Ceritasilat Novel Online

Selubung Kegelapan 3

Fear Street - Sagas V Selubung Kegelapan The Hidden Evil Bagian 3


Mr. Malbourne mondar-mandir dalam ruangan itu. Ia mencabut
sebuah buku dari rak, lalu mengembalikannya. Lalu ia mengempaskan
diri di kursi. Menggosok-gosok wajahnya dengan kedua tangan.
Kemudian ia menengadah seakan-akan baru teringat pada
kehadiran Maggie. "Miss Thomas"aku minta maaf karena tidak
berada di tempat sejak kedatanganmu. Kurasa kau sudah berada di sini
cukup lama untuk mengetahui bahwa Tanglewood..."
Suara Mr. Malbourne yang berat mengingatkan Maggie akan
nada rendah organ. Menghipnotis.
Mr. Malbourne tidak melanjutkan kata-katanya. Ia menyisir
rambutnya yang tebal dengan jemarinya. "Aku tidak berhak untuk
membawamu ke rumah seperti ini, seorang wanita muda cantik seperti
dirimu." Cantik" Kata itu membuat Maggie menggigil.
Ia pernah mengalami saat-saat indah ketika tak ada satu hari
pun yang berlalu tanpa kehadiran seorang pemuda yang mengatakan
bahwa ia cantik"atau memujinya dengan cara yang lebih rumit lagi.
Tapi begitu banyak yang sudah terjadi sejak saat itu. Sangat
banyak. "Aku"senang"dengan pekerjaannya," kata Maggie.
"Bukannya bermaksud untuk kurang ajar, tapi aku belum
pernah melihat warna rambut seperti rambutmu," lanjut Mr.
Malbourne pelan. "Warnanya mirip api."
"Apa benar?" Maggie tertawa dan terus tertawa, tidak mampu
menghentikannya. Aku kedengaran bodoh dan sinting, katanya pada
diri sendiri. Tapi Mr. Malbourne turut tertawa bersamanya. "Sudah lama tak
terdengar. Tawa di Tanglewood," katanya sambil menggeleng. "Well,
well. Tapi kau pasti menganggapku sangat aneh. Kita bertemu tengah
malam dan tiba-tiba aku membicarakan rambutmu."
"Sama sekali tidak!"
Lolongan pelan yang memilukan terdengar mengisi ruangan.
Tubuh Mr. Malbourne mengejang.
Andrew yang malang, pikir Maggie. Ia pasti ada di kamar
menara lagi, menangis dan menangis. Maggie teringat pada janjinya
untuk tidak memberitahu ayah Andrew bahwa ia telah menemukan
anak itu di sana. "Angin mengembus melalui jendela menara menimbulkan suara
yang mengerikan, bukan?" kata Maggie. "Biar aku ke atas dan
menutupnya sebelum tidur."
Mr. Malbourne menyambar lengannya, jemarinya menancap ke
kulit Maggie yang halus. Pria itu memelototinya, mata birunya
sedingin es. "Jangan pernah ke sana." Ia mengguncang Maggie. "Jangan
pernah, kau dengar?"
Bab 18 MR. MALBOURNE melepaskan cengkeramannya. "Selamat
malam, Miss Thomas," katanya dengan suara serak. "Kita lanjutkan
pembicaraan besok pagi."
Maggie berbalik tanpa mengatakan apa-apa dan bergegas
menaiki tangga ke kamarnya. Ia mengunci pintu di belakangnya dan
menyandar ke sana, jantungnya berdetak cepat.
Kenapa Mr. Malbourne melarangnya ke kamar menara" Kenapa
dia menjadi begitu dingin dan marah"
Mungkin kamar tempat istrinya meninggal merupakan tempat
yang ingin dijaganya. Mr. Malbourne tak ingin kamar itu diganggu,
pikir Maggie. Andrew berkata bahwa ayahnya melarangnya ke
menara"dan dia telah meminta Maggie untuk tidak memberitahu
ayahnya. Tapi Maggie tidak yakin. Ada begitu banyak rahasia di rumah
ini, pikirnya. Bagaimana aku bisa tetap berada di sini tanpa
mengetahui kebenaran tentang Tanglewood"
Maggie mendesah. Ia menyeberang ke tempat cuci dan
menuang air ke baskom. Ia membersihkan tanah dari tangan, wajah,
dan kakinya sebisa mungkin. Lalu ia berganti pakaian dengan gaun
tidur baru dan menebar seprai baru di ranjangnya.
Pikiran untuk tidur di tempat bangkai Charcoal yang malang
dan berlumuran darah tadi tergeletak membuat Maggie mual. Jangan
jadi pengecut, kata Maggie pada dirinya sendiri. Lama ia menatap
ranjangnya, lalu naik ke sana dan memaksa dirinya tidur.
************* Keesokan paginya, Maggie mengatur rambutnya berulang-ulang
dalam berbagai tatanan. Kau menunda-nunda waktu untuk turun ke
bawah, katanya memarahi dirinya sendiri.
Bagaimana sikap Mr. Malbourne padanya setelah pertemuan
mereka yang aneh semalam" Apa dia akan bersikap kasar dan dingin"
Atau memujinya" Perut Maggie terasa mulas. Ia merasa gugup untuk
bertemu lagi dengan majikannya.
Well, tiba terlambat untuk sarapan tidak akan memecahkan apa
pun, pikirnya. Ia menghaluskan rok panjang biru tuanya dan menuju
ke ruang makan. "Ah, kau turun juga," kata Koki sambil berjalan melewati
ambang pintu. "Mr. Malbourne sudah kembali. Dia meminta anakanak sarapan di ruang perawatan, agar kalian berdua bisa
membicarakan kemajuan mereka tanpa terganggu."
"Terima kasih," kata Maggie.
Ia duduk, merasa lebih gugup daripada sebelumnya. Beberapa
menit kemudian, Mr. Malbourne memasuki ruangan. Ia duduk di
bagian kepala meja yang berpelitur itu. Koki dan Mary menyajikan
telur, sosis, dan biskuit panas. Lalu mereka kembali ke dapur.
"Miss Thomas, aku harus minta maaf padamu," kata Mr.
Malbourne tiba-tiba begitu Koki dan Mary telah meninggalkan
ruangan. "Aku bereaksi terlalu keras sewaktu kau berkata mau naik ke
menara. Masalahnya... tangganya sudah tua dan rapuh." Ia menunduk
memandang meja. "Aku tidak ingin kau terluka."
"Aku mengerti," kata Maggie. Apa yang dikatakan Mr.
Malbourne masuk akal. Tapi entah bagaimana Maggie merasa pria itu
tidak jujur. Apa ada alasan lain sehingga majikannya tak ingin ia naik
ke menara" "Kau juga harus menjauhkan anak-anak dari sana."
"Tentu saja," kata Maggie. "Tapi ada sesuatu yang harus
kukatakan mengenai menaranya," lanjutnya. "Baik Garret dan Andrew
merasa bahwa... merasa bahwa roh ibu mereka ada dalam kamar itu."
"Itu tidak masuk akal!" seru Mr. Malbourne. "Kukira aku
mempekerjakan pengurus anak yang rasional. Bukan tikus kecil yang
mudah untuk ditakut-takuti!"
"Aku tidak mempercayai cerita anak-anak itu! Dan aku tidak
takut!" balas Maggie, kemarahannya memuncak. "Tapi kukira
sebaiknya Anda tahu. Andrew menangis setiap malam dan masih
bercakap-cakap dengan ibunya. Garret mengira ibunya bisa melihat
dan mendengar segala sesuatunya."
Maggie beradu pandang dengan Mr. Malbourne. "Aku tidak
percaya hantu, Sir," katanya tegas. "Tapi ada kejadian-kejadian
mengerikan yang berlangsung di sini. Hal-hal yang harus kita
bicarakan." "Kalau kau ingin pergi...," kata Mr. Malbourne memulai.
Koki masuk sambil membawa hidangan di baki. Lalu bergegas
berbalik dan keluar. "Aku tidak ingin pergi," kata Maggie. "Tapi Anda harus
menjelaskan mengapa Anda mempekerjakan tiga pengasuh anak
dalam waktu kurang dari setahun. Putra Anda Garret memberitahuku
bahwa dia sudah membunuh mereka semua. Aku tidak bisa
mempercayainya" sekalipun aku takut dia yang membunuh
Charcoal. Dia menggorok hewan malang itu dan meninggalkannya di
ranjangku." "Garret tidak akan pernah berbuat begitu. Tidak akan!" kata Mr.
Malbourne. Maggie bisa mendengar suaranya sendiri bertambah keras. Tapi
ia tidak bisa berhenti. "Well, ada yang melakukannya. Darah mengotori seprainya.
Darah yang basah dan merah. Jari-jariku juga terkena. Kakiku. Gaun
tidurku." Ia mulai gemetar. "Dan ada suratnya. Surat yang mengatakan
'kucing mati karena penasaran.'"
Mr. Malbourne melompat bangkit. Ia mondar-mandir di dekat
meja dan duduk di kursi di samping Maggie. Ekspresinya melembut.
"Itu cukup untuk menakut-nakuti siapa saja."
Keramahan dalam suaranya mengejutkan Maggie. Ia menatap
mata biru Mr. Malbourne, dan merasa sebagian ketakutannya
menguap. "Aku sangat menyesal, Sir," katanya. "Aku tidak mengira akan
kehilangan kendali seperti itu. Tapi sangat sulit unhik mengatasi..."
Mr. Malbourne tidak mengizinkan Maggie menyelesaikan katakatanya. "Tentu saja sulit," gumamnya. "Tapi kita akan menemukan
cara untuk membereskan semuanya."
Kelegaan membanjiri Maggie. Lalu ia merasa tengah diawasi.
Ia berpaling"dan melihat Garret serta Andrew tengah menatapnya.
Wajah Maggie bagai terbakar karena tertangkap basah duduk begitu
dekat dengan ayah mereka.
"Hari yang indah, anak-anak," kata Mr. Malbourne.
Maggie sadar bahwa Mr. Malbourne sama sekali tidak merasa
malu. "Kupikir kita bertiga dan Miss Thomas sebaiknya berkuda.
Mungkin Koki bisa menyiapkan hidangan piknik untuk kita."
"Tapi Miss Thomas tidak memiliki kuda," kata Andrew
mengingatkan ayahnya. "Dia bisa menggunakan Fancy," kata Mr. Malbourne.
"Tapi Fancy itu kuda Ibu," kata Andrew pelan, pandangannya
terarah ke tanah. Mr. Malbourne mengulurkan tangan dan mengangkat dagu
Andrew, memaksa anak itu membalas tatapannya. "Ibumu tidak akan
keberatan," katanya lembut.
"Ya, dia akan keberatan!" seru Garret. "Dia akan melihatnya.
Dan dia akan membencinya. Kau tahu itu, Ayah!"
"Cukup, Garret," kata Mr. Malbourne tegas. "Ibu kalian sudah
meninggal. Siapa yang menunggang kudanya tidak lagi penting
baginya." Maggie mengamati wajah anak-anak itu. Mereka tidak
mempercayai kata-kata ayah mereka, pikirnya. Mereka tidak
mempercayainya. Mr. Malbourne mengangkat bahu. "Kalian tidak perlu ikut,"
katanya kepada Garret dan Andrew. "Tapi Miss Thomas dan aku akan
pergi." Kedua anak itu membisu. "Baiklah." Mr. Malbourne berpaling kepada Maggie. "Ada
beberapa hal yang harus kubereskan. Kau bisa menemuiku di istal
pukul 11.00?" Maggie mengangguk. "Kurasa sebaiknya kubawakan Fancy
beberapa potong gula dan memperkenalkan diri," katanya, sambil
berusaha agar suaranya terdengar riang. "Kalian mau ikut, Anakanak?"
Garret berbalik dan berlari keluar ruangan. Andrew berlari
mengejarnya. "Sampai bertemu di istal," kata Mr. Malbourne. Ia berjalan
keluar ruangan mengikuti anak-anaknya.
Maggie mendesah. Alasan lain bagi Garret sehingga
menginginkan diriku pergi dari Tanglewood, pikirnya. Bahkan
Andrew jelas tidak setuju.
Ia mengambil beberapa potong gula dari mangkuknya dan
berjalan ke istal. Ia mengangkat balok kayu berat, membuka pintu
istal, dan memasuki bangunan yang gelap itu.
Kuda-kuda mendengus dan meringkik saat ia mendekat. Maggie
menghela napas panjang sambil berjalan kandang Fancy. Ia menyukai
bau jerami di sana. "Ini, girl," katanya membujuk. "Manisan untuk yang manis." Ia
tertawa saat kuda itu mengendus tangannya.
Maggie membungkuk mendekatkan keningnya ke hidung kuda
dan mengelus-elus leher panjang kuda itu. "Anak-anak tidak ingin aku
menunggangimu," kata Maggie. "Apa mereka mengira aku hendak
mengambil tempat ibu mereka?"
Apa memang begitu" pikir Maggie tiba-tiba. Ia menengadah.
Jelas tadinya ia tidak bermaksud begitu. Hingga bertemu
dengan Mr. Malbourne. Ia langsung tertarik kepada pria itu. Tertarik
pada sorot mata birunya. Dan sewaktu Mr. Malbourne menyentuhnya... Maggie nyaris
tak bisa menjelaskan sensasi yang membanjiri tubuhnya. Perasaan
yang belum pernah dialaminya bersama para pemuda di New York.
Tapi Mr. Malbourne memang tidak sama dengan para pemuda
di New York. Maggie merasa jauh lebih aman sesudah Mr. Malbourne
kembali ke Tanglewood. Dia berkata dia akan membereskan
segalanya, dan dia akan melakukannya, pikir Maggie.
Kedua ekor kuda penarik kereta mulai mengentak-entakkan
kaki mereka. Lalu kuda poni Andrew meringkik panjang.
Tiba-tiba Fancy gemetar. Matanya berbalik hingga Maggie bisa
melihat bagian putihnya. "Ada apa, girl?" jeritnya. Ia mengitari istal. Tampaknya tidak
ada yang tidak beres. Lalu Maggie mencium bau asap.
Mendengar derakan jerami terbakar.
Kebakaran! Fancy mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Kedua
kuku depannya yang besar mencakari udara. Kuda itu meringkik
ketakutan. Keluarkan kuda-kudanya! perintah Maggie pada dirinya sendiri.
Itu yang harus dilakukan lebih dulu. Ia membuka selot istal Fancy.
Kuda itu berderap melewatinya"hampir-hampir mendorong Maggie
ke tanah. Mata Maggie terasa terbakar saat asapnya menyebar. Semakin
lama semakin tebal dan gelap. Ia melepaskan kuda-kuda poni anakanak dan pindah ke kuda penarik kereta.
Sebelum sempat melepaskan mereka, Maggie mulai tercekik. Ia
terbatuk-batuk keras, tubuhnya terguncang-guncang dan terasa sakit.
Ia membungkuk ke depan, mencoba untuk menarik napas perlahanlahan tapi mantap.
Lalu ia menegakkan tubuh dan membuka pintu istal. Tinggal
tiga lagi. Maggie memaksa diri untuk terus berjalan.
Selesai! Ia berjuang untuk menuju ke pintu istal. Menerobos
kuda-kuda yang ketakutan. Ia bisa merasakan napas mereka yang
panas. Mendengar ringkikan mereka.
Ia menyentakkan pintunya. Pintu itu tidak mau membuka.
Salah seekor kuda penarik kereta mengangkat kaki depan ke
atas Maggie. Kuku-kukunya yang besar berada tepat di atas
kepalanya. Maggie mundur. Ia terhuyung. Dan jatuh ke tanah.
Ia menatap kuda-kuda yang ketakutan itu. Mereka akan
menginjak-injakku! Bab 19 MAGGIE meringkuk bagai bola. Ia bisa melihat kuku-kuku
kuda yang kuat menghunjam tanah di sekitarnya.
Bunga api dari atap istal menghujani mereka. Kuda-kuda
mengempaskan diri mereka ke pintu yang terkunci. Meringkik dan
saling menggigit.

Fear Street - Sagas V Selubung Kegelapan The Hidden Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Salah satu kaki kuda itu menghunjam bahu Maggie. Pahanya.
Maggie menutupi kepala dengan tangannya.
Bau jerami dan kayu terbakar makin lama makin kuat. Bintikbintik putih bagai meledak di depan mata Maggie. Tak lama lagi api
akan mencapainya. Blam! Blam! Pintu istal tersentak membuka.
Tanah di bawah Maggie bergetar saat kuda-kuda itu
menghambur keluar. Dua tangan yang kuat mengangkatnya ke udara.
Seseorang memondongnya keluar istal.
Mr. Malbourne. Ia meletakkan Maggie dengan lembut.
"Maggie, kau baik-baik saja?"
"Ya, ya, kurasa begitu." Suara Maggie berat dan serak.
George Squires berlari melewati mereka sambil membawa
seember air. "Pergilah ke dalam rumah," kata Mr. Malbourne.
"Aku mau membantu," kata Maggie.
"Tidak! Masuk, Maggie! Kumohon! Sekarang!"
Maggie mematuhinya. Ia menunggu seorang diri di ruang tamu
yang luas. Akhirnya, Mr. Malbourne kembali. Jelaga mengotori
pipinya. "Api berhasil dipadamkan," katanya. "Tapi istalnya hancur."
Ia mengempaskan diri di sebuah bangku kayu panjang, dan
Maggie duduk di sampingnya.
"Kau yakin kau baik-baik saja?" tanya Mr. Malbourne.
Maggie menangkupkan tangan di pangkuannya dan menatapnya
sesaat. Mencoba memutuskan apa yang ingin dikatakannya kepada
majikannya. Tubuhnya terasa tak keruan. Paru-parunya terasa sakit
akibat asap. "Aku tidak terluka," kata Maggie kepada majikannya. Lalu ia
menatap Mr. Malbourne. "Tapi aku ketakutan. Sangat ketakutan. Ada
yang mencoba untuk membunuhku. Ada yang menghalangi pintu istal
dari luar. Pasti Garret. Dia..."
"Tidak!" Mr. Malbourne melompat bangkit. "Tidak! Ada
penjelasan untuk semua yang sudah terjadi. Tapi tidak melibatkan
putraku. Tidak bisa. Mereka masih anak-anak."
Mr. Malbourne memelototi Maggie. Tiba-tiba ia sadar bahwa ia
sudah berteriak. Ia kembali duduk. "Maaf," katanya. "Rasanya aku
sering minta maaf kepadamu," katanya sambil tersenyum lelah.
"A-aku tidak tahu apa yang Anda harapkan dariku, Mr.
Malbourne," kata Maggie. "Aku ingin terus menjaga anak-anak,
tapi..." "Kau harus memberiku waktu," kata Mr. Malbourne. "Aku
harus pergi malam ini."
Maggie tersentak. Ia berharap majikannya tidak menyadari
kekagetannya. "Aku akan kembali besok malam. Beri aku waktu sampai saat
itu, dan kita akan mulai meluruskan segalanya," janji Mr. Malbourne.
"Bahkan kalau kita semua harus meninggalkan Tanglewood."
Apa aku bisa melakukannya" Maggie penasaran. Apa aku bisa
menghadapi semalam lagi di Tanglewood, terutama sekarang sesudah
aku tahu sekejam apa Garret bisa bertindak"
"Biar Koki memberitahu Mary untuk menemanimu tidur," kata
Mr. Malbourne. "Kau akan baik-baik saja. Aku berjanji."
************** "Well, selamat tinggal, Miss Thomas," kata Mr. Malbourne
malam harinya. Lalu ia ragu-ragu. Ia memandang ke keretanya
sekilas. George Squires duduk di kursi kusir, menatap lurus ke depan.
Mr. Malbourne melangkah mendekati Maggie, tatapannya
beralih dari mata Maggie ke bibirnya.
Apa dia akan menciumku" pikir Maggie. Ia sadar bahwa ia
menginginkannya. Jangan bodoh, katanya pada diri sendiri. Kau hanyalah
pengasuh anak-anaknya. Mr. Malbourne menggeleng. "Selamat tinggal," katanya sekali
lagi. Lalu ia bergegas naik kereta. Roda-rodanya berputar saat George
Squires menjalankan kereta itu.
Maggie mengawasi kereta itu hingga hilang dari pandangan,
tertelan kegelapan. Dan perasaan itu kembali. Perasaan bahwa dirinya tengah
diawasi. "Maggie... bahaya..." ia mendengar seseorang berbisik.
Ia berbalik dan menatap menara.
Jendelanya tampak gelap dan kosong.
Tentu saja kosong, kata Maggie sendiri. Satu-satunya bahaya di
Tanglewood hanyalah Garret. Aku akan meyakinkan ayahnya bahwa
dia memerlukan perawatan khusus.
Ia memutuskan untuk tidak segera masuk ke dalam tapi justru
berjalan-jalan di taman. Cahaya bulan yang terang benderang
membuatnya bisa melihat jalan dengan mudah. Ia mengitari rumah,
dan melihat sumur tua itu.
Maggie teringat akan reaksi aneh Andrew terhadap sumur itu"
di hari pertama itu, sewaktu anak itu mengajaknya mengelilingi lahan
ini. Dan ia belum pernah mengamati sumur itu lebih teliti.
Maggie bergegas mendekatinya. Sewaktu ia dan Andrew
bermain-main di luar, anak itu tidak pernah mengizinkannya
mendekati sumur itu. Kenapa" Mereka telah menjelajahi setiap
sentimeter lahan ini. Rahasia yang lain, pikir Maggie.
Ia tiba di dekat sumur. Sebuah tutup batu yang berat ada di
atasnya. Maggie harus berjuang keras untuk menyingkirkan tutup itu.
Ia menunduk menatap ke air yang kehitaman. Hingga ke
dasarnya. Apa itu" Ada sesuatu yang mengilat di sebuah retakan pada dinding
sumur. Maggie mencondongkan tubuhnya ke depan, berusaha meraih
sejauh mungkin ke dalam sumur.
Airnya begitu dingin hingga terasa mengiris kulitnya.
Sedikit lagi dan aku bisa meraihnya, pikirnya. Maggie
menjulurkan kepalanya semakin dalam ke sumur dan mengulurkan
tangannya. Ia harus melihat benda apa itu.
Ia menggeram karena berusaha keras, lalu memejamkan mata.
Kemudian ia merasakan sesuatu yang keras. Maggie mencengkeram
benda itu. Dapat! Ia berjuang untuk mengangkat dirinya kembali. Mendorong
dirinya pada dinding sumur yang kasar.
Dua tangan kecil menghantam punggungnya. Mendorongnya
dengan keras. Ia jatuh! Jatuh dengan kepala terlebih dulu ke dalam sumur!
Bab 20 PERMUKAAN yang gelap mengilat itu bagai menyambut
Maggie. Byur! Kepalanya menghantam air yang dingin dan berminyak
itu. Air memenuhi hidung dan mulutnya.
Roknya yang panjang terkait bebatuan sumur yang kasar,
sehingga tidak seluruh tubuhnya masuk air. Kakinya bergoyanggoyang di udara. Tapi ia tidak bisa mengeluarkan kepalanya dari air.
Ia tak bisa bernapas. Jantung Maggie berdebar keras. Kedengarannya begitu keras,
berdetak menghantam dalam kepalanya. Paru-parunya terasa sakit.
Ia mencakar-cakar dinding sumur, berusaha mendorong dirinya
keluar. Salah satu kuku jarinya terjepit retakan dan tercabut.
Maggie menendang-nendang dan berjuang hingga akhirnya
kepalanya bisa keluar dari air. Ia menghirup napas sedalam-dalamnya,
terbatuk-batuk dan tercekik. Lututnya menghantam dinding sumur,
dan jemari kakinya menyentuh lumpur di dasarnya. Ia menggunakan
kakinya untuk mengangkat diri keluar dari sumur.
Sambil terengah-engah, ia berputar dengan pandangan liar.
Mencoba menemukan orang yang telah mendorongnya.
Tidak ada orang di sana. Mungkin aku terpeleset, pikirnya. Tapi ia tidak bisa
meyakinkan dirinya sendiri. Ia masih bisa merasakan adanya tangan di
punggungnya, mendorongnya. Tangan-tangan kecil seorang anak.
Garret. Maggie mulai mengeringkan rambutnya" dan menyadari
bahwa tangan kanannya meng-genggam sesuatu.
Benda mengilat itu! Alasan mengapa ia menjulur tubuhnya
masuk ke dalam sumur! Perlahan-lahan, ia membuka jemarinya.
Benda itu sebuah cincin. Sebuah cincin yang mirip dengan cincin yang dikenakan
Andrew. Hanya saja inisial yang terukir cincin bermata batu mirah itu
berbeda. G.M. "Garret!" bisik Maggie.
Andrew sangat takut pada tempat ini. Dan sekarang aku
menemukan cincin Garret dalam sumur. Apa yang terjadi di sini"
Apakah Garret berusaha mendorong Andrew ke dalam sumur"seperti
yang dilakukannya padaku"
Sudah waktunya untuk bicara dengan Garret, pikir Maggie
mengambil keputusan. Ia mengangkat gaunnya dengan kedua tangan
dan berlari mengitari rumah, menuju ke pintu depan. Ia bergegas
menaiki tangga utama" dan mendapati Andrew tengah duduk di
puncak tangga. "Andrew!" seru Maggie. "Kukira kau sudah tidur berjam-jam
yang lalu!" "Aku mimpi buruk," kata Andrew. "Aku mencarimu"tapi kau
tidak ada." "Maaf. Aku jalan-jalan di kebun," kata Maggie kepadanya.
"Kenapa kau basah kuyup?" tanya Andrew.
"Aku... aku jatuh ke sumur. Bodoh, bukan?" tanya Maggie. Ia
berharap Andrew tidak melihat kejengkelan yang tengah
dirasakannya. Wajah Andrew memucat. "Kau jatuh" Bagaimana kau bisa
jatuh" Tidak masuk akal."
"Mudah untuk dijelaskan, sebenarnya," Maggie berusaha untuk
menenangkannya. "Aku mengintip ke dalam sumur dan melihat ada
sesuatu yang mengilat di sana. Aku berusaha mengambilnya"dan
mencondongkan tubuh terlalu jauh. Aku jatuh, tapi bisa keluar lagi.
"Dan aku menemukan ini," tambahnya. Maggie menunjukkan
cincin itu kepada Andrew, penasaran ingin tahu reaksi anak itu.
Mata Andrew membelalak ketakutan.
"Ada apa, Andrew?" desak Maggie. "Ini hanya cincin Garret."
Andrew mengerang pelan. Maggie merasa perutnya mengejang. Tapi ia harus mengetahui
kebenarannya. "Ada yang terjadi di sumur, bukan?" tanya Maggie. "Kau bisa
memberitahuku." "Di sana dia membunuhnya. Di sana Garret membunuh ibu
kami!" jerit Andrew.
Bab 21 "APA" Oh, Andrew! Apa yang terjadi?" seru Maggie.
"Dia sangat marah kepada Ibu," kata Andrew sambil mengusap
hidungnya dengan punggung tangan. "Dia merasa Ibu lebih
menyayangiku." Mata biru Andrew berkaca-kaca. Ia mengangguk perlahan, dan
air mata menetes membasahi pipinya yang bulat. "Kau lihat?" katanya.
"Itu salahku." "Tidak, Andrew, itu bukan salahmu." Maggie teringat pada
Henrietta. Tentang kebencian Henrietta kepadanya.
"Andrew, dengarkan aku. Ini sangat penting. Kau tidak boleh
menyalahkan dirimu untuk kecemburuan kakakmu," kata Maggie
datar. "Kecemburuan itu penyakit yang mengerikan. Itu sisi buruk
Garret, tapi bukan salahmu. Sekarang tolong ceritakan apa yang sudah
terjadi." "Aku sudah berbicara terlalu banyak."
"Katakan, Andrew."
"Seharusnya aku tidak boleh mengatakan apa-apa kepadamu,"
kata Andrew tergesa-gesa. "Please, Miss Thomas. Berjanjilah bahwa
apa pun yang terjadi, kau tidak akan memberitahu Ayah. Kau tahu
kan, Ayah mempercayai Garret sewaktu dia mengatakan bahwa
kejadian di sumur hanya kecelakaan. Dia takkan tahan kalau
mengetahui kebenarannya."
"Kecelakaan?" "Ya, kau mengerti..." suara Andrew bertambah pelan. "Garret
memberitahu Ibu bahwa dia menjatuhkan cincinnya di sumur. Lalu,
sewaktu Ibu berusaha mengambilnya, dia..."
Andrew menunduk lemas. Ia tidak mampu melanjutkan.
"Dia mendorong Ibu kalian?" kata Maggie kepadanya.
Andrew tidak menjawab. Ia tidak perlu menjawab. Maggie
berpaling ke arah jendela.
Malam ini, di sumur, ia merasakan dua tangan kecil
mendorongnya... sama seperti yang dialami Mrs. Malbourne sewaktu
dia meninggal. "Sesudah dia jatuh," kata Maggie, "sesudah Garret
mendorongnya ke sumur, apa yang terjadi dengan ibumu?"
"Ayah dan Mr. Squires mengeluarkannya dari sumur. Dia"
belum meninggal." Andrew terisak. "Dok"dokter datang. Ibu sangat
sakit. Mereka membawanya ke kamar menara. Ibu meninggal di
sana." Pertanyaan melintas dalam benak Maggie. "Dari mana kau
mengetahui semua ini, Andrew" Mengenai Garret dan ibumu" Apakah
kau"apakah kau melihatnya melakukan hal itu?"
Andrew menggeleng. "Kalau begitu bagaimana?"
Andrew tidak menjawab. "Bagaimana, Andrew?"
"Please, Miss Thomas. Aku tidak ingin mengatakannya. Kau
takkan mempercayaiku."
"Andrew." Anak itu terdiam lama. Ia menunduk menatap tangan di
pangkuannya. Sewaktu bicara, ia seakan-akan tengah bicara dengan
tangannya, bukan dengan Maggie.
"Ibuku mengatakan bahwa Garret yang menenggelamkannya.
Ingat, aku pernah menjelaskan bahwa terkadang aku ke menara dan
bercakap-cakap dengannya. Roh"roh ibuku terkunci dalam kamar
itu, Miss Thomas. Dia menangis setiap malam. Aku hanya berpurapura aku yang menangis."
"Kau benar, Andrew. Aku tidak mempercayainya," jawab
Maggie dengan lembut. "Mungkin ibumu tahu apa yang kaulakukan"
tapi sebagai malaikat di surga," tambahnya.
"Tidak!" kata Andrew berkeras. "Dia terkunci di kamar menara,
dan dia ingin keluar. Dia ingin membalas dendam kepada Garret. Dia
ingin menyakiti Garret."
"Kau tahu apa pendapatku?" kata Maggie. "Kurasa sesudah
ayahmu pulang nanti kita semua harus naik ke kamar menara dan
melihat sendiri ada apa di sana."
Andrew melompat bangkit. "Kalau kita membuka pintu itu, Ibu


Fear Street - Sagas V Selubung Kegelapan The Hidden Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mencari Garret dan membunuhnya. Itu sebabnya Ayah
membiarkannya tetap terkunci. Dia takkan memberitahu siapa pun di
mana dia menyimpan kuncinya."
"Menurut ayahmu tangga di sana berbahaya," kata Maggie
menjelaskan, berusaha untuk menenangkan Andrew. "Mungkin itu
sebabnya dia mengunci pintunya"agar tidak ada yang naik ke atas
sana. Kita akan memintanya besok. Tapi sekarang sebaiknya kau
kembali tidur." Andrew menyambar tangannya. "Miss Thomas?"
"Ya?" "Aku takut." "Terhadap Garret?"
Andrew mengangguk. "Dia sangat marah padaku. Terkadang
aku takut dia juga akan membunuhku."
"Aku tahu. Tidak perlu takut. Aku akan melindungimu."
Maggie mengantar anak itu kembali ke kamar tidurnya. "Sesudah
kututup pintunya, kuminta kau menguncinya. Jangan membukanya
lagi sampai kuberitahu. Aku akan menjemputmu besok pagi. Besok
aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Jangan khawatir. Sekarang
istirahatlah." Sesudah menutup pintu kamar tidur Andrew, dan mendengar
anak itu menguncinya, Maggie menyandar ke pintu. Ia sangat
kelelahan dan mati rasa. Tapi yang paling buruk sudah berakhir, kata Maggie pada
dirinya sendiri. Akhirnya ia telah mengetahui kebenarannya, kebenaran yang
menjijikkan. ebukulawas.blogspot.com
Garret membunuh ibunya sendiri. Mr. Malbourne takkan pernah
mempercayainya, tidak peduli apa pun risikonya. Ia harus
melakukannya demi Andrew. Anak itu takkan pernah merasa aman di
rumah bersama Garret. Maggie mendorong diri menjauh dari pintu kamar tidur
Andrew. Satu malam lagi, katanya sendiri sambil melangkah
perlahan-lahan menyusuri lorong ke kamar tidurnya sendiri. Sesudah
itu semuanya akan berakhir.
Ia membuka pintu"dan tersentak.
Seorang wanita berbaring di ranjangnya.
Tenggorokannya robek. Garret berdiri di atasnya. Pisau yang berlumuran darah ada di
tangannya. Bab 22 MAGGIE menjerit. Garret berbalik menghadapinya.
Darah membasahi piama, tangan, serta wajahnya.
Wanita di ranjang mengembuskan napas dengan suara
menggelegak. Lalu ia membisu.
"Kau sudah membunuh Mary!" jerit Maggie. "Oh, kenapa,
Garret?" . "Aku tidak tahu dia di sini. Aku datang untuk menemuimu."
Garret masih mencengkeram pisaunya.
Oh, tidak! Garret keliru menganggap Mary sebagai diriku.
Rambut Mary sama merahnya dengan rambutku. Dan dia tidur di
kamarku. Garret akan membunuhku sekarang, pikir Maggie. Ia berbalik
dan melesat meninggalkan kamar.
"Tunggu!" teriak Garret.
Maggie bisa mendengar suara langkah-langkah Garret
mengejarnya. Ia melesat menyusuri lorong. Jantungnya berdetak
begitu kencang hingga terasa menyakitkan. Ia menengok ke belakang,
dan tidak melihat Garret.
Maggie membuka pintu kamar terdekat dan membantingnya
hingga tertutup tanpa masuk ke dalam. Ia terus lari berzigzag dalam
rumah, menimbulkan keributan, mencoba untuk membingungkan
Garret. Lalu ia berhenti, tidak bergerak sama sekali. Ia tidak mendengar
suara apa pun. Dengan bergerak sepelan dan sediam mungkin, ia menuju ke
kamar tidur Mr. Malbourne. Kamar itu berkunci. Ia akan bersembunyi
di sana. Andrew terkunci dengan aman di kamar tidurnya. Ia berharap
Koki cukup pintar untuk juga mengurung diri di kamar.
Kalau Mr. Malbourne pulang besok, dia akan mampu
menghentikan Garret agar tidak menyakiti salah satu dari mereka.
Maggie membuka sebuah pintu. Deritan keras terdengar.
Apa Garret sudah menunggu di dalam, dengan pisau terhunus"
Apa dia tahu Maggie akan menuju ke kamar ini" Apa dia bisa
menebak" Ia harus memeriksa sebelum mengunci pintunya. Maggie
meraba-raba dalam kamar yang gelap itu. Perlahan-lahan, matanya
menyesuaikan diri dengan kegelapan.
Kamar itu kosong. Maggie mengembuskan napas lega. Ia
berbalik untuk mengunci pintunya.
Dan Garret telah berdiri di ambang pintu. Pisau masih ada di
tangannya. Mata pisaunya berkilauan tertimpa cahaya keperakan
bulan. Darahnya juga. Garret melangkah mendekatinya. "Miss Thomas. Izinkan aku
menjelaskan," katanya.
Maggie mundur menjauhinya"hingga ia menabrak lemari.
Suara Andrew terngiang dalam benaknya. Kalau kita membuka pintu
itu, Ibu akan mencari Garret dan membunuhnya.
Seketika gagasan melintas dalam benak Maggie. Gagasan
sinting, tapi mungkin itu satu-satunya harapan. Ia menyambar kotak
musik. Lalu membuka laci rahasianya dan menyambar kunci kamar
menara. "Tidaaaak!" lolong Garret sewaktu melihatnya.
Maggie menjatuhkan kursi di depan meja rias Mr. Malbourne
sewaktu ia berlari melewati Garret. Ia bisa mendengar suara Garret
mengejarnya. Maggie melesat ke menara.
"Tidak!" teriak Garret sambil berlari mengejarnya menaiki
tangga putar. "Kau tidak mengerti!"
Maggie tiba di puncak tangga menara beberapa langkah di
depan Garret. Ia menerjang ke arah pintu kamar dan menjejalkan anak
kunci di lubangnya. Buka, please, buka, pikirnya.
Ia memutar kuncinya. Klik!
Blang! Pintunya terbuka bagai diempaskan.
Asap kuning yang busuk seketika mengepul keluar. Asap tebal
itu berbau seperti ikan busuk.
Garret menjerit ketakutan.
Di dalam asap itu Maggie melihat sosok seorang wanita mulai
terbentuk. Seorang wanita berwajah kurus dan cantik yang dikelilingi
rambut panjang berkibar-kibar.
"Tolong!" jerit Maggie. "Please, kau harus menolongku!"
Garret mundur, matanya membelalak ngeri. "Tidak!" jeritnya.
"Tidak, Ibu!" Mata Mrs. Malbourne berkilau kehijauan, memancarkan
kebencian. Aku tidak bisa menyaksikannya, pikir Maggie. Ia tidak tahan
melihat apa yang akan dilakukan makhluk ini kepada Garret.
Tapi Mrs. Malbourne bukan meraih Garret. Ia meraih Maggie.
"Kau takkan bisa memiliki suamiku," jerit hantu itu, wajahnya
berkerut murka. "Tidak akan!"
Bab 23 Boston, 1858 "HANTU Mrs. Malbourne melilitkan tangannya di leher
Maggie, mencekiknya," lanjut Timothy, suaranya pelan tapi mantap.
"Asap kuning yang busuk memenuhi cuping hidung, mulut, dan paruparu Maggie. Lalu..."
Pintu perpustakaan terbuka. Clyde dan Edwina tersentak keras.
Martha menjerit kecil. Gretchen Fier, ibu tiri Timothy, masuk ke perpustakaan. "Apa
aku tampak begitu menakutkan?" katanya menggoda teman-teman
putranya. Semua tertawa keras, jelas menikmati selingan dari cerita
Timothy yang menegangkan.
Timothy tersenyum kepada ibu tirinya. Ibu tirinya selalu
membuat teman-temannya merasa diterima di rumah mereka.
"Timothy," kata Mrs. Fier lembut, "sekarang sudah agak larut.
Teman-temanmu seharusnya pulang, atau orangtua mereka akan
khawatir." Teman-teman Timothy mengerang. "Mrs. Fier, jangan
menyuruh kami pulang sekarang," pinta Phillip. "Timothy sedang
menceritakan cerita hantu yang mengerikan tantang seorang anak
jahat, dan dia baru saja tiba di bagian yang paling menegangkan."
"Ya," kata Henry menyetujui. "Bagian terakhir tentang
membuka kamar menara ini membuatku ketakutan. Bagus sekali,
Timothy." Gretchen Fier mengangkat alisnya. "Apa kau yakin ingin
menceritakan kisah lama itu?" tanyanya kepada Timothy. "Dulu kau
sangat ketakutan karenanya."
"Aku sudah lebih tua, Ibu," jawab Timothy sambil meringis.
"Aku tidak takut."
Gretchen Fier memandang dengan ragu-ragu. Timothy tidak
terkejut. Gretchen biasanya tahu bagaimana perasaan Timothy yang
sebenarnya, bahkan saat ia tidak mengatakannya.
"Oh, jangan suruh kami pergi, Mrs. Fier," pinta Edwina dari
tempat duduknya. "Sepuluh menit lagi."
"Please, please, please," tambah Martha.
Mrs. Fier tertawa. "Well, kurasa teman-temanmu bisa di sini
lebih lama lagi. Tapi aku akan segera kembali untuk memeriksa
kalian." Ia menutup pintu di belakangnya.
Timothy menghirup tegukan cider terakhirnya. Tanganku
gemetar, ia tersadar. Aku sudah 18 tahun, tapi aku masih takut untuk
mengungkapkan cerita ini kepada orang lain.
Ia meletakkan cangkir kayunya di atas lemari, berharap tidak
ada yang menyadari bahwa tangannya gemetar.
Setetes keringat dingin merayap turun di keningnya. Ia
menyapunya. Berdeham. Lalu kembali memandang temannya. Teman di bayang-bayang
itu. Penonton tunggalnya.
Ia melanjutkan.... Bab 24 Boston, 1847 TANGAN-TANGAN hantu yang kurus tapi kuat itu mencekik
Maggie semakin keras. Asap kuning tebal bagai membakar dada dan
hidung Maggie. Ia bisa merasakannya di lidahnya, tebal dan
berminyak. "Kau akan mati sebelum merampas suamiku!" jerit Mrs.
Malbourne. Ia mengguncang-guncang Maggie. "Berani sekali kau
mencurinya dariku!" Bintik-bintik cahaya terang mengambang di depan mata
Maggie. Lututnya terasa lemah. Keduanya tidak mampu menahan
beban tubuhnya lebih lama lagi. Aku akan pingsan. Aku akan...
"Ibu!" jerit Garret.
Sejenak cengkeraman Mrs. Malbourne mengendur.
Maggie membebaskan diri. Ia berbalik dan terhuyung-huyung
menuruni tangga putar. Ia bisa merasakan semburan udara panas dan
busuk di leher dan punggungnya.
"Maggie..." lolong hantu itu di belakangnya.
Maggie berbelok memasuki lorong lantai dua. Ia mengangkat
gaunnya dan berlari menyusuri lorong, terus hingga tangga utama.
Angin dingin bagai merobek-robek rumah. Satu demi satu
lukisan di ruang tamu terbanting ke lantai.
Setiap jendela pecah berantakan. Tornado kaca beterbangan di
sekitar Maggie. Ia mencoba melindungi matanya dengan satu lengan
sementara menyeberangi dapur dan keluar dari rumah.
Sekarang ke mana" pikir Maggie panik. Labirin sesemakan
muncul di depannya. Maggie tidak sempat berpikir panjang. Ia melesat ke labirin itu
dan melewati celah di sesemakan. Jalan mana yang menuju ke jalan
buntu" Ia tidak bisa mengingatnya!
Maggie memilih jalan ke kiri. Lalu berbelok ke kanan. Yang
mana langsung menuju ke jalan buntu. Ia berbalik ke arah lain dan
terpeleset, jatuh dengan wajah terlebih dulu ke rerumputan yang
dingin berembun. Di mana dia" pikir Maggie. Apa Mrs. Malbourne tepat di
belakangku" Ia tidak mendengar lolongan hantu itu atau mencium bau
asap yang busuk. Maggie mencoba bangkit berdiri. Sakit yang hebat menyengat
kakinya. Ia berguling ke samping dan mengangkat gaunnya. Ia melihat
sepotong tulang putih mencuat menembus kaus kaki hitamnya. Ia
merasa pusing, dan bergegas menutupi kakinya kembali.
Kakiku patah, Maggie tersadar. Kakiku patah. Aku terjebak.
Maggie menancapkan kukunya ke tanah. Mungkin ia bisa
menyeret dirinya ke tempat persembunyian dalam labirin sebelum
Mrs. Malbourne menemukannya. Mungkin ia bisa menyelinap ke
bawah sesemakan tempat dirinya takkan terlihat.
Dua tangan menghantam punggungnya, mendorongnya kembali
ke tanah. Rumput memenuhi hidung dan mulut Maggie.
"Seharusnya kau tahu bahwa aku bisa menemukanmu," bisik
seseorang di telinganya. Bab 25 MAGGIE berbalik, membebaskan diri dari cengkeraman yang
menekannya ke tanah. Ia merayap mundur. Sambil menyeret kakinya
yang patah. Andrew berdiri di hadapannya.
"Oh, Andrew, ternyata kau!" Maggie tersentak. Ia merasa lega.
Lalu ia melihat benda yang ada di tangan Andrew. Sekeping
pecahan kaca yang panjang, sama mematikannya dengan sebilah
pisau. Andrew tersenyum. Dan menempelkan pecahan kaca itu ke
leher Maggie. "Andrew," bisik Maggie. "Andrew, apa yang kaulakukan?"
Seiring setiap tarikan napas, ia merasa pecahan kaca itu semakin
menekan lehernya. "Ibu dan aku tidak suka pada orang-orang yang berusaha
mengambil alih tempatnya," kata Andrew manis. "Kau membuat Ibu
dan aku sangat marah."
Maggie merasa akan pingsan. Ia tetap memandang Andrew. Ia
tak bisa mempercayai apa yang didengarnya.
"Andrew, aku tidak ingin mengambil alih tempat ibumu. Aku
hanya ingin menjadi temanmu. Kita berteman, bukan?" tanya Maggie.
Andrew menggeleng. "Kau tidak bisa menipuku. Ibu dan aku
sudah tahu apa yang kauinginkan sejak kau tiba di sini."
"Dan para pengasuh lainnya?" tanya Maggie. Ia berjuang agar
suaranya tetap tenang. Ia harus berpikir. Ia harus menyusun rencana.
"Aku yang membunuh mereka. Akan kutunjukkan tempat


Fear Street - Sagas V Selubung Kegelapan The Hidden Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka kukuburkan. Lalu akan kukuburkan kau bersama mereka."
"Bagaimana dengan Garret?" tanya Maggie, berusaha untuk
mengalihkan perhatian anak itu. "Apakah dia membantumu" Apakah
ini permainan yang kalian lakukan bersama?"
Andrew tersenyum, tampak sangat puas dengan dirinya sendiri.
"Aku tidak memerlukan bantuan siapa pun. Aku seharusnya
membunuh Garret sejak dulu," kata Andrew riang. "Aku selalu
membenci Garret. Ibuku juga. Tapi rasanya begitu menyenangkan
untuk menyiksanya. Dia yang disalahkan untuk semua yang
kulakukan." Dengan ringan ia mengiriskan pecahan kaca itu di leher
Maggie. Maggie tersentak.
"Kau sama seperti kakakku," jerit Maggie. "Kau sama jahatnya
dengan Henrietta!" "Selamat tinggal, Miss Thomas," kata Andrew.
"Tunggu!" jerit Maggie.
Tapi Andrew tidak menunggu.
Diiringi suara robekan yang mengerikan, ia mengiris leher
Maggie. Bab 26 MAGGIE menjerit. Ia mencengkeram lehernya dengan dua
tangan. Ia mengira akan merasakan semburan darahnya sendiri. Tapi
irisan pecahan kaca setajam pisau cukur itu hanya merobek kain kaku
gaun berkerah tinggi yang dikenakan Maggie, menampilkan kulitnya.
Andrew tersenyum. Ia masih tampak tidak berdosa, pikir
Maggie dengan kesadaran yang kabur.
Ia mencoba berdiri. Tapi sakit menyebar di kakinya yang patah.
Kakinya tidak mau mendukung tubuhnya.
Andrew menjambak rambut Maggie, menarik kepalanya ke
arahnya sekuat tenaga. Lalu dengan lembut ia menyingkirkan rambut Maggie yang
basah dari wajahnya. "Jangan melawan lagi, Miss Thomas," bisiknya
di telinga Maggie. "Kau hanya membuat dirimu lebih menderita.
Anggap saja kau akan tidur."
Sudah selesai, pikir Maggie. Tidak ada jalan untuk melarikan
diri. Andrew menarik kepala Maggie lebih ke belakang, sehingga
lehernya semakin terbuka. Senyumnya melebar saat ia mengangkat
pecahan kacanya. Siap mengiris leher Maggie. Mengirisnya hingga
mati. Blam! Letusan senapan meraung beberapa meter dari tempat
Maggie. Bab 27 GENDANG telinga Maggie berdenyut-denyut. Asap membakar
cuping hidungnya. Kepingan kaca itu jatuh dari tangan Andrew. Ia terhuyunghuyung dan jatuh menimpa Maggie.
Lalu Maggie merasakannya. Merasakan cairan yang hangat. Ia
menunduk dan melihat darah membasahi gaunnya. Darah Andrew.
Tenggorokannya tercekat. Perutnya bergolak.
Ia menggulingkan Andrew ke tanah dan beranjak duduk. Sakit
menyengat kakinya saat ia menunduk menatap wajah kecil Andrew.
Mata Andrew menatap langit dengan pandangan kosong. Mulutnya
membentuk senyuman kecil.
Perlahan-lahan pandangan Maggie menyusuri tubuh Andrew. Ia
menggigil sewaktu melihat lubang di dada anak itu. Ia bisa melihat
rumput hijau melalui lubang itu.
Siapa yang menembak Andrew" Siapa yang sudah
menyelamatkan nyawa Maggie"
Maggie mendongak dan melihat Garret beberapa meter jauhnya.
Garret perlahan-lahan bangkit. Ia meraih senapan ayahnya yang berat.
Semburan senapan itu pasti sudah mengempaskannya ke tanah,
pikir Maggie. "Garret," kata Maggie. Suaranya bergetar. Ia merasa air mata
menyengat matanya. Garret hanya menatapnya, tubuhnya gemetar hebat.
"Garret, kau baik-baik saja?"
Bibir Garret bergerak-gerak, tapi tidak terdengar suara apa pun.
Aku sudah keliru menilainya, pikir Maggie. Anak itu berusaha
melindungiku sejak awal" pasti itu sebabnya dia mencoba untuk
menakut-nakutiku agar meninggalkan Tanglewood.
"Maafkan aku," kata Maggie kepada Garret. "Aku sungguh
menyesal karena sudah mempercayai cerita-cerita tentang dirimu.
Selama ini kau berusaha membantuku, bukan?"
Garret mengangguk. "Aku... aku tidak bisa memberitahukan
yang sebenarnya kepadamu. Andrew"Andrew akan menyakitiku."
"Dia tak bisa menyakitimu lagi," kata Maggie dengan tegas.
"Tak ada yang bisa menyakitimu lagi. Aku berjanji. Sekarang aku
memerlukan sedikit bantuan lagi darimu. Kurasa kakiku patah, jadi
tolong cari Koki. Dia bisa membantuku kembali ke dalam rumah. Kau
bisa melakukannya?" "Aku akan segera kembali," kata Garret berjanji.
Maggie bisa melihat betapa keras usaha Garret untuk bersikap
tabah. Garret melesat pergi, menyusuri jalan setapak menuju pintu
masuk labirin. Lalu tiba-tiba ia berhenti dan berbalik kembali ke arah Maggie.
Ia menatap ke langit. Seakan-akan mendengar sesuatu.
Pada saat yang sama Maggie mencium bau yang dikenalinya.
Bau busuk. Ia melihat asap kuning mengepul lewat saat angin sedingin es
mulai berembus. Tidak, pikir Maggie. Tidak, tidak, tidak.
Jeritan mengerikan merobek-robek udara. Asap kuning muncul
semakin banyak. Asap itu berputar-putar dan menggeliat-geliat,
membentuk lengan, kaki, dada"dan wajah Mrs. Malbourne yang
sedang melolong. Hantu itu menukik ke arah Maggie.
Bab 28 KEMARAHAN memancar di wajah Mrs. Malbourne saat ia
terbang ke arah Maggie. Ia menjulurkan tangan, jemarinya
membentuk cakar. Maggie menyurut. Hantu itu akan menangkapnya beberapa saat
lagi. "Andrew!" lolong Mrs. Malbourne. Ia meraih mayat putra
bungsunya. Maggie ternganga saat hantu itu mengangkat Andrew ke udara.
Mrs. Malbourne menggendong Andrew rapat di dadanya, dan asap
kuning melingkupi mereka berdua.
Tubuh Mrs. Malbourne mulai berputar. Ia menjerit, suaranya
melengking. Angin jahat menarik kerikil-kerikil dari tanah dan dedaunan
tajam dari sesemakan, memutarnya hingga membentuk tornado kecil.
Maggie menutupi wajahnya, berusaha melindungi diri.
Kapan ini akan berakhir" pikirnya. Ia merasa suara Mrs.
Malbourne akan membuatnya gila.
Akhirnya jeritan Mrs. Malbourne mulai memudar.
Sewaktu Maggie membuka matanya, ia melihat kabut tipis.
Sejenak dua pasang mala berkerlap-kerlip di dalamnya. Yang satu
memancarkan cahaya kehijauan. Yang satu kebiruan. Lalu keduanya
menghilang. Kabutnya juga menghilang. Dan angin berhenti
berembus. ************** "Miss Thomas?" tanya Garret sewaktu mereka duduk di
perpustakaan keesokan sorenya "Apakah kau sudah memikirkan
bagaimana menyampaikan kabar ini kepada ayah saat dia pulang nanti
malam?" Maggie mendesah, memikirkan semua berita mengerikan yang
harus disampaikannya kepada Mr. Malbourne. "Akan kukatakan yang
sebenarnya." Garret cemberut. "Dia tidak akan mempercayaimu."
"Akan kupaksa dia untuk mempercayaiku," janji Maggie. "Dia
sudah mengetahui roh Mrs. Malbourne terkunci di kamar menara."
"Bagaimana kalau dia menyalahkanku" Andrew selalu
menyalahkanku untuk segala sesuatunya. Koki, Squires, dan semua
pengasuh lain selalu menganggapku jahat."
Garret yang malang, pikir Maggie. "Ayahmu tidak akan
menyalahkanmu karena kau tidak melakukan kesalahan apa pun. Tapi
aku penasaran kenapa kau begitu bersemangat untuk membuatku
percaya bahwa kau seorang pembunuh."
"Aku ingin kau pergi," kata Garret. "Aku tahu Andrew akan
membunuhmu kalau kau tetap di sini. Kucoba untuk menjauhkan
semua orang dari Andrew... dan Ibu."
Dan kau harus membayar mahal karenanya, pikir Maggie.
Semua orang takut dan membencimu. Bahkan aku. "Aku belum
mengucapkan terima kasih karena kau sudah menyelamatkan
nyawaku, Garret. Atau minta maaf karena sudah percaya bahwa kau
berusaha menyakitiku."
Garret menunduk. "Aku tidak tahu kenapa aku mengambil
pisaunya sewaktu menemukan mayat Mary. Aku mengerti mengapa
kau melarikan diri dariku, terutama sesudah semua kebohongan yang
kukatakan kepadamu."
Koki melangkah masuk membawa teh dan menuangkannya
untuk Maggie dan Garret. Ia memberikan edisi terbaru New York
Herald Tribune. "Ini baru saja tiba. Kupikir kau mungkin ingin
membacanya sementara menunggu Mr. Malbourne pulang."
"Terima kasih," gumam Maggie. Ia melirik memandang
halaman depannya dan seketika tersentak.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Garret.
"Kakimu sakit?" tanya Koki.
"Ini artikel tentang seseorang yang kukenal," Maggie
menjelaskan. Jemarinya gemetar sewaktu ia menggunakannya
menyusuri artikel itu. Kakaknya sudah membunuh lagi!
"Miss Alston mengetahui bahwa tunangannya Carlton Hill
berhubungan dengan wanita lain," baca Maggie dalam hati. "Marah
karena mengetahui bahwa Mr. Hill hanya tertarik pada kekayaannya,
Miss Alston meracuni pemuda itu dengan arsenikum."
Ia menengadah dan mendapatkan Garret serta Koki tengah
menatapnya. "Kau yakin kau baik-baik saja?" tanya Garret, sambil bergegas
menyeberangi perpustakaan mendekatinya.
"Tunggu!" Maggie kembali menunduk membaca sisa
artikelnya. Ia tersentak.
Henrietta dijatuhi hukuman gantung. Dan dia sudah mengaku
bahwa dia juga meracuni ayahnya. "Oh, terima kasih, Hen," bisik
Maggie. "Paling tidak, terima kasih untuk pengakuanmu."
Ia mulai membaca keras-keras. "Pihak berwenang sekarang
sedang mencari Margaret Alston, terdakwa yang tak bersalah dalam
kasus pembunuhan Reginald Alston! Dan tebak siapa pengasuhmu,
Garret! Oh, aku bebas!"
Bab 29 Boston, 1858 "AKHIRNYA Maggie mendapatkan ketenangannya kembali,"
kata Timothy, berbicara langsung kepada wajah dalam bayangbayang. "Dari hantu masa lalunya dan hantu Tanglewood."
"Sewaktu Harrison Malbourne pulang, dia dan Maggie saling
membantu membangun kehidupan masing-masing. Kurang dari
setahun kemudian, dia dan Maggie"sekarang menggunakan nama
aslinya Alston lagi"menikah. Selama 11 tahun mereka hidup bahagia
di Boston. Tidak jauh dari tempat kita duduk sekarang."
Timothy menghela napas panjang dan mengembuskannya
perlahan-lahan. "Selesai," katanya.
Rasanya enak bisa menceritakannya, sesudah menyimpannya
selama bertahun-tahun. Aku mengambil keputusan yang benar, pikir
Timothy. Sejenak tidak ada yang berbicara. Lalu semua orang mulai
bicara bersama-sama. "Oh, Timothy!" seru Martha.
"Kurasa aku tidak akan tidur nyenyak malam ini. Sungguh
memalukan kau, Timothy Fier!" kata Edwina.
"Kau benar tentang ceritanya! Benar-benar menakutkan!" kata
Clyde. "Dari mana kau mendengarnya" Kau harus memberitahu kami,"
kata Phillip. "Aku sempat mengajar Garret selama beberapa waktu," kata
Timothy menjelaskan. "Dia sendiri yang menceritakannya. Kurasa dia
sangat ingin menceritakan semuanya kepada orang lain. Untuk
membebaskan diri." Edwina menggigil. "Di luar gelap sekali Aku takut pulang."
"Kita bisa pulang satu kereta," kata Henry. "Biar aku
melindungimu." "Jangan percaya," kata Phillip. "Dia yang takut pulang
sendirian. Dia ingin kau menemaninya untuk melindunginya!"
Semua orang tertawa sambil beranjak bangkit. Mereka
mengucapkan terima kasih kepada Timothy atas keramahannya dan
ceritanya yang luar biasa. Tapi sekalipun semua tersenyum dan pamit
dengan gembira, Timothy bisa melihat bahwa mereka benar-benar
ketakutan. Seberapa takut lagi mereka kalau tahu bahwa aku sudah
mengganti nama keluarga dari Fier menjadi Malbourne sewaktu
menceritakannya. Kalau mereka tahu aku sudah mengubah namaku
sendiri menjadi Garret. Dan memberi nama Maggie kepada ibu tiriku.
Dan Koki"yang sekarang muncul untuk mengambil cangkircangkir cider kosong"adalah Koki. "Kau baik-baik saja, Master
Timothy?" tanya Koki sambil tersenyum, menampilkan beberapa
giginya yang telah tanggal. "Kau tampak agak aneh di mataku, Anak
muda." "Aku baik-baik saja, Koki," kata Timothy sambil mengedipkan
mata. Memang benar. Ia merasa lebih dari sekadar baik. Entah
bagaimana, lebih ringan. Menceritakan kisah itu membuatnya merasa
enak. Akhirnya. Timothy membaringkan diri di sofa.
"Tanggalkan sepatumu," kata Koki memperingatkan sambil
berlalu membawa baki. Timothy tiba-tiba merasa grogi. Setelah Koki meninggalkan
ruangan, ia mengangkat kakinya yang bersepatu ke atas sofa.
Lalu menurunkannya lagi. Ada seseorang dalam ruangan ini bersamaku, pikir Timothy. Ia
duduk tegak. Ya, salah satu tamunya masih tetap di tempat duduknya. Orang
yang duduk di bayang-bayang, kepada siapa Timothy memusatkan
perhatian sewaktu menceritakan kisahnya. Siapa orang ini"
Orang itu bangkit berdiri. Seorang anak. Ia melangkah keluar
dari bayang-bayang ke dalam cahaya.
"Andrew!" Timothy tersentak.
"Kejutan!" bisik hantu itu sambil tersenyum kecil. "Aku sudah


Fear Street - Sagas V Selubung Kegelapan The Hidden Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunggu kau menceritakan kisah kita. Karena begitu kau
menceritakannya, aku tahu aku diizinkan kembali."
Andrew mengangkat kedua tangannya, menggoyang-goyangkan
jemarinya. Ujung-ujung jemarinya merupakan kepingan kaca setajam
pisau cukur. "Kau membuat Ibu dan aku sangat marah!" jeritnya sambil
menerkam Timothy.END Pedang Keadilan 1 Wiro Sableng 170 Kupu Kupu Mata Dewa Kisah Pedang Di Sungai Es 21

Cari Blog Ini