Ceritasilat Novel Online

Kebangkitan Roh Jahat 1

Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil Bagian 1


Prolog Shadyside, 1898 AKU akan menikah dengan Thomas Fear!
Sarah Burns mengulang-ulang kata-kata itu sendiri sementara
kereta hitamnya terus bergulir. Ia hampir-hampir tidak bisa
mempercayainya. Ia akan menikah dengan pria yang belum pernah
ditemuinya. Sarah bisa melihat pantulan dirinya di bingkai bagian dalam
kereta yang terbuat dari kuningan yang tergosok mengilat. Matanya
cokelat lembut. Rambutnya merah manyala, membingkai wajah cantik
berbentuk hati. Itu dirimu, katanya meyakinkan diri sendiri. Orang yang sama
dengan yang kaulihat dalam cermin selama 21 tahun.
Tapi Sarah merasa seperti tengah menatap wajah yang asing.
Ia menghela napas dalam-dalam, berusaha meredakan detak
jantungnya yang bagai berlomba.
Aku Sarah Burns dan aku akan menikah dengan Thomas Fear.
Aku Sarah Burns dan aku akan menikah dengan Thomas Fear.
Salah satu kuda kereta meringkik melengking. Apa yang sudah
membuat hewan itu takut" pikir Sarah penasaran.
Ia mencengkeram topi putih di kepalanya dan mengintip ke
jalan di tengah hutan itu. Ia melihat seorang pemuda jangkung
bermantel hitam dan topi tinggi tengah melangkah ke arah mereka.
Angin melecut-lecut mantelnya di sekitar tubuhnya, membuatnya
bagaikan awan hitam. Bayang-bayang menyembunyikan wajahnya.
Kusir Sarah menarik kekang kuat-kuat, menghentikan kudakudanya. "Bisa kautunjukkan arah ke gereja Shadyside?" serunya
kepada pemuda itu. Kuda-kuda menyingkir saat pria bermantel hitam itu melangkah
ke kereta terbuka. Makhluk bodoh, pikir Sarah. Tidak ada yang
menakutkan dari pemuda ini. Dia malah cukup tampan, dengan
rambut hitam pendek, dagu berlekuk, dan mata yang berkilauan.
Mata pemuda itu yang paling memesona Sarah. Ia sulit
mengalihkan pandangannya dari mata pemuda itu. Pemuda itu seolah
menghipnotisnya dengan tatapannya.
"Kalian sudah melewati gereja Shadyside berkilometerkilometer," kata pemuda itu. "Kalau tidak keberatan kutemani, akan
kutunjukkan sendiri tempatnya. Jangan sampai pengantin wanita
terlambat menghadiri pesta pernikahannya sendiri."
Sarah mengelus renda-renda gaun pengantinnya. "Terima
kasih," katanya. Pemuda itu naik ke papan pijakan, membuka pintunya, dan
masuk ke dalam kereta. Ia memberitahukan arahnya kepada kusir.
Lalu pemuda asing itu berpaling kepada Sarah dan tersenyum
tipis. Ia memutar-mutar tongkatnya. Sarah menyadari bahwa ujung
tongkat diukir berbentuk ular.
"Namaku Hamilton Davies," kata pemuda itu saat kereta
berputar balik. "Kau siapa?" lanjutnya sambil tersenyum.
Sarah membuka mulut hendak menjawab, tapi tidak terdengar
kata-kata apa pun. Mereka berdua tertawa.
"Maafkan aku," kata Sarah. "Karena namaku mulai hari ini
berubah, kurasa aku agak kebingungan mengenai siapa diriku saat ini.
Namaku Sarah. Sarah Burns."
"Boleh kutahu kau akan menikah dengan siapa?" tanya pemuda
itu. "Ya, sekalipun rasanya aku tidak bisa menceritakan banyak
tentang dirinya. Ini pernikahan yang diatur orangtua, tahu kan," kata
Sarah mengakui. Kenapa wajahnya memerah" Ada apa dengan pemuda ini
sehingga ia merasa begitu kikuk"
"Aku agak terkejut, wanita secantik dirimu mau menyetujui
pernikahan yang diatur." Wajah Hamilton Davies berubah merah
padam, seakan-akan terkejut oleh kata-katanya sendiri. "Kuharap kau
tidak menganggapku terlalu kurang ajar karena berkata begitu, tapi
kupikir kau pasti mampu rnemilih calon suamimu sendiri."
Sarah berulang tahun kedua puluh satu bulan Desember yang
lalu. Tapi pujian Hamilton membuatnya merasa seperti murid sekolah
yang tak mampu bicara. "Jadi kau belum pernah bertemu dengan calon suamimu?"
lanjut Hamilton. "Belum. Tapi aku tahu namanya, tentu saja. Thomas. Thomas
Fear," kata Sarah kepadanya.
Mendengar nama calon suami Sarah, kusir tua itu tersentak dan
berpaling secepat kilat. "Kau mengenalnya?" Sarah tidak mampu menahan diri untuk
tidak bertanya. "Aku tidak suka menyebarkan gosip," jawab kusir pelan.
Sekalipun di jalan hanya ada mereka bertiga, kusir masih
memandang ke sana kemari dengan gugup sebelum melanjutkan.
"Semua orang di kawasan ini sudah mendengar isu tentang keluarga
Fear, Ma'am. Kata orang mereka mempraktekkan ilmu hitam."
Bagus sekali, pikir Sarah. Tepat seperti yang dibutuhkannya
untuk menenangkan saraf sebelum pernikahan"isu mengenai
keluarga calon suaminya! Seakan-akan cuaca belum cukup untuk menggelisahkannya.
Ibunya dulu selalu mengatakan, "Pengantin wanita akan berbahagia
kalau matahari terus bersinar". Jadi Sarah mengetahui dirinya
mendapat pertanda bagus saat terjaga di pagi hari bulan Mei yang
indah. Matahari bersinar. Burung-burung berkicau.
Tapi begitu mereka tiba di Shadyside, langit berubah gelap.
Sekarang angin dingin melecut-lecut pepohonan. Tampaknya hujan
akan turun sebentar lagi.
Ibu tidak pernah mengatakan apa yang terjadi pada pengantin
wanita yang menikah saat hujan turun, pikir Sarah. Tapi tidak
mungkin bagus. Hamilton tersenyum kepadanya. "Kau tampak gugup. Kuharap
kau tidak ketakutan mendengar apa yang dikatakan kusir tentang
keluarga Fear." "Oh, aku tidak mempercayai kebodohan seperti itu," kata Sarah.
Tapi ia masih menggigil ketakutan.
Guntur menggelegar di kejauhan. Pemuda asing itu
menengadah menatap awan-awan mendung yang menghalangi
matahari. Ia tersenyum sekilas kepada Sarah. Gigi-giginya sangat
putih. "Kurasa hari pernikahanmu mendapat awal yang kurang bagus,"
katanya. Kereta berbelok di tikungan. Dan gerejanya pun terlihat,
menjulang ke langit hitam bagai hantu yang putih pucat.
Kusir menghentikan kereta. Hamilton membantu Sarah
menurunkan tasnya. "Well, terima kasih," kata Sarah kepadanya. "Silakan
melanjutkan perjalanan dan gunakan kereta ini ke tujuanmu sendiri."
Hamilton tersenyum kepadanya. "Tapi aku sudah tiba di
tujuanku."ebukulawas.blogspot.com
Jantung Sarah seakan-akan berhenti berdetak. "A-apa?"
katanya. Pemuda itu menanggalkan topinya. "Izinkan aku
memperkenalkan diri. Namaku... Thomas Fear."
Kusir berpaling panik menatapnya. Ia melecut kuda-kuda
dengan cambuknya, melesat pergi dengan kecepatan yang gila-gilaan.
Thomas hanya tertawa. Jantung Sarah berdetak tidak keruan. Jadi inilah Thomas! Pria
dengan siapa ia akan menjalani sisa hidupnya!
"Sarah," kata Thomas Fear dengan senyum yang memesona,
"harap maafkan aku. Aku keluar menunggu kedatanganmu. Aku
begitu bersemangat hingga tidak bisa diam. Aku mulai berjalan dan
tiba-tiba tersadar bahwa sudah jauh dari gereja. Sewaktu kau
menanyakan arah, aku panik. Aku khawatir untuk memperkenalkan
diri padamu. Bagaimana kalau kau tidak menyukaiku?"
Sarah menengadah membalas tatapannya.
Ia tidak mampu bicara. Ia terlalu gugup. Terlalu malu.
Thomas mengulurkan tangan. "Aku sangat berharap kau mau
tinggal di sini." Sarah memegang tangan Thomas dengan tangannya sendiri
yang terbungkus sarung tangan putih. Rasanya seperti ada arus listrik
yang menerobos tangan-tangannya.
"Ya, aku ingin melanjutkan pernikahan kita, Thomas," katanya.
"Dengan segenap hati."
Guntur kembali bergemuruh. Sedetik kemudian hujan mulai
turun. Thomas menyambar tangan Sarah, dan mereka berlari
menyusuri jalan setapak dari batu-batu pipih menuju gereja. Thomas
membuka pintu kayunya yang berat.
Orang-orang telah memenuhi bangku-bangku gereja. Semuanya
berpaling memandang Sarah. Tenggorokan Sarah terasa kering, dan ia
menelan ludah dengan susah payah.
Organ mulai dimainkan, memenuhi ruangan berlangit-langit
tinggi itu dengan nada-nada yang dalam dan menggetarkan.
Sarah menanggalkan topinya dan meletakkannya di bangku
terakhir. Ia menarik cadar putih panjangnya menutupi wajah. Thomas
meraih sikunya dan membimbingnya menyusuri lorong tengah.
Menuju altar. Di sana pendeta telah menanti.
Sulit dipercaya bahwa aku berbuat begini, pikir Sarah. Sulit
dipercaya aku sedang menikah dengan seseorang yang sama sekali
asing bagiku. Saat pendeta memulai upacaranya, Sarah melirik orang-orang
yang hadir dengan malu-malu. Ada sesuatu dari kerumunan orangorang itu yang terasa aneh baginya. Tapi ia tidak bisa memastikan apa
yang aneh. Ia kembali memandang Thomas. Mata Thomas berkilauan bagai
berlian. Sarah tidak mampu mengalihkan pandangannya.
"Ya," katanya dengan patuh, menjawab pertanyaan pendeta.
Ekspresi pendetanya begitu muram. Dan tiba-tiba, Sarah
menyadari apa yang terasa aneh pada kerumunan orang yang
berkumpul untuk menyaksikan pernikahannya.
Semua orang mengenakan pakaian hitam dan abu-abu, baik pria
maupun wanita. Sarah memandang mereka dari balik cadarnya.
Baris demi baris wajah yang tidak tersenyum balas menatapnya.
Mereka tidak tampak hadir di sini untuk merayakan pernikahan.
Tidak, mereka tampaknya seperti menghadiri upacara... pemakaman.
Bab 1 Enam Bulan Kemudian SARAH menatap keluar jendela kamar tidurnya, ke sore di
bulan November yang kelabu itu. Angin sedingin es menerobos masuk
ke dalam kamar, seperti jemari hantu yang berusaha menjangkau dan
menangkap dirinya. Ia mendesah panjang. Lalu mengalihkan perhatiannya kembali
ke kertas surat kosong yang ada di atas meja di depannya. Kertas
kosong itu seperti balas menatapnya, seakan-akan menantangnya
untuk menulisinya. Terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Syukur Tuhan,
pikir Sarah. Ia begitu memerlukan kehadiran seseorang.
Ia menutup penanya. "Masuk."
Pelayan masuk dan membungkuk memberi hormat. "Maaf
mengganggu, Ma'am. Tapi saya akan ke kota. Apakah Anda masih
ingin mengeposkan suratnya?"
Sarah tersenyum. "Terima kasih, Clara, tapi sayangnya aku
belum selesai menulisnya. Malahan, aku bahkan belum memulainya!"
Clara memeluk dirinya sendiri yang kurus dan tertawa kecil,
gugup. Ia menarik sisi gaun hitamnya yang dikanji. "Sama seperti
saya, Ma'am. Setiap kali hendak menulis sesuatu, pikiran saya macet.
Well, sebaiknya saya tidak mengganggu lebih lama."
"Tunggu," kata Sarah tergesa-gesa.
Ia berharap suaranya tidak terdengar memohon. Tapi ia merasa
begitu kesepian di bangunan megah yang disebut rumah barunya ini.
Tempat itu bagai istana, dengan dua menara besar. Dari
rumahnya ia bisa melihat halaman rumput yang membentang turun,
dihiasi pepohonan dan sesemakan di sana-sini.
Dari jendela kamar tidur Sarah di lantai dua ia bisa melihat
kota. Itu berarti ia terus-menerus diingatkan betapa kesepian dirinya
dalam rumahnya yang besar.
Thomas tampaknya harus sering pergi"entah ke penggilingan,
atau ke bank, atau untuk urusan yang hanya disebutnya sebagai bisnis.
Clara berdeham gugup. Sarah tidak ingin sendirian, tapi ia tidak
bisa memikirkan alasan untuk menahan pelayan itu. "Kau boleh
pergi," katanya pada akhirnya.
Clara menatapnya dengan pandangan aneh. Lalu ia bergegas
keluar, menutup pintunya sebelum Sarah sempat memintanya untuk
membiarkan pintu itu terbuka.
Teman yang baik, tulis Sarah perlahan-lahan, memulai surat
yang sudah berbulan-bulan ditundanya.
Kurasa seharusnya aku memulai dengan meminta maaf karena
tidak menulis surat lebih cepat. Tapi aku sendiri tidak mendengar
kabar darimu, jadi kau juga patut disalahkan!
Oh, begitu banyak yang sudah terjadi dalam selang waktu yang
singkat! Pikirkan saja. Aku sekarang menulis surat kepadamu sebagai
Sarah Fear! Aku memiliki nama baru, suami baru, dan rumah baru.
Kuharap kau sama bahagianya dalam kehidupan barumu,
sebagaimana aku dalam kehidupan baruku. Aku sering memikirkan
dirimu, dan penasaran seberapa nikmat perjalanan-perjalananmu. Aku
sangat merindukanmu. Aku belum mendapatkan teman. Aku sempat minum teh
bersama seorang wanita bernama Liza Teasedale, tapi dia tukang
gosip yang parah. Dia hanya ingin menceritakan kisah-kisah
menjijikkan tentang keluarga Fear. Dia mengaku...
Blang! Pintu kamar tidur terbuka. Sarah tersentak.
Thomas berdiri di ambang pintu, tersenyum kepadanya.
"Kau sudah pulang!" jerit Sarah. Ia sangat gembira melihat
Thomas. Ia berharap mereka punya lebih banyak waktu untuk
bersama- sama. Mereka sudah menikah selama enam bulan penuh,
tapi terkadang Sarah merasa seakan-akan tidak mengenal Thomas
lebih baik dibandingkan hari pertama mereka bertemu.
"Aku ada kejutan untukmu," kata Thomas kepadanya.
"Michael!" serunya. "Margaret! Kalian boleh masuk sekarang!"
Suara langkah-langkah kaki meledak bagaikan tembakan pistol
dari lorong. Keponakan-keponakan Thomas berhamburan masuk.
Mereka mengenakan mantel luar, dan topi mereka terikat erat-erat di
bawah dagu. "Bibi Sarah! Kata Paman Thomas kami bisa bermain rollerskate!" jerit Michael. Ia menyambar tangan Sarah dan meremasnya.
"Boleh" Boleh?"
"Oh, izinkan kami pergi," kata Margaret. Ia menarik-narik
tangan Sarah yang lain. Gadis kecil itu melonjak-lonjak begitu keras
hingga rambut keriting pirangnya terguncang-guncang.
Sarah tertawa. Benar-benar anak-anak yang manis. Ia memeluk
mereka berdua. Mata Thomas memancarkan semangat. "Kuculik mereka dari
rumah kakakku," katanya menjelaskan.
"Tapi kukira kau harus pergi ke bank," kata Sarah. Ia menatap
suaminya. Thomas selalu mengejutkannya. Selama ini belum pernah
Thomas menunjukkan minat terhadap keponakan-keponakannya. Tapi
sekarang tampaknya dia sangat ingin mengajak mereka keluar


Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjalan-jalan. "Tadi kau berkata akan pulang terlambat karena urusan bisnis,"
kata Sarah. "Omong kosong," kata Thomas. "Bank bisa berjalan dengan
sendirinya. Aku harus ke arena roller-skate."
Michael dan Margaret menarik Sarah berputar-putar. Thomas
tampak sama bersemangatnya dengan mereka.
"Aku senang bermain roller-skate," kata Sarah kepada mereka.
"Di kota tempat aku dibesarkan ada arena roller-skate. Tidak ada
arena lain sejauh berkilometer-kilometer. Sekarang rasanya tidak ada
tempat yang tidak memiliki arena roller-skate."
"Hore!" teriak anak-anak. Mereka menyeret Sarah keluar kamar
dan terus menuruni tangga.
Sarah berhenti sejenak untuk mengenakan mantelnya, dan
mereka semua berlari ke kereta yang telah menunggu di luar.
"Lebih cepat, Paman Thomas, lebih cepat!" seru Michael dan
Margaret saat kereta menggemuruh di jalan yang berbatu-batu.
Mereka melompat turun begitu Thomas menghentikan kereta di
dekat arena. "Ramai sekali untuk hari biasa," komentar Sarah saat ia dan
Thomas berjalan mengikuti anak-anak. Pria-pria bersetelan dan
wanita-wanita bergaun panjang tengah melaju membentuk lingkaran
besar perlahan-lahan. Sarah mengenakan sepatunya, lalu membantu Margaret.
Thomas mengikatkan tali sepatu Michael dengan simpul ganda. Lalu
mereka menggabungkan diri dengan para pemain lain di arena.
Mereka berempat meluncur berjajar: Thomas dan Sarah di
tengah-tengah, dengan anak-anak di kedua sisi. Margaret agak
kesulitan untuk bisa menjaga keseimbangannya. Tapi Sarah seorang
pemain skate yang kuat, dan ia membantu gadis kecil itu
mempertahankan keseimbangannya.
"Anak-anak yang cantik, Sir," kata seorang pria tua berjanggut
kelabu lebat. Ia melambai kepada mereka dari tempatnya di pagar
kayu arena. Thomas mengangguk. "Terima kasih!" jawabnya bangga.
Thomas melirik Sarah, matanya berkilauan. Ia mendekati Sarah
dan berbisik di telinganya. "Aku yakin tidak lama lagi kita akan
memulai keluarga kita sendiri."
Anak-anak! Sarah sudah tidak sabar lagi untuk memiliki
keluarga. Ia pasti senang kalau ada anak-anak yang berlari-larian di
dalam rumah besar mereka yang kosong. Tertawa-tawa dan berteriakteriak.
Tapi Thomas selama ini tampaknya tidak tertarik untuk
membangun keluarga. Ia mengubah pokok pembicaraan setiap kali
Sarah menyinggungnya. "Kau setuju?" tanya Thomas.
"Ya," balas Sarah. "Ya! Ya! Dengan segenap hatiku." Ia
meremas tangan Thomas. Saat yang sempurna. Lebih dari sempurna. Sarah belum pernah
merasa sedekat itu dengan Thomas.
"Kenapa wajahmu memerah, Bibi Sarah?" tanya Margaret.
Mata birunya membelalak penasaran.
"Apakah wajahku memerah?" tanya Sarah.
Thomas menyambar tangan Michael dan memutar bocah itu
membentuk lingkaran besar dengan lambat. Michael berteriak
gembira. "Lebih cepat, Paman!" desaknya. "Putar aku lebih cepat lagi."
"Lebih cepat" Kau mau diputar lebih cepat?" Thomas
mempercepat ayunannya. Michael pun berputar-putar, sambil
menyeringai gembira. "Oh, aku juga mau!" pinta Margaret kepada Sarah.
"Sebentar," jawab Sarah. "Thomas," katanya dengan nada
memperingatkan. "Jangan secepat itu!"
Wajah Michael telah memucat. Ia menjerit pelan dan panjang.
"Thomas!" seru Sarah. "Apa yang kaulakukan" Kau
membuatnya ketakutan. Thomas! Berhenti!"
Mata Thomas berkilauan. Mulutnya menyeringai sinting. Ia
memutar Michael lebih kencang lagi. Dan lebih kencang lagi.
Ada apa dengannya" Sarah merasa harus menghentikan Thomas
sekarang juga. Sebelum Michael terluka.
Tapi ia tidak bisa berada cukup dekat. Michael berputar terlalu
cepat. Memperhatikannya saja membuat Sarah pusing.
"Thomas! Kau sudah terlalu dekat dengan dinding!" teriaknya.
Beberapa pemain lain berhenti untuk menyaksikan. Sarah bisa
melihat mereka dari sudut matanya. Semuanya menatap.
Thomas mengayunkan bocah itu begitu kencang hingga sepatu
rodanya terangkat dari lantai arena yang terbuat dari kayu.
Sarah mendengar orang-orang di sekitarnya terkesiap. Lalu ia
mendengar suara lain. Suara yang mengerikan. Suara tawa Thomas.
Thomas melepaskan tangan Michael.
"Tidaaaak!" jerit Sarah.
Michael melayang ke udara. Kepalanya menghantam pagar
kayu diiringi derakan yang menjijikkan!
Bab 2 MICHAEL merosot ke lantai.
"Dia tewas! Michael tewas!" lolong Margaret.
Sarah bergegas menuju ke pagar. Ia menerobos kerumunan
orang, dan menatap tubuh Michael. Tidak bergerak. Tidak bergerak
sama sekali. "Panggil dokter!" teriak seseorang.
Sarah berlutut di samping Michael. Ia meraih salah satu tangan
Michael dengan kedua tangannya. Tangan Michael terasa dingin.
Seseorang berjongkok di samping Sarah. Ia berpaling, dan
melihat Thomas. Thomas menunduk menatap Michael"dan
tersenyum. Sarah mencengkeram bahu Thomas dan mengguncangnya
sekuat tenaga. "Thomas! Thomas! Kenapa kau tega berbuat begini?"
jeritnya. Thomas menatap Sarah seakan-akan belum pernah bertemu
dengannya seumur hidnp. "Thomas, apa yang terjadi?" jerit Sarah.
Thomas mengerjap-ngerjapkan matanya dengan cepat. Ia
menggeleng seakan-akan baru saja tidak sadar.
"Michael!" Thomas memeluk keponakannya itu dan
menggoyang-goyangnya. Lalu Sarah mendehgar suara yang paling indah. Michael mulai
mengerang. ********** "Kau tidak datang menemuiku lebih cepat merupakan
kejahatan," kata Liza Teasedale dengan suaranya yang serak dan tua.
"Aku sangat menikmati acara minum teh kita yang lalu." Ia mengajak
Sarah ke ruang duduk. Ia meraih lengan Sarah dengan kemantapan yang mengejutkan
saat membimbingnya melintasi karpet Persia yang tebal. "Berapa kali
aku sudah mengundangmu sejak saat itu, anakku" Tiga" Empat?"
"Oh, saya harap saya belum menolak undangan sebanyak itu,"
kata Sarah. "Kalau sudah, saya meminta maaf karena telah bertindak
kasar." Ia duduk di meja kecil di seberang Mrs. Teasedale.
Seorang pelayan muncul membawa baki perak dipenuhi kue
johnny yang menjulang tinggi dan meletakkannya di depan mereka
berdua. Mrs. Teasedale tampaknya tidak bisa mengalihkan
pandangannya dari Sarah. "Terima kasih, Regina," kata Mrs. Teasedale singkat, "ini sudah
cukup." Sambil menunduk, pelayan itu bergegas meninggalkan ruangan.
Tapi ia melirik sekilas terlebih dulu kepada Sarah.
Hal ini selalu terjadi ke mana pun Sarah pergi. Sebagian besar
orang di kota terpesona pada keluarga Fear. Terpesona dan ketakutan.
Sarah sering mendengar bisik-bisik yang mengomentari betapa
berbahayanya keluarga Fear. Betapa jahatnya.
Ia tidak pernah mempercayainya. Hingga kejadian di arena
roller-skate. Sekarang ia merasa tidak yakin. Thomas bersikap sangat aneh
hari itu. Sarah tidak mau percaya bahwa Thomas sengaja menyakiti
Michael. Tapi ia tidak bisa melupakan betapa Thomas tersenyum
sementara bocah kecil itu tergeletak tidak bergerak di lantai.
Sarah ingin lebih tahu tentang keluarga Fear. Ia ingin
mendengar setiap isu, setiap cerita. Ia harus mengetahuinya,
barangkali ada yang bisa menjelaskan perbuatan Thomas kepada
Michael. Itu sebabnya Sarah mengunjungi Mrs. Teasedale. Wanita itu
dulu bersemangat untuk menceritakan kisah-kisah aneh tentang
keluarga Fear saat ia berkunjung. Tapi Sarah terus mengganti pokok
pembicaraan. Kali ini ia akan mendorong Mrs. Teasedale untuk
berbicara. "Saya rasa Anda sudah mendengar kejadian yang menimpa
keponakan saya, Michael," kata Sarah.
Sudah beberapa hari berlalu sejak... kecelakaan itu. Tapi Sarah
tidak bisa mengusir bayangan itu dari dalam benaknya. Michael
menghantam dinding. Michael tergeletak tidak bergerak sama sekali.
Dan Thomas tersenyum memandangnya.
Kemudian Thomas mengaku merasa lumpuh saat mengayunkan
Michael. Katanya dia merasa seakan tak mampu mengendalikan
dirinya sendiri. Tapi bagaimana hal itu bisa terjadi"
"Ya, benar-benar kejadian yang mengerikan," gumam Mrs.
Teasedale. Ia mencondongkan tubuh ke atas meja dan memegang
tangan Sarah. "Dia baik-baik saja?"
"Dia baik-baik saja, saya sangat lega bisa mengatakan begitu,"
kata Sarah kepadanya. "Dan bagaimana dengan dirimu sendiri?" tanya janda itu. "Aku
sangat mengkhawatirkan dirimu, kau tahu."
Sarah merasa perutnya melilit. "Sungguh" Kenapa?"
Aku mengunjungi Mrs. Teasedale karena dia tahu begitu
banyak, pikir Sarah. Tapi sekarang sesudah berada di sini, aku merasa
hampir ketakutan dengan apa yang akan dikatakannya.
"Tinggal sendirian di rumah sebesar istana."
"Saya tidak sendirian," jawab Sarah, memaksa diri tersenyum.
"Ada Thomas." "Ya," kata Mrs. Teasedale pelan. "Itu lebih baik daripada
sendirian... kurasa."
Apa yang dimaksudkan sesungguhnya" pikir Sarah penasaran,
tapi tidak berdaya. Bagaimana caranya mencari tahu apa yang
diketahui Mrs. Teasedale"
"Kau pasti wanita muda yang berani," kata Mrs. Teasedale,
sambil mendecakkan lidahnya.
"Apa maksud Anda?" tanya Sarah.
"Menikah dengan pria yang bahkan belum pernah kautemui."
"Saya rasa begitu," kata Sarah menyetujui.
Tatapan Sarah melayang singkat ke jendela di belakang Mrs.
Teasedale. Di kejauhan ia melihat bayangan samar menara rumahnya
sendiri. Ia menggigil. Sarah meneguk teh panasnya. "Sebenarnya, Mrs. Teasedale,
selain sekadar berkunjung, ada sesuatu yang ingin saya tanyakan
kepada Anda." "Oh?" Mrs. Teasedale mengamati Sarah dengan teliti.
Sarah memaksa diri untuk melanjutkan. "Saat saya kemari yang
terakhir kalinya, Anda baru mulai menceritakan sesuatu tentang, eh...
keluarga suami saya. Apakah Anda tidak keberatan untuk
menceritakan lebih banyak tentang keluarga Fear?"
Mrs. Teasedale menghirup tehnya. "Mrs. Fear," katanya pada
akhirnya, "apakah kau pernah bertanya sendiri kenapa Thomas Fear,
pemuda kaya dan tampan, menikah dengan wanita dari kota lain"
Wanita yang belum pernah ditemuinya" Jelas kau bisa melihat bahwa
hanya ada satu penjelasan yang masuk akal untuk kejadian seaneh
ini." "Penjelasan apa?" tanya Sarah. Suaranya hampir-hampir mirip
bisikan. Karena Mrs. Teasedale mengajukan pertanyaan yang telah
seringkali diajukannya sendiri.
Mrs. Teasedale tersenyum sedih. "Tidak ada wanita dari daerah
ini yang bersedia menikah dengannya. Dan kau tahu alasannya?"
Sarah meletakkan cangkir tehnya. Tangannya gemetar. Teh
panas tumpah ke kulitnya. Tapi Sarah hampir-hampir tidak
merasakannya. "Kenapa?" bisik Sarah. Sekarang ia akan mengetahui
kebenarannya. Sekarang ia akan mengetahui rahasia Thomas yang
disembunyikan darinya. "Keluarga Fear terkutuk," kata Mrs. Teasedale.
Sarah membuka mulut hendak bicara, tapi tidak ada kata-kata
yang keluar. "Ada yang mengatakan ratusan tahun yang lalu seorang anggota
keluarga Fear membakar seorang gadis. Keluarga Fear berhasil
meyakinkan seluruh kota bahwa gadis itu mempraktekkan ilmu hitam.
Tapi gadis itu tidak bersalah. Keluarga gadis itu mengutuk keluarga
Fear, kutukan yang hingga sekarang masih kuat dan ampuh."
Mata Mrs. Teasedale bersinar-sinar penuh semangat.
Dia menikmati ini, pikir Sarah tersadar. Dia senang
menceritakan hal-hal yang mengerikan ini padaku. Benar-benar
wanita yang menjijikkan. "Ada juga yang mengatakan bahwa keluarga Fear sendiri
mempraktekkan ilmu hitam. Bahwa mereka menimbulkan
kesengsaraan, kegilaan... dan kematian terlalu banyak orang untuk
bisa dihitung." Sarah memejamkan matanya rapat-rapat. Lalu ia memaksa diri
untuk membuka mata dan memandang Mrs. Teasedale. "Lanjutkan,"
katanya. "Aku tidak tahu apakah cerita-cerita tentang ilmu hitam itu
benar. Atau apakah memang ada gadis yang dibakar. Tapi aku
sepenuhnya percaya bahwa seluruh keluarga itu terkutuk. Dan bahwa
kejahatan selalu mengikuti mereka."
Mrs. Teasedale mengulurkan tangan melintasi meja dan meraih
tangan Sarah. Sarah bisa merasakan jemari wanita tua itu gemetar.
"Dan aku juga sepenuhnya percaya bahwa kalau kau tidak
segera meninggalkan rumah itu, kau akan tewas dalam waktu yang
tidak lama lagi." Bab 3 DIA wanita tua yang jahat dan suka bergosip, pikir Sarah. Dia
benar-benar jahat, menceritakan kisah-kisah seperti itu kepada seorang
pengantin baru. Kejam. Aku tidak akan mati. Tidak mungkin.
Lalu Sarah teringat akan Michael. Michael hampir mati.
Thomas hampir saja membunuhnya.
Jantung Sarah mulai berdebar-debar. Menggemuruh di
telinganya, menenggelamkan suara-suara lainnya.
Sarah bangkit berdiri. "Saya harus pergi."
"Kalau aku sudah membuatmu jengkel, aku minta maaf," kata
Mrs. Teasedale. "Tidak, tidak. Saya hanya... hanya ada janji lain." Sarah
mengangkat roknya yang panjang, berbalik, dan bergegas
meninggalkan ruangan. Ia bergegas menuju keretanya.
"Anda baik-baik saja, Ma'am?" tanya Phillip, kusirnya. Ia
membantu Sarah naik.

Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku hanya agak lelah," jawab Sarah. Ia berharap Phillip tidak
menyadari bahwa suaranya agak gemetar. "Tolong bawa aku pulang."
Saat mereka melaju semakin lama semakin mendekati
rumahnya yang suram, Sarah merasakan godaan untuk menyuruh
Phillip berhenti. Untuk berbalik dan pergi ke mana pun asalkan
menjauhi keluarga Fear. Kau harus mengendalikan diri, pikir Sarah. Hanya karena
orang-orang ini menceritakan isu-isu tentang keluarga Fear bukan
berarti kata-kata mereka benar.
Seluruh penduduk kota iri terhadap keluarga Fear. Termasuk
Liza Teasedale. Bagaimanapun juga, keluarga Fear adalah keluarga
yang terkaya dan terkuat di Shadyside. Itu saja sudah merupakan
alasan yang cukup bagi orang-orang untuk membenci mereka dan
menceritakan kebohongan tentang keluarga Fear.
Tapi Sarah merasa tidak yakin. Ia mendesah panjang. Ia
menyandarkan kepalanya ke kursi kereta yang berbantalan.
Sikap Thomas selama ini baik padaku, katanya mengingatkan
sendiri. Apa yang menimpa Michael bisa jadi hanya kecelakaan.
Aku akan berhati-hati. Aku akan waspada. Dan aku akan
mempercayai suamiku. Kecuali ada kejadian lain yang membuatku berubah pikiran.
Kereta berbelok mengikuti jalur masuk yang panjang dan
berliku menuju rumahnya. Sarah turun tanpa menunggu Phillip dan
menaiki deretan anak tangga ke pintu depan.
Sarah ragu-ragu sejenak di depan pintu kayu yang tebal itu.
Lalu ia menghela napas dalam-dalam dan melangkah masuk ruang
depan yang berubin marmer.
Pintu perpustakaan terbuka. "Sarah!" seru Thomas.
Sarah hampir-hampir menjerit. Tenang! pikirnya.
Thomas tersenyum kepadanya dari ambang pintu perpustakaan.
"Kau kembali lebih cepat," kata Thomas.
Sarah menyeberangi ruangan dengan lambat, dengan sengaja
menarik-narik sarung tangan putihnya. Ia sedang tidak ingin
berdekatan dengan Thomas.
"Apakah acara minum tehmu bersama Mrs. Teasedale
menyenangkan?" tanya Thomas.
"Cukup menyenangkan, terima kasih," jawab Sarah.
"Dia tukang gosip yang parah, bukan?" tanya Thomas, sambil
mengamatinya. "Tidak tertolong lagi," kata Sarah menyetujui, sambil berusaha
agar ekspresi wajahnya tetap netral.
Dalam keremangan perpustakaan, terdengar suara seseorang
batuk. Lalu, seorang pemuda kurus berpakaian bagus, kurang-lebih
sebaya dengan Thomas, bangkit berdiri.
Thomas menarik Sarah masuk. "Sarah, ini Aaron West, teman
sekolahku dulu. Menurutnya dia pernah bertemu denganmu dalam
pesta yang diselenggarakan sepupunya di New York."
Sarah tersentak berpaling ke arah pemuda itu. Aaron West
memiliki jakun dan telinga yang besar. Wajahnya yang panjang
menimbulkan kesan wajah seekor kuda. Dia tampak sedih luar biasa.
Thomas menyikut Sarah dengan lembut. Sarah bergegas
menyeberangi perpustakaan yang remang-remang untuk menyapa
tamunya. "Mr. West, suatu kehormatan. Tapi sayangnya aku tidak
ingat pernah bertemu denganmu."
"Aku pasti sudah keliru," jawab Aaron. "Kukira orang yang lain
sama sekali." Bagus, pikir Sarah. Ia tidak ingin ada orang dari masa lalunya
yang muncul di sini. Itu berarti bencana baginya.
"Aaron sudah mengunjungi begitu banyak tempat dan bertemu
dengan begitu banyak orang, aku tidak terkejut kalau dia agak kacau.
Dia penjelajah dunia," kata Thomas menjelaskan. "Dan omong-omong
tentang menjelajah, aku harus ke bank."
Dia selalu harus pergi ke suatu tempat, pikir Sarah. Tapi
bukankah dia sudah berbicara jujur mengenai tujuan kepergiannya"
"Hanya satu jam," tambah Thomas diiringi senyum yang
memesona. "Kau bisa kuandalkan untuk menghibur tamu kita sampai
aku kembali?" "Tentu saja," janji Sarah.
Thomas melangkah ke pintu perpustakaan, lalu berhenti
sejenak. "Oh, omong-omong," katanya. "Ada sesuatu untukmu.
Hadiah pernikahan." Ia mengetuk sebuah kotak kayu besar yang ada
di meja di samping bola dunia.
"Hadiah pernikahan?" Sarah tidak mampu menahan diri untuk
tidak berseru. "Tapi sudah hampir tujuh bulan sejak..."
"Rasanya seperti kemarin bagiku," kata Thomas sambil
tersenyum. "Kuharap kau menyukainya. Warisan keluarga. Well, aku
pergi dulu." Ia bergegas mendekati Sarah dan mengecupnya sekilas di pipi.
Kulit Sarah terasa seperti terbakar tersentuh suaminya. Lalu Thomas
berlalu dari dalam ruangan, menutup pintu di belakangnya.
Sarah menatap kotak itu. Tiba-tiba ia merasa terdorong untuk
memanggil pelayan dan menyuruh membuang kotak itu.
"Silakan duduk," katanya kepada Aaron. "Kau pasti lelah
sesudah perjalananmu berkeliling dunia." Sarah berusaha tersenyum
seramah mungkin. "Kau mau makan atau minum apa?"
Ia meraih tali emas untuk membunyikan lonceng. Aaron
menggeleng. "Thomas dan aku sudah minum teh dan menyantap kue jeruk.
Tapi terima kasih." Aaron kembali duduk di tempatnya. Sarah duduk di kursi di
seberangnya. Terlintas dalam benak Sarah untuk menanyakan apakah
tamunya ingin pindah ke ruangan lain. Mungkin ke serambi belakang.
Tapi mungkin Aaron akan menganggap pertanyaan itu aneh.
Sarah tahu perpustakaan merupakan ruangan kesukaan Thomas.
Tapi ia tidak mengerti apa yang disukai Thomas dari ruangan ini.
Buku-buku bersampul kulit yang berdebu berjajar di rak di
setiap sisinya. Bau kertas dan kulit lama memenuhi udara. Kursi-kursi
empuknya tampak seakan-akan bisa menelan seseorang bulat-bulat
kalau duduk di sana terlalu lama.
"Saat Thomas mengatakan dia menikah dengan seorang gadis
muda bernama Sarah Burns dari New York, kukira mungkin kita
pernah bertemu di pesta ulang tahun pernikahan sepupuku," kata
Aaron. Kenapa dia membicarakan hal ini lagi" pikir Sarah penasaran.
Ia tidak ingin membicarakan New York. Ia tidak ingin membicarakan
apa pun mengenai masa lalunya.
"Tapi Sarah Burns yang kutemui dulu sama sekali tidak mirip
denganmu. Dia bermata hijau dan berambut pirang. Dan cukup
pemarah. Aku ingat bahwa sudah mengatakan sesuatu yang
menyinggung perasaannya dan dia menjadi sangat marah. Seingatku
dia tidak pernah lagi berbicara denganku sepanjang sisa acara." Aaron
tersenyum kepadanya. "Aku merasa lega karena ternyata Sarah Burns
yang kutemui bukanlah dirimu."
Sarah ingin mengubah pokok pembicaraan. Tatapannya jatuh ke
kotak kayu yang diberikan Thomas sebagai hadiah untuknya.
"Bagaimana kalau kita melihat hadiah apa yang diberikan
suamiku kepadaku?" tanyanya dengan nada riang yang dipaksakan.
"Kenapa tidak?" tanya Aaron.
Sarah bangkit berdiri dan menyeberangi ruangan. Ia meraih
kotak itu. Ya ampun, berat sekali! Ia membawanya ke dekat Aaron,
dan duduk dengan memangku kotak itu.
Kayunya begitu gelap dan mengilat sehingga Sarah bisa melihat
pantulan dirinya di bagian atas kotak. Jangan tampak begitu khawatir,
pikirnya. Kau sudah mendengar ceritacerita yang aneh. Dan Thomas
mengalami kecelakaan yang menakutkan di arena roller-skate. Hanya
itu. Kau harus berhenti membiarkan imajinasimu melayang tidak
terkendali. Sarah mencoba membuka kotak itu, tapi tutupnya bergeming.
Apakah terkunci" Ia mengamati kotak itu dengan lebih teliti. Tidak,
hanya ada sebuah selot perak kecil. Ia mendorongnya. Perlahan-lahan,
ia mengangkat tutup kotak yang berderit itu.
"Oh!" Ia tersentak.
Kotak itu berisi sepuluh bilah pisau perak yang paling cantik
dan mengilat yang pernah dilihatnya. Setiap pisau terikat di tempatnya
dengan pita beludru ungu.
Hanya sedikit cahaya yang berhasil menerobos tirai keemasan
tebal yang menutup jendela-jendela ruang perpustakaan. Tapi pisaupisau itu berkilauan bagaikan harta karun bajak laut dengan latar
belakang kain gelap yang tebal.
"Bagus," gumam Aaron datar. Ia mencondongkan tubuh untuk
melihat isi kotaknya. "Ya," kata Sarah menyetujui. Ia meletakkan kotak yang terbuka
itu di atas sebuah meja marmer di dekatnya.
Hampir seketika, ia mendengar suara dari belakangnya. Desiran
pelan. Apa itu" Ia memandang sekeliling ruangan. Ia tidak melihat ada
yang tidak biasa. "Jadi kau bukan dari Shadyside?" tanya Sarah.
"Tidak," kata Aaron.
"Syukurlah!" Aaron tampak kebingungan. "Kenapa begitu?"
"Mungkin aku tidak sopan untuk memberitahukannya padamu,
tapi tampaknya seluruh kota memusuhi keluarga Thomas." Sarah
tertawa seakan-akan hendak menunjukkan betapa bodohnya hal ini.
Tapi ia penasaran dengan reaksi Aaron. Ia ingin tahu apakah
pemuda ini telah mendengar isu-isu itu.
Aaron memiringkan kepalanya. "Sungguh" Aku shock
mendengarnya. Aku selalu menganggap Thomas akan sangat populer
ke mana pun dia pergi."
Wuus. Wuus. Suara itu terdengar lagi. Rasanya seperti berasal
dari kotak kayu berisi pisaunya.
Sarah memandang kotak itu, dan merasa jantungnya berdetak
lebih cepat. Tiga bilah pisau telah hilang.
Ia memandang lantai di sekitar kotak. Kosong.
Aku pasti sudah keliru menghitung jumlah pisau yang ada
dalam kotak, pikir Sarah. Ia menyadari bahwa Aaron tengah
menatapnya dengan pandangan aneh.
"Well, ada isu-isu," kata Sarah dengan tergesa-gesa. "Tapi kau
tahu bagaimana keadaannya di kota kecil. Orang-orang tidak punya
pekerjaan yang lebih baik selain bergosip."
Wuus. Wuus. Wuus. Wuus. Kepala Sarah tersentak, berpaling memandang kotak berisi
pisau. Apakah ia sudah sinting" Sekarang tujuh bilah pisau yang
hilang. "Kenapa kau terus memandang kotaknya?" tanya Aaron.
"Sungguh?" Sarah mendengar suaranya gemetar.
Ia sekarang mengetahui apa yang telah menimbulkan suara itu,
suara berdesir itu. Suara logam menggeser beludru. Seakan-akan ada
orang lain di perpustakaan yang mengambili pisau-pisau itu.
Wuus. Tapi itu mustahil. Ia dan tamunya hanya berdua.
Wuus. Napas Sarah mulai terasa berat. Ia merasakan setetes keringat
mengalir di pipinya, dan ia bergegas mengangkat tangan untuk
menghapusnya. Ia berharap Aaron tidak menyadarinya.
Wuus. Sarah tidak tahan lebih lama lagi. Ia berbalik di kursinya dan
menatap kotak. Ia mengerang pelan. Ia beranjak bangkit, dengan perasaan
pusing. Tidak ada pisau di dalam kotak.
"Mr. West," kata Sarah dengan suara serak. "Kurasa aku terlalu
banyak menghabiskan waktu seorang diri di rumah yang besar ini.
Kurasa"kurasa otakku sudah menipuku. Ha-ha-ha!"
"Oh?" Aaron melontarkan senyum khawatir kepadanya dan
beranjak bangkit. "Aku tidak yakin..."
"Tolong bantu aku, Mrs. West. Lihatlah ke dalam kotak pisau
itu. Kau melihat ada pisau di sana?"
Aaron mengerutkan kening. Tapi ia memenuhi permintaan
Sarah. Ia melangkah mendekati meja dan memandang ke dalam kotak.
Mata kelabunya yang besar membelalak terkejut.
Dia juga melihatnya, pikir Sarah. Pisau-pisaunya sudah hilang.
Sarah mendengar suitan. Dan merasakan embusan samar,
seakan-akan ada yang terbang melewatinya.
Ia berbalik. Tapi tidak melihat apa-apa.
Aaron bergegas mendekati Sarah dan meraih tangannya. "Apa
yang terjadi" Tadi kotak itu penuh, penuh..."
Sarah meremas tangan Aaron sekuat tenaga. "Mr. West,"
bisiknya. "Kurasa..."
Sarah mendengar dengungan. Ia merasakan sesuatu terbang
melewati sisi kepalanya. Ia tersentak.
Pintunya. Mereka harus mencapai pintunya.
Sarah berbalik"dan mendapati sebilah pisau perak menantinya.
Mengambang di udara. Ia bisa melihat pantulan wajahnya di mata peraknya.
Pisau itu berdengung. Ujungnya yang tajam agak bergetar saat
benda itu melayang-layang di depan Sarah.
Lalu melesat maju. Lurus ke mata kiri Sarah.
Bab 4 SARAH mengelak ke kanan. Tak! Sarah berbalik dan tersentak.
Pisau itu menancap ke dinding kayu perpustakaan. Tangkainya
bergetar akibat kekuatan benturannya.
Sarah dan Aaron berpandangan. Sarah terlalu takut untuk
bicara. Terlalu takut untuk menjerit.
Ia memandang bayang-bayang di dalam ruangan, mencoba
melihat siapa yang telah melemparkan pisaunya.
Tapi tidak ada orang di sana.
Sesuatu berkilauan dalam kegelapan. Ia kembali mendengar
dengungan. Pisau yang lain!
Sarah terhuyung maju. Ia jatuh menimpa sisi meja dengan
keras. Meja dan lampunya terbalik dengan suara keras.
Sarah jatuh tertelungkup ke lantai. Aaron berjongkok di
sampingnya, berusaha menariknya bangkit berdiri.
Terlambat. Pisau itu terlontar ke Sarah. Melesat menembus
roknya. Sarah menjerit melengking.
"Kau terluka?" seru Aaron.
"Tidak," kata Sarah dengan napas tersentak. "Pisaunya hanya
mengenai gaunku dan langsung ke lantai." Ia berjuang untuk bangkit
berdiri. Pisaunya menjepit gaunnya ke lantai.
Ia terjebak. Sarah mendengar dengungan lagi. Ia berpaling ke belakang.
Pisau lain tengah melayang-layang di atasnya.
Ia membuang diri ke samping. Breeet. Roknya robek dan ia
terbebas. Sarah menghantam salah satu rak buku. Buku-buku berjatuhan


Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari rak itu. Menghantam kepala, lengan, dan kakinya.
Salah satu buku menimpa pisaunya dan menjepitnya ke lantai.
Aaron menyentakkan Sarah hingga bangkit berdiri.
Lalu Sarah mendengarnya. Suara pelan logam bergeser dengan kayu.
Di seberang perpustakaan, pisau yang telah membenamkan diri
di dinding tengah berusaha membebaskan diri. Tangkainya bergerak
ke sana kemari, ke sana kemari.
Ia mendengar suara lain di dekat kakinya.
Pisau kedua tengah melepaskan diri dari lantai. Pisau ketiga
bergeser keluar dari bawah buku yang berat.
Dan pisau lainnya. Di mana pisau-pisau lainnya"
"Lari!" jerit Aaron. Ia mendorong Sarah ke pintu.
Dua bilah pisau melesat ke depan mereka dan melayang-layang
di sana. Menghalangi jalannya.
Sarah dan Aaron berbalik. Dan dua bilah pisau lainnya melesat
ke arah mereka. Pisau-pisau itu berhenti beberapa sentimeter dari
mereka. Pisau lain muncul. Lalu yang lainnya.
Hingga kesepuluh pisaunya membentuk lingkaran mengepung
Aaron dan Sarah. Tidak ada tempat untuk lari. Tidak mungkin
meloloskan diri. Dengungan pisau-pisau itu semakin keras dan semakin keras.
Dengungannya memenuhi kepala Sarah. Gigi-giginya terasa sakit
karenanya. Salah satu pisau melesat maju. Matanya mengiris punggung
tangan Aaron. Aaron menjerit kesakitan.
Sarah menunduk memandang tangan Aaron. Mula-mula seperti
tidak terluka. Lalu garis merah tua muncul di sana. Dan darah Aaron
mulai mengalir, menetes ke karpet tebal.
Pisaunya mundur kembali ke tempatnya.
Aaron membungkuk dan berbisik di telinga Sarah. "Dari bawah.
Kita harus ke bawah pisau-pisau itu."
Ia menyambar tangan Sarah dan menariknya ke lantai. Sarah
bergegas merangkak melewati kepungan pisau-pisau itu. Lalu ia
bangkit berdiri. Aaron membuka pintu perpustakaan dan melesat keluar, diikuti
Sarah di belakangnya. Sarah mendengar suara logam beradu dengan logam. Ia
berpaling, dan melihat bahwa pisau-pisau itu telah menyatu.
Menggerombol. Pisau-pisau itu melesat ke arah Sarah.
Sarah berlari lebih cepat, melesat melewati lorong-lorong
rumah. Ia bisa mendengar suara pisau-pisau itu di belakangnya.
Mendengar dengungan mereka yang menakutkan.
Ia terkejar. "Tidaaaak!" jerit Sarah.
Pisau-pisau itu melesat melewatinya.
Sarah melintangkan lengan menutupi dirinya. Ia gemetar tanpa
mampu menghentikannya. Apa yang terjadi" Kenapa pisau-pisau itu
tidak menyerang dirinya"
Ia mendengar suara langkah Aaron berderap menuruni tangga
panjang ke lantai dua. Pisau-pisau itu melesat memburunya.
Aku harus membantunya. Sarah memaksa diri berlari menaiki
tangga, mengejar Aaron. Perut Sarah bergolak sewaktu melihat tetes-tetes darah segar
menghiasi tangga marmer putih.
Aaron menjerit. Jeritan tinggi melengking.
Sarah tidak tahu ada pria yang bisa bersuara seperti itu.
Ia melesat melangkahi beberapa anak tangga terakhir dan
berbelok di tikungan. Aaron tergeletak di lorong. Menggeliat-geliat. Berpuntir dan
berbalik, berusaha meloloskan diri dari pisau-pisau itu.
Pisau-pisaunya... Sarah mengerang. Pisau-pisau itu mengerumuni kaki kiri Aaron. Mencincang paha
kirinya. Darah merah tua mengalir membual-bual, mengotori pakaian
Aaron dan menggenang di lantai. Sarah bisa mencium baunya.
Baunya seperti bau pisaunya. Seperti bau perak.
Ia mendengar suara logam beradu dengan tulang. Aaron
melolong kesakitan. Krak! Tulang paha Aaron patah. Seketika, pisau-pisau itu berjatuhan ke lantai.
Tidak bergerak. Aaron berguling-guling. Sarah merasakan matanya
membelalak. Ia menatap kaki Aaron.
Kaki Aaron, kakinya... telah putus.
Bab 5 SAHABATKU, Kalau kau tidak segera menulis surat padaku, kurasa aku takkan
pernah memaafkan dirimu. Boleh kuingatkan bahwa kau adalah
sahabat terbaik dan terlamaku. Thomas terus mengatakan aku harus
mencari teman-teman baru di Shadyside. Tapi tidak mudah.
Kubandingkan semua orang dengan dirimu dan tidak seorang pun
yang sebanding. Ada kejadian mengerikan di sini beberapa hari yang lalu. Aaron
West, teman lama semasa sekolah Thomas, mendapat kecelakaan
yang aneh. Kau pernah mendengar tentangnya" Dia juga berasal dari
New York. Aaron membawa pisau, dan dia jatuh. Entah bagaimana pisaupisaunya memotong kakinya hingga putus, dan dia tewas karena
terlalu banyak mengeluarkan darah. Aku melihat kejadiannya.
Mengerikan, sangat mengerikan hingga aku tidak mampu menulis
tentang kejadiannya. Aku tidak henti-hentinya menjerit. Thomas memanggilkan
dokter untukku. Dokter memberiku obat agar aku tidur, dan aku
mendapat mimpi yang paling buruk. Di dalam mimpiku pisaupisaunya hidup. Pisau-pisaunya terbang dan menyerang Aaron.
Mimpinya terasa begitu nyata. Sewaktu terjaga aku merasa
yakin bahwa itulah yang sebenarnya terjadi.
Liza Teasedale, wanita yang kusebut dalam suratku sebelum ini,
menceritakan beberapa kisah yang menjijikkan tentang keluarga Fear
pada hari yang sama sewaktu Aaron mendapat kecelakaan. Dia
mengatakan keluarga Fear terkutuk dan bahwa mungkin malah
mempraktekkan ilmu hitam.
Aku percaya kisah-kisah ilmu hitam yang disampaikan Mrs.
Teasedale dan kengerian karena menyaksikan kecelakaan Aaron
bercampur menjadi satu dalam mimpi burukku.
Kubayangkan surat ini akan membuatmu sangat gembira karena
jauh dari Shadyside. Kuharap kau menikmati perjalananperjalananmu. Kau harus menulis surat dan menceritakan semua
petualanganmu. Salam, Sahabatmu Sarah memasukkan surat itu ke dalam amplop dan menuliskan
alamatnya di bagian depan dengan hati-hati. Pagi ini benar-benar
indah, pikirnya. Kurasa sebaiknya kuminta Phillip mengantarku ke
kota agar bisa mengeposkan surat ini sendiri.
Sarah bergegas keluar dan meminta Phillip menyiapkan kereta.
Sarah menikmati perjalanan yang singkat itu. Burung-burung berkicau
dengan riang di pepohonan yang menjajari jalan.
"Aku tidak lama," katanya kepada Phillip saat kusir
menghentikan kereta di depan toserba.
Sarah mengeposkan suratnya dan kembali ke kereta. Ia sadar
bahwa ia tidak ingin acara keluar rumahnya ini berakhir. Ia tidak ingin
kembali ke rumah yang gelap dan muram itu.
"Phillip?" katanya memanggil kusirnya. "Kau boleh pulang."
"Maaf, Ma'am?" "Kata suamiku dia akan berada di penggilingan hari ini. Aku
mau berjalan kaki ke sana mengunjunginya," katanya kepada
kusirnya. "Aku akan pulang bersama Mr. Fear."
"Baiklah, Ma'am."
Sarah merasakan semangatnya meningkat saat kereta melaju
pergi, kaki-kaki kudanya mengepulkan awan debu tipis. Kereta hitam
tertutup itu mulai terasa sama menyesakkannya seperti peti mati.
Sarah mulai berjalan pergi. Bagaimana reaksi Thomas sewaktu
ia muncul di tempat kerjanya nanti" Ia belum pernah
mempertimbangkan untuk berbuat begitu sebelumnya. Thomas begitu
tertutup dalam banyak sisi kehidupannya.
Tapi mungkin justru tindakan seperti inilah yang bisa
membantu pernikahan mereka. Ia ingin merasa dekat dengan Thomas
lagi. Sarah telah membiarkan imajinasinya melayang tanpa kendali.
Keyakinannya bahwa telah melihat pisau-pisau beterbangan telah
membuktikan hal itu. Thomas harus menghabiskan waktu berjam-jam
untuk meyakinkannya bahwa pisau-pisau terbang hanya bagian dari
mimpi buruknya. Sarah sudah berjanji sendiri akan melupakan pemikiran tentang
kutukan dan ilmu hitam. Thomas begitu mengkhawatirkan dirinya
setelah kecelakan Aaron yang mengerikan.
Hal itu membuktikan bahwa Thomas mencintainya. Dia pria
yang baik, pikir Sarah. Dia takkan pernah ingin menyakitiku. Dia
takkan pernah ingin menyakiti siapa pun.
Sarah mulai menaiki tangga yang curam ke penggilingan
Thomas. Tempat itu merupakan bangunan besar dari papan yang
didirikan menempel pada air terjun di tepi kota. Air terjunnya
mendorong roda air kayu raksasa, yang memutar batu penggilingan
besar dari granit di dalam.
Beberapa petani berkuda melewatinya saat Sarah melangkah ke
halaman penggilingan. Kereta-kereta mereka dibebani berkarungkarung tepung. Ia melambai dengan riang. Para petani membalas
mengangguk tanpa tersenyum.
Kota ini, pikir Sarah. Terkadang ia benci untuk tinggal di sini.
Bagaimana kalau ia bisa meyakinkan Thomas untuk pindah dari
sini" Mereka bisa pergi ke tempat di mana tidak ada orang yang
pernah mendengar nama keluarga Fear. Mungkin dengan begitu
semua masalah mereka akan terpecahkan.
Sarah memasuki penggilingan yang besar bagai lumbung itu. Di
dalam suasananya gelap. Udara terasa menyesakkan oleh debu bijibijian. Baunya seperti jerami yang baru dipotong.
Di tengah ruangan terdapat penggilingannya"dua roda granit
raksasa. Roda batu besar itu hampir memenuhi seluruh ruangan.
Sarah maju perlahan-lahan melintasi kamar yang gelap itu,
dengan hati-hati menjaga jaraknya cukup jauh dari batu penggilingan
granit itu. Begitu besar. Begitu kuat. Ia pernah mendengar ceritaceritanya. Bagaimana para pekerja kehilangan jemarinya, seluruh
tangannya. Batu-batu itu bergerak lambat. Tapi Thomas pernah
mengatakan bahwa tidak ada apa pun yang bisa menghentikannya.
Tidak ada. Sarah melihat Thomas di dekat kolam. Sarah tahu bahwa kudakuda para petani selalu mampir untuk minum di kolam besar berisi air
dingin itu. Ia melangkah menuju Thomas. Rasanya aneh untuk mengawasi
suaminya sementara suaminya tidak mengetahui bahwa dirinya ada di
sana. Thomas telah menanggalkan jas dan rompinya, dan menggulung
lengan kemeja putihnya hingga siku.
Sarah merasa tersentak"lebih keras daripada yang pernah
dirasakannya seumur hidup"oleh ketampanan Thomas. Rambutnya
yang hitam, rahangnya yang kuat, matanya yang berkilauan.
Tapi ada apa ini" Thomas dan mandor tampaknya tengah bertengkar.
Sarah membeku. Ia merasa jantungnya mulai berdetak lebih
cepat. Mereka berdua tampak begitu marah.
Suara-suara mereka berubah menjadi teriakan. Mandor
menggerak-gerakkan tangannya dengan sikap marah. Tangannya
menghantam dada Thomas. Thomas terhuyung mundur. Mandornya berusaha meraih lengan
Thomas. Tapi terlambat. Thomas jatuh ke belakang.
Ia mendarat dengan suara keras, tepat di tengah kolam.
Jantung Sarah terasa bagai berhenti berdetak.
Thomas melambai-lambaikan tangannya, mulutnya terbuka
lebar meneriakkan jeritan bisu.
Sarah ingin berlari mendekatinya, membantunya. Tapi ia tidak
mampu bergerak. Sarah mendengar desisan keras. Lalu uap mengepul dari kolam.
Uap" pikirnya dengan bodoh. Bagaimana mungkin air kolam
yang dingin itu bisa mengepulkan uap"
Uap memenuhi ruangan, menyerbu Sarah dengan gelombang
panas. Uap panas. Membakar wajahnya, tangannya.
Dan lalu kolam itu mulai menggelegak dan bergelembung,
seperti sepoci air yang telah diletakkan di atas tungku selama berjamjam!
Gelembungnya semakin lama semakin cepat, semakin cepat.
Sumurnya menggelegak hebat.
Thomas menjerit. Menjerit kesakitan.
Dia terebus hidup-hidup! Bab 6 SARAH mencoba untuk berlari mendekati Thomas. Ia harus
mengeluarkan Thomas dari air mendidih itu.
Tapi ia tidak mampu bergerak"bahkan satu otot pun tidak!
Sarah mencoba membuka mulutnya dan menjerit, tapi ia bahkan
tidak bisa menggerakkan rahangnya.
Apa yang terjadi padanya" Ada apa dengan tubuhnya"
"Tolong!" teriak Thomas, suaranya penuh kengerian. "Pa"
panas sekali!" Mandor berlutut di samping sumur dan mengulurkan tangannya
kepada Thomas. Thomas mencoba untuk meraihnya. Tapi jemarinya
yang basah terlalu licin.
Thomas menghilang di bawah permukaan air yang
menggelegak. Tolong dia! jerit Sarah pada diri sendiri. Kenapa kau berdiri
saja di sini seperti patung" Lari dan tolong Thomas! Pergi! Sekarang!
Ayo! Tapi rasanya seperti ia telah mati. Ia bahkan tidak bisa
memalingkan wajahnya. Kepala Thomas menyembul keluar dari permukaan air. Ia
tersentak dan tercekik. Kulitnya berubah merah cerah.
Sarah mulai berkeringat, gelombang besar kengerian
menghantam dirinya. Kengerian untuk Thomas, dan kengerian untuk dirinya sendiri.
Tanpa daya, ia mengawasi airnya mendidih dan meletup dan
menggelegak di sekitar Thomas. Ia menatap Thomas dengan
pandangan memohon. Lalu Thomas kembali tenggelam.
Dan Sarah masih tetap tidak bisa bergerak. Ia masih tidak
berdaya, terpaksa menyaksikan suaminya terebus, tenggelam, mati.
Mandor melontarkan seutas tali ke air yang mendesis-desis itu.
Sarah melihat tangan Thomas yang merah meraih ujung tali.
Semoga dia menangkapnya, doa Sarah.
Thomas mencengkeram tali itu dengan kedua tangan! Ya!
Otot-otot di leher mandor menggembung saat ia perlahan-lahan
menarik Thomas dari air yang melepuhkan kulit.
Sarah terhuyung-huyung maju. Ia bisa bergerak lagi!


Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sarah berlari ke arah Thomas dan menjatuhkan diri berlutut di
sampingnya. Lepuhan-lepuhan putih besar menutupi wajah dan tangan
suaminya. Apakah dia masih hidup" Apakah mungkin dia bisa selamat
dari air sepanas itu"
Sarah takut untuk menyentuhnya. Ia takut kulit suaminya akan
terkelupas kalau ia menyentuhnya.
"Thomas," bisiknya. "Kau bisa mendengarku?"
Thomas tidak menjawab. *********** "Kau ketakutan, Sarah. Itu saja," kata Thomas kepadanya.
Bibirnya yang pecah mulai mengeluarkan darah. Sarah bisa
melihat bahwa berbicara saja sudah cukup menyakitkan bagi
suaminya. "Jangan berbicara," kata Dr. Pierce kepada Thomas.
"Kau ketakutan," kata Thomas berkeras.
"Ya, Thomas, aku memang takut. Tapi lebih dari itu. Aku
merasa lumpuh. Dan jangan berbicara lagi. Tolonglah."
"Itu wajar," lanjut Thomas, tak mengacuhkan permintaan Sarah
agar berhenti bicara. "Semua orang merasa bodoh dan membeku
dalam keadaan darurat."
Sarah mengetahui bahwa bukan itu yang terjadi. Ia tidak
mampu menggerakkan satu otot pun pada waktu itu. Ia bahkan tidak
mampu membuka mulutnya untuk menjerit.
"Kau bisa tewas," katanya pelan. "Dan aku tidak berdaya untuk
membantumu." Sarah menggeleng, air mata menggenang di matanya.
Sarah menunduk menatap Thomas. Obat melumuri wajah
suaminya. Perban linen menutup seluruh tubuhnya. Thomas sangat
kesakitan saat Dr. Pierce membalutnya.
"Jangan khawatir," kata Dr. Pierce kepada Sarah, sambil
menutup tas peralatannya. "Luka-luka bakar ini tampak buruk, tapi
akan sembuh. Aku berjanji. Thomas akan pulih seperti dulu. Dia
hanya perlu beristirahat. Pastikan dia hanya mendapat sedikit
kunjungan." ebukulawas.blogspot.com
"Akan kupastikan," kata Sarah berjanji.
"Benar-benar nasib buruk," kata Dr. Pierce, sambil menggeleng.
"Justru pada hari sumurnya berubah panas."
Nasib buruk" pikir Sarah dengan liar. Ada kejadian yang tidak
wajar di penggilingan. Kejadian yang jahat. Bagaimana mungkin
dokter meremehkannya sebagai kesialan semata"
Dr. Pierce pasti telah menyadari ekspresi wajah Sarah, karena ia
melanjutkan, "Sumur itu dikendalikan tekanan vulkanis. Dari waktu
ke waktu air panas keluar melalui sumur." Ia menggeleng. "Benarbenar sial!"
Sarah merasakan wajahnya memerah karena malu. Jadi ada
penjelasan yang sederhana untuk bencana hari ini.
Paling tidak untuk air mendidihnya.
Ia tahu bahwa jika ia memberitahu dokter bahwa ia merasa
lumpuh pada saat kejadian, dokter itu akan menyetujui pendapat
Thomas. Ia pasti menyatakan bahwa dirinya hanya sekadar ketakutan.
Tapi tidak mungkin begitu. Atau mungkin"
Aku belum pernah merasa setakut itu, pikir Sarah.
"Aku akan kembali besok untuk memeriksa pasien kita," kata
Dr. Pierce. Sarah mengucapkan terima kasih kepada dokter itu dan
mengantarnya ke pintu. Lalu ia bergegas menaiki tangga dan kembali
ke samping ranjang Thomas.
Ia sudah bersumpah sendiri bahwa akan berjaga-jaga sepanjang
malam, mengawasi suaminya yang sakit.
Kejadian di penggilingan terus menerus bermain-main dalam
benaknya. Uapnya, air yang mendidih, Thomas menjerit-jerit minta
tolong. Dan setiap kali memejamkan mata, ia merasakan perasaan
menakutkan akan terjebak dalam kulitnya sendiri. Tidak mampu
menggerakkan bahkan seutas otot pun.
Thomas terbatuk-batuk dengan hebat dan menarik Sarah
kembali ke alam sadar. Batuk-batuk Thomas begitu hebat hingga kedengarannya
berasal dari dalam paru-parunya.
Thomas berpaling, mengerang pelan, tapi tetap tidur.
Sarah bisa melihat keringat membasahi perban di dadanya. Dan
saat Sarah menyentuh kening Thomas dalam kegelapan, suaminya
terasa seperti tengah terbakar. Sarah seolah mengulurkan tangannya
ke dalam perapian yang berkobar.
Thomas terus terbatuk-batuk sepanjang malam.
Batuk-batuk mengerikan yang seakan-akan menggema dalam
benak Sarah. Membawanya kembali ke masa kanak-kanaknya.
Saat usianya tujuh tahun, ibunya meninggal sesudah...
Sarah bangkit berdiri, menutup mulut karena ngeri sementara
Thomas kembali terbatuk-batuk.
Sarah berlari keluar dari dalam kamar, berteriak memanggil
pelayan. Ia memerintahkan salah seorang pelayan untuk memanggil Dr.
Pierce sekarang juga. Dr. Pierce tiba satu jam kemudian. Matahari baru saja terbit.
Dokter hanya perlu memeriksa Thomas selama beberapa menit
sebelum mengkonfirmasi ketakutan terburuk Sarah.
Radang paru-paru. Thomas terjangkit radang paru-paru.
Thomas tampak begitu pucat. Hampir seputih sarung bantal di
bawah kepalanya. Matanya dikelilingi lingkaran hitam.
"Jangan memandangku seperti itu," kata Dr. Pierce kepada
Sarah. Ia tertawa dengan nada terpaksa. "Radang paru-paru bukanlah
penyakit yang parah bagi pemuda kuat dan sehat seperti suamimu.
Jelas sekali, akan lebih baik kalau dia tidak terjangkit penyakit ini.
Tapi perkiraanku belum berubah. Suamimu akan pulih."
Dia berbohong, pikir Sarah. Dadanya terasa sesak oleh
ketakutan. Thomas mulai menggigil hebat.
"Itu karena demam," kata Dr. Pierce menjelaskan, saat Sarah
menatapnya dengan pandangan memohon.
"Dingin sekali," gumam Thomas.
"Kau merasa kedinginan," kata Dr. Pierce menyetujui, "tapi
panas badanmu sangat tinggi, Bung."
Sarah bergegas ke lemari pakaian. Kemarin, ia tidak bisa
membantu Thomas saat suaminya sangat membutuhkan dirinya. Ia
akan berusaha menebusnya hari ini, berusaha memenuhi setiap
kebutuhan suaminya. Ia menemukan sehelai mantel tua tergantung di lemari, mantel
yang seingatnya telah berbulan-bulan tidak dikenakan Thomas. Ia
menariknya begitu keras hingga gantungan kayunya tersentak kembali
menghantam dinding lemari dengan suara keras.
Saat bergegas mendekati ranjang sambil membawa mantel itu,
Pedang Kiri 5 Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Pedang Angin Berbisik 31

Cari Blog Ini