Ceritasilat Novel Online

Hantu Tanpa Kepala 2

Goosebumps - 37 Misteri Hantu Tanpa Kepala Bagian 2


Stephanie sudah membuka pintu di seberang lorong. Aku segera
menyusul masuk. "Oh!" Ruangan itu dipenuhi sosok-sosok menyeramkan. Baru
beberapa detik kemudian aku sadar ternyata yang kulihat cuma
perabot yang ditutupi kain putih. Kursi-kursi dan sofa-sofa yang
terbungkus kain. "M-mungkin ini ruang duduk para hantu," aku tergagap-gagap.
Stephanie tidak mendengarku. Ia telah melewati pintu terbuka di
dinding seberang. Aku mengikutinya ke ruangan lain yang penuh peti besar.
Tumpukan peti itu hampir mencapai langit-langit.
Kami memasuki ruang lain. Dan ruang lain lagi.
Jantungku berdegup-degup. Leherku serasa dicekik.
Aku mulai putus asa. Sampai kapan kami harus berlari-lari
mencari tangga" Pintu lain lagi. Ruang gelap dan kosong lagi.
"Hei, Steph..." bisikku. "Rasanya kita cuma berputar-putar."
Kami sampai di sebuah lorong panjang. Lagi-lagi ada lilin.
Lagi-lagi bunga-bunga pada wallpaper seakan mengembang dan
menguncup dalam cahaya yang menari-nari.
Kami berlari menyusuri lorong. Akhirnya kami sampai di pintu
yang belum pernah kami lihat. Pada daun pintunya terpaku sepatu
kuda. Barangkali itu pertanda bahwa keberuntungan kami akan
berubah. Moga-moga saja! Tanganku gemetaran ketika aku meraih pegangan pintu.
Kubuka pintu itu. Sebuah tangga! "Yes!" seruku. "Akhirnya!" Stephanie menimpali dengan napas tersengalsengal.
"Ini pasti tangga para pelayan," aku menduga-duga. "Mungkin
kita terjebak di tempat tinggal para pelayan tadi."
Tangga itu tampak curam dan terselubung kegelapan.
Aku turun selangkah demi selangkah sambil berpegangan pada
dinding. Sebelah tangan Stephanie menggenggam pundakku. Setiap kali
aku melangkah, ia juga ikut.
Satu langkah lagi. Dan satu lagi. Bunyi sepatu kets kami
bergema di ruang tangga. Kami sudah menuruni sekitar sepuluh anak tangga ketika aku
mendengar suara langkah lain.
Suara langkah menaiki tangga dari bawah.
18 AKU berhenti mendadak. Stephanie tidak sempat bereaksi
sehingga ia menabrakku dari belakang. Aku langsung menempelkan
kedua tangan ke dinding supaya tidak jatuh.
Tak ada waktu untuk berbalik. Tak ada waktu untuk pergi.
Suara langkah dari bawah semakin keras. Semakin berat.
Berkas cahaya senter menyapu Stephanie dan aku.
Aku memicingkan mata dan melihat sosok gelap mendaki
tangga, menghampiri kami. "Rupanya kalian ada di sini!" suaranya
menggelegar. Suaranya akrab di telingaku.
"Otto!" Stephanie dan aku berseru berbarengan.
Ia berhenti di hadapan kami, senternya bergantian menyorot
wajah kami. "Kenapa kalian ada di atas sini?" Otto bertanya.
"Ehm... kami kesasar," ujarku cepat-cepat.
"Kami terpisah dari rombongan," Stephanie menambahkan.
"Kami sudah berusaha mencari yang lain."
"Ya. Kami sudah berusaha," aku menimpali.
"Kami sudah mencari ke mana-mana, tapi tidak ketemu."
Otto menurunkan senternya. Ia memicingkan matanya yang
kecil dan menatap kami. Sepertinya ia tidak percaya cerita kami.
"Kupikir tur-ku sudah kalian hapal di luar kepala," ujarnya
sambil mengusap-usap dagu.
"Memang," Stephanie berkeras. "Tapi kami salah jalan. Kami
tersesat. Dan kami..."
"Tapi bagaimana kalian bisa sampai di lantai tiga?" tanya Otto.
"Ehm..." aku bergumam. Aku tidak bisa memikirkan alasan
yang masuk akal. Aku menoleh pada Stephanie yang berdiri satu anak
tangga di atasku. "Kami mendengar suara-suara di atas. Kami pikir
rombongannya ada di sini," katanya pada Otto.
Ia tidak sepenuhnya bohong. Kami memang mendengar suarasuara di sini.
Otto mengarahkan senternya ke bawah. "Ayo, kita turun lagi.
Lantai tiga ini tertutup untuk umum. Tak boleh ada yang masuk."
"Sori," Stephanie dan aku bergumam.
"Hati-hati," Otto mewanti-wanti. "Tangga belakang ini curam
dan sudah reyot. Kita kembali ke rombongan tur sekarang. Edna
memandu mereka sementara aku mencari kalian."
Edna pemandu favorit kami yang kedua. Orangnya sudah tua,
rambutnya sudah putih semua. Kulitnya pucat, dan ia kelihatan rapuh
sekali, apalagi dengan seragam pemandu yang serba hitam.
Tapi ia pintar bercerita. Berkat suaranya yang bergetar, semua
kisah seram yang diceritakannya jadi lebih menakutkan lagi.
Stephanie dan aku menuruni tangga di belakang Otto. Berkas
cahaya senternya terarah ke depan ketika ia membimbing kami ke
lantai dua. Kami menyusuri lorong panjang. Lorong yang kukenal
baik. Kami berhenti di depan kamar kerja Joseph Craw. Joseph ayah
Andrew. Aku mengintip ke dalam. Api tampak menari-nari di tempat
perapian. Edna berdiri di samping tempat perapian, dan ia sedang
menceritakan kisah Joseph Craw yang tragis kepada rombongan tur.
Stephanie dan aku sudah seratus kali mendengar cerita yang
sedih itu. Suatu hari, kira-kira satu tahun setelah Andrew kehilangan
kepala, Joseph pulang larut malam. Waktu itu musim dingin. Ia
membuka mantel, lalu berdiri di depan tempat perapian untuk
menghangatkan diri. Tak seorang pun tahu bagaimana Joseph sampai terbakar.
Paling tidak, itulah yang dikatakan Otto, Edna, dan para pemandu
yang lain. Barangkali ia didorong ke tempat perapian. Mungkin juga
ia jatuh sendiri. Tak ada yang bisa memastikannya.
Tapi ketika salah satu pembantu memasuki ruang kerjanya
keesokan pagi, ia menemukan pemandangan yang mengerikan.
Ia menemukan sepasang tangan gosong yang berpegangan pada
tepi tempat perapian. Sepasang tangan itu mencengkeram pinggir tempat perapian
yang terbuat dari marmer.
Hanya itulah yang tersisa dari Joseph Craw.
Mengerikan, bukan" Aku selalu merinding kalau mendengarnya.
Otto mengajak kami masuk. Edna tiba pada bagian akhir cerita
yang membuat bulu kuduk berdiri. "Kalian mau bergabung lagi?"
tanya Otto. "Ehm, rasanya sudah terlalu malam. Kami harus pulang," jawab
Stephanie. Aku langsung membenarkan. "Terima kasih kau telah
menyelamatkan kami. Kapan-kapan kami akan ikut tur lagi."
"Selamat malam," ujar Otto sambil mematikan senter. "Kalian
bisa keluar sendiri, bukan?" Ia segera masuk ke ruang kerja.
Aku hendak berbalik. Tapi tiba-tiba anak laki-laki itu muncul
lagi, anak laki-laki pucat yang berambut pirang berombak. Anak lakilaki yang memakai jeans dan kaus turtleneck warna hitam.
Ia berdiri agak jauh dari rombongan tur. Di dekat pintu. Dan ia
kembali menatap Stephanie dan aku. Ia menatap kami dengan
tampang dingin. ebukulawas.blogspot.com
"Ayo," aku berbisik sambil meraih lengan Stephanie. Aku
menariknya menjauhi pintu ruang kerja.
Kami segera menuju ke tangga depan. Beberapa detik kemudian
kami membuka pintu depan, dan melangkah keluar. Angin dingin
menyambut kami ketika kami menuruni bukit. Awan-awan hitam
melintas di depan bulan. "Wah, asyik juga ya, tadi!" ujar Stephanie. Ia menarik ritsleting
jaketnya sampai ke dagu. "Asyik?" Aku tidak sependapat dengannya. "Menurutku sih
agak menakutkan." Stephanie menatapku sambil nyengir. "Tapi itu membuktikan
kita bukan penakut"ya, kan?"
Aku menggigil. "Ya."
"Rasanya aku ingin menjelajahi Hill House lagi," katanya.
"Barangkali kita bisa kembali ke ruangan yang penuh suara. Siapa
tahu kali ini kita ketemu hantu sungguhan."
"Yeah. Boleh juga," kataku asal bunyi. Aku terlalu capek untuk
berdebat dengan Stephanie.
Ia mengeluarkan syal wol dari saku jaketnya. Ketika ia
melilitkannya di leher, satu ujungnya tersangkut pada semak-semak.
"Hei..!" ia berseru.
Aku melepaskan ujung syal dari semak berduri.
Dan sekonyong-konyong aku mendengar suara itu.
Bisikan pelan. Bisikan pelan dari balik semak-semak.
Tapi aku mendengarnya jelas sekali.
"Kalian temukan kepalaku?"
Itulah yang kudengar. "Kalian temukan kepalaku" Kepalaku sudah ketemu?"
19 AKU menahan napas dan menatap ke tengah semak-semak.
"Hei, Stephanie"kau dengar itu?" ujarku pelan.
Tak ada jawaban. "Stephanie" Steph?"
Aku membalik. Ia menatapku dengan tatapan kosong karena
kaget. "Kau juga dengar bisikan itu?" tanyaku sekali lagi.
Kemudian aku sadar bahwa bukan aku yang ditatapnya.
Pandangannya tertuju ke belakangku.
Aku berbalik"dan melihat anak laki-laki berambut pirang yang
tadi ada di Hill House berdiri di samping semak-semak. "Hei"kau
yang bisik-bisik, ya?" ujarku ketus.
Ia memicingkan mata abu-abunya yang pucat. "Hah" Aku?"
"Yeah. Kau," hardikku. "Kau mau menakut-nakuti kami, ya?"
Ia menggelengkan kepala. "Tidak."
"Jadi bukan kau yang bisik-bisik dari balik semak-semak?" aku
bertanya sekali lagi. "Aku baru sampai di sini," anak itu berkeras.
Kurang dari semenit yang lalu ia masih di kamar kerja Joseph
Craw, kataku dalam hati. Bagaimana cara ia keluar begitu cepat"
"Kenapa kau membuntuti kami?" tanya Stephanie. Ia
membetulkan letak syal yang mengelilingi lehernya.
Anak itu cuma angkat bahu.
"Kenapa kau menatap kami terus tadi?" aku bertanya sambil
melangkah ke samping Stephanie.
Angin menderu-deru dari puncak bukit. Semak-semak di
samping kami bergetar, seolah-olah kedinginan. Awan-awan hitam
masih terus melintas di depan bulan.
Anak itu tidak memakai jaket. Cuma kaus turtle-neck dan
celana jeans hitam. Rambutnya yang pirang berombak bergerak-gerak
tertiup angin. "Tadi kau memelototi kami," Stephanie mengulangi. "Kenapa?"
Anak itu kembali angkat bahu. Matanya yang kelabu tertuju ke
bawah, seakan-akan tak berani menatap kami. "Aku lihat kalian pergi
diam-diam," ujarnya. "Kupikir kalian... kalian melihat sesuatu yang
menarik." "Kami tersesat," aku berkata sambil melirik Stephanie. "Kami
tidak melihat apa-apa."
"Siapa namamu?" tanya Stephanie.
"Seth," ia menyahut.
Kami pun memperkenalkan diri.
"Kau tinggal di Wheeler Falls?" tanya Stephanie.
Ia menggelengkan kepala. Ia masih juga menunduk. "Tidak, aku
cuma berkunjung ke sini."
Kenapa ia tidak mau menatap kami" Apakah cuma karena ia
pemalu" "Jadi bukan kau yang bisik-bisik dari balik semak-semak tadi?"
aku bertanya sekali lagi.
Ia menggelengkan kepala. "Bukan. Mungkin ada yang mau
mengolok-olok kalian." .
"Bisa jadi," kataku. Aku maju selangkah dan menendang
semak-semak itu. Aku sendiri tidak tahu untuk apa.
Dan ternyata memang tidak terjadi apa-apa.
"Kau dan Stephanie keliling-keliling sendiri tadi, ya?" tanya
Seth. "Yeah, tapi cuma sebentar. Kami suka hal-hal yang... ehm...
berbau hantu." Ia langsung menegakkan kepala sewaktu mendengar ucapanku.
Mula-mula ia menatap Stephanie, kemudian beralih padaku.
Sejak tadi wajahnya tak berekspresi sama sekali.
Tapi sekarang ia kelihatan benar-benar bersemangat.
"Kalian mau lihat hantu sungguhan?" ia bertanya sambil
mendelik. "Mau?"
20 SETH menatap kami dengan pandangan menantang. "Kalian
mau lihat hantu sungguhan?"
"Yeah. Tentu," jawab Stephanie sambil membalas tatapannya.
"Apa maksudmu, Seth?" tanyaku. "Memangnya kau pernah
lihat hantu?" Ia mengangguk. "Yeah. Di situ." Ia menggerakkan dagu ke arah
rumah batu yang besar di belakang kami.
"Hah?" seruku. "Kau pernah lihat hantu sungguhan di Hill
House" Kapan?" "Duane dan aku sudah seratus kali ikut tur," ujar Stephanie.
"Tapi tak sekali pun kami lihat hantu di situ."
Seth tertawa terkekeh-kekeh. "Tentu saja. Kalian pikir hantunya
mau keluar di tengah rombongan tur" Mereka tunggu sampai turnya
selesai. Mereka tunggu sampai semua pengunjung pulang."
"Dari mana kau tahu?" tanyaku.
"Aku pernah menyusup masuk," balas Seth. "Malam-malam?"
"Hah?" seruku. "Kau masuk dari mana?"
"Aku menemukan pintu di belakang. Pintunya tidak terkunci.
Barangkali para pemandu lupa menguncinya," Seth menjelaskan.
"Aku masuk diam-diam setelah semua turis pulang. Dan aku..."
Ia mendadak terdiam. Matanya tertuju ke rumah di puncak
bukit. Aku membalik dan melihat pintu depan membuka. Sejumlah
orang melangkah keluar sambil mengencangkan mantel atau jaket
mereka. Tur terakhir sudah selesai, dan sekarang orang-orang itu
hendak pulang ke rumah masing-masing.
"Sebelah sini," bisik Seth.
Kami mengikutinya ke balik semak-semak dan jongkok di
sampingnya. Para peserta tur terakhir melewati kami. Mereka tertawa,


Goosebumps - 37 Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

asyik membahas semua cerita hantu yang mereka dengar di Hill
House tadi. Setelah mereka menuruni bukit, kami berdiri lagi. Seth
menyibakkan rambutnya yang panjang ke belakang, tapi angin
meniupkannya kembali ke kening.
"Aku masuk malam-malam, waktu rumah sudah gelap," ia
mengulangi. "Orangtuamu tidak marah kau keluar malam-malam begini?"
aku bertanya. Ia tersenyum simpul. "Mereka tidak tahu," ujarnya pelan.
Senyumnya meredup. "Kalian boleh keluar jam segini?"
Stephanie tertawa. "Orangtua kami juga tidak tahu."
"Bagus," kata Seth.
"Kau benar-benar pernah lihat hantu?" tanyaku.
Ia mengangguk, lalu menyibakkan rambutnya lagi. "Aku diamdiam melewati Manny, si penjaga malam. Ia sudah tidur lelap, asyik
mendengkur. Aku mengendap-endap sampai ke tangga depan"dan
tiba-tiba aku dengar suara tawa."
Aku menelan ludah. "Suara tawa?"
"Ya, dari puncak tangga. Aku langsung mundur dan merapat ke
dinding. Dan aku lihat hantunya. Nenek-nenek yang sudah tua sekali.
Ia pakai gaun panjang dan topi hitam. Dan mukanya tersembunyi di
balik cadar hitam yang tebal. Tapi matanya tetap kelihatan, soalnya
matanya menyala merah"seperti api!"
"Wow!" seru Stephanie. "Lalu bagaimana?"
Seth berpaling ke arah rumah di puncak bukit. Pintu depan
sudah ditutup lagi. Lentera di atas pintu telah dipadamkan. Rumah itu
tampak gelap gulita. "Hantu tua itu meluncur lewat pagar tangga," Seth melaporkan.
"Kepalanya mendongak"dan ia tertawa cekikikan sambil meluncur.
Matanya meninggalkan jejak merah membara, seperti ekor komet."
"Kau tidak takut?" tanyaku pada Seth. "Kau tidak berusaha
kabur?" "Tidak sempat," sahutnya. "Ia meluncur turun lewat pagar
tangga, persis ke arahku. Matanya menyala-nyala. Dan ia terus
memekik dan cekikikan. Aku merapat ke dinding. Aku tidak bisa
bergerak. Dan waktu ia sampai di bawah, kupikir ia bakal menyambarku.
Tapi ternyata ia lenyap. Hilang dalam kegelapan. Cuma jejak matanya
yang masih tampak." "Oh, wow!" seru Stephanie.
"Heboh!" aku menimpali.
"Aku mau menyusup lagi," ujar Seth sambil melirik ke arah Hill
House. "Aku yakin masih banyak hantu di situ. Aku mau lihat
semuanya." "Aku juga!" Stephanie langsung menyambut penuh semangat.
Seth menatapnya sambil tersenyum. "Jadi kalian mau ikut
denganku" Besok malam" Aku malas kalau sendirian. Bertiga pasti
jauh lebih seru lagi."
Angin bertiup kencang. Bulan tertutup awan-awan hitam.
Rumah tua di puncak bukit jadi semakin gelap.
"Bagaimana, kalian mau ikut besok malam?" Seth menegaskan
sekali lagi. "Yeah. Tentu!" Stephanie menyahut penuh semangat. "Aku
sudah tidak sabar. Kau bagaimana, Duane?" Ia berpaling padaku.
"Kau juga ikut kan, Duane" Ya, kan?"
21 AKU bilang ya. Kubilang aku sudah tak sabar melihat hantu sungguhan.
Kubilang aku gemetaran karena angin yang dingin. Bukan
karena ngeri. Kami sepakat untuk ketemu lagi di belakang Hill House, besok
tengah malam. Kemudian Seth bergegas pergi. Stephanie dan aku
berjalan pulang. Jalanan gelap dan lengang. Lampu-lampu rumah sebagian besar
sudah padam. Di kejauhan terdengar anjing melolong.
Stephanie dan aku berjalan cepat-cepat, sambil membungkuk
sedikit untuk melawan angin yang kencang. Tidak biasanya kami
masih berkeliaran di luar pada malam selarut ini.
Besok kami akan pulang lebih larut lagi.
"Aku curiga pada anak itu," kataku ketika kami tiba di
pekarangan depan rumah Stephanie. "Ia aneh sekali."
Kupikir Stephanie bakal sependapat denganku. Tapi ia malah
menukas, "Kau cuma iri, Duane."
"Hah" Iri" Aku?" Aku tidak percaya ia bilang begitu. "Kenapa
aku harus iri?" "Karena Seth begitu berani. Karena ia pernah melihat hantu,
sementara kita belum."
Aku menggelengkan kepala. "Kau percaya pada ceritanya" Kau
percaya ada hantu yang main perosotan di pagar tangga" Menurutku
sih, ia cuma mengada-ada."
"Hmm," Stephanie bergumam, "besok malam kita bakal dapat
jawabannya." Besok malam datang lebih cepat daripada yang kuinginkan.
Siang itu aku ada ulangan matematika di sekolah. Dan kurasa
hasilnya tidak terlalu bagus. Soalnya aku terus memikirkan Seth, Hill
House, dan hantu. Sehabis makan malam, Mom mendatangiku di ruang duduk. Ia
mengusap rambutku dan mengamati wajahku. "Kau kelihatan capek
sekali," katanya. "Di sekeliling matamu ada bayangan gelap."
"Mungkin karena aku keturunan racoon," sahutku. Aku selalu
bilang begitu kalau Mom menyinggung lingkaran gelap di seputar
mataku. "Ada baiknya kau tidur lebih cepat malam ini," Dad menimpali.
Ia selalu memaksa semua orang agar tidur cepat.
Jadi, pukul setengah sepuluh aku sudah masuk kamar. Tapi
tentu saja aku tidak tidur.
Aku membaca buku dan mendengarkan musik lewat Walkmanku. Aku menunggu Mom dan Dad masuk kamar. Sebentar-sebentar
aku melirik ke arah jam. Kalau sudah tidur, Mom dan Dad tak bisa diganggu oleh apa
pun juga. Biar ada bom meledak di sebelah rumah, mereka takkan
bangun. Wheeler Falls pernah diterjang angin badai suatu malam, dan
mereka sama sekali tak terusik. Sungguh. Mereka bahkan tidak tahu
ada pohon tumbang, dan menimpa atap rumah kami!
Orangtua Stephanie juga begitu. Itulah sebabnya kami berdua
begitu gampang keluar lewat jendela kamar tidur masing-masing.
Itulah sebabnya begitu mudah bagi kami untuk gentayangan di malam
hari. Tengah malam semakin dekat, aku semakin gelisah. Sebenarnya
aku lebih suka gentayangan di sekitar rumah. Aku lebih suka
bersembunyi di bawah jendela Chrissy Jacob, lalu melolong seperti
serigala. Setelah itu melempar labah-labah karet ke tempat tidur Ben
Fuller. Tapi menurut Stephanie itu terlalu membosankan.
Kami butuh tantangan baru, katanya. Kami harus memburu
hantu. Bersama anak aneh yang tak pernah kami lihat sebelumnya.
Sepuluh menit sebelum tengah malam aku memakai jaketku dan
memanjat keluar lewat jendela kamar. Angin dingin menyambutku.
Butir-butir hujan es menerpa keningku. Aku segera menutup kepala
dengan tudung jaket. Stephanie sudah menunggu di depan rumahnya.
Rambutnya yang cokelat ditarik ke belakang dan dikuncir.
Jaketnya terbuka. Di baliknya ia memakai sweter tebal untuk main ski.
Ia mendongakkan kepala dan melolong panjang.
"Owoooooooo!" Aku langsung membekap mulutnya. "Ssst"nanti semua orang
bangun!" Ia tertawa dan mundur selangkah. "Aku sudah tidak sabar, nih,"
katanya. Lalu ia melolong lagi.
Hujan es berjatuhan. Kami bergegas ke arah Hill House. Angin
yang kencang meniup ranting-ranting dan daun-daun mati yang
berserakan. Hampir semua rumah yang kami lewati sudah
memadamkan lampunya. Sebuah mobil melintas pelan-pelan ketika kami membelok ke
Hill Street. Stephanie dan aku cepat-cepat bersembunyi di balik pagar
tanaman. Pengemudi mobil itu pasti heran melihat dua anak
berkeliaran di luar di tengah malam buta.
Jangankan dia, aku sendiri juga heran.
Kami menunggu sampai mobil itu berlalu. Kemudian kami
melanjutkan perjalanan. Sepatu kets kami berkerisik di tanah yang keras ketika kami
mendaki bukit yang menuju ke Hill House. Rumah hantu itu
menjulang tinggi di depan, bagaikan monster yang siap menelan kami.
Tur terakhir sudah selesai. Semua lampu sudah mati. Otto,
Edna, dan para pemandu lain pasti sudah sampai di rumah masingmasing.
"Ayo dong, Duane. Cepat," Stephanie mendesak. Ia mulai
berlari melewati sisi rumah. "Seth pasti sudah menunggu."
"Tunggu!" seruku. Kami menyusuri jalan setapak yang menuju
ke belakang. Aku memicingkan mata dan memandang berkeliling dalam
kegelapan. Seth tidak kelihatan.
Pekarangan belakang ternyata penuh barang rongsokan. Tongtong sampah yang terbuat dari logam dan sudah berkarat di sana-sini,
tampak berderet seperti pagar. Sebuah tangga kayu tergeletak di
tengah alang-alang. Peti-peti kayu, gentong-gentong, dan karduskardus bekas berserakan di mana-mana. Sebuah mesin potong rumput
tersandar ke dinding. "Wah"gelap sekali di sini," bisik Stephanie. "Kau melihat
Seth?" "Aku tidak bisa lihat apa-apa," sahutku, juga sambil berbisik.
"Barangkali ia berubah pikiran. Barangkali ia tidak jadi datang."
Stephanie baru hendak menjawab. Tapi teriakan tertahan dari
sisi rumah membuat kami tersentak kaget.
Aku melihat Seth muncul. Rambutnya yang pirang berkibar-kibar. Matanya terbelalak
lebar. Kedua tangannya memegang tenggorokannya.
"Hantunya!" ia berseru sambil terhuyung-huyung. "Aku dicekik
h-hantu!" Seth ambruk di depan kaki kami dan tidak bergerak.
22 "KAU kenapa, Seth?" aku bertanya dengan santai.
"Kenapa kau guling-gulingan di tanah?" tanya Stephanie, tak
kalah tenangnya. Pelan-pelan Seth mengangkat kepala dan menatap kami.
"Kalian tidak ngeri?"
"Kenapa mesti ngeri?" sahutku.
Stephanie geleng-geleng kepala. "Itu Tipuan Nomor Satu,"
katanya kepada Seth. "Duane dan aku sudah seribu kali menjaili orang
dengan tipuan itu." Seth kembali berdiri, menepis-nepis tanah yang menempel pada
kaus turtleneck hitamnya. Ia merengut dan kelihatan kecewa. "Aku
cuma mau menakut-nakuti kalian."
"Kalau begitu, jangan pakai siasat kuno, dong," ujarku.
"Duane dan aku jagoan menakut-nakuti orang," Stephanie
menambahkan. "Bisa dibilang itu hobi kami."
Seth merapikan rambutnya dengan kedua tangan. "Kalian
memang aneh," ia bergumam.
Aku menyeka butir air hujan dingin yang menempel di alisku.
"Siap untuk masuk?" tanyaku tidak sabar.
Ia mengajak kami ke pintu kecil di belakang rumah. "Ada
masalah waktu kalian menyusup keluar rumah tadi?" tanyanya sambil
berbisik. "Tidak. Semuanya lancar," jawab Stephanie.
Seth menghampiri pintu dan mengangkat palang yang terbuat
dari kayu. "Tadi aku sempat ikut tur lagi," katanya. "Otto
memperlihatkan kamar-kamar baru yang bisa kita periksa sekarang."
"Asyik!" seru Stephanie. "Kau yakin kita bakal lihat hantu
sungguhan?" Seth berpaling padanya, lalu mengembangkan senyum yang
aneh. "Aku jamin," katanya.
23 SETH menarik pintu sampai terbuka.
Kami menyelinap masuk. Menyelinap ke kegelapan yang pekat.
Keadaannya terlalu gelap untuk melihat tempat kami berada.
Aku maju beberapa langkah"dan menabrak Seth.
"Ssst!" ia memperingatkanku. "Manny si penjaga malam ada di
ruang depan. Kurasa ia sudah tidur sekarang. Tapi sebaiknya kita tetap
di bagian belakang."
"Di mana kita?" bisikku.
"Di salah satu ruang belakang," bisik Seth. "Tunggu sebentar.
Mata kita bakal terbiasa."
"Kenapa kita tidak menyalakan lampu saja?" tanyaku.
"Soalnya, takkan ada hantu yang mau keluar kalau terang,"
jawab Seth. Kami sudah menutup pintu. Tapi embusan angin dingin tetap
menerpa tengkukku. Aku menggigil. Aku menahan napas ketika mendengar bunyi kertak-kertuk.
Apakah bunyi itu benar-benar ada atau cuma khayalanku"
Aku membuka tudung jaket agar dapat mendengar lebih jelas.
Hening. "Aku tahu tempat kita bisa mendapatkan lilin," bisik Seth.
"Kalian tunggu di sini saja. Jangan bergerak."
"J-jangan kuatir," aku tergagap-gagap. Aku tak bakal mau
bergerak sebelum mataku bisa melihat dalam gelap!
Aku mendengar Seth bergerak menjauh. Suara langkahnya
terdengar pelan, lalu hilang sama sekali.
Aku kembali merasakan embusan angin dingin di tengkukku.
"Oh!" aku memekik ketika suara kertak-kertuk itu terdengar
lagi. Bunyinya pelan sekali. Seperti bunyi tulang-belulang yang
beradu. Sekali lagi aku merasakan embusan angin di tengkukku.
Embusan napas hantu, kataku dalam hati. Aku merinding, dan seluruh
tubuhku gemetaran. Tulang-belulang itu berkertak-kertuk lagi. Kali ini lebih dekat.
Dekat sekali. Aku menggapai-gapai dalam gelap. Berusaha meraih dinding.
Atau meja. Atau apa saja.
Tapi yang kutemukan hanya udara.
Aku menelan ludah. Tenang saja, Duane, kataku dalam hati.
Sebentar lagi Seth sudah kembali membawa lilin. Setelah itu kau bisa
lihat bahwa tak ada yang perlu ditakuti.
Tapi bunyi itu terdengar lagi, aku langsung menahan napas.
"Steph"kau dengar itu?" bisikku.
Tak ada jawaban. Angin dingin meniup tengkukku.
Tulang-belulang itu berkertak-kertuk lagi.
"Steph" Kau dengar bunyi itu" Steph?"
Tak ada jawaban. "Stephanie" Steph?" aku memanggil.
Tapi ternyata ia sudah lenyap.
24

Goosebumps - 37 Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

WAKTUNYA untuk panik. Napasku mulai terengah-engah. Jantungku berdegup-degup,
lebih keras dari bunyi tulang-belulang itu. Seluruh tubuhku mulai
gemetaran. "Stephanie" Steph" Di mana kau?" aku memanggil dengan
suara tertahan. Kemudian kulihat sepasang mata kuning bergerak mendekatiku.
Sepasang mata yang menyala-nyala, melayang tanpa suara, bersinarsinar jahat. Semakin dekat. Semakin dekat.
Aku berdiri seperti patung.
Aku tak bisa bergerak. Aku tak bisa melihat apa pun selain
kedua mata kuning yang bersinar-sinar itu.
"Ohh!" aku mengerang. Sepasang mata itu terus maju. Dan
ketika semakin dekat, baru kulihat ternyata itu dua lilin menyala.
Dua lilin yang bergerak berdampingan.
Sekarang aku bisa melihat wajah Seth. Dan wajah Stephanie.
Mereka berjalan sambil membawa lilin menyala di tangan masingmasing.
"Stephanie"ke mana kau tadi?" seruku parau. "A-aku pikir..."
"Aku ikut Seth," sahutnya dengan tenang.
Cahaya lilin yang berwarna jingga menerangi wajahku.
Stephanie bisa melihat betapa paniknya aku. "Sori, Duane," ujarnya
pelan. "Kan sudah kubilang aku mau ikut Seth. Kupikir kau dengar."
"A-ada suara kertak-kertuk," aku tergagap-gagap.
"Kedengarannya seperti tulang-belulang. Tengkukku terus kena angin
dingin, dan terus terdengar..."
Seth menyodorkan sebatang lilin. "Nyalakan," katanya. "Setelah
itu kita mulai menyelidiki tempat ini. Kita cari sumber bunyi itu."
Aku menerima lilin itu dan menempelkan sumbunya ke lilin
Seth. Tanganku gemetaran begitu keras, sehingga aku harus mencoba
lima kali sebelum sumbunya menyala. Tapi akhirnya berhasil juga.
Aku memandang berkeliling dalam cahaya jingga yang menarinari.
"Hei"kita di dapur," bisik Stephanie.
Lagi-lagi tengkukku kena embusan angin dingin. "Tuh, kalian
merasakan juga?" tanyaku.
Seth memakai lilinnya untuk menunjuk ke jendela dapur.
"Lihat, Duane"kaca jendela itu berlubang. Angin masuk lewat
lubang itu." "Oh." Angin kembali berembus. Dan bunyi kertak-kertuk itu terdengar
lagi. "Tuh, kalian dengar itu?" aku bertanya.
Stephanie tertawa cekikikan. Ia menunjuk ke dinding dapur.
Dalam cahaya redup aku melihat panci-panci besar tergantung di
dinding. "Panci-panci itu membentur dinding karena tertiup angin,"
Stephanie menjelaskan. "Itu yang kaudengar."
"Ha-ha." Aku memaksakan tawa. "Aku sudah tahu, kok. Aku
cuma mau menakut-nakuti kalian," aku berdalih. "Supaya petualangan
kita jadi lebih seru."
Aku merasa konyol sekali. Tapi, mana mungkin aku berterus
terang bahwa aku ketakutan setengah mati gara-gara panci di dinding"
"Oke, jangan bercanda lagi," kata Stephanie sambil berpaling
pada Seth. "Kami mau lihat hantu sungguhan."
"Ikut aku. Aku akan memperlihatkan sesuatu yang diceritakan
Otto," bisik Seth. Sambil memegang lilin di depannya, Seth melintasi dapur,
menuju ke dinding di samping kompor. Ia menurunkan lilinnya di
depan sebuah pintu lemari. Kemudian ia membuka pintu itu dan
mendekatkan lilin, supaya kami bisa melihat ke dalam.
"Untuk apa kautunjukkan lemari dapur ini?" tanyaku. "Apa
hubungannya dengan hantu?"
"Ini bukan lemari," jawab Seth. "Ini kerekan. Coba lihat." Ia
meraih ke dalam dan menarik tali yang tergantung di samping rak.
Seketika rak itu mulai bergerak naik.
Seth menaikkan rak itu, lalu menurunkannya lagi. "Kalian lihat.
Kerekan ini semacam lift mini. Dulu dipakai untuk mengerek
makanan dari dapur ke kamar tidur utama di atas."
"Maksudnya, kalau yang punya rumah tiba-tiba lapar di tengah
malam buta?" aku berkelakar.
Seth mengangguk. "Makanannya ditaruh di rak ini oleh juru
masak. Lalu ia menarik tali dan raknya langsung bergerak ke atas."
"Tapi apa hubungannya dengan hantu?" aku bertanya sekali
lagi. "Yeah," Stephanie menimpali. "Untuk apa kauperlihatkan
kerekan ini kepada kami?"
Seth mendekatkan lilin ke wajahnya. "Otto bilang kerekan ini
ada hantunya. Seratus dua puluh tahun lalu mulai ada kejadiankejadian aneh di sini."
Stephanie dan aku langsung mendekat. Aku menurunkan lilin
dan memeriksa kerekan itu. "Kejadian apa?" tanyaku.
"Begini," ujar Seth, "si juru masak biasa menaruh makanan di
rak dan mengereknya ke atas. Tapi waktu raknya sampai di atas,
makanannya sudah hilang."
Stephanie menatap Seth sambil memicingkan mata. "Jadi,
makanannya hilang antara lantai satu dan dua?"
Seth mengangguk. Matanya yang kelabu tampak bersinar-sinar
dalam cahaya lilin. "Kejadian ini terulang sampai beberapa kali.
Setiap kali sampai di lantai dua, raknya sudah kosong. Makanannya
hilang tanpa bekas."
"Wow," aku bergumam.
"Si juru masak jadi ketakutan," Seth meneruskan ceritanya. "Ia
takut kerekan itu ada hantunya. Ia tak pernah lagi mau memakainya.
Dan ia melarang semua anak buahnya menggunakan kerekan itu."
"Sudah" Selesai?" tanyaku.
Seth menggelengkan kepala. "Lalu terjadi sesuatu yang
mengerikan." Stephanie langsung melongo. "Apa" Apa yang terjadi?"
"Ada beberapa anak yang berkunjung ke sini. Di antara mereka
ada anak laki-laki bernama Jeremy. Jeremy ini tukang pamer, dan juga
agak nekat. Waktu ia melihat kerekan ini, ia pikir pasti asyik kalau
naik kerekan ke lantai dua."
"Malang benar," Stephanie bergumam.
Aku merinding. Aku sudah bisa menebak bagaimana
kelanjutannya. "Jadi, Jeremy duduk di rak. Dan salah satu temannya menarik
tali. Tiba-tiba talinya tersangkut. Macet total, tidak mau naik atau
turun. Dan Jeremy terjebak di antara lantai satu dan dua.
"Anak-anak yang lain memanggil, 'Kau tidak apa-apa"' Tapi
Jeremy tidak menyahut. Mereka mulai kuatir. Mereka menarik dengan
sekuat tenaga, tapi tali itu tidak bergerak sedikit pun.
"Tiba-tiba rak itu jatuh berdebam."
"Jeremy masih duduk di situ?" aku langsung bertanya.
Seth menggelengkan kepala. "Di rak itu ada tiga mangkuk yang
tertutup. Teman-teman Jeremy mengangkat tutup mangkuk pertama.
Di dalamnya mereka menemukan jantung Jeremy yang masih
berdenyut-denyut. "Mereka membuka mangkuk kedua, dan menemukan mata
Jeremy yang masih terbelalak karena ngeri. Setelah itu mereka
membuka mangkuk ketiga. Di dalamnya ada gigi Jeremy yang masih
bergemeletuk." Kami bertiga berdiri membisu dalam cahaya lilin. Tanpa
berkedip, kami menatap rak di hadapan kami.
Aku menggigil. Panci-panci tadi kembali membentur-bentur
dinding. Tapi aku tak lagi ngeri mendengar bunyi kertak-kertuk itu.
Aku menatap Seth. "Kau yakin cerita itu benar?"
Stephanie tertawa. Ketawa gelisah. "Mana mungkin," katanya.
Seth terus pasang tampang serius. "Kau percaya cerita-cerita
Otto yang lain?" ia bertanya padaku.
"Ehm. Ya. Tidak. Ada yang kupercaya, ada yang tidak." Aku
tidak bisa menjawab dengan pasti.
"Otto bersumpah cerita ini benar," Seth berkeras. "Tapi
mungkin juga ia sekadar menjalankan tugas. Rumah ini kan harus
dibuat seseram mungkin."
"Otto memang pintar bercerita," ujar Stephanie. "Tapi aku
sudah terlalu banyak dengar cerita. Aku kepingin lihat hantu
sungguhan." "Ikut aku," kata Seth. Lilinnya nyaris padam ketika ia berbalik.
Ia mengajak kami melintasi dapur, masuk ke ruangan yang
panjang dan sempit di bagian belakang. "Tempat ini dulu dipakai
sebagai pantri," Seth menjelaskan. "Semua makanan untuk para
penghuni disimpan di sini."
Stephanie dan aku berjalan melewati ruangan. Kami
mengangkat lilin masing-masing agar dapat melihat lebih jelas. Ketika
aku membalik, aku melihat Seth menutup pintu pantri.
Kemudian aku melihatnya memutar anak kunci yang tertancap.
"Hei"mau apa kau?" aku berseru.
"Kenapa kau mengunci kami di sini?" Stephanie bertanya
dengan ketus. 25 LILINKU terlepas dari peganganku dan jatuh ke lantai. Apinya
langsung padam, lilinnya menggelinding ke bawah lemari.
Waktu aku menoleh, Stephanie tengah bergegas menghampiri
Seth. "Seth"apa-apaan ini?" katanya gusar. "Buka pintunya. Ini tidak
lucu!" Aku memandang berkeliling di ruangan yang sempit dan
memanjang. Di tiga dinding ada rak yang menjulang dari lantai
sampai ke langit-langit. Tak ada jendela. Tak ada pintu lain untuk
meloloskan diri. Sambil memekik, Stephanie berusaha meraih pegangan pintu.
Tapi Seth cepat-cepat maju untuk menghalanginya.
Matanya yang keperakan tampak bersinar-sinar di balik
lilinnya. Ia menatap kami tanpa bicara. Sorot matanya dingin dan
tajam, sama seperti semalam.
Stephanie dan aku mundur selangkah, dan saling mendesak.
"Sori, tapi aku telah mengelabui kalian," Seth akhirnya berkata.
"Hah?" Stephanie berseru. Ia lebih banyak kesal daripada takut.
"Mengelabui bagaimana?" tanyaku.
Seth menyibakkan rambutnya yang pirang panjang dengan
tangannya yang bebas. Api lilin di tangannya yang lain menimbulkan
bayangan yang menari-nari di wajahku. "Namaku bukan Seth,"
ujarnya pelan. Saking pelannya, suaranya nyaris tak terdengar.
"Ta-tapi..." aku tergagap-gagap.
"Namaku Andrew," katanya.
Stephanie dan aku sama-sama memekik kaget.
"Tapi Andrew kan nama si hantu," Stephanie memprotes.
"Hantu yang kehilangan kepalanya."
"Akulah hantu itu," ia menyahut. Lalu ia tertawa terkekehkekeh. Bunyinya lebih mirip orang batuk daripada orang tertawa.
"Aku kan sudah berjanji kalian bakal lihat hantu sungguhan malam
ini. Nah... inilah aku."
Ia meniup lilinnya sampai padam. Dan bersamaan dengan
matinya api, ia pun menghilang dari pandangan.
"Tapi, Seth..." kata Stephanie.
"Andrew," ia meralat. "Namaku Andrew. Sudah lebih dari
seratus tahun aku bernama Andrew."
"Lepaskan kami," aku memohon. "Kami takkan cerita bahwa
kami melihatmu. Kami takkan..."
"Kalian tak bisa pergi," sahutnya sambil berbisik.
Aku teringat cerita mengenai arwah si kapten kapal. Ketika
Andrew masuk ke kamar si kapten kapal dan melihat hantu tua itu, si
kapten kapal mengatakan hal yang sama padanya. "Kau sudah
melihatku. Kau tak bisa pergi."
"S-seharusnya kau tidak punya kepala!" aku berseru.
"Berarti kau bukan Andrew!" Stephanie menimpali. "Kau masih
punya kepala!" Dalam cahaya redup dari lilin Stephanie, aku melihat Andrew
mengembangkan senyum mengejek. "Kalian keliru," katanya pelan.
"Keliru sekali. Aku tidak punya kepala. Yang ini cuma kupinjam."
Ia menempelkan kedua tangan ke pipinya. "Nih, lihat baikbaik," ujarnya.
Kemudian ia mulai mencopot kepalanya dari pundak.
26 "JANGAN! Berhenti!" Stephanie memekik.
Aku memejamkan mata. Aku tidak mau melihat bagaimana ia
mencopot kepalanya. Ketika aku membuka mata lagi, Andrew sudah menurunkan
tangan. Sekali lagi aku memandang berkeliling. Bagaimana kami bisa
meloloskan diri" Bagaimana kami bisa kabur dari situ" Si hantu
menghalangi satu-satunya jalan keluar.
"Kenapa kau mengelabui kami?" tanya Stephanie. "Kenapa kau
membawa kami ke sini" Kenapa kau membohongi kami?"
Andrew menghela napas. "Kan sudah kubilang, kepala ini cuma
kupinjam." Ia mengusap rambutnya dengan sebelah tangan, lalu
menepuk-nepuk pipi. "Kepala ini cuma pinjaman. Berarti aku harus
mengembalikannya." Stephanie dan aku menatapnya sambil membisu. Kami
menunggu ia melanjutkan ceritanya. Kami menunggu ia menjelaskan
masalahnya. "Semalam aku melihatmu di tengah rombongan tur," kata
Andrew sambil menatapku. "Yang lain tidak bisa melihatku. Cuma
kau yang bisa." "Kenapa?" aku bertanya dengan suara gemetar.
"Karena kepalamu," ia menyahut. "Aku suka kepalamu."
"Hah?" Suaraku parau karena ngeri.
Ia kembali mengusap rambutnya yang pirang. "Kepala ini harus
kukembalikan, Duane," ia berkata dengan tenang dan dingin. "Jadi,
sekarang aku akan mengambil kepalamu."
27 SAKING takutnya, aku sampai tertawa cekikikan.
Kenapa orang-orang malah tertawa kalau mereka sedang
ketakutan setengah mati" Mungkin karena kalau kita tidak tertawa,
maka kita bakal menjerit. Atau meledak, atau semacam itu.
Aku terperangkap di ruangan sempit dan gelap bersama hantu
berumur seratus tahun yang mengincar kepalaku, dan rasanya aku
ingin tertawa, menjerit, dan meledak sekaligus!
Aku menatap Andrew sambil memicingkan mata. "Kau cuma
bercanda, kan?" Ia menggelengkan kepala, lalu menatapku dengan tajam. "Aku
perlu kepalamu, Duane," ujarnya pelan. Ia angkat bahu dan pasang
tampang seakan-akan menyesal. "Aku akan mencopotnya cepatcepat. Kau takkan merasa sakit."
"T-tapi aku juga butuh kepalaku!" aku tergagap-gagap.
"Aku cuma mau pinjam, kok," kata Andrew. Ia maju selangkah
ke arah kami. "Kepalamu akan kukembalikan kalau kepalaku sendiri
sudah ketemu. Aku janji."
"Dan karena itu aku harus menuruti kemauanmu?" tanyaku.
Ia kembali maju. Stephanie dan aku mundur selangkah. Kami tidak bisa mundur
lagi. Di belakang kami sudah ada rak yang menghadang.
Tiba-tiba Stephanie bicara, "Andrew, kami akan cari
kepalamu!" ia menawarkan. Suaranya gemetar.
Aku berpaling padanya. Seumur hidup aku belum pernah
melihatnya setakut sekarang. Dan karena itu, aku sendiri jadi lebih
takut lagi! "Yeah, pasti," aku cepat-cepat menimpali. "Kami akan cari


Goosebumps - 37 Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepalamu yang asli. Kami akan cari sepanjang malam. Kami tahu
seluk-beluk rumah ini. Aku yakin kami bisa menemukan kepalamu
kalau diberi kesempatan."
Ia menatap kami tanpa berkata apa-apa.
Rasanya aku ingin berlutut di depannya dan memohon agar ia
memberi kesempatan kepada kami.
Tapi aku takut ia langsung mencabut kepalaku begitu aku
berlutut di hadapannya. "Kami akan menemukannya, Andrew. Pasti," Stephanie
menegaskan. Andrew menggelengkan kepala. Kepala pinjamannya. "Tidak
mungkin," ia bergumam dengan sedih. "Kalian tahu, sudah berapa
lama aku mencarinya" Lebih dari seratus tahun. Lebih dari seratus
tahun aku mencarinya di setiap lorong, setiap kamar, setiap lemari."
Ia maju selangkah lagi. Matanya tak beralih dari kepalaku. Aku
tahu ia sedang mengamatinya sambil membayangkan bagaimana
rasanya kalau kepalaku sudah menempel di pundaknya.
"Selama bertahun-tahun aku tidak berhasil menemukan
kepalaku," Andrew melanjutkan. "Jadi, kenapa aku harus percaya
kalian bisa menemukannya malam ini?"
"Karena... ehm..." Stephanie berpaling padaku.
"Ehm... barangkali kami lebih beruntung!" aku berseru.
Konyol. Betul-betul konyol.
"Sori," Andrew bergumam. "Aku perlu kepalamu, Duane. Ini
cuma buang-buang waktu."
"Beri kami kesempatan!" teriakku.
Ia maju selangkah lagi. Sekarang ia mengamati rambutku.
Mungkin ia ingin membiarkannya tumbuh lebih panjang.
"Andrew"jangan!" aku memohon.
Percuma saja. Matanya menatap kosong. Ia mengangkat kedua
tangan dan melangkah maju.
Stephanie dan aku merapat ke rak.
"Serahkan kepalamu," hantu itu berbisik.
Aku tak bisa mundur lagi:
"Aku perlu kepalamu, Duane."
Stephanie dan aku saling mendesak.
Hantu itu semakin dekat. Kami sampai berjinjit untuk menjauhi tangannya. Tiba-tiba
sikuku membentur benda keras. Aku mendengar barang-barang yang
berat jatuh dari rak. "Aku perlu kepalamu, Duane."
Ia mengepal-ngepalkan tangan. Dua langkah lagi, dan ia akan
bisa mencengkeram leherku.
"Kepalamu. Serahkan kepalamu."
Aku memejamkan mata. Terdengar bunyi berderak"dan kemudian rak itu mulai
bergeser. Aku mundur terhuyung-huyung. Dan aku sadar seluruh dinding
ikut bergerak. "A-ada apa ini?" aku tergagap-gagap.
Si hantu meraih kepalaku. "Nah, kena kau!"
28 Si hantu melompat maju dengan tangan siap menyergap.
Aku merunduk"dan mundur terhuyung-huyung karena dinding
belakang terus bergeser. Dinding itu berderak-derak sambil berputar pelan.
Stephanie jatuh ke lantai yang keras.
Aku cepat-cepat membantunya berdiri sementara Andrew
kembali mencoba menyambar leherku.
"Ada terowongan!" aku berseru.
Bagian dinding yang bergeser itu ternyata pintu sebuah
terowongan. Besarnya pas untuk dilewati sambil membungkuk.
Aku menarik Stephanie"kami segera menyelinap masuk.
Kami berada di dalam terowongan yang panjang dan rendah.
Terowongan yang tersembunyi di balik dinding yang bisa bergeser.
Aku memang pernah dengar bahwa rumah-rumah tua sering
dilengkapi lorong-lorong rahasia dan ruang-ruang tersembunyi. Tapi
aku tak pernah menyangka bahwa suatu hari aku akan bersyukur
karena menemukan terowongan seperti itu!
Stephanie dan aku lari. Langkah kami berdebam-debam di
lantai yang keras. Kami melewati dinding-dinding beton yang sudah retak-retak
karena dimakan waktu. Kami terpaksa membungkuk sambil berlari.
Langit-langit terowongan itu terlalu rendah untuk berdiri tegak!
Stephanie mengurangi kecepatan, menoleh ke belakang.
"Apakah ia mengejar kita?"
"Pokoknya lari!" seruku. "Terowongan ini pasti menuju keluar!
Keluar dari rumah ini!"
"Tapi aku tidak bisa melihat apa-apa!" sahut Stephanie dengan
terengah-engah. Terowongan itu membentang lurus. Tapi yang kulihat di
ujungnya hanyalah kegelapan yang pekat.
Jangan-jangan terowongan ini memang tak berujung"
Kalau memang begitu, aku akan berlari terus. Aku takkan
berhenti sebelum selamat sampai di luar.
Dan kalau sudah di luar, aku takkan pernah lagi berkunjung ke
Hill House. Aku takkan pernah lagi berurusan dengan hantu. Dan aku
akan berjaga-jaga agar kepalaku tetap di pundakku, seperti
seharusnya. Semuanya sudah kurencanakan.
Tapi rencana tidak selamanya berjalan lancar.
"Ohh!" Stephanie dan aku memekik kaget ketika kami nyaris
menabrak dinding beton. Kami telah tiba di ujung terowongan. Dan ternyata tak ada jalan
keluar. "T-terowongan ini buntu!" aku memekik. Dengan tersengalsengal, aku menggedor-gedor tembok itu dengan kedua tangan.
"Untuk apa orang bikin terowongan rahasia yang buntu?"
"Coba dindingnya kita dorong," seru Stephanie. "Ayo, samasama. Barangkali dinding ini juga bisa digeser."
Kami menempelkan bahu ke dinding dan mendorong dengan
sekuat tenaga. Aku sampai mengerang-erang.
Aku masih mendorong ketika terdengar suara langkah terseokseok di terowongan di belakang kami.
Andrew! "Dorong!" teriak Stephanie.
Kami mengerahkan segenap tenaga.
"Ayo"bergeserlah! Bergeserlah!" aku berkata dengan panik.
Aku menoleh ke belakang, dan melihat Andrew. Ia berlari kecil
ke arah kami. "Kita terperangkap," keluh Stephanie. Ia mendesah lalu duduk
sambil bersandar ke dinding yang menghalangi kami.
Andrew semakin dekat. "Duane"aku butuh kepalamu!" ia memanggil, suaranya
memantul-mantul pada dinding terowongan.
"Kita terperangkap," Stephanie bergumam lesu.
"Belum tentu," ujarku dengan suara parau. Aku menunjuk ke
sudut yang gelap. "Lihat, tuh. Ada tangga."
"Hah?" Stephanie langsung berdiri lagi. Ia memicingkan mata,
mengamati tangga itu. Sebuah tangga tegak lurus, dengan pijakan dari
logam yang tertutup debu tebal. Tangga itu melewati lubang kecil
berbentuk bujur sangkar di langit-langit yang rendah.
Ke manakah tangga itu menuju"
"Serahkan kepalamu!" si hantu berseru.
Terburu-buru aku berpegangan pada tiang logam di kedua sisi
tangga. Aku menaruh kaki pada pijakan pertama dan memandang ke
atas. Tapi yang kelihatan hanya kegelapan. Tak ada apa-apa selain
kegelapan yang hitam pekat.
"Duane..." bisik Stephanie. "Kita tidak tahu ke mana tangga ini
menuju!" "Masa bodoh!" sahutku sambil mulai memanjat. "Memangnya
ada pilihan lain?" 29 "MAU ke mana kau, Duane" Aku perlu kepalamu!"
Tanpa menggubris seruan si hantu, aku terus memanjat.
Stephanie terus menabrakku dari bawah.
Sepatu ketsku tergelincir pada lapisan debu yang tebal.
Tanganku berulang kali merosot pada tiang tangga yang dingin dan
licin. "Duane"kau takkan bisa lolos!" Andrew berseru dari bawah.
Naik terus. Tegak lurus. Stephanie dan aku memanjat secepat
mungkin, sementara napas kami memburu.
Naik terus. Sampai tangga itu mulai miring.
"Ohhh!" aku memekik ketika tangga itu tiba-tiba condong ke
depan. Tapi teriakanku dikalahkan oleh bunyi berderak yang sangat
keras. Baru beberapa detik kemudian aku sadar bahwa dindingnya
ambruk. Hancur lebur. Dan kami jatuh. Aku mendengar Stephanie berteriak.
Aku menyambar tiang tangga dengan kedua tangan"dan
berpegangan erat-erat. Tapi tangganya pun meluncur ke bawah.
"Aduh!" Aku terempas ke dasar terowongan.
Secara refleks aku melepaskan tangan dan terpental dari tangga.
Aku berguling di tengah reruntuhan dinding.
Stephanie mendarat pada lututnya. Ia menggeleng-gelengkan
kepala karena pening. Reruntuhan tembok berjatuhan di sekeliling kami. Rambut
Stephanie penuh debu. Aku melindungi mata, menunggu hujan batu dan semen
berhenti. Ketika aku membuka mata, Andrew sudah berdiri di
hadapanku. Kedua tangannya terkepal. Mulutnya menganga.
Pandangannya tertuju... ke belakangku.
Aku bangkit dengan susah payah, lalu berbalik untuk melihat
apa yang dipandangnya. "Ruang rahasia!" Stephanie berseru, lalu melangkah ke
sampingku. "Ternyata ada ruang rahasia di balik tembok tua ini."
Kami maju sambil melangkahi reruntuhan dinding.
Dan kemudian kami melihat apa yang menarik perhatian
Andrew. Sebuah kepala. Kepala anak laki-laki yang tergeletak di tengah-tengah lantai
ruang rahasia. "Ya ampun!" teriak Stephanie, napasnya terengah-engah. "Kita
menemukannya! Kita berhasil menemukannya!"
Aku menelan ludah. Lalu melangkah pelan-pelan.
Meskipun hanya diterangi cahaya redup, kepala itu tampak
putih pucat. Jelas kelihatan bahwa itu kepala anak laki-laki. Tapi rambutnya
yang panjang dan berombak sudah putih semua. Dan matanya
berpendar hijau di wajahnya yang pucat, bagaikan sepasang batu
zamrud. "Kepala si hantu," aku bergumam.
Aku berpaling kepada Andrew. "Kepalamu"kami berhasil
menemukannya." Tadinya kupikir ia akan tersenyum. Kupikir ia akan bersorak
atau melompat kegirangan.
Selama seratus tahun ia menantikan saat bahagia ini. Dan
sekarang pencariannya yang panjang telah berakhir.
Tapi di luar dugaanku, wajah Andrew malah berkerut-kerut
karena ngeri. Ia bahkan tidak memedulikan kepalanya yang sudah begitu
lama hilang. Pandangannya tertuju ke atas kepala itu. Seluruh
tubuhnya mulai gemetaran. Lalu ia memekik-mekik ketakutan.
"Ada apa, Andrew?" tanyaku.
Tapi sepertinya ia tidak mendengarku.
Ia terus menatap ke langit-langit. Tangannya terkepal di
pinggang. Kemudian, pelan-pelan, ia mengangkat sebelah tangan dan
menunjuk. "Ohhh," ia mengerang. "Ohhh, ya ampuuun."
Aku menoleh untuk melihat apa yang membuatnya begitu
ketakutan. Dan kulihat sosok putih melayang dari langit-langit.
Mula-mula kupikir ada tirai tipis yang jatuh.
Tapi ketika sosok itu melayang ke lantai, aku menyadari sosok
itu mempunyai tangan. Dan kaki.
Dan tubuhnya tembus pandang!
Udara di sekeliling kami mendadak dingin seperti es.
"A-ada hantu!" Stephanie memekik sambil menyambar
tanganku. 30 TANPA suara hantu itu mendarat di lantai ruang rahasia. Kedua
tangannya terentang bagaikan sayap burung.
Stephanie dan aku sama-sama memekik tertahan ketika hantu
itu mengangkat kedua tangannya dan berdiri tegak.
Hantu itu pendek, dan kurus sekali. Ia memakai celana panjang
gombrong model kuno dan kemeja tangan panjang dengan kerah
tinggi. Kerah tinggi. Kerah. Tapi kepalanya tidak ada.
Hantu itu tak berkepala! Aku merasakan embusan angin dingin ketika ia membungkuk.
Gerakannya begitu ringan, seolah tubuhnya terbuat dari kain kasa. Ia
meraih ke bawah. Memungut kepala yang tergeletak di lantai.
Mengangkatnya ke kerah yang tinggi dan kaku.
Memasangnya dengan hati-hati.
Setelah kepalanya menempel di lehernya yang tembus pandang,
matanya yang hijau tiba-tiba menyala.
Pipinya berkedut-kedut. Alis matanya yang putih pucat naikturun.
Dan kemudian mulutnya mulai bergerak.
Hantu itu berpaling kepada kami"kepada Stephanie dan aku.
Dan tanpa bersuara ia mengucapkan "Terima kasih."
"Terima kasih."
Lalu ia mengangkat kedua tangannya. Matanya yang hijau
masih memandang kami ketika ia mulai melayang lagi. Sosoknya
yang lebih ringan dari udara melayang tanpa suara sedikit pun.
Aku melongo. Jantungku berdegup-degup. Dengan mata
terbelalak aku memperhatikan sosok menyeramkan itu menghilang
dalam kegelapan. Stephanie dan aku berpaling kepada Andrew. Kami baru saja
melihat si Hantu Tanpa Kepala. Kami baru saja melihat Andrew, anak
laki-laki yang meninggal seratus tahun lalu. Kami baru saja
melihatnya mengambil kepalanya.
Tapi anak laki-laki yang mengaku bernama Andrew masih
bersama kami. Ia masih berdiri di belakang kami. Seluruh tubuhnya
gemetaran. Matanya terbelalak lebar karena ngeri.
Aku menatapnya sambil memicingkan mata. "Kalau kau bukan
Andrew..." kataku "...kalau kau bukan si Hantu Tanpa Kepala"lalu


Goosebumps - 37 Misteri Hantu Tanpa Kepala di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siapa kau sebenarnya?"
31 STEPHANIE langsung melabraknya. "Yeah. Siapa kau
sebenarnya?" ia bertanya dengan gusar.
"Kalau kau bukan si Hantu Tanpa Kepala, kenapa kau
mengejar-ngejar kami?" aku mendesak.
"Ehm... aku... ehm..." Anak itu mengangkat tangan seakan-akan
hendak menyerah. Kemudian ia mundur.
Ia baru mundur tiga atau empat langkah ketika kami mendengar
suara langkah lain di terowongan yang panjang.
Aku dan Stephanie berpandangan. Ada hantu lagi"
"Siapa di situ?" sebuah suara berat menggelegar.
Aku melihat berkas sinar senter menyapu dasar terowongan.
"Siapa di situ?" suara itu bertanya sekali lagi.
Aku segera mengenali suara berat itu. Otto!
"Ehm... kami di sini," seru anak laki-laki itu.
"Seth"itu kau, ya?" Lingkaran cahaya di dasar terowongan
semakin dekat. Otto muncul di belakang anak itu, dan ia menatap
kami sambil memicingkan mata. "Ada apa ini" Kenapa kau ada di
sini" Tempat ini sangat berbahaya. Semua dindingnya sudah hampir
ambruk." "Ehm... kami cuma ingin menyelidiki tempat ini," Seth
menjelaskan. "Tapi kemudian kami tersesat. Ini bukan salah kami."
Otto menatap Seth dengan tajam. Kemudian ia membelalakkan
mata karena heran ketika melihat Stephanie dan aku. "Kalian!
Bagaimana kalian bisa masuk" Kenapa kalian ada di sini?"
"Ia... ehm... ia mengajak kami masuk lewat pintu belakang,"
sahutku. Aku menunjuk Seth.
Otto kembali berpaling kepada Seth. Ia menggeleng-gelengkan
kepala. "Iseng lagi" Kau mau menakut-nakuti mereka?"
"Tidak juga, Uncle Otto," balas Seth sambil menundukkan
kepala. Uncle " Berarti Seth keponakan Otto!
Pantas saja ia tahu begitu banyak tentang Hill House.
"Terus terang saja, Seth," Otto mendesak. "Kau berlagak jadi
hantu lagi, ya" Belum kapok juga kau menjaili anak-anak?"
Seth diam saja. Otto mengusap kepalanya yang botak dan licin. Kemudian ia
mendesah pelan. "Kita mengadakan tur di sini untuk mencari uang,"
katanya kepada Seth. "Apa jadinya kalau tak ada orang yang mau
datang lagi karena ulahmu?"
Seth tetap diam. Aku sadar bahwa ia berada dalam kesulitan besar.
Jadi, aku memutuskan untuk menolongnya. "Kami baik-baik
saja, Otto," ujarku. "Kami tidak takut, kok."
"Ya," Stephanie segera menimpali. "Kami tidak percaya bahwa
Seth itu hantu. Ya kan, Duane?"
"Mana mungkin kami ketipu olehnya?"
"Apalagi waktu kami melihat hantu yang sebenarnya,"
Stephanie menambahkan. Otto mengalihkan senternya dan mengamati wajah Stephanie.
"Kalian lihat apa?"
"Hantu yang sebenarnya," Stephanie menegaskan.
"Ya, kami lihat hantu yang asli, Uncle Otto!" seru Seth. "Ia
sangat menyeramkan!"
Otto geleng-geleng kepala. "Sudahlah, Seth, jangan main-main.
Sekarang sudah larut malam. Kau cuma ingin mengelak dari hukuman
yang bakal kauterima."
"Kami serius!" aku berkeras.
"Ya, kami benar-benar melihatnya!" seru Stephanie.
"Kami lihat si Hantu Tanpa Kepala, Uncle Otto. Uncle harus
percaya!" Seth memohon.
"Ya, ya," Otto bergumam. Ia berbalik, memberi isyarat dengan
senternya. "Ayo, semuanya keluar."
32 SETELAH pengalaman kami yang menakutkan di Hill House,
Stephanie dan aku berhenti bergentayangan di sekitar rumah.
Rasanya sudah tidak seru. Apalagi setelah kami bertemu hantu
sungguhan. Kami tak lagi menyelinap keluar malam-malam. Kami tak lagi
memakai topeng-topeng seram dan muncul di jendela anak-anak
tetangga. Kami tak lagi bersembunyi di balik semak, lalu melolong
seperti manusia serigala di tengah malam buta.
Kami tak lagi mau berurusan dengan hal-hal menakutkan. Dan
kami tak pernah lagi berbicara soal hantu.
Stephanie dan aku mencari hobi baru. Aku ikut tim basket di
sekolah, Stephanie bergabung dalam Klub Drama. Musim semi ini ia
akan memerankan Dorothy dalam The Wizard of Oz. Entah Dorothy
atau sepotong munchkin. Kami bersenang-senang selama musim dingin. Saljunya tebal
sekali. Dan tak satu kali pun kami menakut-nakuti orang.
Lalu, suatu malam, kami pulang dari sebuah pesta ulang tahun.
Malam itu malam pertama berudara hangat di musim semi. Bungabunga tulip bermekaran di pekarangan-pekarangan yang kami lewati.
Udara terasa segar dan berbau wangi.
Aku berhenti di depan Hill House dan menatap rumah tua itu.
Stephanie berhenti di sampingku. Ia langsung tahu apa yang
kupikirkan. "Kau mau ke sana, kan, Duane?"
Aku mengangguk. "Bagaimana kalau kita ikut tur. Kita tak
pernah ikut lagi sejak..." Aku tidak menyelesaikan kalimatku.
"Hei, kenapa tidak?" balas Stephanie.
Kami mendaki bukit yang terjal. Rumput tinggi menggesekgesek celana jeans-ku ketika aku menuju ke pintu depan. Rumah tua
yang besar itu tetap gelap dan seram. Seperti biasanya.
Ketika kami melangkah ke teras depan, pintu berderak dan
membuka sendiri. Seperti biasanya.
Kami masuk ke ruang depan. Beberapa detik kemudian, Otto
muncul. Ia berpakaian serba hitam. Ia menatap kami sambil tersenyum
ramah. "Kalian!" serunya gembira. "Selamat datang." Ia memanggil ke
dalam. "Edna, coba lihat siapa yang datang."
Edna keluar sambil tertatih-tatih. "Oh!" serunya sambil
menempelkan tangan ke wajahnya yang pucat dan penuh keriput.
"Kami sudah takut kalian tak mau lagi datang kemari."
Aku memandang berkeliling. Tak ada pengunjung lain.
"Kami mau ikut tur. Kau bisa mengantar kami?" aku bertanya
kepada Otto. Ia tersenyum lebar. "Tentu saja. Tunggu. Aku ambil lentera
dulu." Otto membawa kami keliling Hill House. Hampir semua
ruangan kami masuki. Aku senang kembali berada di sini. Tapi rumah tua itu tak lagi
menyimpan rahasia bagi Stephanie dan aku.
Seusai tur, kami berterima kasih kepada Otto dan mengucapkan
selamat malam. Kami sudah hampir sampai di kaki bukit ketika sebuah mobil
polisi berhenti di tepi jalan. Seorang petugas berseragam gelap
menyembulkan kepala dari jendela penumpang. "Kalian dari mana?"
ia bertanya. Stephanie dan aku menghampiri mobil patroli. Kedua petugas
yang duduk di dalamnya menatap kami dengan curiga.
"Kami baru ikut tur," aku menjelaskan sambil menunjuk ke Hill
House. "Tur" Tur apa?" petugas itu bertanya dengan ketus.
"Itu, lho. Tur rumah hantu," balas Stephanie tak sabar.
Kepala petugas polisi itu menyembul lebih jauh dari jendela. Ia
bermata biru, mukanya penuh bintik-bintik. "Terus terang saja,"
katanya, "apa yang kalian lakukan di atas sana?"
"Kami kan sudah bilang," aku berkeras. "Kami ikut tur. Cuma
itu." Petugas polisi di balik kemudi tertawa terkekeh-kekeh.
"Barangkali mereka diantar hantu," katanya kepada rekannya.
"Di situ tidak ada tur," ujar si petugas bermata biru. "Sudah
beberapa bulan terakhir tidak ada tur di rumah itu."
Stephanie dan aku memekik kaget.
"Rumah itu kosong," petugas itu melanjutkan. "Usaha tur itu
sudah ditutup. Sepanjang musim dingin tak ada siapa-siapa di situ.
Hill House bangkrut tiga bulan lalu."
"Hah?" Stephanie dan aku membelalakkan mata. Kemudian
kami membalik dan menatap ke arah rumah di puncak bukit.
Menara-menara batunya yang kelabu menjulang ke langit yang
ungu kehitaman. Tak ada apa-apa selain kegelapan.
Kemudian kulihat cahaya redup di jendela depan. Cahaya
lentera. Jingga dan lembut bagaikan asap.
Dan dalam cahaya yang lembut itu, aku melihat Otto dan Edna.
Mereka melayang melewati jendela. Tubuh mereka tembus pandang,
seakan-akan terbuat dari kain kasa.
Ternyata mereka juga hantu, pikirku sambil terus menatap
cahaya yang lembut itu. Aku berkedip. Dan cahaya itu pun padam.END
Raja Pedang 5 Neraka Hitam Seri Bara Maharani Karya Khu Lung The Familiar 1

Cari Blog Ini