Ceritasilat Novel Online

Kau Aku Dan Sepucuk Angpau 2

Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye Bagian 2


"Aduh, bagaimana ini. Mending kami turun saja." Dengan cepat bertiga membuat keputusan."
"Tetap duduk, Bu. Ingat antrian, Bu. Tidak boleh pindah ke sepit berikutnya, nanti kacau balau." Petugas"timer"segera menghalangi."
"Kalau yang bawa baru belajar kami tidak mau. Kami pindah saja." Ibu-ibu itu mengotot, menyibak paksa petugas."
"Tenang, Bu. Borno jauh lebih pandai mengemudikan sepit." Pak Tua berusaha menjelaskan, "Dia sudah terlatih. Semua aman.?"
"Tidak mau. Aku tidak mau terbalik di tengah Kapuas, aku tidak pandai berenang." Ibu-ibu itu sudah memaksa masuk antrian penumpang lagi."
Dan hanya soal waktu, dua gadis kuliahan ikut loncat ke dermaga kayu, juga dua bapak-bapak, disusul empat anak SD. Tampang mereka sama, cemas, lebih baik
pindah ke sepit." "Astaga. Sepit berikutnya tidak bisa jalan kalau yang ini belum penuh, Bu." Petugas"timerkalang-kabut membujuk, "Ayolah, Bu. Itu sudah aturan main. Antri
satu-persatu, kita bukan ojek motor kampung yang berebut penumpang!" Bujukannya tidak mempan."
Aku menelan ludah, sekali lagi menyeka keringat di dahi, telapak tanganku sejak tadi basah memegang kemudi. Menatap dermaga yang mulai ruwet, sepertinya
tidak ada yang mau naik ke sepitku. Petugas"timer"berseru-seru memaksa. Pak Tua menatap Bang Togar sebal, dan lihatlah, si pembuat masalah, sekarang duduk
santai di kursi panjang warung pisang Pontianak."
"Ayolah, semua sepit sama, Bu. Lihat, masih ada yang mau naik, bukan." Petugas menunjuk gadis yang sendirian duduk di haluan depan."
Aku seperti tersadarkan, benar, tidak semua calon penumpangku kabur. Masih ada yang bertahan. Gadis itu tetap duduk anggun, seperti tidak tertarik dengan
keributan. Ujung rambutnya melambai pelan diterpa angin pagi."
Lima menit berlalu, pengemudi sepit lain yang tadi bertepuk tangan menyemangatiku, mulai berteriak-teriak sebal menyuruh berangkat. Petugas timer masih
bersikeras membujuk penumpang. Akhirnya dua laki-laki setengah baya itu kembali duduk, disusul lima remaja tanggung berseragam SMA (saling dorong loncat
ke perahu, tidak peduli siapapun pengemudinya), masih kosong dua, petugas berteriak menyuruh siapa yang buru-buru di antrian belakang agar segera maju.
Akhirnya sepasang bule, turis dari manalah dengan ransel besar naik. Cas-cis-cus, potret sana, potret sini. Sepitku akhirnya penuh."
Petugas"timer"menghela nafas lega, "Kau jalan-lah, Borno.?"
Aku mengangguk, menggigit bibir bersiap."
"Hati-hati, Borno. Tidak usah ngebut-ngebut, yang penting sampai." Petugas dengan wajah macam melepas pesawat"kamikaze"berpesan hal sama untuk kesekian
kali." Aku menarik tuas gas. Gelembung air di permukaan sungai buncah, bergemeletuk, sepit bergetar sedikit, aku menggeser kemudi ke kiri, dan segera sepit itu
lincah membelah Kapuas. Lima belas detik, aku sudah meninggalkan dermaga sepuluh meter, menuju seberang. Terpaan angin pagi di wajah membuat tegangku berkurang
drastis, suara motor tempel dan air pecah menerpa lambung perahu membuatku tersenyum tipis, tidak ada yang perlu dicemaskan, ini justeru seru, aku menambah
kecepatan, sepitku gagah melesat. Turis itu bahkan sudah asyik memotretku, tertawa, mengacungkan jempol. Salah-satu dari mereka jahil melangkah ke buritan,
membuat sepit bergoyang, aku segera menggeser tuas kemudi menyeimbangkan, aku sudah terlatih mengatasi riak"pelampung, tidak sulit."
Salah-satu rekan turis duduk di sebelahku,pose, rekannya mengambil gambar. Aku ikut tertawa,"pose. Rekannya menepuk bahu gadis berpayung merah, menunjuk-nunjuk
kameranya, sepertinya dia minta tolong diambilkan gambar. Lantas menyibak penumpang, ikut melangkah ke buritan. Kali ini aku menggenggam kemudi sepit lebih
kencang, ini dua bule seperti jalan di karpet merah, santai sekali."
Gerutu dalam hatiku tidak lama, saat dua bule itu duduk di depanku,"pose, saat aku ikut menatap ke depan, saat itulah aku untuk pertama kali melihat wajahnya.
Payung merah itu sekarang dipegangkan penumpang lain. Gadis berbaju kurung kuning. Alamak."
***" Sebelum loncat turun, dua turis itu merogoh tas pinggang, mencari uang ribuan"sepertinya mereka sudah tahu cara membayar sepit, beda dengan rombongan turis
dari Jakarta dulu, meletakkannya di dasar perahu. Menepuk-nepuk bahuku, bilang "Therimakhasih." Lantas loncat ke dermaga. Remaja tanggung berseragam SMA
sudah berebut naik, saling dorong, "Hati-hati, woi. Jatuh baru tahu rasa kalian." Petugas"timer"memarahi mereka. "Ternyata kau memang sudah mahir." Dua
laki-laki setengah baya dengan wajah lega menyapaku, aku mengangguk tanggung, ikut tertawa lega."
Dan gadis itu, anggun berdiri dari tempat duduknya, payungnya mengembang sempurna, gerakan tubuhnya mulus tidak terpengaruh goyangan sepit, dan kakinya
yang terbungkus sepatu kain berwarna hitam melangkah pelan ke dermaga, tanpa satu kata, segera hilang di ujung antrian, menuju jalan besar yang dipadati
kendaraan." "Cantiknya, Borno." Petugas"timer"tertawa, sejenak menatap punggung, "Kau sempat berkenalan dengannya tak, Kawan?""
Aku menggeleng, menggaruk rambut."
"Woi, kau ini bodoh sekali. Kalau aku, sudah kucatat baik-baik alamat rumahnya." Petugastimer"itu menepuk ujung perahu kayu, "Masuk antrian sana, Borno."
Berseru pada sepit lain, "Satu lagi sepit merapat. Satu lagi!?"
Aku mengantri hampir satu jam, matahari semakin tinggi, payung-payung terkembang memenuhi Kapuas semakin banyak, hingga giliran sepitku. Kali ini agak
lama, sepuluh menit baru penuh, penumpang berangsur sepi. Kali ini tidak ada masalah, tidak ada penumpang yang takut naik sepitku, sepit segera meluncur
ke Kapuas." ***" Apa yang Pak Tua bilang kemarin lalu" Belajarlah membolak-balik hati."
Sebalku pada Bang Togar soal kejadian tadi pagi sebenarnya sudah ditelan kecipak air Kapuas pengalaman pertama kali mengemudi sepit penuh penumpang, sayangnya,
si sok kuasa itu sekarang berdiri persis di tepi dermaga, terlihat benar menungguku. Apa lagi mau dia" Masa ploncoku sudah selesai. Kali ini kalau dia
banyak tingkah, akan kutiru ide Andi, dorong saja jatuh dari dermaga kayu."
Dermaga sudah sepi penumpang, yang ada hanya pengemudi sepit berdiri bersama Bang Togar. Selepas penumpangku turun, memungut gumpalan uang, me-rekennya,
aku menambatkan sepit ke tonggak kayu, lantas melangkah ke dermaga, kenapa Cik Tulani Koh Acung juga ada di sini" Hendak kemana" Mereka sepertinya tidak
terlihat mau berpergian, justeru terlihat menungguku."
"Nah, Borno, resmi sudah kau jadi pengemudi sepit." Bang Togar, lain dari biasanya malah tertawa riang, menepuk bahu saat aku mendekat, menjadi orang pertama
yang menyambutku." Pengemudi lain, Cik Tulani, Koh Acung dan Pak Tua ikut tertawa, bertepuk-tangan. Aku menyeka dahi, habis salah makan obat kah, Bang Togar" Sejak kapan
dia beramah-tamah denganku. Pengemudi lain menjulurkan tangan memberikan selamat, mengacak-acak rambutku, bahkan ada yang berteriak lemparkan Borno ke
air." "Jangan dulu." Bang Togar tertawa, melambaikan tangan menyuruh diam. Kerumunan menurut, semua memperhatikan Bang Togar"yang nampak bersiap memberikan ceramah,
kebiasaan buruknya."
"Kau dua kali bertanya pada Pak Tua bukan?" Bang togar menyeringai, "Bertanya sepit mana yang akan kau bawa narik. Tentu saja bukan sepit tua miliknya,
Borno. Kau berhak dapat yang lebih baik. Jupri! Mana Jupri?" Bang Togar menoleh ke pojokan dermaga. Semua kepala juga menoleh. Dan tanpa kusadari sejak
naik dermaga tadi, di sana telah tertambat satu sepit baru nan mulus, bercat biru, gagah nian diterpa cahaya matahari pagi."
Jupri, salah-satu pengemudi bergegas menghidupkan sepit itu, suara mesin barunya terdengar lembut bertenaga, lantas seperti arak-arakan armada kebanggaan
kerajaan Kutai dulu, sepit itu merapat ke dermaga disambut seruan ramai."
"Ini perahu kau, Borno." Bang Togar membentangkan tangannya, berkata penuh perasaan, "Kau tahu, kakek kau dulu rela berhutang kemana-mana untuk membantu
pengemudi sepit gang ini bertahan hidup. Pagi ini, kami tidak akan membiarkan cucu kakek kau tidak punya sepit. Ini perahu dari kayu terbaik, Borno, dengan
mesin paling canggih, tukang paling ahli. Lihat, sudah kami berikan nama di lambungnya.?"
Aku yang sejenak masih kehilangan kata-kata mengembangkan senyum."
Setengah tidak percaya, mengucek mata. Benarkah itu"sepit"milikku" Ini macam mimpi?"
"Ini semua rencana Togar, Borno." Pak Tua berbisik di tengah keramaian. "Togar yang meminta semua pengemudi, penghuni gang, para penumpang mengumpulkan
sumbangan. Bedanya ya dia tidak sampai membuat surat permohonan berlaminating.?"
Aku tertawa, sudah loncat memeluk Bang Togar erat-erat. Lihatlah sepitku, Ibu, tertulis hebat di lambungnya muasal nama anakmu, BORNEO. Dua rekan pengemudi
sudah menyambar tubuhku, dan tanpa menunggu komando, segera melemparkanku ke permukaan Kapuas. Tergelak."
***" Perayaan kecil khatam belajar mengemudi dan penyambutan sepit baruku sepertinya baru akan selesai satu-dua jam lagi. Sudah dua kali aku dilempar ke permukaan
Kapuas. Sudah tiga pengemudi lain yang ikut kuseret jatuh. Tertawa-tawa. Hingga tiba-tiba, petugas"timermeneriakiku yang basah kuyup sedang duduk di kursi
panjang warung pisang Pontianak, makan-makan ditraktir Bang Togar."
"Hoi, ada barang penumpang tertinggal di sepit kau, Borno!?"
Aku menoleh, merapikan rambut basah di dahi."
"Barang apa?" Bertanya pada petugas"timeryang mendekat."
"Ini! Kau tadi memangnya tidak memeriksa dasar perahu?""
"Ah, Borno paling juga hanya tajam melihat gumpalan uang, mana perhatian dia dengan barang lain." Pengemudi lain menggoda, tertawa."
Aku hendak tertawa, tetapi mulutku menutup. Ini apa?"
"Kutemukan di bangku paling depan sepit Pak Tua, tergeletak di bawah papan melintang. Kau masih ingat siapa saja yang duduk di bangku itu, Borno?""
Aku terdiam, telingaku tidak lagi mendengarkan pertanyaan petugas, mataku sibuk menatap lamat-lamat benda yang kupegang. Alamak" Ini surat bersampul merah,
dilem rapi, tanpa tertera nama."
Surat" Untuk siapa?"
Surat bersampul merah, dilem rapi, tanpa tertera nama itu menjadi bahan percakapan yang seru hingga beberapa hari kemudian. Pertama-tama dengan sohib dekatku."
"Mana kulihat?" Andi, mengelap-elapkan tangannya yang belepotan oli, ingin tahu."
Aku melotot, "Mana bolehlah tangan kotor kau pegang surat ini?""
"Ye lah, ye lah, sebentar." Andi nyengir sebal, melangkah ke keran air."
Sudah lepas pukul delapan malam, tadi kutunggu Andi di balai bambu pinggir gang sambil menenteng gitar butut, jadwal kami menyanyikan lagu-lagu Melayu
sambil menatap seberang kerlap-kerlip Kapuas. Sudah setengah jam aku bernyanyi sendiri, anak-anak ada yang sempat jahil menembakkan pistol bambu berpuluru
jambu itu (membuatku mengejar mereka barang lima menit), peserta pemain kartu tambah ramai (meneriakiku agar bergabung), si Andi Bugis belum datang juga.
Kupikir dia ketiduran atau sakit gatal-gatal badannya kambuh (sebenarnya bukan sakit, kata dokter RSUD Pontianak, itu alergi makanan laut, betapa tidak
beruntung si Andi, padahal di tepian Kapuas, jelas saja masakan paling top adalah"seafood), ternyata Andi masih berkutat dengan motor besar gagah milik
kepala kampung." "Onderdilnya baru datang dari Surabaya, Kawan." Andi menyeka dahi."
Aku mengangguk, memperhatikan betapa semangat dia, "Kau tidak istirahat sejak pagi?""
"Hanya untuk makan dan sembahyang." Andi tertawa kecil."
Naga-naganya, kalau begitu Andi tidak akan mau kuajak ke balai bambu sekarang. Aku ikut nongkrong memperhatikan tangannya bekerja. Membongkar, memasang,
membongkar, memasang lagi, tidak pas-pas juga posisinya. Wajah Andi kusut bercampur penasaran."
"Bapak kau kemana?" Aku bertanya mengisi bengong, maksud pertanyaan itu, kalau ada Bapak kau, sepertinya cepat saja memasang onderdil berbentuk kotak itu."
"Ke Entikong.?"
"Bapak kau mau ke Malaysia?" Aku menyeringai, "Kapan berangkat" Tadi siang masih kulihat menumpang sepit.?"
"Baru lepas maghrib, menumpang bus ke Kuching. Tidaklah, Ayah hanya ke perbatasan saja. Ada urusan kerabat, lamar-melamar, pernikahan macam itulah.?"
Aku menyeringai, mengangguk-angguk. Bagi sebagian penduduk Pontianak, berpergian ke LN itu jamak. Kota ini hanya enam jam dari perbatasan Entikong-Tebedu,
Indonesia-Malaysia. Kalian bisa dengan mudah menumpang kendaraan umum dari Pontianak ke Entikong, lantas melintasi perbatasan, kemudian naik kendaraan
umum Malaysia menuju Kuching, ibukota negara bagian Serawak. Atau kalau mau lebih praktis lagi, menggunakan bus eksekutif kerjasama perusahaan tiga negara,
Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Satu tiket, satu kali bayar, bisa melintasi dua negara sekaligus, Pontianak " Kuching " Miri " Bandar Seri Begawan.
Bus-nya keren dan besar, toiletnya kinclong dan wangi, sopirnya sopan dan rapi, dijamin nikmat sampai negeri tetangga."
Waktu aku kelas dua SMA, teman-teman sekolah sibuk bicara tentang berpergian ke LN. "Kau harus punya paspor. Tidak bisa bebas pergi begitu saja." Teman
yang pindahan dari Jawa setengah tidak percaya. "Ah, itu gampang, kau pinjam saja paspor orang lain, berangkat malam-malam, saat petugasnya mengantuk,
dijamin tidak ketahuan." Kawan satu itu, yang mengaku sudah dua kali melintas perbatasan meringankan masalah. "Kau juga harus bayar fiskal, satu juta."
Nampaknya teman pindahan dari Jawa ini cukup akademis dan tahu teorinya. "Entikong bebas fiskal, kawan. Tidak ada bedanya seperti kau mau Putussibau atau
Ketapang, tinggal melenggang." Kawan satu itu, memang lebih paham prakteknya"mematahkan semua argumen si akademisi."
Maka aku dan Andi setelah bertanya-tanya lebih detail, memberanikan diri mencoba. Liburan panjang, memecahkan tabungan setahun, berbohong pada Ibu, bilang
ada kemping sekolah. Urusan ini membuat penasaran, bagaimana mungkin kalian tidak tergoda untuk pergi ke LN jika semudah itu urusannya" Aku meminjam paspor
kawan satu sekolah itu, sedangkan Andi meminjam paspor Bapaknya"strategi bodoh yang membuat kami ketahuan."
Untuk menghemat uang, kami naik angkutan umum AKDP (antar kota dalam provinsi), putus-putus hingga gerbang perbatasan. Tiba sore, sengaja menunggu dinihari
saat bus-bus besar datang, pelintas perbatasan sedang banyak-banyaknya, dan petugas masih menguap lebar. Benar juga, sepertinya pintu imigrasi keluar Indonesia
akan terlewati dengan mudah, petugas hanya melihat sekelebat foto di paspor, mencocokkan dengan wajah si pelintas, lantas bersiap menerakan cop imigrasi.
Sial, Andi kedapatan tangan, petugas imigrasi yang berjaga di loket adalah kerabat Bapaknya, cepat sekali dia mengenali foto Bapak Andi. Jadilah kami ditahan
di kantor perbatasan selama 24 jam, hingga Bapak Andi dan Pak Tua datang menjemput?"Hanya kenakalan anak-anak, tidak lebih tidak kurang. Saya pastikan
tidak akan terulang kembali." Pak Tua membujuk, "Sekali lagi dia nekad, kubiarkan saja masuk Malaysia. Tahu rasa kalau sampai ketahuan imigresyen Diraja
Malaysia, bisa di penjara berbulan-bulan, kena pecut rotan pula." Kerabat Andi yang petugas itu menyimpul pertemuan. Kami dibebaskan."
"Kapan Bapak kau"balek?" Aku bertanya lagi, Andi sepertinya menganggapku tidak ada di hadapan, asyik tenggelam melepas, memasang, melepas dan kembali memasang
baut." "Mungkin lusa, mungkin pula minggu depan. Calon istri sepupuku itu orang Serawak, mesti banyak yang diurus, bukan sekadar surat-menyurat.?"
"Oh." Aku mengangguk-angguk lagi. Surat-menyurat" Aku teringat kenapa tidak sabaran menunggu Andi datang ke balai bambu, juga tidak sabaran menyantroni
rumahnya malam ini, bukankah aku ingin cerita kejadian tadi siang padanya."
Kumulai dengan pengalaman membawa penumpang pertama kali, "Aku gugup, kawan." Ceritaku semangat. Andi hanya mengangkat kepala sejenak, tidak peduli. Aku
mendengus kecewa. Kulanjutkan dengan"surprise"dari Bang Togar, musuh besarku, juga orang yang dibenci Andi, "Sepit itu indah sekali, Kawan. Suda diberi
nama BORNEO." Ceritaku menggebu-gebu. Andi hanya menyeringai, mengangguk-angguk ikut senang, sisa perhatiannya kembali ke motor besar. Aku mendengus sebal.
Nah, kututup dengan cerita soal gadis berbaju kurung berwarna kuning, mengembangkan payung berwarna merah, rambut tergerai panjang, tinggi semampai, wajah
sendu menawan, belum genap aku membagi deskripsi, kepala Andi sudah terdongak, matanya menyala seratuswatt, tidak sabaran, "Apa kau bilang tadi, Borno"
Sendu menawan?""
Aku tertawa, begitulah nasib bujang berumur dua puluh tahun macam kami ini. Sambil memetik gitar, sering berbincang tentang gadis-gadis, rupa seperti apa
yang cantik dan diidam-idamkan. Dulu Andi pernah berpendapat, gadis yang cantik itu terlihat seperti menatap purnama, lembut-sendu nan menawan, seperti
penyanyi top negeri Jiran. Sepertinya deskripsi sendu menawan membetot seluruh antusiasme Andi. Singkat cerita, setelah lebih banyak Andi yang bertanya
dibanding aku menjawab, sampailah pada soal surat bersampul merah, di-lem rapat, tanpa tertera nama itu."
"Mana, sini kulihat." Andi mengacungkan tangannya yang sudah bersih."
Aku menyuruhnya mengeringkan tangan."
"Ye lah, ye lah, banyak sekali mau kau." Andi menggunakan ujung kaos."
Aku akhirnya menjulurkan surat itu."
Andi meraihnya tidak sabaran, memeriksa tepi-tepinya, ditimbang-timbang, di raba, diperiksa, diterawang, lantas tiba-tiba dicium sama dia."
"Buat apa kau cium?" Aku mendelik."
"Ya biar tahu aromanya, lah." Andi sama sekali tidak merasa ganjil. "Ternyata tidak ada baunya.?"
Aku tertawa, menimpuknya dengan baut kecil, dasar aneh, memangnya akan wangi sedap malam atau mawar begitu?"
"Ini pastilah surat milik gadis sendu menawan berbaju kurung kuning itu." Andi mematut-matut, "Dia duduk di haluan depan, bukan?""
"Ada dua gadis lain duduk di sana." Aku mengingatkan"meski dua gadis berpakaian mahasiswa itu bergegas turun saat tahu aku yang mengemudikan sepit, boleh
jadi karena bergegas, ada benda terjatuh dari tas mereka."
"Ah, pasti milik gadis berbaju kurung kuning itu, Kawan." Andi mengotot, dia terlihat sekali seperti pencinta cerita pangeran membebaskan puteri dari menara
sang naga, girang tidak kepalang jika bisa menghubungkan satu bagian dengan bagian lain, apalagi kalau itu terkait bagian cinta antara pangeran dan puterinya."
"Entahlah." Aku mengangkat bahu."
"Bukankah gadis itu membawa payung merah" Nah, cocok bukan dengan warna sampul surat ini?" Lihat, Andi tertawa senang dengan ide-nya. Aku ikut tertawa,
baru saja kutebak perangainya, ternyata benar. Suka menghubungkan hal yang boleh jadi tidak masuk akal."
"Sepertinya, bukan surat dia." Aku menggeleng.
"Pasti." Sebaliknya, Andi yakin."
"Baiklah, kita lihat saja besok. Boleh jadi yang merasa kehilangan surat ini mencari ke dermaga kayu." Aku mengulang kalimat Bang Togar tadi siang kepadaku,
saat dia ikut memeriksa surat tertinggal itu."
Andi manggut-manggut sejenak, lantas tangannya bergerak."
"Hoi, apa yang mau kau lakukan?" Aku mencegah."
"Melihat isi surat lah" Biar tahu ini punya siapa." Andi mengangkat bahu."
"Dasar tidak sopan." Aku merampas surat itu, "Kau tidak boleh merobek bahkan mengintip dalamnya. Ini surat milik orang lain.?"
"Apa salahnya, sekadar ingin tahu?""
"Jelas salah. Karena rasa ingin tahu kau itu tidak pada tempatnya. Berlebihan." Aku menghardik, bergegas memasukkan surat itu ke saku baju. Baiklah, sebelum
Andi memaksa"karena dia suka penasaran atas hal-hal seperti ini"lebih baik aku pamit pulang."
"Kau mau kemana?" Andi sekarang panik."
"Pulang, sudah larut, kau sibuk dengan motor, lebih baik aku tidur, besok pagi-pagi aku harus narik.?"
"Tega kali kau, Borno." Wajah Andi nelangsa."
"Tega apanya?""
"Hanya datang untuk mengganggu konsentrasiku memperbaiki motor. Sekarang setelah berhasil, kau pulang ke rumah, membiarkanku merana dirundung ingin tahu.
Sinikan surat merah itu. Aku harus melihat isinya." Andi berseru galak"nah, apa kubilang, benar kan. Aku bergegas keluar dari depan rumah sempit bengkel
motornya, melambaikan tangan."
Andi berusaha mengejar. Aku lebih dulu menutup pintu pagar, kukunci dari luar, kuncinya kulempar sembarang ke bengkel, tertawa."
Surat ini bukan apa-apa. Andi saja yang rusuh. Tidak lebih tidak kurang barang yang tertinggal, apa yang Bang Togar katakan, "Lazimlah itu, semua pengemudi
sepit pasti pernah menemukan barang tertinggal. Aku bahkan pernah ketinggalan satu kantong bubuk haram. Sial, hendak melapor malah ditangkap polisi, diperiksa
semalaman. Untung seluruh pengemudi memberikan jaminan badan.?"
Tadi siang aku juga sempat berpikir aneh seperti Andi, tapi lama-lama malu sendiri. Setelah dipikir-pikir, karena dua puluh tahun aku belum pernah jatuh
cinta, bagian pertanyaan cinta sejati itu juga masih tetap menjadi misteri besar, boleh jadi aku serupa tak beda dengan Andi: pencinta cerita pangeran
membebaskan puteri dari menara sang naga. Absurd. Ah, atau jangan-jangan, semua orang di dunia ini, sebenarnya pencinta cerita yang sama" Entahlah."
Bulan sabit terlihat elok di langit pontianak."
Aku memulai hari berikutnya dengan semangat, bukan semata-mata penasaran soal surat bersampul merah, di-lem rapat dan tanpa tertera nama yang tidak berhasil
dihilangkan setelah tidur semalam, tetapi lebih karena di tiang rumah papan kami tertambat si BORNEO. Dengan demikian, aku tidak perlu lagi berjalan kaki
ke dermaga kayu melintasi gang sempit tepian Kapuas"dan menghadapi berbagai model pertanyaan dan teguran jahil tetangga.
"Kau lupa bawa kantong asoi-nya, Borno." Kepala Ibu melongok dari jendela.
Aku menepuk jidat, sudah sengaja pura-pura lupa, "Ye lah, aku bawa." Balik kanan, turun dari sepit, kembali masuk rumah, menyambar kantong plastik, bekal
yang disiapkan Ibu di atas meja. Kemarin lalu, aku sudah bilang pada Ibu, "Borno bisa makan di warung dermaga, Bu. Ini menambah kesibukan dini hari Ibu
saja, cukup sarapan, tak usah pula siapkan bekal." Ibu menyeringai, menyibak uban di dahi, "Ah, sama saja masak sedikit atau banyak, sekalian saja masak
untuk siang." Aku mengeluh dalam hati (hanya berani dalam hati), itu dia poin-nya, dengan demikian menu sarapan dan makan siangku jadi sama melulu. Apalagi
kalau Ibu juga masak sekaligus untuk makan malam. "Itu masakan kesukaan kau, Borno. Nanti malam tinggal dihangatkan lagi." Tuh, benar kan.
Suara mesin tempel sepit baruku terdengar lembut, ku tambah gas-nya, menderu gagah, aku tersenyum. Setelah dipanaskan barang lima-enam menit, aku berteriak
ke arah rumah, berseru pamit pada Ibu, mengucap salam, menggerakkan tuas kemudi, sepitku meluncur cepat meniti permukaan Kapuas, bukan main. Dari buritan
sepit, aku santai menatap rumah-rumah kayu tetangga. Ternyata sama saja dengan melewati gang sempit, tetangga yang sedang beraktivitas di tepian Kapuas
sekali melihatku tetap jahil menggoda.
"Lihat, lihat, ada Borno." Salah-satu ibu-ibu yang sedang memandikan anaknya berseru-seru. Kepala-kepala tertoleh, serentak tertawa, melambaikan tangan
macam menyambut Walikota lewat.
"Woi, gagah kali kau Borno." Yang lain berseru, "Coba aku punya anak gadis, sudah kujodohkan." Tertawa, "Dustanye, karena sekarang dia punya sepit kau
bilang gagah, Jamilah. Kemarin kau bilang dia dan si anak Bugis itu bujang tak bermasa depan, hanya genjreng-genjreng main gitar." Rekannya menimpali,
tertawa. Demikian kupingku menangkap seruan-seruan itu, aku malas menanggapi, menambah kecepatan sepit. "Dasar anak tak tahu diuntung, kau membuat sabunku
hanyut." Aku kenal seruan galak barusan, Pak Sihol, sedang mandi di dekat rumah papannya. Sekilas aku melirik, Pak Sihol berusaha menggapai-gapai sabunnya
yang mental dari bilah papan, lantas tenggelam terkena riak air dari sepitku. Aku nyengir, salah siapa pula sabunnya tidak diletakkan di tempat lebih tinggi.
Semua penghuni tepian Kapuas tahu, setiap kali ada perahu lewat (apalagi melaju kencang), segera selamatkan apa saja di pinggiran sungai.
Sepuluh menit berlalu, sepitku merapat di antrian perahu. Sudah ada enam, aturan mainnya sederhana, siapa duluan, dia dapat paling depan, sisanya urut
ke belakang. Dermaga kayu mulai dipenuhi satu-dua penumpang. "Pagi, Borno. Kau nampak semangat." Petugas"timer"menyapa. Aku tertawa balas melambaikan tangan,
teringat sesuatu, "Bang nanti titip tolong lihatin sesuatu."
"Lihatin apa?" Petugas"timer"masih santai, sepit masih ngetem lima menitan.
"Surat merah itulah, yang abang temukan kemarin. Kalau bersua dengan dua orang gadis yang macam mahasiswa itu, atau gadis China berbaju kurung kuning itu,
tanyakan apa dia kehilangan sesuatu."
"Ye lah, nanti ku ingat-ingat." Petugas"timermengangguk"meski ada ratusan penumpang setiap hari, karena pekerjaannya setiap detik ada di dermaga, petugas
timer hafal wajah. Aku sekarang duduk menunggu di buritan sepit, menoleh kesana-kemari tidak sabaran. Satu-dua pengemudi mengajak bercakap ringan tentang"relay"berita RRI,
rencana pemilihan gubernur Kalimantan Barat, kemajuan pembangunan jembatan beton kedua dan sebagainyalah. Matahari pagi menerpa permukaan Kapuas, menyentuh
wajah, hangat dan menyenangkan, aku meniru gaya Pak Tua yang bersidekap takjim, menunggu di antrian sepit nomor dua belas, di belakangku. Dia tertawa melihatku.
Aku balas tertawa, sepertinya hari ini akan lancar-lancar saja.
Sial, ternyata hari itu tidak berjalan mulus seperti cerahnya pagi."
"Maju lagi satu sepit. Woi, satu sepit." Petugastimer"mulai berceloteh, pukul tujuh, penumpang mulai padat, pergerakan perahu tempel semakin cepat.
"Mana Jauhari tadi?" Pengemudi sepit di belakangku bertanya.
Aku mengangkat bahu. Giliran sepit Jauhari memang, persis di depanku.
"Maju lagi satu sepit!" Petugas"timer"berteriak lebih kencang, kepalanya mendongak, kenapa tidak ada yang segera mendekati bibir dermaga.
"Jauhari-nya pergi, Oom." Pengemudi balas berteriak.
"Kemana?" "Mana kami tahu."
"Ya sudah, kau maju Borno." Petugas"timertidak sabaran, menyuruhku menyalip antrian.
Aku menoleh ke pengemudi lain, mereka menunjuk bibir dermaga, bergegas sana. Aku menunjuk sepit Jauhari yang menyala mesinnya tapi entah dimana pengemudinya,
pengemudi lain tetap menunjuk bibir dermaga, tidak apa-apa disalip. Sayangnya, saat aku sudah memajukan sepit, merapat, penumpang berloncatan mencari tempat
duduk, Jauhari muncul, berlari-lari kecil.
"Kenapa kau menyalip antrian?" Langsung berseru marah.
Aku mengangkat bahu. Tadi disuruh petugastimer"dan yang lain.
"Enak saja kau, balik ke belakang sana." Jauhari dengan tampang merah membentak. Kacaulah urusan, petugas"timer"berusaha membujuk, "Hanya dilintas satu
sepit, Jau, kau tadi juga pergi kemana" Penumpang lagi ramai-ramainya."
"Peduli amat aku dari mana. Peraturan adalah peraturan. Lagipula kau tidak lihat sepitku menyala mesinnya?" Jauhari mengotot"ternyata dia dari jamban.
"Ayolah, masalah kecil jangan diperbesar. Kau jalan Borno, ya silahkan jalan." Petugas"timermenepuk bahu Jauhari. Yang ditepuk berkelit, dan astaga, dia
mendorong balik petugas, "Mana boleh dia jalan. Kau jangan sembarangan!"
Keributan kecil itu dengan cepat membesar. Bang Togar dan pengemudi lain segera merelai. "Jangan mentang-mentang kau punya sepit bagus, Borno. Berani-beraninya
kau menyalip antrian." Jauhari yang berkelit dari leraian menendang ujung perahuku, penumpang yang sudah duduk rapi di sepitku berseru-seru"malah ada yang
menjerit kaget. Dermaga kayu jadi rusuh sejenak.
"Lepaskan! Biar kupukul anak tak tahu aturan ini." Jauhari berontak, hampir loncat ke dalam sepitku jika tidak segera didekap pengemudi lain.
"Lepaskan!" "Sudah, woi, sudah." Bang Togar mencengkeram kerah baju Jauhari. "Kau jalan, Borno. Segera."
Aku meneguk ludah, patah-patah menggerakkan kemudi ke kiri. Lima belas detik, dermaga kayu sudah tertinggal sepuluh detik. Kerumunan orang mengendalikan
Jauhari terlihat semakin ramai. Juga penumpang yang ikut menonton, berdesak-desakkan.
"Kenapa dia tadi?" Salah satu penumpang bertanya setelah sepit sudah meluncur cepat di tengah Kapuas.
"Tidak tahu, Bu." Aku menggeleng, menyeka dahi. Sungguh aku tidak tahu kenapa Jauhari jadi amat marah hanya karena disalip antrian. Hariku dimulai dengan


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejadian buruk. *** Aku ngetem hampir satu jam di dermaga seberang, Pak Tua yang datang dengan perahu tempel penuh penumpang segera menghampiri lepas menambatkan sepitnya.
"Sudah tenang." Pak Tua seperti biasa pandai membaca ekspresi wajah, menjelaskan sebelum ditanya, "Togar menyuruhnya menenangkan diri di warung pisang.
Dengan tampang terlipat begitu, mana boleh Jauhari narik sepit, ngaco sedikit, bisa celaka seluruh penumpangnya. Kau tahu, Borno, anaknya yang delapan
tahun sakit, demam berdarah, harus dirawat di rumah sakit. Jauhari pusing memikirkan perongkosan. Jadilah sensitif seperti itu."
Aku mengangguk, akhirnya mengerti penyebab utamanya.
"Kau tidak usah cemas, besok-lusa dia juga sudah lupa. Lagipula bukan salah kau menyalip antrian. Petugas"timer"yang menyuruh, pengemudi lain menyepakati."
Pak Tua menepuk bahuku, lantas melangkah ke gerobak dorong mie ayam, "Perutku lapar, Borno. Kau tidak ikut?"
Aku menggeleng, menunjuk kantong asoi di ujung kaki, bekal dari Ibu.
"Ah, Saijah baik sekali menyiapkan bekal untukmu. Sejak gadis dulu aku sudah mengenalnya sebagai perempuan berhati cemerlang."
Aku nyengir, berpikir sebaliknya, aroma mie ayam begitu menggoda.
Saat giliranku lagi tiba, ternyata rentetan kejadian menyebalkan itu belum berakhir.
"Woi, Borno, kau maju segera." Petugas"timermemanggil.
Aku segera merapatkan perahu, teringat sesuatu, bilang, "Abang ingat gadis China berbaju kurung kuning kemarin."
"Oh itu, ye lah, si cantik itu?" Petugas"timertertawa, sambil membantu nenek-nenek tua naik ke sepit.
"Kalau abang lihat dia, aku hendak titip pesan."
"Lah" Aku ini"timer, Borno. Bukan mak comblang." Petugas terbahak, lantas meniru gaya pendatang dari Jakarta dia berkata, "Hari gini, kau masih titip-titip
salam. Percuma saja tampang gagah Melayu kau ini kalau berkenalan dan mengajak bicara gadis saja macam kucing dimandikan."
"Bukan itu maksudku, Bang." Aku merutuki petugas, bergegas menjelaskan soal surat bersampul merah, "Siapa tahu surat itu penting, Bang. Kasihan kan kalau
dia mencari-cari." Perahuku baru terisi tiga orang, masih menunggu beberapa menit lagi, petugas timer itu manggut-manggut, "Oh soal itu, baiklah. Nanti kubilang kalau ada
pemuda baik hati tepian Kapuas yang menemukan surat berharganya. Ah, jangan-jangan gadis itu macam dongeng-dongeng orang-tua kita dulu, Borno."
Aku melipat dahi, maksudnya"
"Boleh jadi dia sedang menyiapkan pengumuman: barang siapa yang menemukan surat bersampul merah itu, andaikata dia wanita akan kujadikan saudara kandungku,
andaikata dia lelaki akan kujadikan suamiku." Petugastimer"tertawa, mengusir rasa bosan menunggu penumpang yang belum muncul-muncul juga.
Aku nyengir, bertambah satu lagi pencinta kisah gombal.
Lima menit, akhirnya muncul penumpang yang membuat perahuku penuh. Bukan orang, tapi karung, ada lima karung goni berisi jambu biji merah. Tertatih-tatih
petugas membantu pemilik karung memindahkannya ke dalam perahu, sepitku goyang kiri, goyang kanan. Aku mengeluh, kalau boleh memilih semua pengemudi sepit
lebih suka membawa orang, bayarannya jelas satu orang sekian rupiah. Barang macam karung-karung ini kalau pemiliknya tega, malah hanya membayar ongkos
dia saja, padahal menghabisi dua pertiga kapasitas sepit. Tetapi aku tidak bisa menolaknya, karung goni ini datang saat giliran sepitku. Nasib. Petugas"timer"setelah
sekali lagi menggoda soal gadis cantik berbaju kurung kuning, mempersilahkanku jalan.
Baru setengah Kapuas, mendadak nenek-nenek yang duduk di haluan depan berseru-seru, "Ada barang tertinggal, Nak. Ada barang tertinggal. "Eh" Aku reflek
mengurangi kecepatan sepit, berusaha mendengar suara tua yang dikalahkan bising mesin dan kecipak air.
"Kembali ke dermaga, ada barangku yang tertinggal, Nak."
Aku menepuk dahi, baiklah, tidak ada memang SOP tentang ini, kalau tega, pengemudi lain bisa saja tetap jalan, peduli amat dengan urusan penumpang. Tetapi
aku kasihan, maka aku memutar kemudi, sepitku kembali meluncur ke dermaga kayu.
"Woi" Kau nyasar, Borno?" Dahi petugas"timerterlipat, "Dermaganya di seberang sana, bukan di sini." Aku menatapnya jengkel. Dan lebih jengkel lagi saat
tahu Nenek itu tidak ingat di mana barangnya tinggal, bahkan lupa kalau dia sebenarnya ketinggalan apa."
"Jadi kita jalan lagi saja, Nek?" Aku berseru, segera memastikan"penumpang lain sudah ikutan sebal. Nenek itu mengangguk-angguk, "Ya, Nak. Jalan saja lagi."
Sepitku meluncur kembali, kali ini tanpa masalah hingga seberang. Yang masalah, saat aku hendak memungut gumpalan uang kertas di dasar perahu, aku maklum
saja kalau di kursi Nenek itu kosong, mungkin dia juga lupa meletakkan ongkos sepit. Yang membuatku marah, di kursi pemilik karung goni itu bukan gumplan
uang yang tergeletak, tapi kantong plastik berisi jambu biji merah. Aku berseru jengkel, membuat Jupri, yang sedang menambat sepit di sebelahku tertoleh,
"Ada apa, Borno?"
"Lihatlah ini, ada yang membayar ongkos dengan jambu biji. Dia pikir masih jaman barter apa." Aku mengangkat kantong asoi tinggi-tinggi.
"Ah, aku dulu malah pernah dibayar dengan kerupuk lempam satu kantong. Sampai kebas mulutku menghabiskannya." Jupri mentertawakan wajahku.
"Nah, kau tiba juga Borno." Petugas"timermemutus tawa Jupri, berdiri di tepi dermaga, "Kau segera ikut denganku ke warung. Ada hal penting."
Ada apa" Gadis sendu menawan itu akhirnya datang" Aku bersorak dalam hati. Bergegas naik ke dermaga. Sedikit deg-deg-an "astaga, kenapa aku harus gugup"
Sial, ternyata bukan itu, di warung sudah menunggu Bang Togar, dua pengemudi lain dan tentu saja Jauhari yang mengamuk tadi pagi.
"Duduk, Borno." Bang Togar menyuruhku mengambil posisi. Aku menurut.
"Nah, kau ingin bilang sesuatu pada Borno, Jau?" Bang Togar berkata tajam setelah sejenak lengang."
Jauhari mengangkat wajahnya, mengangguk.
"Saya minta maaf tadi pagi sudah menendang sepit kau." Berkata datar.
Aku menelan ludah. Boleh jadi Jauhari terpaksa meminta maaf karena ada Bang Togar, ketua PPSKT yang selalu memaksa anggotanya kompak, saling menghargai
dan membantu. "Aku juga salah, Bang. Aku juga minta maaf." Aku setelah terdiam sekejap, berusaha berkata setulus mungkin, "Seharusnya aku tidak menyalip sepit Bang Jau."
Terdiam. Saling bersitatap, situasi ganjil menyelimuti warung pisang pontianak. Aku teringat sesuatu, benar juga, mengambil salah-satu kantong asoi yang
kutenteng-tenteng dari sepit"kantong bekal dari Ibu dan kantong penuh jambu biji air.
"Buat si kecil, Bang." Aku menjulurkan kantong plastik, "Diblender, katanya mujarab sekali biar demam berdarah si kecil cepat sembuh."
Jauhari diam sejenak, ragu-ragu.
"Benar sekali, Jau." Pengemudi lain berkata meyakinkan, "Jus jambu biji merah bagus buat penyakit demam berdarah. Kau jenius, Borno."
Kali ini Jauhari tersenyum tipis, wajahnya terlihat sedikit menyenangkan, "Terima-kasih, Borno."
Aku ikut tersenyum. Keributan tadi pagi sepertinya sudah tuntas, Jauhari diantar pengemudi lain pamit pulang. Lantas Bang Togar menepuk-nepuk bahuku, "Tidak
percuma kau jadi cucu kakekmu, Borno. Amat perhatian, beli di mana kau jambu bijinya?" Aku tidak menjawab, hanya tertawa kecil.
"Kau ini aneh sekali, kutanya malah tertawa." Bang Togar sebal.
Tawaku baru putus saat pengemudi sepit yang merapat ke dermaga meneriakiku.
"Borno, woi, Borno. Kau dicari petugas"timerseberang. Apalah katanya tadi, ah-iya, gadis kuning, jualan baju, atau apalah tadi, sudah ditemukan, petugas
pos, ketinggalan surat, ah, aku tadi buru-buru saat dia titip pesan." Pengemudi itu berceloteh.
Astaga" Apa yang dia bilang, aku langsung menghidupkan mesin perahu.
"Kau mau kemana, hah" Antrian kau tinggal satu lagi, Borno. Kenapa kau pergi?" Bang Togar bertanya.
"Ada yang lebih penting, Bang."
Dan saat dahi Bang Togar masih terlipat, sepitku sudah meluncur ke tengah Kapuas.
Kupikir adegan kejar-kejaran dalam film"eksenitu bohongan, ternyata dalam dunia nyataku itu terjadi. Malah lebih seru, aku melakukannya dengan sepit, bukan
mobil, di atas sungai, bukan di jalanan kota. Lepas mendengar kabar kalau petugas"timer"seberang mencariku terkait gadis berbaju kurung kuning itu, ku-tambah
gas motor tempel hingga pol, perahu kayuku meluncur cepat di atas permukaan Kapuas. Tak sabar rasanya ingin bertemu dengan gadis berbaju kurung kuning
itu, lantas bilang, apakah surat bersampul merah ini miliknya yang tertinggal di sepit"mana sempat aku berpikir sejatinya apa yang kupikirkan itu berlebihan,
hanya surat tertinggal, tidak lebih tidak kurang. Kalaupun milik dia, lantas kenapa" Dia boleh jadi sekedar bilang terima-kasih,"the end, cerita selesai.
Aku menyalip sepit Jupri yang penuh penumpang, payung-payung penumpangnya terkembang, matahari terik membakar ubun-ubun. "Woi, Borno, kau dapat"carteran"
Kosong melompong sepit kau?" Jupri berteriak, aku hanya melambaikan tangan, tidak menjawab, berkonsentrasi pada tuas kemudi. Hitungan menit saja, sepitku
sudah merapat di antrian dermaga kayu. Menambatkan sepit, loncat ke dermaga, berlari-lari kecil menemui petugastimer"yang sibuk membantu menggotong sofa
rotan. "Di mana?" Aku bertanya, sedikit tersengal.
"Di mana apanya?" Petugas yang mengedan mengangkat sofa menoleh, tidak cepat paham.
"Gadis berbaju kurung kuning itu." Aku menyeka dahi.
"Oh, si cantik itu. Sabar sebentar, Kawan. Berat kali sofa ini, macam ada yang lagi duduk di atasnya. Atau jangan-jangan memang ada jin yang lagi duduk.
Katanya kalau"mindahin"kursi suka begitu." Petugas"timer"yang suka kisah-kisah usang nan gombal itu dengan wajah memerah karena ke-berat-an berkata santai"menganggap
sama sekali tidak penting dan mendesak urusanku. Satu kursi, dua kursi, tiga kursi, tiga kali bolak-balik mengangkut kursi rotan, dia tidak memedulikanku
yang berdiri tak sabaran.
"Di mana gadis itu, Bang?" Aku menggaruk kepala, sebal.
"Ah kau ini, bantu aku bawa sofa dululah." Petugas melotot, menunjuk sisa dua kursi.
Baiklah, aku melangkah ke tumpukan sofa, patah-patah ikut memindahkan sofa terakhir ke atas sepit. Pengemudi sepit merapikan posisi sofa rotan agar seimbang.
Perahu penuh, petugas"timer"menepuk-nepuk ujung perahu, "Kau jalanlah, Cik. Pemilik sofa menyusul dengan sepit berikutnya. Kalau dia tak bayar sesuai kesepakatan,
kau ambil saja salah-satu sofa-nya." Tertawa.
"Di mana gadis itu?" Aku mensejajari langkah petugas, lima detik berikutnya.
"Kau nih, macam pembaca cerbung roman di koran saja, merengut tak sabaran. Tunggu aku membersihkan celana dulu lah." Dia menepuk-nepuk debu sisa mengangkat
kursi yang menempel. "Nah, beres sudah. Kau tanya apa tadi" Ahiya, si cantik berpayung merah itu. Aku tadi lihat dia di dermaga ini. Lantas ada"boatputih
merapat di"steher"nih, gadis itu naik bersama beberapa anak kecil berseragam putih-merah, pergi,"wassalam."
"Boat"putih?"
"Ye, bagus sekali kapal itu, macam kapal pesiarkecik"saja."
"Abang tak tanya kemana perginya gadis itu?"
"Astaga, Borno, macam kau sendiri saja punya nyali menyapa gadis secantik itu." Petugastimer"tertawa, "Kau tahu, kebanyakan bujang lapuk kota Pontianak
nih, bukan sekadar sungkan dan malu memulai tegur sapa, bahkan sekadar melirik dan menatap gadis secantik itu saja sudah kebat-kebit hati. Lagipula, hanya
sebentar saja gadis itu dan kerumunan anak sekolahan menunggu, langsung naik ke"boat. Mana sempat bertanya, dan mana aku tahu dia hendak pergi kemana,
arahnya berhuluan Kapuas."
Aku tidak sempat bersungut-sungut pada petugas"timer. Berhuluan" Baiklah, tidak lazim ada kapal"boat"putih seperti deskripsi petugastimer"di sepanjang
Kapuas. Kalau perahu kayu macam sepit, meski sudah dibilang warna perahunya biru (misalnya), tetap susah mencari yang mana persisnya, karena ada banyak
sepit berwarna biru. Aku menghidupkan mesin sepit, menggerakkan tuas kemudi ke kanan, sepitku segera meninggalkan dermaga kayu, "Woi, mau kemana lagi Borno"
Sibuk sekali kau mondar-mandir macam pejabat perairan Pontianak?" Jupri, yang perahu sepitnya baru saja merapat meneriakiku. Aku lagi-lagi sekadar melambaikan
tangan. Sepanjang tepian Kapuas, mataku awas memperhatikan. Siapa tahu"boat"putih itu terlihat bersandar. Sudah satu kilometer melawan arus sungai, tidak kunjung
nampak. Aku menyeka peluh di dahi, walau matahari bersiap menghujam di barat sana, teriknya masih terasa. Sudah melintasi jembatan beton Kapuas, tetap
tak nampak, sudah coba balik lagi ke hilir, tetap tidak bersua, balik lagi melintas jembatan beton. Aku menghela nafas, teringat kalau sejak Bang Togar
menyerahkan sepit ini, aku belum pernah menambah solarnya, jangan-jangan nanti habis.
Baiklah, aku memutuskan merapat ke salah-satu"steher"(dermaga kayu) dekat jembatan beton. Ada beberapa perahu nelayan bersandar, ada dua orang dewasa sedang
memperbaiki jaring. Aku bertanya apakah mereka melihat ada"boat fiberglass"berwarna putih melintas?"
"Rasa-rasanya memang ada tadi"boat"putih melintas." Salah-satu dari mereka sambil terus merajut lubang jaring manggut-manggut, menoleh ke temannya, "Kau
lihat tadi?" "Iya, rasa-rasanya memang ada." Temannya bersepakat.
"Ke arah mana?" Aku mendesak tidak sabaran.
"Ke hilir." Yang satu menunjuk ke hilir.
"Ke hulu." Yang satu menunjuk ke hulu, berbarengan.
Aku menepuk dahi, berusaha meyakinkah mana yang benar, dua-duanya merasa paling benar, malah saling mengotot mereka. Aku mendengus, sudahlah, kembali naik
ke atas sepit. Adalah dua kali sambil terus berhuluan aku bertanya ke orang-orang di tepian Kapuas soal"boat"putih.
"Oh, perahu bagus itu, bukan" Ada, tadi meluncur cepat ke hulu." Salah-satu remaja tanggung yang sedang mandi sekaligus main bola air bersama teman-temannya
menjawab. "Kau yakin?" "Iya benar, cepat sekali perahu merah itu melesat." Remaja itu menyelam sebentar.
"Boat"putih, bukan merah." Aku memastikan dengan suara tajam saat kepala remaja berbadan hitam legam itu kembali muncul.
"Oh iya, iya, putih." Remaja itu menyeka wajahnya yang basah. Inilah susahnya kalau kalian bertanya di sepanjang tepian Kapuas, atau sebenarnya di kota
Pontianak. Mereka baik hati menjawab, tapi apakah jawaban itu cocok dengan yang ditanyakan belum tentu, sekena-kenanya saja dijawab. Saat aku sekali lagi
berusaha meyakinkan apa mereka sungguh-sungguh melihat"boat"itu atau tidak, salah-satu remaja tanggung yang asyik mengambang berceletuk, "Bukan yang itu"boatputihnya,
Kak?" Aku menoleh, langsung berseru, benar, itu"boat fiberglass"putih macam kapal pesiar kecil seperti yang diceritakan petugas"timer. Aku segera menghidupkan
motor tempel, menggerakkan tuas kemudi, sepitku meluncur cepat meninggalkan remaja tanggung.
Tidak"level"memang, membandingkan tenaga mesin sepit dan"boat fiberglass, tetapi aku diuntungkan dengan kapal itu tidak melaju penuh dan jarakku tertinggal
hanya seratusan meter, aku menambah kecepatan hingga pol. Sepitku meliuk melintasi dua perahu nelayan, lincah memotong sepit lain yang penuh penumpang
entah hendak kemana. Lima menit, jarakku masih lima puluh meter, aku setengah berdiri di buritan BORNEO, mendongak melihat ke arah boat, tidak salah lagi,
di sana ada beberapa anak berseragam merah-putih, dan alamak, dadaku berdetak lebih kencang, gadis itu, meski belum jelas benar wajahnya, terlihat berdiri
di salah-satu sisi kapal"fiberglass, rambut panjangnya melambai, dia mengenakan syal kuning di leher, ikut melambai terkena terpaan angin. Bukan main.
Sepitku melewati kolong jembatan beton, jarakku tinggal tiga puluh meter. Rumah papan kumuh terlihat berderet di tepian Kapuas, gudang-gudang tinggi pabrik
gulungan karet yang menguar bau hingga ke tengah Kapuas, ujung-ujung rumah burung walet, menara BTS, langit biru kemerah-merahan, awan tipis, matahari
semakin tumbang di barat. Aku semakin bersemangat.
Sial, saat jarakku tinggal belasan meter, bersiap melambai untuk menarik perhatian nahkoda boat, BORNEO-ku mendadak terkentut-kentut, kecapatan berkurang
drastis. Aku panik, menoleh ke arah motor tempel, apa yang salah" Dan sekejap, sebelum aku tahu penyebabnya, seperti pelari tangguh kehabisan tenaga, setelah
batuk satu-dua, mesin sepitku lunglai mati, menyisakan gelembung di permukaan Kapuas yang semakin mengecil, perahuku sempurna berhenti, macam kulit kelapa
yang teronggok diseret arus sungai. Aku menepuk dahi, sejak diserahkan Bang Togar, sepitku memang belum ditambah solar-nya. Tinggallah menatap nelangsa"boat"putih
yang semakin menjauh, mendengus kecewa. Kalau di film-film eksen itu, jagoannya dengan mudah beralih kendaraan, menyita mobil lain, aku" Sepitku ditarik
perahu nelayan ke SPBU terapung.
"Tak baik motor tempel kehabisan solar, Kawan. Harusnya kau tahu itu." Ijong, penjaga pom bensin menggeleng-geleng, "Cepat rusak mesinnya."
Aku tidak selera berkomentar. Sudah setengah jam berlalu, entah di mana sekarang kapalfiberglass"itu. Lepas mengisi solar, aku menuju gontai ke dermaga
kayu. Tidak apalah, besok-lusa masih ada waktu, menepuk-nepuk surat bersampul merah di saku kemeja, surat penting ini pasti bisa kukembalikan ke pemiliknya.
Sudah pukul empat sore, dermaga kayu sedang ramai-ramainya penumpang, lebih baik aku narik, habis uangku untuk membayar solar pada Ijong.
*** Saat aku sudah menutup buku soal"boat fiberglass"itu untuk sore ini, bersiap merapat ke antrian sepit, mataku sempurna membulat melihat kapal itu tertambat
anggun di"steher. Apa aku tidak salah lihat" Aku terperanjat sekejap, meneguk ludah dua kejap kemudian. Kukejar dia dari ujung kota ke ujung kota, sampai
kehabisan solar, ternyata malah terparkir rapi di dekat antrian perahu tempel. Kalau begitu, gadis berbaju kuning itu ada di sekitaran sini, aku semangat
loncat dari sepit. Berlari-lari kecil di dermaga kayu, menyibak pengemudi sepit yang tertawa riang satu sama lain, "Ah, kau hampir terlambat, Kawan" Salah
satu pengemudi meneriakiku. "Bergegas, Borno. Nanti kau kehabisan." Jupri menepuk bahuku.
Aku tidak memperhatikan, mana peduli aku dengan traktiran makan, pembagian sembako atau apalah, kehabisan juga tidak masalah. Ada hal penting yang harus
kuurus, mataku melihat kesana-kemari. Nah, itu anak-anak sekolahnya, sedang sibuk membagikan sesuatu, di mana gadis itu" Petugas"timer"terlihat sedang
membuka sesuatu di tangannya, aku mendekat.
"Kau sudah dapat ang-pao-nya, Borno?" Petugas"timer"berkata riang, menyapa lebih dulu sebelum aku sempat bertanya apa dia melihat gadis yang kucari-cari
sejak tadi pagi. "Ang-pao?" Dahiku terlipat.
"Kau sudah dapat amplop ang-pao-nya?" Petugas bertanya lagi, menunjukkan amplop berwarna merah, tanpa tertera nama di tangannya.
Aku mematung, mulutku mengunci seiring dengan otakku berpikir cepat. Menoleh ke arah Jupri dan kawan pengemudi lain, amplop yang sama sedang mereka pegang,
sibuk menghitung isinya, lima lembar lima ribuan. Petugas"timer"asyik mengantongi uang, menggumpal-gumpal amplop merah, lantas melemparkannya ke kotak
sampah. Aku menyeka peluh di dahi, patah-patah mengeluarkan amplop di saku kemeja. Sama persis. Amplop ini sama dengan ang-pao yang sedang dibagi-bagikan
anak-anak SD. Lihatlah, di pojok dermaga, gadis itu (yang mengenakan sweater hijau muda bersyal kuning), tersenyum manis membagikan amplop yang sama pada
pengemudi sepit, anak-anak dan pedagang sekitaran dermaga.
Alamak, aku menggaruk kepala, sepertinya aku hanya benar satu hal, surat bersampul merah ini benar milik gadis itu. Sisanya keliru. Aku pikir surat ini
spesial, benda penting yang tertinggal di sepitku, ternyata hanya amplop ang pao. Kenapa tidak terpikirkan sebelumnya" Bukankah waktu aku kecil, Koh Acung
sering memberiku ang pao" Sama persis merah amplopnya, yang membedakan, bentuk dan bahan amplop yang kupegang lebih baik.
"Woi, simpan dulu ang-pao-nya. Satu sepit maju!" Petugas"timer"berteriak, memutus bengongku, dan keriangan pengemudi sepit. Penumpang sudah antri di tepi"steher.
Gadis itu masih tersenyum manis dengan sisa amplop merah di tangan, beranjak kesana-kemari membagikan ang pao. Apakah aku akan mendekatinya, lantas bilang,
"Kau ketinggalan surat ini di sepitku?" Aku meneguk ludah, tidak, seluruh rasa penasaran, antusiasme, imajinasi dan sebagainya itu bagai spiritus dituangkan
di pasir, menguap musnah. Gadis itu dikerubuti anak-anak SD sekarang, lima langkah dariku, masih dengan sisa amplop merah di tangan. Bukankah imlek dua
hari lagi" Aku menepuk jidat, tentu saja, salah-satu amplop ini terjatuh dari tas gadis itu. Boleh jadi anak-anak SD ini yatim-piatu dari sekolah manalah,
dia hendak mengajak berbagi.
Aku keliru, ternyata amplop merah itu tidak penting. Aku menghela nafas panjang, balik kanan, hendak melangkah gontai menuju sepit, menunggu antrian.
"Abang Borno mau terima ang pao, juga?" Suara merdu itu menyapa.
Alamak, tubuhku membeku. Seketika.
BAB 03. Perpisahan Pertama
Lantas" Kemudian" Lalu" Apalagi" Lanjutkan" Teruskan" Ayolah" Selanjutnya" Andi, sohib kentalku, macam kami waktu kecil dulu yang suka main sinonim kata,
merubungku dengan kata yang bermakna sama: buruan teruskan ceritanya. Dulu salah-satu dari kami akan memulai dengan celetukan, misalnya kata "benci", setelah
itu sambil mandi, bertelanjang dada, mengambang di dekat rumah papan, aku dan Andi bergantian menyebut sinonim kata benci, semisal: sebal, marah, mual,
jijik, dan sebagainya. Namanya juga permainan anak-anak, tidak ber-sinonim benar tidak masalah"sejatinya kami malah tidak tahu permainan itu disebut "sinonim"
kata. Asal jangan sebut "tidak suka", itu jelas bukan sinonim, syarat utamanya harus satu kata. Siapa yang kehabisan ide, maka dia sambil berenang harus
menggendong yang menang berhuluan ke toko kelontong Koh Acung, membelikan gula-gula atau minuman karton.
"Lah,"die"malah asyik melamun menatap kerlip sampan." Andi sebal memukul bahuku, "Lantas bagaimana urusan ang pao itu tadi" Kau terima amplopnya, tidak"
Gadis China itu kenal kau?""
"Sudah selesai." Aku menguap.
"Sudah selesai apanya?" Andi melipat dahi.
"Ya, sudah selesai ceritanya."
"Bualnye, kau baru saja mulai bercerita, di mana selesainya?" Wajah Andi macam nangka mengkal robek kulitnya, tak sedap dipandang mata, "Bagaimana dengan
gadis sendu menawan itu" Kau sempat berkenalan, tidak" Siapa namanya?"
Berkenalan" Aku tertawa prihatin, menggeleng."
"Kau tidak berkenalan dengannya" Lantas bagaimana dia tahu nama kau?" Andi macam investigator atau wartawan gosip kelas berat terus bertanya, tidak sabaran.
Aku menggeleng lagi, mengusap dahi. Memang sudah selesai ceritanya"atau tepatnya aku kesulitan memindahkan kejadian tadi sore dalam bentuk kata-kata pada
Andi. Rasa-rasanya itu momen paling berbeda dua puluh tahun hidupku. Lepas terperangah karena gadis itu menegurku, wajahnya yang sumringah ditimpa cahaya
senja, rambut panjangnya mengkilat berpadan serasi dengan syal kuning itu, Ibu, anakmu mati kutu, hanya bisa gelagapan, eh, eh."
"Oh, Abang Borno sudah dapat, ya?" Gadis itu masih tersenyum, menyimpul lesung pipi, melihat tanganku yang memegang amplop merah, dilem rapat dan tanpa
tertera nama." Aku menyeringai"boleh jadi mirip seringai kuda, mengangguk, bukan, maksudku menggeleng, tetapi ini memang amplop ang-pao, mengangguk lagi salah-tingkah.
"Baiklah, semoga bermanfaat ang pao-nya, Bang." Dan gadis itu sudah berpindah ke tempat lain.
"Se-ben-tar." Aku meneguk ludah"takjub pada diri sendiri akhirnya bisa mengeluarkan suara.
"Ya, ada apa Bang?" Gadis itu menoleh.
"Eh, dari mana kau tahu namaku?" Aku ragu-ragu bertanya."
"Tahulah, Bang." Gadis itu tertawa renyah, "Tak ada penumpang sepit yang sering bolak-balik di steher nih tidak kenal Abang Borno."
Mukaku bersemu merah, wah, apakah aku seterkenal itu"
"Masih ingat kertas berfoto besar dan berlaminating itu" Nah, aku kenal nama abang dari sana." Gadis itu menjelaskan, mengangguk sekali lagi tanda permisi,
lantas"wassalammelangkah ke arah anak-anak berseragam SD, meninggalkanku yang sekarang merutuki Bang Togar, urung berjumawa diri.
"Woi?" Beralih ke balai bambu gang tepian Kapuas, Andi sudah mencengkeram kaosku, "Kau ini sejak beberapa hari lalu sengaja benar membuat kawan dekat mati
penasaran, hah" Itu lebih kejam dari pembunuhan sungguhan, tahu!"
Aku menoleh, tersadarkan dari lamunan. Malam semakin larut, perahu yang melintasi Kapuas tinggal satu-dua, lampu-lampu rumah mulai dipadamkan, penghuninya
berangkat tidur. Langit mendung, menutup bintang dan sabit bulan. Aku menguap lebar lagi, mengantuk.
"Ayolah, lantas bagaimana dengan gadis sendu menawan itu" Kau berkenalan dengannya, tidak" Apa namanya secantik wajahnya?" Andi merengek"dengan tampang
mengancam. *** Nama" Seminggu berlalu, aku tidak punya ide sama sekali siapa nama gadis itu. Seminggu berlalu, yang kutahu dan kuhafal mati adalah aktivitas gadis itu.
Tiba di dermaga kayu pukul 07.45, menyeberang. Dia selalu berpakaian rapi, Senin-Rabu-Jum"at akan mengenakan baju kurung, kemeja khas China, motif daerah
lengkap dengan payung tradisionalnya, Selasa-Rabu-Sabtu mengenakan pakaian kasual, rok lewat lutut, syal, sweater, dan sejenisnya dengan payung hitam di
tangan. Di pundak tersampir tas dipenuhi buku. Aku mereka-reka, nampaknya gadis ini adalah guru SD."
Lepas kasus surat merah jambu tertinggal dan kejadian mengejar"boat fiberglass"yang berakhir antiklimaks, aku tidak mengerti kenapa aku tiba-tiba begitu
terobsesi padanya. Kalian tahu, karena aku tidak berani secara langsung menatapnya, maka aku ingin berlama-lama mencuri pandang. Karena aku tidak kunjung
berani menegur (apalagi mengajak berkenalan), maka aku ingin sekadar berada dekat-dekat dengannya. Entah perasaan seperti apa yang memenuhi kepala, rasanya
menyenangkan jika aku bisa melihatnya setiap hari, ekspresi wajahnya saat melangkah ke atas sepit, senyum manisnya saat di sapa orang-orang sekitar, atau
raut mukanya saat berbaris diantrian atau saat duduk di atas sepit.
Tentu saja, untuk memenuhi obsesi bodohku itu, hanya tersedia satu-satunya cara: gadis itu naik ke sepit-ku saat hendak menyebrang berangkat atau pulang.
Maka dimulailah tingkah bodoh, turunan langsung dari obsesi bodoh. Bangun pagi-pagi, aku sengaja berlama-lama merapat ke dermaga kayu (mengabaikan seruan
menggoda tetangga tepian gang Kapuas), menurut hitunganku, antrian sepit nomor dua belas atau tiga belas memiliki kans terbesar kebagian jatah merapat
pukul 07.45 teng. Hari pertama aku keliru, terlalu cepat, sepitku sudah keburu dipanggil petugas"timer, padahal gadis itu baru berjalan kaki masuk ke dermaga kayu, sepitku
penuh, gadis itu masih berdiri di antrian. Aku mendengus kecewa, "Jalan, Borno. Sudah sesak sepit kau. Kau pagi-pagi sudah melamun." Petugas"timer"menepuk
ujung perahu. Tidak apalah, setidaknya aku sempat melihatnya pagi ini datang dengan payung merah di tangan.
Hari kedua, lagi-lagi aku keliru, sudah tepat sebenarnya, sepitku merapat persis pukul 07.45, dadaku sudah deg-deg-an melihat penumpang satu per satu duduk
rapi di atas papan melintang. "Penuh, Borno. Jalanlah kau. Woi, satu sepit maju lagi." Petugas"timermeneriaki sepit berikut. Aku menelan ludah kecewa,
gadis itu persis berdiri paling depan di antrian penumpang dermaga, tipis sekali, dia harus naik sepit berikutnya. Sebelum aku menarik tuas gas, menggeser
kemudi ke kiri, aku memberanikan diri menatap wajah gadis itu, dan dia yang sebelumnya lamat-lamat memperhatikan penumpang, ikut menatapku, kami bersitatap
sejenak, gadis itu mengangguk, tersenyum manis. Menerima senyuman itu, aku macam hendak terjatuh dari buritan sepit, buru-buru menjalankan sepit sebelum
terlihat merah-malu wajahku. "Borno, kau tidak terlalu cepat narik sepitnya?" Salah-satu penumpang bertanya cemas lima menit kemudian saat sepit meluncur
membelah Kapuas." Hari ketiga, sial, aku lagi-lagi keliru, gadis itu persis orang terakhir yang naik sepit di depanku. Padahal sejak semalaman sudah tak sabar, menunggu
dengan dada berdegup, melirik cemas antrian penumpang di dermaga, harap-harap cemas. "Woi, Borno, kau majulah." Petugas"timer"berteriak. Hari itu, gadis
itu bahkan tidak sempat melihatku, sudah duduk rapi di sepit yang melaju cepat meninggalkan buih di permukaan Kapuas.
Hari keempat, "Kau ini aneh sekali, datang lebih pagi kenapa kau minta antrian di belakangku?" Pak Tua melipat dahi, meski akhirnya mengalah memutar sepitnya,
melangkahi perahuku."
"Tak apa. Pak Tua lebih senior, jadi silahkan." Aku menggaruk rambut, berusaha bertingkah senormal mungkin"mengingat reputasi Pak Tua yang pandai membaca
gestur wajah, repot kalau dia tahu alasan sebenarnya.
Pak Tua tertawa, melambaikan tangan, menambatkan sepit, "Kau sudah sarapan" Mau kutraktir pisang pontianak sambil menyeduh kopi?"


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menggeleng, menunjuk kantong bekal dari Ibu.
"Oh-iya, lupa, Saijah selalu menyiapkan sarapan di rumah. Tapi ayolah, duduk di warung, masih lama antrian kita, paling cepat setengah jam, daripada kau
bengong di buritan sepit."
Aku menggeleng, aku tidak akan meninggalkan buritan perahu hingga pukul 07.45, nanti sepit-ku disalip siapalah. Pak Tua tertawa lagi, melangkah santai
ke dermaga sambil bersenandung, "Oh, masa muda/semua terlihat indah/meski hati dirundung gelisah/oh, masa muda?" Aku menyeringai dalam hati"jangan-jangan
Pak Tua tahu" Akhirnya perhitunganku tepat, bayangkan butuh empat hari empat malam"kalau kalian naik pesawat, memutari bumi, maka itu berarti sudah dua kali memutari
bumi"hingga semua skenario bodoh ini berhasil. "Borno, kau maju!" Petugas"timer"berteriak. Aku tidak perlu diteriaki dua kali, melajukan sepit ke bibir"steher.
Penumpang berloncatan, dan salah-satunya adalah gadis itu, hari ini dia mengenakan kemeja bermotif cerah, dia melangkah"persisike atas sepit lantas sambil
tersenyum menyapaku, "Pagi, Bang." Alamak, aku hanya bisa manggut-manggut macam lele kehabisan air, "Pa-gi." Gadis itu sudah duduk persis di papan kayu
paling dekat denganku, mengembangkan payung hitam. Kalian tahu, hanya itu percakapan yang terjadi, sisanya hanya gemeretuk mesin dan kecipak air Kapuas
mengenai lambung perahu. Padahal tidak hanya sekali, berkali-kali, berkali-kali aku hendak memulai percakapan, paginya indah ya, bagaimana perayaan imlek-nya,
mau kemana, motif bajunya bagus, loh, dan banyak ide di kepala (mulai dari yang biasa-biasa saja sampai yang norak), tetapi suaraku terlanjur hilang di
kerongkongan. Penumpang lain sibuk bercakap, tertawa, satu bahkan menoleh, "Woi, bang, lamban sekali laju sepit kau nih, nanti aku keburu telat ngabsen.
Dipotong pulalah gajiku." Aku menyeringai.
Baiklah, tidak mengapa, mungkin di kesempatan berikutnya aku akan berani menyapa, bertanya siapa namanya, begitu bujukku saat sepit merapat di dermaga
seberang, penumpang satu-persatu turun. "Terima-kasih." Gadis itu mengangguk padaku sebelum berlalu, dan aku yang sudah bersiap memasang seringai terbaik,
malah terbatuk kecil, buru-buru balas mengangguk, "Sama-sama.?"
"Wah, kau sudah bercakap-cakap dengan si cantik itu, Borno?" Petugas"timer"seberang memasang wajah ingin tahu sekejap punggung gadis itu ditelan keramaian
dermaga, aku mengangkat bahu, berlagak. "Bukan main, kupikir kau samalah dengan kebanyakan bujang lapuk. Pecundang." Petugas"timerterbahak. Ah, andaikata
petugas"timer"tahu betapa gentarnya aku untuk sekadar menyapa padahal jarak kami hanya terpisah setengah selangkah.
Hari kelima, perhitunganku kembali tepat, "Selamat pagi. Wah, dua hari terakhir selalu ketemu Bang Borno." Gadis itu menyapaku, tersenyum sehangat matahari
pagi, dan aku seperti Raja di papan catur kena skak-mat, cuma bereaksi kerjap-kerjap mata. Sama berkerjap-kerjapnya ketika gadis itu melangkah turun, lantas
bilang, "Semoga besok ketemuan lagi, Bang. Terima kasih."
"Kau kelilipan?" Demikian sungut Andi malamnya, saat aku menceritakan kejadian. "Astaga, Kawan, itu kesempatan besar sekali. Gadis itu menegur kau duluan,
malah ingat itu hari kedua berturut-turut dia naik sepit kau, kenapa kau tidak tersenyum gagah lantas bilang, "ah-iya, dua hari kita selalu ketemu, ya.
Kebetulan yang menyenangkan". Dan akan mengalirlah percakapan kau dengannya macam aliran sungai Kapuas." Aku menyeringai, menatap Andi sebal, coba dia
sendiri, pasti lebih parah. Lagipula omong-kosong kebetulan, semuanya kurencanakan sejak pagi, berlambat-lambat sarapan, memanaskan sepit lebih lama, bersantai-santai
menuju dermaga kayu, mengincar antrian sepit nomor tiga belas.
Hari keenam, gagal total. Antrian sepitku sudah tepat, semuanya sudah pas, nasib, pukul 07.30 datanglah rombongan turis entah dari mana, jepret sana, jepret
sini, mereka berdelapan belas, membuat perhitunganku meleset dua perahu, tinggallah aku menatap"steher"sambil menjalankan sepit, melihat gadis itu baru
memasuki gerbang dermaga. "Semoga besok ketemuan lagi, Bang." Teringat kalimatnya kemarin, aku menghela nafas kecewa, ternyata tidak.
Hari ketujuh, sudah kutunggu-tunggu sejak pagi, persis pukul 07.45 tidak muncul pula parasnya. Kemana" Apa dia sakit" Tidak berangkat ke sekolah"mengajar
seperti asumsiku selama ini" Saat aku menimbang-nimbang penjelasan yang masuk akal, muncullah Cik Tulani, minta diantar ke Istana Kadariah. "Ayolah, aku
ada janji dengan kerabat di sana, kau antarlah dulu Cik kau ini." Aku menelan ludah, bagaimana ini" Tidak mungkin aku menolak permintaan Cik Tulani, meski
dia menyebalkan sejak aku kecil, dia sahabat dekat almarhum Bapak. "Kenapa kau malah bengong, Borno. Ayo, bergegas, aku sudah telat. Tenang saja, kau kembali
ke sini juga tetap sepi dermaga kayu. Ini hari minggu. Libur." Nah, itu dia penjelasan kenapa gadis yang kutunggu-tunggu tidak datang, ini hari libur.
Aku tersenyum riang pada Cik Tulani, "Ayolah, Cik. Jangan tanya hanya Istana Kadariah, mau ke hulu Kapuas pun ku antar Cik hari ini." Gantian Cik Tulani
yang menatapku curiga, "Kau tidak salah makan obat, Borno?" Aku tertawa riang"menemukan penjelasan yang menghibur hati itu memang menyenangkan.
Nama" Jangan tanya, seminggu berlalu, aku tetap tidak punya ide sama sekali siapa nama gadis itu.
"Kau sebenarnya kemari buat menyampaikan pesan Bapak kau atau memenuhi rasa penasaran kau?" Aku menyeringai, duduk menjuntai, menatap kerlip Kapuas.
"Dua-dua-nya-lah, Kawan. Sekali dayung, dua tiga pulau terlewati." Andi balas menyeringai. Baru pukul tujuh malam, dia sudah semangat datang ke rumah.
Awalnya bilang kalau Bapaknya sudah pulang dari Entikong tadi pagi, aku memotong cerita, bertanya mana ole-ole-nya, Andi menggaruk kepala, bilang dia saja
tidak dapat buah tangan, yang ada Bapaknya bawa buntut satu keluarga. Keluarga calon besan dari Kuching, Serawak itu ikut ke Pontianak, plesir, ingin melihat
negeri tetangga. "Kau diminta Bapak-ku mengantar mereka berkeliling kota dengan sepit. Itu pasti lebih eksotis dibanding keliling dengan mobil." Demikian
pesan Bapak Andi tersampaikan.
Aku bertanya beberapa detail, kapan" Dijemput dimana" Mereka berapa jumlahnya" Mau kemana saja" Andi menjawab, besok pukul sembilan pagi lepas, dijemput
di salah-satu lobi hotel dekat bioskop kota, jumlahnya bertujuh, terserah kau mau dibawa kemana, kau tanya sendiri, rombongan itu mau dibawa kemana. Aku
terdiam sejenak, "Lantas bagaimana aku membawa mereka dari hotel ke dermaga sepit?" Andi ikut terdiam sejenak, "Mana kutahu, mungkin kita bisa minta antar
mobil hotel." Aku menepuk dahi, kenapa aku yang harus repot, kenapa tidak Bapak Andi saja yang mengantar. Andi ikut menepuk dahi, tidak bisa, Bapaknya
besok mau ke Ketapang menumpang kapal cepat. "Kita harusnya tersanjung mendapat tugas negara seperti ini, Borno. Demikian petuah Bapak-ku." Aku tertawa,
tugas negara apanya" "Kata Bapak-ku kalau kita bisa membuat turis negeri jiran itu terkesan, maka kita bisa mengangkat harkat martabat bangsa, agar mereka
berhenti bilang Indon, berhenti mendaku-daku budaya orang lain, dan sebagainya, dan seterusnya." Aku menimpuk Andi dengan gumpalan kertas. Soal omong-kosong,
Bapak Andi itu nomor satu, coba kalau dia yang datang langsung malam ini, aku bisa gombal diceramahi setengah jam.
Baru habis setarikan nafas dari pesan Bapaknya, Andi sudah membuka topik pembicaraan baru, "Bagaimana si sendu menawan, Kawan" Sudah tahu namanya?"
Aku menggeleng jengkel. Baru malam lalu kami membahasnya, malam sebelumnya, malam sebelumnya lagi, tidak bosan-bosan dia, atau jangan-jangan prospek malamku
bulan-bulan mendatang hanya dihabiskan membahas soal ini dengan Andi.
"Kau belum tahu namanya" Ayolah, sudah seminggu tidak ada kemajuan, ibarat"relaysandiwara radio di RRI, terlalu lama, bertele-tele bisa membuat pendengarnya
bosan. Mereka cepat jengkel dengan pemeran utama yang pemalu, apalagi malu-maluin.?"
Aku tertawa, menimpuk Andi dengan gumpalan kertas, siapa pula yang pemalu" Aku hanya belum tahu caranya, tidak pernah ada yang mengajari soal mengajak
wanita berkenalan. Lagipula siapa suruh dia ikut penasaran dengan cerita ini."
"Kau hari ini melihatnya di dermaga kayu?" Andi mengganti pertanyaan"yang lebih mudah kujawab.
Aku menggeleng. "Tidak lihat" Kemana dia?" Andi bergegas bertanya.
"Mana kutahu. Hari ini minggu, libur, hanya pengemudi sepit atau montir amatiran macam kau yang tetap kerja. Boleh jadi dia plesir ke hulu kota, berbendi-bendi."
Aku mengangkat bahu. Andi manggut-manggut, "Berarti tidak ada cerita lanjutannya, nih?"
Aku menggeleng. "Ya sudahlah, kalau begitu, aku pamit pulang." Andi santai bangkit dari duduknya. Aku menyumpahinya, lihat, dia kemarin menuduhku sengaja membuat kawan
dekat mati penasaran. Malam ini dia datang hanya karena perlu dengan cerita itu, tidak ada cerita, maka tidak penting lagi bertemu denganku. Macam itu
disebut kawan dekat."
"Ingat besok jam sembilan lepas, Borno. Kau jemput mereka di hotel bintang tiga, tuh." Andi santai melambaikan tangan. Aku untuk ketiga kali menimpuknya
dengan gulungan kertas"ternyata kertas-kertas yang gagal kutulisi dengan puisi cinta ini ada gunanya.
*** Bangun pagi, yang pertama kali kupikirkan bukan soal pesan Bapak Andi, itu bisa diurus nanti-nanti setelah aku menyelesaikan satu"rit. Aku memikirkan antrian
sepit nomor tiga belas. Sepitku sengaja melaju lambat agar pas tiba di dermaga kayu, sudah seminggu terakhir aku memutuskan menikmati godaan ibu-ibu tetangga
yang sedang beraktivitas di sepanjang Kapuas, malah tiga hari lalu aku mampir di rumah papan Pak Sihol, nyengir menyerahkan bungkus plastik berisi sabun,
"Buat ganti yang hanyut, Pak." Dia menatapku galak, "Taruh saja di depan." Aku ijin pamit, maaf soal beberapa hari lalu. "Ya, terimakasih." Pak Sihol tetap
berseru galak. Ternyata aku terlalu lambat, sepitku keduluan Pak Tua beberapa detik.
"Ayolah, Pak, kita bertukar tempat." Aku memohon.
"Kau ini aneh sekali, Borno." Pak Tua menyelidik dari ujung rambut ke ujung kaki, "Beberapa hari lalu kau menyuruhku menyalip antrian sepit kau, sekarang
minta kau duluan. Ada apa sebenarnya dengan, sebentar, satu, dua, tiga". Tiga belas, ya, ada apa dengan antrian sepit nomor tiga belas?"
"Tidak ada apa-apa, Pak. Pelaris saja." Aku mengangkat bahu, "Setiap kali aku antri di nomor ini, uang yang ditaruh penumpang di dasar perahu lebih banyak,
Pak." Aku mengarang penjelasan bodoh.
Pak Tua (tentu saja) tertawa, "Ya sudahlah, terserah kau saja, silahkan maju sini."
Aku memasang "wajah berterima-kasih minggu ini". Menggeser kemudi ke kiri, sepitku bergerak lembut melewati sepit Pak Tua.
"Karena kupikir kau juga macam tentara barak jaga, tidak akan meninggalkan buritan perahu walau ditembaki musuh, jadi mari Borno, aku hendak menyeduh kopi
di warung pisang." Pak Tua tanpa perlu menunggu jawabanku, sudah santai menambatkan sepit, melangkah ke dermaga, bersenandung,?""Oh, jatuh cinta/bisa membuat
pusing kepala/bisa membuat orang gila/oh, jatuh cinta?""
Aku menahan tawa, hendak jahil mencipratkan air ke punggung Pak Tua"urung, pastilah Pak Tua asal bernyanyi, dia tidak berniat menyindirku, nanti justeru
dia jadi tahu semua urusan.
Dan setengah jam menunggu, aku menjadi tegang. Matahari meninggi, cerah membungkus kota, permukaan Kapuas terlihat cokelat mengkilat. Lalu-lalang sepit,
perahu nelayan dan kapal lain semakin ramai, dermaga kayu dipenuhi para komuter, penyeberang sungai. Gadis itu akhirnya terlihat melangkah masuk dermaga,
aku menelan ludah, dadaku berdegup lebih kencang, hari ini dia memakai kaos berwarna putih, celana training senada, dan topi kuning, rambut hitamnya tergerai
di bahu. Tidak membawa tas penuh buku. Aku mengelap peluh di dahi, mau pakai apa saja, ia selalu terlihat menawan. Tiba-tiba aku terpikirkan sesuatu, menatap
kaos hitam yang kukenakan, celana jeans butut, sendal jepit, handuk kecil di pundak, astaga"
"Maju lagi satu sepit!" Petugas"timer"berteriak."
Kepalaku terangkat, belum, masih ada sepit Jauhari di depanku, aku cepat menghitung ulang barisan calon penumpang di"steher. Satu penumpang, dua, tiga,
kecemasanku tentang pakaian berganti cepat dengan, celaka, gadis itu pasti naik sepit di depanku, bukan antrian sepit nomor tiga belas.
"Ada apa, Borno?" Jauhari, sepit di depanku, yang bersiap menggerakkan tuas kemudi menoleh padaku yang mengaduh tertahan barusan.
"Tidak apa-apa, Bang." Aku menelan ludah kecewa, "Tidak apa-apa." Berkata pelan, menggeleng perlahan.
"Woi, satu sepit lagi maju!" Petugas"timermeneriaki antrian.
Jauhari menoleh sejenak ke arah steher, menoleh lagi padaku, "Kau mau duluan, Borno?"
"Tidak apa-apa, Bang. Abang duluan saja." Ekspresi wajahku justeru sebaliknya bilang iya-mengenaskan. Sudah kurencanakan matang-matang, kutunggu semalaman,
ternyata gagal. Tetapi bagaimanalah" Dulu saja aku menyalip Jauhari yang sedang ke kakus, urusannya panjang, tidak mungkin aku akan memintanya mengalah
seperti yang kulakukan pada Pak Tua.
"Kau duluan, Borno. Silahkan." Jauhari ternyata berpikir sebaliknya, urung menggerakkan tuas kemudi, mengurangi gerungan gas motor tempel."
Rasa-rasanya aku hendak loncat ke perahu Jauhari, memeluknya, bilang terima kasih. Keburu petugas"timer"sudah macam pegang toa, berteriak lagi, "SATU SEPIT!"
Aku bergegas merapat. "Kau menyalip antrian, Borno." Petugas menatapku galak. "Tidak apa-apa, Oom. Sudah ijin Bang Jau." Petugas bingung, menoleh ke sepit
Jauhari. "Terserahlah, tapi ingat ya, aku tidak mau ikut-ikut kalau kalian ribut lagi." Petugas mempersilahkan penumpang berloncatan naik.
Aku tersenyum riang, nah, satu penumpang naik, dua, tiga, hanya soal waktu gadis itu akan naik ke sepitku.
"Selamat pagi, wah, ketemu lagi dengan Bang Borno." Gadis itu menyapaku.
Aku sudah meneguhkan diri sejak semalam"tepatnya sejak seminggu terakhir. Kali ini aku berusaha tersenyum, "Iya ya, kebetulan sekali." Hampir tersedak
di ujung kalimat, tetapi kalimat itu sukses meluncur keluar. Gadis itu duduk di kursi papan melintang paling belakang.
Berbeda dengan oplet yang kursi panjangnya berhadap-hadapan, bus yang semua kursi menghadap ke depan, tidak ada aturan resmi naik sepit, kalian mau menghadap
ke depan, menghadap ke buritan, terserah-serah penumpang. Alamak, meski hanya di punggungi, aku tetap merasa bahagia. "Jalan Borno, jangan bengong macam
ke-surupan si pontianak." Petugas berteriak. Aku bergegas menggerakkan kemudi, sepitku meluncur ke tengah Kapuas.
Dan kejutan, setengah perjalanan menyeberangi Kapuas, di tengah suara gemeretuk motor tempel, kecipak air mengenai lambung perahu, gadis itu tiba-tiba
membalik badannya, tersenyum. Oh Ibu, aku yang sejak tadi memberanikan hati untuk mulai menyapa, memulai pembicaraan (tentu saja) tertegun. Gadis itu memulai
percakapan. "Susah tak mengemudikan sepit, Bang?" Dia bertanya.
"Eh" Apa?" Aku berseru, bukan sekadar berusaha mengalahkan suara motor tempel, tetapi itu lebih karena intuisi mendasar pertahanan manusia saat gugup."
"Susah tak mengemudikan sepit?" Dia mengulang.
"Oh, itu, ini mesin motor pembakaran dalam, bahasa sananya disebut"internal combustion engine. Kalau kapal-kapal besar macam feri, pengangkut kontainer,
kapal pesiar, tanker, kebanyakan menggunakan mesin torak, turbin uap, turbin elektrik, turbin gas, atau bahkan turbin nuklir.?"
"Wah, abang nampak paham sekali soal mesin."
Aku menyeringai, menyeka pelipis, "Oh, itu, sebenarnya tidak terlalu paham. Sederhana saja, motor tempel hanya terdiri dari mesin penggerak, transmisi
dan propeler. Aku baca dari buku panduan-nya."
"Bebalnye. Kau tak menjawab pertanyaannya." Ibu-ibu berseragam PNS yang duduk di dekat gadis itu tiba-tiba memotong"itulah resiko ngobrol di sepit, semua
orang bisa mendengar, karena bicaranya harus berseru-seru kencang. "Dia bertanya soal mudah tak mengemudikan sepit, bukan pelajaran tentang mesin. Kuping
kau ditaruh di mana?""
Aku tersengih merah, gadis itu anggun menutup mulut menahan tawa.
Hanya demikian percakapanku, sisanya diambil alih ibu-ibu judes yang duduk di dekatnya. Mereka berbincang banyak hal, bertanya berangkat kerja" Gadis itu
mengangguk. Di mana" Gadis itu menyebutkan salah-satu yayasan. Aku mencatat baik-baik dalam hati, siapa bilang tidak ada kemajuan" Pagi ini aku tahu dia
bekerja di yayasan terkenal kota Pontianak, pengelola salah-satu sekolah swasta ternama dari tingkat TK hingga SMA kota kami. Tak mengapa bukan aku yang
mengobrol, curi-curi pandang, melirik menatap raut wajahnya saat mendengarkan, saat menjawab, saat tertawa renyah, itu sungguh sudah lebih dari cukup.
Sudah membuat pagiku terasa indah nian. Sayang, kesenangan itu terputus, dermaga seberang sudah dekat. Aku mengurangi kecepatan, satu menit kemudian, sepit
merapat pelan ke steher."
"Terima kasih, Bang." Gadis itu melangkah ke papan dermaga.
"Sama-sama." Aku berusaha memasang wajah selurus mungkin"ibu-ibu berseragam PNS itu masih memelototiku, seperti melihat laki-laki bajingan saja (demikian
kesimpulanku). *** Andi marah-marah. Gara-gara kebanyakan melamun dirubung senyum-senyum di dermaga kayu, aku terlambat menjemput rombongan keluarga calon besan di hotel
bintang tiga dekat bioskop kota."
"Jam sembilan lepas, Borno. Sudah kubilang dua kali tadi malam." Dia bersungut-sungut.
"Lah, sembilan lewat 59 menit juga sembilan lepas, bukan?" Aku tidak mau disalahkan."
Andi menyikut lenganku, menunjuk lobi hotel, yang hendak dijemput terlihat celingukan. Andi menyapa mereka"sepertinya sudah pernah dikenalkan Bapak Andi.
Aku ikut bersalaman. Jumlah mereka tujuh, separuh setengah baya, sisanya kanak-kanak, tiga perempuan, empat laki-laki. Tidak ada mobil hotel yang bisa
mengantar, Andi men-carter"oplet menuju dermaga sepit."
"Hari ini Bapak-Ibu hendak melihat apa?" Andi meniru-niru gaya"guide"profesional, bertanya sopan pada keluarga calon besan, "Wisata kuliner, wisata belanja
atau wisata sejarah?"
Sebenarnya rombongan dari Kuching, Malaysia itu menyenangkan, mereka sepanjang oplet bersenda-gurau, menikmati benar melancong. Yang membuat rumit itu
Andi, dia kadang rusuh sendiri. Saat salah-satu rombongan itu bilang ingin lihat bangunan-bangunan tua bersejarah di Pontianak, Andi rusuh komat-kamit
berpikir, berbisik-bisik, "Kita kemana, Borno" Ke pabrik karet tua" Atau ke rumah walet berhantu itu saja?" Aku menyikut lengan Andi, dia pikir ada yang
mau dekat-dekat ke pabrik bau atau mengunjungi bangunan lengang berbentuk segiempat tinggi. Istana Kadariah, itu tujuan pertama pilihanku. Teringat kemarin
aku mengantar Cik Tulani ke sana, sepertinya itu pilihan tepat. Rombongan itu mengangguk-angguk, aku menghidupkan motor tempel, menggerakkan tuas kemudi,
sepitku segera meluncur meninggalkan dermaga.
Aku tak tahu pasti, apakah Istana Kadariah adalah istana yang dulu dibangun pemuda gagah turunan raja-raja, tempat takluknya si seram pontianak itu, yang
aku tahu, istana yang terletak persis di tepi sungai Kapuas itu terlihat megah dan menarik, bersisian dengan Masjid Jami, mesjid tertua kota ini. Di sekitar
Istana terdapat kampung peranakan asli penduduk Pontianak"meski kumuh dan miskin. Ada beberapa kerabat Cik Tulani tinggal di sana, juga kerabat jauh almarhum
Bapak." Rombongan itu berseru-seru senang saat melihat atap istana dari kejauhan. Aku mendengus jumawa ke arah Andi, lihat, pilihanku tepat, bukan" Hanya kita-kita
saja yang setiap hari melewatinya merasa bangunan ini jamak adanya, bagi turis, istana ini amat menarik. Aku mengurangi kecepatan, sepit merapat anggun
ke salah-satu dermaga semi permanen dekat Istana Kadariah dan Masjid Jami.
"Kau tidak ikut masuk ke dalam?" Andi bertanya, melihatku yang masih duduk di buritan meski rombongan calon keluarga besan sudah berloncatan turun.
"Tidak, kau sajalah yang menemani. Kau lebih pandai jadi"guide." Aku tertawa kecil, sedikit gugup.
"Ayolah, setidaknya aku tidak sendirian bersama mereka." Andi memaksa.
Aku menggeleng. Tidak mau.
"Ya sudahlah, kau tunggu di sini. Jangan kemana-mana." Andi berlalu, tidak memperhatikan tampang gugupku.
Bukan itu alasan utamaku tidak ikut masuk ke halaman Istana, aku sedang gugup, kenapa aku gugup" Lihatlah, tidak jauh dari sepitku, tertambat"boat fiberglass"berwarna
putih itu. Kepalaku berpikir cepat, kalau ada"boat"ini, jangan-jangan gadis itu ada di sekitar sini" Dadaku berdetak lebih kencang.
Apakah ini akan menjadi kebetulan (yang benar-benar kebetulan) menyenangkan"
Rekap Episode2 sebelumnya: Pernah naik angkot" Kereta" Pesawat" Kapal laut" Atau kendaraan umum lainnya" Nah, bayangkan di sebelah kalian duduk seorang
pemuda usia 20-an. Selintas dilirik, sekilas lalu, lantas asyik kembali melihat keluar jendela. Tiba di tempat tujuan, bertemu sanak-kerabat-kolega, sibuk
dengan aktivitas, benar2 tidak akan ingat siapa pemuda tadi. Tidak penting, tidak signifikan. Itulah Borno, pemuda Melayu, yatim sejak usia 12 (Ayahnya
mati disengat ubur2, lantas mendonorkan jantungnya di detik terakhir), dibesarkan di gang sempit tepian Kapuas kota Pontianak. Wajahnya pas2an, tidak tinggi,
tidak pendek, tidak gemuk, cenderung kurus, kulit cokelat terbakar, dan rambut pendek dua senti (kalau panjang sedikit jadi aneh). Bedanya dengan bujang
kebanyakan, malam berikutnya (saat kalian bahkan lupa pernah naik angkot pergi kemanalah dua hari lalu), Borno akan mengetuk pintu, lantas malu-malu bertanya,
"Eh, apakah ini punya, Kakak" Ketinggalan di angkot?"
Itulah Borno, tumbuh bersama Pak Tua (70 thn, ras tidak diketahui, masa lalu tidak terdefinisikan), Cik Tulani (50thn, Melayu tulen), Koh Acung, Bang Togar,
dan tentu saja teman setianya, Andi si Bugis. Suatu hari dia menemukan sepucuk amplop merah di dasar perahu persis di hari pertamanya menjadi pengemudi
sepit (setelah dua tahun berganti-ganti pekerjaan). Dan pemilik amplop merah itu ternyata adalah "kakak" berbaju kurung kuning dengan rambut panjang tergerai,
si sendu menawan. Apakah ini akan jadi kisah cinta yang berakhir bahagia, atau sebaliknya, penuh air-mata" Kalian akan ikut "bertanggung-jawab" atas jalan
hidup Borno." ***" Aku mendongak menatap biru langit Pontianak. Matahari sebentar lagi persis di atas kepala"meskipun di tempat kalian setiap tengah hari bolong matahari
seolah-olah di atas kepala, kota Pontianak jelas lebih istimewa; matahari benar-benar di atas kepala, ini kota garis khatulistiwa, Kawan, di mana jejak
matahari persis melintas di atasnya; boleh jadi ksatria gagah yang mengalahkan hantu pontianak dulu sengaja benar memilih tepian Kapuas menjadi pusat kerajaannya.
Aku mengelap peluh di leher dengan handuk"tetapi kstaria itu lupa, dengan demikian, kota ini selalu panas, panas, dan panas."
Andi dan rombongan turis dari Serawak sudah masuk ke ruang depan Istana Kadariah, dari kejauhan bisa kulihat gaya Andi yang tunjuk sana, tunjuk sini, lambai
sana, lambai sini, menggaruk kepala, memegang ujung hidung, lantas entah apalagi gaya dia sebagai"guideamatiran"sayang, sepertinya tamu dari negeri jiran
itu lebih asyik berfoto-foto daripada mendengarkan Andi, termasuk menyuruh-nyuruh Andi mengambil gambar mereka bertujuh."
Aku menghela nafas, berusaha mengendalikan perasaan, lupakan Andi dan calon besan keluarganya, ada urusan penting yang harus kupastikan, loncat turun dari
sepit, melangkah mendekati"boat fiberglass. Jika kapal putih ini ada, maka jangan-jangan gadis itu juga ada. Ah, bukankah baru tadi pagi dia naik sepitku,
senyumnya mengembang, menyapa riang. Aku lagi-lagi menyeringai sendiri, sekali lagi menyeka peluh. Di mana orang-orang" Tengok sana, tengok sini, kepala
melongok, kapal putih ini sepertinya kosong, bahkan awak kapalnya pun entah pergi kemana. Celingak-celinguk, lima belas detik senyap, aku memberanikan
diri menaikinya, siapa tahu ada orang di ruang kemudi. Siapa tahu ada dia di?"
"Bang Borno?""
Kakiku hampir terpeleset, bergegas berpegangan di pagar"boat."
Gadis itu sempurna berdiri di belakangku."
"Eh, kau?" Hanya itu yang keluar dari mulutku, sial, bukankah aku tadi berharap bertemu dengannya" Kenapa setelah bertatap-muka macam ini, aku malah jadi
salah-tingkah, gugup sekali."
"Bang Borno hendak kemana?" Gadis itu tersenyum"tidak tertawa melihat wajahku yang mungkin mirip anak kecil ketahuan mengompol.
"Mencari kau", eh bukan, maksudku mencari tahu secanggih apa kapal ini. Kau ingat,"internal combustion engine"macam itulah." Aku tertawa tanggung, menunjuk-nunjuk"boat
firberglass, menyumpahi mulut yang salah-ucap. Astaga, bagaimana mungkin aku bilang "mencari dia"."
"Oh, kapal ini milik Yayasan, Bang, canggih memang. Ada pejabat dari Jakarta berkunjung ke sekolah kami, tahulah apa mereka menyebutnya, studi banding,
akreditasi. Pengurus yayasan mengajak mereka jalan-jalan keliling Pontianak." Gadis itu berkata santai, sepertinya tidak terlalu mendengarkan salah-ucapku
barusan. Respon baik yang tetap membuatku gugup, aku menunjuk bangunan Istana Kadariah."
"Yeah, mereka ada di dalam sekarang. Saya malas ikut-ikutan masuk, menemani bertukar basa-basi, memasang wajah sok ramah, jadi saya menunggu di halaman
saja. Dan ternyata, ada Bang Borno. Kejutan yang menyenangkan." Gadis itu tertawa."
Aku ikut tertawa (hanya itu yang ada di kepalaku, mana sempat berpikir skenario berikutnya seperti yang dikuasai playboy kelas kampung ketika menggoda
gadis)." "Bang Borno kenapa ada di sini" Tidak narik?""
"Eh, tidak." Aku menggaruk kepala, "Aku menemani Andi, kau tahu Andi" Tukang bengkel di bengkel bapaknya, Malaysia, ada keluarga besan bapaknya datang,
Serawak, menumpang sepit berkeliling, kuajak kemari, bangunan bersejarah mereka bilang, asyik foto-foto sekarang." Aku bergumam cepat, entah kalimatku
sesuai kaidah percakapan atau tidak, belepotan."
"Bang Borno bawa sepit kemari?" Syukurlah, gadis itu mengerti bahasa anehku."
Aku mengangguk, menunjuk ke"steher."
"Daripada kita sama-sama menunggu, saya punya ide baik." Gadis itu tertawa renyah."
"Ide baik?""
"Ayo, Bang." Gadis itu sudah melangkah kesteher, melintas cepat di atas dermaga, kemudian riang loncat ke atas sepitku."
Aku bingung, ikut loncat ke atas sepit."
"Mereka baru keluar dari istana setengah jam lagi paling cepat. Saya bosan melihat pejabat itu sok mengangguk-angguk paham penjelasan. Juga bosan melihat
pengurus yayasan mencari muka. Nah, Bang Borno belum menjawab pertanyaanku tadi pagi.?"
"Pertanyaan apa?" Aku menelan ludah, tambah bingung"kenapa aku tiba-tiba jadi bodoh dan pelupa."
"Seberapa sulit mengemudikan sepit, Bang." Gadis itu mengingatkan. "Sulit tidak?""
"Oh itu," Aku menepuk dahi, kupikir pertanyaan lain, "Gampang, tidak sulit.?"
"Bang Borno mau mengajariku?""
Aku menatap gadis dengan topi kuning, kaos putih, celana training senada, rambut tergerai di bahu, senyum mengembang penuh harap. Aku pelan-pelan meneguk
ludah, Ibu, apa yang dia bilang" Mengajarinya mengemudikan sepit" Siapa yang akan menolak?"
***" Malamnya, Andi mengamuk."
"Kata bapakku, kau bisa membahayakan perdamaian Malaysia-Indonesia." Ketus dia padaku."
Aku tertawa kecil, apanya yang membahayakan, aku cuma kelupaan kalau rombongan calon besan itu masih di Istana Kadariah, membiarkan mereka menunggu berjam-jam,
hingga akhirnya Andi dengan wajah penuh rasa bersalah, menyumpah-nyumpahiku, memutuskan membawa mereka menumpang oplet kembali ke hotel dekat bioskop kota.
Jalan-jalan hari itu berakhir dengan kesal."
"Kau tuan rumah tidak tahu sopan-santun. Kau seharusnya duduk di buritan sepit hingga kami kembali, apapun yang terjadi, bukan sebaliknya, kelayapan entah
kemana." Andi semakin ketus."
Aku menyeringai, maaf, maaf."
"Sebenarnya apa yang terjadi sampai kau tega membawa sepit pergi begitu saja dari dermaga istana, hah?" Andi mendengus, matanya menyelidik. Itu pasti kejadian"extraordinary,
force majuer, sampai seorang Borno yang terkenal lurus perangai mau melakukannya."
Aku mengangkat bahu, tertawa lagi."
Andi gemas melemparkan gitar butut, loncat menerkamku."
"Woi, kalian membuat kartu-kartu berantakan." Cik Tulani, yang sedang bermain kartu bersama tetangga di balai bambu berseru galak, "Kalian ini sudah pantas
punya anak empat, masih saja bergumul macam kanak-kanak." Beberapa tetangga tertawa, mentertawakan pribahasa Cik Tulani barusan yang sudah kolot. Jaman
dulu memang masuk akal, usia dua puluh punya empat anak, hari ini bujang dan gadis menikah di usia dua kali lipat."
"Kulihat kau tadi putar-putar di Kapuas bersama seorang perempuan, Borno" Dia men-cartersepit kau?" Setelah keributan di balai bambu agak reda, aku dan
Andi sudah berhasil dilerai, Jauhari yang baru bergabung justeru santai bertanya."
Bukan hanya Andi yang sontak menoleh. Seluruh penghuni balai bambu (delapan orang), ikut menoleh. Aku yang masih asyik nyengir pada Andi (dia terlihat


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih nafsu memiting, tetapi dipegangi tetangga) langsung terdiam."
"Hah, apa kau bilang Jau?" Cik Tulani menyahut, ingin tahu."
"Ah, Cik ini macam kupingnya penuh tahi, tak dengar," Jauhari tertawa, "Kubilang aku melihat Borno berputar-putar Kapuas membawa sepitnya bersama seorang
perempuan. Sudah macam tuan-nyonya berplesir, atau macam muda-mudi pacaran saja." Jauhari tergelak."
"Siapa gadis itu?" Tetangga lain semangat ingin tahu."
Aku bersiap mengutuk Jauhari"awas saja kalau dia menceritakan detail."
"Perempuan, Jupri, aku tidak bilang gadis. Iya kalau gadis, kalau nenek-nenek, mana kutahu, aku hanya melihat sekilas dari kejauahan. Kau di"carter"sampai
mana, Borno?" Jauhari sepertinya paham ekspresi keberatanku, tertawa menggoda, sengaja mengalihkan pembicaraan."
"Di"carter"sampai dermaga pelampung, Bang." Aku punya ide pamungkas."
Satu-dua tetangga bergumam jengkel, cih, mendengar nama pelampung (kapal feri) selalu membuat mereka sebal. Aku menyeringai, perhatian penghuni balai bambu
kembali ke kartu-kartu, atau kembali asyik menatap aliran Kapuas yang mengkilat disinari cahaya bulan malam sebelas. Kerlip lampu kota Pontianak terlihat
indah, ditingkahi kerlip lampu perahu yang melintas."
"Aku tahu, itu pasti gadis itu." Sayangnya ada yang tidak, Andi sudah merapat, menatap mengancam, sisa sebal kutinggal tadi siang, "Kau ceritakan padaku.
Lengkap, tanpa tersisa satu detik pun. Atau aku akan bilang ke yang lain tentang si sendu menawan itu.?"
***" Baiklah, baiklah, aku akan menceritakannya."
"Aku memegang tangannya?""
"Alamak?" Andi berseru kencang, meski segera menutup mulut, khawatir orang-orang di balai bambu jadi ikutan tertarik mendengar percakapan kami, "Kau pegang
tangannya" Kau pegang tangannya, Borno?" Andi berbisik memastikan."
Aku mengangguk." "Kau berani sekali, Kawan. Bukankah kalau Ibu kau tahu kau memegang tangan gadis lain, bisa dibunuh kau." Andi berbisik."
"Itu tidak disengaja, bodoh." Aku melotot, enak saja, aku tidak akan merendahkan kehormatan wanita dengan memegang-megangnya, "Gadis itu menarik tuas gas
terlalu cepat, sepit tersentak, tubuhnya terlempar, topi kuningnya terlepas, daripada dia jatuh ke sungai, aku reflek menyambar tangannya.?"
"Ck, ck, ck"." Andi sekarang menggeleng-gelengkan kepala, "Dia hampir jatuh, kau sambar, kau selamatkan, kau pegang tangannya" Romantis sekali. Lantas
dia bilang apa, Kawan?""
Aku tertawa, romantis apanya, "Gadis itu tidak bilang apa-apa, wajahnya pias, butuh beberapa menit duduk di papan melintang menenangkan diri.?"
"Lantas?" Andi mendesak tidak sabaran, menebak-nebak, "Kau bujuk dia, kau bilang tidak apa-apa" Membesarkan hatinya, ada aku di sini, tenang saja, dik.
Begitukah" Kemudian dia terpesona, bilang betapa jantan dan baik hati, Bang Borno.?"
Aku menyikut lengan Andi, "Kau pikir itu sinetron" Atau telenovela yang sering Ibu kau tonton" Aku tidak bilang apa-apa, aku hanya duduk memperhatikan.?"
"Justeru itu, kenapa kau tidak melakukannya?" Andi mengangkat bahu, menatapku seperti pesakitan bodoh yang melewatkan kesempatan emas."
"Bagaimana mungkin aku bergombal ria setelah kejadian itu. Aku malu sudah memegang tangannya. Itu dosa, tahu!" Aku mendengus sebal."
"Bukankah kau sendiri yang bilang itu tidak disengaja." Andi menepuk dahi, "Kenapa mesti malu" Apa pula dosanya?""
Susah memang bercerita pada Andi. Tidak diceritakan dia bersungut-sungut marah, diceritakan, dia malah sibuk merecoki jalan cerita, seolah-olah punya versi
dan imajinasi sendiri."
"Lantas?""
"Hanya itu. Cerita selesai." Aku kesal melambaikan tangan."
"Astaga, kau jangan berbohong, Borno. Dua jam aku menunggu di dermaga Istana Kadariah, dua jam. Bagaimana mungkin hanya sesi pendek belajar sepit itu saja"
Kalian pasti beranjang-sana sepanjang Kapuas." Andi menatapku tidak percaya."
Aku tertawa, mengangkat bahu, cerita sudah selesai."
"Ya sudahlah, aku payah kali mendengarnya. Dosa" Malu" Ada-ada saja. Berdiam diri saja" Itu baru dosa, malu-malu-in" Andi menyambar gitar butut, jreng-jreng
bersenandung." Aku menyumpahi Andi, dengarlah, dia sekarang asyik menyanyikan lagu lawas itu"yang jaman Bapaknya dulu bujang amat terkenal."
"Haryati/ Dikau mawar asuhan rembulan/
Haryati/ Dikau gemilang seni pujaan/
Dosakah hamba mimpi berkasih dengan tuan/
Ujung jarimu kicium mesra tadi malam/
Dosakah hamba memuja dikau dalam mimpi/
Hanya dalam mimpi/ Haryati/ Dikau mawar di taman khayalku/
Tak mungkin/ Tuan terpetik daku/
Walaupun demikian nasibku/
Namun aku bahagia seribu satu malam//?"
Peserta main kartu di balai bambu bertepuk-tangan saat Andi mengakhiri lagu serak-serak fals-nya (walau pongahnya agak menyebalkan, harus kuakui, urusan
menyanyi, Andi beda-beda tipislah dengan Broery Pesolima). Aku menguap, memutuskan beranjak pulang. Haryati" Alamak, meski tadi siang ber-sepit ria dengannya
hampir dua jam, aku belum tahu juga siapa nama gadis itu" Masa" iya namanya Haryati?"
"Akhirnya, Borno. Setelah sekian lama tidak kelihatan batang hidungnya, kupikir kau sudah lupa rumah papan milik orang tua sebatang kara ini." Pak Tua
tersenyum hangat, walau wajahnya terlihat pucat, berpangku tongkat membukakan pintu, "Lama sekali kau tidak main ke sini, mungkin barang satu-dua minggu,
ya" Atau macam drama radio RRI, berbilang episode-episode aku tak muncul dalam cerita. Seperti penulisnya lupa dengan tokoh utamanya."
"Maaf, Pak. Borno sibuk." Aku menyeringai, merasa sedikit bersalah. Benar, sudah lama aku tidak mampir, biasanya seminggu bisa dua-tiga kali berkunjung.
Bercakap sambil menatap kesibukan malam Kapuas dari bingkai jendela, membicarakan banyak hal. Pak Tua seperti aliran air sungai, tak habis-habis ilmu dan
filosofi hidupnya"meski kadang aku juga tidak sependapat dengannya. Mengunjungi Pak Tua selalu menyenangkan."
"Bagaimana kabar Saijah" Sehat?" Pak Tua bertanya.
Aku mengangguk, "Kabar baik, Pak. Ibu bahkan menitipkan ini." Aku menjulurkan kantong plastik berisi makanan.
Pak Tua membukanya, tersengih lebar, "Astaga, gulai kepala kakap. Amboi, lezat sekali nampaknya. Tunggu sebentar, aku habis menanak nasi, akan sedap sekali
kalau langsung dimakan." Pak Tua sambil tertawa segera membawa kantong plastik itu ke belakang. Meninggalkanku sendirian, berbengong ria di ruang depan.
Tidak ada yang istimewa dari ruang tamu Pak Tua, kecuali secuil foto buram di dinding, kekuningan, dan ujungnya dimakan rayap. Foto itu memperlihatkan
pose Pak Tua yang sedang berpelukan bahu dengan pencetus "Amerika kita setrika, Inggris kita linggis" itu. Nampak akrab, tertawa lebar. Waktu usia enam-tujuh
tahun, saat diajak almarhum Bapak berkunjung ke rumah Pak Tua, aku selalu bertanya siapa orang berpeci hitam, membawa tongkat komando itu, Pak Tua hanya
tertawa melambaikan tangan, tidak menjawab. Saat sekolah, ketika akhirnya tahu siapa orang itu, lebih banyak lagi pertanyaanku, ini foto kapan" Apakah
Pak Tua teman dekat" Kenapa" Mengapa" Seperti mitraliur. Sayangnya, Pak Tua lagi-lagi hanya tertawa, tidak menjawab, sampai aku bosan bertanya.
Lima menit berlalu menyisakan suara gemeretuk perahu melintas, Pak Tua kembali dari belakang, membawa nampan dengan dua piring nasi mengepul. Kepala kakap
berlumurkan kuah lezat itu sudah tergeletak di dua mangkok pula, aromanya mencekat kerongkongan. Menggoda, membuat air liur menetes.
"Mari kita makan, Borno.?"
"Eh, itu kan buat Pak Tua semua." Aku menggaruk kepala, sengaja tadi Ibu menyuruhku membesuk Pak Tua, sudah dua hari dia tak nampak di"steher"sepit, kabarnya
kurang enak badan. Aku baru tahu Pak Tua sakit saat Ibu menyuruhku setengah jam lalu, kupikir dia baik-baik saja, malas narik sepit.
"Ayolah Borno, kau temani orang tua ini makan. Kau tahu, orang paling bersyukur di dunia ini adalah orang yang selalu makan dengan tamu-nya. Sebaliknya,
orang yang paling tidak tahu untung adalah yang selalu saja mengeluhkan makanan di hadapannya. Nah, anggap saja orang tua ini ingin meneladani perangai
elok itu, yah, walau dalam kasus ini gulai kepala kakap kau yang bawa. Setidaknya nasi ini kutanak sendiri."
Aku menatap sebentar nampan berisi makanan, menelan ludah, tadi Ibu sepertinya tidak menyisakan lagi gulai di rumah, mana boleh aku membuang kesempatan.
Baiklah, aku mengangguk sambil tertawa, melipat ujung baju, mencuci tangan di mangkok. Dan sekejap, tangan serta mulutku kompak bekerja."
Asyik sekali makan sambil menatap malam di tepian Kapuas. Suara perahu lewat menjadi latar penyanyi "live". Bulan malam tiga belas menjadi pemandangan.
Satu kakiku sudah naik ke kursi, meniru gaya Pak Tua yang santai mengunyah nasi dan menyobek daging kepala kakap dengan tangan langsung."
"Pak Tua sebenarnya sakit apa?" Aku bertanya, merekahkan kepala kakap.
"Ah, sakit orang jompo, Borno, mungkin asam uratku kambuh. Bagaimana tidak, aku tak pernah bisa menolak makanan selezat ini." Tertawa, "Bagaimana sepit
kau" Banyak hasil tarikannya?"
Aku menyeka nasi di sudut bibir, "Lumayan, Pak. Minggu-minggu ini sedang ramai."
"Ye lah, imlek lepas, disambut cap gomeh, anak perantauan banyak pulang, bernostalgia dengan banyak hal, termasuk naik sepit. Kudengar banyak"carter-an
sekarang?" Aku mengangguk, lantas menghirup kuah dari kepala kakap yang baru saja kuhabisi dagingnya. Nikmat. Pak Tua tertawa melihatku berdecap-decap kepedasan.
"Masakan Saijah itu selalu enak. Bayangkan, aku yang hanya dapat kiriman setahun sekali saja sudah amat berterima-kasih, apalagi kau, yang sejak kecil
dimasakkan." Aku buru-buru mengangguk bersepakat"sudah ratusan kali Pak Tua bercerita tentang bakti anak pada Ibu-nya. Betapa banyak pengorbanan Ibu, mulai dari masak
(berapa juta butir nasi yag pernah dimasaknya), mencuci pakaian (berapa tinggi tumpukan baju yang pernah dicucinya), sampai ompol, berak, dan sebagainya.
Aku sudah paham soal itu, bahas soal lain saja, demikian ekspresi mukaku.
"Bagaimana kabar gadis itu?"
Aku hampir tersedak, segera menyambar air minum. Kupikir Pak Tua akan berganti membahas topik apalah, ternyata banting stir ke topik tak terduga.
"Gadis apa?" "Ah, kau jangan macam kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Gadis mana lagi" Gadis yang membuat kau selalu antri di sepit nomor tiga belas. Coba
hitung sendiri, berapa kali kau menggeser posisi sepitku?"
Wajahku memerah, untung aku sudah menuntaskan seluruh kepala kakap, pura-pura bangkit hendak mencuci tangan di belakang.
Pak Tua justeru menjulurkan mangkok berisi air, ada potongan jeruk nipis di dalamnya, "Tenang, Borno. Kalau kau tidak mau bercerita, kita bahas hal lain
saja. Ah, bagi orang tua yang tinggal sendirian sepertiku ini, bercakap tentang hal sederhana sudah lebih dari menyenangkan, tak perlu pula sampai membahas
kisah cinta anak muda. " Pak Tua berkata santai, sama sekali tidak memaksa, meneruskan makan."
Aku menyeringai. Terdiam sebentar. Terkadang memang aneh urusan seperti ini, Andi setiap malam memaksaku bercerita di balai bambu, tidak sabaran mendesak,
aku justeru enggan dan sengaja tidak mau bercerita. Pak Tua sebaliknya, santai tidak memaksa, menganggap tidak penting, melanjutkan menghabiskan kepala
kakap, aku justeru seperti dihipnotis, semangat tanpa disadari mulai bercerita, tiba-tiba merasa penting membagi informasi padanya.
Pak Tua tidak sibuk menyela sekalimat pun, hanya sesekali tertawa kecil, menggelengkan kepala (saat tiba di bagian bodoh selalu menunggu di antrian sepit
no 13), sesekali mengangkat tangan, tertawa lagi (saat tiba di bagian aku yang gugup diajak bicara), atau menepuk pelan dahi-nya, tertawa lagi (saat tiba
di bagian belajar naik sepit, dan gadis itu hampir terjatuh).
"Bukan main, kupikir kau baru berani melirik-lirik, Borno. Ternyata sudah sampai beranjangsana sepanjang Kapuas berdua." Pak Tua akhirnya berkomentar saat
aku menutup cerita. "Memutari jembatan beton, melintasi jalur feri, mengisi solar di SPBU terapung, ngebut, menyalip sepit-sepit lain, melintasi pabrik
karet, melihat anak-anak main bola air, astaga". Apakah gadis itu terlihat senang?"
Aku mengangguk mantap, tidak ada keraguan soal itu"terlepas dari dia sempat pias saat membuat perahu nyaris terbalik, sisanya berjalan menyenangkan.
"Nah, agar cerita kau ini lebih enak didengar, boleh aku tahu siapa nama gadis itu?" Pak Tua melumuri tangannya dengan jeruk nipis.
"Tidak tahu." Aku menelan ludah."
"Astaga, bagaimana mungkin gadis secantik itu bernama "tidak tahu?"" Pak Tua memasang wajah bingung"tentu saja dia menggodaku, bukan salah paham atas jawabanku.
Aku menggeleng. Siapa nama gadis itu" Aku tidak tahu.
*** "Kau tahu, Borno, aku pernah punya kenalan, dia punya dua belas anak, semuanya diberi nama sesuai bulan kelahirannya. Karena semua lahir di bulan yang
berbeda, maka bayangkan, ada yang bernama Januari, Februari, hingga Oktober, November dan Desember. Untung saja anaknya tidak tiga belas." Pak Tua tertawa,
santai meluruskan kaki di kursi. Lepas membereskan nampan makanan, kami sekarang pindah ke beranda.
Aku ikut tertawa, Pak Tua tidak sedang bergurau"
"Itu sungguhan, Borno. Kau tidak bisa membayangkan banyak sekali nama aneh, tidak lazim dan jarang didengar di seluruh dunia. Ada tujuh milyar penduduk
bumi, bukan" Nah, berarti ada tujuh milyar pula nama orang di seluruh dunia. Kalau kau bisa menghitungnya, mungkin ada seratus ribu orang bernama Andi,
Budi, Bambang, atau Ratna, Ayu, Shinta dan sebagainya. Setiap detik, ada puluhan ribu orang-tua yang berpikir keras memberikan nama."
Aku manggut-manggut, benar juga. Dulu aku dan Andi pernah mentertawakan nama teman sekelas: Rabu Kliwon. Urusan nama gadis itu yang masih misterius, membuatku
dan Pak Tua tanpa sengaja malah asyik membicarakan topik yang sama."
"Kata pujangga kelas dunia, apalah arti sebuah nama" Jangan tanya soal itu padaku yang hidup membujang, Borno." Pak Tua tertawa. "Kau tanyakan saja pada
kenalanku yang beranak dua belas tadi, dia pasti punya jawaban baik. Boleh jadi kalimat bijak itu benar, nama adalah doa. Adalah kewajiban orang-tua memilihkan
nama yang baik untuk anak-anaknya. Lantas apakah Desember atau November itu nama yang baik" Aku tidak tahu."
Aku ikut tertawa. Malam semakin larut, aku tahu diri, Pak Tua butuh beristirahat. Setelah dua-tiga perahu lagi melintasi Kapuas, aku pamit. Pak Tua menepuk-nepuk bahuku,
bilang salam dan terimakasih banyak untuk Ibu. Aku mengangguk takjim, undur diri.
*** Esok hari, entah karena masih dalam siklus keberuntungan, kali ini perhitunganku sempurna tepat, sepit antrian nomor 13, merapat persis ketika gadis itu
berdiri paling depan di"steher.
"Pagi, Bang." "Pagi." Aku memasang senyum terbaik abad ini.
Gadis itu mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih, celana katun. Sepatu hitamnya terlihat serasi dengan tas besar penuh buku"mungkin buku pelajaran,
atau buku absensi yang dulu kubenci, karena aku dan Andi suka minggat dari sekolahan.
"Saya selalu bertanya-tanya, kenapa ya beberapa hari terakhir, kebetulan, selalu sepit Bang Borno yang kunaiki." Gadis itu bertanya setelah duduk rapi
di papan melintang dekat buritan.
Aku gelagapan, "Eh, iya, ya". Itu juga jadi pertanyaanku. Kenapa ya?" Aku buru-buru memasang wajah ingin tahu, beruntung sebelum ekspresiku justeru menjadi
wajah bego, petugas"timer"sudah menepuk-nepuk ujung sepit, "Jalan Borno. Sudah penuh. Oi, satu sepit lagi maju!?"
Aku bergegas menggerakkan kemudi ke kiri, sepit seperti seekor angsa, meluncur anggun meninggalkan dermaga kayu. Matahari pagi menerpa permukaan Kapuas,
hangat menyenangkan. "Eh,"kamu"tidak mengembangkan payung?" Aku bertanya, menunjuk payung hitam di sebelahnya.
Gadis itu menggeleng, "Tidak terlalu terik, Bang."
Aku manggut-manggut, sepit sudah meluncur seperlima perjalanan.
"Eh,"kamu"sedang baca buku apa?" Aku bertanya.
Gadis itu memperlihatkan sampul buku, "Biasalah, Bang. Materi belajar anak-anak."
Aku manggut-manggut, sepit sudah meluncur dua perlima perjalanan.
"Eh,"kamu"masih ingin belajar mengemudikan sepit lagi?" Dari tadi aku sebenarnya hendak bertanya "Nama kau siapa?", tapi yang keluar justeru pertanyaan
lain. "Bang Borno tidak keberatan mengajariku lagi?" Gadis itu kali ini mengangkat kepalanya dari halaman buku, tertawa kecil.
"Mengajari lagi" Oh, tidak, tidak keberatan. Sepanjang"kamu"tidak menggulingkan perahuku di tengah Kapuas." Aku ikut tertawa."
"Hari ini hari terakhirku mengajar di Yayasan. Bang Borno mau mengajariku besok?" Gadis itu menatap semangat"tidak terlihat sisa-sisa pias-nya kemarin.
Kenapa tidak, aku mengangguk. Gadis itu tertawa senang. Sepit sudah empat perlima perjalanan. Sudah hampir merapat. Aku buru-buru mengusir rasa senang
atas prospek pertemuan besok, sedari tadi aku meneguhkan hati bertanya tentang sesuatu, tetapi entah kenapa tidak mudah keluar.
"Eh, na-ma." Akhirnya kalimat itu terlontarkan, lengkapnya maksud ucapanku, "Nama kau siapa?" Apa daya, ujungnya hilang oleh rasa malu, gugup dan entahlah
bercampur jadi satu. Ternyata tidak mudah menanyakan hal sesederhana ini.
"Nama?" Gadis itu mengangkat kepalanya.
"Eh, kau pernah dengar cerita tentang orang yang bernama Rabu Kliwon?" Aku salah-tingkah, bergegas mengambil ide percakapan apa saja yang melintas di kepala,
urung mengulang pertanyaan dengan baik.
Gadis itu menggeleng. "Yeah, ada temanku waktu SMA dulu, namanya begitu. Lucu, bukan?" Aku tertawa kecil, mencoba mengeluarkan lelucon. Bukankah Andi pernah bilang, gadis selalu
suka dengan lelaki yang humoris.
Gadis itu tidak terlalu tertarik.
"Kau tahu, Pak Tua bahkan punya kenalan dengan dua belas anak, namanya mulai dari Januari, Februari, Maret hingga November, Desember. Ada-ada saja." Aku
tertawa, berusaha memberi contoh yang lebih lucu, siapa tahu gadis ini ikut tertawa.
Gadis itu tetap tidak terlalu tertarik, menyeringai.
Aku terdiam sejenak, malu sendiri, beruntung sepit sudah siap mendarat, aku meneguk ludah, menurunkan kecepatan, bergegas mengendalikan sepit agar merapat
mulus ke dermaga kayu. Petugas"timer"membantu penumpang berloncatan.
"Terima-kasih, Bang." Dua-tiga penumpang di depan loncat ke"steher, meninggalkan gumpalan uang di dasar perahu. Aku mengangguk.
"Terima-kasih, Bang." Disusul dua-tiga penumpang lainnya. Aku lagi-lagi mengangguk.
Penumpang di sebelah gadis itu sudah bersiap berdiri."
"Namaku Mei." Gadis itu berkata pelan sambil memasukkan buku ke dalam tasnya.
"Eh" Apa?" Aku menatap gadis itu, belum mengerti.
"Namaku Mei, Bang Borno." Gadis itu beranjak berdiri, "Dan meskipun itu nama bulan, kuharap Bang Borno tidak mentertawakannya. Terima-kasih buat tumpangannya."
Alamak" Aku ternganga di buritan perahu.
Nasib malang, gara-gara lelucon tidak lucu tentang nama bulan, sisa pagi kuhabiskan bermuram durja."
Ratu Pemikat 2 Wiro Sableng 056 Ratu Mesum Bukit Kemukus Jago Dari Seberang 3

Cari Blog Ini