Lima Sekawan 04 Ke Sarang Penyelundup Bagian 1
FIVE GO TO SMUGGLER'S TOP
by Enid Blyton LIMA SEKAWAN KE SARANG PENYELUNDUP Alihbahasa: Agus Setiadi Penerbit: PT. Gramedia Cetakan Keempat: Oktober 1981
I KEMBALI KE PONDOK KIRRIN HARI itu matahari bersinar terang. Dalam sebuah kereta api yang sedang berjalan
duduk empat orang anak, ditemani seekor anjing. Mereka bergembira, karena saat
itu permulaan liburan Paskah.
"Sebentar lagi kita sampai," ujar Julian. Dia yang tertua di antara mereka.
Anaknya jangkung, bertubuh kekar. Wajahnya menunjukkan ketetapan hati.
Anjing yang menemani mereka ikut gelisah. Ia juga ingin melihat ke luar lewat
jendela. "Ayoh duduk, Tim!" ujar Julian pada anjing itu. "Beri kesempatan pada Anne untuk
melihat ke luar." Anne adalah adik perempuan Julian. Anak itu menjengukkan kepalanya ke luar
jendela. "Stasiun Kirrin sudah nampak!" serunya. "Mudah-mudahan saja Bibi Fanny datang
menjemput." "Tentu saja dia menjemput!" ujar Georgina, saudara sepupunya. Tampang Georgina
lebih mirip anak laki-laki. Rambutnya yang ikal dipotong pendek. Tarikan
wajahnya juga seperti Julian, tegas! Anne didorongnya ke pinggir, karena ia pun
mau melihat ke luar. "Sekarang giliran Dick melihat," kata Julian mengatur. Dipalingkannya kepala
memandang adik laki-lakinya yang bernama Dick. Anaknya berwajah ramah. Ia sedang
duduk di pojok sambil membaca. "Dick, Kirrin sudah kelihatan! Tak bisakah kau
berhenti membaca sebentar?"
"Ceritanya mengasyikkan," kata Dick sambil mengatupkan bukunya. "Belum pernah
kubaca cerita petualangan yang begini seru!"
"Alaah! Pasti tak seasyik beberapa kejadian yang sudah kita alami!" bantah Anne
dengan segera. Katanya memang benar. Mereka berlima sering mengalami kejadian yang luar biasa.
Lima, karena anjing mereka yang bernama Tim selalu ikut terlibat dalam
pengalaman yang bermacam-macam itu. Tetapi liburan sekali ini kelihatannya akan
berjalan tenang. Mereka sudah berencana akan berjalan-jalan menyusur tebing batu
yang memagari pantai teluk tempat kediaman orangtua George. Mereka juga berniat
akan berdayung dengan perahu kepunyaan George, pergi ke Pulau Kirrin. Pulau itu
kepunyaan mereka bersama-sama.
"Selama masa sekolah yang baru lalu, aku belajar mati-matian," kata Julian.
"Sekarang aku ingin menikmati liburan!"
"Kau kelihatan agak kurus," kata Georgina. Namanya memang Georgina. Tetapi nama
itu tak pernah dipakai. Setiap orang menamakannya George, karena kalau dipanggil
dengan nama Georgina, ia tak mau menjawab. Ia ingin disamakan dengan anak lakilaki. Julian nyengir mendengar ucapan saudara sepupunya itu.
"Jangan khawatir! Di Pondok Kirrin pasti aku akan cepat gemuk. Serahkan saja
pada Bibi Fanny! Dia paling ahli menggemukkan badan orang. Selalu ada saja
hidangan enak di rumahmu. Wah, senang rasanya akan berjumpa lagi dengan ibumu,
George. Bibi Fanny sangat peramah."
"Memang! Moga-moga saja selama liburan ini Ayah sedang baik," kata George.
"Mestinya begitu, karena menurut cerita Ibu ia baru saja menyelesaikan beberapa
percobaan ilmiah yang baru. Kabarnya percobaannya berhasil baik sekali."
Ayah George seorang sarjana. Ia selalu sibuk mencoba bermacam-macam penemuan
baru. Untuk itu ia memerlukan ketenangan. Kalau merasa terganggu ketenangannya,
atau jika percobaan tidak berjalan persis seperti dikehendaki olehnya, kadangkadang ia marah-marah. Bahkan mengamuk! Dan itu bukan hanya terjadi kalau
percobaan saja yang tak berjalan sesuai dengan kemauannya, melainkan juga kalau
ada hal-hal terjadi berlawanan dengan keinginannya. Julian dan kedua adiknya
sering merasa bahwa sifat Georgina yang cepat marah merupakan warisan ayahnya.
Anak itu pun suka mengamuk, kalau terjadi hal-hal yang tidak disukainya!
Ternyata Bibi Fanny menjemput di stasiun. Keempat anak itu bergegas turun dari
kereta api, lalu berlarian menyongsongnya. George paling dulu mendekapnya. Ia
sangat sayang pada ibunya yang baik hati. Kalau ayahnya sedang marah pada
George, ibunya sering berusaha melindunginya. Tim meloncat-loncat mengelilingi
mereka, sambil menggonggong-gonggong dengan gembira. Anjing itu pun sayang pada
ibu tuannya. Bibi Fanny menepuk-nepuk kepala Tim.
"Wah! Tim sudah besar sekali sekarang," ujar Bibi sambil tertawa.
Tim memang anjing yang besar badannya. Anak-anak menyayanginya, karena ia
peramah dan setia. Tim memandang anak-anak itu silih berganti. Ia ikut merasakan
kegembiraan mereka. Ia sayang pada anak-anak itu.
Tetapi tentu saja ia paling sayang pada George, tuannya. Ia sudah dipelihara
oleh anak itu semenjak masih kecil. Ia bahkan ikut bersekolah, karena George
bersekolah bersama Anne di sebuah internat* (*semacam asrama) yang mengijinkan
murid-murid membawa binatang peliharaan. Kalau tidak diperbolehkan, pasti George
tak mau bersekolah di internat itu!
Mereka berangkat ke Kirrin naik kereta kuda. Kirrin terletak di tepi laut,
menghadap sebuah teluk besar. Saat itu baru awal musim semi, jadi hawa di
Inggris masih cukup dingin. Dan hari itu bahkan sangat dingin dan banyak angin!
Anak-anak menggigil kedinginan! Mereka merapatkan mantel yang menyelubungi
tubuh. "Aduh, dinginnya!" ujar Anne dengan gigi gemeletuk. "Lebih dingin daripada di
musim dingin!" "Itu karena angin," jawab Bibi menyelubungi diri dengan selimut tebal. "Selama
dua hari belakangan ini tiupannya makin lama makin kencang. Para nelayan sudah
berjaga-jaga. Perahu mereka sudah ditarik tinggi-tinggi ke pantai, karena
khawatir akan dilanda badai."
Kemudian ketika kereta kuda mereka berjalan menyusur pantai tempat mereka sering
berenang-renang, anak-anak itu melihat perahu nelayan berada di tempat yang
tinggi sekali, jauh dari batas air. Anak-anak sama sekali tak ingin mandi saat
itu. Bahkan mengingatnya saja, mereka sudah menggigil.
Tiupan angin mendesing suaranya. Di langit nampak awan tebal bergulung-gulung,
seperti berlomba-lomba kelihatannya. Ombak besar berdebur-debur memukul pantai.
Tim menggonggong-gonggong mendengar bunyinya yang ribut.
"Diam, Tim," kata George sambil menepuk-nepuk kepala anjingnya. "Sekarang kau
harus belajar diam, karena kita di rumah lagi. Nanti Ayah marah padamu! Ayah
sedang sibuk sekali, Bu?"
"Sebetulnya ia sangat sibuk," kata ibunya. "Tapi karena kalian pulang berlibur,
ia tak mau bekerja banyak-banyak. Ia bahkan berniat akan berjalan-jalan atau
berperahu dengan kalian, kalau cuaca sudah agak tenang."
Anak-anak saling berpandang-pandangan. Paman Quentin bukan teman yang
menyenangkan. Orangnya tak kenal humor. Ia sama sekali tidak bisa melihat di
mana lucunya, apabila anak-anak secara tiba-tiba saja tertawa cekakakan. Dan itu
terjadi paling sedikit dua puluh kali sehari!
"Wah, gawat! Liburan ini kelihatannya takkan begitu menyenangkan, apabila Paman
Quentin terus-terusan bersama kita," kata Dick berbisik pada Julian.
"Sst," desis Julian. Ia khawatir Bibi Fanny bisa mendengar komentar adiknya itu,
dan merasa tersinggung. George mengerutkan dahi.
"Wah, Ibu! Ayah pasti akan merasa bosan sekali apabila terus-terusan bersama
kami. Dan kami pun akan bosan!"
George memang selalu bicara berterus terang. Ia belum pernah bisa menahan diri
kalau ngomong. Ibunya mengeluh.
"Kau tak boleh begitu, Sayang," ujar Bibi Fanny. "Memang, kalau ia agak lama
bersama kalian, Ayah kurasa pasti akan bosan juga. Tetapi ada baiknya jika ia
sekali-sekali bergaul dengan anak-anak."
"Kita sudah sampai!" kata Julian. Kereta kuda berhenti di depan sebuah rumah
tua. "Pondok Kirrin! Wah, bukan main kencangnya angin di sini, Bibi Fanny!"
"Ya, tadi malam sangat ribut kedengarannya," kata bibinya. "Julian, nanti kalau
barang-barang sudah diturunkan, kau membawa kereta ke belakang, ya. Nah, ini
Paman datang hendak membantu."
Paman mereka keluar dari rumah. Paman Quentin bertubuh jangkung, dengan kening
agak berkerut. Tetapi kelihatan bahwa ia pintar. Paman tersenyum pada anak-anak
itu, serta mencium George dan Anne.
"Selamat datang di Pondok Kirrin!" ujarnya. "Aku merasa beruntung bahwa
orangtuamu bepergian, Anne! Jadi kalian bisa berlibur lagi ke mari!"
Tak lama kemudian mereka sudah duduk di meja makan, menikmati hidangan makanan
yang disajikan bersama teh. Bibi Fanny selalu menyajikan makanan yang enak-enak
setiap kali mereka datang. Ia tahu, anak-anak pasti sangat lapar setelah naik
kereta api begitu lama. Anak-anak makan dan minum sepuas-puasnya. Tim duduk di bawah meja, dekat kaki
George. Sebetulnya ia tak boleh diberi apa-apa pada saat anak-anak makan. Tetapi
banyak juga potongan kue dan roti yang menyasar ke bawah meja!
Angin bertiup menderu-deru sekeliling rumah. Daun jendela berbunyi kertakkertuk, pintu tergoncang-goncang. Hamparan lantai terangkat naik turun,
terdorong angin yang menyusup ke bawahnya.
"Hamparan itu bergerak-gerak, seperti ada ular menjalar di bawahnya," kata Anne.
Tim memandang hamparan sambil menggeram. Ia anjing yang cerdik. Tapi walau
begitu ia tak mengerti, mengapa hamparan bergerak-gerak begitu aneh.
"Mudah-mudahan malam ini angin agak mereda," kata Bibi Fanny. "Kemarin malam aku
tak bisa tidur dibuatnya. Kau kelihatan agak kurus sekarang, Julian. Rupanya
terlalu banyak belajar! Kau mesti kugemukkan lagi."
Anak-anak tertawa mendengarnya.
"Sudah kami kira Ibu akan ngomong begitu," kata George. "Astaga! Bunyi apa
itu"!" Semuanya kaget. Dari arah atap terdengar bunyi berdebum nyaring. Tim menegakkan
telinga sambil menggeram.
"Ada genteng yang jatuh," kata Paman Quentin. "Benar-benar menjengkelkan! Kalau
angin sudah tak bertiup sekencang ini lagi, atap harus dibetulkan, Fanny! Supaya
jangan bocor, kalau hujan!"
Anak-anak sebenarnya mengharapkan agar Paman mereka kembali ke kamar kerjanya
sehabis minum teh. Biasanya ia begitu! Tetapi sekali ini harapan mereka sia-sia.
Mereka diajaknya mengadakan permainan keluarga. Tetapi permainan ini tidak
asyik, karena ada Paman Quentin. Ia sama sekali tak bisa bermain. Bahkan yang
paling sederhana pun ia tidak bisa.
"Kalian kenal seorang anak laki-laki bernama Pierre Lenoir?" tanya Paman
sekonyong-konyong, sambil mengambil sepucuk surat dari kantongnya. "Kalau tak
salah, ia sesekolah dengan kau dan Dick, Julian."
"Pierre Lenoir" - Ah, maksud Paman si Hangus," kata Julian. "Ya - ia sekelas
dengan Dick. Anak edan!"
"Hangus! Kenapa kalian menamakannya demikian?" tanya Paman Quentin. "Aneh benar,
ada anak bernama begitu."
"Paman pasti tak menganggap aneh lagi, kalau sudah pernah melihatnya," kata Dick
sambil tertawa. "Kelihatannya memang seperti arang. Benar-benar hangus!
Rambutnya hitam, matanya hitam, alisnya seperti digambar dengan arang. Dan nama
keluarganya kan juga berarti 'Hitam', bukan" Lenoir! Itu kan bahasa Perancis,
dan artinya hitam." "Memang betul katamu itu. Tapi masakan orang diberi nama 'Hangus'!" kata Paman
Quentin. "Nah, soalnya aku sering berkirim-kiriman surat dengan ayah anak itu. Kami
berdua menaruh minat pada soal-soal ilmiah yang sama. Aku mengundangnya ke mari
untuk beberapa hari - bersama-sama dengan anaknya, Pierre!"
"O ya!" seru Dick dengan gembira. "Wah, asyik juga apabila si Hangus ada di
sini, Paman. Tapi anak itu benar-benar sinting - eh, maksudku bandel! Ia tak
pernah mau mengikuti perintah, pintar memanjat seperti monyet, dan kadang-kadang
bisa bersikap seenaknya. Kurasa Paman nanti takkan begitu senang padanya."
Nampak Paman Quentin agak menyesal telah mengundang si Hangus itu, sesudah
mendengar cerita Dick. Paman Quentin tak senang pada anak-anak yang bersikap
seenaknya. Ia juga tak senang pada anak-anak bandel. Apalagi yang sinting!
"Hm," katanya sambil mengembalikan surat ke kantong. "Sebetulnya aku harus
menanyakan mengenainya dulu padamu, sebelum mengusulkan pada ayahnya agar anak
itu diajak. Tapi barangkali aku masih bisa mengubah undangan itu, agar Pierre
tidak jadi ikut!" "Jangan, Ayah!" kata George. Mendengar cerita Dick, ia langsung ingin bertemu
dengan si Hangus. "Biarlah ia ke mari. Ia bisa kita ajak berjalan-jalan, supaya
suasana menjadi lebih ramai!"
"Kita lihat saja nanti," kata ayahnya. Padahal Paman Quentin sudah membulatkan
tekat untuk membatalkan kedatangan anak itu ke Pondok Kirrin, kalau ia bandel,
senang memanjat-manjat dan juga suka seenaknya saja! George saja sudah cukup
merepotkan. Apalagi kalau ada anak sinting yang memanas-manaskan!
Anak-anak merasa lega, ketika sekitar pukul delapan malam Paman pergi karena
ingin membaca. Bibi Fanny memandang ke jam.
"Sudah waktunya bagi Anne masuk ke tempat tidur," katanya. "Dan kau juga,
George!" "Kami main sekali saja lagi, ya - dan Ibu ikut bermain," kata George. "Ayoh, Ibu
harus ikut! Ini malam pertama kami berada di rumah. Lagipula siapa bisa tidur,
karena angin bertiup sangat kencang. Ayoh, Ibu mesti ikut bermain dengan kami sudah itu kami tidur. Lihat saja, Julian sudah mulai menguap."
II KEJUTAN DI TENGAH MALAM SENANG rasanya mereka menaiki tangga terjal yang menuju ke tingkat atas, di mana
terletak kamar tidur mereka. Anak-anak sudah mengantuk, karena terlalu capek
sesudah mengadakan perjalanan lama dengan kereta api.
"Kenapa angin kencang ini masih bertiup juga!" kata Anne sambil menyibakkan
tirai jendela, karena ingin melihat ke luar. "Awan hampir-hampir tak kelihatan,
George. Hilang timbul di balik awan bergulung-gulung."
"Biar saja bulan hilang timbul," ujar George sambil masuk ke tempat tidurnya.
"Aku kedinginan! Ayoh, cepat masuk ke tempat tidur, Anne. Jangan lama-lama
berdiri di depan jendela, nanti masuk angin!"
"Ribut sekali bunyi ombak berdebur di pantai," kata Anne. Ia masih terus berdiri
di depan jendela. "Dan angin mendesing bunyinya di sela ranting dan dahan pohon
ash yang sudah tua itu. Sampai terbungkuk-bungkuk pohon itu!"
Sehabis berkata begitu, Anne masuk ke tempat tidurnya. Tim berbaring dekat
tempat tidur George. "Selamat tidur," ujar Anne dengan suara mengantuk. "Mudah-mudahan saja anak
bernama Hangus itu jadi datang! Kalau mendengar cerita Dick, anaknya
mengasyikkan!" "Ya! Dan Ayah akan sibuk dengan ayahnya, Pak Lenoir, jadi takkan ikut jalanjalan dengan kita," kata George. "Tanpa sengaja mau berbuat begitu, Ayah selalu
merusak acara kita."
"Ayahmu tidak bisa berkelakar," kata Anne. "Orangnya terlalu serius."
Tiba-tiba terdengar bunyi berdentam! Kedua anak perempuan itu kaget
mendengarnya. "Pintu kamar mandi!" ujar George sambil mengeluh. "Rupanya Dick atau Julian lupa
menutupnya kembali. Bunyi seperti itulah yang sangat menjengkelkan Ayah! Nah,
sekarang berdentam lagi!"
"Biar Julian atau Dick saja yang menutupnya kembali," kata Anne. Ia malas
bangun, karena tempat tidur sudah nyaman dan hangat. Tetapi ternyata kedua anak
laki-laki juga menyangka pasti George atau Anne yang akan bangkit dari tempat
tidur dan menutup pintu kamar mandi. Jadi akhirnya tak satu pun yang
melakukannya. Tak lama kemudian terdengar suara Paman Quentin berteriak dari kaki tangga.
Suaranya lebih nyaring daripada angin yang bertiup kencang!
"He! Kalian yang di atas - tutup pintu itu! Berisiknya bukan main, tak bisa aku
bekerja karenanya!" Seketika itu juga keempat anak berlompatan bangun. Tim ikut lari ke luar. Anakanak tersaruk-saruk dan nyaris jatuh karena tersenggol olehnya, ketika mereka
berebutan lari hendak menutup pintu kamar mandi. Ribut sekali mereka berdesakdesak di atas, teriring suara cekikikan. Tetapi begitu terdengar langkah kaki
Paman di tangga, keempat anak itu buru-buru menyelinap kembali ke tempat tidur
masing-masing. Dan Tim tentu saja tak mau ketinggalan!
Angin ribut masih saja bertiup terus. Paman Quentin dan Bibi Fanny hendak tidur,
karena malam sudah larut. Tetapi baru saja Paman membuka pintu, sudah terlepas
lagi disambar angin lalu tertutup dengan suara keras. Sebuah pot terlonjak dari
tempatnya di atas rak dekat situ, lalu jatuh ke lantai.
Paman ikut terlonjak karena kaget.
"Gila benar angin ribut ini!" katanya jengkel. "Selama kita tinggal di rumah
Lima Sekawan 04 Ke Sarang Penyelundup di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ini, baru sekarang kualami angin sekencang ini. Kalau amukannya semakin menjadi,
pasti perahu-perahu nelayan akan habis disapu, walau sudah ditarik tinggi-tinggi
ke atas pantai." "Tak lama lagi pasti akan mereda," kata Bibi Fanny menenangkan suaminya.
"Mungkin besok cuaca sudah tenang kembali."
Tetapi ternyata dugaan Bibi keliru. Angin tak mereda malam itu. Bahkan
sebaliknya! Tiupannya semakin menggila, mendesing-desing dan mengaung seperti
suara binatang buas raksasa. Tak ada yang bisa tidur malam itu! Tim menggeramgeram terus, karena tak suka mendengar segala macam bunyi gemertak, gemertuk,
gerenyet dan desingan yang memekakkan telinga.
Menjelang subuh, angin mengamuk sejadi-jadinya! Anne merasa seolah-olah angin
itu sedang marah, ingin menghancurkan apa saja yang menghadang. Anak itu
berbaring di tempat tidur dengan tubuh gemetar. Ia ngeri!
Tiba-tiba terdengar bunyi aneh. Ada sesuatu yang berderak-derak dan mengerangerang, seolah-olah sedang kesakitan. Anne dan George terlompat duduk di tempat
tidur masing-masing. Mereka ketakutan. Bunyi apa itu"
Kedua anak laki-laki di kamar sebelah juga mendengarnya. Julian melompat dari
tempat tidur, lalu bergegas ke jendela. Dilihatnya pohon ash tua yang terdapat
di kebun, menjulang tinggi dan gelap dalam sinar bulan yang hilang-hilang
timbul. Dilihatnya pohon itu bergerak-gerak, makin lama makin miring!
"Pohon ash hampir tumbang!" pekik Julian, sehingga Dick terlompat karena kaget.
"Pohon itu akan tumbang, dan akan menimpa rumah ini! Cepat, kauberitahukan anakanak perempuan!" Tetapi Julian sendiri yang lari ke luar sambil berteriak-teriak. Ia berdiri di
ujung atas tangga. "Paman! Bibi! George dan Anne! Cepat, lari ke bawah! Pohon
ash hampir tumbang!"
George meloncat dari tempat tidur, menyambar mantel kamar lalu lari ke pintu
sambil memanggil Anne. Beberapa detik kemudian anak itu sudah ikut lari ke luar.
Tim paling depan! Paman Quentin muncul di depan pintu kamarnya sambil
membetulkan letak mantel kamarnya. Ia kelihatan bingung.
"Ada apa" Kenapa kalian ribut-ribut" Julian, kenapa - "
"Bibi Fanny! Cepat, kita harus lari ke bawah - pohon ash hampir tumbang!
Dengarlah bunyi derak-derik dan erangannya!" seru Julian. Ia sudah tak sabar
lagi menunggu. "Pasti hancur kamar-kamar kita ditimpanya. Nah - sekarang dia
roboh!" Secepat kilat mereka melejit ke bawah, sementara pohon ash berderak-derak
semakin nyaring. Akar-akarnya tercabut dari dalam tanah, dan pohon itu tumbang
menimpa Pondok Kirrin. Terdengar bunyi benturan keras, teriring gemeretak bunyi
genteng yang berjatuhan ke tanah.
"Ya Allah!" kata Bibi Fanny dengan takut, sambil menutup mata dengan tangan.
"Sudah kusangka akan terjadi bencana! Quentin, sudah kukatakan sedari dulu bahwa
pohon besar itu harus dipotong dahan-dahannya. Sudah kusangka kalau ada angin
ribut sedahsyat sekarang, pohon itu pasti tumbang kalau dahannya tidak dipotong.
Bagaimana keadaan atap rumah kita sekarang?"
Menyusul benturan keras terdengar berbagai bunyi lainnya. Seperti barang-barang
pecah, terbentur dan berjatuhan. Anak-anak tak bisa membayangkan apa saja yang
sedang terjadi di atas. Tim marah mendengar keributan itu, lalu menggonggonggonggong dengan ribut pula. Semua terkejut ketika Paman Quentin memukulkan
telapak tangannya dengan marah ke meja.
"Larang anjing itu menggonggong! Kalau tidak akan kuusir ke luar!" bentak Paman.
Tetapi malam itu Tim tak bisa dilarang! Akhirnya ia didorong oleh George ke
dalam dapur, yang kemudian ditutup pintunya.
"Aku sendiri pun rasanya ingin menggonggong dan menggeram-geram," ujar Anne.
Dapat dibayangkannya perasaan Tim saat itu. "Julian, rusakkah atap tertimpa
pohon?" Paman Quentin mengambil senter yang terang cahayanya, lalu menaiki tangga dengan
hati-hati. Ia berdiri di ambang tangga sebelah atas, dan memeriksa kerusakan
yang terjadi di situ. Kemudian ia turun kembali. Mukanya pucat.
"Pohon itu roboh menembus loteng dan menghancurkan kamar anak-anak perempuan,"
katanya. "Kamar anak-anak laki-laki juga rusak tertimpa sebuah dahannya. Tetapi
kerusakan di situ tak seberapa berat. Kalau kamar George dan Anne, parah sekali
kelihatannya! Jika mereka tadi masih ada di tempat tidur masing-masing, pasti
sekarang sudah mati tertimpa!"
Semuanya terdiam. Mereka ngeri, karena nyaris saja George dan Anne mati.
"Untung aku tadi berteriak-teriak memperingatkan mereka," kata Julian dengan
gembira. Ia sengaja berbuat begitu, karena dilihatnya muka Anne pucat pasi.
"Bergembiralah, Anne! Bayangkan hebatnya ceritamu nanti sekembali kita di
sekolah!" "Kurasa perasaan kita akan bisa agak tenang kembali, sesudah minum susu coklat
yang hangat," ujar Bibi Fanny. Sebetulnya ia masih sangat terkejut, tetapi ia
lebih mengingat perasaan anak-anak saat itu. "Baiklah kubuatkan sebentar.
Quentin, coba kaulihat apakah api masih menyala dalam pediangan di kamar
kerjamu. Kita harus menghangatkan tubuh, supaya tidak jatuh sakit!"
Ternyata api dalam pediangan masih menyala. Semua berkerumun mengelilinginya.
Mereka bersorak gembira, ketika Bibi Fanny masuk membawa coklat susu hangathangat. Sambil menghirup minumannya, Anne memandang sekeliling ruangan dengan perasaan
ingin tahu. Di sinilah Paman bekerja, melakukan kesibukan sebagai sarjana yang
pintar. Ia menulis buku yang serba rumit, yang tak bisa dipahami oleh Anne
isinya. Dalam ruangan itu Paman menggambar diagram-diagram yang aneh, serta
melakukan percobaan-percobaan yang lebih aneh lagi. Paman memang pintar!
Tetapi saat itu Paman Quentin sama sekali tak kelihatan pintar! Ia nampak agak
malu. Tak lama kemudian Anne mengetahui sebabnya.
"Untung tak ada yang mengalami cedera, Quentin," kata Bibi Fanny sambil
memandang suaminya dengan sikap agak garang. "Sudah lebih sepuluh kali
kukatakan, kau harus menyuruh orang menebang pucuk pohon itu. Sudah kuduga bahwa
dahan-dahannya terlalu rimbun, sehingga tak mungkin tahan dilanda angin ribut.
Aku sudah selalu khawatir, pada suatu saat pohon itu roboh dan menimpa rumah."
"Ya, aku juga tahu, Sayang," kata Paman Quentin. Ia sibuk mengaduk-aduk susu
coklatnya. "Tapi selama ini aku terlalu sibuk."
"Kesibukanmu selalu kaujadikan alasan untuk tidak melakukan tugas-tugas
mendesak," keluh Bibi Fanny. "Kurasa di masa yang selanjutnya semua harus kuurus
sendiri. Kita tidak bisa menanggung risiko terjadinya kecelakaan yang bisa
membahayakan nyawa."
"Ya Ampun, kau bicara seolah-olah peristiwa seperti ini terjadi saban hari!"
seru Paman Quentin. Ia sudah mau marah, tetapi dengan segera tenang kembali
ketika dilihatnya Bibi Fanny benar-benar terkejut dan bingung. Kelihatannya Bibi
sudah nyaris menangis. Paman meletakkan mangkuknya, lalu menggandeng isterinya.
"Kau tadi sangat terkejut," katanya menenangkan. "Tapi kau tak perlu cemas.
Keadaannya pasti tak begitu gawat lagi nampaknya, jika kita bangun besok pagi!"
"Quentin! Keadaannya bahkan bertambah gawat!" seru isterinya. "Di mana kita
semua tidur malam ini, dan apa yang harus kita kerjakan sampai atap dan kamarkamar tingkat atas selesai diperbaiki" Anak-anak baru saja pulang, karena hendak
berlibur di sini. Selama minggu-minggu mendatang, rumah ini akan terus-menerus
penuh dengan para tukang. Aku tak tahu bagaimana caraku mengurus semuanya!"
"Serahkan saja padaku!" ujar Paman Quentin. "Aku yang akan mengurusnya semua.
Kau tak perlu cemas! Aku menyesal sekali, karena kejadian ini memang salahku.
Tapi tunggulah - semuanya akan kubereskan sendiri!"
Sebetulnya Bibi Fanny agak ragu, tetapi ia merasa senang karena Paman berusaha
menenangkannya. Anak-anak mendengarkan sambil meminum susu coklat mereka. Mereka
diam saja. Paman Quentin memang sangat pintar orangnya. Apa saja yang tak
diketahuinya! Tetapi juga khas Paman Quentin, mengabaikan soal-soal penting
seperti menyuruh orang menebang pucuk pohon ash. Kadang-kadang timbul kesan
seakan-akan Paman tidak hidup di dunia ini. Kadang-kadang linglung sekali!
Malam itu tak ada gunanya lagi bagi mereka untuk pergi ke tempat tidur! Kamarkamar di atas tak bisa dipakai. Kalau tidak hancur sama sekali, paling sedikit
berantakan dan penuh debu. Jadi tak mungkin bisa tidur di situ. Bibi Fanny
menumpukkan selimut-selimut di atas kursi-kursi panjang. Satu di kamar kerja
Paman, satu kursi panjang besar di kamar duduk dan satu lagi yang agak kecil di
kamar makan. Dalam lemari ditemukannya sebuah tempat tidur lipat, yang
dipasangnya dengan bantuan Julian.
"Kita harus puas dengan apa yang ada," katanya. "Sebentar lagi akan sudah pagi,
tetapi lebih baik kita tidur juga sedikit! Anginnya sudah tak sekencang tadi
lagi." "Memang! Rupanya sudah puas merusak," kata Paman geram. "Yah, besok saja kita
berunding lebih lanjut."
Walau anak-anak sangat capek, tetapi mereka sukar bisa tertidur. Kegemparan di
tengah malam itu masih sangat menyibukkan diri mereka. Anne merasa khawatir. Ia
merasa tak selayaknya masih terus tinggal di Pondok Kirrin sesudah kejadian itu.
Bibi Fanny sudah cukup repot, tanpa ditambah kesibukan mengurus mereka pula.
Tetapi ia dan abang-abangnya juga tidak bisa pulang ke rumah, karena orangtua
mereka sedang bepergian selama sebulan.
"Mudah-mudahan saja kita tak dipulangkan ke internat," pikir Anne sambil
membetulkan letaknya berbaring di atas kursi panjang. "Tidak enak rasanya
kembali ke sana, setelah berangkat dengan begitu gembira karena akan berlibur."
George juga mengkhawatirkannya. Ia merasa pasti. mereka akan dipulangkan ke
internat keesokan harinya. Hal itu berarti ia dan Anne selama masa liburan tak
bisa bergaul dan bermain-main dengan Julian dan Dick. Kedua anak laki-laki itu
bersekolah di internat lain.
Hanya Tim saja yang sama sekali tak ribut-ribut memikirkan soal-soal seperti
itu. Ia berbaring dekat kaki George. Anjing itu tidur mendengkur dengan perasaan
bahagia. Ia tak peduli ke mana harus pergi. selama ia bisa bersama George!
III PAMAN QUENTIN MENDAPAT IDE
KEESOKAN paginya angin masih tetap bertiup dengan kencang, tetapi tak sekencang
malam sebelumnya. Para nelayan di pantai merasa lega, karena ternyata perahuperahu mereka tak banyak mengalami kerusakan. Tetapi dengan segera tersiar kabar
tentang kejadian seram di Pondok Kirrin. Orang berdatangan, ingin melihat pohon
besar yang tumbang menimpa atap rumah itu.
Anak-anak merasa bangga, karena bisa bercerita bahwa mereka nyaris mengalami
celaka. Dilihat siang hari, mengherankan sekali betapa banyak kerusakan yang
diakibatkan oleh robohnya pohon besar itu. Atap rumah hancur seperti kulit telur
terpukul tongkat. Kamar-kamar di tingkat atas berantakan semuanya.
Wanita desa yang biasanya datang membantu Bibi untuk membereskan rumah melihat
keadaan Pondok Kirrin. "Ya Allah, Nyonya," serunya kaget. "Untuk membetulkannya lagi, pasti akan
memakan waktu berminggu-minggu! Nyonya sudah memanggil tukang" Kalau saya jadi
Nyonya, saat ini juga mereka sudah saya minta datang, agar bisa melihat apa-apa
saja yang harus dikerjakan!"
"Aku yang akan mengurusnya, Ibu Daly," kata Paman Quentin. "Isteriku terlalu
kaget tadi malam. Ia takkan mampu mengurus sendiri segala-galanya. Yang pertamatama harus diurus adalah anak-anak harus ke mana. Mereka tak bisa tetap tinggal
di sini, karena semua kamar tidur berantakan."
"Sebaiknya mereka kembali saja ke internat," kala Bibi Fanny. "Kasihan!"
"Tidak! Aku mempunyai ide yang lebih baik," ujar Paman sambil mengeluarkan
sepucuk surat dari kantongnya. "Jauh lebih baik! Tadi pagi aku menerima surat
dari orang yang bernama Lenoir itu. Kau tahu kan - orang yang melakukan
percobaan-percobaan sama dengan yang kulakukan. Ia menulis - ah, lebih baik
kubacakan saja. Nah, ini dia!"
Paman Quentin membacakan surat itu. Isinya berbunyi sebagai berikut,
"Saya mengucapkan terima kasih atas keramah-tamahan Anda, mengundang saya
beserta anak saya Pierre agar datang menginap di rumah Anda. Saya ingin membalas
kebaikan budi itu, dan mengundang Anda beserta anak-anak. Saya tak tahu berapa
anak Anda, tetapi semuanya akan kami terima dengan senang hati sebagai tamu di
rumah kami yang besar ini. Pierre akan senang mendapat kunjungan teman-teman,
begitu pula halnya dengan adik perempuannya, Marybelle."
Paman memandang isterinya dengan puas.
"Nah! Bukankah undangan itu sangat bermurah hati" Dan datangnya pada saat yang
benar-benar tepat! Anak-anak kita kirim semua ke rumah orang itu."
Bibi Fanny tercengang mendengar ucapan suaminya.
"Quentin! Kau hanya main-main saja - mudah-mudahan! Kita kan sama sekali tak
mengenalnya" Apalagi keluarganya."
"Anaknya yang bernama Pierre sesekolah dengan Julian dan Dick. Dan aku tahu,
Lenoir seorang luar biasa dan sangat pintar," kata Paman Quentin. Seakan-akan
hanya itu saja yang menentukan! "Aku akan meneleponnya sekarang juga! Bagaimana
nomor teleponnya?" Bibi Fanny merasa tak berdaya menghadapi suaminya, yang tiba-tiba bertekat
hendak mengurus segala-galanya sendiri. Paman rupanya malu, karena
kelinglungannya yang menyebabkan rumah rusak. Sekarang ia hendak membuktikan
bahwa kalau ia mau, ia bisa saja bertindak praktis. Bibi mendengar Paman
berbicara lewat telepon. Bibi mengerutkan dahi, karena merasa kurang senang. Kan
tidak bisa dengan begitu saja anak-anak dikirim menginap di rumah orang yang
belum dikenal, kecuali lewat surat"
Setelah berbicara selama beberapa waktu, Paman meletakkan gagang telepon kembali
ke tempatnya. Ia kembali ke tempat Bibi Fanny duduk. Kelihatannya bangga, merasa
puas atas hasil usahanya.
"Beres," kata Paman. "Lenoir senang sekali mendengar anak-anak akan kukirim
menginap di rumahnya. Katanya ia senang jika di rumah banyak anak-anak.
Isterinya juga begitu. Kedua anaknya akan senang sekali kedatangan teman-teman.
Mereka bisa berangkat dengan segera, apabila kita bisa berhasil menyewa mobil."
"Tapi kita kan tak bisa mengirim anak-anak dengan seenaknya ke rumah orang yang
belum mereka kenal! Mereka pasti tak menyenanginya. Aku takkan heran, apabila
George tak mau ikut," kata Bibi.
"O ya - ia juga berpesan, agar Tim jangan dibawa ke sana," kata Paman. "Rupanya
Lenoir tak menyenangi anjing."
"Yah - kalau begitu George pasti tak mau ikut," kata Bibi. "Permintaan itu
mustahil, Quentin. George tak mau pergi ke mana pun, kalau tidak disertai oleh
Tim." "Sekali ini ia harus mau," jawab Paman tegas. Ia sudah bertekat, George tidak
boleh sampai mengganggu rencananya yang bagus itu. "Nah, ini anak-anak datang!
Akan kutanyakan pada mereka, apakah mereka mau menginap di rumah Lenoir. Kita
lihat saja apa kata mereka nanti!"
Anak-anak dipanggilnya masuk ke kamar kerjanya. Mereka masuk, dengan sangkaan
akan mendengar kabar buruk. Mungkin mereka semua harus kembali ke internat!
"Kalian masih ingat pada anak laki-laki yang kupercakapkan dengan kalian kemarin
malam?" tanya Paman Quentin. "Maksudku Pierre Lenoir. Tapi kalian menyebutkan
salah satu nama lain, aneh kedengarannya."
"Si Hangus!" ujar Dick dan Julian serempak.
"Ah ya, betul - si Hangus. Nah, ayahnya mengundang kalian menginap di rumahnya,
di Sarang Penyelundup," kata Paman.
Anak-anak tercengang mendengarnya.
"Sarang penyelundup?" tanya Dick. Dengan segera minatnya timbul, mendengar nama
seaneh itu. "Apa itu, Sarang Penyelundup?"
"Begitulah nama rumah tempatnya tinggal," kata Paman Quentin. "Rumah itu sudah
sangat tua. Letaknya di atas sebuah bukit aneh, dikelilingi rawa-rawa yang
dulunya laut. Bukit itu dulunya sebuah pulau. Tapi sekarang merupakan sebuah
bukit biasa, yang menjulang tinggi di atas daerah rawa. Di jaman dulu di sana
banyak terjadi penyelundupan. Menurut kabarnya, tempat itu aneh sekali. Sangat
misterius!" Anak-anak bergairah mendengarnya. Lagipula Julian dan Dick memang senang pada
Lenoir yang julukannya si Hangus. Anaknya memang sinting, tetapi mengasyikkan.
Senang bermain dengan dia!
"Nah - bagaimana pendapat kalian! Maukah kalian ke sana" Atau memilih pulang
saja ke internat?" tanya Paman dengan agak tidak sabar.
"Tidak - jangan kembali ke internat!" seru anak-anak seketika itu juga.
"Aku mau pergi ke Sarang Penyelundup," kata Dick. "Mendengar namanya, tempat itu
pasti mengasyikkan! Dan aku senang pada si Hangus. Apalagi setelah ia
menggergaji satu kaki kursi guru kelas kami! Begitu Pak Toms duduk, kursi
langsung patah dan Pak Toms jatuh terjerembab!"
"Hm! Aku tak melihat alasan menyenangi seseorang, berdasarkan perbuatan seperti
itu," kata Paman Quentin. Ia semakin ragu terhadap Pierre Lenoir. Rupanya memang
anak bandel! "Mungkin sebaiknya kalian pulang saja ke internat!"
"Jangan!" seru anak-anak serempak. "Lebih baik ke Sarang Penyelundup! Kita ke
sana saja!" "Baiklah!" kata Paman. Ia merasa senang, karena anak-anak begitu bergairah
menyambut rencananya. "Sebetulnya soal itu sudah kubereskan. Aku menelepon ke
sana beberapa menit yang lalu. Pak Lenoir ramah sekali."
"Bisakah Tim kuajak ke sana?" tanya George sekonyong-konyong.
"Tidak," kata ayahnya. "Sayang tidak bisa! Pak Lenoir tak suka pada anjing."
"Kalau begitu aku juga tak suka padanya," jawab George merajuk. "Aku tak mau
Lima Sekawan 04 Ke Sarang Penyelundup di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pergi, kalau Tim tak boleh ikut."
"Kalau begitu kau harus kembali ke internat," kata ayahnya dengan tandas. "Dan
jangan cemberut. Kau tahu bahwa aku tak menyukainya."
Tetapi George tak peduli. Tanpa berkata apa-apa lagi anak itu langsung pergi.
Saudara-saudaranya memandangnya dengan kecewa dan terkejut. Jangan-jangan George
merajuk lagi, dan karenanya merusak segala-galanya! Terang akan mengasyikkan,
jika mereka pergi ke Sarang Penyelundup. Tetapi tanpa Tim, keasyikan itu akan
agak berkurang. Walau begitu mereka tak ingin kembali ke internat, hanya karena
George tak mau ikut apabila anjingnya tak boleh serta.
Anak-anak menyusul George ke kamar duduk. Anne merangkul lengan saudara
sepupunya itu. Tetapi George menepiskannya.
"George, kau harus mau ikut bersama kami," bujuk Anne. "Tak enak rasanya pergi
kalau kau tak ikut - dan kau harus kembali seorang diri ke internat."
"Aku takkan sendirian di sana," kata George.
"Tim menemaniku."
Saudara-saudaranya masih mendesak agar ia berubah sikap, tetapi George menyuruh
mereka pergi. "Tinggalkan aku sendiri," katanya ketus. "Aku ingin berpikir dulu. Di mana letak
Sarang Penyamun, dan dengan apa kita ke sana" Lewat jalan mana?"
"Kita akan naik mobil, sedang tempatnya terletak di pesisir sebelah utara dari
sini. Jadi kurasa kita akan lewat jalan yang menyusur pantai," kata Julian.
"Kenapa kau bertanya?"
"Jangan banyak tanya," kata George. Ia ke luar, membawa Tim. Saudara-saudaranya
tidak berniat menyusulnya. Kalau George sedang kesal, lebih baik jangan diganggu
dulu! Bibi Fanny mulai mengemaskan barang-barang mereka, meski beberapa di antaranya
yang berada dalam kamar anak-anak perempuan tak bisa diambil. Beberapa saat
kemudian George kembali, tetapi Tim tak nampak menyertainya. Anak itu kelihatan
sudah agak riang. "Mana Tim?" tanya Anne dengan segera.
"Di luar," kata George.
"Bagaimana - kau ikut dengan kami?" tanya Julian sambil menatapnya.
"Ya. Aku toh ikut saja," kata George. Tetapi ia tak mau menatap wajah Julian.
Julian heran melihatnya, karena biasanya George tidak begitu.
Bibi Fanny menyuruh mereka cepat-cepat makan siang. Tak lama sesudah itu datang
sebuah mobil besar yang disewa oleh Paman Quentin. Anak-anak masuk ke dalam
mobil itu. Paman Quentin masih menyertakan berbagai pesan untuk Pak Lenoir,
sedang Bibi Fanny mengecup mereka sebagai tanda selamat jalan.
"Mudah-mudahan kalian senang berlibur di Sarang Penyelundup," kata Bibi.
"Tulislah surat dengan segera, dan ceritakan tentang keadaan di sana. Jangan
lupa, ya!" "Kita tidak mengucapkan selamat berpisah pada Tim?" tanya Anne. Ia heran, karena
melihat George seakan-akan lupa. "George! Masakan kau tak pamitan dulu padanya!"
"Tidak ada waktu lagi," kata Paman Quentin cepat-cepat. Ia khawatir, janganjangan George berganti pikiran lagi. "Baiklah, Pak Supir. Kalian bisa berangkat
sekarang! Dan harap jangan terlalu cepat jalannya, ya!"
Mobil berangkat, meninggalkan Pondok Kirrin. Anak-anak melambai-lambai. Rasanya
agak sedih melihat atap rumah yang hancur tertimpa pohon. Sudahlah! - Pokoknya
mereka tidak dikembalikan ke internat. Mereka bergembira lagi ketika pembicaraan
berpindah pada si Hangus dan rumahnya yang bernama aneh. Sarang Penyelundup!
"Sarang Penyelundup! Kedengarannya mengasyikkan sekali!" kata Anne. "Bisa
kubayangkan wujudnya! Sebuah rumah tua, jauh di atas bukit. Sebuah bukit, yang
dulunya pulau! Aku kepingin tahu kenapa laut kemudian surut, dan tinggal rawarawa di sekitar bukit itu!"
Mobil berjalan terus. Selama beberapa waktu George berdiam diri. Sekali-sekali
saudara-saudaranya melirik ke arahnya. Menurut sangkaan mereka, George sedang
sedih karena harus meninggalkan Tim. Tetapi air mukanya sama sekali tidak sedih!
Mobil berjalan melewati sebuah bukit, dan saat itu sedang turun menuju ke lembah
yang berikut. Sesampai di situ George mengulurkan tangannya ke depan, dan
menyentuh lengan Pak Supir.
"Pak, kita berhenti sebentar di sini. Ada yang harus dijemput!"
Julian dan kedua adiknya tercengang memandang Julian. Pak Supir yang juga heran,
menghentikan mobilnya. George membuka pintu mobil, lalu bersuit keras-keras.
Tiba-tiba semak pagar di samping jalan terkuak, dan Tim meloncat masuk ke mobil!
Ia menggonggong-gonggong, untuk menyatakan kegembiraannya.
"Nah," kata Pak Supir dengan agak ragu. "Aku tak tahu apakah kau boleh membawa
anjing itu. Ayahmu tak mengatakan apa-apa mengenainya."
"Sudahlah, jangan khawatir," kata George. Mukanya merah karena kegembiraannya.
"Pokoknya beres! Kita berangkat saja lagi."
"Kau ini benar-benar monyet!" kata Julian. Ia agak jengkel terhadap kelakuan
George. Tetapi juga senang, karena ternyata Tim ikut dengan mereka.
"Jangan-jangan nanti dipulangkan oleh Pak Lenoir."
"Kalau begitu aku pun harus dipulangkannya pula." kata George menantang.
"Pokoknya sekarang Tim ikut dengan kita."
"Ya - syukurlah," kata Anne sambil memeluk George, lalu menepuk-nepuk kepala
Tim. "Aku pun sebenarnya tak begitu senang pergi tanpa Tim."
"Kita berangkat ke Sarang Penyelundup," seru Dick. "Ke Sarang Penyelundup!
Apakah kita akan mengalami kejadian-kejadian yang mengasyikkan di sana?"
IV SARANG PENYELUNDUP MOBIL mereka meluncur terus. Umumnya melewati jalan pesisir, dan beberapa kali
melintasi daerah pedalaman. Tetapi tiap kali hanya sebentar saja, karena segera
sudah nampak lagi laut. Anak-anak menikmati perjalanan yang cukup panjang itu.
Di tengah jalan mereka ingin berhenti sebentar, karena perut mereka lapar. Pak
Supir mengatakan bahwa ia tahu di mana ada rumah makan yang baik.
Pukul setengah satu siang mobil berhenti di depan sebuah rumah makan yang
bangunannya kelihatan kuno. Anak-anak masuk berbondong-bondong. Julian sebagai
yang tertua memesan makanan. Hidangan di situ ternyata sangat enak. Anak-anak
makan dengan nikmat. Tim juga kebagian. Pemilik rumah makan itu senang pada
anjing, dan karenanya menyediakan makanan sepiring penuh untuk Tim. Anjing itu
tak berani menyentuhnya, karena mengira bukan disediakan untuk dia.
Tim memandang George. Tuannya itu menganggukkan kepala.
"Itu untukmu, Tim! Makanlah."
Tim pun makan dengan lahap. Makanan seperti itu tidak saban hari didapatnya!
Mudah-mudahan mereka mampir lagi ke rumah makan itu, kalau Kapan-kapan
bepergian! Sehabis makan anak-anak bangkit dan mencari Pak Supir. Ternyata ia sedang makan
di dapur, ditemani oleh pemilik rumah makan dan isterinya. Mereka teman lama Pak
Supir. "Wah, kudengar kalian akan ke Buangan," kata pemilik rumah makan sambil bangkit.
"Hati-hati saja di sana!"
"Buangan!" seru Julian heran. "Begitukah nama bukit tempat Sarang Penyelundup?"
"Ya, memang itu namanya," kata pemilik rumah makan.
"Kenapa dinamakan begitu?" tanya Anne. "Namanya aneh! Apakah pernah ada orang
terbuang di situ, sewaktu masih merupakan pulau?"
"Bukan! Menurut dongeng kuno, bukit itu dulunya bersambung dengan daratan," kata
pemilik rumah makan. "Tapi di situ tinggal orang-orang jahat. Lalu salah seorang
suci yang marah mengusir pulau dan membuangnya ke tengah laut, sehingga menjadi
bukit." "Karena itulah namanya Buangan," kata Dick. "Tetapi rupanya sekarang sudah
berubah menjadi baik kembali, karena ternyata laut surut lagi. Dari daratan
orang kan bisa berjalan kaki ke bukit itu?"
"Memang bisa! Ada sebuah jalan yang baik menuju ke situ," kata pemilik rumah
makan. "Tetapi kalau berjalan di situ hati-hati, jangan sampai tersasar. Kalau
sampai menginjak tanah rawa, akan langsung terisap ke bawah!"
"Kedengarannya tempat itu sangat menarik," kata George. "Sarang Penyamun di atas
Bukit Buangan! Dan cuma ada satu jalan yang menuju ke situ!"
"Kita harus berangkat lagi," kata Pak Supir sambil melirik ke jam. "Kata paman
kalian tadi, kita harus sudah sampai di sana sebelum saat minum teh."
Mereka pun berangkat lagi. Anne segera tertidur, sedang saudara-saudaranya pun
merasa agak mengantuk pula. Mesin mobil mendengung tak henti-hentinya. Hujan
mulai turun, pemandangan di luar tidak menarik lagi. Semua kelihatan suram
karena hujan. Setelah beberapa lama, Pak Supir berpaling dan berkata pada Julian,
"Kita sudah hampir sampai di Bukit Buangan. Sebentar lagi kita akan meninggalkan
daerah daratan, dan mengambil jalan yang melalui rawa-rawa."
Julian membangunkan Anne. Anak-anak memandang berkeliling dengan penuh
perhatian. Mereka akan melalui daerah rawa. Tetapi harapan mereka tidak
terpenuhi. Mereka tak bisa melihat apa-apa, karena kabut di situ sangat tebal!
Mereka hanya bisa melihat jalan yang sedang dilalui. Letaknya sedikit lebih
tinggi dari daerah rawa datar di sekeliling mereka. Sekali-sekali kabut menipis.
Nampak sepotong daerah rawa yang datar dan suram di kiri kanan jalan.
"Pak Supir, kita berhenti sebentar di sini," kata Julian. "Aku kepingin melihat
rawa." "Tapi hati-hati, jangan meninggalkan jalan raya," kata Pak Supir, setelah mobil
berhenti. "Dan anjingnya juga jangan boleh turun. Kalau ia lari meninggalkan
jalan ini dan masuk ke rawa, jangan harap dia kembali lagi."
"Apa maksud Anda?" tanya Anne dengan mata terbelalak.
"Maksudnya, ia akan segera lenyap ditelan rawa," kata Julian. "George, jangan
kauperbolehkan Tim ke luar."
Anak-anak ke luar, lalu menutup pintu mobil. Tim merasa kesal, karena tak
diperbolehkan ikut ke luar. Digaruk-garuknya pintu mobil, dan dicobanya
menjenguk ke luar jendela. Pak Supir berpaling dan menyabarkannya,
"Sudah, tenang sajalah! Sebentar lagi mereka kembali!"
Tetapi Tim tetap mendengking-dengking ingin ikut. Dilihatnya anak-anak pergi ke
tepi jalan. Dilihatnya Julian meloncat sekitar satu meter ke bawah, karena letak
jalan lebih tinggi daripada rawa.
Dalam rawa di tepi jalan terdapat sejalur batu yang menonjol ke atas. Julian
berdiri di atas sebuah batu itu, sambil menatap ke arah rawa yang datar.
"Tanah di sini berlumpur," katanya. "Lumpur yang lembek! Lihatlah, bergerakgerak kalau kuinjak! Kalau kuinjak lebih keras, kakiku langsung terbenam."
Anne merasa cemas, lalu memanggil abangnya.
"Julian, cepatlah naik lagi ke jalan! Kau terbenam nanti."
Daerah payau itu penuh kabut yang bergerak dan berputar-putar. Tempat itu
misterius, dingin dan lembab. Anak-anak tidak senang berada di situ. Dalam
mobil, Tim mulai menggonggong karena tidak sabar lagi.
"Rusak mobil nanti dicakarnya, apabila kita tidak lekas-lekas kembali," ujar
George. Anak-anak pun kembali ke mobil. Mereka tak banyak berkata-kata. Julian
ingin tahu, sudah berapa banyak orang hilang di daerah rawa payau itu.
"Wah, sudah banyak," kata Pak Supir. "Kata orang dari bukit ada dua jalan
berkelok-kelok menuju daratan. Jalan itu dulu dipakai, sebelum jalan raya ini
dibangun. Tetapi lewat di sana sangat berbahaya. Kalau tidak benar-benar hafal,
mudah tersesat. Tahu-tahu kaki sudah terbenam dalam lumpur!"
"Hih, mengerikan," ujar Anne bergidik. "Sudahlah, kita jangan ngomong lagi
tentang soal itu. Bukit Buangan sudah nampak?"
"Ya - itu dia, menjulang di balik kabut," kata Pak Supir sambil menunjuk.
"Puncaknya kelihatan dari sini. Kelihatannya aneh, ya?"
Anak-anak terdiam memandangnya. Di atas kabut yang bergerak perlahan-lahan
muncul puncak sebuah bukit yang tinggi dan terjal. Sisinya yang berbatu-batu
securam tebing. Di atas bukit terdapat bangunan-bangunan. Dari kejauhan pun
sudah nampak bahwa bangunan-bangunan itu kuno dan berbentuk aneh-aneh. Beberapa
di antaranya bermenara. "Kurasa yang di puncak itu Sarang Penyelundup," kata Julian sambil menunjuk.
"Kelihatannya seperti bangunan yang dibuat berabad-abad yang lampau. Mungkin
memang sudah tua sekali umurnya. Lihatlah menaranya! Dari situ pasti luas sekali
pemandangan." Anak-anak memandang tempat mereka akan menginap. Kelihatannya menarik, tetapi
juga agak menyeramkan. "Kelihatannya agak misterius," kata Anne. Ia mengucapkan pikiran yang terkandung
dalam diri mereka semua. "Maksudku kelihatannya seperti menyimpan berbagai macam
rahasia yang sudah berabad-abad umurnya. Kalau rumah itu bisa bicara, pasti
banyak sekali kisah yang bisa diceritakan!"
Mobil berjalan lagi, tetapi pelan-pelan karena kabut semakin menebal. Di bagian
tengah jalan terdapat paku-paku berkilat yang dipasang pada jarak tertentu.
Paku-paku itu berkilauan kena sinar lampu kabut yang dinyalakan oleh Pak Supir,
dan merupakan penunjuk jalan yang sangat baik. Jalan mulai menanjak ketika
mereka semakin dekat ke Bukit Buangan.
"Sebentar lagi kita akan lewat di bawah sebuah gerbang besar," kata Pak Supir.
"Gerbang itu dulu merupakan pintu masuk ke perbentengan kota. Benteng kuno itu
sampai sekarang masih ada. Lebarnya lumayan, orang bisa berjalan di atasnya.
Kalau kalian mulai berjalan dari satu titik tertentu, lalu mengelilingi kota,
maka kalian akan sampai lagi ke titik semula!"
Anak-anak mencatat keterangan itu dalam hati. Begitu mereka mendapat kesempatan
baik, mereka pasti akan mencobanya. Kalau mereka berjalan-jalan di atas benteng
pada hari yang cerah, pasti indah sekali pemandangan yang nampak!
Jalan yang dilalui semakin menanjak. Pak Supir terpaksa berganti persneling.
Mobil merayap dengan mesin menderu-deru, terus mendaki bukit. Tak lama kemudian
mereka sampai di gerbang besar yang pintunya terbuka lebar. Gerbang dilewati,
dan anak-anak sampai di Buangan.
"Rasanya seolah-olah kita mengadakan perjalanan mundur beberapa abad, atau
sampai di suatu tempat di jaman dulu!" ujar Julian sambil memandang ke kanan
kiri jalan. Dilihatnya rumah-rumah dan toko-toko tua, dengan jendela-jendela
yang berkaca kecil-kecil berbentuk belah ketupat. Pintu-pintu kokoh terbuat dari
kayu berjejer sepanjang jalan-jalan sempit beralaskan batu-batu bundar.
Mobil masih terus mendaki jalan yang berkelok-kelok. Akhirnya sampai di depan
sebuah gerbang besar yang pintunya terbuat dari batang-batang besi tempaan.
Pintu itu dibuka dari dalam, setelah Pak Supir membunyikan tuter mobil sebagai
tanda bahwa mereka datang. Mobil memasuki jalan yang juga menanjak, dan akhirnya
berhenti di depan Sarang Penyelundup.
Anak-anak turun dari mobil. Tiba-tiba saja mereka merasa kikuk. Rumah kuno yang
besar itu kelihatan angker, sehingga timbul perasaan segan dan malu. Bangunan
itu terbuat dari batu bata dan kayu. Pintu depan besar dan sangat kokoh, seperti
pintu depan sebuah istana.
Di sana sini terdapat dinding agak menonjol ke depan dan beratap pelana di atas
jendela-jendela yang juga berkaca kecil-kecil berbentuk belah ketupat. Menara
rumah yang cuma sebuah tegak kokoh di sisi timur. Menara itu tidak berbentuk
persegi, melainkan bundar. Di atasnya terdapat atap yang runcing.
"Sarang Penyelundup!" kata Julian. "Namanya cocok! Kurasa di jaman dulu tempat
ini memang merupakan pusat penyelundupan."
Dick membunyikan bel tamu. Ia menarik sebuah pegangan terbuat dari besi.
Seketika itu juga di dalam terdengar bunyi bel berdering.
Kemudian menyusul langkah orang berlari-lari. Pintu depan terbuka pelan-pelan,
karena nampaknya memang berat.
Di balik pintu berdiri dua orang anak. Yang satu perempuan, umurnya kira-kira
sebaya dengan Anne. Sedang yang laki-laki seumur dengan Dick.
"Kalian muncul juga akhirnya!" seru anak yang laki-laki. Matanya bersinar-sinar
riang. "Kusangka kalian tidak jadi datang!"
"Ini dia si Hangus," ujar Dick memperkenalkan anak itu pada George dan Anne,
yang belum pernah bertemu dengannya. Mereka memandang anak itu dengan penuh
perhatian. Si Hangus ternyata memang tak seputih orang kulit putih pada umumnya. Rambutnya
hitam, matanya serta alisnya juga hitam legam. Sedang kulit mukanya kecoklatcoklatan. Sedang anak perempuan yang berdiri di sisinya berkulit pucat dan
berparas halus. Rambutnya pirang keemasan, dan matanya biru. Alisnya begitu
pirang, sehingga hampir-hampir tak nampak.
"Ini Marybelle, adik perempuanku," kata si Hangus. "Menurut perasaanku, kami ini
seperti si Cantik dan si Momok!" Kedua nama yang disebutnya itu merupakan tokohtokoh dongeng yang menarik.
Si Hangus bertabiat peramah. Dengan segera anak-anak menyukainya. Bahkan George
pun segera merasa akrab terhadapnya. Hal itu luar biasa, karena umumnya George
tidak cepat ramah terhadap orang yang baru dikenal. Tetapi siapalah yang tak
cepat merasa senang berkenalan dengan si Hangus, dengan mata hitamnya yang
bersinar gembira serta senyumnya yang nakal!
"Silakan masuk," ajak si Hangus. "Pak Supir, bawa saja mobil ke pintu samping.
Nanti Block akan memasukkan barang-barang ke dalam rumah dan menyuguhkan teh
bagi Anda!" Tiba-tiba senyum cerah yang selama itu tersungging di bibirnya lenyap! Si Hangus
melihat Tim yang berdiri di sisi George.
"Wah, wah! Jangan-jangan itu anjing kalian!" katanya dengan nada was-was.
"Memang, ini anjingku," kata George sambil meletakkan tangan ke kepala Tim.
Lima Sekawan 04 Ke Sarang Penyelundup di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seolah-olah hendak melindungi! "Aku harus membawanya. Aku tak pernah pergi tanpa
dia." "Ya - tapi sebetulnya anjing tak diijinkan masuk ke Sarang Penyelundup," ujar si
Hangus sambil menoleh ke belakang. Ia agak cemas, kalau-kalau ada orang datang
dan melihat Tim berdiri di situ. "Ayah tiriku tak menyenangi anjing. Aku pernah
membawa seekor anjing tak bertuan ke mari. Lalu aku dihajar habis-habisan.
Maksudku ayah tiriku yang menghajar, bukan si anjing itu."
Anne tersenyum agak kecut mendengar kelakarnya yang konyol. Sedang George
kelihatan agak merajuk. Rupanya sikap keras kepalanya timbul lagi.
"Kukira - aku mengira kita bisa menyembunyikannya di sini, supaya jangan
ketahuan," katanya ketus. "Tapi kalau begitu keadaannya, aku kembali saja
sekarang dengan mobil. Selamat tinggal!"
George berpaling, lalu berjalan menuju mobil yang saat itu bergerak mundur. Tim
mengikutinya. Si Hangus melongo sebentar, lalu berseru,
"He! Jangan pergi, Tolol! Kita akan memikirkan jalan keluar persoalan ini!"
V SI HANGUS SI HANGUS berlari-lari menuruni tangga. Dikejarnya George yang berjalan terus
menuju mobil. Julian dan kedua adiknya itu mengejar pula. Marybelle ikut dari
belakang, setelah menutup pintu dengan hati-hati.
Saat itu George sampai di sisi sebuah pintu kecil yang juga terdapat di bagian
depan rumah itu. Si Hangus berhasil mengejarnya, lalu menolakkannya masuk ke
pintu itu. Kemudian disuruhnya anak-anak masuk semua, termasuk Tim.
"Jangan kaudorong aku," kata George marah. "Nanti digigit oleh Tim."
"Tak mungkin," jawab si Hangus sambil tertawa nyengir. "Anjing selalu suka
padaku. Biar kau kutempeleng, dia pasti cuma akan mengibas-kibaskan ekornya
saja." Mereka berada dalam sebuah lorong gelap. Di ujungnya ada sebuah pintu lagi.
"Tunggu sebentar di sini," kata si Hangus. "Kulihat dulu, keadaan di luar aman
atau tidak! Aku tahu ayah tiriku ada di rumah. Kalau ia sampai melihat anjingmu,
kalian pasti langsung disuruh masuk lagi ke dalam mobil dan dipulangkan dengan
segera! Hal itu tak boleh terjadi, karena aku sudah gembira sekali atas
kedatangan kalian!" Si Hangus nyengir lagi. Anak-anak senang melihatnya. Begitu pula George, walau
ia masih agak kesal karena didorong dengan kasar. Tangannya memegang kalung
leher Tim erat-erat. Julian beserta ketiga saudaranya merasa agak ngeri terhadap Pak Lenoir. Rupanya
ayah tiri si Hangus itu sangat galak!
Si Hangus berjingkat-jingkat menghampiri pintu yang terdapat di ujung lorong,
lalu membukanya dengan hati-hati. Ia mengintip sebentar ke luar, lalu kembali
mendatangi anak-anak yang masih menunggu.
"Aman," katanya. "Kita sekarang ke kamar tidurku, melalui lorong rahasia. Dengan
begitu takkan ada yang akan memergoki! Kalau sudah di kamarku, kita bisa
merundingkan rencana penyembunyian anjingmu. Nah, sudah siap semuanya?"
Lorong rahasia! Kedengarannya mengasyikkan juga. Dengan hati berdebar-debar
anak-anak menyelinap masuk ke kamar yang terdapat di balik lorong itu. Kamar itu
gelap. Dindingnya berlapis dengan papan berwarna gelap, kelihatannya antik!
Rupanya semacam ruang kerja, karena di dalamnya terdapat sebuah meja besar.
Buku-buku berjajar dalam rak yang terdapat sepanjang dinding Tak ada orang dalam
kamar itu. Si Hangus menghampiri sebidang papan pelapis dinding. Tangannya meraba-raba
sebentar, lalu menekan suatu tempat tertentu. Seketika itu juga papan pelapis
menggelincir ke samping. Si Hangus memasukkan tangannya ke dalam rongga di balik
papan, lalu menarik sesuatu yang ada di situ. Sebidang papan yang lebih besar
dan letaknya di bawah papan pertama menggeser ke samping pula. Di baliknya
nampak sebuah lubang yang cukup besar dan dapat dimasuki oleh anak-anak.
"Kita masuk ke dalam," bisik si Hangus. "Tapi jangan ribut-ribut."
Anak-anak masuk satu per satu. Si Hangus paling akhir. Sesudah berada di dalam
lubang, ditekannya lagi sesuatu yang menyebabkan kedua papan pelapis dinding
tertutup kembali. Anak-anak berdiri dalam gelap. Tetapi hanya sebentar saja,
karena dengan segera si Hangus menyalakan senter.
Ternyata mereka berada dalam sebuah lorong sempit berdinding batu. Lorong itu
sempit sekali, sehingga tak mungkin dua orang saling berpapasan dalamnya.
Kecuali apabila mereka sangat kurus! Si Hangus menyerahkan senternya pada Julian
yang berdiri paling depan.
"Kau harus berjalan terus, sampai menjumpai sebuah tangga batu," kata si Hangus.
"Kaunaiki tangga itu! Sesampai di atas lalu belok ke kanan. Sudah itu lurus saja
sampai tidak bisa lagi, karena terhalang dinding. Kalau sudah sampai di sana,
akan kukatakan apa yang harus kaulakukan selanjutnya!"
Julian berjalan mendului, sambil memegang senter. Lorong sempit itu lurus
sekali. Anak-anak berjalan menyelinap. Tempat di situ bukan hanya sempit, tetapi
juga rendah langit-langitnya. Hanya Anne dan Marybelle saja yang tak perlu
membungkuk. Anne merasa agak kurang enak. Ia memang tak menyukai tempat-tempat sempit dan
tertutup. Di tempat yang seperti itu, ia lantas teringat pada mimpi buruk yang
kadang-kadang dialaminya, yaitu terjebak di salah satu tempat yang tertutup
rapat. Karena itu ia merasa lega ketika mendengar Julian berkata,
"Kita sampai di tangga. Sekarang kita harus ke atas!"
"He, jangan ribut," bisik si Hangus. "Saat ini kita sedang lewat di balik kamar
makan. Dari situ juga ada jalan masuk ke lorong ini."
Seketika itu juga anak-anak terdiam. Mereka berusaha untuk berjalan berjingkatjingkat. Tetapi tidak mudah berjalan dengan cara begitu, karena mereka pun harus
membungkukkan badan! Mereka menaiki empat belas anak tangga. Jalannya curam dan agak memutar.
Sesampai di atas Julian membelok ke kanan. Lorong yang dilalui sesudah itu
condong ke atas, dan sama sempitnya seperti yang pertama. Menurut perasaan
Julian, seseorang yang berbadan gemuk pasti tak bisa lewat di situ!
Ia berjalan terus. Tiba-tiba ia terkejut, karena nyaris membentur dinding yang
menghadang di depannya. Dinding itu tak berpintu. Julian menyorotkan cahaya
senter yang dipegangnya ke atas, lalu mengarahkannya ke bawah. Dari belakang
terdengar suara si Hangus berbisik,
"Arahkan cahaya senter ke atas, ke tempat dinding di depanmu bertemu dengan
langit-langit. Di situ ada sebuah pegangan yang terbuat dari besi. Kautekan
pegangan itu kuat-kuat!"
Julian menyorotkan cahaya senter ke atas. Dilihatnya pegangan yang dimaksudkan
oleh si Hangus. Dipindahkannya senter ke tangan kiri, lalu dipegangnya tangkai
besi itu dan ditekannya kuat-kuat.
Tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun, sebongkah batu besar berbentuk persegi
empat yang terdapat di tengah dinding yang menghadang tergeser ke depan dan
kemudian ke samping. Di depannya menganga sebuah lubang.
Julian tercengang. Tangannya melepaskan pegangan besi. Disorotkannya cahaya
senter ke dalam lubang. Ia tak melihat apa-apa. Lubang itu gelap sekali!
"Masuk sajalah," bisik si Hangus dari belakang. "Tak perlu khawatir, karena kau
akan sampai di dalam sebuah lemari besar di kamar tidurku! Masuk saja, Julian kami menyusul. Tak ada orang dalam kamarku!"
Julian merangkak melewati lubang yang menganga. Dan benarlah, ia sampai dalam
sebuah lemari yang lapang. Dalam lemari bergantungan pakaian kepunyaan si
Hangus. Julian maju sambil meraba-raba, lalu membentur daun pintu. Ketika pintu
itu dibuka, dengan segera cahaya matahari memancar ke dalam lemari, menerangi
jalan masuk dari lorong rahasia.
Anak-anak masuk satu per satu lewat lubang di dinding. Menggerapai-gerapai
sebentar di tengah pakaian yang bergantungan, lalu muncul dalam kamar dengan
mata terkejap-kejap karena silau!
Tim berjalan sambil merapatkan diri pada George. Selama melewati lorong sama
sekali tak terdengar suaranya. Ia tak suka berjalan di tempat segelap itu! Lega
rasanya, karena kembali berada di tempat terang.
Si Hangus masuk paling akhir. Lubang di dinding ditutupnya kembali, dengan jalan
mendorong batu yang tergeser kembali ke tempat semula. Kelihatannya mudah saja
ia melakukannya, walau Julian tak tahu dengan cara bagaimana. Mestinya memakai
poros yang berputar, pikirnya.
Si Hangus nyengir memandang tamu-tamunya. George memegang kalung leher Tim.
"Kau bisa melepaskannya sekarang, George," kata si Hangus. "Di sini kita aman.
Kamarku dan kamar Marybelle agak terpisah dari bagian rumah yang selebihnya.
Kedua kamar kami berada di bagian yang terpisah. Kalau mau ke mari dari rumah
induk, harus melewati lorong panjang!"
Ia membuka pintu kamar untuk menunjukkan maksudnya pada para tamu. Di sebelah
kamarnya masih ada kamar lagi. Itulah kamar tidur Marybelle. Dan setelah kamar
itu terdapat sebuah lorong panjang. Lorong itu berlantai dan berdinding batu.
Lantainya dilapisi dengan hamparan. Dekat ujungnya terdapat sebuah jendela
besar, untuk memasukkan sinar matahari. Sedang di ujungnya sendiri ada pintu.
Pintu itu besar dan terbuat dari kayu kokoh. Pintu itu tertutup.
"Kalian lihat sendiri, kita di sini aman," kata si Hangus. "Tim boleh
menggonggong semaunya! Toh tak ada orang yang akan mendengar, kecuali kita."
"Kalau begitu tak pernah ada orang datang ke mari?" tanya Anne dengan heran.
"Lantas, siapa yang membereskan kamar kalian?"
"Sarah! Ia melakukannya setiap pagi," ujar si Hangus. "Tapi selain dia, tak ada
lagi yang datang ke mari. Lagipula kalau ada orang membuka pintu lorong, aku
bisa tahu dengan segera!"
Sambil berkata begitu, si Hangus menunjuk ke pintu di ujung lorong. Anak-anak
memandangnya dengan heran.
"Bagaimana caranya?" tanya Dick.
"Aku memasang sebuah alat listrik dalam kamar ini. Begitu pintu lorong terbuka,
alat itu akan berbunyi mendesum," kata si Hangus dengan nada bangga. "Begini
sajalah! Aku sekarang membuka pintu itu. Kalian dengar sajalah nanti!"
Si Hangus bergegas menuju ke pintu besar di ujung lorong, lalu membukanya.
Seketika itu juga dalam kamarnya terdengar bunyi mendesum pelan. Anak-anak kaget
karenanya. Tim ikut kaget. Dengan segera telinganya tegak. Ia menggeram-geram.
Si Hangus menutup pintu, lalu berlari lagi ke tempat anak-anak berdiri.
"Kalian dengar bunyinya" Bagus idenya, bukan" Aku selalu sibuk dengan ide-ide
seperti itu!" Anak-anak merasa bahwa mereka berada di tempat aneh! Mereka memandang ke
sekeliling kamar. Perabotnya biasa saja, seperti umumnya kamar anak laki-laki.
Termasuk keadaannya yang agak acak-acakan! Jendelanya ada satu, berukuran besar
dan dengan kaca kecil-kecil berbentuk belah ketupat. Jendela rumah-rumah kuno
memang banyak yang begitu bentuknya di Inggris. Anne pergi ke jendela dan
memandang ke luar. Terdengar bunyi napasnya tersentak. Rupanya ia kaget, karena tak menyangka akan
melayangkan pandangan dari atas tebing yang sangat curam! Sarang Penyelundup
dibangun di puncak bukit. Dan tebing di sisi rumah tempat kamar anak-anak berada
curam sekali, jauh di atas daerah rawa yang terhampar di bawahnya!
"Astaga!" serunya kaget. "Alangkah curamnya! Ngeri rasanya memandang ke bawah!"
Anak-anak berdesak-desakan ingin ikut melihat. Mereka memandang ke bawah sambil
membisu. Memang, agak ngeri juga rasanya!
Matahari bersinar menerangi puncak bukit. Tetapi daerah sekitarnya tertutup
kabut putih. Di mana-mana hanya kabut saja yang nampak. Rawa-rawa dan laut
tersembunyi dari pandangan mereka. Bagian rawa yang nampak hanya yang di bawah
mereka saja, di kaki tebing curam.
"Kalau kabut ini lenyap, kita bisa melayangkan mata sampai ke laut di seberang
daerah rawa ini," kata si Hangus. "Pemandangannya indah sekali! Tak bisa
dikatakan dengan jelas di mana akhir daerah rawa dan mana yang laut. Pokoknya
laut biru sekali warnanya! Bayangkan, di jaman dulu daerah sekitar sini semuanya
lautan. Dan bukit ini dulunya sebuah pulau!"
"Ya, kami sudah mendengarnya dari seorang pemilik rumah makan di mana kami tadi
singgah sebentar," kata George. "Tahukah kau kenapa laut kemudian surut?"
"Tidak," jawab si Hangus. "Kata orang batas pantai makin lama makin surut jauh
ke tengah. Sudah ada rencana untuk mengeringkan daerah rawa ini dan
menjadikannya tanah pertanian. Tapi entah kapan rencana itu akan benar-benar
dilaksanakan!" "Aku tak senang pada rawa," kata Anne sambil bergidik. "Entah kenapa, tapi
bagiku rawa memberikan kesan jahat!"
Terdengar suara Tim mendengking pelan. George teringat bahwa anjingnya itu masih
harus disembunyikan. Mereka masih harus mengatur rencana untuk itu. Karenanya ia
lantas memandang si Hangus.
"Kau tadi sungguh-sungguh bermaksud hendak menyembunyikan Tim?" tanyanya. "Akan
kita taruh di mana" Apakah bisa diberi makan di tempat persembunyiannya" Tim
harus banyak bergerak. Jangan lupa, ia bukan seekor anjing kecil yang bisa
diselundupkan dengan gampang ke salah satu sudut!"
"Semuanya bisa diatur," kata si Hangus. "Jangan khawatir! Aku sendiri senang
pada anjing. Aku gembira sekali, karena Tim ada di sini. Tapi harus
kuperingatkan, kalau sampai ketahuan oleh ayah tiriku, bisa saja kita akan
dipukul olehnya. Dan sesudah itu kalian diusir pulang!"
"Kenapa ayahmu tak suka pada anjing?" tanya Anne dengan heran. "Mungkin dia
takut?" "Tidak! Kurasa ia tak takut pada anjing. Pokoknya ia tak mau ada anjing dalam
rumah ini," jawab si Hangus. "Alasannya tentu ada, tapi aku tak tahu kenapa!
Ayah tiriku memang agak aneh!"
"Apa maksudmu?" tanya Dick.
"Yah - tingkah lakunya selalu penuh rahasia," kata si Hangus. "Tamunya anehaneh! Dan kalau datang selalu secara diam-diam, tanpa diketahui orang. Aku sudah
pernah melihat sinar lampu di atas menara rumah ini. Lampu itu bersinar pada
malam-malam tertentu. Aku tak tahu siapa yang menyalakan lampu di situ, dan
untuk apa. Sudah pernah kucoba menyelidikinya, tapi tak berhasil."
"Apakah - mungkinkah ayahmu penyelundup?" tanya Anne sekonyong-konyong.
"Kurasa bukan," jawab si Hangus. "Tapi di sini memang ada seorang penyelundup!
Setiap orang mengetahuinya. Kalian lihat rumah di sebelah kanan itu, yang
letaknya agak sebelah bawah dari sini" Nah, di situlah tempat tinggalnya.
Orangnya kaya-raya. Namanya Pak Barling. Bahkan polisi pun tahu bahwa ia
penyelundup. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa! Kecuali kaya-raya, orang itu
juga sangat berkuasa di daerah ini. Jadi ia bisa berbuat semaunya saja. Dan ia
tak pernah mau disaingi orang lain! Selama ia masih aktif, takkan ada orang lain
yang berani jadi penyelundup pula di Bukit Buangan!"
"Rupanya tempat ini sangat menarik," ujar Julian. "Menurut perasaanku, tempat
ini penuh dengan kejadian-kejadian yang mendebarkan hati!"
"Ah, mana!" bantah si Hangus. "Di sini sebenarnya tak pernah terjadi apa-apa.
Itu cuma perasaanmu saja, karena rumah ini sudah sangat tua. Banyak gang, lorong
dan terowongan tersembunyi. Seluruh bukit ini penuh dengannya! Lorong-lorong
dalam cadas itu dulu dipergunakan sebagai jalan lewat oleh penyelundup."
Julian hendak mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi. Ia tertegun! Anak-anak
memandang si Hangus. Alat pemberi isyaratnya yang tersembunyi tiba-tiba
mendesum! Ada orang membuka pintu di ujung lorong!
VI AYAH TIRI DAN IBU SI HANGUS
"ADA orang datang!" bisik George. Ia bingung. "Cepat! Tim harus kita
sembunyikan!" Si Hangus menarik kalung leher Tim, lalu mendorongnya masuk ke dalam lemari.
Sudah itu pintu lemari cepat-cepat ditutup kembali.
"Diam!" perintahnya pada Tim. Anjing itu menurut, walau bulu kuduknya berdiri
dan telinganya ditegakkan.
"Nah," kata si Hangus dengan riang, "Sekarang akan kutunjukkan di mana kalian
tidur nanti!" Saat itu pintu kamar terbuka. Seorang laki-laki masuk ke dalam. Orang itu
memakai celana panjang hitam, dan berjas putih yang terbuat dari kain linen.
Mukanya aneh! "Air mukanya misterius," kata Anne dalam hati. "Perasaannya tak bisa ditebak.
Mukanya seperti topeng, tak bergerak sedikit pun juga!"
"Ali, kau rupanya yang datang, Block," sapa si Hangus sambil lalu, lalu berkata
pada anak-anak, "Ini Block! Dia pesuruh ayah tiriku. Orangnya tuli, jadi kalian
bisa bicara seenaknya. Tapi kurasa lebih baik jangan, karena walau dia tuli tapi
nampaknya bisa menduga makna gerak bibir kita."
"Dan kurasa memang tidak baik untuk mengatakan hal-hal yang takkan kita katakan
di depannya, seandainya ia tidak tuli," kata George. Anak itu memang sangat
keras pendiriannya mengenai hal-hal seperti begitu.
Block berbicara dengan suara aneh, datar terus kedengarannya.
"Ayah tiri serta ibumu menanyakan kenapa kawan-kawanmu tidak diperkenalkan pada
mereka," katanya. "Kenapa kau buru-buru pergi ke mari?"
Sambil bicara Block memandang berkeliling. Seakan-akan ia tahu di situ ada
anjing, dan saat itu sedang mencarinya! Begitulah pikir George ketakutan.
Diharapkannya, mudah-mudahan saja Pak Supir tadi tak bercerita tentang Tim.
"Aku senang sekali berjumpa dengan mereka, sehingga langsung saja kubawa ke
mari," ujar si Hangus. "Baiklah Block, sebentar lagi kami akan ke bawah."
Lima Sekawan 04 Ke Sarang Penyelundup di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang itu pergi lagi. Air mukanya tetap tak berubah. Seperti topeng polos, tak
nampak sedikit pun senyuman atau kerutan kening!
"Aku tak senang melihatnya," kata Anne sesudah Block ke luar. "Sudah lamakah ia
bekerja pada kalian?"
"Belum - baru setahun," kata si Hangus. "Tahu-tahu pada suatu hari ia muncul di
sini. Begitu saja, secara tiba-tiba! Ia masuk tanpa berkata apa-apa. Langsung
mengenakan jas putih, lalu masuk ke kamar kerja ayah tiriku dan mengerjakan
salah satu tugas di situ. Kurasa kedatangannya sepengetahuan ayah tiriku! Tapi
aku yakin ibuku tak diberitahukan sebelumnya, karena kelihatannya sangat
terkejut ketika Block tiba-tiba muncul!"
"Ibumu itu ibu kandung, atau juga ibu tiri?" tanya Anne.
"Mana mungkin berayah dan beribu tiri sekaligus!" ujar si Hangus dengan nada
mencemooh. "Kalau satu di antaranya tiri, nah itu baru mungkin! Ibu adalah ibu
kandungku, dan juga ibu kandung Marybelle. Tapi Marybelle sendiri saudara
tiriku, karena ayah tiriku adalah ayah kandungnya!"
Anne kelihatan agak bingung mendengar keterangannya itu.
"Sudahlah! Kita ke bawah saja sekarang," ujar si Hangus, karena teringat akan
janjinya pada Block. "O ya, perlu kukatakan bahwa ayah tiriku selalu bersikap
ramah-tamah. Ia gemar berkelakar dan tersenyum-senyum. Tapi tidak selalu begitu!
Kalau ada sesuatu yang tak disukainya, ia gampang naik darah. Dan kalau sudah
marah, langsung mengamuk!"
"Mudah-mudahan saja kita tak terlalu sering melihatnya," kata Anne. Ia sudah
merasa tidak enak saja! "Kalau ibumu, bagaimana orangnya?"
"Selalu ketakutan!" kata si Hangus mengomentari. "Kalian pasti senang padanya.
Orangnya baik sekali! Tetapi Ibu tak senang tinggal di sini. Ia tak suka pada
rumah ini, dan ia pun sangat takut pada ayah tiriku. Tentu saja ia tak berkata
apa-apa, tapi aku bisa merasakan bahwa Ibu takut pada ayah tiriku!"
Marybelle mengangguk-angguk. Selama itu ia diam saja, karena terlalu malu dan
tak berani ikut berbicara.
"Aku juga tak senang tinggal di sini," katanya. "Aku sudah kepingin sekali
bersekolah di internat, seperti si Hangus. Tapi dengan begitu Ibu akan sendirian
di sini." "Ayoh, kukenalkan kalian pada mereka," ujar si Hangus. "Tim lebih baik kita
biarkan terkurung dalam lemari selama itu. Siapa tahu Block masuk lagi untuk
mengintip-intip. Kukunci saja lemari, dan kukantongi anak kuncinya."
Dengan perasaan kurang enak karena harus meninggalkan Tim dalam keadaan
terkurung di lemari, anak-anak mengikuti si Hangus dan Marybelle yang sudah
berjalan mendului di lorong. Mereka melewati pintu yang terdapat di ujungnya,
menuruni tangga yang landai dan lebar dan sampai ke sebuah serambi dalam yang
luas. Di sebelah kanan serambi terdapat sebuah pintu. Si Hangus membuka pintu itu,
lalu masuk ke dalam. Terdengar suaranya berbicara dengan seseorang yang ada di
dalam. "Ini mereka," katanya. "Maaflah, aku tadi langsung membawa mereka ke kamarku tapi aku terlalu gembira berjumpa dengan mereka."
"Kau masih harus lebih banyak belajar sopan santun, Pierre," terdengar suara
berat seorang laki-laki. Rupanya itulah Pak Lenoir! Anak-anak yang ikut masuk,
memandang orang itu. Pak Lenoir duduk di sebuah kursi kayu yang besar. Orangnya
kelihatan rapi dan berwajah pintar. Rambutnya yang pirang tersisir lurus ke
belakang. Matanya biru, sebiru mata Marybelle. Ia terus-terusan tersenyum.
Tetapi yang tersenyum hanya bibirnya! Sedang matanya tetap menatap dengan awas.
"Dingin sekali pandangannya!" pikir Anne, ketika maju ke depan untuk berjabat
tangan dengannya. Tangannya juga terasa dingin. Pak Lenoir tersenyum padanya,
sambil menepuk-nepuk bahunya.
"Kau ini manis sekali!" katanya. "Bisa jadi teman baik dari Marybelle. Tiga anak
laki-laki kawan Pierre, dan seorang anak perempuan sahabat Marybelle. Hahaha!"
Ia tertawa ramah. Rupanya Pak Lenoir menyangka George seorang anak laki-laki. Kelihatannya memang
begitu, karena mengenakan baju kaos dan celana pendek. Sedang rambutnya yang
ikal juga dipotong pendek!
Anak-anak diam saja. Tak ada yang mengatakan bahwa George bukan anak laki-laki!
Apalagi George sendiri. Ia juga berjabatan tangan dengan ayah tiri si Hangus,
disusul oleh Dick dan Julian. Anak-anak sama sekali tak memperhatikan ibu si
Hangus. Padahal ia ada juga di situ. Tubuhnya yang kecil nyaris lenyap ditelan kursi
besar tempatnya duduk. Kelihatannya seperti boneka, dengan rambut berwarna
coklat pudar dan bermata kelabu. Anne berpaling memandangnya.
"Aduh, alangkah kecilnya tubuh Anda!" kata Anne. Ia tak bermaksud mengatakannya
kuat-kuat, tetapi tahu-tahu sudah terloncat dari mulutnya.
Pak Lenoir tertawa. Ia selalu tertawa, tak peduli apa pun yang dikatakan orang.
Ibu Lenoir ikut tersenyum, lalu bangkit. Ternyata ia memang sangat kecil!
Tingginya tak melebihi Anne. Tangan dan kakinya mungil. Anne belum pernah
melihat orang dewasa bertangan dan berkaki sekecil ibu si Hangus. Dengan segera
Anne merasa senang pada wanita itu. Mereka berjabat tangan.
"Terima kasih atas kesudian Anda menerima kami di sini," kata Anne dengan sopan.
"Tentunya Anda juga sudah mendengar bahwa atap rumah kami rusak tertimpa pohon."
Pak Lenoir tertawa lagi. Ia berkelakar, dan anak-anak tertawa dengan sopan.
"Nah, mudah-mudahan kalian senang di sini," katanya kemudian. "Pierre dan
Marybelle, kalian ajak teman-teman berjalan-jalan di kota, ya! Dan kalau kalian
berjanji akan berhati-hati, kalian boleh pergi lewat jalan raya ke daratan, dan
menonton bioskop di sana!"
"Terima kasih," kata anak-anak serempak, disusul oleh tertawa Pak Lenoir yang
aneh. "Ayahmu pintar sekali," katanya sekonyong-konyong sambil memandang Julian.
Rupanya ia mengira anak itulah yang bernama George! "Mudah-mudahan kalau kalian
pulang nanti ia bisa datang menjemput, supaya aku bisa berbincang-bincang dengan
dia. Kami berdua melakukan percobaan yang serupa. Tetapi percobaan yang
dilakukan olehnya sudah lebih maju!"
"Oh," kata Julian dengan sopan. Kemudian Ibu Lenoir yang berbadan kecil seperti
boneka berkata dengan suaranya yang lembut,
"Kalian makan di ruang belajar Marybelle. Dengan begitu takkan mengganggu
suamiku. Ia tak senang jika ada orang ngomong pada waktu makan. Dan aku tahu,
enam anak tak mungkin bisa tenang!"
Pak Lenoir tertawa lagi. Matanya yang biru menatap anak-anak.
"O ya, Pierre," katanya sekonyong-konyong. "Kalian tak boleh berkeliaran dalam
katakomba di bawah bukit ini. Kau tahu, kau sudah kularang keras masuk ke situ!
Dan kalian juga tak kuijinkan memanjat-manjat dan berjingkrak-jingkrak di atas
tembok kota. Jangan coba-coba memamerkan kenakalanmu pada mereka. Aku tak
menginginkan terjadi kecelakaan karena perbuatan tidak hati-hati. Kau harus
berjanji takkan melakukannya!"
"Aku tak pernah berjingkrak-jingkrak di atas tembok kota," ujar si Hangus
memprotes. "Aku juga tak pernah melakukan perbuatan yang membahayakan."
"Kau gemar membadut," kata Pak Lenoir. Ujung hidungnya berubah warna, menjadi
seputih kapur. Anne memandangnya dengan penuh minat. Ia tak tahu bahwa pada saat
Pak Lenoir mulai marah, ujung hidungnya selalu berubah warna menjadi putih.
"Selama masa sekolah yang baru lalu ini, hasil pelajaranku selalu baik," kata si
Hangus dengan suara seperti tersinggung. Anak-anak merasa yakin bahwa ia sedang
mencoba mengalihkan perhatian ayah tirinya. Ia tak mau berjanji tidak akan
memanjat-manjat dan masuk ke dalam liang bawah tanah! Kemudian ibunya juga ikut
berbicara. "Memang - pelajarannya sangat memuaskan selama masa sekolah yang baru lalu,"
katanya. "Kau harus ingat - "
"Sudah!" bentak Pak Lenoir. Ia sudah tidak tersenyum dan tertawa-tawa lagi.
"Ayoh, ke luar semuanya!"
Julian beserta ketiga saudaranya bergegas menuruti perintahnya dengan ketakutan.
Marybelle dan si Hangus menyusul di belakang mereka. Si Hangus menutup pintu
kamar sambil tertawa nyengir.
"Ia tak berhasil memaksa agar aku berjanji," katanya puas. "Masakan dia hendak
melarang kita bersenang-senang. Kalau tak diperbolehkan berkeliaran menjelajahi,
tempat ini sama sekali tak asyik! Banyak sekali tempat-tempat aneh yang bisa
kutunjukkan pada kalian."
"Apa maksud ayah tirimu tadi dengan perkataan 'katakomba'?" tanya Anne.
"Di bawah bukit ini terdapat terowongan tersembunyi yang panjang dan berbelitbelit," kata si Hangus menerangkan. "Tak ada orang yang mengetahui semua likulikunya. Kalau tak tahu jalan, mudah tersesat di dalamnya. Dan kalau sudah
sekali tersesat, tak mungkin ke luar lagi. Sudah banyak orang hilang di situ."
"Kenapa di situ banyak liang-liang tersembunyi?" tanya George.
"Jawabannya mudah saja!" kata Julian. "Bukit ini dulu sarang penyelundup! Dan
pasti sering terjadi mereka bukan saja harus menyembunyikan barang-barang,
tetapi juga diri mereka sendiri! Dan menurut cerita si Hangus tadi, sekarang pun
masih ada seorang penyelundup yang tinggal di sini. Siapa namanya?"
"Tuan Barling," jawab si Hangus. "Ayoh, kita kembali lagi ke atas. Akan
kutunjukkan kamar-kamar tempat kalian tidur nanti. Dari situ, kota bisa nampak
jelas!" Anak-anak diantarnya kedua buah kamar bersebelahan yang letaknya di ujung atas
tangga lebar, tetapi berseberangan dengan pintu yang menuju lorong ke kamar
Marybelle dan si Hangus. Kedua kamar itu kecil, tetapi lengkap perabotannya. Dan
seperti telah dikatakan oleh si Hangus, dari jendela kedua kamar itu mereka bisa
melihat jelas atap-atap tua dan menara-menara bangunan di Bukit Buangan. Mereka
pun bisa melihat rumah Tuan Barling.
George dan Anne tidur sekamar, sedang Dick dan Julian tidur dalam kamar yang
satu lagi. Ternyata Ibu Lenoir tahu bahwa keempat tamu anak-anaknya itu terdiri
dari dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Bukan seperti Pak Lenoir, yang
menyangka George anak laki-laki!
"Kamar-kamar kita enak," kata Anne. "Aku suka melihat papan pelapis dindingnya
yang berwarna selap. Apakah dalam kamar-kamar kami juga ada pintu rahasia,
Hangus?" "Tunggu saja nanti!" balas si Hangus sambil nyengir. "Nah, rupanya barang-barang
kalian telah sampai - dan juga sudah diatur. Pasti Sarah yang melakukannya tadi!
Kalian akan senang berkenalan dengannya. Orangnya baik, bertubuh gendut dan
peramah. Bukan seperti Block!"
Kelihatannya si Hangus sudah lupa pada Tim. George cepat-cepat mengingatkan.
"Dan bagaimana dengan Timmy?" tanyanya. "Dia harus selalu di dekatku. Kita juga
harus mengatur pemberian makannya. Ia pun harus bisa bergerak, jangan sampai
terkurung terus-menerus. Mudah-mudahan saja persoalannya bisa kita bereskan.
Daripada Tim sengsara, lebih baik aku pulang sekarang ini juga!"
"Jangan khawatir, dia takkan sengsara!" ujar si Hangus. "Ia bisa lari mondarmandir dalam lorong sempit yang kita lalui pertama kali tadi. Dan soal makan setiap ada kesempatan kita bisa saja memberi makan padanya. Dan setiap pagi kita
menyelundupkannya ke luar lewat sebuah terowongan rahasia yang ujungnya terdapat
di tengah jalan menuju ke kota. Jadi dia bisa berjalan-jalan juga di luar,
seperti melakukan kesibukan-kesibukan lain yang biasa dilakukan seekor anjing!"
Ia tertawa. "Pokoknya, kita nanti bisa bersenang-senang bersama Tim!"
Tetapi George masih belum yakin.
"Di malam hari, bisakah ia tidur bersamaku?" tanyanya. "Kalau tidak, ia nanti
ribut melolong-lolong."
"Yah - kita coba saja nanti," jawab si Hangus agak ragu-ragu. "Tapi kau harus
sangat hati-hati, jangan sampai ketahuan. Kalian tak mungkin bisa membayangkan
ayah tiriku kalau sedang mengamuk!"
Anak-anak bisa menebaknya. Julian memandang si Hangus.
"Kalau tak salah, ayah kandungmu kan juga bernama Lenoir?" katanya. Si Hangus
mengangguk. "Betul. Ia saudara sepupu ayah tiriku. Aku mirip dengan ayah kandungku. Semua
keluarga Lenoir berambut dan bermata hitam, serta berkulit agak coklat. Hanya
ayah tiriku saja yang merupakan kekecualian! Kata orang, Lenoir yang tidak hitam
berwatak buruk! Tapi jangan kalian ceritakan pada ayah tiriku, ya!"
"Memangnya kami ini ingin mencari celaka!" kata George. "Wah, jangan-jangan
kepala kami dipenggalnya nanti! Ayohlah - kita kembali ke Tim!"
VII RONGGA DALAM BUKIT ANAK-ANAK merasa lega, karena mereka akan makan secara terpisah di kamar tempat
Marybelle belajar. Tak ada di antara mereka yang ingin sering-sering bertemu
muka dengan Pak Lenoir. Mereka merasa kasihan pada Marybelle, karena mempunyai
ayah yang berwatak aneh. Anak-anak cepat merasa betah di Sarang Penyelundup. Bahkan George juga ikut
betah, setelah tahu dengan pasti bahwa Tim sudah aman dan senang. Anjing itu
ternyata bisa mencocokkan diri dengan keadaan yang menurut pendapatnya serba
aneh itu. Satu-satunya kesulitan terjadi setiap kali Tim pindah kamar. Setiap
malam ia tidur di kamar George dan Anne. Untuk itu ia harus dipindahkan dari
lorong rahasia di belakang lemari pakaian si Hangus. Pemindahannya berlangsung
tanpa penerangan sedikit pun. Hal itu sengaja dilakukan, supaya jangan terlihat
oleh Block. Pesuruh ayah tiri si Hangus itu mempunyai kebiasaan menjengkelkan,
yaitu sekonyong-konyong muncul! Tak pernah terdengar langkahnya mendekat. George
selalu ketakutan, khawatir kalau-kalau orang itu melihat anjingnya.
Selama beberapa hari berikutnya, Tim hidup secara aneh! Pada saat anak-anak
sedang berada dalam rumah, ia harus tinggal dalam lorong rahasia yang sempit.
Tim mondar-mandir di situ. Ia bingung, dan merasa sepi karena ditinggal sendiri.
Ia selalu berjaga-jaga, menunggu terdengarnya bunyi suitan yang berarti ia boleh
ke luar dari lorong dan masuk ke kamar si Hangus.
Tetapi ia tak kekurangan makan. Setiap malam si Hangus mengambilkan makanan
untuknya dari sepen. Juru masak keluarga Lenoir, Sarah, selalu bingung karena
ada saja tulang untuk sup yang hilang tak menentu. Dan Tim selalu melahap
makanan apa pun yang diberikan padanya.
Setiap pagi ia diajak berpesiar oleh anak-anak. Hari pertamanya sangat
mengasyikkan! George mengingatkan si Hangus terhadap janjinya, yaitu akan
mengajak Tim berjalan-jalan setiap pagi.
"Tim harus banyak bergerak. Kalau tidak, pasti akan menderita!" kata George.
"Tapi bagaimana caranya" Kita tidak bisa membawanya secara terang-terangan ke
luar! Pasti akan ketahuan ayahmu."
"Aku kan sudah bilang, ada suatu jalan rahasia yang keluarnya agak jauh dari
sini, di pertengahan jalan ke kota," kata si Hangus. "Kutunjukkan padamu nanti!
Kalau kita sudah di bawah, pasti aman. Biarpun bertemu dengan Block atau salah
seorang yang mengenal kita, pasti tak ada yang menyangka bahwa Tim anjing kita.
Paling banyak akan dikira anjing tak bertuan yang kebetulan saja kita temukan di
jalan!" "Tunjukkan jalannya," kata George. Ia sudah tidak sabar lagi. Saat itu anak-anak
sedang duduk-duduk dalam kamar tidur si Hangus. Tim berbaring di atas hamparan
dekat kaki George. Di situ mereka merasa aman, sebab kalau ada orang membuka
pintu di ujung lorong, pasti bel rahasia akan mendesum dengan seketika.
"Kita harus ke kamar Marybelle," kata si Hangus. "Kalian pasti terkejut jika
melihat jalan yang menuju ke kaki bukit!"
Ia mengintip sebentar ke luar. Pintu di ujung lorong tertutup.
"Marybelle, coba kau mengintip sebentar ke sana," katanya pada adik tirinya,
sambil menunjuk ke pintu lorong. "Bilang kalau ada orang sedang naik tangga
menuju ke mari. Kalau tak ada orang datang, kami akan cepat-cepat lari ke
kamarmu." Marybelle bergegas ke pintu lorong, lalu membukanya. Seketika itu juga terdengar
desuman dalam kamar si Hangus. Tim menggeram-geram dengan galak karenanya.
Marybelle mengintip lewat pintu yang dibuka secelah, dan memandang ke arah
tangga yang menuju ke serambi dalam di bawah. Kemudian ia memberi isyarat bahwa
tak ada orang yang nampak.
Seketika itu juga anak-anak bergegas masuk ke kamar sebelah, disusul oleh
Marybelle. Anne senang pada anak kecil yang pemalu dan agak takut-takut itu.
Anak itu sangat pemalu, sehingga diganggu oleh Anne karenanya.
Tetapi Marybelle tak tahan diganggu. Seketika itu juga matanya berkaca-kaca.
Dipalingkannya muka cepat-cepat.
"Kalau sudah bersekolah di internat, pasti ia tidak pemalu lagi," kata si
Hangus. "Tak mengherankan jika ia takut-takut, karena terkurung terus dalam
rumah aneh ini. Ia boleh dikatakan tak pernah bergaul dengan anak-anak
sebayanya." Keenam anak itu bersesak-sesakan dalam kamar Marybelle yang sempit, disertai
oleh Tim. Pintu kamar ditutup cepat-cepat, dan sekaligus dikunci oleh si Hangus.
"Supaya Block tidak bisa tiba-tiba muncul," katanya sambil nyengir.
Sudah itu ia mulai menggeserkan meja dan kursi yang ada dalam kamar ke tepi,
dekat ke dinding. Mula-mula Julian beserta saudara-saudaranya hanya bisa
tercengang saja memandangnya. Tetapi kemudian mereka bergegas membantu.
"Untuk apa kita memindah-mindahkan perabotan ini?" tanya Dick yang sedang
mendorong sebuah peti berat.
"Supaya karpet tebal ini bisa kita singkapkan," kata si Hangus dengan napas
terengah-engah. "Kurasa memang sengaja dihamparkan di sini, untuk menutupi pintu
Lima Sekawan 04 Ke Sarang Penyelundup di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kolong yang ada di bawahnya. Setidak-tidaknya begitulah persangkaanku."
Ketika semua perabotan sudah dipindahkan ke tepi, dengan mudah mereka
menyingkapkan karpet yang tebal itu. Di bawahnya masih ada lagi hamparan yang
terbuat dari bulu kempa. Hamparan itu juga disingkirkan oleh anak-anak. Dan di
lantai nampak sebuah pintu kolong yang letaknya rata dengan lantai. Pada pintu
itu terpasang sebuah gelang sebagai pegangan untuk menariknya ke atas.
Hati Julian dan saudara-saudaranya berdebar keras. Ada satu lagi jalan rahasia
di bawah kaki mereka. Rupanya rumah itu penuh dengan lorong dan jalan-jalan
tersembunyi. Si Hangus menarik pintu kolong dengan mudah ke atas. Dengan segera
anak-anak mengintip ke bawah. Tetapi mereka tak melihat apa-apa, karena di bawah
gelap gulita. "Ada tangganya atau tidak?" tanya Julian. Dilarangnya Anne berdiri terlalu maju,
karena ia khawatir adiknya itu nanti terjatuh ke dalam lubang.
"Tidak," jawab si Hangus, sambil mengambil sebuah senter besar yang tadi
dibawanya masuk dari kamarnya. "Lihatlah!"
Sambil berkata begitu dinyalakannya senter. Napas anak-anak tersentak karena
kaget. Di bawah lubang kolong itu menganga sebuah lubang dalam, yang tembus
sampai ke sebuah rongga yang nampak jauh di bawah kaki mereka.
"Astaga!" seru Julian kaget. "Bukan main dalamnya, jauh di bawah dasar rumah
ini! Rupanya ini lubang untuk masuk ke sebuah rongga besar di bawah tanah. Untuk
apa lubang ini?" "Kurasa untuk menyembunyikan - atau menyingkirkan orang," kata si Hangus. "Bagus
sekali tempat ini, ya" Kalau sampai terjerumus ke dalamnya, bisa remuk tubuh
terbanting ke dasar!"
"Tapi bagaimana cara menurunkan Timmy" Bagaimana cara kita sendiri turun?" tanya
George. "Aku tak berniat meloncat ke bawah. Itu sudah pasti!"
Si Hangus tertawa. "Memang tidak perlu," katanya. "Lihatlah!" Ia membuka sebuah lemari, lalu
meraba-raba ke atas rak yang terletak sebelah atas untuk mengambil sesuatu.
Anak-anak melihat tangga tali di tangannya. Tangga itu terbuat dari tali yang
tak begitu tebal, tetapi nampak kuat.
"Nah, dengan inilah kita akan turun," kata si Hangus.
"Timmy tak mungkin bisa menuruni tangga itu," kata George dengan segera.
"Apa" Tidak bisa?" ujar si Hangus. "Kukira dia bisa saja menuruni tangga tali.
Dia kan anjing pintar!"
"Mustahil!" kata George dengan tandas. "Idemu konyol!"
"Aku tahu akal," kata Marybelle sekonyong-konyong dengan muka merah padam karena
malu. "Kurasa aku tahu jalan! Tim bisa kita masukkan ke dalam keranjang tempat
pakaian kotor. Sudah itu keranjang kita ikat kuat-kuat dengan tali, lalu kita
turunkan. Menaikkannya lagi juga dengan cara sama!"
Anak-anak tercengang menatap anak perempuan itu.
"Ide itu benar-benar gemilang!" ujar Julian dengan gembira. "Kau hebat,
Marybelle. Jika diturunkan dalam keranjang, Tim bisa aman. Tetapi keranjangnya
harus cukup besar!" "Di dapur ada satu," kata Marybelle. "Dipakainya hanya kalau banyak tamu yang
menginap, seperti sekarang. Kita bisa saja meminjamnya."
"O ya!" kata si Hangus. "Tentu saja bisa! Kuambil saja sekarang."
"Dengan alasan apa kau hendak meminjamnya?" seru Julian. Tetapi si Hangus sudah
membuka pintu kamar, lalu melejit lari ke luar. Anak itu benar-benar tidak
sabaran. Tak pernah mau menunggu sebentar saja. Pertanyaan Julian tak
dijawabnya. Ia berlari terus menuju pintu di ujung lorong. Pintu kamar dikunci
kembali oleh Julian, karena khawatir kalau ada orang datang dan melihat lubang
menganga di bawah karpet yang disingkapkan!
Tak sampai lima menit sesudah itu si Hangus sudah datang lagi, menjunjung sebuah
keranjang anyaman yang besar di atas kepalanya. Dengan segera Julian membukakan
pintu, ketika si Hangus menggedor keras-keras.
"Bagus!" puji Julian. "Bagaimana caramu meminjam tadi" Tak ada yang
berkeberatan?" "Aku sama sekali tak mengatakan apa-apa," jawab si Hangus sambil nyengir. "Di
dapur tak ada orang. Block sedang di kamar kerja Ayah, dan Sarah pergi
berbelanja. Kalau ada yang menanyakan, bisa saja kukembalikan nanti."
Tangga tali diuraikan dari gulungan dan diulurkan ke dalam lubang. Merosot makin
lama makin jauh ke bawah, dan akhirnya sampai di dasar rongga yang ada di bawah.
Sudah itu Tim diambil dari kamar si Hangus. Anjing itu datang sambil mengibaskibaskan ekor; rupanya ia bergembira, karena boleh berkumpul lagi dengan anakanak. George mengelus-elus kepalanya sambil berkata,
"Kasihan! Sebetulnya aku tak senang meninggalkan kau seorang diri terus-menerus.
Tapi pagi ini kita akan pesiar bersama-sama."
"Aku turun paling dulu," ujar si Hangus. "Sudah itu kalian menurunkan Tim.
Keranjangnya kuikat dengan tali yang cukup panjang, sehingga keranjang bisa
diulurkan sampai ke bawah. Lebih baik ujung tali sebelah atas diikatkan ke kaki
tempat tidur. Jadi kalau kita naik lagi nanti, kita akan bisa dengan mudah
menghelanya ke atas."
Timmy disuruh masuk dan berbaring dalam keranjang. Ia menggonggong sebentar,
karena merasa heran. Tetapi dengan segera George menyekap moncongnya.
"Ssst! Kau tak boleh ribut, Tim," katanya. "Aku tahu, semua ini aneh bagimu.
Tapi kau harus bersabar, karena nanti kita akan jalan-jalan."
Mendengar kata 'jalan-jalan', Tim merasa senang. Memang itulah yang diingini
olehnya: berjalan-jalan menghirup udara segar, disinar cahaya matahari yang
cerah! Tetapi ia tidak senang ketika keranjang ditutup, sehingga ia terkurung di
dalamnya. Walau begitu Tim diam saja, karena disuruh menurut oleh George.
"Tim memang anjing yang benar-benar hebat," kata Marybelle. "Turunlah sekarang,
Hangus! Kalau kami menurunkannya nanti, kau sudah harus siap menerima di bawah."
Si Hangus menghilang ke dalam lubang yang gelap, dengan senter tergigit dalam
mulutnya. Akhirnya ia sampai dengan selamat di dasar rongga, lalu menyorotkan
senter ke atas. Ia berseru dari bawah. Suaranya kedengaran aneh dan sayup-sayup
sampai, "Sekarang turunkan Tim!"
Keranjang cucian didorong masuk ke dalam lubang. Rasanya berat sekali sekarang.
Keranjang itu merosot ke bawah, terantuk-antuk ke sisi lubang. Tim menggeram,
karena tidak menyukai permainan aneh itu!
Dick dan Julian memegang tali sebelah atas erat-erat. Keranjang yang berisi Tim
mereka ulurkan ke bawah sehati-hati mungkin. Akhirnya keranjang itu sampai di
dasar rongga. Dengan segera si Hangus membuka tali pengikatnya. Begitu terbuka,
Tim meloncat ke luar sambil menggonggong-gonggong. Gonggongannya terdengar pelan
dan jauh bagi anak-anak yang masih ada di atas.
"Sekarang kalian turun satu per satu!" seru si Hangus sambil memberi isyarat
dengan lambaian senter. "Pintu kamar sudah terkunci, Julian?"
"Ya!" jawab Julian. "Sekarang Anne dulu yang turun - tolong jagakan!"
Anne menuruni tangga tali. Mula-mula ia agak ngeri. Tetapi kemudian langkahnya
turun mencepat, ketika kakinya sudah agak biasa mencari-cari dan menemukan tali
tempat injakan yang berikut.
Sudah itu menyusul yang lain-lain. Tak lama kemudian semuanya sudah berkumpul
lagi di dasar lubang. Tempat itu merupakan sebuah rongga yang sangat lapang.
Julian dan saudara-saudaranya memandang berkeliling dengan perasaan ingin tahu.
Rongga itu berbau pengap. Dindingnya lembab dan berlumut. Si Hangus memancarkan
cahaya senternya ke sekeliling tempat itu. Anak-anak melihat sejumlah lorong
yang mengarah ke berbagai jurusan.
"Ke mana saja arah lorong-lorong itu?" tanya Julian takjub.
"Aku sudah bilang, bukit ini penuh dengan lorong dan liang," kata si Hangus.
"Kita sekarang berada dalam perut bukit. Lorong-lorong ini menuju ke katakombakatakomba. Panjangnya bermil-mil! Sekarang tidak ada lagi yang berani
menjelajahinya, karena sudah banyak yang hilang tersasar di dalamnya. Mereka tak
pernah ditemukan lagi. Dulu ada peta denah lorong-lorong ini, tapi sudah lama
hilang!" "Hih! Seram," kata Anne sambil bergidik. "Aku tak mau sendirian di sini."
"Tempat ini cocok sekali sebagai tempat menyembunyikan barang-barang
selundupan," kata Dick. "Pasti tak mungkin orang lain bisa menemukan."
"Kurasa penyelundup jaman dulu pasti mengenal setiap jengkal lorong di sini,"
kata si Hangus. "Ayoh - kita mengambil jalan yang menuju ke lereng bukit.
Sesampai di sana nanti, kita masih akan harus memanjat sedikit. Mudah-mudahan
saja kalian tak berkeberatan."
"Sama sekali tidak," jawab Julian. "Kami semua pandai memanjat. Tapi kau tahu
pasti bahwa kau mengenal jalan ke sana" Kami tak ingin tersasar untuk selamalamanya dalam perut bukit!"
"Jangan khawatir! Aku tahu jalannya," kata si Hangus. Ia berjalan mendahului,
sambil menyorotkan cahaya senter ke depan. Mereka memasuki sebuah lorong yang
sempit dan gelap. VIII PELANCONGAN YANG MENGASYIKKAN
LORONG yang mereka lewati arahnya agak condong ke bawah. Di beberapa tempat
anak-anak mencium bau busuk. Kadang-kadang lorong itu menembus rongga seperti
yang terdapat di bawah kamar Marybelle. Si Hangus mengarahkan cahaya senternya
ke atas rongga-rongga itu.
"Kalau yang ini, letaknya di bawah rumah Tuan Barling," katanya. "Kebanyakan
rumah-rumah tua di sini mempunyai sumur di bawah lantai, yang tembus sampai ke
rongga seperti di rumah kita. Beberapa di antaranya sangat tersembunyi
letaknya!" "Nah - di depan nampak cahaya terang," kata Anne sekonyong-konyong. "Syukurlah!
Aku tak senang berada dalam lorong gelap ini."
Cahaya yang nampak itu sinar matahari yang masuk lewat lubang sebuah gua di
lereng bukit. Anak-anak berdesak-desak ingin melihat ke luar.
Lubang gua itu terdapat di lereng bukit sebelah luar kota. Letaknya di tebing
curam yang tegak di atas rawa-rawa. Si Hangus melangkah ke luar, lalu berdiri di
sebidang batu yang menyerupai serambi. Dimasukkannya senter ke kantongnya.
"Kita harus ke jalan sempit yang di bawah itu," katanya sambil menunjuk. "Dari
situ kita akan bisa pergi ke suatu tempat di mana tembok kota dapat dibilang
rendah. Dan dengan memanjat tembok, kita masuk ke dalam kota. Bisakah Tim
berjalan di tempat berbatu-batu" Jangan sampai ia tergelincir, lalu jatuh ke
dalam rawa!" Rawa jauh di bawah mereka. Kelihatannya datar dan menyeramkan. George berdoa,
semoga Tim tak jatuh ke situ. Tetapi Tim cekatan, dan menurut pendapat George
tak mungkin akan tergelincir. Jalan sempit yang mereka lewati terjal dan
berbatu-batu. Tetapi masih bisa dilewati.
Mereka berjalan di situ. Sekali-sekali terpaksa memanjat batu-batu yang
menghadang. Jalan sempit itu menuju ke tembok kota. Ternyata kata si Hangus
benar! Tembok di situ tak begitu tinggi. Dengan cepat anak itu sudah sampai di
atasnya. Cekatan sekali ia memanjat!
"Pantas di sekolah ia terkenal jago memanjat!" kata Dick pada Julian. "Habis, di
sini bisa sering latihan! Kau ingat, betapa ia memanjat sampai ke atas atap
sekolah dua semester yang lalu" Semua sudah menyangka ia pasti tergelincir. Tapi
ia tidak jatuh! Sesampai di atas, dikibarkannya bendera Inggris pada sebuah
cerobong asap!" "Ayoh!" panggil si Hangus dari atas tembok. "Tak ada orang di sini. Daerah ini
termasuk sepi. Takkan ada yang melihat kita memanjat ke atas."
Dengan segera mereka sudah menyeberangi tembok, termasuk Tim. Mereka kemudian
berjalan-jalan, berlenggang kangkung sambil menikmati cahaya matahari yang
hangat, sesudah kabut agak menyingkir.
Kota itu sudah sangat tua. Beberapa rumah sudah bobrok sekali. Tetapi rupanya
masih ditinggali orang, karena dari cerobong masih nampak asap mengepul. Tokotoko juga sudah tua, tetapi menarik rupanya. Jendela-jendelanya sempit
memanjang, sedang pinggiran atapnya menjorok ke depan. Anak-anak berhenti
sebentar, karena ingin melihat ke dalam sebuah toko.
"Awas! Block datang," kata si Hangus tiba-tiba dengan suara pelan. "Jangan
acuhkan Tim lagi. Kalau ia mengajak bermain-main, kalian harus pura-pura
mengusirnya. Kita harus berbuat seolah-olah Tim anjing gelandangan."
Anak-anak berpura-pura tak melihat Block yang datang mendekati. Perhatian mereka
terarah ke jendela sebuah toko. Tim merasa tak mendapat perhatian lagi. Karena
itu didekatinya George untuk minta perhatian.
"Husy, pergi!" kata si Hangus sambil mengibaskan tangan ke arah Tim. Anjing itu
tercengang. "Ayoh pergi! Jangan membuntuti kami terus! Ayoh, pulang ke rumahmu!"
Tim menyangka ia diajak bermain-main. Ia menggonggong-gonggong dengan riang
sambil lari-lari mengelilingi George dan si Hangus.
"Ayo pulang, anjing!" seru si Hangus sambil menghalaukan tangan. Sementara itu
Block sudah sampai ke tempat anak-anak sedang berdiri.
"Kalian diganggu anjing ini?" tanyanya dengan air muka yang tak berubah sedikit
juga. "Kulempar dengan batu, supaya pergi!"
"Awas kalau kau berani!" bentak George seketika itu juga. "Kau saja sendiri yang
pulang! Aku tak merasa terganggu oleh anjing itu. Ia baik sekali."
"Tak ada gunanya marah-marah, Konyol!" ujar si Hangus. "Dia kan tuli!" George
kaget sekali ketika melihat Block mengambil batu besar, dan sudah siap akan
melemparkannya ke arah Tim. Dengan cepat George melompat lalu memukul lengan
Block yang memegang batu. Batu itu terlepas dari pegangannya.
"Seenaknya saja, melempar anjing dengan batu!" teriak George. Anak itu marah
sekali. "Awas - kuadukan pada polisi nanti!"
"Nah - ada apa lagi ini?"
Tiba-tiba terdengar suara orang dekat mereka.
"Ada apa, Pierre?"
Anak-anak berpaling. Mereka melihat seorang laki-laki berdiri dekat mereka.
Orangnya kurus jangkung, berambut agak panjang. Matanya agak memanjang
bentuknya. Hidung dan dagunya juga panjang.
"Wah, segala-galanya panjang padanya," pikir Anne sambil memandang tungkai dan
kakinya yang kurus panjang.
"Ah, Tuan Barling! Maaf, saya tak melihat Anda tadi," kata si Hangus dengan
sopan. "Ini - anjing itu mengikuti kami terus sedari tadi! Lalu Block mengatakan
akan mengusirnya dengan cara melemparinya dengan batu. Tapi George senang pada
anjing. Karena itu ia marah."
"O, begitu! Dan siapa anak-anak ini?" tanya Tuan Barling, sambil memandangi
mereka satu per satu. "Mereka menginap di tempat kami, karena rumah paman mereka rusak karena suatu
kecelakaan," kata si Hangus. "Maksud saya rumah ayah George. Di Kirrin."
"O - di Kirrin!" kata Tuan Barling lagi. Telinganya yang sudah panjang, seakanakan menjadi lebih panjang ketika mendengar nama tempat itu. "Itu kan tempat
kediaman sarjana pintar teman Tuan Lenoir?"
"Betul! Sarjana itu ayahku," kata George. "Anda kenal padanya?"
"Aku pernah mendengar berita mengenainya - dan mengenai percobaan-percobaannya
yang menarik," kata Tuan Barling. "Tentunya Tuan Lenoir kenal baik padanya, ya?"
"Kenal baik sekali, tidak," kata George dengan agak heran, "Kalau tidak salah
mereka hanya berhubungan lewat surat saja selama ini. Kemudian ayahku menelepon
Pak Lenoir untuk menanyakan apakah kami bisa menginap untuk sementara di
rumahnya, selama rumah kami sedang diperbaiki."
"Dan tentu saja Tuan Lenoir senang sekali menerima kalian beramai-ramai," kata
Tuan Barling mengomentari. "Ayahmu memang sangat baik dan murah hati, Pierre!"
Anak-anak menatap orang itu dengan heran. Aneh, kata-kata seramah itu
diucapkannya dengan suara mengejek! Mereka merasa kikuk. Jelas sekali Tuan
Barling tak suka pada Pak Lenoir. Sama saja seperti mereka - tetapi mereka pun
tak suka pada Tuan Barling!
Saat itu Tim melihat seekor anjing lain, lalu lari mengejarnya. Block sudah tak
nampak lagi, karena meneruskan jalan sambil membawa keranjang. Anak-anak meminta
diri dari Tuan Barling, karena segan bicara lebih lama dengan dia.
Mereka menyusul Tim. Begitu Tuan Barling tak nampak lagi, mereka langsung
berbicara dengan ramai. "Aduh - nyaris kita terpergok Block tadi!" kata Julian. "Jahat benar dia itu,
masakan Tim hendak dilemparinya dengan batu besar. Aku tak heran bahwa kau
langsung menerjang, George! Tapi nyaris saja rahasia kita ketahuan karena itu."
"Masa bodoh," kata George ketus. "Aku takkan berdiam diri menghadapi kemungkinan
kaki Tim patah kena lempar! Sial - pertama kalinya kita berjalan-jalan di luar
dengan Tim, sudah bertemu dengan Block!"
"Ah, itu kan kebetulan saja," ujar si Hangus menenangkan. "Tapi kalau bertemu
lagi, kita bilang saja anjing itu selalu mengikuti kalau kebetulan bertemu. Kita
kan tidak bohong?" Anak-anak menikmati pelancongan mereka. Mereka masuk ke sebuah kedai kopi yang
antik, lalu memesan kopi susu dan roti berselai. Tim kebagian dua potong roti,
Cakar Maut 1 Pendekar Naga Geni 1 Mahesa Wulung Bunga Ceplok Ungu 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama