Fear Street - Balas Dendam Seorang Kakak Lights Out Bagian 1
Chapter 1 Camp Nightwing Dear Chief, Aku ada di Camp Nightwing, seperti yang kujanjikan. Para
pembimbing yang lain sudah ada di sini semua - dan para peserta
akan tiba besok. Sejauh ini semua kelihatan beres. Jangan kuatir mengenai apa
pun, Chief. Akan "kuurus" mereka. Tanpa kecuali. Seperti sudah kujanjikan
padamu. Sebelum aku selesai nanti, mereka semua sudah
akan menyebut tempat ini "Camp Nightmare", Kamp Mimpi Buruk.
Aku cuma sedang berpikir dari mana mulainya. Punya saran,
Chief" Harap balas suratku dan beritahu aku apa pendapatmu. Aku
ingin sekali mendengar kabar darimu.
Salam, Aku Chapter 2 TUBUH labah-labah itu berkilau ditimpa seberkas cahaya
matahari ketika binatang itu meluncur ke bawah bergantung pada
selembar benangnya dari langit-langit. Di ujung benang, labah-labah
itu menjulurkan kedelapan kakinya yang panjang-panjang sekaligus,
lalu menjatuhkan dirinya persis di tengah bantal.
"AAAGH!" Dengan menjerit kaget Holly Flynn melompat dari
tempat tidur sambil menarik ranselnya ke lantai. Jantungnya berdebardebar. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membungkuk untuk
melihat lebih jelas. Labah-labah itu kira-kira sebesar uang logam.
"Pergi, labah-labah jelek," kata Holly serius. "Kembali ke tempatmu sendiri."
Si labah-labah tidak memedulikannya. Kelihatannya labahlabah itu ingin tetap tinggal di bantal seharian, mungkin juga
sepanjang musim panas. "Aku benci yang begini ini," kata Holly keras-keras. Pelanpelan ia menghampiri tempat tidur. "Ini cuma labah-labah kecil,"
katanya meyakinkan dirinya sendiri. "Tak berbahaya."
Dia tahu yang dikatakannya benar, tapi dia juga tahu dia tidak
sanggup membayangkan menyentuh serangga jenis apa pun - bahkan
untuk membunuhnya. Terutama untuk membunuhnya. Ibu Holly
sering berkata bahwa Holly terlalu lembek hatinya, sehingga sering
merugikan dirinya sendiri. Kali ini ia cepat-cepat memutuskan.
Dengan ujung-ujung jarinya dipegangnya pinggiran bantal, lalu
dilemparkannya ke tempat tidur lain. Dia tidak peduli apa yang akan
dilakukan sang labah-labah selama binatang itu tidak di tempat
tidurnya. Sambil menghela napas diambilnya ranselnya dari lantai lalu
diteruskannya pekerjaannya mengeluarkan pakaian dari ransel.
Sambil menyimpan T-shirt, pakaian dalam, dan celana pendek
di laci lemari kecilnya, Holly bertanya pada dirinya sendiri untuk
keseratus kalinya sejak pagi tadi, apa yang sedang dikerjannya di sini.
Semua ini diawali dengan telepon dari pamannya, Bill, dua
minggu lalu. Biasanya Holly senang mendapat telepon dari paman
kesayangannya itu. Tapi kali itu suara pamannya terdengar khawatir,
walaupun ia mencoba menyembunyikannya dengan bergurau
mengenai segala macam hal. Rupanya ia ingin mengundang Holly
untuk bekerja sebagai pembimbing di camp musim panasnya - Camp
Nightwing. "Paman pasti bercanda. Aku tak suka kegiatan di luar rumah!"
protes Holly waktu itu. "Paman tahu aku takut serangga dan ular."
"Semua makhluk di sini sangat bersahabat," kata si paman
bergurau. "Kegiatan ini akan baik untukmu, Holly. Keluar ke udara segar,
menggerakkan badan, pergi jauh dari Fear Street."
Holly tertawa. Paman Biill selalu menggodanya mengenai
tinggal di Fear Street. Menurutnya lucu mengingatkan Holly pada
kisah-kisah seram mengenai jalan itu. Tapi,untunglah, Holly tidak
percaya takhayul, dia menyukai rumah tuanya dan rumah-rumah tua
lain di sepanjang jalan itu.
"Tapi aku tak tahu bagaimana jadi pembimbing," kata Holly.
"Kau akan belajar," janji Paman Bill dengan suara basnya yang menggelegar. "Lagi
pula, kau ahli berenang dan pintar berlayar, kau bisa mengajar prakarya dengan
baik." Sebelum Holly bisa protes lagi, Paman Bill sudah minta bicara dengan ibu
Holly, kakaknya. Dengan waswas Holly memperhatikan ibunya dengan Paman
Bill. Dilihatnya kening ibunya berkerut ketika menaruh telepon
setelah selesai bicara. "Bill benar-beriar memerlukan bantuanmu,"
katanya pada Holly. "Perkemahannya sedang dalam kesulitan. Lagi
pula kau tak punya rencana lain untuk musim panas karena kau tak
jadi dapat pekerjaan di Dairy Freeze. Apalagi aktivitas di luar rumah
akan baik untukmu. Bill memang paman kesayangan Holly. Ia selalu punya lelucon
atau pelukan hangat setiap kali Holly memerlukannya.
Tapi Bill selalu sial dengan setiap bisnis yang digelutinya.
Sudah tiga tahun ia jadi pemilik Camp Nightwing, dan seluruh
keluarga berharap akhirnya ia akan meraih sukses yang patut
didapatkannya. Tapi masalah selalu bermunculan sejak tahun pertama.
Kebakaran akibat sambaran petir yang menghanguskan ruang rekreasi.
Tahun kedua ada banjir, dan segera setelah itu wabah campak
menyerang sehingga camp terpaksa ditutup selama tiga minggu.
Tahun lalu lebih sedih lagi, seorang peserta camp tewas dalam
kecelakaan perahu. Akibat bencana-bencana itu, Bill mengalami kesulitan
menjalankan camp musim panasnya.
Dia tidak mampu membayar setinggi camp-camp lain sehingga
sulit baginya mendapatkan cukup pembimbing untuk menjalankan
perkemahannya. "Kalau saja dia berhasil tahun ini," ibu Holly membujuk. "Holly,
cobalah pikirkan dulu."
Merasa terperangkap, Holly akhirnya setuju. Dia memang
berutang budi pada pamannya. Lagi pula, mungkin ada baiknya pergi
sebentar dari Shadyside. Usahanya mendapatkan pekerjaan musim
panas tidak mendatangkan hasil. Dan dia baru saja putus dari
pacarnya, George, dan tidak ingin bertemu dengannya di Pete's Pizza
atau di mal. Sekarang, dua minggu setelah itu, berdiri sendirian di pondok
kosong, dia berpikir, kalau dia bisa belajar menyayangi ular dan
labah-labah. "Halo, ada orang di sini?"
Holly tersadar dari lamunannya dan melihat sahabatnya, Thea
Mack, sedang berdiri di ambang pintu pondok, rambutnya yang
pendek keriting bergerak-gerak, wajahnya pura-pura jengkel. "Kau
tuli, ya?" kata Thea.
"Thea!" jerit Holly, merasa riang untuk pertama kalinya hari itu.
"Kapan kau sampai di sini?"
"Beberapa menit lalu," sahut Thea. "Tadinya kau mau kuajak naik bus sama-sama,
tapi waktu kutelepon ke rumahmu, kau sudah
berangkat." "Aku diantar ibuku naik mobil," kata Holly. "Dia ingin bertemu Paman Bill."
"Susah dipercaya kalau Paman Bill betul-betul pamanmu," kata Thea, memperhatikan
Holly menyelesaikan pekerjaannya membenahi
pakaian dari ransel. "Waktu ke sini tahun lalu, aku sama sekali tak tahu.
Kupikir dia cuma lucu dan baik sehingga semua orang
memanggilnya Paman."
"Aku mujur punya paman seperti dia," kata Holly. "Tapi, Thea, tolong jangan
bilang pada siapa-siapa dia pamanku. Menurutku dan
Paman Bill, lebih baik orang lain tak tahu sehingga tak
memperlakukanku beda dari yang lain."
"Oke, baik," kata Thea. Diangkatnya ransel Holly,
dibalikkannya di atas tempat tidur dan diguncang-guncangnya.
"Nah, sudah selesai," katanya. "Lalu harus kuapakan barang ini?"
"Selipkan di bawah tempat tidur, barangkali," kata Holly. "Kau tak mau beresberes pakaian?" "Nanti saja," sahut Thea. "Aku tak serapi kau. Jadi" Kau sudah siap jadi
pembimbing camp?" "Aku cuma berharap bisa tahan sampai akhir musim panas!"
kata Holly. "Thea, kau sendiri tahu aku bukan orang yang suka
kegiatan di alam terbuka."
Tampangku saja sudah tidak cocok, pikir Holly,
membandingkan lengannya yang putih pucat dengan lengan temannya
yang berkulit gelap berbintik-bintik. Thea adalah contoh sempurna
atlet pencinta alam, dengan tubuhnya yang berisi, berotot, dan rambut
pendeknya. Sedangkan Holly tinggi ramping dengan rambut halus
kepucatan. Tipe manusia yang selalu di bawah atap.
"Jangan tolol," kata Thea. "Itu kan yang kaukatakan pada dirimu sendiri. Aku
tahu kau perenang hebat, dan kau cuma perlu
pengalaman dalam hal-hal lain. Yang penting jangan lupa banyakbanyak pakai sunscreen, krim penahan sinar matahari, kalau kau
keluar." "Ya deh," kata Holly.
"Betul, aku serius," kata Thea, "ini kesempatan untukmu. Dan kalau kau tak suka
kegiatan di alam bebas, masih banyak hal lain yang
menarik di sini." "Misalnya?" tanya Holly.
"Misalnya cowok-cowok ganteng," jawab Thea. "Aku tahu
yang kautaksir - siapa namanya - John?"
"John Hardesty," kata Thea. "Ya. Aku kenal dia musim panas lalu. Katanya dia mau
ke sini lagi tahun ini, tapi aku belum lihat dia."
Aku juga tak sabar mau ketemu dia," kata Holly. "Gara-gara
kau yang terus-terusan membicarakannya."
"Dan dia bukan satu-satunya lho," kata Thea. "Pembimbing panahan betul-betul
ganteng, lalu ada instruktur berperahu yang - "
"Lupakan saja," potong Holly. "Setelah putus dari George, aku mau cuti dulu
dalam urusan cowok musim panas ini. Justru itu
sebabnya kenapa aku akhirnya mau ke sini."
"Jangan terlalu yakin dulu," kata Thea. "Bisa-bisa begitu banyak- cowok yang
bisa kaupilih sampai kau - "
Tapi sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, terdengar jeritan
nyaring di luar. "'Tolong!" seru suara panik itu. "Tolong! Tolong aku! "
Chapter 3 "TOLONG!" suara itu berteriak lagi. "Tolong, tolong!"
Holly merasa seakan-akan jantungnya berhenti berdetak.
Itu suara Paman Bill! "Ayo!" katanya pada Thea. Tanpa menunggu jawaban, ia
menghambur keluar dari Pondok Lima, berlari cepat ke bangunan
utama di seberang jalan. Teriakan Paman Bill berasal dari ruang rekreasi. Sebuah ruang
tertutup yang besar di ujung ruang makan. "Ke sini!" seru Holly pada Thea.
Holly membuka pintu kasa yang besar, lalu ia dan Thea lari ke
dalam. Mulanya yang bisa dilihatnya hanya setumpukan besar alatalat olahraga. Sarung tangan, raket tenis, bola voli, net bulu tangkis, dan
segala jenis bola, semua bertumpuk menjadi satu di lantai.
Baru kemudian dilihatnya di tengah tumpukan itu sebuah lemari
besi besar, salah satu sisinya terpaku di tembok, sisi lainnya
tergantung lepas. Paman Bill terbenam di tengah tumpukan alat-alat
olahraga, sebelah kakinya tertindih sisi lemari yang tergantung lepas.
"Paman Bill!" seru Holly, sambil berlutut di sampingnya.
"Paman tak apa-apa" Apa yang terjadi?"
"Rasanya aku baik-baik saja," jawab Bill, meringis. "Tapi aku perlu bantuan. Aku
sedang memeriksa alat-alat ketika tiba-tiba lemari
ini lepas. Aku takut kalau kucoba kugerakkan, seluruh lemari ini akan
jatuh menimpaku." "Jangan bergerak dulu," kata Holly. "Biar kami bantu
mengangkatnya." Ia dan temannya mendorong alat-alat olahraga itu ke pinggir,
lalu memegang sisi lemari yang lepas, dan dengan
mengerahkan seluruh tenaga mereka, menegakkannya kembali
perlahan-lahan. Holly mengintai ke dalam lemari yang sudah kosong
itu, dan dilihatnya tempat sekrup yang lepas.
Sementara Thea memegangi lemari agar tidak jatuh lagi, Holly
membantu Bill berdiri. Betisnya memar merah di tempat lemari itu
mengimpitnya, dan ia meringis kesakitan ketika menumpu tubuhnya
dengan kaki itu. "Paman tak apa-apa?" tanya Holly. "Perlu dokter?"
"Aku tak apa-apa," kata Bill. "Cuma lecet sedikit. Terima kasih, anak-anak. Aku
tak ingin terjepit seharian di lantai." Ia berjalan menghampiri lemari yang
masih dipegangi Thea. "Coba kulihat
kenapa bisa jatuh," katanya.
Holly dan Thea memperhatikan ketika Paman Bill memeriksa
lemari, menggoyangkan sisi yang lepas ke depan dan ke belakang.
"Aneh," akhirnya ia berkata, setengah kepada anak-anak perempuan itu setengah
kepada dirinya sendiri. "Kau tahu bagaimana lemari ini didesain" Dengan sekrupsekrup besar di keempat pojoknya."
Holly dan Thea mengangguk. "Aku suruh tukangku
membuatnya sedemikian rupa sehingga lemari ini takkan jatuh dari
sandarannya di dinding," Bill meneruskan. "Bahkan bila ada angin ribut, lemari
ini akan tetap rapat ke dinding. Tapi entah kenapa - entah bagaimana sekrup-sekrup
di salah satu sisinya longgar. Aku tak habis
mengerti." "Mungkin kurang kencang memasangnya," kata Thea.
"Aku sendiri yang memeriksanya," kata Bill. "Pertama kali yang kulakukan waktu
membuka camp ini minggu lalu. Aku selalu
memeriksa baik-baik semuanya. Aku tak mengerti..."
"Paman masih untung sekrup-sekrup itu cuma longgar di satu
sisi," kata Holly. "Kalau seluruh lemari itu roboh, Paman bisa tewas!"
Sejenak Paman Bill tampak tersentak, lalu tersenyum lagi. "Kau
terlalu kuatir, Putri," katanya pada Holly, menyebutnya dengan
panggilan kesayangannya. "Tapi yang kaukatakan ada benarnya.
Sekalian saja kuperika sisi lainnya sekarang." Dikacau-kacaunya
rambut Holly dengan perasaan sayang.
"Paman Bill," kata Holly. "Paman sudah janji, kalau aku mau ke sini, Paman
takkan membiarkan orang lain tahu Paman adalah
pamanku." "Maaf," katanya. "Aku lupa. Tapi kau benar. Kita tak ingin orang mengolokolokmu. Aku cuma menyesal tak bisa
membanggakanmu sebagai keponakanku pada orang lain."
Holly malu-malu. Bill mendorong sebuah meja berat untuk mengganjal lemari itu
ke tembok. "Aku ambil perkakasku dulu, untuk memperbaiki lemari
ini," katanya sambil berjalan pergi.
"Kami bereskan alat-alat olahraga ini," kata Holly.
"Terima kasih," kata Bill.
"Kau memang beruntung," kata Thea setelah Bill pergi.
"Sayang aku tak punya paman seperti dia."
Holly mulai mengurai net voli yang kusut. " Banyak sekali alat
olahraga ini," katanya beberapa saat kemudian. "Untuk Olimpiade juga cukup."
"Memang," kata Thea. "Camp ini sebetulnya bagus. Itulah sebabnya kenapa banyak
pembimbing yang kembali lagi ke sini tahun
ini." Holly diam, memikirkan kata-kata ibunya tentang masalah yang
sedang dihadapi Paman Bill. Aku harus melakukan apa pun yang bisa
kulakukan untuk membantu Paman musim panas ini, pikirnya. Apa
pun yang bisa kulakukan. "Di mana kita taruh barang-barang ini?" tanya Thea.
"Tak tahu," kata Holly. "Mungkin kita tumpuk saja di atas meja."
Holly akhirnya berhasil menggulung rapi net voli itu dan
Fear Street - Balas Dendam Seorang Kakak Lights Out di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membawanya ke meja. Lalu sekali lagi diperhatikannya baik-baik
lemari tadi. Lemari itu tingginya hampir sampai ke langit-langit, dan
ia tidak ingin memikirkan betapa berat lemari itu. Ia bergidik
memikirkan apa yang bisa terjadi pada pamannya.
Thea datang dengan kotak besar berisi bet pingpong dan raket
tenis. "Ini sih bisa seharian," katanya. Lalu, setelah meletakkan bawaannya, ia
berkata, "Apa itu?"
"Apanya yang apa?" tanya Holly.
"Itu, di belakang lemari," kata sahabatnya. Holly menengok ke arah yang ditunjuk
Thea dan melihat sekilas warna merah. Penuh rasa
ingin tahu, ia mengintai ke belakang lemari. Di lubang sekrup bagian
atas, yang sekrupnya longgar, ada bulu kecil berwarna merah.
"Aneh," kata Holly. Diambilnya bulu itu dan diamatinya. "Dari mana datangnya
benda ini?" "Siapa yang tahu?" kata Thea. "Barangkali ada burung parkit terbang ke sini dan
memutuskan ganti bulu."
"Ngaco." Holly tertawa.
"Mungkin berasal dari pondok prakarya," kataThea. "Banyak barang semacam ini di
sana - bulu, manik-manik, potongan kulit."
"Pasti dari sana." Holly setuju. Tapi dia tetap tidak habis pikir bagaimana bulu
itu bisa masuk ke lubang sekrup.
Dalam beberapa menit semua alat olahraga sudah tersusun rapi,
kecuali bola. Holly mengambil kotak karton besar dan mulai
mengisinya dengan bola bisbol, bola basket, bola karet, bola pantai,
bola kaki, dan bola tenis. Bola-bola itu bertebaran di seluruh ruangan, dan
Holly berpikir apakah dia bisa menemukan semuanya. Sambil
bekerja, dia setengah mendengarkan sementara Thea tidak habishabisnya ngoceh tentang cowok-cowok di camp.
Beberapa lama kemudian baru Holly sadar pamannya belum
kembali. "Ke mana Paman Bill?" tanyanya, memotong cerita Thea yang ke-seratus
kalinya tentang John Hardesty. "Kok belum balik
juga?" "Oh, mungkin ada urusan lain," kata Thea. "Kulihat ada truk pengantar makanan
datang beberapa menit lalu."
Kasihan Paman Bill, pikir Holly sementara Thea melanjutkan
celotehnya. Praktis dia harus mengerjakan sendiri seluruh pekerjaan di camp ini.
"Jadi bagaimana menurutmu?" tanya Thea.
" Tentang apa?" kata Holly.
"Kau tak menyimak sih," kata Thea. "Tentang John. Apa yang harus kulakukan waktu
bertemu dia nanti" Aku harus perlihatkan
kalau aku girang sekali ketemu dia, atau aku pura-pura tenang-tenang
saja?" "Tenang-tenang saja," sahut Holly setelah diam sejenak.
"Setidaknya sampai kau lihat bagaimana reaksinya."
"Aku yakin dia juga senang sekali bertemu lagi denganku," kata Thea. "Maksudku,
dia sudah beberapa kali menulis surat padaku
selama setahun ini."
"Kapan yang terakhir kali?"
"Januari," sahut Thea. "Mungkin karena dia sibuk setelah itu."
"Mungkin," kata Holly setuju.
"Kau seperti tak terlalu yakin," kata Thea, mengerutkan kening.
"Terus terang, bagaimana pendapatmu?"
"Bagaimana aku bisa tahu?" Holly tertawa. "Thea, aku tak bisa membaca pikiran!
Lagi pula, kalau dengan John tak mulus, kenapa
tidak dengan cowok-cowok hebat lain yang tak habis-habisnya
kauceritakan padaku tadi?"
"Aku cerita tentang mereka itu kan untukmu, bego," kata Thea.
"Tapi, ya," tambahnya sambil menggoda, "tak ada salahnya juga kalau ada sedikit
persaingan..." "Maksudmu kalau urusan dengan John tak mulus."
"Pembimbing perempuan bukan cuma kita berdua," kata Thea.
"Tapi yang paling kupikirkan Geri Marcus."
Holly tersentak. "Siapa?"
"Geri Marcus." "Rambut merah pendek, dari Waynesbridge?" Holly sadar dia
mencerocos, tapi tidak bisa menghentikannya.
"Tepat," kata Thea, "tapi aku tak tahu dari mana dia. Kau bisa tanya sendiri
padanya - nah, tuh dia datang."
"Tidak!" seru Holly. "Oh, tidak! Tak mungkin dia di sini!"
Chapter 4 HOLLY merasa seakan jantungnya melorot mmpai ke ujung
jari kakinya. Ketika pertama kali Thea menyebut nama Geri, sesaat Holly
berharap yang dimaksudnya adalah Geri Marcus lain. Tapi sekarang,
melihat orangnya berjalan di jalur berkerikil menuju ke ruang rekreasi, tidak
ada keraguan lagi. Memandang langkah-langkah santai Geri, rambut pirangnya
yang dipotong pendek, senyumnya yang cemerlang, dan kulitnya yang
seputih susu, perasaan Holly campur aduk - perasaan hangat sisa
persahabatannya dulu dengan Geri, bercampur rasa sedih dan marah
atas penyebab terputusnya persahabatan itu.
"Kenapa kau?" tanya Thea cemas. "Kau seperti baru melihat hantu."
"Kurang-lebih begitu," bisik Holly sementara pintu kasa
mengayun terbuka. "Nanti saja kuceritakan."
Geri menahan pintu terbuka beberapa saat, lalu berjalan masuk
dengan gaya seakan ia pemilik tempat ini. Mulanya matanya agak
mengerut ketika melihat Holly, lalu ia memasang senyum santai.
"Hai Geri," kata Thea. "Holly, ini Geri Marcus. Geri, aku mau mengenalkanmu
dengan temanku Holly - "
"Aku sudah kenal dia," kata Geri dingin. "Dan aku sudah merasa dia ada di sini."
Ia berjalan melewati kedua cewek itu dan berdiri meneliti rak-rak perputakaan
sejenak sebelum mengambil
setumpuk buku. Lalu ia pergi begitu saja seakan-akan Holly dan Thea
tidak ada di sana. "Ada apa sih?" tanya Thea ketika Geri sudah pergi.
"Ceritanya panjang," kata Holly. Ia menghela napas lalu duduk di bangku,
memikirkan itu. Bahkan sampai sekarang, dua tahun
kemudian, Holly masih tidak mengerti apa yang telah terjadi.
"Aku kenal Geri di Waynesbridge," katanya pada Thea. "Sejak keluargaku belum
pindah ke Shadyside."
"Dan kalian tak pernah cocok?" Thea mencoba menebak.
"Justru sebaliknya," kata Holly. "Kami bertemu di regu renang.
Dan walaupun kami berdua perenang terbaik di regu itu, kami tak
pernah merasa bersaing. Sulit menjelaskannya, tapi kalau salah satu
dari kami memenangkan pertandingan, rasanya seakan kami berdua
yang memenangkannya."
"Jadi apa yang terjadi?" tanya Thea.
Holly menggeleng. "Sesuatu yang sangat konyol," sahutnya.
"Geri dan aku sahabat baik di luar sekolah. Kami tidur, main,
mengerjakan pekerjaan rumah bersama-sama. Sudah seperti saudara.
Lalu kami kenal seorang cowok."
"Aha!" kata Thea. "Sudah mulai jelas sekarang."
"Ya, tapi tak seperti yang kaupikir," kata Holly, sekali lagi merasakan
kepedihan dua tahun yang lalu.
"Namanya Brad Berlow, dan dia menganggap dirinya berkah
Tuhan bagi dunia. Padahal dia menyebalkan bukan main. Lagi pula
umurnya sudah delapan belas dan sudah lulus high school. Wajar saja
kalau orangtua Geri tak membolehkan dia pergi dengan cowok itu."
"Geri tak peduli pada larangan itu," kata Thea.
"Dia yakin sekali dia jatuh cinta mati-matian pada Brad," kata Holly. "Dia
pernah bilang padaku bahwa hidupnya akan hancur kalau tak boleh bertemu Brad.
Lalu dia minta aku menolongnya, dengan
mengatakan dia bersamaku kalau dia sedang pergi dengan Brad."
"Cerdik," kata Thea sinis. "Lalu apa yang kau lakukan?"
"Semuanya jadi berantakan," kata Holly. "Kau kenal aku. Aku tak pintar bohong,
tapi aku janji takkan bilang apa-apa tentang Brad
pada orangtuanya. Aku tak yakin bisa bohong. Jadi Geri bilang dia
mengerti dan segalanya sepertinya aman-aman saja, sampai suatu
malam kira-kira jam sebelas ibunya meneleponku di rumah
mencarinya." "Lalu kau bilang apa?"
"Aku gugup sekali, sampai cuma bisa bilang aku tak ketemu
Geri hari itu, lalu ibunya bilang, 'Tapi dia bilang mau belajar
bersamamu.' Dasar tolol, aku menyahut, 'Oh ya, saya lupa, tapi dia
belum sampai sini."'
"Jam sebelas malam?"
"Ya, itulah ketololanku," kata Holly murung. "Bu Marcus jadi benar-benar marah
dan mencemaskan Geri, jadi kukatakan padanya
aku yakin Geri baik-baik saja, dan entah bagaimana dia
menyimpulkan Geri sedang pergi dengan Brad."
"Wah," kata Thea.
"Besoknya Geri telepon. Nada suaranya dingin sekali, hampirhampir tak kukenali. Katanya dia dihukum tak boleh keluar rumah
sampai akhir semester, dan itu karena salahku, dan katanya itu
kulakukan karena cemburu. Kucoba menjelaskan apa yang terjadi, tapi
dia tak mau mendengarkan. Sejak saat itu dia berbalik membenciku."
Thea terdiam sejenak. "Tapi itu bukan salahmu," katanya. "Kau sudah bilang
padanya kau tak bisa bohong. Harusnya tahu begitu dia
tak memintamu bohong."
"Tapi dia lakukan," kata Holly. "Dan mungkin kalau aku teman yang lebih baik,
aku bisa menemukan cara untuk mencegah ibunya
jadi curiga." "Aku ragu," kata Thea. "Dan itu sudah lama berlalu."
"Itu yang kupikir," kata Holly. "Ketika kami pindah ke
Shadyside, kupikir aku tak perlu memikirkan Geri lagi. Tapi sekarang
dia di sini." "Jangan pedulikan dia," kata Thea bersimpati. "Jangan biarkan dia merusak musim
panasmu." "Akan kucoba," kata Holly tanpa keyakinan.
Saat itu tiba-tiba terdengar tawa keras dari luar, diikuti seruanseruan dan tawa lagi. "Kelihatannya para pembimbing lain sudah
datang," kata Thea. "Ayo kita lihat."
"Maksudmu ayo kita cari John, " goda Holly.
"Yaaa... itu juga," kata Thea. Lalu kedua gadis itu keluar dari ruang rekreasi.
Saat itu sudah sore dan hawa sudah tidak terlalu panas.
Di seberang tempat parkir, tiga cowok bergantian memukul bola
sofbol, sementara seorang cewek bertubuh tinggi melemparkan
bolanya. Otomatis Holly memandang berkeliling mencari Geri, lalu
dilihatnya Geri sedang duduk menghadap meja piknik dengan buku
terbuka di depannya. Di seberang meja seorang cowok tampan sedang
mengerutkan kening berkonsentrasi sambil menulis.
"Tak ada yang kukenal," kata Thea pada Holly. Lalu ia
menunjuk ke atas. "Aku bisa mengenalkanmu pada Kit, tapi badut itu ada di atas
pohon," katanya. Holly melihat ke arah yang ditunjuk
Thea, dilihatnya seorang cowok jangkung sedang memanjat ke puncak
sebatang pohon Maple. Dia sinting, atau kenapa?" tanya Holly.
"Kenapa," jawab Thea. "Dan sinting. Oh, lihat siapa itu."
Cewek jangkung yang jadi pelempar bola tadi menyeberangi
lapangan parkir dengan senyum bersahabat di bibirnya.
"Hai, Thea," tegurnya hangat. "Ini Holly?"
Holly melihat cewek yang lebih tua dari mereka itu datang
menghampiri. Kulitnya gelap tersengat matahari, rambutnya yang
hitam panjang dikepang dua. Ia memakai pakaian terusan pendek dari
bahan denim belel, dan di lehernya tergantung liontin batu pualam
berbentuk burung hantu. Holly menatap tanpa bicara. Menurutnya cewek itu sangat
menarik. Salah. Menurutnya cewek itu sempurna.
"Aku Debra Wallach," kata cewek itu. "Aku pembimbing senior di pondokmu." Ia
mengulurkan tangan, dan Holly menyalaminya
dengan gugup. "Aku senang bertemu denganmu," kata Holly. "Katanya aku akan jadi asistenmu."
"Ya, aku tahu," kata Debra. "Untuk seni dan prakarya dan berperahu. Kau pernah
melakukannya sebelum ini" Sudah punya
pengalaman apa saja?"
"Uh, belum banyak," aku Holly lebih gugup lagi. "Maksudku, aku sudah sering
mengerjakan prakarya, tapi belum pernah mengajar."
"Begitu," kata Debra. Apakah perasaan Holly saja, atau
memang nada suara Debra menjadi agak dingin"
"Tapi aku punya banyak pengalaman berperahu," cepat-cepat
Holly menambahkan. "Setiap musim panas aku berlayar dengan
ayahku sejak usiaku tiga tahun."
"Sayangnya kita tak punya perahu layar di sini," kata Debra.
"Hanya kano dan perahu dayung."
Dipikirnya aku sama sekali tak berguna, pikir Holly murung.
"Yang penting kau mau belajar dan tak segan-segan kerja
keras," kata Debra, suaranya menghangat kembali. "Selama kau ingat itu, kita
akan bisa bekerja sama dengan baik." Ia mengedipkan sebelah mata ke Holly, lalu
berjalan ke arah kantor. "Dia keras, ya?" tanya Holly.
"Yang paling keras," sahut Thea. "Tapi dia baik - selama
kaulakukan apa yang dimintanya."
"Rasanya lebih baik aku balik ke pondok menyelesaikan
merapikan barang-barangku," kata Holly, mendadak menguatirkan apa pendapat Debra
mengenai dirinya kalau dilihatnya ia belum selesai
membenahi barangnya sendiri.
"Ayo kita jalan sama-sama," ajak Thea. "Pondokku persis di belakang pondokmu,
dan barang-barangku masih tertumpuk di
ranjang." Ketika mereka lewat dekat meja tempat Geri sedang duduk
dengan cowok tampan tadi, Geri mengangkat matanya memandang
Holly dengan wajah hampa. Bahkan kerutan dahi masih lebih baik.
Apa yang ada dalam pikirannya" pikir Holly.
Sepertinya Thea tidak melihat itu dan dengan riang menepuk
punggung si cowok tampan.
"Hei, Mick," katanya. "Belum-belum sudah menulis surat ke rumah?"
Mick, yang jangkung dan pirang serta mirip aktor Kevin Bacon
kelihatan tersipu-sipu dan menutupi kertas itu dengan tangannya.
"Terus terang, ya," katanya. "Ibuku ingin sering mendengar kabar dariku. Jadi
kutulis sekaligus banyak surat dan kukirim setiap minggu
satu." "Bagaimana kau tahu apa yang akan terjadi?" tanya Thea.
"Kukarang-karang saja," kata Mick. "Anggap saja ramalan. Dan kalau kau tak
cepat-cepat pergi dari sini sekarang, akan kutulis kau
dimakan beruang!" Thea tertawa. Lalu memperkenalkan Mick pada Holly.
"Senang berkenalan denganmu," kata Mick. "Rasanya aku mau tulis ke ibuku bahwa
kau dan aku jadi teman dekat, sangat dekat."
Holly cuma tersenyum jengah. Cowok itu tampan, tapi ada
sesuatu yang membuatnya kelihatan agak berbahaya.
Lupakan Mick, katanya pada diri sendiri. Kau kan sedang cuti
dari cowok musim panas ini. "Sampai nanti," katanya ketika ia dan Thea
melanjutkan perjalanan mereka ke pondok.
"Pasti!" kata Mick, menyeringai.
Holly masih berpikir tentang Mick ketika sampai di pondok.
"Sampai nanti, di api unggun," kata Thea.
"Oke," kata Holly. Masih sambil berpikir, ia masuk ke pondok.
Dari jendela dilihatnya sinar matahari yang saat itu berwarna oranye
terpantul dari permukaan danau. Cantik sekali pemandangan di sini,
pikirnya. Dan sampai sejauh ini, kelihatannya musim panas ini akan
Fear Street - Balas Dendam Seorang Kakak Lights Out di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyenangkan. Kelihatannya dia akan suka bekerja dengan Debra,
Mick membangkitkan rasa ingin tahunya, sedangkan Thea sahabat
terbaiknya di dunia. Kalau saja Geri tidak ada di sini. Tapi mungkin
aku bisa bicara dengan Geri, pikir Holly, meluruskan salah pengertian
itu sampai tuntas. Diambilnya bantalnya dari tempat tidur sebelah, dan setelah
memeriksanya kalau-kalau masih ada serangga bertengger di situ,
ditaruhnya lagi di tempat tidurnya. Kemudian dia mulai
mengosongkan tas terakhirnya, tas kecil untuk perlengkapan
bermalam berisi sunscreen, sikat gigi, dan beberapa macam kosmetik,
lalu membereskan barang-barang yang ditumpahkan ke tempat tidur
oleh Thea tadi. Semakin dekat ke saat matahari terbenam, pondok itu semakin
gelap, dan sebuah bunyi kecil membuatnya menengok ke langit-langit.
Dan terpaku. Di atas sana, hampir tidak terlihat di latar belakang yang gelap,
sebentuk bayangan bergerak-gerak, lalu menyambar turun ke arahnya.
Chapter 5 BAYANGAN itu menyambar persis di atas kepalanya.
Dengan gerakan refleks Holly memejamkan mata dan
melindungi kepala dengan kedua belah tangannya. Ketika akhirnya ia
membuka mata, tak ada apa-apa di sana.
Jantungnya berdegup keras sampai seperti mau melompat
keluar dari rongga dadanya.
Aku cuma berkhayal melihat sesuatu, katanya pada diri sendiri.
Mungkin cuma bayang-bayang.
Tapi kemudian ada sesuatu bergerak-gerak di tepi bidang
pandangnya. Ia menengok, dan mengenali bayangan itu, kelelawar.
Kelelawar besar berwarna cokelat.
Sebelum ia sempat bergerak atau berpikir, kelelawar itu, dengan
mulut ternganga lebar, sekali lagi terbang menyambar di atas
kepalanya, menyerempet rambutnya.
Holly melompat ke belakang sambil menjerit, dan menyambar
handuk. Dengan panik diayun-ayunkannya handuk itu, mengusir si
kelelawar kembali ke langit-langit di atas.
Aku harus mengusirnya keluar dari sini, pikirnya. Aku harus
membuatnya pergi. Ia menengok ke sana kemari mencari-cari senjata yang lebih
cocok. Tak ada apa-apa yang bisa dipakainya. Tapi kemudian ia
melihat dayung kano di pojok. Sebelum si kelelawar terbang
menyambarnya lagi, ia mengambil dayung itu dan mengayunayunkannya ke makhluk itu. Kelelawar itu terkejut, terbang ke dinding
paling jauh, lalu mulai terbang berputar-putar kebingungan.
Holly berusaha melawan rasa paniknya. Dibanding ular dan
serangga, ia lebih takut lagi pada kelelawar! Tapi dilihatnya kelelawar itu
takut juga padanya. Mungkin aku bisa mengusir keluar kelelawar ilu dengan dayung
ini, pikirnya. Tangannya gemetar, diangkatnya dayung dan diayunkannya ke
arah sang kelelawar. Satu-satunya reaksi binatang itu hanyalah
terbang berputar-putar lebih lebar lagi sambil mengeluarkan pekik
nyaring yang menusuk telinga.
Holly bergerak ke bagian belakang ruangan, melawan rasa
jijiknya, dan perlahan-lahan melambai-lambaikan dayungnya di udara.
kelelawar itu terbang menjauh ke bagian depan ruangan.
Berhasil! pikir Holly. Diteruskannya menghalau kelelawar itu
ke arah pintu. Lalu tiba-tiba, tanpa disangka-sangka, sang kelelawar berbalik
dan terbang langsung ke wajah Holly.
Sambil masih memegang dayung, dan memekik di luar
kehendaknya, Holly menghambur di bawah makhluk terbang yang
juga memekik-mekik itu, langsung keluar dari pintu Dan hampir menabrak Geri Marcus.
"Lihat-lihat dong kalau jalan, jangan main tabrak!" seru Geri, melompat ke
belakang menghindari tabrakan. Lalu ia melihat dayung
di tangan Holly, dan wajah Holly yang ketakutan, dan ia tersenyum
mengejek. "Mau berkano?" tanyanya.
Holly merasa wajahnya memerah. Dan lebih malunya lagi,
dilihatnya Geri tidak sendirian - bersamanya ada Debra dan dua
cewek lagi yang belum dikenal Holly.
"Ada apa?" tanya Debra.
"Ada kelelawar," sahut Holly. "Ada kelelawar besar di
pondokku." "Iiiiii!" seru salah satu cewek yang baru datang itu.
"Uh, baru begitu saja!" kata Debra, nadanya sebal. "Kenapa tak kauusir saja
keluar" Carikan sapu."
Salah satu cewek itu pergi ke bangunan utama sementara Holly
mulai menceritakan bahwa dia sedang berusaha mengusir kelelawar
itu, tapi si kelelawar terbang ke arahnya.
"Namanya juga kelelawar," kata Debra. "Mungkin dia
ketakutan." Pembimbing yang satu tadi kembali membawa sapu.
Debra mengambil sapu itu dan masuk ke pondok. Holly tidak sanggup
masuk lagi ke pondok, jadi cuma berdiri di luar melihat ke pintu
dengan rasa malu dan tak berdaya.
"Di hutan ini banyak kelelawarnya," kata Geri. Holly
mendengar nada senang dalam suaranya, dan tidak bisa memikirkan
jawaban yang pantas. Sesaat kemudian kelelawar itu terbang keluar lewat pintu
depan, menuju ke pepohonan. Debra menyusul keluar membawa sapu.
"Ayo," katanya sambil menaruh sapu. "Kita bisa telat ke api unggun."
Holly menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, lalu
mengikuti yang lain-lain ke lapangan terbuka di dekat pepohonan.
Sebagian besar para pembimbing yang lain sudah berada di sana,
membakar hotdog di atas api unggun dalam suasana yang mulai gelap.
Dengan lega Holly melihat Thea duduk sendirian, dan ia pergi ke
sana. "Hai," sapanya, lalu duduk dan menusuk hot-dog dengan
penusuk runcing berwarna hijau.
"Hai," balas Thea. Ia terdengar murung, dan Holly sudah akan bertanya ada apa,
tapi Mick datang dan duduk di antara mereka
berdua. "Selamat datang ke pesta-masak-dan-makan pertama di musim
panas ini," katanya dengan senyum lebar ke arah Holly.
"Semuanya baunya sedap," kata Holly membalas senyum.
"Cobalah salad kentangnya," kata Mick. "Itu salah satu
spesialisasi Paman Bill. Sayangnya tepat waktu bukan salah satu
spesialisasinya yang lain."
Holly tersenyum. Paman Bill selalu terlambat, karena mencoba
melakukan terlalu banyak hal sekaligus.
"Jadi kita duduk bengong menunggu dia datang," kata Mick.
"Sayang kita tak punya video untuk di tonton ."
"Ide bagus, Mick," kata Thea. "Tapi bukannya berkemah itu justru maksudnya untuk
menghindar dari budaya kota dan
mendekatkan diri pada alam?"
"Aku bukannya bicara video budaya kota," sanggah Mick.
"Kalian tahu di api unggun camp orang suka cerita kisah-kisah hantu"
Kupikir mungkin lebih baik nonton video horor."
"Aku tak suka film horor," kata Holly.
"Betul?" kata Mick. "Friday the Thirteenth juga tak suka?"
"Aku tak pernah nonton itu," aku Holly.
"Aku tak percaya!" kata Mick. "Semua orang pernah nonton Friday the Thirteenth.
Paling sedikit ada delapan seri. Kau bercanda,
kan?" "Tidak," Thea yang menyahut. "Holly memang tak suka nonton film. Dia lebih suka
baca buku." "Ah, rugi kau," kata Mick. "Itu film seru. Ceritanya ada orang aneh pakai masker
hockey, dan dia berkeliaran membunuh peserta
camping - " "Ih!" komentar Holly.
"Betul-betul seru," Mick meneruskan. "Ada satu adegan di film pertama ketika
seorang peserta camping pergi ke hutan sendirian, dan
dia tidak tahu orang aneh bertopeng itu ada di sana, orang itu bawa
parang, lalu - " "Sudah, sudah cukup jelas," kata Holly.
Mick tertawa. "Tapi memang kau harusnya nonton film itu. Aku
pergi dulu sebentar," ia menambahkan. "Aku perlu tambahan salad kentang."
Holly menoleh ke Thea. "Kau juga suka film konyol itu?"
tanyanya pada temannya. "Film itu oke kok," kata Thea. "Dibuat ketakutan kadang-kadang terasa asyik
juga." Ia tersenyum, lalu mulai menyapukan
mustard ke hotdog-nya. Dibuat ketakutan kok asyik... Holly memandang ke pepohonan
yang menjulang di tepi areal api unggun. Sekarang, setelah gelap,
hutan itu tidak lagi terlihat menarik dan menyenangkan, tapi penuh
dengan bentuk-bentuk menyeramkan.
Ia bergeser lebih mendekat ke kehangatan dan cahaya api
unggun. Persis di depannya, di seberang api unggun, dilihatnya Geri
sedang ngobrol dan tertawa-tawa dengan beberapa pembimbing baru.
Semua ini kesalahan besar, pikirnya. Bagaimana aku bisa
bertahan sampai akhir musim panas"
Tiba-tiba terdengar bunyi peluit, dan ia langsung merasa lebih
riang. Itu Paman Bill, membawa kotak besar berisi minuman dingin.
"Siapa mau soda lagi?" tanyanya, menaruh kotak itu. "Cukup banyak untuk semua
orang. Ambil saja yang kalian suka."
Beberapa pembimbing berdiri dan mengambil minuman
sementara Paman Bill mendudukkan diri di batu besar di tepi api
unggun. Ia menoleh ke Holly dan mengedipkan sebelah mata, lalu
mulai bicara lagi dengan suaranya yang membahana.
"Aku ingin mengucapkan selamat datang di Camp Nightwing
kepada kalian semua," katanya. "Kepada para pembimbing baru, namaku Bill
Patterson, tapi semua orang menyebutku Paman Bill.
Para peserta camp akan datang besok, jadi yang perlu diingat, bekerja
sambil bersenang-senang, dan nikmati tugas-tugas kalian. Itu
peraturan nomor satu - bekerja sambil bersenang-senang dan nikmati.
Peraturan nomor dua adalah ikuti peraturan-peraturan lain. Kepada
kalian semua akan dibagikan daftar tertulis, tapi akan kujelaskan
sekarang beberapa yang penting - "
Mendadak terdengar bunyi gemeresik di semak-semak di
belakang Paman Bill. Ia berhenti bicara sejenak, lalu meneruskan, "Kalau kalian
masih baru di sini, mungkin kalian agak mencemaskan suara-suara
yang kalian dengar di hutan malam hari. Tapi tak ada yang perlu
ditakutkan. Camp ini tempat paling aman untuk menghabiskan libur
musim panas kalian."
Bunyi gemeresik itu terdengar lagi, lebih keras sekarang. Semua
pembimbing menatap ke pinggir hutan,
Bunyi apa itu" pikir Holly. Apakah ada beruang di sini" Dia
tidak bisa memusatkan perhatiannya pada pembicaraan Paman Bill.
"Sebelum kita teruskan," suara Paman Bill akhirnya menembus
juga ke benak Holly, "rasanya kita perlu saling memperkenalkan diri.
Aku sudah memperkenalkan diri tadi, jadi sekarang kita teruskan
keliling lingkaran. Debra?"
"Namaku Debra Wallach," kata cewek berambut hitam itu. "Ini tahun ketigaku di
camp ini. Aku pembimbing untuk berperahu, juga
untuk seni dan prakarya."
Cowok di sampingnya sudah mau bicara, tapi terhenti dipotong
jeritan seram mendirikan bulu roma dari tepi hutan.
Sesaat kemudian semak-semak terkuak dan sesosok tubuh
melompat ke lingkaran api unggun.
Ia berpakaian hitam-hitam, wajahnya tertutup masker hockey.
Sementara Holly menatap ketakutan, orang itu mencabut
sebilah parang dari ikat pinggangnya dan mulai mendekat ke arahnya.
Chapter 6 HOLLY menatap tanpa mampu mengucapkan apa pun
sementara orang itu mengayun-ayunkan parangnya.
Seseorang di seberang api unggun menjerit, lalu suara
menggelegar Paman Bill memenuhi udara.
"Lucu sekali, Kit; katanya tenang. "Terima kasih sudah
mengingatkan kami semua pada film favoritku."
"Hei," kata orang bertopeng itu. "Jangan pura-pura, akui saja kulihat wajahmu tadi - kau juga ketakutan seperti yang lain."
"Aku bukan ketakutan," kata Bill. "Cuma ngeri, kalau
memikirkan seluruh musim panas ini akan penuh lelucon konyolmu."
Yang lain tertawa, dan Kit melepas maskernya, menampakkan
wajahnya yang berkulit pucat berbintik-bintik dan mata biru muda.
"Bagi yang belum kenal dengannya," kata Paman Bill,
"pembunuh kejam berparang ini adalah Kit Damon. Hati-hati kalau
kalian ada di dekatnya. Aku serius."
Thea mendoyongkan tubuhnya ke Holly. "Kit mengira
leluconnya lucu," bisiknya. "Tapi menurutku dia agak aneh."
"Agak aneh?" bisik Holly.
"Musim panas lalu dia membuat beberapa anak betul-betul
takut karena ulahnya," cerita Thea. "Paman Bill hampir-hampir mengusirnya dari
camp. Aku tak tahu kenapa dia menerima Kit lagi
tahun ini." Holly tidak menyahut. Dia semakin kasihan pada Paman Bill.
Dia tahu kenapa Paman Bill masih mau menerima Kit - Paman Bill
kekurangan tenaga pembimbing.
Seorang pembimbing gemuk pendek di seberang api unggun
sedang memperkenalkan diri, tapi Holly tidak mendengar jelas katakatanya yang seperti orang menggumam. Diperhatikannya Kit sudah
duduk di sebelah Geri, tapi Geri tidak menghiraukannya.
"Kit naksir Geri mati-mailan," bisik Thea. "Sepanjang musim panas lalu
diikutinya Geri ke mana pun seperti anak anjing."
"Geri kelihatannya tak peduli padanya," kata Holly.
"Geri menganggapnya membosankan," kata Thea. "Tapi dia
tetap tak menyerah. Rasanya salah satu tujuan lelucon-lelucon
konyolnya itu adalah untuk menarik perhatian Geri."
Mick baru selesai memperkenalkan diri, dan sekarang seorang
cowok jangkung dan tampan berambut pirang mulai bicara.
"Aku Sandy Wayne," katanya. "Aku dari Center City. Aku akan mengajar tenis dan
berkemah di hutan." "Dia anak baru," bisik Thea. "Aku coba bicara dengannya sore tadi, tapi dia tak
banyak bicara." "Mungkin dia pemalu," kata Holly.
"Mungkin," Thea setuju. "Kelihatannya dia anak orang kaya.
Dia pakai kacamata Porsche. Itu tuh, yang harganya dua ratus dolar.
Coba, orang macam apa yang pakai kacamata dua ratus dolar di
tempat seperti ini?"
"Orang kaya. Pertanyaan berikut?" kata Holly sambil tertawa.
"Kalau dia kaya, untuk apa dia kerja di sini?"
"Mungkin memang hobinya kegiatan seperti ini," kata Holly,
mulai geregetan. Kadang-kadang kesukaan Thea mengorek-ngorek
urusan orang lain terasa keterlaluan.
"Itu John, " kata Thea, menunjuk ke cowok tidak terlalu tinggi, tampan,
bercelana jins buntung dan kaus sepak bola hijau yang sedang
memperkenalkan diri sebagai John Hardesty. Holly memperhatikan
cowok itu tidak menatap ke arah siapa pun, dan kelihatannya dia
menghindari bertatapan dengan Thea.
"Dari tadi dia duduk sendiri saja," kata Thea. "Mengikat-ikat tali. Dia tak
datang menemuiku, bahkan melambai saja tidak."
Fear Street - Balas Dendam Seorang Kakak Lights Out di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin dia tak melihatmu," kata Holly, tapi bahkan di
telinganya sendiri pun kata-katanya itu sangat tidak meyakinkan.
"Mungkin," kata Thea. "Tapi masa iya sih."
Sekarang baru Holly tahu kenapa Thea murung terus
semalaman ini. Dia mencoba mencari kata-kata yang pantas untuk
dikatakan pada Thea, karena kelihatannya John tidak seantusias Thea
mengenai roman musim panas lalu.
Akhirnya acara perkenalan selesai, dan Holly tidak tahu apakah
dia bisa ingat semua nama baru itu.
"Sudah malam sekarang," kata Paman Bill, "jadi aku takkan lama-lama menahan
kalian semua. Peraturan tertulis camp akan
dibagikan besok pagi. "Aku hanya ingin menyebutkan beberapa yang terpenting. Jam
malam bagi peserta adalah jam sembilan tepat, dan semua peserta
harus naik ke tempat tidur. Bagi pembimbing jam setengah sebelas."
Dua-tiga suara protes terdengar, dan Mick bertanya,
"Bagaimana dengan malam akhir pekan dan waktu kami sedang tak
tugas?" "Tak ada kekecualian," sahut Paman Bill tegas. "Dulu-dulu, setiap kali aku
memberi kekecualian, orang terlambat bangun
paginya." "Sebagian besar peraturannya tak terlalu jelek dibanding campcamp lain," bisik Thea pada Holly. "Tapi Paman Bill sangat tegas memegang
peraturan." "Kaleng soda dan kertas akan dikumpulkan untuk didaur
ulang - di ruang makan ada kotak untuk mengumpulkannya," Paman
Bill meneruskan. "Dan akhirnya - dan ini yang paling penting pembimbing dilarang berkencan dengan peserta. Yang dimaksud
dengan berkencan adalah pergi berduaan, saling berpegang tangan,
berdansa sama-sama... dengan kata lain pacaran. Kalau kalian
temukan cinta sejati kalian di antara para peserta, boleh-boleh saja.
Kalian boleh pacaran waktu kembali ke sekolah nanti. Tapi bukan di
sini. Sama sekali tak boleh. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan
langsung diusir dari ramp. Ada pertanyaan?"
"Bagaimana kalau salah seorang peserta jatuh cinta mati-matian
padaku?" tanya Kit. "Apa yang harus kulakukan?"
"Telepon Ripley's Believe It or Not," gurau Mick.
Yang lain tertawa, dan sesaat Holly agak kasihan pada Kit.
Sejauh ini kedua leluconnya jadi senjata makan tuan.
Paman Bill berdiri, menandakan ia sudah selesai, dan berjalan
lebih dekat ke api unggun. "Jangan terlalu malam," katanya dengan seringai
ramah. "Ingat, kita mulai kerja pagi-pagi sekali besok."
Dengan perasaan sayang Holly memperhatikan pamannya
berjalan pergi. Beberapa anak mulai membakar marshmallow
sementara beberapa yang lain sedikit demi sedikit kembali ke pondok
mereka. Holly merasa badannya capek sekali, dan ingin tidur cepat.
"Balik ke pondok yuk," ajaknya pada Thea.
Thea mengangguk. "Sebentar," katanya. "Aku mau ketemu John dulu."
Thea pergi ke seberang api unggun, ke tempat John duduk
sendirian menatap api unggun.
Holly tidak bisa mendengar apa yang dikatakan John waktu
Thea mendatanginya, tapi jantungnya serasa rontok ketika ia melihat
wajah John yang dingin tanpa emosi. Sambutannya pada Thea seperti
zombie, mayat hidup. Apa sih yang membuat Thea tertarik padanya"
Holly melihat Thea masih mencoba meneruskan pembicaraan.
Tapi saat itu seseorang mencengkeram lengan Holly dari belakang. Ia
menengok dan melihat Mick cengar-cengir padanya.
"Siap untuk malam pertamamu di hutan?" tanyanya. Dari jarak
Sedekat itu ia semakin mirip Kevin Bacon.
"Rasanya ya," jawab Holly. "Setidaknya sejauh ini masih menyenangkan."
"Kalau ada yang membuatmu takut, panggil saja aku," kata
Mick. "Akan kujaga kau."
"Sampai waktu tidur saja," selorohnya.
"Atau setelahnya. Jangan takut pada aturan-aturan Paman Bill.
Bicaranya memang keras dan tegas, tapi hatinya selembut anak
kucing." Mau tidak mau Holly tersenyum karena tahu yang dikatakan
Mick benar. "Mau kuantar kembali ke pondok?" tanya Mick.
"Terima kasih," sahut Holly. "Aku sama Thea saja. Ada yang mau kami bicarakan."
"Baik, lain kali saja kalau begitu," kata Mick. "Toh musim panas masih panjang."
Ia pergi. Holly melihatnya berjalan pergi,
jantungnya berdebar keras. Apa sih yang membuat dia sangat
menarik" Apakah karena dia kelihatan agak... berbahaya"
Ia menoleh ke depan lagi mencari Thea, dan terkejut melihat
Geri berdiri di bawah sebatang pohon beberapa meter dari tempatnya.
Geri menatap lurus ke dirinya dengan pandangan penuh rasa bcnci
yang begitu besar sehingga Holly merasa seakan sinar kebencian itu
menembus sampai ke tulang sumsumnya. Saat beradu pandang
dengan Holly, Geri tidak mengalihkan matanya, tapi tetap menatap
lurus-lurus dengan marah, bahkan mengancam.
Chapter 7 Camp Nightwing Dear Chief, Awal yang bagus. Aku sudah mulai bergerak, seperti yang
kujanjikan padamu. Memang tidak mudah melepas sekrup itu dari
dinding, tapi berhasil baik bagaikan impian, atau lebih tepatnya,
bagaikan mimpi buruk. Sayangnya tidak seluruh lemari itu jatuh. Tapi
aku masih punya banyak waktu.
Toh banyak kecelakaan bisa terjadi di camp musim panas kecelakaan fatal. Kirim surat padaku, Chief, ceritakan apa yang sedang
kaukerjakan saat ini. Ingat, Chief, aku akan selalu ada di sini
untukmu. Salam, Aku Chapter 8 KICAUAN ribuan burung membangunkan Holly sebelum pukul
enam pagi. Biasanya dia lebih suka tidur terus dan bangun sesiang
mungkin, tapi cahaya matahari keemasan dan udara segar beraroma
pohon pinus memancar masuk melalui jendela pondoknya,
membuatnya langsung bangun dan merasa segar.
Siapa tahu" pikirnya. Mungkin aku sebetulnya tipe orang yang
suka kegiatan luar rumah, cuma tak tahu saja selama ini.
Debra masih tidur di dipannya di seberang sana, jadi Holly
cepat-cepat berpakaian tanpa bersuara, memakai pakaian renangnya
yang baru, yang berwarna pink bergaris-garis. Disambarnya handuk
sebelum ia melangkah keluar.
Kabut tipis mengambang di atas pepohonan hutan di sebelah
timur, dan embun tipis melapisi pelataran di sekitar pondok. Indah
sekali, pikirnya. Pantas saja Paman Bill begitu menyayangi tempat ini.
Ia menyusuri jalan setapak ke danau, duri-duri pohon pinus
menggelitik kaki telanjangnya.
Dia sudah hampir sampai ke tepi danau ketika didengarnya
suara orang berlari mengejarnya dari belakang.
Dengan terkejut ia cepat-cepat menoleh ke belakang, lalu
kembali tenang ketika dilihatnya Sandy yang sedang berlari di
belakangnya. Sandy memakai pakaian olahraga merah dan kacamata
hitam fancy yang tadi malam disebut-sebut Thea.
"Hai," katanya, melambatkan larinya. "Aku tak
mengagetkanmu, kan" Aku selalu olahraga lari setiap pagi."
"Aku hampir tak pernah melakukan apa pun pagi hari," kata
Holly sambil menguap. "Tapi pagi ini indah sekali, jadi aku rasanya pengin
berenang." "Ya, aku tahu maksudmu," kata Sandy. "Eh, mau jalan-jalan ke hutan" Kemarin aku
lihat sarang burung. Anak burungnya sudah
hampir cukup umur untuk belajar terbang. Betul-betul senang
melihatnya." "Kedengarannya asyik juga," kata Holly. "Aku pengin lihat juga nanti. Tapi aku
tak punya banyak waktu pagi ini."
"Baik," kata Sandy, tersenyum. "Tapi hati-hati kalau berenang sendirian. Dasar
danau curam, tiba-tiba dalam sekali. Dan hindari
tepian yang berlumpur, banyak lintahnya."
"Terima kasih," kata Holly. "Lintah, iih! Aku mau berenang di tempat yang
dibatasi tali saja."
"Ya, di situ aman," kata Sandy. "Selamat berenang." Ia berbelok ke jalan kecil
lain dan lenyap di balik pepohonan, larinya terdengar
semakin jauh. Holly mencatat dalam benaknya untuk mengenal Sandy lebih
jauh. Dia tampan dan senyumnya menyenangkan. Tapi entah kenapa
tak ada yang terlalu menarik dari dirinya, tak seperti "Hai!" Holly tersentak kaget dari lamunannya ketika Mick tiba-tiba muncul di
jalan setapak di depannya.
"Oh!" pekiknya kaget. "Dari mana kau?"
"Dari hutan," sahut Mick. "Maaf aku mengagetkanmu. Aku
lebih suka jalan memotong hutan daripada lewat jalan setapak."
"Aku sedang mau berenang sebentar," kata Holly.
"Ya, aku lihat," kata Mick mengagumi. Pandangannya begitu
tajam sehingga Holly merasa wajahnya mulai memerah.
"Bagus pakaian renangmu," kata Mick. Lalu ia menyeringai.
"Boleh aku jalan bersamamu" Aku mau periksa perahu-perahu
sebelum para peserta datang."
"Tentu saja," kata Holly. "Nanti aku bantu memeriksa perahu.
Salah satu tugasku membantu Debra mengajar naik perahu."
"Kita punya kano dan perahu dayung," Mick menjelaskan.
"Anak-anak paling suka kano. Tahun lalu kita punya lima, tapi ada anu, kecelakaan, jadi tinggal empat sekarang."
Tempat penambatan perahu persis di balik bukit kecil yang
menghadap ke danau. Di pagi hari seperti ini permukaan danau
berkilau memantulkan serpihan-serpihan keemasan cahaya matahari.
"Danau ini cantik sekali," kata Holly. "Danau apa namanya?"
"Feather Lake - Danau Bulu," kata Mick. "Dinamakan begitu karena banyaknya burung
air yang mampir ke sini waktu musim
pindahan. Kakekku dibesarkan di sekitar tempat ini, dan dia cerita wah!" Tiba-tiba ia berhenti bicara dan lari ke tempat penambatan
perahu yang hanya tinggal beberapa meter jaraknya.
"Ada apa?" tanya Holly, menangkap nada kuatir dalam suara
Mick. "Kano - cuma ada satu - "
Holly lari mengikutinya ke dermaga kayu. Berayun-ayun di
permukaan air di ujung dermaga terlihat tiga buah perahu dayung dan
sebuah kano. "Yang lain tenggelam!" kata Mick. "Itu di sana!"
Holly membungkuk melihat ke arah yang ditunjuk Mick. Di
bawah permukaan danau yang jernih dilihatnya tiga kano di dasar
danau, masing-masing dengan sebuah lubang besar di sisinya.
"Kok bisa begitu?" tanyanya.
"Tak tahu," sahut Mick. "Tapi ketiga lubang itu bukannya terjadi begitu saja."
Ia melepas jaketnya dan melompat ke air, celana pendek dan kausnya basah kuyup.
"Ayo," perintahnya. "Bantu aku."
Holly menaruh handuknya dan menyusul Mick masuk ke air.
Berdua mereka mendorong dan menarik kano yang paling dekat dan
akhirnya berhasil menaikkannya ke tepian berumput. Mick
memiringkan kano itu untuk mengeluarkan sisa air, lalu jongkok
memeriksa kano itu. "Pasti ada orang yang sengaja melubanginya," katanya,
menunjuk ke pinggiran lubang yang tidak rata di sisi kano aluminium
itu. "Mungkin dengan pahat."
Holly menyentuh pinggiran lubang yang tajam di sana-sini, lalu
melihat sesuatu yang membuat bulu romanya berdiri. Di samping
lubang, di antara tempat duduk dan dinding kano, terselip sehelai bulu basah
berwarna merah. Cukup lama waktu yang diperlukan Holly dan Mick untuk
menarik kedua kano yang lain ke tepi danau. Kano-kano itu berat,
seluruh otot Holly sampai terasa sakit. Dia belum sarapan, tapi sudah
tidak ada waktu lagi untuk sarapan. Dia hanya punya waktu untuk
kembali ke pondok, ganti baju, lalu bergegas menyambut para peserta
yang baru datang. Waktu berjalan kembali ke pondok, dan sambil, ganti pakaian,
Holly memikirkan apa yang terjadi. Ia meneliti bulu merah yang basah
tadi dan menaruhnya di atas lacinya di samping bulu merah yang
ditemukannya di lemari yang roboh di ruang rekreasi kemarin. Apa
cuma kebetulan" Atau memang ada orang yang sengaja melonggarkan
sekrup lemari dan melubangi kano serta meninggalkan bulu-bulu itu
sebagai - apa" Peringatan"
"Holly, cepat!" suara Thea di pintu. "Debra sudah mencari-carimu. Bus pertama
baru saja datang!" Holly melupakan urusan bulu itu dan cepat-cepat keluar dari
pondok menyusul temannya. Tempat parkir sudah penuh oleh para
pembimbing dan peserta. Debra, rambut kepangnya digelung melingkar di atas kepala
bagaikan mahkota, sedang memeriksa daftar nama sementara para
peserta turun satu per satu dari bus.
"Debra, maaf," kata Holly. "Beberapa kano tenggelam, dan aku membantu Mick - "
"Aku tak punya waktu untuk mendengarkan alasan," kata Debra
ketus. Ia menyorongkan sebuah daftar ke tangan Holly. "Ada enam
anak perempuan di Pondok Lima," katanya. "Kumpulkan mereka dan bantu mereka ke
pondok. Aku harus memeriksa kiriman alat-alat
prakarya. Kususul kau nanti ke pondok beberapa menit lagi." Holly mengambil
daftar itu, merasa seperti dicambuk. Debra bahkan tidak
ingin mendengar apa yang akan dikatakannya. Lalu ia melihat daftar
itu dengan khawatir. Ada lusinan peserta di sana - yang perempuan,
yang laki-laki, yang masih kecil, yang sudah agak besar - semua
campur jadi satu di tempat parkir. Bagaimana dia mau menemukan
enam orang yang harus dibawanya ke Pondok Lima"
"Panggil saja keras-keras nama mereka," kata suara yang sangat dikenalnya. Holly
menoleh dengan perasaan terima kasih, ke wajah
Paman Bill yang memandangnya dengan tersenyum. "Tak perlu
kuatir, Holly," katanya. "Tak seorang pun kenal para peserta pada awalnya."
Merasa jauh lebih tenang, Holly meneriakkan nama-nama di
daftarnya, dan, menakjubkan sekali, sebentar saja sudah ditemukannya
keenam peserta itu. Anak-anak perempuan itu begitu riangnya berada
di Camp sampai antusiasme mereka menular ke Holly, dan ketika
mereka sampai di pondok, ia sudah melupakan kejadian-kejadian tak
menyenangkan pagi itu. Keenam anak itu akan memakai tiga tempat tidur susun,
berderet di salah satu dinding pondok. Dua anak kembar, Stacey dan
Suzie, langsung mengambil tempat tidur yang paling dekat dengan
pintu. Candy dan Melissa, yang kelihatannya dua sahabat dekat,
mengambil tempat tidur yang tengah. Tapi dua anak perempuan
sisanya, Jessica dan Tracy, mulai bertengkar soal tempat tidur ketiga.
"Aku yang di atas!" kata Tracy.
"Tidak, aku!" kata Jessica. "Ibuku menyuruhku tidur di tempat tidur atas di
camp!" "Tak bisa!" kata Tracy. "Aku yang sudah memilih dulu!" Dia menunjuk ke ranselnya
yang sudah ditaruhnya di tempat tidur atas
dengan senyum kemenangan.
"Begini saja," kata Holly. "Bagaimana kalau kalian bergantian"
Minggu ini salah satu dari kalian di tempat tidur atas, minggu depan
Fear Street - Balas Dendam Seorang Kakak Lights Out di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang lain." "Oke," kata Tracy, "tapi aku duluan!"
"Tidak, aku duluan!" protes Jessica, matanya berkaca-kaca
hampir menangis. "Sudahlah, biar Tracy di atas dulu minggu ini," bujuk Holly.
"Dia sudah menaruh barang-barangnya di sana."
"Tak adil," gumam Jessica. Tapi Holly melihat anak itu sudah teralih
perhatiannya pada sesuatu di luar yang bisa dilihatnya dari
jendela. "Oh, lihat!" katanya. "Mereka main bola gebok!"
"Nah, makanya cepat-cepat bereskan barang-barang kalian,
habis itu kita bisa ikut main," kata Holly, lega. Ia membantu Candy, peserta
terkecil, membuka kopernya yang besar.
Semua akan berjalan baik, pikirnya. Anak-anak ini manismanis, dan waktu Debra kembali nanti, kami berdua akan bisa
mengurus mereka dengan mudah.
Dia baru saja berhasil membuka kunci koper ketika terdengar
bunyi berderak aneh di belakangnya, lalu bunyi barang runtuh
memekakkan telinga. Chapter 9 HOLLY membalikkan tubuh ke belakang dan dengan terkejut
dilihatnya bagian atas ranjang susun yang ditempati Tracy dan Jessica
roboh menimpa ranjang bagian bawah. Di bawah tumpukan kacaubalau itu ia hanya bisa melihat sebuah tangan kecil putih terjulur ke
luar. Ia lari ke tempat tidur yang roboh itu, tanpa rnenghiraukan
jeritan anak-anak yang lain, dan menarik selimut-selimut dan sepraiseprai yang bertumpuk berantakan. "Tracy!" serunya. "Tracy! Kau tak apa-apa?"
la menghela napas lega ketika Tracy, di atas tumpukan ranjang
itu, memandang kepadanya dengan wajah bingung dan mulai
sesenggukan. "Sudah, sudah," kata Holly. "Sudah tak apa-apa sekarang."Ia membantu anak itu
bangkit, lalu menoleh ke Jessica yang berdiri di
samping ranjang sambil menangis keras-keras. "Apa yang terjadi?"
tanya Holly. "Aku tak tahu!" jerit Jessica.
"Aku naik ke ranjang atas," kata Tracy sambil masih
sesenggukan. "Lalu ranjangnya jatuh."
"Tapi - tapi kenapa" Apakah kau menarik sesuatu?" Holly
mencoba menyembunyikan kejengkelannya.
"Aku tak melakukan apa-apa!" jerit Tracy, sedu-sedannya
semakin keras. "Aku bukannya bilang kau melakukan sesuatu," kata Holly.
"Aku cuma mau tahu apa - "
Tapi dia menyerah. Jelas kedua anak itu terlalu kaget untuk bisa
ditanyai apa yang telah terjadi. Dirangkulnya Tracy dan diusapusapnya punggungnya untuk menenangkannya.
Tepat pada saat itu terdengar pintu pondok terbuka. Di ambang
pintu berdiri Debra, wajahnya sampai pucat karena marahnya.
"Apa yang kaulakukan"!" bentak Debra. Cepat-cepat dia masuk
ke kamar dan mengangkat Tracy. "Ada apa, anak manis?" ia
membujuk anak perempuan kecil itu. "Apakah Holly menakutnakutimu?" "Aku tak berbuat apa-apa!" protes Holly, tersentak.
"Ranjangnya roboh! Aku sedang mencoba menenangkan anak-anak
ini!" "Kausebut ini menenangkan?" sindir Debra, tangannya
melambai ke ruangan berisi enam anak perempuan kecil yang
semuanya menangis. "Mereka kaget," kata Holly. "Kami semua kaget. Bunyinya keras sekali - "
"Hei, Debra!" panggil sebuah suara dari pintu. "Ada apa?"
Holly menengok dan merasa terbenam lebih dalam lagi ketika
dilihatnya Geri yang berdiri di pintu dengan seorang pembimbing
junior lain. "Sudah jelas kelihatan, kan?" seru Debra di tengah kontes
tangis. "Holly mendapat kecelakaan waktu anak-anak ini sedang
membereskan barang-barang mereka."
"Bukan aku!" seru Holly. "Bukan aku yang menyebabkan
semua ini! Tracy naik - "
Tapi penjelasannya dipotong suara gemuruh Paman Bill. "Ada
apa di sini?" tanyanya. "Aku dengar suara ribut-ributnya sampai ke ruang
rekreasi. "Salah satu ranjang susun roboh," kata Debra.
"Roboh?" kata Paman Bill. "Kenapa?"
"Tak tahu," sahut Debra. "Kelihatannya terjadi waktu salah satu anak ini naik."
Paman Bill memeriksa tempat tidur yang roboh itu. "Heran,"
gumamnya. Ia menegakkan badannya dan membuang debu di
tangannya dengan menepuk-nepukkannya ke celana. "Akan kusuruh
tukang memperbaikinya dan memeriksa semua tempat tidur yang lain.
Terima kasih atas tindakanmu yang cepat, Debra."
Paman Bill berjalan keluar. Holly cuma bisa terpana menatap
punggungnya. Padahal Debra tidak melakukan apa-apa tadi, justru
membuat suasana memburuk dengan marah-marah padanya.
"Ayo, jangan cuma berdiri bengong!" bentak Debra. "Bantu anak-anak ini!"
Sekali lagi Holly merasa pipinya panas. Memang dikira Debra
apa yang dilakukannya" Ketika ia berbalik untuk membujuk Jessica
yang masih menangis, dilihatnya Geri ada di dalam pondok sekarang,
dengan senyum puas di wajahnya.
"Sudah, sudah, Jessica," kata Holly, mengangkat anak itu.
"Jangan menangis. Sudah tak apa-apa." Ia duduk di tempat tidur di samping yang
roboh tadi, dan membujuk Jessica dengan kata-kata
lembut yang terasa menenangkan dirinya sendiri juga. Tangis Jessica
sudah mereda, tinggal isak sekali-sekali, sehingga Holly mengalihkan
perhatiannya ke ranjang yang roboh.
Salah satu papannya patah, serpihan-serpihan runcing mencuat
di tempat patahannya. Iseng-iseng dibaliknya papan itu untuk menarik
serpihan yang terpanjang, lalu ia membeku.
Di bawah papan itu direkatkan sehelai bulu merah.
Beberapa lama Holly hanya bisa menatap bulu merah itu.
Rasanya hampir tidak percaya ini baru pagi hari di hari pertama camp
dibuka, pikirnya. Apa lagi yang akan terjadi berikutnya" Ia menarik
napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, lalu berdiri, siap
membantu anak-anak itu membereskan barang-barang mereka.
Di luar, di lapangan, Sandy dan seorang pembimbing lain
sedang memimpin permainan beregu.
Holly mengajak anak-anak asuhannya bergabung dengan
mereka, tapi pikirannya masih ke bulu merah.
Dengan yang terakhir ini sudah ada tiga bulu merah.
Kelihatannya cuma satu kesimpulannya. Ada orang yang
sengaja ingin menghancurkan camp ini.
Lalu satu pikiran lain muncul di kepalanya. Dia yang
menemukan bulu-bulu itu. Ketiga-tiganya. Kenapa" Apakah
peringatan mereka ditujukan padanya"
"Ada yang harus kukerjakan," katanya pada Sandy, setelah
mengambil keputusan cepat. "Kalau ada yang mencariku, aku di
kantor Paman Bill." "Oke," kata Sandy, melempar senyum ramahnya.
Dengan jantung berdebar, Holly mengetuk pintu kantor Paman
Bill. Setelah mendengar jawaban "Masuk," ia membuka pintunya.
Paman Bill sedang duduk di balik meja kerjanya, meja kayu yang
sudah jelek. Dahinya berkerut penuh pikiran ketika pertama kali ia
mengangkat kepalanya, tapi ketika dilihatnya siapa yang datang,
senyumnya merekah. "Eh, hai, Put - Holly," katanya. "Aku ingin punya waktu untuk
duduk-duduk atau jalan-jalan denganmu, tapi aku
harus menyelesaikan pembukuan ini dan mengurus perbaikan tempat
tidur dan kano." "Itu yang ingin kubicarakan dengan Paman," kata Holly.
"Tempat tidur dan kano. Paman Bill, aku yakin - "
"Maaf, Holly," potong Paman Bill. "Aku benar-benar tak punya waktu saat ini."
"Tapi ini penting sekali!" protes Holly.
"Aku percaya, " katanya, dan Holly mengenali nada tak mau
dibantah dalam suaranya. Dia sudah hampir meledak. "Semua yang
membutuhkan perhatianku penting. Tapi yang prioritas harus
didulukan." "Tapi - " "Tak ada tapi-tapi lagi, Holly!" katanya mengerutkan kening.
"Aku akan bicara denganmu nanti kalau sudah punya waktu. Tolong
tutup pintunya setelah kau keluar."
Holly meninggalkan kantor, lebih frustrasi daripada
sebelumnya. Kalau sekarang saja sudah tak punya waktu, waktu camp
baru mulai, kapan dia akan punya waktu" Dan bagaimana cara
memberitahunya mengenai ancaman bahaya itu" Jam tangannya
menunjukkan sudah hampir waktu makan siang, dan untuk pertama
kalinya hari itu ia merasa semangatnya bangun. Dia tidak sarapan tadi
pagi dan sekarang perutnya terasa sangat lapar. Bau sedap tercium
dari arah ruang makan. Ketika ia bergegas menuju ke bangunan besar
itu, dilihatnya Debra sedang berdiri sendirian di bawah sebatang
pohon. Tanpa berpikir panjang Holly mendatanginya. "Hai," sapanya
ramah. "Hai," sahut Debra. Tanpa senyum, sinar matanya tampak hatihati. Ia menyentakkan kepalanya dengan sikap tidak sabar, burung
hantu kemala di lehernya bergoyang-goyang.
Holly menarik napas dalam. "Aku cuma mau minta maaf atas
kejadian tadi pagi," katanya. "Aku tak tahu bagaimana keadaan bisa jadi seperti
itu, tapi aku janji akan berusaha lebih baik sejak saat ini."
"Kita harap saja," kata Debra.
"Tapi aku juga ingin minta sesuatu darimu.. sesuatu yang akan
membuatku lebih mudah mengerjakan tugasku." Ia berhenti sejenak.
Ketika Debra tidak menyahut, ia meneruskan, setenang mungkin.
"Aku - aku merasa sangat tak enak waktu kau memarahiku di depan
anak-anak itu dan para pembimbing," katanya. "Aku akan sangat menghargai kalau
kau tak melakukannya tagi. Kalau aku melakukan
sesuatu yang kau tak suka, tolong, tegur aku berdua saja, bukan di
depan orang lain." Sesaat Debra hanya menatap kosong pada Holly, sinar matanya
tidak bisa dibaca. Lalu sinar matanya menjadi sangat jelas terbaca. Marah.
"Dengan kata lain," kata Debra, "kau ingin aku mengabaikan situasi darurat
sehingga aku tak menyinggung perasaanmu?"
"Bukan itu yang kukatakan!" protes Holly.
"Aku tak punya pilihan lain kecuali menegurmu tadi pagi!"
Debra meneruskan, nada suaranya meninggi. "Kutinggalkan kau lima
menit, dan hampir-hampir seorang anak yang seharusnya kita jaga
celaka. Kalau aku tak cepat datang, mungkin kau masih berdiri seperti
patung!" "Tapi yang ku - "
"Sudah, lupakan saja, Holly!" Debra berteriak menenggelamkan protes Holly. "Yang
terpenting untukku adalah para peserta. Jangan harap kau akan mendapat perlakuan
istimewa hanya karena kau
keponakan Paman Bill!"
Holly sudah mau menjawab, lalu menutup mulutnya. Tidak ada
gunanya. Debra - dan mungkin semua orang lain - tahu bahwa dia
punya hubungan keluarga dengan Paman Bill. Bagaimana Debra bisa
tahu" Holly berbalik untuk meneruskan perjalanannya ke ruang
makan dan melihat Geri berdiri di pintu masuk, kelihatan sekali habis
mendengarkan - dan menikmati - perdebatannya dengan Debra.
Pasti Geri yang memberitahu Debra, sesaat itu Holly sadar. Geri
kenal Paman Bill sejak di Waynesbridge. Dan, sudah pasti, dia takkan
melepaskan kesempatan untuk menyusahkan Holly.
Geri baru berbalik setelah yakin Holly melihat senyum di
wajahnya, dan Holly mengikutinya masuk ke ruang makan, nafsu
makannya mendadak lenyap. Ketika ia ikut antrean, Thea datang dan
menyentuh lengannya. "Holly, ada yang tak beres?" tanyanya. "Kau kelihatan
murung." "Semuanya tak beres," sahut Holly. "Aku tak ingin
membicarakannya." "Dengar," kata Thea, "aku baru saja menemukan sesuatu yang mungkin akan
menjelaskan banyak hal. Temui aku di danau setelah
para peserta pergi tidur."
"Oke," Holly setuju. Dia tidak tahu apa yang ditemukan Thea, dan tidak begitu
peduli. Saat ini dia tidak melihat ada sesuatu yang
bisa menolong situasi. Ia mengambil salad bayam dan sandwich kalkun, lalu
bergabung dengan para peserta dari Pondok Lima. Ia duduk
berhadapan dengan Debra, yang bersikap seakan ia tidak ada di sana.
Tapi begitu melihat anak-anak kecil itu, hatinya lebih senang. Mereka
kelihatan senang di dekatnya, dan mulai ngoceh berbarengan,
bercerita padanya betapa senangnya mereka main bola tadi.
"Melissa dapat tiga angka untuk regu kami tadi," cerita Tracy dengan wajah
cerah. "Wah, hebat," kata Holly. "Aku pasti nonton kalau kalian main lagi nanti."
"Kita akan berenang setelah makan siang," kata Debra pada
anak-anak itu, lalu bangkit mengambil kopi. "Jadi jangan makan
terlalu banyak." "Jangan kuatir, Debra, kami tak makan banyak-banyak," kata
Tracy. "Kami tak ingin tenggelam karena keberatan badan!"
Mau tidak mau Holly tertawa. Anak-anak ini lucu-lucu.
Nafsu makannya telah kembali, dan dia baru mau menggigit
sandwich kalkunnya saat Kit berlari-lari masuk ke ruang makan
sambil menjerit-jerit ketakutan.
"Tolong! Tolong aku!"
Seekor ular hijau besar melilit di lengannya.
Ruang makan berubah jadi kacau, bunyi ribut kursi bergeser
dan berjatuhan, bercampur jeritan para peserta, menenggelamkan
teriakan minta tolong Kit.
"Tolong aku!" teriak Kit lagi, berkutat dengan ular besar yang meliuk-liuk itu.
"Tolooong, masa tak ada yang mau menolongku!"
Pergulatannya dengan ular itu membawanya ke dekat meja
tempat anak-anak Pondok Lima makan, dan saat itu ia berhasil
melepaskan lilitan ular Dan melemparkannya ke tengah meja.
Chapter 10 HOLLY cuma bisa menatap ular besar itu tanpa mampu
bergerak. Di sekitarnya didengarnya jeritan ketakutan para peserta
sementara mereka berlarian menjauhi meja berular itu.
Lakukan sesuatu, Holly! perintahnya pada diri sendiri.
Tapi dia tidak mampu melakukan apa-apa kecuali menatap ular
itu. Seakan-akan adegan lambat di film, ia melihat Thea lari ke
mejanya, mengulurkan tangannya, dan - menakjubkan - mengambil
ular tadi dari atas meja, dan melemparkannya ke dinding ruang
makan. Perlahan-lahan Holly merasa dirinya kembali normal. Detak
jantungnya melambat, dan kakinya tidak lagi gemetar.
Pengejaran Ke Cina 2 Pendekar Rajawali Sakti 189 Dendam Berkubang Darah Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 39
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama