Goosebumps - 1 Selamat Datang Di Rumah Mati Bagian 1
R. L. Stine: Selamat Datang di Rumah Mati
(Goosebumps # 1) Kata Pengantar Ebook ini adalah terjemahan saya yang kedua dari buku Goosebump Classic setelah
terjemahan saya yang pertama selesai yaitu buku kedua (Jauhi Ruang Bawah Tanah).
Ceritanya tidak kalah seru dengan buku yang kedua hanya sayang karena saya bukan
penerjemah yang handal mungkin akan agak mengganggu para pembaca sekalian karena
kadang-kadang saya menemukan kesulitan dalam mengartikannya atau mencari katakata yang tepat. Apalagi kamus Bahasa Inggris saya yang dipinjam teman keponakan
saya sampai saat ini tidak jelas kabar beritanya atau dimana rimbanya.
Mudah-mudahan saya bisa menyelesaikan terjemah seri Goosebump lainnya yang
sebenarnya sudah siap menanti untuk diedit meskipun dengan kemampuan pas-pasan
dan fasilitas seadanya. Akhir kata tak ada gading yang tak retak, mohon maaf apabila ada kesalahan
penerjemahan atau ketikan.
Selamat membaca. Jumat, 1 Februari 2012 Farid ZE PP Assalam Cepu Pecinta Buku"Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com R. L. Stine: Selamat Datang di Rumah Mati
(Goosebumps # 1) 1 Josh dan aku benci rumah baru kami.
Tentu saja, rumah itu besar. Ini tampak seperti rumah besar bila dibandingkan
dengan rumah tua kami. Itu adalah sebuah rumah dengan tembok merah yang tinggi
dengan atap hitam miring dan deretan jendela dibingkai daun jendela berwarna
hitam. Rumah ini sangat gelap, pikirku, mempelajarinya dari jalanan. Seluruh rumah itu
tertutup dalam kegelapan, seolah-olah itu bersembunyi dalam bayang-bayang
bonggol pepohonan tua yang melengkung di atasnya.
Saat itu adalah pertengahan Juli, namun daun-daun cokelat mati menutupi halaman
depan. Sepatu karet kami menimbulkan bunyi di atas dedaunan itu seakan-akan yang
kami mendaki jalanan berkerikil.
Rumput-rumput yang tinggi menusuk di mana-mana melalui daun-daun yang mati.
Serumpun tebal dari rerumputan telah benar-benar tumbuh diluar batas beralaskan
suatu bunga yang tua di samping teras depan.
Rumah ini menyeramkan, pikirku sedih.
Josh pasti memikirkan hal yang sama. Sambil menatap rumah tua, kami berdua
mengerang keras. Mr Dawes, pemuda ramah dari kantor real estate lokal, berhenti di dekat jalan
depan dan berbalik. "Semuanya baik-baik saja ?" tanyanya, pertama menatap Josh, lalu padaku, dengan
mata birunya yang berkerut.
"Josh dan Amanda tak senang pindah," Ayah menjelaskan, ia menyelipkan masuk
bagian bawah kemejanya . Ayah sedikit kelebihan berat badan, dan kemejanya
sepertinya selalu tak sampai untuk dimasukkan.
"Ini sulit bagi anak-anak," tambah ibuku, ia tersenyum pada Mr Dawes, ia
memasukkan tangannya ke saku celana jeansnya, ia sampai ke pintu depan. "Kau
tahu. Meninggalkan semua teman-teman mereka.. Pindah ke tempat baru yang aneh."
"Aneh benar," kata Josh, menggelengkan kepalanya. "Rumah ini kotor."
Mr Dawes tertawa kecil. "Ini satu rumah tua, itu sudah pasti," katanya, menepuk bahu Josh.
"Ini hanya membutuhkan beberapa pekerjaan, Josh," kata Ayah, ia tersenyum pada
Mr Dawes. "Tak ada yang tinggal di dalamnya untuk sementara waktu, jadi ini akan
perlu beberapa waktu untuk memperbaikinya."
"Lihat betapa besar rumah ini," Ibu menambahkan, ia membelai rambut lurus
hitamnya dan tersenyum pada Josh. "Kita akan memiliki ruangan untuk ruang
membaca dan mungkin juga ruang rekreasi. Kau akan menyukainya -. Apa kau tak
ingin, Amanda?" Aku mengangkat bahu. Angin dingin membuatku merinding. Hari ini sebenarnya
indah, hari musim panas. Namun semakin dekat kami ke rumah itu, aku semakin
merasa dingin. Kukira itu semua karena ketinggian pohon-pohon yang tua.
Aku mengenakan celana tenis pendek putih dan kaos biru tanpa lengan. Tadi di
dalam mobil kepanasan. Tapi sekarang aku kedinginan. Mungkin di dalam rumah akan
lebih hangat, pikirku. "Berapa usia mereka?" Mr Dawes bertanya kepada Ibu, saat melangkah ke teras
depan. "Amanda dua belas tahun," jawab Ibu. "Dan Josh baru berusia sebelas tahun bulan
lalu." "Mereka terlihat sangat mirip," kata Mr Dawes kepada Ibu.
Aku tak bisa memutuskan apakah itu pujian atau tidak. Kukira itu benar. Josh dan
aku sama-sama jangkung dan kurus dan memiliki rambut cokelat keriting Ayah, dan
mata cokelat yang gelap. Semua orang bilang kami memiliki wajah serius.
"Aku benar-benar ingin pulang," kata Josh, suaranya bergetar. "Aku benci tempat
ini." Adikku adalah anak yang paling tak sabaran di dunia. Dan saat ia membuat
keputusan tentang sesuatu, begitu saja. Dia agak manja. Setidaknya, kupikir
begitu. Setiap kali ia membuat keributan besar akan sesuatu, dia biasanya
mendapatkan caranya. Kita mungkin terlihat sama, tapi kami benar-benar tak sedemikian mirip. Aku jauh
lebih sabar daripada Josh. Lebih berpikiran sehat. Mungkin karena aku lebih tua
dan karena aku seorang gadis.
Josh memegang tangan Ayah dan mencoba menariknya kembali ke mobil.
"Ayo. Ayo, Yah.. Mari kita pergi."
Aku tahu ini adalah satu waktu di mana Josh tak akan mendapatkan caranya. Kami
telah pindah ke rumah ini. Tak diragukan lagi. Setelah semuanya, rumah itu
benar-benar gratis. Seorang paman besar dari Ayah, seorang pria yang kami bahkan
tak tahu, telah meninggal dan meninggalkan rumah untuk Ayah dalam surat
wasiatnya. Aku tak akan pernah melupakan ekspresi wajah Ayah saat ia mendapat surat dari
pengacara. Dia mengeluarkan satu teriakan keras dan mulai menari di sekitar
ruang tamu. Josh dan aku berpikir dia akan salto atau sesuatu yang lain.
"Paman besarku Charles telah meninggalkan untuk kita sebuah rumah dalam
wasiatnya," Ayah menjelaskan, membaca dan membaca ulang surat itu. "Di sebuah
kota bernama Dark Fall (Air Terjun Gelap)."
"Hah?" Josh dan aku berseru. "Di mana Dark Falls?"
Ayah mengangkat bahu. "Aku tak ingat Paman Charles-mu," kata Ibu, bergerak dibelakang Ayah untuk
membaca surat itu lewat bahunya.
"Aku juga tidak," Ayah mengakuinya. "Tapi dia pasti telah menjadi orang yang
hebat. Wow!! Ini kedengarannya seperti sebuah rumah yang luar biasa!"
Dia meraih tangan Ibu dan mulai menari dengan gembira melintasi ruang tamu.
Ayah yakin sangat senang. Dia sudah mencari alasan untuk berhenti dari pekerjaan
kantornya yang membosankan dan mencurahkan seluruh waktunya untuk karir
menulisnya. Rumah ini - benar-benar gratis - hanya menjadi alasan yang ia
butuhkan. Dan sekarang, seminggu kemudian, di sini kami di Dark Falls, empat jam
berkendaraan dari rumah kami, melihat rumah baru kami untuk pertama kalinya.
Kami bahkan belum berjalan masuk ke dalam, dan Josh telah berusaha menyeret Ayah
kembali ke mobil. "Josh - berhentilah menarikku," bentak Ayah tak sabar, berusaha menarik
tangannya dari genggaman Josh.
Ayah melirik tak berdaya kepada Mr Dawes. Aku bisa melihat bahwa ia malu dengan
cara Josh. Aku memutuskan mungkin aku bisa membantu.
"Ayo pergi, Josh," aku berkata pelan, sambil meraih bahunya. "Kita telah
berjanji bahwa kita akan memberi satu kesempatan pada Dark Fall- Ingat ?"
"Aku sudah memberinya kesempatan," rengek Josh, tak melepaskan tangan Ayah.
"Rumah ini sudah tua dan jelek dan aku membencinya."
"Kau bahkan belum masuk ke dalam," kata Ayah marah.
"Ya. Mari kita pergi,." Desak Mr Dawes, menatap Josh.
"Aku tetap di luar," tegas Josh.
Ia kadang-kadang dapat benar-benar menjadi keras kepala. Aku merasa sama tak
bahagianya seperti Josh saat melihat kegelapan ini, rumah tua. Tapi aku tak
pernah melakukan cara Josh.
"Josh, kau tak ingin memilih kamarmu sendiri?" Tanya Ibu.
"Tidak," gumam Josh.
Dia dan aku sama-sama melirik ke lantai dua. Ada dua sisi jendela besar yang
melanjur berdampingan di atas sana. Mereka tampak seperti dua mata gelap yang
menatap kembali pada kami.
"Berapa lama Anda tinggal di rumah Anda sekarang?" tanya Mr Dawes kepada Ayah.
Ayah harus berpikir untuk sedetik.
"Sekitar empat belas tahun," jawabnya. "Anak-anak harus tinggal di sana
sepanjang hidup mereka."
"Pindah itu selalu sulit," kata Mr Dawes simpatik, tatapannya beralih padaku.
"Kau tahu, Amanda, aku pindah ke sini untuk Dark Fall hanya beberapa bulan yang
lalu. Pada awalnya aku juga tak menyukainya. Tapi sekarang aku tak akan tinggal
di tempat lain." ia mengedipkan matanya padaku. Dia memiliki lesung pipit manis di dagunya ketika
ia tersenyum. "Mari kita masuk Ini benar-benar cukup bagus. Kau akan terkejut."
Semua dari kami mengikuti Mr Dawes, kecuali Josh.
"Apakah ada anak-anak lain di blok ini?" tuntut Josh.
Ia membuatnya terdengar lebih seperti sebuah tantangan daripada pertanyaan.
Mr Dawes mengangguk. "
Sekolah hanya dua blok jauhnya," katanya, sambil menunjuk jalanan.
"Lihat?" Ibu dengan cepat memotong "Satu jalan kaki yang pendek ke sekolah. Tak
ada perjalanan bus yang lebih panjang setiap pagi."
"Aku suka bus," tegas Josh.
Pikirannya sudah bulat. Dia tak akan memberikan orang tuaku istirahat, meskipun
kami berdua berjanji untuk berpikiran terbuka tentang langkah ini.
Aku tak tahu apa Josh berpikir ia harus mendapatkannya dengan menjadi seperti
sakit. Maksudku, Ayah sudah memiliki banyak hal yang dikhawatirkan. Untuk satu
hal, ia belum bisa menjual rumah lama kita.
Aku tak menyukai gagasan pindah. Tapi aku tahu bahwa mewarisi rumah besar ini
adalah satu kesempatan besar bagi kami. Kami sangat terkekang di rumah kecil
kami. Dan sekali Ayah berhasil menjual tempat lama itu, kami tak perlu khawatir
sama sekali tentang uang lagi.
Josh setidaknya harus memberikan satu kesempatan. Itulah yang aku pikir.
Tiba-tiba, dari mobil kami di kaki jalan, kami mendengar Petey menggonggong,
melolong dan membuat keributan.
Petey adalah anjing kami, terrier putih berambut keriting, lucu seperti suatu
tombol, dan biasanya berperilaku baik. Dia tak pernah perduli jika di tinggal
dalam mobil. Tapi sekarang dia menggonggong panjang, bersuara dengan suara penuh
dan menggaruk di jendela mobil, sangat ingin keluar.
"Petey -! Tenang ! Tenang!" teriakku.
Petey biasanya mendengarkanku.
Tapi kali ini tidak. "Aku akan biarkan dia keluar!" kata Josh, dan bergerak menuruni jalan menuju
mobil. "Tidak. Tunggu dulu -" panggil Ayah.
Tapi kupikir Josh tak akan mendengarnya saat Petey meraung.
"Mungkin baik juga membiarkan anjing itu menjelajah," kata Mr Dawes. "Ini akan
jadi rumahnya juga."
Beberapa detik kemudian, Petey datang menyerbu melintasi halaman, menendang daun
coklat, menyalak dengan penuh semangat sambil berlari menghampiri kami. Dia
melompat pada kami semua seolah-olah dia tak melihat kami dalam beberapa minggu
dan kemudian, untuk mengejutkan kami, dia mulai menggeram mengancam dan
menggonggong pada Mr Dawes.
"Petey - berhenti!" teriak Ibu.
"Dia tak pernah melakukan ini," kata Ayah minta maaf. "Sungguh, biasanya ia
sangat ramah." "Dia mungkin mencium bau sesuatu padaku. Mungkin anjing lain," kata Mr Dawes,
melonggarkan dasi bergarisnya, tampak waspada pada anjing kami yang menggeram.
Akhirnya, Josh menangkap pinggang Petey dan mengangkatnya menjauh dari Mr
Dawes. "Hentikan, Petey," omel Josh, memegang anjing itu ke dekat wajahnya sehingga
hidung mereka saling berhadapan. "Mr Dawes adalah teman kita."
Petey merintih dan menjilati wajah Josh. Setelah beberapa saat, Josh
menempatkannya kembali ke tanah. Petey menatap Mr Dawes, lalu menatapku,
kemudian memutuskan untuk pergi mengendus-endus di sekitar halaman, membiarkan
hidungnya menunjukkan jalan.
"Ayo masuk," desak Mr Dawes, ia menggerakkan satu tangannya melalui rambut
pendeknya yang pirang. Dia membuka pintu depan dan mendorongnya terbuka.
Mr Dawes memegang layar pintu membukanya bagi kami. Aku mulai mengikuti orang
tuaku ke dalam rumah. "Aku akan tinggal di luar sini dengan Petey," desak Josh dari jalan.
Ayah mulai protes, tapi ia berubah pikiran.
"Oke. Baik," katanya, mendesah dan menggelengkan kepalanya. "Aku tak mau
berdebat denganmu. Jangan masuk ke dalam. Kau dapat hidup di luar jika kau
inginkan." Dia terdengar sangat putus asa.
"Aku ingin tinggal dengan Petey," kata Josh lagi, menonton hidung Petey yang
menerobos alas bunga yang mati itu.
Mr Dawes mengikuti kami ke lorong, menutup perlahan layar pintu di belakangnya,
memberikan Josh pandangan sekilas yang terakhir.
"Dia akan baik-baik," katanya lembut, tersenyum pada Ibu.
"Dia bisa sangat keras kepala kadang-kadang," kata Ibu meminta maaf. Dia
mengintip ke ruang tamu. "Aku benar-benar menyesal tentang Petey, aku tak tahu
apa yang terjadi pada anjing itu."
"Tak masalah. Mari kita mulai di ruang tamu," kata Mr Dawes, memimpin jalan.
"Kupikir Anda akan terkejut betapa luas ruangan itu. Tentu saja, itu memerlukan
pekerjaan." Dia membawa kami satu perjalanan pada setiap ruangan di rumah. Aku mulai merasa
senang. Rumah itu benar-benar rapi. Ada begitu banyak kamar dan begitu banyak
lemari. Dan kamarku sangat besar dan memiliki kamar mandi sendiri dan satu kursi
jendela bergaya kuno di mana aku bisa duduk di jendela dan melihat ke bawah pada
jalan. Aku berharap Josh masuk ke dalam dengan kami. Jika dia bisa melihat betapa besar
isi rumah itu, aku tahu dia akan mulai terhibur.
Aku tak bisa percaya betapa banyak ruangan yang ada. Bahkan loteng penghabisan
diisi dengan perabotan tua dan rak tua, kardus misterius bisa kita jelajahi.
Kita harus berada di dalam selama setidaknya selama setengah jam. Aku tak benarbenar memperhatikan waktu. aku pikir kami bertiga semuanya merasa terhibur.
"Yah, kupikir aku telah menunjukkan kalian semuanya," kata Mr Dawes, melirik jam
tangannya. Dia memimpin jalan ke pintu depan.
"Tunggu - Aku ingin melihat kamarku sekali lagi," kataku penuh semangat.
Aku mulai menaiki tangga, menaiki dua tangga sekaligus. "Aku akan turun dalam
hitungan detik." "Cepat, Sayang aku yakin Mr Dawes memiliki janji lain,." Panggil Ibu setelahku.
Aku mencapai lantai dua dan bergegas menyusuri lorong sempit dan masuk ke kamar
baruku. "Wow!" Aku berkata keras-keras, dan kata itu bergema samar-samar pada dinding kosong.
Kamar ini begitu besar. Dan aku menyukai jendela yang menonjol dengan kursi
dekat jendela. Aku berjalan keluar dan mengintip keluar. Melalui pepohonan, aku
bisa melihat mobil kami di jalan masuk dan, di luar itu, sebuah rumah yang
tampak mirip sekali seperti rumah kami di seberang jalan.
Aku akan menaruh tempat tidurku ke dinding yang di seberang jendela, pikirku
senang. Dan mejaku bisa berada di sana. Aku sekarang akan memiliki ruang untuk
komputer! Aku memandang lemariku lebih satu kali, satu jarak yang panjang dalam lemari
dengan cahaya di langit-langit, dan susunan rak-rak lebar yang berlawanan di
dinding belakang. Aku sedang menuju ke pintu, berpikir tentang posterku yang mana yang ingin
kubawa, saat aku melihat anak itu.
Goosebumps - 1 Selamat Datang Di Rumah Mati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia berdiri di ambang pintu selama sedetik. Dan kemudian ia berbalik dan
menghilang di ujung lorong.
"Josh?" Aku berteriak. "Hei - kemari lihatlah!"
Dengan terkejut, saya menyadari itu bukan Josh.
Untuk satu hal, anak itu memiliki rambut pirang.
"Hei !" panggilku dan berlari ke lorong, berhenti tepat di luar pintu kamarku,
melihat ke dua arah. "Siapa di sini?"
Tapi lorong yang panjang itu kosong. Semua pintu ditutup.
"Wah, Amanda," kataku keras-keras.
Apakah aku melihat sesuatu"
Ibu dan Ayah memanggil dari lantai bawah. Aku melihat untuk terakhir kali
menyusuri gang yang gelap, kemudian bergegas untuk bergabung kembali mereka.
"Hei, Mr Dawes," aku memanggilnya saat berlari menuruni tangga, "apakah ini
rumah hantu?" Dia tertawa kecil. Pertanyaan itu tampaknya tampak lucu baginya.
"Tidak. Maaf," katanya, menatapku dengan mata birunya yang berkerut. "Tidak
termasuk hantu. Banyak rumah-rumah tua di sekitar sini dikatakan angker Tapi aku
takut ini bukan salah satu dari mereka..."
"Aku - kukira aku melihat sesuatu," kataku, merasa sedikit bodoh.
"Mungkin hanya bayangan," kata Ibu. "Dengan semua pohon itu, rumah ini begitu
gelap." "Kenapa kau tak lari keluar dan memberitahu Josh tentang rumah," saran Ayah,
sambil menyelipkan bagian depan kemejanya. "Ibumu dan aku memiliki beberapa hal
untuk dibicarakan dengan Mr Dawes."
"Ya, Tuan," kataku dengan sedikit membungkuk, dan menurut, berlari keluar untuk
memberitahu Josh semua tentang apa yang telah dilewatkannya.
"Hei, Josh," seruku, bersemangat mencarinya di halaman. "Josh?"
Hatiku gelisah. Josh dan Petey sudah pergi.
2 "Josh ! Josh!" Pertama-tama aku memanggil Josh. Lalu aku memanggil Petey. Tapi tak ada tandatanda dari mereka. Aku berlari ke ujung jalan dan mengintip ke dalam mobil, tapi mereka tak ada.
Ibu dan Ayah masih berada di dalam berbicara dengan Mr Dawes. Aku melihat
sepanjang jalan di kedua arah, tapi tak ada tanda-tanda mereka.
" Josh,! Hei Josh!"
Akhirnya, Ibu dan Ayah bergegas keluar dari pintu depan, tampak gelisah. Kukira
mereka mendengar teriakanku.
"Aku tak bisa menemukan Josh atau Petey!" teriakku kepada mereka dari jalan.
"Mungkin mereka ada di belakang," seru Ayah kepadaku.
Aku menuju jalan masuk, menendang jauh daun-daun kering saat aku berlari. Ini
adalah hari yang cerah di atas jalan, tapi begitu aku memasuki halaman rumah
kami, aku kembali di tempat teduh, dan itu segera menjadi dingin lagi.
"Hei, Josh Josh -! Di mana kau?"
Mengapa aku merasa begitu takut" Itu wajar bagi Josh untuk berkeliaran. Dia
melakukannya sepanjang waktu.
Aku berlari dengan kecepatan penuh di sepanjang sisi rumah. Pohon-pohon tinggi
miring ke atas rumah di sisi ini, menghalangi hampir semua dari sinar matahari.
Halaman belakang lebih besar dari yang kuduga, satu persegi panjang yang panjang
miring secara berangsur-angsur turun ke pagar kayu di belakang. Sama seperti
bagian depan, pada halaman ini banyak rumput-rumput tinggi, menyembul melalui
suatu dedaunan cokelat yang tebal. Sebuah patung burung terguling ke samping.
Selain itu, aku bisa melihat sisi dari garasi, gelap, bangunan dari batu bata
yang cocok rumah. "Hei -! Josh" Dia tak ada di belakang sini. Aku berhenti dan mencari jejak di tanah atau tanda
bahwa ia telah berjalan melalui dedaunan yang tebal.
"Bagaimana?" Dengan terengah-engah Ayah berlari datang padaku.
"Tak ada tanda darinya," kataku, terkejut betapa dengan rasa khawatirku.
"Kau telah memeriksa mobil?"
Dia terdengar lebih marah daripada khawatir.
"Ya itu. Itu tempat pertama yang kulihat." Aku mengadakan pencarian terakhir
dengan cepat di halaman belakang. "Aku tak percaya Josh pergi begitu saja." ]
"Aku juga," kata Ayah, dia memutar matanya. "Kau tahu saudaramu saat dia tak
mendapatkan cara. Mungkin dia ingin kita berpikir dia minggat dari rumah.."
Dia mengerutkan dahi. "Di mana dia?" tanya Ibu setelah kami kembali ke depan rumah.
Ayah dan aku sama-sama mengangkat bahu.
"Mungkin dia mendapat teman dan keluyuran," kata Ayah.
Dia mengangkat tangan dan menggaruk rambut keriting cokelatnya. Aku bisa
mengatakan bahwa ia mulai khawatir juga.
"Kita harus menemukannya," kata Ibu, memandang ke jalan. "Dia tak tahu
lingkungan ini sama sekali. Dia mungkin berjalan-jalan dan tersesat.."
Mr Dawes mengunci pintu depan dan melangkah turun dari beranda, mengantongi
kunci. "Dia tak bisa pergi terlalu jauh," katanya, memberi Ibu satu senyum meyakinkan.
"Mari kita berkendaraan di sekitar blok ini. Aku yakin kita akan menemukannya."
Ibu menggeleng dan melirik gugup pada Ayah.
"Aku akan membunuhnya," gumamnya.
Ayah menepuk-nepuk bahunya.
Mr Dawes membuka bagasi dari Honda kecil, melepas jas gelapnya, dan
melemparkannya ke dalam. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu berpinggiran lebar,
topi koboi hitam dan memakainya di atas kepalanya.
"Hei - itu topi yang pas," kata Ayah, naik ke kursi penumpang depan.
"Melindungi dari matahari," kata Mr Dawes, meluncur di belakang kemudi dan
membanting pintu mobil. Ibu dan aku di belakang. Sambil melirik ke arahnya, aku melihat bahwa Ibu sama
khawatir seperti aku. Kami menuju ke blok dalam keheningan, kami berempat menatap keluar dari jendela
mobil. Rumah-rumah yang kami lewati semuanya tampak tua. Sebagian dari mereka
bahkan lebih besar daripada rumah kami. Semua rumah tampak berada dalam kondisi
yang baik, dicat secara baik dengan rapi, dipangkas rumput dengan baik.
Aku tak melihat ada orang di rumah atau pekarangan, dan tak ada seorang pun di
jalan. Ini tentunya suatu lingkungan yang tenang, pikirku. Dan teduh. Rumah-rumah semua
tampaknya dikelilingi oleh pohon-pohon berdaun tinggi. Di halaman depan kami
melaju perlahan melewatinya, semuanya tampak dimandikan dalam bayangan. Jalan
merupakan satu-satunya tempat cerah, satu pita emas sempit yang berlari melalui
bayangan pada kedua sisi.
Mungkin itu sebabnya ini disebut Dark Fall (Air Terjun Gelap), pikirku.
"Mana anakku?" Ayah bertanya, menatap tajam ke luar kaca depan.
"Aku akan membunuhnya. Aku akan benar-benar membunuhnya," gumam Ibu.
Ini bukan pertama kalinya dia mengatakan begitu tentang Josh.
Kami sudah berjalan di sekeliling blok dua kali. Tak ada tanda darinya.
Mr Dawes menyarankan agar kami berkendaraan mengelilingi beberapa blok
berikutnya, dan Ayah segera setuju.
"Kuharap aku juga tak tersesat. Aku juga baru di sini. " kata Mr Dawes, berputar
pada suatu tikungan. "Hei, ada sekolah," Dia memberitahu, sambil menunjuk ke luar dari jendela
sebuah bangunan tinggi berbata merah. Bangunan ini tampak sangat kuno, dengan
lajur-lajur putih di kedua sisi pintu depan berganda.
"Tentu saja, itu tertutup sekarang," tambah Mr Dawes.
Mataku mencari di taman bermain berpagar di belakang sekolah. Kosong. Tak ada
orang di sana. "Bisakah Josh telah berjalan sejauh ini?" Ibu bertanya, suaranya kuat dan lebih
tinggi dari biasanya. "Josh tak berjalan," kata Ayah, dia memutar matanya. "Dia berlari."
"Kita akan menemukannya," kata Mr Dawes percaya diri, menekan jari-jarinya pada
setir saat dia mengemudi.
Kami berbelok ke sudut blok lain yang teduh. Suatu tanda jalan berbunyi "Hard
Cemetery," dan tampak meyakinkan, sebuah pemakaman besar tampak di depan kami.
Granit batu nisan berguling sepanjang bukit rendah, yang miring ke bawah dan
kemudian naik lagi ke bentangan datar yang besar, juga ditandai dengan barisan
nisan rendah dan monumen-monumen.
Beberapa semak menandai beberapa kuburan, tapi tak ada banyak pohon. Saat kami
melaju perlahan melewatinya, batu-batu nisan lewat dalam kabut di sebelah kiri,
aku menyadari bahwa ini adalah tempat yang paling banyak cahaya mataharinya yang
pernah kulihat di seluruh kota.
"Itu anak Anda." Mr Dawes, menunjuk ke luar jendela, menghentikan mobil tibatiba. "Oh, syukurlah!" Ibu berseru, membungkuk untuk melihat keluar jendela mobil di
sisiku. Tentu saja, itu Josh, berlari liar di sepanjang suatu deretan bengkok batu
nisan putih yang rendah. "Apa yang dilakukannya di sini?" tanyaku, mendorong membuka pintu mobilku.
Aku melangkah turun dari mobil, berjalan beberapa langkah ke rumput, dan
memanggilnya. Pada awalnya, ia tak bereaksi terhadap teriakanku. Dia tampak
merunduk dan menghindar melalui batu nisan. Dia berlari dalam satu arah,
kemudian memotong ke sisi itu, kemudian menuju ke arah lain.
Mengapa ia melakukan itu"
Aku mengambil beberapa langkah lagi - dan kemudian berhenti, dicekam ketakutan.
Tiba-tiba aku menyadari mengapa Josh melesat dan merunduk seperti itu, berlari
sangat liar melalui batu nisan. Dia sedang dikejar.
Seseorang - atau sesuatu - mengejarnya.
3 Lalu, saat aku melangkah enggan menuju Josh, mengawasinya membungkuk rendah,
kemudian mengubah arah, lengannya terentang saat ia berlari, aku sadar bahwa aku
mandapati ini terbalik sama sekali.
Josh tak dikejar. Josh mengejar.
Dia mengejar Petey. Oke, oke. Jadi kadang-kadang imajinasiku berjalan jauh bersamaku. Berlari
melalui pemakaman tua seperti ini - bahkan di siang hari yang cerah - itu hanya
alami bagi seseorang yang mungkin mulai memiliki pikiran aneh.
Aku memanggil Josh lagi, dan kali ini ia mendengarku dan berbalik. Dia tampak
khawatir. "Amanda - ke sini bantu aku!" teriaknya.
"Josh, ada masalah apa?" Aku berlari secepat yang aku bisa untuk mengejarnya,
tapi ia terus melesat melalui batu nisan, bergerak dari satu baris ke baris
lainnya. "Tolong!" "Josh - apa yang salah?"
Aku berbalik dan melihat bahwa Ayah dan Ibu tepat di belakangku.
"Petey," Josh menjelaskan, sambil kehabisan napas. "Aku tak bisa
menghentikannya, aku menangkapnya sekali,. Tapi dia menjauh dariku."
"Petey, Petey!" Ayah mulai memanggil anjing itu.
Tapi Petey bergerak dari satu batu ke batu lainnya, mengendus masing-masing,
kemudian berlari ke yang berikutnya.
"Bagaimana kau bisa dapat berjalan ke sini?" tanya Ayah berusaha menangkapnya
dengan adikku. "Aku mengikuti Petey," Josh menjelaskan, masih tampak sangat cemas. "Dia
terlepas begitu saja. Satu detik dia mengendus-endus sekitar alas bunga mati di
halaman depan kami. Detik berikutnya, dia mulai berlari. Dia tak berhenti ketika
kupanggil. Bahkan tak pernah melihat ke belakang. Dia terus berlari sampai dia
tiba di sini. Aku harus mengikuti. Aku takut dia akan tersesat.. "
Josh berhenti dan bersyukur membiarkan Ayah mengambil alih pengejaran.
"Aku tak tahu apa masalah anjing bodoh itu," katanya padaku. "Dia agak aneh."
Ayah perlu beberapa kali mencoba, tapi akhirnya dia berhasil meraih Petey dan
mengangkatnya dari tanah. Anjing terrier kecil kami memperlihatkan jeritan
protes setengah hati, kemudian membiarkan dirinya dibawa pergi.
Kita semua beramai-ramai berjalan kembali ke mobil di sisi jalan. Mr Dawes
sedang menunggu di mobil.
"Mungkin lebih baik Anda membeli tali untuk anjing itu," katanya, tampak sangat
prihatin. "Petey tak pernah memakai tali," protes Josh, dengan letih naik ke kursi
belakang. "Yah, kita mungkin harus mencoba satu kali untuk sementara waktu," kata Ayah
pelan. "Terutama jika dia terus melarikan diri."
Ayah melemparkan Petey ke kursi belakang. Anjing bersemangat itu meringkuk dalam
pelukan Josh. Sisa dari kami masuk ke dalam mobil, dan Mr Dawes mengantar kami kembali ke
kantornya, sebuah bangunan kecil putih beratap datar di ujung deretan kantor
kecil. Saat kami melaju, aku mengulurkan tangan dan membelai bagian belakang
kepala Petey. Mengapa anjing itu lari seperti itu" Aku bertanya-tanya. Petey tak pernah
melakukan itu sebelumnya.
Kukira Petey juga kesal akan kepindahan kami. Setelah Petey telah menghabiskan
seluruh hidupnya di rumah lama kita. Dia mungkin merasa seperti Josh dan aku
tentang harus berkemas, pindah dan tak pernah melihat lingkungan lama lagi.
Rumah baru, jalan baru, dan semua bau baru mestinya anjing malang itu mengalami
kepanikan. Josh ingin lari dari seluruh ide. Dan begitu pula Petey.
Pokoknya, itu teoriku. Mr Dawes memarkir mobil di depan kantor kecil, menjabat tangan Ayah, dan
memberinya kartu nama. "Anda bisa datang minggu depan," katanya kepada Ibu dan Ayah. "Aku akan
menyelesaikan semua pekerjaan yang disahkan oleh hukum setelah ini. Setelah Anda
menandatangani surat-surat, Anda dapat pindah kapan saja.."
Dia membuka pintu mobil dan, memberi kami semua senyum terakhir, siap untuk naik
keluar. "Dawes Compton," kata Ibu, membaca kartu nama putih di bahu Ayah. "Itu nama yang
tak biasa. Apakah Compton nama tua keluarga ?"
Mr Dawes menggelengkan kepala.
"Tidak," katanya, "Hanya aku yang bernama Compton dalam keluargaku, aku tak tahu
mana nama ini berasal. Tak tahu sama sekali. Mungkin orang tuaku tak tahu
bagaimana mengeja Charlie!"
Menertawakan leluconnya yang mengerikan, ia keluar dari mobil, menurunkan topi
hitam lebar Stetson di kepalanya, menarik jasnya dari bagasi, dan menghilang ke
dalam gedung putih kecil.
Ayah naik di belakang kemudi, menggerakkan mundur kursi untuk membuat ruang
untuk perutnya yang besar. Ibu berada di depan, dan kami mulai perjalanan pulang
yang panjang. "Kukira kau dan Petey sudah cukup berpetualang hari ini," kata Ibu pada Josh,
menggulung jendela karena Ayah menyalakan AC.
"Aku kira," kata Josh tak bersemangat.
Petey tertidur lelap di pangkuannya, mendengkur pelan.
"Kau akan menyukai kamarmu," kataku Josh. "Seluruh rumah itu besar. Benarbenar.." Josh menatapku serius, tapi tak menjawab.
Aku menyodok tulang rusuknya dengan sikuku.
"Katakan sesuatu. Bukankah kau dengar apa kataku"."
Tapi aneh, pandangan berpikir tak memudar dari wajah Josh.
*** Beberapa minggu ke depan sepertinya berjalan lambat. Aku berjalan di sekitar
rumah berpikir tentang bagaimana aku tak akan pernah melihat kamarku lagi,
bagaimana aku tak akan pernah sarapan di dapur ini lagi, bagaimana aku tak akan
pernah menonton TV di ruang tamu lagi. Hal-hal yang mengerikan seperti itu.
Aku punya perasaan sakit ketika para tukang pemindah barang-barang datang suatu
sore dan mengantarkan tumpukan karton yang tinggi. Waktunya berkemas. Ini benarbenar terjadi. Meskipun itu di tengah sore hari, aku naik ke kamarku dan
menjatuhkan diri di tempat tidur. Aku tak tidur atau apa pun. Aku hanya menatap
langit-langit selama lebih dari satu jam, dan semua hal liar, pikiran yang tak
berhubungan melintas di benakku, seperti sebuah mimpi, hanya aku sudah bangun.
Aku bukan satu-satunya yang gugup akan pindah. Ibu dan Ayah saling membentak
satu sama lain tanpa sebab. Suatu pagi mereka bertengkar hebat mengenai apakah
daging itu terlalu kering atau tidak.
Dalam satu hal, itu lucu melihat mereka begitu kekanak-kanakan. Josh bertingkah
sangat murung sepanjang waktu. Dia hampir tak berbicara sepatah kata pun kepada
siapa pun. Dan Petey merajuk juga. Anjing bodoh itu bahkan tak mengambil dan
datang kepadaku saat aku punya sisa (makanan dari) meja untuknya.
Goosebumps - 1 Selamat Datang Di Rumah Mati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kukira bagian tersulit tentang pindah adalah berkata selamat tinggal kepada
teman-temanku. Carol dan Amy sedang pergi di kamp, jadi aku harus menulis kepada
mereka. Tapi Kathy di rumah, dan dia adalah temanku yang paling lama, paling
baik, dan paling sulit untuk mengatakan selamat tinggal.
Kupikir beberapa orang terkejut bahwa Kathy dan aku tetap menjadi teman baik.
Untuk satu hal, kami kelihatan begitu berbeda. Aku tinggi, kurus dan gelap, dan
dia berkulit kuning langsat, dengan rambut pirang panjang, dan sedikit gemuk.
Tapi kami telah berteman sejak TK, dan sahabat terbaik sejak kelas empat.
Ketika dia datang malam sebelum pindah, kami berdua sangat kikuk.
"Kathy, kau tak boleh gugup," kataku. "Kau bukan orang pertama yang pindah
menjauh selamanya." "Ini tak seperti pindahmu ke Cina atau lainnya," jawabnya, mengunyah keras
permen karetnya. "Dark Falls hanya empat jam jauhnya, Amanda. Kita akan banyak
bertemu .." "Ya, kurasa," kataku. Tapi aku tak percaya. Empat jam perjalanan seburuk seperti
di Cina, sejauh kerisauanku.
"Kukira kita masih bisa berbicara di telepon," kataku murung.
Dia meniup gelembung hijau kecil, kemudian diisap lagi ke dalam mulutnya.
"Ya. Tentu," katanya, pura-pura antusias. "Kau beruntung, kau tahu. Pindah
keluar dari lingkungan kumuh ke rumah besar.."
"Ini bukan lingkungan kumuh," aku bersikeras. Aku tak tahu mengapa aku membela
lingkungan ini. Aku tak pernah melakukan ini sebelumnya. Salah satu hiburan
favorit kami adalah memikirkan tempat kami akan tumbuh dewasa.
"Sekolah tak akan sama tanpa dirimu," dia menghela napas, melingkarkan kakinya
di bawah kursi. "Siapa yang akan memberiku jawaban matematika?"
Aku tertawa. "Aku selalu memberimu jawaban yang salah."
"Tapi itu adalah pemikiran yang berarti," kata Kathy. Dan kemudian dia
mengerang. "Ugh , pelajar SMP. Apakah pelajar SMP itu bagian dari SMA atau
bagian dari SD?" Aku membuat wajah jijik. "Semuanya dalam satu kesatuan. Ini adalah kota kecil,
ingat " Tak ada SMA yang terpisah." Setidaknya, aku tak melihat satupun."
"Nyebelin," katanya.
Nyebelin memang benar. Kami mengobrol selama berjam-jam. Sampai ibu Kathy menelepon dan mengatakan
sudah waktunya dia pulang.
Lalu kami berpelukan. Aku telah memutuskan bahwa aku tak akan menangis, tapi aku
bisa merasakan, air mata besar yang panas terbentuk di sudut mataku. Dan
kemudian mengalir di pipiku.
"Aku sangat menyedihkan!" ratapku.
Aku telah merencanakan untuk benar-benar terkontrol dan matang. Tapi Kathy
adalah teman terbaikku, setelah semuanya, dan apa yang bisa kulakukan"
Kami membuat janji bahwa kami akan selalu bersama-sama pada hari ulang tahun
kami - tak peduli apa pun. Kami akan memaksa orangtua kami untuk memastikan kami
tak melewatkan hari ulang tahun masing-masing.
Dan kemudian kami berpelukan lagi.
Dan Kathy berkata, "Jangan khawatir Kita akan banyak bertemu.. Sungguh."
Dan matanya berlinang air mata juga.
Dia berbalik dan berlari keluar pintu. Pintu kasa terbanting keras di
belakangnya. Aku berdiri di sana menatap ke dalam kegelapan sampai Petey datang
berlari terburu-buru ke dalam, kuku kakinya berbunyi di linoleum, dan mulai
menjilati tanganku. *** Keesokan paginya, hari pindah, hari Sabtu hujan. Bukan hujan deras. Tak ada
guntur atau petir. Tapi hanya hujan dan angin yang cukup membuat perjalanan
panjang menjadi lambat dan tak menyenangkan.
Langit tampak jadi lebih gelap saat kami mendekati lingkungan baru. Pohon-pohon
yang padat membungkuk rendah di atas jalan.
"Pelan-pelan, Jack," kata Ibu nyaring. "Jalan ini benar-benar licin."
Tapi Ayah terburu-buru untuk sampai ke rumah sebelum van (pengangkut barangbarang yang dibawa) pindah itu.
"Mereka akan menempatkan barang-barang di mana saja jika kita tak disana untuk
mengawasi," jelasnya.
Josh, di sampingku di bangku belakang, merasa benar-benar sakit, seperti
biasanya. Dia terus mengeluh bahwa ia haus. Ketika itu tak berhasil, ia mulai
merengek bahwa ia kelaparan. Tapi kami semua telah sarapan besar, sehingga itu
pun tak mendapatkan reaksi apapun.
Dia hanya ingin perhatian, tentu saja. Aku terus mencoba untuk menghiburnya
dengan mengatakan kepadanya betapa besar di dalam rumah itu dan seberapa besar
kamarnya. Dia belum melihatnya.
Tapi dia tak ingin dihibur. Dia mulai bergulat dengan Petey, membuat anjing
malang itu bekerja, sampai Ayah harus berteriak padanya untuk berhenti.
"Mari kita semua berusaha keras untuk tak membuat gelisah satu dengan yang
lain," usul Ibu. Ayah tertawa. "Ide bagus, Sayang."
"Jangan mengejekku," bentak Ibu.
Mereka mulai berdebat tentang siapa yang lebih lelah dari semua pengepakan.
Petey berdiri di atas kaki belakangnya dan mulai menggonggong di jendela
belakang. "Tak bisakah kau membuatnya diam?" Ibu menjerit.
Aku menarik Petey, tapi ia berjuang kembali dan mulai menggonggong lagi.
"Dia pernah tak melakukan ini sebelumnya," kataku.
"Buat ia tenang!" desak Ibu.
Aku menarik turun kaki belakang Petey, dan Josh mulai melolong. Ibu berbalik dan
memberinya pandangan jelek. Josh tak berhenti melolong, meskipun dia tahu itu
salah. Dia pikir dia pengacau.
Akhirnya, Ayah menghentikan mobil di jalan masuk rumah baru. Suara ban berdecit
di atas kerikil basah. Hujan memukul-mukul atap.
"Rumah, rumah yang indah," kata Mama.
Aku tak tahu apakah dia sedang menyindir atau tidak. Kupikir dia benar-benar
senang perjalanan panjang dengan mobil berakhir.
"Setidaknya kita mengalahkan (van pengangkut barang-barang) pindah ," kata Ayah,
sambil melirik jam tangannya. Lalu ekspresinya berubah. "Semoga mereka tak
tersesat." "Ini gelap seperti malam hari di luar sana," keluh Josh.
Petey melompat-lompat di pangkuanku, putus asa untuk keluar dari mobil. Dia
biasanya wisatawan yang baik. Tapi begitu mobil berhenti, ia ingin segera
keluar. Aku membuka pintu mobilku dan dia melompat ke jalan masuk dengan satu lompatan
dan mulai berjalan liar zigzag liar di halaman depan.
"Setidaknya seseorang senang berada di sini," kata Josh pelan.
Ayah berlari ke beranda dan, meraba-raba dengan kunci asing, berusaha membuka
pintu depan. Lalu ia memberi isyarat bagi kita untuk datang ke rumah.
Ibu dan Josh berlari menyeberangi jalan, ingin sekali keluar dari hujan. Aku
menutup pintu mobil belakangku dan mulai berlari mengejar mereka.
Tapi sesuatu tertangkap mataku. Aku berhenti dan mendongak ke jendela kembar di
atas teras. Aku menahan tanganku menutupi alis untuk melindungi mataku dan memicingkan mata
menembus hujan. Ya. Aku melihatnya. Suatu wajah. Pada jendela di sebelah kiri.
Anak itu. Anak laki-laki yang sama di atas sana, menatap ke arahku.
4 "Bersihkan kakimu. Jangan buat jejak lumpur di lantai bersih bagus ini!" teriak
Ibu. Suaranya bergema di dinding-dinding hampa di ruang tamu kosong .
Aku melangkah ke koridor. Rumah itu berbau cat. Para pengecat baru saja selesai
pada hari Kamis. Terasa panas di dalam rumah, jauh lebih panas dari pada luar.
"Lampu dapur tak mau hidup," teriak Ayah dari belakang. "Apakah para pengecat
mematikan listrik atau sesuatu?"
"Bagaimana aku bisa tahu?" teriak Ibu kembali.
Suara mereka terdengar begitu keras di rumah besar kosong.
"Ibu - di lantai atas ada seseorang!" teriakku, membersihkan kakiku di atas
keset baru dan bergegas ke ruang tamu.
Dia berada di jendela, menatap hujan, mungkin mencari para pemindah barang. Dia
berputar saat aku masuk "Apa?" "Ada anak di lantai atas. Aku melihatnya di jendela," kataku, berusaha mengatur
napas. Josh memasuki ruangan dari lorong belakang. Dia mungkin tadi bersama Ayah. Dia
tertawa. "Apakah ada seseorang yang sudah tinggal di sini?"
"Tak ada seorang pun di lantai atas," kata Ibu, memutar matanya. "Apakah kalian
berdua hari ini akan memberiku istirahat, atau apa?"
"Apa yang kulakukan?" rengek Josh.
"Dengar, Amanda, kita semua di ujung hari sedikit-" Ibu mulai.
Tapi aku memotongnya. "Aku melihat wajahnya, Ibu. Di jendela.. Aku tak gila, kau
tahu." "Kata siapa?" sela Josh.
"Amanda!" Ibu menggigit bibir bawahnya, seperti selalu ia lakukan saat ia benarbenar jengkel. "Kau melihat pantulan dari sesuatu. Dari pohon mungkin.."
Dia berbalik kembali ke jendela. Hujan turun berlapis-lapis sekarang, angin
bergerak ribut di jendela besar bergambar.
Aku berlari ke tangga, menangkupkan tangan ke mulutku, dan berteriak sampai ke
lantai dua, "Siapa di sana?"
Tak ada jawaban. "Siapa di sana?" panggilku, sedikit lebih keras.
Ibu menutupi telinganya dengan tangannya.
"Amanda - tolong !"
Josh menghilang melalui ruang makan. Dia akhirnya menjelajahi rumah.
"Ada seseorang di atas sana," aku bersikeras dan menuruti hatiku, aku mulai
menaiki tangga kayu, sepatuku berbunyi keras di tangga kosong.
"Amanda -" Aku mendengar panggilan Ibu setelah itu.
Tapi aku terlalu marah untuk berhenti. Mengapa dia tak percaya padaku" Mengapa
ia harus mengatakan itu adalah pantulan dari pohon yang kulihat di sana"
Aku penasaran. Aku harus tahu siapa yang ada di lantai atas. Aku harus
membuktikan Ibu salah. Aku harus menunjukkan padanya aku tak melihat satu
pantulan yang bodoh. Kukira aku pun bisa sangat keras kepala, juga. Mungkin ciri
khas keluarga. Tangga berdecit dan berderit di bawah saat aku naik. Aku tak merasa takut betul
sampai aku mencapai lantai dua. Lalu aku tiba-tiba punya perasaan berat di
perutku. Aku berhenti, terengah-engah, bersandar di pegangan tangga.
Siapa yang bisa begitu" Perampok" Satu anak tetangga yang membosankan melanggar
ke sebuah rumah kosong untuk satu kesenangan"
Mungkin aku seharusnya tak di sini sendirian, aku menyadarinya.
Mungkin anak laki-laki di jendela itu berbahaya.
"Ada orang di sini?" panggilku, suaraku tiba-tiba gemetar dan lemah.
Masih bersandar pegangan tangga, aku mendengarkan.
Dan aku bisa mendengar langkah kaki berlari di lorong.
Tidak. Bukan langkah kaki. Hujan. Itulah apa itu. Derai hujan di atap papan sirap.
Untuk beberapa alasan, suara itu membuatku merasa sedikit lebih tenang. Aku
melepaskan pegangan tangga dan melangkah ke lorong panjang dan sempit. Saat itu
gelap di sini, kecuali cahaya abu-abu persegi panjang dari sebuah jendela kecil
di ujung lain. Aku berjalan beberapa langkah, papan lantai kayu tua berderit ribut di bawahku.
"Ada orang di sini?"
Sekali lagi tak ada jawaban.
Aku melangkah ke pintu pertama di sebelah kiriku. Pintu itu tertutup. Bau cat
baru mencekik. Ada tombol lampu di dinding dekat pintu. Mungkin itu untuk lampu
di koridor, pikirku. Aku menghidupkannya. Tapi tak ada yang terjadi.
"Ada orang di sini?"
Tanganku gemetar saat aku meraih gagang pintu. Rasanya hangat di tanganku. Dan
lembab. Aku berbalik dan, mengambil napas dalam-dalam, mendorong pintu.
Aku mengintip ke dalam ruangan. Cahaya abu-abu disaring melalui jendela. Satu
kilatan petir membuatku melompat mundur. Guntur yang diikuti suara gemuruh jauh
memudar. Perlahan-lahan, hati-hati, Aku melangkah ke dalam ruangan. Lalu, satu lagi.
Tak ada tanda-tanda siapa pun.
Ini adalah kamar tidur tamu. Atau bisa juga kamar Josh jika dia memutuskan dia
menyukainya. Kilatan petir lainnya. Langit tampak gelap. Gelap gulita di luar sana meskipun
setelah makan siang. Aku mundur ke lorong. Ruang menurun berikutnya akan jadi milikku. Ruang itu juga
memiliki jendela yang menonjol keluar untuk melihat ke bawah halaman depan.
Apakah anak yang kulihat itu menatap dari kamarku"
Aku mengendap-endap menyusuri koridor, membiarkan tanganku bergerak sepanjang
dinding untuk beberapa alasan, dan berhenti di luar pintu kamarku, yang juga
tertutup. Dengan mengambil napas dalam-dalam, aku mengetuk pintu.
"Siapa di sana?" teriakku.
Aku mendengarkan. Hening. Kemudian satu sambaran halilintar, lebih dekat dari yang terakhir. Aku membeku
seolah-olah aku lumpuh, menahan napas. Sangat panas di sini, panas dan lembab.
Dan bau cat membuatku pusing.
Aku meraih kenop pintu. "Siapa di sana?"
Aku mulai memutar tombolnya - ketika anak itu bergerak pelan-pelan dari belakang
dan meraih bahuku. 5 Aku tak bisa bernapas. Aku tak bisa menjerit.
Jantungku serasa berhenti. Dadaku terasa seperti akan meledak.
Dengan nekat, upaya ketakutan, aku berbalik memutar.
"Josh!" jeritku. "Kau membuatku ketakutan sampai mati, kupikir -!"
Dia melepaskanku dan mundur selangkah.
"Kena!" katanya, dan lalu mulai tertawa, tawa bernada tinggi bergema di lorong
panjang yang kosong. Jantungku berdebar keras sekarang. Keningku berdenyut-denyut.
"Kau tak lucu," kataku dengan marah. Aku mendorongnya ke dinding. "Kau benarbenar membuatku takut."
Dia tertawa dan berguling-guling di lantai. Dia benar-benar satu penyakit. Aku
mencoba mendorongnya lagi tapi meleset.
Dengan marah, aku berpaling darinya - tepat waktu itu melihat pintu kamarku
perlahan-lahan berayun terbuka.
Aku terkesiap tak percaya. Dan membeku, ternganga di pintu yang bergerak.
Josh berhenti tertawa dan berdiri, segera serius, matanya yang gelap terbelalak
ketakutan. Aku bisa mendengar seseorang bergerak di dalam ruangan.
Aku bisa mendengar bisik-bisik.
Tawa gembira. "Siapa - siapa di sana?" aku berhasil bicara terbata-bata dengan suara agak
tinggi yang tak kukenali.
Pintu itu, berderit keras, membuka sedikit lagi, lalu mulai menutup.
"Siapa di sana?" desakku , sedikit lebih tegas.
Sekali lagi, aku bisa mendengar bisikan, seseorang bergerak.
Josh mundur ke dinding dan berjalan pergi ke tangga. Dia memiliki ekspresi wajah
yang belum pernah kulihat sebelumnya - ketakutan.
Pintu itu, berderit seperti pintu di film rumah hantu, tertutup sedikit lagi.
Josh hampir sampai ke tangga. Dia menatapku, tangannya menunjuk dengan keras
padaku agar mengikutinya.
Tapi sebaliknya, aku melangkah maju, meraih kenop pintu, dan membuka pintu
dengan keras. Ini tak melawan. Aku melepaskan pegangan pintu dan berdiri menghalangi pintu.
"Siapa di sana?"
Goosebumps - 1 Selamat Datang Di Rumah Mati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ruangan itu kosong. Guntur berdentam. Aku butuh beberapa detik untuk menyadari apa yang membuat pintu bergerak.
Jendela pada dinding seberang telah dibiarkan terbuka beberapa inci. Hembusan
angin melalui jendela yang terbuka pasti telah membuka dan menutup pintu. Kuduga
itu juga menjelaskan suara-suara lain yang kudengar di dalam ruangan, suara yang
kupikir bisik-bisik. Siapa yang membiarkan jendela terbuka" Mungkin para pengecat.
Aku menarik napas dalam-dalam dan membiarkannya keluar perlahan-lahan, menunggu
debaran jantungku untuk menurun normal.
Merasa sedikit bodoh, aku berjalan cepat ke jendela dan mendorong menutupnya.
"Amanda - apakah kau baik-baik saja?" Josh berbisik dari lorong.
Aku mulai menjawabnya. Tapi kemudian aku punya ide yang lebih baik.
Dia tadi menakutiku setengah mati beberapa menit sebelumnya. Mengapa tak
memberinya sedikit ketakutan" Dia pantas mendapatkannya.
Jadi aku tak menjawab. Aku bisa mendengarnya mengambil beberapa langkah ketakutan mendekat ke kamarku.
"Amanda Amanda " Kau baik-baik saja ?"
Aku berjingkat-jingkat ke lemariku, menarik pintu membuka sepertiga jalan. Lalu
aku berbaring datar di lantai, di punggungku, dengan kepala dan bahu tersembunyi
di dalam lemari dan sisanya keluar di dalam ruangan.
"Amanda?" Josh terdengar sangat ketakutan.
"Ohhhhh," erangku keras.
Aku tahu saat dia melihatku tergeletak di lantai seperti ini, dia benar-benar
akan panik! "Amanda - apa yang terjadi?"
Dia berada di ambang pintu sekarang. Dia sekarang melihatku beberapa detik,
berbaring di ruangan gelap, kepalaku tersembunyi dari pandangan, petir berkelapkelip mengesankan dan guntur bergemuruh di luar jendela lama.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menahannya agar tak tertawa cekikikan.
"Amanda?" bisiknya. Dan lalu ia pasti telah melihatku, karena dia berkata keras
"Hah"!" Dan aku mendengarnya terengah-engah.
Dan lalu dia berteriak sekuat-kuatnya. Aku mendengarnya berlari menyusuri lorong
ke tangga, menjerit-jerit,
"Ibu! Ayah!" Dan aku mendengar sepatunya bersuara keras menuruni tangga kayu, dengan
jeritannya dan memanggil-manggil di sepanjang jalan ke bawah.
Aku tertawa sendiri. Lalu, sebelum aku bisa menarik diriku, aku merasa satu
lidah kasar hangat menjilati wajahku.
"Petey !" Dia menjilati pipiku, menjilati kelopak mataku, menjilatiku dengan panik,
seolah-olah ia sedang mencoba untuk menghidupkanku kembali, atau seolah-olah
membiarkanku tahu bahwa semuanya baik-baik saja.
"Oh, Petey ! Petey!" teriakku, tertawa dan melilitkan lenganku pada anjing manis
itu. "Hentikan. Kau membuatku lengket semua!!"
Tapi dia tak akan berhenti. Dia terus menjilati dengan keras.
Anjing malang itu gugup juga, pikirku.
"Ayolah, Petey, sudahlah," kataku padanya, memegang wajahnya terengah-engah
pergi dengan kedua tanganku. "Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tempat baru ini
akan menjadi menyenangkan.. Kau akan melihat."
6 Malam itu, aku tersenyum sendiri sambil menepuk-nepuk bantalku dan meluncur ke
tempat tidur. Aku sedang berpikir tentang bagaimana takutnya Josh telah sore
itu, betapa kelihatan takutnya dia bahkan setelah aku datang berjingkrak
menuruni tangga, baik-baik saja. Betapa marahnya dia bahwa aku menipunya.
Tentu saja, Ibu dan Ayah tak menganggap hal itu lucu. Mereka berdua gugup dan
kesal karena van (pengangkut barang) pindah baru saja tiba, terlambat satu jam.
Mereka memaksa Josh dan aku untuk membuat gencatan senjata. Tak ada lagi
menakut-nakuti satu sama lain.
"Sulit untuk tak merasa takut di tempat tua mengerikan ini," gumam Josh.
Tapi kami enggan setuju untuk tak bermain lelucon lagi pada satu sama lain, jika
mungkin kami bisa membantunya.
*** Para pria, mengeluh tentang hujan, mulai membawa di semua perabotan kami. Josh
dan aku membantu menunjukkan kepada mereka di mana kami ingin barang-barang di
kamar kami. Mereka menaruh meja riasku di tangga, namun hanya mendapat goresan
kecil. Perabot itu tampak aneh dan kecil dalam rumah besar ini. Josh dan aku mencoba
untuk tetap keluar ke jalan sementara Ibu dan Ayah bekerja sepanjang hari,
mengatur barang-barang, mengosongkan kardus, menempatkan pakaian. Ibu bahkan
dapat menempatkan gantungan gorden di kamarku.
Hari yang melelahkan ! Sekarang, sesaat setelah jam 10:00, mencoba tidur untuk pertama kalinya di kamar
baruku, aku berputar ke pinggangku, kemudian ke punggungku. Meskipun ini adalah
ranjang tuaku, aku tak bisa merasa nyaman.
Segalanya tampak begitu berbeda, begitu salah. Tempat tidur tak menghadap ke
arah yang sama seperti di kamar tidur lamaku. Dinding-dindingnya yang kosong.
Aku tak punya waktu untuk menggantungkan beberapa posterku. Ruangan itu tampak
begitu luas dan kosong. Bayang-bayang tampak jauh lebih gelap.
Punggungku mulai terasa gatal, dan lalu aku tiba-tiba merasa gatal di seluruh
tubuhku. Tempat tidur penuh dengan serangga ! Kupikir, duduk. Tapi tentu saja
itu konyol. Itu adalah tempat tidur tuaku yang sama dengan seprei bersih.
Aku memaksa diriku untuk tenang kembali tidur dan memejamkan mata. Kadang-kadang
ketika aku tak bisa tidur, aku menghitung pelan-pelan angka genap, membayangkan
setiap nomor dalam pikiranku seperti yang kupikir. Ini biasanya membantu untuk
menjernihkan pikiranku sehingga aku bisa tidur.
Aku coba sekarang, membenamkan wajahku di bantal, membayangkan angka-angka
bergulir lewat. . . 4. . . 6. . . 8. . .
Aku menguap keras-keras, masih terjaga di 22.
Aku akan terjaga selamanya, pikirku. Aku tak akan pernah bisa tidur di kamar
baru. Tapi kemudian aku tertidur tanpa menyadarinya. Aku tak tahu berapa lama aku
tidur. Satu atau dua jam paling banyak. Cahaya itu, tidur yang tidak nyaman.
Lalu sesuatu membangunkanku. Aku duduk tegak, terkejut.
Meskipun ruangan panas, aku merasa dingin. Melihat ke ujung tempat tidur,
kulihat bahwa aku telah menendang seprei dan selimut yang teran. Sambil
mengerang, aku mengulurkan tangan untuk mengambilnya, tapi lalu membeku.
Aku mendengar bisikan. Seseorang berbisik di seberang ruangan.
"Siapa - siapa di sana?"
Suaraku jadi bisikan juga, kecil dan ketakutan.
Aku meraih selimut dan menariknya ke daguku.
Aku mendengar bisikan-bisikan lagi. Ruangan itu jadi jadi fokus mataku yang
membiasakan diri dengan cahaya redup.
Gorden-gorden itu. Yang panjang, gorden tipis dari kamar lamaku yang ibuku
gantung siang itu sedang berkibar di jendela.
Jadi. Itu menjelaskan bisikan-bisikan tadi. Gorden-gorden menggelembung itu
pasti membuatku bangun. Sebuah cahaya lembut abu-abu tersebar dari luar. Bayang-bayang gorden berwarna
bergerak ke kaki tempat tidurku.
Sambil menguap, aku berbaring dan keluar dari tempat tidur. Aku merasa dingin
saat aku berjalan pelan melintasi lantai kayu untuk menutup jendela.
Ketika aku mendekat, gorden berhenti menggembung dan mengembang kembali ke
tempatnya. Aku mendorongnya ke samping dan mengulurkan tangan untuk menutup
jendela. "Oh!" Aku menjerit pelan ketika aku menyadari bahwa jendela itu tertutup.
Tapi bagaimana gorden berkibar seperti itu dengan jendela tertutup" Aku berdiri
di sana untuk sementara waktu, menatap malam yang abu-abu. Tak banyak angin.
Jendela tampak cukup kedap udara.
Apakah aku membayangkan gorden-gorden menggelembung " Apakah mataku menipuku "
Sambil menguap, aku bergegas kembali melalui bayangan-bayangan aneh ke tempat
tidurku dan menarik selimut setinggi-tingginya.
"Amanda, berhenti menakut-nakuti diri sendiri," omelku.
Ketika aku tertidur kembali beberapa menit kemudian, aku mimpi buruk, mimpi
paling mengerikan. Aku bermimpi bahwa kami semua mati. Ibu, Ayah, Josh, dan aku.
Pada awalnya, aku melihat kami duduk di sekitar meja makan di ruang makan baru.
Ruangan itu sangat terang, begitu terang aku tak dapat melihat wajah-wajah kami
dengan baik. Mereka benar-benar kabur, putih terang.
Tapi, lalu, perlahan-lahan, perlahan-lahan, semua jadi terfokus, dan aku bisa
melihat bahwa di balik rambut kita, kami tak punya wajah. Kulit kami tak ada,
dan hanya tengkorak abu-abu hijau kami yang tersisa. Potongan-potongan daging
menempel tulang pipiku. Hanya ada rongga dalam hitam di mana ada mataku.
Kami berempat, semua mati, duduk makan dalam diam. Piring-piring makan kami,
kulihat, diisi dengan tulang-tulang kecil. Sebuah piring besar di tengah meja
penuh tumpukan tinggi tulang abu-abu-hijau, tampaknya tulang manusia.
Dan lampu, dalam mimpi ini, makan menjijikkan kami terganggu oleh ketukan keras
di pintu, satu gedoran keras semakin keras dan keras. Itu Kathy, temanku dari
belakang rumah. Aku bisa melihatnya di pintu depan kami, menggedor dengan kedua
tangannya. Aku ingin pergi membuka pintu. Aku ingin lari dari ruang makan dan membuka pintu
dan menyapa Kathy. Aku ingin berbicara dengan Kathy. Aku ingin menceritakan apa
yang terjadi padaku, untuk menjelaskan bahwa aku sudah mati dan bahwa wajahku
telah tak ada. Aku ingin tahu kesulitan Kathy.
Tapi aku tak bisa bangun dari meja. Aku mencoba dan mencoba, tapi aku tak bisa
bangun. Gedoran pintu semakin keras dan keras, sampai memekakkan telinga. Tapi aku hanya
duduk di sana dengan keluargaku yang mengerikan, mengambil tulang dari piring
makan malamku dan memakannya.
Aku terbangun dengan kaget, kengerian dari mimpi itu masih bersamaku. Aku masih
bisa mendengar dentuman di telingaku. Aku menggeleng, mencoba mengusir pergi
mimpi itui. Hari sudah pagi. Aku bisa tahu dari langit biru di luar jendela.
"Oh, tidak." Gorden-gorden itu. Mereka menggelembung lagi, berkibar berisik seolah-olah
bertiup ke dalam ruangan.
Aku duduk dan menatap. Jendela masih tertutup. 7 "Aku akan melihat di jendela. Harusnya ada aliran udara atau kebocoran atau
sesuatu," kata Ayah saat sarapan. Dia memasukkan sesuap lain telur orak-arik
dan ham. "Tapi, Yah - itu sangat aneh!" Aku bersikeras, masih merasa takut. "Gordengorden itu bertiup seperti gila, dan jendela itu tertutup!"
"Mungkin ada kaca jendela yang hilang," saran Ayah.
"Amanda menyedihkan !" ujar Josh.
Ide leluconnya benar-benar lucu.
"Jangan mulai dengan kakakmu," kata Ibu, meletakkan piringnya di atas meja dan
menjatuhkan diri ke kursinya. Dia tampak lelah. Rambutnya yang hitam, yang
biasanya ditarik mundur secara hati-hati, acak-acakan. Dia menarik-narik ikat
pinggang jubah mandinya. "Wah aku tak berpikir aku tidur dua jam semalam."
"Aku juga," kataku, mendesah. "Aku terus berpikir bahwa anak itu yang mungkin
akan muncul di kamarku lagi."
"Amanda - kau harus benar-benar harus menghentikan ini," kata Ibu tajam. "Anak
laki-laki di kamarmu. Gorden-gorden bertiup. Kau harus menyadari bahwa kau
gugup. Dan imajinasimu bekerja lembur."
"Tapi, Bu -" Aku mulai.
"Mungkin satu hantu berada di balik gorden," kata Josh, menggoda. Dia mengangkat
tangannya dan membuat tingkah hantu "oooooooh" meratap.
"Wah." Ibu meletakkan tangan di bahu Josh. "Ingat apa yang kau janjikan tentang
menakut-nakuti satu sama lain?"
"Ini akan sulit bagi kita semua untuk menyesuaikan diri dengan tempat ini," kata
Ayah. "Kau mungkin telah bermimpi tentang gorden-gorden bertiup, Amanda. Katamu
kau punya mimpi buruk, benar"."
Mimpi buruk yang menakutkan terlintas kembali ke pikiranku. Sekali lagi aku
melihat piring besar tulang itu di atas meja. Aku menggigil.
"Sangat lembab di sini," kata Ibu.
"Sedikit sinar matahari akan membantu mengeringkan tempat itu," kata Ayah.
Aku mengintip keluar jendela. Langit telah berubah kelabu. Pepohonan tampak
menyebarkan kegelapan di seluruh halaman belakang kami.
"Di mana Petey?" tanyaku.
"Keluar ke belakang," jawab Ibu, menelan sebutir telur. "Dia bangun pagi juga.
Kurasa tak bisa tidur. Jadi kubiarkan dia keluar."
"Apa yang kita lakukan hari ini?" Josh bertanya.
Dia selalu ingin tahu rencana untuk hari itu. Setiap rincian. Pokoknya hingga
dia bisa berdebat tentang hal itu.
"Ayahmu dan aku masih punya banyak barang yang harus dibuka," kata Ibu sambil
melirik ke lorong belakang, yang penuh dengan karton belum dibuka. "Kalian
berdua dapat menjelajahi lingkungan. Lihat apa yang dapat kalian temukan.. Lihat
apakah ada anak-anak lain seusia kalian di sekitar sini."
"Dengan kata lain, kau ingin kami tersesat!" Kataku.
Ibu dan Ayah tertawa. "Kau sangat cerdas, Amanda."
"Tapi aku ingin membantu membuka barang-barangku," rengek Josh.
Aku tahu dia akan berdebat dengan rencana, seperti biasa.
"Pergilah berpakaian dan berjalan-jalan yang lama," kata Ayah. "Bawa Petey
bersama kalian, oke. Dan ambil tali untuknya. Aku tinggalkan satu di tangga
depan." "Bagaimana dengan sepeda kami " Mengapa kami tak bisa naik sepeda?" Josh
bertanya. "Mereka terbenam di belakang garasi," kata Dad. "Kau tak akan pernah bisa
mendapatkannya. Selain itu, banmu kempes.."
"Jika aku tak bisa naik sepeda, aku tak akan keluar," desak Josh, menyilangkan
lengan di depan dadanya. Ibu dan Ayah harus berdebat dengannya. Kemudian mengancamnya. Akhirnya, ia
setuju untuk pergi untuk "berjalan kaki singkat."
Aku menyelesaikan sarapanku, berpikir tentang Kathy dan teman-temanku yang lain
di rumah dulu. Aku bertanya-tanya anak-anak seperti apa di Dark Falls. Aku
bertanya-tanya apakah aku akan dapat menemukan teman baru, teman sejati.
Aku menawarkan diri untuk mencuci piring sarapan karena Ibu dan Ayah sudah
begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Air hangat terasa sejuk pada
tanganku saat aku menyeka piring menjadi bersih. Kurasa mungkin aku aneh. Aku
suka mencuci piring. Di belakangku, dari suatu tempat di bagian depan rumah, aku bisa mendengar Josh
berdebat dengan Ayah. Aku nyaris tak bisa membuat kata-kata di atas cucuran air
keran. "Bola basketmu dikemas dalam salah satu karton," kata Ayah.
Lalu Josh mengatakan sesuatu.
Lalu Ayah berkata, "Bagaimana aku tahu yang mana?"
Lalu Josh mengatakan sesuatu.
Lalu Ayah berkata, "Tidak, aku tak punya waktu untuk melihat sekarang. Percaya
atau tidak, bola basketmu tak ada di bagian atas daftarku.."
Aku menumpuk hidangan terakhir ke meja untuk mengeringkan, dan mencari handuk
untuk mengeringkan tanganku. Tak ada yang terlihat. Aku kira itu belum dibuka.
Sambil menyeka tanganku di bagian depan pakaianku, aku berjalan menuju tangga.
"Aku akan berpakaian dalam lima menit," kataku pada Josh, yang masih berdebat
dengan Ayah di ruang tamu. "Lalu kita bisa keluar."
Aku mulai menaiki tangga depan, dan kemudian berhenti.
Di atas aku di panggung tangga rumah berdiri seorang gadis yang aneh, seumurku,
dengan rambut hitam pendek. Dia tersenyum padaku, bukan senyum hangat, bukan
senyum ramah, tapi senyum dingin paling menakutkan yang pernah kulihat.
8 Satu tangan menyentuh bahuku.
Aku berbalik. Itu Josh. "Aku tak akan berjalan-jalan kecuali aku dapat mengambil basketku," katanya.
"Josh - tolong- !" Aku melihat kembali ke atap, dan gadis itu pergi.
Aku merasa dingin. Kakiku semua bergetar. Aku meraih pegangan tangga.
Goosebumps - 1 Selamat Datang Di Rumah Mati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah. Kemarilah - tolong !" panggilku.
Wajah Josh dipenuhi dengan kegelisahan.
"Hei, aku tak melakukan apa-apa!" teriaknya.
"Tidak - itu - itu bukan kau," kataku, dan memanggil Ayah lagi.
"Amanda, aku agak sibuk," kata Ayah, muncul di bawah kaki tangga, sudah
berkeringat dari membongkar barang-barang ruang tamu.
"Yah, aku melihat seseorang," kataku. "Di atas sana. Seorang gadis.."
Aku menunjuk. "Amanda, tolong," jawabnya, membuat suatu wajah. "Berhentilah melihat sesuatu
-....". Oke. Tak ada orang di rumah ini kecuali kita berempat dan mungkin
beberapa tikus" "Tikus ?" Josh bertanya, tiba-tiba tertarik. "Sungguh mana?""
"Ayah, aku tak membayangkan hal itu," kataku, suaraku pecah. Aku benar-benar
terluka karena dia tak percaya padaku.
"Amanda, lihat di atas sana," kata Ayah, menatap ke puncak tangga. "Apa yang kau
lihat?" Aku mengikuti tatapannya. Ada setumpuk pakaianku di panggung anak tangga. Ibu
pasti baru saja membongkarnya.
"Ini hanya pakaian," kata Ayah tak sabar. "Itu bukan gadis, itu pakaian.."
Dia memutar matanya. "Maaf," kataku pelan. Aku mengulanginya saat aku mulai menaiki tangga. "Maaf."
Tapi aku tak benar-benar merasa menyesal. Aku merasa bingung.
Dan masih takut. Apakah mungkin yang aku berpikir setumpukan pakaian adalah seorang gadis yang
tersenyum" Tidak, aku tak berpikir begitu.
Aku tak gila. Dan aku memiliki penglihatan yang benar-benar baik.
Jadi, apa yang terjadi"
Aku membuka pintu kamarku, menyalakan lampu langit-langit, dan melihat gordengorden berkibar di depan jendela.
Oh, tidak. Tidak lagi, pikirku.
Aku bergegas menghampirinya. Kali ini, jendela terbuka.
Siapa yang membukanya"
Ibu, tebakku. Hangat, udara basah meniup ke dalam ruangan. Langit terasa berat dan abu-abu.
Baunya seperti hujan. Beralih ke tempat tidur, aku mendapat kejutan lain.
Seseorang telah meletakkan pakaian untukku. Sepasang jeans pudar dan biru pucat,
kaos tanpa lengan, semua itu menyebar berdampingan di kaki tempat tidur.
Siapa yang menaruhnya di sana" Ibu"
Aku berdiri di ambang pintu dan memanggilnya.
"Ibu " Ibu " Apakah kau memilih pakaian untukku ?"
Aku bisa mendengar dia berteriak sesuatu dari lantai bawah, tapi aku tak bisa
mengerti kata-katanya. Tenang, Amanda, aku berkata pada diriku sendiri. Tenang.
Tentu saja Ibu menarik pakaian keluar. Tentu saja yang Ibu menempatkannya di
sana. Dari ambang pintu, aku mendengar bisik-bisik di lemariku.
Bisikan-bisikan dan cekikikan pelan di balik pintu lemari.
Ini adalah batas kesabaran yang terakhir.
"Apa yang terjadi di sini?" Aku berteriak di bagian atas paru-paruku.
Aku bergegas ke lemari dan membuka pintu.
Dengan panik, aku mendorong pakaian-pakaian di situ. Tak seorang pun di sana.
Tikus-tikus " Pikirku. Apakah aku mendengar tikus-tikus yang Ayah bicarakan itu"
"Aku harus keluar dari sini," kataku keras-keras.
Ruangan ini, aku menyadari, itu membuatku gila.
Tidak, aku membuat diriku sendiri gila. Membayangkan semua hal aneh ini.
Pasti ada penjelasan logis untuk segala sesuatu. Semuanya.
Saat aku menarik celana jeansku dan mengancingnya, aku mengatakan kata "logis"
berulang-ulang dalam pikiranku. Aku mengatakan itu berkali-kali begitu banyak
sehingga tak terdengar seperti kata nyata lagi.
Tenang, Amanda. Tenang. Aku menarik napas dalam-dalam dan menahannya sampai hitungan ke sepuluh.
"Boo!" "Josh -. Hentikan itu kau tak membuatku takut," kataku, terdengar lebih jengkel
dari yang seharusnya. "Ayo keluar dari sini," katanya, menatapku dari ambang pintu. "Tempat ini
membuatku merinding."
"Hah kau juga?"
Aku berseru. "Apa masalahmu?"
Dia mulai mengatakan sesuatu, lalu berhenti. Dia tiba-tiba tampak malu.
"Lupakan saja," gumamnya.
"Tidak, katakan padaku," aku bersikeras. "Apa yang akan kau katakan?"
Dia menendang papan hias di lantai . "Aku semalam bermimpi yang benar-benar
menyeramkan," dia akhirnya mengakui, melihat melaluiku pada gorden yang berkibar
di jendela. "Suatu mimpi?" Aku ingat mimpi yang mengerikan.
"Ya. Ada dua anak laki-laki di kamarku Dan mereka bermaksud ..."
"Apa yang mereka lakukan?" tanyaku.
"Aku tak ingat," kata Josh, menghindari mataku. "Aku hanya ingat mereka
menakutkan." "Dan apa yang terjadi?" tanyaku, beralih ke cermin untuk sikat rambutku.
"Aku terbangun," katanya. Dan kemudian menambahkan dengan tak sabar, "Ayo, kita
pergi.." "Apakah anak-anak mengatakan sesuatu kepadamu?" tanyaku.
"Tidak, aku tak berpikir begitu," jawab dia serius. "Mereka hanya tertawa."
"Tertawa?" "Yah, terkikik, semacam," kata Josh.
"Aku tak ingin membicarakannya lagi," tukasnya. "Apakah kita akan pergi untuk
perjalanan bodoh ini, atau tidak?"
"Oke, aku siap,." Kataku, meletakkan sikatku, melihat terakhir kalinya di
cermin. "Mari kita pergi untuk perjalanan bodoh ini."
Aku mengikutinya menyusuri koridor. Ketika kami melewati tumpukan pakaian di
atap, aku berpikir tentang gadis yang kulihat berdiri di sana. Dan aku berpikir
tentang anak laki-laki di jendela ketika kami pertama kali tiba. Dan dua anak
laki-laki yang Josh lihat dalam mimpinya.
Aku memutuskan itu membuktikan bahwa Josh dan aku sama-sama sangat gugup tentang
pindah ke tempat baru ini. Mungkin Ibu dan Ayah benar. Kami membiarkan imajinasi
kita berjalan dengan kami.
Ini pasti imajinasi kami.
Maksudku, apa lagi yang bisa terjadi "
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com 9 Beberapa detik kemudian, kami melangkah ke halaman belakang untuk membawa Petey.
Dia senang melihat kami seperti biasa, melompat pada kami dengan cakarnya yang
berlumpur, menyalak gembira, berjalan melingkar gila-gilaan melalui dedaunan.
Ini menghiburku hanya dengan melihatnya.
Suhu panas dan lembab meskipun langit tampak kelabu. Tak ada angin sama sekali.
Pohon-pohon tua yang tebal berdiri diam seperti patung.
Kami turun dari ujung jalanan berkerikil ke jalanan, sepatu kami menendang di,
daun-daun coklat kering, Petey berjalan di zigzag di sisi kami, pertama di depan
kami, kemudian di belakang.
"Setidaknya Ayah tak meminta kita untuk menyapu semua daun-daun tua ini," kata
Josh. "Dia akan," aku memperingatkan. "Aku tak berpikir dia belum membuka sapu."
Wajah Josh berubah. Kami berdiri di pinggir jalan, memandangi rumah kami,
jendela-jendela di lantai dua menatap kembali pada kami seperti mata.
Rumah tetangga sebelah, aku melihat untuk pertama kalinya, ukurannya sama
seperti rumah kami, kecuali itu atapnya bukan dari batu bata. Gorden-gorden di
ruang tamu ditarik kebawah tertutup. Beberapa jendela lantai atas tertutup.
Pohon-pohon tinggi membuat rumah tetangga dalam kegelapan, juga.
"Lewat mana?" tanya Josh, sambil melemparkan sepotong kayu untuk Petey kejar.
Aku menunjuk ke jalan itu.
"Sekolah lewat jalan itu," kataku. "Mari kita periksa."
Jalanan menanjak miring. Josh mengambil satu cabang pohon kecil dari sisi jalan
dan menggunakannya sebagai tongkat. Petey terus berusaha mengunyah sementara
Josh berjalan. Kami tak melihat siapa pun di jalanan atau di salah satu halaman depan kami
lewati. Tak ada mobil lewat.
Aku mulai berpikir seluruh kota itu kosong, sampai anak itu keluar dari balik
bukit yang rendah. Dia muncul begitu tiba-tiba, baik Josh dan aku berhenti di jalan kami.
"Hai," katanya malu-malu, melambai sedikit pada kami.
"Hai," jawab Josh dan aku pada saat yang sama.
Lalu, sebelum kita menariknya kembali, Petey berlari ke anak itu, mengendus
sepatu, dan mulai menggeram dan menyalak. Anak itu melangkah mundur dan
mengangkat tangannya seolah-olah ia melindungi dirinya sendiri. Dia terlihat
sangat ketakutan. "Petey - berhenti!" teriakku.
Josh meraih anjing dan mengangkatnya, tapi ia terus menggeram.
"Dia tak menggigit," kataku anak itu. "Dia biasanya tak menggonggong juga aku
minta maaf.." "Tak apa-apa," kata anak itu, menatap Petey, yang menggeliat-geliat untuk keluar
dari lengan Josh. "Dia mungkin mencium bau sesuatu padaku."
"Petey, berhenti!" teriakku.
Anjing itu tak berhenti menggeliat.
"Kau tak ingin diikat - bukan ?"
Anak itu pendek, rambut pirang bergelombang dan mata biru sangat pucat. Dia
memiliki hidung yang tampak lucu sepertinya keluar dari satu tempat di wajah
seriusnya. Dia mengenakan kaus lengan panjang merah tua meskipun hari itu
lembab, dan celana jeans hitam lurus. Dia memiliki topi baseball biru yang
dimasukkan ke saku belakang celana jinsnya.
"Aku Amanda Benson," kataku. "Dan ini adalah adikku Josh."
Josh ragu-ragu menempatkan Petey kembali di tanah. Anjing menggonggong sekali,
menatap anak itu, merintih pelan, lalu duduk di jalan dan mulai untuk menggaruk
dirinya sendiri. "Aku Ray Thurston," kata anak itu, memasukkan tangan ke saku celana jins, masih
menatap waspada pada Petey. Dia tampak lebih santai sedikit, meskipun, melihat
anjing yang telah kehilangan minat untuk menggonggong dan menggeram ke arahnya.
Aku tiba-tiba menyadari bahwa Ray tampak akrab. Dimana aku melihatnya
sebelumnya" Dimana" Aku menatapnya tajam sampai aku ingat.
Dan lalu aku tersentak kaget tiba-tiba.
Ray adalah anak itu, anak yang di kamarku. Anak laki-laki di jendela.
"Kau -" Aku tergagap menuduh. "Kau di rumah kami!"
Dia tampak bingung. "Hah?"
"Kau berada di kamarku - benar kan ?" Aku bersikeras.
Dia tertawa. "Aku tak mengerti," katanya. "Di kamarmu ?"
Petey mengangkat kepalanya dan memberikan geraman pelan ke arah Ray. Lalu ia
kembali ke menggaruk serius.
"Kupikir aku melihatmu," kataku, mulai merasa sedikit ragu. Mungkin itu bukan
dia. Mungkin. . . . "Aku tak berada di rumahmu dalam waktu yang lama," kata Ray, sambil waspada pada
Petey. "Satu waktu yang lama?"
"Ya. Aku dulu tinggal di rumahmu," jawabnya.
"Hah?" Josh dan aku menatapnya dengan heran. "Rumah kami?"
Ray mengangguk. "Ketika kami pertama kali pindah ke sini," katanya. Dia
mengambil sebuah kerikil datar dan melemparnya ke jalan.
Petey menggeram, mulai mengejarnya, berubah pikiran, dan menjatuhkannya kembali
di jalan, ekornya bergoyang-goyang bersemangat.
Awan tebal turun di langit. Tampaknya akan jadi lebih gelap.
"Di mana kau tinggal sekarang?" tanyaku.
Ray melemparkan batu lagi, kemudian menunjuk jalan itu.
"Apakah kau suka rumah kami?" Josh tanya Ray.
"Ya, itu bagus," kata Ray padanya. "Bagus dan teduh."
"Kau suka itu?" teriak Josh. "Kupikir rumah itu kotor, begitu gelap dan -."
Petey menyela. Dia memutuskan untuk mulai menggonggong pada Ray lagi, berlari
sampai ia beberapa senti di depan Ray, lalu mundur. Ray mengambil beberapa
langkah hati-hati kembali ke tepi trotoar.
Josh menarik tali dari saku celana pendeknya.
"Maaf, Petey," katanya.
Aku memegang anjing yang menggeram itu sementara Josh memasang tali untuk ban
lehernya. "Dia tak pernah melakukan ini sebelumnya. Sungguh," kataku, meminta maaf kepada
Ray. Tali itu tampaknya membingungkan Petey. Ia menyentak tali itu, menarik Josh ke
seberang jalan. Tapi setidaknya dia berhenti menggonggong.
"Mari kita lakukan sesuatu," kata Josh tak sabar.
"Seperti apa?" Ray bertanya, santai lagi sekarang saat Petey diikat tali.
Kami semua berpikir untuk sementara waktu.
"Mungkin kita bisa pergi ke rumahmu" usul Josh pada Ray.
Ray menggeleng. "Tidak, aku tak berpikir begitu," katanya. "Tidak sekarang."
"Dimana semua orang?" Aku bertanya, memandang ke jalan kosong. "Ini benar-benar
mati di sini, ya?" Dia terkekeh. "Ya kukira kau bisa mengatakan itu,." Katanya. "Mau pergi ke taman
bermain di belakang sekolah?"
"Ya. Oke," aku setuju.
Kami bertiga menuju jalan, Ray memimpin jalan, aku berjalan beberapa langkah di
belakangnya, Josh memegang cabang pohon di satu tangan, tali di tangan lainnya,
Petey berlari-lari di jalan ini, maka itu, membuat Josh benar-benar kerja keras
waktu itu. Kami tak melihat gerombolan anak-anak sampai kita berbelok.
Ada sepuluh atau dua belas dari mereka, sebagian besar anak laki-laki namun ada
beberapa gadis juga. Mereka tertawa dan berteriak, mendorong satu sama lain,
bermain-main karena mereka datang ke arah kami di tengah-tengah jalan. Beberapa
dari mereka, aku lihat seusiaku. Sisanya remaja. Mereka mengenakan celana jins
dan kaos berwarna gelap. Salah satu gadis berdiri keluar karena dia punya rambut
pirang lurus panjang dan memakai celana panjang tipis elastis berwarna hijau.
"Hei, lihat!" teriak anak laki-laki jangkung dengan rambut hitam licin, menunjuk
pada kami. Melihat Ray, Josh, dan aku, mereka jadi tenang tetapi tak berhenti bergerak ke
arah kami. Beberapa dari mereka tertawa, seolah-olah mereka menikmati lelucon
pribadi. Kami bertiga berhenti dan mengamati mereka mendekat. Aku tersenyum dan menunggu
untuk menyapa. Petey menarik-narik tali dan menggonggong kepalanya.
"Hai, teman-teman," kata anak jangkung dengan rambut hitam, menyeringai.
Yang lainnya berpikir ini sangat lucu untuk beberapa alasan. Mereka tertawa.
Gadis bercelana panjang hijau memberi sedikit dorongan pada anak laki-laki
berambut merah yang hampir membuatnya kepadaku.
"Bagaimana kabarmu, Ray?" tanya seorang gadis dengan rambut hitam pendek,
tersenyum pada Ray. "Tak buruk. Hai, teman-teman ," jawab Ray. Dia berbalik pada Josh dan aku. "Ini
adalah beberapa temanku. Mereka semua dari lingkungan ini.."
"Hai," kataku, merasa canggung. Aku berharap Petey berhenti menggonggong dan
menarik-narik talinya seperti itu. Josh yang malang pasti memiliki waktu yang
mengerikan memeganginya. "Ini George Carpenter," kata Ray, sambil menunjuk anak laki-laki berambut merah
pendek, yang mengangguk. "Dan Jerry Franklin, Karen Somerset, Bill Gregorius..."
Dia berkeliling lingkaran, menyebu nama setiap anak. Kucoba mengingat semua
nama, tetapi, tentu saja itu mustahil.
"Bagaimana, kau suka Dark Falls ?" tanya salah seorang gadis kepadaku.
"Aku tak benar-benar tahu," kataku. "Ini hari pertamaku di sini, sungguh.
Sepertinya bagus.." Beberapa anak tertawa pada jawabanku, untuk beberapa alasan.
"Anjing jenis apa itu?" tanya George Carpenter pada Josh.
Josh, memegang erat pegangan tali, mengatakan kepadanya. George menatap tajam
Petey, mempelajarinya, seolah-olah ia belum pernah melihat anjing seperti Petey
sebelumnya.
Goosebumps - 1 Selamat Datang Di Rumah Mati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karen Somerset, gadis tinggi cantik dengan rambut pirang pendek, mendatangiku
sementara beberapa anak-anak lain mengagumi Petey.
"Kau tahu, aku dulu tinggal di rumahmu," katanya pelan.
"Apa?" Aku tak yakin aku akan mendengarnya dengan benar.
"Mari kita pergi ke taman bermain," kata Ray, menyela.
Memanah Burung Rajawali 37 Jodoh Rajawali 16 Penobatan Di Bukit Tulang Iblis Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 27
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama