Ceritasilat Novel Online

Teror Orang Orangan Sawah 1

Goosebumps - 20 Teror Orang Orangan Sawah Bagian 1


RL Stine: Teror Orang-orangan Sawah
(Goosebumps # 20) Terjemah: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Ebook Inggris Scan & Convert: Undead
1 "Hei, Jodie - tunggu dulu!"
Aku berbalik dan memicingkan mata ke sinar matahari terang. Adikku, Mark,
masih di atas peron kereta api. Kereta telah bergerak dengan bunyi gemerisik.
Aku bisa melihatnya berjalan berbelok-belok melalui padang rumput hijau yang rendah
di kejauhan. Aku berpaling ke Stanley. Stanley adalah orang dipekerjakan di peternakan kakeknenekku. Dia berdiri di sampingku, membawa kedua koper.
"Lihat di kamus untuk kata 'orang bodoh'," kataku, "dan kau akan melihat gambar
Mark." Stanley tersenyum padaku.
"Aku suka kamus, Jodie," katanya. "Kadang-kadang aku membacanya selama berjamjam." "Hei, Mark - ayo pergi sekarang!" teriakku. Tapi ia menikmati waktu baiknya,
berjalan pelan-pelan, dalam keadaan linglung seperti biasanya.
Aku mengibaskan rambut pirangku ke belakang bahu dan berbalik kepada Stanley.
Mark dan aku tak mengunjungi pertanian selama setahun. Tapi Stanley masih
tampak sama. Dia begitu kurus. "Seperti mie," nenekku selalu mengatakannya. Pakaian kerja denimnya ukurannya
selalu terlihat lima kali lebih besar pada dirinya.
Stanley berumur sekitar empat puluh atau empat puluh lima tahun, pikirku.
Rambut gelapnya tampaknya dipotong pendek-pendek, dicukur dekat dengan
kepalanya. Telinganya sangat besar. Telinganya menjulur keluar dan selalu
berwarna merah cerah. Dan dia punya mata cokelat yang besar bulat, yang
mengingatkanku pada mata anjing.
Stanley tak terlalu cerdas. Kakek Kurt selalu mengatakan bahwa Stanley tak
bekerja penuh seratus watt.
Tapi Mark dan aku benar-benar menyukainya. Dia punya rasa humor yang tenang.
Dan dia baik, lembut, ramah, dan selalu punya banyak hal menakjubkan untuk
ditunjukkan pada kami setiap kali kami mengunjungi pertanian.
"Kau tampak cantik, Jodie," kata Stanley, pipinya berubah semerah telinganya.
"Berapa umurmu sekarang?"
"Dua belas," kataku. "Dan Mark sebelas tahun."
Dia berpikir tentang hal itu.
"Itu jadi dua puluh tiga," candanya.
Kami berdua tertawa. Kau tak pernah tahu apa yang akan Stanley katakan!
"Kurasa aku melangkah dalam sesuatu kotor," keluh Mark, mengejar kami.
Aku selalu tahu apa yang akan Mark katakan. Adikku hanya tahu tiga kata - keren,
aneh, dan kotor. Sungguh. Itulah seluruh kosakatanya.
Sebagai lelucon, aku memberinya kamus untuk ulang tahunnya yang terakhir.
"Kau aneh," kata Mark saat aku memberikan kamus itu kepadanya. "Hadiah yang
kotor sekali." Dia menggesek-gesek sepatu boot putihnya di tanah saat kami mengikuti Stanley
untuk naik truk pick-up merah yang rusak.
"Bawakan tasku," kata Mark, mencoba untuk menyorongkan tas yang
menggembung padaku. "Tidak," kataku. "Bawa sendiri."
Tasnya berisi Walkman, sekitar tiga puluh kaset, buku komik, Game Boy, dan
setidaknya lima puluh slot game. Aku tahu ia berencana menghabiskan sebulan
penuh untuk berbaring di tempat tidur gantung pada kasa di teras belakang rumah
pertanian, mendengarkan musik dan bermain video game.
Yah. . . tak mungkin! Ibu dan Ayah bilang itu adalah pekerjaanku untuk memastikan Mark keluar dan
menikmati pertanian. Kami sangat terkurung di kota sepanjang tahun. Itulah
sebabnya mereka mengirim kami untuk mengunjungi Kakek Kurt dan Nenek
Miriam selama satu bulan setiap musim panas - untuk menikmati alam luar.
Kami berhenti di samping truk, sementara Stanley mencari-cari kunci di kantong
pakaian kerjanya. "Akan cukup panas hari ini," kata Stanley, "kecuali jika jadi sejuk."
Laporan cuaca khas Stanley.
Aku menatap keluar ke lapangan berumput yang luas di luar tempat parkir stasiun
kereta kecil itu. Ribuan puffballs putih kecil melayang naik di langit biru
jernih. (Puffball: jamur berbentuk seperti bola, dan warnanya putih sampai
cokelat. Ukurannya mulai lebih kecil dari bola golf
sampai lebih besar dari bola basket. Saat sudah matang, sporanya jadi kering dan
berbentuk seperti bubuk. Bila tersentuh, akan
robek terbuka dan sporanya dilepaskan dalam embusan bentuk seperti asap.)
Sangat indah! Tentu, aku bersin. Aku suka mengunjungi pertanian kakek-nenekku. Satu-satunya masalahku adalah
aku alergi terhadap hampir segala sesuatu di atasnya.
Jadi Ibu membungkuskan beberapa botol obat alergi untukku - dan banyak kertas
tisu. "Semoga Tuhan memberkati," kata Stanley. Dia melemparkan dua koper kami di
belakang pickup. Mark meluncurkan tasnya juga.
"Bisakah aku naik di belakang?" tanyanya.
Dia suka berbaring di belakang, menatap ke langit, dan melonjak naik-turun
dengan benar-benar keras.
Stanley seorang pengemudi yang mengerikan. Dia tak bisa berkonsentrasi pada
kemudi dan mengemudi dengan kecepatan yang tepat pada waktu yang sama. Jadi
selalu ada belokan-belokan tajam dan lonjakan-lonjakan keras.
Mark mengangkat dirinya ke belakang pickup dan berbaring di samping koperkoper. Aku naik di samping Stanley di depan.
Beberapa saat kemudian, kami memantul di sepanjang jalan sempit melingkar yang
menuju ke peternakan. Aku menatap keluar jendela berdebu saat melewati padang
rumput dan rumah-rumah pertanian. Semuanya tampak begitu hijau dan hidup.
Stanley melaju dengan kedua tangan terbelit erat di bagian atas roda kemudi. Dia
duduk dengan kaku ke depan, membungkuk di atas roda, menatap lurus ke depan
melalui kaca depan tanpa berkedip.
"Mr Mortimer tak bertani di tempatnya lagi," katanya, mengangkat satu tangan
dari kemudi untuk menunjuk pada sebuah rumah pertanian besar putih di atas bukit
miring yang hijau. "Mengapa tidak?" tanyaku.
"Karena dia meninggal," jawab Stanley dengan khidmat.
Lihat kan apa yang kumaksud" Kau tak pernah tahu apa akan Stanley katakan.
Kami melambung di atas bekas roda yang dalam di jalanan. Aku yakin Mark
bersenang-senang di belakang.
Jalan mengarah melalui kota kecil, begitu kecil hingga tak punya nama. Para
petani selalu menyebutnya Kota.
Kota itu punya toko makanan, gabungan pompa bensin dan toko kelontong, gereja
bermenara putih, toko perangkat keras, dan kotak pos.
Ada dua truk yang diparkir di depan toko makanan. Aku tak melihat siapa pun saat
kami meluncur lewat dengan cepat .
Pertanian kakekku sekitar dua mil dari kota. Aku mengenali ladang jagung saat
kami mendekat. "Jagung itu sudah begitu tinggi!" seruku, menatap melalui jendela yang memantul.
"Ada yang sudah kau makan?"
"Hanya saat makan malam," jawab Stanley.
Tiba-tiba, ia memperlambat truk dan memutar matanya padaku.
"Orang-orangan sawah berjalan di tengah malam," katanya dengan suara pelan.
"Hah?" Aku tak yakin aku akan mendengar dengan benar.
"Orang-orangan sawah berjalan di tengah malam," ulangnya, mata anjingnya yang
besar terarah padaku. "Aku membacanya di buku."
Aku tak tahu harus berkata apa, jadi aku tertawa. Kupikir mungkin dia sedang
membuat lelucon. Berhari-hari kemudian, aku menyadari itu bukan lelucon.
2 Melihat pertanian yang terbentang di depan kami memenuhiku dengan
kebahagiaan. Ini bukan pertanian besar atau pertanian mewah, tapi aku suka semua
tentangnya. Aku suka lumbung dengan bau manisnya. Aku suka suara-suara lenguhan rendah
sapi menjauh di padang rumput. Aku suka melihat batang-batang jagung yang
tinggi, semuanya bergoyang bersamaan di dalam angin.
Klise, ya" Aku juga suka kisah-kisah hantu mengerikan yang Kakek Kurt ceritakan pada
kami malam hari di depan perapian.
Dan aku harus menyertakan kepingan kue serabi cokelat Nenek Miriam. Kue-kue
itu begitu enak, kadang-kadang aku memimpikannya di rumah di kota.
Aku juga menyukai ekspresi bahagia di wajah kakek-nenekku ketika kami datang
terburu-buru untuk menyapa mereka.
Tentu saja aku yang pertama kali keluar dari truk. Mark lambat seperti biasanya.
Aku berlari ke kasa teras di belakang rumah besar pertanian mereka yang tua. Aku
tak sabar untuk melihat kakekku.
Nenek Miriam terhuyung-huyung keluar, lengannya terulur. Pintu kasa terbanting
di belakangnya. Tapi kemudian aku melihat Kakek Kurt mendorongnya terbuka
dan ia bergegas keluar juga.
Pincangnya memburuk, aku langsung melihatnya. Dia bersandar berat pada
tongkat putih. Dia tak pernah memerlukannya sebelumnya.
Aku tak punya waktu untuk berpikir tentang hal itu saat Mark dan aku tertahan
dalam pelukan. "Bagus sekali berjumpa kalian! Ini sudah begitu lama, begitu lama!" Nenek Miriam
berteriak gembira. Ada komentar yang biasa tentang berapa banyak lebih tinggi kami dan bagaimana
kita terlihat dewasa. "Jodie, dari mana kau dapatkan rambut pirang itu" Tak ada yang berambut pirang
dalam keluargaku," Kakek Kurt biasa mengatakannya, menggoyangkan rambut
tengkuknya yang putih. "Kau pasti mendapatkan bahwa dari pihak ayahmu."
"Tidak, aku tahu. Aku yakin kau mendapatkannya dari toko," katanya, sambil
menyeringai. Itu adalah lelucon kecilnya. Dia menyapaku dengan perkataan itu
setiap musim panas. Dan mata birunya akan berkilau gembira.
"Kau benar. Ini rambut palsu," kataku, tertawa.
Dia menarik rambut panjang pirangku dengan main-main.
"Apa Anda sudah punya TV kabel?" tanya Mark, menyeret tas di tanah.
"TV kabel?" Kakek Kurt menatap tajam Markus. "Belum Tapi kami masih bisa
mendapatkan tiga saluran. Berapa banyak lagi yang kita butuhkan?"
Mark memutar matanya. "Bukan MTV," erangnya.
Stanley berjalan melewati kami, membawa koper-koper kami ke dalam rumah.
"Ayo kita masuk aku berani taruhan kalian kelaparan," kata Nenek Miriam. "Aku
membuat sup dan sandwich. Kita akan makan malam dengan ayam dan jagung.
Jagung ini sangat manis tahun ini. Aku tahu betapa kalian berdua menyukainya."
Aku melihat kakekku saat mereka memimpin jalan menuju rumah. Mereka berdua
tampak lebih tua untukku. Mereka bergerak lebih lambat dari yang kuingat.
Pincang Kakek Kurt jelas lebih buruk. Mereka berdua tampak kelelahan.
Nenek Miriam pendek dan gemuk. Dia berwajah bulat dikelilingi oleh rambut
merah keriting. Berwarna merah cerah. Tak ada cara untuk menggambarkan
warnanya. Aku tak tahu apa yang ia gunakan untuk mengecat warnanya itu. Aku
belum pernah melihatnya di orang lain!
Dia mengenakan kacamata berbentuk persegi yang memberinya terlihat benarbenar model kuno. Dia suka baju rumah besar yang lapang. Aku tak berpikir aku
pernah melihatnya bercelana jeans atau celana pendek.
Kakek Kurt tinggi dan berdada bidang. Ibu bilang dia benar-benar tampan saat ia
masih muda. "Seperti seorang bintang film," dia selalu memberitahuku.
Sekarang dia punya rambut putih bergelombang, masih sangat tebal, yang basah
dan tertata rapi turun merata di kepalanya. Dia punya mata biru berkilauan yang
membuatku selalu tersenyum. Dan janggut putih di bawah wajah rampingnya.
Kakek Kurt tak suka bercukur.
Hari ini ia mengenakan kemeja lengan panjang, berwarna merah dan hijau kotakkotak, mengancingkan kerah kemejanya meskipun hari yang panas, dan celana jins
baggy, bernoda pada satu lututnya, yang ditahan oleh selempang putih.
Makan siang itu menyenangkan. Kami duduk mengelilingi meja dapur yang
panjang. Sinar matahari tertuang ke dalam melalui jendela yang besar. Aku bisa
melihat gudang di belakang dan ladang jagung membentang di belakangnya.
Mark dan aku bercerita semua berita kami - tentang sekolah, tentang tim basketku
akan ikut kejuaraan, tentang mobil baru kami, tentang kumis Ayah yang tumbuh.
Untuk suatu alasan, Stanley pikir itu sangat lucu. Dia tertawa begitu keras, dia
tersedak sup kulit kering-kacangnya. Dan Kakek Kurt harus meraih dan menepuk
punggungnya. Sulit untuk mengetahui apa kata-kata spontan Stanley. Seperti yang akan Mark
katakan, Stanley benar-benar aneh.
Sepanjang makan siang, aku terus menatap kakek-nenekku. Aku tak bisa
melupakan betapa mereka telah berubah dalam satu tahun ini. Mereka tampak
begitu lebih pendiam, begitu lebih lambat.
Itulah artinya jadi lebih tua, kataku pada diriku sendiri.
"Stanley pasti akan menunjukkan kalian orang-orangan sawah," kata Nenek
Miriam, melewati mangkuk keripik kentang. "Bukan begitu, Stanley?"
Kakek Kurt berdeham keras. Aku punya perasaan ia memberitahu Nenek Miriam
untuk mengubah subjek (pembicaraan) atau sesuatu.
"Aku yang membuat mereka," kata Stanley, menyeringai bangga. Dia memutar matanya
yang besar padaku. "Buku itu - yang memberitahuku bagaimana."
"Apa kau masih ikut les gitar?" tanya Kakek Kurt pada Mark.
Aku bisa melihat bahwa untuk suatu alasan, Kakek Kurt tak ingin bicara tentang
orang-orangan sawah Stanley.
"Ya," jawab Mark dengan mulut penuh keripik kentang. "Tapi aku menjual gitar
akustikku, aku ganti ke gitar listrik."
"Artinya kau harus men-cop-kannya?" tanya Stanley. Dia mulai tertawa, seolaholah dia baru saja membuat lelucon lucu.
"Sayang sekali kau tak membawa gitarmu," kata Nenek Miriam kepada Mark.
"Tidak, tidak," godaku. "Sapi-sapi akan mulai memberikan susu yang asam!"
"Diam, Jodie!" bentak Mark. Dia tak punya selera humor.
"Mereka sudah memberikan susu asam," gumam Kakek Kurt, menurunkan
matanya. "Nasib buruk. Saat sapi-sapi memberikan susu asam, itu artinya nasib buruk,"
kata Stanley, matanya melebar, ekspresinya tiba-tiba ketakutan.
"Tak apa-apa, Stanley," Nenek Miriam buru-buru meyakinkannya, meletakkan tangan
dengan lembut pada bahunya. "Kakek Kurt cuma menggoda."
"Anak-anak jika kalian sudah selesai, mengapa tak pergi dengan Stanley," kata
Kakek Kurt. "Dia akan memberikan wisata pertanian. Kalian selalu
menikmatinya." Dia mendesah. "Aku ingin pergi bersama, tapi kakiku kambuh lagi."
Nenek Miriam mulai membersihkan piring. Mark dan aku mengikuti Stanley
keluar dari pintu belakang. Rumput di halaman belakang baru saja dipangkas.
Udara terasa berat dengan bau manis.
Aku melihat seekor burung kolibri berkepak-kepak naik turun di atas taman bunga
di samping rumah. Aku menunjukkannya kepada Mark, tetapi pada saat dia
berbalik, itu burung itu pergi.
(Kolibri: burung terkecil di dunia berwarna cerah yang sebagian besar hidup di
Amerika Utara dan Amerika Selatan.)
Di belakang halaman pekarang hijau yang panjang berdiri gudang tua. Dindingdinding putihnya sangat kotor dan mengelupas. Benar-benar perlu dicat. Pintupintunya terbuka, dan aku bisa melihat pak-pak persegi jerami.
Jauh di sebelah kanan gudang, hampir ke ladang jagung, berdiri rumah tamu kecil
di mana Stanley tinggal bersama putra remajanya, Sticks.
"Stanley - di mana Sticks?" tanyaku. "Mengapa dia tak makan siang?"
"Pergi ke kota," jawab Stanley dengan tenang. "Pergi ke kota, naik kuda poni."
Mark dan aku bertukar pandang. Kami tak pernah dapat mengerti Stanley.
Dari ladang jagung itu berdiri menyembul beberapa sosok-sosok gelap itu, orangorangan sawah yang Nenek Miriam mulai bicarakan. Aku menatap mereka,
melindungi mataku dari sinar matahari dengan satu tangan.
"Begitu banyak orang-orangan sawah!" seruku. "Stanley, musim panas lalu hanya
ada satu. Mengapa ada begitu banyak sekarang?"
Ia tak menjawab. Dia tak mendengarku. Dia menarik topi bisbol hitamnya rendah


Goosebumps - 20 Teror Orang Orangan Sawah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke bawah di atas dahinya. Dia melangkah panjang, bersandar ke depan dengan
jalannya yang seperti bangau, tangannya masuk ke kantong pakaian kerja denimnya yang longgar. "Kita telah melihat pertanian ratusan kali," keluh Markus, berbisik kepadaku.
"Mengapa kita harus mengikuti wisata kakek lagi?"
"Mark - dinginkan rambut hitammu itu," kataku. "Kita selalu melakukan wisata
pertanian. Ini tradisi."
Mark menggerutu pada dirinya sendiri. Dia benar-benar malas. Dia tak pernah
ingin melakukan apa-apa. Stanley memimpin jalan melewati gudang ke dalam ladang jagung. Batang-batang
(jagung) berjalan di atas kepalaku. Jumbai-jumbai emas mereka bersinar di bawah
sinar cerah matahari. Stanley mengulurkan tangan dan menarik tongkol dari batang jagung.
"Ayo kita lihat apa sudah siap," katanya, nyengir pada Mark dan aku.
Dia memegang tongkol itu di tangan kirinya dan mulai mengupas dengan
kanannya. Setelah beberapa detik, ia menarik kulit jagung, membuka tongkol dalam jagung
itu. Aku menatapnya - dan menjerit ngeri.
3 "Ohhhh - menjijikkan!" jeritku.
"Kotor!" Aku mendengar erangan Mark.
Jagung itu berwarna coklat menjijikkan. Dan jagung itu bergerak-gerak di atas
tongkolnya. Menggeliat-geliut. Menggeliat-geliat.
Stanley menaikkan jagung itu ke wajahnya untuk memeriksanya. Dan aku
menyadari jagung itu ditutupi dengan cacing. Ratusan cacing coklat yang
menggeliat-geliut. "Tidak!" jerit Stanley ngeri. Dia membiarkan tongkol jagung itu jatuh ke tanah
di kakinya. "Ini nasib buruk! Buku ini mengatakan begitu. Ini nasib buruk!."
Aku menunduk menatap tongkol jagung itu. Cacing-cacing itu menggeliat-geliut
dari tongkol itu ke tanah.
"Tak apa-apa, Stanley," kataku padanya. "Aku menjerit cuma karena aku terkejut.
Ini kadang-kadang terjadi. Kadang-kadang cacing-cacing masuk ke dalam jagung.
Kakek mengatakannya padaku"
"Tidak. Ini buruk," Stanley berkeras kepala dengan suara gemetar. Telinga
merahnya menyala. Matanya yang besar tampak ketakutannya. "Buku itu - buku itu
berkata begitu." "Buku apa?" tuntut Mark. Dia menendang tongkol jagung bercacing itu menjauh
dengan ujung sepatu botnya.
"Bukuku," jawab Stanley misterius. "Buku takhayulku."
Uh-oh, pikirku. Stanley tak seharusnya punya buku takhayul. Dia sudah menjadi
orang yang paling (percaya) takhayul di dunia - bahkan tanpa buku!
"Kau sudah membaca buku tentang takhayul?" tanya Mark, mengamati cacingcacing cokelat itu merangkak di atas tanah yang lunak.
"Ya." Stanley mengangguk antusias. "Itu buku yang bagus. Buku itu
memberitahuku segalanya. Dan semua itu benar. Semua itu!"
Ia melepas topinya dan menggaruk rambut pendeknya. "Aku harus memeriksa
buku itu. Aku harus melihat apa yang harus dilakukan tentang jagung itu. Jagung
buruk itu." Dia telah bekerja cukup lama. Itu membuatku merasa sedikit takut. Aku sudah tahu
Stanley seumur hidupku. Kurasa dia bekerja untuk Kakek Kurt selama lebih dari
dua puluh tahun. Dia selalu aneh. Tapi aku belum pernah melihatnya begitu kesal tentang sesuatu
yang tak penting seperti tongkol jagung yang buruk.
"Tunjukkan kami orang-orangan sawah itu," kataku, mencoba untuk mengalihkan
pikirannya dari jagung. "Ya. Ayo kita lihat mereka,." Mark ikutan.
"Oke. Orang-orangan sawah itu." Stanley mengangguk. Kemudian ia berbalik, masih
berpikir keras, dan mulai memimpin jalan melalui deretan tinggi batang-batang
jagung. Batang-batang itu berderak dan mengerang saat kami melewatinya. Suaranya agak
menakutkan. Tiba-tiba, satu bayangan jatuh di atasku. Salah satu orang-orangan sawah gelap
itu bangkit di depan kami. Ia memakai mantel hitam compang-camping, diisi dengan
jerami. Lengannya terentang kaku keluar dari pinggangnya.
Orang-orangan sawah itu tinggi, menjulang di atas kepalaku. Cukup tinggi untuk
berdiri melebihi batang-batang jagung yang tinggi.
Kepalanya adalah karung goni pudar yang diisi dengan jerami. Matanya hitam
jahat dan kerutan mengancam telah dilukis dalam cat hitam tebal. Satu topi lusuh
kuno diletakkan di atas kepalanya.
"Kau yang membuat ini?" tanyaku pada Stanley.
Aku bisa melihat orang-orangan sawah beberapa lainnya menyembul dari jagung.
Mereka semua berdiri dalam posisi kaku yang sama. Mereka semua memiliki
kerutan mengancam sama. Dia menatap wajah orang-orangan sawah itu.
"Aku yang membuat mereka," katanya dengan suara rendah. "Buku itu yang
menunjukkan kepadaku bagaimana caranya."
"Mereka sangat menakutkan," kata Mark, berdiri dekat di sampingku. Dia meraih
tangan jerami orang-orangan sawah dan menggoyangkannya.
"Ada apa?" Mark menanyakannya.
"Orang-orangan sawah berjalan di tengah malam," kata Stanley, mengulangi kalimat
yang telah digunakannya di stasiun kereta.
Mark berusaha untuk ber-tos dengan orang-orangan sawah itu.
"Apa artinya itu!" tanyaku pada Stanley.
"Buku itu mengatakan kepadaku bagaimana caranya," jawab Stanley, matanya terpaku
pada wajah yang dilukis gelap di karung goni itu. "Buku itu
memberitahuku bagaimana caranya untuk membuat mereka berjalan."
"Hah" Maksudmu kau membuat orang-orangan sawah itu berjalan?" tanyaku,
sangat bingung. Mata gelap Stanley terkunci padaku. Sekali lagi, ekspresi wajahnya sangat
serius. "Aku tahu bagaimana cara melakukannya. Buku itu punya semua kata-kata itu."
Aku balas menatapnya, benar-benar bingung. Aku tak tahu harus berkata apa.
"Aku membuat mereka berjalan, Jodie," lanjut Stanley dengan suara persis di atas
bisikan. "Aku membuat mereka berjalan minggu lalu. Dan sekarang akulah
bosnya." "Hah" Bos o - orang-orangan sawah?" Aku tergagap. "Maksudmu -"
Aku berhenti saat, dari sudut mataku, aku melihat lengan orang-orangan sawah itu
bergerak. Jerami berkerut saat lengan itu meluncur.
Lalu aku merasa jerami kasar menyeka wajahku - saat lengan orang-orangan sawah
kering itu bergerak ke tenggorokanku.
4 Jerami berduri, menyembul keluar dari lengan mantel hitam itu, menggesek
leherku. Aku menjerit melengking. "Ini hidup!" jeritku panik, menukik ke tanah, berusaha menjauh dengan
merangkak. Aku berbalik untuk melihat Mark dan Stanley dengan tenang melihatku.
Bukankah mereka melihat orang-orangan sawah itu mencoba mencekikku"
Lalu anak Stanley, Sticks, melangkah keluar dari balik orang-orangan sawah,
wajahnya tersenyum gembira.
"Sticks - Kau makhluk aneh!" teriakku marah. Aku segera tahu bahwa ia-lah yang
telah menggerakkan lengan orang-orangan sawah itu.
"Kalian anak-anak kota benar-benar gampang ditakut-takuti," kata Sticks,
seringainya jadi lebih lebar. Dia mengulurkan tangan untuk membantuku untuk
berdiri. "Kau benar-benar berpikir orang-orangan sawah bergerak, bukan, Jodie!"
katanya menuduh. "Aku bisa membuat orang-orangan bergerak," kata Stanley, menarik topinya turun
lebih rendah di dahinya. "Aku bisa membuat mereka berjalan. Aku melakukannya.
Itu semua dalam buku."
Senyum Sticks memudar. Cahaya yang tampak dari mata gelapnya meredup.
"Ya, tentu, Ayah," gumamnya.
Sticks enam belas tahun. Dia tinggi dan kurus. Dia sudah punya lengan dan kaki
kurus yang panjang. Itulah kenapa ia dapat julukan Sticks (tongkat).
Ia mencoba untuk tampak jantan. Dia punya rambut panjang hitam turun melewati
kerah bajunya, yang jarang dicucinya. Dia memakai kemeja ketat berotot dan
celana jins kotor yang robek di bagian lutut. Dia sering menyeringai, dan mata
gelap yang sepertinya selalu menertawakanmu.
Dia menyebut Mark dan aku "anak-anak kota." Dia selalu mengatakannya dengan
sinis. Dan dia selalu memainkan lelucon bodoh pada kami. Kupikir dia sepertinya
agak iri pada Mark dan aku. Kupikir tidak mudah bagi Sticks tumbuh besar di
pertanian, tinggal di rumah tamu kecil dengan ayahnya.
Maksudku, Stanley lebih seperti seorang anak daripada seorang ayah.
"Aku melihatmu di belakang sana," kata Mark pada Sticks.
"Yah, trim's untuk memperingatkanku!" Aku membentak Mark. Aku berbalik
marah pada Sticks. "Aku melihatmu tak berubah sama sekali."
"Senang juga berjumpa denganmu, Jodie," jawabnya sinis. "Anak-anak kota kembali
sebulan lagi dengan orang dusun!"
"Stick - apa masalahmu?" aku membalasnya.
"Bersikaplah yang baik," gumam Stanley. "Jagung itu punya telinga, kalian tahu."
Kami semua menatap Stanley. Apakah ia baru saja membuat lelucon" Sulit untuk
berbicara dengannya. Wajah Stanley tetap serius. Matanya yang besar menatapku melalui naungan
topinya. "Jagung punya telinga," ulangnya. "Ada roh-roh di ladang ini."
Sticks menggeleng sedih. "Yah, kau menghabiskan terlalu banyak waktu dengan buku takhayul itu,"
gumamnya. "Buku itu benar semua," jawab Stanley. "Buku itu benar semua."
Sticks menendang kotoran. Dia mengangkat matanya padaku. Ekspresinya tampak
sangat sedih. "Hal-hal di sini berbeda," gumamnya.
"Hah?" Aku tak mengerti. "Apa maksudmu?"
Sticks berpaling pada ayahnya. Stanley menatapnya, matanya menyipit.
Sticks mengangkat bahu dan tak menjawab. Dia meraih lengan Mark dan
meremasnya. "Kau lembek seperti biasa," katanya pada Mark. "Mau melempar bola sore ini?"
"Hari ini agak panas," jawab Mark. Dia menyeka keringat di dahinya dengan
punggung tangannya. Stick mencibir padanya. "Masih pengecut, ya?"
"Tak mungkin!" protes Markus. "Aku cuma bilang panas, itu saja."
"Hei - ada sesuatu di belakangmu," kata Sticks pada Mark. "Berbaliklah."
Mark dengan patuh berbalik.
Sticks dengan cepat membungkuk, memungut tongkol jagung bercacing itu, dan
menjejalkannya di bagian belakang kaos Mark.
Aku ingin tertawa ketika aku melihat adikku lari menjerit-jerit pulang ke rumah
pertanian. *** Makan malam yang tenang. Ayam goreng Nenek Miriam lezat seperti biasanya.
Dan dia benar tentang jagung. Jagung itu sangat manis. Mark dan aku masingmasing makan dua tongkol, menetesinya dengan mentega.
Aku menikmati makan malam itu. Tapi yang membuatku kesal bahwa kedua
kakek-nenekku tampak begitu berubah. Kakek Kurt biasanya bicara nonstop. Dia
selalu punya lusinan cerita lucu tentang para petani di daerah itu. Dan dia
selalu punya lelucon baru untuk diceritakan. Malam ini ia nyaris tak berbicara
sepatah kata pun. Nenek Miriam terus mendesak Mark dan aku untuk makan lebih banyak. Dan dia
terus bertanya apa kami menyukai semuanya. Tapi ia, juga, tampak lebih pendiam.
Mereka berdua tampak tegang. Tak nyaman.
Mereka berdua terus melirik ke meja Stanley, yang sedang makan dengan kedua
tangan, mentega menetes di dagunya.
Sticks duduk murung di seberang ayahnya. Dia bahkan tampak lebih tak ramah
dari biasanya. Stanley satunya orang yang ceria di meja. Dia mengunyah ayam dengan antusias
dan meminta tiga porsi kentang tumbuk.
"Apa semuanya baik-baik saja, Stanley?" Nenek Miriam terus bertanya, menggigit
bibir bawahnya. "Semuanya baik-baik saja?"
Stanley bersendawa dan tersenyum. "Tidak buruk," adalah jawabannya.
Mengapa hal-hal tampak begitu berbeda" Aku bertanya-tanya. Apa hanya karena
Nenek dan Kakek semakin tua"
Setelah makan malam, kami duduk di sekitar ruang tamu besar yang nyaman.
Kakek Kurt berayun pelan maju-mundur di kursi goyang antik dari kayu dekat
perapian. Hari itu terlalu panas untuk membuat api. Tapi saat ia berayun, ia menatap
perapian gelap itu, ekspresi berpikir keras dalam wajahnya yang berjanggut
putih. Nenek Miriam duduk di kursi favoritnya, kursi empuk berlengan besar berwarna
hijau di seberang Kakek Kurt. Dipangkuannya ada majalah berkebun yang belum
dibuka. Sticks yang baru saja mengucapkan dua patah kata sepanjang malam, menghilang.
Stanley bersandar dinding, menusuk giginya dengan tusuk gigi.
Mark tenggelam ke dalam sofa panjang hijau. Aku duduk di ujung lain sofa itu dan
menatap ke seberang ruangan.
"Iih. Boneka beruang itu masih membuatku merinding!" seruku.
Di ujung ruangan, sebuah boneka beruang coklat besar - sekitar delapan kaki
tingginya - berdiri tegak di kaki belakangnya. Kakek Kurt telah menembaknya
bertahun-tahun yang lalu pada waktu perjalanan berburu. Cakar beruang besar itu
terulur, seolah-olah siap untuk menerkam.
"Itu beruang pembunuh," Kakek Kurt ingat, berayun perlahan, matanya tertuju pada
binatang yang tampak marah itu. "Dia melukai dua orang pemburu sebelum
aku menembaknya. Aku menyelamatkan nyawa mereka."
Aku bergidik dan berpaling dari beruang itu. Aku benar-benar membencinya. Aku
tak tahu mengapa Nenek Miriam membiarkan Kakek Kurt menyimpannya di ruang
tamu! "Bagaimana tentang cerita yang mengerikan?" tanyaku pada Kakek Kurt.
Dia menatap ke arahku, matanya biru tiba-tiba tak bernyawa dan jemu.
"Ya. Kami sudah lama menunggu cerita Anda," sela Mark. "Beritahu kami yang satu
itu tentang anak laki-laki tanpa kepala di lemari."
"Tidak. Beritahu yang baru," aku bersikeras penuh semangat.
Kakek Kurt mengusap dagunya perlahan. Matanya ke arah Stanley di seberang
ruangan. Lalu dia berdeham gugup.
"Aku agak lelah, anak-anak," katanya pelan. "Rasanya aku akan tidur."
"Tapi - tanpa cerita?" protesku.
Dia menatap ke arahku dengan mata jemu.
"Aku benar-benar tak tahu cerita-cerita lagi," gumamnya. Dia perlahan-lahan
berdiri dan menuju kamarnya.
Apa yang terjadi di sini" tanyaku pada diriku sendiri. Apa yang salah"
5 Lantai atas di kamar tidurku akhir malam itu, aku ganti baju tidur panjang.
Jendela kamar terbuka, dan angin lembut menyerbu ruangan.
Aku menatap keluar jendela yang terbuka. Satu pohon apel yang besar
melemparkan bayangannya di halaman.
Dimana rerumputan berakhir, ladang-ladang jagung terbaring di bawah cahaya
bulan purnama. Sinar bulan yang pucat membuat batang-batang tinggi berkilauan
seperti emas. Batang-batang itu membuat bayang-bayang biru panjang di atas
ladang. Di seberang lapangan luas, orang-orangan sawah menyembul kaku seperti tentara
berseragam gelap. Lengan mantel mereka berkibar-kibar dalam angin sepoi-sepoi.
Wajah karung goni mereka yang pucat tampak menatap ke arahku.
Aku merasakan hawa dingin yang dingin mengalir di punggungku.
Begitu banyak orang-orangan sawah. Setidaknya mereka selusin, berdiri dalam
barisan yang lurus. Seperti pasukan yang siap untuk berbaris.
"Orang-orangan sawah itu berjalan di tengah malam."
Itulah yang Stanley katakan dalam suara bernada rendah menakutkan yang belum
pernah aku dengar dia menggunakan sebelumnya.
Aku melirik jam di meja tempat tidur. Tepat jam sepuluh.
Aku akan tidur pada saat mereka berjalan, pikirku.
Pikiran gila. Aku bersin. Sepertinya aku alergi udara pertanian baik siang dan malam!


Goosebumps - 20 Teror Orang Orangan Sawah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menatap bayang-bayang panjang dibuat oleh orang-orangan sawah itu.
Embusan angin membengkokkan batang-batang jagung, membuat bayang-bayang
bergulung ke depan seperti gelombang laut yang gelap.
Dan kemudian aku melihat orang-orangan sawah tiba-tiba mulai bergerak.
"Mark!" jeritku. "Mark - Cepat ke sini!"
6 Di bawah cahaya bulan purnama, aku menatap dengan ngeri saat orang-orangan
sawah gelap itu mulai bergerak.
Lengan-lengan mereka tersentak. Kepala-kepala karung goni mereka menerjang
maju. Mereka semua. Serempak. Semua orang-orangan sawah itu menyentak, berkedut, menggeliat - seolah-olah
berusaha untuk menarik bebas dari tiang pancang mereka.
"Mark - cepat!" jeritku.
Aku mendengar langkah-langkah kikuk yang cepat menuruni lorong. Mark
terengah-engah menyerbu ke kamarku.
"Jodie - ada apa?" teriaknya.
Aku menunjuk panik padanya untuk datang ke jendela. Saat ia melangkah di
sampingku, aku menunjuk ke ladang jagung. "Lihat orang-orangan sawah itu."
Dia mencengkeram kusen jendela dan melongok keluar jendela.
Dari atas bahunya, aku bisa melihat kedutan serempak orang-orangan sawah itu.
Rasa dingin ngeri membuatku melingkarkan lenganku pada diriku.
"Itu angin," kata Mark, mundur dari jendela. "Apa masalahmu, Jodie" Itu cuma
angin yang bertiup di sekitar mereka."
"Kau - kau salah, Mark," kataku terbata-bata, masih memeluk diriku sendiri.
"Lihat lagi." Dia memutar bola matanya dan mendesah. Tapi dia berbalik dan bersandar ke luar
jendela. Dia menatap keluar di lapangan untuk waktu yang lama.
"Tidakkah kau lihat?" tuntutku nyaring. "Mereka semua bergerak bersamaan.
Lengan-lengan mereka, kepala-kepala mereka - semuanya bergerak bersamaan."
Saat Mark mundur dari jendela, mata birunya melebar dan ngeri. Dia menatapku
serius dan tak mengucapkan sepatah kata pun.
Akhirnya, ia menelan ludah dan suaranya keluar pelan dan ketakutan. "Kita harus
memberitahu Kakek Kurt," katanya.
Kami bergegas turun, tapi kakek-nenek kita sudah tidur. Pintu kamar tidur
tertutup. Sunyi di sisi lain. "Mungkin sebaiknya kita tunggu sampai besok pagi," bisikku saat Mark dan aku
berjingkat-jingkat kembali ke lantai atas ke kamar kami. "Kupikir kita akan aman
sampai saat itu." Kami bergerak pelan-pelan kembali ke kamar kami. Aku menutup jendela dan
menguncinya. Di ladang, orang-orangan sawah masih berkedut, masih menariknarik tiang pancang mereka.
Dengan gemetar, aku berpaling dari jendela dan terjun ke tempat tidur, menarik
selimut tua di atas kepalaku.
Aku tidur dengan gelisah, melemparkan (diri) di bawah selimut tebal. Di pagi
hari, aku melompat penuh semangat dari tempat tidur. Aku menyisir rambutku dan
bergegas turun untuk sarapan.
Mark tepat di belakangku di tangga. Dia mengenakan celana jins yang sama seperti
kemarin dan kaos Nirvana merah hitam. Dia tak mau repot-repot menyisir
rambutnya. Rambutnya berdiri tegak di belakang.
"Kue serabi!" ia berhasil berbicara. Mark cuma baik untuk satu kata pada saat
pagi-pagi ini. Tapi kata itu langsung menghiburku dan membuatku melupakan sekejap tentang
orang-orangan sawah yang menyeramkan itu.
Bagaimana aku bisa melupakan kue serabi cokelat Nenek Miriam yang
menakjubkan" Kue serabinya begitu lembut, benar-benar meleleh di mulutmu. Dan cokelat hangat
dicampur dengan sirup maple yang manis membuat sarapan paling enak yang
pernah kumakan. Saat kami bergegas melintasi ruang tamu menuju dapur, aku mengendus udara,
berharap mencium aroma lezat dari adonan kue serabi di atas kompor.
Tetapi hidungku terlalu mampet untuk mencium sesuatu.
Mark dan aku muncul mendadak ke dapur pada saat yang bersamaan. Kakek Kurt
dan Stanley sudah di meja. Sebuah cerek kopi besar berwarna biru mengepul
berdiri di depan mereka. Stanley menghirup kopinya. Kakek Kurt wajahnya terbenam di balik koran pagi.
Dia mendongak dan tersenyum saat Mark dan aku masuk.
Setiap orang mengucapkan selamat pagi pada semuanya.
Mark dan aku mengambil tempat kami di meja. Kami begitu bersemangat untuk
kue serabi yang terkenal itu, kami hampir-hampir menggosok tangan kami
bersama-sama seperti perbuatan tokoh kartun.
Bayangkan betapa terkejutnya kami saat Nenek Miriam meletakkan mangkuk
besar cornflake (jonjot jagung) di depan kami.
Aku langsung berteriak. Aku melirik di seberang meja Mark. Dia menatap ke arahku, wajahnya tampak
terkejut dan kecewa. "Jonjot jagung?" tanyanya dengan suara tinggi melengking.
Nenek Miriam kembali ke bak cuci piring. Aku berpaling padanya.
"Nenek Miriam - bukan kue serabi ?" tanyaku dengan suara rendah.
Aku melihat dia menatap Stanley.
"Aku sudah berhenti membuatnya, Jodie," jawabnya, matanya masih (terarah) pada
Stanley. "Kue serabi terlalu bikin gemuk."
"Tidak seperti semangkuk jonjot jagung yang baik di pagi hari," kata Stanley
dengan senyum lebar. Dia meraih kotak jonjot jagung di tengah meja dan mengisi
mangkuknya dengan porsi kedua.
Kakek Kurt mendengus balik korannya.
"Silakan - makan sebelum jadi lembek," desak Nenek Miriam dari bak cuci piring.
Mark dan aku hanya saling menatap. Musim panas lalu, Nenek Miriam
membuatkan kami setumpuk besar kue serabi coklat hampir setiap pagi!
Apa yang terjadi di sini" Aku bertanya-tanya sekali lagi.
Aku tiba-tiba teringat Stick di ladang jagung sehari sebelumnya, berbisik
kepadaku, "Hal-hal di sini berbeda."
Mereka pastinya berbeda. Dan tak lebih baik, aku memutuskan.
Perutku berbunyi. Aku mengambil sendok dan mulai makan jonjot jagungku. Aku
melihat Mark dengan sedih menyendok punyanya. Dan tiba-tiba aku teringat
orang-orangan sawah yang berkedut.
"Kakek Kurt -" aku mulai. "Tadi malam, Mark dan aku - kami memandang ladang
jagung dan kami melihat orang-orangan sawah. Mereka bergerak. Kami -"
Aku mendengar Nenek Miriam terkesiap pelan dari belakangku.
Kakek Kurt menurunkan korannya. Ia menyipitkan matanya ke arahku, tapi tak
mengatakan sepatah kata pun.
"Orang-orangan sawah itu bergerak!" Mark ikut menimpali.
Stanley tertawa kecil. "Itu angin," katanya, matanya terarah pada Kakek Kurt. "Ini pasti angin yang
bertiup di sekitar mereka."
Kakek Kurt melotot pada Stanley.
"Kau yakin?" tuntutnya.
"Ya. Itu angin," jawab Stanley tegang.
"Tapi mereka berusaha untuk melepaskan tiang mereka!" teriakku. "Kami melihat
mereka!" Kakek Kurt menatap tajam di Stanley.
Telinga Stanley berubah merah terang. Ia menurunkan matanya.
"Malam ini berangin," katanya. "Mereka bergerak dalam angin."
"Ini akan jadi hari yang cerah," kata Nenek Miriam dengan cerah dari bak cuci
piring. "Tapi orang-orangan itu-" Mark bersikeras.
"Yah. Sepertinya ini hari yang cukup bagus," gumam Kakek Kurt, mengabaikan Mark.
Dia tak ingin berbicara tentang orang-orangan sawah, aku menyadari.
Apa karena dia tak percaya pada kami"
Kakek Kurt berpaling ke Stanley. "Setelah kau membawa sapi ke padang rumput,
mungkin kau, Jodie dan Mark dapat memancing di sungai."
"Mungkin," jawab Stanley, mengamati kotak jonjot jagungnya. "Mungkin kita bisa
melakukannya." "Kedengarannya menyenangkan," kata Mark. Mark suka memancing. Ini salah satu
olahraga favoritnya karena kau tak perlu terlalu banyak bergerak.
Ada sungai yang benar-benar indah di belakang padang rumput sapi di ujung tanah
milik Kakek Kurt. Di belakang sana sangat penuh dengan pepohonan, dan sungai
sempit itu mengalir pelan di bawah naungan pohon-pohon tua dan biasanya penuh
dengan ikan. Menghabiskan sereal-ku, aku berbalik pada Nenek Miriam di bak cuci piring.
"Dan apa yang Anda lakukan hari ini?" tanyaku padanya. "Mungkin Anda dan aku
bisa menghabiskan waktu bersama dan -"
Aku berhenti saat ia berpaling ke arahku dan tangannya kelihatan.
"Ohhhh." Aku mengerang ketakutan saat aku melihat tangannya. Tangannya itu itu terbuat dari jerami! 7 "Jodie - ada apa?" tanya Nenek Miriam.
Aku mulai menunjuk ke tangannya.
Lalu tangan itu terlihat jelas, dan aku melihat bahwa tangannya bukan jerami dia memegang sapu. Dia memegannya dengan menahan dan melepas kain tiras dari ujung jerami.
"Tak ada yang salah," kataku, merasa seperti orang yang benar-benar brengsek.
Aku mengusap mataku. "Aku harus minum obat alergiku," kataku. "Mataku sangat berair. Aku terus
melihat hal-hal!" Aku melihat orang-orangan sawah ke mana pun aku melihat!
Aku memarahi diriku sendiri karena bertindak begitu gila.
Berhentilah memikirkan orang-orangan sawah, aku berkata pada diriku sendiri.
Stanley benar. Orang-orangan sawah itu telah bergerak dalam angin malam.
Itu cuma angin. *** Lalu Stanley membawa kami memancing pagi itu. Saat kami mulai berangkat ke
sungai, ia tampak dalam suasana hati yang benar-benar baik.
Dia tersenyum sambil mengayunkan keranjang piknik besar Nenek Miriam yang
disiapkan untuk makan siang kami.
"Dia memasukkan ke dalamnya semua (makanan) favoritku," kata Stanley
gembira. Dia menepuk keranjang itu dengan kepuasan kekanak-kanakan.
Dia menyelipkan tiga galah pancing bambu di bawah lengan kirinya. Dia
membawa keranjang jerami besar di tangan kanannya. Dia menolak untuk
membiarkan Mark dan aku membawa apa pun.
Udara hangat berbau manis. Cahaya matahari turun di langit biru tak berawan.
Helaian rumput yang baru saja dipotong menempel pada sepatu putihku saat kami
menuju di halaman belakang.
Obat telah membantu. Mataku jauh lebih baik.
Stanley berbelok tepat melewati gudang dan mulai berjalan cepat di sepanjang
dinding belakang. Ekspresinya berubah serius. Ia tampak berkonsentrasi keras
pada sesuatu. "Hei - kita mau ke mana?" panggilku, bergegas mengikutinya.
Dia tak mendengarku. Mengambil langkah-langkah panjang, mengayunkan
keranjang piknik jerami saat ia berjalan, ia menuju kembali ke arah kami mulai.
"Hei - tunggu dulu!" panggil Mark terengah-engah. Adikku benci untuk terburuburu saat ia dapat menghabiskan waktu.
"Stanley - tunggu!" teriakku, menarik-narik lengan kemejanya. "Kita akan
berputar-putar!" Dia mengangguk, ekspresinya serius di bawah topi kasti hitamnya.
"Kita harus memutari gudang tiga kali," katanya dengan suara rendah.
"Hah" Kenapa?" tuntutku.
Kami mulai belokan kedua kami memutari gudang.
"Ini akan membawa kita keberuntungan memancing kita," jawab Stanley. Lalu
menambahkan, "Ini ada dalam buku. Semuanya dalam buku."
Aku membuka mulut untuk mengatakan padanya ini benar-benar konyol. Tapi aku
memutuskan untuk tak (mengatakannya). Ia tampak begitu serius tentang buku
takhayul-nya. Aku tak ingin merusaknya.
Selain itu, Mark dan aku bisa menggunakannya untuk latihan.
Beberapa saat kemudian, kami selesai berputar-putar dan mulai berjalan menyusuri
jalan setapak yang melewati ladang jagung ke sungai. Stanley segera tersenyum
kembali. Dia benar-benar percaya takhayul dalam buku ini, aku menyadari.
Aku bertanya-tanya apakah Sticks juga mempercayainya.
"Di mana Sticks?" tanyaku, menendang segumpalan besar tanah di jalan.
"Mengerjakan tugas-tugas," jawab Stanley. "Sticks pekerja yang baik. Seorang
pekerja yang benar-benar baik. Tapi dia akan segera bergabung, aku yakin. Sticks
tak pernah suka kehilangan acara memancing."
Matahari mulai terasa benar-benar terik di wajah dan di pundakku. Aku bertanyatanya apakah aku harus lari pulang dan mengambil tabir surya.
Orang-orangan sawah berpakaian gelap itu tampak menatapku saat kami berjalan
melewati deretan dari batang-batang jagung yang tinggi. Aku berani sumpah,
wajah yang dicat pucat itu berpaling untuk mengikuti saat aku lewat.
Dan apakah salah satu dari mereka mengangkat lengan untuk melambaikan tangan
jeraminya padaku" Aku memarahi diriku sendiri karena pikiran-pikiran bodoh seperti itu, dan
memalingkan mataku. Berhentilah berpikir tentang orang-orangan sawah, Jodie! kataku pada diriku
sendiri. Lupakan mimpi burukmu. Lupakan tentang orang-orangan sawah bodoh itu.
Ini adalah hari yang indah, dan kau tak perlu khawatir. Cobalah untuk bersantai
dan bersenang-senang. Jalanan itu menuju ke hutan pinus yang tinggi di belakang ladang jagung. Jadi
teduh dan jauh lebih dingin segera setelah kami melangkah ke dalam hutan.
"Tak bisakah kita naik taksi di sisa perjalanan?" rengek Mark. Sebuah lelucon
khas Mark. Dia akan benar-benar naik taksi jika ada!
Stanley menggeleng. "Anak-anak Kota," gumamnya, sambil menyeringai.
Jalanan berakhir, dan kami terus melewati pepohonan. Baunya begitu berpinus dan
segar di hutan. Aku melihat, tupai kecil berwarna coklat-putih melesat ke dalam
rongga gelondongan kayu. Dalam jarak dekat aku bisa mendengar tetesan musik sungai.
Tiba-tiba, Stanley berhenti. Dia membungkuk dan memungut biji pinus.
Tiga galah pancing itu jatuh ke tanah. Dia tak memerhatikannya. Dia memegang
biji pinus dekat ke wajahnya, mempelajarinya.
"Biji pinus di tempat yang rindang artinya musim dingin yang panjang," katanya,
membalikkan buah pinus kering itu di tangannya.
Mark dan aku membungkuk untuk mengambil galah-galah pancing itu.
"Apakah itu yang buku katakan?" tanya Mark .
Stanley mengangguk. Dia meletakkan biji pinus ke bawah dengan hati-hati di
tempat di mana dia menemukannya.
"Buah pinusnya masih lengket. Itu pertanda yang bagus," katanya serius.
Mark terkikik. Aku tahu ia berusaha untuk tak tertawa di Stanley. Tapi entah
bagaimana tawa itu lolos.
Matanya besar Stanley cokelat jadi terluka.
"Itu semua benar, Mark," katanya pelan. "Itu semua benar."
"Aku - aku ingin membaca buku itu," kata Mark, melirikku.
"Ini buku yang sangat sulit," jawab Stanley. "Aku mengalami kesulitan dengan
beberapa kata-katanya."
"Aku bisa mendengar sungai," selaku masuk, mengubah topik pembicaraan. "Ayo kita
pergi, aku ingin untuk menangkap beberapa ikan sebelum makan siang."
*** Air jernih terasa dingin di kakiku. Batu-batu halus dari dasar sungai jadi licin
di bawah kakiku yang telanjang.
Kami bertiga telah mengarungi ke sungai dangkal. Mark ingin berbaring di tepi
sungai berumput untuk (memancing) ikan. Tapi aku meyakinkannya akan jauh
lebih menyenangkan - dan lebih mudah untuk menangkap sesuatu - jika kau berdiri
di dalam air. "Ya, aku akan menangkap (catch) sesuatu," gerutunya sambil menggulung kancing
celana jinsnya. "Aku akan kena (catch) radang paru-paru!"
Stanley tertawa keras. Suaranya terdengar seperti, "Har Har! Har!"
Dia meletakkan keranjang piknik besar dengan hati-hati di rumput kering. Lalu
dia

Goosebumps - 20 Teror Orang Orangan Sawah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggulung kaki pakaian kerja denimnya. Membawa tinggi-tinggi galah itu di satu
tangan, ia melangkah ke dalam air.
"Ooooh! Dinginnya!" teriaknya, melambaikan tangan di atas kepalanya, ia hampir
kehilangan keseimbangan di atas batu yang licin.
"Stanley - kau tak lupa sesuatu?" Aku memanggilnya.
Dia berbalik, bingung. Telinga yang besarnya jadi merah terang. "Apa yang
kulupakan, Jodie?" Aku menunjuk pancingnya. "Bagaimana dengan umpannya?" panggilku.
Dia melirik kail kosong di ujung talinya. Lalu ia berjalan kembali ke pantai
untuk mendapatkan cacing untuk umpan kailnya.
Beberapa menit kemudian, kami bertiga berada di air. Mark yang pertama
mengeluh tentang betapa dingin sungai itu dan tentang bagaimana batu-batu di
dasar sungai menyakiti kaki kecilnya yang halus.
Tapi setelah beberapa saat, ia juga masuk ke dalam sungai.
Sungai saat ini dalamnya hanya sekitar dua kaki. Airnya sangat jernih dan
mengalir sedikit cepat, membuat putaran-putaran kecil dan menukik di atas batubatu dasar sungai. Aku menurunkan taliku ke dalam air dan melihat plastik merah gembung
mengapung di permukaan. Jika plastik mulai tenggelam, aku tahu kailku digigit
(ikan). Matahari terasa hangat di wajahku. Air dingin yang mengalir lewat menyenangkan.
Kuharap sungai ini cukup dalam untuk berenang di sini, pikirku.
"Hei - Aku dapat sesuatu!" teriak Mark gembira.
Stanley dan aku berbalik dan melihatnya menarik naik talinya.
Mark menarik dengan seluruh kekuatannya.
"Ini - Ini kurasa sesuatu yang besar," katanya.
Akhirnya, dia menyentak keras lalu - dan menarik segumpalan tebal gulma hijau.
"Bagus, Mark," kataku sambil memutar mata. "Itu sesuatu yang besar, benar
sekali." "Kaulah sesuatu yang besar," Mark membalas kembali. "Brengsek besar."
"Jangan seperti bayi," gumamku.
Aku mengusir seekor lalat yang berdengung dan mencoba untuk berkonsentrasi
taliku. Tetapi pikiranku mulai kemana-mana. Ini selalu terjadi saat aku
memancing. Aku menemukan diriku berpikir tentang orang-orangan tinggi di ladang. Mereka
berdiri begitu gelap, begitu mengancam, begitu waspada. Wajah cat mereka semua
memiliki pandangan tajam yang sama.
Aku masih membayangkan mereka ketika aku merasakan tangan meluncur sekitar
pergelangan kakiku. Tangan jerami orang-orangan sawah.
Tangan itu menggapai naik dari air, melingkari pergelangan kakiku, dan mulai
memperketat cengkeraman basah dinginnya di sekitar kakiku.
8 Aku menjerit dan mencoba untuk menendang tangan itu menjauh.
Tapi kakiku terpeleset di batu-batu yang halus. Tanganku terangkat saat aku
terguling ke belakang. "Ohh!" Aku menjerit lagi saat aku membentur air.
Orang-orangan sawah itu menahan.
Di punggungku, air menyerbu, aku menendang dan lenganku meronta-ronta.
Dan lalu aku melihatnya. Gumpalan gulma hijau yang telah membungkus sendiri
di sekitar pergelangan kakiku.
"Oh, tidak," erangku keras.
Tak ada orang-orangan sawah. Cuma gulma.
Aku menurunkan kakiku ke air. Aku tak bergerak. Aku hanya berbaring di
punggungku, menunggu hatiku untuk berhenti berdebar-debar, merasa sekali lagi
seperti orangg yang benar-benar brengsek.
Aku melirik ke arah Mark dan Stanley. Mereka menatap ke arahku, terlalu kaget
untuk tertawa. "Jangan berkata apapun," aku memperingatkan mereka, berusaha untuk berdiri.
"Kuperingatkan kalian - jangan berkata sepatah kata pun."
Markus mencibir, tapi ia patuh tak mengatakan apa-apa.
"Aku tak membawa handuk," kata Stanley prihatin. "Maafkan aku, Jodie, aku tak
tahu kau ingin berenang."
Itu membuat Mark tertawa terbahak-bahak.
Aku melemparkan tatapan peringatan pada Mark. Kaos dan celana pendekku basah
kuyup. Aku mulai ke tepi sungai, membawa galah pancing dengan canggung di
depanku. "Aku tak butuh handuk," kataku pada Stanley. "Rasanya bagus. Sangat segar."
"Kau membuat ikan-ikan pergi ketakutan, Jodie," keluh Mark.
"Tidak. Kau yang membuat mereka takut. Mereka melihat wajahmu!." jawabku.
Aku tahu aku bertingkah seperti bayi sekarang. Tapi aku tak peduli. Aku
kedinginan, basah dan marah.
Aku menginjak ke tepi sungai, menggoyangkan air dari rambutku.
"Kupikir mereka menggigit lebih baik di bawah sini," kudengar Stanley
memanggil Mark. Aku berpaling untuk melihatnya menghilang di lekukan sungai.
Melangkah hati-hati di atas batu, Mark mengikutinya. Mereka berdua tersembunyi
dari pandangan dibalik pepohonan yang lebat.
Aku meremas rambutku, mencoba untuk mengeluarkan air sungai. Akhirnya, aku
menyerah dan mengibaskan rambutku ke belakang bahuku.
Aku berdebat apa yang harus dilakukan berikutnya saat aku mendengar suara
berderak di hutan. Langkah kaki" Aku berbalik dan menatap ke pepohonan. Aku tak melihat siapa pun.
Tupai lain bergegas pergi di atas selimut dedaunan cokelat yang mati. Apakah
seseorang - atau sesuatu - membuat takut tupai"
Aku benar-benar mendengarkan. Derakan langkah kaki lainnya. Suara gemerisik.
"Siapa - siapa di sana?" panggilkku.
Semak-semak rendah berdesir sebagai jawaban.
"Sticks - kaukah itu" Sticks?" Suaraku gemetar.
Tak ada jawaban. Pasti itu Sticks, aku berkata pada diriku sendiri. Ini adalah tanah milik Kakek
Kurt. Tak ada orang lain di belakang ke sini.
"Sticks - berhentilah berusaha untuk menakut-nakutiku!" teriakku dengan marah.
Tak ada jawaban. Langkah kaki lainnya. Derakan ranting.
Suara-suara yang lebih gemerisik. Lebih dekat sekarang.
"Sticks - Aku tahu itu kau!" panggilku dengan ragu. "Aku benar-benar lelah
dengan tipuan bodohmu. Sticks?"
Mataku menatap lurus ke depan ke pepohonan.
Aku mendengarkan. Sekarang sunyi.
Kesunyian yang mencekam. Lalu aku mengangkat tanganku ke mulutku saat aku melihat sesosok gelap
menyembul keluar dari naungan dua pohon pinus yang tinggi.
"Sticks -?" Aku memicingkan mata ke dalam bayang-bayang biru.
Aku melihat mantel gelap menggembung. Kepala kain goni yang memudar. Topi
fedora hitam miring di atas lukisan mata hitam.
(fedora: topi laken seperti yang biasa dipakai di film-film koboi.)
Aku melihat jerami menyembul di bawah jaket. Jerami mencuat keluar dari lengan
jaket yang panjang. Orang-orangan sawah. Satu orang-orangan sawah telah mengikuti kami" Mengikuti kami ke sungai"
Menyipitkan mata keras ke bayangan, menatap senyum yang jahat, beku, aku
membuka mulut untuk menjerit - tapi tak ada suara yang keluar.
9 Lalu tangannya meraih bahuku.
"Ohh!" Aku menjerit dan berbalik.
Stanley menatapku dengan prihatin. Ia dan Mark telah datang di belakangku.
"Jodie, ada apa?" tanya Stanley. "Mark dan aku - Kami pikir kami mendengarmu
memanggil" "Ada apa?" Mark bertanya santai. Tali di galah pancingnya telah menjadi kusut,
dan ia berusaha untuk melepaskannya. "Apa kau melihat tupai atau sesuatu?"
"Tidak - aku - aku -" Jantungku berdebar begitu keras, aku nyaris tak bisa
bicara. "Rambut hitammu keren, Jodie," kata Mark, meniruku.
"Aku melihat orang-orangan sawah!" akhirnya aku berhasil berteriak.
Mulut Stanley ternganga. Mark menyipitkan matanya curiga padaku. "Orang-orangan sawah" Di hutan
sini?" "Orang-orangan itu - itu berjalan," kataku tergagap. "Aku mendengarnya. Aku
mendengarnya berjalan."
Satu suara tersedak keluar dari mulut terbuka Stanley.
Mark terus menatapku, wajahnya tegang karena takut.
"Itu di sana!" teriakku. "Di sana! Lihatlah!"
Aku menunjuk. Tapi oranng-orangan sawah itu lenyap.
10 Stanley menatap tajam ke arahku, matanya yang besar cokelat penuh dengan
kebingungan. "Aku melihatnya," aku bersikeras. "Di antara dua pohon itu."
Aku menunjuk lagi. "Kau melihatnya" Orang-orangan sawah" Benarkah?" tanya Stanley. Aku bisa
melihatnya benar-benar mulai merasa takut.
"Yah... Mungkin itu hanya bayangan," kataku. Aku tak ingin menakut-nakuti
Stanley. Aku menggigil. "Aku basah kuyup. Aku harus kembali di bawah sinar matahari," kataku pada
mereka. "Tapi apakah kau melihatnya?" tanya Stanley, matanya yang besar terpaku padaku.
"Apa kau melihat orang-orangan sawah di sini, Jodie?"
"Aku - aku tak berpikir begitu, Stanley," jawabku, mencoba untuk
menenangkannya. "Maafkan aku."
"Ini sangat buruk," gumamnya, berbicara pada dirinya sendiri. "Ini sangat buruk.
Aku harus membaca buku itu. Ini sangat buruk."
Lalu sambil bergumam sendiri, ia berbalik dan lari.
"Stanley - berhenti!" panggilku. "Stanley - kembali! Jangan biarkan kami di
sini!" Tapi dia sudah pergi. Menghilang ke dalam hutan.
"Aku akan mengejarnya," kataku pada Mark. "Lalu aku akan menceritakan tentang
hal ini Kakek Kurt. Bisakah kau bawa kembali pancing ini sendirian?"
"Apa aku harus?" rengek Mark. Adikku begitu malas!
Aku mengatakan kepadanya ia harus. Lalu aku berlari sepanjang jalan melalui
hutan menuju rumah pertanian.
Jantungku berdegup kencang saat aku sampai di ladang jagung. Orang-orangan
sawah gelap tampaknya menatapku. Saat sepatu kets-ku berdebam di jalan tanah
yang sempit, aku membayangkan lengan-lengan jerami meraihku, meraihku untuk
menangkapku dan menarikku ke jagung.
Tapi orang-orangan sawah tetap diam, masih melihat di atas batang-batang jagung.
Mereka tak bergerak atau berkedut saat aku melesat lewat.
Di depan aku melihat Stanley berlari ke rumah kecilnya. Aku menadahkan tangan
ke mulutku dan memanggilnya, tapi dia menghilang ke dalam.
Aku memutuskan untuk mencari Kakek Kurt dan bercerita tentang orang-orangan
sawah yang kulihat bergerak melalui hutan.
Pintu gudang terbuka, dan kupikir aku melihat seseorang bergerak di dalam.
"Kakek Kurt?" panggilku terengah-engah. "Apa Anda di sana?"
Rambut basahku memantul di bahuku saat aku lari ke gudang. Aku berdiri di
persegi panjang cahaya yang membentang dari pintu dan menatap kegelapan.
"Kakek Kurt?" panggilku, berusaha untuk bernapas.
Mataku perlahan-lahan menyesuaikan dengan cahaya redup. Aku melangkah lebih
dalam gudang. "Kakek Kurt" Apa Anda di sini?"
Mendengar suara gesekan pelan di dinding yang jauh, aku berjalan ke arah itu.
"Kakek Kurt - bisakah aku bicara dengan Anda" Aku benar-benar perlu bicara
dengan Anda!" Suaraku terdengar kecil dan ketakutan di gudang besar gelap itu.
Sepatuku menggesek di lantai jerami kering saat aku berjalan menuju belakang.
Aku berputar ketika aku mendengar suara gemuruh.
Cahaya jadi meredup. "Hei -" teriakku. Terlambat.
Pintu gudang itu bergeser menutup.
"Hei! Siapa di sana?" jeritku terkejut dengan marah. "Hei - berhenti!"
Aku menyelinap di atas jerami saat aku mulai bergerak maju dengan tiba-tiba
menuju pintu geser itu. Aku jatuh dengan keras, tapi dengan cepat berdiri dengan
canggung. Aku melesat menuju pintu. Tapi aku tak cukup cepat.
Saat pintu yang berat itu bergemuruh menutup, persegi panjang cahaya jadi
menyempit, menyempit. Pintu itu terbanting dengan keras yang memekakkan telinga.
Kegelapan meluncur di sekitarku, melingkariku, menutupiku.
"Hei - keluarkan aku!" jeritku. "Keluarkan aku dari sini!"
Jeritanku berakhir dalam cekikan tertahan. Napasku terengah-engah dengan suara
keras. Aku menggedor pintu gudang kayu dengan kedua tangan. Lalu dengan panik aku
menyapukan tangan di atas pintu, membabi buta untuk mencari palang pintu, atau
sesuatu yang ditarik - beberapa cara untuk membuka pintu.
Saat aku tak bisa menemukan apa-apa, aku menggedor pintu sampai tinjuku sakit.
Lalu aku berhenti dan mundur selangkah.
Tenang, Jodie, kataku pada diriku sendiri. Tenang. Kau akan keluar dari gudang.
Kau akan menemukan jalan keluar. Ini tak seperti kau terjebak di sini selamanya.
Aku mencoba untuk menghilangkan kepanikanku. Aku menahan napas, menunggu
hatiku untuk berhenti berdebar-debar. Lalu aku menbiarkan napasku keluar
perlahan-lahan. Perlahan-lahaaaan.
Aku baru saja mulai merasa sedikit lebih baik saat aku mendengar suara garukan.
Suatu garukan kering. Suara sepatu berderak di atas jerami.
"Oh." Aku menjerit keras, lalu mengangkat kedua tangan ke wajahku dan
mendengarkan. Garukan. Garukan. Garukan.
Suara langkah kaki. Suara langkah kaki pelan yang tetap, begitu dimah di lantai
gudang. Langkah-langkah kaki itu menuju ke arahku di dalam kegelapan.
11 "Siapa - siapa di sana?" Aku berhasil bicara, suaraku berbisik.
Tak ada jawaban. Garukan. Garukan. Garukan.
Suara garukan pelan langkah kaki mendekat.
"Siapa itu?" teriakku nyaring.
Tak ada jawaban. Aku menatap ke dalam kegelapan. Aku tak bisa melihat apa-apa.
Garukan. Garukan. Siapa pun - atau apa pun - itu bergerak terus ke arahku.
Aku mundur selangkah. Lalu, selangkah lagi.
Aku mencoba berteriak, tapi tenggorokanku tercekat ketakutan.
Aku mengembuskan napas ketakutan saat aku mundur ke sesuatu. Dalam
kepanikan, aku butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa itu cuma sebuah
tangga kayu. Tangga yang menuju ke loteng jerami itu.
Langkah-langkah kaki itu berjalan mendekat dengan menimbulkan suara berderak.
Lebih dekat. "Tolong -" Aku mengeluarkan suara dengan suara tersedak kecil. "Tolong - jangan
-" Lebih dekat. Lebih dekat. (Sesutu) yang menggaruk itu ke arahku melalui
kegelapan yang pekat. Aku mencengkeram sisi tangga. "Tolong - tinggalkan aku sendiri!"
Sebelum aku sadar apa yang kulakukan, aku menaiki tangga. Lenganku gemetar,
dan kakiku masing-masing terasa seolah-olah beratnya ribuan pon.
Tapi aku bergegas melangkahi anak -anak tangga menuju loteng jerami, menjauh
dari garukan langkah kaki yang menakutkan di bawah.
Saat aku mencapai puncak, aku berbaring di lantai loteng jerami. Aku berusaha
untuk mendengarkan, mendengar langkah-langkah kaki di atas debaran hatiku


Goosebumps - 20 Teror Orang Orangan Sawah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang keras. Apa aku diikuti" Apakah sesuatu itu mengejarku menaiki tangga"
Aku menahan napas. Aku mendengarkan.
Suara darukan. Garukan langkah kaki.
"Pergi!" jeritku panik. "Siapa pun kau - pergilah!"
Tapi suara-suara itu berlanjut, kering dan kasar membuat gatal. Seperti jerami
menyapu jerami. Berusaha untuk berlutut, aku berpaling ke jendela, jendela kecil loteng jerami
yang persegi. Sinar matahari mengalir melalui jendela. Cahaya itu membuat jerami
berserakan di atas lantai berkilau seperti helaian emas kecil.
Dengan hatiku yang masih berdebar-debar, aku merangkak ke jendela.
Ya! Tali berat itu masih terikat ke samping. Tali yang selalu Mark dan aku
gunakan untuk berayun ke tanah.
Aku bisa keluar dari sini! kataku pada diriku sendiri dengan senang.
Aku bisa meraih tali itu dan berayun keluar dari loteng jerami itu. Aku bisa
lolos! Dengan penuh semangat, aku meraih tali itu dengan kedua tangan.
Lalu aku melongok keluar jendela dan menatap ke bawah, ke tanah.
Menjerit terkejut dan ngeri.
12 Menatap ke bawah, aku melihat satu topi hitam. Di bawahnya, sebuah mantel
hitam. Satu orang-orangan sawah. Bertengger di luar pintu gudang. Seolah-olah berjagajaga. Ia menyentakkan lengan dan kakinya atas suara jeritanku.
Dan saat aku menatap tak percaya, ia bergegas berputar ke sisi gudang,
terpincang- pincang pada kaki jerami, lengannya terkepak-kepak di pinggangnya.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali.
Apakah aku melihat sesuatu"
Tanganku terasa dingin dan basah. Aku mencengkeram tali itu lebih erat.
Mengambil napas dalam-dalam, aku meloncat keluar dengan tiba-tiba dari jendela
persegi kecil itu. Tali berat itu berayun keluar di atas bagian depan gudang.
Turun, turun. Aku membentur tanah yang keras, mendarat di kakiku.
"Aduh!" jeritku saat tali itu melukai tanganku.
Aku melepaskan tali itu dan berlari ke sisi gudang. Aku ingin mengejar itu
orang- orangan sawah itu. Aku ingin melihat apakah itu benar-benar orang-orangan
sawah, orang-orangan sawah yang dapat berjalan.
Mengabaikan rasa takutku, aku berlari secepat aku bisa.
Tak ada tanda-tanda kehadirannya di sisi gudang ini.
Dadaku mulai terasa sakit. Pelipisku berdenyut-denyut.
Aku berbelok di pojokan dan berputar menuju di belakang gudang, mencari orangorangan sawah yang melarikan diri itu.
Dan berlari tepat ke Sticks!
"Hei -" Kami berdua berteriak terkejut saat kami bertabrakan.
Aku panik melepaskan diriku darinya. Menatap melewatinya, aku melihat bahwa
orang-orangan sawah itu telah lenyap.
"Ada apa kok terburu-buru?" tuntut Sticks. "Kau hampir membunuhku!"
Dia mengenakan pakaian kerja jins pudar, dipotong pada kedua lutut, dan kemeja
ungu pudar berotot yang benar-benar memamerkan betapa kurusnya dia. Rambut
hitamnya diikat ke belakang model ekor kuda pendek.
"O - orang-orangan sawah!" Aku tergagap.
Dan, lalu - saat itu - aku tahu.
Pada saat itu, aku memecahkan misteri orang-orangan sawah itu.
13 Itu pasti bukan orang-orangan sawah.
Itu Sticks. Di hutan di dekat sungai. Dan, sekarang, di luar gudang.
Sticks. Memainkan salah satu dari tipuan buruknya itu.
Dan aku tiba-tiba yakin bahwa Stick entah (dengan cara) bagaimana membuat
orang-orangan sawah itu berkedut dan menarik tiang-tiang pancang mereka tadi
malam. Sticks benar-benar suka menipu "anak-anak kota." Sejak Mark dan aku kecil, ia
hampir sudah memainkan, lelucon paling menakutkan dan paling kejam kepada
kami. Kadang-kadang Sticks bisa jadi pria yang baik. Tapi dia benar-benar punya sifat
kejam. "Kupikir kau sedang memancing," katanya santai.
"Yah, aku tidak," bentakku. "Sticks, mengapa kau terus berusaha menakut-nakuti
kami?" "Hah?" Dia pura-pura dia tak tahu apa yang kubicarakan.
"Sticks, yang benar saja," gumamku. "Aku tahu kau adalah orang-orangan sawah itu
baru sekarang. Aku tidak bodoh!"
"Orang-orangan sawah" Orang-orangan sawah apa?" tanyanya, matanya terbelalak
padaku, ekspresinya tak bersalah.
"Kau berpakaian seperti orang-orangan sawah," tuduhku memberitahunya. "Atau kau
membawanya satu di sini, dan menariknya dengan tali atau sesuatu."
"Kau benar-benar gila," jawab Sticks marah. "Apa kau telah keluar di bawah sinar
matahari terlalu lama atau sesuatu?"
"Sticks - menyerahlah," kataku. "Kenapa kau melakukan ini" Mengapa kau terus
berusaha untuk menakut-nakuti Mark dan aku" Kau membuat takut ayahmu juga."
"Jodie, kau gila!" serunya. "Aku benar-benar tak punya waktu untuk berdandan
kostum itu hanya untuk menghiburmu dan adikmu."
"Sticks - kau tak akan bisa membodohiku," aku bersikeras. "Kau -"
Aku berhenti saat melihat perubahan ekspresi Sticks itu.
"Ayah!" serunya, tiba-tiba ketakutan. "Ayah! Katamu dia takut?"
Aku mengangguk. "Aku harus menemukannya!" Sticks berseru panik, "Dia - dia bisa melakukan
sesuatu yang mengerikan!"
"Sticks, leluconmu sudah kelewatan!" jeritku. "Benar-benar hentikan!"
Tapi dia sudah berlari ke arah bagian depan gudang, memanggil ayahnya, suaranya
nyaring dan panik. *** Sticks tak menemukan ayahnya sampai makan malam. Itulah saat aku melihatnya,
juga - tepat sebelum makan malam. Dia membawa buku takhayulnya yang besar,
memegang erat-erat di bawah lengannya.
"Jodie," bisiknya, memberiku isyarat untuk datang dekat. Wajahnya merah.
Matanya yang gelap menampakkan kegembiraannya.
"Hai, Stanley," bisikku kembali dengan ragu.
"Jangan katakan Kakek Kurt tentang orang-orangan sawah itu," bisik Stanley.
"Hah?" Permintaan Stanley membuatku tak mengerti (dan) waspada.
"Jangan bilang kakekmu," ulang Stanley. "Ini hanya akan membuatnya kesal. Kita
tak ingin menakut-nakutinya, bukan?"
"Tapi, Stanley -" Aku mulai protes.
Stanley mengangkat jarinya ke bibirnya. "Jangan katakan, Jodie. Kakekmu tak
suka kesal. Aku akan mengurus orang-orangan sawah itu. Aku punya buku itu."
Dia mengetuk buku besar itu dengan jarinya.
Aku mulai menceritakan Stanley bahwa orang-orangan sawah itu cuma Sticks,
yang memainkan lelucon buruk. Tapi Nenek Miriam memanggil kami ke meja
sebelum aku bisa mengatakannya.
Stanley membawa buku takhayul ke meja. Setiap beberapa gigitan, ia akan
mengangkat buku besar hitam itu dan membaca beberapa paragraf.
Dia menggerakkan bibirnya saat dia membaca. Tapi aku duduk di ujung meja dan
tak mengerti sepatah kata pun.
Sticks terus menatap di atas piringnya dan tak mengucapkan sepatah kata pun.
Kupikir dia benar-benar malu bahwa ayahnya sedang membaca buku takhayul di
meja makan. Tapi Kakek dan Nenek Miriam Kurt tak sedikit pun terkejut. Mereka berbicara
riang pada Mark dan aku dan terus memberi kami makanan lebih banyak- seolaholah mereka bahkan tak menyadari sikap Stanley.
Aku benar-benar ingin memberitahu Kakek Kurt tentang bagaimana Sticks
mencoba untuk menakut-nakuti Mark dan aku. Tetapi aku memutuskan untuk
mendengarkan Stanley dan tak membuat kakekku kesal.
Selain itu, aku bisa berurusan dengan Sticks jika aku harus. Dia pikir dia
begitu jantan. Tapi aku tak takut sedikit pun padanya.
Stanley masih membaca, mengoceh saat ia membaca, saat Nenek Miriam
membereskan piring-piring makan malam. Mark dan aku membantu. Lalu kami
duduk saat Nenek Miriam membawa pai ceri besar untuk meja.
"Aneh," bisik Mark kepadaku, menatap kue itu.
Dia benar. "Bukankah Kakek Kurt suka pai apel?" seruku.
Nenek Miriam tersenyum tegang.
"Tahun in terlalu awal untuk apel," gumamnya.
"Tapi bukankah Kakek Kurt alergi ceri?" bertanya Mark.
Nenek Miriam mulai memotong kue dengan pemotong kue perak.
"Semua orang suka kue ceri," jawabnya, berkonsentrasi pada pekerjaannya. Lalu ia
mengangkat matanya ke Stanley. "Bukankah itu benar itu, Stanley?"
Stanley menyeringai ke bukunya.
"Ini favoritku," katanya. "Nenek Miriam selalu menyajikan favoritku."
*** Setelah makan malam, Kakek Kurt sekali lagi menolak untuk menceritakan pada
Mark dan aku suatu cerita menakutkan.
Kami duduk di sekitar perapian, menatap derakan api yang kuning. Meskipun
sudah begitu panas, udara jadi dingin malam ini, cukup dingin untuk membuat api
unggun yang bagus. Kakek Kurt berada di kursi goyang di samping perapian. Kursi kayu tua berderit
saat dia bergoyang perlahan-lahan maju dan mundur.
Dia selalu senang memandang api dan menceritakan pada kami salah satu kisah
menakutkan itu. Kau bisa melihat loncatan-loncatan api tercermin di mata
birunya. Dan suaranya akan jadi lebih rendah dan lebih rendah saat cerita itu jadi
menakutkan. Tapi malam ini ia mengangkat bahu ketika aku meminta kepadanya untuk suatu
cerita. Dia menatap jemu pada boneka beruang besar pada alasnya di dinding. Lalu
ia melirik ke seberang ruangan pada Stanley.
"Seandainya aku tahu beberapa cerita yang baik," jawab Kakek Kurt sambil
mendesah. "Tapi aku sudah kehilangan itu sama sekali."
Beberapa saat kemudian, Mark dan aku berjalan ke lantai atas untuk kamar tidur
kami. "Apa masalahnya?" Mark berbisik saat kami naik.
Aku menggeleng. "Aku tak tahu."
"Dia tampak begitu... berbeda," kata Mark.
"Semua orang di sini berbeda," aku setuju. "Kecuali Sticks. Dia masih mencoba
untuk menakut-nakuti kita anak-anak kota."
Raja Pedang 7 Raja Naga 17 Terjebak Di Gelombang Maut Jago Pedang Tak Bernama 3

Cari Blog Ini