Ceritasilat Novel Online

The Heike Story 10

The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa Bagian 10


"Selamat jalan, sampai berjumpa di lain waktu," seru Yomogi, meninggalkan Asatori dan menghilang di balik gerbang rumah peristirahatan itu.
o0odwkzo0o Bab XXXIII-SEKUNTUM PEONI PUTIH
Lenguhan sesekali terdengar dari sudut sebuah tanah lapang tempat pasar digelar pada siang hari. Seekor kerbau gelisah memanggil pasangannya di tengah kegelapan malam, dan jejakan kakinya menambah kegelapan di sekelilingnya. Satu-satunya cahaya yang ada berasal dari sebuah gubuk yang digunakan oleh beberapa orang pria untuk berjudi. Ruangan sempit itu pengap oleh asap lentera dan aroma sake, dan gemerincing uang logam terdengar meningkahi suara-suara parau. Beberapa orang pedagang terlihat di antara para penggembala sapi dan pejudi ulung, berlomba-lomba menetapkan taruhan yang lebih tinggi.
Peluh mengalir di wajah serius mereka, dan mata mereka membelalak setiap kali dadu bergulir.
Tomizo menggeram. "Masih sama saja" Apa gunanya, kalau begitu" ... Belum selesai juga?" Marah dan menyesali kekalahannya, Tomizo bersandar ke dinding papan tipis dan menopangkan kepala ke sebuah bantal kayu. Beberapa saat kemudian, dia duduk dan meraih guci sake sembari menggumam, "Mengapa semua yang kulakukan akhir-akhir ini sia-sia. Aku tak mengerti ?" Tomizo menenggak sisa sake di guci, lalu menggeleng perlahan dan mengernyitkan wajahnya; dia menepuk-nepuk pahanya, tidak mampu melarikan diri dari kegelisahan yang menyiksanya. Tokiwa
adalah ujung pangkal dari rangkaian nasib buruknya, pikirnya. Dia telah bertindak bodoh dengan melaporkan tentang keberadaan Tokiwa ke Rokuhara. Dia tidak mendapatkan apa-apa dari tindakan itu ... tidak sepeser pun. Lebih buruk lagi, mereka memenjarakannya dan baru melepaskannya setelah menghajarnya habis-habisan. Dia tentu akan melawan para penyiksanya seandainya itu akan membawanya langsung ke hadapan Kiyomori, namun itu tidak terpikir olehnya. Dan ketika dia mengeluh kepada teman-temannya tentang perlakuan buruk yang diterimanya, mereka malah mengolok-oloknya sehingga amarahnya semakin menggelegak. Dia juga sudah mendengar bahwa Tokiwa saat ini tinggal di suatu tempat di ibu kota, menikmati segala kemewahan dan kehormatan yang menyertai kedudukannya sebagai gundik Kiyomori.
Sake, wanita, judi ... sedikit demi sedikit, seluruh harta yang dimilikinya melayang. Hewan ternak yang tersisa di peternakannya telah terjual di pasar pagi itu. Dia berjudi lagi sesudahnya untuk menebus kekalahannya, namun justru mendapati dirinya semakin terbelit utang.
"Pinjami aku uang hingga hari pasar yang selanjutnya,"
pintanya, namun tidak seorang pun menanggapinya. "Hei, jangan menghinaku begitu! Aku punya keponakan ...
Tokiwa ... dan dia lebih berharga bagiku daripada seluruh uang yang ada di situ," geramnya sebelum berbaring kembali.
Ketika terbangun keesokan paginya, Tomizo mendapati dirinya sendirian. Dia mengusir lalat-lalat yang mengerumuni wajahnya, bangkit menguap, dan berjalan ke padang rumput yang telah bermandikan sinar matahari.
"Hei, Kame, bagaimana dengan kemarin" Bukankah aku sudah membayarmu?"
Kame, seorang penggembala sapi yang sehari sebelumnya ditugaskan oleh Tomizo untuk membuntuti Yomogi dan Asatori, keluar dari salah satu kandang dan memberikan keterangan yang diminta oleh Tomizo.
Karena hari pasar berikutnya telah mendekat Tomizo membutuhkan uang. Dia pun berangkat ke rumah peristirahatan Mibu, tempat tinggal Tokiwa. Di gerbang pelayan, dia mengumumkan kedatangannya, "Aku adalah paman majikan kalian, Tokiwa. Aku datang untuk menengoknya. Katakan kepadanya bahwa aku ada di sini."
Seorang pelayan menyampaikan pesan tersebut kepada Tokiwa Selagi Tomizo menunggu, Yomogi berjalan ke halaman sambil membawa seikat bunga dan mendadak gemetar begitu melihatnya.
"Oh, Yomogi, cantik sekali kau sekarang! Aku baru saja memberi tahu mereka tentang siapa diriku. Aku juga ingin memintamu untuk memberi tahu majikanmu bahwa aku telah datang untuk menengoknya. Hmm ... kalian tinggal di tempat yang asri dan tenang."
"Nyonya tidak ada di rumah ... beliau baru saja pergi."
"Apa?" "Nyonya sedang tidak ada di rumah."
"Kaupikir kau bisa membodohiku, ya?"
"Tetapi, ini benar; beliau sedang tidak ada di rumah!"
"Dasar pembohong cilik! Apa-apaan kau ini" Aku pamannya Cepat katakan kepada majikanmu bahwa aku ada di sini!" Tomizo memelototi gadis yang gemetar ketakutan itu.
Pelayan yang membawa pesan Tomizo muncul kembali, ditemani oleh seorang wanita tua. "Nyonya sudah sakit agak lama," kata si wanita tua dengan nada datar.
"Sakit" Itu memberiku lebih banyak alasan untuk menemuinya. Aku tidak bisa pergi sebelum berjumpa dengannya," Tomizo bersikeras, duduk di depan pintu tanpa menunjukkan tanda-tanda akan segera pergi.
Sementara itu, Yomogi menyelinap pergi. Pikiran pertama yang terlintas di benaknya adalah memanggil Mongaku, namun dia tidak tahu ke mana dia akan mencari biksu pengembara itu. "Asatoril" adalah orang kedua yang terpikir olehnya, namun dia ragu apakah pria itu bisa menjadi lawan yang seimbang bagi Tomizo. Kemudian, satu nama lagi terlintas di benaknya ... Bamboku!
Yomogi segera pergi ke toko di Jalan Kelima dan menemui Hidung Merah di sana.
"Astaga, ini kabar buruk! Nyonyamu pasti ketakutan!"
seru Bamboku. Dia segera memerintahkan agar kudanya disiapkan dan bergegas berangkat ke rumah peristirahatan di Mibu.
Mendengar ringkikan kuda di gerbang, Tomizo langsung berdiri dengan waspada. Tetapi, Bamboku hanya menatapnya tanpa ekspresi apa pun.
"Hei, kamu, siapa pun dirimu ... kemarilah sebentar."
Bamboku melambai kepada si pedagang sapi; seraya menjejalkan segenggam uang ke tangan Tomizo, Hidung Merah menepuk-nepuk punggungnya. "Sudahlah, lupakan saja ini! Jangan bertingkah seperti orang bodoh. Jika uang yang kauinginkan, kau akan mendapatkannya. Kau ingin sake, kau juga akan mendapatkannya. Langsung temui saja Bamboku di Jalan Kelima. Ya, sangat gampang jika kau
mau menemuiku," katanya, mendadak tertawa terbahak-bahak.
Takjub karena kebaikan hati Bamboku. Tomizo berkata dengan terbata-bata, "Saya tidak bermaksud buruk ...
datang kemari hanya untuk menengok keponakan saya tersayang. " Tidak akan menyampaikan kabar buruk apa pun kepadanya, namun penguasa Rokuhara
memperlakukannya dengan buruk, bukan" Ya, beliau memperlakukannya dengan sangat buruk"
Sambil menggumam tanpa arah, Tomizo menyelipkan uang yang diterimanya ke balik obi-nya dan pergi begitu saja. Tetapi, sesaat setelah dia melangkah keluar dari gerbang, sebuah pekikan ngeri terdengar. Hidung, yang berdiri di bagian dalam gerbang, berlari keluar sambil menjerit-jerit dan mengedarkan pandangan ke jalan. Tidak ada yang terlihat olehnya kecuali atap-atap peternakan di dekat situ yang berselimut kabut di bawah langit berbintang.
"Bawalah obor ... lentera juga boleh! Cepat!" Seru Hidung Merah sambil membungkuk untuk memeriksa badan Tomizo yang telah terpisah dari kepalanya. Di bawah cahaya beberapa buah lentera, dia memeriksa wilayah di sekitarnya dan melihat rumput dan batu yang basah oleh darah.
Siapakah yang telah membunuh Tomizo" Pekerjaan yang sangat rapi! Bamboku menggeleng, kebingungan. Para pelayan, bagaimanapun, saling mengangguk dan melontarkan tatapan penuh arti. Sesosok iblis ... hanya iblis yang bisa melakukannya.
"Ini tidak dilakukan oleh seorang ahli pedang biasa, dan dengan pedang biasa," gumam Bamboku. "Terlebih lagi, kepalanya hilang. " Ini urusan yang sama sekali tidak menyenangkan," lanjutnya. Mengabaikan keributan di
sekelilingnya, Bamboku menatap lekat-lekat cahaya lenteranya. Kemudian, dia menoleh ke arah para pelayan yang berkumpul di belakangnya dan berkata, "Ya, kita akan merahasiakan kejadian ini. Majikan kalian tidak boleh mendengar tentang ini, mengerti?"
Tepat ketika itu, Yomogi pulang membawa sebuah cerita menakutkan.
"Waktu saya tiba di sungai dan hendak menyeberangi jembatan, saya merasa mendengar bebek memercikkan air di bawah saya, namun waktu saya menunduk, yang terlihat adalah seorang pria yang sedang membungkuk untuk membilas pedangnya yang bersimbah darah, dan di sampingnya tergeletak sebuah kepala manusia! Saya terpaku di jembatan. Kemudian, dia mendongak dan memelototi saya. Mungkin sinar bulanlah yang menghadirkan kesan mengerikan, tapi saya yakin bahwa seumur hidup saya, baru kali inilah saya melihat wajah semenakutkan itu. Dan saya langsung secepatnya berlari pulang ".Tapi, oh, saya tak bisa melupakan tatapannya!"
"Seperti apakah pakaian orang itu?"
"Dia memakai mantel berburu dan topi samurai."
"Sepertinya dia masih cukup muda ... awal dua puluhan, mungkin."
"Semakin sulit untuk menebak-nebak," Bamboku menggumam, bersedekap.
Ketika diberi tahu bahwa pemuda yang dilihatnya barangkali adalah pembunuh Tomizo, wajah Yomogi sekonyong-konyong pucat pasi akibat ketakutan dan ketakjuban; kemudian, matanya berkaca-kaca dan air mata mengalir ke pipinya. Melihat hal ini, para pelayan yang lain memandanginya, kebingungan. "Mengapa kau menangis,
Yomogi" Dia memang paman majikanmu, tapi keadaan akan lebih baik jika dia disingkirkan dari sini. Kematian bajingan itu akan menghadirkan kebaikan kepada kita.
Majikanmu tentu akan lega jika mendengar tentang hal ini.
Tidak ada alasan bagimu untuk menangisinya."
Tetapi, Yomogi menggeleng dan mengatakan, "Saya tidak menangisi dia. Saya pergi ke Kapel Kannon setiap hari, dan saya yakin bahwa Kannon mendengar doa-doa saya. Saya baru sadar bahwa pemuda itu adalah penjelmaan dari Kannon, dan entah mengapa, itu membuat saya terharu."
Bamboku, bagaimanapun, tetap duduk dengan lengan bersedekap; dia menggeleng-geleng, kesulitan memercayai kejadian ini. Menurut cara berpikirnya, dibutuhkan lebih dari sekadar campur tangan Kannon untuk mewujudkan apa yang baru saja terjadi. Perkara lain juga meresahkannya. Sekali pun, Kiyomori tidak pernah terlihat lagi di rumah peristirahatan ini sejak dia memeriksanya lama berselang; Hidung bertanggung jawab atas Tokiwa.
Apakah yang menyebabkan perubahan sikap Kiyomori itu, pikir Bamboku, gundah. Dia juga khawatir. Tokiko memang sudah dengan jelas melarangnya menginjakkan kaki di Rokuhara, namun mengapa Kiyomori menjaga jarak darinya, atau dengan kata lain mengabaikannya"
Entah bagaimana, perhitungan Bamboku sepertinya meleset. Selama pergolakan terakhir, dia telah mempertaruhkan seluruh harta, reputasi, dan bahkan nyawanya untuk memastikan kemenangan
Kiyomori. Segala upayanya tampaknya sia-sia saja sekarang. Sudah saatnya dia mendapatkan balasan atas segala risiko yang telah diambilnya. Namun seluruh rencananya sepertinya terhambat oleh urusan hubungan gelap dengan Tokiwa ini, dan hari-hari musim semi
berkelebat dengan cepat, kecemasan semakin menyiksa Hidung Merah. Dia tidak tahu kapan Kiyomori akan mengunjunginya, dan apakah dirinya boleh mengunjungi Kiyomori ... tetapi, karena dia telah dilarang menginjakkan kaki di Rokuhara, bagaimanakah dia akan menemui Kiyomori" Ini membuahkan sebuah pertanyaan lain.
Hidung mendadak tergugah dari lamunannya dan menoleh kepada Yomogi dan para pelayan lainnya untuk menanyakan, "Apakah yang akan dilakukan oleh majikan kalian malam ini?"
"Beliau mungkin akan merapalkan ayat-ayat suci, seperti kebiasaannya."
"Baiklah, kalau begitu, aku akan pergi tanpa mengganggu beliau. Pastikan agar tidak seorang pun di antara kalian menceritakan tentang kejadian tadi kepada beliau."
Bamboku melangkah turun dari beranda dan memakai sandalnya, lalu berhenti cukup lama untuk mengintip dari balik pagar pada nyala lentera dari dalam kamar Tokiwa.
Dia bisa melihat Tokiwa dari sela-sela kerai, duduk di balik meja tulisnya. Seperti sekuntum peoni putih, pikir Hidung, yang layu pada malam musim semi. Dia mendesah. Patut disayangkan bahwa bunga secantik itu disia-siakan begitu saja ".Jika Kiyomori tidak berani datang kemari gara-gara istrinya, maka tidak ada alasan yang bisa mencegah Hidung Merah dari merebut Tokiwa untuk dirinya sendiri, pikirnya dengan gairah membara. Itu setidaknya adalah imbalan yang cukup atas semua kerepotan yang harus ditanggungnya ".
Beberapa hari kemudian. Hidung Merah berkunjung ke Rokuhara. Di gerbang yang berhadapan dengan sungai, dia menyuap penjaga yang dikenalnya, lalu menantikan kepulangan Kiyomori di antara pepohonan yang rimbun.
"Tuan, saya berharap bisa berbicara sebentar dengan Anda," panggil Bamboku ketika Kiyomori melewatinya.
Kiyomori berhenti dan menengok ke belakang. "Kau, Hidung ... kupikir kau katak besar yang hendak menyergapku. Ternyata dirimu! Mengapa kau tidak pernah menunjukkan hidungmu itu di sini akhir-akhir ini" Dasar brengsek," gerutu Kiyomori.
"Ini lebih daripada yang saya harapkan. Saya tidak menyangka Anda akan menerima saya dengan sehangat ini," jawab Bamboku.
Kiyomori tergelak. "Apa maksud perkataanmu itu?"
"Ini bukan bahan tertawaan. Tuan," Bamboku mengeluh. "Anda tentu tahu bahwa Nyonya
memerintahkan saya untuk tidak menginjakkan kaki lagi di sini?" "Ulu?"
"Bagaimana mungkin saya bisa datang kemari, jika begitu" Dan siapakah yang menjadi alasan bagi larangan itu, jika saya boleh bertanya, Tuan?"
"Tolol! Perintah Tokiko tidak ada hubungannya denganku, jika Tokiko melarangmu kemari, jangan masuk melalui gerbang perempuan lagi, Tolol!"
"Tetapi, beliau menekankan kepada saya bahwa perintah itu berasal dari Anda."
"Aku memberikan perintah semacam itu" Wanita selalu mengatakan apa pun yang mereka mau. Kau cukup berhati-hati agar dia tidak melihatmu. Nah, kau tidak kemari selama sebulan terakhir dan tidak mengabarkan tentang keadaan Tokiwa kepadaku. Dasar manusia tak berguna!
Dasar bajingan pemalas dan pengecut!"
"Ah, ternyata keresahan saya sia-sia saja. Anda ternyata jauh lebih pemaaf daripada yang saya sangka. Tuan!"
"Aneh juga, untuk orang selancang dirimu. Katakan kepadaku, apakah Tokiwa baik-baik saja" Dia sehat dan hidup nyaman di rumah itu, bukan?"
Walaupun diucapkan dengan nada bercanda, pertanyaan Kiyomori tentang kabar Tokiwa sarat dengan emosi. "Ada hal lain yang harus kusampaikan, tapi sebaiknya kita masuk terlebih dahulu," katanya, mempersilakan Hidung memasuki kamarnya. Kemudian, Kiyomori pun mulai bertanya lebih banyak tentang Tokiwa, seolah-olah berusaha mencari ketenangan dari jawaban-jawaban Bamboku. Kendati begitu, Bamboku bisa merasakan bahwa bukan larangan Tokiko, melainkan sesuatu yang lebih pentinglah yang menghalangi Kiyomori mengunjungi Tokiwa. Sudah jelas bahwa tugas-tugas Istana hanya menyisakan sedikit waktu baginya untuk mengurus kepentingan pribadinya. Untuk menjelaskan tentang kesibukannya akhir-akhir ini, Kiyomori menceritakan bahwa seorang panglimanya baru saja kembali dari sebuah ekspedisi melawan gerombolan perompak dan berhasil menangkap si kepala gerombolan. Kiyomori menanyai si perompak secara panjang lebar dan terpesona dengan luasnya pengetahuan mengenai dunia luar. Dari si perompak pulalah Kiyomori mendengar kisah tentang peradaban Sung yang menakjubkan.
Saat ini, Kiyomori tengah terpikat oleh sebuah cita-cita, yang bukan sekadar angan-angan, untuk melakukan perdagangan. Dia yakin bahwa dirinya akan berhasil ... dia telah menyusun sebuah rencana untuk menyebarkan kesenian dan kesusastraan melalui perdagangan dengan Cina. Impian ini semakin berkembang, mendorongnya untuk mengabaikan kemarahan Tokiko, dan bahkan
membuatnya hampir melupakan Tokiwa. Rencana itulah yang saat ini menghabiskan waktunya, dan nafisu birahinya untuk sejenak menguap dan lenyap.
Pada masa kejayaan Tadamorl, Heik6 menguasai sebagian besar tanah di bagian barat Jepang ... di antaranya adalah Harima, Bingo, Aki, dan Higo ... dan Tadamori secara diam-diam melakukan perdagangan dengan kapal-kapal dari C
ina; tetapi, perdagangan itu hanya dilakukan dalam skala yang sesuai dengan rencana Tadamori untuk menambah kekayaan keluarganya. Sekarang, Kiyomori ingin meneruskan perdagangan dengan Cina dalam skala yang jauh lebih ambisius.
?" Seperti yang kaulihat sendiri, Bamboku, penangkapan para perompak itu tidak ternilai harganya bagiku. Lihatlah kemari, Hidung Merah, picingkanlah matamu ke seberang lautan dan bayangkanlah keuntungan luar biasa yang bisa kita dapatkan dari berdagang di sana."
"Pembicaraan ini berbelok ke arah yang tidak pernah saya duga. Pikirkanlah keuntungan yang akan didapatkan oleh negeri ini jika kita membawa barang-barang dari Cina.
Sedangkan saya ... saya akan menjadi seorang pangeran saudagar! Tidak, saya tentu tidak akan berkeliaran ke sana kemari seperti ini lagi," Bamboku berandai-andai.
"Tetapi, intinya adalah ... " lanjut Kiyomori, "kita harus mencari cara untuk membawa kapal-kapal dari Cina langsung ke ibu kota. Percuma saja jika mereka harus menurunkan muatan di Kyushu."
"Betul juga. Jika tersebar kabar bahwa kapal-kapal itu membawa banyak muatan, para perompak bisa dipastikan akan menghadang mereka. Karena itulah belum ada saudagar yang mau melakukan perdagangan dengan Cina dari sini. Dengan adanya pelabuhan yang bagus dan setelah
Laut Dalam dibersihkan dari perompak, kita akan bisa mendatangkan kapal-kapal kemari."
"Nah, Bamboku, aku sudah memaparkan perkara ini kepadamu, dan untuk sementara ini, kau akan punya sesuatu untuk dipikirkan."
"Saya akan memikirkannya. Saya bisa melihat bahwa cita-cita ini akan membuat kita sibuk seumur hidup.
Tentunya Anda bisa menghabiskan waktu luang Anda, Tuan, untuk mencurahkan perhatian Anda ke beberapa tempat lain. Bunga yang Anda petik di pinggir jalan itu ...
sayang sekali jika Anda mengabaikannya begitu saja. Anda menyuruh saya memegangnya, dan saya tidak tahu harus melakukan apa untuknya. Apakah, Tuan, yang harus saya lakukan?"
"Aku akan berbicara denganmu tentang hal itu di lain waktu."
"Tidak sekarang" ... Di lain waktu, kata Anda?"
"Ya, urusan perdagangan yang baru saja kuceritakan ini
... semua itu menyedot pikiranku; begitu pula Istana ... ada beberapa masalah,
532 -tf? kau tahu. Aku tidak tahu apakah aku akan bisa membereskannya dengan cepat."
"Baiklah, jika begitu, malam ini saya bisa dengan santai menyampaikan ucapan Anda kepadanya, bukan?"
"Kau sudah memastikan bahwa dia tidak membutuhkan apa-apa?"
"Saya sendiri yang mengurus semua keperluannya."
"Aku akan mengirim puisi untuknya seandainya aku dikaruniai bakat menulis seperti ayahku ". Tidak ada darah pujangga yang mengalir di tubuhku."
"Ah, tidak, jika saya boleh mengatakannya. Tuan, Nyonya pernah menunjukkan kepada saya sebuah puisi dari Anda. Saya masih ingat ... bagaimana bunyinya" ?"
"Sudahlah, jangan bicarakan soal puisiku ". Bersama bulan Mei hujan akan turun, dan kau sebaiknya menjaga kesehatanmu."
"Apakah itu pesan yang harus saya sampaikan kepadanya?"
"Kau memang lancang! Mengapa kau harus mengulangi apa yang sudah kaupahami?"
"Maafkan saya. Tuan, jika saya memberikan satu lagi pertanyaan kepada Anda. Benarkah bahwa saya boleh datang kemari sesuka saya seperti dahulu?"
"Datanglah kapan pun kau mau," jawab Kiyomori sebelum menambahkan, "tetapi jangan sampai Tokiko tahu."
o0odwkzo0o Bab XXXIV-SEBUAH PATUNG PERAK
Pada suatu pagi buta di bulan Mei, ketika deretan bukit dan lembah masih berselimut kabut putih, Yomogi berdiri di luar rumah Hidung yang masih tertutup rapat di Jalan Kelima.
"Apakah yang sedang kaulakukan di sini sepagi ini,"
Bamboku, yang masih memakai kimono tidurnya, menatap
dengan mata nyalang kepada Yomogi dari ujung kepala hingga ujung sandalnya yang basah oleh embun.
"Maafkan saya karena datang sepagi ini, namun saya mendengar sebuah kabar buruk."
"Kau selalu datang kemari dengan membawa kabar terburuk. Ada apa sekarang ... pagi ini?"
"Kejadiannya kemarin, waktu saya hendak pulang dari kunjungan rutin saya ke Kuil Kiyomizu."
"Kau masih rutin pergi ke kuil, ya" Gadis baiki"
"Dan sepulangnya saya dari sana, saya mendapati Mongaku tengah menunggu saya di kaki bukit."
"Mongaku ... biksu berjanggut itu, ya?"
"Ya, dia akan pergi ke Air Terjun Nachi lagi bulan ini dan baru akan kembali ke ibu kota saat musim gugur, dan dia juga akan berziarah ke Kishu."
"Sejak kapankah kau mengenal pengembara itu" Kau sebaiknya berhati-hati kepadanya. Kudengar dia menyebarkan cerita bahwa dirinya pernah menjadi teman sekolah Tuan Kiyomori dan tidak pernah mengatakan yang baik-baik tentang beliau."
"Tetapi, dia orang baik. Dia selalu berbuat baik kepada kita."
"Biarpun begitu, kau tetap harus berhati-hati. Jadi, ada apa dengan si Mongaku ini?"
"Karena dia hendak pergi ke Kishu untuk waktu yang cukup lama, kami mengunjungi seorang teman kami ...
Asatori. Dan, waktu kami sedang mengobrol ke sana kemari, aku menceritakan kepadanya tentang pemuda yang kulihat sedang membilas darah dari pedangnya di sungai, dan Tomizo yang kepalanya terpenggal ?"
"Hmm ... lalu?"
"Lalu, Mongaku terkejut dan memperingatkan agar kita berhati-hati. Dia juga mengatakan bahwa sesuatu yang mengerikan akan menimpa majikan saya nanti ... sepertinya itu adalah ramalannya."
"Apa maksudnya mengatakan itu?"
"Katanya, si pedagang sapi itu bukanlah orang yang diburu oleh si pemuda. Dia membunuhnya karena kebetulan semata. Begitulah menurut Mongaku."
"Baiklah ... jadi, si pembunuh itu tentu bersembunyi di sana. Benar begitu?"
"Ya, kata Mongaku, orang itu sudah bersembunyi cukup lama di kebun Nyonya atau di suatu tempat di sekitar rumah."
"Mengagetkan ... benar-benar mengagetkan!"
"Tapi, Mongaku cukup yakin bahwa itulah yang terjadi.
Dia bahkan menyebutkan nama orang itu kepada saya."
"Siapakah namanya?"
"Saya tidak boleh mengatakannya kepada Anda."
"Saya sudah berjanji kepada Mongaku untuk tidak menyebutkan namanya kepada siapa pun. Kata Mongaku, sayang sekali jika namanya diketahui dan para prajurit Rokuhara menangkapnya."
"Apakah kau kemari sebagai pembawa pesan Mongaku atau suruhan majikanmu" Apakah yang mendorongmu untuk datang kemari?"
"Tunggulah sampai saya selesai bercerita, jangan membentak-bentak saya seperti itu!"
Yomogi adalah lawan yang sepadan bagi Hidung, yang gampang marah pada pagi hari, dan cerita tentang penjelasan Mongaku meluncur deras dari mulut gadis itu.
Nama pemuda itu, dia bersikeras, harus tetap dirahasiakan; dia adalah seorang pelayan Gen j i yang telah bersumpah untuk membalaskan dendam tuannya dengan cara membunuh Ibkiwa. Pemuda itu telah lama mengintai Tokiwa; dia bahkan bersembunyi di kebun di luar kamar Tokiwa, namun nyalinya melayang ketika dia akhirnya melihat calon korbannya. Mongaku telah berjanji kepada Yomogi untuk mengusir si pembunuh menggunakan sebuah mantra yang ditulisnya di atas selembar kertas. Dia memberikan kertas yang telah terlipat rapi itu kepada Yomogi dan dengan saksama memerintahkannya untuk menggantungkannya di tempat yang terlihat di pagar kebun.
Dia meyakinkan Yomogi bahwa jika kertas itu lenyap pada malam hari, maka mereka tidak perlu khawatir lagi. Hingga saat itu tiba, Mongaku berulang kali memperingatkannya, mereka harus melakukan apa pun untuk melindungi Tokiwa. Yomogi kemudian pulang dan melaksanakan perintah Mongaku, mengikatkan kertas itu ke batang bambu di pagar utara rumah, yang jarang dilewati orang.
?" Dan saya tidak bisa memejamkan mata sesaat pun semalam, memikirkan apakah kertas itu akan tetap ada di sana atau tidak pagi ini."
Yomogi berhenti bicara, walaupun dia sepertinya masih ingin bercerita, namun Bamboku telah berhasil menebak siapa pemuda itu.
"Dia pasti Konno-maru. Dia sudah lama bersembunyi di ibu kota bersama Genji Yoshihira."
"Oh, bagaimana Anda bisa tahu?"
"Siapa yang tidak tahu" Dan mantra Mongaku ... apakah masih ada di sana pagi ini?"
"Mantra itu sudah hilang."
"Seperti yang kuduga ?"
"Tapi, ada mantra lain yang menggantikannya." Yomogi mengeluarkan selembar kertas dan dengan cemas menatap Bamboku ketika pria itu membacanya.
Bamboku mengernyitkan keningnya dan membacanya beberapa kali. Tulisan tangan di kertas itu, yang basah oleh embun, nyaris tidak terbaca.
"Apakah katanya?"
"Sepertinya ini adalah jawaban untuk mantra Mongaku."
"Bagaimana dengan sihir yang kata Mongaku akan bekerja?"
"Apa! Kau percaya bahwa kata-kata si biksu akan mendatangkan sihir" Sepertinya dia malah menyemangati pembunuh itu."
"Oh, ini menakutkan ".Apakah yang akan kita lakukan, Bamboku, Tuan" Katakanlah kepada saya, Hidung ... "
"Hm" Dengan nama apa kau memanggilku?"
"Tidak ada. Tuan, saya hanya ... "
"Kau memang gadis berotak udang! Inilah jadinya jika kau berteman dengan Mongaku. Kejadian ini semestinya memberikan pelajaran untukmu!"
"Tetapi, jika bukan karena Mongaku, kita tidak akan tahu tentang orang jahat yang ingin membunuh majikan saya ini ... ataupun namanya. Sekarang, jika saya ... "
"Bah, ocehanmu itu! Kita semua tahu betapa kau menyayangi majikanmu, tapi kau seharusnya jangan terlalu cerewet"
"Mau tidak mau saya terus khawatir ". Saya tidak tahu akan melakukan apa lagi untuk meredakan kekhawatiran saya."
"Bagaimana kau akan tahu" Otakmu tidak lebih besar daripada otak burung gereja! Kembalilah kepada majikanmu dan hentikanlah ocehan mu itu!"
" ?" Penasihat Kiyomori diam-diam bermalam di Istana untuk menghadiri sebuah pertemuan rahasia yang berlangsung hingga pagi hari. Dia berhasil mencuri-curi tidur selama beberapa jam, dan sedang berjalan kembali ke aula Istana ketika seorang pejabat istana melihatnya dan bergegas menghampirinya untuk menyampaikan sebuah pesan yang ditinggalkan di Pos Pengawal. Seseorang bernama Bamboku dari Jalan Kelima, rupanya, berharap bisa berbicara dengannya dan tengah menantinya di perpustakaan.
"Bamboku" Apa maunya?" Kiyomori bertanya kepada dirinya sendiri dengan bingung. Masalah biasa tidak akan mendorong Bamboku untuk mencarinya ke Istana dan tidak akan cukup untuk membuatnya diterima di Istana.
Kiyomori pergi ke perpustakaan dan menemui Bamboku dan Itogo di sana.
Bamboku, yang jelas merasa istimewa karena diizinkan untuk berada di tempatnya berada ketika itu, bersujud dengan takzim dan, tanpa sikap meledak-ledak yang telah menjadi ciri khasnya. Dengan singkat, Bamboku, menyampaikan keyakinannya bahwa Tokiwa sedang
berada dalam bahaya, dan karena itulah dia memohon nasihat dari Kiyomori.
"Pemuda itu pasti Konno-maru, yang telah bersumpah akan membalas dendam kepada Heiki. Ini masalah yang sangat serius," jawab Kiyomori. Lalu, kepada Itogo,
"Bawalah prajurit-prajurit terbaikmu ke rumah peristirahatan di Mibu, kepung tempat itu, dan tangkaplah dia. Hanya ada satu tersangka ... seorang pemuda."
Sebelum meninggalkan mereka, Kiyomori
menambahkan, "Dan kau. Hidung Merah, pastikan agar dirimu terlindung dari bahaya. Jika ada apa-apa dengan Tokiwa, kaulah yang bertanggung jawab."
Hidung membungkuk dalam-dalam.
Pada pagi itu juga, dua ratus orang prajurit di bawah pimpinan Itogo berangkat ke rumah peristirahatan di Mibu.
Itogo memerintahkan kepada para prajuritnya untuk berpencar dan menyisir wilayah di sekitar rumah selangkah demi selangkah hingga seluruh tanah yang luas itu tersapu bersih.
Mungkin saja seseorang bersembunyi selama beberapa hari tanpa mengalami kesulitan apa pun di sana, di suatu tempat di dalam wilayah rumah peristirahatan ... yang mencakup sebuah danau buatan kecil dengan rumpun-rumpun pepohonan rimbun yang menyerupai hutan di sekelilingnya, dan juga sebentartg tanah yang dilewati seruas sungai kecil.
Para prajurit mengalami kesulitan dalam menembus rumpun-rumpun bambu dan pepohonan rimbun yang berbatasan dengan pagar rumah peristirahatan, namun selangkah demi selangkah, jaring manusia itu menjadi semakin ketat dan mustahil untuk ditembus. Akhirnya, Hidung, ditemani oleh beberapa orang prajurit, melewati
gerbang. "Dia tidak mungkin melarikan diri lagi sekarang,"
katanya. "Aku sendirilah yang akan menggeledah rumah.
Pastikan agar Nyonya Tokiwa tidak terganggu."
Setengah dari pasukan Itogo diperintahkan untuk menyisir bagian dalam rumah peristirahatan; mereka merangkak ke bawah rumah; beberapa orang prajurit memanjat ke atap; beberapa lainnya memeriksa isi sumur atau memanjat pohon-pohon. Kendati begitu, mereka tidak menemukan sedikit pun jejak si pembunuh. Seluruh pencarian itu sepertinya akan sia-sia saja, dan para prajurit yang kesal mulai berkeluh kesah. Tetapi, Hidung justru melipatgandakan upayanya. Dia yang akan disalahkan untuk kekacauan ini, karena dialah yang pertama kali meributkannya. Dia melampiaskan kemarahannya kepada Yomogi. "Konno-maru tidak ada di sini, bukan" Ini semua gara-gara cerita omong kosongmu itu! Lihatlah kekacauan yang sudah kaubuat!" raungnya ketika mereka berpapasan di ruang pelayan.
"Sudah, sudah, Hidung." seorang prajurit yang berdiri di dekat mereka berkata dengan jengkel, "untuk apa kau menyemprot gadis malang itu" Mari kita tutup hari ini. Lagi pula, para prajurit belum makan ?"
Itogo, yang telah letih, meninggalkan dua puluh orang anak buahnya untuk menjaga rumah peristirahatan.
Sekali lagi, Hidung memikirkan keseluruhan perkara ini.
Dialah yang harus melaporkannya kepada Kiyomori.
Dengan kesal, dia pun mengalihkan perhatian kepada Yomogi. "Dengar, sampaikanlah pesanku ini kepada nyonyamu. Katakanlah kepada beliau bahwa kamu menyesal karena telah mengganggunya dan menyebabkan kekacauan yang tidak diperlukan ini. Kami telah menempatkan penjaga baik di dalam maupun di luar rumah, jadi beliau tidak perlu mengkhawatirkan
kemungkinan adanya penyusup. Penyisiran menyeluruh telah dilakukan, dan beliau bisa percaya bahwa tidak ada orang asing yang bersembunyi di sini. Kau mengerti, bukan, Yomogi?"
"Ya, saya akan menyampaikannya kepada beliau."
"Aku akan pergi ke Rokuhara sekarang."
"Berhati-hatilah, Tuan."
"Sampaikan pesanku kepada majikanmu tanpa membumbuinya dengan kata-katamu sendiri. Jangan katakan apa-apa lagi kepada beliau."
"Saya benar-benar tidak secerewet yang Anda duga. Lagi pula, siapakah yang harus diam kali ini?"
"Kau mulai lagi! Mengoceh dan mengoceh ?"
"Yah, baiklah, saya tidak akan mengatakan apa-apa lagi.
Saya tidak akan mengucapkan sepatah kata pun bahkan jika sesuatu betul-betul terjadi!"
"Terserah kau saja. Lagi pula, kau tidak akan banyak berarti. Para prajurit akan berjaga-jaga di sini mulai malam ini, jadi kau tidak perlu khawatir lagi. Dan ingat, jangan mengoceh ke sana kemari lagi saat kau keluar dari sini.
Ocehanmu itu tidak berguna. Ingat itu!"
"Itu saja?" Yomogi cemberut, memalingkan wajahnya dari Hidung.
Dua batang pohon ek besar berdiri dengan cabang-cabang terentang bagaikan payung di atas sebuah lorong, yang menghubungkan salah satu sayap dengan bangunan utama dan berujung di salah satu sisi halaman dalam rumah peristirahatan. Dedaunan baru dan sisa-sisa dedaunan layu dari tahun lalu saling jalin berkelindan dan membentuk selimut tebal nan rapat. Konno-maru meregangkan badan
dan mendesah lega ketika melongok ke bawah dari dalam sarangnya. Cabang-cabang pohon yang saling berjalin memungkinkannya untuk berselonjor atau bahkan berbaring di antara dedaunan. Dia telah bersembunyi di sana sepanjang hari sementara para prajurit Itogo melakukan pencarian. Dia telah menyusun rencana, apabila tempat persembunyiannya ditemukan, untuk melarikan diri melalui cabang pohon yang berdekatan dengan atap rumah.
Hari telah gelap, dan dia bisa melihat beberapa api unggun dinyalakan di sepanjang pagar.
Dia mengingat-ingat rangkaian peristiwa selama beberapa hari terakhir, menyalahkan dirinya sendiri atas sikap pengecutnya. Beberapa kesempatan untuk menunaikan sumpahnya telah datang, namun nyalinya menciut setiap kali dia hendak bertindak. Sekarang, dia merasa lebih mudah untuk memikirkan apa yang akan dilakukannya selanjutnya: dia akan membunuh Tokiwa malam itu juga tanpa perlu memikirkan keselamatannya sendiri. Dia menunggu hingga malam larut dan semua orang tidur. Menjelang tengah malam, Konno-maru merayap turun dari atas pohon bagaikan seekor laba-laba dan mengendap-endap ke sebuah kamar yang masih diterangi oleh nyala sebuah lentera. Dia sudah menghafal denah rumah itu, dan dia tahu bahwa kamar itu ditempati oleh Tokiwa. Dia melompati langkan dan menyusuri sebuah lorong, lalu berjongkok di dekat sebuah pintu. Pintu itu terkunci. Dia bisa dengan mudah membongkar kuncinya memakai belati dan mendobrak pintu itu, walaupun keributan yang timbul bisa dipastikan akan mendatangkan para pelayan dan prajurit; tetapi, sebelum mereka datang, dia tentu telah menikam Tokiwa. Apa yang akan terjadi padanya sesudah itu tidak perlu dipikirkannya.
Selagi pikiran itu berkecamuk di benaknya, sebuah suara mengejutkannya.
?" Siapa di situ?"
Itu adalah suara seorang wanita. Cahaya memancar dari kerai yang terangkat, dan gemerisik sutra terdengar menghampiri pintu; Konno-maru cepat-cepat menjauh.
Pintu terbuka dan wajah pucat Tokiwa terlihat, diterangi oleh lentera yang dipegangnya.
"Apakah kau Konno-maru?" tanya wanita itu.
Konno-maru memekik kaget dan berdiri terpaku.
Tokiwa, bagaimanapun, tidak menunjukkan tanda-tanda keterkejutan ataupun ketakutan. Kata-katanya yang selanjutnya meluncur dalam bisikan.
"Konno-maru, aku yakin itu dirimu ... pelayan kesayangan Tuan Yoshitomo. Kemarilah ... kemari ...
jangan sampai orang lain mendengar pembicaraan kita,"
kata Tokiwa, melambai ke arah Konno-maru.
Tokiwa menyibakkan tirai sutra di depan pintunya dan masuk kembali ke kamarnya, diikuti oleh Konno-maru, yang berjongkok di salah satu sudut kamar.
Tokiwa perlahan-lahan menutup pintu. Sumbu lentera memancarkan cahaya cemerlang; di atas meja tulis tergeletak ayat-ayat suci yang sedang disalin oleh Tokiwa.
Tokiwa mendengar tentang Konno-maru dan tujuan hidupnya dari Yomogi, namun hal itu tidak mengusiknya; dia hanya dengan tenang mengungkapkan keterkejutannya saat mengetahui bahwa Konno-maru telah selama beberapa hari berada begitu dekat darinya. Ketika Yomogi menunjukkan mantra yang diikatkan oleh Konno-maru di pagar, Tokiwa tersentuh dan berkata, "Dia adalah seorang
pelayan yang baik dan setia, dan perasaannya kepadaku tidak bisa disalahkan."
Selama beberapa waktu, keduanya hanya duduk diam dan saling memandang. Api lentera bergoyang-goyang tertiup angin.
Konno-maru tidak menemukan kesan menjijikkan di dalam sosok wanita yang duduk di hadapannya. Tokiwa, dengan rambut hitam yang terurai di atas lipatan kimono sutranya, duduk dengan tenang. Kepalanya sedikit tertunduk, seolah-olah dia tengah bermeditasi. Konno-maru merasakan tubuhnya lemas lunglai walaupun pikirannya terus berpacu. Apakah yang menahannya dari menghampiri Tokiwa dan menikamnya pada saat itu juga" Bersama setiap detik yang berlalu, hatinya semakin lemah akibat belas kasihan yang tak tertahankan. Dia sama sekali tidak melihat kesan jahat dan binal seperti yang selama ini disangkanya. Aroma dupa menggelitik lubang hidungnya, dan dia menoleh ke altar, tempat aroma itu berasal. Sekali lagi, dia menatap Tokiwa dan mengernyitkan wajah melihat perawakan kurusnya.
?" Konno-maru, apakah kau masih ingat ketika dahulu kau sering mendatangi rumahku untuk menyampaikan surat dari Tuan Yoshitomo?"
Suara lembut itu seolah-olah menyadarkan Konno-maru, dan dia pun membelalakkan matanya kepada Tokiwa.
"Jadi, kau belum sepenuhnya melupakan beliau?"
"Bagaimana mungkin aku bisa melupakan beliau?"
jawab Tokiwa dengan lirih.
"Ah, dasar kau wanita binal, bagaimana mungkin kau mengatakan itu tanpa malu! Kau memang wanita jahat!"
"Kau benar, Konno-maru. Aku ingin mendengar seseorang mengatakan itu kepadaku ... menghujatku, menghinaku, mempermalukanku."
"Benarkah itu?"
"Itulah kebenarannya, Konno-maru. Kau bisa melihatnya sendiri; aku tidak berusaha melarikan diri darimu."
"Ya, itu benar. Tapi penyesalanmu tentu tidak bertahan lama."
"Aku tidak menyesali apa pun yang telah kulakukan.
Aku hanya menjalankan pilihanku."
"Apa! Maksudmu, kau juga memilih kematian dengan cara tertentu?"
Konno-maru meraih gagang pedangnya dengan tangan gemetar; hanya dengan sedikit mengangkat tangannya, dia akan bisa menghunjamkan ujung pedangnya ke bagian mana pun dari tubuh Tokiwa.
Kemudian, Tokiwa berkata, "Tidak ada pilihan lain bagi seorang wanita ". Tidak ada, setidaknya bagiku. Aku malu
... malu karena didapati dalam keadaan seperti ini oleh seorang mantan pelayan Tuan Yoshitomo."
Tokiwa sepertinya hendak pingsan namun tidak mengatakan apa-apa.
"Jika hatimu akan tenang setelah kau membalas dendam dengan cara membunuhku, maka bunuhlah aku. Aku sudah siap ". Aku tidak akan berusaha melarikan diri ataupun menjerit ketakutan," kata Tokiwa dengan tenang seraya mengulurkan setumpuk surat yang sudah disiapkannya.
"Aku hanya punya satu permintaan terakhir. Ini adalah surat untuk anak-anakku, pesan terakhirku kepada putraputraku ". Dan ini ... ini adalah milik Tuanku Yoshitomo.
Pastikanlah agar benda ini tiba di tangan Genji yang tepercaya. Hanya itu yang kuminta darimu."
Kemudian, Tokiwa memalingkan wajah dari Konno-maru dan berdoa di hadapan patung Kannon di dalam ruang peribadatannya.
Konno-maru mendadak risau. Dia teringat pada sederetan patung perak seperti itu di kamar Yoshitomo, tempat majikannya itu berdoa setiap pagi dan malam. Di tengah kebingungannya, Konno-maru menyambar surat dengan tulisan tangan Yoshitomo yang telah diakrabinya.
Itu adalah surat terakhir dari mendiang majikannya untuk Tokiwa. Dia membacanya perlahan-lahan dengan air mata berlinang, lalu meletakkannya. "Maafkanlah saya. Nyonya.
Bagaimana saya bisa bertindak sebodoh ini" Memang betul kata si biksu Mongaku itu ... bahwa saya gila karena memikirkan pembalasan
dendam, dan bahwa Anda, seorang wanita yang tidak berdaya, jauh lebih berani daripada saya."
Keheningan menyelimuti ruangan ketika Konno-maru berusaha menenangkan diri. Kemudian, dia berkata,
"Seandainya saya membunuh Anda, kehidupan saya akan menjadi jauh lebih gelap daripada kehidupan Mongaku.
Sekarang saya menyadari kebodohan saya. Saya akan melanjutkan kehidupan saya dengan awal baru, dengan keberanian ". Saya bersumpah bahwa surat dari Tuan akan tiba di tangan Genji di timur, dan surat untuk putra-putra Anda akan saya sampaikan sendiri."
Konno-maru hendak berlutut di depan Tokiwa, namun Tokiwa cepat-cepat berdiri, membuka pintu, mengintip ke luar, lalu menutupnya kembali. "Aku bisa melihat api


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

unggun para penjaga. Tidakkah sebaiknya kau menunggu di sini hingga pagi tiba?"
Tetapi, Konno-maru telah siap pergi. Dia mengeluarkan sehelai selendang hitam untuk menutupi wajahnya.
"Anda tidak perlu mencemaskan saya, Nyonya; mereka tidak akan bisa melihat saya sekarang."
Konno-maru melangkah ke pintu, membukanya lebar-lebar, dan menghilang di kebun yang gelap. Beberapa saat kemudian, Tokiwa merasa melihat sebentuk bayangan bergerak di atas pagar, seolah-olah untuk mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Dia mengangkat lentera sebagai jawaban.
o0odwkzo0o Bab XXXV-RIBUAN BATANG LILIN
Hujan yang celah lama turun akhirnya berhenti, dan kerikan jangkrik, gumpalan awan, serta langit yang panas menunjukkan bahwa puncak musim panas telah tiba.
"Coba kulihat ... apakah kita terlanda banjir lagi" "
Tidak terlalu banyak kerusakan, kuharap," seru Hidung.
Dia memiliki kebiasaan untuk menaikkan nada bicaranya kepada setiap pelayan yang terlihat olehnya tengah memasuki gerbang rumah peristirahatan di Mibu.
Yomogi dan beberapa orang teman pelayannya sedang mencuci baju di sungai yang mengalir melewati halaman.
Di dekat mereka, beberapa buah payung kertas untuk melindungi dari hujan dan panas tengah dijemur agar kering.
"Indah sekali payung yang satu ini, Yomogi! Ini tentu bukan milikmu, ya?"
"Bukan, ini milik Nyonya."
"Nyonyamu, ya" Tapi, apa gunanya beliau memiliki payung seperti ini" Beliau tidak pernah keluar rumah."
"Saya baru membelinya tadi pagi di Pasar Barat. Tapi, percayakah Anda, saya baru menyadari bahwa payung itu kotor setelah membukanya, karena itulah saya mencucinya bersama yang lain."
"Hmm ... kau membelinya di Pasar Barat" Apakah nyonyamu berencana untuk pergi ke suatu tempat dalam waktu dekat ini?"
"Kami berniat untuk pergi ke kuil bersama; lusa adalah hari keseratus kami."
"Dan ke manakah kau akan menemani beliau, kalau aku boleh bertanya?"
"Ke mana" Tapi, tentunya Anda tahu ... ke Kapel Kannon di Kuil Kiyomizu."
Hidung segera memasuki rumah dan berbicara cukup lama dengan Tokiwa.
Tidak ada tanda-tanda keberadaan ataupun jejak Konno-maru sejak para penjaga ditempatkan di rumah, dan Hidung menjadi lebih tenang berkat kesigapan para prajurit.
Dia bahkan mulai melupakan seluruh masalah itu, walaupun masih merisaukan pandangan Kiyomori kepadanya jika dia dianggap gagal. Sepertinya rencananya untuk mengambil hati Kiyomori terbuang sia-sia. Memang benar bahwa Kiyomori tidak memiliki waktu untuk memikirkan tentang asmara, namun, dengan bekal kesabaran, pada akhirnya dia pasti akan mendatangi Tokiwa. Hidung bersedia menunggu hingga saat itu tiba, dan dia secara berkala berkunjung ke rumah peristirahatan untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.
Setelah masalah Konno-maru berakhir, Hidung mendapati dirinya berhadapan dengan sebuah masalah lain.
Apakah Kiyomori sebaiknya diberi tahu atau tidak bahwa Tokiwa kerap meninggalkan rumah peristirahatan" Tentu saja Hidunglah yang akan disalahkan jika ada sesuatu yang buruk menimpa Tokiwa.
"Dalam keadaan biasa, saya tidak akan melarang Anda pergi ke kuil, dan saya senang karena Anda begitu bersemangat Tetapi, akan lebih bijaksana jika saya bertanya terlebih dahulu kepada Tuan Kiyomori tentang pendapat beliau mengenai hal ini. Saya akan berkunjung ke kediamannya nanti atau besok," Hidung berpesan kepada Tokiwa sebelum pergi.
Keesokan harinya, Tokiwa mendapatkan izin pergi melalui sebuah surat. Maka, ditemani oleh Yomogi, dia pun segera berangkat ke Kuil Kiyomizu. Pada hari doa kepada Kannon yang keseratus, Tokiwa terpana melihat serombongan pendeta di kapel merapalkan ayat-ayat suci atas namanya. Ribuan batang lilin dinyalakan di dalam kapel, dan udara terasa pengap oleh asap dupa ketika dia berdoa:
"Lindungilah ketiga putra yatim hamba, wahai Sang Maha Suci. Ibu mereka telah direnggut dari mereka.
Tokiwa ini hanyalah cangkang hampa, dan arwahnya akan terbang ke neraka. Kesedihan dan cobaan apa pun yang menghadang ibu mereka, selamatkanlah anak-anaknya, wahai Sang Maha Pengampun dan Penyayang.
Bersihkanlah dosa-dosa Genji dari diri anak-anak malang itu."
Tokiwa terisak-isak saat dia teringat pada malam musim dingin ketika dia berdoa di kapel itu di samping anak-anaknya.
"Nyonya, misa telah berakhir. Apakah Anda mau duduk dan beristirahat di sini?" bisik seorang pendeta.
Bisikan itu menggugah Tokiwa. "Terima kasih."
Kemudian, "Astaga, benarkah Anda Kogan?"
"Ya, Kogan ... saya harap Anda selalu sehat. Nyonya."
"Bagaimana mungkin saya melupakan kebaikan Anda ketika itu?" kata Tokiwa, menyatukan kedua tangannya untuk menunjukkan rasa terima kasihnya. "Saya tidak akan pernah melupakan betapa Anda tetap bersikap baik kepada saya walaupuan saya sudah tidak berarti bagi Anda."
"Nyonya, Anda tidak boleh berkata begitu. Anda tidak perlu malu. Di mata saya, Anda sesuci Kannon."
Seorang pendeta lain menghampiri mereka. "Lewat sini.
Nyonya, lewat sini, silakan."
Tokiwa menolak undangan itu dengan halus. "Terima kasih, namun perjalanan saya panjang, dan saya sebaiknya berangkat sekarang."
Tetapi, si pendeta menahannya. "Tetapi, Nyonya, Anda telah datang sejauh dan sepagi ini, dan beliau telah lama menanti Anda."
?" Siapa ... siapakah yang menanti saya?"
"Pria yang memerintahkan penyelenggaraan misa tadi."
Tokiwa terpana. Siapakah pria itu" Dia tidak melihat jemaat di kapel ini selain dirinya. Tetapi, siapa pun pria itu, jangan sampai dia menunggu lebih lama lagi ... maka, dipandu oleh Kogan, Tokiwa menyusuri lorong-lorong bertangkan hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan. Ketika memasuki ruangan itu, dia tiba-tiba mundur, gemetar, dan perlahan-lahan duduk terkulai.
"Tokiwa ... kau tidak menyangka akan bertemu denganku di sini, bukan?"
Sinar matahari, yang menerobos melalui sela-sela dedaunan di luar, menerangi wajah Kiyomori sehingga tampak cemerlang.
"Aku kerap memikirkanmu, Tokiwa, namun banyak hal menghalangi untuk mendatangimu ... dan sekarang, musim panas telah tiba ". Betapa cepatnya musim-musim berlalu!
Apakah segalanya baik-baik saja, Tokiwa?"
"Ya ?" jawab Tokiwa, dan berbagai macam emosi berkecamuk di dalam dirinya sehingga dia tercekat oleh air mata.
Kiyomori pun, ketika memandang Tokiwa, berusaha sekuat dayanya untuk menahan gejolak di hatinya ... dia teringat pada kenangan mengenai malam musim semi dan penyesalannya. Sejenak, dia merasa canggung dan malu seperti seorang pemuda yang masih hijau. Setelah berhasil menguasai dirinya, dia kembali berbicara:
"Kau tentu tidak menduga bahwa akulah yang menyelenggarakan misa hari ini. Kau boleh saja merasa bahwa aku terlalu turut campur. Tetapi, Tokiwa, aku juga perlu berdoa. Ya, Kiyomori, pria malang yang sering melakukan kesalahan tolol ini ... pria tak berarti ini! Bisakah seorang wanita seperti dirimu mengerti?"
"Saya rasa bisa ... sedikit"
"Sedikit pun sudah cukup, Tokiwa, dan aku berterima kasih karenanya. Saat ini pun aku tengah melakukan kebodohan, namun sulit bagiku untuk mengakui alasannya kepadamu. Biarkanlah Bamboku saja yang menjelaskannya di lain waktu."
Kiyomori berbicara dengan nada riang, namun begitu kalimatnya selesai, dia buru-buru membuang muka, dan cahaya dari dedaunan yang bergoyang-goyang tertiup angin pun terpantul di matanya yang berkaca-kaca.
Setelah pertemuan singkat itu, Tokiwa tidak sekali pun bertemu kembali dengan Kiyomori pada musim panas itu ataupun pada musim panas yang berikutnya. Mereka tidak pernah bertemu lagi karena beberapa waktu kemudian, Kiyomori memerintahkan kepada Hidung untuk mengatur pernikahan antara Tokiwa dengan seorang bangsawan Fujiwara yang telah berusia lanjut.
Ketika musim gugur tiba, seluruh pergunjingan mengenai Tokiwa telah terlupakan.
o0odwkzo0o Bab XXXVI-SI PENYAIR PENGEMBARA
Saigyo, si biksu penyair, telah beberapa tahun tidak menginjakkan kaki di ibu kota, namun ke mana pun dia melangkah, dia selalu mendengar pembicaraan tentang setiap peristiwa yang terjadi di sana. Untuk sementara, dia tinggal di sebuah pertapaan di Yoshino dan telah beberapa kali berziarah ke Kumano dan Omine. Pada awal musim semi 1160, dia mulai menyusuri jalan raya Tokaido untuk melakukan perjalanan ziarah ke timur laut, dan di tengah perjalanannya, seorang kepala pemerintahan setempat, Hidehara, mengundangnya untuk menginap di rumahnya.
Hidehara, yang telah sering memasok kuda-kuda unggulan dari wilayah timur laut kepada para bangsawan dan samurai di Kyoto, mendengar banyak cerita tentang si biksu penyair setiap kali dia pergi ke Kyoto untuk
menyelesaikan urusan bisnis ataupun melaporkan pengabdiannya kepada pemerintah pusat.
Ketika musim gugur tiba, Saigyo berpamitan kepada tuan rumahnya dan melanjutkan perjalanan ke Provinsi Echigo di barat: pada bulan September, dia tiba di sisi selatan Danau Biwa, tempat sebuah perahu hendak berlayar ke pesisir barat. Saigyo turut menumpang perahu tersebut, dan sembari menunggu keberangkatan.
dia memikirkan nasib teman dan pengikutnya, Saiju, yang berpisah darinya beberapa bulan sebelumnya di Sungai Tenryu.
o0odwkzo0o Saigyu dan Saiju tiba di Sungai Tenryu untuk menumpang sebuah perahu yang hendak berlayar dengan muatan penuh, ketika tiga orang samurai berpangkat rendah tiba-tiba muncul dan memerintahkan kepada si pendayung untuk menghentikan perahunya. Keengganan si pendayung untuk menerima penumpang lain memicu kemarahan ketiga samurai itu, yang memaksakan diri untuk naik ke perahu dengan wajah masam sambil berteriak-teriak, "Kami sedang tergesa-gesa, sementara kalian hanyalah petani dan biksu pengemis, bukan?"
Saigyo bisa menebak perangai mereka. Prajurit di mana pun selalu bersikap pongah dan garang. Dia mengabaikan mereka dan tetap duduk dengan tenang sambil memandang sungai, hingga salah seorang dari mereka tiba-tiba menghampirinya dan membentaknya: "Hei, dasar pengemis
... berdirilah!" Saigyo pura-pura tidak mendengarnya, namun teman-teman prajurit itu memaki-makinya dengan lagak mengancam. "Turunlah kalian! Berani-beraninya kalian menentang perintah kami?"
Saigyo tidak berniat melawan mereka, namun bisa dirasakannya Saiju yang ada di sebelahnya gemetar menahan amarah. Dia pun mencengkeram erat-erat lengan pengikutnya itu. Mereka telah sama-sama menjadi biksu selama dua puluh tahun, namun Saigyo tahu bahwa di dalam hatinya, Saiju, mantan pelayannya, masih seorang samurai yang berdarah panas. Dia bahkan telah berkali-kali memperingatkan Saiju untuk menahan amarahnya!
Ketenangan Saigyo, bagaimanapun, justru semakin memicu amarah para prajurit tersebut
"Hei, apa kau tuli?" seru salah seorang dari mereka. Dia mencengkeram kerah Saigyo dan melemparkan tubuhnya ke tepi sungai. Kepala Saigyo terbentur pada sebongkah batu dan
dia mengerang lirih; darah mengalir dari salah satu matanya. Terbaring tanpa daya, dia memanggil-manggil Saiju, yang akhirnya menolongnya.
Saiju kehilangan kendali. "Jadi, seperti inikah kau bersikap, Yoshiklyo, yang pernah menjadi samurai paling perkasa di Kesatuan Pengawal Kekaisaran, ketika dirimu dihina!" desisnya. "Jika kau berharap aku akan diam saja menerima perlakuan seperti itu ... meringkik seperti anjing teraniaya ... maka aku sudah muak dengan kehidupan suci ini! Aku menjalani penahbisan untuk menyelamatkan diri dari siksaan neraka, namun ini lebih buruk daripada yang kubayangkan! Aku sudah muak dengan kehidupan ini!
Seandainya aku bukan biksu, aku pasti telah membalas mereka!" Saiju menangis karena marah.
"Ah, Saiju, belum siapkah dirimu menghadapi jalan hidup yang sudah kaupilih ini" Sudah lupakah kau pada hari ketika aku menyuruhmu menemui Nyonya Taikenmon dan kau terlibat dalam masalah dengan para penjaga di
Gerbang Roshomon, yang akhirnya menjebloskanmu ke penjara" Ketika aku mendengar bahwa kau terlibat masalah, aku langsung memacu kudaku sepanjang malam dari Toba untuk menyelamatkanmu dari Genji Tameyoshi yang terkenal akan darah dinginnya. Sudahkah kau melupakan itu, Saiju?"
"Aku belum melupakannya."
"Apakah dirimu yang sekarang lebih bijaksana daripada dirimu yang dahulu?"
"Kau boleh mengatakan semua itu, tapi aku tidak bisa diam saja ketika melihat para berandalan mempecundangi manusia yang tidak berdaya. Aku tidak mau dipermalukan seperti itu karena aku selalu menghormati orang lain."
"Saiju, selama kau merasa seperti itu, kita tidak akan pernah bisa seiring sejalan. Walaupun kita berdampingan ketika melakukan perjalanan, hati kita tidak akan menyusuri jalan yang sama. Lebih baik kita berpisah di sini dan pada saat ini juga, Saiju."
"Mengapa kau berkata begitu?"
"Untuk saat ini, akan lebih baik jika kau melakukan apa pun yang kauinginkan."
"Apakah ini berarti aku telah terbebas dari sumpahku?"
"Aku tidak punya wewenang untuk membebaskanmu dari sumpahmu, Saiju. Aku selalu berdoa agar kita menemukan kebahagiaan di dalam hidup kita, dan untuk itu, kita harus mengikhlaskan setiap ambisi dan gejolak yang ada di hati kita, menyerahkan diri kepada alam, dan menjalani kehidupan sebagai pujangga, mencari ketenangan di dalam ajaran Buddha. Itulah sumpah kita. Siapakah aku sehingga bisa membengkokkan peraturan" Ah, Saiju, kau sepertinya sama sekali tidak bisa memahamiku."
"Tidak, aku memang hanya orang bodoh yang kau izinkan untuk menjadi pengikutmu. Tapi, aku yakin bahwa aku mengerti."
"Kurasa kau masih belum mengerti. Kau sama saja dengan orang-orang yang kutinggalkan di kehidupanku yang lalu. Bukan ini yang kucari, karena aku ingin melepaskan diri dari ikatan duniawi. Tujuanku adalah lebih menyadari keberadaanku, lebih menikmati kehidupan, dan tidak menyesali apa pun. Dengan cara itulah aku berharap bisa menjadikan kehidupanku lebih bermakna, dan hanya itulah yang kuinginkan ". Betapa besarnya perbedaan yang kita miliki dalam gagasan kita mengenai kehidupan suci!"
"Tidak, aku sependapat denganmu, tapi ... "
"Kalau begitu, mengapa kau sering sekali marah, lepas kendali karena merasa terhina, dan menyesali pilihanmu"
Jika kau benar-benar menghayati kehidupanmu sebagai biksu, kau tidak akan menyesalinya ataupun ingin terbebas dari sumpahmu. Kau sepertinya belum bisa meninggalkan dunia, jadi untuk apa kau terus menjadi biksu" Bukankah lebih baik kau berhenti berpura-pura dan kembali ke dunia?"
Ketika mengatakan itu, Saigyo menyadari bahwa jalan hidup sebagai biksu, yang semestinya bermakna kemerdekaan justru menjadi beban bagi Saiju; dan karena kasih sayangnya kepada Saijulah dia bersikeras agar mereka berpisah.
Akhirnya, Saiju berkata, "Aku akan menuruti kemauanmu dan merenungkan kata-katamu ... tidak hanya merenungkannya tetapi juga menjadikannya landasan bagi tindakanku. Saat kau kembali ke ibu
kota pada musim gugur nanti, aku akan menunggumu di sana."
o0odwkzo0o Saigyo memikirkan di mana Saiju akan menantinya setelah perpisahan lama mereka, karena dia tidak tahu di mana dia sendiri akan tinggal selama di ibu kota. Dia menyadari bahwa perahu yang ditumpanginya telah setengah jalan menyeberangi Danau Biwa, dan bahwa puncak Gunung Hiei telah tampak menjulang di hadapannya. Dia masih ingat ketika setahun silam, para penumpang perahu tak henti-hentinya membicarakan tentang Genji Yoshitomo dan putra-putranya yang melarikan diri ke Om i Timur. Kemudian, dia tertidur.
Ketika dia terielap, salah seorang penumpang perahu berkali-kali memandangnya, dan ketika dia terbangun, orang itu tersenyum ramah kepadanya dan berkata:
"Akhirnya kita berjumpa lagi!"
"Wah, siapakah kamu?"
"Aku Otoami, pemahat patung Buddha ... kita pernah bertemu beberapa waktu yang lalu di timur laut."
"Ah, ya, tentu saja! " Apakah kau juga hendak pulang ke ibu kota?"
"Ya, walaupun aku masih harus bekerja di kuil di timur laut hingga bertahun-tahun lagi. Aku pulang karena panggilan mendadak dari Rokuhara, dari Nyonya Ariko."
"Jauh sekali jarak yang harus kautempuh!"
"Ya. memang. Akan menyenangkan jika aku bisa berkelana sesuka hatiku sepertimu. Sekarang ini, aku harus menyelesaikan tugas di ibu kota sekaligus di utara, dan melakukan perjalanan bersama teman-temanku dalam waktu terbatas ?" Otoami tersenyum, mengedarkan pandangan kepada teman-temannya, yang memenuhi hampir setengah kapasitas perahu. Rombongannya tidak
hanya terdiri dari anak buahnya tetapi juga tukang vernis, tukang kayu, pengukir logam, dan para perajin lainnya.
Seorang penumpang yang duduk di samping Otoami tiba-tiba mencondongkan badan dan berbisik-bisik kepada teman-temannya, lalu berkata kepada Saigyo:
"Tuan, apakah kau Saigyo, si biksu penyair" Aku beberapa kali melihatmu di Koromogawa, tempat tinggal salah satu pengayomku, yaitu Tuan Hidehara," katanya, lalu menambahkan, "aku Kichiji, pekerjaanku adalah saudagar. Beberapa kali dalam setahun, aku membawa emas dari timur laut ke ibu kota dan menukarnya dengan barang-barang dagangan dari Cina. yang kemudian dikirim ke utara ". Jika lain kali kau pergi ke daerah kami, kau harus mengunjungiku."
Saigyo mengangguk dengan ramah, tersenyum sendiri ketika memikirkan rumor bahwa dirinya pernah berkelana ke wilayah sejauh itu.
Ketika perahu itu hendak merapat ke pesisir, para penumpang sibuk bersiap-siap turun. Otoami dan si saudagar adalah penumpang pertama yang turun dari perahu. Setelah menaikkan barang-barang mereka ke atas punggung kuda, mereka bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba, Kichiji menoleh kepada Saigyo dan menawarkan dengan ramah:
"Ada cukup banyak kuda untuk kita semua. Maukah kau bergabung bersama kami di penginapan?"
Saigyo menolak undangan itu dan melanjutkan perjalanannya seorang diri.
Dia tinggal cukup lama di wilayah perbukitan di dekat Kyoto, menghabiskan waktunya dengan berkunjung ke berbagai kuil dan menemui teman-teman lamanya. Pada suatu hari, dia berkeliaran di ibu kota dan mendapati
dirinya berada di jalan tempat rumahnya dahulu berdiri.
Tidak ada yang tersisa dari bangunan itu kecuali pecahan Ubin dan rumpun-rumpun rumput musim gugur. Dia mengamati tempat itu tanpa perasaan apa pun, lalu pergi dari sana ketika senja tiba untuk mencari penginapan, sementara angin malam
menerpa sosoknya yang lusuh oleh pengembaraan. Dia memikirkan beberapa orang temannya yang akan dengan senang hati menerimanya, namun kenangan mengenai istri dan anaknya, yang ditinggalkannya dua puluh tahun silam, senantiasa menghantuinya. Istrinya, dia mendengar, telah menjadi seorang biksuni; dia memikirkan nasib anaknya, yang masih berumur empat tahun ketika dia pergi. Saigyo mendengar bahwa putrinya telah menikah. Sesekali dia berhenti dan mendengarkan bunyi-bunyian malam, yang berisik oleh kerikan jangkrik. Segalanya ... pepohonan, tanah, semak-semak, dan bahkan bintang-bintang mendadak dipenuhi oleh bunyi isak tangis: benak dan hati Saigyo terasa pedih karenanya, dan dia mulai memikirkan mengapa dia berkeliaran tanpa tujuan di jalanan yang gelap gulita. Apakah yang membawanya kemari bagaikan sesosok hantu dari masa lalu"
Kerinduan mendalam kepada Saiju mendadak menyergapnya ... bukan sebagai pengikutnya melainkan teman yang bisa dimintai ampunan dan tempat mengakui kebutaan dan kebodohannya. Dua puluh tahun menjalani kehidupan suci! ... dan dia baru menyadari pada malam ini bahwa hati manusia tidak bisa disangkal oleh pengarahan kehendak atau kedisiplinan beragama. Di manakah Saiju menunggunya setelah berjanji untuk menemuinya di ibu kota" Kemudian, Saigyo teringat kepada sepupunya. Tuan Tokudaiji, yang beberapa pelayannya berteman dengan Saiju. Saigyo bermalam di sebuah kuil di Perbukitan Timur,
dan keesokan harinya turun kembali ke ibu kota. Setibanya di kediaman Tuan Tokudaiji, dia terkejut ketika melihat para prajurit, kurir, dan pelayan berkerumun di gerbang, tempat beberapa buah kereta indah menanti. Dia hendak berbalik arah ketika didengarnya seseorang memanggilnya.
Saiju. "Ah, Saiju, ternyata kau ada di sini!"
"Ya, aku telah tinggal di sini bersama teman-temanku selama beberapa waktu; aku yakin bahwa kau akan segera datang, dan aku gelisah menantimu."
"Ya, sungguh menyenangkan bisa berjumpa lagi denganmu!" jawab Saigyo dengan penuh semangat.
"Sejak kita berpisah di Sungai Tenryu. aku bermeditasi setiap pagi dan malam berkat kata-katamu kepadaku.
Selamban-lambannya aku, aku merasa bahwa diriku lebih bijaksana sekarang. Aku tidak pernah lagi bertindak bodoh seperti dahulu. Maafkanlah aku atas kata-kataku kepadamu."
"Saiju, bukan hanya dirimu yang bodoh. Aku bahkan jauh lebih bodoh. " Aku juga perlu meminta maaf.Tapi, lebih baik kita membicarakannya di lain waktu saja."
"Tidak, tidak, itu mustahil ". Tapi, ini memang bukan tempat yang tepat untuk berbicara. Mari kita pergi ke pondokku di dekat gerbang belakang."
"Tapi, sepupuku sedang menerima tamu hari ini."
"Tidak hanya hari ini. Kiyomori dan para menteri lainnya sering datang kemari untuk meminta nasihat dari Tuan Tokudaiji. Kita tidak akan mengganggu mereka di pondokku." Maka. Saiju pun membawa Saigyo mengitari rumah menuju salah satu gerbang belakang.
o0odwkzo0o Bab XXXVII-SEORANG SAUDAGAR DARI
TIMUR LAUT Upacara tradisional tidak mungkin diselenggarakan pada perayaan Tahun Baru sebelumnya, namun kali ini, pohon-pohon dan batang-batang pinus yang baru saja dipotong menguarkan aroma kemeriahan di seluruh ibu kota.
"Kita tidak boleh melupakan bahwa kita berutang budi untuk semua ini kepada Tuan Kiyomori. Tidur dengan kaki mengarah ke Rokuhara sama saja dengan bertindak lancang," kata Bamboku kepada serombongan pekerja lepas dan pegawainya sambil menyesap sake Tahun Baru. Selama perayaan Tahun Baru, Bamboku membuka gerbangnya lebar-lebar untuk semua tamu ... kerabat, rekan bisnis, teman sesama saudagar, dan tetangga ... yang berduyun-duyun datang.
Hidung memiliki semua alasan untuk selamanya berterima kasih kepada Rokuhara, walaupun para tamunya mencemooh sake yang disajikan oleh Bamboku, yang kualitasnya menurun pada tahun ini karena berkurangnya keuntungan yang didapatkan sepanjang tahun lalu. Untuk menjawab sindiran-sindirannya, Bamboku menjawab dengan lihai:
"Jika kita mau jujur, keuntungan materi tidak berarti apa-apa ... tidak sebanding dengan apa yang akan kudapatkan jika aku benar-benar berhasil. Dan, jika saat itu tiba, lihat saja sendiri apa yang akan kutampilkan untuk menghibur kalian."
Sorak sorai meriah menyambut ucapan Bamboku, karena tidak seorang pun meragukannya. Semua saudagar
di ibu kota tidak pernah mempertanyakan prestasi ataupun kemampuan Bamboku. Bukankah Hidung telah, seorang diri, memasok semua bahan bangunan untuk pemugaran Istana Kloister tahun lalu" Terlebih lagi, Kiyomori adalah patronnya, dan dia bisa menjamah setiap transaksi bisnis di ibu kota. Tidak bisa disangkal bahwa tanpa bantuan dari Kiyomori, Bamboku tidak akan bisa sekaya itu. Di sisi lain, Hidung juga telah menghabiskan banyak tenaga dan uang untuk menyelesaikan urusan Tokiwa. Tetapi, seluruh kerepotan itu tidak sebanding dengan apa yang diperolehnya: yang terpenting adalah Tokiko kembali menyukainya. Nyonya rumah Rokuhara itu memanggilnya dan mengatakan, "Kau boleh datang kemari seperti sedia kala, Bamboku." Selain itu, Kiyomori telah mewujudkan ambisi Bamboku yang telah lama terpendam ... sebuah jabatan di Istana.
Ada masanya Hidung Merah mencibir pada gagasan menjadi pejabat istana, namun saat ini umurnya sudah menjelang lima puluhan, dan tidak ada salahnya berubah pikiran setelah menjalani sebuah pekerjaan selama dua puluh tahun. Kehidupan istana yang tampak konyol di matanya pernah membuatnya muak dan menyatakan,
"Segala macam peraturan dan penghormatan tolol itu! Ya, aku mengabdi hanya kepada diriku seorang! Aku akan meraih kekayaanku sendiri, dan emas ... emas kuning ...
akan menghadirkan kebahagiaan dalam kehidupanku."
Ironisnya, begitu kekayaannya bertambah. Hidung Merah mulai menginginkan kehidupan yang dahulu dibencinya.
Orang kaya baru itu pernah mendambakan istri dari kalangan bangsawan dan berhasil mendapatkannya; dan begitu jumlah pegawainya bertambah, dia mulai tergoda untuk memiliki wewenang yang lebih besar. Sebagai seorang saudagar besar, Hidung Merah telah berkali-kali mendapatkan kesempatan untuk bergaul bersama para
bangsawan yang berkedudukan cukup tinggi. Dia bisa bekerja sebaik mereka ... bahkan lebih baik, pikirnya, seandainya dirinya memiliki persyaratan yang cukup untuk memasuki kalangan itu ... sebuah jabatan di istana. Dan, semakin sering Hidung Merah memikirkannya, semakin yakinlah dia bahwa dirinya layak memupuk ambisi itu.
Hidung berasal dari kalangan rakyat jelata yang terjelata; namun istrinya, Umeno, adalah keturunan bangsawan.
Kiyomori menganugrahinya dengan gelar Pengawas Sungai Kamo ... sebuah jabatan yang memberinya wewenang atas para petugas dan pekerja yang bertugas di sekitar Kamo; jabatan itu memberi Bamboku kedudukan setara dengan bangsawan dari Golongan Kelima dan mengharuskannya mengenakan kimono yang sesuai dengan golongannya dalam setiap acara kenegaraan.
"Ya, jabatan ini memang sesuai denganku, namun pakaian ini sama sekali tidak nyaman!" Bamboku berseru kepada dirinya sendiri pada suatu hari ketika dia baru saja tiba di rumah. "Aku harus menemukan tempat untuk meregangkan badan." Kemudian, tiba-tiba terpikir olehnya bahwa Kichiji, si saudagar emas dari timur laut, tengah mengunjungi ibu kota. Dia langsung berangkat ke rumah sewaan Kichiji di pusat hiburan Horikawa, sebuah wilayah yang berada di sepanjang kanal dan banyak ditumbuhi pohon dedalu.
"Apakah Tuan Kichiji ada" Aku Pengawas Sungai Kamo," Hidung Merah mengumumkan kepada seorang gadis pelayan yang ditemuinya di gerbang.
Pelayan itu menggumam lirih dan memasuki rumah, tempat Kichiji sedang bercakap-cakap dengan seorang tamu. Kichiji heran.
"Pengawas Sungai Kamo ... siapakah dia" Aku tidak mengenal seorang pun dengan nama seperti itu."
Tamunya tergelak. "Itu pasti Tuan Hidung Merah. Dia dianugrahi gelar Pengawas Sungai Kamo dalam perayaan Tahun Baru yang lalu. Anda tahu."
"Ah ... si Hidung! Seorang tamu penting, rupanya ...
persilakanlah dia menunggu di ruangan terbaik," kata Kichiji. Dia meneruskan pembicaraannya dengan tamunya, seorang tokoh penting di wilayah itu, yang dikenal dengan julukan "Ular". Dia memiliki usaha jual beli perempuan dan anak-anak.
"Jadi, jumlah keseluruhan perempuan yang kita beli sejak musim gugur silam adalah tujuh belas ... termasuk yang kemarin," kata Kichiji.
"Ya, dan mengenai yang itu, saya sangat kesulitan memenuhi permintaan Anda, Tuan, karena ada terlalu banyak wanita cantik yang bisa ditemukan di ibu kota ini.**
"Yah, aku akan kembali dalam satu atau dua tahun, tapi untuk sementara ini, kuharap kau memasang mata untukku."
"Baiklah, Tuan, saya akan melakukannya. Bahkan, saya sudah menemukan seseorang di pemukiman kumuh di Jalan Pedagang Sapi."
"Berapa umurnya?"
"Baru tiga belas."
"Itu tidak masalah. Aku akan menjadikannya pelayan di rumahku hingga dia cukup umur. Aku akan membawanya nanti."
"Tetapi, ada satu masalah ... gadis itu tidak bisa lepas dari orangtuanya ... yang miskin papa. Mereka
menyayanginya dan tidak mau menerima tawaranku.
Ayahnya sudah sakit-sakitan dan mereka terlilit utang.
Mereka bahkan tidak tahu kapan mereka akan bisa makan lagi ... tapi, kecantikannya!"
"Secantik itukah?"
"Saya tidak melebih-lebihkan jika mengatakan bahwa kecantikannya setara dengan gadis tercantik di Istana."
"Sayang sekali ... "
"Yah, selalu ada jalan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan."
"Maksudmu uang, bukan?"
"Andalah yang paling tahu tentang itu, Tuan," Ular tertawa licik, seringai di bibirnya menunjukkan ketamakannya.
Kichiji berkunjung ke ibu kota setiap dua atau tiga tahun, dan selalu menginap di rumah yang sama di kawasan mewah itu, tempatnya memboroskan hartanya. Karena sebagian besar transaksi bisnisnya dilakukan untuk Tuan Hidehira, seorang tokoh besar di timur laut, Kichiji dikenal oleh setiap saudagar di Kyoto. Dia bertugas memburu segala macam barang mewah untuk pengayomnya ... karya seni dan bahkan wanita cantik ... dan menukarnya dengan emas, kuda, ukiran, dan sutra yang dibawanya dari timur laut.
Kakek Hidehira, seorang bangsawan Fujiwara yang menjadi pemimpin klan pertama di wilayah itu, memiliki impian mendirikan sebuah ibu kota di wilayah paling utara Provinsi Michinoku. Tempat yang pernah menjadi wilayah kekuasaan penduduk asli yang semakin terpinggirkan, suku Ainu. Sebuah kota besar akan didirikan di sana untuk
menyaingi kejayaan Kyoto, dan pembangunan terus dilakukan.
Kichiji, yang berhasil merampungkan misinya setelah beberapa bulan tinggal di ibu kota, lagi-lagi kecewa karena tidak mendapatkan banyak wanita cantik untuk dibawa pulang bersamanya. Dia tidak menculik atau memperdagangkan perempuan dan anak-anak tetapi menawarkan banyak uang dan jaminan kesejahteraan hidup kepada siapa pun yang bersedia ikut ke timur laut. Karena tidak banyak hal yang menarik yang bisa ditawarkan dari Michoniku, dia harus meminta tolong kepada Ular untuk mencarikan wanita-wanita cantik baginya.
Si gadis pelayan muncul kembali untuk mengatakan,
"Pengawas Sungai Kamo mengatakan bahwa beliau akan berkunjung lagi lain kali, jika Anda sibuk hari ini, Tuan."
"Baiklah, Ular," kata Kichiji, berdiri di ambang pintu untuk mempersilakan Ular pergi, "jika kau bisa mendapatkannya sebelum aku pergi, aku akan memeriksanya."
Bamboku dipersilakan masuk.
"Aku harus meminta maaf karena memintamu menunggu"
"Tidak apa-apa, Kichiji, aku tidak mau mengganggu,"
jawab Bamboku. "Tidak, aku sudah bebas sekarang. Baik sekali kamu karena mau datang kemari. Sebenarnya, aku akan pulang dalam satu atau dua hari dan sudah berpikir untuk mengunjungimu ". Beruntungnya aku karena kau lebih dahulu datang kemari."
"Tepat seperti yang kuduga," seru Bamboku. "Agak mendadak, mungkin, tapi tiba-tiba terpikir olehku bahwa
kau mungkin punya waktu untuk minum-minum bersamaku malam ini sebelum pulang."
"Bagus! ... walaupun ini bukan tempat yang cocok untuk menjamumu."
"Sama sekali tidak cocok. Tapi, kaulah yang akan menjadi tamuku. Perubahan pemandangan akan bagus untukmu, dan kalau kau tidak keberatan, kita akan pergi ke salah satu rumah kesukaanku," Hidung Merah bersikeras mengajak Kichiji pergi.
Hidung Merah berseru-seru memanggil si nyonya rumah seraya melenggang layaknya di rumah sendiri. "Taji! Taji!
Ini aku ... Bamboku! Apakah Ruang Ungu kosong?"
Segera setelah keduanya menempati sebuah ruangan yang menghadap ke sebuah taman indah. Hidung Merah mengeluarkan seperangkat alat tulis dan dengan cepat menulis sebuah pesan beserta alamat yang hendak ditujunya, lalu memanggil seorang pelayan dan memberinya perintah, "Panggil seorang pelari untuk mengantar surat ini. Sekarang juga ... sekarang!"
Hidangan yang menggoda selera disajikan bersama sake, namun hanya para pelayan yang menemani mereka karena, berbeda dari kebanyakan rumah hiburan semacamnya, sang nyonya rumah membanggakan para tamunya yang terhormat dan para penghiburnya yang benar-benar terpilih, yang hanya tampil atas permintaan tamu-tamu terpilih, itu pun hanya untuk menari dan menyanyi.
Malam telah larut dan mereka masih menikmati sake.
Hidung Merah bersikeras untuk memanggil beberapa orang geisha; dia menyebutkan nama-nama gadis pilihannya dan meminta mereka menghibur Kichiji.
"Kapankah kau akan kembali kemari ... tahun depan, mungkin?"
"Tidak, aku belum bisa memastikannya ".Tapi, kurasa aku akan kembali kemari tiga tahun lagi."
"Nah, Kichiji, jika kau kemari lagi, kau tidak perlu tinggal di Horikawa karena rumah peristirahatanku boleh kaupakai sesuka hatimu."
"Rumah peristirahatanmu ... di manakah adanya?"
"Itulah yang sedang kurencanakan sekarang. Dan, Tuan Kichiji, katakan saja di mana kau menginginkan rumah itu dibangun, dan aku akan membangunnya."
"Aku tergoda untuk menerima tawaran ini. Di suatu tempat yang berpemandangan indah."
"Kau akan mendapatkannya ... dan kau akan membawa sedikit emasmu, bukan" Pasokan terakhirmu ... yah, aku tidak terlalu senang melakukan bisnis bernilai sekecil itu.
Kau mungkin menganggapku rewel, tapi ... dengan memikirkan bisnis ke luar negeri ... emas yang kaubawakan untukku tidak akan cukup untuk memenuhi permintaan para perajin emas langgananku di ibu kota ini saja."
Kichiji tergelak. "Tuan Hidung, kau sudah minum terlalu banyak, dan sekarang bicaramu melantur."
"Tidak, aku tidak berbohong."
"Aku tidak menuduhmu berbohong, tapi kau pasti melebih-lebihkan. Aku menyangsikan bahwa emas yang kubawa kemari bisa disamakan dengan apa pun yang bisa ditemukan di tempat lain di seluruh Jepang. Nah, nah, diangkat menjadi Pengawas Sungai Kamo dan pejabat Golongan Kelima pasti memengaruhi pandanganmu, tapi Heik6 bukan satu-satunya klan yang harus diperhitungkan
dan Kyoto bukan satu-satunya tempat tinggal yang bagus.
Kunjungilah kami di timur laut sekali saja, dan lihatlah sendiri keadaan di sana."
Tawa Hidung meledak. "Menyombongkan daerahmu, ya" Aku menyukai kata-katamu tentang ibu kota ... "bukan satu-satunya tempat tinggal yang bagus! ... aku pasti akan mengunjungimu di Michinoku."
"Aku sendiri yang akan mengajakmu berjalan-jalan di sana."
"Tuan Kichiji, aku ragu bahwa kau sekadar saudagar."
"Hmm ... apakah yang membuatmu berkata begitu?"
"Menurutmu aku tidak tahu apa-apa" Kau adalah seorang samurai! Kau adalah pelayan Hidehira atau seseorang yang memiliki kedudukan serupa, aku tahu itu.
Kau tidak perlu menutup-nutupinya dariku. Bamboku dari Golongan Kelima adalah seorang pria yang berpandangan luas, percayalah. Kau akan mengetahuinya sendiri setelah lama berteman denganku."
Kichiji tersenyum tipis. "Hmm, mungkin saja begitu,"
jawabnya tanpa menambahkan apa pun, karena berbeda dengan Bamboku yang banyak omong, Kichiji adalah seorang pria utara yang santun dan tertutup.
"Aku merasa tersanjung karena disangka sebagai seorang samurai pada masa seperti ini ". Seperti yang kauketahui sendiri, Tuan Hidung, aku sudah melakukan perjalanan ribuan mil di atas punggung kuda dengan membawa harta yang tak terhitung harganya. Di dalam hatiku barangkali aku memang seorang saudagar, namun dibutuhkan keberanian seorang samurai untuk menempuh perjalanan seperti itu ... terutama di masa berbahaya seperti ini."
"Begitulah, begitulah. Itulah alasannya. Aku hanya bercanda tadi. Tiba-tiba aku ingat ... ada apa dengan temanku. Dia semestinya sudah sampai di sini sekarang."
"Siapakah dia?"
"Dia pernah menjadi juru tulis di Istana ... Tokitada ...
adik ipar Kiyomori. Aku ingin mempertemukannya denganmu."
"Ya, ya, kita pernah membicarakan ini, dan aku juga tidak sabar ingin berkenalan dengannya."
Seorang kurir segera datang dan mengatakan bahwa Tokitada tidak ada di rumah dan baru akan pulang malam itu.
Hidung Merah dan tamunya telah mabuk sekarang.
Setelah beberapa waktu, mereka terbangun dari tidur dan pulang ke rumah masing-masing pada pagi buta.
Beberapa hari kemudian, Tokitada menghentikan keretanya di depan toko Hidung Merah di Jalan Kelima, namun dia tidak turun.
"Bamboku, Bamboku! " Apakah Bamboku ada?"
serunya dari depan toko. Beberapa orang pegawai toko mendengar seruan Tokitada namun tidak memedulikannya.
"Bamboku" Siapakah yang Anda maksud dengan Bamboku, Tuan?" seorang pegawai akhirnya menghampiri kereta Tokitada dan bertanya.
"Tuan Hidung Merah ... "
"Oh, Anda mencari Tuan?"
Hidung Merah bergegas keluar dari gudangnya.
"Ah, rupanya Anda, Tuan! Silakan masuk ke rumah,"
sapanya. "Tidak, aku sedang menuju kediaman Yang Terhormat Yorimori sekarang. Karena tidak bisa mampir, aku akan berbicara denganmu di sini."
"Apakah Anda sedang tergesa-gesa" Apakah yang bisa saya lakukan untuk Anda, Tuan?"
"Tidak ada ... tapi ada pesan dari Rokuhara. Aku tidak tahu untuk apa, tapi kau diharapkan datang ke kebun mawar pada senja hari, ketika lentera-lentera dinyalakan."
"Hmm ?" gumam Hidung."Sesuatu mengusik beliau?"
"Sepertinya dia baik-baik saja, jadi kau tak perlu khawatir ". Dan, omong-omong, Bamboku, kau sepertinya agak cemas, namun dia bagaikan lempung yang bisa kaubentuk sesuka hatimu, bukan?"
"Astaga, tidak! Saya tidak pernah mengatakan itu kepada Tuan Kiyomori ... beliau memang pemarah, tapi lempung ... tidak pernah!"
Tokitada tertawa terpingkal-pingkal hingga keretanya berguncang-guncang. "Bamboku ... kau, aku hanya ingin melihat reaksimu. Kau memang jenaka, mendengus dan menyangkal sampai hidungmu semakin merah padam!
Tapi, bahkan dirimu pun punya sisi baik."
"Nah, apakah Anda kemari untuk menertawakan saya?"
"Sudahlah, Bamboku, jangan marah. Hanya dengan melihat hidungmu, semua orang akan merasa gembira. Apa kata istrimu tentang hidungmu ketika dia mengigau?"
"Saya rasa Anda sudah mabuk. Tuan, bahkan sebelum Anda bertamu."
"Sekarang masih Tahun Baru ... tidak ada perang ...
Tahun Baru terbaik sejak bertahun-tahun terakhir ". Ya, dan itu mengingatkanku ... maaf, aku sedang pergi ketika kurirmu datang tempo hari. Siapakah orang yang hendak kauperfce naikan kepadaku itu?"
"Anda pasti pernah mendengar tentang dia ... Kichiji, seorang saudagar emas dari timur laut."
"Ya, aku pernah mendengar tentang dia."
"Saya memerhatikan beberapa hal yang membuat saya berpikir bahwa dia kemari tidak sekadar untuk urusan bisnis. Saya curiga Hidehara mengirimnya ke sini untuk memata-matai keadaan di sini, dan saya rasa tidak ada salahnya jika Anda melihatnya sendiri."
"Ah, begitukah" Apakah si Kichiji ini masih ada di ibu kota?"
"Dia akan kembali ke timur laut besok pagi, katanya.
Saya akan melepas kepergiannya."
"Bagus! Aku juga akan datang ". Tapi, aku akan menyamar, ingatlah itu." Setelah mengatakan itu, Tokitada langsung menutup tirai keretanya.
Keesokan paginya, Hidung Merah mengiringi Kichiji hingga gerbang kota, tempat serombongan pria dan wanita telah berkumpul untuk melepas kepergiannya.
"Ya, aku akan kembali tak lama lagi ... dalam dua atau tiga tahun," seloroh Kichiji dari atas punggung kudanya.


The Heike Story Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia berterima kasih dan mengangguk kepada semua pengantarnya. "Kalian akan menjadikan perpisahan ini lebih berat jika menyertaiku lebih jauh lagi, jadi biarkanlah aku mengucapkan selamat tinggal kepada kalian semua di sini, dan dengan mendoakan yang terbaik untuk kalian."
Kichiji akhirnya mulai mendaki bukit, dan satu demi satu pengiringnya membubarkan diri. Para pelayan, tukang angkut, dan kuda-kudanya telah menanti tidak jauh dari sana. Mendadak, Kichiji mendengar seseorang memanggilnya dari kaki bukit. Pria itu akhirnya berhasil menyusulnya beberapa saat kemudian. Dia terengah-engah dan tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Kichiji menoleh. "Kaukah yang memanggilku?" katanya dengan sinis, menatap pria bertubuh kecil yang bersujud di hadapannya seperti seorang pengemis. "Aku tidak mengenalmu. Tidak pernah melihatmu sebelum ini. Apa maksudmu menghentikanku?"
"Ya. ya, maafkanlah saya karena telah menghambat Anda ". Saya ... saya Asatori, bukan siapa-siapa. Saya tinggal di daerah kumuh di Jalan Pedagang Sapi."
"Kau pasti salah mengiraku dengan orang lain. Untuk apa kau menemuiku?"
"Saya tinggal di Jalan Pedagang Sapi ... di daerah kumuh; ada seorang perajin roda kereta bernama Ryozen di sana ". Dan pagi ini, saya mendengarnya dan istrinya menjerit-jerit dengan nyaringnya sehingga saya pergi ke sana untuk melihat apa yang terjadi, dan saya mendengar bahwa seorang pedagang perempuan dan anak-anak, yang bernama Ular, telah membawa putri semata wayang mereka, Asuka ". Mereka putus asa."
Kichiji menoleh ke belakang. Keributan sepertinya telah terjadi di dalam rombongannya; dan seorang gadis menjerit-jerit nyaring.
"Asatori, tolong aku! Asatori!"
"Kaukah itu, Asuka" Tunggu aku ". Semuanya akan baik-baik saja. Aku akan menolongmu!"
Asatori bangkit, balas melambai kepada Asuka, lalu memegang erat-erat pelana Kichiji, mendesaknya.
"Hentikan omong kosongmu ini, dalang boneka bodoh!"
desis Ular, menerobos sekelompok pengawal dan mencengkeram baju Asatori. "Apa maksudmu mengatakan bahwa aku membawanya pergi dari keluarganya dengan paksa" Kau sepertinya tidak tahu bahwa ayahnya sudah lama sakit-sakitan dan berutang banyak kepadaku. Dia dan istrinya memohon kepadaku untuk melakukan sesuatu kepada anak ini karena mereka tidak bisa memberinya makanan lagi. Aku memang tidak membayar mereka, tapi aku memohon kepada tuan ini untuk membawa Asuka dengannya ". Untuk apa kau ikut campur?"
Asatori tidak memiliki kekuatan maupun keberanian untuk melawan lengan kekar Ular, yang menarik dan membekuk tubuh ringkihnya. Yang bisa dilakukan oleh Asatori hanyalah menjejak-jejakkan kakinya ke udara.
"Aku akan membayar utang mereka," desisnya. "Aku akan membayarnya, bagaimanapun caranya!"
"Dasar pembohong, apa kaupikir aku memercayaimu"
Pulanglah sana! Apa maksudmu merengek-rengek dan menghalang-halangi tuan ini?" sembur Ular, mengancam untuk menghajar Asatori. Kichiji membungkuk dengan waspada di atas punggung kudanya.
"Cukup, Ular." "Tapi, Tuan, dia tidak akan jera."
"Tidak, Ular, lepaskanlah anak itu. Kita tidak ingin membahayakan siapa pun. Aku sudah mengatakan kepadamu, bukan, bahwa kau tidak boleh memaksa dia?"
"Utang ayahnya yang sakit-sakitan kepada saya memang tidak banyak, tapi mereka tidak bisa memberinya makanan, jadi saya bermaksud menolong mereka."
"Sudahlah, lepaskanlah dia. Aku bukan manusia jahat"
Asatori bersujud di hadapan Kichiji, lalu melambai kepada Asuka, yang berlari menyongsongnya dan memeluknya erat-erat sambil terisak-isak.
"Jangan menangis," Asatori menenangkannya, menghapus air mata dari pipinya yang basah. "Jangan menangis, Asuka. Kau tidak perlu takut. Mari kita pulang."
Wajah mungil nan menawan itu mendongak
memandangnya dan senyuman tipis terulas di sana. Kichiji dan rombongannya telah meninggalkan mereka.
Bergandengan tangan, keduanya berjalan menuruni bukit Sejenak setelah mereka lenyap dari pandangan, dua orang penunggang kuda muncul dari tengah kerimbunan hutan di atas bukit dan turun ke ibu kota.
"Bamboku, diakah orang yang kaumaksud?" tanya Tokitada.
"Ya ... " "Diakah Kichiji yang kaubicarakan kemarin?"
"Ya, bagaimana pendapat Anda tentangn dia?"
"Tidak ada yang aneh dari dirinya sejauh pandanganku.
Sebagai seorang saudagar, dia lebih baik hati daripada dirimu, ya?"
"Daripada saya" " Anda memang sangat penuh perhatian. Tuan!" Bamboku tergelak.
"Setidaknya, dia lebih punya hati daripada dirimu, Hidung. Aku tidak tahu mengapa dia membiarkan bajingan
itu membeli si gadis kecil, tapi setidaknya dia menunjukkan kebaikan hati ... melepaskannya."
"Dan menurut Anda, saya tidak akan melakukan itu?"
Tokitada tertawa terbahak-bahak namun tidak menjawab. "Asuka ... Asuka. Nama yang indah,"
gumamnya kepada dirinya sendiri. "Tidak heran Ular mengincarnya ". Sungguh menakjubkan bahwa bunga secantik itu bisa tumbuh di tengah pemukiman kumuh yang jorok."
o0odwkzo0o Bab XXXVIII-TIGA BUAH MIMPI
Tokitada bangun lebih pagi keesokan harinya. Kereta beserta sepasukan samurai dan pengawal telah menanti di depan pintunya, menyambutnya yang tampil dengan keagungan khas istana. Rombongan itu segera mendekati gerbang Rokuhara; Tokitada telah mengirim pesan untuk mengumumkan kedatangannya dan menanyakan apakah sang nyonya rumah telah siap. Sebuah kereta wanita yang anggun telah menanti di dekat beranda; rumbai-rumbai ungu menggantung di jendelanya; tidak setitik pun debu tampak di badan dan atapnya yang bercat indah; hiasan perak dan emas dengan ukiran bermotif burung dan kupu-kupu berkilauan cemerlang. Namun, dua sosok yang melangkah ke beranda, diiringi oleh serombongan dayang, dari dalam rumah jauh lebih cemerlang daripada kereta itu.
"Maafkan aku karena telah membuatmu menunggu, Tokitada," kata Tokiko, yang didampingi oleh putrinya yang berumur tujuh tahun.
"Ah, Tokiko, aku nyaris tidak mengenalimu dengan penampilan semewah itu!"
"Oh, tidak setiap hari aku berkunjung ke Istana Kloister
". Dan lagipula, sekarang musim semi."
"Kau tampak memesona, sungguh! Aku yakin semua orang tidak akan keberatan dengan perubahanmu ini ...
tidak peduli secantik apa pun dirimu. Benarkah bahwa kau mendengar saranku kepadamu?"
"Jangan mengolok-olokku. Para pelayan melihat kita dan kesulitan menahan tawa."
"Biarkan saja mereka tertawa. Aku tak mengerti mengapa kalian para wanita takut ditertawakan. Wanita-wanita serius seperti Nyonya Ariko terlalu berlebihan bagiku, jangan sampai kau menjadi seperti dia ". Betul, bukan, Tokuko?" kata Tokitada, membelai rambut kemilau keponakannya. "Tuan Putri", mari naik ke keretaku, dan aku akan mendongeng untukmu." Tokitada mengulurkan kedua tangannya untuk menggendong gadis kecil itu, namun Tokuko malah bersembunyi di balik kimono ibunya dan mengintip pamannya sambil menggeleng. Dayang-dayang, yang berdiri di sekitar mereka, tertawa terbahak-bahak sementara Tokiko menggendong putrinya dan memasuki keretanya.
Kereta Tokitada dan sepasukan pengawal mengiringi kereta Tokiko di sepanjang jalan berapit pepohonan di Rokuhara.
Tokiko jarang meninggalkan Rokuhara; setiap kali dia melakukannya, sepasukan besar samurai selalu mengawalnya. Selama bertahun-tahun dia disibukkan oleh anak-anaknya ... sembilan orang, sehingga dia kerap terheran-heran kepada dirinya sendiri. Suaminya sedang berada di puncak kejayaannya, dan Tokiko sendiri masih
berumur awal empat puluhan. Dan melihat suaminya yang gemar bersenang-senang dan main mata, Tokiko mulai menyadari bahwa dia harus mencegah dirinya menua sebelum waktunya. Hubungan gelap Kiyomori dengan Tokiwa setahun silam telah memberinya pelajaran pahit dan menimbulkan banyak luka di hatinya. Pada masa itu, dia sering berdoa agar kesuksesan Kiyomori terhambat agar hubungan gelap semacam itu tidak terjadi lagi ".
Dibuai oleh guncangan keretanya, Tokiko tenggelam dalam renungannya: empat puluh tahun ... kebanggaannya terhadap pesona ragawinya telah memudar. Bagi seorang pria, yang telah diperkaya oleh pengalaman dan kebijaksanaan, usia ini adalah saat yang tepat untuk mengambil tindakan-tindakan penting, meraih prestasi-prestasi besar; telah tiba waktu baginya untuk menghadapi seorang bocah dewasa yang mustahil dikekang ".
Kereta Tokiko mendadak berhenti dan kereta Tokitada berhenti di sampingnya.
"Tokiko, bukalah kerai jendelamu dan lihatlah ke sekelilingmu."
"DI mana ... di manakah kita sekarang?"
"Jalan Kedelapan Barat ... di seberang sungai yang mengalir dari Rokuhara ... itu adalah wilayah pedesaan Shimabara, Mibu. Yang di sana adalah Kamiya dan Sungai Omura ". Lebih jauh lagi di selatan, kau bisa melihat Sungai Yodo. Pemandangannya luar biasa, bukan?"
"Mengapa kau membawaku menyimpang sejauh ini dari Istana" Bukankah Istana ada di arah yang berlawanan?"
"Tidak, kita tidak sepenuhnya menyimpang ".
Lihatlah,Tokiko, lihatlah sendiri ... ribuan orang sedang bekerja di sebelah sana!"
"Apakah yang sedang mereka kerjakan?"
"Mereka sedang membangun jalan baru. Kaulihat orang-orang itu menggali, mengangkut tanah, dan sibuk bekerja"
Kaudengar keramaian samar-samar di kejauhan" Para tukang batu, tukang kayu, dan yang lainnya bekerja di sana.
Dalam waktu enam bulan, kau tidak akan mengenali tempat ini lagi."
"Lalu, apakah yang akan mereka dirikan di sini"**
"Perumahan mewah dan istana-istana. Sebuah kota akan berdiri di sini tidak lama lagi ... bahkan, sebuah kota di dalam kota, sebuah pusat klan Heik6!"
"Apakah Rokuhara saja tidak cukup?"
"Rokuhara sudah terlalu sesak sekarang. Aku yakin bahwa Kiyomori memikirkan masa depan, dan tidak ada yang mengetahui apa yang akan dilakukan oleh pria sepintar dia. Tidak diragukan lagi,
dia terlahir sebagai seorang tokoh besar dan kau adalah istrinya. Jangan lupakan itu, Tokiko."
"Tokitada, apa kau benar-benar yakin bahwa itu akan membahagiakanku?"
"Kau adalah seorang wanita dan kurasa kau memiliki semua alasan untuk bersyukur karena bersuamikan pria seperti itu."
"Omong kosong, Tokitada. Rokuhara paling sesuai untukku. Semua ini hanya akan berujung pada semakin banyaknya hal untuk dikhawatirkan. Kuharap kau bisa mencegah suamiku melanjutkan rencananya."
Tokitada terkejut ketika Tokiko menutup kerai jendelanya dengan gusar. Dia telah berepot-repot mem
bawanya kemari karena yakin bahwa kakaknya itu
akan senang, dan dia mulai memikirkan apakah keputusannya ini akan menghadirkan masalah baru di dalam rumah tangga Tokiko.
Tokitada menghela napas. ?" Wanita-wanita itu, aku tidak bisa memahami mereka. Mereka lebih serakah daripada pria, lebih keras kepala, tapi sepertinya mereka tidak menyukai hal-hal yang menyenangkan."
Kedua kereta itu melewati kanal di sepanjang Jalan Kedelapan dan segera tiba di depan gerbang Istana Kloister.
Adik Tokiko, Shigeko, baru setahun sebelumnya melahirkan Pangeran Noribito, putra ketiga dari kaisar terguling, Goshirakawa. Shigeko telah beberapa kali memohon kepada Tokiko untuk datang dan menjenguk bayinya. Etika, bagaimanapun, mencegah Tokiko dari memenuhi permintaan adiknya hingga sang mantan kaisar sendiri mengirim undangan untuknya.
"Membosankan sekali "!" keluh Tokitada ketika menunggu. Dia datang bersama Tokiko hanya sebagai pengawal resmi sehingga tidak diizinkan memasuki bagian dalam Istana. Dari tempatnya menunggu, dia bisa mendengar suara-suara dan gelak tawa kedua saudarinya.
Tangisan melengking seorang bayi tiba-tiba mengejutkan dan menyadarkan Tokitada bahwa dirinya adalah paman dari sang pangeran baru. Pikiran ini sungguh mengesankan.
Tidak ada yang pernah menyangka " memiliki hubungan darah dengan seorang pangeran ". Apakah yang akan dikatakan oleh ayahnya, seorang bangsawan miskin, jika beliau masih hidup" Pikiran Tokitada melayang ke masa kecilnya. Mereka sangat miskin sehingga dia harus menyabung ayam untuk melipatgandakan uang melalui perjudian ". Pikirannya kemudian melayang ke masa depan: kekuasaan, kejayaan, kebesaran yang menyaingi klan Fujiwara! Gelak tawa kedua saudarinya kembali
menggugah lamunannya. Mereka semua sama-sama bahagia ... ya, gembira ... namun berkat sumber yang sangat berbeda.
Mantan Kaisar sendiri mendesak Tokiko untuk makan malam di Istana, dan Tokitada pun segera bergabung bersama mereka. Mantan Kaisar memangku putri Tokiko.
membelai rambutnya, dan berkata, "Orang-orang selalu mengatakan bahwa anak perempuan biasanya mirip dengan ayahnya, dan anak laki-laki dengan ibunya, namun si kecil ini tidak memiliki kemiripan sedikit pun dengan Kiyomori."
Kebahagiaan Tokiko membuncah ketika dia melihat Mantan Kaisar membelai-belai Tokuko dan berkali-kali mengatakan, "Kau gadis kecil yang cantik, anak yang cantik sekali! ?" Tokiko merasa bahwa tidak ada hal lain yang bisa menandingi kehormatan dari pujian tersebut.
"Tokiko, berapakah jumlah anakmu?" kata sang mantan kaisar.
Tokiko menjawab dengan tertawa, "Sangat banyak, sampai-sampai saya sendiri tak sanggup menghitungnya."
"Lebih banyak anak laki-laki atau perempuan?"
"Anak perempuan."
"Dan si kecil ini, anak keberapa?"
"Ini putri ketiga kami."
"Ada begitu banyak anak hingga kau tidak sanggup mengingat-ingatnya. Kalau begitu, kau tentu tidak keberatan jika yang satu ini tinggal bersama bibinya, bukan?" ujar Mantan Kaisar Goshirakawa dengan senyuman. "Apakah kau mau, Nak?"
Bocah itu tidak menunjukkan air mata; dia melepaskan diri dari pelukan Goshirakawa dan berlari menyongsong ibunya.
"Seperti yang Anda lihat sendiri, Yang Mulia, Tokuko masih kecil."
"Baiklah, tapi dia harus sering-sering mengunjungi bibinya agar bisa berkenalan dengan kehidupan di sini. Dan setelah itu, tinggal di sini?"
Goshirakawa kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Tokiko, dengan sopan bertanya tentang dirinya, rumah tangganya, dan kehidupan di Rokuhara; dia berbicara kepadanya tentang Kiyomori ... kekuatan dan kelemahannya ... mendorong Tokiko untuk menyambut gembira masa depan suaminya. Saking terpesonanya kepada sang mantan kaisar, Tokiko menceritakan banyak hal kepadanya. Dengan sikap simpatik, Goshirakawa mendengarkan keluhan Tokiko mengenai suaminya dan memberikan tanggapan yang memuaskan tanpa harus mencela Kiyomori:
"Tidak, memang bukan sesuatu yang mudah bagi seorang wanita untuk menjadi istri seorang pria sehebat itu
". Kendati begitu, kau tidak akan berbahagia jika bersuamikan seorang pria pengecut"
"Tidak, saya yakin bahwa seorang pria yang biasa-biasa saja, walaupun miskin, yang kerap tinggal di rumah dan memerhatikan istrinya akan jauh lebih saya sukai."
"Ya, suamimu memang seseorang yang tak pernah kenal lelah dan senantiasa mengejar mimpi-mimpinya." "Ya, tepat seperti itu," Tokiko mengiyakan. "Kau bisa mendorongnya untuk sedikit lebih mendalami agama.
Kelemahan Kiyomori adalah kebiasaannya untuk
meremehkan keimanan orang lain ... kesan tidak kenal takut itu."
Semakin banyak sang mantan kaisar mengungkapkan kelemahan Kiyomori, semakin Tokiko mengaguminya.
Ketika tiba waktu bagi Tokiko untuk berpamitan, Goshirakawa telah mengetahui tentang seleranya. Dia menghadiahkan sehelai kain yang langka dan indah kepada Tokiko dan memintanya untuk lebih sering berkunjung.
Pada malam yang sama, Bamboku tiba di taman mawar dan mendapati bahwa Kiyomori telah menunggu di sana bersama Michiyoshi, si pemimpin perompak, yang sejak setahun silam dipekerjakan di Rokuhara sebagai pelayan Kiyomori.
"Pengerjaannya sudah rampung. Tuan," kata Michiyoshi, membentangkan sebuah peta besar di hadapan Kiyomori. Sebagian dari peta itu ... garis pesisir dan pelabuhan-pelabuhan di Cina ... dibuat berdasarkan perkiraan; jalur-jalur yang membelah Laut Dalam juga tampak di sana.
Kiyomori membungkuk di atas peta itu dengan penuh minat "Ini" ... Mendekatlah, Bamboku, dan lihatlah sendiri peta ini."
"Michiyoshi di bandar yang manakah kau berdagang di Cina?"
"Tidak ada satu bandar pun yang permanen. Semuanya tergantung pada arah angin dan pasang surut air laut."
"Bagaimana dengan di Laut Dalam?"
"Saya belum pernah ke sana karena tidak ada pelabuhan yang bagus di sana."
Kiyomori menunjuk empat atau lima titik di peta.
"Bagaimana dengan ini?"
"Pelabuhan-pelabuhan itu hanya cukup untuk menampung perahu nelayan dan kapal kecil."
"Lebih jauh lagi, jika begitu?"
"Arus di luar pelabuhan tidak bisa ditebak. Jika ada kapal yang bisa mencapai Teluk Kumano, pelabuhan-pelabuhan alami yang bagus bisa ditemukan di antara pulau-pulau di sana. Tetapi, kapal-kapal dagang Cina yang besar tidak akan muat di sana."
"Sayang sekali ... " Kiyomori mendesah dan mendongak. "Lima ratus tahun yang lalu, ketika duta negeri kita diterima di singgasana T"ang, harta benda dari Cina mengalir kemari. Itu adalah hari kejayaan "!"
"Lebih jaya daripada sekarang?"
"Tentu saja. Kau pasti menganggapnya aneh, namun aku yakin bahwa negeri kita lebih makmur lima ratus tahun yang lalu, kebudayaan kita lebih cemerlang, para pemuka agama kita lebih bijaksana dan giat, dan penduduk kita lebih menikmati kedamaian. Sungguh aneh bahwa kita tidak membuat kemajuan. Kita berjalan di tempat selama lima ratus tahun."
"Menurut Anda, apakah alasannya?"
"Kita membiarkan diri kita terjebak di pasir isap.
Saluran-saluran untuk mendapatkan ilmu pengetahuan baru telah tersumbat ... ini sudah terjadi sejak berabad-abad silam, ketika kaisar berhenti mengirim dutanya ke Istana Tang. Bagaimana menurutmu, Hidung Merah?" Kiyomori tergelak dan cepat-cepat meralat ucapannya, "Bamboku, maksudku. Nah, Pengawas Sungai Kamo, jangan terlena oleh gelarmu. Kau akan menangani salah satu dari kelima
pelabuhan di Laut Dalam dan akan mengirim sejumlah kapal ke Cina, kau tahu."
"Ya, saya akan mempertaruhkan seluruh kekayaan saya untuk itu."
"Apabila kita sudah memulainya ... pelabuhan manakah yang pertama kaupilih?" tanya Kiyomori.
"Bagaimana dengan Pelabuhan Kanzaki di mulut sungai?"
"Tidak disarankan karena kubangan pasirnya."
"Muro?" "Terlalu sempit."
"Di manakah tempat yang tepat, jika begitu?"
"Owada (Kobe). Aku sudah berkali-kali berlayar melewatinya ketika masih bocah. Tanah Ayahku terbentang di sepanjang pesisir di sana. Kerabatku juga tinggal di sana, dan kapal yang kutumpangi selalu melewati Owada ".
Dan setiap kali kami mencoba berlabuh di sana, angin kencang dan keadaan pelabuhan yang buruk menyulitkan kami. Semasa masih bocah pun aku sudah memikirkan apa yang bisa diperbuat untuk pelabuhan di sana."
Bamboku menatap Kiyomori dengan terkejut. "Eh, Anda sudah memiliki pikiran semacam itu sejak masih bocah?"
"Hmm " sejak aku berumur dua puluhan karena, Bamboku, pikirkanlah ... " tidak seperti biasanya, Kiyomori berbicara dengan nada serius kepada Hidung Merah ... "aku baru saja menganugrahkan sebuah gelar kepadamu ...
sesuatu yang beberapa tahun silam tidak pernah kusangka akan bisa kulakukan. Dan siapakah Kiyomori semasa mudanya" Seorang samurai yang dibenci oleh kaum bangsawan! Seekor anjing penjaga dan keturunan Heik6
yang mengenaskan ". Bagaimana mungkin aku tahu ketika itu bahwa masa depan terbentang luas di hadapanku" Aku masih muda ... tertindas, terinjak-injak, namun bertekad untuk tetap hidup."
"Ya, saya masih mengingat masa itu."
"Ya, kau tentu masih ingat, Bamboku. Kau sendiri bukan siapa-siapa di Istana ketika itu. Dan tidak ada peluang bagi tumbuhnya harapan atau ambisi seorang pemuda untuk tumbuh, kecuali dengan memberontak atau bergabung dengan kelompok penjahat ". Karena itulah, setiap kali aku berlayar melewati Owada bersama ayahku, aku selalu bermimpi bahwa akan tiba suatu hari ketika aku membelah sebagian bukit itu dan melihat sebuah kapal membuang sauh di pelabuhannya. Tempat itu akan menjadi bandar perdagangan besar yang didatangi oleh kapal-kapal dari Cina. Itulah angan-anganku setiap kali memandang laut."
Hidung Merah, yang mendengarkan dengan saksama, mengatakan, "Ternyata saya salah. Saya menyangka bahwa semua ini adalah impian liar yang baru saja terlintas di benak Anda."
"Tidak, aku sudah memupuknya selama dua puluh tahun. Bermimpilah, bermimpilah selagi kau muda, Bamboku. Impianku, seperti yang bisa kaulihat sendiri, telah mulai terwujud. Ini adalah sebuah kebahagiaan yang tidak tertandingi oleh apa pun bagiku. " Kurasa, tidak hanya dirimu yang beranggapan bahwa semua ini hanyalah angan-angan liarku?"
Kiyomori jarang merenung hingga sepanjang itu; sekarang, matanya berkaca-kaca, terpesona pada impiannya sendiri. Bamboku mengenang Kiyomori setahun silam ...
ketika dia tengah tergilagila kepada Tokiwa ... dan nyaris tidak percaya bahwa dia sedang memandang pria yang sama. Kiyomori melipat peta di hadapannya sementara para pelayan mulai menghidangkan sake dan makanan; para pria lain di rumah itu segera bergabung bersama mereka untuk minum-minum dan menikmati hiburan.
Kiyomori menenggak bercangkir-cangkir sake, menonton para geisha dengan pikiran melayang karena mabuk; baginya, tabuhan genderang terdengar bagaikan deburan ombak di laut.
Sementara itu, sebuah kereta bergerak tanpa suara melewati gerbang, dan Tokiko keluar dengan menggendong Tokuko yang tertidur nyenyak.
Kiyomori meninggalkan tarian dan nyanyian di belakangnya dan menyusuri lorong menuju kamar Tokiko.
Tokiko melihat bahwa, tidak seperti biasanya, suaminya sedang gembira dan penyebabnya bukan minuman. Tokiko sendiri, yang sedang tidak sekaku biasanya, dengan penuh semangat menceritakan setiap detail kegiatannya hari itu kepada suaminya.
Pertanyaan pertama Kiyomori adalah "Bagaimana kabar sang pangeran cilik?"
"Beliau sehat, dan sangat mirip dengan ayahnya."
"Mm ". Bagaimana kabar Shigeko?"
"Yang Mulia juga baik-baik saja." Tokiko meralat dengan senyuman menawan.
"Apakah kau berbicara panjang lebar dengan Yang Mulia Mantan Kaisar" Apakah beliau mengatakan sesuatu?" adalah pertanyaan Kiyomori yang selanjutnya.
"Ya, beliau begitu ramah, dan aku merasa sangat terhormat karena pertanyaan-pertanyaan beliau tentang keluarga kita dan pendapatnya mengenai dirimu."
Kiyomori mencermati ekspresi wajah Tokiko ketika sedang berbicara. Dia menyadari bahwa sang mantan kaisar sedang sebisa mungkin berusaha mendapatkan dukungan militer dari dan seluruh klan Heik6. Kendati begitu, Tokiko terus mencerocos tentang pesona, kelembutan, dan kebaikan hati Yang Mulia.
Kiyomori terpaksa menguap untuk mengakhiri pembicaraan mereka. "Aku senang kau menikmati harimu," katanya. "Bagus bagimu jika sesekali keluar rumah. Aku akan tidur lebih cepat karena harus mengikuti pertemuan di Istana besok pagi," ujarnya seraya berdiri.
"Oh, tinggallah di sini untuk mengobrol lebih lama denganku," pinta Tokiko.
"Masih adakah yang hendak kauceritakan kepadaku?"
"Ya, aku terkantuk-kantuk di kereta di sepanjang perjalanan pulang tadi dan mendapatkan mimpi yang sangat aneh."
"Mimpi?" "Mungkin bukan mimpi ?"
"Omong kosong!"
"Mimpi ataupun bukan, penajamanku tadi sangat luar biasa. Kejadiannya tepat setelah kami tiba di jembatan Gojo. Tokuko tertidur di pangkuanku, dan aku juga pasti tertidur, karena mendadak kereta kami seolah-olah terbang ke awan; derak kereta tidak lagi terdengar, tapi aku malah mendengar deburan ombak ". Aku memandang ke
sekelilingku, dan ternyata kami sedang terbang di atas laut Aku memikirkan ke mana aku dibawa dan menangis di dalam tidurku, dan tahukah kamu" ... alih-alih seekor sapi.
sepasang rubah menarik kereta kami! Lalu, aku melihat sebuah pulau yang seindah puncak-puncak surga menjelma di hadapanku; sebentuk pelangi melengkung di langit, dan sebuah suara terdengar olehku ... "Itsuku-shima ... Itsuku-shima," katanya. Kemudian, rubah-rubah itu lenyap, dan aku terbangun oleh deburan ombak dan petikan harpa."
"Kau terbangun?"
"Bahkan setelah benar-benar terjaga, aku masih bisa mendengar alunan musik dan suara di awan yang mengatakan, "Itsuku-shima."
Aku bahkan masih bisa mendengarnya sekarang! Aku mendengarnya selama di dalam kereta."
"Bisakah kau menjelaskan makna mimpimu itu?"
"Apakah kau masih ingat waktu itu ... kau masih berumur tiga puluh tahun saat itu, sepertinya ... ketika kau berburu karena membutuhkan bulu rubah untuk baju zirahmu" Peristiwa itu terjadi setahun setelah pertikaian dengan para biksu, dan kau harus menjauhi Istana."
"Oh, ya, aku ingat masa itu."
"Apakah kau masih ingat bahwa kau jatuh iba pada rubah-rubah itu dan lebih memilih untuk pulang dengan tangan hampa daripada memanah mereka?"
"Hebat sekali ingatanmu!"
"Aku belum pernah menceritakan ini kepadamu, tapi sejak saat itu, aku menyimpan kecapi, yang dihadiahkan oleh Shinzei kepadamu, di ruang peribadatan kita dan mempersembahkannya kepada Dewi Musik karena rubah
adalah kurirnya dan kecapi adalah alat musik kesukaannya."
"Gagasanmu itu bagus sekali. Walaupun Shinzei bukan kenangan yang bagus, aku yakin arwahnya bahagia karena persembahanmu kepada sang dewi."
?" Jadi, makna mimpiku adalah, kurasa, sebuah pertanda bahwa rubah-rubah itu mengawasi rumah kita.
Tidakkah kau berpikir bahwa kurir-kurir sang dewi datang untuk mengingatkan kita bahwa kita sesekali harus memberikan penghormatan kepada dewa klan Heik6 di Itsuku-shima?"
Misteri Nuri Gagap 3 Llano Estacado Karya Dr. Karl May Misteri Labah Labah Perak 1

Cari Blog Ini