Ceritasilat Novel Online

The Harsh Cry Of Heron 4

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn Bagian 4


sendiri" untuk dipeluk pemuda itu. Kuda itu berlari dengan langkah panjang, tali kekangnya
berayun?ayun. Hiroshi bertanya, "Kau tidak apa-apa" Kuda itu tidak menginjakmu, kan?"
Shigeko menggelengkan kepala, tiba-tiba perasaannya bergejolak. Mereka berdiri berdekatan,
tidak bersentuhan. Shigeko menemukan lagi suaranya.
"Kukira sudah cukup untuk hari ini. Kita buat Tenba berjalan pelan lagi. Lalu aku harus pulang
untuk bersiap menerima hadiah. Ayah pasti ingin mengadakan upacara untuk itu."
"Tentu, Lady Shigeko," sahut Hiroshi, sekali lagi bersikap dingin dan formal. Kuda jantan itu
membiarkannya mendekat, dan Hiroshi menuntunnya mengembalikan kepada Shigeko. Angin
sepoiHarjono Siswanto Story Collection
Halaman 532 dari 532 sepoi ber?hembus pelan dan merpati terbang melayang di atas kepala, namun kuda muda itu
ber?jalan tenang di antara mereka berdua dengan kepala tertunduk. Tak satu pun dari
kedua?nya bicara. *** Di galangan kapal, kesibukan biasa di pagi hari menjadi hening. Nelayan berhenti
membongkar muatan hasil tangkapan malam hari berupa ikan sarden perak dan mackarel sisik biru.
Pedagang berhenti memuat berkarung-karung garam, beras dan sutra ke kapal bertiang lebar, dan
orang-orang berkumpul di jalanan berkerikil, menyambut kapal dari Hofu dengan muatan anehnya.
Shigeko kembali ke kediaman lalu berganti
pakaian yang lebih sesuai untuk menyambut hadiah untuknya. Untungnya jarak antara
gerbang kastil ke tangga pelabuhan dekat dan bisa dilalui dengan berjalan kaki. Dia berjalan sepanjang
pantai, melewati rumah kecil di bawah pohon pinus tempat Akane, pelacur kelas tinggi yang pemah
menghibur Lord Shigeru, aroma semak wangi yang ditanamnya masih tercium di udara.
Shizuka telah menunggu, tapi ibunya tetap tinggal di rumah, mengatakan kalau merasa kurang sehat. Takeo
sudah pergi lebih dulu bersama Sunaomi. Sewaktu Shizuka dan Shigeko bergabung dengan Takeo,
bisa dilihat susana hati ayahnya sedang gembira: tak hentinya melihat ke arah Shigeko yang ada di
sampingnya dan tersenyum. Shigeko ber?harap reaksinya tidak mengecewakan ayahnya, dan
memutuskan untuk berpura?pura senang menerima hadiah itu.
Namun, ketika kapal mendekati dermaga, dan hewan aneh itu bisa terlihat jelas" lehernya
yang panjang"kekaguman Shigeko sebesar dan setulus kerumunan orang yang menonton. Ia begitu
gembira ketika tabib Ishida menuntun hewan itu dengan berhati?hati menuruni tangga kapal
dan menyerah kan kepadanya. Shigeko terpesona oleh kelembutan dan pola aneh kulit hewan itu, oleh bola
mata yang gelap dan tatapannya yang lembut, dihiasi bulu mata panjang dan tebal, oleh gayanya
yang anggun serta pem-bawaan diri yang tenang selagi mengamati lingkungan asing di hadapannya.
Takeo tertawa gembira karena kirin dalam keadaan sehat dan juga karena reaksi Shigeko.
Shizuka menyambut suaminya dengan kasih sayang yang tidak diperlihat?kan, dan si bocah, Chikara,
tercengang dengan sambutan serta kerumunan, mengenali wajah kakaknya dan berusaha
menahan tangis. "Jangan berkecil hati," tabib Ishida menegurnya. "Beri salam pada paman dan sepupumu
dengan baik. Sunaomi, bantu adikmu."
"Lord Otori," Chikara berhasil bicara, membungkuk dalam-dalam. "Lady..."
"Shigeko," ia menyela perkataan Chikara. "Selamat datang di Hagi!"
Ishida berkata pada Takeo, "Kami membawa penumpang lain, mungkin kurang disambut baik."
"Ya, aku sudah dikabari Taku. Istrimu
akan menunjukkan tempat mereka meng?inap. Nanti akan kuceritakan rencana kita untuk
mereka. Kuharap aku dapat mem?bujukmu untuk menghibur mereka semen?tara waktu."
Orang-orang asing itu"ada dua orang, baru pertama kali datang ke Hagi"muncul di tangga
kapal, membuat orang tak kalah terperangahnya ketimbang melihat kirin. Kedua orang itu
mengenakan celana panjang dan sepatu bot dari kulit; emas berkilauan di leher dan dada mereka. Satu
orang berwajah agak hitam yang dipenuhi janggut berwarna gelap; yang satunya lagi berkulit lebih
pucat dengan rambut dan jenggot berwarna karat pucat. Warna mata orang ini juga pucat, sehijau
teh hijau; warna rambut dan mata seperti ini membuat orang merinding, dan Shigeko mendengar bisikbisik,
"Itukah raksasa?" "Hantu." "Goblin."
Mereka diikuti seorang perempuan pendek yang tampak memberitahukan tata cara yang
sopan. Setelah dibisiki perempuan muda itu, kedua orang asing membungkuk dengan cara yang kaku,
cenderung berlagak, lalu bicara dengan bahasa mereka yang kasar.
Halaman 533 dari 533 Takeo membalas dengan isyarat kecil
dengan kepala. Ia tak lagi tertawa: tampak tegas, gagah dengan jubah resminya, berhias
bordiran burung bangau, serta tutup kepala warna hitam pekat. Orang-orang asing itu mungkin lebih
tinggi dan lebih besar, tapi di mata Shigeko, Ayahnya jauh lebih gagah.
Perempuan itu menyembah, dan ayahnya dengan begitu ramah, pikir Shigeko, mem?beri
isyarat agar perempuan itu boleh berdiri dan berbicara kepadanya.
Meskipun Shigeko memegang tali sutra yang mengikat leher kirin, dan perhatiannya tertuju
pada makhluk mengagumkan ini, tapi ia mendengar ayahnya bicara beberapa patah kata pada
orang asing itu. Ketika perempuan itu menerjemahkan, lalu menyampaikan jawaban orang asing itu,
Shigeko seperti mendengar sesuatu yang tidak biasa dalam suaranya. Dilihatnya kalau perempuan itu
terpaku menatap wajah Takeo. Dia mengenal Ayah, pikir Shigeko. Dia berani menatap langsung wajah
Ayah. Ada sesuatu dalam tatapan perempuan itu, semacam ekspresi akrab yang mendekati sikap
tidak sopan, yang membuat Shigeko gelisah dan bersikap waspada.
*** Kerumunan yang ada di dermaga dihadapkan pada keputusan yang sulit, apakah mengikuti
kirin yang luar biasa, yang dituntun Ishida dan Shigeko menuju kuil, tempat hewan itu akan
diperlihatkan pada Mori Hiroki dan dipersembahkan pada dewa sungai; atau mengikuti orang asing yang sama luar
biasanya, yang dengan sebarisan pelayan yang didampingi Shizuka membawa sejumlah besar
kotak dan bal menuju ke perahu kecil yang akan membawa mereka menyeberangi sungai ke tempat
penginapan di sepanjang bangunan biara tua Tokoji.
Beruntung Hagi berpenduduk banyak, dan ketika kerumunan mulai terbagi untuk setiap arakarakan
terdiri dari kerumunan yang cukup besar. Orang-orang asing itu merasa hal ini lebih
menjengkelkan diban?dingkan kirin yang menunjukkan ekspresi kesal karena terus menjadi tontonan. Mereka
bahkan akan lebih kesal lagi dengan jauhnya jarak tempat penginapan dari kastil dan penjaga serta
berbagai larangan yang diberlakukan pada mereka demi melindungi mereka. Kirin berjalan seperti yang
sedari tadi dilakukannya, dengan langkah lambat dan hati-hati yang anggun.
"Aku langsung jatuh hati padanya," ujar Shigeko pada ayahnya selagi mereka men?dekati
biara. "Bagaimana aku harus berterima kasih kepada Ayah?"
"Kau harus berterima kasih pada tabib Ishida," sahut Takeo. "Ini adalah hadiah darinya untuk
kita: hadiah yang berharga karena dia sendiri juga sudah jatuh hati padanya seperti halnya dirimu,
dan sudah mengenalnya cukup lama. Dia akan tunjuk?kan cara merawatnya."
"Sungguh indah memiliki sesuatu seperti itu di Hagi," seru Mori Hiroki saat melihat?nya.
"Betapa diberkatinya Tiga Negara!"
Dan Shigeko juga berpikir begitu. Bahkan Tenba tampak terpikat oleh kirin, berlari ke pagar
bambu untuk memeriksa dan menyentuhkan hidung perlahan padanya. Satu-satunya hal yang Shigeko
sedihkan yaitu Hiroshi akan segera pergi. Tapi saat teringat kejadian tadi pagi, berpikir
mungkin memang sebaiknya laki-laki itu pulang.*
Sewaktu kembali ke kediaman setelah menyambut kirin, Takeo langsung bergegas menemui
Kaede. Istrinya tampak duduk di beranda di sisi utara kediaman, sedang bicara dengan Taro, putra
sulung si tukang kayu, Shiro. Dia dan ayahnya kembali ke Hagi untuk membangun kembali kota itu
setelah gempa. Halaman 534 dari 534 Takeo memberi salam dengan ceria, dan Taro menjawab tanpa sungkan karena masa lalu
mengikat hubungan mereka dalam jalinan persahabatan.
"Sudah lama aku hendak menciptakan figur Dewi Welas Asih," tutur Taro, seraya menatap
kedua tangannya seolah berharap tangan itu bisa memberi jawaban. "Lady Otori punya usulan."
"Kau tahu rumah di dekat tepi pantai," kata Kaede. "Rumah itu sudah kosong selama bertahuntahun,
sejak Akane mening?gal. Orang bilang kalau rumah itu berhantu, dan Akane menggunakan
mantra untuk me mikat Lord Shigeru tapi akhirnya dia sendiri yang terjebak dalam ilmu hitamnya. Para pelaut
mengatakan kalau arwah Akane menyalakan lampu di bebatuan, memberi sinyal palsu ke
kapal karena dia membenci semua pria. Kita runtuhkan saja rumahnya lalu menyucikan tamannya.
Taro dan adik?nya bisa membangun kuil baru untuk dewa Kannon, dan patung yang melambangkannya
akan memberkati pesisir dan teluk."
"Chiyo menceritakan tentang kisah Akane ketika aku masih kecil," sahut Takeo. "Tapi Shigeru
tak pernah menceritakannya, begitu pula tentang istrinya."
"Mungkin arwah kedua wanita yang telah berpulang itu pada akhirnya bisa beristirahat dengan
tenang," kata Taro. "Aku mem?bayangkan bangunan kecil"kita tak perlu menebang pohonpohon
pinus tapi akan membangun di sela-sela pepohonan itu. Kukira dengan atap rangkap dua,
dengan lekukan tajam seperti ini, dan sambungan siku yang saling mengunci untuk menyang?ganya."
Diperlihatkannya pada Takeo sketsa yang telah dibuatnya untuk bangunan itu. "Atap yang
lebih rendah menyeimbangkan atap di
atasnya, memberi kesan tampilan yang kuat serta lembut. Kuharap bisa memberi
peng?hormatan yang sama kepada Yang Diberkati. Kuharap tadinya bisa menunjukkan sketsa sang Dewi, tapi
figurnya tetap tersembunyi di balik kayu hingga tanganku menemukan?nya."
"Kau akan memahat dari satu pohon?" tanya Takeo.
"Ya, saat ini aku sedang memilih pohon yang tepat."
Mereka membicarakan tentang berbagai jenis pohon, usia kayu dan semacamnya. Kemudian
Taro meninggalkan mereka ber?dua.
"Rencana yang bagus," ujar Takeo pada Kaede sewaktu mereka tinggal berdua. "Aku menyukai
rencana itu." "Rasanya aku punya alasan khusus untuk bersyukur pada sang dewi," kata Kaede pelan. "Rasa
mual tadi pagi, yang pulih dengan cepat...."
"Istriku sayang," gumamnya, dan karena mereka hanya berdua, Takeo memeluknya.
"Aku malu," kata Kaede, seraya tertawa kecil. "Aku sepertinya terlalu tua untuk hamil!
Shigeko sudah menjadi wanita. Namun aku juga bahagia. Kukira aku tak bisa hamil lagi, mengira kesempatan kita memiliki
anak lakilaki sudah sirna." "Aku sudah sering bilang padamu, aku bahagia dengan ketiga putri kita," ujarnya. "Bila nanti
kita tambah satu anak perempuan lagi, aku akan gembira."
"Aku tidak ingin mengatakannya," bisik Kaede. "Tapi aku yakin yang satu ini laki?laki."
Takeo mendekap istrinya, berpikir tentang mukjizat dari makhluk baru yang tumbuh dalam
tubuh istrinya. Mereka tak bicara selama beberapa waktu, bernapas dalam kedekatan. Kemudian
langkah kaki pelayan di lantai papan beranda menarik mereka kembali ke dunia nyata.
"Apakah kirin tiba dengan selamat?" tanya Kaede, karena Takeo sudah mengungkapkan hadiah
kejutan itu pada istrinya.
Halaman 535 dari 535 "Ya, kemunculannya sangat kuharapkan. Shigeko langsung jatuh hati padanya. Seluruh
penduduk diam dalam kekaguman."
"Bisa membuat orang Otori terkagum?kagum adalah prestasi yang sangat baik!" sahut Kaede.
"Kuharap mereka sudah meng?gubah nyanyian tentang hewan itu. Aku akan
pergi melihatnya sendiri nanti."
"Kau tak boleh berpanas-panasan," kata Takeo cepat. "Kau jangan terlalu lelah. Ishida harus
menengokmu, dan kau harus melaku?kan semua yang dimintanya."
"Ishida juga tiba dengan selamat. Aku senang, lalu bagaimana dengan si kecil Chikara?"
"Mabuk laut berat"dia malu dengan hal itu. Tapi gembira bertemu kakaknya." Takeo terdiam
sesaat, lalu berkata, "Kita tunda dulu soal pengangkatan mereka sampai anak kita lahir. Aku tak ingin
melambungkan harapan yang kelak tak bisa terpenuhi, atau men?ciptakan kerumitan
nantinya." "yang arif," sahut Kaede setuju. "Meski
aku takut Zenko dan Hana akan kecewa." "Hanya ditunda," Takeo menekankan. "Kau semakin
bijaksana dan berhati-hati,
suamiku!" kata Kaede sambil tertawa.
"Sudah semestinya," sahutnya. "Kuharap kini aku dapat mengendalikan sikap tergesa?gesa dan
ceroboh." Takeo menimbang?nimbang apa yang mesti dikatakan selanjut?nya, dan tiba pada
satu keputusan, berkata, "Ada penumpang lain dari Hofu. Dua orang asing, dan seorang wanita
yang menerjemah k an merek a." "Untuk tujuan apa mereka datang?"
"Membuka peluang untuk berdagang, kurasa; melihat lebih banyak lagi bagian negeri ini yang
masih menjadi misteri besar bagi mereka. Aku belum sempat bicara dengan Ishida. Mungkin dia tahu
lebih banyak. Kita harus bisa memahami mereka. Aku ingin mau mempelajari bahasa mereka,
dibantu perempuan yang datang bersama mereka, tapi aku tak ingin membebanimu."
"Belajar, mempelajari bahasa adalah salah satu yang paling kugemari," sahut Kaede.


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kelihatannya itu tugas yang cocok di saat kegiatan lain harus dibatasi. Tentu saja aku mau. Siapa
perempuan yang datang bersama mereka" Aku tertarik karena dia telah menguasai bahasa asing."
Takeo berkata dengan suara pelan, "Aku tak ingin mengejutkan dirimu, tapi aku harus
mengatakannya. Perempuan itu berasal dari wilayah Timur, dan sempat tinggal di Inuyama.
Dia lahir di desa yang sama denganku, dari ibu yang sama. Dia adik perempuanku."
"Adik yang kau kira sudah tiada?" tanya Kaede tercengang.
"Benar, adikku, Madaren."
Kaede mengernyitkan dahi. "Nama yang aneh."
"Nama itu cukup umum digunakan di kalangan kaum Hidden. Dia berganti nama, kurasa,
setelah peristiwa pembantaian itu. Dia dijual ke rumah bordil oleh prajurit yang membunuh ibunya"
ibuku" dan kakak perempuanku. Dia melarikan diri ke Hofu, dan bekerja di rumah bordil lainnya,
tempat di mana dia bertemu orang asing yang bernama Don Joao: dia fasih berbicara dalam b ah asa
merek a." "Bagaimana kau tahu semua ini?"
"Kami kebetulan bertemu di penginapan di Hofu. Saat itu aku menyamar untuk bertemu
Terada Fumio untuk memintanya menghentikan penyelundupan senjata. Kami saling mengenali."
"Setelah sekian tahun...?" Kaede menatap Takeo, setengah bersimpati, setengah tak percaya.
Halaman 536 dari 536 "Aku yakin itu dia. Kami bertemu satu kali lagi, hanya sebentar, dan aku semakin yakin. Aku
menyelidiki tentang dirinya dan tahu sedikit riwayat hidupnya. Kukatakan padanya kalau aku
akan menjamin hidupnya tapi tidak ingin bertemu dengannya lagi. Jarak di antara kami sudah begitu lebar. Tapi kini dia
datang ke sini.... Wajar kalau dia tertarik dalam pergaulan orang asing, karena inti ajaran mereka
serupa dengan kaum Hidden. Aku takkan mengakuinya sebagai saudaraku, tapi desas-desus mungkin
akan tersebar, dan aku ingin kau mengetahui kebenarannya dariku."
"Kurasa dia bermanfaat bagi kita sebagai jurubahasa maupun guru. "Bisakah kau bujuk dia
untuk menjadi mata-mata?" Sepertinya Kaede berusaha menyembunyikan kekagetannya dan bicara
secara masuk akal. "Aku yakin dia bisa menjadi sumber informasi, dengan disengaja atau tidak. Tapi informasi
mengalir dari dua arah. Dia bisa berguna untuk menanamkan pemikiran kita pada kedua orang asing
itu. Aku memintamu untuk memperlakukannya dengan baik, bah?kan dengan hormat, tapi jangan
pernah membicarakan tentang diriku padanya."
"Apakah dia mirip denganmu" Aku ingin sekali bertemu dengannya."
Takeo menggeleng. "Dia mirip ibunya." Kaede berkata, "Kau kedengaran sangat dingin.
Tidakkah kau gembira menemukan nya masih hidup" Kau tidak ingin mem?bawanya masuk ke dalam keluargamu?"
"Kukira dia sudah mati. Aku menangisi kematiannya serta kematian yang lainnya. Kini aku
tidak tahu harus bersikap bagai?mana: aku sudah berubah menjadi orang yang berbeda dari bocah yang
pernah menjadi kakaknya. Kesenjangan derajat dan status kami sudah menganga lebar. Terlebih lagi,
dia penganut kepercayaan yang saleh: sedangkan aku tak memercayai kepercayaan mana pun,
dan tidak lagi mengikuti kepercayaan masa kecilku. Aku curiga kalau orang-orang asing itu ingin
menyebarkan kepercayaan mereka. Siapa yang tahu alasannya" Aku tak bisa membiarkan siapa pun mengira
bisa memengaruhi diriku, karena aku harus melindungi mereka semua dari kedua belah pihak,
mungkin alasan orang-orang itu untuk memecah belah rakyat kita."
"Tak seorang pun yang menyaksikan dirimu melakukan upacara di biara atau kuil merasa yakin
akan ketidakpercayaanmu," ujar Kaede. "Dan bagaimana dengan kuil dan patung baruku?"
"Kau tahu kemampuanku sebagai pemain
sandiwara," sahut Takco dengan nada getir, "Aku sungguh bahagia berpura-pura punya
kepercayaan demi kepentingan stabilitas negara. Tapi bila kau salah satu orang Hidden, mutlak tidak boleh
berpura-pura bila sudah menyangkut masalah kepercayaan. Dirimu terpampang jelas oleh
Yang Maha Melihat, tatapan tanpa belas kasihan Tuhan." Andai ayahku tidak memihak kaum Hidden,
mungkin dia masih hidup, pikirnya. Dan aku akan menjadi orang lain.
"Tentu tuhan kaum Hidden itu Maha Pengampun, kan?" seru Kaede.
"Bagi penganutnya, mungkin. Sedangkan yang lainnya dikutuk ke neraka untuk selamanya."
"Aku tidak percaya itu!" sahut Kaede, setelah sesaat tenggelam dalam pikirannya.
"Begitu pula aku. Tapi itulah yang di?percayai kaum Hidden, begitu juga orang?orang asing
itu. Kita harus sangat berhati?hati dengan mereka"bila mereka telah berpikir kita dikutuk, mereka
mungkin merasa benar untuk memperlakukan kita dengan cara menghina atau keji."
Dilihatnya Kaede agak gemetar, dan takut kalau istrinya merasakan suatu firasat.*
Halaman 537 dari 537 Pada bulan kedelapan tibalah Festival Obon. Tepi pantai dan sungai dipenuhi orang, bentuk
tarian mereka tampak jelas diterangi kembang api yang bersinar terang. Lampion yang tak terhitung
jumlahnya mengapung di gelapnya permukaan air. Arwah orang yang mati disambut kembali,
dirayakan dengan jamuan, lalu diucapkan selamat jalan dengan gabungan antara perasaan
sedih sekaligus gembira, ketakutan dan kegembiraan. Maya dan Miki menyalakan lilin bagi Kenji
yang amat mereka rindukan, tapi kesedihan mereka yang tulus tak menghalangi mereka dari kegiatan
senggang baru, menyiksa Sunaomi dan Chikara. Mereka menguping pembicaraan dan tahu ada usulan
untuk mengangkat salah satu atau kedua anak itu. Melihat kasih sayang Kaede pada kedua bocah
itu, mereka menduga itu karena kedua anak itu laki-laki.
Mereka tak diberitahu tentang kehamilan Kaede, tapi sifat mereka yang selalu memer
hatikan, akhirnya mereka tahu. Kenyataan bahwa hal itu tidak dibicarakan secara terangterangan
membuat mereka gelisah. Hari-hari di musim panas terasa panjang dan panas: semua orang
mudah marah. Shigeko tampak semakin cepat memasuki masa kedewasaan dan menjadi makin
menjauh. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan ayah, membicarakan tentang kun?jungan ke
ibukota tahun depan, serta hal-hal lain yang menyangkut urusan kenegaraan. Shizuka sibuk dengan
administrasi Tribe. Si kembar tak diijinkan keluar berdua saja, tapi mereka sudah terampil dengan pelatihan
Tribe. Meskipun tak diijinkan mengguna?kannya, namun rasa jenuh dan diabaikan membuat mereka
mencoba hasil pelatihan mereka.
"Apa gunanya semua pelatihan itu bila tidak digunakan?" gerutu Maya pelan, dan Miki setuju
dengannya. Miki dapat menggunakan sosok kedua cukup lama untuk memberi kesan kalau Maya ada di
ruangan sementara Maya menghilang agar bisa menakuti Sunaomi dan Chikara dengan hembusan napas
seperti desah napas hantu di tengkuk, atau sentuhan
di rambut. Mereka mematuhi peraturan untuk tidak keluyuran di luar, namun aturan itu
menjengkelkan mereka: keduanya ingin menjelajahi kota yang sibuk, hutan di seberang sungai, area di
sekitar gunung berapi, dan hutan berbukit di atas kastil.
"Di sana ada goblin," kata Maya kepada Sunaomi, "dengan hidung panjang dan mata yang
selalu mengintai!" Maya menunjuk ke arah bukit, tempat pepohonan yang begitu lebat hingga kelihatan tak bisa
ditembus. Dua layang?layang bergulung-gulung di atas mereka. Sore pada hari ketiga Festival
Obon, keempat anak itu berada di taman. Hari terasa menyesak?kan; bahkan di taman, di bawah
pepohonan, tetap saja terasa panas tak terkira.
"Aku tidak takut pada tengu," sahut Sunaomi. "Aku tidak takut pada apa pun!"
"Tengu yang ini suka makan anak laki?laki," bisik Miki. "Mereka memakannya mentah-mentahi"
"Seperti macan?" sahut Sunaomi seraya mengejek, sehingga membuat Maya makin kesal. Ia
belum melupakan kata-kata Sunaomi pada ayahnya, anggapan yang terucap tanpa disadarinya,
tentang keung gulan anak lelaki: Lagipula, mereka hanyalah anak perempuan. Maya ingin membalas
perkataan itu. Dirasakan si kucing berputar?putar di dalam dirinya, dan melemaskan jari?jarinya.
"Mereka tak bisa mengerjai kita di sini," kata Chikara gugup. "Terlalu banyak penjaga."
Halaman 538 dari 538 "Memang mudah bersikap berani saat dikelilingi penjaga," kata Maya pada Sunaomi. "Jika kau
memang pemberani, kau pasti berani keluar sendirian!"
"Aku tidak diijinkan," sahutnya.
"Kau takut!" "Tidak!" "Ya sudah, pergilah keluar. Aku tidak takut. Aku sudah pernah pergi ke rumah Akane, walaupun
arwahnya gentayangan di rumah itu. Aku pernah melihatnya."
"Akane membenci anak laki-laki," bisik Miki. "Dia mengubur anak laki-laki hidup?hidup di
tamannya supaya semak-semak tumbuh subur dan wangi."
"Sunaomi takkan berani ke sana," kata Maya dengan setengah tersenyum.
"Di Kumamoto aku dikirim ke pemakaman saat malam hari untuk mem
bawa pulang sebuah lentera," tutur Sunaomi. "Aku tak melihat satu pun hantu!"
"Kalau begitu, pergilah ke rumah Akane dan bawa pulang beberapa tangkai bunga."
"Itu mudah," hardik Sunaomi. "Hanya saja aku tidak diperbolehkan"ayahmu yang bilang
begitu." "Kau takut," kata Maya.
'Tidak mudah keluar tanpa terlihat."
"Mudah jika kau tidak takut. Itu cuma alasanmu saja." Maya berdiri dan berjalan ke pinggiran
dinding laut. "Kau turun lewat dinding ini saat laut surut dan berjalan di atas bebatuan menuju
pantai." Sunaomi mengikutinya, dan Maya menunjuk rumah Akane yang kosong dan kelihatan muram.
Rumah itu sudah setengah dibongkar karena akan dibangun kuil. Bangunan itu tak lagi berbentuk
rumah, tapi belum menjadi kuil, mengesankan persimpangan antara dunia nyata dan alam baka.
Gelombang sudah hampir naik, sebagian menampakkan bebatuan yang menonjol dan licin. "Kau bisa pergi
malam ini." Maya berpaling ke arah Sunaomi, menahan tatapan bocah itu selama beberapa
saat. "Maya!" seru Miki memperingatkan.
"Oh, maaf, sepupu! Aku lupa. Aku tak boleh menatap orang lain. Aku sudah berjanji pada
Ayah." Cepat-cepai Maya menampar pipi Sunaomi untuk menyadar?kannya, lalu kembali pada
Chikara. "Kau tahu, bila kau menatap mataku maka kau akan tertidur dan tidak akan terbangun lagi!"
Sunaomi menghampiri untuk membela adiknya. 'Tahukah kalian kalau kalian akan dibunuh jika
tinggal di Kumamoto" Di sana kami membunuh orang kembar!"
"Aku tidak percaya sedikit pun apa yang kau katakan," sahut Maya. "Semua orang lahu kalau
Arai adalah pengkhianat dan pengecut."
Sunaomi menegakkan badan dengan bangga. "Jika kau anak laki-laki, aku akan membunuhmu.
Tapi karena kau hanya anak perempuan, aku akan ke rumah itu dan membawa pulang apa pun
yang kau minta." Saat matahari mulai terbenam, langit tampak cerah tanpa angin, namun saat bulan mulai
naik, gumpalan awan aneh berwarna kelabu berarak dari timur, melenyapkan bintang dan akhirnya
menelan bulan. Laut dan daratan berbaur menjadi satu. Api
terakhir masih mengepulkan asap di pantai; selain itu tak ada api lain lagi.
Sunaomi adalah putra sulung dalam keluarga ksatria. Sejak kecil dia dilatih dengan disiplin
dan diajari untuk mengatasi rasa takut. Tak sulit baginya, meskipun baru delapan tahun, untuk tetap
terjaga sampai tengah malam. Sunaomi, meski dengan keberanian yang mantap, dia tetap gelisah"
dan lebih takut karena tak mematuhi paman?nya ketimbang bahaya terluka atau pun hantu. Para
pengawal yang mendampinginya sejak dari Hofu tinggal di aula di kota atas perintah Lord
Otori: penjaga kastil sebagian besar berada di gerbang dan di sekitar dinding depan. Pasukan patroli
Halaman 539 dari 539 berjalan melintasi taman dalam jarak waktu yang teratur. Sunaomi mendengar suara mereka
melewati pintu yang terbuka dari ruangan tempat dia dan Chikara tidur, bersama dua pelayan yang
merawat mereka. Kedua gadis pelayan itu tidur cepat, salah satunya mendengkur. Sunaomi cepat-cepat
berdiri, siap mengatakan kalau ia ingin ke kamar mandi bila mereka terbangun, namun tak
satu pun dari keduanya bergerak. Di luar, malam terasa tenang. Kastil
maupun kota sudah terlelap. Di bawah dinding, laut bergumam lembut. Hampir tidak bisa
melihat apaapa, Sunaomi menghela napas panjang dan mulai meraba?raba jalan yang dilaluinya menuruni
landaian besar di dinding batu besar yang dirapatkan. Beberapa kali mengira kalau dirinya
terjepit, tak bisa naik atau turun; memikirkan tentang monster yang muncul dari laut, ikan atau gurita
raksasa yang bisa menelannya ke dalam kegelapan. Laut terdengar meraung, kini lebih keras lagi. Bisa
terdengar olehnya pusaran air di bebatuan.
Ketika kakinya yang bersandal jerami menyentuh permukaan bebatuan, dia ter?peleset dan
hampir jatuh ke dalam air. Menggaruk berusaha mencengkeram sesuatu untuk pegangan,
dirasakannya kulit kerang setajam pisau di telapak kaki dan lututnya. Ombak merayap di bawah tubuhnya,
menyebabkan luka tadi terasa perih. Seraya menggertakkan gigi, dia bergeser sedikit demi sedikit bak
kepiting ke arah api terakhir yang masih mengepulkan asap, menuju ke pantai.
Pantai tampak kelabu pucat; ombak berdesis berbuih putih. Ketika sampai di atas pasir, dia
lega merasakan kelembutan di telapak kakinya. Lalu berganti rumput kaku; Sunaomi tersandung dan terus berjalan dengan
merangkak ke hutan kecil tempat pepohonan pinus bermunculan di sekeliling?nya. Suara
burung hantu terdengar di atas kepala membuatnya melonjak terkejut, dan bentuk burung yang
seperti hantu itu sesaat mengapung di hadapannya dengan kepakan sayap.


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cahaya api berada tepat di belakangnya. Sunaomi berhenti sebentar, meringkuk di balik
pepohonan. Tercium olehnya bau damar yang terbawa asap api unggun tadi" dan aroma kuat lainnya yang
terasa manis dan memikat.
Wangi tanaman di taman Akane diperkuat dengan darah dan tulang anak laki-laki.
Anak laki-laki sering disuruh pergi ke makam atau tempat eksekusi di malam hari untuk uji
nyali. Sunaomi sudah menyom?bongkan diri pada Maya kalau dia tak pernah melihat hantu. Tapi itu
bukan berarti dia tak percaya akan keberadaannya: perempuan berleher panjang bak ular dan gigi
setajam kucing, makhluk bermata satu serta tanpa tangan dan kaki, bandit tanpa kepala yang marah
karena dihukum mati, orang yang mati penasaran, akan balas dendam dengan memangsa darah manusia.
Sunaomi menelan ludah dengan susah payah, lalu berusaha menahan gemetar yang semakin
melemaskan tubuhnya. Aku adalah Arai Sunaomi, katanya dalam hati, putra Zenko, cucu
Daiichi. Aku tak takut pada apa pun. Dipaksa dirinya untuk berdiri, lalu ber?jalan ke depan, walau kakinya terasa berat, dan tak
tahan ingin buang air kecil. Ia men?capai dinding taman, lekukan atap di belakangnya. Gerbang terbuka
lebar; dinding mulai runtuh. Ketika melangkah masuk ke gerbang, tubuhnya terhalang sarang laba-laba, jaring?nya lengket
di wajah dan rambutnya. Napasnya makin memburu, tapi dia berkata pada dirinya sendiri,
Jangan menangis, aku tidak boleh menangis, meskipun bisa dirasa?kannya air mata mulai
mengambang di pelupuk mata. Rumah itu gelap gulita. Sesuatu berlari cepat menyeberangi beranda, mungkin kucing, atau
tikus besar. Ia menggapaikan tangannya seakan mengikuti bau wangi itu sampai ke belakang rumah
lalu sampai ke taman. Kucing itu"pasti kucing"tiba-tiba melolong dari balik bayang-bayang.
Halaman 540 dari 540 Sunaomi bisa melihat bunganya: satu?satunya benda yang terlihat dalam kegelapan. Dia
bergegas ke arah bunga itu, dan dengan sembarangan mencabut beberapa tangkai. Dia lalu lari, tapi
tersandung sebongkah batu dan jatuh terjerembab. Bau tanah dan rasa?nya mengingatkannya pada
pemakaman dan mayat, dan betapa tak lama lagi dia akan ter- baring di kuburan, merasakan sensasi
ter?akhir dalam hidupnya. Lalu dia memaksakan diri berjalan me?rangkak sekuat tenaga dan meludahkan tanah di
mulutnya. Sunaomi berdiri, menggapai dan mematahkan sebatang ranting. Semak itu segera
mengeluarkan getah berbau tajam, dan Sunaomi mendengar langkah kaki di di belakangnya.
Saat berbalik, matanya langsung silau terkena cahaya. Yang terlihat hanyalah satu sosok
setengah badan seorang perempuan, tapi hanya sebagian badan, yang pasti baru keluar dari liang lahat.
Bayangan bergerak?gerak di atasnya; tangan itu terulur ke arah Sunaomi. Lenteranya agak
sedikit naik; cahaya jatuh tepat di wajah perempuan itu.
Perempuan itu tidak punya mata, mulut juga hidung.
Pertahanan dirinya bobol. Sunaomi menjerit; air terasa mengalir di celananya. Dibuangnya
ranting yang ada di tangannya. "Maafkan aku, Lady Akane. Maaf. Ku?mohon jangan sakiti aku. Jangan kubur aku!"
"Apa-apaan ini?" ada suara, suara manusia, suara laki-laki. "Apa yang sedang kau laku?kan
tengah malam begini?" Tapi Sunaomi tak mampu menjawab.
*** Taro yang menginap di rumah Akane sambil mengerjakan patung, segera membawa bocah itu
kembali ke kastil. Sunaomi tidak terluka, selain ketakutan setengah mati. Keesokan paginya
dia tidak mengakui, namun luka telah tertoreh di hatinya, dan meskipun sudah pulih, luka yang masih
membekas mengandung kebencian yang mendalam ter?hadap Maya dan Miki. Sejak itu,
Sunaomi terus merenungkan kematian kakeknya, dan serangan Klan Otori terhadap Arai. Pikiran
kanakkanaknya mencari cara untuk me?nyakiti Maya dan Miki. Dia mulai meng
ambil hati para perempuan penghuni rumah itu, menebar pesona dan menghibur mereka;
lagipula sebagian besar dari mereka menyukai anak laki-laki. Sunaomi merindukan ibunya, tapi
nalurinya mengatakan bahwa ia bisa mendapatkan tempat yang tinggi dalam kasih sayang bibinya,
Kaede, jauh lebih tinggi ketimbang pada si kembar.
*** Takeo dan Kaede merasa gusar atas kejadian ini. Jika Sunaomi terbunuh atau terluka parah
saat dalam perlindungan mereka, ter?lepas dari kesedihan orang di kastil menyayangi kedua
bocah, maka strategi untuk meredam dan membendung Zenko akan hancur berantakan. Takeo juga
memarahi Sunaomi atas ketidakpatuhan dan keberaniannya yang gegabah, dan menanyai?nya penuh
selidik tentang alasannya, curiga kalau keponakannya tak akan melakukan hal itu tanpa ada yang
memancingnya. Tidak butuh waktu lama untuk mengungkap kebenarannya, dan kemudian
giliran Maya menghadapi kemarahan ayahnya.
Kali ini Takeo lebih gusar pada Maya,
karena putrinya tidak menunjukkan penye?salan ataupun rasa bersalah, dan tatapan matanya
kejam dan tanpa belas kasihan, bak seekor hewan. Dia tidak menangis, bahkan ketika Kaede
mengutarakan ketidak-senangannya dan menamparnya beberapa kali.
"Maya benar-benar keterlaluan," kata Kaede, berlinang air mata karena kesal. "Dia tidak bisa
tinggal di sini. Bila dia tak bisa dipercaya tinggal bersama anak laki-laki..."
Takeo mendengar kecemasan Kaede pada bayi yang dikandungnya. Ia tak ingin mengirim Maya
pergi; Ia merasa putrinya butuh pengawasannya, tapi ia terlalu sibuk untuk terus berada di
samping putrinya. Halaman 541 dari 541 "Tak baik menginginkan putri kandung?mu pergi jauh, dan lebih menyayangi putra orang lain,"
kata Maya pelan. Kaede menamparnya lagi. "Beraninya benar kau bicara seperti itu padaku, ibumu sendiri" Kau
tahu apa tentang urusan negara" Semua yang kami lakukan ada alasan politis. Akan selalu seperti
ini. Kau putri Lord Otori. Kau tidak bisa bersikap seperti anak-anak lain."
Shizuka berkata, "Dia menyadarinya: dia
memiliki kemampuan Tribe yang tidak boleh dia gunakan sebagai putri seorang ksatria.
Sungguh sayang bila kemampuan seperti itu disia-siakan."
Maya berbisik, "Kalau begitu, biarkan aku menjadi putri seorang Tribe."
"Maya perlu pengawasan dan pelatihan. Tapi siapa yang mengetahui hal semacam ini dalam
keluarga Muto" Bahkan kau, Shizuka, dengan darah Kikuta, tak punya pengalaman dengan kerasukan
semacam ini." "Kau mengajarkan banyak kemampuan Tribe pada putraku," sahut Shizuka. "Mung?kin Taku
adalah orang yang paling tepat."
"Tapi Taku harus tetap di wilayah Barat. Kita tak bisa memintanya kemari hanya untuk
kepentingan Maya." "Maka kirim Maya kepadanya."
Takeo menghela napas. "Sepertinya hanya itu jalan keluarnya. Adakah yang dapat mengantar
Maya?" "Ada seorang gadis; dia baru datang dari desa Muto bersama adiknya. Mereka berdua bekerja
di rumah penginapan orang asing saat ini."
"Siapa namanya?"
"Sada: kerabat dari istri Kenji, Seiko."
Takeo mengangguk: kini ia ingat gadis itu; bertubuh tinggi dan tegap, dan bisa beralih rupa
menjadi laki-laki, penyamaran yang sering digunakan saat melaksanakan tugas Tribe.
"Kau akan menemui Taku di Maruyama," kata Takeo pada Maya. "Kau harus mematuhi Sada."
Sunaomi berusaha menghindar, tapi sebelum pergi Maya memojokkan bocah itu, seraya
berbisik, "Kau gagal dalam uji nyali itu. Sudah kubilang kalau Arai pengecut."
"Aku ke rumah itu," sahutnya. Taro ada di sana. Dia yang memaksaku pulang."
Maya tersenyum. "Kau tidak bawa rantingnya!"
"Tidak ada bunga di sana!"
"Tidak ada bunga! Kau memetik sebatang. Lalu kau buang, dan mengompol di celana. Aku
melihatmu." "Kau tidak ada di sana!"
"Ya, aku di sana."
Sunaomi berteriak memanggil pelayan, tapi Maya sudah pergi.*
Seiring musim panas berganti musim gugur, Takeo bersiap untuk bepergian lagi. Sudah
menjadi kebiasaan negeri ini kendalikan dari Yamagata dari akhir bulan kesembilan hingga puncak
musim Halaman 542 dari 542 dingin, tapi ia terpaksa ber?angkat lebih awal karena kematian Matsuda Shingen; Miyoshi
Gemba membawa kabar ini ke Hagi dan Takeo langsung berangkat ke Terayama bersama Gemba dan
Shigeko. Laporan kerja selama musim panas"ber?bagai keputusan, perencanaan pertanian
sena keuangan, kode etik hukum, dan hasil pengadilan"dibagi-bagi dalam kotak dan keranjang
pada barisan panjang kuda beban.
Tak ada yang perlu disesali atas kepergian Matsuda. Tujuan hidupnya telah tercapai, jiwanya
merupakan kesatuan antara kemur?nian dan kekuatan. Cita-citanya siap diterus?kan muridmuridnya:
Takeo dan Shigeko, sena banyak yang lainnya. Namun Takeo begitu merindukan, dan merasa
kehilangan orang bijak tersebut sebagai kerugian bagi Tiga Negara.
Makoto kini menggantikan kedudukannya sebagai Kepala Biara, dan berganti nama menjadi
Eikan, tapi Takeo tetap meng?gunakan nama lamanya. Setetah upacara pe?makaman selesai,
mereka melanjutkan per-jalanan ke Yamagata. Ia senang karena tahu Makoto tetap akan
mendukungnya; dan ia memikirkan dengan penuh kerinduan saat ia akan mengundurkan diri ke Terayama dan sisa
hidupnya dengan meditasi dan melukis.
Gemba menemani mereka ke Yamagata, tempat berbagai urusan administrasi menyita seluruh
perhatian Takeo. Shigeko bangun lebih awal setiap pagi untuk berlatih me?nunggang kuda dan
memanah bersama Gemba untuk kemudian menghadiri se?bagian besar rapat bersamanya.
Tepat sebelum berangkat ke Maruyama pada minggu pertama di bulan kesepuluh, surat datang
dari Hagi. Takeo membacanya dengan penuh semangat, dan segera mem?beritahukan kabar
tentang keluarga pada putri sulungnya.
"Ibumu pindah bersama kedua bocah itu ke rumah lama Lord Shigeru. Dan ibumu
mulai membelajari bahasa orang-orang asing itu."
"Dari si juru bahasa?" Shigeko ingin bertanya lagi pada ayahnya, tapi Minoru dan pelayan
rumah Miyoshi ada bersama mereka seperti biasa, serta Jun dan Shin yang berada di luar tapi tetap
masih bisa mendengar. Setelah itu, Shigeko mendapat kesempatan saat mereka berdua berjalan di
taman. "Ayah hams menceritakan lebih banyak lagi tentang orang-orang asing itu," katanya. "Apakah
sebaiknya mereka diijinkan ber?dagang di Maruyama?"
"Ayah ingin mereka berada di tempat yang bisa kita awasi," sahut Takeo. "Mereka akan tinggal
di Hagi selama musim dingin. Kita harus belajar sebanyak mungkin tentang bahasa, adat
kebiasaan dan tujuan mereka." "Juru bahasa itu: dia memandang ayah dengan pandangan aneh, seakan dia mengenal Ayah
dengan baik." Sesaat Takeo ragu. Daun berguguran di taman yang tenang, menyelimuti tanah dengan
onggokan berwama emas. Saat itu hari sudah senja, kabut merangkak naik dari parit yang mengelilingi
bangunan sehingga mengaburkan garis bentuk dan detil.
"Ibumu tahu siapa dia, tapi orang lain tidak." akhimya ia berkata. "Ayah akan ceritakan
kepadamu, tapi simpan rahasia ini baik-baik. Namanya Madaren; itu nama yang dipakai kaum Hidden. Mereka
memiliki kepercayaan yang sama dengan para orang asing, dan dulu pernah dibantai oleh Klan
Tohan. Semua keluarganya dibunuh, kecuali kakak laki-lakinya yang diselamatkan oleh Lord
Shigeru." Bola mata Shigeko terbelalak dan urat nadinya berdenyut cepat. Ayahnya ter?senyum.
"Ya, anak itu adalah Ayah. Saat itu Ayah bernama Tomasu, tapi Shigeru mengganti nama Ayah
menjadi Takeo. Madaren adalah adik perempuanku: kami lahir dari satu ibu, tapi lain bapak"
ayahku, seperti kau tahu, berasal dari Tribe. Selama ini Ayah mengira dia sudah mati."
"Sungguh luar biasa," ujar Shigeko, lalu dengan sifatnya yang lekas bersimpati, "Pasti hidupnya
menderita." Halaman 543 dari 543 "Dia berhasil bertahan, belajar bahasa asing, meraih semua kesempatan yang ada," sahut
Takeo. "Madaren melakukannya lebih baik dibandingkan orang lain. Kini dia dalam
perlindungan Ayah, dan diijinkan mengajar?kan ibumu." Setelah beberapa saat, ia
menambahkan, "Dari dulu memang sudah banyak kaum Hidden di Maruyama. Lady Naomi melindungi mereka
karena dia juga mengikuti ajaran mereka. Kau harus ber?kenalan dengan pemimpin mereka. Jo-An,
tentu saja, juga salah satu pengikutnya, serta banyak mantan gelandangan masih tinggal di
pedesaan di sekitar kota." Shigeko melihat wajah ayahnya muram. dan tak ingin membahas lebih jauh lagi topik
pembicaraan yang mengingatkan Ayahnya pada kenangan yang menyakitkan.
"Ayah sangsi bisa hidup bahkan separuh dari usia Matsuda," lanjut Takeo dengan sangat serius.
"Kelak, keamanan mereka ini ada di tanganmu. Tapi jangan memercayai orang asing, begitu
juga pada Madaren, meskipun dia kerabatmu. Dan ingat untuk menghormati semua kepercayaan,
tapi jangan ikuti satu pun dari semua itu, karena itu satu-satunya jalan yang harus ditempuh
seorang pemimpin sejati." Shigeko merenungkan hal ini selama be?berapa saat, "Bolehkah aku bertanya lagi?" "Tentu.


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kau boleh tanya apa saja dan kapan saja. Ayah tak ingin menyembunyikan apa pun darimu."
"Ramalan membenarkan kekuasaan Ayah seperti yang ditakdirkan dan direstui Surga. Burung
houou bersarang lagi di Tiga Negara. Bahkan kita memiliki kirin"salah satu tanda adanya penguasa
yang adil. Apa Ayah memercayai semua ini?"
"Ayah tidak memercayai sepenuhnya," sahut Takeo. "Ayah sangat bersyukur atas semua yang
dianugerahkan Surga pada Ayah, dan Ayah berharap tidak menyalahgunakan kekuasaan yang
telah diberikan kepada Ayah."
"Orang tua semakin lama semakin akan bertindak bodoh," tambahnya nngan "Bila itu terjadi,
kau harus mendorong Ayah untuk mengundurkan diri. Meskipun, Ayah tak berharap hidup sampai
tua." "Aku ingin Ayah tidak pernah mati," seru Shigeko, mendadak ketakutan.
"Ayah akan mati dengan bahagia karena tahu akan meninggalkan semuanya di tangan yang
aman," sahutnya, teraenyum. Tapi Shigeko tahu kalau ayahnya menyembu?nyikan banyak
kekhawatiran. Beberapa hari kemudian ia dan Gemba menyeberangi jembatan di dekat Kibi, dan Takeo
mengenang masa lalu bersama Gemba: pergi dari Terayama di tengah guyuran hujan, bantuan Jo-An
bersama kelompok gelandangannya, dan kematian si raksasa, Jin-Emon. Biara dewa rubah yang ada di
tepi sungai kini, secara aneh, diiden?tikkan pada Jo-An dan sekarang dia dipuja di sini.
"Pada saat itu Amano Tenzo memberiku Shun," ujar Takeo. Ditepuknya leher kuda hitam yang
sedang ditungganginya. "Kuda yang ini cukup menyenangkan, tapi Shun membuatku
tercengang pada peperangan pertama kami. Dia lebih tahu banyak tentang peperangan ketimbang diriku
sendiri!" "Kukira dia sudah mati sekarang?" tanya Gemba.
"Ya, dia mati dua tahun lalu. Tidak ada kuda seperti dia. Tahukah kau kalau Shun ternyata
adalah kuda Takeshi" Mori Hiroki yang mengatakannya."
"Aku tidak tahu," sahut Gemba.
Tapi, Shigeko sudah tahu hal itu, dia tumbuh dewasa bersama salah seorang yang melegenda
itu. Kuda coklat kemerahan itu
dijinakkan oleh Lord Takeshi, adik Shigeru, yang membawanya ke Yamagata. Takeshi dibunuh
prajurit Tohan, dan kuda itu meng?hilang sampai Amano Tenzo membeli dan memberikannya
kepada Takeo. Ia memikir?kan dengan gembira atas hadiah rahasia yang akan ia berikan untuk
ayahnya. Ia Halaman 544 dari 544 sudah lama berharap akan ke Maruyama karena ia memang bermaksud menghadiahkan kuda
itu sebagai kejutan saat upacara yang akan datang.
Memikirkan legenda dan hewan-hewan yang mengagumkan memunculkan gagasan di
benaknya. Begitu cemerlangnya gagasan itu hingga ia ingin langsung mengatakannya.
"Ayah, saat kita ke Miyako tahun depan, kita hadiahkan kirin kepada Kaisar."
Gemba tertawa terbahak-bahak. "Hadiah yang sempurna! Hadiah yang belum pernah terlihat
di ibukota!" Takeo berpaling dari pelana dan menatap Shigeko. "Gagasan yang menakjubkan. Tapi Ayah
telah memberikan kirin untukmu. Ayah tak ingin memintanya kembali. Dan apakah hewan itu dapat
bertahan dalam perjalanan sejauh itu?"
"Hewan itu berhasil menempuh per
jalanan dengan kapal. Aku bisa menemani?nya sampai ke Akashi. Mungkin Lord Gemba atau
Lord Hiroshi bisa ikut ber?samak u."
"Kaisar serta orang istana akan terpesona dengan hadiah itu," kata Gemba, pipi tembamnya
merona merah karena senang. "Sepertinya Lord Saga akan takluk pada Lady Shigeko."
Shigeko, menunggang kuda melalui pedesaan di musim gugur yang damai menuju wilayah yang
akan segera menjadi miliknya, tempat ia akan bertemu Hiroshi lagi. merasakan kalau mereka
memang direstui Surga. dan Ajaran Houou, ajaran kedamaian akan menang.*
Setelah kematian Muto Kenji, jasadnya dibuang ke parit dan tertimbun tanah. Tidak ada
benda yang menandakan tempat itu, tapi Hisao tidak sulit menemukannya karena ibu?nya membimbing
langkahnya ke sana. Seringkali hujan turun tiba-tiba selagi ia melewatinya, membiaskan sinar
matahari menjadi penggalan-penggalan bianglala di awan yang membumbung tinggi. Hisao
melihatnya dan memanjatkan doa bagi arwah kakeknya agar dapat menempuh jalan aman
menuju alam baka dan kelahiran kembali yang lebih baik pada kehidupan kelak. Ia kemudian melihat
ke bawah, ke barisan pegunungan yang terbentang ke timur dan utara, untuk melihat apakah ada
orang yang datang Hisao merasa lega tapi juga menyesal karena arwah kakeknya telah keluar. Arwah
itu menggantung di tepi kesadaran seperti juga arwah ibunya, membuatnya sakit kepala dengan
tuntutan yang tak bisa dipahami. Ia hanya mengenal kakeknya sebentar, namun telah merindukannya:
Kenji bunuh diri atas kemauannya sendiri; Hisao senang arwah kakeknya sudah pergi dengan damai, tapi menyesali
kematiannya, dan walaupun tidak pernah membicarakan hal itu, dia membenci Akio karena
menjadi penyebabnya. Musim panas berlalu dan tak ada yang datang.
Penduduk desa merasa khawatir selama musim panas, terutama Kotaro Gosaburo, karena tak
ada kabar tentang nasib anak?anaknya yang ditahan di Inuyama. Desas?desus dan spekulasi kian
bertambah: bahwa mereka sekarat karena disiksa, bahwa salah satu atau keduanya sudah
tewas. Gosaburo semakin kurus, lipatan kulit keriputnya semakin bergelayut, sinar matanya hampa.
Akio makin tak sabar pada Gosaburo; dia menjadi cepat kesal dan sikapnya menjadi susah ditebak.
Hisao agak senang men?dengar kabar baik tentang eksekusi para pemuda itu karena akan
memadamkan harapan Gosaburo dan menguatkan ke-putusannya untuk balas dendam.
Bunga lili musim gugur berwarna merah tua pekat tumbuh di atas jasad Kenji, meski tak ada
yang menanamnya. Burung-burung mulai bermigrasi ke utara, dan malam
Halaman 545 dari 545 dipenuhi jeritan angsa dan kepakan sayap mereka. Rembulan di bulan kesembilan tampak
besar dan keemasan. Pohon maple dan pohon sumac berubah warna menjadi merah tua, pohon beech
berwarna tembaga, willow dan ginko berwarna keemasan. Hari?hari dilalui Hisao dengan
memperbaiki pematang sebelum musim dingin, menyebar dedaunan kering dan kotoran hewan
di sawah, mengumpulkan kayu bakar dari hutan. Sistem pengairannya berhasil: sawah di
pegunungan menghasilkan panen kedelai, wortel dan labu yang baik. la membuat penggaruk tanah baru
sehingga pupuk ter?sebar lebih merata, dan bereksperimen dengan bilah kapak, bobot, sudut serta
ke?tajamannya. Ada sebuah tempat penempaan besi di desa itu, dan Hisao ke sana saat ada
waktu luang untuk memerhatikan dan membantu meniup panas dengan alat peng?embus dalam
proses mengubah besi menjadi baja.
Di awal bulan ketujuh, Imai Kazuo dikirim ke Inuyama untuk mencari berita. Dia kembali di
pertengahan musim gugur dengan kabar gembira namun membingung?kan: para sandera
masih hidup, masih di tahan di Inuyama. Dia juga membawa kabar lain: Lady Otori sedang hamil dan Lord Otori
mengirim utusan dengan prosesi yang mewah ke ibukota. Rombongan itu berada di Inuyama di waktu
yang bersamaan dengan Kazuo, dan baru akan berangkat ke Miyako.
Sikap Akio kurang senang dengan potongan berita yang pertama, iri pada berita yang kedua,
dan amat gelisah dengan berita yang ketiga.
"Mengapa Otori melakukan pendekatan pada Kaisar?" tanyanya pada Kazuo. "Apa maksudnya?"
"Kaisar telah menunjuk jenderal baru, Saga Hideki, yang selama sepuluh tahun ini sibuk
memperluas kekuasaannya di seluruh penjuru wilayah Timur. Kini muncul seorang ksatria yang bisa
menantang Otori." Mata Akio berkilap dengan ekspresi yang tidak biasa. "Ada yang berubah; aku dapat
merasakannya. Otori menjadi lebih rapuh, bereaksi pada ancaman semacam itu. Kita harus ambil bagian
dalam kejatuhannya: dengan bersembunyi kita tidak bisa me?nunggu sampai orang lain membawa
kabar kematiannya kepada kita."
"Memang ada tanda-tanda kelemahan,"
Kazuo sepakat. "Mengutus orang ke Kaisar, dan anak-anak itu masih hidup... sebelumnya ia
tidak ragu membunuh keluarga Kikuta."
"Muto Kenji berhasil mengetahui ke?beradaan kita," ujar Akio penuh per?timbangan. Takeo
pasti sudah tahu tempat kita ini. Aku tidak percaya dia maupun Taku akan membiarkan kematian
Kenji begitu saja tanpa membalas dendam, kecuali mereka di?sibukkan dengan hal-hal yang lebih
men?desak." "Ini waktunya bagimu untuk bepergian lagi," kata Kazuo. "Ada banyak keluarga Kikuta di
Akashi. Keluarga kita yang ada di Tiga Negara ini juga butuh tuntunan, dan akan mengikutimu bila kau
yang ke sana." "Kalau begitu kita pergi ke Akashi lebih dulu," sahut Akio.
Sebagai anak, ayah Hisao mengajarinya ketrampilan teater keliling Kikuta"memain?kan drum,
atraksi lempar bola, menyanyikan balada kuno yang disukai penduduk desa, tentang perang
zaman dulu, pertikaian, pengkhianatan dan tindakan balas dendam" yang selalu mereka lakukan
dalam perjalanan ke seluruh Tiga Negara. Seminggu setelah pulangnya Kazuo, Akio mulai berlatih atraksi lempar
bola lagi; sandal jerami disiapkan dalam jumlah banyak, asinan persimmon dan chestnut
dikumpulkan lalu dikemas, jimat?jimat dikeluarkan dan dibersihkan, senjata?senjata diasah.
Hisao bukanlah pemain pertunjukan yang berbakat: terlalu pemalu dan tidak menik?mati
menjadi pusat perhatian, tapi kombinasi antara pukulan dan makian Akio telah men?jadikannya cukup
terampil. Ia jarang mem?buat kesalahan, ia pun hapal semua lirik lagu-lagu, walaupun orang
Halaman 546 dari 546 mengeluhkan kalau ia seperti bergumam sehingga sulit didengar. Gagasan untuk bepergian
mem?buat ia bersemangat sekaligus takut. Tak sabar untuk segera berada di jalan, pergi
meninggalkan desa, melihat hal-hal baru, tapi kurang bersemangat dengan pertunjukan dan
gelisah meninggalkan makam kakeknya.
Gosaburo gembira menerima kabar dari Kazuo, dan menanyainya dengan penuh selidik. Dia
tidak langsung bicara pada Akio, tapi di malam sebelum keberangkatan mereka, ketika Hisao tengah
bersiap untuk tidur, Gosaburo menghampiri pintu kamar
dan meminta apakah bisa bicara berdua dengan Akio.
Akio sudah setengah telanjang dan Hisao bisa melihat ekspresi kemarahan ayahnya, tapi
memberi isyarat agar tamunya boleh masuk dengan menggerakkan kepala. Gosaburo melangkah ke
dalam kamar, menggeser tutup pintu lalu berlutut dengan gugup.
"Keponakan," ujarnya, seolah menekankan otoritas usia. "Sudah saatnya kita berunding dengan
Otori. Tiga Negara semakin kaya dan makmur sementara kita bersembunyi di pegunungan, nyaris
kelaparan dan tidak lama akan musim dingin. Kita juga bisa ber?kembang: pengaruh kita bisa
diperluas melalui perdagangan. Hentikanlah semua pertikaian ini."
Akio menjawab, "Tidak akan."
Gosaburo menghela napas panjang. "Aku akan kembali ke Matsue. Aku akan pergi besok pagi."
"Tidak ada yang boleh pergi meninggalkan keluarga Kikuta," Akio memperingatkan, suaranya
datar. "Aku mulai membusuk di sini. Kita semua juga. Otori membiarkan anak-anakku tetap
hidup. Mari kita terima lawarannya untuk berdamai. Aku akan setia padamu. Aku akan bekerja
untukmu di Matsue seperti yang pernah kulakukan, menyediakan dana, menyimpan
catatan...." "Begitu Takeo"dan juga Taku"mati, baru kita bicara tentang perdamaian," sahut Akio.
"Sekarang enyahlah. Aku lelah, dan kehadiranmu membuatku jijik."
Tak lama setelah Gosaburo pergi, Akio memadamkan lampu. Hisao sudah ber?baring: malam
itu terasa hangat dan ia tidak menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Penggalan cahaya
menari-nari di balik kelopak matanya. Sesaat ia berpikir tentang sepupu-sepupunya dan ingin tahu
bagaimana cara mereka mati di Inuyama, tapi ke?mudian ia mendengarkan gerakan Akio: setiap sel
dalam tubuh orang itu seakan merindukan belai kasih sayang.
Kemarahan Akio membuatnya bersikap kasar dan gegabah. Hisao berusaha untuk tidak
bersuara karena kekerasan yang sewaktu-waktu akan menimpa dirinya. Suara Akio terdengar hampir
lembut saat menyuruh ia tidur, jangan bangun, dan jangan pedulikan apa pun yang akan di
degarnya, dan Hisao merasakan kelembutan sesaat yang amat dirindukannya saat rambut?nya
dibelai sang ayah. Setelah Akio pergi meninggalkan kamar, Hisao membenamkan diri di balik
selimut dan berusaha menutup telinganya. Terdengar beberapa kali suara pelan, seseorang tercekik
dan meronta-roma: suara berdebuk berat, diseret di atas papan, lalu ke tanah.
Aku sudah tidur, kata Hisao berulang kali pada dirinya sampai tiba-tiba, sebelum Akio kembali,
ia sudah tertidur nyenyak dan tanpa mimpi bak orang mati.
Keesokan harinya tubuh Gosaburo ter?geletak di lorong. Dia mati dibunuh dengan garotte. Tak
seorang pun berani menangisi kematiannya.
"Tak ada yang boleh meninggalkan Kikuta dan bebas pergi tanpa hukuman," kata Akio pada
Hisao sewaktu mereka bersiap berangkat. "Ingat itu. Takeo dan Isamu, ayahnya, berani
meninggalkan Tribe. Isamu sudah dieksekusi, dan Takeo akan meng?alami hal yang sama."
dalam konflik dan kebingungan sehingga para saudagar mengambil keuntungan dari kebutuhan
pangan dan senjata para ksatria. Begitu mereka kaya, mereka tidak ingin kekayaan mereka
dirampas ksatria yang sama sehingga mereka bergabung untuk melin?dungi barang serta usaha mereka.


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kota Halaman 547 dari 547 ini dikelilingi parit lebar yang digali untuk melindungi diri dari musuh, dan masing?masing
parit dengan sepuluh jembatannya dijaga prajurit dari masing-masing kesatuan. Ada beberapa kuil besar
yang melindungi dan mendukung perdagangan, baik dalam bidang materi maupun spiritual.
Saat para penguasa semakin berkuasa, mereka mencari benda dan pakaian yang indah, karya
seni dan kemewahan lain dari Shin dan daerah yang lebih jauh lagi, dan pedagang pelabuhan bebas
ini menyediakan-nya dengan senang hati. Keluarga Tribe pernah menjadi pedagang yang paling
ber?kuasa di kota itu, tapi meningkatnya kesejahteraan di Tiga Negara serta per?musuhan
dengan Otori membuat banyak yang pindah ke Hofu.
"Masa kejayaan telah berlalu," kata Jizaemon, pemilik usaha importir sukses,
pada Akio saat menyambutnya dengan sikap setengah hati. "Kita harus bergerak. Kita bisa
lebih berkiprah dalam banyak peristiwa dengan menyediakan senjata dan kebutuhan lainnya. Mari
kita dukung persiapan perang, dan dari keuntungan kita bisa menghindari akibatnya."
Mengira ayahnya akan bertindak seperti yang dilakukan pada Gosaburo, Hisao sedih. Ia tak
ingin Jizaemon mati sebelum mem?perlihatkan sebagian dari nana bendanya, alat yang bisa
menghitung waktu, botol kaca dan cabung minuman, cermin dan makanan baru yang lezat, manis dan
pedas, kayu manis dan gula: kata-kata yang belum pernah di?dengarnya.
Perjalanan terasa panjang dan melelahkan. Baik Akio maupun Kazuo tidak muda lagi, dan
penampilan mereka sebagai seniman jalanan sudah hilang gregetnya. Lagu-lagu mereka telah
ketinggalan jaman dan tak lagi populer. Kehadiran mereka di jalanan tidak mendapat
sambutan baik, bahkan di satu desa yang tidak ramah: tak seorang pun mau memberi mereka tempat
menginap sehingga mereka terpaksa berjalan lagi semalaman.
Saat ini Hisao tengah mengamati ayahnya,
dia melihat kalau ayahnya sudah tua. Di desa kelahirannya, Akio adalah Ketua Kikuta, ditakuti
dan dihormati semua orang; sementara di sini, dengan pakaian tua yang lusuh, ayahnya kelihatan
seperti bukan siapa?siapa. Hisao merasa iba, lalu berusaha menyingkirkan perasaan itu, karena rasa
iba, seperti biasa, membuka dirinya pada suara?suara arwah. Sakit kepala yang tak asing mulai
terasa lagi: separuh dunia menyelinap ke balik kabut; perempuan itu berbisik, tapi ia tidak mau
mendengarkan. "Baiklah, mungkin kau benar," terdengar olehnya Akio bicara, seolah dari kejauhan. "Tapi yang
pasti peperangan tidak bisa dihindari selamanya. Kami sudah mendengar tentang kurir-kurir yang
dikirim Otori kepada Kaisar."
"Ya, mereka berangkat hanya selang beberapa minggu sebelum kau datang: aku belum pernah
melihat prosesi yang begitu mewah. Otori pasti benar-benar kaya, dan lebih dari itu,
dikaruniai dengan selera dan tingkah laku serta tutur bahasa yang halus: kabarnya itu karena pengaruh
istrinya..." "Dan Kaisar memiliki jenderal baru?" Akio memotong perkataan si pedagang yang
penuh semangat. "Benar, dan ada lagi, sepupu, tak lama lagi jenderal itu akan memiliki senjata-senjata baru.
Kabarnya, itu sebabnya Lord Otori mencari dukungan Kaisar."
"Apa maksudmu?"
"Selama bertahun-tahun Otori member?lakukan embargo senjata api. Tapi baru-baru ini
embargo itu dilanggar, dan senjata api diselundupkan keluar Hofu"kabamya dengan bantuan Arai Zenko!
Kau kenal Terada Fumio?"
Akio mengangguk. "Nah, Fumio tiba dua hari setelah penyelundupan itu dan berusaha mendapat?kannya
kembali. Dia gusar sekali; pertama?tama dia menawarkan sejumlah besar uang, lalu mengancam akan
kembali dengan pasukan lalu membakar habis kota itu jika tidak dikembalikan. Tapi sudah terlambat:
senjata Halaman 548 dari 548 itu sudah dalam perjalanan ke tempat Saga. Dan harga jual besi dan bubuk mesiu itu setinggi
langit, sepupu, setinggi langit!"
Jizaemon menuang secangkir lagi sake dan memaksa mereka minum bersamanya.
"Tak ada yang memedulikan ancaman Terada," katanya tertawa kecil. "Dia tak lebih
dari perompak. Dulu dia juga penyelundup. Dan Lord Otori takkan menyerang kota itu, tidak
selama dia membutuhkan pedagang itu untuk memberi makan dan mempersenjatai pasukannya."
Hisao penasaran dengan jawaban Akio yang singkat. Ayahnya memang sudah mabuk berat, dan
mengangguk setuju pada semua perkataan Jizaemon, meskipun dahi?nya makin berkerut dan
wajahnya makin muram. Hisao terbangun tengah malam men?dengar ayahnya berbisik pada Kazuo. Dirasakan seluruh
ototnya menegang, dan setengah berharap mendengar lagi suara pelan pembunuhan, tapi
kedua orang itu tengah membicarakan hal lain: tentang Arai Zenko yang membiarkan senjata api
keluar dari jaringan Otori. Hisao tahu riwayat Zenko: putra sulung Muto Shizuka, cucu keponakan Kenji, dan saudara
sepupu dirinya. Zenko satu-satunya keluarga Muto yang tidak dikutuk keluarga Kikuta: dia tak terlibat
dalam kematian Kotaro, dan kabarnya dia tak sepenuhnya setia pada Takeo. Dicurigai kalau dia
menyalahkan Takeo atas kematian ayahnya,
dan bahkan menyimpan hasrat untuk balas dendam.
"Zenko kuat sekaligus ambisius," bisik Kazuo. "Jika dia berusaha mengambil hati Lord Saga, dia
pasti tengah bersiap bergerak melawan Si Anjing."
"Waktu yang tepat untuk mendekati Zenko," gumam Akio. "Takeo sedang men?dapat ancaman
dari Timur; jika Zenko menyerang dari Barat maka dia akan terjebak di antara dua wilayah
tersebut." "Kurasa Zenko akan menyambutmu," sahut Kazuo. "Sejak kematian Kenji, Zenko yang
seharusnya menjadi Ketua Muto. Kapan lagi waktu yang tepat untuk pergi ke keluarga Muto guna
memperbaiki keretakan dalam Tribe, guna menyatukan kembali semua keluarga?"
Jizaemon, mungkin senang berhasil menyingkirkan tamunya, menyediakan surat ijin
perjalanan dan memberi pakaian bam serta barang dagangan lainnya. Diaturnya agar mereka bisa bepergian
dengan kapal pedagang, dan dalam beberapa hari mereka angkat sauh ke Kumamoto melalui Hofu,
memanfaatkan cuaca cerah dan tenang di akhir musim gugur.*
Maya tidak bepergian sebagai putri Lord Otori, tapi dengan menyamar cara Tribe. Sebagai adik
Sada, dan mereka pergi ke Maruyama untuk bertemu dengan kerabat di sana dan mencan pekerjaan
setelah kematian orangtua mereka. Maya menyukai perannya sebagai anak yatim piatu, dan
menyenangkan baginya membayangkan kalau orangtuanya mati karena marah, terutama pada
ibunya, dan amat terluka dengan sikap kedua orang?tuanya karena lebih sayang pada
Sunaomi. Maya pernah melihat Sunaomi menjadi anak cengeng karena mengira melihat hantu" yang
sebenarnya adalah patung Kanon maha Penyayang yang belum selesai dibuat. Maya semakin
membenci rasa takut Sunaomi karena itu belum apa-apa dibandingkan apa yang pernah
dilihatnya di malam yang sama, malam ketiga Perayaan Obon.
Waktu itu ia mengikuti Sunaomi dengan menggunakan kemampuan Tribe, tapi saat sampai di
pantai, ada sesuatu di malam itu Halaman 549 dari 549 yang menyentuh perasaannya, dan suara si kucing berbicara dalam dirinya, mengatakan,
"Lihatlah apa yang bisa kulihat!"
Awalnya seperti permainan: latar yang gelap dadak terang, bola matanya yang besar
menangkap semua gerakan yang ada, hewan?hewan kecil berlarian ke sana kemari, getaran dedaunan,
semburan air terbawa angin. Lalu tubuhnya melemas dan meregang seperti tubuh kucing, dan
Maya menyadari kalau pantai dan hutan pinus penuh dengan hantu.
Ia melihat hantu-hantu itu dengan peng?lihatan si kucing, wajah mereka abu-abu, jubah
mereka putih, tubuh pucat mereka mengambang di permukaan tanah. Arwah orang-orang mati itu
memalingkan pan?dangan ke arah Maya dan si kucing menang?gapi mereka, mengenali penyesalan pahit,
dendam tak berkesudahan, hasrat yang tak terpenuhi dalam diri mereka.
Maya menjerit kaget; si kucing melolong. Maya berusaha kembali ke tubuh manusia?nya;
cakar si kucing menggaruk-garuk batu kerikil di pasir pantai: melompat ke pepohonan di sekitar rumah
itu. Arwah-arwah mengejar Maya, berdesakan di sekelilingnya, sentuhan mereka terasa
sedingin es di kulit hewan berbulunya. Ter?dengar olehnya suara-suara seperti gemerisik
dedaunan tertiup angin musim gugur, penuh kesedihan dan kelaparan.
"Di mana Penguasa kami" Bawa kami padanya. Kami sedang menunggunya."
Kata-kata mereka memenuhi dirinya bak teror yang menakutkan, meskipun tidak me?mahami
apa maksudnya, seperti dalam mimpi buruk ketika sepotong kalimat yang tak jelas membuat
orang yang bermimpi me rasa ketakutan setengah mati. Terdengar olehnya derak ranting patah, lalu
melihat seorang laki-laki keluar dari rumah yang baru separuh hancur dengan membawa lentera. Para
arwah gentayangan tadi mundur terkena sinar lentera, dan membuat bola mata Maya mengecil dan
akhirnya tidak bisa lagi melihat mereka. Tapi didengarnya Sunaomi menjerit, dan juga gemericik air
ketika bocah itu kencing di celana. Penghinaan atas ketakutan Sunaomi membantu Maya mengatasi
ke?takutannya sendiri, cukup untuk mundur ke semak-semak dan pulang tanpa terlihat ke
kastii. Ia tidak ingat bagaimana si kucing meninggalkan dirinya hingga ia kembali menjadi Maya, sama
tidak jelasnya dengan apa yang membuat tubuh kucing merasuk dalam sendirinya. Tapi ia juga tak bisa
menyingkirkan ingatan akan pandangan mata si kucing dan suara-suara bergema dari arwah gentayangan. Di
mana Penguasa kami" Maya ketakutan setengah mati, tak ingin melihat dan mendengar dengan cara seperti itu lagi,
dan berusaha melindungi dirinya dari kerasukan arwah si kucing. Ia telah mewarisi sifat kejam dari
Kikuta seiring dengan banyak bakat yang lain. Tapi kucing itu mendatanginya lewat mimpi, meminta,
menakuti-nakuti dan membujuk dirinya.
"Kau bisa jadi mata-mata yang sangat hebat!" seru Sada setelah malam pertama di atas kapal.
"Aku lebih suka jadi mata-mata ketimbang harus menikah dengan lord," sahut Maya. "Aku ingin
sepertimu, atau seperti Shizuka dulu."
Maya menatap gelombang ke Timur, tempat kota Hagi hampir menghilang di kejauhan: Pulau
Oshima juga terbentang jauh di belakang mereka, hanya awan di atas gunung berapi di pulau itu yang
terlihat. Mereka telah melewatinya semalam, dan itu membuat Maya menyesal karena pernah
mendengar banyak cerita tentang para perompak jaman dulu dan kunjungan ayah?nya kepada Lord
Terada. Ia ingin melihat-nya, tapi kapal tidak boleh berangkat ter?lambat: angin timur laut hanya
terjadi beberapa hari lagi, dan mereka mem?butuhkannya untuk membantu kapal melaju ke pantai Barat.
"Dulu Shizuka suka melakukan sesuka hatinya," sambung Maya. "Tapi dia menikah dengan tabib
Ishida, dan kini dia sama saja seperti istri-istri yang lainnya."
Sada tertawa. "Jangan meremehkan Muto Shizuka! Dia selalu jauh lebih dari yang
kelihatannya." "Dia juga nenek Sunaomi," gerutu Maya. "Kau iri, Maya; itu masalahmu!"
Halaman 550 dari 550 "Sangat tidak adil," sahut gadis itu. "Andai aku laki-laki, tak masalah kalau aku kembar. Andai
aku lakilaki, Sunaomi tidak akan datang tinggal bersama kami, dan Ayah tak?kan berpikir untuk
mengangkatnya sebagai anak!" Dan aku takkan berpikir untuk menantang pengecut cilik itu
pergi ke biara. Maya menatap Sada. "Pernahkah kau ber
harap menjadi seorang laki-laki?"
"Ya, sering, ketika aku masih kecil. Bahkan di kalangan Tribe, di mana perempuan diberi
banyak kebebasan, anak laki-laki sepertinya lebih dihargai. Aku selalu menentang mereka, selalu
berusaha mengalahkan mereka. Muto Kenji sering bilang itu sebab?nya kenapa aku tumbuh besar sama
tinggi dan kuatnya seperti laki-laki. Dia meng?ajariku cara meniru anak laki-laki, bicara dengan
gaya bahasa mereka dan menirukan gerakan mereka. Kini aku bisa jadi laki-laki atau perempuan, dan itu
sebabnya aku menyukainya." "Kenji mengajarkan kita hal yang sama!" seru Maya, karena seperti semua anak-anak Tribe, ia
belajar bicara dengan gaya bahasa laki-laki dan perempuan, serta gerakan, dan bisa bertingkah
seperti keduanya. Sada mengamatinya. "Ya, kau bisa menjadi laki-laki."
"Benar, aku tidak menyesal disuruh pergi jauh," Maya berusaha meyakinkan. "Karena aku suka
padamu"dan aku sayang pada Taku!"
"Semua orang menyayangi Taku," Sada tertawa.
Maya tidak sempat menangkap lebih banyak lagi bahasa pelaut yang menggoda dan nyaris tak
bisa dimengerti karena gelombang laut mulai naik. Gerakan kapal yang naik turun membuatnya
pusing dan tubuhnya terasa tidak enak. Sada merawatnya tanpa mengeluh atau kata-kata bersimpati,
memegang tengkuknya sewaktu ia muntah dan setelah itu mengelap wajahnya, mem?bujuknya untuk
minum teh untuk mem?basahi bibirnya. Ketika sampai di tahap yang paling buruk, Maya berbaring di
pangkuan Sada yang melingkarkan lengannya yang panjang dan dingin di alis Maya. Sada seperti merasa
kalau di balik kulit Maya ada sifat hewan, bak kulit bulu hewan, gelap, padat dan berat, tapi juga
lembut untuk disentuh. Maya merasakan sentuhan itu seperti sentuhan seorang pengasuh atau
seorang ibu;

The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia tersadar ketika kapal berbelok mengitari tanjung tepat saat angin berubah arah dan angin
barat berhembus membawa mereka ke tepi pantai, lalu menatap wajah Sada yang tajam, dengan
tulang pipi tinggi seperti anak laki-laki, dan berpikir betapa bahagianya bisa selamanya berbaring di
dalam pelukannya, dan merasakan sekujur tubuhnya bereaksi
dengan menggeliat. Pada saat itu hasrat menyelimuti dirinya pada gadis yang lebih tua itu,
kombinasi antara kekaguman dan kebutuhan: itu pertama kalinya Maya jatuh cinta. Diregangkan
tubuhnya untuk me?meluk Sada, melingkarkan lengan di tubuh?nya, merasakan otot kuat seperti otot
laki?laki, dan kelembutan yang tak terduga dari buah dadanya. Diusap-usapkan hidungnya ke leher Sada,
hampir seperti anak kecil, sekaligus seperti hewan.
"Kuanggap sikapmu ini berarti kau sudah baikan?" tanya Sada, balas memeluknya.
"Sedikit. Tadi rasanya sakit sekali. Aku tak ingin naik kapal lagi!" Maya berhenti sebentar lalu
melanjutkan, "Kau mencintaiku Sada?"
"Pertanyaan apa itu?"
"Aku bermimpi kau mencintaiku. Tapi aku tidak yakin apakah aku bermimpi, alaukah...."
"Atau apa?" "Atau si kucing."
"Mimpi sepeni apa yang dialami kucing itu?" tanya Sada dengan enggan.
"Mimpi yang dialami hewan." Maya tengah menatap ke pantai di kejauhan, bukit
Halaman 551 dari 551 ditumbuhi pinus di atasnya yang muncul dari air laut berwarna biru tua, bebatuan hitam yang
berada di tepiannya dengan ombak keabuan hijau dan putih. Permukaan air di sekitar teluk lebih
tenang, dan sampai ke muara, rak kayu penopang rumput laut dan kapal nelayan berbadan cembung
tengah ditarik ke pantai, tempat rumput laut tumbuh. Orang-orang meringkuk di tepi pantai,
membetulkan jala dan menjaga agar api unggun tetap menyala yang memaksa garam keluar dari air laut.
"Aku tak tahu kalau kau mencintaiku," goda Sada. "Tapi aku memang menyayangi kucing itu!"
Diraih lalu diusapnya leher Maya seakan-akan sedang membelai kucing, dan punggung gadis itu
melengkung karena nyaman. Sada mengira hampir bisa merasa?kan lagi bulu di jari
jemarinya. "Kalau kau terus lakukan itu, kurasa aku akan berubah menjadi si kucing," ujar Maya sambil
melamun. "Aku yakin kelak ini bisa berguna." Nada suara Sada terdengar praktis.
Maya menyeringai. "Itu sebabnya aku menyukai Tribe," sahutnya. "Mereka tidak keberatan
kalau aku ini anak kembar, atau roh si kucing merasuki diriku. Apa pun yang berguna bagi mereka, baik adanya. Itu
menurutku. Aku tidak mau kembali pada kehidupan di istana, atau kastil. Aku akan tinggal bersama Tribe."
"Kita lihat apa pendapat Taku!"
Maya tahu Taku adalah guru yang tegas dan tidak punya perasaan sentimentil, tapi ia takut
kalau gurunya itu terpengaruh dengan kewajiban pada ayahnya sehingga cenderung
memperlakukannya dengan pengecualian. Ia tak tahu mana yang lebih buruk: diterima oleh Taku hanya karena ia
adalah putri Otori, atau ia ditolak karena kurang trampil. Di satu saat ditemukan dirinya mengira
kalau Taku akan mengenyahkannya karena tak mampu menolongnya; atau sebaliknya kagum dengan
segala yang bisa dilakukannya dan semua potensi dirinya. Akhirnya akan jadi sesuatu di antara dua
hal: tidak terlalu kecewa, tapi juga tidak terlalu memuaskan.
Muara berpasir terlalu dangkal untuk dimasuki kapal, dan mereka turun dengan menggunakan
tali ke perahu nelayan yang reot. Perahu-perahu itu sempit dan tidak stabil; para awaknya tertawa
ketika Maya memegang erat-erat bagian pinggir atas dari
sisi perahu, serta berusaha menarik Sada ke dalam percakapan cabul saat mengayuh ke hulu,
ke kota Maruyama. Kastil berdiri di atas bukit kecil di atas sungai dan kota yang menyebar di sekeliling?nya.
Bangunannya kecil dan indah, ber?dinding putih dan beratap abu-abu, terlihat mirip burung
yang baru saja beristirahat, sayapnya masih membentang, sinar matahari mewarnainya dengan warna
merah muda. Maya mengenalnya dengan baik dan sering tinggal di sana bersama ibu dan
saudara?saudaranya, tapi hari ini tujuannya bukan ke kastil itu. Ia terus merendahkan
pandangan mata dan tidak bicara dengan siapa pun agar tidak dikenali. Sesekali Sada berbicara
kepadanya dengan kasar, membentaknya agar tidak berjalan dengan menggesekkan kaki ke tanah. Maya
menyahut, ya kak, tentu kak, sambil berjalan tanpa mengeluh, walaupun perjalanannya jauh
dan bawaannya banyak. Hari sudah hampir gelap saat mereka tiba di rumah yang memanjang
sampai ke sudut jalan. Jendelanya dipalang dengan kayu, dan atap rendahnya memanjang sampai ke
pinggiran atap. Di satu sisinya adalah toko depan, yang kini tutup dan sepi. Dipasang ke
dinding satunya, ada gerbang besar. Dua laki-laki berdiri di luar dengan bersenjata pedang
dan tombak lengkung panjang. Sada bicara kepada salah satunya. "Apakah mengira akan ada serangan, sepupu?"
"Ini dia masalah datang," sahutnya. "Apa yang kau lakukan" Siapa anak itu?"
"Adikku, kau ingat padanya?"
"Pasti bukan Mai!"
"Bukan, bukan Mai, Maya. Kita masuk saja dulu. Nanti akan kuceritakan. Taku ada di
Maruyama?" imbuhnya selagi gerbang dibuka lalu mereka menyelinap masuk.
Halaman 552 dari 552 "Ya, dia datang beberapa hari lalu. Dia bersama Lord Kono, dari Miyako, dan Lord Sugita
sedang menghibur mereka. Dia belum mampir seperti biasa. Kami akan beri tahu kalau kau dan
adikmu ada di sini." "Mereka kenal aku?" bisik Maya sewaktu Sada meng-gandengnya melewati taman yang gelap ke
pintu masuk. "Ya. Tapi mereka juga tahu kalau ini bukan urusan mereka, jadi mereka takkan bicara
banyak." Maya membayangkan bagaimana seorang laki-laki"atau perempuan"menyamar se?bagai
prajurit, penjaga atau pelayan: mereka
mendekati Taku dengan komentar tentang kuda atau makanan, lalu menambah se?potong
kalimat yang kedengaran sem?barangan, lalu Taku bisa tahu....
"Mereka akan memanggilku apa?" ia ber?tanya pada Sada seraya melangkah ringan ke atas
beranda. "Memanggilmu" Dengan nama apa?"
"Apa nama rahasiaku yang hanya di?ketahui Tribe?"
Sada tertawa hingga kehabisan suara. "Mereka akan mengarangnya. Anak Kucing, barangkali."
Anak Ku ci ng sudah kembali malam ini. Maya hampir bisa mendengar suara pelayan"memutuskan
kalau pelayan itu perempuan"berbisik di telinga Taku selagi membungkuk membasuh kaki Taku,
atau menuang sake untuknya, dan kemudian ... apa yang akan Taku lakukan"
Maya merasakan agak tahu: apa pun yang akan terjadi tidak akan mudah.
Ia harus menunggu sampai dua hari. Tidak ada waktu untuk bosan atau cemas, karena Sada
menyibukkannya dengan ber?bagai latihan Tribe yang tak ada akhirnya, karena kemampuan
Tribe bisa selalu dikem?bangkan, dan tak seorang pun, bahkan Muto
Kenji atau Kikuta Kotaro, menguasainya dengan sempurna. Dan Maya hanyalah anak kecil:
waktunya masih banyak. Ia latihan ber?diri tak bergerak dalam waktu lama, me?regangkan dan melipat
tubuh agar tetap lemas, latihan mengingat dan mengamati, bergerak cepat hingga nyaris tak
terlihat dan menggunakan sosok kedua. Maya lakukan semua itu tanpa mengeluh karena sudah
me?mutuskan untuk mencintai Sada tanpa syarat, dan berusaha membuatnya senang.
Di senja hari kedua, setelah malam men?jelang dan mereka selesai makan, Sada mem?beri
isyarat pada Maya yang tengah menaruh mangkuk di nampan"karena di rumah ini dia bukan lagi putri
Lord Otori tapi gadis termuda sehingga menjadi pelayan bagi semua orang. Diselesaikan tugasnya,
mem?bawa nampan ke dapur, lalu melangkah keluar beranda. Di ujung beranda, Sada ber?diri
sambil memegang lentera. Maya bisa melihat wajah Taku, separuh terkena sinar, separuh
dalam kegelapan. Maya menghampiri lalu berlutut di hadapannya, tapi sebelumnya ia mengamati reaksi di
wajah Taku. Saat wajah itu terlihat lelah, ekspresi wajah yang tegang, dan
bahkan kesal, hati Maya terpuruk. "Guru," bisiknya.
Taku mengerutkan dahi, dan memberi isyarat pada Sada untuk mendekatkan lentera. Maya
merasakan panasnya lentera di pipinya, lalu menutup mata. Cahaya lentera berkedap-kedip di
balik kelopak matanya. "Pandang aku," kata Taku.
Mata Taku yang hitam, buram, menatap lurus ke arahnya. Maya menahan tatapan mata Taku
tanpa berkedip, membuat pikirannya kosong, tidak membiarkan ekspresi yang menunjukkan
kelemahannya terlihat; dan di waktu yang bersamaan tidak berani mencari-cari ada ekspresi apa di wajah
Taku. Tapi ia tak mampu mempertahankan diri dari Taku: merasakan seolah ada semacam bias sinar, atau
pikiran, menembus dirinya, melihat rahasia yang ia sendiri , tidak tahu ada dalam dirinya.
"Uhhh," gerutu Taku, tapi Maya tak tahu apakah gerutuan itu karena Taku setuju atau
terkejut. "Mengapa ayahmu mengirimmu padaku?"
Halaman 553 dari 553 "Menurut Ayah aku dirasuki roh kucing," sahutnya pelan. "Ayah mengira Kenji kemungkinan
mewariskan ilmu Tribe tentang hal-hal seperti ini kepadamu." "Tunjukkan padaku."
"Aku tidak mau," sahut Maya.
"Biarkan aku melihat roh kucing ini, kalau memang ada di sana." Suaranya mengandung
kecurigaan dan tak acuh. Maya bereaksi dengan marah. Kemarahan menjalar ke sekujur tubuhnya,
langsung dan bukan seperti manusia, membuat tubuhnya melembut dan meregang, bulunya beriak;
telinganya menegak dan memamerkan gigi?nya, bersiap menerkam.
"Cukup," kata Taku pelan, lalu menyentuh pipi Maya dengan lembut. Hewan itu menurut
dengan sendirinya, lalu mengeong.
"Kau tak memercayaiku," kata Maya datar. Tubuhnya gemetar.
"Bila sebelumnya aku tak percaya, maka kini aku percaya," sahutnya. "Sangat me?narik.
Pertanyaannya yaitu, bagaimana kita bisa memanfaatkannya" Pernahkah kau berubah wujud
hingga benar-benar menjadi kucing?"
"Pernah, sekali," akunya. "Aku mem?buntuti Sunaomi ke kuil Akane lalu melihatnya kencing di
celana!" Taku mendengar sesuatu di balik ke?beranian yang dibuat-buat itu. "Lalu?" tanya?nya.
Maya tidak menjawab selama beberapa saat; kemudian ia bergumam, "Aku tak mau
melakukannya lagi! Aku tidak menyukai perasaan yang menyertainya."
"Tidak ada hubungannya kau suka atau tidak," sahut Taku. "Jangan buang waktu. Kau harus
berjanji kalau kau hanya akan melakukan apa yang Sada atau aku pinta, tidak pergi sendiri sesuka
hatimu, jangan ambil resiko, jangan menyimpan rahasia pada kami."
"Aku bersumpah."
"Ini bukan waktu yang tepat," kata Taku dengan agak kesal pada Sada. "Aku sedang berusaha
mengawasi Kono, dan mengawasi kakakku kalau-kalau dia bertindak yang tak terduga. Tetap
saja, bila Takeo memintanya, kurasa sebaiknya aku menjaga agar Maya tetap di dekatku. Kau bisa
ikut ke kastil denganku besok. Dandani dia seperti anak laki-laki, tapi tinggallah di sini. Terserah kau
mau menjadi apa, tapi di sini ia harus tetap sebagai anak perempuan. Sebagian besar penghuni
rumah ini sudah mengenalnya; dia harus dilindungi sebaik-baiknya sebagai putri Lord Otori. Aku akan memperingatkan Hiroshi.
Apa akan ada orang lain yang bisa mengenalimu?"
"Tak seorang pun berani menatap langsung padaku," tutur Maya. "Karena aku anak kembar."
"Anak kembar cukup istimewa di kalangan Tribe," tutur Taku. "Tapi di mana adikmu?"
"Dia di Hagi dan akan segera pergi ke Kagemura." Mendadak rasa sakit hati mener?jang diri
Maya karena merindukan Miki, Shigeko dan orangtuanya. Aku di sini seperti anakyatim piatu,
pikimya, atau orang yang diasingkan. Mungkin aku akan menjadi seperti Ayah, ditemukan di desa terpencil
dengan lebih banyak bakat yang dimiliki orang Tribe lainnya.
"Sekarang pergi tidur," kata Taku tiba?tiba. "Ada yang harus kubicarakan dengan Sada."
"Guru." Maya membungkuk normal dengan patuh dan mengucapkan selamat malam kepada
keduanya. Tidak lama setelah ia masuk ke dalam rumah, seorang pelayan mendekatinya lalu
menyuruhnya menyiap?kan alas tidur. Dibukanya lipatan matras lalu
membentangkan selimut, berjalan pelan melewati kamar-kamar panjang dan rendah rumah
itu. Angin berhembus dan bersiul melalui celahnya, membawa musim gugur, tapi Maya tidak merasa
Halaman 554 dari 554 kedinginan. Didengarkannya suara-suara dari taman. Mereka menyuruhnya pergi tidur dan ia
mematuhinya, tapi mereka tidak melarang?nya untuk mendengarkan.
Maya mewarisi pendengaran tajam ayah?nya, dan kini semakin peka. Ketika akhirnya ia
berbaring, dipasang telinganya baik-baik, berusaha menyaring bisik-bisik dari para gadis yang berbaring
di sisi kanan dan kirinya. Perlahan-lahan akhirnya mereka ter?diam, suara pelan mereka berganti
dengan nyanyian terakhir serangga musim panas, meratapi musim dingin yang akan datang dan
kematian mereka. Didengarnya kepakan sayap burung hantu yang tenang sewaktu terbang melewati
taman, dan menghembus?kan napas dengan amat perlahan hingga nyaris tak terdengar. Sinar
rembulan mem?bentuk kisi-kisi di layar kertas; bulan menarik darahnya dengan keras, membuat?nya
mengalir cepat melalui urat nadinya.
Di kejauhan Taku berkata, "Aku ajak
Kono kemari agar dia bisa melihat kesetiaan di Maruyama kepada Otori. Aku cemas Zenko


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah membiarkannya percaya bahwa Seishuu hendak memberontak, dan bahwa wilayah Barat
takkan berpihak kepada Takeo."
"Bisakah Hiroshi dipercaya?" gumam Sada.
"Kalau tidak, akan kugorok leherku," sahut Taku.
Sada tertawa. "Kau tidak akan bunuh diri, sepupu."
"Kuharap aku tidak harus melakukannya. Aku mungkin akan melakukannya karena bosan harus
bersama Lord Kono lebih lama lagi."
"Maya akan menjadi hiburan yang menyenangkan, bila kau takut merasa bosan."
"Atau tanggung jawab lain yang tak bisa kuhindari!"
"Kenapa kau terkejut saat menatap matan?ya?"
"Aku mengharapkan tatapan anak perempuan. Yang kulihat bukanlah seperti anak perempuan:
sesuatu yang tak berwujud, menanti untuk menemukan wujudnya."
"Apakah arwah seorang laki-laki, atau sesuatu yang berhubungan dengan kerasukan si kucing?"
"Aku sungguh-sungguh tidak tahu. Sepertinya berbeda. Maya unik" kemung?kinan sangat
kuat." "Dan berbahaya?"
"Mungkin. Terutama sekali bagi dirinya sendiri."
"Kau lelah." Sesuatu dalam nada suara Sada yang membuat tubuh Maya gemetar dengan
gabungan antara kerinduan dan kecemburuan.
Sada berkata, lebih pelan lagi, "Mari, ku?pijat dahimu."
Sesaat hening. Maya menahan napas. Taku menghembuskan napas panjang. Ada semacam
kekuatan hasrat jatuh di taman yang gelap, pada pasangan yang tidak terlihat. Maya tidak
tahan mendengarnya, lalu menarik selimut hingga menutupi kepalanya.
Lama setelah itu, sepertinya Maya men?dengar langkah kaki di beranda. Taku bicara dengan
suara pelan, "Aku tidak meng?harapkan itu!"
"Kita tumbuh dewasa bersama," sahut
Sada. 'Tidak perlu berarti apa-apa."
"Sada, tidak ada yang terjadi di antara kita yang tidak berani apa-apa." Taku berhenti sejenak
seolah ingin berkata lagi, tapi lalu berkata dengan singkat, "Aku akan me?nemuimu dan Maya besok
pagi. Bawa dia ke kastil saat tengah hari."
Sada masuk ke kamar perlahan lalu ber?baring di sebelah Maya. Berpura-pura ter?tidur, Maya
berbalik menghadapnya, meng?hirup aroma tubuh itu bercampur dengan aroma Taku masih
teninggal Halaman 555 dari 555 di tubuhnya. Ia tidak dapat memutuskan mana yang paling ia cintai: ia ingin memeluk mereka
berdua. Pada saat itu Maya merasakan dirinya men?jadi milik mereka selamanya.
Keesokan harinya Sada membangunkannya pagi-pagi lain bersiap memotong rambutnya yang
panjang sebahu dan menariknya ke belakang dan diikat ke atas, membiarkan dahinya tidak
dicukur, seperti laki-laki yang masih di bawah umur.
"Kau bukanlah gadis yang cantik," kata Sada seraya tertawa. "Tapi bisa menjadi anak laki-laki
yang tampan. Membentak sedikit
lagi, lalu katupkan bibirmu. Kau tidak boleh kelihatan cantik! Nanti ada ksatria yang
membawamu kabur." Maya mencoba mengatur tubuh agar ter?lihat lebih mirip anak laki-laki, tapi rasa senang,
rambut dan pakaiannya yang masih terasa asing membuat matanya berkilat dan pipinya bersemu merah.
"Tenang," Sada menghardiknya. "Kau jangan terlalu menarik perhatian. Kau adalah salah
seorang pelayan Lord Taku; pelayan yang terendah derajatnya."
"Apa yang nanti harus kulakukan?"
"Sedikit sekali, kuharap. Beajarlah meng?atasi rasa bosan."
"Seperti Taku," sahut Maya tanpa pikir panjang.
Sada mencengkeram lengannya. "Kau mendengarnya mengatakan itu" Apa lagi yang kau
dengar?" Maya menjauhkan diri dari gadis itu. Selama beberapa saat ia tidak membuka mulut, tapi
kemudian ia berkata, "Aku dengar semuanya."
Sada tidak bisa menahan senyum. "Jangan bilang pada siapa-siapa," gumamnya, dengan nada
mendukung. Ditariknya Maya lalu
dipeluknya. Maya balas memeluk, merasakan panas tubuhnya, dan berharap Sada adalah
Taku.* Sebagian laki-laki mengutamakan cinta, tapi Muto Taku bukanlah salah satunya, atau
berhasrat ingin mengabdikan diri hanya untuk orang yang dicintai. Menurutnya perasaan berlebihan semacam
itu aneh, bahkan men?jijikkan, dan selalu menertawai orang yang tergila-gila karena cinta,
terangterangan membenci kelemahan mereka. Ketika ada perempuan menyatakan terang-terangan
mencintainya, seperti yang sering terjadi, Taku justru menjauhkan diri. Ia menyukai
perempuan, dan semua kesenangan yang bisa dinikmati dari tubuh perempuan, menya?yangi juga memercayai
istrinya untuk meng?atur rumah tangga, mengasuh anak-anak dengan baik dan setia
kepadanya, tapi gagasan bersikap setia kepada istrinya tidak pernah melintas di benaknya. Maka ingatan yang
tak mau pergi di benaknya tentang keintiman yang terjadi tiba-tiba serta tidak diharapkan
bersama Sada mengganggu pikirannya. Kejadian seperti itu belum pernah dialaminya, hasrat yang begitu besar, kepuasan
yang begitu menusuk serta sempurna; tubuh Sada yang sama tinggi dan kuat dengan tubuhnya,
hampir seperti tubuh laki-laki namun sekaligus tubuh perempuan; hasrat keperempuanan Sada yang
menang?gapi hasrat dirinya, berserah diri kepadanya. Taku hampir tidak bisa tidur, hanya
menginginkan kehadiran Sada di sisinya. Dan saat bicara dengan Sugita Hiroshi di taman kastil
di Maruyama, ia sulit ber?konsentrasi pada apa yang sedang dibicara?kan. Kita tumbuh dewasa
bersama. Tidak perlu berarti apa-apa, kata Sada waktu itu, dan dia berubah dari teman,
hampir Halaman 556 dari 556 seperti adik, menjadi kekasih; dan Taku pun ber?kata, tanpa tahu dari mana datangnya
kata?kata ini, Tak ada hal yang terjadi di antara kita yang tidak berarti apa-apa.
Taku mengalihkan kembali perhatiannya pada kawannya. Mereka sebaya, beranjak dua puluh
tujuh saat tahun baru nanti. Taku berperawakan kuat dan sulit digambarkan, wajah yang mudah
berubahubah ekspresi khas Muto, sedangkan Sugita Hiroshi di?anggap tampan, setengah kepala lebih tinggi
dari Taku dan berbahu lebih bidang, dengan kulit pucat dan bentuk tubuh gagah khas klas
ksatria. Saat masih kecil, mereka berdua sering bertengkar dan saling bersaing merebut perhatian
Takeo, mereka pernah menjinakkan kuda-kuda jantan bersama, dan sejak itu terikat oleh hubungan
persahabatan yang amat dalam.
Saat itu masih pagi, cuaca tampak cerah di musim gugur ini. Langit biru pucat terang bak
telur burung, matahari baru saja mulai mengangkat kabut dari tum-pukan jerami berwarna keemasan di
sawah. Ini kesem-patan pertama bagi kedua laki-laki ini bisa bicara berdua sejnk kedatangan Taku
ber?sama Lord Kono. Mereka membicaraknn tentang pertemuan yang akan datang dengan Lord Otori
dan Arai Zenko, yang diadakan dalam beberapa minggu mendatang di Maruyama.
"Takeo dan Lady Shigeko sudah harus di sini pada bulan purnama berikutnya," kata Hiroshi,
"tapi kedatangan mereka agak ter?tunda karena mereka ke Terayama untuk ziarah ke makam
Matsuda Shingen." "Pasti Takeo sedih kehilangan dua guru?nya di tahun yang sama. Dia belum bisa
melupakan kematian Kenji," komentar Taku.
"Kepergian Matsuda tidak semendadak atau mengejutkan seperti kematian Kenji. Kepala Biara
kami sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun, waktu yang luar biasa panjang. Dan beliau
memiliki penerus yang layak. Seperti yang dimiliki pamanmu pada dirimu. Kau akan serasi dengan Lord
Takeo seperti layaknya Kenji."
"Aku merindukan ketrampilan dan pengetahuan pamanku," aku Taku. "Tam?paknya keadaan
semakin rumit setiap minggunya. Niat buruk kakakku, yang bahkan aku sendiri tak bisa memahaminya;
Lord Kono dan tuntutan dari Kaisar; penolakan Kikuta untuk berunding...."
"Selama aku di Hagi, kesibukan Takeo tampak tidak seperti biasa," tutur Hiroshi ragu-ragu.
"Baiklah, terlepas dari kesedihan dan urusan-urusan negara ini, dia memiliki kekhawatiran
lain, kurasa," sahut Taku. "Kehamilan Lady Otori, masalah putri?putrinya."
"Terjadi sesuatu pada Lady Shigeko?" sela Hiroshi. "Dia dalam keadaan sehat ketika aku
bertemu dengannya belum lama ini...."
"Sejauh yang kutahu, dia baik-baik saja. Masalah si kembar," ujar Taku. "Maya ikut bersamaku
di sini; aku harus memperingat?kanmu kalau-kalau kau mengenalinya."
"Di sini bersamamu?" ulang Hiroshi merasa terkejut.
"Dia berpakaian seperti anak laki-laki. Barangkali kau bahkan tidak memerhati?kannya. Dia
dirawat seorang perempuan muda yang juga menyamar menjadi laki-laki, kerabat jauh keluargaku:
namanya Sada." Sebenarnya ia tidak perlu menyebut nama itu, namun ia tak mampu menahan diri: Aku
terobsesi, pikirnya. "Zenko dan Hana akan datang," seru Hiroshi. "Mereka pasti akan mengenalinya!"
"Hana mungkin saja. Tidak banyak yang luput dari pandangannya."
"Memang benar," Hiroshi setuju. Mereka berdua terdiam sesaat, kemudian tertawa di saat
bersamaan. Halaman 557 dari 557 "Kau tahu," kata Taku, "orang bilang kau tidak bisa melupakannya, dan itu sebabnya kau tidak
menikah!" Mereka sudah pernah membicarakan masalah ini, tapi keingi?ntahuan Taku bangkit
oleh obsesi barunya sendiri. "Memang benar ada saat ketika aku sangat bersemangat ingin menikah dengannya. Kukira aku
memujanya dan amat meng?inginkannya menjadi bagian dari keluarga itu"ayah kandungku,
seperti yang kau tahu, gugur dalam perang, dan paman beserta putranya lebih memilih untuk
mencabut nyawa ketimbang menyerah pada Arai Daiichi. Aku tidak memiliki keluargaku sendiri; ketika
Maruyama habis karena gempa bumi, aku tinggal di kediaman Lord Takeo. Tanah milik
keluargaku dikembali?kan ke wilayah kekuasaan itu. Aku dikirim ke Terayama untuk mempelajari Ajaran
Houou. Saat itu aku masih sama bodoh dan angkuhnya dengan para pemuda pada umumnya. Kukira
nantinya Takeo akan mengangkatku sebagai putranya, terutama ketika dia tidak punya anak
laki-laki." Hiroshi tersenyum mengejek dirinya sendiri namun tanpa perasaan getir. "Jangan salah
paham. Aku tidak kecewa atau pun tertekan. Aku melihat panggilan hidupku adalah untuk melayani; aku
senang menjadi pengurus Maruyama dan mempertahankan?nya untuk Lady Shigeko. Bulan depan dia
akan menerima wilayah itu; aku akan
kembali ke Terayama, kecuali kalau dia memintaku berada di sini."
"Aku yakin Lady Shigeko akan mem?butuhkanmu"setidaknya selama satu atau dua tahun. Tak
perlu mengubur diri di Terayama bak pertapa. Kau harus menikah dan punya anak. Sementara itu
untuk tanah, Takeo"atau Shigeko"akan memberi apa pun yang kau minta."
"Tidak semua yang kuminta," sahut Hiroshi pelan, nyaris bicara pada dirinya sendiri.
"Jadi kau masih tergila-gila pada Hana."
'Tidak, aku cepat pulih dari perasaan itu. Hana memang cantik, tapi aku senang kakakmu yang
menjadi suaminya." "Akan lebih baik bagi Takeo bila kau yang menikah dengannya," ujar Taku, penasaran apa lagi
yang menahan Hiroshi tidak ingin menikah.
"Mereka saling mengisi ambisi," Hiroshi sepakat, dan dengan tangkasnya mengubah topik
pembicaraan. "Tapi kau belum mengatakan alasan Maya berada di sini."
"Dia perlu dijauhkan"dari sepupu?sepupunya yang kini berada di Hagi, dan dari kembarannya.
Dan harus ada yang meng awasinya terus-menerus, itu sebabnya Sada ikut bersamanya. Aku harus selalu meng?awasinya
juga. Aku tak bisa menjelaskan semua alasannya. Aku mengandalkanmu untuk menutupi
ketidakhadiranku dan menghibur Lord Kono"dan sebelum aku lupa, meyakinkan agar klan Seishuu benar?benar
setia pada Otori." "Apakah anak itu dalam bahaya?"
"Dialah yang bahaya," sahut Taku.
"Tapi kenapa dia tidak datang secara ter?buka, sebagai putri Lord Otori, dan tinggal di sini
seperti yang sudah sering dilakukan?nya?"
Ketika Taku tidak segera menjawab, Hiroshi berkata, "Pada dasarnya kau memang suka intrik,
akui saja!" "Dia lebih berguna bila tidak dikenali," ujar Taku akhirnya. "Lagipula dia adalah anak dari
kalangan Tribe. Bila dia menjadi Lady Otori Maya, maka hanya sampai sebatas itu perannya; sedangkan
di Tribe dia bisa mengambil berbagai peran yang ber?beda."
"Kurasa dia bisa melakukan semua tipuan yang kau gunakan untuk menggodaku," kata Hiroshi
tersenyum. Halaman 558 dari 558 "Tipuan-tipuan itu, sebagaimana kau me?nyebutnya, pernah menyelamatkanku lebih dari
sekali!" sahut Taku dengan pedas. "Selain itu, aku percaya Ajaran Houou juga memiliki tipuan!"
"Para Guru Besar, seperti Miyoshi Gemba dan Makoto, memiliki banyak kemampuan yang
kelihatannya supernatural, tapi sebenar?nya itu adalah hasil dari latihan selama ber?tahuntahun dan
pengendalian diri." "Baiklah, kurang lebih sama dengan Tribe. Kemampuan kami mungkin saja berasal dari
keturunan, tapi tidak ada artinya tanpa latihan. Tapi apa para Guru Besarmu berhasil membujuk Takeo
agar tidak ber?perang, baik di Wilayah Timur atau pun di Wilayah Barat?"
"Ya, saat datang nanti dia akan mem?beritahukan pada Lord Kono bahwa utusan khusus kami
dalam perjalanan ke Miyako untuk menyiapkan kunjungan tahun depan."
"Apakah menurutmu kunjungan ini bijak?sana" Bukankah Takeo justru menempatkan diri di
bawah kekuasaan jenderal baru ini, Si Pemburu Anjing?"
"Tindakan apa pun yang menghindari perang adalah tindakan yang bijaksana,"


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sahut Hiroshi. "Maaf, tapi ini adalah kata-kata aneh yang keluar dari mulut seorang ksatria!"
"Taku, kita berdua menyaksikan ayah kita mati di depan mata kepala kita..."
"Ayah, paling tidak, pantas mati! Aku tak?kan lupa saat itu ketika kupikir Takeo seharusnya
membunuh Zenko..." "Ayahmu bertindak dengan benar, menurut keyakinan dan kode kehormatan?nya," tutur
Hiroshi tenang. "Dia mengkhianati Takeo setelah ber?sumpah untuk bersekutu dengannya!" seru Taku.
"Tapi bila dia tidak bertindak seperti itu, cepat atau lambat Takeo juga akan menye?rangnya.
Ini wajar dalam masyarakat kita. Kita bertempur sampai bosan, dan setelah beberapa tahun bosan
dengan kedamaian lalu berperang lagi. Kita menyembunyikan hasrat haus darah dan hasrat untuk
balas dendam dengan kode etik kehormatan, yang kita langgar sendiri ketika tampak pantas
dilaku?kan." "Apa benar kau belum pernah membunuh seorang pun?" tanya Taku sekonyong?konyong.
"Aku diajari banyak cara untuk mem?bunuh, dan belajar strategi perang sebelum berumur
sepuluh tahun, tapi aku belum pernah bertarung dalam penempuran yang sesungguhnya, dan aku
belum pernah mem?bunuh siapa pun. Kuharap takkan pernah."
"Saat nanti kalau kau di medan perang, kau akan berubah pikiran," kata Taku. "Kau akan
mempertahankan diri layaknya semua orang."
"Barangkali. Untuk sementara ini aku akan lakukan apa pun untuk menghindari perang."
"Aku khawatir kalau kakakku dan Kaisar akan membawamu ke kancah peperangan. Terutama
karena kini mereka sudah memiliki senjata api. Kau bisa pastikan kalau mereka takkan tinggal diam
sampai mereka menjajal habis-habisan senjata baru mereka."
Ada gerakan di ujung taman, dan seorang penjaga berlari menghampiri lalu berlutut di depan
Hiroshi. "Lord Kono sudah datang. Lord Sugita!"
Dengan kehadiran si bangsawan, sikap mereka berdua agak berubah: Taku menjadi lebih
waspada, tapi Hiroshi tampak lebih terbuka dan ramah. Kono ingin melihat
berbagai kota dan pedesaan sehingga mereka melakukan banyak ekspedisi. Si bangsawan
ditandu mewah yang berlapis emas, sedang?kan kedua pemuda itu menunggang kuda, anak-anak
Raku. Cuaca musim gugur tetap cerah dan terang, warna dedaunan semakin hari semakin tua.
Hiroshi dan Taku menjelaskan kepada Kono tentang kekayaan wilayah itu, pertahanan serta jumlah
tentara, kepuasan penduduknya, dan kesetiaan mutlaknya pada Lord Otori. Si bangsawan menerima
semua Halaman 559 dari 559 informasi ini dengan sopan santunnya yang tenang seperti biasa, hingga perasaannya yang
sebenarnya tidak diketahui.
Terkadang Maya turut dalam perjalanan?perjalanan ini, menunggang kuda milik Sada, sesekali
menemukan dirinya berada cukup dekat dengan Kono dan para penasihatnya untuk
mendengarkan apa yang mereka gumamkan. Percakapannya kedengaran tidak menarik dan sepele, tapi ia
mengingat dan mengulang kata demi kata untuk Taku sewaktu datang ke rumah tempat ia dan
Sada tinggal, seperti yang Taku lakukan setiap dua atau tiga hari sekali. Kadang-kadang Taku datang
larut malam, dan betapa pun larut?nya, Taku selalu ingin bertemu Maya,
bahkan bila Maya sudah tertidur. Maya harus bangun cepat, sesuai cara Tribe yang
mengendalikan kebutuhan tidur mereka dengan cara yang sama untuk mengendalikan semua kebutuhan dan
hasrat mereka. Maya harus mengerahkan seluruh tenaga dan konsentrasinya untuk pertemuan malam
hari ini dengan gurunya. Taku kerapkali kelelahan dan tegang, kesabarannya hampir habis; pekerjaan ini berjalan
lambat dan banyak tuntutannya. Maya ingin bekerja sama, tapi takut dengan apa yang kemungkinan
terjadi padanya. Acapkali ia merindukan berada di rumahnya di Hagi bersama ibu dan kakak juga
adiknya. Ia ingin menjadi anak-anak saja; ingin men?jadi seperti Shigeko, tanpa kemampuan Tribe dan
tidak punya saudara kembar. Menjadi anak laki-laki seharian telah menguras tenaganya, tapi itu
tidak ada apa-apanya di?bandingkan dengan tuntutan yang baru. Sebelumnya ia merasa pelatihan Tribe
mudah: menghilang, menggunakan sosok kedua, tapi cara yang baru ini sepertinya jauh lebih
sulit dan lebih berbahaya. Maya tidak membiarkan sikap Taku memengaruhi diri?nya, kadang
dengan wajah cemberut yang dingin, kadang dengan kemarahan. Maya mulai menyesali kematian si kucing dan kerasukan
roh hewan itu; ia memohon pada Taku untuk menyingkirkannya.
"Aku tidak bisa," sahut Taku. "Yang bisa kulakukan hanyalah membantumu belajar
mengendalikannya, dan menguasainya."
"Kau sudah terlanjur melakukannya," kata Sada. "Kau harus menerimanya."
Kemudian Maya merasa malu dengan kelemahannya. Dikiranya ia akan suka men?jadi si
kucing, tapi ternyata kucing itu lebih kejam dan menakutkan dari yang ia perki?rakan. Kucing itu ingin
menariknya masuk ke dunia lain, dunia tempat para hantu dan arwah.
"Kucing itu bisa memberimu kekuatan," kata Taku. "Kekuatan itu sudah ada; kau harus meraih
dan memanfaatkannya!" Tapi meski berada di bawah pengawasan dan bimbingan Taku hingga Maya sudah terbiasa
dengan roh yang hidup dalam dirinya, tapi ia tetap tidak bisa melakukan apa yang Taku harapkan:
mengambil bentuk kucing itu lalu memanfaatkannya.*
Bulan purnama di bulan kesepuluh semakin dekat, dan di mana-mana persiapan Perayaan
Musim Gugur telah dimulai. Kegembiraan kian bertambah tahun ini dengan kenyataan bahwa Lord
Otori sena putri sulungnya, pe?waris Maruyama, Lady Shigeko, akan meng?hadiri perayaan. Penduduk
kota turun ke jalan setiap malam dengan pakaian berwarna cerah dan sandal baru sambil
bernyanyi, me?lambaikan tangan di atas kepala. Maya sudah tahu kalau ayahnya dikenal banyak orang,
bahkan dicintai, tapi tak sepenuhnya me?nyadari sampai tahap apa hingga mendengar?nya sendiri
dari mulut orang-orang yang saat ini berbaur dengan dirinya. Tersiar juga berita bahwa wilayah ini secara
resmi akan dipersembahkan kepada Shigeko karena sekarang usianya sudah mencukupi.
"Memang benar," kata Taku pada Maya saat ia menanyakannya. "Hiroshi sudah
membicarakannya denganku. Shigeko akan mengganti nama dan sejak saat ini dikenal
Halaman 560 dari 560 sebagai Lady Maruyama."
"Lady Maruyama," ulang Maya. Ke?dengarannya seperti legenda, nama yang sering didengar,
dari Chiyo, dari Shizuka, dari para penyanyi balada yang menyanyikan dan menceritakan kisahkisah Otori
di sudut jalanan dan tepi sungai.
"Ibuku sekarang yang memimpin Tribe, Lady Shigeko kelak akan memimpin Tiga Negara;
sebaiknya kau berubah menjadi anak perempuan lagi sebelum usiamu semakin bertambah!" Taku
menggodanya. "Aku tidak tertarik dengan Tiga Negara, tapi aku ingin memimpin Tribe!" sahut Maya.
"Kau harus tunggu sampai aku mati!" Taku tertawa.
"Jangan bilang begitu!" Sada memper?ingatkannya, seraya menyentuh lengannya. Taku
langsung berpaling dan menatap Sada dengan pandangan yang membuat hati Maya berdebar sekaligus
cemburu. Ketiganya berada di kamar kecil di ujung rumah Tribe. Maya tak menduga Taku
datang begitu cepat"ia sudah di sana sejak kemarin malam.
"Lihat saja, aku tidak bisa jauh darimu,"
kata Taku sewaktu Sada mengungkapkan rasa terkejutnya karena Taku datang cepat. Sada
yang tak bisa menyembunyikan rasa senang, tidak bisa menahan diri untuk terus menyentuh Taku.
Malam itu dingin dan terang. Empat hari sebelum pumama, bulan sudah makin membesar dan
menguning. Meski udara dingin, daun jendela tetap terbuka; mereka bertiga duduk
berdekatan di dekat tungku batu bara, selimut tebal menyelimuti tubuh mereka. Taku minum sake, tapi baik
Sada maupun Maya tak suka rasanya. Satu lentera kecil kalah dengan gelapnya ruangan itu, tapi
taman penuh sinar bulan dan bayang-bayang pekat.
"Lalu ada kakakku," bisik Taku pada Sada, tidak lagi berkelakar, "yang percaya kalau sudah
menjadi haknya untuk memimpin Tribe, sebagai kerabat tertua Kenji."
"Aku takut ada juga orang lain yang tidak setuju Shizuka menjadi Ketua Muto. Perempuan
belum pernah memimpin keluarga itu; orang-orang tidak suka bila tradisi diubah. Mereka
menggerutu kalau tindakan ini menying-gung dewa-dewa. Bukannya menginginkan Zenko; mereka
lebih memilihmu, pastinya, tapi penunjukan ibumu telah menyebabkan perpecahan."
Maya mendengarkan dengan cermat, tanpa bicara, sadar akan hawa panas di satu sisi
wajahnya, dan udara dingin di sisi wajah yang satunya lagi. Dari kota terdengar musik dan nyanyian, tabuhan
genderang dengan irama tegas, disela dengan teriakan-teriakan parau.
"Aku mendengar satu desas-desus hari ini," kata Sada. "Kikuta Akio terlihat di Akashi. Dia
berangkat ke Hofu dua minggu lalu."
"Sebaiknya kita segera kirim orang ke Hofu," kata Taku. "Dan cari tahu mau ke mana dia dan
apa tujuannya. Apakah dia bepergian seorang diri?"
"Imai Kazuo bersamanya, dan putranya." "Putra siapa?" Taku duduk tegak. "Bukan putra Akio,
kan?" "Sepertinya ya, anak laki-laki berusia sekitar enam belas tahun. Mengapa kau begitu kaget?"
"Kau tidak mengenal siapa anak itu?"
"Dia adalah cucu Muto Kenji, semua orang tahu itu," sahut Sada.
"Tidak ada lagi?"
Sada menggeleng. "Kurasa itu adalah rahasia Kikuta," gumam Taku. Lalu sepertinya dia ingat akan kehadiran
Maya. "Suruh anak itu tidur," katanya pada Sada.
Halaman 561 dari 561 "Maya, tidurlah di kamar pelayan," perintah Sada. Sebulan lalu ia pasti akan protes, tapi ia
sudah belajar mematuhi Sada dan Taku dalam segala hal.
"Selamat malam," gumamnya, lalu bangkit berdiri.
"Tutup jendelanya sebelum pergi," kata Taku. "Udara semakin dingin."
Sada berdiri membantu. Jauh dari api membuat Maya kedinginan, dan begitu berada di kamar
pelayan ia justru merasa lebih dingin. Semua orang sepertinya sudah tidur; Maya menemukan
tempat di sela dua orang gadis dan merangkak melewati mereka. Di sini, di rumah Tribe semua orang
tahu kalau ia anak perempuan; hanya di dunia luarlah ia harus tetap menyamar sebagai anak lakilaki.
Tubuh Maya gemetar; ingin men-dengar apa yang Taku katakan, ingin bersamanya dan Sada:
Maya memikirkan bulu kucing yang tebal dan halus menye?limuti dirinya, menghangatkan
tubuhnya, dan gemetar tubuhnya berubah menjadi sesuatu yang lain, riak kekuatan menjalar ke sekujur
tubuhnya karena si kucing meregang?kan otot-ototnya dan hidup lagi,
Maya menyelinap dari balik selimut dan melangkah tanpa bersuara dari kamar itu, sadar akan
bola matanya yang membesar dan pandangannya yang tajam, mengingat bagai?mana dunia itu
penuh dengan gerakan kecil yang belum pernah diperhatikannya, men?dengarkan dengan agak takut
suarasuara hampa para arwah. Ia sudah berada separuh jalan ke gang selasar ketika ia sadar tengah
bergerak melayang di atas permukaan tanah, lalu menjerit keras ketakutan.
Aku tidak bisa membuka pintunya, pikir Maya, tapi roh kucing lebih tahu, dan me?lompat ke
jendela, melayang melewatinya, melambung menyeberangi beranda dan me?masuki ruangan tempat
Sada dan Taku berangkulan. Maya berpikir akan menam?pakkan diri kepada mereka, kalau Taku
akan merasa senang dan memujinya. Ia ingin ber?baring di antara mereka.
Sada bicara dengan nada setengah malas, merangkum percakapan sebelumnya, kata?kata
yang paling mengguncang diri Maya
daripada semua yang pemah dialaminya, tapi bergema dalam roh kucing yang belum mati.
"Bocah itu benar-benar putra Takeo?"
"Ya, dan menurut ramalan, akan menjadi saru-satunya orang yang bisa membawa kematian
padanya." Maya mengetahui keberadaan kakak laki?lakinya, dan ancaman terhadap ayahnya. Ia berusaha
tetap diam tapi tidak bisa menahan lolongan ketakutan dan putus asa yang memaksa keluar dari
tenggorokannya. Di?dengarnya Taku berseru, "Siapa di sana?" dan mendengar teriakan kaget
Sada, dan ia melompat menerobos kasa dan keluar ke taman seolah bisa lari selama-lamanya, jauh
dari segalanya. Tapi ia tidak bisa berlari dari suara-suara arwah yang bergemerisik di telinganya
yang berdiri tegak dan merasuk ke dalam tulangnya yang rapuh dan cair.
Di mana Penguasa kami"*
Otori Takeo dan Arai Zenko tiba di Maruyama selang beberapa jam, sehari sebelum bulan
purnama. Takeo datang dari Yamagata dan membawa sebagian besar orang istana Otori, termasuk
Miyoshi Kahei dan adiknya Gemba, satu iring-iringan kuda membawa catatan-catatan administrasi
yang harus ditangani saat ia berada di wilayah Barat, sejumlah besar pengawal, dan putri sulungnya, Udy
Shigeko. Zenko didampingi pengawal yang sama banyaknya, kuda-kuda pengangkut keranjang
berisi hadiah-hadiah mewah dan pakaian-pakaian mahal, burung rajawali dan anjing kecil milik Lady
Arai, serta Lady Arai sendiri, di dalam tandu yang diukir dan dihias dengan indah.
Halaman 562 dari 562 Kedatangan para pemimpin dengan iring?iringan mereka menutupi jalan dan me?menuhi
rumah penginapan membuat pen?duduk kota gembira. Sebulan terakhir ini mereka telah menambah
persediaan beras, ikan, kedelai, sake dan makanan khas daerah
mereka, dan kini berharap bisa mendapat keuntungan besar. Musim panas bermurah haii
menghasilkan panen berlimpah; Maruyama segera diserahkan pada pewaris perempuannya:
banyak yang harus diraya?kan. Di mana-mana umbul-umbul berkibar tertiup angin, menggambarkan


The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukit bulat Maruyama bersama bangau Otori, dan jurumasak saling berlomba menciptakan santapan
berbentuk bulat untuk meng?hormati bulan purnama.
Takeo melihat itu semua dengan gembira. Maruyama adalah wilayah yang amat di?sayanginya
karena di sinilah ia menghabiskan bulan-bulan pertama setelah pernikahannya dan mulai
mempratikkan semua yang telah ia pelajari dari Lord Shigeru tentang pe?merintahan dan
pertanian. Wilayah ini nyaris hancur tersapu badai dan gempa bumi di tahun pertama pemerintahannya.
Kini, setelah enam belas tahun berlalu, wilayah ini menjadi kaya dan damai; perdagangan maju
pesat, seni berkembang, anak-anak makan berkecukupan, semua luka bekas perang tampak telah lama
pulih, dan Shigeko akan mengambil alih wilayah ini lalu memerintah berdasarkan hak dan
kewajibannya. Takeo tahu putrinya layak mendapatkannya.
Ia harus terus mengingatkan dirinya sendiri kalau ia berada di sini untuk menemui dua lakilaki yang
mungkin akan merampas wilayah ini dari Shigeko.
Salah satunya, Lord Kono, diberi penginapan seperti dirinya di dalam kastil. Zenko tinggal di
kediaman yang paling bergengsi dan mewah di balik dinding kastil, yang dulunya adalah
kediaman Sugita Haruki, pengawal senior wilayah tersebut yang bersama putranya memilih bunuh diri
ketimbang setuju untuk menyerahkan kota ini kepada Arai Daiichi. Takeo penasaran apakah
Zenko menyadari sejarah kesetiaan dari rumah itu, dan berharap kalau laki-laki itu dipengaruhi
arwah dari para mendiang yang setia.
Sebelum makan malam, saat Takeo harus bertemu dengan musuh-musuh potensialnya ini,
dipanggilnya Hiroshi untuk bicara ber?dua. Pemuda itu tampak tenang dan waspada. Setelah
membahas prosedur dan upacara untuk keesokan harinya, Takeo mengucapkan terima kasih
atas kerja keras?nya. "Kau telah bertahun-tahun mengabdi pada keluargaku. Kami harus
memberimu imbalan. Kau ingin tinggal di wilayah Barat" Akan kucarikan tanah dan bangunan untuk?mu
serta seorang istri. Aku sudah memper?timbangkan cucu Lord Terada, Kaori. Dia gadis yang amat
baik, kawan baik putriku."
"Untuk memberiku tanah di Maruyama, berarti akan mengambilnya dari orang lain, atau dari
Lady Shigeko," sahut Hiroshi. "Aku sudah bilang pada Taku: aku akan tetap di sini selama
dibutuhkan"tapi keinginanku yang sebenarnya yaitu diijinkan mengundur?kan diri ke Terayama dan mengikuti
Ajaran Houou." Takeo menatapnya tanpa langsung men?jawab. Tatapan mata Hiroshi beradu pandang
dengannya lalu berpaling ke arah lain. "Dan untuk pernikahan... aku berterima kasih atas perhatian Anda,
tapi aku sungguh-sungguh tak ingin menikah, dan aku tidak punya apa-apa untuk diberikan pada
seorang istri." "Keluarga mana pun di Tiga Negara akan menyambutmu dengan gembira sebagai menantu.
Kau kurang menghargai dirimu. Bila kau tidak suka pada Terada Kaori, biar kucarikan gadis lain.
Apakah ada gadis lain?" "Tidak ada," sahut Hiroshi.
"Kau tahu betapa besar rasa sayang keluargaku padamu," lanjut Takeo. "Kau sudah seperti
kakak laki-laki bagi ketiga putriku; andai usia kita tidak terlalu dekat jaraknya, aku pasti akan
mengangkatmu menjadi putraku." "Kumohon, Lord Takeo, jangan
Halaman 563 dari 563 diteruskan," kata Hiroshi dengan nada memohon. Wajahnya mulai memerah. Berusaha
menyembunyikan rasa tertekannya dengan tersenyum. "Anda bahagia dalam perkawinan
hingga ingin kami semua memiliki keadaan yang sama! Tapi aku ter?panggil ke jalan lain. Satu-satunya
per?mintaanku adalah diijinkan mengikuti jalan itu."
"Aku tidak akan menentang keinginanmu itu!" sahut Takeo, lalu memutuskan untuk
Cinta Sang Pendekar 1 Pendekar Rajawali Sakti 17 Perawan Rimba Tengkorak Rahasia Kepala Terpenggal 2

Cari Blog Ini