The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn Bagian 5
menghentikan masalah pernikahan ini sementara waktu. "Tapi aku punya satu permintaan, yaitu
mendampingi kami ke ibukota tahun depan. Seperti yang kau tahu, aku mengatur kunjungan damai ini atas
permintaan para Guru Besar Ajaran Houou. Aku ingin kau ambil bagian dalam kun?jungan ini."
"Ini merupakan kehormatan bagiku,'
sahut Hiroshi. "Terima kasih."
"Shigeko juga akan ikut denganku atas saran para Guru Besar. Kau harus melindunginya,
seperti yang sudah biasa kau lakukan."
Hiroshi membungkuk tanpa bicara.
"Putriku mengusulkan agar kita membawa kirin, yang akan menjadi hadiah yang tak ada
bandingnya untuk Kaisar." "Anda ingin memberikan kirin!" seru Hiroshi.
"Aku rela memberikan segalanya bila itu mempertahankan kedamaian di negeri ini," sahut
Takeo. Bahkan Shigeko" Keduanya tidak me?nyuarakan kata-kata itu, namun kata-kata itu bergema di
benak Takeo. Ia tidak tahu apakah sudah bisa menjawab atau belum.
Sesuatu dari perbincangan ini pasti telah membuatnya waspada sehingga di saat ia tidak
disibukkan oleh Lord Kono, Zenko dan Hana, ditemukan dirinya lebih memerhati?kan Hiroshi dan putrinya
saat makan malam. Mereka berdua, entah mengapa, lebih pendiam, dan sedih, nyaris tidak saling
bicara atau bertatapan. Takeo tidak bisa meng?ungkapkan ada perasaan khusus apa di antara
mereka berdua; dibayangkannya hati Shigeko tidak tersentuh. Tapi tentu saja mereka berdua
sangat mahir menyembunyikan perasaan masing-masing.
Makan malam berlangsung resmi dan anggun, dengan menu khas musim gugur di wilayah
Barat: jamur pohon pinus, kepiting dan udang kecil, gurih dan gating, chestnuts and kacang ginko,
disajikan di atas nampan berpernis dan tembikar berwarna coklat muda kekuningan pucat dari Hagi.
Kaede telah membantu mengembalikan kediaman itu pada keindahan aslinya: tikar berwarna hijau
keemasan dan beraroma manis; lantai dan balok-balok penyangga berkilau dengan hangat; di
belakangnya berdiri kasa ber?hiaskan burung dan bunga musim gugur, burung gelatik dengan
semak semanggi, burung puyuh dengan krisan. Takeo bertanya-tanya bagaimana pendapat Kono
tentang semua yang dilihatnya di sini, dan bagaimana bila dibandingkan dengan istana Kaisar.
Takeo meminta maaf atas ketidakhadiran istrinya, menjelaskan tentang kehamilan istrinya,
dan ingin tahu apakah Zenko dan Hana kecewa dengan kabar ini karena akan
menunda rencana pengangkatan kedua putra mereka.
Takeo seakan melihat perasaan tidak suka sesaat sebelum Hana mulai mengucapkan selamat
yang berlebihan, mengungkapkan kebahagiaannya, dan berharap kakaknya mendapatkan anak lakilaki.
Takeo, pada gilirannya, dengan berhati-hati memuji Sunaomi dan Chikara"yang tidaklah sulit
dilakukan karena ia dengan tulus memang menyayangi kedua anak itu.
Kono berkata dengan sopan, "Aku sudah menerima surat dari Miyako. Aku paham Anda akan
mengunjungi Kaisar tahun depan."
"Bila beliau berkenan menerimaku, ituiah tujuanku," sahut Takeo.
"Kurasa beliau akan menerima Anda. Semua orang ingin tahu tentang Anda. Bahkan Lord Saga
Hideki telah meng?ungkapkan keinginannya untuk berjumpa dengan Anda."
Halaman 564 dari 564 Takeo menyadari kalau Arai Zenko memerhatikan tiap kata dengan tetap menunduk. Dan bila
mereka menyerang lalu membunuhku di sana, Zenko akan menunggu di wilayah Barat, mendahului
restu sang Kaisar... "Lord Saga saat ini tengah memikirkan semacam olah-raga atau pertandingan. Beliau menulis
surat kepadaku bahwa ketimbang menumpahkan darah ribuan orang, beliau lebih suka bertemu
Lord Otori dalam per?tandingan"berburu anjing, mungkin. Itu kegemarannya."
Takeo tersenyum. "Lord Saga tidak mengetahui masalah-masalah kecil kami. Beliau tidak tahu
kalau tanganku yang cacat menghambatku untuk menarik busur." Untungnya, Takeo tidak bisa
menahan untuk berpikir, karena aku tidak mahir memanah.
"Baiklah, mungkin ada pertandingan yang lain. Keadaan istri Anda yang meng?haruskannya
berdiam diri di rumah jadi tidak memungkinkannya mendampingi Anda?"
"Begitulah. Tapi putriku akan ikut." Shigeko mengangkat kepala lalu melihat ke arah ayahnya.
Tampak mata mereka bertemu lalu dia tersenyum kepada ayahnya.
"Lady Shigeko bertunangan?" tanya Kono. "Belum, belum," jawab Takeo.
"Lord Saga baru saja menduda." Suara Kono terdengar dingin dan datar.
"Aku turut berduka." Takeo ingin tahu
apakah ia bisa tahan menyerahkan putri sulungnya pada orang seperti Lord Saga" namun bisa
menjadi persekutuan yang baik, dan bila itu bisa memastikan kedamaian di Tiga Negara...
Shigeko angkat bicara, suaranya terdengar jernih dan tegas. "Aku tak sabar ingin ber?jumpa
Lord Saga. Mungkin beliau akan menerimaku sebagai pengganti ayahku dalam pertandingan apa
pun nantinya." "Lady Shigeko amat mahir memanah," imbuh Hiroshi.
Takeo mengingat dengan takjub kata-kata Gemba: Akan ada semacam pertandingan di
Miyako... putrimu sebaiknya ikut. Dia harus menyempurnakan keahlian menunggang kuda, memanah...
Bagaimana Gemba bisa tahu hal ini"
Takeo memandang ke seberang ruangan, ke arah Gemba yang duduk agak menjauh di sebelah
adiknya, Kahei. Gemba tidak melihatnya, tapi ada senyum tipis tersung?ging di wajah
montoknya. Kahei terlihat lebih tegas, menyembunyikan ketidak?setujuannya.
Ini memperkuat bukti anjuran para Guru Besar, pikir Takeo cepat. Aku akan datang ke
Miyako. Aku akan terima tantangan Saga, apa pun itu. Kami akan selesaikan masalnh tanpa
harus berperang. Tampaknya Kono sama terkejutnya dengan Takeo, walaupun dengan alasan lain. "Aku tidak
menyadari kalau perempuan di Tiga Negara begitu berbakat, dan pembe?rani," katanya pada
akhirnya. "Seperti halnya Lord Saga, mungkin Anda belum mengenal kami dengan baik," sahut Shigeko.
"Ini semakin menambah alasan mengapa kami harus berkunjung ke ibukota, agar Anda semakin
memahami kami." Shigeko berbicara dengan sopan, namun juga tak bisa menghilangkan kesan
berkuasa yang ada di balik kata-katanya. Dia tidak mem?perlihatkan rasa tidak suka bertemu
dengan putra orang yang pernah menculik ibunya, atau kelihatan terintimidasi dengan ke?hadirannya.
Rambut panjangnya tergerai di bahu; punggungnya tegak lurus, kulitnya nyaris bercahaya dengan
jubah wama kuning pucat dan emas yang dikenakannya, dengan dedauan maple yang cerah. Takeo ingat
saat pertama kali melihat Lady Maruyama Naomi: menurutnya perempuan itu seperti Jato,
pedangnya, kecantikan yang menyem Halaman 565 dari 565 bunyikan kekuatan. Kini dilihatnya kekuatan yang sama pada putrinya, dan merasa agak lega.
Apa pun yang terjadi, ia telah memiliki pewaris. Ini memastikan bahwa Tiga Negara akan tetap
bersatu bila diwariskan kepada?nya. "Aku sungguh tidak sabar menantinya!" seru Kono. "Kuharap aku bisa dibebaskan dari
keramahan Lord Otori untuk kembali ke Miyako sebelum Anda tiba di sana, dan memberitahukan kepada
Yang Mulia Kaisar tentang semua yang kudapatkan di sini." Dia membungkuk dan bicara dengan
ber?semangat, "Aku bisa meyakinkan bahwa semua taporanku akan berpihak kepada Anda."
Takeo membungkuk sedikit tanda setuju, ingin tahu seberapa banyak kata-kata ini diucapkan
dengan tulus, seberapa banyak pujian"dan niat buruk apa yang direnca?nakan Kono dan Zenko.
Berharap Taku tahu lebih banyak, dan ingin tahu ada di mana dia sekarang, mengapa dia tidak hadir
saat santap malam. Apakah Zenko tersinggung atas kehadiran dan pengawasan Taku sehingga
sengaja tidak mengundang adiknya" Dan ia pun cemas ingin mendengar kabar tentang
Maya. Ia tak dapat menahan diri untuk berpikir kalau ketidakhadiran Taku tak ber?kaitan
dengan putrinya itu: kalau Maya dalam masalah; atau melarikan diri.... Disadarinya kalau pikirannya
melayang jauh, dan tak mendengarkan kalimat terakhir Lord Kono. Dipaksa dirinya berkonsentrasi pada
saat ini. Tampaknya tidak ada lagi alasan untuk menahan bangsawan itu; tentu saja, saat ini
merupakan waktu yang tepat untuk mengirimnya pulang dengan pikiran yang penuh dengan kesejahteraan
wilayah ini, kesetiaan klan Seishuu"serta keindahannya, karakter dan kecantikan putri sulungnya. Tapi
Takeo lebih suka mendengarnya dari Taku, detail mengenai kunjungan singkat Kono di wilayah Barat,
hubungan bangsawan itu dengan Zenko dan Hana.
Keramaian perayaan berlanjut hingga larut malam: pemusik memainkan kecapi tiga senar dan
harpa, sementara dari kota terdengar genderang dan nyanyian. Takeo tidur tidak nyaman, pikirannya
masih penuh dengan kecemasan atas ketiga putrinya, Kaede yang sedang mengandung. Saat bangun
pagipagi, merasakan nyeri di tangan
dan rasa sakit menjalari sekujur tubuhnya. Ia meminta Minoru dibangunkan, dan selagi minum
teh ia mengingat-ingat apa saja yang ia katakan semalam, memeriksa kalau segala?nya telah dicatat
dengan benar karena Minoru ditempatkan di balik kasa semalaman. Karena Kono diijinkan
pergi, banyak hal yang harus disiapkan.
"Apakah Lord Kono bepergian lewat laut atau darat?" tanya Minoru.
"Lewat laut, bila ingin tiba sebelum musim dingin," sahut Takeo. "Pasti salju sudah turun di
Jajaran Awan Tinggi: dia takkan tiba di sana sebelum perbatasan ditutup. Dia bisa saja lewat darat
menuju Hofu dan naik kapal laut dari sana."
"Jadi beliau akan melakukan perjalanan bersama Lord Otori sampai Yamagata?"
"Ya, kurasa bagusnya begitu. Kita harus tunjukkan satu pemandangan lagi padanya. Sebaiknya
kau siapkan Lady Miyoshi."
Minoru membungkuk hormat.
"Minoru, kau selalu hadir dalam per?temuanku dengan Lord Kono. Sikapnya padaku semalam
sepertinya sedikit berubah, bagaimana pendapatmu?"
"Sikapnya seperti hendak berbaikan,"
sahut Minoru. "Beliau pasti mengamati kepopuleran Lord Otori, pengabdian dan kesetiaan
rakyat di sini. Di Yamagata aku yakin Lord Miyoshi akan menjelaskan ukuran dan kekuatan bala tentara
kita. Lord Kono pasti membawa kabar kepada Kaisar dengan keyakinan bahwa Tiga Negara tak
mudah ditaklukkan, dan...."
"Teruskan," sela Takeo.
"Aku tidak berhak untuk mengatakannya, tapi Lady Shigeko belum menikah, dan Lord Kono
pastinya akan lebih memilih untuk merundingkan pernikahan ketimbang me?mulai perang yang tidak
bisa Halaman 566 dari 566 dimenangkan. Apabila beliau yang akan menjadi perantara, maka beliau harus mendapat
kepercayaan dan persetujuan ayah calon mempelai perempuan."
"Baiklah, kita akan terus menyanjung dan berusaha membuatnya terkesan. Ada kabar dari
Taku" Aku menantikannya tadi malam."
"Dia mengirim permintaan maaf kepada kakaknya, mengatakan bahwa dia sedang kurang
sehat" hanya itu," sahut Minoru. "Apa aku harus menghubunginya?"
"Tidak perlu, pasti ada alasan lain dengan ketidakhadirannya. Selama kita tahu dia
masih hidup, maka semuanya baik-baik saja."
"Tentunya tak ada orang yang akan menyerang Lord Kono, di Maruyama sini?"
"Taku telah menyinggung banyak pihak dengan mengabdi padaku," tutur Takeo. "Tak satu pun
dari kita yang benar-benar aman."
*** Panji-panji Klan Maruyama, Otori serta Seishuu berkibaran di atas lapangan kuda di depan
kastil. Parit yang mengelilinginya penuh dengan perahu-perahu berlambung datar yang ditumpangi
para penonton. Anjungan dari sutra didirikan bagi kelompok masyarakat dengan klas lebih tinggi,
dan lambang berhias rumbai bergelanmngan dari atap dan dari tiang pancang yang ditanam di
sekelilingnya. Takeo duduk di atas mimbar yang ditinggikan di salah satu pavilion ini, bantal
dan karpet bertebaran di lantai. Kono di sebelah kanan, dan Zenko di sebelah kiri, dan di belakang
Zenko, Hana. Hiroshi berada di depan mereka dengan menunggang kuda abu-abu pucat dengan surat dan
ekor hitam. Kuda pemberian Takeo bertahun-tahun lalu itu menunggu diam tak bergerak bak patung. Di belakang?nya,
tanpa kuda, memegang kotak-kotak berpernis, berdiri para tetua klan, semua mengenakan jubah tebal
berhias bordiran emas, dan bertopi hitam. Di dalam kotak?kotak terdapat harta kekayaan wilayah ini,
dan gulungan berisi silsilah keluarga meng?gambarkan silsilah Shigeko melalui semua perempuan
Maruyama. Kaede seharusnya berada di sini, pikir Takeo dengan rasa menyesal; rindu berjumpa dengan
istrinya untuk menceritakan pemandangan ini.
Takeo turut merencanakan upacara ini" semuanya dilakukan Hiroshi karena ini merupakan
ritual kuno Maruyama yang belum dilaksanakan lagi sejak Lady Naomi mewarisi wilayah ini. Takeo
memindai kerumunan orang, ingin tahu di mana Shigeko, dan kapan putrinya akan muncul. Di
antara kerumunan perahu, tiba-tiba dilihatnya Taku, tidak berpakaian resmi seperti kakaknya,
Zenko, tapi berpakaian pedagang biasa yang lusuh. Di sampingnya berdiri seorang pemuda tinggi dan
seorang lagi yang tampak amat tidak asing. Butuh
beberapa waktu bagi Takeo untuk menyadari kalau orang itu adalah putrinya, Maya.
The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Takeo merasa takjub"kalau ternyata Taku mengajak putrinya datang dengan menyamar, kalau
ternyata ia tidak menge?nalinya"diikuti dengan rasa lega yang berdesir cepat kalau putrinya
masih hidup dan baik-baik saja. Maya tampak lebih kurus, agak lebih tinggi, bola matanya lebih jelas
dengan wajah tajamnya. Seorang lagi pastilah Sada, pikirnya, meskipun dia menyamar hingga hampir
tidak dikenali. Taku pasti tak ingin meninggalkan Maya karena bila tidak, dia pasti datang sebagai
dirinya sendiri. Taku pasti tahu ia akan mengenali mereka bertiga, saat orang lain tak ada yang tahu.
Pesan apa yang dibawanya" Ia harus bertemu mereka: ia akan temui mereka malam ini.
Perhatiannya tertuju kembali ke upacara setelah mendengar derap kaki kuda. Dari ujung arah
barat di sebelah luar kastil datang iring-iringan kecil perempuan yang me?nunggang kuda. Mereka
adalah istri dan putri para tetua yang menunggu di belakang Hiroshi. Mereka bersenjatakan ala
perem?puan wilayah Barat, menyandang busur di bahu serta tabung berisi anak panah di
Halaman 567 dari 567 punggung mereka. Takeo mengagumi kuda?kuda Maruyama yang tinggi dan gagah, dan hatinya
makin meluap-luap saat melihat putrinya berada di punggung kuda yang paling bagus, di
tengah iringan itu"kuda hitam yang dijinakkannya sendiri, dan diberi nama Tenba.
Kuda itu terlalu bersemangat dan ber?jingkrak, mengi-baskan kepala dan agak mundur selagi
Shigeko menyuruhnya ber?henti. Shigeko duduk tenang bak patung; rambutnya, dikuncir ke
belakang, sama hitamnya dengan surai dan ekor kuda yang dia tunggangi, juga berkilauan
seperti kulitnya yang tertimpa sinar matahari musim gugur. Tenba tenang dan santai.
Para perempuan di atas kuda menghadap ke arah para laki-laki yang berdiri, dan tepat di saat
bersamaan, para tetua berlutut sambil memegang kotak dengan merentangkan tangan dan
membungkuk dalam-dalam. Hiroshi bicara dengan lantang. "Lady Maruyama Shigeko, putri Shirakawa Kaede dan sepupu
kedua Maruyama Naomi, kami menyambut Anda ke wilayah yang telah dipertahankan atas
kepercayaan bagi Anda." Hiroshi melepaskan kakinya dari pijakan
sadel lalu turun dari kuda, menarik pedang dari sabuknya lalu berlutut di hadapan Shigeko,
menyerahkan pedang dengan kedua tangannya.
Sesaat Tenba terkejut karena gerakan Hiroshi yang mendadak, dan Takeo melihat penguasaan
diri Hiroshi langsung buyar. Disadarinya ternyata sikap Hiroshi lebih dari sikap seorang ksatria
pada atasannya. Teringat olehnya minggu-minggu yang mereka habiskan bersama untuk
menjinak?kan Tenba. Kecurigaannya terbukti sudah. Ia tak tahu bagaimana perasaan putrinya, tapi perasaan
Hiroshi tak diragukan lagi. Kini sudah jelas baginya, dan ia merasa heran tidak menyadari hal
itu sebelumnya. Perasaan Takeo kesal sekaligus iba"mustahil memberikan keinginan Hiroshi"tapi
ia mengagumi pengendalian diri dan peng?abdian pemuda itu. Itu karena mereka dibesarkan
bersama, pikirnya. Shigeko menyayanginya, tapi hatinya tak tersentuh. Dicermati putrinya baik-baik
sewaktu dua perempuan berkuda turun dari kuda lalu memegangi tali kekang Tenba. Shigeko meluncur
turun dengan anggun dari punggung kuda lalu menghadap ke Hiroshi.
Ketika Hiroshi menengadah, tatapan mereka bertemu. Shigeko tersenyum tipis lalu
mengambil pedang itu. Kemudian ia berbalik dan mengacungkan pedang itu tinggi-tinggi ke setiap arah
bergantian, membungkuk hormat ke arah kerumunan orang, kepada semua tetua dan
rakyatnya. Teriakan rakyat bergemuruh, seolah semua yang hadir bicara dalam satu suara, lalu suaranya
pecan, bak gelombang menghempas batu karang, menjadi sorak-sorai gegap gempita. Kuda-kuda
berjingkrak penuh semangat. Shigeko menghunjamkan pedang ke sabuknya lalu naik ke
kudanya kembali, begitu pula halnya dengan para perempuan yang lain. Kuda-kuda berderap mengitari
dinding sebelah luar kastil, kemudian ber-baris dalam satu barisan lurus ke arah pinggiran, menuju
sasaran. Tiap penunggang kuda menjatuhkan tali kekang di leher kuda, mengambil busur,
menempatkan anak panah lalu menariknya, semuanya dalam satu gerakan cepat dan luwes. Anak-anak panah
beterbangan satu menyusul yang lainnya, mengenai sasaran berbarengan. Akhirnya Shigeko
mendekat, kuda hitamnya berlari laksana angin, laksana kuda dari surga, dan
anak panahnya tepat mengenai sasaran. Shigeko membalikkan kuda lalu berderap kembali,
menarik tali kekangnya agar berhenti di depan Takeo. Dia melompat dari punggung Tenba lalu berkata
dengan lantang, "Maruyama bersumpah untuk ber?sekutu dan setia pada Klan Otori, dan sebagai
pengakuannya saya persembahkan kuda ini kepada Lord Otori, ayahku." Dipegangnya tali
kekang, lalu menunduk. Sekali lagi terdengar seruan dari ke?rumunan saat Takeo berdiri dan melangkah turun dari
mimbar. Menghampiri Shigeko lalu mengambil tali kekang kuda itu dengan begitu terharu sehingga tak
mampu berkata?kata. Tenba menurunkan kepala lalu menggesek-gesekkan kepalanya ke bahu Takeo.
Kuda itu jelas keturunan kuda Shigeru, Kyu dan Aoi, yang pernah terluka parah oleh raksasa Jinemon.
Takeo menyadari kalau bayangan masa lalu kini mengelilingi dirinya: arwah mereka yang telah
berpulang, tatapan setuju mereka. Ia merasa bangga dan bersyukur telah membesarkan anak
yang cantik ini, kalau putrinya ini telah dewasa dan mendapaikan warisannya.
Halaman 568 dari 568 "Kuharap Tenba bisa menjadi kuda kesayangan Ayah seperti halnya Shun," ujar Shigeko.
"Aku belum pernah melihat kuda yang lebih hebat"yang bergerak seperti terbang." Takeo
ingin sekali menunggangi kuda itu, memulai ikatan panjang misterius antarmakhluk hidup. Dia akan hidup
Ubih lama dariku, pikirnya dengan gembira.
"Maukah Ayah menungganginya?"
"Pakaian Ayah ini kurang cocok bila ber?kuda," sahut Takeo. "Biar Ayah menun?tunnya, dan
kita akan berkuda bersama nanti. Sementara itu, Ayah sangat berterima kasih. Ini hadiah yang
terindah." Menjelang akhir senja, ketika matahari mulai tenggelam. mereka berkuda di jalur melewati
pesisir ke mulut sungai. Rombongan itu tidak hanya terdiri dari Takeo, Shigeko dan Hiroshi"meskipun
ketiganya lebih suka begitu"tapi juga ada Lord Kono, Zenko dan Hana. Zenko menyatakan
kalau ia merasa mual dengan jamuan dan upacara, dan perlu berkuda untuk menjernihkan pikiran.
Hana ingin membawa keluar burung-burung rajawali miliknya, dan Kono mengaku ingin berbagi
kegemaran dengan Hana saat berburu meng?gunakan burung rajawali yang terlatih. Rute
perjalanan mereka melewati desa gelan?dangan yang dibangun Takeo bertahun?tahun lalu, ketika Jo-An
masih hidup. Para gelandangan masih menjemur kulit hewan di sini sehingga dijauhi penduduk, tapi
mereka dibiarkan hidup dengan damai. Kini anak?anak dari para gelandangan yang pernah
membangun jembatan yang memungkinkan Takeo melarikan diri dari kejaran pasukan Otori, juga terlihat
cukup makan, sehat seperti orangtuanya.
Takeo, Hiroshi dan Shigeko berhenti untuk menyalami kepala desa, sementara yang lainnya
berjalan terus. Ketika mereka menyusul kelompok berburu, rajawali yang sudah dilepas terbang
melayang di atas padang rumput, bergerak kian kemari bak ombak di laut, pancaran terakhir sinar
matahari berkilauan di sela-sela jambul di kepalanya.
Takeo yang sudah bisa menyesuaikan diri dengan kuda itu, membiarkannya melangkah lebih
bersemangat. Kuda ini mungkin tidak sepandai Shun, tapi bersemangat dan sama
responsifnya, dan jauh lebih cepat. Satu kali
Tenba mundur ketika seekor ayam hutan tertembak di bawah kakinya dengan gerakan cepat
dari sayapnya yang terbentang, dan Takeo mesti mengerahkan tenaga untuk mengingatkan siapa
yang pegang kendali. Beruntung aku tidak harus mengandalkannya dalam pertempuran, katanya
pada dirinya sendiri. Masa-masa itu telah berakhir.
"Kau mengurusnya dengan baik," katanya pada Shigeko.
"Meskipun Lord Otori memiliki
kekurangan, tapi itu tak mengurangi kemahirannya berkuda," komentar Kono.
"Benar, aku lupa itu saat berkuda," kata Takeo, tersenyum. Menunggang kuda membuatnya
merasa seperti muda kembali. Merasa hampir menyukai Kono, kalau ternyata dia telah salah menilai
laki-laki itu, dan kemudian marah pada dirinya sendiri karena begitu mudah merasa tersanjung.
Di atas kepalanya keempat rajawali terbang berputar-putar, dua di antaranya menukik
berbarengan dan tegak lurus ke tanah. Salah satunya terbang tinggi lagi, seekor ayam hutan dalam
cengkeraman cakarnya menggelepar: yang lainnya memekik marah. Mengingatkan Takeo
bahwa yang kuat memangsa yang lemah, begitu pula nantinya musuh-musuhnya
memangsanya. Dibayangkannya mereka seperti rajawali, terbang melayang, menunggu.
Mereka kembali saat matahari tenggelam, bulan purnama muncul di balik pepohonan plum,
bentuk tubuh kelinci terlihat jelas di bulatan yang berkilat. Jalan-jalan dipenuhi kerumunan orang,
biara dan toko kebanjiran pengunjung, udara penuh aroma kue mochi yang dipang-gang, ikan dan belut
panggang, minyak wijen dan kecap. Takeo bersyukur dengan reaksi rakyatnya. Penduduk kota
memberi jalan dengan penuh hormat, banyak di antaranya yang berlutut atau menyeru
namanya atau nama Shigeko. Mereka tidak menatap dengan ketakutan, atau pandangan putus asa dan
kelaparan seperti yang dialami Shigeru. Mereka tak lagi butuh pahlawan menolong mereka. Mereka
melihat Halaman 569 dari 569 kesejahteraan dan kedamaian mereka sebagai jalan hidup yang benar, diraih dengan kerja
keras dan kepandaian mereka sendiri.*
Kastil dan kota sudah sunyi senyap. Bulan sudah meninggi; langit malam penuh bintang
berkilauan. Takeo duduk bersama Minoru, dua lentera menyala di dekat mereka, meninjau kembali
percakapan tadi sore dan kesan yang didapat pemuda itu.
"Aku ingin keluar sebentar," kata Takeo saat mereka sudah selesai. "Aku harus me?nemui Taku
karena aku hanya punya waktu dua hari ini bila ingin mengantar Kono ke Hofu sebelum musim
dingin. Tetap di sini, dan jika ada yang tanya, berpura-puralah kita sedang mengurus bisnis penting
jadi tak ingin diganggu. Aku akan kembali sebelum pagi."
Minoru sudah terbiasa dengan pengaturan seperti ini dan dia hanya membungkuk. Dibantunya
Takeo berganti pakaian ber?warna gelap yang sering dipakainya di malam hari. Takeo melilitkan
sehelai syal di kepala untuk menutup wajah, dua botol sake, pedang pendek dan sarung pisau lempar, lalu
disembunyikan di balik pakaiannya.
Andai Kono bisa melihatku seka rang, pikirnya selagi melewati kamar bangsawan itu. Takeo
tahu kalau tak seorang pun bisa melihatnya karena ia sedang menghilangkan diri.
Bila menunggang kuda membuatnya merasa kembali muda, begitu pula dengan yang satu ini"
kenikmatan mendalam yang timbul oleh kemampuan kuno ini tak pernah hilang, Setelah yakin
tidak ada orang di ujung caman, ia melompat ke puncak dinding antara taman dan dinding sebelah
luar yang pertama. Berlari melintasi puncak dinding ke seberang lalu menjatuhkan diri ke atas
lapangan kuda di dalam dinding sebelah luar yang kedua. Umbul-umbul masih meng?gelantung di sana,
terkulai di bawah cahaya bintang. Karena berpikir saat itu terlalu dingin untuk berenang,
maka setelah menyeberang sungai ia memanjat merayap dinding dan menyusuri sampai ke gerbang utama.
Para penjaga masih terjaga: ia men-dengar para penjaga bicara saat ia melintasi atap yang lebar
dan melengkung, tapi mereka tidak mendengarnya. Ia berlari melewati jembatan, membiarkan
dirinya terlihat setelah sampai di ujungnya lalu berjalan cepat-cepat ke kota yang penuh dengan jalan dan
lorong yang berliku-liku. Ia tahu di mana Taku berada: kediaman lama Muto. Dulu ia mengenai setiap rumah Tribe di
Maruyama, letak, ukuran dan penghuninya. Ia masih menyesali cara yang pernah ia gunakan
saat pertama kali ke Maruyama bersama Kaede; bertekad menunjukkan kekejamannya pada Tribe:
membunuh atau mengeksekusi sebagian besar dari mereka. Ia mengira satu-satunya cara
menghadapi kejahatan yaitu dengan dibasmi, tapi kini, bila bisa mengulang masa itu ia akan
berusaha berunding tanpa pertumpahn darah... Ia masih harus meng?hadapi dilema itu: bila saat itu ia
mem?perlihatkan kelemahannya, maka ia takkan sekuat sekarang untuk dapat memaksakan
kehendaknya dengan welas asih. Tribe mungkin membencinya karena itu, tapi setidaknya
mereka tidak meremehkannya. Ia sudah menyediakan cukup waktu untuk membuat negerinya aman.
Di biara di ujung jalan, ia berhenti seperti yang selalu dilakukannya, dan menaruh botol sake
di depan dewa keluarga Muto, me mohon maaf dari para mendiang.
Muto Kenji memaafkanku, katanya, dan aku pun memaafkannya. Kami adalah teman dekat
dan sekutu. Semoga kalian mau melakukan hal yang sama padaku.
Tidak ada yang memecahkan kesunyian malam itu, tapi ia merasa tidak sendirian. Takeo
merangsek kembali ke dalam bayangan, tangan di gagang pedang. Ia men?dengar gemerisik di dedaunan
yang telah jatuh, seolah ada makhluk yang bergerak melintasinya. Diintipnya ke arah suara tadi,
dan melihat dedaunan terserak pelan di bawah pijakan kaki yang tak terlihat. Ditangkupkan kedua
tangan Halaman 570 dari 570 di depan dahi untuk membuka mata lebih lebar, dan kemudian melihat ke arah kirinya,
men?deteksi kemampuan menghilang. Makhluk itu menatapnya dengan mata hijau berkilau terkena sinar
bintang. Hanya seekor kucing, pikirnya, tipuan cahaya"kemudian ia menyadari dengan terperanjat
The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternyata tatapan mata kucing itu mengunci tatapannya; ia merasa terkejut karena ketakutan yang
amat dalam. Kucing itu seperti makhluk halus yang tinggal di tempat ini, dikirim mereka yang sudah mati
untuk menghukumnya. Takeo merasa hampir jatuh ke dalam sihir tidur Kikuta, merasa kalau
pembunuh Kikuta sedang memanfaatkan makhluk halus ini. Segera mempertahankan diri kini
sudah menjadi sifat keduanya, membunuh sebelum di?bunuh. Memanggil semua kekuatan dalam
dirinya untuk mematahkan tatapan me?matikan itu, lalu merogoh pisau lemparnya dengan
sembarangan. Begitu pisau pertama yang terpegang langsung dilemparnya, me?lihat pantulan cahaya
bintang selagi pisau itu berputar, mendengar akibatnya dan jerit kesakitan hewan itu. Kemampuan
meng?hilang kucing itu sirna di saat melompat ke arahnya.
Kini pedang sudah di tangannya. Dilihat?nya kucing itu menunjukkan sederetan gigi. Mahkluk
itu memang kucing, tapi kucing dengan ukuran dan kekuatan serigala. Serangkaian cakarnya
menggaruk wajah Takeo saat ia berkelit lalu berbalik agar cukup dekat untuk bisa menikam leher kucing
itu, lalu ia menampakkan diri agar bisa lebih fokus pada serangannya.
Tapi kucing itu berkelit melarikan diri. Jeritan kucing itu terdengar seperti jeritan
manusia. Di sela-sela rasa kaget dan takut karena pertarungan itu, Takeo mendengar suara
yang sudah dikenalnya. "Ayah," jerit hewan itu lagi. "Jangan sakiti aku! Ini aku, Maya!"
Maya berdiri di hadapannya. Takeo mem?butuhkan seluruh kekuatannya untuk dapat
menghentikan tikaman pisau yang nyaris menggorok leher putrinya sendiri. Ia men?dengar juga jerit putus
asanya sendiri selagi memaksa tangannya membelokkan arah pisaunya. Pisau itu terjatuh dari
genggamannya. Meraih tubuh Maya lalu menyentuh wajahnya, merasakan basah karena darah
atau air mata atau keduanya, "Aku nyaris membunuhmu," kata Takeo iba karena putrinya hampir terbunuh, sadar dengan air
mata di pelupuk matanya sendiri, dan ketika menyingsingkan lengan baju untuk menyekanya,
dirasakannya sengatan bekas dicakar, tetesan darah di wajahnya. "Apa yang kau lakukan di sini" Kenapa kau
di luar sendirian?" Hampir lega rasanya mengungkapkan kebingungannya dengan kemarahan.
"Maaf, aku menyesal," Maya menangis seperti anak kecil, bingung dan sedih.
Dipeluknya Maya erat-erat, terkejut ternyata putrinya sudah besar. Kepala Maya me?nyembul
di antara tulang dada Takeo; badannya tegak dan keras, lebih mirip badan anak laki-laki.
"Jangan menangis," ujar Takeo dengan ketenangan penuh pengertian. "Kita akan menemui
Taku, dan dia akan menceritakan pada Ayah apa yang terjadi pada dirimu."
"Aku menyesal telah menangis," katanya dengan sesunggukan.
"Ayah kira kau menyesal karena sudah berusaha membunuh ayahmu sendiri," sahut Takeo
seraya menggandeng tangan putrinya melewati gerbang kuil ke jalanan.
"Tadi aku tidak tahu kalau itu Ayah. Aku tidak bisa melihat Ayah. Kukira Ayah adalah
pembunuh Kikuta. Begitu mengenali Ayah, aku berubah wujud. Aku tidak selalu melakukan itu dengan
cepat, tapi aku makin pandai. Kendati aku tidak perlu menangis. Aku tak pernah menangis. Lalu tadi
kenapa aku menangis?" "Mungkin karena kau senang berjumpa Ayah?"
"Memang," Maya meyakinkan. "Tapi aku belum pernah menangis bahagia. Itu pasti
karena terkejut. Aku takkan menangis lagi." "Tidak ada salahnya menangis," tutur Takeo. "Tadi
Ayah juga menangis." Halaman 571 dari 571 "Kenapa" Apakah aku menyakiti Ayah" Pasti tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan lukaluka
yang pernah Ayah derita." Maya menyentuh wajahnya sendiri, "Ayah melukaiku lebih parah."
"Dan Ayah amat menyesal. Ayah lebih baik mati dari"pada menyakitimu."
Dia sudah berubah, pikir Takeo; bahkan cara bicaranya kasar, tanpa perasaan. Dan ada
semacam tuduhan yang kuat di balik kata?katanya, sesuatu yang lebih dari sekadar luka fisik.
Ketidakpuasan apa lagi yang ada dalam diri putrinya pada dirinya" Apakah kebencian karena dikirim jauh dari
rumah, atau sesuatu yang lain"
"Kau seharusnya tidak di luar sendirian." "Ini bukan salah Taku," sahut Maya cepat. "Ayah
jangan menyalahkannya." "Siapa lagi yang harus disalahkan" Ayah memercayakan dirimu padanya. Dan di mana Sada"
Ayah lihat kalian bertiga bersama tadi pagi. Mengapa dia tak bersamamu?"
"Bukankah itu indah?" sahut Maya, menghindari pertanyaannya. "Shigeko
kelihatan sangat cantik. Dan kuda itu! Ayah suka dengan hadiahnya" Apakah Ayah ter?kejut?"
"Entah mereka yang lengah atau kau yang tak patuh," kata Takeo, menampik per?hariannya
dialihkan oleh komentar tiba-tiba Maya yang kekanak-kanakan.
"Aku yang tidak patuh. Tapi aku memang harus bersikap begitu karena aku bisa melakukan
hal-hal yang tidak bisa dilakukan orang lain. Tak ada orang yang bisa meng?ajariku. Aku yang harus
mencari tahu." Maya menatap Takeo dengan tajam. "Kurasa Ayah belum pernah melakukannya?"
Sekali lagi Takeo merasakan tantangan yang lebih berat. Tak bisa disangkalnya, tapi
memutuskan untuk tak menjawab, apalagi sekarang"karena mereka sudah dekat gerbang kediaman Muto.
Pedih terasa menyengai wajahnya, dan tubuhnya terasa sakit karena pertarungan yang tiba-tiba dan
keras tadi. Ia tak bisa melihat luka Maya dengan jelas, tapi bisa membayangkannya" luka itu harus
segera diobati bila tidak ingin berbekas.
"Apakah keluarga di sini bisa dipercaya?" bisik Takeo.
"Aku belum menanyakannya pada diriku sendiri!" sahut Maya. "Mereka keluarga Muto, kerabat
Taku dan Sada. Pastinya begitu, kan?"
"Baiklah, segera saja kita cari tahu," gumam Takeo, dan mengetuk gerbang yang dipalang,
memanggil-manggil penjaga di dalam. Anjing menyalak marah.
Perlu waktu agar dapat meyakinkan mereka untuk membuka gerbang karena tidak segera
mengenali Takeo, tapi mereka mengenal Maya. Mereka melihat darah di bawah sinar lentera yang
mereka bawa, berseru kaget lalu memanggil Taku"Takeo perhatikan, tidak satu pun dari mereka menyentuh
Maya. Tentu saja mereka meng?hindari berdekatan dengannya, maka Maya berdiri seolah dikeliligi
pagar yang tak nampak. "Dan Anda, tuan, apakah Anda terluka juga?" Salah satu orang menaikkan lentera hingga
sinarnya jatuh menimpa pipi Takeo yang tak berusaha untuk menutupi dirinya; ingin melihat reaksi
mereka. "Ini Lord Otori!" bisik laki-laki itu, dan yang lainnya langsung berlutut. "Masuklah, tuan." Lakilaki yang
memegang lentera tadi berdiri di samping, menerangi teras.
"Bangunlah," kata Takeo kepada orang?orang yang berlutut. "Bawakan air, dan sedikit kertas
halus atau gumpalan kain sutra untuk menghentikan pendarahannya." Takeo melangkah melewati
teras, dan gerbang di?tutup dengan cepat lalu dipalang.
Penghuni rumah sudah terbangun; lentera di dalam rumah dinyalakan, dan pelayan
berdatangan dengan mata masih mengantuk. Taku muncul dari ujung beranda, berpakaian jubah tidur
berbahan katun, jaket berlapis meng-gantung di bahunya. Dia melihat Maya lebih dulu, dan langsung
segera menghampiri. Takeo kira Maya akan di?pukul"tapi Taku memberi isyarat kepada penjaga
untuk Halaman 572 dari 572 membawakan lentera, lalu memegangi kepala Maya dengan kedua tangan lalu
memiringkannya ke kanan dan ke kiri agar bisa melihat luka di pipinya.
"Apa yang terjadi?" tanyanya.
"Kecelakaan," sahut Maya. "Aku meng?halangi jalan."
Taku membimbing Maya ke beranda, menyuruhnya duduk lalu berlutut di sampingnya,
mengambil segumpal kain dari pelayan lalu merendamnya dalam air. Di
basuhnya luka Maya dengan hati-hati, meminta agar lentera lebih didekatkan.
"Ini kelihaian seperti terkena pisau lempar. Siapa yang ada di luar sana dengan pisau lempar?"
"Tuan, Lord Otori ada di sini," kata penjaga. "Beliau juga terluka."
"Lord Takeo?" Taku memicingkan mala ke arah Takeo. "Maaf tadi aku tak melihat. Anda tak
terluka parah, kan?" 'Tidak apa-apa," sahut Takeo, bergerak menghampiri beranda. Di anak tangga, salah satu
pelayan maju untuk melepas sandalnya. Takeo berlutut di samping Maya. "Mungkin sulit untuk
menjelaskan bagaimana aku bisa melakukannya. Bekas lukanya akan kelihatan selama beberapa waktu."
"Maafkan aku," Taku mulai angkat bicara, tapi Takeo menaikkan tangan memberi isyarat agar
Taku diam. "Kita bicara lagi nanti. Lakukan yang terbaik untuk mengobati luka putriku. Aku cemas lukanya
akan berbekas." "Panggilkan Sada." perintah Taku kepada salah satu pelayan, dan beberapa waktu kemudian
perempuan muda itu muncul dari ujung beranda, berpakaian seperti Taku
dengan jubah tidur, rambutnya yang sepanjang bahu tergerai di wajahnya. Dia melihat Maya
secepatnya lalu masuk ke rumah, kembali dengan membawa kotak kecil.
"Ini salep pemberian Ishida," kata Taku, seraya mengambil dan membukanya. "Pisau?nya tidak
beracun, kan?" Tidak," sahut Takeo.
"Untung tidak terkena mata. Kau yang melemparnya?"
"Kurasa begitu."
"Setidaknya kita tak harus mencari para pembunuh Kikuta." Sada memegangi kepala Maya
sementara Taku mengoleskan salep itu di lukanya; salep itu tampak agak lengket, seperti lem,
dan menyatukan pinggiran luka sa-yatan. Maya duduk diam tanpa bergerak kesakitan, bibirnya
mengkerut seolah ingin tersenyum, matanya terbuka lebar. Ada semacam ikatan aneh di antara mereka
bertiga, pikir Takeo, karena adegan yang ada di depannya ini sarat dengan muatan emosi.
"Ikut dengan Sada," kata Taku pada Maya. "Berikan sesuatu untuk membuatnya tidur," katanya
pada Sada. "Dan temani dia malam ini. Aku ingin bicara dengannya
besok pagi." "Aku benar-benar menyesal," kata Maya. "Aku tidak bermaksud menyakiti ayahku."
Namun nada suaranya justru kedengaran bertentangan dengan perkataannya.
"Kami akan pikirkan hukuman yang akan membuatmu lebih menyesal lagi," ujar Taku. "Aku
sangat marah, dan aku yakin Lord Otori juga begitu."
"Mendekatlah," katanya pada Takeo. "Biar kulihat apa yang telah dilakukannya pada?mu."
"Mari masuk ke dalam," sahut Takeo. "Lebih baik kita bicara berdua saja."
Sambil menyuruh pelayan membawakan air segar dan teh, Taku berjalan di depan ke ruang
kecil di ujung beranda. Dilipatnya tikar tidur lalu mendorongnya ke sudut. Satu lentera masih
menyala, dan di Halaman 573 dari 573 sebelahnya berdiri sebotol sake dan mangkuk minum. Takeo mengamati semua yang di ada di
ruangan itu tanpa sepatah kata pun.
"Semula aku berharap bertemu denganmu sebelum kejadian ini," ujar Takeo, nada suaranya
terdengar dingin. "Aku tak berharap berjumpa putriku dengan cara seperti ini."
"Benar-benar tak ada alasan," sahut Taku.
"Tapi aku obati dulu luka Anda; duduk di sini, dan minum ini." Taku menuang sake terakhir ke
mangkuk dan memberikannya kepada Takeo.
"Kau tidak tidur sendirian, tapi kau minum sendirian?" Takeo menghabiskan sake dengan sekali
leguk. "Sada tidak menyukainya." Dua laki-laki muncul di pintu, yang satu membawa air, dan yang
satunya lagi membawa teh. Taku mengambil mangkuk berisi air lalu membasuh pipi Takeo, Bekas
cakarannya terasa perih. "Bawakan sake lagi untuk Lord Otori," pinta Taku pada si pelayan. "Darahnya cukup banyak,"
gumamnya. "Cakarnya menyayat cukup dalam."
Taku terdiam ketika si pelayan kembali dengan membawa sebotol sake. Lalu pelayan itu
mengisi mangkuk minum sampai penuh lalu Takeo menenggaknya sampai habis lagi.
"Kau punya cermin?" tanya Takeo pada pelayan itu.
Dia mengangguk. "Akan kuambilkan."
Si pelayan kembali dengan membawa sebuah benda yang lerbungkus kain coklat tua, berlutut
lalu menyerahkannya pada Takeo. Dibukanya bungkusan itu. Cermin itu sangat berbeda dengan yang pernah dilihatnya,
pegangannya panjang, bulat, permukaan kacanya mengkilap. Takeo jarang melihat
bayangannya sendiri"dan belum melihat dengan begitu jelas"dan kini takjub pada wajahnya sendiri. Ia
tidak pernah tahu bagaimana wajahnya"sangat mirip Shigeru, namun lebih kurus dan lebih tua.
Bekas cakaran di pipinya memang dalam, pinggiran luka merah hati, darah yang mengering
berwarna lebih gelap. "Cermin ini berasal dari mana?"
Pelayan itu menatap Taku dan bergumam, "Dari Kumamoto. Sesekali pedagang mem?bawa
barang dagangan, seorang laki-laki Kuroda, Yasu. Kami membeli pisau dan peralatan darinya"dia juga
membawa cermin ini."
"Kau pernah lihat cermin ini?" tanya Tiikeo pada Taku.
"Belum untuk yang satu ini. Aku pernah lihat cermin yang serupa di Hofu dan Akashi. Cermincermin
ini cukup populer." Diketuk bagian permukaannya. "Terbuat dari kaca."
Bagian belakangnya terbuat dari semacam logam yang tidak segera dikenali oleh Takeo,
diukir atau dibentuk menjadi motif bunga?bunga yang saling terjalin.
"Benda ini dibuat di negeri seberang," tuturnya.
"Sepertinya begitu," Taku setuju.
Takeo melihat lagi bayangan wajahnya. Sesuatu tentang cermin asing itu meng?ganggunya.
Dan ia berusaha menyingkirkan perasaan itu sekarang.
"Bekas luka ini akan lama hilangnya," katanya.
"Uhh," Taku setuju, seraya menyeka luka itu dengan segumpal kertas bersih untuk
mengeringkannya; lalu dia mulai mengoles?kan salep yang lengket itu.
Takeo mengembalikan cermin itu kepada si pelayan. Ketika perempuan itu pergi, Taku
The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata, "Seperti apa wujudnya?"
Halaman 574 dari 574 "Kucing itu" Ukurannya sebesar serigala, dan memiliki tatapan maut Kikuta. Kau belum pernah
melihainya?" "Aku pernah merasakan kucing itu ada dalam diri Maya, dan beberapa malam lalu Sada dan
aku sempat melihatnya sekilas. Kucing itu bisa menembus dinding. Kekuatannya luar biasa besar.
Maya menolak kehadirannya saat aku ada, kendati aku
sudah berusaha membujuknya agar membiarkan sosok kucing itu keluar. Maya harus belajar
mengendalikannya: saat ini sepertinya roh kucing itu mengambil alih saat pertahanan diri
Maya lemah." "Dan ketika dia sendirian?"
"Kami tak bisa mengawasinya setiap waktu. Dia harus patuh; harus bertanggung jawab atas
perbuatannya." Takeo merasakan amarahnya meluap. "Aku tak mengharapkan dua orang yang kupercayakan
putriku akan berakhir dengan tidur bersama!"
"Aku pun tidak mengharapkannya," sahut Taku pelan. "Tapi itu sudah terjadi. dan akan
berlanjut." "Mungkin kau harus kembali ke Inuyama, dan kepada istrimu!"
"Istriku tahu kalau aku selalu punya perempuan lain, di Inuyama dan dalam perjalananperjalananku.
Tapi Sada berbeda. Sepertinya aku tidak bisa hidup tanpa dia."
"Kebodohan macam apa ini" Jangan katakan kalau kau sedang dimabuk cinta!"
"Mungkin benar. Bisa kukatakan kalau kemanapun aku pergi, dia akan ikut denganku, bahkan
ke Inuyama." Takeo tercengang karena Taku begitu dimabuk cinta dan dia tidak berusaha
menyembunyikannya. "Kurasa ini menjelaskan alasan kau pergi jauh dari kastil."
"Hanya sebagian. Sebelum kejadian dengan si kucing, setiap hari aku bersama Hiroshi dan
Lord Kono. Tapi Maya merasa amat tertekan dan aku tak ingin mening?galkannya. Jika kuajak dia
bersamaku. Hana pasti akan mengenalinya, bertanya-tanya tentang Maya. Semakin sedikit
orang yang tahu tentang masalah kerasukan ini. lebih baik. Ini bukan jenis laporan yang mesti
dibawa Kono kembali ke ibukota. Aku tengah memikirkan rencana Anda menikah?kan putri sulung Anda.
Aku tidak ingin memberikan Hana dan Zenko senjata lebih banyak lagi untuk mereka gunakan melawan
Anda. Aku tidak memercayai keduanya. Aku sempat berbincang dengan kakakku tentang topik
pembicaraan yang cukup mengganggu yaitu kepemimpinan keluarga Muto. Dia bertekad untuk memaksakan
haknya sebagai penerus Kenji, dan ada beberapa"aku tak tahu ada berapa banyak"pihak
yang tidak senang dengan gagasan perempuan berkuasa
atas diri mereka." Jadi naluri Takeo benar untuk tidak memercayai keluarga Muto.
"Apakah mereka mau menerimamu?" tanya Takeo.
Takeo menuang sake lagi untuk mereka berdua, lalu meminumnya. "Aku tak ingin
menyinggung Anda, Lord Otori, tapi hal-hal semacam ini selalu diputuskan dalam lingkup keluarga, bukan
dengan orang luar." Takeo mengambil cangkirnya lalu minum tanpa bicara. Akhirnya dia berkata, "Kau membawa
banyak berita huruk malam ini. Apa lagi yang mesti kau katakan padaku?"
"Akio berada di Hofu, dan sejauh yang bisa kami tahu, dia berencana menghabiskan musim
dingin di wilayah Barat"aku takut kalau dia akan pergi ke Kumamoto."
"Bersama"anak itu?"
"Sepertinya begitu." Tak satu pun dari mereka bicara selama beberapa saat. Kemudian Taku
berkata, "Akan cukup mudah untuk menyingkirkan mereka di Hofu, atau dalam perjalanan. Biar aku
yang Halaman 575 dari 575 mengaturnya. Begitu Akio sampai di Kumamoto, jika dia menghubungi kakakku maka dia akan
disambut di sana, bahkan ditampung." "Tak boleh ada orang yang menyentuh anak itu."
"Baiklah, hanya Anda yang bisa memutus?kan itu. Satu lagi yang kutahu adalah Gosaburo
sudah mati. Dia ingin berunding dengan Anda demi nyawa anak-anaknya, olah karena itulah Akio
membunuhnya." Berita ini, dan juga sikap Taku yang terus terang, amat mengejutkannya. Gosaburo pernah
memerintahkan hukuman mati untuk banyak orang"salah satunya, setidak?nya, pernah
dilaksanakan Takeo sendiri" tapi ternyata Akio malah berbalik mem?bunuh pamannya, sama
seperti saran Taku kalau ia sendiri yang harus membunuh putra?nya sendiri, memaksa dirinya
mengingat kekejaman tanpa ampun Tribe. Melalui Kenji, dia berhasil mengendalikannya, tapi kini
kendalinya atas diri mereka sedang diuji. Mereka selalu menyatakan bahwa bangsawan bisa berkuasa dan
jatuh, tapi Tribe akan selamanya ada. Tapi bagaimana ia meng?hadapi musuh yang tak mudah ditangani
ini, yang tak mau berunding dengannya"
"Anda harus memutuskan nasib sandera di Inuyama," ujar Taku. "Anda mesti meng
eksekusi mereka sesegera mungkin. Bila tidak Tribe akan menganggap Anda lemah, dan itu
akan menimbulkan lebih banyak per?selisihan."
"Aku akan bicarakan itu dengan istriku saat sudah kembali ke Hagi nanti."
"Jangan terlalu lama," Taku mendesak.
Takeo bertanya pada dirinya sendiri apakah Maya mesti pulang bersamanya"tapi cemas
dengan ketenangan pikiran Kaede, dan kesehatan istrinya selama kehamilannya. "Bagaimana dengan
Maya?" "Dia bisa tinggal bersamaku. Aku tahu Anda merasa kecewa, tapi terlepas dari kejadian malam
ini, kami sudah membuat kemajuan. Dia belajar mengendalikan kerasukan itu"dan siapa yang
tahu manfaat apa yang mungkin bisa kita ambil darinya. Maya berusaha membuat Sada dan aku
senang: dia memercayai kami."
"Tapi yang pasti kau tidak berencana jauh dari Inuyama selama musim dingin, lean?"
"Aku tidak boleh terlalu jauh dari wilayah Barat. Aku harus terus mengawasi kakakku. Mungkin
aku akan menghabiskan musim dingin di Hofu: cuacanya lebih lembut, dan aku bisa mendengar
semua desas-desus yang datang dan pergi melalui pelabuhan."
"Dan Sada akan ikut denganmu?"
"Aku membutuhkan Sada, terutama bila aku harus membawa Maya."
"Baiklah." Kehidupan pribadinya bukan?lah urusanku, pikir Takeo. "Lord Kono juga akan ke
Hofu. Dia akan kembali ke ibukota."
"Dan Anda sendiri?"
"Kuharap bisa tiba di rumah sebelum musim dingin. Aku akan tinggal di Hagi sampai anak kami
lahir. Lalu saat musim semi aku harus pergi ke Miyako."
*** Takeo kembali ke kastil Maruyama tepat sebelum matahari terbit, kelelahan dengan kejadian
malam itu, bertanya-tanya apa yang sedang dilakukannya selagi mengumpulkan lagi semua tenaganya
yang melemah untuk ecnghilang, merayap di dinding lalu kembali ke kamarnya tanpa ketahuan.
Perasaan senangnya pada kemampuan Tribe sebelum?nya telah sirna. Kini ia hanya merasa jijik pada
dunia yang gelap itu. Aku sudah terlalu tua untuk ini, katanya pada dirinya saat menggeser pintu terbuka
Halaman 576 dari 576 lalu melangkah masuk. Penguasa macam apa yang mengendap-ngendap malam-malam dengan
cara seperti ini, bak pencoleng" Aku pernah lolos dari cengkeraman Tribe, dan kukira aku telah
meninggalkannya untuk selama-lamanya, tapi kekuatannya masih saja menjerat diriku, dan
warisan yang kuturunkan pada putri-putriku bukan berarti aku akan bebas.
Takeo merasa amat terganggu dengan semua hal yang belum diketahuinya: lebih dari
semuanya, keadaan Maya. Wajahnya meringis kesakitan; kepalanya pusing. Kemudian teringat masalah
dengan cermin tadi. Itu menandakan kalau barang-barang asing diperdagangkan di Kumamoto. Tapi
orangorang asing itu seharusnya dikurung di Hofu, dan kini di Hagi: adakah orang asing lain di negeri ini"
Jika mereka berada di Kumamoto, Zenko pasti mengetahuinya, namun dia tidak mengatakan
sepatah kata pun tentang hal ini"begitu pula Taku. Pikiran kalau Taku menyembunyikan sesuatu
memenuhi dirinya dengan ke-marahan. Entah Taku menyembunyikannya atau dia memang tidak tahu.
Perselingkuhan?nya dengan Sada juga membuatnya khawatir.
Laki-laki cenderung bersikap ceroboh saat terjerat asmara. Bila aku tak bisa memercayai
Taku, tamatlah riwayatku. Tapi mereka kakak beradik...
Kamar itu sudah terang saat Takeo tertidur.
Ketika terbangun, diperintahkannya untuk mengurus keberangkatannya, dan
meng?instruksikan Minoru untuk menulis surat pada Arai Zenko, memintanya menunggu Lord Otori.
Hari sudah sore ketika Zenko datang, dibawa dengan tandu dan didampingi sebarisan
pengawal, semuanya berpakaian mewah, cakar beruang Kumamoto tergambar jelas di jubah dan panjipanjinya.
Bahkan dalam beberapa bulan sejak berjumpa di Hofu, penampilan Zenko dan
pendamping?nya sudah berubah. Dia semakin mirip ayahnya, secara fisik mengesankan dan dengan
kepercayaan diri yang makin tinggi: tingkahnya, anak buah dan semua pakaian sena senjata mereka berbicara
dengan keme?wahan dan mementingkan diri sendiri.
Takeo sendiri telah mandi dan berpakaian dengan patut untuk pertemuan ini, mengenakan
jubah resminya yang tampak menambah tinggi badannya dengan bentuk bahu melebar dan kaku sena lengan panjang. Tapi
ia tidak bisa menyembunyikan luka di pipinya, sayatan cakar, dan Zenko berseru kaget saat
melihatnya, "Apa yang terjadi" Anda terluka" Tentunya tidak ada yang menyerang Anda, kan" Aku tidak
mendengar b eritanya'"
"Bukan apa-apa," sahut Takeo. "Aku jatuh tersandung ranting di taman semalam." Dia akan
mengira aku mabuk, atau bersama perempuan, pikirnya, dan akan makin mem?benciku. Karena
dilihatnya ekspresi wajah Zenko yang merengut seperti tidak suka dan benci.
Hari itu terasa dingin dan lembap, hujan turun tadi pagi. Daun-daun merah pohon maple
berubah warna menjadi lebih gelap dan mulai berguguran. Sesekali angin ber?hembus di taman,
membuat dedaunan melayang dan menari-nari.
"Ketika kita bertemu di Hofu awal tahun ini, aku berjanji membicarakan masalah
pengangkatan anak pada saat ini," tutur Takeo. "Kau tentunya mengerti kalau ke?hamilan istriku menyebabkan
tindakan formal apa pun sebaiknya ditunda."
"Tentu saja kami berharap Lady Otori memberi Anda anak laki-laki," sahut Zenko. "Pada
dasarnya, putra-putraku takkan men?dahului keturunan Anda."
"Aku menyadari kepercayaan yang kau miliki pada keluargaku," kata Takeo. "Dan aku
berterima kasih yang sedalam-dalamnya padamu. Aku menganggap Sunaomi dan Chikara sebagai anakku
sendiri...." Takeo seperti melihat kekecewaan di wajah Zenko, dan merasa, aku harus menawarkan
sesuatu kepadanya. Ia berhenti bicara selama beberapa saat.
Takeo pernah berjanji untuk tidak men?jodohkan putri-putrinya saat mereka masih muda,
namun ternyata ia berkata, "Aku usulkan Sunaomi dan putri bungsuku, Miki, ditunangkan saat mereka
memasuki usia akil balik kelak."
Halaman 577 dari 577 "Sungguh suatu kehormatan." Zenko tidak terdengar gembira dengan usulan ini, kendati semua
katakatanya terdengar patut. "Aku akan bicarakan kebaikan yang tiada tara ini dengan istriku saat kami
menerima dokumen res mi tentang tawaran ini: harta benda apa yang akan mereka terima, di
mana mereka akan tinggal dan sebagainya."
"Tentu saja," sahut Takeo, seraya berpikir, Dan aku harus membicarakannya dengan istriku.
"Mereka berdua masih sangat muda. Masih ada banyak waktu." Setidaknya ta wa ran sudah diajukan.
Dia tidak bisa menyatakan kalau aku telah menghinanya.
Tak lama kemudian Shigeko, Hiroshi, dan Miyoshi bersaudara datang bergabung, dan
perbincangan beralih ke pertahanan wilayah Barat, ancaman atau kekurangan yang ditanyakan orang-orang
asing, hasil dan bahan-bahan yang orang-orang asing ingin perjualbelikan. Takeo menyebutkan
tentang cermin, bertanya dengan santai apakah benda semacam itu bisa dibeli di Kumamoto.
"Mungkin," sahut Zenko mengelak. "Benda-benda itu masuk melalui Hofu, kurasa. Perempuan
sangat menyukai barang?barang baru semacam itu! Kurasa istriku pernah menerima beberapa
sebagai hadiah." "Jadi tidak ada orang asing di Kumamoto?"
"Tentu saja tidak ada!"
Zenko membawa catatan dan laporan tentang semua kegiatannya: senjata yang sudah
ditempanya, biji besi yang dibelinya; segalanya tampak teratur, dan dia mengulang
keberatannya atas kesetiaaan kewajiban feodal. Takeo tidak berbuat apa-apa selain
menerima kalau catatan itu benar, keberatan tersebut memang apa adanya. Ia berbicara singkat tentang
usulan untuk mengunjungi Kaisar, mengetahui kalau Kono pasti sudah membicarakannya dengan Zenko;
ditekan?kan niatnya yang penuh damai, dan men?ceritakan pada Zenko kalau Hiroshi maupun
Shigeko akan ikut mendampinginya.
"Bagaimana dengan Lord Miyoshi?" tanya Zenko, menatap sekilas ke arah Kahei. "Dia akan
berada di mana tahun depan?" "Kahei akan tinggal di Tiga Negara," sahut Takeo.
"Tapi dia akan pindah ke Inuyama sampai aku kembali dengan selamat. Gemba ikut bersama
The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kami ke Miyako." Tak ada yang menyebutkan bahwa sebagian besar kekuatan Negara Tengah akan menunggu di
perbatasan wilayah Timur di bawah perintah Miyoshi Kahei, tapi tak mungkin menutupi kabar
ini dari Zenko. Pikiran Takeo melayang pada bahaya meninggalkan Negara Tengah tanpa
per?lindungan" tapi Yamagata dan Hagi hampir tak mungkin diduduki, dan penduduknya
pasti akan melawan. Kaede pasti mem?pertahankan Hagi melawan serangan dari manapun,
dan istri juga putra-putra Kahei akan melakukan hal yang sama di Yamagata.
Mereka melanjutkan pembicaraan hingga hampir larut malam, sementara sake dan makanan
disajikan. Selagi undur diri, Zenko berkata kepada Takeo, "Ada satu hal lagi yang harus kita
bicarakan. Bisakah Anda keluar ke beranda" Sebaiknya hal ini ku?bicarakan berdua saja."
"Tentu," sahut Takeo setuju dengan ramah. Hujan turun lagi; angin terasa dingin"Takeo
merasa lelah, ingin sekali tidur. Mereka berdiri di bawah naungan tepian atap yang meneteskan air
hujan. Zenko berkata, "Ini soal keluarga Muto. Kesan yang kudapat adalah banyak pihak di
keluargaku, di seluruh penjuru Tiga Negara. sementara mereka amat menghormati ibuku dan juga Anda,
merasa kalau"bagaimana cara mengatakannya?"tidak beruntung, bahkan salah, dipimpin perempuan.
Mereka mempertimbangkan aku sebagai kerabat laki?laki tertua dari Kenji untuk menjadi
pewaris?nya." Zenko melihat sekilas pada Takeo. "Aku tak ingin menyinggung Anda, tapi
orang-orang tahu keberadaan cucu Kenji, putra Yuki. Ada rumor yang mengatakan kalau dialah
yang seharusnya mewarisi jabatan itu. Sebaiknya aku cepat-cepat di?tunjuk sebagai pimpinan
keluarga: ini Halaman 578 dari 578 bisa membungkam rumor semacam itu dan meyakinkan untuk menegakkan tradisi." Senyum
tipis kepuasan sesaat menari-nari di wajahnya.
"Anak itu tentu saja merupakan pewaris Kikuta," lanjutnya. "Lebih baik tetap menjauhkannya
dari Muto." "Tidak ada yang tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati, ditambah lagi keberadaannya,"
ujar Takeo, berpura-pura bersikap ramah yang sebenarnya telah sirna dari dalam dirinya.
"Oh, kurasa mereka tahu," bisik Zenko, dan seraya memperhatikan reaksi kemarahan Takeo,
"Aku hanya berusaha membantu Lord Otori dalam situasi yang sulit ini."
Andai kita bukan saudara ipar, Andai ibunya bukan sepupuku dan salah satu sahabatku, aku
akan penntah dia menca but nyawanya sendiri! Aku harus melakukannya. Aku tak bisa
memercayainya. Aku hams me?lakukannya sekarang juga, saat dia masih di
Maruyama dan dalam kekuasaanku.
Takeo diam sementara pikirannya ber?kecamuk hebat. Akhirnya ia berkata, berusaha bersikap
halus, "Zenko, aku sarankan kau tidak mendesakku lebih jauh lagi. Kau memiliki tanah dan bangunan
yang luas, tiga putra, serta istri yang cantik. Aku telah menawarimu persekutuan yang lebih dalam
dengan keluargaku melalui ikatan pernikahan. Aku menghargai persahabatan kita dan memandangmu
dengan penuh hormat. Tapi aku takkan membiarkanmu menantangku...."
"Lord Otori!" protes Zenko.
"Atau menyebabkan perang saudara di negara kita. Kau sudah bersumpah setia kepadaku; kau
berutang nyawa padaku. Mengapa aku selalu harus mengulang-ulang?nya" Aku lelah. Untuk
yang terakhir kalinya, kuanjurkan kau kembali ke Kumamoto dan menikmati hidup yang kuberikan
padamu. Bila tidak, aku akan memintamu untuk mengakhirinya."
"Anda tidak akan mempertimbangkan pendapatku tentang pewarisan di keluarga Muto?"
"Aku mendesakmu untuk mendukung
ibumu sebagai pimpinan keluarga dan mematuhinya. Lagipula, kau sudah memilih cara hidup
sebagai ksatria"aku tidak mengerti mengapa kau mencampuri masalah Tribe!"
Saat ini Zenko gusar, dan kurang berhasil menutupinya! "Aku dibesarkan oleh Tribe. Aku juga
anggota keluarga Muto seperti halnya Taku."
"Hanya ketika kau melihat ada ke?untungan politis di baliknya! Jangan pikir kau bisa terus
tidak terkendali untuk me?nentang wewenangku. Jangan pernah lupa kalau kedua putramu ada di
tanganku sebagai sandera atas kesetiaanmu."
Itu pertama kalinya Takeo secara langsung mengancam anak-anak itu. Surga selamatkan diriku
karena aku harus membuat ancaman ini, pikirnya. Tapi yang pasti Zenko takkan
mempertaruhkan nyawa kedua putranya. "Aku mengusulkan ini agar seluruh negara ini lebih kuat, dan untuk mendukung Lord Otori,"
tutur Zenko. "Aku minta maaf karena telah membicarakannya. Mohon dilupakan saja."
Saat kembali, bagi Takeo, peran mereka bak dalam pertunjukan drama, diarahkan
oleh tangan nasib untuk memainkan peran mereka sampai habis; ruang penonton, dihiasi
dengan pahatan timbul emas di pilar dan kasaunya, penuh dengan pengawal berjubah warna-warna
cemerlang menjadi latarnya. Saling menyembunyikan ke?marahan, mereka mengucapkan
selamat tinggal dengan sikap sopan yang dingin. Keberangkatan Zenko dari Maruyama direncanakan
keesokan harinya, sementara Takeo lusa.
"Jadi kau akan sendirian di wilayahmu ini," kata Takeo kepada Shigeko sebelum mereka
beristirahat. "Hiroshi akan berada di sini untuk mem?bantuku, setidaknya sampai tahun depan," sahut
Shigeko. "Tapi apa yang terjadi pada Ayah tadi malam" Siapa yang membuat Ayah terluka seperti itu?"
Halaman 579 dari 579 "Aku tidak bisa menyimpan rahasia darimu," sahut Takeo. "Tapi aku tak ingin menganggu
ibumu di saat seperti ini, jadi pastikan kalau ibumu tak mendengarnya," Takeo menceritakan dengan
singkat tentang Maya, tentang kerasukan dan hasilnya. Shigeko mendengarkan tanpa bicara, tidak
menunjukkan ekspresi kaget maupun takut,
dan Takeo berterima kasih yang tak terkira kepadanya.
"Maya akan berada di Hofu bersama Taku selama musim dingin," ujar Takeo.
"Kemudian kita harus terus berhubungan dengan mereka. Dan kita juga akan meng?awasi
Zenko dengan cermat. Ayah jangan khawatir. Dalam Ajaran Houou kami sering menghadapi masalah
seperti kerasukan hewan ini. Gemba tahu banyak tentang hal ini, dan dia pernah mengajariku."
"Apakah Maya mesti ke Terayama?"
"Dia akan ke sana di waktu yang tepat." Shigeko tersenyum lembut saat Takeo melanjutkan
bicara. "Semua roh mencari kekuatan yang lebih besar yang bisa mengen?dalikan mereka dan
memberi kedamaian." Takeo bergidik. Shigeko tampak seperti orang asing, penuh teka-teki dan bijaksana, Tiba-tiba
ia teringat pada perempuan buta yang mengatakan ramalannya, yang me?nyebut nama kecilnya
dan mengenal siapa dirinya sebenarnya. Aku harus kembali ke sana, pikirnya. Aku akan ziarah ke
pegunungan, tahun depan setelah anakku lahir, setelah perjalananku ke ibukota.
Ia merasa kalau Shigeko memiliki
kemampuan spiritual yang sama. Semangat?nya bangkit lagi selagi memeluk putrinya lalu
mengucapkan selamat malam.
"Kurasa Ayah harus menceritakannya pada Ibu," kata Shigeko. "Seharusnya Ayah jangan
menyimpan rahasia dari Ibu. Ceritakan tentang Maya. Ceritakan semuanya pada Ibu."*
Kumamoto, kota kastil Arai, terbentang di barat daya Tiga Negara, dikelilingi pe?gunungan
yang kaya akan bijih besi dan batu bara. Sumber alam ini menyebabkan per?kembangan industrinya
maju pesat untuk segala macam bentuk peralatan dari logam, dan terutama pembuatan pedang. Banyak
perajin pedang serta tempat penempaan besi yang sudah terkenal, begitu pula halnya waktu
belakangan ini, berkembang bisnis yang bahkan lebih menguntungkan, yaitu membuat senjata api.
"Paling tidak," gerutu si tua, Koji, "Akan lebih menguntungkan jika Otori ijinkan kita
memproduksi hasil yang cukup untuk memenuhi permintaan. Pompa yang keras, nak."
Hisao memompa pegangan dengan tiupan sekuat tenaga dan kotak pemanas semakin panas,
dengan hawa panas yang seakan membakar wajah dan tangannya. Hisao tidak
keberatan karena musim dingin sudah tiba sejak mereka sampai di Kumamoto dua minggu
lalu; angin dingin berhembus dari laut keabuan, dan tiap malam terasa dingin menggigit.
"Apa hak mereka mendikte Arai apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat, apa
yang boleh kami jual dan apa yang dilarang!" imbuh Koji.
Hisao mendengar nada tidak senang yang sama di mana-mana. Ayahnya mengatakan, dengan
gembira, bahwa para pengawal Arai tiada henti menghembuskan desas-desus, membangkitkan
ketidaksenangan untuk me?nentang Otori, mempertanyakan mengapa Kumamoto kini tunduk
pada Hagi ketika Arai Daiichi sudah menaklukkan seluruh Tiga Negara, tak seperti Otori Takeo yang
hanya Halaman 580 dari 580 mengambil keuntungan dari gempa, lalu menyebabkan kematian Lord Arai dengan
menggunakan senjata api yang sama yang kini dilarangnya.
Akio dan Hisao mengetahui saat mereka tiba di Kumamoto bahwa Zenko tidak ada di sana"dia
dipanggil ke Maruyama oleh Lord Otori.
"Memperlakukannya bak pelayan," ujar
penjaga penginapan pada malam pertama mereka, saat makan malam. "Mengharapkan Arai
menyerahkan semuanya. Belum cukup?kah Otori menyandera kedua putra Arai?"
"Dia suka mempermalukan sekutu mau?pun musuhnya," ujar Akio. "Untuk memuas?kan
kesombongannya sendiri. Tapi sebenar?nya dia tidak punya kekuatan. Dia akan jatuh, dan
Otori pun akan tumbang ber-samanya."
"Akan ada perayaan di Kumamoto pada hari itu," sahut laki-laki yang satu lagi, sambil
mengangkat semua piring lalu kembali ke dapur.
"Kita tunggu sampai Arai kembali," kata Akio pada Kazuo.
"Setelah itu kita akan membutuhkan dana," ujar Kazuo. "Terutama dengan tiba?nya musim
dingin. Uang Jizaemon sudah hampir habis."
Hisao tahu kalau hanya ada sedikit keluarga Kikuta di wilayah ujung Barat, dan mereka adalah
keluarga yang kehilangan kekuasaan dan pengaruh selama masa peme?rintahan Otori. Kendati
demikian, beberapa hari kemudian, seorang pemuda berwajah tajam datang meminta
dipanggilkan Akio pada satu malam. Dia memberi salam dengan sikap tunduk dan gembira, dan memanggil Akio
dengan sebutan Ketua serta meng?gunakan bahasa dan lambang rahasia keluarga Kuroda.
Pemuda itu bernama Yasu; berasal dari Hofu dan lari ke Kumamoto setelah bermasalah di sana karena
terlibat dalam penyelundupan senjata api.
"Aku sudah mati!" selorohnya. "Lord Arai harus mengeksekusi diriku atas perintah Lord Otori;
tapi untungnya dia masih meng?anggapku terlalu berharga, dan membuat pertukaran."
"Apakah ada banyak orang sepertimu yang bekerja pada Arai?"
"Ya, ada banyak. Keluarga Kuroda selalu berhubungan dengan Muto, seperti yang kau tahu,
tapi kami juga punya banyak hubungan dengan Kikuta. Lihatlah Shintaro yang hebat! Separuh Kuroda,
separuh Kikuta." "Dibunuh Otori, seperti Kotaro," Akio mengamati dengan tenang.
"Masih banyak kematian yang belum ter?balaskan," ujar Yasu sepakat. "Keadaannya berbeda
saat Kenji masih hidup, tapi sejak kematiannya, semenjak Shizuka menjadi ketua"segalanya
berubah. Tak ada yang merasa senang. Pertama-tama karena merasa tidak benar dipimpin seorang perempuan, dan
yang kedua karena Otori yang mengatur?nya. Seharusnya Zenko yang menjadi pimpinan, dialah
kerabat laki-laki tertua dan bila dia tak ingin meneruskannya, dengan menjadi bangsawan besar, maka
seharusnya jabatan itu dipegang Taku."
"Taku adalah tangan kanan Otori, dan ter?libat dalam kematian Kotaro," tutur Kazuo.
"Lagipula, saat itu dia masih kecil, dan masih bisa dimaafkan"tapi tidak benar kalau
hubungan antara Muto dan Kikuta menjadi begitu jauh. Dan itu juga ulah Otori."
"Kami di sini untuk memperbaiki jembatan yang terputus dan menyembuhkan luka," tutur Akio
kepadanya. "Memang itulah yang kami harapkan. Lord Zenko akan senang, bisa kukatakan itu padamu."
Halaman 581 dari 581 Yasu membayar penjaga penginapan lalu mengajak mereka ke tempat menginapnya sendiri, di
belakang toko tempat dia menjual pisau dan peralatan dapur lainnya. Yasu sangat menyukai
golok, yang digunakan jurumasak hebat di kastil hingga bilah pisau
kecil dengan ketajaman luar biasa untuk memotong daging. Saat mengetahui keter?tarikan
Hisao pada segala macam peralatan, diajaknya Hisao ke tempat penempaan besi yang dibelinya;
salah satu pandai besi, Koji, membutuhkan asisten, dan Hisao mengasah ketrampilannya bersama lakilaki itu.
Hisao menyukainya, bukan hanya pekerjaannya" dia memang terampil mengerjakannya"tapi
juga karena pekerjaan itu memberinya lebih banyak kebebasan, dan menjauhkannya dari
kehadiran Akio yang membuatnya merasa tertekan. Sejak meninggalkan rumah, di?pandangnya sang ayah
dengan pandangan baru. Ia sudah dewasa. Bukan lagi bocah yang bisa didominasi dan dilecehkan.
Pada tahun baru nanti usianya beranjak tujuh belas tahun.
Karena utang dan kewajiban, pekerjaannya pada Koji dibayar dengan makanan dan tempat
tinggal, kendati Yasu sering mengaku kalau dia tidak mengambil keuntungan apa pun dari Pimpinan
Kikuta, suatu ke-hormatan diijinkan membantu. Namun menurut Hisao, Yasu adalah orang yang penuh
perhitungan yang tidak mau memberi dengan cuma-cuma: bila Yasu menolong
mereka sekarang, itu karena dia melihat akan ada keuntungan di masa akan datang. Dan
Hisao juga melihat kalau Akio sudah semakin tua, dan betapa kuno cara ber?pikirnya, seolah sudah
membeku selama bertahun-tahun karena mengasingkan diri di Kitamura.
Hisao menyadari bagaimana Akio merasa tersanjung dengan perhatian Yasu, bahwa ayahnya
haus akan rasa hormat dan status dengan cara yang hampir ketinggaian jaman di kota yang sibuk
dan moderen ini. Klan Arai penuh dengan rasa percaya diri serta kebanggaan. Wilayah mereka kini
terbentang melintasi wilayah Barat: Noguchi dan Hofu milik mereka. Mereka mengendalikan
pesisir dan jalur kapal laut. Kumamoto dipenuhi pedagang"bahkan beberapa orang asing, tidak
hanya dari
The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Shin dan Shilla, tapi juga, kabarnya, dari Kepulauan Kecil Barat, orang barbar dengan mata
seperti buah ek serta berjanggut lebat, dan barang-barang yang indah tiada tara.
Kehadiran mereka di Kumamoto ditandai dengan bisik-bisik karena seluruh kota tahu larangan
Otori yang tak masuk akal pada siapa pun bertransaksi dengan orang asing
secara langsung: semua perdagangan harus melalui pusat pemerintahan Klan Otori, diatur dari
Hofu"satu-satunya pelabuhan tempat kapal asing diijinkan secara resmi merapat. Hal ini
dipercaya banyak orang begitu adanya karena Negara Tengah ingin mengambil keuntungan bagi mereka
sendiri, begitu pula dengan berbagai penemuan, dan begitu pula dengan masalah
persenjataan yang sangat efektif, sangat mematikan. Klan Arai mulai membara di balik ketidakadilan.
Meskipun Hisao belum pernah melihat orang barbar, tapi dia tertarik saat Jizaemon
memperlihatkan benda-benda mereka. Yasu kerapkali memanggilnya ke tempat penempa?an di sore hari untuk
memberi perintah baru, mengumpulkan persediaan baru pisau, mengirim kayu untuk bagian
pembakaran; suatu hari dia ditemani laki-laki bertubuh tinggi berpakaian mantel panjang
dengan tudung yang menutupi wajahnya. Mereka tiba pada sore hari; matahari sudah mulai
tenggelam dan langit suram membawa ancaman salju yang akan turun. Kala itu kira?kira pertengahan bulan
kesebelas. Hanya bara api yang mewarnai bumi yang berubah dari hitam menjadi abu-abu
pada musim dingin. Begitu tiba di jalanan, si orang asing menyibakkan tudungnya dan Hisao menyadari dengan
terkejut dan keingin?tahuan kalau itu orang barbar.
Orang barbar itu hampir tidak bisa berbicara dengan mereka"dia hanya tahu beberapa kata,
tapi dia dan Koji adalah tipe orang yang bicara dengan bahasa isyarat, yang lebih memahami
permesinan ketimbang bahasa, dan selagi Hisao mengikuti mereka di sekitar tempat penempaan,
disadarinya kalau ia juga seperti itu. Ia menangkap maksud si orang barbar secepat Koji memahaminya.
Perhatian orang asing itu tersita oleh metode mereka, mempelajari semuanya dengan kilatan matanya
yang cepat, menggambar sketsa tempat pembakaran, tempat meniup bara api, belanga, cetakan
dan pipa; setelah itu, ketika mereka minum sake, orang itu mengeluarkan buku, dilipat dengan cara
yang aneh, dicetak, bukan ditulis, dan memper?lihatkan gambar-gambar yang terlihat jelas kalau itu
cara-cara Halaman 582 dari 582 penempaan. Koji meng?amatinya dengan cermat, dahinya berkerut, jemarinya menggarukgaruk
belakang telinga. Hisao, yang berlutut di satu sisi, mengintip di bawah cahaya remangremang, bisa
me rasakan semangat dalam dirinya yang semakin tinggi selagi halaman buku dibolak?balik. Di
benaknya muncul berbagai macam kemungkinan yang bisa dilakukan. Pada halaman terakhir ada
beberapa senjata api: sebagian besar senjata panjang dengan ben?luk aneh yang sudah dikenalnya, tapi
ada satu, di bagian bawah halaman, terselip di antara senjata yang lain bak seekor anak kuda di
antara kaki induknya. Bentuknya kecil, hampir berukuran sepertiga dari panjang semua senjata
lainnya. Hisao tidak tahan untuk mengulurkan dan menyentuh dengan jari telunjuknya.
Si barbar tertawa cekikikan. "Pistola!" dia membuat gerakan menyembunyikan senjata itu di
balik pakaian, lalu mengeluarkannya dan mengarahkannya pada Hisao.
"Pa! Pa!" Dia tertawa. "Morto!" (=mati)
Hisao belum pernah melihat benda seindah itu, dan segera menginginkannya.
Laki-laki itu menjentikkan jari, dan mereka semua memahami maksudnya. Senjata semacam
itu mahal. Tapi bisa dibuat, pikir Hisao, dan bertekad untuk mempelajari cara membuatnya.
Yasu menyuruh Hisao pergi sewaktu dia
membicarakan soal pembayaran. Bocah itu membereskan tempat penempaan, me?madamkan
api lalu menyiapkan semua peralatan untuk keesokan harinya. Ia membuat teh untuk orang-orang
itu, lalu mengisi mangkuk sake mereka kemudian pulang, benaknya dipenuhi dengan berbagai ide"tapi
entah karena ide-ide itu, atau tidak terbiasa dengan sake, atau angin dingin setelah hawa
panas di tempat penempaan telah membuat kepalanya pening. Saat sampai di rumah Yasu, yang
terlihat olehnya hanyalah separuh dari bangunan, hanya separuh dari pajangan pisau dan kapak.
Hisao tersandung anak tangga, dan selagi berusaha menyeimbangkan tubuh, dilihatnya ibunya
dalam kabut hampa tempat separuh dari dunia berada.
Wajah ibunya tampak memohon dengan penuh kelembutan dan ketakutan. Hisao merasa mual
sewaktu kekuatan meminta bantuan perempuan itu menghantam diri?nya. Rasa sakitnya
makin tak tertahankan. Tidak tahan untuk mengerang, kemudian disadarinya kalau ia ingin muntah,
jatuh dengan tangan dan lutut menahan tubuh, merangkak ke teras lalu membungkuk ke
parit. Sake tadi terasa masam di mulutnya; matanya berair karena rasa sakit, angin sedingin es
membuat air matanya terasa membeku di pipinya.
Perempuan itu mengikutinya keluar mengambang di atas tanah, garis bayangan tubuhnya
tersamar oleh kabut dan hujan salju.
Akio, ayahnya, berseru dari dalam. "Siapa di sana" Hisao" Tutup pintunya, dingin sekali."
Ibunya bicara, suaranya di kepala Hisao menyengat bak es. "Kau tidak boleh mem?bunuh
ayahmu." Hisao tidak tahu kalau ia pernah ingin melakukannya. Saat itu ia merasa ketakutan kalau
ibunya tahu semua vang ada di benaknya, kebencian juga kasih sayangnya.
Perempuan itu berkata, "Aku takkan membiarkanmu melakukannya."
Suara perempuan itu tidak bisa ditolerir lagi, menggetarkan seluruh urat syaraf di sekujur
tubuhnya, membuat semua syarafnya bak terbakar api. Hisao berteriak ke arah perempuan itu. "Pergi!
Tinggalkan aku sendiri!"
Di sela-sela erangannya, disadarinya ada yang mendekat, dan mendengar suara Yasu.
"Apa-apaan ini!" seru laki-laki itu, kemudian memanggil Akio, "Ketua! Cepat kemari!
Putramu...." Mereka membopongnya ke dalam dan membersihkan muntahan dari wajah dan rambutnya.
Halaman 583 dari 583 "Si bodoh ini minum terlalu banyak sake," kata Akio. "Seharusnya dia tidak boleh minum.
Kepalanya tidak kuat untuk itu. Biarkan dia tidur."
"Hisao hampir tidak minum sake," sahut Yasu. "Mestinya dia tidak mabuk. Mungkin dia sakit?"
"Terkadang dia sakit kepala. Penyakitnya itu sudah dideritanya sejak kecil. Tidak apa?apa.
Rasa sakitnya akan hilang dalam satu atau dua hari."
"Anak malang, dibesarkan tanpa ibu!" ujar Yasu, separuh bicara pada diri sendiri, selagi
membantu Hisao berbaring dan menyeli?mutinya. "Dia menggigil kedinginan. Akan kuseduh sesuatu untuk
raembantunya tidur."
Hisao minum teh dan merasakan ke?hangatan perlahan mulai kembali ke tubuh?nya;
menggigilnya berkurang, tapi rasa sakitnya tidak berkurang, begitu pula dengan suara perempuan itu. Kini perempuan itu
melayang di kamar yang gelap"Hisao tidak perlu lentera untuk bisa melihatnya. Mengerti samar-samar
kalau ia mendengar?kan perkataan perempuan itu maka rasa sakitnya akan berkurang, tapi ia tak ingin
mendengarnya. Hisao menarik rasa sakit itu di sekeliling dirinya sebagai tameng untuk
melawan perempuan itu, dan ingatan tentang senjata api kecil yang indah tadi serta betapa ia ingin
membuatnya. Rasa sakit membuatnya liar, bak hewan yang disiksa. Membuatnya ingin melampias?kannya
pada orang lain. Teh meredakan ambang batas kesadaran?nya, dan ia pasti tertidur sebentar. Saat ter?bangun,
didengarnya Akio dan Yasu tengah berbincang, mendengar dentingan mangkuk sake dan suara
pelan mereka selagi minum. "Zenko sudah kembali," kata Yasu. "Aku tidak bisa menahan perasaan kalau per?temuan kalian
akan membawa keuntungan bagi semua orang."
"Itu tujuan utama kami keraari," sahut Akio. "Bisakah kau mengatumya?"
"Aku yakin bisa. Zenko pasti sangat ingin
menyatukan keretakan antara Muto dan Kikuta. Dan lagipula, kalian ada hubungan kerabat
dengan ikatan pernikahan, kan" Putramu dan putra Zenko semestinya saudara sepupu."
"Zenko memiliki kemampuan Tribe?"
"Bukan seperti yang diketahui banyak orang. Dia seperti ayahnya, seorang ksatria. Tidak
seperti adiknya." "Putraku hanya memiliki sedikit
kemampuan," aku Akio. "Dia pernah belajar beberapa hal, tapi tak berbakat. Hal itu membuat
kalangan Kikuta kecewa. Ibunya dulu sangatlah berkemampuan tinggi, tapi dia tak
mewariskan apa pun pada putranya." "Tapi tangannya terampil. Koji cukup menyanjung anak itu"dan Koji tak pernah memuji siapa
pun." "Tapi itu tak membuatnya sebanding dengan Otori."
"Itukah yang kau harapkan" Kalau Hisao akan menjadi pembunuh agar bisa meng?habisi
Takeo?" "Hidupku tidak akan damai sampai Otori mati."
"Aku memahami perasaanmu, tapi Takeo itu amat pandai sekaligus beruntung. Itu
sebabnya kau harus bicara dengan Zenko. Sepasukan ksatria mungkin bisa berhasil
menggantikan kegagalan para pembunuh Tribe."
Yasu minum lagi lalu tertawa terkekeh. "Selain itu, Hisao menyukai senjata. Sepucuk senjata
lebih kuat ketimbang kekuatan magis Tribe mana pun, bisa kupastikan itu. Barangkali dia akan
mengejutkanmu!"* Halaman 584 dari 584 "Kau bilang dia mengancam anak-anak kita secara terang-terangan?" Lady Arai menarik baju
luarnya yang terbuat dari bulu. Angin bercampur hujan es yang berhembus dari laut sepanjang minggu
sejak kembalinya mereka dari Maruyama akhirnya berubah menjadi salju. Angin berhenti
berhembus dan serpihan salju mulai berjatuhan perl?ahan dan mantap.
"Jangan khawatir," sahut suaminya, Zenko. "Dia hanya menggertak. Takeo tak?kan menyakiti
mereka. Dia terlalu lemah untuk melakukan hal itu."
"Di Hagi pasti sudah turun salju," ujar Hana, seraya menatap ke laut di kejauhan dan
memikirkan anak-anaknya. Dia belum bertemu dengan mereka lagi sejak mereka pergi saat musim panas.
Zenko berkata, dengan niat buruk me?warnai nada suaranya, "Dan di pegunungan; dengan
keberuntungan Takeo akan terjebak di Yamagaia dan takkan bisa kembali ke Hagi
sebelum musim semi. Salju turun lebih awal tahun ini."
"Setidaknya kita tahu Lord Kono sudah aman dalam perjalanannya kembali ke Miyako,"
komentar Hana, karena mereka telah menerima pesan dari sang bangsawan saat hendak meninggalkan
Hofu. "Mari berharap dia menyiapkan
penyambutan yang hangat bagi Lord Otori tahun depan," ujar Zenko, lalu tawanya meledak.
"Menyenangkan melihat Takeo terbuai pujian," gumam Hana. "Kono memang pendusta yang
lihai dan patut dipercaya!" "Seperti yang dikatakannya sebelum pergi," komentar Zenko, "Jaring Surga amat?lah luas,
lubang jaringnya tipis. Kini jaring?nya ditarik lebih kencang. Pada akhirnya Takeo akan terjerat di
dalamnya." "Aku terkejut dengan kabar tentang kakakku," ujar Hana. "Kukira dia sudah tak bisa hamil
lagi." Dibelainya permukaan bulu, dan ingin merasakan di kulitnya. "Bagaimana kalau nanti anaknya
lakilaki?" "Tak ada perbedaan besar, jika semuanya berjalan sesuai tencana." sahut Zenko. "Begitu pula
halnya dengan perjodohan antara Sunaomi dan putri mereka."
"Sunaomi tak boleh menikah dengan si kembar!" ujar Hana. "Tapi kita akan pura?pura
menerima itu." Mereka tersenyum dengan tatapan penuh kelicikan.
"Satu-satunya hal baik yang pernah Takeo lakukan yaitu menikahkanku denganmu," ujar
Zenko. Sedangkan bagi Takeo merupakan ke?salahan fatal, pikir Hana. Andai dia menyerah padaku
dan mengambilku sebagai istri keduanya, betapa berbedanya keadaan jadinya" Aku bisa
memberinya anak laki-laki; tanpa diriku Zenko akan jadi tak lebih dari bangsawan kecil, tidak menjadi
ancaman bagi?nya. Dia harus membayarnya. Begitu pula dengan Kaede.
Hana tidak pernah memaafkan Takeo karena telah menolak dirinya, sama halnya dengan
kakaknya karena menelantarkan diri?nya ketika mereka masih kecil. Hana memuja Kaede, bergantung
padanya ketika kesedihan akibat kematian orangtua mereka nyaris membuat dirinya tidak waras"dan
Kaede justru meninggalkannya, pergi menunggang kuda pada satu pagi di musim semi dan tak
pernah kembali. Setelah itu, Hana dan kakaknya, Ai, ditahan di Inuyama sebagai sandera, dan
akan dibunuh di sana andai Sonoda Mitsuru tak menyelamatkan mereka.
"Kau masih bisa punya anak lagi!" seru Zenko. "Ayo kita buat anak laki-laki lagi" sepasukan
anak laki-laki." Halaman 585 dari 585 Mereka hanya berdua di ruangan itu, dan Hana mengira suaminya akan mulai bergerak tapi
kemudian, saat itu terdengar ketukan ringan di pintu. Pintunya bergeser terbuka dan seorang
pelayan laki-laki bicara pelan, "Lord Arai, Kuroda Yasu datang bersama seorang laki-laki."
"Mereka datang dalam cuaca seburuk ini," ujar Zenko. "Sajikan minuman, tapi biarkan mereka
tunggu sebentar sebelum kau mem?bawanya masuk, dan pastikan kelak kami tidak diganggu."
"Kuroda datang secara terang-terangan?" tanya Hana.
"Taku sedang di Hofu"tidak ada yang memata-matai kita sekarang."
"Aku tak pernah suka pada Taku," kata Hana tiba-tiba.
Tatapan tidak senang terpancar sekilas di wajah Zenko yang lebar. "Dia adikku,"
Zenko memperingatkan istrinya.
"Seharusnya kesetiaannya yang pertama mestinya kepadamu, bukan pada Takeo," hardik
istrinya. "Dia menipumu setiap hari tapi kau tidak memerhatikannya. Dia memata-mataimu paling
sering tahun
The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini, dan bisa dipastikan kalau dia mengacaukan surat-surat kita."
"Itu semua akan segera berubah," sahut Zenko dengan tenang. "Kita akan bereskan masalah
penerus Muto. Taku kelak harus mematuhiku, atau...."
"Atau apa?" "Hukuman dalam Tribe atas ketidak?patuhan adalah kematian. Aku tak bisa mengubah
peraturan itu bahkan untuk saudara kandungku sendiri."
"Taku amat populer, kau sendiri sering bilang begitu. Dan ibumu juga. Pastinya banyak pihak
yang tak ingin menentang mereka?"
"Kurasakita akan mendapatkan
dukungan. Dan jika teman Kuroda adalah orang yang sudah kuperkirakan, sedikit banyak akan
cukup menambah kekuatan." "Aku tak sabar ingin bertemu dengannya," Hana menaikkan alisnya.
"Sebaiknya kuceritakan sedikit tentang dia. Namanya Kikuta Akio; dia ketua Kikuta sejak
kematian Kotaro. Menikah dengan putri Kenji, Yuki; setelah istrinya mati, dia bersembunyi dengan anak
laki-laki Yuki." Zenko berhenti sejenak lalu menatap Hana, mata dengan kelopak tebalnya berbinar.
"Bukan anaknya Akio?" tanya Hana, "Bukan anaknya Takeo, kan?"
Zenko mengangguk, lalu tertawa lagi.
"Sudah berapa lama kau tahu ini?" tanya Hana. Dia terkejut sekaligus bersemangar dengan
tersingkapnya kenyataan ini, benak?nya sudah mencari-cari cara untuk me?manfaatkan berita
ini. "Aku mendengar semua desas-desus di keluarga Muto sewaktu aku masih kecil. Kenapa Yuki
dipaksa minum racun" Alasan Kikuta membunuhnya adalah pasti karena mereka tak memercayainya.
Dan kenapa Kenji berpindah memihak Otori, bersama empat dari lima keluarga" Kenji percaya
kelak Takeo akan mengakui anak itu, atau setidaknya dengan melindunginya. Anak itu - mereka
memanggilnya Hisao"ternyata anak laki-laki Takeo."
"Kakakku pasti tak tahu, aku yakin itu."
Hana merasakan ada getar kesenangan memikirkan hal itu.
"Mungkin kau bisa beritahukan pada saat yang tepat," suaminya menyarankan.
"Oh, tentu." Hana sepakat. Tapi mengapa Takeo tak pernah mencari anak itu?"
Halaman 586 dari 586 "Kurasa ada alasannya: dia tidak ingin istrinya tahu, dan ketakutan kalau putranya yang bisa
membunuhnya. Sebagaimana Tabib Ishida yang dengan baik hati meng?ungkapkan pada kami,
ada ramalan yang mengatakan seperti itu, dan Takeo memer?cayainya."
Hana bisa merasakan nadinya berdenyut lebih kencang. "Saat kakakku tahu ini, mereka pasti
akan berpisah. Kaede sudah bertahun-tahun menginginkan anak laki-laki: maka dia takkan
memaafkan Takeo karena anak yang disembunyikan ini."
"Banyak laki-laki memiliki perempuan simpanan dan anak haram, dan istri mereka
memaafkannya." "Tapi kebanyakan istri bersikap seperti diriku," sahut Hana. "Realistis dan praktis. Bila kau
punya perempuan simpanan, hal itu tidak menggangguku. Aku memahami kebutuhan dan hasrat lakilaki,
dan tahu kalau aku akan menjadi yang utama bagimu. Kakakku adalah orang yang idealis: dia percaya
pada cinta. Takeo juga pasti begitu: dia tak pemah mengambil perempuan lain" itu sebabnya dia
tak punya anak laki-laki. Lebih dari itu, keduanya dipengaruhi oleh Terayama dan apa yang
mereka sebut Ajaran Houou. Pemerintahan mereka diseimbang?kan dengan bersatunya mereka berdua:
dengan menyatukan laki-laki dan perempuan. Berpisahnya kesatuan itu akan membuat Tiga Negara
hancur berantakan." Hana menambahkan, "Dan kau akan mewarisi semua yang telah diperjuangkan ayahmu,
dengan restu dari sang Kaisar, serta dukungan dari jenderalnya."
"Dan Tribe takkan terpecah belah lagi," ujar Zenko. "Kita akan mengakui anak ini sebagai
pewaris dari keluarga Kikuta dan Muto, dan melalui dirinya kita mengenda?likan Tribe."
Hana mendengar langkah kaki di luar. "Mereka sudah datang," katanya.
Suaminya meminta dibawakan sake lagi, dan saat sudah datang, Hana menyuruh pelayan pergi
karena dia yang akan melayani tamunya. Dia mengenal Kuroda Yasu yang
mengambil keuntungan dari barang-barang mewah yang diimpornya dari Tenjiku, gading dan
emas. Ia pun memiliki beberapa cermin yang terbuat dari kaca keras, berkilau yang menunjukkan
bayangan orang yang nyata. Ia senang karena benda ini disimpan di Kumamoto. Hana tak pernah
memper?lihatkannya di Hofu. Kini ia pun mem?punyai rahasia hebat dan besar ini, rahasia
yang mengungkap siapa Takeo sebenamya.
Hana mengamati laki-laki itu, Akio. Laki?laki itu melihat sekilas ke arahnya, kemudian duduk
dengan menunduk. Dari luar orang itu kelihatan rendah hari, tapi segera ia tahu kalau laki-laki itu
bukanlah orang yang rendah hati. Tubuhnya tinggi dan tegap; walau usianya tidak muda lagi; dia
kelihatan sangat kuat. Memancarkan semacam ke?kuatan, yang mambangkitkan secercah ke?tertarikan
dalam dirinya. Hana tidak suka kalau laki-laki itu menjadi musuhnya, tapi dia bisa menjadi sekutu
yang kejam juga tanpa belas kasihan.
Zenko memberi salam pada kedua tamu?nya dengan sikap yang sangat sopan, ber?usaha agar
terlihat menghormati Akio sebagai pimpinan Kikuta tanpa mengurangi status
nya sendiri sebagai lord tinggi Arai.
"Tribe sudah terpecah belah begitu lama," tuturnya. "Aku sangat menyesalkan per?pecahan
ini, juga kematian Kotaro. Kini Muto Kenji sudah tiada, maka sudah waktu?nya luka-luka lama ini
disembuhkan." "Kurasa kita memiliki tujuan yang sama," sahut Akio. Cara bicaranya singkat, dengan aksen
Timur. Hana merasa kalau laki-laki itu akan tetap diam ketimbang menggunakan sanjungan, dan
tidak mudah terpengaruh dengan sanjungan, atau pun bentuk bujukan lainnya.
"Kita bisa bicara dengan bebas di sini," ujar Zenko.
"Aku tak pernah menyembunyikan apa yang paling kuinginkan," ujar Akio. "Kematian Otori. Dia
telah divonis mati oleh Kikuta karena melanggar aturan Tribe, dan juga atas pembunuhan Kotaro.
Hal ini mem?buat marah keluarga, nenek moyang dan tradisi, serta dewa-dewa karena dia masih
hidup." Halaman 587 dari 587 "Kabamya dia tidak bisa dibunuh," komentar Yasu. "Tapi yang pasti dia hanya manusia biasa."
"Aku pernah hampir menggorok leher
nya," Akio membungkuk, tatapan matanya semakin tajam. "Aku masih tak mengerti bagaimana
dia bisa lolos. Dia memiliki banyak keahlian"seharusnya aku tahu; aku yang melatihnya di Matsue
"dia lolos dari semua usaha pembunuhan."
"Baiklah," kata Zenko perlahan, seraya bertukar pandangan dengan Hana. "Aku tahu sesuatu
yang kau belum tahu. Hanya beberapa orang yang mengetahuinya."
"Tabib Ishida yang mengatakannya pada kami," ujar Hana. "Dia adalah tabib pribadi Takeo, dan
pernah mengobari banyak lukanya. Dia tahu ini dari Muto Kenji."
Akio mengangkat kepala lalu menatap langsung pada Hana.
"Takeo percaya kalau hanya putranya yang bisa membunuhnya," lanjut Zenko. "Ada semacam
ramalan yang bisa dibuktikan."
"Seperti halnya Lima Pertempuran?" tanya Yasu.
"Ya, dan ramalan itu digunakan untuk membenarkan pembunuhan atas ayahku dan
keberhasilannya meraih kekuasaan," tutur Zenko. "Kata-kata yang masih tetap di?rahasiakan."
"Kendati demikian, Lord Takeo tidak
memiliki anak laki-laki" ujar Yasu seraya menatap mereka semua secara bergantian.
"Meski ada hal-hal tertentu yang ter?dengar..." Akio duduk dengan wajah tanpa ekspresi. Hana
merasakan lagi secercah semangat.
Akio berkata pada Zenko, suaranya ter?dengar semakin rendah dan keras. "Kau tahu tentang
putraku?" Zenko agak menggerakkan kepala meng?iyakan.
"Siapa lagi yang tahu tentang ramalan ini?"
"Terlepas dari semua orang yang ada di ruangan ini dan Ishida: adikku, kemungkinan juga
ibuku, walaupun ibuku tidak pernah mengatakannya padaku."
"Bagaimana dengan yang ada di Terayama" Kubo Makoto mungkin juga tahu: Takeo
menceritakan segalanya kepada?nya," gumam Hana.
"Mungkin juga. Intinya hanya sedikit orang. Dan yang paling penting adalah Takeo percaya
itu," ujar Zenko. Yasu meneguk cepat sake lalu berkata pada Akio, "Jadi semua desas-desus itu benar?"
"Ya. Hisao adalah putra Takeo." Lalu Akio menenggak minumannya, tampak seperti
tersenyum. "Anak itu tidak mengetahuinya. Dia juga tidak memiliki keahlian Tribe. Tapi kini
aku tahu akan mudah baginya untuk membunuh ayah kandungnya."
Yasu menepuk alas lantai dengan telapak tangan terbuka. "Bukankah sudah kukatakan kalau
anak itu bisa saja mengejutkan dirimu" Itu lelucon terbaik yang pernah ada selama bertahun-tahun..."
Sekonyong-konyong keempat orang itu tertawa gaduh.*
Halaman 588 dari 588 Kaede telah memutuskan untuk tinggal di Hagi selama musim dingin sampai anaknya lahir, dan
Shizuka serta Ishida tinggal ber?samanya. Mereka semua pindah dari kastil ke rumah lama
Lord Shigeru di tepi sungai: rumah itu menghadap ke selatan, menangkap semua sinar matahari
musim dingin, dan lebih mudah dibuat hangat selama hari-hari yang panjang dan dingin. Chiyo masih
tinggal di sana, semakin bungkuk, usianya sudah di ambang senja tapi masih mampu menyeduh teh
obat serta menceritakan tentang masa lalu, dan apa yang dilupakan?nya diisi oleh Haruka, tetap
ceria dan gamblang seperti dulu. Kaede mengundur?kan diri dari publik. Takeo dan Shigeko sudah pergi
ke Yamagata; Maya dikirim bersama gadis Muto, Sada, ke Maruyama, kepada Taku; sedangkan
Miki pergi ke desa Tribe di Kagemura. Kaede senang memikir?kan kalau ketiga putrinya sibuk
dengan pelatihan serius semacam itu, dan sering
mendoakan agar mereka mengembangkan dan mengendalikan berbagai bakat yang mereka
miliki, dan agar dewa-dewi me?lindungi mereka dari bahaya. Lebih mudah, pikirnya sedih,
menyayangi si kembar dari jauh, saat kelahiran mereka yang tak wajar dan bakat aneh bisa tak diacuhkan.
Kaede tidak kesepian karena selalu ada yang menemani: Shizuka, kedua bocah, dan juga
hewan peliharaan putrinya, kera dan anjing. Dengan ketidakhadiran ketiga putri?nya, Kaede
mencurahkan kasih sayangnya pada keponakannya. Sunaomi dan Chikara juga menikmati kepindahan itu,
jauh dari formalitas kehidupan di kastil. Mereka ber?main di tepi sungai. "Seakan Shigeru dan Takeshi
hidup kembali," ujar Chiyo dengan berlinang air mata selagi mendengarkan teriakan anak-anak dari
taman atau langkah kaki mereka di atas nightingale floor. Kaede merengkuh perutnya yang
membuncit dan memikirkan janin yang tumbuh di dalamnya. Kelak putranya akan menjadi pewaris Shigeru,
pewaris sah Klan Otori. Beberapa kali dalam seminggu Kaede mengajak kedua anak itu ke biara. Ia telah berjanji
pada Shigeko untuk mengawasi Tenba dan kirin. Ishida turut menemani karena rasa sayangnya pada kirin kian bertambah.
Mori Hiroshi memberi pelana dan tali kekang pada Tenba dan mengang?kat Sunaomi ke pelana, lalu
Kaede menuntunnya berjalan mengelilingi padang rumput. Kuda itu sepertinya mencium
sesuatu dari tubuhnya yang hamil dan senang berjalan perlahan di samping Kaede, dengan cuping hidung
merekah, sesekali mengusap?usap dengan hidungnya.
"Apa aku ini indukmu?" Kaede memarahi?nya dengan lembut, sambil berdoa semoga anak
lakilakinya akan sepemberani dan setampan kuda itu. Kaede mengingat kudanya, Raku, dan Amano
Tenzo: kedua?nya sudah lama tiada, namun roh mereka akan tetap hidup selama ada kudakuda
Otori. Kemudian Shigeko mengirim surat agar kuda itu dikirim padanya karena telah memutuskan
untuk dihadiahkan kepada ayahnya, seraya meminta ibunya agar tetap merahasiakannya. Tenba
segera dikirim ber-sama pemuda pengurus kuda dengan naik kapal ke Maruyama. Kaede dan Ishida
men?cemaskan kalau kirin akan panik saat
temannya pergi nanti. Kirin memang tampak kurang bersemangat, tapi ini justru makin
meningkatkan rasa sayangnya pada teman manusianya.
Kaede sering menulis, karena ia sangat senang menulis membalas surat yang ditujukan untuk
suaminya; menulis surat pada Shigeko dan Miki, mendesak mereka belajar dengan rajin dan
mematuhi guru; kepada adik-adiknya, menceritakan pada Hana tentang kesehatan serta
kemajuan kedua putranya dan mengundang mereka datang pada musim semi.
Tapi Kaede tidak menyurati Maya karena Maya tinggal di tempat rahasia di Maruyama, dan
adanya surat justru malah membahaya?kan dirinya.
Halaman 589 dari 589 Kaede pergi ke biara lain; bekas rumah Akane, dan mengagumi bentuk ramping dan anggun
dari patung kayu yang dikelilingi rumah yang baru dibangun.
"Dia mirip Lady Kaede," ujar Sunaomi, karena Kaede selalu memaksanya turut ke tempat dia
pernah dipermalukan dan ketakutan. Sunaomi berhasil meraih kembali kepercayaan dirinya, tapi
Kaede masih melihat sisa-sisa rasa malu dan luka yang
membekas, dan berdoa agar arwah sang dewi muncul menyembuhkan segalanya.
Tak lama setelah Takeo pergi ke Yamagata, Fumio kembali. Selama ketidak?hadiran Takeo dan
penarikan diri Kaede, Fumio beserta ayahnya bertindak sebagai wakilnya. Satu dari masalah
yang meng-ganggu dan alot adalah apa yang harus dilakukan dengan kedatangan orang-orang asing
yang mengganggu dari Hofu. "Bukannya aku tidak suka pada mereka," kata Fumio pada Kaede suatu sore pada pertengahan
bulan kesepuluh. "Seperti yang kau tahu, aku sudah terbiasa dengan orang asing; menikmati
kehadiran mereka serta menurutku mereka itu menarik. Tapi kian hari kian sulit untuk tahu apa yang
The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mesti kulakukan. Mereka sangat gelisah; dan kurang senang saat tahu Lord Otori tidak di Hagi lagi.
Mereka ingin bertemu dengannya; mereka mulai tidak sabar. Aku sudah katakan kalau aku tidak bisa
memutuskan sampai Lord Otori kembali ke Hagi. Mereka minta penjelasan mengapa tidak
boleh ke Yamagata sendiri." "Suamiku tak ingin mereka bepergian ke seluruh penjuru negeri," sahut Kaede.
"Makin sedikit yang mereka tahu tentang kita, makin baik."
"Aku setuju"dan aku tak tahu kesepakatan apa yang mereka buat dengan Zenko. Dia
membiarkan mereka pergi dari Hofu, tapi aku tidak tahu apa tujuannya. Kuharap mereka mengirim surat
yang dapat mengungkap sesuatu, tapi jurubahasa mereka tak bisa menulis sesuatu yang bisa dibaca
oleh Zenko." "Ishida bisa menawarkan diri untuk men?jadi jurutulis mereka," saran Kaede. "Itu bisa
membantumu agar tidak kesulitan menga?caukan surat-surat mereka."
Mereka saling bertukar senyum.
"Mungkin Zenko hanya ingin menying?kirkan mereka," lanjut Kaede. "Sepertinya semua orang
menganggap mereka sebagai beban."
"Kendati demikian, banyak juga manfaat yang bisa kita ambil dari mereka"ilmu pengetahuan
dan kekayaan, selama mereka bisa dikendalikan, bukan sebaliknya."
"Demi tujuan itu aku harus segera belajar bahasa mereka," ujar Kaede. "Kau harus bawa
orang-orang asing itu dan juru?bahasanya ke sini."
"Kegiatan itu tentu bisa memberi mereka kesibukan sepanjang musim dingin," ujar Fumio
setuju. "Aku akan berikan kesan betapa besar kehormatan bagi mereka bisa diundang bertemu Lady Otori."
Pertemuan itu lalu diatur, dan Kaede me?nemukan dirinya menanti dengan perasaan takut:
bukan karena orang-orang asing itu, tapi karena ia tidak tahu bagaimana bersikap pada jurubahasa
mereka: anak dari keluarga petani, perempuan dari rumah pelacuran, pengikut kepercayaan Hidden,
dan adik perempuan suaminya. Kaede tak ingin ber?hubungan dengan bagian hidup Takeo yang satu ini.
Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan pada orang seperti itu. Semua nalurinya, ditambah
dengan kehamilannya, memperingatkan dirinya akan hal itu. Tapi ia telah berjanji pada Takeo untuk
mempelajari bahasa orang asing, dan menemukan cara lain.
Ia mengakui kalau dirinya juga ingin tahu: terutama, katanya pada diri sendiri, tentang orangorang
asing dan kebiasaan mereka, tapi ia lebih ingin melihat seperti apa adik perempuan Takeo.
Hal pertama yang terlintas di benaknya, sewaktu Fumio menunjukkan jalan pada dua laki-laki
berbadan besar, diikuti oleh perempuan bertubuh kecil, masuk ke dalam ruangan, yaitu
perempuan itu tidak mirip suamiku. Ia yakin tak seorang pun akan men?curigai hubungan tersebul. Kaede
Halaman 590 dari 590 menyam?but dengan bahasa resmi pada para laki-laki. Mereka membungkuk hormat sambil
berdiri, sebelum Fumio memberitahu kalau mereka seharusnya duduk.
Kaede duduk dengan punggung bersandar ke dinding panjang ruangan itu, menghadap ke
beranda. Pepohonan yang tersentuh oleh kepingan salju pertama terlihat begitu indah. Hamparan daundaun
yang berwarna merah tui berserakan di tanah, kontras dengan bebatuan keabu-abuan serta
warna lentera. Di sebelah kanan Kaede, sebuah gulungan kaligrafi hasil karyanya sendiri digantung di
ruang kecil yang terpisah. Isi gulungan itu adalah puisl kesukaannya tentang belukar semanggi di
musim gugur, yang merupakan asal nama kota Hagi. Kiasan pemandangan yang indah itu amat
memesona orang-orang asing beserta jurubahasanya.
Orang asing itu duduk dengan canggung.
Mereka harus melepas alas kaki di luar, dan Kaede memerhatikan sarung ketat yang melekat
di kulit yang menutupi kaki mereka. Pakaian luar mereka aneh, berbentuk gembung, membuat
pinggul dan bahu mereka kelihatan membesar. Bahannya ber?warna hitam, dengan tambalan berwarna
di?jahitkan ke dalamnya: kelihatannya bukan dari sutra, katun maupun rami. Perempuan itu
merangkak ke samping Kaede, kepalanya menyentuh tikar, dan tetap menunduk.
Kaede mengamati secara sembunyi?sembunyi pada kedua laki-laki tersebut, sadar akan bau
mereka yang terasa asing dengan rasa jijik. Ia juga menyadari kalau pe?rempuan di sampingnya itu
memiliki tekstur rambut dan warna kulit yang mirip Takeo. Kenyataan itu membuat Jimtungnya
ber?debar kencang. Perempuan ini memang adik suaminya. Sesaat Kaede mengira kalau ia harus
bereaksi"tak tahu apakah harus menangis atau tak sadarkan diri"tapi untungnya Shizuka datang dengan
membawa mangkuk teh dan kue kedelai manis. Kaede berhasil mengendalikan dirinya lagi.
Perempuan itu, Madaren, justru lebih ter?cengang. Dia menerjemahkan begitu pelan
dan tidak jelas hingga kedua pihak tidak tahu apa yang diucapkannya. Mereka pura-pura
bertutur kata serta bersikap sopan; menerima hadiah; kedua orang asing itu sering tersenyum"agak
menyeramkan"dan Kaede bicara selembut dan membungkuk seanggun mungkin. Fumio sudah
mengenai beberapa kata bahasa orang asing itu, dan meng?gunakan semuanya, sementara
semua orang mengatakan Terima kasih, Dengan senang hari, dan maaf berulang kali dalam bahasa
mereka. Status salah satu dari kedua orang itu, ber?nama Don .loao, membingungkan: ksatria sekaligus
pedagang, Se-dangkan yang satu lagi adalah pendeta. Butuh waktu lama untuk bercakapcakap
karena Madaren begitu khawatir akan menyinggung Lady Otori. Dia bicara sangat berbeliibelit dan
penuh hormat. Setelah beberapa percakapan yang panjang soal tempat tinggal dan
ke?butuhan orang-orang itu, Kaede menyadari musim dingin mungkin berlalu tanpa ia bisa belajar apaapa.
"Ajak keluar dan perlihatkan taman pada mereka," katanya pada Fumio. "Perempuan ini tetap
di sini bersamaku." Kaede menyuruh semua orang pergi. Shizuka menatap penuh tanya sewaktu mengundurkan
diri. Para laki-laki kelihatannya cukup senang bisa keluar, dan selagi mereka bicara dengan keras
tapi bernada ramah, mungkin mereka bicara soal taman, Kaede mendekati Madaren.
"Jangan takut. Suamiku sudah mencerita?kan siapa dirimu. Sebaiknya tidak ada orang lain
yang tahu tentang ini. Demi suamiku aku akan menghormati dan melindungimu."
"Keramahan Lady Otori terlalu agung bagi orang seperti diriku," Madaren mulai bicara, tapi
Kaede menghentikannya. "Aku ada satu permintaan padamu"dan kedua laki-laki terhormat yang kau layani. Kau telah
mempelajari bahasa mereka. Aku ingin kau mengajariku. Kita akan belajar setiap hari. Kelak
saat aku telah lancar bicara bahasa itu, aku akan mempertimbangkan semua permintaan mereka.
Makin cepat aku belajar, makin besar kemungkinan semua hal itu dilaksanakan. Kuharap kau mengerti
maksudku. Salah satu dari mereka harus ikut denganmu, karena aku juga harus belajar tulisan mereka,
tentunya." Halaman 591 dari 591 "Aku hanyalah orang rendahan dari Was yang terendah, tapi aku akan lakukan semampuku
untuk memenuhi keinginan Lady Otori." Madaren menyembah lagi.
"Madaren," kata Kaede, mengucapkan nama aneh itu untuk yang pertama kalinya. "Kau akan
menjadi guruku. Jangan terlalu bersikap formal."
"Anda baik sekali," ujar Madaren. Dia ter?senyum tipis saat duduk tegak.
"Kita akan mulai belajar besok," kata Kaede.
*** Madaren datang setiap hari, menyeberangi sungai dengan perahu dan berjalan melewati
jalan-jalan sempit ke rumah di tepi sungai. Belajar setiap hari menjadi bagian dari rutinitas kediaman
itu, dan ia menyatu dengan iramanya. Si pendeta"Don Carlo" datang dua kali seminggu untuk mengajari
kedua perempuan itu menulis apa yang disebutnya abjad, menggunakan kuas yang paling
tipis. Rambut dan janggut kemerahan, serta mata hijau biru pucat bak air laut, laki-laki
itu menjadi sasaran keingintahuan dan keheranan. Dia biasanya datang dengan dibuntuti
anak-anak dan orang-orang dewasa yang tidak punya hal lebih baik yang bisa dikerjakan. Don Carlo juga
sama ingin tahunya, sesekali dia mendekati anak-anak lalu memeriksa pakaian dan alas kaki
mereka. Dia juga mengamati setiap tanaman di taman. dan sering mengajak Madaren pergi ke sawah
untuk bertanya pada para petani tentang hasil panen dan musim. Dia menyimpan banyak buku
catatan, yang di dalamnya dibuat daftar kata dan sketsa bunga, pohon, bangunan dan alat pertanian.
Kaede melihat sebagian besar kegiatan ini karena Don Carlo mengajak mereka berdua sebagai
sarana belajar bahasa, dan kerapkali membuat sketsa untuk menjelaskan sebuah kata. Orang
itu benar-benar pandai, dan Kaede malu sekaligus kagum karena saat pertama kali bertemu ia
berpikir kalau orang ini hampir bukan manusia.
Bahasanya sulit: segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa itu sepertinya terbolak-balik,
dan sukar untuk mengingat bentuk maskulin dan feminin dan cara kata kerjanya berubah. Suatu
hari ketika Kaede merasa putus asa, ia berkata pada Madaren, "Aku takkan menguasai bahasa ini. Aku tak tahu
bagaimana kau mempelajarinya." Ini menyakitkan hatinya: Madaren, perempuan dari kalangan
rendah dan tidak ber-pendidikan, bisa begitu fasih menguasai bahasa itu.
"Aku belajar dalam keadaan terpaksa, bukan pilihan," sahut Madaren. Begitu sudah bisa
mengatasi rasa malu, sifat aslinya mulai muncul. Percakapan mereka menjadi lebih santai, terutama
saat ada Shizuka. "Aku membuat Don Joao mengajariku di tempat tidur."
Kaede tertawa, "Kurasa suamiku tak memikirkan itu."
"Don Carlo masih belum punya pasangan," goda Shizuka. "Mungkin aku bisa meniru caramu."
"Tampaknya Don Carlo tidak punya hasrat terhadap perempuan"ataupun laki?laki," kata
Madaren. "Bahkan dia sama sekali tidak menyetujuinya. Di matanya, bercinta adalah yang disebutnya
dosa" dan cinta antar laki-laki khususnya, mengejutkan bagi?nya."
Itu merupakan pemikiran yang baik
Shizuka maupun Kaede tidak terlalu me?mahaminya.
"Barangkali saat aku sudah lebih me?mahami bahasa mereka, Don Carlo akan
menjelaskannya," seloroh Kaede. "Jangan pernah bicarakan hal semacam itu dengannya," kata Madaren dengan nada memohon.
"Itu akan membuatnya sangat malu."
"Pastinya begitu. Dia menghabiskan banyak waktu untuk berdoa, dan acapkali membaca
dengan suara keras kitab sucinya demi meraih kesucian dan pengendalian nafsu dalam dirinya."
"Tidakkah Don Joao memercayai hal yang sama?" tanya Shizuka.
Halaman 592 dari 592 "Sebagian dari dirinya percaya pada hal yang sama, tapi hasratnya lebih kuat. Dia memuaskan
dirinya sendiri, kemudian membenci dirinya karena hal itu."
Kaede penasaran apakah perilaku aneh ini menular pada Madaren, tapi tak ingin bertanya
secara langsung. Kaede mengamati lekat-lekat ketika kedua orang asing hadir, dan berpikir kalau
mereka berdua memang membenci Madaren, meski mereka mem?butuhkan keahlian dan bergantung
kepadanya. Kaede berpikir kalau hubungan itu aneh dan terbolak-balik, dengan mani?pulasi,
bahkan eksploitasi, dari kedua belah pihak. Kaede menemukan dirinya ingin tahu tentang masa lalu
Madaren, betapa aneh perjalanan hidup yang telah membawa dia ke tempat ini. Seringkali saat mereka
hanya berdua, ia berada di ambang keraguan untuk bertanya pada Madaren bagaimana Takeo ketika
masih kecil. Namun pertanyaan ber?sifat pribadi semacam itu bisa dianggap terlalu mengancam.
Musim dingin tiba. Bulan kesebelas mem?bawa hawa dingin yang menggigit; meskipun sudah
memakai baju berlapis-lapis dan ada tungku batu bara agar tetap hangat. Kaede tak berani
lagi berlatih pedang bersama Shizuka: kenangan buruk tentang keguguran bayinya selalu melekat
di benaknya, dan ia sangat takut akan kehilangan bayinya ini. Terbungkus karpet bulu, Kaede tak
bisa melakukan banyak hal selain belajar dan bicara dengan Madaren.
Tepat sebelum rembulan di bulan kesebelas muncul, surat berdatangan dari Yamagata. Ia
hanya berdua dengan Madaren; Shizuka mengajak kedua cucunya pergi
melihat kirin. Kaede meminta maaf karena menghentikan pelajaran kemudian segera pergi ke
ruang belajarnya sendiri"ruangan tempat Ichiro membaca dan menulis"dan membaca surat-surat
itu di sana. Takeo menulis panjang lebar"atau tepatnya mendiktekan, karena dia kenal tulisan
tangan Minoru"tentang semua keputusan yang telah diambil. Masih banyak persiapan yang harus
dibicarakan dengan Kahei dan Gemba tentang kunjungan ke ibukota: Takeo masih menunggu
kabar dari Sonoda tentang peneri?maan utusan pembawa pesan. Takeo merasa berkewajiban untuk
melewatkan Tahun Baru di sana.
Kaede sangat kecewa: ia berharap Takeo akan kembali sebelum salju menutup jalur
pegunungan. Kini ia merasa khawatir kalau keberangkatan suaminya akan tertunda hingga salju mencair.
Ketika kembali pada Madaren, perhatiannya teralihkan.
"Apakah Lady Otori mendapat kabar buruk dari Yamagata?" tanya Madaren se?waktu Kaede
membuat kesalahan pelajaran dasar untuk yang ketiga kalinya.
"Tidak juga. Semula aku berharap suamiku akan kembali lebih awal, itu saja."
"Lord Otori baik-baik saja?"
"Kesehatannya baik-baik saja, terima kasih Surga." Kaede berhenti sejenak lalu berkata, "Kau
memanggilnya dengan nama apa, saat kalian masih kecil?"
"Tomasu, tuanku."
"Tomasu" Kedengarannya aneh sekali. Apa artinya?"
"Itu nama salah satu guru besar di kalangan Hidden." "Dan Madaren?"
"Madaren adalah perempuan yang, kata?nya, mencintai putra Tuhan saat beliau berjalan di
bumi." "Apakah putra Tuhan itu mencintai perempuan itu?" tanya Kaede, seraya meng?ingat-ingat
percakapan mereka sebelumnya.
"Beliau mencintai kita semua," sahut Madaren serius.
Saat itu ketertarikan Kaede bukanlah pada kepercayaan orang Hidden, melainkan pada
suaminya
The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang tumbuh dewasa di lingkungan mereka.
"Kurasa kau tak ingat banyak tentang suamiku. Waktu itu kau pasti masih kecil."
"Dari dulu dia memang berbeda," tutur Madaren perlahan. "Itu yang paling kuingat. Wajahnya
tidak mirip dengan kami se Halaman 593 dari 593 keluarga, dan sepertinya tidak berpikir dengan cara yang sama. Ayahku sering marah padanya;
ibu pura-pura marah, tapi ibu sayang sekali padanya. Aku selalu mengusik?nya. Aku ingin dia
memerhatikan aku. Kurasa itu sebabnya aku mengenalinya se?waktu bertemu di Hofu. Aku
selalu memimpikannya. Aku selalu memanjatkan doa baginya."
Madaren terdiam, seolah takut sudah terlalu banyak bicara. Kaede pun agak terperanjat,
meski ia tidak tahu apa sebabnya. "Sebaiknya kita mulai lagi pelajaran kita," ujar Kaede dengan suara yang lebih tenang.
"Tentu saja, tuanku," sahut Madaren patuh.
Malam itu salju turun dengan lebat, hujan salju pertama tahun itu. Kaede terjaga di pagi
harinya dengan cahaya putih yang terasa asing, dan hampir menangis. Karena itu artinya jalan pasti
sudah ditutup, dan Takeo akan tetap di Yamagata sampai musim semi.
*** semakin sadar harus tahu apa yang mereka percayai, untuk bisa memahami mereka. Don
Carlo nampak juga bersemangat untuk dapat membuat ia memahaminya. Ketika akhirnya salju
turun, lakilaki itu tidak bisa ke sawah untuk melakukan penelitiannya, maka dia makin sering datang
bersama Madaren dan percakapan mereka menjadi lebih mendalam lagi.
"Don Carlo memerhatikan aku dengan cara laki-laki normal memandang perem?puan,"
komentarnya pada Shizuka. "Mungkin dia harus diperingatkan tentang reputasimu!" sahut Shizuka. "Pernah ada satu saat
ketika hasrat berarti kematian bagi laki?laki mana pun!"
"Aku telah menikah enam belas tahun, Shizuka! Kuharap reputasiku sudah dilupa?kan.
Lagipula itu bukan nafsu, karena kita tahu Don Carlo tak merasakan desakan semacam itu."
"Kita tidak pernah tahu itu! Kita hanya tahu kalau dia tidak menanggapi hasratnya." Shizuka
menjelaskan. "Tapi bila kau mau dengar pendapatku: kurasa dia berharap bisa mengambil
hatimu dengan agamanya. Dia tak menginginkan tubuhmu; dia meng
inginkan jiwamu. Dia sudah mulai bicara tentang Deus, kan" Juga menjelaskan tentang agama di
negaranya?" "Sungguh aneh," ujar Kaede. "Apa bedanya baginya atas apa yang kupercayai?"
"Mai, gadis yang kukirim untuk bekerja pada mereka, mengatakan nama Lady Otori sering
disebut dalam perbincangan mereka. Meskipun Mai belum memahami bahasa mereka dengan
sempurna, tapi dia merasa kalau mereka berharap bisa mendapatkan keuntungan dan pengikut dalam jumlah
Suling Emas Dan Naga Siluman 2 Pendekar Kembar 2 Kencan Di Ujung Maut Tapis Ledok Membara 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama