Fear Street - Adik Tiri The Stepsister Bagian 1
Bab 1 Teddy Mati "AKU benci rambutku!"
Emily Casey cemberut pada bayangannya di cermin dan
melemparkan sikat rambutnya ke dinding.
"Kau cuma stres karena Jessie dan Rich mau datang," kata
Nancy yang berbaring telungkup di tempat tidur, membuka-buka
majalah Sassy lama. "Tidak. Aku memang benci rambutku!" Emily berkeras.
Dengan masih cemberut ia berjalan mengambil sikat rambutnya di
karpet. "Persis gandum diparut," gerutunya sambil berjalan kembali ke
depan cermin setinggi badan dan mulai menyikat rambutnya lagi.
"Dari mana kau tahu bentuk gandum diparut?" tanya Nancy
tanpa mengangkat wajahnya dari majalah. "Kau tidak pernah makan
gandum diparut. Kau tidak pernah makan apa-apa."
"Lalu, kenapa aku gendut?" lengking Emily.
"Kau tidak gendut," ujar Nancy, tangannya membalik halaman.
"Kau cuma tidak kecil seperti Mom dan aku. Tulang-tulangmu lebih
besar. Kau tinggi. Kau..."
"Gendut," sambung Emily sedih. Ia tahu ia tidak betul-betul
gendut. Ia cuma sedang ingin mengomel. Mungkin Nancy benar.
Mungkin ia cuma stres karena kedua adik tirinya, satu perempuan dan
satu laki-laki, akan datang. Ia benci kalau Nancy benar.
"Aku benci kalau kau benar," katanya. "Kenapa sih kau selalu
bersikap seperti kakak perempuan?"
"Setelah ini kau akan berkeluh-kesah tentang tanganmu," kata
Nancy, menutup majalahnya dan melemparkannya ke lantai.
"Tanganku?" "Terlalu besar. Urutannya kan selalu begitu. Mula-mula
rambutmu. Lalu badanmu. Lalu tanganmu yang besar dan jelek."
Emily menghela napas. "Rambutku terlalu tipis. Tidak jatuh,
tidak mengembang, tidak bisa diapa-apakan. Sudah, jangan
menertawakan aku terus."
"Kaupikir apa gunanya kakak perempuan?"
"Aku tidak tahu," sahut Emily kering. Lalu ia tertawa.
"Kau kelihatan oke," kata Nancy. "Dari mana kau dapat rok
pendek itu" Dari lemariku?"
"Bukan. Ini punyaku. Kalau tidak salah." Emily merapikan rok
yang dipakainya dengan gugup, lalu menarik ke atas celana pendek
ketat hitam yang dipakainya di bawah rok itu.
"Sejak kapan kau pakai rok?" tanya Nancy seraya mengangkat
tubuhnya dan duduk di pinggir tempat tidur.
"Aku ingin dandan. Kau tahu kan, kesan baik pada pandangan
pertama." "Kau benar-benar gugup," kata Nancy dengan senyum puas. Ia
berdiri dan berjalan ke cermin. Celana jeans-nya menambah kesan
langsing, dan sweternya yang hijau muda berleher tinggi kontras
dengan rambutnya yang merah tembaga. Tidak seperti Emily, rambut
Nancy lurus, lembut, dan mudah diatur.
"Mom bikin kue," kata Emily. "Kurasa dia juga gugup."
"Jangan-jangan rasanya seperti semen."
Kedua gadis itu berdiri berdampingan dan penampilan mereka
sama sekali tidak mirip kakak-adik. "Kau kok tenang betul sih?" tanya
Emily, mengambil majalah dari lantai dan menaruhnya di rak dengan
rapi. "Padahal kita mau dapat dua saudara baru."
"Kita sudah pernah bertemu mereka," kata Nancy. Ia berjalan
ke jendela kamar tidur dan menengok ke luar, ke halaman depan yang
melandai ke Fear Street. Matahari bersinar, memberi kehangatan di
bulan Desember. Bayangan ranting-ranting pohon yang tak berdaun
bergoyang-goyang di dinding yang berlapis wallpaper.
"Lalu kenapa?" seru Emily. "Mereka datang untuk tinggal
dengan kita. Selamanya."
"Aku pergi ke college tahun depan," kata Nancy. "Lagi pula kau
yang akan satu kamar dengan Jessie. Kau yang harus berkorban."
Emily menatap kakaknya, agak terkejut dengan kata-kata
Nancy. Emily terlalu gembira, tidak sabar menunggu punya saudara
perempuan yang sebaya dengannya, sehingga ia tidak pernah
menganggap itu suatu pengorbanan.
Mungkin itu memang pengorbanan.
Mungkin berdua dalam satu kamar, membagi separo ruang
kamarnya, adalah pengorbanan besar.
Ia pernah bertemu Jessie beberapa kali. Dan sejauh ini mereka
cocok. Tapi bertemu beberapa kali tidak sama dengan tinggal berdua
dalam satu kamar. Bagaimana kalau ternyata Jessie menyebalkan"
Tidak. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Nancy cuma mengadaada. Ia tak akan membiarkan Nancy membuatnya lebih gugup lagi.
"Punya ayah tiri, itu baru perubahan besar," kata Nancy,
menatap ke luar jendela, seakan-akan mencoba menghindari
pandangan Emily. Nancy tidak pernah mau membicarakan Hugh Wallner, pria
yang menikahi ibu mereka tiga bulan yang lalu. Emily tahu Nancy
tidak suka pada pria itu. Emily sendiri juga tidak terlalu suka padanya.
Ia sangat berbeda dengan ayah mereka. Kedua gadis itu harus
memutuskan apakah mereka akan tetap menggunakan nama belakang
mereka yang lama, atau menggantinya dengan nama belakang ayah
tiri mereka. Mereka berdua memutuskan untuk tetap menggunakan
nama belakang yang lama. Itu pasti mengecewakan ayah tiri mereka.
Sedikit. Tapi sang ayah tiri tidak memperlihatkan perasaannya.
Asal Mom bahagia, oke saja, pikir Emily. Dan ibu mereka
kelihatan sangat senang menjadi Mrs. Hugh Wallner.
Emily duduk di tempat tidur baru di dekat jendela, yang
nantinya akan menjadi tempat tidur Jessie. Diratakannya seprainya
yang berbunga-bunga merah-biru. Kasurnya terasa keras dan baru.
"Jessie baik," katanya. "Dia dan aku sama-sama menikmati pesta
pernikahan Mom." "Sebetulnya dia sangat cantik," ujar Nancy, yang biasanya
sangat malas memuji seseorang.
Tiba-tiba terdengar ketukan-ketukan cepat di lantai di luar
kamar. Tiger, anjing terrier kecil Emily yang berbulu putih, melompat
masuk ke kamar, berlari cepat seperti biasa, napasnya terengah-engah.
"Awas, Tiger! Berhenti!" teriak Emily.
Tapi ia kurang cepat. Anjing kecil itu melompat ke
pangkuannya, berdiri di atas kedua kaki belakangnya, dan menjilati
wajahnya. "Aduh"rambutku! Jangan diacak-acak!"
Tapi itu kata-kata yang tidak dikenal oleh anjing. Ketika Emily
berhasil mendorong Tiger, rambut di bagian kiri kepalanya sudah
berdiri semua. "Oh, Tiger, aku sayang padamu!" Emily mengangkat
Tiger dan mengadu hidung dengan anjingnya. "Biarpun sudah
kaurusak rambutku!" Diturunkannya anjing itu. Tiger, sambil
mengibas-ngibaskan ekornya yang pendek, melangkah cepat keluar
dari kamar dan menuruni tangga.
"Hei"mereka datang!" seru Nancy, mengalihkan
pandangannya dari jendela. "Kenapa rambutmu?"
"Bilang sama mereka aku turun sebentar lagi," kata Emily
sambil menghela napas, mencari-cari sikat rambut di atas meja rias.
"Nah, sekarang baru kelihatan seperti gandum diparut," kata
Nancy, berjalan ke tangga. "Mungkin lebih baik kau pakai topi saja."
"Terima kasih atas pujianmu, Nance."
"Aku cuma mencoba membantu." Nancy lenyap dari
pandangan. "Ayo, masuk. Masuk." Emily mendengar suara ibunya di pintu
depan, menyambut Jessie dan Rich dengan riang. "Kalian tampak
sehat. Kami sudah tidak sabar menunggu kalian. Mana Emily?"
"Kapal terbangnya telat, seperti biasa," Mr. Wallner
menggerutu. "Yang penting mereka sudah ada di sini sekarang," kata ibu
Emily. Emily berdiri di puncak tangga, jantungnya berdebar,
mendengarkan suara-suara riang itu. Ini akan menyenangkan,
pikirnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan melompat-lompat menuruni
tangga, dua anak tangga setiap langkah. "Hai!" Ia bergegas maju ke
depan untuk memeluk Jessie, yang sedang melepas mantelnya. Tapi
yang dipeluknya malah mantel Jessie.
Kedua gadis itu tertawa. "Tidak apa-apa, pokoknya hai," kata Emily. "Kau cantik!"
Jessie memang sangat cantik. Semua mengenai dirinya kecil
mungil, kecuali matanya, yang besar dan berwarna biru pucat.
Rambutnya pirang keemasan, dahinya tinggi dan cantik, dan kulitnya
putih susu. Melihatnya, Emily teringat lukisan kuno bidadari di
museum. Jessie memakai sweter biru muda, rupanya sengaja
dipilihnya karena serasi dengan warna mata dan jeans belelnya.
"Terima kasih," katanya pada Emily sambil memberikan mantel
pada ayahnya. "Kau juga cantik." Suaranya lembut hampir berbisik, serasi
dengan seluruh penampilannya. Sejenak matanya memandang rambut
Emily lalu ia menoleh ke Mrs. Wallner. "Rasanya menyenangkan
sekali di sini," katanya. "Aku suka rumah ini!" Ia melangkah ke depan
dan memeluk Mrs. Wallner lama sekali. Emily melihat ibunya
tersentuh oleh sikap itu.
"Hei"jangan kita lupakan Rich," kata Nancy, menyela pelukan
Jessie. "Ya, tentu saja, kita tak akan melupakan Rich," kata Mrs.
Wallner, menatap Rich dengan wajah cerah. "Bagaimana aku bisa
melupakan seorang anak muda setampan ini" Walaupun dia sangat
pendiam." Mrs. Wallner mengedipkan matanya, tampak senang
mendengar gurauannya sendiri.
Wajah Rich, yang biasanya sepucat saudara perempuannya,
menjadi merah bagaikan tomat ranum.
"Memang perlu ada seseorang yang bisa diam di sini," Nancy
menimpali.ebukulawas.blogspot.com
Semua tertawa kecuali Rich, yang masih terlihat canggung atas
semua perhatian itu. Badannya kurus kerempeng. Kelihatan terlalu
tinggi untuk ukuran tubuhnya. Rambutnya pirang seperti kakaknya,
pendek dan lurus. Beberapa bercak menghiasi wajahnya. Dan kakinya
besar sekali. Ia memakai sepatu karet putih, persis seperti gambar
kartun kelinci. Anak umur tiga belas memang sedang aneh-anehnya, pikir
Emily. Ia sendiri tidak ingat bagaimana penampilannya waktu umur
tiga belas, walaupun itu baru tiga tahun berselang. Ia sudah
membuang semua ingatan itu dari kepalanya.
"Apa yang sedang kaubaca?" tanya Emily pada Rich.
Rich memegang sebuah buku di tangannya. Diangkatnya buku
itu untuk diperlihatkan pada Emily.
"Anak itu selalu pegang buku," kata Mr. Wallner sambil
menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan tidak senang.
"Ini"ini buku karangan Stephen King," gumam Rich lirih,
Emily hampir tak bisa mendengarnya.
"Pet Sematary, kau juga sudah baca kan, Nancy?" tanya Emily.
Nancy mengangkat hidung. "Aku sudah tidak baca Stephen
King lagi." "Mentang-mentang sekarang dia sudah senior, dia tidak mau
baca apa-apa lagi!" kata Emily pada Jessie.
Jessie tertawa sopan, walaupun itu bukan lelucon.
"Aku senang berada di sini. Aku tahu kita semua akan bahagia,"
kata Jessie pada Mrs. Wallner dengan suara lembutnya.
"Aku yakin," sahut Mrs. Wallner.
"Asyik punya saudara perempuan seumur," kata Jessie sambil
menoleh pada Emily. "Kita bisa belajar sama-sama, pergi ke mall
sama-sama, pokoknya ke mana saja sama-sama. Kau harus jadi
penunjuk jalanku di Shadyside. Kita juga bisa masak sama-sama. Kau
suka masak" Dan kita bisa saling pinjam baju, dan..."
"Kalau itu rasanya tidak bisa," kata Emily, mendadak merasa
malu. Tubuh Jessie jauh lebih kecil daripada tubuhnya.
"Semua ini akan jadi yang paling hebat," Jessie berlari memeluk
Emily. "Aku sudah buat kue," kata Mrs. Wallner, "dan sandwich. Aku
tahu kalian pasti lapar setelah terbang jauh."
"Aku kelaparan," kata Mr. Wallner, memegangi perutnya.
"Menunggu di bandara selalu membuat kacau pencernaanku."
Mr. Wallner tinggi tegap, kepalanya botak di tengah, dibatasi
lingkaran rambut di pinggirnya. Bagi Emily ia selalu terlihat
cemberut, tidak senang hati. Ada saja yang tidak beres baginya.
"Tapi sebelum kita makan, mungkin Jessie dan Rich ingin pergi
ke atas melihat kamar mereka dulu," kata Mrs. Wallner, tidak
menghiraukan suaminya. "Betul," kata Jessie, meraih kopernya yang sangat besar.
"Biar kubawakan," kata Emily. Langsung ia menyesal, karena
koper itu ternyata berat sekali.
"Biar aku yang bawa nanti," kata Mr. Wallner, berjalan menuju
ke dapur. Nancy mengajak Rich melihat kamar barunya, sebuah kamar
yang sangat sempit di ujung koridor, yang semula dipakai untuk
menyimpan barang-barang. "Ayo Jessie," kata Emily riang.
"Kuperlihatkan kamar kita."
"Bagus," kata Jessie, tersenyum pada Mrs. Wallner. "Kami akan
turun sebentar lagi. Aku juga sudah mulai lapar."
"Akan kusiapkan makanan untuk kalian," kata Mrs. Wallner
riang, mengikuti suaminya ke dapur. "Hei, Hugh, jangan dihabiskan
semua, anak-anak belum makan!"
Jessie mengikuti Emily menaiki tangga berkarpet, yang
berderit-derit di bawah injakan kaki mereka. "Ta-daa, ini dia," kata
Emily, mendorong Jessie masuk.
Jessie mengerutkan kening sementara matanya menyapu
seluruh kamar. "Kecil," gumamnya.
"Hah?" Emily tidak percaya dengan pendengarannya. Suara
Jessie lirih seperti berbisik.
Dengan kening tetap berkerut, Jessie berjalan ke jendela dan
melihat ke luar. "Fear Street. Namanya kok begitu."
"Ini daerah pemukiman yang sangat menarik," kata Emily.
"Sudah berapa lama kau tinggal di daerah tua semacam ini?"
tanya Jessie sambil menoleh ke Emily. Terdengar lebih seperti
tuduhan daripada pertanyaan.
"Uh... kira-kira enam tahun, kalau tidak salah," jawab Emily,
mencoba mengingat-ingat berapa umurnya waktu pindah ke sini.
"Orangtuaku suka rumah tua. Ayahku senang bekerja memperbaiki
apa saja." "Ibumu selalu riang dan antusias seperti itu?" tanya Jessie,
mengubah topik percakapan. Ia memutar bola matanya ke atas.
"Maksudku, wow!" Ia menjauh dari jendela dan duduk di atas tempat
tidur Emily, lalu berbaring, mengganjal kepalanya dengan tangan.
Oh-oh, pikir Emily. Jessie sangat berbeda begitu orang dewasa
tidak terlihat lagi. Di bawah tadi ia sangat manis. Tapi sekarang ia
menjadi orang lain. Inikah dirinya yang sebenarnya"
"Mom cuma sedang sangat riang," kata Emily dengan perasaan
tidak enak. Jessie duduk dan mengambil Maxie, boneka beruang yang
sangat disayangi Emily. "Kau tidak mirip ibumu," katanya, menatap
Emily dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Fear Street - Adik Tiri The Stepsister di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menatap tanganku yang besar-besar, pikir Emily.
Disembunyikannya tangannya di belakang punggung dan berjalan ke
meja. "Memang tidak. Tapi Nancy mirip sekali dengannya. Persis
sekali." "Aku tidak pernah suka pada rambut merah," kata Jessie sambil
mengernyitkan wajahnya. Diperhatikannya teddy bear tua itu, lalu
kembali menatap Emily. "Tidak banyak tempat di dalam lemari, kan"
Lalu barang-barangku akan kutaruh di mana?"
Pasti ia melihat perubahan wajah Emily, karena ia langsung
minta maaf. "Sori. Sori. Lupakan semua yang kukatakan tadi. Aku"
aku sedang gugup." "Aku juga gugup," kata Emily. "Kau tak perlu minta maaf."
"Sudah seharusnya. Aku memang tolol. Ini"semua ini, terasa
berat." Emily memutar kursi sehingga menghadap Jessie, lalu duduk.
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, begitu ibuku tahu ayahku kawin lagi, tanpa tunggu
lama-lama dilemparkannya Rich dan aku ke ayahku. Rasanya tidak
menyenangkan mengetahui ibumu sendiri tidak menginginkan
dirimu." "Kasihan," kata Emily.
"Rich dan aku merasa seperti yoyo," ujar Jessie dengan nada
pahit sambil merenungi karpet di kakinya. "Rasanya seumur hidup
kami tidak habis-habisnya diping-pong bolak-balik di antara mereka
berdua." Ia melempar-lempar teddy bear dari satu tangan ke tangan
lain seakan-akan untuk memperkuat kata-katanya. "Lalu, aku harus
meninggalkan semua orang. Semua teman-temanku. Sahabatku yang
paling dekat, Debra. Debra dan aku"kami sangat dekat. Aku sudah
rindu padanya." "Aku bisa merasakannya," kata Emily. "Semula aku tidak tahu
betapa beratnya ini bagimu."
"Yaah, memang berat," kata Jessie, masih belum sanggup
memandang wajah Emily. "Akan kucoba untuk..." tapi kata-kata Emily terpotong oleh
suara ketak-ketuk kaki anjing: Tiger menghambur masuk ke kamar,
melompat ke tempat tidur, dan mencoba menjilat muka Jessie.
"Ugh! Pergi!" Jessie menjerit, mendorong Tiger. "Pergi sana!"
Ia mendorong Tiger dengan keras. Anjing terrier yang kebingungan
itu menyalak kaget ketika tubuhnya jatuh membentur lantai. "Anjing
brengsek itu bisa membuat sweter baruku penuh bulu!" jerit Jessie.
"Keluarkan dia dari sini!"
"Tiger"keluar!" perintah Emily.
Anjing itu tidak perlu diperintah dua kali. Dengan ekornya yang
pendek mengacung ke atas, ia berlari-lari kecil keluar dari kamar.
"Sebetulnya dia anjing manis," ujar Emily, agak kesal oleh
reaksi Jessie terhadap Tiger.
"Menjijikkan," kata Jessie, mencari-cari bulu anjing di
sweternya. "Bulunya tidak rontok," kata Emily.
"Tapi sweterku bisa sobek," lengking Jessie. "Kau tahu berapa
harga sweter ini?" "Sweatermu cantik sekali," kata Emily, agak malu. Untuk
mengalihkan pembicaraan, ia bertanya, "Kau sudah lapar" Mau turun
ke bawah?" "Ya. Kurasa begitu," Jessie memindah-mindahkan teddy bear
Emily dari tangan ke tangan.
"Itu hadiah ulang tahun pertamaku," Emily memberitahu.
"Sejak saat itu selalu jadi favoritku."
"Oh, ya?" Jessie memijit hidung si beruang. "Tapi sekarang
sudah kumal, kan?" Ia tertawa, suaranya tinggi dan agak serak.
"Tapi sangat berarti bagiku," sahut Emily.
"Aku mau tempat tidur yang ini, Emily. Aku tidak bisa tidur di
dekat jendela." "Tapi sejak dulu itu tempat tidurku," protes Emily. "Kami beli
tempat tidur baru dekat jendela itu untukmu."
"Kalau begitu kita punya masalah."
Jessie menatap tidak senang pada Emily. Lalu ia menunduk dan
menarik putus kepala teddy bear.
Bab 2 Perkemahan Terakhir JESSIE tiba-tiba tertawa, tawanya tinggi melengking.
Emily masih terlalu kaget, belum bisa mengucapkan apa-apa.
Apakah semua ini betul-betul terjadi"
Jessie cepat menghentikan tawanya. "Maaf," katanya sambil
memandang kepala teddy bear di tangan kirinya, dan badannya di
tangan kanannya, kapuk kelabu berjatuhan dari lubang di leher. "Aku
tidak sengaja. Sungguh." Ia menatap Emily, seakan ingin melihat
apakah Emily percaya padanya.
Emily tidak percaya. "Kau sengaja menarik kepala Max sampai
putus," katanya. Entah mengapa, nadanya lebih seperti pertanyaan
daripada tuduhan. "Tidak. Itu putus begitu saja," sanggah Jessie. "Sungguh. Aku
cuma memegangnya. Kau percaya, kan, padaku?" Mata birunya yang
besar menembus mata Emily, seakan menantang, memaksa Emily
untuk percaya. Emily tidak menjawab. Sebuah bayangan jatuh ke kamar. Bayangan awan yang
bergerak menutupi matahari di luar jendela. Kamar mendadak menjadi
gelap, membuat Emily merasa seram. Ada perasaan aneh bahwa Jessie
yang membawa kegelapan. Emily menggigil, tiba-tiba merasa seperti
kedinginan. Itu pikiran tolol, tentu saja. Tapi bayangan Jessie di kamar yang
gelap, duduk di tempat tidur Emily, dengan Max yang terpotong
menjadi dua di pangkuannya, akan tetap diingat Emily untuk waktu
lama, lama sekali. Bayangan gelap berlalu. "Hei, cewek-cewek." Nancy masuk ke kamar. Ia membawa
beberapa buah kaset. "Bagaimana" Kau mau ini kukembalikan semua,
Em" Aku pinjam minggu lalu dan..."
Kalimatnya terhenti. "Hei"apa yang terjadi pada Max?"
"Tidak sengaja. Sungguh!" teriak Jessie membela diri. Ia cepat
berdiri dan berjalan menghampiri Nancy, membawa kedua potongan
teddy bear. "Waktu sedang kupegang, tiba-tiba putus begitu saja."
Suara Jessie terdengar gemetar.
Nancy menaruh kaset-kaset yang dibawanya ke atas meja dan
mengambil teddy bear dari tangan Jessie. "Mungkin masih bisa
dijahit," katanya. Ia memandang Emily.
"Mungkin," sahut Emily ragu.
"Hei, adikmu itu benar-benar pendiam," kata Nancy pada
Jessie, sengaja mengalihkan pembicaraan. Diberikannya teddy bear itu
pada Emily. "Memang begitu," kata Jessie. "Rich tidak banyak bicara, kan"
Tapi sekali kau kenal dia, kau akan tahu kalau dia memang pendiam!"
Nancy tertawa. Jessie tertawa pada gurauannya sendiri. Emily
masih belum ingin tertawa.
Jessie memang jahat, pikirnya. Baru beberapa menit di sini,
sudah mengejek saudaranya sendiri.
Lalu ia sadar ia tidak boleh bersikap konyol. Jessie sudah
mengajak bergurau. Dan mungkin urusan teddy bear itu memang
bukan kesengajaan. Max memang sudah kumal dan rapuh setelah
bertahun-tahun ini. Dan ia sekarang berpikir yang tidak-tidak
mengenai Jessie, padahal seharusnya berusaha membuat Jessie betah
dan merasa menjadi bagian dari keluarga.
Ia bagian dari keluargaku sekarang, pikir Emily. Kau harus bisa
cocok dengan Jessie. "Pasti sulit bagi Rich," kata Emily dengan nada simpati.
"Masuk sekolah baru tidaklah mudah."
"Aku tahu," kata Jessie pahit. Lalu ia tertawa, tawa gugup.
"Rich oke, tidak apa-apa. Dia dan aku jarang bercakap-cakap. Tidak
mudah untuk dekat dengannya. Dia seperti memiliki dunia sendiri. Ke
mana-mana selalu bawa buku-buku aneh. Dia pasti penggemar
terberat Stephen King di seluruh dunia. Dia bahkan menulis surat pada
Stephen King." Kamar menjadi gelap lagi. Kini langit di luar jendela berwarna
kelabu sekarang. Warna-warna di dalam kamar ikut menjadi kelabu.
"Aku tidak terlalu suka Stephen King," kata Nancy. "Apalagi
sekarang aku sudah di kelas senior, aku tidak punya waktu banyak
untuk baca apa pun. Aku terlalu sibuk dengan tugas sekolah. Dan
lamaran masuk college."
"Kau mau keluar nanti malam?" tanya Emily cepat. Ia tak ingin
Nancy bicara panjang-lebar tentang betapa beratnya jadi senior dan
betapa banyak tugas yang harus dikerjakannya. Kalau dibiarkan,
Nancy bisa bicara berjam-jam tentang satu hal itu saja. Kadangkadang Emily merasa Nancy lebih banyak menghabiskan waktu untuk
membicarakan tugas-tugas itu daripada mengerjakannya. Kalau tidak
mengeluh tentang tugas sekolah, ia akan mengeluh tentang pergaulan
sosialnya. "Bukankah kau punya janji dengan Gary Brandt?"
"Dia telepon tadi, membatalkan janjinya," kata Nancy sambil
menggelengkan kepala. "Katanya dia pilek. Tapi selama bicara di
telepon, tak sekali pun ia menyedot hidung. Tapi, aku sudah tahu dia
tidak akan datang." Diambilnya kaset-kaset tadi, dan dijatuhkannya
kembali satu per satu ke meja. "Jangan bikin Jessie bosan dengan
kisah kehidupan sosialku," katanya dengan tawa terpaksa. "Sudah
kacau sejak..." "Aku tahu, aku tahu," Emily mengerang, memutar-mutar bola
matanya. "Sejak Josh putus denganmu dan mulai kencan denganku."
Jessie berdiri, terlihat agak canggung. "Mungkin lebih baik aku
turun," katanya, memandang Emily, lalu memandang Nancy. "Kalau
kalian ingin saling mengorek mata atau semacam itu..."
"Tidak, tidak," kata Emily, ikut meloncat berdiri. "Nancy dan
aku sudah seribu kali membicarakan hal ini."
"Dua ribu," kata Nancy, menyibak rambutnya yang merah
tembaga ke belakang. Ia persis Mom kalau sedang begitu, pikir Emily.
"Nancy, kau sendiri kan sudah sebal melihat Josh," kata Emily,
merasa heran mengapa ia repot-repot membela diri. "Kau sendiri yang
bilang kau ingin putus sama dia, ingat?"
Wajah Nancy memerah. Tampaknya ia malu membicarakan hal
itu di depan Jessie. "Kau benar. Kau benar sekali, Em. Bahkan
sebetulnya aku tidak tahu apa istimewanya Josh bagimu. Dia
brengsek, tahu?" Ia tertawa, mencoba terdengar seolah sedang
bercanda. Ia menoleh pada Jessie. "Menurut Josh, yang namanya
dandan untuk pacaran itu adalah membalik sweternya sehingga bagian
yang kotor ada di punggung!"
"Hei, enak saja kau ngomong!" teriak Emily.
Jessie dan Nancy tertawa.
Kenapa ia jadi seperti ini sekarang" pikir Emily. Josh sudah
tidak berarti apa-apa bagi Nancy. Sudah berjuta-juta kali Nancy bilang
dirinya tidak peduli aku pacaran dengan Josh.
"Aku lapar. Aku mau ke bawah," kata Nancy, melangkah ke
pintu. "Kalian ikut?"
"Sebentar lagi," kata Emily, menaruh kedua potongan teddy
bear-nya ke atas meja. "Aku suka kakakmu," kata Jessie begitu Nancy sudah turun.
"Dia cantik sekali. Kau betul-betul pacaran sama bekas pacarnya?"
"Mereka tidak pacaran betulan," kata Emily cepat. Ia tidak ingin
bicara tentang hal itu. "Jadi, kita setuju?" tanya Jessie. "Aku dapat tempat tidur yang
dekat dinding?" "Hmm..." Belum, nanti dulu, pikir Emily. Itu tempat tidurku.
"Dan meja kecil itu, bisa kita tarik ke samping tempat tidurku?"
tanya Jessie. Tanpa menunggu jawaban, ia mulai menggeser meja
kecil. "Aku harus mengosongkannya dulu," kata Emily. Apakah
Jessie mau menang sendiri" pikirnya. Apakah ia selalu begitu"
Apakah ia akan selalu memojokkanku di rumahku sendiri"
Ini rumahnya juga, Emily mengingatkan dirinya sendiri. Ini
juga rumahnya"sejak hari ini...
*********** "Wah, ini benar-benar pesta!" kata Mrs. Wallner dengan wajah
cerah dari kepala meja makan. Mr. Wallner menggumam setuju,
senyum senang terlihat di wajahnya yang biasanya masam.
Emily dan Nancy telah menghias ruang makan,
menggantungkan hiasan-hiasan kertas crepe di ambang pintu dan di
dinding di atas bufet, dan dengan huruf besar-besar dari kertas
berwarna menuliskan kata SELAMAT DATANG di atas jendela. Ibu
mereka telah memasang taplak linen putih bersih di meja makan, yang
biasanya hanya dilapisi alas piring dari jerami. Dua lusin mawar
merah dan pink di sebuah vas besar menjadi pusat hiasan yang cantik.
Emily sudah tidak ingat kapan terakhir kali rumah mereka terlihat
secantik ini. "Bagaimana kalau kita minum bersama?" tanyanya, menuang
Coke ke gelasnya, mencoba melupakan situasi tak menyenangkan di
atas tadi, dan mengubahnya menjadi suasana pesta gembira.
Diberikannya botol Coke besar itu kepada Jessie.
"Ada diet soda?" Jessie bertanya pada Mrs. Wallner. "Ini bisa
bikin gemuk." Mrs. Wallner memandang heran pada Jessie. "Kau takut tambah
gemuk, Jessie" Kalau kau lebih kurus lagi, kita semua tak akan bisa
melihatmu!" Mr. Wallner tertawa keras. "Jessie takut pada segala hal,"
katanya, menggelengkan kepala. Ia menoleh pada Rich di ujung meja.
Rich belum mengucapkan sepatah kata pun. "Apa kabar, kawan?"
tegur Mr. Wallner. "Oke," sahut Rich, mengangkat bahu.
"Kenapa tidak kau simpan dulu bukumu dan makan kue," saran
Mr. Wallner. "Oke," kata Rich, menutup bukunya.
"Kau mau es krim?" tanya ibu Emily.
Rich bergumam. "Bicara yang keras, Rich. Kata-katamu jatuh di pangkuanmu,
tidak sampai ke sini," kata Mr. Wallner.
"Ya. Aku mau es krim, terima kasih," sahut Rich, lebih keras.
Suaranya bergetar waktu mengucapkan "terima kasih".
Mr. Wallner tertawa padanya. "Suaramu seperti penyanyi
sopran anak-anak!" katanya.
Wajah Rich menjadi merah, ia menundukkan kepala.
"Jangan mengganggu dia terus, Daddy," kata Jessie tajam.
"Aku tidak mengganggunya. Aku hanya bergurau," kata Mr.
Wallner. Ia menyuap sesendok penuh vanilla cake dan mendorongnya
dengan tegukan panjang kopi dari cangkirnya.
"Gurauan tidak lucu," gumam Rich, masih tanpa mengangkat
matanya. "Apa katamu" Kau bergumam lagi?"
"Biarkan dia, Daddy," suara Jessie terdengar melengking.
Rich mendorong kursinya ke belakang sehingga berderit keras,
dan bangkit berdiri dengan sikap canggung. "Boleh aku pergi ke atas
untuk membaca?" Ia tidak menunggu jawaban. Diambilnya buku
Stephen King-nya dan tanpa memandang wajah yang lain, ia bergegas
keluar dari kamar makan.
Fear Street - Adik Tiri The Stepsister di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei, apa salahku?" tanya Mr. Wallner, melemparkan kedua
belah tangannya ke atas, mendadak terdengar seperti anak kecil.
"Kau selalu membuatnya salah tingkah, Daddy," kata Jessie,
keningnya berkerut. "Aku tidak bermaksud begitu," jawabnya dengan mulut penuh
kue. "Aku akan ke atas untuk minta maaf nanti, setelah selesai makan
kue ini. Kita kan seharusnya berpesta."
"Bolehkah dia membaca buku semacam itu?" tanya ibu Emily
prihatin. "Pet Sematary, kalau tidak salah sangat mengerikan, kan?"
"Dia senang buku-buku Stephen King," kata Jessie
memberitahu. "Dia memang kutu buku," kata Mr. Wallner sambil menuang
kopi ke cangkirnya. "Tidak seperti ayahnya. Rasanya aku tidak pernah
baca buku satu pun sejak SMA."
Emily menoleh ke arah Nancy, yang membalas tatapannya.
Kedua gadis itu berpikir sama: Itu bukan sesuatu untuk dibanggakan.
Kedua gadis itu juga berpikir, betapa bedanya Mr. Wallner dengan
ayah mereka. Emily memandang Mr. Wallner yang duduk dengan kaus
longgar berwarna kuning tak berlengan dan celana panjang baggy
berwarna cokelat dengan tali elastik, dan ia ingat betapa selalu rapinya
pakaian ayahnya dulu. Dan Casey dulunya seorang dokter anak. Ia
selalu mengenakan setelan jas berwarna gelap dengan kemeja putih
bersih yang dikanji dan dasi konservatif. Ia tampak sangat muda"
sepintas penampilannya seperti pemuda umur dua puluhan"dan ia
berpakaian begitu agar terlihat lebih tua, supaya para orangtua yang
membawa anak-anak mereka berobat padanya lebih percaya.
Ayahnya, seingat Emily, selalu membaca dua atau tiga buku
setiap minggu. Buku apa saja. Dan ia senang mendiskusikan isi bukubuku yang dibacanya dengan kedua anak gadisnya. Ia tak akan pernah
menyombongkan diri bahwa ia tak pernah menyentuh "sebuah buku
pun selama bertahun-tahun.
Bagaimana Mom bisa mengawini seseorang yang begitu
berbeda dengan Daddy" Emily bertanya pada diri sendiri. Mr. Wallner
seorang manajer di pabrik mebel. Ia bahkan tidak pernah memakai
dasi ke tempat kerjanya! Mungkin Mom kesepian, pikir Emily.
Emily tidak ingin mengingat-ingat hari yang mengerikan di tepi
danau itu. Tapi ia tidak bisa melupakannya begitu saja. Seakan-akan
kenangan itu adalah makhluk hidup yang berdiri sendiri, yang terpisah
dari dirinya. Emily bisa berada di sekolah, sedang ulangan, atau
nonton film, atau pacaran, atau duduk di meja makan seperti sekarang,
dan kenangan itu akan kembali membanjiri dirinya, memaksanya
untuk mengalami kengerian itu sekali lagi... dan lagi.
Ayahnya senang berkemah. Seluruh keluarga senang berkemah.
Kadang-kadang mereka bahkan tidak menunggu sampai cuaca hangat.
Mereka memenuhi station wagon mereka dengan peralatan berkemah,
pergi ke taman wisata negara bagian atau ke hutan, dan menghabiskan
akhir pekan di kemah biru mereka.
Akhir pekan itu mereka berkemah di Fear Island, sebuah pulau
kecil yang berhutan dan tak berpenghuni, di tengah danau di seberang
hutan Fear Street. Cuacanya tidak terlalu bagus. Angin yang berembus
agak keras membuat permukaan air danau yang biasanya tenang
menjadi bergelombang. Tenda mereka berkibar-kibar tertiup angin. Agak sulit
menghidupkan api, dan begitu hidup bunga-bunga apinya bertebaran
ke mana-mana, tertiup angin yang berubah-ubah arah.
Udara segar dengan wangi cemara. Bahkan Nancy, yang baru
mau ikut setelah diseret karena harus membatalkan janji dengan Josh,
merasa riang melihat keindahan hutan itu, merasakan ketenangan jauh
dari orang-orang lain. Mengapa Emily dan ayahnya ada di power boat"
Ingatannya mengenai hari yang mengerikan itu sangat jelas.
Tapi entah mengapa, ia tidak ingat lagi bagaimana ia naik ke atas
perahu, tidak ingat lagi ke mana mereka menuju, mengapa mereka
memutuskan untuk memerangi air yang berbuih dan berombak-ombak
diterpa angin itu. Mungkin itulah alasannya. Mungkin Emily dan ayahnya hanya
ingin menantang angin, menantang ombak yang bergulung-gulung.
Mungkin mereka melakukan itu karena merasa tertantang. Dan itu
bukan pertama kalinya. Ia ingat Nancy dan Mom melambaikan tangan dari pantai yang
ditumbuhi pepohonan. Ia ingat betapa mereka tampak kecil dan ringan
dengan latar belakang pepohonan gelap yang meliuk-liuk tertiup
angin. Ia ingat derum mesin perahu motor, goyangan perahu, dan rasa
lemas yang aneh di kedua lututnya. Dan ia ingat betapa dinginnya hari
itu, percikan air menyiram wajahnya, dan rambutnya basah melambailambai di belakang punggungnya.
Ia menoleh ke arah ayahnya, yang tersenyum padanya,
tangannya sibuk mengendalikan perahu. Air menetes-netes di jaketnya
yang biru. Emily bisa melihatnya dengan jelas. Mesin perahu
menggerung. Perahu kecil itu seakan terbang di puncak-puncak
gelombang. Mereka berdua sangat menikmatinya.
Dengan cepat semua itu berubah menjadi mengerikan.
Emily mengulurkan termos pada ayahnya. Kopi panas itu terasa
sangat nikmat. Tangan Emily basah. Termos itu tergelincir dari
tangannya dan jatuh ke air.
Tanpa pikir panjang, ayahnya mencoba meraih termos itu.
Tepat pada saat itu angin tiba-tiba berembus lebih keras.
Rasanya seakan-akan bumi terbalik.
Baru beberapa detik kemudian Emily sadar perahu mereka
terbalik. Air yang sedingin es tidak membuat semua itu terasa nyata.
Semua terasa bagaikan mimpi, mimpi aneh dan menakutkan.
Ia ingat waktu itu ia berpikir, Ini tidak betul-betul terjadi.
Ia tenggelam. Memaksa diri untuk muncul ke permukaan
memberi waktu padanya untuk menyadari apa yang terjadi.
"Daddy! Daddy"di mana kau?"
Sebuah gelombang mengempasnya. Ia terbatuk-batuk.
Perahu yang terbalik berada beberapa meter dari tempatnya. Ia
berenang menghampiri, terdorong balik oleh ombak, ia berenang lebih
kuat sambil menyembur-nyemburkan air dari mulut.
"Daddy"di mana kau?"
Ia berpegangan ke perahu. Terasa licin, tapi ia masih bisa
mencengkeram pinggirannya. Embusan angin yang keras membuat air
bergelombang tinggi. Ia menggenggam bagian bawah perahu dengan
kedua belah tangan. "Daddy! Daddy!"
Di mana dia" Ia menoleh ke belakang. Melihat ke kiri-kanan.
Apakah Daddy berenang ke pulau"
Pulau itu terlihat rendah, bagaikan garis di latar belakang langit
kelabu. "Daddy" Di mana Daddy?"
Ayahnya tak akan pergi meninggalkannya sendirian di sini.
Terlalu jauh untuk berenang ke pulau, apalagi melawan ombak.
Di mana dia" Ia ingat betapa ia menjadi panik, menyesakkan dadanya,
membuatnya susah bernapas.
Rasa panik menyebar ke seluruh tubuhnya, membuatnya
membeku, hanya berpegangan pada perahu.
Rasanya bagaikan berjam-jam.
Tapi pasti hanya beberapa detik.
Dan ia melihat ayahnya. Ayahnya mengambang lewat di dekatnya, tertelungkup,
rambutnya yang cokelat muda beriak-riak di permukaan air bagaikan
tumbuhan laut. Bab 3 Hilang untuk Selamanya "SUDAH dulu, Josh. Aku dipanggil Mom, disuruh makan
malam." Emily menggulung-gulung kabel telepon dengan jarinya.
Semula ia berbaring telentang di tempat tidur, menatap langit-langit
kamar, tapi sekarang ia bangkit untuk meletakkan telepon.
"Ya. Oke. Datang saja nanti," katanya. Didengarnya suara air di
kamar mandi, itu pasti Jessie. "Tapi beri aku waktu untuk
menyelesaikan laporanku dulu. Aku perlu kira-kira satu jam."
Josh sendiri sudah selesai menulis laporan tugasnya. Tentu saja.
Dasar Mister Super Cepat. Josh memaksa diri untuk menyelesaikan
tugasnya dua-tiga hari sebelum waktunya, kalau tidak ia akan
menganggap dirinya lamban. Sikapnya membuat Emily hampir gila.
Emily sendiri pekerja keras, tapi ia selalu mengerjakan tugasnya pada
saat-saat terakhir. "Ya, hubunganku dengan Jessie baik-baik saja," katanya dengan
suara direndahkan. "Aku tidak bisa bicara sekarang. Dia sedang di
kamar mandi, di seberang kamar. Ya. Ya. Kami belum bicara banyak.
Dia masih sibuk dengan sekolah baru, dan berbagai urusan lain. Dia
masih tegang. Aku tidak tahu apakah itu karena aku atau bukan."
"Jelas karena kau," kata Josh lalu tertawa, tawanya melengking
konyol. "Mungkin memang pembawaannya tegang," kata Emily,
mengabaikan gurauan Josh. "Sampai nanti. Datang setelah jam
sembilan, ya?" Ia berdiri dan meletakkan telepon, mencoba merapikan
rambutnya, mengerutkan kening di depan cermin di pintu lemari, lalu
bergegas turun ke ruang makan. Selama tiga hari sejak
kedatangannya, Jessie bicara tak lebih dari lima kata padaku, pikirnya.
Emily tidak bisa menghilangkan rasa kecewanya. Padahal, semula ia
sudah tidak sabar ingin punya saudara perempuan baru. Tapi saat ini,
ia dan Jessie seperti dua orang asing yang kebetulan berbagi kamar.
"Maaf, aku terlambat," katanya, menyelinap ke kursinya.
Makaroni di piring Mr. Wallner sudah tinggal separo. Ia selalu duduk
dan mulai makan tanpa menunggu yang lain.
Di seberang meja, Nancy menguap lebar. "Maaf," katanya,
menggelengkan kepala. "Aku belajar sampai jam dua tadi malam."
"Kau betul-betul bekerja keras tahun ini," ujar Mrs. Wallner
seraya mengulurkan mangkuk makaroni ke Emily.
"Seharusnya kau cukup tidur supaya tetap cantik," kata Mr.
Wallner. Pasti ia bermaksud bergurau, karena ia berhenti mengunyah
sebentar untuk tertawa. Ia tampak kecewa karena tak seorang pun di
meja itu melihat kelucuan gurauannya. "Bawa sini garam dan merica
itu," gumamnya. "Apa terlalu hambar?" tanya Mrs. Wallner.
"Tidak. Sudah enak," sahutnya. Ia menggunakan kedua
tangannya untuk sekaligus menambah garam dan merica ke
makanannya. Rich, diam seperti biasa, duduk menatap piringnya, sekalisekali mengangkat satu-dua mi makaroni ke mulutnya.
"Mana Jessie?" tanya Nancy.
"Kurasa di atas, di kamar mandi," jawab Emily sambil meraih
mangkuk salad. "Sudah kausikat rambutmu hari ini?" tanya Mrs. Wallner
dengan wajah menegur pada Emily.
"Mau kucuci malam ini," kata Emily dengan tidak senang.
Ibunya tahu ia tidak suka membicarakan rambutnya.
"Ayo Rich, sikat makaroni itu," perintah Mr. Wallner,
menambah merica lagi ke piringnya. "Enak."
"Aku tidak lapar," kata Rich, wajahnya cemberut.
"Kau tidak pernah lapar," gerutu Mr. Wallner. "Itu sebabnya
kau jadi seperti mi makaroni."
"Hei, kenapa aku diejek terus?" teriak Rich, tiba-tiba marah.
"Aku bukan mengejekmu. Itu pujian," kata Mr. Wallner,
tersenyum pada Rich. "Simpan saja pujiannya!" jerit Rich, dengan marah
melemparkan garpu ke piringnya dan menghambur ke luar kamar
makan. "Hei, kembali ke sini," panggil Mr. Wallner, tampak kaget dan
marah. "Aku cuma bergurau!" Ia menoleh pada ibu Emily. "Ada apa
dengan anak itu?" "Tiga belas tahun memang usia yang berat untuk seorang anak,"
kata Mrs. Wallner, mendadak terlihat letih.
"Aku akan membuatnya lebih berat," kata Mr. Wallner. Tapi itu
bukan ancaman. Semua orang bisa melihat ia sangat kecewa oleh
reaksi Rich. Ia meraih mangkuk salad dan mengambil setumpuk daun
selada ke piringnya. "Aku capek melihat dia kabur setiap kali ada
yang mau bicara dengannya."
"Dia sangat peka," kata Mrs. Wallner lembut.
"Jangan membelanya."
"Aku bukan membelanya. Aku cuma menjelaskan..."
"Dan jangan menjelaskan juga." Mr. Wallner dengan marah
menyuapkan daun selada ke mulutnya.
"Maaf, aku terlambat," kata Jessie, bergegas masuk ke ruang
makan. Rambut pirangnya berkilauan di bawah cahaya lampu. Ia
mengenakan celana panjang wol kelabu dan sweter panjang hijau
pucat. "Hei"itu sweterku!" teriak Emily.
"Apa?" Jessie menggeser kursinya dan memandang bingung
pada Emily. "Itu sweterku. Kau pakai sweterku," tegas Emily, terdengar
lebih marah dari yang diinginkannya.
"Bukan," kata Jessie sambil menyendok makaroni ke piringnya.
"Mungkin sudah agak dingin," kata Mrs. Wallner, mengerutkan
kening. "Jessie, sweter itu ada di laci atasku," kata Emily, tidak mampu
menahan suaranya yang melengking. "Aku sungguh-sungguh berharap
kau tidak memakai barangku tanpa bilang lebih dulu."
"Tapi ini sweterku," Jessie berkeras.
"Aku kenal sweterku sendiri," kata Emily, merasakan dirinya
mulai kehilangan kendali, tapi tak mampu menahannya. "Lihat saja,
kebesaran begitu untukmu. Bahunya hampir sampai ke sikumu!"
"Memang modelnya begitu," kata Jessie berkeras.
"Gadis-gadis..." kata Mr. Wallner, memegang kepala botaknya
dengan satu tangan. "Mom, tolong kasih tahu Jessie supaya tidak memakai
sweterku," Emily memohon.
Mrs. Wallner memandang ke Emily, lalu ke Jessie. "Aku benarbenar tidak ingat sweter itu, Emily," katanya. "Mungkin kelihatannya
saja mirip punyamu."
"Aagggggh!" jawaban ibunya benar-benar membuat Emily naik
pitam. Kenapa ia malah membela Jessie"
"Ini bukan swetermu," Jessie tetap berkeras dengan nada kesal.
"Aku sudah memilikinya selama bertahun-tahun."
"Dengar," kata Mr. Wallner, menggosok matanya. Ia menoleh
ke Emily. "Apa bedanya" Kalian bersaudara sekarang"iya, kan?"
"Betul," kata ibu Emily cepat, terlalu cepat, menurut pendapat
Emily. "Aku yakin nanti ada saatnya kau ingin meminjam baju Jessie,
Emily." "Bagaimana bisa"!" jerit Emily. "Lihat saja dia! Ukurannya
lima nomor lebih kecil dari aku!"
Mrs. Wallner ternganga. Ia selalu begitu bila mendengar katakata yang membuatnya tercengang. "Jangan melebih-lebihkan,
Sayang." "Ayo, kita selesaikan makan malam kita dalam kedamaian,"
kata Nancy yang menonton perdebatan itu tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. "Lalu kita ke atas, dan kita selidiki sidik jari di
Fear Street - Adik Tiri The Stepsister di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lacimu, oke?" Mr. Wallner menganggap kata-kata Nancy lucu, sehingga ia
tertawa sambil menggaruk kepala botaknya.
Begitulah akhir perdebatan itu. Emily kehilangan selera makan,
dengan kesal ia menyuapkan makaroni ke mulutnya. Ia tahu Jessie
menatapnya, tapi ia tidak mau membalas memandangnya.
"Nancy, kau punya acara malam Minggu nanti?" tanya Mrs.
Wallner, mengubah topik pembicaraan. "Mrs. Bergen tadi menelepon,
ia bertanya apakah kau bisa menjaga bayinya."
"Ya, aku tidak punya acara," kata Nancy, menghela napas.
"Nanti aku telepon dia."
"Bagus, ada yang kerja cari uang di keluarga ini," gumam Mr.
Wallner, menatap Jessie. Jessie tidak menimpali. Mereka
menyelesaikan makan malam tanpa bicara.
"Siapa yang cuci piring?" tanya Mrs. Wallner. "Jangan
semuanya berebutan."
Mr. Wallner menyeringai. "Bukan aku. Untuk apa tinggal
dengan empat orang wanita kalau aku masih harus cuci piring setelah
makan." "Kau laki-laki tidak menghargai wanita," kata Mrs. Wallner.
Tapi ia mengatakannya dengan tersenyum, dan ia berjalan ke belakang
suaminya lalu mengecup dahinya.
Mom memang sungguh-sungguh cinta padanya, pikir Emily
dengan kecut. Apa yang dilihatnya pada pria itu" Ia memang laki-laki
yang tidak menghargai wanita!
"Giliran Emily," kata Jessie. "Nancy dan aku sudah kemarin."
"Bisa kau ambil giliranku sekali ini saja?" tanya Emily,
menatap sweternya. "Aku harus ke atas menyelesaikan laporan
penelitian sosialku. Nanti aku akan mencuci tiga malam berturut-turut,
aku janji." Jessie setuju, walaupun enggan. Emily minta maaf dan beranjak
meninggalkan ruang makan. "Bagaimana laporannya?" tanya Mr.
Wallner. "Tentang Chili, kan?"
Emily agak terkejut karena ayah tirinya ingat apa yang sedang
dikerjakannya. Dikiranya ayah tirinya sama sekali tidak peduli pada
tugas sekolahnya. "Aku sudah menulis berhalaman-halaman," katanya
memberitahu. "Tinggal menyelesaikan bagian terakhir, lalu bisa diprint."
"Boleh aku lihat setelah kau print?" tanya ayah tirinya.
"Tentu. Oke. Bagus," Emily tergagap-gagap.
Ini pertama kalinya ayah tirinya mencoba mendekatinya, dan
Emily heran sendiri karena ia merasa sangat senang.
Ia bergegas ke kamarnya, duduk di meja dan menghidupkan
komputer. Dimasukkannya disket, lalu ia ingat sweternya. Apakah laci
atas itu agak terbuka" Sulit memastikannya. Lagi pula, kalau pun
benar, akan membuktikan apa"
Apakah sebaiknya dilihatnya" Tidak. Ia harus menyelesaikan
laporan itu dan mencetaknya sebelum Josh datang. Ya. Ia sangat
penasaran. Ia berjalan ke laci dan dibukanya. Sweter itu, ia ingat jelas,
berada paling atas. Tidak ada di sana sekarang. Dicari-carinya di
dalam laci. Tidak ada sweter.
Jessie bohong. Jessie memakai sweternya.
"Aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu sekarang,"
katanya pada diri sendiri. Ditutupnya laci itu dan berjalan kembali ke
meja. Dibukanya file laporannya di komputer. Sudah dua belas
halaman yang ditulisnya. Tinggal dua bab lagi. Ia mulai mengetik,
jari-jarinya menari cepat pada keyboard.
Dari kamar Rich yang tertutup didengarnya dentuman musik
heavy metal. Dari bawah terdengar dentingan piring sedang dicuci. Ia
berkonsentrasi lebih keras, mengabaikan semua suara-suara itu, dan
terus mengetik. Ia bekerja tanpa istirahat selama hampir 45 menit, lalu baru
sadar ia merasa lapar. Mungkin karena berdebat mengenai sweter itu,
ia hanya makan sedikit tadi. Diperiksanya lagi dua paragraf terakhir
laporannya, berkonsentrasi penuh hingga wajahnya hanya beberapa
inci dari layar monitor. Puas dengan hasil kerjanya, Emily menarik napas dalam,
merentangkan tubuhnya, dan pergi ke dapur di bawah, mencari yang
bisa dimakan. "Hei, di mana orang-orang!?" serunya, kaget melihat
peralatan makan malam sudah bersih semua, rapi di tempatnya, dan
tak ada seorang pun. Diambilnya sebuah apel dari laci buah di lemari es, dicucinya di
wastafel, dan digigitnya. Rasanya renyah dan manis. Ia mendengar
suara-suara di ruang baca, dan berjalan ke pintu. Ibunya dan ayah
tirinya sedang duduk di kursi kulit berwarna cokelat, berbincangbincang dengan mesra.
Emily berjingkat-jingkat kembali ke koridor, lalu naik tangga
menuju ke kamarnya. "Hei!" teriaknya.
Jessie yang sedang duduk di depan komputer perlahan-lahan
mengangkat wajahnya. "Oh, hai."
"Apa yang kaulakukan di situ?" seru Emily. "Aku sedang
bekerja menyelesaikan laporanku."
Wajah Jessie yang mungil tampak semakin kecil karena
bingung. "Oh. Maaf. Kukira kau sudah selesai." Didorongnya kursi ke
belakang, lalu berdiri. "Silakan," katanya, memberi tanda dengan
kedua tangannya. "Beritahu aku nanti kalau kau sudah selesai, ya?"
"Ya, pasti," kata Emily. Ia duduk di depan keyboard dan
memanggil file laporannya.
Tapi tidak ada yang muncul di layar.
Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Dipanggilnya sekali
lagi nama file laporannya.
START A NEW FILE" tanya layar monitor.
Diperiksanya daftar file.
Dan menjerit kecil ketika nama file laporannya tidak ada di
daftar file. Emily menatap tidak percaya. Tangannya gemetar.
File laporannya sudah dihapus. Hilang. Selamanya.
"Jessie...!" jeritnya. "Kauhapus seluruh laporanku!"
"Apa?" mata Jessie yang biru pucat membelalak heran.
"Jangan pura-pura tidak dengar!" jerit Emily. "Teganya kau
berbuat begitu"! Kau sengaja menghapus laporanku!" Emily menjerit
sekuat tenaga. Seluruh kerja keras berhari-hari, hilang semua. Sebelumnya
tidak pernah ada yang melakukan hal seperti ini terhadapnya.
"Kau hapus semuanya!"
"Bukan aku!" teriak Jessie, mundur menjauhi Emily.
"Komputer itu sudah mati waktu aku masuk tadi!"
"Bohong!" Tak mampu menahan amarahnya, Emily menerkam Jessie.
Jessie yang terkejut tak sempat menghindar, jatuh ke lantai. Emily
mendudukinya, dan menghantamnya berkali-kali dengan tinjunya,
dengan kemarahan luar biasa yang bahkan menakutkan dirinya
sendiri. Bab 4 "Aku Benar-benar Ingin Membunuhnya!"
"ADA apa ini...!"
Mrs. Wallner masuk lebih dulu ke kamar, diikuti suaminya
yang berwajah menakutkan.
Emily sudah berhenti berkelahi. Ia tidak melawan ketika Mr.
Wallner menariknya dari tubuh Jessie. Ia berdiri terhuyung-huyung,
menarik tangannya lepas dari genggaman ayah tirinya, tubuhnya
gemetaran. Ia heran mendapati wajahnya basah dengan air mata.
Kapan aku mulai menangis" pikirnya.
"Jessie"ada apa" Kau tidak apa-apa?" Mrs. Wallner
membungkuk dan membantu Jessie berdiri. Rambut Jessie yang
biasanya rapi, sekarang basah menempel di wajahnya. Ia bernapas
dengan berat, megap-megap, tidak bisa bicara.
"Oh, tidak! Aku merobek sweter itu!" lengking Emily, melihat
sobekan panjang di bagian lengan Jessie.
"Jadi, itu masalahnya" Sweter?" tanya Mr. Wallner, tangannya
bertolak pinggang. Ia menahan dirinya untuk tidak membentak, untuk
tetap tenang, tapi urat-urat di keningnya berdenyut-denyut, dan
wajahnya merah padam. "Ada apa?" Nancy dan Rich masuk bersamaan melewati pintu
kamar. "Tidak ada apa-apa," kata Mr. Wallner cepat. "Kalian berdua"
keluar!" Ia menunjuk ke pintu. Mereka menatap Jessie dan Emily
beberapa saat, lalu dengan patuh keluar dari kamar.
Seumur hidup aku tidak pernah berkelahi, pikir Emily.
Bagaimana hal ini bisa terjadi" Ia mengambil segenggam tisu dari
kotaknya dan menghapus mata dan pipinya yang basah oleh air mata.
Kalau saja aku bisa berhenti gemetaran.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Mr. Wallner.
"Tanya saja dia," kata Jessie pahit sambil memegangi sobekan
di lengan sweter. "Jessie sengaja menghapus laporanku," kata Emily, suaranya
gemetar, seperti seluruh anggota tubuhnya yang lain.
"Bohong," kata Jessie. "Sama sekali bohong."
"Aku turun ke bawah mencari makanan," cerita Emily. "Ketika
aku kembali, Jessie sudah bekerja dengan komputer, dan laporanku"
sudah tidak ada." "Oh, kasihan sekali," kata Mrs. Wallner penuh simpati. "Kau
sudah bekerja keras untuk itu. Tapi, Emily, aku yakin itu kecelakaan."
"Kecelakaan"!" Emily menjerit.
"Tenang, Emily. Kalau kau marah kau tidak bisa berpikir
jernih," kata ibunya.
"Sudah jelas dia sengaja melakukannya!" jerit Emily lagi.
"Emily! Jangan bicara seperti itu!" ibunya menaikkan nada
suaranya. "Apa pun yang terjadi, itu bukan alasan untuk berkelahi.
Aku tidak percaya kau menyerang Jessie."
"Aku, menyerang dia!" teriak Emily, suaranya melengking
tinggi, menyakitkan tenggorokannya. "Bukan aku yang lebih dulu..."
"Berhenti. Berhenti," kata ibunya, tinjunya mengepal keras di
samping tubuhnya. "Aku tidak ingin mendengar lagi. Tidak boleh ada
perkelahian di rumah ini." Ia memandang suaminya, mengharapkan
dukungan. Mr. Wallner mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Tapi seluruh laporanku...!" Emily menjerit.
"Kalian berdua harus bisa menjembatani perbedaan kalian,"
kata Mr. Wallner. "Tidak ada pilihan lain. Kalian harus berusaha."
"Dan hal ini tidak boleh terjadi lagi," kata Mrs. Wallner.
"Tapi, apakah kalian tak ingin mendengar apa yang terjadi?"
suara Emily lebih bernada memohon daripada bertanya.
"Kami tak ingin mendengar lagi satu patah kata pun sebelum
kau minta maaf pada Jessie," kata Mrs. Wallner sambil mengertakkan
giginya. Emily memekik, protes, "Aku" Minta maaf padanya?"
"Ya," ibunya berkeras. "Kau menyerangnya. Kau memukulinya.
Kau menyobekkan sweternya."
"Sweternya?" "Emily...." Mata ibunya memicing. Emily sadar ibunya sudah
hampir meledak. Dan kalau ia meledak, yang pertama akan
dikatakannya adalah Emily dihukum tidak boleh bertemu Josh selama
satu minggu, atau sebulan, atau setahun.
Emily menghela napas, mendesah kalah, tak berdaya.
"Itu belum terdengar seperti minta maaf," kata ibunya.
"Dia tidak perlu minta maaf," kata Jessie, menggosok-gosok
lengannya. "Kau baik sekali, Jessie," kata Mrs. Wallner. "Tapi, aku sudah
bilang dia harus minta maaf."
"Maaf," gumam Emily pada lantai.
"Sungguh, aku malu melihat kalian berdua," kata Mr. Wallner,
menggelengkan kepala. "Aku betul-betul tidak senang." Ia cepat-cepat
keluar dari kamar, dengan kedua tangan di saku celana.
"Aku tahu kalian bisa bergaul dengan baik," bisik Mrs. Wallner
Setelah suaminya keluar. "Kalian hanya perlu berusaha lebih keras,
oke?" Kedua cewek itu menggumam setuju.
Mrs. Wallner membungkuk, mengambil buku tulis.yang jatuh
dari meja, lalu berjalan keluar tanpa menoleh lagi kepada mereka
berdua. Aku tidak percaya ia malah membela Jessie, pikir Emily,
merasa dikhianati. Ia mengangkat kepalanya, memandang Jessie yang berdiri
bersandar ke lemari. Matanya yang biasanya lembut serasa membakar
Emily. "Jangan pernah kaulakukan itu lagi," kata Jessie lambat-lambat,
mengucapkan setiap kata satu per satu, dengan suara bernada
mengancam yang belum pernah didengar Emily sebelumnya.
Emily begitu terkejut sehingga hanya bisa menatapnya.
"Aku tidak tahu mengapa kau benci padaku," kata Jessie pahit.
"Aku tidak tahu mengapa kau berusaha sekuat tenaga menjelekjelekkan aku. Tapi aku peringatkan kau, Emily"hentikan itu. Jangan
pernah membuatku malu di depan ayahku."
"Kau memperingatkan aku?" Emily mulai memprotes. Tapi
Tiger berlari masuk ke kamar, mencium-cium pergelangan kaki
Emily, lalu, sambil menggoyang-goyangkan ekornya, bergegas untuk
melakukan yang sama pada Jessie.
"Pergi kau, anjing jelek," geram Jessie, dan mengayunkan
kakinya ke anjing kecil itu. Tiger menyalak, lebih karena terkejut
daripada sakit, dan berlari kembali ke Emily.
"Jangan tendang anjingku!" teriak Emily, amarahnya
memuncak lagi. "Aku tidak menendangnya," kata Jessie. "Aku cuma
mengayunkan kakiku ke arahnya."
Emily meraih Tiger dan menggendongnya, lalu berbalik
meninggalkan kamar. Ia berjalan ke kamar Nancy. Pintunya terbuka.
Nancy sedang duduk di tempat tidurnya dengan sebuah buku di
pangkuannya, seakan memang sedang menunggu kedatangan Emily.
Kamar Nancy lebih kecil dari kamar Emily, panjang dan sempit,
dengan sebuah jendela bertirai pink membuka ke arah halaman
belakang. Nancy seorang kolektor. Ia mengumpulkan botol, kulit
kerang, batu-batu indah, boneka-boneka antik, buku anak-anak, kotak
korek api, kartu baseball, dan lain-lain. Untuk menyimpan koleksinya,
ayah mereka telah membuat sebuah rak kayu panjang di sepanjang
dinding kamar. "Nancy tidak pernah membuang atau memberikan apa pun,"
ayah mereka selalu mengomel. "Suatu saat nanti, kita harus
menyerahkan seluruh rumah ini untuk menyimpan barang-barangnya."
Emily, yang tak pernah bisa menyimpan atau mengumpulkan
apa pun, sangat mengagumi ketekunan kakaknya. Kadang-kadang ia
masuk ke kamar Nancy untuk mengagumi benda-benda yang menurut
kakaknya cukup menarik untuk disimpan, menyentuh botol yang
halus, memperhatikan anting-anting kecil dari perak, walaupun ia
telah lebih dari selusin kali memperhatikan benda-benda itu.
Sekarang ia berhenti di ambang pintu dan menaruh Tiger ke
lantai, yang langsung berlari pergi. "Boleh aku masuk?"
"Tentu," kata Nancy, menyisihkan bukunya. "Duduk di sini." Ia
Fear Street - Adik Tiri The Stepsister di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menepuk kasur di sampingnya.
Emily duduk di samping kakaknya dengan rasa syukur. Ia
menatap karpet di kakinya, masih gemetaran, dan tidak bicara apaapa.
"Kau tampak kacau," kata Nancy dengan lembut, kali ini bukan
mengkritik. Emily memaksa dirinya tersenyum. "Memang. Tapi setidaknya
rambut Jessie kacau-balau. Untuk pertama kalinya, kan?"
"Apa sih yang terjadi?" tanya Nancy, mengusap rambut Emily
dengan lembut. "Kenapa kalian berkelahi?"
"Dia menghapus seluruh laporanku," kata Emily, terisak-isak,
walaupun sudah berusaha menenangkan diri.
"Menurutmu dia sengaja?"
"Tentu saja," kata Emily. "Sudah capek-capek kukerjakan, habis
semua. Angkaku untuk ilmu sosial pasti jelek."
"Emily, tenang," kata Nancy lembut. "Aku yakin Mr. Harrison
akan mengerti." "Oh, pasti," lengking Emily. "Dia pasti akan percaya padaku!
Apalagi kalau kubilang pekerjaan rumahku habis dimakan anjingku!"
"Tapi kau masih punya catatanmu, kan" Kau bisa menulisnya
lagi." "Berapa minggu!" Emily terisak. "Aku sudah menulis empat
belas halaman, dan sekarang semuanya hilang."
Nancy memberinya selembar tisu. Emily mengusap matanya.
"Jadi, kau tuduh Jessie menghapus laporanmu?" tanya Nancy. "Lalu,
apa yang terjadi?" "Aku tidak tahu apa yang terjadi," kata Emily, kata-katanya
tersangkut di tenggorokan. "Aku tidak tahu. Aku seperti orang gila.
Dia bikin aku marah sekali..."
"Tahu tidak, kau tidak boleh terlalu kasar pada Jessie," kata
Nancy, mengulurkan kotak tisu.
"Hah?" "Jessie punya banyak masalah," kata Nancy. Ia menyandarkan
tubuh ke bantal. "Apa maksudmu?" tanya Emily bingung.
"Mom kemarin cerita. Katanya Jessie punya masalah emosional
yang serius. Dia harus ke psikiater dua kali seminggu."
"Masa" Aku tidak tahu." Emily membuang ingusnya. Ia mulai
agak tenang. "Mungkin berat baginya menyesuaikan diri sewaktu pindah ke
sini," kata Nancy. Ia berdiri dan menutup pintu kamar.
"Maksudmu..." "Dia terpaksa meninggalkan psikiaternya yang lama dan
mencari psikiater baru di Shadyside." Nancy kembali ke tempatnya di
tempat tidur. "Masalah emosional seperti apa sih?" Emily berbisik walaupun
pintu kamar sudah tertutup.
Nancy mengangkat bahu. "Kau tahu sendiri, Mom tidak mau
cerita. Ia tidak suka memerinci cerita yang tidak menyenangkan."
"Memang!" keluh Emily, memutar bola matanya. Ibunya tidak
mau mendengarkan sedikit pun mengapa ia jadi kalap tadi. "Mom
tidak cerita apa-apa?"
"Yah, sedikit." Nancy membungkuk ke depan dan berbisik,
wajahnya sangat dekat dengan wajah Emily. Tercium oleh Emily bau
permen pedas di napasnya. "Katanya Jessie punya masalah berat di
sekolahnya yang lama. Sesuatu yang sangat gawat."
"Apa?" tanya Emily penuh ingin tahu.
"Mom tidak cerita."
"Kau tidak tanya?"
"Sebetulnya aku ingin tanya," kata Nancy, kembali bersandar.
"Tapi tepat pada saat itu Rich pulang. Jadi, kubatalkan."
"Masalah gawat, hah" Mom bilang begitu" Pasti itu sebabnya
ibu Jessie cepat-cepat mengirim dia ke sini."
"Mungkin," kata Nancy. "Mom tak akan mau mengatakan
masalah yang sebenarnya. Apalagi sekarang. Pokoknya hati-hati saja
sama dia, Em. Hindari dia, oke" Dia bisa berbahaya."
Emily sudah mau bicara, tapi terdengar suara bel pintu di
bawah. "Itu pasti Josh," katanya sambil menengok jam di rak Nancy.
"Jam sembilan. Kau tahu sendiri Josh"Mister Tepat Waktu."
Dibukanya pintu kamar. "Terima kasih, Nance."
Nancy mengangkat bahu. Ia mirip Mom kalau sedang begitu,
pikir Emily. Emily menutup pintu kamar Nancy dan pergi ke bawah,
menyambut Josh. Ketika melewati kamarnya, ia mengintai ke dalam.
Dilihatnya Jessie sedang serius bekerja dengan komputer. Emily
teringat pada peringatan Nancy, jadi ia terus ke bawah.
"Hai. Sudah selesai laporannya?" tanya Josh, menggosokgosokkan sepatunya ke keset sebelum mengikuti Emily ke ruang
duduk. Di sampirkannya mantelnya ke kursi, lalu duduk.
Emily menarik napas dalam-dalam. "Ceritanya panjang."
Ia duduk di samping Josh, merasa senang bertemu cowok itu.
Josh tampak manis, pikirnya. Ia senang melihat rambut Josh yang
hitam keriting dan matanya yang tajam. Josh agak pendek, sedikitnya
satu inci lebih pendek dari Emily, tapi itu bukan masalah bagi Emily.
Josh sangat aktif, bicaranya sangat cepat, gerakannya sangat gesit,
sehingga menutup kekurangannya dalam tinggi badan. Ia mengenakan
sweatshirt Shadyside High berwarna merah-kelabu dan jeans belel.
Ingin rasanya Emily berbaring di dadanya, tak perlu bicara apa pun.
"Mau cerita padaku?" tanya Josh. "Aku sedang tidak keberatan
mendengarkan cerita panjang."
"Supaya kau tidak usah belajar, ya?" kata Emily, pura-pura
mendorong tubuh Josh. Josh meringis, membuatnya mirip anak umur sepuluh tahun.
"Punya makanan apa?" tanyanya. Porsi makan Josh cukup untuk
dimakan sepuluh anak laki-laki, tapi tubuhnya tetap saja kerempeng.
Emily menarik Josh ke dapur. Dibuatkannya sandwich berisi
sosis panggang dan keju Swiss, dan dipenuhinya piringnya dengan
potato chips. "Kau tidak ikut makan?" tanya Josh.
"Aku tidak makan enam kali sehari seperti kau," kata Emily.
"Ini baru yang kelima hari ini," sahut Josh, menggigit sandwich,
bibir atasnya berlumuran mustard. "Lagi pula, ini cuma snack. Kau
mau cerita apa yang terjadi pada laporanmu?"
"Oke." Emily menarik kursi dan duduk di seberang meja
menghadap Josh. Ia bercerita sambil memperhatikan Josh makan
sandwich dan potato chips. "Bagaimana menurutmu?" tanyanya, usai
bercerita. "Rasanya aku ingin ketemu dia," gurau Josh. "Dari ceritamu,
kayaknya dia hebat."
"Lucu sekali. Ingatkan aku untuk tertawa nanti tiga hari lagi,"
tukas Emily sinis. Ia berdiri dan pergi ke ruang duduk.
Josh menyusulnya dan menaruh tangannya di bahu Emily.
"Sori. Gurauan jelek. Aku cuma ingin meringankan perasaanmu."
"Ini bukan masalah ringan. Ini serius," tegas Emily. Ia
menjauhkan diri dari Josh dan duduk di sofa.
"Menurutku kau harus menunggu sampai dirimu tenang, lalu
membicarakannya dengan ibumu."
"Aku tidak bisa," kata Emily dengan nada pahit. "Mom tidak
mau peduli dengan masalah apa pun. Terutama sekarang. Dia sedang
melayang-layang di langit ke tujuh dengan suaminya yang baru.
Harusnya kau lihat, mereka pacaran seperti anak remaja.
Menyebalkan." Josh melompati sofa, duduk di pangkuan Emily.
"Kedengarannya oke untukku!"
Emily mendorong Josh keras-keras, sehingga ia jatuh ke lantai.
"Satu-satunya orang yang bisa kuajak bicara cuma Nancy," kata
Emily. Josh memandang Emily dengan tidak enak. Ia selalu tampak
gelisah setiap kali Emily menyebut nama Nancy. Mungkin ia merasa
bersalah karena meninggalkan Nancy, pikir Emily. Kalau saja ia tahu
bahwa Nancy pun sudah merencanakan untuk putus dengannya.
Setiap kali Josh bertemu Nancy di rumah, sikap mereka wajar saja,
bercakap-cakap seperti teman lama. Tapi Emily tahu Josh selalu
gugup kalau ada Nancy. "Hei, kita mau belajar atau tidak?" tanya Josh.
"Ya, kita coba saja," sahut Emily tanpa semangat.
Pikirannya masih pada Jessie, pada perkelahian mereka, dan
bagaimana ia harus bersikap padanya nanti. Ia juga berpikir tentang
peringatan Nancy. Masalah gawat apa yang dihadapi Jessie" pikir
Emily. Tidak sampai satu jam kemudian ia menutup bukunya. "Aku
tidak bisa konsentrasi," katanya, menjatuhkan bukunya ke lantai.
Josh ikut menjatuhkan bukunya. Lalu menggeser duduknya,
merapat, dan mengalungkan lengannya ke bahu Emily. Mereka
berpelukan. Tiba-tiba Emily melepaskan diri dan menjerit pelan. Ia merasa
aneh, seakan-akan sedang diintip orang.
"Kenapa?" bisik Josh, memeluknya lebih erat.
Emily menatap ke tangga depan. Koridor itu gelap, tapi di
dalam kegelapan ia bisa melihat seseorang memperhatikan mereka
dari tangga. Jessie. Ia sudah mengambil kamarku, ia memakai sweterku, sekarang
ia memata-mataiku, pikir Emily dengan marah. Tapi ada satu milikku
yang tak akan bisa diambilnya"Josh. Mudah-mudahan si tukang
ngintip itu menikmati pertunjukan ini.
Emily menyentuh wajah Josh dengan kedua belah tangannya,
memejamkan mata, dan menciumnya.
********* Sebuah suara lembut membangunkan Emily dari tidurnya yang
lelap. Ia menoleh ke jam di atas meja kecil, lalu ingat meja kecil itu
ada di samping tempat tidur Jessie sekarang.
Ia memejamkan matanya, tapi suara itu masih terdengar,
berbisik keras. Suara Jessie. Emily setengah terjaga. Malam pasti
sudah larut, pikirnya. Langit di luar jendela terlihat hitam tak
berbintang. Dalam kegelapan ia bisa melihat Jessie di seberang ruangan,
duduk di lantai, di pojok di samping meja tulis. Ia sedang bicara di
telepon. Siapa yang diteleponnya malam-malam begini" pikir Emily,
pikirannya masih melayang-layang, setengah tidur setengah bangun.
Ia hanya bisa menangkap satu-dua patah kata pembicaraan Jessie.
Tampaknya Jessie sedang bicara serius, berbisik-bisik, dengan
seseorang. Siapa yang bicara dengannya" Apa yang dibicarakannya,
kedengarannya serius sekali"
Emily mengangkat kepalanya dari bantal untuk bisa mendengar
lebih jelas. "Rasanya aku ingin membunuhnya," kata Jessie melalui
telepon. "Sungguh, aku benar-benar ingin membunuhnya."
Bab 5 Kejutan di Kamar Mandi EMILY sedang berdiri persis di bawah bel ketika bel itu
berbunyi, menandakan usainya jam pelajaran hari itu. Ia mendekap
telinganya dengan kedua tangan, membiarkan bukunya berjatuhan,
tapi terlambat. "Aku bisa tuli seumur hidup!" serunya.
"Apa katamu?" Kathy, temannya, bergurau dengan menaruh
telapak tangannya di samping telinga.
"Lucu sekali." Emily membungkuk mengumpulkan bukubukunya.
"Bagaimana ulangan trigonometrimu?" tanya Kathy sambil
melambai pada seseorang di seberang koridor.
"Bagus. Kacau. Entahlah," jawab Emily. Aula sudah penuh
anak-anak. Pintu-pintu locker berdentam. Suara-suara bergema. "Kau
lihat Josh" Katanya dia mau ketemu aku di sini."
"Aku tidak lihat dia. Hei"itu Della. Hei, Della, tunggu!" teriak
Kathy, lari menyeberangi koridor.
Baru saja ia berdiri, Emily tertubruk dari belakang, bukubukunya hampir berjatuhan lagi. "Maaf," kata penubruknya, Ricky
Schorr, yang membawa setumpuk buku teks, mungkin mau
dikembalikannya ke perpustakaan.
"Hei, Ricky"boleh pinjam?" teriak seseorang. Anak-anak
tertawa. Emily mencari-cari Josh. Biasanya ia selalu tepat waktu, bahkan
kalau sesekali ia telat satu-dua menit saja, Emily hampir tak percaya,
dikiranya jamnya yang salah. Ia menyapa Lisa Blume dan Cory
Brooks, yang seperti penyanyi duet, ke mana-mana selalu berdua.
Lalu ia berjalan di sepanjang koridor dan berbelok di sudut, menuju
locker Josh. Tapi cowok itu juga tidak ada di sana.
Akhirnya dilihatnya Josh di tengah koridor. "Hei, Josh,"
panggilnya. Tapi ketika dilihatnya cewek yang sedang bicara dengan
Josh, Emily berhenti. Kata-katanya tersekat di tenggorokan.
Josh berdiri menyandar ke sebuah locker, asyik bicara dengan
Jessie, tangannya bergerak-gerak, bibirnya tersenyum. Mereka berdiri
berdekatan. Sementara Emily menatap dengan mulut ternganga dari
ujung koridor, Josh terlihat mengatakan sesuatu, dan mereka berdua
tertawa terbahak. "Mereka menertawakan aku," kata Emily pada dirinya sendiri.
"Hei"hentikan. Jangan jadi paranoid, takut tanpa alasan."
Tapi, apa sebetulnya yang terjadi"
Emily telah memperkenalkan Josh pada Jessie beberapa hari
setelah perkelahian mereka. Mereka bicara hal-hal yang
menyenangkan, singkat saja, agak canggung, tapi wajar.
Jadi, apa yang mereka bicarakan sekarang" Dan mengapa Josh
sampai lupa janjinya menemui Emily"
"Hai, Emily." Emily memutar tubuhnya, terperanjat mendengar suara itu. Itu
suara Krysta Meyers, cewek kecil bersuara keras yang tidak pernah
disukai Emily. Krysta berteman dengan Jessie. Satu-satunya teman
Jessie di Shadyside sampai saat ini.
"Oh, hai, Krysta."
"Kau lihat Jessie?" tanya Krysta, memicingkan matanya. Ia
seharusnya perlu kacamata, tapi malu memakainya.
"Itu di sana, sedang bicara dengan Josh," Emily menunjuk.
Rasanya konyol sekali, berdiri di tengah koridor, menunjukkan jalan
seperti polisi lalu lintas.
Krysta bergegas menghampiri Jessie. Emily melihat kedua
cewek itu berjalan pergi, lalu ia sendiri bergegas mendekati Josh. "Oh.
Hai," kata Josh, agak malu-malu. "Maaf, aku tidak ke tempatmu.
Aku..." "Apa yang kaubicarakan dengan Jessie?" tanya Emily. Ia tidak
ingin kedengaran seperti menuduh, tapi ia tak bisa menahannya.
"Tidak," kata Josh, berjalan ke locker-nya dan membuka
pintunya. "Tidak?" "Aku cuma menyapa," katanya. "Dia kayaknya kesepian, belum
punya teman. Kecuali Krysta."
"Ia berteman dengan cewek yang aku benci!" sergah Emily, tapi
ia langsung menyesali kata-katanya. "Wow! Aku ngomel-ngomel
tidak keruan hari ini, ya?"
Josh tidak menjawab. Kepalanya ada di dalam locker, mencaricari sesuatu. Mungkin ia bahkan tidak mendengar kata-kata Emily.
"Kukira kau dan Jessie sudah berdamai," kata Josh, menarik
kepalanya ke luar. "Yaa, memang tidak ada pertumpahan darah, kalau itu
maksudmu," Emily mengerutkan kening. "Sebenarnya kami saling
Fear Street - Adik Tiri The Stepsister di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghindar. Tidak terlalu buruk. Dia bahkan membantuku mengetik
lagi laporanku." "Betul" Mungkin dia sebetulnya anak yang baik," kata Josh
sambil melambai pada seorang temannya di kejauhan.
"Mungkin...." Emily tidak yakin. Jessie masih selalu menelepon
malam-malam. Ketika Mr. Walner bertanya, apakah ia suka
menelepon larut malam, Jessie tidak mengaku.
"Hei, haruskah kita menghabiskan waktu dengan membicarakan
Jessie?" tanya Emily. Ia bercanda dengan mendorong Josh ke dalam
locker-nya. "Tidak. Lalu kita mau bicara tentang siapa?" tanya Josh,
tertawa. "Katanya kita mau bicara tentang pesta sekolah."
"Oke. Apa yang mau dibicarakan?" Ia menutup pintu locker dan
menguncinya. "Pestanya hari Jumat, kan?"
"Betul. Aku tahu, Em. Aku akan datang. Kau sendiri?" Ia
tertawa. Emily tidak tersenyum sedikit pun. "Kadang-kadang aku
merasa kau terlalu yakin mengenai diriku."
"Tidak apa-apa," kata Josh, berjalan mendahului ke pintu. "Kau
juga boleh terlalu yakin mengenai diriku."
Bisakah aku" pikir Emily. Terbayang olehnya adegan tadi, Josh
berdiri dekat sekali dengan Jessie, bicara dan tertawa.
Apa sih yang mereka bicarakan"
********* Dua malam kemudian, Jessie dan Emily mendapati diri mereka
berdua saja di dapur. "Tiga kaleng whipped cream" Siapa beli sampai tiga kaleng?"
tanya Emily. ?B?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Jessie mengambil ketiga kaleng tersebut, menelitinya satu per
satu, seakan-akan mencari jawaban pertanyaan Emily. "Entahlah. Tapi
rasanya kita punya cukup banyak whipped cream untuk bikin kue ini."
"Kita punya wafer cokelat atau tidak, ya?" tanya Emily, berjinjit
mencari bahan-bahan pembuat kue di lemari di atas kompor.
"Kalau tidak ada," sahut Jessie, "kita bikin whipped cream cake
saja." "Tidak ada wafer cokelat. Bagaimana kita mau buat icebox cake
tanpa wafer cokelat?" Emily mengerang.
Jessie membuka tutup salah satu kaleng whipped cream,
memencet tombol di atasnya, dan menyemprotkan segumpal besar
whipped cream ke mulutnya.
"Hei, jangan...." Emily memarahinya. "Mungkin nanti kita
perlukan itu." Jessie tertawa. "Tiga kaleng"! Kita tak akan bisa menghabiskan
tiga kaleng whipped cream."
"Aku bisa!" sahut Emily bercanda. Mereka tertawa.
Emily melihat ke jam. Sembilan tiga puluh. "Ayo, sudah
malam," katanya. "Kenapa malam-malam begini kita mau bikin
whipped cream cake" Aku masih punya PR."
"Karena kita kelaparan!" seru Jessie. Kembali disemprotkannya
segumpal whipped cream ke mulutnya.
"Tapi bagaimana caranya" Kita tidak punya wafer cokelat."
keluh Emily. "Minta sedikit." Ia membuka mulut.
Jessie mengarahkan kalengnya dan menekan tombol. Whipped
cream menutupi dagu Emily.
"Hei!" "Sori!" Jessie terbahak. Mata birunya bersinar nakal.
"Artinya, kita perang!" seru Emily. Diambilnya salah satu
kaleng dan dibukanya tutup plastiknya yang berwarna merah.
"Tidak, tunggu"tunggu...!" Jessie mengangkat tangan,
melindungi wajahnya dan mundur menjauhi Emily. "Itu tadi tidak
sengaja. Hei"bajuku masih bersih lho!"
Emily menyemprotkan whipped cream ke bagian depan
sweatshirt Jessie. "Z artinya Zorro! Ole!" serunya.
Tapi Jessie sudah balas menyerang sebelum Emily menutup
mulutnya. Ia menembakkan setumpuk cream ke dalam mulut Emily.
"Tembakan jitu!" teriaknya, tidak berhenti menyemprot sampai
seluruh wajah Emily tertutup busa putih.
Kedua gadis itu, tertawa keras sampai hampir tidak kuat berdiri,
saling melancarkan serangan dengan tembakan-tembakan jarak jauh
yang tepat mengenai sasaran. "Hei"jangan keras-keras! Mom dan
Hugh ada di atas di kamar mereka!" jerit Emily.
"Gencatan senjata! Gencatan senjata! Lantai penuh cream!" kata
Jessie, sandalnya tergelincir di lantai yang licin.
Emily maju menyerbu, terpeleset, dan jatuh tertelungkup. Jessie
langsung membungkuk menyemprot punggung Emily. Sekarang
kedua gadis itu tertawa begitu keras sehingga tidak bisa menembak
dengan tepat. Whipped cream beterbangan ke tirai jendela.
"Oh-oh!" Tawa mereka semakin histeris. Keduanya sudah bergulunggulung di lantai sekarang.
Ini saat-saat paling menyenangkan yang pernah kudapatkan
sejak bertahun-tahun ini, pikir Emily, menghapus whipped cream dari
sandalnya. Dan Jessie ternyata menyenangkan juga.
"YAAIIII!" Serbuan Jessie mengakibatkan pintu lemari es
penuh whipped cream. "Hei, ada apa ini?"
Mereka mengangkat kepala, menengadah dan melihat Nancy
masuk ke dapur dengan wajah keheranan. Ia mengenakan piama
bergaris-garis. "Serbuuu!" seru Emily.
Nancy mencoba mundur, tapi ia dihantam sekaligus oleh dua
pancaran whipped cream. "Hei"piamaku! Rambutku!" jeritnya, tapi
Emily dan Jessie tidak mengurangi serangan mereka.
"Kalian pikir aku tidak bisa," tukas Nancy.
Emily mencoba meraih kaleng ketiga, tapi Nancy meloncat dan
berhasil mengambilnya lebih dulu. Ia berkutat membuka tutup kaleng.
Emily dan Jessie menggunakan kesempatan itu untuk menyerangnya.
Pertempuran semakin seru ketika Nancy berhasil membuka
tutup kalengnya. Masalahnya, mereka bertiga tidak bisa menahan
tawa, sehingga bidikan mereka jauh dari sasaran.
"Tampangmu jelek!" seru Jessie pada Emily.
"Kalian berdua jelek! Aku keren!" kata Nancy.
"Serang dia!" teriak Emily, menembakkan segumpal besar busa
putih. Perang besar itu berakhir beberapa menit kemudian ketika
ketiga kaleng whipped cream itu kosong. "Sekarang kita tidak bisa
bikin kue," Emily mengeluh.
"Tidak apa-apa," kata Jessie. Dengan tangan disendoknya
segumpal besar whipped cream dari bajunya dan diisapnya ke dalam
mulut. "Aku sudah kenyang sekarang."
"Aku harus mandi," kata Emily, meraba-raba rambutnya yang
lengket. "Sama," kata Nancy. Ia duduk di tengah lantai, dikelilingi busa
putih. "Tapi kita harus bersih-bersih dulu," kata Emily.
"Begini saja," kata Jessie, menyuapkan segumpal besar
whipped cream lagi ke mulutnya. "Kau mandi dulu. Aku mulai bersihbersih. Selesai mandi, kau turun ke sini, bantu aku
menyelesaikannya." "Betul" Bagus!" kata Emily. "Terima kasih, Jessie, kau memang
teman baik." Emily melepas sandalnya agar tidak meninggalkan jejak-jejak
whipped cream di seluruh rumah dan pergi ke atas untuk mandi. Baik
juga si Jessie, pikirnya. Ia benar-benar berusaha memperbaiki
hubungan mereka setelah perkelahian minggu lalu. Sepertinya ia
sudah berubah. Aku suka sekali pada Jessie yang sekarang.
Air hangat terasa sangat nyaman. Emily membiarkan air hangat
itu mengaliri rambutnya. Heran, betapa cepat whipped cream
mengeras, pikirnya, sambil mengusapkan segenggam sampo ke
rambutnya. Aku bisa berdiri mandi di bawah pancuran ini selamanya,
pikirnya. Hangat dan nyaman sekali.
Tapi ia ingat Jessie menunggu di bawah, menunggu
bantuannya, sehingga ia cepat-cepat menyelesaikan keramasnya dan
melangkah keluar dari bawah pancuran. Sambil bergumam sendirian,
merasa segar, ia berjalan ke cermin. Cermin itu tertutup embun.
Emily mengambil handuk dan menghapus embun dari cermin.
Ia menatap ke dalamnya. Dan menjerit. Dan menjerit lagi. Rasanya ia tak bisa berhenti menjerit.
Bab 6 Wajah Baru Emily EMILY masih menjerit-jerit ketika pintu kamar mandi terayun
membuka. Nancy, dengan wajah ketakutan, menghambur ke kamar
mandi yang penuh uap air, diikuti embusan udara dingin.
"Em"ada apa?"
"Rambutku! Rambutku!" Emily memekik, menarik-narik
rambutnya yang basah dan kusut dengan kedua tangan.
"Ini"pakai ini." Nancy menyampirkan jubah mandi ke pundak
Emily. "Ayo, pakai dulu."
"Rambutku! Lihat rambutku!"
"Emily, jangan menjerit-jerit seperti itu. Lepaskan tanganmu
biar kulihat apa yang membuat kau panik."
Emily menurunkan tangan dan mengikat jubah mandinya. Ia
menggigil, terkena embusan udara dingin yang masuk ke kamar
mandi. Ibu mereka bergegas masuk, diikuti Jessie dan Mr. Wallner.
Mereka semua berdesak-desakan di kamar mandi yang kecil itu.
"Em"rambutmu! Apa yang kaulakukan?" seru Mrs. Wallner.
Mereka melihat bercak-bercak oranye dan kuning memenuhi
rambutnya. "Apa yang kulakukan"!" Emily meledak. "Aku tidak melakukan
apa-apa! Tapi lihat ini!"
"Aneh sekali!" kata Mr. Wallner, mendekat untuk memeriksa
rambut Emily. "Rusak selamanya!" Emily menangis, berpaling dari cermin.
"Kau bleach rambutmu," kata Mrs. Wallner, mengambil
selembar rambut ke dekat wajahnya.
"Aku" Kenapa Mom masih bilang aku yang melakukannya?"
Emily menjerit. "Aku cuma keramas. Dan sekarang lihat..."
Bagian kiri rambutnya hampir seluruhnya oranye. Bagian depan
bergaris-garis kuning kehijauan tak teratur. Sisanya berbercak-bercak
oranye dan kuning. "Rusak! Rambutku rusak semua!" Emily menangis,
menundukkan kepala agar tidak perlu melihat dirinya sendiri di
cermin. Mrs. Wallner merangkul anak perempuannya dan mencoba
menenangkannya. "Aneh sekali," kata Jessie dari dekat pintu.
Mr. Wallner mengambil botol sampo dari plastik itu dan
mencium-ciumnya. "Kau baru beli sampo ini?"
"Tidak," Emily terisak-isak. "Sudah beberapa minggu. Cuma
tinggal sepertiganya." Ia menenggelamkan wajahnya ke dada ibunya.
"Harus kita bawa ke tokonya," kata Mrs. Wallner. "Mungkin
ada yang sengaja..."
"Tapi dia sudah memakainya beberapa minggu," potong Mr.
Wallner, menuang sedikit sampo berwarna hijau ke tangannya.
"Tapi pasti ada yang salah dengan sampo itu," desak Mrs.
Wallner. "Lihat. Belum pernah aku melihat rambut seperti ini."
"Mom..." Nancy mengingatkan ibunya agar hati-hati dengan
kata-katanya. Emily baru mulai agak tenang.
"Hei, tunggu." Mr. Wallner membungkuk dan mengambil
sesuatu dari keranjang sampah di bawah wastafel. "Lihat ini." Ia
menunjukkan sebuah botol kecil berwarna cokelat.
"Apa itu?" tanya Jessie.
"Bekas botol peroksida," kata Mr. Wallner, wajahnya semakin
muram. "Kosong."
"Artinya...," Nancy berkata.
"Peroksida?" Emily masih terlalu kaget, ia tidak bisa mengikuti
semua percakapan itu. Semua orang bagaikan bayang-bayang di
tengah kabut uap air. Ia menggigil di bawah jubah mandinya.
Dicobanya memfokuskan matanya, tapi pandangannya tetap berkabut.
Mr. Wallner menuang sampo ke wastafel. "Ada yang
memasukkan peroksida ke dalam botol sampo Emily."
"Tapi, siapa yang mau melakukan hal semacam itu?" tanya
Jessie dengan nada ngeri.
"Harus kita selidiki. Ini serius," kata ayahnya sambil
memperhatikan cairan sampo hijau itu mengalir di porselen putih
wastafel. "Jessie lama sekali tadi di kamar mandi, sebelum makan," kata
Nancy. Semua mata memandang Jessie, yang wajahnya berubah marah.
"Memangnya itu membuktikan apa?" Matanya memelototi Nancy.
"Aku bukannya menuduh," kata Nancy, melipat tangannya di
depan dada. "Aku cuma bilang..."
"Untuk apa aku melakukan hal sejahat itu?" jerit Jessie.
"Tenang, Jessie!" bentak Mr. Wallner. "Nancy, kau harusnya
tidak berkata seperti itu."
"Tapi itu benar," Nancy berkeras. "Aku mau ke kamar mandi,
sampai dua puluh menit kutunggu, tapi Jessie..."
"Aku tidak melakukan itu!" Jessie berteriak, bergerak
mendekati Nancy dengan sikap mengancam.
Ayahnya cepat melangkah, menghalangi di antara mereka.
"Jessie, tenang. Tak ada yang mengatakan..."
"Tapi kalian semua berpikir aku yang melakukannya, kan?"
tanya Jessie, memandang bergantian dari satu wajah ke wajah lain.
"Karena apa yang terjadi pada Jolie, semua orang berpikir bahwa
aku"bahwa aku orang jahat yang bisa melakukan apa pun. Itu yang
kalian pikir"betul, kan?"
Jolie" Siapa Jolie" Emily meneliti wajah marah Jessie, seakan-akan
ingin mencari jawabnya di sana.
Siapa Jolie, dan apa yang terjadi padanya"
"Jessie, berhenti menjerit-jerit. Semua... berhenti menjerit!"
seru Mr. Wallner, memukulkan tangannya ke samping wastafel.
"Aku dituduh melakukan segala kekacauan yang terjadi di sini!"
pekik Jessie, tidak menghiraukan ayahnya. "Dan aku tahu sebabnya!
Jangan kira aku tidak tahu!" Kata-kata terakhir itu ditujukan pada
ayahnya. Emily sadar memang Jessie yang melakukannya.
Ya, Jessie yang melakukannya. Ia yang memasukkan peroksida
ke dalam sampoku. Sekarang ia berakting, sehingga tak seorang pun
bisa menuduhnya dan menyuruhnya mengaku.
Tapi aktingnya berlebihan, pikir Emily. Ia bukan aktris yang
baik. Ia marah terlalu cepat. Itu yang membuka kedoknya. Ia yang
melakukan ini padaku. Sementara Emily berpikir, Nancy dan Jessie berteriak-teriak
saling menuduh. Mr. Wallner membentak agar mereka diam.
Fear Street - Adik Tiri The Stepsister di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mrs. Wallner mengusap rambut Emily yang tidak keruan
warnanya. "Semua orang benci padaku!" teriak Jessie, tangannya
mengepal, mata birunya melotot memancarkan api kemarahan.
"Ada-apa sih dengan keluarga ini?" seru Mrs. Wallner. "Kenapa
kita tidak bisa rukun" Kenapa kita tidak bisa..."
"Semua diam dulu sebentar!" teriak Mr. Wallner dengan wajah
merah padam. "Jessie, mengapa kau mengira orang menuduhmu?" tanya
Nancy, tidak menghiraukan perintah ayah tirinya.
"Semua orang benci padaku! Tak ada yang percaya padaku!"
jerit Jessie. Ia berlari keluar dari kamar mandi, menangis sekeraskerasnya.
Bahkan tangisnya terdengar palsu, pikir Emily. Pura-pura
histeris. Tapi jelas ia pura-pura. Tak ada yang bisa ditipunya. Setidaktidaknya ia tak bisa menipuku.
"Di mana Rich?" tiba-tiba Nancy bertanya.
Mr. Wallner menoleh pada istrinya. "Kalau anak itu yang
melakukan ini..." "Kau jangan gila," kata Mrs. Wallner pada suaminya. "Tak ada
alasan kita mencurigai Rich. Dia langsung pergi ke perpustakaan
setelah makan malam."
"Seharusnya dia sudah pulang sekarang, kan?" tanya Nancy,
melihat jam tangannya. "Ya, seharusnya,"' sahut ibunya. "Aneh. Biasanya Rich tidak
pergi sampai malam-malam begini."
"Bagaimana rambutku?" tangis Emily, sekilas melihat ke
cermin. Nancy merangkul pundak adiknya dan menuntunnya keluar.
"Ayo, ke kamarku," katanya perlahan. "Kita lihat apa yang bisa kita
lakukan. Mungkin bisa kita buat seakan-akan itu disengaja. Kau tahu,
semacam punky, model rambut baru."
Dengan rasa terima kasih, Emily membiarkan dirinya dituntun
keluar. Di belakangnya ia masih mendengar orangtuanya berdebat,
apakah Rich pelakunya atau bukan. Ketika ia melewati kamarnya,
dilihatnya Jessie duduk di tempat tidur, menulis di buku hariannya
sambil terisak-isak. Tidak terlalu meyakinkan, Jessie, pikir Emily.
Sama sekali tidak meyakinkan.
Jessie merusak rambutku. Pasti Jessie. Pikiran menakutkan membuat napas Emily tertahan.
Apa lagi yang akan dilakukan Jessie setelah ini"
Bab 7 Pembunuhan "AKU suka rambutmu," kata Nancy, bangkit dari meja tulisnya.
Ia memakai jeans belel dan kemeja bergaris-garis.
"Terima kasih," kata Emily. "Kau hebat, Nance. Memendekkan
sampingnya memang ide bagus:"
"Benar. Aku tidak malu mengakuinya."
"Entah Josh suka atau tidak melihat rambutku seperti ini," kata
Emily, mendadak merasa gugup.
"Dia belum lihat?"
"Belum. Dia tidak masuk dua hari ini. Kena virus katanya. Tapi
sekarang sudah sehat."
"Kurasa dia tidak akan memperhatikan," kata Nancy. "Aku
kenal siapa Josh." Emily tertawa. "Jahat, ih." Ia berpikir sebentar. "Tapi kau
benar." "Aku selalu benar," kata Nancy, tersenyum. "Hei, kau belum
ganti pakaian." "Nanti saja habis makan malam. Hugh sedang bikin spageti
dengan saus tomat istimewanya. Aku tidak ingin nonton basket lalu
pergi dansa dengan noda saus spageti di bajuku."
Nancy berpaling ke jendela dengan tiba-tiba, seakan
menghindari tatapan mata Emily. "Aku punya teman kencan,"
katanya. "Tapi saat-saat terakhir dia harus pergi ke luar, kota dengan
orangtuanya." Kasihan Nancy, pikir Emily. Selalu saja ia ditinggalkan cowok.
Sepertinya tidak ada yang benar-benar tertarik padanya.
"Tidak apa-apa," kata Nancy, berpaling ke Emily lagi. "Aku
punya banyak tugas sekolah. Aku bisa belajar malam ini sementara
kau pergi bersenang-senang." Ia tertawa.
"Kasihan, kasihan," kata Emily lembut, tidak bermaksud
mengejek. Nancy sudah membuka mulut untuk bicara, tapi terputus oleh
suara-suara di bawah. Mereka mendengar gedoran-gedoran di pintu
depan, diikuti suara langkah kaki berlari-lari, dan suara keras orang
marah. "Ada apa lagi itu?" tanya Nancy, memutar bola matanya ke
atas. Mereka berdua pergi ke tangga.
Setengah perjalanan ke bawah tangga, Emily terkejut melihat
seorang polisi bertubuh tinggi di koridor depan. Tangannya
mencengkeram bahu Rich. Rich menggeliat-geliat dalam
cengkeraman polisi itu, wajahnya pucat ketakutan. Ia memandang ke
atas, menatap Emily dan Nancy yang tengah menuruni tangga, dan
Emily melihat noda darah kering di bibir atasnya.
"Kau memukulnya?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari
mulut Emily, karena terkejut melihat noda darah itu.
"Apa?" Si polisi, seorang pemuda dengan kumis cokelat yang
baru mulai tumbuh, menatap ke atas, bingung oleh pertanyaan itu.
"Tidak," Rich bergumam dengan kepala tunduk. "Hidungku
mimisan tadi di sekolah."
Mr. Wallner, dengan celana putih berlumuran bumbu dan
tangan memegang sendok kayu besar, berdiri menatap Rich dengan
wajah marah. "Pak polisi ini bilang Rich melakukan perbuatan
kriminal." "Apa"!" Jessie berlari turun dari tangga.
Ia berhenti di belakang Emily dan Nancy, yang bersandar pada
tiang di bawah tangga. "Rich, apa yang kaulakukan?"
"Aku tidak berbuat apa-apa," gumam Rich, memandang sepatu
karetnya, yang seperti biasa, talinya tidak diikat.
"Jangan berkata begitu," si polisi memperingatkan. Suaranya
kecil, seperti anak umur dua belas tahun. "Mencuri di toko itu
perbuatan serius, Nak."
"Mencuri di toko?" seru Jessie kaget.
"Rich tertangkap basah mencuri kaset di toko kaset di Division
Street Mall," Mr. Wallner memberitahu mereka. "Dikantongi di saku
jaketnya." "Aku bermaksud membayarnya," kata Rich.
"Jangan buat situasinya lebih buruk lagi dengan berbohong,"
tukas Mr. Wallner. "Mungkin dia tidak bohong," kata Jessie.
Emily memandangnya dengan heran. Itu pertama kalinya ia
mendengar Jessie membela adiknya.
"Manajer toko tidak mengajukan tuntutan," kata polisi itu pada
Mr. Wallner. "Karena anak ini masih muda, ia berpendapat mungkin
Anda yang lebih tepat menangani masalah ini." Ia melepaskan bahu
Rich. "Oh, jangan takut tentang itu," kata Mr. Wallner, memelototi
Rich. "Akan kutangani. Setelah itu, Rich tak akan pernah berpikir
untuk mencuri di toko lagi."
Rich mengernyitkan wajahnya, Emily melihatnya, tapi ayahnya
tidak. "Kanapa kaulakukan itu, Rich?" tanya Mr. Wallner, suaranya
lebih pelan. Rich hanya mengangkat bahu.
"Saya harus pergi," kata si polisi, menyentuh kumisnya.
"Jangan sampai dapat kesulitan lagi, Nak. Oke?"
Rich mengangguk. Si polisi berbalik pergi, pintu depan mengayun tertutup di
belakangnya. Seembus angin dingin masuk ke koridor, tapi suasana di
dalam lebih dingin lagi daripada cuaca musim dingin.
"Kenapa kaulakukan itu?" tuntut Mr. Wallner. "Kenapa?"
"Aku minta maaf," kata Rich, suaranya terbata-bata.
"Kalau kau ingin kaset, kenapa tidak minta uang padaku?"
ayahnya mengejar terus. "Maaf," kata Rich. Ia mengangkat matanya, menatap Mr.
Wallner seakan menunjukkan ia tidak takut padanya.
"Tapi, mengapa mencuri" Mengapa kau sampai berpikir untuk
mencuri?" "Maaf," Rich mengulangi. Setiap kali ia mengulangi kata itu,
Mr. Wallner semakin marah.
Rich mungkin tahu hal itu, pikir Emily. Cowok aneh.
"Tapi, Rich..."
"Maaf, maaf, maaf."
"Biarkan dia," Jessie memotong, maju melewati Emily dan
Nancy. "Dia masih belum sanggup bicara tentang hal itu."
Dirangkulnya pundak Rich.
Rich bergerak hendak menjauh, tapi mengurungkan niatnya. Ia
tetap berdiri di tempatnya, terlihat canggung.
Jessie betul-betul sayang pada adiknya, pikir Emily.
Atau ini hanya semacam pertunjukan, hanya kedok"
Tidak. Ia sungguh-sungguh, ia tidak pura-pura kali ini. Tidak
seperti malam itu. Emily dan Jessie hampir tak pernah bertegur sapa sejak
kejadian di kamar mandi dua malam yang lalu.
"Oh"sausku!" seru Mr. Wallner, tiba-tiba diingatkan oleh
sendok kayu di tangannya.
Ia cepat-cepat pergi ke dapur. "Rich, kita akan bicara panjang
setelah makan malam nanti," katanya sambil berlari.
"Aku sudah tidak sabar," gumam Rich, cukup keras untuk
terdengar oleh yang lain, tapi tidak ayahnya.
"Kelakuan jelek," kata Jessie perlahan, melepas rangkulannya
dari pundak Rich. "Kelakuan jelek seperti itu akan menjerumuskanmu
dalam kesulitan, Rich."
"Kau tahu apa tentang itu?" kata Rich dengan ketus. Sebelum
Jessie bisa bereaksi, ia menyelinap melewati ketiga gadis itu dan
melompati anak tangga dua-dua sekaligus.
Mrs. Wallner pulang beberapa menit kemudian. Terdengar oleh
Emily ayah tirinya menceritakan kejadian itu pada ibunya.
Tak perlu dikatakan lagi, suasana makan malam tegang dan
sunyi. Rich minta izin pergi ke kamarnya setelah hanya makan
beberapa suap spageti. "Anak-anakku," Mr. Wallner menggeleng-gelengkan kepala.
"Anak-anak macam apa yang kubesarkan ini."
Emily memandang Jessie, yang melotot pada ayahnya,
wajahnya terluka, matanya membara.
*********** Shadyside pada detik terakhir. Skor akhir 49-48. Teriakan,
sorakan, dan genderang band sekolah mengiringi peluit terakhir,
begitu kerasnya sehingga Emily mengira gedung olahraga tua itu akan
ambruk. Jessie juga pergi menonton pertandingan walaupun tidak punya
teman kencan untuk pesta dansa setelahnya. Emily sempat melihatnya
sebentar tadi, berjalan bersama Krysta ke tempat duduk di bagian atas,
asyik bercakap-cakap. Ia pendiam sekali di rumah, pikir Emily. Entah berapa
kepribadian yang dimilikinya. Aku tak akan pernah mengenal Jessie
sepenuhnya, pikirnya. Lalu ia ingat kemarahan dan ketakutannya
sendiri. Aku memang tidak ingin benar-benar mengenal Jessie,
katanya pada diri sendiri, dan membuang semua pikiran tentang adik
tirinya dari kepalanya. Perkiraan Nancy benar tentang Josh. Kalau pun Emily
menunjukkan dan mengatakan tentang rambut barunya, Josh tak akan
memperhatikan. "Aku suka sekali," katanya tadi. Tapi lalu ia
menambahkan, "Betul," yang berarti Emily tidak bisa
mempercayainya. Pesta dansa diadakan di auditorium yang dihiasi lusinan bunga
tulip kertas. Suasananya cukup ramai untuk sebuah pesta dansa
sekolah. Bagaimanapun, ini pesta dansa terbesar sepanjang tahun.
Tapi biasanya pesta dansa sekolah tidak terlalu banyak menarik minat
para pelajar. Semangat kebersamaan satu sekolah di Shadyside tidak
terlalu kuat. Anak-anak sepertinya tidak punya waktu untuk acaraacara kuno seperti Homecoming Dance. Sebagian besar lebih suka
naik mobil, keluyuran keliling kota, atau pesta di rumah salah seorang
anak yang orangtuanya sedang pergi.
"Menurutmu aku terlalu memaksa untuk datang ke pesta ini?"
Emily meneriakkan pertanyaannya ke telinga Josh. Mereka berdiri di
tepi lantai dansa, menonton anak-anak berdansa diiringi musik rap
yang memekakkan telinga. "Menurutku kau terlalu retro," kata Josh, menyeringai.
"Itu artinya terbelakang, kan?" Emily bergurau.
"Itu artinya terlalu memaksa," jawab Josh.
Emily pergi ke kamar kecil. Waktu berjalan menyeberangi
auditorium yang redup, ia berpapasan dengan Krysta, teman Jessie.
Emily menduga Krysta sengaja berjalan mendekatinya.
"Hai!" panggil Krysta dengan antusias.
"Oh, hai, Krysta." Emily tidak ingin membalas antusiasme
Krysta. "Mana Ben?" Ben Ashworth bisa dianggap anak paling kaya
di Shadyside High. Keluarganya tinggal di rumah besar mirip istana
yang menghadap ke sungai di North Hills. Ayahnya pemilik shopping
mall atau semacam itu. Krysta sudah melekatkan dirinya pada Ben
sejak hari pertama Ben muncul di sekolah, dan menurut penglihatan
Emily, sejak saat itu tak pernah sekejap pun Krysta melepaskan Ben
dari pandangan matanya. "Sedang ambil minuman," kata Krysta, menoleh ke meja
hidangan. "Emily, aku suka rambutmu."
"Oh. Terima kasih," kata Emily, tidak bisa menyembunyikan
nada curiga dalam suaranya.
"Kau benar-benar tampil beda," kata Krysta penuh kekaguman.
"Aku suka warnanya. Apalagi dipotong pendek begitu. Bagus."
"Terima kasih," kata Emily agak canggung. "Aku pergi dulu
ya" Nanti kita ngobrol lagi."
"Sayang Jessie tidak punya pasangan," kata Krysta.
Emily tidak mau repot-repot menjawab. Ia merasa amarahnya
timbul. Jelas Jessie telah menceritakan kejadian dengan sampo itu
pada Krysta. Mereka berdua pasti menertawakannya habis-habisan.
Krysta pasti tahu semua ulah jahat Jessie. Kalau tidak, kenapa ia
sengaja mendatanginya, bicara panjang tentang rambutnya"
Semakin dipikirkannya, semakin marah dia. Kalau Jessie
menceritakan semuanya pada Krysta, Krysta pasti menceritakannya ke
seluruh sekolah. Semua orang di auditorium ini mungkin sudah tahu,
kenapa dandanan rambut Emily aneh seperti ini.
Tapi, tentu tak ada orang lain yang menganggap itu lucu, kan"
Semua orang pasti setuju dengan Emily bahwa itu adalah ulah
jahat, sangat jahat" iya, kan"
Emily mencoba menikmati pesta dansa itu, tapi ia tidak bisa
menghilangkan pikiran-pikiran itu. Ia mencoba melupakannya dengan
berdansa, mengikuti irama. Musiknya keras sekali sampai lantai
auditorium tua itu ikut bergetar.
Fear Street - Adik Tiri The Stepsister di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pump it! Come on"pump it! Pump it! Pump it up!" ajak lagu
itu. Agak membantu juga sedikit.
Kata-kata yang diulang-ulang, musik yang berdentam-dentam,
membawanya hanyut, hanyut dari pikiran-pikirannya, hanyut bahkan
dari Josh, sampai ia serasa mengambang, diayun suara-suara yang
bergetar-getar itu. Pesta dansa itu terlalu cepat selesai.
Dinginnya udara malam ketika mereka berjalan ke mobil Josh,
mengembalikan dirinya pada kenyataan. Langkah kaki mereka
terdengar keras. Emily memeluk lengan Josh erat-erat, bersandar
padanya sementara mereka berjalan.
Setelah mobil berhenti di depan rumahnya, Emily tidak segera
turun, diciumnya Josh dengan bergairah. Ia tak ingin pulang, ia tak
ingin masuk ke rumah. Ia ingin tetap berada di situ bersama Josh.
Tapi tentu saja itu tidak mungkin.
Sudah lewat jam setengah dua ketika ia menyeret dirinya ke
luar dari mobil yang hangat itu dan berjalan ke pintu depan rumahnya.
Dirapatkannya mantelnya, menahan hawa dingin yang membuatnya
menggigil. Lampu mobil Josh menyala, sinar kuningnya jatuh
membias ke depan rumah. Emily melambaikan tangan padanya lalu
menutup pintu depan. Rumah tampak gelap dan sepi. Semua orang sudah tidur. Satusatunya cahaya datang dari sebuah lampu redup di tingkat atas.
Emily melepas mantelnya dan menaruhnya di punggung kursi
di ruang duduk. Sambil menguap, dilepasnya sepatunya. Bayangan
Josh masih belum hilang dari benaknya. Ia tersenyum sendiri di dalam
kegelapan, lalu tersadar dengan kaget.
Aneh, pikirnya. Mana Tiger"
Anjing kecil itu mudah terbangun. Tidak peduli malam sudah
larut, ia selalu berlari-lari menyambutnya dari keranjang tidurnya di
dekat lemari es. Di mana dia sekarang"
"Tiger?" bisiknya. Di mana dia"
Apakah Nancy membawanya ke atas untuk menemaninya tidur"
Mungkin juga. Tapi, sudah bertahun-tahun Nancy tidak melakukan
itu. "Tiger?" Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Ia pergi ke dapur untuk
mengambil segelas air. "Tiger, kau di sini?"
Di mana anjing konyol itu"
Dengan kaki hanya dilapisi stocking, ia berjalan untuk
menghidupkan lampu di atas tempat cuci piring. Ia sudah akan
membuka pintu lemari untuk mengambil gelas ketika ia melihat anjing
itu. "Oh, tidak! Tidak"!"
Bab 8 Di Air Hangat EMILY jatuh berlutut di samping anjing itu.
Tiger terbaring telentang. Mati.
"Oh, tidak!.Tidak...!"
Ada luka besar di dadanya, melintang membentuk irisan. Irisan
yang dalam. Tiger pasti telah ditikam. Ia terbaring di genangan darah yang
mulai mengering. "Oh, tidak! Tidak, tidak, tidak!"
Emily mengangkat anjing kecil itu ke dalam pelukannya, darah
menetes mengaliri bagian depan sweter putihnya.
Ada pembunuh di rumah ini, pikir Emily. Kami tinggal serumah
dengan seorang pembunuh. Ia membayangkan Tiger berlari-lari di lantai, kakinya yang
kecil bergerak-gerak cepat, seperti film layar lebar yang dicepatkan,
ekornya yang pendek mengibas-ngibas. Lalu dibayangkannya Jessie
menendangnya dengan marah, melemparkannya ke lantai.
Jessie membenci Tiger. Ada pembunuh di rumah ini.
"Tolong!" jerit Emily. "Tolong!"
Mrs. Wallner lari menuruni tangga, diikuti suaminya.
"Tolong!" Mereka diikuti Nancy, Jessie, dan Rich. Mereka semua
mengenakan piama, memaksa diri bangun dengan mata membelalak
cemas. Ketika mereka menghambur ke dapur, Emily masih memeluk
mayat anjing itu, tangannya berlumuran darah.
"Tiger!" jerit Nancy.
"Ada apa...!" "Emily"kau tidak apa-apa?"
"Tiger mati," kata Emily.
"Ugh. Turunkan," kata Jessie memohon.
Mrs. Wallner bersandar ke meja dapur, pucat pasi seputih
formika permukaan meja. Di bawah sinar lampu neon di atasnya, ia
terlihat lebih tua dari biasa, letih, gurat-gurat kelabu terlihat di tengah
rambutnya yang berwarna tembaga.
"Pasti ada orang masuk," katanya, menghindarkan
pandangannya dari Tiger. "Tapi, mana ada orang masuk hanya untuk membunuh anjing?"
tangis Emily. "Turunkan! Turunkan!" lengking Jessie.
"Tidak ada tanda-tanda orang masuk," kata Mr. Wallner setelah
memeriksa semua jendela. "Sini, Em, berikan padaku."
Ia mengulurkan tangan untuk mengambil tubuh anjing itu, tapi
Emily mengelak. "Swetermu"rusak," kata Nancy, matanya berkaca-kaca.
Emily memandang Rich. Rambut pirangnya jatuh ke dahi.
Piamanya terbuka sedikit, memperlihatkan perutnya yang berkulit
pucat. Matanya merah. Rich berpaling, menghindari tatapan Emily. Rich tidak menjerit.
Ia satu-satunya yang belum mengucapkan sepatah kata pun.
"Emily, berikan anjing itu padaku," kata Mr. Wallner, tenang
tapi tegas. Emily menyerah. Mr. Wallner mengambil tubuh Tiger dari
tangan Emily dan membawanya pergi. "Mau dibawa ke mana?" tanya
Emily. "Ke belakang. Aku akan menelepon ASPCA (American Society
for the Prevention of Cruelty to Animals: lembaga pelindung hak-hak
binatang.) besok pagi, meminta mereka datang dan membawanya."
Dibukanya pintu belakang dan pergi ke luar.
"Mengerikan sekali," kata Jessie, menjatuhkan diri ke bangku di
depan meja dapur. "Siapa yang tega melakukan hal seperti ini?"
Emily melotot, menatap Jessie dengan pandangan menuduh.
"Kau tidak pernah suka pada Tiger."
Mulut Jessie ternganga. "Kau tidak menuduhku, kan?"
"Kau tidak pernah menyukai Tiger," Emily mengulangi, la
mencoba menjernihkan otaknya, tapi bayangan anjing yang dibunuh
itu tidak bisa hilang. Gambaran anjing itu muncul lagi dan muncul
lagi. Ia merasa seakan-akan sedang bermimpi, di mana segalanya
berulang dan berulang lagi. "Kau tidak pernah suka pada Tiger."
Apakah tadi ia sudah mengatakan itu" Bukankah hal ini pernah
terjadi" Beberapa kali"
Apa yang terjadi sekarang"
"Tidak, aku memang tidak suka anjing," kata Jessie. "Tapi aku
tak akan membunuh binatang yang tidak berdosa."
"Seseorang telah melakukannya," kata Nancy dengan nada
datar. "Aku tidak tahu apa gunanya kita berdiri di sini, saling
menuduh," kata Mrs. Wallner. Ia maju dan merangkul Emily.
"Tapi seseorang di ruangan ini membunuh Tiger!" tangis Emily.
"Kita harus tahu siapa yang melakukannya. Harus."
"Mungkin hanya kecelakaan," kata ibunya. "Mungkin Tiger
jatuh ke sesuatu. Sesuatu yang tajam."
"Jatuh ke apa?" tanya Mr. Wallner.
"Aku"aku cuma tidak percaya bahwa seseorang di rumah ini
tega"tega melakukan..." Mrs. Wallner tidak sanggup melanjutkan
kata-katanya. Tentu saja, pikir Emily. Mom tidak pernah percaya pada
keburukan seseorang. Ia tidak percaya bahwa Jessie bisa melakukan
pembunuhan. Tapi bukti-buktinya sangat jelas.
Emily memandang Nancy. Kakaknya berdiri dengan tangan
terlipat di depan dada, seakan mencoba menahan perasaannya. "Aku
mendengar Rich keluar dari kamarnya tadi," kata Nancy.
"Aku bangun untuk minum," jawab Rich dengan suara
melengking, kata-katanya yang pertama malam ini.
"Rich, kalau kau yang melakukan ini," kata Mr. Wallner dengan
tenang sambil melihat ke genangan darah di lantai, "katakan pada
kami sekarang. Kalau kau punya masalah, kalau kau perlu bantuan,
beritahu kami. Kau tak akan dihukum. Aku berjanji. Kami akan
berikan bantuan apa pun yang kauperlukan." Suaranya lembut, penuh
perhatian. Emily terkejut, heran. Sikapnya tidak seperti ayah tiri yang
dikenalnya sampai saat ini. Biasanya ia selalu bertindak tanpa
mempertimbangkan perasaan orang lain, terutama Rich. Tapi ini
masalah serius, dan Mr. Wallner menanganinya dengan serius juga.
"Tapi aku tidak melakukannya!" teriak Rich, suaranya naik
beberapa oktaf. Mendadak wajahnya ketakutan.
"Tidak begini caranya. Kita tidak bisa berdiri semalaman di
sini, saling menuduh," kata Mrs. Wallner.
"Buku yang kaubaca itu," kata Nancy pada Rich. "Pet Sematary.
Aku sudah baca juga. Itu tentang binatang peliharaan yang mati. Lalu
orang menghidupkannya lagi."
"Lalu kenapa?" teriak Rich. "Lalu kenapa?"
"Rich, aku serius," kata Mr. Wallner, menatap anak laki-lakinya
yang berdiri gemetaran. "Kau tak akan dihukum. Aku janji. Katakan
saja yang sebenarnya."
"Aku tidak bohong!" teriak Rich. "Aku bukan pembunuh!
Hanya karena aku baca buku itu, tidak berarti aku pembunuh!" Ia lari
meninggalkan ruangan. Mereka mendengarnya berlari menaiki tangga.
Disusul pintu kamar yang terbanting menutup.
"Menurutku, lebih baik kita semua pergi tidur dulu," kata Mrs.
Wallner, menggenggam lengan suaminya erat-erat, begitu erat sampai
Mr. Wallner meringis. "Bagaimana bisa tidur?" tangis Emily.
"Mungkin Rich perlu psikiater juga," kata Mr. Wallner tiba-tiba
sambil berpikir keras. "Tapi aku tidak tahu bagaimana membiayai
psikiater untuk dua anak."
Emily melihat wajah Jessie berubah merah. Seharusnya tak
boleh ada yang tahu bahwa Jessie berada di bawah perawatan ahli
jiwa. "Semua akan lebih tenang dan bisa berpikir jernih besok pagi,"
kata Mrs. Wallner, menarik lengan suaminya.
"Tapi kita punya masalah serius," kata suaminya.
"Tapi, Hugh..."
"Oke," katanya, menggaruk kepalanya yang botak. "Pergilah ke
atas, Sayang. Aku bersihkan lantai dulu, nanti aku susul."
"Aku juga mau ke atas," kata Jessie, lalu menghilang dari
ruangan. "Kau ingin kita bicara di bawah?" tanya Nancy pada Emily.
"Tidak. Tidak," kata Emily. Ia tak tahu apa yang diinginkannya.
Ia ingin semua ini tidak pernah terjadi. "Tidurlah lagi, Nance."
"Rasanya tak ada satu pun dari kita yang bisa tidur lagi malam
ini," kata Nancy dengan nada sedih. Tapi ia berbalik dan pergi ke
kamarnya. Mr. Wallner melangkah ke lemari sapu untuk mengambil lap.
"Jessie yang melakukannya," kata Emily pada ibunya, yang
berdiri bimbang di pintu.
"Apa?" "Kau dengar aku, Mom. Jessie yang melakukannya. Aku tahu.
Dia benci Tiger. Dia benci aku."
"Emily...," ibunya mulai berkata, lalu berhenti. Ia berpikir
keras, mencoba memutuskan apa yang akan dikatakannya. "Kenapa
kau selalu mencurigai Jessie setiap ada peristiwa buruk?"
"Karena dia yang melakukan semua hal buruk ini," kata Emily
lambat dan perlahan, mendadak merasa mengantuk, walaupun belum
bisa melupakan kengerian itu. Bayangan anjingnya yang sudah mati
masih tampak di depan matanya.
"Tapi kau tak punya bukti. Itu baru dugaanmu saja...."
"Itu bukan dugaan. Aku tahu Jessie yang melakukannya!" teriak
Emily, amarahnya meluap, mencekik tenggorokannya, membuatnya
ingin menangis. "Mom tidak kenal Jessie. Dia lain dari yang Mom
kira. Dia pura-pura manis kalau ada Mom. Tapi kalau tidak ada, dia..."
"Kau perlu bertanya pada dirimu sendiri, kenapa kau selalu
menyalahkan Jessie," kata ibunya. "Apakah kau iri padanya"
Harusnya tidak. Kau tahu, Jessie sudah jadi saudaramu sekarang,
dan..." "Mom, kenapa Mom tidak pernah mau mendengarku"!" jerit
Emily. "Tapi aku mendengarkanmu, Sayang. Aku tahu kau dan Jessie
punya masalah. Mungkin kita bertiga perlu duduk bersama untuk
membicarakannya. Kita bisa..."
"Oh, apa gunanya?" Emily tidak bisa mengendalikan tangisnya.
Air mata mengalir ke pipinya. Ia lari ke tangga.
Ibunya tidak mencoba menghentikan atau memanggilnya
kembali. Mom tidak ingin menghadapi Jessie, pikir Emily pahit sambil
naik tangga. Mom selalu berpikir kalau ia abaikan masalah, maka
masalah akan hilang sendiri. Ketika Daddy meninggal, ia sama sekali
tidak bisa melakukan apa pun. Nancy dan aku yang harus melakukan
segalanya. Seolah dialah anak kecil dalam keluarga. Aku dan Nancy
lebih dewasa dibanding Mom.
Lampu di kamarnya menyala. Emily berhenti di ambang pintu.
Apa yang akan dikatakannya pada Jessie"
Bagaimana ia bisa tidur sekamar dengan orang yang membunuh
anjingnya" Akan kutelepon polisi, pikirnya.
Tidak. Polisi tak akan tertarik dengan urusan pembunuhan
anjing. Tapi, siapa tahu" Bisa saja mereka tertarik. Kecuali... kecuali
ibunya benar. Emily tidak punya bukti.
Dan bagaimana kalau ternyata Rich yang melakukannya" Si
anak aneh penggemar Stephen King. Ia pernah tertangkap melakukan
satu tindak pidana. Sanggupkah ia membunuh anjing"
"Emily?" "Oh!" Jessie telah berdiri di belakangnya, mengejutkan Emily.
"Maaf. Aku tidak bermaksud mengagetkanmu. Aku sedang di
kamar mandi. Kau pasti sedih. Aku siapkan air hangat untuk kau
mandi." "Oh?" Emily sungguh-sungguh bingung. Ia sudah siap
berkonfrontasi dengan adik tirinya. Dan sekarang, Jessie bersikap
penuh perhatian padanya. "Mandi air hangat akan membuatmu merasa lebih enak," kata
Jessie lembut. "Dan kau bisa membersihkan bekas-bekas darah itu."
"Terima kasih Jess. Aku..."
Fear Street - Adik Tiri The Stepsister di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukalah pakaianmu. Airnya hampir siap. Aku pakai banyak
minyak mandi yang kausukai itu." Didorongnya Emily ke kamar, lalu
ia kembali ke kamar mandi untuk menyiapkan air hangat.
Emily berdiri di tengah kamarnya, masih bingung. Mengapa
Jessie bersikap sangat manis padanya" Untuk menutupi kesalahannya"
Dilepasnya sweter yang berlumuran darah dan dilemparkannya
ke sudut. Didengarnya ibunya naik tangga dan berhenti di depan pintu
kamarnya. "Em" kau baik-baik saja?"
"Ya, Mom," sahutnya tanpa menoleh. "Mom tidur sajalah."
Ibunya pergi ke kamarnya sendiri.
Sesuatu tertangkap oleh sudut mata Emily. Buku harian Jessie.
Emily mendengarkan suara air yang masih mengalir ke dalam
bak mandi. Diambilnya buku harian itu. Buku itu tebal, berlapis kulit,
dengan kancing logam. Kancingnya terbuka. Jessie tanpa sengaja
membiarkan kancingnya terbuka.
Penuh ingin tahu Emily membuka beberapa halaman sambil
sebentar-sebentar melirik ke pintu. Buku harian itu kelihatannya berisi
berbagai peristiwa beberapa tahun terakhir. Dengan tulisannya yang
kecil-kecil dan rapi, Jessie dengan rajin mengisinya hampir setiap
hari. Selagi ia membaca cepat-cepat, tanpa menemukan sesuatu yang
menarik, Emily mendengar langkah-langkah kaki di luar.
Ditaruhnya buku itu dan ia bergerak menjauh.
Tapi ternyata itu suara langkah ayah tirinya yang pergi ke
kamarnya. Dengan napas tertahan, diambilnya lagi buku harian itu.
Matanya menangkap paragraf panjang yang ditulis beberapa hari yang
lalu. "Emily menyalahkan aku lagi," tulis Jessie. "Aku tidak tahu apa
yang harus kulakukan. Tapi aku harus melakukan sesuatu."
Suara air mengalir berhenti. Emily menutup buku harian. Baru
disadarinya bahwa tangannya gemetar.
Aku harus membacanya lebih banyak lagi, pikirnya.
Aku harus tahu apa yang direncanakan Jessie. Aku harus tahu
seberapa berbahayanya dia.
Dibawanya buku harian itu dan disembunyikannya di bawah
bantalnya. Aku tunggu sampai Jessie tidur, lalu kubaca lagi, pikirnya.
"Belum buka pakaian" Airnya sudah siap." Jessie masuk ke
kamar, mengeringkan tangannya dengan bagian depan piamanya.
"Oh. Terima kasih." Emily tidak bergerak.
"Emily"kau tidak apa-apa?" tanya Jessie, menaruh tangannya
yang hangat di pundak Emily. Sentuhan tangan Jessie mengusir
berbagai pikiran yang berpusar-pusar di kepala Emily. "Mandilah.
Kau akan merasa lebih nyaman."
"Oke. Sikapmu manis sekali, Jessie."
"Aku cuma merasa tidak enak," kata Jessie.
Emily melepas baju di kamar mandi, lalu berhenti di pinggir
bak. Air di dalam bak terasa wangi. Jessie mencampurkan banyak
Pedang Kerak Neraka 2 Pendekar Slebor 57 Patung Kepala Singa Tugas Tugas Hercules 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama