Goosebumps - Invasi Makhluk Pemeluk Manusia 1 Bagian 2
Aku sama sekali tidak menyadari bahwa bagian yang paling menakutkan dalam
hidupku justru baru dimulai.
14 "AH, Mom senang kau berhasil memecahkan misteri itu," kata Mom saat
makan malam. Ia mengedarkan piring ayam goreng. Makanan kesukaanku.
"Jadi, Mr. Fleshman bekerja di bidang film horor?"
"Aku tahu," Billie menimpali. Dagunya berlepotan kentang lumat. "Aku sudah
tahu soal efek khusus."
"Bohong!" bentakku.
"Aku tahu!" "Bohong! Tak mungkin!"
"Bisa tidak kita makan dengan tenang?" keluh Dad. Ia menyuruh Billie
membersihkan dagunya, lalu ia mengambil sejumput kentang lumat dan
menoleh padaku. "Jadi, misterinya sudah terungkap", Tidak ada cerita konyol
lagi?" "Tidak ada," janjiku.
"Mana mungkin," ejek Billie "Jack kan senang cerita konyol."
"Tidak!" teriakku. "Aku cuma..."
"Tanya saja kenapa dia dijuluki Manusia Piring Terbang," kata Billie pada
Mom dan Dad. "Tanya!"
"Diam, Billie," bisikku.
"Kenapa kau dijuluki begitu?" tanya Mom.
Aku angkat bahu. "Entah ya."
*** Beberapa hari berikutnya berlalu cepat. Hari-hari terakhir liburan musim-panas
memang selalu berlalu cepat.
Aku punya tugas membaca dua buku. Aku baru membaca satu setengahnya.
Kalau sedang tidak membaca, aku memandangi langit, mencari-cari meteor.
Topik itu menjadi berita besar di TV.
Benda keperakan itu masih terus mengitari bumi, dan para ilmuwan di seluruh
dunia masih kebingungan mengidentifikasikannya.
Tidak ada yang tahu benda apa itu dan dari mana datangnya.
Aku terus mencari, tapi tak pernah melihat meteor.
*** Minggu malam, hari terakhir liburan, aku lupa tentang meteor itu. Yang
kupikirkan cuma sekolah. Siapa yang akan menjadi guruku" Dan teman-teman
sekelasku" Ketika sedang ganti pakaian untuk tidur, aku meraba sesuatu di kantong
celanaku. Kuambil benda itu. Benda logam dari rumah Mr. Fleshman.
Aku pasti telah membawanya pulang tanpa sengaja. Kubolak-balik benda itu di
tanganku dan kuamati. Benda itu berwarna hitam mengilap, seukuran beeper.
( beeper: alat elektronik menghasilkan sejumlah suara saat seseorang
membawanya dipanggil-editor)
Kenapa, waktu itu aku menganggap benda ini bisa kujadikan senjata untuk
melawan monster" pikirku. Dalam kepanikanku, rupanya aku tidak bisa berpikir
jernih. Benda itu sangat halus seluruh permukaannya. Kutekan tombol hitam kecil
yang ada di bagian belakangnya, tapi tidak terjadi apa-apa. Ketika
memandanginya dari dekat, kulihat ada lubang-lubang kecil di bagian atasnya.
Tiga baris lubang. Mungkin ini pengocok garam modern, pikirku.
Aku tidak bermaksud mengambil benda ini. Besok akan kukembalikan pada Mr.
Fleshman, pikirku. Kuletakkan benda itu di mejaku, lalu aku tidur.
Lama sekali aku baru bisa tidur. Aku masih terus memikirkan segala sesuatu
yang kulihat di rumah Mr. Fleshman. Poster-poster seram itu... alat pembuat
sosok hantu... monster dengan remote....
Lalu, dalam keadaan setengah tidur, aku mendengar suara-suara.
Asalnya seperti dari jauh. Suara bernada tinggi dan lucu. Berbicara cepat
bersamaan. Apa aku sedang mimpi" Atau ada orang berbicara di pekarangan belakang"
Aku berusaha mendengar apa yang mereka katakan, tapi suara-suara itu
tenggelam dalam desisan dan siulan statis, seperti stasiun radio yang jauh dan
kadang suaranya menghilang.
Siulan itu timbul-tenggelam. Suara-suara itu terus terdengar, seperti musik.
Apa sih yang mereka bicarakan" Apa ada yang. bicara padaku"
Barangkali ada yang berusaha membangunkanku" Atau semua ini hanya
mimpi" Kalau ya, berarti mimipi yang sangat menjengkelkan. Aku sangat ingin
tahu, apa yang mereka ucapkan.
Aku gelisah sepanjang malam. Kubalik kepalaku ke satu sisi, lalu ke sisi lain.
Tapi suara-suara itu masih terus terdengar. Nyaring, seperti suara logam, ributtenggelam di tengah desisan statis tersebut.
Kubenamkan kepalaku di bantal dan kututupi telingaku dengan bantal lain.
Tapi suara-suara itu tetap terdengar, bicara sangat cepat dan penuh semangat.
Aku terus mendengar suara-suara itu, sampai kemudian Mom
membangunkanku. "Jack! Jack!" panggilnya dan depan pintu kamarku.
"Bangun! Pergi sekolah!"
Aku duduk tegak, terbangun sepenuhnya.
Aku bangkit berdiri dengan kaku.
"]ack" Kau dengar, tidak?" panggil Mom. "Sudah waktunya bangun."
"Aku sudah siap," sahutku dengan suara keras. 'Aku akan mematuhi."
15 "APA?" kata Mom dari balik pintu "Apa katamu?"
Kusadari bahwa aku berdiri sangat tegak di tengah ruangan. "Aku siap!" kataku,
meneriakkan kata-kata itu seperti seorang tentara. "Aku akan mematuhi."
"Jangan bercanda terus," kata Mom "Cepat berpakaian. Adikmu sudah ada di
bawah." Aku tetap berdiri di tempat, memasang telinga. Lalu kupaksa tubuhku untuk
santai. Mom sudah turun. "Kenapa aku berkata begitu ya?" kataku keras-keras.
Aku melayangkan pandang di kamarku Segalanya tampak sama saja, tapi aku
merasa berbeda. Aku merasa bingung.
Aku mendengar suara mendengung di kepalaku. Suara mengerik, seperti bunyi
jangkrik. Kugeleng-gelengkan kepalaku, dan kucoba membersihkan telingaku
dengan jari. Tapi suara mengerik itu datang dari tempat lain.
Aku mengenakan celana bersih. Lalu sebuah suara berbisik padaku. Dua suara.
Tiga. Dan suatu tempat di dekatku.
Suara-suara itu seperti bunyi serangga. Tapi aku mengerti apa yang mereka
katakan!. "Kapan kalian datang?" tanyaku pada mereka. "Bisa sebutkan harinya?"
Kudengarkan jawaban mereka yang nyaring dan jauh.
Lalu aku memberi hormat seperti tentara. "Aku akan siap," kataku.
Kupandangi kotak hitam persegi di mejaku. Suara-suara itu berasal dari dalam
kotak. Beberapa suara yang bicara sekaligus.
Kuambil kotak itu. Rasanya bergetar di tanganku. "Apa yang mesti kulakukan?"
tanyaku pada kotak itu. "Kapan kalian datang?"
Lalu aku terperangah. Siapa mereka" Kenapa aku bicara pada mereka" Kenapa aku bisa memahami
mereka" Apa yang mereka inginkan dariku"
Seribu pertanyaan berkelebat dalam benakku. Seribu pertanyaan menakutkan.
Kusambar kotak itu dan kumasukkan ke saku celanaku.
Aku mesti mengembalikannya, pikirku ketakutan.
Suara-suara itu mempengaruhiku, membuatku bertingkah aneh.
Aku tak bisa menghentikan mereka. Aku mesti mengembalikan kotak ini pada
Mr. Fleshman. Mr. Fleshman.... Apakah kotak ini juga alat untuk efek khusus"
Kalau ya, kenapa aku jadi bertingkah aneh dibuatnya"
Kukenakan kaus, lalu kaus kaki dan sepatu. Kemudian aku lari turun, lewat
dapur, dan menuju pintu belakang.
"Kau mau ke mana?" tanya Mom. Ia sedang duduk di depan Billie Billie sedang
menyuap sesendok besar sereal.
"Aku mesti mengembalikan sesuatu," kataku sambil membuka pintu.
"Sarapan dulu," perintah Morn. Ia menunjuk ke kursi. "Duduk!"
Suara-suara itu bercericip di telingaku.
"Aku akan mematuhi," kataku.
Aku berbalik dan berjalan ke meja, lalu duduk di seberang Billie.
"Jack," kata Billie, "kau pasti akan mendapat Mr. Laker sebagai wali-kelasmu."
Lalu ia tertawa. Mr. Laker adalah guru paling galak di sekolah.
Billie masih berbicara terus, tapi aku tidak mendengar. Suaranya tertutup oleh
suara-suara dan kotak. "Jack, ranselmu sudah dibereskan?" tanya Mom. Ia beranjak hendak mengambil
kopi lagi. "Aku sudah siap," kataku.
Billie masih bicara tentang Mr. Laker, tapi suara-suara dari kotak itu semakin
keras. Aku melihat bibir Billie bergerak-gerak, tapi aku tak bisa mendengar
suaranya. "Stop! Stop!" teriakku
"Aku kan tidak berbuat apa-apa" protes Billie.
"Jangan ganggu aku!" kataku.
"Aku tidak mengganggumu" jerit Billie.
"Jack, kau kenapa?" tanya Mom dengan tegas.
Kepalaku mendadak jernih dan aku melongo memandang Mom.
"Kenapa kau membentak-bentak adikmu?" tanya Mom.
"Aku aku tidak tahu," gumamku. Lalu suara-suara itu terdengar lagi.
"Mom, suruh dia berhenti melotot begitu padaku," rengek Billie "Dia ingin
menakut-nakutiku." "Jack, ayolah," kata Mom "Apa kau tidak senang masuk sekolah lagi?"
"Aku siap," kataku.
"Jangan bicara seperti robot begitu," perintah Mom "Kau membuat takut
adikmu" Lalu Mom menambahkan, "Aku sendiri jadi takut."
"Aku akan mematuhi," sahutku.
Kupejamkan mataku, berusaha mengusir suara-suara itu. Aku tahu apa yang
mesti kulakukan. Aku harus mengembalikan kotak kecil itu pada Mr. Fleshman.
Aku melompat dan menyambar ranselku, lalu lari ke luar pintu belakang.
Kudengar Mom memanggil-manggil, tapi aku tidak berhenti.
Aku tak sabar ingin mengembalikan kotak itu pada Mr. Fleshman.
Aku masuk ke pekarangannya, dengan kotak itu di tanganku.
Tapi suara-suara itu... Mereka menyuruhku berbalik dan pergi. Suara mereka keras sekali.
Kucoba melawan mereka. Aku maju beberapa langkah sambil melambaikan kotak itu. Siapa tahu Mr.
Fleshman sedang mengamatiku dari jendela depan.
Tapi mendadak kepalaku terserang rasa sakit yang amat sangat. Pelipisku
berdenyut-denyut dan aku melihat kilatan putih.
Rasa sakit itu semakin menjadi-jadi.
Aku berbalik dan lari, terus sampai ke sekolah. Kubawa kotak kecil itu
bersamaku, dan suara-suara itu masih terus berdenging di telingaku.
*** Untuk sementara, keadaan di sekolah baik-baik saja. Wali kelasku bukan Mr.
Laker, melainkan Mrs. Hoff yang katanya sangat baik. Dan aku sekelas lagi
dengan semua temanku tahun lalu.
Kumasukkan kotak itu ke ranselku. Sepanjang pagi aku tidak mendengar suarasuara itu lagi... sampai saat pelajaran seni rupa.
Mrs. Hansen, guru seni kami, sosoknya seperti lebah yang sibuk. Ia bertubuh
bulat pendek dan selalu bergerak lincah dari meja ke meja.
Tugas pertama kami hari ini adalah membuat bentuk dari tanah liat. Mrs.
Hansen meminta Maddy menjadi model kami. Maddy pura-pura malu ketika
duduk di kursi tinggi di depan ruang kelas, tapi kami semua tahu ia cuma malumalu kucing. Ia berpose seperti bintang film, duduk sedemikian rupa, sehingga cahaya
matahari dan jendela menyinari wajah dan rambutnya.
Aku mulai membuat kaki Maddy. Memang aneh, tapi aku lebih suka mulai dari
kaki, lalu naik hingga ke wajah. Tanah liat di tanganku terasa lembut dan
hangat. Aku mulai santai dan merasa senang mengerjakannya
Kubuat kaki kiri Maddy, lalu kaki kanannya.
Aku ingin berpikir, sementara tidak sedang diganggu oleh suara-suara itu.
Kotak apa itu" pikirku. Dan kenapa bisa berada di rumah Mr. Fleshman"
Kenapa kotak itu menguasaiku"
Apa Mr. Fleshman berbohong padaku" Mungkinkah sebenarnya ia bukan ahli efek
khusus" Kalau bukan, apa sebenarnya dia"
Suara mendenging itu terdengar lagi di kepalaku. Kuletakkan tanah liatku dan aku
memejamkan mata. Suara-suara itu kembali lagi. Berceloteh padaku, memenuhi otakku. Sampai
penuh... penuh... penuh...
"Jack, bentuk apa ini?" Suara Mrs. Hansen menerobos bunyi dengingan itu.
Aku membuka mata. Mrs Hansen mengambil hasil karyaku dan mengangkatnya tmnggi-tinggi. Aku
terperanjat ketika melihat apa yang kubuat.
Sebuah bola yang bulat sempurna.
"Apa ini?" tanya Mrs. Hansen.
"Itu otaknya," kata Maddy, usil, dan depan kelas.
"Si Manusia Piring Terbang berulah lagi," kata Henry.
"Aku sudah siap," teriakku sambil melompat bangkit. "Aku akan mematuhi."
Aku memberi hormat, lalu kuambil bola tanah liat itu dari tangan Mrs. Hansen dan
kulemparkan ke seberang ruangan.
Bola itu membentur jendela dengan keras. Kacanya bergetar, tapi tidak pecah.
Bola itu menempel di kaca.
Mrs. Hansen terpekik kaget.
Beberapa anak tertawa, yang lainnya terdiam.
"Kenapa kaulakukan itu, Jack?" tanya Mrs. Hansen dengan ekspresi marah.
"Menurutku itu sama sekali tidak lucu."
"Aku sudah. siap," ulangku dengan nada seperti robot. "Mereka akan segera
datang." "Hentikan, Jack," bentak Mrs. Hansen. "Kau membuat takut semua orang.
Kenapa kaulemparkan tanah liat itu?"
"Hah?" Suara-suara itu mendenging di telingaku. Aku hampir-hampir tak bisa
mendengar suaraku sendiri.
"Yang lainnya akan segera datang dari planet mereka," kataku. "Tak lama lagi."
Mrs. Hansen mencengkeram bahuku. Ia memutar tubuhku ke pintu dan
mendorongku ke luar. "Anak-anak," katanya keras-keras, "aku keluar sebentar."
Semua anak memandangiku sementara Mrs. Hansen membawaku ke lorong.
Aku tercekat, berusaha menahan rasa takutku. "Aku akan dibawa ke mana?"
seruku. "Ke mana?"
16 "LALU, apa yang terjadi di kantor perawat?" tanya Mom.
Aku menunduk memandangi dua hot dog di piringku. Aku suka sekali hot dog.
Aku berharap bisa makan hot dog setiap malam. Tapi malam ini perutku rasanya kaku. Rasanya aku takkan bisa menelan sedikit
pun. "Bagaimana" Apa kata perawat itu padamu, Jack?" tanya Dad tak sabar.
Billie memandangiku dari seberang meja sambil memasukkan hot dog banyak-banyak
ke mulutnya, lalu mengunyahnya dengan susah payah
"Tidak banyak," sahutku. "Dia bertanya ini-itu, lalu memaksaku berbaring di
dipan. Aku malu sekali. Waktu aku keluar, hampir semua anak di sekolah
menggodaku. Termasuk anak-anak yang tidak kukenal."
"Itu tidak penting," kata Mom sambil mengerutkan kening "Apa yang
ditanyakan perawat itu padamu?"
Aku menunduk dan menendang-nendang kaki meja. Aku sebenarnya tidak ingin
membicarakan ini. "Yah... dia bertanya tentang meteor itu. Tidak tahu deh!"
"Apa?" Dad menjatuhkan salad kentangnya ke piring. "Kenapa dengan meteor itu?"
"Perawat itu menanyakan, apa aku takut dengan berita-berita tentang meteor itu.
Katanya mungkin itu sebabnya aku bertingkah aneh."
Mom dan Dad memandangiku. Kurasa mereka mengharapkan aku bercerita
lebih banyak. Billie bersendawa.
Aku balas menatap mereka.
Goosebumps - Invasi Makhluk Pemeluk Manusia 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa kau takut?" tanya Mom akhirnya.
Aku mengangguk. "Ya, aku takut."
Kuputuskan untuk menunjukkan sebabnya. Kukeluarkan kotak hitam kecil itu
dari sakuku dan kuletakkan di meja.
"Apa itu?" tanya Dad.
"Dari mana kaudapatkan benda itu?" tanya Mom.
"Dari rumah Mr. Fleshman," kataku. "Ada suara-suara yang keluar dari
dalamnya. Suara-suara aneh. Sekarang mereka sedang diam. Tapi mereka bicara
padaku. Mereka..." Dad mengambil kotak itu. "Ini beeper," katanya sambil membolak-balik benda itu
ditangannya. "Bukan," protesku. "Suara-suara itu datang melalui benda ini. Kurasa asalnya
dari angkasa luar. Aku bisa memahami bahasanya. Mereka bicara padaku."
Billie tertawa. Mom menyuruhnya diam. Dad mengamati kotak hitam itu, lalu memberikannya pada Mom "Ini cuma
beeper biasa, Jack," katanya. "Tak mungkin kau mendengar suara-suara dari
dalamnya." "Tapi aku mendengar!" kataku. "Mereka memberi perintah padaku, dan
mereka..." "Kenapa Mr. Fleshman memberikan benda ini padamu?" tanya Mom curiga.
"Dia... dia tidak memberikan," kataku terbata-bata. "Aku mengambilnya."
"Kalau begitu, kau harus mengembalikannya," kata Morn tegas.
"Aku tahu," sahutku. "Aku memang bermaksud mengembalikannya. Suarasuara itu..." "Kenapa kau terus bicara tentang suara-suara itu?" tanya Dad.
"Aku juga dengar!" seru Billie. "Kali ini mereka bicara padaku, bukan pada
Jack." "Diam, Billie!" teriakku. Aku mulai kehilangan kendali, tapi aku tak peduli.
"Diam! Diam! Diam!"
Aku sangat berharap Mom dan Dad mempercayai ceritaku, tapi kalau Billie
mulai bertingkah konyol lagi, habislah aku...
"Jangan membentak-bentak adikmu terus!" bentak Mom.
"Kok aku tidak dengar apa-apa?" kata Dad. Ia mendekatkan kotak itu ke
telinganya dan mendengarkan lama sekali. Lalu ia menggeleng-geleng. "Tidak
ada suara apa-apa." "Tapi... tapi..." Kuambil kotak itu. "Memang tidak terdengar apa-apa, tapi
sebelumnya mereka bicara macam-macam padaku. Memberitahukan tentang
rekan-rekan mereka yang akan segera datang. Dad mesti percaya. Mereka akan
segera datang." Selesai bicara, aku terengah-engah seperti anjing. Tapi setidaknya aku sudah
mengungkapkan perasaanku.
Percayakah mereka padaku"
Mom dan Dad saling pandang. "Ini cukup serius," kata Mom pelan. "Jack,
kurasa kami mesti membawamu ke Dr. Bendix."
"Aku ikut!" kata Billie. Ia melompat dari kursinya. "Aku juga mau dibawa ke
dokter. Aku juga bertingkah aneh. Aku juga mendengar suara-suara. Bawa aku
juga!" "Duduk!" perintah Dad galak.
"Kaulihat akibatnya pada Billie?" tanya Mom.
"Masa bodoh dengan Billie!" teriakku. "Kenapa sih Mom dan Dad tidak mau
percaya" Kenapa?"
Aku tidak menunggu jawaban mereka.
Kusambar kotak hitam itu, lalu aku bangkit dan kursi dan lari keluar lewat pintu
belakang. Aku mesti mengembalikan kotak ini pada Mr. Fleshman sebelum aku jadi
sinting seratus persen. Dan aku mesti mengetahui yang sebenarnya. Kenapa Mr. Fleshman mempunyai
kotak semacam ini" Ia juga berbohong tentang pekerjaannya. Kenapa"
Lalu siapa ia sebenarnya" Kenapa suara-suara asing ini berusaha bicara
dengannya" Dari mana asal suara-suara itu"
Aku memerlukan jawabannya... segera.
Orangtuaku menganggap aku mulai tidak waras. Begitu pula semua orang di
sekolah. Hanya Mr. Fleshman yang bisa mengembalikan reputasiku.
Sore itu hujan. Sepatuku terasa licin menginjak rumput yang basah. Papanpapan pagar juga terasa basah dan dingin ketika aku masuk di celah-celahnya,
menuju pekarangan belakang Mr. Fleshman.
Ketika melangkah, aku tersandung sesuatu yang besar dan hidup. Makhluk itu
berseru kaget, lalu mundur sambil mengibas-ngibaskan ekor.
"Bruiser?" Aku mengenali anjing itu. Anjing labrador hitarn milik tetangga kami di ujung
jalan. "Bikin aku kaget saja," kataku sambil mengulurkan tangan untuk membelai
kepalanya... tapi gerakanku terhenti mendadak.
Aku terpaku menatap benda yang ada di mulut anjing itu.
Sebuah bola. Bola tenis biasa.
Kenapa aku begitu ketakutan melihatnya" Kenapa mendadak aku jadi ingin
menjerit dan terus menjerit"
"Pulanglah," perintahku pada anjing itu. "Pulang, Bruiser. Pulang."
Aku melewati anjing itu, terus berjalan ke beranda belakang.
Aku terkesiap ketika melihat Mr. Fleshman. Ia sedang berdiri di ambang pintu
dapur. Dalam cahaya dari dapur, rambutnya yang keperakan bersinar aneh.
Matanya yang kelabu menatapku dengan tajam dan senyum aneh mengembang
perlahan di bibirnya. "Jack," katanya berbisik, "aku sudah menunggumu."
17 "HAH?" Aku terkesiap. Sepasang mata keperakan itu terasa sangat menusuk.
Dingin dan tajam, membuatku merinding ngeri.
"Kenapa Anda menungguku?" tanyaku akhirnya.
Senyum Mr. Fleshman semakin lebar. Ia angkat bahu."Kupikir mungkin kau
berminat melihat keajaiban teknik film lagi," katanya.
Ia mencondongkan tubuh ke arahku. "Karena kau sudah tahu rahasiaku,"
bisiknya, "kurasa kau mau melihat beberapa trik lagi."
Aku mundur. "Tidak!" aku berseru keras, tanpa bisa menyembunyikan
kepanikan dalarn suaraku.
Kuangkat kotak hitam kecil itu. "Aku... aku menemukan ini," kataku terbatabata. "Maksudku, aku membawanya tanpa sengaja. Aku tidak bermaksud
mengambilnya, tapi..."
Mr. Fleshman mengibaskan tangan, seolah mengatakari, "Tidak masalah."
Kuulurkan kotak itu padanya dan kutunggu suara-suara dalam kotak itu
menyuruhku untuk tidak melakukannya.
Tapi Mr. Fleshman. menyambar kotak itu dari tanganku yang gemetar.
"Kau menemukan beeper-ku?" katanya sambil memutar-mutar kotak itu di tangannya.
"Bagus. Aku sudah mencarinya ke mana-mana." Lalu ia
memasukkan kotak itu ke saku celananya.
"Beeper?" seruku. "Bukan! Itu bukan beeper. Maksudku.."
Mr. Fleshman mengeluarkan kotak itu dan mengamatinya lagi. "Ini memang
beeper," katanya sambil menatapku curiga. "Aku membelinya supaya pihak studio
bisa menghubungiku kalau aku sedang tidak di rumah."
"Tapi aku mendengar suara-suara...," aku memulai.
Ia menyipitkan matanya padaku. "Suara-suara?"
"Ya. Suara-suara aneh."
Mr. Fleshman mendekatkan kotak itu ke telinganya. "Suara-suara?" Ia tertawa.
"Kau tidak mungkin mendengar suara dari dalam kotak kecil ini, Jack. Kotak ini
berbunyi kalau ada pesan telepon untukku. Cuma itu"
Aku menatapnya tajam, mengamati mata dan wajahnya. Apakah ia tidak
bohong" Kelihatannya ia benar-benar serius.
Tapi apa maksudnya jika demikian" Apa itu berarti aku sudah sinting" Benarbenar sinting" Mr. Fleshman membuka pintu kasa. "Masuklah," katanya. "Akan kutunjukkan
proyek yang sedang kukerjakan saat ini. Kurasa kau akan menyukainya."
"Ah... tidak," sahutku sambil mundur. "Aku tidak bisa. Aku..."
"Aku membuat model ikan hiu berkepala dua," kata Mr Fleshman "Kedua
kepalanya bisa bergerak secara terpisah. Masing-masing mulutnya, membuka
dan menutup secara terpisah juga. Tapi aku mendapat kesulitan dengan
tubuhnya Aku mesti menyembunyikan banyak peralatan listrik di dalam
tubuhnya, sehingga tubuhnya jadi terlalu lebar. Tapi..."
"Aku tidak bisa melihatnya sekarang," selaku. "Terima kasih Tapi aku mesti
pulang. Aku cuma ingin mengembalikan beeper itu"
Ia mengangguk. "Baik. Lain kali saja kalau begitu. Sampai ketemu, Jack." Ia
masuk ke rumah. Aku berjalan pulang ke rumahku. Kepalaku mendengung seperti dipenuhi
ribuan lebah. Aku sangat bingung, cemas, dan takut.
Aku perlu waktu untuk berpikir. Aku tak mungkin langsung pulang. Mungkin
sebaiknya aku naik. Sepeda saja jauh-jauh, sambil mencoba mereka-reka apa
sebenarnya yang terjadi padaku. Atau barangkali aku berjalan-jalan kaki saja.
Aku menuju jalan. Kulihat Bruiser, anjing labrador itu, berlari pulang, masih
dengan bola di mulutnya. Aku melihat ke arah rumahku. Jendela-jendela depannya gelap. Kurasa Mom,.
Dad, dan Billie masih berada di ruang makan di belakang.
Mereka mengira aku sinting, pikirku sedih.
Dan sekarang aku merasa mungkin mereka benar.
Beeper" Katanya benda itu cuma beeper"
Kutendang sebutir kerikil di depanku. Kerikil itu terlempar ke tengah jalan.
Rasanya aku ingin menendangi apa saja. Ingin menjerit-jerit, meninju, dan
menyepak, atau mengaum keras-keras sambil lari membabi buta di semua
pekarangan rumah orang, seperti binatang liar.
Tapi aku cuma menendang bongkahan tanah kecil yang kemudian membelah
dua. Lalu aku berjalan lagi sambil menunduk dan berpikir keras, tentang segala
yang terjadi selama ini. Mulanya aku tidak menghiraukan suara siulan, nyaring di atasku. Suara itu
pelan saja, seolah berasal dari dalam pikiranku.
Tapi kemudian bunyinya semakin nyaring. Bahkan nyaring sekali, hingga aku
tak bisa lagi mengabaikannya.
Aku mengangkat wajah untuk melihat dari mana asal suara itu.
Dan kulihat sebuah bola berwarna jingga menyala di langit malam.
Bola" Bola itu meluncur turun... turun... turun... Bunga-bunga api merah dan kuning
memancar dari sisi-sisinya.
Seperti kembang api, pikirku.
Selanjutnya aku tidak sempat memikirkan apa-apa lagi.
Sebab bola api besar itu jatuh tepat di atasku.
Cahayanya yang putih membutakan mengitariku, menelanku.
Dan aku pun menjerit. Menjerit. Dan terus menjerit. 18 TERDENGAR suara BLUK keras yang mengatasi jeritanku.
Lalu semuanya hening. Ketika aku membuka mata, ternyata aku sedang berlutut di rumput.
Aku masih hidup! Cahaya membutakan itu sudah lenyap. Aku berlutut dalam cahaya lampu jalan.
Tenggorokanku sakit karena menjerit-jerit dan jantungku berdebar kencang.
Aku menarik napas panjang. Mendadak udara terasa asin dan asam, seperti
udara laut. Setelah mataku bisa menyesuaikan diri, tampak puluhan titik-titik bercahaya,
seperti kunang-kunang. Setelah menyipitkan mata, kusadari bahwa cahaya itu
adalah bunga api. Pecahan-pecahan karang terbakar yang membuat jalanan dan
trotoar berkilauan. Seperti tidak nyata. Aku melongo tak percaya, mengamati bunga-bunga api itu mendesis dan
berasap, lalu berangsurangsur menghilang.
Lalu tampak bola jingga itu, bersinar temaram. Bola api dari langit.
Bola itu mendarat di ujung pekarangan Mr. Fleshman.
Dekat sekali, pikirku. Bola itu jatuh dekat sekali denganku.
Aku mulai gemetar, gigiku gemeletuk.
Kucoba bangkit berdiri, tapi aku masih gemetar hebat.
Sambil terus mengamati bola jingga itu aku menunggu hatiku tenang kembali,
lalu perlahan-lahan aku bangkit berdiri.
Kuhampiri bola jingga yang bersinar itu.
Sebuah meteorit! "Bukan main!" gumamku keras-keras.
Aku benar-benar melihat meteorit jatuh. Dan benda ini hampir jatuh di atasku!
Luar biasa! Sulit dipercaya!
Hebat! Aku tak sanggup menggambarkannya. Aku tidak tahu mesti mengatakan apa.
Mesti berpikir apa. Sekarang aku berdiri memandangi meteorit itu dengan gemetar. Karena
ketakutan" Atau takjub"
Karang itu berbentuk bola bulat sempurna. Karang dari angkasa luar.
Berapa juta mil telah ditempuhnya untuk sampai ke bumi" Tentunya jutaan mil, dan
benda ini jatuh hanya beberapa meter dariku.
Aku membungkuk di atas meteorit itu. Udara di sekitarnya terasa panas dan
aroma asam di sekitarku semakin keras.
Perlahan-lahan sinar jingga meteorit itu memudar... lalu lenyap.
Seberapa panaskah benda ini" pikirku.
Bisakah kuangkat" Karang itu berukuran sebesar bola kriket. Ketika kuperhatikan dari dekat,
ternyata bola itu tidak mulus sepenuhnya. Di permukaannya ada kawah-kawah
kecil sekali. Rasanya aku tak percaya. Aku sedang memandangi karang dari angkasa luar"
Aku tidak tahan. Aku mesti menyentuhnya.
Tapi bagaimana kalau bola itu ternyata panas membara"
Akhirnya aku mengambil sebatang ranting panjang. Dengan tangan gemetar
kusentuhkan ranting itu ke meteorit tersebut.
Tidak berasap ataupun berapi.
Aku memegang ujung ranting. Hangat, tapi tidak benar-benar panas.
Kulemparkan ranting itu, lalu aku berlutut di samping bola tersebut.
Bisakah aku menyentuhnya" Beranikah aku"
Mesti berani. Kuulurkan jari telunjukku.., lalu kudekatkan... kudekatkan...
Dan kusentuhkan sedikiiit sekali pada meteorit itu.
Lalu kutarik tanganku cepat-cepat, menunggu rasa panas menjalar.
Tapi tidak ada rasa panas apa pun.
Kuulurkan lagi jariku dan kusentuhkan ke permukaan bola yang kasar. Kali ini
lebih lama. Meteorit itu terasa hangat, tapi tidak panas.
Aku senang sekali, dan aku mulai terbatuk-batuk. Kucoba menenangkan din
dengan menarik napas panjang.
Tapi mana mungkin aku bisa tenang" Aku baru saja menyentuh batu dari
angkasa luar. "Mesti kutunjukkan pada Mom dan Dad!" kataku keras-keras.
Bisakah kuambil karang ini"
Meteorit ini tidak hangat lagi, tapi seberapa beratnya"
Kuusapkan tanganku yang berkeringat di kaki celanaku, lalu aku membungkuk
untuk mengangkat meteorit itu.
Wah, lebih berat dari yang kusangka.
Kupegang benda itu dengan dua tangan dan kuangkat dari tanah.
Tapi sebuah suara. kecil nyaring berseru, "Hei, letakkan aku!"
19 "HAH?" Kujatuhkan bola itu ke rumput. Benda itu berdebuk keras, tap tidak
berguling Aku hendak mengangkatnya lagi, tapi suara tawa di belakangku
membuatku kaget. Aku membalikkan badan "Billie! Kau ya" Kau yang bicara tadi?"
"Ya, aku. Siapa lagi?" Billie muncul dengan mata bersinar-sinar.
"Kau sedang apa di sini?" tanyaku.
"Aku melihatmu dari jendela," katanya "Kau tadi ketakutan ya?"
"Mungkin," sahutku. "Aku jadi menjatuhkan..."
"Kau mau apa dengan bola itu?" tanyanya.
Goosebumps - Invasi Makhluk Pemeluk Manusia 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itu bukan bola," kataku. "Itu meteorit dari angkasa luar, seperti yang
diberitakan di TV." Ia tertawa "Bohong!"
"Tidak Sungguh" protesku "Benda itu jatuh dari sebuah bola api raksasa
Cahayanya terang sekali, membutakan."
"Bo-hong," kata Billie dengan mimik tak percaya.
"Dengar," pintaku, "aku mendengar suara siulan, lalu benda itu meluncur cepat
sekali, sampai-sampai aku mengira aku sudah mati tertimpa."
"Bo-hong!" ulang Billie. "Jack, itu kan cuma bola. Kenapa kau mengarang
cerita konyol lagi" Kau bakal ditertawakan anak-anak lainnya."
"Aku tidak bohong!" teriakku. "Bola itu jatuh dari langit."
"Baiklah, Manusia Piring Terbang," sahut Billie.
"Diam!" teriakku.
"Manusia Piring Terbang! Man?sia Piring Terbang!" Billie berteriak-teriak.
"Itulah julukanmu selamanya."
Aku memandangi adikku itu sambil berlutut di samping meteorit tersebut. "Kau
benar-benar tidak melihat benda ini jatuh dari langit?"
Billie menggeleng. "Tentu saja tidak. Mana mungkin ada bola karet jatuh dari
langit malam-malam?"
Aku mengerang. "Ini bukan karet, tapi karang, Billie. Dari angkasa luar."
"Bo-hong," kata Billie untuk kesekian kalinya.
Mom dan Dad pasti percaya padaku, pikirku. Biasanya mereka tidak percaya,
tapi kali ini aku punya bukti.
Kuangkat meteorit itu dengan hati-hati
"Dasar konyol!" seru Billie. "Pakai pura-pura benda itu berat"
"Memang berat kok," erangku. Tanpa mengacuhkan tawa Billi, kubawa karang
itu dengan hati-hati. Billie mengikutiku sambil terus bergumam sepanjang jalan, "Manusia Piring
Terbang. Manusia Piring Terbang."
Aku masuk ke rumah dan lari ke ruang TV. Mom dan Dad menoleh. "Jack?"
kata Mom. "Ini dia" teriakku "Yang selama ini diberitakan di TV. Meteorit dari angkasa
luar. Mendarat di dekatku. Jatuh dari bola api raksasa. Sekarang kubawa
kemari!" Orangtuaku memandangi karang di tanganku.
"Bola kriket?" tanya Mom pada Dad.
Dad mengangkat matanya padaku. "Apa itu?"
Aku berusaha mengatur napas. "Ini jatuh dari langit!" seruku. "Ini meteorit.
Meteorit sungguhan."
"Aku melihat dua meteorit," kata Billie. "Tidak deh... lima. jatuh dari bulan."
"Billie, pergilah ke ruangan lain," perintah Dad dengan tegas.
Billie langsung mematuhi. Ia pergi.
Orangtuaku menghampiriku dengan ekspresi cemas. Dad menyentuh bahuku.
"Tidak apa, Jack. Kami mengerti bahwa kau sedang ketakutan."
"Berita-berita TV itu sangat mengganggu," kata Mom pelan sambil menggigit
bibir bawahnya. "Kau jadi ketakutan, tapi kau akan pulih."
"Ya, benar," kata Dad sambil mengangguk-angguk.
"Tapi ini meteorit!" kataku sambil meyodorkan benda berat itu pada mereka.
"Naiklah ke kamarmu dan ganti pakaian," kata Mom lembut sambil membelai
rambutku. "Berbaringlah di tempat tidur. Aku akan naik sebentar lagi."
"Simpan dulu bola itu," kata Dad. "Kulihat benda itu membuatmu takut."
"Ini bukan bola," ratapku.
"Kau akan sembuh,"kata Mom. "Kami akan mengurusmu."
"Kau akan pulih, Jack," Dad menimpali. "Besok pagi Dr. Bendix akan
memeriksamu. Tak usah cemas, oke?"
Aku hendak memprotes, tapi apa gunanya"
Mereka takkan pernah percaya, meski meteorit ini jelas-jelas ada di depan
hidung mereka. Aku tidak membantah lagi. Dengan lemas aku naik ke kamarku.
Kudengar Billie menyanyi keras-keras di ruang hawah:
Manusia Piring Terbang, Manusia Piring Terbang, mau ke mana"
Ke Jupiter dan Mars, mencari bola karet....
Aku sebal kalau Billie mengarang-ngarang lagu. Jelek sekali, dan kacau balau.
Aku masuk ke kamarku dan membanting pintu sekeras mungkin. "Kalian semua
bodoh," gumamku geram. "Nanti kalian akan menyesal karena tidak percaya
padaku. Dan aku tidak akan mau menerima permintaan maaf kalian."
Kuletakkan meteorit itu dengan hati-hati di tengah mejaku. Lalu aku ganti
pakaian dengan piama. Ketika hendak naik ke tempat tidur, aku mendengar suara-suara.
Nyaring melengking. Aku terperanjat. Kotak kecil itu sudah kukembalikan pad,a Mr. Fleshman, bukan"
Tapi suara-suara itu masih terdengar.
Berarti mereka ada di dalam kepalaku.
Aku benar-benar sinting. 20 KUTUTUPI telingaku, tapi suara-suara itu masih juga terdengar.
Dekat sekali, jauh lebih dekat sekarang.
Mereka bercericip dengan jelas di tengah siulan monoton itu, dan aku bisa
memahami ucapan mereka. Mereka akan datang. Segera. Sekarang suara itu mendesis. Kadang keras kadang pelan.
Kututupi kepalaku dengan bantal, tapi tak ada gunanya.
Kau akan membantu kami, kudengar kalimat itu dengan jelas, begitu jelas, hingga
membuatku merinding ngeri. Kau akan membantu kami. Kau akan siap.
Kau akan mengikuti rencana kami.
"Aku akan mengikuti rencana kalian," kataku dengan bisikan tertahan.
Lalu aku menjerit, "Tidak!"
Aku mesti melawan mereka. Supaya mereka tidak bisa mengendalikanku.
Tapi bagaimana caranya"
Suara-suara itu seolah mengelilngiku, berpusar di sekitarku.
Kau akan siap. Kau akan membantu kami menyebar kekuasaan.
Kekuasaan kami akan semakin luas Kau akan mengikuti rencana kami.
"Ya," bisikku "Ya."
Tapi aku mengertakkan gigi dan berusaha melawan. Kucoba untuk tetap
menjadi diriku sendiri Jack Archer.
Jack Archer tidak akan menjadi budak, begitulah tekadku. Jack Archer tidak
akan mematuhi mereka. Tidak akan membantu mereka.
Sementara suara-suara itu berdenging di telingaku, kuulangi menyebutkan
namaku berulang-ulang. Selama aku masih sadar siapa diriku, aku tidak akan
apa-apa. Aku duduk di tepi ranjang, seluruh ototku tegang. "Aku mesti memperingatkan
orang-orang," kataku keras-keras "Orang-orang mesti tahu bahwa makhlukmakhluk ini akan segera datang ke bumi."
Tapi bagaimana caranya" Siapa yang mau percaya padaku"
Orangtuaku sendiri mengira aku sinting. Kudengar mereka sedang
meninggalkan pesan lewat telepon untuk Dr Bendix di ruang bawah.
Siapa yang mau percaya padaku"
Kau akan siap untuk kami.
Kau akan membantu kami menyebarkan kekuasaan.
Kau akan menuntun kami untuk meraih kemenangan segera.
Kemenangan... kemenangan...
"Ya , aku akan siap!" seruku.
Aku merinding. Mereka kedengarannya begitu dekat. Kapan mereka akan
datang kemari" Kapan mereka mendarat di bumi"
Sebuah gagasan melintas dalam pikiranku. Aku teringat acara radio yang suka
didengarkan ayahku di mobil. Orang-orang menelepon untuk melaporkan
tentang UFO, atau bicara tentang Star Trek dan semacamnya.
Kunyalakan radio kecil di meja samping tempat tidurku. Acara musik.
Setidaknya bisa menenggelamkan suara-suara bising di kepalaku.
Kukecilkan volume radio, supaya Mom dan Dad tidak mendengar. Lalu aku
mencari-cari acara itu dari stasiun ke stasiun.
Ada penelepon sedang bicara tentang Klingon dalam salah satu episode Star Trek.
Aku menunggu nomor telepon stasiun radio itu disebutkan, lalu aku menghubungi
nomor tersebut. Enam kali pertama, salurannya sibuk. Pada percobaan ketujuh baru berhasil.
"Out of This World," kata seorang wanita derigan suara lembut yang sangat
menyenangkan. "Apa yang ingin Anda bicarakan?"
"Mereka akan datang!" seruku. "Makhluk planet akan datang!"
"Siapa nama Anda?" tanya wanita .itu dengan tenang.
"Jack Archer," kataku dengan suara gemetar. "Aku mesti memperingatkan
semua orang. Tinggal sebentar lagi. Mereka akan mendarat di bumi... segera!"
"Berapa umurmu, Jack?" tanya wanita itu.
"Dua belas," sahutku. "Tapi itu tidak penting. Aku mesti memperingatkan
semua orang. Anda mesti percaya padaku. Suara-suara itu mengatakan padaku
bahwa mereka akan datang segera."
Hening sejenak, lalu wanita itu berkata dengan suaranya yang lembut
menyenangkan, "Jack, maukah kau melakukan sesuatu yang sangat penting
untukku?" "Apa?" teriakku. "Melakukan apa?"
"Sesuatu yang sangat penting."
"Apa itu?" tanyaku.
" Teleponlah kemari sepuluh tahun lagi."
"Tapi... tapi...," aku terbata-bata.
Terdengar suara klik. Telepon ditutup.
Kubanting telepon itu ke meja. "Dia tidak percaya," gumamku marah.
Siapa yang mau percaya dan bisa menolongku"
Kuambil buku notes dan pensil dari laci meja. Aku mesti membuat daftar orang
yang mungkin mau mendengarkan dan mau menolongku.
1. Orangtuaku. Mesti dicoba sekali lagi.
2. Mr. Liss. Ia guru ilmu alamku. Mestinya aku langsung ingat padanya. Ia sangat
pintar dan tahu segala hal tentang ilmu alam.
3. Mr. Fleshman. Mungkin ia tidak akan percaya padaku, tapi dialah satu-satunya
orang yang kemungkinan mau mendengarkan.
Siapa lagi" Ada lagi" Tidak, rasanya tidak, tapi daftar ini sudah cukup untuk menenangkanku.
Kumatikan lampu dan aku siap-siap tidur. Meteorit di mejaku memancarkan
cahaya temaram. Akan kubawa benda itu pada Mr. Liss, pikirku, supaya ia tahu bahwa aku tidak
mengarang-ngarang. Mungkin dengan demikian ia akan percaya bahwa sesuatu
yang aneh memang sedang terjadi.
Akhirnya aku tertidur, setelah asyik memandangi meteorit itu dan
mendengarkan suara-suara yang mendengung di kepalaku.
Rasanya baru beberapa menit aku tidur. Tahu-tahu Mom sudah menyuruhku
bangun. Setelah berpakaian, aku cepat-cepat turun, mengucapkan selamat pagi
pada Mom dan Dad yang sedang minum kopi.
Aku ikut duduk dan menarik napas panjang.
Coba sekali lagi pikirku. Aku akan bicara dengan tenang sekarang, untuk
terakhir kali. Ketika aku mengangkat wajah, kulihat Mom dan Dad sedang memandangiku.
"Bagaimana perasaanmu pagi ini, Jack?" tanya Mom.
"Baik," sahutku. Aku menarik napas panjang lagi. "Aku baik-baik saja," kataku.
"Tapi ada yang mesti kuberitahukan pada Mom dan Dad."
"Apa?" tanya Dad sambil mencondongkan tubuh
"Ehm " Mendadak Billie lari masuk sambil berteriak-teriak, "Aku menemukan meteorit!
Lihat! Aku juga menemukan satu!"
21 "COBA lihat!" teriakku. Apa betul Billie menemukan meteorit"
Kusambar benda itu dari tangannya dan kuamati dengan saksama.
Tapi aku kecewa. Benda ini hanya bola karet yang biasa kami mainkan.
"Coba kulihat," kata Dad. Ia mengambil bola itu dari tanganku dan pura-pura
mengamatinya. Billie meleletkan lidah padaku. "Lihat, kan" Aku juga menemukan meteorit,"
ejeknya. "Tapi punyaku sungguhan!" teriakku. "Sungguhan!"
Aku tadi hendak bersikap tenang, tapi kenapa jadi begini"
Sekali lagi Billie telah mengacaukan semuanya. Sekarang orangtuaku takkan
pernah percaya padaku. "AAAAH!" Aku melolong marah dan melompat bangkit dari meja.
"Jack, habiskan sarapanmu!" perintah Mom.
Tapi aku lari keluar dari ruangan itu, naik tangga, melompati dua anak tangga
sekaligus. Kuambil ranselku dan kusambar meteorit itu dari meja. Lalu aku
keluar dari rumah. Kudengar orangtuaku berseru memanggil-manggil, tapi aku tak peduli. Aku
mesti mencari orang yang mau percaya padaku. Jangan-jangan cuma aku yang
tahu tentang apa yang sedang terjadi.
Seluruh planet ini bisa mendapat masalah, pikirku. Diserbu oleh makhlukmakhluk dari planet lain.
Dan orangtuaku lebih suka pura-pura percaya bahwa bola karet yang
ditunjukkan Billie itu benar-benar meteorit"
Tapi Mr. Liss pasti mau percaya. Ia guru ilmu alam. Orang-orang tentu mau
mendengarkan kalau ia yang bicara.
Aku berlari-lari kecil menyeberang jalan. Marsha dan Maddy lan
menghampiriku. Maddy menatap meteorit di tanganku "Kau masih membawa-bawa tanah liat
itu?" tanyanya "Kau tidak akan melemparkannya ke jendela lagi, bukan?"
Menurutku ucapannya tidak lucu, tapi kedua anak itu cekikikan.
Kucoba menjelaskan pada mereka, "Ini bukan tanah liat. Benda ini jatuh dari
langit. Ini semacam meteorit"
"Jack jatuh dari langit," kata Marsha pada Maddy
"Yeah, dengan kepala lebih dulu!"
Mereka tertawa terbahak-bahak.
"Kurasa makhluk asinglah yang mengirimkan meteorit ini, sebagai peringatan,"
kataku "Atau mungkin ini untuk mengetes atmosfer kita. Untuk melihat apakah
aman mendarat di sini."
Kali ini Marsha dan Maddy tidak tertawa. Mereka menatapku dengan tajam.
"Eh, Jack, masa kau percaya yang seperti itu?" tanya Maddy.
"Aku tidak bohong. Kalian akan lihat sendiri nanti," bentakku. Lalu aku lari.
Aku tidak mau menjadi bahan ejekan mereka lagi.
Kubawa meteorit itu dengan hati-hati, dengan dua tangan. Ketika aku lari masuk
ke gedung sekolah, beberapa anak menunjuk-nunjuk ke arahku sambil tertawa.
Aku naik ke laboratorium. "Mr. Liss?" panggilku. "Mr. Liss" Aku ingin
menunjukkan..." Tapi ia tidak ada di situ.
Baru dua jam lagi ada pelajaran ilmu alam. Aku tahu, tak mungkin aku
membawa-bawa meteorit ini sepanjang pagi, jadi kuletakkan benda itu di
sebuah rak yang penuh sesak di bagian belakang ruangan.
Lalu aku bergegas masuk kelas.
Pagi itu berlalu lamban. Aku tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Aku
terus melihat jam, menunggu kelas ilmu alam dimulai. Menunggu kesempatan
bicara dengan Mr. Liss. Aku akan sangat tenang, pikirku. Aku akan berusaha bicara seperti ilmuwan.
Mula-mula akan kutunjukkan meteorit itu, lalu akan kuceritakan tentang suarasuara di kepalaku. Suara-suara yang memberi peringatan padaku.
Kemudian kami akan mencari cara terbaik untuk memperingatkan semua orang
akan kedatangan makhluk-makhluk asing itu.
"Kau bisa menjawab pertanyaan itu, Jack?" tanya guruku.
Apa maksudnya" pikirku.
"Tidak," sahutku.
Seisi kelas tertawa.. Mrs. Hoff juga tertawa. "Kulihat kau sedang melamun," katanya
"Mungkin," sahutku.
Lalu kenapa" Aku sibuk berpikir tentang hal-hal penting.
Itu yang ingin kukatakan, tapi aku justru cuma duduk membiarkan diriku
dijadikan bahan tertawaan.
Goosebumps - Invasi Makhluk Pemeluk Manusia 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Begitu bel berbunyi aku langsung melompat bangkit. Aku serasa ingin terbang
ke ruang lab di atas. Tapi Mrs. Hoff memanggilku untuk memastikan aku sudah mencatat PR yang
mesti kukerjakan. Begitu aku tiba di lab, ruangan itu sudah penuh. Anak-anak sudah duduk di
tempat masing-masing, mengeluarkan buku catatan mereka. Mr. Liss sedang
bicara pada beberapa anak di depan ruangan.
Akhirnya! pikirku. Akhirnya aku bisa menunjukkan meteorit itu padanya dan
menceritakan apa yang terjadi.
Kuturunkan ranselku dan aku bergegas menuju rak di bagian belakang ruangan,
tempat aku meletakkan meteor itu.
Tapi aku terpekik kaget. Meteorit itu hilang! 22 Di mana meteorit itu" Di mana"
Aku tercekat dan lututku mulai lemas.
Terdengar suara tawa. Aku berbalik dan melihat Henry di lorong samping deretan jendela. Ia nyengir
padaku, lalu mengangkat tangannya. Meteorit itu ada padanya!
"Hei, kembalikan!" teriakku.
"Ambil saja sendiri, Manusia Piring Terbang!" balas Henry
Aku hendak menyambarnya, tapi Henry melemparkan benda itu pada Derek.
Aku melompat ke arah Derek.
Ia melemparkan benda itu kembali pada Henry.
Anak-anak lain tertawa dan bersorak-sorak.
"Hati-hati dengan benda itu," pintaku. "Itu bukan bola! Sungguh! Itu bukan
bola!" Henry melemparkan meteorit itu pada Maddy dan Maddy mengulurkannya
padaku."Ini, Manusia Piring Terbang!"
Aku hendak menyambarnya, tapi Maddy melemparnya lagi kepada Derek, dan
Derek mengopernya kepada Marsha.
"Jangan" teriakku "Jangan dijatuhkan! Itu meteorit dari angkasa luar! Jangan
dijatuhkan!" Kurasa tidak ada yang mendengarku. Seisi ruangan berisik sekali. Anak-anak
bersorak-sorak meminta Marsha melemparkan benda itu pada mereka.
Semuanya bertepuk tangan dan tertawa-tawa sambil berseru, "Manusia Piring
Terbang! Manusia Piring Terbang! Manusia Piring Terbang!"
"Hentikan!" teriakku panik.
"Kemarikan! Kemarikan!" teriak Henry sambil melambai-lambai pada Marsha.
"Jangan!" pintaku.
Marsha melemparkan meteorit itu kepada Henry di seberang ruangan.
Aku melesat untung-untungan, berusaha menangkapnya.
Meleset. Henry juga meleset. Benda itu lolos dari tangannya. Melayang ke luar jendela
yang terbuka. Anak-anak semakin keras berteriak-teriak dan bertepuk tangan.
Sejenak aku terpaku, memandang ke luar jendela. Lalu kudengar suara-suara itu
memerintahku, "Lompat! Lompat! Lompat!"
Aku memanjat ke tepi jendela.
"JANGAN!" Kudengar Marsha berteriak.
Aku melihat ke bawah, lima lantai ke bawah. Jauh sekali.Terlalu jauh untuk
melompat. Aku mulai pusing dan limbung, nyaris jatuh. Tak bisa! Tak bisa lompat!
"Lompat! Lompat! Lompat!" Suara-suara itu memerintahkan.
"Si Manusia Pirrng Terbang mengira dia bisa terbang " teriak Derek.
"Hentikan dia!" seru Maddy. "Tolong hentikan dia!"
"Lompat! Lompat! Lompat!" perintah suara-suara itu "Lompat! Lompat!
LOMPAT!" Mereka meneriakkan kata-kata itu di kepalaku.
"Ya" teriakku "YA! AKU AKAN MEMATUHI."
23 "TIDAAAAK!" Kudengar seseorang berteriak. Sesudahnya baru kusadari
bahwa yang berteriak itu aku sendiri. "TIDAK! Aku tidak akan melompat!
Tidak akan!" Aku mundur dari tepi jendela sambil menggelengkan kepala keras-keras untuk
mengusir suara-suara yang mencoba mengendalikanku itu.
Dengan berdebar-debar aku berbalik dari jendela, menghadapi puluhan wajah
yang keheranan dan suara bisik-bisik tertahan.
Aku menerobos anak-anak lainnya dan keluar dari lab, turun tangga, dan
menuju jalan. Di mana meteorit itu" pikirku sambil mencari-cari di jalan.
Benda itu jatuh dari lantai lima. Pecahkah" Atau hancur menjadi bubuk"
"YES!" teriakku ketika melihat benda itu tergeletak di antara rerumputan tinggi.
Aku menyambarnya dan memeriksanya. Ternyata tidak apa-apa.
Dengan hati-hati kuangkat benda itu. Lalu aku menengadah ke lantai hma
Anak-anak melongok dari jendela ruang lab, memanggil-manggilku
"Manusia Piring Terbang! Manusia Piring Terbang!" Suara itu melayang di
pekarangan sekolah. Mr. Liss ikut melongok ke bawah, memandangiku sambil geleng-geleng kepala
dengan kesal. Mendadak aku merasa sangat marah. Aku tidak tahan lagi.
Sebab Mr. Liss jelas tampak tak percaya saat menatapku.
Sekarang ia pun akan mengira aku sinting!
"Tidaaaak!" Aku menjerit marah.
Sambil memegangi meteorit itu erat-erat aku mulai lari, melintasi jalan dan
terus lari. Teriakan anak-anak itu terdengar di belakangku. Aku menoleh dan melihat Mr
Liss melambai-lambaii dengan panik, menyuruhku kembali ke gedung Sekolah.
Tapi aku tak mau kembali. Aku mesti menyingkir dari teriakan dan ejekan jahat
mereka. Aku lari pulang, melewati pekarangan-pekarangan rumah yang hijau dan trotoar
yang berkilat-kilat. Aku menyerbu masuk rumah. Tak ada siapa-siapa di rumah pada siang hari
begini. Dengan.terengah-engah aku naik ke kamarku.
Kuletakkan meteorit itu di mejaku, lalu aku membantingkan tubuh ke tempat
tidur. Kubenamkan wajahku yang berkeringat di bantal dan berusaha
menenangkan diri. Tapi suara-suara itu terdengar lagi
Memanggil-manggilku. Kau mesti mematuhi. Kau akan siap. Kami akan segera datang. Kau akan membantu kami memperoleh kemenangan.
"Ya!" seruku sambil bangkit berdiri. "Ya , aku sudah. siap. Ya, aku akan
membantu kalian." 24 AKU berdiri kaku di tengah kamarku dan memandangi meteorit itu, terus
memandanginya sampai benda itu menjadi bentuk samar-samar yang berkilauan
di mejaku. "Aku siap!" seruku. Suaraku bergema di rumah yang kosong. "Aku akan
mematuhi!" Suara-suara itu berceloteh penuh semangat. Aku mengerti bahwa mereka akan
segera tiba. Mereka bisa mendarat di bumi setiap saat.
Lalu apa selanjutnya"
Apa rencana mereka" Kata mereka, mereka ingin menyebar kekuasaan dan memperoleh kemenangan.
Apakah ini berarti mereka ingin mengobarkan perang"
Apa mereka hendak menyakiti manusia" Atau bahkan membunuh manusia"
Aku berusaha keras mendengar apa yang diucapkan suara-suara itu, tapi
sekarang mereka bicara cepat sekali, seperti suara tupai di film kartun. Aku
jadi sulit menangkap percakapan mereka.
Dari mana asal suara-suara ini" Lagi-lagi aku bertanya-tanya, sambil berdiri
kaku dan mendengarkan. Aku merasa pengaruh mereka mulai menguasai diriku.
Apa mereka benar-benar ada di dalam kepalaku"
"Perintahlah aku!" teriakku. "Aku sudah siap melayani."
Benarkah aku sendiri yang mengucapkan kata-kata tak masuk akal itu"
Suara-suara itu menguasaiku, tapi sesekali aku merasa menjadi diriku kembali
selama beberapa detik, dan bisa berpikir jernih.
Pada saat-saat sadar seperti itu, aku sempat melihat selembar kertas yang
tergeletak di mejaku, dan nama-nama yang tertulis di situ. Kertas itu berisi
daftar orang yang mungkin mau mendengarkan dan mau percaya padaku.
Mr. Fleshman! Ya. Namanya kutulis paling akhir di daftar.
Suara-suara itu mengelilingiku, membuatku seperti terhipnotis. Begitu banyak
suara. Lalu mereka diam sejenak, dan aku membalikkan tubuh dari mereka. Kupaksa
kakiku melangkah ke pintu.
Aku melesat ke tangga, keluar dari pintu belakang. Langit sudah gelap dan
udara terasa lembap. Aku menyelinap lewat lubang pagar dan menuju pekarangan belakang Mr.
Fleshman. "Dialah kesempatan terakhirku," aku bergumam. "Dia mesti percaya
padaku." Aku berhenti di bawah jendela belakang, sebab aku mendengar suara Mr.
Fleshman. Lewat kasa jendela kulihat tetanggaku itu sedang mondar-mandir di
dapur, bicara ditelepon genggam.
Aku hendak memanggilnya, tapi urung ketika mendengar kalimatnya.
"Ya, aku sudah siap," katanya di telepon.
Hah" Siap" Aku mendekatkan diri ke samping rumah, supaya bisa mendengar lebih jelas.
"Aku tahu, aku tahu," kata Mr. Fleshman. "Aku pernah kehilangan alat itu.
Diambil anak tetangga sebelah. Tidak, dia tidak tahu alat apa itu sebenarnya."
Jadi, kotak hitam itu bukan beeper"
Mr. Fleshman berbohong. Dengan berdebar-debar aku terus mendengarkan suaranya yang terdengar dari
jendela yang terbuka. "Aku sudah. mendapatkan kembali alat itu," katanya. "Benar, Jenderal, aku
sudah bisa mendengar suara mereka dengan jelas sekarang."
Dan jendela kuawasi ia mondar-mandir. Mendadak ia berbalik ke jendela,
matanya yang kelabu menatap tepat ke arahku.
Aku merunduk. Terus mendengarkan.
Apakah ia melihatku tadi"
Tidak. Ia berbicara lagi di telepon.
"Tidak, tidak masalah," katanya. "Mereka sudah di sini, Jenderal. Mereka sudah
mulai mendarat. Sebentar lagi invasi akan dimulai. Dengar, aku bisa menangani
mereka. Mereka tidak mungkin menang. Sama sekali tak mungkin. Akan kami
hancurkan mereka. Percayalah padaku, Sir. Akan kulakukan tugasku."
25 Ia berbohong padaku. Sekarang semuanya sudah jelas. Mr. Fleshman bukan ahli
efek khusus. Itu cuma samarannya. Ia sengaja menempatkan makhluk-makhluk dan hantu-hantu itu di
rumahnya untuk mengelabui orang. Dan aku sendiri sempat tertipu olehnya.
Tapi sekarang aku tahu yang sebenarnya. Mr Fleshman bekerja untuk
pemerintah. Mungkin ia dari ketentaraan, atau barangkali ia adalah agen khusus FBI yang
ditugaskan untuk menumpas makhluk angkasa luar.
Katanya ia sudah siap memerangi mereka. Katanya itulah tugasnya. Ia berjanji
pada atasannya akan memusnahkan mereka semua.
Aku menarik napas panjang dan pergi dari situ, kembali ke rumahku.
Aku mesti mengambil meteorit itu dan menunjukkannya pada Mr. Fleshman
Secepat mungkin. Ia tahu tentang invasi itu. Ia sudah mendengar suara-suara itu.
Ia tahu mereka akan datang.
Ia pasti tahu apakah meteorit ini merupakan kiriman dari para makhluk angkasa
luar. Aku lari cepat sekali, sampai tubuhku sakit dan pelipisku berdenyut-denyut.
Tanpa memedulikan rasa sakit itu aku masuk ke rumah dan naik tangga ke
kamarku. Suara-suara itu. Kusadari bahwa di luar tadi aku tidak mendengarnya lagi.
Aneh sekali.... Keringat mengalir dari dahiku, masuk ke mata. Tubuhku masih terasa sakit
karena berlari. Aku hendak masuk ke kamarku tapi terhenti di pintu.
Dengan sangat terkejut aku menatap meteorit di mejaku.
Benda itu... bergerak Kuusap kerigat dan mataku dengan punggung tangan dan aku berpegangan pada
pintu supaya tidak jatuh.
Seberkas cahaya hijau pucat memancar dari meteorit itu. Cahaya itu semakin
terang dan semakin terang, seperti matahari hijau kecil.
Cahaya terang itu berpendar-pendar di cermin di belakangnya. Semakin terang
dan semakin terang, hingga mernenuhi seluruh cermin.
Cahaya hijau itu menyelimutiku.
Kutudungi mataku dengan satu tangan, masih sambil berpegangan pada pintu
Cahaya itu hangat sekali, seperti cahaya matahari.
Ia menyebar di seluruh kamarku hingga segala. Sesuatu di dalam ruangan ini
ikut bersinar hijau terang.
Lalu kulihat meteorit itu bergerak lagi.
Berguncang dan bergoyang.
Ia berputar di meja. Semakin cepat, hingga tinggal berupa pusaran cahaya hijau
samar. Lalu ia berhenti. Terdengar suara KRAK keras dan panjang, seperti bunyi kenari dipecahkan.
Di puncak meteorit itu tampak sebuah lubang kecil segi empat.
"Ohhh" Aku berseru ngeri. Aku masuk ke kamar, ke tengah cahaya hijau itu.
Aku ternganga ketika sebuah tongkat hijau kecil muncul dari lubang di meteorit.
Lalu satu lagi. Tidak Itu bukan tongkat. Itu sepasang lengan Atau mungkin kaki
Ada sesuatu yang merayap keluar.
26 KAKIKU gemetar, dadaku turun-naik. Tapi aku maju lebih dekat.
Aku mesti melihatnya. Mesti melihat makhluk ini dengan jelas.
Sambil menyipitkan mata ke arah cahaya hijau itu, kulihat sebuah kepala yang
ramping muncul dari lubang meteorit. Bentuknya sempit, warnanya hijau,
berkilat basah. Seperti kepala kadal. Kedua kaki depannya terjulur, kepala itu bergerak ke belakang... mengendusendus, menghirup udara untuk pertama kali.
Lalu sebuah tubuh hijau ramping naik, dari lubang meteorit itu. Seperti tubuh
serangga, mirip sebatang kayu.
"Ohhh!" Aku memekik ngeri. Seluruh tubuhku gemetar. Kuangkat kedua
tanganku ke pipi tanpa melepaskan pandang dari makhluk itu.
Aku terpaku mengamati kaki-kaki depan makhluk itu turun pelan-pelan ke atas
meja, diikuti oleh tubuhnya yang kurus, lalu kaki-kaki belakangnya.
Basah. Basah dan berkilat. Makhluk itu berdiri di atas keempat kakinya.
Ukurannya sedikit lebih besar daripada belalang.
Ia mengangkat kepala. Dua mata oval, hitam berkilat, menengadah ke langitlangit, mengendus udara sekali lagi.
Ia mengendus lebih keras.
Keempat kakinya membuat suara basah ketika melangkah ke tepi meja.
Sementara aku memandangi dengan takjub, kaki-kaki itu tampaknya mulai
tumbuh. Membesar. Makhluk itu melangkah lagi. Kakinya menimbulkan bunyi basah pada setiap
langkah. Tubuhnya yang ramping mulai membulat, begitu pula kepalanya.
Sekarang ia sudah sebesar kadal.
"Ini... ini luar biasa" bisikku.
Perlahan-lahan makhluk itu menuruni bagian depan meja. Kepala lebih dulu.
Ia semakin besar. Dan semakin besar.
Goosebumps - Invasi Makhluk Pemeluk Manusia 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di mejaku tampak sejalur lendir putih kental yang terus menetes ke depan meja,
mengikuti makhluk itu. Lalu suara-suara itu terdengar lagi.
Bercericip penuh semangat.
Sekarang lebih keras. Jauh lebih keras.
Dan kusadari bahwa suara-suara itu berasal dari dalam meteorit.
Bukan dari dalam kepalaku.
Jadi, rupanya aku sama sekali tidak sinting. Suara-suara itu memang ada,
berasal dari dalam meteorit.
Makhluk itu mendarat di lantai. Kakinya yang basah menimbulkan suara PLOK
pelan... dan ia melebar di lantai.
Sekarang ia berdiri di atas kaki belakangnya. Membesar... semakin besar..
sampai setinggi meja. Sepasang lengannya yang ramping berkilat dan melebar, membentuk tangan.
Mulanya tangan itu hanya berupa kepalan, lalu membuka, menampilkan tiga
jemari di setiap tangan. Kepalanya juga berubah. Matanya yang hitam oval membesar dan sebuah dahi
persegi terbentuk. Hidungnya tertarik ke belakang. Sekarang aku melihat dua
lubang hidung yang dalam dan sebentuk mulut kecil tanpa bibir.
PLOK... PLOK.. Makhluk itu maju dua langkah dari meja.
Di belakangnva tampak jejak lendir putih.
Makhluk itu semakin tinggi dan semakin lebar.
Ia mengangkat matanya yang berkilat, sampai... sampai... aku melihat pantulan
diriku di dalamnya! Ia melihatku! Makhluk angkasa luar itu melihatku!
Sementara aku ternganga ngeri dan ketakutan, ia menjulurkan sepasang
lengannya yang panjang dan membuka tangannya yang berjemari tiga.
Tangan itu begitu basah dan hijau... bersinar seperti rumput tersiram embun
tebal. Ia masih terus tumbuh meregang lebih trnggi daripada diriku.
PL000K... PL000K... Ia menguluurkan sepasang lengannya.
Dan menghampiriku. BERSAMBUNG Baca kelanjutannya: Invasi Makhluk Pemeluk Manusia
Bagian 2 Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Kelana Buana 5 Pendekar Pulau Neraka 12 Gadis Buronan Bukit Pemakan Manusia 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama