Ceritasilat Novel Online

Musibah Pertama 2

Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil Bagian 2


sambil mengangkat bahu. Kemudian ia menambahkan, "Kecelakaan
itu pasti mengerikan, ya?"
"Yeah," jawab Bobbi. "Memang."
"Hmm, sampai besok."
"Oke, sampai ketemu."
Koridor yang panjang mulai kosong ketika para murid pulang
ke rumah masing-masing atau menuju tempat mereka bekerja seusai
sekolah. Tepuk tangan meriah tadi masih terngiang-ngiang di telinga
Bobbi, begitu pula sorak-sorai dan gema suara drum.
Wow! Betapa menyenangkan! pikir Bobbi sambil
mengeluarkan beberapa buku dan sebuah map dari rak teratas di
locker-nya. Rasanya aku bisa terbang ke rumah.
Beberapa anak lain, anak-anak yang pernah dilihatnya tapi
sebenarnya tak dikenalnya, memberi selamat sambil berpapasan.
Hmm, barangkali Shadyside High tak seburuk yang kubayangkan,
Bobbi berkata dalam hati.
Selama minggu pertama, Bobbi meragukan bahwa ia bisa
menyukai sekolah barunya itu. Anak-anak lain kelihatan begitu
angkuh. Sepertinya mereka sudah saling mengenal seumur hidup.
Bobbi sempat bertanya-tanya apakah ia bisa menyesuaikan diri dan
mendapat teman baru. Tapi pengalaman tadi telah menghapus semua
kekhawatirannya. Tahun ini akan menyenangkan sekali, ia berkata
dalam hati. Serba asyik, asyik, asyik.
Masih dengan seragam cheerleader, ia menoleh ke kiri-kanan.
Setelah yakin tak ada orang lain, ia melompat tinggi-tinggi, mendarat,
lalu melakukan gerakan cartwheel yang membuatnya nyaris menabrak
dinding. Sesudah melampiaskan kegembiraannya, ia meraih bukubukunya, dan memasukkan semuanya ke dalam ransel. Lalu sambil
bersenandung, ia keluar lewat pintu belakang yang menuju tempat
parkir murid. Cuaca pun begitu bagus hari ini, ia berkata dalam hati ketika
berhenti untuk menghirup udara segar. Langit sore masih cerah dan
tak berawan. Udara terasa hangat dan kering, lebih seperti di musim
panas daripada musim gugur.
Di dekat pagar, dua cewek duduk di atas kap mobil sambil
mengobrol dengan cowok yang berjaket Shadyside High merah-putih.
Di samping mereka, mesin mobil lain meraung-raung. Dua cowok
berjongkok di depan sepeda motor berban belakang kempis. Mereka
tampak kebingungan, menggaruk-garuk kepala sambil memasang
tampang cemberut. Di balik pelataran parkir, kehijauan Shadyside Park masih
membentang. Hamparan rumput yang luas, berikut lapangan bisbol,
menuju hutan yang lebat. Coba kalau Mom dan Dad ada di rumah, pikir Bobbi. Aku
sudah tak sabar untuk menceritakan kabar gembira ini.
Rasanya aku sendiri belum bisa percaya, ia berkata dalam hati.
Ini benar-benar di luar dugaan. Aku tak pernah menyangka bahwa
Miss Green akan mengangkatku sebagai kapten yang baru!
Anak-anak lain pasti juga kaget sekali, pikir Bobbi menyadari.
Terutama Kimmy. Kimmy. Ia sama sekali lupa soal Kimmy. Tapi kini pikiran itu
membayang-bayanginya seperti awan mendung dan meredam
kegembiraannya. Apakah Kimmy ikut memberi selamat tadi" Bobbi berusaha
mengingat-ingat. Begitu Miss Green mengumumkan namanya, Bobbi
langsung dikerumuni yang lain. Tapi rasanya tidak. Seingatnya
Kimmy tidak ikut memberi selamat.
Sepertinya aku harus menelepon dia, ia berkata dalam hati.
Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pundak Bobbi dan
membuyarkan lamunannya. "Hai." Ia menatap wajah seorang cowok. Orangnya tampan, dengan
mata gelap yang menyorot ramah. Rambutnya yang cokelat tampak
berantakan. "Hai," balas Bobbi.
Pemuda itu Chip Chasner, pemain quarterback tim Tigers.
Bobbi sudah sering melihatnya sewaktu mereka berlatih di luar. Chip
cukup akrab dengan para cheerleader lain, tapi belum pernah menyapa
Bobbi. Chip menemaninya melintasi pelataran parkir. Ia jangkung dan
berbahu bidang, apalagi ditambah bantalan pundak dan berbagai
pelindung yang dikenakannya.
"Aku cuma mau memberi selamat," katanya malu-malu.
"Trims," balas Bobbi, yang mendadak ikut salah tingkah. "Aku
benar-benar terkejut. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa aku
yang akan dipilih. Aku kan masih baru di sini."
"Oh, ya. Kita belum sempat berkenalan. Aku Charles Chasner,"
Chip berkata. "Tapi semua orang memanggilku Chip."
"Aku tahu," ujar Bobbi, wajahnya terasa panas. "Menurutku kau
pemain football yang hebat sekali."
"Trims." Chip berseri-seri menatapnya. Pujian Bobbi langsung
mendongkrak rasa percaya dirinya. "Aku juga sering menontonmu."
"Pertandingan malam Sabtu besok berat juga," kata Bobbi,
sambil memperhatikan kedua cowok tadi mendorong sepeda motor
mereka. "Yeah. Pertandingan melawan Winstead selalu berat," ujar Chip
sambil melambaikan tangan kepada dua cewek yang baru keluar dari
gedung sekolah. "Sepertinya sih kita akan dibantai oleh mereka."
Bobbi tertawa. "Wah, belum apa-apa sudah menyerah," katanya
pedas. "Bukan begitu," sahut Chip. "Aku sendiri sudah tak sabar
melawan mereka. Tapi kita harus melihat kenyataan. Tahun lalu
mereka masuk final negara bagian."
"Bagaimana kau bisa melempar bola sejauh itu?" tanya Bobbi.
Ia berhenti di tepi pelataran parkir, dan menggeser letak ransel di
bahunya. "Sekadar karena sering latihan?"
"Yeah." Chip mengangguk. "Dulu aku dan ayahku sering
berlatih di halaman belakang. Sampai sekarang juga masih, kalau dia
ada waktu. Tapi dia punya dua pekerjaan, jadi belakangan ini agak
sulit." "Kedua orangtuaku selalu sibuk bekerja," Bobbi bercerita.
"Tapi biasanya aku latihan cheerleader atau belajar di rumah teman,
jadi kalaupun mereka di rumah, aku tetap jarang bertemu mereka."
"Seingatku, aku pertama kali mendapat hadiah football dari
ayahku waktu aku lima tahun," ujar Chip sambil bersandar pada pagar
pelataran parkir. Rambutnya yang tebal dan cokelat tertiup angin, dan
matanya yang kelam memandang Bobbi. "Dia tergila-gila pada
football, tapi tak pernah punya kesempatan untuk main. Sejak dulu dia
harus terus bekerja. Jadi kurasa dia ingin mewujudkan impiannya
melalui aku." "Itu bisa menjadi beban berat," Bobbi menanggapinya dengan
serius. Wajah Chip mendadak tegang. "Aku sanggup mengatasinya,"
katanya pelan. "Aku cuma mau bilang..." Bobbi mulai berkata karena
dikejutkan oleh jawaban Chip yang ketus.
"Kau punya teman kencan tetap atau sebangsanya?" potong
Chip. Bobbi sempat terkesima karena Chip mendadak mengalihkan
pembicaraan. "Tidak," jawabnya akhirnya. "Kau?"
Chip menggelengkan kepala. "Tidak. Tidak lagi. Bagaimana
kalau kita bertemu sehabis pertandingan lawan Winstead?" Ia menatap
Bobbi. "Kita bisa makan pizza. Kumpul-kumpul dengan anak-anak
lain, mungkin?" "Boleh saja," balas Bobbi. "Kedengarannya menarik juga."
"Hmm, oke." Chip melirik jam di atas pintu belakang. "Aku
harus latihan lagi," katanya sambil mendorong dirinya dari pagar.
"Sehabis pertandingan, tunggu aku di luar ruang ganti stadion, oke?"
Tanpa menunggu jawaban Bobbi, ia langsung memasang helm
dan mulai berlari ke tempat latihan di seberang lapangan bisbol.
Hari ini benar-benar luar biasa! pikir Bobbi sambil
memperhatikan Chip berlari dengan langkah lebar. Sepertinya aku lagi
mujur, nih! Kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan
pusing karena semua itu. Pikirnya kemudian: Aku pasti ditabrak truk
dalam perjalanan pulang nanti.
********************* Besoknya, pada suatu malam Jumat yang nyaman, Bobbi
menghabiskan makan malamnya, lalu bergegas ke rumah Jennifer
untuk belajar bersama. Sejak kecelakaan naas itu, ia dan Jennifer
menjadi akrab. Berbeda dengan anak-anak lain, yang ingin secepat mungkin
melupakan kecelakaan tersebut, Bobbi setiap hari mengunjungi
Jennifer di rumah sakit. Bobbi tersentuh oleh ketabahan dan
ketenangan teman barunya. Dalam waktu singkat ia dan Jennifer
sudah bisa mengobrol dan berbagi suka duka seperti dua teman lama.
Bobbi memarkir mobilnya di tepi jalan, lalu menuju pintu depan
rumah Jennifer. Jennifer tinggal di sebuah rumah modern bergaya
country di North Hills, bagian kota paling mewah di Shadyside.
Begitu berbeda dengan Fear Street, pikir Bobbi, sambil
mengamati halaman-halaman rumput yang terawat rapi serta rumahrumah yang terurus dengan baik.
Lampu jalan berkedip-kedip ketika Mrs. Daly membukakan
pintu untuknya. "Oh, hai, Bobbi," katanya. Ia tampak letih dan pucat
dalam cahaya lampu teras yang remang-remang. "Jennifer sudah
menunggumu di ruang baca."
Penuh semangat Bobbi melintasi ruang tamu. Lantainya
berlapis karpet, dan perabotnya terbuat dari krom dan kulit. Ia masuk
ke ruang baca yang kecil, lalu menutup pintu. "Kamu sudah bicara
dengan Kimmy?" tanyanya pada Jennifer, tanpa basa-basi lebih dulu.
Jennifer duduk di kursi rodanya, antara dua sofa kulit berwarna
merah yang saling berhadapan. Ia mengenakan training biru laut, dan
lengan bajunya digulung sampai ke atas siku. Rambutnya yang merah
kecokelatan dikepang di belakang. Di pangkuannya ada sebuah buku
pelajaran. "Aku sudah bicara dengannya," Jennifer menyahut dengan
wajah kaku. Perlahan-lahan ia mengembangkan senyum. "Dia mau
bergabung lagi." "Oh, syukurlah," ujar Bobbi, lalu mendesah lega. Ia meletakkan
ranselnya di lantai keramik, dan duduk di sofa di sebelah kanan
Jennifer. "Minta ampun deh. Aku sama sekali tidak sadar bahwa dia
kabur dari lapangan."
"Kau memang sedang sibuk dengan urusan lain," sahut Jennifer
singkat. "Tapi seharusnya aku tahu kalau Kimmy akan kesal," Bobbi
berkeras, sambil menggosok-gosokkan tangan ke kulit sofa yang licin.
"Tapi aku benar-benar tidak melihatnya. Aku tidak melihat apa-apa.
Semuanya begitu..." Bobbi tidak menyelesaikan kalimatnya.
"Pokoknya aku sudah bicara dengannya," ujar Jennifer sambil
memajukan kursi rodanya sampai ia berada persis di hadapan Bobbi.
"Dia tak bisa dibilang gembira, tapi aku berhasil membujuknya untuk
berubah pikiran." Jennifer memasang wajah cemberut dan
menghindari tatapan Bobbi. "Dulu Kimmy dan aku sangat akrab. Tapi
sekarang tidak lagi."
"Aku jadi tidak enak," kata Bobbi cepat-cepat. "Kalau ini garagara aku, aku..."
"Bukan, bukan," potong Jennifer. "Ini bukan salahmu.
Sungguh." "Bagaimana caramu membujuknya supaya bergabung lagi?"
tanya Bobbi. "Kubilang kita membutuhkan dia. Kubilang, 'Bagaimana kalau
Bobbi jatuh dan patah kaki"'"
"Terus, apa katanya?" tanya Bobbi.
"Dia minta agar aku membuat pernyataan tertulis," balas
Jennifer. Kedua gadis itu langsung tertawa.
"Asal tahu saja, Kimmy tidak termasuk penggemarmu," kata
Jennifer. "Hmm, memangnya aku pikirin?" sahut Bobbi, meniru gaya
bicara adiknya, Sean. "Memangnya aku pikirin" adalah ungkapan
favorit Sean. "Tapi yang jelas, aku senang dia tak jadi mengundurkan diri,"
ujar Bobbi. "Benar, nih" Kenapa?" Jennifer langsung bertanya. Ia menutup
buku pelajaran di pangkuannya dan melemparkannya ke sofa di
seberang Bobbi. "Karena... karena aku akan merasa bersalah kalau dia sampai
berhenti," Bobbi menjelaskan.
Jennifer mendengus. "Kau akan lebih repot lagi kalau dia tetap
ikut regu cheerleader. Dia takkan mau bicara denganmu. Tahu sendiri
kan, bagaimana dia. Dan aku yakin dia telepon-teleponan terus dengan
kedua sobatnya, Debra dan Ronnie."
Bobbi mendesah dan mengusap rambutnya dengan kedua
tangan. "Ini kan cuma regu cheerleader. Seharusnya kita bersenangsenang."
"Tapi Kimmy pasti tidak sependapat," jawab Jennifer pelan. Ia
bergeser sedikit di kursi rodanya. "Aduh."
"Kau tidak apa-apa?" tanya Bobbi. Ia langsung bersiap-siap
berdiri seandainya temannya membutuhkan bantuan.
"Yeah, aku tidak apa-apa." Jennifer memaksakan senyum. "Kita
bicara soal lain saja, oke?"
"Yeah. Oke." Bobbi kembali duduk di sofa. "Omong-omong,
kau kenal Charles Chasner?"
"Chip" Tentu." Senyum Jennifer bertambah lebar. "Chip benarbenar kece. Sebenarnya dari kelas tiga aku sudah naksir dia. Tapi
sekarang dia malah lebih keren lagi dibanding dulu."
"Dia mengajakku makan sehabis pertandingan besok," Bobbi
bercerita. Jennifer membelalakkan mata. "Hah" Chip?"
Bobbi mengangguk. "Yeah. Dia mengajakku pergi. Kemarin.
Sehabis acara di gedung olahraga."
"Masa sih?" Bobbi terkejut karena Jennifer memicingkan mata sambil
memasang muka dingin. Ia memelototi Bobbi. "Kau tidak bilang 'ya',
kan?" Bab 10 Horor di Koridor "JEN, ada apa?" tanya Bobbi.
Jennifer menggelengkan kepala, lalu menatap Bobbi. "Kau tak
tahu kalau Chip pacar Kimmy?"
"Hah?" Bobbi langsung terperangah. Tiba-tiba urat nadi di
pelipisnya terasa berdenyut-denyut.
"Maksudku, dulunya dia pacar Kimmy," Jennifer
menambahkan, sambil menggenggam sandaran tangan kursi rodanya,
"sampai beberapa minggu yang lalu."
"Beberapa minggu lalu?"
"Yeah." Jennifer mengerutkan kening. "Setelah itu Chip
memutuskan hubungan mereka. Begitu saja. Padahal mereka sudah
pacaran lebih dari dua tahun."
"Oh, ya ampun!" Bobbi langsung lemas. Tubuhnya seakan-akan
mengempis seperti balon bocor. Ia betul-betul terperanjat oleh berita


Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. "Kimmy pasti akan menyangka bahwa..."
"...bahwa Chip mendepaknya gara-gara kau," sambung Jennifer.
Bobbi mendesah perlahan. "Satu alasan lagi bagi Kimmy untuk
membenciku." Sesaat mereka saling berpandangan sambil membisu. Jennifer
menggerakkan kursi rodanya maju-mundur.
Akhirnya Bobbi bertanya, "Apa yang harus kulakukan?"
Jennifer mengangkat bahu. "Aku juga tidak tahu. Habis, dia
memang kece sih." *********************** "Ayo, anak-anak, bersemangat sedikit," ujar Miss Green kesal.
Setelah meniup peluit dan melangkah ke lapangan untuk
menghentikan latihan, ia meniru gerakan para cheerleader dengan
menggerak-gerakkan kaki dan tangan dengan loyo. Matanya setengah
terpejam, dan mulutnya dibiarkan menganga.
Para cheerleader memperhatikannya sambil membisu. Bobbi
malu sendiri. Bagaimanapun juga, ia yang memimpin latihan. Ia yang
wajib memacu anak buahnya untuk berlatih penuh semangat, bukan
Miss Green. Tapi Bobbi mengalami kesulitan untuk mengatur mereka,
biarpun mereka tengah menjalani latihan terakhir sebelum
pertandingan malam itu. Kimmy telah berhasil menghasut yang lain untuk menentang
Bobbi. Itu memang tidak sulit, Bobbi menyadarinya dengan sedih.
Sudah bertahun-tahun mereka mengenal Kimmy. Bobbi cuma
pendatang baru. Sebagian besar anggota regu cheerleader memang tidak
menginginkan kehadiran Corcoran bersaudara dalam regu mereka.
Dan sekarang mereka malah diperintah-perintah oleh Bobbi, yang
memimpin mereka, atau berusaha memimpin mereka, berusaha
mengajak mereka bekerja sama.
"Kalau kalian memperagakan 'Sssssssteam Heat seperti tadi,"
ujar Miss Green, "orang-orang akan menyangka bahwa tungkunya
rusak." Sebenarnya ia bermaksud bergurau, tapi leluconnya tidak
memperoleh tanggapan. Tak seorang pun tersenyum, apalagi tertawa.
Bobbi berdiri di samping Miss Green dan mengamati anak
buahnya satu per satu. Pandangannya berhenti ketika tertuju pada
Kimmy, yang mendelik ke arahnya sambil memicingkan mata.
Tatapan Kimmy begitu tajam, begitu dingin, sehingga Bobbi terpaksa
menoleh ke arah lain. Pintu gedung olahraga membuka, dan Jen-nifer muncul dengan
kursi rodanya. Ia tersenyum kepada Bobbi, lalu menyusuri dinding ke
ujung lapangan. Kalungnya yang berwarna merah-putih berada di
pangkuannya. Ranselnya tergantung pada sandaran kursi rodanya.
Bobbi sebenarnya lebih suka kalau Jennifer tidak datang. Ia
semakin kikuk karena Jennifer muncul pada waktu para cheerleader
sedang dimarahi oleh Miss Green. Jennifer akan tahu bahwa Bobbi
tidak sanggup menguasai keadaan, bahwa anak-anak yang lain tidak
mendukungnya. Ia tahu bahwa Jennifer akan memahaminya. Bagaimanapun
juga, Jennifer sahabatnya. Tapi Bobbi tetap merasa tidak enak.
Bobbi merasakan sebuah tangan di pundaknya. Ternyata Corky,
yang tersenyum untuk membesarkan hati kakaknya, lalu segera
kembali ke tempatnya. Bobbi menarik napas panjang. "Oke, semuanya," ia berseru
sambil bertepuk tangan dengan penuh semangat dan melangkah ke
hadapan Miss Green, "kita coba sekali lagi."
Ia melihat Kimmy memutar-mutar bola mata dan membisikkan
sesuatu kepada Debra. Kemudian mereka berbaris dan memulai
gerakan Steam Heat, kali ini sedikit lebih bersemangat dibandingkan
sebelumnya. Hasilnya tak bisa dibilang hebat. Sepanjang bagian terakhir
Ronnie tidak bisa mengikuti irama, tapi Bobbi merasa tak ada
gunanya memaksa mereka mengulangi gerakan tersebut dari awal.
Ketika mereka mengakhirinya dengan sorak-sorai dan gerakan
spread eagle, Bobbi menoleh dan melihat Jennifer dan Miss Green
terlibat pembicaraan sengit di ujung lapangan. Miss Green agak
membungkuk dan merapatkan kepala ke telinga Jennifer. Keduaduanya menggeleng sambil berbicara.
Jangan-jangan mereka membicarakan aku, Bobbi berkata dalam
hati. Jangan-jangan Miss Green mengeluh tentang aku, gara-gara aku
tidak bisa mengendalikan anak-anak.
"Bagaimana nih" Sudah selesai, belum?"
Suara Kimmy yang melengking memaksa Bobbi kembali
berpaling ke barisan anak buahnya.
"Yeah. Kurasa sudah cukup," ujar Bobbi.
"Jadi kita bisa bubar sekarang?" tanya Kimmy tidak sabar.
"Pertandingannya tinggal beberapa jam lagi. Kita masih harus pulang
dan makan malam dan sebagainya, ya, kan?"
Kimmy tidak menutup-nutupi perasaannya terhadap Bobbi.
Dengan cemas Bobbi menyadari bahwa beberapa anak lain mulai
meniru sikap Kimmy. Mereka semua sependapat dengannya, pikir Bobbi. Tiba-tiba
saja kepalanya mulai berdenyut-denyut. Pasti menurut mereka
Kimmy-lah yang seharusnya menjadi kapten, bukan aku.
Dan sekarang Jennifer dan Miss Green pun membicarakan aku.
"Oke, pukul tujuh nanti kita kumpul lagi di sini," Bobbi
mengumumkan dengan lesu. Ia menghindari kontak mata dengan
mereka dengan menoleh ke arah jam di papan pencatat skor. "Ronnie
yang bertanggung jawab atas perlengkapan."
Ronnie memutar-mutar bola mata dan melirik kepada Kimmy.
"Nanti malam kita tidak menggunakan tongkat berapi," kata
Bobbi lagi. "Gerakan itu masih perlu kita latih lagi. Kita coba untuk
pesta sekolah minggu depan."
Para cheerleader memungut barang-barang masing-masing dan
segera meninggalkan gedung olahraga. Bobbi berdiri di tengah
lapangan. Dengan lesu ia memperhatikan yang lain pergi.
"Rasanya sudah jauh lebih baik dari yang terakhir," ujar Corky
sambil tersenyum penuh simpati.
"Kau bohong," gumam Bobbi.
Corky angkat bahu. "Aku serius."
"Trims," balas Bobbi singkat. Ia menatap Jennifer dan Miss
Green yang masih sibuk bicara.
"Kau mau langsung pulang?" Corky membungkuk untuk
menggaruk lututnya. Rambutnya basah keringat.
Paling tidak ada satu orang yang benar-benar berusaha, pikir
Bobbi sedih. "Kau duluan saja deh," ia berkata kepada adiknya. "Aku
masih harus mengambil barang-barangku."
Sambil menyeringai Corky memberi hormat gaya militer, lalu
segera menuju pintu. Bobbi menghela napas. Ia membalik dan melihat
bahwa Jennifer dan Miss Green telah masuk ke ruang kerja di pojok
gedung olahraga. Ia melepaskan peluit yang tergantung pada lehernya sambil
memutar-mutar talinya ia mulai berjalan ke arah pintu. Tugas sebagai
kapten regu cheerleader seharusnya menyenangkan, sesalnya dalam
hati. Hmm, aku akan menemukan cara untuk berteman dengan
mereka. Mungkin bahkan dengan Kimmy. Ia kembali teringat pada
tatapan Kimmy yang dingin, lalu merinding.
Bobbi melangkah ke koridor yang kini kosong dan sunyi.
Sepatu karetnya berdecit-decit di lantai. Ia membelok, menaiki tangga
ke lantai dua, lalu menuju ke locker-nya untuk mengambil buku-buku
dan jaketnya. Koridor yang panjang tampak seperti terowongan di
hadapannya. Sebagian besar lampu telah dimatikan untuk menghemat
energi. Deretan locker yang kelabu membentang di kedua dinding.
Semua ruang kelas sudah kosong dan gelap.
Bobbi terbatuk, dan gemanya memantul-mantul di terowongan
yang panjang. Tiba-tiba sebuah bunyi keras membuatnya tersentak dan
memekik. Ia segera membalik dan masih sempat melihat sebuah pintu
locker membuka, lalu menutup dengan keras.
"Oh!" Bunyi yang sama terdengar lagi. Kali ini di depannya.
Bobbi membalik dan melihat dua locker di dinding kanan
membuka sendiri. Ia membelalakkan mata dengan heran. Dua locker lagi
membuka. Pintu-pintu itu berhenti sejenak, lalu menutup diiringi
bunyi yang memekakkan telinga.
Mulut Bobbi terbuka lebar, namun suaranya tak mau keluar. Ia
hanya bisa melongo. Pintu-pintu menutup sendiri, lalu membuka lagi.
Beng! Beng! Bunyi itu bergema dan semakin keras.
Beng! Beng! Pintu-pintu locker di kedua sisi koridor membuka
secara bersamaan, seakan-akan ditarik oleh tangan-tangan yang tidak
tampak. "Jangan!" teriak Bobbi.
Ini tidak mungkin! Aku cuma mimpi!
Dengan jantung berdebar-debar, ia membiarkan peluitnya jatuh
ke lantai dan mulai lari. Berlari melewati pintu-pintu yang membuka
dan menutup sendiri. Diiringi suara bergema yang menyerupai
berondongan senapan mesin.
"Jangan! Berhenti!"
Pintu-pintu pada deretan locker di sebelah kirinya membuka
sekaligus, lalu menutup dengan bunyi mirip ledakan.
"Sudah! Sudah!"
Bobbi menutup telinga dengan kedua tangan dan berlari
sekencang mungkin. Dan kemudian ia mendengar jeritan-jeritan itu.
Suara cewek, yang menjerit ketakutan.
Jeritan-jeritan melengking.
Siapa itu" Bobbi bertanya-tanya sambil berlari di antara lockerlocker. Siapa di sana"
Cewek itu kembali menjerit.
Suara langkah Bobbi bergema di lorong. Suasananya benarbenar mencekam.
Sekali lagi ia mendengar jerit ketakutan.
Bobbi sampai di ujung koridor. Ia membelok dan
membelalakkan mata dengan heran.
Bab 11 Siapa yang Menjerit"
TAK ada siapa-siapa. Hening. Koridor depan ternyata kosong.
"Halo?" Bobbi memanggil.
Tak ada jawaban. Tak ada jeritan. Satu-satunya bunyi yang
didengarnya adalah napasnya sendiri.
Hening. Tak seorang pun terlihat.
Dalam keadaan bingung dan ketakutan, Bobbi menoleh ke
belakang. Kedua tangannya menempel pada pipinya yang seperti
terbakar. Dengan waswas ia mengamati koridor panjang yang remangremang.
Deretan locker di sepanjang dinding tertutup rapat.
Telinganya masih berdengung-dengung akibat suara keras tadi.
Tapi kini semuanya diam dan hening. Perlahan-lahan Bobbi maju
selangkah. Lalu selangkah lagi. Ia dicekam rasa takut bahwa pintupintu locker akan kembali membuka dan melanjutkan simfoni yang
mengerikan. Hening. Tak ada pintu locker terbanting. Tak ada suara cewek
menjerit-jerit. Dengan lutut gemetar, Bobbi menuju locker-nya. Ia memutar
nomor kombinasi pada pintu dan membukanya.
Kemudian ia menoleh ke kiri-kanan. Lorong tetap sunyi dan
sepi. Keheningan seakan-akan bergema dalam benaknya.
Jangan-jangan aku mulai gila"
Jangan-jangan aku sudah tidak waras"
Ia mengeluarkan barang-barang yang diperlukannya,
memasukkan semuanya ke ransel, mengunci pintu, lalu segera kabur.
****************** Corky tidak percaya mendengar cerita Bobbi. Mereka berada di
rumah, di kamar di lantai atas yang mereka tempati berdua. "Kau
terlalu capek," Corky berkata dari balik meja belajarnya. Ia sedang
menyelesaikan sebagian PR-nya sebelum pertandingan dimulai.
"Belakangan ini memang banyak tekanan."
"Kau tidak percaya?" pekik Bobbi. Seketika ia menyesal karena
tak dapat menguasai diri.
Corky menatap kakaknya sambil mengerutkan kening. "Pintupintu locker membuka sendiri?"
"Aku tahu, kedengarannya memang tidak masuk akal..." Bobbi
mulai membela diri. "Lorongnya gelap, kan?" potong Corky sambil mengetukngetukkan pensil ke buku pelajarannya. "Hari sudah sore. Kau capek.
Latihannya kurang lancar. Kau gugup soal pertandingan nanti malam."
Bobbi hendak memprotes, tapi kemudian berubah pikiran.
Sambil mendesah panjang, ia menjatuhkan diri ke tempat tidurnya.
"Kalau aku jadi kau, aku pun takkan percaya," ia bergumam.
Tiba-tiba ia terdiam dan membelalakkan mata. Pandangannya
tertuju ke seberang ruangan.
Corky mengikuti arah pandangan kakaknya.
Keduanya tak mampu bersuara ketika pintu lemari membuka
sendiri. Bab 12 Chip Terkubur "TUH, begitu lagi," gumam Bobbi pelan.
Corky menempelkan kedua tangan ke pipi. Ia membelalakkan
mata dan terbengong-bengong melihat pintu lemari terus bergerak
sendiri. Dan kemudian Sean melompat dari dalam lemari. Ia tersenyum
lebar, dan matanya bersinar-sinar nakal. "Hai," katanya sambil
melambaikan tangan. "Oh!" Bobbi langsung berdiri sambil mengepalkan tangan.
"Dasar brengsek!" seru Corky. Ia menangkap Sean dan purapura mencekiknya.
Sean berlutut sambil tertawa cekikikan.
"Berapa lama kau bersembunyi di lemari?" tanya Bobbi. Ia
membantu Corky menjepit adik mereka ke lantai.
"Bukan aku. Ini ulah si hantu," sahut Sean.
Kedua kakaknya segera mulai menggelitiki Sean.
"Oh! Oh! Oh!" ia berteriak-teriak sambil menggeliat dan
tertawa. Ketiga-tiganya tertawa histeris sambil bergulat di lantai.
Tiba-tiba Bobbi melihat jam di dinding. "Oh!" Ia berguling ke
samping dan bangkit. "Ayo, Corky. Kita harus makan malam dan
ganti baju. Nanti kita terlambat untuk pertandingan."
Corky sekali lagi menggelitiki Sean, lalu ikut berdiri.
"Shadyside pasti kalah," Sean berseru sambil mengikuti mereka
ke bawah. "Shadyside tidak ada apa-apanya."
******************** Ketegangan sebelum pertandingan, sorak-sorai para pendukung
Shadyside yang memenuhi stadion, cahaya putih lampu-lampu sorot
yang membuat lapangan terang benderang di bawah langit tanpa
bintang"semuanya itu menyebabkan Bobbi melupakan kejadian tadi
sore. "Tigers growl! Tigers roar!
Do it again"more, more, MORE!"


Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para cheerleader Winstead High dengan seragam biru-emas
bertepuk tangan dan melompat-lompat di seberang lapangan. Mereka
beraksi di hadapan beberapa ratus pendukung Winstead yang duduk di
tribun tim tamu. Namun seruan-seruan mereka tenggelam dalam
sorak-sorai yang membahana dari tribun para suporter Shadyside,
yang mengiringi permainan marching band sekolah mereka.
"Tigers roar! Tigers growl!
We want a touchdown"now, now, NOW!"
Bobbi silih berganti antara melihat pertandingan di lapangan
dan penonton yang memadati stadion, ketika ia memimpin para
cheerleader. Mereka sedang beraksi di hadapan ratusan pasang mata.
Persaingan yang menimbulkan begitu banyak masalah selama latihan
kini terlupakan. Bobbi memegang kendali sepenuhnya, dan tak ada yang
membangkang kalau ia memberi perintah. Sambil memperhatikan
jalannya pertandingan di lapangan, ia memberi aba-aba mengenai
gerakan yang akan mereka peragakan.
"Go team, go team, go-go-go-go-go-GO!"
Para penonton di tribun pun bersorak-sorai dan bertepuk tangan
dengan meriah. Sepintas lalu Bobbi mengamati barisan cheerleader,
dan melihat Corky tersenyum untuk membesarkan hatinya di ujung
barisan. Sebelum pertandingan, Ronnie sempat mengeluh tidak enak
badan. Katanya, rasanya ia seperti mau flu. Tapi kini Bobbi melihat
bahwa Ronnie tetap tampil sempurna, dan berjingkrak-jingkrak penuh
semangat seperti biasa. Bobbi melihat Jennifer di ujung bangku para pemain. Jennifer
duduk di kursi roda. Kakinya terbungkus selimut merah, dan ia
melambaikan kalung Shadyside-nya. Pandangan mereka bertemu.
Jennifer tersenyum gembira dan melambaikan tangan. Bobbi
membalas lambaiannya. Tiba-tiba terdengar bunyi peluit di lapangan, disusul ledakan
tawa dari tribun-tribun. Bobbi menoleh untuk melihat apa yang
menyebabkan gangguan itu. Ternyata ada anjing terrier berbulu putih
yang berlari ke tengah lapangan.
Dua pemain Shadyside berusaha mengusirnya ke pinggir. Tapi
anjing itu rupanya justru senang menjadi pusat perhatian, dan malah
berputar-putar mengecoh mereka sambil mengibas-ngibaskan ekornya
yang pendek. Akhirnya ada seorang wasit yang berhasil menangkapnya. Ia
lalu berlari ke pinggir, diiringi teriakan-teriakan nakal para penonton.
Kemudian peluit kembali dibunyikan untuk melanjutkan
pertandingan. Bobbi memperhatikan Chip memimpin serangan. Babak
pertama berlangsung seimbang. Kedua tim sempat mendesak lawan
masing-masing, tapi sampai saat ini keduanya belum berhasil
mencetak angka. Kini, di awal babak kedua, tim Tigers menyusun serangan dari
garis 32 meter di daerah tim Winstead. Posisi yang cukup
menjanjikan. Para penonton semakin asyik berseru-seru. Sorak-sorai
mereka bertambah keras, seakan-akan ada orang yang memutar
tombol volume. Chip bersiap-siap di belakang pemain center, dan Bobbi
bertanya-tanya apa yang sedang terlintas dalam benak pemuda itu.
Apakah ia memikirkan para pemain Winstead yang memelototinya
dari balik helm masing- masing dan sudah tak sabar untuk
menerjangnya" Apakah ia memikirkan rencana serangan yang telah
diputuskannya" Apakah ia gugup" Apakah ia ketakutan setengah
mati" Bobbi memutuskan untuk menanyakan semua itu pada waktu
bertemu Chip seusai pertandingan.
Seusai pertandingan. Ia memaksakan diri untuk menyingkirkan
pikiran itu. Ia tak bisa memikirkannya sekarang. Ia harus
berkonsentrasi. Harus tetap siaga.
Ia mendengar Chip menyerukan kode-kode dengan suaranya
yang tinggi. Kemudian ia melihatnya menangkap operan bola dari
pemain center. Chip mundur beberapa langkah dan mengangkat
tangan untuk melempar. Ia mundur selangkah lagi, dan mengambil kuda-kuda untuk
mengoper bola. Penonton-penonton semakin ramai. Bobbi menahan napas.
Chip berdiri seperti patung. Tangannya dalam posisi siap
melempar. Kakinya menjejak mantap di rumput.
Ia tetap berdiri sampai dua pemain Winstead menabraknya
sampai jatuh. Baru sekarang Bobbi sadar bahwa sejak tadi ia menahan napas.
Ia mengembuskan udara dari paru-parunya, beralih kepada para
cheerleader, dan memberi aba-aba untuk bertepuk tangan.
Ada apa dengan Chip" tanyanya dalam hati, sambil melompatlompat dan bertepuk tangan. Tapi tanggapan para penonton ternyata
tak seperti yang diharapkan. Hanya segelintir saja yang menyahut.
Sisanya sibuk bergumam satu sama lain. Bahkan ada yang berteriakteriak dengan kesal. Rupanya mereka juga heran, pikir Bobbi.
Chip sebenarnya punya cukup waktu untuk melempar, tapi ia
sama sekali tidak bergerak. Ia tidak mencari-cari rekan yang berdiri
dalam posisi tak terjaga. Dan ia bahkan tidak berusaha mengelak
ketika para pemain lawan menerjangnya.
Oh, tak apa-apa, ujar Bobbi dalam hati. Ini baru kesempatan
pertama. Ia dan para cheerleader menyelesaikan gerakan mereka dan
kembali memperhatikan pertandingan. Beberapa pemain di bangku
cadangan berdiri, sehingga Bobbi harus maju agar bisa melihat ke
lapangan. Suasana di stadion menjadi hening ketika Chip bersiap-siap
kembali. Begitu hening sehingga Bobbi dapat mendengar para
cheerleader Winstead di seberang lapangan.
Sekali lagi Bobbi menahan napas ketika Chip menerima bola
dan melangkah mundur. Sepertinya ia hendak melakukan running
play. Dave Johnson, pemain running back tim Tigers, melesat ke
depan sambil mengulurkan tangan.
Namun sekali lagi Chip berdiri mematung. Ia tidak mengoper
bola. Johnson berlari melewatinya ke tengah barisan lawan. Chip
hanya berdiri sambil memegang bola. Ia tidak berlari maupun mundur
untuk melempar. "Oh!" Bobbi berseru ketika Chip disergap dengan keras dan
terjatuh. Ia mendengar sejumlah penonton di tribun berteriak heran.
Seluruh stadion serasa berdengung-dengung. Bobbi mendengar
teriakan-teriakan mencemooh di sana-sini.
Ia menggelengkan kepala seakan-akan tak mau menerima
kenyataan bahwa Chip melakukan kesalahan lagi. "Ayo, kita beri Go
Tigers," ia berseru.
Anak buahnya segera mengambil posisi. Kecuali Kimmy, yang
tetap berdiri di balik bangku cadangan sambil memandang ke
lapangan. "Kimmy!" Bobbi memanggil.
Tapi sepertinya Kimmy tidak mendengarnya. Ia memandang
lurus ke depan. Roman mukanya aneh sekali.
"Kimmy!" Bobbi kembali memanggil. Tapi terlambat. Chip
sudah memulai serangan ketiga.
Suasana di stadion kembali hening.
Tiba-tiba angin bertiup dengan kencang. Bendera dan panji
Shadyside berkibar-kibar, dan talinya membentur-bentur tiang
bendera. Ayo, Chip! sahut Bobbi di dalam hati, sambil menyilangkan
jari. Di seberang lapangan, para cheerleader berseragam biru-emas
berbaris rapat-rapat. Sambil membisu mereka mengikuti jalannya
pertandingan. Chip menerima operan bola dari pemain center. Johnson berlari
menghampirinya. Tapi Chip tetap memegang bola. Gerakan Johnson
ternyata hanya untuk mengelabui lawan.
Chip segera mundur dan mulai mengambil kuda-kuda.
"Lempar bolanya!" teriak Bobbi sekeras mungkin. "Cepat,
lempar!" Chip berhenti. Ia berdiri mematung. "Lempar! Lempar!"
Chip tidak bergerak. Ia menempelkan bola ke pinggangnya.
"Lempar!" Para pemain Shadyside ikut berseru.
"Aku bebas! Aku bebas!" Johnson berteriak dari ujung
lapangan. Chip tidak bereaksi. Bobbi hanya bisa ternganga ketika melihat pemain-pemain
Winstead menyerbu ke arah Chip.
Beberapa dari mereka menerjangnya bersamaan.
Bola terlepas dari tangan Chip. Ia terdorong mundur, lalu jatuh
dan ditindih oleh pemain-pemain lawan.
Pemain-pemain lain saling berebut untuk menguasai bola.
Bunyi peluit terdengar nyaring.
Tapi anehnya, para penonton tetap membisu.
"Dia terkubur hidup-hidup!" Bobbi mendengar Kimmy berkata.
Terkubur. Bobbi maju ke tepi lapangan, melewati bangku cadangan. Para
pemain Winstead yang menindih Chip berdiri satu per satu, lalu
melintasi lapangan ke bangku cadangan mereka sambil
mengacungkan tangan. Terkubur. Terkubur. Tiba-tiba Bobbi menggigil kedinginan.
Para pemain lawan telah pergi.
Tapi Chip tetap tergeletak di lapangan, dan tidak bangkitbangkit.
Bab 13 "Rasanya Aku Mati"
BOBBI mandi, lalu segera berganti baju. Ia mengenakan sweter
turtleneck hijau serta rok pendek hitam. Kemudian ia menyisir rambut
dan mengamati wajahnya di cermin kamar mandi yang penuh butiran
air. Dengan gembira ia meninggalkan ruang ganti sambil berseru
"selamat malam" kepada beberapa cewek yang masih ada di situ.
Ketika ia setengah berlari ke ruang ganti tim football, mimpi buruk di
babak kedua tadi kembali terbayang-bayang di matanya.
Ia melihat Chip berdiri seperti patung. Dan setelah itu Chip
diterjang oleh para pemain Winstead. Terakhir Chip tergeletak di
lapangan, tak bergerak. Kemudian dua petugas paramedis membawa tandu. Pelatih tim
Tigers serta para pemainnya tampak cemas ketika mereka
mengerumuni Chip yang terbujur di tengah lapangan. Lalu Chip
diusung ke pinggir. Di bawah cahaya lampu stadion yang terang
benderang"bahkan terlalu terang"Bobbi melihat tangan Chip
terkulai lemas. Ia melihat matanya terpejam, dan kepalanya miring
dengan sudut yang janggal.
Ia mati, Bobbi sempat berkata dalam hati.
Suasana di stadion menjadi hening. Tak seorang pun bersuara.
Semuanya mati. Semuanya. Tapi kemudian peluit berbunyi, dan pertandingannya
dilanjutkan. "Chasner cedera," terdengar pengumuman melalui pengeras
suara. Tapi berita itu sudah basi.
Suasana di stadion kembali ramai. Para penonton bersorak-sorai
dan berteriak-teriak. Marching band pun mulai main lagi,
mengumandangkan lagu tempur tim Tigers.
Bobbi, yang masih agak terguncang, memimpin gerakan para
cheerleader. Ia tahu bahwa ia harus melanjutkan tugasnya, walaupun
terasa berat. Tapi bagaimana dengan Chip" ia bertanya-tanya.
Semoga ia tidak apa-apa. Tak lama kemudian Winstead mencetak angka pertama. Tim
Tigers mencoba membalas melalui Overman, pemain yang
menggantikan Chip. Mereka mencoba melakukan runningplay, tapi
tidak berhasil. Setelah kesempatan ketiga, mereka terpaksa
memberikan bola kepada tim lawan.
Sekali lagi Bobbi mendengar teriakan mencemooh di sana-sini.
Para cheerleader di seberang lapangan tampak berjingkrak-jingkrak
sambil bersorak-sorai penuh semangat.
Bagaimana keadaan Chip" Apakah ia baik-baik saja"
Bobbi tak lagi berminat memperhatikan pertandingan. Ia tetap
memimpin anak buahnya, tapi pikirannya berada di tempat lain.
Menurut gosip para pemain di bangku cadangan, Chip
kemungkinan mengalami gegar otak ringan, dan sudah merasa enak.
Semua orang sangat lega. Bobbi melihat bahwa Chip tidak muncul di babak ketiga.
Jangan-jangan ia dibawa ke rumah sakit" Bobbi bertanya dalam hati.
Atau mungkin ia masih di ruang ganti" Apakah ia masih
mengharapkan aku untuk menemuinya nanti"
Tim Tigers akhirnya kalah 21 lawan 6.
Kini Bobbi menunggu dengan gelisah di pelataran parkir murid,
di depan pintu ruang ganti pemain. Lampu-lampu stadion meredup,
lalu padam. Stadion, pelataran parkir, serta seluruh bagian belakang
sekolah mendadak gelap. Seperti matahari yang tiba-tiba dimatikan, pikir Bobbi.
Ketika matanya mulai terbiasa dengan kegelapan, ia melihat
Debra dan Ronnie melintasi pelataran parkir. Mereka sedang asyik
mengobrol, sehingga tidak melihat Bobbi. Bobbi memperhatikan
mereka sampai mereka menghilang di balik gedung. Keduanya
berbicara dengan seru sambil menggerak-gerakkan tangan.
Aneh, Kimmy tidak ikut dengan mereka, ujar Bobbi dalam hati.
Barangkali Kimmy ada janji untuk berkencan.
Pintu ruang ganti membuka. Bobbi mengenali Dave Johnson, si
pemain running back. Johnson bergegas keluar sambil membawa
ransel. Rambutnya masih basah karena baru selesai mandi.
"Chip... Chip masih di dalam?" tanya Bobbi.
"Yeah. Sebentar lagi dia keluar," sahut Johnson.
"Dia tidak apa-apa?" Bobbi kembali bertanya.
Tapi Johnson sudah sampai di tengah pelataran parkir dan tidak
mendengarnya. Semula Bobbi hendak memanggilnya, tapi pintu ruang ganti
kembali membuka dan Chip muncul. Ia tampak agak terhuyunghuyung ketika melangkah maju. Ia tersenyum melihat Bobbi.
Wajahnya tampak pucat di bawah penerangan pelataran parkir. Ia
mengenakan jins belel dan jaket Shadyside merah-putih, dengan
ritsleting ditarik sampai ke kerah.
"Hai!" katanya. Bobbi segera menyadari bahwa Chip
memaksakan diri untuk tersenyum. Sepertinya mata pemuda itu tidak
dapat memfokus dengan semestinya.
"Kau tidak apa-apa?" Bobbi langsung bertanya.
Pertanyaan itu rupanya di luar dugaan Chip. "Entahlah," ia
berkata sambil mengerutkan kening.
Ia menghampiri Bobbi. "Ada apa sih tadi?" tanya Bobbi. "Aku... ehm... sempat
khawatir." "Aku juga." Bobbi menunggu agar Chip menjelaskan maksudnya, tapi


Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandangan Chip malah menerawang jauh.
"Jadi bagaimana sekarang" Maksudku, kau baik-baik saja?"
"Rasanya sih, ya," ujar Chip pelan. "Aku mungkin gegar otak
ringan. Itu kata orang-orang yang memeriksaku. Tapi kepalaku masih
agak ringan." "Oh." Bobbi tak dapat menutupi kekecewaannya. "Aku bawa
mobil," katanya kemudian. "Kau mau kuantar pulang?"
"Yeah. Terima kasih. Orangtuaku sedang keluar kota. Tapi
sebenarnya aku malah senang ibuku tidak ikut nonton. Dia gampang
panik." "Kau masih merasa agak aneh?"
"Yeah." Chip mengangguk. "Rasanya aku seperti melayanglayang."
"Semua orang sangat cemas waktu kau tidak bangun-bangun
tadi," ujar Bobbi sambil menuju ke Accord orangtuanya yang diparkir
di pinggir jalan di depan sekolah. "Kamu KO, ya?"
"Rasanya sih begitu." Chip meletakkan sebelah tangan pada
pundak Bobbi, seakan-akan butuh penyangga pada waktu berjalan.
Bobbi memperlambat langkah. Chip melambaikan tangan
kepada beberapa temannya.
"Pasti sakit sekali."
"Tidak. Tidak juga."
"Apakah aku terlalu banyak omong?" tanya Bobbi.
Chip tidak menjawab. Wah, kok begini jadinya" ujar Bobbi dalam hati. Aku sibuk
bertanya, dan ia cuma terbengong-bengong. Ia hampir tidak sanggup
berjalan atau menjawab pertanyaan-pertanyaanku.
Sambil membisu mereka berjalan ke mobil. Bobbi membuka
pintu di sisi penumpang dan mempersilakan Chip duduk di depan.
Beberapa detik kemudian ia menyalakan mesin dan
menghidupkan lampu. "Aku tak tahu di mana rumahmu," katanya
sambil menoleh kepada Chip dan mengatur posisi sabuk
pengamannya. "Sepertinya aku sempat mati tadi," balas Chip.
Bobbi menatapnya dengan bingung. "Hah?"
"Aku seperti lumpuh atau sebangsanya. Aku tak bisa
menggerakkan tubuhku. Aku tak bisa melakukan apa pun." Chip
memandang keluar melalui kaca depan. Sekelompok anak muda lewat
di hadapan mereka. Salah seorang dari anak-anak itu mengetuk kap
mobil. "Chip, kau tidak apa-apa" Apakah aku perlu menelepon
orangtuamu?" Bobbi segera bertanya. Ia mulai cemas lagi.
"Hmm, kau tidak heran kenapa aku tidak mengoper bola tadi"
Atau memberikannya kepada Johnson?" sahut Chip sengit. "Bukankah
itu yang menjadi tanda tanya bagi semua orang?"
"Kata dokter, kau menderita gegar otak ringan, ya?" ujar Bobbi.
Ia agak ngeri. Ia hendak menjalankan mobilnya, tapi Chip
mencegahnya sambil menangkupkan tangannya pada tangan Bobbi.
Tangan Chip ternyata sedingin es.
"Sebelum aku gegar otak," katanya dengan lebih tenang,
"sebelumnya. Waktu aku masih main. Aku mau melempar bola, tapi
aku tak bisa menguasai tubuhku. Aku seperti lumpuh atau
sebangsanya. Cuma saat itu saja."
"Aku tidak mengerti," balas Bobbi menggelengkan kepala.
Sorot lampu mobil dari arah berlawanan membuat Bobbi dan
Chip melindungi mata dengan tangan. Mobil berisi anak-anak
Shadyside melesat melewati mereka. Kaca-kacanya dibuka lebarlebar, dan semua penumpangnya bernyanyi mengiringi radio yang
dipasang sangat keras. "Aku juga tak sanggup memberikan bola kepada Johnson," ujar
Chip. Bobbi menyadari bahwa Chip berbicara dengan dirinya sendiri.
"Aku bukannya bengong. Aku seperti berada di tempat lain, bukan di
tengah lapangan. Maksudku, aku ada di situ tapi sekaligus tidak ada di
situ. Aku tahu aku di mana, tapi aku tak bisa bergerak."
"Ehm, Chip..." Bobbi angkat bicara sambil meraih tongkat
persneling. Mereka belum beranjak dari tempat Bobbi memarkir
mobil. "Mungkin lebih baik kalau kita..."
Tiba-tiba Chip berputar, membungkuk badan ke depan, dan
memegang pundak Bobbi dengan kedua tangannya. "Chip..." kata
Bobbi. "Aku agak ngeri," ujar Chip. Sorot matanya tampak liar, dan
wajahnya semakin dekat ke wajah Bobbi. "Kau tahu, tidak" Aku
benar-benar ngeri." Dan kemudian ia menarik Bobbi dan mulai menciumnya. Bibir
Chip terasa keras dan kering. Tangannya terus memegang pundak
Bobbi, dan menariknya mendekat.
Bobbi berusaha menjauh. Tapi Chip tampak begitu ketakutan.
Bobbi membalas ciumannya, lalu menggenggam dan melepaskan
pergelangan tangan Chip dari bahunya. Kemudian ia memegang
tengkuk pemuda itu dengan kedua tangannya.
Di luar dugaannya, Chip ternyata gemetaran.
Ciuman mereka segera berakhir. Chip menyandarkan
punggungnya. Ia tampak salah tingkah. "Maaf. Aku..."
"Tidak apa-apa," balas Bobbi sambil menyadari bahwa
jantungnya berdebar-debar.
"Mungkin lebih baik kalau kauantar aku pulang saja," ujar
Chip. Ia menghindari pandangan Bobbi dan memandang ke luar
jendela, yang mulai tertutup embun. "Aku merasa aneh sekali."
"Oke." Bobbi memasukkan gigi dan mulai menjalankan mobil.
Chip memberi petunjuk untuk mencapai rumahnya di Canyon Drive,
dan Bobbi berulangkah melirik ke arahnya. Pemuda itu tampak begitu
pucat dan cemas. "Bobbi, apa yang terjadi denganku malam ini?" bisiknya sambil
menatap ke luar jendela. Bobbi tak bisa menjawab pertanyaannya.
Bab 14 Kimmy Tidak Senang "BOBBI, aku perlu bicara sebentar."
Kimmy bergegas melintasi lapangan basket sebelum latihan
Senin sore itu. Pipinya tampak merah, dan matanya menyala-nyala
karena marah. "Aku baru sampai," balas Bobbi sambil lalu. Ia memandang
berkeliling gedung olahraga. Kelihatannya semua anggota regu
cheerleader sudah siap. Megan dan Heather sudah berlatih salah satu
gerakan baru. Miss Green berdiri di balik meja di ruang kerjanya. Ia
sedang menelepon. "Maaf aku terlambat," seru Bobbi kepada yang lain.
"Aku benar-benar perlu bicara denganmu," desak Kimmy
sambil bertolak pinggang. Rambutnya yang hitam tampak lebih
berantakan dari biasanya. Lengan sweternya digulung, yang satu
sampai ke atas siku, yang lain sampai di bawahnya.
Bobbi melambaikan tangan kepada Corky. Ia melemparkan
ranselnya ke lantai. "Ada apa sih, Kimmy?" ia bertanya tidak sabar.
"Aku lagi kesal nih. Tadi aku lupa soal kuis kimia. Lalu..."
"Soal Chip," ujar Kimmy dengan rahang terkunci.
Bobbi tampak terkejut. Ia merasakan wajahnya menjadi panas.
"Soal Chip" Ada apa dengan dia?"
Kimmy mendelik. "Kau melakukan kesalahan kecil, Bobbi," kata Kimmy gelisah
sambil mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai. Dengan sebelah tangan ia
memegang-megang kalung megafon perak yang selalu tergantung di
lehernya. "Maksudmu?" "Chip itu pacarku," katanya sengit.
Bobbi melihat bahwa anak-anak lain telah berhenti latihan.
Mereka berkerumun dan asyik memperhatikan konfrontasi yang tidak
menyenangkan itu. "Bagaimana kalau kita bicara setelah latihan saja?" Bobbi
mengusulkan, sambil meng?ngguk ke arah para penonton.
"Tidak bisa," kata Kimmy keras, sambil memutar-mutar mata
kalungnya. "Chip pacarku. Kami sudah lama pacaran. Tanya saja yang
lain." Ia menunjuk para cheerleader lain, yang mendadak salah
tingkah dan menghindari tatapan Bobbi.
"Begini, Kimmy...," ujar Bobbi tenang. Ia mundur sedikit.
"Kau melakukan kesalahan kecil, Bobbi. Kesalahan kecil,"
ulang Kimmy sambil meninggikan suara. Ia mengikuti Bobbi dan
semakin mendekatinya. Bobbi mulai naik pitam. Berani-beraninya Kimmy bersikap
begitu. Kimmy cuma ingin mempermalukannya di depan para
cheerleader yang lain. Ia ingin menghasut mereka untuk semakin
menentang kepemimpinan Bobbi.
"Kau yang melakukan kesalahan," balas Bobbi ketus. "Kau
melupakan satu detail kecil, Kimmy... bukan aku yang mengajak Chip
berkencan. Dia yang mengajak akui"
Kimmy membelalakkan mata. Kemudian, sambil berteriak
kesal, ia menerjang Bobbi dan menjambak rambutnya dengan dua
tangan. Bobbi kaget sekali. Ia berusaha melepaskan diri. Tapi Kimmy
malah semakin keras menarik rambutnya. Bobbi memekik kesakitan
dan meronta-ronta untuk membebaskan diri dari sergapan Kimmy.
Tiba-tiba seseorang berseru, "Stop! Kalian berdua, stop!
Berhenti!" Dan kemudian Jennifer memajukan kursi roda ke antara Bobbi
dan Kimmy. "Ayo, berhenti! Kimmy! Bobbi!"
Kedua gadis itu langsung mundur. Mereka sama-sama kaget
karena Jennifer muncul begitu mendadak. Keduanya saling melotot
sambil terengah-engah. Kepala Bobbi berdenyut-denyut. Ia mengangkat sebelah tangan
dan berusaha merapikan rambutnya.
"Anak-anak, ada apa ini?" Miss Green keluar dari ruang kerja.
Wajahnya tampak cemas. "Saya sedang menelepon dan waktu
menengok ke sini..."
"Tidak apa-apa kok," Jennifer menenangkannya sambil
memundurkan kursi roda. Pandangannya tertuju pada Bobbi. "Cuma
salah paham." "Ya Tuhan!" Miss Green berseru. Ia menatap Bobbi, lalu
Kimmy, yang sedang membungkuk untuk memungut kalung
megafonnya dari lantai. Dengan perasaan malu bercampur kesal, Bobbi memandang
tribun di seberang lapangan. Ia berusaha mengatur napasnya.
Kerongkongannya terasa kering.
Kimmy mengotak-atik jepitan kalungnya. Kedua tangannya
gemetaran. Wajahnya merah padam, dan sebelah matanya tertutup
rambut. "Saya kira kalian sebaiknya saling minta maaf sekarang," kata
Miss Green tegas. Ia bersikap seakan-akan menghadapi bocah berusia
empat tahun. Kedua gadis itu tidak menyahut.
Jennifer memundurkan kursi rodanya.
Kimmy memasang kalung megafonnya sambil terus mendelik
kepada Bobbi. "Ini bukan waktu yang tepat untuk bertengkar," ujar Miss Green
sambil menyilangkan tangan di dada. "Apalagi kalian berdua harus
betul-betul kompak untuk gerakan baru kita."
Gerakan baru. Bobbi lupa sama sekali bahwa mereka akan melatih gerakan
baru itu. Ia menghela napas. Gerakan itu cukup panjang dan cukup
sulit. Dan diakhiri dengan Kimmy melompat dari pundak Corky,
kemudian ditangkap oleh Bobbi!
"Barangkali lebih baik kalau kita berlatih gerakan yang lebih
mudah hari ini," Bobbi bergumam.
"Kita tidak akan berlatih sama sekali sebelum kau dan Kimmy
saling minta maaf dan berhenti bertingkah seperti dua anak manja,"
sahut Miss Green sambil mengerutkan kening.
Bobbi menatap anak-anak lain yang berdiri di belakang Miss
Green. Corky sedang meringis-ringis dan membuat muka lucu.
Yang lain tampak kikuk. Debra dan Ronnie sudah kembali
berlatih gerakan split. Mereka bersikap seakan-akan tak terjadi apaapa.
"Kenapa harus minta maaf?" ujar Kimmy menantang.
Kenapa harus minta maaf" pikir Bobbi. Ia menggelengkan
kepala. Dia yang mencari gara-gara!
"Hmm, kalau memang begitu," kata Miss Green dengan kesal
sambil tetap menyilangkan tangan, "saya tidak punya pilihan selain
men-skors kalian." Beberapa anak mendesah. Ronnie dan Debra langsung
menghentikan latihan mereka.
"Hmm...," gumam Kimmy. Ia tak mau menatap mata Bobbi.
"Saya bersedia minta maaf," ujar Bobbi pelan. Walaupun ini
sepenuhnya kesalahan Kimmy, ia menambahkan dalam hati.
"Ehm, saya juga," kata Kimmy enggan. Matanya yang biru
tampak menyala-nyala. "Sebaiknya begitu," pelatih mereka berkomentar sambil
menurunkan tangan. "Bagaimanapun juga, ini regu cheerleader, bukan
tim gulat." Bobbi melirik ke arah Jennifer, yang mundur sampai hampir
merapat ke dinding. Jennifer tersenyum untuk membesarkan hati
Bobbi. "Aku minta maaf," ujar Kimmy cemberut. Dengan enggan ia
mengulurkan tangan. Bobbi bersalaman dengannya. Tangan Kimmy terasa panas dan
basah. "Aku juga minta maaf," katanya pelan.
"Nah, begitu dong," ujar Miss Green. Ia tampak sangat lega.
"Saya yakin kalian bisa menemukan cara yang lebih beradab untuk
menyelesaikan masalah kalian."
Bobbi dan Kimmy sama-sama mengangguk.
Bobbi melepaskan tangan Kimmy. Keduanya saling
berpandangan dengan curiga.
Kimmy takkan jadi temanku, Bobbi menyadari.
Pikiran berikutnya adalah: Apakah ia akan terus memusuhiku"
"Gerakan baru ini cukup rumit," Miss Green berkata. "Semua
harus berkonsentrasi penuh. Tak boleh ada yang melamun, biarpun
hanya sepersekian detik. Kalian harus percaya pada rekan-rekan
kalian." Ia memanggil para cheerleader lain untuk memulai latihan.
Bobbi sebenarnya enggan mencoba gerakan baru. Ia merasa
aneh, agak bingung. Kenapa Kimmy menyerangnya seperti tadi"
Apakah anak itu tidak punya harga diri"
"Kita mulai dari bagian terakhir saja," Miss Green
mengusulkan. "Bagaimana kalau kau saja yang menjelaskannya,
Bobbi?" "Sebenarnya lebih baik kalau Corky saja yang
menjelaskannya," ujar Bobbi sambil berpaling kepada adiknya. "Dia
yang menciptakan gerakan ini. Kami menggunakannya dalam final
negara bagian tahun lalu, dan kami mendapat sambutan yang meriah
sekali." Bobbi melihat Kimmy membisikkan sesuatu kepada Debra, dan
keduanya lalu cekikikan. "Rasanya lebih mudah kalau diperagakan saja," kata Corky.
"Bobbi, coba naik ke pundakku. Kali ini tidak perlu pakai piramid
deh. Tapi dalam gerakan sesungguhnya, Bobbi bakal berdiri jauh lebih
tinggi. Kami akan menunjukkan lompatannya. Miss Green, tolong
tangkap Bobbi kalau dia melompat, ya?"
Bobbi dan Miss Green mengambil posisi, dan anak-anak lain


Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengamati dengan penuh perhatian. "Kimmy, kau yang akan
melakukan lompatan ini nanti," ujar Miss Green, "jadi perhatikan
baik-baik. Kalau ada pertanyaan..."
"Saya akan memperhatikannya," potong Kimmy ketus.
Bobbi melangkah ke belakang Corky dan meraih tangan
adiknya itu. Kemudian ia menjejakkan sebelah kaki ke lutut Corky
yang menekuk dan, dengan bantuan Heather, yang berada di
belakangnya, ia menaikkan kakinya yang satu lagi ke pundak Corky,
dan menarik tubuhnya sampai berdiri di bahu Corky. Corky
menggenggam mata kaki Bobbi dengan kedua tangan.
Miss Green maju ke depan Corky dan memasang kuda-kuda
untuk menangkap Bobbi. "Siap, Bobbi?" tanya Corky.
"Siap," sahut Bobbi. Ia melompat dari pundak Corky, menekuk
badannya sehingga membentuk huruf V di udara, lalu jatuh dalam
posisi duduk ke tangan Miss Green.
Beberapa rekannya langsung bertepuk tangan dengan meriah.
"Bagus sekali!" Miss Green berseru ketika Bobbi menurunkan
kakinya ke lantai. "Kelihatannya mudah sekali kalau kalian yang
melakukannya." "Kami sudah sering melatih gerakan ini," ujar Bobbi merendah.
"Kimmy... kau sudah siap mencobanya sekarang?" tanya Miss
Green. "Ehm, ya," balas Kimmy dengan ragu-ragu sambil menatap
Bobbi. "Bobbi akan menangkapmu. Pelan-pelan saja," Miss Green
memberi pengarahan ketika Kimmy berjalan ke belakang Corky.
"Tidak perlu terburu-buru. Tak perlu disesuaikan dengan irama dulu.
Soal itu bisa kita latih belakangan."
Anak-anak yang tidak terlibat segera melangkah mundur untuk
memberikan tempat. Ronnie menggeleng-gelengkan kepala sambil
menatap Bobbi. "Ini tidak masuk akal. Nyawaku ada di tanganmu," kata Kimmy
kepada Bobbi. "Jangan khawatir," balas Bobbi. "Sudah berminggu-minggu aku
tak pernah menjatuhkan orang."
Kimmy tidak menanggapi gurauan Bobbi. Corky mengambil
posisi. Kimmy cepat-cepat naik ke pundak Corky dan Corky
menggenggam betisnya. Bobbi pun bersiap-siap menangkap Kimmy. "Aku sudah siap,"
katanya kepadanya. "Bukankah kau seharusnya diet dulu?" komentar Debra sambil
menyeringai. Kimmy melotot dari atas. "Rupanya kau juga sudah jadi
anggota lawan sekarang, ya?"
Debra angkat bahu. "Ronnie yang menyuruhku."
"Ayo, anak-anak, serius sedikit," Miss Green menegur mereka.
"Gerakan ini bisa berbahaya sekali."
"Corky dan saya sudah jutaan kali melakukannya," Bobbi
menenangkannya sambil menatap Kimmy. "Siap?"
"Yeah," sahut Kimmy sambil angkat bahu. "Mestinya ada jaring
pengaman." "Kau pasti bisa!" seru Jennifer dari pinggir lapangan.
"Oke. Pada hitungan ketiga," ujar Corky. "Satu, dua..."
Bobbi merentangkan kaki untuk bersiap-siap menangkap
Kimmy. Ia melengkungkan punggung. Dan mulai mengangkat kedua
tangannya ke atas kepala.
"...tiga!" Bobbi menarik napas panjang. Tanganku, ia berkata dalam hati.
Ada apa dengan tanganku" Ada apa dengan aku"
Aku tidak bisa mengangkat tanganku, pikir Bobbi ngeri.
Aku tidak bisa bergerak. Seluruh tubuhku tidak bisa digerakkan.
Ia merasakan butiran keringat mengalir di keningnya.
Stop! ia berseru dalam hati. Berhenti! Semuanya berhenti!
Tapi ternyata ia juga tak dapat berbicara. Ia membuka mulut,
namun tak dapat bersuara.
Aku tidak bisa bergerak. Aku tidak bisa bicara.
Ia memaksakan diri untuk mengangkat tangan, untuk
mengambil posisi. Jangan! Jangan! Bobbi berseru, tapi tak ada suara yang keluar
dari mulutnya. Ada apa denganku" Ia bisa melihat dirinya di lapangan basket, seolah-olah berada di
luar tubuhnya. Ia bisa melihat dirinya menatap Kimmy, yang sedang
mengambil kuda-kuda untuk melompat.
Ia tak mampu mengangkat tangan, tak mampu menggerakkan
keduanya. Tak mampu menangkap Kimmy.
Tak mampu memperingatkannya.
Jangan! Jangan, Kimmy... jangan lompat! Jangan lompat!
Masa kau tidak lihat bahwa aku lumpuh"
Masa kau tidak lihat bahwa ada yang menahanku"
Mencengkeramku" Mencengkeramku begitu keras sehingga aku tak
sanggup menggerakkan satu otot pun, bahkan tak sanggup berkedip!
Masa kau tidak lihat"
Pundak Corky terdorong ke bawah ketika Kimmy menekuk
lutut dan mulai melompat.
Jangan! Jangan! Kimmy... jangan!
Kimmy memicingkan mata. Roman mukanya menunjukkan
bahwa ia sedang memusatkan konsentrasi. Kedua lututnya menekuk,
otot-ototnya mengencang. Jangan! Stop! Kimmy... stop! Aku tak bisa menangkapmu!
Aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menahanmu!
Kimmy... jangan! Kimmy menarik napas panjang dan menahannya.
Dan kemudian ia melompat dari pundak Corky.
Bab 15 Bobbi Dituduh KIMMY membentur lantai dengan keras.
Ia mendarat dengan lutut dan siku lebih dulu. Lalu keningnya
pun menghantam lantai. Kepalanya tersentak ke belakang, dan mulutnya mengeluarkan
suara mendesis yang mirip bunyi udara yang keluar dari ban bocor.
Dan kemudian matanya menutup, dan ia tidak bergerak.
Pertama-tama tak ada yang bereaksi. Semuanya seakan-akan
lumpuh seperti Bobbi. Tapi setelah itu pekikan Heather yang melengking memecah
keheningan, dan memantul pada langit-langit gedung olahraga.
Beberapa gadis lain ikut berteriak.
Corky berlutut di samping Kimmy yang tak bergerak, dan
mendelik ke arah kakaknya.
Bobbi mundur terhuyung-huyung sambil menatap Kimmy.
Selangkah. Dua langkah. Ia menempelkan kedua tangannya ke pipi.
Aku bisa bergerak, ia menyadari.
Aku bisa bergerak lagi. Aku sudah jadi aku lagi. Jennifer memacu kursi rodanya ke arah Kimmy.
Miss Green membungkuk di atas Kimmy, meraih tangannya
dan menamparnya. Kimmy mengerang. Miss Green menatap para cheerleader yang berkerumun di
sekeliling Kimmy. "Cepat, panggil ambulans. Hubungi 911."
Megan dan Heather, keduanya pucat dan gemetaran, bergegas
keluar gedung olahraga. Aku bisa bergerak, pikir Bobbi. Tapi apa yang terjadi denganku
tadi" "Kau sama sekali tidak berusaha menangkap dia!" Ucapan
Debra itu seolah-olah menyengat Bobbi. Debra menghampirinya
sambil menuding. "Kau sama sekali tidak berusaha!"
"Bukan begi..." Bobbi tak tahu harus bilang apa. Ia mundur
selangkah lagi, menjauhi jari Debra yang menudingnya.
"Kau membiarkannya jatuh!" teriak Ronnie. Pipinya mulai
dibasahi air mata. "Tidak!" seru Bobbi. "Aku berusaha, tapi..."
"Kau tidak berusaha!" bentak Ronnie. "Kau diam saja. Kami
semua melihatnya!" "Ya, kau diam saja!" Debra berkata dengan geram.
"Dia sengaja," ujar Ronnie. "Dia sengaja membiarkan Kimmy
jatuh." Corky, yang masih berlutut di samping Kimmy, mengangkat
dagu dan menatap kakaknya. "Apa yang terjadi?" tanyanya tanpa
bersuara. "Aku tak bisa menangkapnya," Bobbi menjelaskan. Ia sadar
bahwa kata-katanya itu terdengar seperti alasan yang dicari-cari.
"Tanganku..." Bobbi terdiam. Ia sendiri tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Jadi bagaimana mungkin ia bisa menjelaskannya kepada mereka"
"Kau kesal pada Kimmy. Jadi kau membiarkannya jatuh," tukas
Ronnie. "Tega-teganya kau!" seru Debra.
Kimmy mengerang dan membuka mata.
"Kau sempat pingsan sebentar," ujar Miss Green dengan lembut
sambil memegang tangan gadis itu.
Kimmy kembali mengerang. Dengan linglung ia menatap
orang-orang yang mengerumuninya. "Tanganku, tanganku," erangnya.
"Tanganmu?" Miss Green meletakkan tangan Kimmy di lantai.
"Yang satu lagi," Kimmy mengerang. "Aku tak bisa
menggerakkannya. Sepertinya..."
"Jangan bergerak, Sayang," kata Miss Green. "Ada
kemungkinan kau patah tangan."
Kimmy berusaha bangkit. "Jangan." Miss Green mencegahnya. "Jangan berdiri dulu.
Kami sudah memanggil ambulans."
"Aduuuh, sakitnya." Kimmy menatap Bobbi. "Kau... kau yang
bertanggung jawab. Kau sengaja melakukannya," katanya setengah
berbisik. "Tidak!" protes Bobbi.
"Kau membiarkan aku jatuh," Kimmy menuduh, sambil
meringis kesakitan. "Berbaringlah," Miss Green menasihatinya. "Semuanya akan
beres, Sayang. Semuanya akan beres. Jangan pikirkan Bobbi sekarang,
oke?" Ia melirik ke arah Bobbi, dan sorot matanya menjadi tajam dan
dingin. "Bobbi dan saya akan bicara panjang-lebar nanti. Bobbi harus
menjelaskan kejadian ini."
"Saya yakin ini cuma kecelakaan," Corky tiba-tiba angkat
bicara. "Sudah jutaan kali kami melakukan gerakan ini. Sungguh."
"Dia berusaha mencelakakan Kimmy," Debra berkeras. "Aku
melihat semuanya." "Ini usaha pembunuhan!" ia mendengar Ronnie berkata kepada
Megan. Ia sengaja mengeraskan suaranya agar Bobbi mendengar
ucapannya itu. "Ronnie... jangan keterlaluan!" tegur Miss Green.
"Kami melihat semuanya dengan mata kepala sendiri!" balas
Ronnie ketus. "Tidak!" teriak Bobbi sambil menjambak rambutnya. "Tidak!
Tidak! TIDAK!" Ia tak tahan lagi. Ia tak tahan menghadapi begitu banyak pasang mata yang
menatapnya penuh kebencian.
Ia tak tahan menghadapi orang-orang yang menatapnya sambil
mengerutkan kening dan menuding-nuding.
Ia tak tahan mendengar kata-kata pedas mereka.
"Tidak! Tidak!"
Tanpa sadar ia telah berpaling dari mereka, menjauhi mata
mereka, menjauhi kebencian mereka. Dan kemudian ia kabur.
Perasaannya kacau-balau. Air matanya menggenang, menghalangi
pandangannya. Ia lari sambil mengulurkan tangan ke arah pintu
berdaun ganda. Setelah melewati pintu, ia disambut kesejukan di koridor. Jauh
dari hawa panas, jauh dari mata mereka, mata yang tak kenal ampun.
Bobbi membelok dan berlari ke arah tangga. Ia berpapasan
dengan para petugas paramedis berseragam putih, yang bergegas ke
gedung olahraga sambil membawa tandu dan tas-tas hitam berisi
perlengkapan. Melewati sekelompok murid yang tampak bingung di
tengah koridor. Ia menaiki tangga dan keluar dari bangunan, tanpa berhenti
untuk mengambil jaket, tanpa berhenti untuk mengambil bukubukunya.
Suasana di luar serba dingin dan kelabu. Sepatu karetnya
menginjak daun-daun mati yang berserakan di mana-mana. Air
matanya terasa panas di pipi.
Ia berlari dengan sekuat tenaga, dan jantungnya berdegupdegup.
Ia hanya ingin berlari sejauh mungkin.
Tapi kemudian dua tangan menariknya dengan kasar dari
belakang. Bobbi menahan napas dan mulai memukul-mukul dengan kedua
tangannya. "Tidak! Tidak!" ia berteriak.
Bab 16 Bayangan Aneh "BOBBI... ada apa?"
Chip melepaskan pundak gadis itu dan mundur selangkah. Ia
terkejut karena reaksi Bobbi yang begitu liar.
"Oh. Chip. Aku..." Tenggorokan Bobbi serasa tersekat.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu takut," ujar
Chip sambil mengerutkan kening dan mengamati Bobbi. "Aku
melihatmu berlari dan..."
"Chip... aku mengalami kejadian yang sama seperti kau!" ujar
Bobbi. Ia berjuang keras agar tidak menangis. Kemudian ia
menempelkan wajahnya ke lengan jaket kulit Chip.
"Hah" Mana jaketmu" Kau tidak kedinginan?"
"Aku mengalami kejadian yang sama seperti kau," Bobbi
mengulangi. Ia menegakkan badan dan melihat bahwa air matanya
membasahi lengan jaket Chip. "Aku... aku tidak bisa bergerak."
"Kau juga" Masa sih?" Chip menatapnya seolah-olah tidak
memahami ucapan Bobbi. Atau tidak percaya. "Aku sedang mau ke
dokter. Untuk menjalani beberapa tes. Sekarang," katanya kikuk.
"Aku baru saja memberitahu pelatihku bahwa aku tidak bisa ikut
latihan. Dia bilang..."
"Aku tak bisa bergerak," ulang Bobbi, seakan-akan dengan
demikian bisa memaksa Chip untuk percaya. "Aku tidak bisa
mengangkat tanganku. Persis kamu, Chip."
Bobbi menatap mata pemuda itu dengan pandangan bertanyatanya.
"Mungkin ada baiknya kalau kau ke dokter juga," Chip
menyarankan dengan lembut. "Menurut dokterku ada masalah otot.
Tes-tes ini..." Sebuah klakson mobil berbunyi di belakang mereka.
"Hei... itu kakakku. Dia mau mengantarku ke dokter," kata Chip


Fear Street - Cheerleaders Musibah Pertama The First Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil membalik untuk melambaikan tangan kepada pengemudi
mobil. "Aku pergi dulu."
"Nanti malam aku telepon kau, ya?" ujar Bobbi. "Maksudku,
aku benar-benar perlu bicara denganmu. Tentang... tentang apa yang
terjadi tadi." "Yeah. Boleh saja," sahut Chip. Ia bergegas ke mobil. "Aku di
rumah kok nanti malam." Tiba-tiba ia berhenti dan kembali berpaling
kepada Bobbi. "Kau mau diantar pulang?"
"Tidak." Bobbi menggelengkan kepala. "Aku mau jalan kaki
saja. Trims." Chip naik ke mobil dan segera berangkat.
Ia satu-satunya orang yang bakal percaya padaku, pikir Bobbi
sambil memperhatikan mobil itu membelok di tikungan berikut.
Ia satu-satunya. Ia sempat mengalami hal yang sama. Aku tidak gila. Aku tidak
gila. ******************** "Aku tidak gila," katanya kepada Jennifer. "Chip juga sempat
mengalaminya." Sejenak mata Jennifer menyala-nyala ketika Bobbi
menyinggung nama Chip. Ia memundurkan kursi rodanya agar Bobbi
bisa lewat dan masuk ke ruang baca.
"Syukurlah aku bisa datang ke sini," ujar Bobbi. Ia meletakkan
ranselnya di lantai di samping sofa dan mulai melepaskan jaketnya.
"Orangtuaku menemani adik laki-lakiku ke acara pramuka, dan Corky
sedang ada tugas sebagai babysitter. Dan aku sedang tidak ingin
sendirian." "Kejadian tadi sore memang menakutkan," kata Jennifer hatihati. "Perasaanmu pasti tak karuan." Ia hendak menyusul Bobbi ke
ruang baca, tapi kursinya menabrak kusen pintu, sehingga ia terpaksa
mundur sedikit, lalu maju lagi.
Bobbi meletakkan jaketnya di atas ransel dan menggosok-gosok
lengan sweter birunya untuk menghangatkan diri. "Yeah. Aku...
aku..." Ia terdiam karena tak sanggup melukiskan perasaannya waktu
itu. "Jadi kau sudah bicara dengan Chip tentang ini?" tanya
Jennifer. "Aku... aku mencoba menelepon dia. Tapi teleponnya tidak
diangkat-angkat. Rupanya tidak ada siapa-siapa di rumahnya."
"Kau mau minum teh?" tanya Jennifer lembut. "Sepertinya kau
kedinginan." "Tidak. Trims. Mungkin nanti," sahut Bobbi. "Kau percaya
padaku, kan, Jen" Kau percaya, kan, bahwa aku tidak sengaja
membiarkan Kimmy jatuh?"
"Aku sempat bicara dengan ibunya," balas Jennifer sambil
menghindari pertanyaan itu. "Pergelangan tangannya patah dan harus
digips. Tapi yang cedera tangan kirinya, jadi tidak terlalu merepotkan
untuk dia." "Tapi kau percaya padaku, kan?" Bobbi mengulangi. Ia duduk
di ujung sofa sambil membungkukkan badannya ke depan.
"Terus terang, aku tidak tahu mana yang harus kupercaya," kata
Jennifer enggan. "Sepertinya ada orang yang menahanku sehingga aku tak bisa
bergerak. Tanganku seperti lumpuh," Bobbi menjelaskan untuk
keseratus kalinya. "Seluruh tubuhku seperti lumpuh."
"Aku tahu persis bagaimana rasanya," ujar Jennifer. Suaranya
mendadak getir. Ia menatap kedua kakinya.
"Oh, Jen... maafkan aku!" seru Bobbi. Ia langsung berdiri.
Wajahnya terasa panas. "Aku... aku tidak bermaksud..."
Jennifer memberi isyarat agar Bobbi kembali duduk. "Sudahlah,
kau baru saja mengalami hari yang berat, Bobbi."
"Apakah Miss Green akan mengeluarkan aku dari regu
cheerleader?" tanya Bobbi sambil menjatuhkan diri ke sofa.
Jennifer angkat bahu. "Bagaimana kalau kita belajar saja"
Supaya kau bisa memikirkan hal lain?"
Bobbi mendesah. "Aku tak yakin apakah aku sanggup
memikirkan hal lain."
"Coba saja," ujar Jennifer sambil menyibakkan rambutnya yang
indah. "Sekarang aku bikin teh dulu, dan setelah itu kita coba belajar,
oke?" Jennifer sudah berusaha keras, tapi ia tidak berhasil
mengalihkan pikiran Bobbi dari kejadian mengerikan yang dialaminya
tadi sore. Pikiran Bobbi selalu kembali ke gedung olahraga, kembali
ke kelumpuhannya yang misterius. Kecelakaan Kimmy selalu
terbayang-bayang di depan matanya.
Berulangkali ia mendengar bunyi krak ketika pergelangan
tangan Kimmy patah. Ia mendengar suara brak ketika kening Kimmy
membentur lantai. Ia melihat bagaimana kepala Kimmy tersentak ke
belakang, dan bagaimana mata Kimmy terpejam.
Berulangkali ia melihat para cheerleader menatapnya dengan
pandangan menuduh dan mendengar mereka berseru-seru dengan
geram. Sekitar pukul 23.00 lewat, Bobbi meraih jaketnya serta
ranselnya, dan menuju pintu depan. "Terima kasih karena kau mau
menemaniku," katanya kepada Jennifer, lalu membungkuk untuk
merangkul temannya itu. "Terima kasih kembali," balas Jennifer sambil menguap.
"Omong-omong, orangtuamu ke mana?" tanya Bobbi.
"Mereka sedang mengunjungi teman," jawab Jennifer
terkantuk-kantuk. "Sebentar lagi mereka pasti pulang."
"Hmm, pokoknya trims, ya," ujar Bobbi sambil membuka pintu
depan. Embusan angin malam yang dingin sempat membuatnya
merinding. "Sampai besok, Jen."
"Kau istirahat saja, jangan berpikir macam-macam, oke?" pesan
Jennifer. Bobbi menutup pintu. Ia menatap malam yang gelap tak
berbintang. Udara dingin dan lembap. Dari pekarangan Jennifer, ia
melihat lapisan bunga es di kaca depan mobilnya memantulkan
Arca Ikan Biru 1 Anak Berandalan Karya Khu Lung Air Mata Di Sindang Darah 2

Cari Blog Ini