Ceritasilat Novel Online

Petualang Malam 3

Goosebumps - Petualang Malam Bagian 3


menunggu sampai Lenny berpaling. Kemudian ia mengambil sebuah bola es dan
melemparkannya ke Lenny dengan segenap tenaganya. Bola itu meluncur ke udara
yang jernih dan dingin dengan cepatnya.
Spencer mengawasi dengan ketakutan ketika bola itu berdesir melewati Lenny dan menghantam Jordan di bagian samping kepalanya.
Jordan menjerit. Ia lari seakan-akan dihantam sebuah palu.
Sebelum Jordan bisa berdiri, Spencer menyambar bola es yang lain dan
melemparkannya ke Lenny. Tembakan yang tepat. Bola itu menghantam mulut
Lenny. Lenny berteriak dan memegangi wajahnya.
Spencer tersenyum suram. Itu balasannya karena memukulku tadi malam, pikirnya.
Spencer melihat darah menetes tipis di sudut mulut Lenny.
Lenny mengusapnya dengan sarung tangannya. Tetesan darah melumuri salju yang
putih. Lenny menarik Jordan berdiri dan menunjuk Spencer. Jordan mengusap kepalanya.
Lenny dan Jordan menghampiri Spencer dengan geram.
Spencer merasakan perasaan ketakutan naik ke tenggorokannya.
Diane berhenti melemparkan bola salju. "Apa yang akan kalian lakukan?"
teriaknya. "Spencer pakai bola salju," Lenny menggeram.
Kedua gadis itu menatap Spencer. "Kenapa?" desak Diane.
Spencer tidak sanggup menatap mata Diane.
Ia mengangkat bahu. "Aku tidak bermaksud begitu. Mungkin bola-bola itu
membeku." Lenny dan Jordan berdiri di kanan-kiri Spencer. "Mungkinkah bola-bola itu
membeku?" ulang Lenny. "Menyerahlah! Kau membuatnya keras seperti batu karang."
Spencer merasa jantungnya berdegup kencang. Apa yang ada dalam pikiranku"
tanyanya dalam hati. Menghadapi Lenny seorang saja aku tidak sanggup, apalagi
ditambah Jordan. Ia berusaha bersuara tegar. Namun sebaliknya suaranya gemetar. "Ini hanya perang
bola salju yang konyol. Kenapa kalian menganggapnya serius, Lenny?"
Lenny mendengus. "Kenapa kau tidak?"
Lenny melompat maju. Jordan bergerak pada saat yang bersamaan. Mereka
mendorongnya dengan kepala duluan ke salju yang dalam.
"Ayo kubur dia!" teriak Jordan.
"Ide bagus!" teriak Lenny sambil tertawa.
Menyingkirlah! perintah sebuah suara di kepala Spencer.
Merangkaklah menjauhi mereka!
Ia bergerak dengan susah payah. Mencoba mengusap salju dari matanya.
Tapi Lenny memegangi tangannya. Kemudian duduk di atas kakinya.
Spencer menarik salah satu lengannya. Tapi salju memenuhi mata dan mulutnya.
Putih di sekelilingnya sekarang. Putih beku.
Yang mana" pikir Spencer dengan kalut. Arah mana ke atas" ia mencakar dengan
membabi buta di salju. Tapi salju itu begitu berat di atas lengannya. Berat di punggungnya.
Spencer merasakan mereka menimbun lebih banyak lagi salju ke atas tubuhnya.
Merasakan salju itu menindih tubuhnya ke bawah.
Bahkan lebih dalam masuk ke salju yang putih.
Ia tak bisa bernapas. Walaupun ia berusaha mati-matian untuk bernapas, ia merasa
salju menutup mulutnya. Tenggelam, pikirnya. Aku sedang tenggelam di dalam salju.
Sayup-sayup ia mendengar Diane dan Cassie sedang tertawa.
Lenny dan Jordan mengoceh, "Kubur dia! Kubur dia!"
"Hentikan," pinta Spencer. Tapi salju memenuhi mulutnya.
Lidahnya terasa membeku. Kebas. Ia tercekik, mulutnya dipenuhi salju yang
dingin menggigit. "Lenny!" Spencer mendengar suara Diane. "Hentikan. Ia akan beku!"
Suara tawa Lenny terdengar bermil-mil jauhnya. "Ini cuma main-main!"
Cuma main-main! Kata-kata itu bergaung di kepala Spencer.
Main-main. Dinginnya es menekan baju dan sepatunya.
Ia tidak merasakan tangannya. Lengannya. Kaki dan tungkainya.
Begitu gelap di dalam salju. Begitu sunyi. Beban salju menekan tubuhnya.
Meremukkannya. Melumpuhkannya. Suara-suara terdengar sayup-sayup. Tertawa. Mengoceh.
"Kubur dia! Kubur dia!"
Dikubur hidup-hidup. Spencer mendorong salju yang membungkusnya. Mendorong dinding-dinding
beku. Mendorong dengan segenap tenaganya.
Otot-ototnya tegang. Ia masih tertimbun salju.
Beku. Spencer panik. Apa yang harus kulakukan" Bagaimana cara memberitahu mereka
kalau tubuhku membeku"
Tenang, katanya pada dirinya sendiri. Tetaplah tenang.
Diane akan mengeluarkan dia. Diane tidak akan membiarkan Lenny menyakiti dia.
Suara-suara. Dengungan suara-suara. Spencer mencoba berkonsentrasi pada suara
itu. Rasanya mereka jauh sekali.
Rasa sakit menusuk tungkai kanannya. Ia bergerak dengan susah payah.
Capek. Terlalu capek untuk mencoba lagi. Waktu berlalu.
Berapa lama" Ia tidak yakin. Ia mendengar suara Lenny. Lebih keras daripada
sebelumnya. "Larilah pulang, Spencer!" teriak Lenny.
"Kita tak bisa meninggalkan dia di sini," terdengar suara Diane. "Ia akan beku."
"Ia baik-baik saja," kata Jordan. "Ia hanya marah... asyik juga ya membayangkan
jika ia tak bisa keluar dari timbunan salju."
Spencer meregangkan tubuhnya untuk mendengarkan suara-suara itu. Aku tak bisa
bergerak! ia ingin menjerit. Tolong aku!
Seseorang, kumohon! Aku tak bisa keluar! "Ayo pulang ke Shadyside," terdengar suara Lenny lagi.
"Kita tak bisa meninggalkan Spencer," Diane mendebat Lenny.
"Ia punya mobil. Ia bisa pulang dengan mobilnya."
Suara siapa itu" Ia merasa bingung. Siapa yang sedang bicara"
Suara-suara itu memudar. Hening. Spencer bertanya-tanya apakah ia tertidur. Sekarang ia merasa capek sekali.
Ngantuk berat. Ia mendengar suara mobil distarter.
Suara itu mengagetkan Spencer.
Jeep Jordan! Mereka menstater Jeep itu! Ketakutan menyelimuti Spencer. Ia
mendorong salju dengan sekuat tenaganya. Ia membuka mulut untuk menjerit, tapi
mulut itu malah dipenuhi salju lebih banyak lagi.
Satu-satunya hal yang bisa ia teriakkan sekarang adalah pikirannya.
Mereka tidak boleh pergi! Mereka tidak boleh meninggalkannya seorang diri di
sini. Terkubur di dalam salju. Terkubur hidup-hidup. Kembalilah, ia meratap dalam sunyi.
Aku tak bisa bergerak. Aku tak bisa bernapas.
Aku amat kedinginan. Diane, please. Kau kan tidak akan membiarkan aku mati di sini"
Kau kan tidak akan meninggalkan aku"
Ya, kan" MUSIM DINGIN Chapter 20 "DIANE!" Kudengar Cassie mernanggilku dari seberang kantin.
"Di sini, ya!" Setiap Kamis Cassie selalu lebih dulu sampai ke kantin. Ia memilih meja yang
biasa kami tempati. Aku membawa bakiku ke sana. Lenny dan Jordan duduk di seberangnya. Aku
mengambil kursi kosong di samping Cassie.
"Aku tak tahu kenapa aku tergoda membeli makanan," kataku kepada mereka.
"Aku terlalu gugup untuk makan."
Lenny mengambil separo sandwich kalkunku dan mulai mengunyahnya.
"Aku tahu apa yang kaumaksud," kata Cassie. "Aku tak bisa tidur tadi malam. Aku
terlalu cemas memikirkan surat Spencer."
"Surat itu membuatku merinding," kata Jordan. "Rasanya seperti ada seseorang
yang ingin membunuh kita."
"Bagiku itu gurauan yang memuakkan," kata Lenny.
"Aku tak mengerti," kata Cassie. Payah juga anak ini.
"Seharusnya tadi malam kita bilang pada Spencer bahwa kita tidak akan ikut
Petualangan Malam lagi," kataku kepada mereka. "Bukankah kita telah sepakat?"
Kami memang merencanakan untuk memberitahu Spencer bahwa Petualangan
Malam sudah selesai. Tapi kenapa kami tidak mengatakan apa-apa, ketika ia
datang ke rumahku membawa surat itu"
"Apa yang kita lakukan itu begitu buruk?" tanya Jordan sambil mengangkat bahu.
"Kita kan hanya main petualang-petualangan."
"Tapi Spencer mencuri sesuatu!" teriak Cassie. "Kita semua bisa terseret dalam
kesulitan karena perbuatannya. Dan sekarang seseorang mengancam kita!"
Jordan mengangguk dengan tenang. "Kukira kau benar," ia mengakui. "Jelas
seseorang tahu tentang kita. Kuharap kita berhasil mendapatkan jawabannya siapa
dia." Aku mulai memikirkan orang-orang yang bisa jadi tersangka.
Pertama Bryan. Apakah dia orang yang mengirimkan pesan-pesan ancaman itu dan
meneleponku. Siapa lagi yang mungkin"
Mr. Crowell" Tak seorang pun percaya, tapi Lenny yakin dialah orangnya.
Cassie mencurigai Spencer. Tapi kemudian ia muncul dengan surat itu.
Bryan satu-satunya yang mungkin.
Tapi mengapa" Mengapa ia berusaha menakut-nakuti kami"
Dan apa yang akan dilakukannya selanjutnya"
*** Lenny mau bicara dengan Mr. Crowell, asal aku berjanji menunggunya di luar
kelas selama ia bicara. Pelajaran sudah berakhir hari itu. Aku menemani Lenny ke ruang Mr. Crowell.
Aku berdiri di koridor yang sunyi, dekat pintu kelas. Lenny mengenakan celana
dril yang bersih dan rapi dipadu dengan sweter pullover biru tua. Ia bahkan
menyisir rambutnya. Aku tahu ia ingin memberi kesan baik pada Mr. Crowell.
Percuma. Aku merencanakan untuk menguping pembicaraan mereka.
Tapi aku tidak harus menguping, karena Lenny dan Mr. Crowell mulai saling
berteriak cukup keras untuk bisa didengar seluruh sekolah.
Aku melihat ke sekeliling dengan gugup. Apa sebaiknya aku masuk untuk
menghentikan mereka"
Bagaimana kalau Lenny kehilangan kendali dan memukul Mr. Crowell"
Ia akan dikeluarkan dari sekolah.
Aku meraih pegangan pintu. Sebelum aku menyentuhnya, pintu menjeblak terbuka
menghantam dinding. Lenny menerobos melewati aku dan berjalan di koridor itu.
Ia tidak melihat aku. Aku lari mengejarnya. Akhirnya aku berhasil mengejarnya di dekat ruang
olahraga. Lenny berhenti mendadak di depan pintu yang terbuka. Aku mendengar
suara anak-anak yang tergabung dalam tim basket sedang berlatih di dalam.
Oh, pikirku, Lenny benar-benar kehilangan kontrol sekarang. Tangannya
dikepalkan membentuk tinju. Wajahnya bersinar merah padam penuh kemarahan.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku.
"Kau salah, Diane," katanya lewat gigi-gigi yang dikatupkan.
"Apa yang terjadi dengan Mr. Crowell?" desakku.
"Katanya aku menghabiskan waktunya. Katanya aku tidak akan pernah berubah."
Suara Lenny bergetar penuh kemarahan. "Ia memanggilku pecundang."
"Jadi kau kehilangan kendali" Kau marah padanya" "
Lenny menggoyang kepalanya keras-keras. Ia menatapku dengan marah. "Apa yang
mungkin harus kulakukan?" teriaknya. "Hanya berdiri di sana, membiarkan dia
memanggilku pecundang?"
Jordan lari dari lapangan basket. Ia muncul di pintu. Mata mereka bertatapan,
lalu mereka saling mengangguk.
Aku merasakan rasa dingin menyapu tubuhku. Aku tak pernah melihat Jordan dan
Lenny begitu kaku. Begitu pasti. Begitu marah.
"Apa yang akan kalian lakukan?" bisikku. Kucengkeram tangannya.
Ia menekan jariku keras sekali sampai sakit.
"Petualangan Malam sekali lagi, Diane," kata Lenny dengan gigi dikertakkan.
"Kunjungan sekali lagi ke rumah Mr. Crowell."
Chapter 21 KAMI bertemu di belakang rumah Spencer tengah malam. Suhu udara turun
drastis siang hari tadi. Udara malam membekukan napasku menjadi awan-awan
berasap. Aku menggigil di dalam jaket kulitku. Lenny tidak memakai mantel. Kupikir ia
bahkan tidak memedulikan udara yang dingin.
Jordan dan Cassie saling berpelukan. Udara terlalu dingin bagi mereka untuk
bertengkar. Tak seorang pun yang bicara.
Kami menunggu selama setengah jam sebelum akhirnya Spencer keluar dari
rumahnya. Ia tidak minta maaf karena terlambat. Sebaliknya ia memimpin kami menembus
malam tanpa bicara sepatah kata pun. Ekspresi wajahnya persis Lenny.
Serius. Tegar. Jalanan yang kosong membuat langkah kami menggema. Kulihat rumah-rumah
yang gelap. Kubayangkan orang-orang tidur di dalam. Aku berharap bahwa aku
ada di rumah berbaring di atas ranjangku sendiri. Tidak berada di luar, di udara
dingin yang membekukan, merayap melewati bayang-bayang.
Aku mengawasi Spencer ketika ia berjalan di depan kami. Ia mengenakan pakaian
serba-hitam lagi. Gerakannya anggun seperti seekor panther. Seorang pemburu
malam. Kapan ia berubah begitu banyak"
Kami tiba di rumah Mr. Crowell. Rumah itu kelihatan kosong.
Tak ada lampu-lampu Natal yang berkilatan.
Tak ada mobil di jalan masuk.
Lenny naik ke jendela samping yang biasa kami gunakan sebelumnya. Aku
menangkap tangannya. "Bagaimana kalau ia sedang menunggu kita di sana?" bisikku.
Lenny menyentakkan lengannya.
Aku berpaling kepada Spencer. "Bagaimana kalau ia memanggil polisi dan mereka
menunggu kita" Ini tindakan bodoh!"
"Ayolah, Diane," desak Spencer. "Kau sudah datang jauh-jauh begini. Ini hanya
gurauan." "Aku tak peduli apakah ia ada di rumah atau tidak," hardik Lenny. "Ayo masuk.
Kuharap ia ada di rumah!"
Lenny menerobos melewatiku untuk mencapai jendela. Aku tak dapat bergerak.
Kakiku tiba-tiba terasa gemetar dan lemah.
Gairah malam itu menakutkan aku. Tak satu pun dari Petualangan-petualangan
Malam yang dimulai dengan cara begini.
Dengan begitu banyak kemarahan.
"Kau ikut atau tidak?" desak Lenny.
Cassie menghela napas dan bergayut ke Jordan. Jordan mengangguk.
Pelan-pelan aku mengikutinya masuk. Aku begitu takut. Aku berharap Mr. Crowell
melompat keluar menerkamku kapan saja.
Aku maju selangkah ke dalam ruang yang gelap itu.
Suara berisik benda jatuh membuatku menjerit.
Kakiku tersangkut kabel listrik. Aku menjatuhkan sebuah lampu ke lantai.
Teman-temanku menertawakanku. Aku mengangkat lampu itu dan meletakkannya
kembali. Kutepuk tudung lampu yang bengkok itu agar kembali ke bentuknya
semula dengan tangan gemetar.
Rumah itu gelap gulita. Cassie melingkarkan lengannya ke tubuhku. Aku merasakan tangannya yang
gemetar. Cowok-cowok itu menyebar ke dalam ruangan. Lenny berdiri tepat di depanku.
Bulan muncul dari balik awan dan membiaskan cahaya putih mengerikan lewat
sebuah jendela. Cahaya itu membuat benda di tangan Lenny berkilatan.
Pistol"

Goosebumps - Petualang Malam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jangan! Jangan Lenny. Jangan pistol.
"Lenny!" teriakku. "Apa kau gila" Apa yang akan kaulakukan?"
Chapter 21 "LENNY, kumohon jangan...!" teriak Cassie sambil bergayut erat di tanganku.
"Seseorang akan terluka."
Aku tak bisa bicara. Aku hanya bisa menatap benda yang berkilatan di tangan
Lenny. Lenny mengangkat tangannya pelan-pelan. Ia mengacungkan benda itu. Senjata itu
berkilauan tertimpa cahaya.
Aku mundur selangkah. Waktu seperti berhenti.
"Singkirkan itu," bisik Cassie.
"Hanya menakut-nakuti kalian berdua," kata Lenny. "Tak seorang pun akan
terluka." Ia mengayunkan lengannya ke atas.
"Singkirkan itu," Cassie berkeras. Ia memejamkan matanya dan memelukku.
Aku memaksa diri untuk melihat... kaleng cat semprot. Kaleng cat semprot"
Rasa lega membanjiri diriku. Aku menghela napas.
"Cassie, itu hanya cat semprot," ujarku.
Ia membuka matanya dan mulai tertawa.
"Apa yang akan kaulakukan dengan cat itu?" bisikku.
Lenny tersenyum. "Kayaknya aku akan menghias lagi sedikit."
"Lenny, jangan!" pintaku. "Ini akan membuatmu lepas kendali."
"Crowell pantas menerima ini," sahut Lenny dengan kalem.
Ia mengocok kaleng cat itu. Suara keras kaleng cat semprot dikocok bergema di
ruangan yang sunyi itu. "Lenny, jangan," bisikku. Kutarik tangannya, tapi ia mengibaskan tanganku.
Ia mengocok kaleng itu lagi. Melangkah menuju dinding.
Perutku melilit. Kakiku jadi seperti karet.
Tapi aku berdiri dan mengawasi Lenny.
Ia berjalan ke rak buku dan mulai menyemprotkan cat itu membentuk zigzag tebal
ke atas semua buku. Ia mengayunkan lengannya ke sekelilingnya, mengubah dari
bentuk zigzag menjadi lingkaran yang besar. Kemudian spiral.
Ia tertawa keras. "Hei, ini menyenangkan! Ingin mencoba?"
"Tidak," teriakku kembali.
Aku tak tahan lagi. Tiba-tiba aku merasa kasihan pada Mr. Crowell. Ini sudah
kelewatan. Aku lari keluar dari ruangan itu. Keluar ke koridor yang gelap.
"Cassie?" bisikku. "Di mana kau?"
"Di sini!" serunya. Aku terhuyung ke depan ke kegelapan sampai kutemukan dia.
"Kita harus keluar dari sini!" teriakku. "Ini mengerikan. Aku tak ingin ikutikutan dalam bagian ini!"
"Di mana mereka?" tanya Cassie.
"Apa maksudmu?" Aku mulai. "Mereka tepat..." Suaraku melemah ketika aku sadar
bahwa aku tidak mendengar kaleng semprot Lenny lagi. Aku panik.
"Di mana mereka?" teriakku. "Aku tak mendengar mereka."
Cassie menyambar lenganku. Kami berjalan merapat sepanjang dinding. Kami
berjalan pelan-pelan berbelok ke koridor yang pendek.
Di sini bahkan kelihatan lebih gelap. Tiba-tiba aku mendengar bisikan-bisikan
bergairah. Cassie mendengar juga. Jari-jarinya menekan lenganku.
Aku maju selangkah. Cassie berjalan begitu dekat di belakangku sehingga ia
menginjak tumitku. "Sori," bisiknya.
Aku mengikuti suara-suara itu. Keadaan begitu gelap sehingga aku berjalan dengan
tangan terjulur di depanku agar tidak menyenggol barang-barang. Lantai papan
berdecit setiap kali aku melangkah.
Cassie berpegangan pada bagian belakang jaketku.
Aku merasakan kain yang kasar. Wol. Aku menggerakkan tanganku lebih dekat.
Mungkin sebuah mantel. Sebuah mantel. Mantel itu bergerak. Aku menjerit dan terhuyung ke belakang, ketika seseorang
menarik mantel itu ke atas kepalaku.
Aku menubruk Cassie. Aku mendengar jeritannya.
Aku melepaskan mantel yang berat itu dari wajahku - dan menyambar
penyerangku. Tak ada orang. Mantel itu kosong.
Penyerangan oleh sebuah mantel!
Aku sekarang berada dalam gelap.
Aku jatuh terduduk, jantungku berdegup kencang.
Cassie berdiri dan kemudian membantuku. Napasku tersengal-sengal. "Kupikir
seseorang - " "Aku juga," Cassie tercekik. "Mantel itu jatuh dan - "
"Ayo kita cari mereka lalu keluar dari sini," kataku.
Ia mengangguk. "Ikuti jalan ini."
Kami berjalan di koridor itu lagi. Jalan pelan-pelan. Tanganku meraba-raba dalam
kegelapan. Aku mendengar napas terengah-engah. Suara Lenny. Jari-jariku bertemu dengan
jalan buntu. Pintu kamar tidur tertutup. Aku mendorongnya terbuka. Menimbulkan
suara berdecit yang keras.
Cassie melepaskan pegangan pada jaketku dan menghilang ke dalam kamar yang
gelap. Aku hanya berdiri di pintu. Kupicingkan mataku melihat dalam kegelapan.
Cahaya berkilat. Cassie telah menemukan saklar di dinding.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku merasa silau karena cahaya lampu yang terang.
Aku melihat Spencer dan Jordan. Mereka berdiri saling berdekatan. Sambil
menatap sesuatu di atas lantai.
Aku mengikuti pandangan mereka.
Mr. Crowell! Ia telentang di atas lantai. Tungkainya terentang. Kedua lengannya terkulai kaku
di samping tubuhnya. Tangannya mengepal rapat.
Matanya yang hitam dan dingin mendelik kosong ke lampu langit-langit yang
terang. Ia tidak berkedip. Spencer membungkuk di atas tubuhnya, Kemudian ia mendongak menatapku.
"Ia mati," bisik Spencer.
Chapter 23 PERUTKU mulas. Aku tak bisa bernapas. Kututup mulutku dengan kedua
tanganku. Aku tak dapat memalingkan mataku dari sosok tubuh yang tertelentang kaku di
atas lantai. Tubuh Mr. Crowell. Cassie jatuh berlutut. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan mulai
meratap. Pelan-pelan aku berjalan menghampiri Mr. Crowell. Siapa tahu ia akan hidup lagi,
aku tahu itu. Ia akan duduk dan berteriak kepada kami. Mengatakan kepada kami
bahwa itu hanyalah gurauan.
Tidak. Ia tetap diam sempurna.
Membeku. Spencer dan Jordan menatapku. Wajah mereka seputih kapur.
Aku berlutut di samping Mr. Crowell, memaksa diriku untuk melihat wajahnya.
Kulitnya berwarna abu-abu kusam. Di bawah matanya ada lingkaran-lingkaran
cokelat. Bibirnya yang tipis meringis kesakitan. Kacamatanya tergeletak di atas
karpet di dekat kepalanya. Kacanya berhamburan dari bingkainya yang bengkok.
Kedua lensanya telah hancur.
Mataku menjelajahi tubuhnya lagi. Tangannya kaku membentuk cakar. Ia pasti
sedang mencakar kacamatanya sebelum mati. Melihat teror yang dihadapinya"
Melihat pembunuhnya"
Kuulurkan tanganku untuk menyentuh tangannya, tapi berhenti.
Lantai papan itu berderak. Kami semua melompat. Aku menoleh. Kulihat Lenny
berjalan masuk ke ruangan sambil menyeringai. Ia memandang wajahku sekali,
lalu berhenti. Rahangnya turun karena shock.
"Apa yang teijadi?" tanyanya.
Tak seorang pun yang menjawab.
Aku menunduk melihat Mr. Crowell sekilas. Kemudian rasa mual menghantamku
lagi. Aku terhuyung-huyung sambil mencengkeram perutku. Aku berjalan cepatcepat menyeberangi ruangan sambil berusaha menahan muntahku.
Siapa yang telah melakukan ini" Siapa yang membenci Mr. Crowell sampai
membunuhnya" Cassie bergegas menghampiriku dan merangkulku.
Suara Jordan memecah keheningan. "Jangan menyentuh apa pun," perintahnya.
"Bagaimana ia bisa mati?" gumamku.
"Mungkin saja, kan?" bentak Jordan. Ia menatap Lenny. "Kita tidak membunuh dia.
Kita harus keluar dari sini. Kalau polisi menemukan kita masuk ke sini..."
Lenny mengangguk dengan wajah suram.
Aku tak bisa berpikir. Apakah Jordan benar" Apakah guru itu sudah mati ketika
kami tiba" Pikiranku kacau-balau. Lenny. Lenny amat sangat membenci Mr. Crowell. Lenny punya fantasi membunuh dia.
Kutatap Lenny dengan ketakutan. Lenny tidak ada di situ ketika kami menemukan
tubuh itu. Di mana dia"
Tidak. Lenny tidak dapat membunuh Mr. Crowell. Lenny tak dapat membunuh
seorang pun, kataku pada diri sendiri.
Spencer meletakkan tangannya di atas bahuku. Aku terlompat.
"Ayolah, Diane," katanya dengan tenang. "Kita harus keluar dari sini."
Aku tak bisa bergerak. Spencer berlutut di depanku dan menatap mataku.
"Apakah itu Lenny?" bisikku. "Apakah Lenny bertindak terlampau jauh?"
Spencer hanya menatapku. "Kita harus pergi," katanya akhirnya. Ia berdiri dan menarikku berdiri. Kemudian
ia mendorongku menuju pintu kamar tidur. Yang lainnya sudah merayap menuju
jendela samping. Lenny berhenti mendadak. "Ada apa?" tanya Jordan.
"Apa yang kupikirkan?" ratap Lenny. "Aku mengecat dinding dengan cat semprot!
Polisi akan melihatnya!"
Jordan menyambar lengan Lenny. "Kau tidak menandatangani namamu, kan?"
Lenny menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tapi - "
"Polisi tidak akan punya bukti," kata Jordan kepadanya. "Cepat! Ayo pergi!"
Lenny tidak bergerak. "Kaleng cat semprot itu," gumamnya. "Di mana kaleng itu?" Ia mencari-cari di
sekitarnya dengan kalut. "Aku tak bisa pergi tanpa kaleng itu! Sidik jariku ada
di kaleng itu!" Suaranya meninggi. "Di mana kaleng itu?" teriaknya.
"Di mana kau meninggalkannya?" tanyaku.
Lenny menggelengkan kepala. "Aku melemparkannya sembarangan saja, tidak berpikir
apa-apa. Kaleng itu pasti ada di suatu tempat!"
"Kita harus keluar dari sini!" Cassie memperingatkan.
Jordan sedang menarik bantal-bantal dari sofa, mencari-cari kaleng cat itu.
Kutarik lengan Lenny. "Tenanglah dan cobalah untuk berpikir," desakku. "Di mana kau ketika terakhir
kali menyemprotkan cat itu?"
Lenny mengerang pelan. Ia menggosokkan tangannya ke dahinya. "Aku tak tahu,"
bisiknya. "Aku tak bisa berpikir langsung."
"Kita harus pergi," Cassie mengulangi. "Kita harus keluar dari sini - sekarang!"
"Diamlah!" bentak Jordan.
"Merunduk!" teriak Spencer.
Aku melemparkan diriku ke atas lantai kayu yang keras tepat ketika lampu besar
sebuah mobil menyorot ke dinding di belakangku.
"Polisi!" Cassie terengah-engah.
Aku membekap mulutku dengan tangan agar tidak mengerang keras.
Semuanya sudah selesai. Hidup kami hancur.
Kami tertangkap! Chapter 24 AKU tak bergerak sama sekali sambil menahan napas.
Spencer merunduk di sampingku. Ia mendongak memandang lampu-lampu yang
bergerak di dinding. Aku mendengar napas Cassie yang tersengal-sengal di pelukan Jordan.
Lampu besar itu berlalu dari dinding. Tampak seseorang memasuki halaman rumah
Mr. Crowell. Lenny mulai merangkak ke jendela. Ia berlutut dan mengintip keluar.
"Itu bukan polisi!" bisiknya. "Hanya seseorang yang sedang masuk ke jalan
sebelah." Aku merasa begitu lega! Aku ingin berteriak kegirangan. Tapi kami semua tetap
diam sampai orang itu keluar dari mobil dan masuk ke dalam. Kami mendengar
pintu mobil dibanting. Akhirnya Lenny berbisik bahwa mereka telah masuk.
"Kita harus lebih hati-hati dari sebelumnya," Spencer memperingatkan. "Orang itu
bisa melihat kita dari seberang jalan masuk."
Kami mulai mencari kaleng itu lagi. Spencer tidak mengizinkan kami menyalakan
lampu karena tetangga. Kami berburu dalam kegelapan. Meraba-raba di lantai.
Birai-birai jendela. Di bawah perabot.
Tak ada. Aku terhuyung-huyung ke tempat Cassie di dalam gelap. Ia menubruk sebuah meja
kopi dan menjatuhkan sebuah pohon Natal kecil dari kaca ke lantai, pecah
berkeping-keping. "Aduh, gimana nih?" ratapnya.
"Tenang!" bisikku. "Begitu kita menemukan kaleng cat itu, kita bisa pergi."
"Lupakan itu! Kita harus pergi tanpa kaleng itu!" teriak Spencer. "Kita tak bisa
tinggal di sini lebih lama lagi!"
Ia mendorong Cassie ke arah jendela dengan tangan kirinya dan menarikku dengan
tangan kanannya. Cengkeramannya begitu kuat.. "Spencer!" pekikku. "Kau menyakitiku! "
"Sori, Diane," sahut Spencer tanpa bernapas. "Aku tidak bermaksud menyakitimu."
"Maukah kalian berdua diam dan membantuku mencari kaleng itu?" bentak Lenny.
"Aku tak bisa pergi tanpa kaleng itu."
"Ini dia!" Jordan berteriak. "Aku menemukannya."
Kami semua menoleh melihat dia membungkuk dan tangannya meraih sesuatu ke
bawah pohon Natal. Ia berdiri sambil melambaikan kaleng cat semprot itu.
"Ayo cepat pergi!" perintahnya.
Kami jatuh berguling-guling dari jendela yang terbuka. Kami berlari melewati
halaman belakang Mr. Crowell. Aku memanjat pagar dengan cepat sekali sehingga
tersandung. Tanganku tergores. Aku bahkan tidak merasakan rasa sakit itu. Aku
terus berlari. Sirene terdengar di kejauhan. Aku berhenti sejenak. Rasa takut mencengkeramku,
tapi Cassie mendorongku ke depan.
Aku lari lagi, tapi kakiku terasa seperti karet. Aku tak bisa menggerakkannya
lebih kencang. Aku berusaha mendorong diriku sendiri. Rasa sakit membakar di
sampingku. Rasa sakit itu terasa lebih nyeri setiap kali bernapas.
Beberapa blok kemudian, Jordan mencoba melompati sebuah pagar dan jatuh
terjerembap. Lenny dan Spencer tidak pernah berhenti selangkah pun. Mereka
menarik Jordan berdiri dan menggandengnya.
Otot-otot kakiku terbakar. Paru-paruku seolah-olah akan meledak. Angin membuat
mataku berair. Ketakutan menghantuiku. Akhirnya kami tiba di rumahku. Aku membisikkan selamat malam - kemudian
menyelinap masuk ke dalam rumah.
Kudengar suara rem berdecit-decit dari sekitar pojokan. Aku merunduk ke semaksemak ketika sebuah mobil meraung lewat.
Apakah itu polisi yang mendobrak rumah Mr. Crowell" Apakah seorang tetangga
melihat kami keluar dari jendelanya"
Aku mengintip di antara semak-semak, mencoba melihat mobil itu. Napasku
tercekat kaget. Bukan polisi. Sebuah Toyota biru.
Bryan punya Toyota biru. Kupicingkan mataku melihat mobil itu, tapi aku tak bisa melihat pengemudinya
dengan jelas. Aku tahu itu mobil Bryan. Aku pernah duduk di dalamnya, cukup
untuk mengingat seperti apa bentuknya.
Bahkan di dalam gelap. Apa yang dilakukan Bryan larut malam begini" Memata-matai kami" Jadi ia bisa
memeras kami dengan menelepon lagi dan mengirimkan surat-surat ancaman"
Aku menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan itu dari benakku.
Karena merasa letih aku menyelinap masuk ke dalam rumah, lalu berjalan
berjingkat-jingkat ke kamarku.
Kehangatan kamar tidurku membuatku sadar betapa dinginnya di luar. Tanganku
kelihatan seperti dua buah potongan es. Ujung-ujung jari tanganku seperti
tersengat. Aku mencoba menggerakkan jari kakiku, tapi aku tidak merasakan apa

Goosebumps - Petualang Malam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa. Aku duduk di atas ranjangku, masih bersusah payah mengatur napasku.
Kubungkus tubuhku dengan selimut tebal.
Seharusnya aku tidak pernah pergi dengan Lenny malam ini, kataku pada diriku
sendiri. Kami seharusnya berhenti sebelum Petualangan Malam itu menjadi di luar
kendali sepenuhnya. Sebelum Mr. Crowell dibunuh.
Kulepas bajuku dengan cepat, kuganti dengan sebuah T-shirt longgar untuk tidur.
Tapi tidurku gelisah sepanjang malam. Dalam gelap kutatap buku-buku yang
berderet di rak di atas mejaku selama berjam-jam.
Bayangan Lenny mengecat buku-buku Mr. Crowell tetapterpateri di benakku. Aku
tetap mendengar suara tawa Lenny yang kegirangan.
Kutengok jam meja. Jam empat pagi. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah
berhenti. Bagaimana kalau seseorang melihat kami di rumah Mr. Crowell"
Apakah kami akan dituduh sebagai pembunuhnya"
Seseorang tahu tentang Petualangan Malam kami. Orang itu bisa melaporkan
kepada polisi. Polisi tidak akan pernah percaya kami tidak membunuh guru itu.
Telepon berdering pada jam tujuh. Aku berguling dan menyambarnya.
"Apakah kau mendengarkan radio?" teriak Cassie tanpa mengucapkan halo.
"Mereka menemukan dia."
Telepon itu hampir jatuh. Kutelan ludahku keras-keras.
"Menemukan Mr. Crowell?" aku tercekik.
"Apakah kau tidak mendengarkan berita?" teriak Cassie.
Chapter 25 "CERITAKAN padaku," desakku. "Apa kata mereka?"
"Pengurus rumah tangga Mr. Crowell menemukan dia pagi ini," Cassie melaporkan.
"Kata polisi ia mati karena serangan jantung."
Aku bersandar kembali ke bantal-bantalku dan menarik napas lega. "Hah" Ia sakit
jantung!" teriakku. "Itu berarti kita selamat. Mereka tidak berpikir kalau ada
seseorang yang membunuhnya?"
"Salah. Mereka jelas berpikir seseorang membunuhnya," sahut Cassie.
Gelombang ketakutan menerjangku lagi dengan cepat.
"Lenny memang brengsek menyemprotkan cat ke dinding," Cassie melanjutkan.
"Polisi berpikir seorang pengacau mendobrak masuk dan menakut-nakuti Mr.
Crowell sampai mati."
Aku tak bisa bernapas. "Kita semua berada dalam kesulitan besar!" Cassie meratap. "Dan semuanya karena
ulah Lenny." "Apakah kaupikir ini benar?" tanyaku.
"Apa?" "Bahwa kita menakut-nakuti Mr. Crowell dan membuat dia terkena serangan
jantung?" Ia tidak menjawab. "Cassie?" "Aku tak tahu, Diane. Aku benar-benar tak tahu."
Tak satu pun di antara kami yang bicara.
"Mereka mengadakan pertemuan hari ini untuk menghormati Mr. Crowell," Cassie
memberitahu aku. Ide mendengarkan berita tentang Mr. Crowell sepanjang sore itu membuat perutku
mual. Aku menghela napas dalam-dalam, berharap rasa mualku akan lenyap. Tidak
berhasil. "Cassie," gumamku. "Aku tidak akan ke sekolah hari ini."
Aku memutuskan percakapan dan menghambur ke kamar mandi.
*** "Diane - kau kelihatan awut-awutan!" teriak Mom ketika akhirnya aku
memutuskan turun ke bawah. "Apakah kau terserang flu?"
Aku berharap begitu! kataku pada diriku sendiri.
Flu akan berlangsung dalam beberapa hari. Tapi kesulitanku yang sebenarnya
berlangsung lebih lama. Mom memaksaku tidur. Aku mengubur diriku di bawah selimut. Seakan-akan
selimut-selimut itu akan melindungiku dari kejadian mengerikan yang sedang
kualami. Tak seorang temanku pun yang meneleponku sepanjang hari ini. Kupikir karena
kami sedang shock. Di samping itu, tak ada yang perlu dibicarakan. Mr. Crowell
sudah meninggal, dan kami mungkin bertanggung jawab.
Aku masih saja tegang karena tak ada seorang pun yang meneleponku.
Begitu Dad pulang, ia langsung pergi lagi bersama Mom, menonton drama ke
pusat kota. Mom merasa berat meninggalkan aku, tapi aku bahagia. Aku butuh sendirian. Aku
duduk di sofa di kamar baca, terbungkus dalam selimut.
Dad menyewakanku kaset video. Apa pun untuk menghapus pikiranku dari Mr.
Crowell. Nama-nama pemain baru muncul ketika seseorang mengetuk pintu.
Aku terlompat karena suara itu. Aku memutuskan tidak akan menjawab ketukan
itu. Tapi ketukan itu berlangsung terus. Seseorang menggedor pintu depan sedemikian
rupa seolah ia ingin menerjang masuk.
Aku membebatkan selimut di sekeliling tubuhku dengan jari-jari yang dingin, lalu
pelan-pelan berjalan ke pintu.
Ketika sampai di pintu, suara gedoran itu berhenti. Aku lari ke ruang tamu,
mengintip dari jendela yang menghadap ke serambi.
Tak seorang pun ada di serambi depan.
Aku lari kembali ke pintu dan membukanya dengan suara berderak-derak. Aku
melihat ke sekeliling dengan hati-hati. Hanya untuk memastikan.
Tak satu jiwa pun yang terlihat.
Dengan mengerenyitkan dahi aku melangkah keluar. Tak ada seorang pun di
halaman depan. Aku melihat ke jalanan. Aku juga tidak melihat mobil yang diparkir.
Kutarik selimut di sekeliling tubuhku dan berbalik ke pintu.
Kemudian aku melihatnya. Selembar kertas yang digulung disandarkan di pegangan tangga serambi.
Dengan jari-jari yang gemetar, aku mengambil kertas itu dan membawanya masuk.
Kututup pintu keras-keras, kuselipkan semua kuncinya.
Kubuka gulungan kertas itu pelan-pelan. Kertas itu panjang.
Seperti spanduk. Ketika aku membeberkannya dengan hati-hati, denyut nadiku
meninggi dua kali. Kata-kata yang ditulis dengan cat semprot dalam huruf-huruf merah.
Kata-kata yang mengerikan.
KAU MATI BERIKUTNYA. Chapter 26 KATA-KATA itu kabur di depan mataku. Huruf-huruf yang tebal. Menetes-netes.
Seperti tetesan darah di atas salju.
Aku menggulung kertas itu dan terseok-seok menuju telepon.
Pertama-tama aku menelepon Cassie. Kemudian Lenny.
Ibu Cassie memberitahu aku bahwa Cassie dalam perjalanan ke rumahku. Kakak
Lenny mengatakan hal yang sama.
Ketika kuletakkan telepon itu, mereka berdua ada di serambi depan.
Mereka berdua membawa catatan yang digulung - persis seperti milikku.
Cassie membuka kertasnya di meja dapurku. Ancaman yang sama. Cat semprot
yang sama. Dan tulisan tangan yang sama.
"Apakah kau mengenali tulisan ini?" tanya Lenny. Kami tidak mengenalinya.
Lenny menghantamkan tinjunya ke dinding. "Siapa yang melakukan ini?"
teriaknya. "Itu yang kaukatakan pada kami," jawab Cassie dengan ketus. "Kau masih berpikir
yang melakukan Mr. Crowell, iya kan?"
Lenny mengabaikan kata-kata Cassie yang pedas. "Kau punya ide, Diane?"
tanyanya. "Ketika aku pulang tadi malam, aku positif melihat Bryan lewat," kataku
kepadanya. Lenny dan Cassie menatapku tanpa mengucapkan apa-apa.
Aku melanjutkan. "Bryan naik mobil Toyota biru. Itu mobilnya. Aku yakin. Ia bisa
saja sedang memata-matai kita."
"Tapi kenapa ia mengirimkan catatan-catatan ini kepada kita?" desak Cassie. "Apa
untungnya?" Lenny menghela napas. "Mungkin ia hanya sinting."
"Kita perlu tahu apakah Jordan mendapatkan catatan ini juga," kataku. Kupandang
Cassie sejenak. "Apakah kau tahu di mana dia?"
Ia menggelengkan kepalanya. "Aku menelepon dia ketika menerima catatan ini.
Tapi kata ibunya ia pergi ke rumah temannya, mengerjakan proyek ilmiah. Aku tak
tahu siapa." "Ayo kita cari dia," aku menyarankan sambil menggulung spandukku.
Lenny membawa mobil ibunya. Kami berdesakan masuk dan berangkat ke kota.
Kami melewati Division Street dua kali. Kemudian kami berhenti di mal mencari
Jordan di sana. Akhirnya kami melihat Jeep Jordan diparki r di The Corner, tempat mangkal dekat
sekolah. "Ini tentang waktu," gumam Lenny sambil menarik pintu hingga terbuka untuk masuk
ke restoran. Aku langsung berhenti. Aku berharap melihat Jordan. Aku tak pernah
mengharapkan dia duduk dengan Bryan.
Mereka duduk di bangku yang sama. Dengan piring kentang goreng berlemak yang
sama. Jordan bertumpu di meja, sedang bercakap-cakap serius dengan Bryan.
Bicara dengan suara pelan. Mereka bahkan tidak memperhatikan kami berdiri di
pintu masuk. Aku mulai berpikir. Jordan dan Bryan tidak pernah berteman baik. Kenapa mereka keluyuran bersama
sekarang" Apa yang mereka bicarakan satu sama lain"
Astaga. Tunggu, pikirku. Apakah Bryan tahu tentang Petualangan Malam kami
karena diberitahu Jordan"
Apa yang sedang mereka rencanakan"
Kenapa Jordan melakukan ini pada kami"
Aku berjalan ke meja mereka.
"Apa yang sedang kaulakukan dengan Bryan?" tanyaku minta penjelasan.
Jordan terlompat. Mereka berdua terkejut dan mengerjap-ngerjapkan matanya
memandangku. "Ada apa, Diane?" bentak Jordan. "Kami adalah pasangan di lab kimia."
"Tidak bolehkah kami mendiskusikan proyek kami?" bentak Bryan. "Atau apakah kau
ingin aku menyingkir dari semua teman-temanku juga?"
"Kau bersikap aneh, Diane," Jordan menuduh. "Kenapa kau begitu marah?"
Hah" Kami semua berada dalam kesulitan besar karena Petualangan Malam - dan
Jordan tidak tahu alasannya kenapa aku marah"
"Kau menemukan kaleng cat semprot tadi malam," kataku kepada Jordan.
"Jadi?" tanyanya. "Kenapa dengan kaleng itu?"
Aku menarik kertas tergulung dari sakuku dan membantingnya ke atas meja. Aku
merentangkan kertas itu, jadi mereka berdua bisa melihat ancaman itu.
"Hari ini kami menerima tulisan-tulisan dengan cat semprot mengerikan ini," aku
menjelaskan. "Kau yang mengirimkannya, kan?"
Jordan mendengus. Ia menyesap sodanya dengan sikap biasa.
"Ya, kan?" teriakku kalut. "Benar, kan" Benar kan kau mengirim ancaman ini?"
Beberapa anak di meja sebelah menoleh memandang kami.
Pandangan Jordan berganti-ganti dari aku ke Cassie lalu ke Lenny, dan kemudian
kembali padaku. "Baiklah, Diane," katanya.. "Kau menebak begitu. Ya, itu memang aku. Akulah yang
mengirimkan tulisan-tulisan itu."
Chapter 27 JORDAN memberengut. "Aku mengecat pesan itu," ia mengakui. "Aku juga mencekik
Mr. Crowell dengan tangan kosong. Aku juga Kelinci Paskah."
Bryan tertawa tertahan. Jordan mencondongkan tubuhnya ke arahku. "Diane, kupikir kita ini sahabat,"
katanya dengan marah. "Bagaimana kau bisa menuduhku?"
"Kaleng cat semprot ini," sahutku. "Semua catatan itu ditulis dengan cat
semprot. Kau yang membawa kaleng itu. "
Mata Jordan berkilat-kilat. "Aku tidak membawa kaleng konyol itu, Diane.
Spencer merampasnya dariku sebelum kami lari pulang."
Mulutku melongo. "Apakah kau mengatakan yang sebenarnya?" tanya Lenny.
Jordan cemberut pada Lenny. "Jadi sekarang kaupikir aku seorang pembohong juga?"
Ia menggelengkan kepalanya. "Grup sahabat."
Aku menarik napas dalam-dalam. Jordan benar. Kami seharusnya saling
mempercayai. Kami sudah bersahabat selama bertahun-tahun.
"Sori, aku terlalu cepat menyimpulkan," kataku minta maaf.
Jordan mengangkat bahu. "Bukan masalah besar, Diane. Ini adalah saat-saat yang
aneh bagi kita semua."
"Untuk memastikan," Lenny mengiyakan. "Sori, Jordan. Aku khilaf tadi."
"Tapi bagaimana dengan Spencer?" tanya Cassie. "Kalau ia mengambil kaleng
semprot itu, apa kaupikir dia yang menulis catatan itu?"
Jordan menggelengkan kepalanya. "Mungkin ini sebuah kebetulan."
"Mungkin ini cuma gurauan," Lenny menyela.
"Gurauan hebat," Cassie menghela napas.
"Ayo kita cari Spencer," usulku. "Kita dapat mencari jawaban semua ini bersamasama." Jordan mengangguk dan berdiri. Ia berpaling pada Bryan.
"Apakah kau mau ikut?" tanyanya.
Bryan bahkan tidak memandang aku. Ia mengangkat tangannya dan
menggelengkan kepalanya. "Jangan bawa-bawa aku," tukasnya. "Aku tidak ingin
ikut-ikutan dalam petualanganmu. Aku tidak mau terseret dalam masalah ini."
Ia bangkit, lalu berjalan keluar tanpa mengatakan selamat tinggal.
Cassie menoleh kepadaku. "Kurasa ia sudah tidak menyukaimu lagi!" katanya
bercanda. Cassie naik ke Jeep Jordan. Lenny dan aku mengikuti mereka ke rumah Spencer.
"Aku sama sekali tak pernah punya pikiran membunuh Mr. Crowell, Diane," kata
Lenny sambil menatap lurus ke jalan di depan. "Aku ingin kau tahu itu."
Aku menghela napas. "Aku tahu. Aku berharap kita tidak pernah ikut Petualangan
Malam ini." Kami berhenti. Mobil diparkir di belakang Jeep. Kami semua keluar dan berdiri di
trotoar. Rumah Spencer tampak tidak berpenghuni. Tidak ada cahaya lampu di manamana. Tidak ada mobil di jalan masuk. Sebuah penutup jendela yang lepas
berbunyi berkeriat-keriut dan merintih ketika jendela itu terbanting-banting ke
depan dan ke belakang di engselnya.
Suara itu membuatku merinding.
"Tempat ini bisa digunakan untuk beberapa pekerjaan," gumamku. "Bobrok sekali."
Kami berjalan melewati daun-daunan ke pintu depan. Lenny mengetuk keraskeras. Kami menunggu selama beberapa detik. Tidak ada jawaban.
"Di mana dia?" tanyaku frustrasi. "Kita semua perlu membicarakan soal ini!"
Aku menjauh dari Lenny. Aku berjalan ke jendela depan dan menekan wajahku ke
kaca. Aku mengintip ke dalam tapi tidak melihat apa-apa kecuali kegelapan.
Kemudian ruangan itu pelan-pelan menjadi jelas.
"Oh tidaaaak!" Aku meratap ngeri.
"Diane - ada apa?" Cassie memanggil dari tangga depan.
Aku tidak menjawab. Kudorong jendela hingga terbuka dan masuk lewat jendela
itu. Yang lainnya mengikuti aku.
Aku merasa seperti berada di dalam lemari pendingin. Tidak ada pemanas.
Ruang tamu kosong melompong.
Tidak ada sofa. Tidak ada kursi. Tidak ada perabotan sama sekali.
Spencer berbaring tertelungkup di atas lantai kayu di tengah-tengah ruangan.
Kepalanya terpuntir ke samping.
Ia tidak bergerak. Cassie menjerit. Jordan terengah-engah dan mundur. Lenny bersumpah dengan
berbisik. "Spencer?" teriakku. "Spencer" Spencer?"
Aku lari menghampirinya dan berlutut. Aku mengangkat tangannya.
Tangan itu terasa seperti spons dan dingin. Tidak bernyawa.
"Ia mati," bisikku. "Spencer mati."
Chapter 28 "IA - ia mati," aku mengulangi, kata-kata itu menggantung di ruangan yang kosong
dan dingin itu.

Goosebumps - Petualang Malam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua cowok itu membungkuk berdempetan. Wajah mereka memperlihatkan
bahwa mereka shock berat.
Cassie meringkuk di pojokan.
Aku menjatuhkan tangan Spencer dan berdiri. Ruangan itu tampak berputar.
"Aku tidak percaya ini!" Cassie meratap. "Pertama Mr. Crowell. Sekarang Spencer.
Siapa di antara kita berikutnya" Mengapa kita bisa menjebloskan diri kita ke
dalam masalah ini?" ia terisak-isak.
Jordan memeluknya erat-erat sambil berusaha menenangkan.
"Apa yang sebaiknya kita lakukan?" tanyaku kepada Lenny. "Memanggil polisi?"
Ia menggelengkan kepalanya. "Kalau kita memanggil mereka, kita harus
menceritakan kepada mereka semuanya - tentang Petualangan Malam dan Mr.
Crowell. Kita akan dituduh melakukan pembunuhan. Tak seorang pun yang akan
percaya kita tidak melakukannya."
"Well, kalau begitu, lalu bagaimana?" sahutku. "Apakah kita harus melarikan diri
dan pura-pura tidak tahu apa-apa?"
Lenny mengangkat bahu. "Siapa pun yang membunuh Spencer akan datang kepada kita
kemudian," katanya. "Mungkin kita sebaiknya melarikan diri."
Aku berpaling darinya, berusaha mati-matian untuk berpikir lurus. Tatapanku
jatuh ke tubuh Spencer. Berapa lama ia telah terbaring di sini di dalam tempat yang kosong dan gelap
ini" "Cari saklar lampu," aku memberitahu Lenny.
Ia menekan saklar. Tidak berhasil.
Lenny membuka kamar tidur dan mengintip kegelapan di baliknya. Ia menghilang di
gang, langkah kakinya menjadi lebih pelan sampai aku tidak mendengar langkah
kakinya lagi. "Menurutmu di mana orangtua Spencer?" tanya Jordan.
"Aku tak tahu," sahutku. "Kukira mereka tidak di rumah."
Lenny menghambur dari pintu, matanya terbelalak, "Tidak di rumah?" ia
mengulangi. "Kurasa mereka bahkan tidak berada di negara bagian yang sama!"
"Apa?" teriakku.
Lenny menusukkan ibu jarinya ke dinding. "Seluruh rumah ini kosong. Tidak ada
perabot. Tidak ada listrik. Tidak ada apa-apa."
"Di sini seperti di dalam lemari pendingin," Jordan menambahkan. "Bagaimana
Spencer bisa tahan?"
Cassie batuk lagi. "Sudah kukatakan pada kalian Spencer telah berubah," ia
mengingatkan kami. "Tinggal di rumah yang tidak didiami membuktikan itu.
Apakah kaupikir kita sebaiknya mencoba mencari orangtuanya?"
Aku berbalik ke Spencer. "Bagaimana ia mati?" tanyaku.
"Aku tak tahu," sahut Lenny. "Tidak kelihatan seperti ia baru berkelahi atau
kenapa-kenapa." "Lalu apa yang terjadi?" aku cemas.
"Apakah itu perlu?" ratap Cassie. "Ia telah mati! Kita harus melakukan sesuatu."
"M-mungkin ia hanya pingsan," Jordan gemetar. "Kita tidak memeriksa nadinya."
"Jangan ngaco," bentakku. "Tentu saja ia mati."
"Kau benar, Diane," bisik sebuah suara serak.
"Apa?" aku tak bisa bernapas dan menoleh. Pada saat itu kulihat Spencer
berguling. Ia duduk perlahan-lahan.
Jeritan yang tercekik tersangkut di tenggorokanku.
Mata Spencer yang kosong menatapku. "Aku mati," bisiknya. "Kau benar, Diane.
Aku benar-benar mati."
Chapter 29 CASSIE menjerit dan menekan tangannya ke wajahnya. Lenny dan Jordan mundur
ke dinding yang kosong. Aku tidak bisa bergerak. Aku berdiri, terpaku, dan mengawasi Spencer melayanglayang di atas lantai. Ia berputar di udara. Melayang-layang kira-kira dua kaki
di atas lantai. Rambutnya yang panjang melambai-lambai di kepalanya seperti
jaring labah-labah yang berwarna putih keperakan.
Ia merentangkan lengannya lebar-lebar. Mulutnya terbuka. Membentuk lubang
hitam yang buruk. Ia mengeluarkan tawa setan yang mendirikan bulu roma.
Ini hanya bercanda! benakku menjerit. Tipuan yang mengerikan.
Tapi aku tidak melihat kawat yang mengangkatnya.
Spencer melayang mendekatiku. Udara dingin memancar darinya. Cahaya bulan
mengalir lewat jendela, menerangi kulit busuk Spencer. Dan matanya yang cekung.
Senyumnya yang jahat. Sambil melayang-layang di atas lantai, Spencer menatapku dari atas. "Tidak ada
petualangan lagi, Diane," katanya dengan suara dingin dan kering. "Tidak ada
Petualangan Malam lagi. Tidak ada petualangan. Aku benar-benar mati. Kau
membunuhku." "Apa" Apa yang sedang kaukatakan?" jeritku. "Aku tidak membunuhmu."
"Ya, kau membunuhku!" teriak Spencer. Ia melayang menyeberangi ruangan itu dan
bergantung di pojokan yang suram sambil menunjuk kami berempat dengan
jari telunjuknya yang tinggal tulang. "Kalian semua yang melakukannya! Kalian
membunuhku tahun lalu di kabin."
"Spencer - " aku mulai.
"Kalian semua membunuhku," Spencer mengulangi. "Kalian meninggalkan aku untuk
mati. Kalian mengubur aku di bawah salju dan meninggalkan aku di sana.
Aku mati karena terkubur di dalam salju."
Matanya yang kosong menatapku kembali. "Kau bisa menolong aku, Diane.
Kupikir kau adalah sahabatku."
"Aku adalah sahabatmu, Spencer!" aku tercekik.
"Tidak, kau bukan sahabatku," jeritnya. "Seorang sahabat tidak akan membiarkan
sahabatnya mati, Diane, Kau bisa menghentikan mereka. Tapi kau tidak
melakukannya." Ia melayang di atasku. Bau busuk memenuhi lubang hidungku.
Aku terbatuk dan menutup mulutku.
Apa yang sedang ia katakan" Kami membunuh dia. Ini hanyalah permainan
konyol. Pertempuran bola salju.
Kami tidak membunuh dia. Ya, kan" Tiba-tiba aku tidak begitu yakin. Apakah kami melakukan sesuatu yang
mengerikan tanpa kami sadari"
"Kalau kau mati, bagaimana kau bisa berada di sini?" desakku.
Spencer menjatuhkan diri ke lantai. "Kebencianku membuatku berada di sini,"
katanya serak. "Setelah aku mati, aku keluar dari salju. Perlu waktu lama sekali
bagiku untuk menyadari apa yang telah terjadi. Tapi kebencianku pada kalian
semua membuat aku berada di sini di Shadyside."
Ia menyelinap mendekatiku. "Membuat aku berada di sini cukup lama untuk menuntut
balas. Cukup lama untuk menakut-nakuti kalian sampai mati!"
Aku tercekik. "Kau membunuh Mr. Crowell! Kau membunuh dia! Iya, kan?"
"Aku membuatnya terkena serangan jantung," ia mengakui. "Itu adalah bagian dari
rencanaku." "Rencana apa?" bisikku.
"Aku meyakinkan kalian untuk ikut Petualangan Malam," Spencer menjelaskan.
"Aku tahu kau tidak dapat bertahan. Kini giliranku untuk memainkan permainan
padamu - pada kalian semua."
Spencer berputar di udara.
Ia berhenti mendadak. "Aku menikmati begitu banyak kesenangan," katanya parau.
"Melihat kalian semua mendapat lebih dan lebih ketakutan dari telepon dan
catatanku." "Kenapa kau tidak membunuh kami saja?" teriakku
"Permainan macam apa itu?" tanya Spencer. Kemudian, tanpa memberi peringatan, ia
menangkapku. "Sekarang permainan itu sudah berakhir," teriaknya. "Sekarang aku akan
membunuhmu. Seperti kau membunuhku."
Aku berusaha melepaskan diri, tapi ia terlalu kuat. "Kau adalah favoritku,
Diane," katanya. "Jadi kau yang mati duluan."
Aku menjerit. Kemudian aku tak bisa bersuara.
Tangannya yang tidak berdaging mencengkeram erat kerongkonganku.
Aku mendorong tangannya. Ia mencengkeram lebih kuat. Lebih kuat.
Aku memuntir dan memukulnya dengan tinjuku.
Tampaknya ia tidak merasakan pukulanku. "Sekarang ini menyenangkan. Benar-benar
menyenangkan, Diane," ia melolong padaku.
Aku mencakar jari-jarinya yang kuat, mencoba membongkar cekikannya.
Suara yang keras memenuhi telingaku. Aku tak bisa bernapas.
Tidak ada udara. Tidak ada udara.
Aku merasa seolah-olah paru-paruku hampir meledak.
Dan kemudian aku tidak tahan lagi.
Aku tenggelam ke dalam lautan hitam yang nikmat
Chapter 30 "TIDAK, Diane."
Aku mendengar suaraku membentak diriku sendiri.
"Jangan, Diane. Kau tidak boleh mati sekarang."
"Bertahanlah, Diane. Bertahanlah."
Keluarlah dari kegelapan yang pekat, yang amat pekat sekali.
Ide itu tiba-tiba muncul. Dengan kekuatan terakhir, aku memeluk Spencer.
Tubuhnya yang busuk terasa seperti karet yang menyeramkan membuatku
merinding. Kupeluk dia erat-erat.
Aku tidak memedulikan bau busuk yang menyengat. Aku mengabaikan kulitnya
yang dingin dan seperti spons.
Aku memeluknya makin erat.
Matanya membelalak kaget. Ia mengendurkan cengkeramannya di tenggorokanku.
Aku menelan udara. Terbatuk. Berjuang untuk bernapas.
Suara Spencer yang serak dan kering memenuhi ruangan itu.
"Apa yang sedang kaulakukan?" tanyanya menuntut.
Aku memaksa diriku untuk bicara. "Aku sedang memelukmu," sahutku. "Aku
menyukaimu, Spencer. Aku selalu menyukaimu."
Jari-jarinya makin mengendur. Aku bernapas dalam-dalam lagi.
"Katamu aku idolamu," bisikku. "Aku sedang memelukmu, Spencer."
Cengkeramannya mengendur dari tenggorokanku. Cukup bagiku untuk
memalingkan kepalaku. Untuk memberi isyarat kepada teman-temanku.
Cassie bergerak cepat menghampiri Spencer. Lalu memeluknya.
"Apa yang sedang kaulakukan?" ia menjerit, mencoba untuk mendorong kami.
"Kami sedang memelukmu, Spencer," aku mengulangi. "Kami menyukaimu."
"Tidak!" teriaknya. "Pergi dariku! Pergi! Aku butuh kebencianku. Aku butuh
kebencianku untuk membuatku tetap di sini!"
Aku hampir tidak dapat bernapas, tapi aku tetap memeluknya. Kupaksa diriku
untuk membelai punggungnya. Menyentuh rambutnya.
Begitu menjijikkan. Aku ingin muntah. Tapi kupaksa diriku memeluknya.
Lenny dan Jordan bergabung dengan aku dan Cassie. Mereka memeluk Spencer.
Mereka memeluk dia. Kami semua berpegangan, memeluk dia. Memeluk dia.
"Tidak!" Spencer meratap. "Tidak! Lepaskan aku! Aku butuh kebencianku!"
Aku memeluknya lebih erat.
"Kami merindukanmu, Spencer," bisikku. "Kami begitu merindukanmu. "
"Kau adalah sahabat kami," bisik Lenny sambil memeluk Spencer erat-erat.
"Kau adalah sahabat kami, kami menyayangimu," bisikku. "Kami menyayangimu."
Ketika aku berbisik, kurasakan bahu Spencer melunak.
Kurasakan kulitnya yang dingin menjadi hangat.
Hangat dan basah. Seperti salju yang mencair.
Aku merasakah tubuhnya menggigil. Aku memegangnya.
Memeluknya. Memeluknya. Merasakan tubuhnya melembek dan meleleh.
Ya. Ia sedang meleleh. Meleleh seperti salju di musim semi.
Meleleh... meleleh. "Selamat tinggal, Spencer," bisikku.
Aku melangkah mundur ketika tubuhnya mencair di atas lantai.
Kami semua melangkah mundur. Kami menunduk menatap genangan biru basah di
atas lantai yang gelap. Genangan itu berkilauan tertimpa cahaya kelabu dari
jendela. Dan kemudian genangan itu lenyap.
Kami berempat menatap lantai yang kosong.
Kemudian kami saling berpandangan kegirangan.
"Ia telah pergi," gumam Cassie.
"Sudah selesai!" teriak Lenny.
Jordan mengeluarkan teriakan gembira dan lega.
Cassie dan Lenny bergabung. Melompat naik-turun. Berteriak, menangis, dan
melakukan tarian perayaan yang liar.
Aku ingin bergabung. Tapi aku merasa dingin sekali.
Gigiku gemeletuk. Aku memeluk diriku, mencoba agar hangat, mencoba untuk
menarik napas dalam-dalam lagi.
Tapi aku tidak bisa. Karena aku sudah mati. Saat itu juga - saat dingin yang
dingin sekali - aku menyadari bahwa aku sudah mati.
Spencer telah membunuhku. Spencer telah mencekikku.
Teman-temanku merayakannya dengan gembira - dan aku mati.
Itu tidak adil, pikirku dengan pahit sambil mengawasi mereka berdansa dan saling
berpelukan. Mengapa mereka harus hidup sementara aku mati"
Lenny datang, memberikan senyumannya yang lebar. Ia memelukku, aku hanya
merasakan dingin. Dingin menggigit. Beberapa menit yang lalu, ia berdiri di sini dan mengawasi Spencer membunuhku.
Mereka bertiga berdiri dan mengawasi aku mati.
Mereka diam saja. Mereka tidak menolong.
Dan sekarang mereka ingin merayakannya.
Kutatap Lenny. Kubiarkan dia memelukku, namun aku tidak merasakan apa-apa.
Haruskah kukatakan kepada mereka" Aku bertanya sendiri.
Haruskan kukatakan kepada mereka bahwa sekarang aku sudah mati"
Atau haruskah aku menunggu - dan memainkan petualangan-petualanganku
sendiri" END Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Mayat Kiriman Rumah Gadang 1 Pendekar Naga Putih 57 Pemburu Nyawa Suling Naga 23

Cari Blog Ini