Ceritasilat Novel Online

Misteri Hantu Tanpa Kepala 2

Goosebumps - Misteri Hantu Tanpa Kepala Bagian 2


"Stephanie" bisikku "bagaimana kalau pesta mereka benarbenar bubar karena kita" bagaimana kalau ruangan ini
ternyata memang tempat para hantu?" Stephanie menelan
ludah, tidak menyahut, bukankah Andrew kehilangan
kepalanya waktu masuk ke tempat si hantu" dan bagaimana
kalau sekarang kami berada di tempat yang sama" kamar
tempat Andrew beremu denagan arwah si hantu kapten"
"Stephanie, kurasa lebih baik kita keluar dari sini" ujarku
pelan "sekarang juga" rasanya aku mau kabur saja, aku
ingin berlari menuruni tangga, kabut dari Hill House,
berlari kerumahku yang hangat, aman dan bebas dari hantu,
bebas dari hantu, kami berbalik dan berlari ke pintu.
Apakah hantu-hantu itu akan berusaha mencegah kami"
ternyata tidak, kami berhasil keluar, ke lorong yang
diterangi cahaya lilin yang berkerlap-kerlip, terburu-buru
aku menutup pintu "Tangganya, mana tangganya?" seru Stephanie, kami
berdiri di ujung lorong menghadap tembok kokoh, bungabunga pada wallpaper di dinding seakan-akan mengembang
dan menguncup dalam cahaya lilin yang menari-nari. Aku
menggedor-gedor tembok dengan kedua tangan "bagaimana
cara kita keluar dari sini" bagaimana caranya?". Stephanie
sudah membuka pintu di seberang lorong, kau segera
menyusul masuk. "Oh!" ruangan itu dipenuhi sosok-sosok menyeramkan,
baru beberapa detik kemudian akau sadar ternyata yang
kulihat cuma perabot yang ditutupi kain putih, kursi-kursi
dan sofa-sofa yang terbungkus kain
"Mungkin ini ruang duduk para hantu" aku tergagapgagap, Stephanie tidak mendengarku, ia telah melewati
pintu tebuka di dinding seberang, aku mengikutinya ke
ruangan lain yang penuh peti besar, tumpukan peti itu
hampir mencapai langit-langit. kami memasuki ruang lain
dan ruang lain lagi, jantungku berdegup-degup, leherku
serasa dicekik. aku mulai putus asa, sampai kapan kami
harus berlari-lari mencari tangga"
Pintu lain lagi, ruang gelap dan kosong lagi, "hei
Steph.." bisikku "rasanya kita cuma berputar-putar" kami
sampai di sebuah lorong, akhirnya kami sampai di pintu
yang belum pernah kami lihat, pada daun pintunya terpaku
sepatu kuda. barang kali itu pertanda bahwa keberuntungan
kami akan berubah, semoga saja!
Tanganku gemetaran ketika aku meraih pegangan pintu,
kubuka pintu, sebuah tangga! "Yes" seruku
"Akhirnya" Stephanie menimpali dengan napas tersengal-sengal, "Ini pasti tangga para pelayan" aku menduga-duga
"mungkin kita terjebak di tempat tinggal pelayan tadi"
tangga itu tampak curam dan terselubung kegelapan, aku
turun selangkah demi selangkah sambil berpegangan pada
dinding. Sebelah tangan Sthepanie menggenggam pundakku,
setiap kali aku melangkah ia juga ikut. Satu langkah lagi,
dan satu langkah lagi, bunyi sepatu kets kami bergema di
ruangan tangga. kami sudah menuruni sekitar sepuluh anak
tangga ketika aku mendengar suara langkah lain. suara
langkah menaiki tangga dari bawah.
(OodwkzoO) 18 Aku berhenti mendadak, Stephanie tidak sempat bereaksi
sehingga ia menabrakku dari belakang, aku langsung
menempelkan kedua tangan ke dinding supaya tidak jatuh.
Tak ada waktu untuk berbalik, tak ada waktu untuk pergi,
suara langkah dari bawah semakin keras, semakin berat,
berkas cahaya senter menyapu Stephanie dan aku.
Aku memicingkan mata dan melihat sosok gelap
mendaki tangga, menghampiri kami, "Rupanya kalian ada
di sini" suaranya menggelegar. Suaranya akrab di telinga,
"Otto" Stephanie dan aku berseru berbarengan, ia
berhenti di hadapan kami,
"Kenapa kalian ada di atas sini?" Otto bertanya.
"Entah...kami kesasar" ujarku cepat-cepat,
"Kami terpisah dari rombongan" Stephanie menambahkan "Kami sudah berusaha mencari yang lain"
"Ya kami sudah berusaha" aku menimpali "kami sudah
mencari ke mana-mana, tapi tidak ketemu"
Otto menurunkan senternya, ia memincingkan matanya
yang kecil dan menatap kami, sepertinya ia tidak percaya
cerita kami. "kupikir tur-ku sudah kalian hapal di luar
kepala" ujarnya sambil mengucap dagu.
"Memang" Stephanie berkeras "Tapi kami salah jalan,
kami tersesat dan kami..."
"Tapi bagaiman kalian bisa sampai di lantai tiga?" tanya
Otto "Ehm.." aku bergumam, aku tidak bisa memikirkan
alasan yang masuk akal, aku menoleh pada Stephanie yang
berdiri satu anak tangga di atasku.
"Kami mendengar suara-suara di atas, kami pikir
rombongannya ada di sini" katanya pada Otto.
Ia tak sepenuhnya bohong, kami memang mendengar
suara-suara di sini, Otto mengarahkan senternya ke bawah,
"ayo, kita turun lagi, lantai tiga ini tertutup untuk umum
tak boleh ada yang masuk"
"Maaf" Stephanie dan aku bergumam.
"Hati-hati" Otto mewanti-wanti "tangga belakang ini
curam dan sudah reyot, kita kembali ke rombongan tur
sekarang, Edna memandu mereka sementara aku mencari
kalian" Edna pemandu kami yang kedua, orangnya sudah tua,
rambutnya sudah putih semua, kulitnya pucat, dan ia
kelihatan rapuh sekali, apalagi dengan seragam pemandu
yang serba hitam. Tapi ia pintar bercerita, semua kisah
seram yang diceritakannya jadi lebih menakutkan lagi,
Stephanie dan aku menuruni tangga di belakang Otto.
Berkas cahaya senternya terarah ke depan ketika ia
membimbing kami ke lantai dua, kami menyusuri lorong
panjang, lorong yang kukenal baik.
Kami berhenti di depan kamar kerja Joseph Craw,
Joseph ayah Andrew, aku mengintip ke dalam, api tampak
menari-nari di tempat perapian. Edna berdiri di samping
tempat perapian, dan ia sedang menceritakan kisah Joseph
Craw yang tragis kepada rombongan tur. Stephanie dan aku
sudah seratus kali mendengar cerita yang sedih itu, suatu
hari, kira-kira satu tahun setelah Andrew kehilangan kepala,
Joseph pulang larut malam, waktu itu musim dingin, ia
membuka mantel, lalu berdiri di depan tempat perapian
untuk menghangatkan diri.
Tak seorang pun tahu bagaimana Joseph sampai
terbakar, paling tidak, itulah yang dikatakan Otto, Edna,
dan para pemandi yang lain, barangkali ia didorong ke
tempat perapian, mungkin juga jatuh sendiri. Tak ada yang
bisa memastikannya, tapi ketika salah satu pembantu
memasuki ruang kerjanya keesokan pagi, ia menemukan
pemandangan yang mengerikan. Ia menemukan sepasang
tangan gosong yang berpegangan pada tepi perapian.
Sepadang tangan itu mencengkeram pinggir tempat
perapian yang terbuat dari marmer, hanya itulah yang
tersisa dari Joseph Craw, mengerikan, aku selalu merinding
kalau mendengarnya. Otto mengajak kami masuk, Edna
tiba pada bagian akhir cerita yang membuat bulu kuduk
berdiri, "Kalian mau bergabung lagi?" tanya Otto
"Ehm, rasanya sudah terlalu malam, kami harus pulang"
jawab Stephanie, aku langsung membenarkan, "terima
kasih kau telah menyelamatkan kami, kapan-kapan kami
ikut tur lagi" "Selamat malam" ujar Otto sambil mematikan senter
"kalian bisa keluar sendiri, bukan?" ia segera masuk ke
ruang kerja. Aku hendak berbalik, tapi tiba-tiba anak laki-laki itu
muncul lagi, nak laki-laki pucat yang berambut pirang
berombak. Anak laki-laki yang memakai jeans dan kaus
turtleneck warna hitam, Ia berdiri agak jauh dari
rombongan tur, di dekat pintu, dan ia kembali menatap
Stephanie dan aku, ia menatap kami dengan tatapan dingin.
"Ayo" aku berbisik sambil meraih lengan Stephanie, aku
menariknya menjauhi pintu ruang kerja.
Kami segera menuju ke tangga depan, beberapa detik
kemudian kami membuka pintu depan dan melangkah
keluar. Angin dingin menyambut kami ketika kami
menuruni bukit, awan-awan hitam melintas di depan bulan.
"Wah asyik juga ya tadi" ujar Stephanie menarik
ritsleting jacketnya sampai ke dagu.
"Asyik?" aku tidak sependapat dengannya "menurutku
sih agak menakutkan"
Stephanie menatapku sambil nyengir "Tapi itu membuktikan kita bukan penakut, benar kan?"
Aku menggigil "Ya"
"Rasanya aku ingin menjelajahi Hill House lagi" katanya
"mungkin kita bisa kembali ke ruangan yang penuh suara,
siapa tahu kita nanti ketemu hantu sungguhan
"Yeah, boleh saja" kataku asal saja, aku terlalu capek
untuk berdebat dengan Stephanie, ia mengeluarkan syal wol
dari saku jaketnya ketika ia melilitkan di leher, satu
ujungnya tersangkut pada semak-semak. Aku melepaskan
ujung syal dari semak berduri, dan tiba-tiba saja aku
mendengar suara itu, bisikan pelan, bisikan pelan di balik
semak-semak. Tapi aku mendengarnya jelas sekali, "Kalian temukan
kepalaku?" itulah yang kudengar "Kalian temukan
kepalaku" kepalaku sudah ketemu?"
(OodwkzoO) 19 Aku menahan napas dan menatap ke tengah semaksemak "Hei Stephanie, kau dengar itu" ujarku pelan, tak
ada jawaban "Stephanie" Steph?" aku membalik, ia
menatapku dengan tatapan kosong karena kaget. "kau juga
dengar bisikan itu?" tanyaku sekali lagi, kemudian aku
sadar bahwa bukan aku yang ditatapnya pandangannya
tertuju ke belakangku. Aku berbalik, dan melihat anak laki-laki berambut pirang
yang tadi ada di Hill House berdiri di samping semaksemak, "hei, kau yang berbisik-bisik ya" ujarku ketus.
Ia memicingkan mata abu-abunya yang pucat "hah"
aku?" "Yeah, kau!" kataku "kau mau menakuti-nakuti kami
ya?" Ia menggelengkan kepala, "tidak"
"Jadi bukan kau yang bisik-bisik dari balik semaksemak?" aku bertanya sekali lagi,
"Aku baru sampai di sini" anak itu berkata, kurang dari
semenit yang lalu ia masih di kamar kerja Joseph Craw,
kataku dalam ahti, bagaimana caranya keluar begitu cepat"
"Kenapa kau membuntuti kami?" tanya Stephanie, anak
itu cuma angkat bahu, "Kenapa kau menatap kami terus tadi?" aku bertanya
sambil melangkah ke samping Stephanie. Angin menderuderu puncak bukit, semak-semak di samping kami bergetar,
seolah-olah kedinginan, awan-awan hitam masih terus
melintas di depan bulan. Anak itu tidak memakai jaket, cuma kaus turtleneck dan
celana jeans hitam, rambutnya yang pirang berombak
bergerak-gerak tertiup angin.
"Tadi kau melototi kami" Stephanie mengulangi,
"kenapa?" anak itu kembali angkat bahu, matanya yang
kelabu tertuju ke bawah, seakan-akan tak berani menatap
kami, "Aku lihat kalian pergi diam-diam" ujarnya "kupikir
kalian... kalian melihat sesuatu yang menarik"
"Kami tersesat" aku berkata sambil melirik Stephanie
"kami tidak melihat apa-apa"
"Siapa namamu?" tanya Stephanie"
"Seth" ia menyahut, kami pun memperkenalkan diri.
"Kau tinggal di Wheeler Falls?" tanya Stephanie, ia
menggelengkan kepala, ia masih juga menunduk,
"Tidak, aku cuma berjunjung ke sini" kenapa ia tidak
mau menatap kami" apakah karena ia pemalu.
"Jadi bukan kau yang bisik-bisik dari balik semak-semak
tadi?" aku bertanya sekali lagi, ia menggelengkan kepala,
"Bukan, mungkin ada yang mau mengolok-olok kalian"
"Bisa saja" kataku, aku melaju selangkah dan
menendang semak-semak itu, aku sendiri tidak tahu untuk
apa. dan ternyata memang tidak terjadi apa-apa.
"Kau dan Stephanie keliling-keliling sendiri tadi, ya"
tanya Seth "Yeah, tapi cuma sebentar, kami suka hal-hal yang eh...
berbau hantu" ia langsung menegakkan kepala sewaktu
mendengar ucapanku, mula-mula ia menatap Stephanie,
kemudian beralih padaku. Sejak tadi wajahnya tak bereksperi sama sekali, tapi
sekarang ia kelihatan benar-benar bersemangat, "Kalian
mau lihat hantu sungguhan?" ia bertanya sambil mendelik
"mau?" (OodwkzoO) 20 Seth menatap kamu dengan pandangan menantang
"Kalian mau lihat hantu sungguhan?"
"Yeah, tentu" jawab Stephanie sambil membalas
tatapannya,

Goosebumps - Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa maksudmu Seth?" tanyaku "memangnya kau
pernah lihat hantu?"
Ia mengangguk "Yeah, di situ" ia menggerakkan dagu ke
arah rumah batu d belakang kami.
"Hah?" seruku "kau pernah lihat hantu sungguhan di
Hill House" kapan?"
"Duane dan aku sudah seratus kali ikut tur" ujar
Stephanie "tapi tidak sekali pun kami lihat hantu di sana"
Seth tertawa terkekeh-kekeh "tentu saja, kalian pikir
hantunya mau keluar di tengah rombongan tur" mereka
tunggu sampai turnya selesai, mereka tunggu semua
pengunjung pulang" "Dari mana kau tahu?" tanyaku
"Aku pernah menyusup masuk" balas Seth, "malam-malam" "Hah?" seruku "kau masuk dari mana" "
"Aku menemukan pintu di belakang, pintunya tidak
terkunci, mungkin para pemandu lupa menguncinya" Seth
menjelaskan "aku masuk diam-diam setelah semua turis
pulang, dan aku.." ia mendadak terdiam, matanya tertuju
ke rumah di puncak bukit. aku membalik dan melihat pintu
depan membuka, sejumlah orang melangkah keluar sambil
mengencangkan mantel atau jaket mereka. tur terakhir
sudah selesai, dan sekarang orang-orang itu hendak pulang
ke rumah masing-masing. "Sebelah sini" bisik Seth, kami mengikutinya ke balik
semak-semak dan jongkok di sampingnya, para peserta tur
terakhir melewati kami, mereka tertawa, asyik membahas
semua cerita hantu yang mereka dengar di Hill House tadi.
Setelah mereka menuruni bukit, kami berdiri lagi, Seth
menyibakkan rambutnya yang panjang ke belakang, tapi
angin meniupkannya kembali ke kening
"Aku masuk malam-malam, waktu rumah sudah gelap"
ia mengulangi "Orangtuamu tidak marah kau keluar malam-malam
begini" aku bertanya.
Ia tersenyum simpul "mereka tidak tahu" ujarnya pelan,
senyumnya meredup "kalian boleh keluar jam segini?"
Stephanie tertawa "Orangtua kami juga tidak tahu"
"Bagus" kata Seth.
"Kau pernah benar pernah lihat hantu?" tanyaku, ia
mengangguk, lalu menyibakkan rambutnya lagi,
"Aku diam-diam melewati Manny, si penjaga malam, ia
sudah tidur lelap, asyik mendengkur, kau mengendapngendap sampai ke tangga depan, dan tiba-tiba aku
mendengar suara tawa"
Aku menelan ludah "suara tawa?"
"Ya, dari puncak tangga, aku langsung mundur dan
merapat ke dinding, dan aku lihat hantunya, Nenek-nenek
yang sudah tua, ia pakai gaun panjang dan topi hitam, dan
mukanya tersembunyi di balik cadar hitam yang tebal, tapi
matanya tetap kelihatan, soalnya matanya menyala merah,
seperti api!" "Wow!" seru Stephanie "lalu bagaimana?"
Seth berpaling ke arah rumah di puncak bukit, pintu
depan sudah ditutup lagi, lentera di atas pintu telah
dipadamkan, rumah itu tampak gelap gulita. "hantu tua itu
meluncur lewat pagar tangga" Seth melaporkan "kepalanya
mendongak, dan ia tertawa cekikikan sambil meluncur,
matanya meninggalkan jejak merah membara, seperti ekor
komet" "Kau tidak takut?" tanyaku pada Seth "kau tidak
berusaha kabur?" "Tidak sempat" sahutnya "ia meluncur turun lewat
pagar tangga, persis ke arahku, matanya menyala-nyala,
dan ia terus berteriak dan cekikikan, aku merapat, aku
merapat ke dinding, aku tidak bisa bergerak, dan waktu ia
sampai bawah, kupikir ia akan menyambarku, tapi ternyata
ia lenyap, hilang dalam kegelapan, cuma jejak matanya
yang masih tampak" "Oh, wow!" seru Stephanie
"Heboh" aku menimpali,
"Aku mau menyusup lagi" ujar Seth sambil melirik ke
arah Hill House "aku yakin masih banyak hantu di situ, aku
mau melihat semuanya"
"Aku juga" Stephanie langsung menyambut penuh
semangat. Seth menatapnya sambil tersenyum, "jadi kalian mau
ikut denganku" besok malam" aku malas kalau sendirian,
bertiga pasti jauh lebih seru lagi" angin bertiup kencang,
bulan tertutup awan-awan hitam, rumah tua di puncak
bukit jadi semakin gelap "bagaimana, kalian mau ikut besok
malam?" Seth menegaskan sekali lagi.
"yeah, tentu!" Stephanie menyahut penuh semangat
"aku sudah tidak sabar, kau bagaimana, Duane?" ia
bertanya padaku "kau juga mau ikut kan, Duane?"
(OodwkzoO) 21 Aku bilang ya, kubilang aku sudah tak sabar melihat
hantu sungguhan, kubilang aku gemetaran karena angin
yang dingin, bukan karena ngeri, kami sepakat untuk
ketemu lagi dibelakang Hill House, besok tengah malam,
kemudian Seth bergegas pergi, Stephanie dan aku berjalan
pulang. Jalanan gelap dan lengang, lampu-lampu rumah
sebagian besar sudah padam, di kejauhan terdengar anjing
melolong. Stephanie dan aku berjalan cepat-cepat, sambil membungkuk sedikit untuk melawan angin yang kencang,
tidak biasanya kami berkeliaran di luar pada malam selarut
ini, besok kami akan pulang lebih larut lagi.
"Aku curiga pada anak itu" kataku ketika kami tiba di
pekarangan rumah Stephanie, "ia aneh sekali" kupikir
Stephanie bakal sependapat denganku, tapi ia malah
berkata "kau cuma iri, Duane"
"Hah" Iri" Aku?" aku tidak percaya ia bilang begitu,
"kenapa aku harus iri?"
"Karena Seth begitu berani, karena ia pernah melihat
hantu, sementara kita belum"
Aku menggelengkan kepala "kau percaya pada
ceritanya" Kau percaya ada hantu yang main perosotan di
pagar tangga?" menurutku sih, ia cuma mengada-ada"
"Hm.." Stephanie bergumam "besok malam kita akan
dapat jawabannya" besok malam datang lebih cepat
daripada yang kuinginkan.
Siang itu aku ada ujian matematika di sekolah, dan
kurasa hasilnya tidak akan bagus, karena aku terus
memikirkan Hill House, Seth dan hantu. Sehabis makan
malam, mom mendatangiku di ruang duduk, ia mengusap
rambutku dan mengamati wajahku, "kau kelihatannya
capek sekali" katanya "di sekeliling matamu ada bayangan
gelap" "Mungkin karena aku keturunan racoon" sahutku, aku
selalu bilang begitu kalau mom menyinggung lingkaran
gelap di seputar mataku. "Lebih baik kau tidur cepat malam ini" dia menimpali, ia
selalu memaksa semua orang agar tidur cepat, jadi pukul
setengah sepuluh aku sudah harus masuk kamar, tapi tentu
saja aku tidak tidur. Jadi, setengah sepuluh ak usudah
masuk kamar, tap tentu saja aku tidak tidur, aku membaca
buku dan mendengarkan msuik lewat walkmanku, aku
menunggu Mom dan Dad masuk kamar, sebentar-sebentar
aku melirik ke arah jam, kalau sudah tidur, mom dan dad
tidak bisa diganggu oleh apa pun juga, biar ada bom
meledak di sebelah rumah mereka takkan bangun.
Wheeler Fells prenah diterjang angin badai suatu malam,
dan mereka sama sekali tidak terusik, sungguh mereka tidak
tahu ada pohon tumbang menimpa atap rumah kami.
Orang tua Stephanie juga begitu, itulah sebabnya kami
berdua begitu mudah keluar lewat jendela kamar tidur
masing-masing, itulah sebabnya begitu mudah bagi kami
untu bergentayangan di malam hari.
Tengah malam semakin dekat, aku semakin gelisah,
sebenarnya aku lebih suka gentayangan di sekitar rumah,
aku lebih suka bersembunyi di bawah jendela Chrissy
Jacob, lalu melolong seperti serigala, Setelah itu melempar
laba-laba karet ke tempat tidur Ben Fuller. Tapi menurut
Stephanie itu terlalu membosankan, kami butuh tantangan
baru, katanya, kami harus memburu hantu, Bersama anak
aneh yang tak pernah kami lihat sebelumnya.
Sepeuluh menit sebelum tengah malam aku memakai
jaketku dan memanjat keluar lewat jendela kamar. Angin
dingin menyambutku, butir-butir hujan es menerpa
keningku, aku segera menutup kepala dengan tudung jaket,
Stephanie sudah menunggu di depan rumahnya, rambutnya
yang cokelat ditarik ke belakang dan dikuncir, jaketnya
terbuka, di baliknya ia memakai sweter tebal untuk main
ski. Ia mendongakkan kepala dan melolong panjang
"Oooooo...." aku langsung membekap mulutnya
"Ssst.. nanti semua orang bangun" ia tertawa dan
mundur selangkah, "Aku sudah tidak sabar nih" katanya lalu ia melolong
lagi. Hujan es berjatuhan, kami bergegas ke arah Hill
House, angin yang kencang meniup ranting-ranting daundaun mati yang berserakan, hampir semua rumah yang
kami lewati sudah memadamkan lampunya.
Sebuah mobil melintas pelan-pelan ketika kami
membelok ke Hill Street, Stephanie dan aku cepat-cepat
sembunyi di balik pagar tanaman, pengemudi mobil pasti
heran melihat dua anak berkeliaran di tengah malam buta.
Jangankan dia, aku sendiri juga heran, kami menunggu
sampai mobil itu berlalu, kemudian kami mendaki nukit
yang menuju ke Hill House, rumah hantu itu menjulang
tinggi di depan, bagaikan monster yang siap menelan kami.
Tur terkhir sudah selesai, semua lampu sudah mati, Otto,
Edna, dan para pemandu lain pasti sudah sampai rumah
masing-masing. "Ayo dong Duane, cepat!" Stephanie mendesak, ia mulai
berlari melewati sis rumah "Seth pasti sudah menunggu"
"Tunggu" seruku, kami menyusuri jalan setapak yang
menuju ke belakang. Aku memicingkan mata dan
memandang berkeliling dalam kegelapan, Seth tidak
kelihatan. Pekarangan belakang ternyata penuh barang
rongsokan, tong-tong sampah yang tebuat dari loga, dan
sudah berkarat di mana-mana, berderet seperti pagar,
sebuah tangga kayu tergeletak di tengah alang-alang, petipeti kayu, gentong-gentong, dan kardus-kardus bekas
berserakan di mana-mana, sebuah mesin potong rumput
tersandar ke dinding. "Wah gelap sekali di sini" bisik Stephanie "kau melihat
Seth?" "Aku tidak melihat apa-apa" sahutku, juga sambil
berbisik, "mungkin ia berubah pikiran, mungkin ia tidak
jadi datang" Stephanie hendak menjawab, tapi teriakan
tertahan dari sisi rumah membuat kami tersentak kaget.
Aku melihat Seth muncul, rambutnya yang pirang berkibarkibar, matanya terbelalak lebar, kedua tangannya memegang tenggorokannya. "Hantunya!" ia berseru sambil terhuyung-hunyung "aku
dicekik hantu!" Seth ambruk di depan kaki kami, dan tidak
bergerak. (OodwkzoO) 22 "Kau kenapa Seth?" aku bertanya dengan santai,
"kenapa kau guling-gulingan di tanah?" tanya Stephanie tak
kalah tenangnya. Pelan-pelan Seth mengangkat kepala dan menatap kami,
"kalian tidak ngeri?"
"Kenapa mesti ngeri?" sahutku, Stephanie geleng-geleng
kepala "itu tipuan bagus" katanya kepada Seth, "Duane dan
aku sudah beribu kali menjaili orang dengan tipuan seperti
itu" Seth kembali berdiri, menepis-nepis tanah yang
menempel pada kaus turtleneck hitamnya, ia merengut dan
kelihatan kecewa, "aku cuma mau menakut-nakuti kalian"
"Kalau begitu jangan pakai tipuan kuno" ujarku. "Duane
dan aku jagoan menakut-nakuti orang"
Stephanie menambahkan, "bisa dibilang itu hobi kami"
Seth merapikan rambutnya dengan kedua tangannya
"kalian memang aneh" ia bergumam,
Aku menyeka butir air hujan dingin yang menempel di
alisku "siap untuk masuk"' tanyaku tidak sabar.
Ia mengajak kami ke pintu kecil di belakang rumah "ada
masalah waktu kalian menyusup keluar ruamh tadi"
Tanyanya sambil berbisik,
"Tidak, semuanya lancar" jawab Stephanie, Seth
menghampiri pintu dan mengangkat palang yang terbuat
dari kayu "tadi aku sempat ikut tur lagi" katanya "Otto
memeperlihatkan kamar-kamar baru yang bisa kita periksa
sekarang" "Asyik" Stephanie berseru "kau yakin kita bakal lihat
hantu sungguhan?" Seth berpaling padanya, lalu mengembangkan senyum
yang aneh "aku jamin!" katanya.
(OodwkzoO) 23 Seth menarik pintu sampai terbuka, kami menyelinap
masuk, menyelinap ke kegelapan yang pekat, keadaannya


Goosebumps - Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlalu gelap untuk melihat tempat kami berada, aku maju
beberapa langkah dan menabrak Seth
"Sst.." ia memperingatkanku "Manny si penjaga malam
ada di ruangan depan, kurasa ia sudah tidur sekarang, tapi
sebaiknya kita tetap di bagian belakang"
"Di mana kita?" Bisikku
"Di salah satu ruang belakang" bisik seth "tunggu
sebentar mata kita bakal terbiasa"
"Kenapa kita tidak menyalakan lampu saja?" tanyaku
"Karena tidak akan ada hantu yang keluar kalau terang"
jawab Seth. Kami sudah menutup pintu, tapi hembusan
angin dingin tetap menerpa tengkukku, aku menggigil, aku
menahan napas ketika mendengar bunyi kertak-kertuk,
apakah bunyi itu benar-benar ada atau cuma khayalanku"
Aku membuka tudung jaket agar dapat mendengar lebih
jelas, hening "Aku tahu kita bisa mendapatkan lilin" bisik Seth
"kalian tunggu di sini saja, jangan bergerak!"
"Jangan kuatir" aku tergagap-gagap, aku tak bakal mau
bergerak sebelum mataku terbiasa melihat dalam gelap.
Aku mendengar Seth bergerak menjauh, suara langkahnya
terdengar pelan, lalu hilang saam sekali, aku kembali
merasakan embusan angin dingin di tengkukku "Oh!" aku
memekik tertahan ketika suara kertak-kertuk itu terdengar
lagi. Bunyinya pelan sekali, seperti bunyi tulang-belulang
yang beradu, sekali lagi aku merasakan embusan angin di
tengkukku, embusan napas hantu! Kataku dalam hati, aku
merinding dan seluruh tubuhku gemetaran. Tulang belulang
itu berkertak-kertuk lagi, kali ini lebih dekat, sangat dekat.
Aku menggapai-gapai meja, atau apa saja, tapi yang
kutemukan hanya udara, aku menelan ludah, tenang saja,
Duane, kataku dalam hati, sebentar lagi Seth sudah kembali
membawa lilin, setelah itu kau bisa lihat bahwa tak ada
yang perlu ditakuti. Tapi bunyi itu terdengar lagi, aku langsung menahan
napas, "Steph, kau dengar itu?" bisikku, tak ada jawaban,
angin dingin meniup tengkukku, tulang-belulang itu
berkertak-kertuk lagi, "Steph" Kau dengar itu" Steph?" tak
ada jawaban "Stephanie" Steph?" aku memanggil tapi
ternyata ia sudah lenyap.
(OodwkzoO) 24 Waktunya untuk panik! Napasku mulai terengah-engah,
jantungku berdegup-degup, lebih keras dari bunyi tulangbelulang itu, seluruh tubuhku gemetaran. "Stephanie"
Steph" Di mana kau?" aku memanggil dengan suara
tertahan. Kemudian kulihat sepasang mata kuning bergerak
mendekatiku, sepasang mata yang menyala-nyala, melayang tanpa suara, bersinar-sinar jahat, semakin dekat,
dekat.. Aku berdiri sperti patung, aku tak bisa bergerak, aku tak
bisa melihat apa pun selain kedua mata kuning yang
bersinar-sinar itu. "Ohh!" aku mengerang, sepasang mata
kuning itu terus maju, dan semakin dekat, baru kulihat
ternyata itu lilin menyala, dua lilin menyala berdampingan,
sekarang aku bisa melihat wajah Seth dan wajah Stephanie,
mereka berjalan sambil membawa lilin menyala di tangan
masing-masing. "Stephanie, ke mana kau tadi?" seruku parau "A-Aku
pikir.." "Aku ikut Seth" sahutnya dengan tenang. Cahaya lilin
yang berwarna jingga menerangi wajahku, Stephanie bisa
melihat betapa paniknya aku
"Maaf, Duane" ujarnya pelan "kan sudah kubilang, aku
mau ikut Seth, kupikir kau dengar"
"Ada suara kertak-kertuk" aku tergagap-gagap "kedengarannya seperti tulang-belulang, tengkukku terus
kena angin dingin, dan terus terdengar..."
Seth menyodorkan sebatang lilin "nyalakan!" katanya
"Setelah itu kita mulai menyelidiki tempat ini, kita cari
sumber bunyi itu!" aku menerima lilin itu dan
menempelkan sumbunya ke lilin Seth, tanganku gemetaran
begitu keras sehingga aku harus mencoba lima kali sebelum
sumbunya menyala, tapi akhirnya berhasil juga.
Aku memandang berkeliling dalam cahaya jingga yang
menari-nari "hei, kita di dapur" bisik Stephanie. Lagi-lagi
tengkukku kena embusan angin dingin "tuh kan, kalian
merasakan juga?" tanyaku,
Seth memakai lilinnya untuk menunjuk ke jendela dapur,
"lihat Duane, kaca jendela itu berlubang, angin masuk
lewat lubang itu" "Oh" angin kembali berembus, dan bunyi kertak-ketuk
itu terdengar lagi, "tuh kalian dengar itu?" Aku bertanya.
Stephanie tertawa cekikikan, ia menunjuk ke dinding
dapur, dalam cahaya redup aku melihat panci-panci besar
tergantung di dinding "Panci-panci itu membentur dinding
karena tertiup angin" Stephanie menjelaskan "itu yang
kaudengar" "Haha" aku memaksakan tawa "aku sudah tahu kok,
aku cuma mau menakuti kalian" aku berdalih "supaya
terkesan lebih seram saja" aku merasa konyol sekali, tapi
tak mungkin aku harus jujur bahwa tadi aku ketakutan garagara panci itu. "Oke, jangan bercanda lagi" kata Stephanie sambil
berpaling pada Seth "kami mau lihat hantu sungguhan"
"ikut aku! Aku akan memperlihatkannya sesuatu yang
Otto ceritakan padaku!" bisiknya, sambil memgang lilin
dapur, menuju ke dinding di samping kompor, ia
menurunkan lilinnya di depan sebuh pintu lemari.
Kenudian ia membuka pintu itu dan mendekatkan lilin,
supaya kami bisa melihat ke dalam.
"Untuk apa kau tunjukkan lemari dapur ini?" tanyaku
"apa hubungannya dengan hantu?"
"Ini bukan lemari" jawab Seth "ini pengungkit, coba saja
lihat!" ia meraih ke dalam dan menarik tali yang tergantung
di samping rak, seketika rak itu mulai naik. Seth menaikkan
rak itu, lalu menurunkannya lagi "lihat kan!, pengungkit ini
semacam lift mini, dulu dipakai untuk mengerek makanan
dari dapur ke kamar tidur utama di atas"
"Maksudnya kalau majikan rumah tiba-tiba lapar?" aku
berkelakar, Seth mengangguk "makanannya ditaruh di rak ini oleh
juru masak, lalu menarik tali dan raknya bergerak ke atas"
"Tapi apa hubungannya dengan hantu?" aku bertanya
sekali lagi. "Yeah" Stephanie menimpali "untuk apa kau perlihatkan
pengungkit ini?" Seth mendekatkan lilin ke wajahnya "Otto bilang
pengungkit ini ada hantunya, seratus dua puluh tahun yang
lalu ada kejadian aneh di sini"
Stephanie dan aku langsung mendekat, aku menurunkan
lilin dan memeriksa pengungkit itu, "kejadian apa?"
tanyaku. "Begini, si juru masak biasanya menaruh makanan di rak
dan membawanya ke atas dengan ini, tapi anehnya waktu
sampai di atas, makanannya sudah hilang"
Stephanie menatap Seth sambil memicingkan matanya
"jadi, makanannya menghilang diantara lantai ini dan
lantai atas?" Seth mengangguk, matanya yang kelabu tampak
bersinar-sinar dalam cahaya lilin "kejadian berulang kali
terjadi, makanannya hilang tanpa bekas entah kenapa"
"Wow!!" aku bergumam,
"Sang juru masak jadi ketakutan, ia takut pengungkit ini
berhantu dan ia tak mau lagi menggunakannya, dan ia juga
menyuruh pelayan yang lain untuk tidak menggunakannya
lagi" "Sudah" Selesai" Hanya seperti itu?" tanyaku
Seth lalu melanjutkan "lalu terjadi sesuatu yang
menyeramkan" "Apa?" Stephanie bertanya sambil melongo.
"Ada beberapa anak yang berkunjung ke sini, diantara
mereka ada anak bernama Jeremy, jeremy ini suka berulah,
dan nekat, waktu ia menemukan pengungkit ini, dia naik
pengungkit ini ke lantai atas sana"
"Kasihan!" Stephanie bergumam, aku merinding aku
seakan bisa menebak apa yang terjadi
"Jeremy duduk di rak dan salah satu temannya menarik
tuas pengungkit, tiba-tiba pengungkitnya macet dan tidak
mau naik atau turun, jeremy terjebak ditengahnya anak lain
memanggil, apa kau baik-baik saja" Tapi jeremy tidak
menyahut, mereka mulai kuatir, mereka menarik dengan
sekuat tenaga tapi sayang tidak bergerak sama sekali"
"Tiba-tiba saja pengungkitnya jatuh keras sekali"
"Jeremy masih duduk di sana?" aku langsung
memotong. Seth menggelengkan kepala "di rak itu ada tiga mangkuk
yang tertutup, teman-teman jeremy mengangkat tutup
pertama dan melihat jantung jeremy yang masih berdetak,
mereka lalu membuka tutup piring kedua dan melihat mata
jeremy yang melotot ngeri, lalu tutup yang terakhir mereka
melihat gigi Jeremy yang masih bergemeletuk ngeri"
Kami bertig pun membisu, tanpa berkedip membayangkan dan menatap rak di depan kami, tiba-tiba,
aku menggigil, panci-panci tadi kembali bunyi karena
membentur dinding, aku menatap Seth "kau yakin cerita itu
benar terjadi?" Stephanie tertawa, tertawa gelisah "mana mungkin kan?"
katanya. Seth masih serius, "kau percaya cerita-cerita Otto yang
lain?" Ia bertanya padaku
"Ehmm.. ada yang kupercaya ada juga yang tidak" aku
menjawab dengan ragu. "Otto kan pandai bercerita, tapi aku tidak mau dengar
cerita, aku mau lihat hantunya" kata Stephanie
"Ikut aku!" kata Seth, lilinnya nyaris pada ketika ia
berbalik, ia mengajak kami melintasi dapur, masuk ke
ruangan yang panjang dan sempit di bagian belakang,
"tempat ini dulu dipakai sebagai pantri, semua makanan
untuk para penghuni ada di sini" Seth menjelaskan.
Stephanie dan aku berjalan melewati ruangan, ketika aku
berbalik, aku melihat Seth menutup pintu kemudian
melihatnya mengunci pintu itu,
"Hei, mau apa kau" Aku bertanya
"Kenapa kau mengunci kami di sini?" Stephanie
bertanya dengan kesal. (OodwkzoO) 25 Lilinku terlepas dan jatuh, apinya langsung padam,
lilinnya menggelinding ke bawah lemari, aku melihat
Stephanie menghampiri Seth
"Seth, apa-apaan sih, buka pintunya, tidak lucu!"
katanya gusar. Aku memandang berkeliling di ruangan yang sempit dan
memanjang, di tiga dinding ada rak yang menjulang dari
lantai sampai langit-langit, tak ada jendela tak ada pintu
lain untuk meloloskan diri, sambil berteriak, Stephanie
berusaha meraih pegangan pintu, tapi Seth menghadangnya. Matanya yang keperakan tampak bersinar di balik
linlinnya, ia menatap kami tanpa bicara, sorot matanya
dingin dan tajam, Stephanie dan aku mundur selangkah,
dan saling mendesak "Maaf, aku telah berbohong" Seth berkata.
"Apa?" Stephanie berseru heran, tapi ia kesal,
"berbohong apa?"
Seth menyibakkan rambutnya, api lilin di tangannya
yang lain menimbulkan bayangan yang menari-nari di
wajahku, "namaku bukan Seth" ujarnya.
"Ta-tapi.." aku tergagap-gagap
"Namaku Andrew" kata Seth,
"Tapi Andrew kan nama si hantu" Stephanie dan aku
sama-sama berteriak kaget "hantu yang kehilangan
kepalanya" "Akulah hantu itu" Seth menjawab, lalu ia tertawa,
bunyinya lebih mirip orang batuk daripada tertawa "aku
kan sudah janji akan memperlihatkan hantu sungguhan,
inilah.. aku!!" Ia meniup lilinnya sampai padam, dan bersamaan
dengan matinya api lilin, ia menghilang dari pandangan,
"Tapi.. Seth..." kata Stephanie,
"Andrew" anak itu meralat "namaku Andrew, sudah
lebih dari seratus tahun aku bernama Andrew"
"Lepaskan kami" aku memohon "kami takkan cerita
bahwa kami melihatmu, janji..."
"Kalian tidak akan bisa pergi"
Tiba-tiba aku jadi teringat cerita arwah hantu kapten,
saat Andrew masuk ke kamar si hantu kapten dan
melihatnya, si hantu kapten mengatakan kata-kata yang
sama "kau sudah melihatku, kau tak akan bisa pergi"
"S-Seharusnya kau kan tidak punya kepala" aku berkata,


Goosebumps - Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berarti kau bukan Andrew" Stephanie menambahkan
"kau masih punya kepala!" dalam cahaya redup dari lilin
Stephanie, aku melihat Andrew tersenyum jahat
"Kalian salah!" katanya pelan "salah jika mengira aku
tidak punya kepala, ini hanya kupinjam" lalu ia
menempelkan tangannya ke pipi, "nih, lihatlah!" ujarnya.
Kemudian ia mulai mencopot kepalanya.
(OodwkzoO) 26 "Jangan!" Stephanie berteriak, aku memejamkan mata,
tak sanggup melihat, tapi ketika aku memebuka mata,
Andrew sudah menurunkan tangannya, sekali lagi aku
memandang sekelilingku, bagaimana caranya agar bisa
melarikan diri" Bagaimana kami harus kabur" Si hantu ini
menghalangi satu-satunya jalan keluar.
"Kenapa kau mengelabui kami" Tanya Stephanie
"kenapa kau membawa kami kesini?"
Andrew menghela napas "kan sudah kubilang, kepala ini
cuma kupinjam" ia mengusap rambutnya dengan sebelah
tangan, lalu menepuk-nepuk pipi, "kepala ini cuma
pinjaman, aku harus mengembalikannya"
Stephanie dan aku menatapnya membisu, kami
menunggu ia melanjutkan ceritanya, kami menunggu ia
menjelaskan alasannya kenap harus kami. "Semalam aku
melihatmu di tengah rombongan tur" Andrew berkata
sambil melihatku "yang lain tidak bisa melihatku, cuma kau
yang bisa" "Kenapa?" aku bertanya dengan suara gemetar,
"Karena kepalamu!" ia menyahut "aku suka kepalamu"
"Hah" Apa?" suaraku parau karena ngeri, ia kembali
mengusap rambutnya yang pirang "kepala ini harus
kukembalikan, Duane, jadi sekarang kepalamu kupinjam"
katanya dengan tenang dan tatapan yang dingin.
(OodwkzoO) 27 Saking takutnya, entah kenapa aku sampai tertawa,
kenapa orang yangh ketakutan malah tertawa" Mungkinkah
kalau tida ketawa kita bakal menjerit, meledak atau
semacamnya. Aku terperangkap di ruangan sempit dan
gelap bersama hantu berumur seratus tahun yang mengincar
kepalaku, aku menatapnya sambil memicingkan mata "kau
bercanda kan?" ia menggelengkan kepala, lalu menatapku
dengan tajam "aku perlu kepalamu, Duane" ujarnya pelan,
ia angkat bahu dan pasang tampang seolah-olah menyesal
"aku akan mencopotnya secepat mungkin sampai kau tidak
akan merasakan apa-apa, Duane"
"Ta-tapi aku juga perlu kepaku!" aku tergagap-gagap
karena ngeri "Aku pinjam sebentar kok, nanti kukembalikan kalau
aku sudah mendapatkan kepalaku yang asli, aku janji!"
"Dan kau pikir karena itu aku menuruti keinginanmu?"
tanyaku, ia kembali maju menghampiriku, Stephanie dan
aku mundur selangkah, kami tidak bisa mundur lagi, di
belakang kami sudah ada rak yang menghadang. Tiba-tiba
Stephanie bicara "Andrew, kami akan cari kepalamu!" ia
menawarkan kepadanya dengan suara gemetaran.
Aku melihat Stephanie, seumur hidup, baru kali ini aku
melihatnya setakut sekarang, dan karena itu aku jauh lebih
takut lagi. "Yeah, pasti" aku menimpali Stephanie "kami akan cari
kepalamu yang asli, kami akan mencarinya sepanjang
malam, kami hapal rumah ini, aku yakin kami pasti
menemukannya, asal kau beri kesempatan pada kami" ia
menatap kami tanpa berkata apa pun.
Rasanya aku ingin berlutut di depannya dan memohon
agar ia memberi kesempatan pada kami, tapi aku takut
justru ia akan langsung mencopot kepalaku kalau aku
melakukannya. "kami akan menemukannya, Andrew,
pasti" Stephanie menegaskan kembali,
Andrew menggelengkan kepala, kepala pinjamannya "itu
tidak mungkin" ia bergumam sedih "kalian tahu, sudah
berapa lama aku berusaha mencarinya" Lebih dari seratus
tahun, aku mencarinya disetiap lorong, kamar setiap lemari
atau rak, tapi tak kutemukan"
Ia maju selangkah lagi, matanya tak beralih dari
kepalaku, aku tahu ia sedang mengamatinya sambil
membayangkan bagaimana rasanya kalau kepalaku sudah
menempel di pundaknya. "aku saja tidak menemukannya,
kenapa aku harus percaya kalian dapat menemukannya"
"Karena.. ehm.. " Stephanie berpaling padaku.
"Ehm.. mungkin kami akan lebih beruntung" aku
berseru meski tahu betapa konyol, betul-betul konyol
jawabanku. "Maaf, buang-buang waktu saja, aku lebih perlu
kepalamu, Duane!" "Beri kami kesempatan!" teriakku, ia maju selangkah
lagi, sekarang ia mengamati rambutku, mungkin ia ingin
membiarkannya tumbuh lebih panjang.
"Andrew, jangan!!" aku memohon, percuma saja,
matanya menatap kosong, ia mengangkat kedua tangannya
dan melangkah maju, Stephanie dan aku merapat ke rak
"Serahkan kepalamu!!" hantu itu berbisik, kau tidak bisa
mundur lagi, "aku perlu kepalamu, Duane!!" Stephanie dan
aku saling mendesak, hantu itu semakin mendekat, kami
sampai berjinjit untuk menjauhi tangannya, tiba-tiba sikuku
membentur sesuatu, aku mendengar barang-barang berat
jatuh dari rak "Aku perlu kepalamu, Duane!" ia
mengepalkan tangan, dua langkah lagi ia akan bisa
mencengkeram leherku. "Kepalamu! Serahkan kepalamu!!" aku memejamkan
mata, kemudian terdengar bunyi berderak, dan kemudian
rak itu mulai bergeser, aku mundur dan tersadar, seluruh
dinding ikut bergerak, "A-ada apa ini?" aku bertanya tergagap,
Si hantu Andrew meraih kepalaku, "nah, kena kau!"
(OodwkzoO) 28 Si hantu melompat maju dengan tangan siap menyergap,
aku merunduk dan mundur terhuyung-huyung, karena
dinding belakang terus bergeser, dinding itu berderak-derak
sambil berputar pelan, Stephanie jatuh ke lantai yang keras,
aku cepat-cepat membantunya berdiri sementara Andrew
kembali mencoba menyambar leherku.
"Ada terowongan!" aku berseru, bagian dinding yang
bergeser itu ternyata pintu sebuah terowongan rahasia,
besarnya pas untuk dilewati sambil membungkuk, aku
menarik Stephanie, kami segera menyelinap masuk, kami
berada di dalam terowongan yang panjang dan rendah,
terowongan yang tersembunyi di balik dinding yang bisa
bergeser. Aku memang pernah dengar bahwa rumah-rumah
tua sering dilengkapi lorong-lorong rahasia dan ruang-ruang
tersembunyi, namun aku tak menyangka aku diselamatkan
oleh terowongan seperti itu.
Stephanie dan aku lari, langkah kami berdebam-debam
di lantai yang keras, kami melewati dinding-dinding beton
yang sudah retak-retak krena dimakan waktu, kami terpaksa
membungkuk sambil berlari, langit-langit terowongan itu
terlalu rendah untuk lari sambil berdiri. Stephanie
mengurangi kecepatan, menoleh ke belakang,
"Apa dia mengejar?"
"Sudah, lari saja!!" seruku "terowongan ini pasti menuju
keluar dari rumah!" "Tapi aku tak bisa melihat apa-apa" balas Stephanie
terowongan ini membentang lurus, tapi yang kulihat di
ujungnya hanyalah kegelapan yang pekat, apa mungkin
terowongan ini tidak berujung" Jika benar, aku akan terus
berlari, sampai bisa keluar.
Kalau sudah sampai di luar aku takkan kembali ke Hill
House, takkan mau lagi berurusan dengan hantu, dan aku
akan terus jaga kepala ini, jelas aku masih membutuhkannya. Semuanya sudah kurencanakan, tapi
ada kalanya rencananya tidak sesuai harapan,
"Ohh!" Stephanie berteriak kaget ketika nyaris menabrak
dinding. Kami telah sampai di ujung terowongan! Dan ternyata
tidak ada jalan keluar, "terowongan ini buntu!!" aku
berteriak, dengan napas tersengal-sengal, aku menggedorgedor tembok itu dengan kedua tangan,
"Untuk apa orang membuat terowongan rahasia yang
buntu?" "Coba dindingnya kita dorong, mungkin sama seperti
tadi, bisa digeser" seru Stephanie. Kami menempelkan bahu
ke dinding dan mendorong dengan sekuat tenaga, aku
sampai mengerang-erang, aku masih mendorong-dorong
ketika terdengar suara langkah di terowongan belakang
kami, Andrew!! "Dorong!!" teriak Stephanie
"Ayo!! Bergeserlah, ayo!!" aku berkata dalam kepanikan
yang luar biasa, aku melongok ke belakang, dan melihat
Andrew, ia berlari ke arah kami
"Kita terperangkap" keluh Stephanie, ia mendesah lalu
duduk sambil bersandar ke dinding yang menghalangi
kami, Andrew semakin dekat
"Duane, aku butuh kepalamu!!" ia berteriak, suaranya
memantul-mantul di dinding terowongan,
"Kita terperangkap" keluh Stephanie lesu,
"Belum tentu" ujarku sambil menunjuk ke sudut gelap
"lihat! Ada tangga di sana!"
"Hah?" Stephanie kaget dan lagsung berdiri kembali, ia
memicingkan mata, mengamati tangga itu, Sebuah tangga
tegak lurus, dengan pijakan dari logam yang tertutup debu
tebal, tangga itu melewati lubang kecil berbentuk bujur
sangkar di langit-langit yang rendah, ke manakah tangga itu
berujung" "Duane, serahkan kepalamu!!" si Andrew berseru
mengancam, terburu-buru aku berpegangan pada tiang
logam di kedua sisi tangga, aku menaruh kaki pada pijakan
pertama dan memandang ke atas. Tapi yang kelihatan
hanya kegelapan, tak ada apa-apa selain kegelapan yang
pekat, "Duane.. kita tidak tahu tangga ini menuju ke mana!"
"Masa bodoh! Memangnya kita punya pilihan?"
(OodwkzoO) 29 "Mau ke mana kau Duane" Aku perlu kepalamu!" tanpa
menghiraukannya kami terus memanjat sampai-sampai
Stephanie menabrakku dari bawah. Sepatu ketsku
tergelincir pada lapisan debu yang tebal, tanganku berulang
kali merosot pada tiang tangga yang dingin dan licin.
"Duane, kau takkan lolos" Andrew mengancam dari
bawah tangga, naik terus! Tegak lurus! Kami memanjat
secepat kami bisa, meski napas kami terus memburu, naik
terus! Sampai kami sadar tangga itu miring,
"Ohh!!" aku berteriak ketika tangga itu tiba-tiba maju ke
depan tapi teriakanku dikalahkan oleh bunyi tubrukan yang
keras, dan aku sadar, dindingnya amruk, hancur... dan
kami... jatuh... aku mendengar Stephanie berteriak ngeri.
Aku menyambar tiang tangga dengan kedua tangan dan
berpegangan erat-erat, tapi tangganya meluncur ke bawah,
"Aduh!" aku terempas ke dasar terowongan, secara
refleks, aku melepaskan tangan dan terpental dari tangga,
aku berguling di tengah reruntuhan tembok. Stephanie
mendarat dengan lututnya, ia menggelengkan kepala karena
kesakitan, reruntuhan tembok berjatuhan di sekeliling kami,
rambut Stephanie penuh debu, aku melindungi mata,
menunggu hujan batu dan semen berhenti.
Ketika aku membuka mata, Andrew sudah berdiri di
hadapanku, kedua tangannya terkepal, mulutnya menganga, pandangannya tertuju... ke belakangku.., aku
bangkit dengan susah payah, lalu berbalik untuk
mengetahui apa yang dia lihat.
"Ruang rahasia!" Stephanie berteriak, lalu melangkah ke
sampingku, "ternyata ada ruang rahasia di balik dinding tua
ini" kami maju sambil melangkahi reruntuhan dinding, dan
kemudian kami melihat apa yang menarik perhatian
Andrew, SEBUAH KEPALA!! Kepala anak laki-laki yang tergeletak di tengah-tengah
lantai ruang rahasia, "Astaga! Kita menemukannya! Kita berhasil menemukannya!" teriak Stephanie. Aku menelan ludah,
lalu melangkah pelan-pelan, meskipun hanya diterangi
cahaya redup, kepala itu tampak putih pucat, jelas kelihatan
bahwa kapala anak laki-laki, tapi rambutnya yang panjang
dan berombak sudah putih semua, dan matanya berpendar
hijau di wajahnya yang pucat, bagaikan sepasang batu
zamrud. "Kepala si hantu" aku bergumam dan segera berpaling
pada Andrew "Kami menemukannya!" tadinya kupikir ia akan
tersenyum, kupikir ia akan melompat girang, sesuatu yang
dicarinya selama seratus tahun akhirnya telah ditemukan
dan mengakhiri pencariannya yang telah lama sekali. Tapi
diluar dugaan, wajahnya malah berkerut ngeri, ia bahkan
tak memperdulikan kepalanya yang sudah lama hilang,


Goosebumps - Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandangannya malah tertuju ke atas kepala itu, lalu ia
berteriak ketakutan "Ada apa, Andrew?" tapi ia tidak memperdulikanku, ia
terus menatap langit-langit, kemudia ia mengangkat sebuah
tangan sambil menunjuk "Ohh! Ya ampuuunnn"
Aku menoleh untuk melihat apa yang membuatnya
ketakutan seperti itu, dan kulihat sosok putih melayang dari
langit, kupikir ada tirai tipis yang jatuh, tapi ketika sosok itu
menyentuh lantai, aku sadar sosok itu bertangan, dan
memiliki kaki, dan tubuhnya hampir transparan, tiba-tiba
angin dingin berhembus "A-Ada hantu! Hantu!!" Stephanie berteriak sambil
menyambar tanganku (OodwkzoO) 30 Tanpa bersuara, hantu itu mendarat di lantai ruang
rahasia, kedua tangannya merentang seperti sayap,
Stephanie dan aku sama-sama berteriak tertahan ketika
hantu itu berdiri tegak dan mengangkat tanggannya, hantu
itu pendek, dan kurus, ia memakai celana panjang model
kuno dan kemeja lengan panjang bererah tinggi,
Berkerah tinggi! Hanya kerah! Tak ada kepala!
Aku merasakan hembusan angin dingin ketika ia
membungkuk, memungut kepala yang tergeletak di lantai,
gerakannya amat ringan. Lalu mengangkat kepala itu,
memasangnya dengan hati-hati, setelah tertempel, matanya
yang hijau tiba-tiba menyala, pipinya berkedut, alis
matanya yang putih pucat naik-turun, dan kemudian
mulutnya mulai bergerak, hantu itu berpaling kepada aku
dan Stephanie, lalu ia mengucapkan
"TERIMA KASIH, TERIMA KASIH"
Lalu ia mengangkat kedua tangannya, matanya yang
hijau masih memandang kami untuk beberapa saat, lalu ia
melayang kembali, sosoknya ringan seperti kapas dan tidak
mengekuarkan suara sedikitpun, kami terbengong-bengong,
jantungku berdegup kencang, dengan mata melongo aku
memandang hantu itu menghilang dalam kegelapan.
Kami sekarang berpaling pada 'Andrew', kami baru saja
melihat hantu tanpa kepala, kami baru saja melihat Andrew
yang sebenarnya, anak laki-laki yang meninggal seratus
tahun lalu itu, melihatnya mengambil kepalanya!. Tapi
anak laki-laki yang mengaku bernama Andrew ini masih
bersama kami, ia masih berdiri di belakang kami, tubuhnya
gemetar, matanya masih melongo ngeri. Aku menatapnya
sambil memicingkan mata "kau bukan hantu Andrew!
Kalau kau bukan hantu tanpa kepala, siapa kau sebenarnya
hah" " (OodwkzoO) 31 Stephanie langsung melabraknya "yeah, siapa kau
sebenarnya" Katakan!" tanyanya gusar namun kesal
"Kalau kau bukan hantu tanpa kepala, kenapa kau
mengejar-ngejar kami?" aku mendesaknya untuk menjelaskan. "Uhh.. ehmmm... aku..." ia terbata-bata sambil
mengangkat tangannya seolah-olah menyerah, kemudian ia
mundur, ia baru mundur tiga langkah ketika kami
mendengar suara langkah dari terowongan.
"Siapa di sana?" sebuah suara berat menggelegar, aku
melihat sinar senter menuju dasar terowongan. "Siapa di
situ?" suara itu bertanya sekali lagi, aku mengenali suara
itu, Otto! "Ehm... kami di sini!" kata anak itu
"Seth..itu kau ya?" lingkaran cahaya di dasar
terowongan semakin dekat Otto muncul di belakang anak
itu, dan ia menatap anak itu sambil memicingkan mata
"Ada apa ini" Kenapa kau ada di sini" Tempat ini sangat
berbahaya, semua dindingnya sudah hampir ambruk"
"Ughh.. kami cuma ingin menyelidiki tempat ini" Seth
menjelaskan "tapi kemudian kami tersesat, ini bukan salah
kami" Otto menatap Seth dengan tatapan tajam, kemudian
ia membelalakkan mata karena heran ketika melihat
Stephanie dan aku juga ada di sini "Lho, kalian! Bagaimana
kalian bisa masuk" Kenapa bisa sampai ada di sini?"
"Ia... ehm.. ia mengajak kami masuk lewat pintu
belakang" sahutku sambil menunjuk Seth. Otto kembali
berpaling pada Seth, lalu menggelengkan kepala, "Mau
iseng lagi" Kau mau menakut-nakuti mereka" "
"Tidak juga paman Otto!" jawab Seth sambil menunduk,
paman" Berarti Seth keponakan Otto pantas ia tahu banyak
tentang Hill House "Terus terang Seth, kau berlagak jadi hantu lagi kan"
Kau belum kapok juga rupanya menjahili anak-anak?"
Seth terdiam tanpa bisa berkata apa-apa, "kita
mengadakan tur di sini untuk mencari uang, apa jadinya
kalau tak ada yang datang karena ulahmu ini" Tanyanya
ketus sambil mengusap kepalanya yang botak dan licin
Seth tetap terdiam, aku sadar ia dalam masalah besar,
jadi aku memutuskan untuk menolongnya, "Kami baik-baik
saja, Otto, kami tidak takut kok"
"Ya" Stephanie segera menambahkan "kami tidak
percaya Seth hantu, ya kan Duane" Mana mungkin kami
tertipu olehnya?" "Apalagi ketika kami melihat hantu yang sebenarnya"
Setephanie bercerita Otto mengarahkan senternya ke wajah Stephanie,
"kalian lihat apa?"
"Hantunya! Kami melihat hantunya!" Stephanie menerangkan "Ya, kami melihat hantu yang asli, paman Otto, ia
sangat menyeramkan!"
Otto geleng-geleng kepala, "Sudahlah Seth, jangan
bercanda, sekarang sudah larut, kau cuma ingin mengelak
dari hukuman saja kan?"
"Kami serius!" aku menimpali
"Ya, kami benar-benar melihat hantunya" seru Stephanie
"kami lihat si hantu Andrew, hantu tanpa kepala itu,
paman Otto" Seth memohon untuk percaya
"Ya.. ya..." Otto bergumam keheranan sekaligus
bingung, ia berbalik, memberi isyarat dengan senternya
"Ayo! Kita keluar saja!"
(OodwkzoO) 32 Setelah pengalaman kami yang menakutkan di Hill
House, Stephanie dan aku berhenti bergentayangan di
sekitar rumah. Rasanya sudah tidak seru, apalagi setelah
kami bertemu hantu sungguhan, kami tidak lagi menyelinap
keluar malam-malam, kami tak lagi memakai topengtopeng seram dan muncul di jendela anak-anak tetangga,
kami tak lagi bersembunyi di balik semak-semak, lalu
melolong seperti manusia serigala di tengah malam.
Kami tidak mau lagi berurusan dengan hal-hal
menakutkan, dan kami tak pernah lagi berbicara tentang
hantu. Stephanie dan aku mencari hobi baru, aku ikut tim
basket sekolah, Stephanie bergabung dalam klub drama,
musim semi ini ia akan memerankan Dorothy dalam The
Wizard of oz, entah Dorothy atau sepotong munchkin.
Kami bersenang-senang selama musim dingin, saljunya
tebal, dan tak satu kali pun kami menakut-nakuti orang.
Lalu suatu malam, kami pulang dari sebuah pesta ulang
tahun, malam itu malam pertama berudara hangat di
musim semi, bunga-bunga tulip bermekaran di pekarangan
yang kami lewati, udara terasa segar dan berbau wangi.
Aku berhenti di depan Hill House dan menatap rumah tua
itu, Stephanie berhenti di sampingku, ia langsung tahu apa
yang kupikirkan "kau mau ke sana kan, Duane?"
Aku mengangguk "bagaimana kalau kita ikut tur, kita
tak pernah ikut lagi sejak..." aku tidak menyelesaikan
kalimatku. "Hei, kenapa tidak?" balas Stephanie, kami mendaki
bukit yang terjal, rumput tinggi menggesek-gesek celana
jeansku ketika aku menuju ke pintu depan. Ruamh tua yang
besar itu tetap gelap dan seram, seperti biasanya
Ketika kami melangkah ke teras depan, pintu berderak
dan membuka sendiri, seperti biasanya, kami masuk ke
ruang depan, beberapa detik kemudian Otto muncul, ia
berpakaian serba hitam, ia menatap kami sambil tersenyum
ramah. "Kalian!" serunya gembira "selamat datang" ia
memanggil ke dalam "Edna, coba lihat siapa yang datang!"
Edna keluar sambil tertatih-tatih "Oh!" serunya sambil
menempelkan tangan ke wajahnya yang pucat dan penuh
keriput "kami sudah takut kalian tak mau datang lagi
kemari" Aku memandang berkeliling, tak ada pengunjung lain,
"kami mau ikut tur, kau bisa mengantar kami?" aku
bertanya pada Otto. Ia tersenyum lebar, "tentu saja, tunggu,
aku ambil lentera dulu" Otto membawa kami keliling Hill
House, hampir semua ruangan kami masuki.
Aku senang kembali ke sini, tapi rumah ini tak lagi
menyimpan rahasia bagi kami. Seusai tur, kami berterima
kasih kepada Otto dan Edna lalu mengucapkan selamat
malam. Kami sudah hampir sampai di kaki bukit ketika sebuah
mobil polisi berhenti di tepi jalan, seorang petugas
berseragam gelap menyembulkan kepalanya dari jendela
penumpang "kalian dari mana?" ia bertanya. Stephanie dan
aku menghampiri mobil itu, kedua petugas yang duduk di
dalamnya menatap kami dengan curiga.
"Kami baru ikut tur" aku menjelaskan sambil menunjuk
Hill House "Tur" Tur apa?" petugas itu bertanya dengan ketus.
"Itu lho, tur rumah hantu" balas Stephanie tak sabar.
Kepala petugas polisi itu menyembul lebih jauh lagi dari
jendela, ia bermata biru, mukanya penuh bintik-bintik.
"Terus terang saja, apa yang kalian lakukan di sana?"
"Kami kan sudah bilang, kami ikut tur, cuma itu" aku
berkeras Petugas polisi di balik kemudi tertawa terkekeh-kekeh
"Mungkin mereka diantar hantu" katanya pada rekannya,
"Di sana tidak ada tur, sudah beberapa bulan terakhir tak
ada tur di rumah itu" kata petugas bermata biru, aku dan
Stephanie berteriak kaget.
"Rumah itu kosong" petugas itu melanjutkan "Usaha tur
itu sudah ditutup, sepanjang musim dingin tak ada siapasiapa di sana, Hill House bangkrut tiga bulan lalu"
"HAH?" Stephanie dan aku terbengong-bengong,
kemudian kami berbalik dan menatap ke arah rumah di
puncak bukit. Menara batunya yang kelabu menjulang ke
langit yang ungu kehitaman, tak ada apa-apa selain
kegelapan. Kemudian kulihat cahaya redup di jendela depan,
cahaya lentera, jingga dan lembut bagaikan asap. Dan
dalam cahaya yang lembut itu, aku melihat Otto dan Edna,
mereka melayang melewati jendela, tubuh mereka tembus
pandang, seakan-akan terbuat dari kain kasa, ternyata
mereka juga hantu, pikirku terus menatap cahaya yang
lembut itu. Aku berkedip dan cahaya itu pun padam
THE END Manusia Harimau Jatuh Cinta 8 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Api Di Puncak Merapi 1

Cari Blog Ini