Ceritasilat Novel Online

Merah Muda Dan Biru 2

Merah Muda Dan Biru Karya Bois Bagian 2


istrinya yang mengira dirinya melakukan hal yang
sama seperti suami temannya itu.
Setelah berpamitan dengan sebuah ciuman
mesra, akhirnya Bobby berangkat menuju ke rumah
Dewi. Saat itu hari sudah mulai gelap, dan sialnya
kemacetan yang terjadi tidak seperti biasanya.
Maklumlah, karena ada sebuah kecelakaan kereta
api, mau tidak mau kendaraan terpaksa merayap
perlahan. Setelah merayap berjam-jam, akhirnya bis
yang ditumpangi pemuda itu kembali berjalan lancar.
110 Dan setibanya di sebuah persimpangan, Bobby
segera turun dan menunggu angkot yang menuju ke
tujuan berikutnya. Lama dia menunggu, namun angkot
yang ditunggunya itu tak kunjung datang, hingga
akhirnya kerongkongannya pun mulai terasa kering.
"Hufff...! Hausnya. Sebaiknya aku beli minum di
warung itu dulu," kata Bobby seraya melangkah ke
sebuah warung kecil di pinggir jalan.
Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul
sembilan malam. Ketika pemuda itu hendak
mengambil uang di dompetnya, betapa terkejutnya
dia"ternyata dompetnya itu sudah tidak berada di
tempatnya. Lantas dengan segera dia mencari hingga
ke tempat turun tadi. "Aduh, jatuh di mana ya" Apa
mungkin jatuh di bis, atau barangkali aku telah
kecopetan?" Bobby terus bertanya-tanya, hingga
akhirnya pemuda itu mengikhlaskannya karena
menyadari kalau musibah itu adalah ujian untuknya.
Lalu dengan kerongkongan yang masih kehausan,
pemuda itu terpaksa berjalan kaki ke rumah Dewi
yang masih cukup jauh. Setelah berjalan kaki selama
111 setengah jam, akhirnya Bobby tiba juga di rumah istri
pertamanya. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul
10 malam. "Wi, Dewi...!" panggil Bobby berbisik sambil
mengetuk pintu perlahan. Setelah tiga kali melakukan
itu dan tidak juga dibukakan pintu, akhirnya Bobby
memutuskan untuk tidur di luar. Saat itu Bobby
menduga kalau istrinya itu sudah betul-betul terlelap,
dan dia sungguh tidak tega untuk membangunkannya,
apalagi jika putrinya yang juga diduga sedang terlelap
juga ikut-ikutan bangun. Setelah meminum air keran yang ada di muka
rumah, kini pemuda itu tampak merebahkan
diri"terlentang di atas sofa bambu yang keras,
lehernya tampak bertumpu pada lengan sofa yang
juga keras, sedang kedua betisnya tampak
tersanggah di lengan sofa yang satunya. Saat itu,
Bobby merasakan sedikit nyaman. Namun, lama
kelamaan lehernya mulai terasa pegal, apalagi pada
saat itu nyamuk-nyamuk tampak tidak bersahabat.
Karena tak tahan dengan posisi itu, akhirnya Bobby
112 merubah posisi. Kali ini dia mencoba miring ke kiri
dengan kaki meringkuk. Sejenak posisi itu dirasakan
nyaman, namun akhirnya lehernya kembali terasa
pegal. Lama juga Bobby bertukar-tukar posisi hingga
akhirnya dia merasa betul-betul nyaman untuk sebuah
ukuran kenyamanan saat itu. Walaupun posisinya kini
sudah dirasakan nyaman, namun nyamuk-nyamuk
yang menjengkelkan terus saja hinggap dan
menggigitnya berkali-kali, sebagian yang lain tampak
beterbangan di sekitar telinganya. Suaranya yang
menjengkelkan itu sempat membuat Bobby menyerah
dan berniat untuk membangunkan istrinya. Namun
akhirnya Bobby mengurungkan niatnya, dia tidak mau
dikalahkan begitu saja oleh nyamuk-nyamuk betina
yang nakal itu, hingga akhirnya pemuda itu bisa
tertidur juga ketika waktu sudah menunjukkan pukul
tiga pagi. Tiga jam kemudian, Dewi tampak keluar rumah.
Betapa terkejutnya wanita itu ketika mengetahui
suaminya tidur di luar. Lalu dengan serta-merta dia
membangunkannya. "Bang...! Bangun, Bang! Sudah
113 jam enam pagi," seru Dewi seraya menepuk-nepuk
kaki suaminya. Mendengar itu, Bobby pun segera bangun.
Kemudian dengan mata yang masih penuh belek,
pemuda itu memperhatikan sekitarnya. "Huaaahhh...!"
Pemuda itu menguap seraya merenggangkan
persendiannya yang dirasakan kaku.
"Bang, kalau Abang masih mengantuk lebih baik
tidur di dalam saja!"
"Huaaahhh...!" lagi-lagi pemuda itu menguap. "Wi,
tolong buatkan aku kopi!" katanya kemudian.
Mendengar itu, Dewi segera melangkah ke dapur.
Pada saat yang sama Bobby tampak melangkah
untuk mengambil wudhu, setelah itu dia segera
menunaikan sholat Subuh yang terpaksa
ditunaikannya agak siang. Seusai sholat, Bobby
tampak duduk di sofa bambu yang ditidurinya
semalam sambil menikmati kopi buatan istrinya.
Ketika dia menyeruput kopi itu, dia pun langsung
merinding lantaran kopi itu terasa begitu pahit. "Wi! Ke
114 sini sebentar!" Panggil Bobby kepada istrinya yang
saat itu lagi sibuk menyapu.
Mendengar itu, Dewi pun langsung menemui
suaminya. "Iya, Bang. Ada apa?" tanyanya seraya
duduk di sebelah suaminya.
"Sayang... Coba kau cicipi kopi ini!" pinta Bobby
lembut. Dewi tampak menggeleng. "Kenapa?" Tanya Bobby heran, karena baru kali
ini istrinya berani menolak permintaannya.
"Aku tidak suka kopi Pahit, Bang," jawab Dewi.
"Ja-jadi, kau tahu kalau kopi ini pahit?"
Dewi mengangguk. "Hmm... kau kan tahu kalau aku tidak suka kopi
pahit. Tapi, kenapa kau masih juga membuatkanku
kopi pahit?" "Anu, Bang..." "Anu apa?" "Eng... anu... gulanya sudah habis, Bang."
115 "Apa! Masa iya sudah habis" Seharusnya kan
gula itu masih ada, karena tidak mungkin gula lima
kilo habis dalam waktu yang begitu cepat."
"Anu, Bang..." "Anu apa?" "Anu... tetangga kita, Bu Hadi dan Bu Parman
sering meminta gula kita. Katanya mereka tidak tega
membuatkan kopi pahit untuk suaminya yang
memang tidak punya uang untuk membeli gula.
Karenanyalah, aku pun menjadi tidak tega dan
akhirnya memberikan gula itu."
"O, jadi kalau pada suamimu sendiri, kau tega
karena harus meminum kopi pahit, begitu?"
"Tidak, Bang. Bukan begitu... A-aku..." Dewi
menggantung kalimatnya. "Aku apa?" "Aku tidak tahu harus meminta kepada siapa"
Lagi pula, aku malu Bang."
"Wi, sebenarnya bukan itu jawaban yang kumau.
Terus terang, biarpun aku orang susah aku tidak mau
meminta-minta. Jawaban yang kumau adalah kau
116 bisa lebih bijaksana dalam mengatur kebutuhan
rumah tangga. Dengar ya! Kita ini juga orang susah.
Terus terang, aku keberatan jika harus menanggung
kebutuhan rumah tangga orang lain. Kalau sekalisekali
sih tidak mengapa, tapi kalau sudah keseringan
rasanya sudah tidak layak lagi. Bilang pada mereka,
kalau memang tidak punya gula untuk kopi, ya tidak
usah ngopi." "Baik, Bang. Lain kali kalau mereka meminta
terlalu sering akan kubilang begitu," kata Dewi
sungguh-sungguh. Dalam hati wanita itu merasa
suaminya itu merupakan orang yang pelit dan sangat
perhitungan. Masa cuma gara-gara dimintai gula
sampai marah seperti itu, bagaimana jika tetangganya
meminta beras. Bisa-bisa suaminya itu akan marah
besar dan akan memakinya habis-habisan. Begitulah
Dewi berprasangka buruk kepada suaminya. Padahal,
dia tidak tahu betapa suaminya selama ini begitu matimatian
mencari uang untuk keperluan rumah
tangganya. Sebenarnya Bobby bukannya pelit, tetapi
dia memang harus pandai-pandai dalam
117 membelanjakan uang yang didapatnya agar
kebutuhan rumah tangganya bisa terus terkecukupi.
Karena jika tidak, dikhawatirkan keluarganya akan
menjadi beban orang lain. Seperti kedua tetangganya
itu, yang menurut Bobby sudah membebani
keluarganya. "Wi," ucap Bobby membuyarkan pikiran Dewi.
"Iya, Bang." "Sekarang sebaiknya kau hutang gula dulu di
warung Pok Minah." "Bang, hutang kita yang lalu saja belum dibayar,
masa aku disuruh menghutang lagi. Terus terang, aku
malu, Bang. O ya, Abang kan baru pulang usaha,
pasti bawa uang banyak kan. Kalau begitu, berikanlah
uang itu, Bang!" "Huaaaahhh..." Bobby menguap. "Sudahlah, Wi.
Kalau begitu sebaiknya aku tidak usah mengopi saja.
Lebih baik, sekarang kau pijat aku. Terus terang, ototototku
pada sakit lantaran tidur di sini. Setelah itu aku
mau tidur lagi karena aku sudah tidak kuat menahan
kantuk ini," pintanya kemudian"mengalihkan
118 permintaan Dewi atas peristiwa yang sebenarnya
enggan dia ceritakan. Lantas kedua suami istri itu
bersama-sama pergi ke kamar, sementara itu Intan
yang baru saja bangun terlihat senang karena
kehadiran ayahnya. Kini anak itu tampak ikut-ikutan
ibunya yang kini sedang memijat ayahnya, jarinya
yang mungil tampak menekan-nekan betis ayahnya,
yang saat itu dirasakan bukannya memijat tapi malah
menggelitikinya. Walau dibuat geli, Bobby tidak
melarangnya. Dia menghargai maksud baik putrinya
yang memang mau memijatnya.
Malam harinya, Bobby tampak berbincangbincang
mengenai dompetnya yang hilang.
Karenanyalah, dia meminta kepada wanita itu untuk
bisa menerimanya dengan ikhlas. Namun sebagai
wanita yang lagi kesulitan uang, dia pun merasa sulit
untuk menerima kenyataan itu. "Bang... Kapan kita
bisa melunasi hutang-hutang kita. Terus terang, aku
119 tidak mungkin berani menghutang jika semua hutang
itu belum dilunasi."
"Baiklah, kalau begitu aku akan meminjam uang
pada temanku. Semoga dia punya uang untuk
melunasi hutang-hutang kita, dengan begitu kau bisa
menghutang lagi." "Bang, apakah kita akan selamanya hidup dengan
cara seperti ini?" "Tentu saja tidak, Wi. Jika ada rezeki lebih, tentu
aku tidak akan seperti ini. Terus terang, selama ini
sebetulnya aku merasa tidak tenang jika belum
melunasi hutang-hutang itu. Aku takut, Wi. Aku takut
akan di panggil Tuhan sebelum bisa melunasi hutanghutang
itu. Beruntung jika kau mau membayarkannya.
Kalau tidak, apa aku bisa mempertanggungjawabkan
semua itu." Mendengar jawaban suaminya, akhirnya Dewi
mau memahami dan tidak mempermasalahkannya
lagi"dia tahu suaminya melakukan itu karena
terpaksa. Kedua suami-istri itu terus berbincangbincang
hingga akhirnya Bobby berniat menengok
120 bayinya yang masih dalam kandungan. Sementara itu
di tempat lain, istri Bobby yang bernama Nina tampak
sedang memperhatikan sebuah benda yang baginya
cukup unik, yaitu sebuah simbol kelamin yang saling
terkait"kepunyaan Bobby yang tanpa sengaja
tertinggal di rumah itu. "Hmm... merah muda dan biru. Aneh... apa
maksudnya" Hmm... Apa mungkin ini sebuah jimat
yang mempunyai kekuatan magis. Jika benar begitu,
untuk apa Bang Bobby menyimpan benda seperti ini"
Bukankah dia pernah bilang kalau jimat itu bisa
membuat penggunanya menjadi syirik. Hmm... Kalau
begitu, jika Bang Bobby kembali nanti aku harus
menanyakan perihal benda ini."
Kini wanita itu segera menyimpan benda itu di
dalam laci, dan tak lama kemudian dia sudah
berbaring di tempat tidurnya. Namun pikiran mengenai
benda aneh masih saja terlintas dan membuatnya
sedikit sulit untuk tidur.
121 Enam eminggu kemudian, dihari minggu yang
cerah. Bobby, Nina, dan anak mereka Laras
tampak berwisata ke Ancol. Keluarga kecil itu tampak


Merah Muda Dan Biru Karya Bois di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu bahagia, bercanda dan bersantai di tepian
pantai. Saking gembiranya, mereka tidak menyadari
kalau ada sepasang mata yang tengah mengawasi.
"Hmm" rupanya Bobby punya istri simpanan. Pantas
selama ini dia jarang pulang. Kasihan sekali Reni, dia
telah diduakan," gumam wanita itu sambil terus
mengawasi Bobby. "Ros! Kau sedang memperhatikan apa?" tanya
seorang pemuda tiba-tiba.
Wanita yang bernama Rosa itu langsung menoleh,
"O" kau, Ted. Mengagetkanku saja. O ya, sudah
dapat tissue-nya?" "Ini," jawab pemuda yang ternyata kekasihnya.
S 122 "Terima kasih, Ted. Kalau begitu ayo kita pergi!"
ajak Rosa seraya melingkarkan tangannya di lengan
Teddy, kemudian keduanya terlihat melangkah
menuju tempat yang agak sepi. Sementara itu, Bobby
masih berada di pantai dengan keluarganya.
"Nin, kita makan dulu yuk!" ajak Bobby kepada
istrinya. "Ayo, Bang. Aku juga sudah lapar," kata Nina
setuju. "Laras!" teriaknya memanggil Sang Putri.
Laras yang saat itu tengah memperhatikan seekor
ikan aneh yang baru saja di dapat oleh seorang
pemancing serta-merta menoleh karena mendengar
namanya dipanggil, kemudian dengan segera dia
berlari menghampiri ibunya. "Iya, Bu. Ada apa?"
"Kita makan dulu, yuk! Setelah itu kau boleh main
lagi." Tak lama kemudian, keluarga kecil itu sudah
bergerak menuju ke sebuah restoran cepat saji. Di
tempat itulah mereka santap siang, mengisi perut
yang sudah keroncongan karena beraktivitas di
123 pantai. Sementara itu di tempat lain, istri Bobby yang
bernama Reni tampak sedang menyuapi anaknya.
"Ayo dong, Sayang" dimakan sayurannya!"
"Tidak mau, Bu. Lia tidak suka, sayurannya tidak
enak. Tidak seperti ketika aku makan di rumahnya
Shifa, sayurannya enak deh, Bu."
"Iya, nanti ibu akan buatkan sayuran yang seperti
itu ya. Tapi, sekarang kau makan dulu sayuran yang
ada ini." "Benar ya, Bu. Ibu akan membuatkan sayuran
yang seperti itu." "Iya, ibu janji. Nah, sekarang ayo dimakan!"
Akhirnya Lia pun mau menurut pada ibunya, dia
memakan juga sayuran yang hanya di olah dengan
cara biasa itu. Maklumlah, Reni itu memang tidak
pandai mengolah makanan, sehingga ia tidak bisa
mengolah sayuran agar disukai anak-anak. Dalam
hati, ibu muda itu berkeinginan juga untuk belajar
mengolah makanan pada ibunya Shifa yang terkenal
pandai memasak. "Sudah habis, Bu. Sekarang Lia boleh main kan?"
124 "Iya Sayang" Tapi jangan nakal ya!"
Lia mengangguk, kemudian anak itu pergi
menemui Shifa yang tinggal di sebelah rumahnya. Tak
lama kemudian anak itu sudah kembali bersama
temannya dan mengajaknya main di teras"main
masak-masakan. Pada saat yang sama, Reni tampak
sibuk berbenah, dalam benaknya wanita itu terus
memikirkan suaminya. "Bang" Aku rindu padamu.
Besok kalau kau pulang, aku akan memasak
makanan yang enak buatmu."
"Bu, Ibu!" teriak Lia tiba-tiba membuyarkan
lamunan Reni. "Iya, ada apa, Sayang?" tanya Reni seraya
memperhatikan anaknya yang berlari
menghampirinya. "Lia minta teko mainan ini diisi teh manis, Bu!"
"Eng" Sebentar ya!" kata Reni seraya
membuatkan teh untuk anaknya. Tak lama kemudian
wanita itu tampak mengambil teko mainan milik
anaknya dan langsung mengisinya dengan teh manis
yang dibuatnya. "Nah, Ini tekonya. Sana main lagi!"
125 ucap Reni seraya memberikan teko itu, kemudian dia
kembali melanjutkan pekerjaannya.
Sementara itu, Lia yang tampak gembira segera
berlari hendak menemui temannya. Saking
gembiranya, anak itu tanpa sengaja menyenggol
sebuah gelas yang ada di pinggir meja. Tak ayal,
gelas itu pun langsung pecah berkeping-keping.
"Lia, apa itu?"?" teriak Reni terkejut seraya
bergegas ke asal suara. Saat itu, dia melihat Lia tengah berdiri ketakutan
sambil melihat ke pecahan gelas yang berserakan.
"Ma-maaf, Bu! Li-Lia ti-tidak sengaja," ucap anak itu
menyesal. "Ya, sudah. Tidak apa-apa, tapi lain kali hati-hati
ya. Nah, anak baik, sekarang kamu main saja sana!
Biar ibu yang membersihkan pecahan ini."
"Iya, Bu," ucap anak itu seraya melangkah ke
teras menemui Shifa. Pada saat yang sama, Reni langsung
membersihkan pecahan gelas yang membahayakan
itu. Di tempat berbeda, istri Bobby yang bernama Dewi
126 tampak sedang memarahi anaknya. "Dasar! Kamu
anak nakal, dibilang jangan main ke rental, eh masih
juga main," kata Dewi seraya mencubit kaki anaknya.
"Udah, Bu. Sakit. Huhuhu"! Huhuhu"!" Intan
menangis tersedu-sedu. "Awas! Kalau Ibu tahu kamu masih main di tempat
itu, Ibu akan mencubitmu lebih keras lagi."
"Huhuhu"! Tidak, Bu. Intan tidak main di tempat
itu lagi, huhuhu" huhuhu"!"
"Ya sudah"! Sekarang Intan diam ya", jangan
menangis lagi"! Cup.. cup" cup" diam Sayang?"
ucap Dewi sambil mengusap-usap kaki Intan yang
dicubitnya tadi. Akhirnya Intan berhenti menangis, dan tampaknya
dia sudah melupakan kejadian barusan. Kini Anak itu
sudah kembali bermain, namun tiba-tiba" DUG!
PRAAANG!!! "Intan! Apa yang baru kamu pecahkan, hah?"
Betapa terkejutnya Dewi ketika melihat vas bunga
yang baru dibelinya pecah berserakan, kemudian
127 pandangannya segera beralih kepada Intan yang
dilihatnya tengah berdiri dengan raut wajah ketakutan.
"Kamu ini, dibilang jangan nakal, eh masih juga
nakal! Dasar anak nakal," ucap Dewi seraya mencubit
kaki anaknya lagi. Tak ayal, karena cubitannya lebih keras dari yang
tadi, Intan pun menangis sekerasnya. "Huhuhu"
Ampun, Bu! Ampun"! Intan tidak sengaja, Bu"
Huhuhu"!" Intan terus menangis sambil mengusap
kakinya yang agak kebiruan.
"Sudah, diam! Sekarang sana masuk kamar dan
jangan coba-coba berani keluar!"
Akhirnya dengan penuh ketakutan, Intan pun
bergegas ke kamar. Sambil terus terisak, anak itu
tampak merebahkan diri di tempat tidurnya dan
meratap sedih. "Ayah" Kapan ayah pulang" Ibu
jahat, Ayah. Intan mau bertemu ayah, intan mau ikut
ayah, soalnya di sini Intan sering dicubitin sama ibu,"
ratap anak itu. Reni yang mendengar ratapan anaknya merasa
menyesal juga, namun karena dia masih belum
128 mampu menahan emosi akhirnya perbuatan itu pun
dilakukannya lagi dan lagi. Begitulah setan
mengendalikan manusia dengan kemarahannya,
sehingga dia khilaf menyakiti anaknya sendiri.
Esok harinya, ketika Bobby hendak menggilir istri
ketiganya. Pemuda muda itu tampak terkejut lantaran
kedatangannya disambut dengan tangisan Reni yang
begitu tersedu-sedu. "Ada apa, Sayang?" tanya
pemuda itu kepada istrinya.
"Kau tega, Bang. Rupanya selama ini kau telah
membohongiku. Pokoknya, sekarang juga aku minta
cerai!" "Sayang... Kau bicara apa" Kenapa malah minta
cerai?" "Bang... Ternyata kau juga menikahi mereka
kan?" "Sayang... Kau bicara apa" Aku sama sekali tidak
mengerti." 129 "Sudahlah...! Kau tidak perlu mungkir! Kemarin
Rosa melihatmu bersama wanita lain, kalian berdua
bermain di pantai bersama seorang anak kecil, dan
kalian tampak begitu akrab layaknya sebuah
keluarga." "Hmm... Mungkin Rosa salah lihat, Ren."
"Cukup, Bang. Kau jangan berkelit lagi! Oh Bang...
Kenapa kau tega membohongiku, kenapa kau
memaduku?" "Ren, dengarlah! Sungguh aku tidak
membohongimu, dan aku sama sekali tidak
memadumu." "Lalu wanita itu?"
"Baiklah... Aku akan katakan yang sebenarnya."
"Kalau begitu, cepatlah katakan!"
"Begini, Ren..." Bobby pun menceritakan hal yang
sesungguhnya. Dan setelah mendengarnya Reni pun
semakin tersedu-sedu. "Itu sama saja, Bang. Apa
bedanya madu dan yang dimadu" Kau memang
egois, kau tidak mau mengerti perasaanku."
130 "Ren... Selama ini kan kita hidup bahagia. Cobalah
untuk melupakan kalau aku memang mempunyai istri
lain, anggaplah aku milikmu sendiri."
"Tidak bisa, Bang. Itu sama sekali tidak mungkin.
Kau memang keterlaluan, hal yang sudah kuketahui
tidak mungkin bisa kulupakan begitu saja."
"Ya, ini semua gara-gara Rosa... dialah penyebab
semua ini, kalau saja dia tidak mengatakan hal ini
tentu kita akan terus berbahagia."
"Sudahlah, Bang! Kau tidak perlu menyalahkan
dia. Pokoknya, sekarang juga aku minta cerai!"
"Tidak, Ren. Aku tidak akan menceraikanmu.
Terus terang, aku sayang padamu, dan aku begitu
mencintaimu. Lagi pula apa kau tidak kasihan dengan
putri kita, dia membutuhkan kasih sayang kita berdua,
Ren." "Biar anak kita itu aku yang urus, kau urus saja
kedua istrimu itu. Pokoknya secepatnya aku minta
cerai" "Baik... baik... kalau itu memang permintaanmu,
sekarang juga aku menceraikanmu."
131 Begitu Bobby berkata seperti itu, jatuhlah sudah
talak perceraian. Dan mereka pun telah resmi
bercerai. "Bang, sekarang aku akan pergi ke rumah orang
tuaku di kampung," kata Reni seraya bergegas
mengemas barang-barangnya.
Saat itu Bobby tidak berkata apa-apa, dia tampak
diam memperhatikan mantan istrinya itu berkemas.
Tak lama kemudian, dia melihat Reni sudah siap pergi
bersama anaknya Lia. "Ren, bagaimana dengan sekolah Lia?" tanya
Bobby tiba-tiba. Reni terdiam, sepertinya dia begitu bingung
menjawab pertanyaan itu. "Baiklah, Ren. Untuk sementara biar dia ikut
denganmu. Terus terang, saat ini aku belum bisa
memikirkannya. O ya, ini ada sedikit uang untuk
keperluan Lia, dan tolong jaga anakku baik-baik. Jika
nanti ada rezeki, aku akan selalu mengirimkan uang
untuknya." 132 Setelah menerima uang itu, Reni segera
melangkah pergi. Saat itu Bobby hanya
memperhatikan kepergian mereka dengan kesedihan
di hatinya. Sebagai seorang ayah, dia merasa berdosa
karena putrinya terpaksa ikut menanggung akibat
perceraian itu, kini anak itu tidak bisa pergi ke sekolah
lagi lantaran harus mengikuti ibunya pulang kampung.
Sementara itu di tempat lain, istri pertama Bobby yang
bernama Dewi tampak sedang berbicara dengan
temannya yang sengaja datang jauh-jauh untuk
menyampaikan sebuah berita penting.
"Kau jangan bohong, Ver!"
"Benar kok, Wi. Aku tidak bohong, waktu itu aku
memang melihat suamimu datang ke dokter bersama
seorang wanita. Dan entah kenapa tiba-tiba dia pergi
begitu saja dari ruang tunggu, sepertinya saat itu
suamimu itu begitu ketakutan. Hal itulah yang
membuatku curiga, jangan-jangan wanita itu istri
simpanannya." 133 "Jika yang kau katakan itu benar, berarti suamiku
itu telah mengkhianatiku. Jika bertemu nanti, aku akan


Merah Muda Dan Biru Karya Bois di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minta cerai." "Sabarlah, Wi. Kau jangan gegabah begitu, pikir
dulu masak-masak sebelum mengambil keputusan.
Mungkin juga yang kulihat itu tidak seperti
kelihatannya, mungkin wanita itu temannya, atau
saudaranya. Atau mungkin juga saat itu dia ketakutan
karena takut hutangnya aku tagih. Sebaiknya kau
bicarakan baik-baik dengan suamimu. Lagi pula, jika
suamimu itu berkhianat apa dengan bercerai bisa
menyelesaikan persoalan."
Kedua wanita itu terus berbincang-bincang. Vera
yang kini menjanda mencoba berbagi pengalaman
kepada Dewi kenapa dulu dia bercerai dengan
suaminya. Katanya, setelah perceraian itu, Vera betulbetul
menyesal karena telah mengambil keputusan
yang salah. Karena itulah, sebagai seorang sahabat
dia mencoba memberikan masukan untuk Dewi agar
jangan bertindak gegabah. Begitulah Vera sebagai
sahabat yang baik, walaupun selama ini sikapnya
134 sering membuat Bobby kesal tapi ternyata dia bisa
juga bersikap baik padanya, yaitu dengan tidak
mengompori istrinya itu agar minta cerai. Sebenarnya
dia memberitahukan mengenai apa yang dilihatnya itu
semata-mata karena ingin kejelasan saja, apa benar
wanita yang bersama Bobby waktu itu istri
simpanannya atau bukan. Karena dia merasa
kebenaran itu harus diungkap walaupun pahit. Dan
bagaimana pun pahitnya kebenaran itu, namun jika
disikapi dengan benar tentu akan membawa kepada
kebaikan. Esok harinya, Bobby terlihat datang menemui istri
pertamanya. Kali ini dia datang dua hari lebih cepat
jadi jadwal yang dibuatnya. Maklumlah, setelah
menceraikan Reni dia tidak mau tinggal di rumah
kontrakannya seorang diri. Karenanyalah dia segera
datang menemui Dewi dengan maksud memberikan
waktu lebih kepadanya, dan sekaligus mau
135 melupakan kesedihan hatinya karena ditinggal Reni
dan putrinya. Namun sungguh diluar dugaan, ketika
dia berjumpa Dewi dia langsung diinterogasi soal
kejadian yang dilihat oleh Vera. Karena tidak ada
pilihan lain yang terbaik, akhirnya Bobby mau
mengakuinya. "Ja-Jadi benar, kalau selama ini kau punya istri
lain?" tanya Dewi seraya menitikkan air matanya.
"Benar, Wi. Dan itu karena kasus serupa," jawab
Bobby pasrah. "Bang... Sebenarnya aku merasa berat jika harus
berbagi dengan yang lain. Tapi... karena sudah
kepalang basah, mau tidak mau aku harus
menerimanya." "Sungguh, Wi" Ja-Jadi... Kau setuju?" tanya
Bobby seakan tidak percaya dengan pernyataan Dewi.
"Kamu jangan salah sangka, Bang. Aku bukannya
setuju, tapi aku terpaksa."
"Iya, Wi. Aku mengerti, yang penting kamu tidak
minta cerai kan?" 136 "Tidak, Bang. Lagi pula, apa gunanya bercerai.
Apakah dengan bercerai lantas aku akan bahagia, kan
belum tentu, Bang. Lebih baik aku terima saja semua
ini, dan semoga semuanya akan menjadi lebih baik,"
jelas Dewi sambil terus terisak.
"Wi, aku sangat bangga padamu. Ternyata kau
seorang wanita yang cukup bijaksana, dan aku
semakin sayang padamu. Wi... Aku mohon
berhentilah menangis! Kalau kau mau tahu, kemarin
aku telah menceraikan madumu itu," jelas Bobby yang
saat itu terpaksa memanfaatkan Reni demi untuk
merahasiakan keberadaan Nina.
"Apa! Benarkah yang kau katakan itu, Bang?"
tanya Dewi seakan tidak percaya, kemudian wanita itu
mencoba menghapus air matanya.
"Benar, Sayang... Kini madumu itu sudah pulang
ke rumah orang tuanya di kampung. Dan itu semua
karena pilihannya sendiri yang tidak mau bijaksana
menentukan sikap." Betapa bahagianya Dewi saat itu, namun begitu
wanita itu masih belum sepenuhnya percaya. "Bang...
137 Kau tidak bohong kan. Kau tidak cuma sekedar ingin
menghiburku kan?" "Sungguh, Sayang... Aku tidak bohong. O ya, agar
kau lebih percaya bagaimana jika anakku Lia tinggal
di sini. Terus terang, aku tidak mau anak itu berhenti
dari sekolahnya di kota ini."
"Tapi, Bang... Dengan adanya anak itu di sini apa
tidak membuat kebutuhan kita akan semakin
meningkat. Apalagi jika anak kita ini sudah lahir nanti,"
kata Dewi seraya mengusap-usap kandungannya
yang kini sudah semakin membesar.
"Kau jangan khawatir, Wi. Tuhan pasti sudah
memberikan rezeki untuk mereka, yang terpenting kita
mau terus berusaha untuk tidak menyia-nyiakan
titipan-Nya itu." Ketika Bobby hendak berbicara lebih lanjut, tibatiba
"Ayah...!" seru Intan seraya berlari menghampiri
ayahnya dan memeluknya erat. "Ayah... Ayah jangan
pergi lagi ya!" pinta anak itu manja.
Saat itu Bobby langsung memangku anak itu dan
menciuminya berkali-kali. "Sayang... Baru bangun
138 tidur kok tidak cuci muka dulu," kata Bobby seraya
membersihkan belek di mata putrinya.
Intan terlihat cengar-cengir, lalu dengan malumalu
anak itu terlihat manja bersandar di dada
ayahnya. Saat itulah Bobby sempat melihat bekas biru
di kaki putrinya. Kakimu kenapa, Sayang...?" tanya
Bobby. "Di cubit Ibu, Yah."
"Hmm... Jadi, selama ayah pergi kamu berbuat
nakal ya?" "Tapi, Ayah... Intan kan tidak sengaja
memecahkan vas bunga kesayangan ibu itu."
"Ya, sudah... Lain kali kamu harus hati-hati ya.
Nanti ayah akan membelikan vas baru untuk ibu. Nah,
sekarang kamu cuci muka dulu sana!"
Intan segera menurut, dia terlihat bersemangat
menuruti permintaan ayahnya. Sepeninggal Intan,
Bobby tampak menatap istrinya dengan raut wajah
kecewa. Melihat suaminya menatap seperti itu, Dewi
pun langsung minta maaf. "Maaf, Bang! Aku khilaf,"
ucapnya menyesal. 139 "Ya sudah, lain kali kau jangan seperti itu. Kau
harus lebih bijaksana memberi hukuman padanya."
"Iya, Bang. Aku akan berusaha."
Pada saat itu Intan sudah selesai mencuci muka,
kemudian dia kembali ke pangkuan ayahnya.
"O, ya. Bang. Apa Abang sudah lapar?" tanya
Dewi. Bobby mengangguk. "Kalau begitu, sekarang aku akan menyiapkannya
untukmu, Bang," kata Dewi seraya melangkah ke
dapur. Pada saat yang sama, Bobby tampak masih
memanjakan putrinya. Dengan segenap perasaan
sayang, pemuda itu memberikan nasihat di sela-sela
perbincangannya dengan Intan. Entah kenapa Intan
tampak lebih akrab dengan ayahnya ketimbang
dengan ibunya, sehingga tanpa sungkan-sungkan
anak itu terus berbicara dengan ayahnya. Bahkan
untuk ayahnya, dia mau mempersembahkan sebuah
lagu sebagai ungkapan atas kebahagiaannya.
140 "Balonku ada lima... rupa-rupa warnanya... hijau
kuning kelabu... merah muda dan biru..."
Ketika mendengar lirik lagu itu, Bobby kembali
teringat dengan kedua simbol kelamin yang saling
terkait itu. Sejenak Bobby memikirkan benda itu,
benda yang waktu itu ditanyakan Nina karena dikira
sebuah jimat, dan karena benda itu pula sempat
membuat istrinya jadi berprasangka buruk padanya.
Namun setelah Bobby menjelaskan kalau dirinya juga
tidak tahu-menahu soal benda itu, akhirnya wanita itu
bisa mengerti juga. Justru pada saat itu Nina sempat
memberikan masukan padanya, kalau benda itu
mungkin saja dua buah anak kunci. Tapi masukan
yang didapat dari istrinya itu tetap saja masih
membuatnya bingung. Maklumlah, saat itu dia benarbenar
heran kenapa ada orang yang membuat anak
kunci seperti itu, dan kenapa pula harus membuatnya
dua buah dan bertuliskan merah muda dan biru.
Bobby terus memikirkan masalah itu hingga
akhirnya dia mendengar panggilan Dewi yang sudah
selesai mempersiapkan makan siang. Kini keluarga
141 kecil itu tampak makan bersama menikmati hidangan
yang terbilang sederhana, sepiring nasi yang diberi
sayur asam dengan lauk tahu dan tempe. Karena
lapar dan kehangatan bersama keluarga, membuat
waktu makan itu menjadi sangat spesial dan benarbenar
terasa nikmat. Esok malamnya, ketika Bobby hendak menggauli
Dewi. Tiba-tiba "KEBAKARAN!!! KEBAKARAN!!!"
terdengar orang-orang berteriak histeris di luar rumah.
Mendengar itu, Bobby dan istrinya lekas-lekas
berpakaian. Setelah itu Bobby langsung keluar dan
melihat apa yang terjadi. Sungguh saat itu dia begitu
terkejut lantaran melihat kobaran api tampak
membumbung tinggi"melalap rumah-rumah yang
saling berdempetan dengan begitu cepat. Mengetahui
itu, Bobby pun langsung memerintahkan istrinya untuk
menyelamatkan Intan. Sementara itu, dia sendiri
142 berusaha menyelamatkan barang-barangnya yang
mudah dibawa. Dalam waktu singkat, api sudah menjalar dan
melahap tempat tinggalnya tanpa ampun. Sementara
itu, Bobby bersama warga setempat masih berusaha
keras memadamkan api dengan menggunakan air
apa aja, sekalipun itu air selokan yang bau. Ember
demi ember terus disiram pada rumah-rumah yang
baru terbakar dan yang belum terbakar. Mereka terus
berusaha memperlambat laju api dengan penuh
semangat, hingga akhirnya datanglah petugas
pemadam kebakaran yang dengan susah payah bisa
juga menjangkau tempat itu.
Setelah berjuang dengan gigih, akhirnya warga
setempat dan petugas pemadam kebakaran berhasil
membinasakan api yang semula begitu
kejam"melalap tempat tinggal orang-orang miskin
yang kini tampak sedang berduka lantaran tidak tahu
harus tinggal di mana. Bobby pun merasa sedih atas
kejadian itu, dosa apa yang telah mereka perbuat
sehingga harus mendapat ujian seperti itu. Begitulah
143 Bobby, yang senantiasa mengambil hikmah dari setiap
peristiwa yang terjadi. Selalu berprasangka baik
kepada Tuhan, yang telah diyakininya telah
memperingati warga setempat untuk lebih bertakwa
kepada-Nya, sehingga membuat kehidupan mereka
menjadi lebih baik dari sebelumnya.
"Bang... Barang-barang kita, Bang. Padahal susah
payah kita mengumpulkan uang untuk membelinya.
Kini semuanya sudah habis terbakar, yang ada hanya
tinggal ini Bang, pakaian dan beberapa surat penting
yang tadi Abang selamatkan. Bang... kini kita akan
tinggal di mana?" tanya Dewi dengan isak tangis yang
terdengar cukup memilukan.
"Sabarlah, Sayang...! Kau tidak perlu memikirkan
perihal barang-barang yang sudah terbakar itu, dan
kau pun tidak perlu khawatir mengenai tempat tinggal
kita. Sebab, kita bisa tinggal di rumah kontrakan yang
sebelumnya aku dan Reni tempati, dan di sana masih
ada perabotan yang bisa menjadi pengganti perabotan
kita yang sudah terbakar itu."
144 Mendengar itu, Dewi merasa lega. Hingga
akhirnya Bobby dan anak istrinya itu lantas bergegas
bersama-sama menuju ke tempat tinggal yang baru.
Masalah bukanlah masalah, itulah hikmah yang
didapat Bobby atas segala peristiwa yang
dihadapinya. Ketika dia menceraikan istrinya hal itu
merupakan masalah yang membebani hatinya, namun
hal itu ternyata telah memberikan solusi atas peristiwa
yang baru dihadapinya. Itulah masalah bukan
masalah, yang jika dengan benar menyikapinya akan
membawa kepada kebahagiaan. Begitulah Tuhan
memberikan pelajaran kepada hamba-Nya, yaitu
dengan cara memberikan ujian berupa masalah yang
mana bila disikapi dengan benar, maka Isya Allah
akan menjadi pelajaran yang sangat berharga dan
menjadi hikmah yang akan membawanya kepada
kualitas keimanan yang lebih baik.
145 Tujuh emenjak peristiwa perceraian dan kebakaran


Merah Muda Dan Biru Karya Bois di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, Bobby semakin memperdalam ilmu
agamanya. Setiap ada pengajian rutin di kampungnya,
dia usahakan untuk selalu hadir. Berbagai buku
agama dipelajarinya dengan sungguh-sungguh, baik
yang didapat dari meminjam maupun dia belinya
sendiri. Hingga akhirnya dia menjadi lebih sabar dan
lebih bijaksana. Ternyata bukan cuma Bobby yang mau berubah,
Reni pun melakukan hal serupa. Bahkan hampir
setiap hari wanita itu merenungi perjalanan hidupnya
dan mencoba menggali hikmah dari berbagai
peristiwa yang telah dialaminya, hingga akhirnya dia
berniat menemui mantan suaminya yang masih
sangat dicintainya. Kini wanita itu tampak sedang
membatin di beranda bambu rumahnya, "Oh, Bang
Bobby... Apakah kau masih mau menerimaku" Terus
S 146 terang, aku benar-benar menyesal karena telah
mengambil keputusan itu, ingin rasanya aku rujuk
kembali untuk membina rumah tangga bersamamu.
Sekarang aku sudah tidak mempersoalkan istri-istrimu
yang lain, yang terpenting buatku adalah aku bisa
membesarkan anak kita bersama-sama. Kini aku
menyadari bahwa aku terlalu egois karena mengharap
kebahagiaan untuk diriku sendiri, yaitu dengan
mendapat kasih sayang dan perhatian lebih darimu.
Padahal, sebenarnya anak kita pun membutuhkan
perhatian dan kasih sayang yang sama. Ya, siapa lagi
yang bisa memberikan kasih sayang dengan sepenuh
hati padanya kalau bukan kita berdua."
Reni terus membatin merenungi kesalahannya.
Sementara itu di tempat lain, putrinya yang bernama
Lia tampak sedang menangis sedih. Maklumlah,
selama tinggal bersama Ibu tirinya, anak itu benarbenar
merasa tidak diperlakukan dengan adil.
Bagaimana tidak, jika dia dan Intan bertengkar, maka
ibu tirinya selalu membela Intan. Padahal, jelas-jelas
Intanlah yang selalu sering membuat kesalahan.
147 "Huhuhu...! Ayaaah...! Lia tidak mau tinggal di sini
lagi. Lia mau tinggal sama ibu Reni saja, soalnya di
sini Lia sering dimarahi sama ibu Dewi. Ibu Dewi jahat,
Ayah. Lia sering dicubitin sama ibu Dewi, Ayah.
Huhuhu...! Sakit, Ayah... Ibu Dewi bukan cuma
mencubit Lia, tapi juga memukul Lia, Ayah. Huhuhu...!
Dulu, waktu Lia tinggal sama Ibu Reni, Lia tidak
pernah dicubit kayak gini, Ayah. Huhuhu...!" Lia
membatin sambil terus terisak.
Mengetahui Lia masih menangis, Dewi yang saat
itu sedang istirahat semakin naik pitam. Kemudian
dengan amarah yang meluap-luap, dia datang
menghampiri anak itu, "Dasar anak cengeng. Baru
dicubit segitu sudah menangis seperti itu. Lihat tuh, si
Intan. Jika dicubit tidak pernah menangis seperti
kamu, lama dan keras seperti itu. Dasar anak manja!!!
Diam!!! Kalau kamu masih menangis juga, aku akan
mencubitmu lagi, dan akan lebih keras dari yang tadi.
Mengerti!!!" Karena takut dicubit lagi, akhirnya Lia pun
berusaha berhenti menangis. "Ihik..." sesekali masih
148 terdengar isak tangis yang tak mampu ditahan.
Sungguh tega si Dewi, dia sudah membuat anak itu
tampak tersengal-sengal karena menahan tangisnya
agar tidak terdengar. Begitulah Dewi, biarpun
suaminya sudah sering menasihati, namun dia masih
tetap mengulanginya lagi dan lagi. Sepertinya nasihat
suaminya itu, masuk telinga kanan dan keluar melalui
telinga kiri. Ketika dinasihati dia tampak begitu
menyesal, namun setelah agak lama perbuatan itu
pun kembali dilakukannya. Sepertinya alam bawah
sadarnya memang sudah sulit untuk diprogram ulang
lantaran program pendidikan yang diterapkan oleh
ibunya dulu juga seperti itu.
Esok harinya, Bobby tampak sedang bersiap-siap
mengantar Lia menemui ibu kandungnya, rupanya
pemuda itu tidak tega juga melihat putrinya yang dulu
dikenal ceria kini lebih sering kelihatan murung. Dia
tahu betul, semua itu karena ulah Dewi yang
149 memperlakukannya tidak seperti apa yang dilakukan
Reni. Sehingga anak yang selama ini selalu mendapat
perlakuan baik dari Reni, terpaksa harus menerima
perlakuan kasar dari Dewi. Karenanyalah, mau tidak
mau dia harus mengembalikan Lia pada ibu
kandungnya. Setelah semuanya beres, akhirnya Bobby dan Lia
berangkat ke kampung dengan menggunakan bis
cepat. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan
jauh, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan.
"Alhamdulillah"! Kami tiba dengan selamat," ucap
Bobby bersyukur. Namun ketika dia hendak memasuki pekarangan,
dilihatnya Reni tengah keluar rumah dengan
menjinjing koper di tangannya. "Ren! Kau mau ke
mana?" seru Bobby terkejut seraya buru-buru
menghampirinya. Mengetahui itu seketika Reni berpaling, "Bang
Bobby!" Pekiknya gembira. "Syukurlah, akhirnya kau
mau datang kemari," katanya dengan mata yang
tampak berbinar-binar. Saat itu Reni langsung
150 mendekapnya erat, dan tak kemudian dia pun
memeluk putrinya dan menciuminya berkali-kali.
"Anak manis, sana temui kakekmu di dalam! Beliau
pasti sudah sangat merindukanmu, Sayang?"
katanya lembut. "Iya Bu, Lia juga rindu sekali sama Kakek," ucap
anak itu seraya berlari menemui kakeknya. Pada saat
yang sama, Bobby dan Reni tampak melangkah
menuju beranda bambu. Kemudian di tempat itulah
keduanya berbincang-bincang dengan kepala dingin
hingga akhirnya Reni berani mengungkapkan isi
hatinya. "Bang, karena kebodohankulah yang telah
membuatku mengambil keputusan itu. Kini aku sudah
sadar dan ingin kembali membina rumah tangga
bersamamu" Apakah kau bersedia, Bang?" tanyanya
penuh harap. "Alhamdulillah" Itulah yang selama ini aku
dambakan, Ren. Kita rujuk dan kembali membesarkan
anak kita bersama-sama. Kalau begitu, aku akan
segera merujukmu." 151 Setelah mengucapkan kalimat rujuk, Bobby pun
mengajak istrinya masuk menemui Sang Ayah.
Sementara itu di tempat lain, Dewi tampak termenung
menyesali perbuatannya selama ini. Akibat
ketidakmampuannya menahan amarah telah
membuat anak-anaknya hidup menderita. "Maafkan
Ibu, Lia. Sebenarnya Ibu sayang sama Lia, namun
karena selama ini Ibu sudah biasa mendidik dengan
cara itu, akhirnya kamu pun jadi menderita. Kamu
memang berbeda dengan Intan, mungkin selama ini
Intan sudah terbiasa kuperlakukan begitu sehingga
dia bisa tabah menjalaninya. Sedangkan kamu, yang
ketika tinggal bersama ibu kandungmu selalu
diperlakukan baik tentu hal itu merupakan siksaan
yang berat bagimu. Lia... Sekali lagi, Maafkan Ibu,
Nak! Karena Ibu memang sulit untuk bisa menjadi
seperti ibumu." Dewi terus merenung dan merenung, hingga
akhirnya wanita itu bertekad untuk setahap demi
setahap melatih diri menahan amarah, sehingga setan
tidak mudah mengendalikannya berbuat kasar. Ketika
152 wanita itu hendak beristirahat, tiba-tiba dia melihat dua
simbol kelamin milik suaminya yang tergeletak di atas
kepala dipan. "Hmm... Sebenarnya benda apa ini?"
tanya wanita itu sambil terus mengamati benda yang
kini ada di telapak tangannya. "Aneh... Apa maksud
tulisan biru dan merah muda ini?" tanya wanita itu
sambil membolak-balik benda tersebut. "Eng... apa ya
sebenarnya maksud tulisan merah muda dan biru ini,"
tanyanya lagi dengan tanpa sengaja membaca tulisan
merah muda lebih dulu. "Hihihi... seperti lirik lagu
"Balonku" saja," pikirnya merasa lucu ketika menyadari
kalau barusan"disaat dia membacanya merah muda
lebih dulu memang seperti lirik lagu "Balonku".
"Mmm... sudahlah, yang jelas benda ini pasti
kepunyaan suamiku. Hmm... Tapi, untuk apa dia
menyimpan benda seperti ini, jika dilihat dari
bentuknya sama sekali tidak indah" Ah, sudahlah...
Aku tidak mau tahu. Sebaiknya kusimpan saja,
mungkin nanti suamiku akan mencarinya?"
Setelah menyimpan benda itu, Dewi segera
merebahkan diri di tempat tidur. Saat itu dia sudah
153 tidak memikirkan benda aneh itu, namun wanita itu
kembali memikirkan perihal anak tirinya yang kini
terpaksa dipulangkan ke rumah ibu kandungnya.
Sementara itu di tempat lain, di kediaman istri kedua
Bobby yang bernama Nina. Seorang pemuda tampak
sedang berbincang-bincang dengan wanita itu.
"Sudahlah, Nin! Kau minta cerai saja! Lebih baik kau
menikah denganku. Dengan begitu kau akan hidup
lebih berkecukupan."
"Maaf, Pak Johan. Saya mencintai suami saya."
"Aduh, Nin. Apa yang kau harapkan dari suami
seperti itu, apa dengan menjadi penjual koran dan
pedagang asongan dia bisa membelikanmu emas
permata?" tanya Johan mengejek.
Saat itu Nina langsung menarik nafas panjang.
"Sekali lagi, maaf Pak! Suamiku itu sangat
menyayangiku. Lagi pula, kehidupanku sekarang ini
sudah lebih dari cukup."
"Hahaha...! Itu kan karena aku menjadikanmu
sebagai sekretarisku. Coba kalau kau kupecat, apa
kau bisa hidup seperti sekarang."
154 Mendengar itu, Nina sempat khawatir juga-bagaimana jadinya jika dia benar-benar dipecat oleh
bosnya yang hidung belang itu. Andai saja harta
kedua orang tuanya yang telah meninggal tidak habis
diporoti oleh mantan suaminya, tentu ia bisa lebih
mudah menentukan pilihan. Tapi untunglah, karena
rasa cintanya kepada Bobby, akhirnya dia pun berani
mengambil sikap. "Maaf, Pak. Kalau Bapak memang
mau memecat saya, silakan saja! Saya rela hidup
susah bersama suami yang saya cintai."
"Hahaha...! Cinta... Hahaha....! Rupanya kau
belum tahu siapa suami itu ya" Hahaha...! Kalau
begitu, terpaksa aku memberitahu kabar yang akan
membuatmu berpikir dua kali untuk tetap
mencintainya." "Apa maksud Bapak" Kabar apa itu?"
"Hahaha...! Kau tidak tahu kan, kalau suamimu itu
selama ini mempunyai istri lain. Hahaha...!"
"Pak, saya harap Bapak jangan bicara
sembarangan! Atau saya akan mengusir Bapak
karena telah berani memfitnah suami saya."
155 "Nina... Nina... Coba kau lihat foto-foto ini!"
Dengan penuh penasaran, Nina pun segera
melihat foto-foto itu. Sungguh betapa hancur hatinya
saat itu, menyaksikan sang Suami yang tampak begitu
mesra bersama wanita lain. Tak ayal, saat itu juga air
matanya meleleh tak kuasa menahan kekecewaan
yang begitu dalam karena telah dikhianati.
"Nah, sekarang bagaimana" Apakah kau masih
tetap mencintai pemuda yang jelas-jelas telah
mengkhianatimu itu?"
"Pak, saya mohon tinggalkan saya sendiri. Saya
butuh waktu untuk memikirkan semua ini."
"Baiklah, saya akan pergi. Dan saya akan sabar
menunggu jawaban darimu."
Lantas lelaki yang bernama Johan itu pun pergi
meninggalkan Nina yang masih saja menangis sedih.
Pada saat yang sama, Nina tampak menyobek fotofoto
yang membuatnya begitu sakit, kemudian dia
berteriak histeris sambil melempar sobekan foto-foto
itu hingga bertebaran di atas lantai. Sungguh
kenyataan pahit yang dihadapinya saat itu telah
156 membuat batinnya begitu tersiksa, terasa bagaikan
diiris sembilu hingga sakit tiada terkira. Kini wanita itu
tampak terkulai di atas sofa sambil terus meraung
histeris bak orang yang sudah kehilangan akal
sehatnya. Seminggu kemudian, ketika Bobby datang
menggilir istri keduanya, terjadilah hal yang paling
ditakutinya. Kalau lambat laun, Nina pun akan
mengetahuinya. "Jadi, selama ini kecurigaanku memang benar,
kalau kepergianmu setiap dua minggu itu untuk
menggilir istri-istrimu yang lain. Sungguh aku tidak
menduga, kenapa kau begitu tega menipuku, Bang"
Kenapa tidak dari awal kau berterus terang tentang
keberadaan mereka?" "Maafkan aku, Nin. Aku terpaksa. Ketika


Merah Muda Dan Biru Karya Bois di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertemuan di taman dulu, sebenarnya aku ingin sekali
mengatakannya. Namun aku tak kuasa, dan saat itu
157 pun kau memberi kesempatan untukku agar tetap
merahasiakannya," jelas Bobby terus terang.
"Bang, Kalau boleh kutahu. Sebenarnya apa yang
membuatmu terpaksa?" tanya Nina lagi.
Mendapat pertanyaan itu, akhirnya Bobby mau
menceritakan perihal kedua istrinya yang harus
dinikahinya lantaran peristiwa yang sama. Semula
Nina tak mau menerima kenyataan itu, namun setelah
dia merenung dan memikirkannya dengan kepala
dingin, akhirnya dia pun mau mengerti juga. Bahwa
dia memang tidak boleh egois dan harus bisa
mengambil hikmah dari peristiwa itu. Hingga akhirnya,
Nina pun menjadi maklum dan mau menerima Bobby
walaupun dengan hati yang bak disayat-sayat.
Namun begitu, tampaknya Bobby masih belum
percaya, hingga akhirnya dia pun kembali berkata,
"Nin, percayalah. Aku akan selalu menyayangimu,
karena kaulah cinta pertamaku. Cintaku kepadamu
lebih besar daripada cintaku pada mereka berdua.
Andai kau menghendaki aku untuk menceraikan
mereka, aku pasti akan menceraikan mereka. Semua
158 itu bisa kulakukan dengan mudah, karena aku hanya
menikahi mereka di bawah tangan," kata Bobby
menguji. "Tidak, Bang. Kau tidak perlu melakukan itu.
Terus terang, aku tidak menghendaki jika kau sampai
menelantarkan mereka, apa lagi anak-anakmu itu
masih kecil-kecil. Lagi pula, bukankah istri-istrimu itu
telah menerima kehadiranku. Terus terang, aku tidak
mau menyakiti mereka, Bang."
"Benarkah semua yang kau katakan itu, Nin?"
tanya Bobby ragu. "Entahlah, Bang. Semula aku memang begitu
kecewa dan sakit hati. Namun, ketika aku menyadari
kalau semua itu karena memang suatu keterpaksaan,
aku pun mencoba menerimanya. Karena kutahu, ini
bukanlah keinginanmu dan juga bukan keinginan
mereka. Semua ini terjadi begitu saja dan aku
menganggapnya sebagai suatu hukuman atas
perbuatan dosa yang pernah kita lakukan dulu," jawab
Nina dengan kedua matanya yang mulai berlinang,
menatap Bobby penuh keikhlasan.
159 "Syukurlah... Kini perasaanku sudah agak lega.
Kau memang wanita yang bijaksana, Nin. Aku
sungguh sangat mencintaimu," ucap Bobby seraya
mendekap wanita itu dengan penuh kehangatan.
Saat itu Nina pun bertekad untuk tetap mencintai
suaminya dan tidak mempedulikan karirnya lagi.
Apapun keputusan bosnya, dia akan terima dengan
lapang dada. 160 Delapan emenjak Nina dipecat, wanita itu mencoba
berwiraswasta dengan membuka sebuah
toko roti yang didirikan dengan uang hasil jerih
payahnya selama ini. Sebenarnya Bobby tidak setuju
Nina membuka usaha itu, soalnya dia tahu betul kalau
Nina belum memiliki ilmunya. Namun karena Nina
bisa meyakinkan, akhirnya Bobby setuju juga. Karena
katanya, kelak dia bisa belajar sambil menjalankan
usaha itu. Namun setelah tiga bulan berjalan, tandatanda
kebangkrutan yang dikhawatirkan Bobby mulai
tampak nyata. Ketidaktahuan Nina soal pasar
membuat usaha itu banyak mengalami kerugian,
hingga akhirnya masalah itu pun segera dibicarakan
kepada suaminya. "Aku harus bagaimana, Bang" Terus terang, aku
sudah tidak mempunyai dana lagi untuk
mempertahankan usaha ini."
S 161 "Maaf, Nin! Aku pun tidak tahu harus bagaimana.
Soalnya banyak keluhan dari konsumen kalau produk
kita terlalu mahal. Jika dibandingkan toko roti yang
lain, tidak ada apa-apanya."
"Iya ya, Bang. Aku heran, bagaimana mungkin
mereka bisa menjualnya dengan harga murah?"
"Mungkin saja modal mereka besar sehingga bisa
membeli secara partai besar. Kalau sudah begitu,
tidak usah heran jika mereka berani menjual murah.
Sedangkan kita yang cuma pakai modal pas-pasan,
apa bisa menjual dengan harga murah."
"Kau benar, Bang. Selama ini saja, kita sudah
merugi karena biaya produksi yang besar tidak
tertutupi oleh hasil penjualannya. Jika harus dijual
lebih murah, apa tidak akan bertambah rugi."
"Nin, jika terus begini. Tidak mustahil usahamu
akan berakhir dengan kebangkrutan."
"Kau benar, Bang. Sepertinya memang akan
seperti itu. Hmm... Apa sebaiknya aku meminjam
modal agar bisa membeli secara partai besar. Dengan
162 demikian, aku bisa melanjutkan usaha ini dengan
menjual produk berdasarkan harga pasar."
"Nin, sebaiknya kau pikirkan dulu masak-masak!
Aku khawatir, sebenarnya bukan itu saja masalahnya,
namun juga masalah kualitas dan cara pemasaran
yang tidak efektif. Jika memang begitu, menambah
modal pun tidak ada gunanya. Jika bangkrut, apa
nantinya tidak akan menyulitkanmu karena harus
mengembalikan pinjaman itu."
"Hmm... Jadi, apa yang sebaiknya aku lakukan?"
"Mmm... Bagaimana kalau kau tanyakan pada
orang yang lebih berpengalaman mengenai hal ini."
"Siapa, Bang" Terus terang, aku tidak punya
teman yang menggeluti usaha seperti ini."
"Ya sudah, kalau begitu lakukan saja sebisamu.
Kau sih, dulu kan aku pernah bilang kalau buka usaha
itu mesti tahu ilmunya dulu, tapi kau tetap tidak mau
percaya. Sekarang baru kau merasakannya sendiri,
bagaimana ruginya jika tidak mau belajar dari
pengalaman orang lain."
163 Suami istri itu terus berbincang-bincang, hingga
akhirnya Nina mendapat cara untuk mempertahankan
usaha itu, yaitu dengan meningkatkan kualitas dan
cara pemasaran yang lebih baik.
Tiga bulan kemudian, usaha Nina sudah tidak bisa
dipertahankan lagi. Semua itu karena dia masih belum
bisa memasarkan produknya dengan efektif, ditambah
lagi dengan ketidaksetabilan rupiah yang membuatnya
terpaksa harus menutup usahanya. Semenjak usaha
Nina mengalami kebangkrutan, Bobby tampak
semakin bingung. Bagaimana tidak, kini dia harus
menafkahi ketiga istrinya dengan hanya
mengandalkan pekerjaannya selama ini. Dulu ketika
Nina masih bekerja, dia sudah cukup kesulitan
menafkahi kedua istrinya. Apa lagi sekarang,
bagaimana mungkin dia bisa mencukupi kebutuhan
semua keluarganya. Di tengah kebingungan itu,
akhirnya Tuhan memberikan jalan keluar dengan
164 mendatangkan seorang temannya yang dulu
dikenalnya ketika sama-sama menumpang bis kota.
Dialah Randy, seorang pengusaha sukses yang ingin
membantu temannya untuk memiliki kehidupan yang
lebih berkualitas. Namun sayangnya, saat itu Bobby
tidak meresponnya dengan sikap positif. Katanya,
peluang bisnis yang Randy tawarkan cuma mimpi dan
kehalalannya pun masih diragukan. Saat itu Randy
sempat menarik nafas panjang lantaran Bobby sama
sekali tak tertarik dengan peluang yang
ditawarkannya. Namun begitu, Randy pantang
mundur"dengan penuh kesabararan dia berusaha
menjelaskannya lebih jauh, "Kau jangan salah, Bob.
Pekerjaan ini halal, asal saja kau mau betul-betul
menjalankannya secara Islami," katanya berusaha
meyakinkan. "Apa itu mungkin, Ran?"
"Kenapa tidak, selama kita mau berusaha mencari
MLM yang baik, dan mau kerja keras. Aku rasa itu
mungkin-mungkin saja. Memang" Selama ini ada
sebagian orang yang trauma menjalani bisnis ini,
165 karena pekerjaan ini memang tidak semudah teorinya.
Sebenarnya, pekerjaan ini hanya untuk orang-orang
yang suka akan tantangan. Kenapa aku bilang begitu"
Jawabnya karena tidak semua orang bermental
pengusaha, kebanyakan dari mereka adalah
bermental karyawan. Karenanyalah tidak usah heran,
jika banyak dari mereka yang bermental karyawan
pada akhirnya menjadi pecundang. Maklumlah,
soalnya keberhasilan di bisnis ini memang
memerlukan ekstra kerja pintar dan kesungguhan
yang luar bisa. Namun, itu akan terbayar dengan
penghasilan yang akan diperolehnya.
"Hmmm" Kalau begitu, apakah aku bisa
melakukannya?" "Jawabannya kembali pada dirimu sendiri, Bob.
Kau suka tantangan atau tidak. Dan jika kau suka,
apakah kau mau menerima tantangan itu untuk
bekerja keras menjadi seorang pemenang. Jika mau,
Insya Allah kau pasti bisa. Apalagi jika selalu diiringi
dengan doa, Isya Allah kau akan cepat berhasil."
166 "Ran, aku tidak menyangka. Sekarang kau
sungguh jauh berbeda dengan dirimu yang kukenal
dulu." "Ya, Alhamdulillah. Setelah kubertekad untuk
berubah akhirnya Tuhan memberikan jalan menuju
kesuksesan, yaitu melalui Bisnis ini. Salah satu
keuntungan yang kudapat ketika menjalani bisnis ini
adalah penempaan mental yang luar biasa keras
sehingga aku menjadi orang yang berani melewati
setiap rintangan yang menghadang."
Mendengar penjelasan itu, akhirnya Bobby
menjadi tertarik juga. Karena selain mendapat uang,
dia juga bisa mendapatkan ilmu untuk menjadi
seorang pengusaha yang sukses. "Baiklah, Ran. Nanti
malam aku akan ikut denganmu," katanya
bersemangat. "O ya, syukurlah kalau begitu. Nanti malam, aku
akan menjemputmu." "O ya, Ran. Ngomong-ngomong, makanannya
silakan dihabiskan!"
167 "Terima kasih, Bob!" ucap Randy seraya
mengambil sepotong getuk yang begitu legit.
Kedua pemuda itu tampak terus berbincangbincang
sambil menikmati suguhan yang ala
kadarnya. Sungguh kini hati Bobby merasa sedikit
tenang, dan semua itu karena kedatangan Randy
yang telah memberikannya peluang. Bahkan di dalam
benaknya, pemuda itu merasa ada sebuah harapan
yang memungkinkan kehidupannya menjadi lebih
berkualitas, yaitu kehidupan dimana dia sudah tidak
dijajah lagi oleh waktu, kebutuhan ekonomi yang
memaksanya untuk bekerja mati-matian, dan
menjauhkannya dari orang-orang yang cuma ingin
memanfaatkan kemampuannya dengan imbalan gaji
yang tidak layak. Intinya adalah, apapun yang ingin dia
lakukan berdasarkan atas keputusannya sendiri,
tanpa ada orang lain yang bisa menghalangi, yaitu
para pencuri impian. Dialah yang memegang kendali
atas semua itu, sehingga dia bisa lebih nyaman
mendekatkan diri kepada Tuhan. Tidak seperti orangorang
yang selama ini sudah terpedaya, yang dengan
168 alasan demi sesuap nasi rela menggadaikan
kehormatannya. Kalau sudah begitu, bagaimana
mungkin bisa mendekatkan diri pada Tuhan, sedang
apa yang didapatnya bukanlah dengan cara yang
halal. Malam harinya, Bobby dan Randy terlihat
memasuki gedung tempat diadakannya presentasi
bisnis. Kini mereka tengah duduk berdampingan untuk
mendengarkan presentasi yang akan disampaikan
oleh seorang usahawan sukses yang memang sudah
pakar di bidangnya. Tepuk tangan dan sambutan
meriah pun diberikan ketika sang Pakar menaiki
panggung, semangatnya yang sangat berapi-api
terpancar di raut wajahnya yang begitu berseri-seri.
Walaupun orang itu masih muda, namun karismanya
mampu membuat orang yang hadir seakan terbawa
ikut semangat untuk mendengarkan presentasinya.
Hingga akhirnya, aura positif yang keluar dari orang169
orang yang ada di ruangan itu membuat Bobby
semakin bertekad untuk menjalankan bisnis yang
dengan sangat jelas telah diperkenalkan kepadanya.
"Bagaimana, Bob?" tanya Randy ketika mereka
tengah bersama-sama keluar ruangan.
"Hebat, Ran. Potensinya sangat luar biasa.
Rasanya aku ingin cepat-cepat bergabung dan
menjalani bisnis ini," katanya bersemangat.
"Syukurlah, Bob. Itulah jawaban yang sangat aku


Merah Muda Dan Biru Karya Bois di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harapkan." Akhirnya, keduanya pun pulang dengan
kesepakatan menjadi mitra bisnis yang saling
menguntungkan. Setibanya di kediaman Bobby,
mereka kembali bercakap-cakap. Namun kali ini
mereka tidak membicarakan soal bisnis, tapi
mengenai simbol kelamin yang masih menjadi misteri.
"O, jadi kau masih menyimpan benda itu, Bob?" tanya
Randy hampir tidak mempercayainya.
"Betul, Ran. Sebetulnya aku sudah lama ingin
membuang benda ini karena membuatku jadi terus
170 bertanya-tanya. Namun, entah kenapa hati nuraniku
mengatakan kalau aku harus terus menyimpannya?"
"Hmm... Mungkin saja hal itu dikarenakan suatu
saat nanti kau akan menemukan jawabannya."
"O ya, Ran" Bagaimana menurutmu jika benda ini
merupakan anak kunci?"
"Hmm... Memangnya apa yang membuatmu
berpikiran begitu?" Randy malah balik bertanya.
"Sebenarnya bukan aku yang berpikiran begitu,
tapi istriku Nina yang berpikiran begitu."
"Eng... Kalau begitu berarti aku salah jika
menanyakan hal itu padamu."
"Tentu saja, karena pertanyaan itu sepantasnya
diajukan pada istriku. Sudahlah, Ran! Kita tidak perlu
membahas itu, yang aku mau tahu cuma pendapatmu
mengenai apa yang ada di pikiran istriku itu."
"Baiklah, Bob. Aku akan mencoba memberikan
pendapat. Mmm... Begini, menurutku itu mungkin
saja. Sebab, kedua ujung simbol itu bisa dijadikan
pemicu kombinasi mekanik yang ada di lubang kunci."
171 "Lalu kenapa harus membuat dua anak kunci
segala?" "Hmm... mungkin tujuannya untuk mempersulit
orang yang ingin membukanya secara paksa, seperti
yang biasa dilakukan pencuri dengan menggunakan
kunci maling. Bukankah dengan adanya dua kunci
berarti tingkat kesulitan menjadi lebih tinggi?"
"Hmm... Itu masuk akal, Ran. O ya, ngomongngomong
sebenarnya benda apa yang di simpan
sehingga harus menggunakan ekstra pengamanan
seperti itu." "Entahlah, Bob. Yang jelas itu pasti benda
berharga." "Hmm... Jika benar ini anak kunci, untuk apa lagi
aku menyimpannya. Karena percuma saja punya anak
kunci tapi tidak ada lubang kuncinya."
"Kau benar, Bob. Untukmu memang tidak ada
gunanya, tapi untuk orang lain yang mungkin
kehilangan anak kunci itu tentu ada gunanya.
Sebaiknya kau tetap menyimpan anak kunci itu,
mungkin suatu saat nanti akan ada orang yang
172 mencarinya. Dan saat itulah bisa memberikan anak
kunci itu padanya." "Kau betul, Ran. Jika aku mengembalikannya ke
tempat semula, bisa saja benda ini malah akan
ditemukan orang lain dan karena tidak suka mungkin
dia akan membuangnya ke kali, sama seperti yang
pernah ingin kulakukan dulu."
"O ya, Bob. Sebaiknya sekarang aku pamit
pulang, soalnya sudah terlalu malam."
"Iya, Ran. Terima kasih atas semuanya!"
"Sama-sama, Bob. Assalamu"alaikum."
"Wa"allaikum salam," jawab Bobby seraya
mengantar Randy ke muka rumah. Sepeninggal
pemuda itu, Bobby segera masuk ke dalam dan
kembali memikirkan perihal benda yang dikiranya
anak kunci itu. "Mmm... Apa benar ini anak kunci. Tapi
sepertinya bukan, karena tulisan merah muda dan biru
itu masih belum terungkap. Karena jika ini anak kunci
untuk apa pakai diberi tulisan segala. Jika dibuat
sebagai tanda, sungguh bodoh orang yang membuat
hal sepele seperti itu. Bukankah anak kuncinya cuma
173 dua, dan jika salah memasukkan ke lubang kuncinya
kan tinggal ditukar saja. Hmm... ini benar-benar masih
menjadi sebuah misteri."
Karena sudah dibuat pusing, akhirnya Bobby
memutuskan untuk pergi beristirahat.
Sebulan kemudian, di rumah Bobby. Randy
tampak tengah memberikan semangat kepada
temannya yang kini sedang mengalami masa putus
asa dalam menjalani bisnisnya.
"Ayo dong, Bob! Kau jangan menyerah begitu,
coba lagi dan coba lagi! Jangan kau menyerah
lantaran hingga saat ini belum ada yang ikut
bergabung!" "Kau mudah bicara begitu, Ran. Terus terang, aku
perlu uang dengan segera agar bisa menghidupi anak
dan istriku. Ketahuilah! Selama satu bulan ini tidak
sepeser uang pun yang kudapat ketika menjalani
174 bisnis ini. Malah aku terpaksa menjual barang dan
pinjam sana sini untuk biaya operasionalnya."
"Sabarlah, Bob! Jika kau mau berusaha terus,
masa iya tidak ada yang mau ikut bergabung."
"Aduh, Ran. Kayaknya aku tidak bisa. Baru bilang
MLM saja, mereka sudah tidak mau mendengar. Apa
lagi jika harus mendengarkan presentasiku soal
MLM." "Makanya kau jangan sebut-sebut MLM. Tapi
buka pikiran mereka dulu soal etos kerja, kalau pikiran
mereka sudah terbuka barulah kau perkenalkan bisnis
itu. Kebanyakan orang yang sudah alergi dengan MLM
tentu akan memproteksi diri untuk tidak
mendengarkan lebih jauh. Mereka takut kena tipu, dan
itu wajar-wajar saja. Namun jika kau membuka pikiran
mereka soal etos kerja, dan menjelaskan kalau tidak
semua MLM itu seperti apa yang mereka takutkan.
Maka Insya Allah mereka akan mau mendengarkan
presentasimu. Karenanyalah, kau perlu membaca
buku untuk bisa membantumu guna membuka pikiran
mereka. Sebab, di kota ini banyak sekali korban
175 oknum distributor MLM yang tidak bertanggung jawab,
yang dengan segala cara yang tidak Islami telah
berusaha menarik korban agar ikut bergabung, hingga
akhirnya korban pun merasa tertipu."
"Sebenarnya, bukan itu saja, Ran. Ternyata
banyak juga teman-temanku yang juga sudah
bergabung di MLM-lain. Dan mereka sama sekali
tidak tertarik dengan MLM kita, mereka malah bilang
MLM kita jelek dan malah menawarkan MLM-nya
padaku.." "Hmm... Mungkin kau telah melakukan kesalahan
ketika memperkenalkan MLM kita pada mereka. O ya,
masih ingatkah ketika dulu kau bicara soal perbedaan
pendapat?" "Hmm... Kapan ya?"
"Itu, ketika kita baru kenal, dan kita
memperbincangkan masalah itu di halte."
"O ya, aku ingat. Lantas, apa hubungannya?"
"Aku heran, dulu kau sepertinya sudah paham
betul mengenai hal itu. Namun, ternyata kau tidak
mengamalkannya." 176 "Entahlah, Ran. Aku juga tidak mengerti. Mungkin
semua itu terjadi karena saat ini aku sedang tertekan
dengan masalah ekonomi, sehingga aku sulit untuk
berpikir positif. Kalau sudah begitu, setan dengan
mudahnya bisa memperdayaku. Nah, Ran. Kalau
begitu, sekarang tolong jelaskan perihal itu!"
"Begini, Bob. Waktu itu kan kau pernah berbicara
soal perbedaan beragama. Kini aku akan mengulangi
kata-katamu waktu itu. Jika kau ditanya oleh penganut agama lain
mengenai agama mana yang benar maka kau bisa
dengan mudah menjawab, yaitu dengan jawaban:
Semua agama itu benar menurut keyakinan dan
kepercayaan pemeluknya masing-masing. Dengan
begitu, tentu tidak akan terjadi perdebatan karena
jawabannya tidak membela kebenaran satu pihak
mana pun. Dan mungkin saja si penanya justru akan
tertarik dengan agama yang kita yakini, dia merasa
penasaran kenapa kita yakin dan percaya dengan
agama kita. Dan akhirnya karena penasaran itu, dia
pun mungkin akan menanyakan hal itu lebih jauh lagi.
177 Jika sudah begitu, tentu akan kita jawab mengenai
kebenaran agama kita saja, namun tanpa
menjelekkan agama yang diyakininya.
Kalau kau mau tahu, seorang distributor MLM lain
tanpa disadari tentu sudah didoktrin kalau MLM-nya
lah yang paling bagus, karenanyalah jika kau
mengatakan kalau MLM-mu bagus dan MLM dia jelek,
tentu dia tidak akan terima. Alhasil, hanya akan
menimbulkan perdebatan yang justru membuatnya
semakin tidak tertarik. Karenanyalah, kau jangan
pernah menjelek-jelekkan MLM lain. Kalau perlu, kau
akui kebenaran yang ada di MLM-nya itu. Dengan
begitu, mungkin dia akan heran dan bertanya-tanya
dalam hati. Kenapa kau mengetahui MLM-nya bagus,
namun pada kenyataannya kau justru tidak ikut
bergabung. Karena penasaran, mungkin dia akan
menanyakan hal itu. Saat itulah, kau beri tahu tentang
keunggulan MLM kita dengan tanpa menjelekjelekkan
MLM-nya. Insya Allah, dengan begitu dia
akan tertarik dan akhirnya mau ikut bergabung."
178 "Kini aku mengerti, kenapa mereka tidak tertarik.
Eh, Ran! Aku sungguh tidak menyangka, ternyata kau
bisa mengaplikasikan hal itu. Itulah yang dinamakan
kecerdasan sejati, karena bisa diaplikasikan untuk
mendapatkan sesuatu yang manfaat. Ran... Terus
terang, aku salut padamu!"
"Sudahlah, Bob. Kau tidak perlu memujiku begitu.
O ya, Bob. Apakah buku yang kupinjamkan sudah kau
baca." "Maaf, Ran. Aku tidak punya waktu untuk
membacanya." "Hmm" Coba katakan terus terang padaku, kau
malas apa memang tidak punya waktu."
"Entahlah, Ran. Rasanya berat juga untuk
membaca buku disaat pikiranku lagi kusut soal
masalah rumah tanggaku."
"Hmm" Baiklah kalau begitu, kau memang tidak
perlu memaksakan diri jika memang belum siap. Tapi,
jika kau mempunyai waktu luang yang baik,
usahakanlah untuk membacanya. Dan yang
terpenting, jalankan terus bisnis ini tanpa merasa
179 terpaksa dan sesuai dengan kemampuanmu. Jangan
lupa untuk terus meningkatkan kuantitas
presentasimu menjadi lebih baik. Pokoknya, kau
jangan pernah menyerah. Biarpun kau bergerak
lambat, Insya Allah tujuanmu pasti akan tercapai
juga." "Terima kasih, Ran. Kau sudah memberikan
masukan yang membuatku semangat kembali."
"Syukurlah kalau begitu. O ya, bukankah kau
bilang ada temanmu yang mau dipresentasi."
"Betul, Ran. Kalau begitu, ayo kita berangkat ke
sana." Akhirnya, kedua pemuda itu pun berangkat
bersama. Kali ini Randy berusaha membantu Bobby
dengan mengajarkan cara presentasi yang baik dan
benar, yaitu dengan cara Islami yang professional
(Jujur, namun tidak lugu dan serampangan).
180 Esok harinya, pagi-pagi sekali, Bobby sudah siapsiap
berangkat untuk presentasi. Namun pada saat
yang sama, istrinya yang bernama Nina tampak
menghalanginya. Sambil memasang wajah garang,
wanita itu mulai membuka suara, "Sudahlah, Bang!
Lebih baik cari pekerjaan yang pasti-pasti saja. Jika
kau terus menjalani bisnis itu, aku khawatir kau akan
diam di tempat dan tanpa menghasilkan apa-apa.
Lebih baik, kau cari pekerjaan sebagai office boy
seperti dulu." "Nin, kau tahu kan kalau aku tidak menafkahimu
seorang. Bagaimana mungkin aku bisa
mensejahterakan keluargaku jika bekerja seperti itu."
"Kau kan bisa membagi waktu, Bang. Bukankah si
sela-sela waktu luangmu, kau bisa menjalankan bisnis
itu sebagai sampingan. Setelah bisnismu berhasil,
baru kau bisa berkonsentrasi penuh di bisnis itu."
"Baiklah, Nin. Aku akan menurutimu, tapi mencari
pekerjaan sebagai office boy kan juga tidak mudah."
181 "Kau jangan khawatir, kebetulan aku mempunyai
teman seorang direktur. Semoga dia mau memberi
pekerjaan untukmu." "Nin, jika kau mempunyai teman direktur, kenapa
tidak kau saja yang bekerja padanya" Untuk saat ini
aku mengizinkanmu. Terus terang, saat ini aku
memang tidak punya pilihan lain karena sulitnya
melawan arus dari sebuah sistem yang tak berpihak. "


Merah Muda Dan Biru Karya Bois di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia sudah punya sekretaris, Bang. Lagi pula, aku
sudah berniat membuka usaha sendiri dengan sisa
uang tabunganku." "Apa! Kau masih mempunyai tabungan. Kenapa
selama ini kau tidak memberitahuku?"
"Maaf, Bang. Sebenarnya aku tidak mau
mengutak-atik uang itu karena untuk biaya sekolah
Laras. Tapi kini aku sudah berubah pikiran, mau tidak
mau uang itu memang harus diputar."
"O ya, ngomong-ngomong kau ingin buka usaha
apa?" 182 "Aku ingin buka warung kecil-kecilan saja, Bang.
Kebetulan di kompleks ini memang masih belum ada
warung." "Hmm... Apa kau sudah tahu ilmunya, Nin?"
"Ah, Abang. Mengelola warung kecil itu kan tidak
begitu sulit, paling hanya membutuhkan pengetahuan
soal pembukuan sederhana, yang perhitungannya
jelas-jelas tidak begitu rumit. Lagi pula, yang akan
kujual itu kan sembako, yang jelas-jelas sangat
dibutuhkan oleh orang-orang di kompleks ini."
"Baiklah... Kalau begitu, aku sih setuju saja."
Kedua suami istri itu terus berbicara mengenai
masalah itu dengan penuh antusias. Sementara itu di
tempat lain, Reni dan Dewi yang kini terpaksa tinggal
dalam satu atap tampak sedang bertengkar hebat.
Kedua wanita itu meributkan perihal pembagian tugas
yang dirasakan tidak adil.
"Enak sekali kau, Ren. Kerjamu selama ini cuma
mengurus kedua anak itu. Sedangkan aku yang lagi
hamil, harus mengepel, cuci piring, cuci baju,
183 menyetrika, memasak, dan masih banyak lagi," kata
Dewi sewot. "Eh, itu kan bukan mauku, itu maunya suami kita.
Kalau kau tidak suka, bilang saja padanya! Kenapa
kau malah marah padaku?" kata Reni membela diri.
"Dasar wanita tidak tahu malu! Kau kan sudah
minta cerai, lalu kenapa bersatu lagi" Itu namanya
menjilat kembali ludah sendiri. Dasar wanita
kampung, kurang pendidikan dan tidak tahu diri!
Sudah hidup menumpang, sok menjadi penguasa,"
Dewi memaki. "Heh, kau kan juga wanita kampung yang tidak
berpendidikan. Buktinya, lihat anakmu Intan, nakal
sekali sepertinya tidak pernah mendapat pendidikan
yang baik. Dan enak saja kau bilang aku di sini
menumpang. Ini kan rumah yang dikontrak suamiku,
dan dulunya aku memang tinggal di sini. Kalau kau
mau tahu, kaulah yang menumpang karena rumah
yang dulu kau tinggali sudah menjadi abu," bela Reni.
184 "Dasar, wanita brengsek!" saat itu juga Dewi
langsung menyerang Reni, dia menjambak madunya
itu dengan kemarahan yang meluap-luap.
Diperlakukan begitu, Reni pun tidak tinggal diam.
Lantas wanita itu dengan sekuat tenaga berusaha
menjambak rambut Dewi. Hingga akhirnya, mereka
pun bergulingan di lantai sambil terus saling
menjambak. Sementara itu, Lia dan Intan yang
menyaksikan kejadian itu tampak menjerit ketakutan,
kemudian mereka menangis sejadi-jadinya.
Mendengar tangisan mereka, akhirnya Dewi dan Reni
menghentikan pertarungan itu. Kini mereka tampak
menenangkan anaknya masing-masing.
"Lihat! Karena ulahmu, anakku jadi ketakutan
seperti itu," kata Reni seraya melihat Dewi dengan
pandangan kesal. Kemudian wanita itu kembali
berusaha menenangkan putrinya. "Sudahlah,
Sayang... diam ya anak manis...! Lupakanlah apa
yang tadi kamu lihat! Jika kamu sudah besar,
janganlah seperti yang ibu lakukan tadi. Ibu
185 melakukan itu karena tadi Ibu sudah digoda setan,
dan kelakuan ibu pun akhirnya menjadi seperti setan."
Setelah membuat Lia tenang, Reni berniat
menemui Dewi yang tadi dilihatnya melangkah ke
kamar. "Wi, buka pintunya, Wi! Aku mau bicara," pinta
Reni berharap. "Sudahlah, tidak ada gunanya kita bicara! Nanti
kau akan semakin membuatku bertambah kesal."
Dewi menolak. "Ya sudah, tidak apa-apa. Nanti kalau suami kita
pulang, kuharap kita bisa menyelesaikan perselisihan
ini!" Setelah berkata begitu, Reni kembali menemui
Lia dan mengajaknya beristirahat di atas kasur lipat
yang ada di ruang tamu. Karena di atas kasur itulah
keduanya selama ini biasa beristirahat.
Esok malamnya, Bobby datang menemui kedua
istrinya. Betapa kagetnya dia ketika mengetahui kedua
186 istrinya itu sedang dalam perselisihan hebat. Sebagai
seorang suami yang berusaha bijak, dia pun segera
menengahi konflik itu dengan kepala dingin. Setelah
menidurkan anak-anaknya, kini dia dan kedua istrinya
itu tampak sedang bermusyawarah untuk mencari
jalan keluar. Hingga akhirnya, "Maafkan aku, Bang.
Aku betul-betul tidak tahu kalau tujuanmu memberi
pekerjaan lebih banyak agar aku mudah melahirkan.
Dan aku pun menyadari kalau jika tidak ada Reni
tentu beban pekerjaanku akan semakin banyak."
"Wi, kau juga harus minta maaf pada Reni.
Karena sebetulnya tugas yang kuberikan padanya
juga tidak mudah, apa kau pikir memberikan
pendidikan kepada anak-anak itu mudah. Selama ini
saja kau sering kesal karena mengurus anak, iya kan"
Mungkin ketika kau melakukan tugasmu, kau hanya
lelah fisik. Tapi Reni, selain lelah fisik dia juga lelah
batin." Dewi mengangguk, kemudian wanita itu segera
meminta maaf kepada Reni. "Maafkan aku, Ren! Aku
187 merasa bersalah karena telah menuduhmu yang
tidak-tidak." "Sudahlah, Wi. Lupakan saja masalah itu! Aku
juga minta maaf, Wi! Selama ini aku tidak
mempedulikan kesulitanmu. Mulai sekarang, jika kau
memang merasa lelah dalam menunaikan tugas,
bilang saja padaku. Aku pasti akan membantumu."
"Terima kasih, Ren."
Lantas kedua wanita itu tampak berpelukan,
sebuah ekspresi yang menandakan kalau mereka
sudah saling memaafkan. Melihat itu, Bobby pun
segera memeluk keduanya. Sebagai ungkapan rasa
bahagianya karena keduanya istrinya itu mau
berdamai. "Nah, kalau begitu. Siapa sekarang yang akan
kuberi nafkah batin duluan?" tanya Bobby.
"Biar Reni duluan, Bang. Soalnya aku mau
mempersiapkan ramuan penambah tenaga.
Ketahuilah, Bang! Biarpun kau mempunyai
kemampuan multiple orgasme tapi jika harus
188 memuaskan dua istri sekaligus tentu membutuhkan
ekstra tenaga. Bukan begitu, Bang?"
Bobby pun sependapat dengan Dewi, apalagi
pada saat ini kondisinya memang tidak sedang fit
betul sehingga dia merasa perlu untuk meminum
ramuan itu sebagai penambah tenaga. Atau lebih
tepatnya, ramuan yang bakal memberikan sugesti
demi keperkasaannya. Lalu, dengan tanpa buang
waktu lagi. Bobby lekas-lekas membopong Reni ke
kamar dan menunaikan tugasnya sebagai seorang
suami. Dua bulan kemudian, Randy datang menemui
Bobby. Dia sangat kecewa ketika tahu Bobby tidak
fokus menjalankan bisnisnya. Maklumlah, sebagai
seorang office boy dia kesulitan membagi waktu
menjalankan bisnis MLM-nya. Karena itulah, sebagai
up-line yang bertanggung jawab, Randy perlu
189 memberikan masukan agar down-line-nya itu bisa
menjalankan bisnis sebagaimanamestinya.
"Bob, kau tidak bisa seperti itu, jangan kau
menjadikan bisnis MLM-mu sebagai sampingan!
Jadikanlah bisnis itu sebagai pekerjaan utamamu, dan
kerahkan segala kemampuanmu untuk
menjalankannya!" "Maaf, Ran. Soalnya aku tidak yakin akan berhasil,
sedangkan kau sendiri tentu tahu kalau keluargaku
membutuhkan uang. Jika aku tidak menjadi office boy,
bagaimana mungkin aku bisa menafkahi mereka?"
"Kalau begitu, manfaatkanlah itu! Jadikanlah
anak-anak dan istri-istrimu itu sebagai spirit untuk
bergerak di bisnis ini! Kau kan tidak menghendaki jika
mereka sampai terlantar, dan karenanyalah mau tidak
mau kau harus berjuang untuk mendapatkan uang.
Kondisikan di alam bawah sadarmu, bahwa mereka
adalah tanggung jawabmu! Dan jika kau tidak
mendapat uang dari bisnis ini maka kau akan sangat
berdosa karena membuat mereka hidup menderita.
Insya Allah, dengan demikian kau akan mempunyai
190 spirit yang kuat, dan dengan spirit itulah kamu dipaksa
untuk terus bergerak dan bergerak, dan kau tidak
akan berhenti bergerak jika belum berhasil.
Tanamkan di alam bawah sadarmu kalau ilmu statistik
itu memang benar-benar berlaku! Semakin banyak
kau melakukan presentasi maka akan semakin
banyak orang yang akan bergabung. Dan jika kamu
terus konsisten, maka keberhasilan tentu akan berada
di genggamanmu." "Ran, bagaimana jika aku sudah konsisten namun
aku tidak juga berhasil?"
"Jika memang seperti itu, aku akan bertanggung
jawab. Aku akan menanggung semua kebutuhan
rumah tanggamu sampai kau berhasil di bisnis ini.
Asal, kau mau terus konsisten dan melaksanakan
semua petunjukku!" jawab Randy memberikan
jaminan, dalam hati pemuda itu yakin sekali jika
Bobby melaksanakan apa yang dikatakannya itu tentu
Bobby akan berhasil, pemuda itu percaya Tuhan tentu
memberikan ganjaran setimpal atas kerja keras
Bobby, kecuali Tuhan memang mau mengujinya,
191 namun ujian yang diberikan Tuhan tentu tidak
melebihi kesanggupan hamba-Nya.
Semenjak pertemuan itu, Bobby memutuskan
untuk berhenti dari pekerjaannya. Dia bertekad untuk
fokus pada bisnis MLM-nya. Kini di dalam diri Pemuda
itu sudah tidak ada lagi kebimbangan karena Randy
telah menjaminnya, yaitu mau bertanggung jawab
sekiranya dia memang tidak berhasil. Itulah tujuan
MLM yang sebenarnya, yaitu menciptakan orangorang
yang mau menolong sesama, dan bukan
sekedar mau memanfaatkannya.
Begitulah Randy, yang kini sudah menjadi seorang
network builder sejati, yang dari awal memang sudah
bertekad untuk pantang meninggalkan downline-nya
yang loyo dan tidak mau menjalankan bisnis itu.
Randy menyadari, kalau ketidakmauan seseorang
bukanlah lantaran kemalasannya, namun lebih
kepada ketidaktahuannya. Dan hal itu disebabkan
192 oleh berbagai faktor yang sebenarnya bisa diatasi
dengan memberikan bantuan yang sungguh-sungguh.
Setelah dua bulan berlalu, Randy tampak begitu
lega. Itu semua karena Bobby bisa menjalankan
bisnisnya sesuai harapan. Walau pendapatan yang
tidak seberapa, namun pendapatannya itu lebih baik
ketimbang menjadi seorang office boy. Kini Bobby
sendiri sudah semakin yakin, kalau pendapatannya itu
tergantung dari banyak tidaknya dia melakukan
presentasi. Semakin banyak dia melakukan
presentasi, kemungkinan orang yang bergabung di
bawahnya pun akan semakin banyak pula, dan
dengan secara otomatis pendapatannya pun
meningkat dengan sendirinya.
193 http://www.mardias.mywapblog.com
Sembilan epuluh tahun telah berlalu. Semenjak Bobby
menekuni bisnis MLM, penghasilannya pun
meningkat drastis. Beberapa usaha kecil yang
didirikan dengan modal yang didapatnya ketika
menjalankan MLM sudah berjalan dengan baik, salah
satunya kini sudah tumbuh menjadi perusahaan besar
berskala Internasional. Hal itu bisa terwujud karena
ilmu MLM yang selama ini dipelajarinya telah
diterapkan untuk kemajuan perusahaannya sendiri,
yaitu dengan cara mengadopsi sistem MLM yang
Islami. Kini Bobby memang sudah menjadi seorang
konglomerat dengan penghasilan yang boleh dibilang
berlebihan. Namun begitu, dia tidak lupa dengan
kewajibannya untuk membayar zakat. Kelebihan uang
yang direzekikan kepadanya itu pun, sebagian selalu
disisihkan untuk membantu sesama. Dan yang


Merah Muda Dan Biru Karya Bois di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

S 194 terpenting adalah, dia bisa mengelola uang itu agar
senantiasa membawa manfaat. Selama ini dia
berusaha tidak tergoda menghambur-hamburkan
uang untuk hal-hal yang bersifat duniawi, belanja
barang-barang mahal yang tidak terlalu penting
misalnya. Dia berpendapat, lebih baik uang itu dipakai
untuk membuka lapangan kerja baru yang Islami.
Karenanyalah, dia pun mencoba mendirikan sebuah
rumah produksi yang Islami. Sebuah rumah produksi
yang memberi kesempatan kepada seniman-seniman
Islam untuk bisa berkarya dengan tanpa melanggar
aturan Al-Quran. Namun, tantangan yang dihadapi
pada usaha barunya itu tidaklah mudah, beberapa
kendala mengenai halal-haram memang tidak mudah
untuk diatasi. Tapi karena tujuannya adalah ibadah,
maka ia pun akhirnya tidak begitu mementingkan
keuntungan, yang terpenting baginya adalah
bagaimana ia bisa membuat film/sinetron yang
bermutu dan mengajak orang untuk berbuat baik,
yaitu dengan mengangkat cerita-cerita yang Islami.
Walaupun menurut prediksi, cerita seperti itu tidaklah
195 begitu komersil. Namun begitu, dia tetap ngotot untuk
memproduksinya. Sekali lagi, itu semua lantaran
tekadnya yang kuat untuk beribadah, bukan sematamata
mencari keuntungan. Saat ini pun Bobby sedang membicarakannya
dengan seorang sutradara yang dipercaya bisa
mewujudkan keinginannya itu. Kepada Sang
Sutradara, Bobby mengemukakan keinginannya untuk
membuat sinetron murni untuk tujuan ibadah.
Karenanyalah, dia tidak mau jika proses pembuatan
sinetron Islami, namun dengan cara yang tidak Islami.
Semisal, jika ada adegan suami istri yang menyentuh
istrinya dengan mesra. Bobby tidak mau jika aktor dan
aktris yang memerankan adegan itu bukanlah suami
istri, karena dalam Islam tidak dibenarkan pemuda
dan perempuan yang bukan muhrimnya untuk saling
bersentuhan. Bukan film laga saja yang membutuhkan peran
pengganti, namun dalam film yang akan Bobby
produksi itu ternyata membutuhkan banyak pemeran
pengganti yang akan menggantikan adegan yang
196 menurut Bobby cukup berbahaya. Semisal, adegan
ketika seorang penjahat yang sedang menyandera
seorang gadis. Dalam adegan itu, si penjahat
mendekap si gadis sambil mengarah pisaunya ke
arah ulu hati. Saat itulah dibutuhkan adanya peran
pengganti, yaitu si gadis dalam adegan itu harus
digantikan oleh seorang pria yang telah di make up
menyerupai si gadis. Bukan itu saja, awal adegan
pemerkosaan pun sama-sekali tidak ditampilkan, yang
ditampilkan hanya para setan yang tengah bersorak
kegirangan sambil berseru "Ayo terus" lampiaskan
nafsumu, kau pasti akan bersama kami di Neraka,
Ha... ha... ha"!"
Itulah segala persyaratan yang Bobby ajukan
kepada sang Sutradara yang kini sedang berpikir
keras untuk bisa mewujudkan semua itu. "Pak Bobby,
sebenarnya bisa saja saya melakukan itu. Namun, hal
itu pasti akan membuat biaya produksi semakin
membengkak. Padahal, belum tentu film yang tidak
komersil ini akan sukses di pasaran. Apakah Bapak
197 tidak takut rugi, jika nanti biaya produksinya tidak
tertutupi." "Kita kan belum mencobanya, Pak. Lagi pula, soal
rezeki itu kan urusan Tuhan. Kalau Tuhan memang
menghendaki saya untuk mendapat keuntungan dari
usaha itu, maka tidak mustahil film itu akan disukai
pasar," jawab Bobby optimis.
"Baiklah, Pak. Kalau begitu, kapan saya sudah
bisa mulai memproduksinya?"
"Insya Allah, setelah urusan perizinan dengan
Penulis yang menulis naskah cerita yang akan kita
produksi ini beres. Soalnya, si Penulis ini juga tidak
menghendaki jika ceritanya"yang akan kita angkat ke
layar kaca nanti justru membuat dampak yang tidak
baik." "Baiklah, Pak Bobby. Jika sudah tidak ada lagi
yang dibahas saya mohon pamit, hari ini saya harus
menyelesaikan produksi episode terakhir sinetron
yang sedang saya buat."
"O" Silakan, Pak. Terima kasih karena sudah
menyediakan waktu untuk bertemu saya."
198 "Sama-sama, Pak. Mari?"
Bobby pun mengantarkan orang itu hingga keluar
ruangan. Pada saat yang sama, tiba-tiba saja HP-nya
yang berada di saku berbunyi.
"Iya, ada apa, Sayang?"" tanya Bobby menjawab
panggilan itu. "Bang, cepatlah pulang. In-Intan, Bang?"
"Intan kenapa?"
"Intan kecelakaan, Bang?"
"Innalillahi" Baiklah, Sayang" aku akan segera
pulang." Setelah memutuskan sambungan, Bobby pun
segera pulang menjemput istrinya dan bersama-sama
menuju ke rumah sakit. Kini mereka tengah
menunggu di depan ruang gawat darurat dengan
perasaan cemas. Hingga akhirnya seorang dokter
datang menemui mereka. "Bagaimana, Dok?"
"Syukurlah... Atas izin Tuhan, putri Bapak bisa
diselamatkan." 199 Betapa senangnya Bobby dan Dewi yang
mendengar kabar itu, mereka pun segera bersujud
sukur atas pertolongan Tuhan yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang. "Terima kasih, Dok!" Ucap Bobby kepada Dokter
yang telah dipercaya Tuhan sebagai perantara
keselamatan putrinya. "Sudahlah, Pak. Itu kan memang sudah tugas
saya," jawab Sang Dokter yang menyadari kalau itu
semua memang atas izin-Nya.
Setelah Intan dipindah ruangan, Bobby tampak
sedang memandangi putrinya yang kini masih belum
sadarkan diri. Saat itu Bobby hanya bisa berdoa agar
putrinya lekas sembuh, dan saat itu dia tampak
optimis kalau putrinya akan baik-baik saja. Sebab,
sang Dokter memang sudah meyakinkannya.
Selama Intan berada di rumah sakit, ketiga istri
Bobby selalu bergantian menjaga Intan dengan penuh
perhatian hingga akhirnya gadis itu diizinkan pulang.
Bobby sangat bersyukur mempunyai ketiga orang istri
yang kini sudah betul-betul menjadi istri-istri yang
200 sholehah. Saat ini pun, Bobby dan ketiga istrinya, juga
beserta anak-anak mereka tampak sedang berkumpul
untuk berdoa bersama dalam acara syukuran yang
diadakan di kediaman Dewi. Begitulah keluarga Bobby
yang mulai menyadari akan arti kehidupan, yang
tanpa menghiraukan ego terus berupaya konsisten
untuk menjalani kehidupan sebagai manusia yang
bertakwa kepada Tuhan seru sekalian alam.
Di siang yang cerah, di ruang tamu kantornya.
Bobby tampak sedang berbicara dengan seorang
wanita mualaf yang akan menjadi pemeran utama
wanita dalam film yang akan diproduksinya. Saat itu
dia juga ditemani oleh sutradara dan asisten sutradara
yang akan menggarap film tersebut.
"Saudari Olivia, apakah skenario yang diberikan
padamu sudah kau pelajari?"
"Sudah, Pak." 201 "Nah, Olivia. Apakah kau siap memerankan peran
itu?" "Insya Allah, Pak. Terus terang, karakter yang
akan kuperankan itu memang cukup menantang.
Maklumlah, aku ini kan masih gadis, sedangkan
karakter itu adalah seorang janda yang kehidupannya
sangat jauh berbeda dengan kehidupanku sehari-hari.
Bagiku hal itu sangat menarik dan yang pasti akan
menambah pengetahuanku dalam soal akting."
Bobby dan aktris muda itu terus berbincangbincang
mengenai film yang akan diproduksinya.
Sebuah film yang mengisahkan tentang ketabahan
janda muda yang ditinggal mati suaminya. Dimana
pada film itu janda muda itu mendapat ujian yang
cukup berat, digoda banyak pemuda hidung belang,
difitnah oleh para wanita yang dengki dan masih
banyak lagi. "Baiklah, kalau begitu sekarang coba kau
perlihatkan padaku salah satu adegan yang ada
dalam skenario itu!"
202 "Baik Pak," kata Olivia seraya bangkit dari
duduknya dan mulai berakting.
Dia berakting disaat janda muda itu baru saja
diperkosa oleh seorang pemuda hidung belang.
Sambil menangis si janda meratap kepada Tuhan
mengenai nasibnya, "Ya Tuhan... Apa yang telah
terjadi padaku" Padahal, selama ini aku sudah
berhijab. Namun, kenapa masih ada pemuda yang
tega memperkosaku?" Saat itu, si setan yang diperankan oleh asisten
sutradara tampak tertawa terbahak-bahak. "Hahaha...!
Makanya untuk apa kamu berhijab. Semuanya itu
tidak ada gunanya, buktinya pemuda itu masih juga
memperkosamu, Hahaha...!!! Hijabmu sama sekali
tidak berguna karena tetap membuat pemuda itu
bernafsu padamu. Hahaha...!"
"Jangan dengarkan dia, wahai wanita mulia!" kata
malaikat yang diperankan oleh Pak Sutradara. "Kau
adalah korban. Sesungguhnya pemuda itu bernafsu
bukan lantaran melihatmu, tapi karena dia melihat
wanita tetanggamu yang seksi itu. Kau adalah wanita
203 yang tak berdaya, karenanyalah dia berani
memperkosamu. Andai kecantikan wajahmu yang tak
bercadar itu tidak berpadu dengan keindahan tubuh
wanita tetanggamu itu, mungkin dia tidak akan
menjadi gelap mata. Semua itu terjadi karena
ketidaktahuanmu, yang memang masih belum
berhijab dengan sempurna. Ketahuilah, sekarang ini
wajah sudah berubah fungsinya, dan itu semua akibat
tayangan cabul yang telah mencuci otak pemirsanya.
Di mana ciuman bibir dan oral sex merupakan bagian
dari kegiatan sex yang menyenangkan. Karenanyalah,
tutuplah wajahmu agar orang telah dicuci otaknya
tidak membayangkan hal-hal yang tak layak
kepadamu...!" "Ya, Tuhan. Ampunkanlah segala dosaku yang
tidak menyembunyikan kecantikan ini sehingga
membuatnya jadi demikian. Aku sungguh tidak
menduga, kecantikanku ini sudah membawa petaka,"
si janda muda itu terus meratap memohon ampun
kepada Tuhannya. Dia betul-betul merasa bersalah,
204 akibat kebodohannyalah dia menjadi korban
pemerkosaan. Setelah memerankan adegan itu, akhirnya Olivia
kembali ke tempat duduknya. Saat itu, Bobby
langsung mengomentarinya. "Saudari, Olivia. Terus
terang, saya terkesan dengan kemampuanmu
beraktingmu. Biarpun kau belum punya nama, namun
aktingmu tidak kalah bagus dengan mereka yang
sudah punya nama. Karenanyalah, kau memang
pantas untuk diberi kesempatan."
"Terima masih, Pak. Dengan kesempatan ini saya
akan berusaha sungguh-sungguh untuk bekerja
sebagai seorang professional."
"Hmm... Baiklah kalau begitu, kau kuterima. Dan
hari ini juga kau akan menandatangani kontrak kerja
sama kita. Namun, sebelum kau menandatanganinya
sebaiknya kau baca dulu isi kontrak ini baik-baik!" kata
Bobby seraya menyerahkan kontak kerja sama
kepada Olivia. Setelah menerima lembaran itu, Olivia pun segera
membacanya dengan seksama. Dan tak lama
205 kemudian, "Baik, Pak. Saya menyanggupi isi kontrak
ini." "Baiklah kalau begitu, sekarang kau boleh
menandatanganinya," kata Bobby seraya memberikan
sebuah pena padanya. Lantas Olivia pun segera menanggapi pena itu
dan menandatangani kontrak, kemudian dengan
segera pula dia menyerahkannya kepada Bobby.
Setelah Bobby menyelesaikan urusan kontrak itu, dia
pun kembali bicara. "Nah, Saudari Olivia. Mulai
sekarang kau akan bekerja sama dengan Pak
Sutradara." Setelah berkata begitu, Bobby pun pamit untuk
meninggalkan ruangan. Dia pergi untuk menghadiri


Merah Muda Dan Biru Karya Bois di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

acara kumpul keluarga yang biasa diadakan setiap
bulan, yaitu makan dan bercengkerama bersama
ketiga istri dan anak-anaknya untuk meningkatkan tali
persaudaraan. 206 Setahun kemudian, di teras belakang kediaman
istri Bobby yang bernama Nina. Bobby dan istrinya itu
tampak sedang bercakap-cakap. Saat itu Bobby
sedang membicarakan perihal keinginannya untuk
menikah lagi. "Apa! Abang mau menikah lagi?" Nina tampak
terkejut. "Iya, Sayang" Boleh kan?" Bobby berharap.
"Tidak boleh," tolak Nina.
"Mengertilah, Sayang" Aku mau menikah lagi
bukan lantaran aku kepingin daun muda, tapi ini
benar-benar karena alasan ibadah."
"Hmm" Jadi karena kau ingin Ibadah ya, Bang.
Hmm" memangnya, ibadah yang selama ini kau
lakukan masih belum cukup sehingga kau butuh istri
lagi untuk beribadah" Lagi pula, memangnya tidak
ada cara lain yang bisa meningkatkan ibadahmu itu
selain menikah lagi" Bang, terus terang" Jika
kuizinkan aku khawatir kelak kau akan menikahi
banyak wanita karena alasan ibadah."
207 "Sayang" ini tidak seperti yang kau pikirkan,
bukan maksudku seperti itu. Terus terang, aku
melakukan ini semata-mata karena ingin menolong
gadis itu. Karenanyalah, ibadah yang kumaksud
bukan seperti yang kau kira, yang bisa dengan cara
lain. Soalnya ini memang bukan menyangkut diriku
saja, tetapi juga melibatkan orang lain, yaitu gadis
yang ingin aku nikahi itu."
"Baiklah kalau begitu, sekarang coba jelaskan
padaku, apa maksudmu dengan beribadah yang kau
maksudkan itu!" "Hmm" Begini, Sayang. Gadis itu adalah seorang
aktris yang kini bekerja padaku, dan dia juga seorang
mualaf yang saat ini belum mengerti betul ajaran
Islam. Gadis itu masih labil dan mudah terpengaruh
bisikan setan. Belum lama dia telah mengancam akan
bunuh diri jika aku tidak menikahinya. Rupanya dia
sudah terobsesi denganku dan sepertinya cinta yang
melekat di hatinya telah membuatnya buta. Dia sama
sekali tidak peduli kalau aku sudah mempunyai tiga
208 istri, katanya lebih baik mati dari pada tidak
bersamaku." "Astagfirullah"! Benarkah yang kau ceritakan itu,
Bang?" "Hmm... Apa sekarang kau sudah tidak percaya
lagi dengan kata-kataku?"
"Maaf, Bang! Bukan maksudku begitu, tapi"
Terus terang, aku hampir tidak bisa percaya kalau
ternyata ada gadis yang sampai begitu."
"Semula aku pun berpikir begitu, namun saat
itu"ketika dia nekad mau melompat dari jendela
kantorku yang berada di lantai 20, mau tidak mau aku
pun harus mempercayainya."
"Hmm" Kasihan sekali dia. Sepertinya dia
memang membutuhkan pertolonganmu, Bang."
"Ja-jadi" Kau mengizinkanku?"
"Ya" Aku mesti bagaimana lagi. Terus terang,
aku pun merasa ikut berdosa jika dia mati lantaran
aku tidak mengijinkanmu menikah lagi. Tapi, di lain
sisi aku takut jika orang menganggapmu tukang
kawin. Sekarang kan, kau seorang publik figur yang
209 mana setiap langkahmu selalu dipantau oleh para
wartawan. Aku sebagai istrimu tentu percaya padamu,
tapi apakah orang lain akan percaya?"
"Itu juga yang saat ini sedang membuatku
bingung, apakah aku harus menikahinya secara resmi
atau tidak." "Hmm" Bagaimana jika Abang menikahinya di
bawah tangan saja, dan pernikahan ini untuk
sementara dirahasiakan dulu. Kau bisa
mengumumkannya nanti, jika kondisinya memang
sudah memungkinkan."
Akhirnya Bobby pun mempertimbangkan
perkataan istrinya itu. Sebagai seorang produser
terkenal, dia memang tidak mungkin bisa seperti dulu.
Jika ada sesuatu yang menyangkut dirinya, apalagi
jika itu sesuatu yang menarik tentu akan segera
diberitakan, dan hal itu pasti akan menjadi santapan
publik yang cukup hangat.
210 Setelah mendapat izin dari ketiga istrinya, dan
juga mendapat restu dari anak-anaknya, akhirnya
Bobby melamar Olivia. Kini keduanya sedang
membicarakan soal rencana pernikahan mereka.
"Hmm" Kenapa kau tidak mau menikah di bawah
tangan?" tanya Bobby.
"Tidak, Bang. Pokoknya aku tidak mau. Nanti,
kalau terjadi apa-apa. Kau bisa seenaknya
mencampakkanku, dan jika kita dikaruniai anak, aku
khawatir kau tidak mau bertanggung jawab."
Bobby tersenyum. "Kau jangan khawatir, Olivia"
Ini untuk sementara saja. Jika kita ternyata memang
bisa konsisten dengan apa yang sudah kita sepakati.
Aku pasti akan menikahimu di KUA. Apalagi jika kau
hamil, aku pasti kan segera menikahimu secara
resmi." "Tapi, Bang..."
"Sudahlah, Olivia! Percayalah padaku. Aku juga
tidak mau jika pernikahan kita tidak diakui oleh hukum
di negara ini. Lagi pula, kenapa kau harus takut.
Bukankah kau mencintaiku, karenanyalah percaya
211 saja padaku. Terus terang, aku menikahimu bukan
karena ingin main-main, namun karena aku ingin
beribadah. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral,
dan jika dibuat main-main tentu pelakunya harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada
Tuhan. Kalaupun ternyata kita harus berpisah karena
suatu sebab, aku pasti akan menceraikanmu dengan
cara yang baik. Tapi, kemungkinan perceraian itu kecil
sekali. Tentu saja jika kita sama-sama mau selalu
merujuk kepada al-Quran dan Hadist, yaitu mengenai
hak dan kewajiban sebagai suami-istri."
Setelah mendengarkan penjelasan itu, akhirnya
Olivia pun bersedia menikah di bawah tangan. Dia
sadar kalau kelanggengan pernikahan itu tergantung
kepada kedua pelakunya, selama keduanya mau
memegang teguh nilai-nilai agama tentu mereka akan
terus mempertahankannya, namun bila salah satu
atau keduanya mementingkan ego, maka jalan yang
terbaik adalah perceraian. Menikah di bawah tangan
maupun tidak, bukanlah perkara yang perlu dibesarbesarkan.
Sebab, jika hal itu dilakukan karena alasan
212 darurat, dan memang itulah satu-satunya cara yang
terbaik, kenapa tidak. Lagi pula, untuk orang yang
mengerti agama tentu akan merasa was-was jika
menikah di bawah tangan, baik si pria maupun wanita.
Karena jika keduanya dikaruniai anak dan mereka
bercerai, maka akan sangat sulit sekali menentukan
siapa yang berhak mengasuh anak tersebut. Lain
halnya dengan menikah secara resmi di KUA. Jika
terjadi hal demikian, maka saat itulah lembaga
pengadilan agama berfungsi sebagai penentu siapa
yang berhak dan yang tidak. Ini penting, karena
sebagai orang tua yang mengerti agama tentu merasa
berkewajiban memberikan pendidikan yang baik dan
nafkah yang halal. Andai saja, jika anak itu sampai
diberikan hak asuhnya kepada orang yang salah,
maka sangat dikhawatirkan anak itu akan mendapat
pendidikan buruk dan nafkah yang haram. Walaupun
Bobby tahu kalau oknum di KUA terkadang masih bisa
di suap sehingga hak asuh akhirnya jatuh kepada
orang yang tidak tepat. Itulah yang dikhawatirkan oleh
Bobby sehingga dia berniat menikahinya secara resmi
213 setelah Olivia ketahuan mengandung anaknya.
Karena jika tidak, bisa saja anaknya itu akan diasuh
oleh istrinya. Kalau istrinya mengerti agama tentu
tidak menjadi masalah, namun jika tidak apakah
anaknya kelak akan bisa menjadi anak yang sholeh.
Walaupun dia tahu yang menentukan kesholehan
seorang anak adalah Tuhan, namun dia berkewajiban
untuk berusaha semaksimal mungkin. Jika orang yang
sudah mengerti agama saja, belum tentu bisa
mendidik anaknya menjadi sholeh, apalagi yang tidak
(kecuali atas seizin Tuhan).
Sebulan kemudian, Olivia secara agama telah
resmi menjadi istri Bobby. Kini sepasang pengantin
baru itu tampak sedang berbagi kebahagiaan di
apartemen Olivia. Mereka saling bercumbu rayu dan
bermanja-manja bagaikan sepasang merpati yang
sedang memadu kasih. Hingga akhirnya, Olivia yang
214 sudah terpuaskan tampak melangkah ke kamar
mandi untuk mandi wajib. Sementara itu, Bobby yang hanya mengenakan
kimono tampak masih berada di tempat tidur. Dia
Lagu Rindu Puncak Ciremai 1 Pendekar Romantis 04 Patung Iblis Banci Kisah Si Rase Terbang 5

Cari Blog Ini