Ceritasilat Novel Online

Monster Dari Timur 1

Goosebumps - 43 Monster Dari Timur Bagian 1


R.L. Stine Monster Dari Timur (Goosebumps # 43) Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 KETIKA masih kecil, aku selalu ditemani Mom kalau mau tidur.
Mom selalu berbisik, "Tidurlah, Ginger, tidurlah, Nak. Jangan sampai digigit
kutu busuk." Waktu itu aku belum tahu seperti apa kutu busuk itu. Aku membayangkan
serangga-serangga merah besar dengan kaki panjang bagaikan labah-labah yang
merayap di bawah selimut. Membayangkannya saja sudah membuat badanku
gatal-gatal. Setelah Mom mencium keningku dan pergi, giliran Dad masuk ke kamarku untuk
bernyanyi. Pelan-pelan sekali. Setiap malam lagunya sama. The Teddy Bears'
Picnic. Aku tidak tahu kenapa ia menganggap lagu itu cocok sebagai pengantar tidur.
Kisahnya tentang anak kecil yang masuk ke hutan dan bertemu dengan ratusan
beruang. Lagu itu membuatku merinding. Aku jadi bertanya-tanya, apa yang dimakan
beruang-beruang itu ketika mereka piknik. Jangan-jangan anak kecil!
Setelah Dad mencium keningku dan keluar kamar, aku terus gatal-gatal dan
gemetaran selama berjam-jam. Setelah tertidur, aku bermimpi buruk tentang kutu
busuk dan beruang. Sampai beberapa tahun lalu, aku ngeri pergi ke hutan.
Tapi itu dulu. Sekarang aku sudah dua belas tahun dan bukan anak penakut lagi.
Paling tidak, aku tidak takut sampai keluargaku pergi berkemah pada liburan
musim panas yang lalu. Waktu itulah aku tahu bahwa ada makhluk penghuni hutan
yang jauh lebih mengerikan daripada beruang!
Tapi sebaiknya aku bercerita dari awal.
Hal pertama yang kuingat tentang acara berkemah itu adalah Dad berseru-seru
pada kedua adikku. Aku punya dua adik laki-laki berumur sepuluh tahun - Pat dan
Nat. Ya, betul. Mereka kembar. Begitulah nasibku.
Pat dan Nat bukan sekadar kembar biasa. Mereka kembar identik. Saking
miripnya, mereka sendiri suka bingung siapa Pat dan siapa Nat.
Mereka sama-sama bertubuh pendek dan kurus. Mereka sama-sama berwajah bulat
dan bermata besar cokelat. Mereka sama-sama berambut cokelat, dengan belahan
di tengah dan disisir ke samping.
Mereka sama-sama suka memakai jeans gombrong yang belel dan t-shirt
rollerblade berwarna merah-hitam dengan tulisan yang tak pernah bisa kumengerti.
Hanya ada satu cara untuk membedakan keduanya. Kita harus bertanya pada
mereka! Aku ingat hari itu cerah dan indah. Udaranya segar berbau daun cemara. Rantingranting dan daun-daun mati berderak di bawah sepatu kami, ketika kami menyusuri
jalan setapak berliku-liku menembus hutan.
Dad berjalan di depan. Ia memanggul bungkusan tenda dan membawa ransel besar
di punggungnya. Mom mengikutinya. Ia juga membawa berbagai perlengkapan
yang kami perlukan. Jalan setapak itu melewati lapangan berumput. Matahari seakan-akan membakar
wajahku. Ranselku mulai terasa berat. Dalamhati aku bertanya, seberapa jauh lagi
kami harus berjalan. Pat dan Nat berada paling belakang. Sebentar-sebentar Dad menoleh dan
menyerukan sesuatu pada mereka. Kami semua harus berseru jika berbicara
dengan si kembar. Kalau tidak, segala ucapan kami dianggap angin lalu saja.
Kenapa Dad berseru-seru"
Hmm, salah satu sebabnya adalah karena Nat selalu menghilang. Nat paling senang
memanjat pohon. Kalau ia melihat pohon yang menantang, ia pasti langsung
memanjatnya. Aku kuatir jangan-jangan ia keturunan simpanse.
Aku sering mengejeknya sebagai anak monyet. Eh, bukannya marah, ia malah
membalas dengan menggaruk-garuk dada dan meniru suara monyet. Dipikirnya itu
lucu sekali. Kembali ke cerita tadi, kami sedang berjalan menembus hutan.
Dan setiap kali kami menoleh, Nat sudah ada di atas pohon lagi. Tingkahnya yang
konyol benar-benar memperlambat perjalanan kami.
Dan karena itulah Dad marah-marah.
Dad juga memarahi Pat karena bermain Game Boy terus. "Kan sudah kubilang, barang
itu jangan dibawa!" ia berseru. Ayahku berbadan tinggi-besar, mirip beruang. Dan
suaranya keras sekali. Tapi percuma saja. Meski suara Dad menggelegar, Pat dan Nat tak pernah
mendengarkannya. Pat berjalan sambil memperhatikan Game Boy di tangannya. Kedua jempolnya
sibuk memencet-mencet tombol.
"Untuk apa kita berjalan-jalan di hutan kalau kau cuma sibuk dengan mainanmu
itu?" tanya Dad padanya. "Kalau mau main Game Boy, kenapa tidak tinggal di rumah
saja" Simpan mainan itu, dan nikmatilah pemandangan di sekeliling kita."
"Jangan sekarang, dong," Pat memprotes. "Aku tidak bisa berhenti sekarang. Aku
sudah sampai di Level Enam! Baru sekali ini aku bisa sampai Level Enam!"
"Hei, ada bajing!" Mom mendadak berseru sambil menunjuk.
Mom adalah pemandu kami untuk melihat binatang-binatang di alam bebas. Ia
menunjuk segala sesuatu yang bergerak.
Pat tidak menoleh sedikit pun.
"Mana Nat?" tanya Dad. Ia memandang berkeliling.
"Aku di atas sini, Dad!" Nat menyahut.
Aku melindungi mata dengan sebelah tangan dan melihatnya bertengger di dahan
pohon ek yang tinggi. "Ayo, turun!" seru Dad. "Dahan itu tidak kuat menahanmu!"
"Hei - aku berhasil sampai Level Tujuh!" Pat mengumumkan sambil terus
menekan tombol. "Lihat, tuh - sepasang kelinci!" seru Mom. "Di sebelah sana, di tengah rumput yang
tinggi." "Sudahlah, kita terus jalan, deh," aku mengeluh. "Di sini terlalu panas."
Aku ingin segera meninggalkan tempat terbuka itu dan kembali ke bawah naungan
pepohonan yang sejuk. "Satu-satunya orang yang bisa diajak bicara cuma Ginger," gumam Dad sambil
menggelengkan kepala. "Ginger konyol!" teriak Nat, merosot lewat batang pohon.
Kami kembali melewati hutan. Aku tidak tahu berapa lama kami berjalan.
Semuanya begitu indah! Begitu damai. Berkas sinar matahari menerobos dedaunan
dan membuat tanah berkilauan.
Tanpa sadar aku mulai menyenandungkan lagu tentang beruang-beruang yang
mengadakan piknik di hutan. Aku tidak tahu kenapa aku tiba-tiba teringat lagu
itu. Dad sudah bertahun-tahun tak pernah lagi menyanyikannya untukku.
Akhirnya kami berhenti untuk makan siang di tepi sungai kecil yang jernih.
Airnya gemercik. "Hmm, tempat ini cocok sekali untuk berkemah," ujar Mom. "Kita bisa mendirikan
tenda di rumput di tepi sungai."
Mom dan Dad mulai membongkar semua peralatan dan memasang tenda. Aku
membantu mereka. Pat dan Nat bermain lempar batu ke sungai. Kemudian mereka mulai bergulat dan
berusaha saling dorong ke air.
"Ajak mereka ke hutan," Dad menyuruhku. "Dan usahakan supaya mereka tersesat
- oke?" Tentu saja ia cuma bercanda.
Ia pasti tidak menyangka bahwa Pat, Nat, dan aku bakal betul-betul tersesat nyaris tanpa harapan untuk bisa kembali lagi.
Chapter 2 "KITA mau main apa sekarang?" tanya Nat. Ia memungut dahan patah untuk dijadikan
tongkat, dan Pat terus menepis tongkat itu agar Nat terjatuh.
Kami berjalan menyusuri sungai. Aku melihat jutaan anak ikan berwarna
keperakan berenang di dekat permukaan. Kemudian kami membelok dan
menerobos semak-semak. "Kita main umpet-umpetan, yuk!" Pat tiba-tiba berseru. Langsung saja ia menepuk
pundak Nat. "Kau yang jaga."
Nat segera balas menepuk. "Kau yang jaga."
"Kau!" "Kau!" "Kau!" Tepukan mereka bertambah keras. Begitu juga suara mereka.
"Berhenti! Aku saja yang jaga!" seruku. Lebih baik aku jadi sukarelawan daripada
mereka saling bunuh. "Ayo, cepat. Bersembunyilah. Tapi jangan terlalu jauh."
Aku bersandar ke batang pohon, memejamkan mata, dan mulai menghitung sampai
seratus. Kudengar mereka bergegas menyelinap ke pepohonan.
Setelah sampai angka tiga puluh, aku mulai berhitung dengan kelipatan puluhan.
Aku tidak ingin memberi waktu terlalu banyak kepada mereka.
"Awas, aku datang!" seruku.
Dalam beberapa menit saja aku sudah berhasil menemukan Pat. Ia meringkuk di
balik gundukan pasir putih. Ia pikir aku tak bakal bisa melihatnya. Rupanya ia
tidak sadar rambutnya yang cokelat menyembul dari balik gundukan pasir.
Langsung saja kutepuk pundaknya.
Nat lebih sulit ditemukan. Seperti biasa, ia telah memanjat pohon. Ia berada di
dahan paling atas, tersembunyi di balik dedaunan lebat.
Aku takkan bisa menemukannya seandainya ia tidak meludahiku dari atas.
"Ayo, turun! Dasar norak!" aku berseru. Dengan gusar kuacungkan kepalan tinju.
"Brengsek, ini sudah kelewatan! Cepat turun!"
Ia memandang ke bawah sambil tertawa cekikikan. "Kena, tidak?"
Aku tidak menyahut. Aku menunggu sampai ia turun. Lalu kugosokkan
segenggam daun kering ke mukanya, sehingga ia memekik-mekik sambil terbatukbatuk. Itulah permainan khas keluarga Wald.
Setelah itu kami mengejar seekor tupai. Kami berlari kian kemari melintasi
hutan. Makhluk malang itu terus menoleh ke belakang, seakan-akan tidak percaya bahwa
kami mengejarnya. Akhirnya ia kecapekan, dan langsung naik ke pohon cemara
yang tinggi. Aku memandang berkeliling. Pohon-pohon di bagian hutan ini tumbuh lebih rapat.
Sinar matahari hampir sepenuhnya terhalang dedaunan. Udara pun terasa lebih
sejuk. Suasananya remang-remang.
"Ayo, kita kembali saja," aku mengusulkan. "Mom dan Dad pasti sudah menunggu
kita." Si kembar tidak menolak. "Lewat mana?" tanya Nat.
Aku kembali memandang berkeliling. "Ehm... lewat situ." Aku menunjuk.
Sebenarnya aku cuma menebak. Tapi aku 99 persen yakin.
"Kau yakin?" tanya Pat. Ia menatapku dengan curiga. Aku langsung tahu bahwa ia
agak ngeri. Pat memang bukan penggemar alam bebas seperti Nat dan aku.
"Tentu saja aku yakin," sahutku.
Aku berjalan di depan. Mereka mengikuti tepat di belakangku.
Pat juga telah memungut tongkat kayu. Setelah beberapa menit, mereka mulai
berduel dengan menggunakan tongkat masing-masing sebagai pedang.
Aku tidak menghiraukan mereka. Ada urusan lebih penting yang menyibukkan
pikiranku. Aku tidak yakin kami berjalan ke arah yang benar. Dalam hati aku
bahkan mulai cemas bahwa kami tersesat.
"Hei - itu sungainya!" aku berseru dengan gembira.
Seketika aku merasa lega. Ternyata kami tidak tersesat. Aku telah memilih arah
yang benar. Sekarang kami tinggal menyusuri sungai untuk kembali ke lapangan tempat kami
mendirikan tenda. Aku mulai bersenandung lagi. Si kembar melempar tongkat masing-masing ke
sungai. Kami berlari kecil menyusuri tepi sungai yang ditumbuhi rumput.
"Aduh!" aku memekik ketika kaki kiriku mendadak terbenam.
Hampir saja aku terjatuh ke genangan lumpur. Aku menarik kakiku. Sepatuku
berlumuran lumpur sampai ke mata kaki.
Pat dan Nat tertawa terpingkal-pingkal, bahkan sampai membungkuk-bungkuk,
lalu ber-high-five. Aku memelototi si kembar, tapi tidak berkata apa-apa. Mereka memang kekanakkanakan sekali. Aku sudah tidak sabar untuk kembali ke tenda dan membersihkan sepatuku dari
lumpur tebal yang menempel. Kami terus menyusuri sungai, kemudian menerobos
pohon-pohon kecil berkulit putih, dan akhirnya sampai di lapangan.
"Mom! Dad!" aku memanggil sambil bergegas melintasi rerumputan. "Kami sudah
kembali!" Aku berhenti begitu mendadak sehingga si kembar menabrakku dari belakang.
Mataku memandang berkeliling.
"Mom" Dad?"
Mereka telah hilang. Chapter 3 "KITA ditinggal di sini!" Pat memekik. Dengan kalang kabut ia berlari mondarmandir. "Mom! Dad!"
"Markas kepada Pat," seru Nat. "Halo-halo," ia melambai-lambaikan tangan di
depan muka Pat, "ini bukan lapangan kita, bodoh."
"Nat benar," ujarku sambil memandang ke kiri-kanan. Tak ada jejak kaki, tak ada
lubang bekas pasak tenda. Kami berada di lapangan yang lain.
"Katanya kau tahu jalannya, Ginger," Pat menggerutu. "Apa saja sih yang
kaukerjakan di perkemahan musim panas?"
Perkemahan musim panas! Tahun lalu aku dipaksa orangtuaku mengikuti
perkemahan musim panas "Penjelajah Alam Bebas" selama dua minggu. Pada hari
pertama aku langsung terkena tumbuhan beracun, sehingga seluruh tubuhku gatalgatal. Setelah itu, aku tak lagi mendengarkan apa yang dikatakan para pembimbing
perkemahan. Dan sekarang aku menyesal.
"Seharusnya kita memberi tanda pada batang-batang pohon," ujarku, "supaya kita
bisa mencari jalan untuk kembali."
"Kenapa baru ingat sekarang?" gerutu Nat sambil geleng-geleng kepala. Ia
memungut batang kayu yang panjang melengkung dan mengayun-ayunkannya di
depan mukaku. "Sini, berikan padaku," kataku ketus.
Nat menyerahkan batang kayu itu. Getah berwarna kuning mengenai telapak
tanganku. Baunya masam. "Ihhh!" seruku. Langsung saja kubuang batang itu. Aku menggosok-gosokkan tangan
ke celana jeans-ku. Tapi noda kuning di telapak tanganku tidak mau hilang.
Aneh, aku berkata dalam hati. Cairan apa itu" "Ayo, kita ikuti sungai saja," aku
mengusulkan. "Mom dan Dad pasti tidak jauh dari sini."
Aku berusaha agar nada suaraku tetap tenang. Tapi sesungguhnya hatiku kebatkebit. Aku sama sekali tidak tahu di mana kami berada.
Kami meninggalkan lapangan terbuka dan kembali ke tepi sungai. Matahari sudah
mulai condong ke barat, tapi sinarnya tetap menyengat tengkukku.
Pat dan Nat melempar kerikil-kerikil ke sungai. Setelah beberapa menit, mereka
mulai saling timpuk. Aku tidak memedulikan mereka. Masih untung bukan aku yang ditimpuk.
Kami terus berjalan. Udara semakin sejuk. Jalan setapak yang kami ikuti
bertambah sempit. Air di sungai berubah menjadi gelap dan berlumpur. Ikan-ikan berwarna biru
keperakan tampak melompat-lompat. Ranting-ranting pohon meliuk-liuk, seakanakan hendak menjangkau kami.
Aku mulai kuatir. Pat dan Nat pun terdiam. Mereka tak lagi saling mengganggu
dan mengejek. "Rasanya tidak ada semak-semak seperti ini di dekat tenda kita," kata Pat dengan
gelisah. Ia menunjuk semak-semak berdaun biru berbentuk payung terbuka. "Kau
yakin ini jalan kembali ke tenda?"
Terus terang, aku tidak yakin. Aku juga tidak pernah melihat tumbuhan aneh itu.
Kemudian kami mendengar suara di balik semak-semak.
"Mungkin itu Mom dan Dad!" seru Pat.
Tanpa pikir panjang kami menerobos semak-semak. Dan tiba di lapangan sunyi
lainnya. Aku memandang berkeliling. Lapangan rumput ini luas sekali. Cukup luas untuk


Goosebumps - 43 Monster Dari Timur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menampung seratus tenda. Jantungku berdegup kencang.
Kami berdiri di tengah rumput setinggi mata kaki berwarna cokelat karat. Di
sebelah kanan kami ada sejumlah tumbuhan mirip kol berwarna ungu.
"Wow, keren!" seru Nat. "Semuanya serba besar."
Aku sama sekali tidak menyukai tempat ini. Semuanya serba aneh, sehingga aku
malah merinding. Pohon-pohon aneh tumbuh di sekeliling kami. Dahan-dahannya tumbuh tegak
lurus dari batang pohon. Sepintas lalu mirip tangga yang terus naik. Sampai ke
awan. Belum pernah aku melihat pohon-pohon setinggi ini. Begitu mengundang untuk
dipanjat. Dahan-dahannya ditumbuhi lumut berwarna merah. Labu-labu kuning tergantung
dari tumbuhan rambat yang terpilin-pilin.
Di mana kami" Sepertinya kami berada di rimba ajaib - bukan di hutan yang
kukenal! Kenapa semua pohon dan tumbuhan begitu aneh"
Perasaanku mulai tidak enak.
Di mana lapangan kami" Di mana orangtua kami"
Nat bergegas menghampiri salah satu pohon. "Aku mau memanjat," ia
mengumumkan. "Jangan," aku berusaha mencegahnya. Cepat-cepat aku mengejar dan menarik
tangannya dari dahan pohon.
Telapak tanganku menyentuh lumut di dahan, dan langsung kulitku menjadi
merah. Jadi kini ada bercak kuning dan merah di telapak tanganku.
Apa-apaan sih ini" aku bertanya dalam hati.
Sebelum aku sempat memperlihatkan tanganku pada kedua adikku, pohon itu
mulai bergoyang. "Hei! Awas!" seruku.
Seekor binatang kecil berbulu lebat melompat dari celah dahan, dan mendarat
tepat di depan kakiku. Belum pernah aku melihat binatang seperti itu. Badannya kira-kira sebesar tupai.
Bulunya cokelat,kecuali di sekitar sebelah matanya yang dikelilingi bulu putih.
Ekornya tebal dan telinganya panjang bagaikan kelinci. Dua gigi depannya besar,
seperti gigi berang-berang. Hidungnya yang pesek tampak berkedut-kedut.
Binatang itu menatapku dengan mata kelabunya yang terbelalak lebar karena ngeri.
Aku memperhatikan ketika hewan itu kabur tunggang-langgang.
"Apa itu?" tanya Pat.
Aku angkat bahu. Dalam hati aku bertanya-tanya, makhluk aneh apa lagi yang
hidup di hutan ini. "Aku agak ngeri," Pat mengakui sambil merapat padaku.
Sebenarnya aku juga ngeri. Tapi aku sadar akulah, yang tertua. Jadi kubilang
saja bahwa ia tidak perlu kuatir.
Kemudian aku menunduk. "Nat! Pat!" seruku. "Lihat, nih!"
Sepatuku yang berlepotan lumpur menapak di jejak kaki yang tiga kali lebih besar
dari kakiku. Ya ampun - bahkan lebih besar lagi.
Binatang apa yang meninggalkan jejak kaki sebesar itu"
Beruang" Gorila raksasa" Aku tidak sempat memikirkannya.
Karena tiba-tiba saja tanah mulai bergetar.
"Kalian juga merasakannya?" aku bertanya pada si kembar.
"Itu Dad!" seru Pat.
Bukan, itu pasti bukan ayahku. Dad memang besar, tapi ia tidak mungkin membuat
tanah bergetar seperti itu!
Aku mendengar suara menggeram di kejauhan. Disusul suara meraung membelah
keheningan. Aku mendengar bunyi ranting dan dahan patah.
Kami bertiga menahan napas ketika seekor makhluk besar muncul dari balik
pepohonan. Makhluk itu besar sekali. Saking tingginya, kepalanya menyentuh
dahan-dahan pohon. Kepalanya yang sempit dan mengecil di atas bertengger di leher yang panjang.
Matanya berkilau-kilau bagaikan kelereng berwarna hijau. Seluruh tubuhnya
tertutup bulu panjang berwarna biru. Ekornya yang panjang dan berbulu lebat
berdebam-debam di tanah. Seumur hidup belum pernah aku melihat makhluk aneh seperti itu. Binatang itu
memasuki lapangan rumput dari sisi seberang.
Aku menahan napas ketika ia mendekat. Moncongnya yang panjang tampak jelas.
Lubang hidungnya mengembang dan mengempis seiring tarikan napasnya.
Kedua adikku bersembunyi di belakangku. Kami berdesak-desakan.
Makhluk itu membuka moncongnya. Aku melihat dua baris gigi tajam berwarna
kuning yang tumbuh di gusi berwarna ungu. Satu gigi taring yang panjang
menjorok melewati dagu makhluk itu.
Aku langsung berlutut di tanah dan menarik kedua adikku ke bawah.
Makhluk itu berputar-putar sambil mengendus-endus. Telinganya yang runcing
bergerak-gerak. Mungkinkah makhluk itu telah mencium keberadaan kami"
Mungkinkah makhluk itu sedang mencari Nat, Pat, dan aku"
Aku tidak bisa berpikir. Aku tidak bisa bergerak.
Makhluk itu menoleh. Dan memandang ke arahku.
Ia telah melihatku. Chapter 4 AKU tetap mengamati makhluk itu sementara tanganku menarik T-shirt kedua
adikku. Cepat-cepat kuseret Pat dan Nat ke balik tumbuhan kol raksasa.
Makhluk itu berhenti di seberang lapangan, mengendus-endus sambil berjalan
mondar-mandir. Tanah bergetar setiap kali ia menapakkan kakinya yang berbulu
lebat. Pat dan Nat gemetaran karena ngeri.
Makhluk itu berpaling. Uih! pikirku. Hampir saja! Ternyata ia tidak melihat kami. Aku menggigit bibir
dan merangkul Pat dan Nat.
"Argggh," makhluk itu menggeram. Ia membungkuk dan menempelkan moncong ke tanah,
lalu merangkak maju sambil terus mengendus-endus.
Aku tidak memberitahu Pat dan Nat apa yang kupikirkan.
Makhluk itu memang belum melihat kami - tapi ia pasti akan mencium bau kami.
Ekornya yang panjang mengibas ke kiri-kanan dan membentur pepohonan. Buahbuah labu berjatuhan. Makhluk itu merangkak ke tengah lapangan. Semakin dekat ke tempat
persembunyian kami. Aku mengepalkan tangan karena tegang.
Berbaliklah, aku berdoa dalam hati.
Kembalilah ke hutan. Makhluk berbulu biru itu berhenti sesaat, tapi lalu mengendus-endus lagi. Dan
merangkak ke arah kami. Aku menelan ludah. Mulutku mendadak kering kerontang.
Ekor makhluk itu membentur tumbuhan kol di dekat kami.
Daun-daun bergetar. "Merunduk!" aku berbisik sambil mendorong kedua adikku.
Makhluk itu berhenti tak sampai dua meter dari tempat persembunyian kami.
Ekornya menyerempet lenganku. Bulunya terasa kasar di kulitku.
Aku langsung menarik tanganku.
Mungkinkah ia sempat merasakan kehadiranku"
Mungkinkah aku tak lebih dari seekor binatang kecil baginya"
Binatang kecil yang bisa diangkat dan diremas-remasnya, seperti kalau kedua
adikku bermain-main dengan anjing kami"
Makhluk itu berdiri dengan kedua kakinya. Ia kembali mengendus-endus.
Kepalanya berada jauh di atas tumbuhan kol.
Tingginya paling tidak dua setengah meter!
Ia menggaruk-garuk bulunya dengan jempolnya yang bercakar panjang - dan
segala sesuatu yang ditemukannya langsung dilahapnya ke dalam mulut.
Makhluk itu tampak menyeringai. Ia memandang ke segala arah.
Jangan menengok ke bawah, aku berdoa dalam hati. Jangan menengok ke bawah.
Seluruh tubuhku menegang.
Makhluk itu menggeram, lalu menjilat-jilat gigi taringnya. Kemudian ia menuju ke
arah pepohonan. Aku menarik napas lega. "Sebaiknya kita tunggu sebentar," kataku kepada si kembar.
Aku menghitung sampai seratus sebelum keluar dari tempat persembunyian.
Makhluk itu tidak kelihatan.
Tapi tiba-tiba tanah kembali bergetar.
"Aduh!" aku memekik tertahan. "Dia datang lagi!"
Chapter 5 KEPALA makhluk raksasa itu muncul di antara pepohonan.
Bagaimana mungkin ia bisa kembali begitu cepat" Dan dari arah berlawanan pula"
Cepat-cepat kami kembali bersembunyi di balik tumbuhan kol.
"Kita harus pergi dari sini," bisikku. "Cepat atau lambat dia pasti akan
menemukan kita," "Tapi, bagaimana caranya?" tanya Nat.
Aku memungut sebuah labu yang tergeletak di tanah. "Labu ini akan kulempar.
Makhluk itu pasti akan menoleh. Dan kita langsung kabur - ke arah berlawanan."
"Tapi, bagaimana kalau dia melihat kita" Bagaimana kalau kita dikejar-kejar?"
Nat kembali bertanya. Sepertinya ia kurang setuju dengan rencanaku.
Nat dan Pat bertukar pandang dengan gugup.
"Yeah. Bagaimana kalau larinya lebih cepat dari kita?" Pat menimpali.
"Tenang saja, dia pasti tidak bisa lari cepat," ujarku.
Sebenarnya aku asal bunyi saja. Tapi si kembar kan tidak tahu itu. Aku mengintip
dari balik tumbuhan kol. Makhluk itu ternyata sudah lebih dekat lagi
dibandingkan sebelumnya. Ia mengendus-endus, dan moncongnya yang berwarna pink
meliuk-liuk bagaikan ular.
Aku menatap labu di tanganku, kemudian mengambil ancang-ancang untuk
melempar. "Tunggu!" bisik Pat. "Lihat, tuh!"
Aku berdiri seperti patung. Ternyata ada satu makhluk lagi yang muncul di
lapangan. Dan satu lagi. Dan satu lagi. Aku menelan ludah. Semakin banyak makhluk berbulu biru muncul dari balik
pepohonan. Kami tidak mungkin kabur.
Makhluk-makhluk raksasa itu berjalan mondar-mandir. Mereka menggeram-geram
dan menggerung-gerung. Salah satu dari mereka akhirnya berhenti dan mulai berceloteh dengan suara
berat. Lipatan-lipatan kulit tanpa bulu di bawah dagunya tampak bergoyang-goyang.
"Ya ampun, banyak sekali!" Nat bergumam. "Paling tidak ada dua lusin."
Seekor makhluk mungil memasuki lapangan. Bulunya juga berwarna biru, tapi
lebih terang dibandingkan makhluk-makhluk yang lain.Tingginya cuma semeter.
Mungkinkah ia masih anak-anak"
Makhluk mungil itu merapatkan moncongnya yang pendek dan berwarna pink ke
tanah, dan mulai mengendus-endus. Tanah dan daun-daun kering menempel di
hidungnya. "Sepertinya dia lapar," bisik Pat.
"Ssst!" aku langsung mendesis.
Makhluk mungil itu kembali berdiri tegak. Ia memandang ke arah kami.
Sepertinya ia memang lapar. Tapi apa makanannya"
Aku menahan napas. Sekonyong-konyong makhluk mungil itu memungut sepotong labu dari tanah.
Labu itu langsung dimasukkannya ke dalam mulut dan dikunyah-kunyah. Air labu
berwarna kuning mengalir dari bibirnya dan menetes-netes ke bulunya yang biru.
Ia makan buah! aku bersorak dalam hati. Itu pertanda baik.
Barangkali makhluk-makhluk itu memang pemakan tumbuh-tumbuhan, pikirku.
Barangkali mereka tidak makan daging.
Aku tahu sebagian besar binatang liar hanya makan satu jenis makanan. Daging,
atau buah-buahan dan sayur-sayuran.
Kecuali beruang, aku tiba-tiba ingat. Beruang makan kedua-duanya.
Seekor makhluk besar menghampiri si kecil. Makhluk mungil itu langsung
diangkat dan dimarahi, lalu diseret kembali ke dalam hutan.
Makhluk dengan lipatan-lipatan kulit tanpa bulu melangkah ke tengah-tengah
lapangan. "Grrugh!" ia menggeram kepada yang lain sambil menggerakkan tangannya yang
berbulu lebat. Makhluk itu melambai-lambai dan berceloteh.
Makhluk-makhluk lainnya mengangguk-angguk dan saling menggerung.
Kelihatannya mereka bisa saling memahami. Sepertinya gerungan-gerungan itu
memang bahasa mereka. Makhluk besar tadi menggerung sekali lagi. Makhluk-makhluk lainnya kembali ke
hutan. Mereka menyebar, dan tanpa bersuara semuanya menyelinap di antara
pohon-pohon. Tanah terasa bergetar karena langkah mereka. Ranting-ranting dan daun-daun
berderak-derak. Dalam beberapa detik saja mereka telah lenyap. Lapangan rumput kembali
lengang. Aku menarik napas lega. "Sedang apa sih mereka tadi?" tanya Pat.
Nat menyeka keringat yang membasahi keningnya. "Sepertinya mereka mencari
sesuatu," ia menyahut. "Kelihatannya mereka lagi berburu."
Aku menelan ludah. Aku tahu apa yang mereka buru.
Mereka sedang memburu kami.
Dan sekarang ada begitu banyak makhluk. Dan mereka telah menyebar ke segala
arah. Kami tidak mungkin lolos, aku menyadari. Mereka akan menangkap kami.
Dan entah apa yang akan terjadi sesudah itu
Chapter 6 AKU bangkit perlahan-lahan, memandang ke sekeliling, mencari tanda-tanda
gerombolan makhluk berbulu itu.
Suara mereka terdengar sayup-sayup di kejauhan. Tanah pun tak lagi bergetar.
Angin dingin berembus melintasi lapangan, membuat labu-labu di pohon saling
membentur. Suara angin bertiup di antara dahan-dahan membuat bulu kudukku
berdiri. Aku merinding. "Ayo, kita pergi. Sekarang!" seru Nat.
"Tunggu!" kataku. Aku segera meraih lengan Nat untuk mencegahnya. "Makhlukmakhluk itu terlalu dekat. Mereka akan mendengar atau malah melihat kita."
"Yeah, tapi aku tidak mau terus menunggu di sini. Aku akan lari sekencang
mungkin. Pokoknya, aku harus pergi!"
"Aku ikut." Pat langsung berdiri. "Tapi kita harus jalan ke arah mana?"
"Kita tidak bisa pergi ke mana-mana," ujarku. "Soalnya kita tersesat. Kita tidak
tahu arah mana yang benar. Jadi, kita harus tetap di sini. Kita harus tunggu
sampai Mom dan Dad datang. Mereka pasti akan datang."
"Tapi, bagaimana kalau mereka tidak datang" Bagaimana kalau mereka sendiri juga
mengalami masalah?" tanya Nat.
"Dad tahu cara mempertahankan diri di hutan," aku menyahut dengan yakin.
"Sedangkan kita tidak."
Setidaknya akulah yang tidak tahu. Seharusnya aku lebih memperhatikan
penjelasan para pembina di perkemahan musim panas.
"Aku tahu," Pat berkeras. "Aku bisa mengurus diri sendiri. Ya kan, Nat" Ayo,
kita jalan saja!" Yang benar saja. Pat kan sama sekali tidak berminat pada alam bebas.
Tapi ia memang keras kepala. Kalau ia sudah punya mau, tidak ada yang bisa
mengubah pikirannya. Dan Nat selalu sependapat dengannya. Dasar anak kembar!
"Ginger - kau ikut atau tidak?" Pat bertanya dengan tidak sabar.
"Kalian jangan nekat," sahutku. "Kita harus tunggu di sini. Begitulah
aturannya." Mom dan Dad selalu bilang kalau kami sampai tersesat, kami harus tetap di tempat
kami berada. "Tapi Mom dan Dad cuma berdua - dan kita bertiga," Pat membantah. "Jadi,
seharusnya kita yang mencari mereka."
"Tapi bukan mereka yang tersesat!" aku berseru.
"Pokoknya kita harus pergi dari sini," Pat berkeras. "Kita harus menjauhi
makhluk-makhluk jelek itu!"
"Oke," ujarku. "Kita akan pergi. Tapi jangan berpencar-pencar."
Aku tetap berpendapat mereka keliru. Tapi aku tidak bisa membiarkan mereka
pergi tanpa aku. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengan mereka"


Goosebumps - 43 Monster Dari Timur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lagi pula, aku tidak mau ditinggal sendirian di hutan yang seram ini.
Ketika aku membalik untuk mengikuti kedua adikku, aku melihat sesuatu bergerak
di tengah rerumputan yang tinggi.
"I-itu mereka!" Nat tergagap-gagap. "Mereka kembali lagi!"
Aku menoleh dengan mata terbelalak.
"Lari!" Pat memekik. Serta-merta ia berlari melintasi lapangan.
Seekor tupai muncul dari balik rumput.
"Pat, tunggu!" seru Nat.
"Cuma tupai, kok!" aku menimpali.
Ia tidak menghiraukan kami.
Nat dan aku berusaha mengejar Pat.
"Pat! Hei - Pat!"
Aku tidak melihat akar besar yang melintang di jalan setapak. Kakiku tersandung,
dan aku langsung terpelanting dengan keras.
Sejenak aku tergeletak di tanah.
Nat berlutut di sampingku. Ia meraih lenganku dan membantuku berdiri.
Aku memandang ke depan. Pat sudah menghilang di hutan. Ia tidak kelihatan lagi.
"Kita harus mengejarnya," kataku terengah-engah kepada Nat.
Aku menegakkan badan dan menepis kotoran yang menempel di lututku.
Kemudian bumi mulai bergetar lagi.
"Aduh!" Nat memekik tertahan.
Makhluk-makhluk itu telah kembali. Cepat-cepat aku berbalik. Makhluk-makhluk
besar berbulu biru menerobos di antara pohon-pohon. Aku menghitung ada empat
ekor di belakang kami. Tiga di sebelah kiri. Dan lima di sebelah kanan.
Aku berhenti menghitung. Mereka terlalu banyak. Makhluk yang paling besar menggerung dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
Ia menunjuk kami. Rekan-rekannya ikut menggerung dan menggeram.
"Kita terperangkap!" seruku.
"Ginger..." Nat merintih. Matanya terbelalak lebar karena ngeri.
Aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat-erat.
Makhluk-makhluk itu semakin dekat. Mereka mengepung kami.
Tak ada jalan untuk lari.
"Kita terperangkap!" bisikku sekali lagi.
Makhluk-makhluk itu mulai menggeram-geram.
Chapter 7 DI tengah geraman makhluk-makhluk itu, aku kembali mendengar suara angin
yang menyeramkan bertiup di antara pepohonan.
Nat merapatkan badannya padaku. "K-kita terperangkap," ia berbisik. "A-apakah
mereka juga sudah menangkap Pat?"
Aku tidak bisa menjawab. Aku tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Aku merasa begitu kecil dan tak berdaya. Keringat mengalir deras dari keningku
dan masuk ke mataku. Aku ingin menyeka keringatku, tapi aku tidak sanggup
mengangkat tangan untuk melakukannya. Aku terlalu ngeri untuk bergerak.
Makhluk dengan dagu berlipat-lipat melangkah maju. Makhluk itu berhenti persis
di hadapanku. Jaraknya paling-paling sejengkal.
Perlahan-lahan aku memandang ke atas. Aku menatap perutnya yang tertutup bulu.
Aku menatap dadanya yang lebar. Aku melihat serangga-serangga hitam mengilap
merayap di tengah bulu-bulunya.
Aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Matanya yang hijau membalas
tatapanku. Makhluk itu membuka mulut.
Tanpa dapat berbuat apa-apa aku menatap gigi taringnya yang panjang.
Gigi seperti itu tidak diperlukan untuk makan buah! kataku dalam hati.
Makhluk itu menegakkan badannya. Sebelah tangan diangkatnya tinggi-tinggi.
Siap menyambar. Nat semakin rapat padaku. Aku hampir bisa merasakan degup jantungnya. Tapi
mungkin juga jantungku sendiri yang berdegup kencang.
Makhluk itu menggeram dan mengayunkan tangan.
Aku memejamkan mata. Aku merasakan pundakku ditepuk dengan keras. Saking kerasnya, aku sampai
terhuyung-huyung. "Sekarang giliranmu!" makhluk itu berseru lantang.
Chapter 8 HAH" Aku langsung terbengong-bengong.
"Sekarang giliranmu," makhluk itu berkata sekali lagi.
"D-dia bisa bicara!" ujar Nat terbata-bata. "Dengan bahasa kita."
Makhluk itu menatap Nat sambil merengut. "Aku bisa bicara dengan banyak
bahasa," ia menggeram. "Kami mengerti semua bahasa yang ada."
"Oh," ujar Nat pelan. Ia dan aku berpandangan.
Makhluk itu kembali menggerung, lalu membungkuk sedikit.
"Kaudengar apa yang kukatakan tadi?" geramnya. "Sekarang giliranmu!"
Matanya yang bagaikan kelereng menatapku tanpa berkedip. Ia mengetukngetukkan kaki dengan tidak sabar.
"Apa maksudmu?" aku bertanya padanya.
Makhluk itu mendengus. "Kau yang jadi Monster dari Timur," sahutnya.
"Apa maksudmu" Aku bukan monster. Aku anak perempuan!" aku memprotes.
"Namaku Ginger Wald."
"Aku Fleg," jawab makhluk itu sambil menepuk dada. Ia menunjuk makhluk yang
berdiri di sampingnya, yang hanya punya satu mata. "Ini Spork," Fleg
memperkenalkan. Fleg menepuk punggung makhluk itu.
Spork menggeram pada Nat dan aku. Aku menatap lubang matanya yang gelap dan
kosong. Dan kemudian aku melihat bekas luka memanjang di sisi hidung Spork.
Satu mata hilang dan satu bekas luka. Makhluk besar itu pasti pernah terlibat
perkelahian seru. Mudah-mudahan bukan perkelahian dengan manusia, kataku dalam hati. Sebab
kalau Spork pemenangnya, seperti apa tampang pihak yang kalah"
Nat menatap Spork dengan tercengang.
"Ehm, ini adikku Nat," ujarku cepat-cepat.
Spork cuma menggerung. "Kalian melihat orangtua kami?" aku bertanya pada Fleg. "Begini, kami sebenarnya
sedang berkemah di sini, tapi tersesat di hutan. Kami ingin kembali ke tenda dan
pulang ke rumah. Jadi, sebaiknya kami segera pergi..."
"Mana yang lainnya?" Fleg langsung memandang berkeliling. "Mana mereka?"
"Justru itu masalahnya," jawab Nat. "Kami tidak tahu mereka ada di mana."
Fleg menggerung. "Kalau begitu, mereka tidak bisa ikut main."
"Yeah. Itu sudah peraturan," Spork membenarkan. Ia menggaruk-garuk seranggaserangga yang berkeliaran di bulunya.
"Ayo, jalan," Fleg memerintahkan. "Hari sudah sore. Dan sekarang giliranmu."
Aku menatap Nat. Ini terlalu aneh. Apa maksud Fleg - mereka tidak bisa ikut
main" Dan kenapa ia terus bilang bahwa sekarang giliranku" Apakah mereka mau
main tangkap-tangkapan"
Makhluk-makhluk yang mengelilingi kami mulai mengentak-entakkan kaki,
sehingga seluruh hutan bergetar.
"Main... main..." mereka bersenandung.
"Main apa?" tanyaku. "Memangnya ini semacam permainan?"
Spork membelalakkan mata dan menyeringai. "Ini permainan paling seru di dunia,"
katanya. "Tapi kalian terlalu lamban untuk bisa menang."
Spork menggosok-gosok tangan. Ia menjilat-jilat giginya.
"Sebaiknya kalian mulai lari." Ia mendengus.
"Ya, cepat lari," Fleg membenarkan. "Sebelum aku berhitung sampai trel."
"Tunggu dulu," aku menyela. "Bagaimana kalau kami tidak mau ikut main?"
"Yeah - kenapa kami harus ikut permainan kalian?" Nat mendukungku.
"Kalian harus main," balas Fleg. "Coba baca tanda di sebelah sana."
Ia menunjuk sepotong kardus yang ditempelkan ke salah satu pohon labu. Kardus
itu bertulisan: MUSIM PERMAINAN.
Fleg menatapku. Ia memicingkan mata. Hidungnya yang basah tampak
mengembang. Ia tersenyum. Bukan senyum bersahabat.
"Musim permainan?" Nat membaca tulisan itu dengan suara gemetar.
"Tapi, kami kan harus tahu peraturannya dulu," ujarku. "Habis, bagaimana kami
bisa ikut main kalau kami tidak tahu caranya?"
Spork menggeram dan maju menghampiriku. Uh, baunya apak sekali!
Fleg langsung menahan Spork.
"Permainan ini bagus sekali," Fleg memberitahu kami. "Benar-benar seru."
"Ehm... apanya yang seru?" tanyaku.
Ia kembali memicingkan mata. "Ini permainan mempertahankan diri!" ia menyahut
sambil meringis. Chapter 9 MEMPERTAHANKAN DIRI"
Hei, nanti dulu! Kalau begitu aku tidak mau ikut main!
"Kalian punya waktu sampai matahari terbenam di balik Gulla Willow," kata Fleg.
"Apa itu Gulla Willow?" tanya Nat.
"Dan di mana itu?" aku menambahkan.
"Di tepi hutan," sahut Fleg sambil menunjuk ke arah pepohonan.
"Di tepi hutan sebelah mana" Bagaimana kami bisa tahu pohon mana yang kalian
maksud?" tanyaku. Fleg tersenyum pada Spork. Keduanya mengeluarkan suara seperti terbatuk-batuk.
Aku tahu mereka sedang menertawakan kami. Teman-teman mereka juga mulai
tertawa. Suaranya sangat mengerikan.
"Kami tidak bisa ikut main kalau kalian tidak memberitahukan caranya," aku
berseru. Seketika mereka berhenti tertawa. "Mudah, kok. Kalau kalian masih jadi Monster
dari Timur pada saat matahari terbenam, berarti kalian kalah."
Yang lainnya menggerung-gerung sebagai tanda setuju.
"Dan apa yang terjadi dengan pihak yang kalah?" aku bertanya dengan suara
gemetar. "Kami akan menggigiti mereka," sahut Fleg.
"Apa?" tanyaku. "Digigiti?"
"Ya. Sampai waktu makan malam. Setelah itu mereka akan kami makan."
Chapter 10 MAKHLUK-MAKHLUK di sekeliling kami langsung terbahak-bahak. Suara tawa
mereka membuat bulu kudukku berdiri.
"Tidak lucu!" seru Nat.
Fleg menatap kami sambil memicingkan mata. "Ini permainan kesukaan kami"
"Hah, aku tidak suka permainan kalian!" balas Nat.
"Kami tidak mau ikut main. Kami tidak berminat," aku menambahkan.
Mata Spork tampak berbinar-binar. "Maksudnya, kalian tidak mau berjuang"
Kalian mau menyerah saja?" Ia berdecap-decap.
"TIDAK!" teriakku. Nat dan aku langsung mundur. "Kami akan main. Tapi sesuai
peraturan. Kalian harus memberitahukan peraturannya. Semuanya."
Awan melayang di langit. Bayangannya melintasi lapangan.
Aku merinding. Apakah mereka akan menyerang karena kami tidak mau ikut bermain"
"Terlindung Bayangan!" Spork tiba-tiba berseru.
"Terlindung Bayangan!" Fleg mengulangi.
Hah" "Ada apa ini?" tanyaku.
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan," sahut Fleg. Ia melambaikan tangan pada
rekan-rekannya. "Ayo, jalan," ia mendesak. "Time-out ini sudah terlalu lama."
"Ini tidak adil!" Nat memprotes. "Ayo, dong. Kami perlu tahu peraturannya."
"Oke," Fleg berkata sambil berpaling. "Gling - kalian harus selalu menyerang dari
arah timur." "Dari timur," aku bergumam. Aku memandang berkeliling sambil melindungi mata
dengan sebelah tangan. Timur. Utara. Selatan. Barat. Aku membayangkan peta. Timur berada di sebelah
kanan. Barat di sebelah kiri. Tapi di alam bebas seperti ini, aku sama sekali
tidak tahu di sebelah mana arah timur.
Aduh, kenapa aku tidak memperhatikan penjelasan para pembina di perkemahan
musim panas" "Proo - kotak-kotak berwarna cokelat adalah kotak Makan Siang Gratis," Fleg
melanjutkan. "Maksudnya, tempat untuk beristirahat" Tempat yang aman, begitu?" tanyaku. Aku
suka peraturan itu. Barangkali kami bisa mencari kotak berwarna cokelat, lalu
menunggu di situ sampai matahari terbenam.
Fleg mendengus. "Bukan. Makan Siang Gratis. Artinya, siapa saja boleh makan kalian!" Ia
memandangku sambil melotot. "Peraturan Zee," ia menyambung. "Tinggi badan
minimum supaya boleh ikut bermain adalah satu meter."
Aku menatap makhluk-makhluk itu. Tinggi badan mereka paling tidak tiga meter!
"Hmm, terima kasih atas penjelasannya," ujarku sambil menggelengkan kepala.
"Tapi, kami benar-benar tidak bisa ikut main. Kami harus mencari orangtua kami
dan..." "Kalian harus main," Fleg menggeram. "Sekarang giliranmu untuk jaga. Kau adalah
Monster dari Timur. Kalian harus main - atau menyerah."
"Sebentar lagi matahari akan terbenam," Spork menimpali sambil menjilat-jilat
gigi taringnya. "Kalian punya waktu sampai matahari terbenam di balik pohon Gulla Willow,"
ujar Fleg. "Setelah itu Monster dari Timur kalah."
Spork memperdengarkan tawanya yang lebih mirip suara batuk. "Kalian pasti lezat
sekali. Barangkali kalian akan diberi saus asam-manis. Atau mungkin bumbu yang
sedikit pedas." Teman-temannya langsung ikut tertawa. Mereka menganggap ucapan Spork lucu
sekali. Fleg berbalik ke hutan. Tapi tiba-tiba ia berhenti. "Oh," ia berkata sambil
tersenyum mengejek, "semoga beruntung."
"Ya, semoga beruntung," Spork membeo. Ia memasukkan jari ke lubang matanya yang
bolong, dan menggaruk-garuknya. Kemudian ia pun berbalik dan mengikuti
Fleg. Makhluk-makhluk lainnya menyusul mereka. Bumi bergetar di bawah kaki
mereka. Dalam sekejap saja lapangan rumput kembali sepi.
Aku menatap Nat. Ini bukan permainan! Monster-monster jahat itu menjelajahi hutan untuk
menangkap anak kecil. Dan setelah itu mereka...
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" seru Nat. "Jangan-jangan Pat sudah
dimakan mereka. Barangkali ia kepergok di kotak Makan Siang Gratis."
"Dan Mom dan Dad juga," aku bergumam.
Nat memekik tertahan. "Pasti ada tempat untuk berlindung!" kataku padanya. "Tempat aman, seperti teras
di rumah kalau kita main tangkap-tangkapan."
Nat menelan ludah. "Tapi, di mana tempat yang aman di sini?"
Aku angkat bahu. "Entahlah," ujarku pelan-pelan.
"Kita bisa minta time-out," kata Nat. "Di setiap permainan pasti ada kesempatan
untuk time-out. Ya, kan?"
"Tapi ini lain. Di sini nyawa kita yang jadi taruhan," sahutku.
Embusan angin membuat daun-daun di atas kami berdesir. Buah-buah labu pun
bergoyang-goyang. Sayup-sayup terdengar bunyi menggeram. Disusul suara salah satu makhluk
tertawa terbatuk-batuk. Dahan-dahan berderak. Semak belukar berayun-ayun.
Suara menggerung pun terdengar semakin dekat.
"Sebaiknya kita mulai bermain," Nat mendesak. "Sepertinya mereka sudah
kelaparan." Chapter 11 " APA gunanya kita bermain?" seruku. "Toh, kita tidak mungkin menang. Mereka
terlalu banyak. Dan kita bahkan tidak tahu di mana pohon Gulla Willow itu."
"Memangnya kenapa?" balas Nat. "Kita tidak punya pilihan lain - ya, kan?"
Daun-daun di atas kepala kami kembali berdesir. Dahan-dahan bergoyang-goyang
dengan keras. Gubrak. Aku memekik kaget dan melompat mundur. Suatu benda kecil berwarna cokelat
jatuh persis di depan kakiku.
Rupanya salah satu binatang kecil berwarna cokelat yang sempat kami lihat tadi.
Binatang itu merapatkan badannya ke kakiku, lalu berdeguk-deguk seperti bayi.
"Untung saja si kecil ini tidak sebengis teman-temannya yang besar," ujar Nat.
Ia membungkuk untuk membelai makhluk mungil itu.
Binatang itu langsung menyambar tangan Nat, dan menggigitnya dengan empat
deret gigi kecil yang tajam.
"Hei!" Nat segera menarik tangannya dan melompat mundur.
Binatang itu kabur ke semak-semak.
Nat menelan ludah. "Aneh," ia bergumam. "Hutan macam apa ini" Kenapa tidak ada


Goosebumps - 43 Monster Dari Timur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

binatang normal di sini?"
"Ssst!" aku menempelkan telunjuk ke bibir dan mengerutkan kening. "Coba dengar."
"Aku tidak dengar apa-apa," sahut Nat.
"Justru itu," kataku.
Suara-suara menggerung dan menggeram tadi tak terdengar lagi. Seluruh hutan
tiba-tiba sunyi. Betul-betul sunyi.
"Ini kesempatan kita!" seruku. "Ayo, kita pergi dari sini." Aku meraih
tangannya. "Tunggu!" kata Nat. "Ke arah mana?"
Aku memandang ke sekeliling lapangan. "Kembali ke sungai," jawabku. "Kita harus
menyusuri sungai dan mencoba kembali ke tempat Mom dan Dad.
Barangkali kita bisa mendengar suara mereka dari tepi sungai."
"Oke," ujar adikku.
Kami berlari melintasi lapangan. Kami memasuki hutan dan menerobos di antara
pepohonan yang tumbuh lebat.
Aku memandang ke depan. "Lewat sini!" aku berseru sambil menunjuk ke kiri.
"Kenapa?" tanya Nat.
"Pokoknya ikut saja, deh," sahutku tidak sabar.
"Aku melihat cahaya di depan. Berarti kita sudah dekat dengan tepi hutan. Aku
ingat bahwa lebih sedikit pohon di tepi sungai."
Aku bergegas maju. Nat mengikutiku. Sejenak kami berlari tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Semakin lama, pohon-pohon semakin jarang. Tak lama
kemudian kami telah berada di tengah semak belukar.
"Sebelah sana!" Aku berhenti mendadak. Nat nyaris menabrakku. "Di depan."'
"Itu sungainya!" seru Nat. Saking gembiranya, ia langsung mengajakku ber-highfive. Kami kembali berlari, dan tiba berbarengan di pinggir sungai.
"Sekarang bagaimana?" tanya Nat.
"Kita ke kiri lagi," aku mengusulkan. "Matahari ada di depan kita waktu kita
berangkat. Jadi, sekarang kita harus menuju ke arah berlawanan."
Ya! ujarku dalam hati. Kami harus menelusuri jalan yang kami tempuh tadi. Kami
tinggal menyusuri sungai untuk kembali ke lapangan yang benar. Untuk kembali
kepada orangtua kami. "Hati-hati," aku berpesan pada Nat. "Jangan bersuara. Kita harus berjaga-jaga."
Berjaga-jaga terhadap kemungkinan makhluk-makhluk itu mengikuti kami.
"Dan sekalian mencari Pat," aku menambahkan.
Aku tidak tahu apakah Pat masih berada di hutan atau tidak. Dalam hati aku
berharap ia sudah berhasil kembali ke tenda. Tapi ia bisa berada dimana saja.
Mungkin bersembunyi di suatu tempat di dekat kami, sendirian dan ketakutan.
Membayangkan rasa takut yang mencekam Pat membuatku lebih berani. Nat dan
aku harus tetap tenang, supaya kami dapat membantu Pat.
Nat dan aku maju sambil membungkuk. Kami menyusuri pinggir sungai,
menerobos semak-semak berdaun payung yang tumbuh di dekat tepi air.
Aku melihat ikan-ikan berwarna biru-keperakan berenang di permukaan sungai.
Tiba-tiba aku tersandung. Aku meraih daun payung untuk menjaga keseimbangan.
Daun itu langsung terkoyak, dan cairan biru melumuri tanganku. Aduh! Tambah
satu warna lagi. Kuning. Merah. Dan sekarang biru.
"Ginger! Coba kemari!"
Seruan Nat membuyarkan lamunanku. Cepat-cepat aku berlari menghampirinya.
Ia menunjuk ke bawah. Aku memandang dengan takut-takut.
"Jejak kaki," ujarku sambil mengerutkan kening. Kemudian aku bersorak. Sepatu
Nat menginjak jejak kaki itu. Ukurannya persis sama.
"Pat!" kami berseru berbarengan.
"Dia lewat sini!" seru Nat dengan gembira.
"Ya!" aku membenarkan. Rupanya Pat telah menemukan jalan ke sungai.
"Barangkali dia sudah sampai di tenda," Nat berkomentar penuh semangat "Kita
tinggal mengikuti jejaknya."
Kami langsung jalan lagi. Setiap kali melangkah, aku membayangkan senyum
Mom dan Dad dan Pat ketika mereka melihat kami selamat.
Jejak kaki Pat menyusuri sungai, lalu membelok ke arah hutan.
Nat dan aku mengikutinya. Kami menembus hutan, dan akhirnya sampai di jalan
setapak. Pohon-pohon di sini tumbuh rapat. Matahari tak lagi kelihatan di atas.
Udara terasa dingin dan lembap.
Aku mendengar suara menggeram.
Persis di belakang kami. Bumi terasa bergetar. "Mereka datang!" teriakku. "Lari!"
Aku mendorong Nat ke depan. Kami berlari mengikuti jalan setapak yang
membelok ke kanan, lalu kembali ke kiri. Dalam sekejap saja aku telah kehilangan
arah. Ranting-ranting pohon seakan-akan memecut wajah kami. Aku berjuang keras
untuk menyingkirkan ranting-ranting itu. Pohon-pohon di sekeliling kami berayunayun. Buah-buah labu berjatuhan di mana-mana.
Sesuatu yang hangat dan lembap melilit lenganku. Aku menyentakkan tangan
untuk membebaskan diri. Tapi seketika tanganku terlilit lagi. Tumbuhan rambat.
Tumbuhan rambat tebal berwarna kuning.
Ada yang menggelantung dari dahan-dahan. Ada pula yang tumbuh dari batangbatang pohon. Semuanya saling mengait, sehingga membentuk jaring-jaring kokoh
di antara pepohonan. Ada juga tumbuhan rambat yang melintang di jalan setapak.
Nat dan aku harus mengelak dan menghindar, melompati tumbuhan-tumbuhan
rambat yang menghalangi jalan kami.
Kami harus bekerja keras. Aku mendengar Nat terengah-engah di belakangku.
Pinggangku serasa ditusuk-tusuk. Napasku pun tersengal-sengal.
Aku benar-benar butuh istirahat. Tapi tidak ada waktu. Tanah di bawah kaki kami
bergetar keras. Di mana-mana terdengar teriakan-teriakan membahana.
Makhluk-makhluk itu sedang mengejar kami. Dan mereka semakin dekat.
"Awas!" Nat berseru.
Aku melihat jaring tumbuhan rambat melintang di jalan setapak.
Nat berhasil melompatinya. Ia berhasil lolos. Aku mengambil ancang-ancang dan
melompat. Aku melompat tinggi-tinggi.
Tapi ternyata masih kurang tinggi.
Mata kakiku terlilit tumbuhan rambat, dan aku terempas ke tanah.
Semakin banyak tumbuhan rambat melilit kakiku. Dengan panik aku berusaha
melepaskan diri. Tapi tumbuhan rambat itu mencengkeramku dengan keras.
"Nat!" aku memekik. "Tolong!"
"Aku terperangkap!" balasnya. Suaranya melengking tinggi. "Tolong aku, Ginger!"
Aku tidak bisa menolongnya. Aku sendiri tak bisa bergerak. Aku memperhatikan
kedua kakiku. Cengkeraman tumbuhan rambat itu semakin erat.
Tumbuhan rambat lain melilit pinggangku.
Aku merunduk dan memperhatikannya.
Apa itu yang berkilau-kilau"
Mata" "Mata!" aku memekik.
Tumbuhan rambat tidak punya mata!
Dan kemudian aku sadar apa yang sedang kulihat.
Tumbuhan rambat itu bukan tumbuhan rambat. Tumbuhan rambat itu ternyata...
ular! Chapter 12 AKU menjerit. "Ginger!" Nat berteriak di belakangku. "Ini bukan tumbuhan rambat. Ini - ular!"
"Aku sudah tahu!" sahutku.
Ular di pinggangku merayap ke lengan kananku. Badannya tertutup sisik-sisik
tebal yang terasa kasar di kulitku.
Aku menarik napas dalam-dalam. Lalu kuraih ular itu dengan tangan kiri.
Badannya hangat. Aku menarik keras-keras. Berusaha melepaskannya.
Tapi sia-sia. Ular itu melilit lenganku dengan kencang. Matanya yang dingin menatapku tanpa
berkedip. Lidahnya menjulur keluar-masuk mulutnya.
Aku merasakan sesuatu menyentuh kakiku. Aku memandang ke bawah.
Seekor ular lagi mulai merayap di tubuhku. Keningku dibasahi keringat dingin.
"Ginger! Tolong!" Nat meratap. "Badanku penuh ular."
"A-aku juga!" aku tergagap-gagap.
Aku menoleh ke arah adikku. Matanya terbelalak lebar karena ngeri. Ia
menggeliat-geliut dan meronta-ronta untuk membebaskan diri.
Ular yang melilit di pahaku mengangkat kepala. Dan menatapku dengan matanya
yang menusuk. Ular di lenganku mengencangkan cengkeramannya - semakin lama semakin
kencang, sampai jari-jemariku mulai mati rasa. Ular itu mendesis-desis.
Perlahan-lahan, seakan-akan ia merasa tidak perlu terburu-buru.
"Mereka akan menyerang!" teriak Nat dengan suara parau.
Aku tidak menyahut. Aku merasakan lidah yang kaku menjilat-jilat tengkukku.
Dingin. Lidah ular-ular itu dingin.
Dan kasar. Jangan gigit aku. Jangan gigit aku, aku memohon-mohon dalam hati.
Sebuah geraman memecahkan keheningan di sekeliling kami.
"Grrrougggh!" Fleg melompat keluar dari semak belukar. Ia menatap Nat dan aku dengan mulut
menganga lebar. Aku menahan napas.
Aku melihat Fleg membelalakkan mata ketika melihat ular-ular itu. "Mata Ular
Ganda!" serunya. Seluruh tubuhku gemetaran sewaktu aku menatapnya.
Mata ular ganda" Apakah itu pertanda bagus - atau buruk"
Chapter 13 "SELAMAT! Mata Ular Ganda!" seru Fleg. Ia menggeleng-gelengkan kepala, seakanakan merasa heran. "Katanya kalian belum pernah ikut permainan ini!"
Lilitan ular-ular itu bertambah kencang.
Aku memandang Fleg. "Apa maksudmu?" tanyaku dengan susah payah.
"Dua puluh poin - itu yang kumaksud." Makhluk raksasa itu menggerung-gerung.
"Aku harus berusaha lebih keras. Kalau tidak, kalian akan menang!"
"Aku tidak peduli siapa yang menang!" teriakku. "Aku tidak bisa napas! Lepaskan
ular-ular ini!" Fleg meringis lebar. "Lepaskan!" ia berseru sambil tertawa.
Lipatan-lipatan kulit di bawah dagunya berayun-ayun. "Wah, kau benar-benar
lucu." "Kami serius," ujar Nat dengan nada memohon. "Tolong bebaskan kami dari ularular ini." Fleg tampak bingung. "Kenapa?" ia bertanya. "Kalian kan bisa digigit."
"Justru itu!" seruku. "Tolonglah kami!"
Lidah ular-ular itu menyentuh pipiku. Perutku langsung serasa diaduk-aduk.
Fleg kembali meringis. "Kalau kalian sampai digigit, kalian bisa dapat Desis
Kali Tiga," ia menjelaskan. "Nilainya enam puluh poin."
Tambah angka karena digigit ular" Permainan macam apa ini"!
"Aku tidak peduli soal poin!" aku memekik. "Lepaskan ular-ular ini. Cepat!"
Fleg angkat bahu. "Oke. Kalau itu maumu."
Ia berjalan menghampiriku. Dicungkilnya ular yang melilit di lenganku. "Kalian
perlu kuku panjang untuk melakukan ini," ia berkoar.
Fleg menggaruk ular di lenganku dengan kukunya.
Seketika lilitan ular itu mengendur.
"Mereka geli kalau digelitik," Fleg menjelaskan. Ia menarik ular itu dan
melemparkannya ke tengah hutan. Kemudian ia menggelitik ular yang satu lagi
dan melepaskannya dari kakiku. Setelah itu ia berpaling pada Nat, menggelitik
ular-ular yang melilit adikku, dan membuang semuanya ke tengah semak-semak.
Begitu kami terbebas, Fleg bergegas ke tepi hutan.
Aku bangkit dengan susah payah lalu memijat-mijat lengan dan kaki. Seluruh
badanku terasa gatal. Aku tahu aku bakal bermimpi buruk tentang ular-ular itu!
Kepala Fleg menyembul dari balik sebatang pohon.
"Sebenarnya kalian bisa menepuk pundakku tadi," ia berseru, "Sayang sekali
kalian tidak memanfaatkan kesempatan itu!"
Ia membuka mulut lebar-lebar, dan tertawa terkekeh-kekeh: Lalu ia masuk ke
hutan dan menghilang dari pandangan.
Aku tercengang. "Menepuk!" seru Nat. "Sekarang aku mengerti. Permainan ini persis seperti main
tangkap-tangkapan. Peraturannya mudah, Ginger."
Ia menoleh ke arahku. "Kalau kau menepuk salah satu makhluk, ia yang akan
menjadi Monster dari Timur. Dan kau akan bebas!"
Nat langsung mulai berlari mengejar Fleg.
"Tunggu, Nat!" Aku cepat-cepat menyusulnya. Kakiku menginjak sesuatu yang keras.
Aku mendengar bunyi berkeresak.
Sekali. Dan sekali lagi. Aku memandang ke bawah.
"Nat! Tunggu!" aku memekik. Aku melihat batu berwarna jingga di dekat kakiku.
Aku segera memungutnya dan melemparnya ke arah Nat. "Hei - berhenti!"
Aku mengamati tanganku. Jingga. Jariku yang sempat menyentuh batu itu kini
berwarna jingga. Batu itu menghantam batang pohon. Nat berhenti. Ia berbalik. "Kenapa kau
menimpukku?" tanyanya..
"Supaya kau berhenti," sahutku.
"Dengarkan aku, Ginger," Nat berkata dengan nada memaksa. "Kau harus menepuk
salah satu makhluk-makhluk itu. Itu satu-satunya cara untuk
memenangkan permainan ini. Satu-satunya cara supaya kita bisa selamat."
"Aku tidak sependapat," aku menjawab setenang mungkin.
Nat langsung merengut. "Ada apa, sih" Ini kan persis seperti main tangkaptangkapan." "Tidak," balasku. "Ini bukan tangkap-tangkapan biasa. Ini bukan seperti
permainan yang kita kenal."
Aku menunjuk ke bawah. Nat menghampiriku. Ia memperhatikan tempat yang kutunjuk.
"Hei - apa ini?" ia bertanya.
Chapter 14 "TULANG," aku bergumam. "Tumpukan tulang binatang."
Nat dan aku sama-sama tak berkedip. Tulang-belulang itu tampak mengilap di
bawah cahaya matahari. "Ada lagi," ujarku sambil menunjuk ke tanah di bawah tumpukan tulang.
"Apa?" tanya Nat. Ia mengerutkan kening.
"Warnanya cokelat," kataku. "Rumput di bawah tulang-belulang itu berwarna
cokelat. Kau berdiri di kotak berwarna cokelat."
Makan Siang Gratis. Nat menelan ludah. "Binatang malang ini dimakan makhluk itu," ia bergumam.
Aku mendekap diriku sendiri.
"Ini bukan permainan tangkap-tangkapan biasa, Nat," aku berkata dengan serius.
Aku tidak sanggup mengalihkan pandangan dari tumpukan tulang-belulang di
hadapan kami. "Ini permainan maut."
"Hanya kalau kita kalah," Nat menyahut. "Ginger, kita baru saja ketemu Fleg. Dan
dia menolong kita." "Memang kenapa?" tanyaku.
"Kita harus memaksa dia untuk menolong kita sekali lagi."
"Bagaimana caranya?"
Nat tersenyum lebar. "Gampang. Dia akan kita tipu. Kau pura-pura butuh bantuan
dia. Kau berlagak dililit ular lagi atau semacam itu."
"Yang benar saja," aku bergumam sambil geleng-geleng kepala.
Memangnya aku berminat didekati Fleg lagi"
Nat meraih lenganku. "Ini pasti berhasil. Kau tinggal teriak minta tolong. Fleg
datang. Lalu kau berdiri dan menepuknya. Gampang, kan?" Nat menjentikkan jari.
Aku menggelengkan kepala. "Sori, tapi aku tidak setuju. Aku akan mencari sungai
dan pergi dari sini."
"Kenapa kau begitu keras kepala?" Nat berseru dengan jengkel.
"Karena aku Monster dari Timur!" aku menjerit. "Akulah yang bakal dimakan!"
"A-aku yakin kita bisa menang kalau kita berusaha," Nat tergagap-gagap.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba mengatasi rasa panik yang
mencengkeramku. "Oke," aku akhirnya berkata. "Oke. Oke. Aku akan mencoba. Apa yang harus
kulakukan?" Chapter 15 NAT menatapku dengan wajah berseri-seri. "Pertama-tama, aku akan memanjat pohon


Goosebumps - 43 Monster Dari Timur di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dulu," katanya. "Dari atas aku bisa menemukan tempat persembunyian makhlukmakhluk itu." Aku memandang pohon-pohon besar berdaun lebat di sekitar kami.
Aku merenungkan ucapan Nat. Kami cuma perlu menepuk salah satu makhlukmakhluk itu. Yang mana saja. Kedengarannya gampang.
"Oke, aku tunggu di sini," ujarku kepada Nat. "Tapi jangan lama-lama."
Nat memandang berkeliling untuk mencari pohon yang paling cocok. "Yang itu,"
ia akhirnya berkata. Pohon yang ditunjuknya tinggi sekali. Lusinan dahan kokoh tumbuh dari
batangnya. Di tengah masing-masing dahan terdapat bagian yang lebih tebal.
Semua dahan ditumbuhi daun-daun kecil keemasan. Pohon itu tampak kuat, cukup
kuat untuk menahan berat badan Nat.
"Ini sih kecil," ia meyakinkanku. "Sama mudahnya dengan menaiki tangga. Aku
pasti bisa melihat segala sesuatu dari atas sana."
Aku menunggu di kaki pohon.
Nat menginjak dahan paling bawah, lalu menarik badannya ke atas. Ia memanjat
pelan-pelan tapi pasti. "Sudah ada yang kelihatan?" aku bertanya dengan gelisah.
"Aku melihat sarang yang aneh," ia berseru ke bawah. "Penuh telur besar."
"Bagaimana dengan makhluk-makhluk itu?" aku memanggil. "Sudah kelihatan, belum?"
"Belum." Ia memanjat lebih tinggi lagi. Beberapa detik kemudian ia menghilang
dari pandangan. "Nat! Kau bisa mendengarku?" aku memanggil. Aku menempelkan tangan di sekeliling
mulut membentuk corong. "Nat! Di mana kau" Jawablah!"
Aku bergegas mengelilingi batang pohon sambil memandang ke atas. Akhirnya
aku melihat Nat di dekat pucuk pohon. Ia bergerak dengan hati-hati.
Disibakkannya satu dahan dan ditariknya badannya ke dahan tertinggi berikutnya.
Pucuk pohon itu berayun-ayun.
Aku menahan napas. Seharusnya ia tidak kuizinkan memanjat. Bagaimana kalau
aku harus menyusul naik untuk menyelamatkannya.
"Nat!" Leherku terasa sakit karena berteriak-teriak. "Hati-hati!"
Batang pohon itu terus berayun. Mula-mula pelan. Tapi semakin lama semakin
kencang. Serpihan-serpihan kulit kayu berjatuhan ke tanah. Dahan-dahan yang kokoh
tampak bergoyang-goyang. Semua dahan mulai menekuk di bagian tengah. Di
bagian yang menebal. Aku memandang tanpa berkedip. Dahan-dahan itu mengingatkanku pada sesuatu.
Sesuatu yang pernah kulihat.
Lengan, pikirku. Bagian-bagian yang tebal itu menyerupai siku. Dan dahan-dahan
itu mirip lengan-lengan besar yang berusaha meraih...
Aku mengedipkan mata. Aku pasti salah lihat. Dahan-dahan itu memang meraih.
Meraih Nat. "Nat!" aku menjerit.
Jauh di atasku, aku melihatnya berpegangan pada sebuah dahan kecil.
"Nat!" Kalang kabut aku berlari mengelilingi pohon itu sambil memukul-mukul
batangnya. "Nat! Turunlah!" aku memekik. "Pohon ini hidup!"
Chapter 16 NAT memandang ke bawah. "Ada apa?" ia berseru.
"Turunlah!" aku menjerit. "Dahan-dahan ini..."
Terlambat. Dahan-dahan di pucuk pohon mencengkeram lengan Nat. Aku mendengarnya
memekik kaget. Dahan-dahan lain menyambar-nyambar, mencambuk-cambuk
tubuhnya. "Ginger!" Nat menjerit. "Tolong!"
Dengan ngeri aku memperhatikan dua buah dahan meraih ke atas. Dahan-dahan di
atas mengoper Nat ke dahan-dahan di bawah.
Dahan-dahan itu mencengkeramnya erat-erat.
Tidak mungkin! aku berkata dalam hati. Ini tidak masuk akal!
Kaki Nat menendang-nendang. "Lepaskan aku! Lepaskan akuuu!"
Semakin banyak dahan menyambar-nyambar.
Mencengkeramnya. Mencambuk-cambuknya. Dahan-dahan itu terus mengoper Nat
ke bawah. Menurunkannya. Ke bagian tengah pohon.
Ke bagian dahan-dahan yang paling tebal. Dan paling kuat.
Nat menjerit-jerit. Kakinya menendang-nendang liar, tapi akhirnya ikut
dicengkeram oleh dahan-dahan pohon itu.
Aku tidak mungkin memanjat. Semua dahan menyambar-nyambar tak terkendali.
Dahan-dahan kecil yang tidak mungkin menjangkau Nat pun ikut-ikutan mengarah
ke atas. Ikut-ikutan berusaha mencambuknya.
Aku tak berdaya menolong adikku. Tanpa dapat berbuat apa-apa aku
memperhatikan dahan-dahan besar menarik Nat ke bagian tengah.
Dan ia menghilang dari pandangan.
"Tolong!" Teriakannya terdengar sayup-sayup. "Ginger - aku mau ditelan!"
Aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak bisa diam saja. Aku harus menariknya ke
bawah. Aku harus membebaskannya dari pohon hidup itu.
Tapi, bagaimana caranya"
Kami berhasil lolos dari sergapan ular-ular. Dan sekarang kami harus bisa lolos
dari dahan-dahan itu. Kalau saja...
Tiba-tiba aku mendapat ide. Ide itu memang tidak masuk akal, tapi siapa tahu
bisa berhasil. Kalau pohon itu hidup, barangkali ia juga punya indra perasa, pikirku.
Dan kalau pohon itu punya indra perasa, siapa tahu ia juga geli kalau digelitik sama seperti ular-ular tadi.
"Ginger! Tolong!" Jeritan Nat semakin lemah.
Aku sadar waktuku tidak banyak.
Aku menerjang pohon itu. Salah satu dahannya menjangkau ke bawah, mencoba
menangkapku. Aku melompat mundur dan berlari mengelilingi batang pohon. Aku merunduk
ketika sebuah dahan besar menyambar di atas kepalaku.
Pohon itu berusaha menghalangiku sementara ia menelan adikku. Tapi aku terus
menghindar dan mengelak. Aku mengangkat tangan. Dan mulai menggelitik kulit pohon yang kasar.
Aku menggelitiknya dengan sebelah tangan. Lalu dengan kedua tangan.
Rasanya aku melihat pohon itu menggeliat.
Tapi mungkin juga aku salah lihat.
Ayo dong, kataku dalam hati. Lepaskan adikku.
Aku terus menggelitiknya dengan kedua tangan.
"Nat!" aku memanggil. "Nat! Kau bisa mendengarku?"
Hening. "Nat" Nat?"
Tak ada jawaban. Pendekar Wanita Baju Merah 3 Raja Petir 04 Asmara Sang Pengemis Kisah Pendekar Bongkok 13

Cari Blog Ini