Goosebumps - Legenda Yang Hilang Bagian 1
Chapter 1 JUSTIN CLARK mengepit sarung tangannya di balik lengan
jaket tebal birunya. Ia melindungi matanya dengan sebelah tangan dan memandang
berkeliling. "Dad tidak kelihatan," katanya pada adik perempuannya, Marissa.
"Kalau kau gimana" Bisa lihat Dad atau
tidak?" "Aku malah tidak bisa lihat apa-apa!" balas Marissa. Ia terpaksa berteriak untuk
mengalahkan suara angin yang menderu-deru. "Yang kulihat cuma es!"
Anjing penarik kereta salju menggonggong dan mengguncangguncangkan badan. Mereka sudah tidak sabar untuk berangkat lagi.
Justin memicingkan mata. Ia memandang ke kanan lalu ke kiri.
Hamparan es yang membentang di sekeliling mereka tampak licin dan
berkilau keperakan karena memantulkan sinar matahari yang cerah.
Semakin jauh permukaan es tampak semakin gelap, hampir-hampir
berwarna biru. Sampai akhirnya seakan-akan berbaur dengan langit.
Justin tidak bisa memastikan di mana batas antara es dan langit.
"Brrr, dinginnya," gumam Marissa. Tiupan angin kencang
menyebabkan tudung jaket tebalnya terangkat, memperlihatkan
rambutnya yang merah. Dengan cepat kedua tangannya yang
terbungkus sarung tangan menarik tudung itu ke tempat semula.
Justin menggosok-gosok hidungnya yang agak pesek. Ia
menempelkan sarung tangan bulunya ke pipinya yang membeku,
supaya hangat. Anjing-anjing mereka semakin gelisah. Justin mencengkeram
erat-erat tali kekang kereta salju agar tidak terseret anjing-anjing itu.
"Kita harus bagaimana sekarang?" tanya Marissa. Suaranya
agak gemetar. Justin langsung tahu bahwa adiknya sama takutnya
dengan dirinya sendiri. Ia naik ke bagian belakang kereta salju dan berdiri di sana.
"Sebaiknya kita jalan lagi. Kita harus jalan terus sampai kita menemukan Dad."
Marissa menggeleng. Ia menahan tudungnya dengan kedua
tangan. "Mungkin lebih baik kita tetap di sini," katanya. "Jadi Dad bakal lebih
mudah menemukan kita."
Justin memandangnya dengan kening berkerut. Kok penampilan
Marissa jadi lain" ia bertanya-tanya. Kemudian ia menyadari
sebabnya - bintik-bintik di wajah adiknya mendadak hilang karena
udara dingin! "Terlalu dingin untuk diam di satu tempat," ujar Justin. "Kita bakal lebih
hangat kalau kita bergerak terus."
Ia membantu Marissa naik ke kereta. Justin berusia dua belas
tahun, hanya setahun lebih tua dari Marissa. Tapi badannya besar dan kekar,
sedangkan adiknya kecil dan kurus.
Anjing-anjing mereka menggerung-gerung, cakarnya
menggaruk-garuk permukaan es.
"Aku benci Kutub Selatan!" pekik Marissa sambil meraih tali kekang. "Aku benci
semua yang berhubungan dengan tempat ini.
Kutub Selatan-Antartika - mengeja namanya saja aku tidak bisa!"
Oh-oh, pikir Justin. Mulai lagi, deh. Kalau Marissa sudah mulai
ngomel, ia bakal merepet terus. Susah berhenti.
"Jangan kuatir," ia berkata cepat-cepat. "Begitu kita menemukan Dad, semuanya
akan Beres. Dan kita bakal mengalami setumpuk
petualangan seru." "Aku benci petualangan seru!" balas Marissa. "Aku benci hampir seperti aku
membenci Antartika! Aku tak habis pikir. Dad
jauh-jauh mengajak kita ke tempat mengerikan ini - dan sekarang dia
malah menghilang tanpa jejak!"
Justin memandang langit. Matahari sudah siap terbenam.
Berkas-berkas sinar keemasan membuat permukaan es tampak
bercahaya. "Kita akan segera menemukan Dad," kata Justin. "Aku yakin." Ia menarik tudungnya
hingga menutupi kening. "Sekarang kita bergerak, oke" Sebelum kita mati beku di
sini." Ia menyentakkan tali kekang dan dengan suara berat memberi aba-aba kepada
keenam anjing mereka. "Mush! Mush!"
Anjing-anjing itu langsung merunduk dan melesat maju. Kereta
salju berguncang keras ketika mulai meluncur.
"Heiiii!" Justin memekik kaget karena kehilangan keseimbangan.
Tangannya yang terbungkus sarung tangan menggapai-gapai,
berusaha meraih tali kekang kereta. Tapi meleset.
Dan ia pun terjatuh dari kereta. Punggungnya membentur lapisan es
yang keras. "Uhh!" Ia merasakan udara terdorong keluar dari paru-parunya.
Lengan dan kakinya berayun-ayun di udara, bagaikan seekor kumbang
yang terbalik. Dengan susah-payah ia berusaha duduk. Matanya berkedip-kedip.
Permukaan es di sekelilingnya berkilauan. Saking silaunya, ia nyaris tidak bisa
melihat kereta salju yang terus melaju, semakin jauh.
"Justin - aku tidak bisa menghentikannya!" Marissa memekik.
Teriakannya yang melengking tinggi nyaris tak terdengar di tengah
angin dingin yang menderu-deru.
"Marissa...!" Justin memanggil adiknya.
"Aku tidak bisa menghentikannya! Tolong aku! Tolong!" Suara Marissa terdengar
sayup-sayup dari kejauhan.
Chapter 2 SERTA-MERTA Justin bangkit dan mulai berlari mengejar
kereta salju itu. Ia terjatuh lagi. Kali ini mukanya lebih dulu menghantam tanah.
Bagaimana mungkin aku lari dengan sepatu salju ini" ia bertanyatanya. Rasanya seperti memakai raket tenis di kaki!
Tapi ia tidak punya pilihan. Ia kembali berdiri dan berlari lagi.
Ia harus bisa mengejar kereta itu. Ia tidak mungkin membiarkan
Marissa seorang diri menghadapi udara yang dingin membeku dan
hamparan es yang tanpa batas.
"Aku datang!" ia berseru. "Marissa - aku datang!"
Justin merunduk agar wajahnya terlindung dari terpaan angin.
Dengan susah-payah ia mengayunkan langkah di permukaan es yang
berselimut salju. Satu langkah. Satu lagi. Dan satu lagi.
Sambil berlari sekencang mungkin, ia mengangkat kepala dan
memandang ke kejauhan. Kereta salju mereka hanya tampak seperti
titik gelap di tengah padang es yang berkilauan. Titik yang sangat
kecil. "Marissa...!" ia berseru dengan terengah-engah. "Hentikan keretanya!
Tarik talinya! Tarik!"
Tapi ia tahu Marissa tak bisa mendengarnya.
Jantungnya berdegup-degup kencang. Pinggangnya serasa ditusuktusuk. Kakinya nyaris kejang karena beban sepatu salju.
Tapi ia maju terus. Terus berlari tanpa memperlambat langkah sedikit pun.
Kereta salju mereka kini tampak lebih besar. Lebih dekat.
"Hah!" Embusan napasnya menimbulkan uap putih yang melayang di atas kepalanya.
Berhasilkah aku mengejarnya" ia bertanya dalam hati.
Ya! Kereta salju itu makin jelas sekarang. Makin dekat.
Dilihatnya Marissa berpegangan dengan satu tangan, tangannya yang
lain melambai-lambai ke arahnya.
"Ba-bagaimana caramu menghentikan kereta salju?" terbata-bata Justin bertanya
ketika menghampiri adiknya.
Mata Marissa yang biru terbelalak lebar karena ngeri. Dagunya
gemetaran. "Bukan aku yang menghentikannya," jawabnya.
"Tapi..." "Keretanya berhenti sendiri," Marissa menjelaskan. "Semua anjing - semua anjing
mendadak berhenti. Aku ngeri, Justin. Mereka
berhenti sendiri." Ia menunjuk ke depan. "Coba lihat mereka."
Justin memandang anjing-anjing di depan kereta. Keenam ekor
anjing itu merunduk dengan punggung melengkung. Mereka merintihrintih sambil berdesak-desakan.
"Ada sesuatu yang membuat mereka ketakutan," gumam Justin.
Ia sendiri jadi merinding.
"Mereka tidak mau bergerak," ujar Marissa. "Mereka cuma berdiri dan merintih di
situ. Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Justin tidak menjawab. Ia memandang jauh ke depan, melewati kereta
salju. Melewati anjing-anjing yang ketakutan.
Ia mengamati pemandangan yang menakjubkan.
Sebuah danau biru. Berbentuk hampir bulat sempurna, seakan-akan
sengaja dibuat di tengah es. Sebuah kolam air yang memantulkan
warna biru bersih dari langit.
"Oh, wow!" Marissa memekik tertahan. Ia juga melihat
pemandangan yang sama. Di atas lempengan es yang mengambang di tengah danau kecil
itu, duduk sesosok makhluk. Makhluk itu menundukkan kepala dan
membalas tatapan mereka. Itu seekor singa laut. Seekor singa laut biru! "Itu singa laut yang dicari Dad!" seru Justin. Ia melangkah ke sisi adiknya.
Mereka menatap takjub pada makhluk ajaib itu.
"Satu-satunya singa laut biru di dunia," Marissa bergumam.
"Makhluk dari legenda. Tak ada yang percaya makhluk ini benarbenar ada." Di mana Dad" Justin bertanya-tanya tanpa melepaskan
pandangannya dari binatang biru bertubuh besar itu.
Dad jauh-jauh mengajak kami ke daerah kutub untuk mencari
makhluk ini, tapi sekarang ia malah hilang - hilang! - dan cuma
Marissa dan aku yang bisa melihatnya.
"Bisakah kita mendekat?" tanya Marissa. "Bisakah kita maju sampai ke tepi air,
supaya kita bisa melihatnya lebih jelas?"
Justin ragu-ragu. "Dad bilang makhluk ini punya kekuatan
gaib," ia berkata pada adiknya. "Mungkin lebih baik kita tetap di sini saja."
"Tapi aku tidak bisa melihat jelas dari sini," Marissa
memprotes. Ia hendak melompat turun dari kereta - tapi tiba-tiba berhenti.
Mereka mendengar bunyi gemuruh.
Mula-mula gemuruh itu terdengar samar-samar, lalu bertambah keras.
"Dari mana datangnya suara itu?" tanya Marissa dengan
berbisik. Mendadak ia kembali dicekam ketakutan.
"Barangkali itu suara si singa laut?" Justin menduga-duga.
"Jangan-jangan dia mengaum."
Tapi bukan. Bunyi itu terdengar sekali lagi. Dan kali ini lebih keras.
Bagaikan guntur. Guntur... di bawah kaki mereka.
Kali ini lapisan es pun ikut bergetar.
Justin mendengar bunyi berderak. Ia menunduk dan melihat
permukaan es mulai retak.
"Ohh!" Ia memekik ketakutan. Serta-merta ia meraih tali
kekang kereta dan melompat naik.
"Ada apa ini?" teriak Marissa. Ia pun mencengkeram tali
kekang dengan kedua tangan.
Sekali lagi terdengar bunyi gemuruh di bawah kaki mereka.
Kereta salju mereka bergeser dan mulai terguncang-guncang.
Bunyi es retak mengalahkan bunyi gemuruh yang mula-mula
terdengar. Permukaan es retak di sekeliling mereka, seakan-akan tanah hendak
terbelah. Si singa laut biru tetap duduk di tengah danau kecil dan
menatap mereka dengan tenang.
Bunyi krak yang memekakkan telinga membuat anjing-anjing
melolong. Kereta salju mereka terguncang-guncang dengan keras. Justin
berpegangan seerat mungkin.
Ia menunduk dan melihat es yang menopang mereka terbelah,
terlepas dari lapisan es lainnya. Danau biru tadi mendadak membesar.
Air mengalir deras di mana-mana.
Justin baru sadar ini bukan danau. Ini lautan - lautan yang
tersembunyi di bawah es. "K-kita hanyut!" Marissa menjerit.
Keenam anjing mereka meraung-raung, mengalahkan bunyi
berderak-derak di sekeliling mereka. Air menerjang sisi kereta salju.
Kereta salju itu mulai terbawa arus yang deras.
Justin dan Marissa berpegangan erat-erat agar tidak terlempar
dari kereta salju yang berguncang-guncang.
Singa laut biru tadi menghilang di kejauhan.
Dan mereka terguncang-guncang hanyut ke tengah laut.
Chapter 3 "BAGAIMANA kelanjutannya, Dad?" aku bertanya.
"Yeah. Jangan berhenti di tengah-tengah, dong," Marissa
memohon. "Masa Justin dan aku dibiarkan terjebak di lempengan es yang hanyut ke
laut, sih" Teruskan ceritanya."
Aku menarik bagian atas kantong tidur sampai ke dagu. Api
unggun di luar tenda kami sudah hampir padam. Bunyi serangga di
hutan di sekeliling kami terdengar sangat jelas.
Aku mengintip keluar. Tapi saking gelapnya, pohon-pohon pun tidak
tampak. Yang kelihatan cuma sepotong langit berwarna ungu. Tak ada
bulan. Tak ada bintang. Adakah yang lebih gelap dari hutan" aku bertanya-tanya.
Di dalam tenda kami punya lampu minyak yang memancarkan
cahaya kuning, memberi kesan hangat. Tapi itulah - cuma kesannya
saja yang hangat. Dad mengancingkan sweternya sampai ke leher. Waktu masuk
tenda sehabis makan malam tadi, kami sempat kepanasan. Tapi
sekarang udaranya telah menjadi dingin dan lembap.
"Sekian dulu untuk malam ini," kata Dad sambil mengusapusap janggutnya yang cokelat.
"Tapi, bagaimana kelanjutannya?" desak Marissa. "Ayo, cerita lagi, dong!"
"Yeah," aku menimpali. "Apakah kami benar-benar hanyut ke tengah laut" Bagaimana
kami bisa kembali" Apakah Dad tiba-tiba
muncul dan menyelamatkan Marissa dan aku?"
Dad angkat bahu. Dengan sweter tebal yang dipakainya, ia
kelihatan seperti beruang besar berbulu cokelat. "Entahlah," katanya.
"Aku juga belum tahu kelanjutannya."
Sambil menggerutu ia membungkuk untuk meraih kantong tidurnya.
Masalahnya perut Dad terlalu gendut, sehingga ia agak sulit
membungkukkan badan. Ia merentangkan kantong tidur itu.
"Aku juga belum tahu kelanjutannya," kata Dad pelan. "Mudah-mudahan saja aku
mendapat akhir cerita yang bagus sambil bermimpi
malam ini." Marissa dan aku mengerang. Kami paling sebal kalau Dad
berhenti di tengah-tengah cerita. Ia selalu membiarkan kami
terkatung-katung dalam mara bahaya. Dan kadang-kadang kami
terpaksa menunggu berhari-hari untuk mengetahui bagaimana kami
berhasil menyelamatkan diri.
Dad duduk di lantai tenda. Ia membuka sepatu botnya sambil
mengerang. Kemudian ia menggeliat-geliut agar bisa masuk ke
kantong tidur. "Aku mau tidur," kata Marissa sambil menguap. "Aku capek."
Aku sendiri juga capek. Pagi-pagi sekali kami sudah jalan kaki
menembus hutan, melewati batu-batu dan menerobos alang-alang.
"Justin, matikan lampu itu," Dad berkata sambil menunjuk
lampu minyak. "Oke," sahutku.
Goosebumps - Legenda Yang Hilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku mencondongkan badan ke depan, dan mengulurkan tangan
untuk meraih lampu minyak.
Tapi tanganku malah menyenggolnya. Lampu itu terbalik.
Dan dalam sekejap tenda kami terbakar.
Chapter 4 AKU memekik kaget. kalang-kabut aku berusaha keluar dari
kantong tidur. Dad yang lebih dulu berdiri. Belum pernah aku melihatnya
bergerak secepat itu. Ia menarik sebagian alas tenda yang terbuat dari kanvas, dan
menempelkannya ke dinding tenda yang terbakar. Apinya segera
padam. "Dad - sori," kataku dengan suara parau ketika akhirnya aku berhasil keluar dari
kantong tidur itu. Hanya satu dinding tenda yang tersambar api. Untung saja. Daya
khayalku memang terlalu menggebu-gebu. Aku tadi langsung
membayangkan kami sudah terkepung di tengah api.
Kemungkinan besar kemampuan mengkhayal ini menurun dari Dad.
Kadang-kadang ada untungnya. Tapi kadang-kadang justru
sebaliknya. Napasku tersengal-sengal. Seluruh tubuhku gemetar. "Sori," aku berkata sekali
lagi. "Ya ampun, hampir saja," seru Marissa. Ia juga gemetaran.
"Huh Justin, kau memang payah!" Ia sudah berdiri di pintu tenda, siap kabur
keluar. Dad menggelengkan kepala. "Cuma sedikit kok yang terbakar,"
ujarnya. "Nih, lubangnya bisa ditutup dengan ini." Ia segera menempelkan alas
tenda yang masih dipegangnya, menutupi lubang.
"Tenda ini gampang terbakar," aku bergumam.
Dad mengerang, tapi tidak menanggapi.
"Wah, apa jadinya kalau kita harus bermalam di tengah hutan
tanpa tenda"!" seru Marissa. "Apalagi di negeri aneh ini!"
"Semuanya sudah beres," Dad menenangkan. "Tapi bukan berkat kalian," ia
menambahkan sambil pasang tampang kecut.
"Lho" Apa maksudnya?" tanyaku sambil meluruskan kaki.
"Kalian tidak banyak membantu," Dad menggerutu.
"Tapi kan bukan aku yang mencoba membakar tenda!" balas
Marissa dengan nada tinggi.
"Tadi pagi kau nekat jalan sendiri dan akhirnya tersesat," Dad mengingatkannya.
"Habis kupikir aku melihat tupai," Marissa membela diri.
"Paling-paling cuma bayangannya sendiri," aku menimpali.
"Jangan banyak omong, Justin," gumam Marissa.
"Dan tadi sore kalian berdua tidak mau mencari kayu bakar,"
Dad menambahkan. "Kami capek," aku menjelaskan.
"Lagi pula kami tidak tahu harus cari di mana," sambung
Marissa. "Apa?" tanya Dad keras. "Kalian tidak tahu di mana harus mencari kayu bakar di
tengah hutan" Ya tentu saja di tanah."
Dad mulai naik pitam. Memang ada benarnya, aku mengakui dalam hati. Seharusnya
Marissa dan aku lebih banyak membantu.
Bagaimanapun juga, perjalanan ini sangat penting bagi Dad. Dan
seharusnya kami bersyukur diajak olehnya.
Dad bernama Richard Clarke. Barangkali kau pernah
mendengar namanya. Ia penulis yang sangat terkenal, juga
pendongeng dan pengumpul cerita.
Dad sampai keliling dunia untuk mencari cerita-cerita menarik.
Pokoknya segala macam cerita. Cerita-cerita itu lalu dijadikan buku.
Sampai sekarang Dad sudah menerbitkan sepuluh buku kumpulan
cerita. Dan ia juga sering berkeliling untuk menceritakan kisah-kisah yang telah
dikumpulkannya. Dad sering mengalami petualangan seru pada waktu keliling
dunia. Tapi perjalanan kali ini benar-benar istimewa. Ia mengajak
Marissa dan aku ke Eropa - ke tengah hutan di negeri kecil bernama
Brovania - karena ia hendak melacak kisah yang luar biasa.
Sejak awal Dad merahasiakan tujuan perjalanannya. Baru pagi itu ia
memberitahu kami, ketika kami sedang berjalan menerobos hutan.
"Kita datang kemari, ke Brovania, untuk melacak
kisah Legenda yang Hilang," ia menjelaskan. Dicabutnya kumbang besar yang
merangkak di janggutnya, dan dibuangnya.
"Legenda yang Hilang adalah sebuah naskah yang sudah sangat kuno.
Kata orang, naskah itu tersimpan dalam peti perak," Dad melanjutkan sambil
berjalan. "Tak ada yang tahu keberadaannya selama lima ratus tahun terakhir."
"Wow," aku mendengar Marissa bergumam jauh di belakang
kami. Sebentar-sebentar ia berhenti untuk mengamati serangga dan
bunga liar. Dad dan aku terpaksa berhenti terus untuk menunggunya.
"Legenda ini tentang apa, sih?" aku bertanya.
Dad membetulkan letak ransel penuh perlengkapan yang
dibawanya. "Tak ada yang tahu," sahutnya. "Soalnya legenda itu sudah terlalu
lama hilang." Dengan parangnya ia membabat alang-alang yang menghalangi
perjalanan kami. Marissa dan aku mengikutinya melalui celah sempit
di antara pepohonan. Pepohonan di sini lebat sekali sehingga hanya sedikit sinar matahari yang mampu
menembus sampai ke tanah. Meskipun hari masih pagi,
keadaan di sekeliling kami nyaris gelap gulita.
"Kita akan sangat beruntung kalau bisa menemukan Legenda
yang Hilang," ujar Dad. "Legenda itu akan mengubah hidup kita."
"Apa maksudnya?" tanyaku.
Paras Dad jadi serius. "Naskah kuno itu bernilai sangat tinggi,"
katanya. "Seluruh dunia penasaran dengannya. Seluruh dunia ingin membacanya.
Sebab tak ada yang tahu siapa penulisnya - atau apa
isinya." Sepanjang hari ucapan Dad itu terus terngiang-ngiang di telingaku.
Bagaimana kalau aku yang menemukannya" aku bertanya dalam hati.
Bagaimana kalau peti perak itu tiba-tiba ada di hadapanku"
Tersembunyi di antara batu-batu mungkin" Atau setengah terkubur di
dalam tanah" Wah, asyik sekali kalau begitu. Itu baru seru!
Aku membayangkan betapa senangnya Dad. Aku juga
membayangkan diriku bakal jadi kaya dan terkenal. Aku bakal jadi
pahlawan. Pahlawan sejati.
Itulah yang kupikirkan sepanjang hari.
Tapi sejauh ini aku sama sekali tidak bersikap seperti pahlawan.
Malahan, gara-gara aku, tenda kami nyaris terbakar.
Dan Dad juga menggerutu karena Marissa dan aku kurang
membantu. Mulai sekarang aku akan lebih giat, janjiku dalam hati malam
itu. Aku menggeliat-geliut di dalam kantong tidur untuk
menghangatkan diri. Dad sudah mulai mendengkur di sisi seberang. Dad bisa tertidur
dalam waktu beberapa detik saja. Dan kalau sudah tidur, sukar sekali
membangunkannya. Marissa dan aku tidak seperti Dad. Kami butuh waktu berjamjam sebelum bisa tidur. Dan suara yang paling pelan sekalipun sudah membuat kami
terjaga kembali. Karena itulah aku berbaring sambil menatap langit-langit tenda
yang gelap. Aku berusaha mengosongkan pikiran. Aku berusaha tidak
memikirkan apa pun. Aku berusaha tidur... tidur... tidur.
Aku sudah hampir terlelap - ketika terdengar lolongan yang
memecahkan keheningan malam. Lolongan yang mengerikan.
Dan begitu dekat! Sepertinya persis di samping tenda kami.
Aku langsung duduk tegak. Mataku terbelalak lebar. Napasku
terengah-engah. Aku sadar ini bukan makhluk dongeng.
Makhluk ini benar-benar ada.
Chapter 5 UDARA di dalam tenda mendadak terasa dingin di kulitku yang
panas. Keringatku bercucuran.
Aku menajamkan telinga. Aku mendengar bunyi langkah kaki. Disusul suara menggeram.
Dan suara kersak-kersak daun kering yang terinjak di tanah.
Jantungku berdegup kencang. Pelan-pelan aku keluar dari
kantong tidur. "Oh!" Aku memekik tertahan ketika seseorang mendorong dan melewatiku. "Dad...?"
Bukan. Dad masih mendengkur di seberang. "Marissa...," aku berbisik.
"Ssst!" Ia menempelkan telunjuk ke bibir sambil merangkak ke pintu tenda. "Aku
juga mendengarnya. Cepat aku menyusulnya. "Itu sejenis binatang," bisik Marissa.
"Jangan-jangan manusia serigala!" sahutku.
Tuh, kan. Daya khayalku langsung menggebu-gebu lagi.
Tapi bukankah tempat tinggal manusia serigala memang di
tengah hutan di Eropa" Setahuku, semua film tentang manusia serigala mengambil
tempat di Eropa. Di tengah hutan seperti ini.
Sekali lagi terdengar suara menggeram.
Aku membuka tenda. Udara dingin menerpa wajahku. Tiupan
angin membuat piamaku berkibar-kibar.
Aku memandang kegelapan di luar. Lapangan kecil tempat
kami mendirikan tenda diselubungi kabut. Cahaya bulan yang pucat
menyebabkan semua tampak kebiruan.
"Ada apa di luar?" tanya Marissa. "Kau melihat sesuatu?"
Aku tidak melihat binatang apa pun. Yang ada cuma gumpalangumpalan kabut biru. "Ayo masuk lagi," Marissa menyuruhku.
Aku kembali mendengar suara langkah. Dan suara mengendusendus. "Cepat masuk!" Marissa mendesak.
"Tunggu, dong," bisikku. Aku harus tahu makhluk apa yang
berkeliaran di luar tenda kami. Aku harus tahu dari mana suara-suara itu
berasal. Aku menggigil. Udara terasa dingin dan lembap.
Gumpalan-gumpalan kabut biru seakan-akan melekat pada
tubuhku. Aku melangkah keluar. Telapak kakiku seperti disengat
ketika menginjak tanah yang dingin membeku.
Aku menahan napas dan maju selangkah lagi. Dan kemudian
aku melihat makhluk itu. Rupanya seekor anjing. Seekor anjing besar.
Seperti herder, tapi berbulu panjang dan putih. Bulunya berkilau
bagaikan perak di bawah cahaya bulan. Anjing itu menundukkan
kepala dan mengendus-endus.
Tiba-tiba anjing itu menoleh dan memandang ke arahku.
Ekornya mulai mengibas-ngibas.
Aku suka anjing. Tanpa pikir panjang aku mengulurkan tangan. Dan aku
bergegas maju untuk membelainya.
"Jangan! Jangan!" Marissa memekik.
Chapter 6 TERLAMBAT Aku sudah berlutut dan membelai-belai punggung anjing besar
itu. Bulunya tebal dan lembut. Tanganku menyentuh dedaunan dan
ranting-ranting kecil yang tersangkut di bulunya.
Anjing itu terus mengibaskan ekor. Aku menepuk-nepuk
kepalanya. "Hei...!" seruku. Ternyata sebelah mata anjing itu berwarna cokelat, sebelah
lagi biru. "Awas! Jangan-jangan itu serigala!" seru Marissa. Aku
berpaling ke arahnya, dan melihat ia cuma keluar selangkah dari
tenda. Sepertinya ia siap masuk lagi begitu ada tanda-tanda bahaya.
"Ini bukan serigala. Ini anjing," kataku padanya. "Paling tidak, menurutku dia
anjing," tambahku. "Habis, mana ada serigala yang jinak seperti ini?"
Aku mengusap-usap kepala anjing itu. Kemudian aku
membelai-belai bulu tebal di dadanya, serta mencabuti dedaunan dan
ranting-ranting yang menempel.
Anjing itu mengibas-ngibaskan ekor dengan gembira.
"Kenapa dia ada di sini?" tanya Marissa dengan suara tertahan.
"Jangan-jangan dia anjing liar! Hati-hati, Justin... siapa tahu dia berbahaya."
Anjing itu menjilat-jilat tanganku.
"Kelihatannya sih tidak terlalu berbahaya," kataku.
"Tapi siapa tahu masih ada segerombolan anjing liar lain,"
Marissa mewanti-wanti. Ia maju selangkah lagi. "Siapa tahu dia disuruh temantemannya untuk mengintai keadaan di sini. Siapa tahu
ada seratus anjing liar lagi di sini!"
Aku bangkit dan memandang berkeliling. Sambil memicingkan
mata, aku mengamati pohon-pohon gelap yang terselubung kabut di
sekitar lapangan. Bulan sabit tampak melayang-layang di atas
pepohonan. Aku pasang telinga. Hening. "Sepertinya dia sendirian," kataku pada adikku.
Marissa mengamati anjing itu. "Masih ingat cerita Dad tentang
anjing hantu?" tanyanya. "Masih ingat" Anjing itu muncul di depan rumah
seseorang. Dia begitu lucu. Lucu dan menggemaskan. Dia
mendongakkan kepala ke arah bulan dan berbunyi 'eeeh eeeh', seakanakan tertawa. "Saking lucunya, orang-orang langsung keluar rumah untuk
membelainya. Tapi kemudian anjing itu menggonggong untuk
memanggil teman-temannya, gerombolan anjing hantu.
"Teman-temannya jahat dan menyeramkan. Mereka berlari
mengelilingi si pemilik rumah, makin lama makin kencang. Setelah
itu mereka melahap si korban yang malang. Dan hal terakhir yang
dilihat si korban adalah anjing manis yang mendongakkan kepala
sambil tertawa 'eeeh eeeh'.
"Masih ingat cerita itu?" tanya Marissa dengan nada memaksa.
"Tidak, aku tidak ingat," ujarku. "Kurasa ini bukan salah satu cerita Dad.
Ceritanya kurang bagus. Menurutku cerita ini karanganmu sendiri."
Marissa menganggap dirinya sebagai pendongeng kelas wahid
seperti Dad. Tapi cerita-ceritanya selalu konyol.
Mana ada anjing yang bisa tertawa"
Ia kembali maju selangkah. Aku menggigil. Udara di hutan
dingin dan lembap, terlalu dingin untuk berkeliaran dengan piama dan kaki
telanjang. "Kalau dia memang anjing liar, dia mungkin berbahaya," ulang Marissa.
"Kelihatannya dia cukup jinak," sahutku. Aku kembali
membelai kepala anjing itu. Dan ketika tanganku mengusap bulu
tengkuknya, aku menyentuh sesuatu yang keras.
Mula-mula kupikir cuma daun kering yang tersangkut di
bulunya yang tebal dan putih. Aku segera memegangnya dengan
sebelah tangan. Tapi ternyata bukan. Bukan daun kering, melainkan tali leher
dari kulit. "Dia bukan anjing liar," aku memberitahu adikku. "Dia pakai tali leher. Berarti
ada yang punya." "Barangkali dia kabur dari rumahnya, lalu tersesat di sini," ujar Marissa sambil
berlutut di samping anjing itu. "Barangkali dia sedang dicari-cari pemiliknya."
"Bisa jadi," ujarku. Tali lehernya kutarik ke atas. Anjing itu menoleh dan
menjilat tanganku. "Coba periksa apa ada peningnya," kata Marissa.
Goosebumps - Legenda Yang Hilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itu yang sedang kucari," sahutku. "Eh, apa ini" Ada sesuatu yang terselip di
balik tali lehernya."
Aku menarik secarik kertas yang terlipat-lipat. Dengan mata
terpicing dalam cahaya redup, aku membukanya. "Kelihatannya
seperti pesan," aku memberitahu adikku.
"Barangkali ada alamat atau nomor telepon si pemilik,"
sahutnya. Aku membuka kertas itu dan mendekatkannya ke wajahku
untuk membacanya. "Ayo dong. Apa katanya?" desak Marissa.
Aku membaca kata-kata yang ditulis tangan itu sambil komatkamit - dan kemudian aku memekik tertahan.
"Justin... apa katanya?" tanya Marissa sekali lagi.
Chapter 7 MARISSA berusaha merebut pesan itu dari tanganku. Tapi aku
lebih cepat. "Pesannya singkat sekali," aku memberitahunya. Aku kembali mengangkat kertas
itu, dan kali ini aku membacanya keras-keras,
"'AKU TAHU TUJUAN KALIAN KEMARI. IKUTI
SILVERDOG."' "Silverdog?" Marissa menoleh ke arah anjing di hadapan kami.
"Silverdog?" Anjing itu langsung menegakkan telinga.
"Dia tahu namanya," ujarku. Aku memeriksa kertas di tanganku untuk melihat
apakah ada yang terlewat olehku. Tapi ternyata tidak
ada apa-apa lagi. Si penulis tidak mencantumkan namanya.
Marissa meraih pesan itu dan membacanya sekali lagi. "'AKU
TAHU TUJUAN KALIAN KEMARI. IKUTI SILVERDOG,"
ulangnya. Aku menggigil. Kabut biru di sekeliling kami semakin rendah.
"Sebaiknya kita beritahu Dad," kataku.
Marissa sependapat. Kami berbalik dan bergegas ke tenda. Aku
menoleh ke belakang untuk memastikan anjing itu tidak pergi.
Silverdog telah menghampiri rumpun alang-alang dan kini sedang
mengendus-endus. "Cepat," bisikku pada adikku.
Kami merangkak ke kantong tidur Dad. Ia masih tidur lelap
sambil telentang. Aku segera berlutut dan membungkuk di sam?pingnya. "Dad"
Dad?" Dad tidak bergerak sedikit pun.
"Dad" Bangunlah! Ini penting! Dad?"
Marissa dan aku sampai berseru-seru. Tapi saking pulasnya,
Dad tidak mendengar seruan-seruan kami.
"Coba gelitik janggutnya," Marissa menyarankan. "Kadang-kadang berhasil."
Aku menggelitik janggut Dad.
Tak ada reaksi. Ia tetap saja mendengkur.
Aku merapatkan wajah ke telinganya. "Dad" Dad?"
Aku mencoba mengguncang-guncang pundaknya. Tapi
tanganku meleset terus, karena harus menjulur ke dalam kantong
tidur. "Dad" Bangun dong!" Marissa memohon.
Dad mengerang. "Yes!" sorakku. "Dad?"
Ia membalikkan badan. Dan meneruskan mimpinya.
Aku menoleh dan melihat Marissa telah kembali ke pintu tenda.
Ia memandang ke luar. "Anjing itu menuju ke pepohonan," ia melaporkan. "Apa yang
harus kita lakukan?"
"Ganti baju," desakku. "Cepat."
Kami sama-sama mengenakan celana jeans dan sweter yang
kami pakai tadi sore. Aku memakai sebelah sepatu, lalu menemukan
tali sepatu yang sebelah lagi tersimpul mati.
Ketika aku berhasil memakai sepatu kedua, Marissa sudah ada
di luar. "Mana Silverdog?" tanyaku sambil bergegas ke sampingnya.
Ia menunjuk ke kabut yang telah bertambah tebal. Bulan
terselubung awan. Saking gelapnya, kami nyaris tidak bisa melihat
apa-apa. Tapi aku melihat anjing besar tadi berlari kecil ke arah
pepohonan. "Dia sudah mau pergi!" pekikku. "Kita harus mengikuti dia."
Aku mulai berlari melintasi lapangan.
Marissa tampak ragu-ragu. "Kita tak bisa pergi tanpa Dad,"
katanya. "Tapi ada orang yang mau membantu kita!" seruku. "Seseorang yang tahu di mana
Legenda yang Hilang itu. Anjing itu dikirim untuk menjemput kita."
"Mungkin ini jebakan," Marissa berkeras. "Mungkin ini cuma siasat untuk menjebak
kita." "Tapi, Marissa..."
Aku berusaha memandang menembus kabut. Mana anjing itu"
Silverdog sudah hampir tidak kelihatan. Ia sudah sampai di pepohonan di seberang
lapangan. "Masih ingat cerita Dad tentang peri hutan?" tanya Marissa.
"Peri itu membuat jejak dari bunga dan permen di hutan. Dan kalau ada anak-anak
yang mengikuti jejak itu, mereka akan terperosok di
Sumur Tanpa Dasar. Mereka akan jatuh dan melayang-layang seumur
hidup. Masih ingat cerita itu?"
"Sudahlah, Marissa," aku memohon. "Jangan banyak omong.
Nanti Silverdog keburu kabur."
"Tapi... tapi...," ia tergagap-gagap. "Dad pasti takkan mengizinkan kita masuk
hutan berdua saja. Kau juga tahu itu. Kita
pasti dimarahi nanti."
"Bagaimana kalau kita bisa menemukan Legenda yang
Hilang?" sahutku. "Bagaimana kalau begitu" Kita tak bakal kena marah - ya, kan?"
"Tapi tidak bisa," balas Marissa sambil menyilangkan lengan di dadanya. "Kita
tidak, bisa pergi dari sini. Pokoknya tidak bisa, Justin."
Aku menghela napas dan menggeleng. "Ya, kau benar,"
gumamku. "Biar saja anjing itu pergi. Ayo, kita tidur lagi."
Aku menaruh tangan di pundak adikku dan menggiringnya
kembali ke tenda. Chapter 8 "YA ampun, apa kau sudah gila?" seru Marissa. Serta-merta ia membalikkan badan.
"Kita tidak boleh membiarkan anjing itu pergi!
Dia bisa menuntun kita ke Legenda yang Hilang!"
Marissa meraih tanganku dan menariknya keras-keras. Aku
diseretnya melintasi lapangan.
Aku mengikutinya sambil berusaha menyembunyikan senyum.
Sejak semula aku memang sudah yakin siasatku akan berhasil.
Marissa selalu bisa kutipu dengan cara itu.
Setiap kali ada sesuatu yang betul-betul ingin kulakukan, aku
tinggal bilang, "Sebaiknya jangan deh."
Dan Marissa pasti langsung membantah. Ia selalu berbeda
pendapat denganku. Selalu.
Dan itu justru memudahkanku mengaturnya sesuai kemauanku.
"Dad bilang kita kurang membantu," gumam Marissa.
"Sepertinya dia kesal karena kita tidak mau mencari kayu bakar. Tapi sekarang
kita bisa membantunya dengan menemukan Legenda yang
Hilang. Dia pasti senang sekali!"
"Pasti!" aku menimpali.
Aku membayangkan bagaimana Marissa dan aku menyerahkan
peti perak berisi Legenda yang Hilang kepada Dad. Aku
membayangkan bagaimana Dad membelalakkan mata karena kaget.
Dan kemudian aku membayangkan senyumnya yang lebar.
Aku juga berkhayal bahwa kami bertiga akan muncul dalam
siaran berita TV. Aku membayangkan Marissa dan aku bercerita
kepada semua orang bagaimana kami berhasil menemukan naskah
kuno yang tak ternilai itu - tanpa bantuan Dad sedikit pun.
Semakin lama sepatu botku semakin berat akibat lumpur yang
menempel. Aku berhenti ketika kami tiba di tepi hutan.
"Tapi ada masalah," kataku kepada Marissa.
Ia segera berbalik dan menatapku. "Masalah apa?"
"Mana anjing itu?"
"Hah?" Ia kembali berpaling ke arah pepohonan. Kami samasama memandang ke kegelapan malam.
Anjing itu telah lenyap. Chapter 9 KABUT melayang-layang di antara pepohonan. Bulan pun
masih tertutup awan. Marissa dan aku terus memandang ke kegelapan sambil pasang
telinga. Aku menghela napas. Aku kecewa sekali. "Kelihatannya
petualangan kita berakhir sebelum sempat dimulai," gumamku.
Tapi rupanya aku keliru. Suara gonggongan membuat kami tersentak kaget. "Hei...!"
seruku. Silverdog kembali menggonggong. Agaknya anjing itu
memanggil kami! Kami menyusup ke antara pepohonan, mengikuti suara itu.
Setiap kali melangkah, sepatuku setengah terbenam ke dalam
tanah becek. Keadaan di bawah pepohonan ternyata lebih gelap lagi.
"Jangan sampai berpencar," kata Marissa waswas. "Aku hampir tak bisa melihat
apa-apa." "Seharusnya kita bawa senter," sahutku. "Kita terburu-buru sih tadi, jadi aku
tak sempat..." Aku terdiam karena mendengar bunyi gemeresak. Bunyi
dedaunan kering yang terinjak kaki anjing.
"Lewat sini," kataku kepada Marissa. Aku berpaling ke arah bunyi itu. "Silverdog
ada di sebelah sana."
Aku tetap tidak bisa melihat anjing itu. Tapi aku mendengar
langkahnya saat ia melintasi ranting-ranting dan dedaunan kering yang berserakan
di tanah. Anjing itu telah membelok ke kiri, menyusuri jalan setapak
sempit. Tanah di bawah sepatuku menjadi keras. Marissa dan aku
sama-sama mengangkat tangan untuk melindungi wajah ketika kami
menerobos semak-semak. "Aduh!" pekikku, karena lenganku tertusuk duri-duri tajam.
"Kita mau dibawa ke mana sih?" tanya Marissa sengit. Tapi aku langsung tahu
bahwa sebenarnya ia mulai agak ngeri.
"Silverdog mengantarkan kita ke tempat seseorang yang mau
membantu kita," aku mengingatkan adikku. "Dia membawa kita ke tempat seseorang
yang akan membuat kita kaya dan terkenal."
"Aduh!" Aku menarik duri yang menancap di pergelangan
tanganku. Aku cuma bisa berharap aku benar. Aku cuma bisa berharap
pesan itu tidak bohong. Aku cuma bisa berharap dugaanku tidak
keliru. Bunyi langkah di depan kami mendadak berbelok. Saking
gelapnya, jalan setapak sudah tidak kelihatan. Jangankan jalan
setapak, ujung hidungku pun sudah nyaris tidak tampak.
Kami terus melindungi wajah dengan kedua tangan ketika
menerobos alang-alang tinggi.
"Larinya makin kencang," bisik Marissa.
Ia benar. Aku mendengar langkah anjing itu semakin cepat.
Marissa dan aku pun terpaksa berlari kecil agar jangan sampai
tertinggal. Di antara bunyi langkah kami yang berdebam-debam, aku
bisa mendengar anjing itu terengah-engah.
Bunyi kepak sayap - banyak sayap, dan sepertinya persis di atas
kepala kami - membuatku merundukkan kepala.
"Apa itu" Burung?" tanya Marissa. Ia menelan ludah. Dan
kemudian ia menambahkan, "Atau kelelawar?"
Bunyi kepak sayap itu masih terdengar di kejauhan. Aku jadi
merinding. Begitu banyak sayap yang berkepak-kepak! "Burung," kataku kepada Marissa. "Pasti
burung." "Mana ada burung terbang malam-malam?" sahutnya.
Aku diam saja, dan mendengar langkah Silverdog di depan.
Sepertinya anjing itu mengurangi kecepatan.
Kami mengikuti bunyi langkahnya. Kami menerobos semak
belukar dan tiba di tempat terbuka yang luas dan ditumbuhi rumput.
Bulan muncul dari balik awan ketika kami melintasi hamparan
rumput yang berkilau-kilau karena embun.
Aku memandang ke depan - dan memekik tertahan.
Marissa meraih lenganku. Ia sampai melongo karena kaget.
"Ya ampun!" Aku menatap makhluk yang berdiri beberapa meter di hadapan
kami. Bukan anjing itu. Bukan Silverdog. Seekor rusa bertotol cokelat-hitam. Rusa jantan dengan tanduk
yang mengilap dalam cahaya bulan. Kami mengikuti binatang yang
salah. Dan akibatnya kami tersesat di tengah hutan.
Ebukulawas.blogspot.com Chapter 10 SEJENAK rusa besar itu pun mengamati kami. Kemudian ia
berbalik dan berjalan melintasi rumput, menuju pepohonan di sisi
seberang lapangan. Aku memperhatikannya menjauh. Saking bingungnya, aku
benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya aku berpaling
pada adikku. "Kita... kita telah membuat kesalahan," kataku dengan suara parau.
"Kupikir anjing itulah yang kita, ikuti. Sungguh."
"Kita tidak boleh panik," ujar Marissa. Ia bergeser ke
sampingku. Tiupan angin membuat rumput tinggi berdesir-desir dan
bergoyang-goyang. Dari pepohonan di belakang kami terdengar suara
yang menyerupai erangan. Aku memaksakan diri untuk tidak
menghiraukannya. "Betul, kita tak boleh panik," aku membenarkan. Tapi kakiku gemetaran, dan
mulutku mendadak kering kerontang.
"Kita tinggal kembali ke arah dari mana kita datang tadi," ujar Marissa. "Kita
kan cuma jalan sebentar sebelum sampai di sini.
Mestinya tak terlalu sulit." Ia memandang berkeliling. "Dari mana kita datang
tadi?" Aku berbalik. "Dari sana?" Aku menunjuk. "Bukan. Dari sana"
Juga bukan...." Aku tidak bisa memastikannya.
"Barangkali sekarang sudah waktunya panik," ujarku.
"Aduh, kenapa kita nekat pergi sendiri?" ratap Marissa.
"Kenapa kita begitu bodoh?"
"Tadi kita pikir kita bisa membantu Dad," aku
mengingatkannya. "Dan sekarang kita mungkin takkan pernah bertemu lagi dengan
dia!" seru Marissa. Rasanya aku ingin mengatakan sesuatu untuk menenangkan
adikku. Tapi suaraku seakan-akan tersangkut di tenggorokan.
"Hutan ini membentang sejauh bermil-mil!" Marissa
meneruskan. "Seluruh negeri ini tertutup hutan. Jangan-jangan tak ada satu orang
pun yang bisa menolong kita. Jangan-jangan kita bakal
dimakan beruang atau binatang buas lainnya sebelum kita bisa keluar dari hutan
ini." "Jangan sebut-sebut soal beruang," aku memohon. "Di hutan ini tidak ada beruang,
Goosebumps - Legenda Yang Hilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kan?" Aku langsung merinding. Aku sudah terlalu sering mendengar
Dad menuturkan kisah-kisah tentang anak kecil yang akhirnya
dimakan beruang. Tampaknya itu salah satu cara favorit Dad untuk
mengakhiri ceritanya. Tapi aku tak pernah suka.
Angin membuat rumput meliuk-liuk ke arah berlawanan. Aku
kembali mendengar kepak sayap di kejauhan.
Dan sayup-sayup terdengar suara lain. Gonggongan anjing"
Jangan-jangan aku cuma berkhayal!
Aku pasang telinga. Ya, suara itu terdengar lagi.
Yes! Aku berpaling ke arah Marissa dan melihat ekspresi gembira di
wajahnya. Rupanya ia juga mendengar suara itu. "Silverdog!"
teriaknya. "Dia memanggil kita!"
"Ayo, kita cari dia!" seruku.
Anjing itu menggonggong berulang kali. Sepertinya ia benarbenar memanggil kami. Marissa dan aku berbalik dan bergegas ke arah suara itu.
Kami berlari memasuki hutan. Berlari menerobos semak-semak.
Melompati pepohonan tumbang. Berlari ke arah sumber gonggongan.
Berlari. Berlari sekencang mungkin.
Sampai tanah di bawah kaki kami mendadak ambles.
Sebuah lubang menganga siap menelan kami. Dan kami mulai
jatuh. "Aaaaa!" jeritku. "Ini Sumur Tanpa Dasar!"
Chapter 11 AKU terempas keras. Siku dan lututku membentur tanah.
"Aduh!" aku mengerang ketika wajahku menumbuk tanah yang
lembap. Ternyata lubang itu ada dasarnya.
Dan dasarnya keras sekali.
Aku melirik ke arah Marissa. Ia sudah mulai bangkit. Ia
menepis tanah dan daun kering yang menempel di lutut celana jeansnya. "Kaubilang apa tadi?" ia bertanya padaku. "Aku tidak dengar apa yang
kaukatakan." "Ehm... aku tidak bilang apa-apa," aku bergumam. "Aku cuma memekik karena kaget
kok." Aku menengadah. Rupanya Marissa dan aku jatuh dari lereng
bukit kecil yang terjal. Kami terjatuh paling-paling sedalam satu atau satu
setengah meter. Ternyata ini bukan Sumur Tanpa Dasar.
Aku membersihkan celanaku sambil berharap Marissa tidak
sadar betapa malunya aku.
Ketika kami merangkak naik, Silverdog sudah menunggu di
atas. Anjing itu mengangkat kepala dan menatap kami dengan
matanya yang cokelat dan biru - seakan-akan hendak berkata, "Ada apa, sih" Kenapa
kalian ketinggalan terus?"
Begitu kami sampai di atas, anjing besar itu berbalik dan berlari
menjauh sambil mengibas-ngibaskan ekornya yang berbulu lebat.
Setiap beberapa meter Silverdog menoleh ke belakang untuk
memastikan kami mengikutinya.
Aku masih agak gemetaran karena kejadian tadi. Meskipun
cuma jatuh satu meter, kedua lututku terbentur dengan keras dan
sampai sekarang keduanya masih nyeri. Jantungku juga masih
berdegup-degup. Ini gara-gara Dad dan cerita-ceritanya yang konyol, pikirku
sambil geleng-geleng kepala. Sumur Tanpa Dasar... huh, itu kan tidak masuk akal!
Hmm... mengejar anjing besar berbulu putih di tengah hutan
Brovania di tengah malam buta lebih tak masuk akal lagi!
Barangkali Marissa dan aku bisa menceritakan legenda lain
kepada teman-teman kami setelah petualangan kami usai, kataku
dalam hati. "Legenda Sepasang Anak Supertolol."
Tapi mungkin juga kami berhasil menemukan peti perak berisi
Legenda yang Hilang - lalu menjadi kaya dan terkenal serta membuat
Dad bangga. Itulah pikiran yang terlintas dalam benakku ketika Marissa dan
aku mengikuti Silverdog, menyusuri jalan setapak yang berkelokkelok di tengah hutan. Anjing itu dengan mudah menerobos di antara
pohon-pohon dan semak-semak. Dan kami mengikutinya dengan
langkah panjang, supaya jangan sampai ketinggalan lagi.
Setelah beberapa menit, kami tiba di suatu lapangan luas yang
ditumbuhi rumput tinggi. Marissa dan aku berhenti, dan
memperhatikan Silverdog melintasi rumput sambil melompat-lompat.
Anjing itu berlari menuju pondok kecil di seberang lapangan.
Pondok itu tampak bercahaya kelabu keperakan di bawah sinar
bulan. Aku melihat sebuah pintu sempit dan sebuah jendela
bujursangkar di bawah atap berwarna merah.
Di sisi pondok berdiri tempat perapian terbuat dari kayu.
Kelihatannya seperti tempat untuk memanggang. Di samping tempat
perapian itu terdapat timbunan kayu bakar yang ditumpuk rapi.
Tak ada cahaya yang memancar dari jendela pondok. Tak ada
tanda-tanda pondok itu berpenghuni.
Silverdog berlari menghampiri pondok mungil itu, mendorong
pintu dengan moncongnya, dan langsung menyelinap masuk.
Marissa dan aku tetap berdiri di tepi lapangan. Kami mengamati
pondok itu sambil menunggu seseorang keluar. Pintu pondok tetap
terbuka sebagian. Kami maju beberapa langkah. "Jadi ini tempatnya," gumam
Marissa tanpa melepaskan pandangan dari pintu. "Silverdog tampak gembira sekali
karena sudah sampai di rumahnya. Kaulihat bagaimana
ia melompat-lompat" Apakah orang yang mau membantu kita ada di
dalam sana?" "Hanya ada satu cara untuk memastikannya," sahutku.
"Pondok itu kelihatan seperti pondok dalam dongeng," ujar Marissa. "Seperti
pondok dalam cerita-cerita Dad." Ia tertawa gelisah.
"Barangkali pondok itu terbuat dari kue dan permen."
"Huh, yang benar saja," jawabku sambil geleng-geleng kepala.
"Kau masih ingat cerita tentang...?" Marissa mulai berkata.
"Sudahlah - jangan banyak cerita!" aku memotong. "Ayo, kita periksa tempat itu."
Kami menghampiri pondok. Bangunan itu ternyata cuma
beberapa jengkal leb ih tinggi dari Marissa dan aku!
"Halo?" aku memanggil.
Tak ada jawaban. "Ada orang di sini?" aku berseru, sedikit lebih keras.
Tetap tak ada jawaban. Aku mencoba sekali lagi. "Halo" Ada orang di sini?" aku
berseru sambil merapatkan tangan di sekeliling mulut.
Aku mendorong pintu hingga terbuka lebar. Marissa
mengikutiku ke dalam. Kami masuk ke dapur yang hangat. Di sebuah meja kecil ada
lilin menyala. Apinya menari-nari, menimbulkan bayang-bayang yang
bergerak-gerak di dinding. Aku melihat sepotong roti berkulit keras di meja
racik. Dan di sampingnya tergeletak pisau roti.
Di atas kompor ada kuali besar berwarna hitam yang
menebarkan aroma merangsang selera.
Hanya itu yang sempat kuperhatikan.
Karena begitu aku melangkah masuk, sebuah sosok gelap
muncul dari bagian belakang dapur.
Seorang wanita besar dengan gaun kelabu yang panjang
melambai-lambai. Matanya hijau dan bersinar-sinar. Sebagian rambutnya yang
pirang jatuh menutupi kening. Rambut itu dikepang dua dan dibiarkan
menggelantung di sisi wajahnya.
Wanita itu memakai helm berbentuk kerucut dengan tanduk
panjang di masing-masing sisi. Helmnya seperti topi orang Viking
pada zaman dulu. Atau seperti helm yang dipakai pemain opera.
Lengannya besar, kekar berotot. Di setiap jarinya melingkar
cincin yang berkilauan. Seuntai kalung tergantung di lehernya. Mata kalungnya
bulat dan berhiaskan permata.
Secepat kilat wanita itu melesat melewati Marissa dan aku.
Matanya yang hijau tampak menyala-nyala. Mulutnya menyeringai
lebar. Serta-merta ia membanting pintu pondok.
Lalu menempelkan punggung ke balik pintu tertutup itu.
"Hah, kena kalian!" teriaknya. Dan kemudian ia menengadah seraya tertawa
terbahak-bahak. Chapter 12 TAWANYA yang bengis mendadak terhenti karena ia terbatukbatuk. Ia menatap kami dengan mata hijaunya yang bersinar-sinar
memantulkan cahaya lilin. Ia memandang kami seperti singa
kelaparan. "Lepaskan kami!"
Itulah kata-kata yang ingin kuteriakkan.
Tapi ketika aku membuka mulut, suara yang keluar cuma bunyi
yang mirip cicit tikus. Marissa yang lebih dulu bertindak. Ia melompat ke arah pintu.
Aku memaksakan kaki bergerak untuk mengikutinya.
"Lepaskan kami!" aku akhirnya berhasil berteriak. "Kau tidak bisa menawan kami
di sini!" Senyum wanita raksasa itu lenyap. "Tenang saja, anak-anak,"
katanya dengan suara menggelegar. "Aku cuma main-main."
Marissa dan aku menatapnya tercengang. "Apa?" tanyaku
dengan heran. "Sori. Aku memang suka keterlaluan kalau bercanda," jawab wanita itu. "Mungkin
karena aku tinggal di tengah-tengah hutan ini.
Aku tak tahan kalau ada kesempatan untuk berkelakar."
Aku belum mengerti juga. "Maksudmu, kami tidak ditawan?"
aku bertanya dengan suara bergetar.
Wanita itu menggelengkan kepala. Kedua tanduk di helmnya
ikut bergerak-gerak. Aku jadi teringat banteng besar yang berwarna
kelabu. "Aku tidak bermaksud menawan kalian. Aku mengirim
Silverdog supaya aku bisa membantu kalian." Ia menunjuk ke arah kompor.
Aku menoleh dan melihat anjing besar itu berbaring di samping
kompor. Silverdog sedang menjilat-jilat kaki depannya. Tapi matanya terus
tertuju pada Marissa dan aku.
Aku dan adikku tetap berdiri di dekat pintu. Wanita itu benarbenar aneh. Dan juga agak menakutkan.
Ia begitu besar dan ribut. Badannya begitu kekar. Dan matanya
yang hijau terus berkilat-kilat di bawah helmnya yang bertanduk.
Jangan-jangan dia gila" aku bertanya dalam hati.
Betulkah wanita itu akan membantu kami"
"Aku tahu segala sesuatu yang terjadi di hutan ini," ia berkata dengan nada
misterius. Ia mengangkat mata kalungnya ke depan
wajahnya dan menatapnya dengan mata terpicing. "Aku punya cara untuk mengetahui
semuanya. Tak ada yang bisa luput dari
perhatianku." Aku melirik Marissa. Mata adikku terbelalak karena ngeri.
Tangannya hendak meraih pegangan pintu.
Silverdog menguap lebar di samping kompor. Anjing itu
meletakkan kepala di antara kedua kaki depannya.
"Siapa nama kalian?" wanita itu bertanya dengan suaranya yang menggelegar. Ia
membiarkan mata kalungnya kembali menggantung.
"Namaku Ivanna." Ia menatapku sambil memicingkan mata. "Kau tahu apa arti
Ivanna?" Aku berdeham. "Ehm... tidak," sahutku.
"Aku juga tidak tahu!" seru wanita itu. Ia kembali tertawa sambil menengadah.
Mata kalungnya sampai melompat-lompat di
dadanya. Helmnya nyaris copot dari rambutnya yang pirang.
Aku merinding, meskipun udara di dapur terasa hangat. Kami
telah berjalan begitu jauh menerobos hutan yang dingin. Dan sampai
sekarang aku masih menggigil.
"Rupanya kalian kedinginan," kata Ivanna sambil mengamati wajah kami. "Kurasa
aku tahu apa yang kalian butuhkan. Semangkuk sup panas. Duduklah." Ia menunjuk
ke meja kecil dari kayu dengan dua kursi di sudut ruangan.
Marissa dan aku ragu-ragu. Sebenarnya aku enggan jauh-jauh
dari pintu. Aku tahu Marissa pun masih menunggu-nunggu
kesempatan untuk melarikan diri.
"Ayah kami..." Marissa bergumam. "Dia pasti akan mencari kami. Sebentar lagi dia
akan muncul di sini."
Ivanna menghampiri kompor. "Kenapa kalian tidak
mengajaknya sekalian tadi?" tanyanya. Diambilnya dua mangkuk dari lemari.
"Kami tidak bisa membangunkannya," aku menyahut tanpa
pikir panjang. Marissa langsung memelototiku.
"Hmm, tidurnya nyenyak sekali, ya?" ujar Ivanna sambil
membelakangi kami. Ia sedang mengambil sup dari kuali besar di atas kompor.
Aku mencondongkan badan ke arah Marissa. "Kalau kita mau
kabur, sekaranglah waktunya," bisikku.
Ia berpaling ke pintu, tapi kemudian berbalik lagi. "Aku
kedinginan," bisiknya. "Dan sup itu baunya enak sekali."
"Duduklah," kata Ivanna dengan suaranya yang menggelegar.
Aku menuju ke meja kayu. Marissa dan aku duduk di kursikursi yang keras. Ivanna menaruh dua mangkuk di hadapan kami. Masing-masing
berisi sup yang masih mengepul-ngepul. Matanya yang hijau tampak
bersinar-sinar sementara senyumnya mengembang. "Makanlah. Ini
sup mi ayam panas untuk menghangatkan kalian. Supaya kalian siap
menghadapi ujian." "Hah" Ujian"!" seruku. "Ujian apa?"
"Makanlah. Makanlah," desak Ivanna. "Biar badan kalian jadi hangat dulu." Ia
kembali ke kompor. Aku mengamatinya membelai-belai kepala Silverdog.
Kemudian aku mulai menyendok sup. Kutiup-tiup sup yang masih
panas itu, lalu kumakan dengan lahap.
Hmm, lezat sekali. Sup itu terasa begitu hangat di kerongkonganku yang kering
kerontang. Aku makan beberapa sendok lagi. Kemudian aku melirik ke
seberang meja. Kelihatannya Marissa juga suka masakan Ivanna.
Aku baru saja hendak menyuap sesendok sup lagi ketika Ivanna
mendadak berpaling ke arah kami. Ia membelalakkan mata. Mulutnya
menganga lebar. Dengan gemetar ia mengangkat telunjuknya, menuding kami.
"K-kalian belum makan sup itu - ya, kan?" ia bertanya terbata-bata.
"Hah?" Marissa dan aku menatapnya kaget. "Jangan makan sup itu!" pekik Ivanna.
"A-aku baru ingat. Itu racun!"
Chapter 13 SENDOK yang kupegang langsung terlepas dari tanganku, dan
jatuh ke dalam mangkuk. Aku memegangi perutku dan menunggu rasa
sakit menyerang. Aku melirik Marissa - dan melihatnya geleng-geleng kepala.
"Bercanda lagi, nih?" ia bertanya pada Ivanna.
"Ya, aku cuma bercanda!" Ivanna mengakui sambil tertawa
terbahak-bahak. Aku menelan ludah. Kenapa aku begitu tolol, tidak sadar wanita
itu cuma bercanda" Aku paling sebal kalau Marissa lebih cepat tahu
Goosebumps - Legenda Yang Hilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sesuatu daripada aku! "Aku sudah tahu, kok," aku bergumam.
Ivanna menghampiri meja makan. Mata kalungnya berayunayun setiap kali ia melangkah. "Sup ini bukan racun. Tapi jangan dihabiskan
dulu," ia menambahkan. "Mi-nya perlu kubaca dulu!"
"Hah" Apa?" tanyaku dengan terheran-heran.
Ia membungkuk di atas mangkukku. Saking dekatnya,
wajahnya jadi berembun karena terkena uap sup. "Nasib seseorang bisa diketahui
dari mi yang ada di dalam sup ayam," bisiknya dengan sikap misterius.
Ia mengamati mi yang tersisa di mangkukku. Kemudian ia
beralih pada mangkuk Marissa. "Hmmmm. Hmmmm," ia bergumam-gumam. "Ya. Hmmmm
hmmmm." Akhirnya ia berdiri dan menyilangkan tangannya yang kekar.
Pipinya tampak merah karena uap sup yang panas.
"Makanlah. Habiskan sup kalian," perintahnya. "Sebelum keburu dingin."
"Apa yang terbaca tadi?" tanyaku. "Apa yang terbaca dari mi kami?"
Ekspresi Ivanna jadi serius. "Besok pagi kalian harus
menempuh ujian," ia menyahut. "Dugaanku benar. Aku tahu kenapa kalian datang
kemari. Aku tahu apa yang kalian cari."
Ia membetulkan letak helm di kepalanya. "Aku bisa membantu
kalian menemukannya. Tapi sebelumnya kalian harus lulus ujian
dulu." "Ehm... ujian apa sih maksudnya?" tanyaku. Matanya bersinar-sinar. "Ujian
bertahan hidup," sahutnya.
Aku menelan ludah. "Itulah yang kutakutkan," gumamku.
"Bagaimana kalau kami tidak mau ikut ujian itu?" tanya
Marissa. "Kalau begitu, kalian takkan pernah menemukan peti perak
itu!" sahut Ivanna sengit.
Aku menahan napas. "Wow! Ternyata kau memang tahu apa
yang kami cari!" seruku.
Ia mengangguk. "Aku tahu segala sesuatu di hutan ini."
"Tapi - tapi kami perlu bantuan ayah kami!" Marissa tergagap-gagap.
Ivanna menggeleng. "Tidak ada waktu. Kalian akan mengikuti
ujian untuk menggantikan ayah kalian. Jangan kuatir. Ujiannya tidak berat. Kalau
kalian selamat." "Hah" Kalau selamat" Ini lelucon lagi, ya?" tanyaku pelan.
"Bukan," jawab Ivanna sambil menggelengkan kepala. "Ini bukan lelucon. Aku tidak
pernah bercanda tentang ujian di Hutan
Fantasi." Aku sedang memegang sendok sup. Tapi sendok itu langsung
terlepas dari tanganku dan jatuh ke meja. "Hutan Fantasi" Di mana itu" Dan apa
pula itu?" Ivanna hendak menjawab. Tapi sebelum ia sempat
mengucapkan sesuatu, pintu pondok mendadak terbuka.
Embusan udara dingin menerpa tubuhku.
Lalu kulihat makhluk buas berbulu hitam di ambang pintu.
Sambil menggeram makhluk itu memandang berkeliling dengan
matanya yang hitam. Makhluk itu mengertak-ngertakkan gigi - dan, dengan raungan
mengerikan, melompat dan menerjangku.
Chapter 14 AKU langsung menjerit - dan berusaha menghindar.
Kursi yang kududuki terbalik, dan aku ikut jatuh.
Kursi itu membentur lantai. Aku terempas dengan keras.
Aku mencoba berguling ke samping. Tapi makhluk buas itu
keburu menggigit kakiku. "Aduuuh!" aku memekik.
Di tengah jeritanku, kudengar seruan Ivanna yang membahana:
"Lepaskan, Luka! Ayo, lepaskan! Lepaskan dia! Ayo!"
Makhluk buas itu berdeguk-deguk, melepaskan kakiku, dan
mundur dengan napas terengah-engah.
Aku bangkit dengan susah-payah. Aku melotot, menatap
makhluk itu. Wajahnya seperti manusia. Dan dalam posisi duduk
dengan kaki belakang terlipat, makhluk itu hampir seperti manusia.
Bedanya tubuhnya tertutup bulu hitam yang lebat.
"Pergi, Luka!" Ivanna menghardiknya. "Ayo, mundur!"
Makhluk itu mundur dengan patuh.
"Kau tak perlu takut pada Luka," kata Ivanna
sambil berpaling padaku. "Sebenarnya dia baik, kok."
"Makhluk a-apa dia sebenarnya?" tanyaku sambil menggosokgosok kaki. "Aku juga tidak tahu pasti," sahut Ivanna. Ia menatap makhluk berbulu itu sambil
tersenyum. Luka melompat-lompat sambil meringis dan menggerunggerung. "Dia dibesarkan oleh serigala," Ivanna menjelaskan. "Tapi pada dasarnya
dia sangat baik. Ya kan, Luka?"
Luka mengangguk. Lidahnya terjulur keluar dari mulutnya. Ia
terengah-engah seperti anjing.
Ivanna membelai-belai rambutnya yang panjang dan kusut.
Luka segera menjauhinya dan kembali menghampiriku. Ia
mengendus-endus sweter dan celana jeans yang kukenakan. Kemudian
ia merangkak ke bawah meja dan mencium-cium sepatu bot Marissa.
"Pergi, Luka!" Ivanna memerintahkan. "Pergi sana!" Ia berpaling padaku. "Dia
tidak apa-apa, cuma penuh rasa ingin tahu. Dia akan tenang dengan sendirinya
nanti - kalau dia sudah mengenal
kalian." "Mengenal kami?" tanya Marissa. Ia mengamati Luka yang
menghampiri Silverdog di samping kompor.
"Luka akan membantu kalian pada waktu kalian masuk ke
Hutan Fantasi," kata Ivanna sambil tersenyum.
"Dia bakal ikut dengan kami?" tanyaku.
Ivanna mengangguk. "Dia akan memandu sekaligus menjaga
kalian." Roman mukanya jadi serius.
Kemudian ia menambahkan dengan suara pelan, "Kalian akan
memerlukan bantuannya."
Marissa dan aku cepat-cepat menghabiskan sup masing-masing.
Silverdog dan Luka mengamati kami dari samping kompor.
Setelah kami selesai makan, Ivanna membawa kami ke sebuah
ruangan kecil. Tak ada perabot sama sekali kecuali sepasang tempat
tidur lipat dari besi. "Kalian tidur di situ," kata Ivanna dengan tegas.
"Tapi ayah kami..." Marissa mulai memprotes.
Ivanna mengangkat tangan untuk menyuruhnya diam. "Kalian
ingin menemukan peti perak itu - ya, kan" Kalian ingin mengejutkan
ayah kalian dan membuatnya bangga - ya, kan?"
Marissa dan aku mengangguk.
"Kalau begitu kalian harus ikut ujian. Kalau kalian lulus, akan kuberitahu
bagaimana cara menemukan peti itu."
Ia menaruh selimut wol yang kasar di masing-masing tempat
tidur. "Cepat tidur," katanya. "Ujiannya dimulai pagi-pagi sekali."
Aku bangun lambat-lambat. Meregangkan badan. Lalu berbalik untuk menyingkirkan
selimut yang membungkus tubuhku.
Selimutnya tidak ada. Apakah selimut itu jatuh ke lantai karena kutendang selagi
tidur" Aku mengedip-ngedipkan mata untuk mengusir kantuk.
Berapa lama aku tidur"
Sinar matahari yang cerah menerangi sekelilingku.
Sambil menguap lebar aku duduk tegak, lalu mengayunkan kaki
untuk turun dari tempat tidur. Tapi ternyata tempat tidurnya juga
sudah lenyap. "Hei...!" aku berseru ketika sadar aku tak lagi berada di dalam
pondok Ivanna. "Di mana aku?" Aku sedang duduk di rumput, dengan pakaian lengkap. Aku
kembali mengejap-ngejapkan mata sampai mataku terbiasa dengan
sinar matahari yang cerah. Rumput di sekelilingku masih dibasahi
embun pagi. Aku bangkit. Mulutku terasa kering. Aku benar-benar bingung.
Tak ada apa-apa selain hutan di sekitarku. Pikiranku langsung
berputar. Ivanna sempat bilang bahwa ujiannya dimulai pagi-pagi
sekali. Jangan-jangan sudah mulai" Mungkinkah aku sudah berada di
Hutan Fantasi" Apakah ujian itu sudah dimulai sebelum aku bangun"
Aku menggosok-gosok mata dan berpaling ke arah Marissa. "Di
mana kita?" aku bertanya padanya. Suaraku masih serak karena aku baru bangun.
Aku berdeham. "Apakah kita..."
Aku langsung diam ketika sadar Marissa tidak ada di
sampingku. Aku sendirian. Sendirian di tengah hutan.
"Marissa...!" aku memanggil. Dadaku mulai sesak karena
dicengkeram panik. Di mana Marissa"
Di mana aku" "Marissa..." Marissa...?"
Chapter 15 "MARISSA...?" Suaraku semakin parau. Tenggorokanku seperti tercekat.
Aku mendengar suara menggeram dan langkah yang berat dari
arah pepohonan. Aku menoleh dan melihat Luka keluar dari hutan. Ia berdiri
dengan kedua kaki belakang, seperti manusia. Tapi ia melompatlompat seperti kelinci. Sambil menggaruk-garuk bulu lebat di kakinya, ia
menyeringai ketika menghampiriku.
Aku tidak membalas seringainya. "Mana Marissa?" tanyaku
dengan nada mendesak. "Mana adikku?" Luka memiringkan kepala dan memandangku
dengan bingung. "Marissa!" aku membentaknya. "Mana Marissa?"
"Di sini!" Aku tersentak kaget ketika mendengar suaranya. "Di mana
kau?" Sepintas lalu aku melihat rambutnya yang merah. Kemudian
kepalanya menyembul dari balik semak-semak berdaun lebat. "Aku di sini," ia
berkata sekali lagi. "Kau masih tidur tadi. Jadi kupikir lebih baik aku jalanjalan dulu." "Aku sudah takut kau hilang!" aku mengakui. Aku berlari
menerobos alang-alang untuk bergabung dengannya. "Di mana kita?"
tanyaku. "Apa yang terjadi dengan pondok Ivanna?"
Marissa angkat bahu. "Entahlah. Waktu aku bangun, kita sudah
ada di sini." Luka menggeram di belakang kami.
Aku berbalik dan melihatnya menggaruk-garuk tanah, persis
seperti anjing. "Mungkinkah dia setengah manusia?" aku berbisik kepada Marissa.
Marissa agaknya tidak mendengarku. Ia menunjuk ke tempat di
antara dua batang pohon. "Aku menemukan jalan setapak di sebelah sana. Menurutmu
kita perlu mengikutinya?"
"Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan!" sahutku kesal.
"Apakah Ivanna sempat menjelaskan ujian yang harus kita jalani"
Tidak. Apakah dia menjelaskan peraturannya" Tidak. Apakah dia
memberitahu kita apa yang harus kita lakukan supaya lulus" Tidak."
Marissa mengerutkan kening karena cemas. "Sepertinya kita
harus berusaha supaya tetap hidup," katanya pelan. "Kurasa itulah yang harus
kita lakukan supaya bisa lulus."
"Tapi kita harus ke mana sekarang" Apa yang harus kita
lakukan"!" aku berseru. Aku mulai kehilangan kendali d iri. Aku marah dan takut
dan bingung - semuanya sekaligus.
Luka kembali menggeram. Ia berhenti menggaruk, dan berjalan
ke arah kami dengan berdiri pada kedua kakinya, seperti manusia.
Seandainya Luka mencukur semua bulunya, mengenakan
pakaian, dan sekalian potong rambut, ia bakal kelihatan seperti anak muda, aku
berkata dalam hati. Sementara aku memperhatikannya,
Luka malah mulai melambai-lambai dan menunjuk-nunjuk.
"Sedang apa dia?" aku bertanya pada Marissa.
Marissa melangkah ke sampingku dan ikut memperhatikan
Luka. Luka menggerung-gerung penuh semangat. Ia melambaikan
tangannya yang penuh bulu, dan menunjuk-nunjuk ke arah pepohonan
dengan tangannya yang satu lagi.
"Tampaknya dia ingin kita mengikutinya," ujarku.
"Ya," Marissa membenarkan. "Ivanna kan sudah bilang bahwa dia bakal menuntun
kita." Luka menuju ke pepohonan.
Tapi aku masih bimbang. "Apakah dia bisa dipercaya?"
Marissa angkat bahu. "Agaknya kita tidak punya pilihan."
Luka mulai menyusuri jalan setapak yang menuju ke tengah
hutan. Jalan setapak itu membelok di balik semak belukar berdaun
kuning. Aku melihat kepalanya naik-turun di balik semak-semak.
Kemudian ia menghilang dari pandangan.
"Cepat!" Kutarik lengan adikku. "Jangan sampai kita
ketinggalan." Aku menunduk dan melihat dua ransel hitam tergeletak di
rumput. Aku membungkuk, meraih salah satu, dan membukanya.
Ternyata kosong. Kuserahkan ransel yang satu lagi kepada Marissa. "Ranselransel ini pasti ditinggalkan Ivanna untuk kita," ujarku. "Ranselnya kosong.
Tapi sebaiknya kita bawa saja."
Kami memasang ransel di punggung masing-masing. Lalu kami
bergegas menyusuri jalan setapak, berusaha mengejar Luka yang terus melompatlompat. Luka berhenti untuk mengendus-endus tumbuhan liar.
Kemudian ia kembali menyusuri jalan setapak.
Kami menyusul tepat di belakangnya. Dua-tiga kali ia menoleh
ke belakang untuk memastikan kami masih mengikutinya.
Jalan setapak itu berkelok-kelok di antara ilalang yang tajam
menusuk-nusuk dan rumput tinggi. Kami melewati kolam kecil
berbentuk bulat yang memantulkan bayangan langit biru. Udara
bertambah panas dan lembap. Tengkukku terasa lengket dan gatal.
Kami menyelinap di antara pohon-pohon berkulit putih dan
licin. Pohon-pohon itu tumbuh rapat. Kulit pohon yang licin terasa
sejuk di tanganku yang panas.
"Mau dibawa ke mana kita?" Marissa berbisik.
Aku tidak menyahut. Aku sendiri tidak tahu. Aku cuma tahu
bahwa Luka membawa kami semakin jauh ke tengah hutan.
Kami menerobos di antara pohon-pohon berkulit putih itu. Dan
akhirnya kami sampai di sebuah lapangan luas yang ditumbuhi
rumput. Batu-batu kecil berwarna kelabu tampak menyembul di sanasini. Pohon-pohon putih tadi membentuk lingkaran di sekeliling
lapangan. Aku mendengar bunyi berkeresak ketika aku mengikuti Luka
melintasi rumput. Aku langsung menunduk untuk melihat dari mana
bunyi itu berasal. Saat itu barulah kulihat buah-buah yang mirip buah kenari
raksasa berserakan di mana-mana.
Aku memungut salah satu. "Coba lihat ini," kataku pada
Marissa. Aku membalik dan melihat ia juga sudah memungut dua
buah. "Pasti jatuh dari pohon-pohon putih ini," ujarku.
"Bentuknya sih seperti buah kenari. Tapi buah ini lebih besar
dari telur!" Marissa menimpali. "Aku belum pernah melihat buah kenari sebesar
ini!" "Dan buahnya panas sekali!" aku berseru. Aku menengadah dan memandang ke langit.
Goosebumps - Legenda Yang Hilang di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin karena sinar matahari."
"Hei...! Apa itu?"
Aku menoleh. Dan kulihat seekor makhluk kelabu berlari melintasi lapangan.
Mula-mula kusangka itu anjing, atau kucing yang besar sekali.
Lalu aku sadar makhluk itu seekor tupai. Tupai itu membawa buah
kenari dengan kedua tangannya, dan melompat-lompat ke arah pohonpohon. Ekornya yang panjang dan lebat tampak melambai-lambai.
Tapi perhatianku langsung beralih ketika aku mendengar Luka
berseru dengan suara parau.
Aku melihatnya berdiri tegak. Aku melihat kedua matanya
bersinar-sinar gembira. Ia berseru sekali lagi. Ia mencondongkan badan ke depan.
Mengulurkan kedua tangan.
Dan mulai mengejar tupai itu.
Tupai itu pun melihat Luka. Serta-merta ia melepaskan buah
kenari yang sedang dipegangnya dan kabur ke tengah hutan.
Luka langsung memburunya.
"Jangan, Luka! Jangan!" teriak Marissa.
"Kembali ke sini! Kembali!" kami memanggil-manggil.
"Luka - kembali ke sini!"
Chapter 16 MARISSA dan aku sama-sama memekik cemas. Kami bergegas
mengejar Luka, menyusulnya ke dalam hutan.
"Luka...! Hei, Luka!" aku memanggil-manggil. Suaraku
memantul ke batang-batang pohon dan menggema di sekelilingku.
"Luka...! Hei, Luka!"
Seruan itu terus berulang dengan nyaring.
Geraman Luka terdengar jelas di depan kami. Aku juga bisa
melihatnya berlari di antara pohon-pohon sambil mengejar tupai tadi.
"Luka - kembalilah!" Seruan Marissa juga bergema di tengah
hutan. Kedengarannya seolah ada selusin orang yang berusaha
mengejar Luka. Dan semuanya berseru-seru agar ia berhenti mengejar
tupai itu dan kembali kepada kami.
"Hei!" aku memekik ketika berusaha menyelinap di antara
sepasang pohon putih yang tumbuh rapat - ransel di punggungku
tersangkut. "Aduh!" Aku tertarik ke belakang, terhuyung-huyung dan nyaris jatuh.
Dasar payah! "Luka! Hei - Luka!" Suara Marissa kini terdengar di depanku.
Aku kembali berusaha menyelinap di antara kedua pohon, dan
ranselku kembali tersangkut. Aku menariknya sampai terlepas, lalu
mencari celah yang lebih lebar.
Beberapa detik kemudian aku berhasil menyusul adikku. Ia
sudah berhenti berlari. Ia bersandar pada batang pohon sambil megap-megap karena
kehabisan napas. "Mana dia?" seruku. "Kau masih melihatnya" Ke mana dia pergi?"
"A-aku kehilangan jejak," sahut Marissa, terengah-engah.
"Suaranya juga sudah tidak kedengaran lagi."
Aku menajamkan telinga. Hutan di sekeliling kami mendadak
Golok Bulan Sabit 3 Pendekar Bayangan Sukma 26 Pertarungan Para Pendekar Geger Perawan Siluman 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama