghabisi
nyawanya sendiri, dan dia telah melakukan?nya. Kini ia akan melakukan hal yang sama. Dirasakannya
sebersit kebahagiaan. Jiwa dan raganya akan mengikuti suaminya.
Aku harus melakukan dengan cepat, pikirnya. Jangan sampai Makoto menghalangi.
Tapi bukan Makoto yang membuat pisau itu terjatuh dari tangannya; tapi teriakan seorang
gadis dari aula yang mencegahnya, "Ibu!"
Miki berlari ke taman, telanjang kaki, rambutnya tergerai. "Ibu! Ibu sudah datang!"
Kaede melihat dengan terkejut betapa saat ini Miki sangat mirip Takeo, lalu melihat dirinya
sendiri dalam diri putrinya, di usia itu, di ambang kedewasaan. Dulu ia adalah sandera, sendirian dan
tidak terlindung: sepanjang masa remajanya, ibunya tidak berada di sampingnya. Dilihatnya
kesedihan Miki dan berpikir, Aku tidak bisa menambah kesedihannya. Teringat olehnya kalau Miki telah
kehilangan saudara kembarnya dan air matanya berlinang lagi menangisi Maya, menangisi anaknya. Aku
harus hidup demi Miki, dan demi Sunaomi juga Chikara. Dan tentu saja, demi Shigeko, dan bahkan
demi Hisao, atau apa pun namanya: demi semua anak Takeo, demi semua anak kami.
Diangkatnya pisau itu lalu dilempamya jauh-jauh, kemudian membentangkan kedua
tangannya untuk memeluk putrinya. Halaman 740 dari 740 Sekawanan burung gereja hinggap di bebatuan dan rerumputan di sekiiar mereka, memenuhi
udara dengan kicauannya. Kemudian seolah ada sinyal dari kejauhan, burung-burung itu naik
bersamaan lalu terbang jauh memasuki hutan. ***
TAMAT UCAPAN TKRIMA KASIH Saya ingin berterima kasih kepada:
Asialink atas beasiswa yang memungkinkan saya pergi ke Jepang selama dua belas minggu di
tahun 1999-2000; Australian Council dan Department Luar Negeri dan Perdagangan yang telah
mendukung program Asialink; Kedutaan Besar Australia di Tokyo; Akiyoshidai International Arts Village,
Yamaguchi Prefecture, yang telah mensponsori saya selama masa tersebut; ArtsSA, the South
Australian Department for the Arts, yang telah memberi kesempatan saya untuk menulis;
Urinko Gekidan di Nagoya karena telah mengajak saya untuk bekerja dengan mereka di tahun 2003.
Suami dan anak-anak saya yang telah menyokong dan menyemangati saya dengan berbagai
cara, Di Jepang, Kimura Miyo, Mogi Masaru, Mogi Akiko, Tokuriki Masako, Tokuriki Miki, Santo Yuko,
Mark Brachmann, Maxine McArthur, Kori Manami, Yamaguchi Hiroi, Hosokawa Fumimasa,
Imahori Goro, Imahori Yoko, dan
orang?orang lainnya yang telah
membantu dengan riset dan
memandu. Penculikan Bintang Televisi 2 Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend Pusaka Gua Siluman 9

Cari Blog Ini