Ceritasilat Novel Online

Misteri Hantu Tanpa Kepala 1

Goosebumps - Misteri Hantu Tanpa Kepala Bagian 1


Seri Goosebumps Misteri Hantu Tanpa Kepala Judul Asli : Headless Ghost
Karya : RL.Stine Ebook pdf oleh : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://cerita-silat.co.cc/ http://kang-zusi.info
Judul Asli : Headless Ghost
Judul Indonesia : Misteri Hantu Tanpa Kepala
Pengarang : R.L Stine Tahun Terbit (Amerika) : 1995
Tahun Terbit (Indonesia) : 1996
Penerbit (Amerika) : Scholastic Inc
Penerbit (Indonesia) : Gramedia Pustaka Utama
SYNOPSIS CEPAT TEMUKAN KEPALAKU ATAU KAU
AKAN... Semua orang tahu tentang Hill House, atraksi turis
terbesar di Wheeler Falls, karena rumah itu berhantu.
Hantu anak laki-laki berusia tiga belas tahun, hantu tanpa
kepala. Duane dan Stephanie sering ikut tur di Hill House,
mereka tidak gentar meski rumah itu gelap, mengerikan dan
sangat menyeramkan. Namun demikian, mereka belum pernah melihat hantu
di sana, sampai suatu malam ketika mereka memutuskan
untuk melakukan pencarian...
Pencarian kepala si hantu anak laki-laki..
1. Stephanie Alpert dan aku menghantui daerah di sekitar
tempat tinggal kami. ide itu kami dapat waktu Halloween
lalu. Di daerah kami banyak anak kecil, dan kami paling
senang menakut-nakuti mereka.
Kadang-kadang, dengan memakai topeng, kami menyelinap keluar malam-malam, lalu melongok ke jendela
kamar anak-anak. Sering kali kami meletakkan tangan dan
jari dari karet di ambang jendela mereka. tak jarang kami
buka kotak surat dan menyelipkan barang-barang yang pasti
bakal membuat mereka menjerit-jerit.
Stephanie dan aku juga sering bersembunyi di balik
semak-semak, dan meneriakkan suara-suara aneh, raungan
binatang atau erangan hantu. Stephanie paling jago
melolong seperti manusia serigala. dan aku paling suka
mendongakkan kepala lalu berteriak keras-keras. saking
kerasnya, daun-daun di pepohonan sampai bergetar.
Usaha kami tidak sia-sia, hampir semua anak di daerah
kami jadi ngeri, setiap hari mereka mengintip dulu dari
pintu rumah masing masing untuk memastikan keadaan
aman, baru setelah itu mereka berani keluar. malam hari,
sebagian anak tidak berani keluar sendirian.
Bangga juga rasanya jadi makhluk yang ditakuti, pada
siang hari kami cuma Stephanie Alpert dan Duane
Comack, dua anak berumur dua belas tahun yang tidak
berbeda dari anak-anak lain. tapi pada malam hari, kami
menjelma menjadi si teror kembar dari wheeler falls.
Tak ada yang tahu, tak seorang pun tahu identitas kami
yang sebenarnya, kami berdua duduk di kelas enam di
Wheeler Middle School, kami sama-sama bertubuh tinggi
kurus, hanya saja stephanie beberapa senti lebih tinggi,
sebab rambutnya lebih tebal.
Banyak orang menyangka kami kakak adik, tapi
sebenarnya tidak, kami sama-sama tidak punya kakak atau
adik, meski sama sekali tidak membuat kami sedih
Kami tinggal di jalan yang sama, rumah stephanie
berhadapan dengan rumahku. kami biasa bertukar makan
siang meski bekal kami sama yaitu roti selai kacang
Kami anak-anak biasa, seratus persen normal, hanya saja
kami punya hobi rahasia di malam hari, mau tahu
bagaimana kami sampai jadi si teror kembar" ceritanya agak
panjang... (OOdwkzoO) Semuanya berawal dari perayaan halloween yang lalu.
udara malam itu sejuk, bintang-bintang bertaburan di langit.
bulan purnama seperti melayang di atas pohon-pohon
gundul. aku sedang berdiri di depan jendela kamar
stephanie dengan kostum. malaikat maut-ku yang seram.
aku berjinjit, berusaha mengintip kostum yang ia pakai.
"Hey, kau curang duane, jangan mengintip kostumku"
seru stephanie di balik jendela yang tertutup, lalu ia menarik
tirai. "Aku ridak mengintip" kataku "Aku cuma meregangkan
otot" Sebenarnya aku memang sudah tak sabar ingin melihat
kostum yang ia pakai kali ini. setiap halloween ia tampil
dengan kostum yang keren sekali. tahun lalu seluruh
tubuhnya dibalut kertas toilet hijau sampai menggembung
seperti bola, benar, ia jadi selada raksasa. Tapi tahun ini
rasanya aku mengalahkan dia, aku benar-benar bekerja
keras untuk menyiapkan kostum malaikat maut-ku. aku
pakai sepatu bersol tebal, cukup tebal untuk membuatku
lebih tinggi dari stephanie. jubahku yang hitam dan
bertudung begitu panjang sampai menyapu tanah.
rambutku yang ikal kusembunyikan di balik lapisan karet,
supaya kepalaku berkesan gundul. dan wajahku kupoles
makeup, sehingga warnanya seperti roti bulukan.
Bahkan ayahku menolak menatapku. katanya ia takut
perutnya mual, berarti kostumku sukses berat, aku sudah
tak sabar untuk membuat stephanie memikik ketakutan,
kuketuk-ketuk jendelanya dengan arit malaikat mautku,
"Hei steph, cepatlah" aku berkata padanya "aku sudah
mulai lapar, kita bisa tidak kebagian permen nanti"
Aku menunggu dan menuggu, aku berjalan mundarmandir di pekarangan depan, jubahku yang panjan
menyapu rumput dan daun-daun mati.
"Hey, lama sekali kau" aku berkata sekali lagi, ia belum
muncul juga, sambil mendengus kesal aku berbalik ke
jendelanya. dan tiba-tiba seekor binatang besar berbulu
menerjangku dari belakang dan menggigit kepalaku.
(OodwkzoO) 2 Ehm, sebenarnya sih, kepalaku tidak sampai digigit,
makhluk itu hanya mencoba menggigit, ia mengeramngeram, berusaha menyambar leherku dengan gigi
taringnya yang panjang. Aku mundur terhuyung-huyung. Makhluk itu menyerupai kucing hitam raksasa, seluruh tubuhnya
tertutup bulu hitam kasar, gumpalan-gumpalan lendir
berwarna kuning melekat di telinga dan hidungnya yang
hitam. Gigi taringnya yang panjang dan runcing berkilaukilau dalam gelap. Makhluk itu mengeram lagi dan mengayunkan cakarnya.
"permen.. mana permenmu?"
"stephanie...?" ujarku terbata-bata. itu pasti stephanie,
kan" Sebagai jawaban, makhluk itu memukul perutku dengan
cakarnya. saat itulah kulihat arloji mickey mouse
kepunyaan stephanie di pergelangan tangannya. "Wow,
stephanie, kostummu keren banget, kau benar-benar..." aku
tidak sempat menyelesaikan kata-kataku, stephanie menyeretku, lalu merunduk di balik semak-semak.
Lututku membentur trotoar, "Aduh" aku berteriak "apaapaan sih" kau sudah gila?"
Sekelompok anak kecil berkostum lewat di depan kami,
stephanie melompat maju dan mencegat mereka "Arrrrrrgggghhhhh!" ia menggeram. Anak-anak itu benarbenar ketakutan, mereka langsung membalik dan kabur
pontang-panting, saking ngerinya, tiga dari mereka sampai
melepaskan kantong berisi permen yang telah mereka
kumpulkan, stephanie langsung memungut kantongkantong itu. "Hmmm... asyik"
"Wow, kau membuat mereka lari terbirit-birit" ujarku
sambil memperhatikan anak-anak itu lari ke ujung jalan,
"hebat". Stephanie tertawa, tawanya konyol dan melengking,
mirip suara ayam yang digelitik, aku selalu ikut tertawa
kalau mendengarnya, "yeah, seru juga" sahutnya "Lebih
seru dari mengumpulkan permen"
Jadi, malam itu kami habiskan dengan menakut-nakuti
anak kecil, permen yang kami dapat tak seberapa, tapi kami
benar-benar gembira, "coba kalau kita bisa begini setiap
malam" ujarku ketika kami berjalan pulang.
"Kenapa tidak bisa?" balas stephanie sambil nyengir.
"Kita perlu tunggu halloween untuk menakut-nakuti anak
kecil, Duane, tahu kan, apa yang kumaksud?" Ya, aku tahu.
Stephanie mendongakkan kepalanya, lalu tertawa seperti
ayam, mau tak mau aku ikut tertawa, jadi, begitulah awal
mula stephanie dan aku menghantui daeah kami, kalau
malam sudah larut, si teror kembar beraksi di segala
penjuru, pokoknya tak ada tempat yang aman.
Ehm.. tepatnya hampir tak ada tempat yang aman, ada
satu tempat yang terlalu menakutkan, bahkan bagi
stephanie dan aku, yaitu rumah tua di blok sebelah. orangorang menyebutnya rumah tua di blok sebelah. Orangorang menyebutnya Hill House, mungkin karena letaknya
di atas bukit tinggi Hill Street.
Memang hampir di semua kota ada rumah hantu, tapi
Hill House benar-benar ada hantunya, Stephanie dan aku
tahu pasti, sebab di situlah kami ketemu hantu tanpa
kepala. (OodwkzoO) 3 Hill House adalah atraksi wisata paling laku di Wheeler
Falls, karena Hill House memang satu-satunya atraksi
wisata di sini. Barangkali kau pernah dengar tentang Hill House, rumah
itu sering disebut dalam banyak buku, Tur Hill House untuk
para pengunjung diadakan setiap jam, dipandu oleh orangorang berseragam hitam. Gerak-gerik mereka benar-benar
seram, dan mereka selalu menceritakan kisah-kisah
menakutkan tentang rumah itu. kadang-kadang aku sampai
merinding kalau mendengar cerita-cerita mereka.
Stephanie dan aku paling senang ikut tur itu, apalagi
kalau dipandu oleh Otto, Otto pemandu favorit kami, Otto
bertubuh besar dan berkepala botak, tampangnya seolah
bisa menembus tubuh kita, suaranya menggelegar, kadangkadang kalau Otto mengantar kami dari satu ruang ke ruang
lain, ia sengaja merendahkan suara. Saking pelannya,
suaranya nyaris tak terdengar, lalu ia membelalakkan mata,
mengacungkan tangan dan berteriak, "Itu hantunya! itu!"
Bukan cuma tampang Otto yang seram, senyumnya juga,
entah sudah berapa kali stephanie dan aku ikut tur Hill
House. Yang jelas, saking seringnya, kami sudah pantas jadi
pemandu, kami tahu semua ruangan, semua tempat di
mana orang pernah melihat hantu, hantu sungguhan!
Kami betah sekali di tempat-tempat seperti itu, mau tahu
kisah Hill House" Hmm.. beginilah ceritanya yang biasa
dituturkan Otto, Edma, dan para pemandu lain.
(OodwkzoO) Hill house sudah berumur dua ratus tahun, dan hantu
sudah gentayangan sejak hari pertama orang-orang
mengumpulkan batu untuk membangunnya, seorang kapten
kapal yang masih muda membangun rumah ini untuk istri
yang baru dinikahinya, tapi pada saat pembangunannya
selesai, si kapten kapal harus bertugas di laut.
Istrinya tinggal seorang diri di rumah yang dingin dan
gelap, dengan begitu banyak kamar dan lorong-lorong yang
sepertinya tak berujung, berbulan-bulan ia memandang
keluar dari jendela kamar dan lorong-lorong yang
sepertinya tak berujung, berbulan-bulan ia memandang
keluar dari jendela kamar tidur, jendela yang menghadap ke
sungai, dengan sabar ia menanti kepulangan suaminya.
Musim dingin berlalu, disusul musim semi, lalu musim
panas, tapi si kapten tak pernah kembali, ia hilang di laut,
satu tahun setelah kapten kapal hilang, hantu si kapten
kapal, ia kembali dari alam baka, kembali untuk mencari
istrinya, setiap malam ia berkeliling membawa lentera dan
memanggil-manggil nama istrinya, "Annabel! Annabel!!"
Tapi Annabel tidak pernah menyahut, ia begitu sedih
sehingga pergi dari rumah besar itu, ia tidak mau melihat
rumah itu lagi, tahun demi tahun berlalu, dan banyak orang
mendengar si hantu memanggil-manggil di malam hari,
"Annabel! Annabel!" orang-orang bisa mendengar suara si
hantu, tapi tak pernah ada yang melihatnya.
Kemudian, seratus tahun lalu, rumah itu dibeli oleh
keluarga Craw, mereka punya anak laki-laki bernama
Andrew yang berumur tiga belas tahun, Andrew nakal dan
jahat, ia paling senang berbuat iseng terhadap pelayan, ia
sering menakuti mereka, ia bahkan pernah melempar
kucing dari jendela, dan ia kecewa karena kucing itu tidak


Goosebumps - Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mati, orang tua Andrew pun kewalahan menghadapi anak
mereka yang brengsek. Karena itu Andrew lebih sering
menghabiskan waktu sendirian, menyelidiki rumah tua
mereka, atau mencari-cari masalah.
Suatu hari, ia menemukan sebuah ruangan yang belum
pernah dimasukinya. Pintu kayu yang berat didorongnya
sampai membuka, pintu itu berderit-derit, kemudian ia
melangkah masuk, di atas meja kecil ada lentera yang
menyala redup, selain itu kossng, tak ada benda apapun,
juga tak ada yang duduk di meja.
"Aneh" pikir Andrew, "kenapa ada lentera menyala di
ruangan yang kosong?" Andrew menghampiri lentera itu,
ketika ia membungkuk untuk mematikannya, si hantu
muncul, hantu si kapten kapal!
Hantu itu kini telah jadi makhluk tua yang mengerikan,
kukunya yang panjang dan putih tumbuh melingkar-lingkar,
gigi-gigi hitam yang retak menyembul dari balik bibir yang
kering dan pecah-pecah, dan wajahnya setengah tertutup
janggut yang kasar. Andrew membelalakkan mata karena ngeri, "Siapa
kau?" tanyanya sambil tergagap-gagap, Hantu itu tidak
menyahut, ia malah melayang mendekati lingkaran cahaya
lentera, menatap Andrew sambil mendelik, "Siapa kau"
mau apa kau" kenapa kau ada di sini?" tanya Andrew.
Hantu itu tetap membisu Andrew berbalik, berusaha
kabur, tapi sebelum sempat ia menjauh, hembusan napas si
hantu sudah terasa di tengkuknya, Andrew berusaha meraih
pegangan pintu, tapi hantu tua itu melayang mengitari
dirinya, berputar-putar bagaikan asap hitam di tengah
cahaya kuning. "Jangan! berhenti!" Andrew menjerit. "lepaskan aku!"
hantu itu membuka mulut, memperhatikan lubang hitam
yang dalam, seolah tanpa dasar. Akhirnya ia angkat bicara,
ia berbisik dengan suara menyerupai gemerisik daun-daun
mati. "kau sudah melihatku, kau tidak bisa pergi"
"jangan" Andrew menjerit, "lepaskan aku!" hantu itu
tidak menghiraukan teriakan-teriakan Andrew, ia mengulangi ucapannya dengan suara yang membuat bulu
kuduk berdiri. "kau sudah melihatku, kau tidak bisa pergi"
si hantu tua meraih kapala Andrew, jarinya yang sedingin
es memegang wajah anak itu, lalu tangannya mengencang,
mengencang, tahu apa yang terjadi setelah itu"
(OodwkzoO) 4 Si hantu mencopot kepala Andrew dan menyembunyikannya di suatu tempat di Hill House!
Setelah menyembunyikan kepala Andrew di rumah yang
besar dan gelap, hantu si kapten kapal melolong panjang
sehingga dinding-dinding batu yang tebal ikut bergetar,
lolongan mengerikan itu berakhir dengan seruan, "Annabel!
Annabel!" Setelah itu si hantu tua itu lenyap untuk selamanya, tapi
jangan disangka Hill House sudah bebas dari hantu yang
bergentayangan di lorong-lorong panjang, sejak itu hantu
Andrew yang berkeliaran di Hill House. Setiap malam
hantu anak malang itu menyusuri lorong-lorong, keluar
masuk ruangan untuk mencari kepalanya yang hilang.
Di seluruh rumah, kata Otto dan para pemandu lainnya,
kita bisa mendengar langkah si hantu tanpa kepala,
mencari, selalu mencari, dan sekarang setiap ruangan di
Hill House punya kisah seram sendiri-sendiri, apakah cerita
itu benar" Hmm... Stephanie dan aku sih percaya, karena itulah
kami begitu sering ikut tur, rasanya sudah seratus kali kami
menjelajahi rumah tua itu, Hill House memang mengasyikkan, paling tidak, semua begitu, sebelum
Stephanie dapat ide gemilang lagi, Selain itu Hill House
tidak lagi mengasyikkan, setelah itu, Hill House jadi tempat
yang benar-benar menyeramkan.
(OodwkzoO) 5 Semuanya bermula beberapa minggu lalu, waktu
Stephanie tiba-tiba dilanda rasa bosan. Saat itu sekitar pukul
sepuluh malam, kami sedang berkeliaran di luar rumah,
kami melolong-lolong di depan jendela Geena Jeffers, lalu
kami pergi ke rumah sebelah, rumah Terri Abel, kami
masukkan beberapa potong tulang ayam ke kotak suratnya,
soalnya semua orang pasti merinding kalau mereka meraih
ke dalam kotak suratm dan ternyata meraba-raba tulang.
Lalu kami menyeberang jalan, menuju ke rumah Ben
Fuller, rumah Ben rumah terakhir yang kami kunjungi
malam itu, Ben teman sekelas kami, dan untuknya kami
telah menyiapkan acara khusus, masalahnya begini, Ben
paling takut pada serangga dan itu berarti ia paling
gampang ditakut-takuti. Ia selalu tidur dengan jendela terbukam biarpun udara di
luar lumayan dingin, maka stephanie dan aku suka
mengintip lewat jendelanya, dan menimpuk Ben yang
sedang tidur dengan laba-laba karet, laba-laba karet itu
menggelitik wajahnya, ia bangun dan langsung menjeritjerit, setiap kali selalu begitu.
Ia menjerit-jerit, dan berusaha turun dari tempat tidur,
tapi malam itu, waktu kami melempar laba-laba karet ke
wajah Ben yang sedang bermimpi indah, Stephanie
berpaling padaku dan berbisik "Aku ada ide bagus", "apa?"
aku bertanya, tapi sebelum aku sempat bertanya lebih jauh,
Ben sudah menjerit. kami mendengar ia berteriak-mekik
dan jatuh ke lantai, BRUKKK...
Stephanie dan aku langsung ber-high five. setelah itu
kami kabur, melintasi pekarangan-pekarangan belakang
yang gelap, langkah kami berdebam-debam di tanah yang
keras dan hampir beku, kami berhenti di samping pohon ek
terbelah di pekarangan depan rumahku, batang pohon ek
itu terbelah dua dari atas sampai bawah, tapi ayahku tidak
tega menebangnya. "Ide apa yang kau maksud?" aku bertanya pada
Stephanie, napasku terengah-engah, matanya yang gelap
tampak bebinar-binar, "begini, nih, setiap kali kita
gentayangan di sini, anak-anak yang kita takut-takuti tetap
anak-anak yang itu juga, lama-lama aku bosan", sebenarnya
aku belum bosan, tapi aku tahu kalau Stephanie sudah
punya ide tak ada yang bisa menghentikannya. "jadi, kau
mau cari anak-anak baru untuk ditakut-takuti?" tanyaku
padanya. "Bukan, bukan anak-anak baru, sesuatu yang baru" ia
berjalan mengelilingi pohon, "kita butuh tantangan baru"
"Apa?" tanyaku,
"Selama ini kita selalu menggunakan trik-trik yang
kekanak-kanakan" ia mengeluh "kita cuma membuat suarasuara aneh, lempar-lempar barang lewat jendela dan semua
anak sudah ketakutan setengah mati. ini terlalu mudah",
"Yeah" aku membenarkan "tapi lucu"
Komentarku tidak ditanggapinya, ia menyembulkan
kepala lewat celah di batang pohon. "Duane, apa tempat
yang paling seram di Wheeler Falls?", itu pertanyaan
mudah, "Apalagi kalau bukan Hill House" kataku
"Benar, dan kenapa tempat itu begitu seram?"
"Karena cerita-cerita hantunya yang selalu mencari
kepalanya" "Yes!" Stephanie berseru, kepalanya menyembul lewat
celah di batang pohon ek, seolah melayang, sementara
tubuhnya tertutup batang pohon. "Si Hantu tanpa Kepala",
ia berkata dengan suara direndahkan, lalu tertawa tergelakgelak, "Apa-apaan ini" ujarku "kau mau menakut-nakuti aku
sekarang?" Kepalanya seakan-akan melayang dalam kegelapan,
"kita harus gentayangan di Hill House" ia berbisik
(OodwkzoO) 6 "Hah?" aku berseru "apa maksudmu, Stephanie?"
"Kita ikut tur Hill House, lalu di tengah jalan kita
memisahkan diri" Stephanie menyahut dengan tampang
serius Aku menggelengkan kepala "Yang benar saja, untuk
apa?" Wajah Stephanie seperti bercahaya dalam gelap, "kita
memisahkan diri untuk mencari kepala hantu itu"
Aku menatapnya sambil melongo "kau bercanda ya?"
Aku melangkah ke balik pohon dan menarik tubuhnya dari
celah, kepalanya yang seperti melayang itu mulai
membuatku merinding. "Tidak, duane, aku tidak bercanda" sahut Stephanie, lalu
ia mendorongku ke belakang "kita perlu tantangan, kita
perlu sesuatu yang baru, gentayangan di sekitar rumah,
menakut-nakuti semua yang kita kenal, itu permainan anakanak, dan aku sudah bosan"
"Memangnya kau percaya cerita tentang kepala yang
hilang itu" itu cuma cerita hantu, biar kita cari sampai
botak, kepala itu tak bakal kita temukan, karena kepala itu
memang tidak ada. itu kan cuma cerita yang sengaja
dikarang untuk para turis"
Stephanie menatapku sambil memicingkan mata,
"Sepertinya kau ngeri, Duane"
"Hah" aku?" suaraku agak melengking, tiba-tiba bulan
menghilang di balik awan, dan pekarangan depan semakin
gelap, aku merinding, aku langsung merapatkan jaket, "aku
bukannya takut menjelajahi Hill House berdua saja, tapi
menurutku kita cuma buang-buang waktu"
"Duane kau gemetaran" dia mengejekku "gemetaran
karena ngeri" "Sembarangan" aku memprotes "Ayo, kita ke Hill
House sekarang juga, nanti kita lihat siapa yang ngeri"
Stephanie tersenyum lebar, ia mendongakkan kepala dan
melolong panjang, melolong untuk merayakan kemenangannya. "Ini baru tantangan yang pantas untuk si
teror kembar" ia berseru, lalu mengajakku berhigh-five
keras sekali, telapak tanganku sampai perih.
Aku terpakasa mengikutinya ke Hill Street, sepanjang
jalan aku tidak mengucapkan sepatah kata, apakah aku
ngeri" sedikit mungkin. kami mendaki bukit yang terjal dan
penuh alang-alang, lalu berhenti di tangga depan Hill
House, malam-malam begini rumah tua itu kelihatan lebih
besar, rumahnya berlantai tiga, dengan banyak menara,
balkon, dan lusinan jendela yang semuanya gelap.
Semua rumah di daerah kami terbuat kari batu bata dan
kayu. Hill House satu-satunya yang terbuat dari lempengan
batu, lempengan batu warna abu-abu tua. Aku selalu
menahan napas kalau berdiri di sana. dinding-dindingnya
tertutup lapisan lumut yang tebal berwarna hijau, lumut
berumur dua ratus tahun, baunya pasti bukan seperti kebun
bunga. Aku memandang ke atas, mengamati menara bulat yang
menjulang ke langit malam, sebuah patung itu menatap
kami sambil menyeringai, seakan-akan menantang kami
untuk masuk. lututku mandadak lemas, rumah itu gelap
gulita, hanya ada satu lilin di atas pintu depan, tapi tur
wisatanya masih berlangsung, tur terakhr berangkat pukul
setengah sebelas setiap malam, menurut para pemandu, tur
malam hari paling seru, karena peluang untuk melihat
hantu juga paling besar Aku membaca prasasti yang ditempelkan di samping
pintu. SILAHKAN MASUK KE HILL HOUSE DAN HIDUP
ANDA AKAN BERUBAH, UNTUK SELAMA- LAMANYA Prasasti itu sudah ratusan kali kubaca, dan setiap kali
aku menganggapnya lucu walaupun agak norak, tapi
malam itu aku malah merinding, malam itu semuanya
berbeda, "Ayolah" ujar Sthephanie sambil menarik tanganku
"Kita masih sempat ikut tur terakhir" api lilin berkerlapkerlip, pintu kayu yang berat di hadapan kami mendadak
membuka, membuka sendiri, aku tidak tahu bagaimana
caranya, tapi pintu itu seolah membuka sendiri
"Bagaimana nih" kau jadi ikut tidak?" desak Stehanie, ia
masuk ke rumah yang gelap,
"Oke, oke, aku ikut" kataku dengan berat hati.
(OodwkzoO) 7 Otto sudah siap menyambut kami, setiap kali
melihatnya, aku selalu teringat lumba-lumba, mungkin
karena kepala gundulnya yang besar dan licin, mungkin
juga karena potongan badannya memang seperti lumbalumba raksasa, beratnya pasti sekitar lima puluh kilo.
Seperti biasa, Otto berpakaian serba hitam, kemeja
hitam, celana hitam, kaus kaki hitam, sepatu hitam, dan
sarung tangan tentu saja hitam. itulah seragam yang dipakai


Goosebumps - Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua pemandu. "wah, coba lihat siapa yang datang!" ia
berseru "Stephanie dan Duane!" ia nyengir lebar, matanya
yang kecil tampak bersinar-sinar dalam cahaya lilin.
"Halo pemandu favorit!" Stephanie menyapanya "jam
berapa tur berikutnya berangkat?" kami melewati loket
tanpa membayar, saking seringnya kami berkunjung ke Hill
House kami tidak pernah lagi disuruh beli karcis.
"Kira-kira lima menit lagi" jawab Otto "Tapi.. ehm..
rasanya baru kali ini kalian datang malam-malam begini"
"Yeah.." Stephanie berkata, lalu berpikir sejenak untuk
mencari alasan yang masuk akal, "karena lebih seru kalau
kita tur malam, benar kan Duane?" iya menyikut rusukku.
"Yeah, lebih seru" aku membenarkan, kami masuk ke
ruang depan, bergabung dengan pengunjung lain yang
sudah mengunggu, sebagian besar pasangan remaja sudah
menunggu, sebagian besar pasangan remaja yang sedang
kencan. ruangan depan Hill House lebih besar daripada
gabungan ruang duduk dan ruang makan di rumahku, dan
selain tangga melingkar di tengah-tengahnya, tidak ada apaapa di ruangan itu, tidak ada perabot sama sekali.
Bayang-bayang tampak bergerak-gerak di lantai, aku
memandang berkeliling, tak ada lampu listrik, sebagai
gantinya, pihak pengelola memasang obor-obor kecil pada
dinding yang sudah retak-retak, dalam cahaya yang menarinari aku menghitung orang-orang di sekelilingku, semua
ada sembilan orang, cuma Stephanie dan aku yang masih
anak-anak. Otto menyalakan lentera dan maju ke bagian depan
ruangan, ia mengangkat lenteranya dan maju ke bagian
depan ruangan, ia mengangkat lenteranya tinggi-tinggi,
kemudian berdeham. Stephanie dan aku berpandangan
sambil nyengir, otto selalu pakai cara yang sama untuk
mengawali tur, menurutnya, lentera itu menambah seram
suasana. "ladies and gentleman" ia berkata dengan
suaranya yang menggelegar. "selamat datang di Hill House,
kami berharap anda semua bisa menikmati tur ini, dan
kembali dengan selamat" lalu ia tertawa, tawa menakutkan.
Stephanie dan aku mengikuti ucapan otto selanjutnya
dengan menggerak-gerakkan bibir tanpa bersuara:
"Pada tahun 1795, seorang kapten kapal yang makmur
bernama William P. Bell membangun rumah di atas bukti
tertinggi di Wheeler Falls. Pada waktu itu rumahnya
merupakan rumah paling mewah di daerah ini, berlantai
tiga, dengan sembilan tempat perapianm dan lebih dari tiga
puluh kamar, Kapten Bell tidak memperdulikan biaya,
kenapa" karena ia bermaksud menikmati hari tuanya dalam
kemewahan di sini, bersama istrinya yang muda dan cantik,
namun sayangnya takdir berkata lain"
Otto tertawa terkekeh-kekeh, Stephanie dan aku tentu
saja ikut tertawa, kami sudah hapal setiap bagian pidato
otto, Otto kembali berbicara "Kapten bell gugur di laut
ketika kapalnya karam, sebelum ia sempat tinggal di
rumahnya yang indah, Istrinya yang masih muda, Annabel,
meninggalkan rumah itu karena dilanda duka yang tak
tertahankan" Kini Otto merendahkan suara "Tapi tak lama setelah
Annabel pergi, hal-hal aneh mulai terjadi di Hill House"
Inilah aba-aba Otto untuk berjalan ke tangga melingkar
yang terbuat dari kayu. tangga itu sempit dan sudah setua
Hill House sendiri, setiap kali Otto naik, tangga itu
berderak-derak dan mengerang-ngerang seperti kesakitan.
Tak seorang pun berbicara ketika kami mengikuti Otto
ke lantai dua, Stephanie dan aku suka bagian ini, karena
Otto juga diam saja, ia cuma bergegas menerobos kegelapan
sambil membisu, sementara para peserta tur berusaha untuk
tidak ketinggalan. Otto baru bicara lagi kalau sudah sampai
di kamar tidur kapten Bell, kamarnya besar, dilengkapi
perapian, dan menghadap ke sungai.
"Tak lama setelah Annabel meninggalkan Hill House"
Otto menuturkan "Warga Wheeler Fells mulai melaporkan
kejadian-kejadian aneh, banyak orang mengaku melihat
laki-laki yang mirip almarhum kapten Bell, laki-laki itu
selalu terlihat di sini, di jendela ini, dan ia selalu memegang
lentera" Otto menghampiri jendela dan mengangkat lenteranya
"Pada malam-malam tanpa angin, jika orang pasang telinga
baik-baik, mereka kadang-kadang bisa mendengarnya
memanggil-manggil dengan sedih"
Otto menarik napas dalam-dalam, lalu memanggil pelanpelan: "Annabel. Annabel. Annabel.." Otto mengayunkan
lentera untuk menambah seram suasana, para peserta tur
tampak menatapnya tanpa berkedip. "Tapi tentu saja masih
ada cerita lain" ia berbisik.
(OodwkzoO) 8 Sementara kami mengikuti Otto keluar-masuk kamarkamar di lantai dua, ia bercerita bagaimana arwah kapten
Bell bergentayangan selama seratus tahun di Hill House.
"Orang-orang yang tinggal di sini sudah mencoba segala
cara untuk mengusirnya, tapi hantu itu tetap tidak mau
pergi" lalu Otto bercerita tentang Andrew, anak laki-laki
yang menemukan hantu itu, dan akibatnya harus
kehilangan kepala. "Hantu si kapten lenyap, ia digantikan
oleh hantu anak laki-laki tanpa kepala, tapi itu belum
semuanya" Kini kami menyusuri lorong-lorong yang panjang dan
gelap, cahaya obor-obor yang terpasang di dinding tampak
berkerlap-kerlip. "Hill House masih diliputi tragedi" Otto
melanjutkan, "Tak lama setelah kematian Andrew Craw,
adik perempuannya yang saat itu berusia dua belas tahun,
jadi gila, mari kita ke kamarnya sekarang"
Ia menunjukkan jalan ke kamaar Hannah, untuk sampai
ke sana, kami harus menyusuri lorong, Hannah punya
koleksi boneka dari porselen, ia punya ratusan boneka,
Semua rambut panjang kuning, pipi kemerahan, dan bola
mata biru. "Setelah kakaknya tewas mengenaskan, Hannah
jadi gila" Otto berkata dengan suara tertahan, "sepanjang
hari, selama delapan puluh tahun, ia duduk di kursi goyang
di pojok sana, Ia bermain dengan boneka-bonekanya, ia tak
pernah pergi lagi meninggalkan kamarnya, tidak sekalipun"
Ia menunjuk kursi goyang yang sudah tua, "Hannah
meninggal di kursi itu, seorang perempuan tua yang
dikelilingi bonekanya" papan-papan berderit ketika Otto
melintasi ruangan, ia menaruh lentera dan duduk di kursi
goyang, kursi itu berderak-derak, aku selalu khawatir kursi
itu bakal ambruk karena tak kuat menahan badan Otto yang
berat, ia mulai berayun-ayun. Pelan-pelan, kursi itu terus
berderak-derak, kami memeperhatikannya membisu.
"Banyak sekali orang percaya bahwa Hanna yang
malang masih di sini" bisik Otto "Mereka bilang mereka
pernah melihat gadis cilik duduk di kursi ini sambil
menyisir rambut boneka" ia terus berayun agar para peserta
tur bisa meresapi ucapannya "dan sekarang kita sampai ke
kisah ibu Hannah" Otto bangkit sambil mendengus, ia
meraih lenteranya dan mengajak kami ke puncak tangga
yang panjang dan gelap di ujung lorong
"Tak lama setelah tragedi yang menimpa putranya, sang
ibu pun mengalami nasib naas, pada suatu malam ia
menuruni tangga ini, lalu terpeleset dan jatuh sampai
tewas" Otto memandang ke kaki tangga, menggelengkan
kepala dengan sedih. Hal itu ia lakukan setiap kali
mengantar para peserta tur, seperti yang kukatakan tadi,
Stephanie dan aku sudah hapal semua gerak-geriknya.
Tapi tujuan kami datang malam ini bukan untuk
menonton Otto, aku tahu, cepat atau lambat Stephanie pasti
akan melaksanakan rencananya. Jadi aku mulai memandang berkeliling, mencari-cari kesempatan untuk
memisahkan diri dari rombongan, tiba-tiba aku melihat
anak laki-laki itu, ia sedang memeperhatikan kami.
Aku tidak melihatnya waktu masuk tadi, dan aku yakin
ia juga belum ada waktu tur dimulai, menurut hitunganku
ada sembilan orang tadi, dan selain Stephanie dan aku, tak
ada anak-anak. Anak tiu kira-kira sebaya kami, rambutnya
pirang berombak, kulitnya pucat, pucat sekali. Celana jeans
maupun kau turtlenecknya berwarna hitam, sehingga
mukanya kelihatan lebih putih lagi. Aku menghampiri
Stephanie, yang berjalan agak jauh di belakang rombongan.
"Siap?" ia berbisik padaku. Otto sudah meulai menuruni
tangga, kalau kami jadi memisahkan diri, sekaranglah
waktunya. Tapi anak laki-laki itu masih memperhatikan kami,
matanya sempat mendelik, aku merinding,
"Tunggu dulu" bisikku pada Stephanie "ada yang
memeperhatikan kita"
"Siapa?" "Anak laki-laki di sebelah sana" aku melirik ke arah anak
itu. Ia masih memperhatikan kami, ia bahkan tidak purapura menengok ke arah lain ketika kami menatap balas
tatapannya. Kenapa ia menatap kami seperti itu" apa yang ia mau"
hati kecilku meyuruh kami menunggu, tapi Stephanie tidak
mau tahu, "Jangan pedulikan dia" katanya "anak itu tidak
penting" ia meraih lenganku dan menarik keras-keras,
"ayo" kami merapatkan punggung ke dinding lorong yang
dingin, sementara pengunjung lain mengikuti Otto
menuruni tangga. Aku menahan napas sampai suara langkah di tangga tak
terdengar lagi, kini kami sendirian, sendirian di lorong yang
panjang dan gelap, aku berpaling pada Stephanie, saking
gelapnya wajahnya nyaris tak kelihatan
"Sekarang bagaimana?" tanyaku.
(OodwkzoO) 9 "Sekarang kita mulai menjelajahi sendiri" Stephanie
menegaskan dengan penuh semangat, sambil menggosokgosok tangan "ini baru asyik" aku memandang ke kirikanan, aku sama sekali tidak bersemangat, aku malah agak
ngeri. Dari salah satu ruangan di seberang lorong terdengar
erangan tertahan, langit-langit di atas kepala kami derderakderak, angin mengguncangkan jendela-jendela di ruangan
yang baru saja kami tinggalkan.
"Steph.. apa tidak lebih baik kalau kita...?" tapi ia sudah
bergegas ke ujung lorong sambil berjinjit, supaya lantainya
tidak berbunyi "Ayo Duane, kita cari kepala si hantu" bisiknya padaku.
Rambutnya yang gelap berkibar-kibar, "Siapa tahu"
barangkali saja kita bisa menemukannuya"
"Huh, yang benar saja" sahutku sambil menggelenggeleng kepala. sejujurnya, aku tetap beranggapan kami
cuma buang-buang waktu, bayangkan, bagaimana caranya
mencari kepala berumur seratus tahun" dan apa yang harus
kita lakukan kalau kita memang berhasil menemukannya"
hii. seperti apa bentuknya" jangan-jangan tinggal tengkorak.
Aku mengikuti Stephanie menyusuri lorong, tapi kalau
boleh pilih, sebenarnya aku lebih suka berada di tempat
lain. Aku lebih suka bergentayangan di sekitar rumah,
menakut-nakuti orang lain, aku tidak suka menakut-nakuti
diriku sendiri. Stephanie masuk ke kamar tidur lain, para pemandu
menyebutnya kamar hijau, karena banyak wallpaper di
dinding bermotif tanaman rambat berwarna hijau, motif
tanaman itu menutupi seluruh dinding juga seluruh langitlangit. bagaimana orang bisa tidur di sini" aku bertanyatanya, rasanya seperti terjebak di hutan lebat.
Kami menyebutnya kamar gatal-gatal, Otto pernah
bercerita bahwa enam puluh tahun lalu sempat terjadi suatu
yang mengerikan di kamar ini. Dua tamu yang menginap di
sini terbangun dengan ruam-ruam ungu di kulit mereka,
ruam itu bermula di lengan dan jari, lau menyebar ke wajah
dan akhirnya menutupi seluruh tubuh, tubuh mereka penuh
bintik-bintik ungu yang gatalnya minta ampun.
Dokter-dokter dari seluruh dunia dipanggil untuk
memepelajari ruam itu, tapi tak ada yang tahu apa
penyebabnya, lebih parah lagi, tak seorang pun bisa
mengobatinya. Mereka hanya bisa menduga ada sesuatu di
kamar hijau, yang menyebabkan bintik-bintik ungu itu,
namun teka-teki itu tak pernah terpecahkan. Begitulah kisah
yang biasa diceritakan Otto dan pemandu lain, bisa jadi
cerita itu benar bisa jadi semua cerita Otto yang aneh dan
menakutkan itu memang benar, siapa yang tahu"
"Ayo dong Duane!" desak Stephanie "kita harus mulai
mencari kepala itu, kita tidak punya waktu banyak, sebentar
lagi Otto akan sadar kita hilang" ia melintasi ruangan dan
mengintip ke kolong tempat tidur.
"Steph, jangan!" ujarku, dengan hati-hati aku melangkahi meja rias pendek di pojok ruangan. "Sudahlah"
aku memohon "kepala hantu itu tak mungkin ada di sini,
kita keluar saja" Ia tak bisa mendengarku, karena ia sudah menyusup ke
kolong tempat tidur, "Steph...?" beberapa detik kemudian ia
keluar lagi, mukanya kelihatan merah ketika ia berpaling
padaku, "Duane!" serunya padaku "Aku...Aku..."
Matanya terbelalak, mulutnya menganga lebar, ia
memegang kedua pipinya, "Ada apa" ada apa?" aku memiki, tergopoh-gopoh aku
mengjampirinya. "Ohhhh, gatalnya! gatalnya minta ampun!" stephanie
meratap-ratap, aku hendak menyahut, tapi suaraku seakan

Goosebumps - Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan tersangkut di tenggorokan.
Stephanie mulai menggosok-gosok wajah, dengan panik
ia mengusap-usap pipi, kening, dan dagunya "Aduuhhhh,
gatalnya! gatal sekali!" sekarang ia mulai menggaruk-garuk
kepala dengan dua tangan, aku meraih lengannya, dan
berusaha mengangkatnya dari lantai,
"Kau kena ruam! ayo kita pulang" seruku "cepat! orang
tuamu bisa panggil dokter! dan.. dan.. "
Aku tercengan ketika melihatnya tertawa, aku melepaskan tangannya, melangkah mundur, ia berdiri, lalu
merapikan rambutnya, "Ya ampun, Duane" gumamnya "mudah sekali kau
ditipu malam ini" "Siapa yang tertipu?" sahutku gusar "Aku cuma
mengira..." Ia mendorongku "Kau terlalu gampang takut, kok bisa
sih kau tertipu oleh tipuan konyol seperti ini?"
Aku balas mendorongnya "Pokoknya jangan bercanda
lagi, oke?" aku mengeram "aku serius, Stephanie, ini tidak
lucu, aku tak bakal tertipu lagi, jadi jangan coba-coba!"
Ia tidak mendengarkanku, pandangannya terarah ke
belakang, dan saking kagetnya, ia sampai terbengongbengong. "Oh.. astaga!" pekiknya "itu kepalanya!"
(OodwkzoO) 10 Lagi-lagi aku tertipu, aku tidak berdaya, mau tidak mau
aku menjerit, aku membalik begitu cepat sehingga aku
nyaris kehilangan keseimbangan dan terjatuh, Aku menoleh
ke arah yang ditunjuk Stephanie, ternyata yang ditunjukkannya cuma gumpalan debu kelabu. "Kena lagi!
kena lagi!" ia menepuk punggungku, mulai tertawa
cekikikan. Aku menggeram kesal sambil mengepalkan tangan, tapi
aku tidak berkata sepatah pun, wajahku panas seperti
terbakar, dan pasti merah karena malu,
"Kau penakut Duane" Stephanie kembali mengejekku
"Akui saja!" "Sudahlah kita cari Otto saja" aku menggerutu
"Jangan Duane! ini lebih seru, ayo kita coba ke kamar
sebelah" ketika melihat aku tidak membuntutinya, ia
berkata, "Aku tidak akan menakut-nakutimu lagi, aku janji"
dalam hati aku ragu, tapi aku mengikutinya juga, apa yang
bisa kulakukan, tak ada pilihan.
Kami melewati lorong sempit yang menuju ke kamar
sebelah, kamar itu ternyata kamar Andrew, Andrew yang
malang, yang mati tanpa kepala. Semua barangnya masih
ada, berbagai macam mainan yang sudah berumur seratus
tahun, sepeda tua yang terbuat dari kayu tampak bersandar
pada dinding. Semuanya pasti masih seperti dulu, seperti
sebekum Andrew bertemu dengan hantu Kapten kapal.
Lenteranya di atas meja rias menimbulkan bayangbayang biru di dinding, aku tidak tahu apakah segala cerita
hantu yang pernah kudenga memanf pernah terjadi atau
tidak. tapi aku punya firasat bahwa kepala Andrew memang
ada, maka kami akan menemukannya di sini, di kamarnya.
Mungkin di bawah tempat tidur berkanopi yang kuno, atau
tersembunyi di antara mainan-mainannya yang terselubung
debu. Sambil mengendap-ngendap, Stephanie menghampiri
mainan-mainan itu, ia membungkuk, dan mulai menggeser
beberapa barang, pin-pin boling berukuran mini dari kayu,
papan permainan yang warna-warnanya sudah memudar,
satu set tentara mainan terbuat dari logam. "Cepat periksa
tempat tidur, Duane!" bisiknya.
Dengan berat hati aku mlintasi ruangan, "Steph,
sebenarnya barang-barang ini tidak boleh dipegang, para
pemandu selalu melarang kita memegang apapun di sini"
Stephanie memindahkan sebuah gasing tua "Kau
menemukan kepala itu atau tidak?"
"Kau benar-benar yakin ada kepala yang disembuntikan
di sini?" "Duane, kau bagaimana" justru itu yang harus kita
selidiki, ya kan?" aku menghela napas dan menghampiri
tempat tidur, percuma saja berdebat dengan Stephanie,
semangatnya sedang berkobar-kobar, ia tidak bisa diajak
kompromi. Aku mulai mengamati tempat tidur, dulu pernah ada
anak laki-laki yang berbaring di sini, kataku dalam hati.
Andrew pernah tidur di bawah selimut ini seratus tahun
lalu, pikiranku membuatku merinding, aku mencoba
membayangkan anak laki-laki seumuranku tidur dari
seberang ruangan. Aku membungkuk, menepuk selimut
yang bermotif kotak-kotak kelabu dan cokelat itu,
selimutnya terasa dingin dan licin.
Aku meraba bantal-bantal, semuanya tearasa empuk, tak
ada yang disembunyikan di situ, Aku hendak memeriksa
kasur ketika selimutnya mulai bergerak, pelan-pelan,
diiringi bunyi gemerisik yang nyaris tak terdengar. Aku
membelalakkan mata karena ngeri, selimut itu bergeser,
seperti ditarik, tapi tak ada siapa-siapa di tempat tidur,
Selimut itu bergerak sendiri.
(OodwkzoO) 11 Aku harus menahan diri untuk tidak berteriak,
"Cepat sedikit dong, Duane!" ujar Stephanie, aku
menoleh dan melihatnya berdiri di ujung tempat tidur.
Kedua tangannya memegang pinggiran selimut, "waktu kita
tidak banyak!" ia menegaskan, lalu kembali menarik
selimut. "tidak ada apa-apa di tempat tidur. oke, berarti
nanti kita harus cari di tempat lain"
Aku mendesah tertahan, ternyata Stephanie yang
menarik selimut dan membuatku merinding, tak ada hantu
di tempat tidur tua itu, tak ada hantu yang menyingkap
selimut untuk menyergapku. Cuma Stephanie, untung saja
dia tidak sempat melihat betapa kagetnya aku, bersamasama kami merapikan selimut, ia tersenyum padaku,
"Asyik huh?" ujarnya.
"Yeah" aku membenarkan, aku berharap ia tidak sadar
bahwa aku masih gemetaran, "jauh lebih seru daripada
melempar laba-laba ke jendela Ben Fuller"
"Aku senang jalan-jalan di sini malam hari, apalagi kalau
tidak ikut rombongan, seperti sekarang, aku bisa merasakan
kehadiran hantu di sekitar sini" Stephanie berbisik.
"Benarkah?" aku tergagap-gagap sambil memandang
berkeliling. Itu dia, di lantai, terselip diantara pintu dan dinding,
setengah tersembunyi dalam bayang-bayang, kepala
Andrew, kali ini aku benar-benar melihat kepalanya, kali ini
bukan tipuan iseng, Aku benar-benar melihat tengkorak
yang bulat. Lubang matanya yang kosong dan gelap, dua
lubang gelap menatapku, mengawasiku, Aku meraih lengan
Stephanie, dan menunjuk, tapi dia juga sudah melihatnya.
(OodwkzoO) 12 Aku yang pertama mampu bergerak, aku maju selangkah
lagi, aku mendengar bunyi napas, di belakangku, dekat
sekali. Baru berapa detik kemudian, aku sadar, yang
kudengar adalah bunyi napas Stephanie. Aku melangkah ke
pojok yang gelap tanpa melepaskan pandangan dari kepala
itu, jantungku mulai berdegup-degup ketika aku membungkuk dan meraih dengan kedua tangan.
Lubang-lubang matanya yang hitam terus menatapku,
mata yang bulat dan sedih, tanganku gemetaran, pelanpelan aku memungutnya, tapi kepala itu terlepas dari
tanganku, dan menggelinding, Stephanie berteriak kaget
ketika kepala itu menggelinding ke arahnya.
Dalam cahaya lentera yang kemerahan, aku melihat
tampangnya yang ketakutan, aku melihat ia berdiri kaku
seperti patung, kepala itu menggelinding di lantai,
membentur sepatunya, lalu berhenti beberapa senti dari
kakinya. Lubang-lubang mata yang hitam menatapnya,
"Duane.." ia memanggilku sambil memandang ke bawah
dengan tangan menempel di pipi, "tak kusangka, tak
kusangka kita akan menemukannya, aku... aku..."
Aku bergegas melintasi ruangan, sekarang giliranku
untuk tampil berani, kataku dalam hati, sekarang giliranku
untuk membuktikan aku bukan penakut, yang merasa ngeri
pada setiap bayangan, sekarang giliranku. Kupungut kepala
si hantu dengan dua tangan, kuangkat di depan hidung
Stephanie, lalu kubawa ke arah lentera di meja rias.
Kepala itu terasa keras, dan lebih licin dari yang kuduga,
lubang-lubang matanya dalam sekali, Stephanie tak
beranjak dari sisiku, bersama-sama kami menghampiri
cahaya lentera yang kemerahan. Aku mengerang ketika
sadar yang kupegang bukan kepala hantu, Stephanie juga
mengerang ketika melihat yang ada di tanganku.
(OodwkzoO) 13 Sebuah bola boling, yang kupegang ternyata sebuah bola
boling yang sudah retak-retak,
"Ya ampun" gumam Stephanie sambil menepuk
keningnya, pandanganku beralih ke pin-pin boling yang
tergeletak di antara mainan-mainan Andrew
"Ini pasti bola untuk pin-pin kayu itu" ujarku pelan
Stephanie mengambil bola itu dari tanganku dan
mengamatinya dari segala arah "tapi lubangnya cuma dua"
Aku mengangguk "Yeah, zaman dulu lubang bola boling
memang cuma dua, Ayahku pernah cerita waktu kami pergi
main boling, ia juga heran di mana orang zaman dahulu
menaruh jempol mereka"
Stephanie memasukkan jari ke dalam kedua lubang,
kedua "lubang mata" ia menggelengkan kepala, tampak
jelas ia kecewa sekali. Suara Otto terdengar menggelegar di
bawah, Stephanie menghela napas "Mungkin lebih baik kita
turun saja, dan bergabung lagi dengan yang lain" ujarnya
sambil menggelindingkan bola boling ke tumpukan mainan.
"Jangan" aku berseru aku belum puas menikmati
peranku sebagai si pemberani di antara kami berdua
"Sekarang sudah larut malam" kata Stephanie "dan kita
akan menemukan kepala hantu di atas sini"
"Ya, karena semua ruangan ini sudah seratus kali kita
jelajah" sahutku "Seharusnya kita cari di tempat yang belum kita datangi"
Stephanie mengerutkan keningnya. "Duane.. apa maksudmu?" "Kurasa kepala hantu itu ada di ruangan yang tidak
dilewati tur, mungkin di atas, di lantai tiga"
Stephanie membelalakkan mata "jadi, kau mau naik ke
lantai tiga?" Aku mengangguk "Kenapa tidak" kemungkinan besar
semua hantunya kumpul di situ, ya kan?"
Ia mengamatiku dengan seksama, aku tahu dia kaget
karena aku punya usul nekat seperti itu. tapi sebenarnya aku
cuma berlagak berani, sebenarnya aku berharap ia akan
bilang "Jangan Duane, kita turun saja" tapi ternyata ia
malah nyengir lebar "Oke kita ke atas"
(OodwkzoO) 14 "Terserah kau saja," aku terus berpura-pura, semoga
tidak sepanjang malam, keberanian si teror kembar
menghadapi ujian berat ketika kami menaiki tangga gelap
yang menuju ke lantai tiga, tangga kayu itu berderak-derak
setiap kali kami melangkah.
Di samping tangga sebanarnya ada tanda bertulisan:
PENGUNJUNG DILARANG NAIK.
Tapi kami tidak peduli, suara Otto tak terdengar lagi,
yang terdengar cuma tangga yang berderit dan berderak di
bawah kaki kami, ditambah bunyi jantungku yang
berdegup-degup, udara teras panas dan lembap ketika kami
sampai di puncak tangga, aku memicingkan mata,
memandang ke lorong yang panjang dan gelap, tak ada
lentera menyala, tak ada cahaya obor.
Satu-satunya sumber cahaya adalah jendela di ujung
lorong, cahaya pucat yang masuk lewat jendela membuat
segala sesuatu tampak kebiru-biruan, suasananya seram
sekali. "Kita mulai dari kamar pertama" Stephanie mengusulkan sambil berbalik, ia menepis rambut yang
menggelantung di depan matanya. Udara terasa panas
sekali di atas sini, saking panasnya, keningku sampai basah
karena keringat, aku menyekanya dengan lengan jaket, dan
mengikuti Stephanie ke kamar pertama di sebelah kanan.
Pintu kayunya yang berat setengah terbuka, kami
menyelinap masuk, cahaya biru pucat menyorot melalui
jendela-jendela yang berlapis debu. Aku menunggu sampai


Goosebumps - Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mataku terbiasa dengan suasana yang remang-remang,
kemudian aku memandang ke sekeliling ruangan besar itu.
Ruanagan itu kosong, kosong sama sekali. tak ada tandatanda kehidupan, atau hantu. "Steph, lihat itu!" aku
menunjuk pintu kecil di dinding seberang "Ayo kita
periksa!" Kami mengendap-ngendap melintasi lantai kayu, melalui
jendela yang berdebu kulihat bulan purnama di luar, tinggi
di atas pohon-pohon yang gundul. Pintu kecil itu ternyata
menuju ke ruangan lain, yang lebih kecil dan lebih panas
lagi, di satu dinding ada alat pemanas, dua sofa model kuno
berhadapan di tengah ruangan, selain itu tak ada perabotan
apa pun. "Ayo jalan lagi!" Stephanie berbisik, pintu kecil di
ruangan yang panas itu juga menuju ke ruangan lain lagi
"Semua kamar di atas sini saling berhubungan" aku
bergumam, lalu aku bersin, dan bersin lagi.
"Ssst... jangan ribut Duane!" Stephanie menegurku
"hantunya bakal kabur kalau berisik terus"
"Habis bagaimana lagi?" aku memprotes "hidungku
paling tidak tahan kalau kena debu" kami berada di
semacam ruang jahit, di meja di depan jendela tampak
mesin jahit kuno, kardus di samping kakiku penuh
gulungan benang hitam. Aku membungkuk dan memeriksa
kardus, tak ada kepala yang tersembunyi di sana. Kami
melangkah ke raung berikut, dan tahu-tahu kami sudah
diselubungi kegelapan pekat.
Jendela ruangan itu tertutup papan-papan kayu, hanya
ada sedikit cahaya yang menerobos lewat celah.
"Aku tidak bisa melihat apa-apa" kata Stephanie, aku
merasakan tangannya meraih lenganku, "di sini terlalu
gelap, ayo Duane, kita keluar saja!"
Aku hendak menyahut tapi bunyi brukkk yang keras
membuatku terdiam, Stephanie meremas tanganku, "Duane, suara apa itu?" bunyi brukk itu terdengar lagi, kali
ini lebih dekat "Aku tidak tahu" jawabku tergagap-gagap
"Kita tidak sendirian di sini" bisik Stephanie aku
menarik napas dalam-dalam
"Siapa itu?" aku memanggil "Siapa yang ada di sini?"
(OodwkzoO) 15 "Siapa itu?" kataku dengan suara parau, Stephanie
meremas-remas tanganku sampai terasa sakit, tapi aku tidak
bergerak, tidak berusaha menjauh darinya. Kudengar suara
langkah, langkah-langkah ringan, aku merinding, tengkukku terasa kaku, aku terpaksa mengunci rahang
supaya gigiku tidak bergemeletuk.
Dan kemudian dalam kegelapan kulihat mata berwarna
kuning mendekati kami, Empat mata berwarna kuning
makhluk itu bermata empat! aku mengerang tertahan, aku
tak bisa bernapas, tidak bisa bergerak. Aku memandang
lurus ke depan, dan pasang telinga, berkedip pun aku tak
sanggup, keempat mata itu berpencar berpasangan, dua ke
kanan, dua ke kiri. "Ohhh" aku berteriak kaget ketika semakin banyak mata
bermunculan, mata-mata berwarna kuning tampak di
semua sudut, di sepanjang dinding, dan semua berkilat-kilat
menatap kami. Ke mana pun aku menoleh, yang tampak
hanyalah mata berwarna kuning. puluhan mata kuning
mirip mata kucing menatap Stephanie dan aku, sementara
kami saling mendesak di tengah ruangan.
Mata kuning mirip mata kucing.
Mata Kucing!! Ruangan itu penuh kucing, aku tahu karena salah satu
kucing tiba-tiba merintihm dan suara meooonngg dari
ambang jendela akhirnya membuat Stephanie dan aku
menarik napas lega. Seekor kucing menempelkan badannya
ke kakiku, Aku kaget setengah mati, melompat ke samping,
dan menabrak Stephanie, ia langsung mendorongku.
Kucing-kucing itu mulai mengaung-ngaung, satu lagi
menyerempet betisku, "Aku rasa kucing-kucing ini kesepian" Stephanie
tergagap-gagap "jangan-jangan tak pernah ada orang yang
naik ke sini" "Masa bodoh" balasku dengan ketus "waktu pertama
melihat mata mereka yang kuning, kupikir... kupikir...
entah apa yang aku pikir, tempat ini terlalu seram, ayo, kita
keluar saja!" sekali ini Stephanie tidak membantah
Ia menuju pintu di bagian belakang ruangan, kucingkucing di sekeliling kami seolah-olah ingin membentuk
paduan suara terus mengaung bersahutan. satu kucing lagi
menyerempet kakiku, kaki Stephanie tersandung seekor
kucing, ia jatuh dalam kegelapan, lututnya berdebam
memberntur lantai. Suara kucing itu bertambah keras.
"Kau tidak apa-apa?" tanyaku, aku langsung menghampirinya untuk membantunya berdiri, tapi saking
berisiknya kucing-kucing di sekitar kami, aku tak dapat
mendengar jawaban Stephanie. kami berlari ke pintu,
membukanya, dan menyelinap keluar. Cepat-cepat aku
menutup pintu, seketika suasana kembali hening, "di mana
kita?" bisikku "Aku tidak tahu" Stephanie terbata-bata, ia tidak berani
menjauhi dinding, aku berjalan ke jendela yang tinggi dan
sempit, lalu memandang keluar lewat kaca yang penuh
debu. jendela itu ternyata mengahdap ke sebuah balkon
yang menjorok dari atap bergenteng kelabu.
Cahaya bulan yang putih pucat masuk melalui jendelam
aku berpaling pada Stephanie, "Kita ada di semacam lorong
belakang" aku menebak, lorong yang panjang dan sempit
itu seakan-akan tak berujung, "kamar-kamar di sini
mungkin dipakai oleh para karyawan, oleh Manny, si
penjaga malam, para petuga kebersihan, dan para
pemandu" Stephanie menghela napas, ia memandang ke lorong
yang panjang "Kita turun saja, cari Otto dan pengunjung
lain, rasanya penjelajahan kita sudah cukup malam ini"
Aku sependapat, "di ujung lorong pasti ada tangga, ayo,
kita ke sana!" Aku berjalan empat atau lima langkah, tiba-tiba
kurasakan sentuhan tangan-tangan halus, tangan-tangan itu
mengusap wajahku, tengkukku, tubuhku. Sekujur tubuhku
dibelai-belai oleh tangan-tangan yang tak kelihatan, tangantangan itu seakan-akan mencengkeram diriku.
"Ohh, Tolong!" Stephanie mengerang, rupanya ia juga
sudah dalam cengkeraman tangan-tangan hantu.
(OodwkzoO) 16 Tangan-tangan hantu itu menggerayang diriku, jarijemari yang kering kerontang dan ringan seperti udara
sudah mencengkeram diriku. Stephanie mengayun-ayun
tangan dengan panik. ia berusaha keras untuk membebaskan diri, "ini seperti jaring" serunya kalang
kabut. Aku mengusap wajahku, rambutku, Aku mencoba
berbalik, tapi jari-jemari itu tetap maelekat, malah semakin
ketat. Kemudian aku sadar aku bukan dalam cengkeraman
tangan-tangan hantu, sementara aku mengayunkan tangan
kian kemarim aku mendadak sadar bahwa kami
terperangkap sarang laba-laba. Sarang laba-laba yang
menyerupai tirai tebal, jalinan benang-benang itu menyelubungi kami bagaikan jaring nelayan, semakin keras
kami meronta, semakin kencang pula cengkeramannya.
"Stephanie... ini sarang laba-laba" aku berseru, lalu
melepaskan gumpalan benang yang melekat di wajahku.
"Tentu saja laba-laba" sahutnya sambil mengayunayunkan tangan, "memangnya kau pikir apa?"
"Ehm.. hantu" aku bergumam,
Stephanie tertawa mengejek "Aduh Duane, kau terlalu
banyak berkhayal, tapi kalau kau begini terus, kita tak bakal
keluar dari sini" "Aku.. aku... aku.." aku tidak tahu harus berkata apa,
Aku yakin pikiran Stephanie sebenarnya sama dengan
pikiranku, ia juga menyangka kami ditangkap hantu, tapi
sekarang ia berlagak sok tahu, seakan sejak awal ia sudah
tahu bahwa itu cuma sarang lab-laba.
Kami berdiri dalam kegelapan sambil berusaha
melepaskan benang-benang lengket itu dari wajah, tagan,
dan tubuh, aku menggerutu dengan kesal, benang-benang
itu tidak mau lepas dari rambutku, "Aku bakal gatal-gatal
sampai tua" seruku, "Ini sih belum seberapa" Stephanie bergumam "ada yang
lebih parah lagi" Aku menarik potongan sarang lab-laba yang melekat di
telingaku, "Hah?"
"Coba tebak siapa yang bikin sarang ini"
Aku tidak perlu berpikir panjang "laba-laba" lengan dan
kakiku mulai gatal, begitu juga punggungku dan tengkukku,
jangan-jangan ada laba-laba yang merayap naik-turun di
tubuhku, beratus-ratus laba-laba. Aku langsung lari,
Stephanie langsung melakukan hal yang sama, kami berlari
menyusuri lorong yang panjang, sambil terus menggarukgaruk dan menepuk-nepuk "Steph, lain kali kalau kau punya ide bagus, lebih baik
simpan saja" aku memperingatkannya,
"Sudahlah, yang penting kita harus menemukan jalan
keluar dari sini" ujarnya, kami sampai di ujung lorong, tapi
tak ada tangga di sana, jadi bagaimana caranya turun lagi"
Ternyata ada lorong lain yang membelok ke kiri, cahaya
redup lilin di atas pintu-pintu tampak menari-nari, bayangbayang melintas di karpet bagaikan bintang-bintang yang
menggeliat "Ayo" aku menarik Stephanie, kami tidak punya pilihan,
kami harus menyusuri lorong itu, kami lari berdampingan,
semua kamar yang kami lewati gelap dan sunyi. Api lilinlilin bergetar ketika kami berlari, bayangan Stephanie dan
aku bergerak mendului, seakan-akan ingin lebih cepat
sampai ke bawah. "Apalagi sekarang?" gumam Stephanie sambil terengahengah, matanya yang gelap langsung melebar, kami pasang
telinga, aku mendengar suara-suara, suara-suara yang
berasal dari ruangan di ujung lorong. Pintunya tertutup,
kudengar seorang laki-laki mengatakan sesuatu, entah apa
aku tak bisa dengar, seorang wanita tertawa, beberapa
orang lain ikut tertawa, "Itu pasti rombongan kita" aku berbisik,
Stephanie mengerutkan kening "tidak mungkin" ia
membantah, "rombongan tur tak pernah dibawa sampai ke
lantai paling atas" Kami hampir menghampiri pintu dan kembali pasang
telinga, sekali lagi kami mendengar suara tawa, sepertinya
banyak orang sedang bersenda-gurau dan berbicara
berbarengan, sepertinya ada pesta. Aku menempelkan
telinga ke daun pintu "kurasa turnya baru selesaim dan
sekarang anggota rombongan asyik mengobrol" aku
berbisik kepada Stephanie. ia menggaruk kepala, menarik
segumpal benang lengket yang masih menempel di
rambutnya. "Ayo dong, Duane, cepat, buka pintunya, biar kita bisa
bergabung lagi dengan mereka" ia mendesak.
"Moga-moga Otto tidak tanya ke mana saja kita pergi
tadi" ujarku. Aku meraih pegangan pintu dan membukanya, Stephanie dan aku melangkah masuk, dan
seketikan kami membelalakkan mata.
(OodwkzoO) 17 Ruangan itu ternyata kosong, kosong melompong, sunyi
dan gelap, "hei, ada apa ini" ke mana mereka?" seru
Stephanie. Kami maju selangkah, lantai kayu di bawah kaki
kami berderak-derak, itu satu-satunya suara yang terdengar,
"aku tidak mengerti" bisik Stephanie "kita baru saja
mendengar suara-suara di sini"
"Ya" ujarku "ada orang yang tertawa dan mengobrol,
kedengarannya seperti ada pesta"
"Pesta yang meriah" Stephanie menambahkan sambil
memandang-mandang berkeliling "yang dihadiri banyak
orang" tiba-tiba punggungku serasa disiram air es
"Barangkali yang kita dengar bukan orang" aku berbisik.
"Bukan suara orang" aku berkata parau "tapi suara
hantu" Stephanie langsung melongo "Dan langsung hilang


Goosebumps - Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu kita membuka pintu?"
Aku mengangguk "rasanya mereka masih ada di sini, ih,
aku jadi merinding" Stephanie berteriak tertahan, "apa maksudmu?" tiba-tiba
aku langsung merasakan embusan angin dingin menerpa,
membuatku gemetaran, rupanya Stephanie juga merasakannya. Ia langsung menyilangkan tangan di depan dada "brr...!
kau juga merasa ada angin" apa jendela yang terbuka"
kenapa tiba-tiba jadi dingin begini" tanyanya. lalu ia
berbisik "jangan-jangan kita tidak sendirian di sini?"
"Sepertinya memang begitu" aku menyahut pelan
"jangan-jangan pesta itu bubar gara-gara kita" Stephanie
dan aku berdiri seperti patung di tengah ruangan.
Aku tidak berani bergerak, siapa tahu semua hantu yang
kami dengar tadi sekarang mengelilingi kami, memandang
kami, bersiap-siap untuk memberi pelajaran pada kami.
Nurseta Satria Karang Tirta 5 Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo Pengkhianatan Dewa Maut 2

Cari Blog Ini