Goosebumps - Jeritan Kucing Setan Bagian 1
Goosbumps Series 2000 RL. Stine Jeritan Kucing Setan ( Cry of The Cat ) Selamat datang di abad baru
Dunia Horor Goosebump 2000 Dalam cahaya bulan purnama kulihat kucing itu terlentang. Kepalanya tergolek ke
satu sisi, keempat kakinya mencuat ke udara. Bahkan dari jendela kamarku di
ataspun aku bisa mengenalinya. Kucing itu Rip. Tanpa aku perlu ke bawahpun aku tahu bahwa aku
telah membunuhnya lagi. Untuk ketiga kalinya.
2000 kali lebih syereeem Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26 lt. 6
Jakarta Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
1 KUCING itu membuka mulutnya dan mengeluarkan lengkingan marah yang nyaring.
Tetes-tetes liur berwarna putih menitik di taringnya yang melengkung. Sepasang
mata kuningnya berkilauan seperti lampu mobil.
Sambil melolong, kucing itu melengkungkan punggungnya. Bulunya yang berwarna
gelap berdiri seperti kena setrum. Lolongannya berakhir dengan satu desis menakutkan.
Sepasang matanya yang oval sekarang lebih menyala. Begitu terang, hingga gadis
yang ketakutan itu membalikkan tubuh.
Ia menarik adiknya ketika si kucing sekali lagi meraung nyaring.
Mereka mundur tertatih-tatih, hingga akhirnya membentur dinding.
"Dia... dia makin besar," kata si gadis terbata-bata, menunjuk dengan satu jari
gemetar. Jeritan kucing itu terdengar seperti sirene mobil polisi. Lalu makhluk itu
melompat berdiri dengan kaki belakangnya, cakarnya mengoyak udara. Kuku -kukunya
yang runcing melengkung dari balik bulunya.
Air liurnya menetes ke lantai kamar tidur ketika dengan seringai lapar ia
menjilat ujung taringnya dengan lidahnya yang ungu. Lalu sekali lagi
lengkingannya berakhir dengan satu desisan panjang dan marah.
Sementara cakarnya masih terus membelah udara, kucing itu semakin besar. Kaki
belakangnya bertambah panjang. Tubuhnya juga menggelembung. Matanya yang
berkilat-kilat seperti menyala di atas mulutnya yang menganga.
"Dia bukan kucing. Dia monster!" bisik si gadis. Dicengkeramnya erat-erat bahu
adiknya, hingga si anak laki-laki menjerit.
"Lari!" seru adiknya.
Si gadis berbalik ke pintu kamar. Kucing yang marah itu menghalangi jalan
mereka. Pintu rasanya begitu jauh.
Si kucing mengangakan mulutnya dan melengking lagi. Sekarang ia sudah lebih
tinggi dari lemari, dan bayangannya menutupi kedua anak itu. Si kucing
mengayunkan satu cakar raksasanya dan melangkah mengendap-endap ke arah mereka.
"Dia mau memakan kita!" seru si anak lelaki.
Si gadis tercekat, tapi tidak menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian
mendorong adiknya ke pintu dengan dua tangan. "Pergi... sekarang!"
Si anak lelaki melesat ke pintu kamar.
Lengkingan kucing itu berubah menjadi raungan.
Si gadis mendorong adiknya lagi, berusaha meloloskannya dari cakar yang
mengayun-ayun itu. "Tidaaaak!" Si gadis menjerit ngeri ketika kucing raksasa itu meraih pinggang
adiknya dengan cakar-cakarnya.
"Lepaskan! Lepaskan!" Ia berusaha menarik adiknya.
Tapi si kucing tetap mencengkeram anak itu, lalu merendahkan kepalanya, dan
membenamkan taring-taringnya yang panjang dan basah ke bahu si anak.
"Hentikan! Hentikan! Aduh... tolong hentikan!"
Teriakan Tanner membuatku terkejut. Sesaat aku terpaku, lalu aku berlari ke
kamarnya dan mematikan VCR itu.
Layar TV sekarang kosong. Aku menoleh kepada Tanner. Ia duduk di tepi tempat
tidur, memeluk lutut dengan gemetar, seperti seekor tikus kecil.
"Tanner, ada apa sih?" tanyaku. "Kenapa kau menyewa film seram begitu" Kau kan
tahu, kau pasti ketakutan menontonnya."
"Aku... aku tidak takut," ia terbata-bata dengan suaranya yang kecil.
Dasar pembohong! "Mungkin aku... takut sedikit," akhirnya ia mengaku sambil menunduk ke lantai.
Aku kasihan sekali padanya. Ingin aku memeluknya. Tapi Tanner tidak akan mau.
Memang aneh, tapi begitulah dia sekarang.
"Aku tidak tahu filmnya seseram itu," katanya sambil menggelengkan kepala.
"Gambar di kotaknya tidak terlalu seram."
"Apa judul film itu?" tanyaku.
"Jeritan Kucing Setan."
Aku hampir tertawa. Tanner benar-benar seperti seekor tikus kecil. Ia memang
mungil dan kurus. Rambut hitamnya dipotong pendek sekali, seperti bulu tikus, dan gigi depannya
menonjol seperti gigi tikus.
"Film begitu tidak cocok untuk anak lima tahun," aku memarahinya.
"Kenapa tidak menyewa film kartun saja" Kenapa sih kau senang menakut-nakuti
dirimu sendiri?" Aku melihat arlojiku. "Wah, aku harus pergi."
"Alison?" panggil Tanner pelan, masih sambil memeluk lutut. "Mau tolong aku,
tidak?" "Tolong apa?" tanyaku. "Cepatlah, Tanner. Aku mesti bertemu Ryan. Kami sudah
terlambat untuk latihan."
"Kau mau tidak nonton film itu sampai habis?"bisiknya.
"Ha" Apa?" seruku.
"Kau mau tidak, nonton menggantikanku" Aku ingin tahu akhir ceritanya."
Aku jadi ingin memeluk adikku ini lagi. Ia lucu sekali. Semua temanku suka
padanya dan ingin ia menjadi adik mereka.
Kadang-kadang aku tidak tahan dan suka mencubit pipinya atau menarik telinganya.
Aku tahu ia tidak senang diperlakukan begitu, tapi ia manis sekali sih.
"Mungkin nanti," kataku. Bel pintu berdering.
"Itu Ryan. Aku mesti pergi". Aku beranjak kembali ke pintu. "Kau tidak apa-apa,
kan?" Tanner mengangguk. "Coba aku punya kucing," katanya pelan.
"Ha" Kenapa kau mau punya kucing?" tanyaku.
Ia nyengir penuh arti. "Supaya dia memakan semua tikusmu."
Aku tertawa. Tanner selalu menyindir tentang koleksi tikusku. Aku punya ratusan
boneka tikus di kamarku. Tikus dari kain, dari porselen, dari tanah liat, tikus
yang bisa diputar.... "Bye," kataku. "Alison, selamat bertikus ria!" seru Tanner. Begitulah lelucon kebanggaannya. Ia
menciptakannya sendiri. Ia selalu mengatakan selamat bertikus ria padaku. Memang
konyol, tapi lumayan untuk ukuran anak lima tahun.
Aku bercermin dulu. Penampilanku lumayan. Rambutku hitam panjang dan lurus, dan
mataku bulat besar, berwarna zaitun. Hidungku terlalu panjang dan lancip, tapi
kata Mom wajahku nanti akan menutupi hidungku.
Apa sih maksudnya" Aku tidak mengerti.
Kusikat rambutku cepat-cepat, lalu aku bergegas keluar untuk menemui temanku,
Ryan Engel. Ryan sudah menunggu di atas sepedanya. Ia sedang menyisir rambut cokelatnya yang
bergelombang. Ryan bangga sekali pada rambutnya.
Melihatku datang, ia memasukkan sisirnya ke saku celana dan tersenyum lebar
padaku. Ryan cowok yang ganteng dan ia tahu itu. Tapi ia juga punya rasa humor yang oke;
selain itu, ia pintar dan baik hati.
"Ta-daaaa!" serunya ketika aku menarik sepedaku dari garasi. "Ini dia... Alison
Moore yang terkenal. Hadirin harap membungkuk memberi hormat."
"Ah, sudahlah," gumamku. Aku naik ke sepedaku yang baru, hadiah ulang tahunku
yang kedua belas beberapa minggu lalu. Sepeda ini banyak sekali giginya, dan aku
belum menguasainya. Sepeda lamaku tidak mempunyai gigi.
"Kau sudah hafal dialogmu?" tanyaku pada Ryan, sementara kami bersepeda menuruni
bukit. Aku memasang gigi sepedaku.
"Sedikit," sahutnya. "Kau mesti membantuku mengingat sisanya."
"Ha" Mana bisa aku mengingat dialogmu?" seruku. "Dialogku saja sudah cukup
memusingkan." Aku mengerem untuk mengurangi laju sepeda, karena turunannya semakin landai.
Ryan dan aku memegang peran utama dalam drama sekolah kami. Drama musikal yang
ditulis oleh guru musik kami, Mr. Keanes.
Aku berperan sebagai putri raja di sebuah kerajaan khayalan. Ryan menjadi
pencuri yang masuk ke puri dengan menyamar sebagai pangeran. Ia mencuri permata
kerajaan, tapi akhirnya aku jatuh cinta padanya.
Drama itu berjudul Putri Raja dan Pencuri Permata. Ceritanya lucu sekali, tapi
dialognya juga baaaanyaaak sekali. Belum lagi lagu-lagunya.
Ryan dan aku berusaha keras menghayati peran kami. Kami selalu berlatih
menyanyikan lagu-lagunya sambil bersepeda delapan blok ke sekolah.
Sekarang pun kami mulai menyanyi sambil menambah kecepatan, melaju di tengah
Broad Street. Jalanan itu menurun, jadi tak mungkin bersepeda pelan-pelan.
"Selamat datang ke puri," kami menyanyi. "Kami tahu kalian akan senang di sini."
Aku siap-siap menyanyikan baris berikutnya, tapi tak ada nada yang keluar.
Kulihat van merah itu melesat ke arah kami di tengah jalan.
Lalu sebuah sosok samar berwarna kelabu berkelebat di depan sepedaku.
Seekor kucing" Ya. Tak ada waktu untuk menghindar.
Aku mencoba mengerem, tapi tanganku meleset dari setang.
Tidak! Kucing itu melompat di depanku.
Aku merasa roda depanku menabrak sesuatu yang keras, lalu terdengar lengking
kesakitan. Semuanya terjadi begitu cepat. Tapi aku melihat seluruh kejadiannya.
Kucing itu ada di bawah roda sepedaku. Tergilas. Kepalanya... kepala kucing
itu... melayang lepas dari tubuhnya.
Aku melihat matanya yang terbelalak dan mulutnya yang menganga terkejut.
Aku melihat kepalanya melayang di udara. Lalu aku terjatuh dari sepedaku. Jatuh
terbanting ke trotoar. Dan mendarat miring di lenganku.
Klakson van merah itu terdengar nyaring di telingaku.
Ban-bannya berdecit. Sudah terlambat. Sudah terlambat.
Sudah terlambat. 2 AKU memejamkan mata. Rasa sakit yang tajam merambati tubuhku. Lalu hening. Hening semuanya.
Aku masih bernapas. Aku masih berada di sini. Dengan hati-hati aku membuka mata
dan berkedip beberapa kali. Sepedaku jatuh menimpaku.
Van itu berhenti beberapa meter dariku, bagian depannya naik ke trotoar. Pintu
van terbuka. Seorang wanita dalam sweater kelabu melompat keluar dan berlari ke arahku.
"Alison, kau tidak apa-apa?" tanya Ryan. Ia mengangkat sepeda yang menindih
kakiku. Roda depan sepeda benar-benar hancur.
"Y-ya, aku tidak apa-apa," sahutku tidak yakin.
Aku duduk dan mengerjap-ngerjapkan mata, lalu menggelengkan kepala untuk
mengusir rasa pening. "Aku melihatmu jatuh dari sepeda," seru wanita itu dengan terengah-engah.
"Syukurlah aku bisa berhenti pada waktunya. Ia membungkuk di dekatku. "Kau
terluka" Mau kuantar pulang" Atau kita perlu memanggil ambulans?"
"Kurasa aku tidak apa-apa," erangku. Lalu aku bangkit berdiri dengan limbung.
"Apa yang terjadi?" tanya Ryan yang masih memegangi sepedaku.
"Kucing itu!" seruku. "Aku menabraknya dan..."
Aku gemetar teringat sosok di bawah roda sepedaku tadi. Juga ekspresi terkejut
di wajah kucing itu ketika kepalanya terbang di jalanan.
"Aku membunuhnya!" ratapku. "Kepalanya putus. Kucing itu..."
"Maksudmu kucing yang itu?" Wanita itu menunjuk ke sosok seekor kucing kelabu
yang terbaring miring dengan kaki dan tubuh lemas.
Aku tidak melihat kepalanya.
Sambil tercekat ngeri aku bergegas ke jalan dan berlutut di samping kucing itu.
Kepalanya masih ada, menempel di tubuhnya.
Di belakang telinga kiri kucing itu ada bulu putih berbentuk segitiga. Matanya
yang kuning terbuka dan menatap kosong ke arahku.
"Apa dia masih bernapas" tanya Ryan.
Aku menekankan tanganku ke dada si kucing.
Tidak. Tidak ada detak jantung.
Perutku bergolak. Aku menelan ludah, berusaha menahan rasa mual.
Ryan berlutut di sampingku dan dengan hati-hati mengangkat kucing itu. "Mungkin
dia tidak apa-apa," gumamnya. "Mungkin..."
Kucing itu tergeletak lemas di pelukan Ryan. Matanya menatap kosong.
"Dia mati," kataku dengan bisikan tertahan. "Dia mati. Aku yang menabraknya. Aku
yang membunuhnya." Wanita itu menyentuh bahuku. "Kau yakin kau tidak apa-apa" Aku harus pergi.
Anakku sedang menunggu dijemput."
Aku mengambil kucing itu dari Ryan dan membuainya di pelukanku.
Lalu aku berdiri. Kakiku yang tadi tertindih sepeda masih terasa sakit, tapi di
luar itu semuanya baik-baik saja.
Aku berpaling pada wanita itu. "Aku tidak apa-apa," kataku. "Sungguh."
Ia mendesah lega, lalu naik ke van-nya dan memundurkannya.
Ia melambai, lalu pergi. Tampak bekas-bekas hitam di jalan, di tempat ia tadi
menginjak rem dengan mendadak.
Aku merinding. Nyaris saja...
Kupandangi kucing yang sudah mati itu. Mulutnya terbuka dan lidahnya yang merah
jambu menyembul keluar. "Kita mesti mencari pemiliknya," gumamku. "Dia... ia lari persis di bawah
sepedaku. Aku tidak bisa menghentikannya. Kau melihatnya tadi. Itu benar-benar
bukan kesalahanku." Ryan melihat arlojinya. "Kita sudah terlambat untuk latihan," katanya. "Mr.
Keanes pasti akan marah."
"Kita tidak bisa meninggalkan kucing mati ini begitu saja di jalanan," kataku.
"Kita mesti menemukan pemiliknya. Aku mesti menjelaskan apa yang terjadi."
"Apa dia memakai kalung pengenal?" tanya Ryan. "Rasanya tidak."
Sebuah rumah besar dan tua di seberang jalan menarik perhatianku.
"Lihat, pintu depannya terbuka," kataku pada Ryan, sambil menunjuk rumah itu.
"Aku yakin kucing ini lari keluar dari rumah itu."
Kami sama-sama memandang ke arah rumah tersebut. "Kelihatannya seram," kata
Ryan. "Seperti rumah dalam cerita horor."
Benar juga. Rumah itu agak tersembunyi oleh sebatang pohon tumbang dan semak-semak liar yang
tinggi. Di bagian yang catnya sudah mengelupas tampak bata-batanya yang merah.
Salah satu jendela di atas tidak berkerai lagi. Salah satu jendela di samping
tidak berkaca dan sebagai gantinya ditutup dengan kertas koran.
Aku membungkus mayat kucing itu dengan jaketku. Setelah menarik napas panjang,
aku maju ke arah rumah tersebut. Ryan tidak bergerak.
"Kau tidak ikut?" tanyaku.
Ryan mengangkat sepedanya dari tanah. "Sebaiknya aku pergi ke sekolah dan
memberitahu Mr. Keanes kenapa kita terlambat," katanya.
Goosebumps - Jeritan Kucing Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dasar penakut," gumamku.
Kuperhatikan ia menjauh. "Cepatlah menyusul!" serunya. "Kau tahu Mr. Keanes
tidak suka kalau kita terlambat."
Aku punya alasan bagus kenapa terlambat, pikirku sambil mendesah.
Aku telah membunuh makhluk hidup.
Sementara aku berjalan ke pekarangan, jaketku terbuka. Kepala kucing itu
menonjol keluar dan bergoyang-goyang lemas setiap kali aku melangkah.
"Kucing malang," bisikku.
Setengah jalan ke rumah, aku mendengar suara lengkingan dan meong tertahan.
Banyak kucing di dalam rumah.
Aku menatap jendela depan... dan melihat beberapa pasang mata balas menatapku.
"Banyak sekali kucingnya," gumamku keras-keras. Aku memandang kucing mati dalam
pelukanku. "Berapa banyak saudaramu di dalam sana?"
Aku menajamkan mata melintasi pekarangan. Kulihat sedikitnya ada dua belas ekor
kucing bertengger di jendela depan dengan mata berkilauan. Suara meong mereka
semakin keras dan tajam. Aku ragu-ragu. Suara itu terdengar begitu sedih dan tidak bahagia.
Kenapa mereka meratap seperti itu" Apakah mereka tahu nasib yang menimpa teman
mereka" Tengkukku meremang dan jantungku mendadak berdebar ketakutan.
Semua kucing itu menatapku dengan dingin dari jendela depan.
Menatap tanpa berkedip. Tanpa bergerak.
Memandangiku dengan sangat tajam.
Mungkin seharusnya aku tidak datang ke rumah yang seram ini, pikirku. Mungkin
sebaiknya kuletakkan saja mayat kucing ini di depan pintu, lalu lari secepat
mungkin. Aku menggigil. Pohon tumbang itu berkeriut keras di belakangku. Suara-suara meong menyedihkan
itu serasa mengelilingiku dari setiap sudut.
Aku melangkah ke depan pintu dan mengintip dari ambang pintu yang terbuka.
"Halo!" panggilku, suaraku gemetar dan lemah. Aku berdeham dan mencoba lagi.
"Ada orang di rumah?"
Di dalam rumah, kucing-kucing berhenti meratap. Aku mendengar langkah kaki di
lantai yang berkeriut. "Halo?" panggilku lagi.
Pintu depan terbuka seluruhnya. Seorang gadis berdiri memandangiku.
Kelihatannya ia sebaya denganku. Sekitar dua belas tahun. Mungkin lebih tua
sedikit. Ia sangat pucat, tapi cukup cantik, dengan rambut cokelat panjang yang jatuh ke
bahunya. Pakaiannya yang putih begitu longgar. Entah itu gaun tidur atau gaun biasa, aku
tidak tahu. Ia memandangiku dengan mata cokelatnya yang bundar. Matanya sedih dan ada
lingkaran gelap di bawahnya, seolah-olah ia sudah lama tidak tidur.
Di belakangnya, kucing-kucing mulai meratap lagi.
"Aku... maaf," aku tergagap. "Aku tidak sengaja... menewaskan kucingmu."
Aku menyorongkan kucing di pelukanku.
Jaketku terbuka lagi. Kucing mati itu menatap kosong ke arah kami, mulutnya
terbuka. Si gadis memperhatikan kucing itu. Matanya terbelalak, lalu ia menempelkan
tangan di pipi dan memekik nyaring. "Tidak! Tidak! Jangan!"
3 "AKU menyesal sekali," kataku padanya.
"Tidak! Tidaaak!" ia meratap sambil menekan wajahnya dengan dua tangan,
memandang ngeri pada sosok lemas dalam pelukanku. "Jangan Rip! Aduh, jangan
Rip!" "Dia lari persis ke bawah roda sepedaku," aku berusaha menjelaskan. "Aku jatuh
dari sepeda dan sebuah van merah melaju kencang...."
Suaraku makin pelan. Kulihat gadis itu sama sekali tidak mendengarkan.
"Jangan Rip!" serunya lagi. "Mom tidak akan senang mendengarnya. Sama sekali
tidak." Aku menelan. "Kalau kau ingin aku menjelaskan pada ibumu...," aku memulai.
"Rip. Kau membunuh Rip," bisik gadis itu sambil menggeleng. Ia menatapku dengan
mata cokelatnya yang sedih, lalu kembali memandangi sosok di dalam jaketku.
"Hah?" aku terpekik kaget ketika aku merasa kucing itu bergerak. Makhluk itu
mengedipkan sepasang matanya yang kuning, lalu mengangkat kepala dan memandang
berkeliling, seperti baru bangun dari tidur.
"Wah!" Aku terkesiap dan otomatis melepaskan kucing itu.
Ia jatuh di kakiku. Ia memandangiku dengan mata kuningnya yang terang. Sorotnya sangat dingin. Lalu
ia lari menjauh. Kulihat ia menerobos di bawah semak-semak, lalu menghilang di
samping rumah. Aku ternganga dan kakiku gemetar.
"Tapi dia..." Aku tak bisa melanjutkan.
Dengan gemetar aku menoleh kembali pada gadis itu. Ia masih memandangi arah
kucing itu pergi, wajahnya yang pucat tampak ketakutan.
"Siapa namamu?" tanyanya.
Aku sangat kaget dan terperangah, hingga baru beberapa saat kemudian bisa
menjawab. "Alison," kataku akhirnya.
"Namaku Crystal," kata si gadis dengan pelan. "Kucing itu...," seruku.
"Dia sudah mati. Aku tahu dia sudah mati!"
Crystal menghindari mataku. "Dia bukan kucing biasa," katanya dengan gigi
dikertakkan. "Mestinya kau tidak berurusan dengan Rip."
"Apa maksudmu?" seruku.
"Mom yang malang," gumam Crystal.
"Apa maksudmu?" ulangku. "Kenapa kaubilang dia bukan kucing biasa?"
Crystal tidak menjawab. Sesaat ia memandangiku, lalu mundur ke dalam rumah dan
hendak menutup pintu. "Katakan!" desakku. "Tolonglah, katakan."
"Pergilah!" serunya nyaring. "Pergilah. Aku tidak ingin kucing itu kembali.
Tidak ingin!" Dan ia membanting pintu.
4 AKU lari sepanjang jalan ke sekolah dan menyerbu masuk ke auditorium. Aku
mengira teman-temanku sedang latihan, tapi ternyata mereka malah sedang santai
di sekitar panggung, mengobrol dan tertawa-tawa berkelompok.
Di belakang mereka, tim panggung sedang memindahkan backdrop (latar belakang-ed)
besar di dekat panggung. Mr. Keanes tidak kelihatan.
"Alison, kenapa lama sekali baru datang?" Ryan berseru padaku dari panggung. Ia
sedang duduk di samping Freddy Weiner yang berperan sebagai ayahku, sang raja.
"Aku... aku mesti bicara denganmu," seruku dengan terengah. Aku naik ke panggung
dan menarik Ryan ke arah layar.
"Hei, awas!" Salah seorang anak sedang memindahkan backdrop tinggi. Aku hampir menabraknya.
"Alison, kau ini kenapa sih?" tuntut Ryan.
Aku menyibakkan rambutku dengan dua tangan.
"Kucing itu...," kataku gugup. "Dia hidup lagi."
Ryan melongo menatapku, seolah-olah aku bicara dengan bahasa planet.
"Dia sudah mati, Ryan," aku melanjutkan dengan penuh semangat.
"Kau melihatnya, kan" Aku membawanya ke rumah tua itu. Seorang gadis di sana
mengenalinya. Tingkahnya benar-benar aneh. Dia menyebut kucing itu Rip. Lalu dia
mulai menjerit dan... dan..."
Aku menceritakan semuanya tanpa menarik napas. Ryan masih tetap melongo
menatapku. "Lalu kucing itu hidup lagi!" seruku. "Dia membuka mata, menatap marah padaku,
lalu lari." Ryan tertawa. "Apa yang lucu?" tuntutku.
"Dia menatap marah padamu?" tanya Ryan.
"Ya," sahutku. "Aneh sekali, Ryan. Gadis itu sangat aneh. Dan... dan..."
"Jadi, ceritanya berakhir dengan bahagia," sela Ryan. "Ternyata kucing itu tidak
mati." "Tapi sebelumnya dia sudah mati!" seruku. "Kau melihatnya...."
"Kurasa dia cuma pingsan," kata Ryan.
Tim dekorasi menurunkan backdrop berat dan semua anak bertepuk tangan sambil
bersorak- sorak. "Kucing itu pasti terkejut atau apalah," kata Ryan. "Lalu dia sadar kembali dan
ternyata tidak apa-apa."
Aku memikirkannya. "Mungkin kau benar," kataku. "Tak ada cara lain untuk
menjelaskannya. Tapi... gadis itu benar-benar membuatku takut. Dia bilang Rip bukan kucing
biasa. Katanya aku mestinya tidak berurusan dengan Rip."
Ryan tersenyum mengejek. "Mungkin dia cuma ingin menakut-nakutimu."
"Tapi dia sendiri kelihatannya benar-benar ketakutan," sahutku.
Ryan angkat bahu. ."Mana Mr. Keanes?" tanyaku sambil melayangkan pandang di
auditorium. "Terlambat datang," sahut Ryan. "Beruntung ya" Kita tidak akan dikuliahi."
"Yeah, untunglah," aku mengiyakan. Tapi aku masih memikirkan Crystal dan Rip.
Tak lama kemudian Mr. Keanes datang dan langsung menepukkan tangannya yang
gemuk. "Ayo, anak-anak! Bisa kita mulai sekarang?"
Aku meraih mahkota kartonku dari singgasana dan mengenakannya.
Ryan mengambil posisi dengan membawa tongkat.
"Maaf aku terlambat," kata Mr. Keanes sambil bergegas ke panggung dengan membawa
clipboard. Dengan kacamatanya yang besar bulat, kepalanya yang bundar dan botak, dan
tubuhnya yang berbentuk telur, Mr. Keanes tampak seperti seekor burung hantu
yang gemuk. Tingkahnya juga agak keburung-burungan. Ia selalu menggerak-gerakkan lengan,
menarik-narik sweater-nya, dan memiringkan kepala saat mengawasi kami.
Kadang-kadang ia tidak sabar pada kami, tapi ia guru yang sangat baik dan
berbakat. Dialah yang menulis semua lagu dalam drama kami, dalam waktu kurang
dari seminggu. "Dari mana kita mulai?" Ia melihat clipboard-nya. "Oh ya. Raja sedang
memperkenalkan Sir Frances padamu, Putri."
Ia menatapku dan mengernyit melihat lebam ungu di sikuku. "Kenapa sikumu,
Alison?" "Jatuh dari sepeda," sahutku.
Sekali lagi terbayang olehku sosok kelabu si kucing dan onggokan keras di bawah
roda sepedaku. Kulihat kepala kucing itu terbang ke seberang jalan.
Mr. Keanes berdecak-decak. "Kau sudah mencuci lukanya" Dan sudah memberi obat?"
"Nanti, setelah latihan," kataku. "Aku sudah terlambat tadi, jadi..."
"Kurasa Putri Aurora tidak akan berjalan-jalan di istana dalam keadaan begitu,"
Mr. Keanes memarahiku. Ia menarik napas. "Oke, masing-masing ambil posisi." Ia
melambai pada Freddy Weiner.
"Mulailah, Raja Raymond."
Freddy mulai berbicara, tapi suaranya serak. Tim panggung dan para penonton
lainnya tertawa sambil bertepuk tangan.
Freddy berdeham dan memulai kembali. "Putri Aurora, anakku, kita mendapat tamu
dari jauh." "Oh, begitukah, Ayah?" kataku sambil berdiri tegak, selayaknya seorang putri
raja. "Akan kuperkenalkan sang pangeran padamu," kata Freddy sambil mengayunkan tangan
ke arah Ryan. Ryan bersandar pada tongkatnya dan membungkuk dalam-dalam. Tapi aku tidak
mendengar apa yang diucapkannya.
Aku mendengar jeritan dari seberang panggung.
Dan suara MEONG yang keras.
5 AKU menoleh ke arah suara itu sambil melihat ke lantai.
"MEEEONG." Aku melewati Freddy dan berlutut di panggung, mencari-cari kucing itu.
"Alison, ada apa ini?" tanya Mr. Keanes. Ia berdiri di lantai auditorium.
Kepalanya yang bundar hanya tampak sedikit di bawah llantai panggung.
"Kucing itu...," gumamku.
Binatang itu bersuara lagi. Lebih pelan. Seperti suara meong biasa.
"Di mana dia?" seruku. "Ada yang melihat, tidak?"
Beberapa anak dari tim panggung memandangiku dari belakang panggung. "Kalian
mendengar suaranya, tidak?" seruku pada mereka.
Mereka menggeleng. "Alison, aku tidak melihat seekor kucing pun," kata Mr. Keanes tak sabar.
"Bisakah kita meneruskan latihan?"
"Tapi aku mendengar suaranya!" aku bersikeras. "Jelas sekali."
Kulihat Freddy memutar-mutar matanya. Ryan bergegas menghampiriku. "Kau yakin
kau tidak apa-apa?" "Ya, yakin," sahutku. "Aku mendengar suara kucing. Itu saja."
Ryan memandangiku. Lama. "Tadi kau terjatuh cukup keras. Mungkin..."
"Tapi kepalaku tidak terbentur!" teriakku. "Aku tidak sinting, Ryan. Aku memang
mendengar suara kucing."
Rupanya teriakanku terlalu keras. Aku berbalik dan melihat semua orang di
auditorium memandangiku. "Kembali ke posisi masing-masing, anak-anak," Mr. Keanes menginstruksikan.
Aku mengikuti Ryan kembali ke tengah panggung. Dan suara kucing itu terdengar
lagi. Dekat sekali. "Kaudengar itu, tidak?" seruku.
Ryan dan Freddy memandangiku dengan tatapan kosong.
"Alison, tolong teruskan," kata Mr. Kearxes dari lantai auditorium.
"Sekarang berjalanlah ke lemari di kamar," ia memerintahkan. "Ambil tongkat
kerajaan dan berikan pada Raja Raymond."
"Oke," kataku. Aku mulai berjalan ke arah lemari kayu di seberang panggung.
"Raja Raymond, bagaimana dialogmu?" tanya Mr. Keanes.
Freddy ternganga. Rupanya ia mengalami kesulitan. Kami memang belum pernah
melatih adegan ini. "Uh... Putri Aurora, keluarkanlah tongkat kerajaan." Akhirnya ia ingat juga.
Aku melangkah ke lemari dan membuka pintunya. Sepasang mata kuning melotot
menatapku. Lalu terdengar lengkingan nyaring dan marah. Dan aku melihat sepasang cakar yang
diangkat tinggi. Sebelum aku bisa bergerak, si kucing sudah melompat dari rak
paling atas. Dan mendarat di wajahku.
Aku menjerit ketika ia membenamkan cakarnya di bahuku.
Dengan desisan marah kucing itu mengangkat kepala. Matanya yang kuning berkilau
seperti matahari. "Tidak! Tolong!"
Aku menjerit nyaring dan terjatuh ke belakang, sementara kucing itu memamerkan
taringnya yang melengkung dan mulai bergerak ke tenggorokanku.
6 OHHH! Tolong!" Kucengkeram kucing itu dengan dua tangan.
Ia menjerit marah ketika aku menariknya dari wajahku dan melemparkannya jauhjauh sekuat tenaga. Dengan jantung berdebar kencang kulihat binatang itu melayang ke seberang
panggung. Sepasang matanya terbelalak. Mulutnya terbuka dan mengeluarkan lengkingan
memekakkan telinga. Semuanya terjadi begitu cepat.
Dua anak laki-laki sedang mengangkat singgasana yang berat dari atas panggung.
Salah satunya berteriak ketika melihat kucing itu melayang ke arahnya.
Si kucing menghantam bahu anak itu, lalu terlontar ke lantai.
Kedua anak yang kaget itu menjatuhkan singsana.
Terdengar suara BLUK mengerikan ketika singgasana itu jatuh menimpa si kucing.
Hening. Selama beberapa saat tak ada yang bergerak. Lalu, sementara aku berdiri terpaku
Goosebumps - Jeritan Kucing Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di tempatku dengan tangan menutupi mata, anak-anak yang lain sudah bergerak dan
serempak berbicara. "Apa dia gepeng?"
"Dia mati, ya?"
"Apa sih itu?" "Kucing siapa itu?"
"Bagaimana dia bisa masuk ke lemari"
Kudengar Mr. Keanes menyuruh anak-anak laki-laki mengangkat singgasana itu. Lalu
terdengar erangan-erangan muak.
"Iiiihhh!" "Dia gepeng." Seorang anak laki-laki tertawa. "Pembunuhan." Dua anak perempuan menyuruhnya
diam. "Aku mau muntah nih," erang seorang anak lain.
Ia lari dari panggung. Aku tercekat dan mengikuti Ryan ke arah si kucing. Kakiku gemetar. Bibir bawahku
rasanya berdarah. Aku tidak sadar bahwa tadi aku menggigiti bibirku.
Freddy sedang membungkuk di atas si kucing - sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh, wow," gumam Ryan sambil berlutut di samping Freddy.
Aku berjongkok di sampingnya. Sambil menahan napas, aku memandang si kucing.
"Oh, tidak!" seruku. "Ryan..."
"Dia sudah mati," gumam Ryan.
"Ryan, ini kucing yang sama!" seruku. "Dia mati karena aku. Dan sekarang aku
membunuhnya lagi." "Alison, kau tidak apa-apa" Apa dia menggigitmu?" Mr. Keanes mendatangiku dari
seberang panggung, wajahnya merah padam.
"Tidak, aku tidak apa-apa," sahutku dengan gemetar.
Aku menoleh ke Ryan. "Coba kaulihat! Bulunya kelabu. Dan di belakang telinganya
ada segitiga putih. Dia kucing yang sama."
"Kucing yang sama dengan apa?" tanya Freddy.
Ryan mengamati kucing itu. "Tidak, Alison," katanya. "Tak mungkin." Ia
mengangkat kucing itu dengan dua tangan. Hewan itu tergantung lemas seperti
boneka kain. Freddy mengerang dengan muak. "Iiih!"
"Tapi dia kucing yang sama," aku bersikeras. "Aku yakin sekali. Aku menabrak
kucing ini. Dan sekarang dia... dia kembali."
"Ada yang bisa menceritakan, apa sebenarnya yang terjadi?" tuntut Mr. Keanes.
Ketika aku berpaling hendak menjawab, mendadak kucing itu menendangkan keempat
kakinya. Freddy, Ryan, dan aku menjerit serempak.
Ryan menjatuhkan kucing itu.
Si kucing mendarat di kakinya dengan suara BUK. Ia Iari, menginjak sepatuku...
terus hingga ke tepi panggung.
"Hentikan dia!" teriak Freddy. "Tangkap dia!"
Sebelum ada yang sempat bergerak, kucing itu sudah melompat dari panggung dan
menghilang di ba wah kursi-kursi auditorium.
Kulihat beberapa anak lari mengejarnya, tapi dengan segera mereka menyerah.
Kucing itu sudah lenyap. "Itu kucing yang sama!" kataku pada Ryan. "Peristiwanya terulang lagi. Dia
mati... lalu... lalu hidup lagi."
"Tenang, Alison," sahut Ryan sambil menatapku dengan tajam.
Rupanya ia tidak percaya padaku. Tapi aku tahu aku benar.
Tanpa sengaja aku telah membunuh kucing itu dua kali. Dan dua kali pula ia hidup
lagi, lalu lari. "Dia menyerangku!" kataku dengan gemetar. "Dia melompat dari lemari dan
menyerangku." Ryan menggeleng. "Kucing itu ketakutan. Itu saja. Dia terkunci di lemari. Ketika
kau membuka pintunya, dia melompat keluar. Dia tidak tahu kau berdiri di situ."
"Tapi... tapi bagaimana dia bisa berada di dalam lemari itu?" tanyaku terbatabata. Ryan mengernyitkan wajah, berpikir keras.
Tapi, sebelum ia bisa menjawab, Mr. Keanes sudah menyela. "Anak-anak!" serunya
sambil memberi isyarat agar kami berkumpul di dekatnya. "Kulihat kalian semua
sangat bingung mengenai kucing tadi. Aneh sekali. Aku akan menutup latihan hari
ini. Sampai besok. Berkumpul sesuai jadwal yang sudah ditentukan."
Mr. Keanes menghampiriku. "Kau yakin kau tidak apa-apa, Alison" Aku bisa
mengantarmu pulang."
"Tidak, terima kasih. Aku tidak apa-apa," kataku padanya. "Aku cuma... hari ini
aneh sekali." Ryan, Freddy, dan aku mulai melangkah menjauhi panggung.
"MEEE-ONGG!" Aku tercekat ketika mendengar suara nyaring itu. "Di mana dia?" seruku. "Di mana
dia sekarang?" 7 MEEE-OONG!" Suara itu terdengar lagi. Lalu kulihat Freddy nyengir lebar, dan tahulah aku
bahwa dialah yang mengeong.
"MEEOONG." Ia mencakar-cakar ke arahku dengan satu tangannya.
"Freddy," kataku, "pernah tidak, ada yang memberitahumu bahwa tingkahmu sama
sekali tidak lucu?" "Semua orang bilang begitu," katanya, masih sambil nyengir.
Saat makan malam, kuceritakan pada Mom, Dad, dan Tanner bahwa tadi siang aku
menabrak kucing. "Dia lari persis ke bawah roda sepedaku," aku menjelaskan. "Mulanya aku
mengira kepalanya lepas. Tapi ternyata tidak. Rupanya itu cuma bayanganku. Aku
merasakan benturan di bawah roda dan..."
"Iiih." Tanner mengernyit. "Lalu dia benar-benar jadi gepeng?"
"Ini bukan topik yang sesuai untuk makan malam," sela Dad. "Bisakah kita
membicarakan hal lain?"
"Apa dia mati?" desak Tanner sambil membungkuk di atas mangkuk supnya.
Mom meletakkan semangkuk sup di hadapanku. "Ayahmu benar, Alison. Jangan membuat
adikmu takut. Bicara yang lain saja."
"Supnya enak, Margo," kata Dad pada Mom.
Aku memasukkan sendokku ke mangkuk sup,tapi tidak langsung mencicipinya.
"Sepedaku terjungkal," kataku pada Dad.
Mom bersin. Dad menyipitkan mata ke arahku. "Sepeda barumu?"
Aku mengangguk dan perutku langsung mulas ketakutan. Aku tahu Dad pasti marah.
"Kenapa kau membuat rusak sepeda itu?" teriak Dad. "Sepeda itu kan masih baru
sekali." "Sudahlah." Mom mengangkat satu tangannya. "Kita bicarakan sesudah makan malam
saja. Aku membuat sup mi ayam ini secara khusus. Bisakah kita santai dan
menikmatinya?" Ia bersin lagi, lalu mengelap hidungnya dengan serbet.
"Aneh," gumamnya. "Aku merasa aneh."
Dad menikmati sesendok sup dan memandangi Mom dari seberang meja. "Wajahmu agak
bengkak, Margo." "Aku merasa ada kucing di dekat-dekat sini," kata Mom. "Aku kan alergi...." Ia
bersin lagi. "Mungkin itu karena Alison sedang bicara tentang kucing," kata Tanner.
Sambil menggosok hidungnya, Mom tertawa. "Aku tidak alergi bicara tentang
kucing." Matanya berair.
Dad menoleh ke arahku sambil mengernyit. "Alison, kucing yang kau tabrak itu...
apa kau membawanya pulang kemari?"
"Tidak!" seruku. "Aku tidak membawa kucing seekor pun."
Mom mendengus-dengus dan mengelapkan serbet ke matanya yang berair. "Mungkin ada
bulu kucing menempel di pakaianmu," katanya padaku.
Aku mendorong kursiku dan bangkit berdiri. "Apa aku perlu ganti baju?"
"Tidak, Alison. Duduklah," perintah Mom. Ia melayangkan pandang ke sekitar meja.
"Aku membuat sup mi ayam yang enak, tapi tidak ada yang menikmatinya."
"Aku makan kok," kata Dad. Ia menyeruput seutas mi. "Enak sekali."
"Supku terlalu panas," rengek Tanner.
"Tidak," Mom memarahinya. "Makan supmu. Kalian berdua."
Sambil mengamati Tanner meniup-niup supnya, aku mengangkat sendokku dan menelan
sesuap besar. Rasanya agak aneh. Aku mengunyah. Dan terus mengunyah. Ada yang tidak beres. Aku tidak bisa menelannya. Sesuatu yang tajam menusuk
lidahku. "Aaaah!" Aku mengerang jijik, lalu menjulurkan lidahku dan menarik segumpal
benda dari dalam mulutku dengan dua jari.
"Apa ini?" seruku.
Gumpalan kelabu. Seperti kumis binatang. Bukan, seperti bulu binatang.
Bulu kucing berwarna kelabu.
"Tidaaaak!" Aku mengerang jijik dan menatap supku... ke dalam mangkuk... ke
dalam mangkuk yang mengepul-ngepul dan gelap... dan penuh dengan bulu kucing.
8 "AAAACK! Aku tidak bisa mengeluarkannya dari mulutku!" jeritku.
Aku tercekik dan tersedak.
Dad melompat dan mulai memukul-mukul punggungku.
Aku memuntahkan segumpal bulu kucing yang basah. Lalu dengan panik aku mengelap
mulutku dengan serbet, berusaha membuang bulu yang menempel di lidahku.
"Aku tidak mengerti," gumam Mom. Ia mendekatkan mangkuk supku ke wajahnya dan
menggeleng-geleng. Aku benar-benar tidak mengerti. Bagaimana mungkin bulu itu
bisa masuk ke dalam sini?"
Aku tersedak lagi. Aku melompat bangkit dan lari ke cermin di lorong depan. Aku
membuka mulut dan bercermin.
"Oohh," erangku. "Di sela gigiku ada bulu kucing juga."
Kudengar Tanner berteriak di dalam sana. "Bawa pergi! Bawa pergi supnya!"
ratapnya. "Tapi supnya enak," kudengar Mom berkata.
Sambil menutupi mulutku dengan tangan, aku lari ke kamar mandi dan menggosok
gigi selama sekitar setengah jam. Wastafel dipenuhi bulu kucing berwarna kelabu.
Mulutku masih tetap terasa aneh, begitu juga lidahku.
"Apa yang terjadi?" seruku pada bayangan wajahku di cermin. "Apa yang terjadi
sebenarnya di sini?"
Masih gemetar aku berjalan ke kamarku. Aku berhenti di depan pintu.
Di depan pintu yang tertutup.
Aneh, pikirku. Aku yakin tadi pintu ini kubiarkan t erbuka.
Kenapa sekarang tertutup" Siapa yang menutupnya"
Alison, kau mulai membayangkan yang tidak-tidak, aku memarahi diriku sendiri.
Siapa yang peduli kamarmu tertutup atau tidak" Apa pentingnya"
Aku memegang tombol pintu, memutarnya, lalu membuka pintunya... dan berteriak,
"Tidaaaak! Oh, tidaaak" 9 MASIH memegangi tombol pintu, aku menatap keadaan kamarku dengan rasa tak
percaya. Kamarku berantakan. "Tikus-tikusku...," aku berteriak keras-keras.
Kotak-kotak kaca tempat aku menyimpan koleksi tikusku sudah kosong. Seluruh
tikus mainanku berserakan di mana-mana.
Di lantai, di tempat tidur, di atas komputer... di mana-mana.
Keranjang sampah juga penuh dengan tikus. Ada juga yang diselipkan di antara
lipatan tiraiku. Sebuah boneka tikus berwarna putih menyembul dari lampu di langit-langit.
"Siapa yang melakukan ini?" teriakku. "Siapa?"
Aku berdiri di ambang pintu sambil memegangi pipiku dengan dua tangan, dan
melayangkan pandang. Aku punya sekitar dua ratus koleksi tikus. Seseorang telah
melemparkannya ke mana-mana.
Sambil mengerjap-ngerjap aku membayangkan kucing kelabu itu lagi.
Rip. Rip.... Ucapan Crystal terngiang di telingaku. "Dia bukan kucing biasa. Mestinya kau
tidak berurusan dengan Rip."
Aku telah membunuhnya. Dua kali. Dan sekarang dia ingin membalasku. Dia ada di kamarku. Kamarku sendiri.
Aku mendesah. Kucing itu tak mungkin melakukan ini, pikirku.
Bagaimana dia bisa masuk ke dalam rumah" Bagaimana dia tahu aku tinggal di sini"
Alison, jangan mulai berpikir yang tidak-tidak. Tidak ada kucing yang
mengacaukan koleksi tikus di kamarmu. Kau terlalu banyak nonton Tom & Jerry di
TV bersama Tanner. Tanner. Aku membalikkan tubuh dan melihat adikku itu berdiri di ambang pintu. Matanya
terbelalak. Dagunya gemetar, seperti kalau ia sedang tegang atau ketakutan. Ia tampak begitu
kecil dan lucu dalam kaus Godzilla dan celana gombrongnya.
"Alison, apa yang terjadi?" serunya.
Aku berusaha bergurau. "Ada gempa bumi," kataku. "Kau percaya" Ada gempa bumi
skala besar, dan yang kena hanya kamarku."
Tanner tidak tersenyum. Ia masuk ke kamarku, dengan hati-hati melangkahi dua
buah tikus putar dari plastik.
"Apa kotak penyimpannya jatuh?" tanyanya.
Aku memberi isyarat dengan kepalaku. "Masih ada di sana kok," gumamku.
"Apa kau yang mengeluarkan semua tikusmu?" tanyanya.
"Eh... ya," aku berbohong. Aku tidak mau membuat Tanner lebih ketakutan lagi.
Kupaksakan agar suaraku tetap tenang dan mantap.
"Aku yang mengeluarkan mereka pagi ini," kataku.
Tanner menyipitkan matanya yang gelap. "Kenapa?"
"Eh... aku ingin mengatur mereka lagi," kataku, berpikir cepat. "Tikus kain
dipisahkan dengan tikus putar. Kau mengerti, kan?"
Ia mengangguk. Tapi kulihat ia berpikir keras.
Aku menggigil. "Mungkin sesudah makan kau bisa membantuku membereskan tikustikusku." "Oke," ia setuju, masih sambil menatap tajam padaku. "Kecuali kalau aku sibuk
nonton TV atau apalah."
Aku menunggu sampai ia turun kembali, lalu aku mulai membereskan koleksi
tikusku. Aku tidak sabar untuk menaruh kembali semua tikus itu di dalam kotak kaca.
Kukumpulkan semuanya secepat mungkin, lalu kulemparkan ke dalam sebuah kantong
pakaian kotor yang besar, dan kumasukkan kantong itu ke lemariku.
Kemudian aku turun kembali ke ruang bawah.
*** Keesokan harinya, di sekolah, aku bergegas mendekati Ryan di ruang makan siang.
Kuletakkan kantong makan siangku di samping kantongnya, lalu aku duduk di
hadapannya. "Tampangmu mengerikan," katanya.
"Trims berat," gumamku sambil memutar-mutar mata. Aku menyibakkan rambutku yang
menutupi dahi. "Tidak, maksudku, kau kelihatannya capek," ia menjelaskan. "Di bawah matamu ada
lingkaran hitam." "Aku tidak bisa tidur nyenyak," aku mengakui. "Setiap kali memejamkan mata, aku
melihat kucing itu."
Ryan menyipitkan mata. "Kucing kelabu itu" Kau melihatnya lagi?"
"Tidak," kataku. "Tapi kurasa dia ada di rumahku." "Kau bercanda, ya?" Ia meraih
kantong makan siangnya. Aku mencengkeram tangannya untuk menghentikannya. "Jangan makan dulu," kataku.
"Pertama-tama, aku ingin menceritakan apa yang terjadi saat makan malam
kemarin." Kuceritakan tentang gumpalan bulu kucing basah yang kutelan. Juga tentang bulu
kucing yang ada di dalam sup ayamku.
Ryan memasukkan satu jari ke mulutnya dan membuat suara seperti akan muntah.
"Aku tidak bisa makan lagi," katanya.
"Tidak lucu, Ryan," kataku. "Aku bisa tersedak sampai mati gara-gara gumpalan
bulu itu." "Tapi itu aneh sekali. Bagaimana bulu itu bisa masuk ke dalam sup?" ia menuntut.
Aku angkat bahu. "Kurasa itu perbuatan Rip. Entah bagaimana caranya. Aku tidak
Goosebumps - Jeritan Kucing Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa menjelaskannya."
"Hiiih!" Ryan tampak benar-benar muak.
Kuceritakan tentang koleksi tikusku yang berantakan di kamar.
"Kurasa kucing itu ada di sana," kataku. "Memang kedengarannya konyol, tapi kau
melihat sendiri kucing itu. Dia sudah mati, kan" Terlindas. Dan dia hidup lagi.
Mungkin dia punya kekuatan, Ryan. Mungkin..."
Ryan mengernyitkan wajahnya, seperti kebiasaannya kalau sedang berpikir keras.
Ia menyipitkan mata padaku. "Koleksi tikusmu berserakan di mana-mana" Kau yakin
itu bukan ulah adikmu?"
"Ha?" Aku ternganga. "Tanner?"
Ryan mengangguk. "Pasti bukan," aku bersikeras. "Tanner belum pernah iseng pada siapa pun. Itu
bukan sifatnya. Kau kan tahu dia penakut."
"Kau mesti berhenti memikirkan kucing itu," Ryan mengingatkan. "Aku tahu kau
merasa bersalah...."
"Aku membunuhnya dua kali," seruku. Beberapa orang anak menoleh ke arahku. Aku
memelankan suara dan mencondongkan tubuh di meja. "Aku membunuhnya dua kali dan
dia hidup lagi. Sekarang dia berniat balas dendam padaku."
Ryan memandangiku lama sekali. "Kau tahu tidak, omonganmu benar-benar sinting,"
katanya akhirnya. Aku mengangguk. "Kau bisa memberi penjelasan?" tuntutku.
Aku tahu ia tidak punya penjelasan apa pun. "Ayo makan," gumamnya sambil melihat
jam dinding di atas pintu ruang makan. "Sudah siang. Tidak usah membicarakan
kucing lagi." Aku mengambil kantong bekalku. "Oke, oke," kataku.
Aku membuka kantong itu, melongok isinya... dan terkesiap.
10 ALISON... ada apa?" seru Ryan.
Aku melotot ke dalam kantong itu. "Ini bukan kantongku," sahutku.
"Hah?" Ia memandangiku dari seberang meja. "Ini kantong bekalmu," kataku. "Aku
salah mengambil kantong."
Ia mendesah panjang. "Kau ini kenapa sih" Kau membuatku takut setengah mati." Ia
mengambil kantongnya dan memberikan kantongku.
"Sori," gumamku. "Aku tidak bermaksud begitu. Aku cuma agak kaget."
"Cobalah jangan terlalu penakut," gerutu Ryan. Ia mengeluarkan sepotong sandwich
yang dibungkus aluminum foil. "Kau bawa apa untuk bekalmu" Mau tukar, tidak"
Punyaku salad telur. Aku tidak suka, mengingatkanku pada muntahan anjing."
"Trims sudah bilang-bilang padaku," sahutku sambil melotot.
"Ayo, kau bawa apa?" ia mendesak.
Aku membuka kantongku dan melongok isinya.
Sepasang mata kuning berkilat balik menatapku dari dalam.
Sepasang mata yang dikelilingi oleh bulu berwarna kelabu. Aku terbelalak melihat
helai-helai kumis yang menyentuh bagian sisi kantong. Mulut binatang itu
terbuka, menampakkan giginya yang tajam. Sebuah lidah ungu menjulur kaku ke
luar. Sambil menjerit ngeri aku melompat bangkit. Kursiku ja3tuh berdebam ke lantai.
"Tidaaak!" jeritku.
Anak-anak lain menoleh dengan terkejut ke arahku. Tapi aku tak bisa berhenti
berteriak. "Kucing itu! Kepala kucing itu! Kepalanya ... ada di dalam kantong! Oh, tolong!
Tolong! Kepalanya ada di dalam kantong!"
11 BAGUS, anak-anak. Bagus sekali," seru Mr. Keanes. Suaranya bergema di auditorium
yang hampir kosong. "Kalian benar-benar meyakinkan."
Ryan, Freddy, dan aku membungkuk memberi hormat.
Saat itu malam gladi bersih kami yang pertama, dan hasilnya sangat memuaskan.
Akhirnya kami bisa mengingat semua dialog dengan baik dan bisa berakting dengan
lebih percaya diri di panggung.
Latihan itu membantuku melupakan peristiwa saat makan siang, setidaknya untuk
sementara. Aku tak ingin mengingat-ingatnya lagi. Kalau saja aku bisa menghapuskan kenangan
akan peristiwa itu selamanya. Semuanya sangat memalukan. Benar-benar memalukan.
Ryan mengambil kantong bekalku dan membukanya. Tidak ada kepala kucing di
dalamnya. Yang ada hanya sepotong sandwich dan sebutir apel hijau.
Ia mengeluarkan apel itu. "Alison, inikah yang kaulihat?" tanyanya. "Inikah?"
Aku mencengkeram meja dengan dua tangan, seluruh tubuhku gemetar.
Semua orang di ruang makan menatapku.
"Aku... tidak... mengada-ada," akhirnya aku berhasil membuka suara dengan gigi
gemeletuk. Lalu aku membalikkan tubuh dan lari keluar.
Aku lari secepat mungkin ke lokerku, menyambar jaket dan buku-bukuku, lalu
berlari pulang. Aku tidak berhenti berlari sampai aku berada di dalam rumah. Aku naik ke
kamarku, membanting pintu, dan mengempaskan tubuh ke tempat tidur.
"Aku tidak mau keluar lagi!" seruku keras-keras. "Tidak mau! Tidak mau!"
Ryan meneleponku sepulang sekolah, untuk memastikan aku tidak apa-apa. Dan untuk
mengingatkan tentang latihan malam ini.
Aku cemas memikirkan mesti kembali ke sekolah. Anak-anak pasti menertawakanku
dan akan mengeluarkan suara meong-meong kalau melihatku. Tapi kenyataannya semua
orang pura-pura tidak ingat apa yang terjadi di ruang makan siang tadi. Termasuk
Freddy. Latihan kami berlangsung dengan sangat baik. Dan aku menjadi jauh lebih gembira.
Mr. Keanes bertengger di kursi piano di tepi pannggung dan memandang kami dengan
wajah berseri-seri. Sorotan lampu panggung menerangi kepalanya yang botak.
"Babak kedua, anak-anak," ia mengumumkan sambil menepukkan tangannya yang gemuk.
"Ambil posisi. Ayo, anak-anak. Tampillah sebagus pada babak pertama tadi."
Saat berjalan ke ruang singgasana, rasa senangku mulai memudar.
Perutku mulas dan tenggorokanku serasa kering. Inilah babak yang kutakuti.
Aku melirik lemari di sisi panggung dan teringat kucing yang melompat keluar
dari dalamnya ketika pintu lemari dibuka.
Aku memandangi pintu lemari itu lekat-lekat, seakan mencoba melihat menembus
kayunya. Apakah Rip ada di dalam sana, menunggu untuk menerkamku" Apakah dia akan
menyerangku lagi" "Alison... kau baik-baik saja?" tanya Ryan.
Kupaksakan diriku berpaling dari lemari itu. "Eh... ya," sahutku tidak yakin.
Masalahnya, aku tak bisa menghapuskan bayangan tentang kucing yang mengerikan
itu. Aku memejamkan mata, berusaha menjernihkan pikiran.
"Oke, ayo mulai," seru Mr. Keanes.
"Putri Aurora, keluarkan tongkat kerajaan," Freddy, sang raja, memerintahkan.
Aku memandanginya dengan tatapan kosong, jantungku berdebar-debar.
"Tongkat kerajaan," ulangnya sambil menunjuk ke lemari.
Kulihat semua orang menatapku. Menunggu. "Oh, baiklah," kataku.
Aku berjalan ke lemari dan mengangkat tangan ke kedua tombol pintu dari kayu.
Aku ragu-ragu, berusaha mendengarkan apakah ada suara kucing dari dalam lemari.
Tidak ada. Aku menelan. Mulutku terasa kering sekali.
Aku tak ingin membuka pintu lemari itu. Sungguh, aku tak ingin.
Tapi aku tak punya pilihan.
Setelah menarik napas panjang, kusentakkan kedua pintu lemari itu sekaligus.
"Oh!" Suatu seruan tajam keluar dari mulutku. Tidak ada apa-apa di dalam.
Tidak ada kucing. Tidak ada makhluk hidup apa pun.
Aku mengambil tongkat kerajaan di dalamnya, membalikkan tubuh, dan melintasi
panggung untuk menyerahkan tongkat itu pada sang raja.
Aku tersenyum lebar, padahal itu tidak ada dalam skenario. Apa boleh buat. Aku
merasa sangat lega. Mungkin kucing itu sudah selesai denganku, pikirku. Mungkin
dia sudah tidak mengejar-ngejarku lagi.
Ternyata aku keliru. *** Menjelang pukul sebelas malam, aku baru bisa pulang, tapi aku tidak mengantuk.
Aku masih terlalu bersemangat karena latihan tadi berlangsung sangat memuaskan.
Tadi Mr. Keanes memberikan lembaran-lembaran syair lagu dalam drama kami. Aku
membawa semuanya ke kamarku dan membacanya sebentar, mencoba menghafalkan kata-katanya.
Aku ingin menelepon Ryan untuk melatih lagu-lagu itu bersamanya.
Tapi sekarang sudah terlalu malam.
Jadi, aku berlatih sendirian.
Tak lama kemudian, aku mulai mengantuk. Kelopak mataku mulai berat.
Sudah waktunya tidur. Kuletakkan lembar-lembar syair itu di mejaku, lalu aku beranjak ke lemari untuk
mengambil baju tidur. "Oh!" seruku ketika melihat sesosok makhluk di lantai.
Seekor tikus. Bukan. Ia tidak bergerak.
Sambil membungkuk, kulihat bahwa benda itu ternyata sebuah tikus putar dari
plastik. Aku pasti tidak melihatnya ketika sedang bersih-bersih.
"Seperti tikus sungguhan," gumamku. Sambil menguap kumasukkan tikus itu ke saku
jeans-ku. Lalu aku ganti pakaian, mematikan lampu, dan mengempaskan tubuh ke tempat tidur.
Tahu-tahu aku sudah terlelap.
Tapi tidak lama. Aku bangun dengan tersedak.
Aku tak bisa bernapas. Aku menatap ke dalam kegelapan total.
Sesuatu yang berat dan hangat menutupi wajahku.
Kuku-kuku tajam membenam di bahu baju tidurku.
Aku mengulurkan tangan dan mencengkeram asal-asalan.
Aku merasakan bulu dan kulit yang hangat di bawahnya.
Seekor kucing! Seekor kucing menempel di wajahku.
Menempel erat sekali. Mencengkeramku.... Menutupiku. Membuatku tersedak. Tak bisa bernapas 12 KEGELAPAN menyelubungi wajahku, lalu perlahan-lahan berubah menjadi warna merah
cerah. Dadaku sakit. Paru-paruku serasa akan meledak. Sebagai usaha terakhir, aku
mengayunkan lenganku dengan keras, mencengkeram tubuh si kucing, lalu menariknya
sedikit. Dengan terengah-engah aku menghirup udara.
Kucing itu menendang dan meronta-ronta, tapi aku tetap memegangi tubuhnya dan
mengangkatnya lebih tinggi.
Pelipisku berdenyut-denyut. Aku menghirup udara lagi dan mengembuskannya, lalu
menarik napas lagi. Lega sekali rasanya.
Sekarang aku merasa lebih kuat. Sambil mengerang aku duduk, masih sambil
memegangi kucing itu dengan dua tangan. Makhluk itu menendang-nendangkan keempat
kakinya dengan marah. Cakarnya menyambar-nyambar ganas ke wajahku.
Lalu ia kembali menerkamku.
"Tidak!" jeritku.
Kuangkat kucing itu tinggi-tinggi, dan sambil mengerang putus asa kulemparkan
dia ke seberang ruangan. Lemparanku ternyata lebih keras daripada yang kukira.
Aku terperangah kaget melihat kucing itu melayang keluar dari jendela yang
terbuka. Kudengar ia mengeong keras, disusul suara BLUK ketika tubuhnya menimpa tanah.
Lalu hening. "Oh, tidak," gumamku dengan bisikan tertahan.
Kupaksakan diri bangkit dari tempat tidur. Dengan kaki gemetar aku beranjak ke
jendela dan melongok ke bawah.
Dalam cahaya bulan purnama kulihat kucing itu tergeletak telentang, kepalanya
miring ke satu sisi, keempat cakarnya teracung ke udara.
Bahkan dari jendela kamarku yang tinggi di atas, aku bisa mengenali kucing itu.
Rip. Tanpa perlu turun ke sana pun aku tahu bahwa aku telah membunuhnya lagi. Untuk
ketiga kalinya. Tapi apakah dia akan tetap mati kali ini" Pertanyaan yang menakutkan itu
bergaung di telingaku. Aku berjalan pelan-pelan ke lemari dan mengenakan jas hujan panjang untuk
menutupi baju tidurku. Lalu aku keluar ke pekarangan belakang, untuk memastikan.
Rumput terasa beku dan basah di telapak kakiku yang telanjang.
Cahaya bulan menyiram pekarangan dengan sinarnya yang keperakan.
Jantungku berdebar kencang ketika aku membungkuk untuk memeriksa kucing itu.
Ya. Dia kucing yang sama. Rip. Sekali lagi Rip. Tidak bernapas.
Tidak bergerak. Matanya yang kuning melotot kosong. Kaki-kakinya teracung kaku dan lurus ke arah
bulan. Rip. Mati untuk ketiga kalinya. Rip. Kucing yang menolak untuk mati.
Aku ingin berteriak memanggil orangtuaku. Ingin berteriak sekeras-kerasnya.
"Kemarilah, lihat kucing mati ini sebelum dia lari lagi!"
Tapi mereka tak akan percaya.
Kucing ini akan menghilang sebelum mereka sempat-melihatnya.
Menghilang seperti kepalanya menghilang dari dalam kantong makan siangku.
Aku membungkuk di atasnya dan berteriak padanya, "Kenapa kau melakukan ini
padaku" Kenapa kau terus menghantuiku?"
Kulihat mata kucing itu berkedip. Kepalanya sekarang tegak dan cakar-cakarnya
bergerak. Tapi aku tak bisa bergerak. Tak bisa melarikan diri pada waktunya.
Dan Rip mengayunkan satu cakarnya padaku. Membenamkan kukunya yang panjang ke
kulitku, menimbulkan goresan panjang dan dalam di kakiku.
13 AKU menjerit ketika rasa perih yang amat sangat merambati kakiku.
Aku mencengkeram kakiku dengan mengernyit, mencoba menahan rasa sakit itu.
Si kucing melompat bangkit dan melengkungkan punggung sambil mendesis
menakutkan. Siap-siap menyerang lagi.
"Tidak!" aku berseru keras. Sambil memegangi kakiku, aku membalikkan tubuh dan
dengan panik melompat-lompat di rumput yang basah, ke arah rumah.
Rasa sakit itu tidak memudar, malah semakin menyengat. Kepalaku berdenyut-denyut
dan aku merasa sangat pening, sampai-sampai aku harus mencengkeram pintu dapur
agar tidak jatuh. Di dalam rumah, aku berbalik dan memandang ke arah pekarangan lagi. Kucing itu
belum bergerak. Ia berdiri memandangiku dengan sepasang mata kuningnya yang
mengerikan. Sambil mendesis ia mengayunkan satu cakarnya di udara berkali-kali, seolah
mengisyaratkan apa yang ingin dilakukannya padaku.
Dengan gemetar aku membanting pintu belakang.
Lalu, sambil memegangi kakiku, aku menyeret tubuhku naik ke kamar mandi. Seluruh
tubuhku rasanya gemetar dan berdenyut-denyut.
Aku menyalakan lampu dan tertatih-tatih ke wastafel. Kuambil segenggam tisu,
lalu kutekankan ke lukaku untuk menghentikan darahnya.
Aku membungkuk, mendekatkan tisu ke lukaku... dan terkesiap.
Tidak ada darah. Bekas cakaran kucing tadi berwarna putih terang, begitu terang, hingga seperti
bersinar. Cakarannya menembus kulitku... tapi tidak ada darah. Tidak ada darah sedikit
Goosebumps - Jeritan Kucing Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun. Aku melongo memandangi kakiku. Kugosokkan tanganku ke luka tadi pelan-pelan,
untuk mengusir sisa-sisa rasa sakit.
Luka cakaran mestinya berdarah, bukan" Dan bekas lukanya selalu merah, tidak
pernah putih terang. Dan biasanya selalu berdarah, bukan"
*** Keesokan paginya aku terbangun pukul setengah delapan oleh bunyi alarmku. Aku
duduk dan meregang, lalu menjulurkan kakiku yang luka untuk memeriksanya.
Sambil mengerjap-ngerjap mengusir kantuk, aku memandangi lukaku dengan saksama
dan menggosok-gosoknya dengan tanganku. Lalu kupandangi lagi luka itu.
Aneh sekali, bekas-bekas cakaran berwarna putih itu sudah lenyap sama sekali.
Aku bangkit berdiri, masih gemetar dan lelah. Sebenarnya aku seperti burung
pagi. Aku biasanya bangun dengan perasaan gembira dan siap beraksi. Tapi pagi
ini aku merasa sangat lelah, seperti tidak tidur sedikit pun. Saat aku menyeret
diri ke seberang ruangan untuk berpakaian, tubuhku rasanya berat sekali.
"Mom?" panggilku sambil melangkah ke dapur beberapa saat kemudian.
Mom sedang berdiri di tengah ruangan, berusaha mengancingkan blusnya yang
memiliki kancing di belakang.
"Mom, ada yang mesti kuceritakan," kataku. "Tentang semalam." Aku melangkah ke
belakangnya dan membantu mengancingkan blusnya.
"Yang merancang blus ini pasti laki-laki," kata Mom sambil mengernyit. "Hanya
laki-laki yang akan membuat blus yang tidak bisa dikancingkan sendiri oleh
pemakainya. Menurutmu laki-laki mau tidak membeli kemeja yang kancingnya di
belakang" Pasti tidak."
"Mom...," aku memulai.
Mom membanting sekotak cornflake di meja sarapan, bergegas ke lemari es untuk
mengambil sekotak usu. "Buatlah sarapanmu sendiri, Alison. Ambil jus dari
kulkas. Aku sedang terburu-buru. Aku sudah terlambat."
"Tapi ada yang mesti kuceritakan," protesku. Mom tidak mendengarkan. Ia bergegas
ke lorong untuk mengambil sesuatu.
Kalau sedang terburu-buru, Mom tidak mendengar apa-apa. Dan Mom selalu terburuburu. Aku pergi ke lemari dan mencari-cari di rak paling bawah. "Mana Tanner?" seruku.
"Sudah berangkat pagi-pagi, dengan ayahmu," Mom balas berseru.
"Mana dompetku" Kenapa sih aku tidak pernah bisa menemukan dompetku?"
Aku mengeluarkan beberapa barang dari lemari. Radio di dapur ada di seberang
ruangan, menyiarkan berita tentang badai.
Aku mulai makan. Mom kembali ke dapur sambil menggigit bibir dengan kesal."Aku sedang mengingatingat," katanya. "Pasti dompet itu ada di suatu tempat."
"Aku perlu sekali bicara, Mom," aku mencoba lagi. "Ada seekor kucing besar
berbulu kelabu..." Mom menghilang lagi. "Ketemu!" serunya dari suatu tempat.
Aku berdiri di depan meja, memakan sarapanku. Cahaya matahari masuk dari jendela
dapur, membiaskan warna kuningnya ke seluruh ruangan. Pintu belakang terbuka.
Aku mendengar anak-anak tertawa dan berteriak-teriak agak jauh di luar.
Meski hari ini begitu ceria, aku tetap merasa letih dan murung. Aku masih terus
memikirkan Rip. "Dia bukan kucing biasa." Ucapan Crystal yang ketakutan kembali terngiang di
telingaku. "Mestinya kau tidak berurusan dengan Rip."
Aku menelan sarapanku dengan lapar, tapi aku gemetar ketika teringat kucing itu
menutupi wajahku saat aku tidur.
Apa sebenarnya yang ingin dilakukannya"
Benarkah dia mencoba membuatku tak bisa bernapas"
Kubayangkan saat tubuhnya melayang ke luar jendela. Aku ingat suara BLUK yang
keras itu ketika tubuhnya mendarat dua lantai di bawah.
Dia mati. Tapi dia tidak mati.
"Mom, aku benar-benar perlu bicara," teriakku.
"Alison, tidak perlu berteriak begitu." Mom mengejutkanku. Ia berdiri tidak jauh
dariku, di ambang pintu dapur.
"Mom...," aku memulai.
Tapi mata ibuku tertuju ke meja dan wajahnya tampak sangat terkejut.
"Alison, apa yang kaulakukan?" serunya. "Apa yang kau makan untuk sarapan?"
Aku menunduk dan menjerit kaget. "Oh, tidak. Tak mungkin!"
Aku telah menghabiskan tiga kaleng ikan tuna, langsung dari wadahnya.
14 SAAT latihan sore itu aku merasa lebih baik. Memang aku tidak bersemangat
seperti biasanya, tapi setidaknya aku tidak lagi gemetar dan merasa aneh.
Aku cuma perlu tidur nyenyak, pikirku. Tidur tanpa diganggu seekor kucing
misterius yang tahu-tahu berada di atas wajahku. Aku berjalan ke barisan kursi
di auditorium, menuju panggung.
Ryan dan Freddy sedang adu panco di samping singgasana, di tengah panggung.
Freddy jauh lebih besar daripada Ryan dan ia hampir-hampir tak perlu
mengeluarkan tenaga. Wajah Ryan merah padam dan ia mengernyit kesakitan ketika
Samurai Pengembara 1 1 Pendekar Rajawali Sakti 29 Mutiara Dari Selatan Raja Pedang 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama