Fear Street - Tantangan The Dare Bagian 2
berikan kepadaku." Aku memandang Dennis dan Caitlin bergantian.
Wajah Dennis masih merah padam, semerah tomat. Dia
menghindari tatapanku. Caitlin sangat marah.
Ini tidak adil, pikirku. Ini benar-benar tidak adil.
"Kau menginginkan rumah keong ini, Caitlin?" tanyaku dengan
suara tajam dan bergetar.
"Tentu. Kembalikan padaku. Itu milikku!" desak Caitlin.
"Oke," ujarku. "Ini, ambillah."
Dan kupukul wajah Caitlin sekeras mungkin dengan rumah
keong itu. Bisa kudengar giginya retak.
Darah merah menyembur dari mulutnya.
Pecahan rumah keong yang tajam menghunjam pipinya. Darah
mengucur di pipinya. Rumah keong itu jatuh ke lantai dan hancur.
Caitlin terhuyung-huyung. Dia bersandar di locker. Tangannya
memegangi pipinya yang berdarah.
Caitlin mencoba mengatakan sesuatu. Tapi tak bisa karena
mulutnya penuh darah. Aku menengadah dan memandang Dennis. Senyum puas
terkembang di wajahnya yang tampan.
BAB 10 TENTU saja, peristiwa pemukulan Caitlin dengan rumah keong
itu hanya lamunanku saja.
Hanya salah satu fantasiku yang gila-gilaan dan konyol.
Semua yang kubayangkan selalu menakjubkan. Semua itu
caraku untuk menghadapi kenyataan yang pahit.
Kejadian sesungguhnya, Caitlin tidak memedulikan aku, apalagi
rumah keong itu. Ia muncul di samping Dennis, menggandeng tangannya, lalu
mereka berjalan keluar bersama-sama. Dennis menoleh, mulutnya
mengatakan "Bye" tanpa suara kepadaku. Kemudian dia berjalan
keluar sambil bergandengan tangan dengan Caitlin.
Tinggal aku sendirian di sana membayangkan peristiwa
menjijikkan tentang gigi patah dan darah yang menyembur.
Tak lama kemudian, bel berbunyi, menyadarkan aku dari
lamunanku. Kusimpan rumah keong itu di locker, lalu aku berjalan
tergesa-gesa di koridor yang sudah sepi.
********************************
Aku dan Margaret duduk berhadap-hadapan di kantin untuk
makan siang. Kami asyik mengobrol sambil menyendok yoghurt
blueberry dari mangkuk kecil. Margaret menceritakan kisah lucu
tentang kedua sepupunya yang kembar. Mendadak dia berhenti.
Pandangannya tertuju ke pintu ganda di belakangku. "Ada apa
sih?" tanyaku tanpa berusaha melihat ke belakang.
"Oh, tidak ada apa-apa," sahutnya, matanya tetap melihat ke
sana. "Katamu Dennis mengajakmu ke pesta Jumat malam nanti?"
"Yeah," sahutku. "Memangnya kenapa?"
Aku tak sabar lagi dan langsung menoleh ke belakang untuk
melihat apa sebenarnya yang menarik perhatian Margaret.
Langsung aku tahu apa yang membuat mulut temanku
ternganga. Dari pintu yang terbuka, tepat di seberang kantin, kulihat
Dennis dan Caitlin. Dennis berdiri membelakangi kantin. Sekilas saja aku langsung
tahu, itu Dennis. Dia sedang mendorong Caitlin ke tembok dan
memeluknya. Praktis di hadapan semua orang yang ada di kantin!
Buru-buru aku berpaling dengan perasaan geram. Sekilas
kulirik Margaret. Dia sedang menatapku, sambil menarik-narik
rambutnya yang berwarna cokelat kemerahan.
"Jangan menatapku begitu dong," gumamku.
"Kau yakin dia yang meneleponmu?" tanyanya pelan. "Kau
yakin itu Dennis Arthur?"
"He-eh," ujarku getir sambil menatap Margaret. "Apa mereka
masih berpelukan?" Margaret mengangguk. "Heran deh kenapa Dennis mengajakmu
kencan," katanya tegang.
"Lihat, kau punya kumis yoghurt tuh," kucoba mencairkan
suasana. Namun diam-diam aku bertanya-tanya juga.
********************************
Setelah pelajaran sejarah selesai, kulihat Dennis berdebat lagi
dengan Mr. Northwood. Lagi-lagi aku masih berada di belakang kelas,
menguping dan berharap semoga Mr. Northwood memberi Dennis
dispensasi. "Anda harus memberi saya ujian susulan!" pinta Dennis.
Wajahnya merah padam dan berkeringat, walaupun jendela terbuka
dan hawa di ruangan itu dingin.
"Aku tidak punya keharusan apa pun kecuali membayar pajak
dan mati," jawab Mr. Northwood tenang sambil menatap Dennis.
Bibirnya yang terkatup rapat itu tersenyum aneh.
Tiba-tiba aku sadar, Mr. Northwood senang mempermainkan
Dennis. Dia puas melihat Dennis memohon dan menggeliat-geliat.
Mungkin karena dia merasa berkuasa, pikirku. Mr. Northwood
benar-benar kejam. "Anda akan menghancurkan hidup saya!" Dennis menjerit.
Kedua lengannya bertumpu di depan meja guru dan dia
membungkukkan badannya sehingga wajahnya dan wajah Mr.
Northwood berhadapan. "Aku tak ingin menghancurkan hidupmu. Aku hanya ingin
mengajarmu sedikit tentang keadilan," ujar Mr. Northwood. Nada
bicaranya masih lembut dan hati-hati. "Kau dan aku sudah
mendiskusikannya, Dennis."
"Tapi jika saya tidak naik kelas, saya tidak memenuhi syarat
lagi untuk menjadi tim nasional. Dan tidak ada lagi kesempatan untuk
ikut Olimpiade!" teriak Dennis dengan suara melengking dan bergetar.
"Kita berharap saja semoga kau naik kelas," kata Mr.
Northwood dingin. Dia mulai membalik-balik buku catatannya.
Dennis menggeram frustrasi. "Anda sungguh-sungguh tidak
mau memberi saya ujian susulan?"
Mr. Northwood menggelengkan kepalanya. "Aku harus adil
terhadap setiap orang."
"Tapi Anda tidak adil pada saya!" teriak Dennis mulai
kehilangan kesabarannya. "Kukira tidak benar," jawab sang guru dengan wajah kaku
sambil tetap membalik-balik buku catatannya.
"Bisakah saya mengerjakan proyek atau sesuatu untuk kredit
tambahan?" pinta Dennis.
Mr. Northwood menggelengkan kepalanya. "Aku menghargai
usahamu," ujarnya. "Tapi aku sungguh tidak bisa membengkokkan
persyaratan hanya demi seorang murid."
Dennis mengangkat kedua tangan di atas kepalanya, putus asa.
Kemudian, sambil mendesah keras, dia berbalik dari meja guru.
Dengan marah ia berjalan cepat-cepat ke pintu.
Aku mengejar Dennis. Aku ingin menghiburnya.
"Dennis...," panggilku.
Tapi Dennis tidak menyahut. Dia terus berjalan tanpa menoleh.
Dan kemudian kulihat Caitlin. Gadis itu sedang menunggu
Dennis di luar pintu. Dennis menghampirinya. Caitlin memeluknya dan
membisikkan sesuatu. Setelah itu mereka berlalu dari pandanganku.
Apa yang sedang berlangsung di sini" tanyaku pada diriku
sendiri dengan sedih. Aku menatap koridor yang telah kosong.
Sebenarnya Dennis tertarik padaku atau tidak" tanyaku dalam
hati. Seandainya dia mencintai Caitlin, kenapa dia mengajakku ke
pesta Jumat malam nanti"
********************************
Jumat malam Dennis seharusnya menjemputku pukul delapan.
Mungkin sudah seribu kali kulirik jam dinding di atas meja riasku.
Aku sangat gugup. Tanganku dingin dan basah seperti sedang
memegang dua ekor ikan. Aku yakin Dennis tidak akan muncul.
Bermacam-macam pikiran buruk berkelebat di benakku.
Mungkin ajakannya hanyalah sebuah lelucon konyol. Mungkin itu
hanyalah salah satu dari tantangan mereka. Mereka saling menantang
untuk melakukan hal-hal aneh. Lanny atau Zack mungkin menantang
Dennis untuk meneleponku. Lalu Dennis dan teman-temannya
menertawakan tanggapanku.
Atau mungkin saja aku hanya membayangkan sesuatu yang
tidak pernah ada. Mungkin Dennis tidak pernah mengajakku kencan
sama sekali. Mungkin ini hanyalah salah satu fantasiku.
Aku sudah berganti sweter tiga kali, entah kenapa. Corak dan
model sweterku toh tidak jauh berbeda.
Aku memakai anting-anting berbentuk rumah keong yang
kubeli di mall. Berkali-kali aku mengamati anting-anting itu di kaca,
membukanya, kemudian memakainya lagi.
Jam dinding menunjukkan pukul 20.03, tapi jam itu selalu
kecepatan sedikit. Kusisir rambutku dengan gerakan cepat. Seharusnya rambutku
kupotong pendek saja, pikirku. Aku cemberut melihat belahan di
daguku. Mengapa aku tidak punya dagu licin seperti orang lain"
Aku masih menatap sedih bayangan diriku di kaca, ketika bel
pintu berbunyi. Kudengar langkah kaki Mom di lantai bawah dan
suara pintu dibuka. Lalu kudengar suara Dennis.
Dennis benar-benar di sini! pikirku. Jadi semua ini bukan
lelucon. Kupandang sekali lagi bayanganku di kaca, kemudian aku
tergesa-gesa turun untuk menyambut Dennis.
********************************
Rumah Melody sangat besar dan modern. Perabotan di ruang
tamu semuanya dari krom dan sofanya terbalut kulit putih yang
lembut. Poster-poster film yang dibingkai digantung di dinding.
Lampu sorot di langit-langit membiaskan cahaya redup ke seluruh
ruangan. "Apa kabar?" sapa Melody waktu mempersilakan aku masuk.
Dia memperhatikan sweter kuningku. Tiba-tiba aku merasa menyesal.
Mungkin seharusnya kupakai yang biru saja.
"Orangtuaku sedang nonton film," ujar Melody kepada Dennis.
"Sekarang rumah ini milik kita!" Dia kelihatan biasa-biasa saja, tidak
heran sama sekali melihat Dennis bersamaku, tidak dengan Caitlin.
Aku dan Dennis mengikuti Melody ke ruang tamu. Kulihat
delapan atau sembilan anak ada di sana. Mereka semua dari sekolah
yang sama, tapi aku hanya kenal beberapa orang saja.
Lanny dan Zack berdiri di depan TV di pojokan. Mereka sedang
menonton pertandingan basket, sambil menyedot bir dari kaleng.
Gadis berambut merah yang tidak kukenal minta agar mereka
mengecilkan volume TV, karena dia akan menyetel musik. Tapi
Lanny dan Zack tidak menggubrisnya.
Dua pasangan berpelukan di sofa. Mereka sedang tertawa keraskeras. Dua cowok
sedang melakukan tos. Dua cewek berdiri di dekat meja. Mereka sedang membuat
sandwich kapal selam yang besar sekali. Rambut mereka yang pirang
dan panjang berkilauan tertimpa cahaya lampu.
"Kau sudah bertemu Northwood?" tanya Melody kepada
Dennis. Sebelum Dennis sempat menjawab, bel pintu berdering.
Melody tergesa-gesa membukakan pintu.
"Kaukenal mereka?" tanya Dennis sambil menoleh kepadaku. Ia
memakai kemeja biru dan rompi dril serta jins belel yang lututnya
robek. "Hanya beberapa," jawabku.
"Sebagian besar tinggal di North Hills," Dennis menerangkan.
Dia melambaikan tangan kepada gadis berambut merah yang sedang
masuk bersama Melody. "Kaukenal dia" Itu Reva Dalby. Orangtuanya
pemilik toserba." "Hai, apa kabar?" Dennis menyapa Reva. Mereka berdua
mengobrol sejenak tentang pelatih tenis. Aku berdiri di samping
Dennis, tapi Reva tidak memedulikanku.
Aku dan Dennis mengambil Coca-Cola. Kemudian aku
mengikutinya menghampiri Lanny dan Zack di depan TV. Dennis
mengolok-olok Lanny yang mengenakan jins merah. "Kutantang kau
jika berani memakainya di pesta dansa di klub," seru Dennis.
"Hei, tidak ada tantangan malam ini," Lanny memprotes.
"Dasar pengecut," gumam Dennis.
Lanny pura-pura marah. Mereka tertawa dan saling mendorong.
Lanny menumpahkan sedikit birnya di atas karpet putih.
"Tak apa-apa," kata Lanny, merasa yakin Melody tidak
melihatnya. "Bir bagus buat permadani."
Beberapa anak datang. Mereka semua kelihatannya sudah saling
kenal. Melody menyetel CD player-nya dan mengecilkan suara TV.
Kulihat satu pasangan keluar ke tangga di dekat pintu.
Karena Dennis sibuk bercanda dengan Lanny dan Zack, aku
berjalan sendirian ke meja. Kuambil setangkup sandwich kapal selam.
Aku mengobrol dengan beberapa anak dari kelas bahasa Inggrisku.
"Kau teman Margaret Rivers," seseorang berkata kepadaku. "Dia
kocak sekali." Aku bertanya-tanya sedang apa Margaret malam ini. Apa yang
akan kuceritakan kepadanya tentang pesta ini, dan kencanku dengan
Dennis" Sejauh ini tidak banyak yang bisa kuceritakan, karena Dennis
sama sekali tidak memedulikan aku.
************************ Sekitar pukul sebelas, beberapa anak pulang. Sisanya dudukduduk santai di dua
sofa atau di lantai, sambil makan keripik tortilla
dan salsa, serta minum Coca-Cola.
Melody mematikan musik. Pembicaraan tentang sekolah
dimulai. Aku dan Dennis duduk berdekatan di ujung sofa. Dennis
membungkuk untuk mengambil segenggam keripik tortila dari
mangkuk di atas meja kaca. Aku bersandar di sofa, tidak sungguhsungguh ambil
bagian dalam pembicaraan itu.
Sebenarnya, aku sedang bertanya-tanya apakah Dennis
menyukaiku atau tidak. Dia bukannya tidak ramah, tapi dia juga tak
banyak bicara denganku. Sofa itu dipadati anak-anak. Dennis dan aku duduk
berdampingan. Kaki kami bersentuhan, tapi tampaknya dia tidak
memperhatikannya. Atau hanya pura-pura tidak memperhatikan"
Sepanjang malam itu aku berusaha untuk santai dan bersenangsenang. Tapi itu
sulit sekali. Dunia mereka dan duniaku sangat
berbeda. Aku tidak ikut pelajaran tenis pribadi, jadi aku tidak bisa
menggosipkan pelatih tenis. Dan aku tidak bisa membandingkan
Jamaica dengan Bermuda atau Aruba.
Setiap orang bersikap ramah kepadaku. Tak ada seorang pun
yang bersikap sombong. Namun aku sadar, pakaian mereka lebih
bagus daripada punyaku. Dan rumah Melody sangat mewah dibandingkan rumahku yang
Fear Street - Tantangan The Dare di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah tua dan reyot di Fear Street. Walaupun aku bersikeras
mengatakan bahwa itu bukan masalah, aku tetap tidak bisa santai dan
merasa betah. Aku tidak sungguh-sungguh mendengarkan obrolan mereka.
Tapi ketika Dennis mendadak melingkarkan lengannya di bahuku, aku
langsung tersentak. Kemudian Dennis mengejutkan aku dengan pengumumannya,
"Aku dan Johanna akan membunuh Mr. Northwood!" Dia menoleh
kepadaku sambil tersenyum lebar. "Betul, kan?"
BAB 11 "UH... betul," aku mengiyakan dengan berat hati.
"Kami akan melakukannya." Dennis mengumumkan sambil
merangkul bahuku. Semua orang tertawa dan bersorak-sorai.
Apa yang sedang terjadi di sini" aku bertanya dalam hati.
Bukankah lelucon ini sudah keterlaluan"
"Aku ingin membantu!" seru seseorang.
"Aku juga!" "Ayo semua membunuh dia!"
"Nanti malam saja!" seseorang menambahkan.
Semua orang tertawa. "Kutantang kau!" teriak Lanny. "Aku sungguh menantangmu!"
"Lakukan saja!"
Lanny berpaling kepadaku. "Bagaimana kau akan
membunuhnya?" desaknya.
Ibu jari dan telunjuk kubentuk seperti pistol dan kuarahkan ke
Lanny. Semua orang tertawa lagi.
Zack berdiri. Dia menarik-narik rambutnya sampai berdiri,
kemudian membungkukkan bahunya dan berlagak seperti Mr.
Northwood. "Aku tidak suka senyumanmu. Kalian semua tetap tinggal
di sini setelah pelajaran selesai sampai sisa abad ini. Kita akan
mengadakan ulangan singkat. Keluarkan sehelai kertas lalu tulis angka
satu sampai tiga ribu."
Kami semua berteriak histeris. Zack sangat lucu. Suaranya
dibuat mirip Mr. Northwood, dan rambutnya yang berdiri memang
seperti rambut Mr. Northwood.
"Kalian sudah dengar apa yang dilakukan Northwood terhadap
Carter Philips?" tanya Lanny sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Northwood mengurangi nilai ujian akhir Carter lima poin,
hanya karena cewek itu kelupaan menuliskan namanya di kertas ujian.
Lima poin itu membuat nilai Carter turun dari B ke C!"
Semua orang mendesah. "Dia memaksaku tinggal di kelas satu jam sepulang sekolah di
hari ulang tahunku!" gadis yang duduk di sofa lain berseru.
"Gila!" umpat seseorang.
"Dia sungguh-sungguh membenci kita semua," gumam Melody.
"Tidak sedalam kita membenci dia," sahut Lanny.
"Jangan kuatir," ujar Dennis kepada mereka sambil nyengir.
"Aku dan Johanna akan membereskan dia. Kami sedang menyusun
rencana." "Kapan?" desak seseorang. "Sebelum ujian unit yang akan
datang?" Dennfs tersenyum kepadaku. Dia mempererat pelukannya. "Ini
rahasia," katanya, bola matanya yang hijau berkilat-kilat penuh gairah.
"Kami tidak ingin mengurangi nilai kejutannya."
Aku tertawa bersama semua anak yang lain.
Tapi tiba-tiba tubuhku menggigil.
Apa Dennis benar-benar serius akan membunuh Mr.
Northwood" Ide membunuh Mr. Northwood dimulai hanya sebagai lelucon.
Rencana itu masih sebuah lelucon - betul, kan"
************************ Aku terkejut sekali ketika Dennis memelukku.
Pada waktu dia mengantarku pulang, radio di mobilnya disetel
terlalu keras sehingga kami tidak bisa mengobrol. Dennis memasuki
halaman rumahku, lalu mematikan mesin dan lampu mobilnya.
Dia mendekati aku dan menarikku agar mendekat.
Dia menyukaiku, pikirku. Aku tahu. Dia betul-betul menyukaiku.
Dengan hati berdebar-debar, kupandang sekilas rumahku.
Semuanya gelap kecuali lampu di teras depan.
Ranting-ranting gundul kedua pohon maple di tengah-tengah
halaman bergoyang-goyang diembus angin dingin sepoi-sepoi. Daundaun cokelat
berserakan seperti bayangan gelap di atas rumput yang
beku. "Aku senang mengajakmu kencan," kata Dennis lembut.
"Aku juga," gumamku.
Bayangan Caitlin memaksa masuk ke benakku. Tanganku
memeluk Dennis lebih erat. Kupejamkan mataku untuk mengusir
bayangan Caitlin. Jauh, jauh sekali.
Tiba-tiba aku merasa ada orang yang sedang mengawasi kami.
Langsung kulepaskan pelukan Dennis.
"Johanna... ada apa?" bisik Dennis.
Kupandang kaca depan mobil, mataku mencari-cari di
kegelapan malam - dan aku hampir tak bisa bernapas saking takutnya.
BAB 12 MR. NORTHWOOD. Dia berdiri di halaman rumahnya seperti patung.
Tangan kanannya memegang tongkat besar. Mungkin dahan
pohon yang patah. Tangannya bertelekan pada dahan itu.
Dia berdiri di kegelapan malam beberapa meter dari mobil dan
menatap kami. ebukkulawas.blogspot.com
Dia hanya berdiri memperhatikan kami.
Dennis menoleh, matanya melihat ke kaca depan mengikuti
pandanganku. "Hei," teriaknya. "Sedang apa dia di sana?"
"Aku... aku tak tahu," jawabku terbata-bata. "Mungkin dia
mengawasi kita." Di belakang kami sebuah mobil meluncur pelan menyusuri Fear
Street. Sekilas cahaya lampu mobil itu menyoroti wajah Mr.
Northwood. Ekspresi wajahnya tampak keras dan mencela.
"Setan!" umpat Dennis. "Benar-benar setan."
"Lupakan saja dia," kataku, menoleh ke Dennis sambil
tersenyum. Dennis menatap Mr. Northwood dengan cemberut. "Tidak.
Lebih baik aku pergi, Johanna."
"Mampirlah sebentar," ajakku.
Dennis menggelengkan kepalanya. Matanya masih tertuju pada
Mr. Northwood. "Lebih baik aku pergi sekarang. Sampai Senin nanti,
oke?" "Oke." Aku membuka pintu mobil. Embusan angin dingin
menerpaku. Sambil mengucapkan selamat malam kepada Dennis, aku
keluar, kemudian lari ke pintu rumahku.
Kulirik Mr. Northwood. Dia masih berdiri kaku di sana seperti
boneka salju dibalut mantel panjang abu-abu.
Mengapa dia berdiri di sana" tanyaku dalam hati dengan gusar.
Apakah dia sungguh-sungguh memata-matai aku"
Dennis memutar mobilnya. Cahaya lampu mobilnya sejenak
membuatku silau. Aku sangat marah kepada Mr. Northwood. Dengan
tangan gemetar, kumasukkan anak kunci ke lubang kunci pintu depan.
Apa haknya memata-matai aku"
Apa sih maunya" Apa yang dia kerjakan di luar sana"
Akhirnya anak kunci itu masuk juga. Aku memutarnya, dan
mendorong daun pintu hingga terbuka.
Rumahku hangat dan masih tercium bau ayam panggang untuk
makan malam. Sekujur badanku gemetar setelah kusampirkan
mantelku di pegangan tangga.
Mr. Northwood merusak kencanku, pikirku pahit.
Aku dan Dennis sedang menikmati saat-saat yang indah - dan
Northwood sialan itu merusaknya begitu saja.
Kemarahanku memuncak. Kukepalkan tanganku siap meninjunya.
Tanpa berpikir lagi, aku berjalan ke samping meja kecil hijau
yang menempel di dinding ruang tamu.
Ruang tamu gelap. Kubuka laci meja itu. Tanganku merabaraba sampai kutemukan
benda yang sedang kucari-cari.
Pistol. Pistol yang ditinggalkan ayahku untuk menjaga diriku dan Mom
sewaktu beliau pindah dari rumah ini.
Pistol itu terasa dingin dan licin di tanganku yang panas.
Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku sangat penasaran sehingga
tidak bisa berpikir. Mengapa dia memata-matai aku"
Mengapa" Tanpa menyadari apa yang sedang kulakukan, aku melangkah
ke jendela. Pistol itu kugenggam erat-erat.
Aku bersandar di kaca. Mataku mencari-cari di kegelapan
malam. Itu dia di sana, masih tidak bergerak. Dia bertelekan pada dahan
pohon sambil mengisap pipa. Asap kelabu bergulung-gulung ke
angkasa yang gelap. Mengapa kau merusak kencanku, Mr. Northwood"
Apa hakmu memata-matai aku dan menghancurkan hidupku"
Tidakkah kau tahu betapa berartinya malam ini bagiku"
Tubuhku menggigil menahan marah. Dengan tangan gemetar
kutarik jendela hingga terbuka. Hawa dingin terasa sejuk menerpa
wajahku. Mataku menatap Mr. Northwood. Aku menarik pelatuk pistol
itu seperti yang diajarkan ayahku.
Membunuh Mr. Northwood sangatlah mudah, pikirku.
Mudah sekali. Sambil bersandar di ambang jendela, aku mengangkat pistol itu.
Kuarahkan moncong pistol ke tubuh Mr. Northwood.
Semakin mantap dan mantap.
Jari telunjuk kuselipkan di pelatuk pistol.
Luar bisa mudah. Sangat mudah untuk membunuhnya.
Dadanya adalah sasaranku.
Mendadak lampu ruang tamu menyala.
"Johanna!" seru ibuku sambil cepat-cepat masuk ke ruang tamu.
"Apa yang kaulakukan, dengan pistol itu?"
Sudah terlambat, Mom. Aku menarik pelatuknya.
BAB 13 TENTU saja pistol itu tidak meletus. Pelurunya masih ada di
dalam laci. Aku menoleh memandang ibuku sambil menurunkan pistol di
samping badanku. "Ku... kupikir aku mendengar maling membongkar
rumah," kataku berbohong.
"Maling!" teriak Mom, matanya terbelalak. "Aku akan panggil
polisi!" "Tidak. Tunggu," kataku menenangkannya. "Tidak ada di sini.
Rupanya hanya suara angin atau apa. Mom tahu terkadang aku
ketakutan di malam hari."
"Tutup jendela," kata Mom sambil memandangku dengan
curiga. "Rumah tua yang banyak angin ini sudah cukup dingin."
Aku menutup jendela sambil mengintip ke halaman depan yang
gelap. Aku heran, Mr. Northwood sudah lenyap.
Akhirnya dia masuk ke rumahnya.
Aku ingin benar-benar melenyapkanmu, pikirku. Tubuhku
masih menggigil karena marah.
"Seharusnya kau tidak mengeluarkan pistol itu," ujar Mom
sambil mengencangkan ikat pinggang baju tidurnya yang berwarna
merah muda. "Aku sama sekali tidak suka pistol itu ada di rumah ini.
Itulah satu contoh lagi keputusan bodoh ayahmu." Ia menarik napas
panjang, kesal. "Pistol ini kosong," kataku pelan. Aku memasukkannya ke laci
dan mendorong laci itu hingga tertutup.
"Bagaimana kencanmu?" tanya Mom, matanya yang gelap
menatapku, memperhatikan wajahku.
"Asyik," ujarku. "Asyik sekali."
Aku berjalan tergesa-gesa ke kamar tidurku. Dalam hati aku
bertanya-tanya, apakah Dennis akan mengajakku kencan lagi"
*************************
Senin pagi itu, Melody memaksaku tinggal di ruang ganti
pakaian. Kami baru saja selesai bermain voli. Rambut Melody yang
biasanya tersisir rapi tampak agak kusut. "Aku ingin mengatakan
sesuatu kepadamu," katanya, matanya yang biru pucat menatapku.
"Nanti terlambat," jawabku. "Sebentar lagi bel."
"Tidak lama kok," jawabnya pelan. "Begini, Caitlin tahu
tentang kau dan Dennis." Melody menatapku tajam, menunggu
reaksiku. Mulutku terbuka, tapi tak sepatah kata pun kuucapkan.
"Aku tidak memberitahu dia lho," kata Melody, membiarkan
handuk yang dipegangnya jatuh di bangku dekat locker. "Tapi Caitlin
tahu. Ada banyak anak di rumahku Jumat lalu. Maksudku, mungkin
dia tahu dari mereka."
"Jadi?" tanyaku sambil menengok ke jam dinding.
"Jadi dia marah sekali," Melody melanjutkan. "Aku tak tahu apa
yang dikatakan Dennis kepadamu, tapi Caitlin orangnya cemburuan.
Aku hanya memperingatkanmu. Caitlin tidak mengizinkan siapa pun
berkencan dengan Dennis."
"Kurasa itu tergantung pada Dennis, kan?" tanyaku dengan
suara melengking. Bukan maksudku untuk bersikap emosional, tapi
tak sanggup menahan diri.
"Jangan bodoh!" teriak Melody kesal. "Aku hanya mencoba
memperingatkanmu." Bel berdering, menyadarkan kami. Melody buru-buru lari
sambil mengoleskan lip gloss di bibirnya.
Ada apa sebenarnya" aku bertanya-tanya.
Aku tahu Caitlin dan Melody bersahabat. Apakah Caitlin
menyuruh Melody memperingatkanku" Apakah Dennis berbohong
ketika mengatakan bahwa dia dan Caitlin kadang-kadang berkencan
dengan orang lain" Atau itu cuma ulah jahat Melody, hanya untuk
membuat masalah" Aku berlari menuju kelasku. Pertanyaan itu berulang-ulang
muncul di kepalaku, tapi aku tidak menemukan jawabannya.
***************************
Sepulang sekolah, aku berjalan melewati koridor yang ramai,
menuju perpustakaan di lantai dua. Aku harus mencari bahan untuk
proyek ilmiah yang sedang kukerjakan bersama Margaret.
Aku berpapasan dengan Caitlin di tangga. Aku yakin sekali dia
melihatku. Tapi dia tetap mengobrol dengan cewek di sampingnya dan
melangkah tepat di sebelahku.
Di puncak tangga, aku berbelok ke perpustakaan. Aku segera
berhenti ketika mendengar suara yang tak asing lagi memanggilku.
"Oh, hai, Dennis," kataku tersenyum. "Ada apa?"
Fear Street - Tantangan The Dare di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dennis memakai jaket merah dan abu-abu Shadyside serta jins
belel bergaya baggy. Dia memegang sebatang cokelat granola yang
tinggal separo. Dia tersenyum dan menawariku cokelat itu.
Aku menggeleng. "Tidak, trims deh."
Dennis menarik sehelai benang dari bahu sweter biruku.
"Gimana kalau kita belajar bersama nanti malam?" tanyanya. "Aku
akan ke rumahmu setelah latihan atletik."
Dennis sungguh-sungguh menyukaiku! pikirku bahagia.
Tiba-tiba perkataan Melody memaksa masuk ke benakku.
Sekali lagi kulihat dia menatapku tajam, memperingatkanku tentang
Caitlin. Dennis menggigit cokelat granola itu, menunggu jawabanku.
"Ide bagus!" kataku. Mungkin seharusnya tidak kubiarkan
diriku begitu antusias. Seharusnya aku bersikap biasa-biasa saja. Tapi
aku tak tahan. Maaf, Caitlin, pikirku, aku suka sekali pada Dennis. Dan kalau
Dennis menyukaiku, alangkah malangnya kau.
"Sampai nanti," kata Dennis. Dengan kocak dia memberi
hormat dengan dua jarinya.
"Sampai nanti," sahutku riang.
Dalam perjalanan pulang, aku mulai ragu-ragu.
Rumahku jelek dan tidak terawat. Sangat memalukan.
Dibandingkan dengan rumahku, rumah Melody seperti istana.
Ukurannya saja lima kali lebih besar. Dan lupakanlah soal krom serta
sofa kulit putih. Di ruang tamuku hanya ada sofa berlapis korduroi
dekil dan dua kursi vinil yang sudah usang.
Menyedihkan. Sangat menyedihkan.
Hatiku pilu melihat keadaan ruang tamuku. Sebaiknya
kutelepon Dennis dan minta maaf agar dia tidak usah datang. Aku
ingin Dennis menyukaiku. Aku takut jika Dennis melihat keadaan
rumahku, ia akan menganggapku tidak pantas menjadi anggota
gengnya. Pikiran yang konyol. Tapi Dennis membuat otakku agak miring. Aku mengakuinya.
Aku membuat sandwich ikan tuna untuk makan malam dan
menyantapnya bersama sepiring penuh keripik kentang. Itulah
keuntungannya punya badan sekurus aku. Kau bisa makan keripik
kentang sebanyak yang kau suka.
Setelah makan malam, telepon berdering. Segera kusambar
gagang telepon. Mungkin Dennis yang menelepon ingin minta maaf karena
tidak bisa datang, pikirku.
"Halo?" Aku rindu mendengar suaranya.
"Hai, Johanna, ini aku," kata Margaret. "Jam berapa aku harus
ke sana?" "Hah?" Pertanyaan Margaret mengejutkanku.
"Kau bilang kita akan mengerjakan tugas itu di rumahmu
malam ini... ingat, kan?" kata Margaret. "Itu lho, proyek ilmiah kita?"
"Oh. Ya." Dennis membuatku tergila-gila, sampai aku lupa
rencanaku belajar bersama Margaret.
"Oh... Jangan malam ini, Margaret. Aku... oh..."
Aku tak ingin mengatakan bahwa aku mendepaknya gara-gara
Dennis. Sebenarnya, tugas yang dijadwalkan untuk hari Jumat itu
harus segera kami kerjakan.
"Aku sedang flu nih," aku berbohong.
Aku tidak pintar berbohong. Kata-kata itulah yang pertama kali
muncul di kepalaku. "Di kelas tadi kau kelihatan baik-baik saja," Margaret
menegaskan. Aku tahu dia tidak mempercayai alasanku.
"Aku mulai merasa tidak enak sepulang sekolah," ujarku,
merasa sangat bersalah. "Aku ingin tidur lebih awal. Mungkin besok
aku sudah sembuh. Gimana kalau belajarnya besok malam saja?"
"Yeah, baik deh," jawab Margaret. "Cepat sembuh, oke?"
Margaret menutup telepon.
Aku berdiri di sana sambil memikirkan betapa baiknya
Margaret. Mengapa aku harus membohonginya" aku bertanya sendiri.
Mengapa tidak kukatakan saja bahwa Dennis malam ini akan datang
untuk belajar" Margaret pasti akan ikut bahagia.
Tidak, aku memutuskan, dia tidak akan senang. Dia pasti marah
dan terluka karena aku mengabaikannya demi Dennis. Tapi aku
merasa tindakanku benar. Berbohong demi kebaikan.
Bel berbunyi. Aku tergesa-gesa membuka pintu.
"Dennis... hai!" kataku riang. Aku membuka pintu depan - dan
berdiri terpaku keheranan.
BAB 14 "HAI, kok bengong?" Dennis tersenyum.
Empat wajah lain muncul. Dennis membawa semua anggota
gengnya - Melody, Zack, Lanny, bahkan Caitlin!
Mereka menerobos masuk melewatiku. Sekilas kutatap Dennis
dengan pandangan bertanya, tapi ia tak menanggapi.
Mereka melemparkan mantel dan ransel ke lantai, kemudian
duduk di ruang tamu, mengobrol dan tertawa-tawa. Mereka tidak
menggubrisku. Melody meluruskan kakinya di atas lengan kursi vinil
cokelatku. Dia memakai sweter panjang merah dan celana panjang
ketat hitam. Rambutnya yang pirang diikat ke atas berbentuk sanggul
di belakang kepalanya. "Buat apa sih kita ke sini?" dia bertanya
kepada Dennis. "Mau belajar, atau apa?"
"Kita akan berpesta," kata Zack menyeringai. Dia menjatuhkan
badannya yang sebesar raksasa itu ke lantai. Zack memakai sunglasses
biru seperti kebiasaannya. Dia menoleh kepadaku. "Kau punya
minuman?" "Ada Coca-Cola di lemari es," jawabku.
"Aku suka rumahmu," kata Lanny sambil memukulkan
tangannya di atas sofa korduroi dekil. "Benar-benar... nyaman."
"Ada orang lain di rumah?" tanya Caitlin, sambil memandang
ke sekeliling ruangan. Dia berdiri dekat Dennis yang sedang duduk di
bingkai jendela, membersihkan sesuatu di bahu sweter Dennis.
Caitlin memakai topi bisbol warna biru angkatan laut di atas
rambutnya yang cokelat dan dipotong pendek. Pipinya merah,
mungkin karena hawa di luar dingin.
Kujelaskan kepadanya bahwa ibuku sedang bekerja. Setelah itu
aku masuk untuk melihat apakah persediaan Coca-Cola di lemari es
cukup untuk mereka semua.
Mengapa Dennis tidak memberitahuku" tanyaku dalam hati
sambil berjalan ke dapur. Mengapa dia tidak mengatakan bahwa dia
akan membawa semua temannya ke sini"
Aku kecewa karena dia tidak datang sendirian. Tapi aku juga
merasa senang karena mereka berkumpul di rumahku. Maksudku,
mungkin ini artinya mereka menerimaku dalam gengnya. Mungkin ini
berarti kami semua akan bersahabat.
Aku membungkuk dan mengambil beberapa kaleng Coca-Cola
dari lemari es. Kudengar Caitlin tertawa di ruang tamu.
Terus terang aku agak kikuk Caitlin berada di sini. Apalagi
setelah apa yang dikatakan Melody. Tapi Caitlin tidak marah atau
bersikap aneh, malah tampaknya dia sangat gembira.
Apakah Caitlin sungguh-sungguh menyuruh Melody
menyampaikan padaku agar aku menjauhi Dennis" Apakah Caitlin
memang mempersoalkan itu"
Semuanya sangat membingungkan. Kuputuskan untuk berdiam
diri dan mencoba menerima kehadiran teman-teman baruku.
"Kuharap kau tidak keberatan mereka di sini." Dennis tiba-tiba
muncul di pintu dapur. Dia tersenyum polos seperti anak-anak.
"Tak apa-apa kok," aku balas tersenyum. Tiba-tiba aku ingin
lari menghampirinya dan memeluknya. Dennis memang sangat
tampan. Oh-oh, Johanna, pikirku. Awas. Kau benar-benar jatuh cinta
kepadanya. Hati-hati! Dennis menolongku membawa Coca-Cola. Ketika kami
kembali ke ruang tamu, suasana sudah berubah.
Zack berdiri dan berjalan mundur pelan-pelan ke jendela.
"Kalian belum tahu apa yang dilakukan si tolol itu?" tanyanya sambil
menggaruk-garuk rambutnya yang merah dan keriting. "Kalian belum
tahu?" "Kau sedang membicarakan siapa?" tanya Dennis yang duduk
di lantai di samping Caitlin.
"Northwood, tentu," jawab Zack pahit. "Kau belum tahu,
Dennis" Aku yakin semua orang di sekolah sudah tahu."
"Ada apa sih?" tanya Dennis. Dia meneguk Coca-Cola dari
kalengnya. Matanya yang hijau menatap Zack.
"Northwood memanggil Zack setelah pelajaran usai. Dia
melihat Zack menyontek waktu ulangan," kata Lanny sambil
tersenyum puas. "Aku tidak menyontek!" jerit Zack sambil memandang Lanny.
"Kalau begitu kenapa kau melongok ke pundak Deena
Martinson?" tanya Melody dengan nada mendesak.
"Aku hanya bertanya kepadanya jam berapa," jawab Zack.
"Aku tidak melihat kertas ulangannya. Aku hanya bertanya mengenai
waktu." Melody dan Lanny tertawa mengejek. Caitlin memutar-mutar
bola matanya. "Kami tidak percaya," Dennis berkata pelan sambil nyengir.
Zack marah, sumpah serapah berhamburan dari mulutnya. Aku
tidak bisa melihat mata Zack di balik sunglasses birunya. Tapi tanpa
melihat pun aku sudah tahu dia marah sekali. Badan Zack besar dan
kuat. Aku kuatir dia akan memukul jendela atau menghancurkan
lampu-lampu. Sejenak kubayangkan Zack mengamuk di ruang tamu. Aku
membayangkan Mom pulang kerja, berjalan masuk, dan tidak melihat
apa-apa kecuali debu. Fantasi itu mungkin akan berkembang.
"Aku tidak bohong," Zack menjelaskan. "Sumpah deh, aku
tidak nyontek. Tapi Northwood menangkapku lalu menarikku keluar
ruangan. Dia mengatakan dia akan menskors aku lagi, kali ini untuk
selama-lamanya." "Kau tidak bilang padanya kalau kau hanya menanyakan
waktu?" tanya Dennis.
"Tentu saja aku bilang," sahut Zack marah. "Tapi Northwood
tidak mau mendengar. Dia bahkan tidak memberiku kesempatan untuk
bicara!" "Dia tidak pernah mau mendengarkan kita," Lanny
menimbrung, wajahnya yang tampan cemberut. "Dan dia tidak mau
memberi kita kesempatan. Kau tahu kenapa" Kau tahu kenapa
Northwood selalu membuat masalah dengan kita?"
"Karena dia dungu?" jawab Zack.
"Tidak. Karena kita kaya," ujar Lanny bernafsu. "Kita kaya dan
dia miskin. Itulah sebabnya mengapa kita selalu dicekal."
"Yeah, kau benar," gumam Melody.
"Dia tidak pernah memberi kita kesempatan," kata Caitlin
setuju. Zack tiba-tiba membungkuk dan mengangkat ranselnya.
"Sudahlah," gumamnya. "Pasti beres." Dia membuka ransel itu dan
memasukkan tangannya yang besar ke dalamnya. Setelah meraba-raba
beberapa detik, akhirnya dia menemukan apa yang sedang dicarinya.
Kemudian Zack berpaling kepada kami, ekspresi wajahnya
langsung berubah. Dia tersenyum jahat di balik sunglasses bundarnya.
"Hai, man, apa tuh?" tanya Dennis ingin tahu.
"Akan kukerjai dia," jawab Zack, senyumnya makin lebar,
ekspresinya mengancam. "Aku akan mengerjai Northwood - malam
ini." BAB 15 DENNIS dan Lanny tertawa gelak-gelak. Tapi mereka segera
menutup mulut ketika melihat ekspresi wajah Zack.
Aku berdiri di belakang sofa. Tanganku kusilangkan di depan
dada dengan tegang. Semua orang menatap Zack.
Zack menjatuhkan ranselnya ke lantai di dekat kakinya. Butuh
waktu sejenak untuk mengetahui benda apa yang ada di genggaman
tangannya yang besar dan kokoh.
Ternyata sebuah tabung reaksi.
Zack mengangkat tabung itu sehingga kami bisa melihatnya.
Mulutnya menyeringai. "Ap... apa itu?" tanyaku terbata-bata.
"Zack akan meneguknya dan berubah menjadi serigala,"
komentar Melody acuh tak acuh.
Cairan kuning di dalam tabung reaksi itu berkilauan tertimpa
cahaya lampu. "Itu nitrogliserin!" kata Lanny sambil meloncat berdiri. "Dia
akan meledakkan kita semua!"
Suara tawa Zack kedengaran kejam seperti tawa ilmuwan
sinting. Dia mengacungkan tabung gelas yang tipis itu di atas
kepalanya. "Ayo dong, Zack," bujuk Caitlin, "apa sih isinya?"
"Ini jus sigung," jawab Zack.
"Hah?" Kami terpekik kaget.
"Aroma sigung," Zack mengulangi sambil mendekati kami, dan
mengulurkan tabung reaksi itu. "Lihat. Mau menciumnya?"
Tangannya akan membuka sumbat tabung itu.
"Jangan!" "Tidak!" "Singkirkan!" "Itu benar-benar bau sigung?" tanyaku sambil menatap tajam
cairan kuning itu. Zack mengangguk. "Yeah. Kakakku membawanya untukku.
Dari laboratorium ilmiah di universitas."
"Jorok," gumam Caitlin, kelihatan ingin muntah.
"Ingin mengisapnya?" Zack menyodorkan tabung itu kepada
Caitlin. "Bawa sana!" Caitlin menjerit. Dia membenamkan wajahnya di
sweter Dennis. Aku cemburu. Aku ingin duduk di tempat sekarang Caitlin
duduk - di samping Dennis.
Tapi aku tak punya waktu untuk memikirkan hal itu. Tiba-tiba
semua orang berdiri, mengikuti Zack menuju pintu depan.
"Apa yang akan kalian lakukan?" desak Caitlin sambil
mengenakan mantel bulunya.
"Zack akan minum jus itu lalu mengembuskannya ke muka
Northwood," komentar Dennis.
Semua tertawa. "Ayo jalan, man," Lanny menepuk punggung Zack keras-keras.
Hampir saja tabung reaksi itu terlepas dari pegangannya.
"Aduh!" teriakku, ngeri membayangkan bau sigung meluap di
dalam rumahku. "Ayolah, Zack, apa rencanamu" Kita akan pergi ke mana?"
tanya Melody, sambil memutar tubuhnya di pintu dan menghalanghalangi jalan. "Aku tidak mau ikut sampai aku tahu apa yang akan
kaulakukan."
Fear Street - Tantangan The Dare di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Zack nyengir di balik sunglasses birunya.
"Sederhana saja," katanya sambil menggenggam tabung reaksi
itu di depan pinggangnya. "Salah seorang di antara kita akan
menuangkan cairan ini di teras rumah Northwood. Itulah rencanaku.
Kakakku bilang, butuh waktu berbulan-bulan untuk menghilangkan
bau busuk itu." "Salah seorang?" tanya Dennis. "Apa maksudmu, salah seorang
di antara kita?" "Begini, aku sudah membawa jus sigung ini," jawab Zack. "Jadi
orang lain yang harus menuangnya. Dennis, aku menantangmu."
Zack menjejalkan tabung reaksi itu ke tangan Dennis, tapi
Dennis mengangkat tangannya dan melangkah mundur. "Tidak, man!"
serunya. "Aku sudah cukup dapat masalah dengan Northwood!"
"Ini untuk balas dendam, Dennis!" Zack mendesak, sambil
mengulurkan tabung gelas itu. "Balas dendam! Kau tahu kau ingin
melakukannya. Ayolah. Aku menantangmu!"
"Tidak," Dennis tetap menolak. Dia meletakkan tangan
kanannya di pundak Caitlin.
"Kau saja yang menuangnya, susah amat," kata Melody kepada
Zack. "Badanku terlalu besar. Northwood akan melihatku," ujar Zack.
"Aku akan melakukannya!" seruku.
Jangan tanya kenapa aku mau menjadi sukarelawan. Kata-kata
itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Belakangan setelah kupikir-pikir, kurasa aku berbuat senekat itu
karena kulihat Caitlin memeluk bahu Dennis. Aku ingin membuat
Dennis terkesan. Aku ingin memperlihatkan kepada semua orang
bahwa aku adalah salah satu dari mereka, salah satu anggota geng itu.
Dan aku ingin menunjukkan kepada Dennis bahwa aku lebih hebat
daripada Caitlin. Tapi saat mengajukan diri, semua itu tak terlintas dalam
benakku. Aku melakukannya dengan spontan.
"Hebat, Johanna!" seru Lanny.
Zack menyelipkan tabung reaksi itu ke dalam tanganku. Panas
yang berasal dari genggaman tangannya yang kuat masih dapat
kurasakan. "Johanna sekecil udang," Zack menerangkan kepada yang
lainnya. "Dia bisa menyelinap ke sana, melakukan tugas itu, kemudian
menyelinap kembali tanpa terlihat."
"Kau mau menang sendiri," Dennis menuduh Zack.
Zack pura-pura meninju wajah Dennis dengan kepalannya yang
besar. "Ayo katakan lagi. Aku akan membuatmu berantakan, man."
Dennis memasang wajah jijik. "Hei, Zack, jus sigung itu
menetes di tanganmu. Puh!"
"Hah?" Zack berteriak kaget sambil mengendus-endus
tangannya. Dennis tertawa. "Kena kau!"
Zack memukul pundak Dennis keras-keras.
"Hei, apa kita akan berdiri di sini sepanjang malam" Ayo
kerjakan!" seru Lanny.
Kami melangkah keluar di malam yang dingin dan sepi itu.
Bulan yang hanya tampak separo bersinar terang, cahayanya menimpa
pohon-pohon gundul. Tak ada yang bergerak. Tak sehelai daun pun
bergoyang. Suasana sunyi senyap.
Aku mendahului mereka berjalan ke rumah Mr. Northwood.
Hatiku lega karena rumah itu gelap. Mungkin dia tidak di rumah. Atau
mungkin saja dia tidur lebih awal.
Kami melintasi jalan di depan rumahku dan berhenti di samping
rumah Mr. Northwood. Dua rumpun semak evergreen yang hampir
gundul tumbuh di sana. Kami bersembunyi di balik semak-semak itu.
"Mobilnya tidak ada di tempat parkir," bisik Dennis. "Jadi
barangkali dia tidak di rumah."
"Mungkin ada di garasi," aku balas berbisik.
Menyadari bahwa tabung reaksi itu terlalu erat kugenggam,
buru-buru aku mengendurkan peganganku, sambil memandang teras
depan yang gelap. Mengapa aku melakukannya" tanyaku pada diriku sendiri.
Apakah aku sudah tidak waras"
Aku menatap Dennis. Dia mengedipkan matanya kepadaku
untuk memberi semangat. Jantungku berdebar-debar. Ya, mungkin aku sudah tidak waras.
Apakah aku akan melakukan apa saja demi Dennis"
Tak ada waktu lagi untuk memikirkan hal itu. Anak-anak yang
lain semua berbisik, menyuruhku cepat-cepat melakukannya.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai berlari-lari kecil
menginjak rumput menuju teras depan Mr. Northwood. Kugenggam
tabung reaksi itu hati-hati di depan tubuhku.
Jauh dari blok itu terdengar klakson mobil memecah
keheningan malam yang mencekam.
Aku berharap tidak ada mobil yang lewat di jalan.
Aku berdiri di samping teras. Jantungku berdebar keras. Aku
bisa mendengar detaknya. Kuinjak tangga pertama dan kuangkat tabung reaksi itu.
Cepat! Cepat! Aku melangkah diam-diam.
Dengan tangan gemetar kubuka sumbat tabung itu - dan lampu
teras itu menyala. BAB 16 "OH!" aku menjerit ketakutan.
Tabung reaksi itu lepas dari genggamanku, jatuh tergulingguling, dan hancur di
teras. Aku berbalik, lalu lari secepat mungkin dan bersembunyi di
balik semak-semak evergreen.
Aku mendengar pintu depan dibuka.
"Siapa di sana?" Suara Mr. Northwood yang marah dan bergetar
memecah kesunyian malam. Aku merunduk di balik semak-semak, bergabung dengan yang
lain. Kemudian kudengar Mr. Northwood mengerang muak. "Oh,
Tuhan!" serunya pelan. Kudengar dia mengutuk. Kemudian pintu
depan dibanting hingga tertutup.
Teman-temanku yang baru langsung memberi selamat. Zack
mendekapku erat-erat dalam pelukannya yang sekuat beruang.
"Johanna... kau mengagumkanl" bisiknya.
"Kau hebat!" puji Dennis tersenyum.
Kami semua tertawa, melakukan tos, merayakannya diam-diam
di balik semak-semak. Apakah Mr. Northwood melihatku" Aku mengira-ngira, sambil
mengintip teras depan. Apakah dia tahu siapa yang melakukannya"
Perayaan kemenangan itu tidak berlangsung lama. Bau busuk
dan asam yang memuakkan menjalar cepat.
Kami semua menciumnya. Baunya menyengat!
Aku tidak pernah mencium bau lain yang memuakkan seperti
ini. Perutku mual, aku hampir muntah.
"Kita keluar sekarang!" teriak Dennis.
"Ayo cari makanan!" ajak Zack.
Kami duduk berdesak-desakan di dalam Mercedes milik
orangtua Melody. Beberapa detik kemudian, kami mundur ke jalanan
dan menyusuri Fear Street.
Zack, Lanny, Caitlin, dan aku berdesak-desakan di bangku
belakang. Dennis duduk di depan di samping Melody yang
mengemudi. Memang tidak nyaman, tapi aku tak peduli. Seumur
hidupku, baru kali ini aku naik Mercedes!
Kami tertawa dan bercanda sepanjang jalan menuju The Corner.
Kami semua bergembira ria karena misi jus sigung berhasil.
Restoran itu hampir kosong. Murid-murid Shadyside High biasa
mangkal di sana hingga larut malam di hari libur. Tapi ini bukan hari
libur. Kami menuju bangku di pojok belakang restoran untuk
memesan hamburger dan kentang goreng.
Zack mentraktir aku. Tentu saja aku merasa lega sebab aku
tidak membawa uang. Aku sangat bahagia. Di sini aku bisa berkumpul bersama anakanak paling terkenal
di Shadyside. Sikap mereka sangat baik
kepadaku. Aku benar-benar diterima menjadi anggota kelompok elite.
Caitlin duduk di samping Dennis. Aku sedih melihatnya.
Namun Dennis tetap tersenyum penuh rahasia kepadaku. Dan aku
menjadi bintang malam itu.
"Kaulihat tampang Northwood ketika dia mencium jus sigung
itu?" seru Zack gembira sekali.
"Tidak Aku tadi lari sekencang-kencangnya!" sahutku.
"Rambutnya berdiri tegak!" ujar Caitlin.
"Syukur aku tidak duduk di bangku depan," kata Melody sambil
memencet hidungnya. "Mungkin pakaiannya juga bau selama
sebulan" Kami semua tertawa, bergurau, dan bersenang-senang.
Jam menunjukkan pukul 22.30 ketika mereka menurunkanku di
depan rumahku. Aku melambaikan tangan kepada mereka, dan
Mercedes warna perak itu segera meluncur kembali di jalanan.
Aku tersenyum sendiri memikirkan kemenanganku, sambil
melangkah ke halaman rumahku.
Mendadak senyumku lenyap. Sosok gelap melangkah keluar
menghampiriku. BAB 17 MR. NORTHWOOD! Dia yang pertama kali muncul di benakku.
"Johanna!" panggil Margaret. Dia menghampiri aku yang
sedang berdiri terpaku di depan rumah. Margaret membawa rantang
aluminium. Terima kasih, Tuhan, ternyata aku keliru.
"Margaret, apa yang kaulakukan di sini?" seruku.
Bahkan dalam kegelapan malam masih bisa kulihat matanya
menatapku tajam. "Johanna, katanya kau sakit."
"Yeah. Aku..." Bau busuk tercium di udara malam yang lembap. Bau sigung.
"Ooh, bau apa ini?" Margaret memutar badannya mencari-cari.
"Panjang ceritanya," kataku. Lalu kuajak dia masuk ke rumah.
Lampu sudah menyala. Kudengar Mom berjalan mondar-mandir di
belakang. Aku berseru memberitahunya bahwa aku sudah pulang.
Kemudian kuhampiri Margaret. Dia memakai mantel bertopi, bekas
sepupunya. Topinya terkulai kaku di belakang kepalanya. Rambutnya
yang merah kecokelatan kusut, dan tampak tidak serasi dengan
mantelnya yang berwarna merah muda.
Margaret mengulurkan rantang itu kepadaku. "Aku
membawakan sup ayam untukmu. Ibuku punya sedikit di lemari es.
Kau bilang sedang flu."
"Maaf...," kataku merasa bersalah.
"Seharusnya kau berterus terang saja kalau punya rencana lain,"
potong Margaret dengan suara bergetar. "Jangan bohongi aku."
"Aku tidak punya rencana, sungguh," kataku setelah diam agak
lama. Kulihat kepedihan di mata Margaret. "Jika kau tidak mau
belajar dengan aku malam ini, katakan saja terus terang, Johanna."
"Baik deh," kataku sambil mengambil sup dari tangannya.
"Maafkan aku. Dennis datang dan..."
"Kau bukan kelompok mereka," tukas Margaret getir.
"Hah?" Ucapannya mengagetkanku.
"Mereka berbeda dengan kita," Margaret melanjutkan, sambil
menatapku tajam. "Mereka biasa melakukan apa yang mereka
inginkan, tidak peduli siapa yang bakal mereka sakiti."
"Kau terlalu mendramatisirnya," kataku menyanggah
tuduhannya. "Kau kebanyakan nonton film, Margaret."
"Sungguh, kau akan menyesal nanti."
"Terima kasih, Mom," ujarku ketus.
"Makanlah supmu," kata Margaret. "Sampai ketemu besok."
Dia berbalik dan berjalan tergesa-gesa menuju pintu.
*************************
Selama beberapa minggu berikutnya, Dennis dan temantemannya sering datang ke
rumahku. Mereka datang setelah makan
malam. Kami berkumpul, tertawa-tawa, dan belajar bersama.
Rumahku tidak sebesar dan senyaman rumah mereka. Tapi
mereka suka ke rumahku karena ibuku tidak di rumah.
Ibuku bekerja terus sehingga jarang di rumah.
Kuhabiskan waktuku hanya untuk melamunkan Dennis. Kucoba
memikirkan bagaimana caranya memikat Dennis hingga dia
meninggalkan Caitlin dan menjadi pacarku.
Semua orang masih punya masalah dengan Mr. Northwood.
Kupikir dia curiga bahwa Dennis dan kawan-kawannya yang
melakukan serangan jus sigung. Sejak saat itu dia memperlakukan
mereka lebih keras daripada sebelumnya.
Mr. Northwood memberi Dennis dan Zack nilai buruk dalam
ujian semester. Itu berarti Dennis tidak memenuhi syarat lagi untuk
menjadi tim atletik. Orangtua Dennis datang ke sekolah dan berdebat
dengan Mr. Hernandez. Namun kali ini, Kepala Sekolah mendukung
Mr. Northwood. Mr. Northwood menyuruh Caitlin dan Melody tetap tinggal di
kelas selama sejam setelah pulang sekolah setiap hari selama
seminggu - hanya karena mereka cekikikan ketika ia mengadakan
diskusi. Dan dia mengancam tidak akan mengizinkan kami semua ikut
tamasya musim semi, jika tugas-tugas kami tidak diserahkan tepat
waktu. Maka setiap kali bertemu, kami selalu bercanda tentang
keinginan kami untuk membunuh Mr. Northwood.
Sampai pada suatu Kamis malam, gurauan itu menjadi rencana
serius. ********************** Zack mencuri dua belas kaleng bir dari rumahnya. Kami semua
menenggak bir sambil mengerjakan PR di ruang tamuku.
Aku duduk di kursi, mencoba berkonsentrasi pada Hamlet.
Dennis dan Caitlin duduk di ujung sofa, menulis cepat-cepat di buku
catatan kimia. Zack, Lanny, dan Melody menelungkup di karpet, asyik
dengan buku-buku yang berbeda.
Kudengar Dennis menggumam, dia butuh pensil. Aku tidak
melihat dia berdiri atau berjalan ke meja hijau kecil yang menempel di
dinding. Tiba-tiba kulihat dia membuka laci meja. "Wow!" Matanya
terbelalak ketika melihat pistol kecil yang tersimpan di sana.
Diambilnya pistol itu. "Wah! Kita benar-benar bisa membunuh Mr.
Northwood!" "Dennis, singkirkan pistol itu!" Caitlin berteriak ketakutan dari
sofa. "Apa itu?" seru Lanny sambil menengadah.
"Kita bisa menembak dia. Kita benar-benar bisa menembak
dia!" teriak Dennis antusias.
Kulihat Dennis memasukkan peluru ke dalam pistol itu.
"Dennis, jangan," kataku sambil menutup bukuku. Dadaku
sesak, sangat ketakutan. "Hai, Zack, coba periksa!" teriak Dennis mengabaikan katakataku. Dia menunjukkan
pistol yang berisi peluru itu kepada Zack.
Fear Street - Tantangan The Dare di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Zack menggapai dan memegang pistol itu, hingga birnya
tumpah di karpet. Zack tidak memperhatikannya, sebab dia asyik
memutar-mutar pistol perak itu. Dia memperhatikan pistol itu dengan
teliti. "Ini betulan?" tanyanya kepadaku. "Aku belum pernah
memegang pistol betulan."
"Itu milik ayahku," aku menjelaskan. "Tolong kembalikan...
oke?" "Yeah. Singkirkan itu. Cepat!" bujuk Caitlin.
Tapi Zack menyerahkan pistol itu kepada Lanny. Lanny purapura menembak Dennis.
Dennis memegang perutnya dan terhuyunghuyung jatuh ke lantai.
Ketiga cowok itu tertawa. Tapi aku, Caitlin, dan Melody tidak
tertawa sama sekali. Aku berdiri. "Sudahlah, teman-teman. Jangan berkeliaran
dengan pistol itu. Kalian membuatku ketakutan."
"Aku pulang dulu," kata Melody tegang. Dia menutup bukunya,
lalu berdiri. "Kalau kalian tidak menyingkirkan pistol itu, aku akan
pulang. Permainan ini tidak lucu."
Lanny sudah menenggak tiga kaleng bir. Matanya berair. Dia
menyeringai ke arah Melody, kemudian memutar-mutar pistol itu.
"Sejak dulu aku ingin jadi koboi," gumamnya.
"Kita bisa menembak Northwood," kata Dennis, sambil
menggaruk-garuk kepalanya. "Gampang sekali membunuhnya." Ia
mendekati Lanny dan mengambil pistol itu dari tangannya.
"Selamat tinggal," kata Melody. "Aku serius nih. Aku pergi
sekarang." Melody berjalan keluar.
Dennis membawa pistol itu ke jendela. Dia membidikkannya
dalam kegelapan dan pura-pura menembak. "Dor. Mampus kau, Mr.
Northwood," katanya menyeringai.
Dennis melemparkan pistol itu ke tubuh Zack. "Apa yang
sedang kaupikirkan, man?"
Zack menghindar. Pistol itu menggelinding di karpet, dan
berhenti di kakinya. "Singkirkan pistol itu! Ayolah!" teriakku.
"Kita akan menembak Northwood. Setelah itu pistol ini kita
sembunyikan," kata Dennis. "Lalu kita pura-pura tidak tahu apa-apa.
Tak seorang pun akan mencurigai geng remaja baik-baik dan
terhormat seperti kita."
"Kau gila, Dennis," kata Caitlin gemetar. "Kau benar-benar
gila." Zack mengarahkan pistol itu ke tubuh Lanny. "Dor. Kena kau!"
"Berikan padaku!" desak Lanny. Zack memberikan pistol itu
kepadanya. Lanny memperhatikannya lagi, lalu memandangku. "Pistol
pembunuh!" serunya. "Ini hanya lelucon, kan?" tanyaku sambil menghampiri dia dan
merebut pistol itu. Tapi Lanny melemparkannya kembali kepada
Dennis. Dennis menangkapnya. Nyaris pistol itu jatuh. Kemudian
Dennis memutar-mutar pistol itu di jarinya.
"Dennis, ayolah!" Melody memohon dari pintu.
"Lihat ini," kata Dennis tersenyum kepadaku. "Lihat gerakan
cepat ini." "Tidak. Jangan!" seruku.
Tanpa menghiraukan aku, Dennis menyelipkan pistol itu di
kantong jinsnya. "Pada hitungan ketiga," katanya, matanya yang hijau
bersinar-sinar. Dennis menghitung sampai tiga.
Kemudian dia menarik pistol itu dari kantong jinsnya seperti
gaya koboi. Kami semua terkesiap ketika pistol itu meletus.
Suaranya seperti ledakan petasan yang paling keras.
Kemudian Zack menjerit kesakitan.
Aku ternganga ketika darah segar membasahi bahu kemejanya.
Mulanya seperti lingkaran kecil, lalu menjadi lebih besar, dan lebih
besar lagi... Zack menjerit ketakutan. Tubuhnya semakin lemah.
Kemudian, sambil memegangi bahunya yang berlumuran darah,
dia jatuh berlutut. Matanya terbelalak, dan tubuhnya berdebum di
karpet. BAB 18 "TOLONG!" Zack merintih kesakitan. "Cari dokter. Darah...
darah...." Zack meringis kesakitan dan memejamkan matanya.
Lingkaran darah segar itu membasahi bahu kemejanya.
Darahnya menetes-netes di karpet.
"Tolong...," erang Zack, matanya masih terpejam.
Kami semua panik. Caitlin menekan pipinya dengan kedua tangannya. Napasnya
terengah-engah dan dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Air mata
membasahi pipinya. "Lakukan sesuatu, cepat! Zack akan mati!"
jeritnya. "Zack akan mati!"
Lanny berdiri terpaku di tengah-tengah ruangan, matanya
terbelalak. "Ohh, aku... aku mual," gumam Melody, wajahnya seputih
kertas. Melody berlari keluar, bukan ke kamar mandi. Dia lari sejauh
mungkin ke depan rumah dan memuntahkan isi perutnya.
Aku juga panik seperti yang lain. "Panggil ambulans! Panggil
ambulans!" teriakku dengan suara melengking dan bergetar. Saking
takutnya, aku sendiri tidak berusaha meraih telepon.
Melody muntah-muntah di depan rumah. Caitlin menangis
tersedu-sedu sambil menarik-narik rambutnya. Lanny berdiri seperti
patung. "Kautembak dia! Kautembak dia! Jangan biarkan dia mati!"
ratap Caitlin. Hanya Dennis yang masih bisa berpikir jernih. Kulihat matanya
yang hijau menyipit menatap Zack. Dennis masih menggenggam
pistol di tangan kanannya. Lalu dia memandangku dan memberi
isyarat dengan pistol agar aku mendekat.
"Telepon 911," perintahnya. "Cepat. Panggil polisi dan
ambulans." Suara Dennis tenang dan rendah. Sikapnya yang tenang
menguatkanku. Dengan patuh aku menuju pesawat telepon di atas
meja di depan jendela. "Zack... kau bisa jalan?" tanya Dennis. "Kau bisa berdiri"
Berdirilah, Zack." Aku menelepon nomor gawat darurat dan memberitahukan
bahwa ada peristiwa penembakan. Kuberikan alamat rumahku. Aku
mulai bisa berpikir jernih lagi. Meskipun jantungku masih berdebardebar dan
tanganku sedingin es, otakku mulai bekerja.
Ketika berbalik, kulihat Dennis dan Lanny sedang memapah
Zack menuju pintu depan. Darah yang menghitam tampak
menggenang di karpet tempat Zack jatuh.
"Tidak! Jangan bawa dia!" teriakku.
"Harus. Aku punya ide!" bentak Dennis.
"Hentikan darahnya!" jerit Caitlin. "Hentikan! Dia bisa mati!"
"Bersihkan darah itu... cepat!" Dennis menyuruhku. Ia dan
Lanny terus memapah Zack menuju pintu. Zack mengerang kesakitan.
"Dennis, aku tidak mengerti! Kau akan bawa Zack ke mana?"
tanyaku bingung sekali. "Nanti kau akan tahu," jawab Dennis tegang. "Aku punya ide
bagus, Johanna. Nanti saja kuberitahu. Tidak ada waktu lagi.
Bersihkan saja darah itu! Cepat!"
Zack merintih, "Aduh, sakit... sakit sekali."
"Jangan biarkan dia mati!" teriak Caitlin. "Tolong, jangan
biarkan dia mati!" Zack merangkul pundak kedua cowok itu. Mereka memapahnya
pelan-pelan ke luar. "Ambulans akan datang," Lanny memberitahu
Zack. "Sebentar lagi."
"Terus saja jalan," kata Dennis. "Bisa jalan, kan" Ayolah, man."
Mereka melewati Melody, yang bersandar di dinding sambil
memegangi perutnya dengan sebelah tangannya. Rambutnya yang
pirang terjurai di wajahnya. Dia meringis menahan napas.
"Jangan bawa dia! Perdarahannya hebat!" seru Caitlin panik.
"Bantu Johanna membersihkan darah itu," perintah Dennis.
"Beres deh. Percaya saja padaku. Percayalah."
Aku dan Caitlin berpandangan penuh tanda tanya. Demi Tuhan,
apa yang sedang dipikirkan Dennis"
Aku bingung. Aku tidak bisa berpikir sama sekali. Masih
kudengar suara pistol meletus, masih kulihat lingkaran darah itu
makin melebar di kemeja Zack.
Kuputuskan untuk menuruti perintah Dennis.
Dennis punya rencana, ide.
Aku lari ke dapur mencari busa, lap pel, dan sabun. Caitlin
mengikuti di belakangku. Kupikir dia tidak ingin sendirian.
"Apa yang akan dilakukan Dennis?" tanyanya pelan penuh
ketakutan. "Zack perlu dokter! Dokter! Ke mana mereka akan
membawa dia" Kita dalam kesulitan. Kesulitan yang sangat
mengerikan. Apa yang dilakukan Dennis?"
"Aku tak tahu," jawabku sambil membuka lemari sapu dan
mengambil barang-barang yang kuperlukan. "Kita kerjakan saja apa
yang dimintanya." "Tapi apa yang dilakukan Dennis?" Caitlin mengulangi
pertanyaannya. Matanya merah. "Apa yang dia lakukan?"
Kami membersihkan ruang tamu sedapat-dapatnya. Melody
sama sekali tidak membantu. Dia hanya meringkuk di kursi, menangis
sambil memegangi perutnya.
Begitu selesai, aku dan Caitlin berlari keluar meninggalkan
Melody sendirian. Malam itu dingin dan bulan tidak bersinar. Awan
mendung membuat langit lebih gelap dari biasanya.
Kudengar bunyi sirene mendekat.
Polisi dan ambulans sedang dalam perjalanan, pikirku.
Apakah Zack akan sembuh" aku bertanya dalam hati. Apakah
ambulans segera tiba"
Sirene ambulans yang mendekat itu mengingatkanku bahwa
kami semua ada dalam kesulitan yang serius.
Tiba-tiba bayangan Mom berkelebat dalam benakku. Apa yang
akan beliau katakan jika tahu kami bermain-main dengan pistol dan
tanpa sengaja menembak Zack"
Bagaimana jika Zack mati" pikirku. Bagaimana kalau dia mati
karena kehabisan darah"
Apakah kami akan ditahan karena pembunuhan"
Kugelengkan kepalaku kuat-kuat sambil mencoba mengusir
pikiran itu dari otakku. "Apa yang kita kerjakan di sini?" seruku keras-keras.
Setelah mataku terbiasa dengan kegelapan, kulihat ketiga
cowok itu berada di halaman Mr. Northwood. Zack berbaring
telentang di rumput. Lanny berdiri di dekatnya. Dennis berlari-lari
kecil menghampiri kami begitu melihat Caitlin dan aku muncul.
"Ikuti ceritaku," kata Dennis penuh semangat. Wajahnya
bersinar-sinar. "Di mana... di mana pistol itu?" tanyaku tergagap.
Dennis menunjuk rumah Mr. Northwood.
"Aku tak mengerti," gumamku.
Halaman itu diterangi cahaya lampu merah yang berputar-putar.
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 18 Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar Empat Setan Goa Mayat 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama