Goosebumps - 25 Serangan Mutan Bertopeng Bagian 2
Aku menemukan gambar-gambar tinta dan sketsa-sketsa pensil. Sebagian besar
memperlihatkan si Mutan Bertopeng dalam berbagai pose. Ada gambar di mana
dia sedang menggeser molekulnya dan berubah menjadi binatang buas atau
monster mengerikan. Kemudian kubuka sebuah map tebal dan menemukan sekitar selusin sketsa
berwarna para anggota Kelompok Pembela Kebenaran. Kemudian kutemukan
setumpuk gambar pensil dari tokoh-tokoh yang belum pernah kulihat.
Ini pasti tempat buku-buku komik itu dibuat, pikirku.
Aku begitu gembira karena menemukan gambar-gambar dan sketsa-sketsa asli
ini, sehingga aku hampir melupakan Libby.
Rupanya gedung misterius ini markas besar Collectable Comics, aku berkata
dalam hati. Perasaanku mulai lebih tenang. Segala ketakutanku menguap.
Habis, apa yang perlu ditakuti" Aku bukannya menemukan markas besar
penjahat paling berbahaya di dunia. Aku berada di basement kantor perusahaan
buku komik. Inilah tempat kerja para penulis dan juru gambar. Dan di sini pula buku komik
kegemaranku clicetak setiap bulan.
Jadi kenapa mesti takut"
Map demi map kubuka sambil menyusun lemari panjang itu. Aku juga
menemukan setumpuk lay out buku komik yang baru kubeli.
Aku senang sekali karena bisa melihat gambar-gambar yang asli. Setiap
halamannya besar sekali, paling tidak dua kali lebih besar daripada halaman buku
komik. Tampaknya para juru gambar sengaja membuat gambar yang lebih
besar dari halaman buku komik. Pada waktu dicetak gambar-gambar itu lalu
diperkecil. Aku menemukan beberapa gambar baru dan si Mutan Bertopeng. Aku tahu
gambar-gambar itu baru, karena tak satu pun pernah kulihat dalam buku-buku
komik di rumahku - padahal aku punya semua edisi.
Gambar demi gambar. Mataku sampai berkunang-kunang!
Tak pernah terbayang olehku bahwa Collectable Comics ternyata dibuat di
Riverview Falls. Sepintas lalu kuamati setumpuk gambar dari Penguin People. Aku tak pernah
suka mereka. Aku tahu mereka berada di pthak yang benar, dan orang-orang
pun menganggap mereka hebat. Tapi dengan kostum hitam-putih yang menjadi
ciri khas mereka, penampilan mereka terlalu konyol.
Aku benar-benar menikmati kesempatan mengintip ke dapur Collectable
Comics. Tapi seperti semua hal menyenangkan lainnya, kegembiraanku pun terpaksa
berakhir. Kegembiraanku buyar ketika kubuka map terakhir dan menatap sketsa-sketsa di
dalamhya. Aku membelalakkan mata seakan-akan meragukan penglihatanku. Tanganku
gemetaran ketika aku membalik halaman demi halaman.
"Ya ampun!" aku berseru "Bagaimana mungkin?"
Sketsa di tanganku adalah sketsa AKU.
15 TERBURU-BURU kuamati halaman demi halaman dan tumpukan tinggi itu.
Kamu salah lihat, Skipper, aku berkata dalam hati. Anak cowok dalam sketsa
tadi memang mirip, tapi sebenarnya dia bukan kau.
Tapi itu pasti aku. Setiap gambar anak cowok itu menampilkan wajahku yang bulat, dan rambutku
yang gelap - pendek di samping dan panjang di atas.
Dia pendek seperti aku. Dan juga agak gemuk. Senyumnya miring, persis
seperti senyumku, tinggi sebelah. Dan pakaiannya pun sama seperti pakaianku celana jins gombrong dan T-shirt lengan panjang dengan kantong di dada.
Aku terpana ketika menemukan gambar di tengah-tengah tumpukan. Gambar itu
kuamati dengan saksama. "Oh, wow!' gumamku.
Gigi seri anak cowok di gambar itu ternyata sempal, persis seperti gigiku.
"Bagaimana mungkin"!" seruku. Suaraku terdengar kecil dan melengking di
ruangan yang luas itu. Siapa yang menggambarku" Dan kenapa" Untuk apa juru gambar buku komik
membuat sketsa demi sketsa dari aku"
Dan bagaimana mungkin dia mengenalku begitu baik" Sampai-sampai dia tahu
bahwa gigi seriku ada yang sempal"
Aku merinding. Sekonyong-konyong aku ngeri sekali. Dengan jantung
berdebar-debar kutatap gambar-gambar di hadapanku.
Dalam salah satu gambar, aku tampak ketakutan sekali. Aku sedang melarikan
diri dari sesuatu, dengan tangan terangkat lurus ke depan.
Gambar lain memperlihatkan mukaku dari jarak dekat. Roman mukaku gusar
Bukan, bukan sekadar gusar. Aku kelihatan marah sekali.
Dalam sketsa lain aku sedang mengencangkan otot. Hei, penampilanku boleh
juga! pikirku. Si juru gambar telah membekaliku dengan otot biseps yang
menggembung, yang tak kalah dari otot para superhero.
Pada gambar berikut wajahku terlihat dengan mata terpejam. Barangkali aku
lagi tidur. Atau jangan-jangan sudah mati"
Aku masih asyik mengamati gambar-gambar itu satu per satu, ketika kudengar
suara langkah. Seketika aku sadar aku tak lagi seorang diri.
"Si-siapa itu?" aku berseru sambil berpaling.
16 "Kemana saja sih kau?" Libby bertanya dengan gusar, sambil berlari melintasi
ruangan dan menghampiriku, "Aku mencarimu di mana-mana!"
"Kau yang ke mana?" balasku "Kukira kau persis di belakangku."
"Kukira kau persis di depanku" seru Libby. "Tadi aku membelok, dan tahu-tahu kau
sudah lenyap." Dia berhenti di hadapanku. Napasnya terengah-engah, dan
mukanya merah padam. "Tega-teganya kau meninggalkanku seorang diri di
tempat seram ini. " "Aku tidak meninggalkanmu" aku berkeras."Kau yang meninggalkan aku!"
Dia menggelengkan kepala, masih sambil termegap-megap. "Ya sudah! Yang
penting, kita harus keluar dari sini, Skipper. Aku menemukan lift yang jalan.
"Dia menarik-narik lengan bajuku.
Aku meraih tumpukan gambar tadi. "Lihat nih, Libby," ujarku sambil
menyodorkan gambar-gambar tersebut "Coba lihat ini."
"Jangan macam-macam deh!" serunya "Aku mau keluar dari sini. Aku tidak mau lihat
gambar buku komik!" "Ta-tapi - " aku tergagap-gagap sambil melambai-lambaikan semua gambar itu.
Dia berbalik dan mulai melangkah ke pintu, "Aku kan sudah bilang, aku berhasil
menemukan lift. Jadi bagaimana, mau ikut atau tidak?"
"Tapi dalam gambar-gambar ini ada aku!" seruku.
"Yeah. Tentu," jawab Libby dengan nada tak percaya. Dia berhenti di depan
mesin cetak, lalu berpaling padaku. "Untuk apa seseorang menggambar kau,
Skipper?" "A-aku juga tidak tahu," aku kembali tergagap-gagap "Tapi gambar-gambar
ini - " "Kau terlalu banyak mengkhayal," sahutnya "Kau memang kelihatan seperti
orang normal, tapi sebenarnya kau sinting. Bye." Libby mulai berlari kecil
melintasi lantai yang penuh kertas berserakan.
"Jangan - tunggu" aku memanggilnya. Kuletakkan semua gambar ke tempat
semula, turun dari kursi tinggi, lalu mengejarnya. "Tunggu aku, Libby"
Aku mengikutinya ke lorong. Aku tidak mau ditinggal seorang diri di tempat
seram ini. Aku harus pulang, supaya bisa memikirkan semuanya. Aku harus
mencari jawaban untuk misteri yang kuhadapi.
Kepalaku serasa berputar-putar. Aku benar-benar bingung.
Libby dan aku menelusuri lorong-lorong yang panjang. Kami melewati suatu
belokan, kemudian melihat sederetan pintu lift di satu sisi lorong.
Libby menekan tombol di dinding, dan seketika salah satu prntu lift membuka
tanpa bersuara. Kami sama-sama mengintip dengan waswas sebelum melangkah
naik, tapi lift itu ternyata kosong.
Kami sama-sama tersengal-sengal. Kepalaku berdenyut-denyut. Pinggangku
serasa ditusuk-tusuk. Kami sama-sama membisu.
Libby menekan tombol bertulisan LOBI. Kemudian terdengar bunyi
berdengung, dan lift mulai bergerak naik.
Ketika pintu membuka, dan kami melihat dinding lobi yang berwarna merah
jambu dan merah. Libby dan aku langsung bersorak-sorai. Serta-merta kami
menghambur keluar dari lift dan berlari melintasi lantai marmer menuju pintu
kaca. Setelah sampai di trotoar, aku berhenti dan membungkuk. Sambil berpegangan
pada kedua lututku, kuhirup udara segar sepuas-puasnya. Kemudian aku
menoleh dan melihat Libby melirik jam tangannya.
"Aku harus pulang," katanya "Aku pasti kena marah karena terlambat pulang!"
"Kamu percaya soal gambar-gambar yang kuceritakan tadi?" tanyaku sambil
terengah-engah. "Tidak," sahutnya. "Mana ada yang percaya cerita seperti itu?" Dia melambaikan
tangan dan menyeberang jalan.
Di kejauhan aku melihat bus kota menuju ke arahku. Sambil merogoh-rogoh
kantong untuk mencari uang receh, aku menengok ke belakang untuk menatap
gedung misterius itu. Tapi ternyata gedungnya tidak kelihatan.
*** Aku butuh waktu untuk memikirkan segala sesuatu yang telah terjadi. Tapi
Wilson sudah menunggu di rumah ketika aku pulang, dan dia langsung ikut naik ke
kamarku. "Kubawakan beberapa stempel koleksiku," katanya, sambil menunjuk kantong kertas
berwarna cokelat di tangannya. Kantong itu dibaliknya, dan isinya
berhamburan di meja belajarku. "Kupikir kau mungkin tertarik."
"Wilson - " aku mulai berkata "Sebenarnya aku tidak - "
"Yang ini berbentuk kepik," dia menjelaskan sambil memperlihatkan stempel kecil
bergagang kayu. "Stempel ini tua sekali. Stempel paling tua dalam
koleksiku. Nih, coba lihat." Dia membuka baritalan cap bertinta biru,
menempelkan stempel kepik, lalu mencap tumpukan kertas di atas meja
belajarku. "Seberapa tua?" tanyaku.
"Entahlah," sahutnya. Dia memperlihatkan stempel lain. "Yang ini bergambar
sapi," katanya. Seakan-akan berhadapan dengan orang buta. Dia
menempelkannya ke bantalan cap. "Aku punya beberapa stempel bergambar
sapi," kata Wilson "Tapi yang kubawa cuma yang satu ini."
Aku menatap stempel sapi itu sambil berlagak tertarik.
"Yang ini juga sudah tua sekali," Wilson bercerita dengan bangga.
"Seberapa tua?" aku kembali bertanya.
Dia angkat bahu. "Entah" Kemudian dia meraih stempel lain.
"Ehm... Wilson.. aku baru saja mengalami kejadian yang aneh sekali," kataku
padanya "Dan aku perlu merenungkannya. Tanpa diganggu."
Dia menatapku sambil memicingkan matanya yang biru. Sepertinya dia
bingung, "Ada apa sih?"
"Ceritanya panjang,' jawabku. "Aku ada di suatu gedung. Di bagian utara kota.
Rupanya di gedung itulah Collectable Comics dibuat."
"Masa sih Collectable Comics dibuat di sini, di Riverview Falls" Wilson
tercengang-cengang "Dan kau bisa masuk ke situ?"
"Tak ada siapa-siapa di sana," ujarku. Aku lega karena bisa menceritakan
pengalamanku kepada orang lain. "Jadi kami masuk saja. Aku dan anak cewek
yang kukenal di bus Namanya Libby. Kami mencoba naik lift sampai ke puncak
gedung, tapi ternyata liftnya malah turun ke basement. Lalu Libby tersesat. Dan
aku menemukan setumpuk gambarku sendiri."
"Hei - jangan cepat-cepat!" Wilson berseru sambil mengangkat tangannya agar aku
berhenti dulu, "Aku malah tambah bingung, Skipper."
Aku tahu ucapanku memang membingungkan. Tapi bagaimana lagi aku harus
menjelaskan pengalamanku"
Kukatakan kepada Wilson bahwa aku akan meneleponnya nanti malam, setelah
pikiranku sudah lebih tenang. Kubantu dia mengumpulkan stempel-stempel. Dia
membawa sekitar dua puluh buah. " Yang paling bagus," dia menambahkan.
Aku mengantarnya ke bawah, lalu berjanji akan meneleponnya sehabis makan
malam. Setelah dia pergi, perhatianku beralih kepada sesuatu di meja kecil di ruang depan Sebuah
amlop cokelat. Jantungku langsung berdegup kencang. Apakah - " Ya! Di pojok bawah
amplop itu ada logo Collectable Comics. Berarti edisi khusus berikut dari si
Mutan Bertopeng. Aku begitu tak sabar sampai aku nyaris menggulungkan meja ketika
menyambar amplop itu. Aku mengepitnya tanpa dibuka dulu, lalu berlari
menaiki tangga. Dengan setiap langkah dua anak tangga terlewati.
Aku butuh waktu menyendiri. Edisi khusus ini harus kupelajari benar-benar,
kataku dalam hati. Pintu kamarku langsung kututup setelah aku masuk, dan kemudian aku duduk di tepi
tempat tidur. Tanganku gemetaran ketika aku menyobek amplop dan
mengeluarkan buku komik yang ada di dalamnya.
Gambar sampulnya memperlihatkan muka si Mutan Bertopeng dari jarak dekat.
Matanya menyorot tajam. Judul di bagian bawah sampul berbunyi: MUSUH
BARU UNTUK SI MUTAN!. Hah" Musuh baru"
Aku menarik napas panjang dan menahannya. Tenang, Skipper, aku berkata
dalam hati ini cuma komik.
Tapi mungkinkah edisi baru ini membantu memecahkan misteri yang kuhadapi"
Apakah di dalamnya aku akan menemukan penjelasan mengenai gedung markas
besar yang berwarna merah jambu dan hijau itu" Apakah ada teka-teki tadi sore
yang bakal terjawab"
Kubuka halaman pertama. Gambarnya memperlihatkan gedung markas besar
dari atas. Pada gambar berikut gedung itu tampak dari jalan. Seseorang sedang
mengendap-endap melewati daerah bayang-bayang, menuju ke pintu kaca.
Orang itu hendak menyusup ke gedung markas besar.
Kubalik halamannya. Lalu memekik dengan sekuat tenaga, "Ini tidak mungkin!"
17 YA. Kau pasti sudah menebaknya. AKU-lah orang yang hendak menyusup ke
gedung markas besar si Mutan Bertopeng.
Gambar itu kepelototi begitu lama, sampai-sampai aku mulai takut mataku
bakal copot dari kepala. Aku begitu senang - dan kaget - sehingga aku tidak bisa membaca kata-kata
yang tertulis. Semuanya tampak kelabu dan buram.
Halaman demi halaman kubalik dengan tangan gemetaran. Rasanya aku sampai
lupa bernapas. Setiap gambar kuamati dengan teliti sambil menempelkan wajah ke
buku komik di tanganku. Si Rusa Melesat sedang duduk di sebuah ruangan kecil. Semakin lama, ruangan itu
semakin panas. Tidak lama lagi si Rusa Melesat bakal terpanggang hidup-hidup!
Si Mutan Bertopeng telah menjebak musuh bebuyutannya itu di markas
besarnya. Dan sekarang dia akan menghabisi si Rusa untuk selama-lamanya.
Aku beralih ke halaman berikut. Tanganku bergetar begitu hebat sehingga
halamannya nyaris terkoyak.
Lalu kulihat diriku, mengendap-endap di lorong yang gelap. Dalam komik itu, aku
mengenakan T-shirt dan celana jins yang sedang kupakai sekarang.
Gambar berikut memperlihatkan. wajahku dari jarak dekat. Butir-butir keringat
tampak mengalir pada wajahku yang kemerahan. Mungkin itu menunjukkan aku
lagi merasa takut. Aku agak terlalu gemuk dalam gambar ini, ujarku dalam hati.
Tapi anak itu memang aku. Tak salah lagi, itu memang AKU!.
"Mom!" teriakku sambil menutup buku komik dan melompat dari tempat tidur.
"Mom! Dad! Coba lihat ini!"
Aku bergegas keluar dari kamar dan melesat menuruni tangga. Sepertinya
kakiku sampai tak sempat menginjak lantai!
"Mom! Dad!" Mereka sedang berada di dapur, menyiapkan makan malam. Daddy lagi
mengiris bawang di samping tempat cuci piring. Mom membungkuk di depan
kompor. Seperti biasa, dia tidak bisa menyalakan oven.
"Aku ada di buku komik ini!" seruku sambil menyerbu ke dapur.
"Jangan sekarang!" mereka menyahut berbarengan.
"Tapi coba lihat, dong!" aku berkeras sambil menyodorkan buku itu ke depan
ayahku. Ayahku terus mengiris. "Suratmu masuk ke kolom surat penggemar?" ayahku bertanya
sambil menahan air mata.
Goosebumps - 25 Serangan Mutan Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan! Aku yang masuk ke komik ini!" ujarku berapi-api. Buku komik itu
kusorongkan lebih dekat lagi.
"Aku tidak bisa melihat apa-apa" ayahku berseru. "Aduh, jangan ganggu aku.
Kau tidak lihat mataku berair karena memotong bawang?"
"Sebenamya ada cara khusus untuk memotong bawang," kata ibuku "Tapi
sayangnya aku tidak tahu"
Aku bergegas menghampiri ibuku "Mom harus lihat ini! Aku ada di komik ini.
Lihat Betul-betul aku."
Ibuku menggeleng sambil mengerutkan kening. "Huh, ovennya tidak mau
menyala," dia mengeluh "Jangan-jangan ada yang rusak."
"Nanti kuperiksa, kalau mataku sudah tidak berair," ayahku berkata
"Coba lihat ini dulu dong"!" aku berteriak karena kesabaranku sudah habis.
Ibuku melirik sekilas ke halaman yang kutunjukkan padanya, "Ya. Ya. Memang
mirip kau, Skipper," dia berkomentar sambil menyuruhku bergeser ke samping.
Kemudian dia kembali berpaling pada oven.
"Sebenarnya sudah waktunya kita beli oven baru," dia berkata kepada ayahku.
"Dad - tolong lihat sebentaaar saja," aku memohon.
Aku berlari menghampirmya, tapi wajahnya tertutup handuk untuk
mengeringkan air matanya "Kelihatannya Daddy lagi sibuk, ya?" ujarku dengan lesu.
Inilah kejadian paling seru yang pernah kualami, dan kedua orangtuaku sama
sekali tidak peduli. Menengok sebentar pun mereka tak mau.
Dengan kesal kututup komik itu lalu meninggalkan dapur.
"Skipper, atur meja!" ibuku memerintahkan. Sebelum aku sempat naik tangga.
Atur meja" Aku jadi bintang dalam buku komik meja, dan dia minta aku
mengatur meja" "Kenapa bukan Mitzi saja?" tanyaku.
"Atur meja,Skipper," ibuku mengulangi dengan tegas.
"Oke, oke. Tapi sebentar lagi, ya," sahutku. Aku menjatuhkan diri ke sofa di
ruang tamu dan kembali membuka buku komikku. Tadi aku terlalu tegang untuk
membacanya sampai habis. Sekarang aku ingin membaca bagian yang
memperlihatkan kejadian di buku berikut.
Pandanganku menyapu halaman itu. Aku melihat si Rusa Melesat, yang masih
terperangkap di dalam ruangan yang panas membara. Dan si Mutan Bertopeng
berdiri di ambang pmtu, siap mengumumkan kemenangannya.
Sambil memicingkan mata kubaca. tulisan dalam balon kata di atas kepala si
Rusa Melesat. Apa yang dikatakannya"
"Hanya anak itu yang bisa menyelamatkanku sekarang," si Rusa Melesat
berkata dalam hati. "Hanya anak itu yang bisa menyelamatkan dunia dari
kebusukan si Mutan Bertopeng. Tapi di mana dia?"
Aku membacanya sekali lagi Lalu sekali lagi. Betulkah apa yang terlihat oleh
mataku" Betulkah aku satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan si Rusa
Melesat" Betulkah aku harus kembali ke sana"
18 SEUSAI sekolah keesokan hari, aku bergegas ke halte bus. Cuacanya cerah
namun dingin. Tanah di bawah kakiku beku sampai sekeras batu. Dan langit di atas
membentang bagaikan lapisan. es yang dingin dan biru.
Sambil menentang angin yang bertiup kencang, aku bertanya-tanya apakah aku
bakal ketemu Libby di bus. Aku sudah tak sabar ingin bercerita tentang isi
komik itu. Aku juga ingin memberitahunya bahwa aku akan kembali ke gedung
aneh yang terbungkus Selubung Ajaib.
Maukah dia ikut lagi bersamaku"
Tidak mungkin, kujawab sendiri pertanyaan itu. Libby ketakutan setengah mati
waktu kami pertama kah menyusup ke sana, dan dia pasti tidak bisa dibujuk
untuk ikut sekali lagi. Aku berlari kecil melintasi lapangan bermain. Pandanganku tertuju ke jalan,
kalau-kalau ada bus yang lewat.
"Hei, Skipper" seseorang memanggilku. Suaranya sangat kukenal. Aku
menoleh dan melihat Wilson mengejarku. Jaketnya, yang seperti biasa tak
ditutup, tampak melambai-lambai bagaikan sayap. "Skipper - mau ke mana
kau" Mau pulang?"
Dua blok di depan aku melihat bus biru membelok di persimpangan.
"Tidak. Aku ada perlu," kuberitahu Wilson. "Aku lagi tidak ada waktu untuk
koleksi stempelmu." Roman mukanya berubah menjadi serius, "Aku sudah berhenti mengumpulkan stempel,"
katanya. Aku menatapnya dengan heran "Lho" Kenapa?"
"Habis, seluruh waktuku habis untuk stempel-stempel itu," dia menyahut.
Bus menepi di halte. Sopirnya membuka pintu. "Sampai ketemu nanti malam,"
aku berkata kepada Wilson.
Ketika aku masuk ke bus, aku ingat lagi ke mana aku akan pergi. Dan
sekonyong-konyong aku mulai ragu apakah aku bakal ketemu Wilson nanti
malam. Jangan-jangan inilah pertemuan kami yang terakhir!
*** Libby ternyata tidak ada di antara para penumpang bus. Aku menarik napas
lega, sebab dengan begitu aku tidak perlu menjelaskan rencanaku padanya.
Dia pasti akan menertawakanku karena aku percaya apa yang tertulis dalam
buku komik. Tapi bagaimana dengan Selubung Ajaib" Itu juga ada dalam buku komikku.
Dan sekarang tertulis bahwa aku-lah satu-satunya orang yang bisa
menyelamatkan si Rusa Melesat dan menghentikan kejahatan si Mutan
Bertopeng. "Tapi itu kan cuma cerita komik." Libby pasti akan berkomentar "Aku tahu kau
memang konyol, tapi aku tidak menyangka kau percaya sekali cerita dalam
buku komik." Itulah yang akan dikatakannya. Dan aku tidak tahu harus menjawab apa.
Karena itulah aku lega dia tidak sebus denganku.
Aku turun di depan tanah kosong. Aku memperhatikanhya dari seberang jalan.
Aku tahu tanah kosong itu sebenarnya bukan tanah kosong. Aku tahu gedung
berwarna merah jambu dan hijau itu ada di sana, tersembunyi di balik Selubung
Ajaib. Ketika aku menyeberang, aku mendadak dilanda gelombang ketakutan.
Mulutku mendadak kering kerontang Aku berusaha menelan ludah, tapi malah
nyaris terbatuk-batuk. Tenggorokanku serasa diikat. Perutku seperti diadukaduk. Dan lututku mulai berkeringat dan tidak mau menekuk.
Aku berhenti di trotoar dan mencoba menenangkan diri.
Itu cuma buku komik. Cuma buku komik. Kata-kata itu kuucapkan berulang-ulang
dalam hati. Akhirnya sambil memandang lurus ke tanah kosong di hadapanku, aku berhasil
menghimpun keberanian untuk melangkah maju. Satu langkah. Satu langkah
lagi. Dan satu lagi. Tiba-tiba saja gedung itu mulai kelihatan. Walaupun sebelumnya aku sudah
pernah menerobos Selubung Ajaib, aku tetap tercengang ketika gedung tersebut
muncul di depan mataku. Sambil menelan ludah, kutarik salah satu pintu kaca dan masuk ke lobi
berdinding merah jambu dan kuning yang terang benderang.
Aku berhenti di depan pintu, lalu menoleh ke kiri-kanan.
Lobi itu tetap kosong. Tak seorang pun terlihat. Aku terbatuk. Suara batukku
terdengar kecil dan tak berarti di ruangan raksasa tersebut. Sepatu ketsku
berdecit-decit ketika aku melintasi lantai marmer dan menghampiri deretan lift
di dinding seberang. Kok sepi sekali" aku bertanya dalam hati. Padahal hari masih siang. Kenapa
tidak ada siapa-siapa selain aku di lobi besar ini"
Aku berhenti di depan deretan lift. Perlahan-lahan kuangkat sebelah tangan ke
tombol lift -tapi aku tidak menekannya.
Kini aku merasa menyesal karena tak ada Libby. Kalau saja dia ada di sini,
maka paling tidak masih ada orang yang sama-sama ketakutan.
Sambil menghela napas kutekan tombol lift.
"Hmm ini dia," aku bergumam sambil menunggu pintu membuka.
Dan kemudian aku mendengar suara tawa. Suara tawa yang dingin dan bengis.
Persis di belakangku 19 AKU memekik kaget dan membalik seketika.
Tak ada siapa-siapa. Sekali lagi kudengar suara tawa itu. Pelan, tapi keji.
Aku langsung memandang ke segala arah. Tapi tak seorang pun kelihatan.
"Si-siapa itu?" aku bertanya sambil tergagap-gagap.
Suara tawa itu segera berhenti.
Aku terus mencari. Pandanganku beralih ke dinding di atas lift. Di situ
kutemukan pengeras suara kecil berwarna hitam, yang menyembul dari dinding
yang kuning. Tinggalkanlah tempat ini! sebuah suara di dalam diriku memohon-mohon.
Berbaliklah, Skipper, dan ayunkan kakimu yang gemetaran. Kaburlah
sekencang mungkin! Suara itu tak kugubris. Sekali lagi kutekan tombol lift, dan pintu lift di
sebelah kiriku membuka tanpa suara. Aku melangkah masuk.
Pintunya menutup. Aku menatap panil kontrol sambil mengerutkan kening.
Bagaimana sekarang" Naik atau turun"
Terakhir kali aku ke sini, kutekan tombol naik dan lift-nya membawa Libby dan
aku turun ke basement. Jariku mengambang di depan tombol-tomb.ol. Apa yang bakal terjadi kalau
kutekan tombol turun sekarang"
Aku tidak sempat menemukan jawabannya. Liftnya mendadak bergerak
sebelum aku sempat menyentuh salah satu tombol.
Aku menggenggam pegangan tangan. Tanganku dingin dan lembap. Lift-nya
berdengung-dengung sambil bergerak ke atas.
Aku naik, aku menyadari. Naik ke mana"
Rasanya aku tidak sampai-sampai. Kuamati lampu-lampu penunjuk lantai di
atas panil kontrol menyala satu per satu. Empat puluh... empat-satu.. empatdua... Setiap kali aku melewati satu lantai terdengar bunyi bip.
Akhirnya lift berhenti di lantai empat-enam. Inikah lantai paling atas"
Pintu lift membuka. Kulepaskan tanganku dari pegangan tangan dan melangkah
keluar. Aku menatap lorong yang panjang dan kelabu. Aku mengedip satu kali. Dua
kali. Rasanya seakan-akan aku berada dalam film hitam-putih.
Dinding-dindingnya kelabu. Langit-langitnya kelabu. Lantainya kelabu. Begitu
pula pintu-pintu di kedua sisi
lorong. Rasanya seperti berdiri di tengah-tengah kabut tebal, ujarku dalam hati, waswas
aku menoleh ke kiri lalu ke kanan. Atau di tengah-tengah awan badai.
Tak seorang pun kelihatan. Tak ada yang bergerak.
Aku memasang telinga. Aku berharap akan mendengar suara, tawa, atau bunyi
dengung peralatan kantor.
Hening - kecuali degup jantungku yang berdebum-debum.
Tanganku yang dingin dan lembap kuselipkan ke kantong celana jinsku.
Kemudian aku mulai berjalan pelan-pelan menyusuri lorong.
Aku membelok dan kembali berhadapan dengan lorong kelabu yang seakanakan tak berujung. Semuanya tampak serba buram dan tak jelas.
Sekonyong-konyong aku teringat gambar-gambar dalam edisi terbaru si Mutan
Bertopeng. Aku sempat melihat gambar dua halaman yang memperlihatkan loronglorong panjang dalam markas besar rahasia si Mutan Bertopeng.
Lorong panjang dan berkelok-kelok di dalam buku komik itu persis seperti
lorong yang membentang di hadapanku - hanya saja lorong dalam buku komik
berdinding hijau terang dan berlangit-langit kuning. Dan semua ruangan
dipenuhi para penjahat berkostum yang bekerja untuk si Mutan Bertopeng.
Ketika aku menyusuri lorong yang lengang dan kelabu itu, sebuah pikiran aneh
mendadak melintas dalam benakku. Semuanya tampak begitu kelabu dan
buram, sehingga aku merasa seakan-akan berada dalam sebuah sketsa pensil
yang belum sempat diberi warna.
Tapi tentu saja, itu tidak masuk akal
Pikiranmu kacau-balau karena kau ketakutan, aku berkata dalam hati.
Dan kemudian kudengar bunyi itu.
Bunyi berdebam-debam. "Hei!" bisikku. Jantungku serasa melompat ke tenggorokan. Aku berhenti di
tengah-tengah lorong, dan kembali pasang telinga.
Debam. Debum. Bunyi tersebut berasal dari depan. Dari balik tikungan berikut"
Kakiku harus dipaksa sebelum mau melangkah lagi. Aku melewati belokan di
depanku. Dan sambil tercengang-cengang aku menatap warna-warna cerah yang
menyambutku. Dinding-dinding di lorong ini berwarna hijau terang. Dan langit-langitnya
kuning. Karpet tebal di bawah kakiku berwarna merah anggur.
Debam. Debam. Debum. Warna-warnanya begitu cerah, sehingga aku terpaksa melindungi mata agar
tidak kesilauan. Sambil memicingkan mata aku memandang ke ujung lorong. Dinding-dindmg
hijau itu menuju ke pintu berwarna kuning. Pintu tersebut dikunci dengan
gerendel logam. Debum. Debum. Suara itu berasal dari balik pintu.
Perlahan-lahan aku menyusuri lorong dan menghampiri pintu itu, kemudian
berhenti. "Siapa itu?" aku mencoba bertanya. Tapi suaraku hanya berupa bisikan
parau. Aku berdeham dan mencobanya sekaIi lagi "Siapa itu?"
Tak ada jawaban. Tiba-tiba suara berdebam itu terdengar lagi. Seperti bunyi kayu membentur
kayu. "Siapa itu?" aku memanggil, kali ini sedikit lebih keras.
Bunyinya berhenti. "Kau bisa tolong aku?" Sebuah suara pria menyahut dari balik
pintu. Aku tersentak kaget. "Kau bisa tolong aku?" orang itu memohon.
Aku ragu sejenak. Perlukah aku menolongnya" Ya.
Kugenggam gerendel logam itu dengan kedua tangan. Kemudian kutarik napas
panjang dan mendorong gerendelnya dengan sekuat tenaga.
Di luar dugaanku, aku berhasil menggesernya tanpa kesulitan. Cepat-cepat aku
menekan gagang pintu dan mendorongnya.
Tanpa pikir panjang aku masuk ke ruangan itu, dan sambil terbengong-bengong aku
menatap sosok yang sedang memandang ke arahku.
"Ka-kau benar-benar ada?" seruku.
20 JUBAHNYA terlilit tali, dan topengnya telah merosot sehingga menutupi
sebelah mata. Tapi aku langsung tahu aku berhadapan dengan si Rusa Melesat.
"Kau benar-benar ada?" tanyaku sekali lagi.
"Tentu saja," dia menyahut dengan jengkel. "Buka ikatanku, Nak." Dia
memandang ke arah pintu yang terbuka "Dan cepat sedikit."
Baru sekarang kusadari bahwa lengan dan kakinya yang berotot terikat ke kursi.
Suara debam-debum tadi rupanya bunyi kursi yang dibentur-benturkan ke lantai
untuk membebaskan diri. "A-aku tidak menyangka bakal ketemu kau di sini!" seruku. Aku begitu terkejut
- dan ngeri - sehingga tidak tahu apa yang kukatakan.
"Nanti saja kalau mau minta tanda tangan," dia berkata, masih sambil menatap ke
pintu. "Kita jangan lama-lama di sini Kita harus segera keluar Sepertinya kita
tidak punya banyak waktu."
"Wa-waktu?" aku tergagap-gagap.
"Dia akan kembali," si Rusa Melesat bergumam. "Kita harus sergap dia
sebelum dia menghabisi kita, betul tidak, Nak?"
"Kita?" aku berseru.
"Pokoknya, buka ikatanku dulu," si Rusa Melesat memberi instruksi. "Aku
sanggup menghadapi dia." Dia mehggelengkan kepala. "Coba kalau aku bisa
menghubungi temari-temanku yang lain. Mereka pasti sibuk menjejalahi
seluruh jagat raya untuk mencariku."
Aku masih dalam keadaan bingung ketika aku menghampiri kursinya dan mulai
melepaskan tali pengikat. Semua simpulnya besar dan kencang dan sukar
dibuka. Tali yang kasar menggores-gores tanganku ketika, aku berusaha
mengendurkannya. "Cepat, Nak," si Rusa Melesat mendesak "Tapi ngomong-ngomong, bagaimana
kamu bisa menemukan markas rahasia ini?"
"Aku... ehm, kebetulan saja," sahutku sambil menarik-narik simpul.
Goosebumps - 25 Serangan Mutan Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan terlalu merendah, Nak," si super hero berkata dengan suaranya yang
rendah dan datar. "Kau menggunakan kemampuan cyber-radar rahasia yang
kaumiliki, bukan" Ataukah kaumanfaatkan scanner ultra untuk membaca
pikiranku, sehingga kau bisa bergegas menyelamatkanku?"
"Bukan, aku cuma naik bus," jawabku.
Aku agak bingung mendengar pertanyaan-pertanyaannya. Jangan-jangan dia
keliru menyangka aku orang lain.
Kenapa aku ada di sini" Dan apa yang akan terjadi terhadap kami" Terhadapku"
Berbagai pertanyaan kejar-mengejar dalam benakku ketika aku mencoba
membuka tali pengikat yang besar itu. Aku berusaha mengabaikan nyeri dari
luka-luka lecet di tanganku, tapi rasanya perih sekali.
Akhirnya aku berhasil membuka salah satu simpul. Rusa Melesat
mengencangkan otot-otothya dan mengembangkan dadanya yang bidang - dan
sisa talinya terlepas dengan mudah.
"Trims, Nak," dia berkata sambil berdiri, lalu mengatur posisi topengnya agar
bisa melihat dengan kedua belah mata. Kemudian dia menyibakkan jubahnya
yang panjang dan merapikan celananya yang ketat.
"Oke. Mari kita kejutkan dia," ujarnya sambil menarik ujung sarung tangannya.
Dengan langkah panjang dan mantap dia menuju ke pintu. Setiap kali dia
menjejakkan sepatu larsnya yang berat terdengar suara berdebam.
"Ehm... maksudku, aku harus ikut?" tanyaku sambil berdiri di balik kursi.
Dia mengangguk "Aku tahu apa yang kaupikirkan, Nak. Kau takut ketinggalan
karena aku berkaki-super, karena aku mutan tercepat di seluruh jagat raya."
"Ehm ," aku bergumam.
"Jangan kuatir," dia menyahut "Aku akan berjalan pelan-pelan" Dia
melambaikan tangan seakan-akan sudah tidak sabar "Ayo kita berangkat."
Kakiku tersandung pada tali yang tergeletak di lantai, dan terpaksa berpegangan
pada sandaran kursi supaya tidak kehilangan keseimbangan. Kemudian aku
mengikutinya ke lorong berwarna hijau dan kuning.
Dia membalik dan mulai berlari. Aku hendak menyusul, tapi dia berubah
menjadi kilatan cahaya berwarna merah-biru - lalu menghilang.
Beberapa detik kemudian dia kembali sambil berlari kecil. "Sori -Terlalu kencang
untukmu, ya?" dia berseru.
Aku mengangguk "Agak."
Pundakku digenggamnya dengan tangannya yang terbungkus sarung tangan.
Matanya yang kelabu menatapku dari balik celah pada topengnya. "Kau punya
kemampuan panjat dinding?" tanyanya.
Aku menggelengkan kepala "Tidak. Sori."
"Tidak apa-apa. Kalau begitu kita lewat tangga saja," katanya.
Dia meraih tanganku dan menarikku menyusuri lorong. Dia bergerak begitu
cepat sehingga kedua kakiku tak sempat menyentuh lantai.
Kelihatannya dia memang tidak bisa berjalan pelan-pelan.
Dia menarikku melewati satu belokan, kemudian satu lagi. Aku serasa terbang.
Kami melesat begitu kencang, sehingga aku bahkan tak sempat menarik napas.
Membelok lagi. Lalu melewati pintu terbuka.
Pintu itu menuju ke tangga yang gelap dan terjal. Aku melirik ke atas, tapi yang
terlihat hanyalah kegelapan pekat.
Semula aku menduga si Rusa Melesat akan menarikku menaiki tangga. Tapi
ternyata dia berhenti begitu melewati pintu.
Sambil memicingkan mata dia menatap tangga di hadapan kami. "Di sini ada
jebakan Si Mutan Bertopeng telah memasang sinar pemusnah,' katanya sambil
mengusap-usap rahangnya yang kotak.
"Sinar apa?" seruku.
"Sinar pemusnah," dia mengulangi tanpa mengalihkan pandangan dari tangga.
"Kalau kau terkena sinar itu, maka tubuhmu akan hancur dalam waktu kurang
dan seperseratus detik."
Aku menelan ludah Seluruh tubuhku mulai gemetaran.
"Kau sanggup melompati dua anak tangga paling bawah?" Si Rusa Melesat
bertanya padaku. "Maksudmu-" aku mulai berkata.
"Kau harus mendarat di anak tangga ketiga," dia memberitahuku "Ambil
ancang-ancang dulu."
Dengan waswas kutatap tangga yang terjal itu.
Bukan ancang-ancang yang kuperlukan, tapi sayap, aku berkata dalam hati
Tiba-tiba aku menyesal bahwa aku begitu gemar makan Pop-Tarts dan Frosted
Flakes untuk sarapan setiap pagi Kalau saja aku sedikit lebih langsing, sedikit
lebih ringan. "Ambil ancang-ancang dan pastikan kau tidak menginjak dua anak tangga
pertama," ia memperingatkanku "Injak anak tangga ketiga, dan jangan berhenti.
Kalau kau mendarat di anak tangga pertama atau kedua, kau akan hancur lebur"
Dia menjentikkan jari. "Puf"
Aku mengerang ketakutan. Habis, bagaimana lagi" Sebenarnya aku ingin
bersikap gagah berani. Tapi tubuhku tidak mau diajak bekerja sama. Seluruh
tubuhku gemetaran, seakan-akan terbuat dari agar-agar
"Aku duluan," ujar si superhero Dia berpaling ke tangga, menekuk lutut,
mengangkat kedua tangan ke depan - dan melompat melewati sinar pemusnah
yang tak tampak. Dia mendarat di anak tangga kelima.
Dia membalik dan memberi isyarat agar aku menyusulnya. "Nah. Tidak sulit,
kan" katanya dengan riang.
Tidak sulit untukmu! pikirku dengan geram. Tidak semua orang punya kaki
super. "Cepat," dia mendesak "Jangan dipikir panjang lebar. Nanti kau malah gagal."
Mana mungkin aku tidak memikirkannya"
"A-aku kurang pandai berolahraga," aku bergumam dengan suara bergetar.
Kurang pandai" Hah, setiap kali teman-temanku mengadakan pertandingan
olahraga, aku selalu menjadi pilihan terakhir untuk memperkuat tim.
"Cepat," si Rusa Melesat kembali mendesak. Dia mengulurkan kedua
tangannya. "Lari, lalu lompat, Nak. Incar anak tangga ketiga saja. Tangganya
tidak terlalu terjal. Aku akan menangkapmu"
Anak tangga ketiga seakan-akan berada satu mil di atas kepalaku. Aku menahan
napas, menekuk lutut, mengambil ancang-ancang, lalu melompat - sekuat
tenaga - dan mendarat dengan debuman keras di anak tangga pertama
21 AKU menjerit dan memejamkan mata rapat-rapat ketika sinar pemusnah
menerpa diriku, dan tubuhku menguap seketika.
Sebenarnya, aku tidak merasakan apa-apa.
Ketika aku membuka mata, aku berdiri di anak tangga pertama. Tubuhku yang
gempal tetap utuh. "A-a-aku - !" aku tergagap-gagap.
"Rupanya dia lupa menyalakannya," si Rusa Melesat berkata dengan tenang.
Dia menatapku sambil tersenyum. "Kau beruntung, Nak."
Aku masih gemetaran. Butir-butir keringat dingin membasahi keningku, dan
aku tak sanggup berkata apa-apa.
"Moga-moga keberuntungan tetap menyertaimu," si Rusa Melesat bergumam.
Dia membalik dan mulai menaiki tangga. Jubahnya tampak berkibar-kibar.
"Ayo, mari kita sambut takdir kita,"
Terus-terang, nyaliku semakin ciut ketika kudengar ucapannya yang terakhir itu.
Si Rusa Melesat menganggap aku beruntung. Tapi aku sama sekali tidak merasa
beruntung ketika menaiki tangga yang gelap di belakangnya.
Setelah kami sampai di puncak tangga, dia membuka pintu logam yang lebar,
dan kami masuk ke suatu ruangan yang mencengangkan.
Ruangan itu seolah-olah bersinar dengan aneka macam warna. Interiornya ditata
seperti kantor, kantor paling mewah yang pernah kulihat.
Karpet bulu berwarna putih menutupi lantai. Karpet itu begitu tebal, sehingga
kakiku terbenam sampai ke mata kaki. Tirai-tirai sutra berwarna biru menghiasi
jendela-jendela besar yang menghadap ke kota. Lampu-lampu kristal yang
berkilau-kilau tergantung langit-langit.
Sofa-sofa dan kursi-kursi empuk diatur mengelilingi meja-meja kayu berwarna
gelap. Satu dinding tertutup lemari buku dan lantai sampai ke langit-langit, dan
masing-masing rak dipenuhi buku-buku bersampul kulit.
Di salah satu pojok ada pesawat TV berukuran raksasa. Layarnya gelap. Di
sampingnya ada berbagai macam perlengkapan elektronik. Lukisan-lukisan cat
minyak yang memperlihatkan ladang-ladang hijau menghiasi dinding lain.
Di tengah-tengah ruangan ada meja tulis berlapis emas. Kursi tinggi di
belakangnya lebih mirip singgasana daripada kursi kerja.
"Wow!" aku berseru sambil mengagumi kemewahan di ruangan itu.
"Dia memang senang bermewah-mewah," si Rusa Melesat berkomentar "Tapi
masa kejayaannya sudah berakhir."
"Maksudnya - " aku mulai bertanya.
"Aku terlalu cepat untuk dia, si super hero membanggakan diri. "Aku akan
berlari mengitari dia, makin lama makin kencang, sampai aku menjadi angin
puyuh. Dia akan tersapu untuk selama-lamanya."
"Wow," ujarku sekali lagi. Aku tidak tahu apa lagi yang mesti kukatakan.
"Sebelum ini dia menyergapku ketika aku sedang tidur siang," lanjutnya "Itu
satu-satunya cara dia bisa menangkapku. Kalau aku lagi tidur. Selain itu, aku
terlalu cepat untuknya. Aku terlalu- cepat untuk siapa pun. Kau tahu seberapa
cepat aku berlari seratus meter?"
"Seberapa?" tanyaku.
"Sepersepuluh detik. Seharusnya itu rekor Olimpiade yang baru. Tapi aku tidak
diizinkan ikut Olimpiade karena aku mutan."
Aku mengikutinya ke tengah ruangan Tapi tiba-tiba aku berhenti karena
mendengar gelak tawa. Tawa bengis yang sama seperti yang kudengar di lobi tadi.
Aku langsung terpaku di tempat.
Sambil membelalakkan mata aku memperhatikan meja emas di hadapanku
mulai bergerak dan berubah bentuk.
Lapisan emasnya tampak berkilau-kilau ketika bergeser dan menekuk dan
membentuk wujud manusia. Aku mundur selangkah, dan mencoba bersembunyi di balik si Rusa Melesat
ketika meja itu melebur dan digantikan oleh si Mutan Bertopeng.
Matanya yang gelap seakan-akan menyala. Dia ternyata jauh lebih tinggi dari yang
terlihat dalam komik. Dan jauh lebih kekar.
Dan jauh lebih menakutkan.
Dia mengacungkan tinju ke arah si Rusa Melesat. "Berani-beraninya kalian
masuk ke ruang kerjaku"!" dia menghardik.
"Silakan ucapkan selamat tinggal kepada segala kemewahan ini,' kata si Rusa
kepada si Mutan Bertopeng.
"Aku akan mengucapkan selamat tinggal kepada kalian!" Si Mutan Bertopeng
membalas dengan sengit . Kemudian pandangannya beralih padaku. "Kau bisa kusingkirkan dengan
mudah, Rusa," ujar penjahat paling berbahaya di seluruh dunia. "Tapi
sebelumnya, lihatlah bagaimana aku membinasakan anak ini!"
22 AKU beringsut mundur ketika si Mutan Bertopeng menghampiriku. Tangannya
masih terkepal, dan dia memelototiku dengan matanya yang hitam.
Dengan jantung berdebar-debar aku membalik dan mencari-cari tempat
bersembunyi. Tapi ternyata tidak ada tempat untuk bersembunyi.
Dan aku juga tidak bisa kabur. Pintunya menutup begitu si Mutan Bertopeng
bergerak mendekat. "Oh!" aku berseru. Kedua tanganku kuangkat ke depan wajah, seakan-akan
tameng itu cukup untuk melindungi diri.
Aku tidak tahan menatap matanya yang menyorot dengan bengis ketika dia
menghampiriku. Aku bakal dibinasakannya, pikirku. Tapi aku tidak perlu menonton!
Kemudian, ketika si Mutan Bertopeng maju selangkah lagi, si Rusa Melesat
cepat-cepat menghalanginya "Hei, kalau kamu mau cari lawan, akulah
orangnya, Mutan" serunya dengan suaranya yang menggelegar. "Sebelum kau bisa
menyentuh anak itu, kau harus menghadapi aku dulu."
"Boleh juga," si Mutan Bertopeng berkata pelan-pelan.
Tapi roman mukanya langsung berubah ketika si Rusa Melesat mulai
mengelilinginya - semakin lama semakin cepat - sampai si Rusa terlihat sebagai
pusaran berwarna merah-biru.
Si Rusa menjalankan siasatnya, aku menyadari sambil mundur sampai merapat
ke dinding. Dia akan berputar dengan kencang, sampai dia menghasilkan angin
puyuh yang sanggup menyapu si Mutan Bertopeng yang busuk.
Dengan punggung menempel ke dinding aku menyaksikan pertarungan aneh itu.
Si Rusa Melesat melaju semakin kencang. Gerakannya begitu kencang sehingga
aku merasakan embusan angin yang mengibar-ngibarkan tirai, menjatuhkan vas
bunga, dan menerbangkan buku-buku dari rak.
Yes! pikirku dengan gembira sambil mengacungkan tinju. Yes! Kita menang!
Kita menang! Tapi kemudian aku menurunkan tangan dan memekik dengan ngeri ketika si
Mutan Bertopeng menjulurkan kaki.
Si Rusa Melesat tersandung dan terjerembap ke lantai. GEDEBUM!
Dia berguling beberapa kali, lalu tergeletak tanpa bergerak.
Seketika embusan angin tadi berhenti. Tirai-tirai kembali menggantung seperti
semula. Sambil bertolak pinggang si Mutan Bertopeng mengangkangi lawannya.
"Ayo bangun" teriakku tanpa sadar. "Bangun, Rusa! Bangunlah!"
Si Rusa mengerang-erang, namun tidak bergerak. "Hah, waktunya makan
malam," si Mutan Bertopeng berkata dengan nada mengejek.
Aku kembali merapat ke dinding. Dengan mata terbelalak aku menyaksikan si
Mutan sekali lagi berubah bentuk. Wajahnya berkedut-kedut dan seakan-akan
menjadi gepeng. Badannya bertambah pendek, dan kemudian dia membungkuk
ke depan sambil menempelkan tangan ke lantai.
Dalam sekejap dia sudah berubah menjadi macan tutul yang menyeringai.
Sambil memiringkan kepala, macan tutul itu mengaum dengan keras.
Kemudian punggungnya tampak melengkung, otot-otot kaki belakangnya
mengencang - dan dia menerjang si Rusa Melesat yang masih tergeletak tak
berdaya. "Bangun! Bangun, Rusa!" aku berteriak ketika macan tutul itu menyerang.
Si Mutan Bertopeng mulai mencakar dan menggigit lawannya.
"Bangun! Bangun!" aku menjerit-jerit.
Tiba-tiba si Rusa Melesat membuka mata.
Macan tutul itu telah mengoyak-ngoyak bagian bawah topeng si Rusa.
Si Rusa Melesat berguling ke samping dan bangkit dengan susah payah.
Sambil mengaum macan tutul itu mengayunkan cakarnya, sehingga merobek
jubah si Rusa. "Sudah waktunya angkat kaki!" si Rusa berseru sambil menuju ke pintu. Tapi
sebelumnya dia masih sempat berpaling ke arahku. "Kau harus berusaha sendiri
supaya bisa lolos, Nak."
"Jangan! Tunggu!" aku berteriak.
Tapi sepertinya si Rusa tidak mendengar seruanku. Dia menerjang pintu dan
langsung menghilang. Pintunya langsung menutup lagi.
Seketika macan tutul itu kembali berubah. Dia berdiri dengan kaki belakang,
semetara tubuhnya bergeser dan bergerak - sampai si Mutan Bertopeng muncul
lagi. Dia mengembangkan senyum ketika menghampiriku, senyum yang dingin dan
keji. "Kamu harus berusaha sendiri," katanya pelan-pelan.
23 AKU bergeser menyusuri dinding ketika si Mutan Bertopeng menghampiriku
dengan pelan tapi pasti. Aku tahu aku takkan sanggup kabur melalui pintu,
seperti si Rusa Melesat tadi. Aku tidak secepat dia.
Huh, dasar pengecut! pikirku dengan getir.
Tega-teganya dia menyelamatkan diri sendiri dan membiarkan aku terjebak di
sini. Aku tidak bisa kabur. Aku tidak mampu melawan. Jadi apa yang harus
kulakukan" Apa yang bisa kulakukan dalam keadaan terdesak oleh penjahat ulung, yang sanggup
mengubah dirinya menjadi apa saja yang berupa benda padat"
Si Mutan Bertopeng berhenti di tengah-tengah ruangan. Dia bertolak pinggang, dan
matanya tampak berbinar-binar. Jelas kelihatan dia senang melihatku
ketakutan. Sepertinya dia bahkan sudah mulai menikmati kemenangannya.
"Apa keistimewaanmu, Nak?" dia bertanya sambil mencibir.
"Hah" Pertanyaan itu mengejutkanku.
"Apa kelebihanmu?" dia mengulangi dengan jengkel sambil mengayunkan jubahnya.
"Kau bisa mengerut sampai seukuran kepik" Itukah rahasiamu?"
Goosebumps - 25 Serangan Mutan Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hah" Mengerut" Aku?" Tubuhku gemetaran begitu hebat sehingga aku tidak sanggup
berpikir dengan jernih. Kenapa dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan aneh itu"
"Atau barangkali tubuhmu bisa menyala?" dia melanjutkan sambil kembali mendekat.
"Itukah kelebihanmu" Kau punya kekuatan magnet" Atau kau bisa
mengacaukan pikiran lawan?" Nada suaranya. semakin tajam. "Apa, Nak" Apa"
Ayo, jawab! Apa kelebihanmu?"
"A-aku tidak punya kelebihan," aku menyahut sambil tergagap-gagap. Kalau tubuhku
kutempelkan lebih keras lagi ke dinding, maka aku bakal jadi bagian dari
wallpaper! Si Mutan Bertopeng tertawa. "Jadi kau tidak mau cerita, hmm" Oke, oke.
Terserah kau saja." Senyumnya lenyap. Sorot matanya menjadi dingin. "Sebenarnya aku tidak ingin kau
menderita terlalu lama," katanya sambil mendekat. "Tadinya aku
bermaksud menghabisimu secepat mungkin."
"Oh, begitu," aku bergumam.
Tiba-tiba aku melihat sesuatu di rak - sebuah batu licin sebesar kelapa.
Kelihatannya seperti semacam pajangan. Mungkin saja bisa digunakan sebagai
senjata, aku berkata dalam hati.
"Selamat jalan, Nak," si Mutan Bertopeng berkata sambil mengertakkan gigi.
Dia bergerak mendekatiku.
Cepat-cepat kuraih batu di rak itu. Batunya ternyata lebih berat dari yang
kuduga. Rupanya bukan batu, aku menyadari. Bentuknya memang menyerupai
batu, tapi sebenarnya bongkahan itu terbuat dari baja.
Aku mengambil ancang-ancang dan membidik dengan hati-hati. Lalu
kulemparkan bongkahan baja itu ke arah kepala si Mutan Bertopeng.
Lemparanku meleset. Bongkahan itu jatuh ke karpet.
"Sayang sekali," dia bergumam. ...lalu bergegas untuk membinasakanku.
24 AKU berusaha mengelak, tapi dia terlalu cepat. Tangannya yang kuat
mencengkeram pinggangku dan mengangkatku dari lantai.
Tinggi. Semakin tinggi. Rupanya dia menggeser molekul-molekulnya. Sehingga kedua lengannya terus
bertambah panjang, dan aku diangkatnya sampai melewati lampu kristal.
Aku meronta-ronta. Aku mengayun-ayunkan tangan dan kaki untuk
membebaskan diri. Tapi dia terlalu kuat.
Tinggi. Semakin tinggi. Sampai kepalaku membentur langit-langit sekitar enam
meter di atas lantai. "Selamat mendarat!" Si Mutan Bertopeng berseru dengan riang sambil bersiap-siap
melepaskan aku, agar aku terempas ke lantai.
Tapi sebelum dia sempat mengendurkan genggamannya, aku mendengar suara
pintu membuka. Si Mutan juga mendengar, dan dia segera menoleh untuk melihat siapa yang
datang. "Kau" dia berseru dengan heran.
Aku menggeliat-geliut jauh di atas lantai, dan memiringkan kepala agar dapat
melihat dari balik lampu kristal.
"Berani-beraninya kau masuk ke sini!" Si Mutan Bertopeng membentak orang yang
baru datang. Tanpa sadar dia menurunkan tangannya sedikit. Dan aku bisa memandang ke
pintu. "Libby!" aku berseru "Kok kau ada di sini?"
25 SI MUTAN BERTOPENG menurunkanku ke lantai, lalu berpaling ke arah
Libby. Lututku gemetaran begitu hebat, sehingga aku terpaksa berpegangan
pada rak buku. "Libby - cepat pergi. Pergi dari sini!" aku berusaha memperingatkannya.
Tapi dia malah bergegas maju. Pandangannya tertuju padaku. si Mutan
Bertopeng sama sekali tak digubrisnya.
Masa dia tidak tahu dia sedang berhadapan dengan penjahat paling berbahaya di
seluruh jagat raya" "Skipper - kau tidak dengar aku memanggil-manggilmu?" Libby bertanya
dengan ketus. "Hah" Libby -"
"Aku ada di seberang jalan," katanya. "Aku memanggilmu waktu kau masuk ke
gedung ini." "A-aku tidak dengar," ujarku tergagap-gagap. "Tapi sebaiknya kau cepat-cepat
keluar dari sini, Libby."
"Dari tadi kau kucari ke mana-mana," dia melanjutkan, tanpa menghiraukan
peringatanku, tanpa menghiraukan gerak-gerikku yang kalang-kabut. "Kenapa
kau ada di sini, Skipper?"
"Ehm tak bisa kujelaskan sekarang," ujarku, "soalnya .." Aku menunjuknya si
Mutan Bertopeng. Si Mutan berdiri sambil bertolak pinggang dan mengetuk-ngetukkan kaki ke
lantai. "Kelihatannya ada dua orang yang harus kubinasakan," komentarnya.
Libby membalik. Sepertinya baru sekarang dia menyadari kehadiran si penjahat
ulung, "Skipper dan aku mau pulang sekarang," katanya sambil mencibir.
Aku menahan napas. Masa dia tidak tahu siapa yang dihadapinya"
Tidak. Tentu saja dia tidak tahu. Dia cuma membaca komik High School Harry
& Beanhead. Dia tidak tahu bahaya yang mengancam kita.
"Maaf," si Mutan Bertopeng berkata sambil menyeringai di balik topengnya.
"Kalian takkan ke mana-mana. Kalian takkan pernah lagi meninggalkan gedung
ini." Libby menatapnya sambil mendelik, dan aku melihat roman mukanya berubah.
Matanya yang hijau bertambah lebar dan mulutnya menganga.
Dia mundur selangkah sampai berdiri di sampingku "Kita harus melakukan
sesuatu," bisiknya Melakukan sesuatu" Apa yang bisa dilakukan melawan mega-mutan yang mengerikan ini"
Aku menelan ludah. Aku tidak tahu harus berkata apa.
Si Mutan Bertopeng menyibakkan jubahnya dan maju selangkah. "Siapa dari
kalian yang mau mendapat giliran pertama?" tanyanya pelan-pelan.
Aku menoleh dan melihat Libby telah mundur sampai ke lemari buku. Dia
mengeluarkan pistol plastik berwarna kuning dari ranselnya.
"Libby - mau apa kau" bisikku "Itu cuma pistol mainan."
"Aku tahu," sahutnya, juga sambil berbisik "Tapi ini komik, kan" Berarti tidak
nyata. Kalau memang begitu, maka kita bebas berbuat apa saja"
Dia mengangkat pistol mainan itu dan membidik si Mutan Bertopeng.
Si Mutan tertawa bengis. "Mau apa kau dengan mainan itu?" tanyanya sambil
mencibir. "I-ini kelihatannya cuma seperti mainan," ujar Libby sambil tergagap-gagap,
"Tapi sebenarnya ini pelebur molekul. Tinggalkan ruangan ini -atau semua
molekulmu akan kulelehkan."
Senyum si Mutan bertambah lebar "Jangan mengada-ada," katanya, sambil
memperlihatkan dua deret giginya yang putih bersih.
Kemudian dia menatap Libby sambil memicingkan mata, lalu maju selangkah
lagi, "Sepertinya kau yang mau dapat giliran pertama. Moga-moga kau takkan
menderita lama-lama."
Libby membidikkan pistolnya dengan kedua tangan. Dia mengertakkan gigi dan
bersiap-siap menarik picu.
"Turunkan mainan itu. Tak ada gunanya," si Mutan berkata sambil mendekat.
"Aku tidak main-main," balas Libby dengan suara melengking "Ini bukan
mainan. Ini memang pelebur molekul."
Si Mutan Bertopeng tertawa lagi, dan kembali maju selangkah. Lalu selangkah
lagi. Libby membidikkan pistolnya ke dada si Mutan. Dia menarik picu.
Seketika terdengar siulan nyaring dari pistolnya.
Si Mutan Bertopeng terus melangkah maju.
26 LIBBY menurunkan pistolnya.
Kami sama-sama membelalakkan mata dengan ngeri karena si Mutan Bertopeng
terus mendekat. Dia melangkah sekali lagi, lalu berhenti.
Tubuhnya diselubungi cahaya putih yang terang benderang. Dan sekonyongkonyong cahaya itu berubah menjadi arus listrik yang meretih-retih.
Si Mutan mengerang tertahan. Kemudian dia mulai meleleh.
Kepalanya semakin lama semakin kecil, sampai lenyap sama sekali. Topengnya
terkulai pada pundak kostumnya. Dan kemudian giliran badannya. Semuanya
mengerut sampai tak ada yang tersisa selain kostum dan jubah yang teronggok di
karpet. Libby dan aku menatap kostum itu sambil membisu.
"Ka-kau berhasil," ujarku dengan suara parau. "Pi-pistol mainanmu - pistolmu
berfungsi, Libby!?" "Tentu saja," dia menyahut dengan tenang. Sepertinya dia sama sekali tidak
terkejut. Dia menghampiri kostum di lantai dan menendangnya. "Tentu saja
pistol ini berfungsi. Aku kan sudah bilang ini pelebur molekul. Dia saja yang
tidak mau percaya." Aku menatapnya dengan bingung. Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana
itu bisa terjadi. Pistol Libby cuma pistol mainan. Bagaimana mungkin mutan
paling kuat di dunia bisa ditaklukkan dengan pistol mainan"
"Ayo, kita pergi dari sini," kataku sambil menuju ke pintu.
Tapi Libby langsung menghalangiku. "Sori, Skipper," ujarnya pelan-pelan.
"Sori" Apa maksudmu"
Dia mengangkat pistol plastik dan membidikkannya ke arahku. "Kubilang sori,"
katanya, "sebab sekarang giliranmu untuk menghilang."
27 MULA-MULA kusangka Libby cuma bercanda "Libby, jangan todong aku
dengan pistolmu," kataku. "Ini tidak lucu!"
Tapi pistolnya tetap terarah ke dadaku.
Aku memaksakan tawa. Namun kemudian aku terdiam karena melihat
tampangnya yang kencang. "Libby - ada apa sih?" tanyaku.
"Aku bukan Libby," sahutnya pelan-pelan. "Kau pasti kaget, Skipper - tapi
sebenarnya Libby tak pernah ada."
Dan sambil mengucapkan kata-kata itu, dia mulai berubah. Rambutnya yang
merah seperti ditarik masuk ke kepalanya. Pipinya bertambah lebar. Hidungnya
bertambah panjang. Warna matanya berubah dan hijau menjadi hitam.
Tubuhnya mulal meregang dan bertambah tinggi. Otot-otot kekar muncul pada
lengannya yang kurus. Dan sambil tumbuh, pakaiannya juga berubah. Celana
jins dan T-shirt seakan-akan meleleh dan digantikan oleh kostum yang sangat
kukenal. Kostum si Mutan Bertopeng.
"Libby - ada apa ini?" aku berseru dengan nada melengking. Aku tetap tidak
mengerti apa yang terjadi. "Bagaimana kau bisa berubah begitu?"
Dia menggelengkan kepala, "Ternyata kau tidak secerdas yang kusangka," dia
berkomentar sambil memutar bola mata. Suaranya besar dan menggelegar.
Suara laki-laki. Dia menyibakkan jubahnya ke belakang "Aku si Mutan Bertopeng, Skipper.
Kuubah molekul-molekulku untuk menyamar sebagai anak perempuan
sebayamu yang bernama Libby. Tapi sebenarnya aku si Mutan Bertopeng."
"Ta-ta-tapi-," aku tergagap-gagap.
Dia mencampakkan pistol mainannya sambil tersenyum lebar.
"Tapi si Mutan Bertopeng kan baru saja kamu lelehkan" aku berseru. "Kita samasama menyaksikan bagaimana dia meleleh."
Dia menggelengkan kepala "Bukan. Kau keliru. Aku baru saja melelehkan si
Manusia Molekul." Kutatap dia dengan mata terbelalakkan "Hah" Manusia Molekul?"
"Anak buahku - bekas anak buahku," dia menjelaskan sambil menatap kostum
yang tergeletak di lantai. "Kadang-kadang dia kusuruh menyamar sebagai aku.
Untuk mengecoh orang-orang usil seperti kau."
"Dia bekerja untukmu - dan kau melelehkannya" seruku.
"Aku penjahat," si Mutan Bertopeng menyahut "Jangan lupa - aku biasa berbuat
jahat." Semuanya mendadak jelas Libby sebenarnya tak pernah ada. Dan pertama dia
adalah si Mutan Bertopeng.
Si Mutan Bertopeng melangkahi kostum di lantai dan berjalan mendekatiku.
Sekali lagi kurapatkan punggung ke dinding. "Aku tidak punya pilihan. Aku
terpaksa melakukan sesuatu yang sangat buruk terhadapmu, Skipper," dia
berkata dengan datar. Matanya yang hitam menyorot tajam dari balik
topengnya. "Tapi - kenapa?" aku berseru. "Kenapa aku tidak dibiarkan pergi saja" Aku
akan langsung pulang. Dan aku takkan memberitahu siapa pun. Sungguh!" aku
memohon. Dia menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Tempatmu
di sini sekarang." "Hah?" aku memekik. "Apa maksudmu, Libby - ehm, Mutan?"
"Tempatmu di sini sekarang, Skipper," dia menyahut dengan dingin. "Aku
langsung tahu waktu aku pertama kali melihatmu di bus. Dan aku semakin
yakin waktu kau bilang kau tahu segala sesuatu tentang komikku."
"Ta-tapi - ," aku kembali tergagap-gagap.
"Selama ini aku kesulitan mencari tokoh yang cocok untuk ceritaku, Skipper.
Sulit sekali untuk mencari lawan tangguh. Aku selalu mencari wajah-wajah
baru. Karena itulah aku begitu senang waktu aku menemukanmu."
Seringainya bertambah lebar. "Lalu, waktu kau mengenali markasku, aku tahu
kau-lah orang yang kucari. Aku tahu kau siap membintangi satu episode."
Senyumnya mendadak lenyap. "Tapi sori, Skipper. Ceritanya sudah selesai.
Peran yang kaumainkan sudah selesai."
"A-apa yang akan kaulakukan" tanyaku. "Aku akan membinasakanmu, apa
lagi?" si Mutan menyahut dengan dingin.
Aku menempelkan punggung ke dinding. Dan aku menatapnya sambil memutar
otak. "Selamat jalan, Skipper," ujar si Mutan Bertopeng.
"Tapi kau tidak bisa menyingkirkanku!" teriakku. "Kau cuma tokoh buku
komik! Aku benar-benar ada! Aku benar-benar hidup! Aku orang sungguhan!"
Si Mutan tersenyum simpul "Oh, itu tidak benar, Skipper," dia berkata sambil
terkekeh-kekeh. "Kau bukan orang sungguhan. Kau sama seperti aku sekarang.
Kau tokoh buku komik."
28 KUCUBIT lenganku sendiri. Rasanya hangat dan padat, seperti biasa.
"Kau bohong" aku berseru.
Si Mutan Bertopeng mengangguk, lalu tersenyum riang "Ya, aku memang
pembohong," katanya. "Itu salah satu kelebihanku" Senyumnya lenyap. "Tapi kali
ini aku tidak bohong, Skipper. Kau bukan lagi orang sungguhan."
Aku tetap tidak mau percaya "Aku tidak merasa berubah," ujarku dengan tegas.
"Tapi aku sudah mengubahmu jadi tokoh buku komik," dia berkeras. "Masih
ingat waktu kau pertama kali masuk ke gedung ini" Masih ingat bagaimana kau
disorot berkas sinar setelah kau melewati pintu kaca."
Aku mengangguk "Ya, masih," aku bergumam.
"Nah, sinar itu sebenarnya scanner," Si Mutan Bertopeng melanjutkan "Waktu kau
disorot, kamu di-scan dan sekaligus diubah menjadi titik-titik tinta."
"Tidak mungkin!" aku membantah.
Seruanku tak digubrisnya "Itulah kau sekarang, Skipper. Titik-titik tinta
berwarna merah, biru, dan kuning. Kau tokoh buku komik, sama seperti aku."
Dia berjalan menghampiriku, dan jubahnya terentang lebar di belakangnya.
"Sayang sekali ini penampilan terakhir dalam buku komikku. Atau dalam buku
komik mana pun." "Tunggu" seruku.
"Aku tidak bisa menunggu lebih lama," si Mutan Bertopeng menyahut tanpa
ampun. "Aku sudah terlalu banyak membuang waktu untukmu, Skipper."
"Tapi aku bukan Skipper." kataku.
Dia berhenti dan menatapku dengan curiga. "Aku bukan Skipper Matthews,"
aku menegaskan. "Skipper Matthews tak pernah ada"
"Oh ya?" dia bertanya sambil meringis. Sepertinya dia tidak percaya. "Kalau
begitu, siapa kau sebenarnya?"
"Aku si Manusia Elastis" sahutku.
29 Si MUTAN BERTOPENG tampak terkejut. "Manusia Elastis!" dia berseru.
"Pantas rasanya aku pernah melihatmu"
"Sampai jumpa, Mutan," aku berkata dengan suara berat.
"Mau ke mana kau?" dia bertanya dengan ketus.
"Aku mau pulang ke Planet Xargos," sahutku sambil menuju ke pintu. "Aku dilarang
jadi bintang tamu dalam buku komik lain."
Goosebumps - 25 Serangan Mutan Bertopeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia cepat-cepat menghalangi pintu. "Jangan macam-macam, Manusia Elastis,"
katanya. "Kau sudah menyusup ke markas rahasiaku. Jadi kau terpaksa
kubinasakan." Aku tertawa. "Manusia Elastis tidak bisa dibinasakan" seruku sambil
membusungkan dada. "Aku akan mengulurkan tanganku yang elastis dan
melilitmu dan meremasmu seperti adonan kue."
"Coba saja," si Mutan Bertopeng menantang. Dia menggeram dengan kesal.
"Aku sudah muak mendengar ocehanmu. Kau cuma bicara, bicara, bicara. Aku
akan merobek-robekmu - dan setiap serpihan tubuhmu akan kurobek-robek
lagi." Aku tertawa lagi. "Mana mungkin" ujarku "Jangan lupa - aku kan elastis Aku
tidak bisa dirobek-robek. Aku bisa ditekuk - tapi aku tidak bisa patah! Hanya
ada satu cara untuk menghancurkan Manusia Elastis!"
"Apa itu?" Si Mutan Bertopeng bertanya.
"Dengan H2S04, alias asam sulfat," sahutku. "Itu satu-satunya zat yang bisa
menghancurkan tubuhku"
Si Mutan Bertopeng mengembangkan senyum kemenangan.
"Oh-oh" seruku "Sebenarnya itu tidak boleh kuberitahukan padamu."
Aku berusaha mencapai pintu. Tapi aku kurang cepat.
Di depan mataku si Mutan Bertopeng mulai berubah. Dia berubah menjadi
gelombang asam sulfat mendidih yang mengepul-ngepul.
Dan sebelum aku sempat bergerak, gelombang tinggi itu bergerak ke arahku.
30 AKU cepat-cepat menghindar sambil memekik keras.
Gelombang tinggi itu lewat beberapa inci di sampingku.
Aku membalik dan masih sempat melihatnya menerpa karpet. Karpetnya
langsung meleleh sambil mendesis-desis.
"Yes!" aku berseru dengan gembira "Yes!"
Belum pernah aku merasa segembira, sekuat, dan sehebat sekarang.
Aku telah mengalahkan si Mutan Bertopeng. Aku berhasil mengelabuinya. Aku
telah menghancurkan raja penjahat yang paling ditakuti di muka bumi.
Aku. Anak laki-laki umur dua belas tahun bernama Skipper Matthews. Akulah
yang menyingkirkan si Mutan Bertopeng untuk selama-lamanya.
Siasatku begitu sederhana. Tapi ternyata jitu.
Dari buku-buku komik yang telah kubaca, aku tahu si Mutan Bertopeng
sanggup mengubah molekulnya menjadi apa saja yang berupa benda padat. Dan
kemudian kembali ke wujudnya yang asli. Tapi aku mengecohnya sehingga dia
berubah menjadi cairan! Dan begitu dia berubah jadi cairan, dia tidak bisa
kembali ke wujudnya yang asli.
Si Mutan Bertopeng telah lenyap untuk selama-lamanya.
"Skipper, kau memang cerdik!" aku berseru keras-keras. Aku begitu gembira sampai
aku menari-nari di atas karpet.
Aku benar-benar tidak mengerti kenapa si Mutan Bertopeng bisa percaya aku bahwa
Manusia Elastis. Nama itu karanganku sendiri. Aku yakin tak pernah ada tokoh
buku komik bernama Manusia Elastis.
Tapi dia tertipu. Dan sekarang penjahat ulung itu telah tiada! pikirku dengan
riang. Dan aku masih hidup! Masih hidup!
Aku sudah tak sabar ingin segera pulang dan kembali berkumpul dengan
keluargaku. Rasanya tak sampai-sampai sewaktu aku naik bus.
Akhirnya aku berlari melintasi pekarangan rumahku dan masuk melalui pintu
depan. Seketika aku melihat amplop cokelat di meja kecil di ruang depan Edisi terbaru
Si Mutan Bertopeng. Huh, siapa yang butuh" aku bertanya dalam hati.
Amplop itu kudiamkan saja, dan aku bergegas untuk menemui orangtuaku. Aku
begitu gembira karena telah sampai di rumah, sehingga melihat Mitzi pun aku
merasa senang. "Mitzi - bagaimana kalau kita main frisbee?"
"Hah?" Dia menatapku sambil terbengong-bengong. Biasanya aku tidak sudi bermain
bersama adikku itu. Tapi hari ini, aku cuma ingin bergembira dan mensyukuri nasib baikku.
Mitzi dan aku langsung keluar ke pekarangan belakang. Selama setengah jam
kami melempar-lempar frisbee, dan kami senang sekali.
"Kita cari makan dulu, yuk?" aku mengajaknya.
"Yeah Aku memang lapar sekali," jawabnya "Kalau tidak salah masih ada kue
cokelat di dapur." Wah, kedengarannya menarik juga.
Aku masuk ke dapur sambil bersenandung pelan, lalu mengambil dua piring
dari lemari. Kemudian aku mencari pisau kue di laci.
"Awas kalau potonganmu lebih besar dari potonganku!" Mitzi mewanti-wanti.
Setiap gerakanku diawasinya dengan saksama.
"Mitzi, aku berjanji takkan curang!" kataku dengan manis. Aku begitu bahagia,
sehingga komentar Mitzi pun kuterima dengan lapang dada.
"Wah, sepertinya kue ini lezat sekali!" aku berseru.
Langsung saja kuiris kue itu dengan pisau. Tapi aku kurang hati-hati, sehingga
pisaunya meleset. "Aduh" aku memekik ketika punggung tanganku tersayat.
Aku mengangkat tangan dan mengamati lukanya. "Hei" aku berseru dengan
heran. Apa itu yang menetes dari luka di tanganku"
Bukan darah. Cairan itu berwarna merah, biru, kuning, dan hitam.
TINTA! "Keren," ujar Mitzi.
"Mana komik Mutan Bertopeng yang baru?" tanyaku. Tiba-tiba saja aku mendapat
firasat bahwa karierku sebagai tokoh buku komik belum berakhir.
END Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 6 Pendekar Naga Putih 32 Kumbang Merah Rahasia The Secret 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama