Ceritasilat Novel Online

Kutukan Makam Mummy 1

Goosebumps - 5 Kutukan Makam Mummy Bagian 1


RL Stine: Kutukan Makam Mummy (Goosebumps #5) Alhamdulillah disela-sela kesibukan saya yang sebenarnya kurang begitu padat,
akhirnya buku ke-5 Goosebump ini selesai diterjemahkan.
Saya bersyukur sekali karena ditengah-tengah penerjemahan buku ini, kamus saya
The Contemporary English Indonesia Dictionary karya Drs. Peter Salim yang sempat
mondok beberapa bulan di teman keponakan saya akhirnya dikembalikan. Sehingga
terjemahan kali saya harapkan bisa lebih baik dan lebih mendekati arti yang
sebenarnya dengan ebooknya yang berbahasa Inggris.
Sebagai misal. pada terjemahan novel-novel Goosebumps sebelumnya saya merasa
kurang pas dan kurang begitu mengerti dengan kalimat make face sehingga " "terjemahan saya pun amburadul, dan setelah saya cek di kamus artinya ternyata
menyeringai . Demikian pula kata Chikcen yang sering disebutkan dalam novel" " " "novel Goosebumps, dulu saya ragu-ragu untuk menerjemahkannya dengan penakut
" "yang saya rasa cocok dengan susunan kalimatnya, dan ternyata memang itu adalah
salah satu arti yang dalam kamus. Ada pula kalimat yang ternyata saya
terjemahkan dan ternyata tidak pas (salah) misalnya my side yang dulu saya
" "artikan di sisi tubuh dan setelah saya cek di kamus artinya yang tepat di
"pinggang . Dan masih banyak yang lainnya yang tentunya akan membosankan jika
"saya sebutkan satu persatu.
Untuk membuat terjemahan ini lebih mudah dipahami dan kenikmatan membacanya
terkadang saya menambahkan satu atau dua kata yang sesuai dengan maksud kalimat
tersebut dan saya usahakan tidak merubah arti aslinya dalam ebook yang bahasa
Inggris. Mungkin sekali para pembaca akan mendapatkan kekurangan dan kesalahan dalam
penerjemahan ini meskipun saya telah berusaha untuk meminimalkannya sebisa
saya. Mudah-mudahan kekurangan dan kesalahan dapat saya perbaiki pada
penerjemahan-penerjemahan novel Goosebump berikutnya. (Saat saya menulis
pengantar ini, saya sedang menerjemahkan bab pertama dalam novel Goosebump yang
ke-6 Gara-gara Cermin Ajaib yang saya harapkan bulan depan dapat selesai).
Tak lupa saya ucapkan terimakasih atas dukungan, usul dan saran dari rekan-rekan
sekalian. Menurut saya novel Goosebump yang ke-5 ini lebih seru dan lebih menegangkan dari
novel-novel Goosebump sebelumnya. Jadi jangan salahkan saya jika anda merasa
tegang dan tak bisa berhenti saat membacanya.
Selamat membaca. Sabtu, 15 Desember 2012 Farid ZE Blog Pecinta Buku PP Assalam Cepu
"Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com RL Stine: Kutukan Makam Mummy (Goosebumps #5) 1 Aku melihat Piramida Besar itu dan menjadi haus.
Mungkin ini semua karena pasir. Begitu kering dan kuning, tampaknya akan
mengembang selamanya. Itu bahkan membuat langit tampat kering.
Aku menyodok ibuku yang ada di samping. "Bu, aku benar-benar haus."
"Jangan sekarang," katanya. Satu tangannya ke dahinya, melindungi matanya dari
sinar matahari yang terang saat ia menatap piramida besar itu.
Jangan sekarang" Apa maksudnya "jangan sekarang" " Aku haus. Sekarang!
Seseorang menabrakku dari belakang dan meminta maaf dalam suatu bahasa asing.
Aku tak pernah bermimpi bahwa saat aku melihat Piramida Besar itu akan ada
begitu banyak turis lainnya. Kukira setengah orang di dunia ini memutuskan untuk
menghabiskan liburan Natal mereka di Mesir tahun ini.
"Tapi, Bu -" kataku. Aku tak bermaksud mengeluh. Hanya saja tenggorokanku begitu
kering. "Aku benar-benar haus."
"Kami tak akan memberimu minum sekarang," jawabnya, menatap piramida itu.
"Berhentilah bertindak sepertinya kau (anak) empat tahun. Kau sudah dua belas
tahun. Ingat?" "(Anak) umur dua belas tahun juga haus," gumamku. "Pasir-pasir di udara ini, itu
membuatku tercekik."
"Lihatlah piramida itu," katanya, terdengar sedikit kesal. "Itulah sebabnya kita
datang ke sini. Kita tak datang ke sini untuk minum.."
"Tapi aku tercekikk!" teriakku, terengah-engah dan memegang leherku.
Baiklah, jadi aku tak tercekik. Aku melebih-lebihkan sedikit, hanya berusaha
untuk mendapatkan perhatiannya. Tapi ia menarik pinggiran topi jeraminya ke
bawah dan terus menatap ke arah piramida itu, yang berkilauan dalam panas.
Aku putuskan untuk mencoba ayahku. Seperti biasa, ia mempelajari beberapa buku
panduan yang selalu dibawanya kemana-mana. Aku tak berpikir ia bahkan masih
belum melihat piramida. Dia selalu melewatkan semuanya karena ia selalu terkubur
dalam buku panduan. "Yah, aku benar-benar haus," kataku, sambil berbisik, seolah-olah tenggorokanku
tegang agar bisa menyampaikan pesanku.
"Wow. Apa kau tahu seberapa luas piramida itu?" tanyanya, menatap gambar
piramida dalam bukunya. "Aku haus, Yah."
"Luasnya tiga belas hektar, Gabe," katanya, benar-benar bersemangat. "Apa kau
tahu piramida itu terbuat dari apa?"
Aku ingin mengatakan Silly Putty.
(arti asli Siily Putty adalah dempul bodoh " Bisa juga berarti mainan dari
polymer yanga dapat memantul tapi pecah jika terlalu keras dan dapat mengalir
seperti cairan). Dia selalu mengujiku. Setiap kali kami melakukan perjalanan, dia selalu
menanyaiku dengan sejuta pertanyaan seperti itu. Kurasa aku tak pernah menjawab
dengan benar. "Semacam bebatuan?" jawabku.
"Itu benar." Dia tersenyum padaku, lalu berbalik kembali ke bukunya. "Ini
terbuat dari batu kapur. Balok-balok batu kapur. Dikatakan di sini bahwa
beberapa balok beratnya sampai seribu ton."
"Wah," kataku. "Itu lebih dari Anda dan Ibu yang ditempatkan bersama-sama!"
Dia memalingkan matanya dari buku itu dan mengerutkan kening. "Tak lucu, Gabe."
"Cuma bercanda," kataku. Ayah sedikit sensitif tentang berat badannya, jadi aku
mencoba untuk menggodanya tentang hal ini sesering yang aku bisa.
"Bagaimana menurutmu, (cara) orang-orang Mesir kuno memindahkan batu yang
beratnya seribu ton?" tanyanya.
Waktu untuk kuis belum berakhir.
Tebakku. "Di truk-truk?"
Dia tertawa. "Truk-truk" Mereka belum punya roda."
Aku melindungi mataku dan menatap piramida itu. Benar-benar besar, jauh lebih
besar daripada yang terlihat dalam gambar. Dan lebih kering.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana mereka menarik batu-batu besar di pasir
tanpa roda. "Aku tak tahu," aku mengaku. "Aku benar-benar haus."
"Tak ada yang tahu bagaimana mereka melakukannya," kata Ayah.
Jadi itu pertanyaan jebakan.
"Yah, aku benar-benar perlu minum."
"Jangan sekarang," katanya. Ia memicingkan mata ke piramida itu. "Memberimu
perasaan aneh, bukan?"
"Ini memberiku perasaan haus," kataku, berusaha untuk menjelaskan maksudku.
"Tidak. Maksudku, itu memberiku perasaan aneh untuk berpikir bahwa nenek moyang
kita - kau dan aku, Gabe - mungkin telah berjalan di sekitar piramida ini, atau
bahkan membantu membangunnya. Ini memberiku semacam (perasaan) mengerikan.
Bagaimana denganmu" "
"Kurasa," kataku. Dia benar. Ini agak menarik.
Kami orang Mesir, kau lihat. Maksudku, kakek nenekku datang dari Mesir. Mereka
pindah ke Amerika Serikat sekitar tahun 1930. Ibu dan ayahku keduanya lahir di
Michigan. Kami semua sangat senang melihat negara asal nenek moyang kami.
"Aku ingin tahu apakah pamanmu Ben di dalam piramida itu sekarang," kata Dad,
melindungi matanya dari sinar matahari dengan satu tangan.
Paman Ben Hassad. Aku hampir lupa tentang pamanku, arkeolog terkenal. Paman Ben
adalah salah satu alasan lain (mengapa) kami memutuskan untuk datang ke Mesir
selama liburan. Alasan itu dan kenyataan bahwa ibu dan ayahku punya beberapa
bisnis tang harus dikerjakan di Kairo dan Alexandria dan beberapa tempat
lainnya. Ibu dan Ayah punya bisnis mereka sendiri. Mereka menjual peralatan pendingin.
Ini biasanya tidak sangat menarik. Tetapi kadang-kadang mereka melakukan
perjalanan ke tempat-tempat rapi, seperti Mesir, dan aku bisa pergi dengan
mereka. Aku memutar mataku ke piramida itu dan berpikir tentang pamanku.
Paman Ben dan para pekerjanya sedang menggali di sekitar Piramida Besar itu,
menjelajahi dan menemukan mumi-mumi yang baru, kurasa. Dia selalu tertarik akan
tanah air nenek moyang kami. Dia telah tinggal di Mesir selama bertahun-tahun.
Paman Ben adalah seorang ahli piramida dan mumi. Aku bahkan pernah melihat
fotonya satu kali di National Geographic.
"Kapan kita akan melihat Paman Ben?" tanyaku, sambil menarik lengan ayah. Aku
sengaja menariknya terlalu keras, dan buku panduan itu jatuh dari tangannya.
Aku membantunya mengambilnya.
"Tidak hari ini," kata Ayah, menyeringai. Dia tak suka membungkuk untuk
mengambil sesuatu. Perutnya akan jadi maju. "Ben akan bertemu kita di Kairo
dalam beberapa hari."
"Mengapa kita tak naik ke piramida itu dan melihat apakah dia ada di sana
sekarang?" Tanyaku tak sabar.
"Kita tak diizinkan," jawab Ayah.
"Lihat - unta-unta!" Ibu menyodok bahuku dan menunjuk.
Benar saja, beberapa orang telah tiba di atas unta. Salah satu unta tampaknya
tiba-tiba terbatuk. Kukira dia haus juga. Orang-orang yang mengendarai unta-unta
itu adalah para turis dan tampaknya mereka sangat tak nyaman. Mereka
kelihatannya tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
"Apakah Anda tahu bagaimana caranya turun dari unta?" Aku bertanya pada ayahku.
Dia menyipitkan mata di piramida, mempelajari bagian atasnya. "Tidak.
Bagaimana?" "Kau tak turun dari unta," kataku. "Kau turun dari bebek."
Aku tahu. Aku tahu. Ini lelucon yang sangat tua. Namun, ayahku dan aku tak
pernah bosan. "Apakah kau melihat unta-unta itu?" tanya Ibu.
"Aku tidak buta," jawabku. Haus selalu menempatkanku dalam suasana hati yang
jelek. Selain itu, apa yang begitu menarik tentang unta" Mereka benar-benar
tampak kotor, dan baunya seperti kaus kaki olahragaku setelah pertandingan
basket. "Apa masalahmu?" Tanya Ibu, memainkan topi jeraminya.
"Kubilang," kataku, tak bermaksud untuk terdengar sangat marah. "Aku haus."
"Gabe, benar-benar." Dia melirik Ayah, kemudian kembali ke menatap piramida.
"Yah, apakah Anda pikir Paman Ben dapat membawa kita dalam piramida?" Tanyaku
antusias. "Itu benar-benar akan menjadi luar biasa."
"Tidak, aku tak berpikir begitu," katanya. Dia menyelipkan buku panduannya ke
ketiaknya sehingga ia bisa menaikkan teropong ke matanya. "Aku benar-benar tak
berpikir begitu, Gabe. Aku tak berpikir itu diperbolehkan.."
Aku tak bisa menyembunyikan kekecewaanku. Aku punya semua fantasi tentang pergi
ke dalam piramida dengan pamanku, menemukan mumi dan harta benda kuno. Melawan
orang-orang Mesir kuno yang hidup kembali untuk mempertahankan makam suci
mereka, dan melarikan diri setelah pengejaran yang liar, seperti Indiana Jones.
"Aku takut kau hanya akan menikmati piramida itu dari luar," kata Ayah,
mengintip di atas pasir kuning, mencoba untuk memfokuskan teropong itu.
"Aku sudah menikmati piramida itu," kataku muram. "Bisakah kita pergi minum
sekarang?" Aku sedikit tahu bahwa dalam beberapa hari ini, Ibu dan Ayah akan pergi, dan aku
akan jauh berada di dalam piramida yang kami lihat itu. Bukan hanya di dalamnya,
tetapi terperangkap di dalamnya, disegel di dalamnya - mungkin selamanya.
2 Kami melaju dari al-Jizah kembali ke Kairo dalam mobil sewaan kecil lucu yang
telah diambil ayah di bandara. Ini bukan perjalanan yang panjang, tapi
kelihatannya lama untukku. Mobil itu hanya sedikit lebih besar daripada beberapa
mobil remote controlku yang lama, dan kepalaku terbentur atap dengan setiap kali
ada gundukan. Aku membawa Game Boyku bersamaku, tapi Ibu membuatku menyimpannya jadi aku bisa
menonton sungai Nil di sepanjang jalan yang mengikutinya di pinggir sungai.
Sungai itu sangat luas dan sangat cokelat.
"Tak seorang pun di kelasmu yang melihat Sungai Nil di Natal ini," kata Ibu,
angin panas itu meniup rambut cokelatnya melalui jendela mobil yang terbuka.
"Bisakah aku bermain dengan Game Boyku sekarang?" tanyaku.
Maksudku, ketika kau benar-benar turun ke sana, suatu sungai adalah sungai.
Satu jam kemudian, kami kembali di Kairo dengan jalan-jalan sempitnya yang
ramai. Ayah salah belok dan mengantarkan kami ke dalam semacam pasar, dan kami
terjebak di sebuah gang kecil di belakang kawanan kambing selama hampir setengah
jam. Aku tak mendapat minum sampai kami kembali ke hotel, dan pada saat itu, lidahku
seukuran sosis dan menjuntai ke bawah ke lantai seperti Elvis. Dia adalah anjing
cocker spaniel kami di rumah.
Aku akan mengatakan satu hal yang menyenangkan tentang Mesir. Coca colanya
seenak coca cola di rumah. Ini Coca cola Classic, juga, bukan jenis lainnya. Dan
mereka memberi lebih banyak es, yang suka kurekahkan dengan gigiku.
Kami memiliki kamar suite di hotel, dua tempat tidur dan semacam ruang tamu.
Jika kau melihat ke luar jendela, kau bisa melihat gedung kaca pencakar langit
yang tinggi di seberang jalan, sama seperti yang akan kau lihat di setiap kota.
Ada TV di ruang tamu, tapi semua orang berbicara bahasa Arab. Pertunjukannya
juga bagaimanapun juga tak tampaknya terlalu menarik. Terutama kebanyakan
berita. Satu-satunya saluran dalam bahasa Inggris adalah CNN. Tapi itu juga
berita. Kami baru saja mulai berbicara tentang ke mana harus pergi untuk makan malam
ketika telepon berdering. Ayah pergi ke kamar tidur untuk menjawabnya. Beberapa
menit kemudian dia memanggil Ibu, dan aku bisa mendengar mereka berdua
mendiskusikan sesuatu. Mereka berbicara sangat pelan, jadi kupikir itu ada hubungannya denganku dan
mereka tak ingin aku mendengarnya.
Seperti biasanya, aku benar.
Mereka berdua keluar dari kamar tidur beberapa menit kemudian, tampaknya semacam
khawatir. Pikiran pertamaku adalah nenekku telah menelepon untuk mengatakan
bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi pada Elvis di rumah.
"Apa ada yang salah?" tanyaku. "Siapa yang menelepon?"
"Ayahmu dan aku harus pergi ke Alexandria. Segera," kata Ibu sambil duduk di
sampingku di sofa. "Hah Alexandria?"" Kami tak seharusnya pergi ke sana hingga akhir minggu.
"Urusaan bisnis," kata Ayah. "Seorang pelanggan penting ingin bertemu dengan
kami pertama kali besok pagi."
"Kami harus naik pesawat yang akan berangkat dalam satu jam," kata Ibu.
"Tapi aku tak ingin pergi," kataku pada mereka, melompat dari sofa. "Aku ingin
tinggal di Kairo dan melihat Paman Ben. Aku ingin pergi ke piramida dengannya.
Kalian telah berjanji!"
Kami berdebat sebentar tentang hal itu. Mereka mencoba meyakinkanku bahwa ada
banyak hal-hal menarik untuk dilihat di Alexandria, tapi aku tak mau menyerah.
Akhirnya, Ibu punya ide. Dia pergi ke kamar tidur, dan aku mendengarnya
menelepon seseorang. Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan senyum di
wajahnya. "Aku berbicara dengan Paman Ben," katanya.
"Wow! Apa mereka punya telepon di dalam piramida?" tanyaku.
"Tidak, aku berbicara kepadanya di pondok kecil dimana dia tinggal di al-Jizah,"
jawabnya. "Dia bilang dia akan datang dan mengurusmu, jika kau inginkan.
Sementara ayahmu dan aku di Alexandria.."
"Ya?" Ini adalah permulaan yang kedengarannya luar biasa. Paman Ben adalah salah
satu orang paling keren yang pernah kukenal. Kadang-kadang aku tak bisa percaya
dia adalah saudara Ibu. "Itu pilihanmu, Gabe," katanya, sambil melirik ayahku. "Kau bisa datang dengan
kami, atau kau bisa tinggal dengan Ben sampai kami kembali."
Beberapa pilihan. Aku tak perlu berpikir tentang hal ini lebih dari seperdelapan belas detik. "Aku
akan tinggal dengan Paman Ben!" Aku menyatakan.
"Satu hal lagi," kata Ibu, menyeringai untuk suatu alasan. "Kau mungkin ingin


Goosebumps - 5 Kutukan Makam Mummy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk berpikir tentang hal ini."
"Aku tak peduli apa itu," aku bersikeras. "Aku memilih Paman Ben."
"Sari juga liburan Natal," kata Ibu. "Dan dia juga tinggal dengannya."
"Bah!" Teriakku , dan melemparkan diriku ke sofa dan mulai memukul-mukul alasnya
dengan kedua tangan. Sari putri Paman Ben yang sombong. Satu-satunya sepupuku. Umurnya sama denganku
- dua belas - dan pikirnya dia begitu hebat. Dia pergi ke sekolah asrama di
Amerika Serikat, sementara ayahnya bekerja di Mesir.
Dia benar-benar cantik, dan dia tahu itu. Dan dia pintar. Dan terakhir kali aku
melihatnya, dia seinci lebih tinggi dariku.
Itulah Natal terakhir, kurasa. Dia pikir dia benar-benar istimewa karena dia
bisa sampai ke level terakhir dari Super Mario Land. Tapi itu tak adil karena
aku tak memiliki Super Nintendo, hanya Nintendo biasa. Jadi aku tak pernah
berlatih. Kupikir itulah apa yang dia suka tentang aku, yang terbaik bahwa dia bisa
mengalahkanku di pertandingan dan hal-hal lainnya. Setahuku Sari adalah orang
yang paling suka bersaing. Dia harus menjadi yang pertama dan terbaik dalam
segala hal. Jika setiap orang di sekitarnya terkena flu, ia harus menjadi orang
pertama terkena! "Hentikan memukul sofa seperti itu," kata Ibu. Dia mencengkeram lenganku dan
menarikku berdiri. "Apakah itu berarti kau berubah pikiran" Kau ikut dengan kami?" tanya Ayah.
Aku memikirkan hal itu. "Tidak, aku akan tinggal di sini bersama Paman Ben," aku memutuskan.
"Dan kau tak akan berkelahi dengan Sari?" tanya Ibu.
"Dia yang menantangku," kataku.
"Ibumu dan aku harus cepat-cepat," kata Ayah.
Mereka menghilang ke kamar tidur untuk berkemas. Aku menyalakan TV dan
menyaksikan semacam acara permainan dalam bahasa Arab. Para pesertanya tertawa
terus. Aku tak tahu mengapa. Aku tak tahu bahasa Arab sepatah kata pun.
Setelah beberapa saat, Ayah dan Ibu keluar lagi, menyeret koper.
"Yah tak akan sampai ke bandara tepat waktu," kata Ayah.
"Aku telah bicara dengan Ben," kata Ibu padaku, menyisir rambut dengan
tangannya. "Dia akan berada di sini dalam satu jam sampai satu setengah jam.
Gabe, kau tak keberatan tinggal sendirian di sini untuk satu jam, bukan
begitu"." "Hah?" Tak cukup sebagai jawaban, aku akui. Tapi pertanyaannya mengejutkanku.
Maksudku, tak pernah terpikir olehku bahwa orang tuaku sendiri akan
meninggalkanku sendirian di sebuah hotel besar di satu kota yang aneh di mana
aku bahkan tak tahu bahasanya. Maksudku, bagaimana mereka bisa melakukan itu
padaku" "Tak masalah," kataku. "Aku akan baik-baik saja. Aku cukup menonton TV sampai
dia datang." "Ben sudah dalam perjalanan," kata Ibu. "Dia dan Sari sebentar lagi akan berada
di sini. Dan aku menelepon ke manajer hotel. Dia mengatakan bhwa dia akan
menyuruh seseorang melihatmu dari waktu ke waktu."
"Di mana petugas hotel?" Tanya Ayah dengan gugup mondar-mandir ke pintu dan
kembali lagi. "Aku memanggilnya sepuluh menit yang lalu."
"Cukup tinggal di sini dan tunggu Paman Ben, oke?" Ibu berkata padaku, berjalan
di belakang sofa, sambil membungkuk, dan meremas telingaku. Untuk suatu alasan,
dia pikir aku menyukai itu. "Jangan pergi keluar atau apa pun. Tunggu dia di
sini." Dia membungkuk dan mencium dahiku.
"Aku tak akan bergerak," aku berjanji. "Aku akan tinggal di sini di sofaku. Aku
tak akan pergi ke kamar mandi atau apa pun."
"Tak bisakah kau serius?" Tanya Ibu, sambil menggeleng-geleng kepalanya.
Terdengar ketukan keras di pintu. Pelayan hotel itu, seorang pria bungkuk yang
sangat tua yang kelihatannya bahkan ia tak bisa mengangkat sebuah bantal bulu,
telah tiba untuk mengambil tas.
Ibu dan Ayah, tampak sangat cemas, memberiku pelukan dan perintah-perintah
terakhir, dan mengatakan padaku sekali lagi untuk tinggal di kamar. Pintu
ditutup setelah mereka pergi, dan suasana tiba-tiba sangat sepi.
Sangat tenang. Aku menghidupkan TV untuk membuatnya sedikit ramai. Acara permainan itu telah
selesai, dan sekarang seorang pria dalam setelan putih sedang membaca berita
dalam bahasa Arab. "Aku tak takut," kataku keras-keras. Tapi aku punya semacam perasaan ketat di
tenggorokanku. Aku berjalan ke jendela dan melihat keluar. Matahari hampir terbenam. Bayangan
gedung pencakar langit miring di atas jalan dan ke hotel.
Aku mengangkat gelas Coca colaku dan menyesapnya sekali. Sudah encer dan tawar.
Perutku berbunyi. Tiba-tiba kusadari bahwa aku lapar.
Layanan kamar, pikirku. Lalu aku memutuskan lebih baik aku tak melakukannya. Bagaimana jika aku
memanggil dan mereka hanya berbicara bahasa Arab"
Aku melirik jam. Tujuh lebih dua puluh. Aku harap Paman Ben tiba.
Aku tak takut. Aku hanya berharap dia segera tiba.
Oke. Mungkin aku sedikit gugup.
Aku berjalan mondar-mandir sebentar. Kucoba bermain Tetris pada Game Boy, tapi
aku tak bisa berkonsentrasi, dan lampunya itu tidak sangat baik.
Sari mungkin juara Tetris, pikirku getir. Di mana mereka" Apa yang membuat
mereka begitu lama" Aku mulai memiliki perasaan ngeri, pikiran yang menakutkan: Bagaimana jika
mereka tak dapat menemukan hotel ini" Bagaimana jika mereka bingung dan pergi ke
hotel yang salah" Bagaimana jika mereka tertimpa dalam suatu kecelakaan mobil yang mengerikan dan
mati" Dan aku sendirian di Kairo selama berhari-hari"
Aku tahu. Itu pikiran bodoh. Tapi itu pikiran semacam itu kau miliki ketika kau
sendirian di tempat asing, menunggu seseorang untuk datang.
Aku melirik ke bawah dan menyadari bahwa aku telah mengambil keluar tangan mumi
dari saku celana jeansku.
Tangan mumi itu kecil, seukuran tangan anak. Suatu tangan kecil yang dibungkus
kain kasa cokelat tipis. Aku membelinya di bengkel lelang beberapa tahun yang
lalu, dan aku selalu membawanya kemanapun sebagai jimat keberuntungan.
Anak yang menjualnya kepadaku menyebutnya sebagai "Summoner"(Si Pemanggil). Dia
mengatakan benda itu digunakan untuk memanggil roh-roh jahat, atau yang lainnya.
Aku tak peduli tentang itu. Aku hanya berpikir itu adalah tawaran yang luar
biasa untuk dua dolar. Maksudku, benda apa yang bagus untuk ditemukan di bengkel
lelang! Dan mungkin itu bahkan tak nyata.
Aku melemparkannya dari tangan ke tangan saat aku mondar-mandir di sepanjang
ruang tamu. TV itu mulai membuatku gugup, jadi aku mematikannya.
Tapi sekarang kesunyian itu membuatku gugup.
Aku menamparkan tangan mumi itu ke telapak tanganku dan terus mondar-mandir.
Di mana mereka" Mereka harusnya sudah berada di sini sekarang.
Aku mulai berpikir bahwa aku telah membuat pilihan yang salah. Mungkin aku
harusnya pergi ke Alexandria dengan Ibu dan Ayah.
Lalu aku mendengar suara di pintu. Langkah-langkah kaki.
Apa itu mereka" Aku berhenti di tengah ruang tamu dan mendengarkan, menatap melewati lorong
depan yang sempit ke pintu.
Cahaya dalam lorong itu itu redup, tetapi aku melihat pegangan pintu itu
berputar. Itu aneh, pikirku. Paman Ben mestinya mengetuk dulu - bukan begitu"
Kenop pintu berputar. Pintu itu berderit mulai terbuka.
"Hei -" teriakku, tapi kata itu tercekat di tenggorokanku.
Paman Ben harusnya mengetuk. Dia tak akan hanya masuk sembarangan.
Perlahan-lahan, perlahan-lahan, pintu berderit membuka saat aku menatapnya,
membeku di tengah-tengah ruangan, tak dapat berteriak.
Berdiri di ambang pintu suatu bentuk bayangan yang tinggi.
Aku terkesiap saat sosok itu tiba-tiba bergerak ke dalam ruangan, dan aku
melihatnya dengan jelas. Bahkan dalam cahaya redup, aku bisa melihat apa itu.
Satu mumi. Menatapku dengan mata hitam bundar melalui lubang di perban tebal yang kuno.
Satu mumi. Mendorong dirinya dari dinding dan berjalan sempoyongan kaku ke arahku ke ruang
tamu, lengannya terentang seolah-olah berusaha untuk meraihku.
Aku membuka mulutku untuk berteriak, tapi tak ada suara yang keluar.
3 Aku mundur selangkah, dan lalu selangkah lagi. Tanpa sadar, aku mengangkat
tangan mumi kecilku di udara, seakan berusaha menangkis penyusup dengan itu.
Saat mumi itu terhuyung-huyung ke dalam cahaya, aku menatap ke dalam mata gelap
itu. Dan mengenalinya. "Paman Ben!" teriakku.
Dengan marah, aku lemparkan tangan mumi itu padanya. Benda itu memukul dadanya
yang dibalut perban dan terpantul.
Ia roboh ke belakang dinding, tertawa dengan tawa kerasnya.
Dan lalu aku melihat Sari menjulurkan kepala di ambang pintu. Dia juga tertawa.
Mereka berdua berpikir itu lucu. Tapi hatiku berdebar begitu keras, kupikir akan
meledak keluar dari dadaku.
"Itu tak lucu!" teriakku dengan marah, mengepalkan tanganku di pinggangku. Aku
menarik napas panjang, lalu bernapas lagi, mencoba untuk membuat napasku kembali
normal. "Sudah kubilang dia akan takut," kata Sari, berjalan ke kamar, seringai besar
kemenangan tampak di wajahnya.
Paman Ben tertawa begitu keras, air matanya mengalir di wajahnya yang diperban.
Dia seorang pria besar, tinggi dan kasar, dan tawanya mengguncang ruangan. "Kau
tak sebegitu takut - kan, Gabe?"
"Aku tahu itu kau," kataku, hatiku masih berdebar-debar seolah-olah suatu mainan
terakhir seseorang yang rusak sangat berat. "Aku segera mengenalimu."
"Kau tampak begitu ketakutan," desak Sari.
"Aku tak ingin merusak lelucon," jawabku, bertanya-tanya apakah mereka bisa
melihat betapa aku benar-benar takut.
"Kau seharusnya melihat ekspresi wajahmu!" teriak Paman Ben dan mulai tertawa
lagi. "Aku bilang Ayah ia tak seharusnya berbuat itu," kata Sari, menjatuhkan dirinya
ke sofa. "Aku heran orang-orang hotel yang membiarkannya datang berpakaian
seperti itu." Paman Ben membungkuk dan mengangkat tangan mumi yang telah kulemparkan padanya.
"Kau menggunakannya untukku dan praktek leluconku, benar kan Gabe?"
"Ya," kataku, menghindari matanya.
Diam-diam, aku memarahi diriku sendiri karena tertipu kostum konyolnya itu. Aku
selalu jadi korban lelucon bodohnya. Selalu. Dan, sekarang, ada Sari nyengir
padaku dari sofa, mengetahui aku sangat takut sehingga aku dibilang pengecut.
Paman Ben menarik beberapa perban dari wajahnya. Dia melangkah dan menyerahkan
tangan mumi kecil itu kembali padaku.
"Dari mana kau mendapatkannya?" tanyanya.
"Bengkel lelang," kataku.
Aku mulai bertanya apakah itu asli, tapi dia mengelilingiku dalam pelukan
beruang besar. Kasa itu terasa kasar dipipiku.
"Senang bertemu denganmu, Gabe," katanya pelan. "Kau sudah tumbuh lebih tinggi."
"Hampir setinggi aku," seru Sari setuju.
Paman Ben menunjuk padanya. "Bangun dan bantu aku menarik ini."
"Aku agak suka caramu melihat dari dalamnya," kata Sari.
"Ke sini," desak Paman Ben.
Sari bangkit sambil menghela napas, melemparkan rambut lurus hitam di balik
bahunya. Dia berjalan ke ayahnya dan mulai mencopoti perban.
"Aku agak sedikit terbawa dengan hal mumi ini, Gabe," aku Paman Ben,
menyandarkan lengannya di atas bahuku saat Sari meneruskan pekerjaannya. "Tapi
itu hanya karena aku sangat bersemangat tentang apa yang terjadi di piramida."
"Apa yang terjadi?" tanyaku penuh semangat.
"Ayah menemukan sebuah ruang pemakaman yang baru sekali," sela Sari sebelum
ayahnya sempat memberitahuku sendiri. "Dia menjelajahi bagian dari piramida yang
belum ditemukan selama ribuan tahun."
"Sungguh?" teriakku. "Itu luar biasa!"
Paman Ben terkekeh. "Tunggu sampai kau melihatnya."
"Melihatnya?" Aku tak yakin apa maksudnya. "Maksud Anda, Anda akan membawaku ke
piramida?" Suaraku begitu tinggi hingga hanya anjing yang bisa mendengarnya. Tapi aku tak
peduli. Aku tak bisa mempercayai keberuntunganku. Aku akan benar-benar masuk ke
dalam Piramida Besar, ke salah satu bagian yang belum ditemukan hingga sekarang.
"Aku tak punya pilihan," kata Paman Ben datar. "Apa lagi yang akan kulakukan
dengan kalian berdua?"
"Apakah ada mumi di sana?" tanyaku. "Apakah kita akan melihat mumi yang asli?"
"Apakah kau merindukan ibumu (your mummy)?" kata Sari, satu lagi ide lelucon
bodohnya. Aku mengabaikannya. "Apa ada harta karun di bawah sana Paman Ben" Peninggalan
Mesir kuno" Apakah ada lukisan dinding?"
"Kita bicarakan tentang hal itu saat makan malam," katanya, menarik perban
terakhir. Dia mengenakan kaos olahraga kotak-kotak dan celana longgar di balik
kain kasa. "Ayo. Aku kelaparan."
"Ayo balapan ke bawah," kata Sari, dan mendorongku keluar dari jalan untuk
memberikan dirinya awal yang baik untuk start keluar dari ruangan.
*** Kami makan di restoran hotel di lantai bawah. Ada lukisan pohon-pohon palem di
dinding, dan pohon palem mini yang ditanam di pot-pot besar di seluruh restoran.
Kipas angin besar di langit-langit kayu berputar perlahan-lahan di atas kepala.
Kami bertiga duduk di tempat yang besar, Sari dan aku di seberang Paman Ben.
Kami mempelajari menu yang panjang. Menu-menu itu dicetak dalam bahasa Arab dan
Inggris. "Dengarkan ini, Gabe," kata Sari, suatu senyum kepuasan (tampak) di wajahnya.
Dia mulai membaca kata-kata Arab dengan keras.
Pamer sekali. Pelayan berseragam putih membawa sekeranjang roti datar berlubang-lubang dan
semangkuk benda hijau untuk mencelupkan roti itu ke dalamnya. Aku memesan
sandwich dan kentang goreng. Sari memesan hamburger.
Lalu, saat kami memakan makan malam kami, Paman Ben menjelaskan sedikit lebih
banyak tentang apa yang telah ditemukan di piramida. "Seperti yang mungkin kau
tahu," mulainya, merobek segumpal roti datar, "Piramida itu dibangun di suatu
waktu sekitar 2500 SM, pada masa pemerintahan Firaun Khufu."
"Gesundheit (Salam sejahtera)," kata Sari. Lelucon bodoh lainnya.
(gesundheit = mendoakan kesehatan yang baik khususnya bagi orang yang bersinpen) Ayahnya tertawa. Aku menyeringai padanya.
"Piramida adalah bangunan terbesar waktu itu," kata Paman Ben. "Apa kau tahu
seberapa lebar dasar piramida itu?"
Sari menggeleng. "Tidak. Seberapa lebar?" tanyanya dengan mulut penuh hamburger.
"Aku tahu," kataku, sambil menyeringai. "Luasnya tiga belas hektar."
"Hei - itu benar!" seru Paman Ben, jelas terkesan.
Sari melihatku sekilas, dengan pandangan terkejut.
Ini satu untukku! Pikirku gembira, menjulurkan lidahku padanya.
Dan satu lagi untuk buku panduan ayahku.
"Piramida ini dibangun sebagai tempat pemakaman kerajaan," Paman Ben berlagak,
ekspresi wajahnya berubah serius. Firaun membuatnya menjadi sangat besar
sehingga ruang pemakaman bisa disembunyikan. Orang-orang Mesir khawatir tentang
perampok-perampok makam. Mereka tahu orang-orang itu akan mencoba untuk
membongkarnya, mengambil semua perhiasan berharga dan harta karun yang
dikuburkan bersama pemiliknya. Jadi mereka membangun puluhan terowongan dan
ruangan di dalamnya, suatu labirin yang membingungkan untuk menghalangi
perampok dari menemukan ruang penguburan yang sesungguhnya. "
"Tolong ambilkan saus tomatnya," sela Sari. Aku memberinya saus tomat.
"Sari telah mendengar semua ini sebelumnya," kata Paman Ben, mencelupkan roti
berlubang ke dalam kuah yang gelap di piringnya. "Pokoknya, kami para arkeolog
berpikir bahwa kami tak akan menemukan semua terowongan dan ruangan di dalam
piramida ini, Tapi beberapa hari lalu, para pekerjaku dan aku menemukan satu
terowongan yang tak ada di peta manapun. Satu terowongan, yang belum pernah
diselidiki, belum pernah ditemukan. Dan kami pikir terowongan ini dapat membawa
kami ke ruang pemakaman yang sebenarnya dari Khufu sendiri! "
"Luar biasa!" teriakku. "Sari dan aku akan berada di sana ketika Anda
menemukannya?"

Goosebumps - 5 Kutukan Makam Mummy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paman Ben terkekeh. "Aku tak tahu tentang itu, Gabe. Ini bisa perlu waktu
bertahun-tahun untuk penjelajahan yang hati-hati. Tapi besok aku akan membawamu
ke dalam terowongan. Lalu kau bisa memberitahu teman-temanmu bahwa kau benarbenar di dalam piramida kuno Khufu."
"Aku sudah berada di dalamnya," Sari menyombongkan (diri). Matanya berpaling
padaku. "Tempat itu sangat gelap. Kau mungkin akan merasa ketakutan."
"Tidak, aku tak akan," desakku. "Tidak mungkin."
*** Kami bertiga menghabiskan malam itu di kamar hotel orangtuaku. Aku perlu waktu
beberapa jam untuk bisa tidur. Kukira aku sangat senang akan pergi ke piramida.
Aku terus membayangkan bahwa kami menemukan mumi, peti besar perhiasan kuno dan
harta karun. Paman Ben membangunkan kami pagi-pagi di pagi berikutnya, dan kami berkendaraan
ke piramida di luar al-Jizah. Udara sudah panas dan lengket. Matahari tampak
menggantung rendah di atas padang pasir seperti sebuah balon oranye.
"Di sana!" Sari menyatakan, menunjuk ke luar jendela. Dan aku melihat Piramida
Besar menjulang tinggi dari pasir kuning seperti semacam fatamorgana.
Paman Ben menunjukkan izin khusus pada penjaga berseragam biru, dan kami
mengikuti jalan khusus yang sempit melengkung melalui pasir di belakang
piramida. Kami parkir di samping mobil-mobil dan van-van lainnya dalam bayangan
abu-abu kebiruan piramida.
Saat aku melangkah keluar dari mobil, dadaku berdebar-debar gembira. Aku
menatap, batu-batu besar tua dari Piramida Besar.
Usianya lebih dari empat ribu tahun, pikirku. Aku akan masuk ke dalam sesuatu
yang dibangun empat ribu tahun yang lalu!
"Sepatumu tak terikat," kata Sari sambil menunjuk.
Dia benar-benar tahu bagaimana caranya membawa seseorang kembali lagi ke bumi.
Aku membungkuk di pasir untuk mengikat sepatuku. Untuk suatu alasan, yang
sebelah kiri selalu lepas ikatannya, bahkan ketika aku menyimpulkannya dua kali.
"Para pekerjaku sudah di dalam," kata Paman Ben pada kami. "Sekarang, tetap
dekat bersama-sama, oke" Jangan berkeliaran. Terowongan-terowongan ini benarbenar seperti labirin. Sangat mudah untuk tersesat."
"Tak masalah," kataku, suaraku gemetar mengungkapkan betapa gugup dan
bersemangatnya aku. "Jangan khawatir. Aku akan terus mengawasi Gabe, Ayah," kata Sari.
Dia hanya dua bulan lebih tua dariku. Mengapa dia harus bertindak seperti dia
pengasuhku" Paman Ben menyerahkan pada kami berdua senter. "Jepitkan itu ke celana kalian
saat kita masuk ke dalam," perintahnya. Dia menatapku. "Kau tak percaya pada
kutukan kan" Kau tahu semacam orang Mesir kuno."
Aku tak tahu bagaimana menjawab, jadi aku menggeleng.
"Bagus," jawab Paman Ben, menyeringai. "Karena salah satu pekerjaku mengatakan
kita telah melanggar dekrit (ketetapan) kuno dengan memasuki terowongan baru
ini, dan kita telah mengaktifkan beberapa kutukan."
"Kami tak takut," kata Sari, memberinya dorongan main-main menuju pintu masuk.
"Pergilah, Yah."
Dan beberapa detik kemudian, kami melangkah ke dalam lubang persegi kecil
potongan batu. Membungkuk rendah, aku mengikuti mereka melalui satu terowongan
sempit yang tampaknya miring turun secara bertahap.
Paman Ben memimpin jalan, menyinari tanah dengan senter halogen terang. Lantai
piramida terasa lembut dan berpasir. Udaranya dingin dan lembab.
"Dinding granit," kata Paman Ben, berhenti untuk menggosok dengan satu tangannya
di sepanjang langit-langit rendah. "Semua terowongan terbuat dari batu kapur."
Suhu tiba-tiba turun. Udara terasa bahkan lebih lembab. Aku tiba-tiba menyadari
kenapa Paman Ben meminta kami memakai kaus.
"Kalau kau takut, kita bisa kembali," kata Sari.
"Aku baik-baik saja," jawabku cepat.
Terowongan berakhir tiba-tiba. Satu dinding kuning pucat berdiri di depan kami.
Senter Paman Ben melesat di atas sebuah lubang kecil yang gelap di lantai.
"Kita pergi ke bawah," kata Ben, mengerang saat ia berlutut. Dia berbalik
padaku. "Karena takut tak ada tangga menuju terowongan baru itu para pekerjaku
memasang tangga tali. Kalian jangan terburu-buru di atasnya, perlahan-lahan,
satu anak tangga pada satu waktu, dan kalian akan baik-baik saja."
"Tak masalah," kataku. Tapi suaraku pecah.
"Jangan lihat ke bawah," saran Sari. "Ini mungkin akan membuatmu pusing, dan kau
akan jatuh." "Terima kasih atas dorongannya," kataku. Aku memaksakan jalanku melewatinya.
"Aku akan turun dulu," kataku. Aku sudah lelah akan aktingnya yang begitu
sombong. Aku putuskan untuk menunjukkannya, siapa yang berani dan siapa yang
tidak. "Tidak. Biarkan aku pergi dulu," kata Paman Ben, mengangkat tangan untuk
menghentikanku. "Lalu aku akan menyorotkan sinar ke atas sampai di tangga dan
membantu kalian turun."
Sambil mengerang lain, ia menggerakkan dirinya ke dalam lubang. Dia begitu
besar, dan ia hampir tak pas.
Perlahan-lahan, ia mulai turun menuruni tangga tali.
Sari dan aku membungkuk di atas lubang dan mengintip ke bawah, mengamatinya
turun. Tangga tali itu sangat tidak stabil. Berayun bolak-balik karena berat
badannya saat ia perlahan-lahan, hati-hati, berjalan ke bawah.
"Jauh sekali di bawah," kataku pelan.
Sari tak menjawab. Dalam cahaya remang-remang, aku bisa melihat ekspresi
kekhawatirannya. Dia menggigit bibir bawahnya saat ayahnya tiba di lantai
terowongan. Dia gugup juga. Itu membuatku sangat gembira.
"Oke, aku turun. Kau berikutnya, Gabe," panggil Paman Ben kepadaku.
Aku berbalik dan mengayunkan kakiku ke tangga tali. Aku menyeringai pada Sari.
"Lihat ya." Aku menurunkan tanganku ke sisi tangga tali - dan saat aku meluncur turun, aku
berteriak. "Aduh!" Tali itu tak mulus. Tali itu kasar. Tali itu menusuk tanganku.
Tikaman tajam karena nyeri membuatku mengangkat tanganku.
Dan bahkan sebelum aku menyadari apa yang terjadi, aku mulai jatuh.
4 Dua tangan turun meraihku. Meluncur melalui udara dan menyambar pergelangan
tanganku. "Pegangi!" teriak Sari.
Dia telah memperlambat kejatuhanku hingga cukup memungkinkanku untuk meraih
kembali sisi-sisi tangga tali.
"Oh, wow!" Aku berhasil berbicara. Itu adalah yang terbaik yang bisa kulakukan.
Aku memegang tali untuk kehidupan yang berharga, menunggu jantungku berhenti
berdebar-debar. Aku memejamkan mata dan tak bergerak. Aku meremas tali begitu
keras, tanganku sakit. "Hidupmu selamat," teriak Sari turun kepadaku, bersandar ke lubang, wajahnya
beberapa inci dari tambang.
Aku membuka mata dan menatap ke arahnya.
"Trim's," ucapku penuh syukur.
"Tak masalah," jawab dia dan tertawa keras, tertawa dari lega, kurasa.
Mengapa aku tak bisa menyelamatkan hidupnya" Aku bertanya pada diriku dengan
marah. Mengapa aku tak dapat pernah menjadi pahlawan besar"
"Apa yang terjadi, Gabe?" panggil Paman Ben dari lantai terowongan di bawah.
Suaranya menggelegar menggema keras melalui ruangan. Lingkaran luas cahaya dari
senter menari-nari di dinding granit.
"Tali-tali ini menusuk tanganku," aku menjelaskan. "Aku tak berharap -"
"Kau jangan buru-buru," katanya sabar. "Satu anak tangga pada satu waktu,
ingat?" "Turunkan tanganmu. Jangan menggesernya," saran Sari, wajahnya menyembul
melalui lubang di atasku.
"Oke, oke," kataku, mulai bernapas normal.
Aku menarik napas dalam-dalam dan menahannya. Kemudian, perlahan-lahan, berhatihati, aku berjalan menuruni tangga tali yang panjang.
Beberapa saat kemudian, kami bertiga berdiri di lantai terowongan, memegang
senter kami yang menyala, mata kami mengikuti lingkaran cahaya. "Ke arah sini,"
kata Paman Ben pelan, dan ia pergi ke arah kanan, berjalan perlahan-lahan,
membungkuk karena langit-langit yang rendah.
Sepatu kami berderak di lantai berpasir. Aku melihat terowongan lain yang menuju
ke kanan, kemudian terowongan lain di sebelah kiri.
"Kita menghirup udara yang berusia empat ribu tahun," kata Ben, menjaga
senternya terarah ke lantai di depannya.
"Baunya seperti ini," bisikku pada Sari. Dia tertawa.
Udara benar-benar berbau tua. Semacam berat dan pengap. Seperti loteng
seseorang. Terowongan itu sedikit melebar karena melengkung ke kanan.
"Kita akan lebih masuk ke dalam bumi," kata Paman Ben. "Apakah ini terasa
seperti kalian menuruni bukit?"
Sari dan aku sama-sama bergumam bahwa ini seperti hal itu.
"Ayah dan aku menjelajahi salah satu sisi terowongan kemarin," kata Sari padaku.
"Kami menemukan kotak mumi di dalam suatu ruangan kecil. Salah satu yang indah
dalam kondisi sempurna.."
"Apa ada mumi di dalamnya?" tanyaku penuh semangat. Aku sangat ingin melihat
mumi. Museum yang ada di rumah hanya punya satu. Aku telah menatapnya dan
mempelajari itu semua hidupku.
"Tidak itu kosong," jawab Sari.
"Mengapa mumi tak memiliki hobi?" tanya Paman Ben, berhenti tiba-tiba.
"Aku tak tahu," jawabku.
"Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya!" seru Paman Ben. Dia tertawa mendengar
leluconnya sendiri. Sari dan aku hanya bisa mengeluarkan senyuman lemah.
"Jangan membesarkan hatinya," kata Sari padaku, cukup keras untuk ayahnya untuk
mendengar. "Dia tahu satu juta lelucon mumi, dan mereka semua sama buruknya."
"Tunggu. Hanya sebentar," kataku. Aku membungkuk untuk mengikat sepatuku, yang
telah terlepas lagi. Terowongan itu melengkung, kemudian bercabang menjadi dua terowongan. Paman Ben
memimpin kita melalui satu terowongan di sebelah kiri, yang begitu sempit hingga
kami harus merapatkan (tubuh kami) melaluinya, kami berjalan ke samping, kepala
membungkuk, sampai terowongan itu melebar ke dalam satu ruangan besar berlangitlangit tinggi. Aku berdiri tegak dan meregang. Rasanya begitu enak tak meringkuk. Aku menatap
sekeliling ruang besar itu.
Beberapa orang mulai terlihat di dinding yang jauh, bekerja dengan alat
penggali. Lampu sorot terang telah digantung di atas mereka di dinding, dekat
pada suatu generator portabel.
Paman Ben membawa kami kepada mereka dan memperkenalkan kami. Ada empat pekerja,
dua pria dan dua wanita. Seorang pria lain berdiri di samping, dengan papan tulis di tangannya. Dia orang
Mesir, berpakaian serba putih kecuali syal merah di lehernya. Dia berambut hitam
lurus, licin bawah dan diikat seperti ekor kuda di belakang kepala. Ia menatap
Sari dan aku, tapi tak datang. Tampaknya dia mempelajari kami.
"Ahmed, kau telah bertemu dengan putriku kemarin. Ini adalah Gabe, keponakanku,"
seru Paman Ben padanya. Ahmed mengangguk, tapi tak tersenyum atau mengatakan apa-apa.
"Ahmed dari universitas," kata Paman Ben kepadaku dengan suara pelan. "Dia
meminta izin untuk mengamati kami, dan aku bilang oke. Dia sangat pendiam. Tapi
jangan membuatnya memulai tentang kutukan kuno. Dialah yang selalu
memperingatkanku bahwa aku dalam bahaya mematikan."
Ahmed mengangguk, tapi tak menjawab. Dia menatapku untuk waktu yang lama.
Pria aneh, pikirku. Aku bertanya-tanya apakah ia akan memberitahuku tentang kutukan kuno. Aku suka
cerita tentang kutukan kuno.
Paman Ben berpaling pada para pekerjanya. "Jadi" Ada kemajuan hari ini?" dia
bertanya. "Kami pikir kita sudah semakin benar-benar dekat," seorang pria muda berambut
merah mengenakan celana jins pudar dan kemeja kerja tebal berwarna biru
menjawab. Dan kemudian ia menambahkan, "Hanya firasat."
Paman Ben mengerutkan kening. "Terima kasih, Quasimodo," katanya.
Para pekerja semuanya tertawa. Kurasa mereka menyukai lelucon Paman Ben.
"Quasimodo adalah si Bungkuk dari Notre Dame," jelas Sari kepadaku dengan nada
sombongnya. (Quasimodo salah satu tokoh dalam buku karangan Victor Hugo: The Hunchback of
Notre Dame-pen) "Aku tahu, aku tahu," jawabku kesal. "Aku mengerti."
"Kita bisa saja menuju ke arah yang salah sama sekali," kata Paman Ben kepada
para pekerjanya, menggaruk bagian botak di bagian belakang kepalanya.
"Terowongan itu mungkin berada di sana." Dia menunjuk ke dinding di sebelah
kanan. "Tidak, kupikir kita sudah dekat, Ben," seorang wanita muda, wajahnya kotor
dengan debu, kata. "Datanglah ke sini aku ingin menunjukkan sesuatu."
Dia membawanya ke tumpukan batu besar dan reruntuhan. Dia menyorotkan lampunya
ke tempat di mana dia menunjuk. Lalu paman Ben membungkuk lebih dekat untuk
memeriksa apa yang wanita itu tunjukkan kepadanya.
"Ini sangat menarik, Christy," kata Paman Ben, menggosok dagunya. Mereka
terlibat ke dalam diskusi yang panjang.
Setelah beberapa saat, tiga pekerja lainnya memasuki ruangan, membawa sekop dan
pencungkil-pencungkil. Salah satunya membawa beberapa macam peralatan elektronik
dalam kotak logam datar. Ini terlihat sedikit mirip seperti komputer laptop.
Aku ingin bertanya pada Paman Ben apa itu, tapi ia masih di sudut, yang terlibat
dalam diskusi dengan pekerja bernama Christy.
Sari dan aku berjalan kembali ke arah pintu masuk terowongan.
"Kupikir dia sudah lupa tentang kita," kata Sari cemberut.
Aku setuju, menyorotkan senterku ke atas sampai di langit-langit tinggi yang
retak. "Begitu dia ke sini dengan para pekerjanya, ia lupa segalanya kecuali
pekerjaannya," katanya, mendesah.
"Aku tak percaya kita benar-benar di dalam piramida!" Aku berseru.
Sari tertawa. Dia menendang lantai dengan satu sepatu. "Lihat - kotoran kuno,"
katanya, "Ya." Aku juga menendang beberapa tanah berpasir. "Aku ingin tahu siapa dulu
yang berjalan di sini. Mungkin seorang pendeta Mesir. Mungkin seorang firaun
(raja). Mereka mungkin telah berdiri di sini di tempat ini."
"Ayo kita pergi menjelajah," kata Sari tiba-tiba.
"Hah?" Matanya yang hitam bersinar-sinar, dan ia terlihat benar-benar jahat di
wajahnya. "Ayo kita pergi, Gabey -. Mari kita periksa beberapa terowongan atau
sesuatu (yang lain)."
"Jangan panggil aku Gabey," kataku. "Ayolah, Sari, kau tahu aku benci itu."
"Maaf," dia cekikikan meminta maaf. "Kau ikut?"
"Kita tak bisa," aku bersikeras, menonton Paman Ben. Dia sepertinya sedang
beradu pendapat dengan pekerja membawa benda yang tampak seperti laptop. "Ayahmu
mengatakan kita harus tetap bersama-sama. Dia mengatakan -."
"Dia akan sibuk di sini selama berjam-jam," sela Shari, melirik ke arah ayahnya.
"Dia bahkan tak akan melihat kalau kita pergi. Sungguh.."
"Tapi, Sari -" Aku mulai.
"Selain itu," lanjutnya, meletakkan tangannya di bahuku dan mendorongku mundur
ke arah pintu ruangan, "dia tak ingin kita berkeliaran di sekitarnya. Kita hanya
akan di jalanan." "Sari -" "Aku pergi menjelajah kemarin," katanya, mendorongku dengan kedua tangan. "Kita
tak akan pergi jauh. Kau tak akan tersesat. Semua terowongan mengarah kembali ke
ruangan besar. Sungguh."
"Aku hanya tak berpikir kita harus," kataku, mataku kepada Paman Ben. Dia turun
di atas tangan dan lututnya sekarang, menggali dinding dengan beberapa macam
pencungkil. "Lepaskan aku," kataku. "Sungguh, aku -."
Dan kemudian dia mengatakan apa yang aku tahu akan dikatakannya. Apa yang selalu
dikatakannya saat dia ingin mendapatkan keinginannya.
"Apakah kau pengecut (ayam)?"
"Tidak," aku bersikeras. "Kau tahu ayahmu berkata -"
"Pengecut" Pengecut" Pengecut?" Dia mulai berkotek-kotek seperti ayam. Benarbenar menjengkelkan. "Hentikan, Sari." Aku coba untuk terdengar keras dan mengancam.


Goosebumps - 5 Kutukan Makam Mummy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kau pengecut, Gabey?" ulangnya, nyengir padaku seolah-olah ia baru saja
memenangkan beberapa kemenangan besar. "Hah, Gabey?"
"Jangan panggil aku dengan itu!" Aku bersikeras.
Dia hanya menatapku. Aku membuat suatu wajah jijik. "Oke, oke. Ayo kita pergi menjelajah.," Kataku.
Maksudku, apa lagi yang bisa kukatakan"
"Tapi tak jauh," tambahku.
"Jangan khawatir," katanya, sambil menyeringai. "Kita tak akan tersesat aku
hanya akan menunjukkan beberapa terowongan yang kulihat kemarin. Salah satunya
ada gambar binatang aneh yang diukir di dindingnya. Kupikir itu semacam kucing.
Aku tak yakin . " "Sungguh?" teriakku, langsung bersemangat. "Aku pernah melihat gambar-gambar
ukiran relief, tapi aku tak pernah -"
"Itu mungkin kucing," kata Sari. "Atau mungkin orang dengan kepala hewan. Itu
benar-benar aneh." "Dimana itu?" tanyaku.
"Ikuti aku." Kami berdua memandang sekilas kembali ke Paman Ben, yang turun pada tangan dan
lututnya, menggali jauh pada dinding batu.
Lalu aku mengikuti Sari keluar dari ruangan.
Kami menekankan (tubuh kami) melalui terowongan sempit, lalu berbalik dan
mengikuti satu terowongan sedikit lebih lebar ke kanan. Aku ragu-ragu, beberapa
langkah di belakangnya. "Apakah kau yakin bisa kembali?" tanyaku, menjaga
suaraku rendah sehingga dia tak bisa menuduhku terdengar ketakutan.
"Tak masalah," jawabnya. "Terus jaga sinar sentermu ke lantai. Ada ruangan kecil
di ujung lain dari terowongan yang agak rapi."
Kami mengikuti terowongan yang melengkung itu ke kanan. Terowongan itu bercabang
menjadi dua lubang rendah, dan Sari mengambil satu yang ke kiri.
Udara bertambah sedikit lebih hangat. Baunya apak, seolah-olah ada orang yang
telah merokok di sana. Terowongan ini lebih luas daripada yang lain. Sari berjalan lebih cepat
sekarang, semakin jauh di depanku. "Hei - tunggu dulu!" Teriakku.
Aku menunduk untuk melihat bahwa sepatuku tak terikat lagi. Mengeluarkan erangan
jengkel yang keras, aku membungkuk untuk mengikatnya kembali.
"Hei, Sari, tunggu dulu!"
Dia tampaknya tak mendengarku.
Aku bisa melihat cahaya di kejauhan, semakin redup dalam terowongan.
Lalu tiba-tiba menghilang.
Apakah senternya padam"
Tidak. Terowongan itu mungkin melengkung, aku memutuskan. Dia cuma keluar dari
pandanganku. "Hei, Sari!" panggilku. "Tunggulah! Tunggulah!"
Aku menatap ke depan ke dalam terowongan gelap itu.
"Sari?" Mengapa dia tak menjawabku"
"Sari!" Suaraku bergema melalui terowongan panjang melengkung.
Tak ada jawaban. Aku memanggil lagi, dan mendengarkan suaraku memudar saat gema mengulangi
namanya lagi dan lagi. Awalnya aku marah. Aku tahu apa yang Sari lakukan.
Dia sengaja tak menjawab, sengaja mencoba menakut-nakutiku.
Dia harus membuktikan bahwa dia adalah orang pemberani, dan aku adalah kucing
penakut. Aku tiba-tiba teringat waktu lain, beberapa tahun sebelumnya. Sari dan Paman Ben
datang ke rumahku untuk berkunjung. Kupikir Sari dan aku berumur tujuh atau
delapan tahun. Kami pergi keluar untuk bermain. Hari itu mendung, terancam hujan. Sari punya
lompat tali dan memamerkannya, seperti biasa, menunjukkan padaku betapa baiknya
dia dalam hal itu. Kemudian, tentu saja, ketika dia membiarkanku mencobanya, aku
tersandung dan jatuh, dan dia tertawa seperti orang gila.
Aku memutuskan untuk membalasnya dengan membawanya ke rumah tua yang kosong itu
beberapa blok dari jalan. Semua anak-anak di lingkungan itu percaya rumah itu
berhantu. Ini adalah tempat yang sangat bagus untuk menyelinap masuk dan
menjelajah, meskipun orang tua kami selalu memperingatkan kami untuk menjauh
dari rumah itu karena berantakan dan berbahaya.
Jadi aku memimpin Sari ke rumah iti dan mengatakan rumah itu berhantu. Dan kami
menyelinap masuk melalui jendela ruang bawah tanah yang rusak.
Saat itu (keadaan di) luar lebih gelap, dan mulai hujan. Sempurna. Aku tahu Sari
benar-benar takut sendirian di rumah tua yang menyeramkan itu. Aku, tentu saja,
tak takut sama sekali karena aku pernah di sana sebelumnya.
Yah, kami mulai menjelajah, dengan pimpinanku. Dan entah bagaimana kami
terpisah. Dan saat itu di luar mulai bergemuruh dan kilat. Hujan deras masuk
melalui jendela pecah. Aku putuskan mungkin kami harus pulang. Jadi aku memanggil Sari. Tak ada
jawaban. Kupanggil lagi. Masih tak ada jawaban.
Lalu aku mendengar dentuman keras.
Sambil memanggil namanya, aku mulai berlari dari kamar ke kamar. Aku ketakutan
setengah mati. Aku yakin sesuatu yang mengerikan telah terjadi.
Aku berlari melalui setiap ruang dalam rumah, semakin takut. Aku tak bisa
menemukannya. Aku berteriak dan berteriak, tapi ia tak menjawab.
Aku sangat takut, aku mulai menangis. Lalu aku benar-benar panik, dan aku
berlari keluar rumah dan masuk ke curahan hujan.
Aku berlari melalui guntur dan kilat, berteriak-teriak sepanjang jalan pulang.
Saat aku pulang, aku basah kuyup dan terus.
Aku berlari ke dapur, terisak-isak dan menangis bahwa aku kehilangan Sari di
rumah hantu. Dan disanalah dia. Duduk di meja dapur. Nyaman dan kering. Makan sepotong besar
kue cokelat. Satu senyum kepuasan tampak di wajahnya.
Dan sekarang, mengintip ke dalam kegelapan piramida, aku tahu Sari melakukan hal
yang sama kepada. Mencoba untuk menakut-nakutiku.
Mencoba untuk membuatku terlihat buruk.
Atau dia" Saat aku berjalan melewati terowongan, rendah sempit, menjaga cahaya tertuju
lurus ke depan, aku tak bisa menahannya. Kemarahanku dengan cepat berubah
menjadi kekhawatiran, dan pertanyaan-pertanyaaan yang mengganggu berputar di
benakku. Bagaimana jika dia tak bermaksud memainkan tipu muslihat padaku"
Bagaimana jika sesuatu yang buruk telah terjadi padanya"
Bagaimana jika dia salah langkah dan jatuh ke dalam lubang"
Atau telah mendapatkan dirinya terperangkap di sebuah terowongan yang
tersembunyi" Atau. . . Aku tak tahu apa.
Aku tak bisa berpikir jernih.
Sepatuku berdebam keras di lantai berpasir saat aku mulai setengah berjalan
setengah berlari melalui terowongan berliku.
"Sari?" panggilku dengan panik sekarang, tak peduli apakah aku terdengar takut
atau tidak. Di mana dia" Dia tak terlalu jauh di depanku. Aku setidaknya harus mampu melihat cahaya dari
senter, pikirku. "Sari?" Tak ada tempat baginya untuk bersembunyi di ruang sempit itu. Apa aku mengikuti
terowongan yang salah"
Tidak. Aku telah berada di terowongan yang sama sepanjang jalan. Terowongan yang sama
di mana aku telah menyaksikannya menghilang masuk
Jangan katakan hilang, aku memarahi diriku sendiri. Jangan bahkan berpikir kata
itu. Tiba-tiba lorong sempit itu berakhir. Sebuah lubang kecil menuju ke suatu
ruangan kecil persegi. Aku menyorotkan senter dengan cepat dari satu sisi ke
sisi lainnya. "Sari?" Tak ada tanda-tanda keberadaannya.
Dinding-dindingnya yang kosong. Udara hangat dan apek. Aku pindahkan cahaya
senter dengan cepat di seluruh lantai, mencari jejak kaki Sari itu. Lantainya
keras, kurang berpasir di sini. Tak ada jejak kaki.
"Oh!" Aku menjerit pelan saat cahaya senterku berakhir pada benda di dinding yang
jauh. Hatiku berdebar, dengan bersemangat aku melangkah lebih dekat sampai aku
hanya beberapa meter dari itu.
Itu adalah peti mumi. Satu peti besar mumi dari batu, setidaknya delapan meter.
Peti itu persegi panjang, dengan sudut-sudut yang melengkung. Tutupnya diukir.
Aku mendekat dan mengarahkan cahaya.
Ya. Satu wajah manusia terukir pada tutupnya. Wajah seorang wanita. Ini tampak
seperti topeng kematian, semacam yang pernah kami pelajari di sekolah. Topeng
itu dengan mata terbelalak menatap langit-langit.
"Wow!" Aku berteriak keras-keras. Satu peti mumi yang asli.
Ukiran wajah di tutupnya mestinya telah dicat cerah pada satu waktu. Tapi
warnanya telah memudar selama berabad-abad. Sekarang wajah itu kelabu, pucat
seperti kematian. Menatap bagian atas peti ini, halus dan sempurna, aku bertanya-tanya apakah
Paman Ben sudah melihatnya. Atau aku telah membuat penemuanku sendiri.
Mengapa semua itu ada dengan sendirinya dalam kamar kecil ini" Aku bertanyatanya. Dan apa itu yang tersimpan di dalamnya"
Aku membangkitkan keberanianku untuk menggerakkan tanganku ke atas tutup batu
yang halus itu ketika aku mendengar suara berderit.
Dan melihat tutup itu mulai terangkat.
"Oh!" teriakan kecil keluar dari bibirku.
Pada awalnya kupikir aku hanya membayangkan hal itu. Aku tak bergerak sedikit
pun. Aku menjaga cahaya senter terarah ke tutupnya.
Jamur Sisik Naga 1 Pendekar Rajawali Sakti 127 Intan Saga Merah Pendekar Kelana 1

Cari Blog Ini