Ceritasilat Novel Online

Drama Dari Krakatau 2

Drama Dari Krakatau Karya Sinng In Kiok Bagian 2


"Ini tida bisa, lantaran kita-orang punya anak-anak tida boleh menika pada sembarang lelaki rendah yang tida sade-rajat dengen kita."
"Kalu tuan pandita mau pegang begitu keras tuan punya aturan, niscaya tuan punya anak jadi tua dengen tida bisa dapet suami. Apakah tuan tida kasian pada itu anak yang begitu muda dan eilok?"
"Apakah yang saya pegang dengen keras" Tiada laen, cumah saya ingin saya punya anak dapet suami saorang yang sama tingginya dengen kita punya derajat, satu adat kabiasaan yang banyak dipake juga oleh laen-laen bangsa, dan malah di antara priyaie-priyaie disini pun banyak yang pegang keras itu aturan, yaitu tida kasih anaknya menika kalu bukan pada turunan priyaie lagi saya lebih suka Retna Sari sampe tua jangan menika dari pada jadi istrinya orang yang tida sebanding dengen kita punya derajat." "Tadi tuan Pandita ada sebut juga fatsal kasusahan yangterbit dari berlaenan agama, yang saya rasa aken menjadi halangan besar, kerna tuan punya agama sekarang tida terkenal, malah agama yang disujut oleh orang Baduy sendiri tuan bilang sekarang sudah tida bersih lagi seperti di jeman dulu."
"Itu betul, tapi ini kasusahan tida terlalu besar, kerna sasudahnya saya preksa berbagi-bagi macem agama, saya dapet kanyataan semua berasal dari satu pokok, cumah di luarnya saja berlaenan sedeng isinya ampir sama. Cumah itu kabratan nanti dateng dari laen fihak seperti upamanya orang Sunda yang pegang betul agama, tentu tida mau menika
42 41 pada saorang prampuan yang tida menjunjung agama Islam, sedeng saya tida mau ini anak dijadiken selir."
"Kalu begitu tuan pandita tida kabratan mendapet mantu saorng yang berlaenan agama?"
"Kalu saya dapet kanyataan anggepannya itu bakal mantu tentang agama ada cocok dengen sarinya saya punya agama, sudah tentu saya tida menaro kabratan kalu saja derajatnya ada same seperti saya."
"Ini perkataan ada gelap, sebab susah sekali buat diukur derajat bagimana yang tuan Pandita anggep ada sama tingginya seperti tuan. Apakah tuan maksudken saorang hartawan besar atawa berpangkat tinggi?"
"Bukan begitu," berkata Pandita Noesa Brama sambil tertawa: "Saya tida kabratan aken dapet mantu saorang miskin, yang tida mempunyai pangkat atawa kakayaan satu apa, sebab saya sendiri pun bukan orang mampu dan idup sacara miskin. Yang saya pilih cumah iapunya tingka laku, turunan dan anggepannya tentang agama, yang musti cocok dengen kita punya kapercayaan, tida perduli ia Kristen, Islam atawa apa saja."
"Apakah tuan mau dapet mantu yang turunan santri, penghulu atawa pandita seperti tuan sendiri?"
Kombali Noesa Brama tersenyum, akhirnya ia berkata: "Saya tida bisa terangken ini pada tuan, cumah saya mau bilang kliru kalu orang pandang saya ini cumah satu pandita yang satu derajat dengen segala penghulu atawa santri-santri di pulo Jawa. Saya punya derajat ada lebih tinggi dari segala priyaie yang paling tinggi dari bilangan Bantam, saya tida ada lebih rendah dari Sultan Yokya atawa Sunan Solo....Cumah sabegitu saya boleh bilang pada juragan... harep jangan tanya lebih panjang dari ini suai."
Raden Moelia tercenggang30 mendenger ini omongan. Ia awasin aer mukanya itu pandita yang bersifat agung dan mulia dan menunjukken terang iapunya asal bangsawan, seperti turunan dari raja-raja yang membikin sasuatu orang terpaksa taro hormat padanya. Iapunya pri budi alus dan pikiran yang tinggi membikin Raden Mulia merasa yang ia ada berhadepan bukan dengen orang sembarangan. Tapi katerangannya yang paling blakang ini membikin itu priyaie menjadi kaget, kerna sekarang jadi tambah pula itu hal-hal yang luar biasa yang meliputi pengidupannya itu pandita yang penuh dengen resia.
43 "Baeklah, saya tida nanti bicaraken lebih jau tentang tuan punya familie," surat Raden Moelia: "tapi maafkenlah, sablonnya kita tutup ini pembicaraan, saya ingin majuken ini pertanyaan yang pengabisan: kalu tida dapet orang lelaki yang tuan pandang sama tinggi derajatnya dengen tuan sendiri, apakah Retna Sari tida aken dikasih nikah?" "Tida!" saut Noesa Brama dengen suara tetep. "Bagimana kalu ia sendiri sudah punya kacintaan, sudah ada satu lelaki yang dipenuju, sebab ingetlah, tuan Pandita sekarang sudah berumur tua, hingga tida sanggup jaga selama-lamanya pada itu anak."
"Kalu saya sudah mati, ia boleh bikin apa ia suka, maski sudah tentu saya punya roh nanti kutukin padanya kalu ia brani menika pada sembarang orang. Tapi kalu waktu saya masih idup ia brani melanggar saya punya kamauan, saya nanti bunuh itu anak!"
Ini perkataan diucapken oleh Noesa Brama dengen suara tandes dan tetep, serta matanya menyalah, hingga membikin Raden Moelia jadi terkejut sanget, kerna tiada sangka itu orang tua yang begitu lemah lembut budi bahasanya, ada mempunyai keangkuhan begitu besar dan hati begitu keras, yang cumah biasa terdapet dalam dongengan kuno.
Raden Moelia lalu simpangken pembicaraan atas laen-laen urusan satengah jam kemudian ia berpamitan, dan turun dari atas gunung Ciwalirang dengan hati berat, kerna banyak pertanyaan yang dateng bersusun tindih dalem pikirannya tentang kaadaan itu pandita yang penuh dengen resia, yang ia tida bisa pecahken, dengen ditambah pula itu paras dan senyuman yang manis dari Retna Sari, yang selalu membayang-bayang di matanya.
Itu priyaie muda yang blon beristri putra Bupati dari Rangkas-gombong, dengen tida merasa telah kena tertusuk oleh panahnya Amor!!
VI Wet Negri dan Wet Hati Tatkala Raden Moelia sampe di rumah ia duduk bengong sendirian di korsi males dengen rupa yang amat lesu. Bukan sebab badannya merasa cape lantaran baru abis berjalan jau, hanya kerna pikirannya sanget terganggu.
Sasuatu ucapannya itu pandita, terutama di bagian paling blakang yang mengenaken nasib anak prampuannya, sanget menarik iapunya pikiran. Apakah betul Noesa Brama ada saorang
44 bangsawan yang ada derajat begitu tinggi hingga tida lebih rendah dari raja-raja di Jawa yang sekarang ini, yang semua sudah beratus taon lamanya memelok agama Islam. Turunan dari raja-raja yang menganut agama Hindu cumah masih ada di Bali, sedeng Noesa Brama terang sekali bukan ada saorang Bali, hanya saorang Sunda yang idup di bilangan Bantam turun temurun dan blon pernah menginjek tanah Bali. Itu turunan tentu sekali ada beratsal dari karajaan Pajajaran di jeman dulu yang termashur besar kakwasaannya di Jawa Kulon. Amat boleh jadi ia ada turunan dari raja-raja Pajajaran yang pengabisan yang tatkala ibu kota karajaan-nya, yang dinamaken Pakuan yang pernanya di Batutulis, Buitenzorg, kena direbut oleh tentaranya Sunan Gunung Jati dari Cheribon,1 telah melariken diri ka Preanger Kidul dan masuk sembuni2 ka dalem pagunungan di bilangan Bantam dengen sajumblah rahayatnya yang tida mau menganut agama Islam yang sekarang terkenal sebagi orang Baduy, yang idup terpisah sendiri dari laen-laen golongan penduduk. Boleh jadi juga itu gelaran Pandita yang dipake oleh Noesa Brama, yang katanya diwarisken turun menurun, cumah ada satu alingan saja buat iapunya pangkat dan gelaran yang bener, yaitu sabagi Raja dari kaum Baduy yang dipegang tetep oleh turunannya Prabu Siliwangi, raja dari Pajajaran yang pengabisan, maski juga itu gelaran dan titel tida ada yang tau dan di ini masa tida satu orang mau akuin.
Ini dugaan jadi lebih tetep lagi tatkala Raden Moelia inget, itu pandita mengancem hendak bunu iapunya anak yang sabiji itu kalu Retna Sari brani menika pada saorang yang berderajat rendah. Inilah pantes ada tabeat dari raja-raja di jeman Hindu, yang sringkali terdapet dalem cerita wayang, yang pandang hal menjaga derajat dan kahormatan familie ada lebih di atas dari semua, dan menikah pada orang yang bukan pantaran ada kadosahan besar. Tapi kalu bener begitu mengapakah itu pandita sendiri menikah pada satu anak prampuan Bantam yang ada di luar kaumnya, yang dikukut dari masih kecil oleh ayahnya" Derajat apakah yang dipunyai oleh itu anak pungut yang sekarang jadi iapunya istri" Apakah boleh jadi istrinya itu pandita pun ada turunan anaknya orang bangsawan gantigr tapi bangsawan Sunda yang manakah nanti mau kasih anak prampuannya diambil oleh saorang Baduy yang tinggal di pagunungan."
Memikir sampe di sini, dalem ingetannya Raden Moelia lalu tercipta pula rupanya itu "ibu", istri dari pandita, dan parasnya yang cantik dari Retna Sari, yang kaliatan sanget luar biasa menarik hatinya, kerna itu dua paras ia seperti sudah perna liat, apa lagi itu mata dan alls yang begitu indah, yang bercahaya begitu terang, yang tida nanti bisa
dipunyai oleh sembarang orang yang bukan turunan agung. Maka sekarang Raden Moelia coba kumpulen ingetannya aken pikirken, di mana itu paras ia sudah perna pandang.
Sambil isep satu sigaret ia duduk bengong melonjor di korsi males dengen matanya mengawasi pada asep yang ia kebulken dari mulutnya. Komudian ia melirik pada lonceng yang menempel di tembok yang menunjukken sudah jam ampat sore. Di bawah itu lonceng ada teratur satu kumpulen potret dari iapunya ayah, ibu sudara, laen-laen familie dan sobat-sobat. Matanya lalu mengawasi juga pada itu potret-potret. Mendadak ia terkejut, lompat bangun seperti dipagut uler, mengamperi dan ambil satu potret ukuran salon, yang sudah sedikit tua, tapi gambarnya masih kaliatan teges, di mana ada tergambar satu priyaie dengen istrinya yang berdiri berendeng.
"Ach, ini dia, sekarang aku dapet cari! Inilah gambarnya aku punya nene, yang parasnya ada ampir sama dengen Retna Sari dan ibunya, hubungan apakah yang ada antara iaorang hingga rupanya begitu mirip satu pada laen?"
Lama ia memandang pada itu potret dari iapunya nene yang sudah lama meninggal, dan semingkin ia awasin, ia liat itu paras ada semingkin mirip dengen istri dan anak prampuan dari itu pandita. Komudian ia taro kombali itu potret di tembok, dan lalu ambil putusan di laen minggu hendak kunjungin kombali itu pandita supaya bisa usut keterangan lebih jau dan sekalian aken liat lagi pada Retna Sari yang paras dan senyumnya selalu berbayang dalem ingetannya.
Raden Moelia pikir hendak pergi ka Gunung Ciwalirang di laen minggu waktu ia vrij3 dari dienst. Tapi iapunya hati sudah jadi begitu tida sabar, hingga dengen sanget susah ia tindes kainginan aken brangkat ka tempat pandita di besok harinya. Buat menunggu sampe hari Minggu sudah terang ia tida sanggup, kerna sasuatu hari ia rasaken begitu lambat seperti juga satu bulan. Pakerjaan dienst yang banyak, surat-surat yang musti diurus di kantornya tida bisa mem-bikin ia lupaken pada itu pondok kecil di puncak gunung Ciwalirang, yang siang dan malem terbayang-bayang dalem ingetannya.
Di hari Rebo pagi Raden Moelia sudah tida bisa tahan hatinya, dan lantes lompat di iapunya motorfiets4 menuju sendirian ka Sukarame, di mana ia tunda itu kandaraan dan lalu berjalan mengikuti kali Citanjur hingga akhirnya ia sampe di itu pondok-pondok di bawah bukit. Di situ ia duduk minum thee aken mengaso buat ilangken capenya. Ia dapet-ken orang-orang yang ditemuken pada hari Minggu yang lalu masih ada berkumpul, dan itu orang Palembang Abdoel Sintir yang dapet sakit mata, sekarang sudah sembuh sama sekali, hingga
46 45 matanya tida usah dibungkus lagi, dan sekarang sedeng asik omong-omong bersama kawan-kawannya dengen rupa sanget girang.
Itu orang-orang Palembang semua bicara Melayu, dan iaorang bicara dengen laluasa lantaran anggep di itu tempat semua orang bicara Sunda hingga tida begitu mengarti omongannya yang diujarken dalem bahasa Melayu Atas. Satu antaranya berkata begini:
"Kalu kau punya maksud sudah keras dan tetep sekali, kamu musti bicaraken ini hal dengen lekas pada itu Pandita, sebab aku dengar kabar lagi dua minggu ia bakal berlalu dari sini, aken balik ka tempatnya yang amat jau dan tida satu orang yang tau di mana adanya, hingga sanget susah aken kita berurusan, kerna musti menunggu satu taon baru ia kombali lagi di sini".
"Dalem itu tempo satu taon", berkata saorang laen, "boleh jadi Retna Sari sudah dipunyain oleh laen orang."
Raden Moelia terkejut mendenger ini omongan, hingga thee yang ia lagi irup tumpah di bajunya kerna tangan yang memegang cangkir telah bergumeter. Ia lalu mengiser5 dari bangku aken dateng lebih deket ka tempat duduknya itu orang-orang Palembang, serta pasang kuping terang-terang.
"Aku rasa," berkata pula yang laen, "tiada gampang bisa dapet itu gadis, sebab itu pandita tentu tida mau kasih anaknya dibawa ka sebrang lautan."
"Tapi aku sendiri boleh berjanji kalu sudah menika aken tinggal bersama-sama itu pandita yang sekarang aku pandang seperti ayah sendiri sasudanya ia sembuhken aku punya penyakit mata". Berkata si Abdoel Sintir, "kalu Retna Sari sudah jadi istriku, dengen perlahan kita nanti bujuk aken ia turut ka Palembang."
"Itu memang ada gampang, kalu saya itu Pandita mau kasih anaknya buat menikah padamu. Tapi kalu ia menolak?"
"Tapi apakah ia nanti menolak kalu aku srahken mas kawin sepulu ribu rupia dan semua hatsil dari aku punya kebon karet ia boleh trima?"
"Ingetlah itu pandita tida temaha sama uwang, hingga kita punya segala pembrian semua ia tampik".
"Tapi ada banyak dukun-dukun yang melaga tampik pembrian kecil-kecil, tapi mulutnya celangap lebar kalu disodorkan pembrian yang berharga besar, uwang punya pengaruh tida ada watesnya, maka aku hendak coba buat dapetken Retna Sari biar musti abis antero kekayaanku!" berkata Abdoel Sintir dengen bernafsu, "Apakah gunanya aku sembuh dari ini penyakit mata, kalu sasudahnya bisa meliat, aku punya hati musti tanggung sangsara lantaran rindu pada itu gadis yang seperti bidadari" Oh Retna Sari! Retna Sari! Kalu aku tida bisa dapetken kau,
sunggu percumah.... Percu-mah sekali kau punya ayah sembuhken aku punya mata, lebih baek ia biarken aku tinggal buta terus, dari pada kau bisa meliat, tapi kau ada jau dari pemandanganku!"
"Kau jangan berlaku gila, sobat", kata kawannya, "kau sudah trima budi yang amat besar dari itu pandita , hingga tida harus kau bikin kurang senang padanya dengen paksa meminta iapunya anak kalu ia tida suka kasih."
"Tapi blon tentu ia nanti menolak, apalagi kalu aku membujuk dengen keras serta srahken semua hartaku padanya. Dengen meratap dan sambil berlutut aku nanti minta itu pandita dan istrinya taro kasian padaku dan trima aku sabagi iapunya mantu. Aku nanti mengancem hendak bunu diri di iapunya gubuk kapan ia tolak permintaanku. Aku lamar iapunya anak dengen kasih emas kawin besar yaitu aken membales iapunya budi dan pertulungan dan aku nanti pandang dan hormatken iaorang seperti juga aku punya ayah dan ibu sendiri. Apakah ini perbuatan ada salah?"
"Itu semua ada betul. Tapi bagaimana kalu ia menampik dengen keras?"
"Kalu ia keras menampik, aku musti pilih antara bunu diri atawa bawa lari pada itu gadis dengen paksa, kerna Retna Sari rupanya ada cinta padaku, dan ia sudah trima aku punya pengasihan bebrapa potong sarung, satu horloji tangan, lima uwang emas Inggris dan laen-laen perhiasan yang aku srahken waktu bertemu padanya di pancuran. Sayang kita-orang tida bisa bercakepan sebab aku tida mengarti Sunda dan ia tida begitu bisa omong Melayu."
"Itu betul," saut kawannya, "kasih naek saja itu gadis di satu taxi dengen sabentaran kita sudah bisa terbang j au. Ini ada lebih baek dari pada kau bunuh diri atawa membayar emas kawin dengen antero kekayaanmu, kerna kalu kau sudah tida punya satu apa lagi, itu prampuan nanti ting-galken kau atawa minta dicereken. Awas sama prampuan Sunda! Aku sendiri sudah ilang banyak uwang dieret6 oleh aceuk-aceuk di Bandung!"
Raden Moelia tida bisa tahan lagi mendenger ini omongan jahat dan kurang ajar, maka ia lantes bangun dari tempat duduknya, pegang pundaknya Abdoel Sintir dan berkata:
"Sobat! Ati-ati, jangan pikirin segala niatan jahat disini. Aku orang politie, assistent Wedana dari ini tempat, dan aku sudah dapet tau kau punya segala niatan keji. Coba-coba kau jalanken itu niatan, lantes aku nanti bekuk kau punya batang leher!"
Antero kawanan itu orang Palembang menjadi kaget seperti di samber gledek. Abdoel Sintir punya muka pucet dan badannya gumeteran.
48 47 "Maaf, tuan," ia berkata dengen rupa bingung. "Barusan saya cumah omong maen-maen saja, bukan diniatken dengen sasungguhnya!"
"Kau memaen atawa tida itu aku tida perduli, tapi aku mau kasih inget, itu pikiran ada sanget tida pantes buat saorang yang sudah trima budi begitu besar dari itu tuan Pandita yang membri pertulungan dengen percumah. Aku kasih nasehat dengen sabetulnya, kalu kau brani ganggu salembar rambutnya Retna Sari, aku lantes bekuk dan kasih masuk kau dalem penjara. Aku musti bri tau kau orang punya niatan busuk pada itu pandita, dan aku minta kau lantes berlalu dari ini tempat sekarang j uga!"
Itu orang-orang Palembang coba membri katerangan bahua apa yang marika omongken tadi, bukan terus di hati, cumah sakedar maen-maen saja sebab di ini tempat sepi iaorang terlalu iseng, tida ada apa-apa yang diomongin. Tapi Raden Mulia tida ambil perduli, hanya dengen keras suru iaorang lantes brangkat atawa nanti ditahan di ka assistenan sabagi orang-orang berbahaya. Akhirnya itu orang-orang Palembang merasa lebih slamet kalu marika lantes brangkat di itu waktu juga, dan lalu beresken pakean dan barang-barangnya yang dipikul oleh bebrapa kuli, dan lantes turun dari atas gunung sambil menggrutu dan menyomel.
Sasudahnya Abdoel Sintir dan kawan-kawannya berlalu, Moelia lantes pergi sendirian menuju ka puncak. Di tenga jalan ia menampak Retna Sari, dengen membawa satu lodong7 berisi aer dan satu bakul barang pakean yang abis dicuci, lagi naek ka atas saorang diri, dengen tindakan perlahan kerna rupanya ia merasa cape jalan menanjak begitu jau. Moelia lantes bertindak lebih lekas hingga ia kena susul itu gadis.
"Retna, kasihlah saya permisi aken bantu bawain itu lodong aer yang berat, supaya kau jangan jadi begitu cape melinyasin8 ini tanjakan," berkata Moelia dengen suara manis. Retna Sari tersenyum, lalu menjawab:
"Biar saja, juragan, saya sudah biasa membawa barang yang berat dan naek turun di sini".
Tapi Moelia tida ladenin, hanya lantes ambil itu lodong aer yang ia lalu panggul di pundaknya dan berjalan di sampingnya itu gadis.
"Apakah kau betah di sini, Retna" Aku rasa ini tempat sunyi ada kurang cocok bagi satu gadis muda seperti kau, " berkata itu pemuda.
"Saya sudah biasa tinggal di tempat yang sunyi, yang jau lebih sunyi dari di sini," menyaut Retna. "Malah disini saya tida begitu senang, kerna ada banyak orang yang dateng minta
obat, dan saban saya pergi ka pancuran, selalu ada orang-orang lelaki yang awasin, deketin dan ajak bicara sama saya, apalagi itu kawanan orang Palembang yang kasih saya segala macem barang persenan, maski saya tida mau trima, iaorang paksa suru saya ambil."
"Apakah betul kau perna trima dari itu orang-orang Palembang persenan uwang emas, horloji dan sarung-sarung?" Itu gadis terkejut sedikit dan lantes menjawab:
"Betul. Tapi juragan jangan kasih tau pada saya punya ayah, sebab ia tentu marah kalu saya brani trima barang persenan, maski sabetulnya iaorang kasih dengen paksa dan tinggalken itu barang-barang di batu di mana saya lagi mencuci."
"Mengapakah kau pergi ka pancuran sendirian saja tida membawa kawan?"
"Saya punya ibu tida kuat aken naek turun ka pancuran satiap hari, sedeng laen kawan saya tida punya, sebab ayah tida kasih laen orang berdiam di kita punya pondok. Di atas tida ada aer buat dipake minum, mencuci atawa mandi, kerna di dalem gowa cumah ada sumur-sumur yang aernya berbau walirang76 hingga tida bisa dipake." "Di dalem gowa" Gowa yang mana itu?"
"Yang ada di blakangnya kita punya pondokan. Itu pondokan ada menerus ka dalem gowa yang gelap dan panjang, di mana saya punya ayah bersembahyang satiap hari, salaennya hari Jumahat. Kalu turun ujan besar, hingga itu pondokan banyak bocor, kita biasa menyingkir dan berlindung di situ." "Brapa dalemnya itu gowa?"
"Kira lima depa, tapi katanya ada lagi terusannya, setau brapa dalem, sebab saya tida perna masuk, lantaran gelap dan lobangnya sempit, kalu mau masuk musti merangkang di antara batu-batu karang.
Sampe disini itu pembicaraa dibrentiken, lantaran iaorang, sampe di muka pondok dan istri pandita kebetulan ada di luar.
Raden Moelia dipersilahken masuk dan berduduk di bale-bale sedeng istri pandita pergi ka dalem aken panggil suaminya, samentara Retna Sari beber pencuciannya di pelataran. Tida antara lama Noesa Brama lalu menghamperi
Walirang = belerang. pada itu tetamu, dan sasudahnya bersalaman, lalu menanya apa maksudnya Moelia dateng lagi padanya.
"Saya denger kabar tuan Pandita bakal lekas berlalu dari sini apakah betul?" menanya itu assistent wedana.
50 49 "Betul," saut pandita, "saya aken berlalu kira lagi sepulu hari."
"Itu sebab maka saya dateng, perlunya aken minta plajaran pada tuan yang saya pandang sabagi saya punya guru."
"Plajaran apakah yang saya bisa kasih pada juragan" Saya ini ada saorang dusun yang bodo."
"Saya ingin dapet tau cara bagimana musti jalanken saya punya kawajiban sabagi satu ambtenaar, supaya ini bilangan menjadi aman dan dami serta rahayat merasa puas, kerna seperti tuan pandita tau sendiri, di kuliling tempat ada timbul pergolakan, hingga bukan maen beratnya pakerjaan orang yang musti pikul tanggungan sabagi bestuur ambtenaar."
"Di jeman kekalutan dunia seperti sekarang, bukan saja pembesar-pembesar negri, hanya orang-orang yang jadi pemimpin bangsa, yang menjadi kepala agama, yang jadi ibu-bapa, yang jadi guru, majikan, sudagar dan laen-laen, semua rata-rata ada merasa tertindes oleh beratnya marika punya tanggungan, kerna kalu salah ambil tindakan, gampang sekali menimbulken kakalutan dan kaonaran, yang terbit lantaran satu sama laen blon mengarti betul kaadaan jeman yang sudah berobah."
"Itulah sebabnya saya perlu mendapet nasehat dari saorang pande seperti tuan pandita , supaya bisa pernaken diri di tempat yang betul. Saya punya pakerjaan ini ada terlalu susah, sebab di satu fihak saya musti lakuken kawajiban guna negri, di laen fihak saya musti jaga juga kapen-tingan rahayat."
"Dalem dunia ada dua macem wet: yang satu ada wet negri, yang kalu diturut dengen betul nanti membikin juragan punya pakerjaan dihargaken oleh pembesar yang lebih atas, dan inilah yang banyak dipegang oleh ambtenaar-ambtenaar." "Dan itu wet yang satunya lagi?"
"Yaitulah wet hati, wet yang beratsal dari Tuhan, yang sudah ditanem dalem hatinya manusia, dan semingkin tinggi plajaran, kasopanan dan pri budinya itu orang, semingkin penghidupannya kena dipengaruhken oleh itu wet yang tida kaliatan, yang tida ada hurufnya, tapi yang paling sampurna sendiri dari semua wet-wet dalem dunia."
"Apakah perbedaannya antara wet negri dengen wet hati?"
"Wet negri ada dibikin oleh manusia, hingga saban waktu bisa dihapusken, ditambah atawa dirobah, sedeng wet hati tinggal tetep salamanya, tida bisa dikiserken lagi. Pada wet negri orang boleh maen gila, puter-puter duduknya hingga kalu berbuat kasalahan tida bisa dihukum, tapi pada wet hati tida saorang pun, maski yang bagimana pinter, bisa berdusta atawa menyingkirken dirinya, wet negri masih jau dari sampurna, hingga banyak kasalahan dan kadosahan yang tida bisa
51 terhukum, upama kalu politie tida bisa adaken saksi atawa bukti; sedeng wet hati nanti menghukum sasuatu orang yang berdosa maski pun kasalahannya tertutup rapet hingga tida ada yang dapet tau. Sabaliknya, saorang yang dipandang berdosa besar oleh wet negri, kalu perbuatannya tida bertentangan dengen wet hati, ia tinggal bersih maski saantero dunia pandang padanya sabagi saorang busuk, maka orang yang idup menurut wet hati, ia tida merasa jeri aken lakukan apa yang bener dan patut, kabraniannya tida berwates, dan pikirannya tinggal anteng, tida gampang kena dipengaruin, maskipun menampak kaadaan yang bagimana suker dan heibat."
"Tapi tidak sembarang orang bisa mengenal pada itu wet hati kerna buat dapet mengarti baek pada itu macem wet yang tida ada hurufnya, orang musti blajar banyak dan mempunya pengatahuan tinggi dan luas."
"Buat mengenal ini macem, wet tida terlalu susah, juragan, kalu saja sasuatu orang mau berpikir dan taro dalem hati, aken jangan berbuat pada laen orang apa yang kita tida ingin orang laen berbuat pada kita, dan berbuatlah pada laen orang apa yang kita ingin orang laen nanti berbuat pada kita. Di sinilah ada pokoknya buat orang blajar kenal pada ka-adilan dan kapantesan."
Raden Moelia bengong memikirken itu omongan. Akhir-akhir ia berkata:
"Dalem pamerentahan negri tida selamanya orang bisa menurutin pada wet hati, sebab di waktu ada kaributan dan kakalutan, orang terpaksa musti gunakan aturan keras kalu mau pegang tegu kaamanan dan tetepken kakwasaan dari pamerentah."
"Itulah sebabnya maka kaum Brahman, golongan yang paling tinggi dari bangsa Hindu, tida mau campur urusan pamerentahan negri dan paperangan yang saanteronya di-srahken pada kaum Satria. Buat orang-orang yang hendak jalanken dengen betul titah-titah agama, yaitu yang idup dengen bertakluk pada wet hati, suai pamerentahan cumah membikin halangan bagi marika punya kamajuan rohani, kerna sringkali musti lakuken apa-apa yang bertentangan dengen itu wet yang paling tinggi."
Sampe di sini pembicaraan dibrentiken lantaran Pandita minta itu priyaie turut dahar tengahari. Kombali istri pandita dan Retna Sari kaluarken hidangan yang terdiri dari nasi merah, lalap dan sambel-sambel. Sahabisnya dahar, Raden Moelia lalu berpamitan, kerna di itu hari bukan waktu vrij hingga ada banyak pakerjaan yang musti diurus. Ia tida bicaraken sama sekali apa yang telah terjadi dengen itu kawanan orang Palembang, kerna ia rasa kurang pantes aken tuturken itu hal tida enak pada Pandita yang boleh jadi nanti singkirken Retna Sari dengen sigrah atawa larang itu anak
52 pergi ka pancuran. Sekarang toch tida berguna itu hal diributin lagi kerna itu bahaya sudah liwat dan sabagi saorang yang beradat alus, Raden Moelia tida mau unjuk iapunya pahala di hadepan itu pandita , cumah ia ambil putusan aken taro satu politie desa buat larang orang dateng deket atawa menganggu kalu anak dan istri pandita turun dari gunung.
Dalem perjalanan ini kalih Raden Moelia merasa senang lantaran sudah dapet plajaran dan nasehat baek dari itu pandita , dan terutama sudah dapet kutika aken bicara banyak pada Retna Sari yang ternyata ada satu gadis yang manis budi bahasanya. Bebareng dengen itu, iapunya hati tertarik semingkin keras pada itu gadis, hingga ia mulain saja muncul rupa-rupa perlawanan yang menghalangken, kerna ia tau betul iapunya ayah, Bupati dari Rangkas-gombong tida nanti idzinken iapunya putra, yang diharep bisa menggan-tiken jadi Bupati menikah pada satu gadis dari saorang yang bukan saja tida dikenal, tapi juga berlaenan agamanya. Betul Pandita Noesa Brama boleh jadi ada turunan dari raja-raja Pajajaran, tapi siapakah sekarang yang nanti mau akuin iapunya derajat itu" Laen dari begitu, sudah lebih dari satu kalih iapunya ayah dan ibu lepas perkataan, bahua itu dua orang tua ada berniat keras buat lamar putrinya Bupati dari Cianjur yang terkenal cantik dan terplajar tinggi, kaluaran dari H.B.S., maka Moelia bisa petaken9 sendiri bagimana nanti gusar dan jengkelnya itu orang tua kalu ia mengambil
istri satu gadis pegunungan yang tida terplajar sama sekali.
Kapan ia pikirken ini semua halangan, ia terpaksa ambil putusan aken lupaken pada Retna Sari. Tapi panahnya Amor, satu kali sudah menancep, tida gampang dicabut. Semingkin ia hendak coba lupaken semingkin parasnya itu gadis berba-yang-bayang di matanya.
Helaas, di dunia ini bukan sedikit orang-orang muda yang menjadi korban dari kejailannya Cupido78 seperti yang dialamin oleh Raden Moelia!
VII Terjebak Di desa Sukarame dan laen-laen tempat yang berdamping, sudah tersiar kabar bahua itu dukun Sakti, Pandita Noesa Brama, aken berlalu dari Gunung Ciwalirang pada hari Jumahat tanggal 30 December, hingga cumah tinggal satu hari, yaitu tanggal 23 December, yang ia bisa gunaken temponya aken
menulung pada orang yang sakit. Tiada heran kalu di itu hari orang yang dateng minta obat ada luar biasa banyaknya, hingga dari waktu masih pagi kaliatan berurut79 orang naek ka atas gunung aken bertemu pada itu pandita.
Besoknya, di hari Saptu, itu tempat yang kemaren begitu rame sudah menjadi sunyi kombali. Satu per satu itu orang-orang yang berkumpul di pondok-pondok di deket sumber kali Citanjur telah berlalu. Orang-orang dagang pun sudah simpen dagangannya aken dibawa pulang ka desa, satu dua pondok sudah dirombak, kerna maskipun pandita masih diam di atas puncak lagi anem hari, tapi dari sebab ia tida trima pula orang sakit, maka di itu tempat bakal tida dateng tetamu, hingga di itu pondokan yang begitu rame, pada hari Saptu sore cumah katinggalan anem tujuh orang saja yang merasa berutang budi pada pandita hingga iaorang mau tunggu sampe itu pandita dengen familienya sudah brangkat.
Di itu hari Saptu sore ada sanget gelap gulita. Angin laut dari selat Sunda meniup dengen keras. Langit tertutup oleh awan item hingga tida sabiji bintang yang kaliatan. Penduduk desa Sukarame yang pernanya di muara kali Citanjur, sudah meringkuk dengen senang dalem tempat tidurnya, tatkala dua auto yang dateng dari jurusan kidul brenti di itu desa.
Dari dalem itu auto telah lompat turun sakawanan orang yang memake uniform kuning dengen topi pet, puttees80 dan band pinggang dari kulit, serta soren81 klewang di samping kiri dan snapan karabijn82 di sangkutken di pundak sablah kanan. Dari dandanannya terang sekali marika ada orang-orang veldpolitie, yang sanget dimaluin oleh orang-orang desa, kerna menjalanken dienstnya dengen keras dan cakep, hingga banyak penjahat dan orang-orang yang tersangka berkelakuan kurang baek sudah ditangkep dan dimasukken dalem penjara.
Itu kawanan veldpolitie,83 yang terdiri dari delapan orang, lalu berjalan mengikuti kali Citanjur yang menerus ka atas bukit Ciwalirang. Bebrapa di antaranya sabentar-sabentar corongken lampu electris yang marika bawa, aken terangken itu jalanan pagunungan yang amat gelap. Iaorang berjalan dengen perlahan dan hati-hati, dan cumah omong-omong dengen berbisik, mengikutin saorang yang jadi pe-nganter yang pake satu mantel panjang dan berjalan paling dulu. Di blakang marika ada lima orang Bumiputera yang semua pake mantel, yang berjalan dengen tida bicara apa-apa
Sigrah juga marika sudah sampe di itu pondok-pondok yang sabagian sudah kosong, sedeng orang-orang yang masih katinggalan di situ sudah tidur dengen senang. Dua dari itu lima orang Bumiputera yang berjalan di blakang lalu brenti di
54 53 muka itu pondokan, sedeng yang laen-laen berjalan terus ka atas puncak, menuju ka pondoknya pandita Noesa Brama.
Dalem itu pondok dari pandita semua sudah sunyi, cumah kaliatan sinar api dari satu lampu tempel yang dipasang didalem bilik. Itu orang-orang politie lalu diatur terpencar hingga itu pondok seperti dikurung dari luar, sedeng yang jadi commandantnya, saorang Blanda dengen satu orang Bumiputera yang barusan jadi penunjuk jalan lalu mengetok-ngetok pada pintunya itu pondokan. "Siapa?" kadengeran suaranya Koesdi dari dalem.
"Buka, kita ada orang-orang politie!" berkata itu commandant.
"Mengapakah dateng begini malem" Tuan pandita sudah tidur!"
"Jangan banyak bicara, lekas buka, kalu tida kita-orang masuk dengen paksa!"
Kadengeran suaranya orang turun dari bale-bale, lalu berjalan ka sablah dalem dari itu pondokan, dan tida antara lama kadengeran orang bicara di dalem, lantas bebrapa orang bertindak kaluar, itu lampu dijalahken terang-terang, dan itu pintu lalu dibuka oleh Koesdi, sedeng Pandita Noesa Brama berdiri di pertengahan pegangin satu lampu.
Itu Commandant dengen dianter oleh dua veldpolitie, yang masing-masing pegang revolver di tangan dan klewang terhunus, lalu masuk ka dalem pondok, dan menanya: "Apakah kowe yang dinamakan Noesa Brama?" "Betul, tuan," saut pandita . "Apakah kowe bikin di sini?"
"Bersembahyang di ini gunung yang saya biasa kunjungin satiap taon."
"Perlu apa kowe bersembahyang di ini gunung" Jangan dusta!"
"Menjalankan titahnya saya punya agama."
"Ach, nonsens, jangan omong kosong sama saya. Kowe dateng di ini tempat sunyi aken mengasut, buat kumpul orang aken bikin pembrontakan. Kowe satu communist, dan ada punya banyak pengikut!"
"Saya tida ada punya pengikut, salaennya dari ini satu orang yang menjadi saya punya bujang."
"Kowe brani berdusta sama saya" Apa kira politie tida dapet tau, satiap hari Jumahat ada ratusan orang dateng disini aken minta jampe dan jimat dari kowe?"
"Itu orang-orang dateng dengen tida diundang. Iaorang cari sama saya buat minta obat, laen tida."
"Apakah kowe ada punya surat diploma buat jadi doktor" Kalu kowe pinter obatin orang, kenapa tida pergi di tempat
55 rame, di mana kowe bisa dapet banyak duit itu orang-orang bodo yang kowe tipu."
"Saya tida trima upah satu peser dari itu orang-orang."
"Semua Santri dan Kiayie penipu bilang begitu. Kowe boleh kasih katerangan di hadepan politie yang nanti bikin pepreksaan."
"Politie sudah tau saya punya pakerjaan. Assistent Wedana di ini tempat sudah dua kaluh dateng di sini. Ia bisa saksiken yang saya bukan penipu atawa pengasut." "Ya, itu boleh jadi, sebab itu assistent wedana sudah jadikowe punya murid dan takut sekali sama kowe. Sekarang kowe musti turut pada kita-orang". "Saya musti turut di ini malem juga?" "Ya ! "
"Kamanakah saya mau dibawa?"
"Ka rumahnya itu assisent Wedana kowe punya murid." "Apakah tida bisa besok pagi saja" Saya tida lari tuan."
"Tida, musti sekarang juga, dan sablonnya brangkat kita-orang mau gledah ini rumah."
Kaliatan nyata sekali pandita Noesa Brama punya rupa yang gusar. Mukanya jadi merah dan matanya menyalah tatkala itu orang-orang politie, dengen semua pegang golok terhunus, masuk brobosan84 ka bagian dalem dari itu pondok, bongkar tiker, bulzaklO dan peti-peti pakean, tapi tida dapetken apa-apa yang mencurigaken.
Sigrah juga itu orang-orang politie sampe di bagian blakang dari itu pondokan yang seperti diterangken oleh Retna Sari pada Raden Moelia, ada bermacem seperti gowa dan panjangnya kira sapulu meter dan lebarnya lima meter, saanteronya dari batu-batu karang. Di satu pondokan ada satu lobang kecil, cumah tiba cukup buat satu orang berjalan dengen merangkang. Tapi itu lobang, sablonnya politie dateng, sudah keburu ditutup oleh Koesdi dengen iserken satu batu besar yang ada di sampingnya.
Dari sebab tida dapetken apa-apa yang dicari, maka itu orang-orang politie lalu kaluar kombali dari itu pondokan, dan prentah Noesa Brama dan Koesdi turut pada marika.
"Saya minta supaya saya dan Koesdi brangkat besok pagi saja." Memuhun itu pandita, "sebab saya tida boleh biarken saya punya anak dan istri tinggal sendirian di ini tempat yang amat sunyi."
Istri pandita dan Retna Sari, yang sakean lama tinggal berdiri di satu pojokan dengen gumeter ketakutan, sekarang mulai menangis dan bicara dalam bahasa Sunda aken muhun pandita dan Koesdi jangan sampe ditangkep, sebab iaorang tida bersalah.
56 Itu orang yang tadi jadi penunjuk jalan, lalu meng-hamperi dan bicara bisik-bisik pada itu Commandant, yang komudian lalu berkata pada pandita:
"Kowe punya anak dan istri pun musti dipreksa juga, tapi iaorang tida usah dibawa sekarang, besok pagi boleh dateng menyusul di rumah assistent wedana. Ini recherce bersama dua orang kawannya nanti jaga padanya disini. Hayo brangkat sekarang, kowe jangan kuatir apa-apa. Siapa tida salah, tida nanti dihukum. Pamerentah sampe cukup adil."
Pandita Noesa Brama tida bisa bilang apa-apa lagi. Ia dan Koesdi lalu berpakean dan dengen diiringin oleh rombongan orang politie, lalu turun dari atas gunung, samentara itu recherce86 dengen dua kawannya tinggal berduduk di bale-bale di pertengahan depan dari itu pondokan, sedeng Retna Sari dengen ibunya masuk ka dalem sambil menangis.
Satu jam komudian pintunya itu pondokan kombali diketok dari luar, dan lalu dibuka oleh itu recherce. Tiga orang Bumiputera masuk ka dalem dengen tingkanya seperti pencuri, lalu bicara sambil bisik-bisik:
"Coba kau liat itu tanda api blauw87 di lautan. Kita punya prau sudah sedia. Jangan ajal lagi."
Itu anem orang lalu kaluar dari pondokan mengawasi ka bawah gunung, ka jurusan di mana pada waktu siang ada tertampak lautan. Di pinggir laut, kira-kira di betulan telok Carita, ada kaliatan nyata sapasang api warna blauw, yang
dipasang di tiangnya satu prau atawa kapal. Itu recherce lalu masuk ka dalem, mengetok pintu kamarnya istri pandita dan Retna Sari. Iaorang berdua, yang blon tidur kerna menangis terus, lalu kaluar.
"Ibu," kata itu orang, "saya baru trima kabar dari tuan Commandant yang ibu dan ibu punya anak musti brangkat sekarang juga buat dipreksa."
"Bagimana saya bisa turun gunung sedeng ada begini gelap," saut istri pandita .
"Jangan takut, kita ada bawa lampu batteriy dan kita nanti anter sama-sama. Harep lekas berpakean, jangan ayal lagi, kalu lambat boleh jadi pandita nanti dapet cilaka."
Mendenger ini omongan, istri pandita dan Retna Sari tida berayal lagi, lantes saja tuker pakean, dengen pake baju yang tebel dan berkrodong syaal, lalu turut pada itu kawanan menuju ka bawah gunung.
Sasudahnya ada di tengah jalan, istri pandita mendapet rasa kuatir pada barang-barangnya yang ditinggalken di itu gubuk dengen tida terjaga. Maka tatkala sampe di tempat pondokan, ia brenti sabentar lalu treakin iapunya kenalan
57 bapa Mikoeng yang buka warung nasi di itu pondokan aken minta tulung liat-liat iapunya gubuk.
Bapa Mikoeng, yang tida dapet tau apa yang telah kajadian dengen pandita, merasa heran sekali tatkala meliat istri pandita dan Retna Sari dateng di waktu tenga malem buta dengen diiringin oleh bebrapa orang lelaki. Dari terangnya lampu ia kenalin. Bebrapa di antaranya ada orang Palembang yang dulu turut pada Abdoel Sintir. "Mau pergi ka mana ibu?" menanya Mikoeng.
Sablonnya istri pandita menjaut, itu recherce lalu menj awab:
"Kau trausah tau, tutup mulut! Hayo, ibu, lekas jalan, kita tida ada banyak tempo!"
Sigrah juga itu kawanan terusken perjalanannya, tinggalken Mikoeng celangap sendirian.
Ini tukang warung, yang sudah tau juga niatan jahat dari Abdoel Sintir tatkala itu orang diancem akan diusir oleh assistent wedana, jadi merasa heran sekali bagimana itu gadis dan ibunya bisa turut pada itu kawanan orang Palembang aken pergi ka bawah gunung di waktu malem. Ia merasa penasaran sekali dan ingin tau kamana itu kawanan aken pergi. Sigrah juga ia berpakean dan mengikutin dari blakang dengen sembuni.
Liwat satu jam komudian itu kawanan sudah sampe di pasisir deket Tanjung Ketapang di mana kaliatan berlabu satu prau besar dengen layarnya terpentang, dan di mana ujung tiangnya ada dipasang dua lentera warna blauw. Itu kawanan lalu tunjuken lampu-lampu batteriy pada itu prau, yang lantes membales dengen sorotken lenteranya ka pasisir, di mana sudah sedia juga satu prau kolek88 aken angkut orang-orang yang hendak pergi ka itu prau besar yang berlabu sedikit jau di tenga lautan.
"Ibu," kata itu recherce, "Kita punya perjalanan masih jau, sedeng di waktu malem begini tida ada kandaraan, maka paling baek kita naek prau saja, supaya tida usah cape berj alan."
Istri pandita dan Retna Sari tida bisa berbuat laen dari pada menurut. Iaorang lalu turun di itu kolek yang lantes didayung menuju ka itu prau besar. Cumah itu recherce yang tida turut naek di itu prau, hanya tinggal menunggu di pasisir. Sablonnya turun di prau, salah satu dari itu kawanan orang Palembang telah srahken satu gumpelan uwang kertas di tangannya itu recherche yang sambut dengen rupa girang. Kolek = perahu kecil dari kayu.
Tatkala semua sudah berduduk di dalem itu prau, jangkarnya lalu diangkat dan itu kandaraan aer sigrah menuju ka jurusan Lampung. Abdoel Sintir, yang berdiri di deket kemudi,
58 mengawasi sambil bermesem pada Retna Sari yang berduduk di sablah ibunya dengen rupa ketakutan.
VIII Pitenahan Raden Moelia masih duduk membaca surat kabar tatkala mendenger suara menggerungnya bebrapa mobil yang brenti di depan rumahnya. Ia lalu membuka pintu aken meliat siapa yang dateng tatkala Pandita Noesa Brama bersama Koesdi, dengen diiringin oleh orang-orang veldpolitie, muncul di hadepannya.
"Astaga! Tuan pandita ada perkara apakah tuan dateng begini malem"... Guden avond meneer!89" ia berkata pada itu Commandant dari Veldpolitie sambil angsurken tangannya. "Saya kira tentu ada perkara penting sekali dengan ini tuan pandita, maka kau sudah dateng di sini begini malem."
"Kita-orang baru tangkep ini orang tua yang tinggal di puncak gunung Ciwalirang sebab kita dapet kabar ia ada jadi pengasut yang berbahaya, jualken jimat-jimat pada orang kampung dan kumpulken banyak murid-murid," saut itu commandant dalem bahasa Blanda.
"Saya rasa dalem hal ini kau kliru, tuan, " saut Raden Moelia dengen merasa kaget lantaran mendenger ini tuduan. "Saya kenal baek pada ini pandita, satu orang berbudi dan tida ada pikiran jahat sama sekali."
"Saya kuatir kau kena ditipu olehnya, hingga tida dapet tau niatannya yang betul," saut Commandant.
"Ini tida boleh jadi," saut Raden Moelia, "Begitu lekas saya denger kabar ada banyak orang kampung dateng padanya aken minta obat, lantes saya kirim saya punya spion yang paling cerdik dan paling boleh dipercaya aken usut kate-rangan dari iapunya tingka laku. Sasudahnya dapet kenyataan yang ia bukan saorang berbahaya, masih saya tida percaya, lalu pergi kunjungin sendiri padanya di atas itu puncak gunung Ciwalirang. Pertama kalih saya pergi di hari Minggu tanggal 18 dan liwat tiga hari komudian, yaitu hari Rabu, saya pergi kunjungin lagi sekali. Maka kalu ada kejadian apa-apa yang tida baek, tentu saya lantes bisa dapet tau lebih dulu dari laen-laen orang. Maka saya merasa heran sekali, bagaimana tuan bisa dapet kabar yang begitu aneh, yang tuduh ini orang tua ada jadi pengasut yang berbahaya!"
"Saya dapet ini katerangan dari bebrapa orang Bumiputera yang dianter oleh satu spion dari Wedana. Bermula saya bilang, lebih baek iaorang mengadu saja pada assistent wedana, sebab saya tau kau sampe cakep buat tangkep segala
59 pengasut, tapi itu orang-orang bilang kau sendiri ada jadi muridnya itu pandita, dan minta lantes dibikin penggrebekan di ini malem juga, sebab itu orang-orang semua brani jadi saksi yang ini orang tua betul-betul ada satu communist yang sanget berbahaya, dan sudah bujukin pada orang kampung aken lawan pamerentah." "Siapakah namanya itu spion?"
"Kimang, dan ia mengaku jadi spion dari Wedana Labuan."
"Kimang" Itu orang ada satu bangsat besar! Sudah satu bulan ia dilepas lantaran sring membri katerangan dusta, dan pada orang kampung ia lakuken pameresan, iapunya perkara lagi diusut dan brangkali ia bakal dituntut. Tapi siapakah adanya itu orang-orang yang dateng mengadu?"
"Nama-namanya saya tida inget lagi, tapi semua bukan orang Bumiputera dari ini tempat, hanya beratsal dari Palembang atawa Benkulen, yang mengaku sudah dateng pada ini orang tua aken minta obat, tapi ia bukan kasih obat, hanya kasih jimat-jimat buat tida mempan senjata, dan asut pada iaorang aken lawan pada pamerentah."
"Oh, kalu begitu tentu iaorang ada kawanannya si Abdoel Sintir yang durhaka!" berkata Raden Moelia dengen gusar dan matanya menyalah, "Sekarang tuan Commandant, saya minta jangan ilang tempo lagi aken cari dan tangkep pada iaorang, sebab saya sudah tau resianya ini perbuatan chianat!"
"Itu hal kau jangan kuatir, sebab iaorang semua masih ada menunggu di gunung Ciwalirang di rumahnya ini orang tua."
"Kapan begitu, baeklah sekarang juga kita-orang pergi kasana!"
"Saya rasa lebih baek besok pagi saja, sebab itu orang-orang tentu tida nanti melariken dirinya. Saya sudah terlalu cape aken pergi naek lagi di itu gunung yang jalanannya amat susa dan sanget menanjak. Ini orang tua dengen kawannya saya srahken pada kau buat preksa lebih jau. Kita-orang musti balik ka Labuan ini malem juga, sebab saya dapet prentah besok pagi musti meronda ka Citeureup. Ini perkara saya srahken pada kau aken diurus bagaimana mustinya. Saya tinggalken tiga orang veldpolitie buat membantu dan unjuk siapa itu orang-orang yang sudah bikin pengaduan."
Abis bilang begitu, itu Commandant lalu kasih tabe dan naek dalem mobilnya, sasudahnya prentah tiga dari orang-orangnya menunggu di rumah assistent wedana.
"Apakah itu tuan bilang pada juragan?" menanya Noesa Brama yang tida mengarti bahasa Blanda.
"Oh, tuan pandita, kau sudah kena difitenah orang yang bikin pengaduan dusta pada itu Commandant," saut Raden Moelia.
60 "Tapi saya blon perna bikin jahat pada orang, hingga tida ada punya musuh di ini tempat yang dendem sakit hati pada saya."
"Kalu iblis mau jalanken kajahatannya, ia tida pandang pada orang punya kabaekan. Tapi biarlah ini hal kita bicaraken di laen waktu. Sekarang saya minta tuan pandita lekas kombali di tuan punya pondokan di Gunung Ciwalirang dengen teranter oleh ini tiga orang veldpolitie dan saya punya dua oppas, dan Lurah dari Sukarame bersama orang-orang politie-desa. "
"Inget baek," kata Raden Moelia pada itu tiga orang veldpolitie; "kalu ketemu pada itu orang-orang Palembang, yang bikin pengaduan, kau musti lantes tangkep dan bawa di sini ! "
Abis bilang begitu, ia lantes prentah dua orang yang jaga di kantoornya aken turut sama-sama sambil membawa obor, dan pesan juga aken samper pada Lurah di Sukarame bersama-sama orang-orang politie desa yang bisa dikumpul di itu malem, buat pergi ka gunung Ciwalirang aken tangkep itu orang-orang Palembang yang masih ada di sana.
Tida antara lama Noesa Brama dengen teranter oleh itu orang-orang politie sudah brangkat, tinggalken itu assistent wedana yang duduk sendirian dengen pengrasaan sanget tiada enak. Dalem pikirannya ada terpeta itu paras kuatir dan kasedihan dari Retna Sari dan ibunya di itu puncak gunung yang sunyi, dengen didampingi oleh Abdoel Sintir dan kawan-kawannya yang ada mengandung niatan jahat padanya.
Ini pikiran paling blakang sanget mengganggu pada itu priayie muda hingga ia tida bisa tidur. Sabentar-bentar ia bangun melongok pada lonceng yang itu waktu baru meng-utaraken jam 2 ampir pagi. Ia ingin sekali biar lekas terang tanah supaya bisa lantes pergi ka puncak Ciwalirang buat liat sendiri pada Retna Sari yang kaslametannya ia sanget sibukin. Akhir-akhir lantaran merasa tiada tahan, ia lalu bangun aken berpakean, niatannya hendak brangkat di itu malem juga. Tapi mendadak kadengeran suara gemuruh dari angin yang memang sadari masih sore meniup dengen keras dari jurusan Kulon. Itu angin sekarang meniup lebih santer lagi dengen dibarengi oleh ujan ribut, hingga antero rumah seperti gumeter. Mau atawa tida, Moelia dengen sanget mendongkol terpaksa tunda niatannya, dan menunggu sampe terang tanah.
Oh, Moelia tida dapet tau, itu ujan dan angin yang menghalangken ia brangkat ada satu penulung, yang mem-batalken satu perbuatan biadab dari saorang yang kurang trima!
61 IX 62 Kutukkannya Pandita Noesa Brama
Tatkala Pandita Noesa Brama, dengen teranter oleh orang-orang politie, di tenga ujan ribut sampe dalem pondoknya di atas puncak gunung Ciwalirang, ia dapetken cumah ada itu tukang warung Mikoeng sendirian, sedeng itu recherche dan kawan-kawannya sudah mengilang, bersama-sama iapunya istri dan anak prampuan. Itu Pandita, yang tingka lakunya selalu adem dan sabar, sekarang kaliatan menjadi bingung dan gugup.
"Ka manakah perginya itu orang-orang semua Mikoeng?" ia menanya dengen rupa kuatir.
"Semua sudah brangkat ka pasisir, terus naek prau yang belayar menuju ka tenga laut, embah," saut itu tukang warung.
"Semua" Apakah kau mau bilang, istri dan anak pram-puanku pun turut sama-sama?"
"Betul begitu. Saya sendiri merasa heran tatkala kira jam 10 malem ibu bangunin saya aken minta saya liat-liat ini rumah, sedeng ibu dan Neng Retna turun ka bawah gunung dianter oleh bebrapa orang Palembang. Saya jadi penasaran dan ingin tau ka mana iaorang aken pergi, maka saya lalu ikutin dari blakang dengen sembuni. Tatkala sampe di pasisir, saya liat semua naek di satu prau besar yang pake dua tiang dengen layarnya dicet ijo dan di atas tiang ada dipasang dua lentera warna biru. Itu prau lalu belayar menuju ka tenga laut rupanya seperti hendak menyebrang ka Sumatra."
"Apakah ibu dan Retna Sari turut iaorang dengen diacem dan dipaksa, atawa dengen suka sendiri?" tanya pula Noesa Brama.
"Saya liat dengen suka sendiri, tida sekali dipaksa, tapi saya tida tau betul apa yang diomongken, sebab saya mengawasi dari tempat jau dengen sembuni." "Apakah kau kenal itu orang-orang Palembang?"
"Saya tau iaorang semua ada kawan-kawan dari Abdoel Sintir, yang dulu embah obatin hingga sembuh iapunya penyakit mata yang bikin ia ampir jadi buta."
"Ya, aku kenal itu orang yang sudah kasih padaku banyak uwang dan barang-barang persenan berharga mahal, yang semua aku sudah tampik, hingga rupanya ia kurang senang, maka ia berlalu dari sini zonder berpamitan lagi."
"Kalu begitu embah tida tau, iaorang berlalu dengen lekas dari sini lantaran oleh juragan Assistant Wedana sudah diancem hendak ditangkep kali iaorang tida lekas brangkat." "Apakah lantarannya?"
"Sebab itu Abdoel Sintir ada tergila-gila dengen Neng Retna, yang saban kalih pergi di pancuran selalu dikuntit oleh itu orang-orang Palembang, yang kasih segala macem barang persenan berharga mahal supaya suka turut jadi istrinya. Juragan Assistent Wedana yang dapet tau ini perbuatan sudah menjadi gusar, apalagi tatkala mendenger Abdoel Sintir berdami dengen kawan-kawannya aken bawa minggat pada Neng Retna, maka iaorang lalu diancem aken ditangkep kalu tida lekas berlalu dari ini tempat."
Pandita Noesa Brama terkejut sanget tatkala mendenger ini katerangan. Mukanya yang biasa bersifat begitu sabar sekarang menjadi merah padam, matanya menyalah seperti mengaluarken sorot api, sedeng tangan dan kakinya ber-gumeter.
"Mikoeng!" ia berkata dengen bernafsu, "Aneh sekali, ada urusan begini besar dan penting, dalem mana anakku ada tersangkut, tida satu orang yang sampeken padaku".
"Saya sendiri kira Neng Retna atawa juragan Assistent Wedana sudah kasih tau kalakuannya itu orang-orang Palembang pada embah."
"Mikoeng, jawablah lagi satu pertanyaan, tapi aku minta kau bicara dengen sabetul-betulnya: apakah Retna sudah perna trima pembrian dari si Abdoel Sintir?"
"Saya denger, sudah. Abdoel Sintir sendiri ada cerita pada kawan-kawannya segala pembriannya blon pernah ditampik oleh Neng Retna."
"Sekarang aku hendak buktiken," kata Noesa Brama dengen suara gumeter dan amarah yang sudah tida bisa ditahan lagi.
Abis bilang begitu, ia lalu gapein Koesdi aken turut ka bagian dalem itu pondok, lalu masuk dalem kamar tidur dari Retna Sari dan istrinya, lalu bongkar pakeannya itu anak yang ditaro dalem satu trommol,ll dan dapetken di susunan paling bawah satu horloge tangan dari emas, bebrapa uwang emas Inggris, perhiasan cincin, peniti dan laen-laen serta sajumblah sarung baru.
Pandita Noesa Brama lalu lempar itu uwang dan barang-barang berharga dengen rupa yang amat jiji seperti lem-parken uler berbisa. Ia lalu berlutut mengadep ka blakang pondoknya, dan rangkep kadua tangannya yang bergumeter aken menyembah, sambil mengucap dengen perlahan:
"Oh Betara Wisnu!" terus ia tunduk menyium bumi seperti orang yang pangsan.
Lima minuut komudian ia berbangkit dengen rupa yang lesu, lalu berjalan kaluar dengen tindakan limbung dipe-gangin oleh Koesdi .
Samentara pandita ada di dalem, Mikoeng sudah cerita-ken pada itu kawanan orang-orang politie apa yang ia tau tentang
63 perhubungannya itu orang Palembang dengen anak pandita, maka tatkala Noesa Brama dateng di pertengahan, Lurah dari Sukarame dan itu opas-opas veldpolitie lantes menyataken pikiran, bahua daya paling baek aken tahan itu orang-orang yang minggat, yaitu lekas kasih rapport pada assistent wedana, yang nanti ambil aturan aken kejer itu prau dengen gunakan stoombarkasOl dari politie, atawa kirim kawat ka tempat-tempat di pasisir Sumatra Selatan buat minta politik di sana tahan itu orang-orang semua.
"Tiada guna kita-orang berkumpul di sini," kata kang Lurah, "kerna itu orang-orang yang bawa lari tuan pandita punya anak dan istri sudah ada di tenga laut.
"Ini perkara saya musti lekas rapportken pada juragan Assistent Wedana, tida boleh ayal lagi."
"Politie boleh ambil segala aturan menurut caranyasendiri," saut pandita Noesa Brama yang coba sabrapa boleh aken tinggal sabar. "Tapi saya sendiri sudah sedia satu aturan aken kasih hukuman pada itu orang-orang durhaka, mas-kipun marika ada jau dari ini tempat."
Sasudahnya itu Lurah dengen sekalian orang politie berlalu cumah tinggal Mikoeng dan Koesdi berdua, pandita lalu berkata:
"Sekarang abis perkara! Dari ini dunia aku tida bisa harep satu apa lagi! Kalu aku punya istri dan akan sendiri bisa berchianat, aken tinggalken aku sendirian, buat pergi kejer kasenangan dan dan harta dunia; kalu orang-orang yang aku hargaken, cinta dan rawat begitu baek bisa berbalik hatinya dalem tempo sabentaran saja; kalu itu Abdoel Sintir yang aku sudah sembuhken iapunya mata yang ampir buta sekarang unjuk trima kasihnya dengen ajak lari aku punya anak dan istri, milikku yang paling berharga dalem ini dunia.... Oh, apakah lagi yang aku bisa harep dari ini dunia yang penuh dengen kadosaan" Apakah gunanya berpuluhan taon aku dan aku punya ayah dan kake moyang sudah berikhtiar menjaga sabisa-bisanya aken luputken penduduk Bantam dan Sumatra Selatan dari bahaya" Oh, Betara Wishnu, Dewa yang memelihara sekalian ini alam! Sampe disini abislah sudah segala pekerjaanku! Oh, Sangheang Prabu Siliwangi Prahu Guru Dewata Bhana, Sangheang Dewa, Niskala, kake moyangku yang termulya!.... Liatlah bagimana besar dosaku ini, yang sudah bikin kau punya turunan yang pengabisan menjadi musna dengen cara yang sanget hina! .... Oh, Retna Sari, Retna Sari, Sri Ratu Dewi Retna Sari, ahliwaris dari Ratu dari Karajaan Pajajaran, yang bakal jadi aku punya pengganti dari ini jabatan agung dan mulia sudah berjalan turun temurun lebih dari ampatratus taon lamanya, sunggu percumah sekali aku punya didikan dan
64 plajaran pada dirimu, hingga dalem tempo sabentaran saja kau bisa tergoda oleh satu bangsat yang berderajat rendah, yang tida berharga aken jadi suamimu! Sia-sia sunggu bagi kau punya derajat sabagi Ratu pengabisan dari karajaan Pajajaran yang begitu agung dan mulia! .... Abislah! Putuslah pengharepan! ... Biarlah ini dunia jadi kiamat!"
Abis berkata-kata begitu, Noesa Brama rebah di bale-bale dalem kaadaan seperti pangsan, matanya tertutup, napasnya sengal-sengal dan giginya terkancing.
Samentara ini semua kajadian, sang fajar sudah mulai kasih unjuk rupanya. Sinarnya matahari pagi mulai poles puncak dari gunung Karang yang pernanya di sablah Wetan dari Gunung Ciwalirang. Burung-burung mulai rame berbunyi, sedeng pedut tipis yang bergantung menutupi tanah-tanah rendah dan lembah-lembah di bawah gunung mulai buyar tersiar ditiup angin alus dan tertojo oleh sinarnya matahari. Mikoeng lalu berbisik pada Koesdi aken permisi pulang ka pondoknya, tinggalken itu pandita yang rebah di bale-bale saparo pangsan.
Sapuluh minuut kemudian Noesa Brama kaliatan seperti tersedar,12 lalu berbangkit dan duduk di samping bale, dan briken ini prentah:
"Koesdi, angkat itu batu yang dipake menutupi lobang gowa, bersihken segala apa yang ada di dalem serta petiklah kembang-kembang yang masih segar dan sedia bara buat membakar dupa."
Sasudahnya Koesdi berlalu aken jalanken itu prentah, Mikoeng masuk ka dalem pondok dengen rupa gugup, lalu menyembah di hadepan pandita, seraya berkata:
"Embah, itu prau yang semalem ditumpangin oleh ibu dan Retna Sari, sablonnya belayar jau, sudah terpaksa balik kombali dan berlabu di Tanjung Bangkuang deket desa Pasauran, lantaran angin jurusan Kulon meniup terlalu keras, ditambah pula oleh datengnya ujan ribut dan ombak besar. Di luar ada dateng orang suruannya Lurah dari Sukarame aken membri tau ini hal pada embah supaya jangan kuatir kerna sekarang ternyata itu orang-orang Palembang blon lari jau. Hamba sendiri masih kenalin itu prau yang pake dua tiang dan layarnya dicat ijo, yang barusan kaliatan lagi coba pula aken belayar menuju ka tenga laut, lantaran sekarang ombak tida begitu keras dan angin sudah sirep."
Mendenger ini omongan, Pandita Noesa Brama lalu lompat kaluar, ketemuin itu orang suruan, satu mandoor desa, yang diprentah membawa kabar pada pandita aken jangan kuatir, lantaran itu prau berada tida jau dari pasisir hingga tiada susa aken disusul, kalu saja ini hal sudah disampeken pada
65 Assistent Wedana, yang tentu tiada ayal aken mengejer dengen gunaken stoombarkas.
Pandita bersama Mikoeng lalu panjat satu batu karang aken memandang ka bawa gunung dari mana antero Selat Sunda ada terbeber dengen nyata seperti satu pigura. Dengen lantes Mikoeng bisa unjuk pada sabua prau yang pake layar ijo, yang belayar sendirian di tenga laut menuju ka jurusan Sumatra dan sudah berada kira-kira sepulu mijl jaunya dari pasisir, dan kaliatan ada menuju ka jurusan pulo Krakatau.
"Apakah kau tau tentu itu prau ada ditumpangi oleh itu orang-orang Palembang yang bawa istriku dan Retna Sari?" tanya pandita pada Mikoeng.
"Saya rasa tida bisa salah lagi, sebab saya kenalin betul iapunya dua tiang, layarnya dicet ijo dengen di sampingnya pake cet merah," saut Mikoeng. "Laen dari itu, itu prau tida mengambil jalanan biasa, hanya menuju ka jurusan pulo Krakatau yang jarang dilintasi oleh laen-laen prau, supaya tida gampang dikenalin orang."
"Kalu begitu," berkata pandita pada itu mandoor desa, "aku minta aku lekas brangkat ka rumahnya Assistent Wedana aken membri tau. Ia jangan coba susul itu prau ka jurusan pulo Krakatau, kerna sabentar lagi itu gunung api dari Krakatau yang ada di bawah laut bakal meledak hingga segala prau atawa kapal yang ada diampirnya itu pulo semua akan binasa."
Mikoeng dan itu mandoor desa tersenyum. Noesa Brama kaliatan merasa gusar, lalu membentak:
"Mengapakah kau tersenyum" Apakah kau kira aku bicara maen-maen" Aku tida suka memaen, hanya aku bilang dengen sabetulnya: lagi bebrapa jam itu Krakatau aken bekerja kombali, dan nanti antero pasisir Bantam dan Sumatra Kidul bakal terbasmi seperti sudah kajadian pada 45 taon lalu, aken menghukum pada manusia yang sudah jadi terlalu jahat. Brangkatlah sekarang aken sampeken ini kabar pada Raden Moelia, supaya prau politie jangan mendeketi pada itu pulo Krakatau, dan kalu bisa, ia dan familienya musti lekas menyingkirken diri."
Itu politie desa dan Mikoeng lantes berlalu, tinggalken pandita sendirian di atas itu batu karang. Tatkala sudah berada saorang diri, Noesa Brama menuding pada itu prau, dan ucapken ini perkataan:
"Oh orang-orang yang kurang trima! Lagi sedikit waktu kau aken terbasmi, hingga ini dunia yang kotor dan penu oleh kadosaan, tida jadi lebih kotor lagi dengen adanya kau orang di sini. Itu api dari Betara Wishnu yang suci, yang aken


Drama Dari Krakatau Karya Sinng In Kiok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

66 dimuntahken oleh Krakatau, nanti melebur ini bagian dunia supaya jadi lebih bersih dari pada yang sudah!"
Abis bilang begitu, itu pandita lalu turun dari atas itu batu karang, masuk ka dalem pondoknya, di mana ada menunggu Koesdi yang membri tau, apa yang diprentah sudah dijalanken. "Baiklah Koesdi!" kata pandita, "Sekarang kau musti jaga
di sini, kalu ada orang dateng, kau musti bilang aki lagi pergi kaluar dan sablonnya besok pagi aku tida aken kombali."
Abis bilang begitu, Noesa Brama lalu bersalin pakean, menuju ka itu gowa di blakang rumahnya di mana ada kaliatan satu lobang kecil kira satenga meter pesegi lebarnya ka mana ia lalu masuk sambil merangkang.
X Perletusan yang Menggemperken
Dengen pengrasaanl3 tiada sabar Raden Moelia menunggu datengnya fajar. Jam ampat pagi itu ujan ribut sudah mulai sirep, cumah tinggal grimis sedikit yang tida meng-halangken buat orang kaluar rumah. Ia sudah bikin sedia iapunya motorfiets aken brangkat ka Sukarame, tatkala mendadak Lurah dari itu desa, dengen sekalian orang-orang politie yang semalem anter pandita Noesa Brama, dateng padanya dan lalu tuturken apa yang telah terjadi dengen istri pandita dan anak prampuannya, yang sudah melariken diri dengen itu orang-orang Palembang waktu pandita dibawa oleh politie.
Bukan kepalang kagetnya Raden Moelia tatkala mendenger ini kabar jelek. Iapunya kagusaran dan duka cita tida kurang besarnya dari Pandita Noesa Brama: Tapi ia tida bisa percaya pada itu anggepan Retna Sari dan ibunya telah turut pergi dengen suka sendiri. Ia menduga dengen pasti yang itu dua prampuan dusun sudah kena ditipu oleh itu si Abdoel Sintir yang amat cerdik dan brani, yang sudah tipu juga itu commandantl4 dari Veldpolitie.
Moelia lalu batalken niatnya buat pergi kunjungin pondok pandita, hanya lantes naek iapunya motorfiets menuju ka Labuan di mana ada tersedia k stoombarkas, buat dipake menyusul praunya Abdoel Sintir. Lurah dari Sukarame diprentah balik ka desanya aken pilih salah satu prau yang ada di telok Carita, buat rondain sapanjang pasisir aken pasang mata kalu-kalu praunya itu orang Palembang blon belayar jau.
Tatkala itu kepala desa sampe di Sukarame, sudah mulai terang tanah. Sigrah juga dengen teranter bebrapa politie
67 desa ia sudah naek di satu prau yang lalu belayar merondainl5 pasisir ka jurusan Lor. Di betulan Tanjung Bangkuang ia menampak satu prau besar yang pake dua tiang dengen layar berwarna ijo, yang cocok sekali seperti dilukisken oleh Mikoeng. Sigrah juga ia prentah orang-orangnya mendayung aken hampirken itu prau, tapi sablonnya bisa rapet, itu prau sudah bertolak ka tenga laut, seperti tiada suka dideketin orang.
Buat mengejer pada itu prau besar yang belayar dengen pesat, itu kepala desa tida ada taksiran. Ia lalu balik ka pantei dan prentah satu orangnya membawa kabar pada Pandita Noesa Brama aken membri tau yang praunya iaorang Palembang blon terlalu jau, sedeng ia sendiri lalu pergi ka Sindang Laut aken kasih raport pada pendapetannya pada Assistent wedana. Tapi itu priyaie blon kombali dari Labuan ka mana ia sudah brangkat aken minta pinjem stoombarkas dan sekalian kasih raport pada Wedana atas apa yang kajadian.
Commandant = komandan. Lurah Sukarame lalu menyusul ka Labuan, di mana itu assistant Wedana dengen tida sabar lagi menunggu orang-orang yang musti kasih jalan itu stoombarkas, yang semua lagi sedeng enak meringkuk di kampung lantaran itu kutika masih pagi sekali. Satu per satu musti disusulin di pondoknya dan dikasih bangun. Sampe liwat jam 6 pagi barulah itu stoombarkas siap aken digunaken.
Menurut pengunjukannya95 Lurah Sukarame, Raden Moelia, yang dianter oleh tiga opas veldpolitie, yang semua membawa snapan, lalu prentah itu stoombarkas belayar ka jurusan Tanjung Bangkuang. Tatkala sampe di hadepan telok Carita, di mana pasisir kaliatan ada satu orang berdiri sambil kiberken saputangan putih, itu stoombarkas lalu dibrentiken dan mengamperi ka pasisir, dan Lurah Sukarame lantes kenalin itu orang ada iapunya suruan yang tadi dikirim pada pandita Noesa Brama.
Dengen naek satu prau kolek itu orang suruan, satu mandoor desa, menghamperi itu stoombarkas politie buat sampeken pesanannya Pandita.
"Juragan," kata itu orang, "Tuan Pandita minta saya membri tau, dari atas gunung kaliatan tegas praunya itu orang Palembang lagi belayar menghamperi pulo Krakatau. Ia harep juragan dan laen-laen prau dari politie jangan coba aken menyusul ka itu jurusan, sebab sabentaran lagi pulo Krakatau punya kawah yang ada di bawah laut aken meletus, hingga
68 segala prau atawa kapal yang liwat disitu bakal binasa, dan boleh jadi bakal timbulken karusaken seperti dulu, hingga ada lebih baek kalu juragan dan sekalian penduduk menyingkir siang-siang dari ini tempat."
"Brangkali kau kliru, lantaran kurang mengarti omongannya pandita," saut Moelia.
"Tida, saya tida kliru, memang begitu pesanannya Pandita Noesa Brama," saut itu mandoor.
Raden Moelia angkat pundak, dan sambil tersenyum ia berkata:
"Kalu Krakatau musti meletus lagi, biarlah ia meletus, tapi aku punya kawajiban aken tangkep itu penjahat, aku musti j alanken."
Abis bilang begitu ia prentah tujuken itu stoombarkas ka jurusan pulo Krakatau, di mana kaliatan ujung tiang dari itu prau Palembang dengen bagian atas dari layarnya yang berwarna ijo menonjol di tenga lautan.
Di itu waktu lautan ada anteng, ombaknya sedeng saja. Angin yang adem meniup dari jurusan Wetan, dengen teranter oleh sinarnya matahari pagi yang bercahaya seperti emas, hingga membikin aer laut yang ijo jadi bertambah gilang gumilang. Raden Moelia tida lepasken matanya ka jurusan itu prau Palembang yang dengen teranter oleh angin dari Wetan telah belajar dengen santer menuju ka jurusan Sumatra, dan sekarang mulai masuk di itu selat yang pisahkan pulo Panjang dan pulo Krakatau. Menurut katerangannya juru-mudi dari itu stoomberkas, dalem tempo lagi satenga jam ia aken bisa dapet susul itu prau, yang orang-orangnya kaliatan mulai ripuh dan katakutan, kerna maskipun praunya belajar cukup santer, bebrapa antaranya mulai bantu melekasken jalannya dengen mendayung.
Limablas minuut komudian itu prau sudah berada di tenga-tenga antara pulo Panjang dan Krakatau, sedeng stoomberkas dari Raden Moelia mengamperi dengen cepel dan mulai masuk di itu selat. Itu kutika sudah, jam 9 pagi. Langit ada bersih dan di tenga laut ada sunyi, cumah kadengeran suaranya ombak yang memukul di sampingnya itu stoomberkas, dan mendampar di pasisir dari itu pulo pulo.
Raden Moelia sekarang bisa kenalin orang-orang yang berduduk dalem itu prau. Satu kalih ia seperti dapet liat kepalanya dua orang prampuan yang melongok di samping prau, tapi lantes linyap kombali. Ia ambil satu snapannya veldpolitie yang dijuju ka atas tiang, lalu ditembakken tiga kalih aken menjadi tanda supaya itu prau jangan belayar lebi jau. Tapi ini tanda anceman tida diladenin, malah sebagi jawaban dari dalem itu prau kadengeran bebrapa kalih suara
69 tembakan, dan dua pelor telah langgar sampingnya itu stoomberkas hingga besinya pecok.96
Nyatalah itu orang-orang Palembang hendak melawan dengen nekat, hingga orang-orang dalem itu stoomberkas terpaksa lindungken dirinya supaya tida menjadi umpan pelor.
Itu tiga opas veldpolitie mau bales menembak, tapi dicega oleh itu Assistant Wedana yang kuatir nanti menge-naken pada Retna Sari. "Sabarlah sampe kita dateng deket dan liat tegas orang-orangnya satu per satu," kata Moelia.
Baru saja itu priyai abis berkata-kata begitu, mendadak di bawah laut kadengeran suara gemuruh seperti bunyinya guntur. Lautan yang tadi begitu tenang lantes berombak keras dan berbareng dengen itu diberikutkan lumpur dan batu yang lompat kaluar kira lima meter di hadepannya itu prau Palembang yang haluannya terangkat hingga ampir terbalik.
Di itu saat Raden Moelia dan sekalian kawan-kawannya lantes inget pada nasehatnya Pandita Noesa Brama. Itu stoomberkas lantes dibrentikan lajunya, dan mulai hendak diputer aken menyingkir, tatkala terjadi pula letusan kadua yang membikin itu prau Palembang terlempar ka udara kira dua meter tingginya dan lalu jato terbalik dengen diberikutken suara treakan yang ngeri dari orang-orangnya.
"Maju!" treak Raden Moelia pada jurumudi. "Kita musti tulung pada itu dua prampuan yang cilaka biarpun ini stoomberkas musti karem sama sekali!'
Dengen lekas itu stoomberkas mengamperi ka tempat kacilakaan di mana orang-orang dari itu prau yang karem coba tulung dirinya dengen pegangin tiang dan papan-papan. Dengen bernapas lega Raden Moelia melaiat Retna Sari dan ibunya mengambang di aer sambil pegangin sapotong papan. Ia prentah opas-opas tulungin marika lebih dulu dan begitu lekas itu dua prampuan sudah dikasih naek dalem stoomberkas, ia lantes bri prentah aken menyingkir dari itu tempat salekas-lekasnya. Satu minuut komudian, baru saja itu stoomberkas berlaku kira dua pulu meter dari itu tempat, telah terjadi pula letusan yang katiga, yang lebih heibat dari letusan pertama dan kadua, yang membikin itu prau yang sudah terbalik jadi terangkat pula ka atas udara, dan lalu jato dengen keras ka dalem aer dan terus karem sama sekali cumah kaliatan tiangnya saja yang menonjol dan muka aer, kerna lautan di itu tempat tida sabrapa dalem, sedeng orang-orangnya yang tadi mengambang di atas aer sudah linyap sama sekali.
Begitulah itu gunung api di bawah laut dari Krakatau, sasudahnya tidur pules 45 taon lamanya, telah bekerja kombali, hingga membikin gumeter antero penduduk dari pasisir Bantam dan Sumatra Selatan.
70 XI Begitulah lekas itu stoombarkas sampe di Labuan, Raden Moelia lantes kasih kabar telefoon pada pembesar-pembesar yang lebih atas, dan juga pada iapunya ayah, Bupati dari Rangkagombong, tentang bekerjanya Krakatau, yang di-kuatirken nanti terbitken bincana besar seperti ampat-pulu-lima taon lalu. Lebih jau ia kirim satu orang suruan pada Pandita Noesa Brama aken membri tau, anak dan istrinya sudah kombali dengen slamet, dan sekarang ada di rumahnya di Sindanglaut aken didenger katerangannya, cara bagi-mana iaorang sudah ditipu dan dibawa lari oleh Abdoel Sintir dan kawan-kawannya, maka diharep tuan Pandita sendiri suka dateng di Labuan aken bantu membri katerangan lebih jau.
Liwat bebrapa jam itu orang suruan balik kombali dengen membawa kabar, Pandita Noesa Brama tida ada dalem pondoknya, tapi ia sudah pesan pada bujangnya. Koesdi aken minta Pandita lekas dateng buat bertemu pada anak dan istrinya. Berbareng dengen itu, ada ditrima juga kabar telefoon dari Bupati Rangkas-gombong, bahua itu pembesar sendiri hendak dateng saksiken itu perletusan dan sekalian hendak berempuk aken ambil aturan apabila ada timbul bahaya.
Jam 2 lohor itu pembesar sudah sampe di Labuan dengen naek auto, disambut oleh priyaie-priyaie. Raden Moelia merasa girang meliat ibu dan sudara prampuannya, Raden Ajeng Roekmini, ada turut sama-sama.
"Dari ini tempat," kata Moelia, "itu perletusan tida kaliatan nyata, tapi kalu rama dan ibu mau saksiken dengen tegas, paling baek naek di bukit Ciwalirang, di mana orang bisa memandang dengen laluasa pada antero Selat Sunda."
Raden Adipati Hasan di Ningrat dengen dianter oleh putranya lalu brangkat dengen autonya menuju ka Sukarame. Itu Bupati mau lekas saksiken itu perletusan lantaran hari sudah mulai jadi sore sedeng ada banyak hal yang ia musti atur dan urus .
"Aneh sekali," kata itu Bupati, "itu pulo Krakatau, yang semua orang sangka suda padem apinya sasudahnya terjadi perletusan di taon 1883, sekarang mendadak telah bekerja kombali. Aku harep saja tida membawa kasudahan heibat seperti dulu, yang membri peringetan ngeri dan sedih padaku, lantaran aku punya rama dan ibu, serta sudara prampuan Soeriati, sudah jadi binasa. Aku sendiri di itu waktu, jikalu tida ada
mandoor Koernain yang menulung dengen setia, boleh jadi sudah binasa juga."
"Apakah rama mau percaya," kata Raden Moelia, "ada orang bisa dapet tau lebih dulu bahaya yang aken dateng" Di sini ada satu Pandita, turunan orang Baduy, yang sudah bri tau lebih dulu itu gunung Krakatau bakal meletus, dan membri nasehat supaya orang jangan deketin itu pulo, dan minta semua orang menyingkir dari pasisir."
"Maski ini hal ada aneh, tapi aku mau percaya juga. Waktu Krakatau ampir meletus di taon 1883, aku punya ibu sudah dapet firasat bebrapa minggu di muka, dan minta aku punya rama, Wedana Waringin, supaya lekas menyingkir, kerna bakal turun ujan api dan aer laut limpas ka darat. Tapi itu nasehat tida diperduliken, dan orang-orang baru mulai disuru menyingkir tatkala sudah telaat. Seperti satu anak dari umur tuju taon aku masih inget samar-samar dari itu hari yang ngeri. Aku dan Soeriati naek dokar dengen dianter oleh Mandoor Koernain dan babuh Satimah. Ibu tida mau turut maski dipaksa oleh rama, sebab ia tida mau tinggalken rama sendirian. Aku masih seperti dapet liat parasnya ibu yang begitu sedih tatkala ia buka sepasang gelangnya, yang terbikin dari uwang emas Turkye, dan dikasih pake pada aku dan Soeriati sabagi peringetan, sedeng rama sendiri ada kasih rante perak disertaken medaille Arab, pusaka dari jeman dulu, yang dipakein pada aku dan Soeriati saorang satu. Tatkala kita punya dokar berjalan blon brapa jau, langit jadi gelap sama sekali, dan suara meletusnya itu gunung Krakatau ada begitu heibat hingga kuda-kuda yang tarik kita punya dokar menjadi kaget dan kabur, dan itu kandaran terbalik, aku terlempar kena batu, dapet luka di kepala dan jato pangsan, sedeng Soeryati telah linyap, tida katauan kamana perginya."
"Mudah-mudahan penduduk pasisir Bantam diperlin-dungi oleh Tuhan dan tida diserang lagi oleh bahaya yang begitu heibat," berkata Moelia.
"Apakah kau tida merasa takut berdiam di ini tempat?" tanya Raden Ayu Bupati.
"Takut atawa tida, kawajiban musti dijalanken lebih dulu," saut Moelia. "Tadi pagi saya baru kombali dari pulo Krakatau dan saya punya stoombarkas sudah liwatin itu tempat di mana terjadi perletusan. Kalu Tuhan takdirken musti binasa, tadi pagi saya sudah binasa, sebab liwat satu minuut sadari kita-orang menyingkir dari itu tempat, telah terjadi perletusan heibat yang membikin satu prau jadi terbalik dan terlempar ka udara."
"Perlu apakah kau dateng di situ?" tanya Bupati. Raden Moelia tuturkan apa yang kajadian dengen anak dan istri pandita, dan
71 72 Pertemuan yang Mengheranken
ceritaken juga kapandeannya itu orang pertapaan yang luar biasa, yang telah bri nasehat padanya aken jangan kejer praunya itu orang Palembang yang belayar di deket pulo Krakatau, kerna itu gunung bakal meletus.
"Iapunya anak dan istri sekarang ada di saya punya rumah, lagi dicatet katerangannya oleh jurutulis yang musti atur proces-verbal," kata pula itu Assistent Wedana.
Itu Bupati dan Raden Ayunya merasa sanget ketarik dengen itu cerita. Iaorang ambil putusan aken mampir di Sindanglaut, di rumah anaknya aken pergi liat itu istri pandita dan anak prampuannya.
Tida antara lama iaorang sudah sampe di Sindanglaut. Semua lalu turun dari auto aken masuk di rumahnya itu assistent wedana. Retna Sari dan ibunya, yang sudah slese dipungut katerangannya oleh jurutulis, lagi berduduk minum kopi di bagian blakang dari itu rumah. Raden Moelia lalu minta iaorang turut ka pertengahan buat bertemu pada ayah dan ibunya, dan iapunya sudara prampuan, yang ingin ajar kenal pada marika.
Maskipun tau ia bakal berhadepan dengen satu pembesar agung, istri pandita dateng mengamperi dengen sacara angku, tida bongkokken badan atawa merangkang, hanya berdiri jejek, mengawasi pada itu bupati beserta anak dan istrinya, sacara mengadep pada saorang biasa. Ini sikep ada menurut ajarannya Pandita, yang tida suka istri dan anaknya merendah terlalu dari musti pada golongan priyaie, lantaran ia sendiri ada berderajat tinggi, tida lebih rendah dari Sunan Solo atawa Sultan Jokja. Di hadepan Bupati dan Raden Ayunya itu, istri pandita dan Retna Sari cumah manggut sedikit dan rangkep kadua tangannya aken menyembah, kerna iaorang punya usia ada lebih tua. Retna Sari berdiri di blakang ibunya dengen mata tunduk ka tanah, seperti biasanya satu gadis yang pemaluan.
Raden Adipati Hasan di Ningrat dan Raden Ayunya sambut salamnya istri dan anak pandita dengen sacara manis. Ia silahken istri pandita duduk di satu korsi, sedeng Retna Sari tinggal berdiri di blakang ibunya.
Itu Bupati mengawasi itu dua prampuan dengen pengrasaan heran. Seperti juga Raden Moelia, ia dapet liat dalem parasnya itu ibu dan anak ada apa-apa yang menarik hatinya. Sakutika lamanya iaorang tida berkata-kata, saling awasin satu pada laen. Cumah Retna Sari yang tinggal tunduk memandang tiker yang tergelar di lantei, sedeng kadua tangannya pelintir iapunya ujung baju.
Raden Ayu Bupati bicara lebih dulu aken menyataken girangnya sudah bisa berkenalan dengen istri pandita, dan bersukur pada Tuhan yang sudah lindungken iaorang hingga
terlepas dari tangan penjahat. Komudian ia lalu tanya umurnya istrinya pandita, tentang iapunya anak Retna Sari, yang dipuji kaeilokannya, lalu ditanya, apa sudah perna masuk sekola atawa tida, dan laen-laen pertanyaan lagi yang lalu dijawab oleh istri pandita sabagimana mustinya.
Sedeng ayah dan ibunya lagi asik beromong-omong. Raden Moelia, yang berduduk di sablahnya Roekmini, lalu berbisik pada adenya itu:
"Cobalah, Roekmini, kau ajak omong-omong pada Retna Sari, jangan ditinggal diam begitu rupa dengen tida di-openin.97 Aku tau itu gadis ada manis budi bahasanya, dan sudah bebrapa kalih beromong-omong padaku waktu aku kunjungi ayahnya di atas gunung."
Roekmini berbangkit, lalu menghamperi pada Retna Sari yang diminta turut pergi jalan-jalan ka pekarangan luar, dengen diikutin oleh Moelia, yang silahken iaorang berduduk di satu bangku di bawah puhun jeruk.
"Ade," kata Roekmini, "saya dapet kabar kau selalu tinggal di dalem utan atawa di pagunungan, dan jarang sekali bergaulan pada orang. Kalu terus membawa penghidupan begitu, saya rasa ada kurang baek, sebab selamanya kau nanti katinggalan dalem segala pengatahuan yang perlu bagi orang prampuan jeman sekarang."
"Saya punya pengidupan," saut Retna Sari, "ada bergantung pada kahendaknya saya punya ayah, yang nanti unjuk jalan bagimana saya harus bertindak. Saya tau saya punya ayah nanti pimpin saya ka jurusan yang paling baek. Pergaulan pada orang banyak tida selamanya mendatengken kasenangan, seperti ternyata dari apa yang saya alami sema-lem dan tadi pagi, hingga ampir saja saya dan ibu jadi binasa lantaran perbuatannya orang-orang jahat."
Roekmini tercenggang mendenger ini jawaban. Itu anak Bupati murid dari sekolah Mulo, tida sekali sangka satu gadis desa yang macemnya begitu dusun dan pemaluan, bisa membri penyautan begitu jitu pada iapunya omongan.
"Betul sekali," saut Roekmini, "penghidupan yang sunyi di pagunungan dan pergaulan yang rame di kota-kota, masing-masing ada punya kasenangan dan kasusahan sendiri-sendiri. Tapi menurut saya punya pikiran, satu gadis seperti kau, Retna, tida harus umpetken diri di tempat yang sunyi..."
"Mengapakah tida boleh" Yang dibilang kasenangan itu tiada laen dari kapuasan. Di mana ada pengrasaan tida puas, di situ tida ada kasenangan, biar pun dalem rumah orang hartawan atawa di astana raja. Sabaliknya, maski dalem satu gubuk dari alang-alang di atas gunung yang paling sunyi, kalu
74 73 orang bisa merasa puas, di situ musti ada kasenangan yang kekel."
"Apakah Retna merasa puas aken tinggal saumur idup di dalem utan yang sunyi?" tanya Moelia.
"Saya merasa puas dan amat bruntung kalu selalu bisa berdiam di sampingnya saya punya ayah dan ibu, biar pun kita-orang ada di mana juga, dan biar pun kita idup sacara miskin," saut itu gadis.
Diopenin = diladeni. "Tapi saya rasa Retna bukan saorang miskin," kata pula Moelia; "Satu kalih bapanya ada bilang, iapunya derajat tida lebih rendah dari Sunan Solo atawa Sultan Jokja. Maski membawa penghidupan sanget saderhana menurut kaper-cayaan agamanya, tapi Pandita Noesa Brama bukan saorang miskin. Anak dari saorang miskin tida nanti pake gelang dari uwang emas yang bukan murah harganya."
Roekmini mengawasi tangannya Retna Sari yang pake gelang rante dari uwang emas sabesar talenan yang tersambung satu pada laen.
"Ini gelang," saut Retna Sari. "Bukan punyanya ayah, hanya ada miliknya ibu, yang dapet pusaka dari orang tuanya, begitu pun ini rante perak yang saya pake, dengen kongkorong uwang ringgitan, semua ada barang pusaka dari saya punya ibu. "
Roekmini pegang tangannya Retna Sari aken awasin itu gelang. Ia tonjolken tangannya sendiri, lalu direndengken dengen tangannya Retna Sari. Moelia jadi terkejut tatkala meliat gelang yang dipake oleh sudaranya ada satu rupa macem dan modelnya seperti yang dipake oleh Retna Sari.
"Aneh sekali," kata Moelia, "ini dua gelang, yang terbikin dari uwang emas Turkye jeman dulu yang sekarang suda tida bisa didapet lagi, bisa begitu sama satu dengen laen. Cobalah bilang Retna, dari mana ibumu dapet ini barang?"
"Itu saya tida tau, juragan boleh tanya saja pada ibu sendiri, yang tentu bisa kasih katerangan," saut itu gadis.
Sekarang Roekmini pegang kongkorongnya Retna yang macemnya seperti uwang ringgitan tapi pake banyak tulisan huruf Arab. Ia lalu bertreak dan berkata: "Ini juga sama seperti saya punya!"
Abis bilang begitu, ia tarik kaluar dari dalem bajunya satu medaille perak sabesar ringgitan, yang satu rupa macemnya seperti yang dipake oleh Retna Sari.
Raden Moelia awasin itu barang dengen tida bisa berkata-kata. Mendadak ia pukul kepalanya dengen tangan seperti mendapet
75 satu pikiran batu. Ia lalu berlari masuk ka dalem rumah, dan tida antara lama kaluar kombali dengen membawa satu potret ukuran salon yang sudah tua, tapi gambarnya masih terang, di mana ada kaliatan satu priyaie bersama istrinya lagi berdiri dengen berendeng. Ia kasih liat itu potret pad Roekmini dengen berkata: "Kau kenalin ini potret siapa?"
"Ini ada potretnya kita punya aki dan nene, Raden Tjakra Amidjaja dengen istrinya, Wedana dari Waringin yang telah binasa waktu Krakatau meletus di tempo dulu," berkata Roekmini.
"Itu betul," saut Raden Moelia. "Tapi cobalah kau pandang parasnya kita punya nene, Raden Ayu Sadijah, komu-dian kau bandingken dengen parasnya Retna dan ibunya, apakah kau tida dapet liat apa-apa yang menarik hati?"
"Betul," saut Roekmini sasudahnya bandingken potret nenenya dengen parasnya Retna Sari. "Aneh sekali, Retna, kau punya rupa ada sedikit mirip dengen aku punya nene yang sudah lama meninggal dunia."
"Bukan sedikit, tapi banyak miripnya," berkata Raden Moelia. "Ini perkara tida boleh ditinggal diam. Itu gelang yang kau pake, Roekmini ada tetinggalannya kita punya nene yang waktu Krakatau ampir peca, telah singkirken kita punya ayah dan bibi, Soeriati, dan kasih pake ini gelang dan rante saorang satu sabagi peringetan. Soeriati telah linyap dan disangka sudah meninggal, waktu dokar yang iaorang tumpangin telah dibawa mabur lantaran kudanya kaget. Siapa tau yang ia sabetulnya telah katulungan, dan lantaran baru berusia lima taon, tida bisa ceritaken dengen betul kaadaan dirinya, hingga ia diambil oleh saorang dusun dan dijadikan istri pandita! Oh, ya! Aku inget. Pandita Noesa Brama sendiri perna bilang, iapunya istri bukan orang
turunan Baduy, hanya saorang Sunda dari Bantam Kidul yang sudah dikukut dari masih kecil oleh ayahnya. Apakah boleh jadi Retna punya ibu ada kita punya bibi sendiri" Kalu begitu tiada heran rupanya ada begitu mirip dengen ini potret, dan ini perhiasan bisa jadi begini sama. Oh, Allah! Kalu sampe ini semua dugaan ada betul!...
XII Bertemu Kombali Itu dua sudara, yang sekarang merasa dapet pecaken satu resia yang amat besar dan penting, kaliatan sangat terharu. Rasa kaget, heran, bingung dan girang telah teraduk menjadi satu.
76 "Hayolah lekas kita bri tau ini pendapetan penting pada rama dan ibu!" berkata Roekmini yang lantes berbangkit dan hendak masuk ka dalem.
Moelia tahan padanya, dan lalu berkata: "Sabar, Roekmini, dalem ini hal kita tida boleh terburu nafsu, hanya biarlah kita beber dengen perlahan. Itu urusan kau boleh srahken di aku punya tangan. Jangan grabak-grubuk98 bikin rama dan ibu jadi kaget. Retna, saya minta kau pun suka tutup mulut, jangan bikin kaget pada ibumu, hanya biarken aku yang usut ini perkara sampe menjadi terang."
Abis bilang begitu, Moelia dengen itu dua gadis lalu masuk ka dalem rumah. Kabetulan iapunya ayah dan ibu sudah ada di pintu hendak pergi ka luar dengen dianter oleh istri pandita .
"Mau pergi ka mana rama?" tanya Raden Moelia.
"Aku mau terusken perjalananku ke Ciwalirang aken saksiken meletusnya Krakatau, sebab aku kuatir nanti kaso-rean." "Apakah tida boleh ditunda sampe besok pagi?"
"Tida bisa, sebab aku ada banyak urusan penting yang musti diberesken."
"Saya sendiri ada satu urusan penting yang musti disam-peken pada rama dan ibu, maka saya minta rama jangan berlalu sablonnya denger apa yang saya hendak tuturken." "Kau boleh ceritaken saja dengen ringkes."
"Tida bisa, sebab ini urusan ada menyangkut pada laen-laen orang, antara mana itu ibu, istri pandita, yang musti didenger katerangannya." Roekmini campur bicara:
"Betul rama, ini urusan ada penting sekali, dan bakal mendatengken kagirangan dan kaheranan besar bagi rama dan ibu, maka saya minta rama jangan berlalu sablonnya mendenger abis satu per satu apa yang nanti diterangken di sini."
Raden Adipati terpaksa lulusken permintaan kadua anak nya itu dan lalu masuk kombali ka dalem, dan berduduk di tempatnya yang tadi. Di sablahnya berduduk Raden Ayu, dan disablahnya Raden Ayu berduduk istri pandita. Raden Moelia berduduk di sebrangnya, di sablahnya berduduk Roekmini dan Retna Sari.
Sasudahnya semua berduduk rata, Raden Moelia ber bangkit dan mulai berkata:
"Apa yang saya hendak tuturken ini ada satu perkara yang begitu aneh dan ajaib hingga seperti di dalem dongeng, maka saya minta semua orang suka denger dengen terang dan jangan bikin ribut, jangan berbangkit dan jangan potong saya punya omongan, hanya masing-masing musti timbang dan menyaut saja apa yang saya tanya. Harep rama suku
77 Grabak-grubuk = panik. maafken, saya ambil ini aturan dan berlaku sabagi voorzitter Landraad," sebab itu perkara yang musti dipreksa ada begitu besar dan penting, hingga orang tida boleh bikin ribut, dan rama sendiri tentu nanti benerken saya punya perbuatan ini kalu sudah dapet tau sifatnya ini suai yang aken dipreksa sekarang."
"Ya, ya," saut Raden Adipati. "Tapi lekaslah terangken urusan apa yang kau hendak bicaraken."
"Sablonnya menjawab rama punya pertanyaan itu, saya minta permisi aken bikin bebrapa pertanyaan pada ibu pandita. Saya kapengen tau, ibu punya nama yang bener siapa adanya." "Saya punya nama Jati," saut istri pandita. "Jati" Apakah tida salah" Siapakah yang kasih itu nama?" "Saya punya orang tua." "Siapakah itu orang tua?"
"Pandita Asheka yang sekarang sudah meninggal." "Siapakah ibu punya suami?"
"Kapanl6 juragan sudah tau pandita Noesa Brama." "Siapakah ayahnya pandita Noesa Brama?" "Pandita Asheka." "Kalu begitu, ibu bersuami dengen sudara sendiri?" "Bukan! Oh...bukan!...pandita Asheka saya punya bapa pungut." "Siapakah namanya ibu punya orang tua yang betul?"
"Sudah lupa, sebab saya dipungut oleh pandita Asheka waktu masih kecil."
"Cobalah pikir-pikir, apakah ibu tida inget, siapa adanya itu orang tua pada sablonnya dipungut oleh pandita Asheka" Apakah tida bisa inget di mana ibu tinggal, jau atawa deket dari sini, ada punya sudara atawa tida?"
"Saya tida inget lagi sebab sudah terlalu lama dan itu waktu saya masih kecil."
"Baeklah, " kata Raden Moelia yang maju mengamperi bebrapa tindak, dan lalu berdiri di hadepan istri pandita. "Sekarang saya minta ibu pikir baek-baek inget yang betul aken j awab saya punya bebrapa pertanyaan. Cobalah bilang: apakah ibu masih inget di tempo dulu, ampat pulu lima taon lalu, waktu gunung Krakatau peca?"
Sang Penebus 12 Rajawali Emas 12 Hantu Seribu Tangan Kisah Membunuh Naga 8

Cari Blog Ini