Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng Bagian 3
melihat sinar suar dan atas bukit, kita bingung memikirkan kenapa ia berkeliaran
di luar pada waktu badai."
"Bukan, bukan dia yang menyalakan suar," kata Julian. "Dia pengamat di atas
bukit! Betul, itulah jawabannya! Karena itulah ia keluar malam-malam ketika
cuaca sedang buruk. Ia hendak melihat apakah ada sinar isyarat datang dari atas
tempat ini, memberitahu ada kapal datang!"
Anak-anak terdiam lagi, lebih lama dan tadi. Semua merasa tidak enak,
membayangkan kemungkinan itu.
"Kita tahu Pak Penruthlan berbohong, dan kita tahu ia merogoh-rogoh kantong
pakaian orang lain - karena kita melihat sendiri hal itu," kata Julian
melanjutkan. "Jadi cocok! Ialah orangnya, yang pergi ke tempat tertentu di atas
bukit untuk mengamat-amati isyarat cahaya dan menara di pesisir!"
"Lalu apa yang dikerjakannya setelah itu?" kata Anne. "Bukankah kita sudah
mendengar bahwa sekarang sudah tidak ada lagi kapal terdampar di sini, sebab tak
jauh dan tempat ini ada mercu suar modern. Jadi apa gunanya semua kesibukan itu,
jika tidak ada kapal yang terdampar?"
"Penyelundupan," jawab Julian singkat. "Itulah tujuan mereka. Mungkin dengan
perahu motor! Mereka memilih malam yang sedang buruk cuacanya. Dengan begitu
kedatangan mereka takkan terlihat atau terdengar orang lain. Perahu yang membawa
barang selundupan menunggu di tengah laut, sampai ada isyarat cahaya yang
mengatakan bahwa keadaan aman. Setelah isyarat itu memancar, mereka lantas masuk
ke dalam salah satu teluk yang banyak tersebar di daerah sini."
"Ya, dan kurasa Lorong Pencoleng dipakai kaki tangan para penyelundup itu untuk
pergi ke teluk dan mengangkut barang-barang selundupan ke darat," kata Dick
bersemangat. "Mungkin mereka bertiga atau berempat, jika barang-barang, yang
harus diangkut berat. Astaga! Kurasa dugaan kita ini benar."
"Dan pengamat di atas bukit yang memberii tahu pada kawan-kawannya," sambung
Juhan lagi, "lalu mereka bersama-sama turun ke teluk. Tak ada yang melihat sinar
suar di atas menara in kecuali orang-orang yang sudah menunggu dalam perahu
motor. Dan tak ada yang melihatnya di darat, kecuali si pengamat di atas bukit.
Benar-benar aman!" "Kita mujur, bisa menemukan rahasia mereka," kata Dick "Tapi masih ada yang
membingungkan bagiku. Aku merasa yakin, orang yang menyalakan lampu di sini
tidak datang lewat jalan yang kita lalui tadi. Karena jika ia biasa lewat di
situ, pasti tampak bekasnya berupa rumput yang patah terinjak atau tanda lain
seperti itu. Pokoknya, tentu akan tampak jejaknya di situ."
"Betul juga katamu! Dan tadi tidak kelihatan bekas apa pun, bahkan ranting patah
pun tidak," kata Anne. "Jadi tentu ada jalan lain menuju ke rumah ini,"
"Tentu saja! Kan sudah kita katakan sendiri, mestinya ada salah satu jalan bagi
orang yang menyalakan lampu, untuk kemari dan teluk," kata George. "Yah, lewat
jalan itulah ia kemari. Ia datang lewat lorong dan teluk, Kenapa kita begin!
tolol?" Anak-anak bersemangat kembali, setelah terdapat kemungkinan itu. Di manakah
lorong itu" Entah! Yang pasti bukan di menara ini, karena di situ sangat sempit.
Untuk tangga pilin saja sudah pas-pasan sekali!
"Kita ke bawah saja lagi," kata Anne sambil melangkah turun. Tiba-tiba ia
berhenti, karena mendengar bunyi pelan di bawah.
"Ayo terus!" kata George yang turun di belakangnya. Anne menoleh. Kelihatannya
ketakutan. "Aku mendengar bunyi di bawah," bisik anak itu.
Dengan segera George berpaling, memandang Julian.
"Anne merasa di bawah ada orang," kata George pelan.
"Cepat naik lagi, Anne," kata Juhan.
Anne menurut. Kelihatannya masih tetap ketakutan.
"Mungkinkah itu orang yang menyalakan lampu suar?" bisiknya. "Hati-hati, Ju!
Pasti dia bukan orang baik."
"Orang baik?" kata George sambil nmendengus "Dia pastilah penjahat brengsek! Kau
mau turun, Ju" Hati-hati!"
Julian menjengukkan kepala ke bawah. Tapi tidak bisa melihat apa-apa. Jadi tidak
ada pilihan lain baginya. Ia harus turun, untuk memeriksa siapa yang ada di
situ. Mereka tidak bisa menunggu terus sepanjang hari di menara, sambil
berharap-harap orang yang di bawah itu lekas pergi!
"Seperti apa bunyi yang kaudengar tadi?" tanya Julian pada Anne.
"Yah, bunyi gemeresik pelan," kata Anne. "Mungkin saja cuma seekor tikus - atau
kelinci! Pokoknya bunyi biasa. Yang terang, cli bawah ada seseorang - atau
sesuatu!" "Kita tunggu saja sebentar di sini," usul Dick "Kita pasang kuping, mendengarkan
kalau-kalau bunyi itu terdengar lagi."
Anak-anak lantas duduk di atas. George memegang kalung leher Hmmy. Sambil
menunggu, mereka mendengarkan dengan saksama. Di kejauhan terdengar teriakan
burung-burung camar. Terdengar bunyi gemeresik semak-semak di kaki menara.
Tapi dari arah ruangan dasar menara, yang kalau melihat bentuknya, diduga
dulunya dapur, tak kedengaran apa-apa. Julian memandang Anne.
"Tidak kedengaran apa-apa sekarang katanya. "Pasti kelinci, yang kaudengar
bunyinya tadi." "Mungkin juga," kata Anne. Ia merasa konyol , karena pada kelinci saja takut.
"Apa yang kita lakukan sekarang" Turun?"
"Ya, kita turun. Tapi aku dulu, bersama Timmy," kata Julian. "Jika ada yang
mengintai di bawah, pasti orang itu akan kesal melihat aku turun membawa TImmy.
Dan Timmy pasti tak senang melihat orang itu!"
Namun ketika Julian baru saja mau turun, di bawah terdengar lagi bunyi gemeresik
pelan, tapi jelas terdengar. Cuma sebentar, lalu hilang lagi.
"Yah, aku turun saja sekarang," kata Julian, mulai menuruni tangga. Saudarasaudaranya memandang, sambil menahan napas. Timmy ikut turun bersama Julian.
Anjing itu mendesak-desak, ingin turun lebih dulu. Kelihatannya ia sama sekali
tak mengacuhkan bunyi tadi. Jadi mungkin memang cuma tikus, atau kelinci.
Julian turun dengan hati-hati. Apakah yang akan ditemukannya di bawah" Kawan atau lawan" 14. Lorong Rahasia SESAMPAINYA di anak tangga paling bawah, Julian berhenti sambil mendengarkan
sebentar. Di ruang sebelah, tak terdengar bunyi sama sekali.
"Siapa di situ?" seru Julian dengan keras. "Aku tahu kau ada di situ! Aku
mendengarmu tadi." Tapi tetap tak terdengar bunyi apa-apa di dapur. Ruangan itu penuh ditumbuhi
semak dan mawar liar. Selain itu, tak ada apa-apa di situ.
Julian lantas melangkah ke arah dapur, lalu langsung masuk. Tempat itu kosong.
Kosong dan sunyi sepi. Di situ sudah pasti tidak ada siapa-siapa.
Julian melanjutkan langkah, masuk ke ruang lain. Kamar itu ternyata juga kosong
melompong. Rumah tua itu terdiri atas empat kamar. Dua di antaranya sangat sempit. Dan
keempat-empatnya kosong! Timmy tidak gelisah. Ia sama sekali tidak menggonggong
seperti biasanya jika ada orang asing.
"Yah, ternyata tidak ada siapa-siapa, Tim." kata Julian lega. "Mestinya yang
berbunyi tadi kelinci. Atau mungkin pula ada dinding retak lalu jatuh. "Tim,
kenapa kau mengendus-endus di situ?"
Julian melihat Timmy mengendus-endus penuh minat di pojok dekat ambang pintu.
Kemudian anjing itu memandang Julian, seakan-akan ingin mengatakan sesuatu.
Julian menghampiri anjing itu.
Ternyata di tempat itu tidak ada apa-apa. Yang tampak cuma rumput liar. tumbuh
di celah-celah lantai. Julian bingung, apa sebabnya Timmy kelihatan tertarik
pada tempat itu. Tapi Ia lalu memeriksa ke seluruh ruangan. Ia merasa heran,
untuk apa mereka datang ke tempat seaneh itu.
"Dick! Ajak George dan Anne turun!" seru Julian ke atas. "Di sini tidak ada
siapa pun. Rupanya Anne tadi mendengar binatang lari!"
Ketiga anak yang masih ada di atas menarik napas lega, lalu bergegas turun.
"Maaf jika kalian jadi kaget," kata Anne. "Tadi kedengarannya seperti ada orang
di bawah! Tapi jika memang ada orang, mestinya Timmy sudah menggonggong.
Nyatanya, ia tetap tenang!"
"Betul! Yah - kurasa kekagetan kita tadi sama sekali tak beralasan," kata Dick.
"Sekarang, apa yang kita kerjakan selanjutnya" Makan siang" Atau memeriksa
tempat ini - untuk mencari jalan masuk ke lorong yang menuju teluk?"
Julian memandang arlojinya sebentar.
"Belum waktunya makan siang," katanya, "kecuali jika kalian sudah sangat lapar!"
"Yah - aku sudah mulai merasa sangat lapar," kata Dick "Tapi, aku tak sabar
lagi, ingin menemukan lorong itu! Di mana ya jalan masuknya?"
"Aku sudah meneliti keempat kamar yang ada dalam rumah ini," kata Julian, "tapi
di mana-mana yang tampak cuma rumput liar. Tak ada pintu tua di dinding, dan tak
ada pula tingkap di lantai. Membingungkan!"
"Nah, kalau begitu akan asyik kita mencarinya," kata George. "Keadaan begini
yang paling kusenangi! Timmy, kau ikut mencari."
Mereka lantas mulai menyelidiki keempat kamar yang ada dalam rumah [ua itu. Di
mana-mana tumbuh rumput liar. Jadi mereka merasa, takkan ada tingkap rahasia di
lantai. Karena jika ada, dan orang yang membawa lampu menggunakannya akhir-akhir
in maka di rumput pasti akan tampak bekas-bekasnya. Tapi tidak! Rumput liar
tumbuh subur di mana-mana.
"He! Aku punya akal," kata Julian kemudian. "Kita suruh saja Timmy mencari jalan
masuk itu." "Bagaimana caranya?" tanya George.
"Mula-mula kita suruh dia mencium bau tetesan minyak di anak tangga," kata
Julian menjelaskan. "Lalu setelah itu ia harus mencari bekas-bekas lainnya yang
ada di sela-sela rumput liar. Menurutku, minyak itu tidak cuma menetes di
tangga. Mestinya sudah menetes mulai dari jalan masuk ke lorong. Dan situ minyak
menetes terus, sampai ke puncak menara. Tidakkah Timmy bisa menemukan jejak itu
dengan penciumannya" Dengan begitu, kita akan sampai di jalan masuk yang kita
cari." "Baiklah, kita coba saja! Tapi aku mulai merasa, di sini sama sekali tidak ada
jalan masuk itu," kata George, sambil memegang kalung leher Timmy. "Soalnya,
seluruh rumah ini sudah kita periksa sampai ke pojok-pojoknya! Nah, Tim sekarang, kau bertugas menghasilkan suatu keajaiban. Mencari jalan masuk yang
sama sekali tidak ada!"
Timmy disuruh mencium genangan minyak yang terdapat di anak tangga paling bawah.
"Cium baunya, Tim! Setelah itu, ikuti jejaknya," kata George. Timmy mengerti apa
kemauan anak itu. Ia mengendus-endus, mencium bau minyak tanah. Setelah itu Ia
memanjat tangga pilin, mengikuti bau ke genangan berikutnya. Tapi George
menyentakkannya kembali ke bawah.
"Tidak, Tim! Bukan ke atas, tapi ke sini," katanya. "Di lantai sini mestinya ada
pula tetesan-tetesan minyak tanah."
Timmy memutar tubuhnya. Dengan segera ia menemukan tetesan minyak di sela
gumpalan rumput yang tumbuh di celah-celah lantai. Diendusnya bau tetesan itu,
laLu berpindah ke tetesan berikut. Lalu pindah ke tetesan selanjutnya.
"Bagus, Tim," kata George gembira. "Timmy pintar, ya, Ju" Ia mengikuti jejak
orang yang berjalan sambil membawa lampu minyak! Ayo terus, Tim - mana tetesan
berikut?" Bagi Timmy, mudah saja mengikuti jejak bau keras itu. Ia berjalan menunduk,
sambil mengendus-endus. Keluar dari kamar yang lapang, memasuki kamar yang lebih
sempit. Lalu masuk ke kamar berikut yang lebih besar. Mestinya kamar itu dulu
merupakan ruang utama dalam rumah itu, karena di situ terdapat perapian yang
sangat besar. Timmy langsung menuju ke perapian itu. Bahkan, ia masuk ke
dalamnya. Sesampainya di dalam, ia berhenti. Sambil menoleh ke arah George,
anjing itu menggonggong sekali.
"Kata Timmy, jejak minyak itu berakhir di tempat itu," kata George menjelaskan
maksud gonggongan anjingnya. "jadi jalan masuk ke lorong rahasia itu mestinya
ada di situ!" Saudara-saudaranya ikut mengerubungi tempat itu. Julian mengambil senter dari
sakunya, lalu menyorotkannya ke atas ke dalam cerobong. Cerobong itu besar
sekali. Sebelah atasnya sudah hilang sebagian. Rupanya sudah runtuh.
"Tak ada apa-apa," katanya setelah memperhatikan beberapa saat. "Tapi nanti
dulu! Apa ini?" Sekarang senter disorotkan ke sisi perapian. Di situ ada relung sempit dan
gelap. Tampaknya pas-pasan dimasuki satu orang.
"Lihatlah," kata Julian bersemangat. "Kurasa kita berhasil menemukan jalan masuk
yang kita cari. Kalian lihat relung sempit itu" Kurasa jika kita merangkak masuk
ke sana, akan kita ketahui bahwa itulah jalan masuk ke lorong rahasia. Kau
hebat, Tim!" "Tapi kita akan jadi kotor," kata Anne.
"Pantas jika kau yang berkata begitu," kata George mencemooh. "Masa bodoh!
Mungkin penemuan ini sangat penting artinya. Betul kan, Ju?"
"Tentu saja!" jawab Julian. "Jika dugaan kita tadi benar - maksudku kita
menghadapi peristiwa penyelundupan besar, maka penemuan ini memang sangat besar
artinya! Nah, sekarang bagaimana" Kita makan dulu - atau menyelidiki relung
itu?" "Tentu saja menyelidikinya dulu," kata Dick yang tadinya sudah mulai merasa
lapar. "Tapi bagaimana jika kita suruh Timmy masuk terlebih dulu" Akan kubantu
ia masuk ke relung itu."
Timmy dijunjung masuk ke dalam rongga yang gelap. Anjing itu senang disuruh
menyusup ke situ. Apakah yang harus dicari olehnya" Kelinci" Tikus" Beres! Timmy
selalu siap. "Sekarang aku," kata Julian, sambil menyusup naik. "Wah, lubangnya sempit tidak gampang masuk ke tempat ini. Dick, kau bantu Anne dan George dulu! Setelah
itu baru kau." Sehabis berkata begitu, Julian menghilang dalam relung. Saudara-saudaranya
menyusul, satu per satu! Ternyata relung itu cuma lubang masuk, karena di belakangnya ada ruangan lain.
Letaknya di sisi perapian. Orang bisa berdiri di situ, walau harus berdesakdesakan. Julian turun dan relung ke lubang yang agak besar itu. Sesaat Ia tertegun.
Dikiranya lubang itu cuma merupakan tempat persembunyian. Namun kemudian di sisi
kanan dekat kakinya ada lubang lain. Lubang itu menjorok curam ke bawah.
Julian menyorotkan senternya ke lubang itu. Pada satu sisi lubang tampak
pegangan berjejer-jejer menurun. Pegangan itu terbuat dan besi. Ia menceritakan
penemuannya itu pada anak-anak yang ada dalam relung di belakangnya. Setelah itu
ia mulai menuruni lubang yang mengarah ke bawah. Pegangan mula-mulanya dipakai
untuk tempat kaki bertumpu. Kemudian ia juga harus berpegang ke situ, supaya
tidak tergelincir. Lubang yang dilewatinya sangat curam. Bisa dibilang berupa lubang sumur. Tibatiba lubang itu berakhir Julian berdiri di atas tanah. Ia memandang berkeiling,
diterangi sorotan senter.
Di depannya ada lorong. Itulah mestinya lorong yang menuju ke teluk yang ada di
bawah, di kaki tebing tempat rumah tua itu berada. Mestinya lewat lorong itulah
orang yang menyalakan suar palsu pada zaman dulu keluar, kalu ia ingin
menyaksikan hasil perbuatannya yang jahat.
Julian mendengar saudara-saudaranya menuruni terowongan. Tiba-tiba ia teringat
pada Timmy. Eh, ke mana anjing itu" Jangan-jangan terperosok ke dalam
terowongan, dan terbanting ke dasar sini, pikirnya. Kasihan! Julian berharap,
mudah-mudahan saja anjing itu tidak cedera. Tapi tadi tak terdengarnya dengking
kesakitan, Jadi mungkin jatuhnya baik - pada posisi berdiri, seperti kucing!
Julian berseru ke atas."Aku sudah menemukan lorong yang kita cari," serunya.
"Awalnya di sini, di kaki terowongan. Aku akan masuk agak ke dalam, lalu
menunggu kalian. Dengan begitu kita bisa berjalan beriringan."
Beberapa saat kemudian keempat anak itu sudah berada di dasar terowongan. Saat
itu George mulai bingung, karena Timmy tak kelihatan.
"Pasti ia cedera, Ju - jatuh dan tempat setinggi ini," katanya mengeluh. "Aduh,
ke mana dia sekarang?"
"Kurasa sebentar lagi kita akan berjumpa dengannya," jawab Julian. "Sekarang
kita tidak boleh saling berjauhan. Lorong ini curam ke bawah!"
Kata Julian itu benar. Di beberapa tempat, anak-anak sampai terpeleset-peleset,
karena dasar lorong terlalu curam. Kemudian Julian meihat ada pegangan terpasang
pada tempat-tempat yang paling curam dan licin. Mereka lantas berpegangan ke
situ di tempat-tempat yang berbahaya.
"Pegangan ini sangat berguna bagi orang yang hendak naik." kata Julian. "Tanpa
berpegang ke sini, rasanya mustahil bisa menaiki lorong ini. Ah - sekarang
lorong ini mulai mendatar."
Bagian yang agak datar itu kemudian melebar. Dan tahu-tahu, anak-anak sudab
berdiri dalam sebuah gua! Mereka tercengang. Gua itu agak rendah langitlangitnya. Dindingnya berupa cadas berwarna hitam, yang tampak mengkilat basah
kena sinar senter. "Aku kepingin mencari Timmy," kata George gelisah. "Aku sama sekali tak
mendengar gonggongannya!"
"Kita terus saja dulu," kata Julian. "Kurasa dan sini kita akan sampai di
Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pantai. Mungkin di teluk tempat kapal-kapal dulu terdampar. Lihatlah, itu ujung
gua ini" Dan gua itu mereka masuk lagi ke dalam sebuah lorong. Lorong itu berliku-liku di
tengah cadas yang mencuat di sana-sini. Agak sulit berjalan dalam lorong itu,
karena sering terhalang cadas. Tapi kemudian, lorong itu bercabang dua. Cabang
yang satu mengarah ke pantai, sedang yang lainnya masuk kembali ke dalam tebing.
"Sebaiknya kita memasuki cabang yang menuju pantai," kata Julian. Mereka lantas
menuju ke cabang sebelah kanan. Tapi baru saja meneka masuk, tiba-tiba George
tertegun. Dicengkeramnya lengan Julian.
"Ssst, dengar!" kata George. "Aku mendengar gonggongan Timmy!"
Anak-anak berhenti. Mereka memasang telinga. Di antara mereka berempat, George
yang paling tajam pendengarannya. Karena itulah ia paling dulu mendengar suara
Timmy. Tapi setelah sesaat, ketiga saudara sepupunya mendengarnya pula. Ya,
betul - itu gonggongan Timmy!
"Timmy!" pekik George. Saudara-saudaranya sampai terlompat karena kaget.
"Tak mungkin terdengar olehnya sejauh ini," kata Dick. "Kau ini mengejutkan
orang saja! Yuk, kita harus mengambil jalan yang masuk ke dalam tebing. Suara
gonggongan Timmy tadi terdengar dari sana."
"Ya, betul," kata Julian. "Kita menyusul dia dulu, setelah itu kembali menuju ke
pantai. Aku yakin, jalan ini menuju ke pantai!"
Anak-anak lantas masuk ke cabang lorong yang mengarah ke kiri. Lorong itu lebih
mudah dilewati, sebab lebih lebar dari lorong yang menurun tadi. Semakin jelas
terdengar suara Timmy menggonggong. George bersuit, melengking tinggi bunyinya.
Biasanya Timmy akan mendatangi mereka mendengar suitannya itu. Tapi ternyata
tidak! "Aneh! Kok ia tidak muncul?" kata George gelisah. "Kurasa, Timmy pasti cedera.
Timmy!" Lorong yang mereka lalui tiba-tiba membelok. Dan setelah itu lorong bercabang
lagi. Anak-anak melongo karena heran. Di cabang lorong sebelah kiri, tampak
sebuah pintu. Pintu yang kasar buatannya.
"Lho, di sini ada pintu" kata Dick heran. "Pintu yang kokoh!"
"Timmy ada di balik pintu!" kata George. "Rupanya pintu tertutup, setelah ia
lewat di situ. Timmy! Kami datang!"
George mendorong-dorong daun pintu hendak membukanya. Tapi sia-sia, pintu tak
bergerak sedikit pun. Dilihatnya pintu itu berpalang. Dilepaskannya palang itu,
dan daun pintu langsung terbuka. Keempat anak itu bergegas masuk ke dalam sebuah
gua. Gua itu aneh bentuknya. Mirip kamar berlangit-langit rendah!
Begitu anak-anak masuk, Timmy langsung lari menyongsong mereka. Ternyata anjing
itu sama sekali tidak cedera. Ia begitu gembira melihat anak-anak datang, lalu
menggonggong-gonggong dengan ribut.
"Aduh, Tim, kok kau bisa sampai di sini?" kata George sambil memeluk leher
anjing kesayangannya itu. "Kau terkurung dalam ruangan ini" Wah, tempat ini aneh
- kelihatannya semacam gudang! Lihat saja kotak dan peti yang bertumpuk-tumpuk
itu!" Anak-anak memandang berkeliling. Tiba-tiba di belakang mereka terdengar bunyi
menceklek. Pelan, tapi masih terdengar. Seketika itu juga Julian meloncat ke
arah pintu, lalu berusaha membukanya.
"Pintu terkunci! Ada orang yang menguncinya dari luar, dan menggerendelnya
sekaligus. Aku mendengarnya tadi. He! Buka pintu! Buka pintu! He!!"
15. Terkurung Dalam Gua KEEMPAT anak itu bingung. Mereka berpandang-pandangan. Rupanya sedari tadi ada
orang yang mengintai, menunggu kesempatan untuk menjebak mereka! Mestinya orang
itu pula yang mengurung Timmy dalam ruangan itu. Dan sekarang, mereka juga ikut
terkurung di situ! Ketika Julian berteriak tadi, Timmy langsung menggonggong dan ikut lari ke
pintu. Sementara itu Julian memukul-mukul dan menendang-nendang daun pintu.
Dari balik pintu terdengar suara seseorang. Orang itu berbicara dengan nada agak
geli. Gaya bicaranya terulur-ulur.
"Kalian muncul pada saat yang keliru, itulah sebabnya kenapa kalian kukurung.
Sekarang kalian terpaksa mendekam di situ, sampai besok!"
"Siapa Anda?" tanya Julian galak. "Berani-beraninya mengurung kami di sini!"
"Kurasa kalian membawa bekal makanan dan minuman," kata orang itu. "Aku tadi
melihatnya. Kalian mujur! Sekarang, lebih baik tenang sajalah. Itulah
ganjarannya, jika terlalu ingin tahu!"
"Ayo, buka pintu!" seru Julian. Ia marah, karena orang yang di luar itu
berbicara dengan nada mengejek. Julian menendang-nendang daun pintu lagi. Ia
melakukannya karena jengkel, sebab ia sendiri tahu perbuatan itu sia-sia belaka!
Dari luar tak tendengar jawaban lagi. Rupanya orang itu sudah pergi. Sekali lagi
Julian menendang untuk melampiaskan kejengkelan. Kemudian Ia menoleh pada
saudara-saudaranya. "Rupanya orang itu sejak tadi memperhatikan kita dari satu tempat. Atau mungkin
pula membuntuti terus sampai ke rumah tua. Dan waktu itulah ia melihat
perbekalan kita. Rupanya dia yang kaudengar, Anne - sewaktu kita berada di atas
menara." Timmy rnenggonggong lagi. Anjing itu masih berdiri dekat pintu. George
memanggilnya. "Tim, kau tak usah menggonggong terus, percuma saja! Pintu terkunci dari luar.
Aduh, kenapa kita tadi menyuruhmu masuk lebih dulu" Jika kau tidak lari mendului
lain terkurung di sini, kau pasti bisa melindungi kami dan ancaman orang-orang
yang hendak menjebak kita!"
"Yah, sekarang bagaimana?" tanya Anne. Anak itu ketakutan, tapi ia berusaha
menabahkan diri. "Apa yang bisa kita lakukan?" kata George. "Tak ada! Kita terkunci dalam gua di
perut tebing. Tak ada orang di dekat kita, kecuali yang mengurung kita tadi. Aku
kepingin tahu, siapa yang punya akal sekarang?"
"Aduh, galaknya!" kata Anne. "Kurasa memang tak ada yang bisa kita lakukan saat
ini, kecuali menunggu sampai dibebaskan kembali. Mudah-mudahan saja orang itu
nanti masih ingat bahwa kita terkurung di sini. Kecuali dia, tak ada yang tahu
bahwa kita berada di tempat ini."
"Uhh, seram!" kata Dick. "Tapi kurasa Bu Penruthlan pasti akan ribut jika kita
tidak kembali malam ini. Pasti ia akan mengerahkan orang-orang untuk mencari
kita!" "Tapi apa yang bisa mereka lakukan!" kata George. "Katakanlah mereka berhasil
mengikuti jejak kita sampai ke menara tua - tapi mereka kan tidak tahu-menahu
tentang lubang masuk yang tersembunyi dalam perapian!"
"Lebih baik jangan kita pikirkan terus soal itu," kata Julian sambil membuka
perbekalan. "Kita makan saja dulu."
Yang lain menjadi agak gembira mendengar usul itu.
"Eh, perutku lapar!" kata Anne heran. "Rupanya saat makan siang sudah lama
lewat. Yah, pokoknya untuk sementara ada kesibukan bagi kita - biarpun cuma
makan!" Sehabis makan, mereka lantas memeriksa tumpukan kotak dan peti yang ada dalam
ruangan itu. Beberapa di antaranya tampak sudah tua sekali. Peti-peti dan kotakkotak itu semuanya kosong. Di situ juga terdapat sebuah koper besar yang terbuat
dan kayu. Koper seperti itu biasanya dipakai pelaut yang berlayat Pada tutupnya
tertuLis nama "Abram Trelawny". Anak-anak membuka tutupnya. Kosong. Mereka cuma
menemukan sebuah kancing, terbuat dan kuningan.
"Abram Trelawny," kata Dick, sambil memperhatikan nama yang tertulis di tutup
koper. "Mestinya ia salah seorang kelasi yang kapalnya pecah terpancing oleh
pencoleng. Dan - koper ini kemudian terdampar ke pantai dibawa ombak, lalu
diangkut ke sini. Kurasa gua ini dulu tempat penyimpanan hasil rampokan orang di
rumah tua di atas." "Ya, kurasa begitu," kata Julian. "Mungkin karena itulah pada pintu terpasang
kunci dan pasak. Pencoleng itu mungkin banyak menyimpan barang berharga di sini!
Dan ia tidak mau ada pencoleng lain menyelinap ke sini untuk merampok harta
karunnya. Huhh - rupanya mereka itu semuanya jahat-jahat. Yah - kelihatannya di
sini tidak ada apa-apa yang menarik."
Mereka merasa bosan, terkurung dalam ruangan gua itu. Cuma satu senter yang
dinyalakan, karena mereka takut jika semua dipakai serempak, mungkin baterai
akan cepat habis. Dan kalau itu sampai terjadi, mereka akan terpaksa mendekam
dalam ruangan yang gelap-gulita!
Julian memeriksa seluruh ruangan. Ia mencari-cari jalan ke luar. Tapi tidak ada.
Sebenarnya ia tidak perlu bersusah payah mencari, karena hal itu sudah jelas.
Dinding gua berupa cadas padal. Di situ sama sekali tak ada lubang, sekecil apa
pun! "Kata orang tadi, kita muncul pada saat yang keliru," kata Julian, duduk di
lantai. "Kenapa dia mengatakan begitu" Mungkinkah malam ini barang-barang
selundupan akan datang" Seperti kita ketahui, minggu ini mereka sudah dua kali
memberi isyarat ke arah laut. Mungkinkah perahu yang ditunggu-tunggu belum
datang juga" Jika begitu halnya, mereka pasti menunggu kedatangannya malam ini!"
"Coba kita tidak terkurung dalam gua terkutuk ini!" kata George jengkel. "Kita
pasti bisa mengintip perbuatan mereka - dan barangkali juga bisa mencegahnya!
Atau cepat-cepat melaporkan pada polisi."
"Yah, tapi sekarang tidak bisa lagi," kata Dick sedih. "Tim - kau sih goblok,
mudah ditipu mereka. Dasar anjing tolol!"
Timmy langsung kelihatan sedih, karena dimarahi Dick. Kecuali itu, ia juga tidak
senang dikurung dalam ruangan berlangit-langit rendah itu. Kenapa anak-anak itu
tidak membuka pintu, supaya mereka bisa keluar" Timmy menghampiri pintu, lalu
menggaruk-garuk di situ sambil mendengking-dengking.
"Percuma, Tim, tidak bisa dibuka!" kata Anne. "George, kurasa Timmy haus."
Timmy terpaksa minum limun buatan Bu Penruthlan, karena cuma itu yang ada.
Kelihatannya ia tidak begitu menyukai minuman itu.
"Percuma saja diberikan, kalau ia tidak suka," kata Julian cepat-cepat. "Mungkin
besok kita sendiri memerlukannya!"
Dick melirik arlojinya. "Baru setengah tiga!" keluhnya. "Masih lama kita harus menunggu di sini.
Sebaiknya kita melewatkan waktu dengan permainan. Daripada menunggu, tanpa
berbuat apa-apa!" Anak-anak menghibur diri dengan bermain-main, sampai bosan. Segala macam
permainan mereka mainkan. Sekitar pukul lima sore mereka makan sedikit. Mereka
saling bertanya-tanya, bagaimana perasaan Bu Penruthlan jika malam itu mereka
tidak kembali. "Jika Pak Penruthlan terlibat dalam urusan ini, dan aku yakin ia terlibat, maka
pasti ia tidak senang jika disuruh memanggil polisi untuk mencari kita!" kata
Julian. "Soalnya, justru malam ini ia pasti tidak menginginkan ada polisi
berkeliaran di sini."
"Kurasa kau keliru," bahtah George. "Menurut pendapatku, ia pasti senang sekali
jika polisi sibuk mencari beberapa anak yang hilang, karena dengan begitu mereka
malam ini takkan sempat mencampuri kesibukannya sendiri!"
"Wah, tak terpikir kemungkinan itu olehku," kata Julian. Sehabis itu mereka
menunggu. Lambat sekali rasanya waktu berjalan. Anak-anak menguap, berbicara,
terdiam lagi. Mengganggu Timmy, bermain-main dengannya. Senter Julian berkelipkelip, lalu padam. Baterai habis! Sekarang senter Dick yang dinyalakan.
"Untung tidak cuma satu senter yang kita bawa!" kata Anne. Pukul setengah
sepuluh malam, anak-anak mulai merasa mengantuk.
"Kita coba tidur saja sekarang," kata Dick, menguap lebar-lebar. "Di sebelah
sana ada pasir! Lebih enak berbaring di situ daripada di cadas yang keras ini."
Saudara-saudaranya setuju. Mereka lantas membaringkan diri di tempat yang
berpasir itu. Memang, lebih enak daripada berbaring di atas batu yang keras.
Mereka menggeser-geser, membuat lubang di pasir untuk tempat berbaring.
"Ah, masih tetap keras," keluh George.
Keempatnya mengira takkan bisa tidur malam itu. Tapi ternyata bisa saja! Timmy
juga tidur. Tapi tidurnya sangat ringan. Telinganya tegak, siap untuk menangkap
bunyi sepelan apa pun! Ia tetap waspada! Kalau ada yang membuka pintu, atau
bahkan menghampirinya saja, pasti akan terdengar olehnya.
Sekitar pukul sebelas, tiba-tiba anjing itu terbangun. Matanya sebelah terbuka,
sementara kedua telinganya menegak. Ia mendengarkan sebentar, sambil tetap
berbaring. Tetapi kemudian ia duduk, serta menajamkan telinga. George ikut
terbangun, lalu meraih Timmy.
"Ayo tidur, Tim," bisiknya mengantuk. Tapi Timmy tidak mau berbaring lagi.
Anjing itu mendengking pelan.
Mendengar dengkingan itu, George langsung terduduk. Kantuknya seketika lenyap.
Kenapa Timmy mendengking" Apakah ada sesuatu yang terjadi di balik pintu"
Mungkin ada orang lewat, dalam perjalanan menuju ke teluk" Mungkinkah lampu suar
menyala lagi ke arah laut, memanggil perahu yang sudah ditunggu-tunggu" George
memegangi kalung leher Timmy.
"Ada apa, Tim?" bisiknya. Ia menyangka Timmy akan menggeram, jika mendengar
sesuatu lagi di luar. Tapi Timmy bukan menggeram, melainkan mendengking kembali. Ia membebaskan diri
dari pegangan George, lalu pergi ke pintu. George menyalakan senternya. Ia
merasa heran. Timmy menggaruk-garuk pintu, sambil mendengking-dengking terus.
Sama sekali tidak menggeram. Aneh!
"Ju! Kurasa ada orang di balik pintu!" kata George dengan suara pelan. "Timmy
mendengar sesuatu - mungkin ada orang datang mencari kita! Ju! Bangun!"
Ketiga sepupunya terbangun. George mengulangi kata-katanya.
"Timmy tidak menggeram. Itu berarti yang didengarnya di luar bukan musuh," kata
anak itu. "Kalau orang yang mengurung kita tadi yang datang, pasti Timmy sudah
menggeram dengan galak!"
"Diam sebentar," kata Julian. "Coba kita pasang telinga, barangkali saja akan
terdengar sesuatu.Pendengaran kita memang tidak setajam Timmy - tapi siapa tahu,
barangkali kita juga bisa mendengar sesuatu."
Anak-anak duduk tanpa berbicara. Semua mendengarkan baik-baik. Kemudian Julian
menyenggol Dick. Ja mendengar sesuatu.
"Ssst, diam!" bisiknya. Mereka mendengarkan lagi, sambil menahan napas.
Dan balik pintu terdengar bunyi seperti menggaruk-garuk. Kemudian bunyi itu
berhenti. George sudah menyangka, sekarang Timmy pasti akan menggonggong
berkepanjangan. Tapi sangkaannya keliru lagi. Timmy berdiri tegak sambil
memiringkan kepala. Sambil mendengking gelisah, anjing itu mulai menggaruk-garuk
pintu kembali. Dan luar terdengar suara berbisik. Timmy mendengking, lari menghampiri George,
lalu kembali lagi ke pintu. Anak-anak bingung melihat kelakuan anjing itu.
Kemudian Julian bangkit menuju pintu dengan langkah sangat pelan. Ya - jelas
terdengar sekarang, di luar ada orang. Mungkin mereka berdua, karena kedengaran
suara berbisik-bisik . "Siapa di luar?" tanya Julian dengan tiba-tiba. "Aku bisa mendengar suaramu.
Siapa di situ?" "Aku! Yan." "Yan" Astaga! Betul kau yang di situ, Yan?"
"He-eh." Anak-anak yang terkurung dalam gua melongo keheranan. Yan! Malam-malam begini
Yan ada di balik pintu gua tempat mereka terkurung! Mimpikah mereka"
Timmy langsung ribut, begitu mendengar suara Yan. Ia menubruk pintu, sambil
menggonggong dan mendengking-dengking. Julian menarik kalung leher anjing itu.
"Diam, tolol! Nanti semuanya ketahuan! Diam, kataku!"
Timmy lantas berhenti menggonggong. Julian berbicara kembali dengan Yan.
"Yan - kau membawa lampu?"
"Tidak! Tidak ada Tampu," jawab anak kecil itu. "Di sini gelap. Bolehkah aku
masuk?" "Ya, tentu saja, Yan," jawab Julian. "Tapi dengar baik-baik! Kau tahu cara
membuka kunci dan menarik gerendel pintu?" Julian agak sangsi, apakah anak kecil yang liar seperti Yan bisa mengetahui hal-hal yang
sebetulnya gampang itu. "He-eh, bisa," jawab Yan. "Kalian terkunci di situ?"
"Betul," kata Julian. "Tapi barangkali saja anak kuncinya masih ada di luar.
Coba kauperiksa. Cari juga tempat gerendel. Tarik gerendel itu ke belakang, dan
putar anak kunci jika ada."
Keempat anak yang terkurung di dalam menahan napas. Terdengar tangan Yan
bergerak-gerak menyusuri permukaan daun pintu yang kokoh. Anak itu sedang
mencari gerendel dan lubang kunci.
Kemudian terdengar bunyi logam bergeser. Nah - mestinya gerendel sudah tergeser
ke belakang sekarang! Anak-anak berharap, semoga orang yang mengurung mereka
tadi meninggalkan anak kunci di situ. Tiba-tiba terdengar kembali suara Yan dari
luar. "Di sini ada anak kunci," katanya, "tapi sulit diputar. Tanganku tidak kuat
memutarnya." "Coba dengan dua tangan," kata Julian mendesak.
Kemudian terdengar napas Yan terengah-engah. Rupanya anak kecil itu berusaha
memutar anak kunci dengan sekuat tenaga. Tapi tetap tidak berhasil!
"Sialan!" kata Dick mengumpat. "Padahal kita sudah dekat pada kebebasan."
Tiba-tiba Anne menerobos maju, mendorong Dick ke samping. Ia mendapat akal baru.
Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yan! Dengar baik-baik, Yan! Keluarkan anak kunci dari lubangnya, lalu selipkan
ke dalam lewat celah di bawah daun pintu. Kau dengar Yan?"
"He-eh, mengerti," jawab Yan. Terdengar bagaimana anak itu sibuk menarik-narik
anak kunci. Menyusul bunyi keras, ketika alat pengunci itu tercabut dari
lubangnya. Lalu tiba-tiba benda itu tersembul dan celah di sebelah bawah daun
pintu. Yan menggeserkannya ke dalam dengan hati-hati.
Secepat kilat Julian menyambar anak kunci, lalu memasukkannya ke lubang sebelah
dalam. Begitu masuk, langsung diputar. Dan pintu terbuka.
Dasar nasib sedang mujur!
16. Lorong Pencoleng JULIAN membuka pintu. Timmy menerobos keluar, lalu mendengking-dengking dengan
gembira ketika meihat Yan berdiri di luar. Yan tertawa melihat Timmy
berjingkrak-jingkrak. "Kita harus cepat-cepat pergi dari sini!" kata Dick. "Siapa tahu orang tadi akan
muncul lagi." "Betul, nanti saja ceritanya," kata Julian. Disuruhnya yang lain bergegas
keluar. Setelah semua keluar, dicabutnya anak kunci dari lubang sebelah dalam,
lalu dikuncinya pintu kembali dan luar. Gerendel tidak lupa disorongkannya
kembali memperkuat kunci. Setelah itu anak kunci dikantongi olehnya. Ia
memandang Dick sambil nyengir.
"Kalau orang tadi datang lagi, ia tidak akan tahu apakah kita masih di dalam
atau tidak," katanya. "Ia tidak bisa masuk!"
"Kita ke mana sekarang?" tanya Anne. Anak itu merasa seakan-akan sedang bermimpi
aneh. Julian berpikir-pikir sebentar.
"Kita tidak bisa kembali melewati lorong lalu masuk ke rumah tua itu lagi,"
katanya. "Kalau di sana sedang dipancarkan isyarat dengan lampu suar, dan kurasa
pasti hal itu sedang dilakukan, kita akan tertangkap lagi oleh mereka. Mereka
tentu akan mendengar bunyi berisik, pada saat kita keluar dari lubang di
perapian." "Yah - kalau begitu kita masuk saja ke lorong yang kita lihat tadi, maksudku
yang membelok ke kanan," kata George. "Itu dia lorongnya!" Disorotkannya senter
ke lorong itu. "Lorong itu menuju ke mana, Yan?"
"Ke pantai," jawab Yan. "Ketika aku mencari kalian tadi, aku juga ke sana. Tapi
kalian tak ada di pantai! Karena itu aku lantas kembali, lalu menemukan pintu
tadi. Di pantai tidak ada siapa-siapa!"
"Kalau begitu, kita ke sana," kata Dick. "Kalau rasanya sudah cukup aman,
barulah kita menyusun rencana selanjutnya."
Anak-anak masuk ke lorong yang satu lagi, diterangi senter. Lorong itu
sebenarnya terowongan yang terjal. Agak sulit mereka berjalan di situ. Anne
sempat memeluk bahu Yan, karena merasa gembira.
"Kau pintar, Yan, bisa menernukan kami!" katanya memuji. Yan memandang Anne
sambil tersenyum berseri-seri. Sayang Anne tidak melihatnya, karena tempat itu
gelap. Akhirnya terdengar bunyi ombak berdebur.
Anak-anak muncul kembali di tempat yang terbuka. Mereka sudah sampai di pantai.
Malam itu banyak angin. Tapi bintang-bintang tampak berkelip-kelip di langit.
Tempat itu terasa terang, setelah lama berada dalam gua dan lorong yang gelap
sekali. "Di mana kita sekarang?" tanya Dick, sambil memandang berkeliling. Ternyata
mereka berada di pantai yang sudah mereka datangi beberapa hari yang lalu. Tapi
tempat itu agak lebih jauh letaknya dan jalan.
"Bisakah kita kembali ke pertanian dari sini?" kata Julian. Ia berhenti
sebentar, untuk memastikan di mana mereka saat itu berada. "Astaga! Air laut
pasang naik! Kita harus cepat-cepat pergi dari sini - supaya jalan kita tidak
terpotong air." Saat itu ada ombak naik ke atas pantai, nyaris menyapu kaki mereka. Julian
memandang sekilas ke atas, menatap dinding tebing di belakang mereka. Dinding
itu sangat terjal. Tak mungkin bisa dipanjat pada malam yang gelap! Masih adakah
waktu untuk mencari perlindungan dalam salah satu gua, menunggu pasang surut
kembali" Saat itu ada ombak datang lagi. Tahu-tahu Julian merasa kakinya basah.
"Wah - keadaan sudah mulai gawat," katanya. "Kalau ada ombak besar datang, pasti
hanyut kita ditarikriya. Sayang malam ini bulan tak tampak. Cahaya bintang
terlalu suram, tidak bisa dipakai untuk melihat."
"He, Yan!" kata George gelisah. "Di dekat sini tidak adakah gua yang bisa kita
masuki" Maksudku gua yang menghadap ke tempat terbuka, dan bukan di dalam
tebing?" "Kuantar kalian pulang lewat Lorong Pencoleng," kata Yan, dengan tidak disangkasangka. "He-eh! Ikuti aku saja!"
"Ya, tentu saja! Kau pernah bercerita, kau mengenal lorong rahasia itu," kata
Julian. "Kalau ujungnya ada di dekat sini, kita mujur! Jalanlah di depan, Yan.
Kau memang hebat! Tapi cepatlah sedikit, kaki kami sudah basah lagi kena ombak!
Siapa tahu, jangan-jangan sebentar lagi ada ombak besar melanda kita!"
Yan berjalan mendului. Mereka melalui teluk demi teluk, dan akhirnya sampai di
sebuah teluk yang agak besar. Yan mengajak mereka menuju ke belakang teluk itu,
lalu menyusuri suatu jalan sempit yang agak mendaki di tebing.
Yan sampai di sebuah batu besar. Anak itu menyelinap ke belakang batu, diikuti
oleh anak-anak. Tak ada yang menyangka, di balik batu besar itu ada lubang masuk
ke dalam lebing. "Sekarang kita sudah berada dalam Lorong Pencoleng," kata Yan dengan bangga. Ia
lantas melanjutkan langkah. Tapi tiba-tiba ia berhenti, sehingga anak-anak
saling bertubrukan di belakangnya. Timmy menggonggong sekali, seperti hendak
memperingatkan. Dengan segera George memegang kalung leher anjingnya.
"Ada orang datang," kata Yan berbisik, sambil mendorong anak-anak mundur. Benar
juga katanya - terdengar suara orang bercakap-cakap di kejauhan. Anak-anak
segera berpaling, lalu bergegas kembali. Mereka tidak mau sekali lagi menghadapi
bahaya! Yan bergegas berjalan mendului, kembali ke batu besar. Anak kecil itu gemetar
ketakutan. Mereka berebut-rebut keluar, sementara Yan merambat pada permukaan
tebing. Ia menuju ke sebuah gua yang sempit. Sebetulnya sama sekali bukan gua,
melainkan hanya batu tebing yang menonjol dengan batu lain menaungi di atasnya.
"Ssst!" desis Yan, menyuruh anak-anak diam. Mereka duduk sambil menunggu di
tempat itu. Tak lama kemudian, dua orang laki-laki muncul dari balik batu. Yang seorang
berbadan tinggi besar, sedang kawannya bertubuh kecil. Anak-anak tidak bisa
melihat mereka dengan jelas. Tapi Julian berbisik di dekat telinga Dick,
"Pasti itu Pak Penruthlan! Lihatlah, badan orang itu sangat besar!"
Dick mengangguk. Ia sama sekali tidak heran jika petani bertuhuh besar itu
ternyata terlibat dalam kejadian ini. Anak-anak memperhatikan sambil menahan
napas. Beberapa saat kemudian Yan menyenggol Dick, lalu menuding ke tengah laut.
"Perahu datang," bisik anak itu.
Dick memandang ke arah lain. Mula-mula ia tidak melihat apa-apa. Mendengar juga
tidak! Tapi sesaat kemudian, terdengar bunyi mendesir, Makin lama makin nyaring.
Ternyata sebuah perahu motor yang sangat laju! Wah, ternyata pendengaran Yan
tajam sekali. Anak-anak yang lain sementara itu juga sudah mendengar deru mesin
perahu motor itu, mengalahkan debur ombak memecah ke karang.
"Tanpa lampu," bisik Yan.
"Bisa terbentur ke karang nanti!" kata Dick. Tapi sebelum mencapai karang mesin
perahu sudah dimatikan. Sekarang anak-anak bisa melihat perahu itu. Terombangambing di depan gosong karang. Rupanya pengemudinya memang tidak bermaksud masuk
lebih jauh mendekati pantai. Sekarang terdengar lagi suara orang bercakap-cakap.
Kedua orang yang muncul di pantai lewat Lorong Pencoleng saat itu berdiri di
bawah tempat anak-anak bersembunyi. Merekalah yang bercakap-cakap sebentar.
Kemudian yang satu meloncat turun ke batu yang lebih rendah letaknya, lalu
menghilang dalam gelap. Sedang kawannya tinggal sendirian di atas.
"Yang turun tadi yang bertubuh besar tinggi," bisik Julian. "Ke manakah ia" Ah,
itu dia! Dari sini bisa kelihatan, bergerak di belakang batu yang di bawah sana.
Benda apa yang sedang dibawa olehnya?"
"Perahu," bisik Yan. "Orang itu punya perahu di bawah. Ditarik tinggi ke atas
pasir, supaya tidak hanyut terbawa ombak besar. Di bawah ada genangan air yang
tenang. Ia hendak mendayung perahu itu, mendatangi perahu motor yang menunggu di
tengah." Anak-anak memicingkan mata, berusaha melihat lebih jelas. Langit saat itu cerah.
Tapi penerangan yang ada cuma datang dari bintang-bintang yang kemerlip di
langit. Karena itu yang tampak cuma bayang-bayang gelap yang bergerak-gerak.
Kemudian terdengar bunyi dayung mencecah air. Tampak bayangan gelap perahu dan
orang yang duduk di dalamnya, mengarungi ombak menuju ke tengah.
"Tahukah orang itu jalan yang aman lewat gosong karang?" tanya Dick.
"Mestinya ia mengenal baik daerah pesisir sini, sehingga berani berdayung pada
saat pasang naik menyusuri karang!"
"Mau apa ia?" tanya Anne.
"Hendak mengambil barang-barang selundupan dari perahu motor," jawab Julian
menebak. "Entah apa saja barang yang diselundupkan itu! Nah, aku tidak bisa
mdihatnya lagi. Hilang dalam gelap."
Kawan-kawannya juga tidak bisa melihat perahu itu lagi. Bunyi dayungnya juga
sudah tidak kedengaran, dikalahkan deburan ombak yang memecah di pantai.
Di balik karang masih menunggu perahu bermotor. Tapi mata Yan saja yang cukup
tajam, sehingga masih bisa melihatnya samar-samar. Ketika ombak mereda sesaat,
terdengar suara orang berbicara dari arah laut.
"Ia sudah sampai di perahu motor," kata Dick. "Sebentar lagi pasti akan
kembali." "Lihatlah! Orang yang satu lagi sekarang turun," kata Julian. "Rupanya hendak
menolong perahu tadi naik ke darat. He - bagaimana jika kita sekarang minggat
lewat Lorong Pencoleng, sementara masih ada kesempatan?"
"Setuju," kata George sambil berdiri. "Yuk, Timmy! Kita pulang!"
Anak-anak menuju ke batu besar, lalu menyelinap ke belakangnya, masuk ke Lorong
Pencoleng. Yan berjalan mendului. Mereka menyusuri jalan rahasia itu, sambil
sekali-sekali menyalakan senter untuk melihat jalan.
"Lorong Pencoleng ini berakhir di mana?" tanya Anne.
"Dalam sebuah lumbung, di pertanian tempat kalian menginap," jawab Yan.
Anak-anak kaget mendengarnya. Astaga - di Tremannon Farm!
"Wah, enak dong untuk Pak Penruthlan." kata George. "Entah sudah beberapa kali
saja. Ia pergi malam-malam ke atas bukit, menerima isyarat dari menara tua agar
datang lewat lorong ini ke teluk tadi, menjemput barang-barang selundupan yang
datang. Memang rencana yang cerdik, dan tak mungkin ketahuan orang lain."
"Kecuali oleh kita!" kata Dick senang. "Kita berhasil mencium jejaknya. Sekarang
cuma sedikit saja yang belum kita ketahui tentang Pak Penruthlan!"
Anak-anak berjalan terus. Lorong yang mereka lewati bisa dikatakan lurus
bentuknya. Mungkin pada zaman dulu, di situ ada sungai di bawah tanah. Dasar
lorong terasa halus, - seperti aus karena dilalui air.
"Kurasa sudah satu mil kita berjalan!" kata Dick, sambil mengeluh. "Masih jauh,
Yan" Atau sudah hampir sampai?"
"He-eh," jawab Yan. Tak jelas apa yang dimaksudkan olehnya. Masih jauh, atau
sudah dekat" Tiba-tiba Anne teringat, tak ada yang tahu bagaimana Yan bisa menemukan mereka
tadi. Ia lantas menyapa anak itu.
"Bagaimana kau bisa menemukan kami tadi, Yan" Kami kaget sekali ketika terbangun
dan tahu-tahu kau sudah ada di balik pintu yang terkunci!"
"Gampang saja," jawab Yan. "Kalian melarang aku ikut hari ini. Aku kalian suruh
pergi! Aku lantas pergi - tapi dengan diam-diam kalian kubuntuti terus. Terus
kuikuti, bahkan sampai ke rumah tua walau aku sebenarnya takut."
"Aku percaya kau takut!" tukas Dick sambil nyengir. "Teruskan ceritamu."
"Aku lantas sembunyi," kata Yan melanjutkan. "Kalian lama sekali berada di atas
menara. Kemudian aku masuk ke kamar yang ada di bawahnya, lalu .."
"Jadi, kau rupanya yang kudengar waktu itu!" kata Anne. "Kukira siapa!"
"He-eh,' kata Yan. "Sambil menunggu kalian turun lagi, aku duduk di rumput yang
tumbuh di pojok kamar. Setelah itu aku sembunyi lagi. Aku mengintip gerak-gerik
kalian dari luar, lewat lubang di dinding. Aku melihat kalian masuk ke dalam
perapian. Aku ngeri, karena tahu-tahu kalian menghilang."
"Aduh, anak ini!" kata Dick "Mengakunya takut, tapi membuntuti terus."
Saudara-saudaranya tertawa geli. Dick melanjutkan, "Jadi kau rupanya yang
menyebabkan rumput liar di pojok itu rebah! Maksudku, rumput yang diendus-endus
oleh Timmy! Lalu, apa yang kaulakukan sesudah itu?"
"Sebetulnya aku ingin menyusul kalian," kata Yan, "Tapi lubang tempat kalian
masuk gelap sekali. Lama juga aku berdiri dalam perapian itu. Aku berharap
kalian akan muncul kembali!"
"Lalu?" tanya Dick.
"Lalu aku mendengar suara orang bercakap-cakap, " kata Yan menyambung cerita.
"Kukira kalian yang datang kembali. Ternyata bukan! Yang datang beberapa lakilaki dewasa. Karenanya aku lantas lari bersembunyi di tengah rumput jelatang."
"Tidak ada tempat lain yang lebih enak rupanya!" kata George mengonentari.
"Setelah itu perutku terasa lapar." kata Yan, "lalu aku kembali ke pondok Kakek,
mencari makanan. Aku ditempelengnya karena pergi tanpa pamit. Aku disuruhnya
bekerja sepanjang hari. Kakek marah-marah!"
"Astaga! Jadi sepanjang hari kau berkeliaran terus di bukit!" kata Julian.
"Padahal kau tahu, kami ada dalani lorong di bawah tanah. Kau tidak bicara pada
siapa-siapa?" "Aku pergi ke penginapan kalian ketika hari mulai gelap," kata Yam "Aku ingin
melihat apakah kalian sudah pulang atau belum! Tapi hanya rombongan artis yang
ada di sana. Mereka akan mengadakan pertunjukan lagi di situ. Aku sana sekali
tak melihat Bu Penruthlan, begitu pula suaminya. Aku lantas tahu, kalian masih
ada dalam lubang yang gelap. Aku takut, jangan-jangan kalian mengalami cedera."
"Karenanya kau lantas kembali lagi malam-malam!" kata Julian tercengang. "Wah,
kau ini pemberani!" "Tidak, aku takut." kata Yan. "Lututku gemetar, seperti lutut Kakek. Aku masuk
ke dalam lubang, gelap, dan akhirnya kalian kutemukan!"
"Tanpa membawa senter untuk melihat jalan!" tanya Dick kagum. Ditepuknya
punggung anak kecil itu. "Kau kawan sejati, Yan! Rupanya Timmy sudah lebih dulu
mengenali, ketika kau muncul di balik pintu. Ia sama sekali tak menggonggong! Ia
tahu, kau yang datang."
"Aku juga hendak menyelamatkan Timmy," kata Yan. "He-eh! Timmy kawanku."
George diam saja. Dalam hati ia terpaksa mengakui, Yan ternyata sangat berani.
Dan ia sendiri menyadari sikapnya yang konyol, merasa sebal pada anak itu hanya
karena Timmy senang padanya. Untung saja Yan senang pada Timmy!
Tiba-tiba Yan berhenti. "Kita sudah sampai," katanya. "Lihat saja ke atas."
Julian menyorotkan sinar senternya ke atas. Di atas kepala anak-anak tampak
sebuah tingkap. "Tingkap itu terbuka," katanya. "Rupanya ada orang turun ke bawah tadi!"
"Dan kita tahu, siapa orang itu," sambung Dick dengan geram. "Pak Penruthlan
dengan kawannya. Tingkap itu ada di mana, Yan?"
"Di sudut gudang peralatan," kata Yan. "Pada saat tertutup, tingkap itu ditimbun
dengan karung-karung benisi jagung atau bawang. Kalau mau membuka tingkap,
karung-karung itu harus disingkirkan dulu."
Anak-anak naik lewat tingkap yang terbuka. Sesampainya di atas, Julian lantas
menyorotkan senter berkeliling. Betul juga, ia melihat mesin-mesin dan peralatan
pertanian di mana-mana. Siapa mengira bahwa karung-karung yang dilihatnya
kemarin dulu, ternyata dipakai untuk menutupi tingkap yang menuju ke Lorong
Pencoleng! 17. Lewat Tengah Malam TIBA-TIBA seekor tikus lari dari pojok gudang, menuju ke lubang tingkap yang
masih terbuka. Sambil menggonggong Timmy langsung mengejar. Untung ia cepatcepat mengerem larinya. Kalau tidak, Timmy pasti terjerumus ke dalam lubang!
Timmy berhenti, dekat ke lubang tingkap.
Anjing itu berdiri sambil memandang ke bawah. Kepalanya dimiringkan sedikit.
"Lihatlah, Timmy sedang mendengar sesuatu," kata Anne. "Mungkinkah ada yang
datang" Barangkali orang-orang yang tadi, membawa barang selundupan?"
"Tidak, kurasa ia hanya ingin tahu ke mana tikus itu lari," kata Julian.
"Aku tahu apa yang harus kita lakukan!" katanya setelah itu. "Tingkap ini kita
tutup kembali. Lalu kita tumpukkan segala macam barang di atasnya. Jadi kalau
orang-orang itu datang dan hendak naik, mereka akan menyadari bahwa mereka
terjebak. Mereka tidak bisa keluar lagi. Sementara itu kita memanggil polisi
untuk menangkap orang-orang itu!"
"Setuju!" kata Dick. "Ide hebat! Pasti kedua orang itu akan sangat marah,
apabila mengetahui pintu keluar ini sudah tertutup. Sedang keluar lewat jalan
lain tidak bisa, sebab pasang sedang naik."
"Aku kepingin melihat tampang Pak Penruthlan pada saat ia menyadari bahwa
tingkap tertutup, ditindihi bermacam-macam barang," kata Julian. "Pasti ia
mengeluarkan bunyi-bunyi aneh lagi!"
Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oh-ah-kok," kata Dick, dengan tampang serius. "Ju, tolong aku menutup tingkap
ini! Habis berat sih."
Keduanya menutup tingkap, lalu mulai menyeret-nyeret berbagai macam barang ke
atas tingkap itu. Mulai dari karung bawang, kotak-kotak - sampai mesin pertanian
yang berat. Sekarang tingkap itu takkan bisa diangkat lagi dari bawah!
Tubuh mereka basah oleh keringat ketika akhirnya pekerjaan itu beres. Pekerjaan
itu memang tidak enteng. Mereka capek sekali.
"Huahh!" kata Dick mengembuskan napas panjang. "Untung selesai juga akhirnya.
Sekarang kita kembali ke rumah, melapor pada Bu Penruthlan."
"Wah, bagaimana ya?" kata Anne tiba-tiba. "Apakah perlu kita bercerita padanya
bahwa suaminya ikut terlibat dalam perbuatan jahat ini" Aku senang pada Bu
Penruthlan. Ia pasti sekarang sedang khawatir, memikirkan nasib kita!"
"Ya, memang - agak sulit juga persoalan ini," kata Julian. "Sebaiknya, biar aku
saja yang bicara! Yuk, kita pergi sekarang! Tapi jangan ribut-ribut, nanti
digonggong anjing-anjing penjaga. Aneh, kenapa mereka belum terdengar sama
sekali!" Memang aneh. Biasanya jika ada bunyi yang agak lain pada malam hari, anjinganjing pasti langsung ribut menggonggong. Anak-anak keluar dari gudang
peralatan, diikuti oleh Yan dan Timmy. Mereka menuju ke rumah. Tapi tiba-tiba
George menyentakkan lengan Julian.
"Lihat - di atas bukit ada cahaya," kata George dengan suara pelan. "Cahaya apa
itu?" Julian memandang ke arah bukit. Ia melihat cahaya bergerak-gerak di beberapa
tempat. Mula-mula ia bingung, tapi kemudian merasa menemukan penjelasannya.
"Pasti Bu Penruthlan menyuruh orang-orang mencari kita," katanya. "Sekarang
mereka mencari kita di atas bukit, sambil membawa lampu. Wah! mudah-mudahan para
artis tidak sampai ikut-ikutan mencari."
Anak-anak sampai di pekarangan tempat pertanian. Lumbung besar yang dipakai
sebagai tempat pertunjukan The Barney's saat itu sudah gelap. Julian
membayangkan ruangan di dalamnya penuh dengan bangku-bangku, bekas pertunjukan
malam itu. Kemudian terbayang lagi dalam ingatannya, saat Pak Penruthlan
merogoh-rogoh pakaian para artis dan laci yang dipergunakan The Barneys di atas
panggung. Tiba-tiba mereka tertegun. Mereka mendengar desisan orang berbisik. George
cepat-cepat memegang kalung leher Timmy, supaya anjingnya itu tidak
menggonggong. Siapa yang berbisik itu"
Anak-anak berdiri seperti patung. Semua membisu. Kemudian terdengar lagi bisikan
seperti tadi. "Ssst! Di sini! Aku di sini!"
Anak-anak tetap diam di tempat mereka. Dalam hati, mereka bingung. Siapakah
orang yang menunggu dalam gelap itu" Dan siapakah yang ditunggunya di situ"
Terdengar kembali suara berbisik, kali ini agak lebih nyaring.
"Di sini! Kemari!"
Kemudian orang yang berbisik itu maju. Seakan-akan sudah tidak sabar lagi.
Julian tidak bisa melihatnya, karena di situ gelap. Ia lantas menyorotkan
senternya, menerangi muka orang yang baru muncul itu.
Astaga! Ternyata Bos! Tampangnya tampak suram, seperti biasanya. Bos mengernyit
silau ketika sinar senter tiba-tiba menerangi mukanya. Ia mundur beberapa
langkah, lalu menghilang di balik bangunan yang ada di dekat situ. Timmy
menggeram. "Wah, berapa saja orang yang berkeliaran malam-malam di sekitar sini?" kata
Dick. "Itu tadi Bos! Mau apa ia di sini?"
"Entahlah," kata Julian. "Aku sudah terlalu capek, tak mampu berpikir Iagi! Aku
takkan heran, jika tiba-tiba si Clopper menjengukkan kepala dari sebuah sudut,
lalu menyapa, "Ciluk, baaa!"
Anak-anak terkekeh geli. Perbuatan begitu pantas dilakukan oleh Clopper, jika ia
kuda sungguhan! Mereka tiba di rumah Bu Penruthlan. Di mana-mana lampu menyala. Di dapur tirai
jendela belum ditutup. Sewaktu melewati jendela itu, anak-anak memandang ke
dalam. Tampak Bu Penruthlan duduk di situ. Kelihatannya sangat gelisah.
Anak-anak membuka pintu dapur, lalu masuk berbondong-bondong. Yan juga ikut
masuk. Melihat mereka, Bu Penruthlan melompat bangkit dan lari menyongsong.
Dipeluknya Anne. George juga hendak dipeluk olehnya, tapi anak ilu cepat-cepat
mengelak. Sementara itu mulut Bu Penruthlan tidak henti-hentinya berceloteh.
Anak-anak merasa kurang enak, karena ternyata wanita yang baik hati itu
menangis. "Aduh - ke mana saja kalian sehari ini?" kata Bu Penruthlan, sementara air mata
mengalir terus membasahi pipinya. "Orang-orang kusuruh mencari kalian. Anjinganjing ikut dibawa, dan The Barneys juga menawarkan diri untuk membantu mencari!
Sedari petang mereka mencari terus. Pak Penruthlan juga belum pulang. Aku tak
tahu ke mana perginya - tahu-tahu lenyap! Aduh, malam ini benar-benar menyiksa
bagiku. Tapi syukurlah, kalian selamat!"
Julian melihat bahwa Bu Penruthlan sangat bingung. Ia lantas memapah wanita itu
ke sebuah kursi, lalu menyuruhnya duduk.
"Jangan khawatir, Bu," katanya lembut, "kami selamat semuanya. Maafkan, jika
Anda cemas memikirkan kami."
"Tapi ke mana saja kalian selama itu?" kata Bu Penruthlan, yang masih menangis
terus. "Sudah kubayangkan kalian mati tenggelam, atau tersesat di bukit, atau
terjatuh ke lubang tambang batu. Lalu Pak Penruthlan, ke mana lagi suamiku itu"
Ia pergi sejak pukul tujuh - dan sejak itu belum kembali"
Anak-anak bingung. Mereka merasa tahu di mana Pak Penruthlan berada. Sedang
sibuk mengangkut barang-barang selundupan yang dibawa dengan perahu motor, dan
membawanya ke darat lewat Lorong Pencoleng!
"Sekarang ceritakan padaku, apa yang kalian lakukan sehari ini," kata Bu
Penruthlan lagi sambil mengusap air matanya. Suaranya dengan tiba-tiba terdengar
tegas. "Macam-macam saja, membuat or?ng bingung!"
"Ceritanya panjang, Bu," jawab Julian, "tapi aku akan berusaha mempersingkatnya.
Kami mengalami berbagai kejadian aneh, Bu Penruthlan."
Julian membeberkan seluruh pengalaman mereka sehari itu. Dimulai dengan kisah
Kakek tentang cahaya aneh di atas menara tua, lalu perjalanan hari itu untuk
mendatangi tempat itu. Disusul dengan lorong rahasia ke Lorong Pencoleng,
kemudian diri mereka yang terkurung dalam gua sampai dibebaskan oleh Yan.
Setelah itu Julian tertegun. Ia bingung.
Bagaimana caranya menceritakan pada Bu Penruthlan bahwa salah seorang
penyelundup itu suaminya" Julian melirik ke arah saudara-saudaranya, meminta
bantuan. Anne menangis, karena bingung. George saat itu rasanya juga kepingin
menangis. Tapi tiba-tiba Yan membuka mulut.
"Kami melihat Pak Penruthlan di teluk," katanya. Anak itu senang, karena melihat
ada kesempatan untuk ikut bercerita. "He-eh, kami melihatnya!"
Bu Penruthian menatap Yan, kemudian ganti memandang anak-anak yang kelihatan
kikuk dan bingung. "Kalian melihatnya di teluk?" katanya. "Mana mungkin! Apa yang diperbuatnya di
situ"!" "Kami rasa, menurut dugaan kami - anu, Bu - mestinya ia termasuk kelompok
penyelundup," kata Julian terbata-bata. "Kami merasa seperti melihat Pak
Penruthlan masuk ke perahu, lalu berdayung menuju perahu motor yang menunggu di
depan gosong karang. Kalau betul, yah, mungkin Pak Penruthlan akan mengalami
kesulitan karena - "
Julian tak sempat mengakhiri kalimatnya. Tiba-tiba Bu Penruthlan bangkit dan
kursi, lalu berkacak pinggang di depan Julian sambil melotot marah.
"Anak jahat!" kata Bu Penruthian keras dan tersengal-sengal. "Kau ini anak
jahat, seenaknya saja mengatakan yang bukan-bukan tentang Pak Penruthlan!
Suamiku itu tulus, jujur, dan sangat saleh! Pak Penruthlan - penyelundup! Hah!
Pak Penruthlan - bersekongkol dengan orang-orang jahat! Hah! Begitu, ya" Kupukul
kau nanti berkali-kali, biar kapok!"
Julian tercengang melihat Bu Penruthlan yang biasanya periang tiba-tiba saja
berubah. Muka wanita itu merah padam. Matanya menyala-nyala. Tahu-tahu tubuhnya
tampak lebih tinggi daripada biasanya. Julian belum pernah melihat orang semarah
itu. Yan cepat-cepat bersembunyi ke bawah meja.
"Sekarang minta maaf!" bentak Bu Penruthlan. "Kalau tidak mau, kau akan kuhajar
habis-habisan! Dan tunggu saja apa kata Pak Penruthlan jika ia sudah kembali dan
mendengar apa yang kaukatakan itu!"
Julian sudah terlalu besar, takkan mungkin Bu Penruthlan bisa menghajar. Tapi
wanita itu pasti akan mencoba juga, jika ia tidak cepat-cepat minta maaf. Wah,
bukan main galaknya wanita itu! Julian menyentuh lengan Bu Penruthlan.
"Jangan marah, Bu," katanya lembut. "Maafkanlah, jika aku tadi membuat Anda
marah." Bu Penruthlan menepiskan tangan Julian.
"Marah" Tentu saja aku marah!" tukasnya. "Seenaknya saja mengata-ngatai Pak
Penruthlan. Yang kalian lihat di Teluk Pencoleng itu bukan dia! Aku tahu, bukan
dia. Sayang aku tak tahu, di mana suamiku itu sekarang. Aduh, bingung sekali
perasaanku saat ini!"
"Dia dalam Lorong Pencoleng." kata Yan dan bawah meja. "Kami menutup tingkap di
atas kepalanya. He-eh!"
"Dalam Lorong Pencoleng!" seru Bu Penruthian. Anak-anak merasa lega, melihat
wanita itu terenyak duduk kembali di kursi. Ditatapnya Julian dengan pandangan
bertanya. Julian mengangguk. "Betul, Bu! Kami lewat lorong itu sewaktu kembali dari pantai. Yan tahu
jalannya. Munculnya di pojok gudang peralatan lewat lubang bertingkap di lantai.
Kami - eh - kami menutup tingkap itu kembali, lalu menindihnya dengan bermacammacam barang. Yah - sekarang tampaknya Pak Penruthlan tidak bisa keluar!"
Bu Penruthlan mendelik. Mulutnya membuka dan menutup beberapa kali. Kelihatan
seperti ikan yang sedang tersengal-sengal, hendak menarik napas. Anak-anak
merasa kikuk dan kasihan melihatnya.
"Aku tak percaya," kata Bu Penruthlan kemudian. "Pasti saat ini aku sedang
bermimpi buruk. Tak mungkin hal ini betul-betul terjadi. Sebentar lagi pasti Pak
Penruthlan akan masuk ke sini! Sebentar lagi masuk - percayalah! Ia bukan sedang
berada dalam Lorong Pencoleng. Pak Penruthlan bukan orang jahat. Sebentar lagi
pasti ia akan muncul. Lihat saja nanti."
Setelah itu semua terdiam. Dan justru pada saat itu di luar terdengar bunyi
derap sepatu berat di halaman rumah. Buk-buk-buk!
"Takuut!" jerit Yan tiba-tiba. Anak-anak terlonjak dibuatnya. Derap langkah itu
mengitari sudut dapur, lalu menuju ke pintu.
"Aku tahu siapa yang datang." kata Bu Penruthlan sambil bergegas bangkit. "Aku
tahu, siapa itu." Saat itu pintu terbuka, dan sesosok tubuh besar masuk ke dalam. Pak Penruthlan!
Istrinya berlari menghampiri, lalu memeluknya.
"Kau yang masuk! Sudah kukatakan, sebentar lagi kau masuk. Syukurlah kau
datang!" Pak Penruthlan tampak capek. Anak-anak, walau tercengang melihat petani itu
muncul dengan tiba-tiba, masih sempat memperhatikan bahwa pakaian orang itu
basah kuyup. Sedang Pak Penruthlan memandang mereka dengan heran.
"Kenapa anak-anak ini belum tidur?" katanya.
Anak-anak semakin melongo. Lho, Pak Penruthlan bisa bicara secara normal! Katakatanya terdengar jelas. "Aduh, Pak! Anak-anak nakal ini macam- macam ceritanya mengenai Pak Penruthlan,"
istri petani itu mengadu. "Kata mereka, Pak Penruthlan penyelundup! Kata mereka,
mereka tadi melihat Pak Penruthlan di Teluk Pencoleng, naik perahu menuju ke
sebuah perahu motor di tengah laut untuk menjemput barang.-barang selundupan!
Mereka juga mengatakan, Pak Penruthlan terjebak di dalam Lorong Pencoleng,
karena mereka menutup tingkap di gudang, dan..."
Pak Penruthlan mendorong istrinya menjauh, lalu berpaling menatap anak-anak yang
tetap melongo. Tentu saja mereka langsung ketakutan! Bagaimana Pak Penruthlan
bisa membebaskan diri dan keluar dari Lorong Pencoleng" Biarpun tubuhnya kekar
ia takkan mampu mengangkat tingkap yang ditindihi barang-barang begitu banyak!
Laki-laki bertubuh raksasa itu memandang mereka dengan galak. Tampangya
menyeramkan, rambut hitam lebat, alis menyemak di atas sepasang mata yang cekung
ke dalam, dan jenggotnya yang hitam lebat!
"Apa-apaan ini?" tanyanya dengan suara berat. Anak-anak masih kembali terenyak
keheranan, karena selama ini terbiasa mendengar laki-laki itu berbicara dengan
suara tak jelas. "Begini, Pak," kata Julian terbata-bata, "Kami tadi pagi - anu - kami ingin
menyelidiki menara tua, dan - eh - ingin melakukan pelacakan terhadap para
penyelundup. Kami sungguh-sungguh merasa mengenali Anda di Teluk Pencoleng, lalu
kami mengira telah berhasil menjebak Anda beserta kawan Anda yang satu lagi
ketika tingkap kami tutup kembali, dan -"
"Ini penting," kata Pak Penruthlan. Suaranya terdengar bersemangat. "Lupakan
saja perkiraan kalian bahwa aku ini penyelundup. Kalian salah sangka! Aku malah
bekerja untuk polisi. Yang kalian lihat di teluk orang lain, bukan aku! Memang,
aku tadi ada di pantai sambil mengamat-amati. Tapi percuma saja aku berdiri di
sana, sampai basah kuyup begini! Nah - apa saja yang kalian ketahui mengenai
persoalan ini" Di manakah letak tingkap itu" Kalian betul-betul sudah
menutupnya, sehingga orang-orang itu terjebak di bawah sana?"
Kelima anak itu sama sekali tak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut Pak
Penruthlan. Sesaat anak-anak membisu. Tapi kemudian Julian mernbuka mulut.
"Betul, Pak!" katanya. "Tingkap itu sudah kami tutup! Dan jika Anda ingin
menangkap mereka, lebih baik panggil polisi! Kita cuma perlu menunggu di samping
tingkap, sampai para penyelundup datang!"
"Baik," jawab Pak Penruthlan tegas. "Yuk, kita ke sana sekarang. Cepat!"
18. Dick Mendapat Akal ANAK-ANAK bergegas lari ke pintu, mengikuti Pak Penruthlan. Mereka masih merasa
heran. Tapi semangat mereka bangkit lagi. Yan merangkak dari persembunyiannya di
bawah meja. Ia tidak mau ketinggalan jika nanti ada kejadian tegang! Tapi Pak
Penruthlan berpaling, ketika ia sampai di pintu.
"Anak-anak perempuan tidak usah ikut." katanya. "Kau juga jangan, Yan."
"Anne dan George menemani aku di sini." kata Bu Penruthlan. Wanita itu sudah
melupakan kesedihan serta kemarahannya tadi. "Kau juga ke sini, Yan!"
Tapi Yan sudah menyelinap ke luar, mengikuti Julian dan Dick. Ia tidak bisa
dihalang-halangi, karena ingin melihat sendiri kejadian tegang itu. Dan Timmy
tentu saja ikut keluar. Ia pun bersemangat, seperti anak-anak!
"Aduh - pagi-pagi buta begini sudah ribut," kata Bu Penruthlan, sambil duduk
kembali ke kursi. "Bayangkan, Pak Penruthlan tak pernah bercerita padaku bahwa
ia sedang sibuk melacak para penyelundup! Kami yang tinggal di pesisir sini
sebenarnya tahu tentang penyelundupan itu. Tapi Pak Penruthlan tak pernah
bercerita bahwa ia memata-matai mereka!"
Julian dan Dick sudah melupakan kelelahan mereka. Mereka bergegas-gegas
melintasi pekarangan bersama Pak Penruthlan. Yan mengikuti tak jauh di belakang
mereka, sedang Timmiy melompat-lompat. Sesampai di gudang peralatan, mereka
langsung masuk ke dalam. "Kami menumpukkan..." Julian tertegun, tanpa menyelesaikan kalimatnya. Sinar
senter Pak Penruthlan yang sangat terang disorotkan ke pojok, di mana terdapat
tingkap di lantai. Tingkap itu terbuka! Benar - terbuka! Karung-karung serta begitu banyak kotak
dan peti yang ditindihkan oleh anak-anak di atasnya, kini sudah berserakan di
sampingnya. "Astaga - lihatlah!" kata Julian tercengang. "Siapa yang membukanya, Pak"
Sekarang para penyelundup itu pasti sudah lari dengan barang-barang selundupan
mereka. Kita kalah!"
Pak Penruthlan mendengus marah, lalu membanting tingkap itu keras-keras sehingga
tertutup kembali. Ia hendak mengatakan sesuatu ketika terdengar orang ramai
berbicara tak jauh dari situ. Para artis kembali dan mencari anak-anak yang
hilang. Orang-orang itu melihat cahaya dalam gudang, lalu menjenguk ke dalam. Ketika
melihat Dick dan Julian ada di situ, mereka berseru-seru dengan gembira.
"Ke mana saja kalian" Kami sudah mencari ke segala tempat!"
Julian dan adiknya sangat kecewa melihat harapan mereka buyar, sehingga sapaan
para artis yang begitu ramah nyaris tak mereka jawab. Sekonyong-konyong terasa
lagi bahwa mereka sangat capek. Sedang Pak Penruthlan tampak sangat jengkel. Ia
menjawab pertanyaan-pertanyaan para artis dengan ketus. Semua sudah beres
sekarang, katanya, besok saja mengobrol. Sekarang ia ingin tidur!
Para artis kembali ke tempat masing-masing, sambil sibuk berbicara. Dick dan
Julian mengikuti Pak Penruthlan yang kembali ke rumah tanpa mengatakan apa-apa.
Yan tahu-tahu sudah menghilang. Menurut perkiraan Julian, anak itu pasti sudah
bergegas pulang ke pondoknya. Pokoknya ketika mereka masuk kernbali ke dapur,
Yan tak tampak di situ. "Pukul tiga lewat lima," kata Pak Penruthlan, sambil memandang jam. "Aku tidur
sebentar di sini, Bu. Sudah itu - aku harus bangun lagi, memerah sapi. Suruh
anak-anak ini tidur, Aku sudah sangat capek, tak mampu bicara lagi. Selamat
Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidur!" Setelah itu Pak Penruthlan memasukkan jarinya ke mulut. Rupanya ia melepaskan
gigi palsu, yang kemudian dimasukkannya ke dalam gelas berisi air yang terletak
di atas perapian. "Ooh - kek," katanya pada istrinya, Lalu membuka mantelnya yang basah. Bu
Penruthlan menyuruh anak-anak cepat naik ke atas. Mereka juga sudah kepayahan,
karena mengantuk. Anne dan George masih sempat berganti pakaian. Tapi Julian dan
Dick langsung roboh ke tempat tidur. Dalam sekejap mata keduanya sudah tertidur
pulas. Ketika ayam berkokok pagi-pagi, anak-anak tidak terbangun. Mereka juga masih
tetap nyenyak, ketika gerobak-gerobak rombongan artis masuk ke pekarangan, untuk
dimuati barang-barang mereka. Malam itu The Barneys akan mengadakan pertunjukan
di desa lain. Akhirnya Julian bangun. Beberapa saat ia bingung, kenapa ia tidur dengan pakaian
lengkap. Sambil berbaring di tempat tidur, ia memikir-mikir sebentar. Ia merasa
lesu, ketika teringat kembali bahwa segala keasyikan mereka kemarin berakhir
dengan kegagalan. Ingin rasanya mengetahui, siapa yang membuka tingkap itu" Kemudian, tiba-tiba
saja ia tahu. Tentu saja! Kenapa hal itu tak terpikir olehnya kemarin" Kenapa ia
sampai lupa, tidak melaporkan pada Pak Penruthlan bahwa Bos dilihatnya berdiri
di tempat gelap, membisikkan kata-kata, "Di sini! Aku di sini!"
Kepala rombongan artis itu mestinya sedang menunggu kedatangan penyelundup! Ya
-tentu saja! Mungkin ia mempekerjakan nelayan setempat untuk berdayung melewati
rintangan karang, menuju ke perahu bermotor yang menyelinap mendekati pantai.
Dan para nelayan itu datang ke pantai lewat Lorong Pencoleng, supaya perbuatan
mereka tak diketahui orang The Barneys sering mengadakan pertunjukan di
Tremannon Farm. Jadi mudah saja bagi Bos mengatur penyelundupan itu, karena
jalan masuk ke Lorong Pencoleng terdapat di lantai gudang peralatan, yang
berdekatan letaknya dengan lumbung besar.
Situasi semakin baik jika cuaca sedang buruk. Pada malam begitu, takkan ada
orang di luar. Dia bisa dengan leluasa naik ke atas bukit, dan menunggu isyarat
dan puncak menara. Kalau tampak sinar suar di situ, ia akan tahu bahwa perahu
yang ditunggu-tunggu akan datang.
Ya, dan orang di menara itu juga mengisyaratkan ke laut bahwa Bos sudah menunggu
lagi di Tremannon! Lalu siapakah pemberi isyarat itu" Mungkin salah seorang nelayan, keturunan
pencoleng zaman dulu. Mungkin orang itu senang melakukannya, karena dengan
begitu bisa bertualang. Julian bisa membayangkan segala-galanya dengan jelas sekarang. Segala kejadian
aneh, setelah dihubung-hubungkan, kini memberikan gambaran jelas!
Tak ada yang bisa menyangka bahwa pemimpin The Barneys terlibat dalam
penyelundupan. Penyelundup biasanya cerdik, tapi Bos, ternyata penyelundup yang
luar biasa cerdik! Saat itu Julian mendengar sesuatu di luar. Ia bangkit dari tempat tidur untuk
melihat. Di pekarangan tampak rombongan artis sedang mengemasi barang-barang
mereka ke atas gerobak. Julian bergegas turun, sambil berseru-seru membangunkan
Dick. Ia harus cepat-cepat memberitahu Pak Penruthlan tentang Bos! Orang itu harus
ditangkap! Barang-barang selundupan mungkin disembunyikan olehnya dalam salah
satu peti yang sudah dinaikkan ke atas gerobak. Cara yang paling mudah untuk
mengangkutnya pergi tanpa mencolok mata! Bos memang benar-benar licik.
Julian mencari Pak Penruthlan, diikuti oleh Dick yang bingung dan heran melihat
tingkah laku abangnya. Petani yang dicari ternyata ada di pekarangan. Ia sedang
memperhatikan kesibukan The Barneys berkemas. Tampangnya masam dan suram. Julian
bergegas-gegas menghampiri.
"Pak! Pak!" kata Julian terburu-buru. "Ada suatu hal yang kuingat lagi - soal
penting! Bolehkah aku bicara sebentar?"
Mereka lantas pergi ke lapangan di dekat situ. Julian lantas menceritakan segala
sangkaannya tentang diri Bos.
"Kemarin malam, ia menunggu kedatangan penyeiundup di tempat gelap." kata
Julian. "Aku yakin, ia sedang menunggu! Ketika mendengar kami lewat, dikiranya
kami anak buahnya. Dan mestinya dia juga yang membuka kembali tingkap itu, Pak!
Ketika anak buahnya tidak muncul-muncul, ia masuk ke gudang. Di situ diiihatnya
tingkap di lantai tertutup, dan ditindih bermacam-macam barang. Ia lantas
membuka tingkap, lain menunggu di situ sampai anak buahnya datang - dan
menyerahkan barang selundupan. Sekarang, barang itu tentunya disembunyikan
olehnya dalam gerobak-gerobak itu!"
"Kenapa tidak dari kemarin kauceritakan padaku?" kata Pak Pennuthlan. "Janganjangan sekarang kita sudah terlambat! Aku harus memanggil polisi untuk
menggeledah gerobak-gerobak itu. Tapi jika The Barneys sekarang kucegah
keberangkatannya, Bos pasti akan curiga. Ia pasti akan segera minggat!"
Julian merasa lega. Pak Penruthlan sudah memasang gigi palsunya lagi, sehingga
kata-kata yang diucapkan bisa ditangkap dengan jelas.
Petani itu mengerutkan, kening, sambil menarik-narik jenggotnya.
"Sudah beberapa kali aku menggeledah barang-barang The Barneys untuk mencari
barang selundupan itu," katanya. "Setiap kali mereka ke sini, malam-malam aku
selalu memeriksa semua barang mereka."
"Anda tahu apa yang mereka selundupkan?" tanya Julian. Pak Penruthlan
mengangguk. "Ya. Narkotika. Itu onkhjiobat bius yang berbahaya. Di pasar gelap, narkotika
dijual dengan harga sangat mahal. Bungkusan yang diselundupkan, tidak perlu
besar ukurannya. Sudah lama aku mencurigai salah seorang anggota rombongan The
Barneys sebagai penampung barang selundupan itu, Tapi sia-sia saja aku mencari
bukti." "Jika bungkusan itu kecil, tentu sangat mudah menyembunyikannya," kata Dick,
sambiL berpikir-pikir. "Tapi harus disembunyikan dengan sangat baik, karena jika
ketahuan akibatnya bisa gawat bagi penampung itu. Mungkinkah dibawa-bawa terus
oleh Bos?" "Tidak - karena ia tentu khawatir jika tiba-tiba badannya digeledah," kata Pak
Penruthlan. "Yah, apa boleh buat! Sekali ini aku terpaksa membiarkan mereka
lolos dari sini. Aku harus memberitahu polisi! Mungkin mereka akan bisa mencegat
iring-iringan gerobak itu di tengah jalan. Aku takkan bisa meminta polisi datang
secepat mungkin ke sini, karena tidak ada telepon."
Saat itu Pak Binks datang, sambil membawa kedua pasang kaki Clopper. la menyapa
Dick dan Julian. "Kalian membuat kami bingung kemarin maiam," katanya sambil nyengir "Apa yang
terjadi?" "Ya," kata Sid yang menyusul, sambil mengepit kepala Clopper seperti biasanya.
"Clopper sampai cemas memikirkan kalian."
"Ya, ampun - jadi waktu kalian berkeliaran mencari kami di bukit itu, topeng
kepala kuda juga kaubawa, Sid?" tanya Dick tercengang.
"Tidak! Kuserahkan pada Bos," kata Sid, "Ia yang mengawasi si Cloppernya yang
berharga ini, sementara aku keluyuran sampai jauh, mencari sekawanan anak-anak
rewel!" Dick memandang topeng kepala kuda, yang matanya bisa berputar-putar kocak. Dick
memandang sambil merenung. Dan kemudian, tiba-tiba saja anak itu melakukan
sesuatu yang aneh! Kepala Clopper disentakkannya dari tangan Sid. Orang itu melongo. Lalu Dick
cepat-cepat lari. Sementara Julian memandang adiknya dengan heran, Sid berseruseru marah. "He! He! Apa-apaan lagi ini" Ayo kembalikan Clopper!"
Tapi Dick tak peduli. Ia menghilang ke balik sebuah bangunan. Sid mengejarnya diikuti oleh seseorang lagi.
Bos lari mengejar sekuat tenaga. Mukanya merah padam karena marah. Orang itu
berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan kepalan tinjunya. Tapi ketika ia
beserta Sid sampai di balik bangunan, Dick sudah menghilang!
"Kenapa lagi anak itu?" tanya Pak Penruthian tercengang. "Untuk apa ia melarikan
kepala Clopper" Sudah sinting rupanyal"
Tiba-tiba Julian menyadari sebabnya. Ia tahu, apa sebabnya Dick melarikan topeng
kepala kuda itu! "Pak Penruthlan, apa sebabnya Bos selalu menugaskan orang untuk menjaga kepala
Clopper?" katanya. "Mungkin karena dalam kepala itu disembunyikan suatu barang,
yang tak boleh jatuh ke tangan orang lain! Cepat, Pak - kita periksa!"
19. Peranan Clopper SAAT itu Dick muncul kembali dari belakang sebuah bangunan lain. Ia masih tetap
memegang kepala Clopper erat-erat. Anak itu lari, dikejar Sid dan Bos. Ia sama
sekali tidak sempat berhenti, atau mencari tempat bersembunyi. Dengan napas
tersengal-sengal dihampirinya Pak Penruthlan. Kepala kuda itu disodorkan pada
petani itu. "Ini, Pak! Kurasa barang selundupan itu ada di dalamnya."
Sid dan Bos lan menghampiri. Keduanya tampak sangat marah. Bos berusaha merebut
kepala Clopoer yang dipegang Pak Penruthlan. Tapi mana mungkin Bos bisa menang
melawan petani itu! Badannya kecil, sedang Pak Penruthlan tinggi besar. Pak
Penruthian bersikap tenang. Kepala Clopper dijunjungnya tinggi di atas kepala
dengan tangan kanan. Sedang tangan kirinya menahan Bbs yang menggapai-gapai.
Orang-orang datang berkerumun. The Barneys, serta beberapa pekerja pertanian. Bu
Penruthlan, Anne, dan George mendengar suara ribut-ribut, lalu bergegas datang.
Ayam-ayam lari bertebaran sambil berkotek-kotek, sementara Timmy beserta keempat
anjing penjaga menggonggong dengan ribut.
Bos marah sekali! Ia hendak memukul Pak Penruthlan. Tapi cepat ditahan oleh Pak
Binks. Salah seorang pekerja pertanian itu menerobos kerumunan orang, lalu mencengkeram
bahu Bos dengan tangannya yang kuat.
"Jangan lepaskan dia," kata Pak Penruthlan. Ia menurunkan tangannya yang
memegang kepala Clopper, sambil memandang para artis yang berkerumun terheranheran. "Tolong ambilkan tong itu," kata Pak Penruthlan pada Julian. Julian meletakkan
tong yang dimaksud di depan Pak Penruthlan. Sementara itu Bos menatap dengan
tampang pucat. "Jangan utik-utik topeng kuda itu," sergahnya. "Itu milikku! Mau diapakan?"
"Kata Anda, ini milik Anda?" tanya Pak Fenruthian. "Seluruhnya milik Anda, baik
yang ada di luar maupun di dalam?"
Bos terdiam. Ia tampak cemas. Pak Penruthlan menjungkirkan kepala Clopper, lalu
melongok ke dalam lehernya. Ia merogoh-rogoh, menemukan sebuah rongga tertutup,
lalu membukanya. Rokok berjatuhan ke tanah.
"Itu rokokku," kata Fak Binks. "Memang aku biasa menyimpannya di situ. Itu kan
tidak dilarang, Pak" Bos yang menbuatkan tempat itu untukku."
"Memang boleh saja, Pak Binks," kata petani itu sambil terus merogoh ke dalam.
Sementara itu Bos menatap dengan gelisah. Napasnya terdengar memburu.
"Aku merasa ada sesuatu di sini, Bos," kata Pak Penruthlan, sambil memperhatikan
paras kepala rombongan artis itu, "Aku merasa, di dasar lubang ini ada lubang
lain, lubang tersembunyi! Bagaimana cara membukanya, Bos" Bilang saja, atau
perlukah kupecahkan kepala kuda ini untuk menemukannya!"
"Jangan pecahkan!" seru Sid dan Pak Binks serempak. Mereka berpaling memandang
Bos. Keduanya kelihatan bingung.
"Ada apa sebetulnya, Bos?" tanya Sid, "Kami tak menyangka Clopper menyimpan
rahasia!" "Memang tidak ada rahasia," tukas Bos.
"Ah, aku menemukan caranya sekarang!" seru Pak Penruthlan. "Sekarang bisa
kubuka!" Jarinya meraba-raba lubang tersembunyi di dasar tempat Pak Binks biasa
menyimpan rokoknya. Kemudian dikeluarkannya sebuah bungkusan kertas putih.
Bungkusan itu kecil tapi besar sekali nilainya!
"Apa ini, Bos?" tanya Pak Penruthlan pada pimpinan rombongan The Barneys. Bos
pucat pasi. "Apakah ini salah satu dari sekian banyak bungkusan narkotika yang
kauperdagangkan dengan sembunyi-sembunyi di daerah pesisir sini" Karena
rahasiamu yang inikah Sid kaularang berpisah dari kepala Clopper" Apakah perlu
kubuka bungkusan ini, Bos, untuk memeriksa apa isinya?"
Terdengar suara mengguman di kalangan artis. Guraman rasa seram. Dengan mata
menyala-nyala, Sid berbalik menatap Bos.
"Kau menyuruh aku menjaga narkotika jahat itu, bukan Clopper! Dan aku yang
tolol, mau saja membantumu selama ini, membantu orang yang sepantasnya
dijebloskan ke penjara! Aku tak mau lagi main jadi Clopper! Tidak mau!"
Kasihan orang itu. Ia sangat sedih. Diterobosnya kerumunan para arlis, pergi
meninggalkan tempat itu. Setelah beberapa saat, Pak Binks menyusul.
Pak Penruthlan mengantongi bungkusan yang ditemukannya.
"Kurung Bos dalam lumbung kecil," perintahnya pada pekerja yang masih
mencengkeram bahu pemimpin The Barneys. "Dan kau, Dan - pergilah panggil polisi.
Aku tak tahu apa yang harus kukatakan pada kalian, anggota-anggota The Barneys.
Kalian kehilangan Bos, tapi percayalah - orang seperti dia tak ada gunanya bagi
kalian." Para artis menatap Bos yang digiring oleh dua pekerja pertanian, dimasukkan ke
dalam lumbung kecil. "Kami memang tidak senang padanya," kata salah seorang artis. "Tapi ia punya
uang, untuk membiayai kehidupan kami pada saat-saat sepi. Ternyata uang itu
berasal dari penjualan narkotika yang diselundupkan ke sini. Kami, The Barneys,
dijadikannya kedok bagi perbuatan jahatnya. Betul, Pak! Orang seperti dia tak
ada gunanya bagi kami!"
"Kami akan berusaha terus," kata artis lain. "Kami pasti mampu berdiri sendiri.
He, Sid!" seru orang itu. "Kembalilah! Kau tak perlu sedih!"
Sid kembali dengan wajah serius, ditemani Pak Binks.
"Kami tidak mau tampil lagi dengan pakaian Clopper," kata Sid. "Cuma membawa
sial! Kami akan memakai topeng keledai, dan membuat penampilan yang lain. Kata
Pak Binks, ia tidak mampu lagi menjadi Clopper. Perasaanku juga begitu!"
"Baiklah!" kata Pak Penruthlan, lalu mengangkat topeng kepala kuda yang banyak
menimbulkan keributan itu. "Tolong ambilkan kaki depan dan belakangnya. Aku akan
mengurus Clopper. Aku suka padanya, dan bagiku ia tidak membawa sial!"
Setelah itu The Barneys meminta diri dengan sedih. Sid dan Pak Binks menyalami
anak-anak. Sebelum pergi, Sid masih sempat menepuk-nepuk kepala Clopper.
"Kami pergi sekarang kata." Pak Binks. "Terima kasih atas segala bantuan Anda,
Pak Penruthlan. Sampai bertemu lagi!"
"Lain kali mampir, ya!" jawab Pak Penruthlan. "Lumbungku selalu terbuka, kapan
saja kalian ingin mengadakan pertunjukan, Sid!"
Bos terkurung dalam lumbung kecil, menunggu dijemput polisi. Sambil mengangkat
pakaian Clopper, Pak Penruthlan memandang kelima orang anak yang berdiri di
depannya. Julian, Dick, George, Anne - dan Yan, yang sudah muncul lagi.
Pak Penruthlan tersenyum. Jika petani itu tersenyum, tampangnya menjadi lain.
Lebih ramah! "Yah, begitulah," kata petani itu. "Kukira kau tadi tiba-tiba sinting, Dick,
ketika tahu-tahu melarikan kepala Clopper!"
"Tiba-tiba saja aku kepikiran hal itu," kata Dick dengan rendah hati. "Untung
tepat pada waktunya - karena The Barneys sudah bersiap-siap hendak berangkat!"
Beramai-ramai mereka kembali ke rumah.
Bu Penruthlan sudah lari mendului. Anne dan George sudah menduga alasannya. Dan
dugaan mereka tepat! "Aku sedang mempersiapkan makanan," katanya, ketika Pak Penruthlan masuk bersama
anak-anak. "Kasihan anak-anak ini! Sama sekali belum makan. Sarapan saja belum!
Ayo, tolong aku! Habiskan saja isi kamar makanan, kalau mau."
Anak-anak tidak perlu disuruh dua kali! Mereka mengambil berbagai makanan.
Sementara itu Yan berkeliaran dalam dapur, mengganggu lalu lintas. Matanya
melotot, melihat makanan begitu banyak di atas meja. Bu Penruthlan tertawa.
"Ayo minggir, bandel! Kau mau makan bersama kami?"
"He-eh," jawab Yan dengan mata bersinar-sinar. "HE-EH"
"Kalau begitu naik dulu ke atas! Cuci tangan bersih-bersih!" kata istri petani
itu. Dan saat itu terjadi keajaiban.
Tanpa membantah sama sekali, Yan langsung naik ke atas. Dan ketika kembali,
tangannya sudah bersih. Yah - hampir bersih!
Anak-anak duduk mengelilingi meja makan. Dengan sikap serius, Julian menarik
sebuah kursi ke sisinya, lalu mengatur letak Clopper di situ sehingga tampak
seperti sedang duduk. Anne terkekeh.
"Aduh, Clopper" katanya geli. "Kau tampak seperti benar-benar hidup! Pak
Penruthlan - mau Anda apakan pakaian kuda ini?"
"Aku hendak memberikannya pada beberapa kawanku sebagai hadiah," kata petani itu
sambil mengunyah makanan. Sekali ini dengan gigi palsunya.
"Wah, mujur benar mereka!" kata Dick, sambil mengambil makanan. "Mereka tahu
cara memakainya, Pak?"
"0 ya," jawab Pak Penruthlan. "Mereka sudah tahu, karena pernah mencoba. Cuma
ada satu yang belum mereka ketahui. Huahahaha!" Pak Penruthlan tertawa keraskeras. Anak-anak melongo. Lho - kenapa petani itu tiba-tiba tertawa"
Pak Penruthlan terbatuk-batuk karena terlalu banyak tertawa. Istrinya menepuk
Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nepuk punggungnya. "Hati-hati, Pak!" kata Bu Penruthlan.
"Nah, itu, kau diperhatikan oleh Clopper!"
Pak Penruthlan terbahak lagi. Kemudian dipandangnya anak-anak.
"Seperti kukatakan tadi," ujarnya, "cuma satu yang belum diketahui kawan-kawanku
itu." "Apa, Pak?" tanya George.
"Mereka belum tahu, bagaimana caranya membuka ritsletingnya!" kata petani
bertampang galak itu. Ia tertawa lagi, tertawa terus - sampai air matanya
meleleh. "Mereka tidak tahu HUAHAHAHA tidak tahu - HAHAHA - cara membuka kostum
ini!" "Aduh, Pak Penruthlan memang keterlaluan!" kata istrinya geli. "Kenapa tidak
langsung saja mengatakan, Clopper dihadiahkan pada Julian dan Dick" Macam-macam
saja, tertawa hahahihi seperti orang sinting!"
"Wah, betul, Pak?" kata Dick gembira. "Aduh, terima kasih!"
"Kalian sudah membantuku," kata Pak Penruthlan, sambil mengambil makanan lagi
untuk kesekian kalinya. "Jadi sudah selayaknya jika aku memberikan barang yang
kalian idam-idamkan itu! Kau beserta abangmu, kalian pasti akan hebat jika
beraksi sebagai Clopper! Tapi sehari sebelum pulang, kalian mengadakan
pertunjukan, ya" Hahaha - si Clopper ini memang aneh. Lihatlah ia memandang
kita!" "Ia mengerjapkan matanya." kata George tercengang. Timmy muncul dan bawah meja,
ingin ikut memperhatikan kepala Clopper yang kocak itu.
"Aku melihat dia mengerjapkan mata," kata George sekali lagi.
Memang, mungkin saja kuda itu bermain mata. Maklumlah, kuda kocak! Dan bukankah
ia baru saja mengalami petualangan seru, bersama LIMA SEKAWAN!
Edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Dewi Maut 21 Pedang Siluman Darah 14 Bidadari Selendang Ungu Si Tangan Sakti 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama