Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 1 Bagian 1
RUMAH ANGKER KAMI takut berada terlalu dekat dengan rumah itu, jadi kami
hanya memandanginya dari seberang jalan.
Pekarangan depannya gersang. Tak ada yang bisa tumbuh di
sana. Bahkan alang-alang pun tak mau muncul dari tanah yang kering
dan retak-retak itu. Di ujung pekarangan, rumah itu seolah balas memandangi kami.
Kedua jendela ruang atasnya bagaikan sepasang mata hitam yang
melotot tak berkedip. Rumah itu luas dan kelihatannya kokoh, terbuat dari batu bata.
Bertahun-tahun yang lalu batu bata itu dicat putih, tapi sekarang
catnya sudah kusam dan mengelupas. Batu bata merah di baliknya
tampak bagaikan noda-noda darah.
Kerai-kerai jendela sudah retak, beberapa malah lepas. Kayukayu penyangga di beranda depan sudah miring dan akan langsung
runtuh bila tertiup angin kencang.
Rumah itu tidak berpenghuni. Sudah kosong bertahun-tahun.
Tak ada yang bisa tinggal di sana.
Rumah itu berhantu. Semua orang di kota berkata begitu.
Semua orang tahu cerita tentang rumah itu. Kalau ada orang
yang berani bermalam di sana, dia tidak akan pernah keluar lagi.
Itu sebabnya kami suka membawa anak-anak lain ke sana,
menantang mereka untuk masuk ke dalam.
Anak yang ingin menjadi anggota klub kami"Klub
Pemberani"mesti tinggal selama satu jam di dalam rumah itu.
Aku merinding ketika memandangi rumah yang berselimutkan
cahaya bulan pucat itu. Kutarik ritsleting jaketku hingga ke dagu dan
kusilangkan kedua tanganku di depan dada.
"Sudah berapa lama dia di dalam sana, Robbie?" tanya Nathan
padaku. Lori dan aku serentak melihat arloji kami. "Baru sepuluh
menit," sahutku. "Masih lima puluh menit lagi," kata Lori. "Kira-kira dia tahan
tidak, ya?" "Doug cukup berani," kataku serius, sambil mengamati bulan
yang menghilang di balik awan. "Mungkin dia masih tahan lima menit
lagi," kataku sambil nyengir.
Lori dan Nathan berdecak.
Kami bertiga merasa aman di sini, di jalanan.
Kasihan Doug. Mungkin dia sedang merasa ngeri saat ini,
tertutup di dalam rumah gelap, mencoba bertahan selama satu jam
agar bisa menjadi anggota klub kami.
Aku menoleh dan melihat seberkas cahaya bergulir pelan di
jalanan, menuju ke arah kami. Cahaya putih dan misterius.
Aku tercekat. Itu lampu mobil. Mobil pertama yang kami jumpai di jalanan
ini. Lampu mobil itu menerangi kami, hingga kami mesti
menudungi mata karena silau. Setelah mobil itu lewat, kami kembali
memandang ke rumah itu... dan mendengar jeritan nyaring.
Jerit ketakutan. "Ini dia!" seru Nathan.
Benar. Doug menghambur keluar dari pintu, terhuyung-huyung
lari melintasi beranda, terus ke pekarangan yang kosong.
Tangan Doug melambai-lambai liar, kepalanya tengadah, dan
mulutnya mengeluarkan jeritan panjang ketakutan.
"Doug, apa yang kaulihat?" seruku. "Kau benar-benar melihat
hantu?" "S-sesuatu menyentuh wajahku," kata Doug. Ia lari melewati
kami sambil terus menjerit-jerit.
"Mungkin cuma sarang labah-labah," gumamku.
"Robbie, kita mesti menghentikan dia!" seru Lori.
"Doug! Hei, Doug!" Kami memanggilnya dan mengejarnya.
Sepatu kami berdebuk keras di batu.
Tapi Doug terus berlari sambil menjerit-jerit.
Kami tidak berhasil menghentikannya. "Dia akan lari pulang,"
kataku terengah-engah. Aku berhenti dan membungkuk memegangi
lutut, berusaha mengambil napas.
Di depan sana masih terdengar jeritan Doug.
"Yah, dia gagal masuk klub kita," kataku, masih terengahengah.
"Lalu bagaimana dong?" tanya Nathan sambil menoleh ke
rumah itu.ebukulawas.blogspot.com
"Kita cari anak lain," sahutku.
********* Chris Wakely tampaknya cocok menjadi calon anggota.
Keluarganya pindah ke kota ini pada musim panas yang lalu,
dan Chris sekelas denganku di kelas enam. Chris bermata biru dan
berambut pirang putih. Ia agak pemalu, tapi kelihatannya ramah.
Suatu hari, sepulang sekolah, kulihat Chris berjalan pulang
sendirian. Kukejar dia. Saat ini bulan Oktober. Angin bertiup kencang.
Helai-helai daun merah dan kuning berjatuhan dari pepohonan.
Seperti hujan daun. Aku menyapa Chris dan mulai menceritakan klub kami.
Kutanyakan apakah ia mau bergabung.
"Klub kami hanya untuk mereka yang pemberani," aku
menjelaskan. "Untuk bisa diterima, kau mesti menghabiskan satu jam
di dalam rumah di Willow Hill."
Chris berhenti berjalan dan menoleh padaku, menatapku tajam
dengan mata birunya yang pucat. "Rumah itu berhantu, kan?"
tanyanya. Aku tertawa. "Kau tidak percaya hantu, kan?"
Ia tidak tersenyum. Ekspresinya serius dan matanya tampak
murung. "Aku bukan anak pemberani," katanya pelan.
Kami berjalan lagi. Terdengar suara gemeresak saat sepatu
kami menginjak dedaunan yang bertebaran di trotoar. "Kami ingin kau
menjadi anggota klub kami," kataku. "Masa kau tidak berani, satu jam
saja berada di dalam rumah itu?"
Chris angkat bahu sambil menunduk. "Rasanya... tidak,"
katanya terbata. "Sejak dulu aku selalu takut pada monster dan
semacamnya," ia mengakui. "Sampai umur delapan tahun aku masih
percaya bahwa di kolong tempat tidurku ada monster."
Aku tertawa, tapi ekspresi Chris tetap serius. Ia tidak bercanda.
"Kalau nonton film seram, aku pasti meringkuk di kursi saat
muncul bagian film yang seram," lanjutnya.
Lori dan Nathan lari menghampiri kami. "Kau mau
melakukannya?" tanya Nathan pada Chris. "Kau mau jadi anggota
klub kami?" Chris membenamkan tangannya dalam-dalam di saku
celananya. "Kalian sendiri pernah tidak berada satu jam di dalam
rumah itu?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Kami tidak perlu begitu," kataku. "Kamilah
yang mendirikan klub ini, jadi kami tidak perlu masuk ke rumah itu.
Kami sudah tahu bahwa kami suka menantang bahaya. Anggota
barulah yang mesti menunjukkan keberaniannya."
Chris menggigiti bibir bawahnya sambil berpikir.
Kami berbelok dan terus berjalan. Rumah itu ada di puncak
bukit, di ujung blok. Kami berhenti di depannya dan memandang ke seberang
pekarangan yang kosong. "Lihat" Sama sekali tidak seram pada siang
hari," kataku. Chris tercekat. "Rumah itu perlu dicat," gerutunya. "Dan kenapa
semua pohonnya mati?"
"Karena tidak ada yang mengurus," sahut Nathan.
"Bagaimana, Chris?" desakku. "Kami benar-benar perlu
anggota baru." "Yeah," Lori sependapat. "Kalau anggotanya cuma tiga, kurang
seru." Chris memandangi rumah itu. Tangannya masih tetap di dalam
saku. Rasanya aku melihat ia gemetar, tapi mungkin aku keliru.
"K-kau mau tidak ikut masuk bersamaku?" tanyanya.
"Tidak," sahutku sambil menggeleng.
"Tidak bisa," kata Lori. "Kau mesti berani kalau ingin masuk
klub kami." "Kami tidak ikut masuk," kata Nathan, "tapi kami akan
menunggumu di luar."
"Ayolah, Chris," desakku. "Masuk sajalah. Pasti seru. Sekarang
kan hampir Halloween. Yang semangat dong."
Chris tercekat lagi. Ia masih terus memandangi rumah itu, dan
akhirnya ia menggeleng. "Aku tidak mau," katanya pelan, hampirhampir tidak terdengar. "Aku memang penakut."
Aku hendak mendesaknya lagi, tapi kulihat ia benar-benar
malu, jadi aku diam saja.
Chris berpamitan dan cepat-cepat pulang ke rumahnya. Kami
mengawasinya sampai ia menghilang di belokan jalan.
"Gimana nih?" tanya Nathan.
********** Dua hari kemudian kami mengadakan rapat di rumahku.
Rapatnya membosankan. Kami tidak tahu siapa lagi anak yang cocok
dicalonkan menjadi anggota, dan kami juga tidak punya kegiatan lain
yang menarik. "Hari Sabtu sudah Halloween," keluhku. "Kita mesti
merencanakan sesuatu yang seram."
"Kau akan berdandan sebagai apa?" tanya Lori pada Nathan.
"Freddy Krueger," sahut Nathan. "Aku sudah beli kuku-kuku
dari logam." "Tahun lalu kan kau jadi Freddy Krueger juga?" tanyaku.
"Terus kenapa" Aku senang kok jadi Freddy Krueger," sahut
Nathan. "Banyak yang memilih jadi Freddy Krueger," gerutu Lori.
Lori akan tampil sebagai vampir, sedangkan aku sebagai
monster. "Kita perlu lebih banyak anggota," desah Lori. "Masa klub
anggotanya cuma tiga orang?"
"Chris yang paling cocok," kataku, "kalau saja dia tidak penakut
begitu." "Eh," kata Nathan sambil menggosok-gosok dagunya, "Chris
mesti dibantu mengatasi rasa takutnya."
"Hah" Apa maksudmu?" tanyaku.
"Maksudku, kita mesti membantu Chris," sahut Nathan sambil
nyengir. "Kita bisa membantunya supaya lebih berani."
Aku belum mengerti juga. "Apa sih maksudmu?"
Senyum Nathan semakin lebar.
"Kita paksa dia masuk ke dalam rumah itu."
********** Malam itu aku menelepon Chris dan mengundangnya keliling
minta permen bersama kami. Ia mau. Kedengarannya ia senang punya
teman untuk keliling. Ia baru dua bulan masuk sekolah kami dan
belum punya banyak teman.
Kami bertiga berkumpul di rumahku pada hari Halloween.
Nathan menceklik-ceklikkan kuku-kuku logamnya yang panjang dan
terus nyengir seperti Freddy Krueger. Aku menjadi monster dengan
sepasang mata berpegas yang tergantung-gantung dari kepalaku yang
ungu. Sementara itu, Lori bicara kaku seperti vampir.
"Mana Chris?" tanya Nathan sambil menoleh kiri-kanan. "Dia
datang kemari, tidak?"
"Iya, mana dia?" tanya Lori.
Kami semua agak tegang. Kami telah merencanakan sesuatu
yang jahat terhadap Chris, tapi kami yakin nanti semuanya akan
berakhir dengan baik. Bel pintu berdering dan kami lari untuk membuka pintu. Chris
berdiri dalam cahaya beranda, wajahnya hijau. Ia mengulurkan
tangannya pada kami. Warnanya juga hijau.
"Kau jadi apa sih" Kacang polong?" tanyaku.
Chris tampak kesal. "Aku jadi mayat."
"Seram amat," kataku. Kuberikan kantong-kantong kertas
padanya. "Ayo berangkat." Aku berjalan lebih dulu ke depan.
Kami berhenti di beberapa rumah dan mengumpulkan permen.
Malam itu sejuk dan berangin, dengan bulan sabit di langit.
Ketika mendekati rumah angker di Willow Hill, perutku kaku
dan mendadak tanganku sedingin es.
Semoga Chris bisa bertahan selama satu jam di rumah itu,
pikirku. Dia anak yang menyenangkan. Aku benar-benar ingin ia
menjadi anggota klub kami.
Ya, ia baik sekali, tapi kami malah merencanakan sesuatu yang
jahat untuknya. Tapi dia akan cepat pulih, pikirku. Dan dia akan senang telah
mengikuti tes keberanian ini.
Rumah angker itu tampak di hadapan kami. Kulihat Chris
memandanginya sejenak, lalu cepat-cepat menyeberang jalan. Ia tidak
mau dekat-dekat rumah itu, apalagi pada malam Halloween begini.
Tapi Nathan dan aku mencengkeram lengannya. Chris berseru
kaget, "Hei, lepaskan. Kalian mau apa?"
Chris meronta-ronta, tapi Nathan dan aku jauh lebih besar dan
lebih kuat darinya. Lori mendahului berjalan ke rumah yang gelap dan sunyi itu.
Chris masih terus meronta-ronta, tapi Nathan dan aku menyeretnya ke
beranda yang hampir roboh, terus ke depan pintu.
"Tidak! Jangan!" Chris memohon-mohon. "Jangan lakukan ini
padaku! Jangan!" Aku memandangnya dan melihat ketakutan yang amat sangat di
wajahnya. "Chris, kau tidak akan apa-apa," kataku pelan, membujuknya.
"Masuklah ke dalam. Kami akan menunggumu di sini. Aku janji."
"Kau akan bangga pada dirimu," kata Lori, lalu mendorongnya
ke pintu. "Dan nanti kau akan bisa masuk klub kami."
Lori mendorong pintu yang berat itu hingga membuka. Nathan
dan aku mulai mendorong Chris ke dalam, tapi aku kaget ketika Chris
mencengkeram lenganku. "Masuklah denganku... kumohon," pintanya, matanya terbelalak
ketakutan. "Ayolah, aku takut sekali." Ia memegangiku erat-erat. "Kita
masuk saja sama-sama, oke?"
Aku memandang Lori dan Nathan. "Tidak bisa," sahutku. "Kau
mesti membuktikan keberanianmu, Chris. Sampai ketemu satu jam
lagi." Kami mendorongnya masuk ke dalam rumah, lalu kami
menutup pintu yang berat itu dari luar.
"Kelihatannya dia takut sekali," kata Lori.
"Dia tidak akan apa-apa," kataku. "Kita tunggu dia di dekat
jalan." Kami beranjak ke ujung pekarangan dan menunggu.
Terus menunggu. Setiap sepuluh menit kami melihat arloji. Dua puluh menit
berlalu. Tiga puluh menit.
"Chris hebat juga," bisikku sambil memandangi jendela-jendela
gelap rumah itu. "Tak kukira dia bisa bertahan selama ini."
"Ternyata dia jauh lebih berani daripada yang kuperkirakan,"
kata Nathan dari balik topeng Freddy Krueger-nya.
Kami berdiri berdekatan sambil terus memandangi rumah itu,
sementara desau angin mengguncangkan pepohonan di sekitar kami.
Awan gelap bergulir menutupi bulan, menyelimuti kami dalam
kegelapan.
Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami menunggu sepuluh menit lagi. Dan sepuluh menit lagi.
"Dia pasti berhasil!" kataku sambil kembali melihat arloji. "Dia
akan bisa bertahan satu jam di dalam sana."
"Ayo kita soraki kalau dia keluar nanti," usul Lori.
Setelah satu jam berlalu, kami menuju undak-undak di depan,
tak sabar ingin memberi selamat pada Chris dan menyambutnya
dalam klub kami. Tapi pintu depan itu tidak membuka. Rumah itu tetap gelap dan
sunyi. Sepuluh menit lagi berlalu.
"Kurasa dia ingin pamer," kataku.
Tak ada yang tertawa. Kami masih terus menatap rumah itu.
Sepuluh menit lagi. Dan sepuluh menit lagi.
"Mana dia?" seruku nyaring.
"Ada yang tidak beres," kata Lori. "Ada yang tidak beres,
Robbie." "Mestinya saat ini Chris sudah keluar," kata Nathan dengan
suara gemetar. Aku jadi merinding. Semua ototku tegang. Teman-temanku
benar. Ada yang sangat tidak beres terjadi di rumah itu.
"Kita mesti masuk," kata Lori. "Kita mesti mencari Chris dan
mengeluarkannya." Kami bertiga saling pandang ketakutan. Kami tak ingin masuk
ke dalam rumah gelap itu.
Tapi kami tak punya pilihan.
"Mungkin sebaiknya kita tunggu sebentar lagi," saranku sambil
mencoba menghentikan gemetar kakiku. "Mungkin dia tidak pakai
arloji. Mungkin dia..."
"Ayolah, Robbie." Lori mendorongku dengan keras. "Chris
belum keluar juga. Kita mesti mencarinya.
Angin menderu di sekeliling kami dan mengibar-ngibarkan
kostum kami saat kami melangkah ke pintu depan. Aku hendak
membuka pintu, tapi tombol pintu itu meleset dari pegangan tanganku
yang berkeringat. Akhirnya Nathan dan aku berhasil membuka pintu berat itu.
Engsel-engselnya berderit saat pintu membuka. Kami mengintip ke
dalam kegelapan total. "Chris?" panggilku. "Chris, kau boleh keluar sekarang."
Suaraku terdengar tinggi bergaung.
Tak ada jawaban. "Chris" Chris" Di mana kau?" Kami serentak memanggilnya.
Lantai berderit dan berkeriut saat kami melangkah ke ruang
tamu. Angin mengguncangkan kisi-kisi jendela.
"Chris" Kau mendengar kami, tidak?"
Tak ada jawaban. Sebuah suara keras membuat kami bertiga menjerit.
Pintu depan tertutup di belakang kami.
"I-itu c-cuma angin," kataku ketakutan.
Sekarang keadaan di dalam jadi jauh lebih gelap, tapi tidak
lama. Seberkas cahaya pucat berkedip-kedip di puncak tangga.
Mulanya tampak seperti puluhan kunang-kunang yang terbang
bergerombol. Aku tercekat ketika cahaya itu makin terang dan melayang
menuruni tangga, seperti awan keperakan.
"Cepat keluar," seruku.
Tapi terlambat. Awan keperakan itu menyebar di sekeliling kami. Di dalamnya
kulihat dua sosok menakutkan... sepasang hantu pria dan wanita
dengan tubuh transparan dan mata merah berkilat-kilat.
Mata mereka yang menakutkan berkilau bagaikan bara api
ketika mereka mengitari kami, melayang dalam diam.
Aku bisa melihat menembus tubuh mereka. Rumah ini benarbenar berhantu!
"D-di mana Chris?" tanyaku akhirnya.
Hantu pria itu menjawab berbisik; suaranya seperti desau angin
di antara pepohonan. "Temanmu" Dia keluar lewat pintu belakang,"
katanya. "Sekitar satu jam yang lalu."
"Kami tidak ingin dia pergi," bisik si hantu wanita, matanya
yang merah semakin terang. "Tapi dia membuat perjanjian dengan
kami." Ia tertawa pelan. "Dia berjanji bahwa kalau kami
melepaskannya, tiga orang anak akan datang kemari
menggantikannya." "Dan sekarang kalian sudah di sini," kata hantu pria sambil
tersenyum jahat. "Jangan takut, anak-anak," kata si hantu wanita sambil
melayang lebih dekat. "Kalian akan senang di sini. Kalian akan tinggal
di sini SELAMANYA." BINATANG KESAYANGAN KALIAN suka ular" Kalau kalian masuk kelas Mr. Blankenship, mau tak mau kalian
mesti suka ular. Kalau tidak, gawat.
Biar kuceritakan dari awal, sejak hari pertama sekolah pada
bulan September lalu. Benjy, teman karibku, memanggil-manggil dari
beranda depan rumahku. "Becca, cepat! Kita bisa telat!"
Kusambar jaket denimku dan kukenakan topi bisbolku. Lalu
aku bergegas, meski aku tahu Benjy tidak bakal berangkat tanpa aku.
Sejak TK, Benjy dan aku selalu berangkat sekolah bersamasama. Beberapa orang merasa heran, kok anak laki-laki dan anak
perempuan bisa berteman begitu akrab, tapi kami tak peduli. Hobi
kami sama"main bisbol, basket, dan memasak (Benjy bisa marahmarah padaku kalau tahu aku bilang-bilang tentang hobi yang satu
ini.) Kami baru mulai masuk ke kelas enam. Di sekolah kami, anak
kelas enam punya banyak kegiatan mengasyikkan, misalnya kemping
selama seminggu penuh. Guru kami tahun ini adalah Ms. Wenger, guru paling oke di
sekolah. Ms. Wenger suka mengajar sambil bermain, misalnya
mengajak seisi kelas main skating, lalu kalau ada anak yang jatuh, ia
akan menjelaskan tentang gaya gravitasi.
Benjy dan aku merasa tahun ini akan menjadi tahun yang sangat
menyenangkan. Bayangkan, betapa terkejutnya kami ketika guru kami ternyata
bukan Ms. Wenger, melainkan seseorang bernama Mr. Blankenship.
Kami sangat kecewa ketika masuk kelas dan melihat guru itu
sedang menuliskan namanya di papan tulis. Mr. Blankenship
berpenampilan aneh. Ia jangkung dan kurus sekali, dan kepalanya
hampir sepenuhnya botak. Pakaiannya juga aneh. Sweater turtleneck dengan manik-manik
jingga, cokelat, dan hitam.
Ia menyapa Benjy dan aku di pintu dan menanyakan nama
kami. "Aku Becca Thompson," kataku.
"Benjy Connor," kata Benjy.
"Aku sedang bersiap-siap. Bagaimana kalau kalian melihat-lihat
kelas kalian dulu?" kata Mr. Blankenship.
Ruang kelas itu tidak menarik. Ada sudut baca, sudut komputer,
dan lembaran "Selamat Datang" di papan tempel.
Satu-satunya yang tidak biasa adalah enam kotak kaca yang ada
di dalam ruangan. Aku mendekati salah satu kotak untuk melihat
isinya. Hanya ada beberapa bongkah karang, setumpuk rumput kering,
sebatang tongkat, dan... "Aaah!" teriakku.
Lalu aku berdiri terpaku sambil menunjuk makhluk panjang
yang kurus dan mendesis-desis itu. Aku benci ular. Tanpa alasan.
Pokoknya benci! Aku tidak suka melihat mata ular yang kecil dan hitam, yang
sepertinya selalu melotot memandangi. Itulah yang paling menakutkan
bagiku. Sepasang mata itu.
Aku ingin berbalik dari tatapan marah ular itu, tapi tak bisa.
Aku seperti terpaku, membeku kaku, jantungku berdebar keras sekali,
seperti hampir melompat keluar dari rongga dadaku.
Benjy-lah yang membuyarkan pengaruh ular itu atas diriku. Ia
mendorongku supaya bisa ikut melihat. "Oh. Ular," katanya tenang.
Tapi aku tahu sebenarnya ia juga takut pada ular.
"Rupanya kalian sudah berkenalan dengan salah satu sobat
kecilku," kata Mr. Blankenship sambil tersenyum. "Kita akan
mempelajari ular tahun ini. Mereka makhluk yang memikat. Sangat
memikat." Sambil membungkuk di atas kotak itu, Mr. Blankenship
berpaling padaku. "Tahukah kau bahwa ular bisa hidup tanpa makanan
selama berbulan-bulan" Tapi tentu saja mereka lebih senang kalau
diberi seekor ular kecil yang enak. Lihat!"
Ia meraih ke dalam sebuah kotak kecil di balik rak dan
mengambil seekor tikus putih kecil. Tikus itu meronta-ronta, tapi Mr.
Blankenship memegangi ekornya yang merah muda erat-erat.
Ia mengayun-ayunkan tikus yang meronta-ronta itu di atas kotak
ular, lalu menjatuhkannya persis di sebelah si ular.
Aku tak ingin melihat, tapi penasaran juga.
Ular itu membuka mulutnya dan menelan tikus putih itu
seluruhnya. Aku mengerang ketika melihat ekor merah muda itu
meluncur masuk ke mulut si ular seperti seutas mi.
Aku benar-benar mual, tapi tak mungkin aku menunjukkannya
pada Mr. Blankenship. Ia akan sangat senang.
"Siapa berikutnya?" tanya Mr. Blankenship sambil menggosokgosokkan kedua tangannya. "Siapa yang lapar?"
Baru saat itulah kusadari bahwa seluruh kotak kaca di ruang
kelas ini penuh dengan ular-ular yang mendesis.
********* Benjy dan aku berusaha menyukai Mr. Blankenship, tapi ini
tidak mudah, sebab guru itu terus menambah koleksi ularnya. Dengan
cepat sepanjang dinding kelas sudah penuh dengan deretan kotak
berisi ular. Ular-ular itu melata diam-diam, mata mereka yang hitam
mengikuti gerakan Mr. Blankenship. "Di sini lebih banyak ular
daripada murid," bisikku pada Benjy suatu hari.
Mr. Blankenship juga tidak bosan-bosannya bicara tentang ular.
Dalam pelajaran ilmu alam kami mempelajari penetasan telur ular.
Dalam pelajaran sejarah kami belajar tentang kepercayaan kuno
terhadap ular raksasa. Dalam pelajaran geometri kami membuat
gambar pola kulit ular. Tapi ada satu kotak kaca yang sangat besar yang masih kosong,
di belakang meja Mr. Blankenship. Kami menduga-duga, ular apa
yang akan dimasukkan Mr. Blankenship di situ. "Piton raksasa," tebak
Benjy. Aku merinding. Aku tidak mau membayangkannya.
Setiap kali salah seekor ular di kotak kaca itu menatapku, aku
ketakutan. Aku tahu ular-ular itu tidak senang dikurung di dalam
kotak. Mata mereka menyiratkan keinginan untuk menyerang manusia
kalau mereka bisa keluar dari situ.
Mudah-mudahan bukan aku yang diserang.
********* Suatu malam aku sedang berbaring di ranjang, berusaha tidur.
Cahaya bulan pucat masuk ke kamarku dari jendela yang terbuka.
Kulihat sebuah bayangan bergerak di dinding.
Sambil mengerang ketakutan kunyalakan lampu kamarku.
Kulihat seekor ular merayap keluar dari ranselku, melata di
lantai. Bagaimana ular itu bisa lepas dari kotaknya dan masuk ke
ranselku" Kupandangi makhluk itu melata di kesetku, menuju ranjangku.
Aku menjerit dan memaksakan diri duduk tegak. Kucoba
bergerak menghindar, tapi sesuatu yang hangat dan kering terasa
merayapi lenganku. "Hi... iii... iii!" Sesuatu yang seperti tali melingkari mata
kakiku. Seekor ular lagi melata di bantalku. Dua lagi di kaki piamaku.
"Tolooong!" Permintaan tolongku hanya keluar dalam bentuk
bisikan. Ular-ular itu mengetatkan belitan mereka di pinggangku,
lenganku, kakiku. Salah seekor merayap di rambutku.
Aku mulai merinding dan gemetar. Aku gemetar keras sekali,
sampai akhirnya aku terbangun.
Aduh, seram sekali mimpiku.
Aku mulai terganggu oleh Mr. Blankenship dan ruang kelas
yang penuh ular itu. Tapi aku bisa apa"
******** Keesokan harinya aku pindah tempat duduk, menjauhi kotakkotak ular. Tapi kotak-kotak itu ada di mana-mana. Tampaknya
semakin hari semakin banyak.
Kucoba untuk tidak memikirkan ular-ular itu. Kucoba
memusatkan pikiran pada pelajaran geografi yang topiknya ular-ular
New Mexico. Tapi ketika Mr. Blankenship sedang menjelaskan tentang panas
padang pasir, terdengar suara gedebuk, lalu Melissa Potter menjerit
nyaring. "Maaf!" serunya. "Aku menyenggol salah satu kotak. Ada tikus
yang kabur." "Di mana" Ke mana?" teriak Mr. Blankenship.
"Itu dia!" seru Benjy sambil menunjuk-nunjuk. Tikus putih itu
lari di lantai. Anak-anak berteriak-teriak dan tertawa.
Tapi Mr. Blankenship tampak marah. "Tangkap dia! Tangkap!
Cepat!" teriaknya. "Itu di sana!" teriak Carl Jansen sambil menunjuk ke jendela di
sudut. Mr. Blankenship selalu membiarkan jendela terbuka, supaya
ular-ular kesayangannya bisa mendapatkan udara segar.
Mr. Blankenship melesat ke seberang ruangan. Tikus itu lari ke
birai jendela. Mr. Blankenship meraih ekornya, tapi luput. Tikus itu
menghilang di luar jendela.
Mr. Blankenship merah padam. Bahkan puncak kepalanya yang
botak juga merah padam. "Lihat akibatnya!" teriaknya pada Melissa.
"Gara-gara kau, tikus itu kabur! Kalian semua mesti diajar agar lebih
hati-hati," katanya marah. "Kuminta kalian membuat karangan tiga
halaman tentang kebiasaan makan ular diamondback. Mesti selesai
besok!" "Kenapa sih dia?" bisikku pada Benjy.
"Becca!" teriak Mr. Blankenship. "Aku mendengar ucapanmu.
Tugasmu kutambah jadi sepuluh halaman."
"Tapi... tapi...," kataku terbata-bata.
"Dan kau mesti membersihkan semua kotak ular selama dua
minggu mendatang," tambah Mr. Blankenship.
Aku menutupi mulutku dengan tangan supaya tidak mendapat
masalah lebih banyak. Tapi aku marah sekali. Mestinya kulepaskan
saja semua tikus itu. Dan mendadak aku punya gagasan cemerlang. "Benjy," bisikku
ketika Mr. Blankenship sudah berpaling. "Datang ke rumahku
sepulang sekolah. Ada tugas penting. Operasi Penyelamatan Tikus."
********* Sepulang sekolah, Benjy dan aku membahas rinciannya.
Operasi Penyelamatan Tikus akan berlangsung hari Kamis malam,
setelah orangtua kami pergi main bridge.
Rencana kami sederhana saja, tapi oke. Kami akan masuk diamdiam ke kelas dan melepaskan semua tikus. Bisa kami bayangkan
ekspresi wajah Mr. Blankenship kalau masuk kelas hari Jumat nanti
dan melihat semua tikusnya tersebar di seisi kelas.
Hari Kamis rasanya berlangsung lama sekali. Aku nyaris tidak
memperhatikan pelajaran Mr. Blankenship. Aku terus melihat jam,
menunggu bel berbunyi.
Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku makan malam bersama keluargaku, tapi yang ada dalam
pikiranku adalah Operasi Penyelamatan Tikus.
Akhirnya orangtuaku pergi main bridge. Tak lama kemudian
Benjy mengontakku. Dengan berdebar-debar kukenakan jeans hitamku dan jaketku
yang berwarna gelap, lalu aku bergegas ke rumah Benjy. Ia sudah
menungguku di pekarangan.
"Kenapa lama sekali?" katanya. "Kau tidak mundur, kan?"
"Tidak!" sahutku, meski mendadak aku merasa ngeri
membayangkan seandainya di perutku ada tikus putih yang bergerakgerak. "Ayo berangkat."
Setengah berlari kami menuju sekolah. Malam itu sejuk.
Pepohonan bergoyang, meluruhkan dedaunan kecokelatan. Bayangbayang hitam meliuk dan merunduk di depan kami saat kami
mengendap-endap mendekati gedung sekolah yang gelap.
"Masuk dari belakang," bisikku.
Gedung sekolah tampak jauh lebih besar dan lebih seram pada
malam hari, karena gelap gulita.
Kami menemukan ruang kelas kami. Benjy menyalakan lampu
senternya. "Jangan. Matikan!" perintahku. "Nanti ada yang melihat."
Benjy mematikan lampu senternya. Kami melihat jendela sudut
yang selalu dibiarkan terbuka oleh Mr. Blankenship.
Tanganku terasa dingin dan basah ketika aku mencengkeram
birai jendela dan menarik diri ke atas. Setelah itu aku membantu
Benjy naik. "Gelap sekali," bisiknya sambil mendekatiku. "Nyalakan saja
lampu senternya ya?"
"Oke," bisikku. "Tapi arahkan sinarnya ke lantai."
Bulatan cahaya kuning menyapu lantai. Perlahan-lahan kami
menuju meja tempat kotak tikus diletakkan. Lantai papan berderit di
bawah sepatu kami. Dengan gugup aku melayangkan pandang. Cahaya-cahaya kecil
berkedip-kedip dalam kegelapan. Lama kemudian baru kusadari
bahwa cahaya itu bukan lampu, melain mata ular yang bercahaya.
"Mereka... mereka semua mengawasi kita," bisikku pada Benjy.
Begitu banyak mata yang bersinar. Begitu banyak ular.
Semuanya mengawasi kami. Perhatianku jadi teralihkan. Akibatnya aku tersandung kursi.
"Ow!" teriakku. Kucoba mengatur keseimbangan, tapi aku
malah menabrak meja. Sebuah kotak kaca terguling ke lantai dengan suara keras. Dua
ekor ular langsung meluncur di lantai, bergerak cepat ke arah kakiku.
"Benjy, tolong!" Aku melambai-lambaikan lengan dan berbalik
untuk lari. Tapi aku malah menjatuhkan kotak lain.
Seekor ular hitam panjang keluar perlahan ke lantai,
menegakkan diri, membuka mulutnya, dan mengarahkan kepalanya
padaku. "Lari!" teriakku. "Benjy... ular-ular ini lepas!".
"Ha" Bagaimana..." Benjy hendak bertanya.
Aku melompat ketika seekor ular melesat di antara kakiku.
Kami hendak lari, tapi terhenti ketika cahaya lampu senter kami
menyoroti kotak kaca paling besar yang mestinya kosong.
Kotak itu tidak lagi kosong.
Seekor kobra raksasa melotot ke arah cahaya lampu senter.
Kobra itu menegakkan kepala, membuka mulutnya, dan mendesis
pada kami dengan mata merah berkilat-kilat.
Kapan ular itu dimasukkan ke situ" pikirku. Sore tadi kotak itu
masih kosong. "L-lari!" kataku tergeragap sambil mencengkeram bahu Benjy.
Tapi kami tak bisa bergerak. Kami hanya berdiri terpaku
sementara kobra raksasa itu mengangkat tubuhnya keluar dari kotak.
Ia berdiri di depan kami. Tingginya sekitar enam kaki. Matanya
berkilat-kilat. Lidahnya yang tebal bergerak-gerak di mulutnya yang
menganga. Dan saat ia mengangkat tubuh, kulitnya bergerak dan melebar,
kepalanya tegak, tubuhnya semakin lebar, lalu tumbuh sepasang
lengan dan kaki. Dan kami pun mengenalinya. Kami tahu siapa dia.
Mr. Blankenship. "Tidaaaak!" Akukah yang berteriak itu" Atau Benjy yang
melolong" Yang jelas, kami berbalik dan lari, melompat dari jendela yang
terbuka, ke dalam malam yang gelap. Kami terus lari, lari sampai
selamat tiba di rumah. Selamat dari ular-ular itu dan dari ular kobra
tadi. Dari Mr. Blankenship.
Tapi berapa lama kami akan aman" Sampai besok pagi, saat
kami mesti berangkat ke sekolah"
Pada hari Jumat, aku dan Benjy gemetar ketakutan di depan
pintu kelas. Apa yang akan dilakukan Mr. Blankenship pada kami
setelah rahasianya terbongkar" Apa yang akan dikatakannya"
Ia tersenyum ketika Benjy dan aku masuk. Ia tidak mengatakan
apa-apa. Hari itu biasa-biasa saja. Mr. Blankenship tidak
menyinggung-nyinggung peristiwa semalam.
Sampai bel terakhir berbunyi. Ia membubarkan kelas, lalu
berkata pada aku dan Benjy, "Kalian berdua jangan pulang dulu." Lalu
ia bergerak cepat memblokir jalan keluar.
Kami hanya bertiga sekarang. Mr. Blankenship menutup pintu
dan menghampiri kami sambil menggosok-gosokkan tangan; matanya
berkilat-kilat. Ternyata Mr. Blankenship baik juga. Ia membuat kesepakatan
dengan kami. Katanya ia tidak akan mengadukan kami yang telah
memasuki gedung sekolah diam-diam, dan ia berjanji tidak akan
mengganggu kami, asalkan kami tidak membocorkan rahasianya.
Benjy dan aku tentu saja setuju.
Tapi ada satu hal yang kubenci dari kesepakatan itu.
Kami mesti membawakan tikus putih untuk Mr. Blankenship
setiap sore. Aku benci merasakan tikus yang meronta-ronta di tanganku saat
kupegang ekornya yang merah muda.
Tapi aku tak punya pilihan.
Kami sudah membuat kesepakatan.
"Ini, Mr. Blankenship. Buka mulut lebar-lebar."
ADIKKU KEHIDUPANKU berubah total sejak Mom membawa pulang
adikku yang baru lahir dari rumah sakit. Adik perempuanku itu bukan
bayi biasa. Sayang sekali. Aku duduk di anak tangga depan bersama Mrs. Morgan,
menunggu Mom dan Dad pulang dengan bayi itu. Mrs. Morgan-lah
yang menemaniku ketika Mom masih di rumah sakit.
Aku membayangkan adik baruku. Hannah. Bayi perempuan.
Uuuh! Aku mendesah dan memukul-mukulkan sepotong kayu di anak
tangga. "Jangan gelisah terus, Nicholas," tegur Mrs. Morgan.
"Bagaimana kalau kau baca komik saja sampai orangtuamu datang?"
Kuambil komik Iron Man-ku dan kuteruskan membaca. Iron
Man berhasil menyudutkan seorang penjahat yang menyamar menjadi
dokter yang baik. "Buka kedokmu," kata Iron Man.
Iron Man menyentakkan kedok si dokter, menampakkan wajah
asli si ilmuwan sinting yang mengerikan. Iron Man terperanjat.
"Tanda Setan!" serunya. "Dr. Destro!"
Iron Man belum pernah bertemu Dr. Destro, tapi ia mengenali
penjahat itu dari tanda lahir di wajahnya"Tanda Setan.
Terdengar deru mobil dan aku mengangkat wajah. Volvo hijau
Dad masuk ke halaman. Mom duduk di samping Dad, melambai
padaku sambil tersenyum cerah.
Mrs. Morgan mendorongku sedikit. "Ayo, sambut adik
barumu," katanya. Uh, pikirku. Tapi aku senang melihat Mom lagi. Kuseret
langkahku ke mobil. Dad membuka pintu mobil dan Mom melangkah ke luar,
menggendong sebuah sosok kecil dalam pelukannya. Ia membungkuk
dan berkata, "Lihat, Nicholas, cantik ya?"
Kupandangi wajah keriput bayi di pelukan ibuku. Rambutnya
tipis dan gelap. Matanya biru kecil dan bibirnya merah. Tidak bergigi.
Bayi itu mengayunkan tinjunya yang keriput, lalu memasukkannya ke
mulut. Menurutku dia tidak cantik. Jelek malah.
Tapi kemudian aku tersentak kaget. Di pipi Hannah ada tanda
lahir kecil berwarna cokelat, berbentuk hati.
Aku menunjuk tanda lahir itu dengan terperangah. "Tanda
Setan! Seperti Dr. Destro!"
"Hentikan, Nicholas!" kata Dad tegas. "Jangan bicara yang
tidak-tidak! Kau terpengaruh komikmu!"
Lalu ia berbalik untuk mengagumi Hannah.
"Dia sempurna," kata Dad sambil meremas bahu Mom.
Kenapa sih Dad begitu bodoh" Kuambil komikku dan
kutunjukkan tanda lahir di wajah Dr. Destro.
"Lihat!" kataku. "Hannah punya tanda lahir seperti Dr. Destro.
Itu tanda setan!" Mom tersenyum tipis padaku. "Jangan konyol," katanya. Lalu ia
membawa bayi itu ke dalam dan kami semua mengikutinya.
Tak lama kemudian Kakek-Nenek datang, juga Paman Hal dan
Bibi Julie. Mereka ber-ooh aah setiap kali Hannah bersendawa,
cegukan, atau bergumam. Menyebalkan sekali.
"Lihat... dia membuat gelembung!"
"Dia jenius!" "Dori, aku ingin menggendongnya sebentar," kata Nenek pada
Mom. Tapi Mom berkata, "Biar Nicholas yang menggendongnya. Dia
kan kakak Hannah." "Tidak," kataku sambil mundur. "Aku tidak mau."
"Oh, ayolah, Nick, kau pasti senang." Mom tersenyum dan
menaruh Hannah dalam pelukanku. Ia menunjukkan cara memegangi
Hannah. Hannah bersendawa. Semua orang tertawa.
Lucu juga dia, pikirku. Mungkin aku terlalu terpengaruh oleh
komik itu. Kan komik tidak selalu benar. Apalagi Hannah hanya
seorang bayi kecil. Tapi, seperti kataku, ia bukan bayi biasa.
Aku yakin ada sesuatu yang berkilat dalam mata birunya.
Tanda lahir di pipinya juga semakin jelas.
Lalu Hannah membuka mulutnya lebar-lebar... dan muntah di
pakaianku. "Uhh!" teriakku. Tubuhku penuh muntahan susu.
Mom cepat-cepat mengambilnya dari gendonganku.
Hannah mulai menangis. "Kasihan Hannah," kata Mom"
Kasihan Hannah" Kan aku yang kena muntahannya.
Dan ia melakukannya dengan sengaja. Aku yakin itu.
********** Malam itu terdengar lolongan.
Aku terbangun karena mendengar suara mengerikan. Ratapan
keras dan nyaring. Aku duduk di ranjangku dengan gemetar. Telingaku serasa
bergetar. Suara apa itu" Aku turun dari ranjang untuk menyelidiki. Mom sedang
menggendong Hannah di lorong untuk menenangkannya. Tapi
Hannah tidak berhenti menjerit. Kedengarannya seperti binatang
sedang kesakitan. "Mom, kenapa dia?" tanyaku.
"Tidak apa-apa," sahut Mom. "Bayi memang biasa begini.
Tidurlah lagi." Tapi aku tidak bisa tidur. Hannah tidak berhenti menangis.
Itu bukan suara bayi biasa, pikirku. Tangisan nyaring seperti itu
tidak normal. Tangisan Hannah terus berlanjut, setiap malam. Semakin lama
semakin parah. Sampai-sampai para tetangga pun mendengar. Begitu
Hannah mulai menangis, anjing-anjing tetangga ikut melolong.
Dan aku yakin tanda lahirnya semakin besar sedikit.
Beberapa bulan kemudian, Hannah sudah bisa merangkak.
Menurut Mom dan Dad, itu menunjukkan bahwa ia pintar. Aku tidak
percaya. Ia punya misi. Ia ingin menjadi anak tunggal.
Ia ingin menyingkirkanku.
Tangisannya tak bisa mengenyahkanku. Muntahannya juga.
Tapi Hannah punya trik lain.
Suatu pagi, sebelum sekolah, kudapati Hannah di kamarku,
sedang mengunyah sesuatu. Di tangannya ada sepotong kertas. Ketika
melihatku datang, ia mencoba memasukkan kertas itu ke mulutnya,
tapi aku berhasil merebutnya.
"Aduh!" teriakku. "PR matematikaku!"
Tinggal sisanya... yang ada tulisan tanggal dan namaku, dan
berlumuran liur. Hannah memakan PR-ku. Ia menelannya, lalu tersenyum jahat.
Ha-ha, kena kau. Begitulah kesannya.
"Mom!" panggilku. "Hannah memakan PR-ku!"
Mom masuk dan menggendong Hannah. "Apa" Dia tidak apaapa?"
"Mom, PR-ku bagaimana?"
Mom mengernyit padaku, seolah baru menyadari ucapanku.
"Nicholas, kau tidak membuat PR-mu kan" Dan sekarang kau
mencoba menyalahkan Hannah."
"Mom, aku tidak bohong! Coba deh Hannah di-X ray. Di
perutnya akan kelihatan ada PR-ku!"
Mom menggeleng. "Nicholas, kau kenapa sih belakangan ini?"
Hari itu, ketika guruku menanyakan PR matematikaku,
kukatakan PR itu sudah dimakan adikku.
Akibatnya aku mesti pulang belakangan.
Itulah ganjarannya berkata jujur.
********* "Nicholas! Kemari! Aku ingin bicara denganmu!" panggil Dad.
Aku sedang main di pekarangan belakang ketika suara Dad
menggemuruh dari lantai atas.
Dad ada di kamar. Tapi kamarnya sudah berubah total.
Biasanya kamar orangtuaku serbaputih. BENAR-BENAR putih,
maksudku. Karpet putih, tembok putih, tirai putih, selimut putih. Aku
tidak boleh bermain, makan, atau melakukan apa pun di situ. Mereka
tidak mau semua yang putih-putih itu jadi kotor.
Tapi sekarang kamar itu tidak lagi putih, melainkan warnawarni. Cat menempel di mana-mana.
"Nicholas," kata Dad, "kau akan dapat masalah besar."
Di lantai bertebaran botol-botol catku. Merah, biru, hijau,
kuning, dan hitam mengotori karpet yang putih, juga tirai-tirai,
selimut, dan tembok. Dan di tengah segala kekacauan itu Hannah
duduk sambil tertawa jahat.
"Kau kuberi waktu satu menit untuk memberi penjelasan atas
semua ini, Nicholas," kata Dad. "Mulai!"
"Bukan aku yang melakukan," kataku. "Itu ulah Hannah."
Dad tertawa sinis. "Hannah" Maksudmu Hannah yang
mengambil kotak catmu, membawanya ke kamar ini, membukanya,
lalu menumpahkan semuanya?"
Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya," sahutku. "Nicholas, masuk ke kamarmu!"
"Tapi, Dad, aku tidak melakukan apa-apa."
"Tidak" Masuk ke kamarmu dan pikirkan, sampai kau mengerti
kesalahanmu." "Dad, Hannah yang melakukan. Dia sengaja. Dia ingin aku
yang dituduh." Dad melotot padaku dan menunjuk ke kamarku.
Aku pergi. Percuma membantah kalau Dad sudah melotot.
Hannah benar-benar jahat, pikirku. Tapi aku tidak akan diam
saja. Aku akan mencari jalan untuk meyakinkan orangtuaku. Aku
tidak mau meninggalkan keluargaku. Dia yang mesti pergi.
Keesokan harinya, sepulang sekolah, aku mendengar teriakan
keras dari dapur. Aku lari masuk. Hannah duduk di kursi tingginya, tertawa
keras. Ibuku berdiri di sampingnya. Mom, Hannah, lantai, dan
tembok... semuanya penuh lendir hijau.
Dari sudut mulut Hannah juga mengalir lendir hijau.
"Dia monster!" teriakku. "Itu buktinya!"
Mom tidak mengacuhkanku. "Hannah, kau nakal sekali,"
katanya. "Menyemburkan kacang polong ke mana-mana!"
Hannah memukul-mukulkan sendoknya di meja kursi tingginya.
Akibatnya lebih banyak lagi lendir hijau melesat ke dinding.
Yah, sebenarnya itu bukan lendir monster, tapi cukup mirip
kan" Kacang polong lembek kan warnanya hijau dan seperti lendir.
Mom berkata, "Nicholas, ambil lap dan bantu aku
membersihkan semua ini."
"Kenapa aku yang mesti membersihkan" Kan dia yang
membuat berantakan?"
"Nicholas, aku sudah capek. Bantu Mom, tolong ya?"
Kupandangi wajah Hannah yang berlumur kacang polong. Ada
sesuatu yang aneh. Matanya... matanya sekarang cokelat.
"Mom!" teriakku. "Mata Hannah berubah warna! Sudah
kubilang kan, dia punya kekuatan jahat!"
Mom cuma tertawa. "Bayi umumnya lahir dengan mata biru,"
Mom menjelaskan. "Setelah beberapa bulan, kadang-kadang warna
mata mereka berubah."
"Mom, itu mustahil! Mata manusia tidak mungkin berubah
warna!" "Bisa saja, Nicholas. Ada bayi yang..."
Kucengkeram lengan ibuku dan kucoba meyakinkannya.
"Mom, hati-hati, Hannah berusaha mengacaukan pikiran Mom. Dia
ingin menyingkirkanku. Kita mesti memulangkannya kembali,
sebelum terlambat!" "Cukup, Nicholas! Kau iri pada Hannah sejak awal. Sudah
saatnya kau bersikap lebih dewasa."
Rasanya aku ingin mencabuti rambutku sendiri. Kenapa
orangtuaku tidak mau percaya" Bagaimana caranya supaya mereka
sadar apa yang dilakukan Hannah"
Mom mulai membersihkan wajah Hannah. Tanda lahir di pipi
Hannah tampak bersinar-sinar.
Bakal ada bencana yang lebih buruk.
******** Aku sedang duduk di ruang bawah tanah, nonton TV, asyik
sendiri. Lalu terdengar suara srek, srek, srek. Suara lutut-lutut kecil
merangkak di permadani. Aduh, ini dia, pikirku. Aku menoleh. Hannah sedang merangkak ke arahku... sambil
membawa gunting di tangannya yang kecil.
Ia merangkak semakin dekat dan semakin dekat, matanya
bersinar-sinar jahat, tanda lahir di pipinya berdenyut-denyut.
Ia mau menikamku! "TIDAK!" teriakku. Ia masih terus merangkak ke arahku.
Ini dia, pikirku. Adik bayiku ingin membunuhku.
"Nicholas!" Ibuku berdiri di ambang pintu, lalu ia lari
menghampiri Hannah dan mengambil gunting itu darinya.
"Terima kasih, Mom. Mom telah menyelamatkanku!" seruku.
"Kau keterlaluan, Nicholas!" kata Mom. "Kenapa kaubiarkan
Hannah membawa benda tajam begitu" Dia bisa terluka berat!"
"Dia terluka" Mom, dia mau membunuhku!"
"Nicholas, jangan konyol!"
"Mom, dia mencoba menyingkirkanku. Dia ingin jadi anak
satu-satunya!" "Kurasa kaulah yang menginginkan itu, Nicholas," kata Mom.
"Kita mesti bicara panjang-lebar."
"Aku tidak mengada-ada, Mom. Kenapa sih Mom tidak
percaya" Biasanya Mom selalu percaya padaku, sebelum... sebelum
ada Hannah." Telepon berdering. Mom menggendong Hannah dan beranjak
ke dapur untuk menjawab telepon.
Tak lama kemudian kudengar Mom berseru, "Oh, tidak! Tidak!
Aku tidak percaya!" Aku cepat-cepat ke dapur untuk mencari tahu, ada apa.
Mom sedang menangis. "Baiklah, Dr. Davis," katanya. "Kami
akan ke sana sore ini."
Lalu Mom menutup telepon dan menangis lagi. Ia bersandar ke
tembok, seperti akan pingsan. Lalu ia berhenti menangis dan
memandangi Hannah dengan tatapan lain. Tatapan terpaku.
Akhirnya, pikirku. Mom percaya juga padaku.
Dokter itu pasti menelepon untuk mengingatkan kami bahwa
Hannah adalah monster. "Tadi itu telepon dari rumah sakit," kata Mom dengan suara
pelan dan serak. "Kata mereka... kata mereka..."
"Hannah adalah monster," aku menyambung.
Mom menoleh cepat padaku. "Nicholas, hentikan!" Ia memeluk
Hannah erat-erat dan menangis lagi.
"Aku tak percaya rasanya," katanya. "Aku sangat
menyayanginya, tapi ternyata dia bukan bayi kita."
"Apa?" Aku takut salah dengar. Kok kebetulan sekali" Apa tadi
Mom bilang bahwa Hannah bukan bayi kami"
"Bayi kita yang sesungguhnya tertukar dengan Hannah," kata
Mom di tengah tangisnya. "Hannah anak orang lain."
Jadi, Hannah bukan adikku" Mungkin orangtuanya yang asli
juga monster. Pantas saja.
"Horeee!" aku bersorak. Aku bebas! Bebas dari Hannah yang
jahat. Sekarang segalanya akan kembali normal. Kami akan
mengambil bayi yang asli. Dia pasti manis dan normal seperti bayibayi lainnya. Dia tidak akan mencoba menyingkirkanku. Dia pasti
bukan monster. Mom menangis lebih keras, lalu membawa Hannah ke kamar
dan mengunci pintu. Aku kasihan juga melihatnya. Mom sedih sekali. Dad pasti
sedih juga. Tapi mereka akan senang setelah mengambil bayi yang asli,
pikirku. Dan aku juga senang.
Dad pulang kerja lebih cepat. Lalu kami membawa Hannah ke
rumah sakit. Seorang perawat memperkenalkan kami pada seorang
wanita yang menggendong bayi sebaya Hannah. Ia ibu kandung
Hannah, dan di pipinya ada tanda lahir seperti Hannah.
Ibu monster, pikirku, meski dari luar wanita itu tidak tampak
seperti monster. Si perawat menyerahkan bayi kami. Mom menamakannya
Grace. Ketika kami tiba di rumah, aku langsung memeriksa apakah
Gracie punya tanda lahir. Ternyata tidak.
Ia bayi yang manis, rambutnya pirang dan matanya biru. Ia
sering tersenyum dan pipinya merah jambu. Ia seperti malaikat. Ia
selalu tersenyum dan mengoceh padaku.
Pada hari pertama, kuawasi Gracie dengan saksama. Untuk
memastikan. Ia tidak menangis histeris, tidak menyemburkan kacang polong
atau mencoba menikamku. Ia cuma berceloteh sendiri.
Menjelang malam, aku sudah yakin bahwa ia bukan monster. Ia
normal. Lucu malah. Segalanya akan baik-baik saja sekarang.
Mom menaruh Gracie di tempat tidur. Aku menyelinap ke
kamarnya untuk bermain sebentar dengannya.
Kugelitik dia. Ia tertawa. Kugelitik lagi dia. Kali ini tawanya
tidak terlalu lebar. Jadi, kugelitik lagi dia.
Ia membuka mulutnya dan berkata, "Kalau kau menggelitikku
lagi, kutarik lenganmu sampai putus!"
Matanya membesar dan ia menggeram.
"Auuuh!" teriakku. "Monster!"
Aku lari keluar sambil menjerit-jerit. Masih sempat kudengar
bayi itu berseru, "Awas, akan kusingkirkan kau! Tunggu saja sampai
aku bisa berjalan!" SIAPA YANG ADA DI HUTAN"
"YAAH, Lucy," kata Jessica ketika aku meneleponnya untuk
memberitakan kabar buruk itu. "Yang benar saja! Masa kau dikirim ke
kota... apa namanya itu?"
"Fairview," kataku sambil mendesah panjang dan sedih.
Kulilitkan kabel telepon di jariku. "Aku pingin nangis rasanya."
Biasanya aku tidak semurung ini. Malah kata Jessica aku
biasanya selalu gembira. Tapi begitu tahu bahwa pada musim panas ini aku akan
menghabiskan enam minggu bersama Bibi Abigail di kota peternakan
yang membosankan, aku langsung sedih. Soalnya di Fairview tidak
ada apa-apa. Cuma ada traktor, sapi, dan ladang jagung.
Aku berharap Fairview sudah lebih menarik sejak kunjungan
terakhirku ke sana dua tahun yang lalu, tapi ketika aku dan orangtuaku
tiba di sana, tempat itu malah tampak lebih membosankan daripada
yang kuingat. Ada satu toko kelontong, toko perkakas, pompa bensin,
dan perpustakaan kecil. Kami berhenti di depan rumah Bibi Abigail yang kecil. Aku
turun dari mobil dan melayangkan pandang. Hutan dan ladang
terbentang sejauh mata memandang.
Bibi Abigail keluar dari rumah, mengenakan pakaian berbungabunga dan sneaker, seperti biasa. Ia tampak agak berbeda dari yang
kuingat. Lebih tua, lebih keriput, dan lebih kurus.
Kami saling menyapa. Lalu Mom dan Dad masuk ke rumah
bersama Bibi Abigail untuk minum teh.
Kulepaskan anjingku Muttster dari mobil, supaya ia bisa
berlari-lari di pekarangan, tapi anjing cokelat besar itu mundur dengan
ekor di antara kaki belakangnya.
"Muttster, kau kenapa?" tanyaku. Ia seperti ketakutan,
meringkuk di kursi belakang.
Ketika akhirnya berhasil kubujuk keluar, Muttster langsung
menggonggong keras-keras dan lari berputar-putar.
Biasanya Muttster tidak pernah menggonggong. Ia anjing yang
sangat manis. Itu sebabnya aku diizinkan membawanya bersamaku ke
Fairview sementara Mom dan Dad akan keliling Asia.
Mestinya aku tahu bahwa kalau Muttster menggongong, pasti
ada yang tidak beres. Tapi aku tidak curiga. Kupikir ia hanya sedang
senang. Ketika Bibi Abigail keluar untuk melihat ada apa ribut-ribut itu,
Muttster semakin kalap. Ia menggeram dan menyalak galak.
"Oh, Lucy," kata Bibi dengan takut, "kenapa anjingmu itu" Apa
tidak sebaiknya diikat di pekarangan saja?"
Aku tidak ingin mengikat Muttster, tapi apa boleh buat. Jadi,
kuikat dia di sebatang pohon ek besar, lalu aku lari kembali ke
beranda untuk mengucapkan selamat tinggal pada orangtuaku.
"Sayang, aku akan rindu padamu," kata Mom. "Kau tidak akan
bisa menelepon kami, sebab kami akan sering berpindah-pindah. Tapi
kami akan menelepon kalau bisa dan mengirim kartupos sebanyak
mungkin." Setelah saling peluk dan cium, orangtuaku berangkat. Aku
melambaikan tangan dengan sedih, sampai mobil mereka menghilang
di jalan berdebu. Musim panas ini akan sangat membosankan, pikirku.
Ternyata aku salah besar.
******** Bibi Abigail berusaha keras membuatku gembira. "Aku punya
kejutan untukmu, Sayang," katanya. "Kue kesukaanmu."
Kue" Aku hampir lupa bahwa Bibi Abigail sangat pandai
membuat kue mentega. Kuambil sepotong kue dari nampan. Masih hangat dan lembut
dari oven. Kumakan dengan bersemangat. Enak sekali... tapi ada yang
lain rasanya. Apa terlalu asin" Atau bahan-bahannya berbeda"
Aneh, pikirku. Biasanya kue buatan Bibi selalu sempurna.
Kulihat Bibi mengawasiku dengan saksama, jadi kuhabiskan
kue itu dan pura-pura menyukainya. Lalu kumasukkan beberapa
potong kue ke sakuku dan kukenakan jaket denimku. "Aku ingin
mengajak Muttster jalan-jalan," kataku. "Supaya dia tenang."
"Senang-senanglah, Sayang," kata Bibi. "Tapi jangan ke hutan
ya?" Aneh, pikirku. Dulu Bibi tak pernah melarangku pergi ke hutan.
Muttster dan aku berjalan-jalan di ladang yang hijau dan landai.
Sesekali Muttster tampak tenang dan riang, seperti biasa, tapi lalu ia
mulai menyalak lagi, tanpa sebab.
Aku tidak bisa tidur malam itu. Mungkin karena Muttster mesti
tidur di luar, sebagai hukuman atas salakannya yang terus-menerus.
Padahal di rumah ia selalu tidur di kaki ranjangku.
Kucoba membaca buku, tapi aku malah semakin tak bisa tidur.
Maka aku memandang ke luar jendela, menghitung bintang.
Dan pada saat itulah aku melihat cahaya menakutkan itu.
Di langit malam yang ungu gelap ada enam cahaya, membentuk
lingkaran. Mulanya kukira mereka adalah bintang-bintang yang sangat
terang, sebab mereka tampak di langit, Tapi ternyata mereka bergerak,
turun perlahan-lahan ke tanah.
Aku ternganga takjub ketika keenam cahaya itu melayang di
atas hutan, di sisi seberang ladang jagung Bibi Abigail. Cahaya itu
menyapu diriku, menerangi seluruh kamarku, terang benderang bagai
siang. Lalu perlahan-lahan lingkaran cahaya itu turun ke hutan.
Kemudian semuanya kembali gelap.
Aku merinding ngeri. Apa yang kulihat itu"
Aku keluar menuju kamar Bibi Abigail dan memanggilmanggilnya pelan di depan pintu. Tapi Bibi tidak terbangun.
Kembali di kamarku, kudengar Muttster menyalak galak di
pekarangan. Kututup jendelaku rapat-rapat. Bagaimana mungkin aku
bisa tidur" ******** "Bi, cahaya apa sih yang menyala di hutan itu?" tanyaku
keesokan paginya, saat sarapan.
Bibi Abigail mengerutkan kening. Rasanya pipinya jadi
bersemu merah. "Cahaya" Cahaya apa, Sayang" Kau mau telur rebus
atau goreng?" "Diorak-arik saja. Ada enam cahaya, membentuk lingkaran.
Aneh sekali." "Tak usah khawatir, Sayang. Aku yakin itu cuma pantulan
sesuatu. Kau sudah memberi makan Muttster?"
Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kenapa Bibi ingin cepat-cepat mengganti topik"
Kenapa ia tampak begitu gugup"
Rasa telur orak-ariknya juga lain. Tidak seenak yang biasa.
Sesudah sarapan, aku memberi makan Muttster, lalu aku duduk
di halaman rumput, berbicara pada anjingku sambil memandangi
hutan, berharap melihat sesuatu, apa saja, yang bisa menjelaskan
keberadaan cahaya semalam.
Aku jadi merasa aneh memikirkan cahaya itu. Rasanya seperti
habis makan lima potong piza sekaligus.
Perutku malah jadi lebih tidak keruan setelah Bibi dan aku pergi
ke toko perkakas, naik mobil. Rasanya seperti naik roller coaster.
Bibiku yang biasanya hati-hati mendadak mengemudi seperti
maniak. Kami hampir menghantam kotak surat saat keluar dari
pekarangan. Lalu Bibi mengemudi meliuk-liuk. Aku berpegangan
erat-erat ke dasbor, terlalu takut untuk menjerit.
Aku baru bisa bersuara lagi setelah mobil berhenti di Main
Street. "Bibi!" seruku tertahan. "Ada apa dengan mobil itu" Kenapa
Bibi mengemudi seperti itu?"
"Seperti apa?" tanya Bibi tak mengerti.
Lebih menakutkan lagi perjalanan pulang ke rumah. Kami
menerobos dua lampu merah, membuat ngeri seorang petani yang
sedang naik traktor, dan hampir menabrak mobil yang sedang parkir.
Tapi tampaknya Bibi Abigail tidak menyadari semua itu.
Masih dengan ngeri aku turun dari mobil dan terhuyung-huyung
menghampiri Muttster. Anjing itu mengibas-ngibaskan ekornya yang
lebat dan menjilati wajahku, seolah-olah sudah sepuluh tahun tidak
bertemu. Tapi ia berhenti menjilati ketika Bibi Abigail turun dari mobil.
"GRRRR!" geramnya galak sambil menarik-narik tali pengikatnya.
Ada apa sih" pikirku.
Kenapa segalanya terasa begitu berbeda dan tidak beres"
********* Malam itu aku kembali melihat cahaya tersebut. Juga malam
berikutnya. Lebih terang dan lebih besar, melayang-layang di atas
hutan. Saat mengamatinya, mendadak sebuah pikiran menakutkan
melintas di kepalaku. Cahaya itu seperti cahaya piring terbang dalam
film kesukaanku Serangan Manusia Kacang Polong.
Kucoba mencari penjelasan lain untuk cahaya itu. Cahaya
lampu jalan" Tak mungkin. Pesawat terbang" Pesawat terbang tidak
bisa melayang-layang begitu. Lagi pula belum pernah kulihat pesawat
terbang dengan cahaya seterang itu.
Aku merinding ketika menyadari bahwa tak ada penjelasan lain.
Ada makhluk angkasa luar mendarat di Fairview, di hutan dekat
rumah bibiku. Sambil memeluk tubuh sendiri, aku berpikir keras tentang
bibiku. Bibiku tampak berbeda sekali.
Apa makhluk angkasa luar itu sudah merasuki pikiran bibiku"
Seperti di film" Kudengar Muttster menyalak di pekarangan. Anjing punya
indera keenam. Mungkin Muttster merasa bahwa Bibi sudah
kerasukan makhluk asing. Itu sebabnya ia menyalak terus pada bibiku.
Aku berpaling dari jendela dengan perasaan takut.
Apakah aku sasaran berikutnya"
Aku mesti keluar dari sini. Mesti lari. Tapi ke mana"
Mom dan Dad jauh sekali dari sini. Haruskah aku menelepon
temanku Jessica" Ia akan menganggapku bercanda. Lagi pula,
bagaimana ia bisa menolong"
Aku perlu seseorang yang lebih dekat di sini. Polisi!
Diam-diam aku turun tangga, menuju pesawat telepon di dapur.
Tapi Bibi Abigail"atau siapa pun dia"sudah lebih dulu berada di
situ. Ia sedang membelakangiku. Aku bisa mendengar suaranya.
"Tak usah cemas, keponakanku tidak tahu. Ya, ya, aku menyuruhnya
jauh-jauh dari hutan. Dia tidak akan tahu apa-apa sampai semuanya
selesai besok malam."
Telapak tanganku mulai berkeringat, seperti biasa kalau aku
sedang gugup. Sampai semuanya selesai" Apa yang selesai" Invasi makhluk
angkasa luar" Sampai aku dan Muttster dibawa ke planet lain dan
ditaruh di kandang" Aku mesti cepat-cepat kembali ke kamarku. Aku berbalik
kembali ke tangga, tapi lantai papan di bawah kakiku berderit nyaring.
Bibi Abigail membalikkan badan dan melihatku.
Aku tercekat, mulutku ternganga ketakutan.
Wajah bibiku bersinar kehijauan.
"Lucy, kau sedang apa di sini?" tanya Bibi. Ia melangkah ke
arahku. Mendadak kusadari bahwa aku sangat takut padanya.
"Eh... mau... kembali ke kamar," kataku sambil mundur.
Aku bergegas naik tangga dengan gemetar. Kututup pintu
kamar rapat-rapat dan menunggu bibiku naik ke kamarnya.
Aku tak mungkin tinggal lebih lama lagi di rumah ini, bersama
makhluk angkasa luar. Dengan panik kukenakan jeans dan sweatshirt-ku. Aku mesti
pergi ke polisi, memberitahukan tentang makhluk-makhluk angkasa
luar itu. Tapi apa mereka mau percaya padaku"
Tentunya mau, kalau aku memastikan dulu. Aku akan pergi ke
hutan untuk melihat makhluk-makhluk itu.
Diam-diam aku turun tangga dan keluar dari pintu belakang.
Mestinya aku membangunkan Muttster dan mengajaknya. Tapi aku
sangat ketakutan, sehingga itu tidak terpikir olehku.
Aku lari melintasi pekarangan belakang, menuju hutan. Di
depanku hanya ada kegelapan. Tidak ada cahaya melayang-layang di
udara. Apa yang menungguku dalam kegelapan itu" Benarkah di sana
ada makhluk angkasa luar" Aku mesti melihat mereka... sedikit saja,
supaya aku bisa memberikan gambaran pada polisi.
Hutan itu gelap dan basah. Rasanya seperti masuk ke rimba
yang lebat. Tidak ada jalan setapak, jadi aku mesti melewati batangbatang kayu yang jatuh dan tanah yang berawa-rawa.
Sementara berjalan aku mendengar suara-suara gemeresak di
kedua sisiku. Apakah aku diikuti" Atau diawasi"
Ketika aku berhenti untuk menarik napas, seberkas cahaya
mncul di depan. Dengan tercekat aku bergerak ke arah tersebut.
Pepohonan mulai menipis, dan kudapati diriku berada di sebuah tanah
lapang luas. Suara-suara apakah itu" Suara manusiakah"
Atau suara makhluk angkasa luar"
Aku tersentak ketika cahaya terang menyoroti diriku. Kilau
putih itu membutakanku, mengurungku dalam titik pusat yang sangat
terang. Kutudungi mataku sementara cahaya itu menyorot di atasku dan
membuatku tak berdaya. "Bawa dia ke sini," terdengar sebuah suara memerintahkan.
Aku merasakan tangan-tangan menarikku.
Kucoba melepaskan diri, tapi penangkapku terlalu kuat.
"Matikan lampunya," sebuah suara lain memerintahkan.
Cahaya-cahaya itu mati. Di sekelilingku tampak cahaya-cahaya
yang lebih kecil. Setelah mataku terbiasa dengan kegelapan, kulihat seorang lakilaki berjalan ke arahku. Ia mengenakan topi bisbol, jeans, dan kemeja
lengan panjang. "Nona, aku tidak tahu kenapa kau menjerit-jerit," katanya, "tapi
kau tidak bisa begitu saja masuk ke tempat syuting. Kau merusak
pengambilan gambar yang persiapannya saja makan waktu tiga jam."
Tempat syuting" Aku hendak menjawab, tapi tak ada suara
yang keluar. "Kami sudah minta penduduk di sini untuk menjauhi hutan,"
kata orang itu dengan tegas. "Besok syuting film kami selesai, dan
kami akan pergi dari sini."
"F-film?" Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan
diri. Mendadak terdengar anjing-anjing menggonggong..
"Anjing-anjing sudah siap." Seorang wanita muda yang
membawa clipboard memberitahukan. Ia meniup sebuah peluit anjing.
Suara peluit itu tidak terdengar oleh manusia, tapi anjing-anjing
serentak menyalak. Rupanya itu sebabnya Muttster sering menyalak, pikirku. Ia
mendengar peluit anjing itu dari hutan.
Sekarang semuanya masuk akal. Alasan Bibi Abigail
melarangku pergi ke hutan, cahaya-cahaya terang itu, ucapan bibiku di
telepon bahwa besok malam semuanya akan berakhir.
"M-maaf," kataku pada laki-laki itu. "Sunguh. Aku menyesal
sekali." Aku merasa sangat bodoh. Aku lari pulang sepanjang jalan. Bibi Abigail sudah
menungguku di pintu belakang, wajahnya cemas. "Lucy, kau ke mana
saja" Aku hampir menelepon polisi."
Aku minta maaf, lalu semua cerita itu keluar begitu saja. "Aku
melihat cahaya itu, lalu Muttster bertingkah aneh. Dan kulit Bibi
tampak kehijauan, dan Bibi mengemudikan mobil gila-gilaan. Juga
kue buatan Bibi rasanya lain, dan... dan..."
Bibi memelukku sampai aku berhenti gemetar.
Ketika akhirnya aku melepaskan diri, ia berdecak-decak.
"Kurasa semua orang bakal takut melihat sinar hijau di wajahku,
akibat salep yang kupakai itu," katanya.
Aku tertawa. "Dan mestinya aku memberitahumu tentang orang-orang film
itu." Bibi menggeleng-gelengkan kepala. "Tapi kurasa besok mereka
sudah pergi." Aku hendak mengatakan sesuatu, tapi Bibi mencegahku.
"Masih ada penjelasan lagi," katanya sambil mengerutkan kening.
"Aku mesti membuat pengakuan, Lucy. Kacamataku hilang sebelum
kau datang, dan aku berusaha sebisanya tanpa kacamata.
"Oh, jadi karena itu Bibi mengemudi gila-gilaan?" tanyaku.
Bibi mengangguk. "Dan itu pula sebabnya kue buatanku agak
berbeda. Susah melihat bahan-bahannya."
Kami berpelukan lagi dan tertawa bersama. "Aduh, masa kau
mengira aku ini makhluk angkasa luar," kata Bibi Abigail. "Kau
terlalu banyak nonton film sih."
Ia benar. Aku merasa bodoh sekali.
Kami minum cokelat panas. Rasanya tidak terlalu enak, tapi aku
tidak mengeluh. Lalu aku naik ke kamarku untuk tidur.
Malam itu sejuk, dan aku senang tidur dengan jendel terbuka,
jadi aku pergi ke lemari seprai untuk mengambil selimut lagi.
Ketika pintu lemari kubuka, kacamata Bibi jatuh keluar.
Nah! pikirku. Berarti Bibi tak perlu beli kacamata baru.
Kuambil kacamata itu dan kubawa ke kamar bibiku. "Biii!"
panggilku. Pintu kamar Bibi terbuka sedikit. Aku mendorongnya dan
masuk ke dalam. Bibi sedang berdiri membelakangiku. "Bi, lihat, aku
menemukan..." Kata-kataku terhenti di tenggorokan begitu bibiku membalikkan
badan. Kulihat empat sulur licin melambai-lambai dari kedua sisi
tubuhnya. Kulitnya bersinar hijau dalam cahaya lampu di atas lemari.
Tiga bibir gemuk hitam menimbulkan bunyi mengisap ketika ia
menjulurkan lidahnya yang biru panjang.
"Kau menemukan kacamataku?" katanya dengan suara serak
sambil menjulurkan keempat sulurnya padaku. "Terima kasih, Lucy."
TEMAN KARIB JORDAN dan teman karibnya, Dylan, melompat turun dari bus
sekolah dan menyusuri Oak Street. "Mau main sepeda?" tanya Jordan.
"Yeah, oke," sahut Dylan. "Tapi aku mesti bikin PR dulu."
Jordan geleng-geleng kepala. Setahunya cuma Dylan anak kelas
enam yang selalu langsung membuat PR begitu tiba di rumah.
Jordan menjatuhkan ranselnya di pekarangan depan dan
menyeberang jalan. "Apa tidak bisa nanti saja bikin PR-nya?"
tanyanya. Dylan menendang sebutir kerikil di trotoar. "Tidak bisa. Ibuku
bisa marah," gerutunya.
Jordan mendesah dan menyibakkan poninya yang menutupi
mata. "Kalau begitu, bilang saja kau sudah bikin PR di sekolah,
Dylan. Ibumu kan masih lama pulangnya. Dia tidak akan tahu kau
sudah bikin PR atau belum."
Dylan menggigit bibir bawahnya. "Gimana ya?" katanya pelan.
"Soalnya ada si itu..." Ia menunjuk ke rumahnya.
"Siapa" Richard?" tanya Jordan sambil menyeringai. "Tidak
usah dipikirkan deh. Kakakmu itu menyebalkan sekali."
Dylan menoleh cemas ke arah rumahnya. "Ssht! Nanti dia
mendengar." Jordan melipat tangan di depan dada. "Memangnya kenapa?"
tanyanya keras. "Semua orang sudah tahu dia menyebalkan."
Dylan tercekat. "Aduh, Jordan," katanya, "pelan-pelan. Bisabisa dia menonjokku."
Jordan menggeleng-geleng lagi. Kenapa sih Dylan takut sekali
pada kakaknya" Richard memang sudah empat belas tahun, besar dan
kuat, tapi lalu kenapa"
"Lupakan saja dia, oke?" kata Jordan. "Ayo, kita main sepeda."
Mereka naik sepeda keliling kompleks, lalu berhenti di rumah
Dylan untuk main basket sebentar. Dylan terus menatap cemas ke
jendela kamar kakaknya di atas.
"Mudah-mudahan hari ini dia tidak mengganggu kita," katanya
pada Jordan. "Sejak Mom menyuruhnya mengawasiku sesudah
sekolah, dia semakin bertingkah. Seolah-olah dia raja di rumah."
"Memang dia raja," ejek Jordan. "Raja tengil."
Dylan tertawa gugup dan menatap lagi ke jendela itu.
"Lupakan saja deh dia!" kata Jordan. "Ayo main. Pamerkan
tembakanmu yang hebat itu!"
Dylan men-dribble bola dan baru hendak melemparkannya ke
keranjang ketika si pengacau muncul dari seberang jalan, sambil main
lompat tali. ebukulawas.blogspot.com
Si pengacau itu adalah Ashley, adik Jordan yang berumur tujuh
tahun. Ashley duduk di trotoar, di depan rumah Dylan, dan mulai
bermain dengan boneka Barbie-nya sambil bicara sendiri.
"Jaclyn, rambutmu panjang dan indah, seperti rambut Barbie,"
kata Ashley. Jordan dan Dylan saling pandang, lalu tertawa. "Adikmu mulai
bicara lagi dengan teman khayalannya," kata Dylan.
"Kau konyol!" seru Jordan pada adiknya. "Benar-benar
konyol!" Ashley melotot marah pada Jordan. "Diam, tolol," jeritnya pada
kakaknya. "Menurut Jaclyn dan aku, kaulah yang konyol."
"Di mana Jaclyn?" tanya Jordan. "Kenapa aku dan Dylan tidak
bisa melihat Jaclyn" Kenapa kau kok kelihatannya bicara sendiri?"
Ashley tidak mengacuhkan kakaknya. "Biar saja, Jaclyn,"
katanya. "Mereka memang menyebalkan."
Dylan menggeleng-geleng. "Ayo, Jordo," katanya pelan. "Kita
main saja." Jordan menyeringai pada adiknya, lalu mengambil bola dan
melompat sambil melempar. Lemparannya meleset.
"Hahaha!" Ashley terbahak-bahak. "Kaulihat itu, Jaclyn?"
Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 1 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serunya. "Lemparan si Jordan meleset, padahal gampang sekali."
"Ashley, pergi sana!" teriak Jordan dengan marah. "Ajak teman
khayalanmu itu pergi juga!"
Ashley menjatuhkan bonekanya dan lari ke arah Jordan. "Sudah
kubilang Jaclyn bukan teman khayalan!" jeritnya. "Dia benar-benar
ada!" "O ya?" bentak Jordan. "Kalau dia nyata, di mana dia berdiri?"
"Di sini," sahut Ashley sambil menunjuk ke sebelah kirinya
Jordan melemparkan bola basketnya dengan keras ke arah
tersebut. "Awas, Jaclyn," teriaknya.
Ashley terperanjat. "Tidak! Jangan! Kau menyakitinya!"
Jordan tertawa dan mendekati adiknya. "Kenapa Jaclyn tidak
menangkap bola itu?" godanya.
"Sebab... sebab... kau terlalu cepat melemparkannya," kata
Ashley tergagap. "Di mana dia sekarang?" tanya Jordan. "Biar kucoba lagi. Kali
ini bola akan kuarahkan ke kepalanya." Lalu ia dan Dylan tertawa.
"Jangan ganggu kami! Nanti kuadukan!" rengek Ashley. "Ayo,
Jaclyn, kita pergi." Ia berbalik hendak pergi.
"Ayo, Jaclyn," Jordan menirukan suara adiknya.
"Diam, Jordan!" bentak Ashley.
"Diam, Jordan!" Jordan menirukan.
"Hentikan!" "Hentikan!" Jordan pura-pura mencengkeram sesuatu. "Hei,
lihat, Ashley, aku berhasil menangkap Jaclyn. Dia tawananku
sekarang." Ashley mengepalkan tinjunya. "Lepaskan dia! Lepaskan!"
"Hei, Dylan, ambilkan tali dari garasi. Kita ikat Jaclyn ke pohon
itu!" seru Jordan sambil nyengir.
Ashley menjerit. "Tidak! Hentikan! Jordan, lepaskan dia!"
Jordan masih terus tertawa. "Tunggu, mungkin Jaclyn mau
membantu kita melatih lemparan. Kita bisa memasang keranjang
basket di kepalanya dan menggunakan wajahnya sebagai papan
pemantul." "Akan kuadukan kalian! Awas!" seru Ashley. Ia mengambil
bonekanya dan lari dengan marah ke seberang jalan.
"Kaulihat seperti apa dia?" kata Jordan sambil geleng-geleng
kepala. Dylan hendak menjawab, tapi mendadak terdengar suara marah
dari jendela di atas mereka. "Hei, anak konyol!"
Jordan dan Dylan menengadah ke jendela di atas.
Kakak Dylan, Richard, muncul dari jendela. "Dylan, kau sudah
bikin PR belum?" serunya. "Sebaiknya kauselesaikan, atau kau
kuadukan pada Mom." Dengan takut Dylan memutar-mutar bola di tangannya. "Cuekin
saja," bisik Jordan.
Dylan mengangkat bolanya dan melemparkannya ke keranjang.
Meleset. Richard tertawa keras. "Kau memang payah, Dylan. Aku bisa
melempar tepat dengan mata ditutup. Siapa yang mengajarimu
melempar" Teman baikmu si Jordan itu ya?"
Wajah Jordan merah padam. Ia hendak balas menjawab, tapi
Dylan memberi isyarat dengan matanya.
"Jangan dijawab, Jordan," bisiknya. "Biarkan saja."
"Apa katamu?" Richard berteriak dari jendela. "Kau bicara
padaku?" Dylan berdeham. "Tidak. Jangan ganggu aku. Aku sudah bikin
PR." Richard menggeleng. "Cobalah melempar dengan dua tangan!"
serunya, lalu ia menutup jendela dengan keras.
Dylan memeluk bola basketnya erat-erat. Wajahnya pucat pasi.
"Dia kira dirinya hebat," gerutunya dengan suara gemetar.
"Menyebalkan!" seru Jordan. "Kenapa kaybiarkan dia berlaku
seenaknya begitu?" Dylan angkat bahu. "Sebab dia bisa memukuliku," akunya.
"Kalau dia kakakku, akan kuikat dia ke ranjangnya di waktu
malam dan kuselotip mulutnya," kata Jordan serius.
Dylan tertawa. "Kau selalu punya gagasan bagus, Jordan."
"Itu kan gunanya teman karib?" balas Jordan.
******** Tak lama kemudian Dylan duduk di depan meja, menekuni
buku matematikanya. "Aku tahu!" kata Jordan mendadak.
"Tahu apa?" tanya Dylan.
"Cara yang pas buat menggoda Ashley," kata Jordan sambil
tersenyum nakal. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Dylan tersenyum dan menaruh pensilnya. "Bagaimana?"
tanyanya bersemangat. "Biasanya gagasanmu selalu oke."
"Trims," sahut Jordan bangga. "Begini... kau tahu kan, Ashley
takut sekali pada Axel dan Foley?"
Dylan mengangguk. "Yeah, aku sendiri tidak suka pada kedua
tarantula peliharaan Richard itu."
"Nah," lanjut Jordan sambil nyengir, "bagaimana kalau
ceritanya Axel dan Foley lepas?"
Dylan terbelalak. "Astaga..."
"Aah, ayolah," desak Jordan. "Ashley pasti ketakutan. Aku akan
lari ke arahnya sambil menjerit-jerit, 'Tarantulanya lepas!
Tarantulanya lepas! Lari, selamatkan dirimu!' Lalu, begitu Ashley lari
sambil menjerit-jerit, akan kukatakan bahwa aku melihat Axel
menelan Jaclyn." "Hmmm..." Dylan ragu-ragu. Ia selalu agak takut dengan
gagasan temannya itu. "Ayolah, Dylan, rencanaku asyik kan?" Jordan menunjuk ke
luar jendela kamar. "Adikku yang konyol itu sedang main petak lari
dengan teman khayalannya di pekarangan depan sana."
Dylan melongok ke luar jendela. "Memang kelihatannya agak
konyol," ia mengakui.
"Oke, kita menyelinap ke kamar Richard dan..."
"Jordan, aku tidak yakin," kata Dylan. "Richard bisa ngamuk
kalau tahu kita mengambil tarantulanya."
"Aduh, tidak usah cemas begitu," sahut Jordan tak sabar. "Dia
tidak bakal tahu. Dia sedang nonton TV di bawah. Kita diam-diam
saja. Tidak bakal ketahuan."
Dylan melongok lagi ke luar jendela dan melihat Ashley masih
bermain dengan teman khayalannya. "Okelah," katanya.
Jordan berjalan lebih dulu ke kamar Richard. Mereka masuk
dan menghampiri kotak tarantula.
"Ayo," desak Jordan. "Ambil mereka. Cepat."
Dylan mengambil kedua tarantula itu. Rasanya hangat dan geli.
Sambil berjingkat-jingkat mereka turun diam-diam, melewati
Richard yang sedang nonton TV. Mereka menuruni undak-undak
depan dan menuju pekarangan.
"Ini bakal asyik," bisik Jordan saat mereka menyelinap ke
belakang Ashley. Dylan memegangi kedua tarantula itu tinggi-tinggi.
Ashley tidak mendengar kedatangan mereka. Ia sedang tertawa
sambil berseru pada teman khayalannya, "Lemparanmu bagus,
Jaclyn!" Jordan dan Dylan mendekat ke belakang Ashley. Selangkah lagi
dan... "DYLAN!" Dari beranda terdengar suara marah.
Jordan dan Dylan berputar kaget.
"Itu Richard!" Dylan tersentak ngeri. Jordan melihat wajah
temannya pucat pasi. Richard menghampiri mereka dengan cepat sambil melotot
marah pada Dylan. "Kau mau apa di sini dengan tarantulaku?" tanyanya.
"Aku... eh..." Dylan terbata-bata.
"Aku tahu kau sedang apa," kata Richard marah. "Kau sedang
main dengan Jordan dan Ashley lagi, kan?"
Dylan mundur ketika Richard maju semakin dekat. "Kau tahu
tidak, kelakuanmu benar-benar memalukan!" seru Richard. "Kau ini
memang aneh! Selalu main sendirian dan bicara sendirian."
"Tapi... tapi..." Dylan tergagap.
Richard mengambil tarantula itu dari tangan Dylan. "Dylan, kau
sudah terlalu tua untuk punya teman khayalan," kata Richard.
"Lupakan Jordan dan Ashley, oke" Mereka tidak ada. Mereka cuma
ada di kepalamu. Teman khayalan cuma cocok buat anak kecil!"
TONGKAT BISBOL ISTIMEWA KURASA kalian sedang mengagumi ayunan pukulanku, benar"
Juga tongkat bisbol di tanganku.
Mungkin kalian bertanya-tanya, dari mana aku memperoleh
tongkat ini. Ada ceritanya. Mau dengar"
Aku adalah pemukul andalan dalam tim sekolahku. Setiap tahun
tim kami selalu maju ke final, dan akulah bintangnya.
Bidadari Dari Thian San 2 Candika Dewi Penyebar Maut V Pendekar Mata Keranjang 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama