Ceritasilat Novel Online

Ciuman Selamat Malam 2

Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss Bagian 2


Wow"apakah Todd menikmati ini" pikir April.
Mereka mengobrol tentang pantai, tentang kota, tentang
orangtua mereka. April menceritakan bagaimana Courtney mengubur
Whitney sampai ke dagunya di pasir siang itu, lalu menyiramkan air
ke kepalanya sebelum April sempat mencegahnya, dan bagaimana
kedua anak itu jadi histeris karena April menemui kesulitan untuk
menarik Whitney keluar. Ketika April berbicara, Jessica mengusap-usap lengan Todd dan
jari-jarinya mempermainkan rambutnya yang ikal, lalu tersenyum
padanya dan semakin merapat.
Aku dan Matt agak seperti itu ketika pertama kali kami mulai
kencan, batin April. Dan ia menyadari mereka sudah tidak seperti itu
lagi. Piza pesanan datang, panas mengepul di atas piring logam
bundar. April, Matt, dan Todd langsung mengambil beberapa iris dan
menaruh di atas piring masing-masing. "Aku sudah makan malam,"
Jessica menjelaskan, tidak dapat menyembunyikan rasa muaknya
waktu piring itu didorong ke arahnya. "Aku tak sanggup lagi makan
segigit pun." "Satu potong saja?" desak Todd.
"Tidak. Sungguh," tolak Jessica, tampak agak gelisah. Saat
itulah mata cokelatnya membelalak lebar. April menyadari cewek itu
sedang menatap ke depan restoran. Ia menoleh dan mengikuti arah
pandangan Jessica. Sambil berusaha mencari-cari jalan di antara kerumunan orang
di pintu masuk, Gabri melambai pada April. "Hei"itu Gabri!" seru
April, lalu ia memberi isyarat pada cowok itu untuk hergabung dengan
mereka. Ia berpaling kepada Matt. "Dia cowok yang kuceritakan
padamu tadi malam." Mulut Matt penuh dengan piza dan segumpal keju meluncur ke
dagunya. Ia mengangguk tapi tidak mengangkat kepalanya.
Gabri berjalan ke meja mereka dan berdiri di antara meja-meja,
matanya menatap April. "Kau tak apa-apa" Tadi malam kau lari dan"
" "Sori, ya," kata April. "Aku sungguh malu. Kelakuanku kayak
anak kecil. Tapi aku takut sekali pada kelelawar." Didesaknya Matt
agar merapat ke dinding, lalu ia cepat-cepat bergeser sambil memberi
isyarat Gabri supaya duduk di sebelahnya.
Gabri memakai celana pendek baggy abu-abu dan kaus polo
putih. Matanya berbinar-binar senang melihat ajakan April, dan
senyum hangatnya mengembang sementara ia menyelipkan diri duduk
di sebelah April. "Ini Matt, Todd, dan Jessica," April memperkenalkan mereka
dengan mengangguk ke arah masing-masing. "Kau kenal Gabri?"
tanyanya pada Jessica. Jessica menggeleng. "Tidak," sahutnya sambil menumpangkan
tangan di bahu Todd seakan takut kehilangan. "Kau anak sini?"
"Ya," sahut Gabri. "Aku tinggal di sini sejak lahir."
"Cicipi pizanya," Matt menawarinya, mendorong nampan ke
arah Gabri. "Tidak. Terima kasih," kata Gabri, sambil tersenyum hangat
pada Matt. "Aku baru saja, makan."
"Tadi malam Gabri menyelamatkan nyawaku," April berkata.
"Dia sangat berani."
Gabri mengangkat tangan dengan rendah hati, seakan
membantah pujian itu. "Tidak. Sungguh. Jangan percaya."
"Ceritakan apa yang terjadi," Jessica mendesak, menatap Gabri.
"Yah, jika Matt tak terlambat setengah jam, itu takkan terjadi."
April menyodok Matt dengan sikunya. Matt meringis.
"Ayolah"jangan bikin kami tegang," desak Jessica.
Dipegangnya tangan Todd, diremasnya.
April mengisahkan peristiwa yang dialaminya di pantai malam
sebelumnya. Ia tahu Matt sama sekali tidak menyukai cerita itu. Dia
cemburu, putusnya dalam hati. Cemburu karena Gabri
menyelamatkanku. Mungkin dia malahan cemburu karena aku jalanjalan dengan Gabri di pantai malam hari.
"Ngeri sekali!" seru Jessica begitu April menyudahi kisahnya.
"Aku juga takut sekali pada kelelawar!"
"Tak ada yang perlu ditakuti, sungguh," kata Gabri. Ia
membungkuk di atas meja ke arah Jessica. "Sebenarnya kelelawar tak
menggigit. Itu cuma dongeng."
"Tapi sangat menyeramkan," seru Jessica. Ia memeluk Todd,
hingga sulit bagi cowok itu untuk menghabiskan pizanya.
Gabri mengatakan pada mereka bahwa ia iri pada kelelawar.
Diceritakannya betapa ia selalu ingin bisa terbang. "Pasti asyik sekali
bisa bebas seperti itu, bisa mengembangkan sayap dan melayang,"
katanya. Dia benar-benar cakep, pikir April. Senyumnya sangat manis. Ia
mengambil sepotong piza lagi dan menaruhnya di piringnya. "Matt,
tolong ambilkan bubuk bawang itu," katanya.
"Ya," sahut Matt agak marah, jelas ia jengkel karena melihat
April memandangi Gabri dengan kagum.
April mengambil wadah bawang itu dari tangan Matt dan akan
menaburkannya di atas pizanya"tiba-tiba ia terkejut, karena Gabri
menangkap pergelangan tangannya.
"Sori," kata cowok itu, lalu tiba-tiba mengendorkan
pegangannya. "Sori, April, tapi aku tak suka bau bawang. Kayaknya
aku alergi atau semacam itu." Dilepaskannya tangan April. Ia tampak
malu. "Tak apa-apa," kata April. Ia mengulurkan tangan melewati
Matt untuk meletakkan wadah bawang itu di ujung meja.
Dipandangnya Gabri dengan penuh tanya. "Aku belum pernah dengar
ada orang alergi bawang."
Cowok itu mengangkat bahu. "Ah, sudahlah."
"Aku juga alergi bawang," sela Matt, ditepuknya bahu April
untuk minta perhatian. "Terutama kalau napasmu bau bawang."
Semuanya tertawa kecuali Jessica.
"Panas sekali di dalam sini," katanya, sambil mengipasngipaskan tangannya. Ia menunduk pada Todd. "Kau sudah selesai"
Aku pengin jalan-jalan di pantai untuk mendinginkan badan."
Todd mengangguk dan cepat-cepat menelan gigitan pizanya
yang terakhir. "Ya. Oke. Ayo. Ada yang mau ikut?"
Sedikit rasa jengkel melintas di wajah Jessica. Ia berdiri,
menyibakkan rambut panjangnya ke belakang, dan menarik pinggiran
celana pendeknya yang berwarna magenta.
April melihat mata Matt melotot.
Oke, oke, pikirnya. Jessica memang cantik.
Disodoknya rusuk cowok itu keras-keras. "Jangan sampai
pizamu jatuh." "Hah?" Matt pura-pura tidak tahu apa yang dibicarakannya.
"Sampai ketemu nanti," kata Todd gembira. Jessica menariknya
ke pintu keluar. "Ya. Sampai nanti," ulang Matt, masih sambil memelototi
tungkai Jessica yang langsing panjang.
"Senang berkenalan dengan kalian," seru Gabri pada mereka
berdua. Tapi Todd dan Jessica sudah keluar.
***************************
"Aku suka teman-temanmu," kata Jessica, sambil memegangi
lengan Todd dalam perjalanan mereka ke pantai.
Malam ini hangat dan cerah. Bulan merendah dikelilingi
bintang-bintang yang berkerlap-kerlip hingga membuat pasir
berkilauan. Permukaan pantai berwarna cokelat muda, bergaris-garis
oleh bayang-bayang biru yang bergerak.
"Malam ini ramai sekali. Tak seperti tadi malam," kata Todd.
Sambil menikmati malam hangat, orang-orang mengerumuni
pantai"pasangan-pasangan, kelompok-kelompok, para pejalan kaki,
para pelari, beberapa anak yang belum tidur, mengumpulkan kerang di
bawah sinar bulan yang benderang.
Jessica melepaskan sandalnya dan menarik Todd ke air.
Ombak hijau keunguan mengempas ke tepi laut, lalu menyapu
dengan lembut, bergulung di atas pasir, menggenangi kaki mereka.
"Kau mau ke mana?" Todd bertanya sambil menarik Jessica
kembali. "Bagaimana kalau berenang?" Ia menatap cowok itu dengan
menggoda, bahunya yang telanjang berkilauan seperti kayu putih.
Dengan lembut ia menarik Todd kembali ke air.
"Jangan," sahut Todd, menggelengkan kepala.
Bibirnya mencibir. "Kau tak ingin berenang denganku?"
Ekspresinya berubah kejam. "Kau tak perlu pakai celana renang."
Todd tertawa. "Bukan itu masalahnya. Tapi arus bawah."
"Oh." Mata Jessica menyipit, ekspresinya masih menggoda,
tangannya masih menarik Todd. "Maksudmu kau takut?"
"Ya. Memang," Todd mengakui. "Aku penakut. Maksudku, aku
bukan perenang yang baik."
"Tentu saja," bisik Jessica, angin meniup rambutnya hingga
berkibar-kibar di belakangnya.
"Nggak. Sungguh," Todd bersikeras. "Dan kudengar arus bawah
di pantai sangat ganas malam hari." Melihat kekecewaan di wajah
cewek itu, cepat-cepat ia menambahkan, "Selain itu, aku lebih senang
jalan-jalan denganmu."
Dia sudah bisa mengatasi rasa malunya, pikir Jessica, puas
melihat bagaimana segalanya berlangsung.
Dia tak terlalu berkepribadian, tapi dia termasuk manis.
Nektarnya manis, itu yang penting. Sangat manis.
Dahaganya mendadak tak tertahankan.
"Ayo jalan-jalan di bukit pasir," ajaknya sambil menahan napas
dan meremas tangan Todd, lerlalu ramai di pantai ini."
Todd setuju tanpa ragu. Sambil memeluk pinggang Jessica yang
terbuka, ia melangkah di pasir beriringan dengan cewek itu. Empasan
gelombang laut yang berirama dan teratur mengikuti langkah mereka,
setengah meloncat. Tak lama kemudian mereka hanya berduaan di antara dua
gundukan bukit pasir yang lembut, berjalan tanpa alas kaki melintasi
rerumputan tinggi. Sama-sama menahan napas dan tak sabar lagi.
Mula-mula Jessica mencium bibir Todd, menatap mata Todd
dengan penuh gairah. Lalu, bibirnya bergetar menunggu-nunggu,
taringnya terasa memanjang ke bawah saat mulutnya mendarat ke
leher cowok itu. Ia memejamkan mata dengan perasaan melayang dan akan
menggigit ketika tiba-tiba terdengar jeritan itu.
"Tolong! Tolong"tolong aku!"
Jeritan cewek. Sangat ketakutan. Sangat ngeri.
Sangat dekat. Bab 10 GABRI BERHASIL JESSICA mengerang kecewa.
Hampir, hampir saja. Dan aku haus sekali. Ia membuka matanya dan melihat Todd menoleh ke arah jeritan
itu dan mulai bergegas mendaki bukit pasir, sandalnya membuat pasir
berhamburan, berlari melintasi rerumputan.
Ketika Jessica menuruni bukit pasir, orang-orang berkerumun
mengitari cewek yang ketakutan itu. Suara-suara penuh perhatian
yang berusaha menenangkan dan wajah-wajah penuh ingin tahu
merubung si cewek yang terisak-isak histeris.
Jessica menerobos lingkaran menuju ke tengah. Seorang lakilaki dan seorang wanita memeluk bahu seorang cewek, mencoba
menenangkannya. Ketika cewek itu menurunkan tangannya yang
menutupi mukanya, Jessica melihat mukanya yang tembam dan
bundar, rambutnya yang hitam acak-acakan sepanjang bahu. Ia
memakai celana sepeda hitam dan kaus pink yang gombrong.
Cewek itu berhenti menangis, tapi bahunya masih berguncangguncang.
"Coba katakan apa yang terjadi," desak wanita yang
memeluknya. "Coba ceritakan pada kami."
Cewek itu membuka mulut akan bicara, tapi tangisnya kembali
meledak. Diangkatnya kedua tangannya ke wajahnya, lalu dengan
hati-hati menurunkan satu tangan ke lehernya.
"Ada apa?" "Apa yang terjadi?"
"Apa dia terluka?"
Suara orang-orang yang berkerumun itu semakin keras ketika
semakin banyak orang ingin tahu yang ikut bergabung. Jessica
mencari-cari Todd, akhirnya melihat cowok itu di seberangnya.
"Aku digigit," kata cewek itu akhirnya sambil mengertakkan
gigi. "Aku digigit."
Kegaduhan mereda, orang-orang berhenti bertanya, mendesak
maju, menunggu keterangan berikutnya.
"Dia digigit nyamuk," bisik seorang cowok di belakang Jessica
dengan keras, dan temannya yang kurus nyengir.
"Kelelawar!" teriak cewek itu, satu tangannya menunjuk ke
langit dan tangannya yang lain tetap memegangi lehernya. "Kelelawar
itu terbang ke bawah. Menyambar bahuku. Menggigitku!"
Jessica mendengar suara-suara memekik kaget, ngeri. Seorang
anak perempuan kecil di belakang kerumunan langsung menangis.
Sang ayah cepat-cepat menggendongnya dan meninggalkan
kerumunan itu. "Bawa dia ke dokter," seru seseorang.
"Lehermu akan kugigit!" cowok di belakang Jessica berbisik
pada temannya sambil cekikikan, menirukan vampir Bela Lugosi yang
sedang marah, kedua tangannya meraih leher temannya.
"Nggak lucu," kata cewek tinggi berambut hitam dengan ketus.
"Kelelawar itu mungkin rabies."
"Kau yang mungkin rabies!" balas cowok itu. Menurut
temannya balasan itu telak.
Cewek yang digigit kelelawar itu dibawa oleh kedua orang itu
ke kota. Tangisnya sudah berhenti tapi ia masih memegangi lehernya.
"Di mana orangtuamu?" tanya wanita itu.
"Aku tak tahu," Jessica mendengar cewek itu menjawab,
suaranya melengking dan ketakutan. "Aku tak tahu."
"Naik mobil kami saja. Kami akan membawamu ke rumah
sakit," kata si laki-laki.
Cewek itu mengatakan sesuatu, tapi mereka sudah terlalu jauh
sehingga Jessica tidak dapat mendengarnya. Begitu mereka
meninggalkan pantai, kerumunan orang itu mulai ramai.
Semua orang serempak mulai bicara. Jessica melihat beberapa
orang ketakutan. Beberapa terkejut. Beberapa menggeleng-geleng
tidak percaya. "Ada apa?" "Cewek itu jatuh atau kenapa?"
"Apa yang terjadi?"
"Apa ada yang tenggelam?"
Suara-suara kaget, suara-suara bingung, semakin mengalahkan
debur ombak laut, diselingi tawa gelisah.
Jessica memasang ekspresi ketakutan di wajahnya, dan
gemetaran ketika Todd menghampirinya. "Jessica"kau tak apa-apa?"
tanya cowok itu penuh perhatian.
Ia memeluk dirinya sendiri dan menggeleng. "Oh, aku benci
kelelawar!" serunya. "Mengerikan."
Todd memegang tangannya. "Kau sedingin es!" Diremasnya
tangan Jessica. "Kasihan cewek itu," desah Jessica sambil bergidik dengan


Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meyakinkan. Ia memegangi lehernya, seolah sedang membayangkan
seperti apa rasanya digigit kelelawar.
"Seperti vampir atau yang sejenisnya," kata Todd.
"Aduh"sudahlah," kata Jessica, sambil berpegangan pada
lengan Todd. "Aku takut sekali." Dengan waswas ia melihat ke atas ke
langit gelap, seolah mencari-cari kelelawar. Ia tersenyum saat Todd
merangkul bahunya yang gemetar.
Gabri berhasil, pikir Jessica jengkel sambil berpura-pura
ketakutan. Gabri-lah kelelawar itu. Gabri menggigit cewek itu.
Aku tahu itu Gabri. Dia melihat aku berhasil mendekati Todd. Dia melihat aku
sudah dua kali hampir mencicipi nektar. Dan dia berusaha
menggagalkannya. Dia tahu aku tak mungkin berhasil dengan adanya
cewek yang menjerit-jerit histeris di pantai tadi.
Dasar curang. Jelas Gabri akan melakukan apa pun untuk menghentikanku.
Yah, tapi kau tak bisa menghentikanku, pikir Jessica sengit,
kemarahannya mendorongnya untuk memperkuat keyakinannya.
Kau tak bisa menghentikanku, Gabri. Kau terlambat.
Dua isapan nektar lagi dan Todd yang malang dan tak curiga
jadi milikku. Ditatapnya Todd dengan malu-malu. Lihat dia, pikirnya,
menahan diri untuk tidak tertawa keras. Anak malang. Dia jatuh cinta
setengah mati padaku. Dikiranya ini liburan musim panas yang paling
beruntung dalam hidupnya.
Aku ingin tahu apakah dia akan masih merasa sedemikian
beruntung ketika dia tahu dirinya jadi apa. Aku ingin tahu apakah dia
akan masih merasa beruntung ketika dia tahu dirinya menjadi
Makhluk Abadi, tak bisa mati, tak bisa hidup.
Sangat haus. Selalu sangat haus.
Ia mendesah dan menempelkan wajahnya ke lengan cowok itu.
Tiba-tiba mulutnya terasa sangat kering. Ia dapat merasakan nektar,
merah tua, kental, dan hangat.
"Ayolah, Todd," bisiknya. "Bawa aku menjauh dari sini. Aku
sangat... ngeri." Todd mengangguk, memeluknya erat-erat, dan melangkah
menuju ke kegelapan. Bab 11 KENCAN PERTAMA BEBERAPA malam kemudian April berjalan di antara
keramaian di Main Street untuk menemui Matt. Toko-toko dan
restoran-restoran yang dilewatinya terang benderang dan dipenuhi
pengunjung. Ia berjalan berkeliling-keliling untuk melihat-lihat
etalase-etalase. Orang-orang di sekitarnya berwajah berseri-seri merah
terbakar matahari, dan penuh senyum, mereka mengenakan baju
berwarna-warni dan celana pendek atau rok.
Setelah melewati setengah blok, April dapat melihat sudut jalan
di depan Swanny's tapi tidak melihat Matt. Padahal di sanalah tempat
mereka janjian ketemu. Semoga dia tak terlambat lagi, pikirnya,
melihat jam tangannya sekilas sambil menyeberang jalan.
Sebuah sepeda motor berderum di belakangnya, ia langsung
meloncat ke trotoar. "Hei?" Ia menoleh dan hanya sempat melihat
punggung dua cowok berambut gondrong pirang, ngebut ke arah area
pasar malam. Pasar malam itu sudah buka belum ya, pikir April sambil
menyusup di antara kerumunan kembali mencari-cari Matt. April suka
pasar malam. Ia suka wahana-wahana dan permainan-permainan
konyolnya, serta aroma popcorn dan harum manisnya. Mungkin Matt
mau jalan-jalan ke sana, pikirnya.
April telah berjanji pada kedua adik kembarnya akan mengajak
mereka ke pasar malam itu. Itu berarti sepanjang malam bertengkar
mengenai wahana mana yang akan dinaiki berikutnya dan siapa yang
duduk di depan dan siapa yang di belakang.
"Matt"kau di mana sih?" serunya memanggil.
Ia melongok ke tempat game"dan melihat cowok itu di bagian
agak belakang. Matt dan Ben sedang membungkuk di atas salah satu
game, memandangi layarnya dengan serius sementara seorang cowok
lain memutar-mutar kemudinya dengan seru.
"Hai, Matt! Matt!" April sendiri tidak dapat mendengar
suaranya di antara bunyi ledakan, tembakan, lengkingan peluit,
lengkingan sirene, dan bunyi tabrakan yang bergema di lorong
panjang itu. Ketika akhirnya Matt menoleh ke pintu, ia tampak terkejut
melihat April. Apakah dia lupa sudah janjian ketemu" pikir April.
Matt bergegas meninggalkan game itu dan menghampiri April,
wajahnya menunjukkan rasa bersalah. "Oh. Hai." Matt mengikuti
April keluar ke trotoar. "Kau baru saja sampai di sini?"
"Ya." April mengangguk.
"Kau kelihatan cakep. Itu kaus baru, ya?"
April sedang mengenakan kaus biru pucat dengan leher V yang
sudah kira-kira seribu kali dipakainya. "Bukan, Matt. Ada apa?"
"Uh... aku ketemu Ben. Kami main beberapa game dengan
beberapa anak. Iseng-iseng saja sih, seperti biasanya."
"Jadi malam ini kau kepingin ngapain?" tanya April, matanya
mengikuti Jaguar convertible berwarna krem yang sedang berbelok di
tikungan menuju ke Dune Lane.
"Mobil bagus," celetuk Matt.
"Menurutku Jaguar memang asyik," kata April sambil
tersenyum. "Harganya juga asyik," lanjut Matt sambil balas nyengir pada
April. "Pertanyaanku belum kaujawab, Matt. Apa pasar malam itu
sudah buka?" Matt mengangkat bahu. "Mau nggak melihatnya ke sana?" tanya April, sambil
menengok ke arah lapangan pasar malam. Sorot cahaya kuning
menerangi langit di arah itu, lampu-lampu sorot menandakan bahwa
pasar malam itu telah dibuka.
"Yah..." Matt ragu-ragu. "Malam ini ada Friday the 13th,
pemutaran tiga film sekaligus itu."
Ia menunjuk ke gedung bioskop di seberang jalan, di mana
sudah ada antrean, sebagian besar remaja, menunggu loket karcis
dibuka. "Aku dan Ben pengin sekali nonton. Kalau kau?"
April menggerung marah. "Kau kan tahu aku tak suka film-film
begituan! Kenapa aku mesti pengin nonton seonggok cewek cantik
dipotong dan diiris-iris" Itu cuma sampah yang melecehkan
perempuan, Matt!" "Ya, aku tahu," sahut Matt, matanya tetap tertuju pada antrean
yang makin panjang itu. Benar-benar nggak masuk akal! pikir April, kemarahannya.
menjadi-jadi. Sepanjang waktu Matt bersama Ben dan gerombolan
cowok itu. Dia bersemangat sekali nonton film-film konyol ini, dia
malahan tak ingat sudah janjian denganku!
"Yakin nih kau tak mau ikut?" tanya cowok itu, sambil
menghindari tatapan April. Dengan gugup ia mengusap rambutnya ke
belakang sambil melirik ke tempat game, mencari teman-temannya.
"Ya, aku yakin," sahut April, tanpa menyembunyikan marahnya
lagi. "Kau nggak bosan ya dengan cerita horor begituan?"
"Nggak," sahut Matt cepat, sambil nyengir.
Roman muka April tampak muak. "Kalau begitu aku mau ke
sana," katanya pelan.
Ia berharap cowok itu akan mencegahnya pergi. Ia berharap
Matt mengubah rencananya, memberitahu Ben dan anak-anak lainnya
bahwa ia batal nonton. "Yah, besok malam kita akan pergi berdua," Matt malah berkata
demikian. "Pergi ke pasar malam itu atau yang lainnya."
April berbalik menjauhi Matt. "Ya. Oke," gumamnya dan mulai
melangkah. "Besok kutelepon kau!" seru Matt.
Kenapa aku tak memberitahunya betapa hebat kemarahanku"
April bertanya pada diri sendiri, sambil menyusupkan tangannya ke
saku celana pendeknya dan cepat-cepat menjauhi tempat game itu.
Kenapa aku tak memberitahunya aku marah sekali padanya" Kenapa
aku cuma bilang, "Ya, oke," dan berjalan pergi"
Ia sadar bahwa ia marah pada diri sendiri seperti pada Matt.
Mungkin sebaiknya aku nonton film dengannya, pikirnya.
Nggak. Nggak usah ya. Cepat-cepat dihapusnya pikiran itu.
Aku yang selalu mengalah, yang selalu berkompromi.
Dikiranya dia bisa melakukan apa pun yang diingininya.
Liburan ini berubah jadi menyebalkan, pikir April,
kemarahannya memuncak. Sepanjang hari aku mengurus adik-adikku
yang bandel di pantai. Lalu malamnya Matt lebih suka bepergian
dengan cowok-cowok itu daripada melewatkan waktu denganku.
April mulai menyeberangi Seabreeze Road dekat Mini Market,
berjalan cepat. Ia sibuk dengan kemarahannya sendiri hingga
menabrak seseorang yang menyeberang dan arah yang berlawanan.
"Oh!" Ia terkejut, terhuyung-huyung mundur, berusaha menjaga
keseimbangan tubuhnya. Mula-mula ia melihat pullover merah marun, lalu jins hitam.
Lalu ia melihat wajah tirus, pucat, ekspresinya sekaget dirinya.
Kemudian ia mengenali wajah itu. "Gabri!"
"Oh, hai!" seru cowok itu, masih tampak terkejut. "Aku tak
melihatmu." "Aku juga nggak melihatmu," sahut April tersipu-sipu. "Kau tak
apa-apa?" "Ya, kupikir begitu." Gabri mengusap rambut hitamnya ke
belakang dan melontarkan seulas senyum yang meyakinkan. "Kau
terburu-buru. Mau ke mana?"
"Nggak ke mana-mana," aku April. "Aku buru-buru entah ke
mana." April bermaksud bercanda, tapi kelihatannya Gabri tidak
menangkap maksudnya. Terdengar klakson. Mereka berdua meloncat dan sadar sedang
berdiri di tengah jalan. "Ayo," ajak Gabri. April mengikutinya ke
trotoar sementara mobil itu meluncur pergi, sambil membunyikan
klaksonnya lagi. "Kau bersama Matt?" tanya Gabri, ia berhenti di depan Mini
Market. "Jangan tanya ah," gerutu April.
Mata Gabri tampak bersinar-sinar. "Hah?"
"Nggak, aku nggak bersama Matt," sahut April, menyadari
kemarahannya belum menghilang.
Gabri melangkah ke bawah lampu jalan, memberi jalan pada
wanita yang baru saja keluar dari toko bahan pangan, kerepotan
membawa tiga tas penuh makanan.
"Kau pasti anak yang terpucat di dunia!" kata April sambil
tertawa. Sekali lagi Gabri tidak tersenyum. Sebenarnya, sesaat ia sempat
tampak waswas mendengar komentar April. Tapi cepat-cepat ia
mengoreksi diri dan kembali tersenyum hangat. "Gara-gara
pekerjaanku," jelasnya, ia menjauhi lampu, kembali ke tempat gelap
dekat dinding gedung. "Aku kerja sepanjang hari. Aku tak pernah
sempat ke pantai sampai malam tiba. Susah kan berjemur di bawah
sinar bulan." "Kau kerja di mana?" tanya April.
"Di kota dekat kota ini," sahut Gabri setelah diam sejenak.
"Apa pekerjaanmu?"
"Apa pun yang diperintahkan padaku," jawab Gabri. "Bukan
pekerjaan yang menarik."
April menyadari Gabri terus menatap matanya sementara
mereka berbicara. Apakah dia tak pernah berkedip" tanya April dalam
hati. Lalu pikirnya: Matanya tampak sangat... dalam. Seperti
terowongan. Seperti terowongan yang menarikmu semakin dalam,
semakin dalam. Karena pusing, ia mengulurkan tangan ke dinding gedung agar
tidak jatuh. "Pasar malam itu buka malam ini," kata Gabri. "Mau ke sana?"
"Ya," sahut April, tanpa berpikir lagi.
Kemudian ia teringat pada Matt. Dan berpikir, Matt takkan suka
ini. Aku akan pergi ke pasar malam itu dengan cowok lain.
Lalu ia berpikir: Aku tak peduli. Dia kan lebih suka
menghabiskan waktunya dengan Ben dan cowok-cowok itu dengan
nonton film konyol itu. Dia tak peduli apa yang kulakukan.
Aku juga punya hak untuk bersenang-senang.
Kemarahannya meletup lagi, lalu memudar saat ia menatap ke
dalam mata Gabri. Cowok itu tersenyum hangat padanya. "Yah, ayo pergi."
Ini gampang sekali, pikir Gabri, diselipkannya lengannya
melingkari bahu April ketika mereka berjalan menuju ke pasar malam.
Ini nyaris terlalu gampang.
April takkan mempersulit sama sekali.
Bab 12 TAK SEMPAT MENGACA "YUK naik Twister," ajak April, sambil memandangi mobilmobil logam yang maju tiba-tiba dan berputar-putar. Pekik para
penumpangnya menembus kelembutan udara malam.
Gabri menudungi matanya dari sorot lampu warna-warni di
sepanjang tepi atas wahana itu. "Nggak ah," Gabri menolak, sambil
menggeleng dan tetap menggandeng April. "Aku suka beberapa
wahana, tapi bukan yang bikin pusing seperti itu."
"Aku juga," April setuju, mengitarkan pandangannya ke seputar
lapangan pasar malam itu, ke sorot lampu beraneka warna, dan ke
deretan panjang stand permainan yang dinding latarnya ditutupi
dengan banyak sekali hadiah berupa boneka binatang.
"Kau pernah naik Gravitron?" tanya April.
"Apa itu?" tanya Gabri heran, masih sambil menudungi
matanya. "Kukira kau belum pernah," kata April menggodanya.
Mereka berjalan-jalan, melihat-lihat wahana-wahana itu.
Banyak yang sepi dan kosong, menunggu penumpang. Pasar malam
itu baru dibuka sejam yang lalu, dan belum banyak orang yang datang.
Embusan angin laut terasa hangat dan lembut. April senang
telah memutuskan pergi dengan Gabri. Cowok itu menyenangkan dan
ramah meski dengan gayanya yang kuno. Sangat berlawanan dengan
Matt, pikir April kesal. Kemarahannya telah hilang, tapi ia ingin tahu apakah Matt akan
peduli bahwa April pergi dengan cowok lain.
"Kau suka carousel?" Gabri bertanya ketika mereka berjalan
mendekati wahana itu. "Ini membosankan, ya" Lihat"bagian kepala
kuda itu sudah copot."
"Ih, memang," April setuju. "Carousel terlalu pelan dan
kekanakan." Si kembar akan kuajak ke sini besok malam, pikirnya.
"Malam ini kayaknya kau lagi nggak mood, ya?" tanya Gabri,
menatap April. "Mungkin," sahut April malu-malu, merasakan daya tarik mata


Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang gelap itu. Mereka berjalan di sepanjang deretan kios permainan. Seorang
anak kecil sedang berdiri di atas meja salah satu stand, akan melempar
ke dinding yang penuh balon. Gadis petugas yang berada di balik meja
sedang merunduk menghindar, sekitar tiga meter jaraknya.
Tiba-tiba April meraih tangan Gabri dan menariknya. "Ayo.
Aku tahu apa yang asyik."
Gabri balas menarik, ragu-ragu. "Apa itu?"
"Akan kutunjukkan padamu," sahut April. "Jangan jadi penakut
terus ah." Ditariknya lengan cowok itu kuat-kuat, dan dengan ragu
Gabri membiarkan dirinya diseret melintasi rumput, melewati standstand permainan ke bangunan tinggi di belakang lapangan.
"Ayo...," desak April tak sabar. "Kita ke Rumah Kaca!"
"Tidak!" protes Gabri.
Tetapi April sudah membeli dua lembar tiket dari petugas yang
tua dan tampak bosan, lalu menarik temannya yang ragu-ragu itu ke
jalur landai yang menuju ke pintu masuk.
"Sungguh! Aku tak suka ini!" Gaby berhenti melangkah.
April tidak melepaskannya. "Kau memang benar-benar
penakut," ejeknya. "Ayo, Gabri. Ini tak mengerikan sama sekali! Nanti
bisa kaubuktikan!" April menariknya masuk, agak terkejut dengan ketakutan
cowok itu. Di dalam, terdapat gua sempit dengan dinding-dinding gelas
dan kaca yang berliku-liku tanpa akhir. April tertawa melihat enam
bayangan dirinya. Di mana jalan keluarnya" "Hei, Gabri?"
Tapi Gabri jauh di belakangnya.
"Gabri"kau tak apa-apa?" tanya April.
"Kupikir begitu!" April mendengar suaranya dari suatu tempat
di belakang dinding kaca.
Apakah kami sendirian di sini" tanya April dalam hati. Ia tidak
mendengar suara lain atau detak langkah lain di sepanjang lantai
logam itu. Ia membungkuk saat melewati sebuah pintu, berkedip-kedip
melihat beberapa bayangan, lalu berbelok masuk ke koridor kaca yang
sama persis. "Hei, Gabri!" Apakah itu dia ataukah hanya bayangannya"
"Hai, Gabri"Aduh!"
Keningnya nyeri saat ia melangkah ke arah bingkai kaca yang
dikiranya jalan keluar dan menabraknya. Dipejamkannya matanya dan
diusap-usapnya keningnya yang sakit, ia menertawakan dirinya sendiri
yang telah terkecoh. Ketika ia membuka mata, ada setidaknya delapan bayangan
yang sedang memandanginya. Di salah satu kaca, bayangannya
tampak berkali-kali, makin lama makin kecil dan makin kabur saat
menyusut hingga kecil tak terhingga.
"Hei, kayaknya aku nyasar!" teriaknya. "Gabri, di mana kau?"
"Di sini," terdengar gumam sahutan. April berbalik, mengira
cowok itu ada di belakangnya, tapi hanya melihat beberapa bayangan
dirinya yang terkejut. Sambil meraba-raba sepanjang kaca, April menemukan jalan
keluar, melangkah masuk ke ruangan yang lebih gelap. Lampu pijar di
dalam sana berkedip-kedip, hingga bayangannya tampak hijau
mengerikan, saat balas memandanginya. Ekspresinya jadi
menjengkelkan dan kacau. Ini tak selucu yang kubayangkan, pikirnya, ia salah mengira
sebuah bingkai kaca bening sebagai pintu keluar dan lututnya
menabrak. "Auw."
Apakah aku bolak-balik di sini-sini juga" tanyanya dalam hati.
Apakah aku takkan keluar dari sini"
"Hei, Gabri?" Tak ada jawaban. "Gabri?" April memutuskan menunggu saja di sana, tidak beringsut
sampai Gabri menemukannya.
Kenapa Gabri tidak menjawabnya" Mungkin Gabri tidak
sedang menuju ke arahnya.
April memutuskan berjalan kembali, menyusuri kembali
jejaknya tadi. Tapi itu tidak semudah kedengarannya.
Sambil berjalan hati-hati, tangannya menelusur di sepanjang
kaca, ia mengikuti bayangannya ke ruangan dengan lampu pijar yang
berkedip-kedip itu. "Gabri" Di mana kau?"
Dan lalu ia melihat Gabri sekilas, membungkuk rendah,
memandang lurus ke depan.
Apakah itu bayangannya" Ataukah itu dia sendiri"
April bergerak mendekat, namun hanya bisa melihat satu sosok.
"Gabri?" Itu pasti dia. Di mana bayangan-bayangannya"
Di sini panas sekali, pikirnya, tiba-tiba rasa panas dan gatal
menyerang seluruh tubuhnya.
Sangat panas. Sangat tak enak.
Lutut dan keningnya masih memar, mengingatkannya akan
tumbukan dengan kaca itu.
"Gabri"di sini!"
Gabri memejamkan matanya sekejap, lalu membukanya untuk
memandangi kaca-kaca tanpa bayangan, sangat kosong, sangat hampa,
sangat... mencurigakan. Di sini panas sekali, pikirnya. Atap-atapnya terlalu rendah.
Seperti"peti mati. Peti mati kaca. Aku haus sekali sekarang. Panas dan haus sekali.
Aku sangat membutuhkan nektar sekarang.
"Gabri!" Ia dapat mendengar April memanggilnya, seakan
cewek itu tahu ia membutuhkannya. "Gabri"di sini! Kau bisa
melihatku?" Aku dan April sendirian di sini, ia menyadari.
Benar-benar hanya berdua. Dan aku sangat haus.
Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi.
Aku harus mendapatkan nektar.
Cermin-cermin hampa seakan balas mengawasinya saat ia
mengendap-endap menuju ke arah April.
Itu dia di sana, pikirnya, berbelok di sudut, mencariku.
Mencariku di kaca-kaca itu.
Yah, kau takkan melihatku di kaca, April.
Aku sendirian malam ini. Aku datang untukmu. Gabri menggapai April"dan menabrak kaca.
Ia melompat terkejut, sesaat silau oleh sinar lampu.
Ia berbalik dan melihat bayangan gerakan.
"Gabri!" April memanggilnya.
Ia mengulurkan kedua lengannya lalu menyambar April dari
belakang. Sekali lagi tangannya menabrak kaca.
Bayangan-bayangan ini melindunginya, pikirnya. Mereka
mengejekku. Mengejekku! Kemarahannya semakin menjadi-jadi karena kedahagaannya.
Aku harus minum sekarang! Harus!
April melihat Gabri mendatanginya, tangannya terulur ke
depan, jalannya tidak mantap, seolah buta akibat lampu. Seharusnya
aku tak menariknya masuk ke sini, pikir April dengan rasa bersalah.
Kelihatannya dia tak menikmati.
Dengan dikelilingi bayangan-bayangannya, April memanggil
Gabri. "Gabri"ke sini!"
Gabri menurunkan tangannya dan berputar menghadap April,
senyum aneh menghiasi wajahnya, senyum lega, bagaimanapun ia
masih... jengkel. "Kau di sana." Suaranya seakan melayang dari jauh.
Ketika ia berjalan menghampiri April, menyusuri sepanjang
dinding kaca, matanya menyala-nyala menatap ke dalam mata April,
ruangan sempit itu seakan mengimpit April, dan semua kaca tertutup
kabut. "Gabri?" ia mulai, tapi kabut turun.
Satu-satunya cahaya sekarang hanya berasal dari mata Gabri.
Cowok itu masih berjalan menghampiri, akhirnya ia
memutuskan menunggu April.
"Gabri"di mana bayanganmu?" tanya April sambil melamun.
"Di sini terlalu gelap," sahut Gabri, terdengar jauh sekali,
berkilo-kilometer, jauh di balik kabut.
"Tapi aku tak bisa melihat bayanganmu."
"Aku ada di sini," kata Gabri, sinar kelabu dingin dari matanya
menembus mata April. April kembali ke dalam bayangan-bayangannya. Saat Gabri
bergerak mendekat, ia dapat merasakan dirinya masuk ke bayangbayang yang tak terhingga jumlahnya, semakin kecil dan semakin tak
kelihatan ketika ia melebur ke dalam dunia kaca, dunia yang semakin
gelap. Ketika ia masuk kembali, Gabri mencondongkan badan ke
depan. Lalu, sambil mengerang penuh kemenangan, Gabri menunduk
dengan penuh nafsu untuk mencium.
Bab 13 RODA NASIB "APA yang terjadi?" April keheranan, melayang-layang dalam
kegelapan dunia kaca. "Ada yang menciumku?"
Lalu ia mendengar decit sepatu sneakers di lantai logam.
Tawa. Teriakan-teriakan anak-anak.
Kabut mulai naik. Bayangan-bayangan di kaca semakin bersih,
semakin terang. Terdengar derak keras. Seorang anak perempuan kecil mulai menangis, menggerunggerung kesakitan.
"Apa itu?" seru April, ruangan penuh kaca itu tiba-tiba terang
menyilaukan mata, semua bayangannya tampak membelalak dan
bersamaan mengajukan pertanyaan itu.
Enam April berjalan menjauhi kaca, enam mulut bertanya, "Apa
itu?" Gabri memalingkan kepalanya, berharap taring-taringnya
kembali masuk ke mulutnya, mencoba menghentikan napasnya yang
terengah-engah, menahan erangannya, menyembunyikan
kekecewaannya. Saat ia berpaling kembali, April sedang berlari ke arah anak
perempuan itu yang membenturkan kepalanya ke kaca. April
menggendongnya dan mencoba menenangkannya sementara beberapa
anak lainnya berkerumun mengelilingi.
Karena merasa kedudukannya tidak aman tanpa adanya
bayangannya di ruangan bercermin itu, Gabri menyelinap membelok.
"Kau kutunggu di luar," serunya pada April, menyingkir dari anak
perempuan yang menangis, anak-anak yang menjerit-jerit, dan gema
langkah kaki-kaki yang mendekat di lorong.
Ia bergegas melewati pintu keluar, memasuki malam yang
hangat, bersembunyi di dalam kegelapan, roman mukanya masih
tegang akibat kecewa. Hampir saja. Hampir saja.
Ia membayangkan Jessica dan Todd, cowok yang tergila-gila
padanya. Berhasilkah Jessica malam ini" Apakah Jessica sedang
menikmati nektar, memuaskan kedahagaannya, memenangkan taruhan
mereka" Ia tertawa geli, ingat bagaimana ia telah membuyarkan
kesempatan Jessica beberapa malam lalu, bagaimana ia mengganggu
Jessica tepat pada saat ia hampir meraih kemenangan, bagaimana ia
menyerang cewek itu, bagaimana jerit ketakutan cewek itu
membatalkan Jessica mendapatkan nektarnya.
Sambil tetap berada dalam kegelapan, Gabri mendesah,
sementara matanya terpaku pada pintu keluar yang dilewatinya tadi. Ia
senang telah menghalangi Jessica, tapi tahu Jessica telah mendapat
kemajuan. Jessica telah menikmati nektar. Cowok yang tidak curiga
itu nyaris berada dalam kekuasaan Jessica, hampir menjadi Makhluk
Abadi. Ia tidak bisa membiarkan Jessica menang. Tidak bisa.
Mungkin aku harus melakukan sesuatu yang drastis untuk
menghentikannya, sesuatu yang sedikit lebih menyenangkan daripada
menciptakan keanehan di pantai, pikirnya, sambil mengawasi April
yang berjalan keluar dari Rumah Kaca.
Sementara bibirnya membentuk seulas senyum, Gabri
melangkah keluar dari kegelapan dan menghampiri April. "Akhirnya
kau keluar juga. Anak itu tak apa-apa, kan?"
"Ya. Baik-baik saja," sahut April, bergegas mendekati Gabri.
"Kau pasti cepat-cepat menyingkir keluar tadi."
"Ya. Aku tahu," kata Gabri malu-malu. "Aku"maksudku,
tempat itu membuatku ngeri. Aku tak tahan melihat diriku sendiri
begitu dekat seperti itu."
April tertawa. "Kau kelihatan tak apa-apa dari dekat." Mereka
mulai berjalan melintasi lapangan pasar malam, menghindari anakanak yang berlarian ke sana kemari, melewati kelompok-kelompok
remaja dari kota dan pantai yang tertarik setelah tahu pasar malam itu
sudah dibuka. "Aku juga merasa agak aneh di sana," April mengakui,
digandengnya lengan Gabri. "Semua cermin dan lampu aneh itu.
Mataku mulai menipuku. Kupikir aku melihatmu" tanpa bayangan
satu pun!" "Aneh," kata Gabri, tersenyum.
Mereka berjalan melewati stand-stand permainan. April
menarik Gabri untuk berhenti di depan kios minuman dan makanan.
"Aku mau Sno Cone," kata April. "Yang biru. Kau mau yang mana?"
Wajah Gabri tampak jijik. "Tidak, aku tak mau. Tak mau apaapa."
April menarik keluar uang satu dolar dari tasnya, menghampiri
antrean. "Pernah nggak kau heran kenapa tak ada makanan biru?"
tanyanya. "Aku selalu makan Sno Cone biru," lanjutnya, tidak
memberi Gabri kesempatan untuk menjawab, "karena ini satu-satunya
makanan biru asli yang ditemukan di alam kehidupan."
Ia menunggu Gabri tertawa. Karena cowok itu tidak
menanggapi, April mengatakan ia hanya bercanda. Tiba-tiba Gabri
tampak bingung, seakan ia memang tidak mendengar apa pun yang
diucapkan April. Mereka berjalan melewati wahana-wahana anak-anak, sebuah
kereta api kecil berputar-putar dalam lingkaran kecil, pesawat-pesawat
jet yang melesat hampir dua meter dari atas tanah sambil berputar, dan
tawa anak-anak kecil yang gembira. April sedang menikmati Sno
Cone-nya. "Rasanya nggak biru," katanya, menawari Gabri agar
mencicipinya. Gabri menolak, lalu tersenyum lebar sambil menatap wajah
April. Bibir biru. Es itu membuat bibir April jadi biru.
Dia kelihatan seperti mati, pikirnya. Sudah mati, dan aku
bahkan belum sempat menancapkan taringku ke lehernya.
Bibir biru April mengejeknya, menggodanya, menyiksanya.
Aku harus membawanya ke tempat sepi, pikirnya, mulutnya
sangat kering, kering dan bersisik, kering seperti mati.
Aku harus mencoba lagi. Dan kali ini aku harus berhasil.
"Bagaimana kalau kita naik kincir angin ria?" tanya April,
melemparkan cangkir kertas bekas es ke dalam keranjang sampah,
mengusap bibir birunya dengan punggung tangannya.
"Ya!" seru Gabri. Terlalu cepat. Terlalu antusias.
April tertawa, tercengang melihat reaksi Gabri. "Kau benarbenar suka kincir angin ria" Apa tak membuatmu pusing?"


Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak," sahut Gabri, berjalan mendului ke arah kincir angin ria
yang sedang berputar di bagian depan lapangan dekat tempat parkir.
Antreannya pendek. Mereka tidak perlu lama menunggu. "Aku suka
berada di tempat tinggi, rasanya seperti terbang."
"Kita bisa melihat lautan dari puncaknya," kata April,
menanggapi antusiasme Gabri. "Dan semua bagian kota."
"Ketika masih kecil, aku suka pura-pura aku bisa terbang," kata
Gabri, jarinya mempermainkan karcis. Antrean itu bergerak maju.
"Lenganku kubentangkan dan aku meluncur di atas pohon-pohon.
Anak-anak lain menertawakanku, tapi aku tak peduli. Aku pura-pura
bisa terbang menjauhi mereka."
"Lucu," kata April, "aku bisa membayangkanmu waktu anakanak."
Sebenarnya ia tidak bermaksud serius, tapi Gabri tampak
tersentak mendengar ucapan itu. Hanya sesaat ia mengerutkan kening,
tapi cukup lama bagi April untuk bisa melihat perasaan terluka di
matanya. Ia akan mengatakan sesuatu, untuk minta maaf, tapi operator
kincir angin ria, seorang laki-laki gemuk dengan rambut gondrong
berminyak, mengenakan kaus lengan panjang yang hanya menutupi
separo perutnya, menyuruh mereka naik ke wahana yang telah
menunggu itu. April meloncat ke dalam kereta yang terayun-ayun itu, lalu
berbalik dan menolong Gabri naik dengan menariknya. Gabri
menatapnya tak yakin, lalu duduk bersandar di tempat duduk plastik,
yang masih hangat bekas penumpang sebelumnya. Sabuk pengaman
tersilang pada paha mereka.
Kemudian kereta itu terayun-ayun makin keras dan terangkat ke
atas, hanya beberapa meter lalu berhenti tiba-tiba. Seseorang sedang
menaiki kereta di bawah mereka.
"Aku tak bisa melihat banyak dari sini," April bercanda.
Gabri tersenyum, senyum samar yang ganjil, seakan pikirannya
sekali lagi melayang jauh.
Tiba-tiba April teringat pada Matt. Pasti saat ini dia sedang
meringkuk di kursi bioskop, menonton para remaja yang disayat-sayat
dan menikmati semburan darah yang menyusulnya.
Dan di sini April bersama seorang cowok baru. Cowok aneh.
April menyadari ia tertarik pada cowok ini meskipun mereka nyaris
tidak bercakap-cakap. "Kau punya pacar nggak?" tanyanya, kata-kata itu meluncur
begitu saja dari mulutnya sebelum sempat dipikirkannya. Mungkin dia
sedang membayangkan seseorang yang lainnya, pikir April. Mungkin
itulah sebabnya dia melamun terus-menerus, tampak banyak pikiran
dan serius. Tampaknya pertanyaannya berhasil menyentakkan Gabri dari
lamunannya. "Tidak, sebenarnya tidak," jawab Gabri.
Kereta mereka terayun lagi, bergoyang maju-mundur. Lalu
terangkat ke posisi yang lebih tinggi sebelum mendadak berhenti lagi.
Udara di atas sini lebih dingin, batin April, sambil berpaling
membiarkan angin semilir meniup rambutnya. Memandang langit di
atas, ia mencari-cari bulan, namun bulan tersembunyi di balik tirai
awan yang merendah. "Moga-moga tak terlalu gelap, jadi laut masih bisa kelihatan,"
katanya pada Gabri, yang juga sedang memandangi langit.
Begitu kami berada di tempat tertinggi, pikir Gabri, itulah
saatnya. Terlalu tinggi hingga orang-orang tak bisa melihat ke dalam
kereta ini. Terlalu jauh hingga orang-orang tak heran, tak protes. Terlalu
jauh hingga takkan ada orang yang menghentikanku.
Saat kami berhenti di tempat tertinggi, April takkan berdaya.
Aku akan merasakan nektar itu, menikmati nektar yang manis
dan berharga tanpa diganggu.
Ia tersenyum pada April. "Aku senang sekali bersamamu,"
katanya, meletakkan lengannya di punggung tempat duduk April.
"Aku juga senang," kata April sementara kereta itu tersentak,
lalu melayang ke atas menuju ke ketinggian.
Tiba-tiba semakin gelap. April mencondongkan badan ke depan, menumpukan lengannya
pada palang pengaman, dan memandang ke arah lautan. Pantai tampak bagaikan pita
perak. Kegelapan biru-hitam yang bergulung di belakangnya adalah
samudra. "Wow," seru April lirih. "Indah sekali pemandangan ini."
Sekarang! seru Gabri dalam pikirannya. Sekarang!
Ia memalingkan wajah April dan mencium bibirnya.
April terkejut dan akan menarik kepalanya. Tapi saat menatap
ke dalam mata Gabri yang lebar berkilauan, ia merasa lemas, sama
sekali tak berdaya menolaknya.
Lagi pula, mengapa ia harus menolaknya"
Gabri mencium dagunya. Apakah aku pusing akibat ciuman" Akibat melihat
pemandangan itu" Akibat berada di tempat yang sangat tinggi dalam
kereta yang berayun pelan ini"
Aku pusing sekali, pikir April, kepalanya miring ke belakang,
wajah Gabri berada di atasnya sekarang, matanya berkilauan menatap
mata April. Sangat pusing dan lemas. Ayolah"cium aku lagi. "Cium aku lagi, Gabri," ia mendengar
dirinya sendiri berbisik. "Ayolah."
Gabri kembali menciumnya.
Lalu ia menghunjamkan taringnya dalam-dalam ke leher April.
Ketika ia menarik taringnya kembali, butir-butir merah tua
menetes dari bibirnya yang tersenyum.
Bab 14 HANYA KECELAKAAN MATT meregangkan tubuh dan menguap. Ia melangkah
menghampiri jendela kamarnya dan melihat ke luar sambil mengedipngedipkan mata terkena sinar terang. Matahari sudah tinggi di atas
pepohonan di langit cerah. Kamarnya terasa panas dan lembap.
Ia kembali menguap, menabrak lemari pakaiannya, membuka
laci, mencari celana renangnya, dan mengenakannya dengan masih
mengantuk. Dengan langkah-langkah berat ia menuju ke dapur,
menyibakkan rambut yang menutupi matanya dengan satu tangan.
Ditemukannya catatan pesan dari orangtuanya di meja. Mereka telah
bangun pagi-pagi untuk pergi memancing dengan teman-teman.
Mereka tidak ingin mengganggunya. Ingin tahu pukul berapa ia
pulang tadi malam. Sampai ketemu nanti.
Pukul berapa ia pulang" Matt bertanya dalam hati.
Ia tidak yakin. Setelah nonton ketiga film itu, ia, Ben, dan
beberapa anak lain pergi ke lapangan pasar malam untuk melihat-lihat.
Tapi lapangan itu sudah gelap, semua wahananya sudah tutup, kioskiosnya juga sudah tutup.
Pasti lewat tengah malam. Dalam perjalanan kembali ke kota,
Matt bertemu dengan beberapa teman yang sudah mengunjungi pasar
malam itu. Salah satu dari mereka menggodanya tentang April.
"Apa katamu?" tanya Matt, bingung.
"April ada di sana sepanjang malam. Dengan cowok lain.
Badannya tinggi. Rambutnya hitam lurus. Lebih baik kau hati-hati,
Daniels." Cowok-cowok itu berjalan pergi, sambil mengejek dan
mengolok-olok Matt. Gabri. Dia di sana dengan Gabri, Matt menyadari.
Ketika berjalan di sepanjang Seabreeze Road, sambil
menendang-nendang gumpalan-gumpalan debu, ia memutuskan lebih
baik ia meminta maaf pada April. Barangkali seharusnya ia tidak
melewatkan waktu sepanjang malam dengan cowok-cowok itu,
meskipun ia ingin setengah mati nonton film-film itu.
Ia menyadari ia jarang bersama April sejak mereka tiba di
Sandy Hollow. Dan sekarang cowok bermata hitam romantis dan
punya senyum manis ini sedang mendekati April.
Dia harus menghentikannya, Matt memutuskan, sambil
mengendap-endap masuk ke cottage, berharap semoga orangtuanya
tidak mendengarnya masuk. Pagi-pagi ini ia akan menelepon April.
Sebenarnya tepatnya bukan pagi-pagi. Sekarang sudah pukul
setengah sebelas. Tapi ia meneguk segelas jus jeruk terlalu terburuburu, hingga menimbulkan rasa nyeri di antara kedua matanya. Lalu ia
menekan nomor telepon rumah April.
Telepon berdering tiga kali sebelum seseorang mengangkatnya.
"Halo?" kata ibu April.
"Hai, Mrs. Blair. Ini saya. Bisakah saya bicara dengan April?"
"Oh. Hai, Matt. Dia masih tidur."
"Hah?" April adalah jenis manusia pagi. Biasanya ia bangun
ketika fajar merekah. "Si kembar mencoba membangunkannya untuk sarapan lebih
dari sejam yang lalu," Mrs. Blair berkata. "Dia menggerutu mengeluh
tak enak badan, dia bilang rasanya seperti tidur selama bermingguminggu. Tak biasanya dia begitu. Lebih baik dia kubiarkan tidur saja."
"Ya. Yah..." Matt terkejut. Ia ingin bertanya, "Sampai jam
berapa dia keluar dengan Gabri?" Tetapi sebaliknya ia berkata,
"Tolong sampaikan padanya saya harap semoga dia cepat sembuh.
jika dia ingin, dia bisa menemui saya di pantai."
Matt memutuskan sambungan telepon, merasa gelisah.
Digaruknya belakang lehernya.
Seluruh kulitnya terasa gatal. Udara dalam dapur kecil itu
pengap dan lembap. Hari ini akan panas sekali, pikirnya. Aku harus ke pantai.
Ia menelepon Todd, yang juga baru bangun tidur, dan janjian
bertemu di pantai. "Bawa papan Boogie-mu," kata Matt pada Todd.
"Mungkin pagi ini bagus buat selancar."
Namun ketika ia sampai di sana, pantai telah penuh dengan
orang-orang yang berjemur di bawah sinar matahari pagi, beberapa
orang menyelam dan berenang di antara ombak biru kehijauan, Todd
berbaring di atas selembar handuk di bawah naungan payung bergarisgaris kuning-putih.
"Hei?" panggil Matt.
"Apa kabar?" tanya Todd sambil masih mengantuk.
"Di mana papan Boogie-mu?"
Todd mengangkat kepalanya dan celingukan. "Kayaknya aku
lupa." Matt mendesah tak sabar dan menjatuhkan papan Boogie-nya
ke pasir. "Ngapain aja kau semalam" Asyik dengan cewek itu?" Ia
berlutut, lalu menduduki papan Boogie, sinar matahari menghangati
punggungnya. "Ya," Todd menguap lebar-lebar. "Jessica. Kami cuma jalanjalan keliling kota. Dia ingin ke pantai, tapi aku tak mau. Aku pulang
pagi-pagi." "Hei, man"kau butuh berenang," desak Matt. "Kita berdua
butuh sesuatu agar mata kita terbuka pagi ini."
Todd tidak menanggapi. "Hei, Todd"ayo, man."
Sepi. "Todd?" Matt membungkuk di atas temannya itu, melihat ternyata Todd
sudah tertidur lagi. Kenapa sih anak ini" Matt penasaran. Bisa-bisanya dia molor
sebelum jam sebelas siang" Dalam tidurnya Todd mendesah pelan dan
berguling berganti posisi miring.
Pelembap jenis apa yang dipakai Todd" Dengan penasaran Matt
mengawasi temannya. Todd tampak jadi lebih pucat"bukan lebih
gelap. ********************* Ketika kegelapan turun, Jessica dipenuhi semangat dan merasa
hampir hidup kembali. Ia dapat merasakan energi yang telah
diperbarui mengaliri tubuhnya.
Ia mengusap rambut panjangnya di atas bahunya, membiarkan
angin lembut yang berembus dari samudra mengacak-acaknya, dan
membayangkan nektar itu. Sangat manis dan sekaligus asam.
Sangat enak dan kental. Dan dahaganya terpuaskan.
Bulan, yang semula bagai piring putih pucat, semakin jelas,
mulai bersinar keemasan. Pandangan Jessica menerawang ke atas, ia mencoba mengingat
kehidupannya. Seperti apa dia ketika berumur enam belas" apakah seperti
Todd dan teman-temannta"
Cobalah mengingatnya, Jessica, ia mendesak diri sendiri.
Cobalah. Namun ia tidak mempunyai kenangan.
Tidak ada kenangan dalam kehidupannya yang sebenarnya.
Masa kecilnya telah lenyap. Keluarganya telah lenyap. Masa
remajanya"seluruh masa kehidupannya telah lenyap.
Bahkan kematiannya telah lenyap juga.
Bagaimana dulu aku mati"
Tapi tentu saja ia belum mati.
Dan itulah sebabnya satu-satunya kenangan akan kehidupannya
adalah menjadi Makhluk Abadi. Yang ada dalam ingatannya hanyalah
dunia kelabu temaram yang dijelajahinya, diterbanginya, diluncurinya,
samar-samar ia teringat akan keinginannya, kebutuhannya, kebutuhan
abadinya"dahaga. Benarkah ada air mata yang mengaliri pipinya yang lembut dan
pucat" Apakah ia sebenarnya menangisi masa lalunya, segala
kehilangannya" Menangisi kehidupannya yang tanpa kenangan sama
sekali" Bukan. Hanya udara asin, katanya pada diri sendiri, disekanya
pipinya yang basah, disingkirkannya hal itu dari pikirannya.
Bagaimanapun, ini adalah malam kebanggaan.
Malam kemenangan, dan lalu pesta-pora.
Malam nektar. Malam pembaruan.
Dilihatnya Todd sedang berjalan di sepanjang pantai
menghampirinya. Ini malammmu, Todd, pikirnya, segala
kesedihannya tersingkir sementara cowok itu mendekat, dan
semangatnya yang menggebu-gebu muncul lagi.
Ini malammu, Todd-ku yang malang, pemalu, tak begitu cerdas.
Malam ini kau menjadi Makhluk Abadi. Malam ini
kautinggalkan kehidupan lamamu yang membosankan dan kau
melayang menembus langit gelap.
Todd melambai padanya, dan ia melangkah ke arah cowok itu,
kakinya yang tanpa alas terasa ringan melintasi pasir basah, ia keluar
dari kegelapan dermaga perahu dayung. Di belakangnya, tiga perahu
dayung yang diikat ke dermaga mengapung seperti ikan di air,
menumbuk-numbuk tumpukan kayu dengan pelan.
"Todd!" panggilnya dengan antusias, sambil berlari ke arah
Todd, gaunnya yang pendek tersingkap hingga menampakkan kakinya
yang panjang dan langsing.
"Hai," kata Todd. Masih malu-malu. Masih ragu-ragu. "Malam
ini indah, ya?" Jessica memegang lengan Todd. Mencium pipinya.
Begitu dekat nektar yang berharga. Begitu dekat.
Dan ia dapat merasakan kehausannya.
Satu isapan terakhir. Satu kecapan terakhir, Todd, dan kau
menjadi salah satu dari kami. Untuk selamanya.
"Apa yang kaulakukan hari ini?" tanyanya, sambil menatap
mata Todd. "Pergi ke pantai," sahut Todd. "Tapi aku tak berenang atau yang


Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lainnya. Rasanya aku malas mau apa-apa."
Heran, ya, pikir Jessica tak acuh, sambil memegang lengan
Todd, menatap ke dalam matanya, membiarkan kekuatannya bekerja.
"Kau ingin pergi ke pasar malam atau ke mana?" tanya Todd,
suaranya bergetar. Dia sudah di bawah pengaruhku, pikir Jessica.
Dia milikku. "Di ujung pantai ini suasananya tenang sekali," bisiknya, sambil
bersandar pada Todd, bulan menyinari wajahnya yang pucat dan
bahunya yang terbuka. "Dan cuma ada kita berdua."
Todd mengalihkan matanya ke air, ke dermaga perahu dayung,
lalu ke pulau kecil berhutan. Tetapi Jessica memaksa mata Todd
kembali menatap matanya. "Bagaimana kalau kita berciuman, Todd?"
Jessica tidak menunggu jawaban. Senyum samar mulai merekah
di bibir Todd saat Jessica memajukan wajahnya dan menekankan
bibirnya ke bibir Todd. Dia milikku. Dia milikku.
Tapi itu suara apa" Bunyi gaduh itu mengatasi deru ombak.
Apakah itu cuma bunyi perahu dayung yang menumbuk
dermaga" Bukan. Jessica menekankan bibirnya ke bibir Todd, mendesah
perlahan. Dan mengangkat matanya ke langit ungu.
Dan melihat kelelawar itu melayang di atas kepala mereka.
Gabri! Pasti Gabri! kata Jessica dalam hati.
Dia datang untuk mengacauku. Dia datang untuk merampas
kemenanganku. Tidak, Gabri, pikirnya, nadinya berdenyut cepat sekali ketika
kekuatan liar yang tak manusiawi mengaliri dirinya.
Tidak, Gabri. Tidak malam ini.
Jangan harap bisa menggangguku malam ini.
Kau terlambat. Cowok ini milikku.
Kelelawar itu melayang rendah.
Cepat, cepat! perintah Jessica pada diri sendiri.
Taring-taringnya turun, dan wajahnya menekan ke leher Todd,
dan ia menggigit dalam- dalam.
Dalam-dalam. Dan meneguknya. Kelelawar itu mengepak-ngepakkan sayapnya merendah.
Semakin rendah. Tapi ia terlambat
Terlambat. Pertandingan telah berakhir.
Jessica telah minum. Lagi dan lagi.
Lalu Todd mengerang keras karena kesakitan, tak berdaya, dan
menikmati. Jessica menarik wajahnya.
Bola mata Todd terbalik ke atas dan warnanya memudar.
"Tidak! jerit Jessica. Tidak! Tidak! Tidak! Ini kecelakaan!
Aku"aku tak percaya!"
Bab 15 TENGGELAM MATT duduk di tempat tidur, disingkirkannya selimut yang
telah basah kuyup oleh keringat. Ia melihat ke luar jendela,
mendengarkan kicau burung-burung di pepohonan, menyambut
datangnya fajar. "Aku tak bisa tidur," keluhnya, sambil menggosok-gosok
matanya. "Jam berapa sih sekarang?"
Jam di meja samping tempat tidur menunjukkan pukul 05.35.
Sepanjang malam ia bergulang-guling, pikirannya penuh
dengan berbagai masalah. Hampir sepanjang waktu ia memikirkan April.
Ia telah mencoba menelepon April sepulangnya dari pantai
kemarin sore, tapi teleponnya bicara terus. Lalu ia mencoba lagi
sesudah makan malam dan ibu April mengatakan April sudah pergi.
Mungkin dengan Gabri lagi, pikir Matt tak senang.
Aku harus bicara pada April. Kupikir kami akan bersenangsenang bersama menikmati liburan musim panas.
Akibat memikirkan April, Matt tidak bisa tidur semalaman.
Sekarang, karena langit perlahan-lahan semakin terang dan kicauan
burung semakin keras, ia memutuskan tidak ada gunanya lagi tetap di
tempat tidur. Joging pagi-pagi di pantai mungkin bisa menolong
menjernihkan pikiranku, pikir Matt, dikenakannya celana bersepeda
hitam dan sepatu larinya.
Pelan-pelan ditutupnya pintu cottage, lalu ia melangkah ke
dalam udara pagi, masih dingin dan berembun. Bau ikan asin dari laut
menyerbu cuping hidungnya ketika ia mulai berlari melintasi cottagecottage lain dan bukit-bukit pasir yang menuju ke laut.
Ombak yang memukul-mukul masih tampak hitam kelam di
bawah langit kelabu mutiara waktu Matt menyusuri pantai. Burungburung laut beterbangan ke segala penjuru saat Matt melintas,
berkaok-kaok keras memprotes.
Pantai kosong. Hanya ada dia. Tidak tampak seorang pun
pejoging lainnya. Di atas horizon yang terang, ia dapat melihat sebentuk kapal
berwarna gelap. Sejenis tongkang. Bayang-bayangnya berkilauan di
atas air, kapal itu miring dan berganti arah dalam cahaya pagi yang
menyeramkan. Seperti kapal hantu, tidak nyata.
Matt berlari pelan-pelan tapi dengan kecepatan tetap, melewati
bara api yang hampir padam bekas api unggun kecil yang kurang
siraman, melewati batang kayu hitam hangus yang dilemparkan
gelombang laut, melewati sepasang bintang laut yang sudah mati dan
mengering di atas pasir. Siraman air laut terasa dingin dan menyegarkan di wajahnya
sementara sepatu ketsnya menggilas pasir basah. Warna kelabu mulai
meninggalkan langit, bagai tirai pucat yang tersingkap, menampakkan
sinar matahari pagi yang kemerahan di bawahnya. Air laut menjadi
terang seiring dengan langit.
Indah sekali, pikir Matt, sambil tetap berlari kecil, butir-butir
keringat bermunculan di keningnya meskipun udara dingin. Ia
menatap ke depan ke karang gelap yang mencuat dari tepi air di balik
bukit-bukit pasir. Ketika ia menghampiri karang itu, pasir yang diinjaknya
menjadi berkerikil, lalu semakin keras, ia memandang dermaga perahu
dayung kecil yang menonjol dalam bayang-bayang karang.
Sesuatu tampak mengapung di air di samping dermaga.
Apakah itu perahu kecil atau sejenisnya" Ia terlalu jauh untuk
bisa melihat dengan jelas.
Ketika da semakin dekat, cahaya matahari yang kemerahan
menyinari sepanjang tepi air. Dia dapat melihatnya dengan lebih jelas,
sesuatu yang gelap, sangat besar, terapung-apung di sebelah salah satu
perahu dayung. Apakah itu ikan paus yang tersesat dan terperangkap di dekat
pantai" Matt menyingkirkan gagasan itu saat ia semakin dekat, dan
lebih bisa melihat ukurannya.
Ia berhenti tepat di depan dermaga, dadanya kembang-kempis
setelah berlari jauh. Sambil menyeka keringat di dahinya dengan
lengan, ia mengalihkan matanya ke air.
Dan ia tersentak. Itu orang. Ebukulawas.blogspot.com
Terapung-apung seperti perahu dayung.
Terapung-apung dengan wajah menghadap ke bawah.
Lengannya mengambang di sisi tubuhnya dengan kaku, sangat
kaku. Dan bahkan sebelum menyadarinya, Matt sudah berada di
dalam air, dingin terasa di seputar pergelangan kakinya, di atas sepatu
ketsnya, tidak terpikir olehnya untuk melepaskan sepatu itu lebih dulu.
Ia tidak mengira. Ia tidak mengira akan menemukan orang.
Ia tidak mengira apa-apa.
Dan ia menghela bahu orang itu, air naik ke atas pinggangnya.
Ia menarik kuat-kuat. Tapi orang itu"mayat itu"orang itu"sangat
berat. Air terasa dingin sekali, berpusar di sekitar tubuhnya. Matt
menarik napas, dadanya mengembang.
Kau sedang bernapas"
Silakan bernapas! Tapi, tidak"bagaimana ia bisa bernapas"
Mayat itu cowok. Ya. Cowok. Tapi Matt masih tidak dapat
mengangkat wajahnya dari air.
Bagaimana dia bisa bernapas dengan wajah masih di dalam air"
Dengan lengan terentang kaku"
Apa yang dikenakannya" Hanya celana pendek"
Kulitnya sangat putih dan halus, seperti sejenis makhluk laut.
Hanya makhluk laut yang bisa bernapas dalam air.
Dan orang ini tidak bernapas, tidak dapat bernapas.
Sambil terengah-engah, Matt mendorong muatannya yang berat
menepi. Disibakkannya rambut hitamnya yang basah dan berantakan
dari dahinya, Matt berdiri sejenak, berkacak pinggang, membungkuk,
bernapas, bernapas dalam-dalam, menunggu jantungnya berhenti
berpacu. Kemudian ia membungkuk di atas orang itu"mayat itu"
berusaha keras membalikkan punggungnya.
Dan berteriak, "Todd!
"Todd! Kenapa" Kenapa, Todd?"
Tiba-tiba temannya itu tampak semakin jelas dan mengerikan.
Tubuhnya yang nyaris telanjang dipenuhi luka-luka akibat terbenturbentur ke karang di sekitar dermaga perahu dayung.
Lukanya sangat banyak. Lukanya sangat banyak, darahnya kelihatan sudah benar-benar
kering. "Kenapa, Todd" Kenapa?"
Lukanya banyak sekali, di seluruh wajah dan lehernya.
"Tidak. Tak mungkin Todd. Tak mungkin"
Lukanya sangat banyak. Lukanya sangat banyak, tidak ada artinya.
Kenapa Todd tenggelam"
Kenapa dia berenang di sini, jauh sekali dari orang-orang lain"
Apakah dia tenggelam di pantai yang jauh dari sini, di tempat
banyak orang" Apakah mayatnya baru saja terbawa ke sini"
Mayatnya" Bagaimana mungkin sekarang Todd sudah jadi mayat"
Bagaimana mungkin dia bukan Todd lagi"
Matt berlutut, pikirannya berputar-putar lebih cepat daripada air
laut. Ia memejamkan matanya, tapi bayangan temannya yang
tenggelam, kulitnya sangat putih kecuali di bagian-bagian yang luka,
luka-luka itu, luka-luka itu, tetap tampak.
Todd bukan perenang tangguh.
Kenapa dia berani menentang arus bawah malam hari"
Todd tahu betapa kuat arus bawah itu, sangat sulit diperkirakan,
sangat mematikan. Jadi kenapa dia berenang"
"Kenapa, Todd?" seru Matt, sambil membuka matanya,
mendongak ke matahari yang sedang terbit.
Beberapa menit kemudian dua nelayan, dengan menenteng
kotak-kotak peralatan memancing dan joran-joran, menghampiri Matt,
yang masih berlutut, masih membungkuk di atas mayat temannya,
masih bertanya, "Kenapa, Todd" Kenapa?"
Bab 16 KORBAN BARU KELELAWAR-KELELAWAR mengepak-ngepakkan sayap
dan menyambar-nyambar di atas pepohonan pulau kecil itu,
menembus kegelapan langit hitam. Di bawah naungan pepohonan
berdiri rumah-rumah pantai yang beratap sirap, sudah lama
ditinggalkan para penghuninya.
Kelelawar telah menghuni pulau itu sejak bertahun-tahun lalu.
Kelelawar dan Makhluk Abadi, makhluk yang dapat berubah wujud,
menjadi kelelawar ketika mereka perlu bangun.
Pulau itu dapat dicapai hanya dengan perahu, dan ini membuat
takut sebagian besar orang untuk mendirikan bangunan di sana. Yang
telah membangun rumah musim panas ada yang kabur karena takut
pada kelelawar-kelelawar itu, dibunuh oleh makhluk yang menyamar
sebagai kelelawar, atau menyerahkan nektar mereka dan menjadi
Makhluk Abadi. Sekarang Gabri menunggu di sebuah rumah gelap. Ia telah
menganggap sebagian rumah itu sebagai miliknya, menebarkan tanah
makam kuno di lantai papan, dan meletakkan peti mati kayu hitam
yang dipelitur dengan cermat menempel ke dinding sebelah timur,
dinding kokoh. Sambil bersandar pada bingkai jendela, ia memandang ke luar
jendela yang terbuka ke arah kelelawar-kelelawar yang menukik
disinari cahaya bulan. Gabri mendesah, tidak dapat menyembunyikan senyum
senangnya. Udara hangat dan lembap, ia menyukai yang seperti ini.
Bunyi kepak sayap kelelawar menjadi latar belakang yang
menyenangkan bagi pikiran-pikirannya.
Pikiran-pikiran yang menyenangkan.
Pikiran-pikiran tentang bagaimana ia telah menghancurkan
kesempatan untuk memenangkan taruhan itu. Tentang April, tentang
nektar segar. Ia telah mencicipi nektar itu dengan sangat hati-hati, hati-hati
sekali. Dahaganya nyaris tidak terpuaskan.
Tetapi musim panas masih panjang.
Ia punya alasan untuk bersabar.
Kasihan, Jessica tak sabar.
Gabri sedang memikirkan Jessica ketika seekor kelelawar
melayang turun ke jendela. Ia menarik kepalanya ke belakang saat
makhluk itu, dengan suara melengking seperti alarm, terbang di
samping wajahnya. Kelelawar itu mendarat dengan ringan di lantai
dan mulai berputar, makin lama makin cepat, sampai hanya berupa
pusaran angin yang gelap.
Beberapa saat kemudian Jessica muncul dari pusaran angin itu,
tetes-tetes darah merah masih menempel pada bibirnya. Dengan
marah ia menyibakkan rambutnya dan mendekati Gabri. "Hapus
senyum menjijikkan itu dari wajahmu."
Gabri tidak berusaha mengubah ekspresinya. "Ada apa, Jessica"
Agak kebanyakan minum?" Barangkali baru kali ini ia bercanda.
Jessica mengangkat tangannya dan mencondongkan badan ke
depan seakan menyerang Gabri, sambil menggeram marah. Gabri
pasang kuda-kuda, waspada. "Tenang, tenang. Ada masalah besar
apa" Kau sudah kalah, selesai."
Jessica memelototi Gabri, mengepalkan tangannya, terlalu
marah hingga tidak bisa bicara.
"Paling tidak kau tak haus," kata Gabri.
"Diam, Gabri," bentak Jessica. "Tutup mulutmu." Ia
menyilangkan lengan di depan dada, gemetar marah, mengertakkan
gigi, tiba-tiba wajahnya tampak tua, seolah kemarahan menampakkan
ketuaannya. Gabri berdiri tenang dekat jendela; sedangkan Jesssica mondarmandir, marah-marah, merasakan kekalahannya dan kemenangan
Gabri. "Jangan jadi pecundang yang malang," kata Gabri pelan.
Kelelawar-kelelawar mengepak-ngepakkan sayap dan bersuara ribut
di luar jendela. "Aku bukan pecundang!" seru Jessica, berhenti beberapa inci di


Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depan Gabri. "Kau curang, Gabri. Kau licik."
Mata Gabri melebar, mengejek tanpa rasa bersalah. "Aku" Apa
yang kulakukan?" "Mula-mula kaugigit cewek itu untuk mengalihkan perhatian
Todd," Jessica mengingatkan Gabri, mukanya hampir menyentuh
muka Gabri, tapi kedua-duanya tetap tak mau mundur. "Lalu
kauganggu kami, kau terbang di atas kami, kaubuat aku gugup hingga
secara tak sengaja kugigit Todd terlalu dalam."
Gabri tertawa. "Aku membuatmu gugup?"
"Jangan tertawa!" jerit Jessica. "Cowok itu terpaksa kubunuh"
tanpa alasan! Cuma karena kau ngotot mau memenangkan taruhan
kita." "Paling tidak kebutuhanmu akan nektar sudah terpenuhi," sahut
Gabri dengan menyeringai. "Apa yang kaukeluhkan, Jessica?"
"Ini tak termasuk dalam taruhan itu, Gabri."
"Sudah, jangan mengeluh terus," bentak Gabri, tiba-tiba
meninggalkan jendela dengan tak sabar. "Semuanya adil dalam cinta
dan perang." "Aku belum kalah. Kau yang akan kalah," Jessica bersikeras,
membuntuti langkah Gabri, rambutnya yang berwarna tembaga
berkibar-kibar. Gabri tertawa mencemooh. "Bagaimana aku bisa kalah" Aku
cuma perlu dua kali lagi ketemu dengan April, dua kali lagi menikmati
nektarnya, dan aku akan menang." Ia berjalan ke peti mati yang
menempel ke dinding dan, melihat langit mulai terang bersama
datangnya fajar, dibukanya peti itu.
"Tapi korbanku?" Jessica mulai berkata.
"Korbanmu yang sial sudah mati," kata Gabri menyeringai.
"Kecanggunganmu telah membunuhnya. Kau harus mengaku kalah."
"Tak usah ya," Jessica ngotot, mengikuti Gabri ke peti matinya.
"Aku tidak kalah. Aku masih akan menang. Akan kupilih korban
baru." Gabri mulai memasuki peti. "Korban baru" Yang benar saja."
"Aku serius," kata Jessica, akhirnya tenang, berhasil
mengendalikan kemarahannya.
Jessica punya gagasan, gagasan yang memberikan harapan dan
menghapuskan kemarahannya.
"Aku serius sekali, Gabri," katanya saat Gabri pelan-pelan
menurunkan tutup peti ke atas tubuhnya yang terbujur. "Teman Todd
yang bernama Matt akan jadi korbanku. Dia akan jadi korban yang
manis. Sebenarnya..." Ia tersenyum untuk pertama kalinya malam itu,
membiarkan Gabri melihat senyumnya sebelum peti benar-benar
tertutup. "Sebenarnya"Matt mangsa empuk."
BAGIAN DUA CIUMAN TERAKHIR Bab 17 VAMPIR! EMPAT malam kemudian, Matt berguling-guling di tempat
tidur, seprainya berantakan, selimutnya teronggok di lantai. Ia
bermimpi tentang Todd. Ia melihat bentangan pantai yang luas dan berpasir, keemasan di
bawah sinar cerah matahari. Ombak membubung tinggi dengan
megahnya ke tepi, berujung dengan busa putih, lalu mengempas ke
pasir yang berkilauan. Todd muncul, berlari tanpa alas kaki dengan kecepatan penuh.
Ia memakai celana renang hitam longgar. Langkahnya tidak berbunyi
saat melintasi pantai. Matt berusaha keras melihat mukanya sementara Todd berlari
semakin cepat menghampirinya. Tapi, meskipun pantai berkilauan
sinar matahari, muka Todd diselubungi kegelapan.
Matt mengawasi temannya itu lari sambil membungkuk, ombak
tinggi bergemuruh di belakangnya. Biarkan aku melihat mukamu,
Todd, pikirnya. Lalu Todd tampak jelas. Wajahnya ketakutan, matanya melotot, mulutnya ternganga
seakan menjerit sekuat tenaga tanpa suara.
Langit makin gelap, makin hitam.
Kegelapan mengikuti Todd, bergerak di depannya, bergerak
lebih cepat daripada lari Todd.
Mula-mula kegelapan tampak seperti awan berbentuk corong
menghalangi matahari. Todd masih disinari matahari, tapi awan hitam semakin besar,
hampir menelannya. Lalu Matt melihat kegelapan itu bukan hanya awan. Melainkan
terdiri atas ribuan makhluk yang bergerak.
Pandangannya semakin jelas dan ia melihat sayap-sayap hitam
dan ungu, mendengar cicitan melengking, melihat kepala-kepala
hitam merunduk rendah sambil terbang.
Bayang-bayang hitam yang mengejar Todd itu adalah awan
kelelawar. Beribu-ribu kelelawar, mengepak-ngepakkan sayap,
menyambar, menukik bersama, menghalangi sinar matahari, membuat
gelap pantai, mencicit-cicit dan melengking-lengking hingga gemuruh
gelombang lautan terdengar samar-samar.
Sambil berlari semakin kencang, keringat mengalir turun di
keningnya, Todd memejamkan mata. Mulutnya tetap ternganga.
Lari, Todd"lari! desak Matt.
Tapi awan kelelawar menyambar-nyambar di atas Todd. Ia
terantuk dan terjatuh ke pasir, pertama lututnya, lalu mukanya. Dan
kelelawar-kelelawar itu melayang turun ke atasnya seperti turunnya
malam. Dan semuanya menjadi hitam.
Matt duduk tegak di ranjangnya, lega melihat kamarnya, lega
melihat sinar matahari kelabu yang masuk ke kamarnya melalui
jendela. Ia bangkit berdiri, setengah sadar, setengah bermimpi.
Cicitan melengking kelelawar-kelelawar itu masih terdengar
olehnya ketika ia berjalan terhuyung-huyung menuju ke jendela.
Awan kelelawar. Kegelapan turun ke atas pantai, ke atas Todd.
Matt bersandar pada ambang jendela, ingin keluar dari mimpi
itu, ingin terbebas dari cengkaman ngeri ini, tapi tidak ingin
melupakannya. Ia menggeleng-geleng keras.
Ia sadar bahwa ia terjaga dari mimpi itu dengan satu kata di
bibirnya. Ucapkan. Ucapkan kata itu, desaknya pada diri sendiri.
Maka ia mengucapkannya, "Vampir."
Mimpi itu mencoba memberitahunya, mencoba menunjukkan
padanya. Matt tahu. Matt tahu bagaimana Todd tewas.
Kelelawar-kelelawar di pantai itu. Kelelawar-kelelawar yang
menghuni pulau kecil itu.
Kelelawar yang menyerang cewek itu.
Vampir. Kelelawar adalah vampir. Mimpi itu mengungkapkan kebenaran padanya.
Sekarang ia sudah benar-benar terbangun, cepat-cepat
dikenakannya celana pendek tenis yang kusut, disambarnya kaus
bekas kemarin dan dipakainya, lalu ia menuju ke pintu belakang tanpa
sikat gigi dan menyisir rambut.
"Hei?" panggil ayahnya dari meja makan saat ia bergegas
melewati dapur. Tapi Matt sudah keluar, mengempaskan pintu kasa. "Aku harus
pergi!" sahutnya dan mulai berlari kecil ke rumah April.
Langit kelabu, udara agak dingin lembap. Jalan berpasir basah
di bawah sepatu ketsnya. Ia tahu pasti tadi malam turun hujan.
Ia tidak mendengar hujan itu. Mimpi itu terlalu
mencengkamnya, mula-mula gemuruh ombak, lalu cicitan seram
kelelawar-kelelawar itu. Vampir. Ia harus memberitahu April. Ia harus memberitahu cewek itu
bahwa ia sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Meskipun matahari bersinar dan langit biru, empat hari sejak
kematian Todd berlalu dalam suasana muram dan suram.
Semua peristiwa telah lenyap dalam benak Matt. Hanya tinggal
suara-suara. Tangis pilu orangtua Todd. Gumaman para polisi. Bisikbisik ngeri anak-anak di pantai dan di kota.
Matt hanya satu kali bertemu dengan April selama empat hari
itu. Mereka mencoba bicara seakan segalanya normal, tapi tak satu
pun berhasil berpura-pura. Lalu mereka mencoba membicarakan
Todd. Tapi mustahil juga.
Matt meninggalkan April lalu mondar-mandir sendirian di
pantai, masih penasaran dengan apa yang terjadi malam itu, kenapa
Todd memutuskan pergi berenang, bagaimana Todd tewas.
Petugas pemeriksa mayat kota itu menyebutnya kecelakaan
tenggelam. Tapi Matt tidak percaya"sampai mendapat mimpi itu. Sampai
ia terjaga dengan jawaban di bibirnya.
Dan sekarang ia harus memberitahu April.
Mendekati belakang rumah April, cottage kecil putih dari papan
dengan teras luas yang dilengkapi dengan kursi-kursi taman yang
bertebaran dan meja berpayung, ia dapat melihat April lewat jendela
dapur. Ia meloncat ke teras dan bergegas ke pintu belakang,
memanggil-manggil. April mengangkat muka dari meja, terkejut.
Ibunya sedang mencuci piring-piring bekas sarapan. Si kembar
berlomba-lomba lari untuk membuka pintu kasa itu, masing-masing
berteriak, "Aku yang buka! Aku yang buka!"
Matt menyapa semuanya, masih mencoba meredakan napasnya
yang terengah-engah setelah berlari-lari dari rumahnya. "Kau sudah
sarapan?" tanya Mrs. Blair, menggulung lengan kemeja yang
dikenakannya menutupi pakaian renangnya. "Adonan kue dadarnya
masih ada." "Tidak, terima kasih," sahut Matt, menatap April. Cewek itu
tampak sangat pucat dan rapuh dalam cahaya kelabu yang menerobos
levvat jendela kaca. "Saya"ingin ngobrol dengan April."
"Main saja denganku!" tuntut Courtney.
"Jangan"aku!" teriak Whitney.
April berdiri dan dengan lembut melerai keduanya. "Matt dan
aku akan keluar ke teras," katanya, tersenyum samar pada Matt saat
melangkah ke luar. Matt mengikutinya ke teras, ingin sekali segera
memberitahukan apa yang telah ditemukannya. Udara lautan masih
dingin; langit mendung tampak rendah dan kelabu.
April bersandar pada langkan teras dan memandangi
pepohonan. Matt melangkah ke sampingnya, menyeka keringat dingin
di dahinya dengan tepi kausnya.
Kaus itu bau, ia baru sadar. Dan tiba-tiba ia ingat, saking
terburu-burunya ke rumah April, ia sampai tidak sempat menyisir
rambut. Aku pasti kelihatan menjijikkan sekali, pikirnya. Tapi ia
menyingkirkan pikiran ini, bertekad berbagi pengetahuan barunya
dengan April. "Apa kabar?" tanya April agak malu-malu, menatap pepohonan,
yang gelap di bawah langit rendah berkabut.
"Oke. Maksudku, tak begitu baik. Tapi oke."
"Aku juga," katanya lirih.
"Aku harus memberitahumu sesuatu," kata Matt, berharap April
membalikkan badan dan menghadap padanya. "Sesuatu yang penting.
Maksudku..." Apakah sebaiknya ia langsung mengatakannya"
April berbalik, ingin tahu. "Aku sangat ngantuk," katanya.
"Mungkin karena udara segar ini."
"Dengarkan, April, aku ingin memberitahumu tentang ini. Aku
tahu bagaimana Todd mati."
Mata April menyipit. Muka pucatnya tampak semakin
kehilangan rona. "Kami tahu bagaimana dia mati, Matt," katanya,
suaranya hanya berbisik. "Dia tenggelam."
"Dengarkan aku, April"tolong," Matt memohon, meletakkan
lengannya di bahu kaus biru April yang gombrong dan hampir
mencapai lutut panjangnya. "Dengarkan, ya?"
April tidak menjawab, cuma menatap mata Matt.
"Gagasan ini muncul dalam mimpiku," kata Matt, bicaranya
cepat, mendesak, tangannya masih di atas bahu kurus April, "tapi aku
tahu ini nyata." Tak perlu pelan-pelan mengatakannya, putus Matt. Ia harus
mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya.
"Todd dibunuh vampir."
"Hah?" April menjauh dari Matt, mengangkat kedua tangannya
seolah melindungi diri dari gagasan ini.
"Vampir," ulang Matt. "Kau tahu semua kelelawar yang terbang
di atas pantai itu" Mereka pasti vampir. Beberapa malam sebelum
Todd mati, ada cewek yang diserang kelelawar. Kelelawar itu
menggigit lehernya. Dan Todd?"
"Matt"leluconmu konyol sekali," tukas April dengan marah,
sambil menyilangkan lengannya. "Aku sama sekali tak mengerti."
Matt baru akan menjawab, tapi matanya melihat tanda-tanda
merah kecil di leher April. Ia tersentak, memelototi tanda-tanda itu.
Pikiran-pikiran liar berkecamuk dalam benaknya. Pikiranpikiran gila.
Benarkah aku melihatnya" Apakah itu cuma gigitan nyamuk"
Wajah Gabri terbayang dalam benaknya. April dan Gabri. April
dan Gabri. Ia membayangkan mereka berdua bersama.
Mungkinkah" Mungkinkah Gabri vampir"
Ataukah aku sendiri yang sinting"
"Aku bermimpi," ia melanjutkan, matanya terpaku pada leher
April, otaknya berputar-putar. "Todd sedang lari, dan?"
"Hentikan, Matt!" bentak April. "Hentikan!"
"Aku tahu aku betul!" Matt ngotot, tidak memedulikan
permintaan April yang marah. "Ini masuk akal, April. Semua
kelelawar itu. Dan Todd"lehernya terluka. Aku ingat?"
"Matt"aku serius," kata April, roman mukanya tegang karena
marah. "Tutup mulutmu. Jangan bicara lagi."
"Tapi, April?" "Jangan kayak anak kecil, Matt," katanya, mata hijaunya
berkilat marah. "Dewasalah. Sahabatmu mati, dan yang kaupikirkan
cuma cerita film horor!"
"Bukan...," Matt bersikeras.
Tapi April tidak membiarkannya terus berbicara. "Aku punya
kabar buatmu," katanya dengan keras, "hidup adalah kenyataan."
"Aku tahu. Tapi?"
"Hidup adalah kenyataan, Matt. Bukan film horor konyol." Air
mata menggenang di sudut-sudut matanya sekarang.
Oh, tidak, pikir Matt, hatinya serasa tenggelam. Aku tak ingin
membuatnya menangis. Bukankah kami sudah cukup sering menangis
minggu ini" "Todd mati, dan tak mungkin menjelaskannya, tak mungkin
menerimanya," kata April, berusaha menahan air matanya, mencoba
mengendalikan diri. "Tapi menyalahkan vampir itu seperti"seperti
anak-anak, dan takkan menolong siapa pun."
"Tapi, April?" Ia tidak tahu apa yang akan dikatakannya. Ia


Fear Street - Ciuman Selamat Malam Goodnight Kiss di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak dapat mengalihkan matanya dari luka kecil di leher April.
"Gabri adalah vampir," gumamnya. Ia bahkan tidak menyadari
apa yang sedang diucapkannya, tidak mendengar kata-kata itu, tidak
bermaksud agar April mendengarnya.
Sambil menghapus air mata yang membasahi pipi pucatnya,
April menatap marah padanya. "Apa kau sudah gila sungguhan,
Matt?" teriaknya. "Pergi! Jauhi aku!" Ia membalikkan tubuh dan
menuju ke rumahnya. Matt mulai mengikutinya, tapi April mendorongnya, meninju
bahunya yang lebar. "Aku serius. Pergi. Aku tak ingin melihatmu lagi! Jangan
telepon aku"dan jangan muncul lagi!"
"Ada apa di luar sana?" tanya salah satu dari si kembar, sambil
menjulurkan kepala pirangnya ke luar pintu.
"Apa mereka berkelahi?" tanya yang lainnya dari dalam. "Aku
mau lihat!" Mereka berdua berebut keluar pintu ketika April bergegas
melewati mereka masuk rumah sambil terisak-isak.
Matt mendesah sedih, lalu meninggalkan teras dan menuju ke
jalan tanpa menoleh lagi. Dua kelinci meloncat-loncat penuh
semangat mengikuti jejaknya, tapi tidak dipedulikannya.
Hujan mulai turun, mula-mula hanya titik-titik gerimis, lalu tak
lama kemudian lebat. Matt tidak terpengaruh dengan hujan itu, ia berjalan pelanpelan, kepalanya menunduk. Beban pikirannya lebih berat daripada
siraman hujan. Tentu saja April benar, katanya pada diri sendiri, sambil
menendang segumpal lumpur dengan sepatu ketsnya. Rambutnya
terjurai ke keningnya. Kausnya yang basah dan bau menempel pada
punggungnya. Tentu saja dia benar. Bisa-bisanya aku tiba-tiba datang dan
ngoceh tentang vampir. Aku pasti sudah sinting sungguhan.
Vampir! Tentu saja dia menganggapku brengsek. Dan dia betul.
Gabri bukan vampir. Aku cuma cemburu. Dan kesal.
Dan menyesali diriku sendiri.
Vampir... Aku tertawa sendiri"kalau tidak rasanya aku ingin menangis.
Kenapa pikiran konyol itu ada dalam kepalaku" Dan kenapa
aku begitu sinting menganggapnya serius"
Ia mendesah keras, memukul-mukul pohon-pohon yang
merunduk terguyur hujan lebat. Ia berharap dapat membenamkan diri
ke dalam lumpur, membenamkan dirinya hingga kepalanya, dan tidak
pernah kembali. Aku sudah berbuat konyol, pikirnya, sambil menggeleng-geleng
sedih, bergidik ketika angin bertiup kencang menyapukan air hujan
yang dingin ke punggungnya.
Aku sudah berbuat konyol. Dan aku kehilangan April untuk
selamanya. ********************** "Jadi apa yang kaulakukan selama hujan sepanjang hari?" Ben
bertanya, sambil mendului berjalan melewati rumput tinggi di atas
bukit pasir. Rumput masih basah akibat hujan, menggelitiki pergelangan
kaki Matt. Ia menyesal memakai celana pendek, bukannya jins. "Tak
banyak," gumamnya pada temannya.
Sebenarnya, ia menghabiskan waktu sepanjang hari itu dengan
melamun memandangi hujan lewat jendela ruang tamu, mondarmandir, memutar-mutar pemantik Todd dalam tangannya, memikirkan
mimpinya, dan merenungi kebodohannya karena telah buru-buru
mendatangi April tanpa menimbang-nimbangnya lebih dulu.
Sepanjang perjalanan melewati bukit-bukit pasir bersama Ben,
ia menelusuri pemantik Todd dengan jarinya. Bagaimanapun
pemantik itu menghibur, satu-satunya kenang-kenangan dari Todd.
"Pasir sudah kering," kata Ben, sambil menendang pasir dengan
ujung sandal. "Heran, ya" Hujan turun sepanjang hari, tapi pasir ini
sudah benar-benar kering."
Matt melihat ke arah lautan. Akhirnya awan telah menyingkir
ketika malam menjelang. Langit malam hampir bersih, bulan tampak
bundar pucat di atas cakrawala samudra.
"Aku sudah berbuat konyol pagi ini," cetusnya.
"Jadi apa lagi yang baru?" Ben bercanda, membungkuk untuk
mencabut sehelai rumput panjang dan menyelipkannya ke mulutnya.
"Sungguh. Yang ini konyol sungguhan," Matt bersikeras.
Sementara matanya tetap memandangi pasir, ia menceritakan pada
Ben tentang mimpinya dan percakapannya dengan April. "Tindakan
konyol," ia menyimpulkan dengan muram.
Ben mengunyah-ngunyah rumput di mulutnya sambil berpikir.
"Konyol memang istilah tepat buat itu," ia setuju, sambil menggelenggeleng. "Goblok juga lebih bagus. Aku malahan cenderung memakai
istilah idiot." "Hei, aku menceritakannya bukan supaya kau bisa melucu!"
tukas Matt marah. Kenapa aku memberitahu Ben" tanyanya dalam hati.
Apa aku berharap dia meloncat, menepuk punggungku, dan
bilang, "Kau betul, Matt! Kelelawar-kelelawar itu memang vampir!"
Kupikir aku harus menceritakan rahasia ini pada seseorang.
"Sori," kata Ben cepat-cepat. "Sungguh. Kau pasti merasa
kayak orang tolol, kan?"
"Begitulah kira-kira," gumamnya.
Seekor kelelawar melayang turun di atas kepala mereka, sebuah
bayang-bayang gelap melintasi pantai. Matt mendongak kembali dan
melihat dua kelelawar melayang-layang di atas bukit pasir berikutnya.
"Dalam pelajaran IPA tahun lalu kita kan mempelajari bahwa
kelelawar itu berguna," kata Ben tidak jelas karena sambil mengunyah
rumput. "Mereka diperlukan untuk keseimbangan ekologi. Mereka
makan serangga. Dan kotorannya jadi pupuk."
"Kotoran kelelawar buatmu juga," gerutu Matt ketus. "Terima
kasih untuk pelajaran IPA-nya."
"Aku tak menyalahkanmu kalau perasaanmu tak keruan," kata
Ben dengan simpatik. "Aku juga masih ngeri memikirkan Todd.
Ditambah lagi cowok itu merebut cewekmu?"
"Aku tak ingin membicarakannya lagi," bentak Matt, ia sendiri
terkejut mendengar suaranya. "Sungguh."
"Hei"aku mau ke Swanny's," kata Ben, jelas sekali ia ingin
mengakhiri obrolan itu. "Kau mau ikut?"
Matt menggeleng. "Aku mau tetap jalan-jalan," sahutnya
muram. "Mungkin nanti aku menyusulmu."
Ben melambaikan tangan sambil berlalu. "Jangan sedih terus,"
katanya. "Cuma akan memperburuk suasana." Ia bahkan
menertawakan lelucon konyolnya sendiri sambil bergegas menuju
kota. Dasar goblok, pikir Matt. Biasanya Ben bisa menghibur Matt
dengan pengetahuan IPA dan sejarahnya, gurauannya, tapi malam ini
tidak. Matt berjalan melalui bukit pasir. Lalu melihat sekelompok
anak yang dikenalnya di pantai, ia berbalik, tidak ingin berpapasan,
dan mulai berjalan cepat-cepat ke arah yang berlawanan. Matanya
tertuju pada karang, bayang-bayang hitamnya berlawanan dengan
langit malam yang bersih.
Ia memikirkan bagaimana cara meminta maaf pada April. Tapi
tak satu pun tampak benar. Ia tidak dapat membayangkan dirinya
mengatakannya. Sambil berjalan di atas pasir, ia mencoba memikirkan
bagaimana cara mengajak April kencan dengannya lagi, bagaimana
cara menghentikan April agar tidak menemui Gabri lagi. Tapi itu
tampaknya mustahil juga. Sambil menggeleng-geleng, ia mencoba mengenyahkan semua
pikiran itu dari benaknya, mencoba membiarkan gelombang lautan
menyapu bersih semua pikirannya.
Ia berhenti sejenak saat melihat sesuatu di depannya.
Sesuatu membungkuk rendah dan gelap di atas bukit pasir yang
tinggi. Rendah dan gelap dan kaku.
"Oh, tidak," serunya, matanya terbelalak. Apa itu" Mayat lagi"
Bab 18 KECELAKAAN LAGI SAMBIL membeku dalam ketakutan, Matt terbelalak
memandangi bukit pasir yang rendah dan gelap itu. Napasnya
terengah-engah. Ia harus memaksa diri berbalik dan lari, tapi tahu ia
harus melihat apa yang membungkuk di pasir di sana.
Sambil melangkah tak pasti, mencoba memfokuskan matanya
dalam kegelapan, ia melangkah menuju ke bukit pasir itu. Matt
terkejut dan menghentikan langkahnya ketika melihat cewek itu
sedang duduk di sana, mengenakan celana ketat hitam dan blus hitam
berlengan panjang, kakinya tertekuk di depan dadanya, lengannya
memeluk lututnya, kepalanya tertunduk.
"Jessica?" Ia tidak menjawab. "Jessica?" ulangnya lebih keras, sambil melangkah ragu
menghampiri cewek itu. Ia berdiri di sampingnya sekarang, menunduk
memandangi rambut merahnya.
"Hei"Jessica?"
Baru sekarang ia melihat bahunya gemetar.
Dan ketika akhirnya Jessica mendongak kepadanya, Matt
melihat air mata berlinangan di pipinya, matanya basah, dagunya
gemetar, dan sadar bahwa ia sedang menangis.
"Sori," kata Matt, dan melangkah mundur. Ia merasa salah
tingkah, diserbu rasa malu. "Sori," ulangnya. Ia tidak tahu harus
mengatakan apa. Jessica mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali.
Tampaknya ia butuh waktu sesaat untuk mengenali Matt. Ia tampak
kebingungan, seakan tenggelam dalam pikirannya, tenggelam dalam
kesedihannya, sehingga tidak ada tempat dalam ingatannya untuk
seseorang dari dunia luar.
Lalu ia memaksa diri tersenyum sendu, memejamkan matanya,
dan mengangkat kedua tangannya untuk menyeka air mata yang
mengalir di pipinya. "Aku"aku tak tahu ternyata kau," Matt tergagap, mencoba
memutuskan apa yang akan dilakukan tangannya. Akhirnya, ia hanya
menurunkan kedua tangannya di samping tubuhnya. "Kau baik-baik
saja?" "Kurasa begitu," sahut Jessica, suaranya tersekat di
tenggorokan. Ia mendesah dan menambahkan, "Aku tak tahu. Rasanya
aku tak bisa berhenti menangis."
"Karena Todd?" tanya Matt, lalu merasa seperti orang tolol.
Tentu saja ia menangisi Todd. "Maksudku?"
"Aku tetap berpikir akan bertemu dengannya di pantai atau di
kota," Jessica menumpahkan kata-katanya. "Aku tak percaya. Aku tak
percaya aku orang terakhir yang melihatnya. Aku tak percaya sama
sekali. Maksudku, aku belum pernah melihat orang mati. Belum
pernah." "Ya," kata Matt pelan, matanya beralih ke air. "Tak bisa
dipercaya. Dia sahabatku."
Jessica tidak menjawab. Menggeleng-geleng sedih, bangkit
berdiri, dan menyingkirkan pasir yang menempel pada celana
ketatnya. Lalu ia melangkah mendekati Matt, cukup dekat sehingga
Matt bisa mencium parfumnya, tajam dan pedas meskipun dalam
udara laut yang berat. "Aku mengenalnya begitu singkat." Sebutir air mata bergulir di
pipi Jessica. "Tapi aku merasa dekat dengannya."
"Dia anak baik." Matt menatap matanya yang menghipnotis,
merasa bersalah karena memikirkan betapa cantiknya Jessica padahal
mereka sedang membicarakan temannya yang sudah mati.
Angin laut seperti mengitari mereka, menarik mereka bersama.
Matt merasa pusing yang aneh. Apa gara-gara parfumnya" Apa
gara-gara angin yang berpusar" Kesedihannya"
"Aku tak habis pikir kenapa Todd mencoba berenang malammalam." Matt tidak dapat mengalihkan tatapannya dari mata Jessica.
"Aku juga," tukasnya lirih. "Dia menggodaku akan pergi
berenang. Melepaskan pakaiannya dan meloncat ke air. Aku tahu dia
cuma bercanda. Paling tidak, kupikir dia bercanda."
"Aneh," tukas Matt, menggeleng-geleng, berusaha
menyingkirkan rasa pusingnya. "Todd bukan jenis orang yang suka
nekat. Dia sangat penakut, tahu nggak?"
"Aku tahu," sahutnya, mengalihkan pandangnya ke belakang
Matt, matanya mengawasi pantai yang hampir sepi. "Maka dari itu
kukira dia cuma bercanda mau berenang malam-malam begitu. Waktu
dia mengantarku sampai di cottage-ku, aku yakin dia akan langsung
pulang." "Aneh," ulang Matt, kepalanya serasa berputar-putar.
"Pagi berikutnya, waktu aku dengar?" Jessica berhenti.
Suaranya menghilang, dan sebagai ganti kata-kata, dari mulutnya
keluar tangisan pilu. Tanpa pikir lagi, Matt memeluk bahunya yang gemetar untuk
menghiburnya. Jessica terisak-isak sesaat, lalu mendongak tersenyum.
Parfumnya sangat tajam, sangat wangi, sangat memabukkan,
seakan menembus otak Matt.
Pendekar Aneh Dari Kanglam 7 Hartanya Penghianat Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping Dewi Penyebar Maut I 2

Cari Blog Ini