Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata Bagian 3
tercengang karena keempat pendatang baru tadi bermata sipit seperti dirinya!
Bagaikan digerakkan oleh magnet, setelah pendatang baru itu sampai di tempat arca dwarapala,
perempuan berpakaian serba putih tadi segera mengacungkan tangan untuk bersalaman dan
berkenalan. Dia merasa mendapat teman seminat dan seketurunan. Mereka itu datang tentulah
karena minatnya terhadap petilasan di Dusun Raos itu! "Hei" Aisun!" "Mengki'i'" "Ibunda!"
Fusen dan Yong Pin tertegun. Mereka tak kuasa lagi menggerakkan anggota tubuhnya, terkesiap
dan terharu melihat kehadiran perempuan yang bergaun serba putih itu! Wajahnya persis seperti
wajah perempuan yang lama dikenalnya, wajah majikannya yang dikurung dalam sebuah bilik kapal
di Tuban! Tidak serambut pun berbeda! Karena itu Fusen dan Yong Pin tidak berani begitu saja
mengulurkan tangan ikut menyalami! Perempuan itu Aisun! Majikannya! Mereka wajib hormat
padanya! Jadi peristiwa ini merupakan pertemuan keluarga! Mengki'i adalah suami Aisun. Dan Fang Fang
adalah puteri mereka. Keluarga pasca bangsawan Fukien yang terlunta-lunta!
Sekejap mereka beradu pandang. Tertegun. Dalam sekejap itu bayangan mereka melilit ke zaman
yang lampau, saat pertemuan bertiga yang terakhir. Mengki'i yang wataknya penyabar, saat itu
bagaikan kesurupan dedemit Tuban, jadi marah-marah tak karuan, membentaki Aisun
sejadi-jadinya karena Aisun merengek mau ikut melawat lewat daratan ke Istana Singasari!
"Ini bukan berpariwisata! Ini melaksanakan tugas Kaisar! Tugas yang mengancam permusuhan!
Bisa menimbulkan perseteruan! Kamu jangan seenak udelmu mau jaUn-jalan di bumi seteru! Kita ini
dimusuhi di sini! Tidak! Kamu berdua, perempuan, harus tinggal di kapal, bersembunyi hingga aku
25 datang lagi! Aku pergi tidak lama, hanya dua tiga hari! Tidak lama! Setelah itu kita berkumpul lagi
seperti sedia kala, semesra waktu kita berlayar kemari!" ucap Mengki'i berubah tabiat! Tidak
biasanya dia begitu gigih mempertahankan kehendaknya, apalagi dengan acuan demi kebahagiaan
mereka bertiga! "Menurut firasatku, pada saat-saat ini, semasa jauh dari tanah warisan, kita harus bersatu. Tiga
orang sedarah ini tidak bol
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
eh berpisah. Kalau sampai terpisah maka entah Tuan entah aku, atau kedua-duanya, bahkan bisa
juga bertiga bersama Fang Fang anak kita, bisa memperoleh celaka! Nasib kita akan jelek, jika tidak
berada di satu tempat pada suatu waktu kita berkumpul. Nasib jelek selalu mengintai kalau kita
berpisah selama jauh dari tanah air!" ujar Aisun,
"Aisun, kamu jangan menyebut lagi soal nasib jelek mengintai! Firasat bodoh itu akan menjadi
kenyataan, karena sebenarnya merupakan suatu permohonan kepada Hyang Widhi. Karena itu
jangan pernah lagi kamu membayangkan dan menyebut-nyebut tentang nasib jelek! Marilah kita
lihat situasi dan kenyataannya saja. Kalau kita berangkat bersama sekeluarga ke Singasari, kita
harus menyediakan kuda tambahan untukmu dan Fang Fang!"
"Kuda sudah kita siapkan sejak berangkat dari Chuan-chau! Tidak jadi persoalan!" bantah Aisun.
"Rombongan kita menjadi besar. Ini menarik perhatian orang! Kita akan banyak menemukan
rintangan. Tapi kalau aku berangkat sendiri dan mengajak empat orang terbaik dari prajurit kita
maka perjalananku ke Singasari itu dapat kutempuh dalam waktu singkat dan selamat. Tidak
disendati oleh perempuan!"
Perdebatan itu berakhir dengan dimasukkannya Aisun dan Fang Fang pada sebuah bilik di kapal.
Dan secepatnya Mengki'i berangkat tergesa menuju pusat Kerajaan Singasari. Permohonan Aisun
agar membawa saputangan gambar naga yang menjadi pengayom keluarga, diterimanya sambil
lalu saja! Dan tercecer di pasak sebuah dangau di tepi Kali Pacekan.
Aisun, seorang perempuan dan seorang istri seperti kodratnya, bagaimana juga mesti mengalah!
Dikurung dalam bilik begitu ia tidak bisa berbuat nekad, misalnya memberat diri atau bunuh diri.
Perbuatan nekad seperti itu tentu mengakibatkan kesengsaraan lebih parah.
Fang Fang menyaksikan semua pertengkaran menjelang perginya Mengki'i ke daratan Singasari. Ia
tidak akan lupa betapa bodohnya Mengki'i menerima saputangan pusaka pemberian ibunya.
138 "Aku tidak yakin Ayah mendengarkan pesan terakhir Mama," rerasan Fang Fang setelah malam
tiba. "Beliau abai sekali terhadap kekhasiatan saputangan itu! Bu! Aku tidak tega membiarkan Ayah
membawa saputangan itu! Kalau malam ini aku bisa melepaskan diri dari bilik ini, esok pagi aku
akan menyusul Ayah. Restui aku, Ma!"
"Kamu jangan macam-macam, Fang. Jangan menambah beban keruwetan!"
Semalaman Fang Fang berusaha mencari jalan meloloskan diri dari sekapan bilik di kapal. Baru
pagi harinya ia menemukan bahwa terali jendela yang sebelumnya digunakan ibunya meloloskan
saputangan, ternyata bisa diterobos oleh badan Fang Fang.
"Fang Fang! Sebaiknya kamu jangan pergi Sebab kalau kamu pergi, akan berpisah denganku. Aku
kuatir perpisahan ini untuk selamanya!" keluh Aisun.
"Tetapi Ayah harus ditolong, Bu! Saputangan itu akan kuminta, kubawa selalu berdua pergi melawat
di Bumi Singasari ini. Dengan demikian, Ayah boleh lengah mengabaikan saputangan kita, tetapi
1 dia akan tetap terlindungi nyawanya karena aku selalu berada di dekatnya. Menggenggam
saputangan gambar naga!"
"Fang Fang. Kalau kamu pergi, jelas kamu melanggar kehendak ayahmu. Kamu akan menerima
hukuman yang berat dan kena marah ayahmu!"
"Tapi kalau aku patuh di sini, apa gunanya kalau Ayah mendapat musibah dan tidak dapat kembali
bertemu hidup dengan kita" Kita harus berjuang lebih dulu menyelamatkan ayah sebelum
berpikiran macam-macam yang sebenarnya mungkin hanya merupakan ramalan nasib yang jelek!
Kita hams menyelamatkan Ayah dulu, Bu!"
Karena puterinya ngotot, akhirnya Aisun mengizinkan Fang Fang pergi menyusul ayahnya. Ia heran
karena Fang Fang tidak biasanya punya kehendak begitu kuat, tidak bisa dibengkokkan! Apakah ini
bukan isyarat bahwa kemauan puterinya itu atas tuntunan Yang Mahakuasa" Kalau begitu halnya,
tidak selayaknya Aisun menghalangi atau mengkhawatirkan hal-hal yang jelek. Ia harus
mengizinkan Fang Fang pergi dengan ikhlas! Ikhlas dan rela, apa pun akibatnya! Berakibat jelek
atau baik, Aisun harus menerima apa adanya!
"Suruhlah Fusen dan Yong Pin mengawalmu. Mereka berdua adalah orang Fukien asli, yang punya
kesetiaan sejati terhadap orang-orang keturunan bangsawan seperti kita!" akhirnya keluar pesan
Aisun. Dan begitulah Aisun dan Fang Fang berpisah!
Dan baru sekarang, di Dukuh Raos yang dulu bernama Rabut Carat, Aisun dan Fang Fang bertemu
kembali! Masih jelas garis hubungan cinta ibu dan puterinya antara mereka; tetapi karena tersekat
berabad waktu tidak saling dipertontonkan, kasih sayang ibu dan anak dan sebaliknya itu tidak bisa
diungkapkan kembali dengan mesra seperti dahulu kala.
"Hei Aisun!" "Mengki'i!" "Ibunda!" Seruan siapa itu" Tidak seorang pun bergerak mengucapkan. Semua terjadi sekejap dalam pikiran
atau hati nurani milik masing-masing orang yang sedang berhadapan di dekat arca dwarapala.
Seruan itu diucapkan oleh mata hati Dokter Mengki, mata hati perempuan berbaju putih, dan
sanubari Fang Fang' Tetapi ketiganya tidak kuasa
mengungkapkannya dengan gerak bibir. Jadi hanya pandang
memandang saja beberapa menit lamanya.
Setelah ingatan tersadar, mereka pun merasakan betapa panasnya sinar matahari pagi bulan Mei
yang memancar di atas Dukuh Raos itu. Panasnya sinar matahari itu mengantar perasaan mereka
kembali ke bumi nyata. i "Selamat pagi! Saya Dokter Mengki! Gadis ini Fang Fang, pasien saya. Dan kedua pemuda gagah
itu Fusen dan Yong Pin, pengawal Fang Fang! Nyonya kelihatannya bukan orang daerah sini.
2 Nyonya berminat besar untuk mengamati benda sejarah ini?" ujar Mengki. Ia maju sampai jarak dua
tiga tindak dari perempuan asing itu.
"Selamat pagi! Maaf, bahasa Indonesiaku masih amat kaku. Tuan benar, aku orang asing di sini.
Aku warga negara Singapura, tetapi orang tua turun-menurun dari daratan Cina sebelah tenggara.
Tepatnya Provinsi Hokkian."
"Provinsi Hokkian atau Fukien, ibukota Amoy!" sahut Mengki meneruskan dan menjelaskan.
"O, Tuan tahu! Apakah Tuan juga dari sana?"
"Aku tidak tahu! Besar kemungkinan nenek moyangku dari sana. Tetapi entah berapa generasi
yang lata! Sudah tak terurus lagi silsilahku! Dan apa kerja Nyonya di sini" Ada tugas khusus dari
pemerintah atau perguruan tinggi tertentu?"
"O, tidak! Aku memang dosen arkeologi yang diperbantukan oleh pemerintah Singapura. Tapi
sampai di sini bukan karena tugas penelitian. Aku sedang berlibur. Oleh mahasiswaku, Swandanu,
aku diajak ke rumahnya di Surabaya. Sebenarnya ia sakit dan oleh dokter diharuskan istirahat di
rumah. Tapi ia mengajakku dengan memamerkan bahwa di daerah Watukosek dan Raos sini
banyak sumber air yang telah dibangun menjadi sendang dengan ornamen arca atau candi. Mungkin aku
tertarik untuk melihatnya. Ya, memang tertarik sekali. Pagi ini aku diajak kemari. Dan melihat arca
penjaga pintu pangkalan penyeberangan zaman kuno! Elok sekali! Dulunya tempat ini mungkin
ramai dikunjungi orang!"
la bicara gegap gempita. Bahasa Indonesianya amat kaku, namun karena semangat bicaranya
begitu tinggi, terungkap juga buah pikiran yang lengkap. Dapat dipahami. Ia kesengsem dengan
materi pembicaraan sampai lupa menyebutkan namanya dan memperkenalkan teman-temannya.
h Begitu terlihat dari atas tanggul terlibatnya percakapan antara perempuan berbaju putih dengan
orang-orang kota yang baru datang, dua orang pemuda yang berada di tepi bengawan turun
menggabungkan diri. "Maaf, Nyonya belum memperkenalkan nama," potong Dokter Mengki.
Dua pemuda dari atas tanggul tadi telah sampai. Mereka sempat mendengar tegoran Mengki.
Segera saja seorang yang bertubuh semampai, rambutnya lurus, menyela pembicaraan yang seru
itu. "Maaf. Ini dosen saya, baru tiga bulan di Indonesia. Namanya Doktor Aisun, seorang janda. Saya
Swandanu, mahasiswa UGM. Gadis ini Wariwari, tunangan saya. Dan jejaka yang suka tertawa ini
Pamoraga, taruna Akabri."
Delapan orang asing di tengah ladang ketela pohon itu saling berjabatan tangan dan menyebut
nama masing-masing. Ketika Swandanu berjabat tangan dengan Fang Fang, pandangan mereka bertatapan, tiba-tiba
terjadi kilatan 3 142 cahaya seperti kena pijaran lampu blitz. Kedua pribadi ku tercengang satu menatap yang lain. Ada
sesuatu yang sakral terungkap. Ada sesuatu yang indah pernah terjadi di antara mereka berdua.
Keduanya kini sesak napas di dada karena diganjal rasa terharu. Namun apa hal yang pernah
mereka alami bersama yang indah itu, belum sempat mereka ungkapkan. Bahkan tidak teringat
sama sekali. Sinar mata bening milik Fang Fang telah mengaduk ham sanubari Swandanu. Cuma
sejenak, lalu lenyap. Senyum dan suara Swandanu waktu menyebut namanya itu terasa tenteram
menyiram jiwa Fang Fang. Cuma sekilas, lalu lenyap. Keduanya keburu tersadar pada masa kini.
Meski kehangatan bergaul bersemayam di hati mereka, Swandanu sadar bahwa dia pemuda
Surabaya yang menuntut ilmu di UGM. Sementara, Fang Fang ingat diri sebagai seorang gadis dari
Tuban yang menjadi pasien Dokter Mengki. Secara ajaib mereka bertemu di bekas pangkalan
perahu Rabut Carat! "Apakah kita pernah kenal akrab?" tanya Fang Fang.
"Yang jelas, kini kita berjabatan tangan erat-erat. Perkenalan ini bisa bersambung akrab, seerat
tautan tangan kita ini! Aku Swandanu. Kamu?"
"Aku Fang Fang! Ya, kurasa aku pernah dengar suaramu. Kurekam dan kunikmati merdunya. Entah
mungkin dalam mimpiku! Kamu tidak pernah menggeledahi mimpimu?"
"Untuk apa?" "Barangkali menemukan Fang Fang di situ, dalam peraduan manismu!" ujar Fang Fang kenes.
Aduh, udara akrab berkembang di rongga dadanya, menggelinjangkan
perasaan. "Bicaralah! Aku suka dengar suaramu!"
143 Fang Fang tidak melepaskan gandengan tangannya. Ia justru lebih erat menggenggam tangan
Swandanu, laki diajak berjalan menjauh dari kerumunan manusia di ladang ketela pohon itu, masih
pegang-pegangan tangan. "Swandanu! Aku selalu dengar nama itu. Di sini! Ya, di sini (menunjuk otaknya), di sini (menunjuk
dadanya), di sini (menunjuk bibirnya), di sini (menunjuk bumi), di sana (menunjuk tanggul
Bengawan Brantas), di mana-mana!"
Swandanu tidak dapat menolak. Enggan. Mengapa mesti ditolak" Ia justru menghendaki. Berjalan
bergandengan tangan dengan seorang gadis mata sipit yang cantik jelita. Ia seperti telah
mengangankan hal itu! Dulu, dulu sekali, entah kapan! Sekalipun ia telah punya Wariwari!
Fusen dan Yong Pin segera melihat kejadian yang memalukan itu! Sudah sepuluh langkah Fang
Fang berjalan berhimpitan tangan dengan pemuda berkaos biru yang baru dikenalnya. Memalukan!
Sungguh tidak pantas laki-laki dan perempuan baru yang berkenalan telah berjalan demikian
mesra. Di depan banyak orang lagi. Pada hari panas kerontang di ladang terbuka! Fusen dan Yong
Pin segera mengejar dan berusaha memisahkan.
"Fang Fang! Kamu ingat mengapa kita hari ini berwisata kemari?" seru Fusen.
4 "Saudara! Maaf. Fang Fang ini memang sedang dalam perawatan Dokter Mengki. Perbuatannya
seringkah lepas kontrol dan merusak tata krama! Sudilah Saudara melepaskan dia biar tidak
memalukan dipandang orang'" Yong Pin menghadapi Swandanu.
Wariwari juga sudah berada di dekatnya, siap merebut Swandanu. Wajahnya cemberut berat!
Swandanu melepaskan genggamannya. Fang Fang
144 melepaskan gandengannya. Kini mereka berpisah badan.
Pandang masih bertautan, berjanji akan bertemu dan berbuat mesra begitu lagi pada masa yang
mendatang. Doktor Aisun dengan gairah menerangkan bahwa kedua patung dwarapala itu dulu merupakan
penjaga gerbang menuju tepian Bengawan Brantas. Orang yang mau naik ke darat atau turun ke
perahu lalu lalang melewati antara dua arca itu.
Kelompok orang asing di tengah ladang itu bergerak menuju ke tepi sungai, tempat Swandanu dan
Pamoraga tadi bercakap-cakap. Tanggul pasir itu ternyata merupakan perisai agar air sungai jangan
cepat meluap pada masa murah air. Kalau tanggul itu tidak ada maka ladang tempat arca
dwarapala itu akan tergenang air bila Bengawan Brantas besar airnya.
"Sungai ini dulu jalan raya nomor satu pada zaman jayanya arca dwarapala itu. Bila orang Kediri
hendak ke Singasari, jalan yang paling mudah adalah menghanyut lewat sungai. Di daerah ini
mereka menepi dan bermukim. Dan kemudian berbuat jahat atas perintah rajanya, Jayakatwang.
Jadi perusuh-perusuh dari Kediri itu sengaja dikirim oleh Jayakatwang sebagai awal dari
pengkhianatannya terhadap Sri Baginda Kertanegara, sang besan!" kilah Aisun.
Mereka yang mendengarkan terhanyut oleh kisah ahli arkeologi itu. Mereka seolah-olah pernah
berada di situ dan terlibat dalam lelakon yang terjadi.
"Ya! Kami pernah naik perahu di sini! Menyeberang, tergesa-gesa, karena di belakang kami telah
bergemuruh teriakan sorak-sorai gerombolan orang bersenjata yang mengancam keselamatan
kami!" terucap Dokter Mengki, mengakui apa yang dikisahkan tamu asing H I
"Apa" Naik perahu di sini" Kapan" Mana mungkin! Sudah lama sekali tempat ini ditutup sebagai
tempat pe> nambangan perahu!" bantah Aisun memuskilkan pengakuan Mengki. Menurut ilmu yang
telah dipelajarinya, benda-benda purbakala yang berada di tempat itu sudah ada beberapa generasi
manusia sebelumnya. Pada saat baru dibangun benda itulah orang sering menggunakannya.
Generasi berikutnya sudah tidak digunakan lagi. Jadi, manusia seumur Dokter Mengki, apalagi
orang-orang muda pengikutnya, tidak mungkin pernah melakukan penyeberangan di situ! "Jauh
bertahun-tahun sebelum jembatan Kali Porong pada tahun 1904 dibuat oleh Belanda,
penyeberangan di sini sudah tidak terpakai lagi. Mana mungkin Tuan-Tuan mengalami ramainya
penambangan ini. Entah kalau cuma napak tilas!"
Fang Fang menengok Swandanu yang berada di sebelah kanan dosennya, tersenyum dan berkata
malu-malu, "Ooh, aku melihat kamu pertama kalinya di situ! Aku menunggang kuda, harus tergesa
5 naik ke perahumu! Kudaku nakal dan aku terjatuh ke pangkuanmul"
Doktor Aisun memandang Fang Fang, dan menoleh ke arah Swandanu, bertanya apakah betul
ucapan gadis itu; "Betul, Bu. Selanjutnya kami menyeberang. Aku tukang perahunya. Di situ kami selalu beradu
pandang, begitu dekat. Akhirnya ia mengangguk kepadaku, menuding dirinya sambil berucap 'Fang
Fang'. Lalu aku menjawab sambil menuding diriku 'Swandanu'. Kami pun tahu nama
masing-masing'" jawab Swandanu.
Tapi tidak mungkin! Tidak mungkin! Menurut bentuk arca dwarapala dan batu-batuan yang
digunakan sebagai tangga undak-undak turun ke sungai itu, semuanya buatan
146 abad ketiga belas Masehi. Tempat ini ramai dikunjungi orang pada abad itu! Sedang Tuan-Tuan ini
hidup masa kini, abad kedua puluh! Mana mungkin umur Tuan mencapai tujuh abad?" ujar Aisun,
wanita warga asing yang merasa tidak asing dengan benda-benda lama dalam studinya; i
Ia satu-satunya warga negara asing di dalam kelompok delapan orang itu. Dan satu-satunya yang
mempunyai kemampuan melihat masa lalu berdasarkan studi batu-batuan peninggalan zaman lalu.
Dari studi itu, ia sendirilah yang justru memustahilkan bahwa orang-orang kelompok itu pernah naik
perahu di penambangan situ.
Tapi tujuh orang lainnya, semua merasa pernah mengalami lelakon itu! Lelakon yang pernah terjadi
di sekitar penambangan perahu itu!
"Betul, Bu. Karena lirik-lirikan dan main mata dengan Puteri Fang Fang maka jalan perahuku
lambat. Aku teledor mengemudikan perahu. Padahal dari mudik sana, datang menghanyut dengan
cepatnya perahu-perahu orang Kediri, delapan perahu banyaknya, penuh dengan penumpang yang
bersorak-sorai mengancam dan mengutuk penumpang-ku, memusuhi habis-habisan. Karena jatak
perahu kami dengan perahu musuh menjadi paling dekat maka Tuanku Mengki'i mempersiapkan
serangan dengan panah. Diikuti oleh Fusen, yang ikut menumpang di perahu kami*
"Ya! Kami melihat Papa dan Fusen mencabut anak panah, sadarlah aku bahwa kami dalam
keadaan bahaya. Aku harus ikut mengamankan diri. Maka aku cabut saputangan penyelamat
keluargaku dari dadaku, dan kukibar-kan ke arah datangnya perahu musuh! Tetapi, aduh
sembrononya aku! Tangan yang mengibarkan saputangan itu seperu terpukul oleh tangan Ayah
tanpa sengaja, dan saputangan itu terlepas dari tanganku! Berkibar-kibar jatuh ke sungai! Ayah! Ayah! Tolong!
Saputanganku! Jatuh ke dalam air! Oh! Jiwaku! Rohku! Pusakaku! Jatuh kecebur ke dalam air!"
Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keluh kisah Fang Fang mengenang lelakon tempo dulu itu!
"Puteri Fang Fang menggunakan bahasanya! Aku tidak paham artinya! Aku melihat juga
saputangannya yang berbau harum itu berkibar terlepas dari tangannya dan tercebur ke dalam air.
Aku saksikan juga betapa puteri ayu itu berteriak-teriak kebingungan sambil menunjuk-nunjuk arah
jatuhnya saputangan. Tetapi aku tidak paham betul maksudnya. Padahal kewajibanku untuk
melarikan perahu agar menjauh dari kejaran perahu orang Kediri, menuntut kesibukanku! Aku
mengayuh, mendorong batang buluhku sekuat tenagaku! Tidak boleh lalai lagi! Kayuh! Kayuh!
Kayuh! Dorong' Dorong! Dorong!" utara Swandanu kepada dosennya.
6 "Aku benci' Benci' Dia tidak memperhatikan aku! Mestinya dia mau mendengarkan teriakanku! Mau
menolongku! Karena dia cinta kepadaku!" seru Fang Fang memotong kisah orang lain.
"Aku tidak tahu, Puteri! Aku tidak mengerti bahasamu waktu itu!" debat Swandanu.
"Bagaimana Papa dan Fusen?" tanya Doktor Aisun. "Aku tidak dengarkan teriakan histeris Fang
Fang yang berada di belakangku! Kukira ia ketakutan karena orang jahat yang memburu dengan
perahunya itu kian mendekat dengan kami!" jawab Mengki.
"Tetapi bukankah aku menyebut saputanganku!" "Nah, itu perbuatan omong kosong lagi!
Saputangan digunakan sebagai penolak bala! Aku tidak tertarik sama sekali!"
148 "Oh, Papa jahat! Padahal saputangan itu jiwaku! Karena sudah begitu jauh tidak ada yang mau
menolong aku untuk memungut saputanganku yang tercebur ke dalam air Sungai Brantas maka
aku pun terjun mengambilnya sendiri!" ujar
Fang Fang. "Kamu bagaimana, Fusen?" tanya Aisun kepada Fusen, seolah-olah seperti seorang majikan yang
minta pertanggungjawaban abdi yang setia.
"Aku dengar juga teriakan Puteri Fang Fang minta tolong untuk mengambilkan saputangannya.
Tetapi kewaspada-anku terhadap serangan lawan tidak boleh kuabaikan! Aku justru paling dekat
dengan perahu musuh karena berada di buritan. Untunglah musuh tidak ada yang membawa panah
atau senjata peluru jauh. Ada di antara mereka yang melemparkan sabitnya, tetapi jaraknya masih
terlalu jauh untuk lemparan seperti itu! Jadi muspra! Sia-sia!"
"Kamu tidak menengok barang sekali keadaan Fang Fang?"
"Ya! Melihat, Nyonya Aisun! Melihat! Puteri Fang Fang dalam keadaan kebingungan seperti orang
kesurupan! Menjerit-jerit, menunjuk-nunjuk! Membelalaki laki-laki dalam perahu berganti-ganti! Oh,
amat kasihan aku melihat solah tingkahnya! Tetapi ketika aku hendak mengawasi ke dalam air,
melihat arah di mana saputangan gambar naga itu tercebur, Tuanku Mengki'i memperingatkan
datangnya bahaya dari musuh!"
"Dan kamu biarkan Fang Fang terjun ke dalam sungai'" Aisun menuduh.
"Oh, tidak! Aku terpaksa berbuat sesuatu. Aku cari tali atau batang kayu yang bisa kugunakan untuk
meraih Tuan Puteri Fang Fang! Karena tidak kutemukan maka
149 aku rebut buluh yang digunakan mengayuh tukang perahu, untuk menggapai-gapai tubuh Tuanku
Puteri. Tetapi Tuan Puteri tidak mengindahkan pertolonganku, tidak ada niatnya untuk berpegang
pada buluh batang pengayuh. Beliau terus saja menyelam memburu saputangannya. Sementara itu
laju perahu kian berkurang, dan jarak antara musuh dan kami kian dekat!"
7 "Fusen! Gila kamu ya! Tengok, perahu musuh sudah dekati Ayo, biarkan Fang Fang dengan
saputangannya! Berikan buluh pengayuh itu kepada tukang perahu, dan suruh dia bekerja keras!"
teriak Mengki'i membentak. "Tetapi bagaimana Tuanku Puteri Fang Fang, Tuanku?" "Biarlah!
Biarlah dia berusaha menolong dirinya sendiri! Dia yakin dengan saputangannya akan
mendapatkan pengayoman! Kalau begitu keyakinannya, ia akan mendapatkan keselamatannya
sejati! Tidak perlu kamu risaukan. Dan lagipula musuh sudah begitu dekat! Kalau kamu berusaha
menolong Fang Fang, bukan Fang Fang saja yang menjadi korban, tetapi juga kita berdua! Akan
mati sia-sia! Lebih baik kita hilang satu orang daripada lebih banyak lagi! Ayo, kerjakan perintahku!"
"Baik, Tuanku!" Berkata sanggup dan dilaksanakan juga, tetapi hatinya amat berat! Sebab
sebenarnya Fusen masih ingin mencoba menyelamatkan Fang Fang sekali lagi, yaitu dengan
menceburkan diri ke sungai. Fang Fang akan diraih dengan tangannya, diselamatkan dengan
berenang. Meskipun Fusen tidak yakin bahwa usaha itu bakal berhasil karena Fusen sendiri tidak
pandai berenang, dan dengan melihat sikap Fang Fang, jelas bahwa Puteri itu tidak mau ditolong
kalau tidak bersama saputangannya. Namun sebagai abdi yang setia, Fusen merasa menyesal juga
tidak mencoba pertolongan terakhir itu!
150 Dengan buluh pengayuh berada di tangan Swandanu,
laju perahunya bisa lebih cepat, apalagi berkurang beban seorang! Swandanu memang orang muda
yang cekatan untuk mengemudikan perahunya. Karena itu, setelah gangguan lirik-melirik tidak ada
lagi, perahunya bisa berjalan lancar, lebih cepat daripada gerakan perahu musuh.
"Mengapa Tuanku begitu tega terhadap puteri kita, Fang Fang?" usut Doktor Aisun. Pertanyaan itu
pernah diajukan dahulu kala, ketika Duta Mengki'i sampai kembali di Tuban, tempat kapal untuk
menyekap Aisun berlabuh. "Aku memang dihadapkan pada dua pilihan. Menolong Fang Fang yang berarti belum tentu Fang
Fang tertolong dan aku dapat bencana. Atau membiarkan Fang Fang jadi korban karena
perbuatannya sendiri dan aku tetap selamat sampai ke tanah air! Sudah kukatakan pada Fang Fang
pada pertemuan pertama ia menyusul padaku, bahwa perbuatan Fang Fang meninggalkan kapal di
Tuban itu perbuatan durhaka! Ia membantah aturan orang tua! Jadi akan mendapat hukuman yang
setimpal dengan kedurhakaannya, menurut adat kita. Tetapi melihat begitu kokoh keyakinannya
bahwa saputangan hijau gambar naga yang tergenggam olehnya akan membawa keselamatan dan
kebahagiaan hidup selalu di pihaknya maka aku yakin apa pun yang terjadi dengannya, apabila
saputangan itu masih berada di dekatnya, dia akan bahagia! Setidaknya nasibnya seperti apa yang
diinginkannya. Kalau bernasib jelek, itu pun akibat dari perbuatannya! Dengan maupun tanpa
pertolonganku! Jadi pertolonganku memang tidak banyak mendukung nasibnya. Biarpun kutolong,
kalaupun tanpa membawa saputangan itu, pertolongan itu pun akan sia-sia! Buktinya usaha Fusen
menggapainya dengan buluh
151 pengayuh! Atau coba pikirkan, andaikata dia tidak terjun memburu saputangannya ke sungai,
tentunya dia bisa bersamaku setamat sampai di Tuban. Tetapi Fang Fang memilih terjun memburu
benda celaka itu!" "Itu alasan saja! Pokoknya Tuanku tidak mau menolong Fang Fang, tega membiarkan dia
8 tenggelam di Sungai Brantas! Di sana itu!" debat Doktor Aisun dengan sengit. Kalimat terakhir ia
ucapkan sambal menunjuk ke arah sungai yang mengalir di bawah tanggul.
"Papa masih saja melecehkan arti saputangan itu! Itu yang aku benci sama Papa! Itu pula yang
menyebabkan Papa tega meninggalkan daku seorang diri mati lemas di tengah alir Kali Brantas!
Meskipun aku anak Papa satu
"Itu pula yang kami perdebatkan di tebing seberang setelah kami berhasil naik ke darat! Apakah
jenazah Puteri Fang Fang harus ditemukan dari dasar sungai dan dibawa pulang atau tidak. Setelah
berdebat, Tuanku Mengki'i me+ mutuskan untuk ditinggal saja. Sebab bahaya masih tetap
mengancam kami, mungkin akan sepanjang perjalanan sampai di Tuban," kilah Fusen setengahnya
mengadu kepada Aisun. "O, ya! Jadi kalian berhasil mencapai tepi seberang dengan selamat tidak kurang suatu apa"
Bagaimana ku kisahnya?" tanya Doktor Aisun. Dirinya sudah terlibat pada lelakon itu!
Fusen yang berkisah. Dalam posisi urutan paling akhir dari tiga buah perahu pengangkut orang
Tartar itu, perahu Mengki'i dibuntuti paling dekat oleh perahu-perahu
152 pengejarnya. Fang Fang sudah terjun ke dalam sungai dan tidak terlihat lagi di permukaan.
Swandanu telah berhasil memperbaiki kecepatan laju perahunya karena tidak terganggu lagi
dengan lirik-melirik perempuan ayu penumpang perahunya. Sementara, Fusen dan Mengki'i siap
dengan serangan anak panahnya. Semua dalam keadaan waspada dan tegang. Namun berkat
kecekatan Swandanu, perahu itu dapat melaju dengan kecepatan penuh sehingga jarak antaranya
dengan perahu-perahu pengacau dari Kediri menjadi kian jauh lagi. Perahu orang Kediri itu selain
muatannya terlalu sarat, penumpangnya tidak menghiraukan keseimbangan kendaraan air itu
sehingga seringkali haluannya melenceng atau perahunya oleng. Salah satu di antaranya begitu
olengnya hingga terbalik dan penumpangnya tercebur ke sungai sebelum mereka berhasil
mencapai sasaran serangannya. Semangat serangnya yang gegap gempita terhenti karena
kecelakaan itu, namun masih ada yang bisa berenang dan mengacungkan sabitnya ke arah perahu
Tartar yang meninggalkan mereka dengan laju. Perahu selebihnya, meski penumpangnya
mengambil langkah berhati-hati dengan menjaga benar keseimbangan perahunya, perahunya tetap
labil dan laju jalannya lebih mengandalkan aliran air sungai. Kecepatannya tidak setara dengan
semangat dan teriak-teriak yang dicuap-cuapkan penumpangnya! Layak kalau tertinggal jauh dari
perahu tambang yang ditumpangi oleh orang Tartar.
Meskipun begitu, di tebing seberang, setelah perahu Mengki'i sampai, kesibukan menghindarkan
diri dan ketergesa-gesaan tindak berlangsung juga dengan tergopoh-gopoh. Kuda-kuda diusir agar
meloncat ke darat, mereka
yang berhasil langsung menggebrak kudanya memanjat tebing, karena tebing di situ lebih terjal.
Sementara kesibukan berlangsung, mereka tidak lepas waspada, sebagian tetap bersiap-siap
menunggu datangnya perahu pendendam pribumi. Kesibukan dan ketergesaan itu melenyap-.kan
sementara pikiran terhadap nasib Fang Fang! Tetapi sampai kuda-kuda Tartar itu berhasil
memanjati tebing dan sampai seluruhnya di atas, perahu-perahu pemburunya belum ada yang
mencapai seberang. "Pada waktu itu, Tuanku Mengki'i telah memerintahkan persiapan penyerangan terhadap perahu
musuh! Kami tidak boleh membiarkan mereka tidak mengalami celaka! Mereka harus menjadi
9 korban serangan kami! Sebab Tuanku Mengki'i menganggap hilangnya Tuan Puteri Fang Fang
karena perbuatan orang-orang itu. Wajar! Sebab, andaikata kami tidak diburu-buru, tidak perlu
Puteri Fang Fang mengeluarkan saputangannya dan jatuh ke dalam sungai, dan seterusnya!" lanjut
kisah Fusen. "Ya, ya! Jadi, apa yang kalian perbuat dengan orang-orang berperahu yang memburu kalian?"
tanya Doktor Aisun. "Menyerang mereka! Menyerang mereka dengan panah berapi! Tuanku Mengki'i yang
memerintahkan! Kami serang seluruhnya, habis-habisan! Tidak satu pun dari tujuh perahu penuh
penumpang itu terlepas dari amukan anak panah berapi yang kami lepaskan! Bukan itu saja!
Setelah perahu terbakar dan penumpangnya tercebur di sungai, Tuanku Mengki'i masih
memerintahkan agar kami membunuh orang-orang itu sebanyak-banyaknya! Jadi kembali mereka
kami hujani anak panah beracun!" cerita Fusen dengan penuh semangat! Ia sendui kelihatannya
setuju dengan perintah majikannya!
"Kamu kerjakan juga perintah tuanmu?" tanya Aisun.
"Dengan senang hati! Demi kepuasan hati kami! Sebab aku pun merasa kesal dengan
tenggelamnya Tuan Puteri Fang Fang! Wajar kalau orang-orang penyebabnya menerima hukuman
yang setimpal!" "Tidak benar kalau aku dikatakan ikhlas dan tega begitu saja membiarkan puteriku Fang Fang
tertinggal di dasar Sungai Brantas! Ada dendamku yang tak terpuaskan kalau tidak terbayar pada
penyebab hilangnya Fang Fang! Yaitu penjahat pribumi Singasari! Aku terpaksa dan hams
melakukan pembantaian itu dengan minta maaf dalam hati kepada Raja Singasari Kertanegara
yang bijaksana serta para panglima perangnya yang telah memperlakukan aku dengan baik dan
hormat! Aku terpaksa berbuat begitu kejam kepada pribumi Singasari!" ujar Mengki'i seperti
mengenang masa lampau. "Mereka itu bukan orang Singasari. Mereka itu orang Kediri, yang akhir-akhir itu banyak
berdatangan dengan perahu di sekitar pangkalan, dan berkelompok mengganggu keamanan di
hutan-hutan sekitar situ," sahut Swandanu memberi penjelasan kepada Dokter Mengki.
Keterangan Swandanu itu menutup kisah penyeberangan rombongan Duta Mengki'i di Bengawan
Brantas tempat di mana sekarang mereka semua bisa memandangi bekas lokasinya. Waktu terjadi
tujuh ratus tahun yang lata; tempat itu bernama Rabut Carat.
Kini mereka merasa kepanasan karena matahari pagi bulan Mei sudah lebih tinggi lagi merayapi
kaki langit dan di sekitar tempat mereka berdiri tidak ada pohon yang bisa digunakan untuk
bernaung. Setelah sejenak sekali lagi memandangi tempat tragedi, mereka sepakat untuk
meninggalkan tempat itu dan pergi bersama ke tempat lain.
Sementara menuruni tanggul, Sang Dosen menggelengkan kepala dan mengumbar perasaannya,
"Ya! Kalian ini orang-orang aneh! Semua datang ke sini, melihat tempat ini, dan merasa kenal
bahwa di tempat ini dahulu tempat penambangan perahu. Itu bisa aku pahami karena mungkin saja
kalian pernah belajar atau membaca buku yang sama. Mungkin mendapat pelajaran atau kuliah dari
seorang dosen yang sama. Dan apa yang kalian ketahui, nyatanya bisa juga aku ketahui melalui
studiku. Tetapi yang tidak bisa kupahami dan tidak bisa kudapatkan dari studiku, adalah bahwa
kalian bisa menceritakan betapa hebatnya ketegangan yang timbul dalam peristiwa penyeberangan
10 itu, dan eloknya kalian merasa ikut berperan dalam lelakon itu! Luar biasa! Tak pernah kualami
dalam studiku selama ini di mana saja! Begitu hebatnya kalian bisa menghayati cerita itu sehingga
aku sendiri jadi tersahut ikut adem-panas merasakan getaran peristiwa itu! Aku sendiri sampai
membayangkan ikut berperan di situ!"
Mereka membantah pernah mendapat kuliah dari dosen yang sama atau membaca buku yang
sama. Dari segi profesi dan keberadaan mereka, mustahil antara mereka pernah berhubungan
bersama. Pertemuan mereka hari itu adalah pertemuan mereka bersama yang pertama. Dokter
Mengki, Fang Fang, Fusen, Yong Pin, bahkan mengaku tidak pernah belajar sejarah, khususnya
sejarah Singasari dan runtuhnya Kertanegara. Di antara mereka hanyalah Swandanu yang pernah
belajar sejarah lebih mendalam dari pelajaran yang pernah diterima di sekolah umum. Mengapa
Swandanu selepas SMA memilih bidang studi arkeologi di Jogja sehingga secara umum ia lebih
tahu tentang sejatah, memang melalui jalan yang aneh.
156 Bermula ketika ia masih duduk di SMA Negeri 5 Surabaya, bersama kawan-kawannya pencinta
alam pernah blusukan di hutan-hutan daerah Watukosek. Teman sekelasnya, Pamoraga, punya
rumah di situ. Di hutan itu Swandanu menemukan candi-candi kecil atau arca yang letaknya
berserakan di segala tempat. Nalar di balik otaknya yang waras bertanya-tanya mengenai
bagaimana kehidupan pernah terjadi pada zaman arca-arca itu dibangun atau digunakan. Maka
secara diam-diam ia pun mencari bacaan mengenai Kerajaan Singasari. Pada akhir belajarnya di
SMA, di luar dugaan teman-temannya, orang tua maupun gurunya, ia memilih arkeologi sebagai
bidang studi lanjutannya. Ia masuk UGM Jogja.
Di jurusan itu, ia bertemu dengan dosen baru yang banyak berkisah tentang awal mulanya
orang-orang dari Negeri Cina yang bernaung di bawah panji-panji pasukan Tartar masuk ke Tanah
Jawa. Doktor Aisun. Swandanu tertarik dan kagum terhadap dosen tamu dari Singapura ini. Apa
yang dikisahkan tentang datangnya pasukan Tartar ini sesuai betul dengan bayangan peristiwa
yang me* latarbelakangi angannya. Seringkali terjadi, apabila Doktor Aisun bercerita, Swandanu
terguncang jiwanya, seolah-olah ia ikut terlibat dalam penyerbuan pasukan Tartar ke pedalaman
Tanah Jawa. Ia jadi lebih tahu daripada cerita Doktor Aisun. Cuma dari mana dia memperoleh
pengetahuan itu tidak bisa Swandanu merunutnya. Buku yang pernah dibacanya pun tidak senjlimet
bagaimana menceritakan penyerbuan pasukan Tartar ke Kediri!
Mungkin karena terlalu teraduk-aduk nalarnya memikirkan keterlibatannya dalam peristiwa pasukan
Tartar di Kediri itu, akhirnya Swandanu jatuh sakit. Badannya
panas, dan bermimpi jelek dalam tidurnya. Ia sering mengigau, rasanya seperti diburu-buru oleh
seorang prajurit Tartar lepas dari kota Kediri' Tapi pada saat lain. ia merasa sehat dan dapat masuk
kuliah, bahkan memiliki semangat untuk pergi ke kampus bertemu dengan Doktor Aisun. Ketika
Swandanu memeriksakan dirinya pada seorang dokter, ia diharuskan beristirahat kuliah dan
dianjurkan pulang ke tempat asalnya! 'Home sick' kata dokter! Ld Ia tidak pernah membayangkan
kepengin ketemu ibunya atau bapaknya!
Di kampus, ketika bertemu dengan Doktor Aisun, dosen dari Singapura itu menyatakan dia mau
ambil cuti. "Kalau Ibu mau berlibur ke kota di mana pasukan Tartar di bawah pimpinan Shihpi. Ike Mose, dan
Kau Hsing mendarat dan kemudian berlari meninggalkan Pulau Jawa dua bulan kemudian, mari
11 bersamaku berlibur ke Surabaya. Ibu bisa tidur dan makan sederhana seperti kami di rumah kami,"
ajak Swandanu. Bukan promosi pariwisata, tapi teriebih karena selama ia cuti ingin dekat dengan
dosennya yang bisa mengisahkan riwayat penyerbuan orang Tartar di Tanah Jawa itu! Suatu
kenikmatan yang luar biasa! Mungkin pengobatan bagi Swandanu!
Ternyata ajakan itu diterima oleh Aisun. Bukan sekadarnya, tetapi dengan antusias! "Aku mau
melihat petilasan ku! Akan menapak tilas secara pribadi!"
"Kalau begitu nanti kuusahakan pergi ke Watukosek! Ketika masih di SMA, aku pernah ke rumah
temanku di Watukosek dan menemukan batu-batuan peninggalan zaman Singasari di sana!" janji
Swandanu. Ketika memandangi wajah Doktor Aisun, Swandanu seperti pernah mengalami akrab dengan garis
raut wajah seperti itu. Akrab, begitu akrab. Tapi siapa" Dalam kehidupan nyatanya, gadis yang paling akrab
dikenalnya adalah Wariwari, gadis tunangannya yang telah dilamar oleh orang tuanya setahun lalu
ketika Swandanu diterima di UGM Tapi ram muka Wariwari sama sekali tidak mirip dengan Doktor
Aisun. Gaya-gaya bicaranya atau senyumnya pun lain! Bukan Wariwari! Wariwari, ia kenal benar
karena gadis itu menjadi teman sekolah sejak di SD Kapaskrampung!
Dan ketika bertemu dengan gadis yang memakai baju kurung lengan pendek dan celana begi
warna hijau di tepi kolam kuna di luar Dukuh Raos, tak ayal lagi, itulah gadis yang dikenalnya
mirip-mirip wajah Doktor Aisun! Fang Fang! Swandanu kenal betul wajah itu! Pernah bergaul akrab
betul! Hafal di mana lesung pipinya, tahi lalatnya, rambut sinomnya, tali tudungnya, letak gigi
serinya, segalanya! Oh, ia kenal mesra! Tapi di mana" Kapan'
Di Surabaya, mahasiswa dan dosennya yang libur bersama itu terkena sengatan hasrat bersama
untuk melakukan perjalanan ke Watukosek. Meskipun tubuhnya terasa panas lagi, dan igauan ngeri
diburu prajurit Tartar itu sering muncul, Swandanu sudah tidak dapat ditahan lagi. Malam itu
bersama dosennya ia datang ke rumah Wariwari, tunangannya. Memang tiap kali pulang ke
Surabaya, Swandanu tidak pernah lalai menjenguk Wariwari. Tapi malam itu hasratnya begitu
menggebu, menyampingkan rasa kurang enak badannya.
Ketika melihat bahwa tamunya, Swandanu, Wariwari menekan tangan di dadanya! Jantungnya
memang ber-goncang begitu keras sehingga tangan ku rasanya ingin meredakan. Betapa tidak
tergoncang! Swandanu, tunangan resminya, malam itu datang dengan tiba-tiba! Tak terduga
sama sekali! Untung kemarin, sehari sebelumnya, ia menolak ajakan Pamoraga yang sekarang jadi
taruna Akabri, pergi ke rumah ayahnya di Watukosek! Ini gara-gara ibunya yang melarang! Kalau
mengikuti kata hatinya, malam itu Wariwari sudah amblas bersama Pamoraga ke Watukosek! Coba
terjadi demikian, apa jawab ibunya malam ini menyambut kedatangan Swandanu yang mendadak
itu"! Wariwari seorang perempuan! Lancang sekali saja dalam hubungan kesetiannya sama lelaki,
akan dituduh sebagai pengkhianat seumur hidupnya! Tetapi apakah betul Wariwari tidak
Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkhianat" Entahlah! Itulah yang menggoncangkan jantungnya tadi! Ia harus mengakui, luka
hubungannya itu belum terbuka! Masih menjadi nanah yang tertutup! Diolesnya bibirnya dengan
gincu sebelum menyambut Swandanu, agar wajahnya tidak tampak pucat.
"Bu Dosen ini kepengin sekali pergi ke Watukosek," ucap Swandanu kepada Wariwari ketika
bertamu. 12 "Watukosek" Aku ikut!" langsung jawab gadis itu. "Aku juga ingin sekali ke sana!"
"Let. Aku masih belum tahu bagaimana caranya! Dan belum memutuskan berangkat tidaknya! Kita
pakai kendaraan apa" Apa pakai angkutan umum" Apa cukup terhormat kendaraan umum itu bagi
dosenku ini" Lalu di sana nanti bagaimana" Kita masuk ke hutan-hutan di sana siang hari, lalu
pulang sore harinya" Kukira itu hanya akan melelahkan saja. Tapi kalau menginap, di rumah
siapa?" Wariwari kecewa dan menyesal. Ia terlalu cepat menyambut! Edan, kok hati perempuan ini
tidak bisa membendung hasratnya! Hampir saja kebocoran! Itu perangnya dalam batin. Pada
wajahnya Wariwari tertawa lembut. Meski nalar telah mengeremnya, ucapan meluncur saja berkisah
tanpa merasa dosa, kilahnya, "Kebetulan, Mas! Kebetulan sekali, Pamor minggu ini di Surabaya.
Bukankah rumah ayahnya di sana?" "Pamor" O, kamu masih sering berhubungan dengan
dia, ya?" Jantung Wariwari kembali bergoyang, darah mengalir panas. Tapi ucapan di mulut lancar saja
jalannya, "Kita abadikan persahabatan lama, bukan, Mas" Mas Danu tidak usah cemburu!"
"Entahlah, terhadap Pamor aku memang tidak bisa cemburu. Ia sahabatku. Juga temanmu, bahkan
tetanggamu sejak kamu masih orok ketika ayahnya masih berdinas di Surabaya. Apa pun
perbuatanmu terhadapnya, aku tidak boleh dan tidak bisa cemburu!"
"Aku yang kadang-kadang iri hati. Kalian berdua bisa bersahabat erat, tetapi aku tidak boleh
memiliki keduanya! Aku perempuan Jawa, bercinta kepada laki-laki harus hanya satu!"
'Ya, harus kamu terima nasibmu! Di lain generasi mungkin kamu bisa memuaskan hasratmu
dengan mencintai laki-laki idamanmu yang lain. Juga hanya satu! Ah, kita bicara apa ini"
Bagaimana maksudmu dengan menyebut-nyebut
Pamor tadi?" "Begini jelasnya, Mas. Kemarin dia bertamu ke sini. Ia mengajakku berkunjung ke tempat ayahnya
di Watukosek. Tapi ajakannya selalu kutolak! Tetapi kemarin itu ia begitu bersungguh hati kembali
mengajakku ke Watukosek, menemui bapaknya. Ceritanya, bapaknya yang pensiun polisi, Pak
Prawira, kepengin bertemu dia. Ada sesuatu yang akan disampaikan kepadanya."
"Mengapa mengajak kamu" Datang sendiri kan bisa, pulang, bertemu ayahnya?"
n "Sebab sekali ini Pamoraga tahu, sesuatu yang akan disampaikan itu adalah perihal jodohnya.
Sudah begim lama anak laki-laki kedua ini ditunggu tidak pernah bercerita tentang gadis yang
dipacarinya. Nah, kini Bu Prawira
punya calon. Pamoraga diminta datang untuk melihat, la, ini yang Pamor blingsatan! Maunya ia
datang ke Watukosek bersama aku, mau dikatakan sebagai pacarnya! Pak Prawira tentu percaya
karena sejak, kecil kami bertetangga! Tapi ibu melarangku! Aku sudah bertunangan, lamaran sudah
13 kami terima, jangan main-main!"
"Dia masih juga mengharapkan kamu. Padahal dia tahu kita sudah bertunangan. Kadung cinta, sulit
cari yang lain!" "Kini Mas Danu bicara mau pergi ke Watukosek. Tentu saja rumah Pak Prawira bisa dijadikan
tempat untuk bermalam. Kita bisa mengajak Pamor kalau Mas Danu menghendaki. Ajakannya
kemarin kita kabulkan. Dengan catatan, Mas Danu dan Bu Dosen itu ikut," usul Wariwari.
"Setuju! Bisa kamu hubungi Pamor sekarang" Karena keinginanku pergi ke Watukosek dan Rabut
Carat bersama dosenku itu bergelora terus di anganku! Tidak bisa ditunda lagi!"
"Mari kita keluar sebentar, ke telepon umum. Biar Bu Dosen bercerita-cerita dengan ibu di dalam!"
Mereka berangkat, lampu depan dipadamkan.
Pamor dapat dihubungi di asramanya kalau dia sedang di Surabaya. Mereka berencana besok sore
berangkat ke Watukosek. Pamor menyiapkan kendaraannya sekalian. Pulang dari tempat telepon,
Swandanu berjalan sambil memeluk Wariwari. Surabaya penuh dengan kendaraan lalu lalang,
tetapi di jalan ke rumah Wariwari ada tersisa yang sepi. Malam bulan Mei dengan hamparan bintang
di 162 langit masih memberikan sekelumit keindahan bagi mereka
yang sedang bercinta. "Badanmu kok panas sekali!" ucap Wariwari dalam
rangkulan. "Aku sedang diaduk-aduk huru-hara angan-angan!
Prajurit Tartar itu muncul lagi!"
"Apa?" "Rasanya kita ini sudah lama menjadi suami istri. Kita seperti pernah hidup di daerah Watukosek
sana! Karena itu aku demam Watukosek. Demam di batin dan di badan."
Ketika masuk ke rumah, terdengar ibunya sedang berbicara dengan Doktor Aisun di ruang dalam.
Di ruang depan lampunya padam, sengaja dipadamkan ketika mereka pergi telepon tadi.
"Aku pernah juga merasakan hal semacam itu. Kita ini suami-istri sejak zaman dahulu kala! Dari
alam angan-angan sampai alam abad kedua puluh Masehi!"
"Kamu perempuan setia!" ujar Swandanu mempererat pelukannya.
Perempuan Wariwari cepat terlena dirangsang perbuatan laki-laki Swandanu. Ia bergairah
membalas pelukan Swandanu, dan membiarkan wajahnya diusap-usap oleh wajah laki-laki
14 tunangannya. Tidak! Bukan membiarkan, tapi saling menyerang! Wariwari juga tidak tahan diri dan
bertindak aktif. Ia perempuan yang sempurna dengan nafsunya.
"Hih! Tubuhmu panas betul!" ujar Wariwari. "Wariwari"! Kamu ya, di depan?" seru ibunya dari mang
dalam. "Ya, Bu!" Ia pun segera memisahkan diri, karena mendengar bahwa ibu dan tamunya bergerak ke
mang depan. "Kok gelap-gelapan!?"
"Kami baru saja datang dari menelepon Pamor, Bu!" : "Huss! Kurang ajar anak ini! Jangan
Pamor-pamoran!" Sudah sampai di mang depan, lampu dinyalakan. Byar!
Swandanu dan Wariwari duduk berdampingan. Wariwari repot membetulkan letak roknya yang
awut-awutan. Dan ketika melihat Swandanu di sampingnya, Wariwari jadi geger memberi isyarat
kepada tunangannya, agar mengusap bibir dan sekitarnya. Swandanu terkena noda merah! Lipstik
Wariwari telah membekas di sana! Betapa gegernya Wariwari, tidak diperhatikan oleh Swandanu
yang duduk tenang, seolah tidak terjadi penciuman beberapa detik sebelumnya. Wariwari
mengambil tisu yang tersedia di meja, cepat mengambil penganan, dan langsung didulangkan pada
Swandanu. "Ayo, Mas, dimakan! Ini kuambilkan dan kudulang, biar tidak clemotanl"
Panganan dan tisu sudah dekat betul pada bibir Swandanu, hampir saja menyinggung noda gincu.
Tapi Swandanu menangkis dengan tangkas!
"Sudah, Wariwari! Aku sudah makan tadi! Perutku mual!" Karena penolakan itu, noda merah tadi
tidak terhapus. Dan Wariwari menjadi malu.
"Wariwari! Kamu itu kok kurang ajar betul sama kangmas-mu! Kalau dia mau, kan diambil
sendiri!".-:e "Anu kok, Bu. Bergurau mulai tadi! Belajar dulang-dulangan^. Ayo, Mas, niangap" Wariwari
mencoba lagi. Tetapi sekali ini tidak kepalang tanggung. Ia sudah kuatir betul noda gincu di bibir;
Swandanu itu ketahuan sama ibu dan tamunya! Maka ia pura-pura terjatuh, dan tangannya
merangkul pundak Swandanu. Pada kesempatan itulah ia
berbisik kepada Swandanu. "Bibirmu kena lipstikku,
clemotanl Hapuslah!"
"Nah! Coba! Untung saja kangmasnya cepat menangkap! Sembrono, Kamu!"
i "O, anu, Bu! Tadi kami telepon Pamoraga. Besok kami mau ke Watukosek ....!" Wariwari cari
pembicaraan. Tapi terpenggal. Salah ulah!
"Wariwari! Kamu ini ngomong apa" Tidak ada Pamor-pamoran!" sergap ibunya.
15 "Kenapa to, Bu! Aku kok dihentaki terus?"
Swandanu tanggap maksud perempuan itu. 'Tidak apa, Bu. Kami setuju kok Dik Wariwari ikut ke
Watukosek. Pamoraga menyiapkan kendaraan dan penginapan sekalian. Besok siang menjemput
aku dan Dik Wariwari. Bu Aisun ikut!"
"Tapi Nak Pamor itu kurang ajar, /o, Nak. Selalu menggoda Wariwari saja. Sudah kami beri tahu,
bahkan secara kasar saking jengkelku, kalau Wariwari sudah bertunangan sama Nak Swandanu,
masih saja datang bertamu ke sini. Tanya sama Wariwari apa betul menurut kata hatinya pilihan
Wariwari bertunangan dengan Nak Swandanu! Sudah dipikir betul-betul" Masa depan taruna Akabri
jelas baik, sedang ahli arkeologi apa" Bukankah itu kurang ajar! La ini, Bu Dosen ini, juga ahli
arkeologi! Bisa melihat negeri asing dan hidupnya tampak bersemangat!"
"Ala-ala, Ibu bicaranya nrocoi* sela Wariwari. Perasaannya sangat malu karena nanah terpendam
hubungannya dengan Pamoraga dibongkar oleh ibunya.
"Kamu sendiri yang cerita begitu, Id Pernah kami usir terang-terangan, Nak. Tapi ya membandel.
Masih merengek-rengek kepadaku, kepada ayah Wariwari, agar tetap
diperkenankan bergau/ dengan wariwari kalau kebetulan di Surabaya. Karena dia belum punya
persinggahan hati lain kecuali Wariwari. Memang sejak kecil mereka itu sepermainan, wong kami
bertetangga. Kami anggap seperti saudara saja. Tetapi ketika merengek-rengek itu, dia mbumboni
ceritanya bahwa pada generasi ini gilirannya dia berjodoh dengan Wariwari, bukan Nak Swandanu!
Lo, kan tidak menurut akal sehati Mengacau hubungan Wariwari sama Nak Swandanu!"
"Ala-ala-ala! Ibu! Ibu! Begitu kok diceritakan sama Mas Danu!"
"Lo, aku terbuka saja, to! Biar borok-borok terpendam terbongkar! Biar Nak Swandanu mengerti
masalahnya! Aku jadi penasaran tiap kali Wariwari menyebut nama Pamot! Maksudku tidak
Pamor-pamoran lagi! Kan kasihan sama Nak Swandanu kalau Wariwari digoda terus sama laki-laki
lain!" "Ibu ini nekad saja toytf jerit Wariwari. Wajahnya merah padam dibakar oleh malu! Dalam hati dia
memang tidak melepas hubungan mesranya dengan Pamor, tetapi bagaimana dengan Swandanu
yang juga dicintainya" Kerisauan asmara ini membara di hatinya, dan ia belum berani membuka diri
terhadap kedua laki-laki itu. Masalahnya memang pelik, seorang perempuan Jawa tabu untuk
berjodoh dengan dua orang laki-laki pada waktu yang bersamaan! Kisruhi Tapi perempuan Wariwari
ini mengalami rasa asmara demikjaa! Mengapa kodrat perempuan Jawa tidak seperti laki-laki
Jawa" Laki-laki Jawa, lebih-lebih bangsawan seperti Raden Wijaya, bisa saja memperistri beberapa
perempuan dalam waktu yang bersamaan. Dan para istri itu rukun-rukun saja! Perasaan iri hati
terhadap kodrat ini sudah
166 meliliti jiwa Wariwari sejak dulu kala, pada kehidupan
masa lalu. Untungnya Swandanu bisa menyelami kerancuan rasa
16 dan angan Wariwari! "Pamoraga bukan laki-laki lain, Bu. Ia sahabatku, dan kami berdua memang mencintainya. Oleh
karena itu dalam kesempatan akan mengantar Nyonya Aisun ke Watukosek besok pagi, Dik
Wariwari kami ikut sertakan! Bukan hanya sebagai alat penghubung atau pelengkap, melainkan
juga berperan dalam kunjungan kami ke Watukosek itu!" sahut Swandanu dengan sabar yang tidak
dibuat-buat. "Zd" Maksudnya bagaimana" Berperan apa?" tanya ibu Wariwari.
"Saya diizinkan jadi tunangan Pamoraga di hadapan Pak Prawira."
"Wah, wah, wah! Aku sudah tidak mengerti lagi pergaulan modern zaman sekarang!" ibu Wariwari
terperangah. "Yah, terserah kepadamulah, Nak! Terserah kepada kamu berdua yang bakal
mengalami perjodohan!"
Dan begitulah! Pada keesokan harinya, sore hari Pamor menjemput di rumah Wariwari, lalu ke daerah pemukiman
baru di Surabaya Selatan, Jalan Bathikmadrim, karena orang tua Swandanu setelah pensiun ambil
rumah kreditan di situ. Setelah berputar-putar lagi di kota mencari perbekalan yang sekiranya
terpakai dalam perlawatan, baru setelah matahari terbenam, mereka pun berangkat ke luar kota,
pada saat mobil Civic merah berkelok di Jalan Suara Asia Nomor 19, ke halaman rumah Dokter
Mengki, membawa pasien baru yang cantik jelita, Fang Fang.
167 Di rumah Swandanu, setelah Suzuki Super Carry putih yang dipinjam Pamoraga untuk
pengangkutan perlawatan ke Watukosek berangkat membawa serta Doktor Aisun, terjadi sesuatu
yang heboh. Tubuh Swandanu kian panas dan dia mengigau tidak karuan dalam tidurnya. Seisi
rumah kalang kabut. Ia langsung diangkut ke UGD. Dokter geleng-geleng kepala. Sakitnya gawat
Ditahan, harus mondok di rumah sakit.
IKembali ke tanggul Bengawan Brantas di Dukuh Raos. Kini para pengunjung kelompok delapan itu
beranjak meninggalkan daerah kolam kuno. Dari mereka berdelapan, hanya Doktor Aisun orang
asing. Bukan asing dari segi kewarganegaraannya saja, melainkan juga perkenalan dengan daerah
sekitar Dukuh Raos yang dulu bernama Rabut Carat itu! Semua anggota kelompok merasa bahwa
dulu kala, entah kapan, mereka pernah berada di daerah pangkalan penyeberangan perahu itu,
pada saat tempat itu ramai dikunjungi orang dan pangkalan perahu berfungsi. Kecuali orang asing
Doktor Aisun! Doktor Aisun hanya kenal Rabut Carat sebagai tempat penyeberangan setelah
mengamati arca dwarapala dan benda purba lain di situ. Ini bisa dibayangkan juga karena hasil
studinya mengenai benda-benda kuno di Taiwan.
Aisun lahir dari pasangan orang terpandang di kotanya, Amoy. Ia sudah hampir menyelesaikan
studinya di perguruan tinggi ketika harus kawin dengan seorang pemimpin partai di kotanya. Ia
mencintai suaminya itu meskipun studinya putus di tengah jalan.
I 168 Kekecewaan hidupnya dimulai ketika Aisun mengandung tua, mengharapkan kelahiran anaknya
17 yang pertama. Anak perempuan, itu yang diharap-harapkan! Ia bahkan telah menyediakan nama
Fang Fang kalau anak itu lahir! Tapi harapan itu patah karena tiba-tiba kandungannya itu hilang.
Dalam beberapa minggu saja perutnya yang membengkak berangsur-angsur cepat mengempis
tanpa melahirkan bayi. Tabib dan dokter di kotanya tidak bisa berbuat banyak dan tidak bisa
mencari ke mana. lari si jabang bayi. Juga tidak tahu sebab musababnya! Meskipun hilangnya bayi
dalam kandungan bukanlah hal yang istimewa, karena yang punya kandungan adalah istri seorang
pemimpin partai, kasus itu ramai juga jadi bahan diskusi para dokter pakar kandungan. Namun
hasilnya sama bagi Aisun, ia kehilangan bayinya yang belum terlahirkan dan tidak sempat diberi
nama Fang Fang. Aisun sedih dan kecewa!
Kesedihan tidak hanya meliputi dirinya, tetapi juga suaminya. Hilangnya bayi di kandungan itu
membuat laki-laki tadi sering uring-uringan. Kemarahannya terhadap para dokter yang tidak bisa
mengembalikan bayinya tidak terkendalikan. Kekuasaannya sebagai pemimpin partai
disalahgunakan untuk meneror kedudukan para dokter. Dan, karena para dokter ini juga punya
kekuatan tolak terhadap teror semacam itu, maka kemenangan akhirnya bisa berbalik.
Teman-teman sejawat di partai yang kena damprat karena kemarahan suami Aisun telah merembet
di kalangan orang partai, jadi tidak senang terhadapnya. Mereka berbalik solider dengan para
dokter dan berusaha menjegal kekuasaan suami Aisun. Bahkan adik Aisun, Hwee, yang semula
selalu membantu dalam urusan partai,
ikut memusuhi iparnya. Kata orang, dia punya ambisi untuk menggantikan kedudukan dalam partai!
Partai kemudian memutuskan mengirimkan suami Aisun ke Indonesia! Pada saat itu, negeri
kepulauan itu sangat membutuhkan suntikan ideologi dari negerinya. Dan, kekuasaan partai yang
sepaham di negeri seberang itu tampaknya bisa diharapkan bakal menang dalam perjuangannya.
Maka tenaga suaminya sangat diperlukan di negeri kepulauan itu!
Suami Aisun datang dengan menangis di pangkuannya, laki-laki yang gagah perkasa dan lebih
cocok untuk marah-marah dan membentak-bentak itu, kini menangis tersedu-sedu tak bermalu. Ia
menyadari kesalahannya. Ia merasa bahwa tidak sepanirnya menyalahkan istrinya, menyalahkan
para dokter, dan masyarakat karena hilangnya bayi di kandungan. Seharusnya ia mau menerima
keadaannya dan tidak menentang masyarakat kotanya. Kini kekalahan berada di pihaknya.
Terlambat minta maaf. Ia tidak bisa menolak kehendak partai untuk berangkat ke negeri seberang,
negeri yang belum seluruhnya dikuasai oleh partai yang sepaham.
Aisun sudah merasa. Kepergian suaminya itu untuk perpisahan selamanya! Aisun pernah
mengusulkan agar dia diajak serta pergi berjuang ke seberang, tetapi suaminya justru marah. Tidak
selayaknya pejuang partai seperti dia membawa-bawa istri dalam melakukan tugasnya sebagai
utusan partai! Aisun yang merasa pernah diperlakukan demikian oleh suaminya di zaman
kehidupan yang lampau, terdiam dan tidak menyinggung-nyinggung lagi soal keikutannya ke negeri
seberang. Benar juga! Suaminya berangkat dan hilang! Hilang karena ternyata kekuasaan partai yang
sepaham di negeri seberang patah. Kalah! Hancur! Berantakan! Suaminya tergilas dalam
kehancuran! Hilang tak tentu rimbanya di negeri seberang!
Sejak kehilangan bayinya, dan kemudian suaminya, kehidupan Aisun dibayangi oleh seraut wajah
gadis yang cantik jelita. Gadis ini mungkin hasil ciptaannya ketika ia sedang mengandung dulu. Ia
membayangkan bahwa anak yang dikandung itu besoknya berwajah begitu cantik, tubuhnya
semampai, bisa gesit dan lemah lembut, kemauannya keras tak bisa dibengkokkan oleh orang lain!
18 Seperti keturunan bangsawan Fukien sejati! Itulah raut wajah Fang Fang, bakal bayi yang
dikandungnya dulu! Bayi yang lenyap di kandungan Sebelum dilahirkan. Jabang bayi sudah lenyap,
tetapi bayangan tentang Fang Fang terus tumbuh menghantui diri Aisun.
Ketika masih gadis, Aisun pernah mempelajari peristiwa sejarah kotanya tentang Kaisar Kubilai
Khan yang mengutus Mengki'i sebagai duta yang ketiga untuk minta ketaklukan Raja Singasari
Kertanegara di Jawa. Mengki'i yang warga Provinsi Hokkian tempat kelahiran Aisun, berangkat ke
seberang membawa istri dan puterinya. Mereka kembali ke tanah air tanpa anak perempuan yang
mereka cintai. Konon kabarnya tertinggal mati tenggelam di sungai besar yang mengalir di negeri
seberang itu! Aisun sangat tandas terkesan oleh peristiwa sejarah kotanya yang dipelajarinya itu! Ia
terbelit-belit oleh perasaan sang ibu istri Duta Mengki'i itu! Betapa sedihnya pulang tanpa membawa
puterinya! Sejak itu tumbuh dalam hati sanubari Aisun, kapan-kapan ia ada kesempatan pergi ke
negeri tempat tujuan Duta
170 Mengki'i, ia akan menelusuri kisah tenggelamnya puteri ku di dasar sungai besar! Aisun tidak
pernah melepas cita-citanya itu!
Kini raut wajah Fang Fang bayi dewasa ciptaannya itu terkejut campur dengan kisah puteri Mengki'i
yang mengakhiri perjalanan hidupnya dengan tenggelam di dasar sungai besar di Negeri Singasari!
Lalu cita-citanya tumbuh kembali' Ia ingin napak tilas perjalanan Puteri Duta Mengki'i yang bagi
Aisun juga mengejar raut wajah Fang Fang yang selalu membayang-bayangi dirinya itu! Kini ia
sudah tidak punya kecintaan lagi dalam hidupnya. Juga tidak terhadap tanah, air yang penguasanya
Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pernah mengirimkan mati suaminya ke negeri kepulauan! Aisun bagaikan terima panggilan tugas
untuk mencapai cita-citanya! Saat itu juga! Kapan lagi"!
Adiknya, Hwee, yang kini betul menggantikan kedudukan iparnya dalam partai, sangat menolong
kepergian Aisun keluar dari negerinya.
"Bagaimana tentang rumah dan tanah warisan?" tanya Hwee. M-)"Aku tidak memilikinya lagi! Serahkan saja kepada partai!"
"Ah, jangan! Kan masih ada saya" Biarlah aku urus! Kakak jangan kuatir, kapan-kapan balik ke sini,
tanah warisan itu masih milik kakak!"
"Oh, tidak perlu. Aku ikhlas! Seperti tanah peninggalan hartawan atau bangsawan dulu, yang
sekarang diperlukan oleh partai, biarlah dikelola dan dimiliki oleh partai atau negara! Aku ikhlas
seperti hartawan yang lain!"
"Ah, kalau bisa jangan begitu! Biarlah, sepeninggal kakak aku yang menentukan merah hitamnya
tanah warisan feu!" Biar ngakunya orang partai sejati, Hwee kelihatannya
masih punya sisa-sisa kemilikan yang tertinggal dalam
pribadinya! Hwee sangat membantu pelarian dan penyelundupan Aisun ke luar negeri tumpah darahnya. Dari
Amoy, Aisun dikirim ke Kanton dengan surat-surat palsu, dan dari situ menyelundup ke daerah
19 Inggris Kawloon, Selanjurnya dengan mengikuti nalurinya, Aisun berhasil menyeberang ke
Hongkong. Dengan muslihat yang ajaib karena dorongan hatinya yang menyala-nyala, Aisun
diangkat anak oleh seorang warga Singapura, dan dikirimkan melanjutkan studi di Taiwan. Di negeri
Cina Pulau itu, Aisun memperoleh gelar studinya yang tertinggi.
Meskipun sudah lebih dari seperempat abad sejak kehilangan anaknya di kandungan, Aisun yang
kini bergelar doktor itu tidak pernah luntur mengejar cita-citanya untuk mencari kubur Fang Fang
yang anak ciptaannya dan puteri Duta Mengki'i sekaligus! Oleh karena itu setelah bergelar doktor,
ia berusaha sedapat mungkin datang ke Indonesia, ke tempat di mana Fang Fang tenggelam!
Kini di Dukuh Raos, bermandikan cahaya matahari yang membakar kulitnya, Aisun telah
mendapatkan apa yang telah memburu-burunya dalam cita-citanya! Ia telah menemukan, melihat
dengan kepala sendiri, dasar Sungai Brantas tempat Fang Fang tenggelam dan ditinggalkan oleh
Mengki'i dan rombongannya! Di situ, perempuan ayu keturunan bangsawan Fukien itu terkubur
sendirian, jauh dari kenalan dan keluarganya! Betapa sepinya! Kasihan! Doktor Aisun bahkan telah
memperoleh cerita selengkapnya, dan sekaligus pelaku dan pemeran lelakon perlawatan Duta
Mengki'i menyeberangi sungai yang membawa maut puterinya itu! Sudah tercapai cita-cita Aisun,
mestinya ia 172 puasi Mestinya ia lega! Tetapi tidak! Penemuannya dengan orang-orang di Rabut Carat itu,
terutama perkenalannya dengan Fang Fang yang berwajah pas dengan anak yang diciptakan ketika
ia mengandung itu, menambal kemilikan baru. Fang Fang! Tidak ayal lagi manusia rupawan itu
penjelmaan puteri Duta Mengki'i, dan juga Fang Fang anak yang diciptakan sewaktu masih dalam
kandungannya! Kemilikan baru itu adalah bahwa ia tidak mau lagi melepaskan bergaul dengan
Fang Fang, karena gadis yang bertubuh semampai itu tidak lain adalah anaknya yang hilang di
kandungan, dan kini miliknya! Doktor Aisun bersumpah dalam hati, mau mengikuti ke mana Fang
Fang pergi. Setidaknya akan selalu berhubungan dan sering bertemu, sebagaimana layaknya
hubungan ibu dan anak. Dalam perjalanan meninggalkan Dukuh Raos, ketika melewati pematang yang berkepanjangan
menuju jalan besar, Doktor Aisun menarik lengan Swandanu untuk berjalan di sampingnya,
sementara Fang Fang dibiarkan berjalan lambat di depannya. Melihat pergaulan Swandanu dengan
Fang Fang, Doktor Aisun bertambah gairahnya menyukai mahasiswanya itu. Pada pandangannya,
Fang Fang amat serasi dan cocok berjodoh dengan Swandanu! b mengharapkan keakraban
bergaul itu berlanjut dengan perjodohan cinta abadi!
"Swandanu! Apa coba yang pernah kamu alami di penyeberangan tadi. Ceritakanlah! Aku ingin
menyesuaikan dengan bayangan hasil studiku," ujar Aisun. Bahasa Indonesianya tergagap, namun
apa keinginan dan maksudnya bisa disampaikan dengan jelas.
Swandanu memandangi Fang Fang yang balik memandang ngalem kepada Swandanu. Mereka
seolah berunding lewat pandangan itu, akan diceritakankah pengalaman mereka secara jujur" Tentu!
Sebab mereka selalu merekam cerita itu dengan bangga dan haru di dada masing-masing. Sayang
bahwa mereka sedang berjalan melewati pematang yang tidak mungkin untuk berjalan bertiga
berdampingan. Mereka mau lengket saja, Fang Fang dan Swandanu!
20 "Ketika perahu kami hampir terkejar oleh perahu orang-orang Kediri, pemimpin rombongan Tartar
yang berada di perahuku menyerukan persiapan menyerang. Mereka berdua dengan temannya
menyiapkan anak panah, tapi masih menunggu agar perahu lawan lebih dekat lagi. Aku telah sadar
adanya pengejaran itu sehingga terbangun dari kesenangan melirik wajah ayu milik Fang Fang. Aku
segera menggenjot perahuku untuk berlaju lebih cepat Dan aku berhasil mempercepat laju perahu
sehingga tidak terkejar lagi oleh perahu-perahu Kediri. Sedang sibuk melepaskan diri dari kejaran
musuh, hampir serentak dengan perintah pemimpin rombongan, aku dengar teriakan Puteri Fang
Fang. Kulirik ia berkinja-kinja melihat selembar saputangannya yang melayang di angkasa, lalu
terjatuh dalam air sungai. Baunya yang harum menyenggol pucuk hidungku. Tapi aku tak punya
waktu untuk memperhatikan apa maksudnya. Beliau bergerak seperti kesetanan, sebentar
menuding-nuding air tempat saputangan itu tercebur, sebentar lari ke sana kemari pada mangan
perahu yang sempit, mencoba membungkuk ke permukaan air, dan juga menarik-narik lenganku
untuk memahami maksudnya, tetapi aku tidak mengerti bahasanya, dan aku juga sedang bekerja
untuk menyelamatkan penumpang perahu dari amukan orang-orang Kediri. Bahasa cintaku yang
tadi bisa 175 174 lengkap ketika lirik-melirik dengannya, ternyata tidak memenuhi kebutuhan untuk mengungkapkan
ancaman musibah yang terjadi pada Puteri Fang Fang! Aku terkejut sekail ketika akhirnya Puteri
Fang Fang terjun ke dalam sungai! Aku lihat orang Tartar yang bertubuh berbuku-buku itu jadi
bingung, tergopoh-gopoh berusaha menolong gadis ayu itu dari kehanyutan dan tenggelam. Ia
bahkan merebut buluh galah pendayung perahu yang kupegang dan digunakan untuk
menyelamatkan puteri Tartar itu. Tetapi tidak berhasil. Puteri itu tidak ada mat mencari
keselamatan, ia lebih berat saputangannya! Melihat tingkah pemuda Tartar itu, aku tahu
maksudnya. Maka aku mempersiapkan diri terjun menolong yang tenggelam. Aku bisa berenang
dan tahu keadaan daerah situ serta ulah airnya. Kukira aku bisa menolong menyelamatkan orang
hanyut itu. Tapi begitu aku hendak terjun, pemimpin rombongan berteriak mencegah anak buahnya
berbuat begitu, dan menyuruh waspada terhadap lawan yang memburu. Aku pun segera mendapat
tugas! Buluh pendayung diberikan kepadaku dan dengan isyarat tangan, pemimpin rombongan
menyuruhku kembali bekerja melarikan perahu! Tidak perlu memikirkan yang lain! Perintah itu
segera ku-laksanakanf "Kasihan Fang Fang! Akhirnya tetap terkubur di sana tadi! Ah, mengapa kita tadi tidak berusaha
mencari kerangka atau tulang belulangnya" Mungkin masih terpendam di dasar sungai sana!" ujar
Doktor Aisun sambil memandangi Fang Fang yang berjalan dekat di depannya! Dari belakang, leher
Fang Fang tampak jenjang, kulitnya halus. Lengannya kuning montok, meskipun keseluruhan
tubuhnya semampai. Dengan celana begi begitu, pinggul Fang Fang
bentuknya membesar, tidak begitu kentara, namun tidak
mengurangi gairah lelaki untuk memandanginya. Tidak mungkin ketemu!" sahut Swandanu. "Apa
sudah kamu coba" Kapan'" tanya Doktor Aisun
antusias. "Ada kejadian lain menyusul tenggelamku, Doktor!" Fang Fang nimbrung berkata dengan tertawa
kecil, tampak ayu perbuatannya itu.
21 "Panggilan aku Ibu atau Mama!" pinta Doktor Aisun. "Kamu juga, Swandanu. Seperti biasanya saja!
Apa peristiwa yang menyusul" Ceritalah, Swandanu!"
Wariwari yang berjalan di belakang Swandanu kurang tahu apa yang dipercakapkan Swandanu
dengan Doktor Aisun. Ia berseru tertuju kepada tunangannya, "Mas! Di sini dulu rumah kita! Ini, batu
genuk yang biasa kugunakan meramu jamu-jamu! Masih ada tertinggal di sini!"
Di atas pematang yang mereka lalui memang terdapat batu hitam berbentuk genuk atau tempayan.
"Ya. Rumah kita yang banyak berjasa!" seru Swandanu menanggapi Wariwari.
"Lalu, bagaimana kisah Fang Fang selanjurnya' Bagaimana tulang belulangnya tidak kamu temukan
di dasar sungai sana tadi?" desak Aisun yang ingin tahu betul kisah "puterinya" itu. Ia merasa
dihambat oleh seman Wariwari.
"Setelah perahu sampai di seberang dan orang-orang Tartar dengan kudanya naik ke daratan, aku
dan tukang perahu lainnya bersembunyi di gerumbulan perdu dekat tebing situ. Kami tidak berani
membawa perahu kembali ke pangkalan karena perahu perampok sudah berdatangan memagari
sungai. Kami melihat semua betapa perahu-peraku itu kena hujan panah berapi yang dilancarkan
oleh orang-orang Tartar berkuda di atas tebing." ,
"Tentang Fang Fang" Tentang Fang Fang bagaimana' Jangan yang lain," Aisun memutus cerita
Swandanu yang berkepanjangan.
"Setelah pertempuran selesai dengan hancur berantakan-nya orang-orang Kediri, keadaan jadi
tenang. Para perampok yang bisa berenang sudah lari menjauh menyelamatkan diri ke seberang
sana, dan kami pun keluar dari persembunyian. Hari sudah rembang gelap. Kami, tukang perahu,
tidak habis-habisnya bicara tentang pertempuran itu. Aku lebih kepikiran tentang Puteri Cina yang
menceburkan diri ke Bengawan Brantas. Bagaimanakah nasib gadis bermata bintang kejora itu"
Teman-teman tukang perahu mendayung cepat-cepat perahunya pulang. Aku punya keinginan
melewati tempat perempuan yang punya mata menggoda itu menenggelamkan diri. Hari sudah
begitu gelap. Beningnya air sungai tidak bisa kutembus dengan pandang mata. Tapi itu cara yang
tolol kalau mengandalkan pencarian di dasar sungai dengan pandang mata. Sekali pun pada siang
hari, beningnya air sungai juga tak mungkin kutembus dengan pandang mata. Air sungai biasanya
keruh. Tiba-tiba anganku jadi edan! Aku ingin membawa perempuan ayu itu pulang meskipun sudah
jadi mayat! Pakaian kulepasi, buluh galah pendayung kutancapkan kuat-kuat ke dasar sungai, dan
perahu kulambatkan pada galah itu, lalu aku terjun ke dasar sungai. Sekarang yang berguna untuk
mencari tubuh perempuan lemas ku bukan lagi pandang mata, melainkan rabaan kaki dan tangan."
"Elok bin ajaib. Ketika aku terjun ke dalam air lubuk, keadaan dalamnya tidak segelap kalau dilihat
dari luar!" "Terang benderang"!"
"Ya! Mungkin itulah yang dinamakan orang aku kalap! Di dasar sungai itu kulihat istana. Dan
dengan segala keheranan akan indahnya bangunan dalam air itu aku berjalan masuk lewat pintu
gerbangnya. Seperti ada yang mendorong atau menarik, di luar sadarku aku terus saja merasuki
terowongan istana yang gilang-gemilang itu."
22 "Betul itu! Kamu kalap! Kalau saja kamu tidak berontak dan sadarkan diri untuk keluar dari istana
tadi, kamu akan mati lemas tenggelam!" komentar Doktor Aisun yang mendengarkan cerita
Swandanu dengan penuh perasaan.
"Betul! Aku nanti akhirnya berontak. Tapi mula-mula aku melihat wajah Puteri Cina itu seperti
memandangi aku lewat. Ia mencoba memanggilku, mencoba menggapaiku dengan tangannya,
tetapi aku terus saja masuk ke dalam terowongan yang keindahannya mencekam perhatianku.
Cadas yang kuat telah membentur kepalaku! Aduh! Pandangan gelap sementara. Ketika mata
kubuka lagi dengan menahan kesakitan di kepala, kegemilangan istana air itu sudah tidak menarik
perhatianku lagi. Aku jadi ingat asal muasalnya aku terjun ke dasar Bengawan Brantas: mencari
batang tubuh perempuan ayu itu! Aku segera berpaling ke arah Puteri Tartar itu melambai, dan
berenang ke sana. Kakinya terjepit oleh dua batu cadas yang kuat sehingga dia tidak bisa
melepaskan diri dari dasar sungai. Aku lepaskan mata kaki itu dari jepitan cadas, lalu kupeluk tubuh
yang lejang itu pada atas perutnya, dan kubawa
178 naik ke permukaan air," kilah Swandanu sambil menunjuk bagian tubuh Fang Fang yang berjalan
melenggang di depannya. Pada saat ditunjuk bagian tubuh yang dipeluk Swandanu itu, Fang Fang menoleh ke belakang. Ia
tidak lepas sekata pun mendengarkan kisah Swandanu. Melihat telunjuk yang mendekati tubuhnya,
Fang Fang segera menangkapnya dan menariknya.
"Bagian mana, Mas?" Fang Fang minta didumuk secara nyata. Ternyata di atas pinggulnya yang
mengecil, menahan ikat pinggang begi. Fang Fang tidak melepaskan tangan ku dan membiarkan
meraba berlama-lama pinggangnya sambil berjalan.
- Tapi Doktor Aisun mencegah mereka berduaan berjalan lengket.
"Heh, Swandanu! Kisahmu belum selesai! Telah kamu tarik tubuh Fang Fang ke permukaan air!
Masih bernapaskan dia, atau sudah mati lemas?"
Swandanu kembali ke posisi semula, berjalan berdampingan dengan Doktor Aisun. Menyambung
kisahnya. "Di atas permukaan air sudah gelap. Dalam kegelapan senja aku berenang-renang membawa tubuh
gadis cantik itu mendekati perahuku. Dengan susah payah tubuh yang elok itu kunaikkan ke
geladak." i "Dia masih bernapas?" j
"Aku belum tahu. Apakah dia bisa sadar lagi atau mati lemas untuk selamanya! Bagaimana pun
juga aku merasa puas dapat menemukan Puteri Tartar yang sewaktu sadarnya sungguh menarik
hatiku. Kecantikan wajahnya, kebagusan tubuhnya, dan terutama ajakan bercanda pandang
matanya telah terekam nikmat dalam anganku, dan akan
menyala sepanjang zaman! Ragaku bisa mati, tapi kenangan
itu menyala hingga kini!" ucap Swandanu.
23 "Aku juga!" sahut Fang Fang lembeng.
"Aku secepatnya membawa tubuh lemas itu ke daratan! Tidak ke pangkalan, tetapi yang paling
dekat dari tempat Fang Fang tenggelam. Kalau pun nanti ternyata ia memang telah tewas,
mayatnya akan kusembunyikan, dan baru keesokan harinya kukuburkan sebagai layaknya manusia
baik-baik." "Pokok kata kamu jatuh cinta sama Fang Fang. Dan segala perbuatanmu itu didorong oleh rasa
cinta asmaramu itu!" komentar Aisun. "Jadi sampai di situkah riwayat Fang Fang" Lalu kamu
kuburkan jenazahnya. Kalau begitu, kubur Fang Fang itu tentu tidak jauh dari sini! Di mana
kaukuburkan jenazah cintamu" Masih kauingatkah tempatnya?"
"Aku ingat tubuh cantik itu kubawa ke darat. Malam hari, pangkalan perahu sudah sepi. Hiruk pikuk
korban serangan orang Tartar yang terjadi sore harinya juga sudah berhenti. Kedatanganku
membawa tubuh perempuan lemas itu tidak jauh dari pangkalan. Hatiku lega karena pangkalan
sudah sepi. Tubuh Fang Fang kudukung naik ke darat. Kuletakkan di tempat yang kering.
Pakaiannya kulepasi, kutelanjangi. Kuraba-raba bagian-bagian yang bisa jadi tanda masih hidup
atau tidak. Karena hari sudah gelap, tentu raba-rabaan itu sering keliru sasaran. Dan kuperoleh
gambaran bentuk tubuh yang teramat bagus dalam rabaan itu!"
"Kamu kurang ajar!" seru Fang Fang membalikkan diri dan mencablek Swandanu dengan kenes.
"Lo itu terjadi sesungguhnya!"
"Tetapi bagian itu jangan diceritakan! Tidak pantas! Huh! Gemes!"
180 181 "Kamu punya niat jahat terhadap anakku! Kamu telanjangi, kauraba-raba, mau kamu apakan"!"
seru Doktor Aisun geram. Sama sekali hilang rasa kasih sayangnya kepada mahasiswanya.
"Aku tidak tahu! Aku tidak tahu!" i "Kamu nodai anakku dalam keadaan tak sadarkan diri!" "t "Tidak!
Tidak! Segala perbuatanku terhadap Puteri Tartar itu didorong oleh rasa cinta asmara. Menurut
naluri kelaki-lakianku yang suci. Dan ketika rabaanku sampai di perutnya, ke bawahnya sampai
tujuan akhir, aku merasa bahwa perut itu bergerak-gerak kembang kempis! Masih ada hidup di
dalamnya! Segera saja aku dekatkan pipiku di depan lubang hidungnya. Bukan demi kobaran nafsu,
melainkan mencari isyarat kehidupan, apa pada tubuh telanjang itu masih ada napasnya. Ya,
masih! Tidak buang waktu lagi. Mulutnya kungangakan paksa. Dengan gerak cepat, pinggang
terbuka itu kulingkari lenganku, dan aku mencoba membawanya bangkit berdiri."
"Itu perkosaan yang kejam sekali! Kamu masih mencoba menodai sebelum gadis itu
menghembuskan napas yang terakhir! Memang bagi laki-laki seperti kamu, tubuh perempuan yang
hidup lebih nikmat daripada yang mati!" kegeraman Doktor Aisun masih belum reda.
"Tetapi maksudku tidak begitu, Bu! Aku angkat pinggulnya dari sebelah perut. Kedua belah pahanya
berada di pundakku. Jadi waktu aku berhasil berdiri, posisi Fang Fang terbalik, kepalanya ada di
bawah!" ujar Swandanu.
24 "Kamu nakal sekali! Kalau kedua pahaku berada di pundakmu, di depanmu kaucium apa?" Gadis
Tuban yang berjalan di depan Swandanu itu membalikkan tubuhnya dan mencubit lengan laki-laki di
belakangnya. "Aku sudah tidak memikirkan itu lagi. Yang penting dengan membalikkan tubuhmu, dengan
ngentrok-ngentrok tubuhmu, air kali yang berada di perutmu bisa kembali keluar lewat mulut dan
hidungmu. Pertolongan pertama terhadap orang tenggelam seperti itu sudah sering kulihat di
pangkalan perahu," ujar Swandanu. Ia tidak ngawur saja melakukan pertolon
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
gan terhadap Fang Fang. "Jadi kamu berhasil menghidupkan kembali Fang Fang?" tanya Doktor Aisun, nada suaranya
mereda lagi. "Itu pokok pertanyaanku sejak tadi! Jadi Fang Fang urung tewas tenggelam di dasar
Sungai Brantas. Karena itu kamu tadi bilang tulang belulangnya tidak bakal ditemukan di sana. Dan
kamu tidak ingat di mana kuburnya!"
Ini tidak cocok dengan yang pernah dipelajari Doktor Aisun. Dulu, selagi masih gadis, Aisun pernah
mempelajari sejarah kotanya, di antaranya yang paling berkesan adalah membaca "Laporan
Mengki'i tentang perjalanan dutanya ke Kerajaan Singasari tahun 1289 AD'. Dalam laporan itu
diceritakan bahwa Mengki'i dan istrinya berhasil pulang ke tanah air, tetapi puterinya, Fang Fang,
tewas tenggelam dan terkubur di dasar Bengawan Brantas, sungai besar yang mengalir di Negeri
Singasari. Karena itu Doktor Aisun ingin sekali napak tilas sambil berziarah ke 'makam' Fang Fang.
Tapi sekarang ia memperoleh cerita bahwa Fang Fang tidak terkubur di sana! Laporan Mengki'i
ternyata kurang lengkap! Kurang sempurna. Sebab yang diketahui Mengki'i hanya sampai situ!
Doktor Aisun merasa bahagia memperoleh cerita sambungan tentang Fang Fang ini! Puteri Mengki'i
ternyata tidak tewas dan terkubur hina di dasar Sungai Brantas! Tidak! Puteri Fang Fang ternyata
masih bisa ditolong, setidaknya kuburannya lebih terhormat
1Q* daripada di dasar sungai. Mungkin pemakamannya diantar oleh para pelayat seperti lumrahnya
manusia baik-baik! Dan penolong itu adalah Swandanu! Doktor Aisun sungguh bersyukur
mendengar kisah ini! Ia jadi bertambah semangat untuk mendengar kisah selanjutnya! Bagaimana"
Bagaimana" Swandanu bisa meneruskan ceritanya!
"Syukurlah! Syukurlah! Puteriku Fang Fang tidak terkubur di dasar Bengawan Brantas! Lalu
bagaimana cerita selanjutnya?" seru Doktor Aisun tidak dapat menahan emosinya.
Swandanu tidak segera menjawab. Ia memegang-megang dahinya seperti perilaku seseorang yang
Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berusaha mengurangi sakit kepala.
"Mengapa kamu, Swandanu?" tegur Doktor Aisun terkejut Ada rasa kasih sayang tersirat di nada
suaranya, lebih akrab daripada semula. Tidak geram lagi!
"Tidak bisa lepas, Bu! Kami dan Bengawan Brantas, tidak bisa lepas!" seru Swandanu sambil lebih
kuat lagi memijit-mijit pelipisnya.
"Apa maksudmu, Swandanu" Kami siapa maksudmu" Kamu dan Fang Fang" Tidak bisa lepas dari
Bengawan Brantas" Tidak lepas bagaimana?"
Swandanu tidak bisa menjawab. Kesakitan di kepalanya kelihatan semakin parah. Jalannya
sempoyongan! wariwari yang berjalan di belakangnya segera mengetahui keadaan Swandanu. Ia
cepat maju dan menggandeng tangannya, memberikan bantuan kekuatan, menyangga, wariwari,
perempuan Jawa yang setia, mau diajak berlara-lapa. Dalam keadaan prihatin, ia segera maju
menjadi istri sejati, teman hidup dalam suka dan duka! Perempuan Jawa seperti Wariwari tidak
mempersoalkan suaminya yang hanya butuh teman dan memperhatikan.istrinya pada
1 184 waktu duka! Ia tidak mempersoalkannya! Itu dianggapnya kodrat nasib perempuan Jawa, dan
Wariwari menerima nasibnya dengan pasrah dan ikhlas.
Perjalanan mereka berdelapan sampai di ujung desa. Desa itu terletak di tepi jalan besar. Honda
Cforte merah pun diambil dari tempatnya parkir. Tapi Fang Fang tidak mau naik. Ia mau berjalan
saja bersama Swandanu dan Doktor Aisun. Tujuan mereka adalah rumah Pamoraga. Kalau begitu
Wariwari bisa ikut mobil menggantikan Fang Fang, sementara Pamoraga menjadi petunjuk ke mana
mobilnya harus ditujukan.
"Betul, Mas" Kamu tidak apa-apa?" tanya Wariwaji sekali lagi bertanya kepada Swandanu sebelum
naik mobil. "Aku segar bugar. Tadi kepalaku memang seperti dipukul palu besi. Tapi tidak apa-apa. Aku sering
mendapat serangan begitu, tetapi lalu sehat walafiat."
"Apa aku perlu menemanimu?"
"Tidak! Tidak! Bagaimana nanti kata Pak Prawira kalau kamu tidak pulang bersama Pamoraga!"
Bagaimana kesannya! Pergilah naik mobil. Aku hams menemani Doktor Aisun. Ia perlu meninjau
daerah ini dengan teliti."
"Aku bersamamu!" Fang Fang menimpali pembicaraan.
Wariwari mengernyitkan kening. Ia masih mampu tersenyum mendengar kata kenes Fang Fang. Ia
pun membuang senyum khusus kepada Swandanu, seperti mengutarakan bahwa Swandanu tentu
saja senang berjalan kaki karena ditemani Fang Fang, gadis yang cantik lemah gemulai, bisa kenes
bisa lincah, dan yang terpenting terpukau pada Swandanu! Tentu saja Swandanu senang
ditinggalkan Wariwari naik mobil! Wariwari perempuan Jawa yang bijak. Ia maklum akan semua itu,
tapi ia tetap diam. 185 Kemudian wariwari dan Pamoraga masuk di jok belakang, wariwari diapit oleh Dokter Mengki dan
taruna Akabri, Pamoraga. Sejak masuk mobil hingga mobil berjalan, tangan wariwari tak pernah
lepas dari gandengan Pamoraga. Hubungan keduanya tampak mesra. Wariwari membiarkan
tangannya diremas laki-laki muda yang dikenalnya sejak mereka bisa bermain karet gelang dan
engkle! Apa ini suatu pengkhianatan" Atau hanya suatu pelarian, cemburu karena tunangan
resminya digaet Puteri Cina" Wariwari perempuan Jawa, jiwanya lemah dalam mempertahankan
hubungan asmaranya, tidak menolak bila diserang, dan tidak mau ramai-ramai!
"Apakah kalian telah bertunangan?" tanya Dokter Mengki. "Ah, tidak! Dia bukan tunanganku," jawab
Wariwari jujur. "Tapi kami saling jatuh cinta," bahas Pamoraga, tidak mau kehilangan muka.
"Menilik tingkah perbuatan kalian berdua, kuanjurkan segera saja mengikat tali perkawinan!"
"Sebaiknya memang begitu, Dokter. Tetapi Wariwari ini yang masih berbelit-belit saja kalau
2 kuajukan lamaranf "Pamor! Kamu jangan bicara begitu! Kamu kan sudah tahu Mas Danu telah melamarku jadi istrinya.
Dan orang tuaku telah menerima lamaran itu dengan resmi!"
"Kamu salah pilih, Wariwari! Kamu pilih dia karena dia lebih dulu mengajukan lamaran. Tetapi hati
nuranimu berkata bahwa akulah laki-laki pilihanmu yang sebenarnya!"
"Tidak soal siapa dulu yang melamar, tapi karena jauh sebelum kehidupan kita ini, rasanya aku
pernah hidup jadi istri Mas Danu. Di sana tadi, pada pematang yang
186 kami lalui, ada batu genuk sebagai saksi bahwa kami
pernah hidup berumah tangga di situ!"
"Ah, itu itu saja alasanmu! Kehidupan masa lampau! Ya, pada masa itu mungkin kamu jadi istri
Swandanu. Tetapi pada masa kini, kehidupan yang sekarang, kamu bakal jadi jodohku!"
"Huh! Betul juga bicara ibuku! Kamu ini kurang ajarnya bukan main!" ujar Wariwari sambil mencubit
tangan Pamoraga. Cubitan sayang.
"Ke mana kita?" Kemesraan di belakang terganggu oleh pertanyaan pengemudi.
"Terus saja. Kita baru lepas dari Desa Carat. Sekarang daerah Watukosek," jawab Pamoraga.
Buyarlah kenikmatan bercandanya dengan Wariwari.
Kesempatan duduk bersanding berhimpitan tangan begitu memang sulit diperoleh Pamoraga.
Wariwari tidak pernah mau diajak keluar dari rumahnya. Orang tuanya keras melarang ia keluar.
Dengan kehadiran Swandanu, Pamoraga tidak berkutik untuk mencuri kesempatan menggandeng
tangan gadis pujaannya itu. Masing-masing membatasi aksi asmara dirinya. Karena itu,
kesempatan di mobil itu tidak disia-siakan. Tidak peduli disaksikan oleh orang-orang asing!
Si Perempuan Jawa terlalu lemah jiwanya untuk menolak. Kalau sudah kepepet begini, mau
menolak apa lagi" Bisanya hanya pasrah. Malu untuk ribut-ribut. Karena itu betul kata ibunya,
pertahanan wanita tentang asmara yang terbaik adalah menghindari persinggungan kulit!
Menjauhlah! Wariwari, kamu akan terbius lena kalau sudah dipepet demikian! Reaksi nafsunya akan
menyala! Bagaikan bensin menyambar api!
"Jadi menurut bayangan alam lampau, kamu ini menjadi istri Swandanu Si Tukang Perahu itu?"
tanya Dokter Mengki. "Rukunkah hidup kamu dengannya?"
"Rukun! Rukun sekali!"
"Kamu tidak punya cantolan hati pada laki-laki lain selain suamimu?"
wariwari tidak segera menjawab. Ia mencoba menjenguk masa lalu. Adakah laki-laki lain selain
suaminya" Ia bisa menjawab asal saja, tidak ada! Tetapi psikiater di sampingnya ini tidak begitu
saja melontarkan pertanyaannya. Sudah menjadi kebiasaan, dokter ini suka menelanjangi jiwa
3 orang dengan bertanya sambil memukau mata pasiennya lewat pandang mata! Dalam keadaan
terpukau begitu, pasien tidak gampang menjawab bohong. Kejujuran yang sering dikamuflase
dalam hidup ini dibongkar tanpa sisa! Keluar semua.
"Ada! Aku, Pamoraga!" Bukan Wariwari yang menjawabnya. Si Taruna Akabri menukas.
"Kamu ngawur!" "Kamu harus jujur, Wariwari. Bukankah sejak kecil kita bertetangga. Rumahku dan rumahmu
berdekatan di Desa Pamulungan. Sejak lepas balita kita berkasih-kasihan. Kita main
manten-mantenan, aku laki-lakinya, kamu perempuannya. Dulu, di bawah rumpun bambu belakang
rumah' Cuma ketika mulai remaja aku tinggalkan kamu ke Istana Singasari. Aku mencatatkan diri
jadi prajurit, kamu menikah sama sahabat kita Swandanu, yang saat itu sudah punya perahu di
pangkalan Rabut Carat!"
"Ya, ya! Jangan diteruskan! Kamu memang kepala batu tidak mau makan kenyataan!" ujar Wariwari
cemberut. 188 i "Jadi rumah tanggamu rukun" Meskipun hanya menjadi
istri tukang perahu di Rabut Carat?" desak Dokter Mengki. "Ya! Rukun! Bahagia!" jawabnya
pelahan, pertanda bahwa ragu. "Ya, bagaimana" Bicaralah sejujurnya!"
"Hingga pada suatu hari ...!"
"Datanglah Pamoraga ke tempatmu, ia menjadi calon perwira Singasari! Ia datang menggodamu!"
terka Dokter Mengki. "Bukan! Bukan itu! Dari calon hingga jadi perwira, Pamoraga sering berkunjung ke rumah kami. Tiap
lewat untuk berangkat dan pulang ke medan perang, ia singgah ke rumah kami. Ia tidak lupa
mencemol pipiku, mencuri-curi! O, itu kami anggap biasa. Kami bertiga bersama suamiku, bergaul
akrab, dan bersahabat!"
"Jadi, pada suatu hari, terjadi apa?"
"Lewat rombongan orang Tartar di tempat kami. Mereka rombongan dari Singasari mau
menyeberang dengan tergopoh!" ucap Wariwari tetap dengan suara lirih.
"Oh, itu aku! Aku dengan rombonganku! Tapi seingatku aku tidak menggoda rumah tanggamu!
Apakah Swandanu terluka kena panah beracun kami?"
"Pada hari penyeberangan yang heboh itu, Mas Danu tidak pulang sampai malam harinya. Aku
sudah lari kekintmng sambil menangis mencarinya. Peristiwa itu memang mengambil banyak jatuh
korban jiwa sehingga orang-orang di pangkalan cukup sibuk mengangkuti mayat dari sungai. Aku
4 kuatir Mas Danu ada di antara mereka. Tapi ternyata tidak! Semua korban dirumat oleh
teman-teman tukang perahu. Korbannya hanya orang-orang asing dari Kediri. Tapi Kangmas
Swandanu tidak ada!"
189 "Swandanu tidak ada" Tapi dia selamat sampai menyeberangkan aku!"
"Akhirnya senja turun, pekerjaan mengumpulkan mayat dihentikan. Mayat dikumpulkan di rumah
kepala dukuh, untuk dikubur pada esok harinya. Orang-orang pulang ke rumah masing-masing.
Karena tidak ada lagi orang tempat bertanya, aku pun pulang dengan perasaan hancur luluh. Aku
cuma bisa menangis tersedu-sedu. Kekuatan untuk menangis sebenarnya sudah habis siang
harinya. Aku tertidur karena kelelahan. Dan entah waktu apa tengah malam, pintu rumah yang
belum kututup dibuka dengan kasar. Aku terbangun. Aku tidak tahu siapa yang masuk ke rumahku.
Pelita di meja menyala berkibar kena angin." "Siapa yang masuk?"
"Kangmas Swandanu. Tidak sendirian. Ia menggendong seorang perempuan telanjang! Ia
menyuruhku pergi dari balai-balai tempatku berbaring karena akan digunakan untuk perempuan
bawaannya itu." "Siapa perempuan itu?"
"Kemudian perempuan itu kukenal sebagai Puteri Tartar, Fang Fang!"
"Oh, Fang Fang dibawa ke rumahmu" Apa dia dalam keadaan tak bernyawa?"
"Tak bernyawa" Tidak. Perempuan itu dalam keadaan sadar, bisa tersenyum, bisa mengerdip, bisa
main mata. Dari cahaya pelita yang kembali bernyala tenang setelah pintu kututup, aku masih bisa
melihat tangannya yang bebas mempermainkan anak daun telinga Kangmas Swandanu yang
bersusah payah mendukungnya!"
Dokter Mengki tertawa terbahak-bahak. "Ho-hd-ho! Kurang ajar benar Si Fang Fang! Kamu tentu
saja cemburu sekali!"
"Aku masih terpana dengan peristiwa mendadak
sontak itu! Kehadiran kakanda dan tingkahnya yang aneh! Bawaannya yang aneh! Kukira yang
dibawanya adalah ikan duyung yang ditemukan di Bengawan Brantas ketika Kangmas Swandanu
ikut mencari mayat orang Kediri. Namun rasa syukurku masih menebal dengan kepulang-annya itu!
Setengah hari sudah kuubres seluruh tempat, suamiku itulah yang kucari. Aku sudah putus asa!
Kelelahan! Kehabisan tenaga. Kini tiba-tiba dia berada selamat di depanku! Sungguh aku bersyukur
dalam peristiwa mendadak itu!"
"Itu namanya konyol! Kesetiaan yang konyol! Tahu suami datang membawa perempuan lain, kok
masih mau mengobar-ngobarkan rasa cinta kasihnya! Dicolok matamu dengan kejadian yang
menyakitkan hati begitu masih saja kamu pegang teguh mustika cinta setiamu berumah tangga!
Oh!" cebil Pamoraga sampai bibirnya pecuca-pecucu.ru *
Dokter Mengki terus saja tertawa berderai-derai mendengar komentar orang muda taruna Akabri itu.
5 "Coba, Dokter, kesetiaan konyol seperti itu mau diterapkan juga sampai sekarang!" Pamoraga
mengadu. "Hampir saja ia tidak mau kuajak kemari! Alasannya karena sudah bertunangan! Tak
tahunya, Dokter tadi melihat sendiri, betapa mesranya Swandanu berhubungan dengan pasien
Dokter tadi!" "Ah! Pamor! Yang kuceritakan tadi kan kisah kasih seorang istri Jawa pada zaman Prabu
Kertanegara! Pada zaman itu biasa seorang bangsawan seperti Raden Wijaya mengawini dua tiga
orang perempuan sekaligus. Beliau malah memperistri dua orang bersaudara putri Sri Baginda
Kertanegara! Rukun-rukun saja'"' .
"Hell! Swandanu kamu samakan dengan Raden Wijaya" Ia ini bangsawan dari mana" Ia ini cuma
tukang perahu!" "Pamor! Tidak sepantasnya kamu berkata begitu! Aku tidak pernah bicara soal martabat seseorang!
Raden Wijaya kusebut-sebut hanya sebagai contoh seorang laki-laki Jawa karena kebetulan beliau
seorang panglima dan pemimpin sehingga mudah diketahui orang awam riwayatnya. Di kalangan
tukang perahu, laki-laki Jawa lain, juga ada yang punya istri lebih dari seorang dan rukun tinggal
dalam satu atap. Masyarakat menerima kehadiran keluarga itu dengan baik, wajar saja, dan bukan
sebagai penjahat atau orang yang berdosa. Memang masyarakat awam sering menggunakan
pemimpin kalangan atas sebagai contoh yang patut diteladan. Orang awam seperti aku tidak
mengajukan protes atau memberontak, tapi tingkah laku perbuatan pemimpin itu dianggap sah, ya
kami meniru saja perbuatannya! Permai Kakangmas Swandanu sebagai tukang perahu, aku tidak
pernah meremehkan mata pencahariannya itu! Bagi seorang istri Jawa seperti aku, apa pun
pekerjaan atau martabat suami, ia adalah laki-laki tempat bercinta, berbakti, dan sebagai panutan
hidup. Laki-laki ku Pangeran Katon, penuntun dalam kehidupan berumah tangga." t?
"Pendirian seperti itu akan kamu pertahankan pada abad ini?"
"Bukan kewajibanku seorang untuk mempertahankan atau mengubah struktur kehidupan bangsa.
Aku sadar bahwa budaya bangsa akan berubah karena pengaruh pergaulan dengan bangsa lain
serta kemajuan zaman, dan bangsa kita tidak mau ketinggalan dalam menyesuaikan diri dengan
kebiasaan hidup yang mempergunakan
peralatan temuan terakhir di dunia ini. Termasuk perempuan
seperti aku ini. Tetapi tentu saja tidak semua temuan terakhir itu sesuai dengan jiwa perempuan
Jawaku sehingga ada tabiat atau cara pikirku yang berpola sisa lama," ujar
Wariwari nerocos menyerang Pamoraga.
"Antara lain kesetiaanmu yang konyol itu!" sindir
Pamoraga. "Mungkin konyol bagimu, tetapi tetap mustika bagiku!"
"Wah, wah, wah! Aku tarik kembali anjuranku tadi. Kalian jangan tergesa mengikat tali perkawinan!
Agaknya kalian masih mempunyai perbedaan pendapat yang mendasar dalam pergaulan hidup!"
tumpang Dokter Mengki menengahi.
"Tidak apa, Dokter! Lebih baik kita bongkar duhi borok-borok pikiran konyol itu sekarang sebelum
6 kami melangkah ke jenjang kehidupan perkawinan!" sesumbar Pamoraga dengan suara gagah.
"Ia selalu menyebutkan konyol karena ia sedang berjuang untuk merebut aku jadi miliknya, Dokter.
Tapi andaikata aku telah menjadi miliknya, dan aku menggunakan filsafat setia setengah mati
kepada sang suami, seperti sikapku kepada Mas Danu sekarang, aku ingin tahu apakah dia masih
menganggap konyol kesetiaanku kepadanya" Atau mungkin ia menghendaki kalau dia suatu kali
nyeleweng maka hendaknya aku juga nyeleweng kepada laki-laki lain?" bantah Wariwari tidak
kurang sengitnya! '"Heh"! Tapi .:.!?" Pamoraga gelagepan.
"Laki-laki mau enaknya sendiri saja! Itulah, Dokter, aku sering merasa iri dikodratkan sebagai
perempuan Jawa! Raden Wijaya boleh kawin
imi Kangmas Swandanu dan Pamoraga! Kedua laki-laki ini aku cintai!" keluh wariwari.
Pamoraga segera menangkap kembali tangan wariwari, dirernat-rematnya dengan penuh kasih
sayang. "Wariwari! Percayalah! Pada zaman ini giliranku berjodoh denganmu! Zaman Singasari itu
adalah zaman Rama-Sinta, Swandanu Rama, kamu Sinta, dan aku Lesmana. Aku tidak berjodoh
denganmu. Zaman Indonesia tinggal landas ini adalah Zaman Baratayudha, Swandanu adalah
Prabu Kresna, kamu Sembadra titisan Sinta, dan aku Janaka titisan Lesmana! Hal ini harus jadi
keyakinan kita, Wariwari! Keyakinanmu, keyakinanku!"
"Heh. enak saja' Lalu Mas Danu sebagai tunanganku bagaimana" Tidak ada tanda-tanda dia mirip
dengan Prabu Kresna!"
"Tapi ada tanda-tanda kamu sebagai Sembadra dan aku Janaka, aku bakal jadi prajurit yang andal,
taruna Akabri, sakti madraguna seperti Raden Janaka. Dan kini kita sempat mengaku bertunangan
di hadapan ayah dan ibuku! Tanda-tanda untuk kita berjodoh sudah ada, Wariwari! Jangan kamu
memicing sebelah mata!"
Dokter Mengki tenis menerus tertawa gelak-gelak mendengarkan perbincangan dua sejoli yang adu
argumentasi itu! 1J** "Kita sudah dekat rumah, /o, Mas! Itu, tikungan itu ke kanan! Gangnya belum diaspal, menuju
hutan!" sahut Wariwari sambil menghempaskan napas. Pendiriannya mulai goyah kena rayuan
Pamor. Menjauhlah! Menjauhlah!
"Jadi, kembali di rumahmu di Rabut Carat dulu, kamu terima kehadiran Fang Fang dengan rela
hati?" tanya Dokter Mengki kepada gadis di sebelahnya.
"Ya. Tidak ada cara lain. Itu kehendak Pangeranku,
suamiku!" sahut Wariwari.
Mobil Civic pun belok ke kanan menurut petunjuk wariwari. Belum lagi seratus meter, mereka
melihat sebuah rumah tembok model lama. Cukup besar, dan di sana sini sudah dipugar dengan
bahan bangunan akhir, terutama bagian depannya. Pada bagian belakang serta pelatarannya
masih seperti kebanyakan rumah di desa, pagarnya kurang terpelihara, dan tumbuh-tumbuhan
merimbun karena telah lama tidak disiangi. Di halaman depan rumah ada sebuah Suzuki Super
Carry berwarna putih. Pamoraga memandu Yong Pin menuju ke rumah itu, dan Civic merah diparkir
di sebelah Suzuki. Berhenti, dan semua penumpangnya turun.
7 "Apa Fang Fang nanti kuat berjalan sampai di sini?" tanya Yong Pin asal keras saja, tidak tertuju
kepada seseorang. Pamor menjawab, "Tidak usah kuatir. Ia memang lama tinggal di daerah ini. Tentu senang-senang
saja berjalan dari Raos kemari. Apalagi ada Swandanu. Tidak akan merasa lelah meskipun dibawa
berjalan sejuta kilometer."
"Setahuku Fang Fang tidak pernah berjalan jauh. Di Tuban kebutuhannya dapat dicukupi dalam
jarak dekat. Jauh sedikit paling-paling ia naik sepeda," Fusen yang merasa tahu keadaan Fang
Fang berkisah. Dokter Mengki Ikut menghibur, "Ada Doktor Aisun, perempuan yang lebih tua! Masa kalah kuat*"
"Ya, salahnya sendiri! Tadi ia menolak disuruh naik mobil!" ucap Wariwari melengkapi komentar
tentang Fang Fang. Mereka semua memang memikirkan Fang Fang!
Pamoraga sebagai man rumah melangkah duluan dan mempersilakan tamu-tamunya masuk ke
Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ruang depan rumahnya. Sementara menyeberangi halaman menuju rumah, Dokter Mengki yang berjalan berdampingan
dengan Wariwari sempat bertanya, 'Jadi Fang Fang tidak terluka apa-apa waktu dibawa Swandanu
ke rumahnya?" "Tidak. Ia manja sekali. Ia tidak malu meski tanpa busana digolekkan di balai-balai tempat tidur
kami. Untung sinar pelita tidak begitu benderang, dan remang-remang malam menyelimuti tubuhnya
yang lejang dan banyak bagian yang bulat terumbar. Begitu remangnya-hingga pandang mata tidak
tembus begitu saja. Aku yang tidak kuat. Segera saja kuambil sehelai kain panjang, dan
ku-selimutkan pada bagian tubuh yang diincar terus oleh lirikan mata Kangmas Swandanu. Ketika
pakaian miliknya telah kering dan diberikan kepadanya, ia tidak mau lagi mengenakan. Ia lebih suka
mengenakan kain dan bajuku, dan tiap kali kuajari menggelung rambutnya seperti caraku."
"Seterusnya kamu rawat di rumahmu?" Wariwari mengangguk. "Kami tidak berani langsung
melepaskan dia ke luar rumah. Berbahaya. Wajahnya yang asing akan mencengangkan orang di
pangkalan perahu, sedangkan ia tidak dapat bicara apa-apa karena tidak tahu bahasa orang sana.
Dan mungkin berbahaya, karena banyaknya orang Kediri berperahu dari mudik yang mungkin
mendendamnya! Kisah pertempuran dengan jatuhnya korban H sepihak itu sungguh menyakitkan
hati orang Kediri, uapa tahu dendamnya dilampiaskan kepada Fang Fang! idi kami sembunyikan
dia! Sementara itu, dia kuajak igerti kehidupan kami. Kami ajari berbahasa Jawa."
"Kamu baik sekali! Terus" Apakah kamu bisa cocok hidup berdampingan seatap dengan Fang
Fang?" "Sebenarnya dia perempuan baik. Mudah diajak berbicara. Dari mulai bisu, dalam waktu singkat ia
sudah dapat berbicara bahasa Jawa seperti aku ini. Dengan kecakapannya berbahasa Jawa itu
maka telah berkurang bahaya yang mengancamnya. Ia bisa menjawab kalau ditanya oleh para
tetangga yang menjadi teman sepergaulan. Masyarakat tukang perahu bisa menerima
kehadirannya. Tinggal keayuannya yang mencolok dan wajah Cina-nya itulah yang masih bisa
mengundang bahaya baginya. Mungkin masyarakat tukang perahu bisa menerimanya, tetapi
8 pangkalan perahu Rabut Carat tempat yang ramai untuk lalu-lalang orang luar daerah" Siapa tahu
ada pendendam dari Kediri yang tertarik dan mereka-reka siapa Fang Fang itu. Jadi kami lepas dia
dengan sikap hati-hati sekali. Harus kami puji, ia seorang perempuan yang pandai bergaul, ramah
taman, dan lekas bersahabat dengan orang selingkungannya!"
Kemudian mereka masuk ke mangan depan. Ayah Pamoraga, Prawiradahana, ikut mempersilakan
tamunya duduk di kursi tamu.
"Dari mana saja kalian tadi?"
"Kami bertemu di tepi Bengawan sana, Pak. Kok ada kecocokan bicara soal kisah-kisah zaman
Singasari. Lalu ajak-ajakan ke sini supaya bicara kami lebih memuaskan semua pihak!" jawab
Dokter Mengki. "O, di daerah sini banyak arca atau candi bekas peninggalan zaman Singasari. Tetapi sekarang
harus diawasi agar benda lama itu tidak diambili para tamu, baik turis dalam negeri maupun
mancanegara. Yang menyebalkan ku bukan turis, tapi tangan jahil yang sengaja mengambil
benda kuno itu untuk dijual.' Wah, keranjingan, koM" kilah pensiunan Brimob itu.
"Kami ke sini mendadak kok, Pak. Mengikuti naluri. Wong sebelumnya saudara-saudara ini aku pun
belum kenal. Kemarin sore berkenalan sebagai dokter dan pasien dan pagi tadi berangkat dalam
satu mobil ke sini! Tanpa rencana rind!"
"Tuan-tuan ini sedang kerasukan arwah orang Tartar, Pak. Pikirannya kalut kebulet saiaa kisah
perjalanan orang Tartar ke Singasari," ujar Pamoraga. Setelah bicara begitu, Pamoraga kembali
masuk rumah. Ada sesuatu yang sedang dikerjakannya di belakang rumah.
"Kisah ku memang menarik sekali!" komentar Prawira. "Daerah Watukosek sini juga dilanda
huru-hara. Lewatnya tentara Kediri yang sedang menang perang memburu-buru Raden Wijaya dari
Singasari!" "Aku ingin mendengarkan lanjutan kisah Fang Fang di rumah Wariwari. Bagaimana" Akhirnya Fang
Fang dapat keluar rumah dan bertemu dengan para tetangga?" Dokter Mengki terus memburu
cerita. "Sampai tiga bulan ia ngumpet saja di rumah. Dan ia pun mulai pandai bicara Jawa. Juga belajar
masak, menggelung rambutnya, berpakaian Jawa. Semuanya bisa dipelajari dengan hasil baik. Ia
cepat bisa menyesuaikan diri."
"Apakah dia tidak pernah tanya tentang bapaknya, ibunya, pengawalnya, tempat asalnya?"
"Itu semua sudah diceritakan oleh Kangmas Swandanu. Semuanya. Dalam bahasa Jawa. Kalau
yang bercerita Kangmas Swandanu, ia cepat tanggap. Jadi ia sudah paham tentang keadaan
dirinya dan mengapa berada di rumah ami."
"Ia tidak cerita mengapa terjun dari perahu?"
"Cerita! Ia memburu saputangannya, katanya. Saputangan gambar naga buah tangan ibundanya! Ia
mencari saputangan itu! Baginya, saputangan itu lebih penting daripada kebersamaannya dengan
9 ayah dan para pengawal keselamatannya! Karena itu ia terjun mencarinya. Tapi sebegitu jauh
belum ketemu. Mendengar kisah itu, dan betapa pentingnya saputangan itu bagi gadis jelita itu,
maka Kangmas Swandanu mencoba mencari benda pusaka itu! Dicarinya seorang diri dan
diam-diam. Ditelurusinya tebing sepanjang Bengawan, diselaminya dasar sungai yang ada
kemungkinannya saputangan itu tersangkut ranting yang menancap di sana. Namun sia-sia saja.
Sudah diubek berhari-hari daerah sungai itu, namun saputangan itu tetap saja tersembunyi."
"Jadi sampai akhir cerita, saputangan itu tidak ditemukannya" Kasihan! Dibela berpisah dengan
ayahnya, keluarganya, bangsanya, tanah airnya, namun Fang Fang tidak berhasil memperoleh
kembali saputangan wasiat itu!"
"Ia mengancam mau mencarinya sendiri! Ia yakin saputangan itu tersembunyi di sekitar situ saja. Ia
akan naik perahu!" "Jangan boleh ia mencari sendiri!" Dokter Mengki tersentak ingin ikut mencegah.
"Mula-mula ia patuh dengan larangan kami. Hanya kami berdua yang mencari
Kangmas Swandanu dan gadis cantik itu sering mandi-mandi berdua di Bengawan. Mereka tampak
rukun dan mesra. Mesranya sampai dibawa ke rumah, di hadapanku."
"Edan! Ke mana saputangan itu" Akhirnya tidak ketemu juga, ya?" ucap Mengki.
'i "Saputangan tidak diketemukan, tetapi kasih sayang mereka berdua kian melekat! Masyarakat
tukang perahu semua tahu. Aku sumpek. Kalau pencarian saputangan begitu terus, kukira rumah
tanggaku akan ambruk. Aku putar otak cari akal untuk mengakhiri peristiwa itu. Kuajukan usul bikin
sayembara saja. Siapa yang dapat menemukan saputangan itu, kalau laki-laki akan jadi suaminya,
kalau perempuan jadi saudaranya!" "Sudah sampai begitu usahamu"!" "Ia kelihatannya enggan
menerima anjuranku. Saranku disambut dingin saja. Tapi aku terpaksa menyodorkan saranku
dengan keras. Kalau memang saputangan itu pelindung kehidupan keluarga, maka kalau ketemu,
siapa pun yang menemukan, tentu akan menyelamatkan dan melindungi jiwa Fang Fang! Tetapi
kalau tanpa adanya sayembara dan saputangan ku tetap tidak ketemu, berarti jiwa Fang Fang dan
keluarganya tidak terlindungi. Rapuh. Kemungkinan mendapatkan musibah atau bencana besar
sekali! Dan apa artinya Fang Fang hidup bercampur dengan keluarga tukang perahu, mengubah
adat istiadatnya menjadi Jawa, jauh terpencil dari kerabat dan bangsanya, tapi hidup tanpa
pegangan keyakinan, bahkan rapuh musibah" Dalam menjalani hidup seperti ku kan lebih baik di
dekat bapanya, bangsanya, tanah airnya! Katakanlah Fang Fang demen sama Kangmas Swandanu
dan aku ikhlas melepaskan mereka bercumbu dan bercinta di hadapanku,
200 tetapi apakah artinya kesenangan itu karena Fang Fang tidak berhasil memegang saputangan
gambar naga, lalu mati lemas tenggelam di Kali Brantas lagi" Atau ditohok orang pendendam dari
Kediri hingga mati! Fang Fang sendiri punya keyakinan tanpa adanya saputangan itu di tangannya,
keselamatannya tidak terlindungi! Jadi dalam waktu singkat dia bakal kena bencana! Lalu apa
artinya hidup baginya tanpa saputangan gambar naga?"
"Sebenarnya kamu bukan perempuan berpendirian lemah, Wariwari!" puji Dokter Mengki. "Bahkan
pandangan hidupmu jernih!" :ii "Terima kasih, Dokter!"
"Jadi, apakah musibah itu akhirnya lebih cepat datang, ataukah saran sayembaramu itu berhasil
10 dilaksanakan dan menyelamatkan kalian dari marabencana" Wah, kamu ini tidak segera membuka
tabir! Cepatlah bercerita! Bagaimana?"
"Mungkin karena terus kuomeli, akhirnya saranku diterima dengan kesepakatan Kangmas
Swandanu." "Terus" Dengan sayembara itu orang perahu, terutama kaum lakinya, lalu berduyun nyemplung dan
kungkum di Bengawan Brantas, seperti berita adanya emas di dasar sungai"! Tentu begitu! Jadi
suami Fang Fang Id. Perempuan cantik nilainya kan lebih daripada emas" Apa Bengawan Brantas
tidak dibanjiri oleh kaum laki-laki, mereka bukan saja kungkum, tapi juga membendung sungai itu
agar dasar sungai tampak, dan kelihatan pulalah saputangan gambar naga itu! Wah, bagaimana ya
akhirnya" Siapa yang menemukan!" Siapakah laki-laki bahagia itu?" Dokter Mengki ramai sendiri
mengutarakan gambar khayalnya! Sekali ini bukan pasiennya yang pegas jiwanya terloncat
bergelora, tetapi dokternya!
Emosinya yang telanjur telanjang lepas kendali, tersekat tidak memperoleh jawaban yang
memuaskan. Belum! Tertunda! Sebab pada waktu jawaban itu hendak disampaikan Wariwari,
datanglah Pamoraga dari dalam rumah membawa talam berisi sembilan gelas besar es degan!
Percakapan jadi terhenti!
"Wah, Pamor! Nggak mau cari bantuan tenaga, ya! Diborong sendiri! Ayo, mana, aku ikut melayani!"
seru Wariwari. "Ini namanya menampar mukaku! Masa ada tenaga perempuan begini, penyuguban
dikerjakan oleh laki-laki"!"
"Itulah, mengapa ia jauh-jauh kupanggil ke sini! Ibunya sudah tidak mau lagi mendengar ia belum
punya gadis. Keluarga kami miskin perempuan. Anak kami dua laki-laki semua, belum punya istri
semua. Saudara ibunya tiga laki-laki semua, saudaraku dua juga laki-laki semua. Miskin
perempuan. Melihat Nak Wariwari ini, istri saya kemecer mau mengambilnya menantu! La kok
kemarin Pamor datang mengumumkan Nak Wariwari ini gadisnya! Oo, ibunya gembira sekali! Ini
tadi dia pergi mengantar baju ke Pamulungan, sambil mengabarkan bahwa gadis di sana urung
dijodohkan sama Pamor! Ya, kalau ada urusan dapur begini ini susah, rumah tangga ditinggalkan
perempuan!" Wariwari membantu meletakkan gelas-gelas es degan di meja. Ia tidak mendengarkan ocehan Pak
Prawira. Setelah habis, talam direbut oleh Wariwari dan dibawa pergi ke belakang. "Masih ada yang
harus dikeluarkan, Mas?" "Ini degan sendiri kok, ambil dari pohon!" ujar Pamoraga. "La kelihatannya
sejodoh begitu! Apa katanya?" tanya Fusen yang sejak tadi bersama Yong Pin banyak berdiam diri.
"Tidak tahu kapan, Pamor belum minta agar kami melamar Nak Wariwari!" kata Prawiradahana.
Wariwari kembali ke ruang depan menghidangkan serbet. Ketika lewat di depan Mengki, dokter ini
berbisik sambil mengaduk-aduk es degannya, "Saputangan gambar naga, siapa yang
menemukannya?" Wariwari tertawa geli. Ia memberi isyarat menunjuk pada Pamoraga.
Pamoraga yang baru saja bisa duduk, melihat Wariwari dibisiki tamunya yang tertua, dan melihat
Wariwari menunjuk kepadanya, langsung menanggapi.
"Ada apa, Pak Dokter?" Sapaannya tegas, keras, layak menjadi perwira. Ada sifat jujur di hatinya.
11 "Aku tanya kepada dalang putri ini cerita lanjutan tentang Fang Fang lagi. Yaitu siapa yang
Pembalasan Iblis Sesat 1 Trio Detektif 44 Komplotan Pencuri Mobil Mewah Kelelawar Hantu 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama