Fear Street - Bayangan Maut Sunburn Bagian 1
Chapter 1 TERKUBUR HIDUP-HIDUP situs baca secara online ini dibuat oleh Saiful .... admin http://ceritasilat.mywapblog.com Pedang Sakti Cersil Istana Pendekar Dewa Naga Raja Iblis
Racun Ceritasilat.... thank.
CLAUDIA WALKER perlahan-lahan mengapung ke
permukaan kesadaran dari tidurnya yang lelap. Ia merasakan sesuatu
yang sejuk dan lembap membungkus dada dan kakinya. Ia bisa
mencium bau udara asin lautan.
Di kejauhan didengarnya ombak berdebur pecah di pantai. Ia
ingin hanyut kembali dalam tidur, tapi tidak bisa. Wajahnya terbakar.
Ia mencoba membuka mata, tetapi keduanya terasa bengkak
tertutup. Ia berusaha duduk. Namun ada sesuatu - beban yang tebal
dan berat - menindihnya. Matanya terbuka secelah dan ia melihat lalat-lalat berdengung
di seputar gundukan rumput laut kering dekat kepalanya. Seekor agas
terbang berkelok-kelok melintasi pasir. Agas itu berdengung ke
arahnya, matanya yang hijau bergerak-gerak. Tungkainya yang kurus,
berambut, menyentuh dagu Claudia.
Agas itu terus-menerus bergerak, mondar-mandir di bibirnya.
Claudia mencoba menebahnya, tapi tak mampu mengangkat tangan. Ia
berjuang untuk bergerak sementara agas itu merayapi pipi menuju ke
matanya yang bengkak. Terik matahari siang mendera. Claudia menjilati bibir. Bibir itu
melepuh dan pecah-pecah. Kerongkongannya kering terpanggang, dan
terasa nyeri bila menelan.
Kenapa aku tak bisa bergerak"
Apakah yang menahanku"
Akhirnya Claudia memaksa matanya membuka penuh.
Segunung pasir menimbun dirinya. Sekujur tubuhnya berbaring
terkubur di bawah pasir tersebut.
Selama ini aku terkubur - terkubur hidup- hidup! Ia tersadar,
gelombang perasaan panik melonjak dalam dadanya.
Dengan usaha sekuat tenaga ia mengangkat kepala cukup tinggi
untuk melihat gelombang air laut merayap kian dekat. Pasang akan
segera tiba, Claudia tersadar.
Aku harus bangun. Harus keluar.
Atau aku bakal tenggelam!
Ia mendongakkan kepala ke belakang, pada pasir panas, dan
mengeluarkan seruan minta tolong. Suaranya parau.
Kerongkongannya yang kering terasa nyeri.
Tak ada balasan. "Apakah ada orang di sini?" Claudia menjerit. "Adakah yang
bisa menolongku?" Seekor burung camar terbang tinggi di atas, pekiknya mengejek
Claudia. Terik matahari memanggangnya.
Claudia berjuang keras untuk sekadar menarik bebas satu
tangan. Namun panas telah menghabiskan tenaganya.
Sudah berapa lamakah aku tertidur di sini"
Sudah berapa lamakah aku terkubur"
Di manakah kawan-kawanku"
Pelipisnya mulai berdenyut-denyut. Selagi matanya terangkat,
melihat ke langit yang terang benderang dan tak berawan, ia merasa
pusing. Ia bergulat untuk mengangkat tangan dan kakinya dari tindihan
pasir. Tapi percuma. Jantungnya berdebam berat dalam dada. Keringat bercucuran
pada kening. Ia berteriak lagi.
Tak ada jawaban. Hanya debur ombak dan pekik melengking
burung camar di atas kepala.
"Tak adakah yang bisa mendengarku?"
Ia tahu jika kawan-kawannya sudah kembali ke rumah itu,
mereka tidak akan pernah mendengarnya. Dengan menjulurkan leher
panjang-panjang, ia bisa melihat tangga kayu curam yang menuju ke
rumah itu, sepanjang permukaan tebing setinggi delapan belas meter.
Rumah itu sendiri memiliki dinding-dinding batu yang tebal,
seperti dinding benteng. Tak akan ada seorang pun yang
mendengarnya dari atas sana. Tak ada seorang pun yang akan datang.
Bagaimanapun, ia berteriak juga.
CHAPTER 2 BAYANGAN MAUT CLAUDIA SAYANG, Apa kabar nih" Aku tahu ini mendadak, tapi aku mengundangmu untuk reuni
tahunan pertama Bunk 12 Camp Full Moon.
Kita berempat cuma sempat berkumpul sebentar musim panas
lalu, jadi kupikir betapa menyenangkan jika kita berkumpul lagi dan
mengobrol. (Tak seorang pun di antara kita yang hebat dalam urusan
menulis surat, terutama aku).
Orangtuaku akan pergi selama minggu pertama bulan Agustus.
Mereka menyuruhku mengundang beberapa teman untuk berlibur di
rumah musim panas kami di pantai, agar aku tidak kesepian.
Jadi bagaimana, Claud" Dapatkah kau datang" Cuma kita
berempat dari Bunk 12 - kau, aku, Sophie, dan Joy.
Aku harap kau akan melewatkan musim panas yang amat
membosankan di Shadyside, sehingga kau akan mengatakan iya.
Aku janji di sini tidak akan membosankan! Datanglah!
Marla Gara-gara surat itulah maka Claudia berada di pantai yang
terpencil ini. Walaupun terkejut oleh undangan Marla tersebut,
Claudia langsung menerimanya.
Selama itu liburan musim panasnya menyebalkan. Ia putus
dengan Steve, pacarnya selama dua tahun, sesudah pertengkaran
konyol pada Hari Kemerdekaan. Seminggu sesudahnya ia kehilangan
pekerjaan musim panas sebagai pelayan ketika rumah makan itu tutup.
Sungguh menyenangkan berjumpa kembali dengan gadis-gadis itu,
pikir Claudia saat berdiri di beranda rumahnya di Fear Street, sambil
membaca dan membaca lagi undangan Marla.
Musim panas lalu mereka menghabiskan tiga minggu bersamasama dan jadi sungguh
akrab. Mereka melewatkan banyak saat-saat
indah bersama, tertawa bersama - hingga kecelakaan itu....
Sambil masih menggenggam erat undangan itu dalam
tangannya, Claudia bergegas masuk ke dalam rumah, memberitahukan
soal itu kepada ibunya, dan buru-buru ke kamar untuk menelepon
Marla. "Aku sudah tak sabar untuk bertemu denganmu!" ia berseru.
"Dan rumah musim panasmu. Aku ingat kau melukiskannya sebagai
rumah yang sungguh besar."
"Tempat itu cuma sebuah pondok tua," gurau Marla. "Kurasa
kau akan nyaman di sana."
*****************************************
Dua minggu kemudian Claudia berada di atas kereta api,
menuju Summerhaven. Ia membekal buku untuk dibaca dalam
perjalanan panjang itu. Tetapi yang dilakukannya hanyalah menatap
ke luar jendela, memikirkan Marla dan lainnya serta kebersamaan
mereka yang singkat selama perkemahan.
Empat setengah jam kemudian Claudia melangkah turun ke
peron kayu di Summerhaven, menyipitkan mata dalam terpaan cahaya
matahari yang menyilaukan, dan melihat Joy dan Sophie berdiri di
samping setumpuk kecil koper.
Joy membawa sebuah tas manis rancangan desainer. Sophie
membawa empat buah tas yang tak secorak, masing-masing
menggelembung padat. Claudia terpaksa tertawa. Ini sungguh mirip
seperti saat berkemah dulu, ketika Sophie tiba dengan dua koper
penuh pakaian dan sebuah ransel padat dengan kosmetik. Ia
menjelaskan bahwa ia tidak pernah bisa memutuskan mana yang tidak
usah dibawa. Saat Claudia melambaikan tangan dan beranjak ke arah mereka,
sebuah Mercedes perak mengilat meluncur ke stasiun. Marla
melompat keluar dari sisi pengemudi, membiarkan pintunya terbuka,
dan berlari memeluk Joy dan Sophie.
Dari seberang peron panjang itu, Claudia mengamati dengan
kagum penampilan baru Marla. Ia tampak lebih tinggi dan lebih
ramping lagi. Rambut pirang-stroberinya tumbuh panjang, dan ia
tampak gaya dalam setelan atas warna pirus dan celana tenis putih.
Joy tampak eksotis seperti biasa. Ia memiliki mata hijau agak
sipit, kulit zaitun, bibir penuh berwarna gelap, dan rambut hitam lurus
tergerai di punggung hampir mencapai pinggang.
Claudia melihat Sophie pun tidak berubah. Ia masih yang paling
pendek di antara mereka berempat, dengan rambut keriting kecil-kecil
berwarna cokelat, terpangkas pendek di atas wajahnya yang bundar. Ia
mengenakan kacamata berbingkai kawat untuk memberikan kesan
lebih dewasa dan lebih canggih, tapi Sophie tetaplah kelihatan seperti
umur dua belas tahun. Joy adalah yang pertama melihat Claudia. "Claud!" ia berseru,
cukup keras untuk membuat setiap orang di stasiun itu menoleh
melihatnya. Sebelum Claudia bisa menjawab, Joy sudah berlari ke arahnya
dan melingkarkan tangan memeluknya. Ia memeluk Claudia seolaholah mereka dua
bersaudari yang sudah lama hilang.
Sophie mendekat dan memberikan pelukan singkat.
Sambutannya sopan dan tenang, dan entah bagaimana terasa lebih
tulus. Marla memberi Claudia satu pelukan cepat dan berkata, "Ayo
berangkat. Aku tidak boleh parkir di sini."
Beberapa saat kemudian mereka meluncur melintasi kota pantai
kecil Summerhaven, sambil bersandar pada tempat duduk kulit empuk
dan memandang keluar dalam kesejukan AC Mercedes tersebut.
Marla mengemudikan mobil melewati papan trotoar pasir serta
toko-toko kecil di tepi pantai yang menjual perlengkapan berselancar
dan memancing, kemudian melewati beberapa blok bungalo musim
panas. Bungalo-bungalo itu kemudian digantikan dengan rumahrumah yang lebih
besar dan kemudian daerah yang sama sekali tanpa
rumah. "Marla," kata Sophie, "Aku kira keluargamu tinggal di
Summerhaven." "Tidak," Marla menjawab, matanya menatap jalan sempit itu.
"Rumah kami di Point, sekitar lima belas mil dari kota. Kami cuma
memakai kantor pos Summerhaven."
Jalan itu berkelok melintasi bukit-bukit pasir yang tinggi dan
tertutup rumput. Jauh di balik bukit-bukit pasir itu, Claudia bisa
mendengar suara gemuruh lautan yang lembut, tak terputus.
"Bagian pantai ini seluruhnya adalah daerah yang dilindungi,"
Marla menjelaskan. "Cagar alam untuk burung."
Bermil-mil mereka melintasi cagar alam tersebut. Sesudah
keluar dari sana, jalannya makin menyempit lagi, jadi jalan berbatu
yang sekadar cukup lebar untuk satu mobil.
Claudia terengah keras ketika sekonyong- konyong rumah besar
keluarga Drexell muncul menjulang di hadapan mereka. Marla pernah
memperlihatkan foto-foto rumah tersebut sewaktu berkemah, tetapi
foto-foto itu jauh dari memadai untuk melukiskan ukuran ataupun
keindahan rumah raksasa itu.
Marla membuka gerbang besi dan membawa mobilnya masuk
ke halaman berpagar tanaman yang tinggi dan terpangkas apik
mengitari tanah tersebut. Pagar hijau tersebut ditanam untuk
menyamarkan pagar besi. Rumah dari batu abu-abu itu kini
seluruhnya terlihat, berdiri di halaman rumput yang luas dan terawat
rapi bak kastil dalam dongeng.
Jalan di halaman itu membawa mereka berkeliling menuju ke
sisi rumah. Claudia dapat melihat sebuah rumah kaca dengan kubah
dari kaca berwarna. Di belakang, sebuah teras lapang menuju ke
lapangan tenis, gazebo warna-warni, kebun, kolam renang yang luar
biasa besar, dan beberapa bangunan yang lebih kecil.
Marla memberitahu mereka seenaknya, "Oh, itu gudang perahu,
dan itu gudang peralatan, cabana, kalau-kalau kalian tidak mau ganti
pakaian di dalam rumah, gudang tukang kebun, gudang kayu...
Bangunan yang lebih besar di belakang rumah sana adalah guest
house." "Hei, Marla, kau punya peta?" Joy bergurau. "Butuh waktu satu
minggu nih untuk mengenal seluruh bagian di rumahmu ini."
"Jangan khawatir," jawab Marla sambil memasukkan mobilnya
ke garasi berukuran empat-mobil. "Kita akan tetap bersama-sama.
Aku bahagia kalian semua bisa datang. Aku akan selalu
memperhatikan kalian."
"Kita akan tetap bersama-sama....''
****************************************
Kini, terkubur dalam pasir, dengan ombak yang datang dan
pergi, Claudia teringat kata-kata Marla.
''Kita akan tetap bersama-sama...."
Tapi di manakah Marla sekarang" Di mana Joy" Di mana
Sophie" Bagaimana mereka bisa meninggalkannya terkubur di bawah
sengatan sinar matahari"
Claudia memejamkan mata. Kerongkongannya nyeri. Wajahnya
terbakar. Belakang lehernya terasa gatal, tapi ia tak dapat menggaruk.
Air bergulir menyiram pasir, membuat pasir itu tiba-tiba kian
berat menindih dada. Gulungan ombak itu semakin dekat.
Aku akan terbenam, pikir Claudia.
Ia membuka mata dan mendapati dirinya berada dalam
bayangan. Bayangan maut. Bayangan itu makin kelam. Makin kelam.
Maut mengurung. Selagi Claudia melakukan pergulatan kalut yang terakhir untuk
membebaskan diri, bayangan itu bergulir tanpa suara
membungkusnya. Chapter 3 "KECELAKAAN" PERTAMA
CUKUP lama barulah Claudia menyadari bahwa bayangan itu
adalah bayangan seorang laki-laki yang berdiri di depannya. Mulamula Claudia
melihat kakinya yang telanjang, meneteskan air, pasir
melekat pada pergelangannya.
Sambil memandang wajahnya, Claudia mengeluarkan seruan
pelan terkejut. Matanya yang hitam menatap Claudia. Rambutnya hitam
pendek, basah, menempel di kening. Lengannya berotot, disilangkan
di depan dada. Ia memakai celana renang panjang, baggy, warna
jingga. "Kau butuh bantuan?" ia bertanya pelan.
"Ya," jawab Claudia cepat-cepat, sambil berjuang untuk
menganggukkan kepala. "Aku-aku tak bisa keluar."
Ombak berdebur memukul ke pantai. Air putih, berbuih-buih
hampir menyiram ke wajah Claudia.
Pemuda itu mulai menggali pasir basah yang berat dengan dua
belah tangan. "Bisakah kau bergerak" Apakah kau terluka?" ia
bertanya. "Aku dalam perjalanan pulang dari berenang. Aku
mendengarmu berteriak. Apakah kau sendirian?" Ia celingukan
melihat seputar pantai itu.
Fear Street - Bayangan Maut Sunburn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Claudia berkutat untuk menjawab, tetapi kerongkongannya
yang terpanggang terkunci rapat. Ia mengangguk.
Pemuda itu sudah menyingkirkan sebagian pasir itu, bekerja
cepat, wajahnya yang gelap dan tampan sungguh-sungguh
berkonsentrasi. Ia memegang tangan Claudia dan menariknya.
"Bisakah kau berdiri?"
"Aku - kurasa bisa," kata Claudia terbata-bata. "Tapi aku agak
pusing." "Kau terbakar hebat," kata pemuda itu kepadanya, sambil
mengernyit. "Aku rasa, aku tertidur," kata Claudia gemetar, membiarkan
pemuda itu menariknya berdiri. "Teman-temanku meninggalkan aku.
Aku tidak tahu mereka pergi ke mana. Aku - "
Ia berdiri goyah, berpegangan pada tangan pemuda itu, dan
menyipitkan mata menahan sinar matahari. Pasir pantai itu putih
menyilaukan di bawah terpaan sinar matahari terang benderang,
hampir seputih dermaga keluarga Drexell di ujung pantai itu yang
baru saja dicat. "Kalau kau tidak datang...." Suara Claudia melemah hilang. Ia
menggelengkan kepala, mencoba mengebaskan pasir basah dari
rambutnya yang lurus, pirang kecokelatan. "Bahkan rambutku pun
terasa sakit!" serunya.
Pasir lembap dan lengket itu melekat pada kulitnya. Sekujur
tubuhnya tertutup pasir. Gatal-gatal di semua bagian. Ia mencoba
menggaruknya lepas dari dua belah kakinya.
"Aku harus mandi," Claudia mengerang.
"Apakah kau tinggal di sini" Di rumah keluarga Drexell?"
Pemuda itu menunjuk ke sisi tebing.
"Yeah." Claudia mengangguk.
"Aku akan menolongmu," katanya pelan. "Lingkarkan
lenganmu pada pundakku."
Claudia mengikuti instruksi tersebut dengan patuh. Di luar
perkiraannya, kulit pemuda itu terasa dingin; dari laut, ia tersadar. Ia
menggelayut berat padanya. Tubuh pemuda itu begitu sejuk pada
kulitnya yang terbakar. Ia sungguh tampan, pikir Claudia di luar kemauan. Dan benarbenar kuat. Ia suka
matanya yang hitam. "Aku Claudia," katanya
kepada pemuda itu. "Claudia Walker. Aku mengunjungi Marla
Drexell." Dengan lengan memeluk pundak pemuda itu, Claudia
membiarkan pemuda itu membimbingnya mendaki anak tangga curam
pada tebing menuju ke rumah keluarga Drexell. Ia menunggu pemuda
itu memberitahukan namanya.
"Kau sebaiknya segera membubuhkan sesuatu pada luka
bakarmu," katanya. Ia memegang pinggang Claudia, membantunya
menaiki anak tangga kayu yang sempit.
"Siapa namamu?" tanya Claudia.
Pemuda itu sangsi. "Daniel," akhirnya ia menjawab.
"Kau tinggal dekat-dekat sini?" tanya Claudia.
"Tidak juga," ia berkata, seulas senyum aneh tersungging pada
wajahnya. Apakah ia menertawakan aku" Claudia bertanya-tanya dalam
hati, merasa sedikit menyesal. Disadarinya bahwa ia ingin Daniel
menyukainya. Tapi ia tentu berpikir aku menggelikan, terkubur sampai ke
kepala, wajahku terbakar merah seperti lobster!
Di puncak tangga itu tegak sebuah gerbang dari ram besi.
Claudia meraih gerbang itu dan menariknya. Gerbang berdentang tapi
tak bergerak. "Gerbang itu selalu terkunci," kata Daniel kepadanya.
"Keluarga Drexell menjaga ketat tanah mereka. Mereka juga punya
anjing penjaga." Ia membungkuk dan mencari di antara semak-semak
pendek hingga menemukan sebuah kotak besi hitam. Ia menarik
tutupnya hingga terlihatlah sebuah kunci elektronis. Claudia
mengamatinya menekan sebuah nomor kode pada panel kunci
tersebut. Gerbang berdetak, lalu membuka.
"Bagaimana kau tahu kodenya?" tanya Claudia sambil
melangkah terhuyung di atas rumput.
Daniel memperlihatkan senyum misterius. "Aku tahu banyak
hal." Merasa lebih kuat, Claudia melangkah cepat melewati lapangan
tenis dan kolam renang, menuju ke teras di belakang rumah. Sewaktu
mendekati teras, ia melihat Marla di balik kaca pintu geser, parasnya
menunjukkan ekspresi terperanjat.
Pintu itu bergeser terbuka dan Marla berlari keluar, dalam
pakaian tenis putih-putih, diikuti oleh Joy dan Sophie. "Claudia - apa
yang kaukerjakan di luar sini?" Marla berseru. "Kami pikir kau ada di
atas." "Huh?" Claudia mengembuskan napas. "Kalian - kalian
meninggalkan aku di sana supaya terpanggang!"
"Tidak!" seru Joy. "Sesudah menguburmu, kami pergi jalanjalan. Ketika selesai,
Marla mengatakan bahwa kau sudah kembali ke
rumah. Jadi kami juga masuk!"
"Aku tak bisa percaya kalian meninggalkanku terkubur dalam
pasir itu, dalam keadaan tertidur!" teriak Claudia marah.
"Sejujurnya kami tidak melihatmu!" Sophie protes.
"Oh. Lihatlah wajahnya," kata Joy, sambil mendecak-decakkan
lidah. "Kami tidak tahu kau masih ada di sana. Bagaimana kau
kembali ke sini sendiri?" tanya Marla.
"Daniel menolongku," kata Claudia kepadanya.
"Siapa?" "Kalau saja tidak ada Daniel...." Claudia bergerak dan berpaling
untuk memperkenalkan. Tak ada seorang pun di belakangnya.
Ia telah lenyap. ******************************************
Claudia ditinggalkan terpanggang matahari adalah "kecelakaan"
pertama minggu itu. "Kecelakaan" berikutnya tidak terjadi hingga pagi
berikutnya. Gadis-gadis itu butuh waktu lebih lama untuk menyadari
bahwa ada sesuatu yang ganjil tengah terjadi di rumah besar keluarga
Drexell. Sekarang, segala yang bisa Claudia pikirkan hanyalah
mengobati wajahnya yang terbakar hebat. Ia mandi dan memakai gaun
longgar tanpa lengan warna biru dan kuning. Marla muncul di kamar
Claudia dengan sebotol lotion lidah buaya dan satu wadah krim
penyejuk kulit. Ia menyuruh Claudia meminum habis satu botol air.
"Aku sangat menyesal. Sungguh," ulang Marla terus-menerus.
"Aku takkan pernah memaafkan diri sendiri. Ketika kami kembali dari
jalan-jalan, kami menempuh jalan setapak lain di bukit-bukit pasir itu.
Aku cuma mengira...."
"Aku bahkan tidak ingat bahwa aku jatuh tertidur," Claudia
berkata, sambil mengernyit tak senang ketika mengamati wajahnya
yang merah padam di cermin lemari rias. "Ini pasti gara-gara
antihistamin baru yang diberikan oleh dokter alergiku." Ia mengeluh.
"Kulitku pasti akan melepuh. Lalu mengelupas gila-gilaan. Aku akan
tampak seperti monster!"
"Kurasa kau kelihatan hebat," kata Marla dengan nada tak
begitu meyakinkan. "Aku suka rambutmu. Kau memanjangkannya?"
"Yeah." Claudia menyibakkan rambutnya yang pirang
kecokelatan ke belakang. Kemudian ia menggosokkan lebih banyak
krim lagi ke wajahnya. "Aku tidak akan pernah berjemur lagi,"
gumamnya. ********************************************
Santap malam disajikan di sebuah ruang makan formal dan luas
dengan empat gadis itu duduk berkerumun di salah satu ujung meja
panjang berdaun marmer. Sebuah lampu kristal raksasa tergantung
rendah di atas bunga hiasan putih-kuning di tengah meja.
"Ini agak terlalu mewah buatku," Sophie mengaku, sambil
memandang sekeliling ruangan dengan resah. "Kau harus
memberitahu garpu mana yang harus kupakai."
"Aku rasa tidak perlu," jawab Marla tak acuh. "Kita akan makan
cheeseburger dan french fries sebagai santap malam."
Mereka semua tertawa. Lucu rasanya makan cheeseburger dan
french fries di tengah segala kemegahan itu.
"Alfred sedang membakar hamburgernya di teras luar," kata
Marla kepada kami. "Setidaknya, kuharap itu betul-betul hamburger.
Alfred sangat rabun. Ia bisa saja memanggang anjing dan tidak
mengetahuinya!" Sophie dan Claudia tertawa, tapi Joy mengerang dan pura-pura
mau muntah. Tiga gadis itu sudah berjumpa dengan Alfred ketika mereka
tiba. Ia seorang laki-lagi gemuk setengah baya yang ceria, dengan
kepala botak merah jambu dan kumis kecil kelabu bertengger di
bawah hidung bulat besar. Ia satu-satunya pembantu yang bertugas
selama satu minggu ini, demikian Marla pernah menjelaskan. Lainnya
diliburkan oleh orangtuanya.
Ia sekarang memasuki ruangan, dengan dua tangan membawa
sebuah mangkuk salad perak ukuran besar.
"Aku yang akan menghidangkan saladnya, Alfred," kata Marla.
"Hamburgernya sudah hampir siap," ia memberitahu Marla,
sambil meletakkan mangkuk di atas meja. Sepatunya berderit ketika ia
meninggalkan ruangan. Marla berdiri dan mulai mengisi piring-piring keramik dengan
salad. "Banyak sekali yang perlu saling kita ceritakan," katanya
antusias. "Selama ini aku merindukan kalian, sungguh. Aku minta
maaf karena tidak menulis surat lebih sering."
Sesudah membagikan piring, Marla duduk kembali di kursinya.
Keempat gadis itu mengangkat garpu salad mereka dan mulai
makan. "Nah, siapa yang mau mulai dulu?" Marla bertanya, sambil
tersenyum. "Siapa yang mau menceritakan hal-hal baru dan menarik
dalam hidupnya?" Suasana hening sejenak. "Mengapa semua tidak menjawab berbarengan segera," Marla
bergurau sambil memutar mata.
Claudia mengunyah seiris mentimun, sambil berpikir keras.
Apakah yang bisa ia ceritakan" Tahun ini bukan tahun yang sangat
menarik baginya. Ia melontarkan pandangan berkeliling pada yang lain.
Sungguh mengejutkan, ia melihat air muka Joy berubah hebat;
karena apa, ia tidak tahu.
"Joy...." Claudia baru mulai.
Akan tetapi suaranya tenggelam oleh jeritan Joy yang
melengking tinggi penuh perasaan ngeri.
Chapter 4 Cowok Hantu SAMBIL masih menjerit, dua belah tangan menarik-narik
rambut, Joy melompat berdiri dari belakang meja. Kursinya terguling
ke belakang, berdebuk ribut pada lantai kayu.
"Joy, ada apa?" Marla berteriak. "Apa?"
Dengan sekujur tubuh gemetar, Joy melepaskan satu tangan dari
rambut dan menudingkan jari yang gemetar ke piring saladnya.
Claudia membungkuk ke depan dan melihat ke piring itu. Ia
memperlihatkan wajah muak ketika menyaksikan seekor ulat cokelat
gemuk merayap pada selembar daun selada.
Sophie melompat berdiri dan merangkulkan lengan di pundak
Joy. "Ada masalah apa" Ada apa?"
"Ulat," kata Claudia lirih. "Ulat cokelat besar."
Joy menutupi wajah dengan dua belah tangan. "Ma-maaf,"
katanya terbata-bata. "Aku tidak bermaksud menakut-nakuti kalian.
Tapi kau tahu bagaimana aku bisa begitu. Maksudku, kalian tahu aku
ada masalah dengan kutu dan ulat."
Sophie memeluk Joy lebih erat. Marla berteriak keras
memanggil Alfred. "Aku fobia terhadap kutu," Joy mengulangi, "sejak - sejak
perkemahan itu." Tak seorang pun di antara kami tetap sama semenjak
perkemahan itu, pikir Claudia sedih.
Tidak sejak kecelakaan musim panas kemarin.
Namun ia tidak ingin memikirkan hal itu sekarang. Ia ingin
menikmati minggu ini, bersenang-senang bersama teman-teman - dan
tidak memikirkan apa yang pernah terjadi musim panas lalu.
Alfred datang tergopoh-gopoh ke dalam ruangan, wajahnya
yang merah jambu menunjukkan keprihatinan. "Ada masalah, Nona?"
"Joy menemukan ulat dalam saladnya," jawab Marla, sambil
menunjuk. Mulut Alfred menganga sedetik. Kemudian dengan cepat ia
memperoleh kembali ketenangannya. "Saya sungguh menyesal,"
katanya, sambil buru-buru beranjak mengambil piring tersebut. Ia
mendekatkan piring itu ke wajahnya, mencari-cari ulat tersebut. "Daun
seladanya tanaman lokal," katanya, dan cepat-cepat menghilang
bersama piring itu. Ketika ia sudah pergi, Sophie tertawa. "Apakah itu tadi suatu
penjelasan" Bahwa daun selada itu tanaman lokal?"
Claudia dan Marla tertawa juga.
"Kurasa ulat itu peliharaan lokal pula!" Claudia bergurau.
"Kadang-kadang Alfred memang aneh," kata Marla,
menggelengkan kepala. "Aku sungguh ingin dia memakai kacamata.
Ia tentu akan menghidangkan lebih sedikit ulat seandainya ia
melakukannya." Joy membungkuk untuk menegakkan kursinya. Ia sepertinya
sudah pulih ketika menarik rambut hitamnya ke belakang dan duduk,
matanya yang hijau berpijar hidup.
Joy selalu yang paling emosional, paling dramatis dalam
kelompok ini, kenang Claudia, sambil mengawasi temannya. Ia kira
itulah alasan mengapa ia selalu sangat menyukainya. Joy begitu
berbeda dengannya. Claudia begitu tenang, begitu terkendali
sepanjang waktu. Aku tidak pernah memperlihatkan perasaanperasaanku yang
sebenarnya, pikirnya. Tenggelam dalam pikiran sendiri, dengan kaget Claudia sadar
bahwa Marla baru saja mengajukan pertanyaan kepadanya. "Maaf.
Apa yang kaukatakan?"
"Aku menanyaimu tentang pemuda itu," Marla mengulangi.
"Kau mengatakan sesuatu tentang seorang pemuda yang menggalimu
keluar dari pasir." "Yeah, ceritakanlah kepada kami," kata Sophie penuh
semangat, sambil mendorong naik kacamata pada hidungnya.
"Apakah ada cowok di sekitar sini?"
Alfred kembali, membawa sebuah nampan perak besar dengan
setumpuk tinggi cheeseburger pedas. Sesaat kemudian ia kembali
dengan semangkuk french fries dan bumbu untuk cheeseburgernya.
Gadis-gadis itu sudah mulai mengambil makanan sendiri
sebelum Claudia menjawab pertanyaan Marla. "Ia mengatakan
namanya Daniel. Ia datang untuk berenang, dan kemudian melihatku
terkubur di sana." "Datang untuk berenang" Di pantai kami?" Marla berseru,
sambil menyipitkan mata. "Bagaimanakah tampangnya?"
"Lumayan," kata Claudia. "Tinggi, sangat tampan sebenarnya,
dan rambutnya hitam. Perawakannya bagus, kayaknya ia suka
Fear Street - Bayangan Maut Sunburn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berolahraga." "Dan dia mengatakan namanya Daniel?" Marla mendesak.
Claudia mengangguk. "Aneh. Aku tak pernah melihatnya di sekitar sini," kata Marla
merenung. "Bahkan sesungguhnya, aku tidak pernah menyaksikan ada
cowok di pantai kami."
"Kau pasti kenal dia," Claudia bersikeras. "Dia tahu nomor
kode untuk membuka gerbang belakang."
Marla menjatuhkan cheeseburger-nya ke piring. "Hah?"
"Dia yang membantuku masuk," tutur Claudia.
"Tidak mungkin. Mustahil," Marla bersikeras. Matanya yang
biru menyiratkan sedikit ketakutan. "Seorang cowok tak dikenal tahu
nomor kode gerbang kami" Sudahlah, Claud. Berapa lamakah kau
terjemur matahari?" "Sangat lama, gara-gara kau," balas Claudia, terperanjat oleh
kemarahannya sendiri. "Kau berhalusinasi tentang si Daniel ini," kata Marla
kepadanya. "Coba halusinasikan satu untukku." Sophie bergurau.
Semua tertawa. "Ia nyata," Claudia bersikeras. "Dia menyelamatkan nyawaku."
Ia menggigit sepotong cheeseburger. Irisan tomatnya menggelincir
keluar dari roti dan jatuh di atas pangkuannya. "Bukan hari
keberuntunganku," ia menggumam, berkutat untuk memungutnya.
"Tapi tidak ada cowok di sekitar sini," kata Marla penasaran.
"Tidak mungkin ada cowok yang tahu kode itu. Tidak mungkin ada
cowok yang - " Ia berhenti di tengah kalimat dan menyuarakan engahan
tertahan, sambil pada saat yang sama mengangkat satu tangan ke
mulut. Matanya yang biru membelalak lebar, dan keningnya
memunculkan kerutan waswas.
"Marla, ada apa" Apakah kau menemukan ulat juga?" tanya Joy
cemas, sambil memegangi cheeseburger dengan dua belah tangan di
depannya. "Oh, wah," Marla menggumam, tak memedulikan Joy dan
pertanyaannya. Marla menggelengkan kepala. "Wah." Ia mengangkat
pandangannya ke mata Claudia dan menatapnya lekat-lekat dari
seberang meja. "Apa" Ada apa?" tanya Claudia, meraih tangan Marla.
"Ia bukan manusia," kata Marla kepadanya dengan bisikan
tertahan. "Aku tahu siapa dia, Claud, dan dia bukan manusia."
"Marla, apa maksudmu?"
"Ia hantu," kata Marla, tangannya gemetar di bawah tangan
Claudia. "Ia adalah Cowok Hantu."
Chapter 5 Bayang-bayang CLAUDIA tertawa. "Seriuslah, Marla. Cowok itu benar-benar
nyata. Ia mengatakan kepadaku namanya Daniel."
"Tadinya aku juga berpikir dia nyata," jawab Marla lirih, dan
ekspresinya jadi sungguh-sungguh. "Kukira dia sungguh nyata, ketika
dulu aku melihatnya. Tetapi tidak. Dia adalah hantu."
Mata hijau Joy berbinar hidup. "Maksudmu - rumahmu ini ada
hantunya?" tanyanya.
Marla mengangguk dan menunjuk ke jendela tinggi yang
menghadap ke belakang. "Kurasa ia tinggal di guest house," katanya
kepada Joy. "Di sanalah aku paling sering melihatnya."
"Kau sering melihatnya?" tanya Joy.
Sophie mendorong piringnya menjauh dan menatap tajam pada
Marla di seberang meja. Mulut Claudia tertekuk membentuk seulas
senyum skeptis. "Pernah sekali aku melihatnya di lapangan tenis," kata Marla,
matanya yang biru berganti-ganti menatap gadis-gadis itu. "Ia
memakai pakaian model kuno, warna putih, terkanji licin. Ia
memegang raket tenis yang aneh, terbuat dari kayu, kukira. Parasnya
menunjukkan perasaan sangat sedih. Aku melambaikan tangan
padanya." "Apakah kau main tenis dengannya?" tanya Claudia setengah
mengejek. Marla menggelengkan kepala, tak menghiraukan nada
pertanyaan Claudia. "Ia berpaling ke arahku dan menyadari bahwa aku
bisa melihatnya. Ia menatapku sedetik, dengan ekspresi sedih pada
wajahnya - kemudian menghilang." Ia menjentikkan jari. "Puuf.
Lenyap di udara." Claudia menyipitkan mata dan mengamati Marla. "Kau serius
- bukan?" katanya. "Ya. Semuanya benar," kata Marla padanya.
"Tapi cowok itu pasti nyata!" Claudia membantah. "Dia
menggali pasir itu dengan tangannya. Dia menarikku berdiri. Aku
menyentuhnya, Marla. Aku memeluk pundaknya. Pundak yang kokoh.
Pundak betulan." "Dan dia tidak terasa aneh bagimu?" tanya Marla.
"Well..." Claudia ragu. "Kulitnya sangat dingin. Tapi - "
"Benar, kan?" Marla menepukkan tangan pada meja dengan
penuh kemenangan. "Kulitnya dingin sebab dia sudah mati, Claud."
Mulut Claudia membuka ternganga. "Dia berkata padaku dia
baru saja berenang," katanya, berpikir keras. "Kulitnya dingin karena
air laut." "Tidak." Marla menggelengkan kepala. "Itu cuma dalih. Dia
sudah mati, Claud. Dia sudah mati selama seratus tahun."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Joy bergairah, sambil memutarmutar beberapa helai
rambut hitamnya menjadi pilinan dan
menariknya menutupi kening. "Pernahkah kau bicara dengannya?"
"Tidak," balas Marla, berpaling pada Joy. "Agen real estat
rumah ini bercerita kepada kami tentang dia ketika menjual tempat ini.
Ia mengatakan bahwa ada seorang pemuda terbunuh di guest house
seratus tahun yang lalu. Pembunuhnya tak pernah ditemukan. Agen
tersebut mengatakan bahwa sejak itu, pemuda ini terlihat menghantui
daerah ini, pergi berenang sendiri, berjalan-jalan di taman."
Marla meneguk teh esnya lama-lama, kemudian meneruskan
dengan suara tertahan. "Aku sudah tiga kali melihatnya. Terakhir kali,
ia datang sangat dekat. Kukira ia ingin mengatakan sesuatu kepadaku,
tetapi ia sangat pemalu. Aku menyapanya dan kemudian ia
menghilang." "Wah," Joy menggumam, sambil menggelengkan kepala.
"Dia sangat tampan," kata Marla, "ketampanan gaya kuno."
"Aneh," gumam Sophie, jelas agak ketakutan.
"Aku ingin melihatnya," cetus Joy. "Aku sungguh percaya akan
hantu. Selama ini aku selalu ingin melihatnya."
"Kulitnya begitu dingin," Claudia mengaku sambil tercenung.
"Bahkan di bawah terik matahari, kulitnya dingin. Dingin seperti
kematian." Ia bergidik. "Aku tak bisa percaya ada hantu
menyelamatkan nyawaku siang ini."
Di luar perkiraannya, Marla tertawa. "Kalau begitu jangan
percaya!" ia berseru.
"Hah?" Claudia kebingungan oleh sikap Marla. "Apa
maksudmu?" "Aku mengarang semua cerita itu!" Marla mengaku, dan
menyemburkan tawa riang, matanya yang biru berbinar-binar.
"Apa?" Claudia dan Joy berseru bersama-sama. Sophie
mendorong naik kacamata di hidungnya sambil tercengang-cengang.
"Aku mengarang cerita itu!" Marla berkata kepada mereka, tak
mampu menyembunyikan betapa senang perasaannya. "Seluruh cerita
itu. Tidak ada Cowok Hantu. Tidak ada pembunuhan di guest house.
Tidak ada cowok dengan ekspresi sedih di lapangan tenis."
"Marla!" Claudia menjerit gusar. Ia berdiri, merengkuh leher
Marla dan pura-pura mencekiknya. Marla tertawa terpingkal-pingkal.
"Aku tadi percaya omongannya! Sungguh!" Joy mengaku.
"Aku juga," kata Sophie, menggelengkan kepala.
"Andai saja aku punya camcorder," teriak Marla riang.
"Ekspresi wajah kalian itu! Begitu serius!" Ia berpaling pada Claudia.
"Aku sungguh terkejut denganmu, Claud. Pada perkemahan itu,
kaulah yang selalu bisa menakut-nakuti kami dengan kisah-kisah
hantumu yang gila. Kaulah yang selalu punya imajinasi gila.
Bagaimana kau bisa terkecoh oleh cerita konyolku ini?"
Claudia bisa merasakan mukanya memerah. Ia tidak bisa
memutuskan apakah ia lebih merasa marah ataukah jengah. "Benar
ada seorang pemuda menolongku!" katanya melengking. "Daniel. Ia
benar-benar menyelamatkan aku. Dan ia benar-benar menghilang
begitu saja." "Yeah. Sungguh!" Marla berseru, dan mulai tertawa lagi.
Nah, Daniel, pikir Claudia sambil mengernyit, kalau kau bukan
hantu, maka siapakah kau"
********************************************
Claudia mendorong tirai berenda putih itu dan mengintip
kegelapan malam melalui pintu-pintu model Prancis di kamarnya.
Bahkan dengan semua pintu dalam keadaan tertutup, ia bisa
mendengar debur ombak yang terus-menerus menghantam pantai.
Lampu-lampu sorot melontarkan kerucut-kerucut cahaya
kuning di halaman belakang. Lapangan tenis dan kolam renang
persegi panjang itu hampir seterang saat siang hari.
Sesudah santap malam gadis-gadis itu menonton video Bye
Bye, Birdie yang tadi disewa oleh Marla. Film musikal tua ini seperti
huru-hara, pikir Claudia. Gadis-gadis itu berteriak-teriak sambil
tertawa menyaksikan betapa lucunya cara remaja-remaja tahun lima
puluhan itu berpakaian dan sikap menggelikan mereka terhadap lawan
jenis. "Gadis-gadis itu sungguh tolol!" ujar Sophie. "Mereka cuma
memikirkan bagaimana cara untuk menyenangkan cowok!"
"Yeah. Sama sekali tidak seperti sekarang," Claudia membalas,
sambil memutar mata. Begitu film itu usai, mereka saling mengucapkan selamat
malam dan naik ke lantai atas menuju kamar masing-masing. Merasa
ngantuk, wajahnya panas karena terbakar matahari dan punggungnya
terasa dingin, Claudia pun mandi berendam air panas. Kemudian ia
ganti memakai gaun tidur panjang dan dengan hati-hati mengolesi lagi
wajahnya dengan krim. Sekarang, sambil menguap, ia mendapati dirinya bersandar
pada pintu kaca itu, mengintip sekali lagi ke halaman belakang untuk
yang terakhir kali sebelum berbaring di ranjang. Halaman itu sungguh
indah, begitu mewah. Mendengarkan gemuruh samar-samar dari
lautan di balik karang itu, ia merasa seolah-olah berada di dunia
impian. Ia mengeluarkan sedikit engahan tertahan ketika melihat cahaya
berkedip di jendela guest house itu.
Sambil menempelkan dua belah tangan pada wajahnya, ia
menyipitkan mata dan berusaha memandang jelas-jelas.
Ya. Ada sesosok bayangan bergerak-gerak di jendela guest house.
Cahaya pucat berkedip di sana.
Ada seseorang di dalam sana, pikir Claudia, sambil menatap
tajam-tajam, hidungnya ditempelkan keras-keras pada kaca.
Sedetik ia merasa ia mengenali sosok bayangan itu.
Apakah itu Daniel" ia bertanya-tanya dalam hati.
Apakah itu Cowok Hantu"
Kemudian sebuah tangan yang dingin, sedingin kematian,
memegang pundak Claudia. Chapter 6 Kejutan CLAUDIA menjerit ketakutan.
Ia memutar tubuh, terengah, siap menjerit lagi.
"Oh. Maaf. Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu," kata
Marla, sambil menurunkan tangan.
"Marla! Aku - Aku - " Claudia berkata tergagap-gagap,
napasnya tersengal-sengal. Ia masih bisa merasakan dinginnya tangan
Marla. "Kau memusatkan pikiranmu begitu keras pada apa yang ada di
luar hingga kau tidak dengar aku memanggilmu," Marla berkata,
matanya yang biru terkunci pada mata Claudia.
Claudia melangkah mundur untuk menarik tirai, menutupi pintu
kaca itu. "Aku melihat bayangan seseorang," katanya kepada Marla.
"Di guest house."
"Hah?" Marla tampak terkejut. Ia bergerak menghampiri pintu
kaca dan menarik kembali tirai itu.
"Ada cahaya. Di guest house," Claudia mengulangi.
"Tidak mungkin," kata Marla, sambil menggelengkan kepala.
"Tidak ada siapa pun yang tinggal di sana, Claud. Guest house itu
kosong sepanjang musim panas."
"Tapi aku melihat seseorang - " Claudia mulai.
"Mungkin pantulan sesuatu," kata Marla, bergeser mundur.
"Lampu-lampu sorot itu begitu terang. Daddy menyuruh orang
memasangnya untuk mengusir orang iseng. Tapi cahayanya begitu
terang. Kau pasti melihat pantulan pada jendela guest house. Itu saja."
"Kurasa begitu," jawab Claudia ragu-ragu.
"Aku ke sini untuk memeriksa apakah kau butuh sesuatu," kata
Marla. "Tidak, terima kasih. Aku baik-baik saja," balas Claudia. Ia
menguap. "Terik matahari itu benar-benar meruntuhkan aku."
"Kulitmu terbakar hebat," kata Marla.
Ada sesuatu dalam caranya mengucapkan kata-kata itu yang
terasa aneh. Claudia merasa Marla tidak kedengaran bersimpati. Ia
kedengaran senang. Tidak. Aku cuma terlalu letih, Claudia menghardik diri sendiri.
Aku mulai jadi paranoid. Ia mengucapkan selamat malam kepada Marla, memadamkan
lampu, dan naik ke antara seprai dan selimut satin pada ranjang
raksasa bertiang empat itu.
Beberapa detik kemudian ia mulai tenggelam dalam tidur,
wajah tampan dan gelap milik Daniel, si Cowok Hantu, terapungapung dalam
pikirannya. ***********************************************
Ketika Claudia terjaga keesokan paginya, ia meregangkan
badan dengan nyaman di ranjang.
Cahaya matahari pagi menembus masuk melalui tirai-tirai
berenda yang menutupi pintu-pintu kaca. Salah satu pintu sengaja
dibiarkan terbuka beberapa inci, dan ia bisa mencium bau udara asin
tajam dan mendengar suara ombak mendera pantai. Di bagian mana
pun di rumah ini, aku selalu bisa mendengar suara lautan, pikirnya
sambil tersenyum. Ia mendorong kain tilam dan selimut musim panas tipis dan
duduk, menikmati kamar yang tertata dengan perabot elegan itu.
Sebuah meja rias dari kayu cherry dan cermin berdiri tepat di
seberang ranjang. Di sampingnya ada sebuah lemari kecil berlaci dari
kayu yang serupa. Pada dinding sebelahnya ada sebuah meja tulis
kecil yang penuh hiasan, lengkap dengan kertas tulis dan pena. Sebuah
vas kristal terisi bunga-bunga segar terletak di sudut meja tulis itu, dan
di atas meja rias itu berbaris botol-botol mungil berisi parfum.
Ada sebuah pintu di samping meja itu, menuju kamar mandi
pribadi. Claudia paling menyukai kamar mandi itu di antara
semuanya. Malam sebelumnya, sambil berbaring-baring dalam bak
mandi yang dalam, ia mengangkat mata dan menyadari bahwa seluruh
Fear Street - Bayangan Maut Sunburn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langit-langitnya dilukis dengan gambar-gambar putri duyung.
Kamar tidur untuk tamu itu sungguh beda dari kamar penuh
sesak di Fear Street yang ia pakai bersama adik perempuannya, Cass.
Aku bisa terbiasa dengan kemewahan ini, pikir Claudia.
Bagaimanakah perasaan Marla hidup seperti ini sepanjang
waktu" Apakah ia masih memperhatikan betapa indah semua ini"
Claudia tidak tahu banyak tentang keluarga Marla, tapi ia tahu
bahwa ayahnya, Anthony Drexell, adalah seorang ahli keuangan yang
jenius. Ia memperoleh uang dengan membeli perusahaan-perusahaan
di seluruh penjuru dunia, dan sepertinya Marla biasa berkomunikasi
dengan meneleponnya di Wina atau Stockholm atau Barcelona.
Mrs. Drexell, dari cerita-cerita Marla, adalah seorang tokoh
terkemuka dalam masyarakat. Ia mengikuti suaminya ke mana saja,
dan menghabiskan sebagian besar waktunya dengan melakukan
perjalanan-perjalanan internasional yang bermanfaat.
Itu pasti membuat Marla kesepian, pikir Claudia. Tak heran ia
ingin ada teman di sini seminggu penuh, daripada seorang diri di
rumah besar ini. Alfred tampaknya orang yang menyenangkan, tetapi
dia bukan kawan. Claudia turun dari ranjang dan duduk di depan meja rias untuk
memeriksa kulitnya yang terbakar. Kulitnya masih merah padam, dan
rasanya sakit untuk mengangkat alis atau mengerutkan hidung, atau
bahkan tersenyum sekalipun.
"Ada apa denganmu, Claudia?" ia menanyai bayangannya
sendiri. Inilah pertama kalinya selama bertahun-tahun ia terbakar
matahari. Ia memang gila ketika menyetujui yang lain menguburnya
di dalam pasir, dan lebih gila lagi untuk tertidur di bawah terik
matahari - meskipun obat antihistamin tersebut tentu salah satu
penyebabnya. Mengapa tidak ada di antara gadis-gadis itu yang
membangunkannya" Ia tidak bisa percaya bahwa mereka lupa.
Mereka tahu betapa gampang ia terbakar. Bagaimana mereka bisa
membiarkannya tertidur seperti itu"
Claudia mengoleskan lotion lidah buaya pada wajahnya dan
kemudian bergegas berpakaian. Ia mengenakan t-shirt kuning, celana
sepeda, dan sepatu olahraga putih, dan turun ke bawah melewati
kamar-kamar Joy dan Sophie. Pintu mereka masih tertutup.
Claudia memeriksa jam tangan. Pukul sembilan pagi. Mereka
semua tidur tidak terlalu larut tadi malam. Bagaimana mereka bisa
tidur terus dengan sinar matahari terang benderang yang menerobos
masuk" ia bertanya-tanya dalam hati.
Di bawah, ia mendapati Marla di dapur, memakai celana
pendek putih bersih dan atasan warna merah muda pucat. "Alfred
sudah menyiapkan salad buah, biskuit, dan sosis untuk kita," Marla
berkata, sambil menggerakkan tangan ke arah sederetan keramik biru
dan putih berisi beberapa hidangan pada meja. "Ambil saja sendiri."
"Rupanya Joy dan Sophie masih tidur," kata Claudia.
"Joy tidak suka bangun sebelum tengah hari," Marla
mengingatkannya. "Dan Sophie suka melakukan apa pun yang dilakukan Joy,"
Claudia menambahkan dengan seulas senyum.
Itu benar. Di Camp Full Moon, Sophie pada hakekatnya
memuja Joy, meniru setiap geraknya.
"Bagaimana kalau main tenis sebelum mereka bangun?"
Claudia mengusulkan, sambil menyendok salad buah ke dalam
mangkuk. Tenis adalah olahraga Claudia. Di perkemahan itu, ia ingat,
ia dan Marla bermain cukup imbang. Tetapi Marla mengatakan bahwa
ayahnya akan mendatangkan seorang pelatih pribadi untuknya, jadi ia
mungkin hebat sekali sekarang.
"Well, baiklah," jawab Marla enggan. "Pertandingan singkat
saja. Kau tentu tidak ingin terlalu lama di bawah matahari, Claud."
"Aku akan hati-hati," balas Claudia. Sekali lagi ia mendapatkan
perasaan meresahkan bahwa Marla puas dirinya terbakar matahari. Ia
mengambil salad buah itu dan mencoba mengabaikannya.
**********************************************
Pertandingan tenis itu tidaklah seperti yang Claudia perkirakan
sebelumnya. Marla tidak bisa melakukan apa pun dengan benar. Dulu di
perkemahan itu, ia tidak pernah punya masalah dengan serve Claudia,
tetapi hari ini ia gagal mengembalikan bola demi bola.
"Sinar matahari ini menyilaukanku," ia menjelaskan,
menggelengkan kepala, sambil menendang lapangan gravel merah itu.
Mereka berganti tempat. Sungguh mengejutkan bagi Claudia, Marla keliru
memperkirakan datangnya bola-bola tersebut, mengayunkan raket
dengan liar, dan memukul bola tinggi ke udara seakan-akan ia seorang
pemula. Kursus-kursus privat itu telah merusak cara bermainnya! pikir
Claudia. Ia menang straight set dan bahkan belum berkeringat.
"Bukan hari baikku. Otot-ototku letih atau entah apa," Marla
berseru tak senang. Dengan marah ia membanting raketnya.
"Lain kali kau mungkin akan mengalahkanku dengan mudah,"
kata Claudia, sambil berlari-lari kecil menghampiri.
Marla bersungut-sungut dan mengamati jari-jari kakinya,
menghindari mata Claudia. "Aku kurang latihan," gumamnya. "Aku
tidak punya waktu untuk main tahun ini."
Claudia melangkah di sampingnya sementara mereka kembali
perlahan-lahan menuju ke rumah. Ia menyentuh pundak Marla dengan
satu tangannya. "Mungkin kau bingung bertemu lagi dengan kami,"
katanya lembut. Marla berpaling padanya, matanya yang biru melebar.
"Bingung?" "Kau tahu," kata Claudia. "Kau belum pernah bertemu lagi
dengan kami sejak kecelakaan itu. Sejak adik perempuanmu
meninggal." Wajah Marla berubah merah padam. Ia menarik pita pengikat
rambut dan menggoyang lepas rambutnya yang pirang. "Aku tidak
ingin bicara tentang Alison," balasnya, sambil masih menghindari
mata Claudia. "Tapi semuanya ada dalam benakmu," kata Claudia. "Kami tahu
bagaimana perasaanmu, Marla. Kami - "
"Sudah kukatakan padamu," Marla berteriak melengking, "aku
tidak ingin bicara soal itu." Ia berbalik dengan cepat, matanya
menyipit jadi segaris, pipinya merah padam, dan menghambur marah
menuju ke rumah. Ketika akhirnya kembali ke rumah itu, Claudia merasa senang
melihat bahwa Marla sudah tenang. Joy, Sophie, dan Marla duduk
mengelilingi meja berpayung - parasol - putih di teras, mengobrol
sambil menyantap sarapan mereka. Di belakang mereka Alfred
bersenandung senang sambil memangkas sederet tanaman
rhododendron di dekat guest house.
"Bagaimana pertandingan tenis kalian?" Joy menanyai Claudia
sewaktu Claudia menarik sebuah kursi kanvas di bawah bayangan
parasol. "Dia membiarkan aku menang," Claudia bercanda, sambil
melirik Marla. "Dia ingin aku terlalu percaya diri, lalu baru dia
membantai aku." Marla memaksakan seulas senyum. "Permainan Claudia benarbenar meningkat,"
katanya, dan menuang segelas air jeruk dari teko
beling. "Kelihatannya seperti hari yang cocok untuk main di pantai,"
Joy berseru, mengangkat mata memandang langit biru, tak berawan.
"Aku sudah tak sabar!" Sophie mengumumkan.
"Alfred sudah menyiapkan makan siang untuk kita bawa
berpiknik," kata Marla kepada mereka. "Kita bisa membawanya dan
makan siang di pantai."
"Kuharap ombaknya bagus," kata Joy kepada Marla. "Aku mau
mencoba salah satu papan boogie-mu."
"Ombaknya selalu lumayan kuat," kata Marla kepadanya. ''Di
sini tidak ada tanggul pasir atau apa pun untuk memecahnya." Ia
meneguk air jeruknya berlama-lama, kemudian berpaling pada
Claudia. "Apakah kau ingin tinggal di sini dan menghindari sinar
matahari?" Claudia ragu. "Tidak. Kukira aku bisa bawa payung pantai dan
menurunkannya sampai ke pasir dan aku bisa berteduh di bawahnya."
"Gagasan bagus," balas Marla. Ia meneriaki Alfed untuk
mengambilkan payung pantai dari gudang perkakas.
Tak lama kemudian empat gadis itu berjalan melintasi halaman
belakang ke undak-undakan tangga menuju ke laut lepas. Claudia
memanggul payung pantai bergaris-garis putih-kuning. Di depannya,
Marla dan Joy menggotong kotak piknik Styrofoam besar yang berisi
makan siang mereka. Sophie memimpin di depan.
Ketika mereka sampai di tepi tebing karang, deru ombak lautan
jadi semakin keras. Sambil melindungi mata dari sinar matahari yang
terang benderang, Claudia bisa melihat bentuk V gelap dari seekor
burung camar yang melayang tinggi di atas mereka, menembus langit
biru cerah. Belum lagi pukul sebelas, suhu sudah panas. Udara tergantung
berat, tanpa angin. Aku akan berenang sebentar, pikir Claudia, sambil menggeser
payung di pundaknya. Kalau aku mengoleskan krim pelindung
matahari tebal-tebal pada wajahku, luka bakarku tentu tidak akan
bertambah parah. Mereka ragu-ragu sebentar di gerbang besi itu.
"Putar saja pegangannya," Marla memberikan instruksi kepada
Sophie. "Akan terbuka sendiri."
Sambil memikul payung pantai itu, Claudia mengawasi Sophie
meraih pegangan berbentuk oval pada gerbang tersebut.
Kemudian ia melihat Sophie seperti membeku ketika suara
meretih keras meletup dari gerbang itu.
Claudia menggagap ngeri ketika tubuh Sophie terlempar ke
belakang dan tersungkur ke tanah.
Chapter 7 Tamu-tamu Kejutan MARLA yang pertama bergerak.
Ia terjun ke arah panel kontrol yang tersembunyi di balik
semak-semak pendek dan menarik satu saklar.
Claudia menjatuhkan payung pantai itu dan merunduk ke tanah,
di samping temannya yang jatuh.
Sophie menatapnya dengan pandangan tak terfokus.
Kacamatanya terpental lepas, dan Claudia memungutnya dari tanah.
"Sophie" Kau tidak apa-apa?" tanya Claudia sambil memegangi
kacamata itu. "Yeah, aku rasa." Sophie mengedipkan mata satu kali, dua kali.
Wajahnya yang pucat seperti hantu mulai merona kembali.
Marla berlutut di samping Claudia dan mencondongkan badan
di atas Sophie. "Kau kena setrum hebat," ia berkata, menggelenggelengkan kepala.
Sophie seperti bingung ketika ia mencoba duduk tegak.
"Seluruh tubuhku mendidih."
Dengan lembut Marla membantunya berdiri. Ia berpaling ke
arah rumah dan berteriak memanggil Alfred, menangkupkan
tangannya seperti corong megafon.
Pembantu itu pasti sudah masuk ke dalam rumah karena tidak
ada tanda-tanda darinya. "Aku tidak mengerti," kata Marla, sambil mengangkat mata
memandang Claudia. "Aku sungguh tidak mengerti. Aliran listriknya
seharusnya putus sendiri di siang hari."
Sophie merintih. "Oh," ia menggumam, dan mulai menggosok
punggung lehernya. "Rasanya sakit di sini. Otot-ototku kaku semua."
"Kau yakin kau tidak apa-apa?" Joy bertanya, masih berdiri
beberapa meter dari sana. "Apakah kau merasa pusing, atau sakit?"
"Aku baik-baik saja," Sophie menjawab, masih menggosokgosok belakang lehernya.
"Aduh. Tapi, tadi itu sungguh
menyakitkan." "Kau bisa saja tewas!" Joy menjerit, pundaknya mulai gemetar
di bawah blus longgar yang dipakainya di luar pakaian renang.
"Joy, sudahlah," Marla menggumam tak sabar. "Sophie baikbaik saja. Jangan
menyeretnya berlarut-larut dan memperparah
suasana." Joy menggumamkan permintaan maaf.
"Bagaimana perasaanmu, Sophie?" Claudia bertanya lembut.
"Lebih baik?" "Yeah." Sophie mengangguk. "Aku cuma khawatir kejutan
listrik tadi membuat rambutku jadi makin kusut keriting!"
Semua tertawa kecuali Marla.
Ia bangkit berdiri dan mulai mondar-mandir di depan mereka,
tangannya terkepal erat menjadi tinju di sampingnya. "Aku tidak
mengerti ini," ia terus-menerus menggumam. "Sistem listriknya tidak
dihidupkan pada siang hari. Biasanya mati sendiri secara otomatis."
"Mungkin pengatur waktunya rusak," Claudia mengemukakan
pendapat seraya membantu Sophie berdiri. Sophie mengambil
kacamatanya dari Claudia dan memasangnya dengan tangan gemetar.
"Dia bisa saja tewas!" Joy mengulangi.
Marla melontarkan pandangan tak sabar ke arah Joy. Kemudian
ekspresinya melembut saat ia berpaling kembali pada Sophie. "Aku
sungguh menyesal. Benar. Aku sungguh menyesal. Apakah kau mau
kembali ke rumah?" "Tidak. Tidak perlu!" Sophie menegaskan, sambil
menggerakkan tangan agar Marla berhenti. "Aku baik-baik saja.
Sungguh. Jantungku berdebar-debar sedikit, tapi aku rasanya baikbaik saja. Ayo
kita ke pantai. Jangan menyia-nyiakan hari yang indah
ini." "Tapi setrum itu - " Joy mulai.
"Cuma membangunkan aku, itu saja," Sophie berkata, sambil
memaksakan seulas senyum. "Sungguh. Kita cuma punya waktu satu
minggu bersama-sama. Aku tidak ingin menyia-nyiakannya."
"Kalau kau merasa yakin..." Marla berkata, mengamati wajah
Sophie. "Begini saja," kata Sophie. "Aku akan berteduh di bawah
payung bersama Claudia. Oke" Aku akan istirahat dan berteduh
sebentar. Badanku cuma sedikit kesemutan. Aku sedikit lemas dan
gemetar, itu saja." Marla menatap Sophie dengan sungguh-sungguh, lalu
mengangkat pundak. "Yah, baiklah. Tapi kalau kau mulai merasa
aneh, beritahu kami, ya."
Sophie sepakat. Joy akhirnya tenang dan mengangkat kotak piknik yang berat
itu seorang diri. "Kita semua termasak di sini!" Claudia bergurau. "Pertama aku
terpanggang matahari. Sekarang Sophie hampir tergoreng oleh
gerbang." Maksud Claudia hanyalah sekadar komentar ringan, tetapi
Marla memasukkannya dalam hati. "Itu kecelakaan - bukan?" Marla
membentak marah, seolah-olah menantang Claudia.
"Yeah, tentu saja," Claudia menjawab cepat, suaranya
meninggi. "Tentu saja semua itu cuma kecelakaan, Marla."
"Jangan khawatir. Kalau kita kembali nanti, aku akan bicara
dengan Alfred," Marla menandaskan dengan suara rendah penuh
ancaman. ***********************************************
Fear Street - Bayangan Maut Sunburn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka menuruni tangga kayu perlahan-lahan, dengan Marla
memimpin di depan. Jauh di bawah, Claudia bisa melihat lautan yang
biru-hijau kemilau, berakhir sebagai buih putih di pantai berpasir.
Udara jadi lebih sejuk, lebih asin, tetapi matahari yang terik itu
masih membakar pundak Claudia.
Ketika Claudia turun dari tangga itu dan melangkah di pantai,
Marla menggelar selimut. Joy sudah menurunkan kotak piknik yang
berat itu. Ia menggelar matras pantai berwarna-warni cerah miliknya
sendiri. Kemudian ia menanggalkan pakaian atasnya, memperlihatkan
bikini hijau mengilat di bawahnya, dan langsung mulai menyisir
rambutnya yang hitam panjang.
Well, itu salah satu yang tidak berubah dari perkemahan itu,
pikir Claudia. Joy masih tetap menyisir rambut pada setiap
kesempatan. Marla menggelar matras pantai cukup jauh dari anak tangga.
Sewaktu Claudia melangkah menghampiri dengan Sophie di sisinya,
ia merasakan butir-butir pasir membara menyisip masuk melalui tali
sandal dan mengenai kakinya.
Sungguh hari yang amat panas! pikir Claudia, sambil menatap
matahari, yang serasa memenuhi seluruh langit.
Menghadap ke arah Marla ia menegakkan payung pantai itu di
tepi selimut, kemudian menancapkannya dalam-dalam ke pasir,
menekan dengan seluruh berat tubuhnya.
Segera setelah payung itu terbuka, Sophie merunduk di bawah
naungannya dan berbaring tengkurap. Claudia meraih tas pantai dan
mulai melumuri wajahnya yang tersengat matahari dengan lapisan
tebal krim pelindung matahari.
"Kau tampak hebat, darling!" ujar Joy.
"Oh, tutup mulutmu," Claudia bersungut, sambil tertawa.
Sambil mengatur tali pakaian renangnya yang berwarna ungu, ia mulai
menggosokkan krim merah jambu pelindung matahari itu pada seluruh
bagian tubuhnya. Sementara itu Joy sudah meletakkan sikat rambutnya dan
sedang menggosokkan minyak pencokelat kulit pada tubuhnya yang
sudah kecokelatan. Claudia mengalihkan pandangan pada Marla, yang masih sibuk
meratakan selimut hingga sempurna. Sungguh aneh, pikir Claudia,
matanya masih menatap punggung Marla yang kurus. Marla sama
sekali tidak cokelat terjemur matahari. Bahkan sebenarnya ia sangat
pucat. Claudia merasa aneh karena sebelumnya Marla pernah
mengatakan kepada mereka bahwa ia melewatkan sebagian besar
musim panas di pantai ini.
Bagaimana ia bisa menghindari sinar matahari sepanjang
musim panas" Claudia bertanya-tanya dalam hati.
Lamunannya disela jeritan kecil Joy. Claudia melihat Joy duduk
di atas matras pantai, menaungi matanya dengan satu tangan dan
menatap ke laut. "Kurasa kita punya teman," Joy mengumumkan.
Benar, dua orang cowok melangkah keluar dari laut. Mereka
memakai pakaian selancar biru tanpa lengan yang masih basah dan
membawa papan selancar merah jambu dan hitam di bawah ketiak.
Claudia mengangkat tangannya ke mulut untuk menutupi
desahan terperanjat. Satu dari pemuda itu, ia melihat, adalah Daniel. Daniel si
Cowok Hantu. Chapter 8 "Ayo Pesta" DUA cowok itu melangkah di pasir, air menetes-netes dari
pakaian mereka yang basah.
Sambil melindungi mata dari cahaya matahari dengan tangan,
Claudia sadar bahwa cowok itu sama sekali bukanlah Daniel. Ia
cowok lain dengan perawakan tinggi dan rambut hitam.
Ada apa denganku" Apakah aku benar-benar jadi kacau" Ia
bertanya pada diri sendiri, sambil mengawasi cowok-cowok itu datang
menghampiri. Ia mengamati mereka menjatuhkan papan selancar. Mereka
kira-kira berumur tujuh belas tahun, keduanya memiliki tubuh kuat,
berotot. Salah satu yang tadi Claudia kira sebagai Daniel memiliki
perawakan ramping, rambut terpangkas pendek dan mata kelabu. Ia
tersenyum lebar pada gadis-gadis itu, matanya terpaku pada Claudia.
Ia merasa malu, jangan-jangan cowok itu tersenyum lebar karena krim
pelindung mataharinya yang berwarna merah jambu.
"Kita harus mengusir mereka," Marla berbisik, membetulkan
atasan bikini merahnya. "Bagaimana mungkin?" Claudia mendengar Joy balas berbisik.
"Mereka tampan."
"Hai, apa kabar?" cowok yang satu berseru. Rambutnya pirang,
agak panjang, dan sosoknya lebih kekar seperti seorang pegulat.
Temannya menatap garis pantai menuju ke Summerhaven.
"Kurasa kita sudah melewati cagar alam burung itu."
"Kalian lihat burung di sekitar sini?" si pirang bertanya.
Senyum lebarnya, menurut pandangan Claudia, memperlihatkan
sekitar empat ratus gigi.
"Hanya satu-dua burung Dodo," kata Marla ketus.
Claudia terperanjat oleh keketusan Marla. Mengapa dia
bersikap galak kepada mereka"
Joy sudah berdiri, menyisir rambutnya ke belakang, dan
tersenyum pada dua cowok itu. Sophie tetap di bawah naungan
payung, tapi ia pun tampak senang oleh kehadiran tamu-tamu kejutan
itu. Senyum lebar cowok-cowok itu menghilang. Si pirang berjalan
menghampiri bentangan matras pantai. "Kami cuma berselancar dan
terperangkap gelombang pasang-surut yang sangat kuat." Ia menunjuk
ke air. "Sepanjang pantai. Sungguh luar biasa. Menyeret kami ke Point
sini sebelum kami menyadarinya."
"Sungguh menarik," jawab Marla sinis.
Claudia melihat Joy memutar mata. "Marla, maukah kau tenang
sedikit?" bisiknya, matanya yang hitam tertuju pada cowok-cowok itu.
Si rambut hitam mengikuti temannya menghampiri bentangan
matras pantai. "Hati-hati kalau kalian mau berenang," katanya dengan
sangat serius. "Kalau kalian terperangkap dalam gelombang pasangsurut itu,
kalian bisa terseret keluar dari Point."
Marla berdiri dengan tangan pada pinggul pakaian renang
merahnya. "Terima kasih atas saran keselamatan itu," katanya dingin.
"Kalian sungguh baik mau datang memperingatkan kami, tetapi ini
adalah pantai pribadi." Ia menuding ke arah cagar alam dan
Summerhaven. "Kalau kalian mau berselancar, pantai untuk umum
ada di sana." Si rambut hitam tersenyum lebar pada Marla. "Kupikir semua
pantai adalah untuk umum," katanya, sambil mengawasi. Ia
mengalihkan pandangan ke anak tangga menuju tanah milik keluarga
Marla. "Apakah keluargamu juga sudah membeli lautannya?"
Cowok yang satu duduk di atas matras pantai dan tersenyum
pada Sophie. "Hai. Apakah kau selalu pendiam seperti ini?"
Sophie terkekeh. Ia menanggalkan kacamata dan tersenyum
kepadanya. "Tidak selalu."
"Bukankah seharusnya kalian pergi sekarang?" Marla bertanya,
mengernyit tak senang. "Tergantung kau punya apa untuk makan siang," kata si pirang
kepadanya. Ia menggeser kotak piknik dan mengangkat tutupnya.
Temannya mengangsurkan tangan kepada Claudia. "Aku Carl,
ini Dean, dan terima kasih telah mengundang kami makan siang."
"Well...." Claudia mendapati dirinya tak mampu berkata-kata.
Ia melirik Marla, yang bersungut-sungut.
Mengapa Marla begitu tidak ramah" Claudia bertanya dalam
hati. Apakah dia tahu sesuatu tentang cowok-cowok ini" Apakah ia
benar-benar takut terhadap mereka"
"Wah, kau pasti sangat benci sinar matahari!" Cari berseru,
sambil menatap wajah Claudia yang tertutup lotion. Ia tertawa,
menggeleng-gelengkan kepala.
Claudia bisa merasakan wajahnya jadi merah padam di bawah
lapisan krim tebal itu. "Aku - aku terbakar parah kemarin," katanya
terbata-bata. Sambil berlutut di atas selimut, Dean mulai mengosongkan isi
kotak piknik. "Ada banyak makanan di sini," katanya. "Ayam goreng.
Salad kentang. Banyak sandwich kecil. Saat untuk piknik!" Ia
mengangkat mata dari kotak piknik dan tersenyum pada Marla,
senyum ikan hiu. Carl bergabung dengan temannya, menjatuhkan diri di sisi lain
kotak piknik itu. "Apakah cukup untuk cewek-cewek ini juga?"
"Yeah. Kita bisa berbagi," Dean menjawab, menyeringai
memperlihatkan giginya yang banyak.
Marla, dengan tangan terkepal erat membentuk tinju kecil,
ekspresi geram pada wajahnya, hendak mengucapkan sesuatu. Namun
Joy memotongnya. "Makanannya cukup banyak," katanya kepada
Marla. "Mengapa tidak berbagi dengan mereka?"
Carl tersenyum berterima kasih kepadanya dan menawarkan
piring sandwich. "Siapa namamu?"
"Joy. Joy Birkin." Ia menerima piring tersebut dan duduk di
samping Carl. "Aku Sophie Moore," Sophie memperkenalkan diri dengan
berseri-seri, pindah dari bawah payung untuk bergabung bersama
mereka. "Mmmm. Ayamnya kelihatan sedap. Aku kelaparan
meskipun kami baru saja sarapan."
Marla menghambur ke tepi air dengan gusar, tak menghiraukan
mereka semua. "Jangan pedulikan Marla. Ia cuma agak malu-malu," kata Joy.
"Bagaimana denganmu?" tanya Carl pada Claudia, suaranya
mencemooh. "Apakah kau malu-malu juga?"
"Itulah sebabnya ia bersembunyi di balik krim merah jambu
itu," Dean menggoda, sambil mengunyah sepotong paha ayam.
Claudia tahu ia tidak perlu memedulikan, tetapi ia malu
setengah mati dan tampak seperti orang tolol.
"Kau seharusnya mencoba lotion merah jambu itu," kata Dean
pada Carl. "Penampilanmu pasti tambah keren!" Ia melemparkan
tulang ayamnya ke atas pasir dan meraih sepotong sandwich.
"Hei, jangan buang sampah sembarangan," Carl menghardik
temannya. Kemudian ia menambahkan, "Ini pantai pribadi, ingat?"
Dua pemuda itu tertawa terbahak-bahak, sambil saling
menepukkan tangan. Joy mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka mengenai
berselancar. Jelaslah bagi Claudia bahwa Joy menaksir mereka. Jelas
bagi cowok-cowok itu pula.
Sesudah beberapa lama, Sophie dan Carl pindah ke bawah
payung. Mereka bercakap-cakap pelan sambil meneguk soda kaleng.
Matahari sudah bergeser tinggi di langit. Gelombang lautan itu
terhias dengan warna emas.
"Ini bukan piknik yang buruk," Claudia berkata, merasa sedikit
aneh dengan situasi tersebut.
"Sayang sekali sang putri di sana tidak mau bergabung dengan
kita," kata Dean. Claudia melihat Marla berbalik kembali ke arah mereka. Ia
berjalan dengan langkah-langkah lebar menapaki pasir lembut,
parasnya kaku oleh kemarahan. "Apakah kalian menyisakan sandwich
atau lainnya untukku?" ia bertanya.
"Masih ada beberapa," jawab Dean. "Tapi kau harus minta baikbaik."
Marla menggumamkan geraman marah dan melipat tangannya
di depan dada. "Sekali lagi aku minta baik-baik kepada kalian. Pergi!"
katanya dengan gigi dikertakkan.
Dean melompat berdiri dan melangkah ke hadapannya. "Hei,
jangan terlalu mendesak," ia memohon, seulas senyum mencemooh
tersungging pada wajahnya. Ia menyibakkan rambut pirangnya dari
keningnya yang cokelat. "Aku dan Carl adalah cowok-cowok hebat.
Mengapa kau begitu pongah?"
"Aku peringatkan kalian," Marla bersungut-sungut. "Pergilah
saja, oke?" Dean mengambil satu langkah, menantang lebih dekat padanya.
"Jangan merusak pesta ini, Marla. Itukah namamu" Marla?" Ia melirik
sepintas pada temannya, yang datang menghampiri dari bawah
payung. Carl menatap Dean dengan waswas, seakan-akan bersiap
menghadapi masalah. "Aku dan Carl berharap bahwa sesudah makan siang, kita
semua akan mampir ke rumahmu dan - kau tahu - pesta." Dean maju
selangkah lagi menghampiri Marla, yang melangkah mundur ke
belakang. Oh-oh, pikir Claudia, seraya bangkit perlahan-lahan. Situasinya
jadi tegang. "Mundur. Pergilah!" Marla berteriak, matanya menunjukkan
sikap menghina. "Tidak. Sungguh," Dean bersikeras. "Aku dan Carl adalah
cowok-cowok hebat. Mari kita pergi ke rumah. Kau tidak merasa
terlalu panas di sini?"
Carl berdiri di sana, senyumnya lenyap, mimik mukanya
mengeras. Apakah cowok-cowok ini cuma pura-pura bersikap keras"
Claudia bertanya-tanya dalam hati, sambil mundur ke belakang.
Ataukah mereka benar-benar cari masalah"
"Aku - aku punya anjing penyerang," Marla memperingatkan,
sambil melirik ke rumahnya. "Anjing serigala dari Irlandia. Pernahkah
kalian melihat anjing seperti itu" Badannya besar."
"Oh, sekujur tubuhku gemetar!" Dean tersenyum, sambil
menggetarkan lengan dan kakinya. "Bagaimana denganmu, Carl?"
"Ngeri," kata Carl tajam. "Ayo kita ke sana, Dean."
"Aku hanya perlu memanggil anjing itu," Marla
memperingatkan. "Anjing menyukaiku," Dean membual. "Aku tidak takut." Ia
menoleh pada Claudia dan gadis-gadis lainnya. "Kalian ingin aku dan
Carl mampir ke rumah itu, bukan?"
"Aku - kurasa kalian sebaiknya pergi," Claudia berkata
terpatah-patah, sambil pindah berdiri di samping Marla.
Dean bergeser lebih dekat, ekspresinya mengancam. "Kalian
tidak mau mengundang kami mampir?" ia menanyai Marla, matanya
dingin, nada suaranya menantang.
"Tidak," tegas Marla.
Kemudian, sebelum Claudia menyadari apa yang terjadi, ia
melihat sosok tubuh bergerak samar.
Dan mendengar suara tamparan keras.
Marla terhuyung-huyung mundur sambil berteriak marah.
Lama barulah Claudia menyadari bahwa Dean telah menampar
Marla. Oh tidak, Claudia mengerang, mendadak ketakutan. Cowokcowok ini bikin masalah
saja. Chapter 9 Kembalinya Sang Hantu DENGAN cepat Marla memulihkan keseimbangan dan menatap
berapi-api pada Dean, wajahnya merah padam.
"Tadi ada seekor tungau," kata Dean. "Di pundakmu."
Fear Street - Bayangan Maut Sunburn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hah?" Marla berseru, sedikit tercengang.
"Seekor tungau besar," Dean mengulangi. "Binatang itu bisa
menggigit." "Tapi - " Ekspresi Marla melunak.
"Aku tidak bermaksud menepuknya sekeras itu," kata Dean
lembut. "Maaf kalau aku membuatmu ketakutan."
Claudia mengembuskan napas lega. Di belakangnya, ia bisa
mendengar Joy dan Sophie tertawa cemas.
"Sebaiknya kita pergi sekarang," Carl berkata, sambil
mengambil papan selancar hitam-merah jambu miliknya.
"Yeah. Oke," Dean sepakat. Sekali lagi ia melontarkan
pandangan minta maaf kepada Marla. "Aku tidak bermaksud
menakut-nakutimu," katanya. Kemudian ia menukas, "Ayahku dulu
pernah bekerja untuk ayahmu."
"Apa?" Marla menegaskan.
Namun dua pemuda itu sudah mengangkat papan selancar
mereka, menjepitnya di bawah ketiak, dan berjalan di pantai ke arah
kota. "Terima kasih atas makan siangnya," Carl berseru.
"Makan siang yang hebat!" Dean menambahkan.
Claudia mengawasi mereka berjalan di sepanjang garis pantai.
Keduanya menendang-nendang gumpalan pasir basah.
"Ayo kita berkemas dan kembali ke rumah," Marla berkata,
sambil mengernyitkan dahi. "Lagi pula terlalu panas di sini."
"Marla, kenapa kau begitu keras terhadap cowok-cowok itu?"
Claudia bertanya. Marla mengebas-ngebaskan matras pantainya. Ia berhenti dan
berpaling pada Claudia. "Orangtuaku memaksaku berjanji," ia berkata
kepadanya. "Janji apa" Tidak boleh ada cowok?" Joy bertanya.
"Orangtuaku memaksaku berjanji bahwa hanya boleh ada kita
berempat minggu ini," jawab Marla. "Kalau mereka tahu ada cowok
bersama kita, mereka akan mengurungku selamanya."
Pendekar Bego 2 Pendekar Gila 17 Penghianatan Joko Galing Pedang Sakti Tongkat Mustika 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama