Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear Bagian 3
tidak yakin kenapa para leluhurnya membangun lingkaran itu. Ada
orang-orang sukunya yang mengklaim bahwa para leluhur mereka
menggunakan batu-batu besar itu untuk membaca bintang-bintang.
Fieran berdiri ragu-ragu di luar lingkaran. Ia merasa kecil dan
tidak berarti saat menatap bebatuan itu. Ia makhluk fana. Tapi
bebatuan ini akan tetap ada selama dunia masih ada.
Bebatuan besar itu sangat kokoh. Lebih tinggi daripada orang
yang paling jangkung. Bebatuan itu sudah tergores-gores angin dan
termakan cuaca hingga tampak seakan-akan berwajah. Wajah-wajah
yang sama buas dan bangga seperti wajah Fieran sendiri.
Saat menatap wajah-wajah yang termakan cuaca itu, Fieran
merasakan sentakan semangat dalam dirinya. Ia mengangkat
lengannya di atas kepala dan berputar membentuk lingkaran. Ia tidak
lagi merasa kecil dan tidak penting. Sekarang ia merasa sebagai
bagian dari rantai keberadaan yang besar.
Inilah para leluhurku, pikirnya. Kekuatan mereka masih kuat.
Hari ini aku akan meminta mereka untuk meminjamkan tenaga
mereka. Akan kuminta mereka membantuku mengalahkan Conn.
"Dengarkan aku, roh para leluhurku," jerit Fieran. "Aku tidak
kemari untuk menghina tempat sucimu. Aku kemari untuk
memperbaiki kesalahan yang sangat besar. Aku datang untuk
membalas dendam terhadap seseorang yang sudah melakukan
kejahatan besar. "Berikan aku kekuatanmu, para leluhurku. Berkahilah
usahaku." Fieran bisa merasakan amulet di dadanya. Sesudah Conn tewas,
ia akan mencuci amulet itu dengan darah Conn. Baru setelah itu
amulet tersebut akan memiliki kekuatan.
Angin bertiup di sekitar puncak bukit. Fieran menurunkan
lengannya. Ia menghela napas dalam.
Aku tidak bisa lagi, pikirnya. Ia merasa detak jantungnya
bertambah cepat karena harapan. Saat yang kuusahakan akhirnya tiba.
Ia akan meninggalkan lingkaran ini dengan membawa kemenangan.
Atau tidak meninggalkannya sama sekali.
Biarkan pertandingannya dimulai, pikirnya. Aku sudah siap
menghadapinya. Fieran melangkah memasuki bagian dalam lingkaran batu.
Seketika angin berhenti bertiup.
Tidak ada suara yang mengusik lingkaran kuno tersebut. Di
luarnya, Fieran bisa melihat rerumputan meliuk-liuk tertiup angin.
Tapi di dalam lingkaran, segalanya tidak bergerak. Kesunyiannya
begitu kuat hingga hampir-hampir merupakan suara tersendiri.
Telinga Fieran berdenging. Jantungnya berdebar kencang.
Keringat mengalir ke matanya.
Kekuatan itu yang membuatku merasa seperti ini, pikirnya. Ia
menggigil. Kekuatan batu-batu ini.
Fieran berjalan mengelilingi lingkaran itu. Bebatuan
menimbulkan bayang-bayang besar di tanah. Udara terasa dingin di
bayang-bayang batu. Dingin bagai es yang menyebabkan Fieran sulit
bernapas. Ia berbelok ke batu raksasa terdekat. Wajah di batu itu
menatapnya. Tegas dan muram.
Bantu aku, leluhurku, pinta Fieran dengan diam-diam. Bantu
aku mengalahkan Conn. "Fieran! Kau di mana?" seru seseorang.
Fieran berbalik. Di luar lingkaran, tepat di balik batu-batu,
seseorang berdiri. Conn. Aku tahu dia akan datang seorang diri, pikir Fieran. Dia begitu
percaya diri. Begitu tidak memiliki rasa takut. Dia benar-benar
percaya kalau tidak ada yang cukup kuat untuk menyakitinya.
Fieran melangkah keluar dari bayang-bayang batu sehingga
Conn bisa melihatnya. Conn maju selangkah ke antara bebatuan. Ia
melintasi lingkaran itu dengan langkah-langkah yang sigap dan
berhenti beberapa langkah di depan Fieran. Bayang-bayang batu
raksasa merentang di tanah di samping mereka.
"Seharusnya kau tidak datang kemari, Fieran."
Fieran bergeser sedikit mendekati Conn.
Bahunya jatuh, seakan-akan takut Conn akan memukulnya. Ia
berusaha agar suaranya terdengar lemah dan merengek. "Tapi aku
harus datang kemari. Aku harus bertemu denganmu, Conn."
Conn tersenyum. Ia mendekati Fieran. Ia tidak tampak takut
sama sekali. Fieran mengawasinya dengan mata menyipit.
Oh, ya, pikirnya. Benar, Conn. Kau ingin mendekat. Kau ingin
membuktikan kalau aku lemah sementara kau kuat. Tapi aku tahu
kekuatanmu adalah kelemahan terbesarmu. Aku tahu kekuatanmu
yang akan menjatuhkanmu. "Kenapa kau memintaku datang kemari?" tanya Conn. "Apa
akhirnya kau sudah sadar" Apa kau datang untuk meminta
pengampunanku?" Fieran merasakan darah yang panas mengalir deras di
kepalanya. Ia mengertakkan gigi untuk menahan kemurkaannya. Aku
tidak boleh meledak, pikirnya. Aku tidak boleh membiarkan harga
diriku menghalangi. Kalau tidak, nasibku akan sama seperti Conn.
Aku cukup kuat untuk tampak lemah. Aku cukup percaya diri
untuk merendahkan diri. "Memang," jawabnya dengan pelan dan
gemetar. "Aku sudah sadar. Tolonglah, kumohon. Maafkan aku,
Conn." Senyum Conn melebar sedikit. Fieran maju beberapa langkah
mendekatinya. Ia menengadahkan telapaknya untuk menunjukkan
bahwa dirinya tidak bersenjata.
"Aku tidak berniat menantangmu," lanjut Fieran. "Aku tidak
bermaksud untuk mengatakan bahwa kau menipu untuk menjadi
kepala suku." "Aku tidak mendengarmu, Fieran," kata Conn. "Bicaralah lebih
keras." Fieran menggigit lidahnya kuat-kuat. Tubuhnya bergetar karena
usahanya untuk menahan diri. Sejujurnya saja, Fieran sangat ingin
menerjang Conn. Sangat ingin menghunjamkan tinjunya hingga
masuk ke tenggorokan Conn dan menghentikan kata-katanya yang
menghina. Tapi kejutan adalah senjata terhebatmu, katanya mengingatkan
diri sendiri. "Aku tidak tahan lagi," jerit Fieran. "Aku tidak tahan sendirian.
Biarkan aku bergabung dengan yang lain. Biarkan aku ikut dalam
upacara-upacara. Aku akan mati kalau tidak memiliki teman. Akan
kulakukan semua perintahmu, asalkan kau mau memaafkanku. Cabut
pengusiranku, Conn."
Conn tidak menjawab. "Kau benar," lanjut Fieran. Kenapa tidak berhasil" ia penasaran.
Apa yang diinginkannya dariku" "Aku iri padamu. Aku tidak tahan
menerima kenyataan bahwa kau yang terpilih sedangkan aku tidak.
Akan kuakui ini kepada semua orang. Kalau kau mau mengampuniku
dan mengizinkanku bergabung dengan yang lain."
Kepala Conn tersentak ke belakang karena tawa. "Coba ulangi,
Fieran." Fieran mengerjapkan mata. Permainan apa yang sedang
dimainkannya sekarang" ia penasaran. "Ulangi apa?" tanyanya.
"Ulangi sekali lagi," kata Conn. Dengan sabar. Seakan-akan ia
tengah berbicara dengan orang idiot. Atau seekor hewan.
"Katakan semuanya sekali lagi, Fieran. Tapi katakan di sini."
Conn menunjuk tepat di depannya. "Aku ingin mendengar kau
mengatakannya sambil berlutut, Fieran."
Jantung Fieran berdebar kencang. Ia ingin menyambar kepala
Conn dan mencabutnya. Perlahan-lahan, Fieran berlutut. Lututnya terasa sakit saat ia
menekankannya ke tanah yang berbatu-batu. "Maafkan aku,"
rengeknya. "Maafkan aku, Conn."
"Saat Romawi menaklukkan Inggris," kata Conn. "Saat orang
Kelt terakhir sudah tewas. Pada saat itulah aku akan memaafkanmu,
Fieran. Kau akan menjadi musuhku hingga hari kematianmu."
Perasaan kemenangan merekah dalam diri Fieran. Conn telah
termakan umpannya. Sekarang, pikirnya. Kau berada tepat di tempat aku ingin kau
berada! Fieran menerjang Conn. Ia menarik kaki Conn dari bawahnya.
Bruk! Kepala Conn menghantam tanah keras. Ia menjerit dan
berusaha berguling menjauh. Tapi Fieran melompat dan menjejakkan
kakinya di tengah-tengah dada Conn.
"Kau benar, Conn," kata Fieran dengan terengah-engah. "Aku
memang musuhmu. Aku akan menjadi musuhmu hingga hari
kematianmu. Dan hari itu sudah datang. Lebih cepat daripada
dugaanmu." "Belum," raung Conn. "Tidak hari ini, Fieran."
Conn mencengkeram kaki Fieran dan memuntirnya. Sambil
menjerit kesakitan, Fieran jatuh ke tanah. Conn menerkam
punggungnya, melipat salah satu lengannya ke atas dan
mencengkeramnya kuat-kuat. Fieran menendang-nendang dan
menggeliat-geliat, mencoba membebaskan diri.
Bodoh! katanya sendiri saat rasa sakit membanjiri dirinya.
Idiot! Kau sudah berhasil menjatuhkannya, tapi kau tidak segera
menghabisinya. Kau membiarkan kebanggaanmu menghalangi. Kau
harus menghinanya lebih dulu.
Fieran berusaha mundur dengan segenap kekuatannya. Lalu ia
melontarkan diri ke satu sisi. Rasa sakit bak api melalap lengannya.
Tapi gerakannya yang tiba-tiba berhasil mengendurkan cengkeraman
Conn. Fieran menendang sekuat tenaga dan berhasil menjauhkan
Conn. Ia terhuyung-huyung bangkit berdiri. Dari sudut matanya ia
melihat Conn juga bangkit berdiri. Dengan cepat, Fieran berputar
untuk menghadapinya. Conn dan Fieran saling menatap. Paru-paru Fieran bekerja keras
berusaha mengumpulkan udara. Darah mengalir memasuki matanya
dari luka di keningnya. Ia bisa merasakan darah mengalir lebih banyak
lagi dari sudut mulutnya. Rasanya pahit dan seperti logam di lidahnya.
"Kau mengira dirimu pintar, bukan?" kata Conn. "Berpura-pura
kalah. Memancingku kemari."
"Dan kau termakan mentah-mentah," kata Fieran. "Kau tidak
sabar menungguku untuk merangkak di depanmu."
"Kau akan merangkak!" raung Conn. "Kau tidak cukup kuat
untuk menghentikanku, Fieran. Aku akan mengakhiri apa yang sudah
kumulai. Aku akan membunuhmu. Sekarang!"
Conn menunduk dan menerjang maju. Fieran berusaha untuk
melompat menghindar. Tapi kakinya terselip. Conn menyerang tepat
ke arah Fieran. Tidak! pikir Fieran. Aku tidak boleh kalah. Dia akan
membunuhku kalau aku kalah.
Conn berlari ke arah Fieran dengan segenap tenaga. Kepalanya
menghunjam tulang rusuk Fieran. Rasa sakit meledak di dada Fieran.
Ia jatuh telentang di tanah.
Conn menerkamnya. Lututnya menghunjam ke lengan Fieran.
Fieran menjerit. Lalu ia merasakan jemari Conn mencengkeram lehernya.
"Kau kalah," bisik Conn.
Fieran merasakan embusan napas Conn yang panas di
wajahnya. "Aku sudah mengalahkanmu, Fieran."
Conn mempererat cekikannya. Sentimeter demi sentimeter,
jepitan Conn semakin kuat. Fieran terbatuk-batuk dan tidak bisa
bernapas. Ia berusaha untuk berguling ke sana kemari. Ia berhasil
membebaskan satu lengan. Tapi ia merasa begitu lemah sehingga
hampir-hampir tidak bisa menggunakannya.
Paru-parunya terasa sakit sementara ia berusaha menghirup
udara. Rasa sakit membakar yang menjalar ke tenggorokannya.
Aku harus bernapas, pikirnya. Aku harus mendapatkan udara.
Jemari Conn mencengkeram semakin erat. Mata Fieran mulai
menonjol. Telinganya dipenuhi desisan melengking.
Ini akhirnya, pikirnya. Aku akan mati di sini.
Lalu tanah di sekitarnya mulai mengerang.
Bab 23 SELURUH tubuh Fieran gemetar. Ia merasa tanah di sekitarnya
bergerak naik-turun. Apa yang terjadi" Conn menjerit ketakutan. Cengkeramannya di leher Fieran agak
mengendur. Fieran meraih tenggorokannya.
Ia kembali mendengar erangan itu. Bebatuannya, ia tersadar.
"Kekuatannya!" teriak Conn. "Kekuatan batu-batu ini."
Para leluhur! pikir Fieran. Mereka tidak meninggalkanku!
Mereka sudah membangkitkan kekuatan batu-batu ini!
Dengan kekuatan baru, Fieran menancapkan kuku-kuku
jemarinya ke tangan Conn. Ia melepaskan cengkeraman Conn pada
lehernya. Ia berhasil menghela napas sekalipun agak terputus-putus.
"Kekuatan batu-batu ini berpihak padaku, Conn," kata Fieran
terengah-engah. "Kau jahat. Bahkan para leluhur kita pun
melawanmu." Fieran menempelkan telapaknya ke dagu Conn dan
mendorongnya. Kekuatan membanjir keluar dari dirinya. Ia
mendorong semakin lama semakin keras. Lalu ia mendengar tulang
leher Conn mulai berderak.
Tangan Cpnn terlepas dari lehernya. Fieran duduk, terbatukbatuk berusaha menghirup udara.
Ia melirik ke arah Conn. Conn tengah berjongkok di dalam
lingkaran batu. Mulutnya ternganga. Air liur menetes di dagunya. Ia
menengadah menatap batu berdiri terdekat. Pandangannya liar.
Batu itu mengerang dan bergoyang-goyang.
Ia benar-benar ketakutan, Fieran tersadar.
"Aku sedang dihukum," jerit Conn. "Aku sudah melanggar
tempat suci. Sekarang kekuatan batu-batu ini akan membunuhku."
Fieran beranjak bangkit dan berlari mendekati Conn.
"Kau memang sedang dihukum," teriak Fieran. "Aku yang
meminta batu-batu ini untuk menghukummu."
Conn menjerit"melengking tinggi yang memicu ketakutan
dalam diri Fieran. Fieran menyeret Conn hingga berada tepat di bawah
batu. Conn melawan Fieran bagai seekor hewan liar. Fieran
terhuyung-huyung mundur, menjauhi jemari Conn yang mencakarcakar.
Conn jatuh berlutut. Ia mencoba untuk merangkak keluar dari
lingkaran. "Aku harus pergi! Menjauhi kekuatan batu-batu ini,"
jeritnya. KRAK! Batu berdiri di atas Conn bergoyang-goyang hingga ke
fondasinya. Conn menjerit"tapi ia menengadah menatap batu itu
tanpa bergerak. Batu itu mengerang. Erangannya terdengar seperti berasal dari
bawah tanah. Lalu menghunjam ke arah Conn.
Conn berteriak membahana. Lalu batu itu menghantamnya.
Teriakan Conn terputus.
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bumi berguncang untuk yang terakhir kalinya lalu berhenti.
Kesunyian yang mengerikan mengisi lingkaran. Fieran merasa
kakinya mulai gemetar. Lalu melemas sehingga ia jatuh berlutut.
Fieran menggunakan kekuatan terakhirnya untuk merangkak ke
batu yang jatuh tadi. Ia bisa melihat salah satu tangan Conn mencuat
dari bawahnya. Bagian tubuh Conn yang lainnya terkubur di bawah
batu. Conn sudah tewas, pikir Fieran. Musuhku terkalahkan. Tapi
kekuatan batu-batu di sini membiarkan aku tetap hidup.
Fieran tahu bahwa ia tidak bisa lagi menggunakan darah Conn
untuk pengorbanannya. Bukan dirinya yang membunuh Conn.
Ia mencabut pisaunya dan memenggal tangan Conn. Lalu ia
berdiri dengan kaki masih gemetar dan berjalan ke tengah-tengah
lingkaran. Ia meletakkan tangan itu di tanah.
"Terima kasih, para leluhurku," serunya. "Terima kasih sudah
membantuku dengan kekuatan batu-batu ini."
Ia mendengar seseorang tertawa.
Sesosok berkerudung melangkah keluar dari balik batu di
depanya. "Bukan kekuatan batu-batu ini. Tapi kekuatanku, Fieran."
Brianna membuka kerudungnya.
"Brianna!" jerit Fieran. "Kau...?" Ia tidak mengerti. Ia tidak bisa
berpikir dengan jernih. Ia muak dan pusing.
Brianna bergegas mendekatinya. Ia berlutut di samping Fieran.
"Oh, Fieran, aku senang sekali kau baik-baik saja," jerit Brianna
dengan penuh semangat. "Tadinya aku khawatir kekuatanku tidak
akan cukup kuat. Aku khawatir tidak tiba tepat pada waktunya."
Fieran berjuang untuk memusatkan perhatiannya. Dia sudah
mengkhianatiku. Aku melihatnya bersama Conn. Mencium Conn.
Mentertawakanku. Menertawakan kenyataan bahwa mereka
menggunakan kekuatanku untuk menipu diriku.
Permainan aneh apalagi yang dimainkannya sekarang"
"Maksudmu kau yang sudah menyelamatkanku?" tanya Fieran dingin.
Ia melangkah menjauhi Brianna.
Brianna tetap berlutut di tanah.
"Tapi aku sudah mengetahui kebenarannya tentang dirimu,
Brianna. Conn yang memberitahuku. Aku tahu bahwa kau
mencintainya. Aku tahu bahwa kau sudah membantunya untuk
menjadi kepala suku."
"Aku tidak mencintai Conn, Fieran," kata Brianna penuh
semangat. Ia bangkit berdiri dengan susah payah. "Aku tidak pernah
mencintainya. Aku selalu mencintaimu."
"Aku melihat kalian berduaan!" tuduh Fieran.
"Fieran, aku bersumpah padamu, kekasihku, aku jujur," kata
Brianna. "Conn sudah mengejutkanku di upacara. Dia menarikku ke
api tanpa peringatan." ebukulawas.blogspot.com
Brianna menengadah menatapnya dengan pandangan memohon.
Matanya berkilauan oleh air mata yang menggenang. "Tapi mungkin
itu yang kauinginkan sekarang. Benar, Fieran" Kau ingin aku mati?"
Fieran bisa merasakan dirinya mulai melemah. Ia tidak suka
melihat mata hijau Brianna yang cantik berkaca-kaca.
"Bagaimana dengan sesudahnya?" katanya kasar. "Kenapa kau
tidak mengungkapkan kebenaran tentang Conn?"
Brianna menunduk. "Dia mengancamku, Fieran. Dia akan
membunuhku kalau aku tidak menutup mulut. Dia berkata..." Brianna
tidak melanjutkan kata-katanya sejenak.
"Katanya dia akan membunuhmu. Kau, Fieran. Sudah cukup
buruk bahwa aku menghancurkan impianmu. Cukup buruk bahwa kau
tidak menjadi kepala suku. Aku tidak bisa membiarkan dia
membunuhmu, Fieran. Aku terlalu rnencintaimu. Sampai sekarang."
"Jadi kau membunuh Conn hari ini untuk membuktikannya?"
"Ya!" bisik Brianna dengan penuh semangat. "Ya, Fieran.
Sewaktu aku mendengar tentang pesanmu, kupikir kau pasti ingin
menantang Conn. Kuikuti dia hingga tiba di lingkaran batu ini. Aku
ingin membantumu. Sewaktu kulihat dia mencekikmu, kupikir
hidupku sudah berakhir. Jadi kuguncangkan bumi. Kujatuhkan batu
itu ke Conn." Fieran menatapnya. Oh, Brianna, pikirnya. Aku ingin
mempercayaimu! "Tapi aku melihatmu menciumnya. Melihat caranya
memelukmu," katanya lembut.
"Oh, Fieran," kata Brianna sambil mengerang. "Aku sangat
berduka karenanya. Aku menyesal sekali kau sudah melihatnya."
Ia mengulurkan tangan dan mengelus pipi Fieran. Fieran
menyentakkan kepalanya menjauh.
"Semuanya hanya pura-pura," lanjut Brianna. "Aku terpaksa
melakukannya. Aku terpaksa berusaha agar Conn percaya aku
mencintainya. Aku tidak punya pilihan lain, Fieran. Kalau Conn
meragukanku, dia akan membunuhmu. Aku harus berpura-pura
mencintainya. Aku harus menyelamatkanmu."
Bisakah ia mempercayai Brianna" Apa benar Brianna memang
berusaha melindunginya selama ini"
"Cium aku, Fieran," bisik Brianna. "Dengan begitu kau akan
tahu bahwa aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Kau akan tahu
bahwa kaulah satu-satunya yang pernah kucintai."
Perlahan-lahan Fieran menciumnya. Bibir Brianna lembut dan
memancarkan cinta. Fieran merasakan seluruh ketakutannya menguap.
Jelas Brianna tidak bisa menciumnya seperti ini kecuali dia benarbenar mencintainya.
"Aku mencintaimu, Brianna. Maaf aku sudah meragukan
dirimu," gumam Fieran. Dadanya terasa sesak oleh kebahagiaan.
Mereka telah bersatu lagi. Tidak ada yang akan memisahkan mereka
sekarang. "Aku ingin kita menikah, Brianna," katanya. "Aku ingin
hubungan kita pulih kembali."
"Bagus sekali," jawab Brianna. Ia meletakkan kepalanya di
bahu Fieran. "Aku juga ingin kita menikah."
"Kita bisa pergi ke desa," kata Fieran. "Aku yakin para tetua
bersedia untuk menikahkan kita sekarang juga... sesudah kita
memberitahu mereka tentang Conn."
"Akan kuakui segalanya," kata Brianna berjanji. "Aku tidak
peduli bila mereka menghukumku. Aku hanya ingin menikah
denganmu, Fieran." Fieran meraih tangan Brianna dan membimbingnya
meninggalkan lingkaran batu berdiri. Ia melirik ke balik bahunya.
Tempat ini akan selalu berarti bagiku, pikirnya. Aku mengalahkan
musuh bebuyutanku di sini. Dan aku memenangkan kembali cinta
sejatiku. *********** Fieran berbaring di tempat tidurnya. Brianna meringkuk dalam
pelukannya. Para tetua telah menikahkan mereka siang tadi. Seluruh
penduduk desa menyaksikan upacaranya. Mereka ingin
menyelenggarakan pesta bagi Brianna dan dirinya, tapi Fieran
menolaknya. Ia hanya ingin berdua saja dengan Brianna. Memeluk Brianna
dan melupakan semua kejadian mengerikan yang sudah terjadi.
Ia menunduk menatap Brianna. Menatap istrinya. Brianna tidur
begitu tenang. Cahaya api memantul pada rambutnya yang berwarna
tembaga. Fieran merasakan dadanya sesak oleh kebahagiaan. Conn sudah
terkalahkan. Brianna akhirnya jadi milikku.
Brianna membuka mata dan menguap.
"Kau bahagia, kekasihku?" bisik Fieran.
Brianna tersenyum kepadanya. "Aku sangat bahagia, Fieran.
Kita akan selalu bersama-sama sekarang. Tidak ada yang bisa
memisahkan kita. Bersama-sama kita lebih kuat dari semua orang
digabungkan." Ketakutan merayapi tubuh Fieran. Ia pernah mendengar katakata itu sebelumnya.
"Brianna," katanya, "aku..."
Tapi Brianna menempelkan jarinya di bibir Fieran. "Diamlah,
Fieran. Kita bersama-sama, dan kita akan selalu bersama. Akan
kudampingi kau sampai mati."
Tubuh Fieran terasa dingin. Ia menggigil saat menunduk
menatap Brianna. Wajah Brianna tampak bagai memancarkan cahaya karena
bahagia. Karena cinta. Tapi Fieran mengetahui bahwa itu hanyalah pura-pura. Brianna
tidak mencintainya. Brianna tidak mencintai siapa pun kecuali dirinya
sendiri. Fieran pernah mendengarnya mengucapkan kata-kata itu kepada
Conn. Kata-kata yang persis sama. Dan saat itu Brianna juga terdengar
sama tulusnya. Sama mencintainya.
Es dalam pembuluh darah Fieran mulai mendidih. Ia
mengetahui apa yang harus dilakukannya. Ia mengetahui apa yang
akan menghapus sakit hatinya.
Pembalasan! Keinginan untuk membalas dendam menyingkirkan semua
pikiran lain dari dalam benak Fieran.
Aku akan membalas dendam. Dan sekarang akan dua kali lebih
manis rasanya. Brianna sudah membuka rahasianya sendiri, dan dia
bahkan tidak menyadarinya!
Bab 24 Dunia Baru Massachusetts Bay Colony,
1679 PEMBALASAN! Christina berjuang untuk sadar sepenuhnya, hati dan benaknya
hanya dipenuhi satu pikiran. Pembalasan.
Aku tidak akan lagi menjadi korban yang ketakutan. Mulai
sekarang aku akan membalas dendam terhadap siapa pun yang
menyakiti diriku. Ia menatap amulet perak yang ada dalam genggamannya. Kau
sudah meletakkan keinginan untuk membalas dendam dalam hatiku,
pikirnya. Dan kau akan membantuku mempertahankannya. Ia
mengenakan kembali kalung itu dan menjejalkan amuletnya ke balik
gaunnya. Christina bangkit berdiri. Ia menatap ke sekeliling kamar Emily
Peterson dengan pandangan jijik. Lalu ia melangkah ke rak buku
kayu. Sambil menjerit murka, ia mencengkeram rak itu dan
menggoyang-goyangnya. Kayunya mengerang dan menjerit"lalu rak buku itu jatuh ke
samping. Tabung-tabung kecilnya beterbangan ke mana-mana.
Christina menginjak-injak dengan sepatunya yang berat. Kacanya
hancur berkeping-keping di bawah kakinya.
Berikutnya cermin, pikirnya mengambil keputusan. Christina
menarik semua cermin yang bisa diraihnya, mengempaskannya ke
lantai. Ia senang mendengar suara cermin-cermin itu pecah berkepingkeping.
Ia melesat ke rak di atas ranjang Emily dan menjatuhkan semua
benda di atasnya dengan sekali ayunan tangan.
Akan kuakhiri kejahatan ini, pikirnya. Itulah pembalasanku.
Tapi bukan hanya keluarga Peterson yang jahat, pikir Christina.
Bukan mereka yang sudah menjual diriku.
Aku harus melakukan apa yang paling kutakutkan. Aku harus
pulang. Aku harus menghadapi Bibi Jane.
********** Rasanya aneh berada di luar seorang diri. Christina sudah
terbiasa menghabiskan waktunya di rumah pertanian keluarga
Peterson yang gelap. Bekerja dan bekerja.
Musim semi telah tiba, Christina baru menyadarinya. Ia melihat
pucuk-pucuk segar di pepohonan. Tapi ia tidak punya banyak waktu
menikmati keindahan hari. Ia ingin tiba di rumah Bibi Jane secepat
mungkin. Bibinya sudah terlalu lama berhasil meloloskan diri setelah
memperlakukan Christina dengan buruk.
Jantung Christina mulai berdetak lebih kencang sewaktu
melihat rumah Bibi Jane. Ia merasakan amulet peraknya semakin
hangat di dadanya. Diam-diam ia berputar ke belakang rumah. Bibi Jane tengah
sibuk memanggang kue di halaman.
Sempurna! Dia seorang diri. Christina mendekatinya.
Bibinya tidak menyadari kehadirannya. Ia tengah memunggungi
Christina untuk mengeluarkan sepotong kue dari sebuah oven bata. Ia
membujuk-bujuk dan menggoda kue itu" seakan-akan kue itu
seorang bayi. Christina merasakan kepahitan yang tajam di bagian belakang
mulutnya. Ini menjijikkan, pikirnya. Dia lebih memperhatikan kue
daripada diriku. "Aku memanggang kue-kue terbaik di seluruh desa Shadyside,"
gumam bibinya. "Kukira kesombongan itu dosa, Bibi Jane."
Bibi Jane menjerit dan berbalik menghadapi Christina. Ia
hampir-hampir menjatuhkan kuenya yang berharga, tapi sempat
menangkapnya pada saat terakhir.
Jus kemerahan meresap keluar mengotori lapisan teratas
kuenya. Stroberi, pikir Christina. Selalu jadi kesukaan bibinya.
Mata Bibi Jane membara marah. "Lihat akibat perbuatanmu,
gadis bodoh," teriaknya. "Kau hampir saja merusak kueku yang
cantik." Jantung Christina berdetak kencang dalam dadanya. Lidahnya
terasa kering. Tenggorokannya terasa kering. Amulet peraknya
membara di dadanya. Sepanas kayu cinder. Sepanas kemurkaannya.
Sepanas kebenciannya. Sepanas keinginan Christina untuk membalas dendam.
"Apa yang kaulakukan di sini?" tanya Bibi Jane. "Aku baru saja
bertemu dengan Mistress Peterson. Dia tidak mengatakan apa-apa
tentang mengizinkanmu kemari."
"Aku mengizinkan diriku sendiri," jawab Christina.
Mata Bibi Jane menyipit. "Kau akan membayar untuk
keberanianmu, Christina Davis," gumamnya.
"Kita harus bicara, Bibi Jane. Kau keliru mengirimku bekerja di
pertanian keluarga Peterson. Kau tampaknya menyayangi ayahku.
Bagaimana kau tega berbuat..."
"Gadis jahat. Kau kira kau siapa sampai berani
mempertanyakan keputusanku?" Bibi Jane menerjang Christina.
Kuenya terlepas dan miring. Cairan merahnya bergelembung dan
mendesis-desis. Lalu cairan itu meledak keluar dari celah di lapisan teratas
kuenya. Mengenai tangan Bibi Jane. Cairan yang keluar jauh lebih
banyak daripada yang mungkin berada di dalam kue itu.
Christina mulai gemetar. Kejahatan apa ini"
Bibi Jane menjerit kesakitan.
Christina ingin mendekati bibinya. Membantunya. Tapi ia
merasa seolah kakinya terpaku di tanah.
"Apa yang terjadi" Apa yang terjadi?" jerit Christina. Suaranya
terdengar lemah dan pelan. Ia mencoba memaksa diri maju mendekati
Bibi Jane. Satu langkah saja. Tapi tidak bisa. Ia tidak mampu.
Christina menyaksikan dengan pandangan ngeri saat cairan
panas dan merah itu menguliti bibinya. Kulit tangan bibinya melepuh
besar-besar. Lalu meledak. Cairan kental putih mengalir keluar dan
menetes ke tanah.
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kebencian pada bibinya masih mengalir dalam dirinya. Tapi
Christina tidak pernah berharap bibinya mengalami kejadian seperti
ini. Tidak pernah. Tidak ada yang bisa bertahan dengan penderitaan
seperti itu. Kue itu terlepas dari pegangan Bibi Jane dan jatuh ke tanah
sambil mengepulkan uap yang mendesis-desis. Menyiramkan cairan
yang mendidih ke bagian depan gaun bibinya.
Christina merasakan amulet peraknya semakin panas di
dadanya. Amulet itu yang menyebabkan semua ini, pikirnya.
"Hentikan!" jeritnya. "Hentikan sekarang juga!"
Dengan panik Bibi Jane mencakari tangannya. Mencoba untuk
melepaskan cairan yang menggelegak itu. Darah mengalir dari kulit
melepuhnya yang terbuka. Pakaian Bibi Jane mulai mengepulkan asap. Christina hampir
tidak bisa mempercayainya" cairan panas itu melahap pakaian Bibi
Jane. Lalu melahap kulit di balik pakaiannya.
Christina berusaha memejamkan mata. Tapi tidak bisa. Ia tidak
bisa berhenti menatap bibinya.
Daging terbakar berguguran dari tubuh bibinya. Christina bisa
melihat sebagian tulang yang putih.
Bau daging busuk memenuhi cuping hidung Christina. Ia
tercekik dan terbatuk-batuk.
Bibi Jane menggeleng-geleng karena kesakitan. Darah dan air
liur menetes dari ujung-ujung mulutnya. Ia mengulurkan tangan ke
arah Christina. Tangan yang tidak berkulit lagi.
"Tolong aku, Christina!" jerit Bibi Jane.
Bab 25 "AKU tidak bisa," lolong Christina. "Aku tidak tahu bagaimana
caranya." Bibi Jane menjerit"melengking tinggi. "Tolong aku," pintanya
sekali lagi. "Aku tidak bermaksud begini." Air mata panas mengalir turun
di wajah Christina. "Oh, Bibi Jane, aku tidak bermaksud berbuat
begini padamu." Bibi Jane terhuyung-huyung mendekati Christina. Pakaiannya
berasap dan membara. Cairan yang mendidih itu terus membakar
dagingnya hingga habis. Cuping hidung Christina dibanjiri bau kain dan kayu manis
yang terbakar. Aroma stroberi yang manis dan daging berasap.
"Please," kata Bibi Jane dengan suara tersentak. "Please,
Christina, akan kulakukan semua permintaanmu. Tolong aku."
Christina hampir tidak tahan untuk memandang wajah bibinya.
Wajah bibinya membengkak dan mengucurkan darah. Tulang-tulang
pipinya mencuat menembus kulitnya.
Bibi Jane membuka mulut hendak menjerit, tapi tidak terdengar
suara apa pun. Cairan kue yang panas menyembur memasuki
mulutnya. Bibi Jane mengeluarkan suara menggelegak dan tercekik
saat jus kue yang panas itu mengalir memasuki tenggorokannya.
Bola matanya berbalik. Lalu kakinya tidak mampu lagi
menahan tubuhnya. Bibi Jane tergeletak tidak bergerak di tanah.
Christina mulai gemetar. Gigi-giginya bergemeretuk. Lututnya
hampir-hampir tidak mampu menahan berat tubuhnya.
Tapi ia bisa bergerak lagi. Ia telah terlepas dari kekuatan yang
memakunya di tempatnya. Sewaktu Christina melarikan diri dari halaman tidak ada lagi
yang tersisa dari Bibi Jane kecuali seonggok tulang yang berasap dan
cairan kental yang mengepulkan uap.
Bab 26 CHRISTINA tercekik. Ia melesat mengitari rumah ke bagian
depan. Ia menghela napas menghirup udara musim semi yang segar.
Apa yang sudah kulakukan" Apa yang sudah kulakukan"
Tidak ada, katanya sendiri. Kau tidak melakukan apa-apa. Kau
tidak ingin Bibi Jane tewas.
Christina bergegas meninggalkan rumah. Perutnya melilit. Ada
saatnya ia berharap Bibi Jane tewas. Pada hari pemakaman ayahnya ia
berharap Bibi Jane-lah yang dimakamkan.
Tapi berharap tidak sama dengan benar-benar menginginkan
kematian bibinya. Dan tidak ada yang layak tersiksa seperti yang
dialami bibinya. Christina berbelok di tikungan"dan langsung bertabrakan
dengan Matthew. "Christina!" jerit Matthew. "Apa yang kaulakukan di sini?"
"Ada yang harus kulakukan di sini," jawab Christina. Apa
sebaiknya kuceritakan apa yang telah terjadi kepada Matthew"
Christina memutuskan untuk tidak menceritakannya. Tidak
sekarang. Matthew tidak mungkin bisa memahami. Christina sendiri
tidak memahami apa yang sudah terjadi. "Apa yang kaulakukan di
sini?" tanya Christina.
"Kejadian yang paling luar biasa!" seru Matthew. Kegembiraan
memancar di matanya. "Aku merasakan semburan kekuatan, baru
sesaat yang lalu. Semburan kekuatan yang hanya bisa berasal dari
benda yang kucari. Aku yakin benda itu sangat dekat. Aku tahu kalau
sekarang akan menemukan warisan keluargaku."
"Berita yang bagus sekali, Matthew!" Christina berusaha untuk
terdengar gembira. Ia mengetahui betapa berartinya warisan keluarga
itu bagi Matthew. Kau tahu di mana warisanmu itu sekarang?"
Matthew memiringkan kepalanya ke satu sisi, seakan-akan
mendengarkan sesuatu. "Semburan kekuatannya sudah memudar,"
katanya. Kilau di matanya juga memudar.
"Aku tidak tahu lagi di mana warisanku," lanjut Matthew. "Tapi
pasti ada di desa ini. Aku tahu. Sesudah kutemukan, kita bisa pergi
bersama-sama." "Oh, ya, Matthew," kata Christina. Ia ingin pergi sejauh
mungkin, ke tempat tidak ada yang akan mengingatkan dirinya pada
Bibi Jane atau keluarga Peterson. Ke tempat ia bisa memulai
kehidupan baru. Kematian bibinya mulai memudar dalam ingatannya. Kejadian
itu terasa tidak nyata baginya. Apa aku masih berada dalam pengaruh
amulet" ia penasaran.
Lalu Matthew menariknya mendekat, dan Christina melupakan
segalanya kecuali Matthew. Ia bisa merasakan jantung Matthew
berdetak jauh di dalam dadanya. Matthew menengadahkan kepalanya
dan menatapnya. Lalu menciumnya.
Bibir Matthew terasa hangat dan lembut. Matthew, pikirnya,
aku mencintaimu dengan seluruh keberadaanku. Aku mencintaimu
selama-lamanya. "Sulit sekali rasanya untuk berjauhan denganmu, Christina,"
bisik Matthew di telinganya. "Aku selalu memikirkan dirimu setiap
hari. Tapi aku tidak bisa datang ke tempatmu. Aku tidak boleh
membiarkan perhatianku teralih. Aku harus menemukan warisan
keluargaku. Tidak ada yang bisa menghalangiku."
"Tidak apa-apa, Matthew," kata Christina berusaha untuk
meyakinkannya. "Aku mengerti."
Dia memikirkanku. Senyum lebar merekah di wajah Christina.
Mungkin sama seringnya seperti diriku memikirkannya.
Tapi apa yang akan kulakukan sebelum dia menemukan
warisannya" Aku tidak bisa tinggal di rumah keluarga Peterson. Lalu
di mana aku tinggal" Apa yang akan kulakukan untuk bisa makan"
Christina merasa air mata menyengat matanya. Ia tidak
menangis di rumah keluarga Peterson. Bahkan tidak sewaktu Mistress
Peterson mengurungnya di ruang bawah tanah. Ia tidak ingin
menangis sekarang. Di depan Matthew. Ia menjauhkan diri dari
pemuda itu. "Christina! Ada apa?" seru Matthew.
"Keluarga Peterson itu mengerikan, Matthew!" sembur
Christina. Ia tidak bisa lagi menyembunyikan kebenarannya. "Aku
tahu kalau mereka baik padamu. Tapi mereka tidak pernah baik
padaku. Tidak sesaat pun. Mereka bukan orang-orang yang sebaik
dugaanmu." Matthew menggeleng. "Maaf. Aku tidak tahu harus mengatakan
apa." "Kembalilah bersamaku, Matthew," pinta Christina. "Kembali
bersamaku ke tanah pertanian keluarga Peterson. Dengan begitu kau
akan mengetahui siapa mereka sebenarnya. Mereka tidak akan bisa
menyembunyikan kebenaran kali ini."
"Baiklah," kata Matthew setuju. "Kalau keluarga Peterson tidak
memperlakukanmu dengan benar, aku tidak bisa membiarkanmu
tinggal bersama mereka. Aku ingin mencari-cari di sekitar sini dulu.
Mungkin aku akan merasakan kekuatannya lagi. Lalu kita bisa pergi
ke rumah keluarga Peterson dengan Thunder."
Matthew membimbing Christina ke kudanya dan membantunya
naik. Bersama-sama, mereka menuju rumah keluarga Peterson.
********* Christina bisa mendengar Emily menjerit-jerit saat mereka
berkuda ke pertanian itu malamnya.
"Aku masuk ke kamar tidurnya," kata Christina mengakui
kepada Matthew dengan suara pelan. "Aku melihat hal-hal
menakutkan yang disembunyikannya di sana... dan kuhancurkan.
Sekarang dia ingin menghukumku karena itu."
"Jangan khawatir," kata Matthew. "Aku tidak akan
membiarkanmu berdua saja dengannya sesaat pun." Ia melompat turun
dari Thunder. Lalu membantu Christina turun dari pelana dan dengan
lembut menurunkannya ke tanah.
Christina tahu bahwa ia akan menghadapi Emily sesaat lagi.
Tapi ia tidak takut. Matthew mencintainya. Cinta mereka akan
bertahan. Cinta mereka akan menang menghadapi kejahatan Emily.
Emily menghambur keluar dari pintu depan. Pipinya memerah
karena marah. "Christina Davis, di sini kau rupanya!" jeritnya.
Christina menegakkan tubuhnya dan menatap Emily lurus di
matanya. "Aku sudah melihat isi kamar tidurmu, Emily. Aku tahu kau
ini apa. Aku tahu bahwa kau mempraktekkan ilmu hitam."
Emily tertawa melengking. Ia terdengar histeris, pikir Christina.
"Kau orang tolol," seru Emily. "Kau bahkan tidak tahu aku ini
apa." Ada sesuatu yang berbeda pada diri Emily, pikir Christina.
Sesuatu yang tidak beres. Wajahnya berubah. Tapi berubah
bagaimana" "Kau masuk ke kamarku tanpa permisi. Kau menghancurkan
barang-barang milikku!" jeritnya.
"Emily, aku tidak..." kata Matthew.
"Jangan ikut campur," sergah Emily, pandangannya terpaku
kepada Christina. "Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan."
Emily bergegas mendekati Christina. Tangannya menekuk
membentuk cakar. Christina bergegas menghindar. Ia berlari memutari Thunder
sehingga kuda itu berdiri di antara dirinya dan Emily.
Emily menjerit dan mengulurkan tangan untuk mencakar wajah
Christina. Thunder menghindar dan menyentakkan kepalanya.
Matthew menyambar kekangnya dan mencoba untuk menenangkan
kuda itu. Emily melolong frustasi. Ia melesat maju dan menggigit sisi
tubuh kuda itu. Dia sinting, pikir Christina.
Thunder meringkik memamerkan gigi-giginya. Ia berdiri pada
kaki belakangnya. Kuku-kuku kaki depannya yang setajam pisau
cukur melambai-lambai di udara.
Emily merunduk ke bawah kuda itu dan menyambar rambut
Christina. Thunder melesat, menyeret Matthew bersamanya.
Christina menyentakkan kepalanya ke sana kemari, berjuang
untuk membebaskan diri. Aku tidak bisa membiarkan Emily
menangkapku! Aku tidak bisa kembali ke dalam rumah keluarga
Peterson. Kalau masuk, aku tidak akan pernah keluar lagi.
Tapi Emily lebih kuat daripada Christina. Sedikit demi sedikit,
ia menyeret Christina melintasi halaman. "Tidaaaak," erang Christina,
suaranya sarat dengan kesakitan.
Christina berputar dan meronta, mencoba untuk melepaskan
cengkeraman Emily. Emily menyentakkan kepala Christina begitu
keras sehingga pandangan Christina berkunang-kunang.
"Oh, tidak, Christina Davis," gumam Emily. "Kau tidak akan
bisa melarikan diri dariku."
Bum. Bum. Bum. Emily menarik Christina menaiki tangga depan. Ia menendang
pintu rumah pertanian hingga terbuka dan menyeret Christina
melewati serambi. Ia melepaskan rambut Christina dan mendorongnya
sehingga Christina jatuh telentang. Christina merangkak di lantai. Lalu
terhuyung-huyung bangkit berdiri dan menghadapi Emily di seberang
ruang duduk yang kotor itu.
Darah mengalir di dagu Emily Peterson. Darah itu mengotori
kerah gaunnya yang seputih salju. "Kau mencuri dariku," teriak
Emily. "Dan sekarang aku akan membuatmu membayarnya."
"Oh, tidak akan," balas Christina. Kulit kepala tempat Emily
tadi menyentaknya terasa berdenyut-denyut. "Kau yang mencuri
dariku! Darahku bukan milikmu, Emily," teriak Christina. "Kau tidak
berhak menggunakannya untuk niat jahatmu."
"Tapi aku memerlukannya," kata Emily melengking. "Aku
harus mempertahankan kecantikanku. Aku harus mendapatkan
darahmu." Seluruh bulu di tubuh Christina meremang. Aku tahu apa
bedanya, pikirnya. Kecantikan Emily. Kecantikannya memudar.
Di depan mata Christina, kerut-kerut muncul di wajah Emily.
Bintik-bintik kecokelatan timbul di kulit tangannya yang putih lembut.
Punggungnya membungkuk"memaksa Emily menunduk.
Emily menjerit. "Berikan darahmu. Aku membutuhkan
darahmu." Gigi-giginya berubah kekuningan, lalu kehitaman. Satu
demi satu giginya tanggal.
"Kecantikanku!" Emily terisak sambil mencakari wajahnya.
"Kau mencuri kecantikanku."
Mistress Peterson menghambur memasuki ruang duduk. Ia
meletakkan sebatang lilin menyala di meja. Lalu memeluk Emily.
"Tenang, ibu," katanya, sambil memelototi Christina. "Jangan
khawatir. Kita akan mendapatkan kecantikanmu kembali. Tapi,
terlebih dulu, kau harus menenangkan diri."
"Ibu?" Christina ternganga. "Emily ibumu?"
"Ya!" jerit Mistress Peterson. "Dia ibuku. Aku bersedia
melakukan apa saja untuknya. Selama bertahun-tahun kami bahagia.
Orang-orang mungkin mencurigai kami melakukan ilmu hitam. Tapi
mereka tidak pernah bisa membuktikan apa pun."
"Kecantikanku," kata Emily melolong. "Kecantikanku."
"Seharusnya aku tidak pernah membawamu kemari," kata
Mistress Peterson. "Kukira kau akan menjadi korban lain yang mudah.
Tapi aku keliru." Perut Christina bagai bergolak. Sekarang ia mengetahui apa
yang terjadi pada gadis-gadis desa lainnya. Emily menggunakan darah
mereka agar tetap muda dan cantik. Ia menguras darah mereka hingga
habis. "Aku senang sudah menghancurkan segala sesuatu di
kamarmu," teriak Christina. "Kau bahkan lebih jahat daripada
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dugaanku semula." Sambil meraung murka, Emily melepaskan diri dari pelukan
Mistress Peterson. Ia menerjang ke arah Christina dan menggoreskan
kuku-kukunya ke pipi Christina.
Christina mencengkeram pergelangan Emily. Otot-ototnya
gemetar saat ia berjuang menjauhkan Emily dari dirinya.
"Kuhancurkan kau. Kuhancurkan kecantikanmu," kata Emily.
Ia berhasil membebaskan diri dan mencekik leher Christina.
"Matthew!" teriak Christina. "Tolong aku." Ia mendengar suara
langkah-langkah kaki Matthew di serambi depan.
Matthew menghambur masuk ke ruang duduk. Ia menyambar
bahu Christina dan menariknya menjauhi Emily.
Breettt! Bagian depan gaun Christina robek. Robekan kainnya
menjuntai di tangan Emily.
Plas! Cahaya api lilin memantul pada amulet perak yang meliliti
leher Christina. "Itu amulet Fier!" seru Matthew. "Warisan keluargaku. Itu yang
kucari-cari selama ini!"
BAGIAN EMPAT Kutukan Kegelapan Bab 27 Dunia Lama Inggris, 50 M.
FIERAN mengacungkan amulet perak di depannya. Kau cantik,
pikirnya. Dan kau akan membantuku membalas dendam. Pembalasan
yang akan berlangsung selamanya.
Dominatio per malum. Kekuasaan melalui kejahatan.
Kalau aku tidak bisa mendapatkan cinta, aku akan mendapatkan
kekuatan. Akan kuambil dengan cara apa pun.
Fieran mengaduk-aduk batu bara di tungku besinya. Percikan
api berhamburan ke udara. Di atas api, tengkorak putih prajurit
Romawi memancarkan cahaya. Tapi lubang matanya masih tetap
gelap. Lubang mata itu tidak akan menyala hijau sebelum Fieran
melakukan upacara pengorbanan.
Lubang mata itu tidak akan menyala hijau sebelum darah
Brianna mengalir. Fieran mendekati tempat tidur dan menunduk menatap Brianna.
Oh ya, kau memang kuat, Brianna-ku yang cantik, pikirnya. Tapi kau
sama palsunya seperti kemanisanmu. Dan kau harus membayar atas
pengkhianatanmu. Kekuatanmu tidak akan menyelamatkan dirimu
kali ini. Kali ini, kekuatanmu tidak akan cukup kuat.
Akhirnya, aku dapat membalas dendam.
Ia mengenakan amulet di lehernya, dan membungkuk dekat di
atas tubuh istrinya yang tertidur. "Brianna," panggilnya lembut.
"Kekasihku, bangunlah!"
Brianna bergerak mendengar suara Fieran. Ia membuka
matanya. "Fieran, ada apa?" tanyanya. "Ada kejadian apa" Sekarang
belum lagi subuh." Brianna terdengar begitu prihatin. Begitu manis dan tidak
bersalah. Tapi Fieran lebih mengetahuinya. Brianna tidak akan
menipunya iagi. "Tidak ada yang tidak beres," kata Fieran berusaha untuk
meyakinkannya. Ia menjaga agar suaranya tetap pelan dan
menenangkan. "Tapi ada sesuatu yang harus kita lakukan. Kita harus
melakukan upacara khusus, Sayang. Sekarang, sebelum matahari
terbit." "Upacara apa?" tanya Brianna.
"Upacara untuk melengkapi kekuatan," jawab Fieran.
Brianna bergegas duduk. "Kau akan membagi kekuatan kepala itu denganku?" serunya.
Fieran hampir tertawa melihat semangatnya.
Oh, Brianna, pikirnya. Keinginanmu untuk memiliki kekuatan
begitu kuat. Kalau saja keinginanmu pada diriku separo saja dari
keinginanmu untuk memiliki kekuatan. Kita mungkin akan bahagia.
"Tentu saja aku ingin membagi kekuatan kepala itu bersamamu,
Brianna," jawab Fieran. "Kau istriku. Aku ingin membagi segalanya
denganmu." "Oh, Fieran!" Brianna memeluk lehernya.
Fieran bisa merasakan detak jantung Brianna bertambah cepat.
"Ayo," katanya. "Kita harus memulai upacaranya. Sekarang
sudah hampir subuh."
Bersama-sama, Fieran dan Brianna melangkah ke tungku.
Fieran melemparkan segenggam tumbuhan kering ke atas batu bara.
Seketika, lidah api menyambar lebih tinggi. Api itu mengelilingi
kepala Romawi itu. Kepala itu menyeringai di ujung tongkat.
Fieran mengambil amulet dari lehernya. Ia menggantungnya di
kepala Romawi itu. Amulet itu menjuntai ke api. Peraknya berkilaukilau tertimpa cahaya api.
Melihat amulet itu, Fieran mendengar Brianna menahan
napasnya. Kau menginginkannya, bukan, Brianna" Bagus sekali. Terus
saja menginginkannya, Brianna. Biarkan keinginanmu mengaburkan
penilaianmu. Dari sabuknya, Fieran mengeluarkan sebilah pisau bertangkai
hitam. Ia memanterai pisau itu. Lalu menjejalkan matanya ke dalam
api. Erangan pelan terdengar di dalam gua. Lubang mata kepala
Romawi itu memancarkan cahaya kehijauan yang paling samar.
Sekarang Fieran mengeluarkan sebuah cangkir perak. Ia
menuang tiga tetes air ke dalam api. Di tiap tempat airnya jatuh, api
biru kecil pun muncul. Batu-batu biru di amuletnya seketika menyala.
Kemudian Fieran mengambil sehelai bulu hitam panjang.
Sewaktu melihatnya, Brianna mengerang pelan. Bulu itu bulu burung
gagak, burung pertanda sial. Hanya memandangnya saja sudah cukup
untuk mendapatkan kesialan.
"Kau takut, Brianna?" tanya Fieran. "Kau ingin aku
menghentikan ini?" Mata hijau Brianna membelalak. Ia menatap Fieran seakan-akan
belum pernah melihatnya sebelum ini.
"Aku tidak takut," jawabnya.
Tapi Fieran mendengar suaranya agak gemetar.
"Lanjutkan saja upacaranya, Fieran."
Darah berdentum-dentum dalam kepala Fieran saat ia
menjejalkan bulu burung gagak itu ke tengah-tengah api. Begitu
dekat. Aku sudah sangat dekat sekarang.
Bau bulu terbakar yang tajam mengisi gua dan menyengat
cuping hidung Fieran. Ia menahan napas dan mengerjapkan matanya.
Sebuah tiang asap hitam membubung dari bulu burung gagak itu. Di
sekitarnya, tiga buah api biru menari-nari.
Dengan tangan kanannya, Fieran mengambil pisaunya kembali.
Ia mengacungkan tangan kirinya di atas tungku dengan telapak tangan
terbuka. Ia menghela napas dalam.
Tanganku harus mantap. Aku tidak boleh gagal. Tidak
sekarang. Fieran mengembuskan napas melalui hidung dengan cepat. Ia
mengayunkan mata pisaunya ke bawah sekali. Ujung pisau yang panas
mengiris telapaknya. Sakit menyengat di lengan Fieran. Darah dari lukanya menetes
ke api. Lubang mata kepala Romawi itu bercahaya sedikit lebih
terang. Fieran mengepalkan tangannya, memeras darah sebanyak
mungkin. Lalu ia berpaling memandang Brianna.
"Giliranmu sekarang, Brianna," kata Fieran.
Brianna melangkah mendekati tungku. Perlahan-lahan, ia
mengangkat telapaknya. Ia mengacungkannya di atas api, tepat seperti
yang baru saja dilakukan Fieran.
Jantung Fieran berdetak begitu cepat sehingga seluruh
lengannya gemetar. Sekarang! desak hati kecilnya. Lakukan sekarang! Singkirkan
pengkhianat ini. Balaskan dendammu.
Ia mengangkat pisau ke atas telapak tangan Brianna. Lalu
mengayunkannya ke bawah. Tapi ia tidak mengincar telapak tangan
Brianna. Fieran mengayunkan pisaunya langsung ke jantung Brianna
yang tidak terlindungi. Bab 28 "PENGKHIANAT!" jerit Fieran.
Pisaunya menghunjam ke arah Brianna.
"Kau membohongi dan mengkhianatiku. Untuk itu kau harus
mati." Brianna mengangkat lengannya pada detik terakhir,
menghalangi lengan Fieran. Krak! Tulang pergelangan beradu.
Pisaunya berhenti beberapa sentimeter dari dada Brianna.
"Tidak, Fieran," kata Brianna. "Conn benar. Kau memang
bodoh dan lemah. Dan kaulah yang akan mati malam ini."
Fieran melolong murka. Dengan segenap kekuatannya, ia
mencoba untuk menghunjamkan pisaunya. Tapi lengan Brianna tetap
bergeming. Matanya yang hijau cemerlang terpaku ke mata Fieran.
Jangan memandangnya! pikir Fieran. Brianna bisa memanterai
dengan pandangannya. Jangan menatap ke matanya!
Terlambat. Fieran bisa merasakan otot-otot di lengannya mulai
gemetar. Lalu seluruh tubuhnya gemetar. Ia merasa sangat kelelahan.
Ia ingin berbaring dan tidur. Hanya itu yang diinginkannya. Tidur.
Dengan menggunakan kekuatan terakhirnya, Fieran
mengalihkan pandangannya dari Brianna. "Tidak!" katanya dengan
napas terengah-engah. "Aku tidak akan membiarkanmu berbuat begini
padaku, Brianna. Tidak!"
Brianna tertawa. "Kau sama lemahnya dengan bayi. Kau tidak
akan pernah bisa membunuhku, Fieran. Aku terlalu kuat bagimu.
Sejak dulu. Dan selamanya. Kau meremehkanku"sebagaimana
semua orang lainnya."
Dengan satu gerakan tiba-tiba, Brianna menyentakkan
lengannya ke atas. Cengkeraman Fieran pada pisaunya mengendur.
Brianna mengambilnya dengan mudah.
Ia menghunjamkan tangkai pisau ke kepala Fieran. Fieran jatuh
berlutut, pandangannya berkunang-kunang.
"Akan lebih baik kalau kau tidak menantangku, Fieran," kata
Brianna. Fieran menengadah menatapnya. Inilah akhir dari segalanya.
Brianna menghunjamkan pisau itu ke dadanya.
Darah Fieran tersembur dari tubuhnya.
Ia melihat darahnya memancar membentuk lengkungan besar.
Darahnya yang panas membasahi wajah, dada, dan kakinya.
Terlalu banyak darah, pikirnya. Terlalu banyak darah.
Ia menekankan tangannya ke lubang di dadanya. Tapi darahnya
mengalir melalui sela-sela jemarinya.
Brianna, kau sudah membunuhku, pikir Fieran.
Fieran berjuang untuk bangkit berdiri. Aku ingin melihat hutan,
pikirnya. Untuk yang terakhir kalinya.
Tapi kakinya tidak bersedia mematuhi keinginannya. Ia
memaksa diri berlutut, lalu terjatuh ke samping. Ia berbaring tidak
bergerak. Terengah-engah dan tersentak-sentak.
Fieran mengawasi darahnya menebar bagai danau di lantai.
"Perhatikan aku, Fieran," seru Brianna.
Ia meraih amulet peraknya. Amulet itu berputar-putar di
rantainya yang panjang. Batu-batu birunya berubah merah tertimpa
cahaya api. "Kau mengira aku menginginkanmu," kata Brianna. "Sama
seperti Conn mengira aku menginginkannya. Tapi kalian berdua
keliru, Fieran. Kalian berdua orang-orang buta yang tolol."
Fieran merasakan kehidupan mengalir keluar dari dirinya.
Mengalir keluar bersama darahnya.
"Hanya ada satu hal yang kuinginkan. Satu-satunya yang pernah
kuinginkan." "Kekuatan," kata Fieran.
Brianna mengangguk. "Kekuatan adalah satu-satunya yang
layak untuk diinginkan, Fieran."
Dada Fieran terasa sesak. Napasnya tersentak-sentak dan berat.
Tapi ia tidak lagi merasa sakit. Organ-organnya bagai mati rasa,
perasaan yang menenangkan.
Tidak lama lagi aku akan mati, pikir Fieran. Dan Brianna akan
mendapatkan kekuatan yang diinginkannya. Ia akan mendapatkan
amulet itu. Amuletnya! Fieran mengawasi saat Brianna berlutut di sampingnya. Ia
memegang amulet itu dengan tangan kanannya. Ia menekankan
piringan peraknya ke dada Fieran. Darah dari jantung Fieran mengalir
membasahinya. Ia menggunakan darahku untuk membangkitkan kekuatan
amulet itu. Ia membuat aku menjadi korbannya.
Brianna bangkit berdiri dengan sigap dan mengacungkan
amulet itu ke kepala Romawi.
"Darah!" jeritnya dengan suara keras.
Lubang mata kepala Romawi itu bercahaya. Cahaya hijau yang
sangat terang, begitu terang sehingga Fieran mengernyit.
Pembalasan, ia mendengar tengkorak itu berbicara dengan suara
yang menakutkan. Mata Fieran terbuka. Sekarang aku mengerti, pikirnya.
Terlambat, aku mengerti. Ia tertawa menakutkan. Darah menggelegak naik ke
tenggorokannya. Fieran tercekik dan terbatuk-batuk. "Pembalasan,"
katanya, sambil menatap kepala pemimpin Romawi itu. Prajurit hebat
yang telah dibunuhnya. Ayah, kau benar, pikir Fieran. Aku membayar mahal pada
akhirnya. "Pembalasanmu," katanya kepada kepala Romawi itu.
"Pembalasanmu, bukan pembalasanku. Pembalasanmu terhadapku
karena sudah membunuhmu."
Kepala itu membuka rahangnya dan tertawa, suaranya
menggema di dinding-dinding gua Fieran.
Pembalasan, raung kepala itu sekali lagi. Darahmu.
Pembalasanku. "Dan pembalasanku," kata Brianna. "Pembalasanku, karena
selama bertahun-tahun dianggap lemah dan tidak berdaya." Brianna
menjejalkan amulet berlumuran darah itu ke api. Lalu ia menariknya
kembali, masih tetap berasap dan panas, dan mengenakannya di
lehernya. Mata kepala Romawi itu mulai berdenyut-denyut. Brianna
mengangkat tangan ke atas kepalanya.
"Kekuatan," jeritnya. "Aku bisa merasakan kekuatannya,
Fieran. Kekuatan yang akan ada selama-lamanya."
Brianna berlutut di lantai, di samping Fieran. Ia memegang
kepala Fieran. "Maaf kau harus mati dengan cara seperti ini, Fieran."
"Simpan saja kesedihanmu," kata Fieran. "Kesedihanmu tidak
akan berumur panjang. Begitu pula kekuatanmu."
Cengkeraman Brianna bertambah kencang. Jauh di dalam
benaknya, Fieran mengetahui kalau seharusnya cengkeraman itu
menyakitkan. Tapi ia tidak merasakan apa-apa sekarang.
Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa maksudmu?" tanya Brianna.
Fieran menghela napas panjang. Gelembung darah muncul di
sela-sela bibirnya. "Kekuatan itu tidak akan abadi," katanya. "Hanya
seumur hidupmu. Kekuatan itu akan mati bersamamu."
"Tidak!" jerit Brianna. "Kekuatan amulet ini seharusnya abadi."
"Selama keluargaku hidup," kata Fieran. "Tapi kita tidak
memiliki anak, Brianna. Kau sudah membunuhku sdbelum kita bisa
memiliki anak. Jadi sekarang kekuatan amulet itu akan mati
bersamamu." Ia menatap Brianna. Ia ingin menyaksikan kengerian dalam
ekspresi Brianna sebelum mati.
Tapi ekspresi Brianna berubah dari ketakutan menjadi
kemenangan. "Aku tidak akan seyakin itu, Fieran."
Fieran bersusah payah untuk menghirup udara. "Apa
maksudmu?" tanyanya.
"Maksudku aku tengah mengandung anakmu."
Anakku! Fieran hampir-hampir tidak bisa mempercayainya.
Mereka baru menikah semalam.
"Kau tidak mungkin mengetahuinya," katanya. "Sekarang
terlalu awal. Kau tidak mungkin tahu."
"Aku yakin sekali, Fieran."
Melihat kengerian yang terpancar di wajah Fieran, Brianna
tertawa. "Kau kira aku cukup kuat untuk membunuh seorang pria tapi
tidak bisa mengetahui perubahan pada tubuhku sendiri" Kekuatanku
memberitahu bahwa aku sedang hamil. Kekuatanku memberitahu
segala sesuatu yang perlu kuketahui."
Brianna bangkit berdiri dan berjalan ke tungku. Di atas
bahunya, lubang mata kepala Romawi bercahaya.
Dia tidak mungkin tahu pasti, pikir Fieran, sambil menatap
Brianna. Tidak mungkin benar.
Tapi ia teringat betapa kuatnya Brianna, sekalipun tanpa
amuletnya. Dan dalam hatinya, ia tahu bahwa kata-kata Brianna benar.
"Anak ini laki-laki, Fieran," lanjut Brianna. "Dia tidak akan
pernah mengenalmu. Tapi akan kupastikan kalau kau tidak dilupakan.
Akan kuberi nama anak ini seperti namamu. Nama dan kekuatannya
akan hidup selamanya."
"Brianna," pinta Fieran. "Brianna, jangan."
"Akan kuberi nama anak kita ini Fier, Fieran. Dia akan menjadi
yang pertama dari garis keturunan yang akan berlangsung beratusratus tahun."
"Jangan lakukan, Brianna. Kuminta kepadamu," kata Fieran.
Brianna menggeleng. "Sudah terlambat untuk menyesalinya,
Fieran. Keluarga kita, keluargamu, akan hidup selamanya. Dan begitu
juga kekuatan yang sudah kauciptakan."
Dominatio per malum. Kekuasaan melalui kejahatan.
Kutukan, pikir Fieran. Aku sudah mendatangkan kutukan yang
mengerikan atas keluargaku. Dan amulet itu merupakan tandanya.
Tanda kejahatan yang sudah kubebaskan ke dalam dunia ini.
Ke dalam keluargaku sendiri.
Aku tidak bisa menghentikannya, pikirnya. Tapi aku menyesal.
Menyesal bahwa aku sudah menghadirkan amulet perak itu ke
dalam dunia ini. Lambang kegelapan. Bab 29 Dunia Baru Massachusetts Bay Colony,
1679 "AMULET Fier!" jerit Matthew. "Warisan keluargaku. Ada
padamu selama ini!" "Matthew!" seru Christina, ngeri melihat ekspresi asing di
wajah Matthew. "Kau harus percaya padaku. Aku tidak
mengetahuinya." Matthew melangkah mendekati Christina. Tapi Emily
menyodok perutnya dengan siku dan mendorongnya pergi.
"Cantik. Cantik. Harus menjadi milikku!" Emily menerjang ke
arah Christina. Tangannya yang keriput terulur ke arah amulet perak
itu. Amulet itu terasa bertambah hangat di sekeliling tenggorokan
Christina. Tidak, pikirnya. Oh, tidak. Terjadi lagi!
"Lari!" jerit Christina. Tapi terlambat.
Ia mencoba untuk menanggalkan amulet itu. Tapi ia tidak bisa
bergerak. Lilin di meja meledak. Percikan bunga api menghujani lantai.
Lanti kayu kering. Api menjalar dengan cepat di lantai. Lidah-lidahnya melonjaklonjak semakin lama semakin tinggi. Melalap dinding dan langitlangit. Api melesat bagai kilat menyambar gaun Emily. Emily
menjerit. Ia mengulurkan tangan untuk merobek kain yang terbakar
dari tubuhnya. Api melompat ke tangannya.
Api itu menjalar dengan cepat menyusuri lengan Emily. Naik ke
bahunya. Naik ke lehernya.
Emily menggeleng-gelengkan kepalanya. Ujung-ujung rambut
pirangnya yang panjang menyentuh api"dan seluruh kepalanya
tersulut. Onggokan-onggokan rambut yang terbakar terbang ke arah
Christina. Bara panasnya membakar dirinya.
"Ibu! Ibu, tidak!" jerit Mistress Peterson. Ia menerjang ke arah
Emily, berusaha untuk memadamkan api dengan tubuhnya.
Tapi api menyala terlalu panas. Rok tebal Mistress Peterson
menyala bagaikan suluh. "Ibu!" jeritnya sekali lagi.
Lalu Christina tidak mendengar apa pun kecuali raungan api.
Mereka sudah mati. Mereka berdua sudah mati!
Tiba-tiba Christina bisa bergerak lagi.
"Matthew!" jerit Christina. "Tolong aku!" Ia tidak bisa melihat
Matthew. Asap dalam ruangan terlalu tebal.
"Aku di sini," seru Matthew. Tapi Christina masih tetap tidak
bisa melihatnya. Sebuah dinding api membelah ruangan menjadi dua. Ia berdiri
di satu sisi. Matthew di sisi yang lain.
"Matthew!" panggil Christina sekali lagi
Kraaaak! Langit-langit di atas Christina terbelah lebar. Salah satu balok
penopangnya jatuh. Menjepit Christina di bawahnya.
"Matthew, kau di mana?" teriak Christina.
Matthew menerobos api. Ia melilitkan mantelnya ke sekeliling
kepalanya untuk melindungi diri dari api.
"Di sebelah sini!" teriak Christina. "Aku terjebak."
Matthew melesat ke sisinya.
"Matthew! Terima kasih Tuhan!" seru Christina. "Apinya ada di
mana-mana dan aku tidak bisa bergerak."
Matthew mengulurkan tangan.
Christina juga mengulurkan tangannya.
Matthew meraih amulet peraknya. Ia menariknya dari leher
Christina. "Ini warisan keluargaku! Ada padamu selama ini!"
Ia hanya peduli dengan amuletnya, pikir Christina dengan
ketakutan yang tiba-tiba muncul. Ia sama sekali tidak memedulikan
diriku. "Matthew," kata Christina. "Percayalah padaku. Aku tidak
mengetahuinya. Aku tidak akan menyimpan amulet itu kalau tahu itu
milikmu. Aku bersedia memberikan apa saja kepadamu, Matthew.
Aku mencintaimu." Matthew memegang amulet itu dengan dua tangan. Lalu
menunduk memandang Christina, ekspresinya tertegun.
"Cinta," ulangitya. "Kukira aku mencintaimu. Sungguh. Tapi
sekarang aku mengetahui kebenarannya. Aku merasakan panggilan
amulet ini"bukan cinta."
Matthew menggeleng. "Aku tidak mencintaimu. Aku tidak
pernah mencintaimu sama sekali."
Dia akan meninggalkanku, Christina sadar. Dia akan
meninggalkanku di sini. "Matthew!" jeritnya. "Jangan begitu! Jangan! Jangan biarkan
aku mati di sini." Matthew mengenakan amulet itu. Lalu ia berbalik ke pintu.
"Matthew," panggil Christina sekali lagi. Tapi suaranya
tenggelam oleh raungan langit-langit di atas kepalanya.
Bunga api menghujaninya dari langit-langit, bagaikan bintang
jatuh. Lidah api menjilati balok-balok penopang yang masih tersisa.
Tapi Matthew sama sekali tidak peduli. Ia melangkah melewati
dinding api. "Aku mendapatkan amuletnya!" jeritnya, suaranya
gembira. "Amulet Fier milikku!"
Bab 30 CHRISTINA tersentak dan tercekik. Asap memenuhi ruangan.
Ia membutuhkan udara. Ia membutuhkan udara segar untuk
bernapas. Untuk tetap hidup.
Sepotong kayu menyala terlontar ke arahnya dari langit-langit.
Christina berusaha berguling menghindarinya. Berusaha untuk
menjauhkan api dari rambutnya. Tapi kakinya terjebak di bawah
balok. Brak! Potongan kayu itu menghantam lantai beberapa
sentimeter di atas kepala Christina.
Aku tidak akan membiarkan ini terjadi! pikirnya. Aku tidak
akan mati di sini! Christina menjejakkan kakinya ke balok. Kayu berasap itu
berderit. Ia merasakan baloknya bergerak---sedikt.
Sakit menjalar di kakinya. Kakiku! Bagaimana kalau patah"
Jangan dipikirkan, kata Christina pada dirinya sendiri. Pusatkan
perhatian untuk menggerakkan baloknya. Pusatkan perhatian untuk
keluar dari sini. Christina berjuang untuk duduk tegak. Lalu ia mencengkeram
balok itu dengan dua tangan. Ia tersentak saat kayu panas membakar
telapak tangannya. Ia mendorong balok itu sekuat tenaga. Semua
ototnya bekerja. Balok itu berguling sekali. Lalu berguling lagi.
Christina menyentakkan kakinya dari bawah balok.
Berhasil! Aku bebas! Christina merangkak. Ia menjerit saat darah kembali mengaliri
kakinya. Tapi ia berjuang untuk bangkit berdiri.
Api meraung-raung di sekitarnya sekarang. Aku benar-benar
terkepung, pikirnya. Christina menanggalkan mantelnya. Ia melilitkan
mantel itu di kepalanya. Lalu ia lari. Lari dengan segenap kekuatan yang masih tersisa
dalam dirinya. Lari melintasi api yang menjulang.
Lidah api menghajar wajah Christina. Bahkan dari balik
mantelnya, ia bisa merasakan api menghanguskan rambutnya.
Keringat mengalir membasahi wajahnya. Menyengat kulitnya
yang terbakar. Christina menerobos dinding api. Ia mendengar langit-langit di
belakangnya runtuh. Ia menyentakkan pintu depan rumah keluarga Peterson.
Mantelnya terbakar bagai bola api. Ia membuangnya dan melesat ke
halaman. Matthew Fier berderap melewatinya di atas Thunder.
Matthew tidak berpaling memandangnya.
Christina jatuh berlutut di halaman depan keluarga Peterson.
Oh, Matthew, pikir Christina. Kau benar. Aku sekarang mengerti kau
mencintai warisan keluargamu, kau meng inginkannya lebih dari apa
pun. Tapi kau tidak pernah menginginkanku kau tidak pernah
mencintaiku! Piringan itu merupakan tanda kehidupan yang telah dipilih
Matthew, pikirnya. Tanda akan masa depan Matthew kelak. Ia
menggigil, sekalipun api di belakangnya sangat panas.
Christina teringat kata-kata yang terukir di bagian belakang
amulet itu. Dominatio per malum. Kekuasaan melalui kejahatan.
Kata-kata itu kutukan, pikirnya.
Oh, Matthew, apa yang sudah kaulakukan" Sekarang kau tidak
akan pernah mengenal kebahagiaan. Sekarang kau tidak akan pernah
mengenal cinta. Kau sudah menjual jiwamu untuk mendapatkan kekuatan"dan
seumur hidup penuh kejahatan.
Aku mencintaimu, Matthew. Kita bisa membangun kehidupan
bersama. Tapi kau memilih jalan yang lain.
Kau memilih lambang kegelapan.END
Dewi Maut 12 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 Karya Marshall Raja Silat 27
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama