Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy Bagian 9
mewah. Halaman rumah Kiai yang sekaligus halaman masjid itu
bagai di sulap dijadikan tempat seperti dalam dongeng seribu satu
malam. Yang menggarap dekorasinya adalah para profesional yang
didatangkan dari Jakarta.
Sejak jam enam pagi Anna sudah bersiap-siap. Jam tepat pukul
setengah tujuh ia sudah siap dengan gaun pengantin yang dipesan
oleh Ibu Maylaf, ibunya Furqan pada desainer terkenal. Anna tampak
begitu segar dan bernas. Pesona jelitanya bagai putri dalam dongeng.
Tepat pukul tujuh Furqan dan rombongan datang. Mereka
disambut dengan lantunan Thala"al Badru dan irama rebana yang
begitu padu. Furqan tampak gagah lalu ia masuk masjid.
Pagi itu ribuan orang akan menyaksikan akad nikah yang sudah
lama terdengar gaungnya. Para santri dan masyarakat sekitar
memenuhi masjid. Tetamu undangan yang berbondong-bondong
datang pelanpelan memenuhi kursi yang disediakan.
Di antara tamu yang hadir adalah Azzam sekeluarga. Ia
menyewa mobil yang ia kendarai sendiri untuk datang. Ibunya sangat
takjub dengan pesta yang sedemikian megahnya.
"Namanya juga yang punya gawe orang besar Bu. Ya wajar."
Kata Azzam pada ibunya. Ibunya hanya manggut manggut sambil
terus melihat ke panggung pengantin yang belum pernah ia lihat
sebelumnya. Sementara Husna meletakkan kado pada tempatnya.
Azzam dan keluarganya memilih tempat yang agak di belakang.
Seorang lelaki setengah baya memakai batik cokelat keemasan
dengan peci tinggi datang. Serta merta Pak Kiai Lutfi yang melihatnya
mempersilakan lelaki itu ke kursi paling depan.
"Itu yang datang adalah Bapak Bupati!" Bisik Husna pada
kakaknya. "Berarti banyak orang penting yang datang?" Gumam Azzam.
"Tentu Kak. Termasuk kakak kan orang penting. Kakak kan
artis, teman dekatnya Eliana."
"Sst! Jangan bahas Eliana lagi ya. Bosan aku mendengarnya."
"Iya ya Kak. Husna tak akan bahas lagi."
Tamu-tamu terus berdatangan. Azzam melihat arlojinya. Jam
delapan kurang lima menit. Ada seorang anak muda tinggi kurus,
kulitnya agak hitam, berkoko dan berkopiah putih datang dan
memilih duduk di samping Azzam.
"Kosong?" Tanya pemuda itu.
"Iya. Silakan duduk!" Jawab Azzam. "Dari mana Mas" Dari
Jakarta?" "Tidak. Dari dekat sini saja. Saya dari Sraten, Kartasura."
"Teman pengantin putra atau teman pengantin perempuan?"
"Teman keduanya. Kebetulan adik saya ini akrab dengan
pengantin perempuannya."
"Memang adik Mas kuliah di Mesir juga?"
"Tidak. Di UNS. Katanya kenal saat bedah buku di sini. Dia jadi
pembicaranya dan Anna jadi pembandingnya."
"Sebentar, apa berarti adik Mas ini Ayatul Husna yang cerpenis
itu?" "Iya. Benar." Husna yang di sampingnya diam mendengarkan.
Manusia memang bermacam-macam, pikirnya. Ada juga yang seperti
pemuda ini. Baru duduk langsung memberondong dengan banyak
pertanyaan. "Di samping Mas ini ya orangnya?"
"Benar." "Sampaikan padanya saya selalu membaca cerpen cerpennya."
"Sampaikan sendiri saja langsung. Mumpung orangnya ada di
sini." "Saya malu Mas."
"O ya gantian, kalau Masnya dari mana?" Azzam gantian
bertanya. "Saya juga dari Klaten, tepatnya daerah Pedan."
"Kerja di mana Mas?"
"Kerja tetap belum punya. Ini kan saya liburan. Ikut bantu
mengajar di pesantren Pak Kiai Lutfi ini. Saya masih kuliah Mas."
"Kuliah di mana kalau boleh tahu" S1 apa S2?"
"Saya sedang mengambil master di Aligarh India. Dulu S1 di
Madinah." "Masya Allah. Oh ya kok belum tahu nama Mas."
"Nama saya Muhammad Ilyas."
"Saya Khairul Azzam. Oh lagi, kalau boleh tahu, di India ada
nggak ya kuliah S2 yang langsung menulis tesis begitu?"
"Saya persisnya kurang tahu. Setahu saya ya pasti ada kelasnya.
Tapi kalau S2 langsung by research, artinya langsung nulis tesis, di
Malaysia ada." "Malaysia?" "Iya. Mas S1 di mana?"
"Di Al Azhar." " Wah, orang Mesir rupanya. Minat S2?"
"Kalau S2 langsung nulis tesis, saya ada minat. Tapi kalau S2
masih harus masuk kelas seperti biasa, mending saya bisnis saja. Saya
sudah malas ujian." Kata Azzam dengan intonasi sedikit dikuatkan.
Husna tersenyum mendengar perkataan kakaknya itu. Ia tahu jiwa
kakaknya. Kakaknya masih ingin melanjutkan kuliah lagi. Itu pasti.
"Ya di Malaysia. Kalau mau saya ada teman yang sekarang
kuliah di sana." "Boleh." "Ini kalau mau dicatat nomor hp saya. Nomor hp Mas?"
"Oya, ini nomor hp saya, via adik saya Husna."
"Wah nomor cantik ya."
"Alhamdulillah."
Para tamu terus berdatangan. Dari pengeras suara diumumkan
bahwa acara akad nikah sebentar lagi akan dilangsungkan. Tepat jam
delapan akad nikah dilangsungkan. Furqan menjawab qabiltu21dengan lancar tanpa keraguan. Anna yang menyaksikan dan
mendengar dari lantai dua masjid meneteskan air mata. Statusnya
kini telah berubah. Ia telah resmi menjadi isteri Furqan Andi Hasan,
MA. Ia berikrar dalam hati akan mencintai suaminya sedalamdalamnya. Dan akan membaktikan hidupnya untuk suaminya
seikhlas-ikhlasnya. Furqan juga menangis. Ia menangis bahagia sekaligus menangis
sedih. Bahagia karena ia telah resmi menjadi suami Anna
Althafunnisa. Bahagia karena ia telah menyunting gadis yang
diidam-idamkannya. Dan bahagia karena ia telah membahagiakan ayah dan ibunya.
21 Qabiltu: Aku terima. Namun di saat yang sama ia juga sangat sedih. Sedih karena ia merasa
telah membohongi semua. Ia merasa telah mengkhianati dirinya
sendiri. Dan ia telah mengkhianati Anna dan keluarganya. Tidak
hanya mereka saja. Namun juga seluruh keluarga besar pesantren
Wangen semuanya. Tak jauh dari situ. Meskipun Azzam tersenyum, ada rasa kecewa
yang halus menyusup dalam hatinya. Yang berhasil menikahi gadis
shalehah itu bukan dirinya, tapi temannya. Akad nikah yang baru
dilangsungkan benar benar menjadi benteng yang menghalanginya
untuk memiliki gadis itu selamanya. Anna bukan rezekinya. Ia harus
mencari yang lain. Meskipun dulu ia pernah menasihati Fadhil
ternyata untuk sama sekali tidak kecewa luar biasa susahnya. Tapi
Azzam berusaha untuk menepis kekecawaan itu.
Azzam menghibur dirinya, dalam hati ia merasa pernikahan
Anna dengan Furqan kini membuat dirinya benar-benar merdeka.
Dirinya merdeka dari harapan menyunting Anna, meskipun harapan
itu tipis. Harapan yang selama ini masih sesekali datang begitu saja ke
dalam hatinya tanpa ia pinta. Sekarang harapan itu telah sirna. Dan ia
bisa lebih berkonsentrasi untuk meraih cita-citanya yang pernah ia
sampaikan sambil bercanda pada Eliana, yaitu: jadi orang paling kaya
se-pulau Jawa. Azzam tersenyum.
Ada yang lebih dalam rasa kecewanya melebihi Azzam, yaitu
Muhammad Ilyas. Yang duduk tepat di samping Azzam. Ilyas yang
lamarannya ditolak oleh Anna. Namun hari itu juga, meskipun
kecewa, Ilyas merasa sudah merasa menemukan pengganti Anna.
Pengganti Anna yang ia yakin secara kualitas tak akan kalah jauh dari
Anna. Dalam hati ia sangat bersyukur hadir di acara pernikahan itu,
sebab ia telah berkenalan dengan kakaknya Ayatul Husna.
Sebenarnya sebelum nekat melamar Anna ia sudah terpesona dengan
cerpen-cerpen yang ditulis Ayatul Husna. Dan dalam hati ia juga
tertarik dengan penulisnya. Ia berharap bahwa gadis itu belum ada
yang melamarnya. Selesai akad nikah, pesta walimah langsung digelar. Acara
digelar mengikut adat Surakarta. Ada upacara kecil serah terima
pengantin. Yang lazimnya adalah pengantin putri diserahkan kepada
keluarga pengantin putra. Tapi dalam upacara kali ini dibalik. Yaitu
keluarga pengantin putra menyerahkan sang pengantin putra kepada
pengantin putri. Lalu dari pengantin putri menerima pengantin putra.
Untuk berbicara mewakili keluarga pengantin putra, keluarga
Pak Andi Hasan menunjuk KH. Abdul Hadi seorang ulama besar dari
Sukoharjo untuk mewakili. Dan dari pihak keluarga KH. Lutfi
meminta KH. Salman Al Farisi dari Batur Klaten untuk mewakili.
Upacara berlangsung begitu khidmat. Ratusan ulama dan tokoh
penting sekabupaten Klaten dan sekitarnya datang memenuhi
undangan. Bahkan ada tiga wartawan yang datang.
Setelah acara serah terima pengantin. Pengantin putra dan
pengantin putri disandingkan. Sebenarnya Anna tidak mau
disandingkan seperti itu. Ia tidak mau jadi tontonan. Furqan juga
berpendapat yang sama. Tapi Bu Maylaf dan Bu Nyai Nur bersikukuh
harus ada panggung untuk pengantin, harus ada pelaminan dan
harus dirias dan disandingkan. Anna dan Furqan tidak bisa berkutik.
Hal lagi yang Anna tidak sepakat, dalam pesta walimah itu
tempat duduk tamu undangan antara pria dan wanita tidak
semuanya dipisahkan. Hanya kursi-kursi bagian depan saja yang
tampak jelas lelaki dan perempuan terpisah. Sementara yang agak
belakang sudah campur tidak karuan.
Selama duduk di pelaminan Anna terus menunduk ke bawah. Ia
berbuat demikian karena rasa malunya pada banyak orang.
Di tengah-tengah acara ada taushiyah yang disampaikan oleh
KH. A. Mujiburrahim Noor dari Semarang. Kiai muda yang sangat
digandrungi kawula muda di Jawa Tengah ini menyampaikan
taushiyahnya dengan penuh humor-humor segar. Di tengah-tengah
tausiyahnya itu Kiai muda itu mengatakan, "Kalau boleh saya ingin
menyampaikan satu hikmah yang disampaikan oleh Agatha Christie,
seorang penulis novel terkenal, pernah mengatakan, "Suami paling
baik bagi seorang perempuan adalah seorang arkeolog. Makin tua
sang perempuan itu, makin cinta dan tergila-gila suaminya itu
padanya." Saya sarankan kepada Mas Furqan untuk berjiwa seorang
arkeolog pada Mbak Anna. Jadi semakin lama umur perkawinan akan
semakin bahagia. Kenapa" Karena Mas Furqan memandang isterinya
semakin bernilai, semakin mahal. Kan menurut arkeolog semakin
berumur dan semakin tua barang itu akan semakin antik dan mahal.
Demikian juga Mbak Anna saya sarankan untuk berjiwa arkeolog
wanita, jadi semakin tua sang suami akan semakin tergilagila dan
semakin mencintainya!"
Para hadirin yang hadir bertepuk tangan dan tersenyum bahagia
mendengarnya. Nasihat itu sejatinya oleh Kiai Mujib tidak hanya
disampaikan kepada pengantin berdua. Tapi juga disampaikan untuk
seluruh hadirin, agar semakin mencintai pasangan hidupnya.
Acara ditutup dengan doa. Yang dipimpin langsung oleh ayah
Anna Althafunnisa, yaitu KH. Lutfi Hakim. Saat doa dibacakan jiwa
Anna bergetar. Furqan menangis kepada Allah agar dibukakan jalan
bahagianya. Tak jauh dari situ Azzam berdoa semoga Allah
menemukan pasangan hidup yang terbaik untuknya.
Setelah doa ditutup, hidangan penutup dikeluarkan. Barulah
setelah itu para hadirin mohon diri pulang. Azzam sekeluarga
menemui Kiai Lutfi dan Bu Nyai. Kiai Lutfi berkata kepada Azzam,
"Aku doakan kau mendapatkan pasangan yang terbaik menurut
Allah Nak." Azzam mengamini pelan. Setelah itu Azzam menemui
Furqan. Kedua sahabat lama itu berangkulan erat, Azzam mengucapkan,
"Baarakallahu laka wa baaraka "alaika wajama"a bainakuma fi khair."
Furqan mengamini. Lalu Azzam menelungkupkan kedua tangannya
di depan dada di hadapan Anna. Spontan Anna melakukan hal yang
sama. "Terima kasih sudah datang. Juga terima kasih dulu pernah
menolong." Lirih Anna. "Tak perlu berterima kasih untuk sebuah
kewajiban." Jawab Azzam sambil tersenyum.
Ketika Azzam turun dari panggung, Anna sempat mengikutinya
dengan ekor matanya sesaat. Ia teringat kata kata Abahnya saat
Azzam mengantarkan buku, "Jika Abah masih punya anak putri, pasti akan Abah pinta
Azzam jadi menantu. Abah tak akan menyia-nyiakan kesempatan."
Dalam hati Anna mengatakan, "Kaulah sejatinya dambaan
Abahku dan juga dambaan diriku." Anna langsung beristighfar. Ia
merasa melakukan kesalahan besar. Sambil menyalami tetamu putri
yang minta diri ia terus beristighfar. Ia mencoba menghapus
bayangan Azzam dengan mimpi Abahnya semalam. Juga takwil
mimpi Umminya. Bahwa bintang itu menurut Umminya adalah
Furqan. Karena ia nanti yang akan menggantikan Abah. Dialah
bintang di mimbar itu. Dan tunas-tunas pohon kelapa dalam
mimpinya Abahnya itu adalah anak anak hasil pernikahannya
dengan Furqan. Hari akad nikah itu hari Jumat. Karena waktunya akan diputus
shalat Jumat, maka acaranya benar-benar diringkas dan dipercepat.
Pulang dari acara pernikahan Anna, Azzam mengajak Husna,
Lia dan ibunya keliling kota Solo. Azzam menyewa mobilnya satu
hari penuh. Ia merasa harus menggunakannya dengan
sebaik-baiknya. Selain untuk jalan jalan ia bertujuan untuk semakin
memperbanyak jam terbang mengemudi, meskipun dengan mobil
sewaan. Sejak kepulangan Azzam, Bu Nafis tampak lebih segar dan
kesehatannya semakin membaik. Batuknya jauh berkurang. Melihat
anaknya bisa mengemudikan mobil Bu Nafis merasa bahagia sekali.
Bu Nafis berkata, "Aku doakan kamu bisa beli mobil Nak. Terus nanti
kalau punya isteri bisa kau ajak ke mana-mana dengan mobilmu."
Azzam, Husna dan Lia langsung menyahut, "Amin."
"Ngomong-ngomong kakak sudah punya calon belum?" Tanya
Husna. "Katanya calonnya Eliana." Sahut Lia.
"Kalau Eliana jangan dibahas, dia itu cuma main-main. Kalau
ngikutin dia bisa sakit jantung kita!" Tukas Husna.
"Iya Nak, kau sudah ada pandangan?" Tanya Bu Nafis.
"Belum, Bu. Jujur saja ya. Selama ini perempuan yang aku kenal
cuma tiga. Bue, Husna dan Lia. Belakangan kenal Eliana dan Anna.
Itu saja." Jawab Azzam. "Kalau Sarah adik kita?" Sahut Lia.
"Ya kenal. Tapi kakak belum pernah ketemu dia kan. Waktu
kakak berangkat dulu kan Sarah masih di kandungan."
Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kakak sudah ingin nikah?" Ujar Husna
"Lha tentu lah Na. Kakak ini sudah tua. Itu tetangga kita Si
Pendi sudah punya anak tiga. Si Pendi itu kan teman SD kakak dulu."
"Husna punya teman Kak, mau coba Husna temukan dia?"
"Boleh saja." "Kak Azzam sebenarnya sudah ketemu sama dia."
"Siapa?" "Itu Si Rina Jakarta."
"Itu yang ikut jemput di bandara?"
"Ya. Dia itu baik akhlaknya. Husna jaminannya."
"Boleh." "Wah kalau dia akan sangat cepat prosesnya Kak. Besok pagi
menikah juga bisa. Sebab dia sudah bilang ke saya suka sama kakak.
Dan kedua orang tuanya juga mengharapkan menantu lulusan
Cairo. Kalau begitu besok saya hubungi Rina." Husna bersemangat.
Tapi Bu Nafis tiba-tiba menyela,
"Bue tidak setuju!"
Husna menoleh ibunya dengan pandangan heran.
"Kenapa Bu" Rina itu berjilbab dan baik. Dia teman baik
Husna." Pelan Husna. "Ibu tidak setuju punya menantu Rina!" Tegas Bu
Nafis. "Iya tapi kenapa?"
"Entah ibu tidak tahu. Yang jelas ibu tidak cocok! Rina sudah
pernah ke rumah kan" Ibu tidak cocok!" Kata Bu Nafis sengit.
"Tenang Bu. Kita nanti akan cari yang ibu cocok." Kata Azzam
meredakan. Azzam tahu persis watak ibunya sekali bilang tidak cocok
maka akan sangat sulit dilunakkan hatinya. Bagi Azzam, ibunya tidak
cocok dengan Rina ia tak kehilangan apa-apa. Nanti Rina pasti akan
ketemu jodohnya. Hanya saja saat ibunya tidak cocok dengan Rina
berarti ia harus ikhtiar untuk mencari jodoh yang benar benar cocok
baginya dan bagi ibunya. Sebab ia ingin menikahi perempuan yang
benar-benar diridhai ibunya.
Azzam membawa mobilnya ke Masjid Agung. Ia sudah rindu
dengan masjid legendaris di Kota Solo itu. Masjid yang banyak
memberikan kenangan indah padanya. Di antaranya dulu waktu
masih SD ia pernah menjuarai Lomba Tartil Al Quran tingkat
anak-anak seKaresidenan Surakarta yang diadakan oleh MUI
Surakarta. Di Masjid Agung itulah ia lomba dan di masjid itulah ia
menerima pialanya. Dan itu adalah piala pertama yang ia terima
dalam hidupnya. Dengan susah payah akhirnya Azzam bisa memarkir mobilnya
di halaman masjid. Karena jam terbangnya belum banyak, ia sampai
keringatan saat memarkir mobilnya. Baginya yang belum mahir
benar, memarkir mobil adalah kesulitan terbesarnya. Apalagi
tempatnya begitu padat. Ia harus ekstra hati-hati.
Azan pertama dikumandangkan. Ia memandang masjid
kenangan. Masih sama dengan sembilan tahun silam. Sementara ia ke
masjid untuk shalat Jumat, Ibu dan dua adiknya melangkah ke Pasar
Klewer. Ia sempat berpesan pada Husna, "Lihat-lihat saja dulu,
jangan mengadakan transaksi jual beli dulu ya. Nanti kita belanja
setelah kakak selesai shalat Jumat. Okay Dik?"
Husna mengangguk paham. 13 PERTEMUAN DI KLEWER Ada yang mengatakan, bahwa Pasar Klewer adalah pasar tekstil
terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Sebagian orang-orang
Solo meyakini hal itu. Meskipun orang-orang Jakarta selalu bilang
pasar tekstil terbesar adalah Tanah Abang Jakarta.
Yang jelas Pasar Klewer sebagai pasar batik dan lurik terbesar di
Indonesia hampir tidak ada yang membantahnya. Dan pasar Klewer
dikenal sebagai pasar aneka sandang terlengkap di Jawa Tengah juga
diakui siapa saja. Pasar Klewer adalah urat nadi perekonomian masyarakat Solo.
Terletak tepat di sebelah barat Keraton dan tepat di selatan Masjid
Agung. Tiga tempat itu seolah satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Karena letaknya yang sangat strategis Pasar ini tak
pernah sepi dari hiruk pikuk pembeli dan pedagang. Bahkan
pelancong. "Semakin padat saja ya Na Klewer sekarang?" Kata Azzam pada
Husna. Ia sudah berada di sebuah lorong Pasar Klewer. Depan
belakang dan kiri kanannya adalah kios pedagang sandangan. Mulai
dari pakaian bayi, anak anak, sampai kakek-kakek dan nenek-nenek
dijual di situ. Mulai yang murah sampai yang mahal. Mulai batik
sampai jeans. Mulai baju pesta sampai baju takwa. Semua ada.
"Sangat padat Kak. Menurut data yang saya ketahui jumlah
pedagang resminya saja tak kurang dari 1467 pedagang. Dari
pedagang sebanyak itu transaksi yang berjalan tak kurang dari lima
sampai enam milyar setiap harinya." Husna menjelaskan.
"Kau mau beli apa Na?"
"Beli jaket dan jilbab buat Si Sarah Kak. Oh ya kapan ya kita ke
Kudus Kak" Dia belum kita beri tahu kalau Kakak sudah pulang."
"Bagaimana kalau Ahad depan. Kakak akan sewa mobil lagi
satu hari." "Boleh." "Ibu dan Lia mana?"
"Di atas Kak. Ibu lagi milih mukena dan Lia lagi mencari seprai
untuk kado pernikahan temannya."
"Wah kok menikah terus ya di mana-mana."
"Memang lagi musimnya Kak. Mumpung tidak musim hujan."
"Ayo kita temui mereka."
"Ayo." "O ya kalian sudah shalat zuhur?"
"Sudah. Tadi kita mampir ke kios temannya Lia. Dan kita shalat
di sana." Azzam dan Husna bergegas menemui ibunya. Di sepanjang
lorong Azzam banyak menjumpai pedagang kaki lima yang
dagangannya memenuhi lorong, sehingga cukup mengganggu para
pengunjung, termasuk dirinya. Di lantai dua, di Kios Sumber Rejeki,
Azzam menemui ibunya yang sedang memilih-milih kemeja.
"Zam Bue pilihkan kemeja buat kamu."
"Wah yang mana Bu?"
"Ini. Bue suka warnanya."
"Kalau Bue suka Azzam juga suka."
"Coba kau lihat ukurannya." Azzam mengambil kemeja dari
tangan ibunya. Ia melihat ukurannya dan mengukur ke badannya.
"Kurang besar sedikit Bu." Ujar Azzam pada ibunya. "Ukuran di
atasnya Mbak!" Pinta Bu Nafis pada penjaga kios
Sumber Rejeki. Penjaga itu perempuan yang masih sangat muda
mungkin masih gadis. Penjaga itu berjilbab sangat rapi dan modis.
"Iya Bu, ini." Penjaga itu mengulurkan kemeja yang berwarna
sama. "Coba ini Zam."
Azzam melihat dan mengukurkan ke badannya.
"Lha kalau ini pas."
"Ada lagi yang kau inginkan Nak?"
"Sudah Bu." "Kalau begitu Bue mau total semua. Berapa semuanya Mbak?"
"Seratus enam puluh lima Bu."
"Dipaskan saja Mbak?"
"Aduh ibu, tadi kan masing-masing sudah dikorting. Sudah
dipaskan. Jujur saya cuma mengambil untung sedikit kok Bu. Kalau
dikorting lagi saya dapat apa?"
"Dipaskan seratus lima puluh saja ya Mbak semuanya." Aduh
nyuwun sewu sanget22 Bu, tidak bisa." Azzam menengahi, "Sudahlah
Bu, dibayar saja. Rasulullah itu suka pada penjual yang
22 Mohon maaf sekali mempermudah dan juga suka pada pembeli yang mempermudah.
Sudah dibayar saja semoga barakah."
Perkataan Azzam didengar sang penjaga. Spontan ia berkata,
"Baik untuk ibu saya diskon lagi lima ribu. Jadi seratus enam puluh
Bu." "Baik. Terima kasih ya Mbak."
"Sama-sama Bu." Sebelum meninggalkan kios itu ketika Husna,
Azzam dan Bu Nafis sudah berjalan, Lia iseng bertanya pada penjaga
kios itu, "Eh maaf Mbak, Mbak sudah menikah belum?"
"Kenapa memangnya?" Jawab Mbak itu. "Cuma mau nanya aja.
Penampilan Mbak menarik sih."
"Kebetulan saya belum menikah. Kalau Mbak?"
"Sama. Saya juga belum." Jawab Lia. "Eh, itu kakakmu ya?"
"Iya Mbak. Mbak tertarik?"
"Boleh juga. Kerja di mana?"
"Masih menganggur Mbak."
"Suruh kerja di sini saja sama aku."
"Ih, Mbak ini ada-ada saja. Kalau bukan mahram kan tidak boleh
berduaan di kios sempit seperti ini."
"Ya dihalalkan dulu biar tidak dosa." Ucap gadis penjaga kios
itu santai. "Mbak bisa saja. Eh kalau boleh tahu siapa nama Mbak."
"Kartika Sari. Panggil saja Tika. Kalau Mbak?"
"Lia." *** "Mau makan di mana kita Bu?" Tanya Azzam. "Bue kangen
sama nasi Timlo Mbok Yem yang ada di dekat Sriwedari itu. Banyak
kenangan dengan ayahmu disana.
"Kalau begitu kita ke sana."
Azzam membawa mobilnya ke barat ke arah Coyudan. Azzam
berkeringat, kelihaiannya mengemudi benar-benar diuji. Jalan dari
Klewer ke Coyudan begitu padat dan semrawut. Tukang becak
memarkir becaknya sembarangan. Angkutan umum ngetem
seenaknya memotong jalan. Mobil box bongkar pasang muatan.
Kendaraan bermotor yang jalan pelan namun tiba-tiba berzigzag
dengan cepat tanpa perhitungan. Hampir saja Azzam menabrak
becak yang tadinya parkir, tiba-tiba nylonong masuk jalan.
"Hati-hati Kak."
"Itu tukang becak nyawanya rangkap
sembarangan. Dasar!" Umpat Azzam spontan.
kali. Nylonong "Nak, kalau ngomong jangan kasar begitulah. Tidak enak
didengar." Tegur Bu Nafis.
"Astaghfirullah. Iya Bu. Kadang setan memang ada di mulut
juga." Azzam melewati kawasan Singosaren. Dan terus ke barat,
hingga akhirnya sampai Pasar Kembang. Husna memandang para
pedagang yang duduk menunggu pembeli datang. Ada seorang ibu
tua yang duduk termangu, pandangan matanya kosong. Husna
merasa iba. Entah apa yang sedang dilamunkan ibu tua itu. Tiba-tiba
kedua mata Husna menangkap sosok yang ia kenal.
"Kak pelan Kak!"
"Ada apa?" "Itu seperti Zumrah. Dik Lia coba lihat itu Zumrah kan?"
Lia memandang ke arah yang ditunjuk Husna.
"Iya benar Mbak."
"Kak Azzam berhenti sebentar!" Husna sendirian. Ia berjalan
cepat menuju sebuah kios penjual kembang. Zumrah tampak duduk
di sana melamun. Di sampingnya seorang ibu setengah baya yang
gemuk badannya sedang makan jagung godog dengan lahapnya.
"Hei Zum!" Sapa Husna. Zumrah ternganga. Kaget. "Husna!
Lia!" "Hei, assalamu"alaikum."
"Wa "alaikumussalam."
"Sedang apa kau di sini" Kamu aku cari-cari ke mana mana!"
"Aku tak tahu harus bagaimana. Aku..."
"Sudah ayo ikut kami makan siang. Kau sudah makan?"
"Belum." "Ayo. Sekalian ketemu kakakku. Dia sudah pulang. Dulu
waktu kecilkan kau selalu bilang mau jadi manten sama kakakku."
"Ah, kamu Na. Semua kenangan masa kecil kau ingat semua.
Jadi Mas Azzam sudah pulang?"
"Iya. Itu di mobil."
"Wah keren sudah punya mobil."
"Itu mobil orang. Ayo!" Husna setengah memaksa.
"Yuk." Zumrah dan Husna menyapa ibu gemuk itu lalu
bergegas ke mobil. "Assalamu"alaikum Bu Nafis, Lia dan Mas Azzam." Sapa Zumrah
pelan. "Wa "alaikumussalam." Jawab Bu Nafis, Lia dan Azzam hampir
bersamaan. Mobil kembali berjalan. Dari kaca spion di dalam mobil sekilas
Azzam melihat wajah Zumrah. Wajah yang murung dan
mengguratkan kesedihan. Azzam membawa mobilnya terus ke barat
sampai di perempatan Baron. Lalu belok kanan. Sampailah di
kawasan Sriwedari. Azzam lalu membawa mobilnya ke arah jejeran
toko-toko buku loakan. Di sela-sela toko buku loakan ada sebuah
warung makan kecil. Warung itu milik ibu tua namanya Mbok Yem.
Tepat di depan warung itu mobil Azzam berhenti dan semua
penumpangnya turun. Azzam mengamati took toko loakan dengan
hati bahagia luar biasa. Rasa bahagia yang tidak bisa dilukiskan
dengan kata-kata. Ia juga punya kenangan indah di sebuah toko buku
itu. Dulu waktu masih SD ia memang sering diajak ayahnya ke toko
loakan itu untuk mencari buku-buku pelajaran bekas yang masih bisa
dipakai. Ia sangat bersemangat memilih buku-buku pelajaran bekas.
Dengan buku-buku bekas itulah ia bisa meraih prestasi yang baik.
Tak hanya itu, ia juga sering minta pada ayahnya untuk membeli
majalah Bobo. Untuk buku dan masalah baca membaca ayahnya
memang tidak pernah berpikir panjang mengeluarkan uang. Sejak SD
ia sudah keranjingan membaca. Lain dengan Husna, waktu SD
sampai SMP ia lebih suka main dan dolan dengan teman-temannya.
Itu dulu, sekarang Husna sudah 180 derajat berubah. Sekarang Husna
adalah predator buku, pelahap buku yang dahsyat. Hampir buku apa
saja yang diberikan kepada Husna pasti habis dibacanya. Kecuali
buku berbahasa Arab yang Husna tidak tahu artinya.
"Warung ini tempat aku dan ayahmu dulu sering makan
bersama ketika ayahmu beli buku-buku loakan untuk dibaca-baca.
Sering kali dulu juga mengajak anak anak." Kata Bu Nafis mengenang
masa lalunya. "Iya Bu saya masih ingat." Sahut Azzam. "Semoga tempat
penuh kenangan ini tidak hilang."
"Ya nggak lah Bu. Masak hilang."
"Bisa saja Zam, kalau dibuang sama pemerintah kan bisa
hilang." "Iya bener juga."
"Kau mau pesan apa Zam?"
"Aku ikut ibu saja."
"Semua ikut ibu?" Husna, Lia dan Zumrah menganggukkan
kepala.
Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Timlo lima Mbok. Es Tehnya juga lima." Kata Bu Nafis pada
Mbok Yem yang duduk seperti menunggu aba aba. Mbok Yem
langsung bangkit dari duduknya dan meracik pesanan pembelinya.
"Mungkin aku bunuh diri saja!" Kata Zumrah serak. Semua yang
mendengar kaget dibuatnya.
"Aduh Nduk, jangan! Itu dosa besar! Bisa masuk neraka
selamanya kamu nanti!" Ucap Bu Nafis seketika. "Apa yang bisa kami
bantu untuk menghilangkan keputusasaanmu Zum?" Lirih Husna.
"Aku tak tahu. Aku seperti tidak punya siapa-siapa Na. Aku
merasa seluruh keluargaku membenciku, menginginkan kematianku!
Hiks... hiks..." Serak Zumrah tersedu.
"Kau punya kami Zum. Aku kan sudah bilang sama kamu agar
jika ada apa-apa temuilah aku di radio. Kau malah menghilang entah
ke mana. Zum, aku sudah cerita ke ibumu. Ibumu sudah
memaafkanmu dan juga adik adikmu. Mereka menginginkan kamu
kembali Zum. Hanya pamanmu saja yang masih marah. Itu kalau kau mohon
maaf dan menangis di kakinya juga pasti akan luluh." Dengan penuh
cinta Husna menenangkan dan membesarkan hati Zumrah.
"Benarkah ibu sudah memaafkanku?"
"Demi Allah Zum. Iya."
"Tapi aku tak pantas dimaafkan Na. Aku khilaf lagi. Aku
sepertinya sangat susah keluar dari lumpur setan ini. Setelah ketemu
denganmu di pesantren aku ke Jogja. Dan di sana, maaf, aku kepergok
germoku lagi. Aku tak berkutik. Aku dipaksanya melakukan maksiat
lagi. Meskipun aku sedang hamil Na. Sudah kujelaskan dia tidak
ambil peduli. Aku diancam akan dibunuhnya jika tidak mau Na! Aku
harus bagaimana?" "Kalau kau ingin bersih, kau harus tidak lagi dekat-dekat
dengan dunia itu Zum! Kenapa pula kau ke Jogja" Pasti kan juga ke
daerah yang dikenal mereka dan kau kenal tho?"
"Iya Na. Aku memang bingung saat itu. Aku akhirnya ke
kos-kosan temanku. Kok pas germo itu ada di sana!"
"Begini saja Zum. Aku sarankan kau pulang saja ke Sraten.
Hidup sama keluargamu itu lebih aman."
"Aku malu Na." "Terserah kamu Zum kalau begitu! Mau bunuh diri ya bunuh
diri sana! Dulu kamu melakukan maksiat itu tak pernah malu! Ini
untuk kebaikanmu, yang ini tidak maksiat malah malu!" Husna
jengkel. Zumrah diam. Ia tahu Husna marah.
"Zum anakku, kalau kamu mau, ibu akan menemanimu
menemui ibumu. Dia pasti senang menerima kedatanganmu.
Orang-orang Sraten masih banyak yang sayang padamu kok Nduk."
Zumrah menghela nafasnya. Ia memandang Bu Nafis yang
mengelus-elus kepalanya. "Aku khawatir jika kedatanganku
menerbitkan kembali amarah ibuku. Aku tahu dosaku terlalu besar."
Menu yang dipesan sudah siap. Mbok Yem mengeluarkan nasi
Timlo lima pasang. Nasi putih dan sayur Timlonya yang mantap
rasanya. Di Solo, selain nasi Timlo, makanan khas yang juga sangat
dikenal di antaranya adalah nasi liwet, thengkleng, soto lembu, sate
buntel, bakso Solo, garang asem, cabuk rambak, pecel ndeso,
gado-gado, tahu kupat, nasi gudangan dan nasi sambal tumpang. Itu
semua adalah jenis makanan yang sangat dirindukan oleh Azzam.
Karena yang seperti itu di Cairo tidak ada. Kalau pun ada yang
mencoba membuatnya rasanya pasti beda. Sebab bumbunya tidak
sama. Sesaat masalah Zumrah tidak dibicarakan. Semua diam
menikmati hidangan masing-masing. Azzam masih bingung dengan
apa yang baru saja didengarnya. Ia sama sekali tidak tahu apa
masalah yang mendera Zumrah sebenarnya. Husna tidak cerita
banyak padanya. Dan ketika ia sholat di masjid atau ronda
orang-orang juga tidak banyak membicarakannya. Yang ia tahu Kang
Paimo pernah cerita Pak Masykur ayah Zumrah meninggal karena
serangan jantung akibat bertengkar dengan Zumrah. Dan Zumrah
diusir dari rumah. Setelah itu tidak pernah kembali. Bahkan di hari
pemakaman ayahnya juga tidak kembali.
"Bagaimana Zum?" Tanya Husna selesai makan.
Zumrah diam. Ia gamang mau mengambil jalan yang mana.
Jalan pulang atau jalan pengembaraan panjang yang gelap dan tidak
tahu mana ujungnya. Jalan pulang adalah jalan yang ia inginkan, tapi
entah kenapa jalan yang gelap itu seperti telah begitu akrab
dengannya. Jalan yang selama ini ia lalui dengan darah dan air
matanya. "Mbak Zum, sebagaimana orang untuk jahat dan berbuat dosa
perlu keberanian, perlu nyali, maka orang untuk baik dan berbuat
benar juga perlu keberanian, perlu nyali yang kuat!" Lia menguatkan.
Azzam yang mendengar kata-kata adiknya itu jadi kagum. Ia heran
dari mana adiknya itu mendapat ilham untuk mengatakan kalimat
yang dalam maknanya itu. "Baiklah akan aku coba untuk pulang. Aku ikut kalian!" Ucap
Zumrah serak. Husna langsung maju memeluk sahabatnya itu.
"Bantu aku untuk kuat ya Na. Aku masih sangat rapuh Na."
Pinta Zumrah. "Tenanglah Zum, jika kau merasa tidak punya siapa siapa, maka
kau masih punya Allah."
Mereka lalu naik mobil dan bergerak ke dukuh Sraten,
Kartasura. Azzam bertemu kembali dengan Zumrah. Teman Husna
waktu masih kecil. Zumrah yang dulu bersama Husna sering main ke
rumah dan sering main petak umpet dengannya. Zumrah yang dulu
oleh anak anak yang ngaji di masjid sering dijodohkan dengannya.
Zumrah yang pernah bilang ke ibu-ibu di Warung Bu War bahwa ia
mau jadi manten dengan kak Azzam saja. Ah masa kecil yang indah
itu telah berlalu! Ia kini bertemu Zumrah dalam keadaan yang jauh dari
bayangannya. Dari pembicaraan di warung Mbok Yem tadi sedikit
banyak ia bisa meraba apa yang dilakukan dan dialami Zumrah
selama ini. Namun ia tidak mau berprasangka yang tidak-tidak.
Sampai di rumah ia yakin Husna akan menjelaskan semuanya.
14 MALAM PERTAMA Meskipun malam itu bulan tertutup awan, namun
keindahannya bagi Furqan sulit dilukiskan. Setelah satu hari penuh
menerima tamu yang datang pergi bergantian, akhirnya ia dan Anna
bisa masuk kamar pengantin yang telah disiapkan tepat jam sembilan.
Ia melepas peci dan jas putihnya yang ia pakai sejak jam tiga.
Anna melepas gaun pengantin putihnya perlahan. Ia memperhatikan
isterinya melepas gaun pengantinnya itu dengan jantung berdegup
kencang. Setelah jilbab dilepas tampaklah Anna dengan rambut
hitamnya yang tergerai berkilauan. Di balik gaun pengantin Anna
temyata masih memakai rangkapan kaos putih ketat dan bawahan
putih tipis. Anna tersenyum tipis pada Furqan.
Kedua kaki Furqan bagai terpaku di tempatnya. Seluruh
syarafnya bergetar. Hatinya dingin. Ada gelombang kebahagiaan luar
biasa yang bagai memusat di ubun ubun kepalanya.
Anna meraih parfum, bau wangi yasmin nan suci merasuk ke
hidung Furqan. Merasuk ke seluruh aliran darah Furqan. Anna
menyibakkan rambutnya dan mengulurkan kedua tangannya sambil
duduk di tepi ranjang yang bertabur bunga kebahagiaan.
"Ayolah sayang, peganglah ubun-ubun kepalaku. Dan bacalah
doa barakah sebagaimana para shalihin melakukan hal itu pada isteri
mereka di malam pertama mereka yang bahagia." Kata-kata Anna
bening dan bersih. Furqan tergagap, ia kikuk, ia lupa pada dunia. Ia lupa pada
perasaan sedihnya yang selama ini menderanya. Ia melangkah, ia
ingat sunnah itu. Sunnah memegang ubun ubun kepala isteri di
malam pertama ketika pertama kali bertemu. Tapi ia lupa doanya. Ia
lupa apa doanya. Ia mengingat-ingat tapi tidak juga ingat. Yang
penting ia maju dan mencium kening isterinya.
Furqan duduk di samping Anna. Bau wangi yasmin dan bau
tubuh Anna begitu kuat ia rasa. Anna memejamkan mata. Furqan
memegang ubun-ubun isterinya dengan dada bergetar. Ia tidak bisa
berdoa apa-apa. Ia hanya mengatakan, "Bismillahi, Allahumma."
Seterusnya tidak jelas. Anna larut dalam perasaan bahagianya. Ia
sudah menyerahkan jiwa dan raganya seutuhnya pada suaminya.
Anna membaca "amin" dengan mata berkaca-kaca. Lalu dari pojok
kedua matanya, aliran hangat meleleh ke pipi.
Furqan mengusap air mata yang mengalir di pipi isterinya. Ia
lalu mengusap rambutnya isterinya yang halus. Lalu perlahan Furqan
mencium pipi isterinya. Ciuman yang membuatnya bagai melayang
karena bahagia. Anna membuka matanya. Furqan memandangi wajah isterinya
dengan penuh kasih sayang dan cinta. Kedua mata suami isteri itu
bertemu. Hati Furqan berdesir saat melihat bibir Anna yang ranum.
Saat ia hendak menciumnya, Anna berkata,
"Mari kita shalat dulu dua rakaat Mas. Kita bersihkan jiwa dan
raga kita dari segala kotoran. Agar apa yang kita lakukan mulai saat
ini sebagai suami isteri bersih, ikhlas semata-mata karena Allah.
Bukan karena syahwat atau pun birahi. Bukankah itu yang dilakukan
para shalihin sejak awal mereka berumah tangga?"
Furqan menarik dirinya. Ia jadi malu pada Anna. Kenapa ia
begitu tergesa-gesa. Kenapa ia hanya memperturutkan nafsunya.
Furqan beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Kamar itu memang dilengkapi dengan kamar mandi di dalam kamar.
Setelah Furqan wudhu gantian Anna yang wudhu. Furqan kembali
memakai jas dan pecinya. Sedangkan Anna langsung memakai
mukena yang telah dipersiapkannya.
Furqan menjadi imam. Ia membaca surat Al Insyirah dan An
Nasr. Anna makmum di belakangnya dengan khusyu". Dalam
sujudnya Anna memohon agar ia diberi barakah dan kebaikan di
dunia dan di akhirat. Agar rumah tangganya sakinah, mawaddah dan
rahmah. Usai shalat Furqan berdoa secara umum untuk kebaikan dunia
dan akhirat. Anna mencium tangan suaminya dengan penuh cinta.
Furqan memandangi isterinya yang bercahaya dibalut mukena
putihnya. "Kenapa Mas Furqan membaca doa umum, bukan doa khusus
untuk kita sebagai pasangan yang baru menikah?" Pelan Husna
sambil tersenyum pada Furqan.
"Mas gugup Dik. Jadi lupa. Nanti kita bisa berdoa lagi kan?"
Jawab Furqan diplomatis. "Nggak apa-apa" Mas mau melakukan itu sekarang?"
"Iya." "Apa Mas tidak letih?"
"Tidak." "Baiklah. Tapi Anna ambil air minum ke bawah dulu ya Mas"
Sebentar saja. Anna haus."
"Mas tunggu." Anna melangkah keluar kamar tetap dengan memakai
mukenanya. Furqan melepas kembali jas dan pecinya. Ia juga melepas
kemejanya. Ia bersiap untuk melalui detik detik paling
membahagiakan dan paling bersejarah dalam hidupnya. Ia
mendengar handphonenya berdering. Ada sms masuk. Ia ambil han
phonenya yang ada dalam saku jasnya. Ia buka. Ada tiga sms dari
Ustadz Mujab, Cairo. Ia tersenyum. Ia baca.
"Akhi, selamat ya. Barakallahu laka wa baaraka "alaika wa jama"a
bainakuma fi khair. Semoga rumah tangga kalian sakinah, mawaddah
wa rahmah. Sakinah maknanya pasangan suami isteri itu menjadi
tempat yang nyaman untuk berbagi perasaan, berbagi suka dan duka.
Mawaddah artinya benar-benar saling mencintai. Dan rahmah artinya
saling mengasihi, saling merahmati, saling menyayangi. Rahmah di
sini menurut ulama berarti pasangan suami isteri tidak ada tindakan
saling menyakiti sedikitpun. Suami tidak menyakiti isteri. Baik ragawi
maupun rohani. Dan sebaliknya. Jagalah isterimu. Perlakukan dengan
sebaik-baiknya. Jangan kau sakiti sedikitpun. Bertakwalah kepada
Allah. Selamat menempuh hidup baru. Mujab."
Ia bahagia membaca sms itu. Namun juga tersentak bagai
tersengat aliran listrik. Ia sangat mencintai Anna. Namun ia tidak
boleh menyakitinya. Sedikitpun. Tanpa ia minta ia kembali teringat
virus yang ia rasa bercokol dalam dirinya. Virus HIV. Jika ia
melakukan itu sekarang, apakah ia tidak menyakiti Anna. Bagaimana
kalau Anna tertular HIV"
Kesedihan dan nestapa tiba-tiba mendera dirinya. Ia tidak mau
mengkhianati dirinya sendiri. Ia sangat mencintai Anna, ia tidak mau
menyakitinya. Keinginannya untuk melakukan ibadah biologis
perlahan-lahan surut. "Assalamu"alaikum." Sapa Anna pelan membuka pintu. Senyum
putri Kiai Lutfi itu mengembang. Anna datang membawa gelas berisi
air agak kuning kecoklatan.
"Mas minumlah ini dulu. Ini madu. Biar lebih fres dan bugar."
Kata Anna sambil mengulurkan gelas yang ia bawa pada Furqan
yang duduk di tepi ranjang. Furqan menerimanya dengan tangan
bergetar. Ia paksakan untuk tersenyum pada isterinya. Anna balas
tersenyum. Furqan meminum air madu itu teguk demi teguk sampai
habis. Lalu meletakkan di meja rias dekat ranjang. Anna melepas
mukenanya, lalu duduk di samping Furqan.
"Aku siap beribadah Mas. Aku sudah siap untuk menyerahkan
jiwa dan raga. Aku siap untuk menjadi lempung di tangan seorang
pematung. Dan Mas Furqanlah sang pematung itu." Kata Anna
sambil perlahan hendak melepas kaos putih ketat yang menempel
tubuhnya. Dada Furqan berdesir kencang. Ia ingin memeluk tubuh
isterinya itu dengan penuh cinta. Namun ia teringat virus HIV yang
bercokol dalam tubuhnya. Dengan mata berkaca kaca ia memegang
tangan isterinya. "Dik, jangan sekarang ya" Letih. Besok saja." Lirihnya pada
Anna. "Benar besok" Tidak sekarang?" Tanya Anna.
"Iya besok saja. Kita istirahat saja dulu. Tak usah tergesa-gesa
ya." "Anna ikut Mas saja. Tapi kenapa Mas menangis?"
"Mas sangat terharu akan ketulusanmu. Mas juga menangis karena
sangat bahagianya. Mas seperti mimpi bisa memiliki isteri
sepertimu." "Anna juga sangat bahagia Mas. Mas adalah imam Anna,
pelindung Anna, Murabbi Anna, juga insya Allah ayah dari anak-anak
Anna kelak. Tahu tidak Mas. Kemarin malam Abah bermimpi yang
menurut Ummi adalah mimpi tentang Mas. Mimpi yang sangat
menakjubkan." "Mimpi apa itu Dik?"
"Abah bermimpi melihat gugusan bintang. Terus ada bintang
yang sangat terang cahaya. Paling terang di antara lainnya. Bintang
itu turun dan bersinar di atas mimbar masjid pesantren. Terus Abah
juga melihat beberapa tunas pohon kelapa yang menakjubkan yang
tumbuh tepat di halaman pesantren. Dan Abah menemukan sorban
Kiai Sulaiman Jaiz yang sangat wangi di kamar Anna ini.
"Menurut Ummi mimpi itu adalah sebuah petunjuk penting
menjelang pernikahan ini. Bintang itu menurut Ummi adalah Mas.
Karena Mas-lah nanti yang insya Allah akan menggantikan Abah.
Mas-lah bintang di mimbar pesantren itu. Lalu tunas-tunas pohon
kelapa itu adalah anak-anak hasil pernikahan kita. Dan sorban itu
Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menurut Ummi bisa jadi menunjukkan kepada kita Mas bertalian
darah dengan Kiai Sulaiman Jaiz."
"Siapa itu Kiai Sulaiman Jaiz Dik?"
"Pendiri pesantren ini, yang sampai sekarang tidak diketahui
rimbanya." "Apa Kiai Sulaiman pernah ke Betawi."
"Allahu a"lam."
"Semoga takwil ibumu itu benar."
"Semoga. Amin."
Malam itu Furqan tidak tidur sepicing pun. Meskipun matanya
memejam tapi pikiran dan hatinya terus terjaga. Sesekali ia membuka
matanya lalu memandangi isterinya yang tidur di sampingnya. Wajah
isterinya begitu bersih jelita. Ia ingin menciumnya tapi ia urungkan
karena khawatir membangunkannya.
Di dalam dadanya seperti ada bara yang membara. Bara cinta,
juga bara nafsu pada isterinya. Pada saat yang sama juga ada bara
kemarahan yang ia tidak tahu dari mana datangnya. Ia marah pada
dirinya sendiri. Marah pada virus HIV yang ia rasa bercokol dalam
seluruh sel dan aliran darahnya. Malam ini ia berkukuh untuk tidak
menyakiti isterinya. Tapi ia bertanya sendiri pada dirinya, kalau
setiap hari bertemu dan tidur satu ranjang dengan isterinya yang
begitu jelita apakah ia akan selalu mampu menahan diri.
Terus harus bagaimana"
Anna telah sah jadi isterinya. Sah untuk ia apa-apakan. Bahkan
Anna sudah menyerahkan seluruh jiwa raganya padanya. Dengan
tulus Anna tadi berkata padanya, "Aku siap beribadah Mas. Aku
sudah siap untuk menyerahkan jiwa dan raga. Aku siap untuk
menjadi lempung di tangan seorang pematung. Maslah sang
pematung itu." Maka alangkah ruginya jika ia tidak menikmati
kebahagiaan ini setuntas tuntasnya. Kenapa memperdulikan virus
HIV" Sudah menjadi risiko Anna karena menikah dengannya terkena
virus HIV. Semua orang toh punya risiko terkena penyakit. Tak
terkecuali Anna. Begitulah suara rasionya bergemuruh menghasutnya. Namun dengan sangat halus dan lembut nuraninya
mengingatkan bahwa alangkah zalimnya ia jika menyakiti Anna. Apa
dosa Anna, sampai tega harus hidup sengsara terkena virus HIV"
Mana itu takwa" Mana iman" Mana rasa percaya kepada Tuhan"
Mana keimanan kepada hari kemudian" Dan apa dosa Kiai Lutfi
sampai putri dan keluarganya dihancurkan" Apa dosa pesantren
Wangen sampai dikotori dengan kelaliman" Apa nanti pandangan
para santri dan masyarakat jika putri Kiai dan menantu Kiai terkena
HIV" Apakah demi syahwat dan nafsu semua dijadikan korban"
Alangkah bahagianya iblis dan setan"
Sampai tengah malam batinnya terus berperang. Malam itu ia
merasa sebagai manusia paling berbahagia di dunia, namun juga
merasa sebagai manusia paling nelangsa di dunia. Ia tidak tahu harus
bagaimana lagi menata hidupnya" Ia seperti berada di tengah-tengah
padang pasir yang gersang, yang sangat sepi, tak ada jejak apa pun di
sana. Dan ia tidak tahu harus berbuat apa dan harus kemana"
Jam setengah tiga ia mendengar Anna mendesah lalu
memanggil namanya. Ia memejamkan mata pura-pura tidur. Ia
merasakan Anna bangkit. Turun dari ranjang. Lalu ia merasakan
kedua tangan Anna memegang kepalanya dan isterinya itu mengecup
keningnya. Dadanya berdebar debar. Ia merasakan kesejukan luar
biasa. Ia merasa benar benar dicintai isterinya sepenuh jiwa.
Sejurus kemudian ia mendengar gemericik air dari kamar
mandi. Ia membuka kedua matanya. Saat Anna ia dengar mematikan
kran dan keluar dari kamar mandi ia pura-pura tidur kembali. Anna
mengambil sesuatu. Ia sedikit membuka matanya. Remang-remang ia
melihat isterinya itu memakai mukenanya. Lalu mengambil sajadah
dan shalat. Ia tetap rebah di tempatnya. Ia bingung sendiri harus berbuat
apa" Ia malu pada Anna. Ia malu pada kebersihan gadis itu. Apakah
tega ia menyakitinya" Apakah tega ia merusaknya dengan virus HIV
hanya karena ambisi nafsunya. Ia malu. Apakah ia sudah benar-benar
tidak punya nurani dan jiwa" Nuraninya menghujatnya. Matanya
berkacakaca. Ia mendengar isterinya terisak-isak berdoa. Doa yang sangat
panjang. Ia sangat faham isterinya. Di antara orang yang didoakan
isterinya adalah dirinya. Isterinya meminta kepada Allah, agar
dirinya dijadikan sebagai suami yang shalih yang selalu menjadi
penolong meraih kebaikan di dunia dan di akhirat, bukan sebaliknya.
Dia mendoakan agar dirinya diberi hidayah selalu, dan dikaruniai
rasa takwa selalu di mana pun dia berada.
Isterinya mendoakan dirinya dalam shalat malamnya. Isterinya
begitu mencintainya dengan sepenuh jiwa dan raga.
Apakah ia akan tega merusaknya"
Nuraninya bertanya. Dan ia hanya bisa merasakan pilu dan
nestapa yang luar biasa. Ia memejamkan matanya kuat kuat. Air
matanya meleleh. "Mas, tahajjud!" Isterinya membangunkannya pelan.
Ia membuka matanya dan bangkit. Isterinya menatapnya
lekat-lekat. "Mas menangis lagi" Kenapa?"
"Aku mendengar doamu Dik. Terima kasih ya. Semoga Allah
meridhaimu." "Amin. Mas, shalat tahajjud dulu. Nanti keburu subuh."
"Baik Dik." 15 PAGI YANG MENEGANGKAN Zumrah belum menemui ibunya. Ia tidur di rumah Husna. Ia
bersikukuh tidak bertemu ibunya. Berulang-ulang Bu Nafis, Husna
dan Lia membujuknya. Tetap saja ia kukuh dengan sikapnya. Selepas
shalat subuh Zumrah bersiap untuk pergi. Ia merasa harus pergi
sebelum hari terang. "Terus kau mau kemana Zum" Tanya Husna
"Aku tak tahu Na." Jawab Zumrah
"Apa kau tak kasihan sama janinmu. Perutmu sudah besar. Dia
butuh ketentraman. Dia butuh rasa aman. Dia butuh kesehatannya
terjamin sementara kau terus menggelandang begitu, terus juga masih
menemui germomu itu alangkah malangnya janin dalam
kandunganmu." "Aku juga berpikir begitu Na. Tapi apa boleh buat."
"Terserah kau Zum. Aku ingin membantu tapi kau sendiri yang
tidak mau." "Terima kasih atas segalanya Na. Semoga aku tidak lagi
menyusahkanmu." Mereka berdua berbincang di ruang tamu. Azzam masih di
masjid. Bu Nafis keluar membawa minuman dan mendoan goreng.
"Aduh, kok repot-repot Bu. Saya sudah mau pergi." Kata
Zumrah. "Minum teh hangat dulu dan cicipi dulu mendoannya baru kau
boleh pergi." Sahut Bu Nafis.
"Na, apa tidak ada kos-kosan yang murah. Yang kira kira aman
untuk Zumrah, sehingga ia bisa tenang sampai melahirkan?" Tanya
Bu Nafis pada Husna. "Oh ya benar. Kau mau kalau kos di Nilasari. Aku ada teman di
sana. Satu bulan lalu bilang cari teman. Kamar dia besar. Harga kamar
itu sebulannya seratus tujuh puluh. Kalau mau kau cuma bayar tujuh
puluh ribu saja." Terang Husna.
"Mau. Tapi aku dapat uang dari mana ya?" Lirih Zumrah
merana. "Kalau kau mau, tiga bulan pertama biar aku yang bayar.
Setelah itu kau bayar sendiri, bagaimana?"
"Terima kasih Na. Kau baik sekali.?"Masih mau pergi
sekarang?""Iya tetap pergi sekarang. Nanti siang aku ke radiomu
saja," "Terserah kau."
Zumrah mengambil gelas yang ada di hadapannya dan
menyeruput isinya. Setelah itu ia bangkit dan minta diri.
Zumrah mencium tangan Bu Nafisah, bersalaman dengan Lia
dan memeluk Husna. Zumrah membuka pintu, tiba tiba...
"Mau ke mana lagi, Lonte!"
Seorang berjaket hitam membentak keras sambil menodongkan
pistolnya tepat di jidat Zumrah. Bu Nafis gemetar ketakutan. Husna
dan Lia merinding. Sementara Zumrah saking takutnya tanpa ia
sadari mengeluarkan air kencing. Pria berjaket hitam itu baginya
bagaikan malaikat pencabut nyawa yang siap mencabut nyawanya.
Gigi pria itu bergemeretak menahan amarah. Matanya merah marah.
"Am... ampun paman! Ampuni Zum, pa... paman!" Zum
terbata-bata serak. "Tak ada ampun untuk lonte murtad yang membunuh ayahnya
sendiri! Pagi ini tamat riwayatmu!"
"Mahrus, dia tidak murtad. Dia masih Islam. Tadi subuh dia
shalat di rumah ini!" Husna yang dulu pernah nakal terbit kembali
keberaniannya. "Diam kau Husna! Jangan ikut campur kau! Ini urusanku
dengan lonte tengik ini!"
"Tidak ikut campur bagaimana" Dia tamuku! Dan kau seperti
perampok yang masuk rumah tanpa kulon nuwun23 dulu!"
"Baik, maafkan kelancanganku. Biar aku tembak lonte ini di
jalan saja. Biar dia tidak jadi hantu di rumah ini. Biar dia jadi hantu
yang mengelayap ke mana-mana! Ayo jalan!" Mahrus menggertak
Zumrah. "Tidak, jangan!" Zumrah berontak.
Buk! "Ah!" Mahrus memukul pelipis Zumrah dengan gagang pistol.
Zumrah mengaduh. Pelipis Zumrah berdarah. Husna mau bergerak
menolong Zumrah tapi dicegah Bu Nafis. Bu Nafis tahu kenekatan
Mahrus sejak kecil. Ia tidak ingin Husna celaka dengan konyol.
"Mahrus anakku!" Ucap Bu Nafis dengan lembut.
"Iya Bu Nafis." Jawab Mahrus sambil menengok ke wajah Bu
Nafis. "Apa tidak bisa dirembug dengan baik-baik tho. Dia itu
23 Minta ijin keponakanmu sendiri. Seharusnya kau sayang padanya."
"Apa ibu kira aku tak sayang padanya. Sejak kecil aku sayang
padanya Bu. Dulu waktu SD kalau dia diganggu orang akulah orang
pertama yang membelanya. Tapi dia tidak tahu diri. Semua orang di
keluarga menyayanginya. Tapi dia membalas kasih sayang itu dengan
kebencian. Ayah dan ibunya sendiri mau dia buat mati berdiri!
Ayahnya sudah mati dibunuhnya! Dan dia akan membunuh ibunya!
Sebelum itu terjadi dia harus dihentikan! Dia ini penjahat yang harus
dihentikan, penyakit yang harus dienyahkan! Ibu diam saja ya, ibu tak
tahu apa-apa!" Jawab Mahrus dengan marah. Anggota serse itu kalau
marah hilang sopan santunnya, tak pandang dengan siapa ia bicara.
Dada Husna panas mendengar Mahrus berbicara dengan suara
keras dan membentak-bentak ibunya. "Hai Bung, bisa nggak sopan
sedikit sama orang tua!" Lia mendahului Husna membentak Mahrus.
Husna heran sendiri, adiknya yang biasanya halus ternyata bisa
garang juga. "Kau juga diam anak kemarin sore! Aku dor mulutmu nanti!"
Sengit Mahrus sambil memandang ke arah Lia. Melihat mata yang
merah dan wajah yang sangar itu Lia jadi mengkeret.
"Ayo keluar!" Bentak Mahrus sambil menyeret Zumrah.
"Ampun paman!" "Tak ada ampun untukmu!"
"Beri Zumrah kesempatan untuk berbuat baik paman."
"Kesempatan itu sudah kau sia-siakan!"
"Beri kesempatan sekali saja Paman!"
"Bangsat sepertimu sudah saatnya dienyahkan!"
"Auh! Sakit paman!"
"Diam!" Dengan segenap kekuatan Mahrus menyeret Zumrah ke
halaman. Mahrus terus menyeret sampai akhirnya ke jalan. Sampai di
jalan Zumrah berontak dengan sengit. Sekali lagi Mahrus
memukulkan gagang pistolnya ke kepala Zumrah. Zumrah langsung
terjengkang kesakitan. Mahrus sudah bersiap menembak kepala
Zumrah. Niatnya sudah bulat bahwa keponakannya harus dihabisi. Ia
tinggal merekayasa laporan kejahatannya saja. Sebuah kejahatan yang
layak untuk dienyahkan dari muka bumi.
Husna, Lia dan Bu Nafis gemetar di beranda rumah. Beberapa
orang berdatangan mendengar ada keributan. Tapi Mahrus langsung
mengultimatum agar semuanya diam di tempat masing-masing.
Sebelum pistol itu memuntahkan peluru sekonyong-konyong
Azzam datang. Azzam sudah tahu duduk persoalannya dari cerita
Husna. Ia juga tahu seperti apa bencinya sama Zumrah. Dengan suara
tenang Azzam menyapa, "Hai sobat lama apa kabar?"
Mahrus mengendurkan tangannya dan menurunkan pistolnya
yang siap dia letuskan. Ia memandang ke asal suara. Ia lihat yang
datang adalah Azzam. "Hei kau Zam, sudah pulang rupanya."
"Iya. Kau ngapain bawa pistol segala, Rus" Nakut nakutin anak
kecil saja!" "Ini Zam aku mau mengenyahkan si Lonte Murtad ini. Aku
sudah bersumpah di hadapan mayat Kang Masykur, ayah Lonte ini,
aku akan memburu Lonte durhaka ini dan menghabisinya."
"Iya tapi apa kamu tidak malu menumpahkan darah di hadapan
sahabat lamamu. Kau masih punya hutang yang belum kau lunasi
padaku lho." "Apa itu Zam, kok aku lupa?"
"Ingat waktu kelas 6 SD dulu, uang SPP-mu kau gunakan untuk
mentraktir Si Murni yang sekarang jadi isterimu. Dan untuk
menutupi SPP-mu kau pinjam tabunganku. Kalau tidak aku pinjami
kamu mungkin tidak akan lulus SD, karena kau bisa dikeluarkan. Kau
nunggak saat itu tiga bulan. Kalau kau tidak lulus SD mana mungkin
kau bisa jadi polisi yang gagah bawa pistol seperti sekarang. Kau
hutang padaku Rus!" "Kenapa kau ungkit-ungkit masa laluku Zam, aku jadi malu
didengar orang-orang!"
"Hei, apa aku bohong sobat?"
"Tidak. Tapi tak usah lah kau bawa-bawa masa lalu."
"Kau sendiri kenapa kau bawa-bawa masa lalu orang lain?"
"Siapa?" "Itu keponakanmu sendiri."
"Zumrah maksudmu?"
"Iya." "Dia pezina dan murtad Zam."
"Dia tidak murtad Rus. Tidak. Dia masih shalat. Sedangkan
kekhilafannya itu masa lalunya. Dia sedang mencari jalan kembali
yang benar kenapa kau halang halangi?"
Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku telah bersumpah di depan jenazah almarhum Kang
Masykur Zam?" "Sumpah yang salah itu tak boleh dilaksanakan!"
"Terus aku harus bagaimana Zam?"
"Kau berhutang padaku. Kalau tidak aku hutangi kau mungkin
tak akan lulus SD. Mungkin kau tidak akan jadi polisi. Turunkan
pistolmu. Ayo masuklah ke rumahku. Jadilah tamuku. Kita cari jalan
terbaik untuk semuanya. Dan akan aku anggap lunas hutangmu.
Kalau tidak maka hutangmu padaku, tak akan aku anggap lunas
kecuali setelah kau tinggalkan jabatan kepolisianmu!"
Azzam tahu watak Mahrus. Pria itu hanya bisa dijinakkan
dengan kalimat yang menundukkan keangkuhannya. Dan ia tahu
pria itu tak akan sudi terus berhutang pada orang lain. Termasuk
pada dirinya. "Baiklah! Aku akan masuk bertamu ke rumahmu, dan kita
bicara di sana!" Azzam langsung minta Husna untuk membawa Zumrah yang
berdarah. Azzam juga minta kepada Lia untuk membuat minuman.
Orang-orang bernafas lega. Pagi itu benar-benar pagi yang
menegangkan. Pak Mahbub dan Pak RT tergopoh-gopoh terlambat
datang. "Untung ada Azzam Pak RT, kalau tidak, otak Zumrah mungkin
sudah keluar dari tengkorak kepalanya dan berhamburan." Kata
Kang Paimo dengan menggigilkan badan.
"Mana Mahrus?" Tanya Pak RT.
"Sedang bicara sama Azzam. Sebaiknya tidak usah diganggu
Pak RT. Biar Azzam saja yang rembugan dengan serse edan itu."
Sahut Pak Jalil yang memang kurang suka dengan Mahrus yang
menurutnya terlalu sombong karena tak mau mendengarkan
omongan orang. "Kau sudah mendengar cerita tentang Zumrah dari Husna kan?"
Tanya Azzam pada Mahrus. "Iya tapi aku tidak percaya." Jawab Mahrus.
"Kalau aku yang bilang, apa kamu percaya?"
"Sejak dulu kau tidak bohong padaku."
"Berarti kau percaya?"
"Ya." "Baiklah aku akan cerita padamu tentang keponakanmu. Dan
aku sangat yakin cerita ini adalah benar dan tidak bohong. Jadi kau
harus percaya." "Baik akan aku dengarkan."
Azzam lalu menceritakan kepada Mahrus apa yang sebenarnya
terjadi pada Zumrah. Cerita yang sama dengan yang disampaikan
Zumrah kepada Husna di Pesantren Wangen. Mahrus mendengarkan
dengan seksama. "Jadi begitu ceritanya. Dia tidak murtad?"
"Benar." "Awalnya dia diperkosa?"
"Benar. Sebagai paman seharusnya kamu melindungi dia.
Sekarang dia ingin kembali ke jalan yang benar. Ingin benar-benar
taubat. Tapi ia terus diuber-uber sama germonya. Kau harus bantu
dia. Kau harus cari itu para hidung belang yang menistakan dia. Yang
harus kamu dor itu ya hidung belang-hidung belang itu Rus. Bukan
dia!" "Kau benar Zam. Kalau kamu tidak datang mungkin peluruku
ini salah memecahkan kepala orang."
"Ada beberapa hal yang harus kau perbaiki pada sikapmu Rus.
Jika kau perbaiki maka kau akan menjadi pria jantan sejati dan kau
akan dicintai banyak orang."
"Apa itu Zam?" "Pertama, cobalah kau latihan senyum. Kau ini susah sekali
senyum. Ketemu teman lama saja tidak senyum."
"Ah kau ini ada-ada saja Zam. Hah... hah... hah... ha...!" Mahrus
malah terbahak-bahak tidak hanya senyum.
"Lha begitu Rus. Biar dunia ini cerah. Banyak senyum itu bikin
awet muda katanya." "Masak tho Zam?"
"Iya." "Terus apa lagi Zam?"
"Kau harus memperhalus kata-katamu. Kau sering berkata
kotor. Hilangkanlah kebiasaan burukmu itu. Masak ponakanmu
sendiri kau kata-katai seperti itu!"
"Nanti aku minta maaf sama dia. Masih ada lagi Zam?"
"Masih. Kau lebih sopanlah sama orang lain. Dengarkanlah
orang lain. Aku sering dapat cerita saat ronda kau ini paling susah
mendengarkan orang. Ingat Rus, Tuhan menciptakan telinga dua
sementara mulut cuma satu. Artinya kita diminta untuk lebih banyak
mendengar daripada bicara apalagi membentak-bentak orang!"
"Akan aku usahakan Zam. Mana tadi Si Zumrah Zam?"
"Mau kau apakan lagi?"
"Aku mau minta maaf padanya. Juga sekalian aku mau minta
data para hidung belang itu. Aku ingin menggulungnya secepatnya."
Azzam lalu memanggil adiknya,
"Husna, bawa Zumrah kemari!"
Zumrah datang dengan kening dan pelipis diperban putih.
"Kemarilah Nduk!" Kata Mahrus, kali ini dengan mata berlinang
air mata. Zumrah melihat perubahan wajah Mahrus. Wajah yang
sudah bersahabat. Wajah yang berkaca-kaca.
Zumrah maju mencium tangan pamannya. "Maafkan Paman ya
Nduk?" "Iya paman. Juga maafkan kesalahan Zumrah. Sampaikan pada
ibu Zumrah belum bisa pulang. Nanti kalau Zumrah sudah lebih baik
insya Allah Zumrah pulang."
"Seperti itukah perjalanan nasibmu Nduk" Terperangkap dalam
jerat lumpur hitam?"
"Iya Paman. Tolong bantu Zumrah paman."
"Tolong berikan semua data para penjahat yang telah
menistakanmu itu!" "Baik paman." Zumrah lalu menyebut nama-nama orang yang sering
memaksanya juga menyebut nama-nama germo di Jogja dan Solo. Ia
juga menyebut nama-nama lelaki hidung belang yang sering
memangsa gadis-gadis muda tidak hanya dirinya. Zumrah
menjelaskan dengan detil alamat rumahnya dan tempat yang biasa
digunakan mangkal mereka.
"Kau mau tinggal di mana Nduk kalau tidak pulang?"
"Aku mau membantuku." indekos di Nilasari Paman. Husna akan "Jika perlu bantuan paman jangan sungkan hubungi paman di
kantor paman." "Iya paman." "Hati-hati ya Zum. Paman pergi dulu."
Mahrus lalu minta diri pada Azzam dan keluarganya. Pada Bu
Nafis, Husna dan Lia lelaki tinggi besar dan kekar itu mohon maaf
atas segala khilafnya. Bu Nafis, Husna dan Lia bersyukur kepada
Allah dan memaafkan dengan lapang dada. Zumrah menatap
pamannya yang melangkah keluar rumah dengan mata berkaca-kaca.
Meskipun pamannya itu nyaris membunuhnya, tapi ia
merasakan betapa besar sesungguhnya rasa sayang adik bungsu
ayahnya itu padanya. Benar, waktu kecil dulu pamannya itulah yang
selalu menjadi pelindungnya. Jika ada anak yang nakal jahil padanya,
pamannyalah yang akan menindaknya. Pamannya bahkan rela
berkelahi mati matian demi menjaga agar kulitnya tidak disentuh oleh
anak-anak yang jahil. Pamannya itu seumur dengan Azzam, kakak
Husna. Dan ia sendiri seumuran Husna. Jadi pamannya itu kira-kira
lebih tua tiga atau empat tahun di atasnya.
Zumrah sedikit merasa lega, masalahnya dengan pamannya
telah selesai. Ia merasa mulai ada setitik cahaya. Ia mulai merasa
kembali mendapatkan secuil kasih sayang. Ia berharap pamannya
bisa menindak nama-nama orang jahat yang menistakannya.
Harapannya ia bisa hidup dengan tenang. Kembali ke jalan yang
lurus. Membesarkan anaknya. Dan jika sudah rasa ia layak menemui
ibunya ia akan menemui ibu yang selama ini disakitinya.
16 BAKSO CINTA Sudah dua bulan Azzam di rumah. Azzam sudah benar-benar
menyatu dengan masyarakat. Ia sudah aktif di masjid. Sejak ia
diminta menjadi badal Pak Kiai Lutfi mengisi pengajian Al Hikam, Pak
Mahbub dan warga masyarakat dukuh Sraten sangat percaya
padanya. Ia diminta untuk mengisi jadwal khutbah Pak Masykur
yang belum ada gantinya. Hanya saja, di mata warga masyarakat Azzam dianggap masih
menganggur. Ia sebenarnya sudah mulai usaha membuka warung
bakso di samping kampus UMS dekat Fakultas Farmasi. Tapi itu oleh
masyarakat dianggap sebagai pekerjaan yang tidak bergengsi. Ibu-ibu
jika berkumpul di warung Bu War tanpa sadar sering membicarakan
Azzam. "Sayang ya sembilan tahun di Mesir masih menganggur. Aku
kira begitu pulang dari luar negeri langsung ditarik jadi dosen di
IAIN atau STAIN. E... malah jualan bakso. Kalau hanya jualan bakso
ngapain jauh-jauh kuliah ke Mesir. Itu Si Tuminah tidak lulus SD juga
jualan bakso!" Kata Bu Sarjo yang terkenal suka menilai orang.
"Iya kasihan Azzam ya. Aku malah mengira dia pulang dari
Cairo langsung diambil menantu Pak Kiai. E... sampai sekarang juga
belum laku. Aku kira langsung memimpin pesantren." Sahut Bu
Agus. "Itu kemarin aku sangat kaget, ketika diberitakan pacaran sama
Eliana. Kukira dia sudah jadi konglomerat di Mesir. Ternyata beli
motor saja tidak bisa. Mana mungkin bintang film seperti Eliana
mau." Kata Bu Marto "Ya masih untung masih bisa mengajar majelis taklim di masjid,
hitung-hitung buat kegiatan dia." Sahut Bu Hariman Angin itu
ternyata bisa menyampaikan perkatan perkataan kaum ibu itu ke
telinga Bu Nafis sekeluarga. Bu Nafis paling sedih dan resah. Husna
juga, ia tidak rela kakaknya yang menjadi pahlawannya dijadikan
gunjingan. Pengangguran memang sangat tidak nyaman. Akhirnya
Bu Nafis tidak bisa menahan keresahannya. Suatu pagi ia berkata
pada Azzam, "Nak, terserah bagaimana caranya agar kamu tidak tampak
menganggur. Kalau pagi pergilah, berangkatlah kerja bersama
orang-orang yang berangkat kerja. Dan kalau sore atau malam
pulanglah ke rumah. Supaya kau tidak jadi bahan ocehan. Ibu juga
malu kau lulusan luar negeri cuma jualan bakso!"
Bu Nafis menyampaikan hal itu dengan mata berkaca kaca.
Husna yang mendengarnya juga trenyuh hatinya.
"Bue, perkataan orang lain jangan terlalu dimasukkan ke dalam
hati. Yang penting ibu percayalah pada Azzam. Azzam bisa mandiri.
Azzam bisa makan dengan kedua tangan dan kaki Azzam
sendiri. Ibu kan juga tahu di Cairo dulu Azzam juga jualan bakso."
"Terserah kamu Nak. Tapi pikirkanlah bagaimana caranya
supaya kamu aman dari gunjingan masyarakat."
"Masyarakat kita memang paling hobi menggunjing kok Bu.
Tapi baiklah Azzam akan ikuti permintaan ibu. Pagi berangkat kerja,
sore pulang kerja." *** Azzam terus memutar otaknya. Ia harus segera menemukan cara
untuk mendapatkan cashflow dengan cepat. Ia melihat usaha warung
baksonya biasa-biasa saja. Malah bisa dibilang ia rugi sebab
keuntungannya perhari hanya sepuluh ribu rupiah. Ini tidak
sebanding dengan kerja kerasnya.
Ia memang masih sendiri belum dibantu siapa-siapa. Demi
memenuhi harapan ibunya ia menyewa satu kamar kos di dekat pasar
Kleco. Jam delapan pagi ia sudah sampai di kamar kosnya. Ia lalu
belanja. Setelah itu meracik bahan bahan baksonya. Jam dua
semuanya sudah siap. Tepat jam setengah tiga ia buka warung. Ia
buka sampai jam sembilan malam.
Demikian rutinitasnya setiap hari. Kepada para tetangga ibunya
bilang Azzam sudah punya kantor di Solo. Pagi kerja di kantornya
dan sorenya ia jualan bakso. Ya jika kantor maknanya adalah tempat
kerja maka kamar kos yang ia gunakan untuk membuat pentol bakso
adalah kantor. Kantor hanyalah istilah mentereng untuk menyebut
tempat kerja. Di mana di tempat itu ada arsip dan berkas. Di kos
Azzam juga ada arsip dan berkas. Yaitu catatan dan bon belanjanya.
Azzam terus memutar otaknya bagaimana caranya usahanya
sukses. Jika ia tetap menjual produk yang sama dengan yang lain,
maka di pasar ia telah kalah. Ia harus punya produk yang inovatif,
yang berbeda dengan yang lain. Sama-sama baksonya tapi harus ada
sisi unik yang membedakan baksonya dengan bakso yang lain.
Ia ingin agar pembeli baksonya mendapat sesuatu selain rasa
nikmat di lidah, kenyang dan gizi. Ia terus berpikir. Sampai akhirnya
ia menangkap sebuah ide yang menurutnya brilian. Ia akan membuat
bakso cinta. Ya, ia akan membuat bakso cinta.
Dalam benaknya ia akan membuat cetakan khusus untuk
baksonya. Bentuk baksonya tidak bulat tapi berbentuk cinta, love atau
hati. Terus ia akan mengubah suasana warungnya. Meskipun warung
tenda, suasananya harus ceria dan romantis. Lalu ia akan menyiapkan
instrumen musik khusus yang mengiringi pelanggannya makan.
"Yup! Ini baru ide!" Teriaknya dalam hati.
Azzam lagi bekerja keras mencari cetakan dari besi berbentuk
hati. Ia tidak menemukan di toko-toko penjual barang pecah belah. Ia
akhirnya pesan cetakan yang ia inginkan ke Batur, Klaten yang
dikenal sebagai pusat besi, baja dan alumunium. Cetakan itu akhirnya
jadi juga. Azzam mencoba membuat bakso cinta dengan cetakannya.
Pertama kurang menarik. Lalu ia buat lagi dan hasilnya sangat
mempesona. Ia lalu menyiapkan suasana warungnya. Gerobak baksonya ia
cat pink semuanya. Tendanya juga ia cat pink. Meja dan kursinya juga
pink. Ia cari mangkok khusus berwarna merah hati jadi pas dengan
meja pink. Ia juga mengubah jam buka warungnya. Sebelumnya dari jam
setengah tiga sore sampai jam sembilan kini dari jam sepuluh pagi
sampai jam enam sore. Sebelum membuka warung baksonya, ia
promosi dengan membuat brosur dan menyebarkannya di hampir
seluruh Solo. Di hari pembukaan perdana ia minta adiknya Lia dan
Husna ikut membantu. Sekali itu saja.
Sambutan dari pelanggan luar biasa. Di hari pembukaan, hanya
dalam waktu empat jam baksonya telah habis. Husna dan Lia sangat
bahagia dibuatnya. Azzam sangat yakin baksonya akan laris.
Akhirnya Azzam memutuskan untuk cari seorang karyawan yang
akan membantunya menyuguhkan bakso dan minuman ke
langganan. Adapun yang meracik bakso tetap ia sendiri. Azzam
mengajak Si Kasmun yang hanya lulus SMA dan sekarang jadi
Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengangguran. Pagi hari sebelum Azzam berangkat ke Kleco, Husna berkata
pada Azzam, "Kak sebaiknya bakso cinta kakak dipatenkan. Agar nanti tidak
ada yang meniru. Jika ada yang meniru tanpa ijin kakak punya
kekuatan hukum yang kuat untuk menuntutnya. Husna yakin bakso
kakak nanti akan mendapatkan hati pengunjungnya."
"Cara mematenkan bagaimana?"
"Kita datang ke kantor yang mengurusi hak paten. Nanti mereka
yang akan mengurusi hak paten kita sampai ke menteri kehakiman."
Jelas Husna. "Baik kita patenkan secepatnya." Hari berikutnya
warung bakso cintanya terus penuh pengunjung. Jam tiga sore sudah
kehabisan. Bakso dengan bentuk hati memang belum ada di
Surakarta. Dan yang datang kebanyakan anak-anak muda. Mereka
memang mencari sesuatu yang beda.
Belum genap satu bulan ia sudah merasa bahwa tenda warung
bakso cinta harus ditambah besarnya. Ia menyewa tanah di samping
bakso cintanya, agar tendanya bisa dilebarkan. Pengunjungnya agar
tidak kecewa karena tidak dapat tempat duduk. Setelah sukses di
kampus UMS, maka Azzam melebarkan sayap membuka cabang
pertama di dekat UNS. Ia melihat Si Kasmun bisa dipercaya untuk
memegang yang di UMS, maka ia sendiri yang memegang cabang
UNS. Ia mengangkat dua karyawan baru. Satu untuk menemaninya
dan yang satu untuk menemani Si Kasmun.
Cabang baru di UNS mendapat sambutan hangat dari kalangan
mahasiswa. Seorang mahasiswa usul pada Azzam agar warung bakso
cinta menjadi semacam warung apresiasi seperti warung apresiasi di
Jakarta. Di situ dibuatkan satu tempat bagi mahasiswa atau seniman
atau siapa saja yang akan menampilkan karya seninya. Usul itu
direspon baik oleh Azzam. Azzam lalu meminta mahasiswa itu untuk
merancang tempat yang digunakan untuk apresiasi seni yang
diusulkannya. Setelah Azzam melihat dengan dibangunnya tempat
itu akan semakin memperkokoh ikon bakso cintanya, maka tempat
apresiasi segera diadakan.
Dan hasilnya sangat di luar dugaan. Warung bakso cinta jadi
tempat mangkal para mahasiswa, seniman dan masyarakat luas.
Untuk menjaga citra warung baksonya, ia meminta naskah atau teks
yang akan ditampilkan. Jika misalkan ada musisi yang menampilkan
jenis musik yang isinya bertentangan dengan moral dan dakwah tidak
segan segan ia untuk melarangnya. Atau memberikan alternatif lagu
lain yang isinya baik. *** Tak terasa sudah tiga bulan Azzam membuka warung bakso
cintanya. Omsetnya perbulan bisa mencapai dua puluh juta. Kini ia
bisa membeli mobil sederhana tapi layak pakai. Ke mana-mana ia
memakai mobil itu. Untuk bakso ia bertahan untuk dua warung dulu.
Otaknya terus berputar, ia mencari peluang bisnis yang lain.
Ia membaca nasihat seorang pengusaha sukses di sebuah buku
panduan bisnis agar tidak meletakkan semua telur dalam satu
keranjang. Sebab jika suatu ketika keranjang itu jatuh maka telur akan
pecah semua. Dan akibatnya akan sangat fatal. Maka yang baik dalam
bisnis adalah meletakkan banyak telur di keranjang yang berbeda.
Agar jika ada satu keranjang yang jatuh masih ada telur lain yang
selamat. Dan telur yang selamat itu masih akan bisa menetas menjadi
ayam dan bisa mendatangkan telur baru. Azzam melirik bisnis foto
kopi. Ia tahu memang banyak pesaing. Tapi bisnis foto kopi di pinggir
kampus hampir bisa dikatakan tak bisa mati. Caranya sederhana saja,
ia melihat warung baksonya di UMS dan UNS selalu penuh
pengunjung. Ia menyewa tempat tak jauh dari warung bakso cinta
yang ia gunakan mendirikan pusat foto copy. Ia membeli dua mesin
foto copi bekas. Pusat foto copynya ia namakan "Foto Copy Cinta".
Brosur dan promosi ia gencarkan lewat warung bakso. Hasilnya tidak
terlalu mengecewakan. Bisnis foto copynya berjalan bagus. Meskipun
tidak secepat Bakso Cinta.
*** Suatu malam, sepulang dari warung bakso, Lia berkata, "Kak
ada tamu." Saat itu ia sudah rebah di kamarnya karena letih. Ia
bangkit menuju ruang tamu. Ternyata Furqan. Ia bahagia sekali teman
lamanya datang. Sudah lama memang ia tidak ke pesantren Wangen.
Terakhir ke pesantren itu ya tepat saat acara pernikahan Anna dengan
Furqan dilangsungkan. Ia fokus dengan bisnisnya. Untuk pengabdian
ke masyarakat sementara ia mencukupkan diri dengan mengisi
pengajian di masjid kampung sendiri.
"Ada tamu istimewa rupanya. Pak Kiai Furqan. Sendirian?"
"Iya sendirian. Jangan memanggil Pak Kiai tho Zam. Aku malu."
"Lha kamu kan sudah jadi Kiai sekarang. Kan pengasuh
pesantren." "Jika aku Kiai, maka sesungguhnya kau kan Kiaiku. Dulu
awal-awal di Mesir kau yang sering aku jadikan tempat bertanya. Kau
yang sering menjelaskan isi diktat kuliah tho sehingga aku lulus."
"Sudah. Ini ada apa tho kok tiba-tiba datang membuat kaget
saya." "Saya datang atas nama pesantren Zam. Ini Pak Kiai Lutfi,
mertuaku, sering sakit akhir-akhir ini. Beliau memang agaknya harus
banyak istirahat. Lha untuk pengajian Al Hikam, banyak masyarakat
yang meminta engkau yang mengisi. Terus terang sekarang Pak Kiai
Lutfi hanya mengajar Subulus Salam saja. Lha aku sendiri diminta
mengganti Tafsir Jalalain. Untuk Al Hikam, minta engkau. Terus terang
ibu mertuaku juga cocok yang mengisi engkau. Sebab Al Hikam kan
untuk masyarakat umum. Kau lebih bisa berbahasa Jawa yang baik
daripada aku." "Aduh gimana ya" Terus terang aku sibuk Fur. Sungguh.
Gimana ya, waktuku sudah penuh Fur." Jawab Azzam. Tiba-tiba ada
suara yang menyahut dari arah dalam.
"Tidak! Kau harus menyeimbangkan duniamu dengan akhiratmu Zam! Kau harus punya waktu untuk mengamalkan
ilmumu dan menegakkan ajaran agamamu. Ya bisnis, ya juga
mengajarkan ilmu! Kalau kau hanya memusatkan perhatianmu pada
bisnismu, Bue tidak ridha!"
Azzam kaget mendengar kalimat dari ibunya. Ia tahu apa yang
dikehendaki ibunya. Sebelum Azzam berkata, Furqan duluan angkat
suara, "Iya apa yang dikatakan ibu benar Zam. Toh itu cuma satu
pekan satu kali saja."
"Baiklah kalau begitu. Salamku buat Pak Kiai Lutfi dan Bu
Nyai." "Terima kasih Zam. Pekan depan langsung mulai ya Zam."
"Insya Allah. Oh ya ngomong-ngomong sudah ada tanda-tanda
mau dapat momongan belum?" Tanya Azzam sambil tersenyum.
Furqan tergagap mendengar pertanyaan itu. Entah sudah berapa kali
ia mendengar pertanyaan itu dan banyak orang. Keluarga besar Anna
setiap kali bertemu dengannya juga menyinggung hal itu. Ibunya
sendiri dari Jakarta sering menelpon dan menanyakan hal itu. Dan ia
harus menjawab dengan hati getir, "Belum."
17 IKHTIAR MENCARI CINTA "Bue sudah ingin menimang cucu Zam. Bisnis kamu sudah
berjalan baik. Kapan kamu menikah?" Kata Bu Nafis suatu malam.
Perempuan itu membuka gorden jendela ruang tamu. Matanya
memandang rembulan yang mengintip di balik pepohonan. Angin
malam menyisir rambutnya yang memutih dibakar usia. Ia
membelakangi putranya yang sedang mengkalkulasi modal
bisnisnya. "Segeralah menikah Nak! Syukurilah nikmat Allah yang
diberikan kepadamu!" Lanjut Bu Nafis dengan kedua mata tetap
menikmati rembulan yang bersinar terang. Di balik pepohonan
rembulan itu bagai cahaya bidadari yang mengintip malu-malu. Sinar
rembulan menerpa wajah perempuan setengah baya itu.
"Azzam juga ingin segera menikah Bu. Tapi sudah dua kali ada
gadis diajukan ke Azzam dan Azzam cocok tapi ibu yang tidak
berkenan. Azzam harus bagaimana?"
Bu Nafis menarik nafas lalu menutup gorden jendela. Ia lalu
duduk di hadapan putranya. Kedua matanya yang teduh
memandangi wajah putranya yang bergurat kelelahan dengan penuh
kasih sayang. "Maafkan ibu Nak. Ibu ingin yang terbaik untukmu. Tidak asal
perempuan." "Apakah Rina dan Tika itu tidak baik Bu."
"Ibu tidak bilang Rina dan Tika tidak baik. Mereka baik. Tapi
bu ingin yang lebih baik lagi. Ibu sedikit punya ilmu titen24 . Menurut
yang ibu amati kok kedua gadis itu kurang cocok untukmu. Mungkin
lebih cocok untuk yang lain."
"Ibu ini pakai ilmu titen segala. Apa itu ilmu titen, itu bid"ah Bu,
itu khurafat!" Sengit Azzam.
"Kak jangan berkata yang sengit begitu dong sama Bue." Husna
muncul dari kamarnya, "Menurutku ilmu titen sebenarnya ilmiah.
Tidak bid"ah. Semua kok terus dibid"ahkan. Alangkah kerdilnya kita
menghayati ajaran Allah yang mulia ini kalau suatu ilmu yang ilmiah
terus dibid"ahkan." Lanjut Husna.
"Terus penjelasannya bagaimana ilmu titen itu ilmiah Na. Kalau
benar-benar ilmiah maka aku akan mencabut perkataanku." Kata
Azzam kepada adiknya. "Ilmu titen itu berangkat dari kejelian orang-orang dahulu
meniteni, yaitu mengamati kejadian " kejadian dalam kehidupan,
peristiwa-di alam. Dari pengamatan yang berulang-ulang itu
akhirnya bisa disimpulkan sebuah struktur kejadian. Dari struktur
itulah lahir ilmu titen. Ilmu titen ini sebenarnya sudah masuk dalam seluruh aspek
kehidupan ummat manusia. Mulai dari manusia paling primitif
sampai manusia paling modern.
"Contoh ilmu titen begini Kak. Sederhananya orang dulu, zaman
dulu sekali tidak tahu ilmu pengetahuan alam. Mereka tidak sekolah
seperti kita. Kalau kita kan sekarang langsung tahu kalau ada
mendung kemungkinan besar akan hujan. Kita tahu karena dapat dari
pelajaran IPA di sekolah. Mendung pada hakeketnya adalah uap air
24 Ilmu meniteni, atau ilmu mengamati sesuatu dari gejala yang
diberikan oleh alam biasanya berdasarkan pengalaman yang
berulangulang. yang menggumpal. Jika ditiup angin jadilah hujan. Orang dulu tidak
belajar IPA. Mereka itu mengerti kalau ada mendung pasti akan hujan
itu dari pengamatan yang berulang-ulang. Kok setiap melihat langit
hitam lalu ada petir terus turun air dari langit. Demikian terus
berulang. Akhirnya pengalaman itu menjadi struktur suatu ilmu bagi
mereka yaitu kalau ada mendung maka ada hujan. Itulah ilmu titen.
"Contoh lain, orang dulu untuk mengetahui gunung mau
meletus tidak dengan alat yang canggih yang bisa mendeteksi berapa
kali ada gempa tektonik dari dalam kepundan gunung itu. Tidak Kak.
Mereka tidak punya alat itu. Tapi mereka mengetahui akan ada
gempa dengan melihat gejala alam yang berulang-ulang. Dengan
niteni gejala alam yang berulang-ulang. Misalnya kalau banyak
binatang turun dari gunung, kalau banyak binatang yang biasanya
tidak turun kok turun, kalau itu terjadi kok terus tak lama gunung
meletus. Maka itu mereka titeni, mereka perhatikan dengan seksama.
Lalu mereka jadikan alamat. Mereka jadikan tanda, bahwa kalau
banyak binatang turun dari gunung maka gunung akan meletus. Itu
ilmu titen namanya Kang. "Atau contoh seperti ini, polisi di dunia modern ini sekalipun
juga rnenggunakan ilmu titen. Misalnya untuk mengetahui tersangka
berkata jujur atau bohong ya dengan ilrnu titen. Kalau mimiknya
begini maka jujur. Kalau gagap dan kelihatan berbelit-belit maka
biasanya tidak jujur. Kalau tampak polos terus apa adanya ditanya
berulang-ulang jawabannya sama maka biasanya jujur. Ya itu kan
polisi berangkat dari ilmu titen.
"Juga seorang psikolog banyak menggunakan ilmu titen. Dengan
melihat getar tangan seorang remaja, gaya bicara psikolog yang
canggih bisa mengetahui remaja itu pecandu narkoba atau tidak.
"Terus lagi contoh ilmiah ilmu titen begini. Jika Kak Azzam
mengatakan kepada saya 1, 3, 5, 7, 9 maka saya akan langsung bisa
melanjutkan pasti berikutnya 11, 13,15,17. Ini bukan berarti saya
seorang wali yang serba tahu, yang tahu sebelum sesuatu itu terjadi
kemudian. Bukan! Karena saya sudah mengamati angka-angka
sebelumnya dan tahu struktur sebelumnya.
"Jika orang dulu ada yang bisa memperkirakan selembar daun
nangka di depan rumah kapan jatuhnya. Dan perkiraannya itu tepat,
maka itu tidak terus langsung bid"ah kak. Tidak terus langsung
dikatakan dia dibisiki oleh jin. Tidak! Itu ada ilmunya ya ilmu titen itu.
Ilmu mengamati fenomena alam yang dalam. Seseorang bisa
memperkirakan kapan daun nangka itu jatuh dan tepatnya hari apa
adalah setelah orang itu biasa mengamati daun nangka sebelumnya.
Dia menghitung sejak daun itu tumbuh lalu jatuh maka perlu rentang
waktu sekian masa. Kalau daun itu baru berwarna begini, misalnya
hijaunya agak muda belum hijau tua biasanya baru berumur sekian
hari. Dia tahu karena memperhatikan. Karena niteni.
"Pepatah Arab yang terkenal itu man jadda wajada, siapa yang
giat pasti akan mendapatkan, kan juga berangkat dari ilmu titen.
Setelah sejarah membuktikan bahwa orang orang yang berhasil di
dunia ini sebagian besar adalah orang-orang yang giat, orang-orang
yang bersungguh sungguh, maka kemudian orang Arab kuno
menyimpulkan man jadda wa jada.
"Perkembangan ilmu titen yang canggih yang kemudian
melibatkan ilmu eksakta adalah ilmu falak, ilmu astronomi. Kok
manusia bisa tahu akan terjadi gerhana jnatahari" Kok manusia tahu
akan terjadi gerhana bulan" fKalau orang kuno dulu, ketika ilmu
pengetahuan belum benar-benar maju untuk mengetahui itu ya
mungkin rnurni dengan menggunakan kejelian pengamatan pada
alam. Pada bintangbintang. Sekarang ilmu itu sudah berkembang.
Gerhana matahari bisa diprediksikan dengan hitungan ilmu falak.
Dasar hitungan itu pada awalnya kan ilmu titen dulu Kak.
"Baik terakhir Kak, Rasulullah pernah menggunakan ilmu titen.
Kak Azzam tahu kapan" Yaitu ketika Rasulullah perang badar. Untuk
mengetahui jumlah pasukan kafir Quraisy Rasulullah menggunakan
ilmu titen. Yaitu dengan mengetahui dulu jumlah onta yang
disembelih setiap harinya. Ketika ada yang memberi tahu beliau
bahwa jumlah onta yang disembelih setiap harinya adalah sepuluh
maka beliau menyimpulkan jumlah pasukan kafir Quraisy kurang
lebih seribu orang. Karena satu onta biasanya bisa untuk dimakan
seratus orang. Maka tinggal ngalikan saja. Sepuluh kali seratus ya
berarti seribu. Begitu Kak. Jadi ilmu titen yang disampaikan Bue tidak
terus bid"ah. Tapi rnemang..."
Belum selesai Husna menjelaskan Bu Nafis,
"Maksud Bue itu dengan ilmu titen itu ya kira-kira Seperti yang
diterangkan Husna itu lho Zam. Tapi ibu kan cuma tamat SR saja. Jadi
Bue tidak bisa menjelaskan yang panjang rinci seperti Husna yang
sarjana.
Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Begini lho Zam, alasan Bue berdasarkan ilmu titen kenapa ibu
tidak setuju dengan dua gadis itu begini.
Pertama Rina, gadis temannya adikmu itu memang baik.Bue
akui itu. Sopan santunnya baik. Cuma ada satu hal yang ibu amati,
dan bue tidak cocok adalah ketika dia dulu menginap di sini,
bisa-bisanya habis shalat subuh tidur lagi. Padahal kita bertiga tidak
tidur. Dia lalu bangun jam tujuh pagi. Ini yang membuat ibu tidak
cocok. Bagaimana kalau dia nanti jadi ibu bakda subuh tidur. Di
rumah orang saja nekat begitu apalagi nanti di rumah sendiri."
"Tapi Bu, Rina pada waktu itu memang terlalu letih. Sehari
sebelumnya dia ada acara full di kampus." Husna berusaha membela
Rina, meskipun ia juga tahu kebiasaan tidur setelah shalat subuh itu
masih dilanggengkan temannya itu sampai saat itu.
"Ah apapun alasannya. Ibu tak peduli. Kata ayahmu dulu kalau
orang tidur habis subuh rezekinya dipatuk sama ayam, jadi hilang!
Terus itu Si Tika atau Kartika Sari yang jadi penjaga kios Sumber
Rejeki di pasar Klewer. Memang dia cantik dan anggun. Saat kita
dolan ke rumahnya juga baik tutur bahasanya. Tapi Bue tidak suka
caranya dia tertawa. Tertawanya ngakak-ngakak seperti itu. Dia itu
seorang gadis masak tertawanya ngakak begitu. Kalau laki-laki masih
agak mending, mungkin masih agak bisa dimaklumi. Ini gadis.
Rasulullah saja kalau tertawa tidak ngakak-ngakak begitu. Setelah
mendengar dia tertawa seperti itu Bue langsung kehilangan selera.
Maaf, yang biasa tertawa begitu itu biasanya perempuan murahan,
pelacur. Bukan Bue menganggap dia perempuan murahan bukan. Ibu
hanya menjelaskan kenapa bue tidak suka. Daripada Bue punya
menantu kalau setiap tertawa bue tidak suka dan setiap dia tertawa
bue langsung teringat perempuan murahan kan lebih baik tidak bue
iyakan." Bu Nafis menjelaskan alasan-alasannya. Tiba-tiba Lia keluar
dari kamarnya. "Kayaknya ramai nih diskusinya. Lia dengar dari
kamar tadi Mbak Husna bicara tentang ilmu titen dengan segala
penjelasannya. Tapi Lia lihat ya kak banyak di Jawa ini ilmu titen yang
memang masuk khurafat kak. Jadi bid"ah. Mungkin ini yang
dimaksud kak Azzam. Kalau yang kakak sampaikan tadi memang
ilmiah." Kata Lia. "Yang seperti apa itu Dik?" Tanya Husna.
"Ini misalnya ya dengan alasan ilmu titen juga. Di daerah Solo
dan sekitarnya ini kan ada pantangan anak pertama menikah dengan
anak ketiga. Di daerah Semarang sana ada pantangan anak pertama
menikah dengan anak pertama. Kata orang-orang tua juga dasarnya
ilmu titen itu. "Pantangan anak pertama menikah dengan anak ketiga di Solo
disebut lusan. Nomer telu artinya tiga menikah dengan nomor pisan,
artinya satu. Katanya kalau nekat menikah nanti salah satu dari orang
tua pengantin putra atau pengantin putri akan mati.
"Kalau di Semarang anak pertama tidak boleh menikah dengan
anak pertama karena nanti kehidupan rumah tangganya tidak
bahagia." Lia menjelaskan.
"Sebenarnya itu juga yang mau Mbak Husna jelaskan tadi Dik.
Tapi keburu dipotong sama Bue. Begini memang ada yang dianggap
ilmu titen, tapi sebenarnya ilmu pengawuran. Ilmu gatuk-gatuk, cuma
mencocok cocokkan peristiwa yang mentah sepintas saja terus
diambil kesimpulan. Terus dinamakan ilmu titen. Yang seperti ini
tidak ada landasan ilmiahnya. Kalau ilmu titen yang sebenarnya itu
bisa diuji keilmiahannya. Fakta dan datanya bisa dijelaskan. Teorinya
bisa didefinisikan. Lha yang cuma menggatuk-gatukkan tanpa
penelitian mendalam ini yang repot. Apalagi kalau sudah dimitoskan.
Jadilah khurafat. "Contohnya ya pantangan anak ketiga menikah dengan anak
pertama itu. Itu mitos yang tidak ada dasarnya. Itu khurafat yang
menyesatkan memang Mbak juga sepakat. Bisa jadi dulu ada orang
yang sangat ditokohkan di masyarakat punya anak pertama
dinikahkan dengan anak orang lain nomor tiga. Setelah akad nikah
salah satu dari orang tua pengantin itu meninggal dunia. Yang
memang telah tiba ajalnya. Terus orang mengatakan itu karena sebab
pernikahan itu pernikahan anak pertama dengan anak ketiga. Karena
itu menimpa seorang tokoh zaman itu jadi terkenal. Terus dipercaya,
dijadikan pantangan. Terus jadi mitos sampai sekarang.
"Yang juga perlu kita harus perhatikan juga. Ada ilmu titen yang
dulu pas untuk zamannya, pas untuk masanya. Namun dengan
perkembangan zaman ilmu titen itu sudah tidak pas lagi. Maka
manusia harus berpikir lagi, berijtihad lagi. Jangan tetap nekat
menggunakan ilmu titen yang tidak pas itu?"
Azzam yang sejak tadi diam saja. Kali ini angkat suara,
"Contohnya apa itu Dik" Kelihatannya yang ini menarik."
"Contohnya ini Kak, dulu ketika ekosistem alam masih
seimbang. Gas kaca di angkasa sana tidak merajalela seperti sekarang.
Ozon belum bolong. Ada ilmu titen yang oleh orang Jawa disebut
pranata mongso. Pembagian masa dalam satu tahun untuk bertani. Ada
masa untuk mencangkul membalik tanah, ada masa untuk menanam,
ada masa untuk menyiangi, dan ada masa untuk panen. Hitungannya
selalu tepat. Kenapa" Karena ekosistem alam pada masa itu masih
seimbang. Sehingga musim hujan bisa diprediksi kapan datang.
Musim panas juga bisa diprediksi berapa panjang. Dulu ada
ungkapan desember itu maknanya deres-derese sumber, atau besarbesarnya sumber. Karena air ada di mana-mana. Terus Januari adalah
hujan sehari-hari. Karena memang hampir tiap hari hujan. Itu semua
memakai ilmu titen. Dan itu terukur. Benar.
"Tapi zaman telah berubah. Sekarang hutan sudah gundul. Gas
kaca hampir menyelimuti seluruh angkasa. Ozon bolong-bolong. Dan
terjadilah pemanasan global. Akhirnya siklus perubahan musim di
dunia ini jadi tidak jelas. Kita tidak bisa lagi mengatakan Januari
hujan sehari hari. Sebab tahun lalu saja ketika masuk bulan Januari
daerah Blora malah masih kemarau panjang. Belum hujan. Sampai
diciptakan hujan buatan. Terus kadang-kadang bulan Juli tiba-tiba
hujan di beberapa kota. Para petani sudah kehilangan patokan.
Mereka bingung. Kapan harus mencangkul kapan harus menanam,
dan kapan harus panen, mereka tidak tahu. Maka di sini kesimpulan
ilmu titen terdahulu harus diubah. Manusia harus mengamati lebih
dalam lagi gejala-gejala alam supaya hidup dengan seiahtera. Di sini
manusia harus ikhtiar dan bekerja keras. Kalau tetap mendasarkan
pada kesimpulan orang dulu ya semua kacau. Karena zamannya telah
berubah. Dulu waktu kita kecil Kartasura kan masih cukup sejuk
sekarang sudah panas luar biasa menyengat. Salatiga dulu kita
kedinginan kalau rekreasi ke sana. Sekarang sudah mulai panas."
"Terima kasih Dik. Penjelasanmu membuka satu wawasan baru
bagi Kakak. Kakak jadi banyak belajar dari diskusi kita malam ini.
Kita tidak boleh tergesa-gesa menghukumi sesuatu. Segalanya harus
dilihat dengan seksama dan detil. Semua ada ilmunya. Terus apa
yang harus kakak lakukan berkaitan dengan permintaan Bue untuk
segera menikah?" Lia menjawab, "Ya terus berikhtiar Kak. Sampai menemukan
yang terbaik buat kakak dan bue cocok."
"Ini Husna ada masukan lagi. Husna punya teman kerja di
radio. Sudah menikah. Lha suaminya itu punya adik perempuan
lulusan Fakultas Ekonomi Univesitas Indonesia. Namanya Milatul
Ulya. Biasa dipanggil Mila. Dia sekarang bekerja di sebuah bank
syariah di Surabaya. Kalau kakak mau, saya bisa minta datanya lebih
detil sekaligus fotonya." Husna memberi harapan pada kakaknya.
"Boleh. Bagaimana Bue?" Ucap Azzam.
"Iya boleh saja." Ucap Bu Nafis "Eh cantik tidak Kak Husna?"
Tanya Lia. "Yang ditanya kok mesti cantiknya." Tukas Husna.
Setidaknya Kak Azzam harus dapat isteri yang cantik. Harus gak
boleh kalah dengan Eliana. Lha wong sudah diisukan dekat dengan
Eliana kok terus dapatnya terlalu jauh cantiknya kan jadi jegleg.
Turunnya terlalu jauh. Sebagai adik Lia juga ingin punya kakak ipar
cantik. Tapi tetap yang shalihah. Betul begitu Kak Azzam?" Ujar Lia
"Tidak. Tidak harus cantik. Dan tidak harus secantik Eliana.
Yang penting ketika kakak memandangnya suka itu saja. Cantik
bukan yang Kakak cari. Yang kakak cari adalah orang yang bisa
menjadi penolong kakak untuk beribadah yang sebaik-baiknya
kepada Allah di dunia ini. Orang yang juga bisa membantu kakak
meraih derajat yang tinggi di akhirat nanti." Sahut Azzam
menerangkan kriteria calon isterinya.
"Itu baru jawaban lulusan Al Azhar! Baik Kak, besok Husna
akan minta datanya Si Mila itu syukur ada fotonya sekalian."
18 DARI MILA HINGGA SEILA "Membaca data dan melihat fotonya sih ibu cocok." Kata Bu
Nafis setelah membaca data dan foto diri gadis muda nan manis
bernama Milatul Ulya, S.E. dari Surabaya
"Wah ini lumayan cantik Kak Azzam, meskipun ya belum
sekelas Eliana. Tapi boleh kok." Komentar Lia.
Azzam tersenyum mendengarnya.
Sekarang pendapat Kak Azzam sendiri bagaimana?" Tanya
Husna. Kalau dia mau jadi isteri kakak, kapan pun dia mau menikah
boleh. Bahkan sekarang dia mau mengajak akad nikah pasti akan
kakak langsungkan!" "Wah! Mantap sekali Kak Azzam ini. Baru kali ini aku dengar
jawaban seorang lelaki semantap ini. Kalau Si Mila ini dengar, pasti
hatinya akar bergetar hebat berhari-hari." Sahut Lia.
"Kalau begitu cepatlah diatur bagaimana kakak kalian itu bisa
bertemu Mila." Pinta Bu Nafis pada Husna dan Lia.
"Tenang Bu, sudah Husna atur sama kakaknya Mila. Ahad
depan Mila akan dolan ke rumah kakaknya di Perumahan Gentan.
Kira-kira pukul sembilan pagi saya dan Kak Azzam akan dolan ke
sana. Kakaknya akan minta Si Mila yang membuat minuman dan
mengeluarkannya. Kakaknya juga akan pura-pura keluar sebentar
membeli sesuatu dan Mila akan diminta menemui kami sebentar.
Setelah pertemuan itu barulah nanti kakaknya kan tanya Si Mila mau
tidak sama Kak Azzam. Begitu."
"Bagus sekali skenarionya Mbak. Mbok saya sama Bue ikut."
Pinta Lia. "Jangan dulu nanti malah jadi berantakan rencananya. Kalau
sudah matang saja. Saat lamaran baru kita semua ke Surabaya."
Cegah Husna. "Bue sepakat. Semoga yang ini benar-benar jodoh." Lirih Bu
Nafis penuh harap "Amin." Doa Azzam dalam hati.
*** Pagi itu langit tertutup awan. Angin bertiup kencang. Sesekali
kilat menyambar. Guntur menggelegar. Azzam melihat arlojinya, jam
delapan. Husna mengambil jemuran yang masih basah di halaman.
Gerimis mulai turun perlahan. "Jadi berangkat Zam?" Tanya Bu
Nafis. "Ya harus tetap berangkat Bu. Kalau tidak kapan ketemu
jodohnya." Jawab Azzam mantap. Wajah Bu Nafis cerah seketika
mendengarnya. Husna meletakkan pakaian yang masih basah di
ember besar hitam. Gadis yang sudah berpakaian rapi itu lalu ke
kamarnya mengambil tas cokelat tuanya. Lalu keluar dengan senyum
mengembang. "Siap?" Kata Husna pada kakaknya.
"Siap! Janaka dari Kartasura siap melihat Dewi Dersanala dari
Surabaya." Canda Azzam seraya melangkah mencium tangan ibunya
minta restu. "Nanti kalau pulang, dan hujan belum juga reda. Coba tengok
Lia di sekolahnya ya. Biar dia ikut kalian saja." Pesan Bu Nafis pada
Azzam dan Husna. Dua orang kakak beradik itu mengangguk lalu
bergegas masuk mobil Carry Hijau tahun 1995.
Mobil itu bergerak pelan meninggalkan halaman, menelusuri
jalan dan meninggalkan dukuh Sraten. Mobil bergerak ke Perumahan
Gentan. Hujan turun sangat deras. Jalan-jalan penuh air bagaikan
anak sungai dadakan. Hujan masih lebat ketika mobil itu sampai di
sebuah rumah mungil bergaya minimalis. Azzam memarkir mobil di
tepi jalan tepat di depan rumah itu. Hujan masih mengguyur deras.
Azzam membunyikan klakson beberapa kali. Husna
menurunkan kaca jendela mobil. Yang punya rumah melongok
keluar. Seorang perempuan muda berjilbab hijau tua. Umurnya
kira-kira tiga puluhan tahun. Perempuan itu cepat-cepat
menyongsong dengan membawa dua payung. Satu ia pegang dan
satunya ia serahkan Husna. Husna turun dari mobil disambut
perempuan itu yang begitu hati-hati melindungi Husna dengan
payung yang mengembang di tangannya. Mereka berdua berjalan
dalam satu payung. Azzam turun dan langsung melindungi dirinya
dengan payung. Guntur menggelegar. Azzam merasa kerdil di tengah
keagungan Tuhan. Azzam meletakkan payungnya di teras. Lalu menata Kemejanya
dan masuk. "Assalamu"alaikum." Sapa Azzam
"Wa"alaikumussalam. Silakan duduk Mas." Jawab perempuan
muda yang sudah duduk berhadapan dengan Husna. Azzam
mengambil tempat di sisi Husna.
"Mbak Yuni, memperkenalkan. ini kakakku namanya Azzam." Husna "O yang kuliah di Mesir itu?" Tanya perempuan muda. "Iya."
"Kenalkan Mas, saya Yuni teman kerja Husna di radio JPMI
Solo." "Iya Mbak. Suaminya mana Mbak?"
"Itu di belakang sedang membetulkan genteng yang melorot."
"Iya deras sekali hujannya ya Mbak. Anginnya juga besar." Kata
Husna "Benar. Malah ada pohon di jalan dekat perumahan sebelah
tumbang." Kata perempuan bernama Yuni itu. "Sebentar ya."
Lanjutnya lalu masuk ke dalam.
Ketika tuan rumah masuk, Husna berbisik pada Azzam, "Yang
akan ditemukan dengan kakak adalah adik suaminya Mbak Yuni ini.
Kakak santai saja. Biasa saja."
Tak lama kemudian seorang gadis berjilbab putih keluar dengan
membawa nampan berisi teh hangat. Azzam memandang wajah gadis
itu, biasa saja nuansa hatinya, tidak ada desir aneh seperti ketika ia
melihat Anna atau Eliana dulu. Gadis itu berwajah oval.
Alisnya tipis. Ada tahi lalat di pelipis kanannya. Tangannya
lentik meletakkan gelas dari nampan ke meja.
"Silakan Mbak, Mas diminum." Kata gadis itu dengan suara
serakserak basah. Mirip suara Zumrah.
"Terima kasih, Mbak ya. Eh Mbak siapa kalau boleh tahu
namanya?" Husna bertanya pada gadis itu.
"Mila. Lengkapnya Milatul Ulya." Jawab gadis itu, "Maaf saya
ke belakang ya." Sambungnya lalu bergegas ke belakang.
"Bagaimana Kak. Setelah melihat sekilas." Bisik Husna pada
Azzam setelah gadis itu hilang di balik tembok.
"Biasa saja. Tapi sudah masuk standar. Jilbabnya rapat dan
panjang. Kakak suka itu." Jawab Azzam.
Tak lama kemudian muncul seorang pria muda berkaos panjang
biru tua dan memakai celana jeans biru muda. Kepala pria itu agak
botak. Rambutnya tipis. Wajahnya segar dan ramah.
"Assalamu"alaikum, kenalkan saya Edy. Suami Yuni." Kata pria
Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu sambil menjabat tangan Azzam lalu duduk.
"Nama saya Azzam Mas. Lengkapnya Khairul Azzam. Kakak
kandung Husna ini?" "O ini tho kakaknya Husna. Bisa nulis juga seperti adiknya?"
"Bisa, tapi nulis surat he... he... he..." Jawab Azzam.
Edy juga tertawa. Husna tersenyum saja. Ruangan itu jadi cair
dan hangat. "Berapa lama di Mesir?"
"Aduh jadi malu kalau ditanya itu. Saya sembilan tahun di
Mesir. Tapi masih bodoh tidak bisa apa-apa."
"Ah jangan merendah begitu."
"Sungguh. Bisanya malah bikin bakso. Sekarang saya usaha bakso
di UMS. Bakso cinta."
"O bakso cinta itu ya. Yang bentuknya tidak bulat tapi berbentuk
lambang cinta?" "Iya." "Itu milik Anda?"
"Benar." Katanya mantap. Itu teman-teman saya di kantor yang
cerita kalau mantap. Nanti kapan-kapan saya coba."
"Datang saja Mas. Kalau ingin bertemu saya ya yang di samping
UNS." "Ya baik." Kemudian Yuni dan Mila keluar. Yuni membawa
sepiring pisang goreng dan Mila membawa dua toples berisi kacang
kulit dan rempeyek. Piring dan toples itu diletakkan di meja.
"Wah ini kayak lebaran saja Mbak Yun." Ujar Husna. "Biar.
Adanya cuma itu. Tidak ada apa-apa." Sahut Yuni.
Saat Mila mau masuk lagi ke dalam Yuni memegang tanggannya
seraya berkata, "Jangan masuk. Ini temani kakakmu. Aku mau ke
tempat Bu RT kemarin lupa iuran seragam PKK. Mumpung aku ingat.
Nanti kalau lupa lagi tidak enak sama Bu RT."
Mila jadi kikuk. Ia lalu duduk di kursi yang ada di samping
kakaknya. Yuni melangkah keluar mengambil payung dan
menerobos hujan. Hujan masih turun dengan lebatnya. Gelegar guruh
dan guntur berkali-kali terdengar.
"Oh ya Mas Azzam, Mas dulu di Mesir ambil jurusan apa?"
"Saya kuliah di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir. Kalau Mas
Edy dulu kuliah di mana?"
"Saya dulu di ITS. Terus kerja di Telkom, saya ditempatkan
mulanya di Salatiga terus dipindah di Solo. Saat di Solo itulah saya
ketemu Yuni. Kok tertarik. Langsung saya temui orang tuanya. Dia
mau. Orang tuanya boleh. Lalu kami nikah." Cerita Edy ke
mana-mana menjawab pertanyaan Azzam.
"Mas Azzam sudah menikah?"
"Belum." "Kenapa?" "Belum ketemu jodoh."
"Wah apa mungkin ini kebetulan. Adik saya Mila ini iuga belum
menikah lho." Milatul Ulya salah tingkah mendengar perkataan kakaknya
Mukanya memerah. Saat memerah itulah pesonanya bisa menyihir
siapa saja. Azzam melihat perubahan muka itu dan melihat
pesonanya. Azzam merasakan sihirnya. Barulah hatinya berdebar dan
berdesir. "Bagaimana Mas, apa sama adik saya saja, malah tidak usah
pusingpusing cari jodoh?"
Azzam menjawab dengan tenang. Ia harus menguasai keadaan,
"Kalau saya sih mudah saja Mas. Siapa sih yang tidak mau sama gadis
cantik berjilbab seperti Mila. Persoalannya adalah Mila mau tidak
sama saya. Saya yang degil, dan hanya seorang penjual bakso."
Mendengar kalimat itu Mila semakin menunduk. Kedua pipinya
memerah. Jari-jarinya memilin-milin jilbab besarnya. Ia diam seribu
bahasa. "Eh Mbak Mila masih kuliah?" Tanya Husna pada Mila.
Perlahan Mila mengangkat muka memandang wajah Husna. "Saya
sudah selesai kuliah Mbak."
"Di mana kuliahnya?"
"Di FE UI Depok."
"Sekarang aktivitasnya apa?" "
"Kerja sama aktif di dakwah."
"Kerja di mana?"
"Di sebuah bank syariah di Surabaya."
"Ke Solo dalam rangka apa?"
"Ya main ke rumah kakak saja."
Berapa bersaudara sih Mbak?"
"Empat bersaudara. Kakak ini yang nomor dua. Nomor satu di
Malang. Saya nomor tiga dan nomor empat masih kuliah di UNEJ. Oh
ya tadi Masnya bilang kuliah di Mesir ya?" Mila berani bertanya pada
Azzam meskipun dengan wajah tetap menunduk memandang meja.
"Iya." Jawab Azzam.
"Saya dulu di SMP punya teman, namanya Nanang. Dia setahu
saya kuliah di Mesir. Apa Mas kenal?"
"Sebentar, apa namanya Nanang Sukamtono?"
"Iya." "Yang alisnya tebal. Terus ada kayak tompel di anak telinga
kanannya." "Iya benar. Ia sama teman-teman dulu malah kadang dipanggil
Nanang Tompel." "Kebetulan saya kenal baik. Nanang itu adik kelas saya. Dia satu
rumah dengan saya." Spontan pria bernama Edy berkata, "Masya Allah, dunia ternyata
sempit sekali. Wah lha kok kebetulan. Apa ini tanda-tanda berjodoh
ya?" Kembali wajah Mila memerah. Gadis itu diam tidak menanggapi
kalimat kakaknya dengan kata-kata tapi dengan diamnya dan
perubahan wajahnya. Satu jam lamanya Azzam dan Husna
berbincang-bincang dengan Mila dan kakaknya. Ketika Yuni kembali
hujan mulai reda. Azzam dan Husna lalu pamit minta diri.
"Wah gadis itu masih sangat alami Kak. Meskipun dia kuliah di
UI tapi jiwa dan hatinya sama sekali masih benar benar alami. Kak
Azzam lihat tidak tadi perubahan mukanya. Diamnya. Salah
tingkahnya. Kalau sudah terkena budaya kota dan budaya metropolis
itu tak akan terjadi." Husna menjelaskan penilaiannya dalam
perjalanan pulang ke Wangen.
"Begini saja Na. Terserah kau mengaturnya bagaimana. Kau
sampaikan saja lamaranku pada kakaknya atau langsung pada Si
Mila. Kalau kira-kira okay, kita berangkat ke Surabaya."
"Baik Kak." "Semoga dia memang jodohku." Ucap Azzam penuh harap.
"Semoga kak. Amin. Kalau dari salah tingkahnya aku yakin dia
menerima Kak. Sembilan puluh lima persen sudah okay, tinggal yang
lima persen kakak harus banyak doa." Kata Husna.
Suatu siang Azzam dan Husna bertemu dengan Yuni di sebuah
rumah makan di dekat pasar Kleco. Yuni datang sendirian dengan
bersepeda motor. Perempuan muda itu hendak menjelaskan hasil
lamaran Azzam. "Alhamdulillah, untuk Mila tidak ada masalah." Kata Yuni.
"Artinya dia menerima?"
"Iya. Bahkan begitu kalian pulang dari rumahku itu, Mila
bertanya minta pada kakaknya agar serius mengejar Azzam. Tidak
hanya guyonan." Kata Yuni yang membuat hati Azzam bagai ditetesi
embun dingin. "Tapi masalahnya justru ada pada ibu mertuaku, yaitu ibunya
Mila." Lanjut Yuni. "Apa masalahnya?"
"Masalah yang saya sama Edy sampai judeg dan bingung harus
bagaimana menghendaki perempuan tua kolot. Masalah yang sangat
mengherankan masih saja ada di zaman modern. Masalahnya adalah
Azzam anak pertama dan Mila anak ketiga. Ibu mertua itu sangat
percaya itu namanya lusan. Tidak boleh anak ketiga menikah dengan
anak pertama. Terus katanya kalau me..."
"Ya kalau menikah maka salah satu dari orang tua pengantin,
baik itu pengantin lelaki atau pengantin perempuan akan ada yang
binasa. Akan ada yang meninggal dunia. Begitu kan?"
"Iya. Edy sama saya sampai berdebat keras sama ibu mertua.
Edy malah sampai marah. Tapi ibunya tetap bersikukuh. Dan dia
bilang, "Kalau sampai Mila jadi menikah dengan lelaki itu maka aku
tidak rela dunia akhirat. Dan Edy yang membawa lelaki itu dan
keluarganya juga tidak aku ridhai!" Begitulah kami tidak bisa berkutik
apa-apa. Edy tidak berani ikut karena malu sama Azzam. Kalau
kalian ada saran silakan. Terus terang kami telah kehabisan cara
berhadapan dengan ibu mertua yang sangat kolot dan masih kuat
memegang kejawen." "Ibu mertuamu di Surabaya masak masih begitu. Surabaya kan
kota santri?" "Ibu mertua Karanganyar." memang di Surabaya, tapi aslinya kan "Lha bapak mertuamu bagaimana?"
"Dia selalu ikut apa kata ibu mertua. Ah yang kasihan Mila."
"Kenapa dengan Mila?" Tanya Husna penasaran.
"Mila tidak bisa menerima kenyataan ini. Dia sangat sedih. Ia
bilang ke saya, "Kalau Mas Azzam mau mengajak dia kawin lari pun
dia siap. Nanti biar Mas Edy yang jadi walinya." Tapi suamiku itu
tidak berani. Ia takut membuat ibunya benar-benar murka dan
menyumpahinya tujuh keturunan."
"Terus apa yang seharusnya kami lakukan?"
"Aku juga tidak tahu. Tapi kalau Azzam mau mencoba
menghadapi ibu mertuaku langsung juga tidak apa. Siapa tahu di
tangan Mas Azzam ibu mertuaku takluk."
Mendengar penjelasan Yuni itu Azzam hanya bisa geram.
Kenapa mitos-mitos yang penuh kebohongan itu tetap saja jadi
keyakinan. Berapa banyak korban yang sengsara karena mitos seperti
itu. Dulu di dukuh Sraten, Sriani anak perempuan Bu War gagal
kawin dengan anak pedagang sapi dari Karanggede Boyolali
gara-gara masalah hitungan hari kelahiran. Menurut orang-orang
Karang gede hitungan keduanya yang tidak cocok. Kalau tetap
dikawinkan akan selalu mendatangkan huru hara rumah tangga.
Perkawinan dibatalkan. Dan anak Bu War jadi linglung sampai
sekarang. Sampai di rumah semua keterangan Yani dimusyawarahkam
dengan Bu Nafis dan Lia. "Kak Azzam, nekat saja ke Surabaya. Labrak saja ibunya Mila
yang kolot itu. Kalau tetap bersikukuh bawa saja si Mila kawin di sini.
Kalau Edy kakaknya tidak mau jadi wali bisa pakai wali hakim.
Kalau seperti ini diterus teruskan yang kasihan kan kaum
perempuan. Selalu jadi korban, kayak Si Mila itu. Apa salah Si Mila
coba!?" Sengit Lia dengan mata menyala-nyala.
"Jangan! Kalau Azzam tetap nekat terus ibunya Mila tetap
bersikukuh dan Azzam tetap membawa Mila nikah, ibu kok yakin
ibunya Mila itu akan meninggal dunia!" Kata Bu Nafis.
"Benarkah Bu?" Heran Lia. Azzam dan Husna juga heran.
"Benar. Ibu agak yakin."
Berarti ibu juga berpendapat sama dengan ibunya Mila bahwa
anak ketiga tidak boleh menikah dengan anak yang nomor pertama?"
Kata Lia dengan nada agak sinis. "Tidak begitu." Terus kenapa ibu
begitu?" Kalau Azzam tetap menikahi Mila. Ibu itu akan mati karena
marah! Mati karena serangan jantung dan sakit hati yang luar biasa
yang dihembuskan oleh setan yang menjaga mitos menyesatkan itu!"
"O begitu." Lia lega. Menurut Bue Kak Azzam harus
bagaimana?" "Cari yang lain saja! Kayak tidak ada gadis lain saja di muka
bumi ini. Masih ada yang lebih baik dari Mila. Soal Mila itu urusan
keluarga mereka!" Tegas Bu Nafis.
Sebenarnya Azzam sangat berat menerima kenyataan ini. Inilah
kali keempat ia berniat menikahi seorang gadis tapi tidak berjodoh.
Yang pertama ia melamar Anna lewat Ustadz Mujab ternyata sudah
didahului Furqan. Kedua, ia cocok dengan Rina, ibunya tidak cocok.
Ketiga, ia juga cocok dengan Tika, ibunya yang tidak cocok. Keempat
dengan Mila. Ia dan Mila sama-sama cocok, tapi ibu Mila yang
ternyata jadi penghalang. Sudah empat kali!
"Jangan sedih Kak. Ayo Kak cari yang lain! Lia dan Mbak Husna
juga akan bantu!" Lia berusaha menghibur kakaknya.
"Kak Azzam sendiri apa tidak punya kenalan gitu" Kan kakak
juga mengajar ngaji di pesantren siapa tahu ada di antara jamaah yang
punya anak putri yang cocok buat Kakak." Ujar Husna. Kata-kata
Husna itu mengingatkannya pada seorang bapak setengah baya yang
pernah memberikan kartu nama kepadanya. Bahkan bapak itu
menawarkan putrinya. Ia merasa untuk mendapatkan jodoh segala
jalan yang halal dan terhormat harus ditempuh.
"Ya kakak ada kenalan, kakak ingat! Beliau pernah memberi
kartu nama!" Seru Azzam.
"Iya Kak, coba saja! Siapa tahu memang jodohnya." Lia
menyemangati. Azzam langsung beranjak ke kamarnya mencari kartu nama
yang ia yakin ia letakkan di dalam almari di kamarnya. Sejurus
kemudian Azzam berteriak, "Ya ada". Lalu keluar.
"Namanya Pak Ahmad Jazuli. Alamatnya di Batur, Ceper,
Klaten. Pemilik perusahaan cor besi dan baja Jayakusuma Logam."
Kata Azzam. "Ketemu sama Bapak itu di mana Zam?" Tanya Bu Nafis.
"Di pesantren Wangen Bu. Saat Azzam mengisi pengajian Al
Hikam yang pertama dulu."
"O begitu." "Wah kalau ini jodoh, bisa jadi lebih baik dari Mila dong Kak.
Kan orang Batur itu banyak yang kaya karena punya pabrik logam."
Celetuk Lia. "Bukan kekayaan yang kakak cari kok Lia. Tapi isteri yang
shalehah." "Iya Lia tahu."
*** Hari berikutnya Azzam langsung meluncur ke Batur, Ceper,
Klaten. Jam sepuluh pagi Azzam sampai di alamat yang ada dalam
kartu nama itu. Ia sampai di sebuah rumah yang besar. Dengan pagar
bumi tinggi. Halamannya luas, dan rumahnya menjorok ke dalam.
Dua orang satpam menjaga pintu gerbang. Ia memperkenalkan diri
dan menjelaskan keperluannya. Pintu gerbang dari besi dibuka.
Azzam membawa mobilnya masuk. Ia melihat rumah yang mewah.
Garasinya terbuka. Ada tiga mobil terparkir di sana. Kijang kapsul,
BMW hitam. dan Nissan X-Trail.
Begitu Azzam keluar dari pintu mobilnya. Seorang lelaki berusia
kira-kira lima puluh tahun keluar dari pintu rumah dan
menyambutnya. Lelaki itu memakai sarung dan koko putih. Tanpa
peci. Rambutnya sebagian mulai memutih.
Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Masya Allah, ada tamu agung tho. Nakmas Azzam. Mari-mari
silakan masuk Nak." Lelaki itu menyambutnya dengan sangat hangat.
Azzam masuk, lantai rumah itu sepenuhnya adalah yang tebalnya
kira-kira dua senti. Ada satu dinding yang sepenuhnya adalah
aquarium. Ikan-ikan emas itu seperti naik turun berlari dan bergerak
di dinding. Dinding itu seperti dasar laut.
"Apa kabarnya Nak?"
"Alhamdulillah baik Pak."
"Apa kegiatan Nakmas sekarang?"
"Anu Pak, latihan bisnis kecil-kecilan."
"Apa itu?" "Jual bakso." "Bagus itu. Bapak dulu waktu masih muda pernah jualan garam
pakai sepeda. Ternyata itu bisa jadi latihan untuk menggembleng
mental bisnis. Teruskan bisnismu Nakmas, Bapak doakan semoga
barakah." "Amin." "Ngomong-ngomong, ada keperluan apa ini Nakmas kok
tiba-tiba tidak ada angin, tidak ada guntur sampai di sini?"
"Ya sowan saya ke sini pertama untuk niatan menyambung tali
silaturrahmi. Kedua ya untuk bertemu bapak, mengetahui kesehatan
bapak. Kan Bapak pernah memberi kartu nama kepada saya agar saya
datang kemari. Ketiga, terus terang untuk menjawab tawaran bapak
waktu itu. Bapak bilang punya anak putri siapa tahu berjodoh."
Jawab Azzam dengan tenang dan lancar.
Bapak pemilik rumah mewah itu menunduk, lalu
menghembuskan nafasnya. Matanya berkaca-kaca. Raut mukanya
berubah sedih. "Maafkan saya kalau saya lancang Pak." Lirih Azzam.
"Tidak Nak. Kau tidak lancang. Bapak sangat berterima kasih
kau berkenan datang. Sungguh bapak sangat bangga denganmu. Dan
bapak sangat berharap saat itu begitu kau membaca kartu nama
bapak langsung datang kemari. Itu foto anak Bapak. Namanya
Afifatul Qana"ah." Lelaki itu menunjuk ke sebuah foto wisuda di
dinding. Azzam melihat. Dan hati Azzam berdesir.
"Itu waktu dia wisuda di ITB. Setelah itu dia S2 Matematika di
Belanda. Saat aku bertemu denganmu dia baru pulang dua minggu
dan minta dicarikan jodoh yang bisa membimbingnya baca Al Quran
dan bisa mengimaminya shalat. Bapak anggap ketika bertemu
denganmu engkaulah orangnya. Cocok. Sama-sama lulusan luar
negeri. Bapak tunggu dari hari ke hari dan minggu ke minggu, kau
tidak datang. Bapak punya pikiran kau mungkin sudah ada calon.
Bapak merasa salah terlalu berharap pada orang yang bertemu
sepintas lalu. "Sementara Afifa terus mendesak bapak. Umurnya sudah dua
puluh enam. Akhirnya bapak menyerahkan jodohnya padanya, asal
baik dan shaleh kalau dia punya calon bapak merestui. Dia bilang
dulu punya teman di ITB, orang asli Cirebon. Dia cari informasi
ternyata temannya itu masih lajang. Punya usaha toko komputer di
Bandung. Satu bulan yang lalu dia menikah Nakmas. Sekarang
diboyong suaminya ke Bandung. Kedatanganmu membuat Bapak
sedih. Sedih kenapa Bapak tidak sabar menunggumu datang."
Azzam meneteskan air mata. Ia tidak berlama-lama. Ia pulang
dengan rasa haru membuncah di dada. Kenapa ia meremehkan
silaturrahmi" Ia memaki dirinya sendiri. Kenapa ketika diberi kartu
nama dan diminta silaturrahmi dia tidak datang. Coba kalau datang.
Anak Pak Jazuli itu tidak kalah jelita dibanding Eliana dan Anna. Ia
lulusan Matematika S2 Belanda. Sebelumnya di ITB. Dari keluarga
santri. Ia memukul kepalanya sendiri. Penyesalan selalu datang
belakangan. Meremehkan hal-hal kecil bisa rnembuat seseorang akan
Pedang Golok Yang Menggetarkan 24 Pendekar Hina Kelana 23 Satria Pedang Asmara Pertarungan Bukit Asmara 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama