Ceritasilat Novel Online

Cewek Baru 2

Fear Street - Cewek Baru The New Girl Bagian 2


"Aku tak lapar lagi. Hei, kau ingin jalan kaki pulang sekolah
nanti?" "Tidak!" teriak Cory. "Ini hari Senin, aku harus bekerja."
Kebanyakan anak bekerja di kantor tata usaha setelah pulang sekolah.
Upahnya lumayan. Pekerjaannya mudah, kebanyakan cuma
menyetensil dan mengarsip.
Ia melihat Lisa meninggalkan ruang makan yang ramai itu,
menuju koridor. Kenapa Lisa menuduhnya bertingkah aneh"
Ia sendiri juga sangat aneh, kata Cory dalam hati. Sangat
emosional. Selalu marah-marah padanya. Kenapa" Ia salah apa"
Tiba-tiba muncul gagasan di kepalanya.
Kantor tata usaha. Tentu. Kenapa ia tak memikirkannya"
Kantor tata usaha. Sepulang sekolah, di kantor itu, ia mungkin akan menemukan
jawaban dari semua pertanyaannya.
Ia keluar dari antrean, menuju pintu. Ia sudah tidak merasa lapar
lagi. Ia ingin pergi ke luar, mungkin jalan-jalan sebentar untuk
menghirup udara segar. ***************************
Jari-jari Cory berwarna ungu, selalu begitu setelah ia
menyetensil. Dan warna ungu itu tak mau hilang sampai beberapa
hari. Kenapa sekolah ini masih menggunakan mesin stensil kuno,
pikirnya. Mesin seperti itu takkan ditemui di mana pun kecuali di
sekolah ini. Cory selesai menyetensil selebaran pertandingan basket. Masih
ada satu lagi yang harus distensilnya.
Ia menyelinap ke pintu ruang kepala sekolah dan mengintip.
Ruangan itu kosong. Ia tadi kebetulan mendengar bahwa Mr. Sewall,
sang kepala sekolah, pulang lebih cepat karena sakit gigi. Salah satu
sekretarisnya tak masuk karena sakit. Tinggal Miss Markins, yang
sibuk mengetik di ruang depan.
Ruangan itu kosong, dan mungkin akan terus kosong.
Cory menyelinap masuk dan menutup pintu sampai hampir
tertutup. Tangannya bermaksud menekan tombol lampu, tapi tak jadi.
Miss Markins pasti akan curiga kalau lampu menyala.
Ia berjalan hati-hati ke meja kepala sekolah yang terletak di
sudut ruangan kecil itu. Foto kedua anak laki-laki Mr. Sewall di meja
itu seperti mengejeknya. Cory mengitari meja tanpa bersuara, mencari
yang diinginkannya. Sebuah lemari arsip abu-abu tersandar di dinding. Isinya
dokumen rahasia setiap murid Shadyside.
Itu dokumen rahasia, arsip rahasia yang dapat membuatmu
sukses di dunia ini"atau menghancurkan hidupmu selamanya.
Paling tidak, itulah yang diyakini sebagian besar murid
Shadyside. "Maaf... tapi ini akan dicatatkan dalam dokumen pribadimu."
Jika guru atau Mr. Sewall berkata begitu kepadamu, berarti kau akan
mendapat petaka besar. Apa pun itu, apa pun kejahatan dan kesalahan
yang pernah kaulakukan akan terus menghantuimu seumur hidup. Itu
akan tercatat, dalam dokumenmu.
Cory mencari di laci pertama lemari arsip, membaca sepintas
kartu identitas pada sampul setiap dokumen. Berada di ruang
dokumen itu membuatnya gugup. Sebenarnya ia tak punya
kepentingan di situ. Memikirkan apa yang akan dikatakannya kalau
ketahuan, membuatnya semakin gugup. Baru sedikit kartu identitas
yang dibacanya. Ia menghentikan penyelidikannya sesaat, menahan napas, dan
mendengarkan baik-baik. Miss Markins masih mengetik. Wow. Ia
menarik napas lega. Aku tak percaya diriku bisa melakukan ini. Apa yang kulakukan
di sini" tanya Cory, membungkuk dan menarik lebar-lebar laci arsip
paling bawah. Ia tahu jawaban pertanyaannya itu. Ia ingin melihat dokumen
Anna Corwin. Ia akan mencari tahu kebenaran tentang Anna. Ia akan
mencari tahu semua yang menyangkut diri Anna.
Jemarinya bergerak cepat di antara dokumen-dokumen. Ia tahu
perbuatannya itu salah. Ia tahu itu perbuatan gila. Ia tahu takkan
pernah berbuat segila itu. Paling tidak, sebelum mengenal Anna.
Terdengar langkah kaki. Cory menahan napas. Tak terdengar lagi suara orang mengetik.
Begitu ia bersembunyi di bawah meja Mr. Sewall, Miss
Markins memasuki ruangan.
Aman! pikirnya. Akan ketahuankah ia" Tahukah Miss Markins
ia ada di sini" Ia hampir menjerit. Ia telah membiarkan laci dokumen itu
terbuka! Jika Miss Markins melihatnya, ia pasti akan curiga Cory ada
di sini. Miss Markins berdiri di sebelah meja, kakinya hanya tujuh
setengah senti dari wajah Cory. Sesaat Cory membayangkan akan
menjangkau dan mencengkeram pergelangan kaki wanita itu, hanya
untuk mendengar bagaimana kerasnya jeritannya. Hanya untuk
bercanda. Gurauan terakhir sebelum mereka membawanya pergi.
Mengeluarkannya dari sekolah. Mencatat perbuatannya dalam
dokumen pribadinya. Cory menahan napas, seperti ketika ia hendak menyelinap ke
ruangan itu tadi. Miss Markins bersandar ke meja, menulis sesuatu.
Sepertinya ia menuliskan pesan untuk Mr. Sewall.
Aku tak percaya diriku meringkuk di bawah meja Mr. Sewall,
bisiknya. Tapi wajah Anna muncul kembali dalam benaknya. Dan
kata-kata cowok aneh itu terdengar lagi. Lalu ingatlah Cory kenapa ia
ada di situ. Miss Markins selesai menulis pesan dan keluar dari ruangan
tanpa melihat ke laci arsip yang terbuka. Begitu mendengar wanita itu
mengetik lagi, Cory muncul dari bawah meja dan kembali ke laci
arsip. Ia menggerakkan jemarinya di antara deretan arsip C.
Apa isi arsip Anna" Apa yang akan diketahuinya dari arsip
gadis cantik yang benar-benar menyita pikirannya itu"
Corn... Cornerman... Tangannya bergerak cepat di antara arsiparsip itu. Akhirnya! Cornwall... Corwood... Corwyth...
Sebentar. Cory memeriksa lagi lima atau enam arsip sebelumnya.
Kemudian ia mencari di sembilan atau sepuluh arsip berikutnya.
Tak ada yang terlewat. Tak satu pun yang tercecer. Arsip itu
mulai Cornwall sampai Corwood.
Benar-benar tak ada file yang bernama Anna Corwin!
Bab 8 "TIANG listrik! Lihat cowok itu!" suara Arnie menggelegar di
antara penonton yang bersorak-sorai.
"Ia terlalu tinggi!" teriak David. "Tingginya dua meter, padahal
dia baru kelas satu!"
"Ia masih bisa tumbuh lebih tinggi lagi!" kata Arnie
menambahkan. Mereka menoleh ke Cory yang sedang bengong.
"Hei, Brooks... Bumi memanggilmu, Brooks!" David berteriak
di telinganya, tapi Cory tak bereaksi.
Cheerleaders Shadyside bersorak-sorai selama time-out. Skor
pun dihitung. Pertandingan basket itu kurang menguntungkan bagi
Shadyside Cougars. Westerville, dengan pemain tengah si tiang listrik
itu, lebih unggul. "Mereka bermain sangat singkat lalu melemparkannya ke
cowok jangkung itu," komentar David.
"Aku lebih suka melemparkannya ke cheerleader yang di
ujung!" teriak Arnie, cukup keras untuk didengar setengah lapangan
itu. "Oh. Benar-benar licin!"
David dan Arnie menunggu Cory menambahkan pendapatnya.
Tapi ia diam saja. Dipandangnya kedua rekannya seolah-olah baru
pertama kali melihat mereka. "Pertandingan yang menarik, ya?"
katanya, memaksakan senyum.
"Pertandingan mana yang kaumaksud?" sergah Arnie. "Kita
ketinggalan dua puluh angka."
"Dan angkanya juga tidak seseru pertandingannya!" tambah
David. Ia dan Arnie tertawa terbahak-bahak sambil melakukan tos.
Senyum di wajah Cory memudar. Ia kembali melihat ke
lapangan untuk mengamati pertandingan.
"Akhir-akhir ini kau agak aneh, Brooks," kata Arnie, tangannya
melewati David dan memukul bahu Cory keras-keras. "Wow, aku mau
beli Coca-Cola," katanya, lalu menyeruak di antara penonton dan
menghilang ke belakang tribun.
"Kau baik-baik saja?" tanya David. Ia harus bertanya dua kali
baru Cory mendengarnya. "Ya, aku baik-baik saja."
"Jadi, bagaimana ceritanya sampai kau lupa berlatih senam tadi
siang?" "Aku tak tahu. Kurasa, aku hanya lupa."
"Welner sangat marah. Ini kedua kalinya dalam minggu ini kau
tidak berlatih, Cory. Dan latihan hari Jumat adalah yang terpenting,
terutama untuk pertandingan besok."
"Aku tahu," kata Cory, merasa terganggu. "Jangan
mengguruiku, David. Kau bukan ibuku."
"Hei...." David kelihatan tersinggung. "Kita teman
seperjuangan. Aku sahabatmu, kan?"
"Lalu?" "Lalu... ceritakanlah padaku. Apa masalahmu, Brooks?"
"Oh, tak ada. Cuma..."
Terdengar suara bergemuruh, semua penonton melompatlompat. Tak pelak lagi pasti ada kejadian yang menggembirakan buat
Shadyside, tapi David dan Cory tak tahu apa itu. Para cheerleaders
kembali berada di lapangan. Tribun bergetar dengan suara
memekakkan. Cory melihat ke papan skor. Cougars hanya ketinggalan
lima belas angka sekarang.
"Apakah soal cewek berambut pirang itu?" tanya David ketika
suara gemuruh mereda. "Mungkin." Cory mengangkat bahu. Tampaknya ia tak ingin
mendiskusikan hal itu dengan David. Perasaannya kacau. Ia lupa
berlatih senam. Bagaimana mungkin" Apakah perhatiannya benarbenar tersita oleh cewek itu"
"Kau berkencan dengannya?" tanya David.
"Aku tak pernah melihatnya lagi," kata Cory, memandang ke
lapangan basket. "Apa?" "Kaudengar kata-kataku. Aku tak melihatnya seminggu ini. Aku
mencarinya setiap hari, tapi ia tak pernah ada di sekolah."
"Dan itukah sebabnya kau berlaku seperti zombie?"
"Jangan campuri urusanku, Metcalf," sergah Cory.
"Kauhancurkan prestasi senammu gara-gara cewek yang tak
pernah kaukenal" Yah, bagiku itu aneh."
Cory terdiam. Tiba-tiba ia bergumam, "Aku juga tak tahu
apakah ia ada!" Ia menyesal mengatakannya, ia tahu tak ada gunanya. Dan kini
ia memberi David kesempatan untuk memojokkannya.
Tapi yang mengejutkan Cory, David kelihatan sangat prihatin.
"Apa maksudmu, Brooks" Kau bilang kau melihatnya lebih dari
sekali. Kau bilang kau bicara padanya. Kau bilang ia ikut pelajaran
fisika di kelas Lisa. Kau mengatakan semua itu padaku tempo hari.
Lalu apa maksudmu mengatakan ia tak pernah ada?"
"Kau kan tahu aku bertugas di kantor tata usaha setiap Senin.
Senin kemarin aku memasuki ruang arsip untuk melihat dokumen
pribadinya. Tapi arsipnya tak ada di sana!"
David tampak terguncang, tapi penyebabnya bukan seperti yang
diduga Cory. "Kau... kau masuk ke ruang arsip?" teriaknya. "Hebat!
Apa yang ada dalam arsipku?"
"Aku tak melihatnya...."
"Kuberi kau sepuluh dolar kalau kau mau mengintip arsipku.
Malahan akan kubayar sepuluh dolar yang kupinjam darimu!"
"Tidak," kata Cory gusar. "Kau tak mengerti. Aku ke rumahnya
minggu lalu, dan cowok itu bilang..."
Penonton kembali berteriak-teriak, gemuruhnya menggetarkan
dinding. Cory memandang papan skor. Shadyside tertinggal 22 angka.
Arnie menyeruak di antara penonton dan menjatuhkan dirinya
di samping David. "Cowok itu terlalu jangkung," katanya. Coca-Colanya tumpah ke bagian depan kemejanya. "Mereka harus menaikkan
ring basketnya!" "Atau menurunkan lantai lapangannya!" kata David, lalu
keduanya tertawa terbahak-bahak.
Cory berdiri. "Rasanya aku harus pergi," katanya. "Ini
menyedihkan." "Kau yang menyedihkan," kata Arnie, menyeringai.
"Ia murid pindahan, kan?" kata David, menarik Cory duduk di
tribun lagi. "Ya." "Well, mungkin arsipnya belum dipindahkan ke sini."
David cerdas, mungkin ia benar. Tapi Cory tak
mempercayainya. Sekarang bulan November, perlu waktu berapa
lama untuk memindahkan arsip"
"Apakah ia sedang membicarakan cewek aneh berambut pirang
itu?" teriak Arnie, menarik David ke belakang hingga ia bisa berteriak
tepat di wajah Cory. "Apa sih yang kaulakukan dengannya?" ejeknya.
"Pasti asyik ya, kalau kau sampai lupa berlatih senam." Arnie tertawa
gelak-gelak, seakan-akan setiap kata yang diucapkannya itu lucu.
Cory menggeleng dengan letih. Ia sadar dirinya pasti kelihatan
aneh sekali di mata kedua temannya itu. Ia sendiri juga merasa dirinya
aneh. Tak pernah seorang pun menghantuinya seperti ini. Tak ada
cewek yang pernah menyita pikirannya seperti itu. Ia selalu bisa
menguasai diri. Dan sekarang... sekarang...
Apakah ia kehilangan kontrol"
"Sampai nanti," kata Cory, cepat-cepat menuruni gang di antara
penonton agar kedua temannya tak bisa menariknya lagi. Suara
penonton bergemuruh. Rombongan kecil Westerville menyeberangi
lapangan dengan riang. Itu merupakan mimpi buruk bagi Cougars. Juga bagi setiap
siswa Shadyside, pikir Cory. Ia mencari-cari Anna di deretan tempat
duduk, tapi cewek itu tak ada di sana.
Cory masuk ke mobil sambil menggigil karena udara dingin.
Setelah tiga kali menstarter barulah mesinnya mau hidup. Ia
berkeliling tanpa tujuan, menuju Park Drive, kemudian melintasi
Hawthorne ke Mill Road. Jalanan itu kosong. Kebanyakan rumah
tampak gelap. Ia menyalakan radio, tapi tak ada musik yang
disukainya, maka ia mematikannya.
Ia merasa sangat letih. Tidurnya tak pernah nyenyak sepanjang
minggu ini. Ia memutar mobilnya, kembali ke rumah.
Ia terbangun oleh dering telepon. Diliriknya bekernya. Pukul
01.30. Tangannya meraih telepon. Ia meraba-raba sampai
memegangnya. "Halo?"
"Jauhi Anna." "Apa?" Suara di telepon itu seperti bisikan parau, sangat
mencekam hingga membuatnya tak mampu berkata-kata.
"Jauhi Anna," suara aneh itu berbisik lirih dan jelas, setiap


Fear Street - Cewek Baru The New Girl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya mengandung ancaman. "Ia sudah meninggal. Ia gadis yang
sudah meninggal. Jauhi dia... atau kau korban berikutnya!"
Bab 9 TIBA-TIBA Cory merasa kedinginan. Ia turun dari tempat
tidur, berjalan dalam gelap menuju jendela kamarnya. Ia memeriksa
apakah jendelanya tertutup. Kemudian ia membungkuk dan
memeriksa pemanas kamarnya. Embusannya terasa panas. Ia berdiri
agak lama di situ, berusaha menghilangkan rasa dingin. Ia
memandang ke luar, halaman belakang rumahnya sunyi, disinari
cahaya pucat bulan. Suara di telepon itu serasa masih berbisik di telinganya. Cory
menarik rambut keritingnya kuat-kuat, berusaha mengenyahkan
bisikan parau itu. Ia berusaha menghentikan kata-kata ancaman yang
terus terulang di pikirannya, tapi tak berhasil.
Sadar bahwa rasa dingin itu berasal dari dalam dirinya, Cory
menjauhi pemanas kamarnya. Ia tersandung sepatu karet yang
ditinggalkannya di tengah kamar, lalu kembali ke tempat tidurnya.
Ada orang mengancamnya. Orang itu tahu rumahnya. Orang itu
tahu bagaimana menghubunginya.
Orang itu mengenalnya dan tahu bahwa ia tertarik pada Anna.
Orang itu ingin ia menjauhi Anna. Tapi, siapakah orang itu"
Apakah salah seorang temannya yang sedang bercanda"
Bukan. Ini bukan lelucon. Ini serius. Bisikan itu mengandung
ancaman dan kebencian. Ancaman itu serius.
Jauhi Anna... atau kau akan mati juga.
Siapakah dia" Cowok aneh berpipi bulat yang membukakan
pintu rumah keluarga Corwin" Mungkin. Sangat sulit menebak suara
bisikan itu. Sangat sulit membedakan apakah itu suara laki-laki atau
perempuan. Cory memejamkan mata rapat-rapat dan berusaha melenyapkan
bisikan itu dari pikirannya. Ia merasa agak hangat sekarang, tapi tak
bisa tidur. Ia gelisah, miring ke sisi kiri, ke sisi kanan, lalu mencoba
tidur tengkurap. Entah kenapa pikirannya kemudian beralih ke tetangga aneh
yang ditemuinya di Fear Street malam itu. Seminggu ini ia terus
memikirkannya. Cory masih ingat jas hujannya yang kelabu dan
usang, wajahnya yang berjanggut, caranya memandang dengan curiga.
Katanya ia tetangga keluarga Corwin, tapi kenapa ia ada di luar rumah
keluarga Corwin tengah malam begitu" Ia mengaku berjalan-jalan
dengan anjingnya, tapi Cory tidak melihat anjing itu. Dan mengapa
orang itu memperingatkannya untuk menjauhi rumah keluarga
Corwin" Memperingatkannya atau mengancamnya"
Cory memaksa menghilangkan wajah orang itu dari benaknya.
Sebaliknya ia memikirkan Anna, matanya yang biru secerah mata
boneka, bibir merahnya sangat kontras dengan kulitnya yang sepucat
gading. Ia teringat mimpinya berciuman dengan gadis itu.
Telepon berdering. Ia masih terjaga, tapi dering telepon itu sempat
mengejutkannya, membuatnya melompat dari tempat tidur. Pada
dering kedua ia mengangkat gagang telepon. "Halo?" Suaranya
terdengar kering. "Cory... kaukah itu?" terdengar suara lirih, sangat ketakutan.
"Ya." Jantung Cory berdegup kencang, ia tak mampu berkatakata.
"Bisakah kau menolongku, Cory?"
Ia baru sekali mengobrol dengan Anna, tapi ia ingat suaranya
yang lembut, hampir seperti suara anak-anak.
"Ini aku. Anna. Anna Corwin."
"Aku tahu," kata Cory. Kemudian ia merasa amat tolol.
Bagaimana ia bisa tahu Anna-lah yang meneleponnya di tengah
malam begini, kecuali kalau ia terus memikirkannya bermingguminggu ini"
"Aku butuh pertolonganmu," kata Anna cepat, suaranya seperti
bisikan. "Aku tak kenal orang lain. Kau satu-satunya yang pernah
bicara denganku. Bisakah kau menolongku?"
Suaranya terdengar amat sangat ketakutan. "Yah..." Mengapa ia
ragu-ragu" Apakah karena telepon yang mengancamnya untuk
menjauhi Anna" "Ayolah... cepatlah kemari," pinta Anna. "Temui aku di sudut
jalan Fear Street, tak jauh dari rumahku."
Suaranya terdengar ketakutan. Tapi suaranya yang lirih dan
mendesah itu terdengar semakin seksi. Cory memandang bekernya.
Pukul 01.37. Apakah ia benar-benar akan menyelinap keluar dan
menemui cewek aneh yang ketakutan di Fear Street tengah malam
begini" "Ayolah, Cory," bisik Anna merayu. "Aku membutuhkanmu."
"Oke," kata Cory, tak yakin pada suaranya, tak yakin itu katakatanya.
"Cepatlah," bisik Anna, dan telepon terputus.
Cory mendengarkan telepon yang bisu itu beberapa saat,
berusaha memastikan apakah dirinya terjaga atau bermimpi. Anna
Corwin-kah yang baru saja menelepon dan memohon agar ia
menemuinya" Cory selalu memikirkannya, mencarinya minggu ini.
Mungkinkah cewek itu juga memikirkannya"
Ide itu lebih menggetarkan lagi. Tapi mengapa suara Anna
sangat ketakutan, sangat kalut ketika menyuruhnya cepat datang" Dan
mengapa ia ingin ditemui di luar, di jalanan"
Di jalanan. Di Fear Street. Cory mengenakan celana jeans-nya, tapi terhenti ketika ia
teringat tempat tinggal Anna, tempat ia ingin ditemui.
"Umurku enam belas tahun," kata Cory membesarkan hatinya
sendiri. "Aku bukan anak-anak lagi. Tak ada alasan bagiku untuk
merasa takut pada jalan tolol itu." Tapi sangatlah menyeramkan kalau
ia harus menunggu sendirian di Fear Street tengah malam begini.
Cory tiba-tiba teringat cerita lain tentang Fear Street di surat
kabar. Kejadiannya pada musim semi sebelumnya. Dua mobil
bertabrakan di tengah malam dan salah seorang penghuni di Fear
Street mendengar tabrakan itu. Ia berlari keluar dan melihat kedua
penumpang mobil itu terluka parah. Beberapa tak sadarkan diri, yang
lainnya terjepit mobil. Ia berlari pulang dan menelepon polisi. Polisi tiba kurang-lebih
sepuluh menit kemudian. Mereka menemukan dua mobil yang
bertabrakan di tengah jalan, tapi keduanya telah kosong. Ada darah
menghitam di jok mobil dan di jalanan, tapi semua penumpangnya
lenyap tanpa bekas. Jejak mereka tak pernah ditemukan. Enam orang, enam orang
terluka yang terjebak di mobil yang bertabrakan itu lenyap dalam
waktu kurang dari sepuluh menit....
Cory selesai berpakaian. Ia tak punya pilihan, ia harus pergi. Ia
harus menemui Anna. Cewek itu membutuhkannya.
Ia menuruni tangga pelan-pelan menuju pintu. Ia tersandung di
kegelapan dan nyaris terjatuh. Disambarnya pegangan tangga,
berharap orangtuanya tak terbangun. Ia menarik napas dalam-dalam
dan meneruskan langkahnya. Ia meraba-raba dan menemukan kunci
mobil di meja dekat pintu. Kemudian ia menyelinap keluar.
Ia mengancingkan jaketnya untuk melawan hawa dingin dan
berlari pelan-pelan ke mobilnya. Ia menetralkan gigi persneling dan
membiarkan mobilnya meluncur. Kemudian ia menstarternya di
jalanan, agak jauh dari rumah. Aku ternyata bisa menyelinap,
pikirnya. Tapi kenapa aku melakukannya"
Karena Anna dalam kesulitan.
Ia berbelok ke Mill Road dan lurus ke selatan menuju Fear
Street. Bulan tertutup awan, lampu-lampu jalan bersinar redup di
sepanjang jalan sempit itu. Ketika ia menyalakan lampu besar,
dilihatnya seekor binatang abu-abu besar menyeberang jalan.
Bruk. Tak ada waktu untuk mengurangi kecepatan. Ia menabraknya.
Ia menengok ke kaca spion tapi tak terlihat apa-apa. Beberapa saat ia
mengendarai mobil pelan-pelan, lalu kembali menambah
kecepatannya. Percuma. Tak ada yang dapat dilakukannya sekarang.
Ia tiba-tiba merasa cemas. Apakah itu rakun" Luak" Terlalu
besar untuk kelinci. Mungkin juga opossum. Dibayangkannya jika
binatang itu tersangkut di bannya. Cepat-cepat ia memaksa dirinya
memikirkan Anna. Tak ada mobil lain yang melintas di Mill Road. Cory cuma
berpapasan dengan beberapa truk yang lampu-lampunya menyilaukan
mata. Angin kencang bertiup ketika ia berbelok ke Fear Street. Angin
itu menekan bagian depan mobilnya. Mobilnya tertahan, seperti tak
ingin pergi ke sana. Bagian dalam kaca mobilnya berembun, dan Cory berusaha
keras melihat ke luar. Ia memperlambat mobilnya ketika melewati
bekas reruntuhan rumah tua Simon Fear. Ranting-ranting pohon
bersentuhan tertiup angin.
Ia berhenti dan membersihkan kaca mobilnya dengan lap yang
disimpannya di laci kecil dekat kemudi. Sekarang kaca itu masih
buram, tapi ia dapat melihat lebih jelas.
Ia melewati rumah keluarga Corwin, yang tampak amat gelap.
Ia berhenti dan memandangnya, mencari-cari tanda kehidupan di sana,
tapi tak ada satu pun. Apakah penelepon gelap itu mempermainkannya" Haruskah ia
mengendarai mobil ke sini tanpa hasil"
Tidak. Itu Anna. Ia kenal suaranya. Dan suaranya yang amat
ketakutan itu jelas bukan sedang bercanda.
Ia memandang ke tepi jalan di sudut sana. Angin berembus
melalui pepohonan, daun-daun kering berjatuhan ke jalan. Ia
mematikan lampu mobil tapi membiarkan mesin terus hidup.
Mungkin sebaiknya aku keluar, pikirnya. Anna takkan
melihatku jika aku terus berada di mobil.
Tapi ia teringat kunjungan sebelumnya ke Fear Street. Tetangga
aneh, lolongan binatang... Ia memutuskan untuk tetap tinggal di mobil.
Ia mematikan mesin, kemudian menghidupkannya lagi. Aku akan
menyalakan radio. Paling tidak suara radio bisa mengusir suara angin
yang menyeramkan. Tapi kemudian ia teringat bahwa radio itu akan
menghabiskan aki mobilnya. Ia tak ingin terjebak di Fear Street pada
pukul dua dini hari begini karena mobilnya mogok. Ia kembali
mematikan mesin mobilnya.
Pintu mobil terbuka. Cory pun menjerit. Bab 10 "ANNA!" "Hai, Cory," bisik Anna malu-malu, menyelinap duduk di
samping Cory. Pakaiannya kuno, dan ia memakai syal abu-abu.
Rambutnya acak-acakan, tak disisir. Mata birunya berbinar di bawah
cahaya redup lampu mobil. Lalu ia menutup pintu mobil dan lampu
mobil itu pun padam. "Kau membuatku takut," kata Cory, menoleh kepadanya.
Anna tersenyum aneh, seperti penyihir. Atau senyumnya
kelihatan seperti itu karena lampu yang suram" Cory tak bisa
memastikannya. "Ada apa" Kenapa kau meneleponku?"
Anna bergeser lebih dekat. Ia hampir menyentuh Cory. Angin
berembus, daun-daun beterbangan mengenai jendela mobil, hingga
terasa lebih gelap. "Cory cuma kau yang bisa menolongku," katanya, suaranya
sedikit lebih keras daripada bisikan. Ia agak gemetar, sepertinya
berusaha menyembunyikan rasa takut. "Kau satu-satunya yang mau
bicara denganku." "Ke mana saja kau seminggu ini?" celetuk Cory. "Aku
mencarimu." Anna kelihatan terkejut, ia berpaling dan melihat ke kaca spion.
Ia membersihkan kaca jendela dengan tangannya, membuat bulatan
untuk mengintai. "Apakah kau sakit" Apakah kau baik- baik saja?" tanya Cory.
Anna tersenyum lagi. "Aku... aku ke rumahmu beberapa hari yang lalu," kata Cory.
"Aku ingin mengobrol denganmu." Cory sadar, lagaknya pasti seperti
orang sinting. Kata-katanya mengalir begitu saja tanpa kendali.
Cory sangat senang melihat Anna, sangat bersemangat.
Menyenangkan sekali bahwa Anna memanggilnya, bahwa ia datang
untuk menemui cewek itu di tengah malam, bahwa mereka
mengadakan pertemuan rahasia. Tapi apa yang ada di balik semua ini"
Kenapa Anna tak mau menjawab pertanyaannya"
"Kau dalam kesulitan?" tanya Cory. "Apa yang bisa kulakukan
untukmu" Aku terus memikirkanmu sepanjang minggu ini.
Sebenarnya, aku terus memikirkanmu sejak perjumpaan kita di ruang
makan itu." Ruang makan. Kenapa ia mengungkit-ungkit kejadian
memalukan itu" Bikin malu saja!
"Benarkah?" kata Anna. "Aku juga selalu memikirkanmu." Ia
mengintip lagi ke jendela.
"Apakah ada yang membuntutimu?" tanya Cory. "Apakah ada
orang di luar sana?"
Anna menggeleng. "Aku tak tahu."
"Keluargamu bilang... mereka bilang padaku, kau..." Oh, tidak!
Lagi-lagi Cory kelepasan bicara. Kenapa ia tak bisa mengontrol
dirinya" Kenapa bicaranya ngawur"
Ia benci karena dirinya lepas kontrol. Sebagai pesenam, ia
selalu berlatih mengontrol otot-ototnya. Kini mulutnya pun tak bisa
dikontrolnya. "Aku... aku hanya ingin tahu apakah kau ini benar-benar ada!"
Cory mendengar dirinya berkata.
Ucapan itu membuatnya terkejut sendiri.
Senyum pelan-pelan terkembang di wajah Anna, senyum malumalu. "Aku ada," bisiknya, menatap Cory. "Akan kubuktikan."
Tangannya tiba-tiba terentang dan ia menyusup ke dalam
pelukan Cory. Tangannya hangat walaupun malam itu dingin.
Cory merasa sulit bernapas. Ia tak menduga Anna akan berbuat
seperti itu. Anna berbisik, "Kau milikku sekarang."
Benarkah" Benarkah yang didengarnya"
Kau milikku sekarang"
Tidak. Itu tak mungkin. "Apakah sekarang kau percaya aku sungguh-sungguh ada?"
tanya Anna. Cory berusaha menjawab, tapi suaranya tak mau keluar.
Anna tertawa, tawanya keras sampai mengejutkan keduanya.
Angin kembali berembus. Daun-daun maple yang besar dan
berwarna, cokelat jatuh mengenai kaca mobil, seperti ingin
memecahkannya. Agak jauh dari situ terdengar lolongan binatang.
Anna melepaskan diri dan duduk bersandar ke kursi, wajahnya
tampak puas. Cory masih bisa merasakan kehangatannya.
Lama mereka tak berkata-kata. Kemudian Cory memecahkan
kesunyian itu dengan bertanya, "Anna, kenapa kau meneleponku?"
Sebenarnya Cory tak menginginkan jawaban Anna. Yang
diinginkannya hanyalah pelukan Anna. Lagi. Dan lagi.
"Kedengarannya kau sangat ketakutan," kata Cory, meraih
tangan Anna tapi tak menemukannya.
Anna tersenyum, kali ini senyuman bersalah. "Aku cuma ingin
tahu apakah kau akan datang," katanya. Ia berpaling, kembali
membuat bulatan di kaca jendela untuk mengintai.


Fear Street - Cewek Baru The New Girl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau... kau tidak dalam kesulitan?"
Anna tidak memandang Cory. "Aku tahu kau akan datang,"
katanya. "Aku tahu itu."
Cory memandang bagian belakang kepala Anna. Rambutnya
yang keemasan tergerai di syal abu-abunya.
Cory ingin memeluknya lagi, ia ingin menciumnya. Ia
memegang bahu Anna, "Itukah sebabnya kau meneleponku" Kau
ingin aku datang menemuimu?"
Anna berpaling, wajahnya tanpa ekspresi. Ia memandang Cory
tapi tidak mengatakan apa-apa.
"Ketika aku ke rumahmu, seorang cowok membukakan pintu."
Cory harus menanyakan ini pada Anna. Harus. Kini ia yakin Anna
benar-benar ada. Jadi, mengapa keluarganya mengatakan ia sudah
meninggal" "Itu Brad, kakakku," jawab Anna, tanpa ekspresi. Ia
memandang lurus ke depan, ke kaca depan mobil yang berkabut.
"Ketika aku menanyakanmu, ia kelihatan bingung. Ia bilang kau
tidak tinggal di situ."
"Brad suka ngawur," bisik Anna, masih memandang ke depan,
ke kaca mobil yang berkabut.
"Tapi ia..." "Ayolah. Jangan memaksaku bercerita yang bukan-bukan
tentang Brad. Ia gila. Jangan memaksaku membicarakannya lagi.
Hindari Brad. Ia... ia bisa menjadi sangat berbahaya." Seluruh tubuh
Anna gemetar ketika mengatakannya.
"Ia bilang kau sudah meninggal!" celetuk Cory.
Sesaat mata Anna melebar, kemudian ia membuka pintu dan
melompat keluar. Cory meraihnya, tapi Anna sudah pergi. Cory membuka pintu
mobil dan keluar. Angin menerbangkan daun-daun ke celana jeans-nya. "Anna!"
panggilnya. Tapi suara Cory tak cukup keras terdengar di antara desau
angin. Cory mengejarnya, tapi Anna telah lenyap di kegelapan.
"Anna!" panggilnya berkali-kali. Tapi Anna benar-benar sudah pergi.
Angin bertiup lebih kencang lagi. Pohon-pohon terbungkukbungkuk di atas kepala Cory, bergemeretak seperti suara tulang.
Daun-daun terbang berpusar di kaki Cory.
Ia dipenuhi kerinduan, rindu memahami Anna, rindu
memahami kenapa Anna melarikan diri, kenapa Anna tak mau
menjawab pertanyaannya, kenapa Anna sangat takut kepada
kakaknya, rindu akan pelukan Anna.
Cory hanya beberapa meter dari mobilnya, ketika dari
belakangnya, sesuatu yang besar dan kuat menerkam bahunya.
Bab 11 "CORY... bangun! Ayo bangun!"
"Mmm?" "Bangun! Apakah aku harus membawa derek untuk
mengangkatmu?" "Mmm?" "Oh, sudah sepuluh menit aku membangunkanmu. Kau kenapa
sih" Semalam tidak tidur, ya?" Mrs. Brooks memegang bahu Cory dan
mengguncang-guncangnya. "Aduh!" bahunya terasa sakit. Cory menghindar, menjauhi
ibunya. Ingatannya mulai pulih. Bahunya terluka karena terkaman
anjing yang sangat besar itu.
"Cory... ayolah. Kau akan bertanding dua jam lagi. Sebaiknya
kau cepat bangun," bujuk ibunya. Sebelumnya ia tak pernah
mengalami kesulitan membangunkan Cory.
Tentu saja, sebelumnya Cory tak pernah menghabiskan malam
di Fear Street. Cory membayangkan pelukan Anna.
"Kenapa kau tersenyum" Cory... tingkahmu aneh sekali pagi
ini." "Maaf, Mom. Selamat pagi." Cory berusaha menjernihkan
pikirannya. Ia tersenyum pada ibunya, tapi mulutnya tak bisa diajak
kompromi, sehingga senyumannya tampak dibuat-buat. Ia berusaha
tampak wajar. Ia tak ingin ibunya menanyakan ribuan pertanyaan.
Kalau saja punggung dan bahunya yang terluka itu tidak menyiksanya
begini... "Hari apa ini?"
"Sabtu," kata ibunya, berbalik pergi.
"Sabtu" Hari ini pertandingan dengan Farmingville!"
"Aku baru saja mengatakannya, kan" Atau aku juga ikut-ikutan
hilang ingatan?" Cory bangkit sambil mengerang kesakitan. Ibunya berpaling
dan memandangnya, "Cepat turun sebelum sarapanmu dingin."
"Apa sarapannya?"
" Cornflakes." Keduanya tertawa. Itu salah satu guyonan favorit di antara
mereka. Sepeninggal ibunya, hati-hati Cory membuka piamanya dan
memeriksa luka di bahunya. Cukup parah. Voltaire, anjing Doberman
itu, menerkamnya seperti menerkam tikus.
Kejadian mengerikan itu terbayang kembali dalam ingatannya.
Ia mendengar geram pelan anjing itu, napasnya yang panas terasa di
belakang kepalanya. Anjing itu menerkam bahunya, menjatuhkannya
ke tanah, mengimpitnya. Taringnya yang besar-besar menancap kuat
di bahunya. Rasanya sudah berjam-jam ia seperti itu, sebelum tetangga aneh
berjas hujan kelabu itu tiba. "Cukup, Voltaire Ayo, duduk," kata pria
itu tenang, tanpa emosi. Seketika anjing itu berbalik mematuhinya,
kelihatan tenang dan puas. Napasnya yang berat agak terengah-engah.
"Kau kembali lagi, anak muda?"
Laki-laki itu tidak minta maaf. Ia memandang Cory dengan
curiga. Sementara itu pelan-pelan Cory mencoba bangkit, dan
mengerang keras. "Mengunjungi keluarga Corwin?" tanya laki-laki itu, mengusap
kepala kecil Doberman-nya seolah ingin mengucapkan selamat karena
telah melakukan tugasnya dengan baik.
"Aku... oh... aku baru saja mau pulang," kata Cory gagap,
jantungnya berdegup kencang, bahunya nyeri, kepalanya pusing.
"Kebanyakan orang tak mau kemari tengah malam begini,"
katanya, tetap tanpa ekspresi. Kedengarannya seperti ancaman di
telinga Cory. Cory tak menyahut. Entah bagaimana ia berhasil menghimpun
tenaga untuk masuk ke mobilnya, menghidupkan mesin, dan pergi
dari situ. Laki-laki dan anjingnya itu berdiri mengawasinya sampai ia
lenyap dari pandangan. Apa yang terjadi" pikir Cory. Kenapa laki-laki aneh itu selalu
muncul ketika ia memarkir mobilnya di dekat rumah keluarga
Corwin" Apakah ia memata-matainya" Benarkah ia tetangga keluarga
Corwin" Apakah ia juga memata-matai Anna"
Itu pasti Brad yang menyamar!
Tak mungkin! Cory menghardik dirinya.
Tapi, siapakah dia" Sekarang ini, ia cuma punya waktu dua jam sebelum bertanding
dengan Farmingville. Ia melihat luka di bahunya melalui cermin.
Bagaimana caranya menjelaskan kejadian ini kepada Mr. Welner"
Bagaimana ia mampu melompat ke ring" Ia mencoba mengayunayunkan lengannya. Tidak terlalu sakit. Mungkin setelah rasa sakitnya
terlupakan, lengannya akan cukup lentur untuk diajak bersenam.
Cory cepat-cepat berpakaian, mengenakan jeans bersih dan
sweter, lalu buru-buru turun untuk sarapan. Ia akan pergi ke
gimnasium lebih awal dan melakukan pemanasan. Pasti semuanya
akan berjalan baik. Cory memikirkan Anna. Betapa lembutnya dia, betapa hangat.
Paling tidak Cory telah membuktikan Anna itu hidup. Wow! Benarkah
dia hidup" Semuanya akan berjalan baik, kata Cory. Sangat baik.
********************* Dengan kesal, Cory melemparkan handuk ke bahunya. Ia
melangkah cepat ke belakang tempat duduk timnya dan menubruk
Lisa. "Ow!" jerit Lisa, memegang bahunya. "Hati-hati kalau jalan!"
"Hei... apa yang kaulakukan di sini" Bukankah pertandingan
sedang berlangsung?" tanya Cory.
"Benarkah" Bagaimana kau tahu?" bentak Lisa.
"Tunggu sebentar, apakah kau ke sini untuk menghinaku?"
tanya Cory masam, berbalik pergi.
Lisa cepat-cepat menyusulnya. "Tidak. Maaf. Aku salah
ngomong." Ia memegang bahu Cory, tapi Cory melepaskannya dengan
kesakitan. "Kenapa?"
"Aku... oh... kurasa salah urat." Cory tak berani menceritakan
kejadian yang sebenarnya. Ia tak tahu bagaimana memulainya. "Kau
menonton pertandingan?"
"Tidak, tidak juga. Aku ke sini untuk melihatmu melakukan
senam balok keseimbangan."
"Aku bukan melakukan senam balok keseimbangan. Aku
seperti badut yang sedang beraksi," Cory berkata dengan kesedihan
yang tak dibuat-buat. "Maaf," kata Lisa. Ia berniat menepuk bahu Cory lagi, tapi
cepat-cepat membatalkannya. "Aku ingin menceritakan sesuatu.
Sesuatu yang kurasa akan membuatmu tertarik." Lisa tampak tegang,
ia menggigit bibir bawahnya.
"Bisakah ceritanya nanti saja" Pelatih akan..."
"Ini tentang Anna Corwin," kata Lisa.
"Ceritakanlah," kata Cory sambil melemparkan handuknya ke
lantai. Lisa cemberut. Ia meraih kedua tangan Cory dan menarik
cowok itu ke pinggir. "Semalam kami ke rumah sepupuku," katanya,
bersandar ke tembok. "Sepupumu yang mana?"
"Itu tidak penting. Kau kan tak mengenal satu pun sepupuku."
"Oh, benar juga."
"Sepupuku itu punya teman, cewek yang bersekolah di Melrose.
Aku mengobrol dengannya. Kutanyakan padanya apakah ia kenal
Anna Corwin. Sebab sebelum pindah ke sini, Anna kan bersekolah di
Melrose." "Ya. Lalu?" "Hm, ketika aku menanyakan Anna, wajah cewek itu tiba-tiba
kelihatan aneh. Ia benar-benar pucat."
"Kenapa?" tanya Cory tak sabar. "Apa katanya?"
"Oh, kau takkan percaya. Ia bilang, ia pernah sekelas dengan
Anna... tapi Anna sudah meninggal."
Bab 12 CORY tampak terkejut, kemudian marah. "Ini nggak lucu, Lisa.
Kenapa kau menarikku keluar dari pertandingan hanya untuk
menceritakan omong kosong ini!"
Cory beranjak kembali ke arena, tapi Lisa menariknya hingga
bersandar ke tembok. "Aduh!" Bahunya berdenyut kesakitan.
"Maaf. Biarkan aku menyelesaikan ceritaku, Cory. Ini bukan
lelucon tapi tragedi mengerikan. Menurut teman sepupuku itu, ada
desas-desus tentang Anna Corwin yang menyebar di sekolahnya. Tak
seorang pun tahu pasti apa yang terjadi padanya. Menurut cerita yang
tersebar, Anna terjatuh dari tangga. Ia meninggal seketika."
"Tapi itu tak mungkin," kata Cory lirih, la membayangkan saat
berpelukan dengan Anna semalam. "Sama sekali tak mungkin."
"Teman sepupuku itu bersumpah bahwa itu benar," kata Lisa.
"Peristiwa itu terjadi pada liburan musim panas. Pada musim gugur
orang-orang masih membicarakannya."
"Tak mungkin," kata Cory sambil membungkuk untuk
memungut handuknya. "Aku tak percaya. Sama sekali tak percaya."
"Gampang membuktikannya," kata Lisa. "Ganti pakaianmu, ayo
kita selidiki!" "Kau bercanda" Melakukan penyelidikan ketika pertandingan
sedang berlangsung?" Cory memandang Mr. Welner dengan gugup.
Mr. Welner kelihatan kurang puas dengan penampilan Arnie. Senam
balok keseimbangan Arnie amat buruk.
"Kau tidak main lagi, kan?" tanya Lisa tak sabar.
"Memang sih," kata Cory muram. Tiba-tiba ia teringat
penampilannya yang menyedihkan. "Tapi kalau Mr. Welner melihatku
melarikan diri saat pertandingan..."
Cory mengubah pikiran, ia tak punya pilihan. Ia harus mencari
kebenaran tentang Anna, sebenar-benarnya. "Oke, aku akan
menemuimu di tempat parkir," katanya.
Cory menyelinap keluar setelah yakin Mr. Welner masih
memperhatikan Arnie. Ia lari ke ruang locker, dengan cepat menukar
pakaiannya. Cerita tentang Anna itu pasti tidak benar.
Anna belum meninggal. Ia belum meninggal.
Ia bukan memeluk hantu, kan"
Tiba-tiba Cory teringat wajah Anna yang ketakutan ketika ia
bercerita soal hantu di Fear Street.
Tidak. Yang benar saja. Hantu itu tidak ada. Cewek yang
dipeluknya itu hangat, berperasaan, dan bernyawa.
Beberapa menit kemudian Cory menyelinap keluar ruang
locker. Ia menemui Lisa di mobil. Mereka ke perpustakaan umum
Shadyside. Salju turun tadi siang dan menutupi pohon-pohon,
membuat pepohonan itu kelihatan menyeramkan pada sore yang
mendung itu. "Ada apa sih di perpustakaan?" tanya Cory, memecah
kesunyian. "Ruang mikrofilm. Semua isi koran lokal tersimpan dalam
mikrofilm di perpustakaan itu. Kalau akan membuat artikel untuk
Spectator, aku biasa mencari data di situ."
Sisa perjalanan mereka tempuh dengan berdiam diri.
Di perpustakaan, Lisa mencari koran Melrose empat atau lima
bulan yang lalu. "Ini," katanya, menyerahkan rol mikrofilm itu kepada
Cory. "Ambillah viewer dan kuambil viewer yang lain. Itu akan
mempercepat pencarian kita."
Sekitar dua puluh menit kemudian, Lisa menemukan apa yang
dicarinya. Sebuah artikel pada musim semi sebelumnya. Melalui
viewer, Cory melihat judul artikel itu:
ANNA CORWIN, SISWI KELAS DUA MELROSE,
MENINGGAL KARENA KECELAKAAN
Isi berita itu kelihatan buram di mata Cory. Tapi fotonya
membuat Cory tak henti-henti menatapnya. Foto itu kurang jelas.
Cetakannya terlalu terang, kelabu semua, sepertinya cewek itu mulai
berubah jadi hantu. Ini Anna, pikirnya. Matanya, rambut pirangnya. Ini Anna. Ia
mengubah letak viewer, berusaha memperjelas foto kelabu itu.
"Tapi... bagaimana... bagaimana kau bisa menjelaskan semua
ini?" kata Cory, masih melihat ke viewer. Pikirannya berputar-putar
tak keruan, memikirkan Anna, memikirkan saat mengobrol
bersamanya, dan memikirkan saat menyentuhnya.
"Aku tak bisa menjelaskannya," kata Lisa pelan. "Aku tak tahu
bagaimana menjelaskannya."
Cory menatap foto kelabu itu, lalu judul artikel itu.
Pertanyaan itu terus terulang di kepalanya....
Mana mungkin Anna Corwin meninggal"
Mana mungkin Anna Corwin meninggal"


Fear Street - Cewek Baru The New Girl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mana mungkin Anna Corwin meninggal"
******************* Malam itu Cory terlalu gelisah untuk melakukan sesuatu. Ia
mencoba mengerjakan PR, tapi tak bisa berkonsentrasi. Pukul 20.30,
ia menyelinap keluar. Ia naik mobil dan berkeliling kota sebentar.
Tadi siang salju turun. Di kanan-kiri jalan tampak bidang kecil
memanjang berwarna putih, beberapa gumpalan putih juga terdapat di
halaman berumput. Cory mengendarai mobilnya tanpa tujuan. Ia berputar-putar di
North Hills, lewat depan sekolahnya, menyeberangi Canyon Road,
lalu kembali lagi. Tapi ia tahu di mana perjalanannya itu akan
berakhir. Fear Street. Cory memarkir mobilnya di tepi jalan di depan rumah keluarga
Corwin. Ia memandang rumah yang tak terurus itu. Langit di atas
rumah itu tampak ganjil, memancarkan cahaya mengerikan yang
membuat rumah tua itu kelihatan tak nyata, seperti latar belakang film
horor. Bagian dalam rumah itu seperti biasa, sangat gelap. Kerai di sisi
rumah terbanting-banting tertiup angin. Nyala lampu suram terlihat
dari jendela lantai dua rumah itu. Cory mengamatinya, tapi cahaya
yang suram tidak cukup terang untuk memperlihatkan orang yang ada
di dalamnya. Semenit berikutnya lampu itu pun padam.
Cory mendengar suara ribut di belakangnya. Gonggongan
anjing. Dari kaca spion ia melihat Doberman besar dan hitam itu
menyusuri jalanan yang gelap. Larinya kencang seperti kuda.
Tetangga aneh berjas hujan kelabu itu berada tepat di belakangnya.
Dia lagi, pikir Cory. Apakah setiap malam ia dan anjingnya
mencari mangsa di Fear Street" Apakah mereka hantu juga"
Hantu penjaga, pikirnya. Mereka ditugaskan untuk menghalangi
orang yang ingin mengungkapkan kebenaran di Fear Street "
mengungkapkan bahwa semua penghuni Fear Street telah
MENINGGAL! Cory menggeleng keras, berusaha melenyapkan pikirannya
yang edan itu. Lalu serta-merta ia menstarter mobilnya dan menginjak
pedal gas kuat-kuat. Dari kaca spion ia melihat laki-laki dan anjingnya
itu mendadak berhenti. Mereka pasti terkejut dengan kepergiannya
yang buru-buru. Cory langsung pulang dan pergi tidur.
Ia bermimpi tentang pertandingan senam. Ia berada di ring dan
tak tahu bagaimana caranya turun. Setiap orang memandangnya,
menunggunya bergerak. Tapi ia sama sekali tak ingat bagaimana
caranya turun. Cory terbangun karena seseorang menyentuh wajahnya.
Ia duduk di ranjang, berterima kasih karena mimpinya terputus.
Tangan itu turun menyentuh pipinya. Ia pun mengedip dan terjaga.
Anna! Anna ada di dekatnya, berdiri di samping ranjangnya. Matanya
yang biru memandangnya. "Apa yang kaulakukan di sini" Bagaimana kau bisa masuk?"
tanya Cory, suaranya berbisik parau, masih mengantuk.
"Oh, lindungi aku, Cory," pinta Anna, tampak ketakutan dan
sedih. Ia kembali menyentuh pipi Cory, menyapukan bibirnya ke dahi
Cory. "Anna..." Anna menekankan wajahnya ke Cory.
Cory tak percaya semua itu terjadi. Ia bersama Anna, di
kamarnya. "Anna..." Cory meraihnya. Ia ingin memeluk Anna.
Anna tersenyum, rambutnya yang lembut menyapu wajahnya.
"Anna... kenapa keluargamu mengatakan kau sudah
meninggal?" Anna sama sekali tak kelihatan terkejut atau bingung. "Aku
memang telah meninggal," Anna berbisik di telinga Cory. "Aku telah
meninggal, Cory. Tapi kau masih bisa melindungi aku."
"Apa maksudmu?" Cory tiba-tiba merasa sangat takut. Anna
tampak seperti hantu sekarang, pucat dan tembus pandang. Matanya
menatap penuh amarah, pandangannya sungguh tidak bersahabat.
Matanya itu mengandung kejahatan, mata setan.
"Apa maksudmu?" ulang Cory, tak sanggup menghilangkan
ketakutan dalam suaranya.
"Kau akan mati juga," bisik Anna. "Lalu kita bisa bersamasama."
"Tidak!" teriak Cory, mendorongnya agar pergi. "Tidak... aku
tak mau!" Telepon berdering. Cory berdiri dan memandang sekelilingnya.
Tidak ada Anna. Ini pasti mimpi, semua ini pasti cuma mimpi.
Tapi kelihatannya seperti sungguhan.
Telepon itu nyata. Ia memandang jam di mejanya. Beberapa
menit lewat tengah malam. Ia meraih gagang telepon.
"Halo, Cory?" terdengar suara berbisik. Suara Anna.
"Hai, Anna," Cory balas berbisik.
"Cory... kemarilah cepat. Ayolah, kau harus datang! Tapi
jangan parkir di depan rumahku! Aku akan menemuimu di depan
reruntuhan rumah tua itu. Cepat, Cory! Kau satu-satunya orang yang
bisa menolongku!" Bab 13 CORY masih menggenggam gagang telepon setelah Anna
memutuskan percakapan dengannya. Ia ingin memastikan apakah ia
tidak sedang bermimpi. Ya Anna baru saja meneleponnya. Ia benar-benar ada. Ia hidup.
Haruskah Cory pergi" Adakah pilihan lain"
Ia membayangkan saat Anna duduk begitu dekat dengannya di
mobil. Anna menyusupkan wajahnya ke dalam pelukannya.
Tentu saja ia harus pergi!
Anna membutuhkannya. Dan ia pun perlu mengajukan semua pertanyaan yang ada di
kepalanya, untuk mencari kebenaran tentang Anna sampai tuntas.
Ia berpakaian dengan cepat, mematikan lampu meja, dan
menuruni tangga tanpa bersuara. Sesampainya di tengah tangga, pintu
kamar orangtuanya terbuka. Ayahnya berjalan tersaruk-saruk dalam
kegelapan. "Cory, kaukah itu?"
Ia harus segera menjawab. Jika tidak, ayahnya akan mengira ia
pencuri. "Ya, Dad. Ini aku," jawabnya lirih.
"Ada apa" Kau sedang apa?"
Berpikirlah cepat, Cory. Berpikirlah cepat. "Uh... aku baru saja
turun untuk mengambil makanan kecil. Aku terbangun karena lapar."
Ayahnya menanggapi ceritanya dengan mengeluh. "Kalau tak
salah aku tadi mendengar dering telepon," katanya, menguap.
"Ya. Salah sambung," kata Cory.
Cory menunggu sampai ayahnya masuk dan menutup pintu
kamarnya. Ia menunggu lagi beberapa menit, kemudian meneruskan
menuruni tangga dan keluar lewat pintu depan.
Malam itu lebih dingin dibanding malam sebelumnya ketika ia
menyelinap keluar rumah. Tapi kali ini angin sama sekali tidak
bertiup. Tanah di bawah sepatunya terasa keras dan basah. Rembulan
bersembunyi di balik awan tebal. Sekali lagi Cory membiarkan
mobilnya menggelinding, lalu menstarternya setelah tiba di jalan raya.
Mill Road gelap dan lengang. Cory memandang pembatas
berwarna putih di sepanjang jalan yang sempit dan berkelok-kelok. Ia
memikirkan Anna. Apakah kali ini Anna benar-benar dalam kesulitan" Suaranya
amat sangat ketakutan. Apa masalahnya" Apakah ia takut
menceritakannya di telepon"
Atau Anna cuma ingin bertemu dengannya" Jika betul, kenapa
ia ingin Cory menemuinya di tengah malam" Kenapa Cory tak boleh
memarkir mobil di dekat rumahnya" Kenapa Cory harus menemuinya
di depan bekas reruntuhan rumah tua Simon Fear"
Cory memikirkan mimpi yang baru saja mengusiknya. Dan foto
di artikel koran kembali muncul dalam ingatannya. Ia berusaha
mengenyahkan pikiran itu. Ia ingin memeluk Anna lagi.
Cory berbelok ke Fear Street dan berhenti di depan reruntuhan
rumah tua Simon Fear. Di seberang jalan terlihat kuburan yang gelap
dan sunyi. Lampu mobil dimatikannya, ia tak bisa melihat apa-apa
dalam gelap. Tiba-tiba ia merasa kegelapan itu seolah-olah
menelannya, lalu memasukkannya ke terowongan gelap yang tak ada
ujungnya, terowongan yang menuju...
Cory melihat melalui kaca belakang mobilnya dan mencari-cari
Anna. Tak ada tanda-tanda Anna akan muncul. Tak ada yang
bergerak, cuma ada pohon-pohon yang menjulang ke langit kelam.
Cory menurunkan kaca jendela dan menghirup udara dingin. Ia
mencari-cari Anna lewat kaca spionnya, tapi Anna belum juga
muncul. Ia meraih hendel pintu dan berniat keluar, tapi segera
mengurungkannya ketika teringat Doberman besar itu.
Dingin sekali rasanya karena jendela terbuka. Cory kembali
menaikkan kacanya. Di manakah Anna" Ia ingin tahu pukul berapa
sekarang, tapi lupa memakai arloji. Ia menengok lagi ke belakang,
cuma kegelapan yang tampak.
Telapak tangan Cory terasa dingin dan berkeringat. Ia batukbatuk, tenggorokannya kering. Ia tak bisa menunggu lebih lama lagi di
mobil. Ia terlalu gelisah.
Cory membuka pintu dan keluar. Cepat-cepat ia menutup pintu
sehingga tak seorang pun dapat melihat kilatan lampu dalam
mobilnya. Ia mendengarkan baik-baik kalau-kalau tetangga aneh serta
pengikutnya yang berkaki empat dan galak itu ada di dekat situ.
Sunyi. "Hhh, seperti di bulan saja," Cory bergumam sendiri. Sangat
sunyi. Sunyi senyap. Sangat... tidak nyata. Musik film The Twilight
Zone terus terngiang dalam ingatannya.
Di manakah Anna" Cory mulai menyusuri jalan itu, menuju rumah Anna. Udara
dingin dan basah, jalanan sangat licin hingga membuatnya sulit
melangkah. Ia berhenti di jalan depan rumah Anna dan memandang
rumah tua itu. Gelap. Sangat gelap. Apakah itu" Ada cahaya yang berkelap-kelip di lantai dua
rumah itu. Ada orang yang terbangun. Anna-kah"
Apakah Anna menunggu saat yang tepat untuk menyelinap dan
pergi menemuinya" Apakah ada orang yang mengawasinya agar tidak
melarikan diri" Brad. Si sinting Brad. Cory menggigil ketika rasa takut merayapi tubuhnya. Ia ingin
kembali dan menunggu di mobil. Jalanan itu sangat gelap, ia hanya
bisa melihat beberapa meter di depannya. Suara yang terdengar
hanyalah langkah kakinya di jalan berkerikil. Akhirnya ia masuk ke
mobil dan menutup pintu. Tak cukup hangat di dalam mobil. Ia duduk
merosot di jok mobil, berusaha menghangatkan diri dengan
memasukkan kepalanya ke topi jaketnya.
Di manakah Anna" Cory memandang kaca depan mobilnya, napasnya mengembun
di kaca itu. Apakah ia menggigil karena kedinginan" Atau karena
mencemaskan Anna" Mungkin Anna mengalami kejadian mengerikan. Mungkin ia
memanggilnya karena tahu sedang berada dalam bahaya... dan Cory
tak segera datang menemuinya.
Memandang kaca depan mobil yang buram oleh kabut, pikiran
Cory jadi melantur. Mungkin Brad menjadikan Anna tahanan di
rumahnya. Anna bilang Brad berbahaya. Kata itulah yang dipakainya.
Berbahaya. Mungkin Anna ingin Cory membantunya melarikan diri
dan Brad mencium rencananya itu.
Cory membuka pintu mobil dan melompat keluar. Ia melihat
bayangan gelap rumah itu. Anna tidak muncul. Napas Cory
membentuk gumpalan kabut di depannya. Ia sadar telah bernapas
dengan sangat cepat dan jantungnya berdegup kencang.
Di manakah Anna" Cory tak punya pilihan. Ia harus masuk ke rumah Anna. Ia
harus yakin Anna baik-baik saja.
Anna minta bantuan padanya, dan yang dilakukannya cuma
menghangatkan diri di dalam mobil.
Cory mulai berlari kecil ke rumah itu, sepatu karetnya berderap
di jalanan beraspal. Napasnya terengah-engah. Ia turun ke jalanan
berkerikil dan mengurangi kecepatan larinya. Ketika memandang ke
atas, ia melihat cahaya suram di kamar atas.
Tanah di bawahnya menurun dan licin. Cory memaksa diri
untuk terus berlari kecil dengan mantap. Kini ia berada di serambi,
kemudian memencet bel, lupa bahwa bel itu rusak. Lalu ia mengetuk
pintu, mula-mula pelan-pelan, kemudian, ketika tak ada yang
menyahut, mengetuknya sekeras-kerasnya.
Di manakah Anna" Apa yang mereka lakukan padanya"
Pintu terbuka. Brad, dengan mata sipit dan mengantuk,
melangkah cepat ke serambi, nyaris menerjang Cory. Matanya
membelalak terkejut, kemudian menyempit ketika wajahnya yang
merah jambu diliputi kemarahan.
"Kau...," katanya, dan membuang muka seperti akan meludah.
Cory berusaha untuk menjelaskan, tapi ia sesak napas.
"Mau apa kau sekarang?" tanya Brad, menatap Cory dengan
tajam. "Apa yang kaulakukan di sini?"
"Anna meneleponku...," Cory berusaha menjelaskan.
Wajah Brad diliputi kemarahan. Ia mengulurkan tangan dan
merenggut bagian depan jaket Cory. "Kau mencoba menggangguku?"
jeritnya. "Ini lelucon kejam?"
Cory berusaha melepaskan diri, tapi di luar dugaan,
cengkeraman Brad ternyata sangat kuat. "Tunggu. Aku..."
"Sudah kukatakan...!" Brad menjerit sekuat-kuatnya. "ANNA
SUDAH MENINGGAL! ANNA SUDAH MENINGGAL! Kenapa
kau tak percaya?" Brad menarik jaket Cory kuat-kuat, sampai Cory sesak napas.
Agar bisa melepaskan diri, Cory memukul pergelangan tangan Brad.
Cengkeraman Brad terlepas, Cory mundur beberapa langkah.
Brad bertambah marah. Ia kembali merenggut bagian depan
jaket Cory dan mengguncang-guncangkannya. Ia menyeret Cory ke
dalam rumah. "Kini aku akan menyingkirkanmu untuk selamalamanya," katanya.
Ebukulawas.blogspot.com Bab 14 INI tidak sungguh-sungguh terjadi, kata Cory pada diri sendiri.
Ini cuma mimpi buruk yang lain. Bangunlah, Cory. Bangun.
Cory tidak bangun. Ia memang sudah bangun, itu bukan mimpi.
Brad menariknya ke ruang tamu. Rumah itu terasa panas dan
berasap. Udara terasa asam. Ada nyala api kecil pada tungku di
seberang dinding. Tak ada lagi cahaya lain. Bayang-bayang bergerakgerak di dinding. Bara api bergemeretak keras, mengejutkan Cory.
Brad tertawa, ia senang melihat Cory ketakutan.
Brad melepaskan cengkeramannya di jaket Cory. Cory mundur
selangkah. Sebelah telinga Brad yang beranting-anting tampak
berkerlip terkena cahaya api. Karena tertawa, mata Brad berair. "Kau
benar-benar takut padaku, kan?" katanya, mengusap air matanya.


Fear Street - Cewek Baru The New Girl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cory tak menyahut. Ia balas menatap cowok aneh itu, berusaha
mencari jalan untuk melarikan diri kalau Brad menyerangnya lagi.
Tapi ia begitu takut hingga tak bisa berpikir jernih.
"Keluar," geram Brad. "Kau boleh pergi, tapi jangan pernah
kembali lagi." Cory bimbang sejenak. Ia tak yakin pada pendengarannya. Lalu
ia berlari melewati brad dan keluar rumah. Pintu di belakangnya
terbanting. Udara dingin yang menerpa cepat memulihkan kesadarannya.
Di tengah jalan ia berhenti, berbalik, dan memandang ke jendela lantai
dua rumah itu. Nyala lampu yang suram bersinar di kamar yang gelap
itu. Ada orang berdiri di balik jendela, memandang padanya.
"Anna!" panggilnya, membentuk corong dengan kedua
tangannya. "Anna, kaukah itu?" Cory melambai padanya dengan
bersemangat. Sosok di jendela itu menghilang dalam gelap.
Halaman depan rumah itu kembali gelap gulita.
************************ "Seberapa jauh kau bisa meludahkannya?"
"Apa" Biji buah persik ini?" Amie menunjukkan biji merah di
antara telunjuk dan ibu jarinya.
"Ya. Seberapa jauh?" tanya David, ekspresinya serius, seolah
sedang melakukan penelitian ilmiah.
"Aku dapat meludahkannya ke dalam keranjang sampah itu,"
kata Amie, menunjuk keranjang sampah hijau di seberang mang
makan yang jaraknya kira-kira tiga puluh meter dari situ. "Gampang."
"Dasar sinting," kata David. "Kau tak akan pernah bisa
melakukannya." "Siapa bilang," desis Amie. "Lihat anak berambut merah yang
mirip kau itu" Sebelum memasukkan biji ini ke keranjang sampah,
aku lebih dulu akan melentingkannya ke kepala anak itu agar
lentingan-nya lebih kencang."
"Nggak mungkin," kata David, menggeleng. "Setengah jarak itu
saja kau pasti takkan mampu. Bagaimana pendapatmu, Brooks?"
"Apa?" Cory memandang David melalui ham sandwich-nya.
"Menurutmu apakah Arnie bisa melakukannya?"
Cory mengangkat bahu, "Maaf, aku sedang memikirkan yang
lain." Cory sedang memikirkan Anna. Dua hari ini ia berusaha
meneleponnya, tapi tak seorang pun mengangkat telepon.
"Kata Arnie, ia bisa meludahkan biji persik itu ke keranjang
sampah," jelas David.
"Lalu?" Cory mengerutkan dahi.
"Lalu" Apakah kau telah kehilangan minat pada olahraga,
Brooks?" tuntut David. "Oh, kau telah kehilangan selera humormu.
Kini kau pun tak tertarik pada demonstrasi atletik?"
"Kenapa kalian tak pernah dewasa?" kata Cory letih. Ia
menggigit sandwich-nya, tapi malas mengunyahnya.
"Kau tampak kacau, kawan," kata Arnie, mempermainkan biji
persik di jemarinya. "Apa lagi masalahmu?"
"A... aku kurang tidur," kata Cory.
"Cewek berambut pirang itu yang membuatmu susah tidur?"
tanya Arnie dengan lirikan dibuat-buat. "Kenapa kau tidak membagi
kesedihanmu dengan teman-temanmu?"
"Jangan pedulikan dia," kata David, memutar kursi Arnie.
"Ludahkan biji persik itu. Taruhan lima dolar kau tak bisa
menyeberangkannya ke tengah ruangan ini."
"Oke," kata Arnie. "Ini baru taruhan." Ia memasukkan biji
persik ke mulutnya dan mengambil napas dalam-dalam.
Tiba-tiba mata Arnie mendelik. Ia memegang lehernya,
mulutnya terbuka. Ia megap-megap.
"Oh, tidak! Ia menelannya! Biji itu tersangkut di
tenggorokannya!" jerit David, melompat dari kursinya dan dengan
panik menepuk-nepuk punggung Arnie.
Wajah Arnie berubah merah padam. Ia berusaha bernapas, tapi
jelas tampak ia tak bisa.
"Tolong! Tolong!" teriak Cory.
"Oh, Tuhan! Ia bisa mati karena menelan biji itu!" David
ketakutan, wajahnya memucat, kelihatan seperti mau pingsan.
"Tolong...! Tolong...!"
Cory berhenti menjerit, ia memandang Arnie. Ia melihat Arnie
tersenyum sambil mengerling kepadanya. Arnie mengangkat
tangannya. Biji persik itu masih di tangannya. Arnie sama sekali tak
memasukkannya ke mulut. "Ini dia," seru Arnie kepada Cory dan David sambil
menyeringai bangga. Ia merobohkan dirinya ke meja dan tertawa
terbahak-bahak. David cepat tersadar dan ikut tertawa sambil
memukul-mukul meja. Cory berdiri dengan gusar. Ia melemparkan sisa makan
siangnya ke nampan. "Kalian sakit," katanya bersungut-sungut.,
"Hei, ayolah, Brooks," kata Arnie. "Kau kenapa sih" Ini lucu,
kan?" Cory menggeleng dan cepat-cepat keluar. Ia ingin jalan-jalan ke
tempat parkir sebentar. Hari itu sangat dingin, tapi ia tak
menyadarinya. Ia tak membawa jaket.
Cory berusaha meyakinkan dirinya untuk berhenti memikirkan
Anna, menghapus cewek itu dari pikirannya. Ia pasti akan merasa
lebih baik jika bisa melupakan Anna dan kembali ke kehidupannya
yang lama. Lihatlah aku, pikir Cory, aku benar-benar hancur. Aku tak bisa
tidur. Tugas sekolahku terbengkalai. Aku menderita! Dan semua itu
gara-gara seorang cewek, yang kakak laki-lakinya aneh, dan
mengatakan bahwa ia sudah meninggal!
Ia harus melupakan Anna, melenyapkannya dari ingatannya.
Itulah yang harus dilakukannya.
Tapi Cory sadar ia tak mampu melakukannya.
Paling tidak sampai ia memperoleh jawaban, tentang berita
Anna di surat kabar itu. Tentang kakak laki-laki Anna, tentang kenapa
Anna meneleponnya tapi kemudian tidak muncul...
Cory mendengar bel berbunyi. Pelajaran kelima hampir
dimulai. Ia menggigil, baru merasakan hawa dingin. Dengan
bersidekap ia bergegas kembali ke kelas.
Ia dan Lisa tiba bersamaan di locker.
"Bagaimana kelanjutannya?" tanya Lisa.
Cory memberikan isyarat dengan tangan yang artinya biasa
saja. "Maaf atas kejadian Sabtu kemarin," kata Lisa. "Maksudku,
mengenai pertandingan senam, dan lain-lain."
Cory mengamati wajah Lisa untuk melihat apakah Lisa sedang
mengolok-oloknya, tapi cewek itu benar-benar kelihatan minta maaf.
"Masih ada pertandingan yang lain kok," gumam Cory.
"Kurasa begitu," kata Lisa. Tingkah lakunya aneh, pikir Cory.
Tidak seperti biasanya. Ia tidak sedang mengolok-olok atau
melecehkannya, kan" "Lalu, bagaimana denganmu?" tanya Cory.
"Baik." Lisa kesulitan memutar kombinasi kuncinya. Tapi
akhirnya ia menariknya dan locker-nya pun terbuka. "Bolehkah aku
bertanya?" tanya Lisa dari balik pintu locker.
"Tentu," jawab Cory. Tak biasanya Lisa bersikap formal. Jika ia
ingin menanyakan sesuatu, biasanya ia langsung menanyakannya.
"Mm... kau tahu, kan, malam Minggu ada pesta dansa di sini.
Maukah kau menemaniku?" tanya Lisa cepat, seolah kalimatnya itu
cuma terdiri atas satu kata. Wajahnya masih tersembunyi di balik
pintu locker. Cory sangat terkejut. Ia dan Lisa berteman sejak kecil, tapi
belum pernah pergi berkencan.
Itu benar-benar ide bagus, pikir Cory cepat. Ia harus melupakan
Anna, atau setidaknya tak memikirkan Anna sepanjang hari. Pergi
dengan Lisa akan menolongnya. Betapa baiknya Lisa. Ia selalu siap
menolong ketika Cory membutuhkannya.
"Tentu," kata Cory. "Menyenangkan sekali."
Lisa mengintip dari balik pintu locker-nya. Ia tersenyum lebar.
"Aku akan menjemputmu pukul delapan malam," katanya. Suaranya
terdengar amat lega. Cory balas tersenyum. Lisa kelihatan aneh, seolah-olah ia naksir
berat kepadanya. Cory memandang ke koridor kosong di bawah sana.
Anna-kah yang sedang memandang mereka dari ruang kelas itu"
Atau ia cuma sedang membayangkannya"
Aku harus berhenti memikirkannya, ia membatin, merasa
benar-benar takut. Kini aku mulai lagi melihatnya di mana-mana!
Tapi, tunggu. Anna keluar dari kelas itu, ia berjalan ke arah
mereka. Itu memang Anna. Anna menyelak di antara mereka. Ia tersenyum hangat kepada
Cory. "Hai," sapanya lembut, matanya menampakkan kegembiraannya
karena bertemu dengan Cory. Ia mengenakan blus putih dan rompi
kuno berbunga-bunga. Ia kelihatan lebih rapuh daripada biasanya.
"Hai," kata Cory. Ia mundur selangkah. Anna berdiri agak
terlalu dekat dengannya. Anna memandang Lisa yang kelihatan sangat
terkejut. "Hai," kata Lisa, mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Kita
belum pernah resmi berkenalan. Aku Lisa. Lisa Blume. Kau ikut
pelajaran fisika di kelasku, kan?"
"Ya," jawab Anna, menyambut uluran tangan Lisa dan
tersenyum hangat. "Aku tahu kau. Kau lucu."
"Sayangnya, lucu tidak membuatku pintar dalam pelajaran
fisika," kata Lisa, sambil menggerakkan kepalanya. Ia menarik rambut
ikalnya yang hitam. Lisa kelihatan gugup. "Sejak kapan kau pindah ke
Shadyside?" "Beberapa minggu yang lalu," jawab Anna. "Sulit, ya, jadi
murid baru di sini. Sekolah ini banyak muridnya. Aku biasa
bersekolah di Melrose yang muridnya hanya dua ratus. Cuma Cory
satu-satunya teman yang kukenal di sini." Anna tersenyum pada Cory.
Cory merasa wajahnya memerah.
"Kau beruntung," sindir Lisa. Ia memandang Cory dengan
mimik aneh. "Sudah berapa lama kalian saling kenal?" tanya Anna pada
Lisa. "Sudah terlalu lama," sahut Lisa berolok-olok.
Cory tak ikut tertawa. Ia terpaku menatap Anna. Anna sangat
cantik. Benar-benar menyenangkan mengobrol dengannya dan
melihatnya akrab dengan Lisa.
Tiba-tiba Anna tampak gelisah. "Oh, kuharap aku tak
mengganggu obrolan kalian," katanya pada Lisa. "Maaf. Tadi
kudengar kau mengajak Cory ke pesta dansa. Lalu aku menyerobot ke
sini dan..." "Tidak. Jangan begitu," kata Lisa. Ia memandang arlojinya.
"Oh, bel akan segera berbunyi. Aku janji akan datang lebih awal hari
ini. Aku harus cepat-cepat pergi." Lisa mengambil tasnya dan
menutup pintu locker. "Bye, Cory! Senang bertemu denganmu,
Anna!" teriaknya sambil turun ke koridor.
Lisa segera menghilang di balik tikungan. Anna meraih tangan
Cory dan menggenggamnya erat-erat. "Ingat Jumat malam?" Ia
berjinjit agar bisa berbisik di telinga Cory.
Ya, Cory ingat kejadian Jumat malam. Tapi Anna yang berdiri
di dekatnya sambil menggenggam erat tangannya membuatnya tak
ingat apa-apa. "Ya," katanya. Jawaban yang brilian, Cory, sangat
mengesankan. Anna berbisik di telinga Cory. Tak jelas apa yang
dibisikkannya. Kedengarannya seperti, "Kau milikku sekarang." Tapi
bisa juga bukan itu. "Hei, Anna...," Cory mulai. "Kita harus bicara. Aku ingin
bertanya tentang..."
Tapi Anna menutup mulutnya dengan tangannya. Mereka
bertatapan dengan penuh arti sampai terdengar siulan.
Anna mundur, Cory menengadah untuk melihat siapa yang
bersiul. Bel berbunyi. "Selamat tinggal, Cory," bisik Anna, memberinya senyum
bersahabat, lalu berlari menyusuri koridor.
"Tidak, tunggu..."
Tapi Anna telah pergi, dan kini Cory terlambat masuk kelas. Ia
menggeleng-geleng. Ia yakin takkan mampu berkonsentrasi sedikit
pun di kelas nanti. Ia akan terus memikirkan Anna.
******************** "Gerakan yang mulus, jagoan."
"Apa?" "Kaudengar kataku," kata Lisa. Ia dan Cory bertemu lagi di
locker. Tiga jam kemudian, sepulang sekolah. "Ketika Mr. Martin
berdiri di depanmu dan berkata, 'Cory, kurasa kau tak mendengarkan
pela-jaranku hari ini,' dan jawabmu, 'Apa"' aku benar-benar terkesan."
"Jangan campuri urusanku!" bentak Cory. "Aku cuma tidak
mendengarkan, hanya itu."
"Kurasa bukan itu," Lisa tertawa. "Kau mau apa sekarang"
Latihan?" "Ya. Percaya atau tidak, aku masih anggota tim," gumam Cory
sedih. "Oh... uh... apakah kau mau ke rumahku setelah makan malam"
Mungkin belajar dan..." Lisa membuka locker-nya dan menyentuh
sesuatu. "Hei... ada sesuatu yang kaku..."
Lisa menariknya keluar, dan kemudian menjerit.
Tangannya berlumuran darah.
"Lisa... apa itu?" tanya Cory.
Seekor kucing mati terlempar dari locker Lisa dan jatuh
mengenai sepatu karet putihnya. Darah memercik di locker-nya. Perut
kucing itu menganga. Lisa menekankan kepalanya ke dinding yang dingin. "Aku tak
percaya semua ini... aku tak percaya semua ini...," Lisa terus
bergumam, tanpa beranjak dari dinding.
Cory melihat sesuatu yang dikalungkan di leher kucing itu.
Ternyata secarik kertas putih yang ada tulisannya.
Cory membungkuk, menarik kertas itu, dan membacanya dalam
hati, LISA... KAU JUGA AKAN MATI.
Bab 15 "ANNA!" "Hai, Cory. Aku menunggumu. Bagaimana latihanmu?"
Cory menggeleng. Dengan letih ia menyandang tasnya. "Jangan
tanya, aku sedang malas latihan."
"Oh." Anna buru-buru menjajari langkahnya ketika Cory
berjalan menuju jalan raya. Saat itu pukul 17.00. Langit mendung,
angin dingin menerpa wajah mereka. Tiupan angin itu kencang hingga
membuat mereka sulit melangkah.
Tapi Cory perlu udara segar. Ia perlu bergerak, menggerakkan
otot-ototnya, agar energinya terpakai. "Aku habis menolong Lisa
membersihkan locker-nya," katanya. Ia berpaling dan menatap Anna.
Ia ingin tahu apakah Anna dapat menduga ke mana arah
pembicaraannya. "Apakah Lisa... orang yang gila kebersihan?" tanya Anna,
tertawa renyah. "Mana ada sih anak yang membersihkan locker-nya


Fear Street - Cewek Baru The New Girl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada saat sekolah baru dimulai?"
Anna sepertinya tidak tahu-menahu tentang kucing itu. Atau ia
aktris jempolan. Ketika membersihkan barang-barangnya, Lisa menegaskan
Anna-lah yang patut dituduh sebagai pelakunya. "Anna mendengar
kita akan pergi berdansa. Ia pasti cemburu," kata Lisa, mengamati
kertas tisu di tangannya yang basah kuyup oleh darah yang sudah
menghitam. "Jangan mengada-ada. Aku belum pernah pergi dengan Anna,"
tegas Cory. "Aku melihat caranya memandangmu," kata Lisa. "Bagaimana
ia berdiri di dekatmu. Begitu ingin memiliki. Pasti dia yang
melakukannya. Aku yakin."
"Nggak masuk akal." Tuduhan Lisa membuat Cory naik pitam.
"Tolong ambilkan tisu lebih banyak lagi," pinta Lisa. "Uhhh,
bisa-bisa aku sakit. Aku benci kucing."
Kini, satu setengah jam kemudian, Cory berjalan diterpa angin,
menjelaskan pada Anna apa yang baru saja terjadi. "Kucing mati.
Perut kucing itu terbelah," katanya pada Anna. Cory mengamati
reaksinya. Mulut Anna ternganga. "Tidak!"
"Ada orang yang mengalungkan kertas kecil di leher kucing
itu," lanjut Cory. "Bunyinya, 'Lisa, kau juga akan mati.'"
"Mengerikan!" jerit Anna, menutup mulut dengan tangannya.
"Lisa yang malang. Siapa sih yang melakukan perbuatan mengerikan
itu?" Anna kelihatan ikut bersedih. Cory merasa bersalah telah
mencurigainya. Ia yakin bukan Anna pelakunya.
"Mau pergi minum Coca-Cola atau apa?" tanya Cory
"Tidak." Anna menggeleng, rambutnya yang mengilap
berantakan karena tertiup angin kencang. "Yuk jalan-jalan saja.
Kejadian itu amat mengerikan, aku hampir tak bisa mempercayainya."
"Ayo, kita bicarakan yang lain saja," pinta Cory, berusaha
memperbaiki suasana. "Kudengar tahun lalu kau pesenam terbaik di Shadyside," kata
Anna, mengubah topik pembicaraan.
"Ya, tahun lalu memang," jawab Cory lirih.
Itu sebelum kau ada di sini, pikirnya.
"Semua atlet menurun prestasinya, bukan?" tanya Anna pelan,
sambil merapat pada Cory, menjadikan Cory perisai dari angin yang
bertiup kencang. "Bicara yang lain saja ah," pinta Cory.
"Bagaimana kalau tentang pesta dansa," kata Anna pelan,
berbisik di telinga Cory. Bulu kuduk Cory meremang.
"Tentang apa?" tanya Cory.
"Tak inginkah kau pergi denganku?" Suara Anna lirih dan
manja, seperti anak kecil merengek minta permen.
"Mmm... ya... tentu saja aku ingin."
"Bagus!" "Tapi aku tak bisa mengingkari janjiku pada Lisa. Kami telah
lama bersahabat dan..."
"Oh." Anna cemberut namun sejenak kemudian wajahnya
kembali cerah. "Baiklah, mungkin lain kali saja."
Mereka berjalan pelan-pelan menyusuri Park Drive. Anna
berpegangan pada lengan Corry, begitu lembut sehingga Cory hampir
tak merasakan sentuhannya. Menyenangkan sekali berjalan-jalan
dengan Anna. Ia begitu cantik. Menyusuri jalan berpohon dengan
lampu-lampu jalanan yang menjulang tinggi dan baru menyala di sore
kelabu itu, Anna kelihatan lebih cantik, lebih lembut, dan lebih riang
daripada sebelumnya. Cory enggan mengusik saat-saat damai itu. Tapi ia tak punya
pilihan, masih banyak yang ingin ditanyakannya pada Anna. Terlalu
banyak yang ingin diketahuinya.
"Aku ke rumahmu lagi," Cory mulai. Ia dapat merasakan Anna
kini mencengkeram lengannya, seperti sedang menduga-duga apa
yang akan terjadi setelah itu. Sepertinya ia sudah tahu... dan merasa
ketakutan. "Kakakmu... Brad... Lagi-lagi dia yang membukakan
pintu." "Brad." Anna menggumamkan nama itu tanpa suara.
Cory berhenti melangkah dan berpaling memandang Anna.
"Brad sangat marah, Anna. Ia merenggut dan menarikku ke dalam,
berniat menghajarku. Ia terus-menerus mengatakan kau sudah
meninggal." Mulut Anna ternganga. Ia menjerit, jerit terkejut dan terluka,
seperti anjing kecil yang terinjak. "Tidak!"
Ia melepaskan lengan Cory dan berlari menyusuri trotoar.
Sepatu sandal putihnya tidak bersuara.
Cory takkan membiarkan Anna melarikan diri lagi.
Dilemparkannya tasnya, lalu ia berlari mengejar Anna. Dengan mudah
ia bisa menangkap cewek itu, meraih tangannya, dan memutar
tubuhnya hingga menghadapnya.
Anna tak mau memandangnya. "Pergilah!" jeritnya, mendorong
Cory. "Pergilah, Cory, kau tak boleh terlibat."
"Aku sudah terlibat!" kata Cory, tak mau membiarkan Anna
pergi. "Aku tak bisa berhenti memikirkanmu!"
Kata-kata Cory itu membuat Anna berhenti meronta-ronta. Ia
menatap Cory dengan mata bertanya-tanya, tampaknya tak
mempercayai ucapan Cory. Atau sepertinya ia tak percaya pada apa
yang didengarnya. "Maafkan aku," bisiknya.
Ketika langit benar-benar gelap, udara terasa lebih dingin dan
angin bertiup semakin kencang. Cory melepaskan tangan Anna. Anna
berbalik dan berjalan kembali ke sekolah. Cory membuntutinya,
berjalan beberapa langkah di belakang Anna. "Aku ingin tahu yang
sebenarnya," katanya. "Kenapa kakakmu berkata seperti itu tentang
dirimu." "Aku tak tahu," jawab Anna tanpa menoleh. "Bukankah aku
pernah mengatakan padamu, dia agak sinting."
"Sebelum kau meneleponku Jumat kemarin, ada orang
meneleponku. Kata orang itu aku tak boleh menemuimu karena kau
telah meninggal. Jika aku menemuimu, aku bisa meninggal juga.
Apakah orang itu kakakmu?"
"Aku tak tahu," jawab Anna. "Sungguh, aku tak tahu. Kau harus
percaya padaku." Anna mempercepat langkahnya. Cory cepat-cepat
menyusulnya. "Tapi kenapa kakakmu berkata seperti itu tentang dirimu?"
desak Cory. "Kenapa dia mengatakan pada orang-orang bahwa kau
Pendekar Lembah Naga 27 Pendekar Mabuk 011 Tumbal Tanpa Kepala Tanah Semenanjung 4

Cari Blog Ini