Ceritasilat Novel Online

Terbakar Api Asmara 3

Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game Bagian 3


seru Andrea, wajahnya merah. "Kusangka kalian berdua adalah
teman!" "Kami memang teman," kata Jill. "Itulah sebabnya kami di sini,
bukannya..." "Bukannya apa?" tanya Andrea. "Bukannya di kantor polisi,
menuduhku telah melakukan kejahatan?"
"Andrea, sudahlah," pinta Jill. "Jangan berpikir begitu. Kami
hanya..." "Ah, masa bodoh," sela Andrea. "Aku tahu ada apa sebenarnya.
Kau cemburu sebab kencanmu dengan Gabe berantakan! Kau
mencoba menjebloskan aku dalam masalah supaya aku tak bisa
kencan sama dia!" "Itu tak benar!" kata Jill.
"Dan entah bagaimana," lanjut Andrea, "kau membawa-bawa
Diane dalam permainan kecilmu! Yah, sudahlah! Aku akan berkencan
dengan siapa saja yang aku inginkan!"
"Ini bukan soal Gabe, Andrea!" teriak Diane. "Aku bahkan tak
tahu dia dan Jill berkencan. Kami datang kemari sehubungan dengan
kejadian di Fear Street malam ini. Ditambah pesan-pesan itu."
"Apa maumu?" bentak Andrea. "Pengakuan penuh" Sori ya, kau
takkan mendapatkannya, karena aku tak menulis pesan apa pun dan
aku tak melakukan kesalahan apa pun!"
"Kami cuma ingin menghentikan kebakaran-kebakaran itu,"
Diane menjelaskan, suaranya bergetar. "Juga ketahuilah, kami temantemanmu, dan kami ada di pihakmu, apa pun yang terjadi."
"Huh, teman-teman yang hebat!" kata Andrea sinis. "Kalian
pergilah, biarkan aku sendiri!"
"Andrea, tolonglah...," Jill memohon.
"Keluar!" jerit Andrea. "Apa kalian tidak dengar" Ini rumahku
dan aku tak ingin kalian ada di sini! Tidak sekarang"dan juga nanti!"
Wajah Andrea berubah karena marah sehingga Jill hampir tidak
bisa mengenalinya. Sebetulnya ia tak mau percaya bahwa Andrea yang membakar
rumah itu. Tapi akhirnya ia percaya. Dan dari raut wajah Diane, ia
tahu Diane juga percaya. BAB 18 DERING telepon di sebelah tempat tidurnya membangunkan
Jill dari tidur yang lelap. Setelah beberapa saat barulah ia sadar bahwa
dirinya sudah bangun. Kemudian ia mengangkat telepon dan, dengan
suara serak, berhasil mengucapkan, "Halo?"
"Jill?" Suara itu berbisik, tapi Jill dengan mudah mengenalinya.
"Andrea?" "Sori aku menelepon larut malam begini," kata Andrea.
"Tidak apa-apa. Lagi pula aku memang harus bangun dan
menjawab telepon. Jam berapa sekarang?"
"Tiga lebih seperempat," jawab Andrea. "Tapi ini serius. Jill,
aku tak bisa tidur sama sekali. Aku terus memikirkan apa yang kau
dan Diane katakan tadi di rumahku."
Semua kejadian tadi sore kembali menyerbu benak Jill, dan ia
tahu ia kembali terjun ke dalam mimpi buruk permainan api. "Dengar,
Andrea," katanya, "kami tak bermaksud membuatmu merasa tak enak.
Hanya saja kami kuatir terhadap kebakaran itu."
"Jadi kau menuduhku membakarnya!" teriak Andrea, suaranya
kedengaran emosional. "Kami tak bermaksud menuduhmu. Kami hanya mencoba
mencari tahu apa yang sedang terjadi!"
"Pokoknya," kata Andrea, suaranya kembali terkontrol, "aku tak
ada hubungannya dengan kebakaran itu. Tapi... tapi aku telah
memikirkannya, dan aku punya beberapa ide."
"Mengenai kebakaran itu?"
"Kupikir aku sudah menemukannya," lanjutnya.
"Maksudmu siapa yang membakarnya?"
"Dan apa sebabnya," tambah Andrea.
"Katakan padaku!" seru Jill.
"Tidak malam ini," kata Andrea. "Aku perlu berpikir lagi. Apa
kau bisa bangun pagi-pagi dan menemuiku di ruang senam sebelum
pelajaran mulai besok?"
"Tentu," sahut Jill. "Tapi kenapa sih kau tak dapat..."
"Pokoknya besok," kata Andrea. "Tapi aku ingin kau tahu, aku
yakin ini ada hubungannya dengan Gabe!"
*********************** Jill berjalan tergesa-gesa di bawah sinar matahari musim semi,
merasa senang karena kali ini sendirian. Biasanya ayahnya
mengantarnya ke sekolah dalam perjalanan ke tempat kerja, tapi kali
ini Jill harus berangkat pagi-pagi sekali. Dalam perjalanan, ia terus
memikirkan ucapan Andrea dini hari itu dan ingin tahu apa
maksudnya. Sebelumnya, ketika Jill dan Diane ke rumahnya, Andrea marah
dan bingung sekali mendengar kecurigaan mereka. Di telepon ia juga
tetap menyangkal tak membakar apa pun.
Tapi, kalau ia tidak bersalah, kenapa ia begitu bingung"
Bukankah ia seharusnya cukup tertawa saja mendengar dirinya
dicurigai" Dan ia bilang sudah tahu pelakunya" Bagaimana caranya"
Kalau ia memang tidak terlibat, bagaimana ia bisa tahu"
Dan yang paling mengganggu adalah kenapa ia bilang hal ini
ada hubungannya dengan Gabe"
Semalam Andrea menuduh Jill cemburu karena kencannya
dengan Gabe kacau-balau. Tapi Jill justru curiga bahwa Andrea-lah
yang cemburu karena Gabe lebih dulu mengajaknya berkencan.
Apakah karena itu ia menuduh Gabe sebagai pelaku kebakaran
itu" Tapi tunggu dulu, pikir Jill. Andrea belum menuduh Gabe, ia
hanya berkata kebakaran itu ada hubungannya dengan Gabe.
Apa maksudnya, ya" Ketika Jill sampai di sekolah, ia malah jadi tambah bingung.
Belum pernah ia tiba di sekolah sepagi ini. Hanya ada beberapa
mobil di tempat parkir guru dan tak ada mobil satu pun di tempat
parkir siswa. Taman bunga sepanjang jalan setapak penuh dengan
kuncup daffodil, ujung-ujung kuningnya memberi tanda bungabunganya akan segera mekar. Di ujung jalan setapak, Mr. Peterson,
kepala penjaga sekolah sedang menyirami jalan setapak. Tak tampak
seorang pun. Jill tahu Andrea sering datang ke sekolah lebih awal untuk
latihan senam. Katanya ia suka karena suasananya tenang dan ia tak
perlu kuatir ada orang yang melihatnya. Ia sering melakukannya
sehingga ia memiliki kunci ruang senam itu.
Jill menaiki tangga yang tak asing baginya menuju koridor
utama. Langkahnya menggema di tempat yang sepi itu.
Pintu ruangan terbuka sedikit dan ia menyelinap masuk ke
ruang senam besar berpanel kayu. Lampunya mati, tapi cahaya
matahari yang masuk melalui jendela cukup menerangi semua
perlengkapan di sana. Sekilas ruangan itu kelihatan kosong.
"Andrea?" ia memanggil. "Andrea, aku di sini."
Tak ada jawaban. Ia memandang sekeliling dengan lebih
saksama, tapi jelas tak ada seorang pun di sana.
Dengan heran Jill menyeberangi lantai kayu berpelitur menuju
ruang locker. Mungkin ia ketiduran, pikirnya. Ketika menelepon tadi
Andrea bilang ia tak dapat tidur sepanjang malam.
Atau mungkin, pikir Jill tiba-tiba, ini cuma guyonan, untuk
membalas ucapanku padanya semalam. Atau mungkin Andrea
mengigau, atau mungkin ia memang ada di ruang locker.
Dibukanya pintu biru itu dan masuk ke ruang locker. Meskipun
kosong, tercium bau sepatu kets, kaus kaki kotor, dan tubuh
berkeringat yang tak asing baginya. "Andrea?" Jill memanggil.
"Andrea, kau di sini?"
"Jill?" sebuah suara memanggilnya dari tempat duduk di sudut.
"Diane?" tanya Jill terkejut.
"Hai," sapa Diane seraya meletakkan majalah yang
dipegangnya. Ia memakai salah satu baju senam berlengan panjang
miliknya, dengan warna biru cerah yang cocok dengan warna
matanya. "Sedang apa kau di sini?" tanya Jill.
"Aku punya pertanyaan sama buatmu," sahut Diane. "Andrea
meneleponku tengah malam tadi. Dia bilang dia minta maaf karena
marah padaku, dan menanyakan apakah aku bisa datang untuk
melihatnya berlatih."
"Jangan bercanda," kata Jill.
"Semula kupikir ini agak aneh," Diane mengaku. "Lebih-lebih
karena dia menelepon larut malam. Tapi kupikir mungkin ini cara
yang baik untuk mengajaknya bicara soal... yah, kau pasti tahu."
"Jadi, di mana dia?" tanya Jill.
"Dugaanku, di rumah, sedang tidur," kata Diane. "Dia meminta
aku datang jam 06.30. Jadi aku sudah menunggunya sejak itu, tapi
Andrea tak ada." "Dia meneleponku juga," kata Jill. "Apakah menurutmu ini
hanya taktik untuk membalas perbuatan kita semalam?"
"Mungkin," kata Diane ragu-ragu. "Tapi rasanya Andrea tak
akan berbuat begitu. Di samping itu, kita kan sebenarnya tak
melakukan apa-apa tadi malam. Kita hanya mencoba menolongnya."
"Kecuali jika dia salah tanggap," kata Jill. Dahinya berkerut,
sementara matanya memandang berkeliling. "Kuduga dia hanya...
tunggu sebentar." "Apa?" Diane mengikuti pandangan Jill ke tempat locker.
"Dia di sini," kata Jill. "Lihat... locker-nya kosong."
Mereka mendekat dan melihat kunci locker Andrea tak ada di
locker-nya yang terbuka dan kosong. Sebuah gembok"mungkin
milik Andrea"bergantung di locker pakaian tak jauh dari situ.
"Jadi dia di sini," kata Diane. "Mungkin dia keluar untuk
joging. Kadang-kadang dia melakukannya untuk pemanasan."
"Kurasa tidak," kata Jill. "Aku baru saja dari luar. Ayo, kita
kembali ke ruang senam. Mungkin dia tadi keluar sebentar."
Dua sahabat itu kembali ke ruang senam, setengah berharap
melihat Andrea sedang latihan di atas matras. Namun ruangan besar
itu masih kosong. "Well, dia ada di sini, di suatu tempat," ujar Diane. "Mungkin
sebaiknya kita tunggu saja."
"Betul," kata Jill. "Aku mau latihan sedikit sementara kita
menunggu." Ia berjalan ke matras dan berjungkir balik dua kali untuk
pemanasan. Baru saja ia akan berguling ke depan ketika ia melihat
sesuatu yang aneh di balok keseimbangan.
Sesuatu berwarna merah dan kusut.
"Diane!" panggilnya, jantungnya serasa naik ke
tenggorokannya. Kedua gadis itu berlari menghampiri balok itu. Warna merah
yang dilihat Jill adalah baju senam Andrea.
Sementara tubuh Andrea sendiri menjulur ke sisi lain balok
keseimbangan, lengannya tertekuk di bawah tubuhnya. Tubuhnya tak
bergerak, wajahnya putih seperti pasta. Ebukulawas.blogspot.com
"Aku tak percaya!" Diane berteriak. "Dia mati!"
BAB 19 "ANDREA!" Jill merasa seolah-olah jantungnya berhenti
berdetak. Sahabatnya sama sekali tak bergerak maupun menjawab. Garis
samar yang membentuk memar biru mulai terlihat di dahinya yang
pucat. "Dia... mati?" ulang Diane, berbisik ketakutan.
"Aku tak tahu," jawab Jill. Ia meletakkan kepalanya ke dada
Andrea dan merasa tenang ketika mendengar detak jantung Andrea
yang teratur. "Aku mendengar detak jantungnya," kata Jill lega. "Dan
dia... dia bernapas."
"Terima kasih Tuhan!" teriak Diane. "Jangan pindahkan dia.
Aku akan panggil ambulans."
**************************
Raungan sirene menghilang di kejauhan, dan Jill duduk gemetar
di salah satu bangku di ruang locker. Diane, yang tampak amat capek,
menjatuhkan diri di sebelahnya.
"Dia akan baik-baik saja," kata Jill. "Seharusnya begitu."
"Dia pucat sekali," kata Diane terengah-engah. "Dan memar
itu..." "Aku tahu," potong Jill.
Ambulans itu datang cukup cepat. Beberapa menit kemudian,
ruang senam itu dipenuhi orang"paramedis, polisi, kepala sekolah,
dan bahkan Miss Mercer, pelatih senam. Semua ingin tahu apa yang
terjadi. Tetapi baik Diane maupun Jill cuma dapat mengatakan bahwa
Andrea meminta mereka berdua menemuinya sebelum sekolah
dimulai. Melihat memar di dahinya, dan tempat ia ditemukan, setiap
orang menduga Andrea pasti kehilangan keseimbangan dan jatuh dari
balok. "Kenapa dia bisa sebodoh itu?" tanya Diane, mengungkapkan
pikiran Jill untuk keseratus kalinya. "Sudah kubilang aku akan kemari
untuk melihatnya berlatih. Mengapa dia tak menungguku?"
"Tak masuk akal," kata Jill. "Bahkan Miss Mercer setuju.
Andrea benar-benar terlalu berpengalaman untuk mencoba gerakan
sulit tanpa ada yang mengawasi."
"Kecuali jika dia memang ingin jatuh," ujar Diane.
"Apa?" "Maksudku tanpa sadar," kata Diane. "Tapi mungkin jauh di
dalam hati, Andrea merasa bersalah mengenai kebakaran itu. Tanpa
sadar, mungkin ini cara yang dipilihnya untuk menghukum diri
sendiri." "Alasan itu terlalu dalam bagiku," kata Jill. "Andrea tidak
seperti itu, kau juga tahu, bukan" Dia orang paling jujur yang kita
kenal." "Perasaan bersalah bisa menyebabkan hal-hal aneh," kata
Diane. "Perasaan itu dapat mencampuradukkan pikiran, Jill. Perasaan
itu dapat membuat orang melakukan hal-hal yang tak akan mereka
lakukan dalam keadaan normal."
"Mungkin," kata Jill. "Tapi aku... aku tak percaya. Yang pasti,
aku tak yakin Andrea jatuh karena kecelakaan."
"Apa maksudmu?" tanya Diane, mata birunya tiba-tiba
membelalak ketakutan. "Entahlah," sahut Jill. Ia kembali ingat kata-kata Andrea bahwa
kebakaran itu ada hubungannya dengan Gabe. Jika ucapannya benar,
dan Gabe tahu Andrea mencurigainya....
Meskipun terlalu mengerikan, tapi mungkinkah Gabe terlibat
dengan "kecelakaan" Andrea"
"Entahlah," ulang Jill. "Tapi aku ingin menyelidikinya."
*********************** "Kalian mungkin ingin tahu mengapa aku mengadakan
pertemuan ini," kata Max, berdiri di depan ruangan.
"Duduklah, kau brengsek," kata Nick. "Lagi pula bukan kau
yang mengadakan pertemuan ini. Melainkan Jill. Dan, sejujurnya, aku
ingin tahu sebabnya."
"Kupikir sudah jelas," kata Jill. Ia duduk di kursi kain tebal di
ruang keluarga di rumah Diane. Begitu ia tahu apa yang harus ia
lakukan dan menjelaskannya pada Diane, semuanya menjadi mudah.
Ia sudah bicara dengan Nick dan Max, dan Diane telah meminta Gabe


Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datang. Gabe, yang datang paling akhir, kini duduk di atas permadani
di depan perapian, dengan senyum mengejek di wajahnya.
Diane duduk di seberangnya, di kursi malas, matanya besar,
serius, dan kelihatan sedih, sementara Nick dan Max duduk
membungkuk di sofa kulit.
Semula Jill mengira dirinya akan gugup, ternyata sebaliknya ia
dapat mengontrol dirinya dengan baik.
Akhirnya kami akan tahu apa yang sedang terjadi, pikirnya. Ia
berdeham dan melanjutkan bicara. "Mengapa kita ada di sini,
alasannya sudah jelas. Kalian semua tahu apa yang terjadi dengan
Andrea tadi pagi, dan kupikir kita sebaiknya bertemu untuk
membicarakan dan mendiskusikan semua yang telah terjadi."
"Mendiskusikan siapa yang membakar, maksudmu," kata Nick,
kedengaran marah. "Sebagian memang itu," kata Jill. "Ditambah mendiskusikan
apa yang terjadi dengan Andrea"dan apa sebabnya."
"Ada yang tahu mengapa orang mengalami kecelakaan?" tanya
Max. "Aku sungguh sedih atas nasib Andrea, tapi aku tak melihat
hubungannya dengan kebakaran itu."
"Mungkin semuanya berhubungan dengan kebakaran itu," kata
Diane. "Khususnya jika Andrea yang membakar rumah di Fear
Street." Dengan segera ia menjelaskan ten tang tinta biru printer milik
Andrea. "Jill dan aku tahu dia pelakunya," lanjut Diane. "Dan dia tahu
bahwa kami mengetahui perbuatannya. Bagaimana jika rasa
bersalahnya terlalu besar, lalu...." Ia membiarkan kalimatnya
menggantung. "Lalu dia sengaja melompat dari balok keseimbangan?" tanya
Max, wajahnya menunjukkan rasa tak percaya. "Katakan pada kami
kemungkinan lain, Diane."
"Aku tak tahu," kata Nick. "Dugaan ini agak masuk akal, tapi
aku tak percaya Andrea yang membakar."
"Bagaimana dengan pesan itu?" tanya Diane.
"Aku yakin ada lebih dari satu orang yang punya printer
bertinta biru," kata Nick. "Selain itu, untuk apa dia berbuat begitu"
Kompetisi membakar itu hanya di antara cowok-cowok."
"Jadi maksudmu salah satu di antara kalian yang
melakukannya?" kata Jill.
"Bukankah sudah jelas?" kata Nick. "Sejelas siapa yang
melakukannya sebelumnya." Ia mengarahkan pandangannya ke arah
Gabe, dan Gabe membalas pandangannya dengan tenang.
"Kau menuduh aku"' tantang Gabe.
"Hei, man," kata Nick. "Kau yang jatuh cinta pada api. Kami
semua hanya ikut-ikutan."
"Jadi itu keyakinanmu?" tanya Gabe. Ia tetap tersenyum, tapi
bukan senyum bersahabat, dan suaranya yang semakin tinggi
membuat Jill takut. "Pasti Andrea pelakunya!" Diane cepat-cepat memprotes.
"Sejak awal dia terlibat dengan permainan api itu. Dan kita tahu dia
memiliki tinta printer berwarna biru."
"Kita tak bisa memastikan Andrea yang menulis pesan itu," kata
Jill. "Faktanya, kita tak bisa memastikan apa pun. Tapi sekarang,
karena terjadi sesuatu pada Andrea, menurutku masalah kita baru saja
dimulai." "Apa maksudmu?" tanya Nick.
"Maksudku"bagaimana jika pelakunya bukan salah satu di
antara kita" Bagaimana jika orang lain, seseorang yang tahu tentang
permainan api ini dan tahu dinas kebakaran sedang menyelidikinya?"
"Kalian pikir ini apa"film James Bond?" tanya Gabe.
"Aku serius," protes Jill. Semula tak terpikir olehnya, tapi
setelah ia mengungkapkannya, barulah ia sadar dugaan itu sudah ada
dalam benaknya sepanjang hari. "Siapa pun bisa tahu soal permainan
api ini. Dan bagaimana jika orang itu ingin menggunakannya untuk
menentang kita" Mungkin memeras atau mengancam kita" Dan
bagaimana kalau dia mendatangi Andrea terlebih dulu..."
"Menyedihkan," kata Gabe.
Jill sadar Gabe bicara padanya, dan ia tiba-tiba marah sekaligus
sakit hati. "Apa yang menyedihkan?" sergahnya marah.
"Kau. Kalian semua. Cerita kalian yang rumit. Mencoba
menjelaskan sesuatu yang sebenarnya sangat sederhana."
"Oh, ya?" kata Jill. "Jika ini sederhana, mestinya kau
menjelaskannya pada kami." Ia merasa amat marah sehingga suaranya
bergetar, dan sesaat ia mengira Gabe tersinggung. Kemudian wajah
Gabe berubah, dan sekali lagi ia menyunggingkan senyumnya yang
sombong dan menjengkelkan.
"Akuilah, Jill," katanya sambil mengangkat bahu. "Kalian
semua menyukai permainan api ini"termasuk dirimu, Di. Permainan
ini memberimu kesenangan sesaat untuk pertama kalinya selama
bertahun-tahun"mungkin untuk pertama kalinya selama hidupmu.
Kau bahkan bisa membaca tentang dirimu sendiri di koran."
"Lalu apa?" tanya Jill.
"Lalu bukan apa-apa," jawab Gabe. "Tak ada orang misterius
yang ingin memeras kita. Tak ada orang misterius sama sekali.
Kebakaran di Fear Street, juga pesan itu"sudah jelas siapa
pelakunya. Pasti satu di antara kita."
BAB 20 ANGIN musim semi tiba-tiba bertiup, dan Jill terus berjalan
dengan kepala tertunduk untuk menahan dingin. Udara gelap seperti di
dalam gua, dan ia mulai membayangkan sosok-sosok yang bergerak
dalam bayang-bayang. Mungkin seharusnya ia menerima tawaran Gabe untuk
mengantarnya pulang. Tapi kemudian diingatnya wajah Gabe yang
sombong dan mengejek ketika ia mengatakan ide Jill "menyedihkan".
Segera setelah Gabe mengatakan pelaku kebakaran itu pasti satu
di antara mereka, pertemuan itu bubar karena mereka saling tuduh.
Nick marah sekali, sampai-sampai wajahnya yang biasanya pucat
menjadi merah. Dan tak seorang pun menganggap serius ide Jill
bahwa mungkin pelakunya orang lain yang ingin mencelakakan
mereka semua. Tapi bagaimana jika pelakunya memang orang asing" pikir Jill.
Apa kira-kira yang diinginkan orang itu"
Sebuah mobil berbelok di sudut jalan di depan, jalannya kian
lambat ketika semakin dekat dengannya.
Mengapa tadi ia memutuskan jalan kaki" Masih enam blok lagi
baru sampai di rumahnya. Mobil itu semakin lambat, dan Jill mencuri
pandang ke arahnya. Taurus putih. Ia belum pernah melihat mobil itu
sebelumnya. Sementara jantungnya berdegup-degup, Jill mulai berjalan lebih
cepat, memandang lurus ke depan. Didengarnya mobil itu berjalan di
sampingnya dan melaju mengikuti langkahnya.
Dengan panik Jill melihat ke sekeliling. Sebuah rumah tampak
di depan, lampunya menyala. Ia mulai membelok ke halaman rumah
itu, pura-pura tinggal di sana, ketika mobil itu berhenti. Mesinnya
mati dan terdengar pintunya dibanting.
Tanpa pikir panjang Jill berlari dan detik berikutnya ia
tersandung, jatuh menggeletak di teras depan. Didengarnya langkah
kaki mendekat di belakangnya.
Hampir beku karena ketakutan, ia membuka mulut untuk
berteriak. "Hei, Jill!" "Tidak!" teriaknya.
"Jill! Hei, Jill! Ini aku!"
Ia menengadah dan merasa hampir meleleh karena lega. Gabe
menatapnya, wajahnya bingung bercampur senang. "Kau pikir aku
siapa?" tanyanya. "Salah satu mayat hidup?"
"Gabe! Aku... aku tak mengenali mobilmu."
"Mobil ini baru saja disewa ayahku," kata Gabe. Ia
mengulurkan tangan dan membantu Jill berdiri, kemudian
menggandeng Jill ke mobilnya.
"Ayo, masuk," kata Gabe.
"Oke," kata Jill pelan. "Terima kasih." Ia masuk dan duduk di
kursi depan di samping Gabe. Cowok itu memandangnya dengan
lembut, seperti ketika mereka berkencan. Baru Sabtu kemarin mereka
berjalan bersama, tapi sudah banyak hal terjadi, bagaikan sudah
bertahun-tahun. Gabe tak menghidupkan mobilnya lagi. Ia tetap memandang
Jill, wajah tampannya sangat serius tetapi juga sangat ramah.
"Aku minta maaf atas ucapanku," katanya. "Aku tak bermaksud
mengkritikmu begitu keras." Jill tak tahu harus menjawab apa. "Jill?"
"Kau bahkan tak mendengarkan ideku," kata Jill. "Kau hanya
bilang bahwa itu menyedihkan."
"Pilihan kata yang jelek," kilah Gabe. "Tapi menurutku, kecil
kemungkinan idemu benar. Bukan begitu?"
"Tidak," kata Jill. "Aku tak berpikir demikian. Maksudku, aku
tak percaya di antara kita ada yang sanggup melakukan hal
mengerikan semacam itu." Salah satu di antara kita, kecuali kau,
pikirnya. "Maksudmu, kau tak ingin percaya," Gabe menegaskan. "Kau
tak ingin menghadapi kenyataan bahwa salah satu dari teman baikmu
mungkin penyebab kebakaran, atau lebih buruk lagi. Betul, kan?"
"Tentu saja aku tak ingin percaya!" seru Jill.
"Untuk gampangnya kita anggap saja ini perbuatan orang asing
yang misterius," kata Gabe. "Aku mengerti sebabnya. Tak seorang
pun mau mempercayai keburukan orang yang kita sayangi." Gabe
bicara begitu serius sehingga Jill merasa ngeri, seolah-olah Gabe
menyembunyikan sesuatu. "Menurutmu siapa pelakunya?" bisik Jill.
"Aku tak ingin menuduh," kata Gabe. "Tidak sekarang."
Jill tak tahu harus berkata apa.
Setelah beberapa saat Gabe mengembuskan napas dan
menghidupkan mesin mobilnya. "Aku lebih baik mengantarmu
pulang," katanya. Dalam perjalanan ia membisu selama beberapa saat, kemudian
ia berkata, hampir kepada dirinya sendiri, "Lebih baik aku tak pernah
datang ke sini." "Jangan berkata begitu," kata Jill.
"Mengapa?" Ia hampir tersenyum. "Apa kau senang aku di
sini?" "Kau tahu aku senang," jawab Jill. "Tapi... tapi aku tak senang
dengan berbagai hal yang sudah terjadi."
"Aku juga tidak," kata Gabe, kembali serius. "Aku seharusnya
tahu lebih banyak." "Apa maksudmu?"
"Ah, jangan pedulikan," pinta Gabe. "Tapi menurutku
sebaiknya kaulupakan saja semua kebakaran di Fear Street. Kurasa
kebakaran-kebakaran itu sudah berlalu. Jika kau tetap menyelidikinya,
karena alasan-alasan tertentu, jangan-jangan kau sendiri yang
terbakar." Apakah itu peringatan" Jill bertanya-tanya. Atau ancaman"
Dipandangnya Gabe sementara cowok itu mengemudi, matanya yang
hijau tertuju ke jalan. Ekspresi aneh membayang di wajahnya"
hampir seperti kesedihan. Apa yang sebenarnya ingin ia katakan
padaku" tanya Jill dalam hati Apakah ia sendiri yang membakar dan
kini ia sudah kapok"
Gabe membelokkan mobilnya ke halaman rumah Jill dan
mematikan mesinnya. "Aku akan mengantarmu sampai ke pintu,"
katanya. "Aku berhasil menjadi pria sejati sekitar dua atau tiga kali
setahun." Ia memutari mobil dan membukakan pintu untuk Jill, kemudian
dengan lembut merangkulnya seraya membimbingnya sampai ke
teras. Sekali lagi Jill merasa dirinya mencair. Ah, seandainya ia bisa
mempercayai Gabe! Di depan pintu Gabe menunduk dan mencium pipinya.
"Masalahnya jadi terlalu berat," kata Gabe. "Bagaimana jika kita
lupakan soal kebakaran serta tuduhan-tuduhan itu, dan nonton film
hari Jumat"besok malam?"
"Aku... aku tak tahu," kata Jill bingung.
"Kau tak tahu apakah kau bisa, atau kau tak tahu apakah kau
mau pergi sama aku?" Tak ada senyuman mengejek di wajahnya,
kecuali matanya yang menatap lembut.
"Kurasa," kata Jill, "Aku ingin tahu apa kau benar-benar ingin
pergi bersamaku." Gabe mengerti. "Karena Andrea?" Jill mengangguk. "Aku
sangat menyukainya, Jill. Dan kuharap dia segera sembuh. Tapi
malam itu" beberapa hari lalu itu"dia tiba-tiba menciumku. Aku
bisa apa?" "Aku hanya ingin memastikan," kata Jill, "Cuma itu yang
terjadi. Tidak lebih."
"Apa ini berarti kita pergi Jumat malam?"
"Tentu," sahut Jill. "Mengapa tidak?"
"Bagus," ujar Gabe. Ia mencium Jill lagi, kali ini di bibirnya,
kemudian menunggu Jill membuka pintu. "Sampai ketemu lagi,"
katanya. Jill menutup pintu dan bersandar, jantungnya berdebar. Oh,
Gabe, pikirnya, bagaimana cara menghadapi dirimu"
Pertanyaan sebenarnya, tentu saja, adalah bagaimana
menangani perasaannya terhadap Gabe"
Ia menuju ke ruang keluarga dan menemukan Mittsy tengah
meringkuk di sofa, pesawat televisi menyala dengan suara pelan.
Dimatikannya televisi itu. Orangtuanya pergi bermain bridge bersama
teman-teman mereka, dan rumah itu terasa kosong.
Ia duduk sambil mengelus kucingnya, sementara matanya
menatap kosong ke arah televisi. Pikirannya mengembara pada
Andrea, Gabe, dan kebakaran itu. Namun ia lebih banyak memikirkan
Gabe. Mungkin Gabe benar, bahwa hal terbaik yang harus ia lakukan
adalah melupakan kebakaran itu. Bahkan jika Gabe penyebabnya"
atau ia tahu siapa pelakunya"tampaknya Gabe bermaksud
mengatakan padanya bahwa takkan ada kebakaran lagi.
Direntangkannya tubuhnya, kemudian ia memutuskan
mengerjakan PR aljabar. Baru saja ia akan naik ke atas ketika bel
pintu berbunyi. Mungkin Gabe, pikirnya. Ia membuka pintu dan terkejut
melihat dua pria berjas berdiri di sana. "Saya Detektif Frazier," kata
pria yang lebih tinggi sambil menunjukkan kartu identitasnya. "Ini
rekan saya, Detektif Monroe. Apakah kau Jill Franks?"
"Ya." "Bolehkah kami masuk" Kami ingin bertanya tentang
kebakaran di Fear Street."
BAB 21 "SILAKAN masuk," kata Jill, berharap suaranya tak gemetar.
Jangan gugup, ia berkata pada diri sendiri. Kau tak bersalah.
"Kami minta maaf karena mengganggumu malam-malam
begini," kata Detektif Frazier. "Bisa ceritakan pada kami di mana kau
berada semalam, tanggal dua puluh?"
"Semalam" Saya keluar jalan-jalan," jawab Jill.
"Oh ya?" kata Frazier. Ia kelihatan ramah dan tak curiga sama
sekali. "Catatan kami mengindikasikan salah satu anggota kami
melihatmu di Fear Street semalam, tepat sebelum terjadi kebakaran


Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang membunuh seorang gelandangan. Si petugas mengatakan
mobilmu mengalami masalah."
"Betul," kata Jill. "Mobil saya mogok."
"Kau tak keberatan menceritakan pada kami apa yang
kaukerjakan di Fear Street?" tanya Detektif Monroe.
Jill berpikir cepat. "Saya... saya bertengkar dengan pacar saya.
Saya tak ingin ada di rumah jika dia menelepon. Jadi saya pikir lebih
baik saya jalan-jalan dengan mobil. Saya tak sadar telah tiba di Fear
Street sampai mobil saya mogok."
Detektif Frazier mengangkat salah satu alis matanya.
"Ketika di Fear Street, apakah kau melihat sesuatu yang
mencurigakan?" "Saya tak melihat apa-apa," sahut Jill. "Saya terlalu sibuk
mencoba menghidupkan mobil saya." Ia heran, kok ia bisa lancar
berbohong. Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan" Ia hampir yakin bukan
Max dan Nick yang menyebabkan kebakaran itu, dan jika ia menyebut
nama mereka, keduanya akan mendapat kesulitan besar.
Tapi bagaimana jika memang mereka penyebabnya" Sebagian
dirinya ingin mengungkapkan segalanya, supaya semua tuntas.
"Kau tak melihat orang lain?" tanya Monroe. "Apakah kau
melihat kebakaran itu?"
"Tidak, sungguh," katanya. "Saya tak melihat apa pun."
"Catatan kami mengindikasikan kebakaran itu diinformasikan
melalui kotak kebakaran di sudut jalan antara Old Mill Road dan Fear
Street, kira-kira pada saat kau ada di sana," katanya.
"Itu pasti orang lain," kata Jill. Ia memandang kedua detektif itu
dengan sungguh-sungguh, tapi wajah-wajah mereka kelihatan tenang
dan tidak curiga. "Yah, kukira cukup sekian saja," kata Frazier dengan ceria,
sambil menutup buku catatannya. "Kami tak akan menyita waktumu
lebih lama lagi." Mereka tak mencurigaiku, pikir Jill lega.
"Jika terpikir olehmu sesuatu yang mungkin menolong
penyelidikan kami," tambah Detektif Monroe, "Tolong hubungi
kami." Ia memberi Jill kartu nama lengkap dengan nomor teleponnya.
Kemudian kedua petugas itu berjalan keluar pintu. Mereka hampir
menuruni tangga teras ketika tiba-tiba Detektif Frazier berbalik.
"Ngomong-ngomong," katanya, dan kali ini wajahnya tak ramah, "jika
kami memerlukanmu, kami tahu di mana kau berada."
BAB 22 JILL mengintip melalui tirai ruang tamu sampai polisi-polisi itu
pergi, kemudian, dengan perasaan terguncang, pergi ke kamarnya dan
bersiap tidur. Ia merasa sedih, berdosa, dan hampir menangis.
Apa salahku" pikirnya. Jika tadi ia menyebut Max dan Nick,
mereka akan menjadi tersangka utama. Padahal ia yakin mereka bukan
pelaku kebakaran itu. Lebih buruk lagi, semua tentang permainan api
itu akan terbongkar, termasuk pesan komputer itu, padahal Andrea
sudah cukup mendapat kesulitan.
Memikirkan Andrea membuat perasaannya semakin buruk.
Apakah ia memang mengalami kecelakaan" Jika tidak, apa yang telah
terjadi, dan siapa yang bertanggung jawab"
Ditekannya nomor telepon rumah sakit dan minta
disambungkan ke bagian informasi pasien. "Andrea Hubbard,"
katanya. "Dia masuk tadi pagi. Aku hanya ingin tahu bagaimana
keadaannya." Sesaat sunyi ketika wanita di rumah sakit memeriksa arsip.
"Tak ada perubahan," ia akhirnya melaporkan.
Jill mengucapkan terima kasih dan menutup telepon. Tak ada
perubahan. Itu berarti Andrea tetap tak sadar. Ia ingat tadi pagi betapa
pucat dan kusutnya Andrea. Bagaimana jika ia tak pernah sadar lagi"
Tiba-tiba Jill sadar ia tak bisa terus berbohong. Begitu pula
mereka semua. Polisi mungkin tak mencurigainya sekarang, tapi
mereka tahu ia ada di Fear Street malam itu. Dan mungkin juga ada
yang melihat mobil ayah Nick.
Hanya ada satu jawaban. Mereka semua harus ke kantor polisi
dan mengatakan apa yang mereka ketahui. Dengan sangat lega, Jill
menekan nomor telepon Diane.
Diane, simpatik seperti biasanya, mendengarkan Jill dengan
serius. "Kau bilang polisi tak mencurigaimu?" tanyanya.
"Tidak," tanya Jill. "Tapi bukan soal. Aku hanya sadar semua
ini sudah terlalu jauh. Kita harus mengatakan apa yang kita ketahui.
Aku ingin kau menolongku meyakinkan cowok-cowok itu."
"Itu tidak gampang," kata Diane ragu-ragu. "Maksudku, Nick
dan Max ada di sana ketika rumah itu mulai terbakar."
"Tapi mereka bilang mereka tak melakukannya dan aku
percaya," kata Jill. "Yang sulit diyakinkan adalah Gabe. Dia bilang
padaku aku sebaiknya melupakan semuanya. Menurutnya tak akan
ada kebakaran lagi."
"Kapan dia bilang begitu?" tanya Diane.
"Setelah pertemuan itu," kata Jill. "Dia menjemputku ketika aku
berjalan pulang." "Wah, kejutan dong," kata Diane. "Di akhir pertemuan kalian
bahkan tak saling bicara."
"Aku tahu," kata Jill. "Jangan tersinggung, karena dia temanmu,
tapi Gabe memang aneh. Mula-mula dia serius banget membicarakan
kabakaran itu, lima menit kemudian dia sudah bersikap ceria dan
mengajakku kencan." "Sungguh" Kau menolak, bukan?"
"Kubilang aku mau," kata Jill. "Tetapi setelah polisi datang, aku
tak tahu. Aku tak tahu apakah aku ingin kencan dengan seseorang
sampai semua masalah ini terpecahkan."
"Menurutku kau benar," komentar Diane. "Perasaan Gabe
biasanya sangat mudah berubah, dan..."
"Kupikir juga begitu," kata Jill.
"Aku punya ide," kata Diane. "Bagaimana jika kita lupakan saja
Gabe dan yang lainnya" Kau dan aku bisa pergi ke pondok orangtuaku
akhir pekan ini. Untuk melupakan semuanya."
"Kedengarannya asyik juga," kata Jill. "Tapi bagaimana dengan
polisi?" "Aku setuju dengan usulmu. Memang sebaiknya kita
mengatakan pada mereka apa yang kita ketahui," kata Diane. "Tapi,
Jill, kau terlalu bingung. Kau belum bisa berpikir jernih. Jika kita
pergi ke pondok, kita akan punya waktu untuk memikirkan apa yang
akan kita ceritakan pada mereka. Selain itu, mungkin ketika kita
kembali, mereka telah menemukan pelakunya dan kita tak perlu
mengatakan apa pun."
Jill berpikir sebentar. Mereka cuma akan pergi dua hari saja.
Dan Diane benar"ia memang terlalu bingung, tak bisa berpikir
jernih. Gabe mungkin akan marah karena ia mengingkari janji"tapi
saat ini ia merasa tak dapat pergi keluar dan pura-pura seolah-olah tak
terjadi apa-apa. "Oke, jadi kita berakhir pekan nanti," kata Jill. "Nyatanya,
memang ini yang kubutuhkan."
BAB 23 "INI gagasan paling bagus, Diane!" Jill bersandar pada bantalan
kursi dan menjulurkan kakinya ke arah perapian. "Keluargamu baik
sekali membolehkan kita memakai pondok ini."
"Ayahku harus bekerja akhir pekan ini, jadi mereka tak
mungkin menggunakannya," kata Diane.
"Beberapa patungnya heboh juga nih," komentar Jill,
mengagumi patung logam berbentuk tak keruan yang hampir mengisi
setiap permukaan datar. Sebuah hiasan gantung logam bergantung di
tengah ruangan, berayun-ayun mengeluarkan suara, mengikuti
embusan angin. "Itu salah satu favoritku," kata Diane, mengikuti tatapan Jill.
"Dad bilang dia akan memberikannya padaku jika aku punya rumah
sendiri suatu hari nanti." Ia menggeliat dan menguap. "Mau pizza
lagi?" "Aku kenyang," kata Jill. Mereka tidak masak di luar,
melainkan memanaskan pizza beku di microwave.
"Aku juga," kata Diane.
"Di sini menyenangkan sekali, sangat tenang," kata Jill.
"Sudah kubilang kita bisa menenangkan diri akhir pekan ini,"
ujar Diane setuju. "Gabe bilang apa ketika kau bilang kau tak bisa
pergi bersamanya malam ini?"
"Dia tak marah kok," sahut Jill, masih merasa aneh dengan
percakapan itu. "Aku bilang padanya orangtuaku ingin aku tinggal di
rumah. Dia bilang dia mengerti. Sikapnya kadang-kadang bisa manis."
"Aku tahu," kata Diane.
"Lain waktu gampang sekali dia marah. Kalau bukan karena
dia, takkan pernah ada kebakaran."
"Dia memang selalu begitu," kata Diane. "Selalu ingin
melakukan sesuatu yang berbeda, meskipun itu gila."
"Bagaimanapun," lanjut Jill, "Tak bisa kuhindari, aku merasa
Gabe adalah kunci semuanya" bahkan meskipun bukan dia yang
membakar rumah di Fear Street. Kita harus bicara dengannya, Diane.
Segera setelah kita sampai di rumah."
"Ya," kata Diane, "tapi sekarang, mari kita lupakan semuanya.
Tenang sajalah." "Tapi bukankah kita telah setuju untuk memikirkan apa yang
akan kita lakukan untuk menghadapi masalah ini?" desak Jill.
"Jangan kuatir," kata Diane. "Kita akan membicarakannya. Tapi
kan tidak perlu terus-terusan." Ia menguap lagi. "Aku mau mandi
dulu. Kau mau ke kamar mandi?"
"Tidak, terima kasih. Aku mau duduk saja di sini dan membaca
sebentar." Diambilnya novel sejarah yang sudah beberapa lama
dibacanya. Setelah beberapa saat ia sadar ia membaca halaman yang
sama berulang-ulang. Wah, kacau, pikirnya seraya meletakkan buku itu. Aku takkan
bisa konsentrasi pada apa pun sampai kami menyelesaikan semua
masalah ini. Diane tampaknya tak ingin membicarakannya, dan Jill
tak bisa menyalahkannya. Masalah itu sudah sangat membebani
pikiran mereka. Tapi lebih baik dibicarakan dan diselesaikan.
Segera setelah Diane selesai mandi, pikir Jill, aku akan
mendesak.... Pikirannya terganggu deringan telepon. Setelah beberapa saat
barulah ia dapat menemukannya, di atas bangku di antara alat-alat
mematung milik ayah Diane.
"Halo?" katanya.
"Hai," kata suara yang sangat dikenalnya.
"Andrea!" teriak Jill. "Apa kabar?"
"Mulai baik," kata Andrea. "Dokter bilang aku akan sembuh.
Agak mengacaukan rencana kecilmu, bukan?"
"Apa maksudmu?" tanya Jill. "Aku sangat senang kau baik-baik
saja!" "Aku percaya," kata Andrea. "Tapi berhentilah berpura-pura.
Aku tahu perbuatanmu. Ketika kau tak muncul, aku mulai pemanasan
di balok keseimbangan"mungkin itu pula yang kauperkirakan.
Selanjutnya, yang kutahu seseorang memukulku dari belakang. Itu
pasti kau." Kengerian menjalari punggungnya. "Andrea," kata Jill hati-hati,
"Itu tak masuk akal. Kepalamu baru saja cedera berat. Mungkin kau
perlu tidur cukup malam ini, dan kita bisa bicara lagi besok pagi."
Andrea tertawa. "Aku mungkin cedera," katanya, "Tapi aku
tidak kena amnesia. Dan aku punya banyak waktu untuk berpikir. Aku
tahu kau juga mencetak pesan-pesan itu, pada hari kau datang ke
rumahku. Aku tahu semuanya, Diane."
"Diane?" Jill terkesiap. "Andrea... ini aku, Jill."
"Jill!" Andrea terdengar sangat terkejut. "Aku... aku tak
mengenali suaramu. Aku tak tahu kau ada di sana."
"Diane mengundangku berakhir pekan," kata Jill. "Tapi, apa
maksudmu..." "Jill, dengarkan aku," kata Andrea mendesak. "Kau harus keluar
dari sana. Segera! Diane berbahaya! Menurutku dialah yang
menyebabkan kebakaran itu. Aku tahu dia memukul kepalaku..."
"Tapi, Andrea, itu tidak masuk akal! Diane takut dengan api,
dan mengapa dia ingin melukaimu?"
"Untuk menjauhkan aku dari Gabe!" seru Andrea. "Dia jatuh
cinta padanya, Jill, dan dia gila!"
Gabe! Serasa tenggelam, Jill mulai mengerti. "Tapi, Andrea,"
protesnya, "Jika ucapanmu benar, Diane perlu pertolongan."
"Tentu saja!" kata Andrea. "Itu yang dulu ingin kukatakan
padanya. Aku bahkan ingin menawarkan bantuan padanya. Tapi, Jill,
kita bisa membicarakan hal ini nanti. Dia tahu kau kencan dengan
Gabe. Kau harus keluar dari sana. Ayolah! Pergi sekarang juga."
"Tapi dia mengundangku kemari sehingga kami bisa
memikirkan..." "Itu bahkan lebih buruk lagi! Ayolah, Jill, ayo, tinggalkan
tempat itu. Berjanjilah kau akan pergi sekarang. Kita bisa memikirkan
tindakan selanjutnya nanti."
Jill sudah hendak memprotes lagi, tapi desakan dan ketakutan
Andrea nyata sekali, dan Jill mulai panik. Jika kata-kata Andrea benar,
itu berarti Diane adalah pembunuh. Dan ia telah mencoba membunuh
Andrea. Sekarang Jill berada di pondok itu bersamanya.
"Oke, Andrea," katanya. "Aku tinggalkan tempat ini sekarang.
Aku akan meneleponmu segera setelah aku sampai di rumah."
Segera ia menutup telepon, lalu menyambar tasnya. Masih
didengarnya suara air mengalir di kamar mandi. Terpikir olehnya
untuk memberitahu Diane bahwa ia merasa sakit dan mau pulang, tapi
ia ingat nada mendesak dalam suara Andrea, sehingga ia menyelinap
keluar pondok dan menutup pintunya.
Di mobilnya, ia membuka tas tangannya dan mencari kunci.
Biasanya ia menyimpan kunci-kunci itu di bagian yang ada
ritsletingnya. Tapi tak ada apa-apa di sana kecuali lipstik dan
sebungkus tisu. Dinyalakannya lampu, dan dituangnya semua isi
tasnya ke tempat duduk di sebelahnya.
Tak ada kunci. Ia mengaduk-aduk seluruh isi tasnya lagi.
Tak ada kunci. Apakah Diane telah mengambilnya"
Jika demikian, itu berarti ia ingin memastikan Jill tetap tinggal
di sana"mungkin untuk selamanya.
BAB 24 JILL kedinginan. Ketakutan yang tak beralasan menjalari
tubuhnya. Aku harus keluar dari sini, pikirnya.
Ia keluar dari mobil dan melihat ke sekeliling dengan panik.
Dari danau tampak jalan setapak menuju hutan. Jika ia mengikutinya,
ia akan sampai ke jalan besar atau bahkan mungkin ke pondok lain,
pondok yang memiliki telepon sehingga ia bisa meminta pertolongan.
Bulan tak tampak, dan hutan itu gelap, seolah tempat terlarang.
Ia pernah mendengar hutan Fear Street jauh lebih lebat daripada hutan
mana pun. Belum lagi berbagai kisah seram lain yang pernah ia dengar"
seperti cerita tentang mayat hidup yang berkeliaran di hutan pada
malam hari. Atau fakta bahwa beberapa orang yang bertualang di
hutan itu tak pernah kelihatan lagi. Ia tak mau memikirkan semua itu.
Di ujung jalan setapak ia memaksa diri untuk berhenti dan


Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghela napas dalam tiga kali untuk menenangkan diri. Ia berpaling
kembali ke pondok dan melihat lampu kamar mandi telah padam.
Jill sadar Diane sekarang tahu ia telah pergi. Tanpa pikir
panjang ia mulai menyusuri jalan setapak itu, langsung menuju ke
kegelapan pohon-pohon dan ilalang yang lebat itu.
Tahu-tahu Jill menemukan dirinya dalam kegelapan total.
Cahaya dari pondok Diane adalah kenangan. Ia berjalan secepat
mungkin tapi harus hati-hati supaya tetap di jalan setapak itu. "Oh!"
jeritnya. Ia malah berjalan masuk ke semak-semak.
Sesuatu mendengking, kemudian menjauh di belakangnya.
Rakun, pikirnya. Atau mungkin burung.
Ia terus berjalan, lebih hati-hati dari sebelumnya. Dan ia sadar
ada suara di belakangnya. Suara orang berjalan, suara ranting kering
patah dalam irama tetap. Seseorang mengejarku! pikirnya.
Atau sesuatu. Jantungnya berdetak sangat keras sehingga ia hampir tak bisa
bernapas. Di depan ia melihat celah di antara pepohonan. Ia sengaja
keluar dari jalan setapak, kemudian membeku di balik pohon ek besar,
menunggu makhluk yang mengikutinya lewat.
Suara langkah kaki tetap terdengar, tapi ia tak dapat melihat apa
pun. Beberapa saat kemudian suara itu kian samar di kejauhan.
Mungkin hanya angin, pikirnya.
Mungkin. Pokoknya ia tak berani mengikuti jalan setapak itu lebih jauh
lagi. Sebaliknya ia menerobos pepohonan, mencoba tetap berjalan di
dekat danau. Pasti ada pondok di sana, pikirnya. Banyak orang memiliki
pondok di hutan. Tapi tak tampak cahaya sedikit pun, hanya hutan dan hutan.
Mendadak ia sangat takut, sadar ia tak yakin lagi di mana letak
danau itu, atau bahkan jalan setapak itu. Suasananya amat gelap, ia
bahkan tak yakin dari arah mana ia datang.
Tak mungkin, pikirnya. Aku tak mungkin berada di tengah
hutan Fear Street, di malam hari, sendirian pula. Aku tak mungkin
tersesat. Tapi semua sungguh terjadi.
Ia memaksa dirinya berhenti dan mengambil napas. Mungkin ia
bisa menunggu di sini, di tempat ini, sampai pagi hari.
Tentu saja, Jill, katanya pada diri sendiri. Tunggu saja di sini, di
kegelapan, bersama mayat hidup yang berkeliaran dan pembunuh
yang mengejarmu. Ketakutan begitu mencekamnya sehingga ia ingin
tertawa"atau menangis.
Ia mulai berjalan kembali ke arah danau, kali ini lebih lambat.
Ia sadar seharusnya sejak tadi ia mengitari danau, dengan begitu ia
pasti akan menemukan pondok-pondok lain. Bahkan ada kedai kecil di
sisi danau, di seberang pondok orangtua Diane.
Ayo, temukan danau itu, katanya pada diri sendiri.
Ia terus berjalan, berharap arah yang diambilnya benar. Lama
kemudian, tapi mungkin sebetulnya hanya beberapa menit, ia melihat
cahaya di kejauhan. Cahaya itu bergerak. Itu lampu senter! Pikirnya. Ada yang dapat menolongku!
Lemas karena lega, ia mulai berjalan terhuyung-huyung ke arah
lampu itu. "Halo!" Jill memanggil. "Saya tersesat! Dapatkah Anda
menolong saya?" "Tentu saja," kata orang yang membawa senter itu. Sosok itu
mendekat, dan Jill merasa jantungnya tenggelam ke bawah kakinya.
Diane. BAB 25 "SEDANG apa kau di luar sini?" tanya Diane, mata birunya
membelalak kaget. "Jill, aku sangat kuatir." Ia mengenakan jaket
untuk menutupi jubah mandinya, rambutnya masih dibungkus handuk.
Jill tak dapat segera menjawab.
Bagaimana Diane menemukannya"
Diane menjawab, seolah-olah ia dapat membaca pikirannya,
"Ketika aku tahu kau tak ada di pondok, kupikir"oh, entah apa yang
kupikir, pokoknya aku ketakutan. Kemudian aku menemukan kunci
mobilmu tergeletak di teras."
"Aku tersesat," kata Jill bingung. "Bagaimana kau
menemukanku?" "Aku mengikuti langkahmu," kata Diane. "Kau berjalan
memutar. Pondok itu tepat di sana."
Jill berbalik ke arah yang ditunjuk Diane. Ia cukup yakin,
cahaya lampu kabin itu terlihat dari hutan.
"Tapi apa sih yang kaukerjakan di luar sini?" ulang Diane. "Tak
aman berada di hutan malam hari."
"Aku tahu," kata Jill. "Aku hanya... hanya ingin mencari udara
segar." "Udara di sini dingin," kata Diane. "Lihat, kau gemetar. Ini,
pakai jaketku." Dilepasnya jaket itu dan disampirkannya pada bahu
Jill. "Jill yang malang, kau pasti bingung setengah mati, sampaisampai kau berbuat bodoh begini. Ayo, kembali ke pondok. Kita bisa
membicarakan soal itu jika kau mau."
Jill tak tahu harus berpikir apa. Diane tampak seperti biasanya,
selalu mencemaskan orang lain. Bagaimana bisa ia berbuat seperti
yang dituduhkan Andrea"
Di sisi lain, Andrea jelas-jelas sangat panik tadi.
Tapi jika tuduhan itu benar, bahkan jika ia pelaku kebakaran itu,
apa yang bisa Diane lakukan padanya" Jill lebih besar darinya. Dan
jika ia yang menyebabkan kebakaran-kebakaran itu, mungkin ia ingin
membicarakannya. Mungkin jika Jill masuk dan bersikap tenang, ia
akan tahu apa sebenarnya yang terjadi.
Pondok itu terasa hangat dan menyenangkan setelah saat-saat
menakutkan di hutan itu, dan Jill berdiri di dekat perapian, mencoba
menghangatkan badan. "Aku akan buat teh," kata Diane. "Cuma sebentar kok. Mengapa
kau tak membungkus diri dengan selimut itu dan duduk di dekat api?"
Jill mengikuti saran Diane. Ia mengawasi Diane memanaskan
air, wajahnya yang cantik menggariskan kekuatiran.
Bagaimana mungkin Diane berbuat jahat, seperti yang
dituduhkan Andrea" pikirnya. Ia demikian manis dan penuh perhatian.
Mungkin, entah bagaimana, kecelakaan itu mempengaruhi pikiran
Andrea. "Terima kasih," ucap Jill ketika Diane membawakan teh
untuknya. "Hiruplah pelan-pelan," kata Diane. Ia duduk di kursi kulit tua
tanpa sandaran, di seberang Jill.
Bagaimana aku memulainya" pikir Jill. Tapi Diane
menyelamatkan masalahnya.
"Kayaknya aku mendengar telepon berdering sementara aku di
kamar mandi," kata Diane. "Siapa tadi?"
Jill menghela napas dalam. "Andrea."
"Sungguh?" kata Diane, terkejut. "Tapi kukira dia belum sadar."
"Dia berhasil mengatasinya," kata Jill. "Dia akan sembuh.
Tetapi, Diane... dia mengatakan sesuatu yang sangat membingungkan.
Tentang dirimu." "Aku" Apa maksudmu?" tanya Diane.
"Maksudku," kata Jill, menelan ludah, "Menurut Andrea kaulah
yang menulis pesan itu."
"Pesan itu" Maksudmu pesan yang dicetak dengan tinta biru"
Andrea pikir aku yang melakukannya?"
"Ya," jawab Jill.
"Konyol sekali!" seru Diane. "Itu komputernya"kita semua
tahu itu." "Yang paling yakin itu komputer Andrea adalah kau," kata Jill,
tiba-tiba sadar. "Kami, yang lain, tetap mengatakan itu mungkin
komputer lain yang juga bertinta biru."
"Jadi kau pikir aku yang menulis pesan itu?" tanya Diane. Ia
tampak amat terkejut. "Entahlah," kata Jill jujur.
"Apa lagi yang dikatakan Andrea?"
"Dia bilang... dia bilang kau memukulnya dari belakang ketika
dia sedang berlatih di balok keseimbangan."
"Dia bilang begitu padamu," ujar Diane. Itu bukan pertanyaan.
"Ya." "Dan kurasa kau percaya?" kata Diane. Wajahnya berubah,
ekspresinya tak lagi manis dan peduli. Ia tampak marah dan penuh
tekad. Tapi penuh tekad untuk apa"
"Kan sudah kubilang," kata Jill, "Aku tak tahu apa yang
kupercayai." Diane mengembuskan napas dan tersenyum. Senyumnya aneh.
"Oke, Jill, kukira ini saatnya menyatakan kebenaran. Akulah yang
menulis pesan-pesan itu. Dan, ya, aku memang memukul Andrea."
"Tapi... tapi mengapa?" Jill merasa ngeri.
"Mengapa?" Diane tertawa. "Gampang saja. Karena dia tahu
yang sebenarnya! Dan sekarang, sori, kau sudah tahu juga...."
BAB 26 UNTUK beberapa saat Jill hanya memandang Diane,
perasaannya terguncang. Meskipun Andrea telah mengatakannya,
walaupun Diane telah mengakuinya, ia tetap tak bisa percaya.
Benarkah ini Diane" Diane yang manis, baik budi, yang baru
lima menit lalu dengan penuh kasih membuat secangkir teh panas
untuknya. Ia hampir tak mengenali gadis yang sekarang duduk di
seberangnya, wajahnya yang biasanya manis dan cantik berubah
kejam dan mengejek. Diane membuka handuk yang menutupi kepalanya dan
mengibaskan rambutnya yang basah berombak hingga tergerai.
"Ada apa, Jill?" tanyanya. "Lidahmu kelu?"
"Aku hanya... tak percaya," kata Jill.
"Oh, sungguh" Yah, ini benar. Banyak hal yang tak kauketahui,
Jill. Kau hidup di dunia mimpi, dengan semuanya berjalan sesuai
keinginanmu, dengan cowok-cowok jatuh cinta padamu. Kau pikir
kau bisa mendapatkan cowok mana pun yang kaumau, bukan?"
"Aku tak pernah berpikir begitu."
"Tak pernah?" tanya Diane. "Bagaimana dengan Gabe?"
"Aku baru sekali kencan dengannya," kata Jill pelan,
kekagetannya berubah menjadi kengerian.
"Tapi kau punya rencana besar untuknya, kan?" lanjut Diane.
"Mungkin berpikir kau dapat menambahkan namanya di daftar
cowokmu, bersama Nick dan Max." Kemudian, dengan kemarahan
tiba-tiba, ia menambahkan, "Tapi kau tak bisa memilikinya!"
Jill terus menatap Diane, muak dan ngeri melihat tatapan benci
di wajah Diane. "Kau sendiri bilang kau tak mencintainya," protes Jill.
"Kau bilang pada Andrea dia hanya seorang teman lama."
"Memangnya aku harus bilang apa?" ejek Diane. "Bahwa aku
mencintai dia sejak aku kecil" Bahwa aku dan Gabe tak mungkin
bersama" Teman sejati seharusnya sudah tahu!"
"Diane, aku minta maaf." Jill berbicara cepat-cepat, mencoba
menjelaskan pada Diane. "Aku tak pernah bermaksud menyakitimu.
Aku takkan pernah kencan dengan Gabe jika aku tahu perasaanmu.
Dan aku berjanji... aku tak akan pernah lagi menemuinya!"
"Sudah terlambat," kata Diane dingin.
Jill tiba-tiba merinding. "Apa maksudmu?"
"Menurutmu apa?" sergah Diane. "Maksudku, kau tak akan
pernah punya kesempatan lagi." Ia diam sejenak, lalu melanjutkan
dengan tegas. "Aku sempat berpikir kau berbeda"tidak seperti
Andrea. Ketika aku melihatnya mencium Gabe, aku tahu aku harus
menyingkirkannya." "Tapi kau sendiri yang mengusulkan Gabe menulis musik untuk
gerakan senam Andrea."
"Kukira tak berlanjut begitu jauh," kata Diane.
"Apakah itu sebabnya kau memukulnya?" tanya Jill.
"Enak saja! Sudah kubilang aku memukulnya karena dia tahu
aku yang menjebaknya dalam kebakaran di Fear Street."
"Jadi kau yang menyebabkan kebakaran itu?" tanya Jill
tercengang. "Kebakaran-kebakaran itu," jelas Diane. "Lebih dari satu. Aku
juga yang menyebabkan mobil Gabe terbakar."
"Tapi... mengapa?" Cerita Diane terdengar semakin gila dan
gila. "Aku melihat Gabe bersama seorang cewek di taman malam
itu," cerita Diane. "Dia bernyanyi untuknya"menyanyikan lagu yang
dulu dia tulis buatku. Aku tak tahu cewek itu kau. Dari caranya
mencium, kupikir itu Andrea."
"Jadi kaubakar mobilnya?" tanya Jill tak percaya.
"Kupikir hal itu akan membuatnya tak lagi kencan dengan
cewek itu," kata Diane, suaranya tenang dan bijaksana. "Aku tak mau
Gabe melihatku. Ketika aku melihat mobil ayahnya, hah, semua jadi
gampang. Dia tak pernah menguncinya."
"Tapi bagaimana kau sanggup berbuat begitu" Kau takut pada
api!" Ekspresi Diane berubah lagi, tampak senang. "Dulu memang.
Pernahkah kau mendengar soal hubungan benci dan sayang" Lama
aku berpikir api adalah musuh. Namun kini, setelah aku tahu apa yang
bisa dilakukan dengan api, api adalah temanku."
Jill sadar Diane sudah gila. Bagaimana bisa aku mengenalnya
selama berbulan-bulan dan sama sekali tak menyadarinya"
Mungkinkah aku membuatnya terpojok, pikir Jill. Jika kami tak
main-main dengan api, mungkin semua ini tidak terjadi.
"Diane," Jill berkata dengan lembut, sekali lagi mencoba
menjelaskan. "Aku menyesali semua yang terjadi. Dan aku tahu
keberadaanku di sini membuatmu bingung. Jadi, jika kauberikan kunci
mobilku padaku, aku akan langsung pulang dan kita bisa
membicarakan semua ini minggu depan."
"Pulang?" hardik Diane. "Mengapa aku harus membiarkanmu
pulang" Aku sudah merencanakan akhir pekan ini, Jill. Aku sudah
menyingkirkan Andrea, dan sekarang waktunya menyingkirkanmu."
Tubuhnya lebih kecil dariku, Jill mengingatkan diri sendiri. Ia
tak dapat menyakitiku. Jill berdiri. "Di mana kunci mobilku, Diane?"
Diane tersenyum lagi dan merogoh saku jubah mandinya.
"Maksudmu ini"' tanyanya sambil memainkan satu set kunci di dalam
dompet kulit berwarna hitam.
"Berikan padaku," perintah Jill.
"Kalau kau sungguh-sungguh menginginkannya," kata Diane,
"Ambil sendiri!" Dilemparkannya dompet itu ke perapian. Dan
dompet itu langsung lenyap di balik balok kayu yang membara.
"Oke, kalau begitu aku jalan kaki," kata Jill, menuju ke pintu.
Meskipun harus menghadapi hutan Fear Street, baginya tinggal
bersama Diane lebih menyeramkan.
"Oh, tidak! Tidak bisa!" teriak Diane, berlari mengejar. Ia
menangkap Jill dari belakang. Jill tersungkur ke lantai, napasnya
terengah-engah. Diane menjambak rambut Jill.
"Hentikan!" pekik Jill. "Jangan ganggu aku!" Jill memutar
tubuhnya, meronta, dan akhirnya berhasil berbalik. Tapi Diane
kembali menghimpitnya, mencakar, dan memukulinya.
"Kau selalu meremehkan aku! Menganggap aku lemah!" Diane


Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terus memukul, napasnya terengah-engah. "Diane yang manis dan tak
berbahaya! Nah, bagaimana pendapatmu sekarang?"
"Diane, stop! Jangan!"
Jill mengangkat kedua tangannya ke atas, berusaha menangkis
pukulan tapi"tak disangka"Diane sangat kuat dan cepat. "Aku ikut
pelajaran bela diri musim panas lalu," kata Diane puas.
Jill mati-matian meraih jubah mandi Diane, berusaha
melepaskan himpitannya. Diane tak bergeser. Tapi jubah mandinya terlepas. Jill
menatapnya dan menjerit ketakutan.
Tubuh Diane, dari bahu sampai pinggul, dipenuhi parut merah
panjang seperti tali yang malang melintang.
BAB 27 JILL tak bisa berpaling. Ia terus menatap Diane, tubuhnya
lemas karena kaget dan takut. Diane berdiri dan berputar, seperti
sedang memperagakan baju baru.
Luka-luka yang mengerikan itu juga memenuhi punggung dan
bagian belakang lengannya. Jill tak dapat membayangkan rasa sakit
yang telah menyebabkan luka-luka tersembunyi itu.
"Sudah puas?" tanya Diane. "Ini yang terjadi padaku empat
tahun lalu. Aku sedang mengunjungi nenekku ketika pemanas minyak
tanahnya meledak." "Oh, Diane." Jill hampir tak bisa bicara. "Mengerikan sekali!"
"Mengerikan, ya benar," kata Diane. "Lebih dari yang dapat
kaubayangkan selama seratus tahun. Tak ada kata yang bisa
menggambarkan rasa sakit yang kurasakan."
"Sulit dipercaya kau bisa bertahan hidup."
"Aku hampir mati," kata Diane sedikit bangga.
"Semua dokter bilang tak ada kemungkinan bertahan hidup.
Tetapi aku hidup, Jill. Dan kau tahu sebabnya?"
"Tidak," bisik Jill, tak dapat mengalihkan matanya dari
pemandangan mengerikan"tubuh Diane yang penuh luka"itu.
"Karena Gabe," jawab Diane tegas. "Dia datang menjengukku
setiap hari. Dia membawakan tugas-tugas sekolah. Dia memainkan
gitar dan menyanyi, hanya untukku. Dia bicara padaku. Dia
memberiku alasan untuk tetap hidup. Alasan untuk berjuang melawan
sakit." "Dan sejak itu kau jatuh cinta padanya."
"Ya," kata Diane singkat. "Dia teman hidupku yang sejati. Dia
memberiku hidup." Sesaat matanya berair, lalu dia mengerjapngerjapkan mata. "Aku tahu Gabe dulu juga mencintaiku, tapi dia tak
pernah mengatakan apa pun padaku."
"Aku yakin dia menyayangimu," kata Jill, tiba-tiba sadar Diane
hidup dalam mimpi, dan Gabe adalah kesatrianya, kesatria berbaju
zirah mengilap. "Aku tahu. Tapi kami takkan pernah bisa bersama. Tubuhku
hancur. Tidak bisa! Tidak bisal" Diane berteriak, wajahnya berubah
marah. "Aku sudah bilang padanya ratusan kali!"
Benarkah" tanya Jill dalam hati. Atau itu cuma khayalan dalam
kegilaannya" "Aku tahu apa yang kaupikirkan," lanjut Diane. "Kau pikir aku
cuma berkhayal bahwa Gabe mencintaiku. Aku cemburu padamu dan
Andrea." Ia menatap Jill lekat-lekat bicaranya pelan dan tegas.
"Seperti sudah kubilang, aku tak akan pernah menjadi kekasih Gabe.
Tetapi jika aku tak dapat memilikinya, orang lain juga tak boleh"
tidak Andrea, tidak juga kau, Miss Perfect!"
Siap-siap menghadapi serangan lagi, Jill menjauh sebisa
mungkin. Tapi Diane tak menyerangnya lagi. Ia terus bicara, dan Jill
mendengarkan, sekaligus ketakutan dan kagum dengan semua yang
didengarnya. "Oh, Jill," keluh Diane. "Kau lugu sekali, seperti bayi. Sungguh.
Kau sama sekali tak tahu apa-apa, dan kau tak akan tahu"sampai kau
benar-benar mengalami rasa sakit."
"Diane," kata Jill lembut. "Belum terlambat. Kau masih bisa
ditolong. Aku akan menemanimu menemui seorang konselor.
Mungkin ada ahli bedah plastik di New York atau tempat lain..."
Diane tertawa getir. "Jangan coba-coba bercanda, Jill! Tak ada
orang yang dapat membetulkan luka ini!" Ia menunduk dan
memandang tubuhnya dengan kebencian yang jelas. "Ketika cowokcowok itu mulai berlomba membakar, bagimu asyik, bukan" Bagimu
itu cuma permainan, bukan?" Ketika Jill tak menjawab, ia mendesak,
"Betul, kan?" "Ya," Jill mengaku. "Tapi..."
"Kau tak sadar," lanjut Diane, "bahwa api itu masalah yang
sangat serius. Nah, sekarang aku akan menunjukkan padamu seberapa
serius api itu!" Dengan gerakan tiba-tiba Diane mengenakan kembali jubah
mandinya dan, sebelum Jill sempat bergerak atau mengatakan sesuatu,
ia menghampiri meja kerja ayahnya dan meraih alat penyembur api
las. "Tidak!" teriak Jill, berdiri dengan panik.
Tapi Diane berlari mendahuluinya dan berdiri tepat di depan
pintu pondok. "Begini caraku membakar rumah di Fear Street.
Kebakaran itu indah." Ia tersenyum membayangkannya sementara
tangannya menyalakan alat itu.
Dan mengarahkannya tepat pada Jill.
BAB 28 "TIDAK!" Jill menjerit lagi. Ia berputar menjauhi Diane dan
terjerembap ke sofa. "Jangan! Diane, hentikan!"
Tapi Diane berada tepat di belakangnya, dan sofa itu tiba-tiba
menyala. Sementara asap mulai mencekik, Jill berlari menyeberangi
ruangan. Ia mencoba membuka jendela, tapi tidak bisa. Gordennya
menyala. Ia berputar-putar, menghindari panas yang menyengat.
Diane tertawa seperti orang gila, membakar setiap benda yang
didekati Jill. Setiap benda di pondok kini menyala.
Dengan susah payah Jill bernapas di antara asap dan udara yang
sangat panas. Ia mencoba mencapai pintu pondok. Jaket Diane yang
dipakainya terbakar, dan dengan panik ia mengoyaknya supaya lepas.
"Jangan lewat sana, Jill," kata Diane sambil mengarahkan api
las ke arahnya. Jill berhenti dan cepat-cepat berlari menuju dapur.
Di bak pencuci piring terdapat panci besar penuh air sabun.
Tanpa berpikir, Jill meraih panci itu dan melemparkannya ke
arah Diane. Panci itu mengenai bahunya dan membasahi jubah
mandinya, tapi tak menyentuh lidah api yang keluar dari pengelas itu.
"Usaha yang baik, Jill," ejek Diane. "Tapi kau takkan bisa
meloloskan diri dariku sekarang."
Sekali lagi ia mengarahkan api las itu ke arah Jill, dan kembali
Jill berputar menjauh. "Rasakan sakitnya, Jill!" teriak Diane. "Rasakan sakitnya!"
Jill dapat merasakan api las itu menghanguskan rambutnya. Ia
menjerit, kakinya tersandung kursi. Dengan keras ia jatuh
terjerembap, napasnya terengah-engah.
Kini Diane berdiri di dekatnya, wajahnya penuh kebencian,
sementara semua yang ada dalam pondok menyala di sekitarnya.
Diturunkannya pengelas itu perlahan-lahan, langsung
didekatkannya ke wajah Jill.
Ketakutan, Jill memejamkan matanya, merasakan panas yang
amat sangat bergerak mendekat.
Semakin dekat. Matilah aku, pikirnya. Aku mati. Kemudian, tiba-tiba, pintu pondok didobrak hingga terbuka.
Udara sejuk berembus masuk ke pondok.
"Cukup!" teriak suara keras seorang laki-laki. Itu Gabe.
"Kau dengar aku?" teriaknya. "Berhenti, Diane! Berhenti
sekarang juga!" Setengah tidak sadar Jill membuka mata dan, di antara gulungan
asap, melihat Gabe merebut pengelas itu.
Diane menjauh dengan cepat dan Gabe menjerit kesakitan
ketika api membakar tangannya. Keduanya bergumul sengit. Akhirnya
Gabe berhasil merebut pengelas itu dari tangan Diane dan
melemparkannya jauh-jauh.
"Tidakkk!" jerit Diane. "Tiiddaakk!"
Gabe merengkuh bahu Diane dan mendorongnya keluar
pondok, melewati api dan asap. Tak lama kemudian ia kembali dan
menarik Jill keluar. Ia menggulingkan tubuh Jill di tanah untuk
memadamkan api yang mulai membakar bajunya.
"Kau tak apa-apa?" ia bertanya. Alisnya hangus, dan jelaga
tebal menutupi wajahnya yang tampan.
"Kurasa aku baik-baik saja," bisik Jill.
Tanpa berkata lagi, Gabe mendekati Diane yang sedang berlutut
di halaman rumput, badannya gemetar, isak tangisnya tak terdengar.
Dengan lembut Gabe melingkarkan tangan dan memeluknya.
Nyala api besar menyeruak keluar dari pondok, dan Jill
mendengar sayup-sayup suara sirene di kejauhan.
Masih memeluk Diane, Gabe menatap api itu. Ia bicara, hampir
seperti pada diri sendiri.
"Andrea meneleponku," katanya. "Dia bilang kau ada di sini,
Jill. Dia takut kau tak mempercayai kata-katanya."
"Aku hampir tak mempercayainya," Jill mengaku.
Wajah Gabe sangat sedih, dan ia terus bicara sementara jarijarinya membelai rambut Diane. Pelukannya semakin erat. "Diane
yang malang. Kejadian itu sudah lama sekali. Aku sungguh-sungguh
tak mau mengingat betapa takut dan kesakitannya dia. Aku dulu
membawakan PR-nya. Orangtuanya bilang aku telah menolongnya.
Jadi aku datang. Tapi permainan api yang bodoh itu menyebabkan kau
jadi begini." Jill terus memandang Gabe dan Diane, dibayangi nyala api.
Gabe masih berbicara, tapi tidak pada Jill.
Dengan lembut ia terus bicara pada Diane, berulang-ulang
berkata, "Sudah lewat, Diane. Permainan api ini sudah selesai. Untuk
selamanya."END Anak Harimau 5 Pendekar Rajawali Sakti 41 Darah Dan Asmara Perawan Lembah Maut 2

Cari Blog Ini