Ceritasilat Novel Online

Kebakaran The Burning 1

Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning Bagian 1


Shadyside Village 1900 LILIN hampir padam. Nyalanya rendah dan bergetar.
Lelehannya menggenang di atas meja kayu yang sempit itu.
Nora Goode meletakkan pena lalu meregangkan badan.
Bahunya sakit. Dia menggosok-gosok matanya yang letih.
Bayang-bayang yang ditimbulkan cahaya satu-satunya lilin
menari-nari di seputar ruangan kecil itu. Nora mengangkat matanya,
memandang jendela kecil. Cahaya abu-abu pucat mulai menembus
masuk lewat jeruji besi. Fajar mulai menyingsing, pikir Nora. Dadanya serasa ditusuktusuk kepanikannya.
Fajar mulai menyingsing padahal masih banyak sekali yang
belum kutulis. Dia melemaskan jari-jarinya yang kaku, kemudian mengambil
pena lagi. "Aku harus menyelesaikan ceritaku sebelum mereka datang
menjemputku," gumamnya.
Kisah dua keluarga"Fear dan Goode. Kisah kutukan yang
mengikuti mereka dari waktu ke waktu. Banyak sekali yang harus
diceritakan. Nora menulis sepanjang malam, tetapi dia tahu dia harus terus
menulis. Dia mengibaskan rambutnya yang hitam panjang ke
punggungnya... lalu menjerit tertahan.
Bayang-bayang apa itu... yang bergerak-gerak di dinding"
Nora menoleh. Dia melihat seekor tikus kurus menyeberangi
lantai papan, berlari ke arah kakinya. Jangan pedulikan tikus itu,
katanya dalam hati. Jangan sampai pikiranmu teralih, Nora. Kisah ini
sangat penting. Kisah ini harus diceritakan, harus ditulis.
Kalau aku tak selesai menulis riwayat keluarga Fear, orang
takkan tahu bagaimana cara melenyapkan kutukan itu. Dan... kutukan
itu takkan bisa dilenyapkan.
Nora membungkuk di atas meja lalu mulai menulis lagi.
Sekarang aku harus menulis riwayat Simon Fear, dia memutuskan.
Untuk menghindari kutukan atas keluarganya, Simon mengubah
namanya dari Fier menjadi Fear. Sebagai orang muda berumur 21, dia
pindah ke New Orleans untuk mengadu untung.
Nora menggeleng-geleng sedih. Apakah Simon benar-benar
percaya dia bisa melepaskan diri dari kutukan yang sudah dua ratus
tahun" Tanpa memedulikan tikus yang mengerat-ngerat, tanpa
memedulikan nyala lilin yang bergetar dan nyaris padam, Nora
mencelupkan penanya ke wadah tinta lalu melanjutkan menulis....
BAGIAN SATU New Orleans, Louisiana 1845 Bab 1 SIMON FEAR berhenti di depan pagar kayu putih yang
mengelilingi mansion megah bercat putih. Lewat jendela depannya
yang lebar, dia bisa melihat para tamu yang mengenakan pakaian
pesta indah. Di dalam ruang dansa keadaan lebih terang daripada siang.
Cahaya benderang menembus jendela kaca, menyinari halaman depan.
Kereta-kereta kuda berderet-deret menunggu di depan pintu utama,
menanti giliran menurunkan penumpang mereka. Sederet pelayan
berseragam siap melayani para tamu.
Simon ragu-ragu. Ditarik-tariknya pergelangan jasnya. Lengan
jasnya terlalu pendek. Pergelangan kemejanya berjumbai. Depan
kemejanya tidak dihiasi kerut.
Ini orang-orang terkaya di New Orleans, pikirnya sambil
memandang wanita bergaun dansa susun tiga merah muda yang
sedang masuk. Beranikah aku datang ke pesta ini tanpa diundang"
Ya, tentu saja. Sambil bersiap dan berpakaian tadi, Simon mengingat-ingat
semua asetnya: Aku tampan. Kalau mau, aku bisa tampak cerdas dan memikat.
Aku tak kalah cerdik dibandingkan semua orang di New
Orleans. Aku bertekad akan melakukan apa pun demi meraih
kesuksesan. Setelah menghela napas panjang, Simon merapikan jas
hitamnya yang bertepi satin ungu tua, lalu berjalan ke pintu gerbang.
Matanya memandang pintu utama.
Seandainya mereka kenal aku, pasti Mr. Henry Pierce dan
putrinya Angelica yang jelita itu akan mengundangku ke pesta dansa
ini, kata Simon dalam hati.
Hmm, malam ini mereka akan kuberi kesempatan mengenalku.
Dan akan kugunakan kesempatan ini untuk memperkenalkan
diriku pada gadis-gadis kaya itu, sebanyak-banyaknya. Setelah malam
ini, aku takkan perlu lagi datang ke pesta tanpa diundang. Undangan
akan datang dari mana-mana.
Simon berhenti di depan pintu gerbang. Dari balik pintu utama
rangkap dua, dia mendengar tawa ria, denting gelas beradu, dan
alunan musik lembut yang dimainkan kuartet musik gesek.
Suara-suara itu menggema di seluruh kota. Hari itu New
Orleans merayakan Mardi Gras dengan pesta-pesta dansa topeng,
pesta dansa pertama untuk gadis-gadis kaya yang baru saja menginjak
usia dewasa, dan pawai meriah di jalan-jalan.
Pesta dansa yang diselenggarakan Henry Pierce untuk putrinya,
Angelica, adalah yang paling eksklusif. Itu sebabnya Simon memilih
datang ke sana. Tetapi sekarang, melihat deretan pelayan yang menghalangi
jalannya ke pintu utama, Simon mulai kehilangan rasa percaya diri.
Bisakah aku melewati mereka" tanya Simon dalam hati sambil
menarik-narik ujung lengan jasnya dengan gugup. Apakah aku datang
sejauh ini hanya untuk diusir"
Tidak. Aku takkan membuang kesempatan berkenalan dengan
gadis-gadis muda yang cantik dan kaya.
Setelah mengenyahkan keraguannya, Simon mengibaskan
mantelnya, memasuki gerbang, lalu menaiki undakan lebar di depan
pintu utama. "Maaf, Tuan." Seorang pelayan berambut putih
menghalanginya. Pelayan itu mengenakan jas berekor di atas celana
selutut model kuno dan kain satin merah penutup pinggang.
Tangannya terulur. "Boleh saya lihat undangan Anda?"
"Undanganku?" Simon tersenyum kepada pelayan itu, matanya
yang berwarna gelap berkilat-kilat memantulkan cahaya lampu gas.
"Ah, ya, tentu saja," katanya mengulur waktu.
Sambil merogoh kantong jasnya, Simon memiringkan kepala.
Dengan sengaja dia menjatuhkan topi hitamnya yang bermodel tinggi.
topi itu berguling-guling di beranda yang luas.
Simon pura-pura hendak mengambil topi itu, tetapi malah
menendangnya ke arah pintu.
"Biar saya ambilkan, Tuan," kata pelayan itu sambil bergegas
mengejar topi Simon. Tapi Simon lebih cepat. Dia meraih pinggiran topi itu, lalu
melingkarkan lengannya ke bahu pria yang sedang berjalan masuk.
"Ah, George, sahabatku! Senang sekali bertemu lagi
denganmu!" kata Simon keras-keras sambil tetap melingkarkan
lengannya pada bahu pria itu. Mereka bersama-sama masuk.
"Apakah aku kenal kau?" pria yang kaget itu bertanya.
"Maaf. Saya keliru," Simon menjawab sambil membungkuk
sopan. Si pelayan berhenti di ambang pintu dan mencari-cari Simon.
Tapi yang dicari sudah berbaur dengan para tamu lainnya.
Napas Simon memburu karena kenekatannya. Dia tersenyum
penuh percaya diri ketika menyerahkan mantel dan topinya kepada
pelayan. Dia terus tersenyum ketika masuk ke ruang dansa.
Kandelar kristal menggantung rendah dari langit-langit,
menebarkan cahaya kuning lampu gas ke ruangan yang penuh sesak.
Lantainya berlapis kayu dengan pola hiasan warna gelap dan terang.
Dindingnya dilapisi kain brokat.
Simon mengamati gadis-gadis cantik dengan model rambut
seperti sosis bergelantungan membingkai wajah mereka yang
berbinar-binar. Gaun mereka menggelembung dan menyapu lantai
yang mengilap. Suara mereka riang. Tawa mereka nyaring bagaikan
denting gelas-gelas sampanye.
Para pria mengenakan setelan jas berekor dan celana warna
gelap. Simon mencemooh dasi mereka yang putih bersih bermodel
pita lebar dan kemeja putih mereka yang dihiasi kerut. Dia
mencemooh gaya busana mereka, tapi sekaligus iri.
Untuk menjadi pria sejati dibutuhkan lebih dari kemeja berhias
kerut, dia mengingatkan dirinya sendiri.
Aku sama jantannya dengan merak-merak sombong ini. Suatu
hari kelak aku akan punya selemari penuh kemeja berhias kerut, yang
akan membuat semua pesolek ini malu.
Di salah satu sudut ruangan, kuartet musik gesek memainkan
karya Haydn. Simon hendak melangkah ke tengah ruangan, tetapi
seorang pelayan merendahkan nampan perak di depannya.
"Sampanye, Tuan" Baru pagi ini didatangkan dari Paris."
"Tidak, terima kasih." Simon melewati pelayan itu, matanya
memandang dua gadis bergaun sutra yang berdiri dekat dinding. Aku
punya urusan yang lebih penting daripada minum sampanye, katanya
dalam hati. Simon memamerkan senyumnya yang paling memikat,
merapikan rambutnya yang hitam mengilat, menarik-narik
pergelangan jasnya, lalu mendekati kedua gadis itu untuk
memperkenalkan diri. "Selamat malam," katanya sambil mengangguk sopan.
Kedua gadis itu"berkulit pucat, berambut pirang, dan bermata
biru"hanya menoleh sekilas. Tanpa menanggapinya, mereka
melanjutkan percakapan mereka.
"Pesta yang hebat," kata Simon, tidak beranjak dan tetap
tersenyum. Mereka tidak memedulikannya.
"Izinkan saya memperkenalkan diri," katanya, tak mau
menyerah. Mereka menyingkir menjauhinya tanpa menoleh sekilas pun.
Dasar sombong! desis Simon. Di kota ini orang kaya sedikit
sekali dan mereka saling kenal. Mereka hanya bergaul di kalangan
mereka dan takkan mengizinkan pendatang baru masuk ke lingkup
pergaulan mereka. Lebih-lebih pendatang baru dengan logat Utara.
Karya Haydn selesai dimainkan. Setelah berhenti sejenak,
kuartet itu mulai memainkan musik dansa. Ruangan jadi bergairah
ketika para pemuda dan gadis-gadis dengan cepat membentuk dua
barisan sejajar lalu mulai berdansa.
Simon masuk ke barisan pria. Dia tidak tahu cara berdansa
seperti itu. Tapi yakin akan bisa melakukannya.
Percaya diri. Simon tahu, itulah kuncinya. Itulah kunci untuk
bisa diterima di kalangan orang-orang New Orleans yang kaya dan
pongah. Ketika mulai bisa mengikuti irama dan gerakan dansa, Simon
berusaha menarik perhatian gadis berambut hitam di seberangnya.
Gadis itu meliriknya sekilas, kemudian sengaja menghindarinya
dengan terus-menerus menunduk memandang lantai sampai dansa itu
selesai. Aku pasti akan berjaya di sini, Simon berkata mantap dalam
hati. Gadis-gadis itu akan memohon-mohon padaku, minta diajak
berdansa! Simon menyeberangi ruangan yang penuh dan ramai itu,
menuju ruang utama... tapi langkahnya terhenti di ambang pintu. Ada
tangga lebar dengan birai dihiasi bunga-bunga daisy putih dan kuning
melengkung ke atas di sebelah kanannya. Di kaki tangga itu,
menghadap ke arahnya sambil bersandar pada birai, berdiri gadis
paling cantik yang pernah dilihatnya.
Rambutnya hitam mengilat memantulkan cahaya kandelar di
atasnya. Ikal-ikal rambut yang disemati beberapa kuntum bunga
membingkai wajahnya yang jelita. Simon bisa melihat matanya yang
hijau bercahaya"seperti mata kucing" di atas hidung yang ramping
sempurna, bibir yang indah menawan, tulang pipi yang tinggi dan
ningrat. Bahunya yang terbuka memamerkan kulitnya yang putih
halus menggairahkan. Gaunnya biru berhias renda halus.
Gaun biru. Gadis-gadis lain memilih warna merah muda, putih,
dan kuning. Yang ini berani mengenakan warna biru satin.
Simon mendekat, menatap pemandangan yang menakjubkan itu
lekat-lekat. Tiba-tiba dia menyadari mulutnya terasa kering dan
lututnya lemas. Inikah yang oleh para penyair disebut cinta pada pandangan
pertama" dia menduga-duga.
Belum pernah Simon merasa seperti itu.
Gadis itu masih bersandar pada birai, berbincang-bincang
dengan gadis lain bertubuh jangkung dan kelihatan rapuh dalam
balutan gaun satin merah muda.
Lihatlah ke sini. Lihatlah ke sini. Oh... pandanglah aku, kata
Simon dalam hati. Tapi mereka terus mengobrol, tak sadar akan kehadiran Simon.
Aku harus bicara dengannya, Simon memutuskan.
"Siapa namanya?" Simon begitu terpesona, begitu kacau
pikirannya karena gejolak perasaannya, sampai-sampai dia tidak sadar
telah mengucapkan pertanyaan itu dengan keras.
"Itu putri Henry Pierce, Angelica," jawab pria tua berkumis
putih sambil memandangi Simon dengan curiga. "Kau tak kenal tuan
rumah kita dan keluarganya?"
"Angelica Pierce," gumam Simon tanpa memedulikan
pertanyaan pria itu. "Terima kasih. Terima kasih sekali."
Angelica Pierce, kau tak kenal aku, pikir Simon, dimabuk
gairah yang belum pernah dirasakannya. Tapi kau akan mengenalku.
Kau dan aku ditakdirkan untuk bertemu dan bersatu.
Aku akan memperkenalkan diri sekarang, Simon memutuskan,
jantungnya berdegup kencang. Dia meluruskan jas berekor yang
dikenakannya, lalu berdeham.
Sambil terus memandang Angelica Pierce lekat-lekat, dia maju
dua langkah ke arah kaki tangga.
Tetapi langkahnya terhenti, dua tangan memegangi bahunya
dengan kuat. Dua pelayan muda bertampang kaku menghalanginya. "Maaf,
Tuan," kata salah satu dari mereka dingin. Nada bicaranya sinis, tidak
cocok dengan kata-katanya yang sopan. "Kalau Anda tak mempunyai
undangan, kami terpaksa meminta Anda pergi."
Bab 2 "PRESIDEN POLK" Malam ini dia tak ada di sini, kan" Kau
mempermainkanku ya, Angelica?" Liza Dupree ternganga
memandang sepupunya. Angelica tertawa. "Kau ini polos sekali, Cousin Liza.
Bagaimana kalau kubilang Raja Prands ada di sini" Apakah kau juga
akan percaya?" Pipi Liza memerah. "Kau selalu mempermainkanku, Angelica.


Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selera humormu jahat benar."
"Ya, memang. Aku memang begitu!" seru Angelica sambil
mempermainkan rambut ikalnya yang hitam mengilat.
"Seharusnya kau tahu Presiden Polk tak mungkin hadir di sini,"
kata Angelica kepada sepupunya. "Pesta ini amat sangat eksklusif. Dia
takkan berhasil masuk!"
Kedua gadis itu tertawa. "Kaulihat gaun yang dikenakan Amanda Barton?" tanya
Angelica usil. "Tidak. Menarik atau menakjubkan?" tanya Liza.
"Kira-kira sama menariknya dan menakjubkannya dengan
gorden jendela rumah kita," desis Angelica sinis. "Aku bahkan yakin
gaun itu dibuat dari kain yang sama!"
Kedua gadis itu tertawa lagi. "Menurutku, pesta ini yang
terhebat," sembur Liza. "Aku suka sekali..." Kata-katanya terhenti
ketika tahu perhatian Angelica teralih darinya. Angelica melirik ke
arah lain. "Angelica, apa yang kaulihat?"
"Siapa pemuda itu?" akhirnya Angelica bertanya.
"Siapa" Pemuda yang mana?" tanya Liza.
"Itu, yang mengenakan kemeja rombeng dan jas berekor model
kuno," jawab Angelica. "Jangan sampai dia tahu kau sedang
mengamatinya. Matanya yang gelap dan besar memandang ke sini."
Mata Liza mencari-cari sampai melihat pemuda itu. "Wow...
lihat ekspresinya!" katanya sambil menutupi mulutnya menahan tawa.
"Matanya cokelat gelap. Tampangnya sedih dan sayu, seperti tampang
salah satu anjing pemburu milik ayahmu!"
Liza berharap Angelica tertawa, tetapi sepupunya itu tidak
tertawa. "Kenapa dia memandangiku seperti itu?" tanya Angelica
gugup, sambil mencuri-curi melirik pemuda itu. "Apakah aku kenal
dia?" "Rasanya aku pernah melihat setelan jasnya dikenakan salah
satu orang-orangan pengusir burung di kebun kapas ayahku!" Liza
melucu. "Tapi aku belum pernah melihat dia!"
"Dia... dia menakutkanku," kata Angelica tergagap-gagap. Tibatiba wajahnya memucat. Binar matanya memudar.
"Jangan sampai dia melihat kita sedang mengawasinya. Dia
pasti akan ke sini," Liza memperingatkan. "Apakah sebaiknya kita ke
atas dan beristirahat?" Dia tahu Angelica rapuh, tidak setegar dan
sesehat penampilannya. "Tidak. Aku... Lihat!" Angelica menjerit.
Kedua gadis itu melihat ketika dua pelayan bertampang kaku
menghalangi pemuda itu. Terjadi perdebatan sebentar. Kemudian
masing-masing pelayan mencengkeram lengan pemuda itu dan
mendorongnya ke arah pintu.
"Oh! Oh!" seru Angelica, sambil memegangi pipi pucatnya.
Liza meletakkan satu tangannya di bahu sepupunya. "Tak apaapa."
Beberapa gadis menjerit kaget. Angelica mendengar suara
orang bertanya-tanya memenuhi ruangan. Kuartet musik gesek
berhenti bermain. "Dia sudah pergi. Tak apa-apa," Liza meyakinkan sepupunya.
Angelica memperhatikan pemuda itu berjalan ke pintu,
langkahnya lebar-lebar, tanpa menoleh. Begitu dia menghilang, musik
dimainkan lagi. "Tamu tak diundang," kata Liza. "Bagaimana dia bisa melewati
para pelayan, ya?" Angelica tampak penuh pikiran. Matanya yang hijau zamrud
mulai berbinar lagi. "Pemuda itu agak menarik," katanya kepada
sepupunya. "Ada sesuatu pada dirinya...." Suaranya melemah dan
menghilang. "Angelica Pierce, kau mempermalukanku!" protes Liza. "Kau
ini egois!" "Egois?" tanya Angelica sambil mengangkat gaunnya yang
panjang, menuruni anak tangga terbawah dan menapakkan kakinya di
karpet. "Kau sudah punya tak hanya satu tapi dua pemuda tampan yang
sangat ingin mendapat perhatianmu. James Daumier dan Hamilton
Scott"dua pemuda paling tampan dan paling kaya di New Orleans.
Mereka akan mati kalau tahu kau menganggap pemuda gembel itu
menarik." Angelica mendesah. "Persetan." Bola matanya berputar-putar.
"Lihat, James datang. Dia akan menagih giliran berdansa denganku."
"Nah, hadapi dia!" Liza mendorong sepupunya dengan lembut.
"Dan tersenyumlah! Ini pestamu... ingat?"
Angelica memaksa diri tersenyum lalu mengangkat matanya
memandang James. James menyeringai, memamerkan deretan
giginya. Haruskah dia menyeringai seperti itu" omel Angelica dalam
hati. Aku selalu takut kalau-kalau digigitnya!
Gadis-gadis lain mungkin menganggap James Daumier tampan,
Angelica menyimpulkan. Tubuhnya jangkung, bahunya lebar,
rambutnya pirang, matanya abu-abu keperakan dan tajam sorotnya.
Kalau saja dia tak suka menyeringai seperti anjing yang berhasil
mencuri topi! pikir Angelica.
"Aku mencarimu ke mana-mana. Apakah kau dan sepupumu
Liza sedang menggosipkanku?" James menggoda.
"Siapa tahu?" jawab Angelica pura-pura malu. Dia
menggandeng lengan pemuda itu dan membiarkan dirinya dibimbing
ke lantai dansa. James tak pandai berdansa. Dia berdiri semeter di depan
Angelica. Seringainya seakan membeku di wajahnya, matanya yang
abu-abu keperakan menghunjam tajam ke mata Angelica. "Apakah
para pemusik itu akan memainkan lagu dansa yang baru itu?"
bisiknya, sambil membungkuk lebih dekat. "Irama waltz?"
Angelica berseru tertahan dan menyipitkan mata, pura-pura
malu memandang James. "James Daumier!" serunya. "Kau tahu
ayahku takkan pernah mengizinkan irama waltz dimainkan di rumah
ini! Pikiranmu kotor!"
James mengerutkan dahi, pura-pura kecewa. "Kudengar irama
waltz enak untuk berdansa."
Angelica hendak menjawab, tapi James berpaling karena
bahunya ditepuk seorang pemuda. Angelica langsung mengenali
peminangnya yang satu lagi, Hamilton Scott.
"Aku yakin sekarang giliranku," kata Hamilton kepada James
sambil mengangguk sopan. James membalas dengan gaya formal yang
berlebihan, sekali lagi menyeringai kepada Angelica, lalu mundur.
Rambut Hamilton merah dan lkal. Wajahnya penuh bintikbintik cokelat. Menurut Angelica, pemuda itu kelihatan seperti bocah
umur dua belas, padahal usianya sebenarnya sembilan belas. Hamilton
berpandangan serius, sikap politiknya jelas dan fanatik.
Bila James suka bicara tentang mode, kawan-kawannya, dan
kuda-kuda pacu yang diternakkan ayahnya; Hamilton lebih suka
menguliahinya tentang moralitas perbudakan dan kebijakan
perdagangan dengan Prancis.
"Aku ingin kau selalu berdansa denganku," kata Hamilton.
"Ah... kakiku takkan tahan," Angelica menggoda.
Sepanjang sisa malam itu, dia berganti-ganti berdansa dengan
James dan Hamilton. Dia tahu dia harus menikmati pesta yang
diadakan khusus untuknya ini. Lagi pula, ini hari Mardi Gras. Setelah
pesta ini akan ada pesta-pesta lainnya. Tapi pikirannya ke mana-mana.
Sesuatu membuatnya gelisah.
Ketika pesta usai dan kereta terakhir pergi menembus malam,
Angelica berjalan melewati para pelayan yang sibuk membersihkan
ruang dansa, melangkahi jendela model Prancis, lalu pergi ke kebun.
Malam itu udara sejuk, lembut, dan wangi. Lentera-lentera
kertas yang membungkus lampu minyak tanah membiaskan cahaya
kuning pucat pada kakinya. Embun membuat rumput berkilau-kilau.
Angelica membungkuk dan melepas sepatu pestanya yang terbuat dari
satin. Sepatu itu dipegangnya satu tangan, dibiarkannya kakinya yang
terbungkus stoking tenggelam di rerumputan basah.
Seharusnya aku membayangkan James atau Hamilton, omelnya
dalam hati. Tapi... mengapa pemuda asing itu terus mengusik
pikiranku" Umurku delapan belas, pikir Angelica. Ayah ingin aku menikah
secepatnya. Dia sudah tak sabar, menyuruhku memilih antara James
dan Hamilton. Ayah akan memaksaku menikah dengan salah satu dari
mereka. Apakah aku mencintai James" Apakah aku mencintai
Hamilton" Aku suka dua-duanya, katanya kepada diri sendiri.
Aku suka dua-duanya untuk alasan yang berbeda. James karena
dia tampan, menawan, dan pandai bercanda. Hamilton karena dia
cerdas, serius, dan penuh perhatian.
Tapi apakah aku mencintai mereka" Apakah aku ingin menikah
dengan salah satu dari mereka"
Angelica melangkah menjauhi rumah. Dia tenggelam dalam
pikirannya, melamun memandang cahaya lentera yang lembut dan
menikmati desir angin yang membelai bunga-bunga magnolia.
Dia terlalu kaget dan tak kuasa menjerit ketika sepasang tangan
kukuh menyergapnya dari belakang.
Bab 3 ANGELICA tersentak lalu memutar badannya melepaskan diri
dari sergapan penyerangnya.
"Jangan menjerit!" bisik si penyerang.
"K-kau!" Angelica tergagap, jantungnya berdebar-debar. "Siapa
kau" Apa yang kaulakukan di sini?"
"Jangan takut. Aku takkan menyakitimu," bisik Simon Fear.
"Bagaimana kau bisa masuk ke kebunku?" tanya Angelica
tegas, ketakutannya berubah menjadi amarah. "Siapa kau?"
"Namaku Simon Fear," jawabnya, mata cokelat gelapnya
menatap Angelica lekat-lekat.
Angelica membungkuk, mengambil sepatunya yang terjatuh
karena dia kaget. Tetapi matanya lerus memandang Simon. "Kau
datang ke pestaku tanpa diundang." Ia menegakkan badan. "Sekarang
kau menyerangku di kebunku. Kau pencuri" Kau gila" Apa yang
kauinginkan?" "Aku ingin kau menikah denganku," jawab Simon tanpa ragu.
Dilepasnya topi tingginya dan dipegangnya dengan dua tangan di
depan dada. Rambut kelamnya dipermainkan angin.
Angelica hendak menjawab, tetapi hanya tawa gugup yang
keluar dan mulutnya. "Jawabannya adalah: kau gila!" katanya.
"Maukah kau pergi dengan cara seperti kau masuk" Atau haruskah
kupanggilkan pelayan agar kau sekali lagi dilempar keluar?"
"Aku melihatmu di pesta dansa tadi." Simon tidak memedulikan
pertanyaan gadis itu. Dia sudah bertekad hendak mengungkapkan isi
hatinya. "Aku melihatmu berdiri di tangga. Aku yakin... aku langsung
jatuh cinta padamu."
"Pada pandangan pertama?" Angelica mencemooh. "Berapa
banyak sampanye yang telah kauteguk, Mr. Fear?"
"Angelica, aku langsung tahu saat itu juga," Simon
melanjutkan, "kau akan jadi istriku."
Angelica tertawa lagi, tapi kini bercampur takut. "Apakah kau
baru saja keluar dari rumah sakit gila?" tanyanya gugup. "Apakah kau
berbahaya" Bisakah kau mengerti kata-kataku?"
"Kau akan jadi istriku, Angelica," Simon berkeras, mata
kelamnya berkilat dalam cahaya lentera.
"Sekarang aku akan berteriak minta tolong." Angelica gemetar.
Ujung gaunnya kini basah. Rumput basah seakan membekukan
kakinya, dan rasa dingin menjalar naik ke tubuhnya. "Tolong..."
Aku akan pergi," sela Simon, masih memegangi topinya di
depan dadanya. "Aku tak ingin kau takut. Tapi aku pasti kembali. Aku
harus melihatmu. Aku harus bicara denganmu."
"Bicaramu sudah lebih dari cukup," tukas Angelica tak acuh.
Simon memakai topinya lalu berlari ke pagar belakang, yang
tadi dilompatinya untuk masuk ke kebun. Setengah jalan dia berpaling
ke gadis itu. "Kau akan menikah denganku, Angelica Pierce. Ingat
kata-kataku!" Ketika dia memanjat pagar lalu menghilang dari kebun, tawa
Angelica yang mengejeknya terngiang-ngiang di telinganya.
***************** Simon berjalan tanpa tujuan menembus kota. Arak-arakan
Mardi Gras sudah selesai. Ratusan orang yang mengenakan aneka
kostum memenuhi jalanan. Musik dansa berirama cepat, petikan
banjo, lengkingan riang biola dan harmonika menghambur keluar dari
ambang setiap pintu. Sinar ratusan senter mengambang, meninggalkan warna kuning
seram pada wajah-wajah yang sedang tertawa-tawa atau berteriakteriak. Sekelompok orang bertopeng yang akan berpesta
menggelindingkan satu tong bir di sisi jalan. Beberapa lelaki
bertelanjang dada berjalan berpelukan di depan Simon. Mereka
menyanyikan lagu sedih dengan nyaring.
Simon tidak melihat itu semua.
Sementara dia berjalan tanpa tujuan menembus kerumunan
orang yang tertawa-tawa di French Quarter, yang terbayang di
benaknya hanya Angelica Pierce.
Tersihir dan nyaris hilang akal saking senangnya, dia terus
berjalan sampai meninggalkan kegaduhan itu di belakangnya. Cahayacahaya senter lenyap. Dia sampai di bagian kota tua.
Tempat itu gelap, hanya diterangi sepotong bulan yang
menggantung di langit. Di mana aku" tanya Simon kepada diri sendiri. Untuk pertama
kalinya dia melihat bangunan-bangunan kayu beratap rendah. Suasana
gelap dan sepi. Mungkin aku tersesat sampai ke pelabuhan. Kegelapan
membuat pikirannya gelap.
Tadi dilihatnya Angelica berdansa dengan peminangnya.
Tepatnya dua peminang. Setelah diusir dari pesta, Simon menyelinap kembali dan
bersembunyi di depan rumah itu. Dari tempat persembunyiannya dia
bisa melihat ke dalam ruang dansa yang benderang lewat jendela.
Dia mengawasi Angelica berdansa. Dia melihat kedua pemuda
yang berdansa dengan gadis itu. Simon tidak tahu nama mereka, tapi
bertekad mengetahuinya. Dua pemuda yang berharga, pikir Simon pahit. Tapi aku lebih
berharga! Mungkin aku tak punya uang dan tak berasal dari keluarga
terpandang seperti mereka"tapi aku harus memiliki Angelica!
Jantungnya masih berdegup kencang setelah bertemu dengan
Angelica. Jalan gelap terasa miring ke atas. Bangunan-bangunan
beratap rendah itu semakin gelap. Dari balik deretan bangunan itu, dia
mendengar debur air. Dermaga-dermaga pasti ada di blok berikutnya, pikirnya. Aku
tersesat di kawasan rawan. Tiba-tiba, sebuah lengan kuat
mencengkeram bahunya. Sebuah benda tajam ditekankan ke lehernya.
Ia kesakitan. Bab 4 SIMON hendak berteriak, tapi tekanan pada lehernya
membungkamnya. Beberapa detik kemudian barulah dia sadar bahwa
yang menekan lehernya itu belati.
"Dompetmu akan kuambil," bisik suara parau begitu dekat
telinganya sampai tercium bau wiski dalam embusan napas
penyerangnya. "Atau lehermu akan kugorok."
Simon mengerang tak berdaya.
"Pria baik-baik seperti kau pasti tak ingin digorok," geram si


Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penyerang. "Ya, kan?" Kemudian belatinya agak dijauhkan, agar
Simon bisa bicara. "A-aku akan membayarmu," Simon berhasil bicara.
Aku tak mau mati di jalan gelap dan sepi ini, pikir Simon.
Kakinya gemetar, jantungnya berdegup keras. Aku tak bisa mati
sekarang... aku baru saja bertemu dengan Angelica.
"Uangku tak banyak," suara Simon gemetar. "Tapi semua akan
kuberikan padamu." "Ya, harus... dan cepat!" perintah penyamun itu.
Cengkeramannya mengendur, lalu punggung Simon didorong keraskeras.
Simon kaget dan berteriak, lalu jatuh berlutut di jalan belapis
batu keras. Dia menengadah memandang penyerangnya: seorang
pemuda berambut gelap dengan sehelai bandana merah terikat di
kepalanya. Lelaki itu sempoyongan karena amat mabuk, matanya
menyipit memandang Simon.
"Lihat-lihat apa kau?" bentaknya pada Simon dengan marah.
"Dompetmu... atau kugorok lehermu sekarang juga!" Dia mengacungacungkan belatinya.
"Sed-sedang kuambil," Simon tergagap.
Ketika dia menyibakkan mantelnya, sesuatu mencuat dari depan
kemejanya. Bandul kalung perak itu! Simon tidak pernah melepas
bandul kalung itu sejak diberikan adiknya, Elizabeth, kepadanya dua
tahun lalu di rumah mereka di Wickham.
Bandul kalung berbentuk cakram dengan hiasan tiga cakar
perak dan permata biru yang misterius itu sudah menjadi milik
keluarga Fear turun-temurun. Seorang peramal aneh bernama Aggie
memberitahunya tentang riwayat bandul kalung itu dan kekuatan
gaibnya. Tetapi Simon enggan menggunakannya. Dia tidak berniat
menggunakan kekuatan sihir yang jahat.
Sambil bangkit berdiri, Simon memegang bandul itu dan cepatcepat memasukkannya ke balik kemejanya.
Tetapi si penyamun sempat melihatnya. Dia mengacungacungkan belatinya, mengancam. Bilahnya yang panjang berkilau
ditimpa cahaya bulan. "Jangan coba menyembunyikan keping uang
perak, Bung," geramnya. Diulurkannya tangannya yang bebas. "Akan
kuambil juga uang itu."
"Ini bukan uang logam," protes Simon. "Ini warisan keluarga.
Tak ada gunanya bagi orang lain kecuali diriku."
"Serahkan benda itu!" teriak si penyamun tak sabar.
Dengan enggan Simon melangkah maju. Sambil memegangi
cakram perak itu dengan satu tangan, dia berusaha melepas rantai
kalungnya dari lehernya. Cakram perak itu terasa hangat dan bergetar dalam tangannya.
Angin berembus kencang di lorong, hingga mantel Simon
melambai-lambai. Diulurkannya bandul kalung itu kepada si
penyamun. Namun, bukannya meletakkan cakram itu di tangan penyamun
itu, Simon justru memukulkannya ke wajahnya. Empat permata biru
menggores pipinya. Perampok itu berteriak, karena kaget... bukan karena kesakitan.
"Hei... kau harus mati sekarang!" Belatinya teracung.
Masih memegangi bandul perak itu, Simon melompat mundur.
Darah mengucur dari empat lubang kecil di pipi si penyamun.
Sambil menggeram marah dia melompat menyerang Simon.
Simon mengelak. Penyamun itu terhuyung-huyung, berusaha memfokuskan
matanya, mencoba menyeimbangkan badannya. Mulutnya terus
memaki-maki. Dia melompat lagi, memaksa Simon mundur merapat
ke dinding sebuah bangunan.
Melihat Simon terpojok, senyum puas pelan-pelan terbentuk di
wajah orang itu. Dia melangkah maju sambil mengawasi Simon yang sia-sia
berusaha menjauhi dinding.
Tiba-tiba langkahnya terhenti.
Lengking kesakitan terlontar dari mulutnya. Dia menjatuhkan
belatinya lalu mencengkeram wajahnya dengan kedua tangannya.
"Tolong aku! Mukaku... mukaku terbakar!" jeritnya.
Diterangi cahaya bulan yang pucat, Simon bisa melihat wajah
lelaki itu berubah menjadi gelap... seperti hangus terbakar.
"Tolong aku!" jerit lelaki itu. "Oh, tolong!"
Dengan punggung merapat ke dinding, merasa ngeri dan tak
berdaya, Simon melihat wajah lelaki itu makin gelap. Lalu... kulitnya
terkelupas. Kulit itu mengelupas... meletus... lalu meleleh.
Matanya berputar-putar. Tangannya terkulai. Jeritannya
melenyap menjadi lenguh kesakitan ketika kulitnya yang mengelupas
terbakar habis. Serpih-serpih kulitnya meleleh, sehingga tulang abu-abu di
baliknya tampak. Sambil terus mengerang kesakitan, orang itu
menggeliat-geliat sampai kulitnya tak bersisa lagi. Tinggal sebentuk
tengkorak abu-abu yang menyeringai ketakutan dan memandang
Simon dengan memelas. Kemudian... tubuhnya jatuh terpuruk di jalanan.
Dengan dada serasa hendak pecah dan darah berdenyut-denyut
di pelipis, Simon menelan ludah dengan susah payah, berusaha
mengalahkan rasa takutnya melihat pemandangan yang sangat
mengerikan itu. Kemudian dengan hati-hati dikenakannya kalung itu dan
diselipkannya bandul kuno itu ke balik kemejanya.
Aku sudah menggunakan kesaktian jimat kuno ini, dia
menyadari. Keluarga Fear sudah lama sekali memiliki kekuatan sihir
jahat yang secara turun-temurun digunakan dalam perseteruan mereka
dengan keluarga Goode. Dominatio per malum. Itulah kata-kata Latin yang terukir pada
bagian belakang cakram perak itu. Kekuasaan yang diperoleh lewat
kejahatan. Sejak dulu Simon menolak menggunakan kekuatan sihir jahat
milik keluarga Fear. Dia bersumpah takkan pernah menggunakan
kesaktian jimat kuno itu. Keluarga Goode sudah dikalahkan.
Perseteruan selama berabad-abad di antara keluarga Goode dan
keluarga Fear sudah berakhir.
Aggie, si peramal, mengatakan kepada Simon bahwa riwayat
keluarganya akan tamat ditelan api. Ketika itu nama keluarganya
adalah Fier. "Ubahlah susunan huruf dalam Fier, maka kau akan
mendapat Fire!" jelas wanita tua itu.
Simon bertekad mencegah ramalan itu menjadi kenyataan.
Karena itu dia mengganti namanya dari Fier menjadi Fear. Dia
memang mengenakan bandul kalung kuno itu"tetapi tak pernah
menggunakan kekuatan sihirnya.
Sampai malam Mardi Gras yang gelap ini.
Pikiran-pikiran liar berkelebat di benak Simon ketika dia
memandang tubuh tak bernyawa yang teronggok di dekat kakinya.
Aku memiliki kekuatan keluarga Fear, dia menyadari. Aku
memiliki kekuatan untuk memperoleh apa pun yang kuinginkan. Dan
apa yang paling kuinginkan di dunia ini"
Aku menginginkan Angelica Pierce. Angelica yang jelita.
Dua halangan merintangiku, pikir Simon penuh semangat. Dua
halangan"dua pemuda yang kulihat berdansa dengan Angelica.
Aku pasti bisa menyingkirkan mereka dengan mudah, dia
menyimpulkan, sambil merasakan kehangatan bandul itu di dadanya.
Kedua pemuda itu punya kekayaan dan berasal dari keluarga
terpandang. Tapi aku seorang Fear. Apa gunanya kekayaan dan
keluarga yang terpandang kalau kita sudah mati"!
Setelah menyusun rencana, Simon merapatkan mantelnya.
Kemudian ia melangkahi mayat si penyamun, dan berjalan pulang
sambil bersenandung riang.
Bab 5 " AKU suka tempat tinggi seperti ini," kata Angelica kepada
sepupunya. "Kita bisa melihat apa saja dari sini."
"Kita bisa melihat setiap orang yang datang," Liza menjawab
sambil mengintip kursi-kursi pemain orkestra dengan teropong opera
berlapis gading. "Kita bisa mengamati-amati siapa saja dan
menggosipkan mereka... tanpa takut apa yang kita omongkan akan
mereka dengar!" Angelica tertawa sambil merebut teropong dari sepupunya.
James Daumier menarik-narik dasinya sambil menggeleng-geleng tak
senang. "Gedung opera adalah tempat untuk mendengarkan musik
indah. Kalian datang ke sini bukan untuk bergosip, kan?"
"Lihat mantel merah tua yang dikenakan Margaret Fletcher itu!"
seru Angelica tanpa memedulikan komentar James. "Dengan pakaian
seperti itu, dia lebih pantas ikut arak-arakan Mardi Gras."
"Warna merah tua memang cocok untuk Margaret Fletcher. Dia
harus selalu memakai warna itu," tambah Liza mencemooh.
James berpaling kepada Angelica. Gadis itu bisa merasakan
matanya yang abu-abu keperakan itu mengamatinya. "Angelica, kau
kelihatan cantik malam ini."
"Oh, James, kau baik sekali," sahut Angelica. Dia meremas
tangan James, tetapi perhatiannya terpusat pada orang-orang yang
mulai duduk di kursi-kursi pemain musik di bawah.
James mencondongkan badannya, mendekat. "Kelak kita harus
memiliki balkon opera pribadi," bisiknya.
"Ah, James... untuk apa?" tanya Angelica. "Kita selalu bisa
menggunakan milik Ayah. Ayah benci opera!"
"Maksudku..." James tidak menyelesaikan ucapannya. Dari
sudut matanya, Angelica melihat wajah pemuda itu memerah.
Mengapa malam ini James serius sekali" pikir Angelica.
Apakah dia sudah siap melamarku" Mungkinkah itu yang
membuatnya gugup dan gelisah" Atau dasinya mencekiknya"
Kalau dia jadi melamarku, apa jawabanku" tanya Angelica
kepada diri sendiri. Dia merapikan kaus tangan rendanya lalu
berpaling kepada sepupunya. "Liza, siapa yang kaulihat?"
Pemuda dari Biloxi itu," jawab Liza tanpa menurunkan
teropong. "Pemuda jangkung dengan senyum menawan dan mata biru
memikat. Ingat, Angelica" Kau sudah janji akan memperkenalkan
kami?" "Maksudmu Bradford Diles?" tanya James kepada Liza. "Kau
takkan suka dia. Dia bukan tipemu. Dia cerdas dan menawan."
"Apa?" Liza ternganga, pura-pura menahan marah.
James dan Angelica tertawa.
"Selera humormu tak lucu," balas Liza, pura-pura cemberut.
"Aku kenal betul siapa kau," lanjut James. "Kau suka tipe yang
kekar dan pendiam." "Aku akan lebih menyukaimu kalau kau pendiam!" tandas Liza.
Angelica membungkuk di atas birai balkon yang berlapis kain
beledu. Dia memandangi orang-orang di bawah. Deretan lampu gas
bersinar terang di sepanjang dinding. Para pemain musik sedang
menyelaraskan alat musik mereka di arena khusus yang luas di bawah
tirai biru yang mewah dan megah. Penerima tamu berseragam warna
gelap mengantarkan para penonton yang berpakaian mewah ke tempat
duduk mereka. Dua minggu sudah lewat sejak pesta dansa Angelica. Dua
minggu penuh perayaan dan pesta-pesta Mardi Gras.
Satu pesta dengan James, lalu satu pesta dengan Hamilton,
pikirnya. Kemudian satu pesta dengan kedua pemuda yang bersaing
memperebutkan perhatian dan senyumnya. James dan Hamilton.
Hamilton dan James Siapa yang akan kupilih" Pertanyaan itu membuatnya pusing,
berputar-putar di benaknya seperti sakit kepala yang sulit
disembuhkan. Pemuda asing bermata cokelat kelam itu, Simon Fear, dua kali
datang ke rumahnya. Yang pertama, Angelica menyuruh pelayanpelayan mengusirnya. Yang kedua, dia bersedia menemui"dengan
ditemani Liza. Simon masuk ke ruang duduk dengan penuh semangat. Wajah
tampannya dihiasi senyum kemenangan"seakan diizinkan masuk ke
rumah itu merupakan kemenangan penting baginya.
Dengan penuh percaya diri dia berjalan mendekati Angelica,
meraih tangannya, dan mencium punggung tangan itu. Angelica
mendengar Liza berseru tertahan, kaget melihat gayanya yang nekat.
Kunjungan itu singkat karena tak ada orang dewasa yang
mendampingi mereka. Angelica memperkenalkan Simon kepada
sepupunya. Simon menyapa Liza dengan hangat, kemudian
mengabaikannya. Sepanjang kunjungannya, dengan terang-terangan
dia menghunjamkan pandangannya ke mata Angelica.
Sementara mereka berbincang-bincang tentang cuaca, Mardi
Gras, dan topik-topik lain yang cukup pantas dibicarakan, Angelica
ingat pertengkaran singkat mereka, malam itu di kebunnya.
"Kau akan jadi istriku," kata Simon waktu itu.
Setiap kali kata-kata itu terulang di benaknya, Angelica
membayangkan mata Simon yang kelam dan bersorot tajam, suaranya
yang angkuh dan penuh percaya diri, dan... dia merasa bergairah...
sekaligus takut. Ketika Simon telah pergi, Liza melemparkan kepalanya ke
belakang dan tertawa. "Wah... pemuda yang benar-benar absurd!"
ejeknya. "Kaulihat caranya memandangimu?"
"Matanya bagus," jawab Angelica. ebukulawas.blogspot.com
Liza langsung berhenti tertawa, ekspresinya tiba-tiba jadi serius.
"Angelica, kau tak mungkin menaruh hati pada Simon Fear. Ayahmu
akan jantungan kalau tahu kau mengizinkan Simon masuk ke rumah
ini! Dia pasti akan menyuruh orang mencambuki pemuda itu dan
mengirimnya kembali ke rumahnya di Utara. Ayahmu takkan pernah
menerima Simon Fear... dan kau pun seharusnya tidak."
Kata-kata Liza malah membuat Angelica tersenyum. "Aku tak
menerimanya," katanya. "Aku sama sekali tak menerimanya...."
***************** Orkestra telah selesai menyelaraskan nada. Suasana jadi hening.
Cahaya lampu gas diredupkan.
Balkon khusus keluarga Pierce dekat panggung, di atas pemain
musik. Itulah tempat sempurna untuk melihat dan dilihat. Dan itulah
alasan utama Angelica datang ke gedung opera itu.
James tersenyum kepadanya. "Sudah hampir mulai. Kau dan
sepupumu untuk sementara harus berhenti bergosip."
"Astaga! Lihat dia!" seru Liza. Dia mengulurkan teropong
opera kepada Angelica, lalu menunjuk-nunjuk ke bawah mereka.
"Siapa?" tanya Angelica sambil mengangkat teropong itu ke
matanya. "Oh!" Angelica berseru lirih, kaget melihat Simon Fear
dalam cahaya remang-remang. Pemuda itu duduk di bawah
balkonnya"sedang menengadah memandangnya!
Sadar teropong gadis itu terarah kepadanya, Simon tersenyum
lebar dan melambai kepadanya.
Angelica menurunkan teropongnya lalu menenggelamkan diri
di kursinya. "Dasar sombong!"
Liza menelengkan kepalanya. "Opera ini khusus untuk orangorang terhormat," dengusnya.
"Siapa?" tanya James kepada Liza. "Kau sudah menemukan
pemuda lain dari Biloxi, ya?"
"Ah, hanya seseorang yang kukenal," sahut Angelica.
Sesuatu dalam suara Angelica membuat James penasaran.
"Seseorang yang kaukenal" Anak laki-laki?" Dia mencondongkan
badannya lalu melongok ke bawah, tangannya memegang birai
balkon. "James, jangan," bisik Angelica. "Opera sudah hampir mulai."
Dia mengulurkan tangan hendak menarik pemuda itu.
Alangkah kagetnya dia ketika James malah bangkit berdiri,
masih sambil membungkuk di atas birai.


Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"James... apa-apaan..!" desis Angelica.
James berpaling kepadanya, matanya yang abu-abu keperakan
terbelalak penuh kengerian. Tangannya terlepas dari birai. Tangan itu
terulur kaku. Pemuda itu berbalik lalu naik ke birai balkon.
"James... turun!" jerit Liza. "James... turun dari situ!"
Dengan canggung James menyeimbangkan badan di atas birai
balkon, hanya sesaat. Tiba-tiba mulutnya terbuka, meneriakkan jeritan
tanpa suara. Tangannya kini bergerak-gerak liar di samping badannya.
Kakinya gemetar. "James, kau akan jatuh!" jerit Angelica.
Dia mengulurkan kedua tangannya hendak memegang pemuda
itu. Terlambat. Tanpa menjerit atau mengeluarkan suara apa pun, James
terjungkal dari birai. "James! James!" Angelica menjerit-jerit, kedua lengannya
masih terulur. Dia terus memanggil-manggilnya karena tak mempercayai
matanya. Dia tak percaya James benar-benar jatuh. Dia tak percaya
kursi di sampingnya kini kosong.
Kemudian... jeritannya yang melengking bercampur dengan
seruan-seruan kaget penuh kengerian memenuhi ruangan remangremang itu.
Bab 6 SIMON melihat tubuh itu terjungkal dari balkon lalu
membentur lorong di antara deretan kursi. Bunyi debam menggema.
Kemudian, ketika teriakan-teriakan ngeri di dalam kegelapan
semakin keras, Simon menyelipkan bandul perak itu ke balik
kemejanya sambil bergegas di lorong.
Beberapa menit kemudian dia masuk ke balkon pribadi itu. Dia
menemukan Angelica dan sepupunya saling menenangkan. Wajah
mereka yang bersimbah air mata menampilkan ekspresi tidak percaya.
Liza menangis dengan bahu terguncang-guncang. Wajahnya
tersembunyi di balik tangannya yang tertutup sarung tangan.
Angelica mengangkat wajahnya, kaget melihat Simon. Dia
menghapus air mata dari wajahnya.
"Aku ikut sedih, Angelica," kata Simon lembut. Ia menatap
Angelica penuh simpati. "Aku ikut sedih... sangat sedih."
"Kau... kau lihat dia jatuh?" tanya Angelica kepada Simon.
"Apa James masih hidup" Aku tak sanggup melihatnya."
Simon menunduk sedih. "Aku ikut sedih, Angelica. Kawanmu
sudah meninggal." "Tidaaaaak!" Angelica memekik penuh kengerian.
"Dia jatuh dari tempat yang tinggi sekali dan dengan sangat
cepat," jelas Simon lirih. "Kulihat kepalanya membentur lantai. Aku
yakin dia meninggal seketika."
Angelica bergidik dan memejamkan matanya.
"Dia tak melompat!" jerit Liza melengking ketakutan.
"Mengapa James melompat" Mengapa dia naik ke birai balkon?"
"Kalau aku bisa membantu..." Simon menawarkan bantuan
kepada Angelica, tangannya menyentuh bahunya yang gemetar.
"Percayalah, aku selalu siap membantumu."
**************** Angelica bersandar pada ayahnya dan membiarkan dirinya
dibimbing ke ruang duduk. Sambil berjalan, dia melepas topi
hitamnya dan melemparkannya ke kursi.
"Pemakaman tadi bagus," kata Henry Pierce keras dan kasar.
Dia bertubuh kekar, berwajah merah, dan berkumis hitam tebal.
Keseluruhan penampilannya sama keras dan kasarnya dengan
suaranya. "Semua lancar... sebelum kuda penarik kereta jenazah lepas
ladamnya. Aku heran, mengapa kuda-kuda itu tak diperiksa dulu
sebelum upacara pemakaman dimulai."
"Ya, Ayah," kata Angelica lesu. Dia berjalan ke sofa panjang
lalu duduk. "Kau pucat sekali," gumam ayahnya sambil menyipitkan mata
birunya untuk mengamatinya. "Kuharap kau lebih kuat lagi,
Angelica." "Ya, Ayah." "Kau cukup kuat menghadapi tragedi ini," komentar ayahnya
sambil menggeleng-geleng sedih. Dia berdecak-decak, kumisnya naikturun. "James Daumier pemuda yang baik."
Angelica mendesah. Dia ingin sekali bisa berganti pakaian.
Gaun wol hitam itu berat, panas, dan sama sekali tidak nyaman.
"Hamilton Scott akan jadi suami yang sangat cocok bagimu,"
kata Mr. Pierce sambil berjalan ke jendela. "Aku sudah bicara dengan
ayahnya, yang sangat menyetujui perjodohan kalian."
"Ayah, tolong jangan paksa aku memikirkan pernikahan
sekarang. Jangan... di hari pemakaman James," suara Angelica
bergetar. "Kepalaku pusing dan pikiranku kacau. Aku takut akan
pingsan lagi." "Tenang-tenang saja, Nak. Kita akan membicarakan ini kalau
kau sudah merasa lebih kuat." Mr. Pierce membuka tirai jendela.
Cahaya matahari yang kuning cerah masuk ke ruangan itu.
Angelica mengedip-ngedip, menunggu matanya terbiasa dengan
cahaya benderang itu. "Ah, Liza... untung kau ke sini!" serunya sambil
berpaling ke pintu. Liza masuk ke ruangan dengan langkah gontai, topi hitamnya
masih menutupi kepalanya. Ujung gaun hitamnya menyapu lantai.
"Pemakaman itu menyedihkan, Angelica!" isaknya.
"Pemakaman pemuda yang baik selalu menyedihkan," kata Mr.
Pierce sungguh-sungguh, menyatakan dia sependapat. "Kalian, gadisgadis, mau minum teh" Aku akan memberitahu pelayan."
Angelica memperhatikan ayahnya pergi, tangannya tertangkup
erat di pangkuannya. "Tadi itu... itu pemakaman yang cantik," ia
tergagap-gagap sambil mengisyaratkan agar Liza duduk di
sampingnya. "Bunga-bunganya indah."
Liza melepas kaus tangan hitamnya yang panjang dan
membiarkannya jatuh ke lantai. Dia duduk di samping sepupunya lalu
dengan lembut meletakkan tangannya di atas tangan Angelica. "Kau
tak apa-apa, Angelica?"
"Sekarang aku merasa lebih enak setelah Ayah
meninggalkanku," Angelica mengakui. Dia menumpangkan tangannya
di atas tangan Liza. "Maksudnya baik, tapi Ayah terus-menerus bicara
tentang Hamilton Scott."
"Maksudmu..." "Maksudku, setelah James mati..." Kata-kata Angelica
tersangkut di tenggorokan. "Setelah James mati," dia mulai lagi,
"Ayah mendesakku agar menerima Hamilton. Menurut Ayah,
sebaiknya aku dan Hamilton segera mengumumkan pertunangan kami
dan menikah secepatnya."
"Tapi kau kan memang menaruh hati padanya, Angelica," kata
Liza. Angelica menjawab dengan desah pedih. Dia meremas tangan
sepupunya. "Simon selalu menghiburku beberapa hari terakhir ini."
Angelica memusatkan perhatiannya ke jendela. Dia selalu penuh
perhatian dan pengertian."
"Angelica!" seru Liza, tak bisa menyembunyikan
ketidaksukaannya. "Tak kusangka kau diam-diam bertemu dengan
Simon Fear." "Dia mengunjungiku beberapa kali." Angelica menghindari
tatapan sepupunya. "Dia sangat baik. Aku tak mengerti mengapa kau
sangat mencurigai Simon, Liza. Memang dia orang Utara dan bukan
dari keluarga kaya..."
"Aku tak mempercayainya. Titik," balas Liza tajam. Dia
mengubah sikap duduknya. "Kau menghindari pertanyaanku tentang
Hamilton. Bagaimana perasaanmu terhadap Hamilton, Angelica" Kau
menyayanginya?" Sebelum Angelica sempat menjawab, pelayan muncul di
ambang pintu dan memberitahu, "Mr. Hamilton Scott datang. Apakah
sebaiknya saya persilakan masuk, Nona?"
****************** Simon Fear bersandar pada pagar putih kayu berujung runcing,
memandangi mansion yang luas dan megah itu. Dari tempatnya,
Simon bisa melihat jelas lewat jendela ruang duduk.
Baik benar Mr. Pierce... membukakan tirai buatku, pikirnya.
Sebuah kereta mendekat dengan bunyi gemerincing, ditarik dua
ekor kuda hitam gagah. Simon membungkuk, pura-pura
membersihkan tanah dari sepatu botnya. Setelah kereta itu lewat,
Simon kembali ke posisinya semula di samping pagar.
Dia melihat Hamilton Scott memasuki ruang duduk dan
berjalan ke sofa yang diduduki Angelica dan Liza. Hamilton
membungkuk rendah lalu mencium tangan Angelica.
Kau sangat sopan, penuh hormat, dan kekanak-kanakan,
Hamilton, batin Simon sengit. Dia merasa bandul kalung bercakar tiga
itu membara di balik kemejanya.
Kau memang sial, Hamilton. Yang berikutnya pemakamanmu.
Setelah itu aku yang akan duduk di ruang duduk itu, membungkuk
hormat dan mencium tangan Angelica yang halus.
Bab 7 SEBULAN kemudian, sambil memegangi lengan Hamilton,
Angelica menembus kerumunan orang yang sedang tertawa-tawa.
"Tunggu aku! Sepatuku terjepit papan dermaga!" teriak Liza
Angelica menoleh, lalu dengan tak sabar membentak
sepupunya, "Cepat! Kita harus ketemu Bibi Lavinia!"
"Dan aku ingin melihat kapal yang digerakkan kincir!" kata
Hamilton. Liza berhasil melepas sepatunya dari jepitan papan dermaga,
lalu cepat-cepat menyusul sepupunya. Dipeganginya ujung gaun abuabunya yang panjang.
"Kau lihat Bibi Lavinia?" tanya Angelica. "Banyak sekali orang
yang ingin melihat kapal bertolak. Rasanya seperti di tengah perayaan
Mardi Gras!" Ketika mereka semakin dekat ke kapal, Angelica melihat karpet
merah dibentangkan di titian kapal. Para penumpang tersenyum.
Tangan mereka penuh oleh-oleh. Mereka berhenti di geladak dan
melambai-lambai kepada kawan atau sanak keluarga yang berdiri di
tepian. Sebuah kelompok musik memainkan irama mars di samping
titian kapal. Pita-pita putih dan kuning dibentangkan di atas dermaga.
Kereta-kereta sewaan yang ditarik kuda mendekat untuk menurunkan
lebih banyak lagi penumpang.
"Itu dia!" seru Liza. "Bibi Lee! Bibi Lee!"
Angelica dan Hamilton mendesak melewati seorang lelaki yang
sedang menarik koper besar hitam dan bergegas menyongsong bibi
Angelica, Lavinia. "Ah... kalian rupanya!" seru Bibi Lavinia riang. "Wah... kukira
aku tak sempat ketemu kalian!"
Bibi Angelica bertubuh besar dan kuat. Biru topinya serasi
dengan biru matanya. Pipinya yang bulat memerah karena penuh
semangat. Dia datang ke New Orleans untuk merayakan Mardi Gras,
tetapi sekarang akan pulang ke Memphis.
Mereka berpelukan. Angelica memperkenalkan Hamilton, yang
mengatakan sesuatu, tetapi kata-katanya tenggelam dalam lengking
peluit kapal. "Astaga, sebaiknya aku naik sekarang!" seru Bibi Lavinia.
"Kalian baik benar mau datang melihat bibi tua ini berangkat!"
Mereka berpelukan lagi. Kemudian bibi Angelica mengambil
barang-barangnya lalu berjalan ke titian kapal.
"Dia baik sekali," kata Liza sambil melambai-lambai kepada
bibinya. "Meskipun melawan arus, kapal ini akan segera sampai ke
Memphis," kata Hamilton. "Lihat. Kincirnya ada dua. Kecepatannya
juga pasti dua kali lipat."
Lengking peluit yang kedua membuat Angelica menutupi
telinganya. Dia menarik-narik lengan Hamilton. "Tak ada orang di
dermaga itu," katanya sambil menunjuk-nunjuk. "Kita ke sana, yuk.
Kita bisa melihat lebih jelas waktu kapal menjauh. Kita berada tepat di
pinggir air." Liza ragu-ragu. "Dermaga itu dipagari tali, Angelica. Kurasa
tempat itu tertutup untuk umum."
"Kita bisa saja berdiri di sana kalau kita mau," kata Hamilton.
"Ayo. Aku ingin berada sedekat mungkin waktu kapal mulai
bertolak." Dengan Hamilton berjalan di depan, mereka bertiga
membungkuk menyusup di bawah tali itu lalu berdiri di ujung
dermaga. Di bawah mereka air menjilat-jilat tiang kayu penyangga
dermaga. Air itu hijau keemasan, memantulkan cahaya matahari sore
yang menyilaukan. "Aku bisa melihat ikan di bawah sana. Lihat. Banyak sekali,"
kata Hamilton sambil membungkuk di pinggir dermaga dan
menunjuk-nunjuk air yang beriak-riak kecil.
"A"aku rasa sebaiknya kita pergi dari sini," Liza tergagapgagap. Dia memandang berkeliling dengan perasaan tidak enak.
"Tak ada yang peduli kita melihat dari sini," kata Angelica
kepada sepupunya. Angelica melihat penumpang terakhir naik. Titian kapal ditarik
ke atas. Dua awak kapal yang masih muda dan mengenakan seragam
putih menggulung karpet merah itu. Pemain musik mulai memainkan
lagu lain. Angelica menudungi matanya dengan satu tangan, mencari-cari
bibinya di geladak. Dia merasa bahunya ditepuk. "Berbaliklah," bisik
Liza mendesak. "Lihat... siapa itu."
Dengan bingung Angelica mengikuti arah pandangan
sepupunya. Dia kaget melihat Simon Fear berdiri di batas kerumunan
orang. Dahinya tertutup topi yang dikenakan rendah-rendah.
Tangannya terselip ke saku jasnya yang abu-abu.
Aneh sekali, pikir Angelica sambil mengamati pemuda itu.
Mengapa Simon ada di sini" Kelihatannya dia tidak mengantarkan
siapa-siapa. Setelah peluit melengking pendek dua kali, kapal mulai
bergerak meninggalkan dermaga. Kedua kincirnya berputar pelan,
mengaduk air. Memandang kerumunan orang di belakangnya, Angelica
melihat Simon mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. Benda itu
keperakan, memantulkan cahaya matahari. Simon mengacungkannya
tinggi-tinggi. Angelica menggeleng, kemudian berpaling untuk melihat kapal
bertolak. Aneh benar dia, pikirnya sambil tersenyum geli.
Peluit melengking sekali lagi. Kapal mulai melaju. Di
belakangnya orang-orang melambai-lambai dan berseru-seru.
Angelica memandangi kincir kembar itu berputar, menciptakan
dua air terjun berbusa sementara kapal bergerak menjauh. Dia
menoleh ke belakang. Simon tidak bergerak. Dia masih
mengacungkan benda keperakan itu tinggi-tinggi dengan satu tangan.
"Hamilton, ini asyik sekali, ya?" tanyanya. "Hamilton"
Hamilton?" Tadi pemuda itu berdiri di sampingnya, di ujung dermaga.
Menghilang ke mana dia"
"Liza, kau lihat Ham..." Angelica hendak bertanya.
Tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan ketika dia
menoleh ke kapal itu lagi.
Kemudian dia menjerit-jerit.
Bab

Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

8 "DIA jatuh?" teriak Liza. "Dia jatuh?" Dia mencengkeram
lengan Angelica sambil mengulang-ulang pertanyaan itu. "Dia jatuh?"
"Hamilton! Hamilton!" Angelica menjerit, kedua tangannya
memegangi pipinya. Dia melihat Hamilton tenggelam ke dalam air yang hijau
keemasan. Kemudian dia melihat pemuda itu muncul lagi seakan
mengambang di udara. "Hamilton! Hamilton!"
Angelica berseru tertahan penuh kengerian. Dia melihat tubuh
Hamilton tersangkut pada bilah kincir.
"Tidak! Oh... tidak!" jeritnya.
Tubuh Hamilton yang lemas terangkat, kemudian berkeretak
nyaring ketika terjepit di antara roda kincir dan badan kapal. Tubuh itu
tenggelam lagi, kemudian terangkat lagi, dan terjepit lagi dengan
bunyi keretak yang nyaring.
"Dia jatuh" Dia jatuh?" Liza berulang kali bertanya nyaris tanpa
bernapas, matanya nanar seperti orang gila. Helai-helai rambut
cokelatnya dipermainkan angin, berkibar-kibar liar di sekeliling
kepalanya. Wajahnya bersimbah air mata.
Hamilton menghilang ke dalam air. Kemudian tubuhnya yang
tak bernyawa terangkat lagi. Tangannya terayun-ayun tak berdaya.
Kepalanya yang hancur tak berbentuk terkulai ke belakang, kemudian
tersentak ke depan ketika kincir itu menyeretnya ke arah badan kapal
lagi. Air yang memancur dari kincir itu berwarna merah muda,
ternoda darah Hamilton. "Tidak! Oh, tidak!" Angelica mengerang, tak kuasa
mengalihkan matanya dari pemandangan yang mengerikan itu.
"Dia jatuh" Dia jatuh?" Liza terus saja bertanya, matanya
berputar-putar liar. Tiba-tiba Angelica merasa pinggangnya dipeluk lengan kuat.
Dia menjerit kaget, berpaling... dan melihat Simon di
sampingnya. "Simon!" suaranya melengking tinggi tidak dikenalinya.
"Simon, dia... dia..." Angelica menunjuk-nunjuk ke arah kapal.
"Angelica yang malang," kata Simon lembut sambil
memeluknya erat-erat. "Angelica yang malang. Kau sangat
menderita." ***************** "Angelica, aku senang melihatmu tak mengenakan pakaian
berkabung lagi," kata Henry Pierce sambil tersenyum di balik kumis
lebatnya. Sambil lalu dia menyentuh bahu putrinya dengan lembut.
"Perasaanmu sudah lebih baik?"
Angelica mengangguk tetapi tidak membalas senyum ayahnya.
Dirapikannya rambutnya yang hitam berkilat. "Dua bulan sudah lewat,
Ayah. Aku merasa pantas mengakhiri masa berkabungku untuk
Hamilton." Mr. Pierce menghampiri jendela lalu mengintip ke luar, ke
malam yang kelam. "Saat-saat yang menyedihkan," gumamnya, lebih
kepada diri sendiri dan bukan kepada putrinya. Dia berbalik lalu
berkata, "Kau pucat sekali, Nak."
"Aku merasa lebih baik," kata Angelica. "Sekurang-kurangnya
aku tak sering akan pingsan lagi."
"Kau sudah mempertimbangkan nasihatku?" tanya Mr. Pierce,
mencoba memperlembut suara paraunya. Ia menatap mata putrinya,
seakan ingin mengetahui perasaan Angelica yang sebenarnya. "Aku
yakin perjalanan ke luar negeri akan baik bagimu."
Angelica mendesah. "Aku tak punya banyak waktu untuk
berpikir," jawabnya sedih.
"Kuharap kau tak terlalu kesepian sejak Liza pulang ke
Virginia." "Aku sedang ingin sendiri." Angelica mempermainkan
rambutnya. "Simon Fear sering mengunjungimu." Dahi ayahnya berkerut.
"Simon sungguh-sungguh membuatku terhibur," sahut
Angelica. Mr. Pierce mengangguk penuh pikiran. "Kuharap kau tak
memberi harapan pada pemuda aneh itu, dengan cara apa pun." Sekali
lagi dia melirik ke luar jendela, kemudian berjalan ke tempat Angelica
duduk. "Malam ini aku lelah sekali. Aku ingin beristirahat."
"Selamat malam, Ayah." Angelica bangkit lalu mengecup dahi
lebar ayahnya. Kaget karena kemesraan yang tak biasa itu, wajah Mr. Pierce
langsung memerah. Dia tersenyum, mengucapkan selamat malam
kepada putrinya, lalu cepat-cepat keluar ruangan.
Sambil tersenyum-senyum Angelica berjalan ke bufet yang
menempel di dinding. Dia membungkuk, lalu mengeluarkan dua gelas
perak berbentuk piala dari bufet itu. Dia menyibukkan diri beberapa
menit lamanya, kemudian kembali ke sofa.
Kira-kira setengah jam kemudian kepala pelayan masuk ke
ruang duduk, membawa sehelai kartu putih di atas nampan perak.
"Mr. Fear ingin menemui Anda, Nona," katanya sambil menyerahkan
kartu nama Simon kepada Angelica.
Angelica mengambil kartu itu dan melihatnya sekilas, tak bisa
menahan senyumnya. Dia mengangguk kepada kepala pelayan itu.
"Aku bersedia menerimanya."
Simon masuk, satu tangannya memegangi topinya, rambutnya
tersisir rapi, wajahnya tampak prihatin. Tetapi ekspresi itu melembut
dan berubah jadi cerah ketika melihat Angelica telah mengganti
pakaian berkabungnya dengan gaun berwarna lembut.
Sambil tersenyum Simon bergegas melintasi ruangan. Matanya
berkilat dalam cahaya lembut lampu gas. Kemudian dia membungkuk
dan mencium tangan gadis itu.
Angelica memberi isyarat agar Simon duduk di sampingnya.
Simon mengangkat ekor jasnya lalu duduk di sofa. "Angelica..."
Tetapi gadis itu mengangkat tangannya, menyuruhnya diam.
Mata hijau kemilaunya yang seperti zamrud menatap Simon
dengan tajam. "Simon, aku akan menikah denganmu," katanya.
Simon ternganga menatap Angelica. Susah payah dia menelan
ludahnya. "Simon, kau tak dengar kata-kataku?" Angelica menuntut
jawab. "Aku bilang aku akan menikah denganmu!"
"Aku... aku... sangat... sangat..." Simon tergagap-gagap.
Angelica melemparkan kepalanya ke belakang dan tertawa.
"Kenapa, Simon" Belum pernah kulihat kau jadi gagu seperti itu!"
Wajah Simon memerah. "Angelica, sayangku, aku sangat
bahagia hingga tak kuasa berkata-kata!" Dia meraih dan
menggenggam kedua tangan gadis itu. "Aku sangat bahagia, Angelica.
Aku pria paling bahagia di New Orleans! Aku nyaris meledak saking
bahagianya. Sungguh!"
Angelica melompat berdiri lalu berjalan cepat ke bufet. "Simon,
mari kita rayakan ini," katanya riang. "Kita bersulang untuk
pernikahan kita, untuk kebahagiaan kita."
Dia mengisi kedua gelas perak itu dari karaf perak. Simon
menyeberangi ruangan lalu mengambil satu gelas dari tangan
Angelica. "Demi tahun-tahun perkawinan yang penuh kebahagiaan!"
Wajahnya berbinar-binar. Matanya menatap mata Angelica.
Dua gelas perak beradu. Mereka berdiri di depan bufet, gelas mereka teracung tinggi,
wajah mereka berkilau dalam cahaya lembut lampu gas.
Kemudian wajah Simon berubah menjadi kelam. Angelica
kaget melihatnya. "Aku harus mengatakan sesuatu padamu sekarang
juga, Angelica sayang," suaranya merendah menjadi bisikan lirih.
Gadis itu membalas tatapannya lekat-lekat dan menanti.
"Aku sangat mencintaimu," kata Simon. "Sangat... sangat
mencintaimu... Aku berani melakukan apa saja untukmu." Dia raguragu.
"Ya, Sayang," sahut Angelica tak sabar. "Apa maksudmu?"
"Aku sangat ingin memilikimu. Tak seorang pun... bisa
menghalangiku," Simon melanjutkan, sekarang matanya berkilat-kilat.
"Ya?" Dia mengambil napas panjang, kemudian menyemburkan katakatanya, "Aku sangat mencintaimu... amat sangat mencintaimu...
sampai-sampai aku membunuh James Daumier dan Hamilton Scott
untuk memperoleh dirimu!"
Bab 9 SIMON memandang Angelica dengan tajam, menunggu reaksi
gadis itu atas kata-katanya.
Angelica terpana menatapnya, tak kuasa berkata-kata, gelas
perak itu bergetar di tangannya.
"Angelica," suaranya bergetar penuh emosi, matanya memohon
agar Angelica tidak menolaknya karena apa yang dikatakannya itu,
tidak mengusirnya karena apa yang telah dilakukannya. "Angelica,
aku membunuh mereka demi kau. Sebesar itulah kekuatan cintaku.
Cintaku padamu sangat besar dan kuat hingga aku terpaksa
membunuh demi kau! Kumohon kau mau mengerti!"
Angelica tidak menjawab. Dia mengangkat gelas itu ke bibirnya
dan menyesap isinya seteguk. Setitik anggur merah menetes dari
bibirnya. Akhirnya dia berkata, "Kau... kau membunuh mereka?"
Simon mengangguk dengan sungguh-sungguh.
"Tapi bagaimana caranya?" dia menuntut jawab dengan lirih.
Simon ragu-ragu. "Aku punya kekuatan," jawabnya ringkas.
Dengan gugup dia memegangi gelas itu erat-erat. Dia memandang
Angelica sambil menahan napas, menunggu reaksinya.
Dia kaget melihat mata Angelica yang mirip mata kucing itu
menyipit. Tiba-tiba gadis itu tertawa mencemooh.
"Angelica...?" seru Simon.
"Kau?" teriak gadis itu. "Kau membunuh mereka?" Dia tertawa
lagi dan terus tertawa sampai air matanya keluar dan membasahi
pipinya. "Dasar tolol!" semburnya sambil menggeleng-geleng. "Bukan
kekuatanmu yang membunuh dua pemuda bodoh itu! Tapi
kekuatanku!" "Apa?" Sekarang ganti Simon yang kaget setengah mati.
"Aku membunuh mereka!" seru Angelica di antara tawa dan air
matanya. "Aku yang membunuh mereka, bukan kau! Sejak kecil aku
sudah biasa mempraktekkan ilmu sihir. Aku tahu aku takkan diizinkan
menikah denganmu kalau James dan Hamilton masih ada. Dan pada
malam pestaku itu, aku tahu kita ditakdirkan hidup bersama!"
"Tapi, Angelica...!"
Gadis itu mengangkat tangannya, menyuruhnya diam. "Aku tak
bisa menikah dengan James atau Hamilton. Mereka lugu, tak punya
imajinasi, tak punya kenekatan menikmati hidup. Jadi kugunakan
kekuatan sihirku. Kubunuh mereka, Simon... dua-duanya. Kubuat
James melompat dari birai balkon khusus kami di gedung opera.
Kubuat Hamilton melompat dari dermaga dan menabrak kincir kapal
itu. Kubunuh mereka demi kau"demi kita!"
Simon menelan ludah dengan susah payah, tak kuasa berkatakata saking kagetnya. "Aku... aku tak percaya!" Akhirnya dia bisa
bicara tergagap-gagap. "Kita akan menggabungkan kekuatan kita." Angelica
mengangkat gelasnya. "Ya, ya!" Simon sependapat dan segera pulih dari
kekagetannya. "Ya, Angelica sayang. Bersama dan berdua, tak ada
yang dapat menghalangi kita untuk memperoleh apa pun yang kita
inginkan!" Senyum Angelica menghilang. "Hanya satu yang bisa
menghalangi kita, Simonku tersayang. Satu kekuatan yang luar
biasa"ayahku. Dia takkan pernah menerimamu. Dia ingin
mengirimku ke Eropa untuk menghindarkanku darimu."
"Ayo! Kita temui dia sekarang juga!" seru Simon, matanya
berkilat-kilat penuh semangat. Dicengkeramnya tangan Angelica, lalu
ditariknya gadis itu. "Simon, hentikan! Kau mau membawaku ke mana" Kita belum
siap menemui Ayah. Kita belum punya rencana apa-apa. Simon, kita
butuh strategi!" Tanpa memedulikan kata-kata gadis itu, Simon menarik
Angelica ke kamar ayahnya. Langkah mereka terhenti di ambang
pintu. Mereka melihat Henry Pierce tergeletak di karpet kamar tidur.
Wajahnya ungu mengilat. Mulutnya ternganga kaku. Matanya
yang mati memandang langit-langit seperti kelereng kusam.
"Simon... aku"aku?" Angelica mencengkeram lengan jas
Simon. "Apakah dia... mati?"
"Dokter akan percaya dia kena serangan jantung," kata Simon
lembut, tak kuasa menahan senyum yang menghiasi wajah tampannya.
"Tidak!" jerit Angelica, menghambur ke dalam ruangan, lalu
berlutut di samping jenazah ayahnya. "Ayah!" Kemudian... pelanpelan dia mengangkat wajahnya dan memandang Simon. "Kau
melakukannya" Kau melakukannya untukku?"
"Untuk kita, sayangku," jawab Simon. "Aku telah membunuh
ayahmu sebelum aku masuk ke ruang duduk. Aku tahu, itu satusatunya jalan agar kita bisa bersatu."
"Oh, terima kasih!" seru Angelica sambil melompat berdiri dan
memeluk pemuda itu. "Sekarang kita kaya, Simon. Dan bebas!"
Cepat-cepat mereka kembali ke ruang duduk dan mengangkat
gelas perak mereka. "Mari kita bersulang!" desak Angelica. "Untuk
kita!" EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
"Sedap," kata Simon. "Pahit dan manis." Dia tersenyum penuh
arti. "Ini bukan anggur, kan?"
"Bukan." Angelica tersenyum. "Ini darah."
Simon menyeringai dan memandang isi gelasnya. "Kau penuh
kejutan malam ini, Angelica."
Dia memeluk bahu ramping Angelica. Kemudian mereka
memiringkan gelas itu ke bibir, meminum isinya, dan membiarkan
cairan kental gelap itu mengalir ke kerongkongan mereka.
Shadyside Village 1900 NORA GOODE meletakkan pena lalu meremas-remas jarinya
yang kaku. Sambil menguap dia memandang jendela yang sempit
pada dinding kosong bercat abu-abu.
Cahaya matahari pagi membentuk segi empat kuning kecil di
lantai papan yang gelap. Sebentar lagi mereka datang, pikir Nora, sambil mengalihkan
matanya ke pintu. Aku harus menyelesaikan ceritaku sebelum mereka datang. Aku
harus meninggalkan laporan tertulis ini untuk dibaca siapa saja.
Kekuatan jahat yang sudah mengikuti keluarga Fear selama
sekian generasi harus diketahui. Kalau tidak, kekuatan itu takkan
dapat dimatikan. Nora mengambil sisa roti dari wadah logamnya lalu
mencelupkannya ke saus dingin kekuning-kuningan. Sambil
memasukkan roti itu ke mulutnya, dia memandang tumpukan kertas di
meja kecil itu. Masih banyak yang harus ditulis, pikirnya sambil mengambil
pena dan mencelupkannya ke wadah tinta yang isinya tinggal
setengah. Kisah hidup Simon Fear sangat panjang dan sangat
mengerikan. Simon dan kekasihnya, Angelica, menikah pada tahun 1846.
Sekarang aku harus memulai ceritaku pada kurun waktu kira-kira dua
puluh tahun kemudian. Saat itu tahun 1865. Perang Antar Negara Bagian sudah hampir
berakhir. Simon dan pengantinnya telah pindah ke Utara, ke Shadyside


Fear Street - Saga Iii Kebakaran The Burning di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Village. Di sana mereka membangun mansion megah di dalam hutan,
jauh dari para penduduk lain yang memata-matai mereka. Tentu saja
mereka menggunakan uang Angelica.
Mereka tinggal di sana bersama lima anak mereka: dua anak
perempuan, Julia"berumur tujuh belas, dan Hannah"enam belas,
serta tiga anak laki-laki, Robert"empat belas, Brandon" sebelas,
dan Joseph"yang termuda dan berumur lima tahun.
Keluarga itu tampak bahagia dan sejahtera selama beberapa
waktu. Tetapi karena banyak sekali kekuatan jahat mengintai di balik
dinding- dinding mansion Fear, kebahagiaan mereka takkan bertahan
lama. Nora membersihkan sisa saus kuning dari wadahnya. Kemudian
mengambil pena, menunduk di atas kertas-kertas itu, dan mulai
menulis dengan tergesa-gesa....
BAGIAN DUA Shadyside Village 1865 Bab 10 "AKU duduk di samping siapa di pesta nanti malam, Ayah?"
Julia bertanya kepada ayahnya.
Simon Fear mengangkat wajahnya dari berkas-berkas yang
sedang dibacanya. "Hmmm. Aku sudah mengatur agar kau duduk di
samping Wali Kota, Julia."
"Oh, tidak!" Julia melompat dari kursinya di depan perapian
lalu cepat-cepat mendekati ayahnya yang duduk di belakang meja tulis
kecil. "Oh, Ayah. Haruskah aku duduk di samping Mayor Bradford"
Ayah kan tahu, dia benar-benar tuli! Dia tak bisa mendengar apa pun
yang dikatakan orang padanya!"
"Dengan begitu, dia akan jadi teman makan malam yang
sempurna bagimu, Julia sayang," Simon menjawab tanpa perasaan,
dahinya berkerut di atas kacamatanya yang berbentuk persegi. "Kau
tak pernah bicara dalam jamuan-jamuan makan malam yang kita
adakan. Kau selalu duduk membisu. Jadi kau dan wali kota itu akan
jadi pasangan yang benar-benar serasi!"
"Ayah!" seru Julia kesal.
Simon mengamati putri sulungnya dengan sedih. Gadis itu
mewarisi rambut hitam indah dari ibunya. Tetapi wajah Julia tidak
bisa dikatakan cantik, rahangnya terlalu lebar, hidungnya terlalu
panjang, matanya yang sempit berwarna abu-abu dan letaknya terlalu
berdekatan. Gadis itu pendiam, tertutup, pemalu, dan rendah diri. Bagi
Simon, putrinya itu sungguh mengecewakan. Dia berharap dengan
pindah ke Shadyside Village, di mana keluarga Fear menjadi keluarga
terkaya dan terpenting, akan membantu Julia menghilangkan rasa
rendah dirinya. Tetapi, sejak pindah ke sini, gadis itu justru semakin
canggung dan pemalu. Dia hanya tampak riang jika sedang membuat kerajinan
gerabah, pikir Simon. Membuat jambangan dan patung-patung tanah
liat"itulah satu-satunya saat ketika dia tersenyum atau menunjukkan
antusiasmenya. "Ayah, menurutku Ayah tak adil terhadap Julia!" Hannah
masuk dari ruang duduk belakang. "Julia boleh duduk di tempatku di
Akhir Sebuah Pengkhianatan 1 Pendekar Rajawali Sakti 95 Pangeran Iblis Seribu Hawa Kematian 2

Cari Blog Ini