Fear Street - Ciuman Maut Killers Kiss Bagian 3
sakit atau kenapa-kenapa. Mungkin..."
Britty kaget ketika pintu ganda itu berayun terbuka.
Vincent terkesiap. Delia terhuyung-huyung masuk. Ia melangkah dua langkah...
lalu tersandung. Tumit salah satu sepatu merahnya patah, Vincent melihatnya.
Lengan kanan gaunnya sobek di bagian bahu.
Vincent ternganga ketika melihat garutan yang memenuhi
lengannya. Dan darah itu. Darah gelap yang menetes ke wajahnya.
"Tolong aku... tolong...," rintih Delia.
Chapter 19 DELIA berdiri goyah. Gabe dan Britty lari menghampirinya. Ia melihat Vincent di
belakang mereka. Delia ambruk sebelum mereka sampai kepadanya. Kepalanya
membentur lantai kayu yang keras. Rasa sakit menembaknya sampai
ke leher dan turun ke punggungnya.
Ia mencoba duduk. Ia harus menemui Karina. Sekarang.
Britty melepaskan mantelnya, menggulungnya, dan
meletakkannya di bawah kepala Delia. "Berbaringlah diam,"
perintahnya. Stewart menghambur dengan segelas air. Vincent
mengambilnya dari Stewart. "Ambilkan aku tisu!" teriaknya. "Atau
beberapa serbet kertas!"
Seseorang menyerahkan sehelai serbet kertas padanya, dan
Vincent membasuh darah dari wajah Delia dengan lembut.
Delia menatap semua orang yang mengerubunginya. Gabe.
Stewart. Britty. Vincent. Banyak anak-anak lain dari sekolah.
Mereka semua tampak begitu cemas. Begitu bingung dan kacau.
Mereka benar-benar peduli padaku, ia sadar.
Jantung Delia bergetar di dadanya. Ia bersusah payah untuk
duduk. "Beri dia ruang," teriak Gabe. Kerumunan itu bergerak mundur
sedikit. Gabe berlutut di sisinya. "Delia, apa yang terjadi" Apa kau
mengalami kecelakaan?"
Delia memaksa dirinya menghela napas dalam dan pelan.
"Bantu aku berdiri," bisiknya.
Vincent memeluk pinggangnya dan mengangkatnya berdiri.
Delia bersandar kepadanya, sambil mencari-cari dalam
kerumunan itu. Akhirnya ia melihat Karina.
"Apa kau ingin tahu apa yang terjadi?" teriaknya. "Tanyakan
padanya! Tanyakan pada Karina!"
Gumaman pelan terdengar di antara kerumunan itu. Semua
mata tertuju pada Karina.
Karina berdiri di ujung kerumunan itu. "Tanyakan padaku"
Tanyakan apa padaku?" tuntutnya.
"Dia mengundang aku ke rumahnya malam ini," Delia memulai
sambil menunjuk Karina dengan jarinya yang gemetar. "Sebelum
pesta. Katanya dia ingin bicara. Dia ingin minta maaf karena semua
hal mengerikan yang telah dia lakukan padaku. Dia... dia mengatakan
ingin kami menjadi sahabat lagi."
"Tidak!" teriak Karina. "Apa kau gila" Aku tidak berkata
begitu!" "Ya, kau berkata begitu!" Delia bersikeras. "Kau mengatakan
itu! Jadi, aku pergi ke rumahmu. Katamu kedua orangtuamu keluar
malam ini. Kau mengajak aku naik ke loteng, supaya kita bisa bicara.
Aku mempercayaimu. Aku percaya padamu."
"Apa yang kaukatakan?" Karina menjerit. "Aku tidak bertemu
kau dalam beberapa hari ini! Aku..."
"Aku mengikutinya ke kamarnya," Delia melanjutkan,
mengabaikan protes Karina. "Dia memukul kepalaku dengan sesuatu.
Aku... pingsan. Dan ketika sadar, aku sudah diikat di ranjang!"
"Oh, Karina"tidakl" teriak Britty.
Delia mulai gemetar. Vincent memeluknya erat.
"Tidak!" Karina menjerit. Ia menatap ke sekeliling ruangan itu,
matanya berkilauan panik. "Tidak! Dia bohong. Itu semua bohong
besar!" Delia melangkah menghampirinya. "Apa kaupikir kau akan
lolos dari semua ini?" Suaranya gemetar penuh kemarahan. "Apa
kaupikir takkan ada seorang pun yang mempercayai aku?"
"Dia bohong!" Karina berteriak lagi.
Delia menggelengkan kepala. "Kau pasti terlalu kaget melihat
aku ada di sini. Kau berharap menemukan aku terikat aman di
kamarmu setelah pesta. Tapi aku melepaskan tali itu."
Delia mengangkat kedua tangannya, sehingga semua orang bisa
melihat memar bekas tali di pergelangan tangannya. Dua gelang
merah cerah dari kulitnya yang memar.
Britty terkesiap. "Bagaimana kau bisa melakukan itu padanya?"
tanyanya pada Karina. "Apa yang akan kaulakukan setelah pulang nanti, Karina?"
desak Delia penuh kemarahan. " Membunuhku?"
Delia berbalik dan memeluk pinggang Vincent. Ia
membenamkan wajahnya di dada Vincent. "Dia gila!" Delia merintih.
"Kau yang gila!" Karina menjerit penuh kemarahan. "Semua
cerita ini gila!" Ia menerkam Delia.
Gabe dan Stewart masing-masing memegangi lengan Karina.
Karina berontak. "Itu semua bohong!" ratapnya. "Bohong sama
sekali!" Ia berontak untuk melepaskan diri dari pegangan kedua cowok
itu. "Hentikan, Karina!" perintah Stewart. "Kau datang terlambat ke
pesta. Kami semua melihatmu."
"Itu tidak berarti apa-apa!" teriak Karina. "Aku mencoba
beberapa pakaian yang berbeda."
"Pergilah ke rumahnya. Kau akan melihat!" Delia berseru. Ia
melepaskan diri dari Vincent dan berjalan ke pintu.
"Aku akan membuktikan itu pada kalian!" teriak Delia.
"Pergilah ke rumahnya. Tali itu masih terikat di kepala tempat tidur.
Dan... dan kalian akan melihat darah itu. Darahku. Di karpet."
Karina merenggutkan diri dari Gabe dan Stewart.
Ia menerobos melewati kerumunan dan menghalang-halangi
pintu. "Tidak!" jeritnya. "Tidak! Kalian tidak boleh pergi ke rumahku.
Kalian tidak boleh!"
Chapter 20 "KENAPA kami tidak boleh pergi ke rumahmu?" tuntut Delia.
"Karena aku mengatakan kebenaran?"
"Tidak!" Karina berteriak sambil gemetar. "Karena itu gila!
Semua itu kebohongan yang gila! Delia itu pembohong!"
"Pembohong?" teriak Delia. "Aku pembohong?" Ia mengangkat
tangannya sehingga semua orang bisa melihat tangan itu sekali lagi.
"Lihat pergelangan tanganku."
Ia menyentuh samping kepalanya dan mengangkat jari-jarinya
yang ternoda darah. "Lihat kepalaku! Gaunku sobek. Lututku
terkelupas." Ia menatap Karina dengan tajam. "Jadi bagaimana kau
bisa mengatakan aku ini pembohong?"
"Tidaaaaaaak!" Karina meraung panjang. Ia menerkam Delia.
Tapi Vincent melompat di antara mereka. "Karina..." Vincent
ragu-ragu. "Kami akan melakukan apa saja yang bisa kami lakukan
untuk mendapatkan pertolongan yang kauperlukan."
Karina melemparkan dirinya ke Vincent. Ia memukul-mukul
dadanya dengan kedua kepalan tangannya. "Konyol! Konyol!
Konyol!" celotehnya. "Aku benci kau! Aku benci kalian semua!"
Sambil berteriak marah sekali lagi, ia berputar darinya. Matanya
liar, rambutnya melambai di belakangnya, ia berbalik dan menerobos
pintu ganda itu. Pintu itu terbanting di belakangnya.
"Hentikan dia!" teriak Stewart.
Gabe menyambar lengan Britty. Mereka berdua lari mengejar
Karina. "Aku akan mencari telepon. Aku akan mencoba menelepon
orangtuanya," Stewart menjadi sukarelawan. "Kita harus
menghentikan dia"sebelum ia melakukan perbuatan yang
mengerikan lagi!" Delia mengawasi Stewart lari keluar pintu. Kemudian ia
ambruk ke Vincent. "Ayo kuantar pulang," kata Vincent dengan lembut. "Kita harus
merawat luka-luka itu."
Delia menghela napas dan melepaskan diri. "Biarkan aku
istirahat sebentar," bisiknya dengan lemah. "Aku-aku tak percaya apa
yang ia lakukan padaku. Aku tak percaya ia bertindak begini jauh..."
******************************************
Delia menarik napas dalam-dalam. Ia menyukai bau tabung
lipstiknya yang baru. Ia memoleskan lapisan Midnight Wine-nya di bibirnya yang
penuh dan memeriksanya di cermin meja riasnya. "Sempurna,"
gumamnya. Ia menarik tisu dari kotak di meja riasnya dan
mengeringkan bibirnya. Ia membuang tisu itu ke lantai.
"Bagaimana menurutmu?" Delia memalingkan wajahnya ke
Britty. Temannya bertengger di ranjang Delia sambil mengayunkan
kakinya. "Kau tampak lebih baik daripada tadi malam!" sahut Britty.
"Sulit mempercayai kau adalah orang yang sama."
Britty melompat turun dan berjalan mondar-mandir di ruangan
itu. "Tadi malam ketika aku melihatmu dengan darah di wajahmu,
kupikir..." Britty bergidik. Matanya berkilauan dengan air mata.
Britty adalah sahabat yang hebat, kata Delia pada dirinya
sendiri. "Aku menyukai pakaianmu," kata Britty.
Delia bisa mengatakan Britty ingin mengubah pembicaraan. Ia
tidak keberatan. Delia tidak ingin memikirkan tentang peristiwa tadi
malam juga. Ia berharap kelak ia akan bisa melupakan semuanya itu.
"Hanya kau yang pantas memakai warna-warna itu bersamaan,"
goda Britty. Delia menyusurkan jari-jarinya ke sweater ungu, pink, kuning,
dan cokelatnya. Salah satu favoritnya. Kemudian ia mendengar suara
klakson dari depan rumahnya.
"Gabe datang," Britty mengumumkan. "Kau yakin kau merasa
cukup baik untuk menjadi awak bersih-bersih Vincent?"
"Pasti," sahut Delia. Ia menyambar dompetnya, dan mereka
menuju ke pintu depan. "Hal terakhir yang ingin kulakukan adalah
duduk sendirian. Yang akan kulakukan pasti hanya memikirkan soal
Karina. Setiap kali aku mendengar suara sekecil apa pun di rumah ini,
kupikir ia sedang mendatangiku."
"Apakah kau memberitahu orangtuamu?" tanya Britty.
"Tentu. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka melapor ke
polisi. Mereka akan 'membicarakan' ini dengan orangtuanya. Karina
perlu pertolongan." Delia membuka pintu dan melangkah keluar ke cahaya
matahari. Ia menarik napas dalam udara yang dingin dan segar itu.
"Tadi malam ketika aku terikat di kamar Karina, kupikir aku tidak
akan lolos. Aku tidak bisa membayangkan berada di luar lagi. Atau
keluyuran dengan teman-temanku. Aku begitu ketakutan."
Britty memeluk bahu Delia ketika mereka berjalan ke mobil
Gabe. "Aku tahu aku hanya di sana beberapa jam," Delia melanjutkan.
"Tapi rasanya seperti berhari-hari. Dan aku tetap membayangkan
Karina punya rencana untuk melakukan... apa yang direncanakannya
untuk dilakukan padaku ketika dia pulang dari pesta."
Mereka naik ke mobil. "Aku membawa beberapa donat untuk
dimakan di perjalanan." kata Gabe sambil menyerahkan kotak itu.
"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya kepada Delia. Matanya bertatapan
dengan mata Delia di kaca spion.
"Lebih baik," katanya.
Gabe mengangguk. Delia menatap ke luar jendela ketika mereka sampai ke rumah
di Fear Street di mana Vincent telah mengadakan pestanya malam
sebelumnya. Perut Delia mengeras menjadi simpul.
Delia memeluk dirinya sendiri dan menyandarkan dahinya ke
kaca jendela yang dingin itu. Gabe memarkir mobilnya di depan
rumah itu. Mereka keluar dari mobil. Gabe membuka bagasi, dan mereka
menarik keluar beberapa sapu dan beberapa kantung sampah yang
besar. "Vincent?" panggil Gabe ketika mereka berjalan masuk ke
rumah yang suram itu. Tidak ada jawaban. "Sebaiknya Vincent ada di sini," kata Gabe. "Aku tidak akan
membersihkan semua tempat ini sebelum ia datang."
"Vincent!" panggil Britty.
Tidak ada jawaban. Mereka melangkah beberapa langkah lagi ke dalam rumah.
"Katanya ia akan berada di sini pagi-pagi sekali, benar, kan?" tanya
Britty. "Itu yang dikatakannya padaku ketika ia mengantarku pulang
tadi malam," kata Delia. Ia menjulurkan kepalanya ke ballroom yang
luas. Kaleng-kaleng soda, kotak-kotak piza kosong, dan dus-dus ayam
kosong berceceran di lantai.
Balon-balon helium yang tergantung di langit-langit tadi malam
sekarang melayang sebatas mata. Delia mendorong sebuah balon ke
samping dan menyeberangi ruangan besar itu.
"Vincent!" pekiknya. "Kita punya banyak pekerjaan yang harus
dilakukan!" "Ia pasti belum datang," kata Britty. "Ayo kita tunggu dia di
luar. Tempat ini membuatku merinding."
"Oke," sahut Delia. Ia berbalik"dan membeku.
"Oh tidaaaaak!" Britty meratap. Ia melihatnya juga.
Melihat Vincent. Tertelungkup. Di atas lantai. Dikelilingi oleh
kaleng-kaleng soda dan kotak-kotak piza.
"Vincent?"" teriak Delia.
Dan kemudian mereka berlutut di samping tubuhnya yang kaku.
"Vincent" Vincent" Vincent?"
"Apakah ia"ia masih bernapas?" Gabe tercekik.
Delia mengulurkan tangannya dan mengusap pipinya. Kulitnya
terasa dingin. Ia menekan jari-jarinya di tenggorokannya. Tak ada apa-apa.
Tak ada denyut. Tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa...
"Ia telah tewas," bisik Delia. "Vincent telah tewas."
Chapter 21 GABE berlutut di samping Delia. Ia menarik bahu Vincent,
kemudian dengan lembut melepaskannya kembali. "Seseorang
menikamnya"menikam dadanya."
"Oh tidak! Oh tidak! Oh tidak!" ratap Britty.
"Vincent... Vincent... Vincent..." Delia berayun-ayun ke depan
dan ke belakang, memanggil-manggil namanya.
Gabe berdiri dan menarik Delia berdiri. "Kita harus keluar dari
sini. Kita harus memanggil polisi."
Fear Street - Ciuman Maut Killers Kiss di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Vincent... Vincent... Vincent...," Delia mengulangi.
Delia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Ia duduk
meringkuk di serambi depan rumah tua itu dengan Gabe dan Britty.
Menunggu polisi dan orangtua mereka tiba.
"Mungkin kita sebaiknya menunggu di mobil," kata Gabe.
"Agak dingin di luar sini."
"Tidak," Britty bersikeras. "Aku terlalu gugup untuk duduk
diam." "Omong-omong, itu mereka datang," Delia memberitahu.
Sebuah mobil polisi hitam dan putih berhenti di depan rumah itu. Dua
orang polisi keluar dan berjalan ke jalan masuk.
"Aku Detektif Bender," kata salah satu laki-laki itu kepada
mereka. Ia memberi isyarat kepada partnernya yang kurus dan
jangkung. "Dan itu Detektif Jamison. Kalian melaporkan
pembunuhan?" "Salah satu teman kami. Dia ditikam. Kami tidak memindahkan
dia atau melakukan apa-apa," jawab Gabe.
"Omong-omong, apa yang kalian lakukan di luar sini" Tempat
ini telah dikosongkan selama paling tidak setahun," kata Detektif
Jamison. Wajahnya yang kurus menyiratkan ekspresi muram.
"Kami sudah menjelaskan itu di telepon," jawab Delia.
"Vincent... dia yang... yang dibunuh. Dia mengadakan pesta di sini
semalam. Kami semua datang ke sini pagi ini untuk membantunya
bersih-bersih. Saat itulah kami menemukan dia."
Britty bergerak-gerak gelisah sambil menggigit-gigit sehelai
rambutnya. "Kami langsung menelepon Anda!"
"Tunjukkan pada kami," perintah Detektif Bender.
Delia dan Gabe memimpin mereka masuk. Britty mengekor di
belakang detektif-detektif itu.
Jantung Delia berdebar keras.
Sebuah balon helium menyapu lengan Delia. Ia benci
merasakan kulit yang lembek itu. Ia menunjukkan tubuh Vincent.
"Mundurlah," perintah Detektif Jamison. Ia mengenakan
sepasang sarung tangan plastik tipis. Ia berlutut di samping Vincent
dan memeriksanya selama beberapa saat, tanpa menyentuhnya.
Kemudian detektif itu membalik Vincent, hingga telentang.
Delia memejamkan matanya. Ia mendengar Britty menahan
napas. "Dadanya ditusuk pisau," salah satu detektif itu mencatat. "Satu
tikaman di antara iganya. Satu lagi di jantungnya."
Mata Delia terpaku pada gagang pisau besar yang mencuat di
dada Vincent. Sebagian besar pisau itu terbenam di tubuhnya.
Ia menggerakkan matanya dengan pelan ke tubuh Vincent. Ke
darah yang menempel di sweater hijaunya. Ada lingkaran darah gelap
di atas sweater hijau itu. Sweater yang ia berikan pada Vincent
sebagai hadiah Natal. Sweater yang dipilihnya dengan begitu hati-hati.
Matanya menjelajah ke mulut Vincent. Mulut itu kaku terbuka,
membentuk teriakan ketakutan tanpa kata.
Lalu ia mempelajari matanya. Mata Vincent. Mata itu menatap
kosong padanya. "Delia," bisik Britty.
Delia mengikuti pandangan Britty ke pipi Vincent.
Ke cetak bibir di atas pipinya yang pucat. Sebuah cetak bibir
ungu. Midnight Wine. "Delia, itu lipstikmu!" teriak Britty.
Chapter 22 KEDUA detektif itu berpaling pada Delia. Mereka menyipitkan
mata untuk memperhatikan bibirnya.
Lipstik ungunya. Kemudian mereka menatap ke cetak bibir ungu di pipi Vincent.
"Tidak!" Delia terkesiap sambil mengangkat kedua tangan ke
wajahnya. Detektif Jamison menulis sesuatu di buku catatan spiralnya
yang kecil dengan tergesa-gesa.
"Kapan terakhir kali kalian melihat anak ini?" tanya Detektif
Bender. "Dia... dia mengantarku pulang tadi malam," jawab Delia
dengan gemetar. "Kami pulang ke rumah kira-kira jam satu tiga
puluh." "Ketika aku muncul di rumah Delia pagi ini, dia masih
mengenakan piamanya," Britty menjelaskan dengan sukarela.
Suaranya terdengar tinggi dan mencicit-cicit. Gugup. "Dia tidak
mungkin berada di sini pagi-pagi sekali pagi ini. Aku tahu dia
begadang sampai pagi..."
"Dan kami semua pergi ke sini bersama-sama," Gabe menyela.
"Kami memerlukan kalian bertiga untuk memberi pernyataan,"
detektif jangkung itu berkata kepada mereka. "Sekarang aku ingin
kalian tinggal di sini dan menunggu orangtua kalian. Kalian
menelepon mereka, kan?"
Delia dan yang lainnya mengangguk.
Mereka berlalu dari tubuh itu.
"Semua orang di Shadyside High tahu bahwa aku selalu
memakai lipstik Midnight Wine," kata Delia dengan tenang.
"Seseorang menginginkan aku kelihatan bersalah. Aku penasaran,
siapa..." Seorang pria dengan dua kamera dikalungkan di lehernya
bergegas menghampiri tubuh Vincent. Seorang wanita dengan rambut
pirang pendek mengikutinya, dengan membawa sebuah tas kantor
kecil. Delia memperhatikan ketika wanita itu berlutut, meletakkan tas
itu di dekat mayat, membukanya, dan mulai mengambil sidik jari dan
mengumpulkan serabut-serabut.
"Karina sudah benar-benar lepas kendali," bisik Delia pada
teman-temannya. "Dia... dia mengikatku di ranjangnya untuk
mencegahku hadir di pesta Vincent. Tapi dia tidak membunuh
Vincent, kan?" "Aku tidak tahu apa yang harus kupikirkan," sahut Gabe sambil
menggelengkan kepala. "Kenapa dia melakukan itu?" tanya Britty penuh perhatian. "Dia
tergila-gila pada Vincent. Cukup gila untuk mengikatmu. Jadi, kenapa
membunuhnya?" "Delia, cobalah tetap tenang saat bicara dengan polisi," bisik
Gabe. "Katakan saja pada mereka yang sebenarnya. Tidak ada apa pun
yang harus kaucemaskan. Dan jangan mulai menuduh Karina. Biarkan
mereka menemukan kebenarannya. Kalau kau mulai menuduh Karina,
kau akan kedengaran..."
"Apa?" tuntut Delia, suaranya rendah dan tajam.
Gabe ragu-ragu. "Bersalah," gumamnya. "Kau akan kedengaran
seakan-akan kau mencoba melemparkan kesalahan pada orang lain."
"Kaupikir aku membunuh dia?" tanya Delia dengan nada tinggi.
"Tidak!" Gabe memprotes.
"Tentu saja tidak!" Britty membeo.
"Aku hanya tidak ingin kau kelihatan buruk di hadapan polisi.
Kalau mereka sudah siap menanyai kita, kita akan memberitahu
mereka segalanya yang terjadi di pesta itu," kata Gabe. "Mereka bisa
bicara pada semua orang kalau mereka ingin."
"Salah satu detektif datang," Britty mengumumkan.
Detektif Bender buru-buru menghampiri mereka. Sekarang apa"
Delia cemas. Ia tidak bisa berdiri saja di ruang ini lebih lama lagi.
Begitu dekat dengan mayat Vincent.
Kalau aku harus tinggal lebih lama lagi, pikirnya, aku akan
mulai menjerit. Aku tahu aku tak akan bisa menghentikannya. Mereka
akan menarikku keluar dari sini dalam baju orang gila.
"Orangtua kalian ada di luar," kata detektif itu kepadanya. "Aku
minta kalian semua kembali ke kantor denganku dan menjawab
beberapa pertanyaan."
Delia menatapnya. Mata biru detektif itu menyipit, mempelajari
wajahnya. Mata itu mengingatkan Delia akan mesin sinar-X. Dia bisa
menebak apa yang ada di kepalaku, pikirnya. Dia tahu semua yang
terjadi di sana. Itu gila, Delia membentak dirinya sendiri.
"Kau dan orangtuamu bisa naik mobilku," kata Detektif Bender.
Ia menatap memar-memar di pergelangan tangan Delia. "Kupikir kau
mungkin punya banyak bahan untuk diceritakan padaku, Delia."
Delia tiba-tiba lepas kendali. "Aku tidak melakukannya! Aku
tahu itu yang Anda pikirkan!" semburnya. Suaranya menggema di
ruangan kosong itu. "Aku melihat Anda menatap lipstik ungu di pipinya!" teriak
Delia. "Anda pikir aku membunuhnya. Kalian semua berpikir begitu.
Tapi aku tidak melakukannya! Aku tidak melakukannya! Apa semua
orang tidak mempercayai aku?"
Chapter 23 "AKU sudah mengatakan pada Anda barusan." Delia menghela
napas. "Aku datang ke rumah ini dengan Gabe dan Britty," jawab
Delia. "Kami semua berjalan masuk bersama-sama. Untuk membantu
Vincent bersih-bersih. Aku... aku tidak ingat siapa yang melihat dia
terbaring di lantai pertama kali. Mungkin aku."
Delia meletakkan sikunya di meja, kepalanya ditopang dengan
kedua tangannya. Tidak ada udara di ruangan kecil itu. Lampu di
langit-langit menyilaukan matanya.
Apa mereka tidak capek mendengar cerita yang sama terusmenerus" Apa yang akan membuat mereka mempercayainya"
Detektif Jamison memberi isyarat pada Detektif Bender dari
luar ruang wawancara itu. "Aku akan segera kembali, dan kita akan
melanjutkan semua ini lagi," katanya.
Delia merosot di kursi kayu yang keras itu. Ia menatap ke
sekeliling ruangan tersebut. Ia perlu sesuatu untuk menghindarkan
pikirannya dari polisi dan semua pertanyaan mereka.
Tapi papan buletin di seberangnya kosong"hanya tampak
berlusin-lusin dan berlusin-lusin lubang kecil bekas tusukan. Dan
segala sesuatu di ruangan itu sepertinya telah dicelupkan ke dalam
kaleng cat cokelat. Dinding cokelat, kursi cokelat, meja cokelat, dan
lantai cokelat. Sebuah stoples krim, setumpuk serbet kertas, bungkusanbungkusan gula, dan beberapa pengaduk kopi tergeletak di salah satu
ujung meja itu. Tak ada yang lain. Delia menuangkan sedikit krim ke
meja dan membuat gambar-gambar kecil di atasnya dengan salah satu
pengaduk. Aku bisa gila di sini, pikir Delia. Ia mengelupas cat kuku dari
ibu jari tangannya. Kemudian ia meraih dompetnya, mengeluarkan
tabung lipstik Midnight Wine-nya.
Tunggu! Apa yang sedang kulakukan"
Sekarang bukan saatnya memoleskan lipstik!
Delia mengetukkan kuku-kuku jari tangannya di meja. Mereka
tak mungkin menganggap aku benar-benar bersalah. Semua orang di
sekolah tahu betapa aku mencintai Vincent.
Tapi mereka menuduhnya. Ia tahu mereka menuduhnya.
Ia bisa melihat dari cara mereka memandangnya. Dari cara
mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama terus-menerus.
Seorang petugas masuk ke ruangan itu. Ia tidak mengatakan
apa-apa pada Delia. Ia menghampiri papan buletin dan menempelkan
dua buah foto di atasnya. Kemudian ia berbalik dan pergi.
Delia membungkuk ke depan untuk memperhatikan foto-foto
itu. Foto-foto tersebut baru diambil dari rumah di Fear Street itu.
Salah satu foto memperlihatkan cetak bibir ungu di pipi
Vincent. Yang lainnya memperlihatkan foto close-up wajah Delia.
Detektif Jamison dan Detektif Bender masuk ke dalam ruangan
itu. Mereka duduk di seberang Delia. Keduanya berbalik untuk
mempelajari foto-foto itu.
"Well, apa yang kauketahui?" komentar Detektif Bender. Ia
mencondongkan tubuhnya di atas meja. "Kupikir orangtuamu lebih
baik memanggil pengacara untukmu, Delia."
"Apa?" Pelipis Delia berdenyut-denyut. Ia tersentak bangkit
dari kursi. "Apa maksud Anda?"
"Coba lihat bibirmu dan cetak bibir di mayat itu," Detektif
Jamison berkata dengan lembut.
Detektif Bender menggelengkan kepala. "Keduanya sama
persis." Chapter 24 "DUA-DUANYA sama persis?" Delia tak bisa bernapas.
"Tapi... itu tidak mungkin!"
Ia menghirup napas panjang. Mencoba memaksa dirinya tetap
tenang. Terdengar panik hanya akan membuat semuanya lebih buruk.
Membuatnya tampak lebih bersalah.
Ia bisa merasakan keringat yang menetes di keningnya. Ia
mengambil sehelai serbet kertas dari meja dan mengeringkannya.
Ia mempelajari foto-foto itu. Ya. Bibirnya dan cetak bibir itu
sama persis. Tidak ada perbedaan sama sekali.
"Tidak masuk akal," Delia bersikeras. "Kukatakan pada kalian...
aku tidak membunuh Vincent. Buat apa aku menciumnya... dan
kemudian membunuhnya?"
"Kau yang memberitahu kami," jawab Detektif Bender dengan
tajam. Suaranya dingin. Detektif Jamison membalik-balik halaman buku catatan
spiralnya yang kecil. Membaca kembali catatan-catatannya.
Delia menghancurkan serbet kertas itu di antara jari-jari
tangannya. Kemudian ia mengambil yang lain.
Bagaimana aku bisa meyakinkan mereka" pikirnya.
Bagaimana" Ia menyobek serbet kertas lagi dan membiarkan potonganpotongan itu jatuh ke meja.
Detektif Bender berdiri dari kursi dan bersandar di meja.
"Kedua bibir itu persis sempurna," katanya pada Delia. "Gambar tidak
bisa berbohong. Kenapa kau tidak mengatakan pada kami..."
"Tidak." Detektif Jamison menyela. Ia menatap Delia dengan
tajam. "Jangan bicara lagi. Jangan, sampai orangtuamu mendatangkan
pengacara ke sini." Delia menarik serbet kertas lagi dari tumpukan di meja itu. Ia
tidak menghancurkannya. Ia meremasnya menjadi bola dan
memegangnya erat-erat di tangannya.
Tenanglah, ia memerintah dirinya sendiri. Kau harus tetap
tenang. Ia menyeberang menghampiri papan buletin itu. Foto pipi
Vincent membuat matanya tersengat air mata. Berapa kali ia telah
melihat Vincent dengan cetak bibir berlipstik Midnight Wine di
wajahnya" Kami begitu sering bersenang-senang bersama, pikirnya.
Keluyuran di Burger Barn sepulang sekolah. Berdansa mesra di Red
Heat. Merapat di sofa ruang keluarga di rumah Vincent.
Ia menelan ludah keras-keras, dan mengalihkan perhatiannya
kepada foto satunya. Foto bibirnya sendiri.
"Keduanya sama persis," gumamnya. Ia menatap cetak bibir di
pipi Vincent. Kemudian ke bibirnya sendiri.
Bolak-balik. Bolak-balik.
Cetak bibir. Bibirnya. Ia menatap kedua foto itu bolak-balik.
Kemudian ia berbalik dan menghadap detektif itu.
"Itu bukan cetak bibirku yang di wajah Vincent!" seru Delia.
"Dan aku bisa membuktikannya!"
Chapter 25 MATA Detektif Bender terbelalak. Ia menatap partnernya,
kemudian balik menatap Delia.
Fear Street - Ciuman Maut Killers Kiss di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Delia membiarkan senyuman mengembang di wajahnya. "Aku
tidak bersalah! Dan aku bisa membuktikannya! Aku bisa
membuktikannya!" Detektif Jamison mengusap rahangnya yang keras dengan
tangannya. "Lanjutkan," desaknya lembut.
Delia berputar lagi menghadapi papan. "Bibirku dan cetak bibir
itu sama persis. Tapi mestinya mereka tidak sama!"
Detektif Bender tampak benar-benar bingung. Tapi Detektif
Jamison tidak. Ia menyipitkan matanya dan mempelajari foto-foto itu.
"Lanjutkan," perintahnya.
"Kalau aku mencium Vincent," Delia menjelaskan, "cetak bibir
di pipinya tidak akan tampak seperti bibirku di foto itu. Cetak itu akan
menjadi kebalikannya."
"Hah?" Detektif Bender menggumam.
Delia bergegas memutari meja dan mengambil dompetnya. Ia
mengaduk-aduk isinya dan menemukan lipstiknya. Dengan hati-hati ia
memoleskan lipstik itu di bibirnya.
Kemudian ia menarik secarik kertas. Ia menciumnya, dan
menyerahkan kertas itu kepada detektif-detektif tersebut. "Kalau aku
mencium seseorang, cetak bibir itu akan tampak seperti ini."
Delia mengangkat kertas itu di samping bibirnya. "Lihat"
Bibirku dan cetak bibir ini tidak sama, kan" Cetak bibir itu berbentuk
kebalikannya di atas kertas."
Detektif Bender sekarang tampak tertarik, sama seperti Detektif
Jamison. Delia mengoleskan lipstik lagi di bibirnya. Ia mengambil
selembar serbet kertas yang bersih dari meja. Kemudian ia
mengeringkan bibirnya dan menunjukkan cetak yang tertinggal di
serbet kertas itu kepada para detektif tersebut.
"Cetak bibir di serbet itu berubah juga. Persis sama seperti cetak
di secarik kertas itu. Lihat?" Ia memperlihatkan serbet kertas itu
kepada mereka. "Tapi, kalau cetak di serbet ini ditekankan ke sesuatu yang rata,
seperti pipi seseorang..."
Delia meratakan serbet kertas itu di meja. Ini harus berhasil,
pikirnya. Dengan pelan ia mengangkat serbet kertas itu.
Sebuah cetak bibir tampak di meja. "Lihat" Ini sama persis
dengan bibirku." Detektif Bender mempelajari serbet kertas, cermin, dan
permukaan meja. "Dan semua ini berarti?""
Delia tahu Detektif Jamison telah memahaminya. Tapi ia tidak
menunggu detektif itu menjawab.
"Itu artinya seseorang membawa cetak bibirku. Dari sehelai
serbet kertas atau secarik kertas atau sesuatu. Aku sering sekali
mengeringkan bibir. Dan aku suka meninggalkan kertas-kertas
pengering itu di sembarang tempat."
Delia mengangkat serbet kertas dengan cetak bibir di atasnya
dan melemparkannya ke hadapan Detektif Bender.
"Artinya, siapa saja yang membunuh Vincent menekankan
cetak bibirku di pipinya! Ini satu-satunya alasan cetak bibir itu
menjadi kebalikannya. Seseorang sedang mencoba menjebakku
dengan tuduhan membunuh Vincent!"
Detektif Jamison mengangguk kepada partnernya. "Dia benar,"
gumamnya. "Dan rasanya aku tahu siapa yang melakukannya," Delia
melanjutkan, jantungnya berdebar-debar. "Maukah Anda
mempercayai aku sekarang" Apakah Anda akan mendengarkan aku?"
"Kami akan mendengarkan sekarang," Detektif Bender
meyakinkan Delia. "Mulailah dari awal."
Delia menghela napas panjang dan mulai menceritakan tentang
Karina kepada para detektif itu. Tentang bagaimana ia dan Karina
bersaing sepanjang hidup mereka. Tentang persaingan untuk Conklin
Award. Dan persaingan untuk mendapatkan Vincent.
Ia mengatakan pada mereka tentang Karina yang mencoba
mencekiknya. Tentang tikus di gitarnya. Dan penghancuran portfolio
karya seninya. Tentang Karina yang menghantamnya sampai pingsan dan
mengikatnya. Ia memperlihatkan kepada mereka memar-memar di
pergelangan tangannya. Delia menatap kedua pria itu bergantian. Mereka mempercayai
aku! ia memutuskan. Mereka percaya aku tidak bersalah. Mereka
percaya aku tidak membunuh Vincent.
Detektif Jamison berdiri. "Kami perlu mengecek semua ini," ia
menegaskan. "Terima kasih!" kata Delia. "Karina yang malang, dia begitu
kacau. Aku... aku... tidak akan merasa aman sampai..."
Detektif Jamison mengangkat satu tangannya. "Tenanglah. Kita
harus melangkah tahap demi tahap."
"Ceritamu menarik," partnernya menambahkan. "Tapi tidak ada
bukti fisik yang menghubungkan Karina dengan pembunuhan ini.
Tapi kau telah memberi kami lebih daripada cukup alasan untuk pergi
dan bicara dengan gadis itu."
"Aku ingin ikut Anda," kata Delia dengan tegang. "Aku bisa
menunjukkan pada Anda di mana dia..."
Jamison mengangkat jari telunjuk ke bibirnya. "Satu per satu,"
ia mengulangi. "Satu per satu."
Chapter 26 KENAPA hari berlalu begitu cepat" Delia bertanya dalam hati
sambil melangkah keluar dari kantor polisi yang kecil itu. Bagaimana
bisa tahu-tahu hari sudah malam"
"Ayo pulang, Sayang," kata ibu Delia dengan lembut. Ia
menahan pintu belakang mobil agar terbuka untuk Delia.
Delia memeluk dirinya sendiri dan mengawasi ketika kedua
detektif itu pergi dari kantor polisi dalam mobil polisi mereka. Mereka
tak ingin ia pergi ke rumah Karina bersama mereka.
"Kita mungkin berhadapan dengan seorang pembunuh," kata
Detektif Jamison kepadanya. "Kami tidak ingin membawamu dalam
bahaya." "Delia?" panggil ibunya.
Delia memandang kembali ke mobil orangtuanya sekilas. Aku
tak bisa pulang, pikirnya. Aku harus tahu apa yang terjadi di rumah
Karina! "Um... aku mau ke rumah Britty," kata Delia pada ibunya. "Dia
pasti sangat mencemaskan aku! Dan rumahnya hanya dua blok dari
sini." Ayah Delia mengerutkan kening. "Apa kau yakin" Kau
seharusnya tidak pergi sendirian"kau sudah mengalami hari yang
tidak menyenangkan."
"Aku baik-baik saja," Delia meyakinkan ayahnya. "Aku hanya
ingin bicara dengan Britty. Aku tidak akan lama."
Setelah orangtuanya masuk ke mobil mereka lagi, Delia
berjalan ke rumah Britty. Memang benar rumah Britty dekat. Begitu
juga rumah Karina. Aku akan bicara dengan Britty, kata Delia pada dirinya sendiri.
Tapi pertama-tama aku harus melihat Karina. Aku harus mengetahui
apakah dia memang si pembunuh!
Ia lari ke rumah Karina. Mobil polisi tadi sudah diparkir di
depan rumah Karina. Delia berhenti di belakangnya dan memandang
rumah itu. Rumah itu berdiri dalam kegelapan, setengah tersembunyi
di balik pohon willow tua.
Kedua detektif itu naik ke tangga serambi dan membunyikan
bel. Beberapa detik kemudian, lampu beranda itu menyala.
Karina melangkah keluar dalam cahaya kuning menyilaukan.
Karina memakai jeans dan sweatshirt. Dalam cahaya serambi
yang terang, Delia bisa melihat Karina habis menangis.
Delia berjingkat lebih dekat dan berusaha mati-matian untuk
mendengar percakapan itu.
"Mom!" Karina memanggil. "Mom!"
Ibu Karina muncul di belakang putrinya. "Bisa saya bantu?"
tanya Mrs. Frye. "Seorang teman anak Anda, Vincent Milano, terbunuh tadi
malam," Detektif Bender menegaskan dalam suara datar tanpa emosi.
Karina terisak keras. Matanya penuh air mata, tapi ia tidak
berteriak. "Kami tahu," Mrs. Frye menjawab sambil menghela napas.
"Saya yakin semua orang di Shadyside sudah tahu kabar mengerikan
itu saat ini." "Kami ingin bicara dengan Karina," kata Bender. "Boleh kami
masuk ke dalam?" Karina dan ibunya bertukar pandang. Karina mengatakan
sesuatu, tapi Delia tidak mendengar kata-katanya.
Ibu Karina menyilakan kedua detektif itu masuk. Pintu ditutup
di belakang mereka. Delia menghitung sampai sepuluh. Kemudian ia mulai
menyeberangi rumput di halaman depan.
Aku tidak bisa hanya berdiri di sini, katanya pada dirinya
sendiri. Aku harus tahu apa yang sedang terjadi di sana.
Ia berhenti di balik pohon willow dan mengintip ke jendela
ruang tamu. Tirai-tirai itu tertutup. Ia tidak bisa melihat apa-apa.
Delia berjalan dengan cepat menuju samping rumah. Tangannya
menekan sirap, dan ia mendekat ke jendela samping.
Mencondongkan tubuhnya untuk melihat ke dalam.
Ia tercekat. Karina! Sedang menatapnya dari tengah-tengah ruang tamu itu!
Chapter 27 DELIA menarik kepalanya ke belakang. Terlambatkah"
Apakah Karina sudah memberitahu para detektif itu bahwa ia
telah melihat Delia"
Jantungnya berdebar keras, Delia menekan punggungnya ke
dinding. Dan menunggu. Menunggu suara pintu depan terbuka dan detektif-detektif itu
menghambur keluar, menariknya dari jendela.
Hening. Dengan hati-hati ia mencondongkan tubuhnya ke jendela lagi.
Karina telah menoleh menghadapi Bender dan Jamison.
Whew! Delia menghela napas panjang. Karina tidak melihatnya
sama sekali. Sambil menahan napas, Delia menyipitkan matanya, melihat
lewat jendela ke dalam ruang tamu itu. Karina duduk di samping
ibunya di sofa. Kedua polisi itu duduk tegang di kursi bersandaran
keras di seberang mereka.
Bender bicara. Kemudian Karina. Kemudian Bender bicara lagi.
Jamison menulis dengan cepat di bloknotnya yang kecil.
Aku ingin bisa mendengar apa yang sedang mereka katakan,
pikir Delia dengan sedih.
Pembicaraan itu berlangsung lama. Karina mengepalkan
tinjunya, kemudian membukanya. Pertanda ia agak tegang.
Tiba-tiba mereka semua berdiri.
Delia mengawasi Karina dan ibunya mendahului ke tangga.
Aku harus melihat ini, kata Delia pada dirinya sendiri.
Aku tidak bisa berdiri di luar sini tanpa menyaksikan semuanya.
Aku harus tahu apa yang terjadi. Aku harus!
Delia mengenal seluk-beluk rumah itu. Ia sering datang ke
rumah itu sejak masih kanak-kanak.
Ia tahu pintu samping itu menghubungkan ke ruang baca. Dan
dari ruang baca, ia bisa sampai ke tangga belakang. Kamar Karina
terletak di ujung gang itu.
Dengan diam-diam, sambil menahan napas, Delia membuka
pintu samping... dan menyelinap masuk ke dalam rumah.
Beberapa detik kemudian ia sudah menapaki anak tangga yang
berkarpet. Dari kamar Karina, ia mendengar suara-suara pelan, laci
terbuka dan tertutup, botol-botol berdentingan.
Ia sampai di gang dan buru-buru menyeberang. Ia mengintip
lewat celah di bingkai pintu Karina.
Kanopi besar di ranjang Karina mendominasi kamar itu. Seprai
berenda putih menutup ranjangnya, dan di atas seprai itu diletakkan
setumpuk bantal merah muda dan boneka-boneka binatang yang
empuk. Aku berharap para detektif itu tidak tertipu oleh semua
kemanisannya ini, pikir Delia. Kuharap mereka tahu kejahatan yang
dibuat Karina. Ia menggeser posisinya dengan cepat. Sekarang ia bisa melihat
Detektif Jamison sedang memeriksa pakaian di dalam lemari Karina.
Delia mempelajari wajah Karina. Karina tampak benar-benar
dapat mengontrol diri. Dengan tegang ia memberi komentar sedikit
pada kedua detektif sewaktu mereka sedang menggeledah.
"Itu piala voliku," katanya pada Detektif Bender. Sang detektif
mengembalikannya ke lemari riasnya.
Detektif Jamison menutup lemari dan memeriksa di bawah
ranjang. Ia menarik keluar sebuah kotak berbunga-bunga.
"Aku suka menyimpan pesan-pesan dari teman-temanku. Aku
memasukkan semuanya di sini," Karina menjelaskan.
Apa dia sedang mencoba bersahabat dengan mereka atau ada
sesuatu" pikir Delia. Dia kok jadi suka mengobrol.
Karina berbalik ke Detektif Bender ketika detektif itu sedang
menarik laci atas meja riasnya. "Anda tidak akan menemukan apa-apa
di sana," katanya. "Hanya pakaian-pakaian."
Detektif Bender tidak menyahut. Ia menyingkap setiap
tumpukan pakaian, kemudian melanjutkan ke laci sebelahnya.
Mrs. Frye bersandar dengan cemas di pintu lemari. "Apa yang
sedang Anda cari?" desaknya tak sabar. "Ini cuma membuang waktu
Anda. Kami setuju bekerja sama. Tapi saya tidak mengira Anda akan
memeriksa kamar Karina. Maksud saya..."
"Kemarilah," Detektif Bender memanggil partnernya. Bender
membungkuk, memeriksa laci meja rias paling bawah.
"Apa ini?" tanya Jamison.
"Aku menemukan sesuatu yang sangat menarik," sahut Bender.
Chapter 28 DELIA menahan napas. Wajah Karina berubah merah. Ia menghambur ke detektif itu
dan melihat ke laci bawah. Ia membuka dan menutup mulutnya. Tak
bisa bicara. Mrs. Frye buru-buru menuju ke samping putrinya. "Aku tidak
mengerti..." "Tidaaaaak!" Karina meratap.
Suara itu bagaikan menyobek tenggorokannya. "Tidak! Tak
mungkin! Itu bukan milikku!"
Detektif Bender menggelengkan kepala. Ia menatap Karina
dengan mata birunya yang tajam. "Ini ada di lacimu. Bisakah kau
menjelaskan ini pada kami?"
Aku harus melihat ini, pikir Delia. Ia beringsut lebih jauh ke
pintu. Detektif Jamison meraih ke dalam laci dan mengangkat keluar
sehelai kertas buku catatan. Ia memegangnya di salah satu sudutnya,
menyentuhnya sesedikit mungkin.
Delia melangkah ke depan lagi, dan melihat cetak bibir ungu di
Fear Street - Ciuman Maut Killers Kiss di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kertas itu. Detektif Jamison memasukkan tangannya ke laci itu lagi dan
menarik keluar selembar tisu dengan cetak bibir ungu tua di atasnya.
Ia menarik keluar cetak demi cetak bibir Delia.
Apa yang bisa dikatakan Karina sekarang" Delia bertanyatanya. Bagaimana dia akan pernah bisa menjelaskan ini"
Chapter 29 "ADA cetak bibir ungu di pipi Vincent Milano ketika kami
memeriksa mayatnya," Detektif Jamison menjelaskan kepada Karina
dan ibunya. "Sebuah cetak bibir warna ini, bentuk ini."
"Tapi... tapi...," Karina tergagap.
"Kami percaya bahwa pembunuh Vincent meletakkan cetak
bibir di sana dengan menekan selembar kertas"seperti salah satu dari
ini"di wajahnya."
Mrs. Frye terhuyung ke ranjang Karina. Sekujur tubuhnya
gemetar. Karina terisak. "Aku tidak membunuh Vincent. Aku sayang
pada Vincent"lebih daripada orang lain di dunia ini. Dan dia pun
sayang padaku." Delia tidak bisa menahan dirinya lebih lama lagi.
"Tidak!" jeritnya. "Dia tidak peduli padamu! Dia tidak peduli!
Jadi, kau membunuhnya! Kau membunuh dia! Satu-satunya cowok
yang pernah kucintai!"
Karina terkesiap dan berputar menghadapinya.
"Delia" Apa yang sedang kaulakukan di sini?" desaknya.
"Kami menyuruhmu menunggu," kata Bender dengan berang.
Detektif-detektif itu menatap Delia.
Tapi sebelum mereka menghampirinya, Karina lari
menyeberangi kamar itu. Ia menangkap pinggang Delia dan
membanting Delia ke lantai.
Delia menahan napas. Bintik-bintik putih melayang-layang di
depan matanya. "Karina... hentikan!" ia mendengar Mrs. Frye memohon.
"Hentikan!" Karina berteriak marah, seperti seekor binatang.
Delia mati-matian berusaha mendorong Karina.
Kedua detektif itu memegangi bahu Karina dan menariknya dari
Delia. Dengan menjerit marah lagi, Karina melepaskan salah satu
tangannya dan mencakar pipi Delia dengan kukunya.
Kemudian ia menghambur ke pelukan ibunya.
"Aaaaaiiii!" Delia menjerit kesakitan.
Tangannya diangkat ke atas untuk melindungi wajahnya.
Ia merasa darah panas mengalir di pipinya. Merasakan gelenyar
kesakitan yang tajam menyapu tubuhnya.
"Aku tidak membunuh dia! Aku tidak membunuh dia!" Karina
menjerit, matanya liar, sekujur tubuhnya gemetar, di luar kendali.
"Aku tidak membunuhnya! Aku tidak membunuhnya!"
Mrs. Frye memeluk Karina erat-erat. Ia berbisik ke telinga
Karina. Karina menarik napas dengan susah payah. Wajahnya merah
padam. "Tenanglah, tenanglah," bisik Mrs. Frye. "Kita akan meluruskan
ini." Delia tetap menutupi wajahnya, takut Karina mungkin akan
menyerangnya lagi. "Kalau aku melepaskanmu, apa kau berjanji tidak akan
menyerang Delia lagi?" desak Mrs. Frye lembut.
Delia menurunkan kedua tangannya.
Karina menarik napas panjang, kemudian mengangguk.
Kedua detektif itu mengawasi dengan hati-hati ketika Mrs. Frye
melepaskannya. "Aku sayang pada Vincent, dan dia sayang padaku!" teriak
Karina. "Dia sayang! Aku tahu dia sayang!"
"Tidak apa-apa, Sayang," bujuk ibunya sambil membuai
tubuhnya. "Semuanya tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja."
"Kami perlu membawa Anda dan putri Anda ke kantor polisi,"
kata Detektif Jamison. "Saya sarankan Anda memanggil seorang
pengacara sekarang juga."
Mrs. Frye mengangguk. Ia memegang Karina erat-erat.
"Karina yang malang," Delia bergumam.
Kemudian ia mengikuti kedua detektif itu menuruni tangga.
Keluar ke pintu depan. Ke udara malam yang dingin.
Apakah ini sudah selesai" tanya Delia pada dirinya sendiri,
sambil menarik napas panjang.
Apakah ini akhirnya selesai"
Chapter 30 GABE melangkah mundur dan membukakan pintu untuk Delia.
"Kau baik sekali, menyarankan kita melakukan ini," katanya.
"Terutama malam ini. Di malam pesta dansa."
Ia tak bisa berhenti menatap Delia. Delia memakai gaun pesta
yang dirancangnya sendiri. Satin ungu panjang berkerah tinggi, dan
punggung yang terbuka rendah.
"Aku ingin," sahut Delia sambil mereka berjalan melintasi
tempat parkir. "Aku dan Karina dulu bersahabat... dulu sekali. Aku
sedih sekali memikirkan dia menghabiskan malam pesta seniornya di
tempat mengerikan seperti ini."
Gabe membuka salah satu pintu ganda yang menghubungkan ke
Rumah Sakit Jiwa Shadyside. "Datang ke sini selalu membuatku
merasa agak mual," ia mengakui. "Aku tidak tahu apakah ini karena
baunya atau..." "Apa kau sering mengunjungi Karina?" tanya Delia.
"Ya. Sekali seminggu atau begitulah," jawab Gabe.
Dengan sepatu tumit tingginya, Delia sama tinggi dengan Gabe.
Diciumnya pipi cowok itu. "Kau manis sekali," komentarnya.
Gabe tidak tahu apakah dirinya memang benar-benar manis.
Lebih tepat kalau dikatakan ia merasa harus melakukan itu.
Ia masih saja menyesali, kenapa ia tidak menyadari bahwa ada
yang tidak beres dengan Karina. Kalau saja ia dapat melakukan
sesuatu untuk menolong Karina"sebelum cewek itu benar-benar gila.
Sebelum Karina menjadi begitu putus asa, hingga harus
membunuh. "Tunggu di sini," kata Gabe. Ia berhenti di sebuah sofa di dekat
pintu ruang tunggu, sementara Delia duduk. "Aku akan bicara dengan
perawat di meja pendaftaran."
Gabe buru-buru menghampiri perawat itu. Ia ingin cepat-cepat
kembali ke Delia. Ia masih tak percaya bahwa ia sudah keluar dengan cewek itu
sejak tiga minggu yang lalu. Dan ia tak dapat percaya bahwa Delia
adalah teman kencannya ke pesta dansa senior di Shadyside.
"Kami ke sini untuk mengunjungi Karina Frye," katanya kepada
perawat di meja itu. Perawat itu mengecek sebuah bagan. "Dokternya sedang
bersama dia sekarang. Tapi dia akan selesai sebentar lagi."
"Terima kasih." Gabe berbalik dan menuju Delia lagi. Ia duduk
dekat Delia, cukup dekat untuk mencium bau parfumnya yang
beraroma bunga. "Kita harus menunggu beberapa menit."
"Tak apa-apa." Delia merapat lebih dekat kepadanya.
"Seharusnya aku bahagia Karina ada di sini," katanya. "Paling tidak,
aku tahu dia akan mendapatkan pertolongan yang dia butuhkan." Delia
menghela napas. "Dan aku tidak harus mencemaskan dia lagi"
mencemaskan hal-hal mengerikan yang akan dia lakukan padaku
berikutnya. Tapi sekolah terasa tidak sama tanpa dia. Aku hampir tak
bisa membayangkan lulus tanpa Karina di sana."
"Hei! Ini malam pesta dansa kita!" Gabe mengingatkan. "Akan
jadi malam paling indah dalam hidup kita. Bukan saatnya bersedih."
Ia membetulkan kerah kemeja tuksedonya. "Disamping itu,
tahun depan kau akan melanjutkan ke sekolah mode di New York.
Pikirkan saja soal itu, Delia. Pemenang Conklin Award. Lepas di New
York City!" Delia memainkan dasi kupu-kupu Gabe. "Conklin Award." Ia
menghela napas sambil menggelengkan kepala.
Gabe menatapnya. "Kenapa kau berkata seperti itu?"
"Sebenarnya aku tidak ingin menang dengan cara ini," sahut
Delia. Seulas senyuman aneh mengembang di wajah Delia. Seulas
senyuman yang tidak pernah dilihat Gabe sebelumnya. Seulas
senyuman penuh arti. Hampir-hampir kejam.
"Kalau saja Karina tahu, betapa banyak yang telah dia miliki,"
kata Delia dengan pelan. Alis Gabe naik. "Apa" Apa yang dia miliki?"
"Dia memiliki Vincent. Dan dia memiliki Conklin Award,"
jawab Delia, masih tersenyum.
Ia memiringkan dasi kupu-kupu Gabe di satu sisi, kemudian sisi
lainnya. Matanya berkilat puas. Senyuman aneh itu tetap tersungging
di bibirnya. "Karina akan menang, kau tahu," katanya pada Gabe. "Dia akan
memenangkan kedua-duanya. Kalau aku membiarkannya."
Rasa merinding turun ke punggung Gabe. Ia melepaskan diri
dari Delia. Dan menatapnya tajam. "Delia, apa maksudmu?" tanyanya bernada menuntut.
Chapter 31 "APA katamu?" desak Gabe. "Apa maksudmu... kau tidak
membiarkan dia menang?"
"Aku mengambil alih," kata Delia sambil tersenyum, senyuman
tajam. "Apa kau belum paham" Aku mulai dengan yang kecil. Kau
tahu. Memasukkan tikus itu ke dalam gitarku dan mencorengkan
lipstik ungu di lukisanku."
Ia mengelengkan kepalanya. "Mendapatkan tikus itu sangat
menjijikkan! Aku harus menggali di dalam tong sampah besar di
belakang sekolah." Gabe mengeluarkan teriakan tercekik.
Delia tampak tidak memperhatikan betapa terkejutnya Gabe.
Ia melanjutkan ceritanya. "Tapi tipuan-tipuan kecil itu tidak
akan cukup. Karina terlalu cantik. Dan terlalu berbakat. Para juri
menyukainya. Jadi, aku harus melakukan sesuatu yang lain. Sesuatu
yang lebih..." Gabe ingin melompat dan lari. Tiba-tiba ia tidak tahan duduk
begitu dekat dengan Delia. Tidak tahan dengan senyuman jahatnya
atau matanya yang berkilat-kilat senang.
Tapi ia tidak dapat bergerak.
Beku karena terkejut"dan ketakutan"tapi ia perlu mendengar
lebih banyak. Senyuman Delia lenyap. Cahaya di matanya meredup.
"Kemudian aku memergoki Vincent bercumbu dengan adikku yang
menjijikkan itu," ia mengerang dengan pahit. "Iih. Hanya memikirkan
itu saja perutku mual."
Delia menatap lantai. Tiba-tiba Gabe merasa dingin dan gemetar; ia menunggu Delia
melanjutkan. "Kukira saat itulah aku memperhitungkan apa yang akan
kulakukan," Delia memulai lagi dalam sebuah bisikan. "Aku tidak
dapat membiarkan Vincent begitu saja. Aku tak bisa membiarkan dia
mencium adikku di depan mataku."
Suaranya menjadi geram. Geram penuh kemarahan.
"Aku kehilangan semuanya. Segalanya. Vincent. Adikku.
Conklin Award itu. Aku melihat semuanya lenyap."
Ia mengerjapkan matanya. "Lalu tiba-tiba aku tahu apa yang
harus kulakukan. Aku harus membunuh Vincent," Delia membuat
pernyataan itu hampir-hampir dengan nada ceria. "Aku harus
membunuh dia karena dia lebih menyukai Karina daripada aku. Dan
karena dia mencium adikku. Mencium adikku. Mencium adikku...
Dan kalau aku dapat menimpakan kesalahan itu pada Karina, semua
masalahku akan terpecahkan!"
Delia mengeluarkan lipstiknya dari dompet. Ia memoleskan
lapisan segar di bibirnya. Ia menarik keluar selembar tisu dari kotak di
meja. Kemudian ia mengeringkan bibirnya, meninggalkan cetak bibir
ungu tua. Gabe tidak bisa menghentikan rasa merindingnya yang merayap
turun ke punggung. "Jadi, kau... membunuh Vincent" Pagi setelah pesta itu?" ia
tercekik. "Tidak," Delia menembak balik. "Vincent tidak pernah
mengantarku pulang malam itu. Aku membunuhnya setelah semua
orang pergi. Aku telah merencanakan semuanya."
Senyuman jahat Delia kembali tersungging. "Aku begitu cerdik,
Gabe. Aku telah merencanakan semua itu. Aku membunuh Vincent.
Dan aku menggunakan cetak bibir di selembar kertas persis seperti ini,
untuk membuat tanda di wajah Vincent."
"Dan cetak bibir di laci meja rias Karina?" tanya Gabe lagi.
Delia tertawa. "Aku menyelinap masuk ke rumah Karina
sementara dia ada di pesta. Aku meletakkannya di dalam lacinya."
Delia mencebik. "Kemudian aku harus menyobek gaunku
sendiri. Sayang sekali. Aku menyukai gaun itu. Aku merancangnya
sendiri. Merah, dengan semua manik-manik itu."
Ia menghela napas. "Bagian yang paling sulit adalah
mememarkan pergelangan tanganku. Itu benar-benar menyakitkan.
Tapi ternyata tidak sia-sia, kan" Semua itu tidak sia-sia."
Ia menarik kepalanya ke belakang dan menatap Gabe, seakan
baru melihatnya untuk pertama kali.
"Wow. Aku sudah bicara dan bicara." Ia mengangkat satu
tangannya ke wajah. "Apa yang membuatku mulai bicara" Aku tidak
tahu...." Gabe merasa pipinya panas. Ia tahu pipinya merah padam. Ia
membuka mulutnya untuk bicara. Tapi tak ada kata-kata yang keluar.
"Aku merasa harus memberitahu seseorang," Delia
melanjutkan. "Kau tampak kaget sekali. Tapi kau tidak akan
mengadukan aku, kan, Gabe?"
Ia mencium pipi Gabe. Gabe menelan ludah keras-keras. Ia membayangkan cetak bibir
ungu di pipinya. "Kau tidak akan mengadukan aku, kan?" tanya Delia dengan
suara seperti anak kecil. "Iya, kan?"
Ia mencium telinga Gabe. Mencium pipinya. Dagunya. Pipi
satunya. Di cermin ruang tunggu itu, Gabe memandang wajahnya
sekilas, berlepotan warna ungu.
Delia mencium Gabe. Menciumnya lagi.
Mencium keningnya, pipinya.
"Kau tidak akan mengadukan aku, kan" Kau tidak akan
melupakan apa yang telah kulakukan pada Vincent. Iya, kan?"
Gabe manatap tak berdaya ke bayangannya, wajahnya,
berlepotan noda-noda ungu tebal.
"Iya, kan" Iya, kan?" Delia terus mengusapkan bibirnya di kulit
Gabe. "Iya, kan, Vincent" Maksudku Gabe."
Sebuah suara membuat Gabe menoleh.
Lewat pundak Delia, ia melihat seorang dokter memakai jas
putih berdiri dengan wajah kaku di pintu masuk.
"Aku mendengar semua cerita itu," kata dokter itu pada Gabe.
"Aku akan menelepon polisi."END
Fear Street - Ciuman Maut Killers Kiss di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pedang Keadilan 27 Pendekar Rajawali Sakti 151 Pendekar Pedang Bayangan Pendekar Pemanah Rajawali 38
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama