Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom Bagian 1
SUMBER DJVU: http://hana-oki.blogspot.com/2013/06/sw-021-gerombolanpemasang-bom.html
Chapter 1 Baku Hantam di Rumah Guru Piano
SAMBIL mengerutkan alis, Oskar membolak-balik halamanhalaman buku pelajaran
pianonya. "Aneh," katanya. "Menurut keterangan di sini, panjang lagu ini
hanya tiga menit. Tapi aku selalu menghabiskan delapan sampai
sepuluh menit untuk memainkannya. Kenapa bisa begitu, ya?"
"Aku rasa karena kau menggunakan setiap saat istirahat di
antara nada-nada untuk makan coklat," Sporty berkomentar setengah
bercanda. "Apakah Bu Elly tidak pernah mengatakan apa-apa
mengenai itu?" Yang dimaksudnya adalah Elly Burkert, guru piano Oskar.
Sudah setengah tahun Bu Elly menghadapi Oskar, tapi sampai
sekarang ia belum putus asa. Menurut Sporty, itu suatu prestasi yang
patut dihargai. Sebab Oskar tidak bisa dikatakan rajin. Ia sebenarnya
mengambil les piano hanya untuk menyenangkan orangtuanya, yang
menginginkan agar anak mereka juga belajar bidang musik.
"Aku tidak pernah makan coklat selama les!" Oskar
menanggapi komentar sahabatnya. "Hei, mungkin justru karena itu
aku bermain begitu lambat."
"Eh, sudah waktunya untuk berangkat," ujar Sporty sambil
melirik jam tangannya. "Nanti kau telat lagi."
Kedua sahabat itu baru saja selesai makan siang. Di selasar dan
di tangga terdengar suara langkah. Semua anak asrama, kecuali
mereka yang sakit atau lagi dilarang pergi, sedang bersiap-siap untuk
berangkat ke kota. Semuanya terburu-buru, sebab waktu luang yang
hanya sedikit terlalu berharga untuk disia-siakan.
Sambil mendesah panjang Oskar memasukkan buku pelajaran
pianonya ke dalam map. Kemudian ia dan Sporty keluar dari
SARANG RAJAWALI, kamar mereka yang berada di lantai dua.
Kini akhir bulan Maret. Angin bertiup lembut ketika mereka
menyeberangi pekarangan sekolah. Musim dingin sudah berlalu. Salju
telah mencair. Dan matahari mulai bersinar lagi.
Sporty langsung mengendus-endus.
"Eh, coba perhatikan: udaranya sudah mulai berbau musim
semi." "Bu Elly selalu wangi seperti ini. Dia pakai parfum Rose of
Spring. Oh, jangan-jangan itu yang membuat permainanku jadi
lamban"!" Mereka menuju gudang penyimpanan sepeda, kemudian keluar
lewat pintu gerbang. Sepeda balap kepunyaan Sporty nampak
mengkilap, seperti habis digosok. Sepeda Oskar kelihatannya seperti
baru dipungut dari tempat sampah.
Mereka menyusuri jalan raya dan menyusul sejurnlah pejalan
kaki: semuanya anak asrama yang mau nonton bioskop di kota.
Seandainya pergi sendiri, Sporty pasti sudah menyusul para
pengendara sepeda yang lain. Tapi kini ia terpaksa menyesuaikan
kecepatannya dengan kemampuan sahabatnya.
"Oskar," Sporty berseru melawan angin, "kau tahu apa yang
membuatku gembira?" "Tidak!" jawab Oskar dengan napas tersengal-sengal.
"Aku gembira karena hari ini kau untuk pertama kali lupa bawa
coklat." "Atas dasar apa kau berpikiran seperti itu?"
"Lho, memangnya kau bawa?"
"Kaukira, apa isinya map ini" Daripada tidak bawa coklat, lebih
baik aku tidak berangkat les sekalian."
Ya ampun! pikir Sporty. Mana mungkin dia tidak bawa
ransum" Bagi dia, itu sama saja dengan kiamat!
"Aku lagi mikir-mikir untuk belajar alat musik lain saja," Oskar
berseru riang. "Suling, misalnya. Barangkali bakatku lebih condong ke
sana. Lagi pula suling termasuk alat musik yang praktis. Aku bisa
membawanya kalau kita pergi berkemah. Untuk menggotong piano ke
tengah hutan rasanya terlalu repot."
Wah, kalau begini caranya, kata Sporty dalam hati, sampai
kapan pun dia takkan bisa main piano. Di samping bayar uang les
piano, Oskar seharusnya juga memberikan uang ganti rugi pada Bu
Elly. Mereka kini telah sampai di batas kota. Tanah lembap di dalam
pekarangan rumah-rumah nampak beruap. Sekawanan burung gereja
bertengger di atas kawat telepon di tepi jalan.
Guru piano Oskar tinggal di sebuah rumah kecil yang terbuat
dari bata tanpa plesteran. Letaknya agak terpencil di suatu jalan yang
sepi. Sebuah pagar kayu mengelilingi halamannya. Pintu pagar sudah
miring, sehingga tidak bisa menutup rapat.
Bu Elly pasti tidak bisa membetulkannya, pikir Sporty.
Barangkali aku bisa menawarkan bantuan. Eh, keren benar mobil itu!
Hebat juga kalau murid Bu Elly ada yang punya mobil seperti itu.
Mobil yang dimaksud Sporty adalah sebuah Rolls-Royce
berwarna biru malam yang harganya sekitar 120.000 Mark.
Oskar langsung menghampiri sedan mewah itu. Sambil
mengerutkan kening, ia memperhatikan patung kecil yang menghiasi
radiator. Dengan hati-hati ia mengembuskan napas ke lapisan chrom
yang mengkilap, lalu mulai menggosok-gosoknya. Sambil nyengir ia
menatap Sporty. "Burung-burung gereja itu memang kurang ajar sekali.
Seenaknya saja mereka membuang kotoran. Dan jalanan juga penuh
debu. Aku tidak tega melihat mobil sebagus ini terpaksa jadi dekil."
Kalau pendirianmu seperti itu, kenapa kau tidak pernah
membersihkan sepedamu" Sporty hampir saja berkomentar. Namun
tiba-tiba ia mendengar suara teriakan nyaring. Suara itu milik seorang
pria dan berasal dari jendela rumah Bu Elly yang terbuka lebar.
"... kau harus kembali padaku... sekarang juga kau harus
kembali padaku... kalau tidak... aaarrrhhh... aku bunuh kau..."
Suara itu melengking-lengking. Sepertinya, pemiliknya sedang
kalap. Sporty segera bertindak. Ia turun dari sepeda lalu langsung
melompati pagar. "Tolong... tolong..." kini suara Bu Elly yang terdengar.
"Jangan..." Hanya itu yang sempat dikatakannya. Sebab lehernya lalu
dicekik dengan kuat. Sporty melihatnya ketika sarnpai di jendela yang
terbuka. Bu Elly ternyata sedang berjuang untuk menyelamatkan
nyawanya. Dengan sebelah tangan ia menjambak rambut pria yang
menyerangnya. Tangan yang satu lagi mencakar-cakar leher orang itu.
Tapi penyerangnya tidak peduli. Kepala Bu Elly diguncangguncangnya dengan hebat.
Apakah pria itu hanya ingin membuat Bu Elly terdiam, atau
benar-benar hendak membunuhnya - pertanyaan itu takkan pernah
terjawab. Sebab pada detik berikutnya justru dia sendiri yang
diserang. Tulang iganya kena hantam dengan keras. Pria itu sampai
terpental dan menabrak piano di sudut ruangan. Tanpa sengaja ia
menekan sekitar 20 tuts. Boiiing... Bunyinya sumbang sekali. Bahkan Oskar pun tidak sanggup
menghasilkan bunyi sesumbang itu.
Sementara Bu Elly terduduk di lantai, Sporty menggosok-gosok
sikunya. Lututnya juga terasa nyeri sekali karena sempat membentur
tembok pada waktu melompat lewat jendela. Namun pertarungan
belum berakhir. Nampaknya, babak kedua bahkan baru akan dimulai.
Pria tadi hanya memerlukan beberapa detik untuk bangkit lagi.
Sambil menarik napas dalam-dalam, ia memelototi Sporty
dengan matanya yang berwarna biru muda. Kemudian ia langsung
menyerang. "Berhenti!" teriak Sporty. "Saya..."
Tapi pria itu benar-benar sudah mata gelap. Sporty terpaksa
melompat ke samping untuk menghindari terjangan lawannya. Dengan
gesit anak itu mengarahkan serangan yang membabi-buta ke arah
yang dikehendakinya. Lalu untuk kedua kalinya pria tadi membentur
piano. Sambil mengerang kesakitan orang itu roboh ke lantai. Kali ini
ia tidak berdiri lagi. "Astaga! Apa-apaan ini?" seru Oskar, yang masih berdiri di luar
jendela. "Selamat siang, Bu Elly! Kelihatannya hari ini tidak ada
pelajaran, ya?" Elly Burkert tidak menjawab. Wanita itu nampak gemetar.
Dengan kedua tangan ia memegangi kepalanya.
Sporty membantunya untuk berdiri, lalu mencoba menuntunnya
ke sofa. Tapi Bu Elly menolak.
"Terima kasih! Tapi biar saja! Saya tidak apa-apa." Air mata
membasahi pipinya. "Untung saja kau ikut dengan Oskar, Sporty."
"Kami baru sampai di depan pagar, ketika mendengar suara
ribut-ribut. Untung kami belum terlambat. Apakah saya perlu
menelepon polisi?" Bu Elly nampak ragu-ragu. Dengan mata terbelalak ia
memandang pria tadi. Wajahnya yang dalam keadaan biasa selalu
segar, kini nampak pucat pasi. Ia berambut coklat, disisir ke belakang
dan dikuncir. "Saya rasa tidak perlu, Sporty."
"Kenapa orang itu menyerang Anda?" tanya Oskar. "Apakah
dia sudah bosan les piano?"
"Elly, suruh mereka pergi!" pria yang masih terduduk di depan
piano berkata dengan ketus. Dan pada Sporty, ia lalu menambahkan,
"Elly adalah istri saya! Ya, istri saya! Asal tahu saja! Jangan
ikut campur urusan kami! Saya punya hak untuk bertengkar dengan
dia. Terserah saya bagaimana... Ah, sudah! Cepat, pergi sana!"
Sporty langsung bertolak pinggang. Seenaknya saja orang itu!
"Tuan Burkert yang terhormat, apa saya tidak salah dengar"! Apakah
Anda ingin mengatakan bahwa istri sendiri boleh diperlakukan seperti
tadi" Diguncang-guncang dan dicekik" Begitukah maksud Anda?"
"Dasar sinting!" seru Oskar. "Mencubit saja seharusnya tidak
boleh. Kecuali kalau hanya main-main."
"Saya bukan istrinya lagi," ujar Bu Elly cepat-cepat. "Kami
bercerai dua tahun yang lalu. Selama ini saya masih memakai nama
bekas suami saya. Tapi tidak lama lagi. Setelah ini, saya akan
memakai nama saya sebelum menikah. Saya tidak mau lagi teringat
pada masa itu!" Hmm! pikir Sporty. Dalam hati ia merasa tidak enak. Kejadian
tadi ternyata bukan perampokan. Juga bukan ulah murid les piano
yang kalap. Ini adalah buntut dari tragedi perkawinan yang gagal.
Sebenarnya, ini memang urusan Bu Elly dan bekas suaminya,
anak itu berkata dalam hati. Tapi kami tidak bisa pergi begitu saja.
Entah apa yang akan dilakukan bekas suami Bu Elly itu.
"Adolf!" Bu Elly memerintahkan dengan datar. "Aku minta
agar kau segera meninggalkan rumahku. Dan jangan... jangan!...
kembali lagi!" Adolf Burkert menatapnya dengan mata setengah terpejam. Ia
berbadan tegap. Usianya sekitar 30-an akhir. Rambutnya pirang dan
tipis, sehingga nampak lengket di kepala. Ekspresi wajahnya selalu
berubah-ubah tak menentu.
Persis orang sakit jiwa, pikir Sporty. Dari sorot matanya saja
sudah kelihatan bahwa dia agak kurang waras.
Kedua mata Adolf Burkert memang tidak bisa diam.
Pandangannya penuh dendam dan rasa benci.
"Apakah Anda tidak dengar?" tanya Sporty. "Anda diminta
pergi dari sini!" Adolf Burkert berdiri. Ia mengenakan celana kulit berwarna
abu-abu dan jaket rajut berwarna biru. Pergelangan tangannya dihiasi
arloji yang hampir setipis perangko. Selain itu ia juga memakai dua
buah cincin berlian dan sebuah syal sutera berwarna putih.
Dasar anak manja! pikir Sporty. Pikirannya tak pernah
berkembang jadi dewasa. Dia hanya bisa marah-marah kalau tidak
berhasil memperoleh yang diinginkannva. Dan sekarang dia
menginginkan agar Bu Elly kembali padanya. Hah, tentu saja Bu Elly
tidak mau! Dengan langkah panjang Adolf Burkert menuju pintu. Sekali
lagi ia melemparkan pandangan penuh dendam ke arah Bu Elly dan
Sporty. Kemudian ia telah berada di ruang tangga. Namun sebelum
pintu rumah menutup, masih terdengar bunyi kaca pecah berantakan.
"Itu... itu vas keramik saya," bisik Bu Elly.
"Apakah saya perlu..." Sporty langsung bersiap-siap untuk
mengejar. "Biar saja, deh! Dari dulu dia memang sudah begitu: kalau
sedang marah, segala sesuatu menjadi sasaran kekesalannya. Percuma
saja mengurus orang seperti Adolf."
"Apakah saya boleh masuk sekarang?" tanya Oskar. Ketika
melihat Bu Elly mengangguk, anak itu segera memanjat lewat jendela.
Dari luar terdengar suara mesin Rolls-Royce tadi dihidupkan.
Suaranya halus sekali. Temyata mobil itu memang kepunyaan Adolf,
seperti yang sudah diduga. Sporty tidak bisa melihatnya, dan ia juga
tak berminat. Kemudian terdengar bunyi gaduh. Rupanya Adolf masih
berusaha melampiaskan kekesalannya.
"Kedengarannya seperti pintu pagar saya," Bu Elly mendesah
pelan. "Dia benar-benar merusak segala sesuatu yang dilihatnya."
"Sebenarnya saya bermaksud membetulkan pintu pagar Anda,"
ujar Sporty. "Tapi sekarang kelihatannya Anda harus beli pintu baru.
Kalau perlu, Oskar dan saya bersedia menjadi saksi agar Anda bisa
menuntut ganti rugi pada bekas suami Anda."
Bu Elly mencoba tersenyum. Namun hasilnya kurang
meyakinkan. Ia masih agak bingung. Dengan sebelah tangan ia
merapikan rambut. Kedua matanya nampak menerawang jauh.
Sepertinya ia sedang berpikir apakah Sporty serta Oskar bisa diajak
bicara secara dewasa. Oskar sebenarnya masih bisa digolongkan sebagai kanak-kanak,
yang lebih tertarik pada coklat ketimbang pada masalah perkawinan
orang dewasa. Dan Sporty - anak itu memang jauh lebih matang
daripada usia sebenarnya. Tapi apakah Bu Elly bisa membebaninya
dengan persoalan pribadi"
"Ayo, duduk dulu!" ujar Bu Elly. "Kelihatannya jam
pelajaranmu hari ini terpaksa dibatalkan, Oskar. Saya harus minta
maaf pada kalian dan..."
"Anda tidak perlu minta maaf," Sporty cepat-cepat memotong.
"Kami membantu Anda untuk mengatasi situasi yang gawat.
Selebihnya bukan urusan kami - kecuali kalau Anda memang ingin
membicarakannya." Bu Elly mengangguk. Sampai sekarang pun wajahnya masih
pucat-pasi. Sambil menutup jendela, ia sekaligus memijat lehernya
dengan hati-hati. Kemudian ia ikut duduk bersama kedua tamunya.
Dengan gelisah jari-jarinya yang halus mengusap taplak meja.
"Terus terang saja, saya sedang ketakutan. Saya kenal Adolf.
Saya tahu bagaimana sifatnya. Dia pasti akan terus mernaksa agar
saya kembali padanya. Mungkin dia beranggapan bahwa satu-satunya
alasan saya minta cerai adalah karena dia pernah masuk penjara. Tapi
itu tidak benar! Seandainya pun dia tidak masuk penjara, saya tetap
akan minta cerai. Perkawinan kami adalah suatu kesalahan besar!
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sayang sekali saya baru menyadarinya setelah terlambat. Tapi..." Bu
Elly mengangkat bahu, "...hal semacam ini selalu saja terjadi."
"Berapa lama Anda menikah dengan Adolf Burkert?" tanya
Sporty. "Hanya satu tahun. Adolf ternyata pemalas. Dia tidak punya
pekerjaan. Seumur hidup dia belum pernah bekerja. Warisan dari
ayahnya cukup besar, sehingga... Ya, Adolf memang kaya. Tapi ia
tidak tahu untuk apa uang itu harus digunakannya. Dia terus saja
menganggur. Orangnya mudah tersinggung dan langsung marahmarah kalau ada yang
tidak sesuai dengan keinginannya. Dari dulu
Adolf memang sudah bergaul di kalangan penjudi dan penjahat.
Menurut dia, itu merupakan petualangan yang seru. Saya sendiri baru
belakangan mengetahuinya. Tapi pada waktu itu hubungan kami
sudah retak, dan saya telah minta cerai. Kemudian bencana itu
datang." Kedua sahabat STOP mendengarkan cerita Bu Elly dengan
penuh perhatian. Oskar benar-benar tegang, sehingga sama sekali
tidak sadar bahwa ia telah mengeluarkan sekeping coklat dari map,
lalu mulai memakannya. Baru setelah Sporty menendang tulang keringnya di bawah
meja, ia berkata, "Astaga, maaf! Saya terus saja makan dan lupa
menawarkan coklatnya pada Anda. Silakan, Bu Elly. Coklat terbaik
buatan pabrik Sauerlich, pabrik ayah saya. Lumayan, untuk
menenangkan pikiran."
Sambil nyengir Oskar menyodorkan coklatnya. Bu Elly
mengambil sepotong, kemudian mengucapkan terima kasih.
"Kemudian terjadi bencana!" Sporty mendesak.
Bu Elly mengangguk. "Adolf dihukum penjara selama dua tahun. Namun kemudian,
beberapa bulan yang lalu, pengadilan melakukan pemeriksaan ulang.
Adolf dinyatakan tidak bersalah, lalu dibebaskan. Tapi setelah bebas
dari penjara, tingkahnya semakin menjadi-jadi. Saya selalu dikejar ke
mana-mana. Dia tidak mau menyadari bahwa perceraian kami tidak
ada hubungannya dengan hukuman penjara itu. Dan sampai sekarang
dia memperlakukan saya seakan-akan saya milik pribadinya. Kami
bercerai ketika dia masih di penjara. Dia benar-benar terpukul oleh
kejadian itu. Tapi saya memang tidak mau dan tidak bisa menunggu
sampai dia dibebaskan."
Dengan hati-hati Sporty berkomentar,
"Barangkali dia tidak tahan kalau harus melepaskan sesuatu
yang diinginkannya. Karena itu dia kalap dan bertingkah seperti tadi.
Tapi apa pun alasannya, kelakuan seperti tadi tetap tidak bisa
dibenarkan. Apakah sudah terbukti bahwa dia benar-benar tidak
bersalah?" Chapter 2 Sepeda yang Terlindas "SERATUS persen!" ujar Bu Elly sambil mengangguk. "Dari
segi itu saya memang merasa kasihan padanya. Ceritanya begini:
Adolf dulu sempat jadi langganan di sebuah sarang judi. Tempatnya di
sebuah kamar sempit di salah satu kedai minum dekat stasiun kereta
api. Orang-orang yang berkunjung ke sana kebanyakan penipu,
pencuri dan penjahat lainnya. Anehnya, Adolf malah betah di
lingkungan mereka." "Lalu?" Sporty harus berusaha keras untuk mengatasi
ketidaksabarannya. "Suatu malam, tempat itu kedatangan tamu dari luar kota seorang pemilik hotel yang kaya. Penjahat-penjahat yang berkumpul
di sana - termasuk Adolf-sudah sepakat untuk menguras isi dompet
pria malang itu. Untung saja orang itu menyadarinya, kemudian
berhenti main. Tapi dalam perjalanan pulang ke hotelnya, dia disergap
dan dihajar habis-habisan. Dompet serta seluruh barang berharga lain
yang ia bawa dirampas. Kejadian itu kebetulan terlihat oleh seorang
saksi mata. Orang itu lalu memberitahukan ciri-ciri si pelaku pada
polisi. Gambaran itu ternyata cocok sekali dengan Adolf. Sedangkan
Adolf sendiri tidak bisa mengemukakan alibi. Ia hanya menyangkal
segala tuduhan. Tapi saksi mata tadi tetap berpegang pada
keterangannya. Ketika dihadapkan dengan Adolf, dia bahkan langsung
mengenalinya. Karena itu Adolf akhirnya ditahan, lalu dihukum dua
tahun penjara." "Tapi dia tidak pernah mengaku bersalah?" Sporty mencoba
mengorek keterangan lebih lanjut.
"Adolf tetap menolak segala tuduhan," Bu Elly membenarkan
sambil mengangguk. "Tapi tak seorang pun mempercayainya termasuk saya. Baru setengah tahun kemudian semuanya menjadi
jelas. Saksi mata tadi - namanya Edwin Kramer - mengalami luka
parah dalam suatu kecelakaan lalu lintas. Ketika ajalnya mendekat, ia
sempat membuat pengakuan di hadapan sejumlah dokter rumah sakit
dan seorang polisi. Katanya, ia dulu memberikan kesaksian palsu.
Bukan Adolf yang merampok si pemilik hotel, melainkan salah satu
bajingan yang ikut bermain kartu. Tapi orang itu tahu bahwa Kramer
juga pernah terlibat kejahatan, sehingga ia memaksanya untuk
berbohong di depan pengadilan. Adolf akhirnya memang dilepaskan
dari penjara. Tapi ia sudah kehilangan satu setengah tahun dari
hidupnya " "Gawat!" kata Sporty. "Tapi sekarang sisa usianya juga disiasiakan begitu saja.
Bagaimana caranya agar dia tidak mengganggu
Anda lagi?" "Saya sendiri tidak tahu."
"Kelihatannya Anda memerlukan bantuan, Bu Elly. Kami siap
membantu Anda." Wanita itu tersenyum lembut.
"Terima kasih banyak. Mungkin saya memang akan
memerlukan bantuan kalian."
Sporty tidak asal bicara saja ketika menawarkan bantuan.
Seandainya Bu Elly berada dalam kesulitan lagi, maka anak-anak
STOP pasti akan segera turun tangan.
Untuk sementara tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Oskar
pun merasa bahwa sudah waktunya pulang, sehingga ia langsung
membereskan coklatnya. Bu Elly lalu mengantarkan Sporty dan Oskar ke pintu.
Pecahan-pecahan vas keramik berwarna merah masih.
berserakan di lantai. Kedua anak itu tidak mengatakan apa-apa. Habis, apa yang bisa
mereka katakan" Sporty membuka pintu rumah. Cahaya matahari menyambut
mereka. Sebuah mini-bus lewat di depan pekarangan. Wanita yang
duduk di balik kemudi nampaknya agak rabun, sebab hidungnya
hampir menempel di kaca depan.
Sporty memandang ke arah pintu pagar. Pintunya masih
miring - persis seperti waktu mereka datang.
Tiba-tiba saja Sporty seperti tersambar petir.
Ternyata yang menjadi sasaran Adolf tadi bukan pintu pagar!
Hmm, aku yakin, Adolf tadi sempat menghancurkan sesuatu,
ujar Sporty dalam hati. Sepedaku! Ya Tuhan! Di mana...
Namun sepeda kebanggaannya masih tersandar pada pagar dalam keadaan utuh, Lalu, bagaimana dengan sepeda Oskar"
Sebuah benda tak berbentuk tergeletak di jalanan: batangbatang logam berkarat,
jeruji-jeruji yang bengkok, ban yang terlepas
dari velg, dan sebuah sadel yang cukup lebar untuk dipakai sebagai
pelana kuda. "Aduuuh!" Dengan mata terbelalak Oskar menatap rongsokan di tengah
jalan. "Ya Tuhan!" Hanya itu yang dikatakan Bu Elly. Wajahnya
kembali pucat pasi. "Dia sengaja melindas sepedaku!" ujar Oskar dengan geram.
"Penjahat brengsek! Bah! Kalau aku ketemu lagi dengan dia, aku akan
melompat-lompat di atas kap mobilnya sampai bentuknya sama
dengan sepedaku." Mereka menuju ke jalan dan mengamati tumpukan tak
berbentuk itu. "Adolf pasti kesal sekali tadi," kata Bu Elly sambil
menundukkan kepala. "Dan kalau sudah marah, hasilnya selalu seperti
ini." "Kebiasaan buruk ini harus segera dihilangkan," kata Sporty
sambil mengepalkan tangan. "Kalau tidak, masa depannya bisa
suram." Oskar mendorong bangkai sepedanya ke tepi jalan, kemudian
bertanya pada Bu Elly apakah ia boleh menaruhnya di samping tong
sampah. Biar petugas sampah bisa mengangkutnya sekalian.
"Sepedaku yang malang," ujar Oskar. "Aku akan merasa
kehilangan. Awas, Adolf! Kau akan merasakan pembalasanku!"
Kedua sahabat itu lalu mohon diri. Bu Elly hanya mengangguk
singkat. Ia tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk menghibur
Oskar. Sepeda balap Sporty yang super-ringan tak sanggup membawa
beban tambahan seberat Oskar. Karena itu mereka jalan kaki saja, dan
Sporty menuntun sepedanya.
"Tanpa sepeda," kata Oskar, "aku merasa ada yang kurang pada
diriku. Aku jadi terisolasi dari dunia - dari kota, maksudku. Hmm,
begini saja deh: kita mampir di toko sepeda pertama yang kita lewati.
Aku akan beli sepeda baru."
"Memangnya uangmu cukup untuk itu?"
"Tidak! Tapi uang ayahku lebih dari cukup. Biar ayahku saja
yang membayarnya. Aku pasti boleh bayar belakangan kalau si
pemilik toko tahu bahwa aku Oskar Sauerlich, anak pengusaha coklat
terkemuka." "Tapi dari mana si pemilik toko itu tahu bahwa kau benar-benar
anak Pak Sauerlich?"
"Itu sih gampang! Tinggal telepon ke rumah saja. Wah, untung
rumahku tidak di luar kota. Repot juga, kalau harus interlokal."
Orangtua Oskar memang tinggal di kota ini. Mereka mendiami
sebuah vila mewah yang terletak di tengah pekarangan luas.
Sebenarnya, Oskar bisa saja tinggal bersama orangtuanya - setiap hari
diantar ke sekolah, lalu dijemput lagi. Tapi menurut anak itu, suasana
di rumahnya terlalu membosankan. Karena itu dia memilih tinggal di
asrama bersama Sporty. Di sana selalu saja ada kejadian seru.
"Pokoknya, kau harus minta bon rangkap dua," Sporty
menasihati sahabatnya. "Satu untuk ayahmu, satu lagi untuk Adolf
Burkert. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya."
"Jelas, dong!" jawab Oskar dengan mata berbinar-binar. "Hmm,
barangkali ada baiknya kalau aku sekalian beli sepeda balap. Yang
paling mahal! Dan Adolf yang harus membayar. Kalau tidak, aku akan
melaporkannya ke polisi."
"Eh," kata Sporty sambil melirik jam tangannya. "Bagaimana
kalau kita jemput Petra dan Thomas dulu" Mereka pasti sudah
menunggu. Keempat sahabat itu memang sudah berjanji untuk ketemu di
depan PAVILYUN, sebuah cafe yang belum lama ini dibuka di bekas
Pasar Lama. Dan benar saja - Petra dan Thomas ternyata sudah
menunggu. Dari jauh Sporty sudah melihat mereka - terutama Petra.
Di antara seribu gadis pun, Sporty pasti akan segera mengenali
sahabatnya itu. Kali ini Petra juga membawa Bello, anjing spanil-nya yang
berbulu hitam putih. Bello sedang sibuk mengamati kesibukan di
sekitarnya. Sambil mengibaskan ekor ia memperhatikan seekor anjing
betina yang lewat di hadapannya.
"Halo, kalian sudah lama menunggu?" Oskar segera bertanya
pada Petra dan Thomas. Mendengar suara Oskar, Bello langsung menoleh. Begitu
melihat Sporty, anjing itu segera melonjak-lonjak gembira. Petra,
yang memegang tali pengikat Bello dengan sebelah tangan, nyaris
jatuh terjerembap. Untuk beberapa waktu, Oskar terpaksa memegangi sepeda
Sporty, karena anak itu kewalahan menahan serbuan Bello. Acara
penyambutan itu sempat jadi tontonan orang-orang yang berlalulalang. Hampir
semuanya tersenyum. Di antara sekian banyak orang
hanya ada satu yang kelihatannya kurang senang: seorang pria
setengah baya bertampang masam.
"Anjing dibawa ke tengah kota!" orang itu menggerutu. "Bikin
kotor saja!" "Justru napas Anda yang menyebabkan polusi udara semakin
meningkat," Sporty segera menjawab sambil melotot.
Melihat tongkrongan Sporty, orang itu memilih diam dan segera
berlalu. Petra dan Oskar ketawa. Thomas hanya membetulkan letak
kacamatanya. "Ngomong-ngomong, mana sepedamu, Oskar?" tanya Petra
sambil meniup ujung poninya yang sudah mulai kepanjangan lagi.
"Di tempat sampah."
"Kenapa dibuang?" tanya Thomas. "Sepedamu kan masih
bagus. Tinggal dibersihkan saja."
"Aku tidak membuangnya," balas Oskar dengan ketus. "Ini
gara-gara si narapidana yang tak bersalah tidak bisa memakai RollsRoyce untuk
melampiaskan kekesalannya pada Sporty sehingga dia
menabrak sepedaku yang malang."
"Apa hubungannya Rolls-Royce dengan penjara?" Thomas
kembali bertanya. "Yang jelas dong, kalau bicara!" kata Petra sambil ketawa.
Sporty lalu melaporkan kejadian tadi secara singkat tapi jelas.
Petra sampai terbengong-bengong.
"Astaga!" ujar Thomas. "Siapa pun akan terpukul sekali kalau
mengalami nasib seperti Adolf Burkert - apalagi dengan watak seperti
itu. Seumur-umur dia takkan percaya lagi pada lembaga pengadilan."
"Tapi itu bukan alasan untuk menjambak dan mencekik Bu
Elly!" Oskar memprotes.
"Coba saja kalau aku yang diperlakukan seperti itu," ujar Petra
dengan ketus. "Aku pasti langsung menyuruh Bello untuk menggigit
orang itu." "Wah, ancaman yang mengerikan," Sporty berkomentar.
Semuanya ketawa. Soalnya Bello adalah anjing yang paling ramah
dan baik hati di seluruh kota.
"Tapi urusan dengan Adolf Burkert pasti tidak selesai sampai di
sini saja, bukan?" Petra bertanya pada Sporty.
"Betul! Dia masih harus mengganti sepeda Oskar. Jadi,
sekarang kita cari toko sepeda dulu. Habis itu kita datangi dia. Kalian
tahu di mana ada toko sepeda di dekat sini?"
Thomas kebetulan tahu bahwa di Jalan Brand ada sebuah toko
sepeda dan ban yang cukup lengkap. Toko itu bahkan menjual sepeda
tandem (sepeda untuk dua orang).
"Eh, itu ide yang bagus!" Oskar segera berseru penuh semangat.
"Sebuah tandem untuk kita berdua, Sporty. Sepeda balapmu bisa
istirahat, dan kita selalu bisa pergi berdua..."
"Busyet, kau semakin malas saja," Petra memotong.
"Maksudmu, Sporty harus memeras keringat sementara kau bisa
santai-santai - begitu, kan?"
"Bukaaan!" Oskar membela diri. "Aku akan berusaha untuk
mengimbangi kecepatan Sporty. Dalam waktu singkat aku pasti sudah
terlatih. Jadi, kalau ada acara balap sepeda, kami berdua bisa ikut...
ehm... nonton." Sambil bercanda-ria keempat sahabat itu menuju ke toko
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepeda. Di etalase toko itu, sejumlah sepeda baru nampak berderetderet. Papan-papan
iklan mengatakan bahwa naik sepeda lebih murah
ketimbang naik mobil - karena tidak memakai bensin; dan di samping
itu juga jauh lebih sehat - karena memaksa orang untuk bergerak.
Berlima - Bello juga boleh ikut - mereka memasuki toko. Di
dalam ternyata sudah ada beberapa pengunjung lain.
Seorang pria gendut ingin membeli sepeda balap - untuk
mengurangi berat badannya. Di meja kasir, seorang penjual
berseragam sedang berbincang-bincang dengan sepasang suami-istri.
Rupanya obyek pembicaraan mereka kurang menyenangkan, sebab
ketiga-tiganya memasang tampang seakan-akan besok dunia akan
kiamat. "... keterlaluan bahwa polisi tidak bisa menangkap orang itu," si
penjual berseragam sedang berkata. "Lama-lama kota ini semakin
tidak aman saja. "Saya sependapat dengan Anda!" ujar pria di hadapannya. "Ini
sudah untuk keempat kalinya.
Bayangkan: empat serangan bom dalam satu bulan! Untung
selama ini belum ada korban jiwa. Tapi siapa tahu bagaimana
perkembangan selanjutnya"!"
"Ini pasti ulah sekelompok teroris," istrinya menduga-duga.
"Sampai sekarang belum ada keterangan mengenai pelakunya,"
wanita itu ditanggapi oleh si penjual. "Tapi yang pasti, mereka adalah
orang-orang yang tak bertanggung-jawab. Mereka menakut-nakuti
penduduk kota dengan bom. Dan tak seorang pun tahu apa yang
mereka inginkan. Ini benar-benar aneh."
Sporty segera memasang telinga. Begitupun ketiga sahabatnya.
Yang tengah dibicarakan adalah segerombolan penjahat tak
dikenal, yang sejak beberapa minggu menghantui kota dengan
serangan-serangan bom. Mereka telah meledakkan sebuah menara air
di luar kota, club-house sebuah perkumpulan olahraga, serta sebuah
gudang penyimpanan material di suatu lokasi pembangunan. Tiga
serangan bom - semuanya dilakukan dengan cara dan bahan peledak
yang sama. Dan kini bom keempat pun telah meledak. Sporty segera
menghampiri ketiga orang tadi.
"Maaf," katanya. "Saya kebetulan mendengar pembicaraan
Anda. Koran tadi pagi belum memberitakan apa-apa mengenai
serangan bom keempat. Kapan serangan itu terjadi?"
"Tadi siang," jawab si penjual berseragam.
"Saya sendiri baru mendengarnya lewat radio Para penjahat itu
meledakkan sebuah alat pengeruk di tambang batu kerikil di Lembah
Heinrich. Seperti sebelumnya, mereka tidak meninggalkan jejak.
Kalau begini terus, saya akan pindah dari sini. Siapa tahu besok
giliran kita!" "Tapi polisi kan tidak tinggal diam," kata Sporty. "Mereka pasti
berhasil menangkap penjahat-penjahat itu."
Sporty memang bersungguh-sungguh. Namun ketiga orang tadi
malah ketawa sinis. Rupanya mereka tidak terlalu percaya pada
kemampuan para polisi. Sporty langsung memandang Petra. Wajah gadis itu nampak
merah semu. "Jangan tersinggung," Sporty berusaha menenangkan
sahabatnya itu. "Bukan ayahmu yang mereka maksud. Apa kau sudah
dengar berita mengenai serangan bom tadi?"
Petra menggeleng. "Ayahku tidak pulang ke rumah tadi siang," katanya.
"Dia pasti langsung menuju ke tempat kejadian," ujar Thomas.
"Gila, meledakkan sebuah alat pengeruk bukan pekerjaan mudah.
Untuk itu dibutuhkan dinamit dalam jumlah besar. Untung saja tidak
ada orang di tambang itu ketika ledakan terjadi."
Kenapa ada orang yang gemar membuat kekacauan seperti ini"
tanya Sporty dalam hati. Dalam sekejap saja ia sudah berhasil
mengumpulkan beberapa alasan. Tapi ia tidak sempat memikirkannya
lebih lanjut, sebab Oskar sudah menemukan sepeda idamannya.
Sambil memperhatikannya dari segala arah, anak itu lalu minta
pendapat Sporty. Sepeda yang dipilihnya adalah sebuah sepeda BMX berwarna
merah manyala, yang sepertinya tidak memerlukan tenaga besar untuk
digerakkan - cocok sekali bagi seorang pemalas seperti Oskar.
Karena ketiga sahabatnya pun mendukung pilihan Oskar, dia
akhirnya memutuskan untuk membeli sepeda itu. Penjual yang
melayani mereka menyebutkan harganya. Tapi dari raut wajahnya
kelihatan bahwa ia menyangsikan kemampuan keuangan Oskar.
"Saya Oskar Sauerlich," anak itu lalu menerangkan. "Saya baru
saja kehilangan sepeda karena ulah orang tak bertanggung jawab.
Saya sekarang sangat memerlukan sepeda baru, tapi belum sempat
menghubungi ayah saya. Dia yang akan membayar sepeda ini."
"Semua orang bisa mengaku begitu," ujar si penjual.
"Tapi saya bisa membuktikannya," jawab Oskar dengan tenang.
"Ayah saya adalah pemilik pabrik coklat Sauerlich yang terkenal.
Silakan Anda telepon ke kantomya. Pastikan bahwa alamatnya benar,
lalu berikan gagang telepon pada saya. Ayah saya akan memastikan
bahwa dia yang akan membayar sepeda ini."
Itulah yang terjadi kemudian. Oskar langsung memberitahu
ayahnya mengapa ia memerlukan sepeda baru. Dan bahwa ia - dengan
bantuan Sporty - akan minta ganti rugi pada Adolf Burkert.
"Tapi supaya sepedanya bisa dibawa, rekeningnya harus atas
nama ayah dulu," Oskar mengakhiri percakapan. Pak Sauerlich yang
baik hati tentu saja tidak keberatan. Bagi Oskar - anak satu-satunya ia bersedia melakukan apa saja.
Kemudian si penjual mengambil-alih pembicaraan. Penuh
hormat ia meyakinkan pengusaha terkemuka itu bahwa Oskar akan
mendapatkan pelayanan terbaik.
Hampir saja Oskar memeluk sepeda barunya. Sambil
tersenyum-senyum ia mengelus catnya yang masih mengkilap. Ia
begitu terpesona sehingga sama sekali lupa pada urusan rekening.
Akhirnya Sporty yang menyebutkan alamat rumah keluarga
Sauerlich. Dan dia juga yang minta agar dibuatkan tembusan
rekening. Soalnya tembusan ini mereka butuhkan sebagai barang bukti
untuk menagih ganti rugi dari Adolf Burkert.
Sementara Oskar menuntun sepedanya keluar toko, Sporty
cepat-cepat membuka buku telepon untuk mencari alamat pria itu.
Adolf Burkert ternyata tinggal di Jalan Fritz-Meier nomor 11,
kode pos 31 - suatu daerah perumahan yang sangat bergengsi.
3 Pelayan Tua di Rumah Adolf Burkert
MATAHARI bersembunyi di balik awan. Suhu udara langsung
turun beberapa derajat. Petra sempat menggigil ketika mereka
bersepeda melintasi kota. Bello berlari di sampingnya. Tali pengikat
yang cukup panjang memungkinkannyanya untuk bergerak dengan
leluasa. Seperti biasanya, Oskar berada di urutan paling belakang.
Dengan wajah berseri-seri ia terus memuji sepeda barunya.
"Kalau dibandingkan dengan sepedaku yang lama," ia berseru,
"maka aku seharusnya berterima kasih pada Adolf. Sepeda ini jauh
lebih enak dipakai."
"Tapi kau tidak perlu mengatakannya pada dia," Sporty
mengerem luapan kegembiraan sahabatnya.
Tidak lama kemudian mereka sampai di daerah perumahan
mewah di mana Adolf Burkert tinggal, dan Sporty berhenti di ujung
sebuah jalan setapak beraspal. Sebuah patok besi di tengah jalan
sempit itu mencegah mobil-mobil lewat di sini.
"Kita bisa potong jalan lewat sini," kata Sporty.
"Tapi sepeda kita harus dituntun. Eh, Petra, ada apa sih"
Tampangmu tidak semanis... ehm, maksudku, tidak seperti biasanya."
Petra memang sedang bertampang masam. Namun ia agak
terhibur karena Sporty nyaris mengatakan bahwa ia tidak semanis
biasanya. "Aku kesal pada orang-orang di toko sepeda tadi. Seenaknya
saja mereka ketawa ketika kau mengatakan bahwa polisi akan
menangkap para pemasang bom. Orang-orang itu tak pernah
membayangkan betapa beratnya pekerjaan seorang komisaris polisi
seperti ayahku. Masalahnya, polisi kekurangan tenaga. Jumlah
penjahat di kota ini jauh lebih banyak ketimbang jumlah polisi. Coba
saja kaubayangkan kesibukan ayahku! Pertama," Petra mengangkat
ibu jarinya, "dia memimpin penyelidikan mengenai ledakan-ledakan
bom akhir-akhir ini. Dan kedua," gadis itu lalu mengacungkan jari
telunjuk, "dia terpaksa membentuk komisi khusus untuk mengatasi
gerombolan perampok Diablo yang semakin merajalela. Ratusan
petunjuk yang harus diusut, padahal 99% di antaranya hanya isapan
jempol dari orang-orang yang merasa sok tahu. Pekerjaan ini
memerlukan ketelitian yang luar biasa. Dan dalam keadaan seperti ini
orang-orang masih menuntut agar penjahat-penjahat itu diringkus
dalam sekejap." Hmm, Petra tidak pernah bisa terima kalau ayahnya dikritik
seenaknya, pikir Sporty. Dan dia benar, sebab Pak Glockner memang
hebat! "Biarkan saja orang-orang sok tahu itu," ia lalu menghibur.
"Tapi aku baru tahu bahwa ayahmu juga bertugas mengusut para
perampok Diablo." Gerombolan itu dijuluki perampok Diablo oleh pers, karena
mereka selalu beraksi Di sIAng BoLOng - disingkat: DIABLO.
Penjahat-penjahat itu hampir selalu mengincar orang-orang tua yang
hidup seorang diri. Mereka menekan bel pintu, lalu menghajar korban
mereka sampai pingsan. Dalam waktu singkat penjahat-penjahat itu
mengangkut semua barang berharga, kemudian menghilang tanpa
meninggalkan jejak. Selama ini polisi memang berhasil
mengumpulkan beberapa petunjuk - tapi tak satu pun yang bisa
membantu. Orang-orang tua yang dirampok itu terlalu kaget untuk
memperhatikan wajah para penjahat itu.
"Kejahatan adalah penyakit kota-kota besar," ujar Thomas.
"Untung hanya sedikit orang yang menjadi korban. Seandainya
beritanya tidak masuk koran, kita mungkin malah tidak tahu betapa
banyak kejahatan yang terjadi setiap hari."
"Maksudmu, koran-koran dan TV seharusnya mengurangi
pemberitaan mengenai kejahatan, bencana, dan perang?" tanya Sporty.
"Kalau begitu kan orang-orang bisa hidup lebih tenang. "
"Tapi mereka juga tidak tahu bagaimana keadaan sebenamya.
Menutup mata dan telinga hanya agar bisa hidup dengan tenang - itu
takkan mengubah kenyataan yang ada. Aku justru ingin tahu apa yang
terjadi di sekitarku."
"Aku sih tidak terlalu peduli," Oskar berkomentar. "Kecuali
kalau produksi coklat tiba-tiba dihentikan. Itu perlu aku ketahui
secepatnya, supaya aku sempat beli banyak-banyak sebagai
persediaan." Dari tadi mereka berbincang-bincang sambil menuntun sepeda.
Kini keempat sahabat itu membelok ke Jalan Fritz-Meier.
Tempat tinggal Adolf Burkert ternyata sebuah vila megah di
tengah pekarangan luas. Rumahnya jauh dari jalan, dan dikelilingi
pohon-pohon tua. Tapi itu hanya kelihatan dari pintu gerbang yang
terbuka. Sebab pekarangannya dibatasi oleh pagar tanaman yang
tinggi dan rapat sekali. Pantas saja Adolf tidak betah di penjara, pikir Sporty sambil
tersenyum simpul. Rumahnya seperti istana!
Mereka berhenti di depan pintu gerbang. Sebuah jalan beton
menuju ke arah garasi yang berjarak sekitar 50 meter dari jalan.
Dilihat dari bentuknya, Sporty menaksir bahwa garasi itu dibangun
pada waktu mobil masih sama jarangnya dengan pesawat ruang
antariksa sekarang. "Hmm," ujar Oskar sambil memperhatikan tempat tinggal
Adolf. "Rumah ini hampir sama mewahnya dengan rumah orangtuaku.
Sayang sekali pemiliknya brengsek."
"Garasinya kosong," kata Sporty. "Berarti kemungkinan besar
dia tidak di rumah."
"Jangan-jangan dia sudah kabur keluar negeri," Oskar langsung
menduga-duga. "Dasar pengecut! Dia tidak berani
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Petra, sepertinya ayahmu
bakal mendapat pekerjaan tambahan, yaitu melacak Adolf Burkert."
"Wah, kasus sepenting ini harus didahulukan," jawab Petra
sambil ketawa. "Oskar Sauerlich harus mendapatkan ganti rugi untuk
sepedanya. Urusan lain harus menunggu."
Thomas dan Oskar ketawa. Sementara itu, Sporty membalik karena mendengar suara mobil.
Tetapi ternyata bukan Rolls-Royce berwarna biru malam milik Adolf,
melainkan sebuah Ford Mustang yang sudah dimakan karat.
Pengemudi kendaraan itu rupanya sedang mencari alamat seseorang.
Soalnya, ia menjalankan mobilnya pelan-pelan sambil menengok ke
kiri kanan. Dan ketika melewati anak-anak STOP, orang itu lama
sekali memandang ke arah mereka.
Sporty langsung melihat mata orang itu: sepasang mata yang
melotot seperti mata kodok - tak berbulu mata, dan nyaris tak beralis.
Pandangan mata orang itu terasa sedingin es di kutub utara.
Ford Mustang itu menjauh, tapi wajah pengemudinya telah
terukir di otak Sporty. Aneh! Kenapa Sporty langsung tidak menyukai
orang itu" Kenapa ia merasa perlu untuk memperhatikannya secara
saksama, padahal wajah orang itu hanya salah satu di antara sekian
banyak wajah yang dijumpai Sporty setiap hari"
Pengemudi Ford Mustang itu berwajah kotak dengan kulit
pucat. Kecuali kedua matanya, hanya dagunya yang lancip yang
menarik perhatian. Tapi kesan keseluruhannyalah yang membuat
Sporty curiga. Orang seperti itu perlu diingat-ingat, anak itu berkata dalam
hati. Aku tidak heran kalau dialah si pemasang bom yang menghantui
kota. Barangkali dia sedang mencari sasaran baru" Bagaimana dengan
sebuah Rolls-Royce berwarna biru malam" Ah, jangan! Aku tidak
boleh menyumpahi orang lain! Bahkan Adolf Burkert sekalipun.
"... atau mau menginap di sini?" tanya Petra.
"Hah?" "Kau lagi mimpi, ya?"
"Mimpi buruk," jawab Sporty sambil ketawa. "Ayo, sekarang
kita akan menyerahkan rekening sepeda Oskar pada Adolf, si
Pemberang. Semua ikut aku!"
Ia mendorong sepedanya melewati gerbang kemudian rnenuju
ke garasi. Di sana ia menyandarkan sepedanya pada dinding.
Beberapa langkah lagi sampai ke vila megah itu. Bangunan ini pun
sudah tua sekali. Tapi keadaannya masih lebih baik dibandingkan
dengan kebanyakan rumah baru pada saat mulai dihuni untuk pertama
kali. Pintu rumah Adolf terbuat dari kayu jati, dan diberi hiasan
berupa plat-plat logam berukir.
Sporty menunggu sampai teman-temannya berkumpul di
sekelilingnya. Kemudian ia menekan bel.
Dari dalam rumah terdengar suara gong berbunyi.
Tapi tidak terjadi apa-apa. Sporty menunggu satu menit, lalu
kembali menekan bel - kali ini lebih lama.
Pintu akhirnya membuka. Seorang pria berusia lanjut muncul di
hadapan anak-anak: kurus kering, berbadan bungkuk, dan dengan
wajah berkerut-kerut. Rambutnya sudah putih sama sekali. Alat bantu
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pendengaran nampak di kedua telinganya. Dengan tangan gemetar
kakek itu memegangi jasnya, seakan-akan takut bahwa jasnya itu tibatiba melorot.
Setelan jasnya berwarna hitam, kemejanya putih, dan
rompinya bergaris-garis hitam-putih.
Persis seperti seorang butler (kepala pelayan di rumah
bangsawan Inggris), pikir Sporty. Hmm, siapa tahu dia memang
kepala pelayan di sini. "Selamat sore," ujar Sporty. "Kami ingin ketemu dengan Adolf
Burkert." "Tolong bicara agak lebih keras," si Kakek berkata sambil
menempelkan sebelah tangan di balik telinga. "Pendengaran saya
sudah kurang baik, dan batere alat bantu pendengar saya sudah mulai
soak." "Selamat sore!" Sporty lalu berteriak.
"Oh, ya. Selamat sore!" si Kakek bergumam. "Kalian ada perlu
apa?" "Kami ingin ketemu dengan Pak Burkert!"
Bello mulai ribut. Anjing itu tidak biasa mendengar Sporty
berteriak-teriak seperti sekarang.
"Wah, percuma saja kalian datang ke sini," ujar si Kakek.
"Adolf lagi pergi."
"Anda ayahnya?"
Dengan terkejut si Kakek menjawab,
"Bukan, saya pelayannya. Kalian pasti heran, ya" Saya sudah
bekerja di sini sejak Pak Burkert senior masih hidup. Setelah beliau
meninggal, saya melayani ayah Adolf, lalu Adolf. Saya punya hak
untuk tinggal di sini sampai akhir hayat saya. Dan saya tidak bisa
diusir begitu saja!" ia tiba-tiba berseru penuh semangat. "Tidak! Saya
berhak tinggal di sini! Saya juga berhak menerima uang pensiun.
Begitulah yang dikatakan Pak Burkert senior sebelum meninggal."
Gawat! pikir Sporty sambil menahan senyum. Kelihatannya
kakek ini sudah mulai pikun. Tidak biasanya orang menceritakan
urusan pribadi pada anak-anak yang sama sekali tidak dikenalnya.
Jangan-jangan Adolf memang mencoba untuk mengusirnya"
"Kapan Pak Burkert pulang?" Sporty kembali pada
pembicaraan semula. "Saya tidak tahu. Tapi menurut saya, sebaiknya dia tidak usah
pulang sama sekali."
"Sepertinya di sini lagi keadaan darurat perang," bisik Thomas
sehingga si Kakek tidak mendengarnya.
Orang tua itu lalu mengutak-atik alat pendengarnya.
"Nama saya Paul Riebesiel," ia kemudian memperkenalkan diri:
"Tapi panggil saya Paman Paul saja. Dari dulu saya kepingin punya
anak. Siapa nama anjing kalian?"
"Bello!" teriak Sporty.
"Dari dulu saya juga kepingin memelihara anjing," ujar Paman
Paul. "Tapi Nyonya Besar tidak pernah mengizinkannya. Dan Adolf
juga tidak menyukai binatang."
Adolf dan si Kakek ini pasti bertengkar setiap hari, pikir Sporty.
Mereka tinggal di bawah satu atap, tapi ribut terus. Tidak suka
binatang, aha! Merongrong orang tua, menjambak bekas istrinya, dan
melindas sepeda orang. Tidak mengherankan kalau orang seperti dia
masuk penjara. Paman Paul membungkuk dan mengulurkan tangan ke depan
moncong Bello. Anjing itu mencium-cium jari-jarinya, kemudian
mulai menjilat dengan ramah.
"Anjing bagus!" ujar orang tua itu. "Tapi agak terlalu kecil
untuk anjing herder."
"Kau dengar itu, Bello?" kata Petra. "Paman Paul rupanya
seorang ahli." "Bello adalah anjing spanil," Sporty menjelaskan dengan
nyaring. "Oh, pantas kecil," si Kakek berkomentar sambil mengangguk.
"Apakah kalian ada pesan untuk Adolf?"
"Dia berhutang pada teman saya Oskar Sauerlich," kata Sporty
sambil menunjuk sahabatnya. "380 Mark. Ini rekeningnya." Ia
mengeluarkannya dari kantong lalu menyerahkannya pada si Kakek.
"Hmm," orang tua itu bergumam. "380 Mark untuk sebuah
sepeda. Saya bisa membayangkan apa artinya," ia menambahkan
sambil tersenyum simpul, sehingga wajahnya semakin berkerut-kerut.
"Adolf merusak sesuatu, bukan" Sebuah sepeda?"
"Dia melindas sepeda saya dengan Rolls-Royce-nya. Sengaja
lagi!" Paman Paul nampak meringis, seakan-akan kakinya yang
kelindas mobil. "Ada yang duduk di atas sepeda itu?"
"Tidak. Sepedanya disandarkan pada pagar."
"Tetap saja keterlaluan! Dasar pemalas tak tahu diri. Seenaknya
saja dia mencoba mengusir saya. Padahal saya berhak tinggal di sini.
Usia saya sekarang 82 tahun. Sudah 61 tahun saya bekerja pada
keluarga Burkert." "Sampai sekarang Anda masih bekerja?" tanya Sporty.
"Tidak, saya berhenti sejak musim gugur tahun lalu," jawab si
Kakek sambil menggeleng. "Sejak pertengahan tahun lalu saya terlalu
sering memecahkan piring dan gelas. Dari dulu saya selalu
mengatakan bahwa orang harus tahu kapan waktunya berhenti!
Bagaimana, rekeningnya mau ditinggal saja di sini" Tapi kalian
takkan dapat uangnya - itu perlu saya katakan dari sekarang. Adolf
takkan mengeluarkan sepeser pun. Kalau kalian punya saksi, lebih
baik kalian langsung lapor ke polisi saja!," Paman Paul tersenyum.
"Kalau begitu dia harus masuk penjara lagi."
"Yang kami inginkan hanya ganti-ruginya," jawab Sporty.
"Rekeningnya kami tinggal saja. Besok sore kami datang lagi untuk
mengambil uangnya. Tolong sampaikan ini pada Pak Burkert.
Permisi." "Sebaiknya kalian ke polisi saja," si Kakek masih sempat
berkata. Kemudian ia menutup pintu.
"Kelihatannya Paman Paul mendukung kita," ujar Thomas
sambil nyengir. "Orang semacam Adolf Burkert rnemang tidak punya teman,"
Petra menanggapinya, "bahkan di rumah sendiri pun. Dan aku rasa,
tidak terlalu sulit untuk menebak apa alasannya."
"Barangkali," Oskar ikut bersuara, "Paman, Paul di samping
kepingin punya anak dan anjing, juga kepingin punya sepeda. Dan
ketika dia akhirnya berhasil mendapatkannya, Adolf malah melindas
sepeda itu. Mungkin saja itu yang menjadi awal dari permusuhan
mereka." "Dan sampai sekarang Adolf belum membayar ganti rugi," kata
Sporty. "Tapi kita takkan perlu menunggu begitu lama."
"Hanya sampai besok," ujar Oskar sambil mengangguk. "Dan
untuk satu hari itu aku akan memperhitungkan bunganya. Maksudnya,
ehm... Sporty, tolong hitung berapa bunganya, dong! Dibulatkan saja.
Aku agak kurang terlatih dalam soal hitung-menghitung."
"Yang penting kau secepatnya mulai berlatih dengan sepedamu
yang baru," jawab Sporty sambil ketawa, kemudian menuju ke garasi.
Mereka lalu menuntun sepeda masing-masing ke arah pintu
gerbang. Di bawah sebatang pohon cemara Bello berhenti dan
mengangkat kaki belakang. Kemudian ia mengendus-endus sambil
mendongakkan kepala. Rupanya ia mencium bau yang menarik. Petra
langsung melihat sumber bau itu: seekor anjing pudel berbulu hitam
dengan mata yang berkilauan. Anjing itu sedang diajak jalan-jalan
oleh seorang wanita. Ketika ketemu di jalan, kedua anjing itu langsung berkenalan
sambil mengibaskan ekor. Wanita tadi mengatakan bahwa Bello
sangat lucu. Ia juga bercerita bahwa anjingnya bernama Chico dan
sangat pemberani. Chico tidak takut pada apa pun, dan paling senang
menantang anjing herde yang jauh lebih besar ketimbang dia sendiri.
Kalau tidak ditahan-tahan, Chico selalu cari gara-gara.
"Padahal badannya kecil begini. Tapi biar kecil, Chico pantang
mundur." Petra telah berjongkok di hadapan kedua anjing itu. Dengan
tangan kiri ia membelai Bello. Tangan kanannya mengelus kepala
Chico. Kemudian gadis itu membuktikan bahwa ia tidak percuma
dijuluki SALAM. Langsung saja ia mengajak Chico bersalaman, dan
anjing itu pun menurut saja.
"Kelihatannya Chico menyukaimu," pemilik anjing itu
berkomentar sambil ketawa.
"Semua anjing menyukai Petra," Sporty menjelaskan.
"Barangkali nasibnya memang begitu."
Wanita di hadapannya tersenyum simpul, mengangguk dengan
ramah, lalu kembali berjalan. Chico mengikutinya dengan setengah
hati. Anjing itu sebenarnya masih kepingin bermain-main dengan
Bello. Karena itu wanita tadi terpaksa agak menarik-nariknya.
"Eh, Sporty," ujar Oskar tiba-tiba. "Kita harus cepat-cepat
kembali ke asrama. Kalau tidak, kita bakal telat untuk pelajaran
tambahan." "Oh, betul! Aku hampir lupa. Nah, ini kesempatan emas untuk
memecahkan rekormu yang lama dengan sepedamu yang baru!"
"Ah, aku tidak terlalu terburu-buru," jawab Oskar sambil
cengar-cengir. "Sebenarnya aku hanya kepingin tidur sebentar selama
jam pelajaran tambahan, supaya aku segar-bugar pada waktu makan
malam." Sporty tidak menjawab, sebab ia mendengar suara mobil itu.
Dan kini ia melihatnya: Ford Mustang yang tadi lagi. Pelan-pelan
mobil itu menyusuri jalan ke arah mereka. Pengemudinya masih orang
yang sama: si Mata Kodok. Dan dia pun masih sibuk menengok ke
kiri-kanan. Sambil menunduk Sporty memperhatikan orang itu.
"Ih, menakutkan," ujar Petra ketika mobil itu telah melewati
mereka. Dia merasa merinding.
"Siapa?" tanya Thomas. "Ford Mustang itu atau
pengemudinya?" "Tentu saja pengemudinya!"
"Tapi mobilnya juga tidak cocok untuk lingkungan seperti ini,"
Oskar berkomentar. "lni kan daerah perumahan mewah, bukan daerah
kumuh." Kemudian keempat sahabat itu berpencar. Petra dan Thomas
serta Bello menuju ke kota, sementara Sporty dan Oskar kernbali ke
asrama. Chapter 4 Awas, Bom! SIANG hari berikutnya - pada jam pelajaran ketiga: sekitar
1000 murid memenuhi ruang-ruang kelas. Dihitung secara kasar,
hanya sepertiga dari mereka yang benar-benar memperhatikan
pelajaran yang sedang diberikan oleh guru masing-masing. Sedangkan
selebihnya sibuk dengan urusan yang lebih penting. Misalnya mengisi
teka-teki silang, membaca novel, mengingat-ingat film detektif di TV
semalam, atau mimpi dengan mata terbuka.
Keadaan di luar bangunan sekolah jauh lebih ramai. Burungburung yang telah
kembali dari daerah selatan nampak bergerombol
sambil menikmati sinar matahari. Serangga-serangga beterbangan.
Pohon-pohon mulai menghijau kembali. Kucing milik Pak Mandl
mengejar-ngejar seekor tikus - namun sia-sia saja.
Di dapur, para juru masak sedang sibuk menyiapkan makan
siang untuk sekitar 200 penghuni asrama. Di kantor tata usaha,
suasananya lebih santai. Mereka yang tidak punya kerjaan hanya
berlagak sibuk. Keadaan di ruang kepala sekolah tenang-tenang saja.
Nona Weinrich, sekretaris yang baru, sedang menghabiskan
segelas yoghurt (susu asam) berkalori rendah. Ia berhati-hati sekali
dengan sendok plastik, sebab kukunya baru selesai dicat dan belum
kering. Nona Weinrich sedang beristirahat sambil memikirkan
tunangannya, seorang letnan angkatan bersenjata yang gemar
berdisko-ria. Tiba-tiba telepon di hadapannya berdering.
Nona Weinrich meletakkan sendoknya ke atas surat pada
Kanwil Departemen Pendidikan, lalu mengangkat gagang telepon
dengan tiga jari. Ia agak kesal karena istirahatnya terganggu.
"Kantor kepala sekolah," ia berkata sambil memperhatikan
kukunya. Yang pertama-tama didengarnya adalah bunyi napas. Kemudian
seorang pria berkata, "Saya anggota kelompok pemasang bom. Saya ingin
beritahukan bahwa dalam 30 menit salah satu bangunan sekolah Anda
akan diledakkan. Ini bukan lelucon. Kalian masih punya setengah jam
untuk..." Tiba-tiba terdengar suara aneh di latar belakang,
"Nama saya Lori dan saya pandai sekali."
"Diam, burung brengsek!" si pemasang bom berteriak.
Kemudian ia kembali berkata pada Nona Weinrich,
"Bagaimana" Sudah jelas" Kalian harus buru-buru kalau ingin
mencegah korban jiwa."
Klik - pria itu meletakkan gagang teleponnya.
Untuk sesaat Nona Weinrich diam terpaku di kursinya. Tapi
akhirnya ia menutup mulutnya yang sejak tadi menganga lebar.
Namun tanpa sengaja ia menggigit ujung lidahnya. Sebuah pekikan
nyaring. Ia melompat berdiri. Gelas berisi yoghurt sampai terbalik.
Tapi dalam keadaan seperti sekarang itu tidak penting lagi.
Wanita muda itu juga menjatuhkan kursinya, dan bergegas ke
arah kamar Pak Kepala Sekolah. Cat kukunya tergores ketika ia
menekan gagang pintu. DR. Freund, kepala sekolah asrama yang baik hati, baru saja
ketiduran di balik meja tulisnya. Kelelahan musim semi, begitu ia
menamakannya, walaupun keadaan itu bisa terus bertahan sampai
bulan November. Ia tersentak kaget ketika Nona Weinrich tiba-tiba
menyerbu masuk. "Nona Weinrich, apakah Anda tidak bisa mengetok pintu
dulu?" kepala sekolah itu bertanya dengan kesal. "Sejak kapan Anda
lupa sopan santun" Anda tidak lihat bahwa saya sedang bekerja keras"
Kejadian seperti ini jangan sampai terulang lagi!" Dengan cara yang
tidak menyolok ia menggosok-gosok kedua matanya. "Ada apa
sebenarnya?" "Saya... baru... terima... telepon... dari... seorang... pemasang
bom..." "Apa maksud Anda" Anda seperti baru lihat hantu saja!"
DR. Freund berbadan jangkung. Usianya sekitar 60 tahun.
Rambutnya sudah mulai memutih dan hidungnya agak bengkok. Ia
mengajar bahasa Latin dan kebudayaan Yunani kuno. Orangnya
terkenal berdisiplin tinggi. Tetapi ia juga disukai oleh muridmuridnya, karena
selalu bertindak adil. "Saya baru terima ancaman dari seorang pemasang bom.
Katanya, sekolah akan diledakkan. Dalam... setengah jam."
"Apaaa"!" DR. Freund langsung duduk tegak. Kesan mengantuk segera
lenyap dari wajahnya. Sementara itu anak-anak kelas 9b sedang menghadapi ulangan
matematika. Pak Neubert, guru mereka, berjalan mondar-mandir. Dalam hati
ia yakin bahwa dengan cara ini takkan ada yang bisa menyontek. Dan
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena selama ini belum pernah ada yang ketangkap basah, maka ia
beranggapan bahwa semua muridnya bekerja dengan jujur.
Suara berdengung memenuhi ruang kelas. Beberapa murid
rupanya tidak bisa berpikir tanpa bersuara, dan untuk menghitung
mereka harus menggunakan kesepuluh jari - seperti Oskar, misalnya.
Keringat dingin membasahi kening anak itu. Ia membenci pelajaran
matematika. Juga pelajaran-pelajaran yang lain. Sayang sekali di
sekolah mereka tidak ada pelajaran memasak. Dalam pelajaran ini
Oskar pasti akan jadi juara terus-menerus.
Sporty sudah lama selesai. Matematika memang pelajaran
kesukaannya - di samping olah-raga.
Ia meletakkan kertas ulangannya sedemikian rupa, sehingga
Oskar bisa menyalin semua soal. Tapi sayangnya Pak Neubert telah
memisahkan mereka. Kedua anak itu memang masih duduk di bangku
yang sama, tapi pada ujung-ujung yang berjauhan.
Karena tidak berani menoleh, Oskar terpaksa melirik. Tapi
jaraknya terlalu jauh. Kini Thomas, si Komputer, juga telah selesai. Sebenarnya, ia
merasa bahwa masih ada yang salah, namun ia terlalu malas untuk
memeriksa kembali pekerjaannya. Sambil menyandarkan kepala pada
kedua tangan, ia mengamati sebuah angka nol yang nampak indah
sekali. Petra, yang memang kurang suka matematika, terpaksa
memeras otak. Gadis itu lebih jago dalam bidang bahasa. Dan dalam
pelajaran-pelajaran lain ia juga selalu mendapat angka di atas ratarata.
"15 menit Iagi!" Pak Neubert mengumumkan.
Oskar mendesah perlahan. Mudah-mudahan sekolah keburu
disambar petir, ia berkata dalam hati.
Tepat pada detik itu, pengeras suara di pojok ruangan berbunyi.
Anak-anak segera terdiam.
Pak Neubert, yang sedang berdiri di depan, segera menatap ke
arah pengeras suara-sambil membelakangi murid-muridnya.
Kesempatan emas, pikir Sporty, lalu menyorongkan kertasnya
ke arah Oskar. "Perhatian, perhatian!" suara DR. Freund terdengar. "Harap
seluruh ruang kelas segera dikosongkan. Saya mengulangi: ruang
kelas segera dikosongkan! Semua murid dan guru berkumpul di
lapangan olahraga. Ini juga berlaku bagi pegawai-pegawai yang lain,
termasuk bagian pemeliharaan bangunan, staf P3K, petugas dapur,
serta karyawan tata usaha."
Ia terdiam sejenak, seakan-akan sedang mempertimbangkan
apakah perlu ada penjelasan lebih lanjut, kemudian kembali berkata,
"Saya baru saja menerima ancaman lewat telepon. Dalam waktu
kurang dari 30 menit salah satu bangunan sekolah akan diledakkan.
Sekian!" Sporty nyaris tidak mempercayai pendengarannya.
Pak Neubert begitu terkejut sehingga mundur dua langkah.
"Wah, kebetulan!" seru Oskar dengan lega.
Dalam sekejap saja ruang kelas telah menjadi hingar-bingar.
Tak ada murid yang ingat bahwa ia sedang mengerjakan ulangan
matematika. Sebagian besar anak-anak langsung bangkit dari tempat
duduk masing-masing. "Tenang, tenang!" teriak Pak Neubert sambil melambailambaikan tangan seperti
pemimpin orkes philharmonic.
"Pasti ulah para pemasang bom," ujar Thomas, yang duduk di
belakang Sporty. "Mungkin saja," jawab anak itu. "Tapi bagaimana caranya
mereka membawa bom ke sini?"
"Kertas ulangan dikumpulkan dulu!" Pak Neubert kembali
berseru. "Tapi - jangan! Tinggalkan saja di tempat masing-masing.
Semua keluar kelas dengan teratur.. Jangan panik, Anak-anak! Masih
lama sampai bom itu meledak. Ayo, berbaris dua-dua!"
Dua-dua! Tentu saja Sporty langsung berada di samping
Petra - seperti biasanya kalau mereka menghadapi keadaan bahaya.
Tapi gadis itu rupanya masih bisa menguasai diri. Ia mengeluarkan
setangkap roti dari tas, lalu menggigit ujungnya.
"Mau?" ia bertanya pada Sporty. "Tapi jangan dihabiskan, ya.
Tadi pagi aku bangun kesiangan, sehingga tidak sempat sarapan.
Bagaimana, kau ikut ke lapangan olahraga?"
Sporty nyengir lebar. "Kalau kau mau, kita bisa tinggal lebih lama di sini. Begitu
bomnya meledak, aku akan menyelamatkanmu."
"Bagaimana caranya?"
"Aku akan menggendongmu, kemudian lari menembus kobaran
api." "Huh, kenapa aku tidak boleh lari sendiri" Aku kan punya
kaki?" "Ayo, Anak-anak!" kata Pak Neubert sambil bertepuk tangan.
Langsung saja Sporty menyambar map Petra. Kemudian mereka
meninggalkan kelas bersama Thomas dan Oskar.
Pak Neubert sudah mulai tidak sabaran. Dengan gelisah ia
berjalan mondar-mandir. Sebagai ahli matematika, ia kelihatannya
kurang percaya pada ketepatan sebuah bom waktu. Siapa tahu bom itu
meledak sebelum waktunya"
Seluruh sekolah terasa bergetar ketika murid-murid bergegas
keluar. Para penakut berlari seperti dikejar setan - dengan wajah pucat
dan mata terbelalak. Di antara mereka ada sejumlah anak yang
biasanya selalu berkoar bahwa mereka tidak takut pada apa pun.
Kalau para penakut berlari sekencang-kencangnya, maka
murid-murid yang berdarah dingin malah tenang-tenang saja. Mereka
berjalan dengan santai, seakan-akan menuju ke lapangan olahraga
untuk menyaksikan pesta kembang api.
Beberapa guru yang sok penting terus-menerus meneriakkan
perintah yang tidak diikuti oleh siapa pun. Seorang badut berteriak,
"Awas! Tiarap! Bomnya meledak!" Murid lain malah mengaku bahwa
ia telah melihat bom itu, "Di tempat sampah di WC!"
"Kebetulan, kebetulan sekali," ujar Oskar dengan riang. "Ini
namanya penyelamatan pada detik terakhir."
"Maksudmu, penyelamatan dari ulangan matematika?" tanya
Thomas. "Jelas! Seandainya belum ada pemasang bom di dunia, maka
aku akan menciptakannya - khusus untuk sekolah-sekolah. Bom yang
dipakai cukup yang kecil saja. Asal ada asap dan bunyi ledakan.
Jangan sampai ada kerusakan. Yang penting, pelajaran terganggu."
"Astaga, Oskar Sauerlich! Di mana rasa tanggung jawabmu
sebagai warga negara?" ujar Sporty sambil nenahan tawa. "Dengan
sikap seperti itu kau takkan pernah jadi dewasa."
Sekelompok murid sok jago dari kelas 10a mempergunakan
kesempatan ini untuk menteror anak-anak yang lain. Dengan kasar
mereka mendorong-dorong barisan murid dari belakang.
Gunter Samisch, seorang pemuda berbadan gempal dengan
muka penuh jerawat, terlambat menyadari bahwa Petra-lah yang
didorongnya. Gadis itu mengaduh kesakitan dan terdorong ke dinding.
Sporty mendengarnya dan langsung berbalik.
"Bukan aku!" teriak salah seorang murid kelas 10a. "Si Gunter
yang mendorong Petra!"
Gunter Samisch masih berusaha untuk menangkis tamparan
yang mengarah ke mukanya. Namun terlambat! Tangan Sporty telah
mendarat dengan keras. "Awas! Kau akan merasakan akibatnya," ujar Gunter sambil
memegangi pipinya. Tapi yang dimaksudnya bukan Sporty, melainkan
teman sekelasnya yang langsung gemetar ketakutan.
"Kalau kau berani menyentuh si Wilfried," Sporty mengancam,
"maka kau akan berurusan dengan aku. Dan kali ini aku tidak mainmain."
Kemudian Sporty menyuruh Petra berjalan di antara Thomas
dan Oskar. Bersama-sama mereka bergabung kembali dengan antrian
panjang yang menuju ke pintu keluar.
"Terima kasih," ujar Petra. "Kau selalu bersikap seperti ksatria
sejati!" "Bagaimana maksudmu?" tanya Sporty.
"Maksudku, jangan selalu pakai kekerasan kalau ada yang jail."
"Habis, bagaimana dong" Apa aku harus memberi ceramah
mengenai tatakrama?"
"Mungkin itu lebih baik."
"Tapi orang seperti si Gunter tidak bisa dihadapi dengan cara
yang halus," Sporty membela diri.
Kaum wanita memang tidak menyukai kekerasan, ia lalu
berkata dalam hati. Sebenarnya sih, tidak ada yang menyukai
kekerasan. Tapi selalu saja ada yang mulai cari gara-gara. Kalau sudah
begitu, sering tidak ada pilihan lain.
Sambil memikirkan kenyataan ini, Sporty akhirnya sampai di
pintu. Sebagian besar murid sekolah asrama sudah berada di luar. Atas
desakan para guru, mereka lalu mulai bergerak ke arah lapangan
olahraga. Di sana, jauh dari bangunan-bangunan sekolah, keadaannya
paling aman. Matahari bersinar cerah. Seharusnya, pelajaran bisa saja
dilanjutkan di udara terbuka. Tapi untuk itu diperlukan kursi, sebab
tanah masih terlalu lembap untuk diduduki.
Semua orang kini berdesak-desakan di lapangan olahraga.
Para guru berdiri mengelompok. Dengan cemas mereka
menatap ke arah sekolah. Bangunan tempat tinggal para guru yang
belum berkeluarga juga sudah dikosongkan.
Pak Klostermann, pemilik dua buah lukisan kuno yang sangat
berharga, telah berhasil menyelamatkan hartanya. Dengan
mempertaruhkan nyawa, ia berlari dari ruang kelas 5c ke kamarnya.
Dan kini, kedua lukisan yang sudah dibungkus kertas koran itu
dibawanya ke mana-mana. Barang-barangnya yang lain boleh saja
meledak, asal jangan kedua lukisan itu. Benda-benda seni itu
diwarisinya dari seorang paman yang kaya, dan kini merupakan modal
bagi masa depan yang lebih cerah.
"20 menit lagi," ujar Sporty.
"Kau yakin bahwa si pemasang bom tepat waktu?" tanya
Thomas. "Jangan-jangan dia sengaja menyiksa kita."
"Wah, seru juga!" Oskar tiba-tiba merasa seperti sedang nonton
film. "Ini pertama kali bahwa aksi para pemasang bom didahului oleh
sebuah pengumuman," kata Petra.
"Ya, aku juga sedang memikirkan hal itu," Sporty mengangguk.
"Sebenarnya, ini agak aneh. Kenapa pakai pengumuman segala"
Kecuali kalau... Ya, aku rasa ini jawabannya. Mereka tidak ingin
sampai ada korban jiwa!"
"Betapa mulia!" kata Oskar. "Barangkali mereka ingin dikenang
sebagai penjahat yang baik hati."
"Atau," Sporty melanjutkan, "yang menelepon tadi hanya orang
iseng. Dan ini berarti bahwa sama sekali tidak ada bom di sekolah
kita." "Kalau begitu," Oskar segera berkomentar, "kita bisa kernbali
dengan tenang. Tapi kalau ternyata... Demi Tuhan! Bayangkan kalau
bom itu meledak di bangunan utama dan memporak-porandakan
SARANG RAJAWALI. Wah, persediaan coklatku! Masih ada 27
keping! Semuanya hancur berantakan!"
"Setiap musibah pasti ada hikmahnya," kata Sporty tanpa
merasa kasihan pada sahabatnya.
Oskar langsung berdiri tegak.
"Aku sekarang mau ke SARANG RAJAWALI untuk
menyelamatkan makananku," katanya dengan gagah.
Kemungkinan besar ia hanya main-main. Tapi untuk berjagajaga, Petra segera
memegangi bajunya. "Jangan macam-macam, Oskar! Kau jangan nekat hanya untuk
coklat itu." "Ya, benar juga, sih! Lagi pula, aku toh bisa mendapatkan
gantinya." Semakin mendekati batas waktu yang diberikan si penelepon,
suasana semakin tegang. Tapi di antara murid-murid tak ada seorang
pun yang nampak sedih. Tiba-tiba terdengar suara, "Ahhh!" secara serempak. Ternyata
DR. Freund baru sekarang meninggalkan bangunan utama. Ia
mengenakan mantel musim dingin yang tebal - murid-murid yang
lebih tua tahu bahwa mantel itu sudah dipakainya selama enam tahun
berturut-turut - dan melangkah dengan tegak.
Sporty menduga bahwa DR. Freund telah menghubungi polisi
dan dinas pemadam kebakaran. Sebentar lagi para petugas itu pasti
sudah bermunculan. Sementara itu anak-anak sudah mulai tidak sabaran. Di sanasini terdengar
komentar-komentar dengan nada mengejek.
"Kapan mulainya, nih?" - "Jangan-jangan tidak jadi!" "Kembalikan uangku!" - "Tempat duduk saja tidak ada!" Seorang
murid kelas 5 berteriak dengan nyaring,
"Hidup para pemasang bom! Hidup! Hidup!Hi...."
Tiba-tiba ia terdiam, sebab seorang guru yang berdiri di
belakang anak itu menamparnya dengan keras.
"Eh, kau dengar itu?" Sporty bertanya pada Petra. Yang
dimaksudnya adalah suara sirene yang semakin mendekat.
Sesaat kemudian mereka melaju melewati pintu gerbang: tiga
mobil patroli polisi, diikuti oleh kendaraan pemadam kebakaran.
Tidak lama kemudian mobil ambulans serta mobil dinas bantuan
teknis menyusul. "Hebat!" ujar Oskar terkagum-kagum. "Mudah-mudahan saja
bomnya memang ada." Tapi ia segera meralat kata-katanya ketika melihat Komisaris
Glockner turun dari mobil patroli yang paling depan.
DR. Freund dan wakilnya yang bernama Speckeisen segera
menghampiri para polisi. Ayah Petra langsung berbicara dengan
mereka. Pembicaraan itu ternyata singkat saja. Dalam sekejap
petugas-petugas dengan pakaian pengaman menyebar ke semua
bangunan sekolah. Bagaimana perasaan mereka" pikir Sporty. Mereka pasti tahu
bahwa bom itu bisa meledak setiap saat.
Ia melirik jam tangannya. Batas waktu yang diberikan ternyata
sudah lewat beberapa menit.
"Sekarang mereka mulai mencari bom," Oskar menerangkan
kesibukan para petugas. "Oh ya?" Petra berlagak baru tahu. Pandangan gadis itu terus
terarah pada ayahnya. "Aku kira orang-orang itu akan meneruskan
ulangan rnatematika kita."
"Kalau aku jadi ayahmu," ujar Oskar, "aku takkan berani berdiri
di dekat bangunan utama."
"Pak Glockner pasti sudah mempertimbangkan risikonya," kata
Sporty. Sebenarnya, ia ingin mendatangi ayah Petra itu. Tapi selain
para petugas serta Pak Kepala Sekolah dan wakilnya, tak seorang pun
yang diizinkan mendekat. Menit demi menit berlalu. Tapi tidak ada kejadian yang
sensasional. Anak-anak semakin tidak tertarik. Mereka berjalan
mondar-mandir untuk mengusir rasa bosan. Satu jam telah lewat. Tak
ada ledakan. Dan bomnya juga belum ditemukan. Tiga bangunan telah
selesai "dibersihkan". Sementara itu, Pak Klostermann sibuk
memamerkan kedua lukisannya pada pengamat-pengamat seni yang
berminat.
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pak Speckeisen datang, lalu mengumumkan bahwa mereka
yang tidak mau berdiri di luar bisa memasuki aula olahraga. Semua
murid yang bukan penghuni asrama boleh pulang ke rumah masingmasing.
"Wah, ini pertama kalinya aku masuk ke aula olahraga tanpa
dipaksa," kata Oskar. "Ayo, cepat dong! Nanti kita tidak kebagian
tempat duduk. "Duluan saja!" jawab Sporty. "Aku akan menemani Petra."
Oskar mengangguk, lalu menuju ke aula olah-raga.
Petra dan Thomas berjalan ke tempat penyimpanan sepeda di
dekat lapangan olahraga. Sporty mengambil sepeda balapnya di
gudang bawah tanah. Dengan santai ketiga sahabat itu lalu menyusuri
jalan ke arah kota. "Dugaanmu ternyata tepat sekali," Thomas berkata pada Sporty.
"Semuanya hanya ulah orang iseng."
"Orang itu mungkin menganggapnya sebagai lelucon," ujar
Sporty, "tapi apakah dia sudah memperhitungkan segala akibatnya"
Kejadian seperti ini tidak bisa dianggap enteng! Lihat saja berapa
banyak petugas yang datang tadi. Dan bayangkan berapa banyak
tenaga, waktu, dan uang yang terbuang dengan percuma."
"Kemungkinan besar si penelepon gelap itu sama sekali tidak
ada hubungan dengan para pemasang bom," Petra lalu mengemukakan
pendapatnya. "Ya," Sporty membenarkan. "Aku rasa dia hanya ingin
membuat orang jadi panik. Tapi ini juga belum tentu benar."
"Kejadian-kejadian seperti inilah yang membuat ayahku tambah
repot," Petra mengeluh. "Ayahku hampir tidak punya waktu luang
lagi. Satu-satunya hiburannya sekarang adalah perjalanan ke kantor
dan pulang ke rumah."
"Ayahmu masih jalan kaki ke kantor?" tanya Thomas.
"Masih. Dan dalam cuaca apa pun."
Ketiga sahabat itu telah sampai di batas kota, lalu menempuh
jalan yang berbeda-beda. Sporty dan Petra terus ke arah pusat kota.
Thomas membelok ke arah lain. Tapi ia berjanji untuk muncul
di rumah Petra paling lambat pukul 14.00. Soalnya nanti sore mereka
akan mendatangi Adolf Burkert untuk kedua kalinya.
Chapter 5 Serangan Nekat PUKUL 12.00 tepat - jam makan siang. Suasana di pusat kota
sedang ramai-ramainya. Asap kendaraan bermotor membuat udara
terasa menyesakkan. Beberapa pengemudi yang terjebak macet di
Jalan Pos rupanya tidak tahan lagi. Tak henti-hentinya mereka
menekan klakson. Sementara itu, polisi nampak tak berdaya
menghadapi keadaan lalu lintas yang semrawut. Hanya para pejalan
kaki saja yang masih bisa tersenyum-senyum. Dengan santai mereka
melewati mobil demi mobil dalam perjalanan ke tempat makan siang.
Beginilah keadaan di pusat kota setiap hari kecuali pada hari
Minggu. "Petra, sebaiknya kita jangan lewat sini," ujar Sporty. "Kasihan
paru-paru kita kalau terpaksa menghirup asap mobil. Lebih baik kita
ambil jalan lain saja. Jaraknya memang lebih jauh, tetapi kita bakal
lebih cepat sampai di rumahmu."
"Boleh saja. Aku juga malas kalau harus lewat sela-sela mobil.
Tapi biasanya sih, keadaan seperti ini tidak bertahan lama. Kalau
orang-orang sudah mulai makan, jalanan pasti sepi lagi."
Kedua anak itu lalu melewati jalan-jalan yang sempit dan
berkelok-kelok. Sebenarnya, jalan-jalan itu khusus untuk pejalan kaki
saja. Sepeda dilarang lewat. Karena itu Sporty dan Petra selalu
mengerem kalau menyusul atau berpapasan dengan seorang pejalan
kaki. Tidak lama kemudian mereka sampai di Jalan Hebel, yang
membatasi daerah kota lama di mana Petra tinggal bersama
orangtuanya. Tanpa terburu-buru kedua sahabat itu menggenjot sepeda
masing-masing. Sporty terus-terusan melirik ke arah Petra sambil
mengagumi rambutnya yang nampak berkilau-kilau. Hari ini gadis itu
menjepitnya dengan dua jepitan berwarna hitam.
Makin lama dia makin cantik saja, ujar Sporty dalam hati. Apa
jadinya kalau begini terus"
Dari jauh toko bahan makanan milik ibu Petra sudah kelihatan.
Rumah mereka berada di atasnya. Garasi mereka, yang terletak kirakira 300 meter
di seberang jalan, terlihat jelas dari jendela ruang tamu.
Garasi itu mereka sewa dari seorang wanita tua yang tidak
memerlukannya lagi. Wanita itu sudah berusia 80 tahun dan kini bila
bepergian selalu naik bus atau taksi.
"Kalau dipikir-pikir," kata Sporty, "kalian sebenarnya jarang
sekali pakai mobil."
"Ya, paling-paling pada akhir pekan. Atau kalau ibuku lagi ada
keperluan." "Sarnpai sekarang masih mulus" Atau sudah penyok?"
Yang dimaksud Sporty adalah BMW putih yang baru bulan
Januari lalu dibeli oleh Pak Glockner.
"Sampai sekarang sih masih mulus," jawab Petra. "Tapi ibuku
sedang berusaha keras."
"Kenapa tidak minta bantuanku saja" Kalau mau, aku bisa bawa
palu dari asrama." "Awas kalau kau berani macam-macam!" kata Petra sambil
ketawa. Kemudian mereka berhenti di depan toko Bu Glockner.
Melalui jendela kedua anak itu melihat ibu Petra yang sedang
melayani seorang pembeli.
Sporty melambaikan tangan, dan Bu Glockner segera
membalasnya. Wanita itu sangat menyukai Sporty, dan Sporty begitupun anak-anak STOP yang lain - sangat menghormati Bu
Glockner. Wajah Petra dan wajah ibunya sangat mirip. Karena itu,
Sporty sudah bisa membayangkan tampang Petra pada waktu dewasa
nanti. "Ibuku harus kuberitahu mengenai kejadian di sekolah tadi,"
ujar Petra. Namun sebelumnya, mereka menuntun sepeda masing-masing
ke halaman belakang. Di sana keadaannya lebih aman.
Bu Glockner baru saja selesai melayani pembelinya.
Petra masuk lewat pintu belakang dan segera mencium pipi
ibunya. "Bu, Ayah datang ke sekolah tadi. Gara-gara ada ancaman
bom!" "Ah, yang benar?" ujar Bu Glockner sambil menyalami Sporty.
Sementara Petra sibuk bercerita, anak itu hanya berdiri sambil
sekali-sekali menganggukkan kepala.
"Mudah-mudahan kita beruntung, dan ayahmu pulang untuk
makan siang," kata Bu Glockner. "Nanti kita akan dengar bagaimana
kelanjutannya. Oh ya, Sporty, kau makan di sini saja sekalian. Saya
bikin sop kacang merah campur sosis."
"Wah, itu salah satu makanan kesukaan saya," ujar Sporty.
"Dan kalau Anda yang memasak, rasanya pasti lezat sekali."
"Nah, sebenarnya dia bisa sopan juga," kata Petra sambil
ketawa, "asal mau saja."
Sporty baru saja hendak menjawab bahwa ia selalu bersikap
seperti itu, ketika tiba-tiba ia menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh
di dekat garasi keluarga Glockner.
Ia masih sempat melihat sebuah bayangan gelap menghilang di
balik bangunan itu. Bayangan itu sebenarnya tidak mencurigakan. Mungkin saja
ada orang yang kebetulan lewat. Tapi ada hal lain yang membuat
Sporty tertegun: pintu garasi kini terbuka lebar.
"Eh Petra, kelihatannya ada orang di garasi kalian!" seru Sporty
sambil bergegas ke arah pintu.
Ia bermaksud berlari sekuat tenaga ke arah garasi. Tapi tepat
pada detik itu sebuah truk gandengan lewat dan menutupi
pandangannya. "Astaga!" ujar Petra yang langsung menyusul keluar. "Pintu
garasi kita dibongkar."
Orang gila! pikir Sporty sambil berlari. Mereka mau mencuri
mobil polisi yang paling hebat di seluruh kota!
Seperti panah terlepas dari busurnya anak itu menyusuri
jalanan. Tak ada pejalan kaki lain. Tapi pengendara sepeda yang
berpapasan dengan Sporty sampai terheran-heran melihatnya.
Pintu garasi keluarga Glockner, yang hanya bisa dibuka keluar,
menghalangi pandangannya. Baru setelah berada tepat di depannya
Sporty bisa melihat ke dalam.
Wah, untung saja! pikir Sporty sambil berhenti. Napasnya
tersengal-sengal. Mobil BMW putih milik Pak Glockner ternyata masih ada. Tak
seorang pun berada di dalam garasi.
Sambil menarik napas dalam-dalam, ia lalu menunggu Petra.
Gadis itu juga berlari sekencang mungkin, namun tertinggal jauh di
belakang. Dengan saksama Sporty mengamai daerah di balik garasi. Tapi
tak seorang pun terlihat. Siapa pun yang tadi membuka pintu garasi
sudah kabur entah ke mana.
"Untung! Masih... ada!" ujar Petra dengan napas memburu.
Rambutnya yang pirang melambai-lambai tertiup angin.
"Kemungkinan anak iseng yang..." Sporty mulai berkata.
Namun kalimat itu tak sempat diselesaikannya.
Kap mesin tiba-tiba membuka. Kelihatannya aneh sekali ketika
lempengan logam itu terlempar ke langit-langit garasi. Api
menyambar dari ruang mesin - diiringi asap dan - kilatan cahaya.
Mesin itu sedang meledak!
Sporty segera menarik Petra dan menjatuhkan diri. Pekikan
kaget gadis itu tenggelam dalam suara ledakan yang memekakkan
telinga. Pecahan-pecahan kaca terpental ke segala arah.
Petra tertelungkup di trotoar - di bawah Sporty. Anak itu
menggunakan badannya untuk melindungi Petra. Kedua tangannya
menutupi kepala gadis itu - sebagai perisai hidup. Satu-satunya bagian
tubuh yang terancam adalah kaki.
Tapi ternyata ledakan itu hanya terjadi di dalam garasi. Orang
yang berdiri di pintunya pun takkan mengalami cedera.
Kini keadaan kembali hening.
Sporty bangkit, lalu membantu Petra berdiri.
"Sori, kalau aku terpaksa bersikap kasar," katanya. "Tapi
semuanya berlangsung begitu cepat. Aku hanya berusaha agar kau
jangan sampai luka."
"Ah, tidak apa-apa," jawab Petra sambil membersihkan
celananya. "Paling juga lecet sedikit. Dan itu karena kau menindih
aku." Mereka saling bertatapan. Petra mulai ketawa. Sporty juga ikut,
tetapi ia segera menyadari, bahwa kegembiraan Petra adalah akibat
dari rasa kaget yang berlebihan. Dalam hati, gadis itu mungkin merasa
seperti mau menangis. "Gila!" Sporty mengumpat pelan sambil mengepalkan tangan.
Ini adalah serangan bom! Mobil Pak Glockner hancur total. Paling
tidak bagian depannya. Tinggal besi tua saja! Hmm, serangan
terhadap Komisaris Glockner! Terhadap keluarga Glockner! Terhadap
Petra! Wah, gawat! Kalau saja terjadi sesuatu dengan Petra... Bajingan
itu tidak boleh diberi ampun.
Petra telah terdiam. "Sporty, mobil kami rusak," ia berkata dengan suara parau.
"Ya, kelihatannya mobil kalian untuk sementara tidak bisa
dipakai," ujar Sporty sambil mengangguk. "Tapi jangan khawatir.
Sebagai polisi, ayahmu pasti diasuransi terhadap kejadian-kejadian
seperti itu. Yang lebih gawat... sepertinya para pemasang bom itu
sudah tahu bahwa ayahmu yang memimpin penyelidikan terhadap
mereka. Barangkali ini suatu peringatan dari mereka, agar ayahmu
jangan terlalu giat. Tunggu sebentar, aku mau memeriksa mobil
kalian. Tapi kau jangan ikut masuk."
Orang-orang sudah mulai berkerumun. Bu Glockner sedang
berlari mendekat. Para tetangga muncul di jendela masing-masing.
Pengendara sepeda yang tadi berpapasan dengan Sporty juga berhenti,
dan memandang ke arah garasi. Tak ada yang mau melewatkan
tontonan gratis seperti itu.
Dengan hati-hati Sporty memasuki garasi. Bau aneh tergantung
di udara. Mungkin bau logam panas.
Perlahan-lahan Sporty mendekati bangkai mobil. Untuk sesaat
ia nampak ragu-ragu. Sebab masih ada kemungkinan bahwa tangki
bensin akan ikut meledak. Namun kemudian ia rnemberanikan diri.
Dalam sekejap saja anak itu memastikan bahwa seluruh isi
ruang mesin telah hancur berantakan. Kaca pintu sopir juga pecah.
Pecahan-pecahannya berserakan di kursi. Kemungkinan besar si
pemasang bom sempat membuka kap mesin. Dan itu hanya bisa
dilakukan dari dalam. Kemudian ia memasang bomnya di bawah tutup
mesin. Sporty tidak menyentuh apa-apa. Ketika keluar dari garasi, ia
melihat bahwa sudah sekitar 30 orang berkumpul di seberang jalan.
Dan masih banyak lagi yang sedang berdatangan. Semuanya
memandang ke arah garasi. Kecuali satu orang.
Orang itu berdiri sekitar 200 meter dari kerumunan orang.
Wajahnya setengah tersembunyi di balik bayangan topi. Tapi Sporty
segera rnengenalinya. Orang itu adalah si Mata Kodok.
Ia melipat kerah mantelnya ke atas, lalu berjalan menuju mobil
Ford Mustang penuh karat yang parkir di tepi jalan. Mobil itulah yang
kemarin nampak mondar-mandir di depan rumah Adolf Burkert.
Namun si Mata Kodok tidak duduk di belakang kemudi. Ia
duduk di kursi sebelah. Di belakang kemudi sudah ada seseorang,
yang hanya terlihat secara samar-samar oleh Sporty.
Ford Mustang itu berangkat.
Astaga! pikir Sporty. Ini pasti bukan kebetulan belaka! Dari
kemarin aku sudah curiga pada si Mata Kodok itu. Orang seperti dia
mungkin saja memasang bom. Dan sekarang dia kabur seakan-akan
peledakan mobil Pak Glockner tidak ada sangkut-pautnya dengan dia.
Dia bahkan tidak kepingin melihat bangkai mobil BMW itu, padahal
orang-orang yang lain malah berebutan. Aduh, plat nomornya!
Kenapa aku tidak mencatat... Ah, nanti saja aku menyelidikinya!
Ia lalu menghampiri Petra dan Bu Glockner. Mata keduanya
nampak berkaca-kaca. Namun mereka berusaha untuk tabah.
Sporty bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka.
Menjadi sasaran suatu serangan bom memang cukup
mengguncangkan jiwa. "Bomnya tidak terlalu kuat," ujar Sporty.
"Kekuatannya hanya cukup untuk menghancurkan kap mesin.
Kalau pun ada penumpang di dalamnya, maka mereka takkan
mengalami cedera. Hanya kaca depan yang... Barangkali." ia
merendahkan suaranya, "serangan ini tidak ditujukan pada suami
Anda, Bu Glockner. Barangkali hanya kebetulan saja mobil Anda
yang dipasangi bom. Sebab... mana ada penjahat yang berani
menantang suami Anda?"
"Tapi... saya mencemaskan keselamatannya," jawab Bu
Glockner dengan suara bergetar.
Petra segera merangkul ibunya. Sporty sebenarnya ingin
mengikuti contoh Petra, namun tidak berani.
Alarm di sekolah tadi ternyata hanya usaha untuk mengalihkan
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perhatian, pikir Sporty. Adakah hubungan antara ancaman di sekolah
tadi dengan ledakan ini"
"Bu Glockner," katanya kemudian. "Kita harus segera
menghubungi suami Anda."
***********************************
Petra membantu ibunya di dapur. Sporty berdiri di samping
Komisaris Glockner di depan jendela kamar tamu. Keduanya
memandang ke arah garasi di Jalan Hebel, yang sudah dipasangi pagar
penghalang oleh sejumlah petugas berseragam.
Para ahli bahan peledak dari komisi khusus yang dibentuk Pak
Glockner sedang memeriksa bangkai mobil di dalam garasi. Tugas ini
merupakan wewenang kelompok teknik. Komisaris Glockner hanya
bisa menunggu hasil pemeriksaan mereka. Oleh karena itu ia pulang
ke rumah untuk makan siang bersama Petra dan istrinya. Namun
sebenarnya tidak ada yang bernafsu makan.
Pada awal pemeriksaan, para anggota kelompok teknik
langsung bisa memastikan bahwa bahan peledak yang dipakai ternyata
sama dengan bahan peledak yang digunakan oleh para pemasang bom
yang misterius. Pak Glockner, seorang pria berbadan tegap dengan sorot mata
yang selalu berkesan menyelidik, baru beberapa menit yang lalu tiba
di rumahnya. Kini ia menceritakan ancaman yang disampaikan si
penelepon gelap pada Nona Weinrich.
"Suara serak yang terdengar di latar belakang," katanya, "itu
pasti suara seekor burung nuri. Ini mungkin suatu petunjuk penting.
Tapi mungkin juga ini hanya jebakan untuk mengalihkan perhatian
kita." "Apakah penelepon gelap itu merupakan salah satu dari para
pemasang bom?" "Tadi pagi, saya masih akan menjawab: tidak! Penelepon gelap
seperti itu biasanya hanya ingin menakut-nakuti orang tanpa perlu
bersusah-payah. Tapi sekarang saya jadi ragu-ragu. Barangkali para
pemasang bom ingin memastikan bahwa saya tidak pergi ke garasi.
Dengan mengancam sekolah kalian, mereka yakin bahwa saya akan
pergi ke sana. Dan sementara itu, mereka bisa memasang bom dengan
tenang. Hanya karena saya memimpin penyelidikan terhadap
mereka?" "Barangkali ini semua hanya kebetulan saja," ujar Sporty.
"Bagaimana maksudmu?"
"Ancaman bom di sekolah. Lalu tindakan balas dendam
terhadap Anda di sini. Ini mungkin saja hanya ulah seseorang yang
ikut-ikutan - seseorang yang tidak ada hubungannya sama sekali
dengan para pemasang bom."
"Kemungkinan seperti itu memang ada."
"Apakah ada yang Anda curigai?"
"Aduh, Sporty! Entah berapa orang yang mungkin dendam
terhadap saya. Jumlahnya sudah tidak terhitung lagi."
"Tapi di antara mereka barangkali ada seorang pria berusia
sekitar 40 tahun. Wajahnya kotak, dengan kulit pucat. Matanya biru
dan menyorot dingin - tanpa bulu mata. Alisnya juga tidak ada. Dia
naik Ford Mustang yang sudah karatan."
Komisaris Glockner berpaling dan menatap Sporty.
"Hmm, rasanya saya tidak mengenal siapa pun yang cocok
dengan gambaran yang kauberikan. Tapi, ada apa sebenarnya?"
"Saya yakin bahwa orang itulah yang meledakkan mobil Anda."
Sporty lalu bercerita. Komisaris Glockner mendengarkannya dengan penuh perhatian.
"Menarik sekali, Sporty. Seandainya bukan kau yang
mengatakannya, maka tanggapan saya pasti: satu-satunya hal yang
aneh adalah bahwa si Mata Kodok kurang tertarik pada ledakan di
garasi saya. Tapi itu tidak harus berarti bahwa dialah pelakunya.
Mungkin saja orang itu sedang terburu-buru. Tapi berhubung kau
yang mengatakannya, maka petunjuk ini akan saya perhatikan. Sudah
terbukti bahwa nalurimu dapat diandalkan."
Petra muncul di ambang pintu, dan mengumumkan bahwa
makan siang sudah siap. Berempat mereka lalu duduk mengelilingi meja makan. Sop
kacang merah buatan Bu Glockner ternyata lezat sekali, sehingga
sernuanya makan dengan lahap. Dan suasana pun menjadi lebih cerah.
Begitu mereka selesai makan, telepon tiba-tiba berdering.
Yang dicari adalah Komisaris Glockner: telepon dari kantornya.
Ayah Petra mendengarkan lawan bicaranya, menjawab, "Saya
segera datang!" lalu meletakkan gagang.
"Kelompok Diablo baru saja merampok seorang wanita. Jalan
Hebel nomor 18." "Itu kan di. dekat sini," seru Sporty terkejut. "Kira-kira di
seberang garasi Anda, bukan?"
"Agak lebih jauh lagi," kata Pak Glockner sambil mengangguk.
"Kau boleh ikut. Rasanya, saya akan memerlukan bantuanmu."
Chapter 6 Kelompok Diablo Beraksi RUMAH nomor 18 adalah sebuah gedung berlantai tiga dengan
angka 1900 - tahun pembuatannya - terpampang di atas pintu masuk.
Di lantai dasarnya ada sebuah kedai minum bernama SUDI MAMPIR.
Seorang pria dengan mata berkaca-kaca nampak berdiri di depan pintu
kedai minum. Rupanya dia terlalu banyak minum dan kini
kebingungan mencari kunci mobilnya.
Komisaris Glockner menghampiri seorang petugas berseragam
yang berdiri di pojok bangunan.
"Tolong urus orang mabuk itu. Dia sudah tak sanggup
mengemudikan mobil."
Polisi itu tersenyum, lalu meninggalkan posnya. Mobil patroli
diparkir di seberang jalan, namun pria mabuk tadi tidak
memperhatikannya. Sementara itu mobil ambulans menunggu dengan
mesin tetap dinyalakan. Pintu untuk mencapai hunian di lantai-lantai atas berada di balik
pojok bangunan. Komisaris Glockner dan Sporty segera masuk dan naik tangga.
Anita Rankl, wanita yang baru saja menjadi korban
perampokan, tinggal di lantai paling atas.
"Ford Mustang tadi berhenti kira-kira 10 meter dari pojok
bangunan," kata Sporty.
Pak Glockner mengangguk singkat.
Dari atas kini terdengar suara langkah. Seseorang berkata,
"Hati-hati, Paul! Jangan sampai tersangkut!"
Dua petugas ambulans sedang mengusung sebuah tandu.
Seorang wanita terbaring di atasnya. Usia wanita itu di atas 70 tahun.
Ia berambut putih bersh. Raut wajahnya halus sekali. Kedua matanya
yang hitam nampak ketakutan. Ia dalam keadaan sadar dan menatap
Sporty dengan sayu. Kemudian anak itu melihat darah kering di bibir wanita tua itu.
Ketika tandu lewat di hadapannya, Sporty langsung menyentuh lengan
si Nenek. "Jangan khawatir, Bu Rankl. Kejadian ini takkan terulang lagi."
"Aduh, Nak - kenapa justru saya yang mereka incar?"
Petugas ambulans yang berjalan di depan kembali berkata pada
rekannya, "Hati-hati, Paul! Pelan-pelan saja!"
"Penjahat-penjahat itu benar-benar keterlaluan!" ujar Komisaris
Glockner dengan geram. "Mereka hanya berani terhadap orang-orang
tua yang lemah dan tak berdaya. Manusia macam apa mereka itu?"
"Bajingan-bajingan itu sama sekali tidak berperikemanusiaan.
Orang-orang seperti mereka sebenarnya tidak pantas disebut
manusia." "Ya, menyedihkan - tapi benar."
Pintu tempat tinggal Bu Rankl di lantai tiga dijaga oleh seorang
polisi. Begitu melihat Komisaris Glockner, ia segera menegurnya
dengan sopan, kemudian menatap Sporty sambil mengerutkan alis.
"Ini Peter Carsten," Pak Glockner memperkenalkan anak itu.
"Tapi semua orang memanggilnya Sporty. Dia sahabat Petra. Sporty
kebetulan melihat sesuatu yang mungkin bisa membantu kita.
Bagaimana Matthias, sudah ada petunjuk yang berguna?"
Matthias, yang meskipun masih muda sudah berkepala botak,
mengangguk penuh semangat.
"Bu Rankl adalah janda seorang rektor. Usianya 76 tahun, tapi
masih sehat. Bu Muller, tetangga sebelah, mendengar Bu Rankl minta
tolong. Karena punya kunci cadangan, ia bisa membebaskan wanita
malang itu. Kemudian ia menghubungi kita. Untung Bu Rankl masih
sempat memberikan keterangan. Menurut ceritanya, perampokan tadi
berlangsung seperti ini: Bu Rankl baru saja pulang berbelanja - kirakira tiga
perempat jam yang lalu - ketika bel pintunya berdering. Tapi
ketika membuka pintu, ia tiba-tiba disemprot dengan gas air mata.
Wajah penyerangnya tak sempat ia lihat. Bu Rankl langsung dicekik
dengan brutal, didorong sampai jatuh, lalu diikat. Saya tidak berani
membayangkan apa yang mungkin terjadi seandainya wanita tua itu
punya penyakit jantung. Selama perampokan tadi, Bu Rankl tetap
dalam keadaan sadar. Ia mendengar bagaimana si penjahat
mengobrak-abrik lemari. Bajingan itu berhasil membawa sejumlah
perhiasan serta koleksi keping emas yang cukup berharga - semuanya
benda-benda yang dengan mudah bisa disembunyikan di kantong
celana." "Apakah si penjahat meninggalkan jejak?"
"Tidak. Kalau melihat modus operandinya - cara kerjanya, saya
berani memastikan bahwa perampokan ini dilakukan oleh anggota
kelompok Diablo." "Kau sudah menanyai tetangga-tetangga?"
"Sudah, tapi hasilnya nihil. Mereka bahkan tidak tahu bahwa
ada perampokan di rumah ini."
Sporty berdehem. "Pak Glockner! Saya baru melihat si Mata Kodok ketika ia
sudah menuju ke Ford Mustang yang menunggunya. Tapi saya tidak
tahu dari mana ia muncul. Mungkin saja dari sini. Mungkin juga dari
kedai minum di bawah! Barangkali ada gunanya kalau kita
menanyakan hal ini."
"Memang itu rencana saya sekarang," ujar Komisaris Glockner
sambil tersenyum. Sambil menuruni tangga, Matthias bertanya pada atasannya,
"Saya dengar mobil baru Bapak meledak?"
Pak Glockner lalu menceritakan apa yang terjadi, dan Matthias
lalu menatap Sporty dengan kagum.
"Kelihatannya anak ini akan mengikuti jejak Bapak," katanya
pada Pak Glockner. "Bisa-bisa menantu Bapak nanti juga polisi."
"Ah, itu sih bagaimana nanti saja."
Sporty berlagak tidak mendengar apa-apa. Namun dalam hati ia
berkata bahwa pekerjaan almarhum ayahnya tetap yang paling cocok
baginya. Ia ingin jadi insinyur. Penanganan kejahatan paling-paling
akan dijalankannya sebagai hobi saja. Tapi masih ada banyak waktu
untuk memikirkan hal itu.
Ketiga orang itu keluar dari pintu rumah, lalu menuju ke kedai
minum. "Mungkin saja," ujat Sporty, "si Mata Kodok menunggu di
kedai minum sampai mobil Anda meledak, Pak Glockner. Dan setelah
itu, ia segera pergi tanpa merasa perlu memeriksa keadaan di garasi
Bapak." "Hmm, pendapatmu cukup masuk akal, Komisaris Glockner
berkomentar. Mobil ambulans yang akan membawa Bu Rankl ke rumah sakit
telah berangkat. Beberapa pejalan kaki yang sempat menyaksikan
wanita tua itu diusung, kini menuju ke garasi Pak Glockner.
Sementara itu, Komisaris Glockner, rekannya, serta Sporty
memasuki kedai minum SUDI MAMPIR. Bau bir segera tercium
begitu mereka membuka pintu.
Seorang pria lanjut usia sedang bermain pinball. Namun
kelihatannya ia kurang beruntung, sebab setiap beberapa detik ia
mengumpat dengan kesal. Di bagian belakang ruangan itu, sepasang suami-istri baru saja
selesai makan siang. Pemilik kedai minum yang berperut buncit
sedang membawa dua cangkir kopi ke meja mereka. Kemudian ia
segera menghampiri rombongan Pak Glockner yang berdiri di meja
layan. Komisaris Glockner langsung menunjukkan kartu identitasnya.
"Ada yang ingin kami tanyakan pada Bapak," katanya.
"Mengenai seorang pria yang berada di sini sekitar 40 sampai 50
menit yang lalu." Si pemilik kedai menatapnya dengan pandangan bertanyatanya.
"Sporty, tolong sebutkan ciri-ciri si Mata Kodok dengan sejelasjelasnya," Pak
Glockner lalu berkata. Sporty belum selesai ketika si pemilik kedai sudah mengangguk
penuh semangat. "Ya, orang itu memang ke sini tadi."
"Bapak mengenalnya?"
"Tidak. Rasanya, baru sekali ini saya melihat dia."
"Berapa lama dia berada di sini?"
"Kurang lebih 20 menit. Dia pesan segelas bir lalu duduk di
meja sana. Oh ya, selama di sini dia tidak melepaskan mantelnya. Dan
dia terus-terusan melihat ke luar jendela. Sepertinya dia sedang
menunggu seseorang. Tapi tiba-tiba saja dia membayar lalu pergi."
Pak Glockner menghampiri meja yang dimaksud dan bertanya
kursi mana yang diduduki si Mata Kodok.
"Hmm, garasi saya tidak terlihat dari sini," polisi itu berbisik
perlahan, sebab kata-kata itu hanya ditujukan pada rekannya dan
Sporty. "Berarti dia menunggu Bu Rankl," Matthias berkomentar.
"Barangkali sebelumnya dia sudah sempat menekan bel."
Pak Glockner mengucapkan terima kasih pada si pemilik kedai.
Setelah keluar, ia berkata pada Sporty, "Sayang sekali kau tidak
sempat mencatat plat nomor mobil tadi. Tapi tidak apa-apa. Saya akan
menyuruh anak buah saya untuk mencari sebuah Ford Mustang tua,
berwarna krem, dan berkarat. Barangkali gerombolan Diablo
menyangka bahwa mobil bobrok seperti itu lebih mudah terlepas dari
perhatian kami. Tapi berkat Sporty perhitungan mereka meleset."
"Apakah saya masih diperlukan di sini?" tanya Sporty, sebab ia
melihat bahwa Oskar baru saja sampai di depan toko Bu Glockner
dengan sepeda barunya. Sepeda Thomas malah sudah tersandar di
dinding. "Untuk sementara tidak," jawab Pak Glockner sambil ketawa.
"Teiima kasih atas bantuanmu!"
************************************
Dalam cuaca cerah pun, daerah di belakang stasiun kereta api
barang nampak suram dan gelap. Jalan-jalan sempit dan berlikuliku - peninggalan
zaman sebelum mobil diciptakan - membelok ke
segala arah. Beberapa jalan malah tidak bisa dilewati mobil karena
terlalu sempit. Dan sejumlah jalan lain terpaksa dibuat satu arah.
Rumah-rumah kuno - yang sudah tidak diurus oleh pemilik masingmasing-nampak saling
berdampingan. Rumah nomor 17 - sebuah bangunan sempit dengan halaman
kotor di sebelahnya - mempunyai 8 kamar. Sampai bulan November
yang lalu, pemiliknya secara tidak bertanggung jawab menyewakan
rumah itu pada 54 pekerja kasar berkebangsaan Turki, yang terpaksa
hidup secara berdesak-desakan. Ketika ulah pemilik rumah itu tercium
oleh petugas pemerintah, keadaan itu segera berakhir. Hampir saja
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rumah itu terpaksa dibiarkan kosong. Tapi kemudian ada penyewa
baru yang berminat: tiga laki-laki.
Untuk membayar uang sewa yang tinggi, mereka sepertinya
bekerja secara bergantian. Masing-masing dari mereka meninggalkan
rumah itu pada jam-jam yang tidak lazim. Tapi hal ini tidak sempat
menarik perhatian para tetangga, yang semuanya sibuk dengan urusan
masing-masing. Ketiga laki-laki itu tidak keberatan tinggal di lingkungan yang
kumuh. Mereka sudah terbiasa dengan keadaan yang lebih buruk
lagi - di penjara. Kini, menjelang sore, Rudi Johann memasukkan Ford Mustangnya ke halaman di
sebelah rumah mereka. Rudi sedang kesal. Wajahnya yang tampan nampak merah
padam. Rambutnya yang berwarna pirang dicuci setiap pagi. Ia paling
suka mengenakan kemeja sutera berwarna merah muda. Usianya 26
tahun. Si Mata Kodok duduk di sampingnya. Namanya Franz
Katzdobler. Kini ia sedang berkata untuk keempat atau kelima
kalinya, "Dasar tolol! Kenapa kau berhenti tepat di depan kedai minum
itu" Apa tidak ada tempat lain" Bagaimana kalau ada yang lihat
bahwa aku naik ke mobilmu, heh?"
"Tidak ada yang melihatnya!" balas Rudi dengan ketus.
"Dari mana kau tahu itu?"
"Sebab semua orang sedang melihat ke arah garasi!" ujar Rudi
sambil mematikan mesin mobil. Mereka turun. Franz nampak
membawa tas kantor. Rudi menutup pintu pagar yang setinggi orang. Kemudian
mereka masuk ke rumah melalui pintu belakang.
Sebuah mantel kulit berwarna coklat tergantung di dekat pintu.
"Ah, si Klaus sudah datang," kata Franz.
Klaus Heye adalah pemimpin kelompok Diablo. Di antara
mereka bertiga, Klaus-lah yang paling tidak berperikemanusiaan dan
sudah paling sering masuk penjara. Baru awal tahun ini ia - untuk
kesekian kalinya - dibebaskan.
Klaus sedang bersantai di ruang duduk. Di hadapannya ada
segelas minuman keras. Sebatang cerutu mahal terselip di antara
kedua bibirnya. Di sampingnya ada sebuah koper kecil.
Ia baru kembali dari perjalanan selama empat hari. Tiga bekas
pacar sempat dikunjunginya. Namun ternyata semuanya sudah bosan
menghadapi ulah Klaus. Kunjungannya gagal total!
Dasar perempuan! ia mengumpat dalam hati. Hanya gara-gara
masuk penjara selama dua tahun. Hah, mana kasih sayang antar
sesama"! Terpaksalah aku mengarang cerita untuk Franz dan Rudi.
Wibawaku bisa hancur kalau mereka tahu kejadian yang sebenamya.
Kedua anak buahnya disambutnya dengan senyum lebar.
"Halo, Bos!" ujar Franz sambil melemparkan tas ke atas meja.
"Sudah balik?" "Belum!" Klaus menggerutu. "Yang kaulihat di sini hanyalah
hantuku." "Hahaha!" si Mata Kodok ketawa seakan-akan ucapan bosnya
merupakan lelucon paling lucu yang pernah ia dengar.
"Bagaimana dengan cewek-cewek itu" Aman-aman saja?"
"Semuanya beres! Mereka tetap saja menuruti segala
keinginanku." Dasar tukang tipu, ujar Franz dalam hati. Kelihatan sekali
bahwa dia sedang bohong. Hmm, si Bos memang tidak pernah mau
mengaku kalah - dalam hal apa pun juga.
"Siang, Bos!" kini giliran Rudi menegur Klaus. Ia baru saja
masuk setelah menggantungkan mantelnya di selasar. Begitu muncul
di ambang pintu, bau wangi segera tersebar ke seluruh ruangan.
Klaus Heye hanya mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Ia
melepaskan cerutunya dari mulut, lalu memperhatikan ujungnya yang
membara. Heye berpenampilan kasar. Usianya kini 39 tahun.
Rambutnya hitam dan gondrong. Di sekeliling mata terdapat banyak
bekas luka: sisa-sisa dari zaman ketika ia masih aktif sebagai petinju
bayaran. Prestasinya tidak terlalu bagus. Dalam sebagian besar
pertarungannya ia keluar sebagai pihak yang kalah.
Dengan cerutunya Klaus lalu menunjuk tas di atas meja.
"Apa itu?" ia bertanya pada Franz.
"Hasil pekerjaan hari ini," jawab anak buahnya itu. Aku baru
saja mengunjungi seorang wanita tua. Dan si Rudi," ia menambahkan
dengan geram, "berhenti tepat di depan rumah nenek itu.
"Jangan terlalu dibesar-besarkan, dong!" Rudi langsung
membela diri. "Aku berani berhenti di situ karena yakin bahwa tidak
ada yang memperhatikan kita."
Klaus Heye mengerutkan alis dan menatap tajam ke arah kedua
anak buahnya. Kemudian si Mata Kodok disuruh mengeluarkan hasil
rampasannya: 32 keping emas, lima cincin, dua kalung, bros emas,
sendok-sendok perak, sebuah jam tangan wanita berlapis emas, serta
uang tunai sebesar 900 Mark.
Sebenamya Franz mengambil 1400 Mark dari tempat tinggal Bu
Rankl. Tapi hal ini tidak perlu diketahui oleh kedua rekannya. Ia
kadang-kadang memang merasa dirugikan karena hasil rampasan
mereka selalu dibagi tiga - padahal dialah yang bekerja paling keras.
"Lumayan!" Klaus Heye berkata sambil mengangguk-angguk.
"Tapi dibandingkan dengan rencana yang satu lagi, ini tidak ada
artinya. Kau sudah mengurus si Burkert?" ia lalu bertanya pada Franz.
"Burkert" Siapa itu?" Rudi segera ingin tahu.
"Hehehe, aku belum menceritakannya pada dia," ujar Franz
sambil nyengir lebar. "Kenapa belum?" Klaus menghardiknya. Sebenarnya, ia sudah
tahu apa sebabnya. Franz tidak suka pada Rudi. Mereka memang
bekerja sama dan - kalau perlu - juga saling mendukung. Tapi hanya
dalam batas-batas tertentu saja. Menurut Franz, tidak semua hal yang
ia ketahui juga harus diketahui oleh Rudi. Baginya, Rudi tidak lebih
dari seorang pesuruh. Melihat gelagat buruk, Klaus cepat-cepat menjelaskan duduk
perkaranya. "Waktu aku terakhir kali masuk penjara," ia mulai bercerita,
"aku berkenalan dengan seorang laki-laki bernama Adolf Burkert.
Kalian boleh percaya boleh tidak - dia dihukum untuk suatu kejahatan
yang tidak pemah ia lakukan. Ketika akhirnya ketahuan bahwa ia
tidak bersalah, si Burkert sudah menghabiskan satu setengah tahun di
dalam penjara. Ia langsung dilepaskan dan diberi ganti rugi - padahal
orangnya kaya-raya. Selama di penjara, si Tolol itu terus-menerus membanggakan
kekayaannya! Dia mewarisi sebuah vila mewah dari ayahnya. Dan
uangnya berlimpah-limpah. Dan sebuah koleksi permata. Kalau tidak
salah, koleksi itu disimpannya di rumah, di dalam sebuah lemari besi.
Sebab pada suatu malam, dia terus-menerus mengigau dan
menyebutkan sebuah angka. Baru belakangan aku sadar apa
maksudnya. Pasti sandi untuk membuka pintu lemari besi, hahaha!
Soalnya si Burkert ketakutan kalau-kalau ia melupakan angka itu.
Maklum, daya ingatnya tidak terlalu baik."
"Astaga!" Rudi berseru. "Kau ingat angka itu?"
"Ya, aku mengingatnya."
"Si Burkert tahu bahwa kau mengetahui angka itu?"
"Tidak!" "Berarti dialah sasaran kita berikutnya?"
Klaus kembali mengangguk. "Sebelum pergi aku sudah
menyuruh Franz untuk mempelajari situasi. Nah, Bagaimana?"
"Semuanya tepat seperti yang kauceritakan, Bos. Dia tinggal di
sebuah vila mewah. Mobilnya Rolls-Royce. Kelihatannya dia hanya
menganggur sepanjang hari. Setahu aku, dia tidak punya anjing
penjaga. Tapi jendela-jendela di lantai dasar diamankan dengan kisikisi besi.
Selain Burkert hanya ada seorang pelayan pria yang sudah
jompo. Orangnya agak tuli dan pikun. Keadaannya benar-benar
menguntungkan bagi kita, Bos."
Rudi nyengir lebar. "Bagaimana, Bos, kalau kau berkunjung ke rumahnya"
Maksudku sebagai sesama bekas penghuni penjara kan tidak ada
salahnya kalau..." "Bukan begitu caranya," Klaus Heye segera memotong.
"Pertama, si Burkert tidak pemah mengundang siapa pun ke
rumahnya. Dia kelewat kikir. Dan kedua, kalau kita memang ingin
menguras hartanya, maka jangan sampai dia punya bayangan
mengenai pelakunya. Biarkan saja dia meraba-raba dalam gelap. Aku
sudah menyusun rencana. "Yaitu?" "Kita menggunakan siasat pria di dalam peti."
Franz langsung ketawa terbahak-bahak. "Rencana yang hebat,
Bos!" Chapter 7 Bu Elly Memerlukan Bantuan
KEEMPAT sahabat STOP sedang dalam perjalanan menuju
Jalan Fritz-Meier. Bello juga ikut. Mereka hendak mendatangi Adolf
Burkert, untuk menuntut ganti rugi atas sepeda Oskar.
"Baru kali ini aku menagih utang pada seseorang," ujar Oskar.
"Biasanya justru aku yang harus membayar utang."
"Asal jangan jadi kebiasaan saja," kata Petra sambil ketawa.
Sejak ledakan bom di garasi keluarga Glockner, Sporty terusmenerus memperhatikan
gadis itu. Dalam hati ia merasa agak cemas.
Bagaimana kalau para pemasang bom mengulangi perbuatan mereka
sekali lagi" Itu berarti bahwa keluarga Glockner - termasuk Petra masih terancam bahaya. Anak-anak STOP telah membicarakan, membahas, dan
menganalisis ledakan bom serta perampokan brutal terhadap Bu
Rankl. Akhirnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa kejadiankejadian itu
merupakan kasus untuk STOP. Penyidikan terhadap para
pemasang bom sudah jelas menjadi urusan mereka. Begitu juga upaya
meringkus kelompok Diablo. Masalahnya, hanya anak-anak STOP
yang sempat melihat si Mata Kodok.
Oleh karena itu, Komisaris Glockner telah mengundang mereka
ke kantor polisi untuk melihat-lihat foto-foto penjahat di arsip.
Barangkali saja si Mata Kodok sudah tercatat di sana.
"Astaga!" seru Oskar tiba-tiba_ "Bagaimana dengan
bunganya?" "Ada apa dengan bunganya?" tanya Thomas.
"Kita lupa menghitung bunganya. Berutang 380 Mark selama
24 jam dengan suku bunga sebesar... Ah, lebih baik dibulatkan saja.
Aku kira 20 Mark sudah cukup memadai."
"Wah, dasar rentenir!" Thomas berkomentar sambil ketawa.
"Hati-hati Oskar, tindakanmu bisa dikenai hukuman penjara - paling
sedikit dua hari. Dan di penjara kau hanya diberi roti dan air putih.
Begitu kau dibebaskan dan kami menyambutmu di gerbang dengan
iringan drumband dan taburan bunga, kau pasti sudah banyak berubah.
Kau bakalan kurus-kering - hanya karena tidak bisa menghitung
bunga." "Wah, benar juga," ujar Oskar. "Ternyata pelajaran matematika
ada gunanya juga, ya. Hmm! Barangkali ada baiknya kalau aku... Biar
sajalah! Lebih baik aku tidak usah terima bunga kalau begitu. Kali ini
bajingan itu masih beruntung!"
Yang dimaksudnya tentu saja Adolf Burkert. Kini anak-anak itu
hampir sampai di rumahnya.
Dari belakang mereka terdengar suara mesin sepeda motor
berkekuatan setengah tenaga kuda.
Sporty segera menoleh. Ternyata sumber bunyi itu bukan sepeda motor melainkan
sebuah mobil - mobil paling kecil yang pernah dilihat Sporty. Mobil
mini buatan Itali itu berwama kuning manyala. Pengemudinya seorang
wanita. "He, itu kan Bu Elly!" seru Oskar yang juga menoleh ke
belakang. Benar saja - pengemudi mobil itu memang guru piano
Oskar. Bu Elly berhenti, turun dari mobil, lalu cepat-cepat menutup
pintu. Sporty segera tahu kenapa: di bangku belakang mobil Bu Elly
ada seekor kucing siam bermata biru dengan bulu yang indah sekali.
"Halo, Anak-anak!" Bu Elly menegur keempat sahabat itu Petra dan Thomas juga dikenalnya. Kemudian ia membelai Bello,
yang menatapnya sambil mengibaskan ekor.
"Wah, Oskar, kelihatannya kau sudah punya sepeda baru, ya?"
Bu Elly bertanya. "Ya, dan sekarang kami ingin menemui bekas suami Anda
untuk menuntut ganti rugi," anak itu menjawab.
"Betul, Adolf memang harus bertanggung jawab atas ulahnya.
Tapi kalian sebaiknya bersiap-siap, sebab memaksa Adolf untuk
mengeluarkan uang bukan pekerjaan mudah."
Sporty, yang memperhatikan Bu Elly dengan saksama, segera
menyadari bahwa wanita itu sedang gelisah. Meskipun memakai
make-up, wajah Bu Elly nampak agak pucat.
"Anda juga mau ke sana?" Sporty bertanya.
Bu Elly mengangguk. "Ya, dan... ehm... saya akan senang sekali kalau kalian mau
menemani saya. Dengan kehadiranmu, Sporty, Adolf pasti tidak
berani macam-macam."
"Mana ada yang berani macam-macam kalau ada Sporty?" Petra
mendesah perlahan. "Kau seharusnya bersyukur bahwa kau punya pelindung seperti
dia," ujar Bu Elly dengan serius. "Kau baru akan menyadari
manfaatnya kalau tidak ada yang membelamu."
"Wah, amit-amit," balas Petra sambil ketawa. "Jangan sampai
saya tergantung pada kekuatan otot seorang laki-laki."
"Dalam hal-hal tertentu tidak ada pilihan lain, Petra. Walaupun
emansipasi terus digembar-gemborkan, kaum wanita tetap saja lebih
lemah." Sporty kini memperhatikan kucing di mobil Bu Elly. Pasti
seekor kucing jantan. Binatang itu kini melompat ke jendela untuk
melotot ke arah Bello. "saya baru tahu bahwa Anda punya kucing," kata Sporty.
"Pedro sangat agresif. Karena itu saya selalu memasukkannya
ke dalam kamar kalau sedang mengajar piano," Bu Elly menjelaskan
sambil tersenyum ramah. Tapi kemudian ia kembali serius.
"Kalian pasti heran kenapa saya mengunjungi bekas suami
saya." katanya. "Terus terang saja, seandainya tidak terpaksa, saya pun
takkan mau ke sini. Kunci cadangan rumah saya hilang sejak kemarin.
Kunci itu seharusnya ada di gantungan kunci dekat pintu depan. Saya
yakin, Adolf yang membawanya. Vas bunga saya hanya
dipecahkannya untuk mengalihkan perhatian. Dia tidak mau kalau
saya langsung tahu bahwa kunci saya hilang."
Sporty mengangguk-angguk. "Berarti dia punya rencana untuk
diam-diam masuk ke rumah Anda."
"Itulah yang akan saya bicarakan dengannya. Saya akan minta
agar dia mengembalikan kunci itu.
"Jangan khawatir," Sporty menenangkan wanita itu. "Kami
akan membantu Anda."
Mereka sudah hampir sampai di rumah Adolf Burkert. Bu Elly
mengemudikan mobil mininya sampai ke depan rumah bekas
suaminya. Anak-anak STOP mengikutinya dengan sepeda masingmasing. Sporty melihat
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke garasi. Pintunya terbuka lebar. Garasi itu
sedang kosong - seperti kemarin.
"Kelihatannya Tuan Burkert tidak pemah ada di rumah," ujar
Thomas. "Habis, dia kebanyakan waktu, kebanyakan uang, dan punya
mobil bagus," kata Bu Elly. "Tapi aneh, dari dulu saya merasa risi
naik Rolls-Royce itu. Kesannya terlalu memamerkan kekayaan.
Dalam hal ini mobil mini saya jauh lebih menyenangkan."
"Sudah berapa lama Anda memiliki mobil itu?" tanya Sporty.
"Baru setengah tahun."
"Oh, pantas! Kalau begitu mobil Anda masih dalam masa
pertumbuhan." "Mobil saya memang kecil," jawab Bu Elly sambil ketawa,
"tapi sesuai dengan kebutuhan saya."
Di pekarangan rumah Adolf sejumlah burung berlompatlompatan. Bello langsung
mempertimbangkan untuk mengejar
burung-burung itu. Namun akhimya ia memutuskan untuk tetap
berada di samping Petra. Mereka menuju ke pintu. Oskar menekan bel, lalu segera
mundur selangkah dan berlindung di balik Sporty.
"Hajar saja kalau dia macam-macam," anak itu berusaha
memanas-manasi sahabatnya.
"Hus, jangan menghasut, dong!" Petra memprotes. "Urusan ini
bisa kita selesaikan tanpa menggunakan kekerasan."
"Maksudnya kalau Burkert yang mulai," Oskar membela diri.
Pada detik itu juga pintu membuka, dan Paul Riebesiel - si
pelayan tua - muncul di hadapan mereka. Ia memakai seragam yang
sama seperti kemarin. Begitu melihat anak-anak STOP, wajahnya
langsung berseri-seri. Dan ketika menyadari kehadiran Bu Elly,
matanya langsung bersinar-sinar."
"Bu Elly! Apa kabar" Sudah lama sekali kita tidak berjumpa."
"Halo, Paul! Saya baik-baik saja. Anda sendiri bagaimana"
Sehat-sehat saja" Anda nampak segar-bugar hari ini," ujar Bu Elly
keras-keras. Ia tahu bahwa pelayan tua itu agak tuli.
"Soal kesehatan tidak ada yang perlu saya keluhkan. Tapi setiap
hari saya berselisih dengan Tuan Adolf. Dia ingin mengusir saya dari
sini. Tapi saya takkan meninggalkan rumah ini secara suka rela. Saya
punya hak untuk tinggal di sini! Wah, Bu Elly, sejak Anda tidak lagi
tinggal di sini, keadaannya menjadi sangat membosankan. Silakan
masuk! Halo, Anak-anak!"
Keempat sahabat STOP membalas dengan ramah. Bu Elly lalu
menjelaskan bahwa mereka semua datang untuk menemui Adolf.
Kemudian ia bertanya apakah bekas suaminya itu ada di rumah.
"Tuan Adolf pergi sejak tadi pagi," jawab Paul sambil
menggelengkan kepala. "Saya tidak tahu kapan dia kembali. Tapi pasti
tidak sebelum nanti malam. Belakangan ini Tuan Adolf memang
jarang di rumah - seperti tidak ada yang perlu dikerjakan di sini."
"Apakah dia sudah menerima rekening kami?" tanya Sporty.
"Sudah, tapi dia hanya ketawa. Katanya," si pelayan berpaling
pada Oskar, "sepedamu jatuh tepat di depan mobilnya. Justru dia yang
akan menuntut ganti rugi. Karena cat mobilnya lecet. Sebenarnya sih
tidak begitu kelihatan. Tapi bagi Tuan Adolf itu sudah cukup."
"Makin lama, utangnya makin menumpuk saja," Oskar
berkomentar. "Kalau begini caranya, saya terpaksa memperhitungkan
bunga untuk dua hari penuh. Sampai besok siang pukul 14.00. Tolong
sampaikan ini padanya!"
"Dan tolong beritahukan juga bahwa kesabaran kami ada
batasnya," Sporty menambahkan.
Paul Riebesiel menggosok-gosok kedua tangannya sambil
tersenyum lebar. Ia kelihatan amat bersemangat.
"Betul, maju terus pantang mundur!" katanya. "Jangan mau
disepelekan oleh orang yang tak bertanggung jawab itu. Lebih baik
lagi kalau kalian melaporkannya ke polisi."
"Urusan seperti ini bisa kami selesaikan sendiri."
Si pelayan tua hanya mengangkat bahu, lalu bertanya pada Bu
Elly, "Kenapa Anda tidak masuk dulu" Anda kan pasti punya waktu
untuk segelas anggur, bukan?"
"Terima kasih, Paul! Tapi lain kali saja. Saya akan menelepon
Adolf nanti malam." "Kalau saya jadi Anda, saya takkan mau berurusan lagi dengan
dia - kecuali kalau ada sesuatu yang sangat penting. Anda seharusnya
bersyukur bahwa Anda sudah terbebas dari manusia brengsek itu!
Apakah saya sudah cerita bahwa dia ingin mengusir saya dari sini padahal saya sudah bekerja di sini selama 61 tahun" Ya, zaman
memang sudah berubah. Zaman dulu, hal seperti ini takkan terjadi."
Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Bu Elly dan anak-anak
STOP pun mohon diri. Kali ini Paul Riebesiel tetap berdiri di ambang
pintu sambil melambaikan tangan.
"Paul benar-benar baik hati," ujar Bu Elly. "Tapi sekarang dia
sudah mulai pikun." Setelah sampai di jalan, Sporty tanpa sadar memandang ke kiri
dan kanan. Tapi kali ini keberuntungan sedang tidak berpihak
padanya. Tidak ada Ford Mustang berkarat yang sedang mendekat.
Tiba-tiba saja Bu Elly berhenti.
"Perkara kunci rumah saya yang hilang itu," katanya, "mungkin
lebih serius dari yang kalian duga. Masalahnya begini, ketika saya
menikah dengan Adolf, ia memberikan hadiah yang istimewa: sebuah
koleksi batu permata - sebagian besar berlian dan batu safir.
Mengumpulkan batu permata adalah hobi almarhum ayahnya. Adolf
sendiri tidak pernah menambah koleksi itu - malah sebaliknya: dia
menjual beberapa batu yang paling indah. Tapi koleksi yang tersisa
pun tetap sangat berharga. Itu merupakan satu-satunya hadiah yang
pernah saya terima dari dia. Barangkali dia pun segera menyesali
pemberian itu. Nah, koleksi permata itu sampai sekarang masih di
tangan saya. Sebenarnya, saya bisa saja menuntut uang tunjangan
pada waktu kami bercerai - pengacara saya pun mendesak saya untuk
melakukan hal itu. Tapi saya tidak mau. Biar saja Adolf bahagia
dengan uangnya itu! Sebagai guru piano penghasilan saya memang
tidak seberapa. Tapi nyatanya sampai sekarang saya masih bisa
bertahan, bukan" Pokoknya, saya tidak akan melepaskan koleksi
permata itu! Tapi baru-baru ini saya dengar dari seorang kenalan
bahwa Adolf bercerita pada semua orang bahwa koleksi itu
sebenarnya masih miliknya."
"Dan Anda menduga bahwa dia mengambil kunci rumah Anda
untuk mencuri batu-batu itu?" tanya Sporty cepat-cepat.
"Saya yakin sekali."
"Lho, Anda menyimpan koleksi permata itu di rumah Anda?"
Raut wajah Bu Elly nampak agak kebingungan. "Maksudmu?"
"Barang berharga seperti itu seharusnya tidak disimpan di
rumah. Kalau saya jadi Anda, saya akan menyewa kotak penyimpanan
di bank. Dan kalau Adolf menyangkal mengambil kunci itu, maka
saya akan segera memasang kunci baru. Dan..." Sporty terdiam
sejenak. "Bagaimana pendapat Anda kalau kita memasang perangkap
untuk menjebaknya?" "Memasang perangkap?" Bu Elly mengulangi dengan mata
terbelalak. "Anda bisa saja pura-pura bepergian selama satu atau dua hari,"
Sporty berkata sambil mengangguk. "Ini bisa Anda ceritakan pada
pelayan tua tadi. Kabar ini pasti akan disampaikannya pada bekas
suami Anda. Adolf Burkert akan merasa bahwa ini suatu kesempatan
emas yang tidak boleh disia-siakan. Dia akan membawa kunci rumah
Anda untuk mengambil permata-permata itu. Tapi anak-anak STOP
sudah menunggunya di dalam rumah Anda - kecuali Petra tentu saja.
Urusan ini terlalu berbahaya bagi seorang gadis."
"Lalu bagaimana?" tanya Bu Elly sambil menahan napas.
"Kami akan meringkus bekas suami Anda, lalu menghubungi
polisi. Adolf Burkert akan kembali ke penjara - tapi kali ini memang
karena perbuatannya sendiri."
Bu Elly mengusap rambutnya, dan meremas-remas tangannya.
Ia nampak ragu-ragu. "Anda kurang setuju?" tanya Sporty.
"Saya sih setuju saja. Tapi-terus terang saja saya agak takut.
Adolf seorang pendendam. Dia tidak akan pernah memaafkan saya
kalau tahu bahwa saya yang menjebaknya."
"Tapi Anda tidak perlu khawatir selama dia berada di penjara."
"Memang, tapi dia banyak teman di kalangan bandit. Saya bisa
membayangkan bahwa Adolf akan menyuruh mereka untuk memberi
pelajaran pada saya. Ada satu kejadian yang masih saya ingat dengan
jelas sekali: ketika mengunjungi Adolf di penjara untuk
membicarakan perceraian kami, dia memperkenalkan saya pada
seorang temannya bernama Klaus Heye. Dia bekas petinju.
Tampangnya benar-benar menyeramkan. Adolf membanggakan
temannya itu sebagai penjahat kelas kakap. Kalau dia sekarang
mengupah orang seperti itu untuk menteror saya, maka saya harus
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan."
"Ya, keputusan tetap di tangan Anda. Saya hanya usul saja."
"Saya takkan melupakan bahwa kalian bersedia membantu
saya," ujar Bu Elly terharu. "Dan usulmu akan saya pertimbangkan.
Barangkali saya memang terlalu penakut."
Sporty juga sependapat dalam hal ini. Namun ia tidak
mengatakannya. Bu Elly lalu berpamitan dan menuju ke mobilnya. Ia
berangkat sambil melambaikan tangan, dan anak-anak STOP pun
meneruskan perjalanan ke arah kantor Komisaris Glockner.
"Klaus Heye," kata Sporty sambil mengerutkan kening.
"Mungkin ada gunanya kalau kita mengingat-ingat nama ini. Siapa
tahu Adolf Burkert akan menghubungi bekas petinju itu untuk tujuan
jahat. Tapi mungkin juga Heye masih di penjara sekarang. Bagi
penjahat kelas berat, penjara kan sudah seperti rumah kedua saja."
"Sama saja seperti asrama bagi aku," Oskar berkomentar.
"Dan kau memang pantas masuk dalam kategori kelas berat,"
Petra menambahkan, "walaupun hanya dari segi berat badan saja!"
Chapter 8 Ledakan di Bawah Air SORE ini Sporty dan Oskar tidak perlu mengikuti pelajaran
tambahan. Komisaris Glockner telah memintakan izin bagi kedua
anak itu. Soalnya ia memerlukan bantuan mereka untuk mengusut
kelompok Diablo. Suasana di kantor polisi sama ramainya dengan sarang lebah.
Sepertinya kantor itu penuh dengan lebah pekerja. Dan lebah jantan
tidak kurang banyaknya. Dari mana-mana terdengar hentakan mesin tik. Setiap beberapa
detik terdengar suara telepon yang berdering. Sejumlah petugas
sedang sibuk minta keterangan mengenai berbagai kejahatan. Rapatrapat rahasia
berlangsung di balik pintu-pintu tertutup. Para polisi
nampaknya berusaha keras agar jangan sampai kalah langkah dengan
para penjahat. Anak-anak STOP pun ingin menyumbangkan tenaga
mereka. Keempat sahabat itu berjalan menaiki tangga. Oskar
mengumumkan bahwa ia sudah mulai kelaparan. Tapi ia segera
terdiam begitu disikut oleh Petra. Thomas sibuk mengelap
kacamatanya dengan ujung lengan baju - kali ini bukan karena
tegang, melainkan agar bisa melihat dengan lebih jelas.
Dari balik pintu ruangan Komisaris Glockner terdengar suarasuara. Sporty
mengetok. "Masuk!" seseorang berseru. Namun itu nyaris tidak mungkin,
sebab di samping ayah Petra masih ada sembilan petugas lain di
ruangan kecil itu. Ruangan itu benar-benar penuh sesak. Untung
keadaan ini tidak bertahan lama. Rupanya pembicaraan Komisaris
Glockner dengan rekan-rekannya itu telah selesai. Petra mengenal
sebagian besar di antara mereka, dan ia pun disambut seperti tamu
terhormat. Ketiga anak yang lain tidak terlalu diperhatikan. Malah
Bello yang dibelai-belai.
"Itu tadi rekan-rekan saya," kata Pak Glockner, setelah petugas
terakhir menutup pintu. "Kotak arsip berisi foto-foto residivis sudah
saya siapkan di ruangan sebelah. Semuanya ada beberapa ratus.
Mudah-mudahan saja kita beruntung dan si Mata Kodok ada di antara
mereka." Pencarian pun dimulai. Sporty dan Petra meneliti kotak pertama. Thomas dan Oskar
kebagian kotak kedua. Sementara itu Bello berbaring di lantai dan
segera tertidur. Pak Glockner kembali ke meja tulisnya, namun membiarkan
pintu dalam keadaan terbuka.
Setelah lima menit, perut Oskar tiba-tiba mengeluarkan suara
keras. Pak Glockner sampai bertanya apakah ada yang mengatakan
sesuatu, "Ada, Pak!" .jawab Oskar sambil tersipu-sipu. "Tapi tidak ada
hubungannya dengan si Mata Kodok. Bunyi tadi adalah bunyi perut
saya yang protes minta diisi."
"Rasa lapar bisa menajamkan penglihatan, Oskar."
"Kalau begitu, pandangan saya sudah bisa dipakai sebagai pisau
cukur," anak itu mendesah.
Setengah jam berlalu tanpa hasil. Pandangan keempat sahabat
STOP sudah mulai berkunang-kunang karena kebanyakan melihat
foto. Tapi di antara sekian banyak foto, tak ada satu pun yang setidaktidaknya
mirip dengan si Mata Kodok. Dan semakin lama, semangat
Sporty dan kawan-kawannya semakin menurun.
"Kita memang tidak bisa mengharapkan terlalu banyak," Pak
Glockner akhirnya berkata. "Kalaupun si Mata Kodok pernah masuk
penjara, belum tentu fotonya ada di arsip kami. Mungkin saja dia
dihukum di negara bagian lain. Kalau begitu, fotonya ada di arsip
sana." "Sayangnya kita tidak tahu dari mana dia berasal," Sporty
berkomentar sambil ketawa. "Habis, tampangnya terlalu biasa."
Meskipun demikian mereka terus mencari. Tiba-tiba pintu
ruang kerja Komisaris Glockner membuka, dan seorang pria bergegas
masuk. Kelihatannya ia akrab sekali dengan ayah Petra.
"Halo Emil!" pria itu berkata dengan riang, lalu duduk di kursi
tamu Pak Glockner. Anak-anak STOP sama sekali tidak
diperhatikannya. Tapi Sporty bisa menatap orang itu tanpa perlu
menoleh. Tanpa berkata apa-apa Petra memberi isyarat pada Sporty agar
mendekatkan kepala. Kemudian ia berbisik,
"Itu Eduard von Simbock. Dia jaksa."
"Bagaimana?" tanya Sporty. Sebenarnya, ucapan Petra sudah
cukup jelas. Tapi Sporty kepingin merasakan desah napas Petra yang
segar. "Oh, begitu!" Sporty berkata ketika Petra mengulangi
keterangannya. Eduard von Simbock adalah seorang pria yang gemar
berolahraga. Meskipun usianya telah mendekati setengah abad dan
rambutnya sudah beruban, sikapnya masih seperti anak muda saja tegap dan penuh semangat. Sepertinya ia sering mengunjungi dokter
gigi, sebab di mulutnya gigi emas nampak berderet-deret. Ia
berpakaian perlente, dengan rompi sutera berwarna abu-abu dan
setelan jas berwarna biru tua. Setiap ucapannya diiringi dengan
gerakan tangan. Sporty sempat menghitung bahwa ada sebelas
gerakan berbeda. Rupanya Tuan von Simbock juga ahli bahasa
isyarat. Yang hendak disampaikannya pada Komisaris Glockner
Detektif Stop - 21 Gerombolan Pemasang Bom di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternyata tidak ada hubungannya sama sekali dengan urusan dinas. Pak
Simbock bercerita bahwa ia baru saja selesai membangun sauna
(ruang mandi uap) di kebunnya di pinggir Danau Wiesenbeck. Dan
tadi siang ia langsung mencobanya. Hasilnya, ia merasa segar-bugar
dan seperti dilahirkan kembali.
"Bayangkan Emil, semangat kerjaku menjadi berlipat ganda!"
Komisaris Glockner tersenyum ramah - walaupun hanya agar
lawan bicaranya jangan sampai tersinggung.
"Tapi ada satu masalah," Pak Simbock tiba-tiba kembali serius.
"Arlojiku ketinggalan."
"Di rumah peristirahatanmu?"
"Kemungkinan besar di lemari pakaian. Sebuah arloji berlapis
emas. Repotnya, arloji itu adalah hadiah dari ibu mertuaku."
"Wah, gawat dong," ujar Pak Glockner.
"Ya, apalagi dia sangat sensitif."
"Arlojimu?" "Bukan, arlojiku sih kedap air dan tahan bantingan. Ibu
mertuaku yang kumaksud: Nyonya von Schladdernitz-Eppelsheim.
Hubungan kami bisa dikatakan... ehm... agak tegang. Kalau dia
melihat aku tanpa arloji itu, dia pasti langsung menyangka bahwa aku
memancing-mancing keributan. Hmm! Mudah-mudahan saja tidak
ada pencuri yang nekat masuk ke rumah peristirahatanku."
"Asal jangan ada barang berharga lain saja," kata Pak Glockner
sambil ketawa. "Hanya arloji brengsek itu. Kapan-kapan aku ke sana untuk
mengambilnya. Daripada tidak bisa tidur dengan tenang"!"
Sporty sudah sering mengunjungi Danau Wiesenbeck. Kata
"danau" sebenarnya terlalu mengada-ada, sebab ukurannya tidak lebih
besar dari sebuah kolam renang. Letaknya di tengah hutan.
Pada musim panas, anak-anak asrama selalu berenang di sana.
Selain karena gratis, juga karena danau itu dekat ke asrama. Tinggal
mengelilingi sebuah bukit sudah sampai. Kalau naik sepeda, jaraknya
bisa ditempuh dalam waktu kurang dari sepuluh menit.
Sporty berdehem. Eduard von Simbock menoleh.
"Ah, rupanya lagi ada tamu," katanya sambil mengamati anakanak STOP.
Kemudian ia mengenali Petra, dan langsung menghampiri dan
menyalami gadis itu. Pak Glockner lalu memperkenalkan anak-anak yang lain.
"Tanpa sengaja kami ikut mendengarkan pembicaraan Anda,"
ujar Sporty sambil tersenyum. "Oskar dan saya tinggal di sekolahasrama. Kalau
perlu, kami bisa pergi ke Danau Wiesenbeck untuk
mengamankan arloji Anda."
"Wah, kebetulan sekali!" Pak Simbock berseru lega. "Kalau
kalian memang bersedia... dan kalau tidak terlalu merepotkan...
Tunggu sebentar! Di mana saya simpan kuncinya..."
Jaksa itu mulai merogoh semua kantongnya. Untuk sesaat
Sporty menduga bahwa kuncinya pun ketinggalan. Tapi kemudian Pak
Simbock menemukannya terjepit di antara dompet dan kotak rokok.
Ia melepaskan sebuah anak kunci berwarna perak dari
gantungan kunci, lalu menyerahkannya pada Sporty.
"Wah, terima kasih banyak! Tapi memang lebih baik begini.
Siapa yang tahu apa yang mungkin terjadi di danau itu setelah gelap,
bukan?" katanya sambil ketawa lebar, seakan-akan hendak
memamerkan deretan gigi emasnya.
"Ya," Oskar berkomentar, "siapa tahu babi hutan juga ingin
merasakan nikmatnya bersauna, lalu tanpa sengaja menginjak arloji
Anda. Saya yakin arlojinya pasti tidak dirancang untuk tahan terhadap
bantingan seperti itu."
Dan setelah itu Tuan Jaksa harus menjelaskan kejadian itu pada
ibu mertuanya, pikir Sporty sambil ikut ketawa.
"Bagaimana, kalian sudah selesai?" Komisaris Glockner
bertanya setelah keadaannya kembali tenang.
"Sedikit lagi," jawab Petra. "Tapi kelihatannya usaha kita akan
sia-sia saja." Ramalan Petra ternyata tepat. Sampai pada foto terakhir pun
mereka belum menemukan wajah si Mata Kodok.
************************************
Kini, menjelang malam hari, awan-awan terlihat berkejarkejaran di langit.
Sporty dan Oskar telah berpisah dengan Petra dan Thomas.
Kota telah berada di belakang mereka. Kedua sahabat itu menyusuri
jalan raya yang menuju ke asrama, namun kemudian membelok ke
suatu jalan kecil ketika sampai pada papan penunjuk bertulisan
"Danau Wiesenbeck". Jalan setapak itu pertama-tama melewati
ladang-ladang. Kemudian tepi hutan yang gelap nampak semakin
dekat. Udara di bawah naungan pohon-pohon ternyata lebih sejuk dari
yang mereka duga. "Astaga, dinginnya!" ujar Oskar sambil merinding. "Mana
perutku dari tadi sudah keroncongan lagi. Wah, kehidupan anak
asrama memang berat. Mudah-mudahan saja waktu makan malam
nanti aku bisa nambah."
"Seingat aku, kau belum pernah puas dengan satu porsi saja."
"Habis, porsinya selalu untuk orang yang lagi diet. Dari dulu
aku sudah curiga: jangan-jangan pengelola asrama menginginkan kita
menjadi kurus-kering."
"Aku sih tidak merasa kurus-kering," Sporty menanggapi
keluhan sahabatnya sambil ketawa lebar. "Dan menurut aku, mutu
makanan di asrama tidak bisa dikeluhkan."
"Memang, sih," ujar Oskar, "selama ini belum ada yang mati
kelaparan. Tapi itu kan tidak berarti bahwa semuanya sudah
sempurna." Jalan setapak yang mereka lewati mulai sedikit menurun.
Permukaan danau nampak berkilau-kilau di antara batang-batang
pohon. Danau itu - seperti telah dijelaskan tadi - tidak terlalu luas,
tapi cukup dalam dan dikelilingi oleh jalan setapak. Hampir di
sepanjang tepinya pohon-pohon tumbuh berdekatan dengan batas air.
Di sisi pendeknya, sebuah sungai kecil mengalir ke dalam
danau. Pada sisi itu juga ada lapangan rumput. Beberapa kapling
nampak sudah dipagar. Untuk menjaga kelestarian alam, pihak
pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang melarang
pembangunan rumah peristirahatan di sekitar danau. Tapi pondokpondok semipermanen masih diperbolehkan. Di sekeliling danau
sudah ada empat buah - salah satu di antaranya adalah pondok sauna
kepunyaan Jaksa von Simbock.
"Pertama-tama dia mandi uap sampai bercucuran keringat," kata
Oskar, "lalu dia meloncat ke dalam danau. Dan setelah itu airnya
menjadi asin sehingga ikan-ikan tidak betah lagi tinggal di sini.
Namanya juga ikan air tawar."
"Rupanya pengail di sebelah sana belum mengetahui
perkembangan ini." Dengan dagunya Sporty menunjuk ke arah seorang pria.
Orang itu berdiri di dekat pagar pekarangan Pak Simbock
sambil menggenggam pancing.
"Aku memang doyan ikan bakar," ujar Oskar, "tapi aku tidak
tega melihat ikan ditarik keluar dari air lalu dibunuh."
"Aku juga. Dan bukan itu saja! Coba bayangkan babi-babi
kecil, anak-anak domba, anak-anak sapi, dan anak-anak kambing yang
terpaksa dipotong agar kita bisa makan. Sebenarnya, manusia bisa
hidup dari tumbuhan-tumbuhan saja. Kalau sudah begitu, barulah
seseorang bisa mengaku sebagai penyayang binatang sejati."
"Untung masih ada coklat," Oskar berkata dengan riang. "Sebab
coklat bisa dimakan tanpa perlu merasa bersalah."
Mereka telah sampai di tujuan. Tanpa terburu-buru kedua
sahabat itu turun dari sepeda. Mereka masih harus menyeberangi
sepotong lapangan rumput untuk sampai di sauna Pak Simbock.
Pria yang sedang mengail menatap anak-anak itu dengan kesal.
Rupanya ia merasa terganggu oleh kehadiran mereka. Barangkali
Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 3 Tiga Dalam Satu 06 Dosa Yang Tersembunyi Lambang Naga Panji Naga Sakti 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama