Fear Street - Tantangan The Dare Bagian 1
Prolog Sungguhkah aku akan melakukannya"
Pertanyaan itu berulang kali muncul di benakku ketika aku
berjalan di halaman belakang rumahku.
Pistol di genggamanku terasa panas, seolah-olah hampir
meletus. Sungguhkah aku akan melakukannya"
Apakah aku benar-benar punya pistol yang berisi peluru di
tanganku" Apakah aku benar-benar akan menembakkannya"
Johanna Wise, pembunuh. Itukah julukanku sekarang"
"Dia gadis pendiam. Agak penakut." Itulah yang akan
diungkapkan para tetanggaku tentang diriku di koran. "Dia tinggal
bersama ibunya yang sudah bercerai. Mereka miskin. Johanna tidak
punya banyak teman. Tapi dia selalu tersenyum manis kepada setiap
orang. Siapa yang pernah menduga?"
Ya, siapa yang pernah menyangka bahwa Johanna Wise
seorang pembunuh" Atau kubatalkan saja niatku.
Mungkin aku tidak perlu berjalan mengendap-endap menuju
halaman tetangga sebelah rumahku untuk membunuh guruku.
Maksudku, apakah aku sungguh-sungguh akan membunuh
guruku hanya karena tantangan konyol"
Mungkin ini hanyalah salah satu fantasiku.
Aku punya begitu banyak fantasi gila-gilaan akhir-akhir ini.
Aku membayangkan banyak sekali peristiwa yang menakutkan.
Mungkin ini hanyalah salah satu fantasiku.
Perutku sakit sekali. Sakit perut terhebat yang pernah
kurasakan. Tanganku berkeringat. Aku betul-betul takut. Sungguhkah aku akan melakukannya"
Ya. Aku mengangkat pistolku. Aku menekan pelatuknya. Setelah membunuhnya, aku akan merasa lebih lega.
BAB 1 KURASA kejadian itu dimulai beberapa minggu yang lalu di 7Eleven, minimarket di
ujung Mission Street, jalan yang melewati mall.
Saat itu pukul delapan lewat sedikit. Malam yang dingin dan
cerah. Aku ingat waktu itu sedang mengamati bintang-bintang yang
kelihatan kecil seperti serpihan salju.
Aku dan Margaret Rivers, sahabat karibku, sedang meluncur
dengan Geo kecil putih milik Margaret menuju 7-Eleven. Kami akan
membeli hot dog. Percaya atau tidak, itu makan malamku.
Kalian tahu, Mom bekerja rangkap semenjak beliau dan Dad
bercerai. Mom bekerja sampai larut malam. Kadang-kadang aku tidak
bertemu dengannya selama beberapa hari. Aku tidak ingat saat
terakhir kami berdua menikmati makan malam bersama.
Aku dan Margaret berdiri di depan meja layan untuk memesan
hot dog. Aku sangat lapar. Setiap orang pasti mengira aku kurang
makan, karena badanku kurus sekali, tapi itu tidak benar.
Penampilanku dan penampilan Margaret benar-benar bertolak
belakang. Tapi mungkin itu yang menjadikan kami teman akrab.
Tubuhku pendek dan sangat kurus. Rambutku panjang, lurus, dan
hitam - satu-satunya keistimewaanku - dan mataku cokelat gelap.
Hidungku terlalu mancung, dan aku benci belahan di daguku - tapi itu
cerita lain. Margaret hampir sekepala lebih tinggi daripada aku. Badannya
gembrot. Dia masih berusaha menghilangkan lemaknya - itu yang
selalu dikatakannya. Rambut ikalnya berwarna cokelat kemerahan.
Wajahnya penuh bintik-bintik. Dia tidak terlalu cantik, tapi dia teman
yang baik sekali dan selalu bisa membuatku tertawa.
Musim dingin ini, setelah perceraian orangtuaku, aku sangat
membutuhkan teman yang dapat membuatku tertawa. Aku cenderung
melihat sisi gelap satu masalah.
Kalian pernah memperhatikan bagaimana orang melihat gelas
yang terisi sebagian" Ada yang mengatakan gelas itu setengah penuh,
yang lain menganggapnya setengah kosong. Nah, aku termasuk
kelompok yang akan mengatakan bahwa gelas itu setengah kosong
dan retak. Lagi pula, siapa sih yang peduli dengan segelas air yang
konyol" Aku mudah tertekan. Kuakui hal itu.
Karena itu beruntung sekali aku punya teman dekat seperti
Margaret Rivers. Aku dan Margaret mungkin tidak punya gaun-gaun aksi atau
naik mobil mewah. Kantong kami kosong hampir sepanjang waktu,
tapi kadang-kadang bisa juga kami bersenang-senang, meski kami
tinggal di kota kecil seperti Shadyside.
"Kami kehabisan moster," kata pelayan 7-Eleven, sambil
menyodorkan dua hot dog di atas meja layan kepadaku. Dia laki-laki
setengah baya, kepalanya botak di depan. Perutnya yang gendut
menonjol di balik sweter hijau.
"Rasanya tawar dong," kataku padanya.
"Yaa, begitulah," gumamnya tak jelas. Dia menyerahkan hot
dog itu, kemudian melemparkan dua hot dog mentah ke dalam mesin.
"Hei, Johanna - lihat." Margaret memegang hot dog dengan
tangan kirinya dan menyentuhku dengan tangan kanannya.
Aku mengikuti pandangan matanya ke bagian belakang toko
itu. Terdengar suara tawa dan teriakan-teriakan. Aku melihat
segerombolan remaja yang kukenal. "Apa yang mereka lakukan di
sini?" aku berbisik kepada Margaret.
Lima orang remaja berdiri mengelilingi mesin Slurpy. Aku
hanya mengenal mereka sepintas lalu - mereka kakak kelasku - tapi
wajah mereka tak asing bagiku karena aku dan Margaret mengikuti
beberapa mata pelajaran bersama mereka.
Mereka anak-anak terkaya di Shadyside High. Aku tahu pasti
mereka tinggal di North Hills, bagian kota yang mentereng. Rumahrumah di sana
sangat besar. Halaman rumputnya terawat rapi. Pagarpagar tanaman yang tinggi
seolah-olah menjadi pembatas agar gembel
seperti aku dan Margaret tidak dekat-dekat mereka.
Mereka tertawa-tawa, saling mendorong, dan membanting gelas
Slurpy ke lantai. Hanya untuk bersenang-senang belaka.
Aku melihat Dennis Arthur dan pacarnya, Caitlin Munroe. Aku
suka Dennis. Kami mengikuti pelajaran matematika lanjutan bersama-sama.
Dia pernah mengizinkan aku menyontek kertas kerjanya waktu
ulangan. Dennis pemuda yang lumayan baik. Dan wajahnya sangat
tampan. Rambutnya yang hitam dipotong pendek dan matanya hijau.
Dia bintang tim atletik di Shadyside dan itu terlihat dari
penampilannya. Gadis bernama Melody Dawson ada di sana juga. Dia gadis
yang sok pamer. Melody sedang bercanda dengan Lanny Barnes dan
Zack Hamilton. Zack berperawakan besar, seperti pegulat. Rambutnya yang
keriting berwarna merah. Zack selalu memakai sunglasses biru cerah
tak peduli hari masih pagi atau sudah malam. Di kelas Zack suka
membual tentang hubungannya dengan salah satu Bapak Negara,
Alexander Hamilton. Mungkin itu betul. Aku tak tahu.
Dan apakah aku peduli" Tentu saja tidak.
Aku menggigit hot dogku. Dingin. Aku dan Margaret
mengawasi kelima anak itu dengan sembunyi-sembunyi.
"Aku menantang kamu," kudengar seorang di antara mereka
berkata. Itu pasti Lanny.
"Aku menantang balik kamu!" yang lain balas berteriak.
Dennis mulai menuang cairan Slurpy ungu itu ke dalam gelas,
dan Lanny meninju gelas itu hingga terlepas dari tangannya. Cairan
ungu itu tumpah ke atas sepatu kets putih Dennis.
"Hei...!" Dennis pura-pura meninju bahu Lanny.
Lanny menuang cukup banyak cairan itu ke tangan Dennis.
Lalu mereka berjabatan tangan.
Aku dan Margaret tertawa. Lucu sih. Namun pelayan toko itu
cemberut. Tampaknya dia mulai marah.
Pertarungan Slurpy makin seru.
Caitlin dan Melody saling mencipratkan cairan ungu itu.
Sebagian jatuh di atas kepala Melody dan menetes di rambut
pirangnya yang indah. Dennis tertawa, suaranya seperti lolongan serigala. Mendadak
dia menghentikan tawanya ketika Zack dan Lanny menuang cairan
ungu itu ke jaket merah dan abu- abu Shadyside High-nya.
Sekarang kelima anak itu tergelincir dan meluncur. Lantai
penuh genangan cairan ungu. Lanny terjatuh. Pemuda itu terlentang di
lantai dan meluncur di atas punggungnya. Kemudian Zack jatuh
terlentang menimpanya. Lagi-lagi Dennis tertawa seperti lolongan
serigala. Semua orang tertawa, termasuk aku dan Margaret. Suasana
menjadi ingar-bingar. "Hentikan sekarang juga! Aku akan panggil polisi! Aku
sungguh-sungguh akan panggil polisi!"
Teriakan berang pelayan itu membuat semua orang
menghentikan tawanya. Kulihat wajah pelayan itu hampir seungu
cairan Slurpy. Pembuluh darahnya menonjol di lehernya. Tampaknya
kepala laki-laki itu hampir meledak. Sungguh.
Di bagian belakang toko, Lanny mencoba berdiri. Tapi Zack
masih terlentang di lantai. Mesin Slurpy masih menyala. Cairan ungu
mengalir deras ke atas linoleum.
Dennis membantu Zack berdiri, tapi Zack malah menariknya ke
lantai. Dan semua orang tertawa terbahak-bahak.
"Kalian pikir bisa berbuat semau kalian!" pelayan dengan wajah
merah itu menjerit. Dia segera menghambur dari balik meja layan,
sambil mengepalkan tinjunya kepada mereka.
Oh, tidak. Kupandang Margaret sekilas dengan waswas.
Apakah laki-laki itu akan berkelahi dengan mereka"
Suasana menjadi panas. Margaret meraih lenganku. Kukira dia bahkan tidak sadar kalau
sedang memelukku. Pelayan toko berjalan dengan susah payah menghampiri kelima
anak itu. Perutnya yang gendut bergoyang-goyang ketika berjalan.
Napasnya ngos-ngosan dan dia mengacung-acungkan tinjunya dengan
geram. "Aku akan panggil polisi! Aku akan panggil polisi sekarang
juga!" Dennis dan Zack berusaha berdiri. Tiba-tiba wajah Melody dan
Caitlin tampak ketakutan.
"Jangan," Dennis berkata dengan tenangnya.
"Hah" Apa katamu?" teriak pelayan itu sekuat tenaga.
"Aku berkata jangan panggil polisi," Dennis mengulangi
dengan kalemnya. Kemudian kulihat pistol di tangan Dennis.
Margaret pasti melihatnya juga, sebab dia mencengkeram
lenganku semakin erat. Aku tak punya waktu untuk berteriak atau berbuat sesuatu.
"Kau tidak akan memanggil siapa pun," kata Dennis dengan
dingin kepada pelayan itu.
Kemudian dia menarik pelatuknya.
BAB 2 AIR memancar dari pistol itu dan membasahi kemeja pelayan
toko. Anak-anak itu bersorak-sorai, tertawa berderai-derai, dan
melakukan tos. "Dennis, kau hebat!" Lanny berteriak gembira. "Kau memang
hebat!" Pelayan toko itu sangat marah. Saking marahnya, uap seakanakan keluar dari
kepalanya yang botak. Aku dan Margaret masih berdiri berdekatan di bagian depan
toko. Kami juga tertawa terbahak-bahak.
Pesawat telepon umum tergantung di dinding belakang. Dengan
gusar, pelayan itu menyambar gagangnya. Dia menariknya kuat-kuat,
seolah-olah akan mencopot pesawat itu dari dinding.
"Aku akan menelepon polisi," katanya geram.
Tapi kemudian Zack mengambil dompetnya. Dia mengeluarkan
beberapa lembar uang kertas, lalu menjejalkan uang itu ke dalam
kantong baju si pelayan. "Ini untuk membayar Slurpy," katanya. "Dan
barang-barang yang berantakan."
Lalu kelima anak itu berbaris melewati kami. Wajah mereka
dihiasi senyum puas. Mereka berjalan melewati pintu kaca menuju
tempat parkir. "Hanya karena kaya, mereka pikir bisa berbuat seenak
perutnya," gumam pelayan toko sambil melihat genangan cairan ungu
itu. "Dia bicara dengan kita atau dengan dirinya sendiri?" bisik
Margaret. Aku mengangkat bahu. Mereka berlalu cepat sekali. Aku tak yakin apakah anak-anak
Shadyside itu melihat aku dan Margaret. Namun ketika aku melihat
sekilas ke arah pintu, Dennis Arthur sedang menatapku.
Aneh, pikirku. Kurasakan wajahku memerah.
Mengapa dia memandangku dengan tersenyum aneh"
Aku menimbang-nimbang apakah harus melambaikan tangan
kepadanya atau tidak. Tapi sebelum aku mengambil keputusan, Caitlin
sudah menariknya pergi. **********************************************
Mr. Northwood, guru sejarahku, berperawakan jangkung dan
kurus. Dia selalu membungkukkan bahu dan menundukkan kepalanya,
seakan-akan tidak ingin tubuhnya sejangkung itu. Rambutnya tebal
dan berombak. Dulu mungkin warnanya cokelat, tapi sekarang hampir
seluruhnya abu-abu. Matanya biru pucat dan raut wajahnya tajam.
Garis-garis kerutan tampak nyata di pipinya.
Laki-laki itu seperti Abe Lincoln tak berjanggut atau mungkin
Clint Eastwood kalau sedang sedih.
Dia manusia aneh. Kebiasaannya juga aneh. Dia selalu mengenakan baju berleher
tinggi. Tidak peduli apakah itu kemeja atau sweter. Padahal model itu
tidak cocok, karena jakunnya besar dan menonjol. Jakunnya selalu
naik-turun tepat di ujung kerah bajunya.
Sifat aneh Mr. Northwood lainnya, dia selalu merekam segala
sesuatu. Sungguh. Segala macam hal. Dia punya tape recorder mini
berwarna keperakan yang dibawa-bawanya terus dalam saku.
Ketika pelajaran dimulai, dia meletakkan tape recorder-nya di
atas meja dan menekan tombol "on". Jika pelajaran selesai, dia
menekan tombol "off", mengeluarkan kaset kecil, lalu memasukkan
alat perekam itu kembali ke dalam saku kemejanya.
Aneh, kan" Keanehan lainnya punya guru seperti Mr. Northwood adalah
karena dia juga tetanggaku. Di Fear Street. Tapi masalah itu tidak
Fear Street - Tantangan The Dare di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan kita bahas sekarang.
Esok harinya setelah kejadian di 7- Eleven, aku duduk di
bangku belakang mengikuti pelajaran sejarah. Aku setengah
mendengarkan suara Mr. Northwood, setengah melamun.
Sebentar-sebentar kutengok jam dinding di atas kepala Mr.
Northwood. Pelajaran hampir usai. ebukkulawas.blogspot.com
Dari jendela, kulihat langit kelabu dan mulai gelap. Aku kuatir
salju akan turun. Semoga saja tidak. Aku ingat, sarung tangan wol
merahku hilang entah ke mana. Aku tak punya uang untuk membeli
sepasang sarung tangan lagi.
Ketika Mr. Northwood mematikan tape recorder-nya dan
memasukkannya ke saku, aku langsung memasukkan Trapper Keeperku ke dalam ransel.
"Selesai," kata Mr. Northwood pelan dengan suaranya yang
tinggi melengking. Aku meloncat berdiri. Kurapikan ujung sweter katun putihku
dan menariknya turun di atas celana denimku yang sudah belel.
Kuletakkan ranselku di lantai, dan memberitahu Margaret bahwa aku
akan menunggunya di koridor. Lalu aku berjalan ke depan kelas.
Aku harus berkonsultasi dengan Mr. Northwood soal makalah
yang sedang kutulis tentang Charles Lindbergh, penerbang kawakan
itu. Belum jelas bagiku apakah dia hanya menyuruhku menulis
tentang karier Lindbergh, atau sekalian dengan peristiwa penculikan
bayinya. Aku berjalan ke depan, tapi kulihat Dennis Arthur sudah
mendahuluiku. Mr. Northwood mengatakan sesuatu kepadanya, dan
Dennis menanggapinya dengan marah.
Aku langsung menghentikan langkahku ketika mereka mulai
berdebat. Kelas sudah kosong. Aku mundur selangkah, dan selangkah
lagi, sampai menempel di tembok.
"Saya ingin tanya, kenapa saya tidak boleh mengikuti ujian
tengah semester!" Dennis berteriak melengking sambil menggerak-gerakkan
tangannya. Bahkan dari belakang ruangan itu, aku bisa melihat
matanya yang hijau berkilat-kilat penasaran. Dennis sangat marah.
"Keluarga saya selalu pergi ke Bahama di bulan Februari,"
lanjut Dennis sambil menyilangkan tangannya di depan sweter tebal
warna biru angkatan laut. "Apa yang harus saya lakukan, Mr.
Northwood... tinggal di rumah saja supaya bisa mengikuti ujian
Anda?" Mr. Northwood menggelengkan kepalanya. Garis-garis di
wajahnya tampak semakin dalam. "Semoga liburanmu
menyenangkan," katanya acuh tak acuh. "Kirimi aku kartu pos,
Dennis." "Saya tidak mengerti mengapa Anda tidak mau memberi ujian
susulan jika saya sudah kembali," pinta Dennis dengan tegas, sambil
membungkuk di meja guru, seolah-olah menantangnya. "Atau beri
saja saya soal yang bisa dibawa."
Mr. Northwood menggelengkan kepalanya, bibirnya yang pucat
membentuk kata tidak. "Mengapa tidak?" desak Dennis.
"Itu tidak adil terhadap teman sekelasmu," jawab sang guru
halus sambil menundukkan kepalanya. Dia sedang membereskan
buku-buku dan kertas-kertasnya.
Sebenarnya aku malu mendengarkan percakapan mereka.
Maksudku, aku tak ingin Dennis mengira aku menguping dengan
sengaja. Mungkin Dennis bahkan tidak tahu aku berada di ruangan itu.
Hilang sudah niatku untuk bertanya kepada Mr. Northwood.
Jadi aku diam saja di situ dan mendengarkan perdebatan mereka
yang semakin seru. Sambil bersandar di tembok, kubayangkan betapa
tampannya Dennis. Kubayangkan alangkah senangnya jika aku
menjadi Caitlin. "Jika saya dapat nilai F, tahukah Anda apa dampaknya?" teriak
Dennis. Dia tidak menunggu jawaban Mr. Northwood. "Saya tidak
memenuhi syarat lagi untuk menjadi tim atletik."
"Aku menyesal sekali," jawab Mr. Northwood. Ketika suara
Dennis makin keras, suara sang guru makin pelan. "Aku sungguh
menyesal, Dennis." "Tapi guru-guru yang lain memberi saya dispensasi!" seru
Dennis. "Mereka tahu saya akan bertanding tahun ini. Mereka tahu
saya bisa terpilih untuk ikut Olimpiade. Saya bisa menjadi bintang
nasional, Mr. Northwood. Saya pasti bisa."
"Aku juga berharap begitu," jawab Mr. Northwood sambil
mendongakkan kepalanya melihat jam dinding.
"Bagus! Jadi beri saya ujian susulan. Beri saya dispensasi,
oke?" pinta Dennis sambil menatap tajam mata Mr. Northwood yang
berair. "Menurut pendapatku, kau sudah terlalu banyak mendapat
dispensasi," jawab guru itu dengan tenangnya. Dia mulai memasukkan
buku-buku ke dalam tas kulitnya yang sudah usang. Beberapa saat
kemudian dia berhenti dan menatap Dennis. "Beri aku satu alasan
yang bagus, kenapa aku harus memberimu perlakuan yang istimewa."
"Karena saya minta kepada Anda!" jawab Dennis tanpa raguragu.
Tiba-tiba ruangan menjadi semakin gelap karena awan hitam
menyelimuti langit. Lampu pijar di dekat pintu mendengung dan
berkelap-kelip. "Diskusi kita selesai. Aku sungguh menyesal," kata Mr.
Northwood kepada Dennis. Dia menutup tasnya.
Dennis melongo menatapnya. Mulutnya terbuka, tapi dia tidak
mengucapkan sepatah kata pun. Dennis menggerak-gerakkan
tangannya dengan geram. "Aku... aku tidak percaya!" jeritnya,
kehilangan kesabaran. Tiba-tiba aku sadar ada orang memanggil namaku.
Aku menoleh ke pintu. Kulihat Margaret memberi isyarat
kepadaku. Ketika aku menghampiri Margaret, kudengar Dennis berteriak
marah kepada Mr. Northwood.
"Margaret... ada apa?" bisikku sambil berjalan ke pintu.
Lalu aku mendengar suara gedebuk keras.
Aku mendengar teriakan Mr. Northwood.
Perasaan takut menjalari tubuhku.
Tanpa melihat, aku tahu bahwa Dennis menghantam Mr.
Northwood. BAB 3 AKU kaget sekali. Buru-buru aku berlari ke depan kelas.
Lega rasanya melihat Dennis tidak memukul Mr. Northwood.
Sebaliknya karena marah dia membanting sebuah textbook tebal ke
lantai. Mr. Northwood yang biasanya tenang dan bicaranya lemah
lembut itu, sekarang benar-benar kehilangan kesabaran. Wajahnya
pucat. Dia menuding Dennis dengan jari gemetar. Dengan terbatabata, dia
memberitahu Dennis supaya menghargai barang milik
sekolah. Dennis terpaku. Kupikir dia menyesal karena tak dapat
menahan diri. Napasnya terengah-engah. Dia menatap Mr. Northwood
sambil mengepalkan tinju, seakan-akan sedang bersiap-siap jika sang
guru akan menghajarnya. "Ada apa?" bisik Margaret sambil mengintip ke dalam kelas.
"Perang Dunia Ketiga," bisikku sambil mengambil ransel dan
berjalan keluar ruangan. "Siapa yang menang?" tanya Margaret.
"Mr. Northwood, kukira," jawabku sambil berjalan di koridor
yang telah kosong menuju locker.
Aku mendengar Dennis dan Mr. Northwood masih berdebat
seru di kelas. Aku sadar lututku gemetar. Mengapa aku marah"
pikirku heran. Itu toh bukan urusanku.
Tak seorang pun menawari aku untuk pergi ke Bahama Februari
ini, pikirku getir. Kenapa aku harus peduli apakah Dennis boleh
mengikuti ujian susulan atau tidak"
"Aku sudah terlambat masuk kerja nih," kata Margaret sambil
menyampirkan ranselnya di atas jaket merahnya. Margaret bekerja
sebagai pelayan di Kedai Kopi Alma selama beberapa jam sepulang
sekolah setiap hari. "Aku hanya ingin tanya apakah kau mau makan
malam bersamaku." "Tentu," sahutku sambil memutar kunci kombinasi locker-ku
dan membukanya. "Ibuku baru pulang setelah jam sembilan. Trims,
Margaret." "Sampai nanti," kata Margaret sambil berjalan tergesa-gesa di
gang, rambutnya yang merah kecokelatan terayun-ayun.
Aku membungkuk dan mengambil buku-buku dari locker, lalu
memasukkannya ke ransel. Beberapa menit kemudian, kulihat Dennis
menerobos keluar dari ruangan Mr. Northwood.
Ia berjalan di koridor sambil menggeleng-gelengkan kepalanya
dan bergumam sendiri. "Akan kubunuh manusia itu," katanya dengan
terengah-engah kepadaku. "Aku akan membunuhnya."
Aku tertawa saja. Aku tak tahu harus berbuat apa.
Hatiku berdebar-debar. Locker Dennis berada dua baris di
bawah locker-ku. Tapi sebelumnya ia tidak pernah berbicara sepatah
kata pun kepadaku. Kuluruskan punggungku sambil tersenyum untuk membesarkan
hatinya. Kupikir ia tidak akan memperhatikanku. Dennis
menghantamkan tinjunya ke pintu locker. Suara gemerencing
menggema ke seluruh penjuru ruangan.
"Astaga!" ujarku. "Tidak sakit tuh?"
"Yeah," jawab Dennis. Dia meringis sambil menggoyanggoyangkan tangannya. "Sakit
sekali. Konyol, kan?"
"Kayaknya gitu deh..." Aku tidak bisa memikirkan jawaban
yang tepat, mulutku kering. Dennis sangat tampan, aku naksir dia
sejak dulu. Tapi aku melarang diriku sendiri untuk memikirkannya.
"Aku hanya benci manusia itu," Dennis menggerutu sambil
meluruskan tangannya. "Dia sangat keterlaluan," komentarku.
"Dia memang menyebalkan," jawab Dennis gusar. "Manusia
yang paling menyebalkan." Matanya yang hijau menatap wajahku,
seakan-akan baru pertama kali ini dia bertemu aku.
"Aku akan membunuhnya. Sungguh," kata Dennis. Lalu dia
berbalik dan memutar-mutar kunci kombinasinya. "Kau tahu
caranya?" "Akan kauapakan dia?" tanyaku ingin tahu.
"Entahlah," jawab Dennis cemberut.
"Coba kita pikirkan," ujarku sambil berpikir keras. "Kau bisa
mengelem tape recorder kecil itu di telinganya dan memaksanya
mendengarkan semua rekaman pelajarannya. Itu akan membuatnya
mati karena bosan." Aku terkekeh.
Dennis tidak tersenyum. "Itu tidak menyakitkan," gerutunya. Ia
mengentakkan pintu locker-nya, tapi tidak bisa terbuka. Ia mengerang
frustrasi sambil memutar-mutar kuncinya dengan geram.
Mendadak Dennis berhenti dan menoleh kepadaku. "Aku akan
memasukkan dia ke dalam tas yang selalu dibawanya," katanya. "Dan
menguncinya. Kemudian melemparkannya ke tempat sampah."
"Badannya terlalu jangkung," jawabku. "Tidak muat."
"Aku akan menekuknya," kata Dennis. "Itu pasti
menyenangkan. Menekuk badannya."
"Aduh!" Aku merasa muak. "Kau benar-benar gila."
"Tidak sih. Hanya marah," desah Dennis. "Dia akan
menghancurkan karierku. Dia sungguh-sungguh ingin menghancurkan
hidupku." "Mungkin kau bisa menembaknya," gurauku.
"Tidak begitu asyik sebelum menekuk badannya," jawab
Dennis. Dia tidak tersenyum. Kupandang wajahnya sambil mendugaduga apakah dia
serius. Maksudku, aku tahu Dennis tidak sungguh-sungguh berniat
membunuh Mr. Northwood. "Kau bisa menekuk badannya lalu menembaknya," saranku.
Mata Dennis bersinar-sinar.
Dennis menyukaiku, pikirku. Dia menatap wajahku.
"Aku akan menekuk badannya, menembaknya, kemudian
menenggelamkannya!" seru Dennis.
"Kau bisa menekuk badannya, menembaknya,
menenggelamkannya, lalu menggantungnya!" aku menambahkan.
Dennis tertawa. Hei, aku bisa membuatnya tertawa! kataku dalam hati.
Tiba-tiba aku kuatir rambutku berantakan, dan kusisir rambutku
dengan jari-jariku. "Kau bisa menekuknya, menembaknya, menenggelamkannya,
lalu..." Mendadak kata-kataku terhenti ketika kulihat Mr. Northwood
berdiri di pintu kelas sedang menatap tajam kepada kami.
Oh, tidak! kataku dalam hati. Rasanya jantungku hampir copot.
Sudah berapa lama Mr. Northwood berdiri di sana"
Apakah dia mendengar semuanya"
BAB 4 MR. NORTHWOOD mendelik kepada Dennis, kemudian
kepadaku. Leherku terasa tercekik. Aku yakin dia telah mendengar katakataku. Kurasakan
wajahku panas. Aku tahu wajahku pasti merah
padam. Namun kemudian, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Mr.
Northwood berbalik dan berlalu dari tempat itu.
Aku hanya berdiri di sana sambil mengawasi dia berjalan cepat
dengan kepala tertunduk dan bahu dibungkukkan. Aku tak berani
bernapas sampai dia menghilang di belokan.
"Aku harus bersikap manis kepadanya," bisikku kepada Dennis.
"Karena dia tetangga sebelah rumahku. Di Fear Street."
Mulut Dennis ternganga. "Hah" Kau tinggal di sebelah rumah
Mr. Northwood?" Aku menggangguk. "Kau tak percaya" Aku melihatnya
sepanjang waktu. Dia selalu mondar-mandir di halaman belakang,
pada musim dingin sekalipun. Seperti... seperti memata-mataiku. Aku
selalu punya perasaan bahwa dia sedang mengawasiku. Maksudku,
aku tahu dia tidak melakukannya. Tapi masih..."
Aku sadar aku terlalu banyak bicara. Kukira aku hanya merasa
lega karena Mr. Northwood tidak mendengar rencana kejamku untuk
membunuhnya. Dan aku senang bisa menceritakan rahasiaku kepada Dennis.
Biasanya aku malu berada dekat-dekat cowok. Problem kuno,
yaitu minder. Tapi sekarang tiba-tiba aku merasa percaya diri, hingga
berani mengobrol dengan Dennis. Mungkin aku dan dia ada di
gelombang yang sama. "Tetangga Northwood. Aneh," gumam Dennis sambil menarik
ritsleting jaket sekolahnya. "Aneh." Dia menutup pintu locker-nya
dengan keras dan meletakkan ranselnya di bahu.
"Cukup aneh tinggal di Fear Street," gumamku.
Dennis terkekeh. "Kau percaya semua cerita itu" Tentang hantu
dan makhluk menyeramkan di Fear Street?"
"Mr. Northwood makhluk paling mengerikan yang pernah
kulihat di sana!" gurauku.
Fear Street - Tantangan The Dare di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami berdua tertawa. Kami berjalan berdampingan menuju pintu keluar ke pelataran
parkir. Kadang-kadang bahu kami bersentuhan.
Dennis cowok yang istimewa, pikirku. Sangat tampan dengan
rambut hitam menutupi keningnya yang lebar. Matanya bisa
membakar mataku seperti nyala api hijau.
Harus kuakui, aku bangga sekali berjalan dengan salah satu
cowok paling populer di Shadyside High. Tiba-tiba aku berharap
sekolah ini tidak kosong. Aku ingin sepanjang koridor ini penuh anakanak, hingga
semua orang bisa melihat aku dan Dennis jalan bersamasama.
Kami melangkah ke luar gedung. Siang itu langit kelabu gelap.
Udara dingin dan lembap. "Kelihatannya salju akan turun," komentar Dennis. Matanya
memandang awan yang bergelayut rendah. "Aku senang hari ini tak
ada latihan." Dia berjalan ke pelataran parkir khusus untuk murid, dan
aku mengikutinya. Mungkin dia akan mengajakku membeli Coca-Cola, pikirku.
Kami hanya perlu berjalan kaki ke The Corner, kedai kopi mungil,
beberapa blok jauhnya dari sekolah. Anak-anak Shadyside suka
mangkal di sana. Sebuah khayalan berkelebat di benakku: Aku dan Dennis,
duduk berhadapan di pojok The Corner, berpegangan tangan di atas
meja, dan berpandangan mesra.
Khayalan yang indah. Aku menghela napas panjang dan memberanikan diri untuk
bertanya apakah dia mau minum Coca-Cola. "Oh... Dennis...?"
Aku segera menghentikan kata-kataku ketika kulihat ke mana
Dennis pergi. Dia langsung menuju mobil Miata kecil warna merah yang
diparkir dengan mesin hidup di ujung jalan.
Miata merah milik Caitlin.
Kulihat Caitlin duduk di belakang setir. Gadis itu tersenyum
dan melambaikan tangannya kepada Dennis ketika kami mendekat.
Dennis menoleh kepadaku. "Sori," katanya. "Aku sebetulnya
mau mengajakmu, tapi mobil ini hanya cukup untuk dua orang." Dia
mengangkat bahu, kemudian berjalan memutar ke pintu penumpang
dan masuk ke mobil. "Tak apa-apa, Dennis," kataku kepadanya sambil tersenyum
bengis. "Aku akan mencari tempat."
Aku membuka pintu pengemudi dan menarik tangan Caitlin
dengan kedua tanganku. "Keluar!" bentakku.
"Huh?" Mata Caitlin yang berwarna gelap terbelalak. "Apa?"
serunya kaget. "Keluar!" teriakku.
Kucengkeram lengannya erat-erat dengan tangan kanan.
Kemudian kujambak rambutnya yang cokelat gelap dengan tangan
kiri. Caitlin menjerit ketika aku menariknya.
Aku menyeretnya keluar mobil, membantingnya ke tanah, dan
menendangnya keras-keras hingga ia tergeletak tak berdaya.
Kemudian aku menyelinap ke tempat kemudi, menutup pintu
dengan keras, lalu memacu mobil itu bersama Dennis di sampingku.
Sekilas kulirik Dennis untuk melihat reaksinya.
Dennis balas memandangku dengan takjub dan penuh
kekaguman. BAB 5 SETELAH kejadian itu, Dennis sadar bahwa dia dan aku saling
mencintai. Dennis meninggalkan Caitlin, dan kami hidup bahagia
selamanya. Kalian percaya itu" Jangan. Tentu saja aku tidak sungguh-sungguh menarik Caitlin dari
mobil. Tentu saja peristiwa liar itu semuanya hanya fantasiku yang
konyol. Kejadian sesungguhnya adalah aku hanya berdiri mengawasi
Dennis masuk ke mobil. Dari belakang kemudi, Caitlin menatapku
dengan acuh tak acuh. Kemudian dia berlalu bersama Dennis. Dennis bahkan tidak
menengok ke belakang lagi.
Dan aku berdiri sendirian di sana, membayangkan berbagai
adegan mengerikan. Kenapa aku punya fantasi yang gila-gilaan seperti itu"
Kenapa selalu kubayangkan aku sedang meninju rahang
seseorang, mendorong orang dari tangga atau karang terjal,
menggorok leher orang dan memperhatikan darah menyembur dari
lehernya" Kenapa aku selalu membayangkan diriku sendiri melakukan
perbuatan sadis itu"
Kukira fantasi itu timbul karena dalam kehidupan sehari-hari,
aku sebenarnya pemalu dan penakut.
**********************************************
Seminggu kemudian ada bangku kosong dalam pelajaran
sejarah. Dennis sudah pergi ke Bahama bersama keluarganya.
Dennis yang "malang", pikirku getir. Dia tidak bisa mengikuti
ujian tengah semester besok... dan hari ini ketinggalan pelajaran yang
"menarik" mengenai pemisahan kekuasaan.
Aku duduk di baris belakang, bersebelahan dengan Melody
Dawson. Melody memegang kaca kecil di tangan kirinya dan asyik
menyisir rambut pirangnya yang indah.
Aku sudah duduk di samping Melody selama setahun dan dia
baru mengucapkan dua patah kata kepadaku. Setiap siang dia duduk di
bangkunya, membuka buku catatannya di meja, kemudian menyisir
rambutnya. Sok sekali! ebukkulawas.blogspot.com
Penampilan Melody keren dan tak bercela. Dia mengenakan
celana jins buatan Prancis yang mesti di-dry clean. Celana jinsnya
mempunyai lipatan sempurna di bagian depan. Hampir semua T-shirt
dan sweternya berlogo Ralph Lauren.
Pernah kulihat Melody sedang memakai kaus kaki putih ketika
olahraga - dan kaus kaki itu juga berlogo Ralph Lauren. Kaus kaki
olahraga saja dibuat oleh perancang terkenal! Percaya tidak"
Bibir Melody mungil dan indah. Hidungnya mancung
sempurna. Kulitnya putih kecokelatan.
Semua cowok menganggapnya luar biasa. Menurut pendapatku
dia sok pamer. Nah, kembali ke kelas sejarah, kami berdua duduk di baris
belakang di siang kelabu yang suram. Aku sedang memikirkan
Dennis. Mungkin dia sedang berjemur di pantai, berenang-renang di
air biru yang berkilauan.
Di depan kelas, Mr. Northwood menghidupkan tape recordernya dan meletakkannya di
ujung meja. "Kalian tahu mengapa aku
merekam pelajaran ini?" dia bertanya. "Aku mendengarkannya lagi di
rumah." Mr. Northwood menelan ludah, jakunnya yang besar naik-turun
di bawah kerah bajunya yang berwarga abu-abu. "Rekaman ini
membantuku mengingat-ingat apa yang telah kita bicarakan," dia
melanjutkan dengan suaranya yang lembut dan tinggi. "Aku juga
merekam suaraku sendiri di rumah. Rekaman itu untuk bahan
pelajaran." Melody mengalihkan pandang dari kacanya. "Kenapa sih dia
tidak mau menikmati hidup?" komentarnya pelan.
Beberapa anak terkekeh. Mr. Northwood menoleh kepada Melody. "Aku mendengar itu,
Miss Dawson." Melody balas menatapnya dengan pandangan menantang.
Jika aku yang ditegur, pasti wajahku merah padam dan aku
akan meringkuk di bangkuku. Aku akan merasa malu sekali.
Tapi Melody balas menatapnya, nyaris menantangnya.
"Melody, kuminta kau menemuiku selesai pelajaran nanti," kata
Mr. Northwood keras sambil menggaruk pipinya yang kurus. "Aku
perlu bicara sebentar denganmu."
"Saya tidak bisa," jawab Melody dingin.
Mr. Northwood menatap Melody dengan matanya yang biru
pucat. "Apa katamu?"
"Saya tidak bisa," Melody mengulangi kata-katanya. "Saya
harus berlatih tenis."
Guru itu mengetukkan jari-jarinya yang panjang dan kurus di
atas meja. "Aku kuatir kau akan terlambat mengikuti latihan tenismu
hari ini," ujarnya tenang.
"Tidak akan!" kudengar Melody bergumam sendiri.
Begitu pelajaran selesai, Melody langsung meloncat dan berlari
ke luar pintu. Dia buru-buru pergi ke tempat latihan tenis.
Wow, pikirku. Apa yang dilakukannya betul-betul butuh
keberanian. Seandainya Mr. Northwood menyuruhku tetap tinggal setelah
pelajaran selesai, aku akan tinggal dengan patuh, tak peduli apakah
aku punya acara lain atau tidak. Aku takkan berani melanggar
perintahnya. Tapi Melody berlari tanpa berpikir lagi.
Aku tidak suka pada Melody. Aku tidak akan pernah menyukai
dia, sungguh. Namun aku sadar, aku ingin punya keberanian seperti
dia. Aku berdiri dan membereskan buku-bukuku. Beberapa anak
keluar menuju locker mereka. Aku melihat Zack Hamilton dan Caitlin
sedang mengobrol di dekat papan tulis.
Kulihat wajah Mr. Northwood kelihatan gusar. "Aku tidak
peduli berapa banyak bank yang dimiliki ayahnya," gerutunya. "Dia
sama saja seperti yang lain di kelasku!"
Kulihat Zack dan Caitlin tertawa berdua.
Mr. Northwood berbalik menghampiri mereka. "Apa yang
kalian tertawakan?" dia bertanya marah. "Mungkin kalian ingin
tinggal di sini dan mendiskusikannya denganku"!"
***********************************************
Malam itu setelah makan - sandwich kacang dan mentega serta
sekantong kecil keripik kentang - aku duduk bersila di lantai
kamarku. Sambil bersandar di ranjang aku mengobrol dengan
Margaret di telepon. Pekerjaan rumahku kugelar di atas meja. Tapi aku tidak
berminat mengerjakannya. Aku merasa aneh, agak gelisah. Tinggal di rumah tua di Fear
Street memang menakutkan jika aku sendirian di malam hari.
Dari jendela kamar, kulihat salju turun. Angin bertiup kencang
dan berputar-putar, membuat jendela tua itu bergetar. Sebentarsebentar,
kurasakan embusan hawa dingin di belakang leherku.
"Aku sedang memikirkan Dennis Arthur," kataku kepada
Margaret. "Dia ada di Bahama, berenang, menyelam, dan bersenangsenang, sementara
kita hampir beku di sini."
"Yeah," jawab Margaret sambil menghela napas panjang. "Kita
harus menerima kenyataan ini, Johanna. Hidup kita memang
membosankan. Maksudku, hal yang paling menggairahkan yang
pernah terjadi padaku adalah ketika seseorang meninggalkan tip satu
dolar di restoran." "Aku harus meneruskan laporanku," gumamku sambil
menguap. "Eh, Mr. Northwood lagi angot ya belakangan ini," ujar
Margaret. "Dia mencari gara-gara dengan setiap orang."
"Bukan dengan setiap orang," aku membetulkan ucapannya.
"Maksudmu?" tanya Margaret heran.
"Apa tidak kauperhatikan" Dia hanya mencari gara-gara dengan
Dennis serta teman-temannya. Anak-anak kaya itu. Caitlin dan
Melody - grup yang berada di 7-Eleven malam itu, seminggu yang
lalu." Margaret diam sejenak. Kukira dia sedang memikirkan
ucapanku. "Jadi," akhirnya dia mulai bicara, "jika dia hanya memilih
anak-anak kaya, kita berdua akan aman dong!"
Aku terkekeh. "Yeah. Kukira begitu."
"Menurutmu, mengapa Northwood sentimen pada mereka?"
tanya Margaret. Aku akan menjawab, tapi tiba-tiba kuhentikan kata-kataku.
Kudengar pintu mobil dibanting, kemudian suara benda pecah
di bawah. Kaca pecah" Jendela yang didobrak"
"Margaret... sudah dulu!" teriakku. "Aku... kukira ada orang
yang sedang mencoba masuk!"
BAB 6 PERASAAN takut mencekam diriku. Aku langsung meloncat
berdiri dan berlari ke jendela kamar. Suara benda pecah itu sepertinya
berasal dari depan rumah.
Kutelusuri halaman depan dengan pandanganku. Tak ada lampu
jalan di blokku di Fear Street, tapi lampu di teras rumahku menyala.
Sinarnya yang kuning pucat menerangi sepetak kecil halaman rumput
di depan rumah. Salju tak lagi turun. Menyisakan lapisan putih tipis di atas
rumput yang tampak gelap.
Kurapatkan keningku ke kaca jendela yang dingin sambil
melihat ke bawah. Tak ada seorang pun di teras depan atau di sekitar
rumah. Halaman depan juga kosong.
Tiba-tiba kulihat bayangan gelap sedang bergerak. Di ujung
jalan masuk rumah Mr. Northwood, kulihat sebuah mobil diparkir di
pinggir jalan. Aku melihat tiga atau empat anak berkerumun di
belakang Chevy Caprice tua Mr. Northwood.
Kulihat Zack. Lalu Melody dan Caitlin. Dan kulihat rambut
pirang Lanny. Mereka berempat mengendap-endap di belakang mobil
tetanggaku. Ada apa ya" Aku cemas. Apa yang akan mereka lakukan"
Sepintas kubayangkan mereka akan membakar rumah Mr.
Northwood, kemudian kabur.
Tapi itu terlalu berlebihan. Mereka tidak akan melakukan
perbuatan senekat itu. Tapi apa rencana mereka"
Aku ingin tahu. Segera kusambar sweter dari rak lemari
dinding. Sambil mengenakan sweter itu, aku bergegas menuruni
tangga. Aku lari dengan napas terengah-engah menuju tempat mobil
Mr. Northwood diparkir dan menyapa mereka.
"Astaga!" seru Zack pelan. "Johanna. Sedang apa kau di sini?"
Mereka berempat terbelalak memandangku seolah-olah aku ini
makhluk dari planet Mars.
"Aku tinggal di sini," jawabku, sambil merunduk di belakang
mobil Mr. Northwood di samping Melody. Kutunjuk rumahku. Aku
membiarkan pintu depan rumahku terbuka lebar. Pasti hawa dingin
akan masuk, tapi aku tidak ingin kembali untuk menutupnya.
"Kau tinggal di sebelah rumah Mr. Northwood?" tanya Melody.
Itu kalimat terpanjang yang pernah dilontarkannya kepadaku.
"Yeah" Aku mengangguk. "Untung, kan?"
"Jalanan ini membuatku merinding," keluh Caitlin.
Zack memakai topi ski dari wol. Dia menariknya ke bawah
sampai hampir menutupi sunglasses birunya. "Northwood cocok
tinggal di Fear Street," gumamnya. "Bersama setan-setan lainnya."
Fear Street - Tantangan The Dare di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mungkin mereka sedang mencemoohkanku. Tapi aku sangat
ingin tahu rencana mereka, hingga aku tidak memprotes ucapannya.
Aku benar-benar penasaran, kenapa keempat anak ini jauh-jauh
datang dari North Hills dan berkunjung malam-malam begini ke
rumah guru sejarah kami yang tercinta.
Aku tahu mereka datang tidak untuk mengirim bunga.
"Cepat," desak Melody sambil bertepuk tangan. Kedua
tangannya dibalut sarung tangan kulit. "Dingin dan sudah larut malam
nih. Suara kalian yang berisik bisa membangunkan mayat-mayat di
kuburan." Melody menunjuk ke arah kuburan Fear Street yang
jaraknya kira-kira satu blok dan letaknya di pinggir jalan.
"Lampunya sudah padam," bisik Lanny sambil mengawasi
rumah tembok bertingkat dua yang tampak gelap itu. "Dia sudah
tidur." "Aku senang kalau bisa melempar lampunya hingga padam!"
gumam Zack. "Apa yang akan kaulakukan?" tanyaku.
Lanny meletakkan telunjuknya di bibir. "Jangan pernah bilang
kau melihat kami di sini, Johanna," katanya serius.
Zack berpaling kepadaku. Dia tampak menyeramkan karena
memakai sunglasses gelap dan topi ski yang hampir menutupi
wajahnya. "Kau harus bersumpah tidak akan memberitahu Mr.
Northwood." "Oke, oke," tukasku tidak sabar. "Aku bukan tukang ngadu,
tahu." "Dia kan tetanggamu," ujar Melody dengan congkaknya.
"Mungkin saja kau ingin mendapat nilai bagus lalu mengadukan
kami." "Tidak akan pernah," balasku. Kata-katanya melukai hatiku.
Rasa senang dan takut berkecamuk dalam hatiku. Aku ingin
mereka menerima dan menjadikan aku anggota geng mereka.
Karena itu ucapan Melody membuatku sedih.
Secara terang-terangan Melody menunjukkan sikapnya
kepadaku. Dia tidak mempercayaiku dan tidak menganggapku sebagai
teman. Aku menduga-duga apakah ketiga anak lainnya beranggapan
sama. Mungkin mereka juga sama saja, pikirku getir. Lebih baik aku
pulang dan membiarkan anak-anak itu meneruskan rencana konyol
mereka - apa pun itu. "Dingin sekali," kata Caitlin, gemetar. Kedua tangannya
bersedekap. "Aku akan masuk ke mobil saja." Caitlin berjalan ke
mobil. Samar-samar kulihat mobil itu adalah Mercedes berwarna
gelap. "Dasar penakut!" Zack mengumpat Caitlin.
"Sstttt!" Melody pura-pura mendorongnya.
Zack menoleh kepada Lanny. "Ayo. Aku menantangmu",
bisiknya. "Kautantang aku" Kutantang kau juga!" balas Lanny.
"Kutantang kau duluan," jawab Zack. "Ayolah, man. Kau tahu
peraturannya, kan" Tantangan tetap tantangan. Kau harus
mengikutinya. Itu syaratnya."
"Oke, oke," kata Lanny. Dia berjalan ke belakang mobil Mr.
Northwood. Kulihat tangannya yang memakai sarung tangan
membawa kantong kertas coklat. Ukurannya sebesar kantong makan
siang. "Apa sih isinya?" aku berbisik kepada Zack.
"Pasir," jawab Zack sambil tetap mengawasi Lanny.
Kami merunduk di belakang mobil dan melihat Lanny
membuka tangki bensin dan memutar tutupnya. Lalu Lanny menuang
pasir dari kantong itu ke dalam tangki bensin mobil Mr. Northwood.
Zack dan Melody tertawa riang. Lanny meremas-remas kantong
itu menjadi gumpalan dan membuangnya ke rumput.
"Beres, kan?" bisik Melody. "Sekarang kita bisa pergi dong?"
"Nanti dulu," kata Zack. Tangannya menggenggam benda yang
berkilat-kilat. Aku baru sadar bahwa itu sebilah pisau.
"Aku tidak pernah pergi ke mana-mana tanpa pisau Swiss
Army-ku," bisiknya. Dia mengedipkan matanya kepadaku.
Pisau itu membuatku agak ngeri. Apa yang akan dipotongnya"
"Kita akan meninggalkan tanda mata di mobil Mr. Northwood,"
kata Zack sambil menyeringai. "Kita tuliskan nama seseorang." Ia
mulai menggoreskan pisaunya di spatbor belakang Caprice tua itu.
"Nama siapa yang akan kautulis?" desak Lanny.
"Kenapa tidak kautulis nama kita semua?" tanya Melody tajam.
"Supaya Northwood tahu siapa yang akan diberi nilai A di ujian
nanti." Zack berbalik memandang Melody dengan gusar. "Aku tidak
tolol, tahu!" "Jadi" Nama siapa?" desak Lanny.
"Murid kesayangan Mr. Northwood," jawab Zack sambil
nyengir. "Kau menantang aku?"
"Aku tantang kau," jawab Lanny.
Zack membungkuk ke mobil itu dan menggoreskan huruf-huruf
besar yang tebal di cat spatbor belakang.
Dengan perasaan takut dan bergairah bercampur aduk, aku maju
ke depan untuk melihat nama siapa yang sedang ditulis Zack.
D-E-N-NKetika Zack akan menggores huruf I, mendadak lampu teras
Mr. Northwood menyala. "Oh!" Melody terpekik ketakutan. Dia langsung berbalik dan
berlari ke mobil. Tangannya direntangkan lebar-lebar seolah-olah mau
terbang. Zack dan Lanny berlari mengikutinya.
"Cepat! Cepat! Cepat!" teriak Lanny.
Kulihat kedua cowok itu masuk ke tempat duduk belakang dan
Melody menyelinap di belakang setir. Pintu belakang Mercedes itu
masih terbuka ketika Melody memacu mobilnya dari pinggir jalan.
Mobil itu meraung dan lenyap di kegelapan.
Aku panik dan masih berdiri di belakang mobil Mr. Northwood.
Jantungku berdebar-debar kencang, seakan-akan dadaku hampir
meledak. Aku harus segera menyingkir dari sini!
Baru saja aku sampai di halaman depan rumahku, sepatu
karetku tergelincir di rumput yang beku dan basah. Saat itu Mr.
Northwood menghambur ke teras rumahnya.
"Johanna... apa yang kaulakukan?" teriaknya.
BAB 7 AKU terpaku di halaman rumahku seperti rusa terperangkap
lampu mobil. "Johanna, ada apa?" tanya Mr. Northwood.
Ia berjalan cepat dari terasnya menuju tempat parkir mobil. Ia
memakai sweter abu-abu berleher tinggi dan celana korduroi longgar
berwarna gelap. Rambutnya yang abu-abu kelihatan awut-awutan.
Kulirik pintu rumahku yang terbuka. Kenapa aku tidak ikut lari
waktu keempat anak itu kabur tadi" Raungan Mercedes itu masih
terngiang-ngiang di telingaku.
Mengapa aku tidak ikut kabur"
Mr. Northwood buru-buru mendekatiku. Napasnya terengahengah. "Johanna?"
"Saya... oh...." Aku tidak pintar berbohong. Dan aku bukan tipe
orang yang cepat tanggap. Tapi kali ini mau tak mau aku harus
berbohong. "Saya... mendengar suara ribut-ribut," kataku terbata-bata.
Kucoba untuk bersikap tenang dan sungguh-sungguh. "Suara ributribut. Saya kira
ada orang akan mendobrak masuk ke rumah saya. Jadi
saya keluar untuk... melihat siapa orang itu."
Kupikir agak konyol juga.
Kutatap lekat-lekat matanya, sambil mencoba memastikan
apakah laki-laki itu mempercayai ucapanku.
"Aku sudah tahu siapa mereka," jawab Mr. Northwood. Dia
menatapku dengan cemberut.
Aku melongo. Wajahku merah padam.
Angin dingin berembus kencang. Meskipun memakai sweter
tebal, masih juga kurasakan hawa dingin itu. Samar-samar kudengar
bunyi gemerencing tong sampah tertiup angin.
"Sejak kapan kau bergabung dengan grup itu, Johanna?" tanya
Mr. Northwood tajam. Dia membungkuk memandang wajahku, begitu
dekat, sehingga aku bisa mencium napasnya yang bau bawang.
"Saya... saya bukan anggota grup itu," jawabku sambil
menghindari tatapan matanya yang tajam. "Saya hanya mendengar
suara ribut-ribut, itu saja. Saya keluar dan kemudian... saya coba
membujuk mereka agar segera pergi."
Apakah Mr. Northwood mempercayai keteranganku" Aku ragu.
Aku sangat kesal pada diriku sendiri karena tidak bisa
berbohong. Mr. Northwood berbalik, kemudian berlalu tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Dia berjalan dengan kepala tertunduk menuju
mobilnya. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.
Aku mengaitkan jari-jari tanganku di belakang punggung,
sambil berdoa semoga malam menjadi sangat gelap sehingga Mr.
Northwood tidak bisa membaca huruf-huruf yang digoreskan Zack di
spatbor belakang mobilnya.
Namun kulihat Mr. Northwood membungkuk dan memeriksa
spatbornya dengan jari-jarinya. Ekspresinya tidak berubah, tapi dia
berdiri di sana agak lama.
Kemudian Mr. Northwood berkata dengan suara pelan, sangat
pelan di antara suara embusan angin, "Aku akan memanggil polisi."
BAB 8 DENGAN hati berdebar-debar, cepat-cepat aku berbalik dan
lari ke dalam rumah. Kututup pintu depan dengan keras. Tubuhku
gemetar karena kedinginan, dan juga karena kehadiran Mr.
Northwood. Aku bersandar di pegangan tangga untuk memulihkan napasku
agar normal kembali. Kucoba mengusir hawa dingin dengan
menggosok-gosokkan kedua tanganku. Tapi usahaku tidak berhasil.
Apakah polisi akan mengetuk pintu rumahku beberapa menit
lagi" Apakah aku akan ditahan karena merusak Chevy tua Mr.
Northwood" Ibuku pasti akan terkena serangan jantung! kataku dalam hati.
Mom jarang di rumah karena beliau bekerja keras. Akhir-akhir
ini, ketika berada di rumah, sikapnya sangat keras - mungkin sebagai
kompensasi selama beliau tidak di rumah.
Aku akan dijatuhi hukuman seumur hidup! keluhku dalam hati.
Mom pasti tidak akan mempercayai aku lagi.
Aku bahkan tidak melakukan apa-apa! Aku hanya menyaksikan
perbuatan mereka! Aku berbalik dan pergi ke ruang tamu untuk mendengarkan
sirene mobil polisi atau suara mobil mendekat. Mataku terpaku ke
jendela ruang tamu. Tak kulihat apa-apa kecuali kegelapan. Aku
berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan di dalam saku celana
jinsku. Ketika lampu mobil menerangi kertas dinding ruang tamu, aku
tahu polisi sudah datang.
Ternyata Mom yang datang, baru pulang dari bekerja.
Ia bergegas masuk dan menjatuhkan tasnya di lantai sambil
menghela napas kecapekan. "Kenapa kau?" tanyanya sambil
memandangku dengan curiga.
Kukira aku tidak bisa menyembunyikan rasa cemas di wajahku.
"Tidak apa-apa," jawabku cepat. "Hanya capek."
"Sama dong," keluh Mom sambil memutar bola matanya.
*****************************************
Polisi tidak pernah muncul.
Aku tidur dan menduga-duga, mungkin Mr. Northwood sudah
memutuskan untuk tidak melakukan sesuatu sama sekali.
Namun besok siangnya, ada empat bangku kosong di kelas.
Bangku itu milik Lanny, Zack, Caitlin, dan Melody.
Ketika bel berbunyi, Mr. Northwood mematikan tape recorder
kecilnya dan membubarkan kelas. Aku berdiri, tapi kulihat dia
memberi isyarat padaku agar menuju ke mejanya.
Ada apa, ya" tanyaku dalam hati. Kucoba mempelajari
wajahnya, tapi aku tidak bisa membaca ekspresinya.
Sambil menghela napas dalam-dalam, aku melangkah ke depan
kelas. "Mungkin kau bertanya-tanya ke mana mereka," kata Mr.
Northwood sambil menunjuk bangku keempat anak itu. "Atau kau
sudah mendengar beritanya?"
"Saya tidak mendengar apa-apa," jawabku gugup.
Mr. Northwood membungkuk sambil merentangkan kedua
lengannya yang panjang di atas meja. "Aku menskors keempat
temanmu," katanya dengan suara pelan hampir berbisik.
"Mereka bukan temanku," ujarku bersikeras.
Itu memang benar. Ekspresi wajahnya tidak berubah. Cahaya lampu di atas
kepalanya membuat kerutan di pipinya tampak seperti goresan yang
gelap. Apakah dia akan menskors aku juga" tanyaku dalam hati.
"Polisi tidak menanggapi kejadian itu dengan serius," ujar Mr.
Northwood sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya yang
biru masih menatapku. "Mereka datang dua jam kemudian, dan
mengatakan itu hanya lelucon."
Mr. Northwood batuk-batuk, kemudian berdeham untuk
membersihkan tenggorokannya. "Mungkin itu hanya lelucon, tapi
lelucon yang keterlaluan sekali," guru itu melanjutkan. "Aku tidak
bisa membiarkan mereka lolos. Jadi aku bicara kepada Mr.
Hernandez. Beliau menskors mereka pagi ini."
Apakah dia juga minta Kepala Sekolah menskors aku" tanyaku
dalam hati sambil menatap wajahnya. Apakah dia melakukannya"
Mengapa Mr. Northwood berlama-lama"
Dia mengharapkan aku mengatakan apa"
Mr. Northwood menelan ludah. Jakunnya yang besar naik-turun
di bawah sweter hijau berleher tinggi. Dia mengangkat tangannya dan
meluruskan punggungnya. "Aku percaya ceritamu tadi malam," akhirnya dia berkata. "Aku
tahu kau tidak bergaul dengan gerombolan itu. Kau anak yang manis.
Murid yang baik." "Terima kasih," kataku dengan kaku.
"Aku percaya padamu, Johanna," Mr. Northwood mengulangi
kata-katanya sambil membasahi bibirnya yang pucat. "Tapi aku akan
mengawasimu." Aku membereskan buku-bukuku, lalu berjalan tergesa-gesa ke
luar kelas. Aku semakin senewen ketika berjalan melewati gang yang
ramai menuju locker-ku. "Aku akan mengawasimu," suaranya yang tinggi dan tajam itu
masih terngiang-ngiang di telingaku.
Pikirnya siapa dirinya" Aku berang. Dia pikir siapa dia
sebenarnya" ******************************************
Malam itu aku sedang belajar di kamarku. Asyik berkutat
dengan soal-soal kimia yang sulit, sampai semua angka dan huruf
Fear Street - Tantangan The Dare di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kelihatan kabur. Tiba-tiba telepon berdering. Langsung kusambar gagang
telepon tanpa menunggu dering pertama berakhir. Aku merasa senang
mendengar dering telepon itu. Pasti Margaret yang meneleponku
untuk mendiskusikan soal yang sama - tapi ternyata bukan.
"Halo, Johanna?" sapa suara seorang pemuda.
"Ya. Siapa ini?" Aku tidak mengenali suara itu. Aku belum
pernah bicara dengannya di telepon.
"Ini Dennis. Dennis Arthur."
Aku kaget sekali, hampir tak bisa bernapas. Dennis menelepon
aku" "Hai, Dennis," kataku sambil berusaha menenangkan diri. "Kau
sudah kembali dari Bahama?"
"Yeah. Tadi pagi," jawabnya. Kemudian dia melirihkan
suaranya hampir seperti bisikan, "Hei, Johanna, kau sudah siap
membunuh Mr. Northwood?"
BAB 9 AKU tertawa. "Kau bergurau, kan?"
Di ujung sana Dennis terkekeh. "Yeah. Begitulah," jawabnya.
"Khayalanku saja."
Hening sejenak, mungkin karena kikuk.
"Idemu bagus-bagus lho waktu kita ngobrol dulu," ujar Dennis.
"Aku punya banyak ide bagus," kataku dengan suara kubuat
misterius. Mengapa Dennis meneleponku" aku mencoba menebak-nebak.
Dia baru kembali dari berlibur tadi pagi. Mengapa dia
meneleponku malam ini"
"Bagaimana dengan Bahama?" tanyaku dengan nada biasabiasa saja.
"Indah sekali," sahut Dennis. "Selama kami di sana, cuacanya
cerah. Hanya sekali turun hujan. Pantainya bagus untuk berlari."
"Kau untung dong!" seruku.
"Aku berlari bermil-mil di pantai, dan menyelam dengan
ayahku," Dennis melanjutkan. "Terumbu karang di sana sangat
terkenal. Kau bisa menyelam?"
"Oh... tidak," jawabku. Apa yang bisa kulihat kalau aku hanya
menyelam di bak mandi! pikirku getir.
"Di hari terakhir, aku pergi menyelam sendiri. Tak sengaja aku
menyenggol karang api," Dennis meneruskan. "Man, panas sekali!
Kakiku sampai bertanda merah lebar sekali."
"Sakit dong," kataku pelan penuh perhatian.
Liburan yang lalu, aku dan Mom pergi mengunjungi bibiku di
Cleveland. Ketika mendengarkan cerita Dennis tentang pantai dan betapa
hangatnya air laut di sana, rasa iriku semakin memuncak. Dan aku
makin tak sabar untuk mengetahui alasan sebenarnya mengapa dia
meneleponku. Akhirnya Dennis sampai juga ke tujuannya. "Kau ada acara
Jumat malam?" tanyanya. Ia tidak memberiku waktu untuk menjawab,
dan langsung melanjutkan, "Aku selalu mengingatmu. Maksudku,
waktu liburan. Ada pesta Jumat nanti. Di rumah Melody. Hanya
beberapa orang yang hadir. Kupikir mungkin..."
Aku tidak bisa mempercayai pendengaranku! Dennis Arthur
mengajakku kencan! Cowok yang paling kece, paling terkenal di Shadyside High,
mengajakku pesta di North Hills.
Aku ingin menjawab ya, ya, ya.
"Bagaimana dengan Caitlin?" Kata-kata itu meluncur begitu
saja dari mulutku. Aku tak tahu kenapa kutanyakan hal itu. Ingin kugigit lidahku
dan menarik ucapanku. Tapi tentu saja sudah terlambat.
"Kadang-kadang aku dan Caitlin kencan dengan orang lain,"
jawab Dennis setelah ragu-ragu sejenak.
"Benarkah?" Lagi-lagi ucapan itu meluncur begitu saja. Otakku
sudah kacau. Mungkin karena aku sangat terkejut. "Maksudku... apa
Caitlin juga hadir di pesta itu?"
"Tidak. Caitlin akan mengunjungi sepupunya di
Waynesbridge," jawab Dennis. "Jangan kuatir soal Caitlin," ia
menambahkan. "Tak ada masalah. Sungguh. Ini hanya pesta kecil.
Kami biasa berkumpul pada Jumat malam. Kau mau ikut, kan?"
"Ya. Tentu!" ujarku, akhirnya otak dan mulutku bisa bekerja
sama. "Pasti akan menyenangkan, Dennis."
"Nah, gitu dong," katanya. "Besok aku akan masuk sekolah."
"Kau tidak ketinggalan banyak kok," ujarku.
"Omong-omong, kau sudah dengar tentang Zack dan yang
lainnya?" tanya Dennis. "Maksudku Caitlin, Melody, dan Lanny?"
"Yeah. Aku tahu semuanya," jawabku. "Aku ada di sana pada
malam mereka..." "Yeah. Aku tahu," potongnya. "Kau tinggal tepat di sebelah
rumah Mr. Northwood, betul, kan" Kau sudah dengar mereka semua
boleh mengikuti pelajaran lagi?"
"Apa?" Aku tak mengerti. "Maksudmu, mereka tidak diskors?"
"Tidak," jawab Dennis. "Orangtua mereka pergi menemui
Hernandez tadi siang. Mereka memakinya habis-habisan. Hernandez
benar-benar tidak berkutik, dia mengerut seperti daun kering. Paling
tidak, itu yang diceritakan ibu Melody kepada ibuku."
"Wow," gumamku. "Wow."
"Hernandez mengatakan mereka boleh masuk sekolah kembali
besok pagi," ujar Dennis sambil tertawa. "Dan ia minta maaf karena
telah menskors mereka."
"Wow," komentarku. Aku tak tahu harus mengatakan apa. Aku
begitu terpesona. "Kukira Northwood kalah telak deh," Dennis melanjutkan
dengan riang. "Iya dong," aku setuju.
Menjadi orang kaya sungguh enak, pikirku sedih.
Orangtua keempat anak itu ramai-ramai protes ke sekolah dan
Kepala Sekolah langsung menyerah, bahkan minta maaf!
Seandainya ibuku pergi ke sekolah untuk protes, Mr. Hernandez
tidak akan minta maaf, aku tahu itu. Dia tidak takut pada Mom karena kami miskin dan kami tidak tinggal di rumah besar di North
Hills. "Sampai besok," kata Dennis.
"Sampai besok juga," kataku. "Trims ya."
Aku berdiri. Senyum terkembang di bibirku. Aku bisa
melihatnya di kaca riasku.
Mungkin ini awal dari sesuatu yang menyenangkan, pikirku.
Mungkin hidupku akan mulai berubah sekarang.
Mungkin aku akan menjadi anggota kelompok elite.
Akan kulakukan apa saja untuk menjadi anggota kelompok itu.
Apa saja! *********************************
Dennis berada di ruang locker ketika aku tiba di sekolah
keesokan paginya. Aku meletakkan ranselku di lantai. Kuputar kunci
kombinasi pintu locker-ku.
Dennis tersenyum. Bola matanya yang hijau bersinar-sinar. Walaupun rambutnya
yang hitam tidak disisir dan tampak kusut, dia tetap kelihatan tampan.
Dennis benar-benar kece! pikirku.
Kami saling menyapa. Perutku tiba-tiba mulas.
Dennis mendekatiku. Dia kira-kira tiga puluh senti lebih tinggi daripada aku.
Kulihat samar-samar Dennis memegang benda putih. Akhirnya
dia mengulurkan sesuatu kepadaku. "Ini untukmu," katanya malumalu. "Dari
Bahama." Aku mengamati benda itu. Sebuah rumah keong yang besar
mengilat, warnanya pink dan putih.
"Bagus sekali!" seruku sambil meraihnya.
Hatiku berbunga-bunga. Dennis membawakan aku oleh-oleh.
"Hati-hati. Ada yang tajam," katanya.
Aku menimang rumah keong itu. Benda itu dingin karena
asalnya dari tempat terbuka.
Cowok di sebelah locker-ku tak sengaja menabrakku, dan
rumah keong itu hampir saja terjatuh. "Bagus sekali," kataku lagi.
"Trims ya." "Aku sedang berjalan-jalan di pantai...," Dennis mulai bercerita.
Tapi dia segera menghentikan kata-katanya ketika Caitlin muncul di
sebelahnya. Caitlin mengenakan sweter putih ketat dan celana jins hitam. Di
telinganya tergantung anting-anting panjang dari perak yang
bergemerencing bunyinya. Rambutnya yang pendek dan berwarna
cokelat disisir lurus ke belakang.
Senyum di bibirnya mendadak lenyap ketika dia melihat rumah
keong di tanganku. "Hei!" seru Caitlin gusar.
"Hai," Dennis menyapa Caitlin dengan perasaan tak menentu.
"Aku sedang mencari-cari kamu."
Caitlin tidak memedulikan Dennis. Sebaliknya dia
memandangku, kemudian memperhatikan rumah keong besar itu lagi.
"Bukankah itu rumah keong yang akan kauberikan kepadaku?" dia
bertanya kepada Dennis dengan nada mendesak.
Dennis melongo. "Apa!" serunya. Pipinya berubah merah. "Aku
tidak..." "Apa yang sedang berlangsung di sini, Dennis?" tuntut Caitlin
geram. "Hah" Apa maksudmu?" jawab Dennis pelan.
"Ada apa?" Caitlin mengulangi pertanyaannya sambil menatap
rumah keong itu. "Maksudku, ada apa antara kau dan Johanna..."
"Tidak ada apa-apa!" Dennis menegaskan.
"Kalau begitu...," Caitlin berbalik memandangku, "berikan
rumah keongku." Ia mengulurkan kedua tangannya untuk merampas rumah keong
itu, tapi aku mundur untuk menghindar.
"Itu rumah keongku, Johanna," kata Caitlin sambil
mengertakkan gerahamnya. "Dennis membawakannya untukku. Jadi
Pendekar Wanita Buta 2 Pendekar Mabuk 086 Buronan Cinta Sekarat Istana Pulau Es 21
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama